Bagaimana seandainya Anda diberi tiket ajaib yang dapat membuat Anda menjalani hidup dari awal lagi? Apakah Anda akan mengulangnya kembali? Terimalah undangan ini untuk menemukan sendiri hadiah yang paling berharga—tiket emas kehidupan. Dari: Untuk: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tcntang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang bcrlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). SEBUAH NOVEL PENUH ILHAM LIFE'S GOLDEN TICKET Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2008 BRENDON BURCHARD a eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com MR. Collection's mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt LIFE'S GOLDEN TICKET by Brendon Burchard Copyright © 2007 by Brendon Burchard All rights reserved TIKET EMAS KEHIDUPAN Alih bahasa: Lanny Murtihardjana Desain dan ilustrasi sampul: Eduard Iwan Mangopang GM 402 08.039 Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat 33-37 Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Juni 2008 320 hlm; 20 cm ISBN-10: 979 - 22 - 3853 - 0 ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 3853 - 2 Dicetak oleh Percetakan Ikrar Mandiriabadi, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan Dipersembahkan kepada kedua orangtuaku, Mel dan Christiane Burchard, serta saudara-saudaraku, David, Bryan, dan Helen, karena melingkupiku dengan keindahan iman, kasih sayang, dan persahabatan. Aku sangat berterima kasih, dan menyayangi kalian semua. Juga kepada Denise. Terima kasih, Sunshine, atas dukungan, kesabaran, dan keyakinanmu padaku. Aku mencintaimu. a PROLOG Maut menyentil telingaku. "Hiduplab," katanya, "aku datang." V I R G I L ketika mengunjungi sebuah negara berkembang, aku mengalami kecelakaan mobil dramatis. Sampai sekarang pun aku masih ingat betul bagaimana aku beringsut keluar dari rongsokan mobil yang hancur itu—karena itulah detik-detik saat aku keluar dari depresi emosional yang belum lama berselang menghancurkan hidupku. Kecelakaan itu seperti metafora sempurna yang menggambarkan kehidupanku ketika itu: perjalanan melintasi jalan gelap, tikungan tajam, dan kehilangan kendali. Beberapa bulan sebelumnya aku mengalami pukulan berat, suatu bencana ber- 7 a eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com MR. Collection's EPULUH tahun yang S lalu, kepanjangan karena putus hubungan dengan wanita pertama yang kucintai. Masa yang diawali dengan pembawaanku yang ceria, percaya diri, dan ramah, kemudian berubah menjadi seperti pertapa tak percaya diri dan tertekan yang menjauhi semua orang karena takut kalau-kalau ia terluka lagi. Sepertinya, aku kehilangan kendali atas hidupku. Pikiranku terkontaminasi dengan sikap membenci diri, dan sesekali dengan keinginan untuk bunuh diri. Dalam banyak hal, tampaknya hidupku memang sudah berantakan, jauh sebelum malam ketika mobil kami menikung tajam dengan kecepatan seratus tiga puluh lima kilometer per jam. Mendadak segalanya berubah. Jalanan lenyap dari pandangan, digantikan dengan kekosongan gelap gulita saat mobil miring dan meluncur keluar dari jalan raya. Musik radio pun lenyap dan angin tidak lagi berdesing masuk lewat jendela. Untuk sesaat kesunyian mencekam sementara mobil melambung menembus udara dan aku merasa seperti terbang tanpa bobot. Aku membatin, Kumohon, Tuban, aku belum siap.... Saat tersadar kembali, aku tak melihat apa-apa selain sorot lampu mobil yang menerangi kebun tebu, dari celah sempit di depanku—celah yang tadinya adalah kaca depan. Dasbor dan pintu-pintu mobil melesak ke dalam, mengurung pengemudi dan aku di dalam ruangan sempit yang terbentuk dari sejumlah lempengan logam ringsek bercampur pecahan kaca dan plastik. Rasanya berjam-jam kami berjuang keras untuk bisa keluar dari kurungan mirip peti mati itu. 8 Masih kuingat bagaimana aku merangkak keluar dari celah kaca depan tadi, berdiri di atas atap mobil yang sudah ringsek, menatap badanku yang berlepotan darah, lalu menengadah ke langit. Saat itulah segala sesuatu berubah. Tiba-tiba aku merasa seakan terangkat dari rongsokan emosional hidupku. Semua kepedihan, amarah, kekesalan, dan kekecewaan yang bercampur aduk dalam diriku selama bulan-bulan sebelumnya, telah lenyap. Ironisnya, kecelakaan itu bukannya menimbulkan penderitaan, tapi justru melepaskanku darinya. Gelombang sukacita penuh kedamaian dan rasa syukur melingkupiku. Aku merasa bebas, seolah-olah pintu gerbang kemungkinan baru pertama kalinya terbuka lebar untukku. Rasanya seolah menerima undangan untuk mengalami segala sesuatu di dunia melalui mata dan indra baru—dunia yang lebih berlimpah, cemerlang, dan memesona daripada yang pernah kubayangkan. Rasanya saat itu aku menerima "tiket emas"—kesempatan kedua untuk hidup. Setelah menatap langit dengan penuh syukur untuk entah berapa lama, aku menghela napas dalam-dalam dan merasakan kehidupan mengalir kembali dalam diriku. Untuk pertama kalinya sejak berbulan- bulan sebelumnya, jiwaku bernyanyi. Inilah ujian untuk menentukan bahwa misi Anda di Bumi sudah berakhir: Bila Anda masih hidup, berarti tugas Anda belum selesai. —Richard Bach 9 Ajaibnya, kami berdua mampu berjalan meninggalkan tempat musibah itu nyaris tanpa luka berarti. Namun, pelajaran yang kutarik dari dalam rongsokan itu takkan pernah kulupakan: Kau beruntung masih hidup. Kau bisa mulai lagi dari awal. Kau lolos dari maut untuk suatu tujuan. Sekarang cepatlah bekerja—waktu berjalan terus. Setahun setelah menerima tiket emasku, aku berhasil memutar balik kehidupanku. Aku menemukan kembali rasa percaya diriku. Aku berusaha menjalin hubungan yang lebih sehat dan indah. Aku membiarkan perasaan bebas dan penuh iman menuntunku, dan aku mulai lebih mencari makna ketimbang kesuksesan. Tepat satu tahun sesudah kecelakaan itu, aku merasa telah menjalani kehidupan yang benar-benar milikku sendiri—kehidupan yang diarahkan sesuai pilihan, bukan kesempatan. Sejak itu aku berjuang keras menepati janji yang kubuat pada saat menerima tiket emasku. Sambil berdiri di atas atap mobil yang penyok-penyok, aku mengucapkan di dalam hati kata-kata yang takkan pernah kulupakan: Oh, Tuhan, terima kasih—terima kasih atas kesempatan kedua ini. Aku berjanji takkan menyia-nyiakannya, Untuk memperoleh kesempatan kedua dalam hidupku, sejak dulu hati kecilku sudah tahu bahwa aku harus mengambil tiket emasku lalu berbagi dengan orang lain. Jadi dekade terakhir ini kujalani dengan berusaha menolong orang lain tiba pada saat yang kucapai bertahun-tahun yang lalu itu: saat ketika mereka benar-benar merasa hidup dan bebas. Saat indah 10 ketika mereka merasa seakan bisa mengulang kehidupan dari awal kembali dan menciptakan kehidupan seperti yang mereka dambakan sejak dulu. Inilah saatnya aku mengundang Anda untuk mengalaminya dengan membaca buku ini. Aku percaya inilah saatnya aku menggambarkan bahwa perubahan dan pertumbuhan hidup Anda akan timbul. Akan tiba saatnya ketika Anda percaya semuanya sudah berakhir. Justru itulah permulaannya. Louis L'Amour Selesai membaca kisah ini, aku mengajak Anda membuka amplop di bagian belakang buku ini. Aku minta Anda baru membukanya setelah membaca kisahnya sampai selesai. Jika Anda membukanya sebelum itu, Anda takkan tahu harus berbuat apa dengan pemberian yang ada di dalamnya. Apa yang terdapat di dalamnya? Apa sebenarnya tiket emas kehidupan, dan kehidupan seperti apakah yang ditawarkannya kepada kita? Sekali lagi, aku mengajak Anda membaca kisah ini, kemudian baru membuka amplop di akhir buku ini untuk menemukan jawabannya. 11 BAGIAN I a KU sedang berdiri bercukur di kamar mandi ketika mendengar berita dari televisi: "Kami menyela program ini untuk menyampaikan berita menyangkut hilangnya Mary Higgins." Aku langsung menjatuhkan pisau cukurku di wastafel, menyarungkan handuk di pinggang, dan menghambur ke ruang tamu. Gambar Mary memenuhi separuh layar kaca. Dengan datar penyiar berita malam berkata, "Miss Higgins yang menghilang dengan misterius empat puluh hari yang lalu, telah ditemukan.... Ya Tuhan. Aku menunggu bagian yang terburuk. "... Seorang petugas Clark County Highway Patrol mengatakan bahwa Higgins dibawa..." Telepon berdering dan aku tergopoh-gopoh meraihnya sambil terus menatap layar TV. 15 A AMPLOP a eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com MR. Collection's "... rumah sakit seperempat jam yang lalu, tempat ia...." Aku menyambar pesawat telepon yang terus berdering. Ternyata dari Linda, ibu Mary, yang bicara begitu cepat hingga aku hanya mampu menangkap setengahnya. "Linda, tenang sedikit," kataku. "Apa yang terjadi?" "... Kami di sini bersamanya... cepatlah kemari... mereka menemukannya.... Mereka menemukan Mary? Aku menoleh ke gambar Mary di layar TV. "Ya Tuhan, Linda," bisikku. "Beritanya sedang disiarkan. Dia baik-baik saja?" "Kami di rumah sakit. Cepat kemari... sekarang!" katanya. "Linda, apa Mary baik-baik saja?" "Pokoknya kemari secepatnya. Kamar empat-sepuluh. Aku harus pergi. Cepat!" Hubungan terputus. 16 Aku menghambur masuk lobi rumah sakit dan diserbu kilatan lampu kamera. Para wartawan mengerumuniku sambil menyodorkan kamera dan mikrofon mereka ke wajahku, memberondongku dengan pertanyaan. "Bagaimana kondisi Mary?"... "Tahukah Anda apa yang terjadi?... "Anda sudah bicara dengan orangtuanya?" Seumur-umur belum pernah aku merasa selega itu berjumpa dengan perawat. Seorang wanita tegap berpakaian putih menyeruak di antara kerumunan wartawan, lalu menyambar lenganku. "Jangan ganggu dia!" hardiknya. "Kau—cepat minggir." la menarikku maju sambil menyibakkan nyamuknyamuk pers itu dengan tegas. la menuntunku sampai lift, mendorongku masuk, lalu menghalangi para reporter di belakangnya. "Lantai empat," bisiknya. Aku menekan tombol empat dan merinding membaca katakata yang tertera di sampingnya: PERAWATAN INTENSIF. Pintu lift tertutup membungkam pertanyaan-pertanyaan yang diteriakkan para wartawan. Aku menghirup udara steril rumah sakit yang berbau bahan pemutih dan eter sambil berpikir betapa bencinya aku pada tempat-tempat seperti ini. Bayangan kakek dan ibuku berkelebat di benakku. Kumohon, jangan sampai seperti itu, aku membatin. Pintu lift terbuka. Seorang perawat duduk di depan meja. "Maaf, aku mencari kamar empat-sepuluh. Aku adalah...." "Aku tahu," sahutnya. "Lewati lorong, belok kanan di tikungan pertama. Pintu kelima sebelah kiri." Begitu ia selesai menjelaskan, aku sudah mencapai separuh lorong. Saat berbelok, aku melihat Linda, ibu Mary, yang sedang menangis dalam pelukan Jim, suaminya. Seorang dokter sedang bicara dengan lembut kepada mereka. Tak jauh dari situ, Detektif Kershaw, petugas yang mengepalai unit orang-orang hilang, berdiri sambil menatap lantai. Aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan debar jantungku. Sementara melangkah mendekati mereka, aku berkata kepada diri sendiri agar menguatkan hati. 17 Jim terlebih dulu melihatku, lalu berbisik di telinga Linda. Wanita itu menyeka air matanya, melepaskan diri dari pelukan suaminya, lalu menatapku dengan kuyu. Oh, tidak, aku membatin. Kumohon jangan.... Wajahku terasa kebas saat aku mencapai mereka. "Linda, dia masih hidup?" 18 Kershaw duduk di depanku sambil mengutak-atik notesnya dan sebentar-sebentar melirik ke lukisan pemandangan pantai yang sepertinya sudah jadi dekorasi wajib di dinding ruang tunggu rumah sakit. Dia mungkin tahu bahwa kalau sampai dia berani menatap mataku, aku akan meninjunya. Dengan nada menyesal, ia berkata, "Begini, aku salah menilaimu— aku mengakuinya. Saat menemukan Mary seperti itu, terbukti bahwa kau tak ada sangkut pautnya dengan kehilangannya." "Sudah saatnya kau menyadari itu, dasar...." "Sudah, sudah," sela Kershaw sambil bersandar dan mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Aku tahu kau kesal. Tapi seperti yang sudah kukatakan, aku hanya melakukan tugasku. Kau tidak bisa menyalahkan aku karena menyangka kau ada sangkut pautnya dengan hal itu...." Darahku masih mendidih, tapi aku diam aja. "Oke," ujarnya. "Begini—aku tidak menyalahkanmu. Mari kita mulai lagi dari awal. Mari kita bicara seperti dua orang yang ingin tahu bagaimana Mary sampai bisa berada di jalan raya itu. Aku tahu kita sudah ribuan kali membicarakan ini, tapi tolong ceritakan sekali lagi mengenai saat-saat terakhir kau melihatnya. Bisakah kauceritakan lagi apa yang persisnya dikatakan Mary? Setelah kita sekarang tahu di mana ia akhirnya ditemukan, mungkin terdapat petunjuk dalam percakapan terakhir kalian." "Percakapan" terakhir kami sayangnya berupa pertengkaran hebat. Rasa malu dan menyesal memenuhi hatiku saat mengingatnya. Kami saling berteriak di dapur. Mary lagi-lagi merepet soal mengubah hidup. Pertengkaran yang itu-itu saja—yang sepertinya terjadi tiap malam sesudah makan malam, selama enam bulan terakhir. Dia bosan melihatku duduk di depan TV sepulang dari kerja, bosan dengan sikap "menjauh"-ku, bosan pada sikap sinisku, bosan merasa lemah dan letih karena menjalani standar kehidupan yang menurut pendapatnya terlampau rendah bagi kami. Dia bilang, bosan merasa bosan. "Kita seperti tenggelam di sini," katanya. "Tenggelam dalam keputusasaan, dalam kolam pesimisme kita." Itu tadi kalimat favoritnya saat bertengkar: "kolam pesimisme." "Kau tak tahu betapa beruntungnya kita punya kolam itu" balasku. "Orangtuaku pasti tak segan-segan membunuh untuk mendapatkan kolam." Kalimat seperti ini biasanya meredam amarahnya sedikit— aku selalu berhasil membuatnya tertawa dan mengalihkan pokok pembicaraan. Tapi kali ini aku gagal. Wajahnya malah 19 semakin murung dan ia pun mulai menangis. Setelah terisakisak beberapa saat, ia mendongak lalu berkata, "Rasanya aku perlu pergi berakhir pekan.... Tadinya aku ingin mengajakmu, tapi sepertinya kau belum siap." Ia belum pernah bicara dengan nada seserius itu. "Kau mau ke mana?" aku bertanya. "Aku belum siap untuk apa?" Mary diam sesaat. "Berubah—kau belum siap untuk berubah." Mulai lagi, aku membatin. Aku siap-siap mendengar sederet perintah yang telah disusunnya selama dua bulan terakhir itu: Bangkitlah dari sofa. Letakkan kaleng bir-mu. Jangan muram terus. Bukalah dirimu. Ceritakan apa yang terjadi. Seperti itulah Mary, selalu berusaha mengendalikan hidupku, menyuruhku mengikuti aturannya tentang cara menjalani hidup, mengubahku jadi seseorang yang bukan diriku—si Dungu yang berbinar-binar, ceria, dan peka. "Kapan kau mau berhenti mengontrolku terus-menerus? Aku tidak butuh ibu, dan kau tak perlu mengatakan kepadaku sejauh apa aku harus berubah. Biarkan aku menjalani hidupku sendiri." "Tapi kau bukan menjalani hidupmu," tangisnya. "Kau justru bersembunyi darinya. Tiap malam kau cuma duduk di depan televisi, berusaha melupakan fakta bahwa hidupmu menjemukan." Itu dia—Mary sudah mengucapkannya. Aku menatapnya dengan kaget. 20 Mary menatap lantai. Bulu matanya yang panjang hampir menyentuh pipinya. la lalu menghela napas dalam-dalam. "Seperti yang kubilang tadi, kau belum siap untuk berubah. Tapi aku sudah siap, dan aku akan pergi. Seorang teman mengajakku ke suatu tempat yang kata orang bisa mengubah hidupku. Dia bilang tempat itu penuh keajaiban yang mampu memberikan ilham kepadaku, tempat impianku bisa jadi kenyataan." "Wow, Honey, keren amat. Apa kau mau ke Disneyland?" "Aku serius. Aku mau pergi." Aku menertawakannya karena tak percaya dia akan benarbenar pergi. "Sampaikan salamku kepada Mickey," ejekku. Matanya terbelalak, dan ia pun melemparkan cangkir kopinya ke dalam bak cuci piring hingga pecah berkeping-keping. Ia menyambar kunci mobilnya dari meja dan melangkah ke pintu sambil berkata, "Aku dengar di tempat ini bisa terjadi keajaiban. Demi akal sehatku dan hubungan kita, lebih baik kau berharap ini memang benar." Mary membanting pintu di belakangnya. Aku nyaris berkata, "Jangan sampai pintunya menimpamu." Tapi untung saja tidak jadi. Itu terjadi empat puluh hari yang lalu. Aku tidak menceritakan seluruh detail pertengkaran itu kepada Kershaw—dia tidak perlu tahu. Lagi pula, rasa percayaku terhadap hamba hukum kira-kira sama dengan terhadap wiraniaga mobil bekas. Aku tahu dia bakal melabrakku kalau sampai tahu kami sedang bertengkar saat Mary pergi. "Kau benar," kataku kepada Kershaw sambil bangkit ber- 21 diri. "Kita memang sudah ribuan kali membicarakan hal ini, dan tidak ada lagi yang bisa kusampaikan kepadamu." Aku berbalik dan menghampiri Jim, ayah Mary, yang sedang berdiri di depan mesin kopi di lorong rumah sakit. "Oke," sahut Kershaw. "Aku yakin kita akan tahu apa yang terjadi pada Mary waktu ia... seandainya ia bangun." 22 Jim membawakan secangkir kopi instan dari mesin untukku. "Silakan," ujarnya lirih. Laki-laki ini bukan termasuk tipe yang gampang menangis, tapi kedua matanya tampak kemerahan. Aku menatapnya, tahu bahwa aku patut dipersalahkan atas kejadian ini—atas semuanya. "Jim... aku sangat menyesal...." Jim mengangkat tangan, menghentikan kata-kataku. "Jangan," sahutnya lembut. "Ini bukan salahmu. Lupakan Kershaw dan semua omong kosong media selama beberapa minggu terakhir ini. Tak ada yang bisa kaulakukan. Yakinkan dirimu tentang hal ini. Linda dan aku memercayai hal ini. Sungguh. Tak peduli apa pun yang telah terjadi di antara kau dan Mary, kami tahu bukan salahmu kalau dia menghilang. Juga bukan salahmu ia akhirnya berada di sini." Suara Jim gemetar dan ia pun menoleh ke arah kamar Mary. "Aku baru berdoa dan berharap supaya Mary bisa membuka matanya dan menceritakan kepada kita apa saja yang telah terjadi selama empat puluh hari terakhir ini. Betapa aku berharap dia bisa... mengatakan bahwa dia baik-baik saja." Air mata mengalir membasahi wajahnya yang lebar dan tegar itu. 23 Aku merasa pundakku disentuh, dan membuka mata, Dokter yang menangani Mary sedang berlutut di depanku. "Aku pasti telah tertidur" kataku grogi. "Tidak apa-apa," ujarnya. "Tapi Mary sudah sadar, dan aku tidak tahu berapa lama ia akan tetap sadar. Dia masih sangat lemah, dan kami tidak tahu apakah dia akan...." Ia menggeleng. "Dia menanyakanmu." Aku mencoba melompat berdiri, tapi lupa bahwa tadi aku berbaring di atas empat kursi ruang tunggu. Aku pun terjatuh ke lantai dan mendarat di tulang ekorku. Dokter itu membantuku bangkit berdiri dan berkata, "Hati-hati. Kami lebih suka kau datang sebagai pengunjung bukan pasien." Aku mengenyahkan rasa kantukku, lalu berlari melintasi lorong menuju kamar 410, tepat ketika Linda keluar dari situ. Dengan perlahan ia menutup pintunya. "Dia sudah sadar?" tanyaku tersengal-sengal. " Ya," jawab Linda. "Dia bisa bicara, tapi masih sangat lemah dan sulit dimengerti. Dia terus bergumam soal keajaiban, dan menanyakanmu." Wajah Linda tampak pucat, dan kerut-kerut halus di wajahnya tampak semakin jelas. "Bicaralah kepadanya.... Katakan kau mencintainya. Mungkin ini terakhir...." Linda berdiri di ambang pintu sambil tersenyum sedih. "Katakan saja kau mencintainya." Kamar itu gelap dan hanya diterangi lampu kecil di atas kepala Mary. Beberapa jam belakangan aku sudah memasuki kamar itu berkali-kali, tapi masih harus berjuang keras membendung air mataku ketika melihatnya tergolek di situ. Kepalanya dibalut perban, kedua pipinya tampak gembung karena terdorong penyangga leher. Kaki kanannya terbungkus gips tebal dan digantung. Setengah lusin mesin berdesir dan berdecit di sekelilingnya, membentuk paduan suara tanpa nada yang menegakkan bulu roma. Napas Mary tersendat-sendat. Nyaris setiap bagian kulitnya memar dan bengkak. Aku benar-benar tidak mengerti. Dia sedang berdiri di jalan, tinggi di atas gunung, pada saat truk itu menabraknya. Apa yang dilakukannya di sana? "Honey" bisikku sambil bersandar di pagar ranjangnya. "Honey, ini aku...." Tak ada reaksi. Aku membelai pipinya. "Honey, please,.." Aku membendung tangis. "Aku menyesal sekali." 24 Mary membuka mata. "Hey, kau," bisiknya dengan bibir pecah-pecah. "Tidak apaapa." Suaranya begitu lirih hingga aku nyaris tak bisa mendengarnya. Aku tak mampu membendung kata-kataku lagi. "Mary, maafkan aku. Aku sangat mencintaimu. Aku menyesal sekali. Maafkan aku, Sayang." Bibirnya tersenyum miring. Tatapan matanya yang jernih membuatku terheran-heran. "Semuanya akan baik-baik saja," katanya lembut. Seolaholah akulah yang terbaring di ranjang, mendekati ajal. "Mary, kau baru mendapat kecelakaan. Kau sedang di rum...." "Aku tahu. Tidak apa-apa." Aku menatapnya dengan takjub. la bicara dengan lirih dan perlahan. "Ada yang ingin kukatakan kepadamu.... Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku." "Apa pun," sahutku sambil berusaha mati-matian menahan air mata. "Apa saja." Mary menarik napas dalam-dalam. "Bowman's Park. Aku mau kau ke sana untukku. Untukmu." Aku menggeleng-geleng. Bowman's Park? la menatapku dengan tajam. "Ya, Bowman's. Kau harus ke sana." Aku memutar otak. Bowman's adalah taman hiburan tua di daerah pegunungan. Orang telah menutup tempat itu sejak 25 dua puluh tahun yang lalu, sesudah seorang bocah kecil— saudara laki-laki Mary yang baru berusia delapan tahun—terjatuh dari kincir ria hingga tewas. Beberapa tahun setelah taman itu ditutup, beredar kabar burung bahwa tempat itu angker. Kabar-kabar itu timbul tenggelam tiap beberapa tahun sekali, seiring dengan tahun ajaran baru di sekolah-sekolah lanjutan atas setempat. Namun, satu setengah tahun yang lalu, pernyataan tanpa bukti itu mengalami perubahan yang aneh, dan tiba-tiba saja tempat yang tadinya dianggap angker itu berubah menjadi tempat yang keramat. Sekelompok orang sinting mengatakan bahwa di atas sana telah terjadi berbagai keajaiban. Stasiun-stasiun berita setempat berlomba-lomba ke sana untuk meneliti kebenarannya, tapi tentu saja, tanpa hasil. Tak seorang pun yang menyatakan telah melihat sendiri semua keajaiban itu, bersedia membicarakannya. "Mary," kataku lembut, masih sambil menggeleng, "kau bukan berada di Bowman's Park. Aku tahu di sanalah saudaramu meninggal, tapi tempat itu sudah ditutup, ingat? Kau berada cukup jauh dari situ, bahkan di balik gunung itu." "Aku tahu.... Dengarkan aku," ujarnya semakin lemah. "Aku benar-benar ke situ. Sekarang kaulah yang harus ke sana, atau kau takkan mengerti. Ambil jaketku. Di sakunya ada amplop. Jangan membukanya. Bawa amplop itu ke pintu gerbang taman. Berikan amplop itu kepada saudaraku." Air mataku nyaris tumpah. Mary jelas-jelas sedang mengigau. Dia bahkan mengira saudaranya masih hidup. Bagaimana 26 mungkin percakapan terakhir kami di bumi bisa melantur seperti ini? Dokter memang telah memperingatkanku bahwa Mary diberi obat penenang yang cukup keras, dan besar kemungkinan pikirannya akan melayang-layang di antara realitas dan mimpi, tapi ini benar-benar gila. Aku membuang muka supaya ia tidak perlu melihatku menangis. "Tunggu," katanya dengan susah payah. "Pandang aku." Aku menoleh dengan air mata bercucuran. Ia menghela napas dalam-dalam sekali lagi. "Kau masih ingat kabar angin itu? Tentang keajaiban yang terjadi di taman?" "Ya." "Itulah sebabnya aku ke sana—kita membutuhkan keajaiban...." Bagaimana mungkin aku telah membiarkan hubungan kami memburuk sedemikian rupa hingga ia mengandalkan upaya yang sia-sia seperti ini? Kedua matanya melebar. "Kabar-kabar angin itu ternyata benar." Ia terhenti sesaat. Wajahnya menegang dan matanya mengerjap- ngerjap. Aku khawatir ia akan kehilangan kesadaran kembali. "Keajaiban...." ulangnya. "Ambil amplop... pergilah... cari tahu apa yang terjadi padaku... alami sendiri.... Pergi...." Jari-jarinya yang lentik itu mencengkeram lenganku sekuat tenaga, tapi nyaris tak terasa. "Berjanjilah padaku kau akan ke sana... sekarang juga." "Mary," tangisku dengan air mata bercucuran membasahi 27 wajah. Dadaku seakan mau pecah. "Honey, aku takkan meninggalkanmu." Mary tersengal, seakan-akan hatinya tertusuk. Tangannya terkulai jatuh ke kasur. "Kalau kau tidak pergi sekarang... kau takkan pernah tahu apa yang terjadi...." Ia terdiam dan memejamkan mata dengan rapat. "Berjanjilah padaku kau akan pergi—begitu kau keluar dari kamar ini. Aku tetap menggeleng. "Aku takkan meninggalkanmu." Tubuhnya menegang. Napasnya tersengal-sengal. "Pergilah... sekarang?' Aku tetap berdiri dengan diam sambil membelai tangannya, karena tidak tahu lagi harus bicara apa. Air mataku menetes di seprai rumah sakit. Setetes air mata jatuh di tangannya, dan ia mengerutkan alis. Ia lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali sambil mengerang lirih: "Berjanjilah," bisiknya dengan bibir gemetar. Hanya itu. Aku tak punya pilihan—ini adalah permintaan terakhirnya. Aku memejamkan mata dan mencari-cari katakata yang paling tepat sebelum ia pergi untuk selamanya. "Aku berjanji," kataku lirih. Masih memegang tangannya, aku membungkuk dan mencium dahinya. Suaraku bergetar. "Aku akan mencintaimu selamanya." Bibirnya membentuk senyuman lemah saat berbisik, "Aku mencintaimu." Kemudian matanya terpejam dan ketegangan itu meninggalkan wajahnya. 28 Apa maksudmu, kau mau pergi?" tanya Linda sambil menatapku tak percaya. "Sekarang juga?" "Ya," jawabku tersipu. Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan apa yang telah dikatakan Mary—atau apa yang telah kujanjikan kepadanya. Seorang perawat telah memberikan jaket Mary kepadaku— jaket yang berlepotan darah kering. Linda dan Jim menatap benda itu dengan ngeri sementara aku memegangnya dengan gugup, tidak tahu harus berkata apa. "Apa kau yakin harus pergi sekarang juga?" tanya Jim sambil menatapku dengan prihatin. "Aku, anu... sudah berjanji kepada Mary. Aku harus melakukan sesuatu untuknya sekarang juga. Aku akan kembali beberapa jam lagi. Aku tahu ini kedengaran gila, tapi aku sudah berjanji kepadanya. Aku harus pergi." Aku tak bisa mengatakan kepada mereka ke mana aku akan pergi. Bagaimana mungkin aku menyampaikan kepada mereka bahwa aku akan pergi ke Bowman's Park, tempat anak sulung mereka tewas? Bibir Linda terbuka seolah hendak bicara, tapi keduanya tidak berkata apa-apa. Aku terus meremas-remas jaket Mary dengan gelisah. Setelah detik-detik yang menegangkan, Jim akhirnya ber- 29 Deretan mesin itu pun berdecit dan berdesir dengan riuh rendah. kata, "Oke, Nak. Kalau Mary ingin kau melakukan sesuatu, lakukan saja." Linda tampak kaget. la menatap Jim, lalu mengalihkan pandangan kepadaku kembali. Sambil menggeleng, ia berkata, "Aku tidak paham. Maksudku, sekarang juga? Aku tidak mengerti...." Jim langsung berbalik dan memeluknya. Ia menoleh padaku. "Lakukan apa yang harus kaulakukan," katanya. "Kami akan mengurus semua di sini. Apa kita akan berjumpa lagi di rumah nanti?" Aku mengangguk, lalu memeluk keduanya. Saat membuka pintu keluar menuju tangga, aku mendengar Linda menangis dan bertanya kepada Tuhan mengapa semua ini harus terjadi. Aku ingin kembali dan menjelaskan. Tapi tetap saja, aku pun tidak mengerti. Aku menyelinap keluar menuju bagian belakang rumah sakit untuk menghindari kamera para wartawan. 30 Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER http://jowo.jw.lt