SENOPATI PAMUNGKAS Karya : Arswendo atmowiloto mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Episode 2 Senopati Pamungkas Jilid 25 “Apakah Raja menyinggung kenapa aku yang memanggil para senopati utama?” Halayudha kembali menyembah dan menggeleng lembut. “Apakah ini menjadi persoalan?” Halayudha menyembah, tidak menggeleng. “Apa? “Katakan, Halayudha!” “Raja Jayanegara hanya mengisyaratkan Permaisuri jangan terlalu berbaik dan bermurah hati….” Permaisuri bangkit dari duduknya. “Apakah tersirat bahwa aku dianggap tidak mengetahui dan tidak bijaksana, karena terlalu murah dan baik hati? Apakah aku dianggap tidak mengetahui urusan Keraton? “Raja Jayanegara adalah putraku. “Kukandung. Kulahirkan. Kudidik. “Sejak sebelum berada dalam kandungan pun, aku sudah menyiapkan takhta untuknya. Segala penderitaan dan pengorbanan kulakukan untuk putraku. “Apakah mungkin aku tidak mengetahui keadaan dan tata pemerintahan dan tipu muslihat? “Apa aku sudah sedemikian bodoh, sehingga menjadi terlalu mulia, terlalu baik hati?” Halayudha menggigil. Kali ini betul-betul karena gemetar. Untuk pertama kalinya, komentar Permaisuri Indreswari terdengar secara langsung. Dan di luar dugaannya. Tak pernah diperhitungkan sama sekali. Selama ini dianggapnya sebagai satu. Ya ibunya, ya anaknya. Ternyata tersisa pula ganjalan. Betapapun kecilnya, ternyata bisa diperbesar. “Lalu apa maumu?” “Hamba hanya mengabdi….” “Kamu tetap akan ke Lumajang?” “Biarlah hamba mati kaku di tempat ini….” “Tidak, Halayudha. “Matamu bersinar terang ketika kusebut nama Lumajang. Kamu lebih suka pergi ke sana. Karena itu berarti menunaikan tugas Raja. “Itulah mengabdi.” Halayudha tak berani menelan ludah. “Kala Gemet putraku. Tapi ia raja…. “Ibunya bukan ibunya, ramanya bukan lagi ramanya….” Suaranya mengandung nada getir. Luh Putri Boyongan NAPAS Permaisuri Indreswari tersengal. Bibirnya gemetar, kering, pandangannya kosong, menembus jarak pandang di depannya. Walaupun Halayudha mampu menyelam ke dalam alam pikiran Permaisuri, barangkali tetap tak bisa menemukan alasan yang tepat. Apa yang sesungguhnya membuat Permaisuri Indreswari mendadak begitu berduka, begitu merintih. Jalan pikiran Halayudha terhenti kepada perhitungan bahwa duka itu terasakan, karena kini Raja memutuskan sesuatu di luar pengetahuan ibunya. Atau sekitar itu. Lebih jauh lagi tak teraba. Bukan salah Halayudha kalau tak bisa menangkap getaran kepiluan. Karena selama ini Halayudha tidak benar-benar bisa merasakan apa yang sesungguhnya bertarung dalam batin Permaisuri. Apa yang membuat Permaisuri yang selalu kelihatan perkasa, yang jari tangan lentiknya mampu mengubah kehidupan seseorang, yang tatapannya tak pernah menunduk itu, kini meneteskan luh, air mata, sementara tangannya terkulai. Derita batin yang hanya bisa dirasakan oleh wanita yang menjalani. Itulah yang menyelimuti dengan rapat seluruh perasaan Permaisuri. Yang secara diam-diam tak pernah dirasakan, tak pernah dipikirkan, karena takut inti perasaan itu diketahui orang lain. Dirinya tumbuh sebagai gadis remaja di Keraton Melayu, dengan segala kemewahan, segala kebahagiaan yang ada taranya. Masa-masa yang paling indah. Sampai suatu ketika, di suatu pagi yang menyenangkan, ia mendengar kabar bahwa ada utusan dari Keraton Singasari memasuki Keraton. Melalui pertemuan dengan Raja, akhirnya diputuskan bahwa dirinya dan kakak perempuannya dikirim ke tanah Jawa. Indreswari masih mengingat jelas. Pagi itu ramanya mengunjungi kaputren, tidak seperti biasanya. Tidak berada di luar kamar seperti biasanya, melainkan langsung masuk ke kamar. Tidak seperti biasanya, ramanya berdiam diri lama sekali. Sewaktu dirinya menghadap bersama kakak perempuannya, tetap tak ada suara yang keluar. Sampai waktu yang lama, sampai helaan napas yang kesekian belas kalinya. Saat itu Indreswari menyadari bahwa ramanya kelihatan menjadi tua puluhan tahun. Pandangan matanya yang gagah, sikapnya yang berwibawa sebagai raja tak bersisa. Akhirnya setelah sekian lama, “Anakku, putriku, bungaku. “Pagi ini, Rama meminta pengorbanan kalian berdua, demi keselamatan dan kedamaian di Keraton. Hanya kalian berdua yang bisa menolong.” Kalimatnya terhenti oleh dehaman panjang. “Sejak beberapa waktu yang lalu, ada utusan dari tanah Jawa. Ada seorang senopati lengkap dengan persenjataan dan kedigdayaan datang kemari. Rama menyambut dengan baik dan hormat, karena mereka ini utusan dari raja di tanah Jawa yang gagah perkasa. Sri Baginda Raja Kertanegara. Yang tersohor. “Setiap tahun sekali, Rama mengirimkan utusan ke tanah Jawa, mempersembahkan upeti. Tak pernah terlambat satu hari pun. Tak pernah berkurang satu barang pun. Maka sungguh mengherankan bahwa ada utusan yang khusus dikirimkan kemari. “Senopati membawa cincin Keraton dan mengatakan bahwa Sri Baginda Raja berkenan melestarikan dan mengukuhkan hubungan kekerabatan antara Keraton Melayu dan Keraton Singasari. “Itu artinya tawaran secara resmi. “Selama ini kita mengakui kebesaran Keraton di tanah Jawa. Selama ini kita tak pernah berbuat sesuatu yang membuat Sri Baginda Raja murka. Akan tetapi sekarang ini, kehendak Sri Baginda Raja untuk lebih mengukuhkan dan menyatukan semua Keraton di luar tanah Jawa. “Ini artinya tawaran secara resmi. “Tawaran untuk menolak dan tawaran untuk menerima. Pilihan untuk menolak, dan pilihan untuk menerima. “Penolakan berarti perang besar. Aku sedikit pun tak gentar dengan utusan ini. Jumlah mereka tak seberapa. Aku sudah menyiasati bahwa dalam suatu sergapan kuat, para senopati kita akan berhasil melumpuhkan, meskipun akan banyak jatuh korban. Para senopatiku telah berjanji akan melakukan tugas dengan baik, dengan kesediaan berkorban. Begitu aku memberi perintah, mati atau hidup mereka akan maju ke medan perang. “Kalau kamu tanya hati kecilku, aku menyetujui pendapat para senopati. Berperang sebagai ksatria, mempertahankan sejengkal tanah dengan darah dan kepahlawanan. “Aku tak pernah takut mati. “Apalagi mempertahankan Keraton warisan leluhur ini. “Putriku, permataku, bungaku… “Dalam aku merenung, kudengar suara Dewa. Yang berbisik lirih di telingaku, bahwa Sri Baginda Raja adalah raja yang pantas disuwitani diabdi. “Beliau raja besar yang tidak serakah. “Senopatinya bisa menyerang langsung, tetapi memilih perundingan lebih dulu. Pedang dan kerisnya datang dalam keadaan terbungkus. “Aku memilih yang kedua. “Bukan hanya karena dengan demikian kita terhindar dari pertumpahan darah, bukan dengan demikian kehormatan besar kita terjaga. Akan tetapi sesungguhnya, itu yang terbaik. “Yang bisa melakukan itu, hanyalah kalian dua putriku. “Kalian berdua akan mengabdi, menemukan sesembahan seorang raja yang tiada taranya. Yang berwibawa, yang namanya berkumandang sampai batas langit. “Kalian akan meneruskan bibit-bibit yang mulia. “Putriku, permataku, bungaku, “Itu semua tak menghalangi Rama bersedih. Karena kalian berdua akan segera meninggalkan Keraton, menempuh perjalanan yang sangat jauh akan berada di negeri seberang yang tata kramanya berbeda, yang tak menjanjikan kita akan saling bertemu kembali. “Rama tahu itu yang terberat. “Tapi itu yang terbaik. “Betapa leganya, akhirnya Rama bisa mengatakan ini semua. Berangkatlah putriku, bungaku, hatiku…. Berangkatlah sebagai dewi, sebagai bidadari, sebagai bunga Keraton yang meninggalkan warisan kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat, yang akan menyemaikan kebesaran Keraton Melayu. “Jangan teteskan air mata, sebab ini kegembiraan. Luh yang kalian teteskan adalah puji syukur kepada Dewa Yang Mahaagung. “Berangkatlah, putriku…. “Bersama sukmaku. “Bersama seluruh kebahagiaan Keraton. “Berjanjilah bahwa kalian akan menunaikan tugas dengan baik dan mulai, berjanjilah kalian tak akan meneteskan air mata di negeri seberang….” Indreswari bisa mendengar ulang semuanya dengan lengkap. Bisa mengingat betapa mendadak ramanya memeluknya kencang, menciumi pipi kanan dan kiri, tangannya mengusapi wajah, dan kemudian meninggalkan kaputren. Kemudian disusul dengan upacara kenegaraan yang lengkap, dirinya diantarkan ke dalam kapal. Semua rakyat Melayu datang mengelukan sepanjang perjalanan. Seluruh rakyat seakan tumpah ke jalanan untuk menunjukkan rasa hormat yang dalam. Untuk pertama kali, Indreswari merasa dirinya benar-benar putri raja dengan segala kebesarannya. Tak ada yang kurang selama perjalanan. Dayang-dayang yang dibawa, ditambah pelayanan yang luar biasa selama perjalanan, sedikitnya menghibur hati. Tak ada mainan dan perhiasan yang dikenali yang tertinggal. Setiap malam setiap siang, hatinya tergetar karena mendengar cerita kebesaran Sri Baginda Raja. Raja seperti apakah yang mampu membuat Dewa membisikkan kegagahannya ke telinga ramanya? Kalau ada sesuatu yang sedikit mengganggu hanyalah sikap kakak perempuannya yang wajahnya lebih muram. “Kakang Ayu menangis?” “Tidak akan pernah. Tak akan ada air mata karena kita sudah berjanji di depan Rama.” “Kenapa Kakang Ayu bersedih? “Tidak akan pernah ada kesedihan.” Baru pada malam harinya, kala berduaan, Indreswari mendengar sebagian dari duka kakaknya. Bahwa mereka berdua disebut-sebut sebagai putri boyongan, putri yang dipersembahkan kepada Raja, sebagai tanda takluk, sebagai tanda kalah. “Kita berdua adalah korban, adalah bebanten. “Tahukah, Yayi Ayu, bahkan mereka tak mau menyebut nama kita. Mereka menamai kita Dyah Dara Jingga dan Dyah Dara Petak, karena warna kulit kita. “Nama kita, nama besar pemberian Rama, nama Keraton Melayu, tak akan terdengar lagi. Terkubur bersama kekalahan kita, lenyap dalam kemenangan Sri Baginda Raja. “Kita ini tak berbeda dengan emas, berlian, permata yang dipersembahkan. “Kita tidak menjadi manusia lagi.” Kesadaran itu merayap lebih pelan, mengalir lebih lambat dalam pembuluh Indreswari. Ia tak pernah melihat kakak perempuannya begitu berduka, begitu merasa seperti sekarang ini. Perlahan kesadaran itu menemukan bentuk dalam sikapnya. Membatu, dan lebih keras, serta liat. Itu terasakan benar ketika kakinya sudah mendarat di tanah Jawa. Pondokan di Luar Tembok SAAT itu mulai dirasakan kebenaran yang dikatakan kakak perempuannya Indreswari tidak menemukan upacara penyambutan besar-besaran sebagai calon mempelai Sri Baginda Raja. Bahkan untuk kurun waktu sepasar, lima hari, setelah kapal merapat, tak ada yang memberitahukan apa yang terjadi. Tak ada jemputan istimewa. “Apa yang terjadi, Paman Senopati?” “Tak ada apa-apa. Putri menunggu perintah untuk turun, dan menempati pondokan….” “Perintah untuk turun? Pondokan?” “Ya.” Suara Senopati Anabrang sangat dingin seperti es. Dan pada malam hari, dirinya diboyong bersama dalam pengawalan yang sederhana untuk menempati sebuah rumah besar yang terawat, teratur sempurna. Tak ada yang kurang dalam pelayanan, karena kini dayang-dayang yang melayani jumlahnya jauh lebih banyak. Tapi kenyataan bahwa dirinya menunggu di luar Keraton, itulah yang membuatnya sakit hati, terhina. “Adakah Rama mengetahui kita dipermalukan seperti ini, Kakang Ayu?” “Kita mencegah jangan sampai Rama mengetahui.” “Kakang Ayu…” “Yayi Ayu, inilah pengorbanan yang kita berikan. Berbakti kepada Rama, kepada Keraton. Perlakuan apa pun akan kita terima dengan ikhlas. “Sri Baginda Raja telah mangkat. Barangkali nasib kita akan lebih buruk lagi, kalau tak ada prajurit yang mau memperistrikan kita. Kita dibuang dan kembali sebagai wanita yang tidak mempunyai harga.” Indreswari terpukul keras. Batinnya guncang. Sejak saat itu ia memutuskan untuk melakukan semadi. Melakukan tapa brata tak mau menyentuh makanan, minuman, tak mau berdandan. Siang dan malam, hanya batinnya yang berbicara. Menerobos langit-langit, menerobos langit menuju ke arah Dewa Yang Maha Mengetahui. Indreswari tak peduli hidup atau mati. Tidak mau mendengar bujukan kakak perempuannya. Tidak mau mendengar kata-kata Senopati Anabrang yang memberitahukan bahwa raja yang menggantikan Sri Baginda Raja berkenan menerima mereka berdua. Indreswari tetap bergeming. Sampai ia terpaksa digotong ke dalam Keraton. Sampai ia mendengar suara Baginda. Dendam, kekecewaan, sakit hati atas perlakuan selama ini, membuat Indreswari berbuat sebaliknya. Sejak mendengar suara Baginda, Indreswari mau melakukan apa saja untuk Baginda. Ketulusan, kesetiaan, pengabdian, diserahkan dengan tulus dan ikhlas. Tak ada yang didengar dan dibayangkan selain Baginda. Juga ketika secara resmi dirinya diangkat menjadi permaisuri utama, dengan gelar Permaisuri Indreswari. Tak ada yang mengetahui apa sesungguhnya isi hatinya yang sebenarnya. Tidak juga kakak perempuannya diberitahu, atau diberi kisikan. Bahwa dengan demikian hubungannya dengan kakak perempuannya menjadi renggang, Indreswari tak memedulikan. Yang dilakukan hanyalah pengabdian secara total. Sepenuh hati. Semakin dendam, semakin sakit hati, semakin tulus Permaisuri Indreswari melayani Baginda. Segala keinginannya, impiannya, dendamnya tersalurkan kepada putranya. Bagus Kala Gemet. Sejak dalam kandungan, Permaisuri telah menyiapkan segala macam doa dan jampi. Segala apa yang dipegang, dipandang, dilihat oleh putranya, berada dalam pengawasannya. Siang dan malam tugasnya yang mulia adalah menyiapkan putranya, yang kelak akan naik takhta. Bagus Kala Gemet adalah cahaya yang bersinar, yang terakhir dirasakan. Permaisuri Indreswari memusatkan semua perhatiannya, arahan batinnya, untuk membesarkan putranya. Segala apa ditempuhnya. Termasuk menghubungi guru-guru yang akan melatih, pendekar yang memberi bekal, dan semua dayang. Bahwa dengan itu dirinya akan berhadapan dan bisa bentrok dengan siapa saja, Indreswari sudah memperhitungkan dan siap menghadapi. Maka segalanya dijalani. Menemui para senopati, mempelajari tata pemerintahan, meredakan permusuhan batin dengan permaisuri yang lain. Bagus Kala Gemet adalah segalanya. Puncak dari itu semua ialah ketika penobatan putranya, Permaisuri Indreswari bertindak langsung, muncul sebagai pelindung utama, berada dalam barisan terdepan. Puncak dari segala puncak itu ialah ketika Baginda memerintahkan untuk berangkat ke Simping, dan Indreswari mengatakan keinginan untuk mendampingi putranya. Menjadi jelas baginya sekarang, di mana kakinya harus berdiri di mana harus memilih. Kini saatnya untuk memperlihatkan dirinya, setelah sepuluh tahun lebih merayap di tanah bagai cacing. Tumpuannya, harapannya, hanyalah putranya. Jangan kata Baginda, bahkan kakak perempuannya pun direlakan untuk pergi atas permintaannya sendiri. Demi putranya! Demi kesumatnya! Demi rintihan putri boyongan! Akan tetapi, ternyata yang terjadi di luar dugaannya. Tumpuan dari semua tumpuan, harapan dari semua harapan, putranya yang perkasa menoleh ke arah lain. Putranya yang sudah menduduki takhta, seakan menjadi manusia yang lain. Hanya dalam satu-dua bulan, putranya memberi perintah yang berbeda. Sesungguhnyalah, ini merupakan pukulan paling tajam di dasar batin Permaisuri Indreswari. Yang membuatnya meneteskan luh duka untuk pertama kalinya. Indreswari tak bisa segera menguasai dirinya. Desisan suara di bibir menandai keperihan hati dan guncangan batin yang tak bisa ditutup-tutupi. Selama ini semua penderitaan, semua duka, semua kehinaan bisa diatasi. Bisa dialihkan menjadi pengabdian. Tapi tidak sekarang ini. Kala Gemet putraku. Tapi ia raja…. Kalimatnya bergema sendiri, lebih nyaring. Kembali terbayang ramanya. Apa dosanya yang dilakukan selama ini? Bukankah ia menjalani sebagaimana yang tertuliskan? Menjadi putri boyongan. Datang ke negeri seberang untuk nyuwita. Bahkan ketika Sri Baginda Raja sudah mangkat, ia rela mengabdi kepada penggantinya. Ia rela, bahkan untuk hal ini tak ada satu kata pun yang meminta persetujuannya. Seolah ia tinggal menjalani. Nyatanya begitu. Apa dosaku selama ini? Apakah aku kurang bekti kepada Rama? Kepada kakak perempuan? Kepada Keraton? Kenapa semua bisa terjadi? Kenapa putraku menilai keliru? Indreswari memejamkan matanya. Seluruh punggungnya tersandar di kursi. Dadanya naik turun. Halayudha masih duduk bersila menunduk. Sampai agak lama. “Halayudha…” “Hamba masih di sini, Permaisuri…. “Apakah ketika kamu sowan, masih ada wulanjar tua itu di dekatnya?” Suaranya bernada dingin. Sebenarnya, jauh dalam hatinya, Indreswari tak ingin siapa pun mengetahui apa yang dikuatirkan. Ia merasa dirinya paling bisa menguasai perasaannya, jauh dari siapa pun. Akan tetapi sekarang ini, pertanyaan itu tercetus. Sebagian rahasia kekuatirannya dibuka di depan orang lain. Halayudha menyembah pelan. Baginya juga menjadi lebih jelas. Bahwa ada yang dikuatirkan Permaisuri, yang kini menguasai Raja. Yang disebutkan sebagai wulanjar tua. Sebutan yang agak aneh. Wulanjar adalah sebutan untuk janda muda. Namun Permaisuri Indreswari menyebutkan sebagai “janda muda yang sudah tua”. “Apa ia masih di sana?” “Hamba tak menangkap apa yang Permaisuri maksudkan….” Permaisuri Indreswari menggeleng lembut. Pandangannya masih menerawang. “Tak perlu pura-pura itu. Semua, seisi Keraton sudah tahu.” Lalu terdiam agak lama. “Aku menertawakan Janaka Rajendra yang memilih gadis liar, tak tahunya… Mendadak suaranya terhenti. Penguasaan atas emosi berhasil dimenangkan. “Telingamu seperti tikus, Halayudha. “Kamu bisa mendengar segala yang busuk, dan akan kamu ceritakan lebih busuk lagi. Agar kamu tak main-main dengan lidah dan pendengaranmu, hari ini aku akan membuatmu bisu dan tuli untuk selamanya.” Praba Raga Karana HALAYUDHA menyembah. Tangannya sedikit dimiringkan, sehingga cincin pemberian Raja terlihat jelas. Di satu pihak seakan menerima hukuman untuk dibisutulikan, di lain pihak menjelaskan bahwa saat ini masih menjalankan tugas Raja. Seseorang yang sedang menjalankan tugas dari Raja, mempunyai posisi yang sangat istimewa. Menjadi sangat penting, sehingga siapa pun yang menghalangi tugasnya, seolah menantang Raja. Apalagi yang berbekal cincin tanda kekuasaan. Berarti sedang menjalankan tugas sangar penting dan rahasia. Para pemakai cincin tugas, biasanya menyembunyikan tanda tersebut, karena bisa memancing keramaian yang bisa menggagalkan tugasnya. Para pejabat di pusat atau di daerah jika mengetahui ada utusan khusus Raja, akan memperlakukan dengan hormat dan baik. Mengundang makan, menikmati hiburan, dan lain sebagainya. Undangan semacam ini agak merepotkan kalau ditolak. Kali ini justru Halayudha berusaha memamerkan. “Segera setelah menunaikan tugas, hamba akan sowan Permaisuri untuk menerima hukuman. “Bila Permaisuri berkenan, hamba akan membawa Kiai Truwilun, dukun terkondang yang bisa membuat jampi….” Permaisuri Indreswari tertegun sejenak. “Setiap kali aku akan menghukummu, setiap kali kamu bisa mengajukan usul. Entah Dewa mana yang sudi melindungimu selama ini. Sungguh suatu keberuntungan bagimu.” Permaisuri Indreswari segera meninggalkan Halayudha. Melalui dayang kepercayaan dikisikkan bahwa ia akan menemui Raja. Jika diketahui sedang berada di mana, ia akan segera mendatangi. Tidak perlu melewati senopati atau prajurit kepercayaannya. Namun laporan yang diberitahukan seketika membuat Permaisuri Indreswari menahan rasa gusarnya. Raja sedang tidak mau diganggu atau tak ada yang berani mengusik. Tak usah dijelaskan, tak usah diulang, berarti Raja sedang bersama wanita yang dalam penilaian Permaisuri Indreswari tak memiliki sesuatu yang pantas dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki. Tak ada sedikit pun. Wajahnya terlalu biasa, dengan jidat yang menonjol. Pipi dan bibirnya tebal. Dalam penilaian berdasarkan bentuk tubuh, wanita itu tak menyimpan satu pun nilai lebih. Maka bagi Permaisuri Indreswari agak mengherankan bahwa putranya bisa tertambat daya asmaranya oleh wanita seperti itu. Lebih mengherankan lagi karena selama ini selalu dikelilingi oleh gadis-gadis yang ayu, cantik, jelita, dan sedang tumbuh mekar. Akan tetapi justru putranya tengah kesengsem dengan yang sama sekali tak diperhitungkan! Sebagai ibu yang mengawasi setiap gerak bayangan putra yang sangat dikasihi Permaisuri Indreswari bukannya tidak mengetahui ketika putranya menanyakan wanita itu. ‘Siapa dia?” “Waila yang mana?” Sengaja ia menyebutkan waila atau sebutan untuk wanita kebanyakan. Saat itu Permaisuri merasa heran karena yang ditunjuk Raja adalah wanita yang bekerja sebagai pengurut. Juru pijat bagi para putri atau para selir. Tak ada gambaran sedikit pun bahwa hubungan itu akan terus berlanjut. Sejak malam itu, Raja memerintahkan untuk membuatkannya kamar khusus yang berada dalam lingkungan Keraton. Dan mendapat perlakuan sebagaimana selir-selir yang lain, dengan segala kehormatan yang pantas diterima. Sebenarnya sampai sejauh itu, Permaisuri tidak merasa risau. Dirinya dibesarkan dalam tata krama Keraton. Sejak kecil, sejak sebelum bisa mengeja huruf, telah melihat kenyataan bahwa seorang raja mempunyai banyak sekali selir. Demikian juga ketika dirinya menjadi permaisuri, sebelumnya Baginda telah memiliki empat permaisuri yang setengah resmi. Demikian juga sesudahnya, bila sesekali Baginda menghendaki atau tertarik kepada seseorang. Ibarat kata tinggal membalik telapak tangan. Atau semudah mengangkat alls. Semua itu diterima sebagai bagian dari suatu kehidupan yang memang begitulah keharusannya. Hanya kemudian Permaisuri merasa ada sesuatu yang salah, ketika putranya lebih sering mengunjungi wanita itu, atau lebih sering memanggilnya ke dalam Keraton. Untuk bermalam di kamar Raja! Sejak itu Permaisuri memerintahkan secara khusus untuk mencari tahu siapa sebenarnya wanita yang bisa menyambar dan menyengat asmara putranya. Keterangan yang diperoleh tak lebih dari yang diketahui sebelumnya. Wanita itu bekerja sebagai juru urut, seorang yang menjanda karena semua dayang yang tinggal di wilayah Keraton-meskipun tidak di dalam tidak boleh mempunyai suami atau kekasih. Permaisuri tak mau mengingat siapa nama wanita itu. Baginya tetap tidak penting. Betapa terkejutnya ketika dari dayang-dayang, Permaisuri mengetahui bahwa wanita itu mendapat gelar Praba Raga Karana. Ini benar-benar tak bisa dibiarkan. Bahwa Raja sampai memanggil untuk masuk ke kamar peraduan saja, merupakan kehormatan yang tertinggi. Biasanya, kalau seorang raja menghendaki, cukup memberitahukan lewat prajurit yang dipercaya, agar selir yang bersangkutan bersedia, karena Raja berkenan datang. Dan bukan mengundang. Apalagi memberi gelar. Yang bukan sembarang gelar. Praba adalah gelar yang mulia, yang suci karena mempunyai arti “cahaya suci”. Cahaya yang memancar dari orang yang suci. Selama ini bahkan para pendeta Keraton belum pernah ada yang memakai gelaran itu. Tidak juga permaisuri-permaisuri sebelumnya. Tambahan sebutan Raga Karana juga membuat Permaisuri tak habis mengerti. Kata itu berarti memberahikan, membuat bangkitnya nafsu asmara. Gabungan kata itu berarti wanita yang memancarkan cahaya suci dan cahaya berahi. Semacam cara berolok-olok yang keterlaluan. Akan tetapi itulah kenyataannya. Raja selalu menyempatkan diri berduaan, dan kala berduaan tak ada yang berani mengusik. Bahkan dirinya, sebagai permaisuri, sebagai ibu, tetap tak akan mendapat kesempatan melewati penjagaan yang berlapis. Ganjalan yang luar biasa menampar Permaisuri. Tak dibayangkan bahwa dalam sisa hidupnya setelah mencapai puncak kekuasaan tertinggi, akan dipermalukan seperti sekarang ini. Kalau Halayudha mengusulkan memanggil Truwilun, itu bukan sesuatu yang luar biasa. Sejak wanita itu berada dalam lingkungan Keraton, sejak menempati salah satu kaputren, Permaisuri sudah melakukan berbagai cara. Yang pertama, mengadakan pesta suka ria, menghadirkan putri-putri Keraton yang bisa memalingkan pandangan Raja. Akan tetapi tak ada hasilnya. Ada satu atau dua yang berkenan di hati Raja, akan tetapi tak pernah berumur lebih dari tiga hari. Yang kedua, Permaisuri memanggil para tetua yang bisa merenggangkan hubungan Raja. Tak kurang dari sepuluh dukun dipanggil untuk diminta pertolongannya, termasuk Pendeta Manmathaba sendiri. “Ilmu pelet apa yang digunakan wulanjar tua itu?” “Tidak ada yang secara khusus digunakan,” kata Pendeta Manmathaba ketika itu. “Hamba tak menemukan….” “Sama sekali tidak mungkin kalau putraku sampai terseret daya asmara dengan Wulanjar tua seperti itu. Apa yang dilakukan seakan secara sengaja memilih yang terjelek dan terhina.” “Hamba melihat sebagaimana adanya. “Raja memang sedang terpesona, sedang tenggelam dalam lautan asmara…” Semua pendeta dan juru ramal yang ditanyai mengeluarkan jawaban yang sama. “Aku tak peduli. Cari jalan untuk memisahkan….” “Dengan sedikit kekerasan sangat gampang, Permaisuri. “Suatu bubuk racun akan menyebabkan wanita itu berbau seluruh kulit dan keringatnya, menjadi gatal-gatal di seluruh lubang tubuhnya secara menjijikkan. “Melenyapkan, sama mudahnya. “Namun hamba tak melihat itu membawa ke suasana yang lebih baik. Setidaknya untuk sekarang ini….” Baik Manmathaba atau para peramal yang lain, tak bisa menyelami bahwa kegundahan Permaisuri disebabkan oleh hal-hal yang bisa diterangkan dan tidak. Yang tak sepenuhnya bisa diterangkan ialah, kenapa putranya yang dianggap paling tampan, paling gagah, paling berwibawa memilih wanita yang jidatnya menonjol dan bibirnya tebal serta berkulit hitam! Apakah ini bukan tamparan keras, kalau ibunya justru berkulit putih sehingga dijuluki Dyah Dara Petak? Apa yang sesungguhnya tumbuh di dalam jiwa putranya? Yang selama ini diketahui segala sesuatu yang disukai, dan tak disukai, lalu tiba-tiba menentukan pilihan semacam ini? Yang makin membuat Permaisuri geram ialah sewaktu bisa menawan Ratu Ayu Bawah Langit yang kesohor itu, dan berhasil menguasai dengan ilmu sirep, Raja tetap tak menoleh. Bahkan ketika diberitahu bahwa Ratu Ayu sudah berada di kaputren, belum sekali pun Raja menengok. Seakan Ratu Ayu yang pernah diperebutkan dalam sayembara itu tak menyentuh emosi sedikit pun. Ciptakan Kidung Onengan SAAT itu Raja Jayanegara seakan mendengar suara batin kegelisahan Permaisuri, atau kebetulan merasa perlu menjawab pertanyaan yang tak disuarakan Praba Raga Karana. Raja menghentikan langkahnya. Tangannya memainkan bunga-bunga secara sembarangan. Praba yang berada lima langkah di belakangnya, berdiam. Menunduk. Sementara para pengawal pribadi, berada puluhan tombak di belakang, tak tampak dalam pandangan. “Ingsun bukan bocah. Langkah ingsun sama lebar dengan semua raja sebelumnya. “Tahukah kamu itu semua, Praba?” “Sembah dalem, Sinuwun….” “Marilah mendekat kemari. Saat berdua seperti sekarang ini, aku ingin merasakan kehidupan, ingin hidup sebagai manusia. “Adakah kamu masih bertanya-tanya terus dalam batinmu kenapa aku memilihmu?” “Sembah dalem, ingkang Sinuwun….” “Dengar, Praba. “Hanya kepadamulah aku mengatakan ini. Karena aku tak merasa perlu berkata kepada yang lain. “Aku sudah dewasa. Jangan pernah kamu ragu mengenai hal itu. Jangan kamu menganggap ini perbuatan kanak-kanak. Ibu akan mengatakan bahwa usiaku belum genap dua windu, belum ada enam belas tahun, akan tetapi aku sama dewasanya seperti Baginda ketika naik takhta, sama dewasanya ketika Sri Baginda Raja naik takhta. “Aku memang lebih cepat dewasa. Aku mengerti lebih cepat dari siapa pun seluruh isi Keraton ini. Sejak lahir aku memiliki kelebihan ini. Kalau aku memilihmu yang usianya lebih tua, karena aku sebenarnya sama tua, sama dewasa denganmu. “Aku tahu bagaimana menjadi raja. Aku sudah belajar hal itu sejak belum berjalan. Aku diberi pengertian itu, aku belajar keras selama di Daha. Dengan sangat cepat aku bisa mengerti, bagaimana tata pemerintahan, bagaimana kekuasaan dan tanggung jawabku. “Bahwa dari tanganku, dan bibirku, nasib manusia lain akan ditentukan baik atau buruknya. Aku menguasai hidup dan mati seluruh isi Keraton. “Lebih dari siapa pun. “Jangan gelisah, jangan takut kalau aku memberimu gelaran Praba Raga Karana. Karena kamu sesungguhnya seperti itu, karena aku sudah mensabdakan itu. Tak ada bedanya dengan Baginda ketika akhirnya memilih ibu sebagai permaisuri utama. “Semua bisa terjadi karena sabda Raja. “Karena akulah yang menentukan.” Raja menarik tangan Praba, mendekap tubuhnya. Satu tangan mengusap wajah Praba. Sambil tertawa. “Apa yang kamu takutkan, Praba?” “Hamba…” “Tak ada yang perlu kamu takutkan. Kalau aku mau memelukmu sekarang, itu yang terjadi. Kalau aku mengajakmu bermain asmara sekarang, di sini, itu yang akan terjadi. Tak ada yang menghalangi, tak ada yang buruk. Tak ada yang ditakuti.” “Ingkang Sinuwun, hamba tak akan pernah menolak bayangan Sinuwun yang menghendaki apa pun….” “Itulah semuanya. “Aku tahu apa yang dikatakan orang, nantinya. Kenapa aku memilihmu, dan bukannya Tunggadewi atau Rajadewi, atau siapa saja. Aku tahu kenapa sekarang ini aku tak mau melihat Ratu Ayu. Sebab aku tak ingin. “Sebab aku tak ingin. “Sebab aku ingin kamu, Praba, yang menjadi permaisuriku, mendampingiku di takhta kerajaan. Merasakan kehormatan ini.” “Ingkang Sinuwun, izinkanlah hamba menyampaikan…” “Katakan, katakan…” “Adalah karunia Dewa Yang Mahakuasa, lewat keluhuran nama besar Paduka, sehingga nasib hamba yang hanya juru pijat…” Raja bergelak. Tampak betul menikmati suasana dan perubahan wajah Praba. “Sebentar, Praba, aku potong sebentar. : “Kamu mengatakan dirimu hanya juru pijat. Hanya. Juru pijat. Ehem. Siapa yang memberi pangkat dan derajat itu? Ingsun, aku! Mulai dari juru pijat, mahapatih, senopati, permaisuri, selir, prajurit, semua karena aku. “Saat ini aku bisa memanggil prajurit yang menjaga kita dan aku bisa mengangkatnya menjadi senopati utama. Atau bahkan mahapatih. Aku bisa juga memenggal kepalanya sekarang. “Karena aku. Karena aku raja. “Dan aku akan mengubahmu, sehingga tak ada lagi hanya juru pijat. Tak perlu lagi.” “Sinuwun, hamba akan tetap melayani, mengabdi, dengan seluruh jiwa dan raga ke hadapan Sinuwun, sampai turunan yang entah kapan. “Namun rasanya, hamba belum bisa merasakan anugerah yang maha besar itu.” “Kalau aku menginginkan, siapa yang bisa melarangku?” “Hamba tak bisa menjalankan….” “Apa?” “Mohon maaf atas segala kelancangan….” “Praba, kamu menolak kuangkat sebagai permaisuri?” “Hamba tetap akan melayani sampai…” “Jawab, kamu akan menolak kuangkat sebagai permaisuri?” Praba menunduk, bersila, melepaskan din dari rangkulan Raja. Menyembah. Mengangguk. Raja mengisap udara keras. Dan tertawa sangat keras. “Praba… Praba… Senopati Pamungkas Jilid 26 “Tahukah kamu, bahwa caramu menghadapiku, membuatku makin tergetar oleh asmara? Bahwa di seluruh jagat ini hanya ada dua wanita yang bisa membuatku mencabut keinginanku? “Hanya kamu dan Ibu. “Ibu yang bisa dan berani melarangku memetik bunga, menangkap burung dan kupu-kupu. Selebihnya tak ada lagi. Seluruh Keraton menunduk, menyembah, dan melakukan apa yang ku minta. Juga Baginda, yang paling berkuasa meluluskan apa yang ku minta. “Tapi Ibu berani melarangku. “Berani mengatur tidurku. “Itu dulu. “Ketika aku makin dewasa, tak ada lagi yang berani. Tak ada yang terang-terangan berani menolak selain kamu. “Dan aku akan mendengar kata-katamu. “Haha….” Praba menelan ludahnya dengan seret. “Kalau sekarang ini Ibu memintaku jangan mengangkatmu sebagai permaisuri, justru saat itu juga aku akan mengangkatmu. Kalau saat ini Kanjeng Ibu meminta aku mengangkatmu sebagai permaisuri, aku tetap akan bertanya padamu. “Praba, kamu mendengar kata-kata ini dari Raja.” Praba melangkah beberapa tindak ke depan. “Tangan kirinya terulur, dan Praba menggandeng dengan hati-hati. “Kenapa kamu menolak, Praba? “Merasa tak pantas?” “Sinuwun, pantas atau tidak, apalah artinya kalau Sinuwun sudah bersabda? Tak ada lagi perbedaan itu. “Sementara ini hamba ingin menikmati kebahagiaan bersama Sinuwun.” “Apakah kalau kamu menjadi permaisuri akan terganggu?” “Sinuwun hamba tak bisa membiasakan diri secepat Sinuwun…” “Haha, kamu makin cerdik saja. Kalau itu maumu, itu yang akan terjadi. “Praba tahukah kamu bahwa aku kedanan padamu? Bahwa aku tergila-gila oleh daya asmaramu yang hebat? “Aku merasakan dari ujung rambut ke ujung kulit. Semua tubuhku tergetar merasakan daya asmaramu. “Aku bisa memilih siapa saja. “Aku bisa memanggil siapa saja. “Tetapi aku memilihmu. “Menetapkanmu. “Haha, apakah ini bukan asmara yang sejati? Daya asmara yang sesungguhnya? Bukankah akan baik sekali jika sekarang ini dituliskan Kidung Asmara, Kidung Onengan, atau Kidung Kerinduan? “Haha, akan menarik sekali. “Semua raja begitu naik takhta ribut soal membuat Kidungan Para Raja, sibuk memikirkan kitab apa yang akan ditinggalkan sebagai warisan kebesarannya. “Aku bisa membayangkan bagaimana Sri Baginda Raja siang-malam menghabiskan kebahagiaannya untuk merestui Kitab Bumi. “Aku bisa memutuskan sesaat. Dengan gampang. “Kidung Onengan. “Haha, siapa yang akan mengatakan bahwa apa yang kutemukan dan kuwariskan sebagai raja kalah dari yang dilakukan Eyang Kertanegara? “Bukankah itu hebat, Praba?” “Hamba rasa begitu, Sinuwun.” “Apakah di jagat ini kamu kira ada yang bisa menemukan asmara yang sejati seperti kita berdua?” Praba tak segera menjawab. “Hamba pernah mendengar kisah Upasara Wulung dengan Permaisuri Gayatri….” Pusthika Asmara RAJA mengayun-ayunkan tangan secara bebas. Kentara sekali bisa membebaskan perasaan dari sikap kala bertindak menjadi raja. “Apa yang kamu dengar dari kisah asmara Upasara dan Ibunda Alit Gayatri?” “Seperti semua kisah yang mendebarkan, menggemaskan, dan membuat kita merasa gegetun….” “Haha…. “Kamu juga merasa getun, merasa sayang kenapa hal itu terjadi? Upasara memang ksatria yang lain dari yang pernah kudengar selama ini. Ia berani menolak tawaran Baginda untuk memegang jabatan mahapatih, walaupun Ibu Alit sendiri yang menemui. Ia memilih tinggal di hutan, di Perguruan Awan, sebelum akhirnya terjun ke gelanggang. “Beberapa kali aku sempat melihatnya. “Aku kagum. “Tapi juga kasihan. “Tahu kamu, Praba, apa sebabnya? Karena ia tidak ditakdirkan sebagai raja. “Sinuwun, karena itulah kisahnya menjadi kisah pusthika asmara. Kisah asmara yang akan selalu memberi tuah, memberi berkah, bagai batu permata.” “Kenapa begitu?” “Karena, Sinuwun, karena… Upasara memilih untuk tidak merebut kesempatan yang memenangkan dirinya. Upasara memilih cara lain untuk menyelamatkan asmara, dan dengan demikian menjadi langgeng, menjadi abadi. “Upasara tidak memiliki, dan dengan demikian menjadi utuh selamanya.” Wajah Raja sedikit berubah. “Itu yang kamu rencanakan, Praba?” Praba menyembah. Duduk bersila di kaki Raja. Kedua tangannya memeluk kaki. Kepalanya tersandar ke lutut. Tangan Raja mengelus rambut, tanpa irama. “Sinuwun, apalah artinya hamba ini? “Janda yang tidak mempunyai keelokan apa-apa. Yang tak bisa menari, menembang, memasak, menghias diri, memuji. Hamba hanyalah juru pijat. “Karena itulah Sinuwun mengangkat hamba. Untuk membuktikan bahwa Sinuwun sangat berkuasa. Menentukan derajat dan pangkat yang bisa berbalik-balik bagai bumi dan langit. “Itu sudah kesampaian. “Rasanya tak perlu ditambahi yang aneh-aneh, untuk mengangkat hamba sebagai permaisuri….” “Dalam pandanganmu, aku hanya ingin memperlihatkan kekuasaanku semata, bukan karena dorongan daya asmara?” “Mohon seribu ampun….” “Praba… sejak pertama aku mengenalmu, aku tertarik akan kepolosanmu. Keberanianmu untuk mengutarakan apa yang kamu pikirkan di depanku. “Hanya kamu yang berani melakukan itu. “Katakan, Praba….” “Sudah hamba katakan, Sinuwun….” “Kamu tak percaya aku mempunyai daya asmara….” “Sedikit pun hamba tak meragukan. “Seperti juga hamba. “Akan tetapi rasanya terlalu berlebihan jika hamba menjadi permaisuri. Akan lebih banyak mendatangkan bencana, permusuhan, yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Hamba tak akan pernah pergi dari bayangan Sinuwun, selama masih diperkenankan.” “Jagat ini memang aneh. “Sekian ratus wanita bermimpi kusanding. Sekian puluh berdoa agar bisa kujadikan garwa prameswari dalem. Menjadi permaisuri yang utama. Tetapi kamu justru menolak.” “Hamba tidak menolak….” “Tapi kamu tidak suka….” “Hamba bersyukur, hamba bersuka…” “Tidak juga. “ “Kamu merasa apa yang kuambil sebagai putusan juga berlebihan. Atau memang begitu? Atau kamu terpengaruh kisah Upasara? “Aku tahu kisahnya menjadi dongengan di antara rakyat. Pada malam yang baik, kisah kepahlawanannya ketika menghancurkan pasukan Tartar, kejagoannya dalam pertarungan di Trowulan, dan kisah asmaranya makin menjadi-jadi. Kini akan lebih abadi lagi karena kematiannya. “Praba, dalam pandanganku, Upasara bukan ksatria dalam asmara, meskipun ia bisa digolongkan pahlawan. “Kalau itu yang dikehendaki biar saja. Tetapi aku tak ingin menjalani nasib seperti itu. Aku juga tak ingin kamu menjalani hidup seperti itu, Praba….” “Sabda Sinuwun berlaku sekarang dan selamanya….” Raja berjalan menuju satu sisi tembok. “Praba, kamu tahu apa yang ada di balik dinding ini? “Kebun yang indah, yang dibangun Ibu Alit untuk melepaskan hari-harinya kala menunggu Baginda. Di situ terkubur Upasara. “Apakah itu kemenangan bagi Ibu Alit? “Aku tak tahu pasti. Apalagi sekarang Ibu Alit harus mengikuti Baginda ke Simping. “Kamu tahu di balik dinding sebelah sana….” Raja menunjuk ke dinding yang lain. “Di sana ada rumah yang bagus, yang ditata sangat elok Di sana ada seorang pangeran, seusia denganku, tampan, gagah, berjiwa ksatria. Aku mengurung Pangeran Anom di sana. Saat ini menunggu keputusanku, apakah esok atau lusa harus dihukum mati karena menentang perintahku untuk berangkat ke tanah seberang. Karena aku mengenal sejak kecil, aku menemuinya. Aku menanyakan kenapa ia melawanku, dan apa permintaan terakhir sebelum menjalani hukuman pati. “Yang pertama ia menjawab, bahwa ia tak ingin Keraton hancur oleh perebutan kekuasaan yang tak menentu. “Yang kedua ia menjawab, mohon perlindungan untuk dua orang. Yaitu Gendhuk Tri dan Maha Singanada. Apa alasannya? Pertama, ia kasmaran, dengan Gendhuk Tri, sehingga wajar bila meminta keselamatan bagi gadis itu. Yang kedua, karena Gendhuk Tri telah menetapkan pasangan hatinya, Maha Singanada. “Aku tertawa dalam hati. “Tetapi aku tak menertawakan. Aku tak mau menyakiti dengan menertawakan ketololannya. “Dan ketika aku menyanggupi, ia kelihatan bahagia. “Mati dengan tenang, nantinya. “Aneh sekali. Kukira tadinya ia akan minta agar kedua orangtuanya juga diampuni. Atau sesuatu yang lain. Ternyata minta perlindungan bagi kekasihnya, serta kekasih dari kekasihnya. “Aku tak bisa menertawakan. “Karena mungkin aku tak akan menemukan kebahagiaan seperti dirinya. Karena keinginanku untuk membahagiakanmu tak terkabul….” Praba memeluk kaki Raja untuk kesekian kalinya. Air matanya menetes. Membasahi. “Duh Sinuwun, hamba… hamba yang hina ini tak menolak… Hamba hanya mengatakan tanpa semua kehormatan itu, hamba tetap akan dan hanya mendampingi, selama masih diperkenankan….” “Praba… “Aku mengenal asmara, hari pertama aku merasa diriku lelaki. Selama itu tak pernah berhenti mencari dan mencari. Rasanya semua gerakan asmara pernah kujalani. Rasanya semua bentuk wanita yang pernah ada, sudah kujajal. “Hanya padamu kurasakan semua kenikmatan duniawi dan surgawi ini…” Raja menghela napas. “Aku tak peduli kata jagat ini kalau kamu kuangkat sebagai permaisuri. “Selama kamu mau….” Praba tenggelam dalam isakan. Tubuhnya gemetar. Hingga ke ujung rambutnya yang tergerai karena sanggulnya terlepas. Raja mengangkat tubuh Praba. Menuntun ke dalam. “Apa yang kamu rasakan, Praba?” “Bahagia, Sinuwun… Bahagia….” “Sekarang katakan sesuai dengan suara hati yang sesungguhnya. “Apa yang harus kulakukan pada Ibu? Mengirim ke Simping? Atau membiarkannya berada di Keraton?” “Di Simping, suara hati yang memenangkan hati hamba secara pribadi. Tetapi Sinuwun lebih arif. “Sebelum tetap di Simping atau di Keraton, apakah hamba diperkenankan menghadap Permaisuri?” Kali ini Raja menghela napas. Pegangannya terlepas. Kalimatnya terdengar keras. “Ingsun tak mengizinkanmu menemui Ibu.” Mendadak Raja berbalik. Meninggalkan Praba yang bersila menyembah. Langkah Raja terasa tergesa. Begitu di luar sendirian, para prajurit kawal segera mengawal, ada yang memayungi, ada yang menyembah, ada yang melihat kiri-kanan. Raja terus melangkah kembali ke dalam. Tujuh Senopati Utama PADA saat yang sama di tempat yang berbeda, Senopati Kuti dan Senopati Semi hampir bersamaan masuk ke Keraton. Kedua senopati yang gagal menunggu khidmat di depan pintu dalam. Tanpa suara. Permaisuri hanya muncul sekilas. “Atas nama Raja, kalian para senopati utama yang berjumlah tujuh mulai sekarang ini juga tidak boleh mengenakan dan atau memakai senjata. “Hanya itu yang perlu kalian ketahui.” Permaisuri segera meninggalkan ruangan. Pintu kembali tertutup. Senopati Semi menyembah bersamaan dengan Senopati Kuti. Keduanya mengambil keris dari pinggang. Dengan khidmat meletakkan di lantai. Setelah menyembah kembali, keduanya mundur dengan jalan berjongkok. Tanpa suara. Hanya setelah di halaman bagian luar, Senopati Kuti berkata lirih, “Kakang Senopati yang memberitahukan hal ini kepada yang lain.” “Apa yang Kakang katakan akan saya laksanakan.” “Kita akan bertemu kalau bulan masih bersinar sempurna.” Senopati Semi mengangguk perlahan. Saat itu juga Senopati Kuti segera mencari kuda yang bisa dipakai secepatnya. Tanpa menghiraukan persiapan, segera mengendarai ke arah luar. Apa yang dipikirkan hanya satu. Keselamatan Baginda. Begitu banyak tanda tanya dalam hatinya, akan tetapi keselamatan Baginda tetap menjadi perhatian utama. Senopati Kuti terus mengempos kudanya hingga menjelang matahari tenggelam, kudanya menjadi kelelahan. Ketika sedang mencari cara untuk melanjutkan perjalanan, mendadak terdengar derap kaki kuda mendatangi. “Kamu menyusulku, Tantra?” Suaranya menggelegar menandakan keperkasaannya. “Majulah kemari, siapa pun kisanak yang kamu bawa…” Dari arah bayangan pohon, Senopati Tantra muncul sambil membawa dua ekor kuda. “Maaf Senopati… Saya memberanikan menyusul, karena…” “Kukira kamu membawa teman.” Senopati Tantra menoleh ke arah belakang. Hatinya menjadi ciut seketika. Bukan karena takut, melainkan tidak menyadari apakah ada yang mengikuti tidak. Karena sangat terburu-buru, sehingga kurang waspada. Sebaliknya Senopati Kuti mengernyitkan dahinya. Rasanya ia mendengar tapak kuda yang lain. Adakah seseorang yang menguntit secara diam-diam? Adakah karena Tantra membawa lebih dari seekor kuda? “Silakan, Senopati….” “Terima kasih.” Senopati Kuti langsung meloncat ke punggung kuda. “Tantra sebaiknya kamu berjaga di Keraton. Biarkan aku sendiri yang berangkat ke Simping. Bila bulan purnama nanti…” “Mohon maaf sebesarnya. “Saya ditugaskan menemani Senopati Kuti, karena terbetik kabar bahwa ada rombongan yang mencegat perjalanan Baginda menuju Simping….” “Dari mana kabar itu?” “Dari Senopati Tanca…. “Beliau menuju Simping, akan tetapi ternyata rombongan Baginda belum sampai ke tempat itu. “Sampai sekarang masih dilacak, karena tidak ketahuan di perjalanan yang mana.” “Siapa lagi yang berbuat begitu kurang ajar?” Senopati Kuti mengepit perut kuda dan seakan terbang. Senopati Tantra mengikuti dari belakang. Keduanya terus memacu kudanya. Melewati pedusunan, sawah, pedusunan, jalan menurun, mengikuti aliran sungai. Saat itu rombongan Senopati Pangsa muncul dari seberang sungai. “Saya dari Simping. Baginda belum sampai di tempat. Hilang dalam perjalanan. “Yang kutemukan di jalan adalah prajurit Halayudha….” “Apa pendapatmu, Kakang?” “Rombongan Baginda yang berjumlah sekian banyak tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi. Menghilang tanpa jejak. Ada kekuatan lain yang mendadak mengacaukan semua rencana. “Mengingat bahwa kekuasaan di Keraton sendiri compang-camping, agak sulit memperhitungkan kelompok mana yang membelokkan rombongan Baginda.” Senopati Kuti bersungut. “Kita lahir dan besar dalam pertempuran. “Udara yang kita isap setiap harinya adalah udara medan laga. Tak nanti mereka bisa lolos. Kita hafal setiap lekukan tanah di sini. “Hanya memang sangat mengherankan. “Saat ini Raja sedang bercengkerama dan tak meninggalkan Keraton. Kelompok yang dipimpin Manmathaba sudah lama tak bergerak sejak pemimpinnya rontok. “Rasanya terlalu gegabah kalau Halayudha yang melakukan ini.” “Manusia yang satu itu sulit dipercaya….” “Tetapi pasti tak akan pernah berani bermain-main dengan Baginda. “Kakang Pangsa, ada kabar apa dari Lumajang?” “Sama aneh dan sama ganjilnya. “Mahapatih ternyata belum sampai ke Lumajang.” Kali ini Senopati Kuti mengelus rambutnya. “Kakang Pangsa melihat sendiri?” “Ya. Rombongannya memang ada di sana, akan tetapi sejak semula Mahapatih Nambi tak terlihat.” “Jangan-jangan Mahapatih dan Baginda bergabung?” “Mungkin sekali. “Hanya saja untuk apa?” “Apa pendapat Kakang Pangsa? Apa yang akan kita lakukan? Terus menuju ke Simping?” “Terserah Kakang Kuti.” Senopati Kuti mendongak. “Tantra, kamu melewati sebelah utara. Kakang Pangsa menelusuri jalan balik hingga ke Keraton. Aku sendiri akan memutar melewati Perguruan Awan.” Senopati Pangsa mengangguk. “Apa yang terjadi di Perguruan Awan?” “Aku belum mengerti, Kakang. Hanya firasatku mengatakan, setiap kali ada sesuatu yang ganjil, hutan itu bisa memberi jawaban. Tempat itu sangat memungkinkan untuk persembunyian sekian banyak orang tanpa mengganggu pohon yang tumbuh. Kalau selama ini tak ada kabar beritanya, itu tak berarti di tempat itu tak ada kegiatan.” Senopati Kuti mengangguk, lalu dengan sebat memacu kudanya. Ke arah kiri dari keinginan semula. Kuda yang masih segar dipacu kembali dengan keras. Hingga penumpang dan yang ditumpangi seakan mandi keringat. Kadang Senopati Kuti masuk ke pedusunan, berhenti sebentar dan menanyakan kalau-kalau melihat adanya satu rombongan. Jawabannya ternyata gelengan. Hanya sewaktu melewati pedusunan yang lain, Senopati Kuti mendengar adanya pembelian besar-besaran di pasar. Menurut penuturan, semua barang yang ada di pasar diborong, dan pembelinya seakan tak mengerti bagaimana cara menukar barang. Senopati Kuti segera menyemplak kudanya ke arah yang dilalui para pembeli. Kali ini lebih berhati-hati. Ketika mulai menemukan bekas-bekas kaki kuda yang agaknya sarat dengan muatan, hatinya mengatakan agar ia meneruskan perjalanan tanpa kuda. Seperti biasanya, begitu mendapatkan pikiran tertentu, segera dilaksanakan. Kudanya dilepas begitu saja. Langsung meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Benar saja. Belum separuh hari, jejak-jejak yang diikuti makin lama makin jelas. Banyak tetumbuhan yang dipapras di sana-sini, bahkan ada tempat yang dipakai untuk beristirahat. Berarti apa yang diburu tak jauh lagi. Gua Kencana APA yang disaksikan Senopati Kuti sebenarnya bisa dilihat tanpa perlu bersembunyi. Karena begitu lepas dari pepohonan, jalan yang dilalui cukup lebar. Cukup untuk berpapasan dua kereta yang lewat bersamaan. Ini agak mengherankan. Biasanya jalan utama dari desa ke desa dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dikenali. Akan tetapi yang sekarang ini ternyata agak tersembunyi. Lebih membuatnya bertanya-tanya dalam hati karena jalanan ini masih dalam tahap penyelesaian. Di sana-sini masih ada perkakas, masih ada bongkahan batu besar yang belum disingkirkan. Sekitar tiga ratus tombak, Senopati Kuti bertemu rombongan yang mengangkut barang-barang. Ada tujuh gerobak ditarik sapi, beriringan. Tampaknya ketujuh gerobak itu penuh muatan, sehingga jalannya perlahan sekali. Di salah satu jalanan, malah terhenti karena roda kayu menghantam batu keras yang masih bertonjolan. Senopati Kuti segera turun tangan. Dengan sekali sentak, kedua tangannya memutar roda dengan keras. Sapi-sapi di depan bersuara, sebelum akhirnya melangkah dengan tubuh bergoyang. “Menghaturkan sembah dan terima kasih….” Senopati Kuti mengangguk pendek. “Kami mempunyai setetes air. Jika Paduka berkenan….” Dari suaranya, Senopati Kuti mengetahui bahwa mereka umumnya penduduk biasa. Juga dari caranya menyebut paduka, yang tidak membedakan sebutan untuk senopati atau perwira Keraton tertentu, agaknya mereka ini tak mempunyai pengetahuan mengenai tata Keraton. “Aku yang seharusnya berterima kasih. Saat ini aku belum haus. “Kisanak, kalau aku boleh tahu, ke mana kalian akan pergi, dan apa saja bawaan kalian ini?” Lelaki tua yang agaknya menjadi pemimpin rombongan mengangguk ramah. Seperti Paduka, kami menuju ke Gua Kencana. Apa yang kami bawa hanyalah keperluan sehari-hari. Ada ayam, ada kambing, ada burung, ada bumbu-bumbu, serta gula….” Rasa ingin tahu Senopati jadi bertambah. Selama ini dirinya sangat mengenai nama-nama tempat yang menjadi wilayah Keraton. Akan tetapi rasanya baru sekarang ini mendengar nama Gua Kencana. Nama itu sendiri termasuk di luar kebiasaan. Gua Kencana, berarti gua emas, Dan agak aneh jika ada nama tempat di desa kecil begitu bagus. Nama-nama yang berbau emas, permata, atau mutiara hanyalah nama-nama yang dipakai di Keraton. Mana mungkin tempat kecil begini berani dinamai kencana? Hal kedua yang membuat bertanya-tanya ialah bahwa penduduk yang dijumpai sangat lugu, sangat polos. Sehingga tak mungkin rasanya berdusta. Dan mengatakan kebutuhan sehari-hari, pastilah itu yang sebenarnya. Akan tetapi jika kebutuhan sehari-hari saja begini banyak, apa yang sesungguhnya tengah terjadi? “Masih berapa lama menuju Gua Kencana?” “Sebelum matahari tenggelam. Kalau Paduka ingin berangkat lebih dulu, kami hanya bisa mengantarkan dengan doa. “Silakan….” Senopati Kuti mengangguk. Ia mempercepat jalannya, kemudian melesat setelah merasa tak diperhatikan. Ia tak ingin mengejutkan dengan ilmu meringankan tubuh, mengingat dirinya belum mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Kali ini di depan juga ada rombongan lain. Bahkan suasananya lebih meriah, karena terdengar bunyi gamelan. Sementara iringan yang ada jumlahnya mencapai puluhan. Beberapa di antaranya malah menenggak tuak. Seseorang tampak terpengaruh minuman keras, dan mulai bersenandung. Begini indahnya hidup tidur memeluk bidadari bangun memeluk bidadari biar saja ada apa di mana asal Kedung Dawa masih ada hidup di surga. Ada sesuatu yang melecehkan dalam kidungan itu. Yang menyebutkan tak peduli apa saja yang terjadi-di mana saja-asal tidak terjadi di Kedung Dawa, yang disamakan dengan surga. Senopati Kuti menahan diri untuk tidak menanyakan sesuatu. Hatinya mencatat sendiri bahwa wilayah ini bernama Kedung Dawa, nama yang pantas untuk sebuah desa. Kedung berarti bagian sungai yang dalam, sedang dawa berarti panjang atau luas. Dinamai begitu, tentunya daerah ini dekat dengan aliran sungai. Bisa jadi ini simpangan dari Kali Brantas. Kalau benar begitu, dirinya agak tersesat ke arah lebih ke timur dari yang direncanakan. Desa Simping lebih ke arah selatan dari Keraton Senopati Kuti bersiap membalik mencari jalan lain, ketika mendengar suara-suara yang seakan ditujukan kepada dirinya. “Tetamu sudah berdatangan. Kalau Baginda saja datang lebih dini, bukankah ini pesta besar? Bukankah yang berjalan tergesa itu penggede Keraton juga? “Mana saya tahu,” jawab yang diajak bicara. “Siapa saja bisa menjadi penggede, menjadi penguasa. Di Kedung Dawa segala apa bisa terjadi.” “Kenapa Dewa memilih Kedung Dawa untuk menyimpan emas?” “Apa pedulimu? “Dewa itu seperti manusia juga. Mereka berperang, berebutan, dan melarikan diri. Salah satu Dewa itu kesasar di desa ini. Masuk ke Gua Kencana. Hartanya disimpan di sana. Menurut rencana akan membuat barisan pohon kelapa dari emas. “Jumlahnya seribu pohon.” “Setinggi pohon kelapa yang sesungguhnya?” “Apa setinggi kamu!” “Kalau satu Dewa saja bisa melarikan begitu banyak emas, bagaimana kalau sepuluh Dewa melarikan diri ya?” Pembicaraan di antara minuman keras memang sering melenceng jauh. Akan tetapi Senopati Kuti merasa bahwa yang dibicarakan bukan sepenuhnya omong kosong. Ada sesuatu yang bergerak yang membuat desa Kedung Dawa menjadi pusat kegiatan yang mencengangkan. Mudah diduga bukan harta karun yang dibawa Dewa, akan tetapi ada kaitannya dengan emas yang menyebabkan ada sebutan Gua Kencana. “Sebenarnya kita ini masih lebih baik dari penggede” “Sudah tentu. “Kita begini-begini masih melakukan sesuatu. Masih ada yang kita sumbangkan. Sedangkan para penggede itu hanya datang, melihat, dan pulangnya membawa harta.” “Hei, jangan omong sembarangan. Kalau penggede itu mendengar, kamu tak bisa bertemu anak dan istrimu.” “Untuk apa bertemu istri di rumah, kalau di sini saja banyak pesinden ayu?” Jawaban yang terdengar disertai gelak tawa yang keras. “Benar kalau dikatakan di sinilah sesungguhnya surga dunia itu. Aku sedang membayangkan makan paling enak, tidur bersama pesinden paling ayu, selama hidup sampai berdiri pun tak mampu lagi.” Makin lama pembicaraan makin ngawur. Senopati Kuti mempercepat jalannya. Jalan yang dibuat agak tergesa ini ternyata cukup panjang. Paling sedikit diperlukan ratusan orang dan memerlukan waktu beberapa bulan. Dari anehnya, selama ini Senopati Kuti tak pernah mendengar adanya rencana besar ini. Ketika sampai di suatu lapangan yang luas, Senopati Kuti benar-benar makin heran. Karena di sana ada puluhan gerobak. Semuanya seperti tengah menurunkan muatan. Benar-benar luar biasa. Yang juga membuat lebih heran lagi ialah terlihatnya tanda payung kebesaran yang digunakan Baginda! Apa benar Baginda dan rombongannya juga nyasar kemari? Tidak, ini pasti tidak nyasar. Ada kesengajaan menuju Kedung Dawa. Kalau benar Baginda ada di sini… Jidat senopati Kuti berkerut. Kini sepenuhnya yakin bahwa rombongan Baginda berada di Kedung Dawa. Karena beberapa prajurit kawal yang mengenal segera menuju ke arahnya dan bersila di depannya. “Bagaimana keadaan Baginda?” “Semua dalam lindungan Dewa, sang Senopati….” “Sejak kapan kalian berada di sini?” “Sepekan lalu, Baginda memerintahkan bermalam di sini.” Rasa lega mengguyur Senopati Kuti. Sekarang segalanya yang dikuatirkan tak ada sisanya lagi. Baginda dan rombongannya dalam keadaan selamat. Bahkan sudah bermalam selama sepekan. Sungguh tidak imbang dengan kecemasan para senopati yang mencari siang dan malam. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi di desa ini? Sehingga Baginda yang sedang menuju Simping pun berputar arah? “Prajurit, sampaikan kepada atasanmu, aku Senopati Kuti ingin sowan kepada Baginda jika diperkenankan.” “Maaf, Senopati… Baginda sedang berada dalam Gua Kencana….” Candi Senopaten Pamungkas “APA itu artinya?” “Baginda sedang berkenan meninjau Gua Kencana, dan tak ada yang bisa dihubungi saat ini.” “Jangan-jangan bahaya…,” desis Senopati Kuti yang mendadak keringat dinginnya mengucur. Kalau sampai Baginda pergi sendirian, tanpa pengawal itu berarti mengundang bahaya besar. Darahnya mendidih. “Di mana gua itu?” “Di balik rumah, di lembah….” Tanpa menunggu penjelasan, Senopati Kuti segera bergegas ke arah yang ditunjuk. Di seberang tanah lapang yang mirip alun-alun terdapat bangunan rumah yang luar biasa bagus dan besar. Bahkan kalau bangunan itu berada dalam Keraton, tetap terlihat mewah. Apalagi gerbangnya diukir dan dijaga ketat. Tapi Senopati Kuti tak mempunyai perhatian sedikit pun. Tujuannya mengejar Baginda ke Gua Kencana. Maka langkahnya diteruskan lewat samping bangunan. Belum sepuluh tombak sudah tampak penjagaan yang berlapis-lapis. Senopati Kuti tak bisa menghindar karena jalanan setapak yang juga baru dibuat ini tak memungkinkan untuk menyelinap. Kalau ia nekat menerobos, berarti mengundang keributan. “Selamat datang, Senopati…. Boleh kami tahu siapa nama dan apa perlunya datang kemari?” Senopati Kuti mengibaskan tangannya. Pandangan matanya tajam menatap penjaga yang berusaha memperlihatkan sikap hormat. “Aku Senopati Kuti, satu di antara Tujuh Senopati Utama Keraton Majapahit, seorang dharmaputra, ingin menghadap Baginda….” “Nama besar Senopati Kuti sudah terdengar sampai ke pelosok jagat. Maafkan kami yang buta dan tidak mengenali. Saya Prajurit Sariq menyampaikan hormat. “Hanya saja kami tak bisa memberikan jalan kepada Senopati. Kami silakan Senopati menunggu di dalem utama…. “Rasa-rasanya aku mengenalmu. Apakah kamu senopati dari Turkana?” “Dulunya begitu….” “Hmmmmm… Tak kusangka, kamu menjadi pengabdi di sini. “Senopati Sariq, karena kamu sudah mengerti tata Keraton, karena kamu sudah mengenal siapa aku, bukakan jalan. Rasanya tak bisa aku membiarkan Baginda berada dalam gua tanpa pengawalan. Senopati Sariq membungkuk hormat. Dua orang yang berada di belakangnya bersiap. “Tugas saya di sini menjaga jalan ini, Senopati. “Saya pun tak rela junjungan saya lepas tanpa pengawalan. Akan tetapi ini perintah.” “Apa Ratu Ayu juga berada di dalam? “Begitulah adanya.” “Sejak kapan datang?” “Sebelum Senopati….” “Bagaimana mungkin kalian bergabung di sini?” “Panjang ceritanya….” “Katakan sekarang.” “Tugas saya sekarang menjaga jalan ini.” Terlihat jelas bahwa meskipun sangat menghormat, Senopati Sariq bersikap keras, lugas. Siap menghadapi ancaman apa pun, untuk mempertahankan tugas. “Apa yang ingin Paman ketahui?” Senopati Kuti hafal dengan nada suara. Ketika pandangannya berpaling ke arah pembicara, matanya berkejap. Jakunnya bergerak. “Gendhuk Tri, kamu juga ada di sini?” Gendhuk Tri menghela napas duka. Sesak. Pandangannya tidak berubah. Bagi Senopati Kuti, Gendhuk Tri bukan orang lain. Semasa masih memakai kemben, sudah berada di medan laga menggempur pasukan Jayakatwang, dan terakhir malah terlibat pertarungan mati-hidup dengan pasukan Tartar. Sejak itu memang jarang bisa bertemu dan berbicara karena kesibukan dan urusan yang berbeda. “Paman Kuti tak usah kuatir. Baginda dalam keadaan aman. Tak akan ada musuh yang bisa menyusup masuk. Kecuali kalau di dalam terpeleset atau masuk ke perapian.” Senopati Kuti mengangguk. Meskipun kalimat Gendhuk Tri sembrono dan kurang ajar, akan tetapi rasa kuatirnya punah mendengar jaminan keselamatan yang diucapkan. “Akan lebih baik Paman menunggu di sini. Sehingga kalau ada apa-apa, bisa berbuat sesuatu.” Senopati Kuti mendekati Gendhuk Tri. “Katakan apa yang terjadi di sini. “Aku bisa edan….” “Paman Kuti, sebelum saya mengatakan, Paman harus menjawab pertanyaan saya lebih dahulu. “Selama ini Paman berada di Keraton. Apakah betul Kakang Upasara tewas terbunuh? Senopati Kuti mengejapkan matanya. Senopati Sariq menunggu. Tubuhnya seolah berubah menjadi kuning pertanda menyimpan perasaan yang bergolak. “Aku di Keraton, akan tetapi sejak lama aku tak mempunyai tangan dan kaki. Hanya melihat dan mendengar. Aku ibarat manusia lumpuh tak ada gunanya. “Apa yang bisa kulakukan, kalau aku hanya senopati yang tidak memegang kekuasaan memerintah?” “Paman belum menjawab pertanyaan saya. “Apa benar Kakang Upasara mangkat?”