Tujuh Manusia Harimau (7) Pendekar Wanita Buta Motinggo Busye-Novelis Malam Jahanam mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Semuanya diluar dugaan orang banyak, Ki Putih Kelabu mengirimkan undangan kepada beberapa orang yang disegani di Kumayan. Orang mengira, undangan itu adalah pemberitahuan pertunangan Ki Pita Loka dengan Guru Gumara. Nyatanya hanya sebuah undangan syukuran belaka. Guru Gumara juga diundang, dan dia datang mengenakan kemeja putih, juga terjadi hal di luar dugaan, karena Ki Putih Kelabu yang dikenal pendiam itu ternyata pandai berpidato. "Saya dengan segala kerendahan hati ingm mengingatkan lagi kepada anda, bahwa keluarga kami mewaris sifat pemaaf". Tidak berdendam dan tidak menyukai permusuhan. Kami sudah berusaha meghindari segala pertikaian dengan siapapun. Karena usaha itu, anak kami Pita Loka harus menelan penderitaan kebutaan sebelah matanya yang tidak dapat dipersalahkan kepada satu orang pun. Saya ulangi, kami tidak menyalahkan siapa - siapa. Karena itu siapapun yang menganggap dirinya bersalah, harap lupakan seluruh kejadian sebab tidak satupun peristiwa yang berdiri sendiri. Mari kita belajar dari dalam semesta, di mana satu perpindahan bintang hanyalah karena mengikuti aturan kemestian sejak awal kejadian. Gunung yang meletus tidak berdaya menolak takdir, lalu lahar dingin seolah menganggu tanah pertanian. Tapi ini semua menjadi modal kesuburan anak cucu di kemudian hari, yang mewarisi kesuburan tanah. Jadi, gunung yang meletus lahar yang mengalir, hanyalah tunduk dengan aturan alam semesta. Yang senantiasa bandel itu, hanyalah kita manusia. Tapi tentu ada manusia yang selamat karena ikut dalam aturan semesta. Maka, barang siapa yang mencari dan mendapatkanSufia ,dialah yang selamat dan kebal atas keruntuhan , . ." Ki Putih Kelabu rupanya sudah mengakhiri pidatonya. Guru Gumara mencoba memahami kalimat terakhir guru yang rendah hati itu. Apa itu Sufia? Setiba di rumah, Gumara membongkar kembali Kitab Tujuh. Dia membaca semua huruf gundul di Kitab itu. Namun dia tidak menemukan perkataan Sufia. Gumara yakin itu sejenis ilmu. Bukan kitab. Dicobanya merenungi kembali ucapan Guru Putih Kelabu diakhir pidatonya: "Maka, barang siapa yang mencari dan mendapatkan Sufia, dialah yang selamat dan kebal atas keruntuhan". Jika Gumara membongkarnya dalam lembaran Kitab Tujuh, maka Pita Loka menanyakan hal itu kepada sang Ayah. "Apa itu Sufia, ayah?" tanyanya. "Aku pun tidak tahu. Ucapan itu Kami warisi dari Guru, dan Guru mewarisinya dari gurunya pula," "Saya menganggapnya begitu penting. Tiap soal yang menarik perhatian manusia, lalu mendapatkan jawabannya, lantas hal itu tidak penting lagi. Ketika Thomas Alva Edison menemukan listrik, orang mempertanyakan cahaya pijar itu. Tetapi sekarang listrik bukan barang mewah lagi. Tapi jika ada satu soal seperti Sufia dipertanyakan, tapi tidak dapat jawaban, itu pertanda masalah itu penting dan bermutu tinggi," Pita Loka kecewa karena ayahnya hanya berdiam diri. Pagi harinya, ketika Pita Loka mau berangkat ke sekolah, ada tamu. Tamu itu Ki Lading Ganda yang bartanya, "Bisakah bicara sejenak dengan Ki Guru?" Ki Putih Kelabu muncul dan mempersilahkan anggota Harimau Kumayan itu duduk di tikar permadani. Pita Loka kembali ke kamar, dengan maksud mendengar percakapan antara ayahnya dan sahabatnya itu. "Diantara kita tidak perlu ada rahasia. Coba terangkan padaku, apa itu Sufia?" "Jangan berkecil hati, Guru Lading Ganda. Saya tidak mengetahuinya", jawab Ki Putih Kelabu. "Darimana kau perdapat kata ajaib itu?" "Dari Guru. Aku pernah mempertanyakannya seperti kau mempertanyakannya sekarang ini, padaku. Tapi Guru hanya menyatakan, itu beliau dengar dari Gurunya." ujar Ki Lading Anda pergi mencegat Ki Gumara yang akan berangkat mengajar di SMA. "Tentu anda mengetahui apa itu Sufia, Guru!" ujar Ki Lading Ganda. "Maaf. Sama sekali tidak". "Tampaknya itu wasiat penting. Ki Putih Kelabu tidak suka bicara, tapi kali ini dia bicara. Kau yang ahli takwil, coba terangkan padaku apa takwil ini semua?" "Jika itu yang Guru tanyakah pada saya, saya sekedar dapat memahami. Kira-kira sebentar lagi akan muncul huru-hara di Kumayan ini. Biasanya, hanya orang berilmu yang selamat atas huru - hara, karena orang berilmu pandai membaca keadaan. Itulah tugas kita; Membaca keadaan. Suasana". KI Lading Ganda bertanya lagi; "Huru-hara itu tentulah ada penyebabnya. Besar kemungkinan kekacauan ini mungkin datangnya dari pihak yang berbicara." "Maksud tuan Guru, Ki Putih Kelabu akan membalas padanya?" "Semua orang bilang, Guru Gumara yang membuat puterinya buta," kata Ki Lading Ganda. "Ah, itu perasaan Tuan Guru saja," ujar Guru Gumara.   "Menurut renungan saya semalam, dia lontarkan perkataan Sufia itu sebagai isyarat, itulah ilmu yang dia miliki." "Kami sudah saling bermaafan, Sebaiknya jangan kita perbesar lagi satu soal yang sudah diselesaikan, Tuan Guru. Maafkan, saya musti mengajar, dan hari ini saya akan mengajar Sejarah. Saya tidak boleh terlambat, karena kita ingin anak-anak muda itu mengenal disiplin," kata Gumara. "Tampaknya Anda melecehkan hal penting ini, Guru Gumara." "Begitulah penafsiran Tuan. Buat saya semua soal adalah penting!" lalu dia salami Ki Lading Ganda dengan sikap hormat. Ki Lading Ganda tidak segera berlalu dari pekarangan rumah Guru Gumara. Dia hanya menatap kepergian guru SMA itu hingga hilang dari pandangan matanya. Kemudian dia mengetuk pintu rumah dan keluarlah Alif. "Oh, Tuan Guru. Tadi Anda bicara dengan Guru Gumara, bukan?" "Ya. Sekarang saya akan bicara dengan Alif." "Apa maksud tuan?" tanya Alif. Ki Lading Ganda menatap Alif. Mata guru itu begitu tajam, sehingga menakutkan Alif. Alif mulanya bengong. Tapi kemudian dia merasa pusing. Dia tak mampu menahan pancaran sinar mata Guru Lading Ganda yang seakan-akan berubah jadi mata harimau. Dan ketika Lading Ganda menyeringai, tampak oleh Alif taring-taring mengerikan. Lalu dia tidak sadarkan diri lagi, dalam keadaan duduk. Ki Lading Ganda memasuki kamar Guru Gumara, Apa yang dia cari, dia ketemukan seketika. Yaitu Kitab Tujuh, yang masih terhampar di atas sebuah meja yang terbuat dari bekas kotak sabun. Sebagai murid yang tekun dari zaman silam, Ki Lading Ganda tidak mendapatkan kesulitan membaca semua huruf gundul dalam kitab itu. Dia telah menamatkan bacaan di Kitab Pertama. Tapi ketika membaca Kitab Kedua, susunan kalimatnya tidak ada hubungannya dengan Kitab Pertama. Hal inilah yang membuatnya bingung. Kunci membaca urutan Kitab itulah yang tidak diketahuinya. Sebab dalam kunci kitab yang tujuh itu, justru seorang yang membacanya harus dimulai dari Kitab Tujuh. Baru kemudian Kitab Pertama. Kemudian urutan ketiga adalah membaca Kitab Enam. Selanjutnya baru membaca Kitab Dua. Setelah itu baru membaca Kitab Lima. Berikutnya membaca Kitab Tiga, Sedangkan Kitab Empat adalah mata pelajaran terakhir.   Biarpun bingung, Ki Lading Ganda sudah cukup puas sudah menamatkan membaca Kitab Pertama buku itu. Seluruh isi Kitab Pertama pun sudah diketahui kuncinya oleh Ki Lading Ganda. Karena ada kalimat di pertengahan buku itu, yang tidak ada hubungan dengan kalimat sebelum maupun kalimat sesudahnya. "Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram," bunyi kalimat itu, Sebagai bekas murid dari guru yang tekun, Ki Lading Ganda mengetahui, bahwa kalimat itulah kuncinya, suatu perintah untuk pergi ke Lembah Suliram. Segera Ki Lading Ganda keluar. Dia duduk kembali menghadapi Alif. Disapunya wajah Alif dengan telapak tangannya dengan sapuan lembut. Lalu Alif sadarkan diri, tak menyadari bahwa dia sudah dalam keadaan tak sadar selama satu jam, "Oh, Guru Lading Ganda," Ujar Alif, "Tadi saya lihat Tuan Guru bicara diluar dengan Guru Gumara. Kini tuan ingin sesuatu?" "Saya haus. Tolong segelas air kendi," ujar Ki Lading Ganda. Setelah minum air kendi, Ki Lading Ganda minta ijin pada Alif. Alif tidak curiga sedikit pun dengan kepergian Tuan Guru itu. Tapi Guru Gumara mandi keringat di depan kelas pada mata pelajaran satu jam, bertepatan ketika tadi Ki Lading Ganda membaca Kitab Pertama dengan cara mencuri itu. Gumara punya firasat. Bahkan dia tidak mengetahui, Pita Loka memperhatikan keanehan yang dialami gurunya di depan kelas. Dia sebenarnya sudah buta sebelah matanya olah salah sebuah kuku Guru Gumara ketika memperebutkan Kitab Tujuh tempo hari. Namun karena Pita Loka menganggap kejadian itu hanyalah peristiwa suratan nasib, dia tak dendam. Malahan dia kasihan melihat Sang Guru mengalami kesulitan mengajar Sejarah. Keringat guru mengocor terus. Hal itu menghibakan hati Pita Loka. Maka Pita Loka berkata; "Pak Guru, sepertinya bapak sakit, ya?" Gumara menoleh pada murid yang barusan berkata. Dia terkejut. Karena hal inilah yang dikehendakinya agar dia tidak jadi olokan murid dan menderita malu di hadapan murid –muridnya. GURU Gumara terharu atas sikap Pita Loka. Dia merasa berhutang budi. Lalu semangat mengajarnya bangkit. Dan berkata: "Anak-anak, sementara kita tinggalkan mata pelajaran Sejarah Kebangkitan Afrika Merdeka. Kita memasuki mata pelajaran Geografi." Tetapi konsentrasi Guru Gumara mengajar bukan seperti sebagaimana biasa.Ada firasat buruk yang mengganggu perasaannya, yang belum dia pahami. "Berhubung buku tuntunan mata pelajaran ini belum tiba di Kumayan, saya mencoba untuk mengajar kalian mengenai keadaan Bumi kita sekarang ini. Bumi yang kita diami sekarang ini, yang kita kenal dengan bentuknya seperti pemetaan yang terlihat pada bola dunia ini," ujar sang Guru sembari memperlihatkan bola dunia di atas mejanya, yang diangkatnya.   “Geografi bukan sekedar ilmu mengenai pemetaan, tetapi kumpulan dari berbagai masalah yang terjadi dalam bola dunia ini. Baik yang di darat, maupun yang di laut maupun yang di udara kita yang disebut atmosfir. Tentu ada diantara kalian yang mungkin lebih pandai dari saya, karena rajin membaca, sehingga dia lebih mengetahui,” lalu ditatapnya Pita Loka, tapi Pita Loka tidak memperlihatkan reaksi karena dia malu sebab usianya melebihi usia rata-rata murid SMA di kelas itu. Gumara hanya ingin mengingatkan Pita Loka, bahwa dulu dia pernah mengajarkan hal itu ketika Pita Loka masih muridnya di SMP. “Suhu bumi kita sekarang ini amat panas karena putarannya yang berabad-abad sejak bumi kita diciptakan Tuhan. Pada awalnya, bumi kita ini adalah bola dunia yang amat dingin berupa gumpalan-gumpalan es yang dikenal pada masa itu sebagai Zaman Es.” “Keringat Bapak, Pak!” tegur Ardi pada sang Guru. Ketika Gumara melihat pakaian yang melekat di tubuhnya sudah seluruhnya basah, dia lalu sadar, bahwa dia tak layak jadi tontonan. “Saya mohon maaf. Mungkin saya kurang sehat,” kata Gumara. “Sebaiknya bapak istirahat pulang saja,” ujar Pita Loka. Gumara melihat sekali lagi pada Pita Loka. Hatinya bahagia. Lalu dia pamit, kemudian menemui Direktur dan minta ijin pulang sebab sakit. Setiba di rumah, Alif memberitahu padanya: “Guru, tadi setelah Guru pergi, Ki Lading Ganda menemui saya, lalu meminta minum air kendi, Apa maksudnya?” “Oh, begitu. Karena kau orang awam, sesuatu yang menjadi perhatianmu pasti karena kejujuran dan tanpa prasangka. Apa kau sempat melihat Ki Lading Ganda masuk ke kamar saya?” “Tidak, Guru,” sahut Alif. “Betul tidak?” “Tidak.” Namun Gumara mempunyai firasat. Ketika dia memasuki kamarnya, dia melihat keanehan pada meja papan sabun itu. Susunan Kitab berubah dari letak semulanya. Kitab Pertama terletak di atas. Sedangkan hal itu bukan semestinya. Gumara lalu mendapati Alif. “Kau merasa terkena sihir?” tanya Gumara pada Alif. “Saya hanya duduk,” kata Alif. “Ketika kau duduk, apa kau tak merasa ada yang aneh?” Alif mencoba mengingat-ingat. Namun gagal. “Tidakkah Ki Lading Ganda menatap ke matamu?” tanya Gumara. Alif mencoba mengingat, kemudian baru dia ingat, dan berkata: “Ya.Guru!” “Bagaimana keadaan bola mata beliau?” “Biasa. Tapi kemudian saya ngeri.” “Adayang menakutkan Anda?” tanya Gumara. “Ya. Hanya rasa ngeri.” “Kau tidak melihat sesuatu selain perasaan ngeri?” “Saya bertambah ngeri, setelah melihat sesuatu, Guru!” “Wajahnya,kan ? Dia menyeringai,kan ? Lalu kau melihat saing taring harimau diwajahnya?” Alif berdiam diri. Dia malah jadi ketakutan. Gumara cepat menghapus wajah Alif dengan sapuan telapak tangannya. Alif terdongak, seperti barusan terjaga dari mimpi. Gumara puas, lalu dia kembali ke kamar. Dibukanya lembaran tengah buku Pertama dari Kitab Tujuh itu, dan dia membaca amanat penting dari buku itu: “Sesungguhnya, ada sesuatu di Lembah Suliram itu. “Pasti Ki Lading Ganda telah menuju kesana . Terjebak oleh pancingan amanat ini,” kata Gumara pada dirinya sendiri. Lalu dipanggilnya Alif, Dan berkata: “Hari ini saya berpuasa. Saya akan pergi sebentar.” GUMARA melangkah tenang. Maksudnya ingin ke rumah Ki Lading Ganda untuk sebuah kepastian. Tapi untuk menuju kesana , mestilah melewati rumah Pita Loka. Ketika itu Pita Loka ada di rumah, sebab Direktur menyuruh seluruh kelas 1 B pulang karena tidak ada guru yang akan mengajar. Tapi ketika Gumara lewat, Pita Loka cepat turun rumah untuk menyelidiki arah kepergian sang Guru. Dan ketika dia tahu arahnya akan menuju rumah Ki Lading Ganda, Pita Loka masuk ke kebun dan mengambil jalan pintas. Pita Loka menyelidiki. Dari arah selatan dia kemudian membuktikan benarnya firasat. Tampak olehnya, Guru Gumara Peto Alam memasuki pekarangan rumah Ki Lading Ganda. Hati sanubarinya sebetulnya ingin mencegah, agar Guru Gumara tidak lagi terlibat dalam dunia kependekaran. Tapi dia kini ingin memastikan! Sebab dia yakin, akan terjadi lagi sebuah huru hara besar menimpa desa Kumayan”. Ini hanya dugaan dan ramalannya saja. Dan ini ditafsirkannya dari kalimat terakhir pidato ayahnya, seorang pendekar sejati, yang intinya mengandung makna besar tentang Sufia itu. Maka, ketika Gumara selesai dari rumah Ki Lading Ganda, Pita Loka mencegatnya. “Dari mana, Guru?” tanyanya. Gumara terkejut mendapatkan muridnya barusan meloncat dari semak. “Saya juga akan bertanya. Mengapa kamu mendadak ada di sini?” kata Gumara. “Karena saya yakin, ada hal penting Pak Guru ke rumah Ki Lading Ganda.Ada sesuatu yang sedang merisaukan anda?” tanya Pita Loka. “Sesungguhnya sulit bagiku untuk merahasiakannya. Tetapi apa pula gunanya kuterangkan padamu, Pita Loka?” “Saya pun tidak ingin mengetahui lebih jauh, jika itu Pak Gumara anggap suatu rahasia. Hati anda sedang bercabang sekarang ini, Guru!” Gumara menoleh. Dia berusaha tersenyum: “Kau terlalu banyak tahu, Tapi janganlah risaukan saya.” “Itu sudah jelas,” sahut Pita Loka, “Misalnya Tuan Guru luka atau buta mata dalam pertempuran disini dengan Guru Lading Ganda, buat saya tak menjadi masalah. Tapi, misalkan karena pertempuran itu Tuan Guru mati, itu menjadi masalah.” “Siapa yang dirugikan jika saya mati?” tanya Gumara girang.   Seluruh murid SMA Kumayan,” sahut Pita Loka. Gumara mendadak kecewa. Dia mengira Pita Loka akan menjawab dirinyalah yang rugi jika Gumara mati. Tau-taunya bukan! Sialan! Keduanya menyusuri jalan setapak sampai akhirnya berhenti di depan rumah Pita Loka. Ki Putih Kelabu yang hampir membuang daun sirihnya ke jendela lalu mundur. Dia menampak puterinya berjalan beriring dengan Gumara. Hatinya puas sekali, kendati tak mendengar percakapan itu. “Maukah tuan berjanji tidak perlu mengusik tingkah laku Ki Lading Ganda?” “Kenapa? Apa kau menduga, meramal, bahwa Ki Lading Ganda sedang melakukan sesuatu?” tanya Gumara. “Saya menduga demikian. Saya menduga, antara Tuan dan dia sedang memperebutkan sesuatu. Setidaknya akan memperebutkan sesuatu,” ucap Pita Loka. “Saya akan pulang ke rumah jika demikian,” kata Gumara, “Dan beristirahat. Sebab Tuan kurang sehat,” ujar Pita Loka, “Yah, begitulahl” “Jika tuan usik Ki Lading Ganda, anda akan celaka, Gurul” “Yah, saya berjanji.” Gumara memberi salam, lalu berlalu meninggalkan Pita Loka. Pita Loka lalu masuk ke rumah. Kemudian didapatinya ayahnya sedang menusuk-nusuk selembar daun sirih dengan jarum pentul. “Ayah percaya mataku yang buta masih bisa diobati dengan itu!”“ tanya Pita Loka. “Kebutaan matamu bukan suatu takdir, Tapi hanya sebuah musibah kecil. Usaha mengobatinya akan terus kulakukan,” ujar Ki Putih Kelabu. Maka, ketika magrib tiba,setelah mandi, Pita Loka mematuhi panggilan ayahnya. Mata yang tak dapat melihat itu diperintahkan Ki Putih Kelabu supaya ditutup. Lalu dilapisi dengan selembar daun sirih yang sudah ditusuk tusuk jarum pentul. Dan dilapis lagi dengan perban plester.   Ketika dilihatnya puterinya termenung dikala malam tiba, Ki Putih Kelabu bertanya: “Apa yang sedang kau pikirkan, nak?” “Sebuah renungan yang berbunyi. Jika seorang awam mati, maka dia tidak meninggalkan suatu apa. Tapi jika seorang yang berguna bagi masyarakat mati, maka kematiannya menimbulkan kerugian.” ILMU Ki Putih Kelabu ibarat air dalam kendi. Putih bersih, dan dingin. Dia segera memahami renungan puterinya itu. Dia berdiam diri tak banyak bicara. Belum pernah dia mendengar tutur kisah sepasang manusia saling mencintai melebihi dahsyatnya cinta puterinya pada Gumara. Begitupun sebaliknya. Hal itu sulit untuk diurai kecuali apabila keduanya telah mendapatkan titik temu, kemudian kesepakatan, untuk dikawinkan! Jiwanya menggebu di tengah malam buta. Serasa dia ingin terlibat dalam derita puterinya. Yaitu berangkat malam ini juga, mencegah pertempuran antara Gumara dan Ki Lading Ganda. Malam begitu gelap, ketika dibukanya jendela samping. Mau rasanya dia meloncat bagai seekor harimau pohon menembus kegelapan malam. Tapi itu akan diketahui sang anak, lalu akan dicegahnya. Tapi segalanya seperti terjadi bersamaan! Pita Loka pun membuka daun jendela kamarnya, bertepatan ayahnya barusan menutupnya. Pita Loka turun dari jendela, berlambat-lambat memasuki kebun. Dan Ki Putih Kelabu pun membuka kembali daun jendelanya, cuma sekedar bisa mengintip. Dia tercengang sewaktu dilihatnya bagai segumpal asap mirip asap knalpot motor menyelusupi semak belukar. Yah, didapatinya anaknya masih memiliki ilmu menerobos semak yang sangat hebat. Benarlah itu semua! Bagai kilat Pita Loka membelah semak belukar dengan kemampuan Ilmu Api yang diperolehnya dari Ki Surya Pinanti dahulu. Dia tiba di sisi lembah sebelah barat bagai segumpal asap terakhir, menyatu dengan kabut yang merayap. Pita Loka melihat satu sosok, kendati dengan sebelah matanya saja, namun sosok itu amat jelas. Itulah Guru Gumara, yang sedang mengintai ulah Ki Lading Ganda. Ki Lading Ganda ketika itu mencoba memanjat satu tebing curam, dalam usaha separuh berhasil untuk sampai ke guha di tengah tebing itu. Tapi begitu tangan si tua itu memegang satu susunan batu besar, batu-batu itu bergeser dari tempatnya, lalu runtuhlah semua susunannya, menimpa kapala Lading Ganda, dan beliau ikut terseret, merosot dan menggapai kian kemari mencari pegangan. Untunglah ada akar pohon kinantu unluk menyambut gapaiannya. Si tua itu berpegang erat, Terdengarlah hembusan nafasnya yang bergema ke dalam lembah Suliram yang tabu itu. Lembah Suliram sudah lama menjadi dongeng para pendekar sebagai sebuah lembah yang tabu. Kecuali bagi mereka yang sudah setaraf suhu dengan satu ilmu Cahaya yang sulit didapati kecuali tingkatan wali-wali.   Gumara juga mengikuti ulah Ki Lading Ganda yang masih juga kembali berusaha memanjati tebing itu. Kemampuan itu tidak sulit untuk siapa pun yang menguasai amalan ilmu cicak yang merambati dinding. Tapi si tua itu jelas tidak memiliki. Dia hanya memiliki kaberanian, kekuatan, dan kekerasan hati belaka. Gumara memperhatikan lagi dengan berdebar. Ki Lading Ganda memanjati lagi tujuannya semula, dalam posisi di tengah tebing menjelang guha. Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan. Sementara itu fajar sudah menyingsing. Hal itu menggembirakannya, karena tebing yang dirayapi itu menghadap ke timur. Mata tua itu berhati-hati meneliti tiap celah yang dapat menjadikan jari-jarinya untuk menyelusup bagi pertahanan agar tak jatuh. Tapi dia teramat malang ketika digapainya susunan batu-batu besar di mulut guha itu, lagi-lagi batu itu bergeser dan runtuh menimpa kepalanya, dan bagai terbang bersama batu-batuan itu kebawah, Ki Lading Ganda menggapai-gapai, kali ini gagal berpegang pada akar pohon kinantu, tapi toh dia berhasil menyergap dahan pohon sari dulur lalu bergayutan pada salah sebuah dahannya. Hembusan nafas dahsyat bergema lagi di lembah Surilam, menggemakan perasaan puas karena tak jadi hancur bila membentur permukaan dibawah itu. “Orang tua keras hati .,,...,” ucap Gumara seorang diri. “Memang,” sahut Pita Loka, yang mendadak ada di sampingnya, yang membuat Gumara kaget. Gumara menatap Pita Loka. Dia malu karena tidak menepati janji. Dan dia lebih malu lagi karena Pita Loka berkata: “Sejak fajar menyingsing sekarang ini, saya akan membenci tuan. Tuan tidak menepati janji!” Suara itu terjaga perlahan. Gumara pun mengejarnya dengan menjaga suara berisik agar tak diketahui si pencari sesuatu, yang masih bergelayutan di dahan pohon saridulur. Gumara terus berlari menuruti jejak Pita Loka yang kembali menuju Kumayan. Tetapi sekelebatan langkah Pita Loka menggebubu menciptakan asap menerjang semua semak padat daunan. Itu mencengangkannya. Sekiranya Gumara harus memilih sebuah gunting emas ataukah kemarahan Pita Loka, jurtru Gumara akan memilih kemarahan gadis ini. Kemarahannya ini membuktikan cintanya. Kendati Pita Loka menolak untuk dikawini, justru hal ini bukan soal penting. Penolakan perkawinan tentu berdasar satu alasan yang tidak akan menggoyahkan prinsip cinta. Gumara tiba dirumahnya dengan perasaan plong.   Tapi Pita Loka tiba di rumahnya dalam keadaan ditunggu sang Ayah. Ki Putih Kelabu menyergahnya dengan pertanyaan; “Jika kamu mencintai Gumara Peto Alam, apa salahnya kalian berdua kawin saja?” “Kawin?” tanya Pita Loka. “Ya. Sekiranya kalian berdua kawin, banyak kenikmatan hidup yang akan kalian dapati. Cinta yang diwujudkan melalui perkawinan, tidak akan pernah runtuh karena goncangan alam. Selain itu, jika perkawinan membuahkan keturunan, maka keturunan kalian merupakan paduan dari dua bibit unggul terpuji. Sebab kalian akan mendapatkan anak - anak yang memiliki hati yang tulus, otak yang cemerlang dan jiwa kependekaran yang menghancurkan tiap kebatilan di muka bumi.” Pita Loka menoleh pada ayahnya, lalu; “Memang itu konsep hidup yang indah. Tidak saya dengar di sini, seorang ayah memiliki konsep seperti ini. Tapi tahukah ayahanda, Guru Gumara itu memiliki dua muka apabila dia berhadapan dengan saya, dan Harwati” Pita Loka meneruskan: “Harwati itu bagi Guru Gumara adalah titipan khusus almarhum Ki Karat. Sedangkan Gumara bagi Harwati merupakan sebuah monumen agung dari cintanya yang berkobar tanpa memperdulikan aturan alam maupun moral. Dia tidak dapat dipersalahkan, karena dia lebih dulu mencintai Gumara ketimbang pengetahuannya yang dia terima kemudian, bahwa Gumara itu satu ayah dengan dia.” “Jadi adanya Harwati inikah yang menjadi ganjal penolakan perkawinan?” “Ya, Ayah,” “Dia bisa dipanggil, lalu diyakinkan, bahwa pendiriannya ngawur!” “Dia mau mati untuk ini. Dia sudah bergabung dengan Ki Rotan, pemilik ilmu Iblis yang hebat pula. Kalau dipikir secara dangkal, memang cuma kematian Harwati yang akan melicinkan perkawinan saya dengan Guru Gumara.” “Dan kau takkan mau menempuh cara ini,” kata Ki Putih Kelabu. “Itu sudah pasti, Tidak layak untuk membunuh Harwati. Tidak sehat untuk menaklukkannya, lalu memaksanya tunduk. Harwati bukan pantas untuk ditebas dengan pedang, juga dipaksa takluk dengan senjata, maupun bujukan kata-kata fasih seorang bijak. Tidak. Kecuali apabila dari dirinya sendiri memancar cahaya kebenaran hidup. Tapi apa yang tarakhir ini mungkin? Rasanya tidak. Saya tidak akan bicara lagi soal ini. Dan saya harap, ayah pun jangan bicara lagi soal ini,” ujar Pita Loka, yang langsung mencopot plester dan daun sirih dari matanya. Lalu berkata manis, “Ayah, tolong buatkan lagi sirih obat mataku.” Ki Putih Kelabu mengambil selambar daun sirih yang direndamnya di gelas. Dengan jarum pentul ditusuk-tusukknya permukaan daun sirih itu. Lalu dia menempelkan lembaran itu ke mata Pita Loka yang buta. Dan merekatnya dengan plester. “Mengobati kebutaanmu ini lebih utama dari soal apa pun sekarang ini,” ujar Ki Putih Kelabu. Ketika Pita Loka hari itu berada dalam kelas, dia dengar di kelas sebelah Guru Gumara sedang mengajar ilmu Fisika.   Suara Gumara sangat dikenalnya. Dan dia merasa puas, sebab kedengarannya Guru Gumara sehat-sehat. Maka ketika jam istirahat dilihatnya pula sang Guru berwajah segar, kepuasannya bertambah. Pada gilirannya Gumara Gumara mengajar di kelas Pita Loka, gadis buta ini Lebih puas lagi sebab tak tampak ada ganguan batin. Mengajarnya lancar. Sesekali dia melirik pada Pita Loka. Dan Pita Loka sekejap membalas lirikan itu tapi kemudian menundukkan kepala dengan tersipu. Pita Loka yakin, Gumara sudah memaklumi arti benci yang diucapkan di waktu fajar di tepi tebing Lembah Suliram. Cuma, pada malam harinya sehabis belajar di kamar menjelang tengah malam, goncangan batin membuat Pita Loka curiga. Kecurigaan itu dia taklukkan dengan membaringkan tubuh.Rupanya perasaan was-was ini terbukti. Guru Gumara tepat tengah malam menghambur dari rumah menerobos hutan semak belukar menuju tebing Lembah Suliram. Dia malah menuruni lembah itu setelah melihat usaha Ki Lading Ganda begitu hebatnya untuk memanjat dan memanjat lagi agar mencapai lubang pintu guha itu. Setiba di bawah lembah berbatu miring terjal itu, Guru Gumara melihat Ki Lading Ganda siap untuk naik memasuki Guha. Gumara berseru: “Tuan Guru!” MALANGtak dapat dihindari. Begitu mendengar seruan Gumara dibawah, si tua keras hati ini menoleh. Dia gamang melihat keadaan dibawah, dan untuk menjaga keseimbangan dia meraih tepian batu. Dan batu itu bergeser, mengikuti berat tubuh Ki Lading Ganda. Batu besar itu bersama tubuh Ki Lading Ganda meluncur ke bawah. Detik itu Gumara menghambur meloncat. Dia manyambar tubuh pendekar tua itu, lalu dalam keadaan menggendongnya sebuah acuan membuat dua tubuh itu terlempar ke pohon mugira yang bercabang banyak. Ki Lading Ganda sempat menyergap dahan pohon itu. Juga Gumara menyergap dahan pohon yang lain. Sehingga kedua-duanya sudah terpisahkan dari kesatuannya, “Anak celaka!” gerutu Ki Lading Ganda menatap Gumara. “Justru tuan akan menemukan celaka jika tidak saya samber segera,” jawab Gumara. “Kenapa tidak kau biarkan aku mati dicoblos batuan runcing di bawah?” “Itu semua karena saya menghargai setiap kelebihan. Tuan Guru memiliki satu kelebihan. Kelebihan Anda itu cuma anda yang tahu. Itulah sebabnya saya menyergap Anda sebelum mati konyol,” ujarGumara. Tapi Ki Gumara tidak menyukai bantuan begini. Dia berkata; “Aku tidak ingin berhutang budi padamu.” Tanpa diduga dia menghambur ke arah Gumara dengan tendangan tumit yang menghantam pelipis mata Gumara. Gumara terpelanting bagai melayang menuju batu-batuan runcing di bawahsana itu, tetapi dengan cekatan dia justru dalam keadaan seperti penari yang telapak kakinya menyentuh tiap batu runcing sekedar sentuhan, sampai dia akhirnya melompat ke dataran rumput di tepi tebing yang lain. Begitu dia menghembuskan napas kelegaan dua kali, seketika sudah muncul dihadapannya Ki Lading Ganda dalam keadaan memegang Golok Kembar. Golok itu dipermainkannya dalam posisi siap memancing pertempuran. Gumara cukup tabah manghadapi pengkhianatan budi ini. Dia tegak perkasa sembari mengatur pernapasan. Seakan dia akan membiarkan tubuhnya ditebas lawan. Tapi begitu kilatan golok itu menghunjam mau menebas lehernya, Gumara berkelebat sedikit menggeser tubuh, sehingga mata golok yang licin itu tidak masuk ke daging lengannya yang menangkis melainkan kepelesetlah mata golok itu oleh keringat. Sebagai imbalannya Gumara memutar badan dan menendang kebelakang, sehingga telapak kakinya menggedor dada Ki Lading Ganda. Gedoran itu membuat si tua itu muntah darah! Mujur baginya tidak terlempar ke kiri, sebab andaikata itu terjadi sudah pasti tubuhnya akan dinanti batu-batuan runcing yang mirip tombak di Lembah Suliram itu. Muntah darah itu justru terjadi karena si tua bertahan berdiri menyediakan dadanya terkena gedoran telapak kaki! Gumara siap untuk membantai si tua itu dengan satu tendangan lagi ke arah nyali. Tapi itu dia lakukan juga, cuma tidak sampai mengenai. Dia cukup puas melihat Ki Lading Ganda ketakutan. Ketika dia ulangi sampai tiga kali tendangan untuk menggedor dada si tua, namun tak mengenai, dia lagi-lagi puas melihat kerdipan mata mengernyit dahi pada wajah tua itu, pancaran kecut hati dan ngeri. “Untung aku bukan dikendalikan setan iblis,” ujar Gumara. “Kenapa kamu tak membunuhku? Padahal sekarang ini pun kamu bisa. Dibawahku jurang. Tinggal kamu tendang. Di bawah jurang ini ada batu-batu runcing. Kenapa, Gumara?”   “Karena tidak ada turunan harimau yang makan harimau,” ujar Gumara. “Jika itu dilakukannya, dia mati.” “Nah, Tuan Gumara sudah tahu ancamannya. Tapi masih ada satu rahasia lagi mengapa saya tidak layak membunuh tuan,” ujar Gumara kemudian. Kelengahan Gumara dimanfaatkan oleh Ki Lading Ganda yang menetak kening Gumara, tepat pada tengah jidat, yang membuat Gumara terjungkal tapi mujurlah tidak tertusuk batu runcing. Dia jatuh tepat diantara dua batuan runcing bagai tombak, dan justru ujung dua batu runcing itu menjadi tempat pegangannya. Gumara tahu keningnya luka oleh tetakan golok Ki Lading Ganda. Darah mengucur membasahi kemeja putihnya. Namun dia bertahan terus memegang kedua ujung batu runcing itu. Dia merasa akan pingsan. Tapi dia musti menunggu sampai darah itu berhenti mengalir, barulah menyerahkan diri pada nasib. Sementara itu Ki Lading Ganda sudah memanjati lagi tebing Lembah Suliram dengan tujuan mantap akan memasuki guha itu. Gumara pun menghentikan seluruh perjalanan darahnya, satu ilmu yang sukar sebab hal ini berarti menghentikan gerak klep jantung. Ilmu mati-suri ini sulit. Tapi pendekar yang cekatan, selalu menaruhkan sedikit gula di liang telinganya. Dan itu sudah dipersiapkan Gumara sebelum menuju sini. Gumara berjuang untuk mengendalikan waktu. Yang penting luka di jidatnya tak mengucurkan darah lagi. Ketika darah yang semula mengucur dari kening itu kemudian berhenti, Gumara membiarkan dirinya dalam keadaan lemas, lemas dan makin lemas. Lalu dia ambruk ke bawah. Dia telah mati suri. Benarlah, ketika dia satu jam lebih menjalani kematian suri itu, beberapa ekor semut mengrubungi telinganya. Telinga yang berisi gula itu menjadi rebutan semut. Beberapa diantaranya,mencari cara mudah dengan menggigit kulit Gumara. Inilah yang menggerakkan kembali aliran darah yang terhenti. Rasa geli di liang telinga, membangunkan Gumara dari mati-surinya! Matahari sudah akan terbit. Gumara tergesa-gesa meninggalkan sela bebatuan itu. Ketika dia melihat ke dinding guha tebing Suliram, dia tak melihat lagi Ki Lading Ganda memanjat. “Jika dia berhasil masuk, dia akan ditelan bencana, Biarlah,” ucap Gumara dalam hati, lalu meninggalkan Lembah Suliram. Dia harus cepat tiba kembali di Kumayan, di rumahnya. Dan setiba di rumah. dia berkaca. Goresan luka sedikit pada kening dia urut pelahan dengan daun sirih yang dihancurkan. Bekas ada, namun sedikit. Setelah dilihatnya Alif menyediakan sarapan pagi. Gumara kembali memberitahukannya bahwa dia berpuasa. Begitu habis cuci muka dan menyiram tubuhnya dengan sari bunga mawar, Gumara siap untuk pergi mengajar. Ketika itulah pintu diketuk. dan begitu dilihatnya, ternyata tamu itu Pita Loka. “Nyenyak tidur Pak Guru semalam, Pak?” “Nyenyak,” sahut Gumara.   “Saya mampir ke sini untuk menyampaikan amanat ayah”, kata Pita loka. “Tetapi sekalian menyelidiki, apakah bapak tadi malam pergi lagi mencegah Ki Lading Ganda. Pak Guru semalam tak keluar rumahkan ?” “Tanyakan saja pada Alif,” ujar Gumara menoleh pada Alif. Alif nenjelaskan: “Beliau tidur nyenyak dan ngorok semalam suntuk.” “Kamu puas, Pita Loka?” tanya Gumara. “Puas, Guru!” “Coba saya ingin dengar amanat ayahmu,” ujar Gumara. Karena ada Alif, Pita Loka hanya menuliskannya saja di halaman buku tulisnya: “Bapak tadi malam mendengar wisik, yaitu bisikan angin, dimana dia mendengar kalimat ini. Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram ........,” setelah menulis itu Pita loka melanjutkan dengan kata: “Apa makna kalimat itu?” “Itu adalah kalimat inti kedua dari susunan Kitab Tujuh,” ujar Gumara.. Gumara mengajak Pita Loka untuk melihat Kitab Tujuh itu, tapi Pita Loka menolak: “Bukan hak siapa pun untuk memiliki dan membacanya, kecuali Anda, Guru!” “Rupanya kamu mengetahui sumpah tabu kitab itu,” ujar Gumara. “Bukan! Bukan! Saya manusia biasa. Tak ada yang tabu di muka bumi ini kecuali 10 perkara besar. Tapi apa yang ayah tanyakan pada Guru, belum Anda jawab, Guru!” “Baik. ini jawabannya, dan ikhlas menjawabnya: Itu adalah kalimat yang tertera dalam Kitab Kesatu dari tujuh kitab itu. Sepertinya kalimat itu pemberitahuan. Tapi sebetulnya larangan halus. Maka selama ini Lembah Suliram tabu kecuali bagi pendekar yang sudah memiliki ilmu Cahaya, itu sebabnya saya mengejar Ki Lading Ganda. Tapi dia bandel. Terserah padanya untuk mengalami kasulitan dahsyat!” Pita Loka lalu melihat lengan Guru Gumara bekas lecet, kemudian pada keningnya. Dia lalu curiga dan langsung bertanya: “Mestikah Guru merahasiakan, lalu berdusta pada saya bahwa tadi malam tuan kesana , dan mengalami sedikit perkelahian dengan beliau Ki Lading Ganda?”   “Saya tahu kau baru melihat bekas pada keningku,” ujar Gumara. “Saya makin benci pada tuan,” ujar Pita Loka, lalu berpamitan. Ketika tiba di rumah dia dalam keadaan berwajah suram. Ki Putih Kelabu bertanya: “Kalian baru cekcok, Pita Loka?” “Tidak. Saya hanya benci padanya, ayah. Mengenai wisik yang ayah dengar itu. menurut Guru Gumara Peto Alam, adalah isyarat larangan ke Lembah Suliram. Itu tertera di Kitab Kesatu dari tujuh kitab sakti itu. Jadi wisik itu anggap saja godaan iblis.” “Sampaikan terima kasihku pada Gumara. Hampir saja ayah kesana ,” ujar Ki Putih Kelabu. Tapi, justru aneh, di dalam kelas, ketika giliran Guru Gumara mengajar, Pita Loka batal melaksanakan rencananya untuk bermuka-masam pada Guru Gumara. Dia malahan memperlihatkan wajah kekaguman sembari mendengarkan kisah perjuangan rakyat Afrika melawan orang kulit putih. Sebuah keterangan mengesankan adalah ucapan sang Guru: “Sebuah tahayul kadangkala berguna bagi gerakan kemerdekaan Afrika. Misalnya tahayul bahwa orang kulit putih yang sudah hampir mati, namun bisa ditolong, harus dibunuh.” Ki Lading Ganda seperti orang kebingungan. Dia mundar-mandir dalam guha itu. Kalau dia melangkah ke arah selatan, dia terbentur menemui dinding buta. Kalau dia melangkah ke utara, dia terbentur dinding buta. Dan jika dia melangkah ke barat, dia lagi-lagi terbentur dinding buta. Sewaktu dia melangkah ke arah timur, dia juga menghadap dinding buta. Padahal itu pintu guha itu, yang terbuka lebar. Saking bingungnya, Ki Lading Ganda menjerit lantang. Suaranya tentu saja keluar menerobos pintu guha itu, mengalir ke Lembah Suliram. Tengah hari bolong waktu itu! Ki Lading Ganda sudah untuk ke sekian kalinya mundar-mandir menghadapi empat dinding buta sejak masuk ke guha itu, kecewa tidak menemukan sesuatu. Dia lantas menjerit lagi: “Bajingaaaaaaann!” Suara itu kedengaran sampai ke bawah, ke dasar Lembah Suliram. Padahal ketika itu. dua manusia di dasar lembah sedang kehilangan arah peta serta tujuan. Yang satu wanita. Yangsatu pria. Dua-duanya buntung, Yang pria memegang tongkat, menoleh lagi ke pintu guha setelah mendengar lagi: “Bajingaaaaaaaaaannnnnl” “Ki Harwati, kita berhenti dulu di sini,” ujar pria tua bertongkat dan satu tangannya buntung. “Jangan layani, Ki Rotan,” ucap Harwati. “Mungkin dalam guha itu ada penuntut ilmu, Kita berangkat kesana, lalu mendapatkan ilmunya, kemudian dia kita bunuh,” ujar Ki Rotan. “Supaya tuan Guru tahu, kita mungkin tersesat ke Lembah Keramat. Yah, mungkin inilah yang Lembah Suliram. juga disebut ayahku Lambah Tabu bagi para penuntut ilmu,” ujar Ki Harwati. Terdengar lagi gema seruan: “Bajingaaaaaannnnnn!” Ki Rotan menoleh ke arahsana . Dia berkata tegas: “Jika kamu tidak ikut aku kesana , kita bubarkan persekutuan kita hingga disini,” “Tapi anda akan celaka sebagaimana layaknya saya. Lihatlah batu-batuan runcing sekitar sini, bagaikan tombak-tombak yang memperingatkan. Sebetulnya kita sudah mujur mendengar teriak orang kebingungan di dalam guha itu. Kita tadi sudah kehilangan peta. Jika betul ini Lembah Suliram, kita tinggal mencari celah sempit lembah ini, memasang garis lurus ke utarasana dan celah sempit, akan sampai ke desaku Kumayan!” “Kumayan lagi! Kumayan lagi!” gerutu Ki Rotan, “Tujuan kita ilmu! Bukan pulang ke desa semata-mata.” “Aku bertujuan pulang ke desa. Aku rindu desaku. Aku rindu berziarah ke kuburan ayahku. Aku rindu bertemu muka dengan pria yang aku cintai, Guru Gumara. Pendeknya, sejak kita berguru pada Guru Kembar itu, kerinduan dan cintaku berkobar lagi, Ki Rotan!” “Mereka berdua menipumu dengan menyatakan bahwa Guru Gumara itu bukan anak dan air mani Ki Karat. Mereka menipumu bahwa Gumara itu anak angkat Ki Karat! Aku lebih tahu semua silsilahnya. Bahwa memang benar Ki Gumara itu anak haram Ki Karat. Sudah ditetapkan dalam Buku Resi, bahwa ilmu yang didapatkan Ki Karat setelah dia menyetubuhi wanita itu dan lahirnya Gumara hanya bertahan seumur 33 tahun saja. Jika suatu hari Ki Karat didatangi Peto Alam, tepat ketika anak itu berusia 33 tahun, Ki Karat akan hidup sekarat. Kemudian mati. Ki Karat satu-satunya harimau Kumayan yang mengalami hidup dua kali saja, kemudian dia mati”. Ki Harwati tercengang beberapa saat. Dia masih meyakini keterangan Guru Kembar, bahwa Ki Karat bukan ayah kandung Guru Gumara, melainkan ayah angkat. “Kita berpisah di sini kalau begitu, Ki Rotan”, ujar Ki Harwati. Ki Rotan jadi berang, lalu menyabet tubuh Ki Harwati, namun tidak mengenai, sebab Ki Harwati secepat kilat meloncat ke udara dan membuat jarak berdiri jadi menjauh. “Pembunuh!” seru Ki Hawati. “Untuk memiliki kekuatan yang lebih unggul, pembunuhan wajar dalam dunia persilatan”. kata Ki Karat. “Tapi anda membunuh dua manusia kembar yang mengajarkan inti Kitab Tujuh pada anda. Maka kita sampai di sini!. Dan kini tuan mau belajar lagi pada orang dalam guha itu, dengan rencana membunuh. Alangkah busuk hati tuan!” “Karena ilmuku ilmu Seratus, Supaya kamu tahu. Aku musti membunuh seratus pendekar, baru ilmuku sempurna”, kata Ki Karat. Terdengar lagi seruan dari mulut guha di tengah tebing lembah itu: “Bajingaaaaaaaaan! Kitab Tujuh Bajingannnn!”. Suara itu jelas. Baik oleh telinga Ki Harwati, maupun telinga Ki Karat. Ucapan tarakhirnya itu membuat Ki Harwati menoleh pada Ki Karat. “Kau dengar sendiri”, kata Ki Karat, “Dia dalam uji coba Kitab Tujuh itu . . . dan mungkin saja dialah Gumara”. Mungkin saja Gumara”, ulang Ki Rotan pada Harwati. Hal ini menggoyahkan batin Harwati. Lalu dii dengarnya lagi teriakan dari mulut guha itu; “Bajiingannnn! KitabTujuh bajiingannnn!” Ki Rotan menatap mata Harwati. Dia berkata; “Kita tidak boleh menunggu sampai Ki Gumara jadi gila. Kita harus kesana segera, membantu dia!” Semangat Harwati sudah makin menggebu. “Tapi, apakah itu pasti suara teriakan Gumara, Ki Rotan?” tanyanya. “Siapa lagi yang memiliki Kitab Tujuh selain dia. Dia itu sekarang dalam kesetanan atau kebingungan”, Kata Ki Rotan. “Baik kalau begitu. Asalkan tuan berjanji, jika ilmu ini sudah kita dapatkan darinya, jangan jadikan dia korban yang tuan bunuh”, kata Harwati. “Dia tentu harus dibedakan dengan Ki Kembar itu”, ujar Ki Rotan. Harwati lalu mendekat guru tua ilmu Seratus itu, dan mengikuti jejak langkahnya. Memang menemui sedikit kesukaran setelah batu-batu runcing yang berbahaya itu mulai menjadi penghalang. Ki Rotan menoleh kebelakang melihat Ki Harwati jauh tertinggal. Lalu dia berkata: “Masih ingatkah kamu silat Belalang?” “Itu silat anak kecil. Ketika kecil ayah mengajarkan padaku!” “Namun itu bila kau gunakan sekarang. ilmu yang kecil biasanya diperlukan untuk mendapatkan ilmu yang besar”, ujar Ki Rotan, Ki Harwati mulai melakukan konsentrasi untuk loncatan demi loncatan. Dan dia pun akhirnya meloncat dengan telapak kaki menginjak sedetik demi sedetik pada tiap ujung batu tombak di lembah itu. Barulah menjelang sore Ki Rotan dan Ki Harwati tiba pada tempat yang tepat untuk memanjati dinding tebing ke arah mulut guha di atas. Dari situ masih terdengar teriak yang makin parau: “Buku Bajingannn!” “Sudah tak perlu diragukan lagi, itu teriakan Gumara”, ujar Ki Rotan. “Kini saya tambah yakin, Guru!”, tambah Harwati. Dan bagaikan cicak merambat, perlahan dan pasti, kedua pendekar memanjati dinding Lembah Surilam. Matahari menyinari tubuh yang memanjat itu. Dan matahari yang sama itu pula menyinari wajah Pita Loka, yang berseri-seri senja itu, menyambut kedatangan Guru Gumara. Guru itu membawa seperangkat buku-buku. Dia minta bertemu sejenak dengan Ki Putih Kelabu. Gumara berkata pada orangtua itu: “Saya menemui tuan untuk minta ijin merunding satu soal dengan Pita Loka”. Ki Putih Kelabu memanggil Pita Loka dan memberitahukan hasrat tamunya. “Saya mungkin besok berhalangan mengajar, Maukah kamu menyalin pelajaran dari catatan saya ini di papan tulis?” ujar sang Guru. “Saya bersedia karena saya murid Pak Guru”, jawab Pita Loka. “Kamu cek lebih dulu di kantor dewan guru, di kelas-kelas mana dan pada jam mana saya mengajar. Lalu pinjamkan catatan ini pada Ketua Kelas masing-masing”. “Baik, Guru”. “Tentu kamu tahu saya mau kemana, Pita Loka”, ujar Gumara. “Tuan Guru rupanya begitu terganggu dengan ulah Ki Lading Ganda “ “Isterinya sendiri merisaukan kepergiannya. Saya hanya ingin mencegah usahanya yang hanya akan sia - sia saja”, kata Gumara. “Oh ya. Guru adalah ahli takwil mimpi. Saya tadi malam bermimpi, ada dua semut atau lalat . . . yah katakanlah lalat, sebesar raksasa, yang memanjat ke mulut guha itu”, kata Pita Loka. Mendengar berita mimpi itu, Gumara diam sejenak. Mendadak semangatnya berkobar, karena dia justru menerima wisik bahwa Ki Rotan dan seorang pengikutnya dengan memanjat dinding tebing. Semangat di wajah Gumara itu merisaukan Pita Loka yang lantas menerka dengan rasa cemburu: “Apakah tuan Guru bersemangat sampai meninggalkan tugas mengajar karena didorong oleh membela seseorang yang dekat dengan hati anda?” “Maksud kamu?”   “Saya menduga salah seorang dari tamsil dua ekor lalat besar itu adalah Harwati”, kata Pita Loka. Gumara langsung terperangah. Tuduhan itu didorong oleh motivasi, dan dia menyadari hal ini. “Taruhlah dia Harwati, bukankah saya wajib mencegahnya karena aku dan dia satu titisan darah?” ujar Gumara. Pita Loka hanya berdiam. Dia merasa lidahnya kelu. Padahal dia ingin mengumbar kejengkelannya mendengar pengakuan tak langsung ini! Setelah Gumara berpamitan pada Ki Putih Kelabu, Pita Loka lalu menyatakan dengan manja pada ayahnya: “Tempelkan lagi daun sirih tanya itu, ke mataku, ayah. Tak layak bila seorang gadis cantik disertai kebutaan”. Ketika sang ayah menempelkan sirih ke mata yang buta itu, di mata yang buta tampak airmata bercucuran, Beliau bertanya: “Kenapa kau menangis?” Pertanyaan ayahnya itu malahan membuat Pita Loka semakin tersedu-sedu. Ki Putih Kelabu adalah ayah yang bijaksana, lalu berkata: “Maafkan jika pertanyaan ayah melukaimu, nak”. “Apakah ayah yakin kebutaanku akan sembuh?” tanya Pita Loka. “Yang penting usaha. Jika yang kau tanya, apakah air akan bisa naik ke hulu? Itu akan kujawab tidak. Tapi soal penyakit, semua penyakit ada obatnya. Bahkan penyakit jika tergigit bisa ular, atau tergores kuku jari seseorang yang kukunya itu mengandung bisa”. “Kuku Gumara memang berbisa, ayah. Kukunya inilah penyebab kebutaan mataku”, kata Pita Loka. “Mungkin juga, jika benar dalam kuku Gumara ada bisa, kebutaanmu akan sembuh jika kalian berdua kawin”, ujar Ki Putih Kelabu. “Kawin? Dengan Gumara? Cis, lebih baik aku terus dalam kebutaan daripada merelakan kawin dengan dia hanya berharap butaku sembuh. Ayah musti tahu, batin Gumara adalah batin manusia retak jiwa. Dalam jiwanya ada kembaran perasaan terhadap dua wanita: aku, dan Harwati. Itu ayah pun sudah tahu. Orang semacam ini jika menjadi suami, hanya akan mencelakakan hari depanku. Setamat SMA ini, dengan modal keberanian, aku akan kekota . Darikota aku akan menujuJakarta . Desa terlalu kecil bagiku, sehingga telingaku mendengar orang-orang bergunjing mengenai kebutaanku. Sayang sakali, penduduk desa Kumayan ini masih kagum pada pendekar-pendekar sakti. Padahal apalah arti kependekaran di abad ini dibandingkan dengan seorang Thomas Alva Edison yang menemukan listrik. Atau apalah artinya pendekar abad duapuluh ini dibandingkan dengan Wagner, Einstein ahli fisika itu”? Katakanlah aku cemburu Pak Guru besok bolos karena dia mau menyelamatkan Harwati! Tapi mungkin juga karena saya tidak suka dia memasuki lagi ilmu zaman silam itu yang tak ada kepentingannya dengan zaman sekarang ini. Pita Loka menatap ayahnya agar ayahnya sakit hati.   “Untuk sementara, kau benar. Jika listrik sekedar untuk alat penerangan, dulu, kami, di abad silam, tetap juga terang tanpa listrik. Itu hanya alat, anakku! Jika peluru dipakai untuk membunuh, di kawasan Cinasana , menurut guruku, orang punya pisau yang kecepatannya melebihi peluru. Lebih hebat lagi apabila peperangan itu dengan Ilmu Cahaya!” “Itu dulu! Kini pun orang merencanakan perang dengan cahaya!” “Tapi perang yang sekarang ini, dengan cahaya pemusnah itu, ikut pula membunuh manusia-manusia tak berdosa. Tapi dulu ilmu Cahaya hanya membunuh lawan-lawan tertentu. Yang binasa mungkin sepuluh orang saja dengan para ketuanya. Tapi kini, jika terjadi Perang Cahaya, jutaan orang bisa musnah, bukan?” “Yah, ayah benar”, kata Pita Loka. “Manusia membutuhkan pimpinan. Dunia, pelbagai negeri, membutuhkan pimpinan. Negeri ibarat sebuah sekolah. Seperti sekolah membutuhkan Guru, juga sebuah negeri membutuhkan Guru. Guru mendasarkan diri pada ilmu, Begitupun negeri, selain butuh Guru butuh pula ilmu. Kau pernah menceritakan kekagumanmu pada ilmu tahayul bangsa Afrika dalam melawan bangsa kulit putih. Pendeknya, kata ceritamu, tahayul itu dimanfaatkan guru-guru Afrika itu malawan kezaliman bangsa kulit putih. Jika bertemu bangsa kulit putih, bunuhlah dia sampai mampus, dan mampuskan sekalian dia sekalipun dalam keadaan masih bisa hidup ketika itu. Tapi menurut hematku, itu cara yang salah untuk melawan kekejaman orang kulit putih, Tahayul memang menjadi ilmu. Tapi yang lebih utama dari membunuh orang kulit putih adalah tugas ilmu dan para guru, mengajarkan bangsa kulit putih itu supaya merubah caranya berfikir agar tidak berlaku kejam pada orang kulit hitam. Katakan pada gurumu Gumara Peto Alam, agar dia tidak terlalu kagum pada orang Afrika yang bersemboyan “bunuh mati si kulit putih”. Dia seorang guru. Seorang guru harus mengajarkan yang betul, bukannya yang mudah, nak!” “Terima kasih, ayah. Ayah telah mengisi dalam jiwaku kebencian pada pribadi Gumara, guruku. Ha! apapun yang jelek-jelek dari dirinya saya butuhkan sekarang agar saya tidak mencintainya lagi”, kata Pita Loka. “Wah, itu kau salah tafsir. Gumara itu lebih banyak kebaikannya dari kejelekannya. Suatu ketika nanti, mungkin waktu itu aku sudah mati . . . kau akan berkata : Memang Gumara Peto Alam layak menjadi suamiku!”. “Ayah! Jangan hidupkan kambali api cinta itu ! Aku buta! Aku bukan gadis cantik lagi! Aku butuh bahan kebencian, bukan api cinta!” lalu Pita Loka melarikan diri masuk kamar. Mulanya malam itu dia tidak akan tidur. Tetapi ketika dia sedang tidur, dia bermimpi. Harwati masuk ka dalam kamarnya. Tangannya buntung. Dia berkata: “Pita Loka, kita sama - sama cacat. Tapi kamu lebih berhak memiliki Gumara daripada diriku”.   Dalam mimpi itu Pita Loka sangat bahagia. Tapi ketika dia terbangun segera dia jengkel! Dia langsung membuka jendela. Dan meloncat membelah semak-semak di malam buta itu . . .. Rupanya Ki Putih Kelabu mendengar ketika Pita Loka melompat jendela. Dan serta merta orangtua ini menghambur masuk kebun dengan lompatan yang lebih beringas disertai auman harimau. Tapi Pita Loka bukannya langsung ke Lembah Suliram. Dia ke rumah Gumara terlebih dahulu. Begitu Alif memberitahu Gumara tidur, dia tidak percaya. “Dengarlah suara ngoroknya itu”, ujar Alif menunjuk kamar Gumara. Memang kedengaran suara orang ngorok. Tapi Pita Loka malahan yakin, yang mengorok itu adalah raga halus Gumara. Raga kasar Gumara pasti pergi. Pita Loka meloncati tangga rumah panggung itu, menyelusup cepat disela-sela pohonan jeruk dan bagaikan bola asap dia membelah hutan belantara. Tapi langkahnya terhenti karena dia kena sergah auman harimau. Harimau itu amat besar, menggeram dengan sikap mau menerkam, Pita Loka menghambur ke kanan, tapi harimau itu sudah terlebih dahulu menerjang pohon yang roboh seketika, lalu menghalangi Pita Loka. “Jangan halangi saya!” seru Pita Loka menghambur ke kiri, tetapi tubuhnya merasakan lecutan ekor harimau itu sehingga dia jatuh jungkir balik. Tiba-tiba Pita Loka menyadari, Dia berkata pada harimau itu: “Baiklah, ayah. Saya akan pulang”. Pita Loka melangkah lesu, lalu harimau itu berlalu menghilang dibalik semak belukar, Pita Loka melangkah terpincang – pincang memasuki pekarangan rumahnya. Dia mengetuk pintu untuk menguji dugaannya. Tapi dia juga jadi keheranan ketika yang dilihatnya membuka pintu adalah ayahnya, dalam pakaian kemeja Cina dan celana batik, “Telapak tangan ayah kotor”, kata Pita Loka menyindir, “Apakah tadi ayahanda tidur atau barusan menggali tanah? Kaki ayah pun ada bekas sisa rumputan” “Marilah kita berterus terang”, ujar Ki Putih Kelabu. “Tak usah dijelaskan lagi. Saya tahu siapa yang menghalangi saya ketika menuju Lembah Suliram. Pohon itu rubuh. Lalu ada ekor binatang menyabet pahaku ini hingga aku jatuh jungkir balik”. “Mari ayah urut pahamu yang keseleo itu”, ujar Ki Putih Kelabu. Warna itu sebesar lengan membekas pada dua paha Pita Loka.   Dengan ujung jempol jari dimasukkan ke langit-langit mulut, itulah cara mengurut yang terbaik. “Terlalu keras pukulan ekor harimau itu”, ujar Pita Loka mencoba melangkahkan kaki yang masih sedikit pincang, “Mungkin dia bermaksud baik menghalangi perjalananku!”, “Memang betul. Andaikata harimau tadi itu seorang ayah, lalu aku ini anak harimau, maka harimau tadi akan menggendong saya dengan cara yang khas. Menggigit tengkukku, lalu demikianlah keadaanku sampai ke rumah, ibarat induk kucing memindahkan sarang bagi anaknya. Bukan begitu. ayah?” “Marilah ayah berterus terang”, ujar Ki Putih Kelabu. “Tak usah nyatakan segala yang sudah diketahui dua belah pihak. Itu harinya akan melukai salah satu fihak. Saya akan tidur dan tidak akan meloncat lagi dari jendela. Percuma itu saya lakukan lagi, karena nanti toh saya akan dicegat oleh harimau tua itu. Dan dengan cintanya yang agung dia sabet pahaku ini dengan ekornya”, dengan tersenyum Pita Loka memasuki kamarnya. Ki Putih Kelabu hanya bisa terperangah. Dia duduk berayun-ayun di kursi goyang. Sampai pagi tiba dia ketiduran di kursi goyang itu. Dan ketika akan berangkat ke sekolah, muncullah seorang tamu tak dikenal. “Saya ingin berjumpa dengan Ki Putih Kelabu”, ujar tamu itu. “Anda siapa?” “Saya Dasa Laksana”, ujar tamu itu. “Dasa Laksana ?” Pita Loka tercengang, mencoba mengingat dan mencocokkan dengan wajah tamu itu. “Saya Dasa Laksana”, tegas tamu itu. “Apa itu bukan nama samaran?”, tanya Pita Loka. “Bukan. Itulah nama asli saya”, kata Dasa Laksana. “Tapi apa anda ingat, bahwa anda pernah mengembara ke Guha Lebah dalam hidup anda?” Guha Lebah? Saya tak tahu itu!” ujar Dasa Laksana. Lelaki itu gagah, memakai baju dan kemeja orangkota , bersepatu berkilat, kemudian diberi ijin masuk oleh Pita Loka. Pita Loka meninggalkan rumah menuju ke saholah, sementara tamu itu menyatakan maksudnya: “Saya ingin bertemu dengan dik Pita Loka, Pak”.   “Lho itu yang tadi tuan temui pertama, itu Pita Loka”, ujar Ki Putih Kelabu keheranan. Ki Putih Kelabu adalah seorang pendekar tua yang amat santun. Kedatangan tamu yang tidak dikenal itu dilayaninya dengan ramah. Dia tidak pernah mengenal nama Dasa Laksana sebelum ini. Juga dia tidak pernah melihat seumur hidupnya seorang lelaki ganteng selain dari Gumara. Yang dilihatnya sekarang ini justru lelaki yang lebih ganteng lagi dari Gumara. Tamu ini pun seorang lelaki yang rendah hati. Dia mengeluh; “Rupanya di Kumayan ini tidak ada penginapan”. “Penginapan ada, nak Dasa Laksana. Tapi mungkin anak tidak tahu”, ujar Ki Dasa Laksana. “Tapi saya tidak melihatnya”, ujar pemuda ganteng itu. “Mungkin karena tidak memakai papan merek”. “Seseorang memberitahu pada saya, bahwa Bapak adalah seorang guru”. “Oh, itu berlebihan. Saya cuma petani biasa. Saya tak punya ilmu apa-apa”. “Apakah karena itu saya salah alamat?. Atau orang itu menipu saya?” “Siapa orang yang anak muda maksudkan? Maksud saya yang memberitahu bahwa saya ini seorang Guru?” “Dia tidak memberitahukan namanya. Tapi disebuah warung di tepi jalan dia memberitahukan pada saya; Jika tuan ingin ke desa Lembah Gading, harus melewati Kumayan lebih dahulu. Temuilah Guru Putih Kelabu. Tadi pun seorang bocah yang menunjukkan rumah Guru ini, memberitahu pada saya bahwa Tuan adalah seorang Guru”. Ki Putih Kelabu mencoba membatin. Untuk mengetahui niat tamunya ini. Apa dia punya niat busuk atau baik. Ternyata batinnya tak memberi getaran suatu apa. Jadi orang ini masih merupakan tamu misterius. “Kalau begitu nyatakan maksud anda”, kata Ki Putih Kelabu, “Saya ingin belajar pada Guru”. Ki Putih Kelabu membatin lagi. Juga tak ada getaran batin. Hal ini menambah kebingungan pendekar tua itu. “Sebaiknya anak muda meneruskan perjalanan ke Lembah Gading itu. Mungkin di sanalah anak muda akan menemukan Guru yang dimaksud”. “Tidak”, ucap Dasa Laksana mantap, “Hanya pada anda saya ingin belajar”. Batin Ki Putih Kelabu bergetar kencang. Dia ingin diyakini batinnya, bahwa tamu ini bermaksud baik. Perasaan lega di hati luputnya rasa bingung membuat Ki Putih Kelabu berada dalam kemantapan. Jika kamu sungguh-sungguh, syaratnya harus meninggalkan hidup mewah dan semua yang berbau kemewahan. Mungkin hal itu berat bagi anda, nak!” “Tidak”“ kata Dasa Laksana, dengan serta merta mencopot jaketnya, sehingga dia mengenakan pakaian kaos oblong saja. Dia ditertawakan oleh sang Guru. “Juga sepatu mahal itu anda copot?” tanya Ki Putih Kelabu. “Apa boleh buat. Memang ini sepatu mewah. Biarpun saperti sepatu basket saja, sepatu ini mungkin lambang kemewahan. Saya akan mematuhi seluruh persyaratan”. “Pernah berpuasa?” “Tentu, tuan Guru”. “Tapi ini semacam puasa tirakatan. Siang malam tidak makan minum dan tidak tidur. Lagi pula, tempatnya tidak di sini. Kita harus jalan kaki menuju Pancuran Putih dan Ngarai Kelabu. Untuk pergi kesana , akan anda jumpai berbagai rintangan. Tapi karena bersama saya, maka saya sedia membantu. Saya tidak bisa menurunkan ilmu saya pada anak perempuan saya. Juga kepada seseorang yang saya sukai. Saya baru berhak menurunkan ilmu saya kepada orang yang menyukai saya. Apakah anda menyukai saya?” “Tentu, tuan Guru, Begitu saya melihat wajah anda, saya langsung menyukai tuan!” “Baik, tinggalkan koper anda di kamar tamusana itu. Anda cuma akan mengenakan kain sarung dan tanpa alas kaki. Saya bahagia menemukan seorang yang patuh seperti anak muda”, ujar Ki Putih Kelabu. Dasa Laksana membawa kopernya masuk ke sebuah kamar depan. Lalu dia mengikuti langkah Ki Putih Kelabu yang mengambil jalan setapak di belakang rumah. Seketika keduanya sudah memasuki semak belukar yang pantang dilalui orang lain selain Ki Putih Kelabu dan pewaris ilmunya.   Pita Loka sejak kecil sudah dididik memantangi jalan setapak yang banyak liku rahasianya ini. Apalagi ada lorong rahasia di bawah tanah yang begitu rupa, sehingga mata biasa sukar untuk mengetahui jalan masuknya. “Inilah Ngarai Kelabu itu. Dan itulah Pancuran Putih”. Kata Ki Putih Kelabu setelah tiba di tempat itu siang hari. Yang anehnya, tak ada rintangan dalam perjalanan bawah tanah itu, di mana seharusnya akan menemui segala binatang tanah yang akan teruji keberaniannya sebagai calon pewaris, Ki Putih Kelabu memanjat sebatang pohon kelapa kuning, Dua buah kelapa ranum dipetiknya, lalu berkata: “Ini modal untuk puasa tirakatan. nak”. Harwati dengan seregap berdiri, dan dahan kenyal membuat dia terjungkal. Tapi dengan seregap pula dia manfaatkan kekenyalan dahan pohon tembiru itu sebagai alat pendorong untuk meloncat ke atas. Dia meloncat, tetapi Gumara sudah keburu menyambar ujung kakinya. Hingga jatuh membal lagi gadis itu, dan dicekal terus oleh Gumara. “Lepaskan cekalanmu itu, babi!” maki Harwati. Namun Gumara tidak melepasnya. Harwati tetap meronta menggeliat, lalu dia menggunakan kesempatan baik untuk menghantam kepala Gumara pula dengan pukulan sisi telapak tangan. Pukulan itu cukup telak. Gumara puyeng seketika itu juga! Lembah itu bagai bergoyang dalam pandangannya. Sementara itu dilihatnya Harwati sudah hinggap disatu akar besar di dinding tebing. Keseimbangan Gumara hancur karena konsentrasinya cuma tertuju pada keselamatan Harwati. Dia jatuh dalam keadaan melayang separuh tak sadar, tapi sempat mencari keseimbangan ketika dilihatnya batu-batu berbentuk tombak. Dia membalik, dan menyerahkan punggungnya saja untuk kena tancap batu runcing. Tubuh Gumara terlentang, menancap. Punggungnya bagai menancap dipaku. Ia tak sempat menggeliat lagi. Darah bercucuran membasahi ujung “tombak alam” itu . . . Harwati terus memanjat dengan semangat dua kali lipat. Dia sempat tersenyum menyeringai melihat Gumara dalam keadaan sudah selayaknya mati itu. Harwati terus memanjat lagi, memanjat sekuat tenaga bagaikan cicak memanjat dinding, Dengan suara geram, kadang menggigit bibir agar mendapatkan kekuatan, Harwati terus berupaya tanpa keraguan. Usahanya tampaknya akan berhasil, ketika dia sudah sempat menemukan retakan batu dasar mulut guha. Jarinya mencengkeram retakan itu, dorongan tubuhnya sepenuh tenaga membuat pantatnya menungging. Dengan itulah dia membuat pantatnya menunging ke dalam guha. Dan. . , selamat sampai di dalam.   Harwati lalu berdiri tegak. Dia mulai mencari apa yang dia ingin cari. Dia menuju dinding kanan. Tak ada apa-apa. Tak ada aksara apa-apa. Dia menuju dinding kiri. Semuanya berdinding. Dia mondar-mandir. Kadang bertabrakan dengan Ki Rotan yang mundar-mandir. Kadang bertabrakan dengan Ki Lading Ganda yang tidak ia kenal. Masing-masing orang bertiga itu saling tak mengenal satu sama lain. Pita Loka akhirnya sampai juga ke Lembah Suliram ini. Dari atas tebing utara dia menuju ke tebing timur agar dapat melihat lurus ke pintu guha. Dan dia tidak melihat sesuatu kecuali sepi. Beberapa ekor kelelawar senja mulai tampak. Burung – burung menyanyikan kemerduan nada pada senja itu. Tapi tiba-tiba Pita Loka ternganga, di bawahsana tampak sosok tubuh menggeletak celentang. Firasat Pita Loka yang gelisah sejak pagi kini dia saksikan sendiri. Dan bagaikan bola meluncur, Pita Loka menuruni tebing-tebing curam itu ke bawah. Dan dengan kekuatan ilmu yang pernah dia petik, bagaikan belalang dia melompati ujung-ujung tombak alam itu, telapak yang sekedar nemplok sejenak di atas keruncingan batu-batu itu Tibalah dia ditempat sosok tubuh yang menggeletak itu. “Guru!” teriaknya meyakini guru yang dicintainya itu. Pita Loka mencoba mengangkat tubuh Gumara. Tapi rupanya hunjaman tombak batu alam itu sudah merekat ke tubuh sang guru. Namun Pita Loka tetap mencoba mengangkat tubuh itu, agar lepas dari rekatannya di ujung batuan runcing. Lalu Gumara menggeliat tanda dia sadarkan diri.Keningnya mengernyit menahan sakit. Bila kesadarannya makin mengada, Gumara tidak merasa sakit lagi. Memang dengan batuan Pita Loka tubuhnya terlepas dari cengkereman tombak batuan itu. “Guru tidak sakit?” “Periksalah punggungku”, ujar Gumara. Pita Loka memeriksa. Baju robek, bekas cucuran darah.Tapi luka itu sendiri? Sudah kering begitu saja. “Siapa menyuruhmu ke sini” tanya Gumara. “Jadi, Guru marah karena saya ke sini?” tanya Pita Loka. “Saya tidak marah. Tapi saya tidak menyuruhmu ke sini”, kata Gumara. Pita Loka menjadi jijik mendengar ucapan tak tegas itu,   “Kalau anda marah, bilang marah. Jangan menyembunyikan kejengkelan dan kebencian dalam bahasa berselimut”, ujar Pita Loka dengan kejengkelan yang sempurna, didukung oleh tindak sempurna, meloncat dia bagai belalang dari satu ujung mata tombak batu lain ke ujung lainnya sampai dia sudah tiba di tepi tebing utara, tanpa menoleh, terus memanjat tebing bagai cecak yang tak tampak karena malam menjelang tiba. Dia terus! menerobos semak belukar. Sebagian daun terbakar kena geseran tubuhnya yang lari menggebubu. Siang itu, apabila Pita Loka pulang dari sekolah, kekesalan hati, kecemburuan pada Gumara, bertambah lagi dengan kedongkolan setiba di rumah. Rumah didapatinya dalam keadaan kosong. Sebuah koper, sepatu bagus, dengan sepotong baju yang tergantung di lengan kursi, telah membenarkan perkiraaannya. Yah, Kumayan bakal tertimpa huru-hara. Tentulah barang-barang ini semua adalah milik tamu tadi pagi, yang mengaku bernama Dasa Laksana. “Tentu ayah sudah terkecoh”, ujar Pita Loka sendirian, bernada menggerutu. Di angkat koper tamu itu, dan dibantingnya! Pita Loka sudah mengenal kusuk dan tipu ilmu persilatan melalui pengalaman. Apalagi ilmu yang dikenal ilmu Hitam yang berlindung pada Iblis dan Setan. Dia kini kaheranan sandiri, karena seperti “tertiup lupa” dengan tamu yang jelas-jelas mengaku bernama Dasa Laksana! Bukankah ia pernah kenal Dasa Laksana?. Pernah mengajarnya ilmu kependekaran di Guha Lebah? Dan pernah tahu bahwa orang ini penghkhianat dan mata keranjang? “Bukan ayah yang terkecoh, tapi aku sendiri pun terkecoh!”, ujar Pita Loka. Sendirian menggerutu. “Guru Gumara sendiri pun, betapapun ilmunya yang tinggi, hari ini akan kena kecoh lagi dengan dalih berjuang ke Lembah Suliram untuk menyelamatkan Harwati, Bukankah Harwati pun berjiwa pengkhianat? Penipu?”, Pita Loka menggerutu lagi. “Kebutaanku juga karena terlibat dalam bujuk dengkinya ilmu silat”, gerutu Pita Loka lagi. Sepintas lalu, apa yang dibayangkan oleh Pita Loka memang terbukti. Begitu bersemangatnya Gumara Peto Alam menyeret kaki Harwati agar gagal memanjat tebing Lembah Surilam yang menuju ke mulut guhasana itu. “Jangan teruskan memanjat, adikku!” seru Gumara, “Lepaskan kakiku!”“ bentak Hawati seraya menggerak-gerakkan kakinya yang dipegang Gumara, yang kadang lepas lagi. Bila lepas, Harwati memanjat lagi dengan penuh semangat, sebab bibir guha itu hanya tinggal berjarak tiga depa saja. “Jika kau memang menghendaki Kitab Tujuh, aku akan memberikannya”, kata Gumara. “Kau pendusta! Penipu! Aku lebih tahu mengenai Kitab Tujuh dan Ki Kembar. Aku tak sudi kitab itu itu pada Ki Rotan “, kata Harwati. “Kitab Tujuh itu ada padaku, dik!” seru Pita Loka. “Itu Kitab Tujuh yang palsu!” balas Harwati, yang menekan kepala Gumara dengan telapak kakinya agar Gumara terpeleset jatuh ke bawahsana . “Ki Rotan sudah ada di dalam guhasana , jangan banyak omong lagi!” kata Harwati lagi, yang menggapai, penuh semangat, dan lebih bersemangat lagi setelah telapak tangannya menjamah bibir batu penahan. Batu itu bergeser. Harwati tambah bersemangat! Dia kira dia akan dapat masuk dengan meraih sekuat tenaga. Namun batu besar itu menggeser. Gumara melihat hal itu. Dia dengan sekuat tenaga menjambak kaki Harwati. Akibat tarik-menarik itu sebuah batu besar itu bergeser lalu batu itu bagai muntah dari mulut guha. Harwati berteriak! Sekaligus dengan teriakan itu, dia menyamping menghindari diri ketiban batu besar. Dan serentak dengan itu tubuh itu terpeleset, jatuh ke bawah bagai melayang Gumara sekelebatan itu pula melompat melayang, menyambar tubuh Harwati, dan dalam keadaan melayang itu Gumara menyeretnya menuju pohon tembitu. Dahan pohon tembitu yang amat banyak itu menolong selamatnya Harwati dari bencana. Dia jatuh dan membal lagi, lalu jatuh dan membal lagi karena tekanan kenyal dahanan lebat pohon tembitu. Tapi Gumara sudah duduk tenang diantara dedahanan yang kenyal itu, tersenyum melihat tubuh Harwati membal-membal sampai akhirnya duduk mantap dijalinan dahan. Harwati bukannya berterimakasih. Tapi menatap Gumara dengan jijik, “Kenapa kau halangi aku masuk?!” makinya. “Karena kau adikku! Karena aku kasihan padamul” “Dusta! Kau mengaku aku adikku agar cintaku padamu musnah dan kau bisa memperisteri Pita Loka!” “Aku tidak dusta, itu ucapan ayah kandung kita sendiri!” kata Gumara. “Ayah pun pendusta. Sudah kuketahui dari Ki Kembar, bahwa ayah pun berdusta. Masuk akalkah kau tiba-tiba menjadi “kakak mendadak”? Soalnya ayah menghindari aku supaya tidak menjadi isterimu. Karena dia lebih suka ilmunya jatuh pada orang lain yang bukan padaku.   Ayah dusta karena dia ingin ilmunya jatuh kepadamu, lalu kau mengawini Pita Loka sebab ayah pernah berjanji pada Ki Putih Kelabu akan mempertalikan darah dengan anak lelakinya. Padahal ayah tak punya anak lelaki. Begitu bernafsunya ayah untuk melestarikan ilmunya demi kelanggengan ilmuitu lewat kau. Alangkah tolol orang yang mempercayai cerita ayah yang terkenal seorang pembohong terbesar diantara Tujuh Manusia Harimau di Kumayan”. Setelah puas memaki, Harwati meludahi Gumara: “Ciih, kamu tak usah mengaku putra Ki Karat, karena kau cuma manusia dari kasta rendahan!” Setiba di rumah. Pita Loka mengobrak-abrik kursi dan menggulingkan meja. Dan ketika dia masuk kamar depan, mau mengobrak-abrik koper tamu . . . tidak jadi. Senyumnya terkembang. Dia ingat, tamu tadi begitu gantengnya. Dia bertekad untuk berbaik-baik pada ayahnya. Dia susun meja dan kursi yang berantakan. Dia berharap ayahnya akan pulang agak malam dan butuh disediakan makan malam. Dia memasak, kemudian menyediakan hidangan di meja. Benarlah dugaannya. Menjelang jam Romawi itu berdenting sebelas kali dari pintu belakang terdengar suara ayahnya; “Pita Loka, apa kau di rumah, nak?” “Ya, ayah”. Pita Loka lalu membuka pintu, dengan harapan sang tamu gagah itu pun serta. Ternyata tak tampak seorang lain pun kecuali ayah. “Ayah sendiri?” tanya Pita Loka. “Ya”. “Tadi ada tamu. Saya lihat ada koper. Kemana tamu itu?” “Dia pergi. Dia menitipkan kopernya”, kata Ki Putih Kelabu. Pita Loka terhempas kecewa di kursi. Hal itu membuat Ki Putih Kelabu gembira. Lebih gembira lagi dia, ketika didengarnya putrinya berkata kecewa: “Padahal untuk makan malam sudah kusediakan untuk tiga orang, Termasuk saya”, kata Pita Loka. “Siapa tamu ayah itu, yah?” tanya Pita Loka kemudian. “Namanya Dasa Laksana, bukan?” “Betul. Dasa Laksana namanya. Kenapa?”. “Tentuu tidak tiap nama watak manusianya sama.Ada nama Dasa Laksana yang baik, ada nama Dasa Laksana yang busuk dan pengkhianat”. “Tapi sepanjang firasatku, ini Dasa Laksana yang baik”, ujar Ki Putih Kelabu seraya mulai menikmati santapan malam. “Tampaknya ini hidangan istimewa”, ujar lelaki tua itu. “Enak masakanku kali ini, yah?” “Nikmat sekali”. “Sekiranya tamu ayah itu juga menikmati hidangan, dia belum tentu akan memuji seperti ayah”, ujar Pita Loka. “Dia akan terkagum-kagum, memujinya dan akan bicara dalam hati: Inilah gadis yang tepat menjadi ibu Rumah Tangga”, ujar Ki Putih Kelabu. “Ayah memancing kegembiraanku!” ujar Pita Loka. “Memang. Memang demikianlah tujuan pancinganku. Hidup ini merupakan sarana harapan bagi setiap orang. Tapi sarana itu tidak layak ditumpukan pada diri satu orang saja. Harapan tidak tunggal, tapi majemuk. Lelaki yang baik bukan hanya seorang, tapi banyak.” Pita Loka gembira dengan bahasa perlambang yang diucapkan ayahnya itu, dia yakin bahwa tujuan ayahnya begitu luhur dan baik. Ketika Pita Loka asyik berbincang dengan ayahnya, waktu itu Gumara Peto Alam sudah kembali ka rumahnya, dan membaca kembali Kitab Tujuh, yang dimulainya pada Kitab Ketujuh. Dia teliti intisari kitab itu, apa rahasia yang tersembunyi dari pengertian kalimat demi kalimatnya. Tiba-tiba Gumara riang sewaktu dia yakin ada sebuah kalimat yang berbunyi: “Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari.Sesungguhnya mencari madu rahasia yang manis.” Jika kalimat ini disusun dengan kalimat sebelumnya, tidak punya arti. Juga jika dikaitkan dengan kalimat berikutnya, lebih tak punya arti. Kalimat berikut itu berbunyi; Orang yang memakai terompah berkelahi Tanda bukan pendekar pintar. Maka, Gumara cepat membuka Kitab Pertama dan mengkaitkannya dengan kalimat rahasia dan Kitab Ketujuh tadi.   Sesungguhnya ada sesuatu di lembah Suliram yang madunya asam berisi kekuatan Dan dibukanya pula Kitab Keenam untuk menemukan jalinan kalimat ini. Maka ditemukannya kalimat yang berdiri sendiri, yang tak ada kaitan dengan kalimat sebelum maupun sesudahnya. Kalimat di Buku Keenam itu berbunyi: Kekuatan dari madu yang dijilati semut hitam Membuka rahasia warisan Kerajaan Solaiman Dan dengan tergesa penuh semangat dibukanya Buku Kedua dari Kitab Tujuh itu untuk menemukan kalimat-kalimat rahasia. Dia menemukannya segera: Selain kekayaan, orang gila pun dapat disembuhkan Oleh semut yang mestinya dicari di guha itu. Karena bersemangat, Gumara lantas membuka Kitab Kelima, yang dia temui lagi kata-kata rahasia: Kerajaan Isa menyembuhkan lumpuh dan buta Sungguh madu sama mujarabnya dengan sarang laba – laba. . . . Gumara lebih bersemangat lagi setelah menemukan Rahasia Kitab Kelima. Lalu dibacanya dengan tekun pula Kitab Ketiga untuk mendapatkan rahasia. Memang sedikit terdapat kesulitan. Tapi ketika dia menemukan kalimat :Tiga itu! sebetulnya tiga rangkaian . . . . Gumara mencoba meneliti kembali berulang kalinya kalimat itu semenjak awal pembacaan. Jadi,rahasianya, pikir Gumara, dicari tiga rangkai kalimat. Itu ditemukannya pada susunan kalimat ditengah kitab. Lalu dekat akhir kitab, lalu dipenghujung kalimat kitab tersebut. Kalimat itu, jika dirangkaikan adalah: Laba-laba yang membuat sarang melindungi isteri isteri melindungi suami karena butuh keturunan Keturunan menjamin kelangsungan dunia, periksa nama. Kunci seluruh ilmu Kitab Tujuh, seperti diyakini Gumara adalah. Buku Keempat. Begitu kalimat pertama dari kitab itu dia baca, dia sudah meyakini diri arti “nama” dalam Kitab Ketiga dari kalimat rahasia itu. Sebab begitu dia membacanya, dia sudah membaca sebuah nama Yogandala bernyawa dari langit 12 sangga, lalu ditemukan pula kalimat: Menuturkan kepada Dwi Satya rahasia kisah ini, yang pasti bahwa Dwi Satya itu sebuah nama pula. Dan ditemuinya pula kalimat :Kekebalan otot Tri Abdalla,pagar perkasa Dan ditemuinya kalimat;Seluruh pagar itu 17 baris terpujilah yang ke— 4, yaitu Nun, nama ikan .   Angka ini diperhatikan Gumara. Dia menghitung jumlah baris sejak dari Buku Ketujuh, Kesatu, Keenam, Kedua, Kelima, Ketiga dan Keempat, kalimat rahasia itu memang Tujuhbelas baris seluruhnya. Untuk melaksanakan petunjuk tujuh buah kitab itu, agar Gumara merasa tertib mengamalkannya, dia pun menyusun seluruh 17 baris kalimat rahasia itu. Agar dapat ditafsirkan. Maka diambilnya kertas, dimulainya urutan dari Kitab KeTujuh seluruh 17 baris kalimat rahasia itu: Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari Sesungguhnya mencari madu rahasia yang manis Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram Yang madunya asam berisi kekuatan Kekuatan dari madu yang dijiati semut hitam Membuka rahasia warisan kekayaan Kerajaan Solaiman Selain kekayaan, orang g!!a pun dapal disembuhkan Oleh semut yang mestinya dicari di guha itu Kefajaan Isa menyembuhkan lumpuh dan buta Sungguh madu sama mujarabnya dengan sarang laba-laba Laba-laba yang membuat sarang melindungi isterinya Isteri melindungi suami karena butuh keturunan Keturunan menjamin kelangsungan dunia, periksa nama Yogandala bernyawa dari langit 12 sangga Menuturkan kepada Dwi Satya rahasia kisah ini Kekebalan otot Tri Abdalla, pagar perkasa Seluruh pagar itu 17 baris terpujilah yang ke-4, yaitu Nun, nama ikan. Kepala Gumara menggeletak di atas meja, menindih 17 baris yang ditulisnya dalam keadaan capek dan mengantuk. Paginya dia dibangunkan Alif yang menggedor pintu: “Tuan Guru tidak mengajar pagi hari ini?!” “Mengajar! Mengajar!” seru Gumara langsung bangun, menyusun seluruh kitab dan mempersiapkan diri dengan bercuci muka, untuk pergi mengajar. Dan, setiba di sekolah, dia didatangi oleh Pita Loka: “Apa yang Pak Guru pesankan pada saya, sudah saya laksanakan”. “Baik, terimakasih”, ujar Gumara. “Ayah mengundang anda untuk makan siang di rumah kami, Pak Guru”, ujar Pita Loka lagi. “Oh ya! Terimakasih”. “Saya sendiri yang memasaknya tadi subuh”. “Kalau begitu saya perlu datang”, ujar Gumara. Gumara asal ngomong. Sebab pikirannya tertuju pada keinginan untuk cepat mengamalkan petunjuk Kitab Tujuh itu. Dia yang cerdas dan terang otak, dari dulu ingin mengetahui pelbagai rahasia. Ketika masuk kelas, dia ditanya oleh muridnya Ratna: “Pak Guru kemarin bolos karena mencari Harwati ya Pak?” Ditatapnya Ratna. Dia akan marah sebetulnya. Lalu dia ingat, berita ini pasti diceritakan oleh Pita Loka akibat rasa cemburu dan bersaing. Dia dengan tenang menulis di papan tulis: FISIKA. Hukum Brewster: Sudut polarisasi p, berhubungan index bias n seperti ini, cos p = n sinus p= n ctg p = n tg p =n Setelah menulis itu, Gumara berkata: “Salin yang baik di kitab rumus. Hidup kalian pun akan becus apabila menyadari arti rumusan hidup, ini Fisika, yah kehidupan Alam Semesta inipun diatur Tuhan dengan ilmu Fisika Ilahi, mengerti kamu Ratna?” Ratna terdongak kaget, lantas malu tersipu. Biarpun Ratna malu tersipu, dia memberi isyarat kepada Pita Loka. Pita Loka lalu mengacungkan telunjuk: “Boleh bertanya, Pak Guru?” Gumara menatap pada Pita Loka, lalu menjawab: “Tidak boleh”. Pak Guru kejam”! kata Ratna, “Yang kejam itukan fitnah. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan”, kata Gumara. “Jangan menyindir gitu, Pak Guru!” balas Pita Loka. “Sudah, salin saja rumus itu”, kata Guru Gumara. Setelah itu, dia menerangkan pelajaran ilmu Fisika, dan beberapa contoh mengenai rumus Brewster, “Sekarang, kita memasuki Bab baru, yaitu Medan Listrik”, kata Gumara kepada murid-murid itu. “Tentu mengenai Hukum Coulomb”, kata Pita Loka. Gumara kaget: “Eh, darimana kamu tahu?” “Masih di SMP saya sudah tahu”. “Kalau begitu coba tuliskan rumus Hukum Coulomb”, kata Gumara. Pita Loka memperbaiki kacamata hitamnya, lalu meninggalkan bangkunya, lalu menulis papan tulis. Dan dia pun menuliskan di papan tulis itu dengan huruf-huruf jelas dan bagus: Hukum Coulomb: F =K ql q2                   r kwadrat Gumara menoleh: “Betul, tapi kwadratnya jangan ditulis dengan huruf, tapi angka”, dan Pita Loka pun menghapus tulisan kwadrat menjadi angka 2 di atas pojok huruf r. Sebelum Pita Loka meninggalkan papan tulis, Gumara sempat bertanya perlahan pada Pita Loka: “Bagaimana keadaan matamu?” “Buta”, sahut Pita Loka dan kembali duduk di kursinya. Dia tahu pertanyaan itu sekedar basa-basi belaka. Dan setelah tulisan Pita Loka di papan tulis itu, Gumara menulis lagi dibawahnya beberapa sistim mks, cgs, kuatmedan listrik dan seterusnya beberapa rumus lagi. Tapi ketika Gumara menuliskan itu semua, otaknya mengembara pada rumus-rumus Kitab Tujuh, terutama Kitab Ketujuh yang kalimat rahasianya berbunyi:”Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari. . .”, yang dianggapnya adalah sebuah tempat. Memang tak sulit bagi Gumara untuk memahami arti simbolis kata-kata itu. Yang menjadi “semut” dalam tafsir kalimat itu adalah Gumara sendiri. Dia harus mencari satu tempat, sebuah celah berbentuk lubang, tempat terbenamnya matahari. Celah itu tak lain dari dua ngarai yang bertemu ujungnya, disebelah barat Kumayan ini, Dia harus kesana . Celah itu bernama Ngarai Surya Mutih. agak sedikit ke timur dari Lembah Gading. Jika nanti sehabis makan siang di rumah Pita Loka aku terus berangkat ke celah itu, aku bisa kembali malam ini juga dan besok tidak bolos, pikir Gumara. Tetapi semua gerak tingkah Gumara mendapat perhatian khusus Pita Loka. Dia ia tahu betul bahwa Guru Gumara bukan berada dalam kelas ketika mengajar dan duduk menanti muridnya menyalin rumus. Tapi Guru Gumara sedang mengembara dalam pikirannya ke satu tempat. Pita Loka ingin sekali menanyakan apa hasil petualangannya semalam dan kemarin. Tampaknya petualangan setelah ditinggalkan Pita Loka itu menemui kegagalan. Gumara pasti tidak berhasil menaklukkan Harwati. Tapi di mana Harwati, jika tak berhasil? Pita Loka tak mampu menjawab pertanyaan diri sendiri ini! Memang jam undangan itu sudah diperhitungkan Pita Loka, sebab antara jam 11 sampai jam 1 siang. Tak ada daftar pelajaran. Di sini kekurangan guru. SMAnya pun masih dalam bentuk sekolah percobaan. Tepat jam 11, Pita Loka mengingatkan lagi Guru Gumara: ““Pak, jangan lupa sesudah jam 1 makan siang di rumah saya”. “Saya tidak lupa, Pita Loka”, katanya. Dan memang Gumara tak lupa. Dengan bersepeda dia menuju rumah Pita Loka. Tapi alangkah kagetnya dia, sewaktu dia melihat ada seorang tamu. Bukannya karena tamu itu gagah. Bukannya karena tamu itu mengejutkan. Tapi karena tamu itu membuat Gumara tercengang lalu menyalami, lalu berseru: “Kamu inikan Yahya Laksana?” Ki Putih Kelabu, dan Pita Loka, tercengang. “Aku sekarang memakai nama Dasa Laksana”, ujar Dasa Laksana. “Dia ini sepermainan bola dengan saya diwaktu SO di desa Tarab”, kata Gumara. “Sungguh merupakan pertemuan tak terduga. Kini beliau tamu saya, nak Gumara Peto Alam”, ujar Ki Putih Kelabu. “Kalau masih lama akan di sini, mampir ke rumah saya, Yahya”, ujar Gumara “Saya cuma mampir untuk bertemu dengan Ki Putih Kelabu saja, Gumara”, “Saya tahu, saya tahu”, ujar Gumara.   Selesai bersantap siang, Gumara pamitan. Lalu pulang. Lalu pergi lagi... Memang, segala sesuatunya kadangkala di luar dugaan manusia. Gumara mengira bahwa pengembaraan untuk memulai kembali melaksanakan ujud Kitab Tujuh amat mudah. Sebab kunci – kuncinya sudah dia dapatkan! Padahal tidak!. Memang betul, dia tiba di bukit timur tatkala matahari hampir terbenam. Dia duduk di rumput hijau bukit itu. Matanya menatap turunnya matahari menuju celah yang bernama Ngarai Surya Mulih. Dilihatnya dua ngarai itu puncaknya beradu. membentuk lingkaran bundar sebagai celah. Lalu ketika matahari bulat merah, letak matahari itu tepat pada lingkaran celah itu. Sehingga matahari itu tampak bundar. Gumara gembira sangat! Gumara mendadak lupa untuk memperhitungkan jarak antara bukit tempat duduknya sekarang dengan Ngarai Surya Mulih itu. Bukan jarak yang bisa ditempuh sehari dua hari, Dan ia lupa bahwa besok dia harus berada kembali di Kumayan demi tugas mengajar, Dia mulai melaksanakan perjalanan itu. Karena penuh semangat, Gumara tak sadar bahwa matahari baru telah muncul kembali. Hari telah jadi pagi!. Barulah dia kini menyadari, bahwa perjalanan ini bukan sembarangan. Untuk kembali? Tidak mungkin. Pada hari pertama Gumara bolos mengajar, belum ada gunjingan. Juga pada hari kedua, Tapi setelah hari kelima Gumara tak hadir mengajar, gunjing sudah merambat di SMA Kumayan. Bahkan seluruh desa Kumayan mempergunjingkannya! Dan Pita Loka terlibat untuk menjawab pertanyaan banyak orang dan guru - guru. Pita Loka dengan ringan menjawabi mereka: “Kalian salah alamat. Aku tak ada hubungan darah dengan Guru Gumara. Dia datang kesini, aku tak rugi. Dia pergi dari sini, aku pun tak rugi”. Kini, Gumara telah seminggu dalam perjalanan. Tapi jarak yang ditujunya dirasanya masih jauh lagi. Mungkin baru sepertiga perjalananlah yang baru ditempuhnya. Dia mulai merasa lelah. Dia melihat ada beberapa pondok. Dia ingin singgah di sini untuk beristirahat. Melihat keadaannya, pondok-pondok itu cuma pondok darurat. Gumara melihat beberapa lelaki saja ada disana . Mereka berpakaian hitam. Begitu mereka melihat Gumara, lelaki - lelaki itu mencurigainya. Mereka saling berbisik. Gumara lalu membatalkan menginap di kawasan ini. Lalu dia melanjutkan langkah. Mendadak saja, tanpa diduga, dia dicegat oleh lelaki-lelaki berbusana hitam itu. Lagak mereka menantang. Mereka mengolok-olok Gumara. Salah seorang dari mereka malahan menghalangi langkah Gumara, dan menggertak: “Tuan berani lewat tanpa izin di kawasan ini, ya?” “Baiklah. Saya minta izin melewati kawasan anda”, jawab Gumara. “Wah, bukan begitu caranya, Tuan!” “Jadi bagaimana yang baik?” tanya Gumara. “Kami harus tahu tuan mau kemana?” “Saya mau mengembara”, ujar Gumara. “Sebutkan arah tujuan tuan!” “Saya akan ke Ngarai Surya Mulih”, ujar Gumara. “Kesana, mau menemui siapa?”, tanya pembentak itu tambah ngotot. “Menemui siapa?” tanya Gumara keheranan. “Sebutkan nama orang yang mau tuan temui”, kata pembentak itu. “Kalian jangan bikin gara-gara. Lihatlah, saya bertangan kosong, tanpa senjata”, ujar Gumara yang mulai jadi geram. “Tanpa mau menyebutkan nama, tuan tentu bermaksud jahat kesana. Itu tidak baik.” “Lalu yang baik menurut kalian?” “Yang baik menurut kami adalah melangkahi mayat kami dulu, baru tuan bisa kesana ”, ujar penantang itu. Gumara menatap satu demi satu lelaki-lelaki itu. Tampaknya sudah komplit semuanya, seluruhhya 23 orang termasuk yang baru muncul. Gumara berpendapat, jika ditunggu mereka menyerang dan tambah kurangajar, ini akan mengurangi kemampuan bertempur. Langsung saja satu tendangan menyuruk menghantam rusuk penantang, diikuti sekelebatan berikutnya tendangan ke samping dan kemudian ke muka dan kebelakang. Pada keadaan terdesak Gumara terpaksa meloncat tinggi yang ketika turunnya menghantamkan tendangan belah paha mengenai bahu dua musuhnya, Gumara mengambil acuan sejenak setelah delapan orang menggeletak. Mereka tampak ketakutan. Detik-detik ini musti dimanfaatkan. Seketika itu juga Gumara maju dua langkah untuk melakukan tendangan lingkaran, tepat ketika segerombolan mereka maju. Ujung kaki kanan Gumara yang melakukan tendangan putar itu menampari satu demi satu kepala lawannya, sehingga sebelas orang mereka jatuh menggeletak. Tinggal empat orang lagi. Mereka akan lari, tapi Gumara cepat mencegatnya setelah dia lompat dari pohon ke pohon. Kini giliran Gumara mencegat mereka. Gumara menatap keempat orang itu tanpa bicara. Ketika keempat musuhnya itu merasa ragu, ketika itulah Gumara menyapu dengan sambaran kaki kedua rusuk lawan, dan menyergap dua orang lagi dengan membantinguya setelah berhasil memegang kedua lengannya. Seluruhnya, 23 lawan, dalam keadaan menggeletak, tak berkutik. Gumara memang tidak membunuh mereka. Dia tidak keluarkan seluruh ilmu yang dia punyai, kuatir kalau-kalau dibelakang mereka ada seorang Guru yang mungkin memiliki ilmu yang lebih tangguh! Di luar dugaan sama sekali, 23 lelaki berbusana hitam itu sudah muncul menjelang malam tiba, sewaktu Gumara akan naik pohon untuk beristirahat diantara dedahanan. “Kami belum jadi mayat, jadi tuan musti pulang”, kata penantang berbaju hitam, yang tadi juga. Gumara mulai merasa geram. Dia tidak turun dengan begitu saja. Dia melompat terjun, dan langsung berhadapan. Dia bagai dikurung oleh lingkaran kehitaman. Kini Gumara yang menantang: “Maju kalian, bangsat!” Pimpinan penantang itu,maju dengan langkah tegap. Lalu dia berdiri tegak. Gumara menyikat dadanya dengan jurus pukulan Adam, menggedor dadanya. Mestinya darah muntah dari mulut lawannya. Tapi ini tak terjadi. Bahkan lawan itu tak bergerak seujung rambut pun. Gumara menyikat lagi dengan pukulan sisi lengan disertai teriak. Lawannya tak berkutik. Lalu Gumara menyikat dengan tendangan kaki dan hantaman deras menggedor dada lawannya. Lawannya hanya tersenyum. Gumara belum puas. Dia mengundurkan langkah, dan dia sapu silih berganti seluruh lawan hitam yang melingkarinya bagai pagar hitam. Tak seorang pun diantara mereka yang bergeser. “Tuan harus! menyerah. Kami semua kebal”, kata yang maju pertama dan tak mempan pukulan. “Saya tidak akan menyerah”, ujar Gumara. Gumara seketika diserbu mereka, dan ketika itulah Gumara membuang semua nafas kecuali seperlunya bagi paru-paru. Pukulan dan tendangan mereka seluruhnya membal, sehingga Gumara bangkit lagi dengan tetap tenang, diserbu dan diterjang lagi oleh mereka, dan mereka membal bahkan berbenturan tubuh satu dengan lainnya. Ketika itulah Gumara cepat melompat ke pohon dikala lawannya tercengang keheranan. Gumara melompat dari dahan ke dahan bagaikan seekor macan kumbang. Begitu cepatnya, sehingga mereka tidak lagi melihatnya kecuali bekas-bekas asap. Ketika Gumara tiba dipohon terakhir, dia disambut oleh terbitnya matahari dari arah timur. Dari atas pohon itu Gumara menyaksikan sinar matahari menimpa Ngarai Surya Mulih. “Masih jauh”, ujarnya dalam hati. Dia tiba-tiba merasa heran, karena jarak yang telah ditempuhnya selama delapan hari sepertinya tidak bertambah dekat. Lalu kembali ingatannya pada 23 orang berbusana hitam. Dia ingat, mereka menanyakan siapa yang akan ditemui! “Itu berarti ada seseorang di Ngarai Surya Mulih”, katanya dalam hati. Dan orang itu pasti seorang yang hebat. Jika demikian, mereka tadi itu adalah “pagar betis” dari sang Guru. “Harusnya aku berbaik-baik pada mereka. Mereka ilmunya ilmu kebal, yang mungkin dipakai mereka tanpa proses tapi sekedar tempelan”, kata Gumara lagi dalam hati. Tapi Gumara bukannya seorang yang semangatnya mudah padam. Dia turun dari dahan dan melanjutkan perjalanan lagi. Dan sore ini merupakan sore yang kesembilan dia menyaksikan bundaran matahari senja bagaikan bola merah ketika berada tepat di Ngarai Surya Mulih. Dia melanjutkan perjalanan terus, sore, malam dan pagi serta siang. Dia selalu diliputi rasa aneh, kenapa jarak ke Ngarai Surya Mulih itu tidak berubah-ubah. Sepertinya masih dalam jarak pada hari yang pertama saja! Di SMA Kumayan, sebulan setelah perginya Gumara, kelihatan Pita Loka berada selalu dalam kelas jika jam istirahat tiba. Dia belum melepaskan kacamata hitamnya. Tampaknya kebutaannya belum berhasil disembuhkan ayahnya. Dua hari yang lalu ayahnya berpamitan meninggalkan Kumayan. Biarpun Pita tidak diberitahu ayahnya ke mana, tapi ia sudah yakin beliau mengajar ilmunya kepada Dasa Laksana. Masih menjadi tanda tanya baginya hingga sekarang, siapa sebetulnya Dasa Laksana? Apakah memang cuma kebetulan saja?. Karena ketika makan siang terakhir bersama Guru Gumara, Guru Gumara menyebut orang itu dengan sebutan Yahya Laksana. Bukan Dasa Laksana. Untuk merasa curiga tak perlu. Perkenalan Pita Loka pada tamu itu memberi kesan baik. Bahkan ayah tampaknya ingin menjodohkan Dasa Laksana dengan saya, pikir Pita Loka.   Ternyata Pita Loka mengalami tekanan batin. Yang dia minta dari hidup ini bukan sekedar pakaian badan, tapi pakaian hati. Hatinya akhirnya berontak pada sikap ayahnya! Dia tahu, hatinya memang terlalu mencintai Gumara. Seluruh yang terjadi sejak perginya Gumara selama ini, baik dari dia maupun dari ayah semuanya itu hanya pakaian badan, gengsi, dusta-dusta dan basa basi. Pita Loka berontak! Dia menunggu ayahnya sampai pulang setelah pergi selama semingu. Dia tunggu dengan berdebar. Begitu ayahnya masuk rumah bersama Dasa Laksana dengan serta merta Pita Loka berkata: “Saya bukannya ingin melawan ayah. Tapi saya ingin berterus terang, bahwa ayah mewarisi ilmu harimau kepada tamu ini tidak dengan setulus hati. Pasti ayah berdendam kepada Guru Gumara, supaya orang ini memiliki kemampuan”, “Nanti dulu, Pita Loka”, potong ayahnya. “Saya belum menyatakan seluruhnya”, kata Pita Loka. “Silahkan, anakku!” ujar Ki Putih Kelabu dengan wajah hiba. Pita Loka menatap pada Dasa Laksana: “Anda seorang lelaki, yang ingin menjiwai sifat ksatria lewat ayahku. Mulanya saya yakin maksud anda baik. Bahkan saya sudah siap sekiranya ayahku menjodohkan anda pada saya, saya akan bersedia, itupun jika anda sudi mengawini gadis buta! Tapi tiba-tiba saya meragukan kejujuran anda datang ke sini, Anda datang ibarat sebuah misteri. Dibelakang anda ada tabir asap. Orang itu sengaja menyuruh diri anda ke sini, karena tahu anda pemuda ganteng. Orang itu ingin agar saya jatuh cinta pada anda, lalu setelah kita kawin dia akan merebut ilmu dan seluruh tempat rahasia ayah saya, untuk dirinya! Saya kagum karena anda berani memakai nama Dasa Laksana. Nama anda Yahya Laksana, lalu siapa yang merubah nama anda?. Bukankah pendekar buntung yang namanya Dasa Laksana yang mengutus anda ke sini?” Wajah Pita Loka beringas. Keringatnya menetes. Tamu itu terkesima penuh keheranan. Ini membuat Pita Loka bangkit jengkel, lalu menyergap ikat pinggang lelaki itu dengan tangan kiri, dan dia banting seketika itu juga. Pemuda itu meringis menahan sakit. “Aku sama sekali tidak mengenal ilmu silat”, katanya bangkit meringis. Ki Putih Kelabu segera menengahi: “Kamu jangan terburu nafsu, Pita Loka!” Penengahan ayahnya ini membuat Pita Loka menjadi kalap, lalu menghajar dada Dasa Laksana, tapi karena dia menangkis dengan gerak refleks tinju itu meleset, dan inilah yang membuat Pita Loka mengamuk dengan sergapan pada pinggang lawannya dan dia lemparkan tubuh itu sampai menabrak pintu. Ketika Pita Loka akan melompat menerjang, Ki Putih Kelabu terpaksa menyergap punggung puterinya, dan dia balikkan tubuh Pita Loka dengan cara pembalikan yang luar biasa cepatnya. Hal ini membuat Pita Loka memeluk ayahnya dengan menyesal. Dia menangis terisak-isak: “Aku benci orang itu menipu ayah!   Aku benci ayah tergoda pada kegantengannya, padahal dia utusan Ki Dasa Laksana, penganut ilmu iblis!” “Dengar dulu, anakku. Kesabaran adalah bagian dari kependekaran. Kau bukan sembarang orang. Kau murid dari Guru Besar Ki Surya Pinanti. Untung ayah isi tubuh tamuku ini dengan sinar getaran, sehingga dia luput dari pukulan mautmu. Jika tidak . . tentu kau akan jadi perkara polisi. Nah, maukah kau mendengarku?” “Mau, ayah”, suara Pita Loka merintih menyesal. “Dia sudah kuteliti sebelum kuajar. Soal ayah berniat menjadikan dia menantu, itu karena aku ini seorang manusia biasa. Dalam hal ini jangan lihat ayahmu ini sebagai pendekar atau Guru. Tapi lihatlah sebagai manusia, sebagai ayah yang ingin punya menantu. Tapi sekiranya kau tidak suka padanya, ini tak dapat dipaksakan. Tak ada pohonan yang pucuknya ke bumi, kecuali pucuk itu menghadap langit. Nah, minta maaflah pada tamu ini. Dia bukan murid Ki Dasa Laksana. Namanya sama, karena kebetulan. Dia merubah nama Yahya dengan ganti Dasa, itupun karena dia putera kesepuluh orangtuanya. Dari sepuluh, supaya kau tahu!” “Kalau begitu, ijinkan aku pergi”, kata Pita Loka. “Kemana lagi?” “Aku ingin menyembuhkan mataku yang buta ini”, kata Pita Loka. Ki Putih Kelabu mencucurkan airmatanya. “Semua sungguh diluar dugaan, anakku! Hidup ini ibarat pohonan yang banyak cabangnya. Bukan cuma hanya persoalan cinta. Banyak lagi urusan kehidupan selain cinta. Tapi jika kau sudah keras hati untuk pergi, mengingat pengalamanmu yang banyak, terserahlah. Tapi sebutkan dulu arah tujuanmu! Tujuan itulah yang tidak mau disebutkan oleh Pita Loka. Hati yang memberontak itu sebenarnya bukan semata-mata karena rindu dan cinta. Hati yang keras bagai baja iu berani memberontak karena menafsirkan mimpi. Mimpi itu jelas, bagai hidangan tersedia. Mimpi itu bahkan sudah direkam Pita Loka, dituangkan dalam bentuk tulisan di selembar kertas. Dan kertas itu pun sudah dia simpan dalam kantung celananya. Bahwa petunjuk itu harus malam ini juga dilaksanakan, juga sudah memantapkan hati Pita Loka. “Tentu kau berniat pergi bukan semata-mata karena kekesalan hati, anakku”, ujar Ki Putih Kelabu dengan air mata bercucuran. “Ucapan itulah yang saya kehendaki dari ayah”, ujar Pita Loka.   “Kau selalu mengamalkan ilmu Nabi Yusuf yang pandai menafsirkan mimpi. Pergilah. Tapi jangan pergi dengan hati kesal. Berangkatlah dengan hati yang bersih, Yang terlebih penting, jangan curigai muridku ini apabila mengenai dirinya tidak tercantum dalam mimpimu”, kata Ki Putih Kelabu yang masih mencucurkan airmata. Pita Loka menghatur sembah berlutut dihadapan ayahnya. Lalu dia menoleh sejenak pada Dasa Laksana. Tanpa berkata. Kemudian dia pun berlalu menembus malam yang gelap. Perjalanan Pita Loka seakan – akan perjalanan sebuah bintang dilangit yang bergerak menuruti aturan alam. Tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak lamban. Ketika pagi harinya ia tiba pada sebuah tempat, lalu didatangi oleh 23 lelaki berpakaian hitam, Pita Loka pun tidak terheran-heran. Karena hal itu sudah dia perdapat dalam mimpi secara jelas. Laki-laki itu menghampirinya. Memberi salam padanya. Lalu berkata: “Dengan pakaian hitam tuan, kami yakin tuan adalah Ki Buta.” “Betul”, sahut PitaLoka. “Kami ditugaskan mengawal tuan”, ujar lelaki tadi. “Terimakasih”, sahut Pita Loka. Pita Loka lalu mengikuti pengawal di depannya yang berjumlah tiga orang. Di kanannya dia dikawal olehlima orang. Di kirinyalima orang. Dan di belakangnya sepuluh orang. Dan perjalanan itu menjadi ringan bagi Pita Loka, sekalipun pengawal-pengawalnya tidak mengucapkan sepatah kata. Sesungguhnya perjalanan itu dahsyat. Langkah manusia biasa baru bisa melangsungkannya selama 3 bulan, tepatnya 100 hari. Tetapi dalam pengawalan 23 lelaki tegap berbaju hitam-hitam itu, Pita Loka merasa benarnya kunci rahasia yang diceritakan oleh lelaki tua dalam mimpi itu. “Anda akan dikawal oleh semut-semut hitam”, ujar lelaki tua di mimpinya itu. Tetapi setelah berjalan kaki selama tujuh hari, para pengawal itu berkata: “Kami hanya mengantar sampai di sini. Tugas kami hanya sampai gerbang Surya Mulih saja”. Pita Loka berkata: “Terimakasih. Memang sampai disinilah tugas kalian. Kalian harus kembali”. Setelah para pengawal itu pergi, maka hujan pun turun sehingga Pita Loka merasa seperti dimandikan oleh alam. Curahan hujan itu baginya bagai sebuah hadiah, ibarat diguyur supaya segar bugar dan mendapatkan tenaga baru kembali!. Baru Pita Loka menyadari, bahwa dia sudah melaksanakan amalan mimpi itu tahap pertama. Seperti kunci yang disebutkan pak tua dalam mimpi, yang bunyinya. “Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari”, Kini, seperti sudah dicatat Pita Loka, dia mestilah memasuki kunci pada kalimat kedua: “Sesungguhnya mencari madu rahasia yang manis”.   Seketika alam pun cerah. Dan telinga Pita Loka mendengar bunyi lebah dari suatu arah. Lebah itu keluar dari samping kiri tempat dia berdiri. Hal ini bukan pengalaman baru bagi Pita Loka. Baginya lebah itu pernah menjadi kawan. Bahkan jadi anak buah!. Tentu disitulah isyarat adanya madu, Pita Loka menuju kesana . Ketika dia melangkah melewati semak, dia menghentikan langkahnya mendadak. Dia melihat adanya jalan setapak. Lalu dia melihat semut-semut hitam yang beriringan-iringan. Persis seperti mimpi, Pita Loka mengikuti semut-semut yang beriringan itu. Itu semua sesuai dengan petunjuk pak tua dalam mimpinya itu; “Ikutilah perjalanan semut itu. Jangan injak dia, karena kamu sedang mengamalkan tingkah laku Nabi Solaiman yang pandai berbahasa semut”. Lalu perjalanan semut itu ternyata sampai di mulut guha. Dua orang berpakaian hitam menyongsongnya, persis seperti dalam mimpi, “Jika tuan adalah Ki Buta, maka tuan diperbolehkan masuk”, ujar orang itu, “Kami akan mengawal tuan”, Pita Loka menoleh, melihat semut-semut hitam itu, memasuki guha itu. Ketika Pita Loka memasuki guha itu, seketika itu juga perasaannya tenteram. Seluruhnya sesuai seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Bila ada seorang lelaki tua, berpakaian hitam, dikawal oleh dua orang kate, tahulah Pita Loka, bahwa inilah orang yang dalam mimpi itu. Janggutnya yang panjang hingga ke perut, kumisnya dan alis matanya yang putih itu, lalu kepalanya yang diikat oleh selembar ikat putih . . . semuanya mirip mimpi. “Selamat datang di padepokanku, anak!” ujar si tua itu. Lalu beliau bertanya lagi: “Apakah dalam perjalanan ke sini anda merasa haus?” “Tidak. Tuan Guru”. “Memang itulah yang kuharapkan sebagai jawaban. Sebab jika kau menjawab haus, maka itu berarti kau ingin minum. Kau akan kuberi madu. Tapi kau tidak mendapatkan ilmu. Kau ke sini ingin mendapatkan ilmu, sekaligus mendapatkan madu. Marilah aku tunjukkan padamu tujuh buah Kitab”, kata sang Guru. Pita Loka bertanya-tanya kitab apakah itu. Ketika Kitab-kitab itu diperlihatkan sang Guru, beliau bertanya: “Sudahkah kau melihat kitab semacam ini?” “Rasanya pernah”, kata Pita Loka.   “Memang kitab semacam ini seluruhnya ada tujuh buah. Yang memilikinya adalah harimau-harimau persilatan. Tetapi tentu ada salah seorang pengkhianat yang melakukan petualangan untuk memalsukannya. Tapi kitab yang pernah kamu lihat itu tentulah tidak palsu. Di mana kitab itu sekarang?” “Pada seseorang, Tuan Guru. Tuan lebih dahulu mengetahuinya daripada saya, karena saya tak usah menyebutkannya”. “Memang di Kumayan kitab itu cuma satu. Karena itulah disana bermukim pemalsu kitab-kitab harimau itu. Salah seorang daripadanya adalah Ki Lading Ganda. Kekacauan pernah terjadi tujuh puluh tahun yang lalu disana , sampai-sampai orang mengira di Kumayan ada tujuh manusia harimau. Itu tak benar. Tujuh puluh tahun lamanya orang-orang disana terbuai oleh kitab palsu, sehingga Ki Lebai Karat dan ayahmu Ki Putih Kelabu lantas turut tertipu. Ini kesalahan orang tua mereka sendiri, ilmu yang benar bisa berubah menjadi ilmu sesat, ananda!” “Jadi, siapakah sebenarnya tujuh manusia harimau itu?” tanya Pita Loka, “Keterangan itu baru dapat aku nyatakan empatpuluh hari yang akan datang. Sekarang ini belum waktunya. Waktu sekarang ini hanya dipergunakan untuk menyatakan kegembiraanku atas kedatanganmu. Selain itu saya ingin memaparkan kisah yang tidak pernah diungkapkan oleh ayahmu, begitu pun Ki Lebai Karat maupun Ki Lading Ganda dan beberapa orang mengaku “Ki” yang semuanya palsu karena kekacauan akibat kitab-kitab tujuh yang palsu, Memang ada beberapa orang yang pantas menyebut dirinya Guru. Tapi diakhirnya menjadi Guru yang kencing berdiri. Akibatnya, muridnya kencing berlari. Itu sudah jelas dalam pepatah. Biarpun pada mulanya Ki-ki atau Guru-guru itu semuanya ada juga yang becus, tapi karena dikacaukan oleh persaingan dan munculnya kitab palsu, maka munculah murid - murid yang sesat. Dari telapak kakimu aku tahu, bahwa telapak tebal itu merupakan bukti kau bekas pengembara. Kau pun telah memetik berbagai ilmu yang baik-baik, tapi juga ada kau alami ilmu yang sesat. Karena kamu ini ibaratnya emas dan bukan loyang, sekali waktu keemasanmu akan muncul kembali. Seperti ketika kau datang ke sini, karena menyadari kelebihanmu yang dahulunya dipunyai beberapa Nabi termasuk Nabi Yusuf. Yaitu kelebihan menafsirkan mimpi.” Beliau menatap Pita Loka dan berkata; “Jangan mungkir, kini kau mulai haus”, “ Betul, tuan Guru!”, ujar Pita Loka. Sebuah kendi diambil orangtua itu, yang masih belum menyebut namanya. Dua mangkok batok kelapa yang amat bersih ditaruhnya didepan dengkulnya dan didepan dengkul Pita Loka. Keduanya duduk bersila berhadapan. Lalu dari kendi itu dituangkan zat kental ke mangkok. Lalu diambilnya kendi lain. Kendi itu dituangkannya ke mangkok, dan cairan wangi masuk ke mangkok. Guru itu berkata; “Inilah madu rahasia, yang cuma ada di sini, untuk ikut menikmatinya. Kejadian ini tersurat pada Kitab Ketujuh, di mana ada kalimat rahasianya berbunyi; “Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari. Sesungguhnya mencari madu rahasia yang manis!” Nah, silahkan anda meminum rahasia madu itu hingga habis. Beberapa guru sudah kau temui, beberapa ilmu sudah kau pelajari dan dapati, tentu kau lelah. Inilah hiburan bagimu, . . ayoh, silahkan minum!”   Belum pernah Pita Loka menemukan lelaki tua yang suaranya begitu meresap seperti beliau. Orang banyak berbicara biasanya mudah menjemukan. Orang yang banyak berbicara biasanya ilmunya sedikit. Tapi inilah orang tua yang banyak bicara yang membuat pendengarnya terlena. Dan mungkin ilmunya tersembunyi dibalik lidahnya. Biasanya seorang guru langsung memberikan pelajaran bila dia berkenan pada calon murid. Tetapi sudah seminggu lamanya Pita Loka di padepokan ini, tak ada satu pun latihan atau ujian, kecuali hanya menjadi pendengar ucapan-ucapan sang Guru. Ceritanya sudah panjang, mengenai tujuh generasi guru-guru pendekar sebelum generasi beliau. Tapi beliau belum menceritakan siapa diri beliau. “Bolehkah saya menyela sedikit cerita Tuan Guru? Karena saya ingin sekali mengetahui siapa Tuan Guru!” kata Pita Loka hari itu. “Sudah kujanjikan, pada hari ke- 40 nanti, kuberitahu siapa saya”, kata sang orangtua, lalu dilanjutkan: “Apakah kau sudah bosan mendengar sejarah para pendekar?” “Tentu saja tidak. Malahan saya sepertinya tercekam sehingga saya tidak sabar lagi untuk mendengarkan kisah mengenai diri tuan guru sendiri”, kata Pita Loka. “Kalau kini kau sudah tujuh hari mendengar sejarah para pendekar, itu berarti 33 hari lagi kau akan kujamu mendengarkan cerita. Di sini semua makanan manis, semua cerita mengenai hal - hal yang indah dalam dunia kependekaran. Ceritaku yang terakhir sebelum engkau menyela dengan pertanyaan adalah mengenai riwayat moyang-moyangmu dahulu dari pihak ayahmu, Ki Putih Kelabu. Cerita yang hebat, bukan?” tanya sang guru. “Hebat sekali”, kata Pita Loka. “Kehebatan itu puncaknya pada riwayat Ki Giri, yang berwasiat pada puteranya si Pesut: “Hai Pesut, lestarikanlah ilmumu ini pada turunamu itu. Sampai dia sempurna mendapatkannya dari kau. Setelah itu barulah kau mati dengan puas. Tapi aku menduga, si Pesut justru tidak mewariskan ilmunya pada turunannya, karena dia takut mati. Maka anaknya mengembara kian kemari, haus ilmu, dan berpuluh guru sudah dijajakinya. Begitu pun nasib si Lele. Ki Loya sudah memesankan pada puteranya, si Lele itu; “Lestarikanlah ilmu yang kuwarisi padamu, kepada turunamu kelak!” “Siapa si Pesut dan si Lele ini, tuan?” sela Pita Loka. “Tunggulah. Bersabarlah, masih banyak lagi hari untuk mengungkapkan ini semuanya”, ujar sang Guru yang begitu simpatik jika menjawab. Lalu beliau melanjutkan: “Marilah kulanjutkan nasib si Lele tadi, yang kuatir mati jika ilmunya dia wariskan pada turunannya, secara menyeluruh, karena takut mati. Memang dia berbakat untuk menjadi Guru Besar. Tapi karena takutnya pada mati, maka dia akhirnya mati dua kali. Saat saya bercerita ini, orang itu, si Lele itu, sudah sampai beritanya ke sini bahwa dia sudah mati. Namun si Pesut belum. Dia sibuk mewariskan ilmunya pada turunannya yang lain, dari perkawinannya diam-diam pada seorang wanita lain.” Pita Loka mendengarkan terus dengan tekun melalui hari-hari yang indah, manis, dengan suguhan minuman madu yang membangkitkan kekuatan pada tubuhnya. Memasuki hari ke-39 di padepokan orangtua tak dikenal itu, Pita Loka bertanya: “Jadi, setalah tuan berkisah tentang si Talam Pendekar Pedang, yang mewariskan pada puteranya dua buah golok kembar, Tapi puteranya itu selalu keburu nafsu sampai mendapatkan Kitab Tujuh yang palsu itu, saya mengerti bahwa orang inilah Ki Lading Ganda. Saya juga menduga, ilmu harimau yang beliau punyai itu adalah bagian yang sesat. Saya pasti sekarang, memang betul dia bukan salah seorang dari Tujuh Manusia Harimau yang selama ini mengelabui masyarakat Kumayan. Juga saya sedikit mengenal siapa si Pesut maupun si Lele. Bukankah si Lele yang tuan maksud itu adalah Ki Lebai Karat?” “Lele, Pesut ataupun Kampret, semua itu nama panggilan mereka ketika kecil”, kata orangtua itu. “Ketika anda kecil, Tuan Guru, nama panggilan anda siapa?” “Lalu dalam keadaan sudah memegang padepokan ini, tentu anda punya nama tersendiri. Bolehkah saya tahu?” tanya Pita Loka. “Sejenak lagi matahari terbenam, akhir hari ke-39 aku menceritakan sejarah dunia kependekaran padamu. Tak sabarkah ananda menunggu sekali lagi matahari terbenam?” tanya sang Guru ramah. Barulah setelah matahari terbenam, tanda masuk ke dalam hari ke-40 tanpa diminta, sang Guru berkata, “Akulah Ki Tunggal!”. Pita Loka tercengang. Bukankah sudah ada pula Ki Tunggal di Bukit Tunggal? Ki Tunggal memahami keterkejutan Pita Loka. Lalu beliau berkata: “Aku tahu mengapa ananda terkejut. Karena Ki Tunggal yang pernah kaudengar adalah yang menghuni Bukit Tunggal, yang pernah tergoda oleh wanita bernama Senik Permatasari, yang hanyut di sungai lalu ditolongnya, Ia lupa pada sumpahnya, bahwa ia tak berhak memakai nama itu, lalu dia lupa juga pada sumpahnya agar tak tergoda oleh sex. Dua kesalahan besar dia sudah perbuat. Memakai nama yang bukan jadi miliknya. Memakai wanita yang bukan harus miliknya. Dua- duanya adalah kesalahan utama, anda!” “Bagaimana dengan Si Pesut?” tanya Pita Loka, “Kelebihanmu adalah dalam hal Rasa. Aku balik bertanya: Apa peraaanmu, nak?” “Perasaanku, Si Pesut adalah ayahandaku”, ujar Pita Loka. “Memang inilah penutup pengembaraanmu, Kau hanya dapat madu, ini zatnya, kemanisannya, dan ceritanya”, “Tuan tidak berkeberatan menyebut siapa - siapa Tujuh Manusia Harimau itu?” “Aku bukan berkeberatan. Tapi yang boleh engkau ketahui adalah, bahwa aku Ki Tunggal, pemilik salah satu Kitab serta kuncinya, dari tujuh kitab itu. Aku pemilik Kitab Ketujuh. Aku adalah yang tertua dari Harimau Yang Tujuh. Nah, ilmu sudah kamu dapatkan sepertujuh dari ilmu yang kau cari. Selanjutnya carilah sendiri olehmu enam ilmu yang lain melalui kelebihanmu dalam rasa. Malam ini kau masih diperkenankan menginap di sini. Tapi aku bukan mengusik atau ingin mengusirmu. Jika masih betah, tetaplah di sini. Jika hati terpanggil oleh katajaman rasa, silahkan mengikuti panggilan Rasa itu.” “Terima kasih atas segala madu dan kisah madu yang manis dari tuan selama saya berguru 40 hari.” “Kalau ototmu tak bergerak selama di padepokanku, itu sebagai masa istirahat otot itu.Barangkali kau mahfum, bahwa kalau otot yang sudah diliburkan, pasti akan mengalami tugas berat”. “Tugas berat? Jadi sekeluar dari padepokan Surya Mulih ini saya akan berjuang dengan otot?”. “Pertanyaan anda adalah jawabannya”, kata Ki Tunggal bernada damai. Memang hati Pita Loka sedikit damai karena nada yang damai itu. Lalu dia mohon diri untuk tidur ketempat yang sudah disediakan. Malam itu dia tidur dengan penuh tanda tanya sebelum matanya terpejam. Namun dia bermimpi juga setelah perjalanan tidurnya benar-benar dalam ketenangan, Dalam mimpi itu dia diberitahu oleh seorang lelaki tua dengan ikat kepala putih, yang muncul dengan meneteskan air mata “. Jangan ananda heran, jika esok matahari kelam karena terjadinya berita duka dikawasan Surya Mulih. Itu isyarat, bahwa tuan harus melanjutkan perjalanan menuju Lembah Suliram menemui saya. Perhatikan selalu semut-semut hitam sebagai petunjuk tempat saya, dimana di sini akan saya jamu dengan madu asam. Saya pesankan, jangan hiraukan orang yang menegur anda. Baik orang yang anda kenal, atau belum anda kenal. Kalau hal ini anda langgar, lenyaplah kesempatan anda untuk mendapatkan Kitab Kedua, sampai jumpa di Lembah Suliram.” Lantas Pita Loka terjaga dari mimpi itu. Pesan orangtua dalam mimpi itu diingat-ingatnya. Ketika itu Pita Loka mendadak merasa jantungnya bergoncang hebat, seperti akan mati. Tak lama kemudian dia mendengar suara orang menjerit, diikuti oleh suara tangisan banyak orang. Akhirnya padepokan dalam guha itu diliputi tangis yang riuh rendah. Apa yang telah terjadi?. Pita Loka lalu menyingkapkan tirai yang membatasi kamarnya. Dan dalam samar-samar dia melihat satu tubuh di tengah ruangan, dikelilingi oleh banyak orang. Lalu ada wanita tua bermata sembab mendatangi Pita Loka. Beliau berkata: “Aku Nyi Tunggal, isteri beliau yang barusan wafat. Kami harap anda jangan pergi dan ikutilah peristiwa penguburan beliau. Maukah tuan menginap 40 hari lagi sampai kawasan ini lenyap dari hari berdukacita?” Pita Loka tajam rasa. Dia ingat pesan mimpi itu. Dia tidak boleh meladeni orang bicara dengan sepatah katapun. Dia hanya diam. Nyi Tunggal heran dan bertanya: “Kenapa anda diam, tuan?” Pita Loka tidak menjawab sepatah kata pun. Dia hanya menyingkir meninggalkan orang yang semakin banyak berkumpul melihat jenazah Ki Tunggal yang berada ditengah-tengah ruangan. Lalu dia melangkah di pagi buta itu meninggalkan gerbang Ngarai Surya Mulih. Benarlah, seharian perjalanan itu dia tidak melihat munculnya cahaya matahari, karena alam sekeliling diliputi mendung. Pita Loka melangkah terus dalam tujuan yang mantap ke arah timur, tempat terbitnya matahari. Mendadak muncul lalaki-letaki berpakaian hitam. Mereka menegur Pita Loka, tapi Pita Loka terpaksa diam, meneruskan perjalanan. Dua puluh tiga lelaki berpakaian hitam itu lalu memaki-maki Pita Loka: “Uh, sombongnya kamu! Orang buta tidak membalas guna!” Pita Loka mendengar maki-makian itu. Tetapi dia tidak menoleh, apalagi menyahuti. Sekiranya dia berkata sepatah kata saja, seluruh tujuan pencaharian ilmunya menjadi batal. Hari demi hari Pita Loka melangsungkan perjalanan menuju Lembah Suliram, Tetapi hari demi hari Gumara juga dengan tekun selalu mau menuju ke arah Ngarai Surya Mutih. Tapi selalu saja dia merasa perjalanannya tidak menemui kemajuan. Bahkan dia tidak berjumpa dengan satu manusia pun. Dan hari ini, dalam penderitaan yang tak dirasuki putus asa pula, Gumara melihat satu noktah hitam diantara kehijauanpadang rumput. Dia melihat titik hitam itu nenuju ke arahnya. Gumara bukan kepalang gembiranya, ketika matanya melihat dengan yakin bahwa itu manusia. Gumara tidak cuma menunggu. Tapi dia menyongsong, Bahkan kecepatan langkahnya maju itu bagaikan setengah berlari. Makin dekat noktah hitam itu, semakin yakinlah Gumara bahwa manusia yang menuju bersongsongan dengannya itu adalah seorang wanita. Tapi kemudian dia tercengang, karena setelah dilihatnya, ternyata itu tak lain adalah Pita Loka. “Pita Loka!” seru Gumara gembira. Pita Loka agak tercengang juga beberapa detik. Dia tahu itu Gumara. “Pita Loka! Darimana kau?” Gumara girang menyongsong. Tetapi Pita Loka tetap meneruskan langkah tanpa menoleh sedikit pun. “Hai, Pita Loka, kenapa kau begini angkuh? Apakah kau bukan Pita Loka?” Pita Loka tetap meneruskan perjalanan. Dan Gumara tetap menguntitnya dari belakang. Pita Loka mendengar lagi suara Gumara dibelakangnya: “Mungkin kau bukan Pita Loka! Mungkin kau semacam iblis penggoda!” Dan Gumara berlari, tidak lagi menguntit. Kini dia mencegat. Dia kelihatan menjadi marah! “Berhentilah, Pita Loka! Kau memang Pita Loka!” ujar Gumara. Dan melihat sikap tutup mulut Pita Loka, Gumara lalu jadi geram. Dia ingin tahu darimana Pita Loka! “Tolonglah aku, Pita Loka!” geram Gumara berkata sembari menghadang, Hadangan Gumara itu membuat langkah Pita Loka terhenti sejenak. Hampir saja dia marah karena dihadang itu! Dan itu bisa saja membuat dia berkata-kata. Untung dia segera ingat, bahwa cobaan menyongsongnya dalam perjalanan ke Lembah Suliram ini, Pita Loka mengatur pernafasan, dan dia meloncat melampaui kepala Gumara, tetapi ujung kakinya dengan cekatan disambar oleh Gumara. Pergumulan melepaskan diri terjadi. Dengan menggeliat sembari menahan diri agar tak keluar sepatah kata maupun teriak, Pita Loka berjungkiran dan Gumara pun ikut berjungkiran karena tidak hendak melepaskan pegangannya. Untaian dua tubuh yang berjungkiran dengan tenaga maksimum itu sempat membuat burung-burung bangau yang sedang membuat sarang beterbangan. Saking sama keras hati dan sama kuat tenaganya, untaian dua manusia itu berketerusan berjungkiran, sampai menabrak sebuah pohon wuni yang seketika itu juga roboh dengan akarnya mencuat ke arah langit. Namun Gumara terus mencekal pegangan-nya, dan Pita Loka terus membuat dirinya jumpalitan, membuat diri Gumara pun ikut berjumpalitan. Tetapi ketika tubuh Pita Loka sempat menabrak pohon jambu mede, dengan cekatan dia pegang dahannya,dan dia membuat gerak balik jumpalitannya, sehingga Gumara lepas pegangan, malahan dia terlempar jauh ibarat batu ketapel lepas dari sarangnya. Tubuh Gumara menabrak satu bukit kapur yang rendah, dan terciptalah kepulan debu putih. Gumara berusaha melepaskan dirinya yang terperosok pada dinding bukit kapur itu, sekuat tenaga sampai lepas. Dia berusaha mengejar Pita Loka yang sudah melakukan langkah seribu. Gumara memegang beberapa pohon sehingga menciptakan kumparan asap, tetapi bila Pita Loka dalam lari seribu itu menabrak pohon, maka terciptalah api yang membakar dan menghanguskan! Sungguh tidak akan terduga peristiwa ini akan terjadi. Terbakarnya beberapa pohon yang dilintasi Pita Loka itu pulalah yang menjadi petunjuk jalan bagi Gumara untuk terus mengejar Pita Loka. Saking digebu oleh semangat limbubu, Pita Loka tidak menyadari dia menghadapi tebing didepannya. Tubuhnya melayang bagai bola api, lalu jatuh di sebuah lembah, namun Pita Loka sudah sempat melakukan gerak pijakan bangau yang tidak begitu mencecah bumi lembah . . Padepokan Saba Langit terpana beberapa detik menyaksikan Pita Loka yang muncul dengan sikap siap tempur. Ki Saba cepat meneriakkan komando: “Serbu orang sok pendekar itu!” Pita Loka membalik tubuh. Dia hadapi para penantang itu. Dalam sekelebatan terjadi pertarungan dahsyat. Tetapi Pita Loka seketika itu juga mengetahui, bahwa ilmu para penyerang itu barulah sebatas ilmu Angin. Ternyata mereka semua kebal! Tendengan demi tendengan kaki Pita Loka tidak membuat dada yang terkena gedoran telapak kaki Pita Loka itu membuat muntah darah. Cuma baju meraka terbakar dan hangus. Bahkan satu tendengan pusar api yang dilimbubukan kaki Pita Loka, hanya membuat lawannya berteriak karena seketika bajunya terbakar semuanya. Ki Saba naik pitam gara - gara melihat muridnya terbakar, kendati cuma bajunya saja. Pita Loka musti menghindari diri dari pantangan sampai melihat kemaluan lelaki telanjang itu, dan akibat kelengahan inilah dia kena sergap tendangan patok kobra, bertepatan sasaran kaki Ki Saba itu mengenai matanya yang buta. Pita Loka menghindari diri dengan bergerak lari ke samping mengingat dia merasa matanya seakan bengkak. Ki Saba merasa dirinya menang. Dia sudah bertekad untuk menghabisi nyawa lawannya. Dia meloncat dengan tujuan geprakan dua pahanya menghanyut leher Pita Loka, tetapi malahan KiSaba mendadak jatuh tersungkur sebelum kedua kakinya menggeprak leher Pita Loka.   Pita Loka tidak sempat memperdulikan hal itu, sehingga dia tidak tahu bahwa serangan KiSaba tadi dijagal oleh Gumara. Barulah dia tahu sehabis matanya yang perih dia gosok-gosok dengan lendir langit-langit mulutnya. Hampir saja dia emosi untuk menjerit melihat Gumara yang ditendang habis-habisan sampai tunggang langgang oleh Ki Saba. Kejadian inilah yang membuat Pita Loka harus melakukan pilihan. Melihat kaadaan Gumara yang parah itulah muncul sikap kependekarannya. Dia sapu habis dengan tendangan dan pukulan yang menerbitkan api seluruh murid Ki Saba, sampai seluruhnya bergelimpangan. Lalu kini giliran Ki Saba dia hunjam dengan pukulan yang menerbitkan api hingga rambutnya terbakar. Ki Saba berteriak melolong, tapi Pita Loka menyapu tendengan api yang sekaligus membuat bajunya bernyala-nyala. Ki Saba melolong berlari kian kemari. Kemudian karena kalap, Ki Saba melompat ke kali. Dia hanyut dalam keadaan masih terbakar. Pita Loka melanjutkan perjalanan memanjati tebing dan kemudian menghilanglah dia tanpa bisa diikuti lagi jejaknya. Gumara dengan susah payah mengikuti arah Pita Loka. Tetapi dia tak bisa mengejar waktu! Pita Loka tidak tampak olehnya lagi. Namun Gumara tidak merasa putus asa. Setidaknya bau daun hangus itulah pedomannya mengikuti jejak Pita Loka. Dia tanpa ragu meneruskan perjalanan yang semula terhuyung tapi kemudian stabil kembali, lincah kembali. Pedomannya selalu bau daun hangus kesitulah langkahnya menuju. Memang ini pengejaran teramat sulit Dan hampir membuat Gumara putus asa karena tak megenali hutan rimba belantara yang dilewatinya. Mendadak langkahnya terhenti karena dia mendengar dentingan bunyi pedang baradu. Dan sewaktu dia melihat itu pedang berekor nyala api membersut ke udara, tahulah dia bahwa Pita Loka sedang menghadapi musuh baru lagi. Jiwanya penuh kobaran untuk membela Pita Loka andaikata pertarungan itu memang sengit. Memanglah sengit! Senjata cakra berdesing menuju sasaran Pita Loka yang tegak berdiri dengan kedua tangan menolak luncuran bola berduri yang diarahkan padanya. Tiap bola duri itu menerjang telapak tangannya, suara berdenting kedengaran. Bola duri itu kembali membawa ekor api menyala! Gumara melihat tiga pendekar yang jadi lawan Pita Loka. Ketika dia melihat sebuah pedang terbakar sedang tersangkut didahan pohon, Gumara langsung meloncat menyambar pedang berapi itu. Dan dengan senjata itulah dia maju menyerbu tiga pendekar itu, bagai membabi buta dia tebaskan senjata itu yang membuat leher mereka putus satu demi satu. Tiga kepala bergelindingan. Dan sebuah kepala terbakar terkena sejata cakra bola berduri itu, yang menggelinding di tanah dan beradu dengan kepala itu.   Tapi Gumara tercengang, masih ada tujuh pendekar lagi yang semuanya sudah mati, dalam keadaan tubuhnya tercucuk dahan pohon satu demi satu . . . Rupanya mereka korban serangan Pita Loka! Ketika Gumara menoleh ke arah tempat tadi Pita Loka berdiri, dia tak melihat lagi apa-apa disana, kecuali beberapa semak terbakar. Yah, tentu kesana pula Gumara harus menuju! Sialnya, hujan lebat pun turun. Dan malam pun tiba!. Yang dikejar dan yang mengejar sudah berlawanan arah. Pita Loka sudah berbelok ke timur, dan Gumara sudah menjurus ke barat. Hujan yang lebat semalam suntuk itu pun masih saja berupa gerimis ketika matahari terbit di pagi hari. Barulah jelas kini, bahwa Pita Loka telah mengamalkan mimpinya dengan tekun, menyusuripadang yang amat luasnya. Sehingga matahari pagi itu diantara hujan gerimis itu tercipta bagaikan sebuah bola yang kuning. Kesendirian pendekar buta itu begitu jelas. Dia laksana semut hitam yang merangkak di atas permadani hijau kekuningan yang basah, laksana semut hitam berjalan di atas sebuah kaca. Suara telapak kakinya yang berbunyi menggerus-gerus di atas beceknya rumput memecah keheningan pagi tanpa suara margasatwa. Langkah Pita Loka terhenti ketika dia berpapasan dengan seseorang. Orang itu lelaki tua yang mirip seperti tampak dalam mimpi. Lelaki tua itu menegurnya: “engkaukah pendekar wanita buta itu?” Hampir saja Pita Loka menjawab dengan sepatah kata”“Ya”, tapi untunglah dia ingat. “Aku Ki Liram, yang tahu bahwa anda buta sebelah mata. Aku bertugas menyongsong kedatangan anda sebelum anda sampai ke Lembah Suliram. Tugasku memoleskan madu asam untuk menyembuhkan kebutaan anda!”. Pita Loka tardongak. Dia yang buta, dan ingin menyembuhkan kebutaannya, menatap ke mata si tua itu, Hampir dia menyemburkan ucapan gembira karena gandrung disembuhkan, sekiranya dia tidak melihat seringai senyum lelaki tua itu. Seringainya itu menampakkan taring yang mengerikan, yang seketika itu juga membuat Pita Loka dalam sekejap mata sudah mengeluarkan tendangan mengenai dada si tua itu, yang sekaligus menciptakan asap akibat hangusnya baju orang itu. Biarpun tendangan itu keras dan menimbulkan kehangusan, orangtua itu tetap berdiri tegap sedangkan Pita Loka terjungkir jatuh. Ketika Pita Loka bangkit lagi, orangtua yang wajahnya sangat mirip dengan mimpinya itu berkata lagi; “Akulah Ki Liram, yang mendapat kehormatan manyembuhkan matamu. Lihat apa ditanganku ini. Sekendi madu. Hanya ini yang aku bawa; madu asam penyembuhan kebutaanmul” Pita Loka tardiam beberapa detik   Dia teringat petuah Ki Tunggal di padepokan Surya Mulih, bahwa kelebihan dirinya adalah Rasa. Ketika itu kebetulan gerimis berhenti. Melalui ajang rasa dalam batinnya, tampaklah tua itu bermata licik, penipu. Dan .... ketika si tua itu menunjukkan kendi yang katanya berisi madu obat buta itu ..., mau memperlihatkannya pada Pita Loka ... kendi itu langsung ditendang olah Pita Loka, Kendi itu pecah!. Dari dalamnya meloncat ular tanah belang kuning. Bukannya madu! Kasempatan ini digunakan Pita Loka dengan menganjut pukulan sisi lengannya yang dahsyat bagai liuk-liuk ombak dahsyat disapu angin taufan. Dengan serta merta diteruskan dengan sapuan tendangan angin limbubu yang membuat si tua penipu itu jungkir balik. Lalu jatuh mencium bumi, yang kepalanya ikut masuk terbenam hingga leher. Pita loka yakin si tua itu sudah mampus. Tapi dia lupa, gelembung - gelembung udara yang muncul dari sisi air hujan adalah bukti bahwa dia belum mati. Dan masih bernapas!. Salahnya, Pita Loka sudah melanjutkan perjalanannya di pagi yang permai itu. Maka sampailah Pita Loka pada suatu perkampungan. Ia tak kenal dengan perkampungan itu.Ada pasar.Ada orang berlalu lalang.Ada orang yang sedang berteriak menawarkan sapi. Dan Pita Loka melewati pasar itu dengan kepala menunduk. Sapi itu mengoak. Di sini Pita Loka mulai syak wasangka! Jangan-jangan ini bukan pasar. Jangan-jangan ini semuanya pandangan palsu yang disulap oleh jin-jin. Pita Loka melanghah hati-hati. Penduduk perkampungan ini semuanya tampak ramah. Dia mendengar tawaran orang di warung-warung yang berseru; “Mampir, mampir sarapan pagi di warung kami, Ki Butal” Langkah Pita Loka terhenti. Dengan sebelah mata Pita Loka memandang sekeliling, sekaligus dia melepaskan dirinya dari seluruh pemandangan yang dilihatnya. Dia seakan-akan jadi ringan bagai balon yang meninggalkan bumi. Lalu dia menghempaskan kaki ke bawah. Gedebug! Setiba kaki di bumi seluruh perkampungan tadi lenyap! Yang ada lelaki tua yang ramah, menyongsongnya, membawa sebuah mangkok seraya berkata, “Inilah madu obat buta matamu, nak! Kau tadi telah ditipu oleh seorang yang mengaku Ki Liram, bukan? Ah, dia orang jahat yang akan menyerap ilmumu yang tinggi!” Orang tua yang menyongsongnya itu mengacungkan mangkok berisi madu yang menyebarkan bau madu yang wangi Tanpa tunggu lagi, sekalipun dimulai dengan senyum yang manis ..., Pita Loka menyambut mangkok madu itu seperti akan meminumnya. Tapi malahan disiramkannya mangkok madu yang harum itu ke muka si tua itu! Muka itu hancur bagai gumpalan daging busuk terkena air raksa. Pita Loka melihat orang itu melolong jungkir balik menahan rasa sakit. Pita Loka hanya tersenyum setelah membuang mangkok. Warna kemerahan air raksa itu masih berupa sisa yang mirip air di atas daun keladi, Pita Loka tentu tak mengucapkan sepatah kata. Tapi senyumnya itu adalah sikap puasnya. Dia yang menguasai ilmu Fisika tahu betul bau air raksa, sekalipun dipoles oleh madu. Rupanya, inilah kemenangan puncak bagi Pita Loka. Ketika orang tua penipu itu melarikan diri dalam keadaan jungkir balik menahan rasa sakit, dia diikuti oleh beberapa ekor ular tanah belang hitam kuning. Dia tahulah kini, bahwa orang tua itu adalah yang tadi pertama menipunya. Bagai tirai yang dibuka dalam layar sandiwara, atau dihadapan Pita Loka menyongsongnya kini. Alam lembah yang indah. Bukannya lembah yang mengerikan seperti selama ini dia kenal dengan nama “Lembah Suliram”. Padahal terbukti, bahwa lembah ini teramat indah. Baru Pita Loka ingat cerita Ki Tunggal, bahwa ada sebuah lembah yang indah sekali mirip lembah di surga, dihiasi tanaman dan bunga-bungaan warna-warni. Tapi Pita Loka tak sudi termakan oleh tipuan pandangan mata. Dia tidak melihat ke atas, tapi merunduk. Begitu dia merunduk, dia melihat banyaknya semut-semut hitam bagai barisan tentara berbaju hitam, Yah, inilah takwil mimpi mengenai semut-semut itu. Pita Loka lalu mengikuti arah perjalanan semut itu, dengan langkah yang sabar dan hati-hati. Karena asyik melihat ke bawah, mengikuti rombongan semut hitam, Pita Loka hampir saja tidak mengetahui ada serombongan orang berbaju merah saga yang menantinya, “Ki Buta, kami utusan Ki Madu ... anda dipersilahkan masuk ke guha padepokan Ki Madu dengan pengawalan kami.” Ujar orang-orang itu, Pita Loka cuma mengikuti kini. Dia yakin ini bukan tipuan. Sebab orang-orang berbaju merah saga itu pun melangkah sejajar dengan barisan semut hitam itu, yang merambat memasuki tinggi guha. Begitu memasuki guha, tampak obor-obor nyala yang bukan merupakan api kayu karet biasa. Begitu Pita Loka duduk bersila di hadapan Ki Madu, orangtua itu sembari membelai janggutnya yang panjang mamperkenalkan diri; “Saya Ki Madu Prakasa. Jadi Ki Tunggal telah meninggal, bukan?” “Betul, Tuan Guru.” “Saya menyatakan selamat pada anda, yang mampu mengatasi rintangan dalam perjalanan ke padepokan kami. Pernahkah ananda melihat Kitab-kitab semacam ini sebelum ini?”, Ki Madu Prakasa memperlihatkan tujuh buah kitab. Lalu menjawab; “Pernah satu kali di Kumayan. Satu kali lagi di padepokan almarhum Ki Tunggal, Dan ini yang ketiga kalinya,..., yang ini.” Sembari memperlihatkan Kitab Kesatu, beliau berkata: “Ananda kini sedang memasuki babakan kedua menyerap limu. Lihatlah! kunci rahasia kitab ini, nak!” lalu Ki Madu Prakesa membuka lembaran tengah kitab itu, dan membaca tulisan gundul: “Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram, Yang madunya asam berisi kekuatan.” Lalu Ki Madu Prakasa mengambil sebuah kendi dan dua mangkuk batok kelapa yang berukir indah, Setelah madu itu dituangkan, Ki Madu berkata: “Silahkan minum, nak!” Upacara minum itu amat khusyu. Rasa manis madu yang diseling rasa asam tuak, seakan-akan dengan cepat menciptakan aliran darah yang bergolak di tubuh Pita Loka. Setelah habis semangkuk itu, Pita Loka merasa diliputi gairah wanita yang bersangatan. Dia begitu cepet seakan-akan menyaksikan Ki Madu di hadapan berubah jadi pria ganteng segagah Bima, dan ketika dilihat pria itu seakan-akan mau menanggalkan busana, Pita Loka cepat membuang muka karena malu dan segan. “Kau lulus,” ujar Ki Madu Prakasa setelah melihat Pita Loka membuang muka itu. “Lalu, apa yang saya lakukan berikutnya?”, tanya Pita Loka. “Mengembara,” “Ha?Tidak mukim disini?” “Tidak,” ujar Ki Madu Prakasa, “Silahkan berangkat sekarang, Kamu sudah penuh ilmu yang kamu tuntut dan berbagai macam guru, Tetapi ilmu yang syah kamu perdapat adalah dari Tujuh Pendekar Harimau.” “Siapa Tujuh Pendekar Harimau yang sebenarnya itu, Ki Guru?” “Yang paling rumit yang sudah kau perdapat adalah bernama Ilmu Empat Asal dari Ki Surya Pinanti,” ujar orang tua itu. Mungkin ananda sudah diberi keterangan oleh almarhum Ki Tunggal, bahwa Tujuh Manusia Harimau yang jadi dongeng di Kumayan itu sesungguhnya ada di antaranya yang terkecoh oleh Kitab Tujuh yang palsu, Tapi harap diketahui. Harimau Pertama adalah Ki Surya Pinanti. Orang yang ilmunya tinggi, sudah tidak membutuhkan perkelahian,” “Lalu, Harimau Kedua siapa, tuan Guru?” “Harimau Ketujuh adalah gurumu, Ki Tunggal yang menguasai kawasan Lembah Surya Mulih, pelajaran yang diberinya cumalah tambo hikayat raja-raja pendekar.” “Itu akan kamu ketahui sendiri di kemudian hari,” ujar Ki Madu. “Bukan anda?” “Saya dalam urutan adalah Harimau Keenam. Tapi apa pentingnya ini semua?” “Saya ingin mengenal satu demi satu Tujuh Manusia Harimau itu, Ki Guru!. Terutama mengenai diri ayahku, Ki Putih Kelabu, yang sudah jadi cerita orang sebagai salah seorang Harimau Kumayan.” “Itu memang betul. Tapi pernahkah ayahmu menurunkan ilmunya untuk kamu? Dia si Pesut yang bertopeng pendiam, agar disegani, tapi dia tamak, dia ingin ilmunya untuk dirinya sendiri, bukan untuk diturunkannya pada pewaris syah. Ini karena ada wasiat guru kami dahulu, bahwa, ada diantara pewaris ilmu Harimau, yang jika telah mewariskannya, akan menemui ajal. Misalnya, Ki Tunggal yang barusan saja mewariskan ilmunya kepadamu karena dia tak punya keturunan. Anak-anaknya semuanya anak angkat, itulah. Ki Lebai Karat, yang terpaksa menjalani mati suri beberapa lama, bahkan di kubur, untunglah kemudian dia menyadari bahwa ilmunya harus dia wariskan kepada putranya.” “Apakah Gumara itu pewaris ilmu beliau?” tanya Pita Loka. “Yah. Tapi tidak semudah memetik buah nangka di pohon. Tiap pewaris akan mengalami berbagai petualangan bahkan sampai dia melahirkan anak cucu. Batu yang bermutu harus diuji sinarnya agar diketahui apakah batu itu mempunyai ster berapa.” Kini barulah Pita Loka menyadari, apa yang dilakukan Guru Gumara adalah pelaksanaan pewarisan ilmu itu ....... “Nah! selamat mengembara,” ujar Ki Madu Prakasa mengulurkan tangan menyalami Pita Loka. Begitu Pita Loka bangkit berdiri, dalam keadaan duduk bagai gasing itu sapuan kaki membuat Pita Loka terjungkir. Dia marah karena terkena jagal Ki Madu, lalu melakukan pembalasan dengan jalan manjatuhkan pantat di lantai sembari menggasing tendangan lingkar menghantam kedua kaki Ki Madu. Ki Madu Prakasa pun jatuh tersungkur, disusul oleh sapuan pukulan sisi tangan yang menerbitkan api muncrat dari punggung pendekar tua itu. Pita Loka menyerang lagi dengan pukulan dahsyat tapi pada kening Ki Madu Prakasa. Pukulan itu menerbitkan pancaran api! Pancaran api itu menyilaukan mata. Ketika itulah Ki Madu Prakasa menjelma menjadi seekor harimau tua. Pita Loka sadar bahwa ini ujian baginya. Dia sapu kepala harimau itu, yang hampir menggigit tetapi dengan jungkir balik Pita Loka barhasil melepaskan dirinya. Proses yang dialami Pita Loka ini, mirip sekali seperti yang dialami Gumara ketika Gumara bertempur dengan Ki Lebai Karat di pekuburan keramat. Pita Loka terkena cakaran pada punggungnya. Darah mengalir, tapi persilatan balum berakhir. Pita Loka dengan sekuat tenaga melakukan perlawanan. Dengan gerak harimau yang tanpa disadarinya, Pita Loka mencakarkan kuku ke dada harimau tua yang terlentang jatuh itu .... ketika itulah Pita Loka menyaksikan kuku-kuku jarinya begitu runcing mirip kuku harimau. “Aku menyerah, nak,” ujar Ki Madu yang menjelma jadi manusia kembali setelah sorotan cahaya menyilaukan merupakan proses perubahan bentuk, Pita Loka sudah gembira karena merasa dirinya telah memiiliki ilmu harimau. Tapi ketika dia melihat kukunya menjadi biasa kembali, Ki Madu Prakasa melihat kekecewaan di wajah Pita Loka. “Hari ini aku telah memberikan warisan kuku kepadamu. Itulah ciri bahwa kau suatu ketika akan menyandang gelar Ki. Selamat mengembara, nak. Jangan mengherani sesuatu, karena segalanya ada di dalam alam. Alam ini akhirnya membukakan berbagai rahasia kepadamu,” ujar Ki Madu Prakasa seraya menuangkan madu asam ke mangkok Pita Loka dan mempersilakan minum. Lalu berwasiat; “Hancurkan kejahatan. Bela si lemah. Lestarikan yang benar! Selamat jalan!” Tidak ada pesan. Tidak ada petunjuk, sehingga perjalanan kali ini harus dicari sendiri, dan ditemukan sendiri. Dari tujuh kitab, barulah dua kitab yang dia dapatkan. Dan zat madu asam itu rupanya telah merubah Pita Loka menjadi lincah sekeluarnya dari guha Ki madu Prakasa. Mengembara baginya bukan lagi sebuah pelarian, tapi menjadi sebuah suka cita. Ketika dalam perjalanan itu dia menemukan seorang tua yang sedang termenung dibawah pohon lelayin. Orangtua itu sepertinya dalam dukacita, bertentangan dengan perasaan Pita Loka yang saat itu bersukacita. Pohon lelayin adalah sebuah pohon yang berasal dari negeri Cina, yang daunnya memiliki janggut - janggut putih yang halus-halus panjang mirip janggut manusia. Pohon itu daunnya rimbun. Tempat untuk orang berteduh dalam pengembaraan jauh. “Pak tua”, sapa Ki Pita Loka. Pak tua itu menoleh. Pita Loka berjongkok dengan sikap yang santun. Lalu bertanya : “Anda menanti seseorang disini?” “Ya. Menanti seseorang”, sahutnya, “Kenapa wajah tuan berdukacita?” “Karena kuatir dia tidak datang”. “Berapa lama tuan sudah menantinya?” “Seribu dua ratus hari”, sahut Pak Tua itu. “Alangkah lamanya! Bolehkah saya tahu siapa nama anda?” tanya Pita Loka. “Namaku Ki Jengger. Rumahku disana itu, tapi siang malam aku berada di sini menanti kedatangan orang yang dinanti. Aku tak boleh pulang karena harus menepati janji”. “Janji? Berjanji dengan siapa?” tanya Pita Loka. “Aku berjanji dengan sahabatku Ki Surya Pinanti..... ucapan ini menggetarkan perasaan Pita Loka, “. . . Ki Surya Pinanti yang bermukim di Bukit Api, tuan?” tanya Pita Loka, “Betul”, Ujar si tua itu, yang seketika itu juga menatap pada Pita Loka, memperhatikan mata Pita Loka. “Apakah mata anda itu buta sebelah?” tanya Ki Jengger. “Betul!,”ujar Pita Loka keheranan. “Kalau begitu engkaulah Ki Pita Loka, pewaris ilmu Ki Tunggal, yang buta sebelah matamu itu?”.Dengan melongo sejenak, Pita Loka cuma bisa mengangguk. “Oh, anakku! Kenapa kamu baru tiba sekarang?” kata Ki Jengger seraya berdiri dengan sukacita, lalu berkata ; “Mari ikut aku, nak!” Ki Jengger melangkah lebih dahulu, dibuntuti oleh Pita Loka. Setiba di sebuah pondok yang amat melarat, Ki Jengger berkata : “Inilah rumahku. Sungguh engkau murid Ki Surya Pinanti yang ulet menghadapi cobaan, Dan pandai menahan diri atas segala siksaan, tidak mudah silau dan tergoda oleh kecantikan dan kekayaan, . , . “ Pita Loka tak terkesan oleh pujian itu. Dia terkesan pada segerombolan semut hitam yang berada dilantai itu. Semut-semut itu menuju ke sudut pondok. Tampak olehnya gembok yang berwarna kuning dengan kuncinya yang keemasan. “Engkau melihat sesuatu, nak?” tanya Ki Jengger. “Ya. Semut-semut hitam itu. Agaknya dibawah pondok ini ada lubang. Semut-semut hitam itu agaknya mencari madu dibawah itu”, ujar Pita Loka. “Yah, kau benar, Kau kali ini tidak menemui sesuatu lewat mimpi. Ini sebuah kenyataan. Tapi minumlah ini dulu”, ujar Ki Jengger seraya menyodorkan sebuah mangkok batok berukir, cairan kental yang dituang dari kendi. Dan kendi itu, maupun mangkok itu, betul-betui sama bentuk serta warnanya dengan kendi dan mengkok batok di padepokan Ki Tunggal dan padepokanKi Madu Prakasa. Setelah minum seteguk, Pita Loka bertanya :   “Sebelum saya menanyakan yang lain, saya terkesan dengan madu kehormatan ini. Lalu saya berkeyakinan, tentulah Ki Jengger adalah salah seorang dari Tujuh Manusia Harimau!. Betul, Ki Guru?” tanya itu disertai tatapan mata tajam. Ki Jengger silau oleh sorot mata tajam Pita Loka. “Aku merahasiakannya selama tujuh puluh tahun, nak. Kini engkau yang membuka tabir rahasiaku. Apa boleh buat Aku mengaku. Marilah kita ke bawah”. “Kebawah?” tanya Pita Loka. “Ya, melalui pintu itu”, ujar Ki Jengger. Diajaknya Pita Loka ke sudut pondok melarat ini. Dia membuka gembok. Lalu seperti ada dorongan dari bawah, lantai disudut itu seakan-akan naik. Dan ternyata lantai itu merupakan pintu rahasia. Adatangga ke bawah. Herannya, tak ada lampu. Namun ruangan di bawah tanah itu,terang. Alangkah mengejutkan Pita Loka! terang itu rupanya dari sinar radium yang dipancarkan oleh beberapa untai intan-intan yang bergantungan. Dalam intan itu ada cairan alami, yaitu cairan radium. “Lihat kursi tahta itu, nak!” ujar Ki Jengger. “Itu tahta raja?” “Ya, itu milik turunan Nabi Solaiman. Ini seluruhnya menjadi milikmu, nak Pita Loka!” “Inikah dongeng yang pernah diceritakan ayahku?” “Ya. Hal ini cuma diketahui oleh tujuh manusia. Termasuk Ki Putih Kelabu”, ujar Ki Jengger. “Jadi, selain anda dan Ki Tunggal dan Ki Madu Prakasa dan Ki Surya Pinanti, ayahku pun terbilang salah satu dari Tujuh Harimau Sakti itu?” “Benar. Kita bertujuh terikat pada suatu perjanjian batin. Kecuali apabila diantara kami ada yang menyeleweng. Ayahmu Ki Putih Kelabu hanya mendengar kisah kerajaan Solaiman dibawah tanah ini. Hanya mendengar, seperti kau menyebutkan tadi, hanya mendongengkan padamu. Tapi tak melihatnya. Barulah kamu yang melihatnya!” “Siapa lagi diantara Harimau yang Tujuh itu, Ki Guru?” “Satu lagi, Ki Ca Hya”.   “Diantara tujuh manusia harimau itu, yang manakah yang sudah mati?” “Yang sudah mati?. Sepengetahuan dari berita angin yang sampai padaku adalah Ki Karat, lalu Ki Tunggal. Ki Ca Hya belum mati. Dia termasuk yang pernah melihat kekayaan warisan Solaiman ini.” “Nah, coba sebutkan harimau - harimau yang tujuh itu, baik yang hidup maupun yang sudah mati”, pinta Pita Loka. Dengan nada berwibawa, Ki Jengger menyebutkannya ; “Pertama : Ki Tunggal. Kedua : Ki Madu Prakasa. Ketiga : Ki Jengger. Keempat : Ki Putih Kelabu. Kelima : Ki Karat. Keenam Ki Surya Pinanti. Dan Ketujuh : Ki Ca Hya”. Pita Loka memejamkan matanya. Dia amat terkesan, karena ayahnya disebutkan sebagai salah seorang dari Tujuh Manusia Harimau itu. Hatinya bangga dan bersyukur. “Ini, istana bawah tanah ini, seluruhnya, milikmu. Milikmu setelah kau bersuami dan berketurunan”. “Jadi saya suatu ketika akan punya suami?”“ tanya Pita Loka. “Tentu. Hanya beberapa ekor harimau saja yang tidak berketurunan, lalu dia wajib memberikannya kepada seseorang. Tapi orang itu harus memiliki darah bangsawan, darah yang suci dari garis keturunan diatasnya. Puaskah kau dengan kekayaan yang diamanahkan lewat saya untukmu ini?” Pita Loka berdiam diri. Wajahnya masgul. Kemasgulan yang membuat Ki Jengger bertanya “Kenapa anda malah bermuram durja?” “Yah, akhirnya saya toh seorang manusia biasa. Saya membutuhkan pertolongan, bukannya kekayaan”. kata Pita Loka. “Itukah pendirianmu?” tanya Ki Jengger. “Ya. Itulah pendirianku!” Ki Jengger berlutut pada Pita Loka : “Jika demikian, engkau sudah merupakan seorang Guru! Aku menyebut namamu harus dengan sebutan Ki Pita Loka. Sesuai dengan berita dari Ki Surya Pinanti, engkaulah pewaris ilmu Ki Tunggal. Selain kekayaan, orang gila pun dapat engkau sembuhkan”. “Menyembuhkan orang gila?” tanya Pita Loka. “Ya, dengan benda ini”, ujar Ki Jengger menyamber sebuah kalung emas dengan sebuah permata tujuh buah ster, yaitu permata akik Solaiman yang berwarna hijau. Lalu kalung itu dikalungkan Ki Jengger ke leher Pita Loka. “Ki Pita Loka, aku puas telah menemui salah seorang dari rangkaian tujuh manusia harimau. Yaitu anda, Ki Pita Loka!”. “Lalu, jika saya dapat menyembuhkan orang gila, siapakah yang dapat menyembuhkan penyakit buta mataku ini?” tanya Ki Pita Loka. “Salah seorang dari yang tujuh diantara kita,”“ sahut Ki Jengger. “Apakah beliau kira-kira Ki Ca Hya?” tanya Pita Loka menerka-nerka. “Itu tak bisa diterka-terka, itu harus ditemukan!” ujar Ki Jengger dengan nada pasti. “Yang terang bukan kau sendiri yang menyembuhkan matamu yang buta sebelah itu!” “Jadi anda tidak dapat meramalkan dua hal. Calon suamiku. Dan si penyembuh mataku yang buta, ya Ki Jengger?, “tanya Ki Pita Loka. “Itulah kesimpulan yang betul, Ki Pita Loka”, ujar Ki Jengger. Lalu Ki Pita Loka bertanya: “Apakah babak pertemuan antara saya dan anda sudah selesai?” “Karena kalung amanah yang saya jalinkan pada Ki Surya Pinanti sudah menggantung di lehermu, aku sudah menyelesaikan tugasku”, kata Ki Jengger. Setelah Pita Loka meninggalkan gubuk melarat Ki jengger, belum lagi seratus langkah perjalanan, di suah dicegat oleh beberapa orang pendekar. Mereka semuanya lelaki. Dan sikap mereka mendekati Pita Loka mulai kurang ajar. “Ini makananku”, kata yang seorang. “Jangan ganggu saya”, Pita Loka memperingatkan. “Aduh kalungmu itu, sangat cantik ya dik?” kata salah seorang. Yang pertama tadi langsung mau memegang buah dada. Pita Loka. Tangan itu cepat dipegang oleh Pita Loka dan dengan serta merta tubuh orang itu diayun-ayunkannya dalam putaran, sehingga kaki musuhnya itulah yang menubruk satu demi satu pendekar-pendekar muda itu. Ketika satu demi satu mereka sudah jatuh bergelimpangan terkena sabetan kaki temannya sendiri, Pita Loka langsung meneruskan putaran tubuh orang itu, dan ketika dia lepaskan pegangan pada tubuh yang dia putar itu . . . melayanglah tubuh pendekar muda yang iseng itu. Lantas kepalanya membentur sebatang pohon pucung. Begitu tiba dibumi, orang itu bangun lagi dan berteriak – teriak dengan kata-kata yang jorok. “Ia gila!” seru teman-temannya. Pita Loka terus melangkah mau melanjutkan perjalanan, “Pendekar putri! Pendekar sakti! Tolonglah kami! Teman kami kau buat gila!” ujar anak-anak muda itu menghampiri Pita Loka. Pita Loka membalik. Kedua lengan dia lipat pada dada.Dia lalu memberi nasehat : “Jangan sembarang mengganggu orang. Wanita - wanita harus kamu anggap ibumu sendiri. Jangan karena ilmu yang sedikit, tujuanmu mau menggagahi orang lain. Bawa kesini temanmu yang gila itu”. Mereka menggotong temannya yang gila itu. Si gila masih meronta dan mengeluarkan perkataan jorok. Alat kelamin wanita adalah ucapannya yang berulang kali. “Pegang kedua lengannya dan kedua kakinya”, perintah Pita Loka. Mereka dengan tekun beramai-ramai memegangi lengan dan kaki temannya. Mata si gila itu terbeliak-beliak. Pita Loka memegang permata hijau Solaiman yang dilehernya. Setelah dibelainya permata itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, lalu kedua jari itu digosokkannya ke jidat si gila. Berulangkali. Sampai teriak joroknya berhenti. Sampai si gila menangis merintih-rintih. Dan sampai dia kemudian seperti sadar, mirip orang terbangun mendadak dari mimpi. “Teman kalian sudah sembuh”, ujar Pita Loka berlalu. Langkah Pita Loka yang tegap perkasa, membuat pendekar-pendekar muda yang masih baru belajar itu terpelongo semuanya. “Dia pasti pendekar sakti”, ujar mereka masih tercengang. Ternyata, perjalanan Pita Loka yang cuma berdasarkan Rasa itu, melalui bagian sebaliknya dari Lembah Suliram. Pita Loka kenal betul dengan watak lembah ini, yaitu tombak-tombak batu alam yang runcing-runcing. Ketika tiba disini, Pita Loka agak keheranan. Dia melihat seorang berpakaian putih sedang tidur menelungkup diatas permukaan batu-batuan runcing itu. Makin dekat, makin jelaslah oleh Pita Loka, bahwa orang itu tak lain Guru Gumara. Makin dekat, makin jelas, bahwa Guru Gumara sedang tidur ngorok. Agaknya dia dalam keletihan. Tapi jelas, bukan baru berkelahi. Begitu Pita Loka semakin dekat, mendadak Gumara terbangun. “Pita Loka!” seru Gumara dengan nada heran dan kangen. “Mengapa Guru berada disini?” tanya Pita Loka. “Aku mendapati dua orang gua dalam guha diatas itu”, ujar Gumara. “Diguha itu?” tanya Pita Loka. “Ya. Satu diantara tiga orang gila itu sudah mati terbunuh olehku. Yang dua lagi masih mundar mandir kayak setan”, kata Guru Gumara. “Siapa yang sudah mati itu?” tanya Pita Loka “Ki Rotan. Dia begitu buas, tidak sebuas yang dua lagi. Dan yang dua itu, keadaannya menyedihkan” kata Guru Gumara. “Kalau begitu, Guru sudah masuk ke guha itu”, ujar Pita Loka. “Sudah. Aku memasukinya berdasarkan pesan Ki Tunggal menjelang wafatnya beliau”, ujar Gumara. “Ki Tunggal? Anda telah sampai ke Ngarai Surya Mulih?”tanya Pita Loka tercengang. “Ya, sekalipun dengan cobaan yang amat gawat, Aku kesana itu, berdasarkan Kitab Tujuh yang memberikan petunjuk padaku untuk kesana . Hanya satu soal yang tidak tertera dalam syarat Kitab Tujuh itu. Yaitu aku baru akan tiba disana apabila Ki Tunggal telah mewarisi ilmunya, madu manis, kepada seseorang ahli warisnya, lalu beliau mati. Aku hanya menerima pesan beliau”. Pita Loka lalu ingin tahu; “Anda hadir di waktu pemakaman Ki Tunggal?” “Saya tak sempat menemuinya, juga ketika pemakamannya. Pesan Ki Tunggal hanya saya terima dari Nyi Tunggal. Sungguh, aku mengalami begitu banyak cobaan. Diantaranya, dalam perjalanan melelahkan itu aku ketemu dengan seseorang yang mirip kau, PitaLoka!” “Itu bukan orang lain”, kata Pita Loka. “Jadi orang itu memang kau?” “Memang aku”, ujar Pita Loka, “Jadi. . . orang itu memang Kau?” “Memang saya sendiri, Guru”. “Tapi, kita bertemu disini, Pita Loka!” “Itu Nasib. Apa Guru masih akan terus disini?” “Yah, terpaksa begitulah. Aku sedang mencari sesuatu, mungkin saja wangsit dalam pertapaan yang khusyu. Itulah sebabnya aku akan berada disini terus sampai ilham itu tiba padaku”, ujar Gumara. “Boleh saya mengetahui, siapa dua orang yang masih diatas itu?” tanya Pita Loka. “Asal kau jangan mencurigaiku. Dia adalah adikku Harwati dan Ki Lading Ganda”, ujar Gumara. Mendengar nama Harwati, rasa cemburu Pita Loka membakar sampai ke wajahnya yang berubah jadi merah pedam. “Betah betul tuan Guru menunggu Harwati disini”, ujar Pita Loka. “Sudah kukatakan, jangan mencurigaiku. Aku kebingungan setelah membunuh Ki Rotan” ujarGumara. “Tapi Guru tidak membunuh yang dua lagi?” tanya Pita Loka. “Bukan pilih kasih, Ki Rotan sudah sangat buas, beringas, dan tindakannya tak dapat saya tolerir lagi.” “Jadi anda mencari ilmu sampai ke Ngarai Surya Mulih, hanya supaya bisa memanjat ke guhasana itu, untuk bertemu dengan Harwati?”“ tanya Pita Loka dengan nada cemburu lagi. “Bukan karena Harwati”, bantah Gumara. “Kalau bukan karena Harwati, apa bisa sebuah kebetulan belaka anda masuk ke guha itu?” “Aku masuk ke guha itu berdasarkan petunjuk Nyi Tunggal”, “Lalu bertemu Harwati!” “Bukan bertemu Harwati saja aku disana . Juga bertemu Ki Rotan dan Ki Lading Ganda”. “Apakah ada perintah almarhum Ki Tunggal supaya Guru membunuh Ki Rotan!” “Perintah itu tidak ada”, kata Gumara. “Kenapa dia dibunuh?” “Karena dia ingin merebut ini”, ujar Gumara seraya memperlihatkan sebuah kalung emas dangan permata hitam. “Barang itu memang tersimpan di guha itu?” tanya Pita Loka “Yah, begitulah, sesuai dengan pesan Ki Tunggal. Benda ini kurasa memiliki kesaktian, yang belum kuketahui khasiatnya. Tapi barang ini hanya untukku. Jadi kupertahankan nyawaku sendiri untuk mempertahankannya dari rebutan Ki Rotan, sampai aku terpaksa membunuhnya. Aku bukan turunan pembunuh. Aku membunuh karena terpaksa. Jangan kau persalahkan lagi aku, dan mengira aku membunuh Ki Rotan dengan sengaja”, “Baiklahlah saya puas mendengar cerita Guru”, ujarPita Loka. “Mau kemana kau?” tanya Gumara cemas. “Aku mau melanjutkan perjalanan”, ujar Pita Loka. “Temani aku disini!” “Menemani kau yang menanti Harwati? Ah, itu pekerjaan buang-buang waktu dan menyakitkan hati!”“ujar Pita Loka. “Aku berada disini menanti ilham! Bukan menanti Harwati!” ujar Gumara membela diri lagi. Lalu dia berseru : “Pita Loka!” Tetapi Pita Loka tetap saja berlalu meninggalkannya dengan hati yang sangat mendongkol. Guru Gumara terperangah. Dia kembali menghempas diatas batu-batu runcing itu dalam keadaan tertelungkup. Dia sebenarnya belum akan pergi meninggalkan Lembah Suliram ini sebelum mendapat keterangan yang jelas mengenai batu hitam peninggalan Ki Tunggal almarhum. Malam itu Gumara bermimpi. Dia seakan-akan mengembara, entah kemana, lalu sampai ke sebuah Gubug yang amat melarat keadaannya, Dia dalam mimpi itu bertemu pada seorang lelaki tua, panghuni gubug melarat itu. Ketika lelaki tua itu membuka destar penutup kepala, tampaklah kepala orang tua itu ada jengger, mirip jengger ayam jago. Gumara terbangun dan mimpi itu habis begitu saja. Sebelum dia sempat menanyakan alamat dan nama orangtua itu. Tapi, seraya melihat bintang gemintang dilangit benderang malam itu. Gumara merasa mimpi itu sebuah petunjuk. Dia harus mencari seorang guru, orangtua yang kepalanya berjengger itu, siapa tahu beliau dapat memberikan petunjuk. Gumara mencoba mengingat bentuk pepohonan, tumbuhan yang dia lihat di dalam mimpi itu, sebelum memasuki pondok melaratnya. Yah, dia ingat pagi ini!. Pagi ini dia bisa mengingat salah sebuah pohon dalam mimpi itu, yaitu pohon lelayin. Pohon ini bukan asliIndonesia , mungkin dibawa oleh salah seorang raja Cina kesini, berabad-abad yang silam. Gumara mengucapkan selamat tinggal pada Lembah Suliram. Dia ingin menempuh jalan setapak yang biasa ditempuh oleh orang utas. Dia berharap menemukan sebuah kampung untuk menanyakan dimana biasanya terdapat pohon lelayin. Dia mulai melangkah melewati jalanan setapak tanpa memperhitungkan kemana tujuan. Yang penting ketemu orang.Atau ketemu sebuah kampung. Kebetulan saja dia bertemu dengan dua orang utas, suami isteri, sedang menjunjung kayu bakar. “Pak, saya pengembara tersesat. Bapak tahu dimana ada pohon lelayin, Pak?” tanya Gumara dengan santun, “Itu disana”, tunjuk orang utas itu. “Saya darisana . Itu Lembah Surilam”, kata Gumara. “Disana”, kata orang utas itu menegaskan. Orang utas adalah orang jujur. Mereka menolak jual beli, Kebudayaan mereka warisan purba, yaitu tukar menukar. “Terimakasih,pak”, ujar Gumara seraya menyerahkan sebuah cincin pada orang utas itu. Namun suami-isteri itu menolak. Gumara terus mengingat arah telunjuk orang utas tadi, Memang tampaknya ke Lembah Suliram. Tapi bisa juga ke arah sebaliknya. Sebalik bukit lembah itu. Kini dia coba memanjati tebing lembah itu, agar tiba di bukit yang sebelah lagi. Mungkin karena dia terlalu bersemangat, dia tergelincir dan jatuh meluncur ibarat meluncurnya air terjun. Begitu dia sadarkan diri dan pingsan, dia merasa tubuhnya seperti dirubungi semut. Ternyata memang semutlah yang merubunginya. Dan semut itu adalah semut hitam. Lalu Gumara duduk. Dia perhatikan semut-semut hitam itu. Dia lalu ingat, semut hitam itu pulalah yang jadi petunjuknya ketika tiba di dalam guha Surilam dan bertemu dengan tiga manusia gila disana. Semut hitam itu pulalah yang menjadi petunjuknya sehinga dia gedor dinding guha itu, lalu mendapatkan satu kotak kecil berisi kalung yang di pakainya sekarang. Gumara tambah tidak mengerti. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa dia mesti dengan sabar mengikuti perjalanan semut itu. Jika ada yang melihat tingkah lakunya sekarang ini, pasti dia pun disangka gila. Dia bukan melangkah mengikuti perjalanan semut itu, melainkan merangkak. Dia terus merangkak, merangkak, sampai seharian suntuk. Ketika dia melihat sebatang pohon lelayin, barulah dia sadari bahwa dia sudah sampai ke tujuan. Dia berdiri tanpa memperhatikan semut-semut hitam itu lagi. Sembari melihat sekeliling, dia mengingat kembali mimpinya! Bagaimana dia melangkah dalam mimpi itu, barulah diamalkannya sekarang, dalam kenyataan. Yah, dia akhirnya melihat sebuah pondok melarat. Pondok itu mirip dalam mimpinya. Tapi pondok itu sunyi! Sampai malam tiba, penghuninya belum juga kembali!. Lalu Gumara marebahkan diri pada sebuah balai-balai bambu yang buruk. Dia amat lelah. Dan ketiduran. Dalam tidur itulah dia bermimpi lagi dengan lelaki tua yang dikepalanya ada jengger itu. Orangtua itu berkata ; “Apa yang tuan cari. sudah tuan ketemukan. Aku adalah Ki Jengger, ialah seorang dari Tujuh Manusia Harimau. Cuma anda ditakdirkan belum kesampaian bertemu dengan harimau-harimau itu kecuali tiga orang. Anda belum boleh bertemu dengan Ki Tunggal sebab dia sudah diwafatkan. Anda belum sempat ketemu dengan Ki Surya Pinanti, karena perjalanan ke situ amat berat. Anda belum sempat ketemu dengan Ki Madu Prakasa, tapi dari dia saya sudah diberi berita angin bahwa anda telah mandapatkan barang simpanannya, berupa akik hitam Solaiman yang memang harus anda dapatkan sendiri tanpa perantara dia langsung. Dan untuk itu anda harus membunuh penganut ilmu lblis, yakni Ki Rotan. Kini, ditakdirkan anda tak bertemu muka dengan Ki Jengger, juga Ki Ca Hya.” “Jadi kalungku ini akik Solaiman yang sakti, tuan Guru?” “Betul!. Itulah intan hitam yang di muka bumi ini pemiliknya cuma tujuh orang sakti yang bertebaran di muka bumi”, ujar Ki Jengger. “Apa khasiatnya saya belum tahu”, kata Gumara. “Tanyalah kepada dua harimau asal Kumayan yang masih hidup”, kata Ki Jengger. Lalu Gumara terbangun dari tidurnya. . . Gumara mencoba menafsirkan mimpi itu lagi. Siapa dua harimau Kumayan yang masih hidup? Bukankah kecuali ayahku Ki Karat, semuanya masih hidup? Dan salah seorang diantaranya, Ki Lading Ganda, malahan sekarang ini dalam keadaan gila. Namun, sesuai dengan takwil dalam mimpi itu, Gumara tak perlu lama-lama lagi di pondok Ki Jengger. Di tengah malam buta itu juga Gumara keluar darisana . Kepergiannya diketahui oleh Ki Jengger dari dahan sebuah pohon lelayin yang berdaun rimbun. Ki Jengger lalu kembali ke pondoknya dan merebahkan diri diatas ambin bambunya. Tujuan Gumara tak lain ke Kumayan. Dia tentu tak berani mempertanyakan khasiat akik Solaiman hitamnya itu kepada Ki Lading Ganda. Dia harus menemui salah seorang pendekar Harimau yang disegani: Ki Putih Kelabu. Tetapi setelah siang barulah dia ketahui bahwa dia tersesat ke satu kampung yang belum pernah dijejakinya. Dan di kampung itu sedang terjadi huru hara yang dahsyat. Tampaknya sedang terjadi pengeroyokan luar biasa. Dia pada mulanya hanya menonton belaka. Tetapi alangkah terkejutnya dia, ketika seorang yang sedang dikeroyok itu berhasil lolos dengan melejitkan tubuhnya ke udara, lalu turun dengan sapuan bangau ngamuk menjelang tiba di bumi. Sapuan kakinya sempat merobohkan tiga pendekar desa itu. Puluhan pendekar lainnya yang tadi mengeroyok, mundur teratur. Gumara berusaha mendekat Dia tercengang karena ternyata Pita Lokalah orang yang dikeroyok puluhan manusia itu. Lalu ia berseru! “Pita Loka, ayoh cepat melarikan diri”. Yang tadi roboh, tiga-tiganya bangkit mereka serentak menoleh pada Gumara. Salah seorang diantaranya, yang bersenjata tulang kaki manusia, memperingatkan Gumara ; “Hai Laknat,jangan ikut campur”. “Saya hanya pendamai, Saya tidak ikut campur!” Tapi raja pendekar itu menuding kearah Gumara dengan senjata tulang kakinya, isyarat untuk mengeroyok. Gumara siap menanti. Dan kini pertempuran terbagi dua. Segerombolan pendekar mengeroyok Pita Loka kembali. Pecahan lainnya menyerbu Gumara, Begitu menghantam lawannya dengan tungkai, tahulah Gumara, mereka ini penganut perguruan Iblis. Dimata Gumara, setiap yang sudah terkena sentuhan pukulan dan tendangan Gumara, lantas berubah bentuk menjadi macan hitam. Gumara serta merta melayani mereka dengan silat harimau, mirip seperti ketika ia berkelahi dengan ayahnya di pekuburan keramat Kumayan. Satu demi satu mereka mendapat cakaran Gumara. Tiap terkena cakaran, sang korban mengaum lalu menggelepar. Tiba - tiba tampil sang raja diantara mereka, yang belum terkena cakaran Gumara. Masih dalam bentuk manusia, raja ilmu Iblis itu mengaum meloncati Gumara bagai harimau kumbang, Gumara menyergap dadanya dengan kukunya yang tajam. Dan mengaumlah korban itu dengan dahsyat, menjelma menjadi seekor harimau hitam, Gumara membantingnya. Dan dia pun menjadi kalap ketika puluhan pengeroyok Pita Loka menjadi macan-macan hitam yang seluruhnya mengaum dahsyat. Gumara cepat menyerbu dan menerkam tengkuk mereka satu demi satu dan membantingnya satu demi satu pula. Tetapi dia amat kaget setelah dilihatnya Pita Loka sendiri pun sudah menjelma menjadi harimau yang sangat besar yang dengan beringas menyergap lawannya satu demi satu pula. Setiap yang terkena sergap dadanya seketika itu juga mengaum dan dibanting Pita Loka. Kemudian, sepilah kampung itu. Puluhan bangkai harimau menggeletak. Pita Loka menjelma kembali menjadi gadis yang jelita di mata Gumara. “Kampung ini kampung iblis. Rupanya inilah yang pernah didongengkan oleh ayahku. Mereka menculik gadis utas yang mencari kayu, lalu memperkosa, Kini mereka telah binasa.” Kata Pita Loka. “Oleh kita berdua”, tambah Gumara “Tapi kenapa Guru bisa ketemu lagi dengan saya disini?”tanya Pita Loka. “Mungkin kamulah yang saya cari”, kata Gumara. “Saya?” “Betul. Kau. Diam-diam kau menjelma menjadi harimau. Kau telah mewarisi ilmu itu agaknya. Sebaiknya berterusterang”, ujar Gumara. “Tadi saya kau lihat menjelma menjadi harimau?” tanya Pita Loka. “Ya. Kau tak menyadarinya? Kau terkam mereka satu demi satu. Kukumu mencengkeram dada meraka, meraka mengaum, lalu kau banting!. Tak kau sadari bahwa kau menjelma jadi harimau? Aku yakin sekarang, kau mewarisi ilmu harimau bukan melewati ayahmu!” Darimana Guru yakin bahwa aku mewarisi ilmu harimau tanpa dari ayahku sendiri?” “Dari analisa logis otakku”, ujar Gumara. “Coba buktikan oleh Guru”, ucap Pita Loka. “Tiap orang. mewarisi ilmu setelah teruji. Makin teruji berkali-kali, semakin tinggi ilmunya. Kau telah sampai kederajat ilmu yang tinggi, sebab ilmumu sudah teruji berkali-kali. Itu argumentasi pertama. Yang kedua : Kau mengenakan kalung pertama hijau dilehermu, itu aku tahu bukan kau perdapat dari Ki Putih Kelabu, yakni ayahmu sendiri. Itu berarti kau perdapat dan seorang Ki Guru. Dimana Ki Guru itu? Dia adalah Ki Tungga!. Menurut Nyi Tunggal, ada seorang pendekar selama 40 hari berguru pada suaminya, sampai suaminya mendapatkan ilham kematian dari pendekar yang belajar itu. Karena Ki Tunggal tak punya turunan, warisan ilmunya diberikannya kepada pendekar tersebut sebelum Pendekar Besar itu wafat Nah, disebutnya pula nama samaran pendekar itu, yang kata Nyi Tunggal akan bergelar : “Pendekar Permata Hijau”. Sekarang sudah ditakdirkan aku datang menghadap kau!” “Untuk kepentingan apa, Guru?” tanya Pita Loka. “Untuk menanyakan apa kesaktian permata hitamku ini”, Gumara lalu menunjukkan kalungnya. “Aku?” tanya Pita Loka keheranan. “Tolonglah aku! Mestinya kau mengetahuinya, Pita Lokal” “Sungguh mati aku tak mengetahuinya, Guru!” Gumara bemuram durja.   “Sungguh berat ujian yang kuperdapat. Jika makna dari khasiat batu permata hitam ini sudah kuketahui, mungkin aku dapat membalas budi kepadamu. Dulu, sehabis pertempuran sengit memperebutkan Kitab Tujuh di Bukit Kumayan, engkau membelaku. Kau mengusir Ki Rotan, tapi kau menolak ketika tujuh buah kitab itu kuhadiahkan padamu.” “Sebetulnya saya yang berhutang budi pada Guru. Dalam pertarungan dengan gerombolan ilmu iblis, tuan Guru muncul. Lalu berdua kita musnahkan musuh. Pernah, sepulang dari padepokan Ki Tunggal, saya dikeroyok lagi oleh pendekar-pendekar setan disebuah lembah, sehingga mataku ini hampir coplok. Anda muncul membela saya sehingga saya bebas. Jadi dua kali anda membelaku, dua kali Pita Lokalah yang berhutang budi pada Guru!” Mendengar pengakuan itu. Gumara terpana beberapa saat. Lalu ia berkata : “Kini aku mohon pertolongan. Tapi jangan diartikan untuk menagih budi padamu”. “Baiklah, aku akan menolong Ki Guru. Tapi Jangan tanyakan kepadaku khasiat permata hitam dilehermu itu, Guru”, ujar Ki Pita Loka. “Berdasarkan keterangan di Kitab Tujuh, disitu tercantum satu kalimat mengenai penyembuhan orang gila. Bisakah kau menyembuhkan orang gila dengan ilmu yang kau perdapat?”tanya Gumara. “Bisa. Dalam hal bisa, aku bisa”, kata Pita Loka jujur. “Kalau begitu tolonglah aku”, ujar Gumara. “Siapa orang gilanya yang perlu aku sembuhkan?” tanya Pita Loka. “Harwati. . . . adikku. . turunan Ki Karat”, ujar Gumara. Mendengar nama itu, Ki Pita Loka berkata : “Alangkah cintanya Guru padanya!. Baiklah kita berpisah hingga disini”. Pita Loka merentak melangkah dan berlalu meninggalkan Desa iblis itu. Gumara mengejarnya, mengejarnya dengan berseru : “Ki Pita Loka! Janganlah penuh prasangka!” Pita Loka terus melangkah dengan merentak. Karena dikejar terus, ia berhenti. Gumara maju beberapa langkah lagi: “Kuharap hapuskanlah cemburumu itu. Itu cemburu buta”. “Jangan sindir aku. Memang aku buta. Tapi kau penyebab kebutaanku Ini. Jangan sebut perkataan cemburu buta lagi sampai aku jadi marah!” ujar Pita Loka dengan nada sebal. “Jadi kau tak sedia mengobati orang gila?” tanya Gumara, “Bila aku mengobatinya, itu sama saja menyembuhkan anak kambing yang sakit untuk dipersembahkan pada harimau. Aku tidak sudi! Bukannya aku tidak mau, tapi aku tak sudi!. Jelas oleh tuan?” Baiklah, aku akan menuju Kumayan. Mungkin ayahmu yang terhormat dapat memberi petunjuk untuk penyembuhan kegilaan Harwati.. . .”, ujar Guru Gumara dengan nada kecewa. “Percuma Guru menemui Ki Putih Kelabu. Hanya aku yang diwarisi kemampuan menyembuhkan orang gila. Ilmu ini aku perdapat bukannya dengan mudah. Tapi melalui proses perjuangan pahit getir, lahir dan batin. Aku satu-satunya pemilik ilmu penyembuhan penyakit gila itu. Tapi ilmuku tidak akan kuabdikan untuk menyembuhkan Harwati. Tidak!” Ucapan itu menambah rasa putus asa Gumara. Gumara tak meminta lagi. Tapi memohon sesuatu; “Bolehkah aku mengawal tuan, wahai Ki Pita Loka? Pita Loka tidak bersedia melarang. Tapi juga tidak bersedia menyetujui. Dia biarkan saja Guru Gumara membuntutinya. Namun dalam perjalanan itu, Pita Loka hanya berpedoman pada ketajaman Rasa. Kalau tiba saatnya harus bermalam, Pita Loka membuat jaringan di atas pohon. Dan Gumara justru tidur dibawah pohon itu. Lama kelamaan, Pita Loka menaruh kasihan juga. Dia bertanya ; “Apa tujuan Guru membuntuti saya selalu?” “Saya sendiri akhirnya tiada memahami”, sahut Gumara. “Dan apa tujuan Tuan Guru memohon pada saya agar saya menyembuhkan sakit gila Harwati?” “Hanya karena kasihan. Hanya harena saya sudah mengetahui dari ayahku, Ki Lebai Karat, bahwa Harwati adalah adikku lain ibu. Hanya karena diberi amanah oleh ayahku sebelum beliau meninggal, supaya menjaganya”. “Hanya kerana faktor itu?” tanya Pita Loka. “Hanya karena alasan yang sudah kusebutkan diatas”. “Tidak dikarenakan cinta?” tanya Pita Loka. “Tidak. Adalah gila apabila sorang lelaki mencintai adik kandungnya sendiri. Aku bukan dari jenis keturunan Adam yang jahat”, kataGumara. “Keturunan Adam yang jahat? Adakah putera puteri Adam dan Hawa yang jahat?” “Ada. Yaitu Kabil saudara Habil. Kabil menginginkan tunangan adiknya sehingga Kabil membunuh Habil. Tapi aku tidak. Sekali aku mencintai seseorang,cinta itu abadi”. “Kepada siapakah Guru pernah mencintai?”“ tanya Pita Loka. “Semur hidupku tak mengenal cinta, Kecuali satu kali, yaitu kepadamu, Pita Loka. Ketika kau minggat, kucari kau sampai ke Guha Lebah. Kuminta supaya kau kembali ke Kumayan. Dan kau baru bersedia kembali kesana ketika penduduk Kumayan, mengirim utusannya, meminta bantuanmu. Jadi kau kembali bukan karena permintaanku. Sungguh menyedihkan!” Mendengar pengakuan itu, Pita Loka terharu sejenak. Lalu dia membela diri. “Tapi kau menyuruhku pulang, sekaligus menjemput Harwati. Jadi tujuanmu bukan saya, tetapi saya dan Harwati. Tujuanmu ganda, Ki Guru!” “Taruhlah tujuanku ganda. Tapi dua hal yang berbeda. Kucari Harwati karena amanah ayahku. Kucari kau, karena perintah hatiku. Perintah dari hati yang mencintai”. “Mari kita lanjutkan perjalanan”, ucap Pita Loka. “Nanti dulu. Aku ingin tahu kemana tujuan perjalanan ini!” “Aku hanya mengikuti ketajaman Rasa”, ujar Pita Loka “Kita akan kehabisan tenaga dan waktu. Aku akan menyampaikan permohonanku yang terakhir, Ki Pita Loka!” ujar Gumara, “Menyembuhkan Harwati dari penyakit gila?”tanya Pita Loka. “Ya, kabulkanlah!” “Tidak”, ucap Pita Loka tegas. Lalu dengan tegas Pita Loka berkata pada Guru Gumara : “Kuharap selesai sampai disini tuan membuntuti perjalanan saya. Dan jangan ikut saya lagi”. Pita Loka memang berbakat untuk menyatakan sikap tegas. Wibawanya muncul membuat semangat Gumara berguguran. Dan dia meninggalkan Gumara dengan langkah yang berwibawa pula, Gumara hanya terpana melihat Ki Pita Loka meninggalkannya. Dan Pita Loka pun mewujudkan ketajaman Rasa dengan langkah yang pasti. Ketika dia mengetahui adanya bau menyan dihadapannya, tahulah dia, bahwa dia telah tiba di Bukit Kumayan, kampung halamannya. Pita Loka langsung ke rumah. Dia mendapati ayahnya malam itu dalam keadaan bingung. Kenapa ayah terlalu mengutamakan murid ayah Dasa Laksana itu?” tanya Pita Loka, “Bukankah lebih penting berhadapan dengan Ki Teluh?” “Aku kuatir kau kalah jika berhadapan dengan Ki Teluh. Lebih baik kau sembuhkan kegilaan Dasa Laksana. Jika dia telah sembuh, dia berhutang budi padamu. Dan tujuanku mengajarkan ilmuku padanya tercapai. Tak lain harapanku adalah agar kau dan Dasa Laksana dapat melanjutkan keturunan bibit unggul” “Jangan harapkan hal itu, ayah. Aku tidak akan disebut isteri jika tidak menjadi isteri Gumara,” ujar Pita Loka. “Sembuhkan dulu muridku yang gila, anakku! Kapan lagi aku minta bantuan padamu jika tidak sekarang ini?” Ki Putih Kelabu merengek-rengek. “Rupanya beginilah keadaan ayah. Begitu pula nasib Ki Karat. Ayah dan Ki Karat adalah dua orang yang syah menjadi Manusia Harimau untuk wilayah ini. Lalu ayah dikacaukan oleh Kitab Tujuh yang palsu. Kepalsuan kitab tujuh itulah melahirkan kekacauan berantai, sampai di Kumayan ini seperti memiliki Tujuh Manusia Harimau. Padahal tidak, ayah. Cuma ayah dan Ki Karat saja harimau-harimau yang syah. Ki Lading Ganda dan yang lainnya itu tidak syah karena berpedoman pada Kitab Tujuh yang palsu.” “Dari mana kau ketahui hal ini?” tanya Ki Putih Kelabu heran. “Dari guruku, Ki Tunggal. Bahkan nama Ki Tunggal pun dipalsukan orang yang tinggal di Bukit Tunggal, akibat kitab tujuh palsu itu. Padahal Ki Tunggal yang betul adalah Ki Tunggal Surya Mulih. Aku muridnya. Aku memang mampu mengobati orang gila,” ujar Pita Loka. “Sembuhkan muridku, nak!” ujar Ki Putih Kelabu lagi, “Baik,”ujar Pita Loka. Melalui lorong di bawah tanah, tembuslah ayah dan anak itu ke Lembah Putih Kelabu. Pita Loka mendapati Dasa Laksana dalam keadaan terikat. Lalu dia menatap Dasa Laksana sejenak, yang memaki-maki dengan kata-kata jorok. Bahkan meludahi Pita Loka. Namun Pita Loka tenang. Dia usap dua jarinya setelah dua jarinya itu memegang permata Solaiman hijau. Diusapnya lagi jarinya ke kening Dasa Laksana. Kemudian, Dasa Laksana terkesima. Dia bagaikan seorang terjaga dari tidur dan mimpi. “Dia sudah sembuh.” kata Pita Loka, Pita Loka lalu pergi ke rumah Lurah. Lurah itu diobati lagi. Dan dia pergi lagi ke rumah Kepala Polisi. Keadaan Kepala Polisi ini lebih mengkuatirkan lagi. Sudah berak kencing di lantai, bahkan makan beraknya sendiri. Pita Loka mengobati Kepala Polisi itu dikucilkan oleh banyak orang. Lalu sembuh pula orang itu. Begitu pun dua orang dokter yang menjadi gila. “Seluruh yang gila di Kumayan sudah kusembuhkan. Kini yang perlu dicari yaitu orang yang meneluh mereka. Yah, kita temukan Ki Teluh,” kata Pita Loka kepada ayahnya. Ayahnya mengiringinya bersama Dasa Laksana. Ketika itulah dia dicegat Gumara. Gumara berkata; “Kudengar kau telah menyembuhkan Lurah dan Kepala Polisi di sini! Tidak sediakah kau menyembuhkan adikku?” “Aku terlalu sibuk untuk mencari Ki Teluh,” kata Pita Loka. “Tadi orang bilang dia ada di warung tuak,” kata Gumara. “Aku tak butuh bantuan Tuan Guru,” kata Pita Loka. Pita Loka langsung menuju warung tuak. Ternyata sopir dan dua peminum tuak bukan mabuk. Mereka sudah gila. Bu Rukaya dan suaminya pun sudah gila. Hanya satu orang yang tidak gila, yang duduk di warung itu. Pita Loka langsung menyergap bahu orang itu; “Hai, Ki Teluhl” Orang itu berbalik, tapi dalam sekelebatan dia sudah menjelma menjadi seekor harimau yang menyeringai. Ki Putih Kelabu segera mengisi dirinya dengan pernapasan penuh, dan dirinya pun menjelma menjadi harimau. Ketika Pita Loka menoleh ke belakang untuk menyiapkan tempat mundur, dia merasa melihat dua ekor harimau pula di belakangnya. Mendadak saja Pita Loka berhadapan dengan tiga ekor harimau. Kini tak jelas baginya lagi siapa kawan dan lawan. Semua harimau itu mengundurkan diri. Pita Loka jadi geram dan saking jengkel dia tinju meja warung. Bu Rukaya akhirnya diobatinya, begitu pun suaminya dan orang-orang mabuk yang menjadi gila. Sungguh kejengkelannya terhibur karena disembuhkannya lagi lima orang gila karena ulah Ki Teluh. Dalam keadaan lelah, Pita Loka menaruhkan kepala di atas meja. Lalu muncullah seorang lelaki tua dengan destar di kepalanya. Bu Rukaya membangunkan Pita Loka: “Nak,dia datang lagi!” “Jangan cemas. Kali ini saya datang bukan untuk melakukan teluh. Aku mau menjumpai orang ini,” ujar pak tua itu. Pita Loka mengusap mata keheranan, Lalu dia berseru pada orang itu: “Ki Jengger! Mengapa anda tiba-tiba ada di sini?” “Dia Ki Teluh!” ujar Bu Rukaya berani, pada Pita Loka. “Memang kusengaja membuat mereka jadi gila. Supaya aku menyaksikan kau menyembuhkan mereka. Tapi dalam tugasmu, kurasa kau berpilih kasih,” ujar Ki Jengger Mendengar saran Ki Jengger, Pita Loka merasa tersinggung, Dia bertanya: “Darimana tuan Guru datang barusan?” “Sebelum menemuimu sekarang ini, tadi aku berbincang sejenak dengan Ki Gumara Peto Alam,” jawab Ki Jengger. “Apa yang dikatakan Gumara?” “Dia mengeluh kau tak mau menyembuhkan Harwati yang sedang gila.” “O, begitu dia mengadu? Persetan sama dia!” ujar Pita Loka. “Baiklah. Tapi andaikata aku yang memberi saran, agar kau sudi mengobati Harwati? Apakah kau akan mempersetankan saya?” Pita Loka terdiam sejenak, terbelenggu oleh rasa hormat pada Ki Jengger, tapi dia pun tersinggung. Dia buka kalung Permata Hijau Solaiman dari lehernya, dan disodorkannya pada Ki Jengger; “Ini hadiah tuan untuk saya, guna menyembuhkan orang gila. Jika dulu tuan tidak ikhlas memberikan pada saya, silakan tuan ambil kembali.” “Kenapa kau mendadak marah?” “Maaf, tuan Guru. Saya bukan saja marah, tetapi saya merasa terhina.” “Apa aku menghinamu?” tanya Ki Jengger. “Jika Permata keramat ini sudah diberikan ikhlas buatku, ini sudah menjadi milikku. Kurasa aku bebas untuk menentukan untuk keperluan apa barang keramat ini. Maaf, tuan Guru, mungkin saya satu-satunya orang di sini yang tidak sudi diperbudak anda, meski benda keramat sekalipun. Bahkan saya tidak sudi diperbudak oleh diri saya sendiri.” Sejenak Ki Jengger terpana. “Kini akulah yang kau buat malu dan hina. Memang permata itu sudah milikmu. Kau bebas untuk sudi mengobati Harwati atau tak sudi. Tapi silsilah Tujuh Manusia Harimau, antara lain, rahasianya di benda ini, anakku! Apakah kau ingin buta sepanjang masa?” “Saya siap untuk buta sebelah mata saya sepanjang masa. Asal saya bebas memilih apa yang saya kehendaki,” kata Pita Loka mantap. “Kebutaamu itu bisa sembuh apabila kau bisa menyembuhkan sakit gila Harwati.” “Ha?” Pita Loka tercengang. “Kalau kau menyembuhkan sakit gila Harwati, silsilah akan terangkai, karena Permata Hitam Solaiman yang dimiliki Gumara mampu menyembuhkan kebutaanmu. Ini semua ada dalam silsilah sejarah. Kini kamu tinggal memilih, mau selamanya buta dengan menolak menyembuhkan gila Harwati, atau mengalah.” Ki Putih Kelabu yang rupanya mendengarkan perdebatan itu lantas berkata menengahi; “Bolah aku bicara sekedar mencari titik temu perdebatan ini?” “Silakan Ki Putih Kelabu,” ujar Ki Jengger. “Aku bicara bukan sebagai ayah, tapi sebagai satu diri. Begini, Pita Loka. Saya cuma ingin melihat agar dua biji matamu itu kembali seperti sediakala. Aku menghargai kekerasan hatimu. Itu martabat seorang pendekar. Tapi pernahkah kau dengar seorang pendekar akan selalu menang berkelahi? Tentu dia pernah kalah. Mau mengalah.” Pita Loka menatap ke wajah ayahnya. Dia lalu merangkul,tepat ketika munculnya Gumara. Padahal Gumara sudah mendengar seluruh soal jawab tadi dari balik lapau. “O, Ayah! Dari dulu, sejak kecil saya menggemari segala sesuatu dengan perjuangan. Mulanya memang saya risau oleh kebutaan sebelah mataku ini. Tapi justru dengan sebelah mata inilah, saya menemukan kemantapan batin. Bagiku, hidup yang penuh keraguan, prasangka, dan kecemburuan, hanyalah akan menyiksa diri. Segala itu sudah aku atasi. Jangan rubah lagi pendirianku. “O, ayah! Aku rela menerima kebutaan, dan seharusnya Harwati pun rela menerima nasib gila.” “Jadi kau menolak saran Ki Jengger maupun ayahmu sendiri?” tanya Ki Putih Kelabu. Bagitu dia melihat Gumara, rasa bencinya semakin menyala. “Jika pendirianmu menjadi sikap seluruh penduduk bumi, maka dunia ini tidak akan aman,” ujar Gumara. Pita Loka lebih bertambah benci lagi. Dia renggut kalung Permata Hijau itu, lalu dilontarkannya ke udara. Di udara kalung itu bagaikan melesat seperti anak panah yang tidak akan kembali lagi. “Biarlah aku buta. Biarlah dia gila. Aku akan berangkat sekarang untuk mencari Guru yang tidak memperbudakku. Aku takkan diperbudak oleh benda-benda itu. Juga aku tak sudi diobati olehmu, wahai lelaki bermata dua. Mataku satu sebagai lambang cintaku satu. Matamu dua sebagai bukti cintamu dua. Jangan ajak aku bicara 1agi. Maafkan ananda, wahai ayah, karena Pita Loka akan mengembara dengan sebelah mata.” Aneh! Pita Loka menghilang secara ghaib. Ki Jenggar, Ki Putih Kelabu, Gumara Peto Alam terheran-heran oleh keajaiban itu. TAMAT Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt