mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Tuhan yang Satu Maka akan ada jalan raya bagi sisa-sisa umat-Nya ... seperti yang telah ada untuk Israel dahulu, pada waktu mereka keluar dari tanah Mesir.'3 Yesaya Pertama menjadikan sejarah sebagai peringatan ilahi; setelah bencana itu, dalam kata-kata penghiburnya, Yesaya Kedua membuat sejarah menjadi tumpuan harapan baru bagi masa depan. Jika Yahweh telah pernah menyelamatkan Israel di masa lalu, pasti dia akan mampu melakukannya lagi. Dialah penentu jalan sejarah; dalam pandangannya, semua goyim tak lebih dari setetes air di dalam bejana. Dia adalah satu-satunya Tuhan yang dapat dipercaya. Yesaya Kedua membayangkan dewa-dewa Babilonia kuno diangkut di atas binatang dan digelindingkan ke arah matahari terbenam.54 Zaman mereka telah berakhir: "Bukankah Aku TUHAN?" dia bertanya berulang- ulang, "tidak ada Allah lain selain daripada-Ku!"55 Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi. Aku, Akulah TUHAN, dan tidak ada juruselamat selain daripada-Ku.56 Yesaya Kedua tidak membuang-buang waktu untuk mencela dewa-dewa goyim, yang, setelah peristiwa bencana, bisa saja dipandang sebagai pemenang. Dia dengan tenang mengasumsikan adalah Yahweh—bukan Marduk atau Baal—yang telah melakukan tindakan mitis hebat yang mengakibatkan terciptanya dunia. Untuk pertama kalinya, orang Israel menjadi sangat tertarik pada peran Yahweh dalam penciptaan, mungkin karena pembaruan hubungan dengan mitos-mitos kosmologis Babilonia. Tentu saja mereka tidak sedang mengupayakan sebuah penjelasan ilmiah tentang asal usul fisikal alam semesta, tetapi untuk menemukan kenyamanan di tengah dunia yang kini penuh kesusahan. Jika Yahweh telah menaklukkan monster kekacauan di masa primordial, tentu merupakan hal yang mudah baginya untuk menyelamatkan orang-orang Israel yang terusir. Melihat kemiripan antara mitos Pembebasan dengan kisah pagan tentang kemenangan atas kekacaubalauan di masa awal waktu, Yesaya Kedua mengajak umatnya untuk dengan yakin menanti pertunjukan baru kekuatan ilahi di masa depan. Di sini, misalnya, dia merujuk pada kemenangan Baal atas Lotan, monster laut dalam mitologi penciptaan Kanaan, yang juga disebut Rahab, Buaya (tannin) dan Samudra Raya (tehom): eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. 97 nurulkariem@yahoo.com Sejarah Tuhan Terjagalah, terjagalah! Kenakanlah kekuatan, hai tangan TUHAN! Terjagalah seperti pada zaman purbakala, pada zaman keturunan yang dahulu kala, Bukankah Engkau yang meremukkan Rahab, yang menikam naga (tannin) sampai mati? Bukankah Engkau yang mengeringkan laut, air samudra raya (tehom) yang hebat? yang membuat laut yang dalam menjadi jalan, supaya orang-orang yang diselamatkan dapat menyeberang?57 Yahweh pada akhirnya telah menumbangkan musuh-musuhnya dalam imajinasi religius orang-orang Israel; di pengasingan, pesona paganisme menyurut dan agama Yudaisme telah lahir. Pada suatu masa tatkala kultus Yahweh diperkirakan secara rasional akan sirna, dia menjadi alat yang memampukan manusia menemukan harapan di tengah keadaan yang serbamusykil. Oleh karena itu, Yahweh telah menjadi satu-satunya Tuhan. Tak ada upaya untuk meneguhkan klaimnya secara filosofis. Sebagaimana biasa, teologi baru menjadi sukses bukan karena ia dapat dibuktikan secara rasional, tetapi karena keefektifannya mencegah keputusasaan dan mengilhami harapan. Dalam keadaan tercerabut dan terbuang, kaum Yahudi tidak lagi merasakan keterputusan dalam kultus Yahweh sebagai sesuatu yang asing dan mengganggu. Dia bicara begitu hebat tentang keadaan mereka. Namun demikian, tak ada yang hebat dalam gambaran Yesaya Kedua tentang Tuhan. Dia tetap berada di luar jangkauan pikiran manusia: Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dan rancanganmu.58 Realitas Tuhan berada di luar jangkauan kata-kata atau konsep. Yahweh juga tidak selalu melakukan apa yang diharapkan umatnya. Dalam suatu ayat yang sangat berani, yang memiliki arti khusus pada masa sekarang, nabi meramalkan suatu masa ketika Mesir dan Asyur juga akan menjadi negeri Yahweh, selain Israel. Yahweh akan 98 Tuhan yang Satu berkata: "Diberkatilah Mesir, umat-Ku, dan Asyur, buatan tangan-Ku, dan Israel milik pusaka-Ku."59 Dia telah menjadi simbol realitas transenden yang menjadikan tafsiran sempit tentang konsep bangsa pilihan tampak picik dan tak pantas. Ketika Cyrus, Raja Persia, menaklukkan imperium Babilonia pada 539 SM, para nabi tampak seolah-olah telah dibebaskan. Cyrus tidak memaksakan dewa-dewa Persia kepada rakyatnya yang baru, dia bahkan menyembah di Kuil Marduk ketika memasuki Babilonia dengan kemenangan. Dia juga mengembalikan patung-patung dewa milik bangsa yang dikalahkan Babilonia ke tanah air mereka. Kini ketika dunia telah terbiasa dengan kerajaan besar internasional, Cyrus mungkin tidak perlu lagi menggunakan metode deportasi yang lama. Akan lebih mudah jika dia membiarkan rakyatnya menyembah dewadewa mereka sendiri di wilayah mereka masing-masing. Di seluruh imperiumnya, dia mendorong pemulihan kuil-kuil kuno, berulangulang mengklaim bahwa dewa-dewa mereka yang telah menugaskan itu kepadanya. Dia merupakan teladan sikap toleran dan keluasan visi dalam sebagian dari agama pagan. Pada tahun 538, Cyrus mengeluarkan ketetapan yang mengizinkan orang Yahudi untuk pulang ke Yehuda dan membangun kembali kuil mereka sendiri. Akan tetapi, kebanyakan mereka memilih untuk menetap: sejak saat itu hanya sekelompok kecil yang tinggal di Tanah yang Dijanjikan. Alkitab mengatakan kepada kita bahwa 42.360 orang Yahudi meninggalkan Babilonia dan Tel Aviv untuk pulang ke tanah air, tempat mereka memaksakan Yudaisme Baru kepada saudara-saudara mereka yang masih tertinggal dalam keterasingan. Kita dapat menyaksikan apa akibat yang ditimbulkan oleh hal ini dalam tulisan-tulisan tradisi Para Imam (P) yang dibuat setelah pengasingan dan dimasukkan ke dalam Pentateukh. Ini memberikan tafsiran tersendiri tentang kejadian-kejadian yang diuraikan oleh J dan E, dan menambahkan dua kitab baru, Imamat dan Bilangan. Seperti yang dapat kita duga, P memiliki pandangan yang canggih dan tinggi tentang Yahweh. Dia tidak percaya, misalnya, bahwa seseorang bisa secara aktual melihatTuhan dalam cara yang dikemukakan oleh J. P memiliki banyak kesamaan dengan perspektif Yehezkiel, dia percaya bahwa ada perbedaan antara persepsi manusia tentang Tuhan dan realitasnya sendiri. Dalam kisah P tentang Musa di Sinai, Musa memohon diberi kesempatan melihat Yahweh, yang menjawab: "Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang 99 Sejarah Tuhan yang memandang Aku dapat hidup."6oSebaliknya, Musa justru harus melindungi dirinya dari dampak ilahi di balik batu, tempat dia bisa menangkap kilasan Yahweh ketika dia turun, dalam semacam jejakjejak. P memperkenalkan sebuah gagasan yang kemudian akan menjadi sangat penting dalam sejarah konsepsi manusia tentang Tuhan. Manusia hanya dapat melihat cahaya yang tersisa ketika kehadiran ilahi telah berlangsung, yang disebutnya sebagai "kemuliaan (kavod) Yahweh", manifestasi kehadirannya, yang tidak boleh disamakan dengan realitas Tuhan itu sendiri.61 Ketika Musa turun dari gunung, wajahnya merefleksikan "kemuliaan" ini dan bersinar dengan terang yang sangat menyilaukan sehingga orang-orang Israel tidak bisa melihat mukanya.62 "Kemuliaan" Yahweh adalah simbol kehadirannya di bumi dan, dengan begitu, menekankan perbedaan antara gambaran terbatas tentang Tuhan yang diciptakan oleh manusia dan kesucian Tuhan sendiri. Dengan demikian, ini merupakan penyeimbang terhadap watak keberhalaan agama Israel. Tatkala P melihat kembali kisah klasik tentang Pembebasan, dia tidak membayangkan bahwa Yahweh sendiri betul-betul telah menemani orang Israel selama masa-masa sulit mereka: ini akan menjadi antropomorfisme yang janggal. Sebaliknya, dia memperlihatkan "kemuliaan" Yahweh memenuhi kemah tempat dia bertemu dengan Musa. Sama halnya, hanya "kemuliaan Yahweh" yang ada di dalam Kuil.63 Kontribusi P dalam Pentateukh yang paling terkenal, tentu saja, adalah kisah tentang penciptaan dalam bab pertama Kitab Kejadian, yang mengambil sumber dari Enuma Elish. P mulai dengan air dalam samudra raya (tehom, penyimpangan dari "Tiamat"), yang darinya Yahweh menciptakan langit dan bumi. Namun, tak ada perang antardewa, atau pertarungan dengan Yam, Lotan, atau Rahab. Hanya Yahweh yang bertanggung jawab mewujudkan segala sesuatunya. Tak ada emanasi realitas yang terjadi secara bertingkat-tingkat; bahkan Yahweh mencapai ketertiban melalui tindakan berkehendak tanpa susah payah. Secara alamiah, P tidak mengonsepsikan dunia sebagai sesuatu yang sakral, yang tersusun dari unsur-unsur yang sama dengan Yahweh. Memang, ajaran tentang "keterpisahan" cukup krusial dalam teologi P: Yahweh membuat kosmos tempat yang teratur dengan memisahkan malam dari siang, air dari tanah kering, dan cahaya dari kegelapan. Pada setiap tahap, Yahweh memberkati dan menyucikan penciptaan dan menyebutnya sebagai "kebaikan". Tidak seperti dalam 100 Tuhan yang Satu kisah Babilonia, penciptaan manusia merupakan puncak kreasi, bukan sekadar kebetulan. Manusia mungkin tidak ikut memiliki watak ilahiah, tetapi mereka diciptakan dalam citra Tuhan: mereka memikul tugastugas kreatifnya. Seperti dalam Enuma Elish, enam hari penciptaan diiringi oleh jeda sabbatical pada hari ketujuh: dalam kisah Babilonia, ini merupakan hari pada saat Majelis Agung mengadakan pertemuan untuk "memperbaiki ketentuan" dan menganugerahkan gelar kepada Marduk. Dalam tradisi P, hari Sabtu merupakan kontras simbolik dengan kekacauan primordial yang terjadi pada Hari Pertama. Nada dan pengulangan didaktiknya menyarankan bahwa kisah penciptaan P juga dirancang untuk resital liturgi, seperti Enuma Elish, untuk memuji kreasi Yahweh dan memahkotainya dengan gelar pencipta dan penguasa Israel.64 Secara alamiah, Kuil baru merupakan pusat Yudaisme P. Di Timur Dekat, kuil dipandang sebagai replika kosmos. Pembangunan kuil menjadi tindakan imitatio dei, memampukan manusia untuk berpartisipasi dalam kreativitas para dewa itu sendiri. Selama masa pengasingan, banyak orang Yahudi menemukan ketenangan dalam kisah-kisah kuno tentang Tabut Perjanjian, tempat suci yang dapat dibawa-bawa di mana Tuhan telah "mendirikan kemahnya" (shakari) bersama umatnya dan ikut merasakan ketunawismaan mereka. Ketika menggambarkan tempat suci itu, Kemah Pertemuan di pengasingan, P menggunakan mitologi kuno. Rancangan arsitekturnya tidak orisinal, melainkan salinan dari model suci: Musa diberi perintah yang sangat panjang dan terperinci oleh Yahweh di Gunung Sinai: "Dan mereka harus membuat tempat kudus bagi-Ku, supaya Aku akan diam di tengah-tengah mereka. Menurut segala apa yang Kutunjukkan kepadamu sebagai contoh Kemah Suci dan sebagai contoh segala perabotannya, demikian kamu harus membuatnya."65 Penjelasan panjang tentang pembangunan tempat suci ini tentu tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harfiah; tak seorang pun membayangkan bahwa orang Israel kuno telah benar-benar membangun sebuah kuil megah yang terbuat dari "emas, perak, tembaga, kain ungu tua, kain ungu muda, kain kirmizi, linen halus, bulu kambing, kulit domba jantan yang diwarnai merah, kulit lumba-lumba, kayu penaga ..." dan seterusnya.66 Interpolasi panjang lebar ini tak pelak mengingatkan pada kisah P tentang penciptaan. Pada setiap tahapan pembangunan, Musa "menyaksikan semua pekerjaan", dan "memberkati" umat, seperti yang dilakukan Yahweh selama enam hari penciptaan. Tempat 101 Sejarah Tuhan kudus itu dibangun pada hari pertama bulan pertama tahun itu; Bezazeel, arsitek kuil, mendapat inspirasi dari ruh Tuhan (ruacb elohirri) yang juga memikirkan penciptaan dunia; dan kedua kisah menekankan pentingnya istirahat di hari Sabtu.67 Pembangunan kuil juga merupakan simbol keharmonian primordial yang telah ada sebelum manusia merusak dunia. Dalam Kitab Ulangan, hari Sabtu dirancang untuk memberi setiap orang, termasuk para budak, satu hari libur dan untuk mengingatkan orang-orang Israel tentang peristiwa Pembebasan.68 P telah memberikan arti penting baru bagi hari Sabtu: menjadi tindakan meneladani Tuhan dan mengenang kembali penciptaan dunia. Ketika mereka menjalani istirahat hari Sabtu, orang Yahudi berpartisipasi dalam sebuah ritual yang pada awalnya dilakukan oleh Tuhan sendiri: ini merupakan upaya simbolik untuk menjalani kehidupan suci. Dalam paganisme kuno, setiap perbuatan manusia meniru perbuatan para dewa, namun kultus Yahweh telah membukakan jurang pemisah yang dalam antara alam ilahi dan manusia. Kini orang Yahudi diminta untuk lebih mendekati Yahweh dengan menaati Taurat Musa. Kitab Ulangan telah mendaftar sejumlah hukum wajib, yang mencakup Sepuluh Perintah Tuhan. Selama dan segera setelah pengasingan, hukum ini diuraikan menjadi undang-undang rumit yang terdiri atas 613 perintah (mitzvoi) dalam Pentateukh. Petunjuk-petunjuk terperinci ini tampak melemahkan semangat bagi orang luar dan telah ditampilkan secara yang sangat negatif dalam polemik Perjanjian Baru. Orang Yahudi tidak merasakan itu sebagai beban yang berat, seperti yang cenderung dibayangkan orang Kristen, melainkan sebagai cara simbolik untuk hidup dalam kehadiran Tuhan. Dalam Kitab Ulangan, hukum-hukum tentang makanan merupakan simbol status khusus orang Israel.69 P juga memandangnya sebagai upaya ritualisasi untuk ikut memiliki kesucian Tuhan, menyembuhkan derita keterpisahan antara manusia dengan yang ilahi. Watak manusia bisa disucikan ketika orang Israel meneladani tindakan-tindakan kreatif Tuhan dengan memisahkan susu dari daging, yang bersih dari yang kotor, dan hari Sabtu dari hari-hari lain dalam seminggu. Karya tradisi P dimasukkan ke dalam Pentateukh bersama tulisantulisan dari J, E, dan D. Ini merupakan pengingat bahwa setiap agama besar terdiri atas sejumlah visi dan spiritualitas yang independen. Sebagian Yahudi selalu merasa lebih tertarik kepada Tuhan Deuteronomis, yang telah memilih Israel untuk dipisahkan secara 102 Tuhan yang Satu agresif dari goyim; sebagian lainnya memperluas ini menjadi mitosmitos Ratu Adil yang menanti datangnya Hari Yahweh di akhir zaman, ketika dia akan mengangkat derajat orang Israel dan menghinakan bangsa-bangsa lain. Kisah-kisah mitologis ini cenderung melihat Tuhan sebagai wujud yang sangat jauh. Telah disepakati bahwa setelah pengasingan, era kenabian sudah berakhir. Tak perlu lagi ada kontak langsung dengan Tuhan: hal itu hanya dicapai dalam visi-visi simbolik yang dinisbahkan kepada figur-figur besar di masa yang silam, seperti Enok dan Daniel. Salah seorang pahlawan masa silam itu, dihormati di Babilonia sebagai teladan kesabaran dalam penderitaan, adalah Ayub. Setelah pengasingan, salah seorang yang berhasil melewatinya menggunakan legenda tua ini untuk mengajukan pertanyaan mendasar tentang hakikat Tuhan dan tanggung jawabnya terhadap penderitaan manusia. Dalam kisah tua ini, Ayub diuji oleh Tuhan; karena dia telah memikul penderitaan yang berat itu dengan sabar, Tuhan memberkatinya dengan memulihkan kembali kekayaannya di masa lalu. Dalam versi baru kisah Ayub, penulisnya konon memecah legenda tua itu menjadi dua dan menggambarkan Ayub gusar kepada sikap Tuhan. Bersama tiga pendampingnya, Ayub dengan berani mempertanyakan ketetapan Tuhan dan terlibat dalam perdebatan intelektual yang keras. Untuk pertama kalinya dalam sejarah agama Yahudi, imajinasi keagamaan beralih kepada spekulasi yang bersifat lebih abstrak. Para nabi telah mengklaim bahwa Tuhan membiarkan orang Israel menderita lantaran dosa-dosa mereka sendiri; penulis kisah Ayub menunjukkan bahwa sebagian orang Israel tidak lagi puas dengan jawaban-jawaban tradisional. Ayub menyerang dan mengungkapkan kelemahan intelektual pandangan ini. Namun, tiba-tiba Tuhan menyela spekulasinya yang kasar. Dia memperlihatkan diri kepada Ayub dalam suatu penampakan, mengutarakan keluarbiasaan dunia yang telah diciptakannya: bagaimana mungkin seorang makhluk kecil yang lemah, seperti Ayub berani menentang Tuhan yang transenden? Ayub menyerah, tetapi seorang pembaca modern, yang mencari jawaban lebih koheren dan filosofis tentang problem penderitaan, tidak akan puas dengan solusi semacam ini. Penyusun kisah Ayub memang tidak mengingkari hak untuk bertanya, tetapi menyarankan bahwa akal semata tidak memadai untuk membahas persoalan yang tak teruraikan ini. Spekulasi intelektual mesti memberi jalan bagi wahyu langsung dari Tuhan seperti yang telah diterima oleh para nabi. 103 Sejarah Tuhan Orang Yahudi memang belum berfilsafat, tetapi selama abad keempat mereka berada di bawah pengaruh rasionalisme Yunani. Pada tahun 332 SM, Alexander dan Makedonia menaklukkan Darius III dari Persia dan orang Yunani mulai menjajah Asia dan Afrika. Mereka mendirikan negara-kota di Tirus, Sidon, Gaza, Philadelphia (Amman), dan Tripoli, bahkan Sekhem. Orang Yahudi di Palestina dan yang menyebar (diaspora) dikepung oleh budaya Helenis yang oleh sebagian dianggap mengganggu, tetapi sebagian lainnya menyenangi teater, filsafat, olahraga, dan puisi Yunani. Mereka mempelajari bahasa Yunani, berolahraga di gymnasium, dan menggunakan nama Yunani. Sebagian bekerja sebagai tentara bayaran dalam tentara Yunani. Mereka bahkan menerjemahkan kitab suci mereka ke dalam bahasa Yunani dan menghasilkan versi yang dikenal sebagai Septuaginta. Dengan demikian, sebagian orang Yunani mulai mengenal Tuhan Israel dan memutuskan untuk menyembah Yahweh (atau Iao, demikian mereka menyebutnya) di samping Zeus dan Dionisus. Sebagian tertarik kepada sinagoga atau tempat-tempat pertemuan yang telah diubah oleh orang-orang Yahudi diaspora menjadi kuil tempat peribadatan. Di sana mereka membaca kitab suci, berdoa, dan mendengarkan khotbah-khotbah. Sinagoga tidak sama dengan apa pun yang ada di seluruh dunia keagamaan kuno. Karena tidak ada ritual atau pengurbanan, sinagoga menjadi lebih mirip dengan sekolah filsafat, dan mereka berbondong-bondong menuju sinagoga ketika seorang penceramah Yahudi terkenal tiba di kota, sebagaimana mereka akan antre untuk mendengarkan para filosof mereka sendiri. Sebagian orang Yunani bahkan menunaikan bagian-bagian tertentu dari Kitab Taurat dan bergabung dengan orang Yahudi dalam sektesekte sinkretis. Selama abad keempat SM, ditemukan satu-dua kejadian orang Yahudi dan Yunani menggabungkan Yahweh dengan salah satu dewa-dewa Yunani. Akan tetapi, kebanyakan orang Yahudi tetap menyendiri dan ketegangan tumbuh antara orang Yahudi dan Yunani di kota-kota Timur Tengah yang telah terhelenisasi. Di dunia kuno, agama bukanlah persoalan pribadi. Dewa-dewa sangat penting bagi perkotaan, dan diyakini bahwa dewa-dewa akan mencabut perlindungannya jika pemujaan terhadap mereka diabaikan. Orang Yahudi, yang mengklaim bahwa dewa-dewa ini tidak ada, disebut "ateis" dan musuh masyarakat. Pada abad kedua SM, permusuhan meningkat: Di Palestina bahkan timbul pemberontakan ketika Antiokhia Epiphanes, Gubernur 104 Tuhan yang Satu Seleukia, berupaya melakukan Helenisasi atas Yerusalem dan memperkenalkan kultus Zeus di kuil. Orang Yahudi mulai menerbitkan literatur mereka sendiri, yang menjelaskan bahwa hikmat bukanlah kecerdasan Yunani, tetapi ketakutan kepada Yahweh. Literatur hikmat menjadi genre yang mantap di Timur Tengah; berupaya untuk mendalami makna hidup, bukan dengan refleksi filosofis, melainkan dengan mencari cara terbaik untuk menjalani hidup. Literatur ini sering bersifat pragmatis. Penyusun Kitab Amsal, yang menulis pada abad ketiga SM, melangkah lebih jauh dan menyarankan bahwa Hikmat merupakan rencana yang telah dibuat Tuhan saat dia menciptakan dunia dan, dengan demikian, merupakan ciptaannya yang pertama. Gagasan ini menjadi sangat penting bagi generasi awal Kristen, sebagaimana akan kita lihat pada Bab 4. Pengarang mempersonifikasikan Hikmat sehingga ia seolah menjadi sosok tersendiri: TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala. sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada .... Aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; aku bermain-main di atas muka bumi-Nya, dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku.70 Namun Hikmat bukanlah suatu wujud suci, tetapi secara spesifik dikatakan telah diciptakan Tuhan. Dia mirip dengan "kemuliaan" Tuhan, yang dijelaskan oleh para penulis tradisi P, mewakili rencana Tuhan bahwa manusia dapat meraih pandangan sekilas tentang penciptaan dan persoalan-persoalan manusia: penulis menampilkan Hikmat (Hokhmah) berseru nyaring di jalan-jalan, mengimbau umat agar takut kepada Yahweh. Pada abad kedua SM, Yesus bin Sirakh, seorang Yahudi Yerusalem yang saleh, melukiskan potret yang serupa tentang hikmat. Dia membuatnya berdiri di hadapan Majelis Suci dan menyenandungkan puja-pujinya sendiri: dia keluar dari mulut Yang Mahatinggi sebagai Firman suci yang dengannya Tuhan menciptakan dunia; dia hadir dalam setiap ciptaan tetapi mengambil tempat berdiam yang menetap di tengah-tengah orang Israel.71 Sebagaimana "kemuliaan" Yahweh, figur hikmat merupakan simbol aktivitas Tuhan di dunia. Orang Yahudi menumbuhkan gagasan 105 Sejarah Tuhan yang begitu agung tentang Yahweh sehingga sulit membayangkan dia campur tangan langsung dalam persoalan manusia. Seperti P, mereka lebih suka membedakan Tuhan yang bisa kita ketahui dan alami dari reaiitas suci itu sendiri. Tatkala kita membaca tentang Hikmat suci yang meninggalkan Tuhan untuk menyusuri dunia mencari manusia, sulit untuk tidak teringat pada dewi-dewi pagan semacam Isytar, Anat, dan Isis yang turun dari alam suci dengan membawa misi penyelamatan. Dalam Hikmat Salomo, seorang Yahudi Aleksandria, tempat berdiamnya komunitas penting Yahudi, mengingatkan kaum Yahudi untuk menahan diri dari godaan budaya Helenis yang ada di sekeliling mereka dan tetap setia pada tradisi mereka sendiri: bahwa rasa takut akan Yahweh, bukan filsafat Yunani, yang merupakan hikmat sejati. Menulis dalam bahasa Yunani, dia juga mempersonifikasi Hikmat (sophia) dan berpandangan bahwa hal itu tidak dapat dipisahkan dari Tuhan Yahudi: Hikmat [sophia] adalah napas kekuasaan Allah, Pancaran murni kemuliaan Yang Mahakuasa; maka tak ada noda yang dapat mengotorinya, Dia adalah pantulan cahaya abadi cermin kekuasaan Tuhan yang tiada bercela, bayangan kebaikannya.72 Kalimat ini juga menjadi sangat penting bagi kaum Kristiani ketika mereka mulai mendiskusikan status Yesus. Namun, penulis Yahudi secara sederhana memandang sophia sebagai sebuah aspek dari Tuhan yang tak dapat diketahui, yang menyesuaikan dirinya dengan pemahaman manusia. Dia adalah Tuhan-sebagaimana-dia-telahmewahyukan- diri-kepada-manusia: persepsi manusia tentang Tuhan, secara misterius berbeda dari reaiitas Tuhan yang sepenuhnya, yang selalu luput dari jangkauan pemahaman kita., Penyusun Hikmat Salomo benar adanya saat merasakan ketegangan antara pemikiran Yunani dengan agama Yahudi. Kita telah melihat bahwa ada suatu perbedaan krusial dan mungkin tak terdamaikan antara Tuhan Aristoteles, yang sama sekali tidak sadar akan dunia yang telah diciptakannya, dengan Tuhan Alkitab, yang secara hangat terlibat dalam urusan-urusan manusia. Tuhan Yunani bisa ditemukan oleh akal manusia, sedangkan Tuhan Alkitab hanya menampakkan diri melalui wahyu. Suatu jurang memisahkan Tuhan 106 Tuhan yang Satu Yahudi clari dunia, namun orang Yunani percaya bahwa karunia akal membuat manusia serumpun dengan Tuhan; mereka, oleh karena itu, bisa mencapainya dengan usaha mereka sendiri. Walaupun demikian, setiap kali kaum monoteis jatuh cinta kepada filsafat Yunani, maka tak pelak lagi mereka ingin mencoba mengadaptasikan konsepsi Tuhan Yunani dengan konsepsi mereka sendiri. Ini akan menjadi salah satu tema pokok cerita kita. Salah satu orang pertama yang berupaya melakukan ini adalah filosof kenamaan Yahudi, Philo dari Aleksandria (30-45 M). Philo adalah seorang Platonis dan memiliki reputasi gemilang sebagai filosof rasional pada zamannya. Dia menulis dalam bahasa Yunani yang baik dan tampaknya tidak bisa berbahasa Ibrani meskipun dia juga seorang Yahudi yang beriman dan menaati mitzvot. Dia tak melihat adanya perbedaan antara Tuhannya dengan Tuhan Yunani. Akan tetapi, mesti dikatakan bahwa Tuhan Philo tampak sangat berbeda dari Yahweh. Karena suatu hal, Philo tampaknya kurang senang dengan kitab-kitab sejarah Alkitab, yang coba dia ubah menjadi kiasan-kiasan yang rumit: Aristoteles, dapat diingat kembali, memahami sejarah secara tidak filosofis. Tuhannya tidak memiliki sifat-sifat manusia: dalam konsepsi Aristoteles, adalah tidak tepat, misalnya, menyatakan bahwa Tuhan "marah". Yang dapat kita ketahui tentang Tuhan adalah fakta tentang eksistensinya saja. Meskipun demikian, sebagai praktisi Yahudi, Philo sungguhsungguh percaya bahwa Tuhan telah menampakkan dirinya kepada para nabi. Bagaimana hal ini menjadi mungkin? Philo memecahkan persoalan itu dengan membuat pembedaan penting antara esensi Tuhan (Ousia), yang sepenuhnya tidak dapat dipahami, dan aktivitas Tuhan di dunia yang disebutnya "kekuasaan" (dynamies) atau energi (energeiai). Pada dasarnya, itu mirip dengan solusi P dan para penulis Hikmat. Kita tidak pernah bisa mengetahui Tuhan sebagaimana dia dalam dirinya sendiri. Philo menulis bahwa Musa berkata: "Pemahaman tentang aku adalah sesuatu yang manusia, ya, bahkan seluruh langit dan bumi, tidak mampu menampungnya."73 Untuk mengadaptasikan dirinya kepada kemampuan akal kita yang terbatas, Tuhan berkomunikasi melalui "kekuasaannya", yang tampaknya sama dengan bentuk-bentuk suci Plato (tetapi Philo tidak selamanya konsisten tentang ini). Bentuk-bentuk suci ini merupakan realitas tertinggi yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Philo menganggapnya memancar dari Tuhan, seperti Plato dan Aristoteles memandang bahwa kosmos memancar secara abadi dari Sebab 107 Sejarah Tuhan Pertama. Dua di antara kekuasaan ini penting secara khusus. Philo menyebutnya kuasa Kerajaan, yang mengungkapkan Tuhan dalam keteraturan alam, dan kuasa Kreatif, yang dengannya Tuhan mengungkapkan diri dalam berkat yang dilimpahkannya kepada manusia. Masing-masing kuasa ini tidak bisa dicampuradukkan dengan esensi ilahi (ousid), yang tetap terbungkus dalam misteri yang tak tertembus. Kuasa itu memampukan kita menangkap kilasan realitas yang berada di atas segala sesuatu yang bisa kita pahami. Terkadang Philo berbicara tentang wujud esensial Tuhan (ousia) didampingi oleh kuasa Kerajaan dan Kreatif dalam sebentuk trinitas. Ketika menginterpretasikan kisah kunjungan Yahweh dan dua malaikat kepada Abraham di Mamre, misalnya, dia mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan penampilan kiasan ousia Tuhan—Dia Sebagaimana Adanya—bersama dua kekuasaan senior.74 J akan dibuat tercengang oleh hal ini dan, memang, orang Yahudi selalu memandang konsepsi Philo tentang Tuhan sebagai tidak autentik. Akan tetapi, orang Kristen menganggap Philo sangat membantu, dan orang Yunani, seperti akan kita saksikan, menerima pembedaan antara "esensi" Tuhan yang tak dapat diketahui dengan "energi" yang membuatnya dapat kita kenali. Mereka juga akan dipengaruhi oleh teorinya tentang Logos ilahi. Seperti halnya para penulis Hikmat, Philo membayangkan bahwa Tuhan telah membentuk sebuah rancangan dasar (logos) penciptaan, yang bersesuaian dengan alam bentuk-bentuk Plato. Sekali lagi, Philo tidak selalu konsisten. Kadangkala dia menyatakan bahwa Logos adalah salah satu dari kuasa itu; pada saat lain dia tampaknya berpendapat bahwa Logos lebih tinggi, yakni sebagai ide tertinggi tentang Tuhan yang bisa dicapai oleh manusia. Namun demikian, ketika kita berkontemplasi tentang Logos, kita tidak membentuk pengetahuan positif tentang Tuhan: kita tiba di luar jangkauan akal diskursif menuju pemahaman intuitif yang "lebih tinggi daripada suatu cara berpikir, lebih berharga daripada sesuatu yang sekadar merupakan pikiran."75 Itu adalah aktivitas yang mirip dengan kontemplasi Plato (theoria). Philo bersikeras bahwa kita tak akan pernah mencapai Tuhan sebagaimana dia dalam dirinya: kebenaran tertinggi yang dapat kita jangkau adalah pengakuan tak terelakkan bahwa Tuhan benar-benar mentransendensi pikiran manusia. Ini tidak segamblang kedengarannya. Philo menggambarkan sebuah pengembaraan penuh kasih dan menyenangkan menuju yang 108 Tuhan yang Satu tak diketahui, yang memberinya pembebasan dan energi kreatif. Seperti Plato, dia memandang jiwa seperti dalam pengasingan, terperangkap dalam dunia mated yang bersifat fisik. la harus kembali kepada Tuhan, rumahnya yang sejati, meninggalkan kesenangan, dunia indriawi, dan bahkan bahasa, karena semua itu mengikat kita dengan dunia yang tidak sempurna. Akhirnya, jiwa akan mencapai kebahagiaan yang membawanya mengatasi kesuraman keterbatasan ego menuju realitas yang lebih luas dan utuh. Kita telah menyaksikan bahwa konsepsi tentang Tuhan sering merupakan pemikiran imajinatif. Para nabi telah merefleksikan pengalaman mereka dan merasa bahwa hal itu berasal dad suatu wujud yang mereka sebut Tuhan. Philo memperlihatkan bahwa kontemplasi religius memiliki banyak kesamaan dengan bentuk-bentuk kreativitas lain. Ada saat-saat, katanya, ketika dia sulit meneruskan penulisan bukunya dan tidak membuat kemajuan apa pun, tapi terkadang dia merasa terkuasai oleh tuhan: Aku ... tiba-tiba menjadi penuh, ide-ide turun bagaikan salju, sedemikian sehingga di bawah pengaruh kuasa ilahi, aku dipenuhi kegaduhan Corybantic [ritus dan prosesi dalam pemujaan Dewi Cybele—dewi alam masyarakat kuno Asia Minor—yang sangat liar secara emosional,— ed.] dan menjadi tak sadar akan apa pun, tempat, orang, waktu saat ini, diri sendiri, apa yang diucapkan, dan apa yang dituliskan. Karena aku memperoleh ekspresi, gagasan, kebahagiaan hidup, pandangan tajam, kejelasan yang luar biasa atas objek-objek seperti yang mungkin terjadi lewat penglihatan mata yang sangat jernih.76 Segera setelah itu, tidak mungkin lagi bagi orang-orang Yahudi untuk mencapai sebuah sintesis dengan dunia Yunani. Pada tahun kematian Philo terjadi pembunuhan sistematik atas komunitas Yahudi di Aleksandria dan merebaknya ketakutan akan kebangkitan Yahudi. Ketika Romawi menegakkan imperium mereka di Afrika Utara dan Timur Tengah pada abad kesatu SM, mereka menenggelamkan diri dalam kebudayaan Yunani, menggabungkan dewa-dewa nenek moyang mereka dengan dewa-dewa Yunani dan mengadopsi filsafat Yunani dengan sangat antusias. Namun, mereka tidak mewarisi sikap permusuhan Yunani terhadap orang Yahudi. Sebaliknya, mereka tak jarang lebih membela orang Yahudi daripada orang Yunani, memandang mereka sebagai sekutu penuh di kota-kota Yunani yang masih menyimpan sisa-sisa permusuhan terhadap Romawi. Orang Yahudi 109 Sejarah Tuhan diberi kebebasan beragama sepenuhnya: agama mereka dikenal sebagai agama besar di zaman antik dan dihormati. Hubungan antara Yahudi dan Romawi biasanya selalu baik, sekalipun di Palestina, yang sering sulit menerima pemerintahan asing. Pada abad kesatu M, Yudaisme berada dalam posisi yang sangat kuat dalam kerajaan Romawi. Sepersepuluh dari seluruh wilayah kerajaan diisi komunitas Yahudi: di Aleksandria, empat puluh persen penduduk adalah orang Yahudi. Orang-orang di kerajaan Romawi tengah mencari alternatif agama baru. Gagasan monoteistik sedang merebak, dewa-dewa lokal tak lama kemudian hanya dianggap sebagai perwujudan dari keilahan yang lebih luas. Orang Romawi tertarik pada karakter moral Yudaisme yang tinggi. Mereka yang keberatan untuk disunat dan mengikuti Taurat sering dijadikan anggota kehormatan sinagoga-sinagoga dan disebut sebagai "orang yang takut kepada Allah". Jumlah mereka terus meningkat: bahkan diperkirakan bahwa salah seorang kaisar Flavian mungkin telah beralih ke Yudaisme, sementara Konstantin nantinya beralih ke Kristen. Namun di Palestina, sebuah kelompok politik ekstrem dengan keras menentang pemerintahan Romawi. Pada 66 M, mereka merancang sebuah pemberontakan melawan Romawi dan, di luar dugaan, berhasil menghambat gerak maju pasukan Romawi selama empat tahun. Para penguasa cemas pemberontakan itu akan meluas kepada kaum Yahudi diaspora lainnya dan terpaksa menumpasnya tanpa ampun. Pada 70 M, tentara kaisar baru Vespasian akhirnya menguasai Yerusalem, meratakan Kuil dengan tanah, dan menjadikannya kota Romawi bernama Aelia Capitolana. Sekali lagi orang Yahudi terusir ke pengasingan. Keruntuhan kuil, yang telah menjadi sumber inspirasi Yudaisme baru, merupakan duka yang dalam. Akan tetapi, jika melihat ke belakang, tampaknya orang Yahudi Palestina, yang sering lebih konservatif daripada Yahudi diaspora yang sudah terhelenisasi, telah mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi bencana ini. Berbagai sekte telah tumbuh di Tanah Suci ini yang dengan berbagai cara berbeda memisahkan diri mereka dari Kuil Yerusalem. Sekte Essenia dan sekte Qumran percaya bahwa Kuil telah menjadi kotor dan korup; mereka menarik diri dan hidup dalam komunitas terpisah, seperti komunitas bergaya monastik di sisi Laut Mati. Mereka percaya bahwa mereka sedang membangun sebuah kuil baru, yang bukan dibuat dengan tangan. Kuil mereka adalah Kuil Ruh; bukannya dengan memberikan hewan kurban seperti yang lama, mereka menyucikan 110 Tuhan yang Satu diri dan mencari pengampunan dosa dengan upacara baptis dan perjamuan umum. Tuhan hadir di tengah persaudaraan yang saling mengasihi, bukan di dalam kuil batu. Yang paling progresif di antara semua umat Yahudi Palestina adalah kaum Farisi yang merasa solusi aliran Essenia terlalu elitis. Dalam Perjanjian Baru, kaum Farisi digambarkan sebagai orang-orang munafik. Ini disebabkan oleh distorsi polemik pada abad pertama. Kaum Farisi sebenarnya merupakan orang-orang Yahudi yang sangat spiritual. Mereka percaya bahwa seluruh Israel telah diimbau untuk menjadi bangsa suci para rahib. Tuhan dapat hadir di rumah yang paling sederhana sebagaimana kehadirannya di Kuil. Akibatnya, mereka hidup bagaikan kasta rahib resmi, menjalankan hukum-hukum kesucian khusus yang mereka terapkan hanya pada kuil yang ada di rumah mereka. Mereka bersikeras untuk makan dalam keadaan suci secara ritual karena mereka yakin bahwa meja setiap orang Yahudi bagaikan mezbah Tuhan di Kuil. Mereka menanamkan rasa tentang kehadiran Tuhan dalam setiap perincian kecil kehidupan seharihari. Orang Yahudi kini dapat langsung mendekati Tuhan tanpa perantaraan kasta rahib dan tanpa ritual yang rumit. Mereka dapat beroleh ampunan dosa dengan cara berbuat baik kepada tetangga mereka; sedekah merupakan mitzvah terpenting di dalam Taurat; ketika dua atau tiga orang Yahudi belajar Taurat bersama-sama, Tuhan hadir di tengah-tengah mereka. Selama beberapa tahun di awal abad itu, muncul dua aliran yang saling bertentangan: satunya dipimpin oleh Shammai yang Tua, yang lebih ketat, yang lain dipimpin oleh Rabi Hillel yang Tua, yang merupakan kelompok Farisi paling populer saat itu. Ada sebuah cerita bahwa suatu hari seorang pagan mendatangi Hillel dan berkata kepadanya bahwa dia pasti akan menganut Yudaisme jika rabi itu mampu membaca semua isi Taurat sambil berdiri di atas sebelah kaki. Hillel menjawab: "Jangan melakukan kepada orang lain suatu perbuatan yang engkau sendiri tidak ingin dilakukan kepada dirimu. Itulah keseluruhan Taurat: pergi dan pelajarilah."77 Pada tahun 70 yang penuh krisis itu, Farisi berkembang menjadi Yudaisme Palestina yang paling penting dan disegani; mereka telah membuktikan kepada umat bahwa mereka tidak membutuhkan Kuil untuk menyembah Tuhan, sebagaimana diperlihatkan oleh kisah masyhur berikut ini: 111 Sejarah Tuhan Ketika Rabi Yohannan ben Zakkei tiba dari Yerusalem, Rabi Yoshua mendatanginya dan diceritakan bahwa Kuil telah dihancurkan. "Celakalah kita!" seru Rabi Yoshua, "tempat penebusan dosa-dosa orang Israel telah dirobohkan!" "Anakku," jawab Rabi Yohannan, "janganlah berduka. Kita memiliki tempat penebusan lain yang sama ampuhnya. Apakah itu? Itulah perbuatan baik, karena telah dikatakan: Yang Aku kehendaki adalah kasih sayang, bukan pengurbanan.'"78 Konon setelah kejatuhan Yerusalem, Rabi Yohannan diselundupkan di dalam peti jenazah agar bisa keluar dari kota yang tengah berkobar. Dia telah menentang pemberontakan Yahudi dan berpendapat bahwa orang-orang Yahudi akan lebih baik jika tidak memiliki negara. Orang Romawi mengizinkannya mendirikan komunitas Farisi yang mandiri di Jabna, sebelah barat Yerusalem. Beberapa komunitas yang serupa dibangun di Palestina dan Babilonia. Mereka saling terkait erat. Komunitas ini menghasilkan para sarjana yang disebut sebagai tannaim, termasuk tokoh rabi semacam Rabi Yohannan sendiri, Rabi Akiva yang ahli mistik, dan Rabi Ishmael. Mereka mengompilasi mishnah, kodifikasi hukum lisan yang mengaktualisasikan kembali hukum-hukum Musa. Selanjutnya, sekelompok sarjana baru yang dikenal sebagai amoraim, memulai penafsiran atas Mishnah dan menghasilkan risalah-risalah yang secara kolektif dikenal dengan nama Talmud. Bahkan ada dua Talmud yang telah dikompilasi, yakni Talmud Yerusalem, yang diselesaikan pada akhir abad keempat, dan Talmud Babilonia, yang dianggap lebih autoritatif dan baru selesai pada akhir abad kelima. Proses tersebut terus berlanjut dan setiap generasi sarjana mulai mengomentari Talmud dan tafsiran para pendahulu mereka. Perenungan hukum ini tidak sekering yang cenderung dibayangkan oleh orang luar. Ini merupakan meditasi tanpa akhir tentang Firman Tuhan, Bait Suci baru; setiap lapisan tafsir itu mewakili dinding-dinding dan takhta Kuil baru, mengabadikan kehadiran Tuhan di tengah-tengah umatnya. Yahweh telah senantiasa menjadi Tuhan yang transenden, yang membimbing manusia dari atas dan tak terjangkau. Para rabi membuat dia hadir sangat dekat di dalam diri manusia dan dalam perincian terkecil kehidupan sehari-hari. Setelah kehilangan Kuil dan menjalani lagi pengalaman di pengasingan, orang Yahudi membutuhkan Tuhan di tengah-tengah mereka. Para rabi tidak mengonstruksikan doktrin formal tentang Tuhan. Sebaliknya, mereka mengalaminya sebagai 112 Tuhan yang Satu kehadiran yang nyata. Spiritualitas mereka telah dideskripsikan sebagai keadaan "mistisisme yang normal."79 Dalam ayat-ayat Talmud yang paling awal, Tuhan dialami dalam fenomena fisik yang misterius. Para rabi berbicara mengenai Roh Kudus, yang telah berpikir tentang penciptaan dan pembangunan tempat suci, membuat kehadirannya dapat dirasakan dalam embusan angin atau kobaran api. Yang lain mendengarnya dalam dentangan lonceng atau suara ketukan yang keras. Suatu hari, contohnya, ketika Rabi Yohannan duduk berdiskusi tentang pengalaman Yehezkiel melihat kereta perang, sebuah nyala api turun dari langit dan malaikat-malaikat berdiri di dekatnya: sebuah suara dari langit mengonfirmasikan bahwa Rabi itu mempunyai suatu misi khusus dari Tuhan.80 Begitu kuatnya perasaan mereka tentang kehadiran sehingga tak ada doktrin formal dan objektif yang sesuai. Para rabi sering menyatakan bahwa di Gunung Sinai, setiap orang Israel yang berdiri di kaki bukit telah mengalami Tuhan dalam cara yang berbeda. Tuhan telah, sebagaimana mestinya, menyesuaikan dirinya kepada setiap orang "sesuai dengan derajat pemahaman mereka."81 Seperti dinyatakan oleh seorang rabi: "Tuhan tidak datang kepada manusia dengan penuh paksaan, tetapi selaras dengan kekuatan pemahaman seorang manusia terhadapnya."82 Pandangan rabinik yang sangat penting ini bermaksud bahwa Tuhan tidak dapat dijelaskan dalam suatu formula yang sama bagi semua orang; dia secara esensial merupakan pengalaman subjektif. Masing-masing individu akan mengalami realitas "Tuhan" dalam cara berbeda demi memenuhi kebutuhan temperamental khas individu itu. Setiap nabi telah mengalami Tuhan secara berbeda, demikian kata rabi itu, karena kepribadiannya berpengaruh terhadap konsepsinya tentang yang ilahi. Akan kita saksikan bahwa monoteis lain juga mengembangkan gagasan yang sangat mirip. Hingga saat ini, ide-ide teologis tentang Tuhan merupakan persoalan pribadi menurut pandangan Yudaisme dan tidak dipaksakan oleh siapa pun. Setiap doktrin resmi akan membatasi misteri Tuhan yang esensial. Para rabi menunjukkan bahwa Tuhan sama sekali tidak bisa dipahami. Bahkan Musa juga tidak mampu menembus misteri Tuhan: setelah melalui pencarian yang panjang, Raja Daud mengakui bahwa adalah sia-sia untuk mencoba memahami Tuhan karena dia terlalu agung bagi pikiran manusia.83 Orang Yahudi bahkan dilarang mengucapkan namanya. Ini untuk mengingatkan bahwa apa pun usaha untuk 113 Sejarah Tuhan mengungkapkan Tuhan pasti tidak akan memadai: nama suci itu ditulis YHWH dan tidak dilafalkan dalam setiap pembacaan kitab suci. Kita bisa mengagumi perbuatan Tuhan di alam semesta, tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Rabi Huna, ini hanya memberi kita gambaran yang sangat kecil tentang keseluruhan realitas: "Manusia tidak dapat mengerti makna petir, topan, badai, tatanan alam, hakikat dirinya sendiri; lantas bagaimana dia bisa membual mampu memahami Raja dari segala Raja?"84 Keseluruhan gagasan tentang Tuhan adalah untuk memotivasi lahirnya rasa tentang misteri dan ketakjuban hidup, bukan untuk meraih solusi yang sejati. Para rabi bahkan memperingatkan orang-orang Israel untuk tidak terlalu sering memuji Tuhan dalam doa mereka, karena ucapan mereka cenderung menjadi tidak sempurna.85 Bagaimana wujud transenden dan tak terpahami ini terkait dengan dunia? Para rabi mengekspresikan perasaan mereka tentang ini dalam sebuah paradoks: "Tuhan adalah tempat dunia, namun dunia bukanlah tempat Tuhan."85 Tuhan meliputi dan mencakup dunia, tetapi dia tidak hidup di dalamnya sebagaimana halnya makhluk. Dalam gambaran favorit mereka lainnya, dikatakan bahwa Tuhan mengisi dunia seperti jiwa memenuhi tubuh: dia menghidupi tetapi melampauinya. Mereka juga berkata bahwa Tuhan seperti penunggang kuda: ketika berada di atas kuda, penunggang bergantung pada binatang itu, tetapi dia lebih unggul daripada kuda dan memegang kontrol lewat tali kekang. Semua ini hanyalah gambaran dan, tak pelak, memang tidak sepadan. Semua ini hanyalah ungkapan imajinatif tentang "sesuatu" yang agung dan tak terdefinisikan yang di dalamnya kita hidup dan bergerak dan mewujud. Ketika mereka berbicara tentang kehadiran Tuhan di bumi, mereka secara hati-hati—seperti halnya para penulis Alkitab—membedakan antara jejak-jejak kehadiran Tuhan yang dia izinkan untuk kita lihat dengan misteri ilahi yang lebih agung dan tidak bisa dijangkau. Mereka menyamakan gambaran "kemuliaan" (kavod) YHWH dengan Roh Kudus, yang terus-menerus mengingatkan bahwa Tuhan yang kita alami tidak bersesuaian dengan esensi Realitas Suci itu sendiri. Salah satu sinonim kata Tuhan yang mereka sukai adalah Shekinah, yang berasal dari bahasa Ibrani shakan, tinggal bersama atau menegakkan kemah. Kini, tatkala Kuil telah runtuh, citra Tuhan yang telah menemani orang Israel dalam pengembaraan mereka memberi petunjuk tentang Tuhan yang bisa dijangkau. Beberapa di antara 114 Tuhan yang Satu mereka berkata bahwa Shekinah, yang selalu berada bersama umatnya di bumi, tetap bersemayam di Bukit Kuil, walaupun Kuil itu telah dihancurkan. Rabi yang lain berpendapat bahwa penghancuran Kuil telah membebaskan Shekinah dari Yerusalem dan memampukannya mengisi seluruh dunia.87 Seperti halnya "kemuliaan" tuhan atau Roh Kudus, Shekinah tidak dikonsepsikan sebagai wujud ilahi yang terpisah, tetapi sebagai kehadiran Tuhan di bumi. Para rabi melihat kembali sejarah umat mereka dan mendapatkan bahwa dia telah selalu menemani mereka: Datang dan lihatlah betapa dicintainya Israel di hadapan Tuhan, sebab ke mana pun mereka pergi Shekinah mengiringi mereka, seperti difirmankan: "Bukankah aku telah secara jelas menyingkapkan diriku kepada rumah orangtuamu ketika mereka berada di Mesir?" Di Babilonia, Shekinah bersama mereka, seperti difirmankan: "Demi engkau, aku [dfjkirim ke Babilonia." Dan ketika di masa depan Israel diselamatkan, Shekinah akan menyertai mereka saat itu, sebagaimana difirmankan: "Tuhanmu akan mengubah ketertawananmu." Artinya, Tuhan akan kembali bersamamu.88 Hubungan antara Israel dengan Tuhannya begitu kuat sehingga tatkala dia menyelamatkan mereka di masa silam, orang Israel biasa mengatakan kepada Tuhan: "Engkau telah menyelamatkan dirimu sendiri."89 Dalam cara mereka yang khas Yahudi, para rabi mengembangkan rasa tentang Tuhan sebagai sesuatu yang diidentik dengan diri, yang oleh orang Hindu disebut Atman. Gambaran tentang Shekinah telah membantu orang-orang yang terusir untuk menumbuhkan rasa kehadiran Tuhan di mana pun mereka berada. Para rabi berbicara tentang Shekinah yang berpindah dari satu sinagoga diaspora ke sinagoga lain; yang lain menyatakan Shekinah berdiri di depan pintu sinagoga, memberkati setiap langkah yang diambil oleh seorang Yahudi dalam perjalanannya menuju majelis ilmu. Shekinah juga berdiri di depan pintu sinagoga ketika orang Yahudi membacakan Shema bersama-sama di sana.90 Seperti halnya orang Kristen awal, orang Israel dianjurkan oleh rabi-rabi mereka untuk melihat diri mereka sebagai komunitas tunggal dengan "satu jiwa dan satu badan."91 Komunitas adalah Kuil baru, yang mengabadikan imanensi Tuhan: maka ketika mereka memasuki sinagoga dan membacakan Shema dalam keterpaduan sempurna "dengan taat, dengan satu suara, satu pikiran, dan satu nada," Tuhan hadir di 115 Sejarah Tuhan tengah-tengah mereka. Akan tetapi, dia tidak menyukai ketiadaan harmoni di dalam komunitas dan kembali ke langit tempat para malaikat menyenandungkan puja-puji "dalam satu suara dan satu melodi."92Persatuan yang lebih tinggi antara Tuhan dan Israel hanya mungkin terjadi ketika persatuan yang lebih rendah antarsesama Israel telah sempurna: para rabi tak henti-hentinya mengatakan kepada orang Israel bahwa ketika sekelompok orang Yahudi mempelajari Taurat bersama-sama, Shekinah akan bersemayam di tengah-tengah mereka.93 Di pengasingan, orang Yahudi merasakan kekerasan dunia di sekeliling mereka; rasa tentang kehadiran ini membantu mereka untuk mengimajinasikan bahwa mereka dikelilingi oleh berkah Tuhan. Ketika mereka mengikat jimat (tfillin) ke tangan dan kepala mereka, mengenakan jumbai ritual (tzitzii), dan memakukan mezuzah yang berisi kata-kata Shema di atas pintu mereka, sebagaimana digambarkan dalam Kitab Ulangan, mereka tidak boleh mencoba menjelaskan praktik-praktik yang ganjil dan tak jelas ini. Usaha semacam itu akan mengurangi kandungan maknanya. Alih-alih, mereka harus membiarkan pelaksanaan mitzvot ini mendorong mereka masuk ke dalam kesadaran tentang limpahan kasih Ilahi: "Israel dicintai! Alkitab melingkupinya dengan mitzvot: tfillin di kepala dan tangan, mezuzah di pintu, dan tzitzit di pakaian mereka."94 Tanda-tanda ini bagaikan mutiara yang dihadiahkan seorang raja kepada istrinya untuk menambah kecantikan sang istri di hadapannya. Ini tidaklah mudah. Talmud memperlihatkan bahwa sebagian orang mempertanyakan apakah Tuhan telah membuat banyak perbedaan di dalam dunia yang gelap ini.95 Spiritualitas para rabi menjadi normatif dalam Yudaisme, bukan hanya di kalangan mereka yang telah meninggalkan Yerusalem tetapi juga di kalangan orang Yahudi yang hidup di diaspora. Ini bukan karena ia didasarkan pada suatu pandangan teoretis: banyak praktik Taurat yang tidak memiliki alur logika. Agama para rabi itu diterima karena sifatnya yang praktis. Visi para rabi telah mencegah umat jatuh ke dalam keputusasaan. Namun, jenis spiritualitas ini hanya ditujukan kepada kaum pria saja sebab kaum perempuan tidak dibutuhkan—dan karena itu tidak diizinkan—untuk menjadi rabi, mempelajari Taurat, atau berdoa di sinagoga. Agama Tuhan menjadi bersifat patriarkal seperti kebanyakan ideologi lain pada zaman itu. Peran kaum perempuan terbatas hanya untuk menjaga kesucian ritual rumah mereka. Orang 116 Tuhan yang Satu Yahudi telah semenjak lama menyucikan penciptaan dengan cara memilah bagian-bagiannya yang beragam, dan dalam semangat ini kaum perempuan diturunkan ke suatu kawasan terpisah dari lakilaki, sebagaimana mereka memisahkan susu dari daging di dapur mereka. Secara praktis, ini berarti bahwa kaum perempuan dipandang inferior. Meskipun para rabi mengajarkan bahwa kaum perempuan diberkati Tuhan, tetapi kaum pria diperintahkan untuk bersyukur kepada Tuhan dalam doa pagi karena Tuhan tidak menciptakan mereka sebagai orang yang non-Yahudi, budak, atau perempuan. Walaupun demikian, perkawinan dipandang sebagai sebuah tugas sakral dan kehidupan keluarga dianggap sebagai sesuatu yang luhur. Para rabi menekankan kesuciannya melalui pengesahan yang sering disalahpahami. Jika hubungan seks dilarang selama menstruasi, ini bukan disebabkan oleh anggapan bahwa kaum perempuan itu kotor atau menjijikkan. Masa pantangan itu dirancang untuk mencegah kesewenangan kaum pria terhadap istrinya: "Karena seorang pria jadi sangat mengenal istrinya, dan kemudian ditolak olehnya, Taurat menyatakan bahwa kaum perempuan harus menjalani niddah [tidak melayani hubungan seks] selama tujuh hari [setelah menstruasi] agar dia menjadi dicintai oleh suaminya [setelah itu] seperti pada hari pernikahan."96 Sebelum pergi ke sinagoga pada suatu hari perayaan, seorang pria diwajibkan melakukan mandi ritual, bukan karena dia kotor, melainkan demi menjadikan dirinya lebih suci dalam menjalankan pelayanan ilahi. Dalam semangat ini pula seorang perempuan diwajibkan mandi ritual setelah periode menstruasi, untuk mempersiapkan dirinya bagi kesucian tugas mendatang: hubungan seks dengan suaminya. Gagasan bahwa seks mungkin merupakan sesuatu yang suci tidak dikenal di dalam Kristen, yang acap melihat seks dan Tuhan sebagai dua hal yang saling tidak bersesuaian. Benar bahwa orang Yahudi pada masa berikutnya sering memberikan interpretasi negatif terhadap ajaran-ajaran para rabi, tetapi rabi-rabi itu sendiri tidak mendakwahkan spiritualitas yang murung, asketik, dan menyangkal kehidupan. Sebaliknya, mereka mengajarkan bahwa orang Yahudi berkewajiban untuk memelihara kehidupan agar tetap baik dan menyenangkan. Mereka sering menggambarkan Roh Kudus "meninggalkan" atau "mengabaikan" karakter biblikal, seperti Yakub, Daifd, atau Ester ketika mereka sedang sakit atau bersedih.97 Kadangkala mereka seakan-akan mendengar para nabi itu mengutip Mazmur 22 ketika 117 mereka merasa Roh meninggalkan mereka: "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?" Ini membangkitkan pertanyaan menarik tentang seruan misterius Yesus dari tiang salib yang mengutip kata-kata ini. Para rabi mengajarkan bahwa Tuhan tidak bermaksud membuat kaum laki-laki atau perempuan menderita. Tubuh mesti dimuliakan dan dirawat, karena ia dibentuk dalam citra Tuhan: adalah berdosa menghindarkan kesenangan-kesenangan semacam anggur dan seks, sebab Tuhan telah menganugerahkan semua itu untuk kebahagiaan manusia. Tuhan tak dapat dijumpai dalam penderitaan dan asketisme. Ketika para rabi menyeru umatnya untuk mengamalkan cara-cara praktis "memiliki" Roh Kudus, mereka sebenarnya dalam pengertian tertentu diminta untuk menciptakan citra mereka sendiri tentang Tuhan. Para rabi mengajarkan bahwa tidaklah mudah untuk menentukan tapal batas di mana perbuatan Tuhan berawal dan perbuatan manusia berakhir. Para nabi selalu berupaya agar Tuhan bisa dilihat di bumi dengan cara menisbahkan wawasan mereka sendiri kepadanya. Kini para rabi tampak terlibat dalam tugas yang bersifat manusiawi sekaligus bersifat ketuhanan. Tatkala mereka menyusun undang-undang baru, maka undang-undang itu akan merupakan perpaduan antara unsur ketuhanan dan unsur kemanusiaan. Dengan meningkatnya jumlah Taurat di dunia, para rabi memperluas kehadiran Tuhan di dunia dan menjadikannya lebih efektif. Mereka sendiri menjadi dihormati sebagai inkarnasi Taurat; mereka dianggap lebih "menyerupai Tuhan" dibandingkan dengan manusia lain karena penguasaan mereka atas Taurat.98 Rasa tentang kedekatan Tuhan seperti ini membantu orang Yahudi untuk melihat kemanusiaan sebagai sesuatu yang sakral. Rabi Akiva mengajarkan bahwa mitzvah "cintailah tetanggamu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri" merupakan "prinsip agung Taurat."99 Menyakiti sesama manusia merupakan pengingkaran terhadap Tuhan itu sendiri, yang telah menciptakan manusia dalam citranya. Ini setara dengan ateisme: upaya untuk mengingkari eksistensi Tuhan. Dengan demikian, pembunuhan merupakan dosa paling besar karena melanggar norma-norma yang disucikan: "Kitab Suci mengajarkan kita bahwa apa pun yang menumpahkan darah manusia dipandang sebagai penghapusan citra Tuhan."100 Sebaliknya, mengabdi bagi kepentingan manusia lain termasuk ke dalam perbuatan meniru sifat Tuhan (imitatio dei): tindakan itu mewujudkan kembali kasih sayang dan rahmat Tuhan. Karena semua 118 Sejarah Tuhan Tuhan yang Satu diciptakan dalam citra Tuhan, maka semuanya memiliki derajat yang sama: bahkan Imam Tertinggi sekalipun harus dihukum jika dia melukai sesama manusia, karena perbuatan itu sama dengan penyangkalan eksistensi Tuhan.101 Tuhan telah menciptakan adam, seorang manusia, untuk mengajarkan kepada kita bahwa siapa pun yang menghancurkan kehidupan seorang manusia akan dihukum seakan-akan dia telah membunuh seluruh umat manusia; sama halnya, siapa yang menyelamatkan kehidupan seseorang akan diberi pahala yang sama dengan menghidupkan semua umat manusia.102 Ini bukan sekadar sentimen yang lemah, tetapi merupakan prinsip hukum yang mendasar: artinya, tak seorang pun yang boleh dikurbankan demi kepentingan kelompok. Menghinakan seseorang, bahkan seorang goyim atau budak, adalah perbuatan yang sangat ofensif, karena hal itu setara dengan pembunuhan, penyangkalan akan citra Tuhan yang suci.103 Hak untuk bebas kemudian menjadi sangat krusial: sulit menemukan satu alasan pun untuk menjatuhkan hukuman penjara di dalam semua literatur rabinik, karena hanya Tuhanlah yang berhak merampas kemerdekaan seorang manusia. Menyebarkan aib seseorang dianggap sama dengan menyangkal eksistensi Tuhan.104 Orang Yahudi tidak mengandaikan Tuhan sebagai Big Brother yang terus mengamati gerak-gerik manusia dari suatu tempat; sebaliknya mereka menanamkan sebuah kesadaran bahwa Tuhan berada dalam diri setiap manusia sehingga hubungan dengan manusia lain menjadi pertemuan yang sarat dengan nilai-nilai kesucian. Hewan-hewan tidak mengalami kesulitan untuk hidup dalam tabiat mereka, tetapi manusia merasakan sulitnya menjadi manusia yang utuh. Tuhan Israel kadang tampak seakan-akan telah mendorong terjadinya kekejaman yang paling tidak suci dan tidak manusiawi. Namun selama berabad-abad, Yahweh telah menjadi sebuah gagasan yang mungkin dapat membantu orang-orang menanamkan rasa kasih sayang dan saling menghormati terhadap sesama manusia, yang telah menjadi ciri agama-agama Zaman Kapak. Cita-cita para rabi sangat dekat dengan agama besar kedua, yang memang berakar dalam tradisi yang sama.[] 119 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi Pada saat yang sama ketika Philo menguraikan Yudaismenya yang bercorak Platonis di Aleksandria, sementara Hillel dan Shammai sedang beradu argumen di Yerusalem, seorang penyembuh iman karismatik memulai kariernya sendiri di utara Palestina. Sangat sedikit pengetahuan kita tentang Yesus. Uraian panjang lebar pertama tentang riwayat hidupnya adalah Injil Markus yang baru ditulis sekitar tahun 70 M, hampir empat puluh tahun setelah kematiannya. Pada saat itu, fakta-fakta historis telah terselubung oleh unsur-unsur mitos yang mengekspresikan makna yang telah diperoleh Yesus dari pengikutnya. Makna inilah yang sebenarnya disampaikan oleh Injil Markus ketimbang gambaran gamblang yang dapat diandalkan. Orang Kristen generasi pertama memandang Yesus sebagai seorang Musa baru, seorang Yosua baru, dan sebagai pendiri Israel baru. Seperti Buddha, Yesus tampaknya menyatukan beberapa aspirasi terdalam orang sezamannya dan memberi substansi bagi mimpi-mimpi yang telah membayangi kaum Yahudi selama berabadabad. Dalam masa hidupnya, banyak orang Yahudi Palestina yang percaya bahwa dia adalah sang Mesias: dia masuk ke Yerusalem dan dielu-elukan sebagai anak Daud, tetapi, hanya berselang beberapa hari kemudian, dia dihukum mati melalui hukum penyaliban Romawi yang mengerikan. 120 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi Akan tetapi, meski dalam skandal ini seorang Mesias mati seperti pelaku kriminal biasa, para muridnya tidak merasa bahwa keimanan mereka terhadapnya adalah sesuatu yang keliru. Ada kabar angin menyatakan bahwa dia telah bangkit dari kematian. Sebagian lagi mengatakan bahwa makamnya ditemukan kosong tiga hari setelah peristiwa penyalibannya; yang lain mengaku telah melihatnya, dan dalam suatu kesempatan lima ratus orang menyatakan telah melihatnya secara serempak. Para muridnya percaya bahwa dia akan segera kembali untuk mentahbiskan Kerajaan Tuhan, dan—karena kepercayaan semacam itu tidak dianggap menyimpang—sekte mereka diterima sebagai sekte Yahudi yang autentik, bahkan dalam pandangan tokoh sekaliber Rabi Gamaliel, cucu Hillel dan salah seorang tannaim yang paling disegani. Para pengikutnya beribadah di Kuil setiap hari dengan tata cara peribadatan Yahudi. Namun, akhirnya Israel Baru yang diilhami oleh kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus, akan menjadi sebuah kepercayaan non-Yahudi yang mengembangkan konsepsinya sendiri yang khas tentang Tuhan. Pada saat kematian Yesus sekitar tahun 30 M, orang Yahudi merupakan monoteis yang bersemangat sehingga tak seorang pun berharap sang Mesias merupakan figur suci: dia hanyalah manusia biasa, meski istimewa. Sebagian rabi menduga bahwa nama dan identitasnya telah diketahui Tuhan sejak zaman azali. Karenanya, dalam pemahaman semacam itu, sang Mesias bisa dikatakan telah "bersama Tuhan" sejak sebelum awal waktu melalui cara simbolik yang serupa dengan figur Hikmat suci dalam Kitab Amsal dan Pengkhotbah. Orang Yahudi berharap sang Mesias, Yang Diurapi, adalah keturunan Raja Daud yang, sebagai raja dan pemimpin spiritual, telah mendirikan kerajaan Yahudi merdeka pertama di Yerusalem. Mazmur kadangkala menyebut Daud atau Mesias "anak Tuhan", tetapi itu hanya merupakan cara untuk mengungkapkan kedekatannya dengan Yahweh. Tak seorang pun sejak kepulangan dari Babilonia dapat membayangkan bahwa Yahweh benar-benar memiliki seorang putra, seperti dewa-dewa kaum goyim yang menjijikkan. Injil Markus, sebagai yang paling pertama yang biasanya dipandang paling dapat diandalkan, menampilkan Yesus sebagai manusia biasa, memiliki keluarga yang terdiri dari saudara lelaki maupun perempuan. Tak ada malaikat yang mengumumkan kelahirannya atau bersenandung di buaiannya. Masa kanak-kanak maupun remajanya tidak ditandai sebagai sesuatu yang luar biasa 121 Sejarah Tuhan sama sekali. Ketika dia mulai mengajar, para penduduk di kotanya, Nazareth, terkagum bahwa anak seorang tukang kayu setempat ternyata bisa menjadi begitu berbakat. Markus memulai narasinya sejak awal karier Yesus. Tampaknya Yesus pada awalnya merupakan murid Yohanes Pembaptis, seorang asketik pengembara yang kemungkinan bermazhab Essenia: Yohanes memandang pihak penguasa Yerusalem telah menjadi sangat korup dan menyampaikan sebuah khotbah yang tajam mencelanya. Khalayak ramai diimbaunya untuk bertobat dan menerima ritus pemurnian Essenia melalui pembaptisan di Sungai Yordan. Lukas menyatakan bahwa Yesus dan Yohanes sebenarnya saling berhubungan. Yesus telah menempuh perjalanan jauh dari Nazareth ke Yudea untuk dibaptis oleh Yohanes. Sebagaimana yang diceritakan Markus kepada kita: "Pada saat la keluar dari air, la melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya. Lalu terdengarlah suara dari surga: 'Engkaulah Anak-Ku yang Ku-kasihi, kepada-Mulah Aku berkenan'."1 Yohanes Pembaptis langung mengenali Yesus sebagai Mesias (Al- Masih). Apa yang kemudian kita dengar adalah bahwa Yesus mulai mengajar ke segala kota dan desa di Galilea seraya memaklumatkan: "Kerajaan Allah sudah dekat!"2 Telah banyak spekulasi tentang karakter sejati misi Yesus. Sangat sedikit dari kata-kata aktualnya yang sempat terekam dalam Injil, dan banyak di antara bahan-bahan itu telah dipengaruhi oleh perkembangan selanjutnya yang terjadi di gereja-gereja yang didirikan oleh Paulus setelah kematian Yesus. Akan tetapi, terdapat petunjuk yang mengarah kepada karakter Yahudi yang esensial dalam kariernya. Telah dikemukakan bahwa penyembuh iman merupakan figur religius yang lazim di Galilea: seperti Yesus, mereka dari kaum papa, yang berkhotbah, menyembuhkan orang sakit, dan mengusir ruh jahat. Seperti Yesus lagi, orang-orang suci Galilea ini sering memiliki sejumlah besar murid wanita. Yang lain berpendapat bahwa Yesus barangkali adalah seorang Farisi dari aliran yang sama dengan Hillel—seperti halnya Paulus, yang telah memaklumatkan diri sebagai pengikut Farisi sebelum beralih ke Kristen dan konon pernah ikut dalam kelompok Rabi Gamaliel.3 Tentu saja ajaran Yesus sesuai dengan garis-garis besar ajaran Farisi, karena dia juga percaya bahwa derma dan kasih sayang merupakan mitzvot terpenting. Seperti kaum Farisi, dia taat kepada Taurat dan dikabarkan telah mengajarkan ketaatan yang lebih keras dibandingkan tokoh-tokoh lainnya yang sezaman.4 122 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi Dia juga mengajarkan suatu versi Hukum Emas Hillel, ketika mengatakan bahwa keseluruhan hukum Taurat dapat diringkas menjadi satu ungkapan: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka."5 Dalam Injil Matius, Yesus ditampilkan mengeluarkan kecaman sangat keras terhadap "ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi", menyebut mereka sebagai kaum munafik.6 Selain bahwa ini merupakan distorsi fakta yang penuh tuduhan dan pelanggaran mencolok terhadap kasih sayang yang semestinya menjadi karakter dari misinya, kecaman pahit terhadap kaum Farisi ini hampir pasti tidak autentik. Lukas, misalnya, memberikan komentar yang cukup positif tentang kaum Farisi, baik di dalam Injil maupun Kisah Para Nabinya, dan Paulus tidak mungkin akan menyingkapkan latar belakang Farisinya jika mereka betul-betul merupakan musuh besar Yesus yang telah menggiringnya ke tiang salib. Nada anti-Semitik Injil Matius raencerminkan ketegangan antara orang-orang Yahudi dan Kristen selama tahun 80-an. Injil sering menunjukkan Yesus berdebat dengan kaum Farisi, tetapi perdebatan itu mungkin saja bersifat bersahabat atau mungkin juga memperlihatkan perselisihan pendapatnya dengan aliran Sammai yang lebih ketat. Setelah kematiannya, para pengikutnya berkeyakinan bahwa Yesus adalah kudus. Ini tidak terjadi secara langsung; sebagaimana akan kita saksikan, doktrin bahwa Yesus adalah tuhan yang berwujud manusia baru terbentuk pada abad keempat. Perkembangan kepercayaan Kristen tentang Inkarnasi merupakan proses yang kompleks dan berkembang secara perlahan. Yesus sendiri tak pernah mengaku sebagai tuhan. Pada hari pembaptisannya, oleh suara dari langit dia dipanggil dengan sebutan Anak Tuhan, namun ini mungkin hanya sebuah konfirmasi bahwa dia adalah Mesias yang dicintai. Tak ada yang luar biasa tentang maklumat dari atas semacam itu: para rabi juga sering mengalami apa yang mereka sebut bat qol (secara harfiah berarti "Anak Perempuan Sang Suara"), sebentuk inspirasi untuk menggantikan wahyu kenabian yang lebih langsung.7 Rabi Yohannan ben Zakkai telah mendengar bat qol semacam itu yang mengkonfirmasi misi baginya pada suatu kesempatan ketika Roh Kudus menjelma di hadapannya dan di hadapan murid-muridnya dalam bentuk nyala api. Yesus sendiri biasa menyebut dirinya "Anak Manusia". Ada banyak kontroversi menyangkut masalah gelar ini, tetapi sepertinya frasa aslinya dalam bahasa Aram (bar nasha) sekadar 123 Sejarah Tuhan menekankan kondisi manusia yang lemah dan tidak abadi. Jika demikian, kelihatan sekali bahwa Yesus dengan caranya sendiri telah menekankan bahwa dia adalah manusia lemah yang suatu waktu pasti akan menderita dan mati. Injil mengatakan kepada kita bahwa Tuhan telah memberi Yesus beberapa "kekuatan" ilahiah (dunamis) yang, bagaimanapun, akan memampukan dia, meskipun hanya seorang manusia biasa, untuk menjalankan tugas-tugas yang seperti-Tuhan: menyembuhkan penyakit dan mengampuni dosa. Oleh karena itu, ketika orangorang menyaksikan perbuatan Yesus, tindakan itu tampak memiliki citra yang hidup mengenai Tuhan. Pada suatu kesempatan, tiga orang muridnya mengklaim telah melihat hal ini lebih jelas daripada biasanya. Kisah itu terabadikan dalam ketiga Injil sinoptik dan menjadi penting bagi generasi Kristen berikutnya. Diceritakan bahwa Yesus membawa Petrus, Yakobus, dan Yohanes naik ke sebuah gunung tinggi, yang secara tradisional dikenal sebagai Gunung Tabor di Galilea. Kemudian di sana Yesus "berubah rupa" di hadapan mereka: "Wajahnya bercahaya seperti matahari dan pakaiannya menjadi putih bersinar."8 Musa dan Elia, masing-masing mewakili Taurat dan para nabi, tiba-tiba muncul di sisinya dan ketiga orang itu berbincangbincang bersama. Petrus sangat terkesima dan berteriak keras, entah apa yang diucapkannya, bahwa mereka harus mendirikan tiga kemah untuk mengabadikan penampakan ini. Segumpalan awan, seperti yang pernah turun di Gunung Sinai, menyelimuti puncak gunung itu dan sebuah gema bat qol memaklumatkan: "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia."9Berabadabad kemudian, ketika orang Kristen Yunani merenungkan makna peristiwa ini, mereka memutuskan bahwa "kuasa" Allah telah bersinar melalui kemanusiaan Yesus yang telah berubah bentuk. Mereka juga mencatat bahwa Yesus tidak pernah mengklaim bahwa "kuasa-kuasa" (dynameis) ini hanya diberikan kepadanya saja. Berulang-ulang Yesus menjanjikan kepada murid-muridnya bahwa jika mereka memiliki "iman", mereka pun bisa menikmati "kuasakuasa" ini. Tentu saja yang dimaksudkannya dengan iman bukan berarti menganut suatu teologi yang benar, tetapi penumbuhan sikap batin yang tunduk dan terbuka terhadap Tuhan. Jika murid-muridnya membiarkan diri mereka terbuka kepada Tuhan tanpa pamrih, mereka pasti akan mampu melakukan apa saja yang bisa dia lakukan. Seperti para rabi, Yesus tidak percaya bahwa Ruh hanya untuk segolongan 124 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi elit istimewa, tetapi tersedia bagi semua orang yang memiliki maksud baik: sebagian ayat bahkan menyatakan bahwa, lagi-lagi seperti pendapat sebagian rabi, Yesus percaya bahwa seorang goyim pun bisa menerima kehadiran Ruh. Jika murid-muridnya memiliki "iman", mereka akan mampu untuk melakukan hal-hal yang besar. Mereka bukan hanya akan mampu menghapus dosa dan mengusir setan, tetapi juga mampu memindahkan sebuah gunung ke laut.10 Mereka akan menemukan bahwa kehidupan mereka yang lemah dan tidak abadi telah diubah oleh "kuasa-kuasa" Tuhan yang hadir dan aktif di dunia Kerajaan Mesias. Setelah kematiannya, murid-murid itu tak mampu memupus keyakinan mereka bahwa dengan cara tertentu Yesus telah menghadirkan sebuah citra tentang Tuhan. Sejak awal sekali, mereka telah mulai berdoa kepadanya. Paulus percaya bahwa kuasa Tuhan harus diupayakan agar bisa dijangkau oleh kaum goyim dan memberitakan Injil ke kawasan yang kini dikenal sebagai Turki, Makedonia, dan Yunani. Dia yakin bahwa orang non-Yahudi bisa menjadi anggota Israel Baru walaupun mereka tidak menjalankan Hukum Musa secara utuh. Hal ini ditentang oleh kelompok murid awal, yang menghendaki untuk tetap menjadi sekte Yahudi yang lebih eksklusif. Mereka kemudian memutuskan hubungan dengan Paulus setelah sebuah perselisihan keras. Akan tetapi, kebanyakan pengikut Paulus adalah Yahudi diaspora atau Orang-orang yang Takut kepada Allah, sehingga Israel Baru tetap sangat berbau Yahudi. Paulus tidak pernah menyebut Yesus sebagai "Tuhan". Dia menyebutnya "Anak Tuhan" dalam pengertian Yahudinya: dia sungguh-sungguh tidak percaya bahwa Yesus merupakan inkarnasi dari Tuhan itu sendiri. Menurut Paulus, Yesus hanya memiliki "kuasa" dan "Ruh" Tuhan, yang mewujudkan aktivitas Tuhan di bumi dan sama sekali tidak bisa disamakan dengan esensi ilahi yang tak terjangkau. Namun demikian, di dunia non-Yahudi, Kristen Baru tidak mempunyai kepekaan tentang perbedaan yang halus ini, sehingga pria yang telah menekankan kemanusiaannya yang lemah dan tidak abadi itu akhirnya dipercayai sebagai Tuhan. Doktrin Inkarnasi Tuhan dalam diri Yesus telah selalu dicela orang Yahudi, dan, belakangan, orang Muslim pun memandangnya sebagai penghujatan. Ini merupakan sebuah doktrin yang sulit dan berbahaya; orang Kristen sering menginterpretasikannya secara serampangan. Akan tetapi, jenis ketaatan atas dasar Inkarnasi ini merupakan tema yang cukup konstan dalam 125 Sejarah Tuhan sejarah agama: akan kita saksikan bahwa orang Yahudi dan Muslim pun mengembangkan beberapa bentuk teologi mereka sendiri yang hampir mirip. Kita dapat melihat dorongan keagamaan di balik penuhanan Yesus yang mengejutkan ini dengan meninjau secara singkat beberapa perkembangan di India pada waktu yang kira-kira sama. Dalam Buddhisme maupun Hinduisme terdapat arus pasang penyembahan terhadap wujud-wujud yang diagungkan, seperti Buddha sendiri atau dewa-dewa Hindu yang menjelma dalam bentuk manusia. Bentuk ketaatan personal ini, dikenal sebagai bhakti, mengekspresikan apa yang tampaknya merupakan kerinduan abadi manusia terhadap agama yang humanis. Meski merupakan sesuatu yang baru, namun, di dalam kedua keyakinan itu, hal ini terpadu dengan agama tanpa mengubah prioritas-prioritas yang esensial. Setelah Buddha wafat pada akhir abad keenam SM, secara alamiah orang-orang ingin untuk tetap mengenangnya, namun mereka merasa bahwa sebuah patung tidaklah layak, sebab di nirvana, Buddha tak lagi "ada" dalam pengertian biasa. Akan tetapi, kecintaan personal terhadap Buddha terus berkembang dan kebutuhan untuk merenungi kemanusiaannya yang telah tercerahkan menjadi begitu kuat sehingga pada awal abad kesatu SM, patung Buddha pertama muncul di Gadhara, yang terletak di sebelah barat daya India, dan Mathura di Sungai Jumna. Kekuatan dan ilham dari pencitraan semacam ini membuat patung-patung itu memiliki arti penting yang besar dalam spiritualitas Buddha, meskipun penyembahan terhadap suatu wujud di luar diri seperti ini merupakan hal yang sangat berbeda dari disiplin batiniah yang diajarkan Gautama. Semua agama berubah dan berkembang. Jika tidak demikian, agama itu akan menjadi usang. Mayoritas orang Buddha merasakan bahwa bhakti itu sungguhsungguh bernilai dan mengingatkan mereka kembali akan beberapa kebenaran esensial yang mulai terlupakan. Ketika Buddha pertama kali mencapai pencerahan, dapat diingat lagi bahwa dia pernah dibujuk untuk menyimpan itu sebagai pengalaman pribadi. Akan tetapi, rasa ibanya melihat penderitaan manusia telah mendorongnya melewatkan masa empat puluh tahun berikutnya untuk mengajarkan Jalan itu. Namun pada abad kesatu SM, rahib-rahib Buddha yang mengucilkan diri dalam biara-biara mereka dan berusaha mencapai nirvana mereka sendiri tampaknya telah melupakan pandangan seperti ini. Kehidupan biara juga merupakan kehidupan ideal yang 126 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi berat sehingga banyak yang merasa tak mampu menjalaninya. Selama abad kesatu M, muncul jenis pahlawan baru kaum Buddhis: bodhisattva, yang meneladani Buddha dan meninggalkan nirvananya sendiri, berkurban demi kepentingan orang banyak. Dia siap menjalani kelahiran kembali agar dapat menyelamatkan orang-orang yang menderita. Sebagaimana dijelaskan dalam Prajna-paramitha Sutras (Khotbah-khotbah tentang Penyempurnaan Kebijaksanaan), bodhisattva, tidak ingin mencapai nirvana mereka sendiri. Sebaliknya, mereka telah menjelajahi dunia wujud yang sarat derita, dan, walaupun sangat ingin memperoleh pencerahan tertinggi, mereka tidak takut akan siklus kelahiran-kematian. Mereka telah berangkat demi kepentingan dunia, demi kemudahan dunia, karena rasa iba pada dunia. Mereka telah bertekad: "Kami akan menjadi tempat berlindung bagi dunia, tempat dunia beristirahat, pembebasan akhir dunia, pulau-pulau dunia, cahaya dunia, pembimbing menuju keselamatan dunia."11 Selanjutnya, bodhisattva mendapatkan sumber kebaikan yang tak terbatas, yang dapat membimbing orang-orang yang kurang beruntung secara spiritual. Seseorang yang berdoa kepada bodhisattva akan dilahirkan kembali di dalam salah satu surga menurut kosmologi kaum Buddhis, yang kondisinya membuat pencapaian pencerahan menjadi lebih mudah. Naskah-naskah itu menekankan bahwa gagasan ini tidak dapat diinterpretasikan secara harfiah. Tak ada kaitannya sama sekali dengan logika atau peristiwa-peristiwa di dunia ini, melainkan sematamata simbol dari kebenaran yang lebih sukar untuk dipahami. Pada awal abad kedua M, Nagarjana, filosof yang mendirikan Mazhab Kehampaan, menggunakan paradoks dan sebuah metode dialektika untuk membuktikan kekuranglayakan bahasa konseptual biasa. Kebenaran tertinggi, menurutnya, hanya mungkin ditangkap secara intuitif melalui latihan meditasi mental. Bahkan ajaran Buddha merupakan ide-ide konvensional buatan-manusia yang tidak memiliki kesepadanan dengan realitas yang ingin disampaikannya. Kaum Buddhis yang mengadopsi filsafat ini mengembangkan suatu kepercayaan bahwa segala yang kita alarm ini adalah ilusi: di Barat, mereka disebut sebagai kaum idealis. Yang Mutlak, yaitu hakikat batiniah dari segala sesuatu, adalah kehampaan, kekosongan, yang tidak memiliki eksistensi dalam pengertian biasa. Sangat alamiah 127 Sejarah Tuhan untuk menyamakan kehampaan ini dengan nirvana. Ketika seorang Buddha semacam Gautama telah mencapai nirvana, maka dengan cara yang tak dapat diucapkan dia telah menjadi nirvana dan identik dengan Yang Mutlak. Dengan demikian, setiap orang yang berusaha mendapatkan nirvana berarti juga mencari keidentikan dengan Buddha. Tidaklah sulit untuk melihat bhakti (pengabdian) kepada Buddha dan bodhisattva ini mirip dengan kesetiaan orang Kristen kepada Yesus. Keyakinan ini jadi bisa dijangkau oleh lebih banyak orang, sebagaimana keinginan Paulus untuk membuat Yudaisme terbuka bagi goyim. Pada saat yang sama terjadi kebangkitan bhakti dalam Hinduisme yang berporos pada figur Syiwa dan Wishnu, dua dewa Weda yang terpenting. Lagi-lagi, pengabdian populer terbukti lebih kuat daripada kekakuan filosofis Upanishad. Orang Hindu selanjutnya mengembangkan sejenis Trinitas: Brahman, Syiwa, dan Wishnu menjadi tiga simbol atau aspek dari satu realitas yang tak terucapkan. Terkadang lebih mudah untuk merenungkan misteri Tuhan dalam simbol Syiwa, dewa paradoksikal kebaikan dan kejahatan, kesuburan dan kezuhudan, yang merupakan Pencipta dan Perusak sekaligus. Dalam legenda populer, Syiwa juga seorang Yogi besar, sehingga dia juga mengilhami penyembahnya untuk melampaui konsep personal tentang kesucian melalui meditasi. Wishnu biasanya tampil lebih ramah dan ringan. Dia suka memperlihatkan dirinya kepada manusia dalam berbagai bentuk inkarnasi atau avatar. Salah satu personae-nya yang terkenal adalah karakter Krishna, yang dilahirkan dalam sebuah keluarga bangsawan, tetapi tumbuh sebagai seorang penggembala. Legenda populer menyukai kisah kasihnya dengan para perempuan penggembala, yang menggambarkan Tuhan sebagai Pencinta Jiwa. Namun, ketika Wishnu muncul kepada Pangeran Arjuna sebagai Krishna dalam Bhagawad-Gita, pengalaman itu mengejutkan: Kulihat dewa-dewa di dalam tubuh-Mu, wahai Tuhan dan sekelompok makhluk yang beraneka: Brahma, pencipta semesta, di atas singgasananya semua peramal dan ular-ular langit.12 Segalanya dengan cara tertentu hadir di dalam tubuh Krishna: dia tak berawal atau berakhir, dia memenuhi ruang, dan mencakup 128 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi semua dewa yang mungkin ada: "Dewa badai yang riuh, dewadewa matahari, dewa-dewa terang, dan dewa-dewa ritual."13 Dia juga adalah "jiwa manusia yang tak pernah lelah", "esensi kemanusiaan." 14 Segalanya berlari menuju Krishna, seperti sungai mengalir ke laut atau seperti serangga terbang menuju cahaya terang. Ketika menatap pemandangan mengagumkan ini, Arjuna hanya bisa gemetar, menggigil, hampir kehilangan seluruh kesadarannya. Perkembangan bhakti menjawab kebutuhan terdalam manusia akan sejenis hubungan pribadi dengan yang mahatinggi. Setelah menetapkan Brahman sebagai yang sungguh-sungguh transenden, muncul bahaya bahwa dia akan menjadi jauh dan, sebagaimana dewa langit zaman kuno, memudar dari kesadaran manusia. Evolusi bodhisattva dalam Buddhisme dan avatar-nya Wishnu tampaknya mewakili tahap lain dalam perkembangan agama ketika orang-orang berpandangan bahwa Yang Mutlak itu pasti tak jauh berbeda dari manusia. Akan tetapi, doktrin dan mitos simbolik ini menyangkal bahwa Yang Mutlak dapat diekspresikan hanya melalui satu penampakan: sebab ada banyak Buddha dan bodhisattva, bahkan Wishnu memiliki bermacam-macam avatar. Mitos-mitos ini juga mengungkapkan sebuah keidealan bagi manusia: manusia yang tercerahkan atau dimuliakan, sebagaimana yang dimaksudkan baginya. Pada abad kesatu M, dalam Yudaisme terdapat rasa haus yang sama akan kedekatan dengan yang ilahi. Manusia Yesus tampaknya telah memenuhi kebutuhan itu. Paulus, penulis Kristen paling awal yang menciptakan agama yang kini kita kenal sebagai Kristen, percaya bahwa Yesus telah menggantikan Taurat sebagai wahyu pokok Tuhan tentang dirinya kepada dunia.15 Tidaklah mudah untuk mengetahui secara persis apa yang dia maksudkan dengan hal ini. Surat-surat Paulus lebih merupakan jawaban kontekstual terhadap persoalanpersoalan tertentu daripada uraian koheren atas sebuah teologi yang utuh. Dia tentunya percaya bahwa Yesus adalah seorang Mesias: kata "Kristus" adalah terjemahan dari bahasa Ibrani Massiach, Yang Diurapi. Paulus juga berbicara tentang manusia Yesus seakan-akan dia lebih dari seorang manusia biasa, meskipun, sebagai orang Yahudi, Paulus tidak percaya bahwa Yesus adalah inkarnasi Tuhan. Dia selalu memakai kata "di dalam Kristus" untuk menjelaskan pengalamannya tentang Yesus: orang Kristen hidup "di dalam Kristus"; mereka dibaptis ke dalam kematiannya; gereja membentuk tubuhnya.16 Ini bukanlah 129 Sejarah Tuhan kebenaran yang ingin dijabarkan Paulus secara logis. Seperti banyak orang Yahudi lainnya, dia kurang menghargai rasionalisme Yunani, yang digambarkannya sebagai "kekonyolan" semata.17 Adalah suatu pengalaman subjektif dan mistik yang membuatnya mengilustrasikan Yesus sebagai semacam atmosfer yang di dalamnya "kita hidup, bergerak, dan berwujud."18 Yesus telah menjadi sumber pengalaman keagamaan Paulus. Dengan demikian, dia berbicara tentang Yesus dalam cara yang mungkin dipakai oleh orang sezamannya untuk membicarakan Tuhan. Tatkala Paulus menjelaskan tentang iman yang telah diilhamkan kepadanya, dia mengatakan bahwa Yesus telah menderita dan wafat "demi dosa-dosa kita."19 Ini memperlihatkan bahwa sejak awal sekali, pengikut-pengikut Yesus yang dikejutkan oleh skandal kematiannya telah menjelaskan peristiwa itu dengan mengatakan bahwa bagaimanapun itu adalah demi kepentingan kita. Dalam Bab 9, akan kita saksikan bahwa pada abad ketujuh orang Yahudi lain akan menemukan penafsiran yang serupa tentang kematian yang tidak biasa dari seorang Mesias yang lain. Orang Kristen awal merasakan bahwa Yesus, melalui cara yang misterius, masih hidup dan bahwa "kuasakuasa" yang dimilikinya kini masuk ke dalam diri mereka, seperti yang telah dijanjikannya. Kita mengetahui dari surat-surat Paulus bahwa generasi awal Kristen itu memiliki semua bentuk pengalaman tak lazim yang mungkin merupakan indikasi bangkitnya sejenis kemanusiaan baru: ada yang menjadi penyembuh iman, ada yang berbicara dalam bahasa-bahasa langit, yang lainnya menyampaikan apa yang mereka yakini sebagai nubuat yang diinspirasikan oleh Tuhan. Pelayanan gereja merupakan kegiatan yang hiruk dan karismatik, sangat berbeda dari nyanyian sore yang merdu dalam gereja sekarang. Tampaknya kematian Yesus memang telah benarbenar berguna dalam beberapa hal: ia melahirkan suatu "jenis kehidupan baru" dan "kreasi baru"—tema yang sering diulang dalam surat-surat Paulus.20 Akan tetapi, tak ada teori yang terperinci tentang peristiwa penyaliban sebagai pertobatan atas "dosa asal" Adam: akan kita saksikan bahwa teologi ini baru muncul pada abad keempat dan hanya memiliki kedudukan penting di Barat. Paulus dan para penulis Perjanjian Baru lainnya tidak pernah mengupayakan sebuah penjelasan yang akurat dan definitif tentang penyelamatan yang telah mereka alami. Pernyataan tentang pengurbanan Kristus melalui 130 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi kematiannya mirip dengan cita-cita bodhisattva yang berkembang pada masa yang sama di India. Sebagaimana halnya bodhisattva, Kristus telah dijadikan perantara antara manusia dengan Yang Mutlak. Perbedaannya adalah bahwa Kristus merupakan satu-satunya perantara dan keselamatan yang didatangkannya bukanlah sebuah aspirasi yang tak dapat diwujudkan di masa depan seperti dalam bodhisattva, tetapi merupakan suatu fait accompli. Paulus menyatakan bahwa pengurbanan Yesus adalah hal yang unik. Meskipun dia percaya bahwa penderitaan yang dipikulnya atas nama orang lain adalah bermanfaat, Paulus cukup jelas menyatakan bahwa penderitaan dan kematian Yesus berada dalam tataran yang berbeda.21 Ada potensi bahaya di sini. Buddha yang tak terhitung banyaknya dan avataravatar paradoksikal yang sukar dipahami, semuanya tetap tunduk pada realitas tertinggi yang tidak dapat diekspresikan secara memadai dalam bentuk apa pun. Akan tetapi, Inkarnasi tunggal dalam Kristen— yang menyiratkan bahwa seluruh realitas Tuhan yang tidak ada habisnya itu telah bermanifestasi hanya dalam diri seorang manusia— bisa membawa pada bentuk pemberhalaan yang mentah. Yesus telah mengajarkan bahwa "kuasa-kuasa" Tuhan tidak cuma untuk dirinya. Paulus mengembangkan wawasan ini dengan mengatakan bahwa Yesus merupakan contoh pertama dari bentuk kemanusiaan baru. Tidak saja dia telah berhasil mengerjakan segala hal yang telah gagal diraih oleh Israel lama, tetapi dia pun telah menjadi addm baru, kemanusiaan baru yang di dalamnya seluruh manusia, termasuk goyim, ikut berpartisipasi.22 Lagi-lagi, ini bukanlah sesuatu yang berbeda dari kepercayaan kaum Buddhis bahwa, seluruh Buddha telah menjadi satu dengan Yang Mutlak, cita-cita manusia adalah terlibat dalam ke-Buddha-an. Dalam suratnya kepada Jemaat di Filipi, Paulus mengutip apa yang secara umum dianggap sebagai himne Kristen paling awal yang mengangkat beberapa persoalan penting. Dia berkata kepada para pengikutnya bahwa mereka harus memiliki sikap pengurbanan diri yang sama dengan Yesus: Yang walaupun dalam rupa Allah Tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. 131 Sejarah Tuhan Dan dalam keadaan sebagai manusia, la telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan [kyrios]," bagi kemuliaan Allah, Bapa!23 Himne ini tampaknya mencerminkan sebuah kepercayaan di kalangan generasi pertama Kristen bahwa Yesus telah mengalami sejenis eksistensi awal "bersama Allah" sebelum menjadi seorang manusia dalam tindakan "pengosongan diri" (kenosis) yang dengannya, seperti seorang bodhisattva, dia memutuskan untuk ikut memikul penderitaan manusia. Paulus terlalu Yahudi untuk dapat menerima ide tentang eksistensi Kristus sebagai wujud suci kedua di samping YHWH sejak zaman azali. Himne itu memperlihatkan bahwa setelah pengagungannya, dia tetaplah berbeda dengan, dan lebih rendah daripada, Allah yang telah membangkitkannya dan menganugerahkan gelar kyrios kepadanya. Dia tidak dapat mengadakan hal itu untuk dirinya sendiri, tetapi gelar itu pun diberikan hanya demi "kemuliaan Allah Bapa." Sekitar empat puluh tahun kemudian, penulis Injil Yohanes (ditulis sekitar tahun 100) membuat pernyataan yang mirip. Dalam prolognya, dia menguraikan Firman (logos) yang telah ada "pada mulanya bersama-sama dengan Allah" dan menjadi agen penciptaan: "Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan."24 Si penulis tidak menggunakan kata Yunani logos dengan cara yang sama seperti Philo: dia tampaknya merasa lebih cocok dengan Yudaisme Palestina daripada Yudaisme yang telah terpengaruh budaya Helenis Yunani. Dalam terjemahan bahasa Aram atas kitab suci Yahudi yang dikenal sebagai targums, yang sedang disusun pada waktu itu, istilah Memra (Firman) dipergunakan untuk menyebut aktivitas Tuhan di dunia. Istilah ini mempunyai fungsi yang sama dengan istilah-istilah teknis lainnya, seperti "kemuliaan", "Roh Kudus", dan "Shekinah" yang menekankan perbedaan antara kehadiran Tuhan di dunia dengan realitas Tuhan sendiri yang tak dapat dimengerti. Seperti halnya Hikmat ilahi, "Firman" menyimbolkan rencana awal Tuhan dalam penciptaan. 132 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi Ketika Paulus dan Yohanes berbicara tentang Yesus seakan-akan dia memiliki sejenis kehidupan praeksistensi, mereka tidak sedang menyarankan bahwa dia adalah "oknum" suci kedua dalam pengertian Trinitarian yang berkembang belakangan. Mereka mengindikasikan bahwa Yesus telah melampaui mode eksistensi temporal dan individual. Karena "kuasa" dan "hikmat" yang dia hadirkan merupakan aktivitas-aktivitas yang berasal dari Tuhan, maka dalam cara tertentu dia telah mengungkapkan "apa yang telah ada sejak semula."25 Gagasan ini dapat dipahami dalam konteks Yahudi yang ketat, meskipun generasi Kristen berikutnya yang berlatar belakang Yunani akan menafsirkannya secara berbeda. Dalam Kisah Para Rasul, yang ditulis pada 100 M, kita dapat melihat bahwa generasi awal Kristen masih memiliki konsep tentang Tuhan yang sepenuhnya bersifat Yahudi. Dalam perayaan Pantekosta, ketika ratusan orang Yahudi berkumpul di Yerusalem dari berbagai penjuru diaspora untuk merayakan pewahyuan Taurat di Gunung Sinai, Roh Kudus turun kepada sahabat-sahabat Yesus. Mereka mendengar "dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras ... dan tampaklah oleh mereka lidah-lidah seperti nyala api."26 Roh Kudus telah mewujudkan dirinya kepada generasi Kristen Yahudi pertama ini sebagaimana yang telah dilakukannya kepada orang-orang sezaman mereka, kelompok tannaim. Segera para murid itu bergegas keluar dan mulai berbicara kepada kerumunan orang Yahudi, Orang-orang yang Takut kepada Allah dari "Mesopotamia, Yudea, dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene."27 Mereka keheranan, setiap orang mendengar para pengikut itu berkata-kata dalam bahasa mereka masing-masing. Ketika Petrus bangkit untuk berkhotbah di hadapan keramaian itu, dia menyebut fenomena ini sebagai titik terjauh bagi Yudaisme. Para rasul telah meramalkan suatu hari ketika Tuhan akan mencurahkan Ruhnya ke atas semua manusia sehingga kaum wanita dan para budak sekalipun akan memiliki penglihatan dan mendapat mimpi.28 Hari ini Kerajaan Mesias ditahbiskan, tatkala Allah akan tinggal di bumi bersama umatnya. Petrus tidak mengatakan bahwa Yesus dari Nazareth adalah Tuhan. Dia adalah "seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu." Setelah kematiannya 133 Sejarah Tuhan yang tragis, Allah membangkitkannya untuk hidup kembali dan mengangkatnya ke derajat yang tinggi "oleh tangan kanan Allah." Para nabi dan penyusun Mazmur telah meramalkan kejadian-kejadian ini; sehingga "seluruh kaum Israel" harus tahu dengan pasti bahwa Yesus adalah Mesias yang telah lama dinanti itu.29 Khotbah ini tampaknya merupakan pesan (kerygma) Kristen yang paling awal. Pada akhir abad keempat, Kristen menguat persis di wilayahwilayah yang telah disebutkan di atas oleh para penulis Kisah: ia berakar di kalangan sinagoga Yahudi di diaspora dan telah menarik perhatian sejumlah besar Orang yang Takut kepada Allah atau para pengikut baru. Yudaisme yang telah direformasi oleh Paulus tampak menjawab banyak dilema mereka. Mereka juga "berbicara dalam banyak bahasa," tidak memiliki satu suara dan posisi yang koheren. Banyak orang Yahudi diaspora beralih memandang Kuil di Yerusalem —yang memang telah banyak digenangi darah hewan—sebagai institusi primitif dan barbarik. Kisah Para Rasul mengabadikan sudut pandang ini dalam cerita tentang Stefanus, seorang Yahudi Helenistik yang beralih menganut sekte Yesus dan dilempari batu sampai mati oleh Sanhedrin, mahkamah agama Yahudi, karena menghujat. Dalam pidato terakhirnya yang berapi-api, Stefanus mengatakan bahwa Kuil merupakan penghinaan terhadap hakikat Allah: "Yang Mahatinggi tidak diam di dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia."30 Sebagian Yahudi diaspora mengadopsi Yudaisme Talmudik yang dikembangkan oleh para rabi setelah kehancuran Kuil; yang lain menemukan bahwa Kristen menjawab beberapa pertanyaan mereka tentang status Taurat dan universalitas Yudaisme. Ajaran ini, tentu saja, menarik secara khusus bagi Orang-orang yang Takut kepada Allah, yang menjadi anggota penuh Israel Baru tanpa beban 613 mitzvot. Selama abad pertama, orang Kristen terus berpikir tentang Tuhan dan berdoa kepadanya seperti orang-orang Yahudi; mereka berbicara seperti para rabi dan gereja-gereja mereka mirip dengan sinagoga. Pada tahun 80-an terjadi perselisihan tajam dengan orang Yahudi ketika orang Kristen secara formal dikeluarkan dari sinagoga karena mereka menolak untuk menaati Taurat. Kita telah menyaksikan bahwa Yudaisme telah menarik banyak penganut pada dekade awal abad pertama, tetapi setelah tahun 70, ketika orang Yahudi bersengketa dengan kekaisaran Romawi, posisi mereka mengalami kemunduran. Kepindahan Orang-orang yang Takut kepada Allah ke Kristen 134 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi membuat orang Yahudi menaruh curiga kepada para penganut agama baru, dan mereka tak lagi berminat untuk pindah agama. Kaum pagan yang dahulu pernah tertarik pada Yudaisme kini beralih ke Kristen, tetapi kebanyakan mereka adalah budak dan anggota kelas masyarakat yang lebih rendah. Baru pada akhir abad kedua, kaum pagan yang berpendidikan tinggi menjadi penganut Kristen dan mampu menjelaskan agama baru itu kepada dunia pagan yang masih menaruh kecurigaan. Di kekaisaran Romawi, Kristen pertama sekali dianggap sebagai cabang dari Yudaisme, tetapi tatkala orang Kristen memperjelas diri bahwa mereka bukan lagi anggota sinagoga, mereka dipandang dengan kebencian sebagai religio kaum fanatik yang telah melakukan dosa besar karena meninggalkan kepercayaan leluhur. Etos Romawi sangatlah konservatif: mereka memberikan penghargaan tinggi kepada autoritas pemimpin keluarga dan adat-istiadat nenek moyang. Yang dianggap sebagai "kemajuan" adalah langkah kembali ke zaman keemasan yang telah lampau dan bukan menyiapkan masa depan yang cerah. Keterputusan dari masa lalu tidak dianggap sebagai tindakan yang berpotensi kreatif, seperti dalam masyarakat kita sekarang ini, yang telah memungkinkan perubahan. Pembaruan dipandang berbahaya dan subversif. Orang Romawi sangat curiga terhadap gerakan massa yang akan mencampakkan batas-batas tradisi dan waspada untuk melindungi warga negara dari "pemalsuan" agama. Akan tetapi, dalam kekaisaran itu telah muncul sejumput kegelisahan dan kecemasan. Pengalaman hidup dalam sebuah imperium internasional yang besar telah membuat dewa-dewa yang lama tampak kecil dan tidak memadai; orang-orang menjadi sadar akan kebudayaan yang asing dan mengganggu. Mereka mencari solusi spiritual baru. Kultus-kultus Timur masuk ke kawasan Eropa: dewa-dewa seperti Isis dan Semele disembah di samping dewa-dewa tradisional Roma, yang menjadi pengawal negeri. Selama abad pertama M, agamaagama misteri baru menawarkan jalan keselamatan mereka dan apa yang disebut-sebut sebagai pengetahuan mendalam tentang dunia yang akan datang. Akan tetapi, tak satu pun dari antusiasme agama-agama baru ini yang mengancam tatanan lama. Dewa-dewa Timur tidak menuntut pemutusan radikal dari agama lama dan penolakan terhadap ritusritus yang sudah dikenal, tetapi, seperti orang suci baru, ia memberikan pandangan yang segar dan pemahaman tentang dunia yang 135 Sejarah Tuhan lebih luas. Anda bisa saja bergabung dengan berbagai kultus misteri sebanyak yang Anda inginkan: selama mereka tidak berupaya menghancurkan dewa-dewa lama dan tetap bersikap rendah hati, agamaagama misteri itu akan ditoleransi dan diserap ke dalam tatanan yang sudah mantap. Tak seorang pun mengharapkan agama akan menjadi sebuah tantangan atau memberikan jawaban tentang makna kehidupan. Orang beralih kepada filsafat untuk mencari pencerahan semacam itu. Di kekaisaran Romawi kuno, orang menyembah dewa-dewa untuk memohon pertolongan selama masa krisis, untuk menjaga agar perlindungan ilahi tetap dicurahkan atas negeri itu, dan untuk memperoleh rasa ketersambungan dengan masa lalu. Agama lebih merupakan persoalan kultus dan ritual daripada gagasan-gagasan. Agama didasarkan pada perasaan, bukan ideologi atau teori yang dipilih secara sadar. Ini bukanlah sikap yang asing bagi masyarakat masa sekarang: banyak orang yang menghadiri layanan keagamaan dalam masyarakat kita saat ini tidak tertarik pada teologi, tidak menginginkan sesuatu yang terlalu eksotik dan tidak menyukai ide tentang perubahan. Mereka menemukan bahwa ritual-ritual yang telah mapan memberi mereka rasa keterkaitan dengan tradisi dan mempersembahkan rasa aman. Mereka tidak mengharapkan gagasan-gagasan brilian dalam khotbah dan malah merasa terganggu oleh perubahan dalam liturgi. Dengan cara yang sama, banyak kaum pagan di zaman kuno senang menyembah dewa-dewa leluhur, sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi-generasi sebelum mereka. Ritual-ritual lama memberi mereka rasa beridentitas, merayakan tradisi-tradisi lokal, dan tampaknya menjadi jaminan bahwa segala sesuatu akan tetap sebagaimana adanya. Peradaban tampaknya merupakan pencapaian yang rentan dan tidak boleh terancam oleh pengabaian sembrono terhadap dewadewa pelindung, yang akan menjamin keberlangsungan peradaban itu. Mereka akan merasa terancam jika suatu kultus baru muncul untuk mengalahkan kepercayaan nenek moyang mereka. Oleh karena itu, Kristen tidak mempunyai posisi yang menguntungkan di kedua dunia itu. la tidak mempunyai masa silam Yudaisme yang dihormati dan juga tidak mempunyai ritual paganisme yang menarik, yang dapat dilihat dan diapresiasi setiap orang. Kristen juga berpotensi mengancam, sebab orang Kristen mengajarkan bahwa Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan dan bahwa seluruh dewa-dewa lain 136 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi hanyalah khayalan belaka. Kristen tampak merupakan gerakan yang tidak rasional dan eksentrik bagi penulis biografi Romawi, Gaius Suetonius (70-160), sebuah superstitio nova et prava, yang "buruk" justru karena "baru."31 Kaum pagan yang berpendidikan menoleh ke filsafat, bukan agama, untuk mendapatkan pencerahan. Orang-orang yang mereka dianggap suci dan tercerahkan adalah para filosof kuno semacam Plato, Pythagoras, dan Epictetus. Mereka bahkan menganggap para filosof itu sebagai "anak-anak Dewa": Plato, misalnya, diyakini sebagai anak Apollo. Para filosof bersikap hormat terhadap agama, tetapi memandangnya berbeda secara esensial dari apa yang mereka kerjakan. Mereka bukanlah para akademisi yang kering di menara gading, melainkan orang-orang yang mempunyai misi, bertekad untuk menyelamatkan jiwa orang-orang sezamannya dengan menarik mereka menjadi pengikut mazhab-mazhab mereka. Baik Sokrates maupun Plato bersikap sangat "religius" tentang filsafat mereka, merasakan bahwa kajian ilmiah dan metafisis itu telah mengilhami mereka dengan suatu penglihatan tentang keagungan alam. Oleh karena itu, pada abad pertama M, orang-orang yang cerdas dan berwawasan beralih kepada mereka untuk mendapatkan penjelasan tentang makna hidup, ideologi yang penuh ilham, dan motivasi etis. Kristen tampak seperti sebuah kredo yang barbarik. Tuhan Kristen tampak sebagai ilah yang pemarah dan primitif, yang tak hentinya ikut campur secara tak rasional dalam urusan-urusan manusia: dia tak memiliki kesamaan apa pun dengan Tuhan para filosof yang jauh dan tak berubah, seperti Tuhan dalam konsepsi Aristoteles. Akan tetapi, mengatakan bahwa orang-orang sekaliber Plato atau Aleksander Agung adalah anak-anak dewa, tidak sama dengan mengatakan hal yang setara bagi seorang Yahudi yang tewas mengenaskan di sebuah sudut kekaisaran Romawi. Platonisme adalah salah satu aliran filsafat paling populer di akhir zaman kuno. Platonis baru dari abad pertama dan kedua tidak tertarik pada Plato yang pemikir etika dan politik, tetapi kepada Plato yang mistikus. Ajarannya membantu si filosof untuk menyadari kesejatian dirinya, dengan cara membebaskan jiwa dari penjara ragawi dan membuatnya mampu untuk naik ke alam suci. Mistisisme Plato adalah suatu sistem yang tinggi, menggunakan kosmologi sebagai citra tentang kesinambungan dan keharmonisan. Yang Esa berada dalam kontemplasi jernih tentang dirinya sendiri melampaui pengaruh 137 Sejarah Tuhan waktu dan perubahan di ujung mata rantai wujud. Semua yang ada berasal dari Yang Esa sebagai konsekuensi pasti dari wujudnya yang murni: bentuk-bentuk abadi telah memancar dari Yang Esa dan pada gilirannya menggerakkan matahari, bintang dan bulan, dalam bidang lintasan mereka masing-masing. Akhirnya dewa-dewa, yang kini dipandang sebagai malaikat-malaikat bagi Yang Esa, memancarkan pengaruh suci ke dalam dunia sublunar manusia. Kaum Platonis tidak memerlukan kisah barbar tentang seorang dewa yang tiba-tiba memutuskan untuk menciptakan dunia atau yang mengabaikan hierarki yang ada untuk berkomunikasi langsung dengan sekelompok kecil manusia. Dia tidak membutuhkan penyelamatan hebat melalui seorang Mesias yang disalib. Karena dia serumpun dengan Tuhan yang telah memberi hidup kepada segala sesuatu, seorang filosof bisa naik ke alam suci melalui usahanya sendiri dalam cara yang rasional dan tertata. Bagaimana orang Kristen bisa menjelaskan agama mereka kepada dunia pagan? Kristen tampaknya berada di tengah-tengah, tidak dipandang sebagai sebuah agama, dalam pengertian Romawi dan bukan pula sebuah filsafat. Terlebih lagi, orang Kristen akan mengalami kesulitan untuk menyebutkan "kepercayaan-kepercayaan" mereka dan mungkin belum menyadari sistem pemikiran berbeda yang tengah berevolusi saat itu. Dalam hal ini, mereka mirip dengan tetangga-tetangga pagan mereka. Agama mereka tidak mempunyai "teologi" yang koheren, tetapi secara lebih tepat dapat dijelaskan sebagai sebuah sikap berkomitmen yang dibangun dengan sungguhsungguh. Ketika mereka mengucapkan "kredo" mereka, mereka tidak memaksudkannya sebagai seperangkat proposisi. Kata credere misalnya, kelihatannya diturunkan dari cor dare, memberi hati. Ketika mereka mengucapkan "credo!" (atau pisteno dalam bahasa Yunani), ini lebih mengimplikasikan posisi emosional daripada intelektual. Demikianlah, Theodore, Uskup Mopsuestia di Sisilia dari tahun 392 hingga 428, menjelaskan kepada para pengikutnya: Ketika Anda berkata: "Aku mengikat diriku sendiri" (pisteno) di hadapan Tuhan, Anda menunjukkan bahwa dengan tabah Anda akan tetap bersamanya, bahwa Anda tidak akan memisahkan diri darinya dan bahwa Anda akan memandangnya lebih tinggi daripada segala sesuatu yang ada dan akan hidup bersamanya serta berperilaku dalam cara yang sesuai dengan perintahnya.32 138 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi Orang Kristen generasi selanjutnya tidak perlu memberi penjelasan yang lebih teoretis tentang iman mereka dan akan mengembangkan kecintaan pada perdebatan teologi yang unik dalam sejarah agama dunia. Telah kita saksikan, misalnya, bahwa tidak ada ortodoksi resmi dalam Yudaisme, dan ide-ide tentang Tuhan pada dasarnya merupakan persoalan pribadi. Orang Kristen awal juga mengambil sikap yang sama. Namun demikian, selama abad kedua beberapa penganut baru Kristen dari kalangan pagan mencoba mendekati tetangga-tetangga mereka yang tidak percaya untuk memperlihatkan bahwa agama mereka bukanlah penyimpangan destruktif dari tradisi. Salah seorang dari apologis ini adalah Justin dari Kaisarea (100-165), yang meninggal sebagai martir demi imannya. Dalam pencariannya yang tak kenal lelah akan makna, kita dapat merasakan kegelisahan spiritual pada periode itu. Justin bukanlah seorang pemikir besar ataupun brilian. Sebelum beralih ke Kristen, dia telah mengikuti ajaran Stoa, seorang filosof peripatetik dan Pythagorean, tetapi gagal memahami apa yang ada di dalam sistem mereka. Dia tidak memiliki temperamen dan kecerdasan untuk filsafat, tetapi tampaknya membutuhkan lebih dari sekadar penyembahan kultus dan ritual. Dia menemukan pemecahannya dalam Kristen. Dalam dua apologiae (kl. 150 dan 155) yang ditulisnya, dia menyatakan bahwa Kristen sebenarnya mengikuti Plato, yang juga berpandangan bahwa hanya ada satu Tuhan. Para filosof Yunani maupun para nabi Yahudi telah meramalkan kedatangan Yesus—sebuah argumen yang akan sangat berkesan bagi para pagan di zamannya, karena saat itu terdapat antusiasme baru terhadap ramalan-ramalan. Dia juga mengatakan bahwa Yesus merupakan inkarnasi logos atau akal ilahi, yang telah dilihat Stoa dalam keteraturan semesta; logos itu aktif dalam dunia sepanjang sejarah, mengilhami orang Yahudi maupun Yunani. Akan tetapi, dia tidak menjelaskan implikasi dari sebuah ide yang agak baru: bagaimana mungkin seorang manusia menjadi inkarnasi dari logos? Apakah logos itu sama dengan figur-figur biblikal lain, seperti Firman atau Hikmat? Apa hubungannya dengan Tuhan Yang Esa? Orang Kristen lain mengembangkan teolog yang lebih radikal, bukan semata karena kesenangan akan spekulasi, melainkan untuk mengobati kegelisahan yang besar. Secara khusus, gnostikoi, Orangorang yang Tahu, beralih dari filsafat ke mitologi untuk menjelaskan rasa keterpisahan mereka yang akut dari alam ilahi. Mitos-mitos itu 139 Sejarah Tuhan menjawab ketidaktahuan mereka tentang Tuhan dan yang suci, yang secara jelas mereka rasakan sebagai sumber penderitaan dan rasa malu. Basilides, yang mengajar di Aleksandria antara 130 dan 160, bersama rekan sezamannya, Valentinus, yang meninggalkan Mesir untuk mengajar di Roma, telah mendapat sejumlah besar pengikut dan memperlihatkan bahwa banyak di antara orang yang beralih menganut Kristen mengalami rasa kehilangan, tersisih, dan secara radikal terbuang. Semua kaum Gnostik memulai dengan realitas yang sama sekali tak terpahamkan yang mereka sebut Tuhan Tertinggi, karena ia merupakan sumber dari wujud lebih rendah yang kita sebut "Tuhan". Sama sekali tidak ada yang dapat kita katakan tentangnya, karena dia sepenuhnya berada di luar jangkauan pikiran kita yang terbatas. Sebagaimana dijelaskan Valentinus, Tuhan Tertinggi itu, Sempurna dan ada sejak semula ... berdiam di ketinggian yang tak terlihat dan tak ternamakan: inilah praawal dan pendahulu dan kedalaman. Ia tidak dapat tercakup dan tak terlihat, abadi dan tak dilahirkan, Tenang dan benar-benar Sendiri selama masa yang tak terhingga. Bersama Dia adalah pikiran, yang juga disebut Berkah dan Hening.33 Manusia telah senantiasa berspekulasi tentang Yang Mutlak ini, namun tak satu pun dari penjelasan mereka yang memadai. Adalah mustahil untuk menggambarkan Tuhan Tertinggi ini, yang tidak "baik" atau "jahat" dan bahkan tidak bisa dikatakan "ada". Basilides mengajarkan bahwa pada mulanya tidak ada Tuhan tetapi hanya ada Tuhan Tertinggi, yang, dapat dikatakan secara ketat, adalah Tiada karena ia tidak bereksistensi dalam pengertian apa pun yang bisa kita pahami.34 Akan tetapi, Ketiadaan ini ingin membuat dirinya dikenali dan tidak puas untuk tetap sendirian dalam Kedalaman dan Keheningan. Terjadilah revolusi batin di kedalaman wujudnya yang tak terperi, menghasilkan serangkaian pancaran yang serupa dengan apa yang diuraikan dalam mitologi pagan kuno. Yang pertama dari pancaran itu adalah "Tuhan", yang kita kenal dan menjadi tujuan doa kita. Walaupun demikian, "Tuhan" ini pun tak dapat kita jangkau dan memerlukan penjelasan lebih lanjut. Akibatnya, pancaran-pancaran baru muncul dari Tuhan secara berpasangan, masing-masing mengekspresikan satu dari sifat-sifat ketuhanannya. "Tuhan" melampaui gender tetapi, seperti dalam Enuma Elish, masing-masing pasangan 140 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi itu terdiri atas lelaki dan perempuan—sebuah skema yang berusaha menetralkan nada maskulin dalam monoteisme yang lebih konvensional. Setiap pasangan hasil emanasi semakin lama semakin melemah dan menipis karena letaknya semakin jauh dari Sumber ilahi mereka. Akhirnya, ketika tiga puluh macam pancaran (atau aeon) itu telah lahir, proses pun berhenti dan alam suci, Pleroma, telah sempurna. Kaum Gnostik tidak mengajukan suatu kosmologi yang betul-betul luar biasa, karena semua orang percaya bahwa kosmos memang dipenuhi oleh aeon-aeon, kekuatan jahat dan kekuatan spiritual seperti itu. Paulus telah menyebutnya Takhta, Dominasi, Kedaulatan, dan Kekuatan, sementara para filosof percaya bahwa kekuatan gaib ini adalah dewa-dewa kuno dan menjadikan mereka perantara antara manusia dengan Yang Esa. Ada suatu bencana yang oleh kaum Gnostik dijelaskan melalui berbagai cara berbeda. Sebagian di antara mereka berkata bahwa Sophia (Hikmat), pancaran terakhir, jatuh dari surga karena dia mengilhami pengetahuan terlarang tentang Tuhan Tertinggi yang tak dapat dijangkau. Disebabkan kepongahannya, dia jatuh dari Pleroma, kesedihan dan kepiluannya membentuk dunia materi. Terasing dan tersasar, Sophia berkelana ke seluruh kosmos, rindu untuk kembali ke Sumber sucinya. Percampuran gagasan-gagasan Timur dan pagan ini mengekspresikan keyakinan pokok kaum Gnostik bahwa dunia kita dalam pengertian tertentu merupakan bentuk lain dari langit, lahir dari ketidaktahuan dan ketercerabutan. Kaum Gnostik lain mengajarkan bahwa "Tuhan" tidak menciptakan dunia materi, karena dia tidak ada hubungan apa pun dengan materi yang rendah. Dunia materi merupakan hasil karya aeon-aeon, yang mereka sebut sebagai demiourgos atau Pencipta. Dia cemburu kepada "Tuhan" dan ingin menjadi pusat Pleroma. Akibatnya, dia jatuh dan menciptakan dunia untuk menantang saingannya. Dalam penjelasan Valentinus, dia "menciptakan langit tanpa pengetahuan; dia membentuk manusia dalam ketidaktahuan tentang manusia; dia menghadirkan bumi tanpa memahami bumi."35 Akan tetapi, logos, jenis aeon yang lain, datang untuk menyelamatkan dan turun ke bumi, mengambil bentuk fisik sebagai Yesus untuk mengajarkan kepada manusia cara kembali kepada Tuhan. Jenis Kristen seperti ini pada akhirnya ditindas, tetapi akan kita lihat bahwa beberapa abad kemudian orang Yahudi, Kristen, dan Muslim akan kembali kepada mitologi semacam ini, dengan alasan bahwa mitologi itu mengungkapkan 141 Sejarah Tuhan pengalaman keagamaan mereka tentang "Tuhan" secara lebih akurat dibanding teologi ortodoks. Mitos-mitos ini tak pernah dimaksudkan sebagai uraian harfiah tentang penciptaan dan penyelamatan; mereka merupakan ungkapan simbolik bagi sebuah kebenaran batin. "Tuhan" dan Pleroma bukanlah realitas-realitas eksternal yang ada "di luar sana", melainkan dapat ditemukan di dalam diri: Tinggalkan pencarian akan Tuhan dan ciptaan dan hal-hal lain yang serupa. Carilah dia dengan menjadikan dirimu sendiri sebagai titik awalnya. Cermati siapa yang berada di dalam dirimu yang menyebut segala sesuatu sebagai miliknya dan mengatakan, Tuhanku, pikiranku, akalku, jiwaku, tubuhku. Cermati sumber-sumber kesedihan, kebahagiaan, cinta, benci. Perhatikan bagaimana itu terjadi sehingga membuatmu melihat tanpa berkehendak, mencintai tanpa berkehendak. Jika engkau secara saksama meneliti persoalan-persoalan ini, engkau akan menemukan dia di dalam dirimu sendiri.36 Pleroma mewakili sebuah peta jiwa. Cahaya ilahi tetap akan ditemukan bahkan di dalam dunia yang gelap ini, jika seorang Gnostik dapat mengetahui ke mana dia harus mencari: selama Kejatuhan Primal—pada Sophia ataupun Demiurge—sebagian dari kilasan ilahi ikut jatuh dari Pleroma dan terperangkap di dalam mated. Kaum Gnostik bisa menemukan kilasan ilahi di dalam jiwanya sendiri, bisa menjadi sadar akan kehadiran unsur ilahiah di dalam dirinya yang akan membantunya menemukan jalan untuk kembali. Kaum Gnostik menunjukkan bahwa banyak di antara para pengikut baru Kristen tidak puas dengan gagasan tradisional tentang Tuhan yang telah mereka warisi dari Yudaisme. Mereka tidak mengalami dunia sebagai sesuatu yang "baik", sebagai karya dari ilah yang penyayang. Dualisme dan dislokasi yang serupa melahirkan doktrin Marcion (100-165), yang mendirikan gereja saingannya sendiri di Roma dan menarik banyak pengikut. Yesus telah mengatakan bahwa sebuah pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik:37 bagaimana mungkin dunia telah diciptakan oleh Tuhan yang baik jika dunia ini nyatanya penuh kejahatan dan penderitaan? Marcion juga dikagetkan oleh kitab suci Yahudi yang tampaknya menggambarkan Tuhan yang keras dan kejam yang telah menghancurkan semua penduduk karena kecintaannya akan keadilan. Dia berkesimpulan bahwa Tuhan Yahudi inilah, yang "suka perang, tidak teguh dalam 142 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi sikapnya dan bertentangan dengan perkataannya sendiri,"38 yang telah menciptakan dunia. Akan tetapi, Yesus telah berfirman bahwa ada Tuhan lain, yang tak pernah disebutkan dalam kitab suci Yahudi. Tuhan kedua ini "tenang, lembut, dan sungguh-sungguh baik dan unggul."39 Dia sama sekali berbeda dari Pencipta dunia yang kejam dan "penghukum". Oleh karena itu, kita mesti berpaling dari dunia yang, karena bukan merupakan karyanya, tidak bisa memberitahukan kita apa pun tentang ilah yang penyayang dan mesti pula menolak Perjanjian "Lama", lalu memusatkan perhatian hanya kepada kitabkitab Perjanjian Baru yang telah mengabadikan ruh Yesus. Popularitas ajaran-ajaran Marcion menunjukkan bahwa dia telah menyuarakan kecemasan orang banyak. Sekilas tampaknya dia akan mendirikan sebuah gereja terpisah. Dia telah meletakkan tangannya pada sesuatu yang penting dalam pengalaman orang Kristen; generasi-generasi Kristen telah merasakan kesulitan untuk berhubungan secara positif dengan dunia materi, dan masih ada sejumlah besar yang tidak tahu bagaimana menyikapi Tuhan Ibrani. Akan tetapi, seorang teolog Afrika Utara, Tertullian (160-220), mengemukakan bahwa Tuhan yang "baik" menurut konsepsi Marcion lebih mirip dengan Tuhan filsafat Yunani daripada Tuhan Alkitab. Tuhan yang tenang ini, yang tak ada kaitannya dengan dunia yang cacat ini, lebih dekat dengan konsep Penggerak yang Tak Digerakkan dari Aristoteles daripada Tuhan Yahudi dari Yesus Kristus. Memang, banyak orang di dunia Yunani-Romawi berpandangan bahwa Tuhan biblikal adalah tuhan yang keras dan banyak kekeliruan, yang tidak layak untuk disembah. Sekitar tahun 178, filosof Celsus yang pagan menuduh orang Kristen telah mengadopsi pandangan yang picik dan terbatas tentang Tuhan. Dia merasa heran bahwa orang Kristen bahkan mengklaim pewahyuan khusus bagi mereka: Tuhan tersedia bagi semua umat manusia, tetapi orang Kristen bersatu dalam sebuah kelompok kecil sembari menegaskan: "Tuhan bahkan telah mencampakkan seluruh bumi dan langit untuk memberi perhatian hanya kepada kami."40 Ketika orang Kristen diburu oleh penguasa Romawi, mereka dituduh "ateis" karena konsepsi mereka tentang ketuhanan benar-benar bertentangan dengan etos Romawi. Karena tidak bisa memenuhi hak-hak para dewa tradisional, orang-orang merasa takut bahwa kaum Kristiani akan membahayakan negara dan menghancurkan tatanan yang rentan. Kristen dipandang sebagai sebuah kredo barbar yang mengabaikan capaian-capaian peradaban. 143 Sejarah Tuhan Akan tetapi, pada akhir abad kedua, beberapa orang pagan yang betul-betul mempelajarinya mulai beralih ke agama Kristen dan mampu mengadaptasikan Tuhan Semitik Alkitab dengan ideal Yunani- Romawi. Salah seorang di antara mereka adalah Clement dari Aleksandria (kl. 150-215), yang mungkin sekali telah mempelajari filsafat di Atena sebelum kepindahan agamanya. Clement tidak raguragu bahwa Yahweh dan Tuhan filsafat Yunani adalah satu dan sama: dia menjuluki Plato sebagai Musa Atena. Sungguhpun demikian, baik Yesus maupun Paulus pasti akan dibuat kaget oleh teologinya. Sebagaimana Tuhan Plato dan Aristoteles, Tuhan Clement dicirikan oleh apatheia-nya: dia sama sekali kebal, tidak mampu menderita atau berubah. Orang Kristen dapat berpartisipasi diri dalam kehidupan yang suci ini dengan cara meniru ketenangan dan kesentosaan Tuhan sendiri. Clement menyusun aturan kehidupan yang sangat mirip dengan aturan perilaku terperinci yang disusun oleh para rabi, terkecuali bahwa ia lebih banyak memiliki kesamaan dengan citacita kaum Stoa. Seorang Kristen wajib meniru ketenangan Tuhan di dalam setiap bagian terkecil kehidupannya: dia mesti duduk dengan benar, berbicara perlahan, menahan diri dari kekerasan dan tertawa terbahak-bahak, bahkan harus bersendawa dengan halus. Melalui latihan ketenangan ini, seorang Kristen akan menjadi sadar akan Ketenangan luas di dalam diri, yang merupakan citra Tuhan yang terpahat dalam wujud mereka sendiri. Tak ada jurang pemisah antara Tuhan dan manusia. Begitu orang Kristen berhasil menyesuaikan diri dengan cita-cita ilahi, niscaya mereka akan menemukan bahwa mereka memiliki seorang Sahabat Ilahi "yang tinggal bersama di rumah kita, duduk bersama, dan ikut dalam seluruh upaya moral hidup kita."41 Namun, Clement juga percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, "Tuhan Mahahidup yang menderita dan disembah."42 Dialah yang telah "mencuci kaki mereka, membungkus dengan handuk," dialah "Tuhan yang tidak sombong dan Penguasa Semesta."43 Jika orang Kristen meneladani Kristus, mereka juga akan menjadi seperti tuhan: suci, tak bisa rusak, dan tak berubah. Sesungguhnya, Kristus adalah logos suci yang telah menjadi manusia "agar kalian bisa belajar dari seorang manusia bagaimana cara menjadi Tuhan."44 Di Barat, Irenaeus, Uskup Lyons (130-200), telah mengajarkan doktrin yang serupa. Yesus adalah inkarnasi logos, akal ilahi. Ketika menjadi manusia, dia telah menyucikan setiap derajat perkembangan manusia dan menjadi model 144 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi bagi orang Kristen. Mereka harus meniru dia dengan cara yang kurang lebih sama seperti seorang aktor diyakini menjadi satu dengan karakter yang dia perankan, dan dengan demikian, memenuhi potensi kemanusiaan mereka.45 Clement maupun Irenaeus mengadaptasi Tuhan Yahudi ke dalam gagasan yang khas bagi zaman dan budaya mereka. Meskipun konsepsi itu tak banyak kesamaannya dengan Tuhan para nabi, yang terutama dicirikan oleh rasa iba dan kepeduliannya, doktrin aphatheia Clement akan menjadi fundamental bagi konsepsi Kristen tentang Tuhan. Di dalam dunia Yunani, orang-orang rindu untuk bangkit dari kekacauan emosi dan perubahan, rindu untuk meraih keheningan supramanusiawi. Cita-cita ini tetap ada, meski dengan segala paradoks yang melekat dalam dirinya. Teologi Clement menyisakan beberapa pertanyaan krusial yang tak terjawab. Bagaimana mungkin seorang manusia biasa bisa menjadi Logos atau akal ilahi? Apa sebenarnya makna ucapan bahwa Yesus itu suci? Apakah Logos sama dengan "Anak Tuhan," dan apa makna gelar Yahudi ini di dunia Helenik? Bagaimana mungkin Tuhan yang kebal bisa menderita di dalam Yesus? Bagaimana mungkin orang Kristen bisa percaya bahwa Yesus adalah wujud ilahi sementara, pada saat yang sama, mereka menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan? Orang Kristen jadi semakin sadar akan persoalan ini selama abad ketiga. Pada tahun-tahun pertama abad itu di Roma, seorang Sabellius, figur yang agak samar-samar, mengatakan bahwa istilahistilah biblikal, seperti "Bapa", "Anak" dan "Ruh" dapat dibandingkan topeng {personae) yang dipakai oleh aktor-aktor untuk memainkan suatu peran dramatik dan untuk membuat suara mereka dapat didengar oleh hadirin. Tuhan Yang Esa dengan demikian telah menggunakan personae yang berbeda ketika berurusan dengan dunia. Sabellius berhasil menarik sejumlah pengikut, tetapi kebanyakan orang Kristen keberatan atas teorinya: teori itu menyarankan bahwa Tuhan yang apofatik itu ternyata dalam pengertian tertentu telah menderita ketika memainkan peranan Anak, gagasan yang mereka rasa agak sulit untuk dapat diterima. Sungguhpun demikian, ketika Paulus dari Samosata, Uskup Antiokhia dari tahun 260 hingga 272, telah menyatakan bahwa sebenarnya Yesus adalah seorang manusia biasa, yang di dalam dirinya Firman dan Hikmat Tuhan bersemayam sebagaimana dalam sebuah kuil. Pandangan ini juga dianggap tidak ortodoks. Teologi Paulus dikutuk dalam sebuah sinode di Antiokhia pada tahun 264, meskipun dia berhasil mempertahankan keuskupannya atas 145 Sejarah Tuhan sokongan dari Ratu Zenobea di Palmira. Sungguh menjadi sangat rumit untuk menemukan cara mengakomodasi keyakinan Kristen bahwa Yesus itu tuhan dengan kepercayaan yang sama kuatnya bahwa Tuhan itu Satu. Ketika Clement meninggalkan Aleksandria pada tahun 202 untuk menjadi pendeta di bawah keuskupan Yerusalem, kedudukannya di sekolah kateketik diambil alih oleh murid mudanya yang brilian, Origen, yang pada saat itu berusia dua puluh tahun. Sebagai seorang pemuda, Origen telah memiliki keyakinan kuat bahwa mati sebagai martir merupakan jalan menuju surga. Ayahnya, Leonides, mati di arena empat tahun silam dan Origen berusaha untuk mengikuti jejaknya. Akan tetapi, ibunya menyelamatkannya dengan menyembunyikan pakaiannya. Origen pada awalnya berkeyakinan bahwa hidup sebagai seorang Kristen berarti harus berpaling dari dunia, tetapi kemudian dia meninggalkan pandangan ini dan mengembangkan sebentuk Platonisme Kristen. Alih-alih melihat ada jurang lebar antara Tuhan dan dunia, yang hanya mungkin dijembatani oleh dislokasi radikal melalui pengurbanan nyawa, Origen mengembangkan sebuah teologi yang menekankan kontinuitas antara Tuhan dengan dunia. Teologinya merupakan spiritualitas yang terang, bercahaya, optimis, dan gembira. Selangkah demi selangkah, seorang Kristen dapat mendaki mata rantai itu hingga dia mencapai Tuhan, unsur alamiah dan kampung halamannya. Sebagai seorang Platonis, Origen yakin akan keserumpunan Tuhan dan jiwa: pengetahuan tentang yang ilahi adalah alamiah bagi manusia. Pengetahuan itu dapat "diingat kembali" dan dibangkitkan melalui latihan-latihan khusus. Untuk menyesuaikan pandangan filsafat Platoniknya dengan kitab suci Semitik, Origen mengembangkan sebuah metode simbolik untuk membaca Alkitab. Dengan demikian, kelahiran Kristus dari rahim perawan Maria pada dasarnya tidak untuk dipahami sebagai suatu kejadian harfiah, melainkan harus dilihat sebagai kelahiran Hikmat ilahi di dalam jiwa. Dia juga mengambil beberapa gagasan kaum Gnostik. Pada mulanya, semua wujud di dalam dunia spiritual berkontemplasi tentang Tuhan yang telah mengungkapkan sendiri di dalam Logos, Firman, dan Hikmat suci. Akan tetapi, mereka menjadi bosan dengan aktivitas kontemplasi sempurna ini dan jatuh ke dalam dunia materi yang segera memerangkap mereka. Akan tetapi, tidak semuanya gagal. Jiwa berhasil mencapai Tuhan melalui perjalanan panjang yang akan terus 146 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi berlangsung setelah kematian. Lambat laun jiwa akan meninggalkan tubuh dan naik menjadi ruh murni. Melalui kontemplasi (theoria), jiwa akan mendapat pengetahuan (gnosis) mengenai Tuhan, yang akan mentransformasinya hingga, seperti yang diajarkan Plato, ia akan menjadi suci. Tuhan sangatlah misterius dan tak ada ucapan atau konsep kita sebagai manusia yang mampu mengungkapkannya, tetapi jiwa mempunyai kapasitas untuk mengenai Tuhan karena ia ikut memiliki watak keilahiannya. Kontemplasi tentang Logos merupakan sesuatu yang alamiah bagi kita, sebab semua makhluk spiritual (logikoi) pada dasarnya setara satu sama lain. Ketika semua telah gagal, hanya jiwa manusia Yesus Kristus yang tetap bisa bertahan di alam suci seraya berkontemplasi tentang Firman Tuhan, dan jiwa kita sendiri setara dengan jiwanya. Kepercayaan pada kesucian manusia Yesus hanya merupakan sebuah fase; ia akan membantu perjalanan kita, tetapi pada akhirnya akan lepas ketika kita telah bertemu muka langsung dengan Tuhan. Pada abad kesembilan, Gereja mencela beberapa gagasan Origen sebagai bid'ah. Baik Origen maupun Clement tidak percaya bahwa Tuhan telah menciptakan alam dari ketiadaan (ex nihilo), yang dalam perkembangan selanjutnya akan menjadi doktrin Kristen ortodoks. Pandangan Origen tentang keilahian Yesus dan penyelamatan umat manusia jelas tidak sejalan dengan ajaran resmi Kristen: dia tidak percaya bahwa kita telah "diselamatkan" oleh kematian Kristus, tetapi meyakini bahwa kita dapat naik menuju Tuhan atas usaha kita sendiri. Persoalannya adalah, tatkala Origen dan Clement menulis dan mengajarkan Platonisme Kristen mereka, belum ada doktrin resmi. Tak seorang pun betul-betul mengetahui apakah Tuhan telah menciptakan alam atau apakah seorang manusia bisa menjadi tuhan. Peristiwaperistiwa yang bergejolak pada abad keempat dan kelima membawa pada sebuah definisi tentang kepercayaan ortodoks hanya setelah melewati suatu pertarungan yang mengenaskan. Mungkin Origen paling dikenal karena tindakannya mengebiri diri sendiri. Di dalam Injil, Yesus mengatakan bahwa beberapa orang telah mengebiri diri mereka sendiri demi Kerajaan Langit, dan Origen menelan firman itu mentah-mentah. Pengebirian adalah perilaku yang umum di akhir zaman kuno; Origen tidak langsung menyerang dirinya dengan sebilah pisau, keputusannya pun tidak diilhami oleh sejenis kebencian neurotik terhadap seksualitas sebagaimana yang telah menjadi karakter sebagian teolog Barat semacam Santo Jerome 147 Sejarah Tuhan (342-420). Sarjana Inggris Peter Brown memperkirakan bahwa tindakan itu diambil sebagai upaya untuk mendemonstrasikan doktrinnya mengenai ketidakpastian kondisi manusia, yang pasti akan ditinggalkan oleh jiwa. Rupanya faktor-faktor yang tak dapat diubah seperti gender akan ditinggalkan dalam proses panjang penyucian diri, karena di sisi Tuhan tak akan ada lelaki atau perempuan. Pada zaman ketika filosof ditandai oleh jenggotnya yang panjang (simbol kebijaksanaan), pipi Origen yang halus dan nada suaranya yang tinggi merupakan pemandangan yang mengherankan. Plotinus (205-270) telah belajar di Aleksandria di bawah bimbingan guru senior Origen, Ammonius Saccus, dan kemudian bergabung dengan tentara Romawi. Dia berharap akan dikirim ke India, tempat yang sangat ingin dipelajarinya. Sayangnya ekspedisi itu gagal dan Plotinus pindah ke Antiokia. Belakangan dia mendirikan sebuah sekolah filsafat yang prestisius di Roma. Kita tidak begitu mengenalnya karena dia adalah seorang laki-laki yang sangat pendiam dan tidak pernah bercerita tentang dirinya sendiri, bahkan juga tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya sendiri. Seperti Celsus, Plotinus memandang Kristen sebagai sebuah kredo yang sama sekali tidak bisa diterima, namun demikian dia berpengaruh terhadap generasi-generasi monoteis masa depan dalam ketiga agama Allah. Oleh karena itulah, dirasakan penting untuk mengetengahkan uraian terperinci mengenai pandangannya tentang Tuhan. Plotinus digambarkan sebagai garis batas yang penting: dia telah menyerap aliranaliran pemikiran utama dari 800 tahun pemikiran spekulatif Yunani dan mentransmisikannya dalam sebuah bentuk yang mempengaruhi tokoh-tokoh terkemuka pada abad kita, seperti T.S. Eliot dan Henri Bergson. Berpijak pada gagasan-gagasan Plato, Plotinus mengembangkan suatu sistem yang dirancang untuk mencapai pemahaman tentang diri. Dia sama sekali tidak tertarik untuk menemukan penjelasan ilmiah atas alam semesta atau berupaya menjelaskan asal usul fisik kehidupan; bukannya mencari penjelasan objektif dari dunia luar, Plotinus justru mengajak murid-muridnya untuk surut ke dalam diri mereka sendiri dan memulai eksplorasi mereka dari kedalaman jiwa. Manusia sadar bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan kondisi mereka; mereka merasakan kejanggalan dengan diri sendiri dan orang lain, tak terhubungkan dengan hakikat batin mereka dan kehilangan arah. Konflik dan hilangnya kesederhanaan tampak telah menjadi 148 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi ciri eksistensi kita. Meskipun demikian kita tak henti-hentinya berupaya untuk memadukan fenomena yang beragam itu dan mereduksinya menjadi semacam keutuhan yang tertata. Ketika secara sepintas kita melihat seseorang, kita tidak hanya melihat sebuah kaki, tangan, dan kepala, tetapi secara automatis kita mengorganisasikan unsurunsur ini menjadi sesosok manusia utuh. Dorongan ke arah keutuhan ini bersifat fundamental bagi cara bekerja akal kita dan diyakini Plotinus pasti juga mencerminkan esensi sesuatu secara umum. Untuk menemukan kebenaran mendasar realitas, jiwa mesti menata ulang dirinya, menjalani periode penyucian (katharsis) dan tenggelam dalam kontemplasi (theoria), seperti yang disarankan Plato. Jiwa perlu melihat melampaui kosmos, melampaui dunia indriawi, dan bahkan melampaui keterbatasan akal untuk menyelami inti realitas. Namun demikian, ini bukanlah pendakian ke puncak realitas yang berada di luar diri kita, melainkan turun menyelam ke dalam lubuk hati. Pendek kata, sebuah pendakian ke dalam batin. Realitas tertinggi merupakan sebuah kesatuan primal yang oleh Plotinus disebut sebagai Yang Esa. Segala sesuatu meminjam eksistensi mereka dari realitas potensial ini. Karena Yang Esa merupakan kesederhanaan itu sendiri, tak ada yang bisa diceritakan mengenainya: tak ada padanya suatu kualitas yang berbeda dari esensinya, yang dapat memungkinkan deskripsi dalam cara biasa. Dia ada begitu saja. Akibatnya, Yang Esa itu tidak bernama: "Jika kita berpikir positif tentang Yang Esa," jelas Plotinus, "kebenaran akan lebih banyak terdapat dalam Hening."46 Kita bahkan tak bisa mengatakan bahwa dia ada, karena sebagai Wujud itu sendiri, dia "bukanlah sesuatu tetapi berbeda dari segala sesuatu."47 Sesungguhnya, Plotinus menjelaskan, dia "adalah Segala Sesuatu dan Bukan Sesuatu; dia bukanlah salah satu dari apa yang ada, namun demikian dia adalah semuanya."48 Kita akan menyaksikan bahwa persepsi ini akan menjadi sebuah tema yang konstan dalam sejarah Tuhan. Akan tetapi, Hening bukanlah keseluruhan kebenaran, kata Plotinus, sebab kita mampu untuk tiba pada pengetahuan tertentu tentang yang ilahi. Adalah mustahil jika Yang Esa itu tetap terbungkus dalam rahasia yang tak bisa ditembus. Yang Esa mesti telah melampaui dirinya sendiri, melampaui Kesederhanaannya dengan tujuan menjadikan dirinya bisa dipahami oleh wujud-wujud tak sempurna seperti kita. Transendensi ilahi ini bisa digambarkan apa yang disebut "ekstasi", karena merupakan peristiwa "keluar dari diri sendiri" dalam 149 Sejarah Tuhan kebaikan murni: "Tak mencari apa-apa, tak mempunyai apa-apa, tak kehilangan apa-apa. Yang Esa itu sempurna dan, secara metaforis, telah melimpah, dan kelimpahannya telah menghasilkan yang baru."49 Tak ada sesuatu yang bersifat personal di dalam semua ini; Plotinus memandang Yang Esa berada di atas semua kategori manusia, termasuk kategori personalitas. Plotinus kembali ke mitos emanasi kuno untuk menjelaskan pemancaran semua yang wujud dari Sumber yang sangat sederhana ini, menggunakan sejumlah analogi untuk menggambarkan prosesnya: seperti pancaran sinar matahari atau panas yang memancar dari sebuah nyala api dan semakin Anda mendekat ke inti api itu, semakin panas terasa. Salah satu kiasan yang paling disukai oleh Plotinus adalah perbandingan antara Yang Esa dengan titik pusat sebuah lingkaran, yang mengandung kemungkinan munculnya seluruh lingkaran lain yang berasal darinya. Ini mirip pula dengan efek gelombang yang ditimbulkan oleh jatuhnya sebuah batu ke dalam kolam. Berbeda dengan pemancaran yang dijelaskan dalam mitos seperti Enuma Elish, di mana masing-masing pasangan dewa yang berevolusi dari pasangan lain menjadi lebih sempurna dan efektif, yang terdapat dalam skema Plotinus justru kebalikannya. Sebagaimana dalam mitos-mitos Gnostik, semakin jauh suatu wujud dari Yang Esa, semakin lemahlah ia. Plotinus memandang dua emanasi pertama yang memancar dari Yang Esa sebagai sesuatu yang ilahiah, sebab keduanya membuat kita mampu mengetahui dan terlibat dalam kehidupan Tuhan. Bersama dengan Yang Esa, keduanya membentuk sebuah Segitiga ilahiah yang dalam cara tertentu mirip dengan Trinitas dalam Kristen. Pikiran (nous), emanasi pertama, dalam skema Plotinus bersesuaian dengan alam ide Plato: pikiran bisa membuat kesederhanaan Yang Esa menjadi terpahami, tetapi pengetahuan di sini bersifat intuitif dan langsung. Ia tidak dengan susah payah diperoleh melalui penelitian dan proses penalaran, tetapi diserap melalui cara yang sama seperti ketika indra kita menyerap objek-objek yang dipersepsikan. Jiwa (psyche), yang beremanasi dari Pikiran dalam cara yang sama seperti emanasi Pikiran dari Yang Esa, merupakan sesuatu yang sedikit lebih jauh dari kesempurnaan, dan di tingkat ini, pengetahuan hanya dapat diperoleh secara diskursif sehingga ia tidak memiliki simplisitas dan koherensi absolut. Jiwa bersesuaian dengan realitas yang biasa kita alami: seluruh sisa eksistensi fisik dan spiritual memancar dari Jiwa, yang memberikan kepada dunia kita semua kesatuan dan koherensi yang 150 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi dimilikinya. Lagi-lagi, mesti ditekankan bahwa Plotinus tidak membayangkan tiga serangkai Yang Esa, Pikiran, dan Jiwa ini sebagai suatu tuhan "di luar sana". Keilahian melingkupi seluruh eksistensi. Tuhan adalah semua di dalam semua, dan wujud-wujud yang lebih rendah hanya ada selama mereka menjadi bagian dalam wujud absolut Yang Esa.50 Aliran emanasi ke arah luar diserap oleh gerakan kembali kepada Yang Esa. Sebagaimana kita tahu dari cara kerja pikiran kita sendiri dan dari ketidakpuasan kita terhadap konflik dan kemajemukan, semua wujud merindukan kesatuan; mereka rindu untuk kembali kepada Yang Esa. Lagi, ini bukanlah pendakian menuju suatu realitas yang ada di luar diri, melainkan jalan menurun menuju kedalaman pikiran kita. Jiwa mesti mengingat kembali simplisitas yang telah dilupakannya dan kembali kepada kesejatian dirinya. Karena semua jiwa dihidupkan oleh Realitas yang sama, kemanusiaan mungkin dapat diperbandingkan dengan sekelompok paduan suara yang berdiri mengelilingi seorang konduktor. Jika ada seseorang yang melantur, maka akan timbul ketidakpaduan dan ketidakselarasan. Namun, jika semua memperhatikan konduktor dan berkonsentrasi kepadanya, keseluruhan komunitas akan diuntungkan sebab "mereka akan menyanyi sebagaimana mestinya, dan sungguh-sungguh berada bersamanya."51 Yang Esa sangat impersonal; tidak bergender dan sama sekali tidak menyadari kita. Demikian pula, Pikiran (nous) secara gramatikal adalah maskulin dan Jiwa (psyche) adalah feminin. Ini menunjukkan suatu keinginan dari Plotinus sendiri untuk mempertahankan visi kuno pagan tentang keseimbangan dan harmoni seksual. Tidak seperti Tuhan biblikal, Yang Esa tidak datang untuk menemui kita dan membimbing kita pulang. Dia tidak merindukan kita, atau mencintai kita, atau mengungkapkan dirinya kepada kita. Dia tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu di luar dirinya.52 Namun demikian, jiwa manusia kadang tergetar dalam pengenalan memabukkan tentang Yang Esa. Filsafat Plotinus bukan merupakan sebuah proses berlogika, melainkan sebuah pencarian spiritual: Kita di sini, demi tujuan kita, mesti mengesampingkan segala sesuatu yang lain dan menyediakan diri untuk Ini saja, menjadi Ini saja, meninggalkan semua beban; kita mesti bersegera keluar dari sini, tak sabar akan ikatan duniawi kita, untuk merangkul Tuhan dengan 151 Sejarah Tuhan segenap keberadaan kita sehingga tak ada bagian kita yang tidak tergantung kepada Tuhan. Di sana kita bisa melihat Tuhan dan diri kita sendiri terungkap: diri kita dalam kemegahan, dipenuhi cahaya Akal, atau tepatnya, cahaya itu sendiri, murni, mengapung, terbang, menjadi—pada kenyataannya, adalah—tuhan.53 Tuhan ini bukanlah suatu objek asing, melainkan diri kita yang terbaik. la timbul "bukan dengan cara mengetahui, bukan pula dengan Pemikiran yang menemukan wujud-wujud Akal [di dalam Pikiran atau nous], tetapi melalui suatu kehadiran (parousid) yang melampaui semua pengetahuan."54 Kristen menemukan dirinya berada dalam sebuah dunia yang didominasi ide-ide Platonis. Semenjak itu, ketika para pemikir Kristen mencoba menjelaskan pengalaman religius mereka sendiri, secara alamiah mereka beralih kepada visi Neoplatonis dari Plotinus dan pengikut-pengikut pagannya di kemudian hari. Gagasan tentang pencerahan yang impersonal, di luar kategori-kategori manusia, dan alamiah bagi kemanusiaan juga dekat dengan cita-cita Hindu dan kaum Buddha di India, tempat yang begitu ingin dipelajari Plotinus. Dengan demikian, meski ada beberapa perbedaan yang lebih superfisial, terdapat kemiripan nyata antara monoteisme dan visivisi lain tentang realitas. Tampaknya ketika manusia berkontemplasi tentang yang mutlak, mereka tiba pada gagasan dan pengalaman yang sangat mirip. Rasa kehadiran, mabuk, dan gentar dalam kehadiran sebuah realitas—yang disebut nirvana, Yang Esa, Brahman, atau Tuhan—sepertinya merupakan keadaan pikiran dan persepsi yang alamiah dan tak henti-hentinya dicari manusia. Sebagian orang Kristen memutuskan untuk menjalin hubungan persahabatan dengan dunia Yunani. Yang lainnya tidak menginginkan hubungan apa pun dengan mereka. Selama masa merebaknya penyiksaan terhadap Kristen di kekaisaran Romawi pada tahun 170-an, seorang nabi bafu bernama Montanus muncul di Phyrgia di wilayah Turki modern, yang mengaku sebagai avatar ilahi: "Akulah Tuhan yang Mahakuasa, yang turun kepada seorang manusia," begitu pernah diucapkannya; "Aku adalah Bapa, putra, dan Perantara." Sahabatsahabatnya Priscilla dan Maximilla juga membuat klaim serupa.55 Montanisme merupakan kredo apokaliptik keras yang melukiskan gambaran menakutkan tentang Tuhan. Para pengikutnya bukan hanya diwajibkan berpaling dari dunia dan harus menjalani kehidupan 152 Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi membujang, mereka juga diajarkan bahwa mati sebagai martir merupakan satu-satunya jalan menuju Tuhan. Kematian mereka yang mengenaskan demi iman akan mempercepat kedatangan Kristus: para martir adalah prajurit-prajurit Tuhan yang terlibat dalam pertempuran melawan kejahatan. Kredo yang mengerikan ini menarik hati ekstremisme laten dalam semangat Kristen: Montanisme menjalar seperti kobaran api di Phyrgia, Thrace, Siria, dan Gaul. Aliran ini menjadi kuat secara khusus di Afrika Utara, yang penduduknya pernah menyembah dewa-dewa yang menuntut pengurbanan manusia. Pemujaan mereka terhadap Baal, yang mencakup pengurbanan anak sulung, baru ditumpas oleh Kaisar pada abad kedua. Segera bid'ah itu pun menarik bagi pribadi sekaliber Tertullian, teolog terkemuka Gereja Latin. Di Timur, Clement dan Origen mengajarkan cara yang damai dan bahagia untuk kembali kepada Tuhan, tetapi di Gereja Barat ada Tuhan yang lebih menakutkan yang menuntut kematian tragis sebagai syarat kesetiaan. Pada tahapan ini, Kristen merupakan agama yang berjuang untuk tumbuh di Eropa Barat dan Afrika Utara, dan sejak awal telah terdapat kecenderungan ke arah ekstremisme dan kekerasan. Akan tetapi, Kristen di Timur sedang membuat langkah besar, dan menjadi salah satu agama terpenting di kekaisaran Romawi pada tahun 235. Orang-orang Kristen kini berbicara tentang sebuah Gereja Agung dengan satu aturan keimanan yang jauh dari sikap ekstrem dan eksentrik. Para teolog ortodoks ini telah meninggalkan visi-visi pesimistik kaum Gnostik, Marcionis, dan Montanisme, dan mengambil jalan tengah. Kristen menjadi kredo perkotaan yang menghindari kompleksitas kultus-kultus misteri dan aksetisme yang tidak fleksibel. la mulai memikat orang-orang berkecerdasan tinggi yang mampu mengembangkan keimanan dalam garis yang bisa dipahami oleh dunia Yunani-Romawi. Agama baru itu juga memikat kaum wanita: kitab sucinya mengajarkan bahwa di dalam Kristus tak ada istilah lelaki atau perempuan dan mengajarkan agar kaum pria menghargai istri-istri mereka sebagaimana Kristus menghargai gerejanya. Kristen memiliki semua keuntungan yang dahulu pernah membuat Yudaisme menjadi sebuah keimanan yang menarik, dikurangi keharusan bersunat dan Hukum yang terasa asing. Orang-orang pagan terkesan oleh sistem kesejahteraan yang dikembangkan gereja-gereja dan sikap kasih sayang yang diamalkan orang Kristen satu sama lain. Dalam perjuangan panjangnya untuk selamat dari penyiksaan dari luar dan 153 Sejarah Tuhan perselisihan dari dalam, Gereja juga telah mengembangkan organisasi yang efisien, yang membuatnya nyaris seperti mikrokosmos kekaisaran itu sendiri: multirasial, meluas, internasional, ekumenikal, dan dijalankan oleh birokrasi yang efisien. Begitu ia menjadi sebuah kekuatan bagi stabilitas dan memikat Kaisar Konstantin, yang menjadi penganut Kristen setelah pertempuran di Jembatan Milvian pada tahun 312, Kristen dilegalisasi pada tahun berikutnya. Orang Kristen kini bisa memiliki rumah, bebas beribadah, dan memberi sumbangsih yang nyata bagi kehidupan masyarakat. Meskipun paganisme masih berkembang selama dua abad berikutnya, Kristen menjadi agama resmi kerajaan dan mulai menarik minat pengikut-pengikut baru yang datang bergabung ke Gereja demi memperoleh kesejahteraan material. Tak lama kemudian Gereja— yang mengawali kehidupan sebagai sebuah sekte terlarang yang memohon toleransi—juga menuntut kesesuaian dengan hukum dan kredonya sendiri. Alasan kemenangan Kristen tidak jelas; tetapi pasti ia tidak akan berhasil tanpa dukungan kekaisaran Romawi, meskipun ini juga tak pelak menimbulkan persoalan sendiri. Pada puncaknya merupakan agama yang selalu dirundung malang, Kristen tak pernah benar-benar tiba pada suatu masa keemasan. Salah satu persoalan utama yang mesti dipecahkannya adalah doktrin tentang Tuhan: tak lama setelah Konstantin membawa kedamaian kepada Gereja, bahaya baru pun muncul dari dalam yang memecah Kristen menjadi kubukubu yang saling bermusuhan.[] 154 Trinitas: Tuhan Kristen Sekitar tahun 320, gairah teologis yang membara merasuki gereja-gereja di Mesir, Siria, dan Asia kecil. Para pelaut dan pelancong melantunkan senandung masyhur yang menyatakan Tuhan yang sejati hanyalah sang Bapa, yang tidak dapat dijangkau dan unik, tetapi sang Putra tidaklah abadi dan bukannya tidak diciptakan, karena dia mendapat kehidupan dan wujud dari sang Bapa. Kita mendengar tentang penjaga tempat pemandian yang menceramahi para pengunjung bahwa sang Putra berasal dari ketiadaan; tentang seorang penukar uang yang, ketika ditanya tentang nilai tukar, malah memberi pengantar jawabannya dengan uraian panjang tentang perbedaan antara tatanan yang diciptakan dengan Tuhan yang tidak diciptakan; juga seorang tukang roti yang memberitahukan pelanggannya bahwa Bapa lebih agung daripada sang Putra. Mereka mendiskusikan persoalan pelik ini dengan semangat yang sama seperti orang-orang memperbincangkan sepakbola di masa sekarang.1 Kontroversi ini disulut oleh Arius, seorang pemuka gereja yang tampan dan karismatik dari Aleksandria, yang memiliki suara lembut, menawan, dan wajah yang sangat melankolis. Dia melemparkan sebuah tantangan yang oleh uskupnya, Aleksander, tidak mungkin diabaikan, tetapi akan lebih sulit lagi untuk dijawab: bagaimana mungkin Yesus Kristus menjadi Tuhan dalam cara yang sama dengan Tuhan Bapa? Arius tidak menyangkal ketuhanan Kristus; bahkan, dia 155 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com Sejarah Tuhan menyebut Yesus "Tuhan kuat" dan "Tuhan sepenuhnya,"2 tetapi berpendapat bahwa meyakini dia itu ilahiah secara hakikinya merupakan suatu penghujatan: Yesus sendiri secara spesifik telah mengatakan bahwa Tuhan Bapa itu lebih agung daripada dirinya. Aleksander dan asistennya yang brilian, Athanasius, segera menyadari bahwa ini tidak lebih dari pernik-pernik teologis semata. Arius telah mengajukan persoalan vital menyangkut hakikat Tuhan. Sementara itu, Arius, seorang propagandis yang mahir, telah meramu gagasannya ke dalam bentuk yang populer, dan tak lama kemudian kaum awam pun memperdebatkan isu tersebut dengan tak kalah hangatnya dibandingkan uskup-uskup mereka. Kontroversi itu menjadi begitu memanas sehingga Kaisar Konstantin sendiri turun tangan dan mengimbau penyelenggaraan sebuah sinode di Nicaea, di kawasan Turki modern, Untuk membahas masalah ini. Pada masa sekarang, nama Arius menjadi kata lain untuk bid'ah, tetapi pada saat konflik itu merebak belum ada posisi ortodoks yang resmi dan sama sekali tak bisa dipastikan mengapa, atau bahkan apakah, Arius salah. Sebetulnya tak ada yang baru dalam klaimnya: Origen, orang yang dihormati oleh kedua pihak yang berseberangan, pernah mengajarkan doktrin yang mirip. Akan tetapi, iklim intelektual di Aleksandria telah berubah sejak masa Origen dan orang-orang tidak lagi yakin bahwa Tuhan Plato dapat berhasil disandingkan dengan Tuhan Alkitab. Arius, Aleksander, dan Athanasius, misalnya, mempercayai sebuah doktrin yang pasti mengejutkan setiap orang yang penganut Platonis: mereka beranggapan bahwa Tuhan telah menciptakan alam dari ketiadaan (ex nihilo) dengan mendasarkan pendapat mereka pada kitab suci. Pada kenyataannya, Kitab Kejadian tidak memuat klaim semacam ini. Penulis tradisi Para Imam pernah menyiratkan bahwa Tuhan telah menciptakan alam dari kekacauan primordial, tetapi ajaran bahwa Tuhan menghadirkan seluruh alam dari sebuah kehampaan absolut sepenuhnya merupakan pendapat yang baru. Gagasan ini asing bagi pemikiran Yunani dan tak pernah diajarkan oleh para teolog semacam Clement dan Origen, yang berpegang pada skema emanasi Platonis. Namun pada abad keempat, orang Kristen mulai sependapat dengan kaum Gnostis bahwa dunia ini secara inheren rentan, tak sempurna, dan terpisah dari Tuhan oleh suatu jurang yang sangat lebar. Doktrin baru penciptaan ex nihilo ini menekankan pandangan tentang kosmos yang pada dasarnya lemah dan sepenuhnya bergantung kepada Tuhan untuk 156 Trinitas: Tuhan Kristen mewujud dan hidup. Tuhan dan kemanusiaan tak lagi serumpun, sebagaimana dalam pemikiran Yunani. Tuhan menciptakan setiap satu wujud dari ketiadaan tak bertepi, dan kapan pun dia bisa menarik kembali tangannya yang memberi sokongan. Tak ada lagi mata rantai wujud yang secara abadi beremanasi dari Tuhan. Tak ada lagi perantara alam wujud-wujud spiritual yang mengalirkan kekuatan mana ilahi kepada dunia. Manusia tak dapat lagi mendaki mata rantai wujud menuju Tuhan dengan usaha mereka sendiri. Hanya Tuhan, yang telah menarik mereka dari ketiadaan pada awalnya dan menjaga mereka agar terus mewujud, yang bisa menjamin keselamatan abadi mereka. Orang Kristen mengetahui bahwa Yesus Kristus telah menyelamatkan mereka melalui kematian dan kebangkitannya; mereka telah diselamatkan dari kebinasaan dan pada suatu masa akan ikut dalam eksistensi Tuhan, yang Ada dan Hidup dengan sendirinya. Lewat suatu cara Kristus telah membuat mereka mampu menyeberangi jurang lebar yang memisahkan Tuhan dari manusia. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara dia melakukan hal itu? Pada sisi mana dari Jurang Lebar itu dia berada? Kini tak ada lagi Pleroma, tempat yang berisikan para perantara dan aeon-aeon. Apakah Kristus, sang Firman, tergolong ke dalam alam suci (yang kini merupakan wilayah Tuhan sendirian) atau tergolong ke dalam tatanan ciptaan yang rentan. Arius dan Athanasius meletakkannya pada sisi yang berseberangan: Athanasius pada alam suci sedangkan Arius memilih tatanan makhluk. Arius bermaksud menekankan perbedaan esensial antara Tuhan yang unik dengan semua makhluk ciptaannya. Seperti tertulis dalam suratnya kepada Uskup Aleksander, Tuhan adalah "satu-satunya yang tidak memperanakkan, satu-satunya yang abadi, satu-satunya yang tak berawal, satu-satunya kebenaran, satu-satunya yang memiliki keabadian, satu-satunya yang bijak, satu-satunya yang baik, dan satusatunya yang kuasa."3 Arius menguasai isi kitab suci dengan baik dan dia mempersenjatai argumennya dengan teks-teks kitab suci untuk mendukung klaimnya bahwa Kristus sang Firman tak lain adalah makhluk seperti kita semua. Sebuah ayat kunci adalah deskripsi tentang Hikmat suci dalam Kitab Amsal, yang menyatakan secara eksplisit bahwa Tuhan telah menciptakan Hikmat sejak dahulu kala.4 Teks itu juga menyatakan bahwa Hikmat merupakan sarana penciptaan, sebuah gagasan yang diulang lagi dalam prolog Injil Yohanes. Firman itu telah ada bersama Allah sejak semula: 157 Sejarah Tuhan Segala sesuatu dijadikan oleh Dia, Dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi.5 Logos merupakan instrumen yang digunakan Tuhan untuk membuat segala ciptaan menjadi ada. Oleh karena itu, ia sepenuhnya berbeda dari wujud-wujud lain dan memiliki status sangat tinggi. Namun karena diciptakan oleh Tuhan, logos secara esensial berbeda dari Tuhan itu sendiri. Yohanes mempertegas bahwa Yesus adalah logos; dia juga mengatakan bahwa logos itu adalah Allah.6 Sungguhpun demikian, menurut Arius, Yesus bukanlah tuhan dalam hakikatnya, tetapi diangkat Tuhan ke status ilahiah. Dia berbeda dengan kita semua karena Tuhan telah menciptakannya secara langsung sedangkan makhluk-makhluk lain diciptakan melalui dia. Tuhan telah mengetahui bahwa jika logos menjadi manusia, dia akan mematuhi Tuhan secara sempurna. Oleh karena itu, Tuhan telah, bisa dikatakan demikian, menganugerahkan kesucian kepada Yesus sejak semula. Akan tetapi, kesucian Yesus bukanlah alamiah baginya: itu hanyalah sebuah pemberian atau karunia. Lagi-lagi, Arius dapat menampilkan banyak teks yang tampaknya menopang pandangan ini. Kenyataan bahwa Yesus telah menyebut Allah sebagai "Bapa-"nya mengimplikasikan sebuah perbedaan; kebapakan pada dasarnya menyiratkan eksistensi yang lebih dahulu dan menunjukkan superioritas terhadap anak. Arius juga mengetengahkan ayat-ayat biblikal yang menekankan kerendahan hati dan kerentanan Kristus. Arius tak bermaksud merendahkan Yesus, sebagaimana dituduhkan oleh musuh-musuhnya. Dia mempunyai pandangan luhur tentang keutamaan dan kerelaan pengurbanan Yesus, yang diyakini menjadi jaminan keselamatan manusia. Tuhan Arius menyerupai Tuhan para filosof Yunani, yang jauh dan sangat transenden terhadap dunia; karena itu pula dia menganut konsep Yunani tentang penyelamatan. Kaum Stoa, misalnya, selalu mengajarkan bahwa adalah mungkin bagi manusia yang baik untuk menjadi kudus. Ini juga merupakan hal yang esensial dalam pandangan Platonis. Arius secara antusias percaya bahwa orang Kristen telah diselamatkan dan dijadikan suci, ikut memiliki hakikat ilahi. Ini hanya mungkin karena Yesus telah merintiskan sebuah jalan bagi manusia. Dia telah menjalani kehidupan seorang manusia sempurna; dia telah mematuhi Allah bahkan hingga kematian di kayu salib; seperti dikatakan oleh Paulus, adalah karena 158 Trinitas: Tuhan Kristen kepatuhannya hingga mati maka Allah sangat meninggikannya dan mengaruniakan kepadanya gelar Tuhan (kyrios).7 Andaikata Yesus bukan seorang manusia, takkan ada harapan buat kita. Tak ada yang bisa kita teladani dari hidupnya jika dia memang adalah Tuhan secara hakiki. Justru dengan merenungkan kehidupan Kristus yang sarat dengan nilai-nilai kepatuhan seorang anak maka orang Kristen dapat menjadikan diri mereka pun ilahiah. Dengan meneladani Kristus, makhluk yang sempuma, mereka juga bisa menjadi "makhluk ciptaan Allah dengan kesempurnaan yang tak dapat diubah dan tak dapat berubah."8 Namun, Athanasius memiliki pandangan yang kurang optimis terhadap kapasitas manusia di hadapan Tuhan. Dia memandang kemanusiaan secara inheren merupakan sesuatu yang rapuh: kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali ke dalam ketiadaan jika kita berdosa. Oleh karena itu, ketika merenungkan makhluknya, Tuhan, melihat bahwa seluruh alam ciptaan, jika dibiarkan berjalan dengan sendirinya, akan berubah dan bisa mengalami kehancuran. Untuk mencegah ini dan menjaga agar alam semesta tidak kembali menjadi tiada, dia ciptakan segala sesuatu dengan logos-nya sendiri yang abadi dan mengaruniakan wujud kepada ciptaan.9 Hanya dengan cara turut serta dalam Tuhan, melalui logos-nya., manusia bisa terhindar dari ketiadaan karena Tuhan sajalah yang merupakan Wujud sempurna. Jika logos pun merupakan makhluk biasa, dia tak akan mampu menyelamatkan manusia dari kebinasaan. Logos dibuat menjadi daging untuk memberi hidup kepada kita. Dia telah turun ke alam manusia yang tidak abadi untuk memberi kita bagian dalam ketidakberubahan dan keabadian Tuhan. Namun, pembebasan ini mustahil adanya jika logos sendiri adalah makhluk rentan, yang juga dapat jatuh ke dalam ketiadaan. Hanya dia yang telah menciptakan dunialah yang mampu menyelamatkannya, dan itu berarti bahwa Kristus, logos yang mendaging, pastilah berhakikat sama dengan Tuhan Bapa. Sebagaimana dikatakan Athanasius, Firman dibuat menjadi manusia dengan tujuan agar kita bisa menjadi kudus.10 Ketika para uskup berkumpul di Nicaea pada 20 Mei 325, untuk mengatasi krisis ini, sedikit sekali yang mendukung pandangan Athanasius tentang Kristus. Kebanyakannya berpegang pada posisi menengah antara Athanasius dan Arius. Meskipun demikian, Athanasius 159 Sejarah Tuhan berhasil mendesakkan teologinya kepada para delegasi dan, di bawah ancaman kaisar, hanya Arius dan dua orang sahabatnya yang berani menolak untuk menyetujui Kredo Athanasius. Dengan ini maka creatio ex nihilo pun menjadi doktrin resmi Kristen untuk pertama kalinya, menegaskan bahwa Kristus bukanlah sekadar makhluk atau aeon. Sang Pencipta dan Penebus itu adalah satu. Kami beriman kepada Allah Yang Esa, Tuhan Bapa yang Mahakuasa, pencipta segala sesuatu, yang dapat dilihat dan tak dapat dilihat, dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah, satu-satunya anak Tuhan Bapa, yang berasal dari substansi (ousid) Tuhan Bapa, Tuhan dari Tuhan, cahaya dari cahaya, Tuhan sejati dari Tuhan sejati, diperanakkan, tidak diciptakan dari satu substansi (homoousion) dengan Tuhan Bapa, yang melaluinya segala sesuatu diciptakan, segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi, yang demi kita dan keselamatan kita, turun dan dijadikan manusia, yang menderita, bangkit kembali pada hari ketiga, naik ke langit dan akan datang untuk menjadi hakim bagi yang hidup dan yang mati dan kami beriman kepada Roh Kudus.11 Tercapainya kesepakatan itu menyenangkan hati Konstantin yang tidak memiliki pemahaman tentang isu-isu teologis. Tetapi, sebenarnya tidak ada sebuah kesepakatan pun di Nicaea. Setelah konsili itu, para uskup terus mengajar sebagaimana biasanya, dan krisis Arian pun terus berlanjut selama enam puluh tahun berikutnya. Arius dan pengikutnya terus melawan dan berhasil memperoleh dukungan kekaisaran. Athanasius diasingkan tak kurang dari lima kali. Sangat sulit untuk memegang kredonya. Khususnya, istilah homoousion (secara harfiah berarti "dibuat dari bahan yang sama") sangat kontroversial karena tidak berlandaskan kitab suci dan memiliki asosiasi materialistik. Dua uang logam, misalnya, bisa dikatakan homoousion karena keduanya dibuat dari substansi yang sama. 160 Trinitas: Tuhan Kristen Lebih jauh lagi, kredo Athanasius menimbulkan banyak pertanyaan penting. Dinyatakannya bahwa Yesus itu ilahiah, tetapi tidak dijelaskan bagaimana logos bisa berasal "dari bahan yang sama" dengan Tuhan Bapa tanpa menjadi Tuhan kedua. Pada tahun 339, Marcellus, Uskup Ankira—teman setia dan kolega Athanasius, yang bahkan pernah ikut ke pengasingan bersamanya suatu kali—berpendapat bahwa logos tidak mungkin merupakan sebuah wujud suci yang abadi. la hanyalah sebuah kualitas atau potensi yang inheren di dalam Tuhan: secara apa adanya, rumusan Nicene dapat dituduh sebagai triteisme, kepercayaan bahwa ada tiga tuhan: Tuhan Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Sebagai pengganti homoousion yang kontroversial, Marcellus mengusulkan istilah yang kompromistis, yaitu homoiousion, dari hakikat yang sama atau serupa. Perdebatan yang berliku-liku ini sering menjadi bahan olok-olok, terutama oleh Gibbon, yang merasa adalah tak masuk akal jika kesatuan Kristen mesti terancam hanya oleh sebuah diftong. Akan tetapi, yang menarik adalah kegigihan yang terus dipertahankan oleh orang Kristen terhadap perasaan mereka bahwa keilahian Yesus merupakan hal yang esensial, meski sangat sulit untuk merumuskannya dalam terma-terma yang konseptual. Seperti Marcellus, banyak orang Kristen merasa terusik oleh ancaman terhadap kesatuan ilahi. Marcellus kelihatannya percaya bahwa logos hanyalah sebuah fase sementara: ia muncul dari Tuhan pada saat penciptaan, berinkarnasi dalam diri Yesus dan, ketika penebusan telah sempurna, ia akan kembali larut ke dalam alam suci. Dengan demikian, Tuhan Yang Esa tetap mencakup segalanya. Akhirnya, Athanasius mampu meyakinkan Marcellus dan para pengikutnya bahwa mereka mesti menggalang kekuatan, karena mereka memiliki lebih banyak kesamaan dibanding dengan sekte Arius. Dengan demikian, siapa yang mengatakan bahwa logos berhakikat sama dengan Tuhan Bapa dan yang mengatakan bahwa ia berhakikat mirip dengan Tuhan Bapa adalah "bersaudara, yang memaksudkan apa yang kita maksudkan dan hanya berselisih dalam soal terminologi."12 Yang jadi prioritas seharusnya adalah menentang Arius, yang menyatakan bahwa sang Putra secara keseluruhan berbeda dari Tuhan dan secara mendasar memiliki hakikat yang berbeda. Bagi orang luar, tak pelak lagi bahwa argumen-argumen teologis semacam ini tampak hanya membuang-buang waktu saja: toh tak ada pihak yang mungkin memberi bukti secara definitif, dengan 161 Sejarah Tuhan cara apa pun, dan perselisihan itu sendiri justru terbukti telah memecah belah. Akan tetapi, bagi orang yang terlibat di dalamnya, ini bukanlah perdebatan yang kering, tetapi menyangkut esensi pengalaman Kristen. Arius, Athanasius, dan Marcellus yakin bahwa sesuatu yang baru telah menyusup ke dunia bersama Yesus, dan mereka berupaya untuk mengartikulasikan pengalaman ini ke dalam simbol-simbol konseptual untuk menjelaskannya kepada diri mereka sendiri dan kepada orang lain. Kata-kata itu sendiri hanya mungkin bersifat simbolik, sebab realitas yang ingin mereka tunjukkan memang tak terucapkan. Namun sayangnya, sebuah intoleransi dogmatik telah merayap ke dalam agama Kristen, yang akhirnya menetapkan pengadopsian simbol-simbol yang "benar" atau ortodoks sebagai sesuatu yang penting dan wajib. Obsesi doktrinal ini, yang khas bagi Kristen, dapat dengan mudah menggiring kepada pencampuradukan simbol manusia dengan realitas ilahi. Kristen telah senantiasa merupakan sebuah keimanan yang bersifat paradoks: pengalaman keagamaan generasi awal Kristen yang kuat telah mengalahkan keberatan ideologis mereka terhadap skandal seorang Mesias yang disalib. Kini di Nicaea, Gereja telah memilih paradoks Inkarnasi, meskipun dengan ketidaksesuaiannya yang terang-terangan dengan monoteisme. Dalam karyanya yang berjudul Life of Anthony, tentang seorang asketik padang pasir yang masyhur, Athanasius berusaha memperlihatkan bagaimana doktrin barunya akan berpengaruh terhadap spiritualitas Kristen. Antonius, yang dikenal sebagai bapak monastisisme, telah menjalani kehidupan yang penuh kesusahan di padang sahara Mesir. Dalam The Sayings of The Fathers, sebuah antologi anonim tentang ujar-ujar para pendeta padang pasir, dia ditampilkan sebagai manusia biasa yang rentan, terusik juga oleh rasa bosan, ikut menderita karena problem-problem kemanusiaan, dan memberikan nasihat langsung yang sederhana. Akan tetapi, dalam biografinya, Athanasius menghadirkan Antonius dengan cara yang sepenuhnya berbeda. Misalnya, dia berubah menjadi tokoh yang sangat keras menentang Arianisme; dia telah mulai mencicipi pengangkatannya ke status ilahiah di masa depan, karena berhasil meraih apatheia ilahi hingga tingkat yang cukup tinggi. Tatkala, misalnya, dia bangkit dari pusara tempat dia menghabiskan waktu selama dua puluh tahun untuk bertarung melawan setan-setan, Athanasius mengatakan bahwa tubuh Antonius tidak memperlihatkan tanda-tanda menua. Dia adalah seorang Kristen yang sempurna, yang ketenangannya telah membedakannya 162 Trinitas: Tuhan Kristen dari manusia lain: "jiwanya tak terusik, dan dengan demikian penampilan luarnya tampak damai."13 Dia telah dengan sempurna meneladani Kristus: seperti logos yang telah mendaging, turun ke dunia fana dan memerangi kekuatan jahat, Antonius pun turun ke tempattempat hunian setan. Athanasius tak pernah menyebutkan kontemplasi, yang oleh kaum Platonis Kristen, seperti Clement atau Origen dianggap sebagai sarana menuju ketuhanan dan pensucian. Makhluk yang tak abadi tidak lagi dipandang mungkin untuk naik ke hadirat Tuhan melalui kontemplasi dengan menggunakan kekuatan alamiah mereka sendiri. Alih-alih, orang Kristen harus meniru turunnya Firman yang mendaging ke dalam alam material yang fana. Akan tetapi, orang-orang Kristen masih kebingungan: Jika hanya ada satu Tuhan, bagaimana bisa logos itu juga menjadi tuhan? Akhirnya tiga teolog terkemuka dari Kapadokia di Turki Timur muncul dengan sebuah solusi yang memuaskan bagi Gereja Ortodoks Timur. Mereka adalah Basil, Uskup Caesarea (kl. 329-79), adiknya Gregory, Uskup Nyssa (335-95), dan sahabatnya Gregory dari Nazianzus (329-91). Kapadokian, begitu mereka sering disebut, adalah orang-orang yang sangat spiritualis. Mereka sangat gandrung akan spekulasi dan filsafat, namun berkeyakinan bahwa hanya pengalaman keagamaanlah yang mampu memberikan kunci pemecahan atas persoalan-persoalan ketuhanan. Dengan latar belakang filsafat Yunani yang kuat, mereka semua sadar akan perbedaan penting antara kandungan kebenaran faktual dengan aspek-aspeknya yang lebih sukar dipahami. Kaum rasionalis Yunani terdahulu telah memberi perhatian kepada persoalan ini: Plato telah mempertentangkan filsafat (yang diungkapkan lewat istilah-istilah logika dan dengan demikian dapat dibuktikan) dengan ajaran-ajaran yang tak kalah pentingnya yang diwarisi melalui mitologi, yang mengelak dari pembuktian ilmiah. Kita telah menyaksikan bahwa Aristoteles telah membuat pembedaan serupa ketika mengatakan bahwa orang-orang mendatangi misteri agama-agama bukan untuk mempelajari (matbein) sesuatu, melainkan untuk mengalami (pathein) sesuatu. Basil mengungkapkan pandangan yang sama dalam pengertian Kristiani ketika dia membedakan antara dogma dan kerygma. Kedua ajaran Kristiani ini esensial bagi agama. Kerygma adalah pengajaran umum Gereja yang didasarkan pada kitab suci, tetapi dogma mewakili makna kebenaran biblikal yang lebih dalam, yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman keagamaan dan diungkapkan dalam bentuk simbolik. Di samping pesan-pesan Injil 163 Sejarah Tuhan yang jelas, terdapat tradisi rahasia dan esoterik yang diwarisi "dalam sebuah misteri" dari para rasul; ini merupakan "pengajaran yang pribadi dan rahasia," yang telah diabadikan bapa-bapa suci kita dalam keheningan yang menjauhkan kecemasan dan keingintahuan... agar dengan keheningan ini karakter suci misteri itu tetap terjaga. Orang awam tidak diizinkan untuk berpegang pada hal-hal semacam ini: maknanya tidak boleh diungkap dengan cara menuliskannya.14 Di balik simbol-simbol liturgikal dan ajaran-ajaran Yesus yang jelas, terdapat dogma rahasia yang ditujukan bagi tingkat pemahaman iman yang lebih lanjut. Pembedaan antara kebenaran esoterik dan eksoterik merupakan hal yang sangat penting dalam sejarah Tuhan. Ini tidak terbatas kepada Kristen Yunani, orang Yahudi dan Muslim juga mengembangkan tradisi esoterik. Gagasan tentang adanya doktrin "rahasia" tidak dimaksudkan untuk memilah-milah orang. Basil tidaklah berbicara tentang bentuk awal Freemansory. Dia sekadar mengetengahkan imbauan untuk memusatkan perhatian kepada fakta bahwa tidak semua kebenaran agama bisa diungkapkan dan didefinisikan dengan jelas dan logis. Beberapa ajaran agama memiliki resonansi batin yang hanya mungkin dipahami oleh setiap individu pada waktunya masing-masing ketika melakukan apa yang oleh Plato disebut theoria, kontemplasi. Karena semua agama diarahkan kepada realitas tak terucapkan yang melampaui konsep dan kategori rasional, maka ucapan pun jadi membatasi dan membingungkan. Jika mereka tidak "melihat" kebenaran ini dengan mata batin, orang yang belum sangat berpengalaman bisa jadi akan memperoleh gagasan yang keliru. Oleh karena itu, di samping makna harfiahnya, kitab suci juga memiliki signifikansi spiritual yang tidak selalu mungkin diartikulasikan. Buddha juga telah menyatakan bahwa ada pertanyaan yang "tidak memadai" dan tidak layak buat dijawab, karena pertanyaan itu merujuk kepada realitas yang berada di luar jangkauan kata-kata. Anda hanya dapat menemukannya dengan menjalani teknik kontemplasi introspektif: dalam pengertian tertentu Anda harus menciptakannya bagi diri Anda sendiri. Upaya menggambarkannya dalam kata-kata akan tak kurang sulitnya dengan uraian verbal atas salah satu kuartet terakhir Beethoven. Sebagaimana dikatakan Basil, realitas keagamaan yang licin ini hanya 164 Trinitas: Tuhan Kristen mungkin didekati dengan isyarat liturgi yang simbolik atau, akan lebih baik, dengan diam.15 Kristen Barat akan menjadi sebuah agama sangat riuh berbicara dan memusatkan diri pada kerygma:. ini akan menjadi salah satu masalah terbesarnya dalam soal ketuhanan. Akan tetapi, dalam Gereja Ortodoks Yunani, semua teologi yang baik akan mengambil sikap diam atau apofatik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gregory dari Nyssa, setiap konsep tentang Tuhan hanyalah sebuah simulakrum, kemiripan yang menyesatkan, sebuah berhala: ia tak bisa mengungkapkan Tuhan itu sendiri.16 Orang Kristen harus menjadi seperti Abraham, yang, dalam sejarah hidupnya versi Gregory, menyingkirkan semua gagasan tentang Tuhan dan berpegang teguh pada sebuah keimanan yang "murni dan tidak bercampur dengan konsep apa pun."17 Dalam Life of Moses, Gregory menekankan bahwa "visi sejati dan pengetahuan tentang apa yang kita cari justru terdapat pada sikap tidak melihat, dalam kesadaran bahwa tujuan kita melampaui semua pengetahuan dan terpisah dari kita oleh kegelapan ketidaktahuan." 18 Kita tak dapat "melihat" Tuhan secara intelektual, namun seandainya kita membiarkan diri kita terbungkus dalam kabut yang pernah turun di Gunung Sinai, kita akan merasakan kehadirannya. Basil menggunakan perbedaan yang telah dibuat oleh Philo antara esensi (ousia) dan aktivitas (energeiai) Tuhan di dunia: "Kita mengenal Tuhan kita hanya melalui perbuatannya (energeiai), tetapi kita tak berdaya untuk mendekati esensinya."19 Inilah kata kunci dari semua teologi masa depan di Gereja Timur. Kapadokian juga ingin sekali untuk mengembangkan ajaran tentang Roh Kudus, yang mereka rasakan tidak ditelaah secara sungguh-sungguh di Nicaea: "Dan kami beriman kepada Roh Kudus" kelihatannya hanya ditambahkan begitu saja kepada kredo Athanasius. Orang-orang kebingungan tentang Roh Kudus. Apakah ia bersinonim dengan Tuhan atau merupakan sesuatu yang lebih? "Ada yang memahami [Roh itu] sebagai sebuah aktivitas," ujar Gregory dari Nazianzus, "ada pula sebagai makhluk, sebagai Tuhan, dan sebagian lagi tak yakin harus menyebutnya apa."20 Paulus berbicara tentang Roh Kudus sebagai upaya pembaruan, penciptaan, dan penyucian, tetapi aktivitas-aktivitas ini hanya mungkin dikerjakan oleh Tuhan. Oleh karena itu, akibatnya, Roh Kudus, yang kehadirannya di dalam diri kita dipandang sebagai penyelamat kita, pastilah ilahiah dan bukan sekadar makhluk ciptaan. Kapadokian menggunakan rumusan 165 Sejarah Tuhan yang pernah dipakai Athanasius dalam perselisihannya dengan Arius: Tuhan memiliki satu esensi (ousia) yang tak dapat kita pahami— tetapi tiga bentuk ekspresi (hypostases) yang membuat dia diketahui. Alih-alih mengawali penjelasan mereka tentang Tuhan dengan ousia-nya yang tak dapat dikenali, Kapadokian memulai dengan pengalaman manusia tentang hypostases Tuhan. Karena ousia Tuhan itu tak terpahamkan, maka kita hanya dapat mengenalnya melalui manifestasi-manifestasi yang telah diwahyukan kepada kita sebagai Bapa, Putra, dan Roh. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Kapadokian percaya kepada tiga wujud ilahi, sebagaimana dibayangkan oleh para teolog Barat. Kata hypostasis membingungkan bagi kebanyakan orang yang tidak mengenal bahasa Yunani, karena kata itu memiliki banyak makna: sebagian sarjana Latin, seperti St. Jerome percaya bahwa kata hypostasis memiliki arti yang sama dengan ousia dan berpikir bahwa orang-orang Yunani mempercayai adanya tiga esensi ilahi. Namun, Kapadokian menegaskan ada satu perbedaan penting antara ousia dengan hypostasis yang harus betul-betul diingat. Ousia sebuah objek adalah yang menjadikan objek itu sebagaimana adanya; ousia biasanya diterapkan pada objek sebagaimana adanya di dalam dirinya sendiri. Sedangkan hypostasis dipakai untuk mengungkapkan suatu objek dilihat dari luar. Kadangkala, Kapadokian suka menggunakan kata prosopon untuk menggantikan hypostasis. Prosopon pada dasarnya berarti "daya", tetapi juga telah mendapatkan sejumlah arti sekunder sehingga ia juga dipakai untuk merujuk kepada ekspresi wajah seseorang yang mencerminkan keadaan pikirannya, juga untuk sebuah peran yang secara sadar diadopsinya atau karakter yang diniatkan untuk dijalaninya. Akibatnya, tidak berbeda dengan hypostasis, prosopon berarti ekspresi luar watak batin seorang individu sebagaimana tampak oleh orang lain. Jadi, ketika Kapadokian berkata bahwa Tuhan adalah satu ousia dalam tiga hypostasis, sesungguhnya yang mereka maksudkan adalah Tuhan dalam dirinya sendiri itu Satu: hanya ada satu kesadaran-diri ilahi. Akan tetapi, ketika dia membiarkan bagian dari dirinya diketahui oleh makhluknya, dia adalah tiga prosopoi. Dengan demikian, hypostases Bapa, Putra, dan Roh tidak mesti disamakan dengan Tuhan itu sendiri, karena, seperti dijelaskan oleh Gregory dari Nyssa, "hakikat ilahi (ousia) tak dapat dinamai dan dibicarakan"; "Bapa", "Putra", dan "Roh" hanyalah "istilah-istilah yang kita pakai" untuk membicarakan energeiai yang melaluinya Tuhan 166 Trinitas: Tuhan Kristen menjadikan dirinya diketahui.21 Sungguhpun demikian, istilah-istilah ini memiliki nilai simbolik karena mereka menerjemahkan realitas yang tak terucap itu ke dalam citra-citra yang dapat kita mengerti. Manusia telah mengalami Tuhan sebagai yang transenden (Bapa, tersembunyi di dalam cahaya yang tak tertembus), dan sebagai yang kreatif (logos), dan sebagai yang imanen (Roh Kudus). Namun ketiga hypostases ini hanyalah kilasan parsial dan tak lengkap dari hakikat ilahi itu sendiri, yang berada jauh di atas penggambaran dan konseptualisasi seperti ini.22 Dengan demikian, Trinitas tidak boleh dilihat sebagai fakta harfiah, melainkan sebagai suatu paradigma yang bersesuaian dengan fakta-fakta real yang tersembunyi dalam Tuhan. Dalam suratnya To Alabius: That There Are Not Three Gods, Gregory dari Nyssa menguraikan garis besar doktrin pentingnya tentang ketakterpisahan atau koinherensi ketiga oknum ilahiah atau hypostases. Orang tak mesti mengira bahwa Tuhan membelah dirinya ke dalam tiga bagian; itu adalah gagasan yang berlebihan dan menghujat. Tuhan mengungkapkan dirinya secara penuh dan utuh dalam masing-masing dari ketiga manifestasi ini ketika dia ingin mewahyukan dirinya kepada dunia. Dengan demikian, Trinitas memberi kita petunjuk tentang pola "setiap perbuatan yang berasal dari Tuhan menuju ke tatanan makhluk": seperti yang ditunjukkan oleh kitab suci, segalanya berawal dari Bapa, berproses melalui bantuan Putra, dan menjadi efektif di dunia karena adanya Roh yang imanen. Akan tetapi, Tuhan tetap hadir dalam setiap fase perbuatan. Dalam pengalaman kita sendiri, kita dapat melihat kesalingtergantungan antara ketiga hypostases: kita takkan pernah mengenal Bapa sekiranya tak ada wahyu kepada Putra, demikian pula kita takkan pernah mengenal Putra jika tak ada Roh yang membuat kita mengenalnya. Roh mendampingi Firman suci Bapa, tak bedanya dengan napas (dalam bahasa Yunani pneuma; bahasa Latin spiritus) mendampingi kata-kata yang diucapkan seorang manusia. Ketiga oknum ini tidak berada secara terpisah di alam suci. Kita dapat membandingkan mereka dengan keberadaan berbagai bidang ilmu yang berbeda di dalam pikiran seseorang: filsafat boleh saja berbeda dari ilmu kedokteran, tetapi ia tidak mendiami sebuah kawasan kesadaran yang terpisah. Ilmu-ilmu yang berbeda saling melingkupi satu sama lain, mengisi seluruh pikiran namun tetap berbeda.23 Akan tetapi, pada akhirnya, Trinitas hanya bisa dipahami sebagai sebuah pengalaman mistik atau spiritual: ia harus dialami, bukan 167 Sejarah Tuhan dipikirkan, karena Tuhan berada jauh di luar jangkauan konsep manusia. la bukanlah sebuah rumusan logis atau intelektual, melainkan sebuah paradigma imajinatif yang membungkam akal. Gregory dari Nazianzus membuat hal ini menjadi jelas ketika dia memaparkan bahwa kontemplasi tentang Tiga dalam Satu membangkitkan emosi yang hebat dan memukau yang membungkam pikiran dan kejernihan intelektual. Begitu aku memikirkan tentang yang Satu, aku dicerahkan oleh kesemarakan yang Tiga; begitu aku membedakan yang Tiga maka aku segera dibawa kembali kepada yang Satu. Ketika aku memikirkan salah satu dari yang Tiga, aku memikirkannya sebagai keseluruhan, dan mataku penuh, dan bagian yang lebih besar dari apa yang kupikirkan terluput dariku.24 Orang Kristen Ortodoks Yunani dan Rusia selalu menemukan bahwa kontemplasi tentang Trinitas merupakan sebuah pengalaman keagamaan yang penuh ilham. Akan tetapi, bagi kebanyakan kaum Kristen Barat, Trinitas justru membingungkan. Ini barangkali karena mereka hanya memperhatikan apa yang oleh Kapadokian disebut sebagai kualitas-kualitas kerygmatik, sementara bagi orang Yunani itu merupakan kebenaran dogmatik yang hanya bisa dicerap secara intuitif dan sebagai hasil pengalaman keagamaan. Secara logis, tentu saja, itu sama sekali tidak bermakna. Dalam sebuah khotbahnya, Gregory dari Nazianzus pernah menjelaskan bahwa ketidakmungkinan memahami dogma Trinitas membawa kita berhadapan dengan misteri ketuhanan yang mutlak; ini mengingatkan bahwa kita tak mesti berharap untuk memahaminya.23 Ini juga mencegah kita dari menciptakan pernyataan-pernyataan sembarangan mengenai Tuhan yang, ketika dia mengungkapkan diri, hanya bisa tertuangkan dalam caracara yang tak terucapkan. Basil juga memperingatkan kita untuk tidak membayangkan bahwa kita bisa mengetahui cara kerja Trinitas, katakanlah begitu; tak ada gunanya, misalnya, berusaha memecahkan teka-teki bagaimana ketiga hypostases Tuhan Tertinggi pada saat yang sama adalah identik dan berbeda. Ini berada di luar jangkauan katakata, konsep, dan daya analisis manusia.26 Dengan demikian, Trinitas tidak boleh diinterpretasikan secara harfiah; ia bukanlah sebuah "teori" yang musykil tetapi hasil dari theoria, kontemplasi. Ketika orang Kristen di Barat menjadi gusar 168 Trinitas: Tuhan Kristen oleh dogma ini pada abad kedelapan dan mencoba untuk mencampakkannya, mereka berupaya agar Tuhan dapat dipahami secara rasional bagi Zaman Akal. Ini adalah salah satu faktor pemicu timbulnya teologi Kematian Tuhan pada abad kesembilan belas dan kedua puluh, seperti yang akan kita saksikan nanti. Salah satu alasan mengapa Kapadokian mengembangkan paradigma imajinatif ini adalah untuk mencegah agar Tuhan tidak dikonsepsikan lewat cara yang sama rasionalnya dengan filsafat Yunani, sebagaimana dipahami oleh pembid'ah semacam Arius. Teologi Arius itu agak terlalu gamblang dan logis. Trinitas mengingatkan orang-orang Kristen bahwa realitas yang kita sebut "Tuhan" tak dapat dipahami oleh akal manusia. Doktrin Inkarnasi, seperti diekspresikan di Nicaea, memang penting, namun dapat mengarah kepada keberhalaan yang simplistik. Orang mungkin mulai berpikir tentang Tuhan lewat cara yang terlalu manusiawi: bahkan mungkin pula membayangkan "dia" berpikir, berperilaku, dan berencana seperti kita. Dari sana, hanya tersisa sebuah langkah kecil menuju ke arah penisbahan semua bentuk pendapat yang penuh prasangka kepada Tuhan dan kemudian memutlakkannya. Trinitas merupakan upaya untuk mengoreksi kecenderungan ini. Alih-alih memandangnya sebagai pemyataan faktual tentang Tuhan, Trinitas mungkin harus dilihat sebagai sebuah puisi atau tarian teologis antara apa yang dipercayai dan diterima oleh manusia fana tentang "Tuhan" dengan kesadaran bahwa setiap pernyataan atau kerygma pasti bersifat sementara. Perbedaan penggunaan kata "teori" di Yunani dan Barat dapat menjelaskan sesuatu. Bagi Kristen Timur, theoria selalu mengandung arti kontemplasi. Di Barat, "theory' diartikan sebagai hipotesis rasional yang harus dibuktikan secara logis. Mengembangkan sebuah "teori" tentang Tuhan menyiratkan arti bahwa "dia" bisa dimuat di dalam sistem pemikiran manusia. Hanya ada tiga teolog Latin di Nicaea. Kebanyakan orang Kristen Barat belum mencapai tingkatan diskusi semacam ini dan, karena mereka tidak memahami beberapa terminologi Yunani, banyak yang merasa tidak puas dengan doktrin Trinitas. Mungkin istilah itu tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan ke dalam idiom lain. Setiap budaya memang mesti menciptakan gagasannya sendiri tentang Tuhan. Jika Barat merasa asing dengan interpretasi Yunani tentang Trinitas, mereka harus menciptakan versi mereka sendiri. 169 Sejarah Tuhan Teolog Latin yang mendefinisikan Trinitas bagi Gereja Latin adalah Agustinus. Dia juga merupakan seorang Platonis yang fanatik, setia kepada pandangan Plotinus dan, karena itu, cenderung lebih simpatik kepada doktrin Yunani daripada kepada beberapa kolega Baratnya. Seperti yang dijelaskannya, kesalahpahaman sering diakibatkan oleh terminologi semata: Demi menjelaskan hal-hal tak terucapkan sehingga kita mampu dengan cara tertentu mengungkapkan apa yang tidak bisa kita ungkapkan sepenuhnya dengan cara lain, kawan-kawan Yunani kita telah berbicara tentang satu esensi dan tiga substansi, tetapi kawan-kawan Latin bicara tentang satu esensi atau substansi dan tiga oknum (personae).27 Ketika orang Yunani mendekati Tuhan dengan cara mempertimbangkan ketiga hypostases, dan menolak untuk menganalisis esensinya yang satu, maka Agustinus dan orang-orang Kristen Barat sesudahnya justru memulai dengan keesaan ilahi dan kemudian berlanjut dengan mendiskusikan tiga manifestasinya. Orang Kristen Yunani menghormati Agustinus, memandangnya sebagai salah satu Patriark Gereja terkemuka, tetapi mereka tidak mempercayai teologi Trinitariannya, yang mereka rasa telah menjadikan Tuhan terlalu rasional dan antropomorfis. Pendekatan Agustinus tidaklah bersifat metafisik, seperti halnya orang-orang Yunani, tetapi psikologis dan bahkan sangat personal. Agustinus bisa disebut sebagai pendiri spiritualitas Barat. Tak ada teolog lain, kecuali Paulus, yang lebih berpengaruh di Barat. Kita mengenalnya dengan lebih baik dibanding pemikir lain di akhir abad klasik, sebagian besar karena bukunya Confessions, sebuah paparan yang fasih dan hangat tentang usahanya menemukan Tuhan. Sejak awal, Agustinus telah mencari sebuah agama yang bercorak teistik. Dia memandang Tuhan sangat esensial bagi kemanusiaan: "Engkau telah menciptakan kami untuk dirimu sendiri," demikian dia berkata tentang Tuhan pada pembukaan Confessions, "dan jiwajiwa kami gelisah hingga bertemu denganmu!"28 Ketika mengajar retorika di Kartage, dia pindah menganut Manicheisme, sebuah bentuk Gnostisisme Mesopotamia, tetapi akhirnya dia meninggalkan paham itu karena teori kosmologinya yang tak memuaskan. Dia merasa doktrin Inkarnasi merupakan penyimpangan, pelecehan ide tentang Tuhan, tetapi ketika berada di Italia, Uskup Ambrose dari Milan 170 Trinitas: Tuhan Kristen mampu meyakinkan dirinya bahwa Kristen bukannya tidak sejalan dengan Plato atau Plotinus. Meskipun demikian, Agustinus masih berkeberatan untuk mengambil langkah akhir dan menerima baptisme. Dia merasakan bahwa baginya Kristen mengakibatkan wajibnya kehidupan membujang dan dia enggan menempuh jalan seperti itu: "Tuhan, berilah aku kesucian," demikian dia pernah berdoa, "tetapi jangan dulu."29 Konversinya yang terakhir merupakan sebuah peristiwa Sturm und Drang, penuh gejolak, ketercerabutan keras dari masa lalunya dan kelahiran kembali yang menyakitkan, seperti yang mencirikan pengalaman keagamaan Barat. Suatu hari, ketika tengah duduk bersama sahabatnya Alypius di kebun mereka di Milan, sebuah pertarungan berkecamuk di dalam pikiran: Dari kedalaman introspeksi diri yang gelap telah bangkit tumpukan seluruh nestapaku dan menempatkannya "dalam penglihatan hatiku". la membangkitkan badai besar yang membawa banjir air mata. Untuk menumpahkan semuanya diiringi desah kesedihan, aku bangkit dari sisi Alypius (menyendiri tampak lebih pantas untuk meneteskan air mata) ... lalu kusandarkan diri di bawah pohon ara dan membiarkan air mataku mengalir bebas. Sungai-sungai seakan menderas dari kedua mataku, sebuah pengurbanan yang mungkin dapat engkau terima, dan—meskipun bukan dalam kata-kata ini, tetapi setidaknya dalam pengertian ini—aku berulang-ulang berkata kepadamu, "Berapa lama, Tuhan, berapa lama lagi Engkau akan begitu murka?" (Mazmur 6:4).30 Tuhan tidak selalu datang dengan mudah kepada orang Barat. Konversi Agustinus tampak seperti sebuah reaksi psikologis, yang setelahnya si mualaf jatuh kelelahan di pangkuan Tuhan, semua hasrat telah sampai. Ketika Agustinus bersimpuh menangis di tanah, tiba-tiba dia mendengar suara anak kecil dari rumah terdekat menyenandungkan bait "Tolle, lege: Bangkit dan bacalah, bangkit dan bacalah!" Menganggap ini sebagai sebuah nubuat, Agustinus berdiri dan bergegas kembali ke sahabatnya Alypius yang terkaget dan lama menanti, dan langsung mengambil Kitab Perjanjian Barunya. Dia membukanya pada sabda Paulus kepada orang Romawi: "Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati, tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata perang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya." Pertarungan 171 Sejarah Tuhan panjang itu telah usai: "Aku tak mengharap maupun perlu membaca lebih lanjut," kenang Agustinus. "Segera, setelah kata-kata terakhir dari kalimat ini, seolah-olah cahaya pembasuh seluruh kecemasan membanjiri hatiku. Semua bayang-bayang keraguan menjadi sirna."31 Tuhan bisa juga menjadi sumber kebahagiaan: tetapi, tak lama berselang sejak konversinya, suatu malam Agustinus mengalami ekstasi bersama ibunya, Monica, di Ostia di dekat Sungai Tiber. Kita akan mendiskusikan ini secara lebih terperinci pada Bab 7. Sebagai seorang Platonis, Agustinus menyadari bahwa Tuhan dapat ditemukan di dalam pikiran, dan di dalam Buku X dari Confessions, dia mendiskusikan fakultas yang disebutnya Memoria, memori. Ini jauh lebih kompleks daripada daya ingat dan lebih dekat kepada apa yang oleh para psikolog disebut alam bawah sadar. Bagi Agustinus, memori mewakili keseluruhan pikiran, kesadaran, dan juga ketidaksadaran. Kompleksitas dan keragamannya memenuhi dirinya dengan kekaguman. Ini adalah "misteri yang mengilhami ketakjuban", dunia imaji yang tak dapat dibayangkan, menghadirkan masa lalu dan tak terhitung dataran, relung, dan gua.32 Melalui dunia batin yang ramai inilah Agustinus turun untuk menemukan Tuhannya, yang secara paradoks berada di dalam dan di atas dirinya. Tak ada gunanya mencari bukti tuhan di dunia luar. Dia hanya bisa ditemukan di dalam alam pikiran yang real: Terlambat aku mencintaimu, keindahan yang begitu lama namun begitu baru; terlambat aku mencintaimu. Dan lihat, engkau ada di dalam, aku berada di dunia luar dan mencarimu di sana, dan dalam keadaan tidak mencintaimu aku tenggelam dalam ciptaan indah yang telah engkau buat. Engkau bersamaku, dan aku tidak bersamamu. Segala yang indah telah menjauhkan aku darimu, padahal jika mereka tidak memiliki eksistensinya di dalam engkau, mereka takkan pernah ada sama sekali.33 Oleh karena itu, Tuhan bukanlah sebuah realitas objektif, melainkan suatu kehadiran spiritual di kedalaman batin yang kompleks. Pandangan Agustinus ini tidak saja sama dengan Plato dan Plotinus, tetapi juga dengan para penganut Buddha, Hindu, dan Shaman dalam agama-agama nonteistik. Sungguhpun demikian, Tuhan dalam pandangannya bukanlah Tuhan yang impersonal, tetapi Tuhan yang sangat personal dari tradisi Yahudi-Kristen. Tuhan telah berkenan memaklumi kelemahan manusia dan pergi mencarinya: 172 Trinitas: Tuhan Kristen Engkau memanggil, berteriak keras, dan memecah kesunyianku. Engkau bersinar dan gemerlap, kau sirnakan kebutaanku. Engkau semerbak, kuhirup dalam napasku hingga memenuhi rongga dadaku. Kucicipi engkau dan aku makin merasa lapar dan haus akan engkau. Engkau sentuh aku, dan aku terbakar api untuk meraih kedamaian yang adalah milikmu.34 Para teolog Yunani pada umumnya tidak membawa pengalaman mereka sendiri ke dalam tulisan teologis mereka, namun teologi Agustinus justru berangkat dari kisahnya sendiri yang sangat individual. Keterpesonaan Agustinus terhadap pikiran telah membawanya untuk mengembangkan Trinitarianisme psikologisnya sendiri dalam risalah De Trinitate, yang ditulisnya pada tahun-tahun pertama abad kelima. Karena Tuhan telah menciptakan kita di dalam citranya sendiri, maka kita harus mampu melihat trinitas di kedalaman pikiran kita. Alih-alih mengawalinya dengan abstraksi metafisik dan pembedaan verbal yang disenangi orang Yunani, Agustinus memulai eksplorasi ini dengan pengalaman yang sebagian besar kita pernah dapatkan. Ketika mendengar frasa-frasa, seperti "Tuhan adalah cahaya" atau "Tuhan adalah kebenaran," kita secara instingtif merasakan gejolak ketertarikan spiritual dan merasa bahwa "Tuhan" dapat memberi makna dan nilai bagi kehidupan kita. Namun, setelah pencerahan sekejap ini, kita kembali jatuh ke dalam bingkai pikiran kita yang biasa, saat kita terobsesi tentang "hal-hal yang biasa dan membumi."35 Cobalah semampu kita, kita tak bisa meraih kembali momen kerinduan yang tak terucapkan itu. Proses pemikiran normal tak dapat membantu; sebaliknya, kita harus mendengar "apa yang dimaksud oleh hati" dengan frasa-frasa semacam "Dia adalah kebenaran."36 Akan tetapi, mungkinkah mencintai realitas yang tidak kita kenal? Agustinus menjawab dengan membuktikan bahwa karena di dalam pikiran kita sendiri terdapat trinitas yang mencerminkan Tuhan, seperti citra Platonis mana pun, kita rindu pada Arketipe kita—pola dasar yang dengannya kita dibentuk. Jika kita mengawali dengan mempertimbangkan pikiran yang mencintai dirinya sendiri, kita tidak menemukan trinitas melainkan dualitas, yakni cinta dan pikiran. Namun hanya jika pikiran itu sadar tentang dirinya sendiri, melalui apa yang kita sebut kesadaran diri, ia baru bisa mencintai dirinya sendiri. Mendahului Descartes, Agustinus 173 Sejarah Tuhan menyatakan bahwa pengetahuan tentang diri sendiri merupakan pijakan dasar dari semua kepastian yang lain. Bahkan pengalaman tentang keraguan pun membuat kita sadar akan diri sendiri.37 Di dalam jiwa ada tiga macam isi, yaitu: ingatan, pengertian, dan kehendak yang bersesuaian dengan pengetahuan, pengenalan diri, dan cinta. Seperti halnya tiga oknum ilahi, aktivitas-aktivitas mental ini secara esensial adalah satu karena mereka itu tidak membentuk tiga macam pikiran yang terpisah, tetapi masing-masing mengisi keseluruhan pikiran dan mencakup dua yang lain: "Saya ingat bahwa saya mempunyai ingatan, pengertian, dan kehendak; saya mengerti bahwa saya mengerti, berkehendak, dan mengingat. Saya menghendaki kehendak, ingatan, dan pengertian saya sendiri."38 Seperti Trinitas Ilahi yang digambarkan oleh Kapadokian, ketiga unsur itu, dengan demikian, "membentuk satu hidup, satu pikiran, satu esensi."39 Akan tetapi, pemahaman tentang cara kerja pikiran kita ini baru merupakan langkah pertama: trinitas yang kita temukan dalam diri kita bukanlah Tuhan itu sendiri, melainkan jejak dari Tuhan yang telah membuat kita. Baik Athanasius maupun Gregory dari Nyssa telah membuat perumpamaan bayangan cermin untuk menjelaskan kehadiran Tuhan di dalam jiwa manusia, dan untuk memahami ini dengan benar kita mesti mengingat kembali bahwa orang Yunani percaya bahwa bayangan cermin itu nyata, terbentuk ketika cahaya mata seorang pengamat berpadu dengan cahaya yang dipantulkan dari objek dan dicerminkan di atas permukaan kaca.40 Agustinus percaya bahwa trinitas dalam pikiran juga merupakan bayangan yang mencakup kehadiran Tuhan dan diarahkan kepadanya.41 Akan tetapi, bagaimana kita melampaui bayangan ini, yang terpantul seperti pada sebuah cermin gelap, kepada Tuhan sendiri? Besarnya jarak yang membentang antara Tuhan dan manusia tidak bisa ditempuh oleh usaha manusia saja. Hanya karena Tuhan telah mendatangi kita melalui manusia yang menubuhi Firman maka kita bisa memulihkan citra Tuhan di dalam diri kita, yang telah dirusak dan cacat oleh dosa. Kita membuka diri kepada aktivitas ilahi yang akan mentransformasi kita melalui tiga macam disiplin, yang oleh Agustinus disebut trinitas iman: retineo (memegang teguh kebenaran Inkarnasi dalam pikiran kita), contemplatio (melakukan kontemplasi atasnya), dan dilectio (menemukan kesenangan di dalamnya). Secara bertahap, dengan menumbuhkan rasa kehadiran Tuhan secara terus-menerus di dalam pikiran kita melalui cara ini, Trinitas akan terungkap.42 174 Trinitas: Tuhan Kristen Pengetahuan ini bukan sekadar perolehan informasi melalui otak, melainkan merupakan disiplin kreatif yang akan mengubah kita dari dalam dengan cara mengungkapkan dimensi ilahi di kedalaman diri kita sendiri. Masa itu merupakan masa-masa gelap dan susah bagi Barat. Suku-suku barbar menyerbu masuk Eropa dan meruntuhkan kekaisaran Romawi: jatuhnya peradaban Barat tak pelak lagi berpengaruh terhadap spiritualitas Kristen di sana. Ambrose, mentor besar Agustinus, mengajarkan iman yang pada dasarnya bersifat defensif: integritas (keterpaduan) menjadi prinsipnya yang paling penting. Gereja mesti berupaya agar doktrin-doktrinnya tetap utuh dan, seperti halnya tubuh perawan Maria, ia harus tetap tak tertembus oleh doktrindoktrin sesat kaum barbar (banyak di antara mereka menganut Arianisme). Kesedihan mendalam juga terbaca dalam karya terakhir Agustinus: kejatuhan Roma mempengaruhi doktrinnya tentang Dosa Asal, yang akan menjadi sentral bagi cara orang Barat memandang dunia. Agustinus percaya bahwa Tuhan telah menjatuhkan kutukan abadi bagi manusia, hanya karena satu dosa Adam. Dosa warisan ini diteruskan kepada seluruh anak keturunannya melalui tindakan seksual, yang dicemari oleh apa yang disebut Agustinus sebagai "berahi". Berahi adalah hasrat irasional untuk mencari kesenangan pada makhluk semata, bukannya pada Tuhan; ini dirasakan paling kuat dalam tindakan seksual, ketika rasionalitas kita sepenuhnya terbenam oleh gairah dan emosi, tatkala Tuhan terlupakan dan makhlukmakhluk saling cumbu tanpa malu terhadap satu sama lain. Citra tentang akal yang diseret oleh kekacauan sensasi dan gairah liar ini sangat mirip dengan Romawi—sumber rasionalitas, hukum, dan keteraturan di Barat—yang dibawa kepada keruntuhan oleh suku-suku barbar. Akibatnya, doktrin keras Agustinus menorehkan gambaran menakutkan tentang Tuhan yang tak terluluhkan: Terusir [dari surga] setelah membuat dosa, Adam pun membelenggu anak cucunya dengan hukuman kematian dan kutukan, dengan dosa yang telah dibuatnya sendiri, seperti dalam sebuah akar; maka setiap keturunan yang dilahirkan (melalui berahi jasadi, yang karena itulah hukuman atas ketidakpatuhan dijatuhkan kepadanya) darinya dan pasangannya—yang menjadi penyebab perbuatan dosanya dan pendamping keterkutukannya—akan memikul sepanjang masa beban Dosa Asal, yang dengan sendirinya akan terbawa melalui berlipat-lipat 175 Sejarah Tuhan kesalahan dan penyesalan hingga siksaan akhir dan tanpa akhir bersama malaikat-malaikat pembangkang ... Demikianlah keadaannya; manusia yang terkutuk akan jatuh tersungkur, tidak, berguling-guling dalam dosa, melompat dari satu kebumkan ke keburukan lain; dan bergabung dengan kelompok malaikat yang telah berbuat dosa, membayar hukuman paling baik dari pengkhianatannya yang tak terpuji.43 Baik Yahudi maupun Kristen Ortodoks Yunani tidak memandang kejatuhan Adam dalam cara yang demikian suram; kaum Muslim pun tidak mengadopsi teologi yang gelap ini tentang Dosa Asal. Doktrin yang khas Barat ini membentuk potret keras tentang Tuhan yang terlebih dahulu pernah dikemukakan oleh Tertullian. Agustinus meninggalkan bagi kita warisan yang sulit. Sebuah agama yang mengajarkan kaum pria dan wanita untuk memandang kemanusiaan mereka sebagai sesuatu yang sangat lemah secara kronis, justru akan membuat mereka terasing dari diri sendiri. Keterasingan ini paling nyata terlihat dalam kebencian terhadap seksualitas umumnya dan pada perendahan derajat kaum wanita khususnya. Meskipun Kristen yang pada awalnya bersikap cukup positif terhadap perempuan, Barat telah mulai mengembangkan kecenderungan misoginistik sejak era Agustinus. Surat-surat Jerome penuh dengan penghinaan terhadap perempuan yang kadang-kadang terasa mengganggu. Tertullian telah mencela wanita sebagai iblis penggoda, sebuah bahaya abadi bagi umat manusia: Apakah engkau tidak tahu bahwa masing-masing dirimu aclalah seorang Hawa? Kalimat Tuhan tentang jenis ini tetap aktual pada masa sekarang: rasa bersalah itu pun harus tetap ada. Kalian adalah gerbang setan; kalian adalah pelanggar pohon terlarang itu; kalian adalah pembangkang pertama hukum tuhan; kalian adalah penggoda Adam, yang iblis pun tak cukup mampu untuk menaklukkannya. Kalian dengan sembrono telah menghancurkan manusia, citra Tuhan. Akibat pembangkangan- mu, bahkan Putra Tuhan pun harus mati.44 Agustinus setuju: "Apa bedanya," tulisnya kepada seorang rekan, "apakah dia ada dalam wujud seorang istri atau ibu, dia tetap saja Hawa penggoda yang membuat kita mesti waspada terhadap setiap perempuan."45 Sebenarnya, Agustinus sangat heran mengapa Tuhan mesti menciptakan jenis wanita: bukankah, "seandainya yang dibutuhkan Adam adalah teman bercakap-cakap yang baik, akan lebih baik 176 Trinitas: Tuhan Kristen jika yang dirancang adalah dua orang lelaki bersama-sama sebagai sahabat, bukan seorang lelaki dengan seorang perempuan."46 Satusatunya fungsi wanita adalah untuk melahirkan anak yang akan menularkan dosa asal kepada generasi berikutnya, seperti wabah penyakit. Sebuah agama yang bersikap curiga terhadap separo ras manusia dan yang memandang setiap gerak refleks pikiran, hati, dan tubuh sebagai gejala berahi yang fatal hanya akan membuat kaum pria dan wanita merasa asing dengan kondisi mereka. Kristen Barat tidak pernah sepenuhnya sembuh dari misogini neurotik ini, sebagaimana masih terlihat dalam reaksi miring terhadap gagasan tentang kependetaan wanita. Sementara kaum wanita Timur pun ikut memiliki beban inferioritas yang dipikul oleh semua wanita pada peradaban masa kini, saudara-saudara mereka di Barat menanggung stigma tambahan tentang seksualitas yang menjijikkan dan penuh dosa yang menyebabkan mereka tersisihkan dalam kebencian dan ketakutan. Ini adalah ironi ganda, sebab gagasan bahwa Tuhan telah mendaging dan ikut dalam kemanusiaan kita mestinya mendorong orang Kristen untuk menghargai jasad. Ada perdebatan lebih lanjut mengenai keyakinan yang sulit ini. Selama abad keempat dan kelima, "pembid'ah" semacam Apollinarius, Nestorius, dan Eutyches mengajukan pertanyaan yang sangat pelik. Bagaimana keilahian Kristus bisa berpadu dengan kemanusiaannya? Bunda Maria tentu bukanlah ibu Tuhan, tetapi ibu dari manusia Yesus? Bagaimana mungkin Tuhan merupakan bayi yang menangis tidak berdaya? Tidakkah lebih akurat untuk menyatakan bahwa dia ada bersama Kristus dalam kedekatan yang istimewa, seperti di dalam kuil? Meski dengan beberapa inkonsistensi yang nyata, kaum ortodoks tetap bersikukuh dengan senjata mereka. Cyrill, Uskup Aleksandria, mengulangi keyakinan Athanasius: Tuhan benar-benar telah turun ke dunia kita yang cacat dan rusak, juga bahkan telah merasakan kematian dan kefanaan. Tampaknya mustahil untuk mendamaikan ini dengan keyakinan yang sama kukuhnya bahwa Tuhan benar-benar perkasa, tidak dapat menderita atau berubah. Tuhan Yunani yang jauh, yang dicirikan terutama oleh apatheia ilahi, kelihatan sangat berbeda dari Tuhan yang dianggap telah berinkarnasi di dalam Yesus Kristus. Kaum ortodoks merasa bahwa "para pembid'ah", yang memandang gagasan tentang Tuhan yang menderita dan tak berdaya sebagai penghujatan, ingin mengeringkan aspek misteri dan kedahsyatan dari yang ilahi. Paradoks 177 Sejarah Tuhan Inkarnasi tampaknya merupakan penangkal bagi Tuhan Helenik yang tidak melakukan apa-apa untuk membangkitkan kepuasan kita dan yang sepenuhnya dapat dinalar. Pada tahun 529, Kaisar Justinian menutup sekolah filsafat kuno di Atena, benteng terakhir paganisme intelektual. Guru besar terakhirnya adalah Proclus (412-485), murid Plotinus yang paling bersemangat. Filsafat pagan menyurut dan tampak dikalahkan oleh agama baru itu, Kristen. Akan tetapi, empat tahun kemudian muncul empat risalah mistik yang disebut-sebut ditulis oleh Denys dari Aeropagus, orang Atena pertama yang menjadi pengikut Paulus. Sebenarnya, risalah-risalah itu ditulis oleh seorang Kristen Yunani abad keenam yang ingin mempertahankan anonimitasnya. Namun, nama samaran itu memiliki kekuatan simbolik yang lebih penting daripada identitas pengarangnya sendiri: Denys-samaran ini berhasil membaptis pandangan-pandangan Neoplatonisme dan menyandingkan Tuhan Yunani dengan Tuhan Semitik Alkitab. Denys juga merupakan pewaris para patriark Kapadokia. Seperti halnya Basil, dia memandang serius pembedaan antara kerygma dengan dogma. Dalam salah satu suratnya, dia menegaskan bahwa ada dua tradisi teologis, keduanya berasal dari para nabi. Injil kerygmatik sudah jelas dan diketahui; injil dogmatik bersifat tertutup dan mistik. Namun, keduanya saling tergantung dan esensial bagi keyakinan Kristen. Yang satu merupakan "permulaan simbolik dan bersyarat", yang lainnya "bersifat filosofis dan bisa dibuktikan—dan yang tak terucap terjalin dengan apa yang terucapkan."47 Kerygma menarik perhatian karena kebenarannya yang nyata dan jelas, tetapi tradisi dogma yang diam atau tersembunyi merupakan misteri yang memerlukan inisiasi: "la mempengaruhi dan memantapkan jiwa bersama Tuhan melalui inisiasi yang tidak mengajarkan apa-apa,"48 demikian Denys menegaskan dengan kata-kata yang mengingatkan orang kembali kepada Aristoteles. Ada kebenaran agama yang tidak dapat diungkapkan secara memadai oleh kata-kata, oleh wacana rasional atau logis. la hanya bisa diungkapkan secara simbolik, melalui bahasa dan isyarat-isyarat liturgi, atau melalui doktrin yang merupakan "tiraitirai suci" yang menyembunyikan makna tak terlukiskan dari penglihatan, tetapi juga menyesuaikan Tuhan yang misterius dengan keterbatasan manusia dan mengungkapkan Realitas dalam istilah-istilah yang bisa dipahami secara imajinatif, jika tidak secara konseptual.49 178 Trinitas: Tuhan Kristen Makna tersembunyi atau esoterik bukan ditujukan bagi kalangan elit saja, tetapi untuk semua umat Kristen. Denys tidak mengajukan sebuah disiplin musykil yang hanya cocok bagi para pendeta dan rahib saja. Liturgi, yang dilaksanakan semua yang mengimaninya, merupakan jalan utama menuju Tuhan dan mendominasi teologinya. Alasan mengapa kebenaran-kebenaran ini disembunyikan di belakang sebuah tabir pelindung bukanlah untuk menjauhkan manusia, melainkan untuk menaikkan seluruh orang Kristen dari persepsi indriawi dan konsep-konsep ke taraf realitas Tuhan yang tak terungkapkan itu sendiri. Kerendahan hati yang telah mengilhami Kapadokian untuk mengklaim bahwa semua teologi pastilah mengandung kelemahan, bagi Denys justru menjadi sebuah cara pasti untuk naik menuju Tuhan. Sebenarnya, Denys sama sekali tidak menyukai penggunaan istilah "Tuhan"—mungkin karena istilah itu telah memperoleh begitu banyak konotasi antropomorfis yang tak layak. Dia lebih suka menggunakan istilah theurgy dari Proclus, yang pada dasarnya bersifat liturgis: theurgy di dalam dunia pagan merupakan penyerapan mana ilahi melalui pengurbanan dan penyucian. Denys menerapkan ini kepada ucapan Tuhan yang, bila dipahami dengan baik, juga dapat melepaskan energeiai ilahi yang melekat pada simbol-simbol yang diwahyukan. Dia sependapat dengan Kapadokian bahwa semua kata dan konsep kita untuk Tuhan tidaklah memadai dan tidak boleh diambil sebagai deskripsi akurat tentang realitas yang sebenarnya berada di luar lingkup kita. Bahkan kata "Tuhan" itu sendiri keliru, sebab Tuhan berada "di atas Tuhan," sebuah "misteri yang melampaui wujud."50 Orang Kristen harus menyadari bahwa Tuhan bukanlah Wujud Tertinggi, yang berada pada puncak hierarki di atas wujudwujud lain yang lebih rendah. Benda-benda dan manusia tidak berseberangan dengan Tuhan sebagai realitas yang terpisah atau wujud alternatif, yang bisa menjadi objek pengetahuan. Tuhan bukanlah satu dari sekian hal yang ada dan sama sekali tidak sama dengan segala sesuatu yang ada dalam pengalaman kita. Sebenarnya, adalah lebih akurat untuk menyebut Tuhan sebagai "Tiada": bahkan tidak mesti menyebutnya suatu Trinitas sebab dia "bukanlah kesatuan maupun trinitas dalam pengertian yang kita ketahui."51 Dia berada di atas segala nama sebagaimana halnya dia berada di atas segala wujud.52 Sungguhpun demikian, kita dapat menggunakan ketidakmampuan kita untuk berbicara tentang Tuhan sebagai metode untuk 179 Sejarah Tuhan mencapai kemanunggalan dengannya, yang tidak kurang dari "deifikasi" (theosis) hakikat kita sendiri. Tuhan telah mewahyukan sebagian dari Namanya kepada kita di dalam kitab suci, seperti "Bapa", "Putra", dan "Roh", namun tujuan dari hal ini bukanlah untuk menanamkan informasi tentang dia, melainkan untuk mengantarkan manusia kepadanya dan membuat mereka mampu untuk ikut memiliki sifatnya yang suci. Pada setiap bab dalam risalahnya, The Divine Names, Denys mengawali dengan sebuah kebenaran kerygmatik yang diwahyukan oleh Tuhan: kebaikannya, kebijaksanaannya, perlindungannya, dan sebagainya. Denys kemudian melanjutkan dengan memperlihatkan bahwa meskipun Tuhan telah mewahyukan sesuatu tentang dirinya dalam sifat-sifat semacam itu, apa yang diwahyukan itu bukanlah dirinya sendiri. Jika kita benar-benar ingin memahami Tuhan, kita harus menyangkal sifat-sifat dan nama-nama itu. Jadi kita mesti mengatakan bahwa dia adalah "Tuhan" dan "bukan-Tuhan" sekaligus, "baik" kemudian segera mengatakan bahwa dia "bukan-baik". Kejutan paradoks ini, sebuah proses yang mencakup pengetahuan maupun ketidaktahuan, akan mengangkat kita dari dunia ide-ide yang fana menuju realitas yang tak dapat diungkapkan itu sendiri. Dengan demikian, kita memulai dengan mengatakan bahwa: ada pemahaman, nalar, pengetahuan, sentuhan, persepsi, imajinasi, nama, dan banyak hal lainnya mengenai dia. Akan tetapi, dia tidak bisa dipahami dan tak ada yang dapat diucapkan mengenai dirinya, dia tidak bisa dinamai. Dia bukanlah salah satu dari apa yang ada.53 Oleh karena itu, membaca kitab suci bukanlah sebuah proses menemukan fakta-fakta tentang Tuhan, melainkan mesti menjadi sebuah disiplin paradoksikal yang mengubah kerygma menjadi dogma. Metode ini adalah sebuah theurgy, penyerapan kekuatan ilahi yang memampukan kita naik menuju Tuhan itu sendiri dan, seperti yang selalu diajarkan oleh kaum Platonis, menjadikan diri kita sendiri ilahiah. Ini merupakan metode yang membuat kita berhenti berpikir! "Kita mesti meninggalkan semua konsepsi kita tentang yang ilahi. Kita memberhentikan seluruh aktivitas pikiran kita."54 Kita bahkan mesti meninggalkan pengingkaran kita terhadap sifat-sifat Tuhan. Baru kemudian kita akan mencapai kemanunggalan memabukkan dengan Tuhan. 180 Trinitas: Tuhan Kristen Ketika Denys bercerita tentang kemabukan karena Tuhan, dia tidak merujuk pada keadaan pikiran tertentu atau bentuk kesadaran alternatif yang dicapai melalui latihan Yoga yang tak jelas. Keadaan ini dapat diraih setiap orang Kristen melalui metode doa atau theoria yang paradoksikal, yang akan membuat kita berhenti berbicara dan membawa kita ke dalam keheningan: "Ketika kita masuk ke dalam kegelapan yang berada di luar akal, kita bukan hanya akan kehilangan kata-kata, namun bahkan sama sekali bisu dan tidak mengetahui."55 Seperti Gregory dari Nyssa, Denys menemukan banyak pelajaran dari kisah naiknya Musa ke Gunung Sinai. Ketika Musa telah mendaki gunung itu, dia tidak melihat Tuhan di puncaknya, tetapi dibawa ke tempat di mana Tuhan berada. Dia dikelilingi kabut tebal dan tak dapat melihat apa-apa: jadi segala yang bisa kita lihat atau pahami hanya merupakan simbol (kata yang digunakan pleh Denys adalah "paradigma") yang menyingkapkan kehadiran sebuah realitas yang melampaui semua pemikiran. Musa telah menembus ke dalam gelapnya ketidaktahuan itu dan kemudian mencapai kemanunggalan dengan sesuatu yang melampaui semua pemahaman: kita akan meraih kemabukan serupa yang akan "mengeluarkan kita dari diri kita sendiri" dan menyatukan kita dengan Tuhan. Hal ini hanya mungkin karena Tuhan datang menemui kita, seperti yang terjadi di atas gunung itu. Di sini Denys berbeda dari Neoplatonisme, yang mempersepsikan Tuhan sebagai statis dan jauh, sama sekali tidak responsif terhadap upaya manusia. Tuhan para filosof Yunani tidak sadar akan para mistikus yang acap berusaha untuk mencapai kesatuan yang memabukkan dengannya, sedangkan Tuhan Alkitab peduli kepada manusia. Tuhan juga mengalami "ekstasi" yang membawanya keluar dari dirinya untuk tiba pada alam makhluk yang rentan: Dan kita harus berani menegaskan (karena ini adalah kebenaran) bahwa Pencipta alam ini sendiri, dalam kerinduannya yang indah dan baik terhadap alam ... dibawa keluar dirinya karena kepeduliannya kepada segala sesuatu yang wujud ... dan dengan demikian keluar dari takhtanya yang transenden di atas segala sesuatu untuk berdiam di dalam hati segala sesuatu, melalui kekuatan ekstatik yang ada di atas wujud sambil tetap berada dalam dirinya sendiri.56 181 Sejarah Tuhan Emanasi telah menjadi pencurahan cinta yang hangat dan sukarela, bukan sebuah proses yang automatis. Negasi dan paradoks Denys bukanlah sesuatu yang kita lakukan, tetapi merupakan sesuatu yang teriadi pada diri kita. Bagi Plotinus, ekstasi merupakan peristiwa keterpesonaan yang sangat jarang terjadi: dia hanya mengalaminya sebanyak dua atau tiga kali di sepanjang hidupnya. Denys melihat ekstasi sebagai keadaan konstan setiap orang Kristen. Ini merupakan pesan tersembunyi dan esoterik dari kitab suci dan liturgi, diungkap lewat isyarat terkecil. Maka ketika si pendeta meninggalkan altar pada awal misa untuk berjalan di tengah jamaah, memercikkan mereka dengan air suci sebelum kembali ke ruang altar, ini bukanlah sekadar purifikasi— meskipun memang demikian. Tindakan itu meniru ekstasi ilahi, seperti Tuhan yang meninggalkan kesendiriannya dan menggabungkan diri dengan makhluk. Barangkali cara terbaik untuk memandang teologi Denys adalah dengan melihatnya sebagai tarian spiritual antara apa yang bisa kita tegaskan mengenai Tuhan dengan apresiasi bahwa apa pun yang bisa kita katakan tentang dia pastilah bersifat simbolik semata. Seperti dalam Yudaisme, Tuhan Denys memiliki dua aspek: yang satu menoleh kepada kita dan memanifestasikan dirinya di dunia sedangkan yang lain berada dalam dirinya sendiri dan tetap tidak bisa dipahami. Dia "tetap berada dalam dirinya" dalam misteri abadi, pada saat yang sama dia memenuhi langit dan bumi. Dia bukanlah wujud lain, yang ditambahkan pada dunia. Metode Denys dianggap biasa dalam teologi Yunani. Akan tetapi, di Barat, para teolog akan terus berbicara dan menjelaskan. Beberapa di antara mereka membayangkan bahwa ketika mereka mengatakan "Tuhan", maka realitas ilahi sebenarnya bersatu dengan ide di dalam pikiran mereka. Sebagian lainnya menisbahkan pikiran dan gagasan mereka sendiri kepada Tuhan—mengatakan bahwa Tuhan menghendaki ini, melarang itu, atau telah merencanakan yang lain—dalam cara yang mengandung bahaya keberhalaan. Akan tetapi, Tuhan Yunani Ortodoks tetap misterius, dan Trinitas akan terus mengingatkan orang Kristen Timur pada sifat kesementaraan doktrin-doktrin mereka. Akhirnya, orang Yunani memutuskan bahwa sebuah teologi autentik harus memenuhi dua kriteria Denys: mesti hening dan paradoks. Orang Yunani dan Latin secara signifikan juga mengembangkan pandangan yang berbeda tentang keilahian Kristus. Konsep Yunani tentang inkarnasi dirumuskan oleh Maximus the Confessor (kl. 580- 182 Trinitas: Tuhan Kristen 662) yang dikenal sebagai bapak teologi Byzantium. Teologi ini kira-kira lebih dekat kepada cita-cita kaum Buddha dibandingkan kepada pandangan Barat. Maximus percaya bahwa manusia hanya dapat mencapai kesejatian diri jika mereka dapat bersatu dengan Tuhan, persis seperti yang diyakini oleh orang Buddha bahwa pencerahan merupakan tujuan kemanusiaan yang sejati. "Tuhan" dengan demikian bukanlah sebuah pilihan ekstra, sebuah realitas asing di luar diri yang ditambahkan pada kondisi kemanusiaan. Manusia mempunyai potensi untuk mencapai keilahian dan menjadi manusia yang utuh hanya jika hal ini tercapai. Logos menjadi manusia bukan demi memperbaiki dosa Adam; bahkan Inkarnasi akan tetap terjadi seandainya pun Adam tidak membuat dosa. Manusia diciptakan dalam kemiripan dengan logos dan akan mencapai potensi mereka yang sepenuhnya hanya jika kemiripan ini telah disempurnakan. Di Gunung Tabor, kegemilangan kemanusiaan Yesus memperlihatkan kepada kita kondisi manusia yang menuhan, kondisi yang dapat diraih oleh kita semua. Firman telah dijadikan daging agar "seluruh manusia akan menjadi Tuhan, dituhankan melalui berkat Allah—manusia utuh, jiwa dan raga, secara alamiah dan Tuhan utuh, jiwa dan raga, karena berkat."57 Seperti halnya pencerahan dan ke- Buddha-an tidak melibatkan campur tangan sebuah realitas adialami, melainkan merupakan peningkatan kekuatan-kekuatan yang alamiah bagi manusia, demikian pula Kristus yang menuhan memperlihatkan kepada kita keadaan yang dapat kita peroleh melalui berkat Allah. Orang Kristen memuliakan Yesus Manusia-Tuhan lewat cara yang kurang lebih sama dengan orang Buddha mengagungkan citra Gautama yang tercerahkan: dia menjadi contoh pertama kemanusiaan yang benarbenar penuh dan dimuliakan. Kalau pandangan Yunani tentang Inkarnasi membawa Kristen menjadi lebih dekat kepada tradisi Timur, pandangan Barat tentang Yesus menempuh jalan yang lebih eksentrik. Teologi klasik dipaparkan oleh Uskup Anselm dari Canterbury (1033-1109), dalam risalahnya Why God Became Man. Menurutnya, dosa merupakan kesalahan yang amat besar sehingga pertobatan menjadi penting agar rencana-rencana Tuhan terhadap manusia tidak terhalangi. Firman telah dijadikan daging untuk melakukan perbaikan atas nama kita. Keadilan Tuhan menuntut pelunasan utang oleh seseorang yang memiliki pribadi ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus: akibat besarnya pelanggaran itu maka hanya seorang Anak Tuhan saja yang bisa memberi 183 Sejarah Tuhan penyelamatan bagi kita. Akan tetapi, karena yang bertanggung jawab adalah seorang manusia, sang penebus juga harus menjpakan anggota ras manusia. Inilah skema legalistik dan rapi yang melukiskan pikiran Tuhan, memutuskan dan menimbang keadaan seakan-akan dia adalah manusia biasa. Skema ini juga memperkuat citra tentang Tuhan yang keras, yang hanya dapat dipuaskan melalui kematian diam-diam anaknya sendiri, yang ditawarkan sebagai sejenis pengurbanan manusia. Doktrin Trinitas telah sering disalahpahami di dunia Barat. Orangorang cenderung membayangkan adanya tiga figur suci atau sama sekali mengabaikan doktrin itu dan mengidentifikasikan "Allah" dengan Tuhan Bapa dan memandang Yesus sebagai pendamping ilahi— tidak lagi dalam peringkat yang setara. Umat Islam dan Yahudi menganggap doktrin itu membingungkan dan bahkan menghujat. Sungguhpun demikian, akan kita lihat nanti bahwa ternyata baik mistik Yudaisme maupun Islam telah mengembangkan konsepsi keilahian yang teramat mirip. Gagasan tentang kenosis, ekstasi pengosongan diri, misalnya, akan menjadi krusial dalam Kabbalah maupun sufisme. Dalam Trinitas, Bapa menyalurkan segala yang ada pada dirinya kepada Putra, menyerahkan segala sesuatu—bahkan kemungkinan untuk mengungkapkan diri dalam Firman yang lain. Begitu Firman telah diucapkan, Tuhan Bapa menjadi hening: tak ada yang bisa kita katakan tentang dia sebab satu-satunya Tuhan yang bisa kita ketahui hanyalah logos atau Putra. Karena itu, Bapa tidak memiliki identitas, tak ada "Aku" dalam pengertian biasa, dan membingungkan pengertian kita tentang kepribadian. Sumber asal Ada adalah Tiada yang telah diungkap tidak hanya oleh Denys, tetapi juga oleh Plotinus, Philo, dan bahkan Buddha. Karena Bapa biasanya ditampilkan sebagai pencarian Akhir dari Kristen, perjalanan Kristen menjadi gerakan maju yang tak bertujuan. Gagasan tentang suatu Tuhan yang personal atau personalisasi Yang Mutlak telah menjadi bagian penting dari umat manusia: orang Hindu dan Buddha telah memberikan konsesi kepada peribadatan bhakti yang bersifat personalistik. Namun, paradigma atau simbol Trinitas menyarankan bahwa personalisme mesti ditransendensikan dan bahwa tidaklah cukup untuk membayangkan Tuhan sebagai manusia yang diperluas, berperilaku dan bereaksi dengan cara yang sama seperti kita. Doktrin Inkarnasi dapat dipandang sebagai usaha lain untuk menetralkan bahaya keberhalaan. Begitu "Tuhan" dilihat sebagai 184 Trinitas: Tuhan Kristen realitas yang sama sekali lain "di luar sana", dia dengan mudah akan menjadi sekadar berhala dan proyeksi, yang membuat manusia mengeksternalisasi dan menyembah praduga dan hasrat mereka sendiri. Tradisi-tradisi keagamaan yang lain telah berupaya mencegah hal ini dengan menekankan bahwa Yang Mutlak itu bagaimanapun terjalin dengan kondisi manusia, seperti dalam paradigma Brahman- Atman. Arius—kemudian Nestorius dan Eutyches—kesemuanya ingin membuat Yesus entah manusia atau ilahi, dan mereka berkeras sebagiannya karena kecenderungan untuk tetap memisahkan kemanusiaan dan keilahian dalam tataran terpisah. Benar, jalan keluar yang mereka tempuh lebih bersifat rasional, namun dogma—sebagai lawan dari kerygma—tidak mesti terbatas pada apa-apa yang bisa diungkapkan sepenuhnya, seperti puisi atau musik. Doktrin Inkarnasi— seperti yang secara serampangan dikemukakan oleh Athanasius dan Maximus—merupakan upaya mengartikulasikan pandangan universal bahwa "Tuhan" dan manusia haruslah tak terpisah. Di Barat, di mana Inkarnasi tidak diformulasikan dengan cara ini, terdapat kecenderungan untuk memandang Tuhan tetap bersifat eksternal terhadap manusia dan sebagai realitas alternatif bagi dunia yang kita kenal. Akibatnya, sangat mudah untuk menjadikan "Tuhan" ini sekadar sebagai sebuah proyeksi—yang belakangan malah sudah ditinggalkan. Namun dengan membuat Yesus sebagai satu-satunya avatar, kita telah menyaksikan bahwa orang Kristen telah mengambil pandangan eksklusif tentang kebenaran agama: Yesus adalah Firman Tuhan yang Pertama dan Terakhir bagi umat manusia, membuat wahyu-wahyu masa depan tak diperlukan lagi. Akibatnya, sebagaimana juga orang Yahudi, mereka guncang ketika pada abad ketujuh di Arabia, muncul seorang nabi yang mengklaim telah menerima langsung wahyu dari Tuhan mereka dan membawa kitab suci baru bagi umatnya. Sungguhpun demikian, versi baru monoteisme itu, yang akhirnya dikenal sebagai "Islam", menyebar dengan kecepatan yang sangat mengagumkan ke seantero Timur Tengah dan Afrika Utara. Banyak dari pengikut barunya yang antusias di kawasan-kawasan ini dengan lega melepas Trinitarianisme Yunani, yang mengungkapkan misteri Tuhan dalam idiom yang asing bagi mereka, dan menganut pandangan yang lebih Semitik tentang realitas ilahi.[] 185 Keesaan: Tuhan Islam Sekitar tahun 610, seorang pedagang Arab dari kota Makkah yang ramai di Hijaz, yang tak pernah membaca Alkitab dan mungkin tak pernah mendengar tentang Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel, mengalami suatu kejadian ajaib yang sangat mirip dengan pengalaman mereka. Setiap tahun Muhammad ibn Abdullah, anggota suku pedagang Quraisy di Makkah, biasa mengajak istrinya ke Gua Hira yang tidak jauh dari kota itu untuk melaksanakan penyendirian spiritual selama bulan Ramadhan. Ini adalah praktik yang lazim dilakukan di kalangan penduduk jazirah Arab. Muhammad menghabiskan waktu untuk berdoa kepada Tuhan serta membagikan makanan dan sedekah kepada fakir miskin yang mengunjunginya selama periode suci itu. Dia mungkin juga banyak melewatkan waktu dengan beban pikiran yang menggelisahkan. Kita mengetahui dari kariernya di belakang hari bahwa Muhammad sangat prihatin akan keruntuhan moral yang mengkhawatirkan di Makkah, di tengah keberhasilan spektakuler yang belum lama diraih kota itu. Dalam dua generasi terdahulu, kaum Quraisy masih menjalani kehidupan nomadik yang keras di tanah Arab, seperti suku-suku Badui yang lain: setiap hari dilalui dengan perjuangan untuk mempertahankan diri. Akan tetapi, selama tahun-tahun terakhir abad keenam, mereka telah meraih keberhasilan besar dalam perdagangan dan menjadikan Makkah kawasan pemukiman paling penting di Arab. 186 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com Keesaan: Tuhan Islam Kini jumlah kekayaan mereka telah melampaui impian-impian mereka yang paling liar. Namun, gaya hidup mereka yang berubah drastis ini mengimplikasikan bahwa nilai-nilai kesukuan lama telah tergeser oleh kapitalisme tak berperasaan yang merajalela. Orang-orang merasa kehilangan orientasi. Muhammad tahu bahwa kaum Quraisy berada dalam arah yang berbahaya dan perlu menemukan ideologi yang dapat membantu mereka menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru. Pada masa itu, setiap pemecahan politik cenderung bersifat keagamaan. Muhammad sadar bahwa kaum Quraisy sedang menjadikan uang sebagai agama baru. Hal ini tidak mengherankan, karena mereka tentu merasakan bahwa kemakmuran baru itu telah "menyelamatkan" mereka dari kehidupan nomadik yang penuh risiko, melindungi mereka dari kekurangan gizi dan wabah pertikaian antarsuku di kawasan semenanjung Arabia yang membuat orang-orang Badui setiap hari berhadapan dengan bahaya kepunahan. Kini, mereka hampir selalu mempunyai persediaan pangan yang cukup. Makkah kini menjadi pusat perdagangan dan keuangan internasional. Mereka merasa telah menjadi penentu nasib mereka sendiri, dan sebagiannya bahkan meyakini bahwa kemakmuran itu akan memberi mereka kehidupan yang abadi. Namun, Muhammad merasa bahwa kultus baru keswasembadaan (istaqa) ini akan mengakibatkan perpecahan suku.