Pada masa-masa nomadik yang lalu, kepentingan suku selalu harus didahulukan daripada kepentingan pribadi: setiap anggota suku mengetahui bahwa mereka saling bergantung satu sama lain untuk mempertahankan hidup. Akibatnya mereka mempunyai kewajiban untuk memperhatikan orang miskin dan lemah dalam kelompok etnik mereka. Kini, individualisme telah menggantikan nilai-nilai komunal dan persaingan berkembang menjadi norma. Masing-masing individu mulai mengumpulkan kekayaan pribadi dan tidak peduli kepada orang-orang Quraisy yang lemah. Setiap klan, atau kelompok keluarga suku yang lebih kecil, saling bertikai untuk mendapat bagian dalam kemakmuran Makkah, dan sebagian dari klan yang kurang beruntung (seperti klan Muhammad sendiri, yakni klan Bani Hasyim) merasa bahwa kelangsungan hidup mereka tengah terancam. Muhammad yakin bahwa jika kaum Quraisy tidak meletakkan nilai transenden lain di pusat kehidupan mereka dan menaklukkan egoisme dan ketamakan mereka, maka suku itu akan terpecah belah secara moral dan politik akibat perselisihan yang keras. 187 Sejarah Tuhan Situasi di bagian lain jazirah Arabia juga suram. Selama berabadabad, suku-suku Badui di kawasan Hijaz dan Nejed telah hidup dalam persaingan tajam satu sama lain demi memperebutkan kebutuhan-kebutuhan pokok. Untuk membantu masyarakat menanamkan semangat komunal yang esensial bagi pertahanan hidup, orang Arab telah mengembangkan sebuah ideologi yang disebut muruwah, suatu konsep etik yang banyak mengandung fungsi agama. Dalam pengertian konvensional, orang Arab hanya memiliki sedikit waktu bagi agama. Mereka mempunyai sekumpulan dewa-dewa pagan dan beribadat di tempat-tempat suci para dewa itu, namun tidak mengembangkan mitologi yang menjelaskan relevansi dewa-dewa dan tempat-tempat suci ini bagi kehidupan ruhani. Mereka tak memiliki pandangan tentang kehidupan setelah mati, tetapi percaya bahwa dahr, yang dapat diterjemahkan sebagai "waktu" dan "nasib", sangatlah penting—sebuah sikap yang barangkali esensial dalam masyarakat yang angka kematiannya begitu tinggi. Para sarjana Barat sering menerjemahkan muruwah sebagai "kejantanan", namun kata itu memiliki cakupan pengertian yang jauh lebih luas: muruwah bisa berarti keberanian dalam peperangan, kesabaran dan ketabahan dalam penderitaan, dan kesetiaan mutlak kepada suku. Nilai-nilai muruwah menuntut seorang Arab untuk mematuhi sayyid atau pemimpinnya setiap saat, tanpa peduli keselamatan dirinya sendiri: dia harus mendedikasikan diri kepada tugas-tugas mulia melawan semua kejahatan yang dilakukan terhadap suku dan melindungi anggota-anggotanya yang lemah. Untuk menjamin kelangsungan hidup suku, sayyid membagi kekayaan dan harta miliknya secara merata dan membalas kematian satu anggotanya dengan membunuh satu anggota suku si pelaku pembunuhan. Di sini kita dapat melihat etika komunal secara sangat jelas: tak ada kewajiban untuk menghukum pembunuh itu sendiri karena seorang individu bisa hilang tanpa jejak dalam komunitas, seperti masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Sebagai gantinya, satu anggota suku musuh dipandang setara saja dengan yang lainnya untuk menegakkan maksud semacam itu. Balas dendam atau utang nyawa balas nyawa merupakan satu-satunya cara untuk menjamin sedikit keamanan sosial di wilayah yang tak mengenal kekuasaan sentral ini, di mana setiap kelompok suku merupakan hukum bagi dirinya sendiri dan tak terdapat sesuatu yang bisa dipersamakan dengan angkatan kepolisian zaman sekarang. Jika seorang pemimpin suku gagal membalas dendam, 188 Keesaan: Tuhan Islam sukunya akan kehilangan martabat sehingga suku-suku lain akan merasa bebas untuk membunuh anggota sukunya tanpa dihukum. Hukum balas, dengan demikian telah menjadi bentuk keadilan yang lazim. Ini berarti bahwa tak ada satu suku pun yang dengan gampang dapat memperoleh yang derajat lebih tinggi daripada yang lain. Ini juga berarti bahwa berbagai suku dapat dengan mudah terlibat dalam lingkaran kekerasan tanpa akhir, di mana satu penuntutan balas akan menimbulkan pembalasan yang lain jika orang-orang merasa bahwa balas dendam itu dilakukan secara tidak proporsional terhadap kesalahan asalnya. Meskipun tak diragukan lagi kebrutalannya, muruwah tetap memiliki banyak kelebihan. Muruwah sangat menekankan egalitarianisme dan ketidakpedulian pada materi, yang, lagi-lagi, barangkali esensial dalam wilayah yang tidak memiliki persediaan kebutuhan pokok dalam jumlah yang memadai: kedermawanan merupakan kebajikan yang penting dan mengajarkan orang-orang Arab untuk tidak mengkhawatirkan hari esok. Sifat-sifat ini, sebagaimana akan kita saksikan, penting maknanya bagi Islam. Muruwah telah berdampak baik bagi orang Arab selama berabad-abad, namun sejak abad keenam konsep itu tak lagi mampu menjawab kondisi modemitas. Selama fase terakhir periode pra-Islam, yang oleh kaum Muslim disebut periode jahiliyyah (masa kebodohan), ketidakpuasan dan kekosongan spiritual telah menyebar luas. Orang Arab dikepung dari semua sisi oleh dua imperium besar, Persia Sassanian dan Byzantium. Ide-ide modern mulai menembus masuk ke Arab dari wilayah-wilayah yang berpenghuni; para saudagar yang bepergian ke Suriah atau Irak membawa pulang kisah-kisah mengagumkan tentang kehebatan peradaban. Namun, tampaknya mereka ditakdirkan untuk terus hidup dalam barbarisme. Peperangan antarsuku yang tak henti-hentinya terjadi membuat mereka tak mampu mengumpulkan sumber daya mereka yang hanya sedikit itu dan menjadi orang Arab bersatu. Mereka tak dapat menentukan nasib sendiri dan mendirikan sebuah peradaban sendiri. Sebaliknya mereka justru senantiasa terbuka untuk dieksploitasi oleh kekuatan-kekuatan besar: buktinya, wilayah yang lebih subur dan canggih di Arab Selatan yang kini dikenal sebagai Yaman (yang memiliki keuntungan dari hujan muson) telah menjadi sekadar satu provinsi dalam wilayah kekuasaan Persia. Pada saat yang sama, ide-ide baru yang menembus kawasan itu memperkenalkan 189 Sejarah Tuhan individualisme yang meruntuhkan etos komunal lama. Doktrin Kristen tentang kehidupan sesudah mati, misalnya, membuat nasib abadi setiap individu menjadi nilai yang suci: bagaimana ini bisa dicocokkan dengan idealisme kesukuan yang menempatkan individu di bawah kepentingan kelompok dan mengajarkan bahwa satu-satunya keabadian manusia terletak pada keberlangsungan hidup suku? Muhammad adalah seorang jenius yang sangat luar biasa. Tatkala wafat pada tahun 632, dia telah berhasil menyatukan hampir semua suku Arab menjadi sebuah komunitas baru, atau ummah. Dia telah mempersembahkan kepada orang-orang Arab sebuah spiritualitas yang secara unik sesuai dengan tradisi mereka dan yang membukakan kunci bagi sumber kekuatan yang besar sehingga dalam waktu seratus tahun mereka telah mendirikan imperium sendiri yang luas membentang dari Himalaya hingga Pirenia, dan membangun sebuah peradaban yang unik. Namun, ketika Muhammad duduk berdoa di gua kecil Hira selama masa ibadahnya pada bulan Ramadhan tahun 610, dia tidak membayangkan kesuksesan fenomenal seperti itu. Sebagaimana kebanyakan orang Arab, Muhammad percaya bahwa Allah, Tuhan Tertinggi dalam keyakinan Arab kuno, yang namanya secara sederhana berarti "Tuhan'!, identik dengan Tuhan yang disembah oleh orang-orang Yahudi dan Kristen. Dia juga percaya bahwa hanya seorang nabi dari Tuhan ini yang akan mampu memecahkan masalah masyarakatnya, tetapi tak sedikit pun terbetik dalam pikirannya bahwa dirinyalah yang akan menjadi nabi itu. Orang Arab pun secara prihatin sadar bahwa Allah belum pernah mengutus kepada mereka seorang nabi atau menurunkan kitab suci bagi mereka, meski tempat suci baginya telah ada di tengah-tengah mereka sejak masa yang sudah tak dapat diingat lagi. Pada abad ketujuh, kebanyakan orang Arab percaya bahwa Ka'bah, bangunan sangat tua berbentuk kubus besar yang terletak di jantung Makkah, pada awalnya didirikan demi pengabdian kepada Allah, walaupun pada saat itu tempat tersebut diisi oleh dewa Hubal orang Nabatea. Semua penduduk Makkah sangat bangga akan Ka'bah yang merupakan tempat suci paling penting di Arabia. Setiap tahun orang-orang Arab dari segala penjuru semenanjung melaksanakan ziarah ke Makkah, untuk menyelenggarakan ritus-ritus tradisional selama beberapa hari. Semua kekerasan dilarang di sekeliling tempat suci Ka'bah, sehingga mereka dapat berdagang dengan damai satu sama lain di sana, karena mengetahui bahwa permusuhan-permusuhan lama untuk sementara harus ditunda. 190 Keesaan: Tuhan Islam Kaum Quraisy menyadari bahwa tanpa tempat suci itu mereka tak akan meraih kesuksesan berniaga dan bahwa sebagian besar prestise mereka di kalangan suku-suku bergantung pada penjagaan terhadap Ka'bah dan pada pelestarian kesuciannya yang ada di bawah tanggung jawab mereka. Namun meski Allah jelas-jelas telah mengistimewakan kaum Quraisy untuk tugas ini, dia tidak pernah mengirim kepada mereka seorang utusan, seperti Ibrahim, Musa, atau Isa, dan orang Arab tak memiliki kitab suci dalam bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, tersebar luas rasa inferioritas spiritual di antara mereka. Orang Yahudi dan Kristen, mitra dagang yang sering berhubungan dengan orang-orang Arab, acap mencela mereka sebagai orang barbar yang tidak memperoleh wahyu dari Tuhan. Orang Arab merasakan campuran rasa benci dan hormat kepada orangorang yang memiliki pengetahuan yang tak mereka punyai ini. Yudaisme dan Kristen tidak mendapat banyak kemajuan di kawasan itu, meskipun orang Arab mengakui bahwa bentuk agama yang progresif ini sebenarnya lebih unggul daripada paganisme tradisional mereka. Ada beberapa suku Yahudi yang tidak jelas asal usulnya di pemukiman Yatsrib (kemudian menjadi Madinah) dan Fadak, hingga ke utara Makkah, serta beberapa suku utara di perbatasan antara imperium Persia dan Byzantium yang telah beralih menganut aliran Monofisit atau Kristen Nestorian. Akan tetapi, orang Badui sangat independen, mereka bertekad untuk tidak jatuh ke bawah salah satu kekuatan adidaya seperti saudara-saudara mereka di Yaman dan sangat menyadari bahwa baik orang Persia maupun Byzantium telah menggunakan agama Yahudi dan Kristen untuk mengembangkan polapola imperial mereka di kawasan itu. Mereka barangkali juga menyadari secara instingtif bahwa mereka telah mengalami dislokasi kultural yang cukup parah, seiring erosi tradisi-tradisi mereka sendiri. Mereka sama sekali tak merasa menginginkan sebuah ideologi baru, apalagi yang terungkap dalam bahasa dan tradisi asing. Sebagian orang Arab tampaknya telah berupaya menemukan bentuk monoteisme yang lebih netral dan tidak ternoda kaitan imperialistik. Sejarahwan Kristen Palestina, Sozomenos, mengemukakan kepada kita bahwa pada awal abad kelima beberapa orang Arab di Suriah telah menemukan kembali apa yang mereka sebut agama asli Ibrahim, yang berkembang sebelum Tuhan menurunkan Taurat atau Injil dan, dengan demikian, bukan Yahudi atau Kristen. Tidak lama sebelum Muhammad menerima panggilan kenabiannya sendiri, 191 Sejarah Tuhan penulis biografinya yang pertama, Muhammad ibn Ishaq (w. 767), menjelaskan kepada kita bahwa empat orang tokoh Quraisy Makkah memutuskan untuk mencari hanifiyyah, agama asli Ibrahim. Sebagian sarjana Barat telah menyatakan bahwa sekte hanifiyyah yang kecil ini adalah sebuah fiksi agama yang menyimbolkan kegelisahan spiritual zaman jahiliah, tetapi pasti memiliki dasar pijakan yang faktual: Tiga di antara keempat hanif itu cukup dikenal oleh generasi pertama Muslim: Ubaidillah ibn Jahsy, keponakan Muhammad; Waraqah bin Naufal, yang akhirnya beragama Kristen; dan Zaid ibn Amr, paman Umar bin Khattab, salah seorang sahabat dekat Muhammad dan khalifah kedua dalam pemerintahan Islam. Ada sebuah kisah bahwa pada suatu hari, sebelum meninggalkan Makkah menuju Suriah dan Irak untuk mencari agama Ibrahim, Zaid berdiri di sisi Ka'bah, bersandar ke bangunan suci itu dan berkata kepada orang Quraisy yang sedang melakukan ritus mengelilinginya dalam cara yang sudah dilakukan sejak lama: "Wahai Quraisy, demi yang jiwa Zaid berada di tangannya, tak ada seorang pun dari kalian yang mengikuti agama Ibrahim kecuali aku." Kemudian dengan sedih dia menambahkan, "Ya Tuhan, andaikan aku tahu bagaimana engkau ingin disembah, niscaya aku akan menyembahmu dengan cara itu; namun aku tidak tahu."1 Kerinduan Zaid terhadap wahyu ilahi akhirnya terpenuhi di Gua Hira pada tahun 610 di malam ketujuh belas bulan Ramadhan, tatkala Muhammad dibangunkan dari tidur dan merasakan dirinya didekap oleh kehadiran ilahiah yang dahsyat. Belakangan dia menceritakan pengalaman luar biasa ini dalam istilah-istilah khas Arab. Dia berkata bahwa satu malaikat menampakkan diri kepadanya dan memberinya sebuah perintah singkat: "Bacalah!" (iqra'!). Seperti halnya nabi-nabi Ibrani yang sering merasa berat mengucapkan Firman Tuhan, Muhammad menolak dan memprotes, "Aku bukan seorang pembaca!" Dia bukanlah seorang kahin, seorang peramal ekstatik Arab yang mengaku fasih membaca nubuat-nubuat yang diilhamkan. Akan tetapi, Muhammad berkata, malaikat itu kemudian mendekapnya semakin kuat, sehingga dia merasa seolah-olah napasnya akan meninggalkan tubuhnya. Persis pada saat Muhammad merasa seakan tak mampu lagi bertahan, malaikat itu melepaskannya dan kembali memerintahkan, "Bacalah!" (iqra'!). Muhammad lagi-lagi menolak dan malaikat itu pun mendekapnya lagi hingga dia merasa telah mencapai batas daya tahannya. Akhirnya, di akhir dekapan dahsyat yang ketiga, 192 Keesaan: Tuhan Islam Muhammad merasakan kata-kata pertama dari sebuah kitab suci baru mengalir keluar dari mulutnya: Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang telah menciptakan— menciptakan manusia dari segumpal darah! Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar [manusia] dengan perantaraan kalam—Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.2 Firman Tuhan telah diucapkan untuk pertama kalinya dalam bahasa Arab, dan kitab suci ini akhirnya akan disebut qur'an Bacaan. Muhammad merasa dirinya berada dalam ketakutan dan perubahan, bergidik memikirkan bahwa dia mungkin telah menjadi sekadar seorang kahin tak terhormat yang dimintakan pendapatnya oleh orang-orang ketika mereka kehilangan unta. Seorang kabin diduga dikuasai oleh jin, sejenis makhluk halus yang dipercayai menghuni daratan Arab, yang bisa berubah-ubah wujud dan menyesatkan manusia. Para penyair juga percaya bahwa diri mereka dikuasai oleh jin-jin pribadi mereka. Hasan ibn Tsabit, seorang penyair Yatsrib yang kemudian masuk Islam, berkata bahwa ketika dia pertama kali mendapat dorongan untuk menjadi penyair, jinnya menampakkan diri kepadanya, mengempaskannya ke tanah, dan mendorong katakata ilham keluar dari mulutnya. Hanya inilah bentuk pengilhaman yang dikenal oleh Muhammad. Bayangan bahwa dia mungkin telah menjadi majnun, dikuasai jin, memenuhi dirinya dengan rasa putus asa seakan-akan keinginannya untuk hidup pupus sudah. Dia sangat tidak menyenangi para kabin itu, yang biasanya mengeluarkan nubuat berupa kata-kata kosong yang tak masuk akal, dan dia pun sangat berhati-hati untuk membedakan Al-Quran dari syair-syair Arab konvensional. Kini, sembari bergegas keluar dari gua, Muhammad merasa seakan ingin mengempaskan dirinya dari puncak bukit. Namun, di sisi bukit dia kembali melihat sesosok makhluk yang, kemudian, diidentifikasinya sebagai Malaikat Jibril: Ketika aku berada di tengah jalan perbukitan, aku mendengar suara dari langit berkata: "Hai Muhammad! Engkau adalah utusan Tuhan dan aku adalah Jibril." Aku menengadahkan kepala ke arah langit untuk melihat siapa yang berbicara, dan, kulihat Jibril dalam rupa seorang manusia dengan kaki di kedua sisi ufuk ... aku berdiri memandangnya, tak bergerak surut atau maju; kemudian aku memalingkan wajah 193 Sejarah Tuhan darinya, namun ke bagian langit mana pun kulayangkan pandangan, dia tetap terlihat.3 Di dalam Islam, Jibril sering diidentifikasikan sebaga Ruh Suci pembawa wahyu, perantara yang melaluinya Tuhan berkomunikasi dengan manusia. Dia bukanlah malaikat naturalistik, namun hadir di mana-mana sehingga mustahil bisa melarikan din darinya. Muhammad telah mendapatkan pemahaman luar biasa tentang realitas ilahi, yang oleh nabi-nabi Ibrani disebut kaddosh, kesucian, keberbedaan Tuhan dan segala sesuatu. Ketika mengalaminya, mereka juga telah merasa begitu dekat dengan kematian dan berada dalam ketegangan fisik dan mental. Akan tetapi, tidak seperti Yesaya atau Yeremia, Muhammad tidak memiliki penghibur berupa tradisi yang telah mapan untuk menyokongnya. Pengalaman yang menakutkan itu seolah-olah jatuh menimpanya secara tiba-tiba dan meninggalkannya dalam keadaan tercekam. Dalam deritanya, secara instingtif dia berpaling kepada istrinya, Khadijah. Berjalan tertatih sambil gemetaran hebat, Muhammad menjatuhkan diri ke pangkuan istrinya, "Selimuti aku, selimuti aku!" serunya, memohon istrinya untuk melindungi dirinya. Tatkala rasa takut mulai menghilang, Muhammad bertanya kepada Khadijah apakah dirinya betul-betul telah menjadi majnun. Khadijah bersegera memberi ketegasan: "Engkau adalah orang yang baik dan penuh perhatian kepada sanak saudaramu. Engkau menolong fakir miskin dan orang yang kesulitan, dan ikut memikul beban mereka. Engkau berupaya mengembalikan akhlak mulia yang nyaris hilang dari kaummu. Engkau menghormati tamu dan membantu orang-orang yang susah. Tak mungkin engkau (majnun)."4 Tuhan tidak bertindak dengan sewenang- wenang. Khadijah menganjurkan agar mereka berkonsultasi dengan sepupunya, Waraqah, yang saat itu penganut Kristen dan mempelajari kitab suci. Waraqah sama sekali tidak sangsi: Muhammad telah menerima wahyu dari Tuhan Musa dan nabi-nabi lain, dan telah menjadi utusan ilahi bagi bangsa Arab. Akhirnya, setelah melalui periode beberapa tahun, Muhammad menjadi yakin bahwa memang demikianlah halnya dan mulai mendakwahi kaum Quraisy, menghadirkan bagi mereka sebuah kitab suci dalam bahasa mereka sendiri. Namun, tidak seperti Taurat yang menurut kisah biblikal diwahyukan kepada Musa dalam satu waktu secara sekaligus di Gunung Sinai, Al-Quran diwahyukan kepada Muhammad secara sepenggal-sepenggal, 194 Keesaan: Tuhan Islam sebaris demi sebaris dan seayat demi seayat dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun. Pewahyuan itu terus terjadi dalam pengalaman yang memberatkan. "Tak pernah aku menerima wahyu tanpa perasaan bahwa jiwaku seolah-olah akan tercerabut dari diriku," ujar Muhammad beberapa tahun kemudian.5 Dia hams menyimak firmanfirman suci itu dengan penuh perhatian, berusaha mendapatkan visi dan arti penting yang tidak selalu sampai kepadanya dalam bentuk verbal yang jelas. Kadang-kadang, katanya, kandungan pesan ilahi itu sangat jelas: dia seolah-olah melihat Jibril dan mendengar apa yang diucapkannya. Akan tetapi, pada waktu lain, wahyu itu sangat sulit diartikulasikan: "Kadangkala ia datang kepadaku bagaikan gema sebuah genta, dan itulah yang paling sulit; gema itu menyurut ketika aku telah sadar akan pesan yang disampaikan."6 Para penulis biografi pertama pada periode klasik sering memperlihatkan Muhammad menyimak secara tekun apa yang mungkin mesti kita sebut ungkapan alam bawah sadar dengan autoritas dan integritas yang secara misterius bukan merupakan bagian dari dirinya—persis seperti seorang penyair menjelaskan proses "penyimakan" sebuah puisi yang secara perlahan muncul dari ruang pikiran yang tersembunyi. Di dalam Al-Quran, Tuhan memerintahkan Muhammad untuk mendengarkan makna yang tidak koheren itu dengan saksama dan dengan apa yang disebut oleh Wordsworth sebagai "kepasifan yang bijaksana."7 Dia tidak boleh tergesa-gesa memaksakan kata atau makna konseptual tertentu pada wahyu itu sebelum maknanya yang sejati terungkap pada saat yang tepat: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.8 Sebagaimana semua bentuk kreativitas, ini juga merupakan proses yang sulit. Muhammad sering masuk ke keadaan trans dan kadangkadang seakan kehilangan kesadaran: dia sering jadi berkeringat, bahkan di hari yang dingin, dan merasakan beban batin yang berat seperti duka yang mendorongnya untuk merunduk meletakkan kepala di antara kedua lututnya, sebuah posisi yang diambil oleh sebagian 195 Sejarah Tuhan mistikus Yahudi kontemporer tatkala mereka masuk ke keadaan kesadaran yang berubah—meskipun Muhammad tentunya tidak mengetahui hal ini. Tidak mengherankan jika Muhammad merasakan wahyu sebagai ketegangan yang begitu besar: dia bukan hanya sedang mengupayakan sebuah solusi politik yang sama sekali baru bagi umatnya, melainkan juga sedang menyusun salah satu karya sastra dan spiritual klasik terbesar sepanjang zaman. Dia yakin bahwa dia tengah menyusun Firman Tuhan yang tak terucapkan ke dalam bahasa Arab, karena Al-Quran bersifat sentral bagi spiritualitas Islam sebagaimana halnya Yesus, sang logos, bagi Kristen. Kita mengetahui lebih banyak tentang Muhammad dibanding para pendiri agama besar lainnya, dan, di dalam Al-Quran, yang waktu turun berbagai surah atau bagiannya dapat diketahui dengan tingkat akurasi yang masuk akal, kita dapat melihat bagaimana visi Muhammad berevolusi secara perlahan dan menjadi semakin universal dalam cakupannya. Pada awalnya dia tidak melihat lingkup tugas yang harus dipikulnya, karena hal itu diperlihatkan kepadanya sedikit demi sedikit, seiring responsnya terhadap logika batin peristiwa-peristiwa yang terjadi. Di dalam Al- Quran, kita bisa menemukan komentar orang-orang sezaman tentang awal kedatangan Islam yang unik dalam sejarah agama. Di dalam kitab suci ini, Tuhan tampaknya menjelaskan tentang perkembangan situasi: dia menjawab para pengkritik Muhammad, menguraikan makna suatu peperangan atau konflik yang terjadi di dalam masyarakat Islam generasi pertama, dan menunjukkan dimensi ilahiah kehidupan manusia. Al-Quran tidak turun kepada Muhammad dalam susunan seperti yang kita jumpai pada masa sekarang, tetapi dalam susunan yang lebih acak, sesuai peristiwa-peristiwa yang datang dan penyimakannya atas makna yang lebih dalam. Setiap kali bagian baru diwahyukan, Muhammad, yang tidak bisa membaca atau menulis, akan mengucapkannya keras-keras. Kaum Muslim pun menghafalnya sedangkan beberapa sahabat yang bisa baca-tulis menyalinnya. Sekitar dua puluh tahun setelah wafatnya Muhammad, kompilasi resmi pertama atas wahyu ini diselesaikan. Para editor meletakkan surah-surah terpanjang pada bagian awal dan yang tersingkat di bagian akhir. Susunan seperti ini tidaklah seacak kelihatannya, karena Al-Quran bukanlah sebuah narasi atau argumen yang membutuhkan tatanan berurutan. Susunan itu merefleksikan berbagai tema: kehadiran Tuhan di dunia, kehidupan 196 para nabi, atau Hari Akhir. Bagi orang yang tidak bisa mengapresiasi keindahan bahasa Arab yang luar biasa, Al-Quran tampak membosankan dan bertele-tele karena sering mengulang-ulang tema yang sama. Namun, Al-Quran tidak dimaksudkan untuk menjadi bahan kajian secara pribadi, melainkan untuk pembacaan liturgis. Ketika kaum Muslim mendengar sebuah surah dibacakan di dalam masjid, mereka diingatkan kembali kepada semua ajaran inti keimanan mereka. Ketika mulai berdakwah di Makkah, Muhammad hanya memiliki konsep yang sangat sederhana tentang perannya. Dia tidak berpikir bahwa dirinya tengah membangun sebuah agama universal, melainkan keyakinan kuno yang mengajarkan keesaan Tuhan kepada orangorang Quraisy. Pada mulanya dia bahkan tak pernah mengira harus berdakwah kepada suku-suku Arab selain penduduk Makkah dan sekitarnya.9 Dia tak pernah bermimpi akan membangun sebuah teokrasi dan mungkin sama sekali tidak mengetahui apa teokrasi itu: dia sendiri tak mesti memiliki fungsi politik di dalam pemerintahan, kecuali sebagai seorang nadzir, pemberi peringatan.10 Allah telah mengutusnya untuk memperingatkan kaum Quraisy tentang situasi berbahaya yang tengah mereka hadapi. Akan tetapi, pesan awal yang disampaikannya bukanlah tentang musibah dan bencana, melainkan tentang harapan yang membahagiakan. Muhammad tidak harus membuktikan eksistensi Tuhan kepada kaum Quraisy. Mereka secara implisit telah beriman kepada Allah, yang menciptakan langit dan bumi, dan kebanyakan dari mereka meyakininya sebagai Tuhan yang disembah oleh orang Yahudi maupun Kristen. Keberadaannya telah diterima begitu saja. Sebagaimana firman Tuhan kepada Muhammad pada sebuah surah awal di dalam Al-Quran: Dan sesungguhnyajika kamu tanyakan kepada mereka-. "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah, "maka betapakab mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah, "tetapi kebanyakan mereka tidak memahami-(nya).11 Persoalannya adalah, kaum Quraisy tidak memikirkan implikasi kepercayaan mereka itu. Tuhan telah menciptakan mereka dari setetes air mani, seperti dijelaskan oleh wahyu yang pertama diturunkan; Keesaan: Tuhan Islam 197 Sejarah Tuhan mereka bergantung kepada rezeki dan perlindungan dari Tuhan, namun mereka masih menganggap diri sebagai pusat jagat raya berdasarkan praduga yang tidak realistis (yatqa) dan rasa sombong berlebihan (istaghna)12 tanpa memedulikan tanggung jawab mereka sebagai anggota masyarakat Arab yang terhormat. Oleh karena itu, semua ayat pertama Al-Quran menganjurkan kaum Quraisy agar menyadari rahmat Tuhan yang dapat mereka lihat ke mana pun mata mereka memandang. Mereka akan sadar betapa banyak mereka masih berutang kepada Tuhan di tengah kesuksesan besar yang telah mereka capai, dan akan mengapresiasi kebergantungan mutlak mereka kepada Pencipta tatanan alam: Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya! Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya, kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur, kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami telah benar-benar mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun danpohon kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumputrumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.13 Oleh karena itu, yang jadi persoalan bukanlah pengakuan atas keberadaan Tuhan. Di dalam Al-Quran, "orang yang ingkar" (kafir bi ni'mah Allah) bukanlah orang ateis dalam pengertian yang lazim kita pahami atas kata tersebut, yakni orang yang tidak percaya kepada Tuhan, melainkan orang yang tidak bersyukur kepadanya, yang mampu melihat dengan jelas apa yang telah dilimpahkan Allah kepadanya, tetapi menolak untuk mengagungkannya dengan semangat pembangkangan yang tak berterima kasih. Al-Quran tidak mengajarkan sesuatu yang baru kepada kaum Quraish. Bahkan, kitab itu dengan teguh mengklaim sebagai "pengingat" akan hal-hal yang telah diketahui, yang diungkapkannya dengan lebih jelas. Kadang-kadang Al-Quran membuka suatu topik dengan 198 Keesaan: Tuhan Islam anak kalimat: "Apakah kalian tidak melihat ...?" atau "Apakah kalian tidak berpikir ...?" Firman Tuhan tidak sekadar mengeluarkan perintahperintah yang arbitrer dari atas, tetapi mengajak orang-orang Quraisy untuk berdialog. Al-Quran, misalnya, memperingatkan mereka bahwa Ka'bah, rumah Allah, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mereka yang pada hakikatnya merupakan karunia Tuhan. Kaum Quraisy senang menyelenggarakan thawaf mengelilingi tempat suci itu, tetapi ketika mereka meletakkan diri dan keberhasilan material mereka sendiri di pusat kehidupan, mereka lupa akan makna ritus-ritus kuno ini. Mereka harus melihat "tanda-tanda" (ayat) rahmat dan kekuasaan Tuhan di alam semesta. Jika mereka gagal mewujudkan kembali rahmat Tuhan dalam masyarakat mereka sendiri, mereka takkan dapat menangkap hakikat dari segala sesuatu. Oleh karena itu, para pengikut Muhammad diperintahkan untuk menunaikan ibadah shalat. Gerakan-gerakan eksternal ini akan membantu seorang Muslim menanamkan sikap batin dan menetapkan kembali arah kehidupan mereka. Agama Muhammad dikenal dengan nama islam, kepasrahan eksistensial yang diharapkan untuk diberikan setiap Muslim kepada Allah: seorang muslim adalah seseorang yang menyerahkan segenap dirinya kepada Sang Pencipta. Kaum Quraisy terkejut ketika melihat umat Muslim generasi pertama melakukan shalat: mereka tidak bisa menerima bahwa anggota suku Quraisy yang selama berabad-abad telah membanggakan independensi Badui harus tersungkur bersujud di atas tanah seperti seorang budak. Hal ini mengakibatkan kaum Muslim harus menarik diri ke lembah-lembah kecil tersembunyi di sekitar kota untuk melaksanakan shalat secara rahasia. Reaksi kaum Quraisy memperlihatkan bahwa Muhammad telah mendiagnosis spirit mereka dengan sangat tepat. Dalam praktiknya, islam berarti bahwa kaum Muslim memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara di mana orang-orang miskin dan lemah diperlakukan secara layak. Pesan moral Al-Quran yang pertama sederhana saja: janganlah menimbun kekayaan dan mencari keuntungan bagi diri sendiri, tetapi bagilah kemakmuran secara merata dengan menyedekahkan sebagian harta kepada fakir miskin.14 Zakat dan shalat merupakan dua dari lima rukun atau prinsip ajaran Islam. Seperti halnya nabi-nabi Ibrani, Muhammad menyiarkan sebuah etika yang bisa kita sebut sosialis sebagai konsekuensi dari penyembahan kepada satu Tuhan. Tak ada doktrin-doktrin tentang Tuhan yang bersifat wajib: bahkan, Al-Quran 199 sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan. Sebaliknya, sebagaimana di dalam Yudaisme, Tuhan dialami sebagai dorongan untuk menegakkan moral. Meskipun hampir tak pernah berhubungan dengan orang Yahudi atau Nasrani maupun kitab-kitab suci mereka, Muhammad telah langsung menerobos ke dalam inti monoteisme historis. Akan tetapi, di dalam Al-Quran, Allah tampil lebih impersonal daripada YHWH. Dia tidak dicirikan oleh sedih dan senang seperti Tuhan biblikal. Kita hanya mungkin memahami sesuatu mengenai Tuhan melalui "tanda-tanda" alam, dan begitu transendennya Tuhan sehingga kita hanya bisa membicarakannya melalui "perumpamaan."15 Oleh karena itu, Al-Quran berulang-ulang mengimbau kaum Muslim untuk melihat alam sebagai penampakan Tuhan (epiphany); mereka harus menggunakan upaya imajinatif untuk melihat melalui dunia yang beraneka ini wujud asal yang utuh, realitas transenden yang menapasi segala sesuatu. Kaum Muslim diajak untuk menumbuhkan sikap sakramental atau simbolik: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayardi laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya, dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda [ayat] (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.16 Al-Quran selalu menekankan perlunya penggunaan akal dalam menguraikan "tanda" atau "pesan" dari Tuhan. Kaum Muslim tidak boleh merendahkan akal mereka, tetapi harus mengamati alam dengan penuh perhatian dan keingintahuan. Sikap inilah yang membuat umat Muslim generasi berikutnya mampu membangun tradisi ilmu pengetahuan alam yang baik, yang tak pernah dianggap sebagai ancaman terhadap agama sebagaimana yang terjadi di dunia Kristen. Kajian tentang sistem kerja alam menunjukkan bahwa alam ini memiliki dimensi dan sumber transenden, yang hanya dapat kita bicarakan 200 Sejarah Tuhan Keesaan: Tuhan Islam melalui tanda-tanda dan simbol-simbol: bahkan kisah para nabi, ajaran tentang Hari Kiamat, dan kesenangan-kesenangan surgawi tidak boleh diinterpretasikan secara harfiah, tetapi sebagai perumpamaan tentang realitas yang lebih tinggi dan tak terlukiskan. Namun, yang paling besar dari semua tanda adalah Al-Quran itu sendiri: bahkan bagian-bagian terkecilnya yang disebut ayat. Orang Barat memandang Al-Quran sebagai kitab yang sulit, dan ini terutama berkaitan dengan masalah penerjemahan. Bahasa Arab memang sulit dan terasa janggal ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, misalnya, dan lebih-lebih lagi karena Al-Quran yang memiliki gaya bahasa padat, penuh kiasan, dan ungkapan-ungkapan yang tidak langsung. Surah-surah pertama khususnya memberikan kesan bahwa bahasa manusia tertatih-tatih dan kepayahan untuk menyampaikan pesan ilahi, Kaum Muslim sering mengatakan bahwa ketika mereka membaca terjemahan Al-Quran, mereka merasa seperti membaca kitab yang berbeda karena tak ada lagi kandungan keindahan bahasa Arabnya yang tersampaikan. Sebagaimana tersirat dari namanya, Al- Quran ditujukan untuk dibaca dengan suara keras, dan pengaruh yang timbul dari bunyi bahasa itu merupakan bagian penting dari kitab suci ini. Kaum Muslim mengatakan bahwa tatkala mereka mendengar Al-Quran dibacakan di masjid, mereka merasa dilingkupi oleh suara yang berdimensi ilahiah, nyaris seperti Muhammad ketika didekap oleh Jibril di Gua Hira atau ketika dia melihat malaikat memenuhi seluruh penjuru ufuk. Al-Quran bukanlah sebuah kitab yang dibaca sekadar untuk memperoleh informasi. Membaca Al-Quran dimaksudkan untuk memetik rasa tentang yang ilahi, dan karenanya tidak untuk dibaca dengan tergesa-gesa: Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab, dan Kami telab menerangkan dengan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) Al-Quran itu menimbulkan pengajaran bagi mereka. Maka Mahatinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."17 Dengan mendekati Al-Quran dalam cara yang benar, kaum Muslim mengakui bahwa mereka betul-betul mengalami rasa transendensi, tentang realitas dan kekuatan tertinggi di balik fenomena dunia fana 201 Sejarah Tuhan yang rentan dan sementara. Oleh karena itu, membaca Al-Quran merupakan latihan spiritual yang sukar dipahami oleh orang Kristen karena mereka tak memiliki bahasa sakral seperti halnya orangorang Yahudi, Hindu, dan Muslim. Yesuslah yang menjadi Firman Tuhan, dan tak ada yang suci dalam Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani itu. Akan tetapi, orang Yahudi mempunyai sikap yang sama terhadap Taurat. Tatkala mereka mengkaji lima kitab pertama dari Alkitab, mereka tidak sekadar melayangkan pandangan ke halaman demi halaman. Mereka sering melantunkan firman-firman itu dengan suara keras, menikmati kata-kata yang diyakini telah diucapkan oleh Tuhan sendiri ketika dia memperlihatkan dirinya kepada Musa di Sinai. Kadangkala mereka berayun ke belakang dan ke depan, seperti nyala api di depan embusan napas sang Ruh. Tak diragukan lagi bahwa orang Yahudi yang membaca Alkitab mereka dengan cara seperti ini memperoleh pengalaman yang berbeda tentang kitab suci dibanding orang Kristen yang memandang Lima Kitab Musa sebagai bagian yang membosankan dan tak jelas. Para penulis biografi awal Muhammad sering menggambarkan ketakjuban dan keterkejutan yang dialami orang-orang Arab ketika mereka pertama kali mendengarkan Al-Quran. Banyak yang berpindah agama seketika itu juga, karena percaya bahwa hanya Tuhanlah yang bisa menyusun langgam bahasa dengan keindahan yang menakjubkan itu. Sering pula seorang penganut baru menggambarkan pengalaman itu sebagai rasukan ilahi yang mengalirkan kerinduan terpendam dan membebaskan desakan-desakan perasaan. Demikianlah pengakuan pemuda Quraisy, seperti Umar ibn Khattab yang pernah menjadi musuh paling berbahaya bagi Muhammad; dia dahulunya penyembah setia dewa-dewa paganisme kuno dan siap untuk membunuh Nabi. Akan tetapi, tokoh Muslim yang bisa diibaratkan sebagai Saulus dari Tarsus ini beralih agama bukan karena melihat Yesus sang Firman, melainkan karena Al-Quran. Ada dua versi tentang kisah konversi Umar, keduanya berharga untuk dicatat. Versi pertama mengisahkan Umar mendapati saudara perempuannya, yang telah masuk Islam secara diam-diam, tengah menyimak pembacaan sebuah surah baru. "Omong kosong apa itu?" dia membentak dengan keras sembari menyerbu masuk ke dalam rumah, dan mengempaskan Fatimah yang malang ke tanah. Namun ketika dia melihat saudara perempuannya berdarah, Umar mungkin merasa bersalah, raut wajahnya berubah. Dia memungut naskah yang tak sengaja terjatuh karena 202 Keesaan: Tuhan Islam takut dari tangan pembaca Al-Quran yang didatangkan Fatimah ke rumah itu. Karena Umar termasuk di antara sedikit orang Quraisy yang bisa baca-tulis, dia pun mulai membacanya. Umar diakui memiliki autoritas dalam soal syair lisan bahasa Arab dan sering dimintai pendapat oleh para penyair tentang makna yang tepat dari bahasa itu, namun Umar belum pernah menjumpai sesuatu yang serupa dengan Al-Quran. "Betapa agung dan indahnya kalimat ini!" dia berkata dengan penuh rasa takjub, dan pada saat itu juga dia berpindah menganut agama Allah.18 Keindahan kata-kata Al-Quran telah menembus kebencian dan prasangka Umar ibn Khattab menuju pusat ketundukan yang belum pernah disadarinya. Kita semua telah memiliki pengalaman yang mirip, ketika sebuah puisi menyentuh rasa pengakuan yang berada pada tingkat yang lebih dalam daripada akal. Dalam versi lain tentang masuk Islamnya Umar, dikisahkan bahwa pada suatu malam dia bertemu Muhammad di Ka'bah, yang tengah melantunkan Al-Quran dengan suara perlahan di depan tempat suci itu. Karena merasa ingin mendengarkan firman-firman itu, Umar menyelinap ke bawah tirai yang menutupi bangunan kubus besar itu dan berjalan menyelinap hingga akhirnya tiba persis di depan Nabi. Seperti yang dikatakannya, "Tak ada sesuatu pun di antara kami berdua kecuali tirai penutup Ka'bah"—tak ada yang melindungi dirinya kecuali satu itu. Kemudian kekuatan gaib dari bahasa Arab itu mulai berpengaruh: "Ketika aku mendengar Al-Quran, hatiku menjadi lembut sehingga aku menangis dan kubiarkan Islam menyelinap memasuki jiwaku."19 Al-Quran menjadikan Tuhan bukan sebuah realitas mahaperkasa yang berada "jauh di luar sana". Al-Quran menghadirkan Tuhan di dalam pikiran, hati, dan wujud setiap orang yang beriman (mukmin). Pengalaman Umar dan umat Muslim lainnya yang tergugah untuk menganut Islam karena Al-Quran mungkin bisa diperbandingkan dengan pengalaman seni seperti yang diketengahkan oleh George Steiner dalam bukunya Real Presences: Is There Anything in What We Say? Steiner berbicara tentang apa yang disebutnya "penjalaran seni, sastra, dan musik serius" yang "mempertanyakan privasi terjauh eksistensi kita," invasi atau pewartaan yang menerobos ke dalam "relung kecil wujud kita" dan memerintahkan kita "ubahlah kehidupanmu!" Setelah panggilan itu, relung tersebut "tak lagi dapat dihuni dalam cara yang sama seperti sebelumnya."20 Muslim seperti Umar tampaknya mendapat pengalaman guncangan perasaan yang serupa, desakan 203 Sejarah Tuhan yang membangunkan dan mengusik, yang memampukan mereka menjalani keterputusan yang menyakitkan dengan tradisi masa lalu. Bahkan orang-orang Quraisy yang telah menolak Islam tak luput terguncang oleh Al-Quran dan menemukannya berada di luar semua kategori yang telah mereka kenal: tak ada sama sekali bagian Al-Quran yang mirip dengan inspirasi kahin atau penyair; juga sama sekali berbeda dari jampi tukang sihir. Beberapa kisah menunjukkan orangorang kuat Quraisy yang tetap bersikukuh dalam sikap menentang tampak gemetar ketika mendengar pembacaan sebuah surah. Muhammad seakan-akan telah menciptakan bentuk sastra baru yang belum siap diterima oleh sebagian orang namun mengguncangkan sebagian lainnya. Tanpa pengalaman tentang Al-Quran ini, hampir tidak mungkin bagi Islam untuk dapat mengakar. Kita telah menyaksikan bahwa orang Israel kuno membutuhkan waktu sekitar 700 tahun untuk memutuskan keterikatan dengan keyakinan lama mereka dan menerima monoteisme, tetapi Muhammad berhasil membantu orang Arab untuk melalui transisi yang sulit ini hanya dalam waktu dua puluh tiga tahun. Muhammad sebagai penyair dan nabi, dan Al-Quran sebagai naskah dan teofani, sungguh merupakan keadaan yang dengan sangat tepat mencontohkan konkurensi mendalam antara seni dan agama. Dalam tahun-tahun pertama misi kenabiannya, Muhammad berhasil menarik banyak pengikut dari generasi yang lebih muda, yang telah dikecewakan oleh etos kapitalistik Makkah, serta dari kelompokkelompok pinggiran dan tak beruntung, yang mencakup kaum wanita, para budak, dan anggota suku-suku yang lebih lemah. Pada suatu waktu, demikian sumber-sumber awal menyampaikan kepada kita, kelihatan seakan-akan seluruh Makkah bersedia menerima agama Allah yang baru diperkenalkan oleh Muhammad. Orang-orang kaya yang sudah mapan, yang lebih dari sekadar senang dengan keadaan status quo, sudah tentu bersikap tak peduli, namun tak ada perselisihan resmi dengan kaum Quraisy hingga ketika Muhammad melarang kaum Muslim untuk menyembah dewa-dewa pagan. Selama tiga tahun pertama tampaknya Muhammad tidak menekankan kandungan monoteistik dari risalahnya, dan orang-orang mungkin membayangkan bahwa mereka dapat terus menyembah dewa Arab tradisional selain Allah, sebagaimana yang biasa mereka lakukan. Namun, tatkala kultuskultus kuno ini mulai dicela sebagai pemberhalaan, Muhammad kehilangan banyak pengikutnya dan Islam kemudian menjadi keyakinan minoritas yang dianggap rendah dan dibenci. 204 Keesaan: Tuhan Islam Kita telah melihat bahwa kepercayaan kepada hanya satu Tuhan menuntut perubahan kesadaran yang menyakitkan. Seperti halnya orang-orang Kristen awal, kaum Muslim generasi pertama dituduh sebagai penganut "ateisme" yang membahayakan masyarakat. Di Makkah, di mana peradaban kota masih baru dan tentunya tampak sebagai keberhasilan yang rentan bagi kaum Quraisy yang amat bangga akan kecukupan dirinya, banyak yang merasakan ketakutan dan kegelisahan yang sama seperti dirasakan penduduk Roma yang pada awalnya menolak Kristen. Kaum Quraisy tampaknya merasa keterputusan dengan dewa-dewa leluhur mereka sebagai ancaman besar, dan tak lama kemudian nyawa Muhammad sendiri pun terancam. Para sarjana Barat biasanya menghubungkan keterputusan yang dialami kaum Quraisy ini dengan peristiwa fiktif Ayat-ayat Setan, yang menjadi terkenal sejak kasus tragis Salman Rushdie. Ada tiga sesembahan Arab kuno yang secara khusus disenangi oleh orang-orang Arab Hijaz, yaitu Al-Lat (yang secara sederhana berarti "Dewi") dan Al-Uzza (Yang Perkasa), masing-masing memiliki kuil suci di Thaif dan Nakhlah, sebelah tenggara Makkah, dan Manat (Sang Penentu), yang kuil sucinya bertempat di Qudaid, di pesisir Laut Merah. Sesembahan ini tidak sepenuhnya dipersonalisasikan seperti Juno atau Pallas Athene. Mereka sering disebut banat Allah, yang arti harfiahnya Anak Perempuan Allah, tetapi tidak merupakan sesembahan yang telah berkembang sepenuhnya. Orang Arab menggunakan istilah kekeluargaan seperti itu untuk menyatakan suatu hubungan yang abstrak: dengan demikian, banat al-dahr (harfiahnya "putri-putri nasib") sekadar bermakna ketidakberuntungan atau pasang surut kehidupan. Istilah banat Allah mungkin sekadar merujuk kepada "wujud-wujud suci". Sesembahan ini tidak diwakili oleh patung yang realistik di dalam kuil-kuil, tetapi oleh batu-batu besar yang berdiri tegak, seperti yang terdapat di kalangan orang Kanaan kuno. Batu itu tidak disembah oleh orang-orang Arab secara langsung, tetapi hanya menjadi sebuah fokus keilahian. Seperti Makkah dengan Ka'bahnya, kuil-kuil di Thaif, Nakhlah, dan Qudaid telah menjadi lambang spiritual yang penting di dalam hati orang-orang Arab. Nenek moyang mereka telah beribadah di sana sejak zaman antah-berantah, dan ini mereka memberi rasa ketersambungan yang melegakan. Kisah Ayat-ayat Setan tidak disebutkan di dalam Al-Quran maupun sumber-sumber lisan dan tertulis yang terdahulu. Kisah ini juga tidak tercantum di dalam Sirah Ibn Ishaq, biografi Nabi yang paling autoritatif, 205 Sejarah Tuhan tetapi hanya ditemukan di dalam karya sejarahwan abad kesepuluh, Abu Ja'far Al-Thabari (w. 923). Dia menceritakan kepada kita bahwa Muhammad mengkhawatirkan keretakan hubungan yang terjadi antara dirinya dengan sebagian besar anggota suku sejak dia melarang pemujaan terhadap dewi-dewi mereka. Lalu, Muhammad mengucapkan beberapa bait janggal yang mengizinkan banat Allah diagungkan sebagai perantara, seperti halnya para malaikat. Dalam bait-bait yang disebut sebagai "Ayat-ayat Setan" ini—karena konon diinspirasikan oleh "setan"—ketiga dewi itu tidak dipandang setara dengan Allah tetapi merupakan wujud spiritual lebih rendah yang bisa memohon kepada Allah, atas nama manusia. Akan tetapi, Al-Thabari kemudian berkata bahwa Jibril memperingatkan kepada Muhammad bahwa bait-bait tersebut berasal dari setan dan harus dikeluarkan dari Al-Quran untuk digantikan oleh ayat-ayat berikut ini yang menyatakan bahwa banat Allah hanyalah proyeksi dan isapan jempol imajinasi: Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah) .... Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan satu keterangan pun untuk (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.21 Ini adalah ayat-ayat yang paling radikal di antara semua ayat Al- Quran yang mencela dewa-dewa pagan leluhur kaum Quraisy. Setelah ayat ini dicantumkan di dalam Al-Quran maka tak ada lagi kesempatan rekonsiliasi dengan kaum Quraisy. Mulai saat ini, Muhammad menjadi seorang monoteis yang keras, dan syirk (secara harfiah berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain) menjadi dosa paling besar dalam pandangan Islam. Muhammad tidak memberi konsesi apa pun terhadap politeisme dalam peristiwa Ayat-ayat Setan—kalaupun peristiwa ini memang pernah terjadi. Juga tidak tepat untuk membayangkan bahwa keterlibatan "setan" itu membuat Al-Quran untuk sesaat telah dinodai oleh kejahatan: di dalam Islam, setan merupakan karakter yang lebih 206 Keesaan: Tuhan Islam dapat dikendalikan dibandingkan dengan.di dalam Kristen. Al-Quran menyatakan kepada kita bahwa setan-setan itu akan diampuni di Hari Akhir, dan orang Arab sering menggunakan kata "syaithan" untuk menyebut penggoda manusia atau godaan yang alamiah.22 Peristiwa itu bisa memberi indikasi tentang kesulitan yang tentu dialami oleh Muhammad ketika dia berusaha menurunkan taraf pesan suci yang tak terlukiskan ke dalam bahasa manusia: peristiwa itu dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran kanonikal yang menyatakan bahwa sebagian besar nabi-nabi lain juga pernah melakukan kekeliruan ucap yang serupa ketika menyampaikan pesan ilahi, namun Tuhan selalu meluruskan kesalahan mereka dan menurunkan wahyu yang baru dan lebih unggul sebagai penggantinya. Cara pandang alternatif dan lebih sekular terhadap hal ini adalah dengan melihat bahwa Muhammad merevisi karyanya di bawah bimbingan wawasan baru tak ubahnya seperti seorang pekerja kreatif seni. Sumber-sumber itu menunjukkan bahwa Muhammad secara mutlak menolak berkompromi dengan kaum Quraisy dalam soal keberhalaan. Dia adalah seorang yang pragmatis dan siap membuat konsesi dalam hal-hal yang dianggapnya tidak esensial. Akan tetapi, setiap kali kaum Quraisy memintanya untuk mengadopsi solusi yang memadukan tauhid dengan pemberhalaan, membiarkan mereka menyembah dewa-dewa leluhur mereka, sementara dia dan kaum Muslim menyembah Allah saja, Muhammad dengan keras menolak usulan itu. Seperti yang difirmankan di dalam Al-Quran: Aku tak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tak akan menyembah apa yang aku sembah ,.. bagimu agamamu dan bagiku agamaku/25 Kaum Muslim hanya akan tunduk kepada Allah saja dan tidak akan menyerah kepada objekobjek ibadat yang keliru—apakah itu dewa-dewa maupun nilai-nilai— seperti dianjurkan oleh orang-orang Quraisy. Persepsi tentang keunikan Tuhan merupakan basis moralitas Al- Quran. Menyembah benda-benda material atau meletakkan kepercayaan pada wujud yang lebih rendah adalah syirk (keberhalaan). Al-Quran menumpahkan celaan terhadap dewa-dewa pagan dalam cara yang sangat mirip dengan kitab suci Yahudi: dewa-dewa itu sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Dewa-dewa itu tak mampu memberikan makanan atau rezeki; tidak ada gunanya meletakkan mereka sebagai pusat dalam kehidupan seseorang karena mereka tidaklah berdaya. Sebaliknya, seorang Muslim juga harus yakin bahwa Allah adalah Realitas Tertinggi dan Unik: 207 Sejarah Tuhan Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia."24 Penganut Kristen seperti Athanasius juga berkeyakinan bahwa hanya Sang Pencipta, sumber segala wujud, yang memiliki kekuatan penebusan. Mereka telah mengungkapkan pandangan ini dalam doktrin Trinitas dan Inkarnasi. Al-Quran kembali kepada gagasan Semitik tentang ketunggalan ilahi dan menolak membayangkan bahwa Tuhan dapat "memperanakkan" seorang putra. Tak ada Tuhan kecuali Allah, Pencipta langit dan bumi. Hanya Allah yang dapat menyelamatkan manusia dan menganugerahkan rezeki fisik maupun spiritual yang dibutuhkan manusia. Hanya dengan mengakuinya sebagai Al- Shamad, "Penyebab yang Tidak Disebabkan atas segala sesuatu," kaum Muslim dapat mencapai sebuah dimensi realitas yang melampaui waktu dan sejarah, yang akan menghindarkan mereka dari perselisihan kesukuan yang memecah-belah masyarakat. Muhammad mengetahui bahwa monoteisme bertentangan dengan tribalisme: satu Tuhan yang menjadi fokus semua peribadatan akan mempersatukan masyarakat maupun individu. Namun, tak ada pandangan tentang Tuhan yang simplistik. Tuhan yang tunggal ini bukanlah suatu wujud seperti diri kita sendiri yang dapat kita ketahui dan pahami. Frasa "Allahu Akbar" (Tuhan Mahabesar!), yang menyeru kaum Muslim untuk melaksanakan shalat, menekankan perbedaan Tuhan dengan semua realitas lain, juga antara Tuhan dalam dirinya sendiri (Al-Dzat) dengan apa pun yang bisa kita katakan tentang dia. Sungguhpun demikian, Tuhan yang tidak bisa dipahami dan dijangkau ini telah berkehendak untuk membuat dirinya diketahui. Di dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan berfirman kepada Muhammad: "Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi; Aku ingin dikenal. Kemudian Aku ciptakan alam agar Aku bisa dikenal."25 Dengan merenungkan tanda-tanda (ayat) alam dan ayatayat Al-Quran, kaum Muslim dapat memperoleh kilasan aspek keilahian yang telah dituangkan di alam semesta, yang oleh Al-Quran disebut sebagai Wajah Allah (wajh Allah). Seperti kedua agama yang lebih tua, Islam menekankan bahwa kita hanya bisa melihat Tuhan melalui aktivitasnya, yang menyesuaikan wujudnya yang tak terlukiskan itu dengan pemahaman kita yang 208 terbatas. Al-Quran memerintahkan kaum Muslim untuk menanamkan kesadaran yang tak terputus tentang Wajah atau Zat Tuhan yang melingkupi mereka dari semua sisi: Ke manapun engkau berpaling, maka di sana akan ada Wajah Allah.26 Al-Quran memandang Tuhan sebagai yang Mutlak, pemilik eksistensi sejati: Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.21 Di dalam Al-Quran, disebutkan sembilan puluh sembilan nama atau sifat Tuhan. Ini menekankan bahwa dia "lebih besar", sumber dari semua kualitas positif yang kita jumpai di alam semesta. Dengan demikian, dunia menjadi ada hanya karena dia adalah Al-Ghani (kaya dan tak terbatas); memberi kehidupan (Al-Muhyi); mengetahui segala sesuatu (Al-'Alim), berbicara (Al-Kalim); tanpa dia, karenanya, takkan ada kehidupan, pengetahuan, atau kata-kata. Ini merupakan penegasan bahwa hanya Allah yang memiliki eksistensi yang sejati dan nilai positif. Sungguhpun demikian, tak jarang sifat-sifat itu kelihatannya seperti bertentangan satu sama lain. Misalnya, Tuhan adalah Al-Qahhar, yang mendominasi dan mematahkan tulang musuh-musuhnya, dan Al-Halim, yang sangat melindungi; Dia adalah Al-Qabid, yang menyempitkan, dan Al-Basit, yang melapangkan; Dia adalah Al-Khafidh, yang merendahkan, dan Al-Rafi', yang mengagungkan. Nama-nama Tuhan memainkan peran sentral dalam peribadatan Muslim: nama-nama itu dibaca, dihitung pada bulir-bulir tasbih, dan diucapkan seperti mantra. Semua ini mengingatkan kaum Muslim bahwa Tuhan yang mereka sembah tidak bisa dicakup oleh kategori-kategori manusia dan mengelak dari definisi yang sederhana. Rukun Islam yang pertama adalah syahadat, pengakuan keimanan seorang Muslim: "Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah." Ini bukan sekadar penegasan atas eksistensi Tuhan tetapi sebuah pengakuan bahwa Allah merupakan satu-satunya realitas sejati, satu-satunya bentuk eksistensi sejati. Dia adalah satu-satunya realitas, keindahan, atau kesempurnaan sejati: semua wujud yang terlihat ada dan memiliki sifat-sifat seperti ini hanya meminjam keberadaan dan sifat tersebut dari wujud esensial ini. Mengucapkan penegasan ini menuntut kaum Muslim untuk mengintegrasikan kehidupan mereka dengan menjadikan Allah sebagai fokus dan prioritas tunggal mereka. Penegasan tentang keesaan Allah bukan sekadar penyangkalan atas kelayakan dewa-dewa, seperti banat Allah untuk disembah. 209 Keesaan: Tuhan Islam Sejarah Tuhan Mengatakan bahwa Allah itu satu bukan sekadar sebuah definisi numerik, melainkan seruan untuk menjadikan keesaan itu sebagai faktor pengendali kehidupan individu dan masyarakat. Keesaan Tuhan dapat terpantul dalam diri yang benar-benar terintegrasi. Akan tetapi, keesaan ilahi juga menuntut kaum Muslim untuk menghargai aspirasi keagamaan lain. Karena hanya ada satu Tuhan, maka semua agama wahyu pasti berasal darinya. Kepercayaan pada Realitas tunggal dan tertinggi bisa dikondisikan secara kultural dan diungkapkan oleh masyarakat yang berbeda dengan cara-cara yang berbeda, tetapi fokus semua peribadatan sejati harus diinspirasikan oleh, dan diarahkan kepada, wujud yang oleh orang-orang Arab selalu disebut Allah. Salah satu nama Tuhan yang disebutkan di dalam Al-Quran adalah Al-Nur, cahaya. Dalam ayat-ayat yang terkenal ini, Tuhan adalah sumber semua pengetahuan dan sarana yang melaluinya manusia dapat menangkap kilasan tentang yang transenden: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti [ka], sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya (saja) hampirhampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya?28 Sisipan ka merupakan pengingat akan watak simbolik yang mendasar dalam setiap pembicaraan Al-Quran tentang Tuhan. Al- Nur, oleh karena itu, bukanlah Tuhan itu sendiri, tetapi merujuk kepada pencerahan yang dikaruniakannya pada suatu wahyu khusus (pelita) yang bersinar di hati seseorang (lubang). Cahaya itu sendiri tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan salah seorang pembawanya, tetapi berlaku sama untuk semua. Sebagaimana ditafsirkan oleh para mufasir Muslim sejak hari-hari awal Islam, cahaya merupakan simbol yang sangat baik bagi Realitas ilahi, yang mentransendensi ruang dan waktu. Citra pohon zaitun di dalam ayat ini telah ditafsirkan sebagai perumpamaan bagi kesinambungan wahyu, yang tumbuh dari satu "akar" dan bercabang menjadi berbagai pengalaman keagamaan yang tidak bisa diidentifikasi atau dibatasi pada satu tradisi atau lokasi tertentu: ia tidak berasal dari Timur maupun dari Barat. 210 Keesaan: Tuhan Islam Ketika Waraqah ibn Naufal yang beragama Kristen itu telah menyatakan bahwa Muhammad adalah seorang nabi sejati, baik dirinya sendiri maupun Muhammad tidak berharap agar dia masuk Islam. Muhammad tak pernah meminta orang Yahudi atau Kristen untuk menganut agama Allah kecuali jika mereka sendiri yang betul-betul menginginkannya, karena mereka telah memiliki kitab suci tersendiri yang juga autentik. Al-Quran tidak memandang pewahyuan sebagai pembatalan pesan-pesan dan pandangan-pandangan dari nabi terdahulu, tetapi justru menekankan kesinambungan pengalaman keagamaan umat manusia. Hal ini perlu ditegaskan karena toleransi bukanlah suatu kebajikan yang oleh banyak orang Barat masa kini dirasakan pantas untuk dinisbahkan kepada Islam. Namun sejak awal, cara pandang kaum Muslim terhadap wahyu tidaklah seeksklusif pandangan orang Yahudi atau Kristen. Sikap tidak toleran dalam Islam yang banyak dicela orang pada masa kini tidak tumbuh dari visi yang bersaing tentang Tuhan, tetapi dari sumber yang lain:29 kaum Muslim tidak toleran terhadap ketidakadilan, apakah itu dilakukan oleh pemimpin mereka sendiri—seperti Syah Muhammad Reza Pahlevi dari Iran—atau oleh negara-negara kuat di Barat. Al-Quran tidak mencela tradisi keagamaan lain sebagai hal yang keliru atau tidak lengkap, tetapi menunjukkan bahwa setiap nabi baru selalu meneguhkan dan melanjutkan pandangan para pendahulunya. Al-Quran mengajarkan bahwa Tuhan telah mengirim para utusan kepada setiap umat manusia di muka bumi: sebuah hadis menyebutkan adanya 124.000 nabi seperti itu, sebuah angka simbolik yang menunjukkan ketakterbatasan. Al-Quran berulang-ulang menyatakan bahwa yang disampaikannya bukanlah suatu risalah yang sama sekali baru dan bahwa kaum Muslim harus menekankan keserumpunan mereka dengan agama-agama yang lebih tua: Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri."30 Secara alamiah, Al-Quran memilih nabi-nabi yang terkenal di kalangan orang Arab—seperti Ibrahim, Nuh, Musa dan Isa, yang juga merupakan nabi-nabi Yahudi dan Kristen. Dalam kitab ini juga eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. 211 nurulkariem@yahoo.com Sejarah Tuhan disebutkan tentang Nabi Hud dan Saleh, yang telah diutus kepada orang-orang Arab kuno Madian dan Tsamud. Kaum Muslim zaman sekarang meyakini bahwa andaikan Muhammad telah mengenal orang Hindu dan Buddha, tentu beliau akan memasukkan pula guruguru religius mereka: setelah Nabi wafat mereka akan diberi kebebasan beragama sepenuhnya di dalam imperium Islam, sebagaimana yang berlaku bagi orang Yahudi dan Kristen. Berdasarkan prinsip yang sama, kaum Muslim berpendapat, Al-Quran juga akan menghormati para saman dan orang suci Indian Amerika atau orang Aborigin Australia. Keyakinan Muhammad akan kesinambungan pengalaman keagamaan segera mendapat ujian. Setelah perpecahan dengan kaum Quraisy, kehidupan menjadi sulit bagi umat Muslim di Makkah. Para budak dan orang-orang merdeka yang tidak memiliki perlindungan kesukuan harus menjalani siksaan berat sehingga sebagiannya menemui ajal di bawah perlakuan itu. Klan Hasyim diboikot dari ketersediaan pangan dalam upaya untuk membuat mereka tunduk. Dalam masa pengucilan inilah Khadijah, istri tercinta Muhammad, meninggal dunia. Akhirnya, nyawa Muhammad sendiri juga terancam. Kaum pagan Arab di pemukiman utara Yatsrib mengundang kaum Muslim untuk meninggalkan klan mereka dan beremigrasi ke sana. Ini benarbenar merupakan langkah yang belum pernah diambil oleh seorang Arab: suku telah menjadi nilai yang suci bagi orang Arab, penyeberangan semacam itu dipandang melanggar prinsip yang mendasar. Yatsrib sendiri telah tercabik-cabik oleh perang yang terus berkecamuk di antara berbagai kelompok suku, dan banyak kaum pagan yang siap menerima Islam sebagai solusi spiritual dan politik bagi persoalan yang mereka hadapi. Tiga suku Yahudi yang besar di pemukiman itu telah mempersiapkan pikiran kaum pagan untuk menerima monoteisme. Ini berarti mereka tidak akan setersinggung kaum Quraisy ketika dewa-dewa mereka direndahkan. Maka pada musim panas tahun 622, sekitar tujuh puluh orang Muslim dan keluarga mereka berangkat menuju Yatsrib. Setahun sebelum hijrah ke Yatsrib (atau Madinah, Kota, sebagaimana disebut oleh umat Muslim), Muhammad telah mengadaptasikan agamanya agar menjadi lebih dekat kepada Yudaisme sebagaimana yang dipahaminya. Setelah bertahun-tahun bekerja sendirian, dia tentunya menanti kesempatan untuk hidup berdampingan dengan para penganut tradisi yang lebih tua dan mapan. Kemudian kaum 212 Keesaan: Tuhan Islam Muslim diperintahkan untuk berpuasa pada Hari Penebusan Dosa bagi umat Yahudi. Orang Muslim dapat menikah dengan wanita Yahudi dan harus mematuhi beberapa aturan tentang makanan. Di atas semua itu, kaum Muslim kini shalat menghadap ke Yerusalem sebagaimana kaum Yahudi dan Kristen. Orang Yahudi Madinah adalah yang pertama bersedia memberikan kesempatan kepada Muhammad: kehidupan di oase itu telah menjadi sangat berat, dan seperti kebanyakan kaum pagan Madinah, mereka siap untuk memberi peluang baginya, terutama karena beliau bersikap sangat positif terhadap keyakinan mereka. Namun akhirnya, mereka beralih menentang Muhammad dan bergabung dengan kaum pagan yang memusuhi para pendatang baru dari Makkah itu. Kaum Yahudi memiliki alasan keagamaan dalam penolakan mereka: mereka berkeyakinan bahwa era kenabian telah berakhir. Mereka memang menanti seorang Mesias, namun tidak seorang pun dari kalangan Yahudi maupun Kristen pada tahap itu yang menduga bahwa sang Mesias itu adalah seorang nabi. Selain itu, mereka juga dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan politik: di masa lalu mereka telah memegang kekuasaan di oase itu dengan cara berpihak kepada salah satu suku Arab yang tengah bertikai. Namun, Muhammad telah menggabungkan sukusuku ini dengan kaum Quraisy untuk membentuk ummah Muslim yang baru, sejenis suku-super yang di dalamnya orang Yahudi ikut menjadi anggota. Begitu melihat posisi mereka mengalami kemunduran di Madinah, orang-orang Yahudi mengambil sikap bermusuhan. Mereka biasa berkumpul di masjid "untuk mendengarkan kisah-kisah kaum Muslim sambil tertawa dan mengejek mereka."31 Sangat mudah bagi mereka, dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi tentang kitab suci, untuk menemukan celah-celah dalam kisah-kisah Al- Quran—yang beberapa di antaranya sangat berbeda dari versi biblikal. Mereka juga mencemooh kenabian Muhammad, mengatakan bahwa sangatlah aneh jika seorang manusia yang mengaku nabi tidak mampu menemukan untanya yang hilang. Penolakan Yahudi terhadap Muhammad mungkin merupakan kekecewaan terbesar dalam hidupnya, dan menempatkan seluruh posisi keagamaannya dalam tanda tanya. Akan tetapi, sebagian Yahudi bersikap bersahabat dan bergabung dengan umat Muslim secara terhormat. Mereka mendiskusikan Alkitab dengan Muhammad dan menunjukkan kepadanya bagaimana cara menangkis kritik orangorang Yahudi lainnya. Pengetahuan baru tentang kitab suci ini juga 213 membantu Muhammad mengembangkan pandangan-pandangannya sendiri. Untuk pertama kalinya Muhammad mempelajari kronologi pasti para nabi, yang sebelumnya masih samar baginya. Kini, dia dapat melihat pentingnya Ibrahim hidup sebelum era Musa atau Isa. Sebelumnya Muhammad mungkin berpikir bahwa orang Yahudi dan Kristen itu menganut satu agama yang sama, tetapi kini dia telah belajar bahwa di antara mereka terdapat perbedaan pandangan yang serius. Bagi pengamat luar seperti orang-orang Arab, tampaknya tak banyak pilihan di antara kedua posisi itu, dan tampak masuk akal pula untuk membayangkan bahwa pengikut Taurat dan Injil telah memasukkan unsur-unsur yang tidak autentik ke dalam hanifiyyah— agama murni Ibrahim—seperti Hukum Lisan yang dikembangkan oleh para rabi dan doktrin Trinitas yang tak bisa diterima itu. Muhammad juga belajar bahwa di dalam kitab suci mereka sendiri, bangsa Yahudi disebut sebagai kaum yang tidak beriman, yang telah beralih kepada keberhalaan dengan menyembah patung Lembu Emas. Polemik tentang bangsa Yahudi di dalam Al-Quran cukup panjang lebar dan memperlihatkan betapa kaum Muslim telah merasa terancam akibat penolakan Yahudi ini, meskipun Al-Quran tetap mengajarkan bahwa tidak semua "kaum yang menerima wahyu terdahulu"32 telah terjerumus ke dalam kesesatan dan bahwa pada dasarnya semua agama itu satu. Dari orang-orang Yahudi Madinah yang bersikap bersahabat, Muhammad juga belajar tentang kisah Ismail, putra sulung Ibrahim. Di dalam Alkitab, Ibrahim mempunyai anak laki-laki dari selirnya Hajar yang, ketika Sarah melahirkan Ishak, menjadi sangat cemburu dan menuntut agar Ibrahim mengusir Hajar dan Ismail. Untuk menghibur Ibrahim, Tuhan berjanji bahwa Ismail juga akan menjadi bapak sebuah bangsa yang besar. Orang Yahudi Arab telah menambahkan legenda-legenda lokal mereka sendiri kepada kisah itu dengan menyatakan bahwa Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di lembah Makkah, dan Tuhan memberi perlindungan kepada mereka di sana dengan cara memancarkan mata air suci Zamzam ketika anak kecil itu nyaris mati kehausan. Kemudian, Ibrahim mengunjungi Ismail dan mereka berdua mendirikan Ka'bah, bangunan suci pertama bagi Tuhan Yang Esa. Ismail telah menjadi bapak bangsa Arab, dan, seperti halnya orang-orang Yahudi, mereka juga keturunan Ibrahim. Ini tentu merupakan sesuatu yang menyenangkan untuk didengar oleh Muhammad: setelah mempersembahkan kepada orang Arab kitab 214 Sejarah Tuhan Keesaan: Tuhan Islam suci dalam bahasa mereka sendiri, sekarang dia pun telah menemukan akar keimanan mereka dalam keyakinan para leluhur. Pada Januari 624, ketika semakin jelas bahwa permusuhan orang Yahudi Madinah bersifat permanen, agama baru ini menegaskan kemandiriannya. Kaum Muslim diperintahkan untuk melaksanakan shalat dengan berkiblat ke Ka'bah, bukan lagi ke Yerusalem. Perubahan arah kiblat shalat ini telah disebut sebagai langkah keagamaan Muhammad yang paling kreatif. Dengan menghadapkan diri ke arah Ka'bah, yang bebas dari pengaruh kedua wahyu terdahulu, kaum Muslim secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak beraliansi dengan agama mana pun yang sudah ada sebelumnya, tetapi menyerahkan diri mereka hanya kepada Allah semata. Mereka justru kembali ke agama primordial Ibrahim, muslim pertama yang menyerahkan diri kepada Allah dan mendirikan rumah sucinya: Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk."Katakanlah: "Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) darigolongan orang musyrik." Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan lsa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."33 Sungguh adalah perbuatan syirk jika orang lebih memilih tafsiran tentang kebenaran yang semata berasal dari manusia daripada Tuhan itu sendiri. Kaum Muslim menghitung awal kalender mereka tidak dari tahun kelahiran Muhammad atau dari tahun turunnya wahyu pertama— karena memang tak ada sesuatu yang baru dalam hal-hal ini— melainkan dari tahun terjadinya peristiwa Hijrah (migrasi ke Madinah) ketika kaum Muslim mulai menjalankan rencana ilahi dalam sejarah dengan menjadikan Islam sebuah realitas politik. Kita telah menyaksikan bahwa Al-Quran mengajarkan bahwa semua umat beragama mengemban tugas menegakkan masyarakat yang adil dan merata, dan kaum Muslim berupaya menjalankan panggilan politis ini dengan sangat serius. Sejak awal Muhammad tidak pernah bermaksud menjadi seorang pemimpin politik, tetapi kejadian-kejadian yang tak pernah 215 Sejarah Tuhan terduga sebelumnya telah mendorongnya masuk ke dalam solusi politik yang sepenuhnya baru bagi orang Arab. Selama sepuluh tahun antara Hijrah hingga wafatnya pada tahun 632, Muhammad dan kaum Muslim generasi pertama terlibat dalam pertempuran tragis untuk bertahan melawan musuh-musuh di Madinah dan kaum Quraisy di Makkah, yang semuanya begitu bernafsu untuk menghancurkan ummah. Di Barat, Muhammad sering ditampilkan sebagai panglima perang, yang mendesakkan Islam kepada dunia yang enggan menerimanya dengan kekuatan militer. Namun kenyataannya sungguh berbeda. Muhammad berperang untuk mempertahankan nyawanya, sambil mengembangkan sebuah teologi peperangan demi keadilan menurut Al-Quran yang tentunya bisa disepakati kebanyakan orang Kristen, dan tidak pernah memaksa siapa pun untuk berpindah ke agamanya. Al-Quran pun dengan tegas menyatakan bahwa "tak ada paksaan dalam beragama." Di dalam Al-Quran perang dipandang sebagai sesuatu yang mesti dijauhi: satu-satunya perang yang diizinkan adalah perang untuk mempertahankan diri. Kadangkala perang diperlukan untuk menegakkan nilai-nilai yang pantas, sebagaimana orang Kristen meyakini tentang perlunya perang melawan Hitler. Muhammad memiliki bakat politik tingkat tinggi. Di akhir hayatnya, mayoritas sukusuku Arab telah bergabung ke dalam ummah, meskipun, seperti yang diketahui persis oleh Muhammad, islam mereka kebanyakan masih bersifat nominal atau di permukaan saja. Pada tahun 630, Makkah membuka pintu gerbangnya kepada Muhammad yang berhasil mengambil alih kota itu tanpa pertumpahan darah. Pada tahun 632, beberapa saat sebelum wafat, Muhammad melaksanakan apa yang disebutnya Hujjatul Wada' (Haji Perpisahan). Dalam kesempatan itu, beliau melakukan Islamisasi atas ritus hajj kaum pagan Arab kuno dan menjadikan ziarah yang sangat disenangi orang-orang Arab ini sebagai rukun Islam yang kelima. Setiap Muslim berkewajiban melaksanakan ibadah haji setidaktidaknya satu kali dalam seumur hidup jika mampu. Secara alamiah para jamaah haji akan mengenang Muhammad, tetapi ritus-ritus itu telah ditafsirkan untuk mengingatkan mereka kembali kepada Ibrahim, Hajar, dan Ismail daripada Nabi mereka sendiri. Meski kelihatan ganjil bagi orang luar—seperti halnya ritus religius dan sosial asing lainnya—ritus ini mampu membangkitkan pengalaman keagamaan yang kuat dan dengan sempurna mengekspresikan aspek-aspek 216 Keesaan: Tuhan Islam komunal dan personal dari spiritualitas Islam. Pada masa sekarang, banyak di antara jamaah haji yang berkumpul pada waktu tertentu di Makkah bukanlah orang Arab, namun mereka telah mampu mengubah upacara Arab kuno itu menjadi tradisi mereka sendiri. Ketika berkumpul di Ka'bah, mengenakan pakaian ihram yang menghilangkan semua perbedaan ras atau kelas sosial, mereka merasa terbebas dari jerat egoistik kehidupan sehari-hari dan menyatu di dalam sebuah komunitas yang memiliki satu fokus dan orientasi. Mereka bersamasama menggemakan: "Aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah," sebelum berthawaf mengelilingi bangunan suci itu. Makna esensial dari ritus ini dipaparkan dengan baik oleh Ali Syari'ati, filosof Iran kontemporer: Tatkala berthawaf dan bergerak mendekati Ka'bah, engkau akan merasa bagaikan anak sungai yang bergabung dengan sebuah sungai besar. Dihanyutkan ombak, kautak bisa menyentuh tanah. Engkau tibatiba mengambang, terbawa oleh arus itu. Ketika semakin mendekat ke pusat, tekanan dari keramaian orang mendesak begitu kuat sehingga engkau seakan-akan diberi sebuah kehidupan baru. Kini engkau menjadi bagian dari Orang Banyak; kini engkau adalah seorang Manusia, hidup dan abadi ... Ka'bah adalah mentari dunia yang wajahnya menarik engkau masuk ke dalam orbitnya. Engkau telah menjadi bagian dari sistem universal ini. Dengan berthawaf mengelilingi Allah, engkau akan segera terlupa pada did sendiri ... Engkau telah berubah menjadi partikel yang perlahan-lahan lebur dan sirna. Ini adalah puncak cinta absolut.34 Orang Yahudi dan Kristen juga telah menekankan spiritualitas komunitas. Ibadah haji menawarkan kepada setiap individu Muslim pengalaman integrasi personal dalam konteks ummah, dengan Tuhan sebagai porosnya. Seperti dalam kebanyakan agama, perdamaian dan keselarasan merupakan tema-tema ziarah yang penting, dan ketika jamaah haji memasuki tempat suci itu, kekerasan dalam berbagai bentuknya dilarang. Jamaah haji bahkan tidak diperbolehkan membunuh serangga atau mengucapkan kata yang kasar. Oleh sebab itu, seluruh Dunia Islam merasa terkejut ketika pada musim haji tahun 1987, jamaah dari Iran menyulut kerusuhan sehingga 402 orang terbunuh dan 649 orang luka-luka. Muhammad wafat secara tiba-tiba setelah menderita sakit yang tidak lama pada tahun 632. Setelah wafatnya, beberapa orang Badui 217 berusaha melepaskan diri dari ummah, tetapi kesatuan politik di Arabia tetap terjaga. Akhirnya, suku-suku yang keras kepala pun menerima agama Tuhan yang satu: keberhasilan Muhammad yang menakjubkan itu telah menunjukkan kepada orang-orang Arab bahwa paganisme yang telah melayani mereka dengan baik selama berabadabad sudah tidak sesuai lagi untuk dunia modern. Agama Allah memperkenalkan etos kasih sayang yang merupakan ciri agama yang lebih maju: persaudaraan dan keadilan sosial merupakan kebajikan yang diutamakannya. Egalitarianisme yang kuat akan senantiasa mencirikan cita-cita Islam. Dalam masa kehidupan Muhammad, cita-cita ini juga mencakup persamaan gender. Pada zaman sekarang telah menjadi kecenderungan umum di Barat untuk menggambarkan Islam sebagai agama yang secara inheren bersifat misoginis, tetapi, sebagaimana Kristen, agama Allah pada dasarnya berpandangan positif terhadap perempuan. Pada masa jahiliah, periode pra-Islam, bangsa Arab telah melestarikan sikap terhadap perempuan yang telah berlaku sejak sebelum Zaman Kapak. Poligami, misalnya, menjadi kelaziman, dan istri-istri tetap tinggal di rumah bapaknya. Kaum wanita elit memiliki kekuasaan dan prestise yang besar—istri pertama Muhammad, Khadijah, misalnya, adalah pedagang yang berhasil—tetapi mayoritas memiliki kedudukan yang setara dengan budak; mereka tak memiliki hak politik maupun hak asasi, dan pembunuhan bayi perempuan berlaku di mana-mana. Kaum wanita termasuk di antara para pengikut awal Muhammad, dan emansipasi mereka menjadi proyek yang diprioritaskannya. Al-Quran secara tegas melarang pembunuhan anak-anak perempuan dan mencela orang-orang Arab yang bersedih jika mendapat anak perempuan. Al-Quran juga memberikan perempuan hakhak hukum dalam soal warisan dan perceraian: kebanyakan wanita Barat tak memiliki sesuatu yang setara dengan ini hingga abad kesembilan belas. Muhammad mendorong wanita untuk berperan aktif dalam urusanurusan ummah. Mereka berani mengungkapkan pendapat, karena yakin bahwa suara mereka akan diperhatikan. Dalam suatu kesempatan, misalnya, kaum wanita Madinah pernah mengeluh kepada Nabi bahwa kaum pria melebihi mereka dalam mempelajari Al- Quran dan meminta beliau untuk membantu mereka mengejar ketertinggalan itu. Ini dipenuhi oleh Muhammad. Salah satu pertanyaan mereka yang paling penting adalah mengapa Al-Quran hanya 218 Sejarah Tuhan Keesaan: Tuhan Islam menyapa kaum pria saja padahal wanita juga taat kepada Tuhan. Hasilnya adalah turunnya wahyu yang menyapa kaum wanita seperti halnya kaum pria dan menekankan persamaan moral dan spiritual kedua jenis itu.35 Sejak itu Al-Quran cukup sering menyapa kaum wanita secara eksplisit, sesuatu yang jarang terjadi di dalam kitab suci Yahudi maupun Nasrani. Sayangnya, sebagaimana yang terjadi pada Kristen, agama kemudian dibajak oleh kaum pria yang menafsirkan teks-teks itu dengan cara yang berpandangan negatif terhadap kaum wanita. Al-Quran tidak menetapkan hijab kecuali atas istri Muhammad, sebagai penanda atas status mereka. Akan tetapi, begitu Islam menempati posisinya di dalam dunia berperadaban, kaum Muslim mengadopsi adat Oikumene yang menempatkan kaum wanita pada status warga kelas dua. Mereka mengadopsi kebiasaan Persia dan Kristen Byzantium untuk menutup wajah kaum wanita dan mengurung mereka di dalam harem. Dengan cara ini kaum wanita menjadi terpinggirkan. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah (750-1258), kedudukan kaum wanita Muslim menjadi sama jeleknya dengan rekan-rekan mereka di kalangan masyarakat Yahudi dan Kristen. Pada masa sekarang, para feminis Muslim menuntut kaum pria untuk kembali kepada semangat asli Al-Quran. Ini mengingatkan kita bahwa, seperti agama-agama lain, Islam dapat ditafsirkan ke dalam sejumlah cara yang berbeda; akibatnya berkembanglah berbagai sekte dan aliran. Yang pertama di antaranya —yakni antara Sunnah dan Syiah—terbentuk dalam persaingan memperebutkan kepemimpinan politik setelah mangkatnya Muhammad yang terjadi secara tiba-tiba itu. Abu Bakar, sahabat dekat Muhammad, mendapat dukungan mayoritas, namun sebagian orang yakin bahwa sebenarnya Nabi sendiri telah menghendaki Ali ibn Abi Thalib, saudara sepupu dan menantunya, untuk menjadi penggantinya (khalifah). Ali sendiri menerima kepemimpinan Abu Bakar, tetapi selama beberapa tahun kemudian dia tampaknya telah menjadi fokus kesetiaan orang-orang yang tidak menyetujui kebijakan tiga khalifah pertama: Abu Bakar, Umar ibn Khattab, dan Usman ibn Affan. Akhirnya Ali menjadi khalifah keempat pada tahun 656: orang Syiah menyebutnya Imam atau Pemimpin pertama ummah. Karena menyangkut soal kepemimpinan, perpecahan Sunni dan Syii lebih bersifat politik ketimbang doktrinal, dan ini menandai makna penting politik di dalam Islam, termasuk konsepsinya tentang Tuhan. Syiah Ali (para pengikut Ali) tetap menjadi minoritas dan 219 Sejarah Tuhan mengembangkan keteguhan menentang, ditipologikan oleh figur tragis Husain ibn Ali, cucu Muhammad, yang menolak mengakui Bani Umayah (yang merebut tampuk kekhalifahan setelah wafatnya Ali ibn Abi Thalib). Husain dibunuh bersama dengan sejumlah kecil pendukungnya oleh khalifah Yazid pada tahun 680 di Padang Karbala, dekat Kufah di wilayah Irak modern. Semua umat Muslim menganggap pembunuhan tak bermoral atas Husain ini sebagai horor yang menakutkan. Husain menjadi pahlawan di kalangan Syiah dan pengingat akan perlunya menentang tirani sekalipun hingga mengurbankan nyawa. Pada masa itu, kaum Muslim telah mulai mendirikan imperium mereka. Empat khalifah pertama telah memusatkan perhatian pada penyebaran Islam ke imperium Persia dan Byzantium yang kala itu tengah mengalami kemunduran. Baru kemudian di bawah pemerintahan Umayah, ekspansi berlanjut hingga mencapai'kawasan Asia dan Afrika Utara. Ekspansi itu kini tidak saja diilhami oleh agama, tetapi juga oleh semangat imperialisme Arab. Tak seorang pun di dalam imperium baru itu dipaksa menganut Islam; bahkan, selama satu abad setelah wafatnya Muhammad, perpindahan agama tidak terlalu diupayakan dan, sekitar tahun 700, justru dilarang secara hukum: kaum Muslim pada saat itu berkeyakinan bahwa Islam diturunkan hanya untuk orang Arab, seperti halnya Yudaisme hanya untuk anak-anak Yakub. Sebagai Ahli Kitab, orang Yahudi dan Kristen diberi kebebasan beragama sebagai dzimmi, kelompok minoritas yang dilindungi. Ketika khalifah Abbasiyah mulai mengupayakan perpindahan agama, banyak orang Semit dan Aria yang hidup di dalam imperium bersemangat menerima agama baru itu. Keberhasilan ini bagi Islam sama formatifnya dengan penyaliban Yesus di dalam Kristen. Politik bukanlah sesuatu yang berada di luar kehidupan keagamaan pribadi seorang Muslim, seperti dalam Kristen yang menaruh curiga terhadap kesuksesan duniawi. Kaum Muslim memandang diri mereka berkewajiban untuk mewujudkan masyarakat yang adil sesuai dengan kehendak Tuhan. Ummah memiliki makna sakramental sebagai "tanda" bahwa Tuhan telah merahmati upaya membebaskan manusia dari penindasan dan ketidakadilan; kesehatan politik ummah dalam spiritualitas kaum Muslim menempati posisi yang hampir sama dengan suatu pilihan teologis (Katolik, Protestan, Metodis, Baptis) dalam kehidupan seorang Kristen. Jika orang Kristen merasa aneh dengan pandangan politik Muslim, mereka mesti.sadar bahwa 220 Keesaan: Tuhan Islam kegemaran mereka untuk terlibat dalam perdebatan teologis yang musykil kelihatan sama anehnya menurut pandangan orang Yahudi dan Muslim. Oleh karena itu, pada tahun-tahun awal sejarah Islam, spekulasi tentang kodrat Tuhan sering lahir dari perbincangan politik tentang kekhalifahan dan kekuasaan. Perdebatan intelektual tentang siapa dan bagaimana seseorang harus memimpin ummah merupakan perdebatan penting dalam Islam yang dapat disetarakan dengan perdebatan soal manusia Yesus dan hakikatnya di dalam Kristen. Setelah periode empat khalifah pertama, kaum Muslim menyadari bahwa kini mereka hidup di dunia yang sangat berbeda dari masyarakat Madinah yang kecil dan terus-terusan berperang itu. Kini mereka adalah penguasa di sebuah imperium yang terus berkembang, dan pemimpin-pemimpin mereka tampak termotivasi oleh keduniaan dan ketamakan. Para aristokrat dan penghuni istana hidup dalam kemewahan dan korupsi, sangat berbeda dari kehidupan sederhana yang dijalani Nabi dan para Sahabatnya. Kaum Muslim yang paling saleh menentang pihak penguasa dengan pesan sosialis Al-Quran dan berupaya menjadikan Islam tetap relevan dengan kondisi baru itu. Berbagai paham dan sekte-sekte yang berbeda bermunculan. Solusi yang paling populer ditawarkan oleh para fuqaha dan ahli hadis yang berupaya untuk kembali kepada idealisme Muhammad dan khulafa' al-rasyidun. Ini mengakibatkan pembentukan hukum syariat, undang-undang serupa Taurat yang didasarkan pada Al-Quran serta kehidupan dan ucapan Nabi. Pada saat itu telah beredar sejumlah besar tradisi lisan tentang ucapan (Hadis) dan perbuatan (Sunnah) Muhammad dan para Sahabatnya. Tradisi-tradisi ini telah dikumpulkan selama abad kedelapan dan kesembilan oleh sejumlah editor. Yang paling terkemuka di antara mereka adalah Ismail Al-Bukhari dan Muslim ibn Al-Hijjaj Al-Qusyairi. Karena Muhammad diyakini telah berserah diri secara sempurna kepada Allah, dia menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari kaum Muslim. Meneladani cara Muhammad berbicara, mencintai, makan, membersihkan diri, dan beribadah, dapat membantu kaum Muslim untuk menjalani kehidupan yang peka terhadap keilahian. Dengan menjalani hidup seperti Nabi, mereka berharap untuk mencapai ketundukan batin Nabi kepada Allah. Maka ketika seorang Muslim mengikuti sunnah dengan saling mengucapkan "Assalamu'alaikum" (semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu) sebagaimana yang biasa dilakukan Nabi, ketika mereka bersikap 221 baik terhadap binatang, menyantuni anak yatim dan fakir miskin, berbuat baik dan jujur dalam pergaulan mereka dengan orang lain sebagai tindakan yang meneladani Nabi, mereka menjadi ingat kepada Allah. Tindakan lahiriah ini tidak dipandang sebagai tujuan akhir, melainkan hanya sebagai sarana untuk mencapai takwa, "kesadaran akan Allah" yang diterangkan dalam Al-Quran dan dijalani oleh Nabi, berupa ingatan yang tak henti-hentinya kepada Tuhan (zikir). Banyak perdebatan di sekitar kesahihan Sunnah dan Hadis: sebagian di antaranya dianggap lebih autentik daripada yang lain. Akan tetapi, sesungguhnya persoalan keabsahan historis dapat dikesampingkan jika dihadapkan dengan fakta betapa efektifnya tradisi-tradisi itu, yang telah terbukti mampu menghadirkan rasa sakramental tentang yang ilahi dalam kehidupan jutaan umat Muslim selama berabad-abad. Hadis atau kumpulan ajaran Nabi selain berkenaan dengan persoalan sehari-hari, juga menyangkut persoalan metafisika, kosmologi, dan teologi. Sebagian dari ajaran ini diyakini merupakan firman Tuhan sendiri kepada Muhammad (hadis qudsi). Hadis qudsi menekankan kedekatan dan kehadiran Tuhan di dalam diri seorang yang beriman. Salah satu hadis terkenal, misalnya, menguraikan tahapan-tahapan pemahaman seorang Muslim tentang kehadiran ilahi yang seolah hampir berinkarnasi dalam dirinya: dimulai dengan menaati perintahperintah Al-Quran dan syariat, lalu meningkat ke arah amal baik yang dilakukan secara sukarela: Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan (mengamalkan) apa yang paling Aku sukai dari yang Kuwajibkan kepadanya. Dan tidaklah seorang hamba-Ku selalu mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan (mengamalkan) perbuatan-perbuatan yang dianjurkan terkecuali Aku akan mencintainya. Maka jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi telinganya (yang dipergunakannya) untuk mendengar, matanya untuk melihat, tangannya untuk memegang, dan kakinya untuk berjalan.36 Sebagaimana dalam Yudaisme dan Kristen, Tuhan yang transenden juga merupakan kehadiran imanen yang dapat ditemukan di dunia. Seorang Muslim dapat menanamkan rasa kehadiran ilahi ini melalui cara-cara yang sangat mirip dengan yang ditemukan oleh kedua agama yang lebih tua itu. Seorang Muslim yang menegakkan kesalehan berdasarkan teladan Muhammad secara umum disebut sebagai ahl al-hadits, kaum 222 Sejarah Tuhan Keesaan: Tuhan Islam tradisionis. Mereka menarik bagi orang awam karena etika mereka yang sangat egalitarian. Mereka menentang kemewahan pemerintahan Dinasti Umayah dan Abbasiyah, tetapi bukan dalam bentuk taktiktaktik revolusioner Syiah. Mereka tidak percaya bahwa khalifah haruslah seorang yang memiliki kualitas spiritual yang luar biasa: khalifah hanyalah seorang administrator pemerintahan. Sungguhpun demikian, dengan menekankan kesucian Al-Quran dan Sunnah, setiap Muslim memiliki sarana untuk berhubungan langsung dengan Tuhan dan berpotensi untuk menjadi sangat kritis terhadap kekuatan absolut. Tak dibutuhkan kasta pendeta untuk bertindak sebagai perantara. Setiap Muslim bertanggung jawab di hadapan Tuhan atas nasib dan peruntungannya sendiri. Di atas segalanya, kaum tradisionis mengajarkan bahwa Al-Quran adalah sebuah realitas abadi, seperti halnya Taurat atau Logos, yang dalam beberapa hal menyangkut Tuhan itu sendiri; realitas itu telah bersemayam di dalam pikirannya jauh sebekim waktu berawal. Doktrin mereka tentang ketakterciptaan Al-Quran mengandung pengertian bahwa ketika kitab itu dibaca, umat Muslim bisa secara langsung mendengar Tuhan Yang Mahagaib. Al-Quran mewakili kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka. Firmannya berada di bibir mereka pada saat mereka membaca kata-kata suci di dalam kitab itu, dan ketika mereka memegang mushaf Al-Quran, mereka seakan-akan menyentuh kesucian itu sendiri. Orang Kristen terdahulu memiliki gagasan tentang manusia Yesus dalam cara yang sama: Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup— itulah yang kami tuliskan kepada kamu.37 Pembahasan tentang status pasti Yesus, sang Firman, telah sangat menyibukkan orang Kristen. Kini kaum Muslim pun mulai memperdebatkan sifat Al-Quran: dalam pengertian yang bagaimana naskah berbahasa Arab itu menjadi Firman Tuhan? Sebagian Muslim memandang pengagungan Al-Quran sebagai sesuatu yang berlebihan seperti halnya kelompok Kristen yang tidak bisa menerima gagasan bahwa Yesus adalah inkarnasi Logos. 223 Sejarah Tuhan Akan tetapi, Syiah secara perlahan-lahan mengembangkan gagasan yang lebih dekat kepada konsep Inkarnasi Kristen. Setelah kematian Husain yang tragis, orang Syiah semakin yakin bahwa hanya keturunan ayah Husain, yakni Ali ibn Abi Thalib, yang mesti memimpin ummah, dan mereka menjadi sekte yang semakin terlihat jelas di dalam Islam. Sebagai sepupu dan menantunya, Ali memiliki hubungan darah ganda dengan Muhammad. Karena tidak seorang pun dari putra Muhammad yang bertahan hidup, Ali menjadi kerabat laki-laki utamanya. Di dalam Al-Quran, Nabi sering memohonkan rahmat bagi keturunannya. Orang Syiah memperluas pengertian tentang rahmat suci ini dan berkeyakinan bahwa hanya anggota keluarga Nabi melalui garis keluarga Ali saja yang memiliki pengetahuan ('ilm) sejati tentang Tuhan. Hanya mereka yang mampu memberikan bimbingan suci kepada ummah. Jika seorang keturunan Ali berkuasa, kaum Muslim dapat berharap akan menapaki zaman keemasan bagi keadilan dan ummah akan dibimbing sesuai dengan kehendak Tuhan. Antusiasme terhadap pribadi Ali berkembang dalam cara yang mengejutkan. Beberapa kelompok Syiah radikal meninggikan Ali dan keturunannya ke tingkat yang bahkan lebih tinggi daripada Muhammad sendiri dan memberi mereka status semi-ilahiah. Mereka mengambil tradisi Persia kuno mengenai keluarga pilihan keturunandewa yang akan mewarisi kemuliaan suci dari satu generasi ke generasi. Menjelang akhir periode Umayah, sebagian orang Syiah mulai berkeyakinan bahwa 'ilm yang autoritatif hanya dapat ditemukan dalam satu garis keturunan Ali tertentu. Kaum Muslim hanya mungkin mendapati pribadi yang dipilih oleh Tuhan sebagai imam (pemimpin) sejati bagi ummah di dalam keluarga ini. Apakah pribadi itu berkuasa secara politis atau tidak, bimbingannya tetap dibutuhkan secara mutlak sehingga setiap Muslim berkewajiban untuk mencarinya dan menerima kepemimpinannya. Karena imam-imam ini dipandang sebagai sumber perpecahan, para khalifah menganggap mereka musuh negara: menurut kaum Syiah, sebagian dari imam itu diracuni dan sebagian lainnya terpaksa menyembunyikan diri. Ketika seorang imam wafat, dia akan memilih satu di antara keturunannya untuk menerima warisan 'ilm. Lambat laun, para imam itu dipuja sebagai avatar ilahi: masing-masing mereka menjadi "bukti" (hujjah) kehadiran Tuhan di bumi dan, dalam pengertian yang misterius, membuat yang ilahi berinkarnasi di dalam diri manusia. Kata-katanya, keputusan dan perintah-perintahnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana orang 224 Keesaan: Tuhan Islam Kristen memandang Yesus sebagai Jalan, Kebenaran, dan Cahaya yang bisa membimbing manusia menuju Tuhan, orang Syiah memuja imam-imam mereka sebagai Gerbang (bab) menuju Tuhan, Jalan (sabil), dan Pembimbing setiap generasi. Berbagai aliran Syiah mengurai silsilah suci itu secara berbedabeda. Syiah Dua Belas Imam, misalnya, memuliakan dua belas keturunan Ali lewat garis Husain, hingga pada tahun 939, imam terakhir bersembunyi dan menghilang dari masyarakat; tak ada lagi keturunan setelah dia, sehingga garis itu pun terputus. Syiah Ismailiyah, yang dikenal pula sebagai Syiah Tujuh, meyakini bahwa imam ketujuh dalam garis inilah yang merupakan imam terakhir. Paham tentang Al-Mahdi muncul di kalangan Syiah Dua Belas yang meyakini bahwa imam kedua belas atau imam yang gaib itu akan kembali untuk menahbiskan zaman kegemilangan. Ini merupakan gagasan yang berbahaya. Bukan hanya subversif secara polilis, tetapi gagasan ini cenderung untuk ditafsirkan secara kasar dan gampangan. Oleh karena itu, kalangan Syiah yang lebih ekstrem mengembangkan tradisi esoterik berdasarkan penafsiran simbolik terhadap Al-Quran, seperti yang akan kita saksikan pada bab mendatang. Keyakinan mereka terlalu musykil bagi mayoritas Muslim, yang tidak dapat menerima gagasan tentang inkarnasi, sehingga Syiah biasanya terdapat di kalangan kelas yang lebih aristokratis dan intelektual. Sejak revolusi Iran, orang Barat cenderung melihat Syiah sebagai sekte Islam yang secara inheren bersifat fundamentalis. Ini penilaian yang tidak akurat. Syiah telah berkembang menjadi tradisi yang canggih. Sesungguhnya, Syiah memiliki banyak kesamaan dengan kaum Muslim yang secara sistematik berupaya mengaplikasikan argumen-argumen rasional terhadap Al-Quran. Kaum rasionalis ini, yang dikenal sebagai Mu'tazilah, membentuk kelompok tersendiri; mereka juga memiliki komitmen politik yang teguh: seperti kaum Syiah, orang-orang Mu'tazilah sangat kritis terhadap gaya hidup mewah para penguasa dan sering aktif secara politis menentang kemapanan. Persoalan politik mengilhami perdebatan teologis tentang pengaturan Tuhan atas urusan-urusan manusia. Para pendukung Dinasti Umayah secara tidak jujur mengklaim bahwa perilaku tidak Islami mereka bukan merupakan kesalahan mereka, melainkan karena Tuhan telah menakdirkan mereka untuk menjadi jenis manusia yang demikian. Al-Quran memiliki konsepsi yang sangat kukuh tentang kemahakuasaan Tuhan, dan banyak teks yang bisa dipakai untuk mendukung 225 Sejarah Tuhan pandangan predestinasi ini. Namun, Al-Quran secara seimbang menekankan tentang tanggung jawab manusia: Sesungguhnya, Tuhan tidak akan mengubah keadaan mereka kecuali mereka mengubahnya sendiri. Oleh karena itu, para pengkritik kelompok penguasa menekankan kehendak bebas dan tanggung jawab moral. Penganut Mu'tazilah mengambil jalan tengah dan melepaskan diri (i'tazala) dari posisi ekstrem. Mereka membela kehendak bebas dengan tujuan memelihara watak etis manusia. Seorang Muslim yang meyakini bahwa Tuhan berada di atas pandangan manusia tentang benar dan salah berarti tidak mempercayai keadilannya. Tuhan yang melanggar semua prinsip yang masuk akal hanya karena dia adalah Tuhan justru lebih parah daripada seorang khalifah tiran. Sebagaimana kaum Syiah, Mu'tazilah juga menyatakan bahwa keadilan adalah esensi Tuhan: dia tidak dapat menzalimi seseorang; dia tidak dapat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan akal. Di sini mereka memasuki perbedaan pendapat dengan kaum tradisionis yang berpandangan bahwa dengan menjadikan manusia sebagai penentu dan pencipta perbuatannya sendiri maka orangorang Mu'tazilah telah merendahkan kekuasaan Tuhan. Mereka menuduh kaum Mu'tazilah telah menjadikan Tuhan terlalu rasional dan sangat mirip dengan seorang manusia. Kelompok tradisionis menganut doktrin predestinasi dengan maksud menekankan kodrat Tuhan yang secara esensial tidak bisa dipahami: kalau kita mengklaim dapat memahaminya, tentu itu bukanlah Tuhan tetapi sekadar proyeksi pikiran manusia. Tuhan melampaui segala pandangan manusia tentang kebaikan maupun kejahatan dan tidak terikat pada standar-standar dan harapan kita: suatu tindakan dikatakan jahat atau tidak adil karena Tuhan telah memutuskannya demikian, bukan karena nilai-nilai manusia memiliki dimensi transenden yang juga berlaku pada Tuhan. Kaum Mu'tazilah keliru menyatakan bahwa keadilan, yang sepenuhnya merupakan idealisme manusia, merupakan esensi Tuhan. Persoalan predestinasi dan kehendak bebas, yang juga menjadi perdebatan di kalangan Kristen, memperlihatkan kesulitan utama dalam gagasan tentang Tuhan yang personal. Tuhan yang impersonal, semacam Brahman, dapat lebih mudah dikatakan berada di atas kategori "baik" atau "buruk", yang dipandang sebagai cadar bagi keilahian yang tak terpahamkan. Namun, konsepsi tentang Tuhan yang secara misterius merupakan pribadi yang terlibat dalam sejarah manusia membuat dirinya terbuka untuk dikritik. Terlalu mudah untuk 226 Keesaan: Tuhan Islam menjadikan "Tuhan" ini sebagai tiran atau hakim atas seluruh kehidupan dan membuat "dia" memenuhi harapan-harapan kita. Kita bisa mengubah "Tuhan" menjadi pendukung Partai Republik, sosialis, rasis, atau revolusioner, sesuai pandangan pribadi kita. Bahaya semacam ini telah membuat sebagian orang memandang Tuhan personal sebagai ide yang tidak agamis, karena hanya akan membenamkan kita dalam prasangka dan pemutlakan ide-ide manusia. Untuk menghindarkan bahaya ini, kaum tradisionis berpegang pada pembedaan yang telah lama dikenal, yang juga pernah dipakai oleh orang Yahudi maupun Kristen, antara esensi dan aktivitas Tuhan. Mereka mengklaim bahwa sebagian dari sifat-sifat yang membuat Tuhan yang transenden berhubungan dengan dunia—seperti berkuasa, mengetahui, berkehendak, mendengar, melihat, berkata-kata, yang semuanya diatributkan kepada Allah di dalam Al-Quran—sudah ada bersamanya sejak semula dalam cara yang sama, seperti Al- Quran yang bukan makhluk itu. Atribut-atribut itu berbeda dari esensi Tuhan yang tidak bisa diketahui, yang akan selalu luput dari pemahaman kita. Persis seperti yang dibayangkan oleh orang Yahudi bahwa Hikmat Tuhan atau Taurat telah ada bersama Tuhan sejak sebelum awal waktu, kaum Muslim kini mengembangkan gagasan yang mirip untuk mengajarkan personalitas Tuhan dan untuk mengingatkan kaum Muslim bahwa Tuhan tidak mungkin seutuhnya tercakup oleh akal manusia. Sekiranya khalifah Al-Ma'mun (813-832) tidak berpihak kepada kaum Mu'tazilah dan berusaha menjadikan gagasan mereka sebagai doktrin resmi umat Muslim, argumen yang musykil ini mungkin hanya akan berpengaruh terhadap sedikit orang saja. Akan tetapi, ketika khalifah itu mulai menyiksa kelompok tradisionis untuk memaksakan teologi Mu'tazilah, orang awam dibuat ketakutan oleh sikap tidak Islami ini. Ahmad ibn Hanbal (780-855), seorang tradisionis terkemuka yang berhasil menyelamatkan diri dari inkuisisi Al-Ma'mun, menjadi tokoh yang populer. Kesalehan dan karismanya—dia pernah berdoa untuk para penyiksanya—menimbulkan tantangan terhadap kekhalifahan, dan keyakinannya bahwa Al-Quran bukan makhluk telah menjadi slogan bagi pemberontakan massal menentang rasionalisme Mu'tazilah. Ibn Hanbal tidak menyetujui diskusi rasional mengenai Tuhan. Maka ketika tokoh Mu'tazilah moderat, Al-Huayan Al-Karabisi (w. 859), mengajukan sebuah solusi damai—bahwa Al-Quran sebagai 227 Sejarah Tuhan firman Tuhan memang bukan makhluk, namun ketika dibaca oleh manusia maka ia menjadi makhluk—Ibn Hanbal mencela doktrin itu. Al-Karabisi siap untuk mengubah pandangannya, dan menyatakan bahwa Al-Quran berbahasa Arab yang tertulis dan diucapkan adalah bukan makhluk hanya sejauh ia menjadi bagian dari ucapan Allah yang abadi. Akan tetapi, Ibn Hanbal menyatakan bahwa ini juga tidak sah karena tidak berfaedah dan sangat riskan untuk berspekulasi mengenai watak Al-Quran dalam cara rasionalistik seperti itu. Akal bukanlah alat yang memadai untuk menyingkapkan rahasia Tuhan. Dia menuduh Mu'tazilah telah menanggalkan misteri Tuhan dan menjadikannya sekadar rumusan abstrak yang tak memiliki nilai religius. Ketika Al-Quran menggunakan istilah yang antropomorfis untuk menjelaskan aktivitas Tuhan di dunia atau ketika dikatakan bahwa Tuhan "berbicara", "melihat" dan "duduk di atas singgasananya", Ibn Hanbal berpendapat bahwa hal itu harus diinterpretasikan secara harfiah tetapi "tanpa bertanya bagaimana" (bila kayfa). Ibn Hanbal mungkin bisa diperbandingkan dengan orang Kristen radikal semacam Athanasius, yang bersikeras dengan interpretasi ekstrem atas doktrin Inkarnasi menentang pemikiran yang lebih rasional. Ibn Hanbal selalu menekankan ketaktercerapan kodrat ilahi, yang memang berada di luar jangkauan semua analisis logis dan konseptual. Sungguhpun demikian, Al-Quran senantiasa menekankan pentingnya akal dan penalaran, dan posisi Ibn Hanbal terlihat agak terlalu lugu. Banyak umat Muslim memandang posisi itu sebagai penyimpangan dan obskurantis. Jalan kompromi ditemukan oleh Abu Al- Hasan ibn Ismail Al-Asy'ari (878-941). Sebelumnya, dia adalah penganut Mu'tazilah tetapi beralih kepada tradisionisme berdasarkan mimpi bertemu Nabi yang memerintahkannya untuk mempelajari hadis. Al- Asy'ari lalu melangkah ke titik ekstrem lainnya, menjadi pengikut tradisionis yang antusias, menentang Mu'tazilah dan menganggapnya sebagai bahaya laten bagi Islam. Kemudian dia bermimpi lagi melihat Nabi Muhammad bersikap agak marah dan berkata: "Aku tidak memerintahkanmu meninggalkan argumen rasional tetapi supaya menggunakannya untuk mendukung hadis shahih!38 Setelah itu, Al-Asy'ari memakai teknik-teknik rasionalis Mu'tazilah untuk mendukung Ibn Hanbal. Pada saat orang Mu'tazilah mengklaim bahwa wahyu Tuhan tak mungkin tidak bisa dinalar, Al-Asy'ari menggunakan nalar dan logika untuk membuktikan bahwa Tuhan berada di luar jangkauan penalaran kita. Orang Mu'tazilah bisa terjerumus 228 Keesaan: Tuhan Islam mereduksi Tuhan ke dalam konsep yang koheren tetapi kering; Al- Asy'ari ingin kembali kepada konsepsi ketuhanan yang utuh di dalam Al-Quran meskipun tidak konsisten. Bahkan, sebagaimana Denys Aeropagite, dia percaya bahwa paradoks justru akan meningkatkan apresiasi kita terhadap Tuhan. Dia menolak mereduksi Tuhan ke dalam konsep yang dapat didiskusikan dan dianalisis sebagaimana gagasan manusia yang lain. Sifat-sifat Tuhan, seperti mengetahui, berkuasa, hidup, dan sebagainya, adalah real; sifat-sifat itu telah ada pada Tuhan sejak semula. Namun sifat-sifat itu berbeda dari hakikat Tuhan, karena Tuhan pada esensinya adalah satu, sederhana, dan unik. Dia tidak bisa dipandang sebagai suatu wujud yang kompleks karena dia merupakan simplisitas itu sendiri; kita tidak bisa menganalisisnya dengan cara mendefinisikan berbagai sifatnya atau menguraikannya ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Al-Asy'ari menolak setiap usaha untuk memecahkan paradoks itu: oleh karena itu, dia bersikeras bahwa ketika Al-Quran menyatakan Tuhan "duduk di atas singgasananya", kita harus menerima itu sebagai sebuah fakta meskipun berada di luar pemahaman kita untuk mengonsepsikan bagaimana Tuhan itu "duduk". Al-Asy'ari mencoba menemukan jalan tengah antara obskurantisme yang ceroboh dan rasionalisme yang ekstrem. Beberapa kaum literalis mengatakan bahwa jika orang-orang yang diridai akan melihat Tuhan di surga, seperti dinyatakan oleh Al-Quran, maka tentulah Tuhan memiliki penampakan fisikal. Hisyam ibn Hakim melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa: Allah mempunyai tubuh, dimensi-dimensi yang setara, tertentu, luas, tinggi dan panjang, memancarkan cahaya, berukuran luas dalam tiga dimensinya, di suatu tempat di luar tempat, seperti sebatang emas murni, bersinar dari segala sisinya seperti mutiara bulat, memiliki warna, rasa, aroma, dan sentuhan.39 Sebagian kalangan Syiah menerima pandangan semacam itu karena kepercayaan mereka bahwa para imam merupakan inkarnasi ilahi. Kaum Mu'tazilah berpendirian bahwa ketika Al-Quran berbicara tentang tangan Tuhan, misalnya, maka ini harus ditafsirkan secara kiasan sebagai merujuk kepada kebaikan dan kemurahannya. Al-Asy'ari menentang kaum literalis dengan membuktikan bahwa Al-Quran mengatakan kita hanya dapat berbicara tentang Tuhan dalam bahasa simbolik. Akan tetapi, dia juga menentang penolakan mentah-mentah 229 Sejarah Tuhan kaum tradisionis terhadap akal. Dia berpendapat bahwa Muhammad tak pernah menghadapi persoalan semacam ini, kalau tidak tentu dia akan memberikan petunjuk kepada umat Muslim; oleh karena itu, semua Muslim berkewajiban menggunakan perangkat penafsiran seperti analogi (qiyas) untuk memperoleh konsep ketuhanan yang betul-betul religius. Al-Asy'ari senantiasa mengupayakan posisi kompromistik, maka dia pun berpendapat bahwa Al-Quran itu qadim dan merupakan Firman Allah yang bukan makhluk, tetapi tinta, kertas, dan kata-kata berbahasa Arab dari naskah itu adalah makhluk. Dia mencela doktrin kehendak bebas dari Mu'tazilah, karena hanya Tuhanlah "pencipta" perbuatan-perbuatan manusia, tetapi dia juga menentang pandangan aliran tradisionis yang menyatakan bahwa manusia sama sekali tidak bisa berkontribusi terhadap keselamatan diri mereka. Solusi Al-Asy'ari agak berbelit-belit: Tuhan menciptakan perbuatan manusia, tetapi mengizinkan manusia untuk mendapat pujian atau kecaman atas perbuatan itu. Namun, tidak seperti Ibn Hanbal, Al-Asy'ari telah bersiap untuk mengajukan pertanyaan dan menggali persoalanpersoalan metafisika, walaupun pada akhirnya dia menyimpulkan bahwa adalah keliru untuk berusaha memasukkan realitas misterius dan tak terlukiskan yang kita sebut Tuhan itu ke dalam suatu sistem koheren dan rasionalistik. Al-Asy'ari telah membangun tradisi kalam (secara harfiah berarti "kata" atau "pembahasan"), yang biasanya diterjemahkan sebagai "teologi". Murid-muridnya pada abad kesepuluh dan kesebelas memperbaiki metodologi kalam dan mengembangkan gagasan-gagasannya lebih lanjut. Para pengikut Al-Asy'ari generasi awal ingin merancang bingkai metafisika bagi suatu diskusi yang sahih tentang kekuasaan Tuhan. Teolog terkemuka pertama dari aliran Asy'ariah adalah Abu Bakr Al-Baqillani (w. 1013). Dalam risalahnya Al-Tauhid, dia sependapat dengan Mu'tazilah bahwa manusia dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara logis melalui argumen-argumen rasional: bahkan Al-Quran sendiri memperlihatkan bagaimana Ibrahim menemukan Pencipta yang abadi melalui perenungan sistematik tentang alam. Akan tetapi, Al-Baqillani menolak kemungkinan bahwa kita dapat membedakan antara kebaikan dan kejahatan tanpa wahyu, karena hal-hal semacam itu bukanlah kategori-kategori alamiah melainkan telah diputuskan oleh Tuhan: Allah tidak bisa dibatasi oleh pandangan kemanusiaan tentang baik dan buruk. 230 Keesaan: Tuhan Islam Al-Baqillani mengembangkan sebuah teori yang dikenal sebagai "atomisme" atau "okasionalisme" yang berupaya menemukan alasan metafisikal bagi pengakuan keimanan seorang Muslim: bahwa tak ada tuhan, tak ada realitas atau kepastian selain Allah. Dia mengklaim bahwa segala yang ada di dunia secara mutlak bergantung kepada perhatian langsung dari Tuhan. Seluruh alam direduksi kepada atomatom individual yang tak terbilang jumlahnya; waktu dan ruang bersifat diskontinu dan tak ada yang memiliki identitas spesifik bagi dirinya. Alam fenomenal oleh Baqillani direduksi menjadi ketiadaan dengan cara yang sama radikalnya dengan yang ditempuh oleh Athanasius. Hanya Tuhan yang memiliki realitas, dan hanya dia yang dapat membebaskan kita dari ketiadaan. Dialah yang menjaga keberlangsungan alam semesta dan menganugerahkan eksistensi kepada makhluk-Nya di setiap saat. Tak ada hukum alam yang menjelaskan keberlangsungan kosmos. Walaupun kaum Muslim lainnya membuat kemajuan besar dalam bidang sains, aliran Asy'ariah secara fundamental justru bertentangan dengan ilmu alam, namun tetap memiliki relevansi keagamaan. Asy'ariah merupakan upaya metafisikal untuk menjelaskan kehadiran Tuhan dalam setiap perincian kehidupan sehari- hari dan menjadi pengingat bahwa keimanan tidak tergantung pada logika biasa. Jika digunakan sebagai sebuah disiplin, bukannya pandangan faktual tentang realitas, penjelasan itu dapat membantu kaum Muslim untuk mengembangkan kesadaran berketuhanan seperti yang telah dijelaskan Al-Quran. Kelemahannya terletak pada penolakannya atas bukti ilmiah dan interpretasinya yang terlalu harfiah terhadap sikap religius yang pada dasarnya tak bisa dijelaskan. Paham ini bisa mengakibatkan ketidakseimbangan antara cara pandang seorang Muslim tentang Tuhan dengan caranya melihat persoalanpersoalan lain. Baik kaum Mu'tazilah maupun Asy'ariah telah berupaya, dalam cara yang berbeda, untuk mengaitkan pengalaman keagamaan tentang Tuhan dengan penalaran rasional biasa. Hal ini memang penting. Kaum Muslim mencoba menemukan apakah mungkin berbicara tentang Tuhan seperti kita mendisklisikan persoalanpersoalan lain. Telah kita saksikan bahwa orang Yunani telah tiba pada keputusan bahwa jawabannya adalah tidak dan bahwa diam merupakan satu-satunya bentuk teologi yang memadai. Pada akhirnya, kebanyakan umat Muslim tiba pada kesimpulan yang sama. Muhammad dan para Sahabatnya hidup dalam masyarakat yang lebih primitif dibandingkan dengan masyarakat pada masa Al-Baqillani. 231 232 Impenum Islam telah tersebar ke dunia berperadaban, sehingga kaum Muslim harus berhadapan dengan cara pandang tentang Tuhan dan dunia yang secara intelektual memang lebih canggih. Muhammad secara instingtif telah mengalami kembali perjumpaan orang Ibrani kuno dengan yang ilahi, sedangkan generasi berikutnya harus menjalani sebagian persoalan yang telah dijumpai oleh gereja-gereja Kristen. Beberapa di antara mereka bahkan berpaling kepada teologi Inkarnasi, sekalipun Al-Quran telah mencela sikap orang-orang Kristen menuhankan Yesus. Perjalanan Islam telah memperlihatkan bahwa gagasan tentang Tuhan yang transenden, namun personal cenderung memunculkan jenis persoalan yang sama dan mengarah pada bentuk pemecahan yang sama pula. Eksperimen kalam telah membuktikan bahwa meskipun mungkin untuk menggunakan metode-metode rasional untuk memperlihatkan bahwa secara rasional "Tuhan" memang tidak bisa dijangkau oleh akal, kenyataan ini tetap sulit diterima oleh sebagian Muslim. Kalam tak pernah menjadi sepenting teologi di kalangan Kristen Barat. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang mendukung Mu'tazilah menemukan bahwa mereka tidak mungkin memaksakan doktrin-doktrinnya kepada kaum beriman. Rasionalisme terus mempengaruhi pemikir-pemikir selanjutnya selama abad pertengahan, tetapi tetap merupakan kelompok minoritas, dan kebanyakan Muslim tidak menaruh kepercayaan pada usaha semacam itu. Sebagaimana Kristen dan Yahudi, Islam lahir dari pengalaman Semitik, tetapi bertemu dengan rasionalisme Yunani di pusat-pusat kebudayaan Helenis Timur Tengah. Sebagian Muslim yang lain mengupayakan proses Helenisasi yang bahkan lebih radikal terhadap konsepsi ketuhanan Islam dan memperkenalkan unsur filosofis baru ke dalam ketiga agama monoteistik. Yudaisme, Kristen, dan Islam akhirnya tiba pada kesimpulan yang berbeda, tetapi sangat signifikan tentang keabsahan filsafat dan relevansinya dengan misteri Tuhan. [] Sejarah Tuhan Tuhan Para Filosof Pada abad kesembilan orang Arab mulai bersentuhan dengan sains dan filsafat Yunani. Hubungan ini membuahkan hasil berupa kemajuan kultural yang, menurut orang Eropa, dapat dilihat sebagai penghubung antara zaman Renaisans dan zaman Pencerahan. Sebuah tim penerjemah, kebanyakan beranggotakan orang Kristen Nestorian, menerjemahkan naskah-naskah Yunani ke dalam bahasa Arab dan berhasil melaksanakan pekerjaan yang brilian. Kaum Muslim Arab kini bisa mempelajari astronomi, kimia, kedokteran dan matematika dengan sangat gemilang sehingga selama abad kesembilan dan kesepuluh, dalam era pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mereka menghasilkan berbagai penemuan ilmiah yang mengungguli periode sejarah mana pun sebelumnya. Sejenis kelompok Muslim baru pun lahir, yang mengabdikan diri kepada gagasan yang disebut falsafah (filsafat). Kata ini biasanya diterjemahkan sebagai "filsafat", tetapi memiliki makna yang lebih luas dan kaya: Seperti philosophes Prancis abad kedelapan, para faylasuf (filosof) ingin hidup secara rasional sesuai hukum-hukum yang mereka yakini mengatur kosmos, yang bisa dicermati pada Kata faylasuf dan falsafah dipertahankan penulisannya untuk membedakan filsafat Islam dengan filsafat lainnya. Untuk lebih jelasnya lihat Glosarium tentang definisi faylasuf dan falsafah—peny. eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com 233 MR. Collection's a Sejarah Tuhan setiap tingkatan realitas. Pada awalnya, mereka memusatkan perhatian kepada ilmu-ilmu alam, namun kemudian, secara tak terelakkan, mereka beralih kepada metafisika Yunani dan berupaya menerapkan prinsip-prinsipnya ke dalam Islam. Mereka yakin bahwa Tuhan para filosof Yunani identik dengan Allah. Orang Kristen Yunani juga telah merasakan afinitas dengan Helenisme, tetapi menetapkan bahwa Tuhan orang Yunani harus dimodifikasi oleh Tuhan Alkitab yang lebih paradoksikal. Akhirnya, seperti akan kita lihat, mereka memalingkan diri dari tradisi filsafat mereka sendiri karena meyakini bahwa akal dan logika tidak banyak berkontribusi bagi kajian tentang Tuhan. Namun, para faylasuf tiba pada kesimpulan yang berlawanan: mereka percaya bahwa rasionalisme mempersembahkan bentuk agama yang paling maju dan telah mengembangkan pandangan yang lebih tinggi. tentang Tuhan daripada yang diwahyukan di dalam kitab suci. Pada masa sekarang, orang secara umum memandang sains dan filsafat sebagai dua hal yang bertentangan dengan agama. Akan tetapi, para faylasuf biasanya adalah orang-orang saleh dan memandang diri mereka sebagai putra-putra setia Nabi. Sebagai Muslim yang baik, mereka sadar politik, tidak menyenangi gaya hidup mewah kaum penguasa, dan ingin memperbarui masyarakat sesuai dengan akal sehat. Mereka mengupayakan sesuatu yang penting: karena studi ilmiah dan filosofis mereka didominasi oleh pemikiran Yunani, mereka perlu menemukan keterkaitan antara iman mereka dan pandangan yang lebih rasionalistik dan objektif ini. Sangatlah tidak tepat untuk menurunkan Tuhan ke tingkat kategori intelektual tersendiri dan memandang keimanan berada pada lingkup yang terpisah dari persoalan kemanusiaan lainnya. Para faylasuf tidak bermaksud menghapuskan agama, melainkan ingin menyucikannya dari apa yang mereka pandang sebagai unsur-unsur primitif dan parokial. Mereka tidak punya keraguan tentang keberadaan Tuhan—tetapi merasa bahwa hal ini perlu dibuktikan secara logis untuk memperlihatkan bahwa Allah selaras dengan nilai rasionalistik yang mereka pegang. Akan tetapi, di sini terdapat beberapa persoalan. Kita telah melihat bahwa Tuhan menurut para filosof Yunani sangat berbeda dari Tuhan menurut wahyu: Tuhan Aristoteles atau Plotinus tak berwaktu dan tak bergeming; dia tidak menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian duniawi, tidak mewahyukan dirinya di dalam sejarah, tidak pernah menciptakan alam, dan tidak akan mengadili di Hari Kiamat. Bahkan sejarah, teofani utama menurut keyakinan monoteistik, telah disisihkan 234 Tuhan Para Filosof oleh Aristoteles sebagai bidang kajian yang lebih rendah dibandingkan filsafat. Tak ada awal, tengah, atau akhir, karena kosmos memancar secara abadi dari Tuhan. Para faylasuf ingin melampaui sejarah, yang sekadar ilusi, untuk menyingkap dunia ilahiah yang ideal dan tak berubah. Meski ada penekanan pada rasionalitas, falsafah menuntut keimanan tersendiri. Dibutuhkan keberanian besar untuk meyakini bahwa kosmos, yang lebih menyerupai tempat kekacauan dan penderitaan daripada tatanan yang bertujuan ini, sebenarnya diatur oleh hukum akal. Mereka juga harus menumbuhkan rasa bermakna di tengah bencana dan kegalauan yang sering terjadi di dunia sekitar mereka. Ada keagungan dalam falsafah, yakni pencarian objektivitas dan visi yang tak lekang oleh waktu. Mereka menginginkan sebuah agama universal, yang tak dibatasi oleh manifestasi ketuhanan tertentu atau berakar pada ruang dan waktu tertentu; mereka yakin adalah kewajiban mereka untuk menerjemahkan ayat-ayat Al-Quran ke dalam idiom lebih maju yang akan dikembangkan sepanjang masa oleh pikiran-pikiran yang terbaik dan termulia di seluruh budaya. Alihalih memandang Tuhan sebagai misteri, para faylasuf percaya bahwa Tuhan adalah akal murni. Kepercayaan terhadap alam yang sepenuhnya bersifat rasional seperti ini tampak naif di zaman kita sekarang karena berbagai penemuan ilmiah kemudian menunjukkan ketidaklaikan bukti tentang eksistensi Tuhan yang diketengahkan oleh Aristoteles. Perspektif ini tak mungin lagi dianut oleh siapa pun yang hidup pada abad kesembilan dan kesepuluh, namun pengalaman falsafah tetap relevan bagi persoalan keagamaan yang kita hadapi sekarang. Revolusi ilmiah pada periode Dinasti Abbasiyah telah melibatkan para pesertanya dalam kesibukan yang bukan sekadar berupa pengumpulan informasi baru. Sebagaimana pada masa kita sekarang ini, penemuan ilmiah menuntut penumbuhan mentalitas berbeda yang mengubah cara kita memandang dunia. Sains menuntut kepercayaan fundamental tentang adanya penjelasan rasional atas segala sesuatu; sains juga membutuhkan imajinasi dan keberanian yang tidak berbeda' dengan kreativitas keagamaan. Seperti nabi atau Sufi, seorang ilmuwan juga mendorong dirinya berhadapan dengan wilayah realitas non-makhluk yang tak tertembus dan tak terduga. Tak pelak lagi ini mempengaruhi persepsi ketuhanan para faylasuf dan membuat mereka merevisi atau bahkan meninggalkan kepercayaan lama yang dipegang orang-orang sezaman mereka. Dalam cara yang sama, visi ilmiah pada masa kita sekarang 235 Sejarah Tuhan ini telah banyak membuat teisme klasik menjadi mustahil bagi banyak orang. Berpegang teguh pada teologi lama bukan hanya tanda kepengecutan, tetapi juga dapat mengakibatkan hilangnya integritas. Para faylasuf berupaya memadukan pandangan-pandangan baru mereka dengan arus utama keyakinan Islam dan menghasilkan beberapa gagasan revolusioner tentang Tuhan yang diilhami oleh Yunani. Sungguhpun demikian, kegagalan besar konsepsi ketuhanan mereka yang rasional mengandung pelajaran penting bagi kita mengenai hakikat kebenaran agama. Para faylasuf mengupayakan penggabungan yang lebih menyeluruh antara filsafat Yunani dengan agama, melebihi kaum monoteis mana pun sebelumnya. Kaum Mu'tazilah dan Asy'ariah juga telah berusaha membangun jembatan yang menghubungkan wahyu dengan akal, tetapi mereka lebih mendahulukan konsepsi ketuhanan menurut wahyu. Kalam didasarkan pada pandangan tradisional monoteistik tentang sejarah sebagai sebuah teofani. Kalam menyatakannya bahwa kejadian-kejadian konkret dan partikular adalah krusial karena merupakan satu-satunya kepastian yang kita miliki. Asy'ariah memang menyangsikan adanya hukum-hukum universal dan prinsip-prinsip abadi. Meskipun memiliki nilai imajinatif dan religius, atomisme ini jelas asing bagi semangat ilmiah dan tidak dapat memuaskan para faylasuf. Falsafah mereka mengabaikan sejarah yang konkret dan partikular, namun menanamkan ketakziman terhadap hukum-hukum universal yang ditolak kaum Asy'ariah. Tuhan mereka ditemukan melalui argumen-argumen logis, bukan dalam wahyu partikular yang diturunkan kepada individu-individu tertentu di berbagai zaman. Pencarian terhadap kebenaran objektif dan universal ini menjadi karakteristik kajian mereka dan mengondisikan cara mereka mengalami realitas tertinggi. Tuhan yang tak pernah sama bagi setiap orang, yang memberi atau menerima corak budaya tertentu, bukan merupakan pemecahan yang memuaskan bagi pertanyaan fundamental dalam agama: "Apakah tujuan akhir kehidupan?" Anda tidak bisa mendapatkan pemecahan ilmiah yang memiliki aplikasi universal di laboratorium dan menyembah Tuhan yang lama kelamaan dipandang sebagai milik tunggal kaum Muslim. Sungguhpun demikian, kajian atas Al- Quran telah menyingkapkan bahwa Muhammad sendiri telah memiliki visi universal dan pernah mengajarkan bahwa semua agama yang benar sesungguhnya berasal dari Tuhan. Para faylasuf tidak merasa ada keharusan untuk menyingkirkan Al-Quran. Mereka justru berupaya 236 Tuhan Para Filosof memperlihatkan hubungan antara agama dan filsafat: keduanya merupakan jalan yang sah untuk menuju Tuhan, sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Mereka tidak menjumpai adanya pertentangan fundamental antara wahyu dan sains, rasionalisme dan iman. Mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai filsafat profetik. Mereka ingin menemukan inti kebenaran yang bersemayam di hati semua agama historis yang beraneka ragam, yang sejak fajar sejarah telah berupaya untuk mendefinisikan realitas Tuhan yang sama. Falsafah diilhami oleh perjumpaan dengan sains dan metafisika Yunani, namun tidak sepenuhnya bergantung kepada Helenisme. Di wilayah-wilayah koloni Timur Tengah mereka, orang Yunani cenderung mengikuti kurikulum standar sehingga walaupun terdapat perbedaan penekanan dalam filsafat Helenistik, setiap siswa dianjurkan membaca seperangkat naskah dalam urutan yang sudah ditentukan. Hal ini menghasilkan sejenis kesatuan dan koherensi. Akan tetapi, para faylasuf tidak menaati kurikulum ini, melainkan membaca naskah apa saja yang tersedia bagi mereka. Ini tak pelak lagi membukakan perspektif baru. Di samping pandangan keislaman dan kearaban mereka yang khas, pemikiran mereka juga diwarnai oleh pengaruh Persia, Hindu, dan Gnostik. Yaqub ibn Ishaq Al-Kindi (w. kl. 870), Muslim pertama yang menerapkan metode rasional terhadap Al-Quran, kerap dikaitkan dengan kaum Mu'tazilah dan berbeda pendapat dengan Aristoteles dalam beberapa isu pokok. Dia mendapat pendidikan di Basrah, tetapi menetap di Bagdad dengan santunan dari Khalifah Al-Ma'mun. Karya dan pengaruhnya sangat banyak, mencakup matematika, ilmu alam, dan filsafat. Namun perhatiannya yang utama adalah agama. Dengan latar belakangnya sebagai penganut Mu'tazilah, dia hanya memandang filsafat sebagai alat bantu dalam memahami wahyu: pengetahuan yang diwahyukan kepada para nabi selalu lebih unggul daripada pandangan-pandangan kemanusiaan para filosof. Kebanyakan para filosof pada zaman berikutnya tidak menyetujui perspektif ini. Akan tetapi, Al-Kindi juga amat bersemangat untuk menemukan kebenaran di dalam tradisi-tradisi agama lain. Kebenaran itu tunggal, dan adalah tugas para filosof untuk mencarinya dalam bungkus budaya atau bahasa apa pun yang telah diambilnya selama berabad-abad. Kita tak usah malu meyakini kebenaran dan mengambilnya dari sumber mana pun ia datang kepada kita, bahkan walaupun seandainya ia 237 Sejarah Tuhan dihadirkan kepada kita oleh generasi terdahulu dan orang-orang asing. Bagi siapa saja yang mencari kebenaran, tak ada nilai yang lebih tinggi kecuali kebenaran itu sendiri; kebenaran tidak pernah merendahkan atau menghinakan orang yang mencapainya, namun justru mengagungkan dan menghormatinya.1 Di sini Al-Kindi bersesuaian dengan Al-Quran. Akan tetapi, Al- Kindi melangkah lebih jauh karena dia tidak membatasi diri pada nabi-nabi saja tetapi juga berpaling kepada para filosof Yunani. Dia menggunakan argumen-argumen Aristoteles untuk membuktikan eksistensi Penggerak Pertama. Dalam dunia yang rasional, Al-Kindi berargumen, segala sesuatu pasti mempunyai sebab. Oleh karena itu, mestilah ada suatu Penggerak yang Tak Digerakkan untuk memulai menggelindingkan bola. Prinsip Pertama ini adalah Wujud itu sendiri, tidak berubah, sempurna, tak dapat dihancurkan. Namun, setelah tiba pada kesimpulan ini, Al-Kindi berpisah dari Aristoteles dengan mengetengahkan doktrin Al-Quran tentang penciptaan dari ketiadaan (ex nihilo). Aksi dapat didefinisikan sebagai mengadakan sesuatu dari ketiadaan. Aksi ini, menurut Al-Kindi, bersifat prerogratif bagi Tuhan. Dia adalah satu-satunya Wujud yang benar-benar dapat melakukan aksi dalam pengertian yang seperti ini, dan dia pulalah sebab nyata bagi seluruh aktivitas yang kita saksikan di dunia sekeliling kita. Falsafah menolak konsep penciptaan dari ketiadaan sehingga Al-Kindi tidak bisa disebut sebagai seorang faylasuf. Akan tetapi, Al-Kindi adalah pelopor dalam upaya Islam untuk menyelaraskan kebenaran agama dengan metafisika sistematik. Murid-muridnya lebih radikal lagi. Abu Bakar Muhammad Zakaria Al-Razi (w. kl. 930), yang sering disebut sebagai seorang non-konformis terbesar dalam sejarah Islam, menolak metafisika Aristoteles dan, seperti kaum Gnostik, memandang penciptaan sebagai karya demiurge (pencipta dunia material dalam keyakinan Gnostik): mated tidak dapat berasal dari Tuhan yang sepenuhnya bersifat spiritual. Dia juga menolak solusi Aristoteles tentang Penggerak Pertama, serta doktrin-doktrin Al-Quran tentang wahyu dan kenabian. Menurutnya, hanya akal dan filsafat yang bisa menyelamatkan kita. Oleh karena itu, Al-Razi bukanlah seorang monoteis yang sebenarnya: dia mungkin seorang pemikir bebas pertama yang memandang konsep ketuhanan tidak bersesuaian dengan pandangan ilmiah. Al-Razi adalah seorang ahli 238 Tuhan Para Filosof kedokteran brilian yang dermawan, yang pernah bekerja sebagai kepala rumah sakit di kota asalnya Rayy di Iran selama beberapa tahun. Kebanyakan faylasuf tidak membawa rasionalisme mereka sampai seekstrem itu. Dalam sebuah perdebatan dengan seorang Muslim yang lebih konvensional, Al-Razi menyatakan bahwa seorang faylasuf sejati tidak dapat bersandar pada tradisi yang sudah mapan, tetapi mesti mengandalkan pikirannya sendiri karena hanya akal saja yang mampu membawa kita kepada kebenaran. Bersandar kepada doktrindoktrin wahyu tidak ada manfaatnya karena agama-agama itu berbeda. Bagaimana seseorang dapat memastikan mana di antaranya yang benar? Akan tetapi, penentangnya—yang, agak membingungkan, juga bernama Al-Razi2—mengetengahkan sebuah poin penting. Bagaimana dengan orang-orang awam? tanyanya. Kebanyakan mereka tidak mampu untuk melakukan penalaran filosofis: apakah karena itu mereka sesat, ditakdirkan salah dan tak mendapat petunjuk? Salah satu alasan mengapa falsafah tetap menjadi sekte minoritas dalam Islam adalah karena elitismenya. Falsafah terutama hanya menarik bagi mereka yang memiliki derajat intelektualitas tertentu dan dengan demikian bertentangan dengan semangat egalitarian yang mulai menjadi ciri masyarakat Muslim. Faylasuf Turki Abu Nasr Al-Farabi (w. 980) berhadapan dengan persoalan massa yang tak berpendidikan, yang tidak cukup mampu untuk menerima rasionalisme filosofis. Al-Farabi dapat dianggap sebagai pendiri falsafah autentik dan menunjukkan universalitas atraktif dari cita-cita Muslim ini. Dia dapat kita sebut sebagai seorang Manusia Renaisans; dia bukan hanya seorang ahli kedokteran tetapi juga seorang musisi dan mistikus. Dalam karyanya Ara'Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah, dia juga memperlihatkan kepedulian sosial dan politik yang merupakan hal penting dalam spiritualitas Muslim. Dalam Republic, Plato pernah mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang baik mesti dipimpin oleh seorang filosof yang memerintah sesuai dengan prinsip-prinsip rasional dan mampu menjelaskan' prinsip-prinsip itu kepada orang awam. Al-Farabi berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah seorang pemimpin yang persis seperti dimaksudkan Plato. Beliau telah mengungkapkan kebenaran universal dalam bentuk imajinatif yang dapat dipahami orang awam, sehingga Islam secara ideal cocok dengan masyarakat yang dicita-citakan Plato. Syiah mungkin merupakan bentuk Islam yang paling cocok untuk menjalankan 239 Sejarah Tuhan proyek ini, karena kultus mereka tentang imam sebagai pemimpin yang arif. Meskipun mengamalkan ajaran Sufi, Al-Farabi memandang wahyu sebagai proses yang sepenuhnya alamiah. Tuhan para filosof Yunani yang jauh dari persoalan-persoalan manusia, tidak mungkin "berbicara kepada" manusia dan campur tangan di dalam urusanurusan keduniaan, seperti yang disiratkan oleh doktrin tradisional tentang wahyu. Namun ini tidak berarti bahwa Tuhan jauh dari pokok kajian Al-Farabi. Tuhan merupakan sesuatu yang sentral dalam filsafatnya, dan risalahnya dimulai dengan pembahasan tentang Tuhan. Tuhan dalam pandangan Al-Farabi sesuai dengan konsepsi Aristoteles dan Plotinus: dialah Yang Pertama dari semua wujud. Seorang Kristen Yunani yang terbiasa dengan filsafat mistis Denys Aeropagite akan berkeberatan terhadap teori yang dengan begitu saja menganggap Tuhan sebagai sekadar suatu wujud lain, meskipun dengan hakikat yang lebih tinggi. Akan tetapi, Al-Farabi tetap dekat dengan Aristoteles. Dia tidak percaya bahwa Tuhan dengan "tiba-tiba" saja memutuskan untuk menciptakan alam, sebab hal seperti itu dapat menimbulkan pemahaman bahwa Tuhan yang abadi dan statis ternyata telah mengalami perubahan. Seperti halnya orang-orang Yunani, Al-Farabi memandang mata rantai wujud secara abadi memancar dari Yang Esa dalam sepuluh emanasi atau "intelek" berturut-turut, yang masing-masingnya membentuk satu bidang Ptolemis: langit terluar, lapisan bintangbintang tetap, garis lintasan Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus, Merkurius, dan Bulan. Tatkala tiba pada dunia sublunar kita sendiri, kita menjadi sadar akan hierarki wujud yang berevolusi dalam arah berlawanan, dimulai dari benda-benda mati, meningkat kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan, lalu berpuncak pada manusia yang jiwa dan akalnya berasal dari Akal ilahi, sedangkan tubuhnya berasal dari bumi. Melalui proses purifikasi, seperti yang dijelaskan oleh Plato dan Plotinus, manusia dapat membebaskan diri dari belenggu duniawi dan kembali kepada Tuhan, sumber alamiahnya. Memang di sini terdapat perbedaan yang nyata dengan visi Al- Quran tentang realitas, namun Al-Farabi memandang filsafat sebagai cara yang lebih unggul untuk memahami kebenaran yang telah diekspresikan pada nabi secara metaforis dan puitis agar dapat menarik orang banyak. Namun, falsafah tidak diperuntukkan bagi setiap orang. Pada pertengahan abad kesepuluh, unsur esoterik mulai memasuki Dunia Islam. Falsafah adalah satu di antara dispilin esoteris itu. Sufisme 240 Tuhan Para Filosof dan Syiisme juga menafsirkan Islam secara berbeda dari kaum ulama, para pemuka agama yang berpegang hanya pada Al-Quran dan Hukum Suci. Para faylasuf, kaum Sufi dan Syiah merahasiakan doktrindoktrin mereka bukan karena ingin menolak orang awam, tetapi karena menyadari bahwa versi Islam mereka lebih berbau petualangan dan banyak pembaruan yang mudah menimbulkan kesalahpahaman. Tafsiran harfiah atau simplistik atas doktrin-doktrin falsafah, mitosmitos Sufisme, atau Imamologi Syiah bisa membingungkan orangorang yang tidak memiliki kapasitas, pengetahuan, atau mental untuk memakai pendekatan simbolik, imajinatif, atau rasionalistik terhadap kebenaran tertinggi. Dalam sekte-sekte esoterik ini, para pemula secara hati-hati dipersiapkan untuk menerima ajaran-ajaran sulit ini melalui latihan khusus pikiran dan hati. Telah kita saksikan bahwa orang Kristen Yunani juga pernah mengembangkan pemahaman yang sama, melalui pembedaan antara dogma dan kerygma. Barat tidak mengembangkan tradisi esoterik, tetapi menganut interpretasi kerygmatik tentang agama, yang dipandang sama bagi setiap orang. Alihalih membiarkan orang yang dianggap menyimpang, Kristen Barat justru menyiksa mereka dan berusaha menyapu bersih kelompok yang berbeda pandangan. Di Dunia Islam, pemikir-pemikir esoterik biasanya dibiarkan hidup bebas. Doktrin Al-Farabi tentang emanasi akhirnya diterima secara umum oleh para faylasuf. Para mistikus, seperti yang akan kita saksikan, juga lebih menyukai ajaran tentang emanasi daripada doktrin penciptaan ex nihilo. Kaum Sufi Muslim dan Kabbalis Yahudi tak pernah memandang falsafah dan akal bertentangan dengan agama, mereka justru sering menemukan bahwa pandangan para faylasuf merupakan inspirasi bagi bentuk keagamaan mereka yang lebih imajinatif. Hal ini secara khusus terbukti di dunia Syiah. Meski tetap merupakan bentuk Islam yang minoritas, abad kesepuluh dikenal sebagai abad kaum Syiah karena mereka berhasil menempatkan diri dalam posisi pemimpin pada pos-pos politik tertentu di seluruh imperium. Keberhasilan terbesar yang diraih Syiah adalah pendirian sebuah kekhalifahan di Tunis pada tahun 909 sebagai oposisi kekhalifahan Sunni di Bagdad. Ini merupakan prestasi sekte Ismailiyah, yang juga dikenal sebagai Syiah Fatimiyah atau Syiah Tujuh untuk membedakan diri mereka dari Syiah Dua Belas yang menerima autoritas dua belas imam. Kaum Ismaili berpisah dari Syiah Dua Belas setelah kematian Ja'far Al-Shadiq, imam keenam, pada tahun 765. Ja'far telah menetapkan 241 Sejarah Tuhan putranya, Ismail, sebagai pengganti. Namun ketika Ismail wafat dalam usia muda, Syiah Dua Belas menerima autoritas saudaranya, Musa, sedangkan kaum Ismaili tetap setia kepada Ismail dan meyakini bahwa garis keturunan telah berakhir pada dirinya. Kekhalifahan mereka di Afrika Utara menjadi sangat kuat: pada tahun 973 mereka memindahkan ibu kota ke Al-Qahirah, yang berkedudukan di Kairo modern, tempat mereka mendirikan masjid agung Al-Azhar. Namun, sikap memuliakan imam-imam bukan merupakan antusiasme politik semata. Sebagaimana telah kita saksikan, kaum Syiah yakin bahwa imam mereka menubuhkan kehadiran Tuhan di bumi dalam cara-cara yang misterius. Kaum Syiah telah mengembangkan kesalehan esoterik versi mereka sendiri yang diperoleh dari pembacaan simbolik atas Al-Quran. Mereka meyakini bahwa Muhammad telah menanamkan ilmu rahasia kepada sepupu dan menantunya, Ali ibn Abi Thalib, dan bahwa ilmu inilah yang diwariskan kepada para imam dalam garis keturunan langsungnya. Setiap imam itu mempunyai "Cahaya Muhammad" (al-nur al-Mubammad), spirit kenabian yang telah memampukan Muhammad berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Baik Nabi maupun para imam itu bukanlah Tuhan, namun mereka telah secara penuh terbuka kepadanya sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan telah bersama mereka dalam cara yang lebih sempurna daripada kebersamaannya dengan manusia biasa. Kaum Kristen Nestorian memegang pandangan yang mirip tentang Yesus. Seperti halnya kaum Nestorian, orang Syiah memandang imam mereka sebagai "kuil" atau "perbendaharaan" Tuhan, penuh dengan cahaya pengetahuan ilahi yang mencerahkan. 'ilm ini tidak sekadar berupa informasi rahasia, tetapi juga merupakan sarana pengubahan batin. Di bawah bimbingan da'i-nya (pengarah spiritual), seorang murid akan diangkat dari kemalasan dan ketidakpekaan melalui penampakan yang jelas. Perubahan ini memampukannya memahami tafsiran esoterik terhadap Al-Quran. Pengalaman primal ini merupakan tindak penyadaran, seperti yang akan kita lihat dalam puisi berikut karya Nasiri Al-Khusraw, seorang filosof Ismaili abad kesepuluh, yang menguraikan tentang penampakannya atas sang Imam yang lantas mengubah hidupnya: Pernahkah kau dengar, laut yang mengalir dari api? Pemahkah kau lihat, serigala menjadi singa? Mentari bisa membuat kerikil, yang bahkan tangan alam pun 242 Tuhan Para Filosof tak pernah mampu, berubah menjadi permata, Akulah batu berharga itu, Matahariku adalah dia yang dengan sinarnya dunia yang gulita menjadi penuh cahaya. Dalam kecemburuan aku tak dapat menyebut nama [sang Imam] di dalam syair ini, tapi hanya bisa mengatakan bahwa demi dia Plato pun bersedia menjadi budak. Dia adalah guru, penyembuh jiwa, pilihan Tuhan, citra kebijaksanaan, mata air pengetahuan dan kebenaran. Wahai Wajah Pengetahuan, Bentuk Kebaikan, Hati Kebijaksanaan, Tujuan Manusia, Wahai Sang Kebanggaan, aku berdiri di hadapanmu, pucat, kurus, terbungkus jubah wol, dan mencium tanganmu, seakan-akan itu adalah makam nabi atau batu hitam Ka'bah.3 Seperti Yesus di Gunung Tabor mewakili manusia ketuhanan bagi orang Kristen Ortodoks Yunani, dan seperti Buddha menubuhkan pencerahan yang mungkin dicapai oleh semua manusia, demikian pula watak kemanusiaan imam telah diubah oleh ketakwaan utuhnya kepada Tuhan. Kaum Ismaili merasa bahwa para faylasuf terlalu memusatkan perhatian pada unsur-unsur eksternal dan rasionalistik agama dan mengabaikan inti spiritualnya. Meski menentang pemikiran bebas Al-Razi, mereka juga mengembangkan filsafat dan sains sendiri, yang tidak dipandang sebagai tujuan akhir tetapi sebagai latihan spiritual untuk memampukan mereka memahami makna batin Al-Quran. Berkontemplasi tentang abstraksi sains dan matematika memurnikan pikiran mereka dari tamsil indriawi dan membebaskan mereka dari keterbatasan kesadaran sehari-hari. Alih-alih menggunakan sains untuk memperoleh pemahaman akurat dan harfiah tentang realitas eksternal, kaum Ismaili memanfaatkannya untuk mengembangkan imajinasi mereka. Mereka beralih kepada mitos-mitos Zoroasterian Iran kuno, menggabungkannya dengan beberapa gagasan Neoplatonis dan mengembangkan persepsi baru tentang sejarah penyelamatan. Dapat diingat kembali bahwa di dalam masyarakat yang lebih tradisional, orang-orang percaya bahwa pengalaman mereka di dunia ini sebenarnya merupakan pengulangan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di alam langit: doktrin Plato tentang bentuk-bentuk atau arketipe abadi telah mengungkapkan keyakinan perenial ini dalam idiom filsafat. Di Iran pra-Islam, misalnya, realitas dipandang memiliki aspek 243 Sejarah Tuhan ganda: ada langit yang bisa dilihat (getik) dan langit surgawi (menok) yang tak bisa dilihat lewat persepsi normal kita. Hal yang sama berlaku untuk realitas-realitas yang lebih abstrak dan spiritual: setiap doa atau amal baik yang kita kerjakan di dunia ini (getik) diduplikasikan di alam langit yang akan memberinya realitas sejati dan makna abadi. Arketipe langit ini dirasakan kesejatiannya dalam cara yang sama, seperti peristiwa dan bentuk-bentuk yang menghuni imajinasi kita yang sering dirasakan lebih real dan signifikan dibandingkan dengan eksistensi duniawi kita. Ini dapat dipandang sebagai upaya untuk menjelaskan pendirian kita bahwa kehidupan kita dan dunia yang kita alami memiliki makna dan nilai penting, meskipun ada bukti menyedihkan yang menunjukkan kebalikannya. Pada abad kesepuluh, kaum Ismaili menghidupkan kembali mitologi ini—yang telah ditinggalkan oleh kaum Muslim Persia ketika mereka masuk Islam, namun tetap menjadi bagian dari warisan kultural mereka—dan menggabungkannya secara imajinatif dengan doktrin emanasi Platonis. Al- Farabi telah mengemukakan adanya sepuluh emanasi antara Tuhan dan alam materi yang mendiami bidang-bidang Ptolemis. Kini kaum Ismaili menjadikan Nabi dan para imam sebagai "jiwa" dari skema langit ini. Pada bidang "profetik" tertinggi dari Langit Pertama adalah Muhammad; pada Langit Kedua Ali, dan ketujuh imam masing-masing mendiami bidang-bidang berikutnya dalam urutan yang teratur. Akhirnya di bidang yang terdekat dengan alam materi terdapat putri Muhammad, Fatimah, istri Ali yang telah memungkinkan adanya garis suci ini. Oleh karena itu, Fatimah adalah Ibu Islam dan bersesuaian dengan Sophia, Hikmat ilahi. Citra pendewaan para imam ini mencerminkan tafsiran kaum Ismaili tentang makna sejati sejarah Syiah yang bukan merupakan serentetan peristiwa duniawi eksternal—banyak di antaranya berupa tragedi. Kehidupan duniawi manusia-manusia terkemuka ini berkaitan dengan kejadian-kejadian di alam menok, tatanan arketipal.4 Kita tidak boleh tergesa-gesa mencela gagasan ini sebagai khayalan belaka. Orang Barat zaman sekarang mengutamakan perhatian pada akurasi objektif, tetapi kaum batini Ismaili, yang mencari dimensi tersembunyi (batin) dari agama, terlibat dalam pencarian yang sangat berbeda. Seperti penyair atau pelukis, mereka menggunakan simbolisme yang tak banyak kaitannya dengan logika tetapi dirasakan telah menyingkapkan realitas yang lebih dalam daripada yang dapat 244 Tuhan Para Filosof dicerap oleh indra atau diungkapkan dalam konsep-konsep rasional. Oleh karena itu, mereka mengembangkan metode membaca Al- Quran yang mereka sebut ta'wil (secara harfiah berarti "membawa kembali"). Mereka merasa bahwa metode ini akan membawa mereka kembali kepada arketipe asli Al-Quran, yang telah difirmankan di alam menok pada saat yang sama ketika Muhammad membacanya di alam getik. Henri Corbin, ahli sejarah Syiah Iran kontemporer, membandingkan disiplin takwil dengan keselarasan nada dalam musik. Seorang Ismaili seakan-akan dapat mendengar "suara"—sebuah ayat Al-Quran atau hadis—pada beberapa tingkatan di saat yang sama; dia berupaya melatih diri untuk mendengarkan suara langit beserta ucapan Arabnya. Usaha itu menenangkan daya kritis yang riuh dan menyadarkannya akan kesunyian yang meliputi setiap kata dalam cara yang sama, seperti seorang Hindu mendengar kesunyian tak terucapkan yang meliputi suku kata suci QUM. Ketika mendengarkan kesunyian itu, dia menjadi sadar akan jurang yang ada antara perkataan dan gagasan tentang Tuhan serta realitas yang sebenarnya.5 Inilah latihan yang membantu kaum Muslim memahami Tuhan sebagaimana layaknya dia dipahami, demikian menurut Abu Ya'qub Al-Sijistani, pemikir Syiah Ismailiyah terkemuka (w. 971). Sebagian kaum Muslim sering berbicara tentang Tuhan secara antropomorfis, menjadikannya seperti manusia yang mahaperkasa, sedangkan yang lain menanggalkannya dari seluruh makna religius dan mereduksinya menjadi sebuah konsep. Sebaliknya, Al-Sijistani menganjurkan penggunaan penyangkalan ganda. Menurutnya, kita mesti mulai dengan menyatakan Tuhan secara negatif, misalnya dengan menyatakan bahwa dia "bukan wujud" daripada "wujud", "tidak tahu" daripada "mengetahui", dan seterusnya. Namun, kita harus segera menyangkal penegasian yang abstrak ini dengan menyatakan bahwa Tuhan "bukanlah tidak mengetahui" atau bahwa dia "bukan Tiada" dalam pengertian normal kita atas kata tersebut. Dia tidak bersesuaian dengan cara pengungkapan manusia mana pun. Dengan berulang-ulang menggunakan disiplin linguistik ini, kaum batini akan menjadi sadar tentang tidak memadainya bahasa untuk menyampaikan misteri Tuhan. Hamid Al-Din Kirmani (w. 1021), pemikir Syiah Ismailiyah yang belakangan, menjelaskan hebatnya kedamaian dan kepuasan yang diperoleh dari latihan ini dalam karyanya Rahaf Al-Aql. Ini bukanlah latihan otak yang kering dan picik, tetapi menanamkan rasa bermakna dalam setiap detail kehidupan seorang Ismaili. Para penulis Ismailiyah 245 Sejarah Tuhan sering berbicara tentang batin mereka dalam istilah-istilah iluminasi dan transformasi. Takwil tidak dirancang untuk memberikan informasi tentang Tuhan, tetapi untuk menciptakan rasa takjub yang mencerahkan kaum batini pada tingkat yang lebih dalam daripada pemikiran rasional. Takwil juga bukan sebuah pelarian. Kaum Ismaili umumnya adalah aktivis politik. Bahkan Ja'far Al-Shadiq, imam keenam, telah mendefinisikan iman sebagai tindakan. Menurut mereka, seperti halnya Nabi dan para imam, seorang Mukmin harus menjadikan visinya tentang Tuhan membawa pengaruh pada kehidupan di dunia. Cita-cita ini juga dipegang teguh oleh Ikhwan Al-Shafa, Persaudaraan Suci, sebuah kelompok esoterik yang berkembang di Basrah selama abad kejayaan Syiah. Ikhwan mungkin merupakan anak cabang Ismailiyah. Sebagaimana kaum Ismaili, mereka mengabdikan diri pada pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya matematika dan astrologi, dan juga pada aksi politik. Seperti kaum Ismaili, Ikhwan juga mencari makna batin yang tersembunyi dalam kehidupan. Suratsurat (rasail) mereka, yang telah menjadi ensiklopedi ilmu filsafat, sangat terkenal dan tersebar luas hingga ke Spanyol yang jauh di sebelah barat. Ikhwan juga memadukan sains dan mistisisme. Matematika dipandang sebagai pengantar ke filsafat dan psikologi. Sejumlah bilangan mengungkapkan berbagai kualitas yang inheren di dalam jiwa dan merupakan metode konsentrasi yang membuat seorang ahli mampu menyadari sistem kerja pikirannya. Sebagaimana St. Agustinus yang memandang pengenalan diri sangat diperlukan bagi pengenalan Tuhan, pemahaman diri yang mendalam juga menjadi inti mistisisme Islam. Kaum Sufi, ahli mistik Sunni yang dengannya kaum Syiah Ismailiyah merasa memiliki kaitan erat, memiliki sebuah aksioma: "Siapa yang mengenal dirinya pasti akan mengenal Tuhannya." Aksioma ini tertulis dalam surat pertama Ikhwan Al-Shafa.6 Ketika mereka berkontemplasi tentang bilangan-bilangan jiwa, mereka terbawa kembali kepada Yang Esa, hakikat diri manusia di pusat kedalaman jiwa. Ikhwan juga sangat dekat dengan para faylasuf. Seperti halnya kaum rasionalis Muslim, mereka menekankan ketunggalan kebenaran, yang harus dicari di mana saja. Seorang pencari tidak boleh "menolak ilmu apa pun, mencela kitab apa pun, bergantung secara fanatik pada satu keyakinan apa pun."7 Mereka mengembangkan konsepsi ketuhanan Neoplatonis, yakni konsep Plotinus tentang Yang Esa yang tak dapat dijangkau oleh pemahaman manusia. Seperti para faylasuf, mereka lebih menyepakati doktrin emanasi 246 Tuhan Para Filosof Platonis daripada doktrin tradisional Al-Quran tentang penciptaan ex nihilo: dunia mengungkapkan akal ilahi, dan manusia dapat berpartisipasi di dalam yang ilahi dan kembali kepada Yang Esa dengan menyucikan kekuatan nalarnya. Falsafah mencapai puncaknya dalam karya Abu Ali ibn Sina (980-1037) yang di Barat dikenal dengan julukan Avicenna. Dilahirkan di lingkungan keluarga pengikut Syiah di dekat Bukhara, Asia Tengah, Ibn Sina juga dipengaruhi oleh kaum Ismaili yang sering datang dan beradu argumentasi dengan ayahnya. Dia tumbuh sebagai anak yang berbakat; ketika berusia enam belas tahun dia menjadi penasihat bagi para ahli kedokteran penting, dan pada usia delapan belas tahun dia telah menguasai matematika, logika, dan fisika. Namun, dia mengalami kesulitan memahami filsafat Aristoteles dan baru memperoleh kejelasan setelah membaca karya Al-Farabi Intentions of Aristotle's Metaphysics. Dia hidup sebagai seorang dokter peripatetik, berkelana ke seluruh pelosok negeri Islam, dan bergantung kepada pemberi santunan. Pada suatu ketika, dia menjadi wazir di pemerintahan Dinasti Buwaihi yang Syiah di wilayah Iran Barat dan Irak Selatan sekarang. Sebagai intelektual yang brilian dan cemerlang, Ibn Sina bersikap rendah hati. Dia juga seorang yang sensualis dan konon meninggal dunia cukup muda pada usia 58 tahun. Ibn Sina menyadari bahwa falsafah perlu disesuaikan dengan perubahan keadaan yang tengah melanda imperium Islam. Kekhalifahan Bani Abbas sedang mengalami kemunduran sehingga tak lagi mudah untuk melihat negara kekhalifahan sebagai masyarakat ideal filosofis seperti yang digambarkan oleh Plato dalam Republic. Secara alamiah, Ibn Sina menaruh simpati kepada aspirasi politik Syiah, tetapi dia lebih tertarik kepada Neoplatonisme falsafah, yang diislamisasikannya dengan lebih sukses dibandingkan para faylasuf mana pun sebelumnya. Dia yakin bahwa jika falsafah ingin merabuktikan klaimnya untuk menghadirkan gambaran utuh tentang realitas, ia mesti memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keyakinan agama kepada masyarakat awam, yang—dari sudut pandang mana pun—merupakan fakta utama dalam kehidupan politik, sosial, dan pribadi. Ibn Sina tidak memandang agama wahyu sebagai versi inferior dari falsafah, tetapi berpendapat bahwa seorang nabi, seperti Muhammad lebih tinggi derajatnya daripada filosof mana pun karena dia tidak bergantung kepada akal manusia, tetapi memperoleh pengetahuan langsung dan intuitif dari Tuhan. Ini mirip 247 Sejarah Tuhan dengan pengalaman mistik kaum Sufi dan pernah disebut Plotinus sebagai bentuk kearifan tertinggi. Namun, tidak berarti bahwa akal sama sekali tidak memiliki penalaran tentang Tuhan. Ibn Sina memberikan demonstrasi rasional tentang eksistensi Tuhan berdasarkan buktibukti Aristoteles yang kemudian menjadi standar di kalangan filosof Yudaisme maupun Islam pada akhir abad pertengahan. Ibn Sina maupun para faylasuf sama sekali tidak menaruh keraguan tentang keberadaan Tuhan. Mereka tak pernah ragu bahwa akal manusia tanpa bantuan wahyu dapat tiba pada pengetahuan tentang eksistensi Wujud Tertinggi. Akal adalah aktivitas manusia yang paling mulia: ia adalah bagian dari akal ilahi dan jelas memiliki peran penting dalam menjawab persoalan keagamaan. Ibn Sina berpendapat bahwa orangorang yang memiliki kemampuan intelektual mengemban tugas untuk menemukan Tuhan melalui akal, karena akal dapat memperhalus konsepsi tentang Tuhan serta membebaskannya dari takhayul dan antropomorfisme. Ibn Sina dan para pengikutnya yang memikirkan demonstrasi rasional tentang eksistensi Tuhan tidak bertentangan dengan kaum teis dalam pengertian kita atas kata itu. Mereka ingin menggunakan akal untuk menemukan sebanyak yang mereka bisa tentang hakikat Tuhan. "Bukti-bukti" Ibn Sina dimulai dengan pertimbangan tentang cara pikiran kita bekerja. Ke mana pun kita mengarahkan pandangan di dunia ini, kita melihat wujud-wujud senyawa yang terdiri dari sejumlah unsur berbeda. Sebuah pohon, misalnya, terdiri atas kayu, kulit kayu, getah, dan daun. Ketika kita mencoba untuk mengerti sesuatu, kita "menganalisis"-nya, memecahnya ke dalam bagian-bagian komponennya hingga tak ada lagi pembagian yang mungkin. Unsur-unsur sederhana menjadi primer bagi kita dan wujud senyawa yang dibentuk oleh unsur-unsur itu menjadi sekunder. Oleh karena itu, kita terusmenerus mencari penyederhanaan bahkan untuk wujud-wujud yang tidak bisa direduksi lagi. Adalah aksioma falsafah bahwa realitas membentuk satu kesatuan yang koheren secara logis; itu berarti bahwa pencarian tanpa akhir kita akan kesederhanaan pastilah mencerminkan keadaan pada skala besarnya. Seperti seluruh penganut Platonis, Ibn Sina merasakan bahwa kemajemukan yang kita lihat di sekeliling kita pasti bergantung pada kesatuan primal. Karena pikiran kita memang memandang benda-benda senyawa sebagai sekunder dan derivatif, kecenderungan ini pasti disebabkan oleh sesuatu di luar pikiran, yaitu realitas yang lebih tinggi dan sederhana. Benda- 248 Tuhan Para Filosof benda senyawa tidak berdiri sendiri, dan wujud yang tidak berdiri sendiri itu lebih rendah daripada realitas tempat mereka bergantung; seperti dalam sebuah keluarga, anak berada pada status lebih rendah daripada ayah yang darinya mereka diturunkan. Sesuatu yang merupakan Kesederhanaan itu sendiri adalah apa yang disebut para filosof sebagai "Wujud Wajib", yakni yang tidak tergantung pada sesuatu yang lain bagi keberadaannya. Adakah wujud yang seperti itu? Seorang faylasuf, seperti Ibn Sina menerima begitu saja bahwa kosmos bersifat rasional dan dalam sebuah semesta yang rasional pastilah ada Wujud yang Tak Disebabkan, Penggerak yang Tak Digerakkan, di puncak hierarki eksistensi. Sesuatu pasti telah memulai rantai sebab akibat. Ketiadaan wujud tertinggi seperti itu akan berarti bahwa pikiran kita tidak selaras dengan realitas secara keseluruhan. Ini, pada gilirannya, berarti bahwa alam semesta tidaklah koheren dan rasional. Wujud sangat sederhana yang kepadanya seluruh realitas majemuk bergantung adalah apa yang disebut agama sebagai "Tuhan". Karena merupakan yang tertinggi di atas segalanya, ia pasti sempurna secara mutlak dan pantas dihormati dan disembah. Namun karena eksistensinya begitu berbeda dari semua yang lain, ia bukanlah salah satu simpul dalam rangkaian mata rantai wujud. Para filosof berpandangan sama dengan Al-Quran bahwa Tuhan adalah kesederhanaan itu sendiri: Tuhan itu Satu. Oleh karena itu, Tuhan tidak bisa dianalisis atau dipecah-pecah ke dalam komponen atau sifat-sifat. Karena wujud ini secara mutlak sederhana, tidak memiliki sebab, tidak berdimensi temporal, dan tak ada sama sekali sesuatu yang bisa dikatakan mengenainya. Tuhan tidak bisa menjadi objek pemikiran diskursif, karena otak kita tidak bisa mencakup Tuhan seperti caranya mencakup hal-hal lain. Karena Tuhan itu secara esensial unik, dia tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun yang ada dalam pengertian yang normal. Akibatnya, tatkala kita berbicara tentang Tuhan, lebih baik kita menggunakan pernyataan negatif untuk membedakannya secara mutlak dari semua hal lain yang kita bicarakan. Namun karena Tuhan merupakan sumber segala sesuatu", kita dapat mempostulatkan hal tertentu tentang dia. Karena kita tahu bahwa kebaikan itu ada, maka Tuhan mestilah merupakan Kebaikan yang esensial atau "wajib"; karena kita tahu bahwa kehidupan, kekuatan, dan pengetahuan itu ada, maka Tuhan pastilah hidup, kuat, dan mengetahui dalam cara yang paling esensial dan sempurna. Aristoteles telah mengajarkan bahwa karena Tuhan adalah Akal 249 Sejarah Tuhan Murni—pada saat yang sama merupakan tindak penalaran serta objek dan subjeknya sekaligus—dia hanya mungkin berpikir tentang dirinya dan tidak memikirkan realitas yang bersifat sementara dan lebih rendah. Ini tidak sesuai dengan gambaran tentang Tuhan di dalam wahyu yang menyebutkan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, hadir dan aktif dalam tatanan makhluk. Ibn Sina mengupayakan sebuah kompromi: Tuhan terlalu agung untuk turun ke taraf mengetahui makhluk-makhluk yang hina dan partikular seperti manusia dan segala perbuatannya. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, "Ada hal-hal yang lebih baik tidak dilihat daripada dilihat."8 Tuhan tidak mungkin mencemari dirinya dengan detail-detail kehidupan di bumi yang remeh dan sangat rendah. Namun di dalam aktivitas pengenalan dirinya yang abadi, Tuhan mengetahui segala sesuatu yang beremanasi darinya dan yang telah diberinya wujud. Tuhan mengetahui bahwa dia adalah sebab bagi makhluk-makhluk fana. Pemikirannya sangat sempurna sehingga berpikir dan bertindak merupakan satu aksi yang sama. Kontemplasi abadinya tentang dirinya sendiri menimbulkan proses emanasi seperti yang telah dijelaskan oleh para faylasuf. Akan tetapi, Tuhan mengetahui kita dan dunia kita hanya secara umum dan universal; dia tidak berurusan dengan yang partikular. Sungguhpun demikian, Ibn Sina tidak puas dengan penjelasan abstrak tentang kodrat Tuhan ini: dia ingin menghubungkannya dengan pengalaman keagamaan kaum beriman, para Sufi, dan kaum batini. Karena tertarik pada psikologi agama, dia menggunakan skema emanasi Plotinian untuk menjelaskan pengalaman kenabian. Pada setiap sepuluh fase emanasi wujud dari Yang Esa, Ibn Sina berspekulasi bahwa sepuluh Akal Murni itu, bersama dengan jiwa-jiwa atau malaikat-malaikat yang menggerakkan kesepuluh bidang Ptolemik, membentuk sebuah alam penengah antara manusia dan Tuhan, yang bersesuaian dengan dunia realitas arketipe yang diimajinasikan oleh kaum batini. Akal-akal ini juga memiliki imajinasi; bahkan mereka adalah Imajinasi dalam keadaan murninya. Melalui alam penengah inilah—bukan melalui akal diskursif—manusia dapat mencapai pengenalan paling lengkap tentang Tuhan. Akal paling akhir dari cakrawala kita—yakni akal kesepuluh—adalah malaikat pembawa wahyu, yang dikenal sebagai Jibril, sumber cahaya dan pengetahuan. Jiwa manusia tersusun dari akal praktis yang berhubungan dengan dunia ini, dan akal kontemplatif yang mampu hidup berdampingan dengan Malaikat Jibril. Dengan demikian, menjadi mungkin bagi 250 Tuhan Para Filosof nabi-nabi untuk mendapatkan pengetahuan intuitif dan imajinatif tentang Tuhan, serupa dengan pengetahuan yang dimiliki Akal yang mentransendensi akal praktis dan diskursif. Pengalaman kaum Sufi memperlihatkan bahwa manusia dimungkinkan untuk mencapai visi tentang Tuhan secara filosofis tanpa menggunakan logika dan rasionalitas. Sebagai pengganti silogisme, mereka menggunakan alat-alat imajinatif berupa simbol dan kiasan. Nabi Muhammad Saw. telah menyempurnakan penyatuan langsung dengan alam suci ini. Tafsiran psikologis tentang visi dan wahyu ini akan memampukan para Sufi yang berkecenderungan filosofis untuk mendiskusikan pengalaman keagamaan mereka sendiri, seperti yang akan kita saksikan pada bab mendatang. Pada akhir hayatnya Ibn Sina tampaknya telah menjadi seorang mistikus pula. Dalam risalahnya Kitab Al-Isyarat (Kitab Peringatan), dia dengan jelas menjadi sangat kritis pada pendekatan rasional terhadap Tuhan, yang menurutnya melelahkan. Dia beralih kepada apa yang disebutnya "Filsafat Timur" (al-hikmah al-masyriqiyyah). Ini tidak mengacu pada arah timur secara geografis, melainkan kepada sumber cahaya. Dia bermaksud menulis sebuah risalah esoterik menggunakan metode yang didasarkan pada disiplin iluminasi (isyraq) serta rasiosinasi. Kita tak yakin apakah dia memang pernah menulis risalah itu: sekiranya pun pernah, tentu risalah itu telah hilang. Namun, sebagaimana juga akan kita saksikan pada bab mendatang, filosof besar Iran, Yahya Suhrawardi mendirikan aliran Isyraqi yang memang menggabungkan filsafat dengan spiritualitas dalam cara yang pernah direncanakan oleh Ibn Sina. Ilmu kalam dan falsafah telah mengilhami sebuah gerakan intelektual yang sama di kalangan orang-orang Yahudi yang berdomisili di kerajaan Islam. Mereka mulai menulis filsafat mereka sendiri dalam bahasa Arab dan untuk pertama kali memperkenalkan unsur metafisika dan spekulasi ke dalam Yudaisme. Berbeda dengan para faylasuf Muslim, para filosof Yahudi tidak melibatkan diri ke dalam seluruh rentang ilmu filsafat tetapi memusatkan perhatian terutama pada masalah-masalah keagamaan. Mereka merasa harus menjawab tantangan Islam dengan cara mereka sendiri, dan itu melibatkan pencocokan Tuhan Alkitab yang personalistik dengan Tuhan para faylasuf. Seperti kaum Muslim, mereka tidak nyaman dengan penggambaran Tuhan secara antropomorfis di dalam kitab suci dan Talmud. Mereka bertanya kepada diri sendiri bagaimana Tuhan yang seperti 251 Sejarah Tuhan itu bisa sama dengan Tuhan para filosof. Mereka memikirkan masalah penciptaan alam dan hubungan antara wahyu dengan akal. Meski secara ilmiah tiba pada kesimpulan yang berbeda, mereka sangat tergantung pada para pemikir Muslim. Saadia bin Yoseph (882-942), orang pertama yang melakukan interpretasi filosofis terhadap Yudaisme, adalah seorang Talmudis sekaligus Mu'tazilah. Dia percaya bahwa akal bisa mencapai pengetahuan tentang Tuhan melalui kekuatannya sendiri. Seperti seorang faylasuf, dia memandang pencapaian konsepsi rasional tentang Tuhan sebagai suatu mitzvah, kewajiban agama. Akan tetapi, seperti rasionalis Muslim, Saadia tidak memiliki keraguan sama sekali tentang eksistensi Tuhan. Realitas Tuhan Pencipta tampak begitu jelas bagi Saadia sehingga, dalam karyanya Books of Beliefs and Opinions, dia merasa yang lebih perlu dibuktikan adalah soal kemungkinan keraguan di dalam agama daripada soal iman. Seorang Yahudi tidak dituntut untuk memaksa akalnya menerima wahyu, demikian Saadia berpendapat. Namun itu tidak berarti bahwa Tuhan dapat sepenuhnya dijangkau oleh akal manusia. Saadia mengakui bahwa ide tentang penciptaan dari ketiadaan mengandung banyak kesulitan filosofis dan tak mungkin dijelaskan dalam terma rasional, karena Tuhan yang dikonsepsikan oleh falsafah tidak dapat membuat keputusan mendadak dan memicu perubahan. Bagaimana mungkin alam material bisa berasal dari Tuhan yang sepenuhnya bersifat spiritual? Di sini kita telah mencapai batas akal dan harus menerima saja bahwa alam ini tidak abadi, seperti yang diyakini oleh kaum Platonis, tetapi memiliki permulaan dalam waktu. Ini satu-satunya penjelasan yang mungkin dan bersesuaian dengan kitab suci dan akal sehat. Setelah menerima ini, kita dapat mendeduksikan faktafakta lain tentang Tuhan. Tatanan makhluk telah direncanakan dengan cerdas; ia memiliki hidup dan energi; oleh karena itu, Tuhan yang telah menciptakannya pasti juga memiliki Hikmat, Hidup, dan Kekuatan. Atribut-atribut ini bukanlah hypostases yang terpisah, seperti disiratkan doktrin Trinitas Kristen, tetapi semata-mata merupakan aspek dari Tuhan. Hanya karena bahasa manusia tidak mampu mengungkapkan realitas Tuhan secara memadai maka kita terpaksa menganalisisnya lewat cara ini dan seolah merusak simplisitas mutlak Tuhan. Jika kita ingin bicara sangat eksak tentang Tuhan, kita hanya bisa menyatakan bahwa dia ada. Saadia tidak membuang semua deskripsi positif tentang Tuhan. Dia juga tidak mendahulukan 252 Tuhan Para Filosof konsepsi para filosof tentang Tuhan yang jauh dan impersonal daripada Tuhan Alkitab yang personal dan antropomorfis. Ketika, misalnya, dia mencoba menjelaskan penderitaan yang terlihat di dunia, Saadia bersandar pada solusi para penulis Hikmat dan Talmud. Penderitaan, katanya, merupakan hukuman atas dosa; ia menyucikan dan mendisiplinkan kita dengan maksud membuat kita menjadi rendah hati. Penjelasan ini tidak akan memuaskan bagi seorang faylasuf sejati karena menjadikan Tuhan sangat manusiawi dan menisbahkan rencana serta maksud kepadanya. Akan tetapi, Saadia tidak melihat Tuhan dalam konsepsi kitab suci lebih rendah daripada Tuhan dalam falsafah. Para nabi lebih tinggi daripada para filosof. Pada akhirnya, akal hanya dapat berupaya untuk membuktikan secara sistematis apa-apa yang telah diajarkan oleh kitab suci. Seorang Yahudi lainnya mengambil langkah lebih jauh. Dalam karyanya Fountain of Life, Solomon ibn Gabirol (kl. 1022-1070) yang Neoplatonis tidak dapat menerima doktrin penciptaan ex nihilo, tetapi berupaya menyesuaikan teori emanasi untuk memungkinkan penisbahan spontanitas dan kehendak bebas kepada Tuhan. Dia mengklaim bahwa Tuhan telah menghendaki atau menginginkan proses emanasi. Dengan demikian, proses itu tidak terlalu mekanistik dan menunjukkan bahwa Tuhan mengendalikan hukum-hukum eksistensi, bukannya tunduk pada dinamika yang sama. Namun, Gabirol gagal menjelaskan secara memuaskan bagaimana materi bisa berasal dari Tuhan. Seorang Yahudi lain kurang inovatif. Bahya ibn Pakudah (w. kl. 1080) bukanlah seorang Platonis fanatik, tetapi menggunakan metodemetode kalam ketika dia rasa sesuai. Seperti Saadia, dia berpendapat bahwa Tuhan telah menciptakan alam pada saat tertentu. Alam tentu saja tidak muncul secara kebetulan: itu adalah gagasan yang sama anehnya dengan mengatakan bahwa sebuah paragraf yang tertulis dengan indah mewujud ketika tinta tumpah di atas kertas. Keteraturan dan adanya tujuan alam membuktikan keharusan adanya Pencipta, sebagaimana diungkapkan kitab suci. Setelah mengetengahkan doktrin yang sangat tidak filosofis ini, Bahya beralih dari kalam ke falsafah, menguraikan bukti-bukti Ibn Sina bahwa pastilah ada sebuah Wujud Wajib. Bahya percaya bahwa dua kelompok manusia yang mampu menyembah Tuhan dengan sempurna adalah para nabi dan filosof. Nabi memiliki pengetahuan langsung dan intuitif tentang Tuhan, sedangkan filosof mempunyai pengetahuan rasional mengenainya. 253 Sejarah Tuhan Manusia selain mereka hanya menyembah Tuhan yang diproyeksikan pikiran sendiri. Mereka semua tak lebih seperti orang buta yang hams dibimbing oleh orang lain jika tak mampu membuktikan sendiri eksistensi dan keesaan Tuhan. Bahya sama elitisnya dengan para faylasuf, tetapi dia juga mempunyai kecenderungan Sufistik yang kuat: akal dapat memberi tahu kita bahwa Tuhan itu ada tetapi tak mampu menyampaikan apa pun mengenai Tuhan. Seperti bisa terlihat dari judulnya, risalah Bahya Duties of the Heart menganjurkan penggunaan akal untuk membantu seseorang menumbuhkan sikap yang layak kepada Tuhan. Ketika Neoplatonisme bertentangan dengan Yudaisme, dia dengan mudah mencampakkannya. Pengalaman keagamaannya tentang Tuhan lebih didahulukan daripada semua metode rasionalistik. Akan tetapi, jika akal tak mampu menyampaikan kepada kita apa pun tentang Tuhan, lantas apa gunanya diskusi rasional tentang persoalan-persoalan teologis? Pertanyaan ini telah menyibukkan pemikir Muslim Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111), figur penting dan ternama dalam sejarah filsafat agama. Dilahirkan di Khurasan, dia belajar kalam di bawah bimbingan Al-Juwaini, seorang teolog Asy'ariah terkemuka. Pada usia tiga puluh tiga tahun Al-Ghazali diangkat sebagai direktur Masjid Nizamiyah yang terkenal di Bagdad. Tugasnya adalah mempertahankan doktrin-doktrin Sunni dari serangan Syiah Ismailiyah. Akan tetapi, Al-Ghazali memiliki temperamen gelisah yang membuatnya tak henti-henti bergumul mencari kebenaran, memikirkan suatu persoalan sampai tuntas dan menolak untuk puas dengan jawaban yang mudah dan konvensional. Seperti yang dikatakannya kepada kita, Aku telah menerobos setiap celah yang gelap, aku telah menyerang setiap persoalan, aku telah menyelam ke dalam setiap lautan. Aku telah meneliti akidah semua sekte, aku telah menelanjangi semua doktrin rahasia setiap komunitas. Semua ini kulakukan agar aku dapat membedakan antara kebenaran dan kesesatan, antara tradisi yang sahih dan pembaruan yang bid'ah.9 Dia mencari sejenis kepastian tak tergoyahkan yang dirasakan filosof seperti Saadia, tetapi dia menjadi semakin kecewa. Betapa pun luasnya pencarian yang telah dia lakukan, kepastian mutlak selalu luput darinya. Tokoh-tokoh yang sezaman dengannya mencari Tuhan dalam berbagai cara, sesuai kebutuhan pribadi dan kejiwaan 254 Tuhan Para Filosof mereka masing-masing: dalam kalam, melalui seorang imam, dalam falsafah, dan dalam mistisisme Sufi. Al-Ghazali tampaknya telah mempelajari semua disiplin ini dalam upayanya untuk memahami "apa hakikat segala sesuatu dalam dirinya sendiri."10 Para pengikut keempat aliran besar Islam yang ditelitinya mengklaim keyakinan total tetapi, Al-Ghazali bertanya, bagaimana membuktikan kebenaran klaim ini secara objektif? Al-Ghazali menyadari, seperti halnya setiap kaum skeptik modern, bahwa kepastian mutlak merupakan suatu kondisi psikologis yang tidak selalu benar secara objektif. Para faylasuf menyatakan bahwa mereka memperoleh pengetahuan yang pasti melalui argumen rasional; para mistikus berpendapat bahwa mereka telah menemukannya lewat latihan-latihan Sufistik; kelompok Syiah Ismailiyah merasa bahwa kepastian itu hanya bisa ditemukan dalam ajaran imamimam mereka. Akan tetapi, realitas yang kita sebut "Tuhan" tidak bisa diuji secara empiris, jadi bagaimana bisa kita meyakini bahwa kepercayaan-kepercayaan kita itu bukanlah khayalan belaka? Buktibukti rasional yang lebih konvensional gagal memuaskan standar ketat Al-Ghazali. Para teolog kalam memulai dengan proposisiproposisi yang dijumpai di dalam Al-Quran, tetapi tidak pernah diverifikasi hingga bebas dari keraguan rasional. Kaum Ismaili bergantung pada ajaran seorang imam yang gaib dan tidak dapat dihubungi, tapi bagaimana kita bisa memastikan bahwa imam itu mendapat inspirasi ilahi, dan jika kita tidak bisa bertemu dengannya, apa makna inspirasi itu? Falsafah adalah yang paling tidak memuaskan di antara semuanya. Al-Ghazali mengarahkan sebagian besar polemiknya kepada Al-Farabi dan Ibn Sina. Karena berkeyakinan bahwa mereka hanya dapat didebat oleh seorang ahli dalam bidang falsafah, Al-Ghazali mempelajari disiplin tersebut selama tiga tahun hingga dia betul-betul menguasainya. 11 Dalam risalahnya Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Falsafah), Al-Ghazali berargumen bahwa para faylasuf itu telah menimbulkan persoalan. Jika falsafah membatasi diri pada fenomena duniawi yang teramati, seperti halnya kedokteran, astronomi, atau matematika, tentu ia akan sangat berfaedah tetapi tidak mampu menyatakan apa-apa tentang Tuhan. Bagaimana mungkin orang bisa membuktikan doktrin emanasi, entah dengan cara apa pun? Berdasarkan autoritas apa para faylasuf itu menyimpulkan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang bersifat umum dan universal, bukan yang partikular? Bagaimana mereka membuktikan ini? Argumen mereka bahwa Tuhan 255 Sejarah Tuhan terlalu agung untuk mengetahui realitas-realitas yang lebih rendah adalah tidak layak: sejak kapan ketidaktahuan terhadap sesuatu dipandang sebagai keunggulan? Tak ada cara untuk membuktikan proposisi-proposisi ini secara memuaskan. Karenanya, para faylasuf itu tidak rasional dan tidak filosofis sebab berusaha mencari pengetahuan yang terletak di luar kapasitas akal dan tidak bisa diverifikasi oleh indra. Apakah yang tersisa bagi seorang pencari kebenaran yang tulus? Apakah iman yang teguh kepada Tuhan menjadi mustahii? Serentetan pertanyaan ini menyebabkan Al-Ghazali tertekan. Dia kehilangan gairah, kehilangan selera makan, dan dibelit rasa putus asa. Akhirnya, sekitar tahun 1094, dia merasa tidak mampu lagi untuk berbicara atau memberi kuliah: Tuhan telah melumpuhkan lidahku sehingga aku tak bisa lagi mengajar. Aku pernah memaksakan diri untuk mengajar murid-muridku di suatu hari, namun lidahku tak mampu mengucap sepatah kata pun.12 Al-Ghazali mengalami depresi klinis. Para dokter dengan tepat mendiagnosis adanya konflik batin mendalam dan mengatakan bahwa jika dia tidak terbebas dari kecemasan tersembunyinya, dia tak akan pernah sembuh. Khawatir akan ancaman neraka jika tidak berhasil mengobati keimanannya, Al-Ghazali memutuskan untuk meninggalkan jabatan akademisnya yang prestisius dan menempuh jalan kaum Sufi. Di sanalah dia menemukan apa yang dicarinya selama ini. Tanpa mengabaikan akal—Al-Ghazali selalu tidak mempercayai bentukbentuk Sufisme yang lebih mencolok—dia menemukan bahwa latihan mistik menghasilkan pemahaman langsung dan intuitif mengenai sesuatu yang disebut "Tuhan." Sarjana Inggris John Bowker menunjukkan bahwa kata Arab untuk eksistensi (wujud) berasal dari akar kata wajada: "dia menemukan."13 Oleh karena itu, secara harfiah wujud berarti "apa yang bisa ditemukan". Kata ini lebih konkret daripada istilah-istilah metafisika Yunani sehingga memberi jalan yang lebih lapang kepada kaum Muslim. Seorang filosof Arab yang berupaya membuktikan bahwa Tuhan itu ada tidak harus menempatkan Tuhan sebagai satu objek di antara banyak objek lain. Dia hanya harus membuktikan bahwa Tuhan dapat ditemukan. Satu-satunya bukti mutlak atas wujud Tuhan akan muncul—atau tidak—ketika seorang Mukmin berhadapan dengan realitas ilahi setelah kematian. Tetapi, 256 Tuhan Para Filosof pernyataan orang-orang seperti para nabi dan kaum mistik yang mengklaim telah mengalami hal itu dalam kehidupan ini harus disikapi dengan hati-hati. Kaum Sufi tentu mengklaim bahwa mereka telah memiliki pengalaman tentang wujud Tuhan: kata wajd merupakan sebuah istilah teknis dalam pemahaman ekstatik tentang Tuhan yang memberi keyakinan utuh bahwa wujud itu nyata, bukan cuma fantasi. Tentu saja pernyataan seperti itu bisa mengandung klaim yang palsu, namun setelah sepuluh tahun menjalani kehidupan sebagai seorang Sufi, Al-Ghazali berpendapat bahwa pengalaman keagamaan merupakan satu-satunya cara untuk memverifikasi realitas yang berada di luar jangkauan akal manusia dan proses pemikiran. Pengetahuan kaum Sufi tentang Tuhan bukan merupakan pengetahuan rasional atau metafisik, tetapi benar-benar sama dengan pengalaman intuitif para nabi sejak dahulu kala: para Sufi dengan demikian telah menemukan sendiri kebenaran esensial Islam dengan menghidupkan kembali pengalaman intinya. Oleh karena itu, Al-Ghazali merumuskan sebuah kredo mistik yang dapat diterima oleh mayoritas Muslim, yang sering menaruh kecurigaan terhadap mistik Islam, seperti yang akan kita saksikan pada bab selanjutnya. Seperti Ibn Sina, Al-Ghazali mempertimbangkan kembali kepercayaan kuno mengenai alam ideal yang berada di atas dunia material yang indriawi ini. Dunia indriawi (alam alsyahadati) merupakan replika inferior dari apa yang kita sebut alam akal Platonik (alam al-malakut), sebagaimana yang diyakini setiap faylasuf. Al-Quran dan Alkitab kaum Yahudi maupun Kristen telah berbicara tentang alam spiritual ini. Manusia berada di kedua wilayah realitas itu: dia masuk ke alam fisikal maupun alam ruh yang lebih tinggi karena Tuhan telah menorehkan citra keilahian di dalam dirinya. Dalam risalah mistiknya Misykat Al-Anwar, Al-Ghazali menafsirkan Surah Al-Nur yang telah saya kutip dalam bab yang lalu.14 Cahaya di dalam ayat ini merujuk kepada Tuhan maupun objek-objek lain yang bersinar: pelita, bintang. Akal kita juga memancarkan cahaya. Akal kita bukan hanya membuat kita mampu mempersepsikan objekobjek lain tetapi, seperti Tuhan sendiri, akal mampu melampaui ruang dan waktu. Oleh karena itu, ia berasal dari realitas yang sama dengan alam ruh. Namun dengan maksud memperjelas bahwa yang dimaksudnya dengan "akal" tidak semata-mata merujuk kepada daya analitis dan otak kita, Al-Ghazali mengingatkan pembaca bahwa penjelasannya tidak dapat dipahami secara harfiah: kita hanya bisa 257 Sejarah Tuhan mendiskusikan persoalan ini dalam bahasa figuratif yang menyampaikan imajinasi kreatif. Naraun demikian, ada orang yang memiliki daya yang lebih tinggi daripada akal, yang oleh Al-Ghazali disebut "ruh kenabian." Orang-orang yang tidak memiliki fakultas ini tidak boleh begitu saja menolak keberadaannya hanya karena belum pernah mengalaminya. Itu sama absurdnya dengan orang tuli yang mengklaim bahwa musik adalah ilusi, hanya karena dia tidak mampu mengapresiasinya. Kita dapat mengetahui sesuatu mengenai Tuhan dengan menggunakan daya nalar dan imajinasi kita, tetapi jenis pengetahuan tertinggi ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang, seperti para nabi atau kaum mistik yang memiliki fakultas istimewa yang mampu-mencerap- Tuhan. Ini kedengarannya bernada elitis, tetapi kaum mistik dalam tradisi lain juga mengklaim bahwa kualitas-kualitas intuitif dan reseptif yang dituntut oleh disiplin, seperti meditasi Zen atau Buddhis merupakan bakat istimewa, yang bisa dibandingkan dengan bakat menulis puisi. Tidak setiap orang memiliki bakat mistik ini. Al-Ghazali menggambarkan pengetahuan mistik ini sebagai sebuah kesadaran bahwa hanya Sang Penciptalah yang ada atau memiliki wujud. Hasilnya adalah peniadaan diri dan peleburan di dalam Tuhan. Kaum mistik mampu melampaui alam metafora, yang mesti memuaskan makhlukmakhluk dengan karunia yang lebih sedikit; mereka, mampu melihat bahwa tak ada wujud di dunia kecuali Tuhan dan bahwa segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah Tuhan (QS Al-Qashash [28]: 88) ... Bahkan, segala sesuatu selain dia adalah murni non-wujud dan, dilihat dari sudut pandang wujud yang diterimanya dari Akal Pertama [dalam skema Platonis], tidak memiliki wujud dengan sendirinya melainkan bergantung pada wajah Penciptanya, sehingga satu-satunya yang ada hanyalah Wajah Tuhan.15 Tuhan bukanlah Wujud objektif eksternal yang eksistensinya dapat dibuktikan secara rasional, tetapi adalah realitas yang menyelimuti semua dan merupakan eksistensi tertinggi yang tidak bisa dipersepsikan seperti kita mempersepsikan wujud-wujud yang bergantung kepadanya dan menjadi bagian dari eksistensinya yang wajib: kita harus mengembangkan cara melihat yang khusus. Al-Ghazali akhirnya kembali kepada tugas mengajarnya di Bagdad, tetapi tak pernah surut dalam keyakinannya bahwa adalah mustahil membuktikan keberadaan Tuhan dengan logika dan bukti rasional. 258 Nurul eBook H oleuhda : Kariem MR. MR. Collection's Tuhan Para Filosof Dalam risalah biografisnya Al-Munqidz min Al-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan), dengan bersemangat dikemukakannya bahwa baik falsafah maupun kalam tidak bisa memuaskan seseorang yang tengah berada dalam bahaya hilangnya keimanan. Dia sendiri pernah jatuh ke dalam jurang skeptisisme (safsafah) ketika disadarinya bahwa sama sekali tak mungkin untuk membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Realitas yang kita sebut "Tuhan" berada di luar persepsi indra dan pemikiran logis sehingga sains dan metafisika tidak bisa membuktikan maupun menolak bukti wujud Allah. Bagi mereka yang tidak dikaruniai bakat mistikal atau kenabian khusus, Al-Ghazali telah merancang suatu disiplin yang memampukan seorang Muslim menumbuhkan kesadaran tentang realitas Tuhan dalam setiap perincian kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali telah membuat kesan yang tak terhapuskan di dalam Islam. Takkan pernah lagi kaum Muslim membuat asumsi ceroboh bahwa Tuhan adalah sama seperti wujud lain yang eksistensinya dapat didemonstrasikan secara ilmiah atau filosofis. Sejak saat itu filsafat Muslim menjadi tak terpisahkan dari spiritualitas dan pembahasan yang lebih mistikal tentang Tuhan. Al-Ghazali juga berpengaruh terhadap Yudaisme. Filosof Spanyol Joseph ibn Saddiq (w. 1143) menggunakan dalil Ibn Sina tentang eksistensi Tuhan, tetapi secara hati-hati menyimpulkan bahwa Tuhan bukan sekadar wujud yang lain—satu dari sekian banyak hal yang "ada" dalam pengertian lazim kita atas kata tersebut. Kalau kita mengklaim memahami Tuhan, maka berarti Tuhan itu terbatas dan tidak sempurna. Pernyataan paling tepat yang bisa kita buat tentang Tuhan adalah bahwa dia tidak bisa dipahami, sangat jauh dari jangkauan daya intelektual alamiah kita. Kita bisa saja berbicara tentang aktivitas Tuhan di dunia dalam terma-terma positif namun tidak mengenai esensi Tuhan (Al-Dzaf), yang akan senantiasa luput dari kita. Ahli kedokteran dari Toledo, Judah Halevi (1085-1141), menjadi pengikut setia Al-Ghazali. Tuhan tidak bisa dibuktikan secara rasional; ini tidak berarti bahwa keimanan kepada Tuhan menjadi tidak rasional melainkan bahwa demonstrasi logis tentang eksistensi Tuhan tidak memiliki nilai keagamaan. Bukti logis itu menyampaikan informasi yang sangat sedikit: tak ada cara untuk memastikan tanpa ragu bagaimana Tuhan impersonal yang begitu jauh itu dapat menciptakan alam material atau apakah dia berhubungan dengan alam melalui cara tertentu. Ketika para filosof mengklaim bahwa mereka menjadi satu dengan Akal ilahi yang mengatur kosmos melalui penggunaan 259 Sejarah Tuhan akal, mereka telah menipu diri mereka sendiri. Satu-satunya kelompok manusia yang mempunyai pengetahuan langsung tentang Tuhan adalah para nabi, yang tak memiliki kaitan apa-apa dengan falsafah. Halevi tidak memahami filsafat sebaik Al-Ghazali, namun dia sepakat bahwa pengetahuan yang terandalkan tentang Tuhan adalah melalui pengalaman keagamaan. Seperti Al-Ghazali, dia juga mempostulatkan adanya daya religius khusus, tetapi mengklaim bahwa kemampuan itu hanya dimiliki oleh orang Yahudi. Dia mencoba memperlunak ini dengan menyatakan bahwa goyim (orang bukan Yahudi) dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan melalui hukum alam, tetapi tujuan karya filosofis terbesarnya, The Kuzari, adalah untuk menjustifikasi keunikan posisi Israel di antara bangsa-bangsa lain. Seperti para Rabi Talmud, Halevi percaya bahwa setiap orang Yahudi dapat memperoleh ruh kenabian melalui penunaian mitzvot secara saksama. Tuhan yang ditemukannya bukanlah sebuah fakta objektif yang eksistensinya bisa didemonstrasikan secara ilmiah, tetapi merupakan pengalaman yang secara esensial bersifat subjektif. Dia bahkan bisa dipandang sebagai perluasan diri "alamiah" orang Yahudi: Keilahian menanti orang yang sesuai untuk menjadi tempat bersemayamnya, untuk menjadi Tuhan baginya, sebagaimana dalam kasus para nabi dan orang suci... Seperti halnya jiwa yang menanti untuk masuk ke dalam janin hingga kekuatan hidupnya disempurnakan untuk memampukannya menerima keadaan yang lebih tinggi ini. Dengan cara yang sama, Alam menanti tibanya iklim yang baik agar dia dapat menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman.16 Dengan demikian, Tuhan bukanlah realitas yang asing, orang Yahudi bukanlah wujud autonom yang terjauhkan dari yang ilahi. Tuhan, menurut Halevi, bisa dilihat sebagai penyempurnaan manusia, pemenuhan potensi manusia; lebih jauh lagi, "Tuhan" yang dijumpainya secara unik adalah miliknya sendiri, suatu gagasan yang akan kita telaah lebih dalam pada bab mendatang. Halevi dengan hatihati membedakan antara Tuhan yang dapat dialami oleh orang Yahudi dari esensi Tuhan itu sendiri. Tatkala para nabi dan orang suci mengklaim pernah mengalami "Tuhan", yang mereka alami bukanlah zatnya melainkan hanya aktivitas ilahi melalui semacam berkas kilasan cahaya dari realitas transenden yang tak bisa dijangkau. Akan tetapi, falsafah tidak sepenuhnya mati akibat polemik yang diangkat oleh Al-Ghazali. Di Kordoba, seorang filosof Muslim terkenal 260 Tuhan Para Filosof mencoba menghidupkannya kembali dan mempertahankannya sebagai bentuk tertinggi agama. Abu Al-Walid ibn Ahmad ibn Rusyd (1126-1198), yang di Eropa dikenal sebagai Averroes, menjadi autoritas di Barat bagi kalangan Yahudi maupun Kristen. Selama abad ketiga belas, karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan Latin, dan komentar-komentarnya tentang Aristoteles menimbulkan pengaruh besar terhadap teolog-teolog terkemuka, seperti Maimonides, Thomas Aquinas, dan Albert yang Agung. Pada abad kesembilan belas, Ernest Renan menghormatinya sebagai pribadi yang merdeka dan pelopor rasionalisme menentang kepercayaan buta. Namun, di Dunia Islam sendiri, Ibn Rusyd hanya menjadi figur marjinal. Melalui karya dan pengaruh yang ditimbulkan Ibn Rusyd setelah wafatnya, kita bisa melihat perbedaan cara pendekatan dan konsepsi antara Timur dan Barat tentang Tuhan. Ibn Rusyd dengan bersemangat menolak kritik Al-Ghazali terhadap falsafah dan cara Al-Ghazali raendiskusikan persoalan-persoalan esoterik ini secara terbuka. Berbeda dari pendahulunya, Al-Farabi dan Ibn Sina, Ibn Rusyd adalah seorang qadi, hakim agama, sekaligus pula seorang filosof. Kaum ulama selalu menaruh kecurigaan terhadap falsafah dan konsepsi ketuhanannya yang sangat berbeda, tetapi Ibn Rusyd berhasil menyatukan Aristoteles dengan ajaran Islam yang lebih tradisional. Dia yakin bahwa tidak ada pertentangan apa pun antara agama dan rasionalisme. Keduanya mengekspresikan kebenaran yang sama melalui cara yang berbeda; keduanya juga mengarah kepada Tuhan yang sama. Namun, tidak semua orang mampu memahami pemikiran filosofis sehingga falsafah hanya untuk kalangan elit intelektual. Falsafah akan membingungkan orang awam dan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan yang membahayakan keselamatan abadi mereka. Di sinilah letak pentingnya tradisi esoterik, yang menjaga doktrin-doktrin berbahaya ini dari mereka yang tidak layak menerimanya. Sebagaimana halnya dengan Sufisme dan telaah batini Syiah Ismailiyah; jika orang yang tidak pantas mengupayakan latihan-latihan mental semacam ini, mereka bisa jatuh sakit dan mengalami berbagai bentuk gangguan psikologis. Kalam juga sama bahayanya. Kalam hampir serupa dengan falsafah sejati dan memberi kesan menyesatkan bahwa seseorang terlibat dalam diskusi rasional yang wajar padahal sebenarnya tidak demikian. Akibatnya, kalam hanya menimbulkan perdebatan-perdebatan doktrinal yang tidak berfaedah, yang hanya akan melemahkan iman orang awam dan menggelisahkan mereka. 261 Ibn Rusyd berkeyakinan bahwa penerimaan kebenaran-kebenaran tertentu merupakan hal yang esensial bagi keselamatan di akhirat. Ini adalah pandangan baru dalam Dunia Islam. Para faylasuf merupakan autoritas utama dalam doktrin: hanya merekalah yang mampu menafsirkan kitab suci dan merupakan orang-orang yang digambarkan oleh Al-Quran sebagai golongan yang "mengakar kuat pada ilmu."17 Semua orang lain wajib membaca Al-Quran secara harfiah, tetapi kaum faylasuf mampu mengupayakan penafsiran simbolis. Namun demikian, para faylasuf pun mesti menaati "kredo" doktrin-doktrin wajib, yang disusun Ibn Rusyd sebagai berikut: 1. Eksistensi Tuhan sebagai Pencipta dan Pelindung alam semesta. 2. Keesaan Tuhan. 3- Sifat-sifat mengetahui, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan berkata-kata di dalam Al-Quran telah dinisbahkan kepada Allah. 4. Keunikan dan ketiadaan sekutu bagi Tuhan, yang secara jelas telah ditegaskan di dalam Al-Quran (QS Al-Syura [42]: 9): "Tak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya." 5. Penciptaan alam oleh Tuhan. 6. Keabsahan kenabian. 7. Keadilan Tuhan. 8. Kebangkitan jasmani di Hari Akhir.18 Doktrin-doktrin tentang Tuhan harus diterima in toto, karena Al- Quran menyatakannya dengan teramat gamblang. Falsafah tidak selalu berkenaan dengan kepercayaan pada penciptaan alam, misalnya, sehingga tidak jelas bagaimana seharusnya memahami doktrin Al-Quran mengenai hal itu. Walaupun Al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam, tetapi tidak dijelaskan bagaimana Tuhan melakukannya atau apakah alam diciptakan pada saat tertentu. Ini membuat para faylasuf bebas mengadopsi keyakinan kaum rasionalis. Di samping itu, Al-Quran menyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti mengetahui, tetapi kita tidak tahu pasti apa arti sifat itu karena konsepsi kita tentang pengetahuan bersifat manusiawi dan tidak sempurna. Oleh karena itu, pernyataan Al-Quran bahwa Tuhan mengetahui segala apa yang kita kerjakan tidak secara mutlak bertentangan dengan keyakinan para filosof. 262 Sejarah Tuhan Tuhan Para Filosof Dalam Dunia Islam, mistisisme sangatlah penting sehingga konsepsi ketuhanan Ibn Rusyd, yang didasarkan sepenuhnya pada teologi kaum rasionalis, tak banyak berpengaruh. Ibn Rusyd adalah tokoh yang terhormat dengan kedudukan sekunder di dalam Islam, tetapi dia justru menjadi sangat penting di dunia Barat. Sebab, melalui dirinyalah dunia Barat menemukan Aristoteles dan mengembangkan konsepsi yang lebih rasionalistik tentang Tuhan. Kebanyakan orang Barat memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang kebudayaan Islam dan tidak mengetahui perkembangan filsafat sesudah Ibn Rusyd. Karenanya sering muncul dugaan bahwa karier Ibn Rusyd menandai akhir filsafat Islam. Sebenarnya pada masa kehidupan Ibn Rusyd, dua filosof besar yang sangat berpengaruh di Dunia Islam mulai menuliskan karya mereka di Irak dan Iran. Yahya Suhrawardi dan Muhyiddin Ibn Al-Arabi, yang lebih mengikuti jejak Ibn Sina daripada Ibn Rusyd, berupaya menyandingkan filsafat dengan spiritualitas. Kita akan menelaah karya mereka di dalam bab mendatang. Pengikut Ibn Rusyd yang terkemuka di dunia Yahudi adalah seorang Talmudis dan filosof, Rabi Musa ibn Maimun (1135-1204), yang biasa dikenal sebagai Maimonides. Seperti Ibn Rusyd, Maimonides asli kelahiran Kordoba, ibu kota Spanyol Islam. Di kota ini terdapat konsensus bahwa ada jenis filsafat yang sangat esensial untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam tentang Tuhan. Namun, Maimonides mesti meninggalkan Spanyol ketika nyawanya terancam oleh sekte Berber fanatik, Al-Morawi, yang memerangi masyarakat Yahudi. Benturan menyakitkan dengan fundamentalisme abad pertengahan ini tidak membuat Maimonides memusuhi Islam secara keseluruhan. Bersama orangtuanya, dia menetap di Mesir. Di sini dia mendapat jabatan tinggi dalam pemerintahan dan bahkan menjadi dokter bagi sultan. Di kota ini pula dia menulis risalahnya yang populer The Guide for the Perplexed, yang mengetengahkan argumen bahwa keyakinan Yahudi bukan merupakan seperangkat doktrin yang arbitrer, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip yang rasional. Seperti Ibn Rusyd, Maimonides percaya bahwa falsafah, sebagai bentuk pengetahuan agama yang paling maju dan membentangkan jalan menuju Tuhan, tidak boleh diungkapkan kepada orang awam tetapi harus disimpan oleh para elit. Namun, berbeda dengan Ibn Rusyd, dia berkeyakinan bahwa orang awam bisa diajar untuk menafsirkan kitab suci secara simbolis, agar mereka terhindar dari pandangan antropomorfis tentang Tuhan. Dia juga percaya bahwa ada beberapa 263 Sejarah Tuhan doktrin yang penting bagi penyelamatan dan mengusulkan tiga belas kredo yang sangat mirip dengan yang disusun Ibn Rusyd: . 1. Eksistensi Tuhan. 2. Keesaan Tuhan. 3. Tuhan bukan materi. 4. Keabadian Tuhan. 5. Larangan menyembah berhala. 6. Keabsahan kenabian. 7. Musa adalah yang paling utama di antara pada nabi. 8. Kebenaran berasal dari Tuhan. 9. Keabsahan abadi Taurat. 10. Tuhan mengetahui perbuatan manusia. 11. Dia akan menghakimi dengan adil. 12. Dia akan mengutus seorang Al-Mahdi. 13. Kebangkitan orang yang telah mati.19 Ajaran ini dianggap bid'ah dalam Yudaisme dan tidak penah diterima sepenuhnya. Sebagaimana dalam Islam, ortodoksi (sebagai lawan dari ortopraksi) tidak dikenal dalam pengalaman keagamaan Yahudi. Kredo Ibn Rusyd dan Maimonides menyarankan bahwa pendekatan rasionalistik dan intelektualistik terhadap agama akan mengarah kepada dogmatisme dan identifikasi "iman" sebagai "kepercayaan yang benar". Sungguhpun demikian, Maimonides dengan hati-hati menyatakan bahwa Tuhan secara esensial tidak bisa dipahami dan tak dapat dijangkau oleh akal manusia. Dia membuktikan eksistensi Tuhan dengan menggunakan argumen-argumen Aristoteles dan Ibn Sina tetapi bersiteguh bahwa Tuhan tetap tidak bisa dijangkau atau dijelaskan karena simplisitas absolutnya. Nabi-nabi pun menggunakan kiasan dan mengajarkan kepada kita bahwa pembicaraan yang bermakna tentang Tuhan hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan bahasa simbolis dan perumpamaan. Kita tahu bahwa Tuhan tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun yang ada. Oleh karena itu, lebih baik kita menggunakan terminologi negatif ketika berupaya menguraikannya. Daripada mengatakan bahwa "dia ada" lebih baik kita menyangkal ketiadaannya, dan seterusnya. Sebagaimana kaum Ismaili, penggunaan bahasa negatif dipandang sebagai latihan yang dapat meningkatkan apresiasi kita terhadap transendensi Tuhan, 264 Tuhan Para Filosof mengingatkan kita bahwa kenyataannya sangat berbeda dari gagasan apa pun yang dapat dikonsepsikan manusia mengenai Tuhan. Kita bahkan tidak bisa mengartikan bahwa Tuhan itu "baik" karena dia jauh melampaui apa pun yang kita pahami sebagai "kebaikan". Inilah cara untuk mengakali ketidaksempurnaan kita, mencegah kita dari memproyeksikan harapan dan keinginan kita kepadanya karena hal itu akan menjadikan Tuhan memiliki citra dan kemiripan dengan kita. Namun demikian, kita bisa memakai Via Negativa untuk membentuk pernyataan positif tentang Tuhan. Ketika kita berkata bahwa Tuhan "tidak lemah" (sebagai pengganti menyatakan bahwa dia perkasa), secara logis berarti bahwa Tuhan pasti mampu untuk bertindak. Karena Tuhan "bukan tidak sempurna", tindakannya pasti juga sempurna. Tatkala kita mengatakan Tuhan "tidak bodoh" (artinya dia mahabijaksana), kita dapat mendeduksikan bahwa dia mengetahui dan bijak secara sempurna. Deduksi semacam ini hanya dapat dilakukan sejauh menyangkut aktivitas Tuhan dan tidak tentang esensinya yang tetap berada di luar jangkauan akal kita. Ketika dihadapkan pada pilihan antara Tuhan Alkitab dan Tuhan para filosof, Maimonides selalu memilih yang pertama. Meskipun doktrin creatio ex nihilo secara filosofis tidak ortodoks, Maimonides menganut doktrin biblikal tradisional dan meninggalkan gagasan filosofis tentang emanasi. Seperti yang dikemukakannya, creatio ex nihilo maupun emanasi tidak bisa dibuktikan secara definitif oleh akal semata. Dia juga memandang kenabian lebih tinggi daripada filsafat. Baik nabi maupun filosof berbicara tentang Tuhan yang sama, tetapi nabi pastilah lebih unggul secara imajinatif maupun intelektual. Nabi memiliki pengetahuan intuitif langsung tentang Tuhan yang lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh lewat penalaran diskursif. Maimonides tampaknya juga merupakan seorang mistikus. Dia bicara tentang kemabukan menggetarkan yang menyertai pengalaman intuitif tentang Tuhan, sebuah emosi yang "diakibatkan oleh penyempurnaan daya imajinatif."20 Meskipun sangat menekankan rasionalitas, Maimonides menyatakan bahwa pengetahuan tertinggi tentang Tuhan lebih banyak berasal dari imajinasi bukan dari akal semata. Gagasan-gagasan Maimonides menyebar luas di kalangan orang Yahudi di Prancis Selatan dan Spanyol sehingga pada permulaan abad keempat belas, muncul apa yang kemudian menjadi pencerahan filsafat Yahudi di kawasan itu. Beberapa di antara para filosof Yahudi 265 Sejarah Tuhan ini lebih rasionalistik daripada Maimonides. Levi ben Gershom (1288- 1344) dari Bagnol di Prancis Selatan, misalnya, menolak konsepsi bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat duniawi. Dia mengambil konsepsi ketuhanan para filosof, bukan Tuhan menurut Alkitab. Tak pelak muncul beberapa reaksi. Sebagian orang Yahudi beralih ke mistisisme dan mengembangkan disiplin esoterik Kabbalah, seperti yang akan kita saksikan nanti. Yang lain meninggalkan filsafat ketika musibah menimpa, karena merasa bahwa Tuhan falsafah yang jauh itu ternyata tidak mampu melipur lara mereka. Selama abad ketiga belas dan keempat belas, Perang Penaklukan Kristen mulai berhasil menekan wilayah-wilayah Islam di Spanyol dan menyebarkan anti- Semitisme Eropa Barat ke semenanjung itu yang akhirnya bermuara pada kehancuran Yahudi Spanyol. Selama abad keenam belas orangorang Yahudi meninggalkan falsafah dan mengembangkan konsep yang sama sekali baru, yang lebih diilhami oleh mitologi daripada logika ilmiah. Gerakan penyebaran Kristen oleh orang Barat membuat agama itu terpisah dari tradisi-tradisi monoteistik lain. Perang Salib tahun 1096-1099 menandai keluarnya Eropa dari periode panjang barbarisme yang dikenal sebagai Zaman Kegelapan. Roma baru, didukung oleh negara-negara Kristen Eropa Utara, berupaya untuk memperoleh kembali jalan masuk ke kancah intemasional. Namun Kristen Anglikan, Saxon, dan Frank tidak banyak berkembang. Mereka adalah orangorang agresif dan suka berperang, serta mendambakan agama yang agresif pula. Selama abad kesebelas, para pendeta Benediktin dari biara-biara Cluny dan cabang-cabangnya telah berusaha untuk mengaitkan semangat tempur mereka dengan gereja dan mengajari mereka nilai-nilai Kristen sejati melalui praktik peribadatan, seperti ziarah. Pasukan Salib generasi pertama memandang ekspedisi mereka ke Timur Dekat sebagai ziarah ke Tanah Suci. Namun, mereka masih memiliki konsepsi yang sangat primitif tentang Tuhan dan agama. Para rahib pejuang, seperti St. George, St. Mercury, dan St. Demetrius digambarkan melebihi tuhan dalam kebaikan mereka dan, dalam praktik, hanya sedikit berbeda dari dewa-dewa pagan. Yesus lebih dipandang sebagai pemimpin feodal Perang Salib daripada sebagai inkarnasi Logos: dia mengumpulkan para kesatrianya untuk merebut kembali pusakanya—Tanah Suci—dari kaum kafir. Ketika perjalanan mereka dimulai, sebagian prajurit bertekad untuk membalas kematian Yesus dengan menumpas komunitas Yahudi yang tinggal di sepanjang 266 Tuhan Para Filosof Lembah Rhine. Meski bukan bagian dari gagasan awal Paus Urban II ketika dia menyerukan Perang Salib, namun tampaknya Pasukan Salib bertindak terlalu kejam untuk mengadakan perjalanan sejauh 3.000 mil demi memerangi kaum Muslim yang sama sekali belum mereka kenal, pada saat orang-orang yang diduga telah betul-betul membunuh Yesus malah dibiarkan hidup dan diperlakukan dengan baik di depan mata mereka sendiri. Selama perjalanan panjang dan berat menuju Yerusalem, banyak di antara pasukan nyaris menemui akhir hayatnya. Mereka hanya dapat menggantungkan daya tahan mereka pada asumsi bahwa merekalah bangsa pilihan Tuhan, yang telah memperoleh perlindungan khusus darinya. Tuhan telah membimbing mereka memasuki Tanah Suci seperti yang pernah dilakukannya terhadap orang-orang Israel kuno. Dari sudut pandang praktik, Tuhan mereka masih merupakan dewa kesukuan primitif yang diceritakan dalam kitab-kitab awal Alkitab. Ketika akhirnya berhasil menaklukkan Yerusalem pada musim panas tahun 1099, mereka menumpas habis penduduk Yahudi dan Muslim di kota itu dengan semangat Yoshua dan membantai mereka dengan kebrutalan yang bahkan mencengangkan masyarakat sezamannya. Sejak saat itu orang Kristen Eropa memandang Yahudi dan Muslim sebagai musuh Tuhan; untuk waktu yang lama mereka juga telah merasakan antagonisme mendalam terhadap Kristen Ortodoks Yunani di Byzantium, yang membuat mereka merasa sebagai kaum barbar dan hina.21 Namun keadaannya tidak selalu demikian. Selama abad kesembilan, beberapa orang Kristen Barat yang lebih terpelajar telah diilhami oleh teologi Yunani. Filosof Celtic Duns Sectus Erigena (810-877), misalnya, yang meninggalkan tanah kelahirannya di Irlandia untuk bekerja di istana Charles The Bold, Raja Frank Barat, telah menerjemahkan banyak karya para Bapa Gereja Yunani ke dalam bahasa Latin agar bisa dimanfaatkan oleh orang Kristen Barat, khususnya karya-karya Denys Aeropagite. Erigena sangat percaya bahwa iman dan akal tidak saling eksklusif satu sama lain. Seperti halnya para faylasuf Yahudi dan Muslim, dia memandang filsafat sebagai jalan membentang menuju Tuhan. Plato dan Aristoteles adalah guru bagi orang-orang yang memerlukan penjelasan rasional tentang agama Kristen. Kitab suci dan tulisan para Bapa Gereja mungkin diilhami oleh disiplin penalaran logis dan rasional. Ini bukan berarti penafsiran harfiah: beberapa bagian kitab suci harus ditafsirkan secara simbolis karena, sebagaimana dijelaskan Erigena dalam karyanya 267 Sejarah Tuhan Exposition of Denys's Celestial Hierarchy, teologi merupakan "sejenis puisi."22 Erigena menggunakan metode dialektika Denys dalam pembahasannya tentang Tuhan, yang hanya bisa dijelaskan dengan menggunakan paradoks yang mengingatkan kita kembali pada keterbatasan nalar kemanusiaan kita. Baik pendekatan positif maupun negatif kepada Tuhan adalah sama absahnya. Tuhan tidak bisa dipahami: bahkan para malaikat pun tidak mengetahui atau memahami hakikat esensial Tuhan. Akan tetapi, pemyataan positif, seperti "Tuhan itu bijaksana," bisa dibenarkan karena bila kita merujukkan pernyataan itu kepada Tuhan, maka kita menyadari bahwa kita tidak menggunakan kata "bijaksana" dalam pengertian lazimnya. Selanjutnya kita mengingatkan diri kita tentang hal ini melalui pernyataan negatif, dengan mengatakan "Tuhan tidak bijaksana." Paradoks ini mendorong kita bergerak ke jalan ketiga yang ditempuh Denys ketika berbicara tentang Tuhan, ketika kita menarik kesimpulan: "Tuhan lebih dari bijaksana." Inilah apa yang oleh orang Yunani disebut sebagai pernyataan apofatik karena kita tidak memahami apa makna "lebih dari bijaksana" itu. Lagi-lagi, ini bukan sekadar permainan kata melainkan sebuah disiplin: penyejajaran dua pernyataan yang saling bertentangan itu akan membantu kita menanamkan rasa misteri yang dikandung dalam kata "Tuhan", karena dia tidak pernah bisa dibatasi oleh konsepsi manusia biasa. Ketika menerapkan metode ini pada pernyataan "Tuhan itu ada," Erigena tiba, sebagaimana mestinya, pada sintesis: "Tuhan lebih dari ada." Adanya Tuhan tidak sama seperti adanya makhluk yang diciptakannya dan dia bukanlah wujud yang setara dengan semua makhluk itu, seperti yang dikemukakan oleh Denys. Ini lagi-lagi merupakan pernyataan yang tidak bisa dipahami, karena, Erigena berkomentar, "apa yang lebih dari 'ada' itu tidaklah dijelaskan. Karena dikatakannya bahwa Tuhan bukanlah salah satu dari yang ada melainkan lebih dari segala yang ada, tapi apakah yang 'ada' itu, tidak pernah didefinisikan."23 Pada kenyataannya, Tuhan itu "Tiada." Erigena sadar bahwa ini terdengar mengejutkan, namun dia memperingatkan pembacanya untuk tidak khawatir. Metodenya hanya bermaksud mengingatkan kita bahwa Tuhan bukanlah sebuah objek; dia tidak "mengada" dalam cara apa pun yang bisa kita pahami. Tuhan adalah "Dia yang lebih dari ada" (aliquo modo superesse).24 Modus eksistensinya berbeda dari kita seperti perbedaan wujud kita 268 Tuhan Para Filosof dari binatang dan perbedaan wujud binatang dari batu. Namun jika Tuhan itu "Tiada", dia sekaligus adalah "Segalanya": karena "eksistensi super" ini berarti bahwa hanya Tuhan yang memiliki wujud sejati; dialah esensi segala sesuatu yang meminjam wujud darinya. Oleh karena itu, setiap ciptaannya adalah sebuah teofani atau tanda kehadiran Tuhan. Kesalehan Celtic Erigena—yang terumuskan dalam doa terkenal dari St. Patrick: "Tuhan hadir di dalam pikiranku dan di dalam pemahamanku"—membuat dia memberi penekanan pada imanensi Tuhan. Manusia, yang dalam skema Neoplatonis merangkum segenap ciptaan dalam dirinya, merupakan teofani paling sempurna, dan, seperti Agustinus, Erigena mengajarkan bahwa kita dapat menemukan sejenis trinitas di dalam diri kita, meski hanya lewat pantulan cermin yang buram. Dalam teologi paradoksikal Erigena, Tuhan adalah Tiada sekaligus Segalanya; kedua istilah itu saling menyeimbangkan satu sama lain dan berada dalam ketegangan kreatif yang menyiratkan misteri yang hanya dapat disimbolkan oleh kata "Tuhan". Tatkala seorang murid bertanya kepadanya tentang apa yang dimaksudkan Denys bahwa Tuhan itu Tiada, Erigena menjawab bahwa Kebaikan ilahi tidak bisa dipahami karena hal itu adalah "supra-esensial"—artinya, lebih dari Kebaikan itu sendiri—sekaligus supra-natural. Maka, ketika ia merenungkan dirinya sendiri, ia tidak ada kini, dahulu atau nanti, karena ia dipahami bukan sebagai sesuatu yang ada sebab ia melampaui segala sesuatu. Akan tetapi, jika disebabkan oleh sesuatu yang tak terucapkan itu ia jatuh ke dalam keberadaan, ia hanya ada di dalam tatapan pikiran, hanya ia yang ada di dalam segala sesuatu, dan ia ada kini, dahulu, dan nanti.25 Oleh karena itu, tatkala kita memikirkan realitas ilahi di dalam dirinya sendiri, "tidaklah masuk akal untuk menyebutnya 'Tiada'," namun ketika Ketiadaan suci ini memutuskan untuk "keluar dari Tiada menuju Ada," setiap ciptaannya "bisa disebut sebagai teofani, yakni penampakan Tuhan."26 Kita tidak bisa melihat Tuhan sebagaimana dia dalam dirinya sendiri sebab Tuhan yang dimaksudkan dan dituju dalam hal ini tidak ada. Tuhan yang dapat kita lihat hanyalah Tuhan yang menghidupkan alam ciptaan dan mengungkapkan dirinya di dalam bunga, burung-burung, pepohonan, dan manusia-manusia lainnya. Namun, terdapat persoalan dalam pendekatan ini. Bagaimana 269 Sejarah Tuhan dengan kejahatan? Apakah, seperti yang diyakini orang Hindu, kejahatan juga merupakan salah satu manifestasi Tuhan di dunia? Erigena tidak berusaha membahas masalah kejahatan secara mendalam, tetapi para Kabbalis Yahudi belakangan berupaya menempatkan kejahatan di dalam esensi Tuhan: mereka juga mengembangkan sebuah teologi yang menggambarkan Tuhan muncul dari Ketiadaan menjadi Ada melalui cara yang sangat mirip dengan uraian Erigena, meskipun hampir mustahil ada seorang Kabbalis yang pernah membaca karyanya. Erigena telah memperlihatkan betapa orang Latin bisa belajar banyak dari orang Yunani, tetapi pada tahun 1054 Gereja Timur dan Barat saling memutuskan hubungan karena perpecahan yang ternyata bertahan untuk waktu yang lama—walau tak seorang pun pada masa tersebut menginginkannya. Konflik ini berdimensi politik, yang tidak akan dibahas di sini, tetapi juga berkisar pada masalah Trinitas. Pada tahun 796, sebuah sinode uskup-uskup Barat mengadakan pertemuan di Freijus, Prancis Selatan, dan telah menyisipkan klausa tambahan ke dalam kredo Nicene. Klausa itu menetapkan bahwa Roh Kudus bukan hanya berasal dari Bapa, melainkan juga dari Putra (filioque). Uskup-uskup Latin bermaksud menekankan persamaan antara Bapa dan Putra, karena sebagian dari mereka menganut pandangan Arius. Menyatakan Roh Kudus berasal dari Bapa sekaligus Putra, menurut mereka, akan menekankan kesetaraan status ketiganya. Meskipun Charlemagne, yang akan segera menjadi Kaisar Barat, sama sekali tidak paham soal-soal teologis, dia menerima klausa sisipan tersebut. Akan tetapi, orang Yunani mengutuknya. Orang Latin tetap pada pendirian mereka dan bersikeras bahwa Bapa-bapa mereka sendiri yang mengajarkan doktrin ini. St. Agustinus, misalnya, memandang Roh Kudus sebagai kesatuan dasar di dalam Trinitas, sebagai perwujudan cinta antara Bapa dan Putra. Oleh karena itu, adalah benar jika dikatakan bahwa Roh Kudus berasal dari keduanya, dan klausa tambahan itu menekankan ketunggalan esensial ketiga oknum itu. Akan tetapi, orang Yunani selalu menaruh kecurigaan terhadap teologi Trinitarian Agustinus, karena terlalu antropomorfis. Kalau Barat memulai dengan ajaran tentang keesaan Tuhan kemudian memandang ketiga oknum berada di dalam kesatuan itu, orang Yunani justru mengawalinya dengan tiga hypostases dan menyatakan bahwa keesaan Tuhan—esensinya—berada di atas jangkauan pengetahuan kita. Mereka berpendapat bahwa orang Latin telah menjadikan Trinitas 270 Tuhan Para Filosof terlalu mudah dipahami, mereka juga mencurigai bahwa bahasa Latin tak mampu mengungkapkan gagasan Trinitas ini secara cukup akurat. Klausa filioque terlalu menekankan ketunggalan ketiga oknum dan, menurut orang Yunani, alih-alih menunjukkan kemisteriusan esensial Tuhan, sisipan itu membuat Trinitas menjadi terlalu rasional. Klausa itu menjadikan Tuhan bersatu dengan ketiga aspek atau modus keberadaan. Sebenarnya, tak ada bid'ah apa pun dalam keyakinan Latin itu, sekalipun tidak selaras dengan spiritualitas apofatik Yunani. Konflik ini bisa dihilangkan seandainya ada keinginan untuk berdamai, tetapi ketegangan antara Timur dan Barat meningkat cepat selama Perang Salib, terutama ketika Pasukan Salib keempat mencaplok Konstantinopel ibu kota Byzantium pada tahun 1204 dan memorakporandakan kekaisaran Yunani secara fatal. Keretakan akibat filioque ini menyingkapkan bahwa orang Yunani dan Latin memiliki konsepsi ketuhanan yang sangat berbeda. Trinitas tak pernah menjadi tema sentral dalam spiritualitas Barat sebagaimana halnya di kalangan orang Yunani. Orang Yunani merasa bahwa dengan menekankan keesaan Tuhan melalui cara ini, Barat telah menyamakan Tuhan dengan "esensi sederhana" yang bisa didefinisikan dan didiskusikan, seperti Tuhan para filosof.27 Pada bab-bab selanjutnya akan kita saksikan bahwa Kristen Barat sering kesulitan menghadapi doktrin Trinitas dan bahwa, selama Zaman Pencerahan abad kedelapan belas, banyak di antara mereka yang mencampakkannya begitu saja. Secara sadar, banyak orang Barat yang tidak menganut Trinitarian. Mereka mengeluh bahwa doktrin Tiga Oknum dalam Satu Tuhan sungguh tidak bisa dipahami, tanpa menyadari bahwa bagi orang Yunani itu justru merupakan inti ajaran terpenting. Setelah perpecahan itu, orang Yunani dan Latin menempuh jalan terpisah. Dalam Ortodoksi Yunani, theologia, studi tentang Tuhan, tetap tak berubah, terbatas pada kontemplasi tentang Tuhan dalam doktrin-doktrin mistikal Trinitas dan Inkarnasi. Mereka berpendapat ibahwa "teologi pengampunan" atau "teologi keluarga" mengandung kontradiksi dalam terma. Mereka sama sekali tidak tertarik pada diskusi-diskusi teoretis dan definisi isu-isu sekunder. Barat justru semakin menaruh perhatian pada persoalan ini dan membentuk suatu pandangan standar yang mengikat bagi setiap orang. Reformasi, misalnya, telah membagi dunia Kristen menjadi kubu-kubu yang saling bersitegang karena orang Katolik dan Protestan tidak bisa bersepakat tentang bagaimana penyelamatan terjadi dan apa persisnya makna 271 Sejarah Tuhan Ekaristi. Kristen Barat terus menantang Yunani untuk mengeluarkan pendapat mereka tentang isu-isu sensitif ini. Akan tetapi, orang Yunani selalu ketinggalan dan, andaikata mereka menjawab, jawaban mereka sering terdengar agak membingungkan. Mereka tidak percaya kepada rasionalisme, menganggapnya sebagai sarana yang tidak memadai untuk berdiskusi tentang Tuhan yang berada di luar konsep maupun logika. Metafisika dapat diterima dalam studi-studi sekular, tetapi orang Yunani semakin merasa bahwa hal itu dapat membahayakan keimanan. Metafisika menarik bagi pikiran yang riuh rendah, yang sibuk berbicara, padahal theoria mereka bukan merupakan opini intelektual melainkan sikap diam yang berdisiplin di hadapan Tuhan yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman religius dan mistik. Pada tahun 1082, filosof dan humanis John Italos diadili sebagai pembid'ah karena terlalu banyak menggunakan filsafat dan konsepsi Neoplatonis tentang penciptaan. Penolakan filsafat ini terjadi tidak lama sebelum Al-Ghazali melakukan hal yang sama di Bagdad dan meninggalkan kalam untuk menjadi seorang Sufi. Oleh karena itu, sungguh ironis bahwa orang Kristen Barat justru masuk ke dunia filsafat persis pada saat orang Yunani dan Muslim mulai meninggalkannya. Plato dan Aristoteles tidak pernah dibicarakan di dunia Latin selama Zaman Kegelapan sehingga tak pelak Barat telah ketinggalan. Pertemuan dengan filsafat telah begitu merangsang dan membangkitkan semangat. Teolog abad kesebelas, Anselm dari Canterbury, yang pandangan-pandangannya tentang Inkarnasi telah dibahas pada Bab 4, kelihatannya berpendapat bahwa segala sesuatu dapat dibuktikan. Tuhannya bukan Tiada melainkan wujud tertinggi dari segalanya. Bahkan seorang yang tidak beriman bisa membentuk ide tentang wujud yang mahatinggi itu, yang merupakan "satu watak, tertinggi di antara segala sesuatu, mahatunggal dan berkecukupan dalam kedamaian abadi."28 Sungguhpun demikian, dia juga mengajarkan bahwa Tuhan hanya mungkin dikenal melalui iman. Ini tidaklah separadoks kelihatannya. Dalam doanya yang terkenal, Anselm merefleksikan sabda Yesaya: "Jika engkau tak beriman, engkau takkan mengerti": Aku ingin memahami kebenaranmu yang diyakini dan dicintai oleh hatiku. Karena aku mencari pemahaman bukan agar aku beriman melainkan aku beriman agar aku memahami (credo ut intellegam). Karena aku bahkan percaya kepada ini: aku takkan mengerti kecuali kalau aku beriman.29 272 Tuhan Para Filosof Credo ut intellegam yang sering dikutip ini bukanlah merupakan penolakan akal. Anselm tidak mengklaim menganut kredo itu secara membabi buta dengan harapan bahwa pernyataan semacam itu kelak akan menjadi bermakna. Penegasannya sebenarnya harus diterjemahkan sebagai: "Aku berserah diri agar aku bisa mengerti." Pada saat itu, kata credo belum memiliki bias intelektual dari kata "kepercayaan" seperti sekarang tetapi berarti sikap amanah dan setia. Penting untuk dicatat bahwa bahkan dalam gelombang pertama rasionalisme Barat, pengalaman keagamaan tentang Tuhan tetap lebih utama, mendahului penjelasan atau pemahaman logis. Meskipun demikian, seperti halnya para faylasuf Muslim dan Yahudi, Anselm percaya bahwa eksistensi Tuhan dapat dipertahankan secara rasional, dan dia mengemukakan dalil-dalilnya sendiri, yang bisa disebut sebagai argumen "ontologis". Anselm mendefinisikan Tuhan sebagai "sesuatu yang tak terpikirkan ada hal lain yang melebihi keagungannya" (aliquid quo nihil maius cogitari possif).30 Karena menyiratkan bahwa Tuhan bisa menjadi objek pikiran, definisi ini berimplikasi bahwa Tuhan bisa dikonsepsikan dan dipahami oleh pikiran manusia. Anselm berpendapat bahwa Sesuatu ini pasti ada. Karena bereksistensi lebih "sempurna" atau lengkap daripada noneksistensi, wujud sempurna yang kita bayangkan ini haruslah bereksistensi, kalau tidak dia akan menjadi tidak sempurna. Dalil yang disodorkan Anselm dapat dikatakan cerdas dan efektif di dunia yang didominasi oleh pemikiran Platonis, yang meyakini bahwa ideide merujuk kepada arketipe abadi. Namun, dalil itu kelihatannya tidak dapat meyakinkan seorang skeptik zaman sekarang. Seperti yang ditegaskan oleh teolog Inggris John Macquarrie, Anda bisa saja membayangkan memiliki uang 100 dolar, tetapi sayangnya bayangan itu tidak akan membuat uang tersebut menjadi sebuah realitas di dalam saku Anda.31 Oleh karena itu, Tuhan Anselm adalah Wujud, bukan Tiada yang telah digambarkan oleh Denys dan Erigena. Anselm bermaksud untuk bicara tentang Tuhan dalam terma yang jauh lebih' positif dibanding para faylasuf terdahulu. Dia tidak mengusulkan cara Via Negativa, tetapi cenderung berpikir tentang kemungkinan untuk tiba pada gagasan yang layak tentang Tuhan melalui akal alamiah, persis seperti yang dipersoalkan orang Yunani terhadap teologi Barat. Setelah puas dengan dalil yang diajukannya tentang eksistensi Tuhan, Anselm kemudian berusaha membuktikan doktrin Inkarnasi dan Trinitas, yang 273 Sejarah Tuhan selalu dikedepankan oleh orang Yunani meski bertentangan dengan akal dan konseptualisasi. Dalam risalahnya, Why God Became Man yang telah disinggung pada Bab 4, Anselm lebih banyak bersandar pada logika dan pemikiran rasional daripada wahyu—kutipan dari Alkitab dan ujaran para Bapa tampak insidental saja dalam pemaparan argumennya, yang, seperti telah kita saksikan, secara esensial menisbahkan motivasi manusia kepada Tuhan. Anselm bukanlah satu-satunya orang Kristen Barat yang mencoba menguraikan misteri Tuhan dalam terma rasional. Tokoh sezaman dengannya, Peter Abelard (1079-1147), filosof karismatik dari Paris, juga telah mengembangkan penafsiran tentang Trinitas yang menekankan keesaan ilahi dengan agak mengurbankan perbedaan antara Tiga Oknum itu. Dia juga mengembangkan penjelasan yang canggih dan dinamis tentang misteri penebusan dosa: Kristus telah disalib demi menggugah rasa kasih sayang kita dan dengan melakukan itu dia menjadi Juru Selamat kita. Abelard pada dasarnya seorang filosof dengan corak teologi yang agak konvensional. Dia menjadi pelopor kebangkitan intelektual di Eropa selama abad kedua belas dan mempunyai banyak pengikut. Ini membuatnya berkonflik dengan Bernard, pemimpin Biara Cistercian Clairvaux di Burgundi, yang dapat dikatakan merupakan tokoh paling berpengaruh di Eropa. Paus Eugene II dan Raja Louis VII dari Prancis ada di dalam saku Bernard. Kemahirannya beretorika telah mengilhami revolusi monastik di Eropa: sekelompok besar anak muda meninggalkan rumah-rumah mereka untuk bergabung dengannya di dalam ordo Cisterian yang berupaya mereformasi kehidupan religius Benediktin. Ketika Bernard menyerukan Perang Salib II pada tahun 1146, rakyat Prancis dan Jerman—yang sebelumnya agak apatis terhadap ekspedisi itu—nyaris mencabik-cabiknya lantaran antusiasme mereka, ramai-ramai datang untuk bergabung dengan tentara dalam jumlah begitu besar sehingga, menurut laporan yang ditulis Bernard dengan bangga kepada Paus, desa-desa menjadi kosong akibat ditinggalkan penghuninya. Bernard seorang yang cerdas, yang telah memberi dimensi batiniah baru bagi kesalehan Eropa Barat yang agak bersifat lahiriah. Ajaran Cistercian tampaknya telah mempengaruhi legenda Holy Grail, yang menggambarkan perjalanan spiritual ke sebuah kota simbolik yang tidak berada di dunia ini tetapi mewakili visi tentang Tuhan. Bernard sama sekali tidak percaya pada intelektualisme para sarjana semacam Abelard dan, oleh karena itu, berusaha untuk 274 Tuhan Para Filosof membungkamnya. Dia menuduh Abelard "berupaya menodai iman Kristen karena mengatakan bahwa akal manusia bisa memahami semua aspek Tuhan."32 Dengan merujuk pada himne St. Paulus, Bernard mengklaim bahwa filosof itu tidak memiliki cinta Kristen: "Dia melihat ketiadaan sebagai sebuah teka-teki, ketiadaan seperti dalam sebuah cermin, tetapi melihat segala sesuatu secara berhadaphadapan." 33 Oleh karena itu, cinta dan penggunaan akal menjadi dua hal yang bertentangan. Pada tahun 1141, Bernard memanggil Abelard ke hadapan Majelis Sens, yang telah dipenuhinya dengan pendukungpendukungnya sendiri. Beberapa di antara anggota majelis itu berdiri di luar untuk mengintimidasi Abelard ketika dia datang. Tak terlalu sulit baginya untuk melakukan ini karena, pada saat itu, Abelard kemungkinan besar telah terkena penyakit Parkinson. Bernard menyerangnya dengan kefasihan luar biasa yang membuat Abelard jatuh pingsan dan meninggal dunia tahun berikutnya. Ini adalah saat-saat simbolik yang menandai perpecahan antara akal dan hati. Dalam Trinitarianisme Agustinus, hati dan akal tidak terpisahkan. Para faylasuf Muslim, seperti Ibn Sina dan Al-Ghazali telah tiba pada kesimpulan bahwa akal semata tidak akan mampu menemukan Tuhan, tetapi mereka akhirnya menggagas sebuah filsafat yang diilhami oleh cinta dan mistisisme. Kita akan menyaksikan bahwa selama abad kedua belas dan ketiga belas, para pemikir besar Dunia Islam berupaya untuk menggabungkan akal dan hati serta memandang filsafat sebagai tak terpisahkan dari spiritualitas cinta dan imajinasi yang diketengahkan oleh kaum Sufi. Akan tetapi, Bernard kelihatannya menaruh kecurigaan terhadap akal dan bermaksud untuk terus memisahkannya dari bagian pikiran yang lebih emosional dan intuitif. Ini berbahaya, karena bisa membawa pada pemilahan tak sehat yang sama parahnya dengan rasionalisme yang kering. Perang Salib yang dikumandangkan Bernard merupakan bencana, sebagian karena penyandarannya pada idealisme yang tak didukung akal sehat dan secara nyata bertentangan dengan etos kasih Kristen.34 Perlakuan Bernard terhadap Abelard pun jelas-jelas hampa dari sikap kasih sayang, tetapi dia mendorong Pasukan Salib untuk membuktikan kecintaan mereka kepada Kristus dengan cara membunuhi kaum kafir dan mengusir mereka dari Tanah Suci. Bernard boleh saja takut pada rasionalisme yang berupaya menjelaskan misteri Tuhan dan mengancam menghapuskan rasa takjub dan takzim dari agama, tetapi subjektivitas yang gagal menguji prasangkanya sendiri 275 Sejarah Tuhan dapat membawa pada sikap berlebihan yang berakibat lebih jelek lagi terhadap agama. Yang dibutuhkan justru subjektivitas yang berdasar dan cerdas, bukan emosionalisme "cinta" yang mengekang akal dengan ketat dan menghapuskan kasih sayang yang semestinya menjadi ciri agama Tuhan. Beberapa pemikir lain telah memberi konstribusi yang lestari bagi Kristen Barat, seperti Thomas Aquinas (1225-74) yang mengupayakan sintesis filsafat Yunani dan Agustinus. Selama abad kedua belas, para sarjana Eropa berbondong-bondong ke Spanyol untuk mempelajari khazanah ilmu kaum Muslim. Dengan bantuan kaum intelektual Muslim dan Yahudi, mereka melakukan proyek penerjemahan besar-besaran untuk memboyong kekayaan intelektual ini ke Barat. Terjemahan berbahasa Arab atas filsafat Plato, Aristoteles, dan filosof-filosof kuno lainnya kini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Latin dan untuk pertama kalinya tersedia bagi masyarakat Eropa Utara. Para penerjemah itu juga menggarap karya terbaru sarjana Muslim, termasuk karya Ibn Rusyd serta penemuan para ilmuwan dan ahli kedokteran Arab. Pada saat yang sama ketika sebagian orang Kristen Eropa berjuang menghancurkan Islam di Timur Dekat, kaum Muslim Spanyol sedang membantu Barat membangun peradaban mereka sendiri. Summa Theologiae dari Thomas Aquinas merupakan upaya untuk mengintegrasikan filsafat baru itu dengan tradisi Kristen Barat. Aquinas secara khusus terkesan pada penjelasan Ibn Rusyd atas Aristoteles. Akan tetapi, berbeda dengan Anselm dan Abelard, dia tidak percaya bahwa misteri semacam Trinitas dapat dibuktikan oleh akal dan membedakan secara cermat antara realitas Tuhan yang tak terucapkan dengan doktrin-doktrin manusia mengenainya. Dia sependapat dengan Denys bahwa hakikat sejati Tuhan tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia: "Dengan demikian, batas akhir dari semua yang dapat diketahui oleh manusia tentang Tuhan adalah mengetahui bahwa dia tidak mengetahui Tuhan, karena manusia tahu bahwa Tuhan mengungguli semua hal yang dapat dipahami mengenainya."35 Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa ketika selesai mendiktekan kalimat terakhir dari Summa, Aquinas dengan sedih menelungkupkan kepala di atas lengannya. Ketika juru tulis bertanya apa yang terjadi, Aquinas menjawab bahwa segala yang telah ditulisnya tampak tak berharga dibanding apa yang telah dilihatnya. Upaya Aquinas untuk meletakkan pengalaman religiusnya dalam konteks filsafat baru adalah penting untuk mendialogkan keimanan 276 Tuhan Para Filosof dengan realitas lain dan tidak memisahkannya ke sebuah kawasan tersendiri. Intelektualisme yang berlebihan akan merusak iman, tetapi agar Tuhan tidak dijadikan alat untuk mendukung egoisme kita sendiri, pengalaman keagamaan harus disertai penilaian akurat tentang kandungannya. Aquinas mendefinisikan Tuhan dengan cara merujuk pada definisi yang Tuhan berikan sendiri kepada Musa: "Aku adalah Aku." Aristoteles pernah mengatakan bahwa Tuhan adalah Wujud Wajib; Aquinas kemudian mengaitkan Tuhan para filosof dengan Tuhan Alkitab dengan menyebut Tuhan, "Dia Yang Ada" (Qui est). Ditegaskannya secara mutlak bahwa Tuhan bukan sekadar wujud lain seperti diri kita sendiri. Definisi Tuhan sebagai Wujud Itu Sendiri sudah memadai "karena tidak merujuk pada bentuk tertentu kecuali wujud itu sendiri (esse seipsum)."36 Adalah keliru untuk menyalahkan Aquinas atas pandangan rasionalistis tentang Tuhan yang kemudian berkembang di Barat. Namun sayangnya, Aquinas menimbulkan kesan bahwa Tuhan bisa didiskusikan dengan cara yang sama seperti kita mendiskusikan ide-ide filsafat atau fenomena alam. Dia mengawali diskusi tentang Tuhan dengan pembuktian eksistensi Tuhan berdasarkan filsafat alam. Ini menyiratkan bahwa kita dapat mengetahui Tuhan dengan cara yang sama, seperti realitas-realitas duniawi. Aquinas menyusun lima "dalil" eksistensi Tuhan yang akan menjadi sangat penting di dunia Katolik dan juga akan dipakai oleh orang Protestan: 1. Argumen Aristoteles tentang Penggerak yang Tak Digerakkan. 2. "Dalil" serupa yang mengemukakan bahwa tak mungkin ada rangkaian sebab yang tak terbatas: pasti ada sebuah titik awal. 3. Argumen tentang sifat ketergantungan yang mengharuskan adanya satu Wujud Wajib, seperti diuraikan oleh Ibn Sina. 4. Argumen Aristoteles dalam Philosophy yang menyatakan bahwa hierarki kesempurnaan di dunia ini mengimplikasikan adanya Kesempurnaan yang paling baik di atas segalanya. 5. Argumen tentang rancangan alam, keteraturan dan adanya tujuan dalam apa yang kita lihat di alam semesta tidak mungkin hanya merupakan hasil suatu kebetulan. Dalil-dalil ini tak bisa dipertahankan pada masa sekarang. Bahkan dari sudut pandang agama, dalil-dalil ini agak meragukan, dengan pengecualian argumen tentang rancangan alam, setiap dalil ini secara 277 implisit menyatakan bahwa "Tuhan" hanyalah sebuah wujud yang lain, satu simpul lain dalam rantai eksistensi. Dia adalah Wujud Tertinggi, Wujud Wajib, dan Wujud yang Paling Sempurna. Benar bahwa penggunaan istilah-istilah, seperti "Sebab Pertama" atau "Wujud Wajib" menyiratkan bahwa Tuhan bukanlah sesuatu seperti wujud-wujud yang kita ketahui, melainkan merupakan sumber atau syarat bagi keberadaan wujud-wujud yang lain itu. Inilah yang sangat ditekankan oleh Aquinas. Meskipun demikian, para pembaca Summa tidak selalu berhasil menangkap pembedaan penting ini dan berbicara tentang Tuhan seakan-akan dia sekadar merupakan Wujud Tertinggi dari semua wujud lain. Ini bersifat reduktif dan bisa membuat Wujud Super ini menjadi berhala, yang dibentuk dalam citra kita sendiri dan dengan mudah beralih menjadi suatu Super-Ego yang melangit. Barangkali bukan tidak akurat untuk mengatakan bahwa banyak orang di Barat memandang Tuhan sebagai Wujud yang seperti ini. Upaya pengaitan Tuhan dengan arus Aristotelianisme baru ini penting dilakukan di Eropa. Para faylasuf juga telah memperingatkan bahwa ide tentang Tuhan harus terus diperbarui menurut perkembangan zaman. Dalam setiap generasi, gagasan dan pengalaman tentang Tuhan harus senantiasa diperbarui. Akan tetapi, kebanyakan kaum Muslim telah—dapat dikatakan demikian—berpuas diri dan merasa bahwa Aristoteles tidak banyak berkontribusi pada kajian tentang Tuhan, meskipun dia tetap sangat berpehgaruh dalam bidang lain, seperti ilmu alam. Kita telah melihat bahwa bahasan Aristoteles tentang hakikat Tuhan telah dinamai meta ta physica ("Setelah Physics") oleh editor karya-karyanya: Tuhan menurut pandangan Aristoteles juga lebih merupakan kelanjutan realitas fisik daripada sebuah realitas dari tatanan yang sama sekali berbeda. Oleh karena itu, dalam Dunia Islam, diskusi paling mutakhir tentang Tuhan mencampurkan filsafat dengan mistisisme. Akal saja tidak bisa mencapai pemahaman religius tentang realitas yang kita sebut "Tuhan", tetapi pengalaman religius perlu dilengkapi dengan daya pikir kritis dan disiplin filsafat jika tidak ingin sekadar menjadi emosi yang melantur, berlebihan, atau bahkan berbahaya. Tokoh Fransiskan yang sezaman dengan Aquinas, Bonaventura (1217-74), memiliki pandangan yang hampir sama. Dia juga berusaha mengartikulasikan filsafat dengan pengalaman religius untuk memperkaya kedua wilayah itu. Di dalam The Threefold Way, dia mengikuti Agustinus yang melihat "trinitas" ada di dalam semua ciptaan 278 Sejarah Tuhan Tuhan Para Filosof dan menjadikan "trinitarianisme alamiah" ini sebagai titik berangkat dalam karyanya Journey of the Mind to God. Secara kukuh dia percaya bahwa Trinitas dapat dibuktikan oleh akal alamiah, tetapi menghindar dari bahaya keangkuhan rasionalis dengan menekankan pentingnya pengalaman keagamaan sebagai komponen esensial bagi gagasan tentang Tuhan. Dia menyebut Francis dari Assisi, pendiri ordonya, sebagai teladan utama bagi kehidupan kristiani. Dengan memperhatikan riwayat hidupnya, seorang teolog, seperti Bonaventura dapat menemukan bukti kebenaran doktrin-doktrin gereja. Penyair Tuscan, Dante Alighieri (1265-1321) juga menemukan bahwa seorang manusia biasa—dalam kasus Dante, perempuan Florentina, Beatrice Portinari— dapat menjadi epifani ilahi. Pendekatan personalistik kepada Tuhan ini dipengaruhi oleh Agustinus. Bonaventura juga menerapkan Dalil Ontologis Anselm tentang eksistensi Tuhan dalam pembahasannya mengenai Francis sebagai sebuah epifani. Dia menyatakan bahwa dalam kehidupan ini Francis telah mencapai kesempurnaan yang tampaknya melampaui batas manusiawi sehingga adalah mungkin bagi kita, selama masih hidup di dunia ini, untuk "melihat dan memahami bahwa yang 'terbaik' adalah ... sesuatu yang tak mungkin dibayangkan ada yang lebih baik daripadanya."37 Kenyataan bahwa kita dapat membentuk konsep seperti "yang terbaik" itu membuktikan bahwa Kesempurnaan Tertinggi Tuhan itu pasti ada. Jika kita menyelami diri kita sendiri, seperti yang dianjurkan oleh Plato maupun Agustinus, kita akan menemukan citra Tuhan terpantul di dalam "alam batin kita sendiri."38 Introspeksi ini sangatlah penting. Tentu saja tetap penting untuk terlibat dalam liturgi Gereja, namun orang Kristen pertama-tama harus menyelami dirinya sendiri, di mana dia akan "dibawa melampaui akal" dan mendapat penampakan akan Tuhan yang mentransendensi ungkapan manusiawi kita yang terbatas.39 Bonaventura dan Aquinas memandang pengalaman keagamaan sebagai hal yang mendasar. Mereka setia kepada tradisi falsafah, karena baik dalam Yudaisme maupun Islam, para filosof sering juga merupakan ahli mistik yang sangat sadar akan keterbatasan akal dalam memecahkan persoalan teologis. Mereka telah mengembangkan dalil-dalil rasional tentang eksistensi Tuhan untuk mendialogkan iman mereka dengan kajian ilmiah dan mengaitkannya dengan pengalaman yang lebih umum. Mereka secara pribadi tidak meragukan eksistensi Tuhan, dan banyak di antara mereka yang betul-betul 279 Sejarah Tuhan menyadari keterbatasan dari apa-apa yang telah mereka capai. Dalildalil ini memang tidak dirancang untuk meyakinkan orang-orang yang tidak beriman, karena pada masa itu belum ada ateis dalam pengertian modern kita. Oleh karena itu, teologi natural ini bukan merupakan pengantar kepada pengalaman religius, melainkan sebuah penyandingan: para faylasuf itu tidak percaya bahwa Anda harus meyakinkan diri secara rasional tentang eksistensi Tuhan sebelum dapat memperoleh pengalaman mistik. Justru sebaliknya, di dunia Yahudi, Muslim, dan Ortodoksi Yunani, Tuhan para filosof segera digantikan oleh Tuhan kaum mistik.[] 280 Tuhan Kaum Mistik Gagasan tentang Tuhan yang bersifat personal telah berkembang di dalam Yudaisme, Kristen, dan—dengan kadar yang lebih sedikit—di dalam Islam. Ini membuat kita cenderung mengira bahwa gagasan ini merupakan bentuk terbaik agama. Tuhan yang personal telah membantu kaum monoteis memuliakan hak individu yang sakral dan tidak bisa diabaikan serta menumbuhkan apresiasi terhadap diri manusia. Tradisi Yudeo-Kristen, dengan demikian telah membantu Barat untuk tiba pada humanisme liberal yang sangat dijunjungnya. Nilai-nilai ini pada awalnya diagungkan dalam Tuhan personal yang bertindak seperti seorang manusia: dia mencintai, mengadili, menghukum, melihat, mendengar, mencipta, dan menghancurkan sebagaimana halnya kita. Yahweh berawal sebagai ilah yang sangat dipersonalisasikan dengan kecenderungan untuk membenci atau mencinta seperti manusia. Kemudian dia menjadi simbol transendensi, yang pikiran-pikirannya bukan merupakan pikiran-pikiran kita dan jalannya melampaui jalan kita seperti tingginya menara yang menjulang di atas permukaan tanah. Tuhan yang personal mencerminkan sebuah pandangan keagamaan yang penting: bahwa nilai-nilai yang tinggi itu juga dapat diraih oleh manusia. Dengan demikian, personalisme merupakan tahapan penting dan—bagi kebanyakan orang—tak tergantikan dalam perkembangan agama dan moral. Nabi-nabi Israel menisbahkan emosi dan semangat 281 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com MR. Collection's a Sejarah Tuhan mereka kepada Tuhan; orang Buddha dan Hindu harus memasukkan kecintaan pribadi pada avatar realitas tertinggi. Kristen telah menjadikan sesosok manusia sebagai pusat kehidupan religius melalui cara yang unik di sepanjang sejarah agama: personalisme yang melekat dalam Yudaisme telah dibawa Kristen ke sebuah titik ekstrem. Mungkin tanpa semacam identifikasi dan empati hingga tingkat seperti ini, agama tak akan bisa mengakar. Namun Tuhan yang bersifat personal dapat menimbulkan masalah besar. Dia bisa menjadi sekadar berhala yang terkurung dalam citra kita sendiri, proyeksi dari kebutuhan, ketakutan, dan keinginan kita yang terbatas. Kita bisa mengasumsikan bahwa dia menyukai apa yang kita sukai dan membenci apa yang kita benci, memperkuat prasangka kita daripada mendorong kita untuk melepaskannya. Ketika dia sepertinya gagal mencegah bencana atau malah seolah menghendaki terjadinya suatu tragedi, dia bisa tampak tega dan kejam. Keyakinan lugu bahwa musibah merupakan kehendak Tuhan dapat membuat kita menerima hal-hal yang secara mendasar sebenarnya tidak bisa diterima. Implikasi nyata bahwa, jika dipandang secara personal berarti Tuhan memiliki gender, juga bersifat membatasi: artinya seksualitas setengah ras manusia menjadi sakral atas pengurbanan setengah ras lain yang wanita dan dapat membawa pada ketidakseimbangan neurotik dan tak layak dalam moralitas seksual manusia. Oleh karena itu, Tuhan yang personal bisa menjadi berbahaya. Alih-alih membawa kita keluar dari berbagai keterbatasan kita, "dia" malah mendorong kita untuk tetap puas dengan keadaan itu: "dia" dapat membuat kita sama keras, tega, berpuas-diri, dan memihak seperti dirinya. Alih-alih mengilhami kasih sayang yang menjadi ciri semua agama yang maju, "dia" malah mendorong kita untuk menghakimi, mengutuk, dan menyingkirkan. Oleh karena itu, tampaknya ide tentang Tuhan yang bersifat personal mungkin hanya merupakan sebuah tahapan dalam perkembangan agama kita. Semua agama dunia tampaknya telah menyadari bahaya semacam ini dan berupaya meninggalkan konsepsi personal tentang realitas tertinggi. Kitab suci Yahudi mungkin dapat dibaca sebagai kisah tentang perbaikan dan, kemudian, penghapusan citra kesukuan dan personal dari Yahweh yang menjadi YHWH. Kristen, yang dapat dikatakan sebagai agama dengan kadar personalisasi paling tinggi di antara ketiga agama monoteistik, berupaya untuk meningkatkan kelayakan kultus terhadap Tuhan yang berinkarnasi dengan cara memasukkan 282 Tuhan Kaum Mistik doktrin tentang Trinitas yang transpersonal. Kaum Muslim telah sejak awal menghadapi persoalan menyangkut sejumlah ayat Al-Quran yang mengimplikasikan bahwa Tuhan "melihat", "mendengar", dan "mengadili" seperti halnya manusia. Ketiga agama monoteistik ini telah mengembangkan suatu tradisi mistik yang membuat Tuhan mereka melampaui kategori personal dan menjadi lebih mirip dengan realitas impersonal nirvana dan Brahman-Atman. Hanya sedikit orang yang betul-betul mampu mencapai mistisisme sejati, tetapi di dalam ketiga keimanan itu (dengan pengecualian Kristen Barat), Tuhan yang dialami oleh kaum mistiklah yang akhirnya menjadi lazim diterima di kalangan penganutnya, hingga relatif belakangan ini. Monoteisme historis pada dasarnya tidak bersifat mistikal. Kita telah meninjau perbedaan antara pengalaman kontemplatif yang dialami Buddha dengan pengalaman para nabi. Yudaisme, Kristen, dan Islam pada dasarnya merupakan kepercayaan yang bersifat aktif, mengabdikan diri untuk memastikan bahwa kehendak Tuhan ditegakkan di bumi sebagaimana halnya di langit. Motif utama dari agamaagama profetik ini adalah penghadapan atau pertemuan pribadi antara Tuhan dan manusia. Tuhan ini dialami sebagai pendorong tindakan; dia menyeru kita untuk menuju dirinya; memberi kita pilihan untuk menolak atau menerima cinta dan perhatiannya. Tuhan seperti ini berhubungan dengan manusia lebih melalui dialog daripada perenungan yang hening. Dia menyampaikan Firman, yang menjadi fokus utama peribadatan dan mewujud dalam kondisi kehidupan di bumi yang tragis dan tak sempurna. Di dalam Kristen, hubungan dengan Tuhan dicirikan oleh cinta. Akan tetapi, cinta berarti bahwa ego telah, dalam pengertian tertentu, dilenyapkan. Dalam dialog maupun cinta, egoisme selalu mungkin muncul. Bahasa pun bisa menjadi penghalang karena memenjarakan kita dalam konsep-konsep pengalaman duniawi kita. Para nabi telah mengumumkan perang terhadap mitologi: Tuhan mereka terlibat aktif dalam sejarah dan kancah politik yang tengah berlangsung, bukan dalam zaman sakral dan primordial mitos. Akan tetapi, ketika kaum monoteis beralih kepada mistisisme, mitologi menegaskan kembali dirinya sebagai kendaraan utama pengalaman religius. Ada hubungan linguistik antara tiga kata: "mitos", "mistisisme", dan "misteri". Ketiganya berasal dari kata kerja bahasa Yunani musteion yang artinya menutup mata atau mulut. Oleh karena itu, ketiga kata tersebut berakar dalam pengalaman tentang kegelapan 283 Sejarah Tuhan dan kesunyian.1 Kata-kata ini sudah tidak populer lagi di Barat zaman sekarang. Kata "mitos", misalnya, sering dipakai sebagai sinonim untuk kebohongan: dalam pembicaraan sehari-hari, mitos berarti sesuatu yang tidak benar. Seorang politisi atau bintang film akan mengabaikan berita skandal tentang dirinya dengan mengatakan bahwa itu cuma "mitos" dan para peneliti akan menyebut pandangan keliru masa lalu sebagai "mitikal". Sejak Zaman Pencerahan, "misteri" telah dianggap sebagai sesuatu yang perlu dijelaskan. Kata itu sering dikaitkan dengan persoalan yang mengusutkan pikiran. Di Amerika Serikat, sebuah kisah detektif biasa disebut "misteri" dan pemecahan persoalan secara memuaskan menjadi esensi ragam kisah ini. Akan kita saksikan bahwa kaum agamawan pun mulai menganggap "misteri" sebagai kata yang buruk selama Zaman Pencerahan. Demikian pula "mistisisme" sering dikaitkan dengan orang aneh, dukun, atau kaum hippies yang bebas. Karena Barat tak pernah begitu tertarik pada mistisisme, bahkan selama masa jayanya di belahan bumi yang