Wahabi mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Bab I Wahabi: Kebangkitan Berawal Pemurnian PADA 11 September 2001 dunia dikejutkan dengan serangan nekad ke gedung kembar World Trade Center (WTC) –salah satu pusat bisnis dan perkantoran terbesar di dunia yang menjadi simbol keperkasaan ekonomi AS– di New York, dan markas militer AS Pentagon di Washington. Sesungguhnya serangan juga diarahkan ke White House namun keburu jatuh. Mungkin inilah serangan terdahsyat terhadap Amerika Serikat sejak Peristiwa Pearl Harbour. Pembaca mungkin masih ingat dari buku pelajaran sejarah, bahwa pada tangal 7 Desember 1941 pasukan udara Angkatan Laut Jepang (Kaigun) menggempur pangkalan militer AS di situ. Hasilnya spektakuler, daya kejutnya luar biasa, sehingga rakyat AS mengenangnya sebagai Day of Infamy. Beberapa kapal perang tenggelam, kapal terbang dihancurkan selagi di darat dan sekitar 2.500 hingga 3.000 orang tewas. Peristiwa tersebut mendorong AS terlibat sebagai anggota Sekutu dalam Perang Dunia ke-2 (yang terjadi tanggal 1 September 1939 hingga 2 September 1945), yang berakhir dengan kemenangan Sekutu terhadap Poros –termasuk kekalahan Jepang. Mungkin sulit membandingkan mana yang lebih spektakuler dari peristiwa tersebut. Peristiwa di Pearl Harbour berakibat AS terlibat di dalam kancah Perang Dunia ke-2 selama sekitar 3,5 tahun, adapun perang tersebut mengubah besar wajah dunia. Harap diingat bahwa Pearl Harbour bukan terletak di benua Amerika namun ‘hanya’ sebuah pangkalan militer di pos luar Amerika karena berada di sebuah pulau. Namun AS merasa sangat tersengat oleh serangan tersebut hingga rela terlibat ke dalam kancah peperangan yang mengerikan tersebut. Peristiwa 11 September bukanlah terjadi di pinggiran wilayah AS tetapi di benuanya, boleh dibilang jantungnya negara tersebut. Siapapun pelakunya, target yang dipilih bukan sembarang: gedung kembar WTC boleh dibilang simbol kedigdayaan ekonomi AS, kantor Pentagon semacam simbol kedigdayaan AS di bidang militer. Tambahan pula, gedung WTC adalah target sipil, berbeda dengan Pearl Harbour yang memang pangkalan militer. Pangkalan militer memang masih layak untuk diserang. Inilah yang agaknya membuat pemerintah AS bersedia melaksanakan apa yang disebut dengan perang melawan teroris. Seberapa besar dampak perang tersebut –apakah kurang, sama atau lebih dibanding Perang Dunia kedua– agaknya masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Yang pasti, begitu ada peristiwa yang bercorak teror –karena target non militer sekaligus dengan korban sekitar 3.000 orang sipil– maka yang pertama dan utama menjadi fokus atau lebih tepat tersangka, adalah Islam dan tentu saja kaum Muslim. Ini bukan hal baru, sejak awal Islam –tepatnya ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup– telah terjadi bentrokan antara Muslim dengan (imperialisme) Barat, yaitu Bizantium. Ketika itu Bizantium menguasai wilayah Asia Barat dan Afrika Utara. Pasca Muhammad, kaum Muslim membebaskan wilayah tersebut dan pada 1453 menamatkan riwayat negara tersebut dengan merebut ibukotanya, Constantinople (kini bernama Istambul). Perang salib (1095-1291) menghasilkan hubungan antara Muslim dengan Nashrani, terutama Barat, seakan terjun bebas ke titik nadir. Ketika kaum Muslim tampil ke “panggung dunia” dan dengan relatif cepat merebut jajahan Bizantium di Asia Barat dan Afrika Utara bahkan menyeberang ke Eropa, Barat menilai Islam/Muslim sebagai ancaman serius terhadap identitasnya. Kecemasan tersebut sempat mereda dengan sumbangsih kaum Muslim terhadap kemanusiaan dengan peradaban yang saat itu lebih canggih dari Barat. Walau (mungkin) ada rasa malu atau gengsi, dunia Barat belajar banyak kepada kaum Muslim sehingga menjadi cikal bakal kebangkitan Barat menuju kemajuan masa kini, yang lazim disebut Renaissance pada abad ke-16. Harap diketahui selama perioda 476–1492 Barat mengalami apa yang dinamakan zaman pertengahan. Capaian kemanusiaan yang pernah dicapai mereka saat kejayaan Yunani-Romawi boleh dibilang lenyap. Pada perioda tersebut, kolusi gereja-negara menghambat perkembangan intelektual di Barat. Setelah mengenal peradaban Timur, mereka bertekad berontak melawan kolusi tersebut. Usai perang salib, hubungan Barat-Timur relatif pulih –terutama perdagangan- namun dendam masih berkelanjutan. Ini terbukti dengan usaha Barat menguasai dunia (lagi) melalui perang kolonial pada abad ke-16 yang masih ada saat ini. Sejak Barat menilai Muslim sebagai ancaman identitasnya (dan peradabannya), kaum Muslim dicitrakan oleh Barat sebagai “barbar”, “fanatik” atau “kafir”. Citra ini diperkuat ketika perang salib dan perang kolonial. Sering waktu berjalan kaum Muslim mendapat citra tambahan semisal “ekstrimis”, “militan”, “fundamentalis” dan ….. “teroris”! Mereka giat mempropagandakan anti Islam bukan hanya sesama Barat namun juga keluar dunia Barat. Kecanggihan media massa mereka berakibat kaum non Muslim non Barat juga tergugah memihak Barat. Dapat disimak, nasib kaum Muslim semisal di Thailand, India dan RRC. Berbagai penindasan ditujukan terhadap kaum Muslim. Sesungguhnya persekongkolan anti Islam oleh 2 kelompok non Muslim yaitu Barat dengan non Barat juga cerita lama. Hal tersebut telah terjadi pula sejak awal Islam. Dua kekuatan raksasa non Muslim yaitu Bizantium (Barat) dan Persia (non Barat) diam-diam sepakat meredakan permusuhan yang telah berlangsung lama dan sengit demi melawan Muslim. Bentrokan pertama dengan Bizantium terjadi ketika Muhammad masih hidup, bentrokan pertama dengan Persia terjadi pada perioda Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq (632-634). Persia takluk pada abad ke-7 itu juga dan Bizantium pada abad ke-15. Ketika perang salib, imperialis Barat bersekutu dengan Kekaisaran Mongolia mengepung dunia Muslim. Pasukan Barat menyerbu pada abad ke-11 dan pasukan Mongol pada abad ke-13, yang jelas menimbulkan kerugian mengerikan bagi kaum Muslim. Entah berapa orang yang tewas, tak terbilang kerugian akibat pusat-pusat intelektual semisal madrasah dan pustaka yang berubah menjadi abu atau puing. Coba tengok kota-kota semisal Baghdad, Halab, Samarkand dan Bukhara. Semua adalah saksi bisu kejayaan dan keruntuhan peradaban Muslim. Peristiwa 11 September juga mengingatkan orang dengan gerakan yang dinilai militan sejak abad ke-18 yaitu Wahhabi! Ini disebabkan bahwa beberapa tersangka pelaku serangan tersebut warga negara Arab Saudi, negara yang menetapkan Wahhabi sebagai faham resmi negara. Gerakan Wahhabi memang berasal dari wilayah yang kini masuk Arab Saudi. Walau pemerintah Arab Saudi dikenal dekat dengan Barat, namun ada saja di antara rakyatnya yang anti (hegemoni) Barat. Sosok seorang (mantan) warga Arab Saudi yaitu Usamah bin Ladin adalah yang sangat dikenal anti imperialisme –terutama imperialisme Barat– ironisnya dia dahulu dekat dengan Barat saat melawan komunis dalam perang panjang dan kejam ketika Uni Soviet menduduki Afghanistan. Dia sempat dilimpahi metoda, dana dan senjata dari AS. Setelah Uni Soviet tamat, dia memasukkan AS ke dalam daftar musuhnya. Bagi dia AS juga musuh Muslim, namun dia menilai harus melawan komunis dahulu karena anti (semua) agama, kemudian giliran AS karena pro salibis-zionis. Dia mungkin sefaham dengan penulis bahwa non Muslim punya potensi sebagai musuh dan memang ada yang menjadi musuh dengan berbagai kelompok atau istilah semisal salibis, zionis, komunis atau paganis. Tidak cukup dengan itu, dia menilai rezim Saudi sebagai musuh (dalam selimut) bagi Islam karena mengizinkan pasukan AS berpangkalan di negeri itu. Akibatnya, dia dicabut kewarganegaraannya dan harus hengkang. Ada lagi hal yang menambah daftar ironisnya, keluarga Bin Ladin dikenal dekat dengan rezim Saudi dan AS. Keluarga ini menjadi konglomerat dengan bisnis yang beragam serta investasinya yang tersebar di beberapa negeri termasuk AS. Keluarga ini turut menyumbang perluasan Masjidil Haram dan beberapa elit AS sempat “mencari makan” di perusahaan -yang kalau diusut-usut– adalah milik Dinasti Bin Ladin. Inilah yang menyebabkan Usamah sempat menikmati bulan madu dengan AS ketika perang melawan komunis. Usamah membentuk organisasi bernama Al-Qa’idah yang kelak dinilai (atau dituduh) sebagai berfaham Wahhabi. Organisasi ini dinilai militan dan diduga memiliki jaringan dengan berbagai aktivis militan Muslim di berbagai negeri. Gejolak kaum Muslim di beberapa tempat semisal di Sinkiang, Chechnya, Kasymir, Bosnia, Pattani, Mindanao dan kawasan Asia Tengah begitu mudah dikaitkan dengan Al-Qa’idah: bahkan tanpa check and rechek. Kesimpulan dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa fihak yang dinilai berfaham Wahhabi juga dapat berpecah-belah. Tak beda dengan kaum Muslim keseluruhan: berpecah-belah antara Suni dengan Syi’ah, antara Arab dengan Persia, Kurdi dan Turki, antara reformis dengan tradisionalis. Kesamaan ideologi antara Usamah dengan Dinasti Sa’ud tidak menjamin kesatuan antara mereka. Maka perlu ada suatu usaha untuk menyatukan kaum Wahhabi sebagai bagian dari mewujudkan ukhuwwah Islamiyyah dan menyebar faham Wahhabi kepada kaum Muslim. A. Sekilas Asal Muasal Gerakan Wahabi Gerakan Wahhabi tidak dapat dilepaskan dari seorang ulama asal Najad –tepatnya lahir di ‘Uyaynah- bernama Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Sebelum minyak ditemukan pada abad ke-20, kehidupan di Najad memiliki ciri khas gurun atau nomad. Kota-kotanya sedikit, wujudnya tak lebih dari pondok dari lumpur. Sebagian besar penduduknya hidup berpindah-pindah mencari lahan subur, dengan demikian mereka tidak punya atau tidak (mau) tunduk kepada kekuasaan yang terpusat. Sepanjang sejarahnya, peradaban canggih di Arabia sempat muncul di selatan, utara dan timur. Najad boleh dibilang terpencil. Semasa hidupnya wilayah utara, selatan, barat dan timur Arabia dikuasai oleh Kesultanan Turki ‘Utsmaniyyah (1299-1924). Selama berabad-abad praktis Najad bebas dari kekuasaan asing karena jauh dari pesisir dan didominasi gurun. Dia berasal dari keluarga yang turun temurun menonjol dalam hal ilmu agama, tak heran jika dia tertarik menjadi ahlinya. Sejak remaja dia berda’wah di kampung halamannya, dan langsung menerima resiko dimusuhi. Setelah berfikir sematang-matangnya dia pindah ke Dar’iyyah atau Dir’iyyah dan disambut dengan simpatik oleh Muhammad bin Sa’ud, seorang raja kecil yang kelak menjadi leluhur para raja Arab Saudi. Leluhur Bin Sa’ud menetap di Dar’iyyah sejak sekitar abad ke-16. Boleh dibilang tidak ada yang baru dari da’wahnya. Dia hanya ingin kaum Muslim kembali memperlakukan agamanya berdasar sumber asli yaitu kitab dan sunnah. Ijtihad dilaksanakan jika tidak ditemukan dasarnya dari dua perkara itu –dan itu memang dibolehkan dalam agama. Tahap dalam memahami agama adalah tafsirkan ayat dengan ayat, tafsirkan ayat dengan hadits, dan pilihan terakhir adalah tafsirkan kasus dengan ijtihad. Sebelum bertemu dengan Bin Sa’ud, dia merantau menuntut ilmu antara lain ke Madinah, Bashrah, Baghdad dan Qum bahkan konon ke Perancis. Hasil perantauan tersebut meyakinkan dia bahwa kebekuan dan penyimpangan kaum Muslim telah merata, bukan hanya di kampung halaman. Walau masyarakat kampung halaman adalah bangsa Arab –dan tentu berbahasa Arab– ternyata bukan jaminan mampu memahami agama dengan tepat. Pertemuan atau duet 2M (Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dengan Muhammad bin Sa’ud) tersebut diperkuat oleh sumpah setia menurut Islam yang lazim disebut bai’at, inilah awal Revolusi Wahhabi (1744-1818). Boleh dibilang revolusi ini adalah awal kebangkitan Muslim. Bin Sa’ud dipilih sebagai raja dan Bin ‘Abdul Wahhab sebagai penasihatnya. Pada periode tersebut boleh dinilai bertepatan dengan gerakan di dunia Barat yang lazim disebut Aufklarung, gerakan ini boleh dibilang lanjutan dari Renaissance. Gerakan tersebut membuahkan 3 revolusi yang menentukan dunia yaitu Revolusi Industri (1769), Revolusi Amerika (1775-1783), Revolusi Perancis (termasuk Perang Napoleon) pada 1789-1815. Dampaknya luar biasa, hasil dari Aufklarung terasa pada abad ke-19. Untuk pertama kali Barat mengungguli Timur hingga kini, terutama dalam hal teknologi. Dan hal itu berdampak pada bidang sosio-religi, kemajuan teknologi Barat mempermudah usaha mereka menjajah: penjajahan semakin merajalela! Dengan penjajahan, Barat berpeluang memasukkan nilai-nilainya kepada Timur –yang disengaja atau tidak, cenderung merusak tatanan walau tentu harus diakui ada segi baiknya. Apa yang disebut kemajuan peradaban Barat yang dibawa ke Timur sesungguhnya adalah hasil pengembangan dari peradaban Timur semisal dari Mesir, Mesopotamia, Arabia, India dan Cina. Ibnu ‘Abdul Wahhab dan Ibnu Sa’ud mungkin tidak tahu menahu tentang gejolak internasional tersebut di atas, wilayah Najad sedemikian terpencil akibat gurun yang luas. Hal tersebut juga agaknya yang menyebabkan mereka tidak atau belum berniat berda’wah ke arah non Muslim. Selain itu, Najad juga bukan wilayah yang berbatasan dengan wilayah non Muslim. Mereka menyaksikan bahwa masyarakat kampung halaman sendiri butuh da’wah, maka strategi yang tepat dipakai –minimal untuk beberapa lama– adalah mengislamkan orang yang sudah Islam. Kaum Muslim kembali dituntun atau dituntut, untuk kembali mengenal agamanya sendiri sesuai dengan kitab dan sunnah. Namun kelak seiring perjalanan waktu gerakan Wahhabi berbenturan dengan imperialisme Barat yang bangkit seiring dengan kebangkitan intelektualnya, hingga saat ini. Penulis sempat menyimak karya tulisnya yaitu “Kitab Tauhid”, penulis menilai bahwa buku tersebut mencerminkan apa yang harus disampaikan kepada masyarakat kampung halamannya. Masyarakat Najad terbilang primitif saat itu sehingga pesan-pesan agama dituntut sederhana, bahkan bukunya terkesan ‘menggurui’, seakan-akan (atau benar-benar) dia menilai masyarakatnya terbelakang. Buku tersebut membahas tentang keharusan memurnikan sikap terhadap agama semisal larangan syirik dengan segala percabangannya, antara lain larangan menggunakan jimat dan mengkeramatkan kubur. Nyatalah bahwa buku tersebut menjadikan kaum Muslim sebagai sasaran bidik. Gerakan Wahhabi menerapkan dua metode da’wah yaitu da’wah bil lisaan (da’wah dengan bicara) dan da’wah bil haal (da’wah dengan tindakan). Selain khutbah di masjid juga mulai merusak berbagai lokasi yang dinilai keramat oleh umat. Di Najad ada beberapa kubur, gua dan pohon yang dikeramatkan, baginya perilaku tersebut tiada beda dengan menciptakan atau menghadirkan kembali suasana pra Islam. Jika terus dibiarkan, bukan mustahil Islam tidak disebut-sebut lagi, apalagi diamalkan. Larangan meminta-minta di situs keramat, dan perusakan berbagai situs keramat, tak pelak lagi membangkitkan kemarahan masyarakat. Namun duet 2M tidak peduli. Mereka bertekad mewujudkan niatnya dengan manis, bahkan dengan pahit jika perlu. Untuk itu pasukan perlu dibentuk dan didampingi mubaligh atau da’i. Selain membimbing para prajurit, para guru agama juga memberi tuntunan kepada masyarakat di suatu tempat yang telah ditaklukan oleh tentara. Demikianlah, ketika Bin Sa’ud wafat pada 1765 sebagian besar Najad telah ditaklukan kaum Wahhabi. Putranya yaitu ‘Abdul ‘Aziz dipilih menggantikan Bin Sa’ud. Setelah Najad ditaklukan, Provinsi al-Hasa –terletak di pantai Teluk Persia- menjadi target berikutnya. Mayoritas pantai timur Arabia adalah Muslim Syi’ah. Syi’ah muncul pada abad ke-7 saat terjadi perang saudara kaum Muslim antara ‘Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyyah bin Abu Sufyan karena perebutan kekuasaan sebagai khalifah, yaitu sebutan bagi pengganti “fungsi” Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Syi’ah berpendapat bahwa hak kekhalifahan adalah berasal dari keturunan Muhammad via putrinya yaitu Fathimah az- Zahra dengan ‘Ali. Dua kelompok Muslim lain yaitu Suni dan Khawarij berpendapat bahwa khalifah dipilih berdasar pemilu. Persoalan politik tersebut akhirnya merambah ke bidang ritual dan akidah. Kaum Syi’ah berfaham mengeramatkan tokoh tertentu dan kuburnya, tempat-tempat yang dinilai suci oleh Syi’ah banyak terdapat di ‘Iraq dan Iran. Dua negeri tersebut memang mayoritas Syi’ah. Di Indonesia, pengaruh Syi’ah nampak pada perayaan Tabut di Sumatera Barat dan Bengkulu. Perayaan tersebut untuk mengenang pembantaian cucu nabi yaitu Hussayn bin ‘Ali bin Abu Thalib oleh pasukan Kerajaan Ummayyah di Karbala, kini masuk wilayah ‘Iraq. Setelah aktivis Wahhabi menaklukan Hasa, pandangannya tertuju pada ‘Iraq. Hasrat menaklukan negeri tersebut berakibat mereka dikenal terutama di dunia Muslim, dalam arti menghebohkan. Ketika itu ‘Iraq masuk wilayah Kerajaan Turki ‘Utsmaniy, negara terkemuka di dunia Muslim. Walau sejak abad ke-17 negara tersebut melemah, namun tetap dipandang dengan hormat oleh kaum Muslim, mengingat tempat-tempat suci utama Muslim yaitu di Hijaz –lazim disebut Haramayn- dan Palestina juga masuk wilayah ‘Utsmaniy. Lagi pula Turki termasuk negara Muslim besar selain Persia, Moghul-India dan Marokko. Pasukan Wahhabi menyerbu ‘Iraq pada tahun 1801, kota-kota suci semisal Bashrah, Kufah dan Karbala direbut. Di Karbala, terdapat kubur Hussayn bin ‘Ali bin Abu Thalib. Pasukan Wahhabi menjarah, merusak dan membunuh di kota tersebut. Sekitar dua tahun kemudian mereka menyerbu Hijaz – tempat suci sebagaimana tersebut di atas. Beberapa tempat yang dikeramatkan ada yang dirusak, selebihnya hanya dijaga dari upaya perilaku syirik dan bid’ah semisal makam nabi di Madinah. Adapun rumah tempat lahir Muhammad kini beralih fungsi menjadi pustaka. Serbuan ke jantung dunia Muslim menyentakkan dunia, yang paling cemas adalah Turki. Tidak diduga bahwa gerakan yang pada awalnya dinilai hanya sebagai konflik ala nomad -yang lazim terjadi di wilayah steppa atau gurun terkait masalah perebutan lahan subur– ternyata menjadi semacam kebangkitan dengan ideologi yang jelas. Walaupun sama-sama berfaham Suni, Turki tidak menerima penguasaan Haramayn di pegang Wahhabi, atau siapa pun selain dirinya. Mau ditaruh di mana muka di hadapan dunia –terutama Muslim– jika kekuasaan di Haramayn terlepas? Lagipula, kaum Wahhabi menilai bahwa pemerintah Turki kurang Islami sehingga tidak layak menjadi pemimpin dunia Muslim. Kaum Syi’ah sama cemasnya jika Haramayn dikuasai Wahhabi, mereka hampir pasti dipersulit atau dilarang untuk datang padahal haji termasuk rukun Islam dan hanya dapat dilaksanakan di Haramayn. Penyerbuan ke ‘Iraq yang dinilai begitu kejam belum lama berselang sebelum ke Hijaz masih segar dalam ingatan. Turki ingin bertindak namun terhadang masalah. Pembusukan di dalam dengan begitu banyak perselingkuhan –sebagaimana dikritik kaum Wahhabi- dalam mengelola negara dan penyerbuan balik oleh bangsa-bangsa Eropa berakibat sulit menghimpun pasukan. Karena itu tugas menumpas gerakan Wahhabi diserahkan kepada Mesir, wilayah setengah merdeka dalam naungan Turki. Penguasanya bernama Muhammad ‘Ali Basya atau Pasya. Muhammad ‘Ali melantik putranya yaitu Tursun atau Tusan sebagai panglima operasi penumpasan. Dia bergerak pada tahun 1816. Ibnu ‘Abdul Wahhab wafat pada 1792 dan ‘Abdul ‘Aziz menyusul tak lama setelah penaklukan Haramayn. ‘Abdul ‘Aziz diganti oleh Sa’ud, yang wafat pada tahun 1814. Putra Sa’ud yaitu ‘Abdullah terpilih menjadi pemimpin gerakan, dan dialah yang menghadapi serbuan pasukan Mesir. Pergantian secara turun temurun dari Muhammad bin Sa’ud –bahkan hingga kini– menunjukkan bahwa gerakan Wahhabi sekian lama belum menyentuh pembenahan di bidang politik. Sistem yang jelas-jelas monarki terkesan sejauh ini dibiarkan, padahal Islam memiliki konsep memilih pemimpin melalui pemilu, artinya Islam lebih berfaham republik dibandingkan monarki. Konsep monarki cenderung membatasi peran politik hanya kepada kelompok tertentu –katakanlah keluarga tertentu– yang jelas memperkecil peluang umat kebanyakan untuk turut serta. Kini dapat kita saksikan bahwa para pemegang jabatan yang terkait dengan negara atau politik di Kerajaan Arab Saudi hampir semua dari Keluarga Sa’ud. Baru beberapa tahun terakhir ini terdapat gejolak di dalam negeri tersebut yang dilaksanakan oleh individu atau kelompok berfaham Wahhabi pula yang mengkritisi sistem monarki. Yang sejauh ini menonjol tentu saja Usamah bin Ladin, dia bertekad menghapus sistem tersebut, bila perlu dengan kekerasan. Usamah agaknya cenderung mengutamakan pembebasan kaum Muslim yang cenderung dizhalimi oleh non Muslim berikut antek-anteknya dalam kaum Muslim, sehingga ada perbedaan dengan skala prioritas dengan Ibnu ‘Abdul Wahhab, yang mengutamakan pembenahan dalam ritual dan akidah sekaligus kurang membenahi ranah politik. Kembali ke usaha penumpasan, tujuan pokok adalah merebut Haramayn, kota-kota Makkah dan Madinah direbut nyaris bersamaan. Pasukan Wahhabi mundur dari Hijaz dan Muhammad ‘Ali bertekad mengejar ke pusatnya. Putranya yang lain yaitu Ibrahim dipilih untuk bergerak ke Najad Pasukan Mesir butuh waktu sekitar dua tahun untuk merebut Dar’iyyah. Walau kalah canggih, pasukan Wahhabi mampu merepotkan pasukan Mesir. Begitu pertahanan Wahhabi ditembus, pasukan Mesir meratakan Dar’iyyah, merusak lahan pertanian di sekitarnya, mengusir keluarga Sa’ud dan menangkap ‘Abdullah. ‘Abdullah dibawa ke Istambul dan dihukum mati. Berakhirlah revolusi pertama Wahhabi. Penumpasan di bidang militer dan politik digerakkan bersamaan dengan penumpasan di bidang ritual dan teologi. Banyak ulama dikerahkan untuk memfitnah Wahhabi. Ibnu ‘Abdul Wahhab difitnah sebagai keturunan Mussaylamah al-Kadzdzab, seorang nabi palsu yang tampil pasca wafatnya nabi Muhammad SAW. Fitnah tersebut cukup ampuh karena mereka berdua sama-sama asal Najad. Anti keramat kubur difitnah sebagai anti ziarah kubur, anti wasilah difitnah sebagai anti ulama. Mengingat Turki menguasai jantung dunia Muslim, fitnah tersebut sempat laris di dunia Muslim, termasuk di Indonesia. Hal tersebut dimungkinkan karena kaum Muslim melaksanakan ritual haji atau belajar agama di Haramayn. Namun gerakan Wahhabi tak dapat ditumpas-tuntas, secara berangsur gerakan tersebut melangkah ke luar Arabia. Di Arabia sendiri, gerakan tersebut muncul kembali pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdul Rahman al-Sa’ud mengobarkan revolusi Wahhabi mirip dengan Muhammad bin Sa’ud, dia persatukan suku-suku –sering dengan kekerasan– sekaligus perang melawan Turki. Ketika itu rasa tak puas terhadap Turki nyaris merata di Arabia. Tokoh lain yaitu Syarif Hussayn bahkan merasa perlu bersekutu dengan Inggris untuk melawan Turki ketika Perang Dunia ke-1 (1914-198), dia lebih tepat dinilai dimanfaatkan. Inggris menjanjikan dia sebagai raja bukan hanya di Arabia namun juga mencakup Syam –kini mencakup Suriah, Palestina, Libanon dan Yordania– serta Mesopotamia, yang kini mencakup ‘Iraq dan Kuwait. Dengan senjata dan sejumlah perwira Inggris dia sukses mengusir pasukan Turki. Ketika usai perang, Inggris membiarkan dia perang sendirian dengan ‘Abdul ‘Aziz. Inggris mengkhianatinya dengan cara membagi wilayah dengan Perancis dan memasukkan kaum zionis ke Palestina. ‘Iraq, Kuwait, Yordania dan Palestina menjadi mandat Inggris; Libanon dan Suriah menjadi mandat Perancis. Mandat adalah istilah halus untuk jajah atau caplok. Akibatnya, ‘Abdul ‘Aziz sukses merebut Haramayn dan Syarif Hussayn lari Yordania dan berkuasa turun temurun di situ dengan nama Dinasti Hasyimiyyah. Pada tanggal 23 September 1932 ‘Abdul ‘Aziz mengumumkan pembentukan Kerajaan Arab Saudi dengan ibu kota Riyadh, masuk Provinsi Najad dan menyatakan Wahhabi sebagai ‘faham’ resmi negara. Tercapailah tujuan duet 2M pada abad ke-18 tersebut setelah perjuangan yang berdarah-darah. B. Kerajaan Arab Saudi Raja ‘Abdul ‘Aziz al-Sa’ud berkuasa hingga wafat pada 1953. Dia mempraktekkan poligami –suatu hal yang lazim di negeri itu- hingga banyak anaknya. Anak-anaknya kelak memegang jabatan dalam negara Saudi. Dia melaksanakan modernisasi sedemikian cermat namun tetap tak terhindarkan perselisihan dengan sesama aktivis Wahhabi. Mereka cemas jika modernisasi –yang ketika itu atau bahkan hingga kini dinilai identik dengan Westernisasi– akan melunturkan nilai-nilai asli berupa keislaman dan ketimuran. ‘Abdul ‘Aziz mencoba berjalan di tengah: melaksanakan modernisasi sekaligus memberlakukan syari’at Islam. Agaknya dia sadar, bahwa jika Arabia dibiarkan apa adanya maka jelas akan tertinggal jauh dengan yang lain dan hampir pasti akan diremehkan. Dia sadar pula, bahwa dia hidup di zaman Barat sedang di atas angin dengan kemajuan teknologinya. Maka tak ada pilihan selain belajar kepada Barat sambil sedapat mungkin menyaring pengaruh buruknya. Pilihan dia tertuju kepada Amerika Serikat. Berdasar Truman Principle pada 1948 AS mengirim Armada ke-6 ke jazirah. Inilah asal muasal kedekatan Saudi-AS hingga kini, yang kelak dipersoalkan oleh warga Saudi sendiri semisal Usamah. Perusahaan minyak dari AS diundang untuk menggali minyak dari bumi Arab Saudi, kita mengenal perusahaan Arabian American Oil Company. Dalam waktu relatif singkat untuk ukuran negara, Arab Saudi berubah penampilan dari zaman batu ke zaman komputer. Posisi Arab Saudi di level internasional cukup diperhitungkan, hal tersebut tertolong oleh tiga hal, yaitu jantung dunia Muslim –umat yang mengisi dunia sejumlah 16% atau umat terbesar kedua, letak negeri yang strategis, semacam posisi silang, dan kekayaan minyak, walau perlu diwaspadai bahwa minyak adalah sumber alam yang tak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Pemerintah agaknya sadar dengan posisi tersebut antara lain bahwa banyak fihak yang tergoda menyebar pengaruh atau menaklukan sekalian. Soal usaha penaklukan bukan hal baru di Asia Barat atau lazim disebut Timur Tengah, sejak awal peradaban manusia wilayah tersebut diperebutkan oleh berbagai bangsa. Hingga kini Timur Tengah masih memiliki nilai penting ditinjau dari banyak segi. Mestinya kaum Muslim –umat mayoritas di Timur Tengah- menyadari bahwa hal tersebut adalah nikmat tuhan yang harus diperlakukan dengan cermat: mensyukurinya antara lain dengan melaksanakan agamanya dan mempertahankan wilayahnya. Namun yang nyata tidaklah yang semestinya, kaum Muslim terpecah belah hingga lemah mempertahankan wilayah serta lalai beragama hingga lemah mempertahankan akidah. Agaknya ini menjadi tugas kaum Wahhabi sedunia membina kaum Muslim di segala bidang hingga memiliki posisi tawar menawar yang kuat terhadap non Muslim. Kaum Muslim tidak boleh dibiarkan terus menerus “di bawah angin”, keadaan demikian mendesak untuk membangkitkan Muslim dari ketertinggalan dan mungkin hal-hal yang harus dibenahi (terpaksa) dilaksanakan sekaligus. Zaman kita jelas berbeda dengan zaman ketika Muhammad bin ‘Abdul Wahhab tampil. Ketika itu, belum banyak dunia Muslim jatuh dalam cengkeraman non Muslim –fisik maupun non fisik– hingga dia relatif mudah menetapkan skala prioritas, dia benahi dulu hal ritual dan akidah. Namun pada zaman kita penjajahan non Muslim telah melanda seantero dunia Muslim, jika tidak kasar ya halus, pokoknya ada penjajahan, belum lagi perilaku Muslim yang sadar tak sadar menjadi antek. Kaum Wahhabi agaknya dituntut untuk membenahi semua sekaligus dalam saat bersamaan, termasuk politik dan ekonomi, jelas ini pekerjaan sulit namun apakah ada pilihan lain Bab II Sekilas Gerakan Wahhabi Di Indonesia SEKIAN lama kita disuguhi informasi dari penelitian kaum orientalis bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-13, berpatokan pada fakta negara Muslim pertama muncul pada abad itu di Pasai, kini masuk Provinsi NAD. Ini suatu program terselubung imperialis Barat untuk mengecilkan peran Islam di Indonesia. Professor Hamka dalam Seminar Masuknya Islam di Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 bersamaan dengan agama tersebut masuk ke Cina. Walau pembentukan kekuasaan Muslim kemungkinan besar terjadi pada abad ke-13 namun hubungan antara penduduk Nusantara dengan perantau Muslim telah terjadi sejak abad ke-7. Ini tak mengherankan, karena sejak awal Masehi telah terjadi hubungan antara dunia Barat dengan dunia Timur. Hubungan tersebut mencakup darat dan laut, jalur darat dikenal dengan sebutan Jalur Sutera, jalur panjang dari pesisir Laut Mediterania hingga kota Chang’an (kini Xian) di Cina. Adapun jalur laut terentang dari pesisir Laut Merah dan Teluk Persia hingga pesisir Laut Cina Selatan, terutama kota Kwangchou (Kanton atau Guangzhou). Nusantara terletak pada posisi silang sehingga mustahil tertutup atau menutup diri dari lintas internasional beserta dampaknya. Para perantau asing singgah –bahkan ada yang mukim– di Nusantara, dengan demikian interaksi dengan pribumi terbentuk. Pribumi Nusantara –yang notabene masih primitif- terkesan dengan peradaban yang dimiliki oleh para perantau tersebut. Bangsa Arab, Persia, Cina dan India telah memiliki peradaban canggih jauh sebelum berhubungan dengan Nusantara. Agama adalah bentuk peradaban yang dibawa ke Nusantara. Pada awal hubungan tersebut, bangsa Cina telah mengenal agama Budha dan Konghucu, bangsa India dengan Hindu dan Budha, Persia dengan Zaratustra serta bangsa Arab dengan agama Hanif. Walau kini kita mengenal Indonesia sebagai berpenduduk mayoritas Muslim, namun pengaruh kuat pertama sebagai hasil hubungan tersebut adalah Hindu dan Budha. Selama sekitar 1500 tahun kedua agama tersebut tampil dominan di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Hingga kini pengaruh India belum sepenuhnya lenyap walau Islam meraih mayoritas. Bahkan Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas dari peranan perantau India, mengingat Islam masuk ke India sejak abad ke-7 dengan cara perdagangan maupun penaklukan. Sejak itu berangsur-angsur kaum Muslim meraih kekuasaan –meski minoritas– di anak benua tersebut yang mencapai puncaknya pada masa Dinasti Mughal (1526-1858). Para perantau menempati pemukiman pesisir dan berbaur dengan pribumi. Pada awalnya mereka hanya membahas soal dagang atau ekonomi, kemudian berangsur-angsur membahas yang lain semisal agama. Sebagai hasil kontak tersebut sekitar abad ke-4 muncul pemerintahan –atau tepatnya kerajaan– di Nusantara. Adanya pemerintahan menunjukkan bahwa ada suatu keteraturan atau kestabilan tertentu dalam suatu kelompok dan itu termasuk ciri ada peradaban. Seseorang dipilih di antara sekian banyak orang untuk memimpin kelompok yang bersangkutan guna menjamin bahwa keteraturan masyarakat tetap lestari. Pada awalnya kerajaan dimaksud muncul di Kalimantan dan Jawa, kita mengenal negara tersebut ialah Kutai dan Tarumanegara. Beberapa bukti tertulis dari periode tersebut ada yang sampai kepada zaman kita, yang menunjukan pengaruh dominan dari India. Sejak itu berbagai kerajaan dan peradaban silih berganti tampil di Nusantara. Periode awal tarikh Masehi hingga abad ke-16 sering dinilai sebagai masa klasik Indonesia, mengingat konsep ideal kehidupan yang didamba oleh bangsa Indonesia semisal masyarakat adil dan makmur dan gemah ripah loh jinawi sempat hadir relatif lama pada periode tersebut. Periode ini cenderung dijadikan acuan dalam zaman kini, terlebih dua negara besar yaitu Sriwijaya dan Majapahit tercakup di dalamnya. Kedua negara tersebut dinilai sebagai puncak capaian prestasi kemanusiaan yang pernah diraih Indonesia. Waktu berjalan terus, ketika bangsa Arab, Persia dan (sebagian India) masuk Islam maka agama tersebut terbawa ke Nusantara. Mereka meraih simpati warga karena kejujuran dan kebersihannya, minimal wudhu lima kali dan mandi dua kali dalam sehari, berbeda kelak dengan para pendatang dari Eropa pada abad ke-16. Namun hubungan baik tersebut tidak serta merta merangkul pribumi menjadi Muslim secara massal. Rakyat masih terikat dengan rajanya, yang dianggap sebagai tuhan, setengah tuhan atau minimal wakil tuhan. Dengan demikian kelompok Muslim masih terpusat di kota-kota pesisir, sangat sedikit yang menjangkau pedalaman. Mengingat begitu kuat pengaruh Hindu, Budha dan kepercayaan asli masyarakat Nusantara, para penyebar agama Islam dituntut cermat mencari persaman antara Islam dengan berbagai faham anutan masyarakat, bahkan sadar tak sadar cenderung mencampur adukkan antara Islam dengan faham lainnya. Bagi yang sadar melakukannya, mereka niatkan tidak untuk selamanya namun hanya merupakan proses menuju keislaman yang sejati. Misalnya, selamatan sekian hari untuk si mati dengan kumpul-kumpul di rumah duka dibiarkan berlangsung (untuk sementara) namun mantera diganti doa. Dalam hal arsitektur masjid, mereka tidak serta merta meniru arsitektur Arab namun masih mempertahankan arsitektur Hindu-Budha sejauh tidak menjurus kepada politeisme semisal memasang arca-arca. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa faham-faham non Islam yang masih dipertahankan untuk sementara ternyata menjadi berkepanjangan, di luar perkiraan para juru da’wah. Kelak sebagai akibat begitu kuatnya pengaruh pra Islam di Nusantara, serta hambatan da’wah karena konflik dengan imperialisme Barat, menghasilkan da’wah yang tak kunjung rampung dan keislaman yang tak murni, hingga saat ini. Kesulitan memperkenalkan Islam secara murni berdasar kitab dan sunnah makin bertambah ketika bergerak menuju pedalaman. Hingga saat ini masih terasa perbedaan antara masyarakat pesisir dengan pedalaman, walau pengaruh luar lebih mudah masuk akibat kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. Kehidupan pesisir cenderung dinamis karena terbuka terhadap pengaruh luar, adapun pedalaman cenderung statis karena pengaruh luar cenderung terhambat oleh rintangan alam semisal gunung, hutan, sungai atau hewan buas. Rintangan manusia dapat berbentuk perampokan atau sikap masyarakat yang sudah terbiasa atau merasa nyaman dengan tatanan lama. Untuk itu para juru da’wah cenderung dituntut tidak sekadar hafal ayat dan hadits atau berperilaku shalih namun juga harus memiliki berbagai ilmu yang tak lazim beredar di ranah publik, yang lazim dikenal dengan ‘kesaktian’ atau ‘kekeramatan’. Gunanya untuk meyakinkan masyarakat yang dihadapi akan kebenaran atau mutu agama yang dibawanya. Orang-orang demikian lazim disebut “wali” atau “awliya” dan “shufiy”. Dalam sejarah kita, terdapat 9 orang wali yang berperan mengislamkan tanah Jawa dengan sebutan Walisongo. Mereka berusaha menyebarkan Islam dengan benturan sesedikit mungkin dengan faham lama masyarakat. Masuk abad ke-13 terjadi perubahan menentukan di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara: Sriwijaya runtuh dan Majapahit tampil. Hasrat mempersatukan, atau lebih tepat penaklukan, Asia Tenggara dilaksanakan relatif lebih sukses dibanding Sriwijaya. Wilayah taklukan Majapahit bukan hanya mencakup bekas wilayah Sriwijaya namun juga di luarnya. Puncak prestasi imperium ini terjadi pada abad ke-14 karena memiliki tokoh kuat yaitu Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Dengan demikian kota-kota pesisir di mana kaum Muslim bermukim juga di bawah kuasa Majapahit. Menjelang Majapahit lahir, di sudut utara Sumatera telah terdapat kekuasaan Muslim yang dikenal dengan Kerajaan Samudera Pasai. Posisinya strategis karena tepat terletak di jalur lintas internasional: Selat Malaka! Banyak perantau asing yang mukim dan terjadilah percampuran yang menjadi cikal bakal suku Aceh kini. Hingga kini kita masih menjumpai wajah-wajah mirip Arab, Keling, Cina dan Eropa di provinsi tersebut. Tidaklah berlebihan jika ada yang menyebut Aceh adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, Hindustan. Kerajaan ini tidak sempat menikmati masa jaya berlama-lama, pasukan Majapahit merebutnya pada abad ke-14 dan pada abad ke-15 tersaingi oleh Kesultanan Malaka (1400-1511). Penaklukan oleh Portugis mengakhiri riwayatnya pada 1521, namun peran negara ini bagi da’wah Islam tak dapat diremehkan. Beberapa ulama Pasai bahkan merintis kekuasaan Muslim di Jawa, yang sering disebut adalah Syarif Hidayatullah. Dia menjadi tokoh penting dalam Kerajaan Demak dan kelak menjadi leluhur raja-raja Banten, Jayakarta dan Cirebon. Masuk abad ke-15, Majapahit dilanda perpecahan intern bahkan terjerumus dalam perang saudara. Banyak anggota monarki yang lari dari Jawa di antaranya Parameswara yang kelak membangun Kerajaan Malaka. Kelak kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511. Peristiwa ini merupakan periode menentukan bagi Asia Tenggara, kawasan ini masuk perioda kolonial, yang dampaknya masih ada hingga kini Sejarah berulang di Indonesia, persekongkolan anti Islam terbentuk. Da’wah Islam menghadapi dua front sekaligus: kekuatan pra Islam (tepatnya paganis) dengan salibis. Mirip dengan persekongkolan terselubung Bizantium-Persia melawan Muslim di Arabia pada abad ke-7 dan persekongkolan Eropa dengan Mongolia menghancurkan Kerajaan ‘Abbasiyyah di ‘Iraq pada abad ke-13. Demak, yaitu negara Muslim pertama di Jawa mungkin sekaligus yang pertama menghadapi persekongkolan tersebut. Tersebut riwayat bahwa Majapahit mengirim utusan ke Malaka yang ketika itu sudah direbut Portugis. Di Jawa Barat, Kerajaan Pajajaran sudah membuat perjanjian yang mengizinkan Portugis memiliki pangkalan di Sunda Kelapa. Tiada pilihan selain melawan ketiga fihak tersebut sekaligus. Ekspedisi Demak bergerak ke barat dan ke timur, ke barat hingga menyentuh Selat Sunda dan ke timur sejauh Pasuruan. Syarif Hidayatullah sukses mengunci pesisir utara Jawa Barat, yang merupakan incaran Portugis. Dari ketiga wilayah tersebut di atas Islam tersebar ke se antero Jawa Barat. Ke arah timur ekspedisi dipimpin langsung oleh sultan sendiri, namun terjadi kericuhan dan sultan tewas. Peristiwa tersebut berakibat perang saudara yang mengakhiri kesultanan tersebut. Beberapa anggota keraton lari di antaranya ada yang membentuk Kesultanan Palembang. Penulis tidak bermaksud mengisahkan dengan lengkap penyebaran Islam di Indonesia. Kisah di atas disajikan untuk memberi pemahaman kepada pembaca betapa berat da’wah Islam di negeri ini. Dampaknya adalah da’wah Islam di Indonesia adalah kerja yang tak kunjung rampung. Kaum Muslim tersebar hingga ke pelosok dan hal itu mempersulit da’wah demi pemahaman yang utuh dan tepat tentang Islam. Belum lagi hambatan dari manusia-manusia yang tak senang dengan da’wah Islam, berakibat da’wah menjadi ngos-ngosan: sangat menguras tenaga, waktu, harta bahkan nyawa. Hubungan antara dunia Barat dengan Nusantara yang didominasi konflik militer sejak abad ke-16, dan baru berkurang pada awal abad ke-20, banyak merusak aset umat semisal pesantren dan masjid. Banyak ulama dan santri yang tewas, hilang atau ditangkap dengan akibat umat kehilangan pembimbing. Pemahaman –dan tentu pengamalan– agama yang masih sedikit membuka peluang percampuran dengan berbagai faham non Islam semisal syirik, bid’ah, taqlid dan khurafat. Ini menjadi tantangan berat bagi gerakan da’wah yang menuntun ke pemahaman agama yang murni –berdasar kitab dan sunnah– hingga zaman kini. Di bagian lain dunia Muslim keadaan nyaris tak berbeda. Penyimpangan dan perpecahan di dalam serta penjajahan dari luar berangsur-angsur merambah nyaris ke seantero dunia Muslim. Telah penulis jelaskan, faham yang menyimpang juga turut menghiasi Arabia, jantung dunia Muslim. Tepatlah hadits yang bernada ramalan nasib kaum Muslim disertai penyebabnya: “Kelak kalian akan jatuh hina, kalian bagai menu yang terhidang di meja yang diperebutkan oleh umat-umat lain.” Para sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit ya rasul?” Rasul menjawab, “Tidak! Kamu bahkan banyak bagai buih di lautan namun kalian terjangkit al-wahnu.” Tanya sahabat lagi, “Apakah itu al-wahnu?” Jawab rasul, “Cinta dunia takut mati, Tuhan cabut rasa takut dari musuh-musuh kalian dan memberikannya kepada kalian.” Bagai buih di lautan merupakan sindiran bahwa kaum Muslim kelak menjadi banyak namun ringan, tegasnya tidak bermutu. Kaum Muslim menjadi umat terbelakang dan terpecah, mudah terombang-ambing oleh permainan musuhnya. Bagai menu yang terhidang di meja dan diperebutkan merupakan sindiran bahwa sebagian besar wilayah kaum Muslim kaya sumber alam, wilayah luas dan letak strategis, namun gagal mengelolanya. Hal tersebut mengundang nafsu musuh Islam untuk merebutnya. Ketika kaum Muslim Indonesia berjuang melawan imperialis yang bersekongkol dengan paganis, dan berangsur-angsur merebut wilayah ini sepotong demi sepotong, hadirlah faham Wahhabi yang dibawa oleh orang-orang yang kebetulan sempat hadir di Haramayn ketika gerakan tersebut sedang panas-panasnya. Walaupun kelompok berfaham Wahhabi sulit diketahui jumlahnya, insya Allah penulis bahas dua kelompok saja dengan pertimbangan dampak dari gerakan mereka faham Wahhabi masih survive di Indonesia. A. Gerakan Paderi Gerakan ini tampil di Sumatera Barat diperkirakan pada awal abad ke-19, dibawa oleh beberapa orang ulama yang kembali dari menunaikan ibadah haji. Mereka konon menyaksikan sendiri kaum Wahhabi sempat merebut wilayah Haramayn, merusak situs-situs yang dikeramatkan atau melarang praktek syirik dan bid’ah dengan topeng ziarah. Mereka terkesan dengan faham Wahhabi dan mencoba membawa ke kampung halaman. Islam diperkirakan masuk pada awal abad ke-7 di pesisir barat Sumatera, ketika itu sebagian besar umatnya mungkin masih perantau asing semisal Arab, Persia dan Keling. Sekitar abad ke-16 berangsur-angsur Kerajaan Aceh menaklukan pesisir barat sejauh Bengkulu, dengan demikian Islam juga terbawa oleh ekspedisi tersebut. Pada awalnya konon Islam diterima oleh para tokoh masyarakat semisal datuk dan penghulu. Anggota istana Pagaruyung sekian lama masih bertahan dengan agama Hindu-Budha, hal tersebut sempat menampilkan selisih faham namun dapat diselesaikan dengan semacam kompromi: Yang Dipertuan Agung tetap dihormati secara seremonial atau adat namun kekuasaan yang sesungguhnya tersebar pada tokoh semacam datuk dan penghulu tadi. Belakangan keluarga istana juga menjadi Muslim namun (masih) campur aduk dengan faham non Islam. Waktu berjalan terus, ulama-ulama tampil silih berganti semisal Syaikh Burhanuddin yang bermakam di Ulakan. Di sela-sela konflik dengan imperialis Barat, terdapat ketegangan antara ulama dan kaum adat dalam berebut pengaruh di masyarakat. Dengan demikian ada yang menilai bahwa Perang Paderi (1821-1837) –minimal pada awalnya atau dasarnya– bukanlah perang agama namun perang antar umat beragama, kemudian diberi label atau kemasan agama supaya terkesan bagus. Setahu penulis, perang agama hanya terdapat pada zaman (para) nabi. Terbilang jelas siapa mu’min siapa kafir, perang tersebut dapat dinilai secara hitam-putih. Namun setelah itu agaknya lebih tepat disebut perang antar umat beragama karena motif-motif non agama turut campur. Sebagai contoh, perang salib yang dikobarkan oleh Eropa terhadap kaum Muslim tidaklah murni bermotif agama, motif mencari keuntungan duniawi cukup menonjol. Para pesertanya –bahkan termasuk para pendeta– menilai bahwa wilayah Timur terutama Asia Barat dan Afrika Utara sangat strategis karena terletak di posisi silang jalur lalu lintas laut. Mereka juga menilai bahwa dunia Timur jauh lebih makmur dan canggih dibanding Eropa, hal tersebut mereka ketahui dari rekan-rekan mereka yang berziarah ke Palestina, Suriah atau Mesir. Kita semua tahu bahwa wilayah tersebut juga terdapat tempat-tempat suci untuk kaum Nasrani, khususnya al-Quddus al-Syarif (Yerussalem). Ketika beberapa waktu mereka menetap di wilayah Muslim yang direbut, mereka berangsur-angsur berkurang fanatismenya dan pelan-pelan membina hubungan ekonomi dengan kaum Muslim. Perang salib bukanlah perang yang terjadi tanpa henti namun justru ada bagian waktu yang cukup lapang perdamaiannya. Kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim hidup rukun. Hal tersebut dimanfaatkan banyak peserta perang salib untuk berdagang. Berangsur-angsur pula kaum Nasrani Eropa meniru gaya hidup Timur yang ketika itu jauh lebih beradab dibanding Barat. Perang Paderi boleh dinilai sebagai puncak ketegangan atau konflik antara ulama dengan kaum adat. Aktivis Paderi menilai bahwa keislaman masyarakat Minangkabau terbilang jauh menyimpang dari kitab dan sunnah, mereka mencoba membawa masyarakat kembali ke rel-nya. Kebiasaan minum tuak, adu ayam dan isap candu cukup merata di wilayah tersebut. Gerakan Paderi kelak menampilkan tokoh yang dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol (1775-1864). Dia memimpin gerakan tersebut hingga akhir perang walaupun bukan termasuk kelompok ulama yang pertama membawa faham Wahhabi tersebut di atas. Mengenai istilah paderi ada dua macam pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari Pedir, kota pelabuhan di Aceh tempat singgah dalam perjalanan haji terutama dari Minangkabau. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut berasal dari kata Belanda priester atau juga padre yang sesungguhnya berarti pendeta atau tokoh agama dalam Nasrani. Ini mungkin disebabkan ketika itu belum ada terjemahan tepat dalam bahasa Belanda untuk istilah ulama. Gerakan Paderi tampil ketika Minangkabau –minimal secara teoritis– berada dalam apa yang disebut interregnum Inggris (1795-1819). Dari pangkalan di bengkulu, Inggris mengambil wilayah jajahan Belanda di pesisir barat Sumatera sejauh Natal. Letnan Gubernur Jenderal Sir Stanford Thomas Raffles mencoba menjalin hubungan dengan gerakan tersebut, untuk mencegah pedalaman jatuh ke tangan Belanda. Harap diketahui, sejak Belanda –tepatnya organisasi dagang VOC– bercokol di Minangkabau sejak 1660 hingga 1795, hanya pesisir yang dikuasainya. Raffles terkesan dengan Minangkabau, namun sadar bahwa Inggris harus mengembalikan wilayah tersebut kepada Belanda setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan. Raffles berusaha supaya pedalaman berada di bawah Inggris. Usaha merangkul Paderi tersebut tidak berkelanjutan. Tanpa sadar, justru penjelajahan Raffles sejauh Simawang membuka jalan bagi Belanda kelak untuk merambah pedalaman. Ketika Belanda hadir kembali, benteng Simawang diambil Belanda karena berdasar perjanjian Belanda-Inggris perihal tukar menukar wilyah jajahan, wilayah tersebut adalah jajahan Inggris. Dari Simawang itulah, Belanda memulai perang dengan Paderi. Selama interregnum tersebut, gerakan Paderi memanfaatkan peluang menaklukan pedalaman. Namun sayang, sikap keras yang dipraktekkan berakibat gerakan tersebut cukup punya banyak musuh. Tersebutlah riwayat, terjadi pertumpahan darah keluarga ningrat oleh aktivis Paderi. Yang lolos segera ke Padang dan minta perlindungan Belanda. Segera saja Belanda menyodorkan perjanjian “penyerahan Minangkabau” dan disetujui oleh para pengungsi tersebut. Dengan perjanjian tersebut Belanda merasa sah menaklukan seluruh Minangkabau karena disetujui oleh apa yang dinilai sebagai “wakil rakyat”. Perlu diketahui pula bahwa Belanda yang dimaksud bukan lagi VOC, namun pemerintah Hindia Belanda –dengan tetap mempertahankan jabatan gubernur jenderal- sebagai wakil Kerajaan Belanda di Nusantara. Sejak 1799 VOC dibubarkan, segala hutang piutangnya diambil alih pemerintah Belanda. Perang Paderi berakhir dengan ditangkapnya Imam Bonjol saat berunding, setelah beberapa kali pindah tempat pengasingan dia wafat di Manado. Gerakan Paderi telah ditumpas namun fahamnya tidak. Faham Wahhabi tetap hidup dengan nama lain semisal Kaum Muda. Berbagai organisasi intelek lain di Minangkabau muncul bagai jamur tumbuh di musim hujan pada awal abad ke-20, tidak hanya berasas agama, namun juga gerakan politik dan ekonomi untuk memberi pencerahan kepada rakyat, sedikit banyak terilhami dari gerakan Paderi. Organisasi berfaham Wahhabi lain yang lahir di Jawa yaitu Muhammadiyah juga mendapat pengaruh kuat di Minangkabau. Jika sejak 1998 bangsa ini begitu mengenal gerakan reformasi yang sukses melengserkan (atau melongsorkan?) “firaun” Soeharto, maka hal tersebut sesungguhnya telah dimulai di Minangkabau. Gerakan Paderi bukan hanya berjuang mempertahankan nilai-nilai lama dari pengaruh buruk imperialis, namun juga membuka pencerahan atau cakrawala baru pemikiran untuk menjawab tantangan atau perubahan zaman yang memang memerlukan jawaban-jawaban baru pula. Sekadar contoh, konsep da’wah dengan perbuatan (da’wah bil haal) yang sempat populer disebut-sebut di Indonesia pada 1980-an ternyata telah dipraktekkan oleh gerakan Paderi. Memang, bukti (perbuatan) lebih meyakinkan dibanding janji (perkataan). Para mubaligh, da’i atau apapun sebutannya perlu hadir langsung menjawab kebutuhan masyarakat dengan tindakan nyata, bukan cuma ceramah atau khutbah. Tentang itu telah tersebut dalam hadits: “Jika kamu bertemu kemunkaran, ubahlah dengan tangan. Jika tak mampu, ubah dengan lisan. Jika tak mampu, ubah dengan hati (rasa tidak setuju). Namun hal tersebut adalah selemah-lemah iman.” Gerakan Paderi juga berperan menyebarkan Islam ke Bengkulu, Jambi, Riau dan selatan Tapanuli. Niat untuk mengislamkan seluruh Tapanuli gagal karena pertahanan di Minangkabau diganggu Belanda, dan gerakan tersebut ditumpas. Hasil dari perang tersebut adalah, masyarakat Miangkabau menempatkan –minimal secara teoritis– agama di atas budaya dengan rumus adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Kemaksiatan juga menurun drastis sekian lama setelah perang berakhir. B.Muhammadiyah Lahir pada 1912 di Jogjakarta, dibidani oleh KH Ahmad Dahlan (1868-1923), seorang yang berlatar belakang golongan Kauman yaitu kaum agama dalam lingkungan keraton. Pernah belajar kepada Syaikh Ahmad Khathib Minangkabau di Makkah. KH Hasyim ‘Asy’ari (pembentuk Nahdatul ‘Ulama) adalah teman seperguruannya. Dia terkesan dengan gerakan kebangkitan Muslim –tentu dengan faham reformisnya– semisal Sayyid Jamaluddin al-Afghaniy dan Syaikh Muhammad ‘Abduh selain Ibnu ‘Abdul Wahhab. Agaknya dia sadar bahwa da’wah Islam di Indonesia –terutama di Jawa– belum tuntas, tertunda demikian lama akibat konflik dengan imperialis. Ketika pemerintah Belanda mencoba menata ulang hubungannya dengan jajahannya ke arah yang lebih manusiawi –dikenal dengan politik balas budi– maka hal tersebut dapat dinilai sebagai peluang untuk melanjutkan da’wah. Apa yang dilihat oleh KH Ahmad Dahlan di Jawa relatif sama dengan apa yang dilihat oleh Imam Bonjol di Sumatera, bahkan mungkin lebih berat. Penduduk Jawa jauh lebih banyak dari Sumatera, tentu saja yang melakukan berbagai penyimpangan pemahaman agama juga jauh lebih banyak. Tambahan pula, pengaruh pra Islam di Jawa semisal Hindu-Budha jauh lebih kuat karena berbagai kerajaan yang berbasis kedua agama tersebut lebih banyak dibanding di Sumatera. Di Sumatera, kerajaan berbasis Hindu-Budha yang menonjol hanya Sriwijaya. Tetapi di Jawa bukan hanya Majapahit, namun juga Tarumanegara, Pajajaran, Galuh, Mataram, Syailendra, Singosari, Kediri dan sebagainya. Berbagai kerajaan/peradaban non Muslim tersebut menanamkan pengaruh kuat bagi masyarakat. Jogjakarta adalah sebuah pusat budaya Jawa yang nota bene sepi dari corak keislaman, walaupun kerajaan tersebut berbasis Islam –dengan gelar sultan bagi penguasanya– namun sudah tercampur dengan berbagai faham pra Islam. Sekadar contoh, kepercayaan terhadap siluman laut selatan (Samudera Hindia) yaitu Nyi Roro Kidul sangat kuat. Dalam Islam, memang percaya kepada yang gaib adalah wajib namun dengan tetap menempatkan Tuhan sebagai Maha Ghaib dan tentu berkuasa terhadap yang ghaib. Makhluk halus memang disebut dalam kitab dan sunnah namun tidak ada yang bernama Nyi Roro Kidul. Mereka ada di mana-mana mengingat tidak dibatasi –dan tentu saja tidak dipengaruhi– oleh ruang dan waktu. Islam menjelaskan bahwa makhluk halus juga memiliki kewajiban sebagaimana manusia, yaitu mengabdi kepada tuhan, hanya alam yang berbeda. Sepengetahuan penulis, manusia dan siluman diizinkan berhubungan namun dalam lingkup tauhid, bukan syirik. Masalahnya, kepercayaan kepada siluman laut selatan tersebut sudah masuk syirik karena mengarah kepada pemujaan: pada waktu-waktu tertentu harus memberi sesaji ke laut. Konon dalam keraton JogJa dan Solo terdapat ruang khusus yang diperuntukkan bagi sang ratu bersama sultan/sunan. Bahkan di Samudera Beach Hotel (Pelabuhanratu) tersedia kamar untuknya, kamar tersebut berfungsi untuk kegiatan ritual yang berkaitan dengan penguasa laut selatan tersebut. Pembangunan hotel tersebut konon tak terlepas dari ide Presiden Soekarno. Tersebut kisah bahwa sebelum dia menjadi presiden, meditasi di tempat yang kini berdiri hotel. Dia bernazar, jika menjadi presiden akan membangun hotel yang memiliki kamar khusus untuk ratu siluman tersebut. Sadar bahwa da’wahnya akan mendapat tantangan berat yaitu gabungan antara kolonial Belanda dan penganut faham pra Islam, KH Ahmad Dahlan mencoba cara halus: dia tidak menjamah ranah politik. Dia menghindari cara-cara revolusi karena suasananya tidak sama dengan periode Perang Paderi dan Perang Jawa. Perioda 1900-1942 jenis perlawanan lebih bersifat politik dibanding militer. Bangsa Indonesia sudah tertinggal jauh dalam teknologi dan rezim kolonial sudah kuat mencengkeram Hindia Belanda. Hasrat membentuk negara berdasar Islam harus ditunda perwujudannya untuk waktu yang tak jelas. Dia mencoba peluang lain, pilihannya adalah pendidikan dan kesejahteraan umat. Bagi penulis, untuk jangka panjang pilihan tersebut bijak dan hingga kini Muhammadiyah masih ada dengan berbagai aset dan kegiatan amal sosialnya. Namun perlu diketahui pula, permainan sehalus ini juga tak sepi dari tantangan dan yang lebih berat adalah dari kaum Muslim sendiri, yang berfaham abangan dan/atau tradisionalis. Sejarah berulang, setiap upaya bangkit mendapat tantangan dari kaum sendiri, fihak luar cenderung bermain di balik layar, kecuali jika dinilai sangat berbahaya. Kaum tradisionalis menanggapi kelahiran Muhammadiyah antara lain dengan membentuk Nahdhatul ‘Ulama pada 1926 oleh KH Hasyim ‘Asy’ari. Penulis ulangi, Ahmad Dahlan dan Hasyim ‘Asy’ari sama-sama murid Syaikh Ahmad Khathib Minangkabau. Namun untuk beberapa lama antara kedua ormas tersebut seakan ada pertentangan dalam pemahaman agama, seiring waktu berjalan kedua ormas tersebut makin menipis perbedaannya. Bahkan kini Muhammadiyah terkesan mandeg menghasilkan ide-ide segar yang dapat menjawab kebutuhan umat. Semakin umur bertambah tua, Muhammadiyah terkesan lamban walau dipercaya masih menyimpan energi besar. Terlepas dari pro dan kontra, sekelompok kaum muda NU membentuk semacam think-tank berupa Jaringan Islam Liberal. Agaknya ada kalangan intern NU mencoba menjawab tantangan zaman dengan mencoba menghasilkan ide-ide “segar”. Sekelompok kaum muda Muhammadiyah agaknya menyadari kelesuan pemikiran segar dalam ormas tersebut, mereka membentuk apa yang disebut Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Namun sebagaimana JIL, JIMM kurang mendapat tanggapan nyaman, sebagaimana tercermin dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang (Juli 2005) melalui dialog tentang JIMM yang diberi judul JIMM: Berkat Atau Laknat? Bagi penulis, ketidak-setujuan dengan ide-ide mereka harus disampaikan secara intelektual dan bukan emosional. Perkara pro dan kontra bukanlah hal baru dalam riwayat kaum Muslim dan memang pro dan kontra adalah alami. Harus ada untuk keseimbangan –lazim disebut check and balance. Gunanya untuk saling melengkapi, bukan saling meniadakan. Masyarakat akan punya banyak pilihan jika terdapat pemikiran yang kaya. Jika salah, pasti akan ada yang menyangkal atau terseleksi secara alamiah. Beberapa hadits yang mendukung keberanian berfikir antara lain: Berijtihadlah kamu, jika benar dapat dua pahala dan jika salah dapat satu pahala. Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat. Umatku tidaklah sepakat terhadap sesuatu yang sesat. Walaupun penulis lebih condong kepada Muhammadiyah namun NU harus ada. Keduanya adalah aset umat. Dengan demikian pemahaman agama punya banyak pilihan, sejauh tidak menyimpang dari kitab dan sunnah Bab III Kitab Al-Tauhid: Suatu Pengantar SELAMA hidup, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menulis beberapa judul buku. Namun karya beliau Kitab al-Tauhid cenderung dinilai sebagai karya yang monumental. Dengan mengutip beberapa ayat dan hadits yang relevan dengan perkara yang dibahas beliau menghantam berbagai penyimpangan yang dilakukan kaum Muslim pada zamannya, bahkan hingga kini. Kitab al-Tauhid masih relevan dengan zaman kita karena berbagai penyimpangan tersebut masih ada. Penulis menilai, setelah membacanya, bahwa gaya bahasanya sederhana dan cenderung ‘menggurui’, mungkin kurang dapat dinikmati. Agaknya bahasa demikian cocok dengan tingkat intelektual masyarakat kampung halamannya, dan pada zamannya. Masyarakat Najad adalah masyarakat yang primitif, peradaban boleh dibilang tidak ada. Sepanjang sejarahnya, peradaban di Arabia terdapat di selatan, timur dan utara, baik dari hasil kreasi asli maupun dari pengaruh asing. Adapun masyarakat Najad adalah nomad, berpindah-pindah dengan membawa kemah dan ternaknya mencari lahan yang subur. Jika ada kota, boleh dibilang tak lebih dari pondok yang terbuat dari lumpur. Hal tersebut berlangsung hingga minyak bumi ditemukan pada abad ke-20. Kerajaan, sesuatu yang terkait dengan peradaban, minimal pada zaman dahulu, dapat terwujud jika masyarakatnya menetap, bukan berpindah-pindah. Karena dengan menetap akan tersedia waktu untuk menata atau membangun yang hasilnya untuk dinikmati selama mungkin, bukan sementara. Gaya bahasa yang terkesan ‘menggurui’ atau lugas tersebut mungkin juga merupakan cerminan jiwa Muhammad bin ‘Abdul Wahhab yang resah (atau kesal?) dengan masyarakatnya. Baginya, perilaku masyarakat Najad –dan juga sebagian besar dunia Muslim– tak beda dengan apa yang disebut dengan zaman jahiliyah. Keramat kubur, ritual yang tak jelas sumbernya, penggunaan jimat untuk tolak bala terima laba begitu meriah menghiasi dunia Muslim. Tak heran, jika tulisan tersebut mendapat tantangan dari mayarakatnya, yang konon berakibat dia pindah dari Uyaynah ke Dar’iyyah dan bersekutu dengan Muhammad bin Sa’ud menyebarkan fahamnya. Kitab al-Tauhid yang penulis dapat berdasar terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia The Book Of Tawheed terdiri dari 64 bab. Setiap bab dibuka dengan dalil kitab atau sunnah, kemudian secara berulang-ulang ada sub judul Hikmah Yang Terkandung Dalam Ayat Ini jika mengambil dalil dari kitab atau Hikmah Yang Terkandung Dalam Hadits Ini jika mengambil dari sunnah. Kemudian ada uraian berjudul Relevansi Ayat Dengan Bahasan Dalam Bab Ini atau Relevansi Hadits Dengan Bahasan Dalam Bab Ini. Kesimpulannya ditutup dengan Relevansi Ayat Dengan Bahasan Tauhid atau Relevansi Hadits Dengan Bahasan Tauhid. Bagi orang yang kurang gemar membaca kemungkinan besar akan menilai isinya membosankan. Jika penulis tidak mengetahui latar belakang saat buku tersebut ditulis mungkin juga terkesan membosankan. Buku ini diawali dengan judul Tentang tauhid seraya mengutip QS Adz-Dzaariyat ayat 56-58: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaku. Aku tak menginginkan rezeki dari mereka -walau sedikit– dan aku tak menginginkan supaya mereka memberiku makan. Sesungguhnya dia memberi rezeki yang mempunyai kekuatan.” Dari ayat ini dapat ditangkap pesan semisal bahwa tuhan berbagi beberapa hal antara lain hidup. Tuhan memiliki sifat al-hayat (Maha Hidup), tentunya mampu memberi dan juga mengambil hidup. Penciptaan makhluk adalah termasuk bentuk berbagi tersebut. Namun Tuhan mencipta bukan tanpa maksud, perihal jin dan manusia sebagaimana tersebut dalam ayat di atas adalah untuk mengabdi kepada tuhan dalam arti luas. Jin dan manusia diberi kesempatan berbuat yang terbaik selama hidup untuk meraih ridha Tuhan, memperbaiki mutu hidupnya sesuai dengan statusnya. Manusia dilantik menjadi apa yang disebut dalam istilah Islam dengan khalifah di dunia untuk melaksanakan kehendak Tuhan dan diizinkan menikmati hidup dalam beberapa hal. Pelantikan manusia sebagai khalifah adalah bentuk lain niat Tuhan untuk berbagi yaitu wewenang, meskipun terbatas. Tuhan menciptakan manusia bukan untuk mengharap rezeki dari mereka namun suatu bentuk kasih Tuhan berbagi beberapa kekayaannya, dengan itu diuji seberapa bersyukur dan bentuk rasa syukur tersebut adalah mengabdi kepadanya. Mengabdi bukan hanya mencakup ritual semisal menyembah atau berdoa, namun juga mencakup aspek sosial semisal tolong-menolong dan mewujudkan mutu hidup sebaik mungkin. Dengan demikian dalam Islam tidak ada tempat untuk faham sekuler: pemisahan agama dengan dunia. Agama dan dunia sama-sama pemberian Tuhan, hidup di dunia adalah kesempatan untuk beragama dan ada agama untuk terwujud keteraturan hidup di dunia. Pesan dari ayat di atas juga menutup peluang untuk syirik (mempersekutukan Allah), karena apapun tugas manusia di dunia haruslah ditujukan sebagai bagian dari pengabdian hanya kepada Tuhan. Dengan demikian berbuat baik dengan berharap ridha dari selain-Nya dinilai sebagai bentuk syirik, lazim disebut syirik khafiy (mempersekutukan secara halus), dan hal tersebut lebih dicemaskan oleh nabi karena ada tapi sering tidak terasa dibanding dengan menyembah kepada selain Tuhan. Dalam karya tulisnya dia membahas berbagai hal yang berkaitan dengan syirik semisal jimat, sihir, keramat, ramal dan mantera. Dengan demikian dia melaksanakan suatu revolusi yang memurnikan agama dalam hal iman dan syari’at. Jika ini tercemar, maka iman mengarah pada syirik dan syari’at mengarah kepada bid’ah. Perihal bid’ah telah ada peringatan keras oleh nabi: “Siapa yang berbuat sesuatu yang tidak kami perbuat atau perintahkan maka perbuatan tersebut tertolak.” Syirik, khurafat dan bid’ah sangat erat berhubungan. Syirik berarti membiarkan hadir kepercayaan bahwa Tuhan dapat diserupakan dengan yang lain. Selain menyembah dan memuja Tuhan juga hadir penyembahan dan pemujaan kepada selain Tuhan semisal kubur, pohon, batu atau siluman. Ini terkait dengan khurafat, muncul berbagai kepercayaan yang bukan-bukan terhadap makhluk: makhluk ini atau itu mampu memberi manfaat dan mudharat kepada manusia. Tempat tertentu misalnya, diberi sesaji karena angker atau keramat. Jika diabaikan “penunggunya” dianggap akan murka dan menghukum manusia. Atau jika tidak membaca kalimat tertentu pada waktu tertentu dianggap akan berdampak sial bagi yang bersangkutan. Maka masuklah kepada bid’ah, muncul berbagai penyembahan dan pemujaan atau ritual hasil rekaan belaka. Dengan demikian agaknya Muhammad bin ‘Abdul Wahhab tidak punya pilihan selain memberantas ketiga faham tersebut sekali pukul. Betapa berat perjuangan dia, sekadar perbandingan bahwa mungkin seberat perjuangan kaum reformis dalam kaum Nashrani yaitu Martin Luther (1483-1546) dan Jean Cauvin (1509-64). Kedua orang tersebut menyerang berbagai faham yang dinilai menyimpang –termasuk ritual– dalam gereja Katolik. Keduanya menanggung resiko yang mengancam nyawa mereka. Akibat tindak protes mereka maka kelak muncul mazhab berikut dengan istilah Gereja Protestan dalam Nashrani –selain Katolik tersebut. Perpecahan tersebut mencakup ritual, tata gereja dan beberapa hal lain. Bahkan selama beberapa abad kedua kaum tersebut terlibat perang berulang kali. Karena riwayat demikian, maka kedua tokoh tersebut mungkin jauh lebih dikenal dibanding Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Dan jangan lupa, kaum Nashrani adalah berjumlah terbesar di kolong langit ini. Walaupun kaum Nashrani dari gereja Barat memiliki berbagai aliran faham yang tercermin dari jama’ah gerejanya, namun jika diusut-usut umumnya masih termasuk 2 golongan besar tersebut. Berbeda dengan Islam, perbedaan mazhab dalam Islam kurang sejelas Nashrani. Setiap Muslim dapat beribadat di sembarang masjid. Perbedaan umumnya terletak pada masalah cabang (furu’iyyah). Dengan sedikit variasi, kaum Muslim memiliki ritual yang sama semisal shalat. Walaupun dalam riwayat kaum Muslim pernah ada perang antar mazhab, namun dalam shalat misalnya tidak jelas siapa bermazhab apa. Bukan mustahil ketika shalat berjama’ah, imamnya orang Suni, makmumnya Syi’ah atau Khawarij. Dengan penjelasan demikian, dapatlah difahami bahwa gerakan Wahhabi kurang spektakuler dibanding dengan gerakan Protestan, apalagi motor penggerak Protestan ada dua orang. Selain itu, faham Wahhabi bersifat cair atau luwes. Walaupun perintisnya berlatar belakang mazhab Hanbali namun siapapun yang Muslim dapat menganut faham tersebut, mengingat gerakan Wahhabi pada dasarnya tidak menawarkan sesuatu yang baru. Gerakan tersebut hanya ingin kembali kepada pemahaman agama yang murni berdasar kitab dan sunnah, bukan membentuk mazhab baru. Di Arab Saudi sendiri, tidak dikenal Mazhab Wahhabi, namun mazhab Hanbali. Perihal ijtihad, hal itu diizinkan jika tidak ada sumbernya berdasar nash dalam kitab dan sunnah. Bahkan dasar ijtihad itu sendiri sudah ada ketika Nabi Muahammad masih hidup. Ketika dia mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk mengajar agama terjadilah dialog, sebagai berikut: Nabi : “Dengan apa kau menetapkan suatu perkara?” Mu’adz : “Dengan kitab Allah.” Nabi : “Jika tidak ada dasar dalam kitab?” Mu’adz : “Dengan perkataan dan/atau perbuatan engkau (sunnah).” Nabi : “Jika tidak ada juga?” Mu’adz : “Aku akan menggunakan daya analisaku (ijtihad) untuk menetapkan suatu perkara dengan sedapat mungkin mendekati kitab dan sunnah.” Maka nabi bersyukur kepada Tuhan dan memuji Mu’adz. Surah Adz-Dzaariyat dengan demikian dijadikan titik berangkat Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam pengelanaan intelektual, sebagai tertulis dalam Kitab al-Tauhid untuk menolak faham syirik dengan segala percabangannya semisal praktek sihir, mantera dan jimat. Sifat riya’ (sering diartikan dengan pamer atau pamrih) adalah bentuk syirik khafiy karena berbuat baik dengan jiwa yang terbagi antara Tuhan dan selainnya. Sifat ini mendapat kritik keras dalam kitab sebagai sifat pendusta agama. “Tahukah kamu siapa yang termasuk pendusta agama? Yaitu orang yang membentak anak yatim. Yang tak mengajak untuk memberi makan kaum miskin. Celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dengan shalatnya. Dan orang yang riya’, yang tak berbagi dengan barang berguna” (QS Al-Ma’uun). Penulis menyajikan ini karena sebutan yang selugas itu walaupun dalam Kitab al-Tauhid surah tersebut tidak dikutip Muhammad bin ‘Abdul Wahhab mengutip ayat lain dan juga hadits ketika membahas sifat riya’. Namun dalam kitab tersebut dia mengutip suatu hadits yang menyindir tentang riya’ namun terkandung peringatan keras: “Inginkah kamu kuberi tahu hal yang lebih kucemaskan dari Dajjal? Dijawab,”Ya”. Disambung oleh nabi,” Syirik tersembunyi (halus) seperti ketika seseorang shalat dia berusaha memperbagus shalatnya ketika dia tahu ada yang menyimaknya.” “Aku terlepas dari segala sesuatu yang disekutukan denganku. Siapa melaksanakan sesuatu sambil dia menyekutukan aku dengan yang lain maka aku mengabaikannya bersama dosa syiriknya.” (Hadits yang memuat perkataan Allah). Penulis nilai ini sebagai peringatan keras karena syirik ini sedemikian halus sehingga tak terasa hadir pada diri kita namun (memang) ada. Hadits ini adalah satu di antara sekian banyak tentang musuh dalam selimut atau musang berbulu ayam, bahwa musuh terhebat adalah musuh terdekat dengan diri atau bercokol didalam diri. Penulis tidak menyangkal bahwa Islam punya musuh ampuh semisal faham atau kaum salibis, zionis, komunis atau paganis namun mereka relatif mudah dideteksi atau dikenali. Musuh yang lebih berbahaya justru yang bersarang dalam diri sendiri, termasuk syirik tersebut. Kita sering lupa bahwa dalam diri ada nafsu yang memang telah tersedia, sekaligus di sini ada setan yang mudah menyusup karena ia makhluk ghaib. Hasrat untuk pamer atau pamrih adalah termasuk nafsu, dan hal itu dapat menjadi besar jika sukses dikipas-kipas oleh setan. Na’udzubillahimindzalik! Perihal mistik, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab memberi ruang yang relatif banyak dalam kitabnya, beberapa istilah yang mengacu pada jimat atau mantera disajikan untuk diwaspadai. Berikut ini penulis coba sebutkan beberapa istilah, yang mungkin memiliki persamaan dengan di Indonesia: Tamimah: istilah lain untuk jimat. Wada’ah: jenis jimat berupa kerang laut. Al-Ruqi: istilah untuk mantera atau jampi. Tiwalah: dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah pelet, yaitu jenis sihir untuk memikat lawan jenis. Al-Nusrah: melawan sihir dengan sihir. Al-Tatayur: percaya kepada pertanda. Hammah: percaya pada pertanda berdasar terbangnya burung malam. Al-Tanjim: meramal nasib berdasar tata letak bintang. Lazim dikenal dengan istilah astrologi. Berdasar karya beliau tersebut, penulis terkesan karena betapa luas cakupan syirik tersebut, jauh melebihi yang penulis duga. Dulu, saat masih kecil, penulis mengira bahwa syirik hanya mencakup menyembah kepada selain Allah semisal menyembah berhala, sebagaimana sering dijelaskan dalam riwayat para nabi, yang banyak penulis baca. Atau percaya kepada dukun dan zodiak. Seiring perjalanan waktu, penulis mengetahui bahwa ternyata syirik juga mencakup riya’, berbuat baik karena pamrih atau pamer. Artinya jika tidak diwaspadai, jenis syirik ini tercampur dalam amal shalih kita. Berdasar penjelasan di atas, dalam kitab ini juga dijelaskan betapa Tuhan dan nabi menutup peluang untuk syirik, sekecil apapun. Tidak ada tempat untuk syirik sedikit pun dalam Islam, namun sebagian besar kaum Muslim masih terjebak juga. Bab 63 dengan judul Penjelasan Mengenai Tuntutan Tauhid Rasulullah Dan Bagaimana Beliau Menutup Segala Celah Menuju Syirik. Untuk memperjelas sikap bahwa tidak ada peluang atau tempat sekecil atau sesedikit apapun untuk syirik, penulis sajikan hadits sebagai berikut: Al-sayyid adalah Allah. Kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling istimewa dan paling utama di antara kami.” Jawab nabi, “Katakanlah apa yang harus kalian katakan, atau lepaskan dan jangan biarkan setan membuat kalian terlena.” “Wahai rasulullah! Wahai orang yang paling mulia dan anak orang yang paling mulia di antara kami! Tuan kami dan anak tuan kami.” Jawab nabi, “Wahai manusia! Katakanlah apa yang harus kalian katakan dan jangan biarkan setan menggodamu, Aku Muhammad, hamba Allah dan utusannya. Aku tidak ingin kalian mengangkat statusku melebihi status yang diberikan Allah bagiku.” Riwayat ini menjelaskan untuk tidak berlebihan menghormati nabi karena di situ terdapat peluang syirik. Nabi hanya mengizinkan anggapan bahwa dirinya adalah hamba dan utusan Tuhan. Pada kesempatan lain nabi mengaku “hanya manusia biasa sebagaimana kamu, namun aku mendapat wahyu.” Dalam kitab dan sunnah terdapat pedoman bersikap terhadap nabi. Penulis menilai bahwa ada kecenderungan –sadar tak sadar– mengangkat status Muhammad melebihi status yang ditetapkan Tuhan kepadanya. Hal tersebut sering kita jumpai jika dihimbau mengucap shalawat dalam acara-acara tertentu semisal tabligh, khutbah Jum’at atau pidato, antara lain: Sebutan tambahan baginda sehingga menjadi baginda nabi atau baginda rasul. Perlu diketahui bahwa tuhan melantik Muhammad hanya sebagai rasul. Ada sedikit perbedaan pemahaman antara nabi dan rasul. Setiap rasul adalah nabi atau pasti nabi tetapi setiap nabi belum tentu rasul. Serupa tapi tak sama. Persamaannya adalah nabi dan rasul menerima wahyu, perbedaannya adalah nabi menerima wahyu hanya untuk diri sendiri dan orang lain diharapkan mencontoh, sedangkan rasul menerima wahyu untuk diri sendiri dan (harus) menyampaikan juga kepada orang lain sekaligus dia memberi contoh (lazim disebut da’wah atau tabligh). Dengan demikian Muhammad dapat disebut nabi dan juga disebut rasul. Jelas bahwa Tuhan tidak melantik dia sebagai baginda. Memang, semasa hidup dia memiliki jabatan rangkap semisal panglima perang atau kepala negara. Namun hal tersebut merupakan tuntutan keadaan dan bukan lantikan dari Tuhan. Kaum Muslim telah membentuk kekuasaan di Madinah maka perlu ada kepala negara, tepatnya telah terbentuk negara Muslim. Ketika di Makkah, kaum Muslim belum punya kekuasaan apapun. Demikian pula dengan jabatan panglima perang, suasana darurat militer di Arabia memaksa kaum Muslim untuk membentuk organisasi militer, yang sudah tentu memerlukan panglima atau jenderal. Gerakan anti Islam dengan cara kekerasan memaksa kaum Muslim terlibat (beberapa) perang. Masih ada lagi kekeliruan terkait dengan sebutan baginda, negara bentukan Muslim di Madinah lebih bercorak republik dibanding monarki. Kepala negara republik adalah presiden (bhs. Arab: rais) dan bukan baginda (bhs. Arab: malik). Sebutan nabi besar, jika ada istilah tersebut berarti ada juga istilah nabi kecil. Artinya kita membeda-bedakan (derajat atau status) para nabi, suatu hal yang dilarang agama. Hanya Tuhan yang tahu atau berhak menilai derajat para nabi. Adapun kita hendaklah memandang para nabi seperti memandang para bintang di langit. Kita sulit atau tak dapat membedakan tinggi atau rendah letak para bintang, seakan mereka sama tinggi sama rendah. Tuhan yang tahu jaraknya. Dalam kitab jelas perintah untuk “beriman kepada Muhammad dan apa yang diwahyukan kepadanya serta beriman kepada para nabi sebelumnya dan apa yang diwahyukan kepada mereka, tidak membeda-bedakan antara mereka.” Adapun Bab 64 berjudul Penjelasan Mengenai Firman Allah: Mereka Tidak Mengagungkan Allah Dengan Semestinya, yaitu bab terakhir Kitab al-Tauhid menjelaskan bahwa kelak terbukti pada hari kiamat bahwa apa yang disombongkan oleh manusia –terutama para penguasa zhalim- akan lenyap dan juga terbukti hanya tuhan yang berhak sombong. Dalam kitab dan sunnah, Tuhan sering disebut dengan Raja. “Allah akan melipat langit pada hari kiamat dan dia letakkan di tangan kanannya seraya berfirman, “Akulah sang raja, di manakah para penguasa zhalim? Di manakah mereka yang sombong?” “Kemudian Allah akan melipat 7 lapis bumi lalu meletakkan di tangan kirinya seraya berfirman, “Akulah sang raja. Di manakah para penguasa zhalim? Di manakah mereka yang sombong?” Jika pun ada pengagungan terhadap Tuhan, sadar tidak sadar pengagungan terbagi kepada selain Allah. Pada zaman Arab pra Islam banyak diwujudkan dengan berbagai sesembahan semisal patung, pohon atau kubur sebagai perantara insan dengan apa yang dinilai sebagai Tuhan Tertinggi yaitu Allah. Ini dikritik dalam Kitab al-Tauhid sebagai bagian dari syirik, atau bahkan syirik besar. Perilaku tersebut juga dapat termasuk mencampur haq dengan yang bathil dan atau beragama tidak ikhlas. Islam mengajar insan untuk berdoa langsung kepada Allah. Ketika Kitab al-Tauhid ditulis, penyembahan patung memang tidak ada, namun mengeramatkan kubur tertentu atau pohon tertentu masih ada. Bab IV Usamah dan Al-Qa’idah : Revolusi Wahhabi Kedua? PENULIS pertama kali mengenal nama Usamah bin Ladin pada 1997 dari majalah Ummat. Ketika itu dia mukim di Afghanistan, negeri yang dilanda perang sejak 1970-an. Perang mencapai puncaknya ketika pasukan Uni Soviet menyerbu negeri itu pada 1979 dan hengkang pada 1989. Diperkirakan sekitar 1.500.000 warga tewas selama periode pendudukan Uni Soviet. Negara (yang ketika itu) superpower mencoba membantu anteknya yang memegang kekuasaan di Afghanistan dari perlawanan aktivis Muslim, lazim dikenal dengan Mujahidun. Partai Komunis Afghanistan mencoba menghapus nilai-nilai religi di negeri tersebut, bagi Uni Soviet hal tersebut sesuai dengan impian, atau lebih tepatnya sesuai dengan nafsu lama imperialistik para penguasa di Rusia sejak zaman tsar: antara lain mendapat pantai di Laut Arab. Sejak abad ke-15, para penguasa Rusia mencoba mencari jalur laut yang aman dari musim dingin (lazim disebut politik air hangat). Pelabuhan Murmansk dan Arkhangelsk terletak di Kutub Utara sehingga sering tertutup es pada musim dingin. Dengan demikian perluasan wilayah jajahan di arahkan juga ke Laut Baltik dan Laut Pasifik, selain Laut Arab. Proses penaklukan tersebut berlangsung berangsur-angsur dan berabad-abad. Proses penaklukan tersebut bukan terjadi tanpa perlawanan. Gerak maju ke Laut Baltik mendapat perlawanan antara lain dari Swedia dan Jerman. Gerak maju ke Laut Pasifik berbuah bentrok dengan Jepang, konflik besar pertama abad 20, lazim dikenal dengan Perang Rusia-Jepang (1904-1905). Gerak maju ke selatan mendapat perlawanan dari Turki, Persia dan negara-negara Muslim kecil di Turkistan. Saat mulai Perang Dunia ke-1 (1914). Kekaisaran Rusia telah menjangkau Polandia di barat, Finlandia di utara, Semenanjung Kamchatska dan belahan utara Pulau Sakhalin di timur serta perbatasan dengan Persia. Turki dan India-Inggris di selatan. Walaupun sistem monarki telah dihapus oleh Revolusi Rusia, impian imperialistik penguasa Rusia belum lenyap, atau mungkin tidak akan lenyap. Hubungan antara Islam dengan Rusia boleh terbilang belum lama setelah wafat Muhammad SAW. Pada periode Khalifah Umar bin Khaththab gerak maju pasukan Muslim membebaskan wilayah dari jajahan Bizantium di utara telah menjangkau Pegunungan Kaukasus. Terdapat negeri-negeri yang kini dikenal dengan Armenia, Azerbaijan, Chechnya dan Daghistan. Pada abad ke-8 kaum Muslim telah menjangkau sebagian besar Turkistan. Serbuan bangsa Mongol pada abad ke-13 oleh Jenghis Khan dan para keturunan dan panglimanya sangat memukul kaum Muslim. Mereka menghancurkan peradaban yang sungguh tak ternilai serta membantai warganya. Namun pada abad ke-14 berangsur-angsur bangsa Mongol menganut Islam dan menguasai wilayah luas terbentang dari Laut Baltik hingga perbatasan Cina. Mereka juga dikenal dengan sebutan Tartar. Peradaban Muslim yang telah hancur dibangun kembali, beberapa sisa-sisanya masih dijumpai hingga kini. Pada abad ke-15 berangsur-angsur kaum Muslim di Rusia terpecah-belah dan lemah, saat bertepatan dengan kebangkitan pribumi Rusia dipimpin oleh Ivan. Sejak itu wilayah yang dikuasai Muslim dicaplok berangsur-angsur, mereka yang hidup diusir atau dipaksa pindah agama. Masjid dan madrasah beralih fungsi. Pada abad ke-19 gerak maju Rusia menjangkau Asia Tengah (lazim disebut Turkistan, para penguasa Muslim di wilayah tersebut lazim disebut khan) tak mampu membendungnya walau melawan dengan gigih. Afghanistan nyaris dicaplok jika Inggris tidak ikut campur, dan Inggris pernah mencoba mencaplok Afghanistan namun gagal. Sengketa antara Inggris dengan Rusia berakhir ketika mereka sepakat menetapkan Afghanistan sebagai negeri penyangga (buffer state). Walaupun merdeka, Afghanistan tidaklah sepi dari pengaruh permainan kaum imperialis. Hal tersebut berlanjut walau Inggris sudah hengkang dari Asia Selatan dan Kekaisaran Rusia sudah berubah menjadi Uni Soviet. Afghanistan didera oleh sengketa antar saudara semisal kudeta. Setelah sekian lama negeri tersebut dikuasai oleh non komunis pro Barat, kaum komunis ganti mengambil alih. Sejak itu aktivis Muslim menyerukan al-jihad fiy sabilillah. Perang panjang dan kejam melawan komunis membangkitkan kerinduan bagi sejumlah Muslim ikut berperang. Amerika Serikat menilai hal tersebut sebagai peluang untuk balas dendam setelah kalah oleh kaum komunis di Indocina. Washington begitu bermurah hati melimpahi aktivis Muslim dengan dana, metode dan senjata. Arab Saudi dan beberapa negara Arab lain turut membantu. Inilah awal keterlibatan Usamah dengan Afghanistan hingga kini. Kekalahan komunis pada 1992 membangkitkan rasa percaya diri aktivis Muslim asing yang turut bertempur. Mereka percaya bahwa kaum Muslim dapat bangkit melawan musuh sekuat apapun. Sebagian dari mereka ada yang terus menetap di Afghan–yang terlibat perang antar kelompok Mujahidun karena berebut kuasa– dan ada pula yang pulang kampung, serta mencari medan perang baru semisal di Bosnia, Kasymir atau Palestina. Yang pulang kampung terlibat kegiatan merongrong pemerintahnya sendiri yang dinilai kurang atau tidak Islami, semisal di Mesir dan Aljazair. Berpencar-pencarnya aktivis Muslim tersebut mempersulit AS memantaunya. Bukan sedikit di antara mereka yang menukar identitasnya. AS curiga bahwa hanya Usamah yang tahu siapa dan di mana mereka. Adapun Usamah menetapkan AS –sebagai kekuatan yang mewakili salibis-zionis– sebagai target berikut yang harus dilawan. Dia membentuk organisasi yang mewadahi para veteran perang anti komunis yang dikenal kini dengan Al-Qaidah. Diperkirakan organisasi tersebut dibentuk pada 1980-an, ketika perang melawan komunis masih berlanjut. Bagi Usamah, tidaklah sulit mendapat pengikut. Sikapnya yang dinilai sungguh membela Islam –antara lain turut berperang dan menyumbangkan hartanya untuk ibadah sosial– begitu mengesankan, padahal dia punya peluang hidup enak mengingat dia dari keluarga kaya dan dekat dengan anggota monarki Saudi. Selain itu, dia mendapat limpahan dana, metode dan senjata dari AS selama bulan madu untuk melawan komunis. Perang saudara pasca komunis tumbang berlangsung hingga 1996, ketika kelompok aktivis Muslim lain merebut kekuasaan. Inilah yang kita kenal dengan Thaliban. Mereka berasal dari berbagai kamp pengungsi di perbatasan Pakistan-Afghanistan saat perang, mereka menghabiskan waktunya dengan belajar agama dan juga berlatih kemiliteran. Kelompok ini juga mendapat bantuan AS karena Wahington kecewa dengan perilaku kelompok Mujahid yang tak kunjung rukun setelah komunis tumbang. AS memiliki agenda di negeri itu: mendapat kekayaan alam berupa minyak dan gas di bekas wilayah Uni Soviet yang kini menjadi negara-negara yang berdiri sendiri semisal Uzbekistan, Tadzikistan, Kazakhistan, Kirgiztan dan Turkmenistan, yang mayoritas penduduknya Muslim dan mencoba bangkit antara lain dalam hal agama, setelah sekian lama ditindas. Pasca Uni Soviet, wilayah Turkistan seakan-akan menjadi lahan tak bertuan yang segera menjadi rebutan pengaruh beberapa fihak yaitu Rusia, Arab Saudi, Turki, Iran, AS, RRC bahkan Israel. Masing-masing memiliki kepentingan dan beberapa fihak bahkan mencoba “memainkan” daya tarik sejarah, budaya, ras dan agama. Arab Saudi mencoba memainkan kartu Islam karena mayoritas warga Turkistan adalah Muslim. Saudi membantu memugar peninggalan Muslim serta mengirim banyak kitab suci. Mungkin Arab Saudi merasa memiliki tanggung jawab moral mengingat Islam hadir karena kehadiran bangsa Arab. Turki mencoba merangkul dengan pesona sejarah, budaya dan ras, mengingat bangsa Turki memang berasal dari Asia Tengah dan sekeluarga dengan bangsa-bangsa di wilayah tersebut. Bahkan kata Turkistan bermakna tanah Turki. Sejak abad ke-9 berangsur-angsur bangsa Turki bergerak ke arah barat: menaklukan Asia Barat, Afrika Utara dan Eropa Timur (lazim disebut Balkan). Iran (dahulu disebut Persia) juga mencoba menggunakan pesona sejarah, budaya dan ras mengingat pernah menguasai wilayah tersebut berabad-abad, bahkan bangsa Tadzik konon masih sekeluarga dengan bangsa Persia. Konon bangsa Persia juga berasal dari Turkistan, kemudian berangsur-angsur ke wilayah yang kini masuk Iran. RRC sama saja, juga menggunakan pesona ras, sejarah dan budaya karena Cina juga pernah menguasai Turkistan begitu lama. Jejaknya masih ada antara lain dengan bangsa Uzbek. Konon bangsa Uzbek berasal dari Mongolia, bangsa yang masih serumpun dengan Cina. Lagi pula RRC menguasai wilayah Turkistan Timur (lazim disebut Sinkiang atau Xinjiang). Mayoritasnya juga Muslim, mereka sejak lama ingin lepas dari RRC karena sekian lama ditindas pula. Beberapa pergolakan di Xinjiang menunjukkan hasrat demikian dan pemerintah RRC menindasnya. Kebangkitan Muslim di belahan barat Turkistan jelas mengancam kepentingan RRC, cemas jika kebangkitan tersebut menjalar ke belahan timur, yang ujung-ujungnya pasti pemisahan diri. Israel relatif sulit menggunakan pesona sejarah, budaya atau ras karena sepengetahuan penulis jumlah umat Yahudi dan warisannya, jika ada, sangatlah sedikit. Mereka boleh dinilai tidak mempunyai riwayat yang menonjol dibanding Arab Saudi, Turki, Iran dan RRC. Namun turut bermain di Turkistan dinilai perlu untuk mencegah kebangkitan Muslim di wilayah tersebut. Israel tak boleh diremehkan karena faktor Islamofobia para penguasa di wilayah itu. Rusia memiliki riwayat cukup panjang di Turkistan namun sebagian besar berupa kenangan buruk. Pada zaman monarki, Rusia adalah salibis yang mencoba menggiring rakyat Turkistan untuk seagama dengan Rusia. Pada zaman komunis, penguasa Rusia menggiring rakyat untuk membuang semua agama. Kedua pemerintahan tersebut melaksanakan kehendaknya dengan begitu memaksa. Namun pengaruh Rusia tidak boleh dinilai tidak ada, walaupun Turkistan telah lepas, namun penguasa lokalnya masih bermental komunis atau Islamofobia. Jumlah orang Rusia di Turkistan terbilang cukup besar sebagai akibat program pemindahan yang dilaksanakan penguasa Rusia untuk menghapus identitas Turkistan. AS adalah negara yang paling tidak memiliki hubungan sejarah, budaya, agama apalagi ras. Negara tersebut baru mencoba tampil bermain di Turkistan setelah Uni Soviet runtuh. Namun AS tidak boleh begitu saja diremehkan, dengan mencoba bermain kartu demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia di tengah rakyat yang sekian lama tertindas bukan mustahil dapat menjadi pesona tersendiri. Lagi pula, faktor Islamofobia jualah para penguasa lokal dapat dimanfaatkan untuk merangkul mereka. Untuk mendapatkan sumber gas dan minyak, AS perlu memasang pipa dari sumber ke pelabuhan di Laut Arab, maka mau tak mau harus melalui Afghanistan. Untuk itu AS perlu Afghanistan yang tenteram dan ramah, maka pilihan jatuh pada kelompok Thaliban untuk menenteramkan negeri tersebut. Washington saat memilih Thaliban karena pertimbangan lebih disiplin walau terkesan kaku memahami agama. Kelompok Mujahid bukan jarang terlibat –baik individu maupun kolektif– dalam bisnis opium (lazim disebut Bulan Sabit Emas), dan Washington cemas jika bisnis tersebut merambah ke AS. Pemerintah AS sudah pusing dengan sumber opium di Indocina (lazim disebut Segitiga Emas) dan dari Kolombia. Thaliban dapat diandalkan untuk memberantas bisnis opium. Kelompok Thaliban mulai terdengar pada 1994, dengan limpahan bantuan dari Washington setahap demi setahap merebut Afghanistan. Minimal pada awalnya, mereka juga mendapat simpati dari warga karena ketegasan mereka diharap dapat menenteramkan negeri tersebut dari bentrok berkepanjangan. Usaha menuju puncak kekuasaan tercapat ketika mereka merebut ibukota negeri tersebut, Kabul. Kelompok Mujahidun terdesak ke utara dan menamakan diri atau disebut dengan Aliansi Utara. Negeri terbelah: 90% dikuasai Thaliban dan 10% dikuasai Aliansi Utara. Keadaan tersebut berlangsung hingga 2001. Mengenai konflik Mujahidun-Thaliban, Usamah mencoba netral. Agaknya, citra sebagai pahlawan melawan komunis dan amal sosialnya terhadap rakyat mendapat penghormatan terhadap kedua kelompok bertikai tersebut, dan sikap netral adalah pilihan untuk menjaga citranya. Usamah butuh waktu (dan butuh orang) untuk memantapkan Al-Qaidah. Seiring waktu berjalan, AS kembali kecewa dengan Thaliban. Thaliban ternyata punya agenda tersendiri, mewujudkan pemerintahan Islami adalah prioritas pokok dibanding dengan membantu AS berinvestasi di wilayah tersebut. Kekecewaan tersebut bertambah dan kian bertambah dengan praktek keagamaan ala Thaliban yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia, demokrasi, kebebasan dan kesetaraan gender ala Amerika, juga dengan keengganan Thaliban mengusir Usamah. Ketika itu Usamah telah bersikap antipati terhadap AS. Pasca pasukan Uni Soviet hengkang, dia sempat pulang kampung ke Arab Saudi dan mengelola bisnis keluarganya. Tekanan Washington terhadap Riyadh sukses memaksa pemerintah Saudi untuk mengusir Usamah dan mencabut kewarganegaraannya. Sementara itu Usamah mendapat kejengkelan baru, kehadiran militer AS –yang makin besar dan ternyata permanen- akibat pencaplokan rezim Shaddam Hussayn terhadap Kuwait pada 2 Agustus 1990. Usamah merasa perlu, atau agaknya, mendapat legitimasi keagamaan terhadap kehadiran militer non Muslim di Arab Saudi. Dia menilai bahwa kehadiran tersebut menodai atau mencaplok Haramayn walaupun tidak semua wilayah Arab Saudi adalah Haramayn. Pangkalan militer AS terletak di Teluk Persia dan Haramayn di pesisir Laut Merah. Namun Usamah menilai dengan kemajuan teknologi, jarak Laut Merah di sisi barat dan Teluk Persia di sisi timur Arab Saudi bukan masalah bagi militer AS. Pasukan AS mudah saja menjangkau Haramayn, karena itu kehadiran mereka di Teluk Persia tetap dinilai sebagai kehadiran di Haramayn. Rasa jengkel terhadap kehadiran tersebut bukan berarti Usamah pro Shaddam Hussayn. Dasar ideologi antara keduanya jelas berbeda. Usamah berfaham agamis dan Shaddam berfaham nasionalis-sosialis, walau Shaddam sesekali menggunakan Islam untuk meraih simpati. Simpati Usamah tertuju kepada rakyat ‘Iraq yang menderita akibat embargo yang disponsori AS dan sekutu-sekutunya dengan dukungan PBB, dan bukan kepada rezim Ba’ats. Dan kebencian terhadap Dinasti Sa’ud menjadi satu paket dengan kebencian terhadap kepentingan AS. Usamah segera bertindak menggoyang rezim Saudi sekaligus kehadiran AS. Pemboman pangkalan militer di Dhahran (Zhahran) dan Khobar (al-Khubar) adalah contoh perjuangannya. Pada Agustus 1998 pemboman di Kedubes AS di Dar al-Salam (ibukota Tanzania) dan Nairobi (ibu kota Kenya) meyakinkan AS bahwa Usamah harus bertanggungjawab. Armada AS segera membalas dengan menggempur apa yang dinamakan pusat pelatihan teroris di Afghanistan dan pabrik senjata kimia di Sudan. Padahal pabrik di Sudan tersebut adalah pabrik obat al-Syifa. AS cenderung menggunakan cara koboi tembak duluan urusan belakangan, bukan sekali ini saja AS salah bidik. Tentu saja hal tersebut menambah rasa saling benci antara pemerintah AS dengan Al-Qaidah. Puncak pertentangan antara kedua seteru tersebut agaknya tercermin melalui Peristiwa 11 September 2001. Walau konon terdapat bukti bahwa tidak ada keterkaitan langsung antara peristiwa tersebut dengan Al-Qaidah, AS bersama Inggris telanjur menggempur Afghanistan dengan bantuan Aliansi Utara hingga menggulingkan pemerintah Thaliban. Sejak itu keberadaan Usamah –bersama dengan pemimpin puncak Thaliban yaitu Mullah Muhammad ‘Umar– makin misterius. Tak jelas apakah mereka masih hidup atau sudah tewas. Yang jelas sisa-sisa Thaliban dan Al-Qaidah masih belum tertumpas tuntas. Pemerintah AS agaknya menggunakan momentum 11 September untuk melaksanakan apa yang dinamakan war against terrorism yang dinilai sekian banyak kaum Muslim sebagai kampanye anti Islam. Fenomena Islamofobia makin jelas bukan hanya kalangan non Muslim Barat, namun juga menyebar kepada non Muslim non Barat, bahkan akhirnya kepada kaum Muslim. Tidak sedikit kaum Muslim yang terpesona oleh kampanye tersebut. Mungkin, karena takut, kagum atau minder kepada Barat atau mungkin juga sok Barat supaya dinilai modern, maju, moderat, tidak kolot atau tidak fanatik. Sehingga, tak segan-segan melawan kebangkitan Muslim, antara lain menentang pelaksanaan syari’at Islam, walau syari’at Islam hanya diberlakukan kepada kaum Muslim. Umumnya mereka memegang jabatan politik atau bercokol di pemerintahan. Ada juga yang swasta namun terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme dengan personil pemerintah. Mungkin mereka cemas jika syari’at diberlakukan maka merekalah yang pertama dan utama yang terkena. Terbayang betapa mengerikan jika misalnya hukum potong tangan dilaksanakan terhadap pencuri, karena para elit politik dan ekonomi tersebut –antara lain di Indonesia– adalah koruptor alias maling besar. Yang dicuri bukan hanya sandal di masjid atau jemuran tetangga namun uang negara (rakyat) bermilyar-milyar. Maka penulis menilai, setiap kampanye anti Islam –terselubung atau terang-terangan– jika diusut-usut akan sampai pada (imperialis) Barat, dengan tetap mengingat bahwa tidak semua orang Barat demikian. Ada sejumlah orang Barat yang berfaham “jernih” tentang Islam, namun pendapat mereka relatif mudah “tenggelam” dalam “arus” besar Islamofobia. Kepada merekalah, kaum Muslim berpeluang mendapat “akses” ke alam fikiran dunia Barat untuk terus melanjutkan dialog Muslim dengan Barat. Mereka layak dirangkul, selain bahwa jika direnungkan secara tenang dan jernih akan ada beberapa hal persamaan antara apa yang disebut “nilai-nilai Islam” dan “nilai-nilai Barat”. Perbedaan mustahil dihindari, keragaman adalah hukum alam. Maka terpulang kepada mereka yang terkait untuk memilih: jadikan keragaman sebagai kekayaan atau sebagai kerawanan. Perbandingan Masalah Antara Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dengan Usamah bin Ladin Antara Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dengan Usamah bin Ladin terentang jarak sekitar 200 tahun. Keadaan dunia, khususnya dunia Muslim, terdapat perbedaan yang sedemikian jauh. Penyimpangan pemahaman –dan tentu saja pelaksanaan– agama memang ada pada zaman kedua orang tersebut. Penjajahan non Muslim juga ada, namun Usamah menghadapi yang lebih berat. Ketika Muhammad bin ‘Abdul Wahhab hidup, wilayah yang ditaklukan penjajah belumlah seluas kini. Misalnya dunia Arab yang membentang dari Marokko (al-Maghrib al-Aqsha) hingga ‘Iraq, praktis masih bersih dari penjajahan non Muslim. Para penguasa Muslim ketika itu masih sanggup bersikap tegas terhadap mereka, walau mereka cenderung menyimpang dari agama. Namun Usamah menghadapi fakta bahwa dunia Muslim praktis tidak ada yang sepenuhnya mandiri terhadap penjajahan non Muslim, walau resminya telah merdeka. Dunia Arab sendiri tak punya posisi tawar menawar yang kuat, bahkan Arab Saudi menyediakan pangkalan militer untuk imperialis Barat, karena sejumlah pemimpinnya menjadi antek. Pada tahun 2001 Afghanistan diduduki imperialis, dan pada tahun 2003 ‘Iraq juga diduduki imperialis. Iran terkepung dan ditekan dengan tuduhan mengembangkan senjata nuklir. Suriah ditekan dengan tuduhan terlibat pembunuhan terhadap mantan perdana menteri Libanon, Rafiq Hariri. Namun yang jelas membedakan zaman Ibnu ‘Abdul Wahhab dengan Usamah adalah khilafah yang –minimal sebagai lambang– dapat mempersatukan kaum Muslim, semacam Pax Islamica. Walau semasa Ibnu ‘Abdul Wahhab kaum Muslim sedang dalam proses surut, namun khilafah yang ketika itu berpusat atau dipegang Kesultanan ‘Utsmaniyyah, masih ada. Lembaga tersebut sekian lama mampu mempersatukan kaum Muslim walau kaum Muslim telah terpencar-pencar mukimnya. Khilafah dimulai sejak pemerintahan Abu Bakar al-Shiddiq. Sejak itu berganti-ganti para penguasa Muslim memiliki kekhalifahan semisal Dinasti Ummayyah (661-750), Dinasti ‘Abbasiyyah (750-1258), Dinasti Mamluk (1250-1517) hingga Dinasti ‘Utsmaniyyah (1299-1924), sekaligus pemegang kekhalifahan terakhir. Sejak abad ke-16 sebagian besar negeri-negeri Muslim menilai bahwa kekhalifahan yang dipegang oleh ’Utsmaniyyah sebagai pemimpin dunia Muslim walau kelak melemah akibat kurang Islami semisal despotisme, korupsi, kolusi dan nepotisme ditambah terus dikeroyok oleh imperialis Barat (Austria dan Rusia). Beberapa raja Muslim di Nusantara pernah mengirim utusan ke Turki untuk merestui kekuasaan yang mereka pegang, antara lain dengan pemberian gelar sultan. Bahkan Kesultanan Aceh pernah minta bantuan kepada ‘Utsmaniyyah saat melawan Portugis pada abad ke-16 dan melawan Belanda pada abad ke-19. Dengan demikian periode khilafah terentang antara 632-1924. Seorang antek imperialis bernama Mushthafa Kamal Basya sukses menggulingkan kesultanan dan mengganti dengan republik dengan cara menghapus lembaga khilafah. Jelaslah pada zaman kita, di mana Usamah hidup, suka tak suka harus mengakui fakta bahwa khilafah telah hapus. Kaum Muslim makin terpecah-belah dan tentu makin dinilai remeh. Tanggal 3 Maret 1924 sesungguhnya termasuk hari musibah besar bagi kaum Muslim namun hanya sedikit yang tahu itu. Seiring waktu berjalan, bagi yang tahu, agaknya kaum Muslim makin menilai bahwa peristiwa tersebut biasa-biasa saja. Dengan demikian dapat dinilai bahwa masalah yang dihadapi Usamah lebih berat dibanding Ibnu ‘Abdul Wahhab. Jika Ibnu ‘Abdul Wahhab dapat menetapkan prioritas yang harus dibenahi adalah akidah dan ritual (tegasnya murni agama) dan menilai belum perlu membenahi politik atau masalah sosial lainnya, maka Usamah bin Ladin agaknya dipaksa menghadapi gabungan masalah sosio-religi. Namun suka tak suka, mengingat keterbatasan insani, maka dia harus menetapkan prioritas. Kesan penulis, dia memilih problem sosial, terutama politik, untuk dibenahi terlebih dahulu. Ada 3 hal yang ingin dicapai oleh Usamah terkait dengan kebangkitan Muslim: Kaum Muslim kembali mengacu kepada kitab dan sunnah serta membersihkan diri dari segala faham yang bertentangan dengan Islam, apapun istilahnya. Selain syirik, bid’ah dan khurafat juga antara lain sekulerisme, liberalisme, nasionalisme, sosialisme dan hedonisme. Dalam kitab jelas disebut supaya manusia hanya mengabdi kepada Allah, mengabdi dalam arti luas, tidak hanya dalam hal akidah dan ritual namun juga dalam hal sosial. Agama membahas semuanya untuk difahami dan diamalkan. Islam tidak mengenal pemisahan perkara duniawi dengan ukhrawi, jasmani dengan ruhani, material dengan spiritual, atau ritual dengan sosial. Kesempatan beragama untuk meraih akhirat yang baik adalah di dunia. Di akhirat tidak perlu lagi agama atau amal shalih, karena saat itu adalah hari pembalasan terhadap apa yang dilaksanakan di dunia. Dalam kitab juga jelas diajak untuk mengabaikan apa yang disebut thaghut. Thaghut mungkin dapat didefinisikan sebagai “segala sikap, faham, atau sistem yang bukan berasal dari Allah. Atau diniatkan bukan untuk meraih ridha Allah”. Maka faham Wahhabi menilai segala hukum atau peraturan –juga tradisi- yang tak bersumber atau tak berdasar agama dapat disebut thaghut. Dengan demikian agaknya tak ada pilihan bagi kaum Muslim selain menerima syari’at Islam, termasuk dalam hal politik atau tata negara. Kaum Muslim bebas dari segala bentuk imperialisme non Muslim semisal al-ghazwul fikri, yaitu penaklukan pola fikir. Kaum Muslim cenderung menggunakan nilai-nilai atau ukuran-ukuran non Islam untuk menyikapi sesuatu. Agaknya ini masih terkait dengan point 1. Propaganda anti Islam menyatakan bahwa Islam terkait dengan terorisme, fanatisme, ekstrimisme, fundamentalisme, radikalisme. Islam dinilai melecehkan perempuan, tidak toleran dan memuji kekerasan. Ini bukan sedikit mempengaruhi pola fikir kaum Muslim. Supaya terkesan modern atau toleran sejumlah Muslim ikut merayakan hari raya agama lain, menentang pelaksanaan syari’at Islam, atau tak segan pamer aurat. Kaum Muslim kembali membentuk khilafah yang telah jelas dicontoh oleh Khulafa al-Rasyidin, dikenal dengan istilah khilafah rasyidah. Ketiadaan khilafah membuat kaum Muslim lebih terpecah-belah dan darahnya lebih banyak tertumpah. Organisasi Konferensi Islam terbukti tidak ampuh membentuk satu front bersama menghadapi non Muslim. Mampunya hanya mengecam dan mengecam, nyaris tidak ada tindak lanjut dari setiap deklarasi yang dihasilkan dalam tingkat apapun, termasuk konferensi tingkat tinggi. Hal tersebut tentu menyenangkan gerakan anti Islam. Persekongkolan anti Islam sungguh sadar betapa bahayanya jika kaum Muslim kembali bersatu dalam khilafah Sebagaimana Ibnu ‘Abdul Wahhab, Usamah juga punya musuh, bahkan lebih banyak. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab semasa hidup belum pernah berbenturan dengan non Muslim, semasa hidupnya dia terlibat pertentangan dengan sesama Muslim. Gerakan pemurniannya dihambat oleh gerakan penyimpangan. Adapun Usamah tak hanya berhadapan dengan sesama Muslim namun juga non Muslim. Banyak kecaman yang ditujukan terhadap keduanya. Usamah mengecam para tokoh umat termasuk ulama yang membohongi umat, melemahkan jihad, memberi fatwa atau propaganda yang menyesatkan. Yang sering dikecam adalah ulama istana Arab Saudi, lazim disebut Majlis Kibarul ‘Ulama. Pemerintah Afghanistan pimpinan Hamid Karza-i, dan Presiden Pervez Musharaf dari Pakistan juga dikecam. Rezim pada 3 negeri tersebut dinilai tak lebih dari antek imperialis. Usamah jelas mendapat tantangan yang lebih hebat dibanding Ibnu ‘Abdul Wahhab. Apakah dia akan terus atau putus dengan perjuangannya, waktu yang akan menjawabnya. Wa Allahu a’lam bish-shawwab. Kesimpulan Berdasar uraian dari bab sebelumnya maka dapatlah dinilai bahwa gerakan Wahhabi adalah gerakan kebangkitan Muslim yang berawal dari pemurnian pemahaman sebagai dasar pengamalan agama. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab yakin bahwa kaum Muslim jatuh ke titik nadir akibat lalai beragama. Lalai artinya mencakup penyimpangan terhadap memahami agama, akibat lanjutnya pengamalan pun menyimpang. Sekadar contoh tentang jihad, kaum Muslim sejak abad ke-11 cenderung lesu dalam berbagai bidang. Padahal nabi menegaskan bahwa jihad akan terus berlangsung hingga kiamat, berjuang menuju perbaikan tidak boleh berhenti. Agama tanpa jihad adalah agama yang mati. Cenderung kurang gairah berjuang antara lain di bidang teknologi berakibat kaum Muslim banyak mendapat kekalahan dari musuh-musuhnya. Pada abad ke-19 musuh sudah berperang dengan senjata api namun kaum Muslim masih didominasi oleh senjata tajam. Musuh memiliki armada kapal uap sedangkan kaum Muslim masih pakai kapal layar. Untuk membangkitkan kaum Muslim, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menetapkan prioritas dalam hal pemurnian. Pemurnian yang dipilih adalah di bidang akidah dan ritual, mengingat 2 hal tersebut adalah dasar dalam beragama. Maka dapatlah dinilai bahwa gerakan Wahhabi adalah gerakan Protes dalam Islam, dia melaksanakan niatnya dengan memprotes terhadap berbagai penyimpangan. Perjuangan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab pada abad ke-18 kelak menghasilkan negara Kerajaan Arab Saudi pada abad ke-20, artinya perlu waktu sekitar 200 tahun hanya untuk membentuk satu kekuasaan berupa satu negara berdasar faham Wahhabi. Negara tersebut melaksanakan akidah dan ritual yang boleh dibilang mendekati keinginan Ibnu ‘Abdul Wahhab, namun di bidang sosial agaknya masih jauh, bahkan terkesan makin jauh karena condong kepada imperialis non Muslim. Hal tesebut menjadi fokus Usamah bin Ladin, dia menilai bahwa negara tersebut belum menjadi contoh atau cikal bakal khilafah sedunia. Dapat direnungkan betapa lama waktu yang diperlukan oleh revolusinya untuk dapat mewujudkan hal tersebut. Ketika Muhammad bin ‘Abdul Wahhab hidup, khilafah sedunia masih ada dan dia hanya mengoreksinya karena ada pembusukan di dalam. Kini, Usamah menyaksikan bahwa khilafah bukan hanya busuk atau bobrok, tapi mati, dan dia ingin menghidupkan kembali. Memang pekerjaan sulit mengingat sosio-religi sangat berkaitan satu sama lain: religi harus menjadi sikap atau ukuran dalam sosial dan sosial harus dibenahi untuk memperlancar urusan religi. Sekadar contoh, orang mencuri mungkin karena lapar. Supaya tidak (tergoda) mencuri maka orang harus dibuat kenyang atau cukup. Maka mencukupi kebutuhan, termasuk maka, dengan halal adalah termasuk perintah agama atau ibadah, karena jika kenyang atau cukup orang dapat sholat atau doa dengan khusyu’ juga mencegah berbuat syirik semisal pakai jimat atau minta-minta sama kuburan. Atau dengan harta yang cukup orang dapat atau lancar berzakat atau berhaji, maka melaksanakan atau menyediakan peluang kerja yang halal dapat termasuk melaksanakan agama. Usamah menghadapi fakta bahwa kaum Muslim sebagian besar terbelakang. Kemiskinan, kebodohan dan kebejatan begitu nyata. Penjajahan –bahkan yang terang-terangan semisal di Palestina, ‘Iraq dan Afghanistan– belum punah. Namun kesalahan tidak layak 100% ditujukan kepada (imperialis) non Muslim. Para elit di masyarakat Muslim –terutama ‘ulama dan umara– berperan begitu besar pula yang membuat kaum Muslim jadi pecundang. Dengan berbagai dalil (atau dalih) mereka menentang pelaksanaan syari’at Islam, yang dinilai oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dan Usamah bin Ladin justru syari’at Islam dapat membawa kaum Muslim kepada berkah Illahi dan bukan azab Illahi. Saran Bagi yang cenderung kepada faham Wahhabi agaknya terpikul semacam tugas untuk berusaha menyelamatkan kaum Muslim, penulis menilai ada beberapa antara lain: "Mengislamkan yang sudah Islam”, yaitu menyebarkan faham Wahhabi kepada kaum Muslim. Menyikapi agama secara murni, kembali kepada kitab dan sunnah. Artinya mengutamakan mutu umat dibanding jumlah umat. Ingat, walau kaum Muslim bukan mayoritas di kolong langit namun jumlah sekitar 1.000.000.000 (tahun 2000) juga bukan sedikit. Mereka menunggu atau mengharap pembenahan intern dan bukan ekstern. Meningkatkan mutu keduniawian kaum Muslim semisal meningkatkan taraf hidup di bidang politik, ekonomi dan teknologi sehingga kurang tergantung kepada non Muslim, yang nota bene berpotensi menjadi musuh atau bahkan sedang menjadi musuh. Dalam Islam, dunia dan akhirat terkait. Nasib di dunia termasuk memiliki pengaruh dalam menentukan nasib di akhirat. Menyiapkan pembentukan khilafah sedunia (Pax Islamica) sebagai alternatif dari Organisasi Konferensi Islam dan berbagai pemerintahan yang dipegang kaum Muslim per negara atau dengan kata lain terpecah-pecah sebagai saat ini Saran ini masih terbuka peluang untuk dibahas, mungkin ada penambahan atau perubahan yang tentu diharapkan tetap berdasar asas manfaat dan maslahat. Wallahua’lam bishshawwab. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt