Tujuh Manusia Harimau (6) Episode: 1 Aji Melati Motinggo Busye-Novelis Malam Jahanam mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt AJI MLATI dibawa oleh Punguh menghadap Ki Ca Hya. Orang tua itu sedang menyisiri janggutnya yang putih dalam keadaan bersila. “Bawa dia ke hadapanku, Pungguh”, kata Ki Ca Hya. Lalu, setelah Aji Mlati didudukan di hadapan Ki Guru itu, orang tua berjanggut panjang itu berkata pada Pungguh: “Kau boleh kembali mengurusi ternak ayammu”. Memang orangtua berjanggut panjang itu, dengan bolamatanya yang menyorot itu, cukup mengerikan bagi gadis kecil berusia 12 tahun itu. Tetapi kali ini senyumnya mambukakan mata hati Aji Mlati yang selalu merasa dijahati sejak dia diculik dan tinggal di pedukuhan Ki Ca Hya. “Sakarang, setelah begitu lama kamu bermusuhan dangan Kakek, mari kita berteman”, ujar Ki Ca Hya. “Tapi mana kak Pita Loka?” tanya Aji Mlati dangan suara menuntut; “Tahukah kamu mengapa Kakek menculikmu dari Bukit Api? Penculikan itu sesungguhnya dengan maksud baik.” “Maksud baik? Kalau saya diculik dari Kak Pita Loka apa itu maksud baik juga, Kakek?” tanya Aji Mlati dengan nada protes; “Maksudnya, supaya kamu jangan terlibat terus dalam petualangan Pita Loka, cucuku”, “Aku bukan cucumu!” seru Aji Mlati. “Mamang perlu penjelasan kepadamu, dan turunan siapa kau ini, ; Ayahmu itu lahir dari perut isteri Kakek, Jadi aku ini Kakekmu, masih darah dagingku”. “Jadi Nenek yang bernama Nyi Ca Hya itu adalah ibu dari ayahku?” “Dia bukan Nenek kontanmu, Aji Mlati. Nenekmu telah mati. Matinya juga dibunuh oleh Ki Rotan dengan lobang di dadanya seperti terbunuhnya ayah ibumu, lalu kau ditemukan Pita Loka dan diajak ke kawasan Bukit Api tempat bermukim saudaraku Ki Surya Pinanti.Nama Julukan Nenekmu itu juga Nyi Ca Hya. Tapi ditambah sedikit oleh orang di pedukuhan ini: Nyi Ca Hya T”ao. Nah nenekmu ini berasal dariKiangsu , Tiongkok. Konon menurut ranji keturunan ketika dia dipersembahkan oleh ayahnya kepadaku untuk dijadikan isteriku, garis keturunan Nenekmu itu akhirnya sampai ke Tiongkoksana , di Kiansu, dan masih sedarah dengan orang yang tinggi ilmunya disana”. “Turunan darah siapa?” tanya Aji Melati “Turunan T”ao. Disana ada orang bernama T”ao Hung-ching yang lahir di pertengahan abad kelima Masehi di suatu tempat bernamaMo-ling. Beliau penggemar keindahan alam dan sebetulnya seorangsinse. Beliau ahli kimia Beliau mempunyai kitab obat-obatan yang termashur dalam sejarah. Salinan kitab itu ada pada kakek, dan jika kau sudah besar dan pandai membaca aksara Cina, kakek akan mewariskan kitab pengobatan itu”. “Bolehkah saya membaca Kitab itu?” “Kamu bisa berbahasa Tiong hwa ?”   “Tidak, Kakek,” ujar Aji Mlati yang membikin sang kakek ketawa nyengir. Namun beliau ajak gadis kecil 12 tahun itu menuju ruang perpustakaan beliau. Dalam perpustakan itu begitu banyak kitab-kitab, lalu Kakek berkata : “Perpustakaan dan Kitab yang ada disini, baru kamulah yang diperkenankan masuk.” “Kenapa, Kek?” tanya Aji Mlati. “Isinya semua Rahasia. Disini ada Rahasia Kitab Tujuh.Disini ada rahasia Bukit seratus. Disini yang paling penting bagimu ada rahasia ilmu ketabiban yang bernamaT”u ching yen I pen ts”ao. Pemilik Kitab ini di negerinyasana disebut jugaSuhu Gunung-Gunung . Nah sebagai pewaris kitab itu, kamu kelak akan mewarisi citra hidup di pegunungan. Jadi maukah sekarang kamu berjanji tidak musuhan lagi dengan kakek?” “Mau, Kakek. Asal Kakek ajarkan saya ilmu ketabiban itu. Banyak orang sakit perlu di obati di mana-mana.” “Tapi, sesuai dengan mata pelajaran Moyang T”aomu itu, kamu musti memperdalam bermacam soal seperti tekunnya Nyi Ca Hya T”ao, nenekmu itu, sebelum dia mati dibunuh.” “Apa bimbingan itu, Kakek?” tanya Aji Mlati gigih “Bimbingan itu musti melewati seorang guru.” “Siapa Guru saya itu, Kakek?” “Dia adalah seorang tua yang berjanggut panjang, yang suka menyisir rambutnya di pedukuhan ini. Guru itu juga paling suka menyisir rambutnya!” Kalau begitu, Guru itu adalah anda, Kek!” berseru Aji Mlati. KI CAHYA tertawa lebar. “Apa kau tidak salah terka?” tanya Ki Ca Hya. “Janggut kakekkan sering anda sisir, Kek!” tuding Aji Mlati yang lalu maju ke depan dan merenggut janggut orangtua itu. Orangtua ini mambantingkan dirinya ke lantai, dan dia mencoba malapaskan diri ketika janggutnya dipelintir oleh Aji Mlati. “Aduh,” kata Aji Mlati kemudian, “Tanganku terikat, Kek!” “Terikat? Mana talinya?” sang Kakek bertanya. “Aduh, Kek, Saya nyerah, Kek. Ini talinya!” “Mana?” “Ini, kek, Janggut kakek sendiri” kata Aji Mlati, yang tetap merasa sulit karena kedua tangannya sudah diikat oleh jangut Ki Ca Hya. Setelah tertawa lebar, Ki Ca Hya malepaskan janggutnya yang mengebat lengan sang cucu. “Bagaimana bisa terjadi begini ya? Sampai lengan Aji terikat gini?” tanya Aji Mlati.   “Semua itu ada ilmunya. Aku culik kamu ke pedukuhan ini dari tangan Pita Loka, supaya kamu diisi dulu dengan ilmu, baru kamu kulepas ke dunia raya ini. Sekiranya nenekmu masih hidup, tentu beliau sendiri yang mengajarkan semua ilmu yang dia warisi ini kepadamu.” “Apa ilmu Nenek Nyi Ca Hya Tao yang akan kakak ajarkan padaku?” tanya Aji Mlati bersemangat. “Kalau itu yang engkau kehendaki sekarang juga, marilah kita menuju Air Terjun Rahasia.” “Air Terjun Rahasia ? Apa maksud kakek?” “Disini dipedukuhan ini, tidak ada orang yang tahu, bahwa dibawah bumi ini ada juga sungai mengalir, bekas dari Taufan Nabi Nuh yang (membuat tenggelamnva Sunda Nagara.Dulu ,Indonesia ini bersambung sampai ke Thai,Laos sampai Cinasana . Orang Barat menamakan Sunda Plata, tetapi kakek pernah mendengar benua yang tenggelam itu disebut Sunda Nagara Kertagama. Tetapi, ketika Taufan Nabi Nuh menenggelamkan sebagian besar benua-benua, kakek mempunyai beberapa peta. Di Pulau Jawa, ada sembilan sungai di bawah tanah. di Sumatara adalah tiga sungai di bawah tanah. Di Kalimantan ada tujuh sungai di bawah bumi ini. Nah, mari kakek parkenalkan salah satu sungai di bawah bumi ini. Istimewanya, yang di bawah pedukuhan ini sungainya ada air terjunnya jugal” “Bawa Aji kesana , Kakekl” “Baik. Asal janji tidak musuhan lagi!”, ujar sang Guru seraya menaruh kembali KitabT”u ching yen I pen Ts”ao di sebuah lemari berukir. Lalu kakek itu membuka lantai. Rupanya ada semacam pintu ke bawah tanah yang spintas Cuma lantai biasa. Ada ruangan dibawah tanah yang gelap gelita. Tetapi anehnya ruang itu jadi terang setelah Ki Ca Hya masuk bersama cucunya. Aji Mlati tercengang sekali setelah melihat sepuluh kuku jari tengan kakeknya itu memancarkan cahaya. Mulanya lantainya terdiri dari susunan batu. Tak lama kemudian, terasa lantai itu jadi dingin. Lalu ada pula susunan tangga di lorong menuju bawah lagi. Sampai pula dilantai tiga. Dari lantai tiga ini, masih lagi susunan batu yang bulat-bulat ceper merupakan tangga lebih ke bawah. “Kemana kita Kek?” “Ini tangga turun terakhir, cucuku!” Setiba di anak tangga terakhir, terdengarlah suara gemuruh. Tapi tidak tampak suatu apapun kacuali bunyi gemuruh. “Bunyi apa itu, Kakek?” tanya Aji Mlati.   “Itu bunyi Air Terjun Rahasia. Sebentar kakek nyalakan lampu”, ujar orangtua itu. Beliau mendekati sebuah batu padas Ki Ca Hya meninju batu itu, sehingga api menyala. Kemudian dia ambil satu obor, dan disulutnya obor itu pada api yang menyala itu. Api menyala itu dipegang oleti Ki Ca Hya lalu padam, tiriggal satu-satu obor yang menerangi sekeliling. “Indah sekali, kakek!” kata Aji Mlati. “Mau kau melihat tempat bertapa Nenekmu?” “Mau tentu. Kakek!” Kakek itu membimbing tangan sang cucu. Tak jauh dari air terjun itu ada satu pintu tertutup. Kakek membuka pintu itu, tanpa manggunakan kunci, melainkan dangan sorotan matanya saja. Padahal jaraknya 3 meter. “Inilah lilin abadi. Yaitu Iilin yang dibuat secara kimia oleh ilmu nenekmu. Tahukah kamu. berapa tahun lilin ini menyala?” tanya sang kakek tentu saja sang cucu melongo. TETAPI dalam keadaan melongo Itu mata Aji Mlati terpesona melihat ruangan berukuran 3 kali 3 meter itu, Ada sebuah ranjang antik dengan kelambu yang bersih utuh. Ruang itu cukup terang dengan nyala satu lilin itu, Lalu Aji Mlati bertanya: “Berapa lama lilin ini tak pemah padam” “30 tahun sudah”, kata sang Kakek. Lalu Ki Ca Hya menjelaskan: “Dalam pewarisan ilmu moyangnya, Nenekmu itu bertapa menajamkan ilmunya, yaitu ilmuChan Kao yang artinva kira-kiraPernyataan Kesempurnaan .Beliau lalu mendapatkan wangsit ilmu kimia, dan mulai membuat lilin dari pohon getah lilin yang ada dipedukuhan ini. Lihat olehmu. Perhatikan ujung lilin ini. Zat apa yang ada dipermukaan lilin yang terbakar ini?” “Apa itu, Kek? Zat apa?” “Getaran. Hanya getaran. Getaran itu menimbulkan reaksi positip negatip, lalu menyalalah. Tapi jangan pegang, nanti engkau kena strum. Nah, perhatikan buku ini. Buku yang dl meja baca dikaki lilin ini. Temyata, sebelum Nenekmu mati, masih sempat beliau membaca dihalaman 1256. Sayang kau tidak bisa membaca aksara Tiong Hwa?” “Kakek bisa?” tanya Aji Mlati.   “Bisa. Ini, misalnya dibacaYuan -Shih T”ien-sun “, kata Ki Ca Hya “Apa artinya?” “Artinya : Kebijakan yang bestari dari Awal asal segala-galanya”, kata KiCa Hya yang kemudian menjelaskan pada sang cucu; “Kegigihanmu ingin tahu sama seperti Nenekmu”. “Kakek orang Cina?” tanya Aji Mlati. “Bukan. Aku aseli Melayu. Tapi Nenekmu, moyangnya leluhur Tiongkoksana . Ini menurut keterangan ayahnya ketika ayahnya meminta aku jadi suaminya”. “Kenapa kakek dipungut mantu oleh ayah Nenekku?” “Karena beliau belajar ilmu pedang dengan saya, Aji!” kata sang kakek. “Kakek ahli pedang?” tanya Aji Mlati. Kakek itu tak menyahut.Beliau menuju ranjang itu, membuka kelambu, dan mengambil pedang. “Apa nama Pedang itu, kek?” “Inilah pedang yang aku wariskan dari guruku yang mewarisi pedang ini yang beliau sebutTien-Yuan, yang artinya lapangan dan kebun, sebuah pedang milik seorang penyair Tiongkok yang hanya digunakan dalam keadaan terancam saja. Pedang ini boleh digunakan di arena lapangan, tetapi juga di kebun-kebun. Pedang Tien-Yuan ini, hanya bisa terpelihara dalam diri pewarisnya yang berbakat ilmu syair. “Kakek berbakat ilmu syair? “tanya Aji Mlati. “Coba kau dengar” Lalu Ki Ca Hya mempermainkan pedang itu sehingga begitu cepatnya permainan itu sehingga mirip kitiran. “Mirip apa pedang sakti ini sekarang, Aji?” tanya Ki Ca Hya. “Mirip kitiran”. Lalu Kakek bersyair: Kitiran adalah bola semesta Seluruh semesta adalah gerak lingkar yang menyenangkan burung dan memindahkan awan Burung dan awan berkawan kenapa manusia bodoh tak berkawan dengan burung dan awan?   Lalu kedengaran bunyi serba aneka. Dan Ki Ca Hya bertanya “Aji, bunyi apa yang kau dengar ini?” “Bunyi burung, kakek!” Maka Ki Ca Hya pun bersyair, sesuai dengan bunyi pedang: Perhatikan bangau yang mengelilingi sarang Perhatikan kakinya dan sayapnya Perhatikan gerak sayap ketika ia terbang Lalu ketika ia turun Sebelum satu kakinya Mencecah tanah Jika kau perhatikan semuanya berdasar ilmu lalu kita berguru SELESAI Ki Ca Hya bermain pedang itu,Aji Mlati yang kegirangan lalu bertepuk tangan. Orang tua berjanggut panjang itu bertanya; “Apakah yang kamu lihat dari sya”ir dan pedang tadi itu?” “Semua gerak pedang itu menggambarkan kata-kata sya”ir itu, Kakek”, Ujar Aji Mlati. Mendengar jawaban itu sang Guru keheranan. Beliau bertanya: “Kamu mendengar suara halus ditelingamu berupa wisik?” “Tidak”, kata Aji Mlati keheranan. “Tapi kau bisa menjawab tepat pertanyaanku” ujar Ki Ca Hya tetap keheranan. Aji Mlati pun keheranan. Dan pedang Tien Yuan itu pun beliau sarungkan kembali, Aji Mlati menagih: “Kenapa tidak jadi saya diberikan ilmu, kakek?” “Mari duduk di lantai”, ujar sang Guru. “Bersila?”   “Ya. Karena bersila itu adalah duduknya para Nabi dan Guru-Guru”, kata Ki Ca Hya. “Kita mulai belajar pernafasan berdasarkan bimbingan ilmu Kebijakan yang bestari dari Awal asal segala-galanya”, Ujar sang Kakek. Lalu setelah Aji Mlati duduk dengan sikap mantap, sang kakek memberikan wejangan selaku Guru. “Kenapa dalam tubuh manusia ada yang bernama puser atau pusat? Hendaknya kamu mengenali dirimu sendiri. Puser itu adalah pusat hidup. Pusat tubuh manusia. Pernah kamu melihat bayi? Nah, kalau pernah, kamu mestinya tahu, bahwa puser itu di potong, dan kalau begitu. . .potongannya tadi ada dimana? Itulah yang disebut ari-ari yang oleh orang Barat disebut placenta, dan yang oleh orang kita disebut sedulur, yaitu saudara kandung yang selama ini menemani manusia dalam perut ibu. Nah, kembali kepada puser, marilah kita awali pengaturan nafas dengan gerak puser kita. Pernafasan memang gudangnya di paru-paru. Tatapi itu gudang. Namun pintu rumahnya adalah puser-pusermu. Nah, coba! Apa bisa?” tanya Ki Ca Hya dengan ucapan takzim. Dangan takzim pula Aji Mlati mencobakan lalu mengangguk takzim. “Aturlah dengan baik. Burung terbang dengan pernafasan pusernya, dan bila burung berseru diudara pun dengan permainan nafas perutnya, maka suaranya nyaring, Kamu juga harus bersuara nyaring bila bersilat dengan pedangmu. Selain untuk menakuti lawan, suara itu untuk menyatukan gerak dan jurus dan menggunakan arah senjata”. “Kapan main pedangnya, Kek?” “Oh, aturan pernafasan saja belum”, ujar sang Kakek. “Baik. Aji akan atur nafas lagi”, ujar gadis kecil itu. Salama tiga jam Aji Mlati keasyikan mengatur nafas. Dia keasyikan sendiri, sehingga dia agak terkejut melihat dua tangannya yang dia tempel didengkul itu mendadak naik sendiri ke atas. Lalu Aji Mlati bagaikan punya gerak mirip penari membuka tarian. Aji Mlati bertambah asyik, dan membiarkan gerak tangannya lemah gemulai dan menarilah dia dengan gerak lembut namun teratur. Aji Mlati berkeinginan main silat. Bukan menari. Ketika hatinya mempertanyakan mengapa Kakekku tidak melatihkan bersilat, mendadak gadis 12 tahun itu keheranan semua gerak tarian tadi semakin cepat dan semakin cepat sehingga gerak tari tadi secara sendirinya berubah jadi gerak silat. Dia membayangkan pula • • sebagai anak kecil • • bahwa dihadapannya sedang menunggu lawan, sehingga dia pukul lawannya itu dengan disertai teriakan yang bersumber pada puser. Teriakan itu lantang, dan memang mengejutkan kakeknya yang asyik memperhatikan. Satu tendangan ke samping yang amat cepat, disertai teriakan   lantang pula! Sang Guru kagum pada cekatan gerak tangan dan kaki cucunya. Terutama gerak tangannya, memang pantas dialah yang mewarisi Pedang Sakti Lapangan dan Kebun, yakni PedangTien Yuan itu. Namun ketika beliau asyik menonton gerak cucunya Itu, dia tiba-tiba melihat kilatan cahaya. Ini pemberitahuan pada Ki Ca Hya, bahwa pedukuhannya dalam keadaan kurang aman. Lalu dia biarkan cucunya ditinggalnya sendirian. Aji Mlati pun tidak menyadari, karena asyiknva itu, bahwa si kakek telah meninggalkan tempat latihan itu. Berbeda dengan ketika turun membawa cucu, Kini Ki Ca Hya naik ke anak-anak tangga itu meloncat bagaikan gerak bangau pindah, sampai kemudian dia ke pintu loteng. Pintu lantai itu dia buka perlahan, lalu dilihat nya Ki Kembar kakak beradik sedang membuka salah sebuah kitab di perpustakaannya. Dangan tenaga puser, pintu itu terbuka cepat dan tertutup cepat pula. DUA Pendekar yang mencuri membaca kitab itu lantas terkesima, Ki Ca Hya berkata perlahan tapi mantap: “Keluarlah dari pintu dimana tadi kamu masuki” Dua Pendekar Kembar tampaknya ingin licik. Mereka merundukkan kepala seolah patuh, tetapi dengan jurus badak keduanya menyerbu Ki Ca Hya. Ki Ca Hya cuma berdiri seraya mengirimkan jurus arus kilat sehingga kedua pendekar itu terjungkal. “Harus kalian ingat, dengan siapa kalin berhadapan!” “Ampun Ki Ca Hya”. “Untuk kedua kalinya kuperintahkan : Keluar dari pintu tempat kalian masuk tadi!” ucap Ki Ca Hya dengan nada rendah tapi berwibawa. Dengan tenaga dalamnya Ki Ca Hya membuka pintu ruang pustaka itu, lalu dia seakan-akan mendorong dua pendekar jahat itu dengan gerak jarak jauh sehingga keduanya terlempar keluar pintu, menabrak tiang utama rumah dan mental ke samping lalu keluar meluncur lewat ruang tamu dan kemudian terjungkal jumpalitan di halaman padepokan itu. Si Pungguh melongo melihat dua pendekar yang masuk rumah secara rahasia itu. Ketika dilihatnya Ki Kembar lari berebut duluan, Pungguh memaki-maki; “Kutiup kamu dengan ilmu tiupku sampai jumpalitan kamu! Coba kalau berani kamu kembali” Tetapi Pungguh mendadak malu sendiri setelah dia melihat Ki Ca Hya sedang tegak perkasa tepat ditengah pintu, Lalu Ki Ca Hya kembali ke ruang perpustakaan dan masuk pintu rahasia lalu melangkah setengah lari dengan loncatan-loncatan hingga ke tempat Air Terjun Rahasia dibawah tanah itu.   Beliau mendapati Aji Mlati dalam keadaan mengejutkan! Anak itu sudah bersyair seraya memainkan pedang : Kitiran adalah bola semesta Seluruh semesta adalah gerak lingkar yang menyenangkan burung lalu Aji dua tiga kali meloncat-loneat seperti burung dengan mempermainkan pedangnya, dan melanjutkan syair disertai gerak : dan memindahkan awan Burung dan awan berkawan loncatan indah dengan pedang yang dipegang dan dimainkan cekatan bagai menebas lawan di kiri dan kanan, seluruhnya lebih banyak gerak di udara. Ki Ca Hya bergeleng-geleng kepala sewaktu seluruh permainan burung bangau di udara itu selesai. Aji ngos-ngosan. “Capek, kek. Haus”, kata Aji Mlati. “TegukIah air terjun itu “ Ujar Ki Ca Hya. “Nanti bajuku basah, Kek!” “Dia tidak akan basah”, ujar Ki Ca Hya. Aji Mlati, sebagai gadis kecil, tentu saja ingin menguji apakah benar yang diucapkan kakeknya. Dia mendekati air terjun itu, lalu meneguk air itu. Rambutnya dan mukanya tak basah sedikitpun, apalagi bajunya. Aji Mlati keheranan, tapi si kakek lebih heran lagi, karena anak itu memainkan pedangnya dangan menebas air terjun itu. Tebasan itu berkali-kali. Malahan disertai syair : “Tolaklah kekuatan air dengan angin…………… Maka air kalah dengan angin karena ia musti patuh kalau membangkang akan durhaka   Ki Ca Hya tercengang dan bertanya ketika Aji mendatangi beliau. “Hai, cucuku, dimana kau dapati syair itu?” “Ketika tadi kakek keatas, gema suara kakek saya dengar di bawah ini. Bahkan mungkin kakek sedang bertanding dengan dua musuh”, ujar gadis kecil itu. “Kamu melihat kakek menghadapi dua lawan?” tanya Ki Ca Hya. “Melihat sembari main pedang ini”. “Kalau begitu kamu secara alami mewarisi ilmu Pandang Tembus leluhurmu dari pihak nenekmu Orang Bijaksana T”ao Hung-ching?” “Tadi beliau disini”. ujar Aji Mlati. “Ha? Di sini?”, tanya Ki Ca Hya. “Aji melihat sendiri disini, dan beliau membetulkan kesalahan Aji waktu memegang pedang ini. Kakek T”ao itu bilang begini: Aji, kamu musti ingat betul, jurus pedang keramat ini semuanya ada 99 jurus”. “Ha? Kalau begitu kamu bukan berkhayal. Jadi memang betul leluhurmu pendekar T”ao ada hadir disini. Darimana dia muncul?” “Dari dalam ranjang berkelambu itu”, ujar Aji Mlati. IBARAT tirai yang berlapis-lapis, semuanya kini menjadi jelas bagi Ki Ca Hya, setelah satu demi satu tiral itu terbuka. Ki Ca Hya mulai merenung dan lebih banyak membolak-balik di ruang perpustakaannya. Dia harus menempuh jalan yang berbelit mendidik Aji Mlati. Hal ini karena mengingat seluk beluk darah yang mengalir di tubuh cucunya itu. Darah yang mengalir bukan darah sembarangan,harus dipelihara secara tidak sembarangan pula. Orang tidak memakan makanan di mangkok yang sama , karena tiap diri memiliki keutamaan dan kelemahan. Mengajar bangsat berbeda dengan mengajar darah bangsawan. Pada suatu pagi, dipanggilnya pelayannya: “PungguhTolol, kesini!” Seperti namanya, kedatangannya lamban dan bertingkah tolol. Begitu dia menghadap sang Guru, dia bertanya : “Saya akan ditugaskan mengajar silat gadis cantik itu, tuan guru?” “Dari mana kau tahu, Tolol?” “Karena dari dulu tuan Guru menyuruh saya jadi pelatih” “Tapi sekarang ini berbeda!” “Sekarang dan dulu tidak berbeda Tuan Guru ! Dulu bulannya sama. Dulu mataharinya sama. Dulu anginnya sama. Dulu api panas dan air dingin. Sekarang juga sama”. Mendengar itu, Ki Ca Hya manatap Pungguh Tolol dengan tatapan jeli. Beliau Barkata: “Untuk pertama kali kamu banyak omong,To!oll” “Omong banyak, bohong banyak”, ujar Pungguh Tolol. Tapi tadi malam aku kehilangan sebuah buku. Kamu mencurinya?” tanya Ki Ca Hya. “Pencuri itu maling, tuan Guru!” “Itu aku tahu, Tolol!”   “Saya tidak mencuri buku. Tapi saya membaca Kitab. Mencuri buku cuma mendapatkan lembaran kartas. Mencuri Kitab mendapatkan ilmu!” Mendengar itu. Ki Ca Hya yang jarang tertawa lalu tertawa. Dia gembira, karena bertahun-tahun memelihara saorang Pungguh Tolol lebih beruntung ketimbang memelihara seekor ayam jantan yang tidak mempunyaidalu yang tajam di kakinya. “Pungguh ToIol...”, ujar Ki Ca Hya. “Ya Tuan Guru?” “Aku ini berbahagia memelihara kamu, Sudah tiga kali kamu membaca dengan mencuri-curi. Pertama Kitab Burung Pujangga. Kedua : Kitab Makom Mahmuda. Ketiga : Kitab Kebun Senjata. Sekarang aku curiga, kamu ini mungkin pendekar yang menyamar jadi orang Tolol”. “Ha-ha . .. .. Saya memang Tolol, tuan Guru” lalu muntir-muntir di sekitar perpustakaan itu. Sekelebat itu juga Ki Ca Hya menyerangnya dengan jurus bangau mengibas sayap. Anehnya Pungguh Tolol menangkisnya dengan jurus bangau menguak satu sayap. Lalu dia tartawa dan mengaduh-aduh kesakitan, padahal tidak ada serangan Ki Ca Hya yang mengenai. “Parnah kamu kenal Ki Senik yang cantik?” tanya Ki Ca Hya. “Siapa itu, tuan Guru?” “Jangan kamu berdusta, anak muda!” “Haha, saya sekarang ingat. Dia isteri Ki Tunggal”. “Ki Tunggal Palsu?” “Ya, betul” “Kalau begitu memang kamu sudah membaca Kitab Makom Mahmuda dengan baik, namun kamu berlagak tolol!” “Memang saya ini si Tolol, tuan Guru!” “Jangan bercanda terus dengan orangtua, Tolol! Kuperintahkan kamu dari sekarang sebagai Pelatih mewakiliku!” ujar Ki Ca Hya. “Pelatih ilmu Tolol, tuan?” tanya Pungguh Tolol.   “Ya. Untuk menertibkan ilmu Aji Mlati, kamu mulai dengan Kitab Burung Pujangga. Kamu tahu tempat kitab itu di sini, karena pernah mencuri membacanya. Bimbinglah cucuku itu!” “Ha-ha... saya tidak kuat, tuan Guru! “ ujar Pungguh bertolol-tolol. “Jangan berkilah”. “Nanti saya tergoda. Cucu tuan itu cantik sekali!” ujarPungguh. “Ayoh ambil Kitab itu!” ujar Ki Ca Hya menguji. Dengan langkah santai selebor, Pungguh Tolol menuju rak rahasia. Lalu dia tak tahu sedang diintai oleh sang Guru. Dia mendapatkan kunci. Lalu menekan kunci itu sampai rak terbuka. Lalu diambilnya Kitab Burung Pujangga itu. Dan membuka kitab itu secara sembarangan. Membacanya secara seenaknya: Petir padalima bunga Bangau terjun ke air Kodok mati KI CA HYA berlagak bertanya: “Apa itu artinya, Pungguh Tolol?” Ki Ca Hya merasa puas dengan dugaannya, bahwa pelayanannya yang sudah bertahun-tahun mengabdikan diri memang mewarisi kependekaran. Yang belum bisa diketahuinya, Pungguh Tolol ini dari garis turunan siapa? Pungguh Tolol membuka lembaran lain dari Kitab Burung Pujangga itu lalu membaca dengan sembarangan sya”ir itu: Bertarung di udara Bulu berguguran biarkan Asal tulang tidak bergeser Ki Ca Hya menerkam dengan pertanyaan; “Apa artinya, cepat!” “Pakaian luar tidak penting dibanding pakaian dalam”. “Tenaga dalam?” uji Ki Ca Hya. “Ha-ha, tuan Guru Pintar!” dan Pungguh Tolol ketawa lebar. Memang itu sudah lama memuakkan Ki Ca Hya. Kemudian pendekar tua itu berkata: “Sekarang kamu pergi ke Air Terjun Rahasia”, sembari menguji. Pungguh Tolol mengecup ujung telunjuk. Lalu ujung telunjuk itu ditaruh di kening, sepertinya sedang mengingat-ingat. Dengan langkah selebor dia menuju bagian lantai kamar perpustakaan itu, Dia segara menemukan kunci pembuka. Lantai itu terbuka. Lalu dia masuk dan melambaikan tangannya pada sang Guru, kemudian menghilang dan lantai pun tertutup.   Ki Ca Hya geleng-geleng kepala seraya berkata sendiri: “Bahkan pintu rahasia dan peta padepokanku sudah dia ketahui dengan cermat. Apa ia memang tolol atau berpura-pura tolol?” Mendadak sontak Ki Ca Hya meloncat dan membuka rak, Dia pungut Kitab Kebun Senjata. Dia buka halaman tengah dan lantas geleng•geleng kepala seraya berkata sendiri: “Dia sudah mempelajari, bahkan memiliki ilmu yang hebatIlmu Menyerap Pikiran danIlmu Menyerap Bacaan . Oh, untuk dua ilmu ini orang harus punya otak cahaya yang terang benderang!” Sementara itu, Pungguh Tolol sudah sampai di lantai Air Terjun Rahasia. Dia menonton Aji Mlati yang memahirkan gerak permainan Pedang Tien-Yuen. Si Tolol melihat kalung Aji Mlati terjatuh. Dia meloncat memungut kalung itu, bertepatan dengan pedang itu sedang diayunkan menebas leher. Tapi harusnya leher si Tolol terpenggal ketika itu, tapi dengan mangelak seraya ketawa leher itu tak jadi kena tebas. Hal ini membangkitkan jengkel Aji Mlati sampai dia hentikan permainannya. Dia tersenyum seraya cemberut. Dan mengomel gadis cantik remaja itu: “Kamu kepingin kepalamu putus, Pungguh?” “Tentu tidak. Saya tadi memungut kalung tuan!” ujar Pungguh dengan bibir manjeber, lalu mendekati Aji Mlati dan mengenakan kalung itu. Ketika kalung itu dikenakan, Aji Mlati melirik pada Pungguh Tolol. Lirikan itu amat genit. Dia berkata dengan jantung berdebar; “Kamu tolol tapi ganteng, Kak Pungguh!” “Aku hanya pelayan Pendakar Tua”, kata Pungguh merendah. “Minggir, aku akan berlatih!” Pungguh Tolol pun minggir. Aji Mlati melatih Jurus gertak dengan mempermainkan pedangnya seraya bersya”ir : Bila pedang jadi kitiran Kodok melongo di batu Sebelum dia menyemprot kencingnya Telan seketika! Pungguh Tolol terbahak bertepatan dangan Aji Mlati mulai dengan jurus jebakan bangau yang mencocor lawan. Dia untung tidak merasa ragu ketika mencocor dangan pedangnya itu, sebab lawan itu memang hadir di depannya, yaitu Pungguh Tolol yang bolak balik mengelak cocoran pedang di depannya. Aji Mlati terus mencocor tetapi pungguh sudah melompat melangkahi kepalanya. Aji Mlati membalik mencari pungguh, tapi dia sudah kena jegal dengan cekatan, terjegal dengan jegalan Pungguh. Sembari mau bangkit dengan pinggang nyeri, Aji Mlati menggerutu : “Rupanya kamu menguasai ilmu ini ya?”   Pungguh Tolol menyerahkan peniti emas kepada Aji Mlati : “Saya cuma kebetulan memungut peniti emas yang tuan yang jatuh, jadi terpaksamengelakmengelak pedang tuan!” “Ah, Kak Pungguh bergurau. Aji yakin, kakak pandai main pedang. Coba tunjukkan satu permainan yang agak hebat .” uajr Aji Mlati seraya menyodorkan pedangnya kepada si Tolol. Si Tolol tertawa menyeringai seraya memegang ujung pedang. “Pegang pedang dengan gagangnya, kak!” ujar Aji Mlati ketawa. “Oh ya?” ujar Pungguh Tolol, lalu melempar pedang ke udara sehingga pedang itu bagai kitiran lalu ditangkap Pungguh gagangnya dan bertanya : “Begini cara memegang pedang ya dik Aji Mlati?” Lirik tatapan mata Aji Mlati kelihatan mengagumi kegantengan Pungguh yang selama ini tetap dianggapnya pelayan tolol. Aji Mlati tertawa lebar. Dia tertarik dengan wajah yang ganteng itu, tapi tertawa geli melihat tingkah lakunya. “Aku senang bercanda dengan pedang”, ujar Pungguh Tolol. Sembari ketawa dan melangkah seleboran, Pungguh Tolol mempermainkan pedang itu dengan Jurus Sepuluh Bayangan Pedang. Jurus itu membuat tampaknya pedang itu menjadi sepuluh buah, sehingga musuh bingung yang mana yang pedang dan yang mana yang bayangan. Buntut jurus yang membuat Aji Mlati ternganga itu, diakhiri dengan satu sabetan pada satu tangkai bunga wijayakusuma yang tumbuh dekat air terjun itu. Anehnya seperti sabetan pedang itu tidak mengenai tangkai bunga itu , sebab bunga itu tidak jatuh. Tetapi ketika Pungguh dalam sekelabatan menyambar tangkai bunga itu, Aji Mlati memperhatikan dengan teliti. Pungguh menyodorkan bunga setangkai itu. Dan tampaklah bekas pedang yang memenggal tangkai itu. “Aku persembahkan bunga wijayakusuma ini untuk tuan”, ujar Pungguh Tolol sembari ketawa menyeringai. Aji Mlati menyambut bunga persembahan itu. Dia cium baunya. Dia tatap mata Pungguh Tolol. Tapi Pungguh membuang muka. “Kamu nakal, Kak Pungguh!” ujar Aji Mlati. “Kenapa aku dibilang nakal?”   “kau kesini menggangu latihanku. Kau mengganggu kemestian agar aku belajar khusyuk!” “Teruslah berlatih. Aku hanya menonton”, ujar Pungguh Tolol. “Jurus apa yang kak Pungguh minta?” tanya Aji Mlati. “Mulailah dari jurus pertama Burung Pujangga!” kata Pungguh”Wah, kamu pernah membaca kitab Burung Pujangga, Kak?” “Aku cuma dengar-dengar orang ngomong. Maka aku coba meminta kamu memainkar jurus pertama Burung Pujangga itu!” ujar Aji Mlati. “Kalau begitu kamu dikirim kakek untuk menjadi pelatihkul” “Pelatih? Bahasa apa itu? Aku tak tahul” ujar Pungguh Tolol.. “Jangan dusta!” ujar Aji Mlati jengkel,cemberut sayang. “Janganlah cemberut adik manis. Kamu menyuruh aku minta satu permainan kau. Maka kuminta. Cobalah main”, ujar Pungguh Tolol. Aji Mlati berkonsentrasi dengan pedangnva. Lalu mulai bersyair dengan suaranya yang merdu: Pada awalnya seekor bangau Mengintip dari sarang... Tiap baris kalimat diikuti dengan gerak. Cocornya pedang ini Yang logamnya mulia barasal dari langit Bintang Panji delapan lengkah utama meneliti alam sekeliling Sebelah kaki lebih kokoh dari dua kaki berdiri Dan semakin cepat Aji Mlati mempermainkan pedangnya dengan sebelah kaki yang kadang harus dengan dua kaki untuk memindahkan gerak menangkis.   Sementara itu Pungguh Tolol berkeliling, tapi dia terpeleset mengenai batu kecil dan seperti mengumpan dirinya untuk terkena sabetan pedang Aji Mlati yang membalik dengan sebelah kaki. Ketika inilah Aji Mlati tambah yakin, bahwa Tolol dikirimkan kakeknya sebagai pelatih. Maka dia melakukan serangan-serangan tanpa tanggung-tanggung dengan Sepuluh Jurus Pemula. Selalu saja Pungguh Tolol berhasil mengelakkan sabetan itu, sampai Aji Mlati kemudian menghentikan permainan seraya sempoyongan menuju batu besar di depan air terjun, Nafasnya ngos-ngosan. “Kakak kurang asem.. “, gerutu Aji Mlati sembari menyarungkan pedangnya. Pedang itu dilempar ke udara, dan Pungguh Tolol berseru; “Aduh kepalaku bisa ketiban!” dan cepat disambernya pedang itu sembari tertawa menyeringai. “Hentikan lelucon ini, Kak Pungguh”. ujar Aji Mliati. “Aku bukan pelawak. Aku tak membuat lelucon”. “Jangan dusta. Anda dikirim sebagai pelatihku!” “Aku cuma nonton”, ujar Pungguh, “Tadi ketika aku akan masuk jurus ke dua sampai ke jurus 10, apa kamu bukan sengaja masuk memancing sabetan pedangku?” tanya Aji Mlati. “Itu kebetulan aku kepleset!” kata Pungguh tertawa tolol. “Tidak mungkin kebetulan. Pertama ketika kakak datang, kakak mangganggu permainanku memungut kalungku yang jatuh. Hampir saja kepalamu kena penggal. Tapi kau bisa mengelak pedangku. Kemudian kau mengacau permainanku lagi dengan alasan memungut peniti. Yang ketiga kau bilang tergelincir, alasan kepleset batu! Aku tidak sudi ditonton lagi!”, ujar Aji Mlati cemberut. MELIHAT Aji Mlati cemberut, Pungguh berkata: “Tidak ada calon pendekar yang gampang merajuk!” “Aku merajuk! Aku tidak ingin jadi pendekar!” ujar Aji Mlati sembari berlari meninggalkan ruangan air terjun rahasia itu, Pungguh menyeru namanya sampai tiga kali. Tapi Aji Mlati tidak turun-turun lagi. Aji Mlati kemudian muncul di ruang bacaan Ki Ca Hya, Sang kakek sedang membaca sebuah kitab. Datanglah pertolongan cahaya menyelamatkan pendekar buta Melatihnya ilmu harimau Dan melatih pendengaran Untuk menangkap wisik.   Kakek menoleh melihat Aji Mlati muncul lalu bertanya: “Ketika kamu ikut Pita Loka di padepokan Ki Surya Pinanti, apakah Pita Loka di sana sampai 40 hari genap?” Aji Mlati cuma cemberut tak menjawab. Dengan heran Ki Ca Hya mendekati, bertanya : “Kenapa kamu anak manis?” “Aku dikibuli”. “Dikibuli siapa , Aji Mlati?” “Dikibuli si Tolol”. “Dia tidak melatihmu?” tanya sang kakek. Aji Mlati senang dengan pertanyaan kakeknya itu. Dia bertanya: “Kakek, apakah Pungguh Tolol kakek kirim untuk melatih saya?” “Betul”,sahut sang kakek. “Kalau begitu dia memang pelatih kibul, Dia kibuli saya. Katanya dia cuma nonton. Padahal tiga kali saya menemukan bukti bahwa dia pendekar pedang yang tangguh. Dia berhasil mengelak sabetan pedang saya sembari memungut kalungku yang jatuh, penitiku yang jatuh, dan sekali lagi dia berlagak tergelincir batu tetapi menguji permainanku! Saya serang dengan jurus cocor bangau pun dia cuma mengelak dengan berkelebat seperti orang berjoget”. Ki Ca Hya tertawa lebar. Tertawanya penuh kepuasan. Dan ketawanya berhenti begitu matanya tertuju pada Aji Mlati yang cemberut dan buang muka. “Hai, jangan cemberut anak manis!” ujar sang Guru. “Aku kesal. Kesaaallll sekali”, ujar sang cucu. “Mungkin kamu lapar, dan pergilah kesana makan. Minta pada pelayan dapur”. Aji Mlati akan pergi tapi berbalik. Lalu bertanya: “Tadi ketika saya cemberut, Kakek Guru menanya apa?” “Aku menanyakan tentang Pita Loka, karena aku yakin dalam Kitab yang sedang aku pelajari ini, dia berperan penting.Adakah dia empat puluh hari berguru pada Ki Surya Pinanti?” “Ya. Sebelum saya kakek culik itu”, ujar Aji Mlati. “Kalau begitu dia akan mengalami buta!” ujar Kakek tua itu. Aji Mlati terdongak kaget. “Kak Pita Loka akan mengalami buta?” tanyanya. “Itu jika perkiraanku tidak meleset menafsirkan kitab ini” “Dia buta karena bertarung?” “Demikianlah menurut ramalan.” “Siapa yang membuat Kak Pita Loka itu buta, kek?” “Seorang pendekar harimau!” “Lho, bagaimana itu bisa terjadi?” “Semuanya mungkin dalam ilmu persilatan!”   “Tapi menurut intipan saya, Kak Pita Loka itu sendiri berguru llmu Harimau, Kenapa bisa terjadi harimau bertarung dengan harimau?” “Itu bisa saja terjadi. Dalam mencapai tingkatan, tiap pendekar kadang harus diuji dengan teman seperguruan. Untuk manajamkan ilmu. Bahkan itu ujian terberat, Misalnya ada murid mwlawan Guru. Itu wajar saja dalam persilatan, hai Aji Mlati!” Aji Mlati tertawa lebar seraya berkata; “Kalau begitu bisa terjadi suatu kali Aji Mlati bertarung dengan Pungguh Tolol?” “Jika kamu cinta padanya, tak mungkin!” ujar Ki Ca Hya tertawa, Aji Mlati cemberut dan berkata menggerutu pada kakeknya: “Cinta pada si Tolol?” Dia jelek, pangkatnya pelayan di padepokan ini, Menjijikkan. Suka ngibul! Ah, aku benci padanyal” “Jangan benci. Sebab benci bisa mengakar cinta. Bunga teratai pernah mengutuk air, Katanya air itu dingin, Tapi akhirnya bunga teratai bercinta dengan air, dan hanya berpisah kalau ingin mati saja”. ujar Ki Ca Hya mengucapkan kata-kata pilihan bestari. “Ah, aku lapar!” ujar Aji Mlati. SETELAH Aji Mlati pergi, Ki Ca Hya manutup Kitab Tujuh. Dan menarok kitab itu pada tempatnya yang rahasia. Dengan hati-hati dibukanya pintu rahasia di lantai itu. Dituruninya tangga-tangga menuju air terjun rahasia. Setalah tiba di lantai terbawah, telinganya mendengar bunyi sabetan- sabetan pedang yang merupakan jurus terhalus Sembilan Bayangan Sayap Bangau. Dan dengan tercengang diawasinya siapa yang sedang memainkan jurus itu. Tak lain, tentunya, Pungguh Tolol, pelayannya. Sekadar menguji kehalusan pukulan pelayan tolot itu, Ki Ca Hya meloncat ke udara mamasuki arena dan seketika itu juga menjadi “lawan” si Tolol. Ki Ca Hya melakukan tangkisan- tangkisan yang membuktikan pula kejituannya bersilat. Dan ketika pendekar tua itu mencoba merebut pedang itu, temyata Pungguh Tolol berhasil berkelit. Sekaligus setelah itu Pungguh Tolol menghatur sembah ma”af pada Pendekar Tua itu: “Ma”afkan, semestinya bukan saya memegang pedang ini, Tuan Majikan!” “Jangan mendustakan saya, nak!”, ujar Ki Ca Hya seraya menerima pedang sakti itu dari tangan pelayannya, “Saya yakin kau telah mempelajari permainan ini bukan dalam waktu sedikit. Jika kau mangaku umurmu telah 23 tahun, setidaknya kau sudah pernah memegang pedang semacam ini pada usia 10 tahun”. Pungguh Tolol lantas mentololkan diri: “Saya ini pengemis terlantar,Tuan Guru!” “Baik. Kamu mengaku pengemis terlantar. Lalu kupungut jadi pelayan. Tapi darah yang mengalir di tubuhmu sekarang ini bukannya darah sembarangan. Katakan siapa ayahmu?” “Saya tak mengenal ayah saya, Tuan Guru!” “Katakan siapa kakek kamu!” “Juga saya tak mengenal. Saya yatim piatu semenjak kecil, Jadi tak kenal siapa lbu dan Ayah.Apalagi Kakek!” ujar Pungguh Tolol lalu terkekeh-kekeh. “Tentu kamu pernah belajar ilmu silat dengan seseorang. Dari Tujuh Harimau di kawasan bukit seratus ini, tidak mungkin salah seorang dari mereka itu menjadi sang gurumu. Kami bertujuh selalu saling berhubungan. Aku ingin mengetahui saja nama orang itu. Siapa, Pungguh?” “Orang itu tak saya kenal,” ujar Pungguh. “Jujur?” desak si tua. “Jujur, Tuan Majikan!” “Kalau begitu kamu pernah terbangun malam?” “Pernah, Tuan Guru!” “Ketika itu kamu bertemu dengan seseorang?” “Tidak. Tidak ada orang!” “Kalau begitu roh halus berupa orang tua?” tanya Ki Ca Hya bersemangat. Pungguh Tolol terkekeh sejenak. “Katakan, nak, supaya nanti kau tidak disesatkan Ilmu Setan,” ujar Ki Ca Hya, “Sebab banyak sekali roh halus berupa penjelmaan setan yang memberi pelajaran silat awal secara betul. Di pelajaran akhir dia salah. Banyak contoh pendekar-pendekar sesat yang melakukan hal itu. Antara lain pendekar iblis Dasa Laksana, malah dia ketempelan roh pendekar sesat. Sulit melepaskan diri baginya kecuali oleh kematian dengan kepala terpenggal. Juga salah seorang dari anak kandung temankus eguru. Dia mengalami kepandaian semacammu!” “Siapa nama orang itu, Ki Guru?” sela Pungguh. “Namanya Harwati.” “Dan siapa nama roh yang mengajarnya?” “Kalau sudah semacam itu, sudahs ulit mengetahui gurunya. Dia akan mengalami masa gila yang tak pernah selesai kecuali dengan benda sakti berupa Permata Hijau dari kitab Amsal Solaiman yang tersimpan di benua Afrika, yang diwariskan turun temurun untuk penyembuh sakit gila. Tapi marilah kita selesaikan dulu pertanyaan pertama: Roh orang halus yang mengajarkan kau bermain pedang begitu hebat itu siapa, nak?” “Saya sudah bersumpah merahasiakan nama beliau, Tuan Guru,” ujar Pungguh Tolol tanpa ketololan. Dia bersungguh-sungguh ketika berkata. “Baiklah. Cerita ini kita tutup,” ujar Ki Ca Hya.   Pungguh Tolol menatap majikannya dengan wajah murung. Dia kuatir kejujurannya itu membuat Sang Guru tidak menyukainya lagi. Lalu: “Tuan Guru! Saya bersedia melanggar sumpah!” “Oh tidak. Kau anak jujur meskipun tolol.peliharalah kejujuran dalam kependekaranmu yang bukan sembarangan itu,” ujar Ki Ca Hya. Pungguh Tolol tiba-tiba merintih, menangis. “Cinta Tuan Guru jangan berubah gara-gara ini, Tuan!” ujarnya “Aku tak pernah berubah sikap. Bahkan bajingan, jika aku sudah cinta, tetap aku cintai, nak!” ujar beliau dalam kata-kata hikmah. K I CA HYA segera menaruh perhatian kepada soal silsilah si Pungguh Tolol ini. Dia menganggap anak muda ini bukan turunan orang sembarangan. Jika kini usianya 23 tahun, dan dia tidak mengenal lbu dan Ayahnya, tentu dia punya masa kecil yang pahit. Ki Ca Hya mulai mengingat-ingat peristiwa apakah yang telah terjadi di masa bayi si Tolol ini. Setidaknya itu terjadi dua dasa warsa yang lalu! Dua puluh tahun yang lalu! Pertarungan dahsyat apakah yang telah terjadi di masa itu? Baru Ki Ca Hya ingat telah terjadi satu perkara besar mengenai perampokan tanah persawahan. Seorang jagoan muncul merampok tanah-tanah petani Bukit Selikur yang tak biasa bertarung. Tetapi ada seorang petani yang mengadu pada Ki Ca Hya tentang pemilikan tanah secara tidak syah ini. Ki Ca Hya muncul di Bukit Selikur dan menemui jagoan itu. Mulanya telah diperingatkan secara baik-baik. Jagoan itu ditanyainya; “Apa kelebihan tuan maka tuan berani berbuat semena-mena atas petani ini?” “Jangan banyak omong!” ujar jagoan itu mengacungkan pedangnya. “Siapa anda?” tanya Ki Ca Hya merendah. “Jangan tanya aku! Maju kalau kamu berani menantangku!” “Saya cuma ingin mendamaikan anda dangan para petani ini. Siapa anda? Darimana anda datang? Apakah anda pendekar di antara begitu banyak jagoan di kawasan Bukit Seratus ?” “Tak usah banyak tanya sebelum aku marah dan kupisahkan kepalamu!” Ki Ca Hya mundur perlahan. Lalu dia dengar seorang anak sekitar tiga tahun di gendongan ibunya bertariak-teriak. Teriakan anak kecil inilah yang membuat jagoan itu jadi kalap. Dia ayunkan pedangnya dengan sebuah permainan sembilan bayangan sayap bangau. Tentu saja Ki Ca Hya melayani pertarungan itu, Hanya dengan cara menghindar. Cara menghindar ini pulalah yang mencelakakan jagoan itu. Pedang itu bukannya memenggal leher Ki Ca Hya ketika dihantamkan ke lehernya. Dengan jurus harimau mengelakkan “Serbuan Kekasih”, pedang itu berbalik dan membelah kepala jagoan itu. Jagoan itu rubuh!Para petani bersorak. Ki Ca Hyacuma berkata : “Kuburkan mayat pendekar ingusan ini. Dan setelah Itu kerjakan tanah milik kalian kembali!”   Ki Ca Hya berlalu. la lupa menanyakan siapa anak kecil itu. Dan siapa wanita yang berpakaian pendekar itu. Lalu setelah sehari perjalanan meninggalkanBukit Selikur,ia ingat kembali pada jagoan ingusan yang telah jadi korban senjatanya itu. “Aku harus kembali. Perasaanku kurang enak”, ujar Ki Ca Hya dalam hati. Dan beliau kembali lagi ke Bukit Selikur. Benarlah! Disitu telah terjadi peristiwa mengerikan! Penduduk Bukit Selikur yang penakut rupanya bangkit marah ketika janda jagoan itu masih bersitegang. Lalu wanita itu dikeroyok ramai- ramai secara membabi buta o!eh para petani itu, karenalima orang petani sempat terbunuh dipenggalnya. Dan dalam pengeroyokan itu,wanita itu tewas. “Mana anaknya?!” seru Ki Ca Hya. “Mungkin juga sudah terbunuh dalam amukan kami”, ujar seorang petani. “Aku tidak dapat menyalahkan kalian. Biarpun begitu, kejadian ini bagiku membuat aku merinding. Kalian kejam. Tapi aku bisa menyalahkan kalian”, ujar Ki Ca Hya. Dan sejak itu, Ki Ca Hya tidak pernah kembali manginjak Bukit Selikur, hingga hari ini. Dan sore hari, ketika pelayan tolol itu selesai menghidangkan makanan baginya, Ki Ca Hya memanggil : “Pungguh, kemari kamu Tolol!” “Adaapa, tuan Guru?” “Tentu kamu pernah belajar ilmu silat dengan seseorang. Dari Tuiuh Harimau di kawasan bukit seratus ini, tidak mungkin salah seorang dari mereka itu menjadi sang gurumu. Kami bertujuh selalu saling berhubungan. Aku ingin mengetahui saja nama orang itu. Siapa, Pungguh?” “Orang itu tak saya kenal”, ujar Pungguh. “Jujur?”desak si tua. “Jujur.Tuan Majikan!” “Kalau begitu kamu pernah terbangun malam?” “Pernah, Tuan Guru!” “Ketika itu kamu bertemu dengan seseorang?” “Tidak. Tidak ada orang!” “Kalau begitu roh halus berupa orang tua?” tanya Ki Ca Hya bersemangat. Pungguh Tolol terkekeh sejenak.   “Katakan, nak, supaya nanti kau tidak disesatkan ilmu Setan”, ujar Ki Ca Hya, “Sebab banyak sekali roh halus berupa penjelmaan setan yang memberi pelajaran silat awal secara betul. Di pelajaran akhir dia salah. Banyak contohnya pendekar-pendekar sesat yang melakukan hal itu, Antara lain pendekar iblis Dasa Laksana, malah dia ketempelan roh pendekar sesat. Sulit melepaskan diri baginya kecuali oleh kematian dengan kepala terpenggal. Juga salah seorang dari anak kandung temanku seguru. Dia mengalami kepandaian semacammu!” “Siapa nama orang itu, Ki Guru?” sela Pungguh. “Namanya Harwati”. “Dan siapa nama roh yang mengajamya?” “Kalau sudah semacam itu, sudah sulit mengetahui gurunya. Dia akan mangalami masa gila yang tak pernah selesai kecuali dengan benda sakti berupa Permata Hijau dari kitab Amsal Solaiman yang tersimpan di benua Afrika, yang diwariskan turun temurun untuk penyembuh sakit gila. Tapi marilah kita selesaikan dulu pertanyaan pertama: Roh orang halus yang mengajarkan kau bermain pedang begitu hebat itu siapa, nak?” “Saya sudah barsumpah merahasiakan nama beliau, Tuan Guru”,ujar Pungguh Tololl tanpa ketololan. Dia bersungguh-sungguh ketika berkata. “Baiklah. Cerita ini kita tutup.”, ujar Ki Ca Hya. Pungguh Tolol menatap majikannya dengan wajah murung. Dia kuatir kejujurannya itu membuat sang Guru tidak menyukainva lagi. Lalu: “Tuan Guru! Saya bersedia melanggar Sumpah!” “Oh, tidak. Kau anak jujur meskipun tolol. Peliharalah kejujuran dalam kependekaranmu yang bukan sembarangan itu”, ujar Ki Ca Hya. Pungguh Tolol tiba-tiba merintih, menangis. “Cinta tuan Guru jangan berubah gara-gara ini, Tuan!”, ujarnya. “Aku tak pernah merubah sikap. Bahkan bajingan, jika aku sudah cinta, tetap aku cintai, nak!” ujar beliau dalam kata-kata hikmah. “Silakan duduk yang baik”. Pungguh Tolol duduk secara serampangan. “Duduk yang baik, nak!” ujar Ki Ca Hya.   “Ini sudah duduk paling baik, Tuan Guru!” Ujar Pungguh Tolol dengan ketawa serampangan pula. “Kalau itu sudah terbaik menurutmu, tak apalah. Memang kamu tak pernah dididik sopan santun. Bukan begitu, Tolol?” “Benar,tuan Guru.” “Sekarang aku mau tanya kamu : Pemahkah kamu mengenal bukit yang disebut Bukit Selikur?” tanya Ki Ca Hya. “Tidak pernah tuan Guru!” “Jangan bohong”. “Saya ini tolol dan jujur, jujur dan tolol, tuan Guru!” ujar Pungguh, “Kamu ingat masa kecilmu?” tanya Ki Ca Hya. “Tidak ingat, tuan Guru”. “Lain kamu pernah tinggal dengan siapa?” “Lupa”, sahut Pungguh Tolol lalu dia tertawa terkekah-kekeh. K I CA HYA Jadi semakin ingin tahu. Dia ingin mengetahui, selama menjadi pengemis, desa-desa dan padepokan manakah yang dia singgahi? Lalu pagi ini dipanggilnya pelayannya. Pelayan setia itu, Si Pungguh Tolol, muncul seketika : “Tuan majikan memanggil saya?” “Ya, Saya ingin menanyakan sesuatu. Sebelum kedatanganmu ke sini, kamu tentu mengemis dari desa satu ke desa lain. Tentu kamu juga lewat padepokan demi padepokan, Bisakah kamu mengingat nama beberapa desa yang kamu lewati?” Pungguh nyengir dan menggelengkan kepaaa. Ini mencengangkan ! Lalu Ki Ca Hya bertanya lagi : “Satu desa saja kamu tak ingat namanya?” “Tidak, tuan Guru.Kalau saya mengemis, sesudah dikasih makan dan minum lalu saya di Usir. Cuma disini saya tidak diusir”, Ujar Pungguh, “Pernah kenal nama pendekar wanita?” tanya Ki Ca Hya. “Wah, banyak. Hebat, tuan Guru. Pendekar wanita itu lebih hebat dari pendekar lelaki, Misalnya saja Aji Mlati, Hebat sekali”, kata Pungguh. “Tentu Aji Mlati kamu kenal, Tapi pernah mendengar nama pendekar Pita Loka?” “Pernah kenal”, “Dimana?” “Di sini. Yang cerita Aji Mlati”, kata Pungguh. Ki Ca Hya tertawa terbahak.   “Sudah. Latihlah Aji Mlati pagi ini. Pernah membaca Kitab Kebun Senjata, bukan?” “Hmmm. Cuma curi-curi, tuan Guru”, ujar Pungguh senyum-senyum. “Kalau begitu pagi ini latihlah dia dengan jurus Menangkis Seratus Pedang”, ujar sanag Guru. “Baik, tuan Guru. Saya Tengok tadi Aji Mlati sudah turun ke air terjun”, ujar Pungguh Tolol. Lalu si Tolol itu pun pergi. Dia memasuki pintu rahasia ke lantai bawah tanah, dan menemukan Aji Mlati masih berlatih jurus Sembilan Bayangan Pedang. Dan dengan serta merta Pungguh meloncat didepan air terjun itu, dan berbuat dirinya menjadi lawan tangguh Aji Mlati. Aji Mlati senang sekali berlatih dengan adanya lawan dihadapannya. Tetapi keasyikan dua orang ini tidak mengganggu rencana Ki Ca Hya pagi ini. Seluruh ruangan sudah di kunci menurut tata aturan sebelum beliau berangkat. Ya, beliau akan berangkat menuju Bukit Selikur. Di sebuah desa yang dilaluinya, Ki Ca Hya bertanya : “Pernah kenal Pungguh. Tolol?” “O, pemuda gila itu?” sahut pemilik warung. “Betul. Pemuda gila tak tahu adat itu. Pernah dia tinggal di desa ini?” “Dia cuma mengemis. Tidak tinggal di sini. Dia bolak balik di sini sejak kecil”. “Sejak kecil?” tanya Ki Ca Hya. “Sejak masih anak-anak menurut cerita orang-orang di desasana maupun desa sini, si Pungguh Tolol hanya mengemis”. “Tahu kalian anak siapa dia?” tanya Ki Ca Hya. “Kami tak tahu nama ayahnya. Tapi orang bilang dia anak perarrpok, Kami benci, tapi terpaksa memberi makan minum karena kasihan”. “Terimakasih”, ujar Ki Ca Hya lalu berlalu. Hampir semua desa yang dilalui menjawab pertanyaan dengan cerita yang sama. Tetapi cerita itu berbeda ketiga guru tua itu tiba di desa Bukit Selikur. Tiba di desa ini Ki Ca Hya datang dengan menyamar. “Aku datang ke sini mencari salah seorang saudaraku!” “Namanya siapa, Pak?” “Karena peristiwanya duapuluh tahun yang silam, mungkin kalian lebih tahu nama orang itu. Orang itulah yang memelihara seorang anak kecil yang ibu bapanya dibunuh orang-orang tani di sini”, ujar Ki Ca Hya. “Anak perampok yang mati dibunuh Ki Ca Hya, yang isterinya lalu kami bunuh ramai-ramai?” “Betul”, sahut Ki Ca Hya, “Yang aku cari bukan anak itu.Tapi orang yang memelihara anak itu”.   “Anak itu tidak dipelihara. Tapi sudah dibunuh oleh Nyi Pungguh, seorang wanita pertapa tua yang mengutuk perampok dan isterinya. Anak itu dia culik, lalu dibabatnya dan dagingnya dilempamya ke kali”. “Nah, Nyai Pungguh inilah yang saya ingin temukan”, ujar Ki Ca Hya. “Dia tetap bertapa di guha Selikur. Entah masih hidup atau sudah ghoib. Kami cuma bisa menunjuki guha itu. Masuk kedalamnya tidak berani, Pak”, ujar si pemilik warung. “Itu sudah cukup. Tunjuki saja aku letak guha itu”, ujar Ki Ca Hya. Lain ki Guru tua itu diantar oleh seorang bocah ke depan guha itu. GUHA Bukit Selikur itu sebetulnya bukan sebuah guha. Itu hanya lubang di dinding tebing. Yang membuatnya serdadu Jepang, Tetapi ketika dilubangi sejarak enam meter, rupanya kepentok batu besar. Lalu dibatalkan. Nenek tua itu, Nyi Pungguh, berdiam disana sudah tiga puluh tahun lamanya. Dan orang pun bingung bagaimana caranya Nyi Pungguh memanjati tebing itu sebab tidak ada tangga. Tapi buat Ki Ca Hya memanjat dinding sebegitu amatlah mudah. Dia memanjat saja seperti dalam waktu sedetik, bagai sebuah batu dilontarkan. Begitu dia terlontar masuk guha itu, seorang nenek tua sudah menantinya dengan pedang terhunus. “Aku datang bukan dengan maksud jahat”, ujar Ki Ca Hya. “Saya kenal kau, Ki Ca Hya”, ujar Nyi Pungguh. “O, terimakasih”. “Silakan duduk, Jika kau memang bermaksud baik, silahkan ikut makan sirih”. “Saya puasa”, ujar Ki Ca Hya. “Kalau begitu , tuan Guru ingin mempertanyakan anak itu”, “Ya.. “ “Dia melarikan diri setelah tahu caranya turun dari tebing ini. Tanpa aku ajar. Tapi memang waktunya si Pungguh lepas dari tanggunganku. Aku hanya mengandalkan rasa batin, Kasihan. Maka sebelum dia terbunuh oleh petani-petani yang sakit hati itu, aku culik. Pedang yang berdarah itu untuh membuktikan pada para petani itu, bahwa anak kecil itu sudah aku bunuh dan aku buang ke sungai. Tapi si Pungguh berada di mana sakarang, saya tidak tahu”, ujar Nyi Pungguh.   “Dengan maksud apa anda memberikan nama si Pungguh padanya, Nyi?” “Supaya dia tidak dikenal, Hanya orang ini yang kenal dia. Mereka sebenarnya, mengusirnya dengan melemparinya dengan batu. Mereka cuma memanggilnya Si Anak Perampok. Itulah gelar yang menyedihkan. Tuan ke sini karena ingin menebus kasih sayang sebab telah memenggal ayahnya?” “Bukan dengan maksud itu. Dia mati bukan dengan pedangku. Tapi pedang dia sendiri sebelum memenggal kepalaku. Aku ke sini hanya ingin tahu. Setidaknya nama ayahnya”. “Aku tak mengenal perampok itu, apalagi namanya, Ki Ca Hya!” Nenek tua itu tersenyum. “Hati-hati. Aku yakin, jika nanti waktunya tiba, si Pungguh akan datang ke desa Bukit Selikur ini. Tentu dengan penyelidikan atau mendengar cerita dari orang lain, bahwa ayahnya mati dibunuh Ki Ca Hya. Dia akan membalas dendam. Kepadaku sering dia tanyakan ayahnya. Tapi aku tak tahu. Dan kemungkinan, dia minggat dari tempatku ini disebabkan keinginannya untukmencari ayahnya”. “Kini aku ayahnya”, ujar Ki Ca Hya dengan nada haru. “Tuan Guru?” “Dia tinggal di padepokanku. Aku akan didik dia sampai waktunya nanti dia bisa kulepas. Kuajarkan dia agar dia kelak jadi pendekar”, ujar KiCa Hya. “Itu baik, Tapi juga tidak baik”, ujar Nyi Pungguh. “Aku tahu maksud anda. Bahwa suatu ketika dia akan membalas dendam, membunuhku. Begitu maksud Nyi Pungguhkan ?” “Itu sudah naluri alam”, ujar Nyi Pungguh. “Kuharap tidak. Baiklah. Aku harus kembali kepadepokanku”, ujar Ki Ca Hya. Beliau bersembah pada nenek tua berusia 150 tahun itu. Lalu di depan gerbang dia membaca mantera sejenak : Bang gedibang Aku tak ada aku terbang Sepancaran cahaya telah menyilaukan nenek tua itu sampal air matanya keluar saking silaunya. Lalu yang tampak adalah bola api yang membal dari pohon ke pohon. Setiba di padepokan, Ki Ca Hya tidak segera masuk. Batinnya gusar. Seperti ada sesuatu telah terjadi. Lalu muncullah pengurus rumah tangga. “Adaberita buruk?” tanya Ki Ca Hya. “Tuan Guru mungkin sudah tahu”.   “Maka kuharap kalian semua di padepokanku jangan berburuk sangka pada apa yang telah terjadi. Pungguh Tolol melarikan Aji Mlati bukan karena hawa nafsu jahat. Kuharap dia jaga cucuku, agar ilmunya lebih mantap, ini semua karena kesalahan dan kekhilafanku jua. Telah kuberi tahu pada Aji Mlati, bahwa yang membunuh ayah dan ibunya adalah Ki Rotan. Tentu mereka pergi berdua bukan dengan alasan minggat atau nafsu kelamin. Mereka pergi karena ajakan Aji Mlati. Sudahlah. Kita terima kejadian ini sebagai bagian dari perjalanan alam”, lalu Ki Ca Hya masuk ke ruang pertapaan, RAMALAN pendekar bijak bestari biasanya jarang yang meleset. Begitu pula ramalan Ki Ca Hya. Hatinya tidak gundah karena sang cucu yang perawan remaja sepertinya dibawa minggat oleh Pungguh Tolol. Pendekar yang agung bukannya menyerah pasrah pada manusia, tetapi menyerahkan kekuasaan pada Yang Maha Kuasa yang justru mengatur seluruh gerak di Alam Semesta ini. Ki Ca Hya cuma membantu dengan sedikit do”a. Tapi bukannya beliau bersantai diri. Beliau langsung membuka sebuah lemari tua. Diambilnya Pedang Mercu Api yang tidak pernah dia jamah sejak diwariskan ayahnya. Kemudian dia mengangkat sumpah dengan mengacukan pedang sakti Itu : “Kau bukan tuanku. Akulah tuanmu. Karena itu kau yang mesti ikuti permainankul Jika saja pendekar tidak memerlukan senjata, kamu hanyalah sepotong besi tak berarti!” Sumpah itu pesan ayahnya ketika mewariskan pedang bertuah itu. Lalu beliau turun ke Air Terjun Rahasia. Disinilah beliau berdiri didepan air terjun seraya membaca mantera : Dang kata Pedang Pedang dilarang mempecundang! Dan dia kumpulkan napas, lalu dia tebas air terjun itu. Begitu dahsyatnya angin yang terbawa oleh arus ayunan pedang itu, sehingga air terjun itu terbelah dua. Tebasan kedua dilakukannya lagi. Tebasan ketiga dilakukannya lagi! Kemudian pendekar tua itu memberi amanah kepada pedangnya : “Bila saatnya tiba nanti . . . Kamu hanya menangkis! Aku larang kau melukai anakku, Pungguh Tolol itu!” Pada detik itu. Pungguh Tolol yang sedang menggeletak di lembah yang disaput rumput hijau terbangun dari separuh tidurnya. Dia bukan bermimpi, Tapi telinganya seakan mendengar suara majikannya memanggil namanya. Dan dia lalu berdiri seperti mencari sesuatu, sehingga Aji Mlati bertanya : “Hai Pendekar Tolol, kau mancari apa, ha?” “Aku mencari suara”. “Suara siapa?” “Suara Ki Guru. Suara Ki Ca Hya”, ujar Pungguh.   “Daripada buang waktu, mari kita lanjutkan perjalanan”, ujar Aji Mlati bersitelekan dengan pedangnya untuk berdiri. Pungguh Tolol, sebagaimana biasa,patuh saja. Dia melanjutkan perjalanan berdampingan dengan perawan jelita Aji Mlati. “Belum ketemu satu desa pun”, ujar si Tolol dengan cemas. “Untuk apa ketemu desa? Perjalanan kita pun rahasial” ujar Aji Mlati. “Aku butuh melakukan sesuatu!” “Melakukan apa lagi, Tolol?” “Mengemis. Kebiasaanku menerima kasihan orang lain, Aji Mlati”. Aji Mlati ketawa : “Wahai kakak Pungguh! Pantas jika kamu digelari si Tolol. Alangkah sayang parasmu yang cantik itu”. “Aku cantik? Mana yang cantik dengan kau, dik Aji?” “Mukamu itu mirip banci”. “Banci itu termasuk binatang apa, dik Aji?” “Banci itu termasuk manusia purbakala”. “Uh, jangan bikin aku jadi ngeri. Ngeri aku!” ujar Pungguh Tolol. Tiba-tiba mereka dihadang olah empat orang tak dikenal. “Wah, kita celaka”, ujar Pungguh kuat-kuat. Empat lelaki bersenjata golok itu ketawa terbahak mendengarnya. “Jangan teruskan perjalanan”, ujar empat lelaki itu. “Kalian orang berdosa”, uiar Aji Mlati, “Jangan tantang mereka berkelahi, dik Aji ! Mereka hebat. Aku takut “, ujar Pungguh Tolol. “Jangan takut Aku juga takut. Tapi kepada empat lelaki ini aku ingin bertanya : Hai, saudara-saudara, pernah kalian baca Kitab Tao-Te Ching ayat 337” Empat lelaki itu mulai mengayunkan golok dan mengancam. Namun Aji Mlati berkata : “Ayat itu menyebutkan : Siapa mengenal orang lain maka dialah orang bijaksana. Tapi siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka dia memperoleh cahaya”.   Dalam sekelebatan Aji Mlati mencabut pedang saktinya dan satu ayunan pedangnya menciptakan empat bunyi beradunya pedang itu dengan empat mata golok penghadang. Pungguh Tolol berlompatan melarikan diri, tetapi dia akhirnya meloncat seraya menjerit-jerit ke tengah arena. Berkali-kali golok-golok itu hampir mengenai tubuhnya, kakinya, bahkan lehemya. Tapi ketololannya mengelak itu menimbulkan rasa ngeri pada empat pencegat. Dan disaat itulah satu sabetan tak terduga terjadi : Kaki Pungguh menghajar empat dengkul musuh dengan satu tarikan nafas. Mereka menjerit. Dan Pungguh bertanya : “Kenapa kalian menjarit?”. Lalu dipungutnya empat golok musuh dari rumput ; “Belajar mengasah golok. Belajar memegangnya. Baru berkelahi!” LALU empat golok itu dibagi-bagikannya kembali kepada empat pencegat tadi. Seraya berkata; “Belajar ilmu silat pada guru yang baik, ya?” “Aduh, kaki kami lumpuh!” seru salah seorang lelaki pencegat. “Itu lebih bagus. Kalau lumpuh, belajar main atas saja. Dan kalian berempat akan terkenal sebagai Empat Pendekar Lumpuhl” dan Pungguh Tolol ketawa terkekeh. “Siapa tuan? Aku akan belajar padamu!” seru lelaki itu lagi. “Aku? Aku ini pendekar tolol. Kalau balajar pada guru tolol, kalian malah akan bertambah tolol”, “Apa kamu bukannya Pungguh Tolol? “ tanya yang seorang lagi. “Tebakan jitu”. “Kalau begitu kamu pernah mengemis di desaku!” kata yang satu. “Memang betul”, ujar Pungguh Tolol, lalu menadahkan tangannya pada orang itu dan berkata berhiba-hiba : “Tuan, kasihani aku, Aku mengemis padamu, tuan”. Aji Mlati menghela lengan Pungguh seraya berkata : “Ayoh, kak. Jangan pedulikan mereka lagi”. Pungguh Tolol pun terkekeh-kekeh dan mengikuti langkah Aji Mlati yang tegap perkasa. Sedangkan Pungguh hanya melangkah santai, sekali-sekali mengejar Aji Mlati seraya berseru : “Tunggu . . hai . . . aku ketinggalan!” Aji Mlati tertawa dan menunggunya. Ketika telah dekat dengan Aji Mlati, Pungguh Tolol berkata : “Di kitab apa kamu baca Tao-Te Ching itu, dik Aji?” “O, yang kau maksud ucapanku pada empat pencegat tadi, kak?”   “Betul, Aku kagum sekali otakmu pintar menghafal. Aku sendiri orang tolol”, ujar Pungguh merendah. “Kau jangan kibuli aku lagi, kak. Tadi dengangaya tololmu sudah kau rusak dengkul empat bajingan itu”, ujarAji Mlati. “Coba dengar baris ayat 19 Tao-Te Ching punyaku ini, dik Aji :Sasari dirimu yang bersahaja. Pegang teguh sifatmu yang aseli” Aji Mlati melongo. Lalu berkata : “Berkali-kali kamu membuat aku terpelongo, Tolol”. Lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan lagi. “Hai, sungai ! Mungkin ini sungai Selawi yang aku mimpikan tadi malam”, ujar Aji Mlati tiba-tiba sesampai ditepi lembah. “Tadi malam kamu barmimpi, dik Aji?” tanya Pungguh Tolol. “Betul, kak”. “Coba terangkan padaku”, ujar Pungguh Tolol. “Aku bermimpi harus ikut arus sungai ini. Dalam berenang itu, nanti aku akan mendengar suara halus yang memberitahukanku”, ujar Aji Mlati. “Suara halus Ki Ca Hya?” “Bukan, Suara nenekku!” ujar Aji Mlati. Lalu Aji Mlati mempersiapkan diri untuk mencebur, Tapi Pungguh mencegah : “Jangan mencebur begitu saja!” “Kenapa?” “Aku bagaimana?” “Kau juga menceburl” “Tidak mau ah !” “Kenapa, kak? Kita nanti akan sampai ke pedukuhan Bukit Rotan !” “Tak ikut ah!” “Kanapa, kak?” “Soalnya . . . aku tidak bisa berenang”, ujar Pungguh Tolol. Ajl Mlati merasa itu cuma akal tolol dan lelucon belaka. Maka setelah dia selipkan pedang saktinya itu diikat pinggang, Aji Mlati pun mencebur ke sungai Selawi itu . Tapi Pungguh tak ikut mencebur, Dia cuma berlari ditepi sungai itu saja seraya berseru : “Aku begini sajalah! Aku tak bisa berenang !”, dan dia ketawa terkekeh berlari ditepi sungai itu menuruti Aji Mlati yang ikut arus. “Ha-ha... untung aku tak pandai berenang ! Bajuku tidak basahl” teriak Pungguh Tolol lagi. Larinya Pungguh ditepian sungai itu menjadikan Aji Mlati terhibur. Dan dia tidak merasa letih mengendalikan arus yang samakin ke hilir semakin besar. Ketika sudah agak lama, Aji Mlati mendadak tidak melihat lagi Pungguh Tolol lari ditepi. Maka dia pun memagut sebuah batu besar dan kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Lalu berteriak : “Kak Pungguh, dimana kau?” “Dimana kau Kak Pungguh?” teriaknya lagi dengan cemas. Terdengar sahutan dari tengah sungai, sewaktu sebuah kepala menyembul : “Aku disini! Ayoh berenang lebih cepat!” “Kurang ajar, rupanya kamu bisa berenang lebih baik dariku!” gerutu Aji Mlati. SEMENTARA itu. Ki Ca Hya di padepokannya tidak berdiam diri. Kepergian Aji Mlati dan PungguhTolol bukan untuk dilepas begitu saja. Dia masuk ke tempat latihan. Enam murid yang sudah dia gembleng dengan baik dia kumpulkan. “Kalian semuanya enam orang akan aku kirim untuk menculik cucuku Aji Mlati. Jelas?” “Jelas, tuan Guru”, “Kalian berangkat enam orang. Tapi jangan kuatir. Sebenarnya aku ikut bersama kalian”. “Jadi Tuan Guru juga ikut?” tanya Pendekar Pertama. “Bukan jasadku yang ikut. Tapi bayanganku akan ikut”, ujar Ki Ca Hya. “Kemana kami harus menuju?” “Ke satu tempat yang harus mengikuti aliran sungai “ular”. Jelas?” tanya Ki Ca Hya. “Sungai yang semacam ular cuma satu, Ki Guru !” “Benar, Pendekar Kedua. Yaitu sungai Selawi yang membelit tujuh Bukit Utama, Sungai ini arusnya berbahaya”, kata Ki Ca Hya. “Kami sudah terlatih berenang ! “ ujar Pendekar Ketiga. “Ha, jangan takabur. Sungai ini sewaktu-waktu didatangi banjir dahsyat. Orang bisa terbawa oleh arus banjir dan pergi ke satu lembah sesat dan bisa mati di situ. Ancaman bahaya inilah yang akan dihadapi oleh Aji Mlati”, ujar Ki Ca Hya. “Tapi bagaimana dengan Pungguh Tolol, pelayan tuan?” tanya Pendekar Pertama. “Dia tidak ikut kami culik?” tanya Pendekar Kelima. “Jangan”, ujar Ki Ca Hya. Wajahnya tampaknya bimbang. Dan memang, sejak secara mendadak seminggu yang lalu Ki Ca Hya didatangi mimpi itu, kebimbangan dan kecemasan mewarnai tingkah laku beliau. “Mereka berdua sesungguhnya akan ke Bukit Rotan, kawasan berbahaya yang riam- riam sungainya mengerikan. Aku kadang harus berhati-hati memutuskan sesuatu yang khusus mengenai cucuku Aji Mlati ini, anak-anak! Dia keras seperti Neneknva almarhum, Aku kuatir, kepergiannya minggat bersama Pungguh Tolol ini dikarenakan bimbingan roh Neneknya. Aku sudah bertenung mengenai perjalanannya. Anak ini mencebur ke sungai Selawi, lalu diikuti si Pungguh, dan kelihatannya ia mengikuti bisikan roh Neneknya untuk membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibunya. Aji Mlati menyaksikan kematian itu didepan matanya sendiri. Tentu dia akan membunuh Ki Rotan dengan suatu balas dendam. Tapi ilmu Ki Rotan ini amat gawat!” “Tuan guru bimbang?” tanya Pendekar Pertama. “Tidak. Tapi aku melihat penghalang pertama. Penghalang ini tidaklah jelas orangnya, si Tolol atau Roh Ayah atau Roh Kakeknya!” Enam pendekar yang sudah bersiap-siap untuk terjun bartarung itu saling melihat satu dengan yang lain. Ki Ca Hya akhirnya mengepalkan tinju, dan memukul lantai: “Hampir saja aku berbuat dengan bimbingan setan”. “Tuhan melihat sesuatu yang ghaib?” “Ya. Mari kita ka ruang latihan”, ujar Ki Ca Hya, “Aku memutuskan untuk membatalkan penculikan ini”. Enam murid utama itu mengikuti perjalanan memasuki satu bukit rahasia, lalu memasuki terowongan di bawah tanah. Disinilah letak ruang latihan. “Semua duduk jajar bersila”, ujar sang Guru. Enam pendekar murid utama itu duduk jajar bersila dihadapan Guru yang juga duduk bersila. “Tidak sebagaimana biasanya, kali ini aku akan ngisi kalian berenam. Mari maju ke hadapanku Pendekar Pertama”, ujar Ki Ca Hya.   Pendekar Pertama mengingsut pantatnya sampai dekat dengan Ki Ca Hya. Setelah jarak sedepa, Ki Ca Hya memegang kepalanya. Si itu isi Isi si isi dengan tanah, air, angin, api Dari Kebun Senjata ada satu permainan binatang Binatang belalang. Lang kata binatang Lang kata belalang Belalang kata orang Rang Cangcorang Si isi Isimu Cangcorang ! Lalu Pendekar Pertama disuruh mundur. Dari gerak mundurnya tampaklah dia sudah diisi dengan gerak mundur belalang Cangcorang. “Pendekar Kedua sekarang”, ujar Ki Ca Hya. Lalu Pendekar Kedua mengingsut pantatnya menuju sang Guru. Dan sang Guru mangisi lagi dengan mantera yang sama. Ketika sudah terisi. Pendekar Kedua pun mundur seperti Cangcorang mundur. SETELAH enam murid utama itu diisi, Guru Tua itu pun berseru ; “Pendekar Pertama maju berhadapan dengan Pendekar Keenam”, “Kamu Pendekar Kedua maju berhadapan dengan Pendekar Kelima”, ujar Ki Ca Hya lagi. “Dan kamu Pendekar Ketiga maju berhadapan dengan Pendekar Keempat”, ujar sang Guru kemudian. Setelah masing-masing berhadapan, sang Guru berteriak ; “Tarung!” Dan bertarunglah tiga pasang pendekar itu dengan jurus-jurus kaku. Dan selalu, yang satu cuma diam dan yang lain menyerang. Setelah semua jurus dimainkan, Ki Ca Hya berteriak lagi; “Berhenti!”   Latihan itu berhenti. Ki Ca Hya memanggil Pendekar Kedua, Keempat dan Keenam. “Kalian bertiga ini memiliki kemampuan bertahan. Jadi kalian tidak aku perkenankan menyerang musuh datam tugas ini, Cuma bertahan, mengerti?” “Ya, tuan Guru!” tiga pendekar itu serentak menyahuti. Lalu tuan Guru memerintahkan enam pendekar itu membuat lingkaran yang mengelilingi beliau. Setelah lingkaran itu terbentuk, tuan Guru tua itu memberi perintah. “Semua membelakangiku !” ujarnya. Enam pendekar murid utama itu patuh membelakangi Ki Ca Hya. Lalu mereka dengar pula perintah beliau. “Semua angkat tangan ke atas!” Enam pendekar murid utama itu mematuhi, angkat tangan. Dan dalam sekejap mata tendangan putar Ki Ca Hya menendang enam pantat muridnya itu, sehingga mereka jungkir balik dengan gerak silat Cangcorang. Pendekar Pertama, Ketiga dan Ke!ima langsung menyerang Ki Ca Hya dengan gerak kaku. Tetapi Ki Ca Hya mengelak serbuan itu. Bahkan dia menyerang Pendekar Kedua, Ketiga dan Keempat yang selalu bertahan. Setelah pertarungan Uji coba itu selesai, Ki Ca Hya tersenyum. Sudah seminggu beliau tidak tersenyum. Kini beliau berkata : “Aku puas dengan tiga muridku yang mampu menahan seranganku!” “Tapi..,.”. beliau tersenyum lagi. “Ini kalian yang bertiga menyerangku harus dengan sepenuh hati!” Pendekar Pertama, Ketiga dan Kelima diperintahkan menyerang sang Guru. Menyerang dengan sepenuh hati. Dan serangan Cangcorang bertiga ini memang dahsyat sekali, “Kini aku puas”, ujar sang Guru. Begitu keluar dari ruang latihan itu, Ki Ca Hya bertanya : “Apa ada diantara kalian yang lapar dan haus?” “Kami semua lapar dan haus, Ki Guru!” “Tentu saja. Kita Sudah tiga hari tiga malam melakukan latihan. Rasanya cuma satu jam saja. . . .”, Ki Ca Hya tertawa dan mengajak mereka kedapur. Disini, isteri keempat Ki Ca Hya menyambut mereka ; “Tiga hari tiga malam kalian tidak kelihatan. Tentu kalian akan rakus hari ini”. Dan memang mereka semua rakus memakan hidangan itu. Tapi Ki Ca Hya tidak ikut makan. Beliau hanya minum satu mangkuk air putih balaka. Lalu kembali ke tempat beliau sering berada. Di ruang baca rahasia. Tiba-tiba saja beliau merasakan kedua kakinya bergetar. Beliau pun menyadari ini suatu perintah untuk meninggalkan tempat. Betul. Tangannya pun ikut bergetar. Dan membuka pintu rahasia menuju ruang bawah tanah. Beliau masuk ke bawah, menuju tempat latihan utama, didepan air terjun Rahasia itu. Tapi beliau tidak berlatih suatu apa.   Beliau hanya duduk besila dihadapan air terjun itu, seraya mengucapkan kata-kata singkat yang semakin lama semakin cepat. Mata beliau tertutup. Lidah beliau bergerak makin cepat mengucapkan sepatah Kata Utama, Dan kemudian, ketika matanya terbuka, air terjun itu seakan-akan tak bargerak. Putih bagai kaca belaka ! Mata Ki Ca Hya menatap keputihan warna kaca dihadapannya. Lalu tampak oleh beliau bahwa Aji Mlati tidak lagi berhanyut-hanyut. Dia malah sedang berlatih dihadapan Pungguh Tolol. Sungguh wajah tua itu senang menyaksikan latihan pedang yang dahsyat itu ! Barulah kemudian beliau memejamkan matanya lagi. Dan memang, ditepi sungai yang berpadang rumput luas itu, Pungguh Tolol melatih permainan silat Aji Mlati dengan penuh kesungguhan... “Aku letih, Tolol”, ujar Aji Mlati. “Tinggal sembilan Jurus lagi. Seluruhnya ini khusus untuk persilatan malam hari. Memang yang meletihkanmu karena jurus malam ini seluruhnya terbalik dengan jurus siang. Ayoh, sembilan jurus lagil” ujar Pungguh. Aji Mlati dengan malas mematuhi pelatihnya. Tapi sang pelatih menggerutu : “Jurus akhir tadi hampir kepalaku jadi buntung!” SEMENTARA itu, di padepokan Ki Ca Hya tampaklah kesuraman. Kesuraman di suatu pagi! “Agar hatiku puas, kalian, enam murid utama, aku perintahkan untuk berangkat. Tugas kalian tidak banyak. Cuma menculik Aji Mlati yang terpaksa aku tunda empat hari”. “Kami ta”at, tuan Guru.” “Ingat, tugas kalian hanya menculik Aji Mlati”, ujar Ki Ca Hya mengulangi. “Baik, tuan Guru. Kami ta”at dan kami berbuat!” “Berangkat sekarang”, kata Ki Ca Hya. “Tapi apa tuan Guru tidak diliputi keraguan atas kemampuan kami?” tanya Pendekar Pertama.   “Terpaksa aku memberi pesan tambahan, Aji Mlati jangan dibawa pulang dalam keadaan terluka. Itu saja, Ayoh berangkat!” ujar Ki Ca Hya. Enam murid utama itu mencium tangan sang Guru dengan berlutut. Sang Guru lalu meneteskan airmata. “Kenapa tuan Guru menangis? tanya Pendekar Pertama. “Entah. Kali ini aku tak tahu mengapa getaran Jantungku begini keras. Sepertinya aku ini akan mati”, ujar sang Guru. Enam murid utama itu berdiam diri pada mulanya. Lalu, karena Pendekar Pertama menangis maka menangislahlima pendekar lainnya. Namun mareka sudah berteguh hati untuk berangkat. Perjalanan mereka ketika fajar itu sungguh marupakan perjalanan yang penuh rasa kepahlawanan dan memikul amanat. Bukan sekali dua kali apabila mereka melewati desa, mereka digoda oleh pendekar-pendekar tanggung yang hampir menimbulkan perkelahian. “Ingat, jangan tergoda oleh setan”, ujar Pendekar Pertama padalima temannya. Ketika mereka di jamu minum di sebuah desa kecil yang tak mereka kenal, tiga lelaki muda memancing perkelahian. “Mereka ini minum tidak bayar”, ujar satu lelaki muda. “Kami sudah mengajukan permohonan pada lbu ini sejak semula. Bahwa kami akan mengemis minuman”, ujar Pendekar Pertama. “Kalau begitu kalian berenam ini pendekar-pendekar”, ujar lelaki muda itu, yang langsung memegang kepala Pendekar Partama. Pendekar Pertama kelihatan berusaha sabar. Ketika Pendekar Ketiga bangkit berdiri sewaktu melihat Pendekar Pertama dijenggut rambutnya oleh si lelaki muda itu, Pendekar Pertama berkata: “Jangan menyerang!” Temyata ada sepuluh lelaki muda yang kemudian menyeret enam pendekar itu keluar dari warung, Mereka mengeroyok enam pendekar itu. Disini ilmu mereka benar-benar diuji. Mereka ditendang dan dipukul, tetapi mereka cuma mengelak. “Kami kalah”, seru Pendekar Pertama. Dia ditendang tepat didadanya begitu menyatakan diri kalah. Dan dengan satu kayu dia pun kena pukul tepat dibahunya, tapi cuma menghindari diri saja. “Mari kita lari!” teriak Pendekar Pertama ketika dilihatnya Pendekar Kelima mulai naik darah dan secara tak sengaja membuat penyerang jatuh pingsan. Enam murid utama itu cepat melarikan diri dari desa itu. Setelah menembus hutan, Pendekar Pertama menyeret tangan Pendekar Ketiga ; “Hai, kau tak bisa mengendalikan nafsumu. Ingat, kita cuma punya satu tugas ; Menculik Aji Mliati!” “Aku kasihan melihat kamu dijadikan mainan oleh orang itu”, ujar Pendekar Kelima. “Yah, semoga dosamu diampuni Guru”, ujar Pendekar Pertama, Mereka melangkah terus menembus siang dan malam. Sampai. ketika suatu kali mereka terbangun ditengah hutan, ada yang berseru: “Suara air terjun!” Limapendekar terbangun, “Air terjun!” seru Pendekar Keenam yang melihat air terjun itu. Mereka lalu bersama-sama berlari bagai belalang Cangcorang menuruni bukit itu, dan didepan air terjun yang dahsyat itu mereka berhenti. “Boleh kita mandi?” tanya Pendekar Keenam. “Jangan. Kita bukan bertamasya ke sini”, ujar Pendekar Pertama. Tetapi Pendekar Kelima, yang memang agak emosi, berkata ; “Kita mau menculik gadis cantik, masa” badan kita dibiarkan bau?” Lalu ia terjun. Pendekar Pertama mengurut dada dan berkata : “Semoga Pendekar Kelima diampuni tuan Guru”. Pendekar Kelima yang keenakan mandi diair terjun tiba-tiba berseru : “Hai, dibalik air terjun ini ada guha!” Dan mendadak pula muncul dalam keadaan samar seorang manusia. “Hai, ada manusia!” serunya dan menepi berenang menghindari diri. KEMUDIAN Pendekar Kelima bergabung dengan teman-temannya. Ia malahan berbisik pada Pendekar Pertama : “Aku tadi melihat orang. Sungguh mati!” “Apakah orang dibalik air terjun itu sepertinya seorang pendekar?” “Ya. Bahkan aku rasanya tak salah lihat. ..” “Maksudmu bagaimana?” “Dia teman kita”, bisiknya, “Yang kita cari”, bisik Pendekar Kelima lagi. “Aji Mlati?” tanya Pendekar Pertama. “Bukan”. “Kalau begitu si Tolol”, kata Pendekar Pertama. “Betul”. Pendekar Pertama lalu memberi isyarat meninggalkan air terjun itu. Disini dia mengatur siasat.   “Tugas kita sudah dekat. Jelas, bahwa dalam guha ini, yang letaknva di balik air terjun ini, si Pungguh Tolol sedang menyembunyikan Aji Mlati. Mungkin inilah tempat pemukiman mereka selama mereka minggat. Jadi aku kira, tugas kita sudah hampir berhasil. Yang penting kita harus menculik Aji Mlati nanti malam”. “Itu membuang waktu”, potong Pendekar Kelima. “Mana bisa sekarang? Kita harus menculiknya ketika Aji Mlati tidur. Jadi kita atur siasat sesuai dengan ilham yang aku perdapat. Pertama, nanti lewat tengah malam, aku akan memanggil Pungguh Tolol. Jika dia keluar dari air terjun itu, aku akan ajak dia berunding diluar. Sementara kalian berlima masuk ke guha. Culik Aji Mlati dengan segera, sesuai dengan ajaran Ki Guru kita, yaitu dengan tujuh macam mantera sebelum memegangnya dan ingat, jangan sampai cucu ki Guru dilukai!” Pendekar Kelima ketawa miring. “Kenapa kau ketawa, Pendekar Kelima?” tanya Pendekar Pertama. “Apa yang anda usulkan itu bukan siasat. Tapi khayalan. Kita lebih baik bersama-sama masuk ke guha. Kita temui secara ksatria si Tolol itu. Kita kemukakan apa tujuan kita ke sini, . . .” “Jika dia menolak?” tanya Pendekar Pertama. “Kita harus paksa sampai dia bersedia. Dia itu murid Ki Guru juga seperti kita-kita inikan ?” ujar Pendekar Kelima. “Dengan usulmu itu, berarti usulku batal. Tugasku sebagai pemimpin pun batal”. “Karena usulmu membuang waktu, Pendekar Pertama”, kata Pendekar Kelima, “Yah memang betul. Membuang waktu. Tapi yang disebut membuang waktu adalah ujian atas kesabaran. Menunggu. Menunggu itu bukti kesabaran, mengerti kau?” “Aku mengerti, tapi tak setuju”, ujar Pendekar Kelima, “Kau sudah tiga kali melanggar aturan kependekaran. Pertama, kau tidak bisa menahan marah ketika di warung. Kedua kau terjun mandi, padahal sudah aku larang. Aku in ipemimpin kalian berlima, lho. Ingat. Dan yang ketiga, ketika aku punya usul kamu malahan bikin usul lain. Jadi patuhmu pada pemimpinmu kapan?” “Aku pernah dengar pesan Ki Guru dulu di ruangan latihan. Sudah lama, Dulu, maksudku. Beliau bilang, pemimpin harus dipatuhi apalagi dia ber Tuhan. Kalau pemimpin salah, jangan dipatuhi. Siasatmu salah,kan ?” “Siasatku tidak salah”, ujar Pendekar Pertama. “Itu pendapatmu. Coba kita tanyakan pada teman-teman ini. Hei.teman, apakah kalian mau berdiam diri dipinggir sungai ini, dimakan nyamuk dan lintah sampai tengah malam nanti?” “Wah itu siksaan”, ujar Pendekar Ketiga. “Jadi kalau berempat setuju jika kita tidak membuang waktu?” “Saya kira kita jangan inemblJang waktu. Itu mengulur dukacita Ki Guru yang melepas kila pun dengan menangis. Jangan-jangan kita kembali Ki Guru sudah mati,kan begitu beliau berpesan?” “Adalagi yang menolak dukunganku? Kalau menolak, bicara. Kalau setuju, diam saja. Ayoh ada yang mau bicara?” tanya Pendekar Kelima. Semuanya diam, termasuk Pendekar Pertama. Lalu Pendekar Kelima berkata dengan tegas ; “Kalian semua diam. Termasuk Pendekar Pertama. Itu berarti kalian mendukungku, setuju dengan rencanakul” “Aku memang diam. Tapi aku tak mendukungmu. Akulah murid yang paling patuh dengan amanat Guru. Maka aku disebut Pendekar Pertama”, ujar Pendekar Pertama menahan jengkel. “Kalau begitu, yang setuju denganku ikut aku”, ujar Pendekar Kelima dengan ucapan tegas. Empat murid utama itu mengikuti Pendekar Kelima. Tinggallah Pendekar pertama ditepi sungai. Mereka berlima menuju air terjun, dan merangkak masuk ke guha dari balik air terjun itu . . , DAN begitu beberapa saat saja pendekar-pendekar yang membangkang itu masuk dibalik air tejun itu, mendadak saja Pendekar Pertama terdongak kaget di tepi sungai. Dia kaget karena satu demi satu anak buahnya itu terlempar melintasi air terjun itu. Diantara mereka ada yang hanyut. Malahan Pendekar Kelima yang pertama ngotot dan membangkang lalu jatuh ke batu dan menggelepar. Melihat keadaan itu, tentu saja Pendekar Pertama, betapapun sakit hati, harus membela kehormatanlima anak buah yang dilempar lawan. Dia melompat dengan menggunakan tenaga dalam menerobos air terjun itu. Dalam sekejap mata dia sudah dihadap oleh lawannya yang mempecundang dengan terjangan sayap bangau. Tapi tendangan itu bagai kipas mengipas angin, malahan lawannya itu ditendang baliknya dengan jurus kuak kaki bangau pula. “Ha-ha-ha...” terdengar suara ketawa. Sudah jelas itu bukan ketawanya Aji Mlati. Ketawa terkekeh itu dikenal betul oleh Pendekar Pertama itu. “Siapa kau ?” teriak Pendekar Pertama sembari membuat jarak. “Ha-ha-ha....” “Kau tentu Pungguh Tolol ya?” “Betul aku Pungguh Tolol”, sahut lawannya tadi.   Pendekar Pertama berkata tegas ; “Kau pelayan Guru Besar kita. Kau pun muridnya. Sampai hati kau melemparkan bekas teman-temanmu! Apa aku juga mau kau lempar begitu saja, hal” “Siapa kamu kalau begitu?” tanya Pungguh Tolol. “Aku Pendekar Pertama dan ketua darilima murid utama Guru Besar. Kau keterlaluan!” “Astaga... aku sudah salah terjang. Masih hidupkah teman-teman itu?” tanya Pungguh Tolol. “Kau cari mereka. Selamatkan mereka yang hanyutl” bentak Pendekar Pertama dengan tegas, “Lalu.... aku ditugaskan Guru Besar untuk menjemput Aji Mlati hidup-hidup. Mana Aji Mlati, Tolol?” “Soal Aji Mlati belakangan. Tadi setelah mereka berlima kuterjang dengan kipas kepak bangau . . . aduh . . . mereka bisa celaka kalau tak segera ditolong. . , .”, dan melompatlah Pendekar Tolol itu menerjang air terjun dan mencebur ke sungai lalu menyelamatkan bebarapa orang pendekar yang hanyut dan malah ada yang hampir tenggelam kehabisan napas. “Baru ketemu empat!” seru Pendekar Tolol seketika melihat Pendekar Pertama yang keluar dari air terjun. “Itu, satu lagi diatas batu. Jangan-langan dia mati”, ujar Pendekar Pertama seraya menunjuk ke batu besar, dimana tergeletak Pendekar Kelima tukang membangkang, Begitu Pendekar Tolok melompat ke batu itu, dan dia tarik tubuh Pendekar Kelima . . , dia berteriak ketakutan: “Anak ini mati!” “Mati? Celaka. . . !” ujar Pendekar Partama. “Dia mati! Kepalanya pecah!” ujar Pendekar Tolol. Tampaknya mamang bukan Pendekar Tolol itu saja yang kebingungan. Pendekar Pertama pun ikut-ikutan kebingungan. Karena dia adalah ketua kelompok Itu, Dia tentu kuatir akan dihukum oleh Sang Guru. Setelah mayat Pendekar Kelima digotong ke tepi sungai, Pendekar Tolol berkata sedih: “Bukan sengaja aku menyerang mereka berlima ini. Tangkisan kipas kepak bangau yang menyebabkanlima anak buahmu terlempar adalah karena yang nongol pertama itulah yang mau menyerangku dengan jurus maut tanpa ampun. Aku membela diri, sekalian satu kali sabet padalima penyerang, tapi aku rasa dialah yang terparah. Kepalanya ini pecah bukan karena terbentur batu. Dia pecah karena terkena tulang tumitku. Marilah kita kubur anak ini. Pendekar Kelima ini sejak di padepokan aku kenal anak bandel. Sering membantah guru kita. Nanti aku akan mempertanggungjawabkan kesalahanku ini didepan Guru. Ayoh gali lobang dan kita kubur anak sial ini. Ah, kamu ini mati bikin kerjaan orang lain, busyet!” Setelah upacara penguburan sesuatu yang sakral dan dilakukan dengan penghormatan, barulah Pungguh Tolol memberi keterangan tentang Aji Mlati : “Tentang Aji Mlati, aku rasa, sulit untuk dicari lagi”. “Dia tidak ada dalam guha dibalik air terjun itu?” tanya Pendekar Pertama. “Dua hari setelah kami di guha ini, dia melarikan diri. Tetapi mungkin juga dilarikan oleh salah seorang dari Seratus Pendekar Iblis yang suka menjegal kaum ilmu putih”. DAN memang Aji Mlati dilarikan oleh salah seorang dari Seratus Pendekar Iblis.Proses penculikan itu sendiri tidak diketahui oleh si Pendekar Pungguh Tolol. Mereka berdua sudah diintai selama tiga hari tiga malam. Terutama keampuhan permainan Pedang Tien-Yuan yang diayunkan oleh Aji Mlati ketika menebas air terjun itu. Pedang Tien-Yuan itu sudah lama dirindukan oleh salah seorang dari Seratus Pendekar Iblis itu, selama tiga puluh tahun. Namanya lebih dikenal dengan angka-angka. YaituPendekar ke-33. Dia dikeanal berwajah cantik, lemah lembut dan tidak pernah kawin. Kumisnya terpelihara dengan rapi. Dia juga dikenal dengan sebutan Pendekar Janggut Dilapih, sebab janggutnya itu dikelabangnya. Dia inilah yang menyihir Pungguh Tolol ketika si tolol inl sedang tidur. Tidurnya nyenyak malam itu, karena letih melatih Aji Mlati bermain pedang. Aji Mlati juga tidur terlena dengan amat pulas dangan berbantal pedang sakti itu. Dia disihir setelah si Tolol disihir ketika nyenyak. Dan digendonglah pendekar perawan jelita itu ke arah selatan. Begitu sampai dipadepokannya di Bukit Si bungkuk, hari masih malam. Dia memasuki padepokan tanpa sepengetahuan anak buahnya. Langsung saja anak perawan itu dibaringkan diatas tempat tidur pertapaan beliau. Pedang itu diperiksanya. Yang membingungkan dia adalah aksara Cina yang tertera di permukaan pedang itu. Dia yakin, aksara itu berisi amanat atau keterangan tentang kesaktian pedang itu. Tapi dia tidak kekurangan akal. Dia bakar menyan. Dia bersemadi sejenak, lalu dipanggilnya JinByung Gombak .Jin ini adalah jin Cina yang mampu melakukan apa saja, kecuali kawin. Wajahnya seram, rambutnya panjang dan dikelabang, janggutnya beberapa lembar dan kumisnya pun terjuntai jarang. “Coba kamu baca aksara ini, Byung Gombak !” perintah Pendekar ke-33, Dan jasad halus Jin itu mulai meliuk-liuk, matanya melotot ketika membaca tulisan itu. “Apa itu. Byung Gombak?” tanya Pendekar 33. “Syair rahasia”, “Coba kamu baca. Bagiku tak ada rahasia yang tidak dapat aku buka”, ujar Pendakar 33. Dan Jin Cina itupun mulai mambaca pantun itu : Seperti capung Aku senang di kebun Dan di lapangan karena itulah tempat bermainku di rumah biarpun indah napasku bisa sesak   Lalu Pendekar 33 memberi perintah lagi ; “Baca syair yang disebelahnya!” Seperti lempung Aku keras Seperti air aku mencari tempat rendah seperti angin Kuisi ruang kosong Seperti api Aku membakar Seperti Cahaya Aku menerangi kegelapan Lalu Pendekar 33 menendang pantat Buyung Gombak dan padamlah menyan di pedupaan itu seketika. “Aku memahami syair ini. Jadi engkau punyalima kekuatan ampuh, ya?” ujar Pendekar 33 itu kepada pedang sakti itu, Seketika itulah Aji Mlati terbangun. Dia bukan takut. Dia tersenyum bahagia. Dia terheran-heran melihat seorang pendekar tua yang begitu rupawan, Sebetulnya, begitu mata Aji Mlati terbuka, dia telah dalam keadaan terkena sihir pendekar iblis ini. “Kau tahu dimana kamu sekarang?” tanya Pendekar 33. “Aku tak tahu. Tapi tak penting itu, Tuan Guru. Yang terpenting aku senang berada di sini. Dimana saya sekarang ini, Tuan Guru?” “Dirumahmu juga. Ini rumahmu yang sebenarnya. Dari Bukit Si bungkuk kamu berasal, di Bukit Si bungkuk ini pula kamu nanti akan mati. Ditanganku ini ada pedang sakti, Pedang ini asalnya milik moyangku. Tapi Ki Ca Hya telah mencurinya. Dan dia mengaku-aku kau itu cucunya. Huh, si busuk mulut, bicara seenaknya”. “Jadi saya bukan cucu kontan Ki Ca Hya?” tanya Aji Mlati heran. MENDENGAR pertanyaan itu, Aji Mlati menjawab : “Aku mulanya diculik. Aku sebetulnya lebih senang bersama Kak Pita Loka”. “Yang kakek kontanmu itu aku, Aji Mlati! Aku ini Guru dari segala Guru di seratus bukit persilatan ini. Tapi Ki Ca Hya itu telah mempalsukannya kepada setiap orang. Lebih jelek lagi, dia menganggap dialah yang paling jagoan dari Pendekar Tujuh Harimau. Huh, si mulut busuk. Jadi kamu itu diculiknya, ya cucu?” “Betul, Tuan Guru!”   “Jangan panggil aku Tuan Guru sejak sekarang. Panggillah aku Kakek. Karena akulah kakekmu yang sejati. Kau diculik oleh musuhku. Jadi kau harus sadar, bahwa sebagai musuh kita, kita berdua harus bersatu hati. Tanda aku menghormatimu, aku akan belajar ilmu kepadamu, cucuku!” Aji Mlati tertawa terbahak-bahak. “Kakek adalah Tuan Guru. Mana mungkin Aji akan mengajari kakek bersilat, kek?” “Dengan segala kerendahan hati, ajari kakek bersilat!” ujar Pendekar 33 dengan nada ramah. “Caranya, gimana kek?” tanya Aji Mlati. “Kau sebutkan buku-buku yang bersangkutan dengan pedang ini”, ujar Pendekar 33, “Wah, setahu saya cuma Buku Kebun Senjata”, ujar Aji Mlati. “Pedang ini bisa dimainkan dengan Kitab Kebun Senjata itu, Aji?” “Justru dari kitab itu, Kek!” “Hoho... Tentu kamu tahu dimana ada kitab itu, cucu!” “Tentu saja tahu, Di perpustakaan Kakek . . , si mulut busuk Ki Ca Hya”. “Lalu kamu tahu apa khasiat pedang sakti ini?” “Mari aja saya perlihatkan khasiat permainannya”, ujar Aji Mlati yang serta merta merebut pedang itu tapi tidak memainkannya di ruangan pertapaan itu, “Cari tempat yang lapang, Kakekl”, ujar pendekar perawan. “Yang lapang itu tentulah lapangan!” “Tunjuki jalan kesana !” ujar Aji Mlati. Dan mereka keluar dari ruangan itu, lalu turun tangga, dan dibawah memang ada lembah yang luasnya selapangan bola. Di lapangan inilah Aji Mlati mempertontonkan seluruh permainan dasar dengan seluruh 99 jurus bangau. “Sungguh dahsyat”, puji Pendekar 33. “Memang dahsyat, Si Tolol juga memuji permainan pedang Aji, kek.”   “Tapi aku lebih tertarik dengan Kitabnya. Kitab apa lagi yang dimiliki si mulut busuk?” “KitabTujuh”, sahut Aji Mlati. “Lalu Kitab apa lagi?” “Yang mengetahui seluruh kitab itu adalah pelayan si mulut busuk!” “Siapa pelayan si mulut busuk itu?” “Si Pungguh Tolol “, ujar Aji Mlati. “O, yang tidur di guha dibalik air terjun itu?” Aji Mlati lupa seluruh kejadian sejak dia minggat itu. Dia tak bisa menjelaskannya. “Baiklah. Mari kita naik kuda menuju air terjun itu. Kita harus tangkap pelayan si mulut busuk. Jika dia tidak bersedia bersekongkol dengan kakekmu ini, kakek kontanmu ini. . . kita bunuh saja dia”. Aji Mlati terpelongo ; “Lho, ilmunya hebat, Kekl” “Mana yang lebih hebat dengan si mulut busuk yang mengaku dirinya adalah kakekmu, ha?” “Saya rasa si Pungguh Tolol ilmunya lebih hebat”, ujar Aji Mlati. “Kalau begitu kita temui dia. Kita belajar padanya”, ujar Pendekar ke-33 dengan bersemangat. Mereka berkuda menaiki dan menuruni bukit, hingga sampailah ke air terjun tempat Aji Mlati dan Pungguh Tolol kena sihir pendekar iblis ini. “Agaknya dia sudah tidak disini lagi”, ujar Pendekar 33. “Aku masih disini, Pendekar Sihir!”, terdengar suara dari guha di balik air terjun itu, Dan serentak dangan itu, meloncatlah Pungguh Tolo! manerobos air terjun itu, dan menyarang Pendekar 33. Tetapi serangannya gagal. Dia keburu jatuh jumpalitan ke batu-batu terkena jegalan Aji Mlati. Tapi dia segera bisa tegak di batu lagi dan menperingatkan Aji Mlati: “Kau telah kena sihir pendekar setan ini, dik Aji!” “Aku bukan adikmu, konyol!” teriak Aji Mlati dan melompat menerjang pendekar tolol itu. Si Tolol ketawa terbahak. Sementara itu Pendekar 33 berdiri tegak mengirimkan gelombang ilmu Sibinlya. Pungguh Tolol tahu bahwa dirinya disihir, Dia terbahak-bahak : “Tanpa tidur, sihirmu angin!”   UCAPAN Pungguh Tolol itu sungguh menantang. Pendekar lblis 33 mulai membabi buta. Wajahnya yang semula cantik itu, seketika itu juga berubah dengan sangat mengerikan. Taringnya ketika mengaum muncuat keluar seakan haus daging manusia. Dia melompat bagai kilatan halilintar, ingin menubruk leher Pungguh Tolol. Tetapi dengan mendahulukan dua telapak kaki mencuat menabrak perut Pendekar 33, Pungguh selamat dari gigitan, Justru si Pendekar lblis itulah yang bagai kitiran mental ke udara. Tetapi dia hinggap ditengah pohon, Namun Pungguh Tolol menggunakan tenaga dalamnya menerjang pohon itu. Pohon itu tumbang, dan tubuh Pendekar lblis 33 pun terIempar. Ketika pohon itu roboh, Pendekar lblis menjadikannya sebuah senjata! Dia pikul pohon itu, dan dia lempar bagai melempar anak panah, Pohon itu melayang siap menerjang Pungguh Tolol. Tetapi Pungguh menangkis “ujung tombak” pohon itu dengan mengerahkan seluruh tenaga intinya pada kedua telapak tangannya, Telapak tangan itu membakar ujung tombak pohon itu ketika membentur telapak tangan si tolol, lalu kembali bagai boomerang kearah Pendekar lblis 33 itu . . , Andaikata ia tak menghambur ke udara, tentulah ia akan mampus seketika. Tetapi setiba di udara dia merasa kena sabetan kepak bangau yang dikelepak Pendekar Tolol itu. sehingga tubuhnya kembali menabrak sebuah pohon dan tumbanglah pohon itu! Kini Pungguh Tolollah yang mengambil pohon itu, memikulnya, lalu melemparnya melesat menuju tubuh Pendekar lblis 33. Dia berteriak lantang! Aji Mlati ngamuk melihat “kakeknya” tersentak bagai menempel pada sebuah pohon lain setelah ditabrak “anak panah raksasa” yang dilempar oleh Pungguh, Dengan mempermainkan pedangnya berpindah ke kiri dan ke kanan, dia rupanya sedang memainkan “jurus tipu” agar Pungguh tak tahu mana yang pedang dan mana yang bayangannya. Pungguh mundur terus menghindari kemungkinan salah tangkis. Ketika Pungguh mundur ini, si Pendekar Iblis 33 yang sudah kembali pulih sehat mau menjebaknya dari belakang. Tetapi ketika itulah Pungguh Tolol menggunakan tangkisan jurus kipas bangau kawin, sehingga kaki Pungguh menggedor ke belakang mengenai dada Pendekar lblis, sementara tangannya menangkis Pedang Tien Yuan yang diayunkan oleh Aji Mlati, Pungguh merasa dirinya dalam keadaan terancam, Ketololannya berubah menjadi kesungguhan. Bahaya pedang sakti Tien Yuan dirasakannya mengancamnya. Maka dalam sekelebatan dia sudah mainkan jurus Seratus Bayangan. Sehingga setiap pedang sakti itu diayunkan Aji Mlati, yang terkena cuma bayangan tubuh Pungguh Tolol belaka. Hal ini membuat Aji Mlati penasaran. Dia berubah menjadi kalap, Justru kekalapan ini menguntungkan permainan Seratus bayangan. Melawan jurus seratus bayangan harus dalam keadaan sadar penuh bagi lawannya. Kini Pungguh Tolol dalam keadaan dipepet terus oleh Aji Mlati itu, harus menyelamatkan Aji Mlati. Caranya adalah merebut pedang itu. Dan dengan pedang itu Pendekar lblis harus ditumpas terlebih dahulu. Untuk itu Pungguh Tolol mesti memainkan dua macam permainan. Jurus seratus bayangan harus silih ganti dangan jurus cengkeram bangau. Dia harus menangkis sekaligus mencengkeram pergelangan tangan aji Mlati agar pedang itu lepas. Pungguh telah mencoba jurus ganda itu. Tepi kesulitan terjadi. Sebab Pendekar iblis harus dilayani pula, kendati dengan cuma menggunakan jurus tendangan kaki. Ini mempengaruhi tiap langkah bagi pertukaran jurus 100 bayangan dengan jurus cengkeram bangau. Tetapi dia dapat akal. Seluruh konsentrasi kini dia arahkan untuk memukul habis Pendekar lblis dengan jurus kepak bangau, sementara Aji Mlati ditangkis dengan permainan harimau. Ketika Pendekar Iblis menggoda terus dari arah depan, Pungguh membiarkan tangannya untuk menghancurkan Pendekar Iblis sehingga pendekar iblis itu terus mundur dan bahkan terjungkir balik. Aji Mlati dua tiga kali memukul punggung Pungguh Tolol dengan mata pedang saktinya, tetapi selalu ditangkis oleh kibasan “ekor harimau”. Akibatnya dua tiga kali Aji Mlati terpelanting ke kiri dan ke kanan. “Lari!” teriak Pendekar Iblis 33 melihat mengamuknya Pungguh Tolol. Dia lari, diikuti oleh Aji Mlati yang juga melarikan diri dengan naik ke punggung kuda. Nafas Pungguh Tolol ngos-ngosan karena keletihan. Dia berkata sendiri: “Jika mereka teruskan, pasti aku kalah. Untung mereka melerikan diri, ha-ha-ha”, dan mandilah Pungguh Tolol sampai basah kuyup di air terjun itu. Sementara itu, Aji Mlati dan Pendekar Iblis 33 memasuki padepokan Bukit Sibungkuk. Mereka disambut oleh kawanan murid sang pendekar. “Kami baru membawa hasil rampokan”, ujar Kepala Murid. “Bagus”, ujar Pendekar Iblis, “Malam ini buatlah kambing guling”. SEMULA, Pungguh Tolol mengira, laporannya kepada Ki Ca Hya akan membuat guru besar itu terkejut. Wajah beliau hanya bergerak sedikit. Baru kemudian Ki Ca Hya berkata singkat: “Aku memaafkan kesalahanmu, sebab itu bukan satu kesalahan, Kematian Murid Kelima didikanku ketika Enam Murid Utama bertarung dengan kau adalah bagian dari kemestian dan suratan.Lima muridku yang pulang dengan tangan hampa tanpa membawa cucuku Aji Mlati tidak membuat aku murka. Setidaknya mereka telah mengalami pertarungan hebat melawan permainanmu yang mengagumkan, Tidak aku sangka kamu begitu hebat mengamalkan ilmu yang aku berikan dan yang kau curi secara rahasia, namun aku restui. Kini, yang membuat aku hiba adalah nasib Aji Mlati”. “Saya benar-benar tertipu ketika diculiknya Aji Mlati, justru saya dalam keadaan kena sihir”, kata Pungguh Tolol.   “Aku tahu. Dan aku juga tahu yang menculik Aji Mlati adalah salah satu dari Seratus Pendekar lblis. Mereka ini, secara turun temurun mengadu domba pendekar-pandekar yang baik, Baik menculik, maupun membuat Kitab-kitab palsu termasuk kitab keramat Kitab Tujuh. Di Kumayan saja, sarangnya para pendekar, sudah banyak yang terkena tipuan Kitab Tujuh. Sehingga para pendekar yang ilmunya baik-baik , sehingga pendekar semacam Ki Lading Ganda merasa ilmunya setingkat dengan Ki Karat dan Ki Putih Kelabu. Padahal Ki Lading Ganda tidak tergolong salah seorang dari Tujuh Pendekar Harimau. Kini terserah kepadamu, apakah hatimu tergerak untuk memikul tugas ini”. Pungguh Tolol terdongak dengan wajah serius : “Saya akan memikul tugas? Tugas apa, tuan Guru?” “Menumpas iblis-iblis itu”. “Maksud tuan , . . menumpas Seratus Pendekar Iblis “ tanya Pungguh Tolol dengan ketololan dan gemetaran, “Tentu tidak. Dangan kata lain menculik kembali Aji Mlati sebelum dia dikacaukan oleh ilmu persilatan setan”. “Saya mesti mengetahui tempat si penculiknya, tuan Guru. Saya tidak tahu”, ujar Pungguh Tolol. “Pernah mendengar nama Bukit Sibungkuk?” “Pernah, tuan Guru”. “Kesana kau berangkat. Disana bermukim salah seorang dari seratus penganut ilmu iblis yang namanya Pendekar lblis ke 33. Disebelah Bukit Sibungkuk itu ada satu bukit lagi namanya Bukit Sitonjang, Disini bermukim pendekar jangkung yang juga penganut ilmu iblis. Dia pendekar ke-66. Harus kau ingat, pendekar 33 dan 66 ini bersaing, juga bersaing dengan pendekar 99, Tetapi jika mereka terjepit, mereka bersatu”, Pungguh Tolol garuk-garuk kepala. “Kenapa garuk kepala, Tolol?” “Aku bingung, tuan Guru!” “Jangan bingung, Aku sudah maafkan kesalahanmu dan kau tak bersalah. Kini kau tinggal menyusullima muridku yang sudah aku kirim kesana sebelum tadi kau tiba”. “Ha? Lima Murid Utama sudah tuan Guru kirim kesana?” “Betul sudah”. “Kalau begitu saya berani, tuan Guru”. Ki Ca Hya tertawa : “Kau punya kelebihan. Kerendahan hati. Semua ini berkat ketololanmu juga”.   “Perintahkan padaku dengan restu tuan Guru agar saya berangkat detik ini juga”, ujar Pungguh Tolol. Ki Ca Hya membuka sebuah kotak panjang berukit. Lalu dia untalkan sebuah pedang pada Pungguh Tolol. Pungguh menyambutnya dan ketawa heran, “Kau pernah mencuri pedang itu dan bermain didepan Air Terjun Rahasia Tiga tahun yang silam” kata Ki Ca Hya. “Jadi tuan tahu saya pernah mencurinya”, ujar Pungguh, “Bahkan saya tahu engkau sudah tamatkan membaca buku tuntunan memegang Pedang Ular”, “Jadi pedang ini bernama Pedang Ular ya tuan Guru?” tanya Pungguh. “Ah, jangan barlagak pilon, Kau sudah menggunakannya tujuh minggu dan kau pun sudah tahu nama pedang itu, bahkan cara menggunakannya!” “Jadi tuan Guru juga tahu saya mengetahui nama pedang ini, dan saya pandai menggunakannya, ya?” “Jangan banyak bohong lagi, Tolol! Detik ini kau berangkat dalam restuku!”, dan Ki Ca Hya menendang pantat Pungguh yang berjumpalitan dengan lincah seraya memainkan jurus bunga pedang Ular itu. Mata sang Guru melepas si Tolol dangan penuh kekaguman. Cara dia membunga justru bunga dengan kelincahan, melegakan hatinya. TERNYATA, sebagaimana ketololan menjadi kebiaaannya, Pungguh Tolol pun sudah salah mengambil jalan masuk. Dia masuk ke Bukit Sitonjang yang dikuasai oleh Pendekar Tonjang lblis 66. Begitu dia masuk warung, dia digeledah. Dia dicurigai seorang pendekar yang sedang menyamar. “Tadi ada pengangsu air memberitahu bahwa kamu mambawa pedang sakti. Mana pedang itu?” Pungguh Tolol menyahut ; “Memang ada. Tapi sudah kembali ke pemiliknya!” “Siapa pemiliknya?” “Yaitu Pemilik Langit”, ujar Pungguh Tolol seraya ketawa. Pemilik warung menengahi ; “Tak usah dicurigai dia. Dia ini sudah aku kenal belasan tahun. Anak ini Pengemis Tolol. Tadi ketika masuk sudah mengemis, periksa kantongnya mana ada uang? Apalagi pedang!”   “Kalau begitu tambah nasinya lagi”, ujar Pungguh Tolol. Si penyelidik juga ikut tertawa. Kini ia yakin memang keterangan pemilik warung itu betul. “Dia kami kenal Pengemis Tolol. Bukan pendekar, Kalau kamu mau tahu berita penting, memang dia sumbernya”, kata pemilik warung. “Berikan kepadaku keterangan”, ujar penyelidik. “Keteranganku tidak berita besar. Cuma satu berita kecil, bahwa kini Pendekar 33 di Bukit Sibungkuk sudah memiliki Pedang Tien Yuan asal Tiongkok, yang keramatnya bukan kepalang”. Mendengar berita itu, si penyelidik berseru girang ; “Ini bukan berita kecil. Ini berita besar yang mesti diketahui Guru Tonjang!”. Lalu, si penyelidik memasuki tempat pertapaan Pendekar Iblis 66 dan bersujud didepan telapak kakinya : “Aku membawa penting. Menurut Pengemis Tolol yang gemar mengembara. Kini si Bungkuk di Bukit Sibungkuk sudah memiliki pedang Tien Yuen. Bukankah pedang itu yang tuan rindukan mencurinya dari padepokan Ki Ca Hya selama 30 tahun?” Mata Pendekar Tonjang melotot. Dia langsung memukul gong tiga kali dan dalam sekelebatan sudah berkumpul 66 orang murid utamanya. Seketika itu juga dia mengumumkan : “Kita berangkat ke Bukit Sibungkuk, Pendekar lblis 33 tidak layak untuk memiliki pedang sakti itu! Kalian, 22 orang, bertugas membakar padepokannya sampai habis. Yang 22 lagi merampok, Dan yang 22 lagi ikut dengan aku untuk menghabisi Pendekar 33 dan merebut pedang sakti itu!” “Siap!” sahut murid-murid utama Pendekar Tonjang. Lalu Pendekar Tonjang memberi perintah kepada si penyelidik!” Kamu tangkap si Pengemis Tolol itu. Beri dia makan kenyang. Lalu bunuh!” Si penyelidik segera menuju warung tadi. Tetapi ketika dia tiba, pemilik warung berkata bahwa si PengemisTolol sudah lama berlalu, dan memang betul. Dia sudah lama berlalu. Dipinggiran bukit Tonjang itu, dia ambil Pedang Ular yang dia taruh di dahan pohon sawo. Lalu dia dengan lincah menyeberangi sungai ular yang melingkar membatasi Bukit Tonjang dan Bukit Sibungkuk. Dan dia kemudian sedang nangkring diatas dahan pohon wuni sewaktu 66 orang pasukan Si Tonjang menyeberangi sungai ular itu. Benar-benar kelakuan manusia tolol. Dia terkikih-kikih menahan ketawa sembari menikmati buah wuni dengan sikap menonton. Baru kemudian dia turun mengikuti jejak pasukan siTonjang dari belakang. Bukankah kelakuan begini ini berbahaya?   Tidak. Pungguh Tolol tidak pernah merasa terancam bahaya, kecuali jika bertarung dengan pendekar yang lebih jago ilmunya daripada dia. Dia santai saja melangkah, kadang cepat kadang lambat, mengikuti dari jarak jauh, kadangkala malahan memunguti sisa makanan yang dibuang oleh pasukan si Tonjang itu. Lalu dia mamanjat lagi pohon pucung yang amat tinggi. Dengan begitu dia tahu arah yang ditempuh pasukan yang sedang menyerbu Bukit Sibungkuk, Lalu dia melompat dengan jurus kalong ke dahan pohonan yang lebih rendah, melompat lagi diantara pohonan itu bagai melompatnya siamang rimba. Dia memang belum pernah bersungguh-sunguh selama hidupnya. Maka, ketika dia menyaksikan beberapa pondok terbakar di padepokan Bukit Sibungkuk, diserta seru dan seramnya pertarungan dua gerombolan pendekar-pendekar iblis itu, Pungguh Tolol malahan menonton. Dan tiba-tiba saja ada yang menepuk bahunya : “Hai, kenapa kamu cuma nonton saja, Pungguh?” Waktu Pungguh Tolol menoleh dia menyahut : “Hei, Pendekar Pertama! Kita hemat tenaga saja sembari melihat-lihat kalau-kalau Aji Mlati terlihat dalam persilatan seru ini. Nanti kalau mereka sudah capek, baru kita melibatkan diri. Kalian berlima disini saja dulu bersamaku. Adamakanan ndak?” Limapendekar Murid Utama memberikan makan dan minum pada si Tolol. Si Tolol terkekeh girang. ANGIN beliung tiba-tiba memasuki desa Bukit Sibungkuk. Api dari padepokan Pendekar Iblis ke-33 menjalar ke atap-atap ilalang rumah penduduk. Teriakan persilatan di padepokan yang diserbu oleh kawanan Pendekar lblis ke-66 kini ditambah lagi oleh teriakan penduduk. Desa Sibungkuk banjir darah. Seorang ibu yang melarikan bayinya dalam gendongan dan terpaksa melintasi padepokan yang dilanda kerusuhan itu, tidak memperdulikan ketika tiba-tiba bayinya terkena darah yang memancur dari tubuh salah seorang pendekar iblis itu. lbu itu terus lari dengan selamat. Aji Mlati kian terdesak. Pedang sakti Tien Yuan warisan neneknya yang sekarang sudah dia ambil alih dari tangan Pendekar Iblis ke-33 itu, secara membabi buta dia tebas ke leher siapa saja yang berani mendekatinya. Ketika Pendekar Sibungkuk ke-33 menghampiri dirinya, Pendekar lblis ini sempat berteriak; “Jangan tebas aku! Aku Kakekmu!”. suara teriakan itu tidak sempat terdengar oleh Aji Mlati. Pedang itu cuma kelihatan kilatannya saja, Kemudian sebuah kepala meloncat dari leher dan darah pun mancur lalu Pendekar Iblis itu roboh. Hal ini terlihat oleh Pendekar lblis ke-66. Karena dia jangkung dan lebih dikenal sebagai Pendekar Sitonjang, sewaktu dia menghampiri Aji Mlati, tubuh jangkung itu terlihat oleh Pungguh Tolol.   Pungguh Tolol memberi isyarat kepada Lima Murid Utama : “Sekarang giliran kita melibatkan diri!” Dia menghamburkan tubuhnya ke tengah api dan langsung menubruk Pendekar Iblis Sitonjang, Pendekar Jangkung itu mampu menahan tendangan Pungguh Tolol, sehingga Pungguh Tolol terjengkang kebelakang, jatuh terlentang dan bajunya terbakar api. Kejadian ini benar-benar dimanfaatkan oleh Pendekar Sitonjang dengan ilmu hitamnya. Dia semburkan gelombang api dari mulutnya, sehingga baju si Tolol yang terbakar api itu semakin berkobar apinya. Pungguh Tolol yang semula tidak menggunakan Pedang Ular, kini mencabut pedang dan dengan jurus bangau kawin dia ayunkan pedangnya untuk menghabisi nyawa Pendekar Jangkung itu, Pendekar lblis ini sekonyong tertolong oleh masuknya Aji Mlati setelah dia melihat kepala Pendekar lblis ke-33 yang dia kira kena tebas Pendekar Tolol yang memegang pedang itu. Aji Mlati tidak ingat bahwa si Tolol itu bukan musuhnya. Maka dengan darah iblis mengalir ditubuhnya ketika itu, Aji Mlati secara membabi buta menyerang pula Pungguh Tolol sehingga pertarungan jadi dahsyat sebab bila dua pedang sakti itu beradu maka meloncatlah api disertai bunyi petir. Kebakaran semakin merajalela. Pungguh Tolol kini berhadapan dengan si pendekar perawan Aji Mlati yang rupanya sudah membabi buta seperti kemasukan, sehingga si Tolol kewalahan sebab dia pun terkena serangan Pendekar lblis ke-66. Tetapi, dengan berkelit diantara api yang mambahana, Pendekar Pungguh Tolol berhasil menggebuk pedangnya ke punggung Pendekar lblis ke-66. Punggung itu tidak robek, namun Pendekar lblis Tonjang itu muntah darah, jatuh menyeruduk api dan serta merta terbakar. Pungguh Tolol menari : “Hureeee, mampus kamu!” Melihat hal itu Aji Mlati jadi terbengong sejenak. Pedang Tien Yuan yang berada ditangannya sepertinya kehilangan lawan. Memang hal ini benar. Sebab, pasukan Pendekar Iblis Tonjang seketika melihat ketuanya sudah rubuh dan dimakan api, tidak lagi melakukan perlawanan terhadaplima pendekar utama anak buah Pendekar Pungguh Tolol. Bahkan mereka sudah lari sebegian seketika melihat api melalap rumah-rumah dan seketika mereka melihat betapa jagonya Pungguh Tolol. Maka, ketika nyala api masih berkobar itu, dengan terpelongo beberapa saat lamanya, Aji Mlati mulai dijangkiti kesadaran dari apa yang sudah diperbuatnya. Memang dengan mati terbunuhnya Pendekar Iblis 33 dan Pendekar Iblis Tonjang ke-66, arus Iblis yang dialirkan dua pendekar marhum itu mulai lolos dari aliran darah Aji Mlati. Aji Mlati akhirnya sepenuhnya sadar. Api mulai padam berangsur-angsur. Aji Mlati mencium pedang saktinya itu, seraya berkata ; “Untung kau tidak jatuh ke tangan musuh.” “Tapi kamu musti berterima kasih pada orang Tolol”, ujar Pungguh Tolol sembari ketawa ngikik. “Berterimakasih padamu?” “Ya!” “Apa jasa kamu, kak Pungguh Tolol?” “Tidakkah kamu sadari, bahwa tadi kamu memusuhi kami, berkali-kali hampir membunuhku dan membuat aku hampir tewas dengan pedang saktimu itu? Tak sadarkah kamu ketika itu?” “Aji sama sekali tidak sadar, kak!” “Kalau begitu kamu musti belajar jatuh cinta”, ujar si Tolol. Seraya mengucapkan kata-kata itu, malahan Pungguh Tolol akan memeluk Aji Mlati. Aji Mlati mengelak dengan mata berang seraya berkata : “Terkutuk kamu bila menyentuh perawan berdarah biru!” “Baiklah, darahku asal comberan”, ujar Pungguh tolol. “Maka pakai otak sedikit jika merayu”. “Aku tidak butuh merayu dengan rayuan gombal. Aku Cuma butuh memeluk kamu”. “Itu melebihi merayu!” “Sudah pasti.” “Antar aku pulang meninggalkan Bukit Iblis ini”, ujar Aji Mlati. “Mestinya aku diupah”, ujar Pungguh Tolol. “Apa upahnya?” “Cium pipi”, “Ih, kamu genit”, Aji Mlati menggerutu seraya menyarungkan pedang Tien Yuan disertai hentakan kaki. Pungguh Tolol ketawa nyengir, disertai ketawa ngakak para pendekar utama yang kelihatannya gembira sebab telah berhasil menemukan Aji Mlati sebagai utusan Ki Ca Hya.   “Nah, melangkahlah ke timur”, ujar Pungguh Tolol mempersilakan Aji Mlati. Aji Mlati menuruti perintah. Pungguh Tolol mengiringinya. Semula berdampingan. Tapi lama kelamaan langkah Aji kian cekatan. Dan Pungguh Tolol mempercepat langkahnya seraya berser: “kalau jalan disamping kekasih jangan seperti kijang melangkah, dik Aji!” “Kekasih?” “Ya, Apa kamu kira aku tidak ganteng?” Aji Mlati melirik Pungguh Tolol, kemudian dengan muka cemberut tapi tersenyum manis dia berkata: “Kamu memang ganteng, kak Tolol. Cuma sayangnya kamu tolol.” “Teman tolol adalah pintar. Dan kamu pintar, Dik!”. “Huh, pintar sekali kamu berdebat”. “Awas, nabrak pohon !” seru Pungguh Tolol segera menyambar tubuh Aji Mlati yang hampir menabrak pohon pucung. Tubuh perawan itu masuk ke rangkuman dada si Tolol. Lalu tanpa diduga Aji Mlati tersenyum . Hal ini membuat Pungguh Tolol girang dan berkata : “Aku kira kamu menolak pelukan saya”. Aji Mlati menggeliat keluar dari pelukan Pungguh Tolol. Dan berkata dengan terlebih dulu menghentakan kaki :”Bicara jangan seenaknya ! Nanti mulutmu itu aku sumbat!” “Disumbat dengan apa?” tanya Pungguh Tolol. “Dengan tinjuku.” “Aduh, nikmatnya. Terutama jika gigiku gatal dan menggigit tinjumu itu, dik perawan cantik!” “Kamu tidak malu merayu disaksikan murid utama Guru besar?” “Aku Cuma mengajari mereka cara berpacaran para pendekar”, ujar Pungguh Tolol, yang membuat Aji Mlati menghentikan langkahnya dan menyepak pantat pendekar Tolol itu. Pendekar Tolol itupun jatuh jungkir balik, tapi jatuh jungkir baliknya disengaja. Begitu tubuh itu jatuh terakhir kali, tubuh itu tidak bergerak. Aji Mlati ketakutan dan berlari menyamperi. Begitu dia lihat nafas Pungguh Tolol tidak tampak menggerak dada, Aji Mlati kebingungan. Dia menoleh kepada para pendekar murid utama : “Dia mati!” Aji Mlati berjongkok. Telinganya dia raptkan ke dada Pungguh Tolol. Waktu itu sang pendekar bego itu mendekapinya seraya ketawa : “ Aku berlagak mati, ya?” “Kurang Ajar!” “Jangan mengutuk”, ujar si tolol seraya cepat berdiri lagi. “Itulah cara aku menjebak, apakah kamu jatuh cinta kepadaku atau tidak. Pendeknya , kamu jangan mangelak lagi bahwa dalam hatimu yang perawan itu telah hinggap seekor kumbang andaikata hatimu itu bunga mawar!” “Lagi-lagi aku jemu rayuan gombalmu!”   “Pendekar itu baru lengkap apabila pandai merangkai kata”, ujar Pungguh Tolol mengejar langkah Aji Mlati yang semakin cepat melewati hutan belantara menjelang lembah itu. Ucapan Pungguh Tolol itu menjadi pikiran Aji Mlati. Lalu ketika si tolol berhasil mengejarnya hingga melangkah berdampingan. Aji Mlati bertanya : “Kak Tolol, apa betul ketinggian pendekar itu tergantung dari mutu syair yang dia ucapkan?” “Maka belajarlah ilmu syair dariku, dik Aji manis”, ujar si Tolol sembari ketawa ngakak. KEADAAN santai yang dialami para murid Ki Ca Hya itu berbeda dengan yang sedang dialami oleh Ki Harwati. Dia sedang bertapa dalam keadaan kesurupan, lalu mendengar wisik suara halus ; “Cegat mereka ! Rebut pedang Tien Yuan dari tangan Aji Mlati, lalu bunuh dia dan semua kawan-kawannya ! Sesungguhnya, jika pedang itu ada ditangan kamu, kamu akan sakti terutama jika kembaran pedang Tien Yuan itu sempat kau peroleh. Ayoh, bangkit, dan hancurkan dia sampai modar!” Harwati loncat dari guha Bukit Bunga ! Apa bunyi bisikan itu ternyata menjadi bukti nyata. Dia melihat pendekar yang masih perawan dengan pedang dipinggang belakang. “Inikah dia, lblis?” tanya Harwati. “Betul. Dialah Aji Mlati, cucu Ki Ca Hya yang ilmunya tertinggi diantara tujuh pendekar harimau”. “Siapa yang satu lagi?” “Itu Pungguh Tolol, murid Ki Ca Hya. Tapi itu lawan gecel!” “Katakan padaku, sebelum aku habisi nyawa mereka nama Kitab yang dipegang oleh Ki Ca Hya, lblis !” “Semua kitab syair. Kitab Kebun Senjata, Kitab Muka Jelek. Tapi sabarlah! Kau rebut dulu pedang sakti itu. Dan tebaslah lehernya dangan pedang itu, baru kau nanti pergi ke padepokan Ki Ca Hya dan ambil semua kitab dan senjatanya. Ada 99 senjata ampuh padanya, termasuk Pedang Ratu Kelabang!” “Kepala Harwati menggerumat mendengar wisik Iblis itu. Dia langsung berteriak lantang meloncat ke udara dengan bersalto di udara lalu mendarat tepat tujuh langkah didepan Aji Mlati dan Pungguh Tolol sertalima pendekar murid utama. “Kau harus tahu , aku Ki Harwati, salah seorang pewaris ilmu harimau. Aku akan merajai seluruh kawasan 100 bukit para pendekar ini! Jadi rasanya lucu kalau anak perawan remaja semacam kau menyelipkan pedang di pinggangmu”. “Ha-ha-ha. Gertak sambel. Belum kenal siapa aku ya?”   Pungguh Tolol masih terkakak ketika dia belum sempat mencabut Pedang Ularnya sudah disabet pinggangnya sehingga dia berteriak sembari jungkir balik menabraklima pendekar murid utama yang kesemuanya jatuh tersungkur. “Ha-ha...aku tidak lecet segores pun. Aku sudah bangun”, ujar Pungguh yang memang sudah memasang kuda-kuda untuk menangkis pelbagai kemungkinan. Aji Mlati melihat ke arah Pungguh Tolol. Ketika itulah Harwati menyerbu dengan jurus selang semaruk birahi, mengeleparkan tubuh Aji Mlati dan mencoba merebut pedangnya tetapi Aji Mlati sempat berkelit meloncat dengan jurus bangau berkelit, sehingga dua gebrakan tangan Aji Mlati sekaligus menetak ubun kepala Harwati, sehingga Harwati sempoyongan. Ketika itulah Aji Mlati cepat mencabut pedang Tien Yuan yang sakti itu. Ketika dia maju dengan jurus kembangan, dia mendengar wisik ; “Jangan bunuh dia. Tetak tubuhnyad engan punggung pedangmu saja!” Aji Mlati kuatir itu bisik godaan. Dia langsung meloncat dengan jurus sayap kibas bangau, sembari mengayunkan pedang ke arah leher Ki Harwati. Dengan nafas didesak keatas, Harwati sudah ke udara dan Aji Mlati cuma menebas angin belaka! Aji Mlati blingsatan. Dengan suara geram dia maju beberapa langkah. Pungguh Tolol mencoba mau mengacak-acak pikiran Harwati. Maka dia loncat ketengah menjadi penghalang Harwati yang rupanya siap menyerang, serangan jurus cakar elang yang semestinya menghantam Aji Mlati , ternyata mengenai Pungguh Tolol yang muncul ketengah. Akibatnya dia menderita luka parah pada punggungnya terkena cakaran elang Harwati dan menjerit membebaskan diri dengan menggeliat beberapa kali. Keadaan inilah yang digunakan oleh Aji Mlati . Dia sabetkan pedangnya tetapi pedang itu membalik sendiri. Sehingga punggung pedang itulah yang mengenai kepala Harwati. Akibat terbaliknva pedang itu secara otomatis, maka otomatis pula tubuh Aji Mlati terbalik dan harus sempoyongan karena kaki menggebrak bumi terlalu keras. Harwati semakin buas. Dia maju. Maju dan maju beberapa langkah. Dan Aji Mlati terpaksa mundur-mundur, dan mundur beberapa langkah. Ketika itulah dia mendangar wisik lagi : “Sudah aku peringatkan, pedang Tien Yuan jangan dipakai untuk melukai lawanmu! Bikin saja kepalanya benjol dengan menetakkan punggungnya, atau bagian tubuh lainnya bengkak membiru terkena tetakan punggung pedangmu!” “Siapa tuan!?” Aji Mlati bertanya dengan tetap mundur terus. “Aku kakekmu, Aji !”   Soal jawab dalam wisik ini memungkinkan konsentrasi terpecah, sehingga ketika Aji Mlati mengayunkan pedang bertepatan dengan loncatan Harwati, pukulan punggung pedang tak begitu kuat. Pedang itu malah direbut Harwati ! DENGAN satu sentakan ke samping, pedang Tien Yuan sudah direbut oleh Ki Harwati vang kesetanan itu. Pungguh Tolol menganggap hal itu gawat sekali, Maka dia menghamburkan diri ke udara, dan menggebrit ke bawah dengan dua dengkul menjepit dua bahu Harwati, sehingga Harwati sulit untuk mengayunkan pedangnya. Aji Mlati loncat menubruk punggung pedang dari samping, dan dia terlempar lagi ke samping karena gagal melakukan rebutan! Pungguh Tolol pun terlempar ketika dua kuakan sayap elang jurus lepas jepitan itu dilakukan oleh Harwati. Harwati menggebrak ke samping , menetak kepala Pungguh Tolol dengan mata pedang Tien Yuan, tetapi satu suara gaib terdengar serentak pedang itu menetak ; “Tabu !” Pedang Tien Yuan membal, bahkan terlepas dari pegangan Harwati. Pedang diudara itu jadi rebutan dua pendekar wanita yang berusaha saling cepat meloncat ke udara dengan dahsyatnya, tetapi Aji Mlatilah yang lebih dulu memegang gaganq pedang itu. Pedang itu ia sabetkan dengan mata pedangnya Tertuju ke tubuh Harwati tetapi lagi-lagi pedang itu membalik sendiri, sehingga terdengar bunyi gedebug yang keras. Punggung pedang itu mengenai tulang punggung Harwati, sehingga ketika dia jatuh ditanah dia terhuyung menyeimbangkan tubuh, “Aku menyerah”, ujar Harwati dengan menghatur sembah pada Aji Mlati yang maju dengan cepat, hampir menebaskan pedangnya ke kepala lawannya. “Jangan layani, hantam terusl” perintah Pungguh Tolol, yang membuat Aji Mlati tanpa pikir menghantamkan mata pedangnya ke batok kepala Harwati tetapi lagi-lagi bukan mata pedang itu membacok kepala musuhnva, melainkan pedang sakti itu membalik dan kepala musuh cuma terkena punggung pedang itu. Malahan karena kerasnya pembalikan pedang secara otomatis itu, Aji Mlati terguling beberapa kali setelah tetakan mengenai sasaran. Kening Harwati bencok sebesar telur itik. “Ampun, kalian berdua kebal. Aku menyerah dan ingin berguru pada kalian”, ujar Harwati seraya meratapkan tangisnya. Ratapan tangis itu menggoda ki PungguhTotol yang berkata pada Aji Mlati “Kali ini dia benar”. “Aku sungguh mau belajar”, ujar Harwati meratap lagi, menyembah dan mencium kaki Aji Mlati. Bertepatan dengan itu pula,lima pendekar murid utama bangun dari pingsannya yang cukup lama.   “Kalian berlima mengawasi tawanan yang akan belajar ini”, ujar Pungguh Tolol padalima murid utama. Mari kita lanjutkan perjalanan, dik Aji”, ujar si Tolol yang kemudian berha-ha-ha dengan cekakak panjang hingga lembah itu bergetar. Langkah dimulai. Aji Mlati seperti menggiring Harwati yang jalan di depan.Lima pendekar dibagi tiga orang dua dua orang seperti menjepitnya. Pungguh Tolol tertawa seraya menyamber sebuah kelapa muda berpohon rendah. Sepanjang jalan dia mengambil kulit kelapa, lalu menotok batok dan minum sendirian, lalu makan daging kelapa muda itu. “Repot kalau kawasan ini tidak ada warung. Aku kepingin mengemis lagi”, kata Pungguh Tolol. “Ini kawasan sakti”. kata Harwati tiba-tiba. “Darimana kau tahu ha?” tanya Pungguh Tolol. “Aku mengetahuinya dari pendekar Iblis”. “Apa kesaktian Bukit ini?” “Bunganya, Bunga Wijayakusuma. Aku bertapa di kulit guha kecilsana , agar mendapatkan kesaktian bunga Wijayakusuma itu. Tapi kalian sudah keburu datang. Hah, aku senang bisa berguru dengan kalian supaya bisa membaca Kitab Kebun Senjata”. “Jangan dengar omongan orang gila, dik Aji”, ujar Pungguh Tolol. “Tapi darimana kamu mengetahui Kitab Kebun Senjata itu, hei gila?” “Semua dari Guruku, Pendekar Iblis”. “Kami kuatir kau menyamar untuk belajar, padahal kau ingin mencuri kitab pusaka kakekku”, ujar Aji Mlati. Tanpa diduga, Ki Harwati membalik berkelebat, lalu merampas pedang dari tangan Aji Mlati, tetapi dengan cepat dia sudah meloncat ke pohon dan dahan seloncat demi seloncat bagai meloncatnya burung katung. Yang tampak hanya kilatan pedang, yang berbinar berkelip terkena sinar matahari, lalu hilanglah Harwati dan pedang Tien Yuan sakti itu secara mempesona. Sungguh mengherankan, Aji Mlati maupun Pungguh Tolol apalagilima murid utama itu, barulah sadar bahwa pedang sudah dirampas dan dilarikan setelah Harwati lenyap dari mata diantara pohonan.   “Kita celaka”, ujar Pungguh Tolol, “Kita tertipu ilmu iblis. Itulah kesalahanku paling besar. Jangan-jangan pedang itu akan menggorok Guru!” APA yang difirasatkan oleh Ki Pungguh Tolol itu, sekalipun dia orang tolol , bisa saja menjadi kenyataan. Sebab, kenyataannya, Ki Ca Hya sedang duduk bersila di depan air terjun rahasia. Beliau sedang tafakur bertapa. Beliau sedang merasakan pergolakan darahnya bergetar lebih cepat. Matanya terpejam. Tapi karena golak darah bergetar semakin cepat maka beliau membuka matanya. Dan dia amat kaget seketika. Sebab air terjun itu, yang biasanya teratur turunnya dengan irama dan tatanan yang baik, hati ini dirasakan kacau. Lalu Ki Ca Hya mengangguk-angguk kepala seraya berkata sendiri : “Aku tahu, ada yang tidak beres pada cucuku”. Dan tiba-tiba ilmu pandang tembus Ki Ca Hya melihat getaran cahaya melintang pada air terjun itu. Panjangnya sekira panjang sebuah pedang, Lalu Ki Ca Hya mancoba berdialog ; “Kamukah itu Ki Tien Yuan?” Tak terdengar wisik. Lalu Ki Ca Hya menanya lagi : “Jika kamu Ki Tien Yuan, coba jelaskan bentukmu itu dimataku!” Hanya sekilas, getaran cahaya yang melintang itu memang berbentuk pedang, lalu lenyap, dan air terjun tadi mulai teratur kembali. Ki Ca Hya lantas berdiri, mundar mandir di depan air terjun rahasia itu. Kemudian dia pejamkan mata, dia menatap jauh dalam pejam mata mencoba memperkuat pandang tembusnya seraya berbisik : “Siapa yang memegangmu sekarang Ki Tien Yuan?” Sekelebatan , jelas, bukan Aji Mlati. Barulah Ki Ca Hya yakin, bahwa yang memegang pedang sakti itu tak lain adalah puteri Ki Putih Kelabu. Harwati! “Celaka orang ini” , Ki Ca Hya menggerutu seraya berhening diri sejenak untuk mengambil keputusan. Dan dengan cekatan kemudian beliau meninggalkan tempat itu, menaiki tangga batu dan muncul pada pintu rahasia yang berada dilantai ruang perpustakaan kitab-kitab. Serta merta ketika tiba di atas, sebuah kitab jatuh. Kitab itu Kitab Kebun Senjata. Anehnya kitab itu terkembang sendirinya, membuka halaman yang penuh syair. Tentu mata Ki Ca Hya tidak menyia-nyiakan petunjuk akan adanya makna gaib dari terbukanya kitab itu. Maka dia membaca syair di halamanitu: Senjata elang adalah cakarnya, senjata bangau sayapnya, sanjata harimau taringnya, siapa yang memahami ini selamat sudah pasti, dari semua yang penting bukan otot yang melenting tapi bijaksana untuk sampai ke Bukit Bunga   “Bukit Bunga?” tanya Ki Ca Hya, “Bukankah Bukit Bunga adalah tempat terakhir para pendekar suhu?” Dia meneruskan membaca syair berikutnya: Adapedang yang melukai Yang ampuh membuat cacat para pendekar yang menunda mati yang terpaksa menyamar menjadi tukang ngamen, pengemis atau ahli nujum rahasia sebelum dia mati abadi di Bukit Bunga....... Kini, setalah membaca syair ini barulah Ki Ca Hya yakin, bahwa direbutnya pedang Tien Yuan oleh Ki Harwati adalah di Bukit Bunga. Dia sudah melarang pedang Tien Yuan itu melalui kiriman wisik pada sang cucu, agar tidak melukai Harwati, sebab Harwati adalah puteri saudara segurunya, Ki Putih Kelabu. Kini, mau apa sebenarnya Ki Harwati? Oh, mungkin dia menghendaki Kitab Kebun Senjata ini. Kalau demikian, apa umurku akan berakhir? Apa dia akan bertempur denganku, dengan menggunakan pedang Tien Yuan, sehingga aku cacad? Lalu aku melariken diri ke Bukit Bunga, menyamar jadi tukang ngamen dan pengemis? Atau mungkin menjadi juru ramal rahasia-rahasia? Belum pernah Ki Ca Hya sebingung itu.Dia tiba-tiba ingat bahwa kematian Gurunya dahulu dimulai dengan pertanda Kitab Kebun Senjata dan kisah syair mengenai Bukit Bunga. Apakah aku akan mati, atau cacad? Apa mungkin pedang Tien Yuan yang aku wariskan kepada cucuku mampu mempan menggores wajahku ? Bukankah itu tabu? Atau masih ada lagi rahasia dalam Kitab Kebun Senjata ini yang belum semua terungkap bagiku? Belum pernah Ki Ca Hya segentar detik-detik itu. Lalu kegentaran itu bertambah lagi dengan bisikan hatinya ; Tentulah sebelum pedang itu direbut terjadi pertarungan dahsyat antara cucuku Aji Mlati dengan Harwati! Apa cucuku sudah dia tewaskan? Dimana letak ilmu Pungguh Tolol yang sudah dicurinya dariku sampai dibiarkannya Aji Mlati tewas? Kebingungan yang jarang terjadi pada seorang Guru Besar, akhirnya terjadi jua! BAIK Kl Ca Hya, begitupun Ki Harwati, keduanya sama-sama terkeiut. Dan karena itu, tanpa pasang kuda-kuda lagi Ki Harwati langsung menyerang begitu pun Ki Ca Hya langsung menangkis serangan dengan pedang sakti Tien Yuan “itu. Serangan itu amat dahsyat, tetapi pedang sakti itu jungkir balik tak karuan sehingga ia seperti mabok, padahal pedang itu sendirilah yang mabok.   Sekali-sekali memang serangan pedang sakti itu mengenai kepala atau punggung Ki Ca Hya. Tetapi sudah merupakan takdir yang tidak dapat dipungkiri, pedang itu sepertinya menghindari ketabuan benda sakti. Harwati gelagapan agak gugup, lalu menghentikan serangan. Tapi tangannya masih menjinakkan pedang yang sepertinya masih belum mangakhiri kemabokannya biarpun tinggal sedikit. “Tidak semua pedang dan senjata sakti diijinkan untuk melukaiku, nak. Kecuali Pedang Ratu Kalabang menurut babad nenek moyang persilatan. Tapi pedang Tien Yuan? Itu adaiah pedang yang temyata bukan hakmu memegangnya tetapi kau juga belum mengetahui pantangannya”, ujar Ki Ca Hya. Dengan nada hormat, Ki Harwati barkata ; “Memang ilmu tuan sangat tinggi, Tuan Guru. Apakah ilmu tuan yang sakti itu, tuan?” “Bukan ilmuku yang tinggi. Tetapi kesaktian pedang itulah yang belum kau ketahui”, ujar Ki Ca Hya. “Apa kesaktian pedang ini, Tuan Guru?” tanya Ki Harwati. “Partama, dia harus sesuai dengan trah. Yaitu, yang memegangnya harus dari asal keturunan. Bukankah sebelum kau pegang, pedang ini milik Aji Mlati, pendekar perawan itu?Kan demikian?” “Betul, tuan Guru”. “Jadi kau tidak berhak memegangnva apalagi memilikinya”, ujar Ki Ca Hya. “Lalu, hal kedua apa, Tuan Guru?” tanya Harwati. “Hal kedua adalah kesaktian pedang itu. Ini kau perbuat dalam ruangan. Dalam ruangan begini, dia tidak akan makan orang. Pedang ini, sesuai dengan namanya hanya mampu dibawa main di lapangan dan kebun, Tidak dalam rumah”, ujar Ki Ca Hya. “Lalu apa lagi?” tanya Harwati. “Juga tidak akan melukai siapapun yang satu trah dengan pedang ini. Aku dengan pandangan tembusku sempat melihat bagaimana buasnya kamu ingin merebut pedang ini, lalu kamu akan menyerang memenggal lehar Pungguh Tolol muridku. Dia bukan dari trah kami. Tetapi dia tidak dapat kau penggal karena dia salah seorang muridku yang sudah mendapatkan ijasah persilatan Guru Muda, Jadi kau jangan sembarang hantam, nak, Aku merasa kau ini cukup aneh, puteri seorang pendekar. . . tapi berlaku curang”. Harwati terdiam beberapa saat. Dia bertanya ; “Tuan Guru, memang kenal siapa aku, he?” “Aku tahu kau puteri Ki Karat”, ujar Ki Ca Hya. “Tahukah kau siapa ayahmu itu, nak? Tahu?” “Dia pendekar harimau, Tuan”,   “Bukan itu saja. Ki Karat adalah sedulurku dalam ilmu persilatan. Kami satu guru. Jadi amat janggal, orang yang merupakan turunan pendekar hebat begini masih mau melakukan pekerjaan tengik seperti kau”, ujar Ki Ca Hya. “Jadi kalau begitu saya berhak anda didik, Tuan Guru”, ujar Harwati, “He he he...kau rupanya berminat belajar denganku. Baik, baiklah, semua ini semoga saja mendapatkan restu. Tidak sulit bagiku mengisi ilmu pada turunan Ki Karat. Tetapi apakah aku bisa mengetahui dimana sekarang Aji Mlati?” “Aku kurang tahu, Tuan Guru”, ujar Ki Harwati. Dia tidak berdusta. Kendati dalam otaknya melancar berbagai rencana. Lalu Ki Ca Hya mempersilahkan Ki Harwati : “Silakan anda menunggu saya di ruang sebelah ini”. “Tuan mau kemana?” tanya Ki Harwati. “Saya minta anda perbuat apa yang sudah kusebut saja”, ujar Ki Ca Hya. Harwati tahu itu sebuah perintah pendekar besar. Haruslah dia turuti. Dia keluar dari ruang itu, lalu Ki Ca Hya memasuki pintu rahasia dilantai untuk melakukan kontak dengan Aji Miati. Tapi Ki Harwati? Dia merasa aman ditinggal. Dia memasuki ruang lain, Ruang Kebun Senjata. Dia menghitung ada sekitar seratus senjata berjejer, semuanya menggiurkan. Dia yakin, jika dia ambil satu, maka akan ketahuan. Maka dia ambil saja sebuah pedang yang sudah dibacanya nama pedang itu terlebih dahulu. Tak sulit baginya membaca tulisan Sanskrit itu, yang terjemahannya adalah “Pedang Mawar Berduri”. Tentu pedang ini amat sakti. Maka ditukarnya Pedang Tien Yuan dengan itu. SETELAH memegang Pedang Mawar Berduri itu, keberaniannya dirasanya menjadi amat luar biasa. Tapi dia merasa perlu segera meninggalkan padepokan Ki Ca Hya dengan segera, sebelum dia kepergok. Dengan langkah seribu Ki Harwati berkelebat meninggalkan padepokan itu, larinya cepat bagaikan angin beliung, dan menjelang senja saja sudah tujuh buah bukit yang dia lewati, Tetapi setiba di Bukit Bunga, Ki Harwati melihat sebuah pemandangan aneh. Udara pun jadi pengap. Bukit itu seakan-akan sedang disirami debu dari langit. Lalu bau debu itu terasa oleh hidungnya. Sehingga dia mundur. Dan dia pun ingat dengan kesaktian Bukit Bunga ini, seperti yang pemah dituturkan ayahnya, Ki Karat, dulu semasa dia masih kanak. Ki Karat pernah berfatwa, agar jika dia besar kelak harus berhati-hati jika nasib akan melintasi Bukit Bunga. Bukit itu amat sakti, ada kembang abadi Wijayakusuma disana . Dan kembang itu pantang dipetik atau dipindahkan. Tadi, sebelum Harwati melihat debu hitam turun dari langit, dia melihat dua orang melintasi bukit itu. Dia curiga yang melintasi itu adalah Aji Mlati dan Ki Pungguh Tolol.   Karena yakin, dia mulai mengitari bukit itu. Dia akan memeras mareka. Dan akan menakut-nakuti mereka. Begitu dia kitari setengah putaran Bukit Bunga itu, dia langsung melihat Ki Pungguh Tolol masih membersihkan wajahnya yang terkena debu. Begitu Harwati melihat Aji Mlati, langsung saja dia berteriak mengancam ; “Jangan maju lagi lebih dari selangkah, atau…matil” Aji Mlati gemetaran melihat pedang terhunus. Dan Pungguh Tolol tidak bisa ketawa, malah setengah teriak ; “Wah, itu pedang Mawar Berduri!” “Memang aku pemilik syah pedang ini, yang diberikan oleh Ki Ca Hya kepadaku!” ujarnya berdusta. “Jadi anda sudah ketemu kakek?” tanya Aji Mlati. “Aku sudah ketemu kakek itu. Karena aku puteri Ki Karat yang menjadi sahabatnya, maka aku diberikannya sebuah pedang sakti untuk penjaga diri. Kalian berdua rupanya belum kenal, bahwa Ki Harwati adalah puteri pendekar harimau Ki Karat?” “Aku pernah mendengar nama pendekar besar itu. Tapi apa memang mungkin orang seperti kamu adalah puteri Ki Karat?, he?Ha ha ha, jangan marah. Kami berdua mencari kau untuk meminta kembali pedang Tien Yuan itu tuan!” Harwati tertawa menyeringai dan berkata : “Justru aku mendapat Tugas utama dari Guru Besar untuk menyelamatkan kalian berdua agar tidak terjebak dengan kepikunan!” “Kepikunan?” mata Pungguh Tolol terbelalak. “Lho, apa kalian tidak mengerti isyarat hujan debu? Tahukah kalian bahwa bukit ini Bukit Bunga. Bukan sembarang bukit. Disini pendekar lahir, disini pula pendekar berakhir, Kuharap kaiian berdua, jika ingin selamat, jangan banyak cerewet. lkuti langkahku!” Pungguh Tolal, biarpun dengan ketololan paling suka menghubungi satu soal dengan Kitab-kitab yang dia baca, rasanya memang pernah mendengar mengenai kesaktian Bukit Bunga Ini, “Kita ikut Guru Muda ini, dik Aji”, ujar Pungguh Tolol begitu dia melihat Aji Mlati bimbang. Kebimbangan ini adalah getaran hati yang risau, Padahal getaran gelombang tembus ruang sedang dikirimkan oleh Ki Ca Hya kepadanya saat itu. ketika Guru Besar itu sedang bersemedi dihadapan air terjun. Semedinya menjadi kacau. Timbul keraguan bahwa puteri Ki Karat, sedulur silatnya, akan melakukan khianat! Hubungan tembus ruang yang dilakukan beliau dengan Aji Mlati menemui kebuntuan, Firasatnya yang tajam lantas membatalkan semua jalaran gelombang batin. Ditinggalkannya air terjun rahasia Itu. Lalu dia naik ke atas dan tiba di Ruang Kebun Senjata. Mulanya dilihatnya semua senjata itu tak kurang satupun. Tetapi setelah beliau akan pergi meninggalkan ruang itu, mendadak dia ingat ada satu senjata yang memancarkan sinar. Tak lain itu tentu pedang Tien Yuan. Dan dengan langkah agak tergesa melangkahlah dia menuju tempat senjata Tien Yuan itu.   Geram beliau berkata ; “Celaka! Pedang sakti Mawar Berduri ditukarnya dengan pedang cucuku!” Sikapnya menjadi gelisah. Biasanya dia tidak pernah keluar dari padepokannya, kecuali bila penting. Selama ini dia sudah cukup mengirimkan getaran saja, tanpa jasad yang pergi. Kayaknya,kali ini, dia memerlukan pergi. Jasadnya seakan-akan harus pergi mencari Ki Harwati, yang semena-mena telah mencuri pedang sakti Mawar Berduri. Ketika itu terbayang oleh Ki Ca Hya, sebuah prahara berkepanjangan akan menimpa kawasan seratus bukit. Benarlah firasat itu. Sebab yang berfiasat sudah membaca babad prahara, kitab mengenai segala huru hara dunia persilatan di kawasan ini. Dan yang membacanya adalah Ki Ca Hya.... ............ DAN desa Lilep menjadi korbannya yang pertama. Dalam perjalanan melintasi sebelas bukit, Aji Mlati dan Pungguh Tolol maupun Ki Harwati mengalami kelaparan hebat “Tak ada jalan lain, dik Aji, Kita harus merampok desa ini”, ujar Ki Harwati. “Dengan kekerasan?” “Tentu dengan kekerasan”, “Bagaimana jika di kawasan sini ada pendekarnya?” “Jangan kuatir. Aku akan darahi dengan pedang Mawar Berduri ini”, ujar Ki Harwati yang langsung menggedor pintu warung yang sudah tutup di malam itu. Desa Lilep yang sudah tidur terbangunlah dari tidurnya. Ki Rai Tamsil yang berwatak tenang muncuI keluar pinlu dan berteriak: “Siapa yang mabok lagi disini . ..malam ini... menggedor pintu, ha?” “Maju kau Aji Mlati. Hajar dia dengan sayap kupu-kupumu!”, ujar Ki Harwati pada Aji Mlati, yang langsung berkelebat dengan dua tiga kali loncatan, dan dalam tiga detik tiga kepak tangan jurus sayap kupu-kupu menjiprat muka orang tetua itu. “Aduh, siapa kamu anak perawan durhaka?” Tetua desa itu bangkit, lalu Ki Harwati memerintah Pungguh Tolol: “Mana pelajaranmu dari Guru Besar yang harus menyambat mulut manusia yang suka mengutuk?” “Baik, aku akan sumbat mulutnva”, ujar Pungguh Tolol. Pungguh ketawa terbahak seraya terbang ke udara, dan hinggap di atap rumah serta berseru : “Hayo, seluruh isi rumah, lelaki perempuan keluarl Kami bertiga lapar! Kami butuh makan, ha-ha-ha,.!” Beberapa orang keluar. Dan mereka melihat tetua desa Rai Tamsil dihajar habis-habisan oleh Aji Mlati, sementara Pungguh Tolol sudah turun melayang dari bubungan atap, dan langsung menyikat delapan orang lelaki yang kelihatannya sok ingin melawan.   Sekaligus, Pungguh Tolol sembari ketawa menghajar Rai Tamsil, namun anehnya Rai Tamsil mengibas dengan gerak kupu-kupu, mengenai mata Pungguh Tolol. Bahkan, setelah kena hajaran Pungguh Tolol, Rai Tamsil sepertinya mampu pula memainkan silat bangau putih dengan jurus-lurus yang jitu. Hal ini membuat Ki Harwati jadi geram. Dia jadi geram karena sepertinya dikecoh oleh Aji Mlati maupun Pungguh Tolol. Dan memang dalam dunia persilatan ada orang-orang tertentu yang menghajar lawan tetapi kenyataannya justru “mengisi lawan” dengan sistem hajaran itu, Makin banyak dan semakin banyak orang-orang awam desa ini yang secara cepat mendapat isian ilmu Bangau Putih setelah dihajar Pungguh Tolol, lain mendapatkan pula jurus Kupu-kupu, bahkan 18 jurus penting yang mereka perdapat setelah terkena hajar Aji Mlati. “Hentikan!” teriak Ki Harwati ketika Pungguh dan Aji Mlati sepertinya menyiksa beberapa orang awam. Aji Mlati menoleh. Dia terkena hantaman dari belakang oleh orang yang baru saja dia hajar. Tendangan itu berupa jurus kupu-kupu bangkit birahi dan menyebabkan Aji Mlati berjumpalitan menuju arah Ki Harwati berdiri. Begitu sampai didekatnya, Harwati mengeluarkan jurus elang menciprat sayap, sehingga Aji Mlati bergeleparan ditanah. Pungguh Tolol melihat sedulurnya terkena cipratan elang itu, kontan jadi marah dan menyerang Harwati seketika itu jua. Harwati memutar tubuh dengan jurus elang mengitari sarang tapi dengan tuntas memainkan jurus ciprat sayapnya, sehingga Pungguh Tolol pun jatuh bergeleparan. Harwati mendadak memutar tubuh karena mendengar bagaikan suara kepak elang, yang memang jurus kepak elang itu pulalah yang dimainkan Aji Mlati terhadap Ki Harwati. Pertarungan jurus elang lawan jurus elang yang sama membuat perkelahian dahsyat bagai dua binatang buas sedang berkelahi, Harwati sewaktu akan mencabut pedangnya teringat petuah Ki Ca Hya kepadanva. Karena dia merasa percuma main senjata, maka dia menangkis dan menyerang Aji Mlati dengan tangan kosong. Tiba-tiba ada penduduk yang berteriak-teriak, disusul oleh teriakan berikut yang dahsyat. Bunyi berdengung terdengar, dan Harwati loncat dan berdiri seraya cepat berteriak: “Ayoh tinggalkan desa ini!Ada bencana serangan lebah!” “Oi, itu jutaan lebah menyerbu!” teriak Pungguh Tolol. Dia raih tangan Aji Mlati, dan Ki Harwati pun ikut lari tunggang langgang bersama pendekar Pungguh Tolol dan Aji Mlati, kearah kidul. Mereka bertiga benar-benar dikejar rasa takut, karena dalam dunia persilatan, semua gerak alam semesta termasuk binatang-binatang seperti lebah yang menyerbu bisalah dianggap sebagai “ngalamat”, pertanda. DAN penduduk desa Lilep yang begitu paniknya mendadak tercengang sewaktu lebah-lebah yang ribuan mendesing itu mendadak lenyap. Ketika itu terdengar ringkik kuda. Tampak seorang wanita turun dari kuda lain memancangkan tali kekang pada tempat yang tersedia. Pak Bokoh, pemilik warung, membuka pintu dan bertanya : “Siapa tuan?” “Saya pengembara”. sahut wanita itu, yang tampaknya begitu ramah tapi patut untuk dicurigai karena bisa pula dia perampok. “Nama tuan? Boleh saya ketahui?” tanya Pak Bokoh. “Nama saya Pita Loka”. “Anda tentu pendekar yang baik”. “O, jauh dari itu, Pak. Boleh saya dapat setabung nira?” tanya Pita Loka dan memasuki warung itu. “Boleh saja. Dan yang meminum setabung nira biasanya pendekar. Anda pendekar, bukan?” Pita Loka hanya tarsenyum cerah. Lalu dia terima tabung bambu berisi nira itu, dan dia minum dengan tegukan kehausan. “Anda tentu dari berjalan jauh”, Ujar Pak Bokoh. “Saya dengar tempat ini baru didatangi pendekar, benar itu?” “Bukan hanya pendekar, tuan jawara, Tapi juga mereka mengacau. Jumlahnya tiga, Dua wanita dan satu pria, yang suka tertawa-tawa tapi silatnya hebat sekali. Rai Tamsil jatuh tersungkur dihantamnya”. Mendengar itu Pita Loka mengangguk-angguk, lalu bertanya: “Dia kocak dan Tolol, maksud tuan?” “Ya”. “Agar tuan ketahui, dialah Pendekar Tolol murid Ki Ca Hya. Mengapa mereka kesini? Dan mengacau?”   “Mereka kelaparan”, kata Pak Bokoh, “Gayamerekagaya perampok”. “O, begitu. Tadi tuan sebut ada dua wanita. Yang satu lagi wanita remaja. Betulkah terkaanku, Pak?” “Betul. Dia juga bengis. Tetapi yang lebih bengis pendekar wanita yang satu lagi”. “O, yang Pendekar Perawan itu sebetulnya baik. Cuma satu orang yang bengis, yang wanita itu. Apa dia membawa sebuah pedang?” tanya Pita Loka. “Jangan selidiki lagi. Saya takut Tak penting bagi saya siapa nama mereka, yang terang kami penduduk awam semuanya panik, Tapi ada satu hal yang aneh..,.” “Katakan padaku Pak!” “Tiap pukulan yang dihantamkan dua pendekar yang diperintah oleh satu pendekar terbengis itu, selalu menulari ilmu persilatan pada kami yang awam dalam ilmu silat. Tapi setelah mereka pergi, kami tak pandai bersilat lagi. Ilmu apa itu, tuan jawara?” tanya Pak Bokoh. Pita Loka minta satu tabung nira lagi. Lalu dia meneguknya, dan wajahnya mulai kemerahan. “Semua sudah jadi gila. .”, dia menggerutu sendiri bagai seorang yang mabuk. Ketika hendak berpamitan untuk pergi, Ki Pita Loka berpesan: “Kalian, penduduk desa Lilep jangan cemas jika mereka datang lagi. Pedang Mawar Berduri tidak pernah mendarahi orang-orang yang awam, yang tidak menguasai dunia persilatan dan tidak ingin pada kegaduhan. Malahan setiap pukulan dari siapapun yang disurupi oleh kesurupan Pedang sakti Mawar Berduri, akan terisi ilmu si penyiksa. Percayalah, aku tidak bohong. Aku ini Puterinya Ki Putih Kelabu”. “O, Tuan ini puterinya Ki Putih Kelabu? Ayahanda tuan pernah berjasa di zaman musim rampok 25 tahun yang silam, dimana para perampok yang sudah sempat membunuh rakyat kami dan memperkosa beberapa gadis dihabisi hancur lebur oleh ayahanda Tuan. Terima kasih atas kedatangan tuan”. “Aku sebetulnya ke sini untuk mencari cucu pendekar besar, yang sudah kena pengaruh penculiknya”. “Boleh saya tahu nama orang yang tuan cari?” tanya Pak Bokoh. “Namanya Aji Mlati. Dia dikenal sebagai pendekar perawan.Tapi bapak jangan rriendapatkan kesan jelek mengenai dirimya, sebab dia sebetulnya bukan dari golongan ilmu Hitam. Kemana mereka melarikan diri?”   “Ke sebelah kidul sono, tuan Jawara”, ujar Pak Bokoh. “Terima kasih”, dan Ki Pita Loka langsung loncat naik kudanya, memacu kuda itu ke arah selatan. Tapi di selatan, tepatnya di Bukit Limbubu, tiga pendekar itu dicegat oleh Ki Tunggal Pengkar, yang justru kakinya yang pengkar itu terkenal buas. Dia dikenal karena sempat membuat gila Ki Tunggal Surya Mulih selama 1000 hari. Juga dikenal ahli senjata. Maka, begitu dilihatnya Ki Harwati memegang pedang Mawar Berduri Ki Tunggal Pengkar dengan nada serak membentaknya : “Anak tolol, sebelum senjata itu melukai dirimu sendiri, sebaiknya serahkan padaku!” AJl MLATI, yang pernah diceritakan oleh kakek Ki Ca Hya mengenai pendekar sombong ini, tidak sempat lagi menunggu waktu, Dalam sekelebatan dia hajar punggung Ki Tunggal Pengkar, yang kontan membalik dengan menyabet leher Aji Mlati dengan kaki pengkarnya.Untung Aji Mlati merundukkan kepala, dan ketika dia dihadang dengan selimpang jurus tangan terkuak, Pungguh Tolol mencegat hajaran Aji Mlati hingga pendekar perawan itu mental ke samping dan Pungguh Tolol menyabetkan tendangan sayap elang kawin yang lurusnya tak bisa ditangkis Ki Tunggal Pengkar menyebabkan wajahnya membekas lima goresan. Darah mengucur. Melihat darah mengucur itu, pedang Mawar Berduri langsung tergetar, bergerak liar dalam pegangan Ki Harwati. Ki Harwati menjinakkan gerak pedang Mawar Berduri itu dengan jurus -jurus bunga belaka, menghindari Ki Tunggal Pengkar yang mulai kalap. Darah itu terus mengucur. Dan Ki Tungga! Pengkar dengan silat pendekar pengkamya mengeluarkan jurus maut- jurus maut yang tak berbilang ampu. Aji Mlati jungkir balik terkena seruduk jurus maut kaki pengkar si pendekar kalap, Dia jatuh diunggun jerami, merintih menghindari diri ketahuan lawan. Pungguh Tolol tahu yang sudah diderita Aji Mlati. Tiba-tiba dia sendiri terkena serangan si kaki pengkar, tetapi untung dia bergantung pada janggut pendekar pengkor itu, dan dua-duanya pun terbantinglima enam kali dalam satu pergumulan mengerikan. Ki Harwati menunggu sampai berbangkitnya Ki Tunggal Pengkor. Begitu dia bangkit, dia sabetkan pedangnya ke kaki pangkor itu. Pedang itu menancap, sulit untuk ditarik atau dicabut, sehingga ketika Ki Tunggal Pengkor menggelit kesakitan jumpalitan bergulang-guling, maka Ki Harwati terikut bergulang-guling juga. Hingga pedang sakti itu lepas dari pegangannya, tinggal di paha Ki Tunggal Pengkor Terbenam begitu saja, Namun sembari merintih Ki Tunggal Pengkor menggunakan kesempatan baik itu mencabut pedang itu dengan sekuat tenaga. Akhirnya, biarpun tidak bisa berdiri, nanun Ki Tunggal Pengkor sudah memegang hulu pedang sakti Itu. Dan dia berteriak lantang kegirangan tanpa perduli kakinya yang hampir putus : “Hai, penduduk Bukit Limbubu! Kini terbukti benar, akulah pemilik syah pedang Mawar Berduri ini, sesuai dengan isi Kitab Kebun Senjata!”   Melihat Ki Harwati lintang pukang melarikan diri, Aji Mlati mencoba merawat tulangnva yang keseleo terkena sabetan pendekar pengkor. Dia lihat Ki Harwati sudah menghilang. Juga dia tidak melihat lagi Pungguh Tolol. Mendadak ketika itu, dalam batinnya menyala tugas seorang ksatria. Seorang pendekar kesatria sejati menurut kakeknya adalah orang yang memelihara senjata pusaka, agar tidak jatuh ke tangan musuh. Kisah bahwa pendekar Tunggal Pengkor ini adaiah musuh sudah lama dia ketahui. Maka batinnya berseru : “Rebut pedang itu!” Melihat penduduk Bukit Limbubu bersorak sorai karena pendekar yang mereka segani sudah memegang Padang sakti Mawar Berduri itu, maka Aji Mlati menekan nafas dalam-dalam, bagai harimau menggeram, lalu matanya melihat satu alu tumbukan padi. Alu itu dia pegang seketika, dan dengan sekuat tenaga angin beliung Aji Mlati berteriak lantang menyabetkan lesung itu kiri dan kanan menguakkan orang-orang yang mau mengelu-elukan Ki Tunggal Pengkor. Alu itu dengan cepat dia hantamkan ke kepala Ki Tunggal Pengkor, dan pedang sakti itu loncat dari tangannya, ke udara, dan Aji Mlati loncat ke udara merebut hulu pedang sakti itu. Begitu iatuh ke tanah, kedua telapak kaki Aji Mlati terbenak sejari dan dia loncat lagi sehingga tanah yang dipijaknya tadi terbongkar. Lalu dia berputar bagai angin beliung dengan mata pedang akhirnya menyikat punggung Ki Tunggal Pengkor, Punggung itu robek, darah muncrat, dan masih sempat pendekar pengkor itu berseru : “Nanti giliranmu ditebas Puteraku, awas kau!” Yang dimaksud puteranya itu adalah anak kecil usia 11 tahun yang berteriak meratap melihat ayahnya tertelungkup setelah mengancam Aji Mlati. Anak itu membolak balik tubuh sang ayah, Tapi itu tak mungkin lagi, sebab pendekar pengkor itu sudah menghembuskan nafasnya. Dia sudah mati. Aji Mlati bergerak lambat diantara rakyat Bukit Limbubu. Lamban dan penuh selidik serta kekuatiran. Tapi mereka semuanya cuma tercengang. Dan mendadak sontak, angin Limbubu berputar-putar di pebukitan itu, menerbangkan debu dan mencerabut akar pohon-pohon kecil dan menumbangkan pohonan besar. Aji Mlati sudah menyingkir dari Bukit Limbubu. Begitu dia turun tangga bukit yang menuju air terjun dibawah situ, Ki Harwati muncul mengulurkan tangan pada Aji Mlati: “Bagus, sudah kau jalankan tugas dengan baik. Pedang ini memang butuh didarahi. Cuma pendekar besar llmu Hitam yang mau dia makan nyawanya, orang awam dan pendekar pelajar dia tak doyan. Ayoh, serahkan padaku senjataku itu!” ujar Ki Harwati pada Aji Mlati. Nada itu tegas. Dan berwibawa. Anehnya Aji Mlati mau saja pada perintah Ki Harwati. Setelah Ki Harwati memegang senjata sakti itu tampaklah Ki Pungguh Tolol turun mlorot dari pohon pucung.   KI PITA LOKA memang datang terlambat. Penduduk desa Bukit Limbubu masih diliputi shock kegentaran. Tanpa ditanya-tanya lagi, penduduk mengisahkan betapa serunya pertarungan antara Ki Tunggal Pengkor denga Pendekar Perawan. Tetapi tentu saja mereka tidak menceritakan pada Ki Pita Loka, siapa dalang di balik pertarungan itu. Sungguh! Rasa geram Pita Loka membahana menyesakkan dadanya, setelah dia mendengar keterangan dari berbagai desa-desa yang dilewati, jelas sekali bahwa dalang dibalik petarungan itu adalah Ki Harwati. Jika kebetulan dia mendalangi pertarungan Aji Mlati dengan musuh yang cocok seperti Ki Tunggal Pengkar, masih bisa diterima batin. Kendati sebetulnya hal itu bisa mencelakakan Aji Mlati. Tetapi barusan saja Pita Loka melewati desa Pakis Raja, penduduk mengeluh: “Belalah kami, wahai pendekar! Kami kenal Pungguh Tolol itu dulunya pengemis melarat. Setelah jadi pendekar, dia merampok ayam-ayam kami bersama pendekar perawan dan satu lagi pendekar wanita yang bengis memegang pedang”, “Cobalah maafkan pendekar perawan dan orang tolol itu. Mereka berdua tidak bersalah. Mereka terkena tegangan gelombang pedang sakti Mawar Berduri yang memang sedang “butuh makan”.,.....” “Butuh makan bagaimana?” tanya kepala desa Pakis Raja: “Pengertiannya mungkin banyak arti. Tapi mata pedang sakti , yang dicuri seseorang, biasanya butuh makan orang. Dia butuh didarahi, Tapi adakah diantara penduduk sini yang dilukai pemegang pedang sakti itu? Tidak ada, bukan?” tanya Pita Loka. “Tidak ada yang dilukai. Tapi begitu pendekar perawan memukul saya maka langsung saya kayak kemasukan ilmunya. Saya lantas berani bertempur. Begitupun yang lainnya, semuanya ketularan ilmu setelah kena gebruk. Kami harap tuan temui mereka bertiga. Bantai mereka! Ambil senjatanya. Pendekar macam begituan tidak dibutuhkan oleh masyarakat”, ujar tetua Pakis Raja itu. Pita Loka menghabiskan madu dan jamu-jamu hadiah tetua desa itu, lalu dia melompat ke punggung kudanya. Kedua mata kakinya mengetuk pinggang kuda dan kuda putih itupun lari dengan tangkas perkasa membelah hutan belantara. Tujuannya kali ini dengan harapan supaya dapat menangkap Aji Mlati, juga sekalian Pungguh Tolol, tentu setelah bertarung habis merebut pedang sakti Mawar Berduri. Sejarah pedang sakti ini sendiri perlu dicari dalam Kitab Kebun Senjata, yang tidak sembarang orang bisa membacanya, Ketika Ratu Kerajaan Campa dilamar oleh Raja Daya dan lamaran itu ditolak, maka Raja Daya mengutuk: “Jika kamu mawar, kamulah mawar berduri, karena senjatamu adalah warnamu yang menggairahkan, tetapi menulari penyakit gila pada orang yang kamu pamerkan kepintaranmu itu!” Kutukan itulah yang membuat Pedang Mawar Berduri tidak layak dipertontonkan kepada umum, Karena getarannya akan merasuki siapapun yang terkagum atau ngeri pada kesaktiannya. Cerita mengenai pedang ini sudah diketahui Pita Loka sebelum dia mendapatkan kesaktian dari para Guru. Maka, jika dia memacu kudanya mencari tiga pendekar yang disesatkan hawa nafsu itu, tidak lain adalah sekedar menyelamatkan senjata sakti dari pegangan yang salah. Sementara itu, tiga pendekar tukang kacau itu sudah pula memasuki Bukit Burung. Bukit ini sarang dari para pendekar liar, yang ilmunya kacau balau. Aji Mlati berjalan di depan, lalu disusul oleh Pungguh Tolol, kemudian baru menyusul Ki Harwati dengan pedang saktinya. Sekaligus mereka dicegat olehlima pendekar liar. Mereka bukan terkesan pada pendekar perawan yang di depan, melainkan pada pendekar wanita yang memegang pedang. Pendekar Liar Busung Dada langsung saja berteriak ; “Kalian bertiga kuharap berhenti!” Aji Mlati berhenti melangkah. Pungguh Tolol langsung menyiapkan kuda-kuda. Penduduk berlarian masuk rumah dan menutup pintu. Ki Harwati melihat gelagat Pendekar Liar Busung Dada ingin memamerkan kepintaran bersilatnya. Seluruh jurusnya menjijikkan. Pedang yang ditangannya meronta. Ketika Pendekar liar itu menjuruskan bunga persilatannya kepada Ki Harwati, langsung saja dia berkelebat dan pedang sakti itu serta merta mendarahi bahu Pendekar Liar, disusul lagi satu pendekar liar lainnya,satu lagi, sampai semuanya sudah berjumlah lima terkena tatakan pedang sakti itu pada bahu-bahu mereka. Darah muncrat, para pendekar liar itu dalam keadaan sekarat berjumpalitan dengan teriakan-teriakan mengerikan. Sekaratnyalima pendakar liar ini ditingkah oleh suara ketawa cekakakan Pungguh Tolol. Hal ini memancing ingin tahunya seorang kakek tua, Suhu E lang, seorang pendekar yang sudah mengundurkan diri. Suhu berseru : “Busyet! Itu murid Ca Hya.” SUHU Elang menggerutu : “Begitu busukkah ilmu Ki Ca Hya sekarang ini, sehingga dia melepaskan murid kurang ajar dikawasan suci ini ? Kurang asem, kurang ajar, , ,!” lalu Suhu Elang turun lewat tangga ke ruang bawah, dan dia diikuti oleh pembantunya yang setia yang sudah 40 tahun melayani dia sejak berhenti jadi pendekar. Nolang, pembantu setia itu,bertanya pada Suhu Elang ; “Dengan mohon ampun terlebih dulu, apa bukan salah Suhu sekarang mendadak mau pegang senjata lagi?” “Hei, Nolang, jika pendekar melihat kebatilan, sumpahnya akan berhenti berkelahi tidak berlaku. Kau lihat,lima muridku sudah tergelimpang terkena pedang sakti Mawar Berduri yang dipiara oleh Ki Ca Hya. Lalu Ki Ca Hya mengirim ke sini satu pendekar tolol yang kurang ajar pula, betapa tidak gemasnva aku! Berikan gembok gudang senjataku, Nolang!” “Suhu Elang, Sabarlah. Mereka mungkin para pendekar yang sedang belajar. Jadi mereka petengtengan.” ujar Nolang si pembantu setia. “Petengtengan sih boleh saja. Tapi kalau sudah sampai bunuh muridku apa aku harus biarkan bangkai mati di depanku, Nolang ? Huh, mana gembok gudang senjataku, cepat aku sudah naik pitam”. Nolang sudah tidak mampu membujuk Suhu Elang yang memang blingsatan mau melanggar sumpahnya itu. Kunci gembok dia serahkan pada jawara silat Bukit Burung itu. Pintu gudang senjata itu dia tarik daunnya dengan rada kasar. Lalu serentet pedang sakti yang sudah dihiasi oleh lenang lelawah dicabut Suhu Elang sebuah, tentu yang pilihan. “Demi nyawalima bangkai murid-muridku yangmalang . . .demi hapusnya serita dari mulut ke mulut bahwa aku guru yang bodoh. . . .demi asalku dari elang yang masuk selangkang, maka aku pun akan pulang seperti pulangnva elang, aku rela mati demi mengusir murid-murid Ki Ca Hya itu, biar andaikata badanku dalam keadaan terpotong-potong”, setelah mengangkat sumpah itu, pedang Cocor Elang ditebahnya ke dadanya sendiri, sampai membal tiga kali. Dihampirinya Nolang yang bercucuran airmata. Suhu Elang yang tua renta itu berkata ; “Terima kasih atas bantuan kamu selama empatpuluh tahun mendampingiku da!am damai. Kini aku tergoda oleh harga diriku yang dicoreng oleh murid si Ca Hya, mungkin ini kata-kataku terakhir, nak!” Lalu Suhu Elang keluar dengan menyandang pedang itu pada bahunya. Penduduk desa kecil itu melihat Suhu Elang menyandang pedang dibahu.Bagi mereka hal itu agak aneh, Maka mereka mengintip dari sela-sela lubang dinding rumah mereka, mau tahu apa arah tujuan Suhu Elang. Rupanya seperti mereka duga juga, Suhu Elang menuju warung tuak Aja Tambelan. Disitu memang Ki Harwati, Aji Mlati dan Pungguh Tolol sedang diempani tuak oleh Aja Tambelan supaya mabok. Begitu sampai di muka warung tanpa atap itu, Suhu Elang masih tetap menyandangpadang saktinya, berhenti disana , menatap mata mereka bertiga dengan tatapan pendekar berpengalaman. “Siapa diantara kalian bertiga yang sudah mendarahi bumi Bukit Burung sini?” Ki Harwati gentar. Apalagi dia merasa agak puyeng sedikit. Pedang sakti Mawar Berduri yang dipegangnya lalu dia serahkan kepada Aji Mlati yang tampak tegang menghadapi pendekar tua itu. Aji Mlati, begitu memegang gagang pedang sakti Mawar Berduri, langsung membentak pendekar tua berjanggut putih itu dengan nada menantang: “Pedang sakti ini yang mendarahi bumi tuan. Apa tuan berkeberatan? Jika tuan berkeberatan, boleh darahi kulit dan daging saya sebagai imbalan”, dan meloncatlah Aji Mlati Ke belakang. Pungguh Tolol pun meloncat mundur, sedangkan Ki Harwati sudah entah dimana lagi saat itu. Yang jelas, Harwati menutup muka karena seram mendengar bunyi pedang beradu. Pendekar perawan itu berkelebat bukan karena menguasai ilmu permainan dengan pedang itu. Tapi justru kuwalahan karena sulit menguasai permainan yang langkah dan jurusnya terbentuk oleh liarnya si pedang itu. Mawar Berduri memang lambang kecantikan yang berbahaya, bukan hanya berbahaya pada yang memegangnya, tapi juga berbahaya bagi orang lain yang mau memetiknya. Mawar Berduri tampaknya memang bukan milik yang tepat bagi Aji Mlati, . . itulah pendapat hati Pungguh Tolol ketika dia melihat Aji Mlati didesak terua oleh Suhu Elang dengan tendangan atas bawah dan bawah atas, jurus-jurus permainan tinggi yang sebetulnya belum dikuasai Aji Mlati. Semua permainan Aji Mlati hanyalah jurus kebetulan karena kemampuannya memegang sekuat tenaga gagang pedang sakti Mawar Berduri itu. Karena itu pulalah, cara suhu Elang menggunakan pedang Cocor Elang itu cukup mendapat kesulitan. Terutama ketika sabetan cocor dilayani oleh terbang mundurnya Aji Mlati dan menclok dibubungan atap rumah penduduk seraya ketawa ngakak: “He, tua bangka, mari naik ke atas!”   SUHU ELANG memang terpancing oleh teriakan Aji Mlati dari atas bubungan atap rumah itu, sehingga dengan mengayun pedangnya dua tiga kali terlebih dahulu, ia kemudian sudah terlontar ke udara. Desingan pedangnya terasa dikepala Aji Mlati yang cuma berselisih tiga lembar rambut saja. Aji Mlati berkelit mundur, didesak terus oleh pukulan pedang Cocor Elang itu yang memang mencocor, ditangkis oleh mata pedang Mawar Berduri yang memang ampuh sebagai penangkis, Kelihatan asap dan api silih berganti memecah kegelapan malam ketika mata pedang itu saling beradu tanpa henti. Dan dengan pedang terus mencocor, mulut Suhu Elang iuga mencocor : “Aku kagum padamu, pendekar perawan. Keberanianmu tangguh, tapi itu pedang sebetulnya bukan milikmu, nak!” “Memang suhu betul, suhu” “Kamu akan aku cocor terus, tapi rasanya sayang untuk membabat lehermu pendekar parawan!” “Suhu berbudi tinggi”. “Aku penasaran karena senjatamu membabat anak buahku. Sekali babatlima nyawa.Ada baiknya kau menyerah anak perawan”, ujar Suhu Elang yang terus tanpa ampun mencocor, sehingga sudah berapa bubungan atap rumah yang dilompati mundur oleh Aji Mlati. Aji Mlati mundur dan mundur terus, karena gerak pukulan pedang Cocor Elang itu memang terlalu cepat dan mesti dilayani dengan jurus mundur. “Ayoh, menyerahlah, pendekar perawan” , ujar Suhu Elang sembari membabat bagian bawah kaki Aji Mlati yang membuat gadis perawan itu mempertontonkan kemampuan mengelaknya dengan loncatan mundur namun menangkis terus serangan mata pedang itu dengan tangguh sehingga berkali-kali kedengaran beradu nya dua pedang sakti itu menciptakan bunyi petir menyambar. Kejadian begitu, malam hari, cuma bisa dilihat oleh ketajaman mata seorang pendekar. Maka, melihat dua bintik cahaya yang dahsyat beradu dibumbungan atap rumah yang dilihatnya dari jarak seberang tebing, membuat Ki Ca Hya gregetan, ngeri dan cemas. Beliau menggerutu ; “Eh, cucuku pasti menghadapi Suhu yang sudah bertekad berhenti. Seluruh gerak silatnya adalah gerak cocor elang...aduh, salah-salah cucuku bisa mampus dengan permainan pendekar tua itu..,. sedangkan dia cuma memakai pedang sakti mawar berduri..,.. aduh, kalau begini naga-naganya aku tak layak ikut campur, Tapi bagaimana nasib cucuku? Ketika dia omong sendirian begitu, mendadak omongan itu didengar oleh Ki Harwati yang terus mundur ngeri .melihat pertarungan hebat itu. Mundur terus ke tebing dan dengan suara cemas Harwati berkata : “Guru Besar, bantulah Aji Mlati!”. “O, kamu yang berhati busuk ! Kamu yang mengumpan cucu dan muridku agar kami dapat nama jelek....kamu yang jiwamu kotor, ayoh jangan bergerak lari dari sini lagi!” bentak Ki Ca Hya. “Saya mesti mengambil pedang Tien Yuan lagi”, ujar Ki Harwati. “Itu tidak bisa, Aku bukan tertipu oleh kamu! Aku tertipu oleh setan sebab setan itulah guru kamu!” “Aji Mlati harus ditolong. Pedang Tien Yuan itulah yang cocok dipegangnya. Keadaan sudah gawat, tuan Guru Besar!” ujar Ki Harwati. “Ei. jangan lanjutkan rencanamu, bangsat! Ayoh berhenti!” ujar Ki Ca Hya yang begitu jengkel melihat kebandelan Ki Harwati yang tampaknya mau pergi mengambil pedang Tien Yuan dari Kebun Senjata ruangan padepokannya. “Ei, jangan permainkan diriku sampai dua kali. putera Karat! Ayoh berbalik sebelum kakimu terkelibat sendiri!” Ancaman Ki Ca Hya tidak diambil perduli oleh Ki Harwati. Dia terus melarikan diri meninggalkan tebing itu. Tetapi kakinya terkelibat sendiri, seakan-akan terikat, menyebabkan dia jatuh bergelimpangan. Dia merasa heran kakinya tidak bisa terlepas oleh libatan yang sudah diberi kutuk oleh Ki Ca Hya. Ki Ca Hya tidak memperhatikan hal itu, karena gelapnya malam Tapi memang dia ada mendengar, “Tolong cabut kutukmu Guru Besar”, tetapi perhatiannya terutama pada pemandangan diseberang jurang sana itu, yang tampaknya Aji Mlati masih mampu menghadapi serangan cocoran Suhu Elang. Dari jauh gerak cocor pedang itu nyata sekali untuk membedakan tangkisan pedang Mawar Berduri, Sembari terus mencocor dengan pedang itu mulut Suhu Elang mencocor Terus ; “Hati-hati kamu telah tiba diujung atap hanyalima rumah lagi. Kemampuan mundurmu hebat tetapi ruangmu untuk mundur sudah tinggal sedikit Sebaiknya kamu menyerah, agar kamu aku tunjukkan ilmu yang lebih tinggi, agar kamu mau mengembara mencari Kitab Rahasia Harimau Putih. Sebaiknya kamu menyerah sebelum pedangku membutuhkan makan nyawmu, nak!” Sembari menangkis dengan pedangnva itu, Aji Mlati sempat menyelidik dengan lirik untuk pastikan apa betul tinggallima bubungan atap rumah lagi. Memang betul, malah tinggal empat bubungan atap rumah lagi. Maka dia bersiasat dengan mengajukan tanya ; “Apa rahasia Kitab Harimau Putih itu, Suhu?” “Bagiku rahasianya kamu menyerah sebelum mati”, ujar Suhu Elang. “Aku memang butuh ilmu harimau”. ujar Aji Mlati, yang kesempatan ini dia gunakan bukan untuk mundur letapi loncat ke udara sembari menyabet dari atas ke bawah, yang mangenai bahu Suhu Elang sehingga darah muncrat dari bahu itu, dan gerak tangannya tak berfungsi lagi seketika itu juga. Aji Mlati menjadi puas, maklumlah pendekar remaja ! Tapi pada detik dia puas itu, ludah bertuah Suhu Elang itu sudah beliau semburkan ke bahu yang tercoak oleh pedang Mawar Berduri tadi, yang telah membuat Aji Mlati lupa diri.   Begitu terkena ludah bertuah dan bahu itu sembuh seketika, Suhu Elang mengambil langkah cocor tanpa ampun menyerang Aji Mlati dengan pedang Cocor Elangnya. Yang gelisah justru yang menonton kajadian itu dari jauh. Yakni Ki Ca Hya, yang merasa ada hubungan batin dengan cucunya Aji Mlati. Beliau berdebar-debar. Tapi dalam perguruannya pada Guru Sakti Kebun Senjata dahulu, dia sudah diberi pantangan tidak boleh bertarung dengan Suhu Elang yang tak berbakat jadi guru di Bukit Burung, namun pada suatu ketika akan kembali bertarung dengan siapapun yang memegang pedang Mawar Berduri. Demikian petuah kitab persilatan dan gurunya dulu. Kini, dalam kegelisahan menonton dari jarak jauh, Ki Ca Hya tidak boleh bercabang hati sedikitpun juga.. itulah yang mesti dipertahankannya terus... apalagi hatinya tidak boleh cenderung untuk menolong sang cucu. Dalam pada itu, deru telapak kaki kuda mandekati tebing desa Semampir itu. Penduduk berlarian masuk rumah karena kuatir pendekar berkuda ini adalah pendekar pengacau. Sekiranya mereka mangetahui itulah Ki Pita Loka, tentu mereka akan menyambutnya dengan keagungan. Tapi desa ini hanya tempat mampirnya para pendekar, itu pun sejenak, dan penduduknya tak kenal berkelahi. Maka tak heran ketika pendekar Pita Loka memasuki desa Semampir dengan berkuda ini, membuat penduduk menyelamatkan diri. Lalu sunyi senyap sekitar. Saking sunyinya, Ki Pita Loka sempat mendengar bunyi nafas sesak seseorang dibalik semak. Dan begitu dilihatnya yang terkena belitan kaki sendiri itu adalah Ki Harvvati. Pita Loka berkata dengan sinis kepadanya : “Kakimu tetap akan kena belit selama 40 hari 40 malam, sebab jenis kutukan begitu hanya mungkin disebabkan kamu mempermainkan seorang Guru Besar”. “Jangan banyak bicara kamu, karena aku bukan minta tolong padamu”, bentak Harwati membalas. Kemudian Harwati cuma mendengar telapak kaki kuda yang berlalu. Lalu tibalah Ki Pita Loka ditepi tebing. Dia menyaksikan dari tepi tebing ini betapa dahsyatnya cocoran pedang sakti Suhu Elang, pandekar yang sudah dia kenal. Ketika Ki Pita Loka mendeckkan lidah bermaksud menyuruh kudanya melangkah, dia mendengar suara agak berat : “Harap tuan jangan memberikan bantuan pada dia”. Pita Loka menoleh, dan mendadak menghatur sembah : “Hai, tuan Guru hadir di sini!” “Aku di sini cuma menyaksikan kecemasanku”, ujar Ki Ca Hya. “Kenapa anda larang saya membantu Aji Mlati, tuan Guru?” “Murid besar berbeda dengan murid biasa, sebab Murid Besar harus berhadapan juga dengan Pendekar Besar. Belum kau tahu, bahwa Suhu Elang adalah dulunya Pendekar Besar?” “Tapi kenapa dia mengundurkan diri?” tanya Ki Pita Loka. “Karena dia menggunakan sebuah Kitab yang belum patut dibukanya 40 tahun yang lalu. Lagipula dia belum berhak membuka kitab itu, pun dia bukan orang yang berhak membaca Kitab itu!” Ujar Guru Besar Ki Ca Hya. “Bolehkah saya mengetahuinama Kitab itu, Tuan Guru?”   “Kitab itu tentu engkau sudah kenal, berkat pengalamanmu berguru pada semua guru besar. Mengapa bertanya padaku, ha?” “Karena anda Guru Besar. Besar dari semua guru”, ujar Pita Loka. “Itulah Kitab Rahasia Harimau Putih, kitab yang tidak akan pernah dibaca oleh angkatan kami. Kitab itu bakal menjadi rebutan angkatan setelah kami, baik mereka yang berguru pada malaikat atau jin, maupun yang berguru pada Iblis dan Setan, Saya tahu kamu pasti akan menanyakan kapadaku dimana bersembunyinya Kitab tersebut. Tapi rasanya tak usahlah saya beritahu tempat itu, Pita Loka!” “Saya tahu. Kitab itu tersimpan di perut Bukit Bunga”, ujar Pita Loka yang membuat Ki Ca Hya sebagai guru besar terpesona kagum keheranan. M ATA Kl CA HYA terbelalak. Lal dia mengulurkan tangan kepada Ki Pita Loka seraya berkata : “Katau begitu aku hampir salah kaprah melarangmu mencampuri pertarungan di seberangsana itu”, “Memang tuan tak patut meninggalkan padepokan tuan, saya kira”, ujar Pita Loka. “Baiklah kalau begitu. Aku akan pamit. Kunci rahasia Kitab Kebun Senjata itu adalah anda sendiri, tuan Pita Loka. Rupanya andalah yang tercantum sebagai pendekar berkuda itu, sebagai juru pemisah dari dua senjata ampuh”. “Cucu tuan akan pulang sendiri, jangan kuatir, tuan Guru”, ujar Ki Pita Loka yang serta merta mendepak perut kuda yang dia naiki itu, sehingga kuda itu meringkik mengangkat dua kali, untuk kemudian bersiluncur dengan cekatan ketepi tebing itu, Terus bersiluncur dengan kepintaran yang dahsyat menyusur ke bawah, kemudian naik lagi ke atas jurang yang menuju ke desa Bukit Burung di seberang itu, Ki Ca Hya merasa dirinya damai, karena apa yang dia saksikan sekarang Ini sebagai tercantum dalam Kitab Kebun Senjata : Maka muncul pendekar berkuda, Yang sudah membaca kulit buku Kitab Rahasia Harimau Putih kendati belum membaca isi sebab dialah yang menjadi juru pemisah pertarungan dua pedang......   Kuda itu terus dipacu Ki Pita Loka mendaki tebing seberangsana itu, sementara Ki Ca Hya memandang dengan tercengang. Lalu pendekar tua itupun segera menghilang dan tak tampak lagi di desa Semampir itu. Suhu Elang, dengan gerak cepatnya terus mendesak dengan cocor pedangnya, dan dia begitu yakin ketika berkata ; “Mulanya aku kasihan karena kau cucu pendekar yang aku segani. Tapi kau benar-benar ingin membunuhku, ya? Kaulah yang harus mati dengan pedangku, nak!” dia menghambur menyabet dan mencocor lagi dengan mata pedang Cocor Elang yang menyilaukan itu, tetapi ketika untuk keenam kalinya dia berkata “. “Mati kau tikus kecil!”, ketika itu pulalah matanya melihat jelas seorang pendekar wanita berkuda, yang membuat Suhu Elang ingat syair kebun senjata mengenai pendekar tua yang dilarang membunuh pendekar muda, bertepatan dengan munculnya pembela diam, pendekar berkuda. Sembari tetap mencocor Aji Mlati dengan pedang cocor elangnva, Suhu Elang berteriak ke arah datangnya Pita Loka: “Kamukah pendekar yang tahu tentang Kitab Rahasia Harimau Putih?” “Betul, hentikan pertarungan itu!” ujar Ki Pita Loka. “Memang pertarungan ini dihabisi yang kalah”, ujar Suhu Elang yang mencoba melawan baris kalimat syair tentang tewasnya pendekar tua oleh senjata pendekar muda. Dia sudah lelah, tapi mencocor terus dengan maksud membunuh Aji Mlati, dengan maksud membantah ramalan-ramalan syair tentang diri pendekar puncak, tapi matanya sempat terkesima melihat pada pendekar berkuda Ki Pita Loka, kuatir kalau-kalau dia membantu. Detik terkesima itulah yang membual Aji Mlati mengayunkan pedang Mawar Berduri kali ini menyabet bahu pendekar elang itu, namun karena bahu itu banyak keringat sehingga mata pedang itu meleset menebas leher Suhu Elang. Kepala Suhu Elang lepas dari lehernya, bergelindingan secara mengerikan bersama tubuhnya yang jatuh, yang seakan-akan tubuh itu mencari kepalanya yang copot. Aji Mlati masih tercengang mengapa dirinya bisa menang. Yang jelas dia pusing, lalu mual dan muntah. Dia kaget karena dia yang memenangkan pertarungan itu. Akibatnya dia pingsan dan jatuh dari bubung atap ke bumi. Dan dalam keadaan masih belum sadar itu, tubuh Aji Mlati diangkat Ki Pita Loka, lalu dia taruhkan dipunggung kudanya. Lalu tubuh pendekar perawan itu dia ikat dengan tali sisal nenas, kemudian pedang Mawar Berduri itu dilesatkan Pita Loka ke angkasa seraya berkata: “Kembalilah kau ke kandangmu!” Bagai bola cahaya pedang itu terbang dan menghilang diangkasa. Begitu pula kuda yang membawa Aji Mlati kembali ke padepokan Ki Ca Hya. Ki Ca Hya, melihat ada tubuh terikat di punggung kuda itu adalah cucunya, beliau pun berteriak; “Oh, cucuku tewas juga kau!” Begitu diguncangnva tubuh Aji Mlati dan Aji Mlati sadarkan diri, pendekar perawan itu bertanya ; “Kakek, dimana aku sekarang ini?”     “Kau sudah kembali ke padepokan kakekmu lagi, anak hilang”, sahut Ki Ca Hya, yang tampak begitu girangnva. Dan kegirangan itu malam itu masih ditambahinya lagi malam itu dengan mengajak Aji Mlati membaca Kitab Kebun Senjata di ruang perpustakaan beliau. Adasebuah syair di kitab itu yang berbunyi : Adasenjata yang perlu mendarahi tubuh yang sakti sekalipun, Karena sudah menjadi suratan nasib dan kematian Lalu dia melayang Pulang kandang,,,.... Ketika itu seperti terdengar suara gabrug dikamar sebelah. Ki Ca Hya berdiri manghela lengan Aji Mlati : “Ayoh lihat ke kamar senjata di sebelah.” Kakek dan cucu itu masuk ke Kamar Senjata itu. Dan memang tampaklah dua pedang sepertinya sedang berkelahi. Pedang Tien Yuan dan Pedang Mawar Berduri. “Ini milikmu, Aji”, ujar Ki Ca Hya setelah mencabut pedang Tien Yuan dari tempat pedang Mawar Berduri. Dan Aji Mlati memegang pedang sakti Tien Yuan itu. Sejak saat itu, konon menurut kisah orang-orang tua, Aji Mlati lebih banyak belajar di bawah tanah, didepan air terjun rahasia, tanpa ketemu manusia........ TAMAT Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt