Tentara Bayaran AS Dan Proyek Di Dunia Islam mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Marine Basecamp yang terletak di Timur Fallujah, Irak, pagi itu tampak tidak ada kesibukan yang berarti. Tanggalan di kalender menunjuk angka 31 Maret 2004. Wesley Batalona, mantan pasukan elit Army Ranger AS berpangkat sersan yang kini bekerja pada Blackwater Security Consulting, sebuah perusahaan penyedia perangkat militer dan juga tentara bayaran, tengah mempersiapkan diri melakukan misi pengawalan. Bersama tiga rekannya—Scott Helvenston, Jerry Zovko, dan Michael Teague—mereka mendapat tugas untuk mendampingi konvoi truk yang akan mengambil peralatan dapur di Markas Komando 82nd Airborne di Falujjah. Wajah Batalona terlihat sedikit tegang. Tugas di pagi ini terkesan begitu mendadak dan tidak mengindahkan standar prosedur operasional yang berlaku. Sebagai mantan pasukan khusus, Batalona mengerti betul bahwa standarisasi keamanan tidak bisa diabaikan. Walau kelihatan sepele namun kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal. Di front pertempuran seperti di Irak ini, siapa pun tidak bisa menduga kapan akan terjadi penyerangan, kapan bom atau ranjau akan meledak, kapan rudal akan mampir dan mengkoyak tubuh. Satu-satunya ikhtiar yang bisa dilakukan adalah memenuhi peraturan dan standar operasi yang ada. Itu pun kerap tidak cukup. Nyawa tetap terancam setiap waktu, setiap detik. Dalam Standard Operating Procedure (SOP) banyak kontraktor militer termasuk Blackwater, dalam misi pengawalan kendaraan apa pun yang akan melintasi daerah merah satu atau daerah yang dinilai sangat berbahaya karena rawan bentrokkan senjata atau belum dikuasai sepenuhnya seperti Fallujah City, maka satu kendaraan SUV pengawal seperti Humvee, Land Rover Defender, Perentie, atau pun Flyer LSV yang dilengkapi dengan senapan mesin berat di dek belakang harus diisi minimal tiga orang, yang terdiri dari pengemudi, pendamping pengemudi yang duduk di samping depan sebagai pengawas keadaan sekitar dan dilengkapi dengan senjata serbu sejenis Colt M4A1 Carbin-Grenade Launcher atau bisa juga senapan mesin ringan SAW (Squad Automatic Weapon) sejenis Minimi, dan satu awak lagi sebagai penembak pendukung—rear gunner—yang berdiri di belakang mengawaki senapan mesin berat yang terpasang di dek seperti M2HB kaliber 12, 7 mm yang memiliki jarak tembak efektif antara 2. 000 hingga 3. 000 meter dengan magasin rantai tak terbatas. Namun dalam misi di pagi hari akhir Maret 2004 itu, satu SUV hanya diawaki dua personel: supir dan pendamping, tanpa penembak pendukung di belakang. Entah mengapa hal ini bisa terjadi. Persiapan yang dilakukan pun terkesan terburu-buru. Batalona tidak bisa mengajukan komplain tentang hal ini karena komandan base-camp masih ada di dalam tenda pribadinya. Biasanya ia tidak mau diganggu sepagi ini. Batalona akhirnya hanya bisa memendam sendiri ketidakpuasannya. "Nanti jika misi selesai, aku akan mengajukan komplain, " gerutunya. Konvoi telah berjalan beriringan meninggalkan base camp Marinir AS di timur Fallujah menuju pusat kota. Sejak awal bergabung dengan Blackwater, Batalona telah sadar, pekerjaan ini memang mengandung resiko tinggi, bahkan taruhannya nyawa. Tapi upah yang diterima pun sangat menggiurkan ketimbang tetap berada dalam kesatuan Army Ranger. Lewat kacamata Oakley hitamnya, Batalona berusaha tetap tenang mengawasi keadaan sekitar. Hari telah terang. Pandangannya jauh ke depan, merambah gurun pasir di kiri kanan jalan yang berserak dengan puing-puing rumah, gedung, dan bangkai kendaraan di sisi jalan. Jari telunjuknya tidak lepas dari picu senjata serbunya. Batalona tidak mau sedikit pun kecolongan. Instingnya mengatakan bahwa perjalanan pengawalan ini tidak bisa dianggap enteng. Fallujah merupakan daerah sangat berbahaya. Sering sekali kendaraan tempur tentara Amerika hancur tiba-tiba saat melaju di jalan raya ini terkena ledakan ranjau atau terkaman RPG yang diluncurkan dari tempat tersembunyi oleh para gerilyawan Irak. Konvoi berjalan dengan kecepatan sedang. Menurut informasi intelijen, rute yang akan dilalui menuju pusat kota Fallujah pagi ini sudah aman. Bisa jadi, sebab itu konvoi berjalan lurus menuju pusat kota, tidak mengambil rute alternatif belok ke utara yang hanya berjarak tidak lebih dari dua kilometer dari garis perbatasan kota dan dinilai sangat aman karena terdapat sejumlah pos penjagaan tentara Amerika di pinggir jalan. Selepas bergerak ke kiri dari jalan raya pusat kota menghindari persimpangan utama, tidak sampai dua menit kemudian, keheningan di pagi hari itu dikejutkan dengan suara ledakan amat keras yang menghantam salah satu truk yang berada di deretan ketiga. Truk besar dengan boks tertutup itu segera hancur menjadi rongsokan besi yang berkobaran. Tak sampai satu tarikan nafas, ledakan itu kemudian disusul dengan bunyi rentetan tembakan dari berbagai arah dan ledakan granat di sana-sini. Suasana di pagi hari itu mirip dengan pesta mercon berskala besar. Entah dari mana datangnya, Batalona melihat banyak gerilyawan Irak sudah mengepung mereka. Dengan berbagai varian senapan serbu seperti AK-47 dan M-16, para gerilyawan yang menutupi kepala mereka dengan kafiyeh hitam dan putih itu terus merangsek maju menembaki apa saja yang dilihatnya bergerak. Berkali-kali mereka berteriak “Allahu Akbar”. Secepat kilat Batalona melompat dari kendaraan dan berguling mencari perlindungan di samping roda. Sambil tiarap, lelaki yang telah berumur dan berambut putih itu menembakkan senjatanya. Colt M4A1 Carbine menyemburkan peluru berkaliber 5, 56 standar NATO secara terarah. Asap dan debu menghalangi pandangannya. Oakley hitamnya entah jatuh di mana. Batalona kaget bukan kepalang ketika melihat beberapa di antara para penyerangnya memanggul RPG dan mengarahkan senjata dahsyat itu ke arah mobilnya. Secara refleks Batalona berguling menjauh di antara desingan peluru dan debu, sembari tetap menembak. Benar saja, semburat api terlihat dari salah satu moncong RPG yang dipanggul gerilyawan Irak dan langsung menghantam Humvee yang ditumpanginya. Ledakan keras terdengar menggelegar, memecahkan gendang telinga tentara bayaran itu yang tiarap tidak jauh dari ledakan. Kobaran api dan asap hitam membubung tinggi dari kendaraan mereka. Batalona sekuat tenaga tetap bertahan. Dua magasin peluru kaliber 5, 56 telah dihabiskan berikut satu granat dari bawah laras Colt M4A1-nya. Namun apa daya, para penyerangnya lebih menguasai medan. Dengan gesit mereka berlarian sambil tetap menembak dan melempar granat. Ini membuat para pengawal yang sebenarnya sudah berpengalaman di berbagai medan pertempuran panik. Keadaan di lapangan ternyata berbeda sekali dengan apa yang selama ini digambarkan dalam berbagai film produksi Hollywood yang menyampaikan pesan bahwa tentara Amerika itu gagah berani dalam medan perang. Picture story Peristiwa 31 Maret 2004 Keterangan Gambar : Photo Ke: / Penyergapan tidak berlangsung lama. Sejumlah kendaraan berhasil dibakar dan dihancurkan para gerilyawan. Mayat para pengawal dan lainnya bergelimpangan tak keruan. Tubuh mereka tak utuh lagi dan hangus terbakar. Yang lebih menyeramkan, tak berapa lama usai penyergapan, di atas palang jembatan baja Sungai Euphrat, dua mayat tentara bayaran Amerika Serikat itu ditemukan tergantung terbalik dengan kepala menghadap ke bawah. Warga Fallujah bergerombol menyaksikan pemandangan tersebut. Beberapa anak kecil tampak mengacungkan dua jari tangannya membentuk huruf V, Victory, sembari tertawa riang. Para wartawan teve dari berbagai negara pun sudah mengabadikan peristiwa itu dengan kameranya masing-masing. “Dalam penyergapan yang dilakukan para pemberontak Irak di pagi hari di pusat kota Fallujah, 31 Maret 2004, sedikitnya diketahui, empat personel tentara bayaran, para pengawal dari Blackwater Security Consulting—Scott Helvenston, Wesley Batalona, Jerry Zovko, dan Michael Teague—ditemukan tewas. Mereka mati dengan tubuh hangus terpanggang dan terpotong. Dua di antaranya digantung terbalik di atas jembatan Sungai Euphrat, ” ujar penyiar CNN yang menayangkan kejadian tersebut on-location dari jembatan Sungai Euphrat, Fallujah, Irak. Kejadian itu kontan menggemparkan dunia dan warga Amerika khususnya. Para personel Blackwater yang banyak terdiri dari anggota pasukan elit dari berbagai negara yang kini bertugas di Irak bersumpah akan menuntut balas kematian rekan-rekan mereka dengan cara yang amat menghinakan. Empat hari kemudian, serangan besar terjadi di kota Fallujah dan menewaskan banyak penduduk sipil. Tidak diketahui apakah serangan tersebut berhasil menghabisi para pembunuh keempat anggota Blackwater atau tidak. Peristiwa penyergapan Mujahidin Irak terhadap empat personil kontraktor milter Blackwater menyedot perhatian dunia. Bukan karena keberhasilan penyergapan Mujahidin Irak, tetapi lebih karena faktor adanya bukti tentara bayaran yang dipekerjakan di Irak. Sesuatu yang selama ini ditutup-tutupi pemerintah Amerika Serikat.( Bisnis kontraktor militer yang dimiliki sejumlah tokoh penting pemerintahan AS, antara lain meliputi aktivitas penyediaan tentara bayaran (Mercenaries), pelatihan tempur bagi tentara reguler suatu negara, penyediaan logistik militer dari yang sederhana seperti peluru aneka kaliber hingga pesawat jet tempur, misi pengawalan, dan sebagainya. Setelah peristiwa penyergapan di Falujah akhir Maret 2004 yang menewaskan empat personel Mercenaries dari Blackwater Security Consulting, eksistensi tentara bayaran di daerah konflik menjadi kian terbuka. Pemerintahan Gedung Putih tidak bisa lagi mengelak tudingan bahwa mereka telah mempergunakan banyak jasa kontraktor militer (Privat Military Company, PMC) di dalam berbagai invasi ke banyak negara semisal Afghanistan dan Irak. Bahkan menurut sejumlah pengamat, sikap agresif politik luar negeri AS di masa George Walker Bush tidak bisa lepas dari kepentingan para pialang industri militer seperti Wapres Dick Cheney maupun Bush sendiri. Para pialang industri militer ini jelas akan mengeruk keuntungan yang dahsyat jika perang berkobar di mana-mana. Jauh sebelum terjadinya peristiwa WTC di tahun 2001, para pialang indusri militer AS yang juga merupakan tokoh-tokoh puncak di Gedung Putih serta Pentagon, telah merancang strategi penguasaan dunia melalui penggunaan mesin perang di mana pada akhirnya Amerika Serikat akan muncul menjadi satu-satunya adi daya dunia tanpa satu pun kekuatan dunia yang sanggup menandinginya. Strategi ini tidak semata-mata berangkat dari perhitungan bisnis semata, melainkan berkolaborasi dengan keyakinan Kristen Zionis yang mulai tumbuh di Amerika pada era 1970-an. Menurut keyakinan Kristen Zionis AS, Maranatha atau turunnya kembali Yesus Kristus (Messiah) hanya akan terjadi jika bangsa Yahudi telah diselamatkan di Yerusalem dan Haikal Sulaiman telah berdiri kembali. Kelompok ini sangat yakin bahwa Messiah akan memimpin mereka memerangi dan menghabisi umat Islam hingga Yerusalem bisa sepenuhnya dikuasai mereka di hari akhir. Berangkat dari keyakinan inilah, para pialang industri militer AS yang juga sebagian besar dari mereka duduk di posisi puncak Gedung Putih dan Pentagon, mengatur strategi agar Yerusalem bisa sepenuhnya dikuasai dan melumpuhkan kekuatan kaum Muslimin dunia. Penolakan Amerika terhadap Perjanjian Rudal Balistik 1972, penolakan ratifikasi Protokol Kyoto tentang lingkungan, serta penolakan-penolakan AS terhadap berbagai perjanjian internasional sesungguhnya menjadi indikasi bahwa AS sedang berjalan sendiri dengan agendanya. AS tidak mau terikat dengan semua itu, karena AS telah begitu yakin dengan kekuatan sendiri, dia mampu untuk mengendalikan dan menundukan dunia. Peristiwa WTC, 11 September 2001 merupakan pintu gerbang bagi pialang industri militer AS menangguk untung besar-besaran. Namun sebelum melihat peristiwa yang terjadi sekarang, agar memiliki pemahaman yang lengkap mengenai bisnis tentara bayaran dengan PMC-nya di Amerika, maka ada baiknya kita tengok dulu latar belakangnya Iran Contra Mega skandal Iran Contra yang melibatkan sejumlah pejabat top di Gedung Putih di era 1980-an, termasuk Presiden Ronald Reagan, bisa jadi merupakan pelajaran sangat berharga bagi rezim Gedung Putih. Kasus Iran Contra merupakan sebuah kasus penjualan senjata yang dilakukan pemerintah AS ke Iran yang sebagian keuntungannya dialirkan ke kantong Gerilyawan Contra di Nicaragua. Hal ini berawal dari peristiwa penyanderaan 52 warga AS yang berlangsung sejak 1 November 1979 di Gedung Kedutaan Besar AS di Teheran, Iran. Pemimpin Iran yang baru saja naik tahta, Ayatollah Khomeini, berada di belakang penyanderaan tersebut. Saat itu, Presiden AS Jimmy Carter yang tengah berkampanye untuk memenangkan pemilu keduanya, memerintahkan agar diadakan sebuah operasi pembebasan bagi penyanderaan tersebut. Namun operasi pembebasan yang bersandi Eagle Claw yang dilancarkan pada bulan April 1980 gagal total sebelum sampai di Teheran. Helikopter tempur yang penuh berisi pasukan elit Delta Force mengalami kecelakaan di wilayah gurun sebelah timur Iran. Delapan serdadu pasukan elit itu tewas. Jelas, popularitas Jimmy Carter jatuh di mata rakyat AS. Diam-diam, pesaing utamanya dalam pemilu presiden AS, Ronald Reagan, setelah melihat kegagalan Carter, berinisiatif untuk membentuk satu tim khusus yang akan membebaskan warga AS tersebut secara rahasia. Operasi rahasia ini bukan operasi tempur, melainkan sebuah lobi tingkat tinggi. Reagan mengontak Iran dan mengatakan bahwa AS akan melakukan barter, jika ke-52 warganya dibebaskan maka AS akan memberi Iran sejumlah senjata antitank untuk menghadapi Irak dan uang tunai sebesar 40 juta dollar AS. Tergiur oleh tawaran serius yang diajukan utusan Reagan, Iran pun melepaskan sandera tersebut. Simpati rakyat AS beralih penuh kepada Reagan dan memenangi pemilu presiden mengalahkan Carter. Tepat di hari pelantikan Reagan, 20 Januari 1981, ke-52 warga AS yang disandera Iran tiba di AS dengan selamat. Reagan telah menjadi pahlawan bagi rakyat Amerika. Namun orang-orang yang tidak menyukai Reagan, termasuk Tim Sukses Jimmy Carter, pada akhirnya mencium aroma tak sedap di balik kesuksesan Reagan membebaskan ke-52 sandera tersebut. Secara intensif mereka menggelar pengusutan rahasia yang akhirnya menggelinding bagai bola liar yang menyeret sejumlah petinggi Gedung Putih ke pengadilan. Salah satu kabar yang berhembus kencang adalah, George H. Bush dan William Casey selaku Manager Tim Sukses Reagan menemui PM Iran Bani Sadr di Paris soal negosiasi senjata gelap. Richard Brenneke, anggota tim sukses Reagan yang juga mantan agen CIA, membantah kabar itu di pengadilan, walau sebenarnya kejadian itu benar-benar terjadi. Setelah melewati banyak sekali tahap pemeriksaan dengan ratusan saksi, pengadilan AS akhirnya berhasil menyingkap skandal itu dan 176 tokoh politik utama di AS dianggap terlibat. Kasus itu ditutup semasa Presiden Bill Clinton. Dengan alasan nasionalisme, maka ke-176 orang tersebut lalu dibebaskan. Walau demikian, menurut kelaziman hukum yang ada harus tetap ada yang masuk penjara, maka Letkol Oliver North pun dikorbankan dengan dakwaan menjual senjata secara gelap ke Iran dan menyalurkan dana hasil penjualan senjata itu ke Gerilyawan Contra di Nicaragua. Pemerintah AS belajar banyak dari skandal Iran Contra tersebut. Sejak itu, timbul pemikiran bahwa terlalu beresiko jika pemerintah terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi seperti yang telah terjadi dalam Iran Contra. Menggunakan badan intelijen resmi pun resikonya sama. Sebab itu, dibutuhkan pihak ketiga yang bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah tetapi secara institusi terpisah dari pemerintahan. Maka dari pemikiran itulah kemudian timbul gagasan untuk membentuk Private Military Company (PMC) yang dikelola oleh para mantan pejabat militer dan anggotanya juga mantan tentara. Dengan adanya PMC, pemerintah atau pihak-pihak yang berkepentingan tinggal mengorder sesuatu, seringkali inipun dilakukan oleh ‘tangan lain’, dan membayarnya, setelah itu tinggal menunggu laporan bahwa misi sudah selesai dari PMC yang ditugaskan. Amerika sendiri diketahui banyak sekali memakai jasa PMC dalam proyek-proyek pengamanan, utamanya di wilayah luar Amerika seperti Irak, Afghanistan, dan sebagainya. Rezim George Walker Bush dianggap sebagai rezim yang paling banyak memakai PMC dan berperan besar dalam perkembangan bisnis pewaris Templar ini. Wakil Presiden Dick Cheney, salah satu penggagas utama Doktrin Pax Americana (The New World Order dalam nama lain) dan ‘Dewa Perang Gedung Putih’, merupakan mantan CEO Halliburton, sebuah PMC yang paling makmur dan paling besar di AS, bahkan dunia. Selain itu, berakhirnya perang dingin di era 1980-an yang disebabkan runtuhnya imperium blok timur dengan pecahnya Uni Sovyet menjadi negara-negara kecil dan juga diikuti oleh negara-negara blok komunis di Eropa Timur, dengan sendirinya hal ini menyebabkan ratusan ribu tentara Amerika yang ditempatkan di pos-pos luar negeri di negara-negara anggota NATO menjadi menganggur alias tidak punya pekerjaan. Keadaannya serupa saat Ksatria Templar kembali ke Eropa setelah terusir kalah dari pasukan umat Islam di bawah pimpinan Salahuddin al-Ayyubi. Akibat berakhirnya perang dingin, jumlah tentara AS yang tadinya sekira 1, 5 juta personil akhirnya harus dipangkas setengahnya. Pemerintah AS menganggap wadah PMC adalah wadah yang tepat untuk menampung 750-an ribu tentara regular yang diberhentikan. Di PMC-PMC yang menampung mereka, para mantan tentara ini mendapatkan gaji dan fasilitas yang kurang lebih sama seperti ketika masih bertugas di dinas ketentaraan resmi, bahkan banyak dari mereka yang menerima lebih baik. Sebab itu, PMC-PMC di Amerika setelah berakhirnya era perang dingin bertumbuhan bagaikan jamur di musim hujan. Dan yang banyak ini tentu memerlukan proyek agar bisnisnya bisa berjalan. Salah satu Privat Military Company (PMC) Amerika yang terkenal adalah Halliburton, di mana Wakil Presiden Dick Cheney, penggagas doktrin Pax Americana, tercatat pernah menjabat sebagai CEO-nya. Menurut Jane’s Defense International Review, Halliburton merupakan PMC kelas dunia yang paling kaya dan dimanjakan pemerintah AS. Dalam ‘proyek pembangunan kembali Irak’, Halliburton mendapat kucuran dana sebanyak delapan miliar dollar AS dari Gedung Putih. Jelas, penunjukkan langsung Halliburton ini tidak lepas dari peran seorang Dick Cheney. Dick Cheney sendiri menjadi CEO Halliburton selepas jabatannya sebagai Menteri Pertahanan AS (1989-1993), dengan David Gribbin, Deputinya ketika masih di Pentagon. Keduanya juga diduga kuat berada di balik mega proyek di Balkan senilai 2, 2 miliar dollar AS kepada Kellog Brown & Root, anak perusahaan Halliburton. Kontrak-kontrak yang diterima Halliburton ini tergolong besar karena umumnya nilai kontrak yang diterima PMC-PMC berkisar ‘hanya’ jutaan dollar. Halliburton pada awalnya bukanlah PMC, melainkan perusahaan jasa pengolahan minyak dan gas bumi yang telah berdiri sejak 1919. Kiprahnya di bisnis kontraktor militer mencuat setelah AS melakukan invasi pertamanya ke Irak (Desert Storm) sekitar tahun 1992. Pentagon menunjuk Halliburton sebagai pihak yang dianggap layak untuk menyiapkan program dukungan bagi keberadaan militer AS di Irak. Proyek pertama hanya berupa penyiapan konsep, bukan dalam bentuk nyata, tapi walau demikian nilai kontraknya sudah sebesar sembilan juta dollar AS. Usai Perang Dingin yang diawali dengan runtuhnya Uni Soviet, Gedung Putih memangkas jumlah tentaranya dari yang semula 1, 5 juta menjadi hanya setengahnya. Ini merupakan hal yang sangat riskan. Agar hal ini tidak menimbulkan ancaman bagi stabilitas dalam negeri, Gedung Putih menunjuk Halliburton agar membentuk wadah bagi mantan tentara reguler AS yang terkena resionalisasi berupa PMC. Tugas dari pemerintah AS ini dilakukan dengan sangat baik. Sejak itulah Halliburton menjadi rujukan pertama Gedung Putih dalam bidang kontraktor militer. Walau demikian, bidang usaha PMC yang dilakukan Halliburton sebenarnya bukan hanya dilakukan pasca Perang Dingin saja. Antara tahun 1962 hingga 1972, Halliburton ditunjuk oleh pemerintah AS menangani proyek pembuatan jalan, lapangan terbang, dan pangkalan militer di Vietnam Selatan, dari daerah demiliterisasi hingga ke Delta Sungai Mekong. Nilai kontraknya 10 juta dollar, tergolong besar untuk saat itu. Selain di Vietnam, Haliburton juga mendapat proyek membangun pangkalan militer AS di Deigo Garcia, yang terletak di Samudera Hindia. Halliburton dan Irak Seberapa besar keuntungan yang diraih Halliburton dalam proyek ‘pembangunan kembali’ Irak? Menurut Jane’s Defense International Review, Halliburton hanyalah satu dari banyak PMC yang disewa pemerintahan Bush di Irak. Selain Halliburton terdapat Blackwater Security Consulting, Vinnel, Dyncorp, dan sebagainya. Bahkan Dyncorp mendapat total nilai kontrak di Irak sebesar 226, 865 miliar dollar. Hanya saja, Halliburton memang dipercaya sebagai PMC yang paling besar memperoleh keuntungan dari Irak dari banyak segi. Menurut sumber yang sama, dalam proyek Irak, Haliburton menerjunkan personil sebanyak 24. 000 orang atau tiga perempat dari total jumlah pekerja asing yang ada di Irak. Rata-rata para pekerja Halliburton memperoleh penghasilan sebanyak 100. 000 dollar setahun. Tentu saja, jumlah personel dan jumlah nilai kontrak yang sebenarnya bisa jadi jauh di atas data yang tersedia. Bahkan menurut Jane’s Report, total nilai kontrak Halliburton di Irak dalam setahun mencapai 12, 5 miliar dollar AS. Blackwater Security Consulting Jika Halliburton dikenal sebagai PMC termakmur dan paling dekat dengan Gedung Putih, sebenarnya ada satu lagi PMC besar yang juga dekat dengan pemerintahan Bush, bahkan dikenal sebagai PMC yang paling modern, yakni Blackwater Security Consulting. Muray Horton di dalam bukunya “The Privatisation of War” (2004) menyebut Blackwater sebagai PMC dunia yang paling mutakhir di dalam kelengkapan dan sarananya. Horton memaparkan, “Blackwater merupakan satu-satunya PMC yang memiliki fasilitas paling lengkap, luas, modern, dan mutakhir. Bahkan tentara reguler AS sendiri sering berlatih di fasilitasnya Blackwater yang memiliki luas total 2. 400 hektar are dan diperlengkapi dengan miniatur kota sebagai tempat berlatih perang kota. ” Blackwater yang didirikan pada tahun 1996 oleh seorang mantan Navy Seal AS memang bukan PMC sembarangan. Dalam merekrut anggotanya, selain mantan tentara reguler AS, Blackwater juga banyak merekrut mantan personil pasukan elit dari banyak negara. Hingga tahun 2006, menurut data resmi yang dikeluarkan, Blackwater telah menghasilkan 50. 000 personil dengan kualifikasi tentara profesional. Di banding PMC lain yang masih malu-malu mengakui sebagai ‘sarang tentara bayaran’, Blackwater secara terang-terangan berani memperlihatkan hal itu. Kasus serangan di Falujah Irak akhir Maret 2004 mencuatkan nama Blackwater di Irak. Namun sayang, tidak ada data yang bisa diperoleh tentang berapa nilai kontrak yang disandang PMC ini di Irak maupun Afghanistan. Afghanistan Selain Irak, Amerika Serikat sesungguhnya juga punya proyek besar di Afghanistan. Selain proyek ‘pembangunan kembali’ Afghanistan setelah luluh-lantak dihancurkan oleh Amerika, proyek pengamanan terhadap aset Amerika di Bumi Para Mullah ini juga tergolong penting. Salah satu aset AS adalah Hamid Karzai, bonekanya di Afghan. Guna melindungi Hamid Karzai dari incaran pejuang Thaliban, AS mengerahkan ratusan pasukan koalisi dan juga menyewa jasa tentara bayaran dari Dyncorp. Jumlah personil Dyncorp yang ditugaskan melakukan pengawalan terhadap Karzai konon sampai 300 personil. Namun belakangan, cara-cara pengamanan terhadap Karzai ala AS ini mendapat protes dari kalangan pemerintahan Afghan sendiri. Rakyat Afghan pun memprotes hal yang sama. Puncak kegeraman rakyat Afghan terhadap tentara bayaran AS adalah ketika markas Dyncorp yang berada di Kabul diledakkan oleh pihak yang tidak diketahui pada Agustus 2004. Peledakan itu menewaskan 14 personil Dyncorp. Setelah peristiwa itu, Karzai akhirnya mengganti tim pengawalnya. Para pejuang Afghanistan anti Thaliban dengan senapan favoritnya, AK-47, mulai terlihat mengawal Karzai. Tetapi lagi-lagi keterlibatan Dyncorp tidak bisa dipisahkan dar Karzai. Para pejuang Afgan anti Thaliban yang direkrut melakukan pengawalan terhadap Karzai ternyata telah mendapat pelatihan tempur dari Dyncorp. Sampai dengan akhir 2005, Karzai diberitakan mendapat pengawalan dari sekira 600 pejuang Afghan terlatih, dan dari jumlah itu sekira 25 orang terdiri dari perempuan Afghan sendiri. Setelah melatih pasukan lokal Afghan, personil Dyncorp dikabarkan banyak yang menganggur dan mereka banyak yang kemudian hengkang dari Afghan untuk pindah ke daerah konflik lainnya, walau sebagian dari mereka tetap di Afghan sebagai instruktur tim pengawal Hamid Karzai. Di Irak, Dyncorp mendapat jatah proyek melatih polisi Irak pasca Saddam. Total nilai proyek untuk pelatihan ini saja mencapai 2 miliar dollar. Selain di Irak dan Afghanistan, PMC-PMC Amerika juga telah bertebaran di Bosnia-Herzegovina, Palestina, Arab Saudi, Kuwait, bahkan di Indonesia mereka juga beroperasi. Tulisan selanjutnya akan mengupas peran mereka di negara-negara Islam Jauh hari sebelum peristiwa WTC 911 terjadi, industri militer swasta Amerika Serikat sesungguhnya telah malang-melintang di negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, Bosnia-Herzegovina, Palestina, Kuwait, bahkan juga di Indonesia. Di wilayah Arab yang kaya raya, PMC-PMC ini mendapat keuntungan ganda: selain memperoleh nilai kontrak yang sangat besar karena para pemimpin Arab kebanyakan korup dan sangat mudah diperdaya, maka PMC-PMC ini juga sering menjadi perpanjangan tangan dunia intelijen Barat guna memotret kekayaan alamnya yang tersimpan jauh di perut bumi. Selain di wilayah Arab, tentara bayaran juga memiliki proyek-proyek besar—namun jarang dipublikasikan—di benua hitam Afrika. Negeri-negeri seperti Angola, Mozambique, Sierra Leone, Nigeria, Zambia, Afrika Selatan, dan sebagainya, negara-negara itu menjadi ‘santapan’ yang lezat bagi mereka. Walau negara-negara Afrika dianggap sebagai negara miskin, namun di dataran yang gersang dan panas ini, di bawah perut buminya terdapat banyak sekali kekayaan seperti batu mulia dan intan berlian. Jika di wilayah Arab mereka memperebutkan minyak dan gas bumi, maka di benua hitam Afrika, mereka berlomba-lomba mengisi pundi-pundinya dengan menangguk batu-batu permata yang sangat tinggi nilainya walau di pasaran gelap sekali pun. Keberadaan tentara bayaran dengan perusahaan kontraktornya masing-masing memang telah menjadi fenomena dunia, namun jarang sekali diangkat ke permukaan. Menurut Jane’s Defenses Review International, Privat Military Company (PMC) sampai tahun 2004 saja diketahui telah bekerja di 40 negara dan ikut ambil bagian dalam sekurangnya 700 konflik dan peperangan di dunia. Terbanyak ada di Dunia Islam dan Afrika. Bisnis tentara bayaran ternyata tidak hanya yang terkait dengan senjata dan mesiu. Di Balkan, bahkan ada tentara bayaran yang terjun ke dalam bisnis perdagangan wanita. Mereka mencari gadis-gadis kampung, bahkan tak jarang menculiknya, lalu menerbangkannya ke berbagai negara untuk dijadikan komoditas kemaksiatan. Tentara Bayaran di Saudi Arabia Bukan suatu hal yang aneh jika Kerajaan Saudi Arabia dekat dengan Barat. Awal berdirinya kerajaan Saudi saja sudah dibantu oleh seorang perwira Yahudi-Inggris bernama Lawrence (Lawrence of Arabia). Ketika itu Klan Ibnu Saud melakukan pemberontakan (bughot) terhadap Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan mendirikan sistem kerajaan di wilayahnya, suatu sistem yang tidak disunnahkan oleh Rasul SAW. Pembangunan sistem militer di Kerajaan Saudi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tentara bayaran Barat (baca: Yahudi). Di tahun 1975, Saudi mengandeng Vinnel Corporation untuk pelatihan sekira 75. 000 personel Saudi Arabian National Guard (SANG), sebuah unit militer Saudi yang berasal dari pejuang suku Badui, Barat juga berperan hal penjagaan ladang-ladang minyak di Arab Saudi. Nilai kontraknya mencapai 77 juta dollar AS. Belakangan diketahui, Pentagon punya andil besar dalam tender Vinnel di Saudi. Selain kontrak pelatihan di atas, di akhir tahun 1970-an, secara rahasia BAE System diminta oleh Saudi Arabia untuk memasok logistik militer dengan nilai kontrak sebesar 40 miliar dollar poundsterling. Amerika Serikat sendiri mendapat jatah memasok pesawat tempur, heli serbu, dan rudal yang nilainya juga mencapai miliaran dollar. Tentu hal ini belum cukup, segala logistik tempur tersebut memerlukan ribuan personil untuk merakit, memelihara, dan memberi maintenance kepada personil lokal, maka Saudi juga mendatangkan sekira 50 ribu tenaga asing dengan komposisi 22.000 dari Inggris dan sisanya, 30.000 dari AS. Sebagian besar dari mereka adalah mercenaries, atau tentara bayaran. Lagi-lagi, salah satu PMC Amerika yang mendapat proyek besar di Saudi tersebut adalah Vinnel yang dimiliki Northrop. US News melaporkan, untuk proyek pelatihan dan pembangunan fasilitas militer di Saudi saja, Vinnel mendapat konrak senilai 800 juta dollar AS. Itu di luar jutaan dollar lainnya yang dikucurkan Saudi untuk melengkapi peralatan tentaranya. Kerajaan Saudi Arabia sangat mempercayai Vinnel. Tidak hanya dalam hardware, Saudi juga menunjuk Vinnel untuk menyusun sofware sistem kemiliterannya, meliputi penyusunan doktrin bagi lima akademi militer Saudi, tujuh lapangan tembak, membenahi sistem kesehatan militer, dan juga melengkapi empat brigade mekanis dan lima brigade infanteri. Tahun 1980, Vinnel lagi-lagi ditunjuk pihak kerajaan Saudi untuk memodernisir angkatan perangnya. Kali ini Royal Saudi Air Force (RSAF) yang meminta Vinnel untuk menyediakan sistem analis hingga logistik dan peralatan radar dan aeronautikal lainnya. Tak lama kemudian, PMC yang dimiliki sebuah konsorsium pejabat Gedung Putih dan Pentagon seperti James A. Baker dan Frank Carlucci ini juga ditunjuk oleh Royal Saudi Land Forces (RSLF) untuk pengadaan, pelatihan, dan maintenance tank sejenis Bradley Fighting Vehicle. Sikap politik KLAN IBNU SAUD yang amat lengket dengan Barat ini mengundang ketidak-puasan bagi sebagian rakyatnya yang melek politik. Di tahun 2000-an, sebuah gedung tempat petinggi Vinnel bekerja di Saudi Arabia ditabrak sebuah bom mobil hingga hancur berkeping-keping. Lalu pada 12 Mei 2003, beberapa pejuang Arab menerobos memasuki tiga buah wisma tempat tentara bayaran tersebut dan meledakkan beberapa buah bom. Korban yang jatuh di kedua belah pihak tidak dicatat. Hanya saja, pemerintah Saudi menahan 20 pejuang yang dikatakan sebagai bagian dari Al-Qaidah. Keberadaan Vinnel di Saudi juga mencuat tatkala Saddam Hussein mengirimkan amada tanknya ke Kuwait dan nyaris mengancam ladang-ladang minyak di wilayah Saudi. SANG yang dilatih Vinnel Corporation berhasil menghalau pasukan Saddam dan bebaslah ladang-ladang minyak Saudi dari terkaman Irak, walau pada hakikatnya ladang-ladang minyak tersebut sudah lama dikuasai AS. Yang tidak disadari banyak pemimpin Saudi Arabia, dan juga pemimpin-pemimpin negeri lainnya yang sangat tergantug pada PMC AS, Vinnel sesungguhnya—seperti banyak PMC AS lainnya—tidak semata-mata bekerja untuk melayani orderan yang tertera hitam di atas putih, melainkan juga memasukkan program-programnya sendiri, antara lain dan ini yang paling sering adalah mencoba alat-alat atau pun senjata baru. Jika hasilnya memuaskan maka senjata-senjata baru itu pun akan mulai diproduksi massal, tapi sebaliknya, jika dinilai kurang memuaskan maka akan disempurnakan. Tak peduli bahwa uji coba itu, tak jarang sudah terlanjur menimbulkan korban. Inilah yang kadang tida terpikirkan. Kedekatan Kerajaan Saudi Arabia dengan Amerika Serikat (Yahudi) sesungguhnya sangat tidak masuk akal, karena tokoh-tokoh Arab tersebut pasti telah mengetahui bahwa Allah SWT telah dengan tegas melarang umat-Nya untuk menjadikan musuh-musuh Allah SWT sebagai penolong: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani (Kristen) sebagai penolong, karena sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. ” (QS. Al-Maidah: 51). Melihat kenyataan di atas, sudah jelas bagi kita, pemimpin-pemimpin Arab ini sesungguhnya pengikut Abu Jahal, bukannya pengikut Muhamad SAW. Lebih jauh tentang kedekatan Saudi Sarabia dengan AS, dipaparkan dalam buku “Wa’du Kissinger” (DR. Safar Al-Hawali, Mantan Dekan Fakultas Akidah Univesitas Ummul Qura Makkah), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Belitan Amerika di Tanah Suci, Membongkar Stategi AS Menguasai Timur Tengah” (Jazera, 2005). Dalam bagian ke lima tulisan ini, akan diulas keberadaan tentara bayaran di Indonesia, Bosnia Herzegovina, dan juga Palestina. Di negeri ini, tentara bayaran (mercenaries) memiliki catatan sejarah yang panjang. Walau minim publikasi, para mercenaries ini sebenarnya sudah bermain di Nusantara bersamaan waktunya dengan pendaratan pasukan kolonial VOC di abad ke-16. Kala itu, Rothschild senior dari Bavaria — kini dikenal sebagai Jerman—telah memiliki bisnis tentara bayaran dan menyewakan banyak personil ke pihak negara-negara kolonial seperti Inggris dan Belanda. Sekadar untuk diketahui, tentara bayaran modern merupakan salah satu warisan dari tradisi Knights Templar di abad ke-12, saat mereka masih menjadi ordo khusus militer di Yerusalem saat Perang Salib. Warisan ini kemudian diteruskan oleh para pemuka Yahudi dan salah satunya dikelola oleh Rothschild. Guna mendapatkan laba yang banyak, maka mereka menimbulkan konflik di mana-mana. Dan sejak dulu hingga kini, di mana ada konflik maka bisnis tentara bayaran akan mendapat keuntungan besar. Jika tidak ada konflik, maka mereka akan sekuat tenaga menciptakannya. Hukum ini berlaku dari dulu hingga sekarang. Pasukan yang menyertai dan mengawal maskapai pedagangan Hindia Belanda (VOC) kebanyakan merupakan tentara bayaran. VOC sendiri merupakan maskapai perdagangan internasional Yahudi pertama yang dimiliki para pengusaha Yahudi Belanda. Jadi, hal wajar bila maskapai perdagangan Yahudi menggunakan jasa bisnis tentara bayaran yang dikelola oleh tokoh Yahudi Internasional seperti halnya Rothschild. Salah satu tentara bayaran legendaris dunia yang pernah dipakai penjajah kolonialis di Indonesia adalah tentara Gurkha dari Nepal. Inggris menggunakan tentara bayaran ini sampai sekarang dan senantiasa memasangkannya secara tandem dengan unit SAS, unit pasukan elit Inggris. Tentara KNIL di Membantai rakyat Aceh Selain Gurkha, Marsose yang merupakan pasukan khusus infanteri Belanda tatkala menghadapi Mujahidin Aceh juga bisa dianggap sebagai tentara bayaran. Personel pasukan Marsose banyak yang diambil dari tenaga-tenaga lokal dari suku Jawa dan dilatih oleh Belanda serta mendapat upah. Mereka bekerja dan loyal kepada Belanda karena mendapat upah. Kasus Allan Pope Riwayat tentara bayaran AS di Indonesia yang sempat terekam dalam sejarah bisa jadi hanya kita dapatkan dalam peristiwa ditembak jatuhnya sebuah pesawat Amerika yang dipiloti Allan Pope dalam peristiwa Pemberontakan Permesta. Agen CIA sekaligus tentara bayaran ini berhasil ditangkap hidup-hidup oleh tentara Republik. Mengutip situs Angkasa online (September 1999), peristiwa ditangkapnya Allan Pope tak bisa lepas dari heroisme Kapten Udara Ign. Dewanto: “Apron Liang, 18 Mei 1958. Kapten Udara Ignatius Dewanto tengah bersiap di kokpit P-51 Mustang. Pagi itu, dia ditugaskan menyerang pangkalan udara Aurev (Angkatan Udara Revolusioner, AU Permesta) di Sulawesi Utara. Roket-roket menggantung di sayap pesawat, seperti tak sabar menyiulkan nyanyian kematian. Saat itulah, hanya beberapa saat sebelum Dewanto take off menuju Manado, sebuah berita memaksanya membatalkan serangan ke Manado dan harus mengarahkan pesawat ke Ambon. Apa yang terjadi? Ambon dibom B-26 Invader Aurev! Aurev merupakan Angkatan Udara Revolusioner milik pemberontak Permesta. Mesin segera dihidupkan. Empat bilah baling-baling memutar mesin Rolls-Royce Merlin berkekuatan 1. 590 tenaga kuda. Dewanto lepas landas dan seperti tidak sabar, memacu pesawatnya. Ketika di udara, Dewanto mendapatkan Ambon mengepulkan asap di mana-mana. Puing-puing berserakan, menandakan baru saja mendapat serangan udara. Berputar sejenak, B-26 tak kunjung terlihat. Pesawat kemudian diarahkannya ke barat. Ferry tank dilepas untuk menambah kelincahan pesawat. Dewanto terbang rendah. Berbarengan saat pandangannya tertumbuk ke konvoi kapal ALRI, sekelebat dilihatnya sebuah pesawat. "B-26, " gumamnya. Celaka, pesawat buruannya ternyata tengah melaju ke arah konvoi kapal. Dewanto menambah kecepatan, mengejar. Dia beruntung, karena persis berada di belakang B-26. Walau sempat ragu karena posisi musuh tepat antara kapal dan dia, Dewanto langsung melontarkan roketnya. Satu, dua, tiga roket, semua luput. Tak satupun mengenai sasaran. Dalam waktu yang begitu cepat, disusulnya dengan rentetan senapan mesin 12, 7. Dewanto yakin, tembakannya menghantam sasaran. Saat bersamaan, dari bawah KRI Sawega tak ketinggalan. Bofors, Oerlikon, 12, 7, water mantle 7. 62, menyalak berbarengan. Tak ketinggalan pasukan di geladak, menembakkan senjata yang kebetulan ada di tangan mereka. "Pesawat musuh kena, " teriak personil yang ada di atas kapal. Alhasil, B-26 yang diterbangkan seorang serdadu bayaran bernama Allen Lawrence Pope beserta juru radio Hary Rantung (desertir AURI), terbakar dan tercebur ke laut. Pope tertangkap dan diadili. Tahun 1996, dalam peristiwa pembebasan Tim Ekspedisi Lorents 95 di Mapenduma, Kopassus juga dikabarkan dibantu sejumlah personil tentara bayaran dan unit SAS Inggris, dalam menghadapi OPM pimpinan Kelly Kwalik sehingga bisa membebaskan 11 orang sandera dan ‘hanya’ menelan korban 2 orang sandera. Bosnia dan Palestina Kabar tentang keterlibatan tentara bayaran juga berhembus dari bumi Bosnia Herzegovina dan Palestina. Di Bosnia, sejumlah PMC juga diberitakan mendapat proyek besar, antara lain Vinnel Corporation. Beberapa PMC diyakini juga ikut dalam proyek militer ini namun tidak dipaparkan secara jelas data-datanya. Di Palestina juga demikian. Namun untuk di bumi para Nabi ini, proyek-proyek yang dikucurkan kepada PMC-PMC AS kebanyakan berupa pembangunan infrastruktur sipil mapun militer, seperti pembangunan tembok pembatas, rumah susun, pangkalan militer, penyediaan alat-alat berat, dan sebagainya. Di Palestina, PMC-PMC AS tidak secara langsung menerjunkan personil mercenariesnya. Namun ada pula kabar yang belum bisa dikonfirmasi kepastiannya tapi diungkap oleh sejumlah orang yang pernah mengunjungi Palestina, bahwa tentara-tentara Zionis-Israel yang ada di Palestina itu, ada yang bukan warga setempat, melainkan sesungguhnya berasal dari kesatuan-kesatuan tentara reguler dari negara-negara Barat, yang setibanya di Palestina mengganti seragamnya dengan seragam Israeli Defence Force (IDF). Mereka juga dibayar sesuai dengan proyek-proyeknya. Hanya saja, yang belakangan ini sulit sekali untuk mencari data-datanya yang akurat. Bisnis Tentara Bayaran yang menjadi salah satu unggulan PMC-PMC AS dan Barat, dan proyeknya di Dunia Islam, merupakan lahan yang sangat subur untuk menangguk keuntungan. Bisnis ini dipercaya banyak kalangan akan terus bertahan, dan bahkan bertambah subur di kemudian hari. Wallahu’alam bishawab Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt