Tujuh Manusia Harimau (4) Misteri Tirai Setanggi Motinggo Busye mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Lebah-lebah itu berbunyi mengerikan ibarat skuadron tempur pesawat udara. Lama -kelamaan keadaan itu semakin mengerikan. Dan gua tempat lebah-lebah yang jutaan jumlahnya itu amat gelap. Tetapi aneh sekali.Ada satu lingkaran asap yang tidak dapat diterobos oleh lebah itu. Lingkaran itu bagai sebuah dinding asap, sampai ke langit-langit gua itu. Dan di balik asap itu agak samar tampak benda kemerahan bergerak-gerak. Ternyata itu sebuah obor yang disulut pada tonggak pohon karet. Maka api obor itu sepertinya abadi. Melelehkan getah. Akan jelas kemudian, ada sosok yang sedang duduk bersila disana . Dia lama kelamaan jelas seorang wanita, yang rambutnya panjang. Dan memang dia wanita dengan wajah cantik tapi seram. Dia, tak lain tak bukan, adalah Pita Loka. Dia rupanya sedang bersemedi. Satu perputaran suara sepatah kata dengan teratur dan amat halus bagai nada tunggal di antara suara lebah yang berdengung. Mendadak suara tunggal itu yang terdiri darilima huruf menjadi secepat kilat. Dan tampak Pita Loka yang semula duduk bersila bagai patung itu memulai satu gerakan. Telapak tangannya yang semula bagai lengket di ujung dengkulnya tambah tergenggam. Lalu tinju itu serentak Terangkat sebatas dada. Dan tinju itu bagai secepat kilat menghantam dada Pita Loka seperti dia sedang menyiksa diri. Lalu dengan gerak bunga, Pita Loka serentak berdiri tegap. Tinju terkepal itu memukul dadanya sendiri sekali lagi dan dia berteriak: “Huah!” Dan sosok yang berada di luar gua saat itu seketika menjadi kaget. Dia bersembunyi di pinggir pintu gua. Sosok itu mendadak mendengar suara Pita Loka yang meneriakinya: “Aku tahu di luar ada musuh!” Sosok itu semakin ngeri. lalu menghindar. Rambutya yang sudah seperti berlumut dan mirip ijuk itu dia sibakkan. Wajahnya mengerikan. Dan tidak dinyana bahwa sosok mengerikan ini adalah wanita. “Aku tahu kau mencariku untuk menuntut balas”, ujar Pita Loka, yang seketika sudah berdiri di pintu gua. Beberapa ekor lebah hanya berada di belakang Pita Loka ibarat dinding yang menutupi pintu gua. “Kau percuma melawanku”, ujar Pita Loka dengan mata melirik ke kiri. Rupanya lirikan itu tepat sekali. Sebab sosok wanita berambut ijuk mengerikan tadi memang sedang bersembunyi di sebelah kiri. Pita Loka berteriak dahsyat: “Hai keluar kau konyol!” Tepat seketika itu juga. wanita seram itu mengayunkan tongkat rotan yang panjangnya tujuh hasta itu. Tongkat itu hampir saja menghantam muka Pita Loka. Jika dia tidak segera menangkis dengan telapak tangan kirinya. Tongkat itu bagai menghantam karet, membal berbalik. Karena wanita seram yang memegang tongkat itu memegang gagangnya begitu kuat, ketika tongkat itu berbalik membal, seketika dia ikut terpelanting bersama tongkat yang dipegangnya. Ia terjatuh sekitar duapuluh meter dari tempat Pita Loka masih berdiri tegap. “Kau jangan bangkit berdiri lagi! Percuma kau melawanku !” teriak Pita Loka. Wanita misterius yang seram itu tampaknya gentar juga mendengar ancaman Pita Loka tadi. Lalu dia mendapat akal licik untuk megelabui Pita Loka: “Aku datang ke Gua lebah ini atas perintah Gumara”. “Gumara? Kau berdusta”, kata Pita Loka. “Aku membawa suratnya”, kata wanita seram itu. Karena Pita Loka masih tercengang, wanita misterius tadi melanjutkan tipu muslihatnya. “Ini aku simpan dalam bajuku. Karena aku tak kuat bangkit, harap kau ke sini dan mengambilnya dari bajuku”. Pita Loka tergoda juga untuk mengetahui isisurat Gumara ttu. Cintanya pada Gumara tidak pernah luntur semenjak dia patah hati dan menghindar dari kehidupan dunia biasa. Dia sudah benar-benar terpisah dari dunia kehidupan normal di Kumayan. Mendengar nama Gumara, bulu roma Pita Loka merinding. Dia turun dari tangga gua itu yang terbuat rapi dari susunan batu- batu kali. Melihat Pita Loka turun itu, wanita buruk muka itu pun semakin berpura-pura merintih. Dia pernah mendengar kelemahan utama Pita Loka sekalipun namanya sudah kesohor dengan ilmu sakti yang tinggi. Rumput ilalang dikuakkan oleh kaki Pita Loka ketika dia melangkah dengan hati-hati menuju wanita buruk muka itu. “Buanglah senjatamu itu. kawan”, ujar Pita Loka. “Senjata itu tidak berarti apa-apa bagimu. Jika kau jujur kawan, tentulah aku akan memberikan setetes saja ilmuku yang melebihi kesaktian tongkatmu itu”. Mendengar dirinya dijuluki “kawan” oleh Pita Loka, wanita berwajah buruk itu semakin mempertinggi semangat liciknya. Dalam hatinya dia berkata; “Aku tidak sudi menerima hadiah ilmu dari kau. Aku justru akan merampok ilmumu!” Namun dia mempermainkan senyumnya dengan maksud manis kendati dia tetap saja jadi buruk. Seharusnya Pita Loka melihat mulut yang mengunyah-ngunyah itu. Tapi godaan dalam jiwanya yang bergelora untuk melihatsurat Gumara itulah yang membuat dirinya lengah. Dia terus menghampiri dan mau saja dikibuli oleh wanita buruk muka itu, yang berkata ramah manis: “Tolong ambilkansurat itu di balik kutang bajuku”. Pita Loka berjongkok karena wanita buruk itu belum berdiri jua. Ketika Pita Loka menyatakan “maaf” sebelum tangannya masuk ke balik baju, wanita yang mengunyah itu melihat ubun-ubun kepala Pita Loka. Daun kelor yang sudah lumat itu menemplok tepat pada ubun-ubun Pita Loka. Pita Loka seketika itu juga roboh. Dia terguling di atas rerumputan. Wanita buruk muka itu dengan tegap berdiri dengan tumpuan tongkatnya. “Kau hina tongkat saktiku ini kau cobakan rasanya!” bentak wanita buruk muka itu seraya mengayunkan tongkat dan memukul punggung Pita Loka. Pukulan itu begitu kuat sehingga membuat Pita Loka dari telungkup lantas terlentang. Dia benar-benar dalam keadaan tak sadarkan diri. Dan wanita buruk muka itu kini meninju pintu gua. Dia mendadak kecut menghadapi lebah-lebah yang sepertinya menghadangnya. Ya. lebah-lebah itu ibarat dinding dengan suara hidup yang mengerikan. Mendadak akal liciknya mulai menguasai otaknya. Dengan tongkat tetap di tangan, dia berbalik kembali mendapati tubuh Pita Loka yang tergeletak. Dia menggerayangi tubuh Pita Loka. Ah, wajahnya kelihatan berkobar bagai api nyala sewaktu menemukan biji-biji tasbih yang melilit bagai ikat pinggang. Tentu biji-biji ini memiliki mukjizat, pikirnya. Langsung saja dia lucuti. Dan dia kenakan pada pinggangnya. Dugaan liciknya tadi memang terbukti. Ketika ia kembali ke pintu gua. Dia melihat lebah-lebah itu sebagian menyingkir. Hal ini memudahkan baginya melangkah tanpa kuatir kena sengat, dia berjalan dengan langkah bangga menuju dinding asap yang mirip tirai sutera itu. Di sini indera hidungnya merasakan bau stanggi. Dia agak kuatir menerobos tapi karena dalam dadanya bergelora keinginan serakah untuk merampok ilmu kesaktian Pita Loka, dia langsung menyerbu menerobos dinding asap itu. Kontan seketika itu juga dia menjerit melolong keras, karena dari dalam tanah menyerbu ular-ular belang hitam kuning. “Tolong . ..” teriaknya. Sementara itu, beberapa ekor lebah seperti binatang jinak sedang mengantup antup ubun-ubun Pita Loka. Pita Loka mulai sadarkan diri karena nyeri terkena antupan tawon-tawon itu. “Terimakasih binatang-binatangku yang baik” ujar Pita Loka segera bangun. punggungnya dirasanya nyeri ketika berdiri. Tapi dia cepat menempelkan jempol jarinya pada langit-langit mulutnya. Dengan meggosokkan ujung jempol itu ke tempat nyeri, segera otot yang tadi kena gebug itu pulih susunannya. Pita Loka sadar, bahwa wanita si buruk muka tadi sudah memasuki gua. Dia melangkah cepat menuju pintu gua. Dan ketika dia menerobos memasuki tabir asap setanggi itu, Pita Loka terseyum mendapatkan wanita buruk muka tadi. Ular belang piaraan Pita Loka yang menggigit wanita buruk muka itu, sudah memulihkan keburukan lukanya itu dengan bisa penyembuhan. Tapi memang untuk sementara wanita yang berubah jadi cantik itu harus pingsan sementara putaran setengah matahari. “Harwati . . . “. Pita Loka bergumam.”ilmu apa yang kau sudah pelajari hingga kau begini busuk hati?” Namun, Harwati yang diajaknya bicara itu tiada mendengar. Antupan bisa ular masih dalam proses pengobatan sampai kelak Harwati akan mantap menjadi manusia biasa, seperti apa adanya. Ilmu hitamnya yang buruk itu, seburuk wajahnya yarag mengerikan itu. akan musnah setelah putaran setengah matahari nanti. Dan saking ngebetnya untuk mendapatkansurat Gumara seluruh tubuh Harwati digeledahnya. Pita Loka terpaksa tutup hidung, sebab tubuh yang bagus itu bau. Memang inilah ciri ilmu hitam, yang pantangannya adalah mandi. Pita Loka tersenyum sinis: “O, betapamalang nasibmu Wati!” Dan enam jam setelah lewat masa pingsannya, wajah yang semula melepuh karena mengidap ilmu hitam itu berangsur berubah menjadi licin. Mata Harwarti melek. Dia seperti keheranan dan berseru: “Pita Loka!” Dan Harwati tampak keheran-heranan melihat keadaan sekitar. Dia melihat obor yang menyala lestari. Dia melihat tabir asap yang muncul dan permukaan bumi dalam gua itu. “Begitu lama kau mengasingkan diri di sini?” tanya Harwati. “Dan kau? Berapa lama kau tidak mandi?” tanya Pita Loka. Pita Loka lalu tersenyum sejenak dan berkata: “Coba resapi bau tubuhmu itu dengan hidungmu!” “Ah bau sekali” kata Harwati kemalu-maluan setelah mencium bau tubuhnya. “Dengan siapa kau belajar, Wati?” tanya Pita Loka. “Seorang guru tua. Ki Rotan, apakah kau pernah mendengar namanya?” “Aku tahu siapa dia. Ketika aku menjelang sampai ke Gua Lebah ini, aku melewati hutan rotan. Seorang udik mengajak aku belajar pada Ki Rotan dengan syarat tidak menikah seumur hidup. Tapi akhirnya aku melarikan diri hingga sampailah aku di sini. Apa kabar Gumara sekarang? Dia tidak jadi menikah dengan kau, barangkali?” Harwarti hanya meggelengkan kepala. “Dia saudara seayah denganku”. katanya, yang membuat Pita Loka terkejut yang tak dapat disembunyikan lagi. “Kalau begitu aku berminat untuk meninggalkan gua terasing ini”. kata Pita Loka. “Ingin kembali ke Kumayan?” tanya Harwati. “Ya”, sahut Pita Loka. “Kalau begitu berikan ilmu kesaktianmu untukku!” ujar Harwati bersemangat. Pita Loka terdiam. Lalu menggelengkan kepala dan berkata: “Tidak bisa seluruhnya. Hanya setetes yang bisa kuberikan padamu. Dan sia-sia jika kau menganggap kesaktian ilmuku dari biji tasbih yang seribu biji ini. Tidak, Bukan di sini kekuatan ilmuku!” “Ajari aku!” kata Harwati. “Jiwamu harus bersih dari segala nafsu apa pun, baru kau mendapatkannya. Dan itu sulit bagimu. Harwati! “ kata Pita Loka dengan ucapan mantap. “Kenapa?” “Karena aku melihat dalam dirimu ada sikap tak jujur, iri hati, serakah. Tapi yang akan lebih menyulitkan kau adalah sifatmu yang suka berkhianat”. Itu diucapkan oleh Pita Loka dengan polos. Tanpa minta maaf lebih dulu. Ditatapnya mata Harwati. Dan Harwati yang memiliki sifat “rai gedeg” itu tidak memperlihatkan perasaan tersinggung. “Lalu untuk apa sebenarnya kau datang ke Gua Lebah ini, Wati?” Dengan nada selingkuh Harwati menjawab :”Aku belajar padamu!” “Betul?” “Betul”. “Dan siapakah gerengan yang menyuruh kau belajar padaku?” “Tidak ada. Hanya atas kemauanku sendiri”. ujar Harwati. Dan dia sudah berdusta. Tampaknya permainan dustanya itu begitu hebat, sehingga tak diketahui Pita Loka. “Lalu, apabila kau sudah mendapatkan ilmuku, apa yang hendak kau lakukan?” “Terserah pada Guru. Kau Guruku. Seorang murid harus patuh pada perintah sang Guru”, kata Harwati. “Bagus. Jadi kau ke sini secara mutlak ingin mendapatkan ilmu Sakti dariku. Tanpa ada yang meyuruh”, kata Pita Loka. “Ya, tanpa ada yang menyuruh”, “Pada Ki Rotan ilmumu sudah tamat?” “Aku justru melarikan diri. Aku diberi makan cacing-cacing. Aku tak diperkenankan tidur sepicing mata pun!” “Kasihan”, kata Pita Loka. “Dan bagaimana persyaratan mendapatkan ilmumu?” tanya Harwati. “Tidak bisa tidur itu termasuk mutlak. Hal itu ada dalam tuntutan ilmuku. Tapi berapa lama kau sudah menjadi murid Ki Rotan?” tanya Pita Loka. “Baru pada tahap pertama. Hanya seratus hari. Hal ini kulakan setelah aku patah hati. Karena ternyata Gumara adalah saudara seayah dariku, lain lbu”. “Oh, senang aku kali ini mendengar kejujuranmu. Tapi tahukah kau berapa lama kau harus belajar sampai dapat setetes ilmuku?” “Setetes? “ Harwati kaget. “Nah itu satu bukti kau serakah. Setetes ilmuku yang kau dapatkan itu harus kau tempuh dalam waktu 1000 hari, lebih dari 2 tahun setengah!” Harwati tersenyum licik dan berkata: “Kalau belajar dengan kau, buatku 1000 hari tak mengapa. Aku akan menjadi murid yang tekun, Pita Loka!” Diantara belitan pohon-pohon rotan yang rapat, Ki Rotan pada waktu matahari terbenam mendadak sontak berkelit seperti menangkis serangan. Dia seperti merasa mendapat serangan halus dari arah kulon. Dia berkelibat lagi memasang kuda-kuda seakan musuh sudah dalam jaraklima depa saja. Limaorang muridnya ikut berkelibat. “Adaapa Ki Guru?” tanya Pongga. “Adayang berkhianat!” “Utusan tuan Guru?” “Ya. Puteri Ki Karat bangsat itu! Dia kuutus untuk mencuri ilmu Ki Pita Loka. taunya berkhianat”. “Ini matahari sudah terbenam dua kali. Dia belum juga kembali!” dan Ki Rotan berubah menjadi macan tutul beringas. “Perlu saya menyusul?”“ tanya Pongga. “Tidak perlu! Kalau perlu saya yang menyusul. Dua kali matahari terbenam Harwati belum kembali, itu berarti ada dua kemungkinan: Pertama, dia berkhianat menuntut ilmunya Ki Pita Loka. Kedua, kemungkinan dia salah siasat lalu mati dibunuh” Dugaan Ki Rotan meleset. Harwati tidak berkhianat. Dan Harwati tidak dibunuh. Dia dengan tekun sehari suntuk sejak matahari terbit sampai terbenam. mengangkat batu kali menuju gua, itu adalah latihan pertama yang harus dilakukanya selama 40 hari matahari terbit dan terbenam. Memang latihan itu amat berat. Tapi menurut Pita Loka, ketika dia mendapat ilham dari ilmunya yang sekarang dia miliki ini hal yang dia perbuat sama seperti Harwati. Harwati sendiri belum melihat setinggi apa mutu ilmu Pita Loka. Tapi setiap pagi dia melihat betapa terlatihnya Pita Loka melompat dari pohon ke pohon yang jaraknya sekitar 20 hasta, tanpa berpegangan tangan. Dan bila matahari tegak lurus di langit, Pita Loka turun dan latihan lompat melompat itu dengan membawa berbagai macam buah-buahan. Dengan makanan buah itulah makan siangnya. Di sekitar wilayah kekuasaamya ini tidak pernah mereka makan nasi. Pengalaman Harwati di perguruan Ki Rotan masih makan buah-buahan umbi yang direbus. Kadang kalau Pongga berhasil merampok, perbekalan beras cukup untuk dua minggu di perguruan. Biar pun jatah beras atau makan nasi atau ubi rebus tidaklah banyak, tapi di tempat Pita Loka ini rasanya suasana perbekalan makanan haruslah seadanya. Dan mengangkut batu-batu kali yang besar itu menguras tenaga dan membuat perut gampang lapar. “Apa kau tak kuat?” tanya Pita Loka di hari ketiga. “Kuat”, ujar Harwati. “Jika kau tak kuat, kau boleh kembali ke padepokan Ki Rotan”. “Tidak. Aku akan betah di sini”. Dan tanpa diduga rupanya hanya tujuh hari Harwati yang diberi jatah makan buah-buahan di siang hari. Pada malam menuju hari kedelapan, Harwati mendengar kata-kata gurunya; “Mulai hari kedelapan sampai hari ke limabelas, kau tidak dapat jatah makan buah-buahan siang. Tapi bukan kau saja. Aku ikut tak makan siang”. Sungguh letih pada hari-hari harus berpuasa menunggu sembari mesti mengangkat batu kali. Tetapi setelah dialami, memang dia mampu juga. Dan tidurnya sehabis berbuka ketika matahari terbenam, amatlah nyenyak. Dan ketika memasuki hari selikuran, Pita Loka berkata: “Ini hari ke-21 kau belajar. Tugasmu sekarang ini, sampai hari ke-40 adalah memulangkan kembali seluruh batu yang kau angkut ke Gua.” Harwati melotot kaget: “Memulangkannya kembali? Jadi apa gunanya diangkut?” “Semua latihan ada gunanya”, sahut Pita Loka. “Ki Pita, apa ini bukan olok-olok?” “Kau tak boleh membantah. Sekali lagi kau membantah kau akan aku usir kembali ke padepokan Ki Rotan”, kata sang Guru mengancam. Dengan perasaan jengkel, takut dan kuatir, Harwati mengikuti mata pelajaran yang baginya belum jelas itu. Dua hari menjelang hari ke-40, Harwati tergelincir ketika membawa batu kali ke kali lembah di bawahsana itu. Pita Loka bagai terbang dari pohon ke pohon dengan lompatan-lompatan yang agak mirip lompatan orang hutan. Dan dia mendapati Harwati di bawah dalam keadaan tidak pingsan. Pita Loka tersenyum dan menepik bahu Harwati: “Berdirilah dengan tegap. Kau baru mengalami jatuh satu kali. Ketika aku belajar lewat ilham, aku mengalami 7 kali jatuh. Kau bakal menjadi murid istimewa, Wati”. Pujian itulah yang mendorong semangat Harwati mengangkut batu dari gua ke lantai lembah. Dan sampai hari ke-40 itu selama dua hari dia mengalami jatuh tergelincir sebanyak 6 kali. “Baru aku tahu”, ujar sang Guru, “Tiap mata pelajaran akan mengalami 7 kecelakaan”...... Tengah malam ketika Harwati tidur pulas, Pita Loka masih memandangi bintang gemintang di langit yang biru kelembayungan. Sekitar setengah jam lagi, Pita Loka mesti melakukan upacara penting kenaikan tingkat ilmu. Yaitu awal dari pengisian ilmu pada muridnya. Kembang tujuh rupa sudah disiapkan dalam segentong air. Nanti tepat ketika bulan itu menyudut 45 derajat berarti tengah malam tepat, Harwati akan dimandikan dengan guyuran air kembang itu. Tapi waktu setengah jam itu masih cukup lama, pikirnya. Dia meresapi tatapannya ke bintang Kejora yang sinarnya gemerlap itu. Mendadak dia mendengar suara gemersik di sekitar sebelah kanan pintu gua. Pita Loka melirik kesana . Memang ada sosok yang sedang menyusup di sela empat batang pohon langsat. Pita Loka membalikkan tubuhnya membelakangi sosok yang mendekati itu. Sosok itu semakin merasa aman. Makin jelas jika dilihat seksama, dia mengenakan destar merah darah. Ya. Pita Loka pun sudah tahu bahwa manusia yang mau menggempurnya adalah Ki Rotan. Dia tenang-tenang saja menghadapi kemungkinan itu. Tetapi,lima huruf yang terjalin dalam satu perkataan itu sudah mulai mengisi seluruh urat darahnya. Lidahnya bergerak, dan gerak lidah yang mengucapkan satu perkataan abadi itu semakin bergetar cepat, dan seluruh urat darah Pita Loka seakan sudah terisi dengan sekian juta kata-kata yang digerakkan lidahnya. Ki Rotan sudah berdiri tegap dari gerak semula yang merunduk. Tongkat di tangannya sudah siap untuk dihantamkannya ke kepala Pita Loka. Kalau diteliti, jarak tegaknya Ki Rotan dengan Pita Loka adalah syarat yang cukup untuk menghantam kepala Pita Loka sampai hancur. Yang gelisah justru lebah-lebah itu. Lebah-lebah itu sepertinya tak sabar untuk keluar dari pintu gua. Tapi melihat ketenangan majikan yang memeliharanya, lebah-lebah yang gelisah itu akhirnya seperti berbisik-bisik saja. Mendengar suara lebah itu berbisik. Ki Rotan jadi ragu. Bahkan dia makin tegang. Keringat dingin mulai mengalir sementara peganganya pada gagang tongkat semakin kuat. Mendadak Ki Rotan bagai mengamuk berteriak nyaring sembari menghantamkan tongkatnya tepat di tengah batok kepala Pita Loka. Dari permukaan kepala itu tampak bagai kilat disertai bunyi pecahan kaca. Tongkat itu sendiri setelah menghantam sasaran karena dipegang amat kuat gagangnya oleh Ki Rotan membuat Ki Rotan membal ke udara. Namun ia jatuh kembali ke bumi dengan pegangan tongkat yang kukuh dan telapak kaki tegak perkasa. Ki Pita Loka, yang masih berdiri tenang, dengan kedua tangan berlipat di dada, lalu membalik 90 derajat, ketika mana satu hantaman tongkat menghantam leher kirinya. Tapi kembali tongkat itu membal bersama Ki Rotan yang juga terlempar ke kiri. Pita Loka maju selangkah. Ketika Ki Rotan mengayunkan tangkatnya lagi mau menghantam leher kanan Pita Loka, ketika inilah Ki Pita Loka menyambut hantaman itu dengan tangan kirinya, kemudian tongkat yang sudah terpegang itu dia pusingkan melingkar di atas kepalanya. Ki Rotan seperti dipermainkan ibarat sirkus dengan keraguan tak berani melepaskan pegangan tongkatnya. Setelah sekian putaran mempermainkan Ki Rotan begitu tepat pada waktu pegangan Ki Pita Loka dia lepas hingga Ki Rotan dan tongkatnya menyerbu masuk pintu gua yang terdiri dari rubungan lebah-lebah. Lebah-lebah yang terkena tabrakan itu seketika itu juga jadi marah dan begitu Ki Rotan ambruk di sekitar pendapa gua, langsung saja dia dikerubuti lebah-lebah yang ribuan jumlahnya. Aneh sekali. Keadaan yang menghebohkan itu tidak membuat Harwati terbangun. Ketika Ki Rotan sudah diantup habis-habisan oleh pasukan lebah itu, tanpa bisa bergerak lagi, waktu itulah Ki Pita Loka memasuki pintu padepokanya itu dengan langkah tenang. Dia bangunkan Harwati. Tapi dia tak memberitahu apa yang terjadi agar konsentrasi Harwati jangan meleset Harwati dituntunnya menuju gentong besar yang terbuat dan tanah liat selama selikur hari dulu, di kala ia menuntut ilmu pertamakali sebelum Harwati diguyurnya, Ki Pita Loka mengajarkan satu perkataan yang terdiri dari lima hurup. Dan perkataan itu diulang-ulangi dengan lidah sampai meresap. Dari lambat semakin cepat. Dan begitu Harwati selesai diguyur…dia kemudian pingsan. Ketika itulah Harwati digotong oleh Pita Loka dan ditaruh di atas susunan batu batu, yang selama ini menjadi tempat tidurnya. Dan dalam tempo seperempat jam, Harwati kembali sadarkan diri. Begitu dia sadarkan diri dia kaget seketika karena dia sudah dalam keadaan berpakaian. Padahal tadi rasanya dia masih mandi diguyur. Harwati duduk. Dia tiba-tiba terdongak kaget melihat sosok yang membengkak, Ki Rotan, dalam keadaan mengerikan. Sungguh luar biasa! Harwati tercengang karena Ki Pita Loka, Gurunya, justru sedang melakukan pengobatan atas diri Ki Rotan. Pengobatan itu pun amat sederhana. Hanya ibu jari sang Guru digosokkan pada langit-langit mulutnya, lalu jempol itu diusapi pada kening Ki Rotan, dan bengkak di seluruh tubuh Ki Rotan jadi kempis. Ki Rotan sadarkan diri secara amat mencengangkan. Dia melihat Harwati dan berkata; “Kau murid yang tak pernah berhenti durhaka, Wati” “Sebaiknya anda pergi, Ki Rotan. Semua yang anda alami, merupakan bukti, bahwa saya ini bukan lawan anda” kata Ki Pita Loka.   Harwati diam sembari memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tak mungkin terbaca oleh perasaan Ki Pita Loka. Ki Rotan berdiri. Ketika ia mencari tongkatnya, Ki Pita Loka memberi tongkat itu kepadanya. Seraya berkata: “Ilmu yang anda punyai hanya sepanjang tongkat yang anda pegang”. “Tapi ilmu Tuan Guru pun sebanyak asap stanggi yang mengepul itu. Bila asap itu habis. Habislah ilmu anda, Ki Pita Loka”, kata Ki Rotan. “Sudah jangan banyak bicara lagi. Anda sudah saya usir secara baik-baik, Ki Rotan. Jangan masuki wilayah ini lagi, kecuali jika anda mau tidak selamat”, kata Ki Pita Loka. Namun dengan getol Ki Rotan menjawab: “Tahukah anda selain saya sekarang ini banyak lagi orang yang ingin mendapatkan Pedang Raja Turki dan Kitab Makom Mahmuda yang anda sembunyikan? Untuk itulah saya ke sini!” Ki Pita Loka terdongak kaget. Dia memang pernah menyaksikan dua benda yang disebut Ki Rotan itu. Tapi bukan dalam keadaan nyata atau konkret. Tapi hanya dalam enam kali mimpi! “Anda kaget dengan ucapanku, bukan? Pernah kutemui seorang pengembara tua, namanya Ki Ibrahim Arkam. Dia mengira akulah yang memiliki dua benda sakti itu. Dari dia aku mengetahui. Dan kini anda terkejut! Hah, jangan kuatir, Guru besar . . . saya akan kembali!” Menjelang dia melangkah berlalu, dia menoleh pada Harwati dan berkata dengan sopan: “Belajarlah dengan baik padanya. Lalu ambil ilmunya!” Harwati jadi gugup. Dia kuatir dianggap Ki Pita Loka pada suatu saat akan berkhianat. Begitu pun setelah Ki Rotan berlalu, dia tanpa diminta berkata: ““Tuan Guru, aku tidak akan mengkhianati anda!”. “Oh, buatku sama saja. Kau belajar padaku, setia atau berkhianat itu sama saja”, kata Ki Pita Loka. Lalu Ki Pita Loka bertanya pada Harwati: “Pernahkah kau dengar tentang Pedang Raja Turki itu?” “Tidak, Ki Guru!” “Pernah kau dengar tentang Kitab Makom Mahmuda?” “Juga tidak, Ki Guru!” “Lalu untuk apa kau datang ke sini?”   “Hanya ingin belajar”. “Setelah selesai?” “Saya siap menjad pengawal anda”. kata Harwati. “Sekiranya Guru Gumara mendadak datang ke mari, apa tindakanmu?” Harwati cepat menjawab: “Saya anjurkan pada saudara tiriku itu agar menjadi pendamping anda!” “Dusta!” Ki Pita Loka menuding marah. “Kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau mencintai Guru Gumara, betulkan ?! “ Terkena tanya yang amat mengerikan ituu, Harwati sigap menjawab: “Tidak! Kami lahir dari satu ayah. Mana mungkin dua anak Ki Karat saling mencintai? Apalagi menuju ke jenjang suami isteri? Cuma anda, Ki Guru yang mulia, yang masuk akal untuk menjadi pendamping Guru Gumara!” “Ucapanmu menghibur”, kata Ki Pita Loka. “Itu logis. itu masuk akal!” kata Harwati. “Beda denganku. Aku satu titiisan darah dengan dia” “Oh, begitu”, mata Ki Pita Loka lalu menjadi berbinar menahan marah, dan dia menuding lagi: “Kau mendustai aku ketika pertama kali kau datang mengecoh diriku, mengatakan membawasurat Guru Gumara. Atas dasar apa kau kecoh diriku dengansurat dustamu?” “Supaya saya diterima Tuan Guru dengan baik”, kata Harwati. Ki Pita Loka merasa ada bunyi berdenging dari arah tirai stanggi itu, pertanda tak baik. Dia langsung sadar bahwa iblis sedang menggodanya. Lalu dia berkata: “Mari kita habisi cerita Gumara. Kau tidak akan mendapatkannya seperti alasan yang kau katakan, dan aku pun tidak akan mendapatkannya karena alasan pribadiku pula” “Alasan apa. Tuan Guru, jika boleh saya tau?” tanya Harwati. “Syarat terberat, bahwa aku tidak boleh tergoda pada lelaki mana pun. Jadi ini berarti: termasuk Guru Gumara. Mari kau kutambah dengan tingkat ilmu lebih tinggi!” kata Ki Guru Pita Loka. Ki Rotan, sementara itu melangkah sempoyongan tanpa tahu arah lagi. ia beteriak-teriak di tengah hutan belantara. dan kehilangan arah mencari Bukit Rotan, padahal ia harus kembali ke padepokan. Sekonyong, sehabis suaranya menjadi serak karena beteriak, dia tercengang sudah tiga minggu perjalanan ternyata tersesat ke Bukit Tunggal! Ki Rotan gugup dan ketakutan. Sebab sudah menjadi ajang dongeng selama ini, siapa pun yang masuk ke wilayah Ki Tunggal maka jika tanpa izin, pasti akan mengalami hukuman. Ki Tunggal adalah Guru dari Semua Guru, sungguh pantangan menemui beliau tanpa ada petunjuk sebelumnya. Pondok padepokan Ki Tunggal seluruhnya terbuat dari daun nipah. Itu sudah tampak dari jauh oleh Ki Rotan. Tapi beradanya Ki Rotan di kawasan Bukit Tunggal sudah pula diketahui oleh Ki Tunggal. Kendati beliau ketika itu berada dalam kamar petapaannya. Dia melihat seorang lelaki sempoyongan di bawah pohonan cendana. Menuju Pondoknya. Dia melihat bukan dengan mata! Tapi dengan hati. Dan dengan ilmu gelombang dia lingkari tamu tak diundang itu, agar masuk ke dalam orbitnya. Dan memang, Ki Rotan berjalan sempoyongan seperti ditarik oleh magnet. Kekuatan daya tarik, yang membuat dia seakan-akan menyerah oleh tarikan itu. “Hai, Ki Rotan, sibakkan daun pintu itu. Dan masuklah”, terdengar suara Ki Tunggal dari dalam. Hal ini membuat Ki Rotan ngeri, tapi dia senang juga karena mendengar keramahan suara Guru Besar tadi. Dia sibakkan pintu daun nipah itu. Dengan amat santun dia masuk. Tapi tak ada orang. Dia lalu ngeri dan bagai orang mabuk dia ingin muntah-muntah. Lalu dia menggelepar-gelepar di lantai tanah liat itu, namun tetap memegang tongkatnya. Satu-satunya yang masih sadar dia lakukan! Begitu Ki Tunggal muncul dari bilik pertapaannya, maka Ki Rotan pun berhenti menggelepar. Tubuh yang lemah itu lalu merangkak, dan dia ciumi kaki Guru Besar itu seraya berkata: “Ampuni aku, Raja dari semua Guru! Aku kesini tersesat!” “Aku tahu. Aku juga tahu, kau baru keluar dari tawanan Ki Pita Loka. Harap kau tidak menghampiri dia lagi, kecuali jika aku sudah mati. Masa istirahatku sudah dekat. Jadi aku akan lebih terbuka kepada siapa pun yang datang. Dan aku tahu. kau datang tanpa kau sengaja!” “Betul, Guru Besar”, Ki Rotan bersemangat, mencium kaki sang Guru lagi. “Sekarang, berhentilah menciumi kakiku. Kakiku hanya suci selama 100 tahun saja. Jika kaki ini melanggar debu. Itu berarti masa tugasku berakhir. Bukit Tunggal ini akan menjadi bernama Bukit Tinggal, karena dia kutinggalkan. Lalu, kau ke sini karena menginginkan sesuatu?” “Ya, Ki Guru mulia!” “Sebutkan apa yang kau inginkan?” “Sebuah Kitab”. “Oh, anda akan gila seperti muridku Ibrahim Arkam menginginkannya. Kitab itu sudah ditemukan oleh seseorang, untuk seseorang. Dia tidak akan jatuh kepada siapa pun kecuali pada seseorang!” “Jadi bukan tuan pemiliknya!” ujar Ki Rotan memberanikan diri. “Bukan aku. Aku hanya memiliki pasangannya!”, kata Ki Tunggal. “Berikan pasangan Kitab itu padaku, Ki Guru! Aku akan memeliharanya!” “Pedang Raja Turki yang kau maksud?”, Ki Tunggal tersenyum dan tersenyum itu sudah semacam tertawa lebar bagi Guru seagung dia. Dan sembari tersenyum pula Ki Tunggal berkata: “Kau terlalu kotor untuk memegang gagangnya, apalagi memilikinya. Kini sebaiknya kau pulang, sebelum bencana menimpamu!” “Aku kehilangan jalan pulang maka aku tersesat ke sini”, kata Ki Rotan. “Aku seperti kehilangan kesadaran karena terusir dari Gua Lebah”. “Bau stanggi itu yang membuatmu mabuk. Selagi asap stanggi di gua itu masih berada dalam paru-parumu, kau masih dalam keadaan setengah sadar. Tapi apa boleh buat, kau harus cepat enyah dan sini!”, mendadak suara Ki Tunggal menggelegar bagai petir, sehingga Ki Rotan keluar ketakutan, lari terbirit tanpa pamit. Ia kembali seperti orang gila, berteriak di hutan belantara maupun di lembah yang menimbulkan bunyi gema yang menakutkannya sendiri. Tapi Ki Rotan yang sempoyongan itu menghentikan langkahnya ketika ia merasa terkepung oleh sembilan orang memegang tongkat. “Siapa kalian?” tanyanya ketakutan. “Kami pengawal Tuan Guru!” Baru ia sadari, bahwa dia telah tiba di Bukit Rotan di kawasan padepokannya sendiri. Ketawanya menggelegar terbahak-bahak, dan semua muridnya heran. Seluruh pengalamannya di Bukit Tunggal malah ia lupa, tapi pengalamannya di Gua Lebah dia masih ingat. Jarang-jarang sekali Ki Tunggal kelihatan gelisah seperti sekarang ini. Seperginya Ki Rotan dia menganggap kedatangannya itu mengandung sial atau suatu pertanda buruk. Padepokannya hanya didatangi orang-orang yang benar-benar suci. Ini berarti, kekuatannya sebagai Harimau Tunggal sudah benar-benar diujung tugas kehidupannya. Dan malam ini ia bermimpi aneh seorang wanita muncul dan menyatakan dirinya sebagai isterinya! Ah, ini pasti pertanda buruk. Dia selama ini menepati janji tidak akan beristeri dan tidak membuat keturunan. Ia terjaga, dan dia penuh ketakutan karena dia melihat air maninya sudah tertumpah. Lalu, malam itu Ki Tunggal sengaja tirakatan. Dia sejak siang tak makan, juga dia berniat tak tidur. Tapi dia toh ketiduran juga pada dinihari. Dia bermimpi lagi. Seorang wanita muda lagi muncul, tapi bukannya wanita yang pertama tadi. “Tuan serahkan Pedang Turki kepadaku. Mengingat masa jabatan tuan sudah menjelang akhir”, kata wanita muda yang tak dikenalnya itu. “Siapa kau? Aku tak mengundangmu ke sini” “Aku anak orang sakti, dan murid orang sakti. Bila pedang itu tidak tuan serahkan padaku tuan akan mati dalam keadaan mengerikan, tidak diterima oleh bumi, tidak diterima oleh air, tidak diterima oleh udara!” Dalam inimpi yang amat mengerikan itu, Ki Tunggal menyerahkan Pedang Turki itu, satu benda yang merupakan kembaran Kitab Makom Mahmuda yang berisi petunjuk kehidupan. Pagi hari Ki Tunggal bangun dengan bermuram durja. Aku adalah harimau pertama dari dunia persilatan yang tujuh. Lalu dia menuju kolam ikan, sebelah sungai yang sudah 100 tahun dia aliri airnya menjadi empang ikan. Dia bukan saja terkejut melihat ikan-ikan itu menjauh. Tapi setelah permukaan empang itu tidak beriak lagi, Ki Tunggal melihat wajahnya bagai behadapan dengan kaca di permukaan kolam itu! Aduh, apa gerangan Yang membuat wajahku berubah jadi muda? Diperhatikannya lagi wajahnya di permukaan kolam itu. Dia melihat dirinya begitu muda perkasa. Namun ketika dirabanya raut mukanya, dia rasakan lipatan keriput ketuaan. “Tuan, tolong aku”“ terdengar suara berteriak. Ternyata ada gadis hanyut. Ki Tunggal biasanya mempertanyakan diri lebih dahulu apakah itu manusia atau jin. Apakah itu seruan baik atau buruk. Tapi kali ini Guru Besar itu begitu lincah meninggalkan empang ikannya berlari melompati batu-batu sungai itu, dan memungut gadis yang hanyut itu. Gadis itu cantik dan menerbitkan birahi. Buah dadanya yang tertutup kain basah itu memperlihatkan putiknya yang menggiurkan. Ki Tunggal heran, ketika gadis ttu memuji: “Tuan muda dan ganteng tetapi lebih dari segalanya, Tuan baik hati. Di mana rumah tuan?” “Di atas bukit itu”. “Siapa nama Tuan?” “Dadu Tunggal”.... Ujar Guru Besar itu, yang untuk pertamakali menyebut nama ketika mudanya. “Siapa kau?” tanya Dadu Tunggal. “Namaku Senik. Tadi malam aku bermimpi hanyut, dipungut oleh seorang Guru Perkasa, yang ternyata anda! Tapi tuan jangan terkejut, saya dihanyutkan air, sebetulnya dihanyutkan oleh Nasib!” “Nasib?” “Ya. Sayalah ladang tempat tuan menyebarkan benih keturunan!” Mendadak Ki Tunggal sadar pada janji semula, pada gurunya, Ki Turki yang memantangkan dia memberi keturunan kepada wanita. Maka dia membentak Senik dengan suara menggelegar: “Penggoda kau! Laknat kau! Aku tidak diperkenankan memberi turunan!” “Tuan boleh memakiku! Aku bukan wanita penggoda! Aku dibawa nasib. Dan tuan jangan coba-coba melawan hukum alam, sedangkan hewan dan tumbuhan pun mengalami perkawinan!” Ki Tunggal terperangah. Dia duduk di batu. Senik tergiur melihat kegantengan pria yang duduk di batu itu. Ganteng dan perkasa, dengan otot-otot yang kenyal bagai gulungan akar pohon. “Jangan kau hampiri padepokanku. Hanya orang suci yang berhak menghampirinya. Kau sudah kutolong, jangan kau celakakan saya lagi!” ujar Ki Tunggal. Tapi gadis itu menangis tersedu-sedu, bersimpuh di ujung kaki sang Guru Besar, dan hal ini merusakkan perasaan murni Guru Besar itu. Ia kuatir, kejadian ini menjadi ujud mimpi. Dan ia kuatir, kejadian ini bila dituruti akan berekor dengan munculnya satu wanita lagi yang meminta warisan Pedang Raja Turki, seperti dalam mimpi. Dan kejadian yang sedang berlaku di Bukit Tunggal ini justru sedang dituturkan oleh Ki Pita Loka kepada muridnya. Harwati. Sebenarnya Ki Pita Loka barusan saja menceritakan mimpinya semalam kepada Harwati. Dengan sarapan sari buah-buahan hutan dan umbi pohon kuwat, dari mulut Ki Pita Loka meluncur perkataan: “Wanita yang mendapatikan warisan Pedang Turki itu tak jelas parasnya olehku. Tapi mungkin akulah wanita itu”. “Kenapa kita berdua tak pergi ke saja, Ki Guru?”usul Harwati. “Pencaharian barang sakti hanya boleh akibat dari gerak ghaib yang tidak kita ketahui, ketika aku melarikan diri dari desa Kumayan, orang pertama yang memberitahukan padaku tentang benda kembar sakti itu, adalah Ki Ibrahim Arkam. Dia selalu sembunyi dalam sebuah guha yang pintunya amat tinggi. Ketika itu aku tak mampu memanjat tempat persembunyiannya kendati beliau mempersilahkan masuk. Hanya Guru Gumara yang mungkin dapat merayap seperti cicak untuk masuk ke pintu guha Ki Ibrahim Arkam. Beliau menyatakan, dua benda yang merupakan kembaran itu dicobanya mencari, tapi toh di tak mendapatkannya.” Harwati mendengarkannya dengan tekun. Lalu dia merasa, dialah yang disebut Ki Pita Loka sebagai gadis yang akan mewarisi pedang sakti itu. Perasaan Harwati itu seketika itu juga terbaca oleh Ki Pita Loka, yang mendadak bertanya : “Kau berkhayal bahwa kamulah yang nanti memiliki Pedang Guru Turki itu? “ “Oh. mana mungkin”, kata Harwati berdusta. Tapi godaan kisah mimpi sang Guru itu menjadi pikiran Harawati sehingga dia tidur mengigau, lalu berjalan sempoyongan dan berteriak histeris keluar dari Guha Lebah di tengah malam. Ki Pita Loka mengikuti langkah muridnya, karena ingin mengetahui apa penyebab Harwati mengigau ini. Dan ketika Harwati terpeleset hampir masuk jurang, dengan cekatan Ki Pita Loka melompat menyambar tangan Harwati, menyentaknya, dan menyadarkan sang murid : “Apa yang sedang kau jalani, Wati?” Harwati lupa pada semua yang sudah terjadi tadi. Sektika itu juga. Mendadak dia mengaum bagai harimau, tapi dia tidak menjelma jadi harimau. Biarpun begitu, bagi Ki Pita Loka, hal ini dianggapnya satu pertanda. Karena itu, pada siangnya sewaktu dia mengajarkan ilmu meniti air kepada Harwati, Pita Loka tak sengaja melontarkan ucapan : “Ketika aku mendengar kau mengaum sebagai auman macan, aku kuatir aku sekarang ini sedang memelihara seekor harimau kecil. Celaka bagi pemelihara harimau, adalah, jika harimau itu sudah besar, dia akan mencakar gurunya, pemeliharanya” Harwati tersinggung sekali dan berkata : “Kenapa Ki Guru yang memiliki sepuluh kesaktian kuatir pada saya? Kenapa Ki Guru selalu menganggap saya akan berkhianat?” “Karena aku selalu menandai dalam hatimu ada satu hal yang selalu kau rahasiakan” kata Ki Pita Loka. “Ajaib sekali! Saya sudah bersumpah menjadi pengawal setia, murid setia, kenapa muncul keraguan mendadak?” tanya Harwati. “Itu bukan keraguan, muridku tercinta! Itu firasat. Firasat tidak dapat ditelusuri akal. Sebab dia mengandung keghaiban! Dan tiap orang yang ilmunya tajam. Harus percaya kepada yang Ghaib!” kata Ki Pita Loka. “Sekarang mari lanjutkan pelajaran”, ujar Ki Pita Loka. Harwati dengan tekun mengatur pernafasan, Ki Pita Loka memberi petunjuk cara meniti air. “Air selalu pergi ke hilir. Maka jika kau meniti diatas air, ikuti arah arus air, bukan sebaliknya, dan kau harus merasa dirimu ringan. Dan dalam dirimu sepuluh rongga harus kau tutup secara imajiner. Maka gelembung yang tinggal di tubuhmu, yakni udara ibarat udara dalam bola. Kenapa bola tidak bisa tenggelam? Karena gelembung udara yang ada di dalamnya tak keluar, dan diri bola itu jadi ringan. Ayolah kau coba dan jangan lupa berdzikir!” Harwati mempraktekkan ajaran gurunya. Mulanya dia sempat melewati setengah sungai, lalu tenggelam. Tapi setelah empat puluh satu hari melatih diri, terutama membuat kedap gelembung udara di tubuhnya dengan menutup seluruh rongga dalam diri, ia berhasil. Ia coba lagi meniti air sungai itu. Dan berhasil lagi. Dan berhasil lagi dan berhasil lagi. Dia lalu memeluk gurunya. Dan bertekad tidak akan mengkhianati. Itu perasaan amat suci yang pernah singgah dihatinya. Kesetiaan sempurna. Tapi kadang dia ingat lagi mimpi Ki Guru Pita Loka yang sudah di dengarnya Pewaris Pedang Turki itu adalah wanita yang tak jelas. Jadi ini berarti, bukan Ki Pita Loka mungkin saja aku, fikirnya. Fikiran ini yang selalu bertarung dalam dirinya bagai warna putih dan hitam. Ia berupaya supaya hatinya jernih dalam asuhan Sang Guru, tapi godaan suka mengotori batinnya, dan keinginan untuk lari, atau berkhianat suka muncul hilang dan muncul dan hilang lagi. Setelah mandi air kelapa muda sebagai acara ritual selesainya satu tahap itu, Harwati disodorkan sebuah kelapa hijau oleh Ki Guru Pita Loka. “Kini aku izinkan kau memasuki lingkaran asap stanggi itu”, ujar Ki Pita Loka. “Lalu peganglah kelapa hijau itu, sekuat pegangan, dan tiupkan secara abstrak pada permukaan kulitnya pernafasanmu. Bila warnanya berubah kuning, kau memang calon pemilik kesaktian, lalu makan daging kelapa hijau yang sudah berubah jadi kelapa puan. Jika tidak, terpaksa aku yang akan melakukanya, namun kau wajib meminum air kelapa puan itu, sekaligus menikmati dagingnya!” Harwati bersemangat Air kelapa mandian masih berbintik pada rambutnya. Dia memasuki lingkaran asap stanggi yang muncul dari permukaan lantai guha itu dengan rasa gembira. Lalu dia duduk bersila. Dia pegang erat kelapa hijau itu. Dia rasakan satu kekuatan ghaib bergetar dalam urat tubuhnya, membuat dia makin erat memegang kelapa hijau itu. Dilihatnya kelapa hijau itu berubah kulitnya menguning. Dan dia menoleh pada Sang Guru. Ki Pita Loka mengangguk tanda dia berhasil. Lalu Ki Pita Loka berkata: “Kupaslah…buat lobang dengan kekuatan gigi bajing yang suka membolongi kelapa”. “Dengan kekuatan kuku?” tanya Harwati. “Kau memang manusia berakal, murid yang tolol kurang memahami maksud sang Guru”. “Lihat, Ki Guru, kukuku mirip gigi bajing!”, ujar Harwati yang dengan cekatan mencakar permukaan kelapa puan itu. Dan ketika mencapai batok kelapa, dicoblosnya batok itu dengan telunjuknya. Air yang mengental bagai susu muncrat. Lalu dia minum. “Ilmumu telah mencapai derajat hebat, muridku...Tapi itu baru salah satu dari jari kelingking gurumu yang berjari sepuluh ini. Kau kini berhak menerima gelar Ki Harwati. Tapi jangan berkhianat, jika kau mengkhianati Guru, dua-dua kita akan mengalami bencana besar di kemudian hari!” Airmata Harwati bercucuran karena keharuan. Dia sampai terlupa menikmati daging kelapa puan, ketika mendadak dia merasakan dirinya disusupi kekuatan hebat yang membuat dia menatap Ki Pita Loka bukan lagi guru, melainkan orang berilmu sakti yang sejajar dan setaraf. “Kulihat kau ada maksud jahat padaku”. ujar Ki Pita Loka mendadak. Hal inilah yang membuat Ki Harwati tidak menunggu waktu. Padahal dia sedang duduk bersila berhadapan dengan Sang Guru, kontan mendadak dia buka lipatan kakinya yang seketika menampar muka Ki Pita Loka. Pita Loka masih berseru, “Hai, jangan kau serang Gurumu! Aku Gurumu!” Seketika lebah-lebah menyengatmya. Ki Harwati cepat memasukkan jempol jarinya ke dalam langit-langit mulutnya. Dengan lendir rongga mulut itu yang dia oleskan ke dahi, sengatan lebah tadi lenyap dari nyerinya semula dan dia kembali kalap melompat menerjang sang Guru. “Aku bukan sekelingkingmu? Aku lebih kuat! Akulah wanita yang tak jelas dalam mimpi kau itu, Pita Loka!” bentak Ki Harwati. Ki Pita Loka undur ke belakang, dan ia tetap melakukan gerak mundur seraya menangkis tendangan sang murid sampai keluar dari pintu Guha Lebah itu. Ki Harwati menyerang dengan semua jenis ilmu silat yang diajarkan Ki Pita Loka padanya. Karena itu, setiap jurusan serangan mampu dielakkan oleh bekas Guru itu. Ketika Pita Loka mendadak kalap, siap untuk menghabisi nyawa muridnya akibat dongkol, Ki Harwati mengingatkan: “Jangan coba bunuh aku, karena pantangan ini ada pada Guru. Dan tidak pada murid!” Tekad Harwati sudah penuh untuk menghabisi nyawa Guru Pita Loka. Tapi tiap jurus kilat yang dilakukan, pukulan sisi telapak tangan ke leher sang Guru, selalu saja membuat dia memukul angin. Sebab Ki Pita Loka lantas menunduk. Mendadak, dalam keadaan merasa aman karena murid khianat ini cuma memainkan ilmu yang diajarinnya, terdengar seketika Harwati mengeluarkan suara auman harimau. Gerak-gerik langkahnya berubah dan itu tidak pernah diajarkan. Ki Pita Loka sadar, tiap murid pasti ada keistimewaan yang khusus yang tak dihadiahkan guru. Dalam memilih kemungkinan selalu mengelak, kini Ki Pita Loka bertindak aktif, menyerang. Tapi serangannya ini berhasil ditangkis oleh Ki Harwati bahkan lengan Ki Pita Loka robek oleh guratan cakaran Harwati. Kini keduanya berkelahi dari dahan ke dahan. Dan pada dua dahan yang berhadapan dua-duanya saling mengeluarkan pukulangaya golok agar mengenai kepala masing-masing. Tanpa diduga, Ki Harwati merubah pukulan tangan dengan tebasan kaki, hingga Ki Pita Loka jatuh ke bawah, namun selamat oleh dahan-dahan yang diraihnya silih berganti. Dia kejar Harwati yang lari dari dahan ke dahan, lalu melayang ke tebing seberang. Dengan ilmu menuruni lembah terjal serta cara melompat dari dahan ke dahan yang ia dapatkan dari Ki Pita Loka, Harwati berhasil kabur menuju arah utara yaitu Bukit Tunggal. Ki Pita Loka berkacak pinggang di atas dahan pohon seraya tersenyum. Dan dia berkata dengan dirinya sendiri: “Lari atau tidak larinya kamu, bagiku sama saja. Dalam sejarah, seorang guru akhirnya ditinggalkan oleh muridnya. Sebagai gurumu, aku tidak akan mengutukmu. Hanya guru yang bodoh yang mau mengutuk muridnya, sebab dengan mengutuk muridnya itu berarti dia mengutuk dirinya sendiri!” Dalam sekelebatan dia sudah seperti burung lincah yang amat indah berlompatan dari dahan ke dahan pohon-pohon raksasa sekitar Guha Lebah itu. Tapi Pita Loka tidak menyadari bahwa dia sedang diteropong dalam jarak satu kilometer, nun dari puncak Bukit Sejoli yang berada di selatansana ! Yang sedang meneropong Pita Loka itu adalah seorang pemburu. Dia tidak sengaja melalui teropongnya menyaksikan seorang yang jelas-jelas manusia, lagi pula wanita, yang berlompatan bagai burung cicakrowo. Padahal sebelumnya dia barusan kecewa, karena burung cicakrowo yang ia bidik dan siap tembak itu, terbang sudah. Lompatan-lompatan lincah itu jelas bukan burung yang terbang hinggap dan terbang lagi, dari dahan ke dahan pohonan raksasa. Ia tidak ragu lagi bahwa itu manusia. Dan manusia istimewa. Juga jelas, pada akhirnya manusia wanita yang dianggapnya hebat itu memasuki sebuah mulut guha. Lalu pria pemburu itu menaruh teropongnya ke dalam tas. Dia berbenah dan kemudian menyandang senapan pemburunya. Lalu digelarkannya sebuah peta dan diperkirakannya bukit mana yang akan ditujunya itu. Terbaca olehnya tempat guha wanita dahsyat tadi masuk. Terbaca keterangan : Bukit Lebah. Lalu dilingkarinya dengan spidol merah. Dan kemudian dibuatnya ancang-ancang perjalanannya menuju kesana . Tetapi, setelah dia turuni Bukit Sejoli menuju mobil Landrovernya, dia kembangkan lagi peta. Dia kecewa sekali. Sebab Bukit Lebah itu ternyata dilingkari sungai. Tak mungkin tertembus dengan kendaraan. Tapi dia coba juga untuk menstarter. Dan mobil itu pun mulai mencari celah-celah padang-padang rumput yang masih perawan. Sekeliling itu, tak ada desa. Jadi, pikirnya kini, tentulah wanita tadi hidup secara primitip, sendiri atau bersama, di Bukit Lebah itu. Menjelang senja, pria itu sudah melingkari setengah Bukit Lebah itu, lewat tepi-tepi sungai yang terjal. Dia malah hampir tertimpa musibah kecebur sungai di bawahsana itu apabila mobil Landrovernya tidak kejeblos kecelah batu-batuan di tepi tebing sungai yang tingginya sekitar 15 meter itu. Tapi dia puas. Biarpun hari telah menjelang senja, ternyata dia kini pada posisi berhadapan langsung dengan mulut guha tempat wanita burung tadi tampak masuk. Dia kini turun dari mobil. Teropong dia ambil lagi dari dalam tas. Dan matahari yang setengah jam lagi akan terbenam itu masih sempat menyorotkan sinarnya tepat-tepat ke arah Guha itu. Dia meneropong dan berharap dapat menyaksikan lagi kegiatan yang terjadi di sekitar guha itu. Nah, kini dia gembira! Gembira sangat. Dia melihat wanita tadi keluar dari guha itu! Jelas kini, tentulah dia bukan wanita yang sudah bersuami. Dia cantik, namun ketika sempat dia berdiri begitu keliatan sekali wajahnya keras berwibawa. Jelas sekali lewat teropongnya, bahwa wanita tadi itu berpakaian kain yang tidak dijahit. Bahkan sepertinya bekas kain seprei dengan motif burung merak seperti seprei-seprei woolPersia yang indah. Malah sepertinya mirip kimono, yang satu-satunya ikatannya tampaknya hanyalah seutas tali plastik saja. Hari sudah mulai agak gelap, sesaat lagi matahari tenggelam, pria pemburu itu sedang memikirkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan wanita itu, atau, gadis itu! Gadis itu tampaknya sedang berdiam diri, tegak menghadap ke arah matahari tenggelam dengan tangan terlipat mirip orang Islam sedang tegak sembahyang. Ketika matahari terbenam, wanita tadi masuk ke guha. Ketika itulah pria itu punya akal. Yaitu akan menyenter wanita itu dari arah barat sini. Bukankah hari akan gelap sejenak lagi? Maka dia pun buru-buru membuka tas dan mengambil senter. Rencananya, kalau gadis tadi keluar lagi, maka akan dihidup-matikannya senter itu. Tapi agak lama juga. Oh, betapa senang hatinya ketika satu sosok muncul. Tapi kini bukan berpakaian sepreiPersia lagi. Jelas ia mengenakan mukena, yaitu pakaian selubung wanita Islam apabila melakukan sembahyang. Dan memang betul. Tepat di hadapan mulut guha itu si gadis bermukena itu menggelarkan tikar sajadah. Arahnya agak dimencengkan sedikit dari ketepatan matahari terbenam. Lalu tampak gadis bermukena itu berdiri berkonsentrasi, dan mengangkat kedua tangannya. Ya, ia rupanya sedang melaksanakan sembahyang maghrib. Akibatnya, agar tidak mengganggu orang melaksanakan ibadah, si pria mengurungkan memainkan senter. Lalu, ketika wanita itu agaknya selesai melaksanakan sembahyangnya, pria pemburu ini sudah siap untuk memainkan senternya. Pemandangan depan pintu guha itu sudah agak gelap. Tapi petunjuk satu-satunya adalah warna putih itu. Pertanda wanita itu masih ada di situ. Memang, Pita Loka sudah selesai sholat menghrib. Namun dia masih bersila itu karena membacakan beberapa do”a yang amat panjang. Tapi menjelang dia habis berdoa panjang itu, dia melihat cahaya kelap-kelip di bukit sebelah barat seberang sungaisana . Apa itu? Musuhkah? Namun otak IPA yang dia miliki segera meyaksikan dirinya bahwa itu lampu senter sebagai isyarat komunikasi. Ah, tentu di situ ada manusia. Pasti bukan musuh. Dan pasti bukan orang dari padepokan atau perguruan ilmu tradisional! Setelah jelas baginya hal itu, Ki Pita Loka cepat menggulung tikar sembahyang dan berlari masuk guha lagi, pria yang mempermainkan lampu senter itu pun kecewa. Tapi Pita Loka masuk ke dalam guha untuk bersalin pakaian. Ya. dia masih mmiliki celana blue jean maupun jacket sewaktu dia minggat dari desa Kumayan. Dengan ketangkasan luar biasa, Pita Loka keluar dari guha Lebah itu dan hal ini tiada diketahui oleh pria pemburu yang sudah kalut kecewa itu. Sebelum dia meloncat ke sebuah dahan Ki Pita Loka membetulkan sepatu karet bergelantungan dan terbang sudah tak jelas lagi. Yang kedengaran adalah suara bias angin sewaktu dia mengayun tubuh untuk terbang ke dahan lain. Atau suara dahan patah lalu tubuh Pita Loka menabrak dahan lain tetapi dengan cekaten dia sudah memegang dahan lainnya. Selama seperempat jam dia sudah menempuh sekitar satu jarak yang agak jauh karena lompatannya adalah zig-zag. Kini dia sudah bergelantungan di sebuah pohon yang tegak kokoh tepat di tepi tebing sungai. Dari atas pohon ini kedengaran deru sungai yang mengalir sekitar 20 meter di bawah tempat Ki Pita gelantungan. Jarak antara tebing kawasan Bukit Lebah dengan tebing di Bukit Baturiuhsana itu adalah sekitar 17 meter. Satu-satunya pohon yang tepat untuk diloncati di seberangsana itu adalah pohon yang agak tinggian. Jarak antara pohon itu dengan mobil Landrover itu hanyalah sekitar 10 meter. Jadi tak boleh terdengar suara sedikitpun apabila Pita Loka terbang dan menangkap dahan pohon tinggi itu. Dia tak ingin diketehui. Dia hanya ingin mengetahui, siapa dan ingin apa orang yang tadi menyenternya. Malam yang mulai tiba dan gelap tidak menjadi soal. Dia sudah tahu ke dahan yang mana nanti dia akan hinggap setelah terbang melayang melompati dua tebing ini. Tiba-tiba saja Pita Loka agak kesal karena rupanya orang yang menyenternya itu menyalakan lampu neon baterai . Jadi kini teranglah sekitar mobil landrover itu. Rupanya orang itu sedang menggelarkan tikar plastik di rumputan sekitar batu-batu di pinggir tebing itu. Dan ketika Pita melihat rantang, tahulah dia bahwa pria itu saat untuk makan malam. Tampaknya dia memang seorang diri. Dan selalu siap menembak. Sebab ketika dia duduk bersila begitu, senapannya disandarkannya ke dada. Barulah dia mulai makan. Hal inilah yang bikin Ki Pita Loka jadi ngiler, selama ini dia hanya makan buah- buahan saja. Dia rindu makan nasi setelah lebih 1000 hari tak menikmatinya. Dan itulah yang mendorongnya mempersiapkan diri untuk melompati tebing curam dengan sungai di bawah itu! Kalau begitu aku harus menggunakan tenaga dalam kedap-suara! Ya. Ki Pita Loka berkonsentrasi sejenak. Nafasnya dia tarik dalam-dalam dan nafas ini tak boleh dihembuskan lagi sampai saatnya hinggap pasti di pohonsana itu. Dan ini memang cara lompatan kedap-suara yang tidak akan terdengar satu telinga pun. Begitu selesai dia tarik nafas dalam pada ketuntasan tenaga, dengan tenaga dalam itu pulalah Pita Loka melompat ke atas, lalu memegang satu dahan untuk acuan tenaga lompatan sejarak 17 meter ke sana. Ah, indah sekali tubuh yang melayang dan kemudian hinggap di dahan yang dituju, tanpa suara. Juga tak secemil suara pun kedengaran ketika satu tangannya hinggap di dahan pohon seberang itu, begitupun ketika kedua kakinya menjepit tubuh pohon tinggi itu. Dan dari ketinggian ini melihat pria yang lahap makan malam itu, Ki Pita Loka tambah jadi ngiler. Kini dengan nafas ditarik untuk kedap suara, dia turun bagaikan seekor cicak... Ki Pita Loka merayap dengan cepat takut kalau orang itu sudah keburu menghabisi makanannya. Dia merayap ke arah barat Tempat yang ditujunya adalah himpunan pohon savana yang cuma setinggi paha. Dia menyelinap terus sampai pada posisi langsung menghadap orang yang asyik makan itu. Setelah sampai pada posisi itu, Pita Loka yang sudah jongkok dan menghela nafas itu, langsung batuk dengan konsentrasi pandangan pada pria yang asyik makan itu. Pria pemburu itu kaget dan melihat ke arah suara batuk tadi, begitu dia meliat gadis bercelana blue jean berdiri di balik pohonan savana itu, pria itu terpana bagai kena hipnotis. Waktu lelaki itu terpana begitulah, Ki Pita Loka meniupkan udara dengan puncak kekuatan gelombang. Lelaki itu bagai patung. Nasi bergelantungan di bibirnya yang ternganga. Pita Loka merasa itu sudah cukup. Lelaki itu sudah beku bagai patung. Lalu Pita Loka mendekati pohonan savana itu. Dengan sedikitgaya bercanda, Pita Loka berkata: “Aku bukan merampok makan malammu. Tapi jika kau makan sendiri sedangkan aku ada dan lapar, itu berarti kau seorang asosial dan amoral”. Dengan bismillah, Pita Loka makan dengan lahap. Memang seluruh isi rantang-rantang itu disantap licin habis olehnya! Di ambilnya senapan yang tersandar pada dada pria itu. Pita Loka lalu berkata (yang pasti takkan disahuti pria itu): “Pemburu yang jahat juga anda ini. Anda manusia perusak di muka bumi. Tuhan tak menyukai itu. Tuhan melarang manusia melakukan kerusakan di muka bumi. Kau tembaki hewan-hewan sehingga hutan-hutan kesepian”. Setelah senapan itu diambilnya, Pita Loka mengambil lagi senter. Dan dia berkata, yang pasti takkan disahuti lawan bicaranya itu: “Kau coba main-main dengan senter ini itu nakal!” Dan tiba-tiba Pita Loka benci melihat mobil Landrover itu. Dia ingat pada masa sekolah, di mana buangan gas mobil melalui knalpotnya adalah mengotori kebersihan alam. Lalu dia melangkah ke belakang Landrover itu. Dengan tangan kanannya saja, ia dorong mobil itu. Tak lama kemudian, di bawahsana itu kedengaran suara dahsyat; byurrr! Mobil itu sudah kecebur dalam sungai. Pita Loka lalu melempar senapan pemburu tadi ke arah tempat mobil tadi menghambur masuk sungai. Tapi senter? “Ini perlu bagiku!” katanya. Dan tanpa menoleh sedikitpun pada pria yang duduk kaku bagai patung itu. Ki Pita Loka menerobos pohonan savana dan memanjat pohon tadi lalu dengan konsentrasi lincah gembira Pita Loka sudah terbang ke tebing seberangsana , lincah bergelantungan dan berlompatan sampai akhirnya dia melaksanakan lompatan terakhir tepat di mulut guha. Sejenak Pita Loka menoleh kesetumpak cahaya lampu neon baterai disana , dengan silhoutte tubuh yang masih duduk kaku. Barulah kemudian, Pita Loka meniupkan satu konsentrasi angin dari mulutnya dalam radius gelombang tinggi. Angin menerjang punggung lelaki itu. Dia terbanting ke samping dan sadarkan diri. Pertama yang dirasanya hilang adalah senapan pemburu. Kedua: senter! Lho, yang juga tak dilihatnya lagi adalah mobil Landrovernya itu Bah…bah…bah! Peta! Peta di mobil! Dalam tas di mobil! Barulah yang terakhir dia melihat rantangnya sudah licin. Dan ketika dia kalap serta penasaran, dari arah timur ada dilihatnya cahaya berkedap-kedip ke arahnya. Kurang ajar..... pria itu menggerutu. Kemudian cahaya kelap-kelip senter itu pun lennyaplah. Sunyi perasaan pria pemburu ini. Selama ini dia tak pernah takut ke luar masuk hutan belantara. Tapi kini dia takut karena tidak memiliki senjata, ya, senapan pemburunya! Namun, betapapun marah dan dongkolnya. Namun dia seorang manusia praktis. Dia tak banyak pikir kemudian tidur saja di tikar itu setelah melemparkan rantangnya yang kosong ke kanan dan ke kiri. Dia tidur pulas disinari lampu neon baterai itu. Pada jam 3 dinihari kekuatan baterei lampu neon itu habis. Lalu gelaplah! Hal ini rupanya secara naluriah telah membuat pria itu terbangun. Dia ingat, kalau mau terang harus ganti baterai! Mulanya pikirnya memang begitu. Tapi ketika ia sadar karena mobilnya pun tak ada sedangkan butiran-butiran persediaan baterai ada di mobil, dengan gerak dia tendang lampu dalam itu seraya memaki: “Kamu tak ada gunanya bersamaku tanpa baterei!” Makian itu jelas kedengaran ke telinga Ki Pita Loka yang masih duduk bersila untuk mencari tahu, sudah sampai di manakah pelarian Harwati. Setelah batinnya menerima ilham bahwa Ki Harwati menuju padepokan Ki Rotan, Pita Loka tersenyum dan berkata: “Kau takkan bisa menjadi guru dari Gurumu!” Dingin di luar guha yang menggigit, menggugah Pita Loka untuk masuk. Ribuan Lebah mengiringinya dari belakang ketika Pita menuju pembaringan. Satu sosok tubuh pria sedang merayap pada dinding bukit terjal. Lagi-lagi kemeja putihnya koyak terkena sayatan batu-batu tajam. Namun pria itu terus merayap ke atas dan ke atas. Kadangkala dia mengasoh sejenak. Sinar matahari begitu menyengat pagi itu. Tetapi dari akar-akar yang sempat dia pegang, dia gembira. Sebab dia mengenal akar itu akar pohon rotan. Dan kegembiraan meluap ketika dia tiba di puncak dinding bukit terjal itu. Ya, sekeliling bukit itu penuh dengan rotan-rotan yang merimba dan amat rapat. Di sela-sela rotan-rotan yang bergelantungan itulah pria itu melangkah hati-hati. Dan dia mulai melihat asap. Kini ia yakin, tentu itu desa padepokan Ki Rotan yang terkenal angker: Dan dalam keraguan itulah sang pria terkena sergapan Kelompok Penyergap yang terdiri dari sepuluh orang. Semuanya adalah anak buah Ki Rotan. Pria yang tertawan itu sebetulnya bisa saja melepaskan diri dan sekali sikat mampu membuat rontok 10 orang yang menawannya. Dan ketika itu pula ia langsung dilemparkan ramai-ramai oleh Kelompok Penyergap itu ke sebuah lubang. Dalam lubang itu sudah menanti ujung-ujung bambu runcing. Dan semua penawan itu tercengang! “Aneh! Dia tak menjerit!” ujar Keruen dengan gugup. Sebagai kepala Kelompok Penyiksa sudah wajar dia menjadi gugup. Dia langsung melihat kepinggiran lubang. “Dia berdiri tegak” ujar Keruen lagi. Ini membuat Lanto ingin tahu. Dia kepinggir lubang, dan disaksikannya lelaki berkemeja putih yang sudah penuh koyak-koyak itu berdiri tegak. Kedua sepatu Phumanya berada pada ujung tombak- tombak rotan itu. Dan ketika Keruen dan Lanto meilhat lagi, dia berdua berteriak: “Dia berubah jadi kakek” “Ada Tuo di lobang siksa!” teriak ke delapan orang lainnya sembari lari lintang pukang. Ki Rotan keluar dari padepokannya yang atapnya seluruhnya terbuat dari jerami. Mendengar laporan Keruen yang ketakutan. Ki Rotan membetulkan destar merah pada kepalanya. Bukannya dia membenarkan anak buahnya. Tetapi dengan satu lecutan lingkaran ke sepuluh anak buahnya roboh sekali pecut putar. “Bikin malu aku, mana si Tuo itu?” tanyanya geram. Mata Ki Rotan menjadi liar meneliti sekeliling. Sebab dia pun musti berhati-hati karena mungkin saja laporan anak buahnya benar. Sebab gelar si Tuo adalah gelar kehormatan dari orang yang memiliki ilmu tinggi. Karena itu dia siap untuk melayani lawan yang mungkin punya ilmu harimau. Tapi yang dia lihat justru seorang lelaki bercelana jean dan berkemeja putih yang koyak-koyak. Berjalan terhuyung ke arahnya. Ki Rotan merasa mesti waspada agar tidak terjebak. Bisa saja seorang musuh berlagak lemas terhuyung seperti minta dikasihani, sebagai jebakan. Ki Rotan melihat lelaki itu menuju ke arahnya dengan wajah yang loyo dan gerak yang letoy. Dia siap dengan tongkat ampuhnya. Tongkat Rotan itu miring 45 derajat dari pegangan tangannya. Ketika lelaki berkemeja putih loyo itu sudah sejarak tujuh hasta. Ki Rotan dengan satu teriak di sertai lompatan menghayunkan tongkat saktinya itu menyabet bagian kiri tubuh lelaki itu. Lelaki itu terseruduk ke samping lalu jungkir balik. Tapi aneh! Dia tak mengaduh atau menjerit kesakitan. Dia malah bangkit berdiri lagi sehingga dalam sekelebatan Ki Rotan menghayunkan tongkat saktinya dari kebalikan pukulan pertama tadi. Lelaki loyo itu menunduk ke samping dan jatuh jumpalitan. Juga tak menjerit kesakitan! “Bangun kau!” beniak Ki Rotan. Letaki itu bagaikan patuh. Dia bangun. Dan Ki Rotan memegang gagang tongkat dengan kedua tangan, lalu menghayunkan ke arah jidat lelaki itu. Pukulan tegak lurus yang dahsyat membentur jidat musuhnya itu sampai menimbulkan cahaya arus listrik seperti palu melesat menghantam paku beton. “Kau tentu manusia tangguh”, gerutu Ki Rotan sembari mundur. Tapi dia cuma mundur tiga langkah saja. Dia siap untuk menerjang ke depan. Benarlah Ki Rotan membabi buta menghantamkan cakaran srigalanya yang sempat mengoyak tubuh lawannya. Satu loncatan sigap ke kiri dalam dua langkah sudah membuat dia piawai mengambil tongkat yang dalam sedetik dihayunkan untuk menebas dua tulang kering lawannya. Bunyi berdengking kedengaran, lawannya ambruk. Ketika itu disabetnya tongkat rotan itu berkali-kali. Tiap pukulan dahsyat itu disertai teriakan keras. Dan ini membut Harwati terbangun. Dia cepat merasa dapat ilham untuk segera keluar dan disaksikannya Ki Rotan sedang asyik menyiksa seseorang yang bergulingan telungkup telentang. Harwarti cepat berseru: “Hentikan Guru!” Mulanya Ki Rotan tak ambil peduli. Terus saja dia melecuti lawannya yang terus bergulung-gulung telungkup telentang. Barulah dia berhenti melecut setelah dia merasakan adanya bau stanggi yang membuat Ki Rotan gemetaran seketika. Bau stanggi ini membuat Ki Rotan merasa berkurang tenaga. Harwati melangkah. Langkah itu semakin mendekati tubuh yang tertelungkup itu. Tapak kaki Harwati sudah berada sejengkal pada tubuh telungkup itu. Dikuakkamya dengan ujung jari kakinya tubuh itu sehingga pria tersiksa itu telentang. Begitu Harwati melihat wajah pria itu dia menjerit dengan lantang. Ki Rotan terkesima. Lalu dia dengan cemas menghampiri Harwati yang kelihatan histeris setelah menjerit itu, sebab dia menggigit jarinya dan menangis mendadak. “Siapa dia?” tanya Ki Rotan kebingungan. “Dia kakakku! Dia Gumara!” kata Harwati. Ki Rotan tercengang. Dia pernah dengar nama itu, yang dianggapnya sederajat dengan Ki Karat. Rasa hormatnya timbul. “Bangun Tuan Guru Gumara”, ujar Ki Rotan, “Sebab aku tak layak menolong kau berdiri disebabkan hinanya ilmuku”. Orang berkemeja putih koyak-koyak yang disebut “Gumara” itu berdiri. Dia tetap tampak loyo. Tak selintas pun sorot matanya melirik Ki Rotan, sebab sorot mata yang berbinar itu sedang menatap Harwati. 10 Kelompok Penyiksa yang pingsan kena hukuman Guru Rotan sudah sadarkan diri. Tapi mereka terpana melihat tawanan mereka tadi sedang bercakap-cakap ramah dengan Gurunya dan Ki Harwati. “Saya ke sini hanya ingin menjemput Harwati. Adik tiri lain ibu”, kata Gumara. “Saya kuatir dia menolak”, kata Ki Rotan. “Memang aku tak sedia kembali ke Kumayan”, ujar Harwati. “ Lalu kenapa kau ada di sini?” “ “Aku akan memadukan ilmu Pita Loka dengan ilmu Sang Guru. Selain itu, aku tidak tertarik dengan kehidupan manusia moderen lagi”, kata Harwati dengan tegas. “Kalau begilu beritahu aku jalan menuju tempat Ki Pita Loka”, ujar Gumara. “O, kakak masih mencintainya ya?” tanya Harwati menyeringai. “Soalnya bukan itu”, sahut Gumara “Hmm. Jangan berdusta Aku tidak rela apabila kakak menemui dia, apalagi jika menjadi suami dia! Bukankah aku sudah bersumpah: demi isi perutku dan seluruh yang ada di badanku, aku akan selalu menghalangi perkawinan kalian!” Mata Harwati mulai berbinar mengerikan. Pembuluh darah Ki Harwati itu mencari jalan keluar dan menciptakan aroma bau stanggi. Dan Gumara mengangguk-angguk mengerti. “Kau satu perguruan dengan Pita Loka kalau begitu”, ujar Gumara. “Aku memang berguru pada dia. Tapi pada saat aku harus lulus ujian, aku mendapatkan wangsit tersendiri. Ilham yang hebat, bahwa ilmu Pita Loka digabung dengan ilmu Ki Rotan adalah ilmu yang khas punyaku!” “Dan saya nanti akan menjadi murid Ki Harwati”, tambah Ki Rotan. “Dan secara bersama, kalian berdua akan menumpas Ki Pita Loka”, ujar Gumara ingin kepastian. “Benar”, kata Harwati tegas. “Dan Tuan Gumara yang saya hormati, saya minta meninggalkan padepokan saya. Sembari saya mohon maaf anda karena saya salah siksa tadi”, kata Ki Rotan dengan sikap hormat yang palsu. “Baik”, kata Gumara, “Tapi aku sangat kecewa, Harwati. Betapapun, kamu sudah dtitipkan Ayah kita agar aku jaga. Pada akhirnya kita semua ini manusia moderen dalam arti manusia abad tehnologi, tak ada gunanya kembali ke zaman pra sejarah”. “Apa? Ulangi ejekanmu terhadap sikap kami! Manusia moderenlah yang melakukan perusakan dan kejahilan. Kini aku bebaskan sumpahku. Pergilah kakak mencari Pita Loka ke Bukit Lebahsana . Jika kakak berhasil membujuk dia untuk kembali ke Kumayan, iris-iris jantungku ini!” dan Harwati menebah-nebah dadanya dengan angkuh. Gumara geleng-geleng kepala dan berkata: “Ilmu purba ada yang baik. Dan ada yang sesat. Siapapun yang keluar dari Kumayan adalah orang sesat. Tapi seluruh desa Kumayan tetap mengharap kau kembali, Wati!”. Gumara kemudian tak bicara sepatah pun. Tidak juga ucapan selamat tinggal. Sementara itu, di kawasan Guha Lebah telah terjadi satu pertarungan batin dalam diri seorang yang cantik bertaraf “Guru”.Tiga hari lamanya dia membiarkan lelaki asing itu mundar-mandir seperti orang tolol. Dan ketololan itu perlu bagi seseorang yang memang berniat untuk mencari derajat ilmu. Juga kelaparan itu penting, sebab makanan dalam pencernaan perut manusia sering merubah caranya berfikir. Dengan mengamati tingkah laku pria tak dikenal itu dengan teropong selama tiga hari, munculah dalam hati nurani sang Guru Pita Loka, Ki Pita Loka telah kehilangan Harwati yang telah menipunya dengan khianat. Kini diperlukanya seorang anak buah! Bukankah lelaki tak dikenal itu bisa dijadikan anak buah, sekaligus pengawal? Suatu parasaan aneh laimya menyelinap ke hati Ki Pita Loka: Pria tak dikenal itu, selain tegap, juga gagah! Mirip Gumara! Dan melihat pria itu sudah mulai memakan urat kayu, di hari keempat Pita Loka merasa “kasihan”. Dari balik tebing dia berseru: “Hooi!” Pria yang hampir teler itu, karena makan urat kayu yang salah, lantas mendongak! “Hoooi!” didengarnya lagi. Dia lantas cepat menyahuti: “Hoooi!” “Siapa anda?” teriak Ki Pita Loka. “Aku?!”!” “Ya, kamu!” “Saya Dasa Laksana! Siapa anda?” seru lelaki itu di sebalik tebing sebelah. Mendadak Ki Pita Loka bimbang. Dia berdiam diri sembunyi di balik pohon. Dia mempertanyakan dirinya: “Apakah ini bukan godaan Iblis?!” “Tidak”, sahut dirinya pula, lalu dia memperlihatkan diri dan berkata: “Tunggu disana ! Aku akan menolongmu!” Lelaki yang sudah putus asa kehilangan arah, harapan dan makanan itu, mendadak berbesar hati. Dia menyaksikan gadis berpakaian hitam itu jumpalitan di angkasa, dari dahan pohon ke dahan pohon laimya. Lalu ibarat burung cicakrowo yang terbang melayang, gadis tak dikenalnya itu tampak hinggap di sebuah pohon. Dalam jaraklima meter itu Dasa Laksana benar-benar takjub menyaksikan kecepatan gerak setiba di tanah. Jarak tegak gadis itu kini sudah tiga meter saja lagi! Dasa Laksana mengamati gadis itu dengan gentar. Memang penampilan Ki Pita Loka mendadak begitu berwibawa. Sebab dia sudah mempesenjatai dirinya dengan ketebalan mental. Jantungnya bergerak serentak dengan gerak lidahnya yang selalu menyebut sepatah kata mukjizat yang ampuh mengusir lblis. Ki Pita Loka kini dengan kekuatan daya ilmu gelombangnya, telah membuat Dasa Laksana sebagai tawananya. Tak ada kata. Lelaki itu bagai terkena hipnotis. Dia menuruti saja langkah Ki Pita Loka di belakang. Tanpa takut menuruni tebing curam. Juga tanpa mengeluh lelah. Lalu dia ikuti terus merayapi dinding curam. Juga dia bagaikan anjing yang patuh pada tuannya ketika tiba di depan pintu Guha Lebah. Ki Pita Loka ingin segera mengisi kekuatan batin orang yang akan dijadikanya pengawalnya. Begitu lelaki itu berdiri tegak di depan pintu guha, dia tendang pantatnya sehingga bagaikan bola dia terhambur memasuki pintu guha, menerobos kawalan lebah-lebah yang bertugas sebagai daun pintu. Sekitar lebih seratus lebah-lebah yang marah terkena sentuhan tubuh yang dijadikan “bola tendangan” tadi, menggigitnya dengan buas. Ki Pita Loka tersenyum berkacak pinggang. Setelah bisa lebah itu menyengat pria itu, Ki Pita Loka mencolokan jempol jarinya pada langit-langit mulut, dan jarinya dia tekankan pada kening lelaki itu. Dasa Laksana siuman! Dan, sejak hari itu, Dasa Laksana diajar mulai menjalani ketololan yang sama seperti Harwati dulu. Dia mengangkut batu dari sungai, ke guha, dan kemudian menaruh batu itu kembali ke sungai. Kemudian dia mengajari proses berikutnya. Dia harus memanjat pohon tinggi. Lalu turun. Lalu memanjat lagi. Dan pada suatu pagi, ketika Dasa Laksana sudah tiba di pucuk sebuah pohon, setinggi 21 meter itu, lalu dahan-dahan pohon itu ditebang sedahan demi sedahan oleh Ki Pita Loka. Dari bawah Ki Pita Loka momberi perintah: “Ayoh, turun kamu, Dasa !” Kelihatan kecut sekali Dasa Laksana ketika terpaksa mengikuti perintah sang Guru dengan patuhnya, turun meluncur ke bawah. Setiba di bawah dia amat kaget karena terkena tendangan lagi. Setelah jungkir balik, Ki Pita Loka mengejarnya dengan cambuk dan golok. Dasa Laksana ketakutan. Lalu membebaskan ancaman itu dengan cepat memanjat pohon. Dan Ki Pita Loka mengejarnya keatas. Dan dalam keadaan terdesak, Dasa Laksana dari pucuk terpaksa melompati dahan satu. Tapi karena ancaman cambuk, Dasa terpaksa meloncat ke dahan lain …. Sang murid yang patuh itu kagum pada dirinya sendiri yang sudah mampu melompat dari dahan ke dahan. Tambah kagum lagi dia karena seakan dia pernah melompat ke dahan satunya sepertinya terbang. Namun karena dilatih begitu selama tujuh hari. Dasa Laksana pada saat akhir latihan sorenya, mengeluh,”Saya tak sanggup latihan besok. Saya lelah”. “Hari ini terakhir, Dasa! Coba kamu melompati lagi pohon hutan ini, sampai kamu menemukan satu pohon kelapa. Petik sebuah kelapa muda yang kulitnya masih hijau, serahkan itu kepadaku!” Dasa Laksana gembira melaksanakan perintah Sang Guru. Dia berlompatan dari dahan ke dahan menerobos hutan lebat di kawasan Guha Lebah yang bentuknya mirip payung itu. Setelah dia menemukan salah sebuah pohon kelapa, dia memanjat dan memetiknya, lalu meluncur ke bawah. Dan dia tiba-tiba merasa tersesat Dia tak tahu jalan kembali. Untunglah ingatannya cukup kuat. Syarafnya memang bukan saja syaraf pemburu, tapi juga syaraf baja. Dia ingat, bentuk Guha Lebah itu mirip payung terkembang. Dia perhatikannya setiap bukit ketika dia melihat bukit berbentuk payung itu, biarpun sudah senja, dia berlompatan juga dari pohon ke pohon. Rupanya upaya mencari pohon kelapa itu amat sulit. Buktinya, letak itu amat jauh jaraknya. Cuma saja karena dia lakukan dengan kegembiraan dan besar hati rasanya dekat saja! Ternyata baru dekat tengah malam bisa tercapai olehnya Bukit Guha Lebah itu ... Dia mempersembahkannya kelapa muda itu. Ki Pita Loka membawa Dasa Laksana memasuki guha bau stanggi mulai menyergap hidung lelaki gagah yang patuh itu. Sebab saat ini Ki Pita Loka berada pada dinding pembatas. Yaitu asap setanggi yang berupa lingkaran mirip kain nilon. Beliau bersila dalam lingkaran asap itu. Dasa Laksana memperhatikannya dengan ta”zim. Tampak sang Guru sedang memegang kulit kelapa itu. Lama kelamaan kelapa itu tampak menguning. Setelah itu Ki Pita Loka keluar dari lingkaran asap stanggi itu. “Kelapa ini sudah menjadi kelapa puan dalam proses penyingkatan waktu. Kamu harus meminum airnya. Dan memakan isiya, demi kepatuhanmu pada saya”, kata Ki Pita Loka. “Dengan cara bagaimana saya mendapatkannya?”, tanya Dasa. “Bolongi”, ujar Pita Loka. Dasa Laksana kebingungan. Tapi dia sempat juga dengan tolol bertanya “Beri aku petunjuk, Tuan Guru!” “Hah, tolol. Bukankah kamu punya kuku?” tanya Ki Pita Loka. Manis sekali cara Dasa Laksana tersenyum malu itu. Ki Pita Loka sadar. Iblis sedang menggoda bathinnya. Dia usir sang iblis dengan memompa jantungnya dengan nada tunggal menyebut kata-kata Agung yang Suci. Diperhatikannya Dasa Laksana mengorek, melubangi kelapa puan itu dengan buku jarinya. Jari telunjuk dan jari tengah! Dasa mulai luka. Ki Pita Loka membentaknya: “Terus, tolol!” Dasa Laksana ketakutan. Luka itu sampai tak dirasanya pedih lagi sampai mencapai batok kelapa.. “Bolongi dengan telunjukmu batok itu”, perintah SangGuru. Dasa Laksana memaksakan diri menggenjot telunjuknya menetak batok kelapa itu. Saking terlalu keras, air kelapa muncrat dan telunjuknya tak bisa keluar lagi. Pita Loka tak sabaran, memegang kelapa dan menyentak telunjuk yang terbenam itu. “Minum! Minumlah dengan membaca nama Tuhanmu yang Pengasih Penyayang, Dasa!” perintah Ki Pita toka. Sang murid yang patuh mengikuti perintah Guru itu, meneguk terus sehingga jakunnya tampak turun naik. Cahaya obor kayu karet dalam guha itu menciptakan gerak goyangnya. Sehingga batin Ki Pita Loka tergoyang beberapa detik ketika menyaksikan jakun Dasa Laksana yang bergerak-gerak itu. “Bencana ...”. Ki Pita Loka menggerutu, terdengar oleh Dasa Laksana yang selesai minum. “Bencana apa, Ki Guru?” tanya Dasa Laksana. “Jangan tanya! Kedatanganmu ini mungkin akan dibuntuti mala petaka di kemudian hari. Aku tiba-tiba membenci kamu!” kata Ki Pita Loka, yang ketika dilihatnya Dasa Laksana bengong, lalu membentak: “Ayoh belah kelapa puan itu dengan jarimu, dan makan dagingnya sampai habis!” Bentakan itu memang menggetarkan. Tak terlintas sedikitpun roman kecantikan wajah sang Guru di mata si murid. “Selesai? Nah, mulai malam ini kamu tidur di sebelah batu tempat aku selalu sembahyang di luarsana itu. Hadapkan matamu ke langit. Dan tunggulah datangnya ilham!” Sang Murid mematuhi dengan kontan. Dia sigap keluar guha. Dirasanya dalam dirinya sudah tak ada lagi keraguan maupun rasa takut. Langsung dia celentang di permukaan batu yang rata itu. Langit penuh dengan bintang gemintang. Dasa Laksana menatapinya dengan tak sengaja. Tapi heran, dia kini merasa dirinya seperti biasa saja. Dia heran mengapa dia dapat mengenal kembali kelompok Bintang Tujuh itu. Juga dia melihat. bintang Mars itu, juga dia mengenal bintang venus yang amat terang itu! Lalu Dasa Laksana mulai memikirkan kembali sejak awalnya dia tersesat dengan Landrovernya. Perasaan dirinya menjadi seorang pemburu bangkit lagi. Dan tiba-tiba dia bertanya: “Perlunya apa aku patuh terus pada Sang Gur? Aku bukan manusia purba yang senang jadi orang hutan melulu! Bukankah aku melompat dari dahan ke dahan tak lebih dari seekor kera?” Rupanya, tanpa dia ketahui. Sang Guru sudah tegak dengan tangan terlipat, memperhatikan sang murid ... dirinya sendiri! Begitu melihat kecantikan Ki Pita Loka, hatinya tergiur. Birahinya meronta-ronta. Dan tiba-tiba ada melintas keinginannya untuk memperkosa gadis ini ... Sementara itu, di Bukit Runtuh dalam keadaan celentang kelihatan berpakaian putih berlipat tangan di dada, menatapi bintang Bima Sakti, seorang pria yang tak dapat tidur. Namun dia tidak gelisah. Dia seakan-akan sedang mempertanyakan diri: “Untuk maksud apa aku berada di sini? Beberapa hari siang dan malam ilham tak pernah kuterima! Aku bisa gila! Aku sebaiknya ke Kumayan daripada penuh keraguan menemui Pita Loka!” “Memang pantas Harwati mengutuk saya.. Saya ini gila cinta, mabuk cinta” gerutunya lagi. Namun dia tidak berbicara, bibirnya terkatup, sedang matanya tetap menatap bintang Bima Sakti yang tersusun di langit itu. “Bukankah kembali ke Kumayan itu lebih baik? Percuma saja membujuk Pita Loka, karena akhimya dia toh tetap akan bertahan sebagai Guru ilmu Sakti di Guha Lebahsana itu !” Sekonyong dia bagai melompat. Duduk! Dipandangnya alam dini hari sekeliling Bukit Rotan nun sudah jauh disana . Bukit Lebah. yang mirip payung upacara itu, padahal sudah dekat. Mendadak tekadnya menjadi goyah, dan hatinya bergelora ingin ke Bukit Lebah. Dan menjelang subuh, ketika dia merayap di balik sungai, dia mendengar teriakan-teriakan. Sepertinya dua manusia yang sedang berlatih silat! Lelaki berbaju putih itu menjadi ragu untuk menyeberangi tebing sungai yang dalam itu. Keraguan ini mendadak saja muncul. Dia merasa tertipu oleh satu ilham yang didapatnya ketika dia akan meninggalkan desa Kumayan. Dia semalam sebelumnya bermimpi, bahwa Pita Loka cuma seorang diri. Jangan-Jangan dia bukan sendirian. Tapi bedua! Dan jangan-jangan, Pita Loka justru sedang berlatih dengansuaminya ! Tiba-tiba lelaki berkemeja koyak itu teringat dalam alam sadarnya, masa silam di SGA. Dia pernah membaca drama Hamlet karya Shakespeare. Tokoh Hamlet adalah tokoh pangeran Ragu. Dan seorang yang ragu selalu akan berhati dua. Menjelang matahari terbit, tampak olehnya memang dua orang sedang berlatih. Hebat sekali persilatan mereka! Terutama, agak jelas yang satu lagi! Pastilah Pita Loka. Rupanya persilatan inilah yang dikenal sampai jadi semacam dongeng di Kumayan. Mengagumkan. Makin jelas sinar matahari tampil, semakin jelas pula Pita Loka dalam intipannya di balik dedaunan. Kerinduannya pada muridnya kini bergumul dengan kecemburuan. Kecemburuan inilah yang membuat dadanya sesak…Dia cepat merayapi dinding tebing tanpa menyentuh lagi permukaan sungai. Demikian cepatnya gerak merayap itu mirip seekor cicak layaknya! Dan seketika dia muncul di tebing Bukit Lebah, menyaksikan Pita Loka seketika itu bersama pria, dia berteriak tanpa sadar, sekeras gemuruh dari kawasan langit: “Pita Loka! Aku Gumara!” Ki Pita Loka bangkit berdiri tegap. Matanya menatap tajam pada Gumara. Tangannya dilipat ke dada menambah wibawa. “Untuk apa Bapak ke sini?” tanya Pita Loka. Gumara terdiam. Matanya melirik pada pria yang tak dikenalnya itu. Pria itu berpakaian safari pemburu, begitu modern, begitu gagah. Dan tanpa diduga Pita Loka tersenyum melihat dua lelaki yang kelihatan berkobar cemburu. Kedua-duanya tak bisa merahasiakan. “Kesempatan bagimu, Dasa, belajar pada seorang Guru yang hebat Gumara seorang Guru, Dasa!” Dasa Laksana tanpa ragu lagi berkata bagai kilat: “Mari aku coba Guru!” dan satu tendangan melingkar membuat Gumara terpelanting ke dahan pohon. Ikat pinggangnya menyangkut. Dan tampaknya lucu sekali dia tergantung di dahan pohon itu. Dasa Laksana ketawa lebar mencemoohnya. Kejengkelan membuahkan rasa marah. Kemarahan membuat Gumara jadi kalap. Dia cuma berkelit sedikit sehingga dalam sekelebatan tubuhnya jatuh ke tanah yang seketika itu juga dia menguakkan lompatan tujuh kali untuk kemudian melakukan satu tendangan buas. Tendangan itu tepat membuat telapak kakinya menggedor dada Dasa Laksana. Melihat darah mancur dari mulutnya, Dasa Laksana bukannya takut tapi dia pun kalap. Ki Pita Loka cuma menonton mirip wasit. Dia hanya bergerak sedikit untuk memungut segumpal darah Dasa lalu melemparkan darah itu ke udara. Dasa bertambah kuat kembali, sehingga ketika satu tendangan lingkar Gumara mau menyabet tubuhnya, dia sergap perut Gumara dengan kedua tanganya dan dia sendiri ikut dalam lingkaran tubuh Gumara yang berputar bagai gasing sebab tendangannya kosong. Keduanya jatuh bergulingan. Dan ketika Gumara sudah berada di tepi tebing, melihat hal itu membuat Pita Loka berteriak: “Gumara... !” Dasa Laksana yang menoleh pada suara yang dia dengar. Kesempatan itu membuat Gumara memanfaatkan tendangan tumit kakinya yang menggedor leher Dasa Laksana yang berteriak nyeri. Namun, jika dia tak berteriak ... dia pasti sudah mati. Teriaknya mengendorkan urat pernafasan lehernya, sahingga dalam keadaan wajahnya berlumuran darah dia langsung melakukan lompatan dari dahan ke dahan sembari kakinya silih berganti menghajar dada maupun punggung Gumara. Gumara tersungkur. Dasa Laksana melompat dari dahan dan dua kakinya sengaja diinjakkannya ke pinggang Gumara supaya tulangnya remuk. Gumara tiba-tiba ingin mengeluarkan ilmu harimaunya. Namun keraguan untuk menyembunyikan ilmunya dari kesaksian Pita Loka itulah yang membuat dia ditampar oleh telapak kaki kiri kanan Dasa Laksana yang bergelayutan lincah di dahan pohon. Tampaknya Gumara tak berdaya hanya karena dia ragu untuk mengeluarkan ilmunya. Kesabarannya untuk tidak mengeluarkan ilmunya yang aseli memang luar biasa! Ki Pita Loka tahu akan hal ini. Dia menaruh hormat pada Gumara yang sedang kenyang disiksa Dasa Laksana. Karena sikap sabar begini hanya dimiliki Guru-Guru Besar. Melihat Dasa Laksana keliwat bernafsu menghajar Gumara itu. Ki Pita Loka memperingatkan: “Berhentilah berkelahi! Percuma saja! Kalian berdua toh tidak akan mendapatkan apa yang kalian rebutkan!” Serentak Dasa Laksana menghentikan siksaannya menyepak kepala Gumara dan Gumara membenamkan nafas tunggal ke jantung, lalu mengisi tenaga dalamnya sebelum dia berdiri tegak. Siksaan sudah berhamburan dia terima. Namun melihat sosoknya yang berdiri dengan nafas teratur, menyebabkan semangat liar di hati Dasa. Dia terjang tubuh yang tegak berdiri itu dengan satu tendangan mencuat yang membuat Gumara terlempar jauh. Dua pohon langsat roboh akibat tendangan Dasa yang membuat tubuh Gumara membentur pohon-pohon itu. Ki Pita Loka menjadi jengkel.... Dia melakukan tiga lompatan lewat dahan dan pada lompatan keempat sekaligus dua kakinya mengepit lengan Dasa, nadinya terhenti sesaat yang membuat lelaki gagah itu pun pingsan,,, Kepingsanan ini memang dikehendaki Pita Loka. “Bukan perkelahian kalian berdua yang berjam-jam itu yang saya kagumi, Pak Guru”. ujar Pita Loka. Lalu dia teruskan ucapannya: “Pak Guru mungkin berkelahi dengan penuh kesadaran. Tapi si Dasa tidak. Saya sudah sembahyang subuh, sembahyang lohor dan asyar. Kalian tetap saja adu tenaga. Tapi saya rasa Pak Guru cuma memainkan jurus-Jurus bunga saja. Tujuan anda ke sini mungkin ingin mengetahui rahasia ilmu stanggi saya”. “Tidak”, ujar Gumara. “Ah, saudara tirimu ke sini, belajar dari saya, dan saya memberikannya dengan tulus. Tapi jika ilmuku sepuluh jari. Dia baru mendapatkan satu kelingkingku!” Pita Loka dengan sadar memancing kemarahan Gumara. “Saya ke sini…”, kalimatnya terhenti, karena Dasa Laksana yang mendadak siuman itu sudah bangkit dan seketika itu juga melompat bagai kesetanan dengan dua kaki menyergap tengkuk Gumara. Gumara membiarkan kaki itu mengepit. Tapi gumpalan tinjunya seketika menghajar tulang tumit Dasa Laksana, sehingga Dasa Laksana menjerit. Dia melangkah terpincang-pincang. Ki Pita Loka kali ini geram dan malu. Dengan prihatin dia hampiri sang murid yang pincang itu. Jempol jarinya dia usap pada langit-langit mulutnya, kemudian jempol itu membarut tumit Dasa Laksana. Tumit yang hancur itu mendadak utuh kembali, dan Dasa Laksana mendengar suara Sang Guru: “Usir dia dari kawasan ini!” Maghrib terlewatkan sehingga Ki Pita Loka tak sempat melaksanakan ibadat sembahyangnya. Ini karena dia berkonsentrasi melakukan perlindungan atas muridnya. Dia berdiri tegak meniupkan gelombang pernafasannya ke arah tubuh muridnya agar kekuatannya masuk ke tubuh Dasa Laksana. Gumara mengetahui bahwa Ki Pila Loka telah “mengisi” muridnya dengan gelombang tingkat tinggi. Ketika ia terlempar dalam jarak sepuluh meter menggelinding ke bagian bukit yang rendah, ia tetap pada keputusan tidak mengeluarkan ilmu intinya. Namun otak matematika dan fisika bekerja seketika. Satu kekuatan bergelombang tinggi. Bisa memisakahkannya. Hal itu harus dilawan dengan kekuatan gelombang terendah. Ia segera mengosongkan tubuhnya, seperti seorang yang keluar darigaya berat bumi. Ia melayani pukulan-pukulan Dasa Laksana yang dahsyat bukan dengan gerak maju, tapi seluruhnya menyediakan diri dengan gerak-balik. Satu tinju menghantam perutnya. Gumara menekuk perutnya ke belakang sehingga tinju itu hanya mengenai permukaan kulit perut. Gumara sempat melirik beberapa detik ketika ia mundur dihantam. Melirik pada Ki Pita Loka yang begitu bersemangat “mengisi” muridnya dengan tiupan-tiupan gelombang. Daun-daun dari ranting pohon mengikuti arah angin gelombang ketika Ki Pita Loka meniupkan isiannya ke setiap langkah Dasa Laksana. Dalam kelebatan perkelahian yang menuju waktu fajar menyingsing ini, Gumara sempat terjebak oleh emosi. Dia berniat untuk sekali waktu nanti, kembali ke Guha Lebah. Untuk mengambil ilmu inti yang penuh misteri ini. Ilmu inti tirai stanggi. Sebab sekeliling kawasan perkelahian dia rasakan sudah diliputi bau stanggi, bahkan bau belerang. Ia yakin, ilmu yang dimiliki Ki Pita Loka berasal dari inti lahar, magma dalam bumi,yang mungkin ada salurannya ke Guha Lebah. Waktu itu kesempatan berfikir ada padanya, karena tendangan Dasa Laksana yang menjurus ke kepalanya ia elakkan. Sehingga kaki Dasa Laksana kejeblos masuk ke dinding satu bukit kecil curam, hingga ke dengkul. Ki Pita Loka berlompatan dari dahan ke dahan menuju Dasa Laksana. Lalu mengeluarkan kaki muridnya yang kejeblos itu. Segera sang Guru mengobati muridnya dengan lendir langit-langit mulutnya. Gumara sebetulnya ada kesempatan untuk menghantam urat kematian pada leher belakang Ki Pita Loka saat itu. Tapi tidak! Dia tak mau main silat secara sekelit. Dia ingin tahu, dengan keasyikan yang belum pernah ada padanya seperti sekarang Ini: mencoba gelombang terendah, ibarat satu roket kecil, yang terbang amat rendah hingga berada di bawah radius radar, Dasa Laksana dengan teriakan nyaring melompat ke udara, terjun ke bumi dan membal beberapa kali untuk kemudian melakukan sapuan tendangan yang menabrak Gumara secara spiral. Gumara menekuk diri sehingga semua gelombang rendah terkumpul dalam dadanya. Hal ini membuat hantaman kaki kanan Dasa Laksana ibarat menghantam ban mobil. Dia membal terjungkir ke belakang. Dengan gerak spiral terbalik. Kepalanya menabrak pohon. Gumara tahu, murid setia Ki Pita Loka sudah pingsan seketika itu juga. Bayangkan! Benturan itu sempat mematahkan pohon! Gumara bersikap amat tenang menghadapi Ki Pita Loka! Guru berhadapan dengan Guru. Matahari yang mulai bersinar, kebetulan menimpa muka Pita Loka, sehingga jelas bahwa Pita Loka amat marah, dia dengar Pita Loka membentaknya: “Pergi kau dari sini! Aku tidak membutuhkan kamu!” Itu bagi Gumara satu penghinaan. Dia bukan ingin pergi, tapi ingin melanjutkan perkelahian, jika perlu dengan Guru terhormat dan terkenal ini. “Jika muridmu sudah pingsan, Ki Pita Loka, itu berarti dia harus diganti..... Tuan tentu maklum, Guru yang kuhormati” kata Gumara. “Aku? Aku tak layak untuk berhadapan dengan anda”, ujar Ki Pita Loka dengan nada angkuh. “Sekalipun kau bersama saudara tirimu Ki Harwati, Ki Rotan dan lain-lain itu, semuanya masih sebesar kelingkingku!” Dasa Laksana barusan sadar dari pingsannya. Dia berada di sebelah timur. Dilihatnya Ki Pita Loka berdiri berhadapan dengan Gumara. Sang Guru, berada di sebelah barat Sehingga sorot matahari seakan-akan mau memperlihatkan kecantikan sang Guru secara sempurna. Birahi sang murid bangkit, disertai cemburu besar. Gumara harus dimatikan! Dia telah didorong oleh keinginan mendapatkan ilmu Gurunya secara sempurna dengan bersatu tubuh sehabis perkelahian memusnahkan Gumara. Tekad itulah yang membuat Dasa Laksana sepenuh tenaga muncul di antara berdirinya Pita Loka dan Gumara. Ia langsung berhadapan dengan Gumara. Dia menjadi jengkel ketika Ki Pita Loka berkata: “Ayohlah! Bertempur melawan muridku! Dia muridku, bukan suamiku, bukan pula kekasihku! Ayoh lawan dia!”. “Kau tak suci lagi”, tuduh Gumara. “Tak suci? Jika kunodai hatiku dengan godaan iblis, maka tirai stanggi akan runtuh menjadi sumur. Itu harap anda ketahui, Guru! Dan aku tidak ingin melepaskan ilmu yang aku dapatkan secara ghaib dalam keadaan hati merasa karena sikap ragu engkau, Guru”. Jika demikian fikir Gumara seketika itu, tentulah dia mencintai saya! Dia lari ke pengasingan ini karera harga diri! Dia musuhi aku karena harga diri. Lalu, Gumara memutuskan menyerah kalah. “Gumara bukan bertekuk lutut atau kalah. Gumara juga bukan patah semangat. Sekiranya saja dia mau menampilkan kemampuan ilmunya yang dia warisi dari ayahnya sebagai tambahan pelengkap, itu saja sudah cukup untuk melawan semua Jurus yang sudah ditampilkan Dasa Laksana tadi. Tidak, fikir Gumara. Aku mesti bersaing secara sehat. Betapapun jengkelnya aku dengan ucapan Ki Pita Loka, setidaknya aku hormat pada pendiriannya. Dia masih suci. Lidah Pita Loka dapat dipercaya. Sebab setahu dia tak ada di dunia ini gadis dengan lidah yang ada bulunya. Lidah demikian mengandung pertanda kelebihan dari semua lidah berjuta-juta manusia normal. “Selamat atas kemenangan anda”, kata Gumara pada Dasa Laksana. Dia mengulurkan tangannya, lalu dia mengaduh-aduh karena dipencet oleh Dasa. Dan setelah mengerang kesakitan. Dasa lebih bersemangat untuk membuktikan kejantanannya di depan Pita Loka ... diangkatnya secepat kilat lalu dibantingnya Guru Gumara. Terbanting begitu, Gumara menjerit kesakitan. “Sudah, tuan. Saya sudah mengaku kalah. Setidaknya dalam persaingan cinta dalam memperebutkan gadis sakti semacam Ki Pita Loka yang terhormat ini. Semoga kalian berdua dapat menikah secara konkrit dan berbahagia”, dan ucapannya yang merendah itu membanggakan hati Dasa Laksana, sebaliknya menyakitkan hati Pita Loka. Gumara membetulkan bekas-bekas tanah yang menempel di baju dan bagian tubuhnya karena bantingan terakhir Dasa tadi. Lalu dia melangkah. Tapi Pita Loka bergegas mengejar dan berseru: “Tunggu Guru Gumara!” Gumara, tanpa menoleh tapi menghentikan langkah, bertanya memunggung: “Apalagi yang kau akan katakan, Ki Pita?” “Anda mau ke mana?” “Mau ke mana tanya Ki Guru terhormat?” “Ya”. “Aku akan ke desaku Kumayan. Kembali ke masyarakat manusia biasa. Aku toh bukan manusia sakti seperti anda yang mulia dan Ki Dasa Laksana yang terhormat”. “Tapi betapapun, maafkan saya”, kata Ki Pita Loka. “Kecuali andaikata jiwa saya bergetar kembali, tentu langkah sayapun akan tertuntun mengikuti getaran itu”, ujar Gumara. “Getaran apa itu?”“ bentak Dasa Laksana. “Anda pria. Saya pria. Kita sama-sama maklum”. Gumara melangkah lagi. Dasa bersemangat dan berteriak mengancam: “Nanti dulu, Bung! Tunggu!” Langkah Gumara henti seketika. Tapi sebagaimana dia bicara dengan Ki Pita Loka tadi, kali ini pun memunggungi: “Tuan sudah menang, perlu apa lagi?” “Kurasa kamu bermaksud kembali lagi untuk membalas dendam”. kata Dasa. “Ah..” . “Katakan kalau kau jantan, Gumara?” teriak Dasa. “Soal mengatakan atau tidak mengatakan itu hak saya. Tiap pribadi punya hak mutlak untuk berkata ya atau tidak. Dan tuan tidak perlu memaksa saya !” Gumara cepat melangkah menuruni Bukit Lebah itu. “Bangsat!” geram Dasa Laksana meninju kepal tinjunya ke telapak tangan. Akhirnya ditinjunya pohon langsat di sampingnya sehingga hancur dan roboh. Setelah melihat Gumara jauh dan jauh terus menuruni tebing menjadi bintik noktah disana , Ki Pita Loka memejamkan mata. Satu perasaan retak di hati terasa pedih. Ketika matanya yang terpejam tadi dia buka, lalu dia menoleh ke samping, dia melihat Dasa Laksana duduk di batu besar dengan kepal tinju menupang dagu. Kedua insan itu saling bertatapan mata. “Kurasa setelah Guru Gumara pergi, anda pun pergi”, kata Pita Loka. Dasa Laksana terdongak kaget. Dari duduk dia berdiri. Dan berdiri dia melangkah menghampiri Pita Loka. Dari melangkah dia berhenti. Dan dari berhenti itu dia lantas berkata: “Ki Pita, guruku. Apa maksud anda supaya saya pergi? Bukankah itu berarti saya harus meninggalkanmu?” “Ya. Dia dan kau harus meninggalkan saya”, kata Ki Pita Loka. “Tapi bagaimana saya harus pergi?Kota terdekat adalah 100 KM dari sini. Sedangkan mobilku dan semua perlengkapanku sudah kau buang, Guru!” “Sebaiknya anda pergi, Dasa!” “Pita Loka!” Dasa berseru lantang saking kesal. “Ikuti ucapan Guru Gumara tadi. Kembalilah kamu ke masyarakat manusia biasa seperti kamu sebelum kenal saya”, ujar Pita Loka berwibawa. Hal ini membuat Dasa Laksana menyeringai sedih dan berkata seperti menguras seluruh isi kalbunya: “Saya sudah terikat dengan masyarakat kau, sekalipun masyarakat itu terdiri dari dua orang di sini: kau dan saya”. Sementara itu, Gumara bagai terlunta-lunta sudah melewati dua buah bukit. Dia lemaskan seluruh otot ketika melangkah. Dia seakan-akan kosong dari segala kekosongan. Dibilang dia bertenaga, sepertinya dia bukan melangkah melainkan mengapung. Dibilang tak bertenaga, dia mampu memanjati berbagai dinding-dinding curam di antara bukit dan bukit. Juga, jika dibilang dia seenaknya tak ambil perduli atau jatuh atau terpeleset pun tidak. Bahkan begitu hati-hatinya Gumara ketika terpeleset di jurang lain sempat menangkap satu akar dari pohon yang tumbuh di tepi jurang, lantas, begitu sadar dia menarik nafas dan berkata: “Ya Allah. syukur alhamdulillah umurku masih Kau perpanjang”. Masih dinaikinya satu bukit lagi menjelang pulang menuju desa Kumayan, yaitu Bukit Tunggal. Ketika pergi dari desa Kumayan hendak menjemput Harwati atau Pita Loka. dia memang sengaja menghindar dari jalur Bukit Tunggal .Tapi entah bagaimana dia menjadi tercengang saja sewaktu sadar bahwa dia sudah berada di kawasan kekuasaan Ki Tunggal. Berdasarkan mimpinya yang sama bentuk sebanyak tujuh kali mimpi pada tiap malam Jum”at berturut-turut, dia sudah dilarang oleh Ki Tunggal untuk menjumpai beliau. Jika berhadapan muka, akan terjadi bencana. Maka orangtua sakti itu pun merasa perasaannya tak enak di kala maghrib tiba sehingga dia berkata pada isterinya yang berusia 16 tahun itu: “Nik, apa kau tidak merasa malam ini kelihatannya seperti akan terjadi sesuatu?” Senik Makuto yang cantik talu tersenyum;;; “Adabarangkali seseorang yang mau menguji Tuan?” “Ha?, tebakanmu jitu! Itulah yang kurasakan!” “Kalau begitu pertanyakan!” ujar sang isteri. “Bawa ke sini dupa itu, Nik”, ujar sang Guru yang berusia 100 tahun itu. Bau asap dupa melingkupi tempat bertapa Guru Tunggal itu. Wajahnya diasapi. Asap itu seakan-akan masuk cepat ke paru-parunya, lalu paru-parunya seakan dipenuhi oleh asap, yang kemudian memasuki seluruh pembuluh darah. Beliau yang tadi keriput secara perlahan seperti tampak muda selama lebih dari dua jam perkembangan pengaturan nafas yang amat cepat dan mengerikan. Tapi Senik Makuto bukan ngeri, melainkan senang. Pertamakali dia jumpa dengan Sang Guru sampai tergila-gila bukannya menemukan orang tua loyo keriput. Dengan mata jelalatan penuh birahi. Senik Makuto memperhatikan wajah suaminya yang penuh ketegangan namun makin lama semakin muda. “Kini usiaku sudah semakin mendekati usia orang itu”, ujar Sang Guru. “Siapa orang itu yang tuan maksud?” “Ki Gumara. Manusia perkasa. Dia datang terlalu cepat. Belum semestinya dia hadir di sini!” “Apa yang tuan rasakan?” tanya Senik terheran. “Aku sedang membencinya”, geram Ki Tunggal dan matanya mulai merah. “Kenapa Tuan membencinya?” “Dia akan berguru kepadaku. Dia mencoba melawan ketetapan Yang Maha Kuasa. Dia datang ke sini kelewat cepat, sebelum keharusannya. Apa boleh buat. Semua soal selalu dengan dua kemungkinan. Ya atau tidak. Bila ya ini berarti aku harus mati. Sedangkan aku belum waktunya mati”.   Senik Makuto yang polos itu segera memeluk suaminya:”Kak, jangan berkata begitu! Senik sudah dikutuk dan diusir orang tua dan orang sedesaku! Kakak jangan mati!” Ki Tunggal bahagia dan menoleh pada isterinya yang beda usianya 86 tahun dengan dia. Dia tersenyum dan berkata: “Kalau begitu, Ki Gumara yang wajib aku matikan! Jika aku yang mati. Ilmu tunggalku akan berpindah secara alami kepadanya. Tapi jika dia yang mati dan aku yang hidup, maka ilmunya memperganda ilmu yang aku punya. Tapi kenapa dia datang? Untuk apa dia datang? Pintu daun nipah itu berkibas-kibas, mulanya lambat. Lalu lebih cepat. Kepala Ki Tunggal terdongak. Senik Makuto yang melihat perubahan wajah suaminya juga menoleh ke pintu dengan rasa kecut. “Aku tahu kamu yang datang Ki Gumara!” teriak Ki Tunggal. “Betul Tuan Guru yang mulia. Bolehkan saya masuk?” “Boleh, hanya apabila daun Pintu itu berhenti berkipas!” Pintu daun nipah yang semula bergoyang kipas itu mendadak berhenti berkibas. Satu sosok berdiri dengan sepenuh keagungan membuat Senik Makuto harus melepaskan nafas; “hahhhh”, yang didengar oleh Ki Tunggal, suaminya Ki Tunggal menoleh dan menyindir: “Kau terpesona dengan lelaki muda itu?” Senik Makuto termalu-malu sipu. “Inilah justru yang aku kuatirkan, Gumara. Kau datang begitu cepat. sedangkan bulan maduku bersama isteriku tercinta ini barusan berlangsung 37 hari. Kenapa kau tidak datang di hari ke-41?” Gumara menghentikan langkahnya, lalu berkata: “Setahu saya, Tuan Guru lebih faham kenapa saya melangkah ke sini. Bukankah ilmu tuan yang agung itu pernah menyebar ke seluruh penjuru, hingga ayahku mendengar berita itu!” Berita apa itu?” “Ayahku berkata, bagi tuan ada empat patokan: Langkah. rejeki. jodoh dan maut, hanya Allah yang menentukan”, ujar Gumara hormat. “Hmmm. Apa belul si Ki Karat itu ayahmu?” tanya Ki Tunggal. “Saya ke sini atas nama kedamaian, bukan atas nama prahara. Kenapa tuan tuduh saya manusia tak punya Ayah. Hanya ada dua manusia setahu saya yang tak punya ayah, yaitu Adam dan Nabi Isa, bukan begitu?” “Yang kumaksud kau anak haram jadah”, kata Ki Tunggal seraya menoleh pada isterinya yang cantik dan bertanya: “Kau dengar ucapanku, Nik?” “Apa betul orang segagah ini anak jadah?” tanya Senik Makuto. “Betapapun tinggi ilmunya, dia manusia yang hina”, kata Ki Tunggal yang membuat Gumara yang semula sopan lantas merentakkan kakinya sampai mengagetkan Senik yang lantas menjerit. “Jangan menjerit”, kata Ki Tunggal memperingatkan isterinya, “Aku memang memancing kemarahannya, agar dia cepat mati karena melawan Guru Besar!” Ki Tunggal seketika itu juga merasa yakin usianya sama persis dengan lawannya, Gumara. Begitu cekatan dia ketika menerkam Gumara dengan auman mirip suara harimau. Tetapi Gumara menangkisnya lawannya dengan auman pula. Ini membuat Ki Tunggal kaget. Dalam hatinya dia berkata: wah, anak ini sudah seilmu denganku”. Ki Tunggal menghambur dengan auman lagi, tapi Gumara tegak kokoh dan mencakar mukanya dengan gerak diam tegak lurus. Setelah dia cakar dia pegang sebelah kaki lawannya dan dia banting. Tubuh Ki Tunggal melintir bagai gasing lepas tali! Gumara menggeram. Ki Tunggal menyeringai dan bangun lagi yang kali ini cepat menyergap lengan Gumara dan dibantingnya dalam sedetik itu juga. Debu lantai menguap ke udara. Tapi seketika itu pula ketika satu sodokan mencakar mau mengenai muka Gumara, Gumara pun menyergap pergelangan tangan Guru Besar itu dan membantingnya sedetik itu pula. Debu menguap lagi. Tapi Senik terpaku penuh pesona. Dia mengagumi suaminya maupun Gumara. “ Gumara lalu meringankan tubuhnya agar apabila dia kena serangan apapun, resiko remuk tidak dialami. Ketika dia melihat Ki Tunggal menjungkir dengan satu telapak tangan ke lantai, ia sudah terka bahwa satu kaki Guru itu akan menerjang dadanya. Jika ini dibiarkan tendangan itu akan merupakan hantaman telapak kaki yang bisa muntah darah. Untuk itulah analisa sedetik Gumara membuat dia mengosongkan udara di perutnya seraya mengangkat tubuh satu hasta. Tendangan telapak kaki yang miring itu tepat mengenai perut Gumara. Yah, dengan ringan perut Gumara menahannya, sementara saking kencangnya tendangan Guru Tunggal itu ... tubuh Gumara terlempar, menghantam dinding nipah yang tebalnya sejengkal Dinding itu jebol, dan Gumara terlempar keluar. Dia melakukan salto, berjumpalitan di atas rumputan di depan padepokan Ki Tunggal. Tapi seketika salto itu berekhir dengan kedua kakinya berdiri tegap menghadap, muncullah Ki Tunggal keluar dari pintu. Dengan telapak tangan keduanya ia hadapkan kedepan serta tenaga dalam yang diolah dari pusar lewat puncak kepala lalu terhembus lewat mulutnya, terhembuslah gelombang udara panas dan mulut itu dengan kecepatan bintang pindah. Ki Tunggal menahan panasnya wajahnya terkena radiasi yang ia tahu datang dari mulut Gumara. Tokoh tertua yang pernah dikagumi oleh enam manusia harimau dari Kumayan ini terus bertahan menahan panas. Begitu panasnya radiasi gelombang yang dihembuskan mulut Gumara, hingga tampaklah asap pada kumis dan Janggut Ki Tunggal. Kumis dan janggutnya hangus kini ... Tapi beliau tetap tegak dengan pertahanan tenaga dalam. Juga tenaga ini bersumber pada sari nafas yang diolah dari puser-puser. Begitu padatnya perang terhalus ini, sampai ubun-ubun Gumara menciptakan ucapan asap, dan ubun-ubun Ki Tunggal pun mengepulkan asap. Ketika pertempuran dalam diam beginilah Senik Makuto mulai ngeri Kalau tadi dia terkagum-kagum oleh pertempurangaya persilatan yang berupa gerak anggauta tubuh, kini wanita muda usia itu bukan lagi terkagum. Senik ngeri! Senik ingin berteriak tapi lidahnya kelu saking tegang. Pada puncak ketegangan tempurgaya hening begini, maka hujan gerimis pun turun. Baik Ki Tunggal, maupun Gumara sama menahan nyeri. Kepala mereka ibarat kekenceng besi dijerangan yang tiba-tiba diguyur air. Ssssssssssss….. Suara itu sama muncul dari kepala Gumara dan Ki Tunggal, desis kehangusan mengerikan... Kekerasan hati adalah modal bagi seorang juara, itulah yang diperlihatkan oleh gerak diam Gumara maupun Ki Tunggal! Hujan gerimis berubah menjadi hujan deras, diselang seling oleh petir menyambar. Satu petir yang amat dahsyat yang menciptakan garis lurus kilatan listrik bergemuruh. Garis listrik itu memanjang jelas dari utara ke selatan, menciptakan bekas yang jelas. Garis petir itu seakan-akan dibagi dua yaitu jarak tiga meter ke Gumara dan tiga meter ke Ki Tunggal. Garis petir itu telah membedah hutan belantara melampaui dua bukit ke selatan. Pada bukit yang ketiga, Bukit Rotan. ujung garis petir itu menghantam satu-satunya pohon kelapa. Di sini menggelegarlah puncak suara dahsyat! Harwati melompat dan sekelebatan sudah berdiri depan rumah jeraminya. Matanya melotot melihat pucuk pohon nyiur yang terbakar, begitupun batang pohon nyiur itu kelihatan seperti gagang obor. Biar hujan lebat, api yang membakar pohon kelapa itu tidak padam. Api itu bagaikan api yang bertenaga nuklir dengan sulutan minyak bensol gas berdaya bakar tinggi. “Adaperistiwa besar, Guru!” teriaknya pada Ki Rotan yang juga muncul dari rumah jeraminya. “Apa pendapatmu!” teriak Ki Rotan. Harwati berlari di tengah hujan dan petir itu menuju pondok jerami gurunya. Dalam basah kuyup itu dia berkata; “Aku mengikuti kejadian ini sejak awal. Sekarang ini malam Selasa, Hujan akan tak berhenti selama tiga bulan mendatang. Kulihat bola api bagai bergulingan dari langit, jatuhnya tepat kira-kira di Bukit Tunggal di utara. Lalu bola api itu membentur kawasan Ki Guru Tunggal, menciptakan garis lurus ke wilayah kita ini setelah membakar dua bukit perantara; “Ah, aku yakin sedang terjadi pertempuran silat besar antara dua raksasa disana !” “Siapa kira-kira yang melakoni perang dahsyat ini?” tanya Ki Rotan. “Ayahku pernah menceritakan bahwa suatu kali bola api akan turun dari langit, jatuh di ubun-ubun Bukit Tunggal. itu lambang perebutan ilmu dan yang akan bertanding disana adalah turunan Ki Karat. Ya, turunan ayahku! Kurasa Ki Gumara sekembali dari sini lewat ke Bukit Tunggal itu, padahal itu pantangan. Disana dia akan dicegat Ki Tunggal yang iri hati, lalu bertempurlah kakak tiriku dengan beliau. Tapi... bukankah ayahku berkata bahwa turunannya yang akan menang? Aku inikan turunan Ki Karat?” Mendengar kisah Harwati itu, Ki Rotan berkata bersemangat pada muridnya: “Ayoh, Ki Wati, segera langkahi dua bukit itu supaya kau sampai ke Bukit Tunggal. Kau ganggu pertempuran dua orang itu! Kau jadi orang yang ketiga! Tipu keduanya, dan habisi keduanyal Bukankah kau yang akan jadi pemenang? Bukankah kau yang dimaksud ayahmu sebagai pewaris ilmu tertinggi itu?”. Ucapan sang Guru yang biarpun kini ilmunya lebih rendah daripadanya. membuat Ki Harwati bergelimang gelora bakaran semangat. Dia tak menuggu waktu setelah berkata: “Ki Guru benar!” “Kau telah membuktikan bisa mengambil sekeping ilmu stanggi Ki Pita Loka. Kini ambillah ilmu Ki Tunggal atau Gumara atau gabungan dari keduanya bila kau bisa membinasakan dua-duanya!” “Baik Ki Guru!” “Bawa tongkatmu!” kata Ki Rotan. Ki Harwati hanya tersenyum dalam hati, sebab senjata rotan itu sudah tak ada perlunya lagi. Dia berkelibatan dengan lincah melompati dahan demi dahan. Sampai subuh tiba dia masih berlompatan dari dahan ke dahan dalam rimba-rimba ke arah utara. Setelah dua setengah kali bola matahari bergelincir, pada siang bolong yang gemercik hujan gerimis, sampailah dia di tengah Bukit Tunggal. Matanya menyelidik. Dia tak melihat, bahwa di bawah satu pohon kemumu Ki Tunggal sedang duduk bersila seraya menghembuskan radiasi bertenaga neutron ke arah Gumara yang juga duduk bersila, dengan hembusan tenaga radiasi yang berkekuatan seimbang. Tampak sinar hijau berganti merah silih berhembus dari dua mulut jawara itu ... tapi Ki Harwati tak melihatnya, sehingga ketika dia melintasi gadis itu ... dia merasa terbakar dan berteriak seraya melompat, melolong kesakitan bagai anjing betina kena sulut. Waktu dia melompat mundur dan mundur sangatlah jelas oleh matanya dua perkelahian secara hening sedang terjadi. Nasehat gurunya dia laksanakan. Dia mendekati tempat Gumara duduk bersila di bawah pohon kemuning dan berseru lantang: “Aku membantu anda, kakakku Ki Gumara!” Teriakan ini membuat Ki Tunggal terkejut dan melompat menyiapkan kuda-kuda mempertahankan diri. Dengan sekelebatan bagai angin puting beliung, Ki Harwati sudah menyerbu menabrak membenturkan telapak kakinya, tepat mengenai dada Ki Tunggal. Seketika itu juga Ki Tunggal muntah darah ...! Menyaksikan Ki Tunggal roboh, Ki Harwati jadi kesetanan. Dengan mata bernyala dia menoleh pada Gumara. Gumara merasa senang karena adik tirinya, satu titisan darah, bisa merubuhkan Ki Tunggal. Dengan basah kuyup dan juga dikuyupi keharuan jiwa, dia berdiri melangkah menuju Ki Harwati. Tetapi tanpa dia duga Harwati melompat dengan terjangan yang lebih dahsyat dari terjangan pertama. Untunglah sebelum telapak kaki adik tiri yang akan menggedor dadanya itu sampai, Ki Gumara menghembuskanya dengan napas inti, sehingga Harwati berteriak melolong! Telapak kaki sang adik tiri itu bolong seketika! Dia terus melolong. Rupanya sementara peristiwa ini terjadi. Ki Tunggal sudah bangkit kembali setelah dia sadap dengan hirupan seluruh darahnya yang sudah tumpah dari mulutnya tadi. Dengan gerak puting beliung dia sekaligus menyabet tubuh Harwati hingga terlempar masuk ke rumah nipah dan menjebol dinding yang lebarnya sejengkal itu. Sekaligus pula sabetan itu menabrak tubuh Gumara yang langsung terpeleset dan meluncur bagai meluncurnya bola bowling. Tubuh itu menabrak tiga pohon kelapa yang tumbang sampai akar-akamya mencuat, dan terakhir menabrak lagi satu pohon kecapi yang amat tinggi. Pohon ini juga tumbang. Bunyi pohon besar itu bergemuruh ke tebing di bawah. Dan Gumara meluncur jatuh memasuki tebing yang tingginya 80 meter itu. Untunglah tubuhnya nyangsang di sebuah pohon miring yang tumbuh di tengah tebing itu. Rupanya ikat pinggang Lee yang dia pakai itulah yang menyelamatkanya dari kehancuran. Sungguh hebat ilmu Ki Tunggal, fikir Gumara. Pujian itu memang sungguh-sungguh. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ki Karat, ayahnya, maupun Ibunya. Tapi di balik pujian itu, sembari terengah-engah menuruni tebing lewat batu-batuan raksasa itu. Gumarapun sebenarnya tidak begitu silau pada kehebatan Ki Tunggal. Ilmunya baru dirasakan istimewa justru dalam memanfaatkan perkelahian segitiga. Yaitu setelah munculnya Ki Harwati secara mendadak. Jika Harwati tidak muncul mungkin keadaan akan sangat lain. Tetapi, baru ia ingat nasehat gurunya, bahwa perkataan “jika” bukan milik seorang ksatria. Gumara masih terengah-engah. Tentu saja perkelahian dengan Ki Tunggal itu bukan sembarang perkelahian. Itulah perkelahian dua malam tiga hari yang mungkin belum pernah dialami oleh seorang Jawara manapun. Tetapi dirasakan hebat karena masing-masing tidak menghadirkan harimau karena kuatir saling mengetahui kelebihan dan kekuranganya. Dalam lelah itu, Gumara duduk di batu. Rupanya musim penghujan sudah mulai. Jauh disana , tampak Bukit Kumayan seperti mengepulkan kabut. Jelaslah itu pembalikan sinar matahari atas hujan yang sudah menderas disana . Tapi di tempat Gumara duduk ini, dia tidak basah. Padahal gerimis ada di sekelilnginya!!!!! Gumara berdiri tegak dengan kaget? Dia heran! Hanya di seputarnya saja tiada gerimis? Ini tentu ngalamat! Ini tentu suatu pertanda, pikinya. Jarak tujuh langkah dalam radius titik sentral dia berdiri itu, benar-benar seluruhnya kering!. Biasanya dia mendapatkan suatu ngalamat lewat mimpi. Kali ini tidak seperti biasanya. Mengapa? Lalu munculah seorang tua yang pakaianya lusuh. Tongkatnya yang bercabang dua pertanda bahwa orangtua tak dikenal ini adalah orang yang bukan manusia biasa. Pasti ada isi. Kesan Gumara orangtua berjanggut putih dengan jubah lusuh itu menampilkan watak pribadi berwibawa. Beliau memanggil tuan guru kepada Gumara. “Maaf Pak Tua. Saya bukan tuan guru. Saya memang guru, tapi guru SMP yang melihat keindahan alam di sini karena sekolah sedang libur kwartal”, kata Gumara dengan berendah hati. Namun orangtua itu tersenyum bijaksana. Gumara memperkenalkan diri lebih dulu, kemudian bertanya: “Pak tua namanya siapa. Pak?” “Nama saya Ibrahim Arkam. Saya telahlima puluh tahun ingin mempertinggi ilmuku. Tapi seluruh penjuru yang kucari, tidak bersua”. “Apa yang Bapak cari. Pak Ibrahim?” tanya Gumara sopan. “Kitab.” “Kitab apa. Pak Ibrahim?” “Sebuah kitab sakti. Kitab Makom Mahmuda”, ujar Ibrahim tua. “Saya tak pernah mendengar nama Kitab itu!” kata Gumara. “Tapi andalah calon yang menemukanya”. Kata Ibrahim Arkam, Gumara tercengang. “Apa isi Kitab itu?” tanya Gumara. “Rahasia Kehidupan. Anda akan mengetahuinya jika sudah membacanya. Kehidupan ini penuh banyak rahasia. Tapi jika kita sudah menemukan satu kuncinya. kita mendapatkan derajat tinggi!” Ibrahim Arkam lalu mengulas ucapannya lagi: “Kau lihat, bukti bahwa kau terlahir sebagai anak sakti adalah ini. Di sekitarmu ini. Lihat, selingkaran tempat kau berdiri ini tidak terkena hujan. Bajumu kering. Sedengkan bajuku basah kuyup. Ini berariti aku sudah cukup puas bertemu seseorang yang kelak akan mewarisi Kitab sakti Makom Mahmudah itu”. “Kenapa harus saya?” tanya Gumara, “Bukankah Bapak mengembara selama ini untuk mencari Kitab itu?” “Memang begitulah jalan Nasib. Bukankah yang itu yang aku inginkan? Tuhan sendiri pernah berujar: “Apa yang kau sukai belum tentu engkau dapatkan. Dan apa yang engkau dapatkan belum tentu kau sukai. Tapi apa yang engkau sukai belum tentu baik bagimu”, maka aku cukup puas mengembara hingga titik akhir ini! Bila misalnya Kitab Sakti itu, yang aku sukai itu, aku dapatkan, belum tentu itu BAIK UNTUKKU. Tapi kau? Aku tahu kau tidak mencari-cari dengan ngoyo untuk mendapatkannya. Namun akhirnya kau yang akan mendapatkannya”, kata si tua Ibrabim Arkam pun kelihatan matanya berkaca-kaca. “Tapi kenapa Bapak begitu yakin bahwa sayalah orangnya yang terpilih mendapatkan Kitab Sakti itu?” “Guruku banyak. Salah seorang di antaranya adalah Ki Tunggal yang menjadi penguasa Bukit Tunggal disana . Setidaknya calon pemilik Kitab Sakti itu biarpun cuma sekali saja, akan pernah bertemu dengan dia”. Sungguh kagum Gumara dengan ramalan yang memang ada bukti itu. “Ki Tunggal yang telah memberi tahu kepadaku, bahwa calon pemilik Kitab Sakti itu harus memiliki tiga unsur kekuatan: Kekuatan benda padat, kekuatan benda cair dan kekuatan gelombang, apa itu udara, cahaya ataupun gas yang bermutu tinggi. Bersyukurlah kau. Mari singgah ke pondokku”. Ujar Ki Ibrahim Arkam dengan ramah dan hormat. Dia ramah dan hormat karena dia telahlima puluh tahun ingin mendapatkan Sang Kitab. Tapi tenyata dia jumpa muka dengan calon pemilik syah kitab tersebut, sesuai dengan ramalan bekas gurunya. Pondok yang dimaksud lelaki tua yang berwibawa ini, tenyata satu lobang di sebuah tebing. Tak ada tangga untuk sampai ke lobang itu. Gumara keheranan karena dengan acuan tiga langkah dan dua telapak tangan si tua bertelekan pada permukaan tanah mendadak dia sudah jumpalitan bagai orang bersalto. Seketika itu juga beliau sudah sampai dekat pintu lubang dinding tebing itu. Dari atassana . Ki Ibrahim Arkam berseru pada Gumara yang masih ada di bawah: “Hoi pendekar muda, naiklah ke sini”.   “Bagaimana caranya, Pak Tua?” tanya Gumara. “Ah, kau jangan bercanda, anak muda”, kata Ibrahim Arkam. Gumara lalu merayap saja di dinding tebing itu seperti seekor cicak. Setiba dia di atas, Ibrahim Arkam menepuk-nepuk bahunya: “Tambah yakin aku bahwa kau yang akan menjadi pewaris Kitab Makom Mahmuda itu, setelah satu abad terlepas dari tangan Syekh Turki”. “Ah, jangan besar-besarkan hatiku. Pak”. kata Gumara. “Aku tak berdusta anak muda. Cuma tiga orang yang berasal dari Kumayan yang memiliki ilmu cicak. Pertama Syekh Turki. Kedua Ki Karat, ayahmu. Dan kini engkau yang ketiga”, ujar Ibrahim Arkam dengan sopan. Lalu dibawanya Gumara memasuki rumah “di dalam tebing” itu. Segalanya amat di luar dugaan. Rumah dalam tebing itu mirip guha. Kesamaannya dengan Guha Lebah tidak ada sama sekali. Kebersihan dalam “rumah kiayi tua” ini amat luar biasa, Beliau berkata setelah Gumara memuji kebersihan, katanya: “Sesuai dengan hadis Nabi, kebersihan itu sebahagian dari Iman”. Adadua obor yang terbuat dari kayu belahan pohon karet. Begitu Gumara menoleh, dia melihat ada semacam kuburan. Dua kuburan malah. Namun sebelum Gumara bertanya. Ibrahim Arkam menjelaskan; “Itu kuburan istriku, yang wafat 50 tahun yang lalu. Menjelang pengembaraanku mencari Kitab. Dan satunya lagi, kuburan anak lelakiku, yang terbunuh oleh ilmu setan Ki Rotan. Dua-duanya akulah yang memasukkannya ke liang kubur. Tapi jika aku mati, kuharap seorang calon Pendekar Besar yang memasukkan diriku ke liang kubur!” “Siapa calon Pendekar Besar itu, Pak?” tanya Gumara. Orangtua itu melirik tepat ke muka Gumara seraya berkata:: “Anda!” “Siapa tahu saya yang duluan mati, Pak”, kata Gumara. “Tidak. Ketetapan itu sudah tiba. Guruku yang terakhir. Ki Sabda, pernah menyatakan padaku begini: Mungkin kau yang akan mendapatkan Kitab Makomam Mahmuda itu. Mungkin juga tidak. Tanda-tandanya tidak adalah, jika kau temukan seseorang pengembara yang bahkan hujan pun takut membasahi dia, seorang yang rendah hati, setelah bersua dengan orang itu, ikhlaslah, lalu bersiaplah untuk mati”. Mata Ki Ibrahim Arkam tampak berlinang. Gumara tak habis heran, dan sebetulnya sudah yakin. Tapi bagaimana mungkin seseorang meramalkan kematianya” Bukankah mati itu rahasia Tuhan? Tapi kesempatan ini ingin digunakan oleh Gumara. Dulu ia pernah membaca buku semasa masih Sekolah Guru Atas (SGA). Ia lupa nama pengarangnya.Tapi ia tidak lupa pesan pengarang itu yang berfatwa: “Berguru kepada orang yang hidup itu baik, tetapi berguru kepada ORANG YANG AKAN MATI itu lebih baik!” Jika benar Ibrahim Arkam akan mati, ia siap untuk berguru kepadanya. Pertama setelah dia dijamu minuman tebu yang sudah diperas, ia ingin bertanya, di manakah Ki Ibrahim Arkam medapatkan tebu. Lalu, kedua ketika tengah hari dia disuguhkan makan siang dengan hidangan singkong rebus. Dia bertanya dalam hati, dari manakah Ki Ibrahim dapat singkong rebus. Setelah makan siang itu, dia mengikuti bersembahyang lohor. Tapi ya Allah, betapa orangtua ini lamanya berdiri membaca ayat-ayat Kitab Suci Al-Quran. Juga betapa lama dia rukuk dan sujud. Apakah yang dibaca guru tua ini ketika berdiri, rukuk dan sujud?” Ketika Gumara melihat tumpukan singkong-singkong yang sebesar paha tak tahan lagi Gumara bertanya: “Dimanakah tuan guru membeli singkong ini?” “Di tanam sendiri”. “Tebu-tebu itu?”. “Juga hasil kebun tebuku” “O, mana kebun anda?” “Di sini. Di sini”, ujar pak tua itu menunjuk tempat mereka duduk. Gumara tercengang. Tapi sebelum dia bertanya lagi, orangtua itu mengajak Gumara menuju satu lorong. Tiap tiga meter ada obor kayu karet. Lalu tampaklah sebuah kebun. Bayangkan! Kebun di bawah tanah. Rupanya ada terowongan raksasa peninggalan Bala Tentara Jepang yang sudah diperlengkapi dengan gardu-gardu listrik. Dan kebun di bawah tanah ini benar-benar subur. Tenyata tebing itu tembus menghadap ke timur. Setidaknya sampai jam 10 pagi kebun di bawah ini sudah menikmati cahaya matahari secara total. Tinggi terowongan ini adalah 10 meter. Jadi pohonan seperti pohon singkong dan pohon tebu tidak akan sampai menjangkau langit-langit terowongan Jepang ini. Gumara sampai geleng-geleng kepala. Kalau sekiranya orang melihat dari arah timur, orang takkan percaya di sini ada kebun di bawah tanah. Paling yang tampak hanya kehijauan biasa saja... Keheranan Gumara rupanya tidak akan berhenti di situ saja. Ki Ibrahim Arkam menyeret lengan Gumara ke sudut tenggara. Ternyata di situ ada semacam pintu beroda. Ketika pintu beroda itu didorong Pak Tua itu, terbukalah satu ruangan. Alangkah terkejutnya Gumara! Bukan main! Satu ruangan yang indah dengan dekorasi rumah-rumah bangsawan Japang. Wallpaper yang menghiasi ruangan itu merupakan dekoratif khas Jepang. Tempat tidurnya pun tingginya cuma sejengkal. Di timur, di barat ruangan yang mirip kamar hotel ini, ada kaca setebal satu sentimeter. Kaca ini benar-benar berfungsi sebagai jendela yang akan menyerap sinar dan ultra violet matahari. Tak bisa dibayangkan jika malam, kebetulan Bulan Purnama! Adapula wastafel dan kran-kran air ledeng. Juga ada kamar mandi. Maka yakinlah Gumara mengapa Ki Ibrahim Arkam ini terawat bersih. Di kamar mandi ada persediaan biji-biji buah klereg, yang bisa berfungsi sebegai sabun.   “Bisa mandi di kamar mandi ini, Pak?” tanya Gumara. “Lho bisa saja. Kalau puteran itu (maksudnya kraan) diputar, maka akan keluar air. Setelah aku selidiki, air ini datangnya dari pipa yang menembus dua bukit. Air ini datangnya dari air terjun Ratu Stanggi!” “Ratu Stanggi!” seru Gumara tercengang, karena baru mendengar nama itu. “Kamu baru mengenal nama itu?” tanya Ki Ibrahim Arkam. “Baru kali ini. Ayahku pun tidak pernah menceritakan, Pak”. “Supaya kau kelak menyaksikannya sendiri, lalu merasa heran. Ratu itu sebetulnya Ratu Jin yang sepertinya bertugas sebagai saringan bagi orang-orang yang akan menjalani keutamaan hidup”, kata Ki Ibrahim Arkam. Gumara kini lebih tertarik untuk memutar kraan. Memang muncratlah air dari atas. Saking girangnya Gumara tak membuka baju kemeja putihnya maupun celananya, bahkan dia berbasah-basah kegirangan menikmati air bersih! Ki Ibrahim menyembunyikan perasaan gelinya. Adahanduk yang bersih berjajar, sekitar 12 buah. Kiranya melihat handuk ini berukiran motif Dai Nippon, tentulah ini persediaan Perwira Jepang yang melarikan diri ke sini. Lalu Gumara pun diberikan satu stel pakaian Tentara Jepang. Dengan demikian, ketika dia mengenakannya, dan melihat dirinya sendiri di kaca. hanya rambut gondrongnyalah yang kurang cocok dalam pakaian militer ini. “Masih ada satu soal lagi”, kata Ki Ibrahim. “Apa, itu Guru?” “Di sudut itu aku bersembahyang tahajud apabila malam mulai mendekati dinihari”. Gumara terpana. Hanya lewat Ki Putih Kelabu dia pernah mendengar anjuran bersembahyang tahajud. Kini dari Ki Ibrahim yang tua dan bersih ini. “Kalau begitu boleh saya amalkan sembahyang tahajud di sini?” tanya Gumara pada ki tua. “Ah, kau jadi tamuku. Kau akan kulengkapi dengan pelbagai kebutuhan selama menjadi tamuku. Asal saja kau bersedia menguburkanku di samping kuburan isteriku. Dan jangan sekali-kali engkau kuburkan aku di samping orang-orang itu!” Ki Ibrahim menyingkapkan satu tirai berupa gorden panjang. itu bukan ruang biasa. Dan itu hanya semacam terowongan kasar saja. Tapi ketika memegang obor mengajak Gumara memasukinya, Gumara heran sekali. Ternyata ruangan ini semacam kuburan.Ada dua belas pedang samurai ditancapkan di tiap-tiap kepala kuburan-kuburan itu.   “Siapa mereka Ki Ibrahim!” tanya Gumara. “Mereka Perwira Jepang yang bersembunyi di sini. Aku sedang tergila-gila mencari Kitab Sakti itu, sampai kesasar memanjat dinding tebing yang menghadap ketimur itu ... kebun singkong itu ... lalu kutemui seorang Tentara Jepang siap dengan pedang samurai. Kami berhadapan. Aku sedang dalam tingkat ujian kekebalan ilmuku. Kulawan serdadu yang bersenjata pedang samurai itu. Cukup lihay dia ... Tapi ketika muncul seorang lagi dan seorang lagi sampai semuanya 12 orang, aku tak mungkin mundur lagi. Kurebut senjata mereka, dan kutebas leher mereka satu demi satu. Pada hari itu juga aku harus menggali 12 kuburan sampai lepas dinihari berikutnya. Lalu aku kubur mereka, dan kutemukan pintu dorong kamar rahasia itu!” Dan si tua bersih itu kemudian berkata: “Akhir cerita, mereka semua mati seperti setan. Mati yang mengerikan, nak Gumara”. Gumara tambah betah. Tetapi dalam kepalanya tak sebagaimana biasa berisi pertanyaan dan keheranan. Dan malam itu dia menginap di kamar yang indah itu. Ketika ia terbangun di tengah malam, ia tiba-tiba merasa ngeri. Dilihatnya Ki Ibrahim tidak berada di sebelahnya. Oh, ternyata beliau sedang bersembahyang tahajud. Gumara lalu bangun dan menuju kamar mandi. Dia berwudhu. Dan ikut melaksanakan sembahyang tahajud tanpa setahu Ki Ibrahim, sebab dia mendirikannya di sudut lain. Gumara mulai lelah. Jika diikuti amalan sembahyang tahajud Ki Ibrahim maka dia akan teler. Dia cuma sanggup satu jam saja. Tak bisa dibayangkan, betapa konsentrasi kiayi tua itu amat hebatnya. Gumara sudah melihat fajar menyingsing dari kebun timur, kembali ia ke ruangan indah mendapati Ki Ibrahim masih bersembahyang. Dan setelah itu, Ki Tua ini memanggil Gumara. “Mari ikut bersama saya bersembahyang f ajar” katanya. Lalu ikutlah Gumara selaku makmum yang diimami oleh Ki Ibrahim, melakukan sembahyang fajar. Ternyata sembahyang dua-dua rakaat itu belumlah dihabisi sang imam ketika beliau berkata: “Waktu subuh tiba. Ikutlah bersama mendirikan sholat subuh!” Begitulah, selaku tamu yang dihormati. Gumara mengikutinya. Tak lama setelah itu. Gumara mendengar kata-kata si tua: “Nak, ingin sekali aku melihat permainan silatmu”. “Dengan senjata?” tanya Gumara. “Tidak usah. Kau toh kuketahui orang hebat. Aku hanya ingin melihat jurus-jurus permainanmu. Hanya sebagai hiburan bagiku yang sudah dekat ajal”, kata si tua. Gumara lalu mengambil tempat. Dia bersila dengan hadap duduk yang menghadap langsung Ki Ibrahim, dalam jaraklima meter. Lalu dengan kedua telapak tangan yang dirapatkan dan melipat ke dada, Gumara menghatur sembah. Dia membuka “permainannya” dengan tarikan sembah ke kening, lalu telapak tangannya terkembang ke samping, dan dalam sekelebatan dia buka kedua kaki dan berdiri merentak dengan satu “tantangan”. Tantangan itu diterima oleh Ki Ibrahim dengan satu serbuan tendangan ke arah jidat Gumara, tetapi Gumara mengelak sehingga kaki Ki Ibrahim dipanggul di bahu Gumara, lalu Gumara banting orang tua itu sampai dia jumpalitan saperli salto ke sudut pintu kamar mandi. “Sudah, cukup segitu”, ujar si tua dengan nafas ngos-ngosan. “Aku baru mulai”, kata Gumara. “Aku sudah selesai”, ujar si tua, “Yah memang engkaulah pewaris Kitab Sakti itu ... karena perkelahian singkat tadi kau lakukan tanpa main-main”. Lalu si tua itu mengajak Gumara ke kebun. Rupanya disuruh ikut menggali ubi dan menebang tebu. Itulah sarapan pagi mereka berdua. Minuman air tebu. Dan makan singkong rebus. “Bolehkah saya malam nanti diperkenankan tidur sendirian?” “Di mana?” “Di kebun. Malam ini saya merasa tak ingin tidur ditemani anda”, Ujar Gumara. Ki Ibrahim Arkam tersenyum meyakinkan, lalu berkata; “Begitulah ujar Guru saya yang kini saya temui buktinya. Katanya: “Hai putra Arkam, jika kau temui seorang lelaki yang suka berterus terang, jika perlu melukai perasaan orang lain demi keinginannya yang sudah matang, dialah calon Pendekar Besar” ... dan nyatanya kau jadi tamuku, tapi kau minta syarat tidurmu tak ditemani dan yang kau pilih adalah kebunku. Kupersilahkan kau menyatakan apa saja, melakukan apa saja. Kau di sini bukan lagi tamu buatku!” Hal itu menyenangkan hati Gumara. Siang itu juga dia melakukan latihan yang ia sendiri tak mengetahui kenapa harus demikian. Tak ada bisikan, tak ada pembimbing, kecuali ingin melakukan “permainan” saja. Dan hal ini tanpa dia duga diperhatikan oleh Ki Ibrahim. Latihan itu cuma melompat dan melompat ke segala penjuru, di antara pohon singkong dan pohonan tebu, tanpa kesenggol sedikitpun dengan daun maupun batangnya. Ternyata selama dua jam dia harus menguras keringatnya yang berleleran sampai ketika tiba-tiba ia kaget satu benda seperti dilemparkan oleh seseorang kepadanya. Dan ternyata benda itu sebuah keris trisulo, yang saat melayang langsung dia tangkap, dan kembali melompat ke permukaan tanah dan tidak menyenggol daun tebu atau singkong. “Hadiah dariku untukmu”, ujar Ki Ibrahim Arkam di balik rumpun tebu yang di pinggir. Gumara tercengang, dan amat bahagia setelah mendengar pujian: “Aku senang permainanmu, nak Gumara. Sekiranya rumpun tebu dan singkong ini adalah susunan benang kusut kayak sarang laba-laba, maka satu benangpun tidak akan tersentuh ketika kau melompat ke segala penjuru!” “Pujian tuan dapat membuat saya kesasar”, kata Gumara. “Tapi tiap orang menuntut ilmu, pasti akan mengalami kesasar. Besar atau kecil. Ingatlah itu”, ujar Ki Ibrahim. Sampai sehabis selesainya sembahyang iesya di belakang imam Ibrahim Arkam, Gumara pun akhirnya menghatur sembah; “Kuharap maaf tuan, karena malam ini aku sudah katakan ingin tidur sendirian di kebun tuan”. “Kupersilakan dengan senang hati”, ujar Ki Ibrahim. Latihan permainan yang tak direncanakan tadi siang rupanya membuat Gumara tidur lelap di antara pohon singkong yang berdaun rimbun itu. Tak ada penerangan, tapi juga tak ada nyamuk. Gumara dalam keadaan ngorok lalu terjaga dengan tiba-tiba. Karena ia mendengar seperti bunyi benda gemerincing. Bulu romanya merinding, tidak sebagaimana biasa. Perasaan takut yang amat sangat- yang bukan menjadi ciri kebiasaannya - kini membuat dia seperti seorang penakut yang bulu romannya meremang, merinding tegak! Gumara mendengar lagi suara gemerincing itu. Mendadak secara mengerikan, kedengaranlah suara dari dua belas penjuru secara menggemuruh: “Banzaiii Tenno Heika! Banzaaaaai!” Dalam gelap itu Gumara mendengar suara gemerincing pedang, kadang kilatannya karena masih ada sejumut cahaya langit dari timur kebun itu. Kilatan pedang itu membabi buta, dan Gumara sudah melihat dua belas lawannya pada posisi mata angin, Mereka tegap dan berpakaian perwira Tentara Jepang. Tapi semuanya tidak berkepala. Tampaknya duabelas manusia tak berkepala itu penakut. Tak ada kesan mereka akan menyerbu. “Setan”“, gerutu Gumara sambil merebahkan diri lagi. Tetapi teriakan Banzai mendadak terdengar lagi disertai gemerincing pedang. Gumara berdiam diri saja. Teriakan itu semakin hebat dan gemerincing pedang semakin mendekat. Dan Gumara hanya berpeluk lutut saja, tanpa mengacuhkan musuh-musuhnya, Gumara sudah diberi patokan, bahwa dia tidak diperkenankan melawan setan. Namun teriak dan gemerincing pedang semakin lama membuat Gumara semakin marah, sehingga dia melompat dari tidurnya seraya berteriak: “Kamu bangsattt!!!”“ Teriak Gumara sempat membuat terdongak Ki Ibrahim yang baru selesai dari sembahyang tahajudnya. Sementara itu Gumara dengan kemarahan yang amat sangat melakukan pertempuran habis-habisan merebut pedang samurai seluruhnya. Dan dengan dua belas pedang yang silih berganti dia mainkan itu dia membabat musuhnya yang tunggang langgang. Dan ketika mereka sudah menghilang, Gumara heran mengapa dia menggenggam enam pedang samurai di tangan kanan, dan enam di tangan kiri. Keajaiban memang sering dia alami. Ketika dia permisi lewat di ruangan tahajud Ki Ibrahim dia ingin membuktikan apakah tadi perkelahian konkrit ataukah mimpi. Dia buka tirai keruangan kuburan itu. Samar-samar ditelitinya. Tak ada satupun pedang tertancap disana sebagai nisan perwira-perwira Jepang itu. Lalu Gumara mendengar ucapan Ki Ibrahim: “Tancapkan saja 12 pedang itu kembali, di tempat semula”. Selesai Gumara menancapkan setiap pedang pada tiap kuburan itu, begitu dia masuk keruangan tahajud, didengarnya Ki Ibrahim Arkam berkata: “itulah kerjaan setan perwira Jepang yang sudah mati itu. Mereka mengira kamu tamu biasa.” KEMUDIAN Ki Ibrahim Arkam menjelaskan bahwa dia sering terbangun apabila muncul gangguan dari tamu-tamu tak diundang itu. Keramahan, kemurahan hati menceritakan pengalamannya, membuat Gumara betah hidup berdampingan dengan orang tua itu. Pada hari ketujuh, Ki Arkam bertanya: “Tadi malam, apakah anda bermimpi?” “Ada”, sahut Gumara. “Jangan lupa mencari takwil mimpi anda itu. Dan jangan katakan kecuali jika aku minta”, kata Ki Arkam. Gumara merinding sesaat. Sekiranya dia ceritakan mimpi itu, atas permintaan Ki Ibrahim Arkam, maka pastilah orangtua itu akan terkejut. Dan ketika Gumara memasuki tiga minggu sebagai tamu Ki Arkam pada suatu pagi seraya menikmati sarapan singkong rebus dan air tebu, bertanyalah dia pada Gumara; “Adamimpi semalam?” “Ada”, sahut Gumara. “Karena tadi malam pun aku bermimpi tentang anda, coba kita bertukar kisah mengenai mimpi masing-masing”, kata orangtua itu. “Mimpi saya tentang diri anda”, kata Gumara. “Justru karena itu, mimpi saya pun tentang diri anda”, kata Ki Ibrahim Arkam seraya senyum. “Selama di sini, saya dua kali bermimpi”, kata Gumara “Mimpi manakah yang tuan guru kehendaki?” “Mimpi yang pertama akupun sudah diberitahu, tapi mimpi yang kedua justru yang saya tak tahu”, kata Ki Ibrahim Arkam. “Saya didatangi oleh orangtua bersorban, lalu dia mengatakan supaya saya berhati-hati terhadap Pedang Raja Turki”. “Oh, itu. Pedang Raja Turki itu terakhir dimiliki oleh Ki Tunggal. Ini takwilnya adalah, anda suatu saat akan terancam oleh Ki Tunggal, muridnya, atau Pedang Raja Turki itu. Lalu apa lagi, nak Gumara?” “Saya akan melihat tengkorak aneh”, kata Gumara. “Itu takwilnya adalah, anda harus hati-hati. Ingatlah kiasan ini; Tengkorak itu mandi tiap hari dengan air yang sama dengan air mandi kita”, Ki Ibrahim bertanya lagi; “Lalu, apa mimpi anda itu lagi?” “Saya diberitahu, bahwa saya akan menemukan lawan seorang yang gemar menggunakan senjata. Dan orang itu kini dalam keadaan dirantai”, Gumara menerangkan, lalu bertanya: “Siapakah dia?”   Ki Ibrahim Arkam dengan tekun memejamkan mata. Dia mencoba mengingat-ingat urutan takwil mimpi yang pernah dituturkan oleh gurunya dulu. Setelah sempurna terkumpul ingatannya: “Limapuluh tahun yang lalu sebelum aku ingin mengembara mencari Kitab Sakti itu, aku pernah diberitahu guruku. Bahwa, calon Pendekar Besar itu akan berhadapan dengan calon-calon yang hebat pula. Antara lain lelaki berantai besi. yang akan memiliki sepuluh ilmu. Lelaki itu bukan dengan sengaja untuk ngelmu. Tapi keadaan terpaksa dia terlibat menjadi seorang pendekar dunia persilatan di sepuluh kawasan. Lalu, apa lagi lanjutan mimpi anda?” “Oh ya, saya terlupa menceritakan awal mimpi. Mimpi itu sebetulnya berawal dari kejadian yang memalukan. Saya menjadi tukang perkosa gadis. Lalu saya merampok harta orang kaya. Lalu saya bertemu dengan seorang wanita cantik yang akan menjadi isteri saya. Barulah kemudian rentetannya tengkorak yang saya kisahkan Pada tuan itu. Kemudian, saya lanjutkan cerita tadi. Saya kemudian betemu dengan seorang pendekar pincang!” “Pendekar pincang?” tanya Ki Ibrahim tercengang, lalu menepuk tangan dengan girang: “Itu murid Ki Tunggal, nak!” “Dan maaf saja ... dialah yang disebutkan orangtua dalam mimpi itu, yang akan membuka rahasia tirai Stanggi”, ujar Gumara. Ki Ibrahim juga terheran-heran setelah mendengar keterangan itu. Padahal dulu gurunya bilang, bahwa seorang lelaki calon Pendekar Besar itulah yang akan mengetahui kunci rahasia tirai stanggi. Pikiran murung ini terjadi pada hari ke-22 dan seterusnya. Pada hari ke-39, si tua itu lebih murung. Dia mengeluh sesak nafas. Dan tiba-tiba saja dia bertanya: “Wahai calon Guru Utama. Katakan padaku mimpimu yang pertama!”. “Tidak cemaskah tuan jika mendengarnya?” tanya Gumara. “Katakan saja”, ujar pak tua itu dengan wajah murung disertai nafas yang sesak. Gumara berkata: “Tiba-tiba saja aku seperti mendapatkan ilham, bahwa yang satu ini tidak boleh kukatakan pada tuan. Maha Pemilik Rahasia adalah Tuhan”. Dan airmata Ki Ibrahim Arkam menggelinding seketika. Butiran airmata berikut menggelinding lagi. Lalu dia berkata; “Tentara Jepang itu meninggalkan pacul, linggis dan sekop di gudang satu lagi, dekat kuburan mereka. Kalau terjadi sesuatu atas diriku, gunakanlah barang-barang itu”. “Ke mana anda akan pergi?”“ “Bersembahyang, itulah kegemaranku”.   Dan. si tua itupun meninggalkan Gumara, sampai sore Gumara tidak melihatnya, begitupun ketika malam tiba. Aneh sekali! Di mana beliau bersembahyang? Di ruangan kamar Perwira Jepang itu tak ada. Dipanggil-panggil, tak menyahut. Kemudian Gumara pergi ke kebun. Juga tak ada. Paginya Gumara mencari lagi si tua itu ke Kuburan Perwira Yang 12 itu. Kali ini dia tertarik pada bunyi pintu yang bergerit. Dia lalu merinding. Pintu bergerit itu agak jauh ke barat daya. Gumara lalu memberanikan diri. Memang ada pintu. Ketika pintu itu dibuka, tampaklah lampu obor kayu karet yang akhirnya menerangi ruangan itu. Itu sebuah gudang, yang penuh dengan macam-macam benda, termasuk pipa listrik dan pipa ledeng. Bahkan ada ban mobil. “Ki Ibrahim ... “, ujar Gumara. Ternyata dia melihat setumpuk kain putih. Bila Gumara mendekat, tampaklah orangtua itu menggeletak di atas tikar sembahyangnya, memegang biji tasbih. tapi sudah tak bernyawa lagi. Dekat tikar sembahyang itu ada sekop besar dan sekop kecil, pacul dan linggis. Itulah isyarat dia minta bantuan Gumara untuk menguburkannya. Setelah orangtua itu dia kuburkan sesuai amanatnya. Yaitu disamping kuburan isterinya. Gumara berfikir apa perlunya lagi di sini? Tanpa ada si tua yang hidup, tak enak di sini. Lalu Gumara pun berlalu. Langkahnya jadi ringan secara aneh. Dia seperti bocah kesenangan setelah meninggalkan padepokan sunyi almarhum Ki Ibrahim Arkam. Gumara gembira, sehabis dia terbangun dari mimpi itu. Tekadnya hendak kembali ke Kumayan, dia batalkan. Dia memutar pandangan untuk. mencari letak Bukit Lebah itu. Tak sulit. Bentuknya mirip sekali dengan payung terkembang. Di selatansana itu. Dia harus kembali menemui Pita Loka, sesuai dengan mimpinya itu! Sebelum dia melangkah, dipetiknya buah kesemek. Dibersihkannya buah yang mirip buah apel itu. Dan setelah dia memakan dua buah, hanya seperempat jalan turunnya matahari, mendadak ada yang meronta dalam diri kasarnya! Ya, keinginan sexual untuk mengawini Pita Loka. Keinginan birahi yang berkobar bagai amukan api yang menyesakkan dada. Dan hal ini membuat Gumara yang tenang itu berubah lincah. Langkahnya cepat. Gumara seakan-akan kembali surut menjadi remaja yang digoda libido. Entahlah bagaimana, rupanya dia tersesat ke sebuah ladang timun. Di luar kebiasaan terdidiknya, kali ini dia tanpa permisi mengambil satu timun dan dilahapnya timun itu dengan lahap. Suara sap-sap-sap menghabisi timun itu membuat dia tak sadar sudah memakan bagian yang pahit. Karena dia melihat satu pinggul wanita yang sedang memetik timun, gairah sexualnya menyala hebat. Apa lagi wanita itu mengenakan kain merah. Terkena sorot matahari pinggul itu bagaikan secara amat halus terbelah dua. Gumara tak menunggu waktu lagi. Dia menuju wanita yang rupanya masih menungging itu. Begitu Gumara menyuruk-nyuruk kuatir tertangkap basah, setiba dekat kaki wanita itu, dia tarik kain merah itu.   Wanita itu terpekik minta tolong. Gumara ketakutan. Dan lebih malu lagi karena wanita yang menunggingkan pinggulnya itu ternyata wanita yang sudah agak lanjut usia. Mendadak seorang kakek mencabut parangnya, Gumara makin ketakutan. Lebih ketakutan lagi ketika kakek itu sudah mendekatinya dengan kalap. Gumara begitu ngeri tanpa berkutik sedikitpun ketika parang tajam itu diayunkan padanya seraya si kakek berteriak; “Mati kamu!” Parang itu menancap ke bahu Gumara. Tapi kakek itu bengong. Mulutnya menganga. Dia heran tak ada darah menetes di bahu itu, padahal parang tajamnya sudah masuk sedalam tiga jari. Gumara lalu menghatur sembah: “Maaf kakek. Terutama Nenek, saya minta maaf”. Ia berlalu dengan tersipu malu, ia tidak lagi lincah. Ia mulai menyadari tujuannya semula. Bukan ke ladang ini lantas akan memperkosa seorang wanita yang ternyata lanjut usia, bukan! Ia harus menuju Bukit Lebah itu! Ke selatan itu! Bukan ke Barat itu! Kini langkahnya tidak cepat tidak pula lambat. Ketika menuju ke arah selatan itulah ia seperti mendapat pengetahuan baru. Bahwa setiap ilmu apapun godaan utama adalah soal sexual. Gumara lalu memukul sumber yang membuat ia tergoda, dan dia menjerit sendiri kesakitan. Kemudian dia melanjutkan langkah lagi. Dan langkahnya lebih pasti. Di sela-sela batu raksasa itu sudah didengarnya suara air terjun. Ini berarti hanya beberapa mil lagi akan mencapai sungai bundar yang dikenal melingkari Bukit Lebah itu. Dengan santai dia turuni tebing terjal itu. Tapi ... bah! Tenyata ada perempuan mandi telanjang bulat pada air terjun itu. Mulanya dia bergairah untuk cepat mendekati dan melampiaskan nafsunya yang kini berkobar di dada. Tapi bukankah wanita mandi itu adalah Pita Loka? Gumara malu pada diri sendiri. Tapi yang lebih membuatnya malu adalah perasaan berdosanya. Bahwa libido sexual memang selalu menggoda ilmu yang akan diperolehnya itu. Gumara kembali bersembunyi sampai wanita telanjang itu berpakaian. Setelah diperkirakannya selesai, ia melanjutkan menuju tebing itu. Ternyata wanita itupun sedang menapaki jenjang-jenjang batu setapak, naik ke tebing. Bukan rambut ikal itulah yang pertama menggoda Gumara. Juga bukan buah dadanya yang sejenak tampak, sebelum wanita itu menutupinya dengan kedua telapak tangan dan membetulkan kain yang menyelimuti dirinya. Tapi kalung itu, yang bertatahkan permata. Andaikata kalung itu aku rampok, sekarang ini, tentu benda itu akan menggiurkan Pita Loka. Sehingga dia bersedia menceritakan misteri tirai stanggi. “Maaf, nona. Saya orang utas yang tersesat jalan. Isteriku sedang berdiam karena sedang mengidam. Yang dia idamkan yaitu sebuah kalung penuh permata. Bolehkah saya pinjam kalung nona?”. Wanita itu menjadi tidak ramah dan menjerit minta tolong. “Rampoooook”, teriaknya keras. Bintik keringat dingin ketakutan bukan membuat Gumara lari ke bawah, tapi lari ke atas mengikuti wanita itu. Wanita itu tambah takut dan berteriak lantang lagi: “Toloooong, ada rampok!” Seorang petani yang menyandang pacul, kontan menghantamkan mata paculnya ke kepala Gumara. Gumara terdongak kaget setelah melihat gagang pacul di depan hidungnya. Tapi lebih tercengang lagi sang petani, yang melihat mata paculnya masuk ke tengah kepala “sang perampok” tapi tak tampak luka. Juga ketika pacul itu ditarik dengan cabutan yang menguras tenaga. Bekas luka pun tak ada, apalagi darah. Petani itu berkata pada wanita tadi; “Dia perampok berilmu kebal. Mari kita pulang saja. Ilmu dipakai untuk merampok adalah ilmu sial!” Gumara tercengang. Dia meraba kepalanya. Memang tak ada bekas apapun, juga tak terasa rasa nyeri. Dia sadar, bahwa dia harus menemui Pita Loka. Bukan membujuknya dengan kalung permata yang akan dirampoknya dengan cara tipuan tadi. Dia menuruni tebing itu untuk menyeberangi sungai. Tapi mendengar derasnya bunyi air terjun itu. Gumara berhenti sejenak. Seperti ada yang mendorongnya untuk melihat bukit kenapa perasaan ini ingin menyaksikan air terjun. Padahal di kawasan ini sudah sering dia melihat air terjun. Tentu air terjun ini menyimpan sesuatu rahasia. Tapi ah ... masa bodo Ia sudah tergoda dua kali, Pertama kali tergoda iman karena sex, dan yang kedua tergoda iman karena harta. Namun karena ia berusaha untuk mencari Kebenaran Mutlak, konsentrasinya melangkah di batu sungai kurang awas. Dia terpeleset. Dan jatuh! Lalu kedengaran suara orang mentertawakannya. Cekikikan lagi! Dan itu pasti suara wanita. Gumara yakin, mungkin saja yang tertawa itu Pita Loka. Gumara menoleh ke arah bunyi orang yang mentertawakannya. Ternyata ia menoleh ke air terjun. Hal ini membuat dia penasaran. Dia melangkahi batu-batuan sungai menuju ke air terjun tadi. Diperhatikan, apa benar di balik air terjun jtu ada wanita. Setelah dia perhatikan, dia coba lagi berseru;”Hoi! Siapa anda!” Terdengar wanita tertawa, tapi terdengar pula dia berlari setelah melemparkan sebuah batu. Batu itu mengenai kepala Gumara, tapi dia segera menangkap batu itu sebelum batu itu kecemplung masuk sungai. Aneh sekali. Batu itu ternyata batu yang menebarkan bau stanggi. Hal ini membuat Gumara berfikir dua kali Dan ketika fikirannya yang ketiga muncul, ia memutuskan harus ke balik air terjun itu. Pakaian putihnya yang sudah koyak-koyak itu, sudah basah kuyup ketika dilintasinya air terjun itu. Ternyata di balik air terjun itu, setelah melangkah sekitar 21 langkah, ada semacam pintu guha. Gumara seperti bocah yang ingin tahu. Dan sebagaimana layaknya bocah, dia merasa ngeri tiba-tiba. Heran sekali, karena bulu kuduknya dan seluruh bulu romanya merinding? Dia seakan-akan melihat dalam kegelapan tanah menjorok ke dalam tebing air terjun ini sesuatu yang mengerikan.Ada dua mata yang tampak begitu besar disana itu. Lalu ada yang bergoyang-goyang. Hihh, ngeri sekali! Itu lidah yang menjulur! Untuk surut, kakinya gemetar. Lalu dia rasakan pula bau stanggi sekitar tempat yang berbentuk guha itu. Batu yang sekepal di tangannya ia baui lagi. Ternyata batu ini lebih keras lagi aroma stangginya! “Jangan lepaskan!” terdengar suara. “Apa yang jangan dilepaskan?” “Batu itu!” terdengar lagi suara. Suara itu menggema. Dan jelas suara wanita. “Siapa yang bersuara itu?” tanya Gumara tambah gemetaran. Aku, Ratu Guha Stanggi” terdengar sahutan yang juga menggema. Jelas sekali suara itu suara wanita. Dan bukannya wanita tua! “Kenapa anda melemparku dengan batu stanggi ini, ha?” suara Gumara menggema. “Karena aku tahu, anda mencari saya”, kata Ratu Stanggi itu. “Mencari kau?” “Yah, karena anda ingin mengetahui misteri tirai stanggi! Misteri itu kini telah anda dapatkan! Dalam guha inilah letak misteri itu! Dan tirai yang ingin anda singkapkan itu, sudah anda lewati!” “Tirai apa itu?” tanya Gumara. “Tirai perlambang! Air terjun itu lambang dari maksud tirai. Bukannya ke Guha lebah itu anda harus pergi. Karena menemui Pita Loka, dan mencari misteri stanggi kesana , hanya membuang waktu. Misteri itu ada di sini! Dan sekarang anda sudah memasuki misteri itu!” Dalam sekelebatan Gumara menyaksikan sosok yang tak jelas sedang melakukan bentuk persilatan yang luar biasa. Hanya kecepetan garis petir yang mampu menandingi bentuk gerak dan jurus persilatan itu. Bila sosok tak jelas itu menubruk dinding guha, terdengar benturan mirip petir yang menimbulkan percikan api! Gumara kagum sebagai penonton. “Yang anda ingin cari dibalik misteri itu adalah ilmu yang Tinggi. Tapi bukankah anda lihat ilmuku ini adalah ilmu yang tertinggi?” “Ya”, ujar Gumara, “Rupanya kepada andalah, Ratu Stanggi, saya harus belajar. Rupanya kepada anda saya musti berguru”. Gumara mendengar lagi suara wanita itu: “Anda harus maju lagi sekitar tujuh langkah”. Mendengar itu Gumara jadi ngeri. Di sini saja dia berdiri sudah ngeri. Dan seperti bocah yang menginginkan sesuatu, tapi kecut, maka dia melangkah selangkah saja, lalu berhenti.   “Bulu romaku tegaaaak!” teriaknya. Gemetar dia, namun sempat mendengar wanita itu mentertawakannya. Dia mendengar suara lagi: “Maju lagi selangkah”. “Aku takut”, ujar Gumara. Namun dicobanya maju lagi. Pemandangan semakin gelap. Keringat dinginnya mulai dirasakannya. Bau stanggi itu semakin memadatkan indera hidungnya. Dan dia seakan-akan menyerah; “Aku takuttt”. “Jangan takut. Aku gurumu! Bukankah kau ingin mendapatkan ilmu melalui Kitab yang kau baca lewat mimpi, bahwa kau harus menyingkap misteri tirai stanggj? Semua orang ingin mempertinggi ilmunya. Tapi ilmu yang akan aku beri padamu adalah satu kedudukan ilmu yang Tertinggi, mengerti?!!!, wanita itu membentak. Dan karena gema suaranya bergemuruh, bentakan itu semakin menakutkan. Dan Gumara gemetar menjawab ketakutan: “Saya mengerti Ibu Betara Guru”. “Jangan takutttt!” teriak wanita itu juga membentak dan bergema menakutkan. “Saya mencoba berani”. Dan wanita itu membentak lagi: “Ayoh melangkah lagi, tolol!” Dan Gumara melangkah lagi dengan sangat rendah hati, bagai budak pada majikannya. Karena tiba-tiba merasakan bau bangkai, dia berhenti. “Kenapa berhenti?!!!” bentak wanita itu. Namun, hanya suara saja yang kedengaran. Sosok wajah apalagi tubuhnya tak tampak. Gumara tambah takut. Dia merasakan bau bangkai. “Selangkah lagi. ayoh maju!!!” terdengar bentakan wanita itu lagi. Suasana semakin gelap. Gelap sekali. Bau sekali. Dan menakutkan sekali! Dan dengan terpaksa dan terseot.Gumara melangkah selangkah lagi. “Bagus”, kedengaran pujian Ratu Stanggi. “Aku memohon, pelajaran yang tuan Ibu Betara Guru akan berikan dipersingkat. Saya takut, takut sekali”. “Hah, mana ada ilmu yang gampang diperdapat! Semua ilmu ada jenjangnya. ngerti????” bentakan iagi. Dengan nada hampir menangis Gumara berkata: “Saya mengerti, Guru”. Lalu dia merasa dirinya semakin lemah dan berkata: “Saya lapar, Betara Guru!” “Kelaparan adalah bagian dari ilmu yang akan kuberikan”. “Tapi saya sekarang ini ... lapar sekali!”   “Diam, bangsat!” bentak suara wanita itu. Gumara merasa dirinya tak kuasa apa-apa lagi. Bau bangkai itu semakin menusuk hidung. Rasa lemah dan takut semakin membuatnya tak mampu berfikir. Dan dengan merengek dia bersuara melolong: “Tolong katakan padaku kelak saya akan menjadi apa. Betara Guru yang mulia!” “Kau akan manjadi sembahan seluruh jawara, dari Bukit Kumayan hingga ke Bukit Lebah. Bahkan Pita Loka akan menghatur sembah padamu!” Airmata Gumara meleleh. Dalam gelap airmata itu bagaikan mutiara yang antara tampak dan tiada berada di kerang terkelupas dalam lautan biru. Dan menjelmalah sosok tubuh yang luar biasa cantiknya. Dipergelangan tangannya teruntai gelang bertatah ratna mutu manikam. Tubuhnya seakan dilapisi sutra tipis sehingga menciptakan bentuk wanita yang menerbitkan birahi namun begitu kaya. Dan sungguh membuat Gumara tolol ternganga melihat wanita itu duduk di tahta emas, kursi yang takkan pernah dilihatnya, hanya kecuali dalam cerita-cerita lukisan. “Tuan memang pantas jadi ratu!” kata Gumara terpesona. “Dan engkau akan menjadi Rajaku!” “Aduh, saya orang lemah dan tolol. Saya muridmu! Mana mungkin?” “Ratu Stanggi sudah harus menjadi jodoh Raja Gumara. Kini ikuti perintahku! Pejamkan matamu!” “Baik Ratuku tercinta”. “Jongkoklah. Meraba di permukaan guha ini. Bila kau rasakan ada benda bulat seperti kelapa yang sudah dikupas sedikit, peganglah itu!” Gumara bagai orang dongok, berjongkok. Tangannya meraba. Hidungnya merasa bau amis. Tapi rasa ingin cepatnya mendapatkan ilmu tertinggi dengan kedudukan Sembahan Semua Juara, dia akhirnya berteriak setelah meraba kelapa dimaksud Guru itu. “Ini kelapa sudah kupegang!” “Batu stanggi di tangan kiri, kelapa di tangan kanan! Ayoh cepat keluar dan ikuti arus sungai dengan menghanyutkan dirimu!” Gembira Gumara menuruti perintah. Dia memegang kelapa dan batu stanggi tadi, meninggalkan Guha tadi, melewati air terjun dan berhanyut-hanyut ke arah Barat Timbul tenggelam dia dalam gelombang sungai, terhanyut mengikuti arus sungai seperti orang gila tak sadarkan diri. Kadang dibiarkan kepalanya terbentur pada batu sungai yang menghadang arus. Biarpun terasa sedikit, dia tak menjerit. Yang penting kelapa di tangan kanan, batu stanggi di tangan kiri ... tak lepas dari pegangan! Tak terfikir lagi lapar dan haus. Juga dia tak menyadari hari telah malam. Dan di langit ada bulan. Bulan yang sedang purnama. Waktu itulah Gumara mendengar seruan dari atas batu tebing; “Pak Gumara ...!” Dia mendahulukan kakinya. Sepatu Phuma yang melekat di kakinya dia sodok ke batu bawah air. Tubuhnya tertahan dan dia menyandarkan punggung bertahan ke batu curam. “Pak Gumara!” terdengar lagi suara dari atas tebing. Gumara mencoba melihat ke atas, tapi terhalang oleh rumpun bambu. Lalu dia merasakan bau amat busuk. Dicarinya sumbernya. Ternyata di tangan kirinya itu. Dia buka tangan kirinya…ternyata itu bukan batu. Tapi gigi manusia yang menggigit batu. Gigi bangkai manusia! Gumara membanting sehingga muncrat air sungai membuat waiahnya bersimbah air. Ini membantu penglihatannya. Dia lalu merasakan bau lagi! Ternyata bau di tangan kanan. Ternyata itu bukan kelapa tetapi kepala manusia, yang tampaknya baru mati. Begitu Gumara mau membantingnya, dia mendengar suara dari balik batu. Suara itu suara wanita. Yang berseru: “Jangan buang dia! Berikan dia padaku dan lemparkanlah!” Gumara melemparkan kepala manusia yang mengerikan itu. Tampak ada tangan menyambut kepala itu. Dan sekonyong tegaklah di atas batu itu satu sosok tanpa kepala. Kepala yang dilempar Gumara tadi dia jinjing. Dan sosok itu, yang menjinjing kepala itu, adalah wanita dalam pakaian compang camping. Melihat wanita tanpa kepala yang menjinjing kepala mengerikan itu. Gumara kontan berteriak bagai bocah ketakutan: “Tolong akuuu!!!” Dia berteriak lagi: “Tolong akuuuu!” Seorang wanita masih dalam pakaian mukena putih menuruni tebing dengan amat mudah. Lalu dia mengulurkan tangan untuk menolong Gumara. “Siapa kau?” tanya Gumara ragu. “Murid tuan Guru. Saya Pita Loka” ujar wanita berpakaian mukena itu. “Bukan sebuah godaan?” “Bukan godaan. Bukan setan. Bukan jin atau pun peri! Aku Pita Loka, puteri Ki Putih Kelabu” ujar Pita Loka pasti, “Mungkin anda ragu melihat diriku masih berpakaian mukena ini. Aku sedang menyelesaikan do”a sehabis shalat Iesya. Kulihat anda di bawah itu, diantara sinar bulan purnama, bagai hanyut! Ayoh, pegang tangan saya, Pak Guru, saya tolong angkat ke atas!” Begitu Gumara memegang telapak tangannya, Pita Loka merenggut tubuh itu dan melemparkannya. Tubuh Gumara terangkat setinggi tujuh meter di atassana tetapi kemudian disambut oleh Pita Loka dengangaya yang mirip orang menyambut barang yang ringan. Kemudian setelah disambut dia lepaskan Gumara dalam posisi berdiri. Dan Gumara berdiri dengan tercengang. Lalu Pita Loka melangkah duluan menuju satu tumpukan batu yang rata. Dipermukaan susunan batu yang rata itu ada tikar sejadah. Tikar itu diambil Pita Loka semudah pula menyambar satu kayu karet yang ujungnya menyala api. “Apa yang tadi anda lakukan maka hanyut, Pak Guru?”tanya Pita Loka. “Saya hanyut dalam godaan setan”. “Setan? Aneh sekali” ujar Pita Loka. Dengan memegang obor Pita Loka menggiring Gumara ke mulut Guha Lebah itu. Gumara berhenti melangkah. Pita Loka berdiri di hadapan pintu itu. Tampak lebah-lebah yang ribuan jumlahnya itu berdengung ramai. Lalu semuanya minggir ke tepi seakan memberi jalan penuh penghormatan. Gumara mengikuti langkah Pita Loka memasuki gerbang guha itu. Dalam Guha tampak cahaya terang, Ternyata dua obor menyala, yaitu api yang bergoyang di ujung kayu karet. Dengan menunjuk ke sebuah batu berbentuk kursi. Pita Loka berkata: “Silakan duduk”. “Menakjubkan! ““ ujar Gumara, “Dulu Bapak belum sempat masuk. Keburu bertempur dengan Dasa Laksana. Ah, kalau saya ingat itu, saya kasihan pada Bapak”, ujar Pita Loka. Sejak mendengar nama Dasa Laksana kembali, perasaan cemburunya menjalari urat darahnya. Namun dia diam. Dan rasanya ingin bertanya. “Mana Dasa Laksana?” tanya Gumara. “Adadi dalam”, sahut Pita Loka. “Adadi dalam? Apa di guha ini pun ada kamar?” Pita Loka tarsenyum. Dia menyadari nada tanya Gumara cemburu. Tapi dia tetap menjawab: “Di guha ini ada kamar”. “Oh”, nada singkat Gumara itu menandakan putus asanya. “Ini saya hadiahkan sebuah hidangan makan malam yang pasti belum anda coba,. ujar Pita Loka seraya menyerahkan satu buah-buahan yang baru dikupas. “Buah apa ini?” tanya Gumara heran. “Nikmati dulu”. kata Pita Loka. Tapi sebelum dia makan buah yang agak aneh itu, Gumara bertanya: “Boleh saya bertatap muka dengan Dasa Laksana?” “Boleh saja. Tapi makan buah hadiahku dulu”, kata Pita Loka. “Tidak. Saya ingin berjumpa dia”, kata Gumara. “Kenapa Pak Guru mendesak begitu?” Gumara menahan rasa malu, lalu berkata geram: “Mungkin aku sudah tertipu oleh si tua Ibrahim Arkam” “O, Ibrahim Arkam? Dia bukan penipu!” kata Pita Loka. “Jika demikian kau mengenal dia?”   “Tentu”. Lalu Pita Loka berkata lagi: “Ayoh makan buah hadiah terhormat dariku!" “Jangan-jangan buah ini ada racunnya! “, ujar Gumara. Pita Loka. yang juga memegang satu buah yang sama, penasaran tertuduh begitu. dan dia berkata: “Ini buah yang sama. Jika buah ini mengandung racun, aku akan mati duluan dari anda!” Pita Loka memakan buah itu. Gumara jadi ngiler. Dan dia menggigitnya sedikit. Rasanya mirip jambu bol. Tapi jelas bukan jambu bol. “Buah apa ini?” tanya Gumara. “Buah mancina. Mungkin di Cina, sekitar pegunungan, buah ini pun ada. Jika buah ini sudah tertalu matang, rasanya mirip yoghurt, yaitu induk susu kegemaran orangYugoslavia .” “Pernahkah kau menghadiahkan buah mancina ini pada Dasa Laksana?” tanya Gumara memancing. Pancingan itu membuat bekas muridnya yang cerdas itu tersenyum. Ujar Pita segera. “Hanya tamu terhormat. seperti Ibrahim Arkam yang pernah kuberi. Dasa Laksana tidak!” “Kau tak berbohong, Pita?” “Mana pernah aku bohong. Karena aku tak pernah bohonglah maka aku kini ada di sini”, ujar Pita Loka. “Apa yang menyebabkan kau sampai mengasingkan diri ke sini?” tanya Gumara bersemangat dan dia semakin bersemangat mengunyah pula karena buah mancina ini ternyata amat lezat. “Katakan Pita Loka, apa penyebab kau minggat sampai terdampar ke sini?” “Karena terbawa Nasib”. “Ah. Kau seorang yang cerdas, kaya logika dan matematis!” “Tapi saya pun punya perasaan sebanyak pikiranku, Pak!” “Apa perasaanmu ketika kau lari?” “Ingin menaklukan anda”. “Ha?” “Ilmu anda tinggi, ilmu Harwati tinggi. Sedangkan ayahku tidak mewariskan apa-apa bagiku kecuali seluas otak di kepalaku ini, Pak. Jika anda ingin saya berterus- terang mengapa saya minggat, penyebabnya amat sederhana! “ “Katakan penyebab itu. Sebab justru itulah yang ingin saya ketahui” “Penyebabnya karena patah hati. Karena cinta tak terbalas”. Mendengar itu. Gumara yang sedang asyik mengunyah buah mancina terhenti mengunyah. Dia Terpana menatap Pita Loka. “Pada siapa kamu patah hati, Pita Loka?” tanya Gumara. “Ah, tak usah dibicarakan lagi. Semua itu sudah lewat. Kini aku berada di dunia yang lain” “Di dunia suami isteri?” “Tidak” “Di dunia cinta?” “Jauh dari itu” “Jadi dunia macam apa yang kau maksud? Ah, aku ingin bertatap muka dengan Dasa Laksana. Boleh atau tidak?” “Boleh saja. Tapi nanti. Kalau buah mancina Bapak sudah habis. Mau satu lagi?” “Aku butuh makan nasi. Aku lapar sekali”, kata Gumara. “Saya sudah lama tak mengenal nasi, Pak. Hanya makan buah rimba. Mau Bapak satu buah mancina lagi?” “Saya hanya mau bertatap muka dengan Dasa Laksana. Hanya karena terhalang oleh rasa respect padamulah maka seluruh perkelahian dengan dia dulu saya akhiri dengan kekalahan saya”. “Bapak mengira saya tak mengetahuinya. Bapak sebetulnya bisa meremukkan dia. Saya tau itu ... “ Untuk pertama kali, kecemburuan Gumara yang berkobar berubah jadi senyuman murni. Keduanya berpandangan. Pita Loka sesak dadanya menahankan nafsu birahi yang mengamuk-ngamuk dalam dada, tapi demikian pula Gumara. Ketika keduanya sama bangkit pada puncak ketegangan oleh gairah, satu cahaya kilatan disertai geledek membahana dengan dahsyat! Satu batu amat besar jatuh dari arah atas guha sampai satu obor yang tadi menyala padam seketika. Tinggal satu obor lagi yang menyala, membuat suasana semakin mencekam. “Ampuni saya. Tuhanku!” berseru Pita Loka, menyadari lintasan dosa, yang hampir terjalin sekalipun sudah bergumul berkecamuk dalam pikirannya. Gumara tak mengucapkan penyesalan, kecuali diam tertunduk, menyatakan rasa bersalah hanya dalam kalbu. Rupanya. Kilatan sinar petir berbentuk aliran listrik yang dahsyat itu muncul dari utara ke selatan. Hal ini dilihat oleh Harwati maupun Ki Rotan. Harwati yang telapak kakinya berlubang sebesar lidah manusia melangkah terseok-seok namun lincah ia menuju ke gubuk jerami Ki Rotan. Ki Rotan melihat Ki Harwati melangkah pincang menuju dirinya. “Apa yang kira-kira sedang terjadi?” tanya Ki Rotan. “Bagai bola api itu jatuh di Bukit Selatan itu. Cahaya terang tampak olehku, jelas jatuh di Bukit Berpayung atau Bukit Lebah!” “Kalau begitu ada musibah di sana?” kata Ki Rotan bersemangat Ki Harwati berkonsentrasi sejenak. Tongkatnya dia colok ke kaki kanannya yang berlubang itu. Dia berkonsentrasi sejenak. “Kukira begitu”, ujarnya setelah selesai berkonsentrasi. “Apa yang kita lakukan?” “Suatu malapetaka besar sedang terjadi di Guha Lebah”. “Dari mana kau tahu, Ki Wati?” “Dari ucapan Ki Pita Loka sendiri. Bukankah dia mempercayaiku, sewaktu aku berguru padanya?” “Lantas?” “Dia mengatakan, suatu ketika ilmuku akan berakhir apabila ada bola api membentur Bukit Lebah ini. Semua lebah akan jatuh di lantai guha bagai anai-anai yang mati bergelimpangan. Waktu itu, kata Ki Pita Loka, seluruh ilmu yang aku miliki akan habis”. “Dia harus kita ambil sebelum jatuh ke tangan orang lain”, kata Ki Rotan. “Tak semudah itu”, ujar Ki Harwati “Jadi bagaimana caranya kita merebut ilmu Ki Pita Loka?” Ki Wati menjawab: “Kecuali jika kita pergi ke Bukit Tunggal. Kita bergabung dengan Guru Tua itu.” “Kalau begitu mari kita ke Guru Tua”. kata Ki Rotan bersemangat. “Tak mungkin saya membawa anda, Tuan Guru. Kedudukan anda, sekalipun bekas guru saya, anda ini adalah murid saya”. kata Ki Harwati. Ki Rotan kecewa. Lalu dia berkata: “Jika demikian keadaannya, maka baiklah anda pergi sendiri. Tapi jangan lupakan saya. Saya murid anda, seluruh ilmu yang baru anda dapatkan, berikan padaku”. “Saya tak pernah akan lupakan jasa Ki Guru” , kata Ki Harwati. Lalu dengan terlebih dulu mencolokkan ujung tongkatnya ke lubang kaki, dia Iantas berkonsentrasi. Petir menyambar lagi, Ki Harwati mendongak ke langit. Dia ikuti cahaya petir itu. Di tengah-tengah pajalanan bertempur dua buah garis petir. Lalu terciptalah bola api yang amat terang. Bola api itu bagai menggelinding menuju selatan dan tampak jelas menghantam Bukit Lebah yang bentuknya seperti payung itu. Tak jelas apa yang terjadi selanjutnya karena angin puting beliung menghantam dan memelintir kawasan Ki Rotan. Ki Harwati tak tunggu lagi. Dalam basah kuyup deras hujan dia dalam sekelebatan sudah hinggap di antara dahan pohon satu ke pohon lain. Perjalanan dua setengah malam itu seakan-akan percuma. Guru Tua, Ki Tunggal, yang dia harapkan dapat memberikan inspirasi dalam keadaan terkapar. Agaknya dia sekarat. “Tuan akan menemui ajal?” tanya Ki Wati. “Benar. Aku sudah mendapatkan pertanda ngalamat, ketika dua hari yang lalu, pada tengah malam kulihat bola api beterbangan dari Bukit Tunggal ini, di antar oleh sang petir. Ya, di BuKit Lebah akan terjadi perang kebatinan yang dahsyat untuk memperebutkan Kitab itu ... “ “Kitab? Kitab apa. Tuan Guru?” “Itulah yang namanya Kitab Ketujuh. Kitab yang hanya ayahmu dan Ki Putih Kelabu serta turunannya yang mengetahui namanya” “Apa nama Kitab itu, Guru?” “Namanya Kitab Makom Mahmuda” “Saya pernah mendengarnya! Tapi cuma dalam mimpi! Coba anda berikan sisa ilmu anda padaku, Tuan Guru. Biarpun sedikit, yaitu bahan yang saya tidak punyai”. “Semua berpangkal pada Tujuh Harimau”, kata Guru Tua sekarat itu. Tapi sementara itu Ki Rotan menempuh jalan sendiri. Dia tak sabar menanti kembalinya gurunya, Ki Harwati. Dia justru ingin mendahului Ki Wati menuju ke Bukit Lebah karena terlanjur mengetahui sebagian rahasia yang telah dia dengar dua setengah malam yang lalu. Di padepokannya, Ki Tunggal meneteskan air mata setelah berbaring. Katanya dengan sedih: “Tahukah kau, mengapa diriku jadi sial? Itu karena aku meremajakan diriku! Dan mengawini anak perawan. si Senik itu!” “Di mana beliau ... Ratu Senik. Ki Guru?” “Setelah kamu berangkat dengan kuisi sedikit ilmu itu, dia cemburu padamu. Maka aku tampil sebagai sosok tua keriput. Aku dimaki-makinya sebagai lelaki tua tak tahu diri. Aku tak mengutuknya! Itulah salahku! Seorang guru tak boleh mencintai apapun kecuali ilmu. Dia minggat. Tapi aku tahu dengan siapa Ratu Senik akan mendapat teman. Dia akan menjadi lawan seluruh tujuh manusia harimau di kemudian hari. Tapi ilmu yang akan kuberikan padamu hanya satu kisah. Yaitu, setelah kematianku, akan lahir satu manusia harimau. Dialah harimau ke delapan degan kelebihan ilmu dari yang lain yang sudah mati atau yang masih hidup. Karena tujuh harimau terdahulu tidak mendapatkan Kitab Tujuh itu, mungkin hanya dia satu-satunya!” “Lalu?” “Untuk mendapatkan Kitab itu, akan terjadi perang hebat. Mungkin ada yang mati. Aku kuatir, jika kau kesana, kau terlibat dalam perang perebutan Kitab Sakti itu”. “Akibat lain?” tanya Ki Wati. “Ada yang gila”. “Tapi katakan pada saya, siapa pemilik Kitab tersebut? “ Ki Tua berdiam sedih. Dia tidak diperkenankan menyatakan siapa, kendati ia tahu. sesuai dengan sumpahnya, apabila dia katakan maka dia akan mati dalam keadaan mengerikan. Bukan mati sebagai manusia. Tapi mati dalam bentuk: bangkai harimau. “Kurasa, aku sudah dekat”, kata Ki Tunggal. “Nanti dulu, Ki Guru!” “Nyawa tak bisa di tunda”. Ujar si Tua itu yang menggelepar sesaat lalu mengaum bagai macan dan kemudian, dalam keadaan tangan terlipat, beliau masih membaca-baca sesuatu, bergelepar sejenak. Dan nafasnya pun terhenti. Karena kesal dan sedih. Ki Wati menangis menggero-gero sampai pingsan beberapa saat. Dia seakan-akan orang yang mendapatkan satu kesempatan manis namun terlepas. Dan keberangkatannya yang mestinya segera itu harus tertunda. Betapapun, gurunya yang terakhir adalah Ki Tunggal!. Seorang guru harus dihormati. Dan seorang guru yang disaksikan mati, harus dikuburkan secara layak. Dalam hujan lebat itu juga, Ki Wati mengambil cangkul...   Dia memilih tempat yang paling mudah dikenal, yaitu di bawah satu pohon yang berbunga harum. Berdaun harum. Berbatang harum. Yakni pohon cendana. Pacul menghantam tanah yang becek itu. Ketinggian ilmunya menyebabkan ringkasnya pekerjaan menggali lubang kubur itu. Tetapi tiba-tiba bulu romanya merinding, entah mengapa. Hujan henti seketika, berganti gerimis kecil. Dan pemandangan di sekitarnya bukan seperti di kawasan Bukit Tunggul lagi, melainkan di satu pertanahan kuburan yang begitu banyak disekeliling. Satu-satunya yang tak berubah adalah pohon cendana itu. Latu Ki Wati yang semestinya tak punya rasa takut itu, mendadak takut karena melihat samar-samar satu sosok berjubah makin dekat dan makin dekat. Lidah Ki Wati akan berteriak, namun kelu. Suara pun tersekat di kerongkongan. Orang berjubah itu tinggi besar. Makin dekat makin tinggi. Dan ... wajahnya tampak rata. Bulu roma Ki Wati makin merinding, karena tiba-tiba orang itu berkata: “Pinjam cangkulmu. Orang sakti seperti beliau, kuburannya harus dalam. Ada nanti yang jahat menggali kuburan ini, mengambil satu dua helai rambut beliau “. “Siapa anda?” tanya Ki Wati mulai berani. “Aku bekas muridnya. Karena durhaka pada Guru, pada beliau, aku bertanding. Senjatanya yang ampuh, yaitu Pedang Raja Turki, telah membabat wajahku hingga rata. Aku bukan manusia lagi, bukan setan ataupun jin!” Orang misterius itu mencangkul. Begitu cekatan, bertambah lagi dalam lubang itu tujuh hasta. Ketika cangkul diserahkannya kembali, Ki Wati terjengkang ke belakang karena melihat wajah itu mirip harimau luka yang mengaum dahsyat. Entah bagaimana sosok harimau itu berlalu dari situ. Ki Wati teringat Pedang Raja Turki itu. Namun dia harus menguburkan Sang Guru terlebih dahulu. Ringkas sekali waktu penguburan oleh sang murid. Baru setelah itu, Ki Harwati menggeledah rumah. Dia menemukan pedang yang istimewa, adanya dalam salah satu tiang bambu. Dengan pedang itu, dia merasa tongkatnya tak ada arti lagi. Pedang itulah yang disandangnya pergi. Dan, di Guha Lebah memanglah sedang terjadi satu malapetaka dahsyat. Ki Pita Loka dengan wajah sedih menyaksikan lebah-lebah piaraannya yang setia selama ini begitu panik. Mereka tak bisa keluar karena sebuah batu raksasa jatuh tepat di depan pintu guha. Lebah-lebah itu mencari jalan keluar dengan kalap. Mereka menerjang atap guha, tapi lantas jatuh berguguran. Dalam sinar satu obor kayu karet itu, tampaklah lebah-lebah itu jatuh seratus demi seratus ekor. Mereka berguguran.   Gumara sendiri duduk terpaku pada kursi batu seperti orang tolol. Apa yang dicarinya, sesuai dengan peutunjuk Ki Ibrahim Arkam berdasarkan takwil mimpi, sepertinya cuma berita bohong. Kitab Makom Mahmuda justru tidak ada. Bahkan Pita Loka sudah bersumpah, bahwa dia tidak memiliki Kitab sakti itu. Yang terjadi justru sebaliknya! Tirai stanggi yang konon merupakan dinding lingkaran asap yang selama ini jadi kisah kesaktian Pita Loka dari mulut para guru-guru besar, malahan tidak mengeluarkan bau stanggi lagi. Memang asap itu ada. Dan Gumara menyaksikannya. Asap itu mengepul dari dasar lantai guha. Namun tidak mengeluarkan bau stanggi. Asap itu malahan menyesakkan nafas. Sebab bau yang dipancarkannya berupa bau belerang. “Bagaimana jalan keluar kita?” tanya Gumara. “Kita sedang terkurung. Sejak meteor jatuh dari angkasa luar menutupi pintu guha, kita seakan-akan siap untuk mati terkurung”, kata Ki Pita Loka. Gumara yang dirinya kelihatan berubah menjadi tolol, lalu bertanya; “Bagaimana nasib Dasa Laksana?” “Persetan dengan dia”, kata Pita Loka. “Persetan? Kalau begitu kau membenci dia!” “Ya!” “Kukira kalian berdua sudah melangsungkan ikatan”. “Dia biang keladi bencana ini. Seorang manusia kota yang moderen, telah mencemarkan kebersihan ilmu kebatinan”. “Lalu, yang kau maksud kamarnya?” tanya Gumara. “ Lihat sendiri saja”, kata Pita Loka. “Boleh aku bertatap muka dengan dia?” “Silahkan”, kata Pita Loka. Gumara bertanya lagi: “Tunjuki padaku tempat di mana dia berada. Tampaknya kamu sangat merahasiakan”. “Itu. Di Sana. Sekarang tak ada kamus rahasia lagi”, kata Ki Pita Loka. Gumara menuju ke tempat telunjuk Ki Pita Loka tertuju. Ada satu lorong sempit Makin Gumara masuk, makin terasa bau amis. Seperti bau bangkai ular! Tak ada penerangan ke sana. Jadi Gumara mesti meraba-raba dinding lorong itu. Lalu Gumera merasakan jalan ke sana licin. Berkali-kali hampir tergelincir dia, Sementara itu bau amis semakin mendahsyat. Gumara ingin tahu sumber bau itu. Dia tergelincir lagi sebab sepatu karetnya harus menginjak benda licin. Gumara lantas berhenti melangkah. Dia berjongkok. Dan dirabanya penyebab ia terpeleset sebab licinnya.   Begitu dirabanya lantai guha yang licin itu, dia merasakan semacam sisik ular. Untunglah dia tak menjerit. Cuma bulu romanya meremang. dia melanjutkan perjalanan. Tampak ada sedikit cahaya obor. Ini membuat Gumara ingin tahu. Semakin terang cahaya itu, semakin besar rasa ingin tahu Gumara, mengapa ada semacam ular di lantai guha yang bikin dia terpeleset lagi! Ular! Benar-benar bangkai ribuan ular di lantai itu! Ular-ular yang jumlahnya begitu banyak, rupanya baru saja mati. Ular itu mati keracunan asap belerang yang memang memenuhi lorong yang sedang dilewati Gumara. Terdengar suara: “Siapa itu”“ Suara itu dari lorong yang ke kiri. Gumara menoleh ke suara itu. Barulah tampak olehnya, Dasa Laksana, dalam keadaan dirantai. Tubuhnya tinggal tulang di balut kulit. Bibirnya kering. Matanya menonjol keluar. Dan rupanya dia barusan saja makan bangkai ular. “Aku Gumara yang pernah anda kalahkan”, kata Gumara.” Mengapa anda dirantai begini?” “Aku dalam belajar dengan Ki Pita Loka. Lalu mendadak nafsu birahiku timbul dalam suatu upacara kenaikan tingkat ilmu yang kupelajari darinya. Aku mencoba memperkosanya. Tapi gagal. Lalu aku dibantingnya sampai pingsan. Dan kudapati diriku di sini, diawasi oleh ratusan dan ribuan ular berbisa, dalam keadaan dirantai”“ “Tahukah anda apa yang sedang terjadi?” tanya Gumara. “Aku tahu” ujar Dasa Laksana, “Aku kehilangan daya. Bencana ini tiba akibat kutukan. Kutukan dari langit. Ketika meteor itu dua kali membentur Bukit Lebah ini, kukira aku akan mati. Tapi tolonglah aku kini!” Gumara kehilangan akal. Lalu dia dengar ucapan Dasa Laksana: “Tahukah anda, saya mencoba memperkosa Ki Pita Loka berdasarkan mimpi?” “Kau juga termasuk percaya takwil mimpi?” tanya Gumara. ““Yah, sudah terlanjur terlibat dalam dunia asing ini ...begitulah! Aku bermimpi ketemu orangtua yang bernama Ki Rotan. Mimpi itu selanjutnya menyatakan. agar aku menyetubuhi Ki Pita Loka agar mendapatkan tuah. Ilmu Ki Pita Loka akan sendirinya kupunyai bila berhasil menyetubuhinya. Nyatanya ... itu semua godaan”. Lalu mendadak, amat mengejutkan, terdengar suara gemuruh! Gumara maupun Dasa Laksana sama menjerit. Satu kesan bahwa ada cahaya di lorong kanan itu sudah jelas.   Ya, cahaya dari arah selatan. Dari lorong mati. Lalu muncul bayang-bayang setelah setengah jam Gumara dan Dasa Laksana terpana bisu. Kebisuan itu terpecahkan oleh bunyi langkah orang mendekat Dari bayangan yang timbul bergerak di dinding lorong kanan itu, tampak bahwa manusia yang bergerak masuk itu memegang tongkat. “Itu orang yang kulihat dalam mimpi!” seru Dasa Laksana tak tahan, meronta. “Ki Rotan”, bisik Gumara. Gumara segera berkonsantrasi karena merasa dalam bahaya. Aneh? Biasanya jika dia berdzikir,,,, dia merasa ada getaran gelombang masuk ke dalam dirinya! Kali ini tidak ada getaran. Ia seperti bocah yang ketakutan sewaktu Ki Rotan mendekat wajah Ki Rotan jadi buas. Gumara dan Dasa Laksana sama mengkeret takut. Ki Rotan mengayunkan tongkat. Lalu disabetnya tubuh Gumara. Gumara menjerit lantang. Lalu Ki Rotan berkata. “Kini giliran akulah yang akan memiliki Kitab Sakti itu! Mana Ki Pita Loka!” Gumara tak menjawab. Satu sabetan tongkat itu telah membuat dia tersungkur mencium bangkai ular dalam keadaan pingsan. Dasa Laksana Tak berkutik. Dia hanya menyerahkan diri atas kekuasaan apapun yang akan melangkahinya. Tapi sikap penyerahan ini pulalah yang membuat Dasa Laksana merasa dirinya diisi oleh satu kekuatan. Tubuh yang loyo berbalut kulit tipis itu seakan-akan merasa dirinya kuat. Dia lihat tangannya yang dirantai dengan rantai besi itu. Dia coba merenggut rantai itu dengan membuka kedua tangan! Bunyi gemerincing rantai besi putus, membuat Dasa Laksana heran sendiri. Dan Ki Rotan yang sudah menuju ke dalam, menoleh. Dia kaget sekali karena melihat tokoh lemah yang tadi dibentaknya, berdiri tegap. Senjatanya rantai besi yang terjurai di tangan kiri. Dia tampak begitu mengerikan, sehingga Ki Rotan bukan bersikap mau menyerang, melainkan bertahan. Dia memutar-mutar rantai besi itu di atas kepalanya, sebagai acuan akan menjerat Ki Rotan. Ki Rotan mencoba menangkis dengan tongkatnya ketika rantai itu hampir menjerat lehernya. Tongkat itu patah, tapi membuat bentuknya mirip tombak runcing. Ki Rotan menyerang dengan suara teriakan dahsyat. Suara teriak ini yang menyadarkan Ki Pita Loka dari lamunan sedihnya menatapi tirai asap stanggi di depannya yang berubah bau menjadi bau belerang. “Hai, hentikan perkelahian itu!” ujarPita Loka melihat terjadi pergumulam seru di lorong itu. Suara lantang Ki Pita Loka, membuat Gumara yang baru siuman dari pingsannya segera berdiri. Dia berbeda dari Gumara yang biasa. Dia jadi beringas karena munculnya satu kekuatan dahsyat. Dia melompat menerkam dua orang yang sedang beradu kuat itu.   Satu cakaran mengoyak muka Ki Rotan. Dan satu cakaran lagi mengoyak muka Dasa Laksana. Dua-duanya menjerit hebat kesakitan. Tapi dua-duanya pun mundur ke dalam, bahkan Ki Rotan ketika mundur membentur tubuh Pita Loka yang berdiri tercengang. Perkelahian seru terjadi. Kini Ki Rotan sudah kerjasama dengan Dasa Laksana karena naluri mendadak. Dua-duanya mengeroyok Gumara. Satu belitan rantai yang dipecut Dasa Laksana membelit leher Gumara. Tapi dia mengaum sehingga belitan itu lepas. Kaki kiri Gumara menendang tegak lurus menghantam Ki Rotan yang meloncat mau menerjangnya. Dia tendangkan ke kanan mengenai leher Dasa Laksana sehingga orang ini terjungkal. Pita Loka tampaknya bengong. Tiap dia membangkitkan perkataan khas dari ilmu saktinya, sedikitpun tak ada kekuatan lagi. Gumara tampak menerkam dua lawannya dengan cakaran ketat lalu melempar tubuh dua lawan itu ke arah pintu guha. Teriak teriak serentak dari tiga mulut kedengaran mengalahkan suara benturan tubuh dua lawan Gumara itu.Batu langit itu kehilangan daya tahan, lalu bergulingan menciptakan suara amat gemuruh. Ketika batu besar itu mencebur ke dalam sungai, terdengar satu kali lagi bunyi gemuruh. Pita Loka menuju pintu untuk menyaksikan lanjutan perkelahian itu. Pita Loka tercengang karena Gumara yang melompat membabi buta itu ternyata berbentuk harimau mengerikan. Dengan buas Ki Rotan kena cakar sehingga satu biji matanya terkelupas. Dalam keaadan buta sebelah itu Ki Rotan melarikan diri. Tinggal Dasa Laksana yang wajahnya penuh gores cakaran itu masih menggunakan berbagai cara. Satu pohon dia cabut, dan dia ayunkan menghantam seekor harimau ganas yang akan menerkamnya. Ia tak mengetahui pohon apa itu. Tapi jelas, ketika ayunan pukulan itu tepat mengenai kepala, Gumara berteriak dan dirinya terjungkal, berubah bentuk dari bentuk harimau jadi manusia biasa. Dasa Laksana kalap. Tapi dia Justru tak tahu lagi apa yang mesti diperbuat. Mendadak sontak dia melolong keras. Suaranya membahana membentur tujuh buah bukit juga di dengar oleh Ki Harwarti yang barusan sadar dari pingsannya jatuh di jurang. Ki Harwati sedang akan menuju Guha Lebah. Tapi dia berpapasan dengan Ki Rotan yang satu matanya sudah copot. Mulanya Ki Harwati siap mau menebas Ki Rotan sebab curiga. Pedanq Raja Turki sudah disiapkannya akan menebas leher muridnya yang khianat itu. Tapi ucapan Ki Rotan menyadarkan dirinya. “Bahaya anda ke Guha Lebah. Semua menjelma serentak berubah!”, ujar Ki Rlotan, Ki Harwati malahan menjadi bersemangat. Dia mendapat kekuatan batin justru setelah mendengar ucapan Ki Rotan. Dia melompat ke sebuah dahan, lalu mendapatkan tenaga untuk terbang dan bergelayutan kian kemari dari pohon ke pohon. Lalu, ketika ia menclok di sebuah dahan, dilihatnya di bawah ada seorang pria melolong. Pakaiannya dalam safari pemburu. Orang itu mungkin pemburu gila. Tapi ditangan kirinya ada rantai yang selalu dia ayun-ayunkan. Ah, tentu dia mau mencari lawan, fikir Ki Wati. Ki Wati meloncat ke bawah disertai teriakan. Dan seketika itu juga Dasa Laksana melolong sembari mengayun-ayunkan rantainya. Jebakan jerat rantai itu tiap sejenak tertabrakan dengan mata pedang yang menimbulkan bunyi gemerincing.   Pita Loka, yang kelihatannya seperti kurang ingatan, masih berdiri di pintu Guha Lebah yang tak ada lebahnya lagi. Tiba-tiba saja dia melihat serombongan manusia. Mereka tampak lelah dari perjalanan yang jauh. Dan begitu melihat wanita berikat kepala, kepala rombongan itu berseru: “Itu dia Ki Pita Loka!” Pita Loka!” Setelah mendekati Pita Loka, yang tertua berkata: “Saya Tongga Agun, kepala desa yang baru” “Desa apa?” “Desa Kumayan”. Desa itu kini tertimpa musibah. Seluruh penduduk sakit, termasuk ayah anda Ki Putih Kelabu. Hanya anda yang dapat menyembuhkannya!” Pita Loka pada mulanya tak ingat lagi nama desa Kumayan.Tetapi setelah mendengar nama Ki Putih Kelabu. Hilang ingatannya berubah. Ya, kini dia sadar. “Musibah apa tuan Tongga?” Tanya Pita Loka. “Lebah-lebah menyerbu sewaktu batu langit meluncur menimpa jalanan depan rumah anda. Batu itu menciptakan lubang. Dari lubang itu mendadak saja keluar asap. Dan dari asap itu mendadak saja keluar lebah-lebah yang ribuan jumlahnya. Tiap penduduk terkena sengatan lebah itu. Dan seluruh desa Kumayan kini menderita sakit. Saya disuruh ke sini, karena kata ayah anda, anda memiliki ilmu penakluk lebah berdasarkan primbon harimau”. Semangat membela kampung halaman itu bergelora dalam jiwa Pita Loka, yang sebengrnya sudah hampir rontok seluruhnya. Tapi begitu dia melangkah sebentar, satu teriakan dahsyat muncul dari pohon kecapi. Ki Harwati secara tiba-tiba sudah mengayun-ayunkan pedang Raja Turki yang sudah berlumuran darah. Ki Pita Loka mundur, mundur. memberi aba-aba kepada utusan desa Kumayan agar melarikan diri. “Berikan Kitab Sakti itu padaku sekarang. Sebelum darahmu mengalir seperti darah kekasihmu. Dasa Laksana!” bentak Ki Harwati. “Dia tak memiliki Kitab Sakti itu, adikku!” Terdengar suara dari balik semak. yang ternyata Gumara. Ucapan Gumara ini membuat Ki Harwati kalap. Dia membentak: “Diam kau! Masih juga kau membela gadis yang kau cintai ini?” Satu ayunan pedang seketika itu juga akan menebas leher Gumara, andaikata dia tidak cepat tunduk. Gumara dalam sekejap berubah menjadi seekor harimau beringas. Dia terkam dengan cakarnya wajah Harwati, tetapi bukan wajah itu yang terpegang melainkan pedang itu. Anehnya, dalam sekejap Gumara berubah kembali dari bentuk harimaunya menjadi Gumara biasa. Pedang itu sepertinya bergerak dalam genggamannya, lalu ketika dia mencoba menebas Harwati, pedang itu melingkar lepas berupa benda melayang ke udara... dan jatuh tepat di atas Bukit Lebah. Satu suara nyaring bagai petir disertai kilatan bagai arus lirik terdengar. Gumara bersama Harwati menyerbu serentak masuk ke Guha itu. Pita Loka hanya tercengang dan bekata: “Ayoh tuan-tuan, kita cepat lari sekarang menuju Kumayan!” Sementara itu Gumara dan Harwati sama mengerem langkahnya. Karena tepat pada tempat asap stanggi berupa lingkaran sebelumnya yang berubah bau belerang mendadak ambles. Lingkaran itu berbentuk sumur yang dalam. Gumara tiba-tiba berseru: “Itu pedangmu menancap diatas permukaan air mendidih di dalam itu “ Ucapannya menimbulkan gema. Ki Harwati menoleh pada Gumara. Matanya berbinar penuh nafsu. Dan dia berkata: “Kakak, aku mencintai anda lahir dan batin!” Gumara berkata: “Kau ingin mendapat kutukan?” Gumara berteriak: “Lihat! Itulah Kitab yang selama ini kucari!” Harwati menjenguk ke sumur di bawah itu. Di antara air mendidih itu, dia memang melihat sebentuk Kitab yang mengambang, bergeletar mengikuti air mendidih. Hampir saja dia dengan kalap akan menerjuni sumur itu, untung saja lengannya dipegang oleh Gumara. Mendapat bantuan begitu, Ki Wati jadi bernafsu. Dia memeluk Gumara dan berkata: “Mari kita mengasingkan diri sehagai suami isteri. Kau toh dari Ibu yang lain, kendati kita dari ayah yang sama” “Kuhormati cintamu padaku, adikku! Tapi kita sama-sama satu darah. Kita dari titisan air mani Ki Karat. Dan kita terkutuk jika menjadi laki bini!” “Kalau kita sudah hidup terasing dari dunia ramai, siapa yang akan mengerti asal usul kita?”. Ki Harwati dengan kesetanan memeluk Gumara. Tapi Gumara mencoba melawan nafsu iblis adik tirinya itu, dan tanpa sengaja mendorong tubuh adiknya itu masuk ke sumur. Ki Harwati berteriak melolong. Ini membuat Gumara kalap. Ilmunya menjalari darahnya. Getaran demi getaran dirasanya Lalu dia mengaum dahsyat berubah bentuk menjadi harimau beringas. Namun telap saja dia berputar-putar mengelilingi sumur mendidih itu. Hanya berputar-putar. Dan berputar-putar sampai matahari tenggelam dan terbit lagi dan tenggelam lagi. Ki Pita Loka memasuki Desa Kumayan dengan langkah perkasa diiringi oleh sepuluh orang penjemputnya. Dia tidak lagi tolol seperti pertama kali ditemukan. Seluruh desa bagaikan mati. Di sana sini lebah-lebah mendengungkan suara. Lebah-lebah itu kini berkumpul seperti sebuah iring-iringan skuadron. Ki Pita Loka segera sadar, ilmunya bukan hilang oleh musibah bukit Lebah. Dia sampai di depan rumahnya, menatapi lubang besar jatuhnya batu meteor itu. Di hadapan ayahnya yang bengkak-bengkak itu Ki Pita Loka berkata agung: “Lebah-lebah ini seluruhnya akan aku hukum! “ TAMAT Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt