Perkampungan HANTU Oleh : Hiu Khu mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Bag 1 Sepotong tembaga penindih kertas yang mengkilat terletak di atas meja, di bawahnya tertindih 12 helai kartu putih. Di sekeliling meja yang berbentuk antik itu berduduk tujuh orang. Tujuh tokoh yang namanya mengguncangkan dunia Kangouw. Mereka adalah Koh-siong Kisu, Bok-tojin, Koh-kua Hwesio, Tong-jisiansing, Siau-siang-kiam-khek, Sukong Ti-seng, dan Hoa Ban-lau, Pribadi ketujuh orang ini sangat aneh, asal-usul mereka juga berbeda, ada Hwesio, ada Tosu, pertapa dan bandit yang selalu bekerja sendiran, ada jago pengawal istana, ada anak murid perguruan ternama yang suka berkelana, juga ada pendekar angkatan tua yang suka menggerayangi saku orang. Mereka berkumpul di sini lantaran mereka ada satu persamaan. Yaitu mereka adalah sahabat Liok Siau-hong. Malahan sekarang mereka juga mempunyai satu persamaan lagi, yaitu sikap mereka sangat khidmat, perasaan tertekan. Lebih-lebih Bok-tojin. Setiap orang sama memandangnya dan menunggunya bicara. Bok-tojin yang mengumpulkan keenam orang lain itu, hal ini tidaklah mudah, dengan sendirinya karena ada alasan yang sangat penting. Di atas meja ada arak, tapi tidak ada yang mengangkat cawan, juga ada santapan, namun juga tidak ada orang menjamahnya. Angin meniup sejuk membawa bau harum bunga. Dalam musim yang cerah ini mestinya waktu perasaan orang lagi riang gembira. Mereka juga orang yang berkepandaian tinggi dan berpengalaman, mengapa pikiran mereka bisa tertekan seperti sekarang? Hoa Ban-lau adalah orang buta, dan orang buta mestinya tidak perlu nyala lampu, tapi lampu minyak di atas meja itu justru dia yang menyalakannya. Di dunia ini memang banyak urusan begini, yang mestinya tidak perlu terjadi justru terjadi. Bok-tojin menghela napas dan akhirnya ia bersuara, “Setiap orang pasti pernah berbuat salah. Asalkan tahu salah dan mau memperbaiki, inilah hal yang baik.” Meski dia sedapatnya mengekang perasaannya, suaranya tetap emosional, “Tapi ada sementara urusan sama sekali tidak boleh berbuat salah, sekali berbuat salah hanya ada satu jalan yang dapat ditempuh.” “Jalan kematian?” tanya Sukong Ti-seng. Bok-tojin mengangguk, ia angkat penindih kertas, di bawahnya terletak 12 helai kartu dengan 12 nama. “Orang-orang ini mestinya tidak perlu mati,” kata Bok-tojin pula, “Sebab siapapun sangat sulit membunuh mereka. Cuma sayang, mereka telah berbuat kesalahan yang fatal.” Ia melolos empat helai kartu di antaranya, lalu menyambung, “Terutama keempat orang ini, nama mereka pasti juga pernah kalian dengar.” Keempat kartu itu memuat empat nama dengan keterangan seperlunya. Ko Tiu. Hiangcu seksi tiga dalam Hong-bwe-pang. Tuduhan : Berkhianat, bersekongkol dengan musuh. Pemburu : Sebun Jui-soat. Akibatnya : Buron selama 12 hari, akhirnya mati dalam tambak. Koh Hui-hun. Ahli waris Pah-sun-kiam-khek. Tuduhan : Membunuh anak istri sahabat, memperkosa istri kawan. Pemburu : Sebun Jui-soat. Akibatnya : Buron 15 hari, mati di tengah keramaian kota. Liu Jing-jing. Pendekar perempuan daerah Wilam, isteri Tiam-liong-kiam-khek Cia Kian. Tuduhan : Berzinah, membunuh suami. Pemburu : Sebun Jui-soat. Akibatnya : Buron 19 hari, mati di gurun pasir. Hay Ki-ko. Berjuluk Tok-pi-sin-liong (si naga sakti tangan satu). Tuduhan : Banyak membunuh orang tak berdosa. Pemburu : Sebun Jui-soat. Akibatnya : Buron 19 hari, mati tenggelam di laut. Nama keempat orang itu dengan sendirinya pernah didengar mereka, tapi yang lebih dikenal mereka ialah Sebun Jui-soat. Si pemburu. Setiap orang tahu siapa Sebun Jui-soat. Semua tahu ilmu pedangnya nomor satu di dunia. Sekonyong-konyong Siau-siang-kiam-khek berkata, “Pernah kulihat Sebun Jui-soat.” Setelah pertempuran di puncak istana Ci-kim-sia tempo hari, sampai jago nomor satu dari pengawal istana inipun mau tak mau harus mengakui ilmu pedang Sebun Jui-soat memang tidak ada bandingannya. “Tapi kuyakin dia bukan seorang yang suka ikut campur urusan tetek-bengek,” demikian jago pengawal istana itu menambahkan lagi. “Yang dilakukannya itu bukan urusan tetek-bengek.” kata Hoa Ban-lau. Segera Sukong Ti-seng menyambung, “Meski dia sendiri jarang berkawan, tapi dia paling benci bila ada orang menjual sahabat.” Siau-siang-kiam-khek tak bicara lagi, sebaliknya Tong-jisian-sing yang terkenal lihai senjata rahasianya dan terkenal juga tidak suka banyak bicara, kini mendadak bertanya, “Kau anggap kesalahan fatal mereka adalah menjual kawan?” “Memangnya bukan?” ujar Sukong Ti-seng. Tong-jisiansing menggeleng dan tidak bersuara lagi, sebab ia yakin orang lain pasti sudah tahu maksudnya. Benar juga, ada yang tahu maksudnya, yaitu Bok-tojin, katanya, “Meski perbuatan mereka tidak sama, tapi kesalahan fatal mereka justru sama.” “Dalam hal apa ada persamaan mereka?” tanya Sukong Ti-seng. “Sebun Jui-soat,” tutur Bok-tojin. “Bilamana Sebun Jui-soat mau membunuh orang, tidak pernah ada orang yang sanggup lolos. Seumpama dia kabur juga takkan lebih lama daripada 19 hari.” Wajah Bok-tojin tambah prihatin, katanya pula, “Ke-12 orang ini sama mati di bawah pedang Sebun Jui-soat. Sekarang ada lagi seorang yang berbuat kesalahan fatal serupa mereka, bahkan lebih gawat salahnya.” “Oo?” semua orang bersuara heran. “Sebab dia tidak cuma menjual kawan, malahan yang dijualnya ialah Sebun Jui-soat.” “Siapa pengkhianat itu?” tanya orang banyak. “Liok Siau-hong!” Seketika semua orang terdiam, suasana terasa mencekam. Siau-siang-kiam-khek Iagi memecahkan kesunyian, “Kutahu Liok Siau-hong bukan saja sahabat Sebun Jui-soat, bahkan juga penolongnya.” “Budi pertolongannya sudah dibalas oleh Sebun Jui-soat, sebaliknya sakit hatinya belum dibalasnya,” kala Bok-tojin. “Sakit hati apa?” tanya Siau-siang-kiam-khek. “Perampasan isteri.” tutur Bok-tojin. Melengak juga Siau-siang-kiam-khek. “Ada bukti?” tanyanya. “Ada,” jawab Bok-tojin, “Sebun Jui-soat memergoki mereka berada di tempat tidur “ Mendadak Siau-siang-kiam-khek mengangkat cawan dan menenggak araknya hingga habis Sukong Ti seng tidak kalah cepat nya, sekali tenggak ia pun menghabiskan secawan. Satu-satunya orang yang masih tetap tenang adalah Hoa Ban-lau. Meski secawan penuh, dia hanya mengecup sedikit saja, lalu berkata, “Liok Siau-hong pasti bukan manusia rendah begini, di dalam persoalan ini pasti masih ada hal lain.” Seketika Sukong Ti-seng menyatakan setuju, “Ya, mungkin dia mabuk, bisa juga dia terkena obat bius, mungkin mereka tidak melakukan apa-apa di tempat tidur.” Alasan yang dikemukakan ini kurang baik, sampai dia sendiri pun kurang puas, maka ia menghabiskan lagi secawan arak. Orang yang memberikan pendapat biasanya adalah orang yang paling sedikit bicara. “Aku tidak kenal Liok Siau-hong, tapi kutahu dia pernah memberi jasa baiknya pada keluarga Tong,” akhirnya Tong-jisiansing memberi pendapatnya. “Pendek kata, apakah urusan ini ada persoalan lain atau tidak, yang penting kita harus bertanya langsung kepadanya.” Tapi Bok-tojin lantas menggeleng kepala. “’Tidak mau kau cari dia?” tanya Sukong Ti-seng. “Bukan tidak mau, tapi tak dapat menemukan dia.” sahut Bok-tojin. Memang, begitu persoalan ini terungkap, segera Liok Siau-hong kabur, siapapun tidak tahu dia lari kemana. Bok-tojin lantas membeberkan ke-12 lembar kartu dan berkata, “Maka kuminta kalian membaca ini....” “Liok Siau-hong bukan Ko Tiu, juga bukan Tok-pi-sin-liong, perbuatan yang tidak senonoh ini memangnya ada sangkut-paut apa dengan kita,” demikian tiba-tiba Sukong Ti-seng memotong ucapannya. “Ada sedikit sangkut-pautnya,” ujar Bok-tojin. “Sedikit yang mana?” tanya Sukong Ti-seng. “Jalan kabur yang ditempuhnya,” kata Bok-tojin. Maklum, bilamana hendak mencari Liok Siau-hong, maka lebih dulu harus, memastikan ke arah mana dia buron. Maka Bok Tojin berkata pula, “Orang-orang ini tidak cuma ilmu silatnya sangat tinggi, juga sudah sangat luas pengalamannya, kawakan Kangouw yang cerdik dan licin, bilamana mereka sudah siap buron, tentu mereka sudah mengadakan perencanaan yang rapi, jalan yang mereka pilih juga pasti tidak salah.” “Tapi sayang, mereka tetap tak dapat lolos,” jengek Sukong Ti-seng. “Meski tak dapat lolos, tetap berguna untuk kita pelajan, ujar Bok-tojin. Jalan lari yang dipilih ke-12 orang ini pada garis besarnya dapat dibagi menjadi empat: Berlayar ke laut, menuju ke gurun pasir di luar tembok besar, membaurkan diri di tengah keramaian kota, atau mengasingkan diri ke tempat terpencil. “Kalian kan sahabat lama Liok Siau-hong,” kata Bok-tojin pula, “tentunya kalian cukup kenal tabiatnya. Coba kalian pikir, ke arah mana akan dia pilih?” Tidak ada orang yang dapat menjawab. Siapapun tidak berani memastikan pendapatnya mutlak benar. Perlahan Hoa Ban-Iau berucap, “Aku cuma dapat memastikan satu hal.” “Coba katakan,” kata Bok-tojin. “Dia pasti takkan menuju ke laut, juga takkan masuk ke gurun,” tutur Hoa Ban-lau. Tidak ada yang bertanya mengapa dia dapat memastikan hal ini, sebab setiap orang tahu dia memiliki semacam indra yang khas. Sukong Ti-seng sudah menghabiskan delapan cawan arak, kalanya, “Aku pun dapat memastikan sesuatu.” Semua orang sama pasang telinga. “Liok Siau-hong pasti takkan mati.” sambung Sukong Ti-seng. Kepastiannya itu ada yang menyangsikan. “Sebab apa?” “Kutahu ilmu silat Liok Siau-hong, juga pernah melihat ilmu pedang Sebun Jui-soat.” tulur Sukong Ti-seng. Dengan sendirinya ia tidak menyangkal betapa cepat dan tepat gerak pedang Sebun Jui-soai, tapi dia berpendapat, “Sejak dia beristri dan punya anak, ilmu pedangnya lantas berubah menjadi lemah, sebab hatinya juga sudah lemah.” Sebab Sebun Jui-soat bukan lagi dewa pedang, tapi sudah mulai mempunyai sifat kemanusiaan. “Ya, sebenarnya aku pun beranggapan begitu, sekarang baru diketahui kita semua salah,” ujar Bok-tojin “Kita tidak salah,” seru Sukong Ti-seng. Bok-tojin menggeleng, katanya, “Sebelum pertempuran maut di puncak Ci-kim-sia dahulu, pedangnya memang betul sudah mulai lemah, sebab cintanya terhadap istri sudah melampaui keranjingan-nya terhadap pedang.” Tampaknya Siau-siang-kiam-khek mengerti arti ucapannya ini, katanya, “Tapi keadaan menjadi lain setelah dia mengalahkan Pek-in-sengcu.” Pertempuran di puncak Ci-kim-sia itu jelas telah mengorbankan pula keranjingannya terhadap pedang dan melampaui lagi cintanya terhadap isteri. Bisa jadi lantaran dia menyepelekan sang isteri sehingga menimbulkan rasa simpati Liok Siau-hong, maka timbul peristiwa ini. Setiap orang sama berpendapat demikian, tapi tiada yang mau mengucapkannya. “Beberapa waktu yang baru lalu aku bertemu dengan Liok Siau-hong,” tutur Bok-tojin. “Dia bilang padaku, ilmu pedang Sebun Jui-soat sudah mencapai tingkatan yang “tak berpedang’.” Lalu Bok-tojin menghela napas dan berkata pula, “’Waktu kulihat Liok Siau-hong, dia sedang mabuk, dia bilang pula padaku, bilamana di dunia ini ada orang yang dapat membunuhnya, maka orang itu ialah Sebun Jui-soat.” Kembali semua orang termenung. Dalam hati mereka sudah dapat menarik kesimpulan. Yaitu, bilamana Sebun Jui-soat dapat menyusul Liok Siau-hong, maka Liok Siau-hong pasti akan mati di bawah pedangnya. Soalnya sekarang ialah, kemana larinya Liok Siau-hong? Berapa lama dia dapat buron? Jika dia lak akan menuju ke laut, juga tidak masuk ke gurun, maka kalau tidak berada di keramaian kota, tentu dia kabur ke pegunungan sepi. Meski lingkaran pelarian Liok Siau-hong sekarang sudah mengecil, tapi siapa pula yang tahu betapa banyak kota ramai dan betapa banyak pegunungan di dunia ini? Mendadak Tong-jisiansing berdiri dan keluar. “Kau mau pergi?” tanya Sukong Ti-seng dengan cawan arak terangkat. “Aku kan tidak datang untuk minum arak?” jengek Tong-jisiansing. “Apakah engkau tidak mau lagi mengurus persoalan ini?” tanya Sukong Ti-seng. “Bukan tidak mau mengurus, tapi sukar diurus,” sahut Tong-jisiansing. Tiba-tiba Koh-siong Kisu juga menghela napas panjang dan bergumam, “Ya, memang sukar diurus.” Koh-kua Hwesio juga mengangguk dan berkata, “Memang benar-benar....” Belum lanjut ucapannya, mereka bertiga sudah melangkah keluar semua. Siau-siang-kiam-khek ternyata tidak kalah cepatnya daripada mereka. Sukong Ti-seng menaruh cawan arak dengan berat di atas meja dan berseru, “Aku pun tidak datang untuk minum arak melulu, setan alas yang hanya datang untuk minum arak.” Dia juga melangkah pergi dengan cepat. Di dalam rumah sekarang tertinggal dua orang dan yang masih idap tenang cuma Hoa Ban-lau saja. “Prak”, mendadak cawan Bok-tojin tcremas remuk. Han-lau tertawa dan berkata, “Apakah kau tahu mereka pergi kemana?” “Setan yang lalui,” jengek Bok tojin. “Aku lalui.” kata Ban-lau. “Aku bukan setan, tapi aku tahu.” “Kau kira mereka pergi kemana’” “Jika sekarang kita memburu ke Sebun san-ceng (perkampungan keluarga Sebun) tentu dapat kita temukan mereka, seorang pun takkan berkurang.” Bok-Tojin tidak mengerti. Maka Ban-lau menambahkan, “Mereka pergi ke sana, sebab mereka sama ingin tahu sesuatu, yaitu apakah betul Liok Siau-hong kabur ke sana.” “Kau pasti?” tanya Bok-tojin. Ban-lau mengangguk, “Aku merasa pasti, sebab kutahu mereka adalah sahabat Liok Siau-hong.” “Baiklah, kita pun berangkat,” ujar Bok-tojin sambil menepuk pundak Hoa Ban-lau. “Jika di dunia ini ada seorang yang dapat menemukan Liok Siau-hong, maka orang itu ialah dirimu.” “Bukan diriku,” ujar Ban-lau. “Habis siapa?” “Liok Siau-hong sendiri.” Ya, seorang kalau sudah kehilangan dirinya sendiri, maka selain dia sendiri, siapa pula yang dapat menemukannya. Tapi sekalipun Liok Siau-hong sudah kehilangan dirinya sendiri, sedikitnya ia belum kehilangan arah. Ia percaya jalan ini tepat menuju ke barat, setelah melintasi lereng bukit di depan tentu dapat menemukan sumber air minum. Malam sudah larut, kabut tebal di lereng pegunungan. Tapi ia tetap percaya kepada pandangannya sendiri. Tapi sekali ini kembali dia salah lagi. Di depan tidak ada lereng gunung, juga tidak ada sumber air. yang ada cuma hutan purba yang lebat. Kelaparan memang salah satu penderitaan yang paling besar bagi manusia, akan tetapi kalau dibandingkan dengan kehausan, lapar menjadi semacam penderitaan yang lebih mudah ditahan. Bibirnya sudah pecah, bajunya rombeng, luka di dada mulai bengkak. Sudah tiga hari dia buron di pegunungan sunyi yang sukar menemukan sumber air ini. Bilamana sahabatnya melihat dia sekarang pasti akan sama pangling. Siapapun takkan kenal lagi dia ialah Liok Siau-hong yang mempesona setiap anak perempuan itu. Gelap gulita di tengah hutan, dalam kegelapan hampir meliputi segala macam bahaya, setiap ancaman bahaya itu bisa mematikan. Bilamana tersesat di lengah hutan lebat ini, kehausan saja sudah cukup fatal. Apakah Liok Siau-hong dapai keluar dari hutan ini, ia sendiri tidak yakin. Ia sudah kehilangan kepercayaan kepada kemampuannya sendiri. Akan tetapi ia harus maju terus ke depan dan tiada jalan Iain, apalagi pilihan untuk mundur. Sebab mundur terlebih menakutkan. Sebun Jui-soat justru sedang menguntit di belakangnya. Meski tak dilihatnya, tapi dapat dirasakannya, merasakan hawa pedang khas yang akan membunuh itu. Setiap saat dan dimana pun ia bisa mendadak merinding, dalam keadaan bagitu ia lantas tahu jarak Sebun Jui-soat dengan dia sudah dekat. Buron sendiri adalah semacam penderitaan. Haus, lelah, takut, sedih .... Semua itu serupa cambuk yang terus memukulnya tanpa berhenti. Semua itu sudah cukup membuatnya runtuh lahir batin, apalagi dia juga terluka. Terluka oleh pedang. Pada saat luka terasa sakit tentu akan terbayang olehnya serangan pedang yang luar biasa cepatnya itu. Seburi Jui-soat yang sudah ‘tanpa pedang’ itu akhirnya melolos lagi pedangnya. “Jika di dunia ini masih ada orang yang perlu kuhadapi lagi dengan pedang, maka orang itu ialah Liok Siau-hong. Karena dirimu, terpaksa kugunakan lagi pedangku, sekarang padangku sudah kulolos, sebelum berlepotan darahmu, pedang takkan kambali ke sarungnya.” Demikian diucapkan Sebun Jui-soat kepada Liok Siau-hong, tidak ada yang dapat melukiskan betapa cepat dan tajam pedang Sebun Jui-soat, juga tidak ada yang dapat membayangkan ada orang mampu menghindari serangannya. Sekali sinar pedang berkelebat, seketika darah segar tercecer. Memang tidak ada yang mampu menghindari serangan kilat itu. Liok Siau-hong juga tidak, namun dia tidak mati. Bisa tidak mati di bawah pedang kilat itu sudah merupakan keajaiban. Di dunia ini, orang yang dapat lolos dengan hidup di bawah serangan pedang kilat itu mungkin juga cuma Liok Siau-hong saia seorang. Dan begitulah. Liok Siau-hong terus buron dan sampai di hutan lebat dan gelap ini. Kegelapan yang tidak ada ujung pangkalnya. Sesungguhnya betapa banyak bahaya yang tersembunyi di balik kegelapan itu? Siau-hong tidak berani memikirkannya, bila terlalu banyak berpikir, besar kemungkinan dia sudah runtuh, bahkan bisa gila. Setelah masuk ke dalam hutan yang galap ini, sama seperti binatang buas jatuh ke dalam perangkap, tidak bebas lagi. Dia mendapatkan setangkai kayu dan digunakan sebagai tongkat, ia terus merambat ke depan serupa seorang buta. Tongkat itu sungguh tongkat penolong baginya. Seorang yang gagah perwira sekarang harus dibantu oleh sepotong kayu, bila teringat hal ini Siau-hong jadi tertawa sendiri. Tertawa pedih, tertawa sinis. Baru sekarang ia benar-benar merasakan betapa sengsaranya orang buta, dia juga baru mangerti betapa hebatnya Hoa Ban-lau. Seorang buta dapat hidup sebegitu tenang dan begitu gembira, entah betapa besar cinta hidup yang tumbuh dalam hatinya? Di depan ada pohon besar, Siau-hong berhenti di bawah pahon dengan napas terengah, sekarang ini mungkin satu-satunya kesempatan beginya unluk berganti napas, la pikir pada waktu Sebun Jui-soat menyusul sampai di hutan ini, sebelum mengejar ke dalam hutan mungkin dia akan berpikir sejenak, tapi akhirnya dia pasti akan mengejar masuk hutan. Hampir tidak ada urusan di dunia ini yang dapat mencegahnya, dia sudah bertekad akan membinasakan Liok Siau-hong di bawah pedangnya. Dalam kegelapan hampir tidak terdengar sesuatu suara apapun, kesunyian semacam ini juga sesuatu yang paling menakutkan. Napas Siau-hong hampir berhenti, mendadak tangannya bergerak secepat kilat, jarinya menjepit. Dia tidak melihat apa-apa, tapi dia telah turun tangan. Sekali dia turun tangan jarang sekah meleset. Pada saat benar-benar menghadapi bahaya, manusia juga bisa berubah seperti binatang, bisa mempunyai indera keenam dan kepekaan seperti binatang. ‘ Yang terjepit oleh jarinya ternyata seekor ular. Ekor ular yang terjepit, sekali menyendal segera pula leher ular digigitnya. Seketika darah ular yang anyir mengalir ke dalam kerongkongan dan masuk perutnya. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti benar-benar sudah berubah menjadi binatang buas. Tapi dia tidak berhenti mengisap darah ular. Darah ular itu sekarang dirasakannya sebagai penyelamat baginya. Asalkan dapat memberi kekuatan baginya, memberi kehidupan baginya, saat ini apapun akan diterimanya. Sebab ia tidak ingin mati, ia tidak boleh mati. Jika sekarang ia mati, maka ia akan berubah menjadi setan penasaran dan akan kembali ke dunia manusia hidup untuk mencuci bersih semua fitnah yang diterimanya .... Kegelapan mulai menipis dan berubah menjadi remang kelabu yang aneh. Kegelapan malam yang panjang ini akhirnya berlalu juga. Kini sudah tiba saatnya fajar akan menyingsing. Tapi biarpun hari sudah terang, lalu bagaimana? Biarpun kegelapan sudah pergi, namun kematian masih terus mengancamnya. Hanyak daun kering div tanah, ia meraupnya segenggam untuk membersihkan darah pada tangannya. Pada saat itulah dia mende-nt’.ir sesuatu suara. Suara manusia entah darimana datangnya, seperti ada suara orang merintih. Di tempat dan dalam keadaan begini mana bisa ada orang? Jika tidak terpaksa, siapa pula yang mau masuk ke hutan purba ini? Menempuh jalan kematian ini?! Jangan-jangan Sebun Jui-soat? Mendadak Siau-hong merasakan sekujur badan dingin dan kaku, napas pun terasa berhenti, ia mendengarkan dengan tenang. Terdengar lagi suara rintihan yang lemah, sebentar lenyap dan sebentar terdengar lagi, dari suaranya jelas penuh rasa derita Semacam penderitaan yang mendekati putus harapan. Suara menderita itu jelas past, bukan pura-pura. Sekalipun orang mi benar Sebun Jui-soat adanya, penderitaannya sekarang pasti juga tidak di bawah Liok Siau-hong. Apakah dia juga mengalami sesuatu pukulan yang mematikan? Kalau tidak, mengapa hawa pedang pembunuh yang khas juga lenyap sama sekali? Siau-bong memutuskan untuk mencari, peduli orang ini Sebun Jui-soat atau bukan, harus ditemukannya. Dan sudah tentu ditemukannya. Di atas daun kering dan tanah yang lembab menggeletak satu orang, sekujur badan tampak meringkuk menjadi satu kerena kesakitan. Seorang yang rambutnya sudah ubanan, lemah, pucat, letih. duka dan ketakutan. Waktu melihat Liok Siau-hong, orang tua itu seperti berusaha melompat bangun, tapi yang diperoleh adalah kejang dan kesakitan. Dia membawa pedang yang berbentuk antik, jelas sebilah pedang yang sangat bagus. Akan tetapi pedang ini tidak menakutkan, sebab orang ini bukan Sebun Jui-soat. Siau-hong menghela napas lega, gumamnya, “Bukan, bukan dia.” Biji leher si kakek tampak naik-turun, sorot matanya yang penuh rasa takut menampilkan setitik harapan, ucapnya dengan terengah, “Sia... siapa kau?” “Aku bukan siapa-siapa,” sahut Siau-hong dengan tertawa. “Aku cuma orang lalu saja.” “Orang lalu?” si kakek menegas. “Kau heran bukan? Masa orang lalu di tempat begini?” kata Siau-hong. Si kakek mengamat-amati dari bawah ke atas dan dan atas ke bawah, tiba-tiba sinar matanya menampilkan kelicikan, katanya, “Apakah jalan yang kau tempuh serupa aku?” “Sangat mungkin,” jawab Siau-hong. Si kakek tertawa. Tertawa yang pedih, getir. Dan dia lantas terbatuk-batuk. Siau-hong juga melihat orang terluka, ternyata juga bagian dada yang terluka, malahan kelihatan sangat parah. Tiba-tiba si kakek bertanya pula, “Memangnya kau sangka siapa diriku?” “Seorang lain,” sahut Siau-hong. “Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?” Siau-hong juga tertawa dan bertanya, “Tadinya kau kira siapa diriku? Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?” Si kakek ingin menyangkal, tapi tidak dapat menyangkal. Kedua orang saling pandang dengan sikap serupa dua ekor binatang buas yang sama-sama terluka. Tidak ada orang yang dapat memahami sikap mereka ini, juga tidak dapat memahami perasaan mereka. Entah sudah berapa lamanya, tiba-tiba si kakek menghela napas panjang dan berkata, “Boleh kau pergi saja.” “Kau minta kupergi?” tanya Siau-hong. “Biarpun kularang kau pergi, toh kau pasti juga akan pergi,” ujar si kakek dengan tersenyum getir. “Keadaanku agaknya terlebih parah daripadamu, dengan sendirinya tak dapat aku membantumu. Engkau memang tidak kenal diriku, dengan sendirinya juga takkan membantuku.” Siau-hong tidak bicara, juga tidak tertawa lagi. Ia tahu apa yang dikatakan kakek itu memang sejujurnya. Keadaan sendiri juga sangai parah, bahkan terlebih celaka daripada apa yang dibayangkan orang. Buron sendirian saja belum tentu lolos, dengan sendirinya ia tidak dapat dan tidak mau ketambahan beban. Si kakek ini jelas beban yang sangat berat. Selang sekian lama lagi, Siau-hong juga menghela napas dan berkata, “Ya, aku memang harus pergi.” Si kakek mengangguk dan memejamkan mata, ia tidak memandangnya lagi. Siau-hong berkata pula, “Jika engkau ini seekor anjing liar, saat ini aku pasti sudah pergi. Tapi sayang .. “Sayang aku bukan anjing, tapi manusia,” tukas si kakek tiba-tiba. “Sayang aku pun bukan anjing, aku pun manusia,” kata Siau-hong. “Ya, sungguh sayang.” kata si kakek, meski matanya seperti terpejam, tapi sebenarnya diam-diam ia lagi mengintip gerak-gerik Liok Siau-hong. Terpancar pula sifat kelicikannya Siau-hong tertawa dan berkata pula, “Padahal sejak tadi kau tahu aku pasti takkan pergi.” “Oo?!” si kakek bersuara heran. “Sebab kau manusia, aku juga manusia, dengan sendirinya tak dapat kusaksikan kau mati konyol di sini.” Mendadak si kakek membuka matanya, terbelalak lebar, lalu berkata, “Jadi hendak kau bawa pergi diriku?”