Apakah ia juga sedang memikirkan kejadian yang sama ? Bila seseorang tak dapat mengkhayalkan diri sendiri, mungkin ia tak bisa dikatakan sebagai seorang lelaki sejati. Mungkin dia tak bisa terhitung sebagai seorang manusia. Manusia bisa lebih hebat dari binatang, mungkin dikarenakan orang bisa berkhayal diri, sementara binatang tidak bisa. Tiba tiba Bwe Ji lam berkata lagi: "Padahal sekalipun orang lelaki agak kewanita wanitaan, hal inipun tidak ada salahnya" "Paling tidak orang semacam itu tak akan kasar, tak akan liar, bahkan pasti akan lemah lembut." Tiba tiba Kwik Tay lok melompat bangun kemudian selangkah demi selangkah berjalan ke luar, tiba tiba ia berpaling sambil bertanya ke pada Ong Tiong: "Coba kau lihat, apakah aku juga rada keperempuanan ?" "Kau seorang lelaki ?" Kwik Tay lok tertawa tergelak. "Sebenarnya aku mengira demikian, tapi sekarang bahkan aku sendiripun kurang jelas." Rembulan sedang bersinar purnama. Rembulan yang bundar tergantung di atas awang awang ......... Yan Jit seorang diri duduk di bawah pohon dan memandang ke tempat kejauhan dengan wajah termangu. Tiba tiba Kwik Tay lok juga berjalan mendekat dan duduk disampingnya. Yan Jit mengerutkan dahinya, kemudian dengan mata melotot tegurnya: "Mau apa kau datang kemari ?" "Berbincang bincang !" "Apa enaknya berbincang bincang dengan aku ? Mengapa kau tidak mencari nona Bwe saja ?" kata Yan Jit sambil menarik muka. Kwik Tay lok mengelus dagunya lalu berkata: "Agaknya kau seperti tidak terlalu suka dengannya." "Orang yang menyukainya sudah terlalu banyak, aku tak usah dimasukkan ke dalam bilangan lagi." Kwik Tay lok membungkam diri. Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya, kemudian berkata lagi: "Sore tadi, kalian tampak bergembira sekali." "Ehhhmmmmm . . . . . . !" "Kalau memang kalian bisa berbincang-bincang dengan begitu gembira, buat apa lagi kau datang mencariku ?" "Rupanya kau sedang cemburu?" tiba-tiba Kwik Tay lok tertawa. Paras muka Yan Jit segera berubah memerah padam seperti kepiting rebus. "Cemburu?" serunya "aku cemburu kepada siapa?" Kwik Tay lok segera tertawa. "Kau tahu orang yang dia cintai adalah aku, sedang kau juga mencintainya, maka ........" Tidak menunggu sampai ia menyelesaikan kata katanya, Yan Jit segera bangkit berdiri dan beranjak dari situ. Ketika Kwik Tay lok menarik tangannya, ia mengipatkan dengan sekuat tenaga, Kwik Tay lok kembali menariknya seraya berseru: "Aku datang kemari untuk mengajakmu membicarakan soal serius." Yan Jit berkerut kening. "Urusan serius?" katanya, "masakah di ujung bibir masih ada persoalan yang serius?" "Bukankah kau pernah mengatakan bahwa disekitar tempat ini terdapat suatu keluarga besar She Bwe yang mempunyai seorang toa sauya bernama Sik jin (manusia batu) Bwe Ji ka?" "Yaa, aku memang pernah berkata demikian" “Coba pikirlah, mungkinkah Bwe Ji lam adalah adik perempuannya Bwe Ji ka ?" "Yaa atau tidak, semuanya tak ada hubungan dengan diriku" "Apakah keluarga Bwe mempunyai ikatan dendam dengan Hong Si hu ?" "Tidak begitu jelas" "Aku rasa pasti ada, karena itu Bwe Ji-lam baru menggunakan akal untuk menyingkirkan Hong Si hu, tapi bukankah antara dia dengan Lamkiong Cho juga ada dendam? Bukankah Lamkiong Cho juga ditolong olehnya? Dia menolong Lamkiong Cho apakah dengan maksud untuk mendapatkan harta karun itu?" "Mengapa kau tidak menanyakannya secara langsung kepada orang yang bersangkutan?" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang. "Kalau ia sendiri. tak mau membicarakannya, sekalipun aku bertanya juga percuma." Yan Jit segera tertawa dingin. "Aku lihat rupanya kau tak berani bertanya" ejeknya. "Tidak berani?" cetus Kwik Tay-lok dengan mata melotot. "Kau takut berbuat salah kepadanya, ta-kut dia menjadi marah, oleh sebab itu ......." Tiba tiba ia menutup mulutnya rapat rapat dan menarik muka. Ketika Kwik Tay lok berpaling, dilihatnya Bwe Ji lam sedang berjalan mendekat. Sekulum senyuman manis masih menghiasi ujung bibirnya, dengan mata yang besar dan jeli ia berkata sambil tertawa: "Sebenarnya persoalan persoalan tersebut harus kalian tanyakan kepadaku, mengapa aku musti marah ?" Yan Jit semakin menarik mukanya, lalu berseru: "Kalau begitu semua pembicaraan kami tadi sudah kau dengar ?" Bwe Ji lam menundukkan kepalanya rendah rendah. "Aku bukan sengaja datang untuk menyadap pembicaraan kalian, aku hanya datang untuk memberitahukan kepada kalian bah-wa hidangan malam telah siap." "Kebetulan amat kedatanganmu itu." Sesungguhnya ia sudah bangkit berdiri, maka sekarang dia melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan tempat itu. Memandang hingga bayangan tubuhnya sudah pergi jauh, Bwe Ji lam baru menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir. "Aku toh tidak menyalahi dia, mengapa begitu berjumpa denganku dia lantas pergi dari sini ?" "Mungkin karena dia amat mencintaimu,” jawab Kwik Tay lok sambil tertawa. Bwe Ji lam mengerdipkan matanya, lalu berseru: "Menyukai aku? Kenapa dia malah menghindarkan diri dariku” "Mungkin dia merasa bahwa orang yang kau cintai bukan dirinya.” Bwe Ji lam menundukkan kepalanya, lewat lama sekali tiba tiba ia baru tertawa. "Apa yang kau tertawakan?" tanya Kwik Tay lok. Sambil mencibir bibir Bwe Ji lam tertawa. "Aku mentertawakan kalian orang laki laki, persoalan yang seharusnya ditanyakan tidak ditanyakan, persoalan yang tidak seharusnya di tanyakan malah kau tanyakan." Tentang beberapa persoalan yang kutanyakan tadi, apakah kau . . . . . . . " Bwe Ji lam segera menukas ucapan itu, sambil menarik tangannya, ia berseru seraya tertawa: "Hayo jalan kita bersantap dulu, selesai bersantap nanti aku baru akan memberitahukan hal ini kepadamu" "Mengapa tidak kau katakan sekarang juga ?” "Aku kuatir setelah mendengar perkataan itu kau malah tak tega untuk makan" sahut Bwe Ji lam sambil tertawa. Ia menarik tangan Kwik Tay lok dan diajak masuk ke dalam rumah, erat sekali genggamannya, bahkan setelah dudukpun masih menggenggamnya erat erat. Ong Tiong masih menatap tajam tangannya, Lim Tay peng juga menatap tangan itu tanpa berkedip, sedang Yan Jit seakan akan bergerak tak mau melihat, tapi urung toh melirik juga beberapa kejap. Tak terlukiskan perasaan kwik Tay-lok pada saat ini, maka diapun bisa bersantap luar biasa banyaknya. Ketika ia menyeka mulutnya, tiba tiba Bwe Ji lam berkata: "Dugaanmu memang tidak salah, aku adalah adik perempuannya Bwe Ji ka, keluarga kami memang ada dendam dengan Hong Si-hu. Cuma sayang aku tak pernah berhasil menjumpainya, maka terpaksa aku harus menggunakan akal ini ' Setelah tertawa, lanjutnya: "Sejak permulaan kami sudah mengetahui kalau si tongkat dan si anjing buldok, pasti dapat menyeret keluar Hong Si hu dari sarangnya, mereka adalah petugas hukum, sudah barang tentu lebih gampang buat mereka untuk mencari orang " Berbicara sampai di sini, tiba tiba ia menghela napas, kemudian sambungnya: "Hingga sampai di situ, dugaan kalian memang tidak salah" "Selanjutnya ?" "Kejadian selanjutnya, kalian telah salah menebak !” Persoalan yang mana saja yang telah salah ditebak ?' tanya Kwik Tay lok dengan wajah tertegun. "Pertama orang berbaju hitam itu bukan Lamkiong Cho !" 'Kalau bukan Lamkiong Cho lantas siapa?" Bwe Ji lam menggigit bibirnya kencang-kencang, setelah lewat lama sekali, dia baru mengambil ketetapan dihatinya: "Dia adalah kakakku !" KETIKA UCAPAN TERSEBUT Diutarakan keluar, semua orang menjadi terkejut, bahkan Kwik Tay lok pun tak tahan menjerit keras. Lim Tay peng merasa sangat kecewa, serunya tertahan: "Kakakmu? Mengapa ia lakukan perbuatan semacam ini?" Bwe Ji lam menundukkan kepalanya rendah rendah, kemudian sahutnya: "Setiap umat persilatan menganggap keluarga Bwe kami adalah keluarga persilatan, mereka mengira keluarga kami pasti kaya raya sebab kesosialan dan keroyalan kami selalu besar, sobat yang datang mencari kami, belum pernah kami mengecewakan dirinya!" Paras mukanya tiba tiba berubah menjadi sangat sedih, terusnya lebih jauh: "Padahal sejak mendiang ayah kami meninggalkan dunia, keluarga kami sudah jatuh bangkrut dan kehabisan uang, bukan saja tak mampu mendarma kepada orang lagi, bahkan kehidupan sendiri setiap harinya pun sudah menjadi masalah, oleh sebab itu.........” "Oleh sebab itu bukan saja kalian meng-hendaki nyawa Hong Si hu, juga mengha-rapkan uangnya ?" sambung Ong Tiong. Bwe Ji lam manggut manggut. "Benar rencana kami ini sebetulnya sudah disusun secara rapi, ketika aku datang melakukan pencurian disini, kakakku juga telah menemukan si tongkat dan si anjing buldok dan telah menjadi pengawal mereka" "Manusia yang begitu lihay seperti si tongkat dan si anjing buldok, mengapa secara sembarangan mereka lalu percaya kalau dia adalah Lam Kiong Cho? Mengapa pula secara sembarang mereka telah menggunakannya sebagai tukang pukul ?" °'Pertama karena mereka belum pernah bertemu dengan Lam Kiong Cho, kedua kakakku membawa tanda pengenal dari Lam Kiong Cho, ketiga kerena mereka tak mengira kalau ada orang telah menyaru sebagai Lam Kiong Cho" "Ke empat karena nasib kalian lagi mujur" sambung Kwik Tay lok, "tapi bagaimana ceritanya sehingga kakakmu bisa membawa tanda pengenal dari Lam Kiong Cho?" "Kebetulan dia adalah sahabat kakakku!' Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, setelah tertawa getir katanya: "Aaaai . . . . tampaknya kakakmu juga seorang yang sangat berbakat, terbukti ia bisa berteman dengan manusia semacam itu" Merah padam selembar wajah Bwe Ji lam karena jengah, katanya kemudian: "Sesungguhnya dia memang gemar berteman, bahkan suka membantu orang lain, tak sedikit jumlah orang dalam dunia persilatan yang pernah menerima kebaikan darinya. Justru karena temannya terlalu banyak, diapun terlalu sosial maka keluarga kami hari demi hari semakin jatuh miskin" "Betul, hanya budak uang yang tak akan kekurangan uang" seru Kwik Tay lok sambil tertawa, "tahu dia manusia begitu, semestinya pukulanku itu harus sedikit diperingan" Bwe Ji lam segera menarik wajahnya, lalu pelan pelan berkata: "Ada dua hal yang hendak kuberitahukan pula kepadamu" "Katakanlah !" "Pertama aku tak senang ada orang menghina kakakku di hadapanku, kedua kalau bukan senjatanya tidak leluasa baginya, yang termakan oleh pukulan bukan dia melainkan kau sendiri" "Sik jin" si manusia batu Bwe Ji ka tentu saja senjatanya juga terbuat dari batu, tentang soal ini Kwik Tay lok juga pernah mendengar orang membicarakannya. Terpaksa Kwik Tay lok tertawa, tanyanya kemudian: "Entah bagaimana pula dengan ilmu silat yang dimiliki Lamkiong Cho asli ?" "Bila orang yang kau jumpai adalah Lamkiong Cho asli, sekarang mungkin kau tak bisa duduk di sini lagi" "Kalau tidak duduk di sini lantas duduk dimana ?" "Berbaring, sekalipun tidak berbaring dalam peti mati, paling tidak juga berbaring di atas ranjang" Kwik Tay lok tertawa tergelak, cuma sewaktu tertawa suaranya kedengaran kurang begitu leluasa. Untung saja Bwe Ji lam telah melanjutkan kembali kata katanya: "Rencana kami sejak awal sampai akhir semuanya berjalan dengan lancar, hingga......" Ia melirik sekejap ke arah Lim Tay peng, sebelum ia sempat berbicara, Lim Tay peng telah berkata duluan: "Hingga aku berjumpa dengannya tanpa sengaja?" Bwe Ji lam menghela napas panjang. "Aku sebetulnya berharap agar pada hari itu kalian tidak ke kota dan tidak berjumpa dengannya." "Ia kuatir kita akan menyelidiki rahasianya, maka dia sengaja datang untuk membunuh kami dan menghilangkan saksi ?" kembali Lim Tay peng menyindir. Bwe Ji lam menghela napas sedih. "Dia adalah putra tunggal keluarga Bwe kami, tentu saja dia berharap agar nama baik keluarga Bwe kita yang telah berusia beberapa ratus tahun itu tidak sampai hancur di tangannya." Ong Tiong menghela napas. "Oleh karena itu dia lebih suka mengakui dirinya sebagai Lamkiong Cho, juga tak ingin mengucapkan asal usulnya sendiri, ia lebih suka mati daripada kehilangan muka, bukan begitu ?" Bwe Ji lam manggut manggut, sepasang matanya sudah berubah menjadi merah padam. Tiba tiba Ong Tiong menghela napas panjang lagi, katanya: "Tampaknya untuk menjadi seorang putra tunggal dari suatu keluarga persilatanpun memiliki banyak penderitaan dan persoalan yang tak diketahui orang luar." Di dunia ini mungkin hanya ada semacam manusia yang lebih menderita dari padanya." sela Kwik Tay lok. "Manusia macam apa ?" tanya Ong Tiong. "Adik perempuannya !" Bwe Ji lam mengerling sekejap ke arahnya, bibirnya senyum tak senyum tapi justru kelihatan makin mempersonakan hati. Dengan termangu mangu Lim Tay peng memperhatikannya, tiba tiba ia berkata: "Kaukah yang mengirim peti mati itu kemari ?" "Ehmm . . . . . . . ." "Karena apa ?" "Bwe Ji lam menghela napas: "Aku tahu hatimu tentu amat sedih setelah membunuh orang, maka kukirim peti mati kosong itu dengan tujuan ingin memberitahukan kepadamu bahwa orang yang kau bunuh sebenarnya tidak mati" Mimik wajah Lim Tay peng kelihatan makin tertegun, kemudian gumamnya lirih: "Kalau begitu, bagaimanapun juga aku harus berterima kasih kepadamu . . . . . !" Kwik Tay lok memandang ke arahnya kemudian memandang pula ke arah Bwe Ji lam, akhirnya dia turut menghela napas. "Aku juga harus berterima kasih kepadamu, ia memang bersikap sangat baik kepadamu" Yan Jit yang selama ini hanya membungkam terus, tiba tiba menimbrung dengan suara dingin: "Tapi, bukankah di atas peti mati itu dengan jelas tertuliskan nama dari Lamkiong Cho?" "Yaa, bagaimanapun juga, aku tak dapat menghianati kakakku." Matanya semakin merah, lanjutnya: "Walaupun aku tahu kalau perbuatannya salah, tapi akupun hanya bisa menghalanginya secara diam diam" "Maka selama ini kau tak berani menampakkan diri !" sambung Yan Jit. Dengan sedih Bwe Ji-lam mengangguk. "Yaa, aku tak berani menampakkan diri dan tak bisa menampakkan diri. Tapi aku masih bisa menggunakan segenap kekuatan yang kumiliki untuk membaiki kalian, aku cuma berharap agar kalian sudi memandang di atas wajahku dan mengampuni dirinya." "Sekarang dia berada di mana ?" "Pulang ke rumah." "Apakah kau yang menolongnya ?" "Tentu saja aku, dia adalah kakak kandungku, bagaimanapun juga aku toh tak bisa membiarkan dia tersiksa" Tiba tiba ia mendongakkan kepalanya, lalu berkata: "Seandainya kalian tidak bersedia mengampuninya, kalianpun tak usah pergi menjumpainya, kalian boleh mencari aku, sebab aku bersedia untuk menanggung segala sesuatunya." Mendadak LimTay peng melompat bangun lalu serunya dengan suara lantang: "Perduli apapun yang akan dikatakan orang lain, aku tetap menganggap bahwa kau tidak bersalah." "Siapa bilang dia bersalah?" sambung Kwik Tay lok, "siapa berkata demikian, dia pastilah seorang telur busuk." "Aku cuma bisa mengatakan bahwa pada hakekatnya dia bukan manusia" Ong Tiong menambahkan. Paras muka Lim Tay peng segera berubah menjadi merah membara, bahkan merah sampai ke telinganya, dengan mata melotot dia berteriak: "Kau bilang dia bukan manusia?" "Dia memang bukan manusia." Ong Tiong menghela napas, "karena belum pernah kujumpai manusia yang pemberani seperti dia." Kwik Tay lok segera bertepuk tangan, sambungnya: "Sedikitpun tak salah, kata kata semacam ini sesungguhnya ia tak usah memberitahukannya kepada kita, tapi ia tidak berniat untuk merahasiakannya, siapa lagi yang bisa menandingi keberanian semacam ini ?" "Apakah kau juga tak mampu untuk menandinginya ?" tanya Yan Jit. Kwik Tay lok segera menghela napas. "Aaaaai . . . . . coba berganti aku, belum tentu aku berani untuk mengutarakan persoalan ini secara terus terang." Tiba tiba Yan Jit tertawa, katanya: "Sekarang kau seharusnya mengerti, perempuan belum tentu berpikiran sempit seperti apa yang kau bayangkan bukan ?" "Yaaa, benar, bukan saja tidak berpikiran sempit, bahkan berjiwa mulia . . . . . !" Sepasang mata Bwe Ji lam kembali berubah menjadi merah, agak sesenggukan dia berkata: "Kalian . . . kalian benar benar tidak menyalahkan aku ?" "Menyalahkan kau! Siapa berani menyalahkan kau! Malah seharusnya kami berlutut di hadapanmu sambil berterima kasih." "Benar !" Ong Tiong menambahkan, "coba bukan karena kau, sekalipun kami tak akan mati keracunan, paling tidak juga akan mati kelaparan." Bwe Ji lam menundukkan kepalanya semakin rendah. "Padahal kakakku juga belum tentu akan . . . . . . ." "Kau tak usah memberi penjelasan lagi, pokoknya kami tak ada yang menyalahkan dia." tukas Kwik Tay lok, "Sungguh!" "Seandainya aku menjadi dia, mungkin saja akupun akan berbuat demikian' "Kalau aku pasti akan berbuat lebih ganas lagi !" Ong Tiong menambahkan. "Aku hanya kuatir andaikata di kemudian hari kakakmu mengetahui kalau kaulah yang mengacau rencananya, mungkin dia akan marah, marah setengah mati." Bwe Ji lam segera tertawa getir. "Sekarangpun dia sudah tahu !" katanya. "Bagaimana sikapnya setelah mengetahui kejadian ini . . . . . ?" tanya Kwik Tay lok. "Marahnya setengah mati !" "Lantas apa yang kau lakukan ?" "Akupun kabur!" "Tapi cepat atau lambat kau toh pasti akan pulang, sebab di sanalah rumahmu". kata Kwik Tay lok dengan kening berkerut. Sekali lagi Bwe Ji lam menundukkan kepalanya dan tidak berbicara lagi. Tiba tiba Ong Tiong tertawa, katanya: "Bila dia harus pulang, sudah pasti banyak penderitaan yang akan dialaminya, tapi dia toh bisa saja tak usah pulang." "Kenapa? " "Bila seorang gadis sudah menikah, tentu saja dia tak usah pulang ke rumah asalnya" kata Ong Tiong sambil tersenyum. Seperti baru saja menyadari akan persoalan ini, Kwik Tay lok segera berseru tertahan: "Benar, jika ia sudah menikah maka diapun sudah bukan anggota keluarga Bwe lagi, kakaknya juga tak usah mengurusi dirinya lagi' "Oleh karena itu dia tak bisa tidak harus lekas lekas kawin" "Tapi kawin dengan siapa ?" "Tentu saja kawin dengan orang yang disukainya, mungkin aku, mungkin juga kau" Tiba tiba saja Kwik Tay lok menjadi tertegun. Tiba tiba ia menemukan bahwa Bwe Ji lam sedang mengerling ke arahnya sambil tertawa. Bwe Ji lam, menundukkan kepalanya dengan wajah merah dan duduk tenang di sana, seakan akan merasa serba salah, merasa sedih sekali, tapi sekulum senyuman masih menghiasi terus ujung bibirnya. Senyuman itu bagaikan senyuman seekor rase kecil yang baru berhasil mencuri delapan ekor ayam. Akhirnya Kwik Tay lok menyadari, rupanya mereka berempat lelaki tanggung telah terkecoh oleh gadis tersebut. Berada dalam keadaan demikian, siapapun yang dia sukai, rupanya terpaksa harus kawin juga dengannya. Rupanya tanpa mereka sadari si rase kecil itu telah memasang jirat yang menjirat leher mereka semua, sekarang asal tangannya membetot ke belakang maka salah seorang diantaranya akan tergantung untuk selamanya. "Tampaknya kaum perempuan memang jauh lebih pintar daripada apa yang dibayangkan kaum lelaki." Cuma . . . . . . siapakah orangnya yang bakal digantung olehnya itu? Ong Tiong masih tertawa, tertawa bagainya seekor rase pula, seekor rase tua. Dia seakan akan sudah tahu kalau dirinya tak bakal kena digaet oleh perempuan itu. Bahkan dia masih mengetahui pula sebagian persoalan yang tidak diketahui Kwik Tay lok. Mendadak sambil tertawa : "Walaupun kami bukan manusia sebangsa toa enghiong atau toa haukiat, tapi kamipun bukan setan bernyali kecil yang melupakan budi kebaikan orang lain, bukan demikian ?” "Betul!" jawab Lim Tay peng cepat. "Maka seandainya nona Bwe mempunyai kesulitan apa apa, kamipun pasti akan mencarikan akal baginya untuk menyelesaikan persoalan itu, betul toh ?" "Betul !" Lagi lagi Lim Tay peng yang berbuat menjadi lebih dulu. Kwik Tay lok memandang ke arahnya, lalu diam diam menghela napas. Pikirnya: "Aaai . . . . dasar anak muda, setiap saat setiap waktu selalu bersikap hangat yang berlebihan, baru saja orang lain menyiapkan tali gantung, kau telah berebut untuk menjiratkan di atas leher sendiri." Belum habis dia menghela napas, terasa olehnya Ong Tiong sedang melotot ke arahnya sambil menegur: "Bagaimana dengan kau? Benar tidak perkataan ini ?" Sekalipun Kwik Tay lok ingin mengatakan tidak juga tak bisa, kalau ada sebutir telur ayam di situ, dia ingin menjejalkannya ke mulut Ong Tiong yang bawel itu. Tiba tiba Yan Jit menyela : "Sesungguhnya kau tak usah bertanya kepadanya, soal mengasihani perempuan, menolong kaum yang lemah siapa lagi yang bisa menangkan Kwik sianseng kita ini?" Ong Tiong manggut manggut, seakan akan ia sudah dibikin mengerti oleh ucapan dari Yan Jit tersebut, katanya dengan serius: "Betul juga perkataanmu itu, tapi bagaimana dengan kau sendiri ?" Yan Jit tertawa, sahutnya hambar. "Asal Ong lotoa sudah berkata satu patah kata, masa aku masih ada persoalan lagi ?" Ong Tiong segera menghembuskan napas panjang, dengan wajah berseri ia lantas berkata: "Nona Bwe, semua pembicaraan kami tentunya sudah kudengar semua bukan ?" Bwe Ji lam menundukkan kepalanya sambil mengiakan, suaranya selembut suara nyamuk: "Kalau memang begitu, bila kau mempunyai kesulitan mengapa tidak diutarakan saja?" tanya Ong Tiong. Bwe Ji lam menundukkan kepalanya semakin rendah, dengan wajah yang mengenaskan katanya lirih: "Aku merasa rikuh untuk mengucapkannya keluar !" "Katakan saja, tak usah bimbang” Dengan wajah merah jengah, rikuh dan patut dikasihani Bwe Ji lam termenung beberapa saat lamanya, sampai setengah harian kemudian dia baru melanjutkan kembali kata katanya: "Ketika kakakku mengetahui aku telah berbuat demikian, rasa gusarnya hampir saja membuat ia menjadi gila, dia mendesak aku terus menerus mengapa aku sampai melakukan perbuatan semacam ini, mengapa membantu orang luar untuk mencelakai kakak sendiri ?" "Lantas bagaimana kau jawab ?" Paras muka Bwe Ji lam berubah semakin merah membara karena rasa malu yang luar biasa. "Aku tidak berhasil menemukan alasan yang tepat." sahutnya, "maka terpaksa aku bilang . . . . terpaksa aku bilang . . . . . terpaksa aku bilang . . . . . . . . . . ." Seperti otot disekitar mulutnya mendadak menjadi kejang, dia tak sanggup melanjutkan kembali kata katanya kecuali ketiga patah kata tersebut. Kwik Tay lok merasa tidak sabar lagi, tak tahan dia lantas bertanya: "Kau bilang apa ?" Bwe Ji lam menggigit bibirnya menahan pergolakan emosi didalam hatinya, tampaknya ia sudah mengambil suatu keputusan dalam hatinya, dengan wajah memerah katanya: "Terpaksa aku bilang, orang yang kubantupun bukan orang luar, dia lantas bertanya lagi, kalau bukan orang luar lantas siapa ? Terpaksa akupun berkata bahwa dia adalah . . . . . . dia adalah . . . . ." "Dia adalah apa ?" tanya Kwik Tay lok lagi tidak tahan. "Terpaksa aku bilang dia adalah Moayhu (suami adik) mu sendiri, karena aku telah mengikat tali perkawinan dengannya." Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, sekujur badannya seolah olah menjadi amat lemas sehingga hampir saja terjatuh dari atas kursi. Kwik Tay lok juga hampir terjatuh ke kolong meja. "Bagaimana reaksi kakakmu setelah mendengar perkataan itu ?" tanya Ong Tiong kemudian sambil mengerdipkan matanya. Bwe Ji lam menarik napas panjang, sesudah berhenti sejenak katanya: "Sesudah mendengar perkataan itu, hawa amarahnya baru menjadi agak mereda, tapi dia memperingatkan diriku, andaikata aku sedang membohonginya, maka dia akan menghajarku setengah mati, diapun memaksa aku untuk. . . . untuk mengajaknya pulang ke rumah." “Apanya yang diajak pulang ke rumah?" "Orangnya . . . . . . " sahut Bwe Ji lam sambil menggigit bibirnya kencang kencang. "Orang apa ?" "Moay . . . . . . moay hu. . ." "Moay hu siapa ?" "Moay hu kakak .....kakakku" Selesai mengucapkan perkataan itu, sekujur badannya sudah menjadi lemas hingga sama sekali tak bertenaga lagi. Kwik Tay lok juga merasakan sekujur badannya lemas tak bertenaga. Sekali lagi Ong Tiong menghembuskan napas panjang, seolah olah hingga kini ia baru memahami duduknya persoalan. Dalam kenyataannya, memang bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk memahami ucapan dari seorang gadis. Ong Tiong tertawa. "Agaknya persoalannya sekarang tinggal satu !" "Persoalan apa ?" tanya Lim Tay peng. "Diantara kita berempat, siapakah yang akan menjadi Moay hunya kakak nona Bwe ? Dan apakah ia bersedia atau tidak mengikuti nona Bwe pulang ke rumahnya ?" "Aaaah, siapa yang tidak bersedia ? Masa dia tega menyaksikan nona Bwe dihajar oleh kakaknya?" "Seandainya ada yang tidak bersedia?" "Maka dia tak bisa dianggap sebagai teman kita lagi." seru Lim Tay peng dengan suara lantang, "terhadap sobat yang tidak bersahabat macam itu, kita pun tak usah berlaku sungkan sungkan lagi." Ong Tiong segera bertepuk tangan kegirangan, sahutnya: "Betul, sekalipun ada orang yang enggan pergi, tiga orang lainnya juga harus memaksanya untuk pergi, setujukah kalian?" "Setuju !" "Dan kau ?" Ong Tiong melirik sekejap ke arah Kwik Tay lok. Dengan suara dingin tiba tiba Yan Jit berkata: "Tidak seharusnya pertanyaan semacam itu kau ajukan, masa kau menganggap Kwik Sianseng adalah seorang lelaki yang suka melupakan budi orang ?' "Kalau begitu bagus sekali !" seru Ong Tiong sambil tertawa tergelak gelak. "Sekarang, semua masalahnya sudah beres, nona Bwe, apa lagi yang masih kau nantikan ?" Tapi Bwe Ji lam belum juga menjawab, seakan akan dia sengaja membiarkan mereka menunggu sebentar lagi. Perempuan memang sukanya berbuat demikian, selalu membikin orang lelaki merasa gelisah. Dengan sepasang biji matanya yang jeli, gadis itu memandang wajah ke empat orang lelaki tersebut silih berganti. Dalam keadaan demikian, Kwik Tay lok hanya berharap, sepasang biji mata yang jeli itu jangan sampai berhenti di atas wajahnya. . Sesungguhnya ia sama sekali tidak jemu terhadap "Swan Bwe thong" itu, seandainya pagi tadi ia mengatakan bahwa orang yang di sukai adalah orang lain bukan dia, mungkin dia akan marah marah besar. Tapi suka adalah satu masalah, mencari bini adalah masalah lain. Apalagi kalau mencari bini dalam keadaan yang dipaksakan, tentu saja keadaan ini jauh lebih berbeda lagi, seperti misalnya dia gemar minum arak, sekalipun demikian ia tak suka kalau ada orang memencet hidungnya sambil melolohkan arak ke dalam perutnya. Dia cuma berharap semoga sepasang mata Bwe Ji lam berpenyakit, bukan dia yang dituju melainkan orang lain. Tapi sayangnya sepasang mata si "Swan Bwe thong" ini justru sama sekali tak berpenyakit, bahkan pada waktu itu sedang menatap wajahnya lekat lekat. Bukan cuma memandang lekat lekat, bahkan sedang tertawa, tertawanya begitu manis, begitu mempersonakan hati. Siapapun orangnya, jika ia tahu kalau pancingnya sudah berhasil menangkap seekor ikan besar, senyuman yang menghiasi bibirnya tentu secerah ini. Kwik Tay lok ingin juga tertawa kepada-nya, apa mau dikata justru ia tak sanggup untuk tertawa. Ia menghela napas panjang dalam hatinya lalu berpikir: "Aaaai . . . . . anggap raja aku lagi apes, siapa suruh tampangku jauh lebih ganteng dari pada orang lain ?" Tiba tiba Bwe Ji lam berkata: Masih ingatkah kau, bila aku sudah mengambil keputusan maka orang pertama yang akan kuberitahu adalah kau ?" Mendengar perkataan itu, Kwik Tay lok segera bergumam seorang diri: "Padahal kau juga tidak usah begitu memegang janjimu itu, bukankah apa yang telah dijanjikan oleh kaum gadis, biasanya suka dilupakan kembali ?" "Tapi aku tak pernah melupakan janjiku sendiri, apa yang telah kukatakan pasti akan kulaksanakan . . . . . . . . nah, hayolah ikut aku keluar dari sini, akan kuberitahukan kepadamu siapakah, orang yang menjadi pilihanku itu." Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, dia lantas bangkit berdiri dan beranjak dari tempat itu. Langkah tubuhnya tampak sangat enteng dan lincah, enteng bagaikan seekor burung walet. Yaa, itulah seekor burung walet yang baru saja berhasil menangkap beberapa ekor ulat bulu yang besar. Belum pernah mereka menjumpai gadis yang lincah semacam ini, begitu lincah dan riangnya sehingga mempersonakan hati orang. Dalam waktu singkat ia sudah berada di depan pintu gerbang sana, melangkah dengan lemah gemulai bak bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Kwik Tay lok tertegun, sedang yang lain juga melongo besar. XXXXXXXXXX Ketika tiba di pintu depan, gadis itu kembali berpaling menggape ke arah Kwik Tay lok. Menggape dengan tangannya yang putih dan halus. Jika tengkukmu sudah dicekik oleh sepasang tangannya itu, bagaimanapun putih dan halusnya tangan tersebut, perasaannya pada saat itu tentu kurang sedap. Terpaksa Kwik Tay lok bangkit berdiri dan menengok ke arah Yan Jit. Tapi Yan Jit tidak memandang ke arahnya. Kwik Tay lok memandang ke arah Ong Tiong. Ong Tiong sedang minum arak, cawan arak telah menghalangi sepasang matanya. Kwik Tay lok pun memandang ke arah Lim Tay peng. Tapi Lim Tay peng sedang duduk termangu mangu seperti orang bodoh. Akhirnya Kwik Tlay Iak menggigit bibirnya kencang kencang, dengan gemas serunya: "Sudah pasti nenek moyangmu dulu sudah banyak hutang budi kepada orang, kalau tidak mengapa aku bisa berteman dengan manusia-manusia macam kalian?" Terdengar Bwe Ji lam yang berada di luar berseru: "Hai, apa yang sedang kau ucapkan ? Kenapa belum juga menampakkan diri ?" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang. "Aaaai . . . . aku bukan sedang berbicara, berkentut!" sahutnya. "Akhirnya dia toh beranjak juga menuju ke luar ruangan. Kalau dilihat dari wajahnya yang bermuram durja dan sedih itu, tampang tersebut mirip dengan seorang terhukum yang sedang dibawa menuju ke pengadilan. Lewat setengah harian kemudian, tiba-tiba Lim Tay-peng juga menghela napas panjang, kemudian bergumam: "Tidak kusangka orang inipun pandai berlagak pilon, dihati kecilnya dia merasa gembira setengah mati, tapi wajahnya justru menunjukkan sikap bermuram durja, sungguh membuat orang yang melihat merasa mendongkol." Omelan tersebut kedengaran rada kecut tak sedap didengar, arak yang berada dalam perutnya juga seolah olah berubah menjadi cuka semua (maksudnya cemburu). Ong Tiong segera tertawa: "Lagi lagi kau telah salah menduga !" serunya. "Salah menduga dalam soal apa ?" "Sesungguhnya dia tidak suka dengan nona itu.” "Tidak suka ? Apakah nona Bwe tidak pantas untuk mendampingi dirinya ?" "Pantas atau tidak adalah suatu urusan, suka atau tidak adalah urusan lain." "Darimana kau bisa tahu kalau dia tidak suka ?” "Karena dia belum menjadi seorang bodoh dan dia belum menjadi orang bisu." Lim Tay peng segera mengerdipkan matanya berulang kali, rupanya ia tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan. Agaknya Ong Tiong juga tahu kalau ia tidak mengerti, maka jelasnya lebih lanjut: "Ada seorang yang sangat pintar pernah mengucapkan sepatah kata yang amat masuk diakal, dia bilang: “Bagaimana cerdiknya seseorang, bila ia benar benar mencintai seorang gadis, maka selama berada dihadapannya maka dia pasti akan berubah menjadi ketolol tololan, bahkan untuk bicarapun tak mampu." Dengan pandangan sengaja tak sengaja dia melirik sekejap ke arah Yan Jit, kemudian sambil tertawa: "Tapi selama berada di hadapan nona Bwe justru perkataan yang di ucapkannya paling banyak daripada orang lain . . . " "Hal ini dikarenakan dia memang sudah dilahirkan dengan mulut yang sudah cerewet" tukas Yan Ji ketus. Ong Tiang cuma tertawa dan tidak berbicara lagi. Tak ada orang ingin menjadi orang yang cerewet biasanya orang juga tak akan menganggap dirinya sebagai orang yang cerewet, tapi hari ini agaknya ia agak berubah, ucapannya juga lebih banyak beberapa kali lipat ketimbang biasanya. Sesungguhnya Lim Tay peng sudah me-rasa keheranan sendiri tadi. Hari ini, mengapa orang ini bisa sede-mikian cerewet ? Kata kata, sebanyak itu sesungguhnya sengaja dia tunjukkan kepada siapa .... Lim Tay peng hanya mengetahui satu hal: Bila tiada sesuatu alasan yang istimewa, Ong Tiong tak akan sedemikian cerewetnya, bahkan untuk menggerakkan mulut pun enggan. Rembulan bersinar dengan indahnya: Mungkin jarang ada orang yang memperhatikannya, tapi rembulan di musim dingin belum tentu kalah indahnya dari pada rembulan di musim semi, rembulan di musim dinginpun masih sanggup untuk menggetarkan perasaan gadis. Rembulan yang sedang bersinar purnama berada jauh di awang awang, Bwe Ji lam berdiri di bawah pohon yang rimbun. Cahaya rembulan menyoroti matanya yang jeli dan wajahnya yang cantik. Sepasang matanya itu jauh lebih indah daripada rembulan. Bahkan Kwik Tay lok sendiripun tak bisa tidak untuk mengakui bahwa gadis itu benar-benar seorang gadis yang menawan hati, terutama potongan badannya yang ramping dan padat berisi itu, belum pernah Kwik Tay lok menjumpai gadis cantik dengan potongan badan sebagus ini. Ia tampak jauh lebih cantik daripada ketika dijumpai Kwik Tay lok untuk pertama kalinya dulu, mungkin karena pakaiannya, mungkin juga karena senyumannya. Pakaian yang dikenakannya hari ini sudah bukan pakaian dengan bahan kain yang kasar lagi, pinggangnya yang ramping ditutup oleh gaun yang panjang, membuat gadis itu tampak lebih cantik dan lebih menawan hati. Kembali ia memandang ke arah Kwik Tay-lok sambil tertawa, tertawanya itu tampak lebih baik cantik dan manis. Sesungguhnya Kwik Tay lok paling menyukai senyumannya itu, tapi sekarang, hampir boleh dibilang ia tak berani memandang lagi ke arahnya barang sekejappun. Senyuman seorang anak gadis ibaratnya pakaian atau perhiasan yang mereka kenakan, semuanya bertujuan untuk memancing perhatian orang lelaki. Lelaki yang pintar biasanya enggan untuk memperhatikan perhiasan atau pakaian atau senyuman yang diperlihatkan para wanita. Seandainya dihari itu Kwik Tay lok memahami teori tersebut, tentu tidak sebanyak ini kesulitan yang bakal dihadapinya. Diam diam ia menghela napas panjang, pelan pelan maju menghampirinya dan tiba tiba berkata: "Benarkah takaran minum kakakmu sangat baik ?” "Bohong !" Bwe Ji lam sambil tertawa, "dihari hari biasa ia hampir tak pernah minum arak." "Waaah. . . kalau begitu agak repot juga!" keluh Kwik Tay lok sambil tertawa getir. "Sebenarnya aku ada rencana untuk melolohnya sampai mabuk begitu bersua maka nanti, daripada ia menjadi teringat kembali dengan kejadian kemarin dan sengaja menjadi gara gara denganku" "Jika kau takut ia datang mencari gara-gara denganmu, tunggu sajalah beberapa hari lagi, setelah rasa mendongkolnya agak reda, kau baru pergi menjumpainya " "Bukankah kau buru buru hendak mengajakku untuk pulang menjumpainya?" Tiba tiba Bwe Ji lam membelalakkan sepasang matanya lebar lebar dan memandang ke arahnya dengan mata mendelik. "Kau kira. . . .. kau kira. . . . . . ?" Mendadak ia tertawa tergelak, tertawa terpingkal pingkal sehingga membungkukkan badannya. Menyaksikan keadaan dari gadis tersebut, Kwik Tay lok menjadi tertegun, sepasang matanya terbelalak besar dan balas mendelik kearah gadis itu. "Bukan aku . . . . . . . . . ..?" gumamnya tergagap. Bwe Ji lam masih tertawa terpingkal-pingkal dengan kerasnya sehingga untuk berbicara tak sanggup, dia cuma bisa menggelengkan kepalanya berulang kali. "Kalau bukan aku, lantas siapa ?" tanya Kwik Tay lok kemudian tak tahan. Dengan susah payah akhirnya berhasil Bwe Ji lam menghentikan gelak tertawanya, dengan napas masih terengah sahutnya: "Yan Jit !" "Apa ? Yan Jit . . . . ?" jerit Kwik Tay lok, "orang yang kau cintai adalah Yan Jit ?" Bwe Ji lam manggut manggut berulang kali. Sekarang Kwik Tay lok baru benar benar dibuat tertegun. Sesungguhnya dia memang tidak berhasrat untuk menikah dengan Bwe Ji-lam, bahkan dengan siapapun tidak ingin. Sekarang terbukti kalau orang yang dicintai Bwe Ji lam bukan dia, seharusnya dia musti menghembuskan napas lega, merasa bergembira karena tidak terpilih. Tapi entah karena apa, tiba tiba saja dia malah merasa amat sedih, amat kecewa, bahkan sedikit merasa cemburu. Lewat lama sekali dia baru menghembuskan rasa mengkalnya itu keluar, sambil menggeleng gumamnya: "Aku benar benar tidak habis mengerti, mengapa kau bisa jatuh hati kepadanya?" Bwe Ji lam mengerling sekejap ke arah pemuda itu dengan sinar mata yang jeli, kemudian sahutnya sambil tertawa: "Aku hanya merasa dia sangat baik, segala-galanya baik." "Bahkan tidak mandi pun terhitung baik?" "Seorang lelaki yang gagah seringkali tak pernah memikirkan soal dirinya sendiri sebelum menikah, tapi bila sudah dirawat oleh isterinya, maka seringkali diapun akan berubah . . . . !" Mencorong sinar tajam dari balik matanya, seperti lagi mengigau, katanya lebih lanjut sambil tertawa: "Terus terang saja kukatakan, sedari kecil aku sudah menyukai lelaki yang tidak sok perlente seperti dia, sebab hanya lelaki semacam inilah baru betul betul berjiwa seorang lelaki. Kalau memandang lelaki yang senang berdandan dan sok perlente, melihat saja aku sudah muak." Ketika Kwik Tay lok memandang sepasang matanya itu, mendadak ia merasa bahwa sepasang matanya itu sama sekali tidak indah, bahkan pada hakekatnya seperti mata orang buta saja.` "Aku juga tahu kalau selama ini dia selalu menghindariku, seakan akan merasa muak kepadaku," terus Bwe Ji lam, "padahal begitulah watak yang asli dari seorang lelaki sejati. Aku paling benci dengan laki laki yang macam lalat saja begitu bertemu dengan perempuan . . . . . . . !" Kwik Tay lok merasa pipinya rada panas dan merah karena jengah, ia lantas mendehem beberapa kali, kemudian katanya: "Kalau begitu, kau benar benar mencintainya ?" "Masa kau sama sekali tidak mengetahuinya ?” Kwik Tay lok menghela napas panjang, lalu tertawa getir. "Aku hanya merasa kau seakan akan bersikap amat hangat dan mesra kepadaku." katanya. "Itu mah sengaja kulakukan agar dia menjadi panas hatinya dan cemburu." "Kalau toh kau memang amat menyintainya, mengapa malah kau buat sehingga dia menjadi marah ?" "Justru karena aku mencintainya maka aku harus membuatnya menjadi marah, masa teori semacam ini tidak kau pahami ?" Kembali Kwik Tay lok tertawa getir. "Kalau begitu, menjadi seorang laki laki lebih baik jangan sampai dicintai oleh perempuan, kalau selamanya tak dicintai oleh perempuan, bukankah hidupnya akan bertambah senang dan gembira?" "Apakah sekarang kau merasa amat gembira?" "Yaa, tentu saja gembira sekali, bahkan saking gembiranya aku ingin berteriak teriak" Ketika Kwik Tay lok berjalan masuk kembali, sekalipun seorang buta juga tahu kalau hatinya sama sekali tidak merasa gembira. Kalau disaat keluar dari ruangan tadi keadaannya seperti terhukum yang menuju ke lapangan penembakan. maka sekarang keadaannya tak bedanya seperti sesosok mayat. Mungkin keadaan rada mendingan sedikit daripada mayat, karena ia masih bisa bernapas. Keadaan didalam ruangan tersebut tidak jauh berbeda daripada suasana sewaktu dia ke luar tadi, Ong Tiong masih minum arak, Lim Tay peng masih termangu mangu dan Yan Jit seperti orang yang tidak melihat kedatangannya. Kwik Tay lok segera merampas cawan arak ditangan Ong Tiong itu, lalu berteriak dengan suara keras: "Hei, mengapa kalian semua hari ini ? Apakah sudah menjadi guci arak semua ?" Ong Tiong tertawa, sahutnya: "Untuk memperingati hari perkawinan dari teman karib kita, tentu saja kita harus minum beberapa cawan lebih banyak, masakah si pengantin lelaki merasa keberatan ?" Sebetulnya Kwik Tay lok juga ingin tertawa, namun ia tak mampu bersuara, dikerlingnya Yan Jit sekejap, kemudian katanya: "Di sini memang ada seorang pengantin baru, cuma orangnya bukan aku !" Rupanya Ong Tiong sama sekali tidak menanggapi kejadian itu sebagai sesuatu yang di luar dugaan, hanya tanyanya dengan suara hambar: Kalau bukan kau, lantas siapa ?" Kwik Tay lok tidak menjawab. Dia telah membalikkan badannya, dengan sepasang mata yang mendelik besar ditatapnya Yan Jit tanpa berkedip. "Hei, apa yang kau perhatikan ?" Yan Jit segera menegur. "Aku sedang memperhatikan kau ?" "Apa yang baik dengan diriku ?" sahut Yan Jit sambil tertawa dingin, "apa kau tidak merasa salah melihat orang ?" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, katanya: "Aaaai . . . . aku memang sedang memperhatikan dirimu dengan seksama, aku ingin tahu keistimewaan apakah yang kau miliki sehingga orang lain bisa tertarik kepadamu." "Tertarik kepadaku ? Siapa yang tertarik kepadaku ?" tanya Yan Jit dengan kening berkerut. "Siapa lagi ? Tentu saja si pengantin perempuan !" Yan Jit baru merasa terperanjat setelah mendengar perkataan itu, teriaknya: "Apa hubungannya antara pengantin perempuan dengan diriku ?" "Jika si pengantin perempuan tak ada hubungannya dengan si pengantin lelaki, lantas dia musti mempunyai hubungan dengan siapa?" Kontan saja Yan Jit melototkan sepasang matanya bulat bulat. "Siapa yang menjadi pengantin ?" "Kau !" Yan Jit menjadi tertegun. Pada mulanya dia kelihatan agak terperanjat, kemudian secara tiba tiba berubah menjadi gembira dan akhirnya tertawa terbahak bahak, seakan akan tiba tiba ia tahu kalau lotre buntutnya tembus. "Oooh . . . . rupanya kau pun menyukai" gumam Kwik Tay lok kemudian sambil mengedipkan matanya. Yan Jit tidak menjawab, ia cuma tertawa terus tidak hentinya. Kembali Kwik Tay lok berkata: "Bila kau tidak mencintainya pula, mengapa tertawamu begitu riang dan gembira ?" Yan Jit tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya: "Dimanakah orangnya sekarang ?" “Sedang menunggu pengantin lelakinya di halaman depan, lebih baik janganlah kau buat ia merasa gelisah karena harus menunggu terlalu lama" Yan Jit memang tidak membiarkan ia menunggu lama, ketika ucapan Kwik Tay lok baru selesai diucapkan, dia sudah melompat bangun dan lari ke depan. Kwik Tay lok memandang ke arahnya kemudian pelan pelan menggelengkan kepala-nya berulang kali, gumamnya: "Tampaknya si pengantin lelaki jauh lebih terburu napsu daripada pengantin perempuannya." "Apakah kau tidak merasa puas?" tiba-tiba Ong Tiong menegur sambil tertawa. Kwik Tay-lok melotot sekejap ke arahnya, kemudian menjawab dengan dingin: "Aku tak lebih hanya merasa agak heran." "Apanya yang perlu diherankan ?" "Aku cuma heran, kenapa mata setiap perempuan tentu ada penyakitnya ?" "Jadi kau beranggapan nona Bwe tidak sepantasnya tertarik kepada Yan Jit ? Kau anggap dia amat jelek ?" Kwik Tay lok berpikir sejenak, kemudian: "Padahal ia juga tak dibilang terlalu jelek paling tidak matanya tidak jelek." Di dalam kenyataan, sepasang mata Yan Jit bukan cuma tidak jelek, bahkan menarik sekali, terutama bila ia sedang tertawa, keadaannya ibarat air telaga di musim semi yang syahdu. "Jelekkah hidungnya ?" kembali Ong Tiong bertanya. Kwik Tay lok berpikir sebentar, lalu menjawab: "Juga tak bisa dianggap jelek, cuma dikala tertawa maka hidungnya jadi lebih mirip dengan bak-pao" Jika Yan Jit sedang tertawa maka hidungnya selalu berkenyit lebih dahulu, bukan saja tidak mirip bak-pao bahkan malah kelihatan lebih nakal dan indah. "Jelekkah bibirnya ?" kembali Ong Tiong bertanya. Mendadak Kwik Tay lok tertawa. "Aku jarang sekali dapat melihat bibirnya!" dia berseru. "Kenapa ?" "Bibirnya jauh lebih kecil daripada bibir anjing cho cho, mana aku bisa melihatnya ?" Apakah mulut yang terlampau kecil jelek dipandang ?" Terpaksa Kwik Tay lok harus menggaruk-garuk kepalanya karena dia bukan berbicara dengan suara hatinya. Coba katakan, bagai mana dari tubuhnya yang jelek dipandang . . . . .?" desak Ong Tiong lagi. Kwik Tay lok sudah berpikir lama sekali, tiba tiba ia merasa bahwa dari kepala sampai kaki Yan Jit sesungguhnya indah semua. Bahkan sepasang tangannya yang selalu dekil dan kotor itupun jauh lebih ramping, runcing dan indah daripada jari tangan orang lain. Terpaksa Kwik Tay lok menghela napas panjang, katanya: "Andaikata dia sering mandi, mungkin dia bukan seorang yang tak sedap dipandang!" Tiba tiba Ong Tiong tertawa, katanya: "Seandainya dia benar benar telah mandi, mungkin kau sendiripun akan merasa amat terperanjat." "Aku mah sangat berharap sampai kapan dia baru akan mengejutkan diriku," "Kalau toh kau sendiripun merasa dia tidak jelek, salahkah jika nona Bwe sampai jatuh hati kepadanya?" "Ya, tidak salah, dia memang tidak salah...." Mendadak dari arah ruangan depan sana mereka mendengar suara teriakan dari Bwe Ji lam, seperti kucing yang ekornya tiba-tiba diinjak orang. Kwik Tay lok segera melompat bangun ingin melihat ke depan, tapi dengan cepat ia duduk kembali, sambil gelengkan kepalanya dan tertawa katanya: "Aku tahu kalau pengantin lelaki biasanya sangat gelisah dan terburu napsu, tapi tidak kusangka kalau Yan Jit sedemikian lihaynya." Baru habis dia mengucapkan kata kata itu, tampaklah Yan Jit melangkah masuk. Dia masuk seorang diri. "Dimana pengantin perempuannya?" Kwik Tay lok segera menegur. "Tidak ada pengantin perempuan !" "Kalau ada pengantin lelaki, tentu saja ada pula pengantin perempuan . . . ." "Juga tak ada pengantin lelaki." Kwik Tay lok memandangnya tajam tajam mendadak sambil tertawa katanya : "Apakah pengantin perempuannya sudah dibikin lari ketakutan oleh pengantin lelaki?" Mendadak ia menjumpai di atas wajah Yan Jit terdapat tiga jalus bekas cakaran kuku yang memanjang, seperti bekas dicakar oleh kucing. Yan Jit sama sekali tak acuh, malahan sebaliknya kelihatan amat gembira, sampai mengerdipkan matanya dan tertawa dia berkata: "Dia memang sudah pergi, tapi bukan lari karena takut kepadaku " "Bukan? Kalau tanganmu tidak jahil, kenapa ia sampai berteriak?" Yan Jit tertawa. "Seandainya tanganku benar benar jahil, masa dia akan angkat kaki dari sini?" "Yaa, memang tidak bisa" terpaksa Kwik Tay lok mengakui. Karena diapun tahu, bila seorang perempuan telah mencintai seorang lelaki, maka dia tak akan takut menghadapi tangan jahil dari pasangannya. "Tapi apa sebabnya dia sampai pergi?" "Karena secara tiba tiba ia telah berubah pikiran, dia tidak jadi kawin denganku!" "Dia sudah berubah pikiran? Mana mungkin ?" "Karena . . . . . . . karena aku telah mengucapkan sepatah kata kepadanya" "Aku tidak percaya" kata Kwik Tay lok sambil menggelengkan kepalanya, "jika seorang perempuan sudah mengambil keputusan untuk kawin dengan seorang lelaki, sekalipun kau mengucapkan tiga ribu enam ratus kata, ia juga tak akan berubah pikiran. Sesudah berhenti sebentar, sambil tertawa terusnya: "Kapankah kau pernah menyaksikan ada orang yang membiarkan ikan yang berhasil dipancingnya itu kabur kembali dari tangannya?" Yan Jit tertawa. "Siapa tahu kalau secara tiba tiba ia menemukan bahwa ikan tersebut banyak durinya, mungkin juga dia memang tidak suka makan ikan . . . . . .” "Tiada kucing di dunia ini yang tidak suka makan ikan" "Tapi dia toh bukan kucing ?" Kwik Tay lok menatapnya tajam tajam, kemudian katanya sambil tertawa: "Kalau bukan kucing, kenapa bisa mencakar orang ?" Tentu saja Kwik Tay lok juga tahu, bukan saja perempuan pandai mencakar orang bahkan bila sudah mulai mencakar, malahan jauh lebih ganas daripada kucing. Jika kucing yang sedang mencakar orang, paling tidak ia mencakar karena ada alasannya, berbeda dengan perempuan. Bila ia sedang gembira, maka ia bisa jadi mencakar dirimu. Hanya ada satu hal yang tidak dipahami Kwik Tay lok. "Sesungguhnya cara apakah yang kau pergunakan sehingga membuat ia berubah pikiran ?" "Cara apapun tidak kugunakan, aku cuma mengucapkan sepatah kata saja." "Apa yang kau ucapkan ?" "Itu mah urusanku, kenapa kau musti tau?" "Karena aku ingin belajar." "Kenapa harus belajar ?" "Asal dia adalah seorang lelaki, mengapa tak ingin belajar ?" jawab Kwik Tay lok sambil tertawa. "Kalau memang begitu, aku lebih lebih tak bisa mengajarkannya kepadamu." "Kenapa ?" Yan Jit tertawa. "Karena itu adalah rahasiaku, bila kaupun bisa, dengan apa pula aku musti mengandalkan diri ?" Mendengar perkataan itu, Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, gumamnya: "Aaai . . . aku masih mengira kau adalah Sahabatku, ternyata cuma soal itu saja . . ." "Apakah diantara sesama teman tak boleh ada rahasia ?" tiba tiba Ong Tiong menukas. "Itu mah harus tergantung pada rahasia macam apakah itu ? Rahasia pribadi atau rahasia profesi ?" "Aaaaaah . . . . . . ! Rahasia yaa rahasia, semua rahasia adalah sama saja artinya." "Kalau begitu, kau juga ada rahasia?" Ong Tiong manggut manggut, "Dan kau sendiri ?" ia balik bertanya, "apakah kau tidak punya rahasia ?" Kwik Tay lok termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, sejenak kemudian, akhirnya dengan memaksakan diri, dia manggut manggut juga. "Seandainya orang lain ingin mengetahui rahasiamu, bersediakah kau untuk menjawabnya ?" tanya Ong Tiong lagi. Kembali Kwik Tay lok berpikir akhirnya dengan memaksakan diri dia pun menggeleng. “Kalau memang demikian, kau tak usah bertanya pula rahasia orang" Sesuai berkata, dia lantas membaringkan diri. Biasanya bila ia sudah membaringkan diri, itu bertanda kalau pembicaraan telah berakhir. Hanya kesimpulan yang benar baru bisa menyelesaikan suatu pembicaraan. Biasanya kesimpulan dari Ong Tiong adalah suatu kesimpulan yang benar. Setiap orang memang mempunyai rahasia. Setiap orang mempunyai hak untuk menyimpan rahasia sendiri, sebab hal ini merupakan kebebasannya. Kwik Tay lok sedang duduk di bawah emper rumah, sudah lama sekali ia duduk di sana, asal masih ada pekerjaan lain yang masih bisa dilakukan olehnya, dia tak akan duduk terpekur di situ. Ada orang lebih suka kelayapan di luar, melihat orang yang berlalu lalang, melihat anjing berkelahi dari pada mengurung diri didalam rumah. Kwik Tay lok adalah manusia semacam ini. Tapi satu satunya pekerjaan yang bisa dilakukan olehnya sekarang hanyalah duduk termangu di situ. Di bawah emper rumah sudah terbentuk tiang tiang salju yang membeku, ada yang panjang ada pula yang pendek, entah berapa banyak jumlahnya. Tapi Kwik Tay lok tahu, semuanya berjumlah enam puluh tiga batang, dua puluh enam batang agak panjang, tiga puluh tujuh batang agak pendek. Sebab sudah tujuh delapan belas kali dia menghitungnya. Udara memang terlampau dingin, dijalan raya bukan saja tidak kelihatan manusia, anjing anjing liarpun entah sudah bersembunyi di mana semua. Ia sudah hidup dua puluh tahunan, sudah melewati dua puluh kali musim dingin, tapi belum pernah menjumpai udara sedingin hari ini. Ia sering ketimpa sial, tapi belum pernah sesial hari ini. Sial adalah semacam penyakit menular, bila seseorang lagi sial, maka orang yang berjalan bersamanyapun akan turut kebagian sialnya. Oleh karena itu, bukan cuma dia seorang yang duduk di sana. Yan Jit, Ong Tiong dan Lim Tay peng semuanya duduk di sana, duduk sambil termangu-mangu. Mendadak Lim Tay peng bertanya: "Kalian coba tebak, berapa banyak tiang salju yang ada di atas emper rumah itu ?" "Enam puluh tiga batang !" jawab Yan Jit cepat. "Dua puluh enam batang panjang, tiga puluh tujuh batang pendek sambung Ong Tiong. Kwik Tay lok tidak tahan untuk tertawa geli, serunya pula: "Rupanya kalian juga turut menghitung." "Hampir empat puluh kali kuhitung jumlahnya." "Aku hanya menghitung sebanyak tiga kali, karena aku merasa sayang untuk menghitung terlalu banyak." sambung Ong Tiong. "Apanya yang disayangkan ?" "Karena kalau kebanyakan, entar aku tak bisa menghitungnya lagi." Kwik Tay lok ingin tertawa, namun ia tak mampu tertawa. Sekalipun ucapan tersebut sangat menggelikan, tapi juga amat patut dikasihani. Mendadak Kwik Tay lok bangkit berdiri, lalu membalikkan badan dan menghampiri satu-satunya meja di tengah ruangan. Meja itu terbuat dari kayu jati yang bagus, di atas permukaannya berlapiskan batu granit yang keras dan berkilat. Kwik Tay lok segera bergumam: "Entah saat ini aku masih mempunyai tenaga untuk menggotongnya ke rumah mertua kita atau tidak ?" "Kau tak akan kuat !" seru Ong Tiong. "Bagaimana kalau dicoba dulu ?" "Kau tak usah mencoba." "Kenapa ?" "Aku juga tahu kalau kau masih sanggup untuk menggotong sebuah meja kosong, tapi barang yang berada di atas meja itulah yang berbeda." "Tapi di atas meja ini tak ada apa apanya." "Ada !" "Ada apanya ?" "Nama baik kita! Lagi pula bukan nama baikmu seorang, tapi nama baik kita semua." Sesudah berhenti sejenak, pelan pelan terusnya dengan suara hambar: "Bukan saja kita sudah menerima uang sewa orang, juga sudah menerima uang tanggungan, bila kita gadaikan barang milik orang sekarang, dengan muka apa kita akan berjumpa dengan orang di kemudian hari?" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir: "Benar, aku memang tak sanggup menggotong meja ini" "Yang terberat di dunia ini adalah nama baik, oleh karena itu hanya semacam manusia yang sanggup menggotong keluar meja tersebut dari sini" "Macam manusia apa ?" "Orang yang tak punya muka !" "Manusia semacam itu biasanya justru paling kenyang perutnya" kata Lim Tay peng sambil menghela napas: "Babi biasanya juga selalu makan kenyang !" sambung Yan Jit. Lim Tay peng segera tertawa. "Itulah sebabnya bila seseorang ingin memikirkan soal nama baik, ada kalanya dia harus mengorbankan jeritan perut, sebab bagaimanapun juga muka lebih penting dari pada perut." "Yaa, karena manusia bukan babi, hanya babi yang menganggap perut lebih penting daripada nama baik." "Itulah sebabnya ada orang lebih suka mati kelaparan daripada melakukan pekerjaan yang memalukan." "Tapi kita toh tidak mati kelaparan bukan?" ujar Ong Tiong. "Benar !" "WALAUPUN kita sudah beberapa hari tidak makan kenyang, tapi kita toh bisa bertahan sampai sekarang:" "Siapapun tak bisa mengakui kalau tulang kita jauh lebih keras daripada tulang orang lain" kata Kwik Tay Lok sambil membusungkan dada. "Yaa, makanya asal kita bisa bertahan terus suatu ketika kita pasti akan menjumpai kesempatan baik." Wajah Kwik Tay lok berseri sahutnya: "Benar, kini musim dingin sudah datang, memangnya musim semi masih jauh?" "Asal kita dapat bertahan sampai saat itu, kita masih tetap bisa bertemu orang dengan kepala terangkat, sebab kita tak melakukan sesuatu yang memalukan kepada orang lain, juga terhadap diri sendiri." Lim Tay peng kelihatan ragu ragu, akhir-nya tak tahan ia bertanya: "Apakah kita dapat bertahan sampai waktu itu ?" "Tentu saja bisa !" jawab Kwik Tay lok cepat. Ia berjalan ke depan dan merangkul bahu Lim Tay peng, lanjutnya sambil tertawa: "Sebab walaupun kita tak punya apa apa, paling tidak kita masih punya teman." Lim Tay peng memandang ke arahnya, mendadak dari dalam hatinya muncul setitik kehangatan. Tiba tiba saja ia merasa memiliki suatu keberanian yang cukup besar. Bagaimanapun besarnya kesulitan, bagaimanapun dinginnya udara, dia tak ambil perduli. Tiba tiba ia melompat bangun dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Sampai malam dia baru pulang, ketika muncul kembali dalam ruangan itu, di tangannya telah bertambah dengan sebuah bungkusan besar. Sambil mengangkat bungkusan itu tinggi-tinggi, serunya sambil tertawa: "Coba kalian tebak, apa yang kubawa ini?" "Apa bukan bak-pao ?" tanya Kwik Tay-lok sambil mengerdipkan matanya. "Tepat sekali jawabanmu." seru Lim Tay-peng sambil tertawa. Betul juga, isi bungkusan itu adalah bak-pao. Empat biji bak-pao besar, dalam setiap bak-pao tersebut masih terselip sepotong daging besar. "Hidup Lim Tay peng . . . . . . !" sorak Kwik Tay lok kegirangan. Diambilnya sebiji bak-pao, lalu katanya lagi sambil tertawa: "Aku sungguh merasa amat kagum, sekarang walaupun kau hendak membunuh akupun aku tak bisa mendapatkan setengah potong bak-pao." Yan Jit menatap Lim Tay peng lekat-lekat, lalu katanya: "Tentunya bak-pao ini bukan didapat dari menyulap bukan?" "Mungkin datang dari langit." sahut Lim Tay peng sambil tertawa, ia mengambil sebiji dan diberikan kepada Ong Tiong. Dengan cepat Ong Tiong menggeleng. "Aku tak mau!" katanya. "Kenapa ?" "Aaai . . . . . . sebab aku tak tega makan pakaianmu !" jawab Ong Tiong sambil menghela napas. Kwik Tay lok baru menggigit secuwil, ketika mendengar kata kata tersebut ia menjadi tertegun. Sekarang ia baru menemukan bahwa pakaian yang dikenakan Lim Tay peng telah berkurang satu stel . . . . . . pakaian yang tertebal. Pakaian yang dikenakan Lim Tay peng dasarnya memang tidak banyak . . . . . . . . . sekarang bibirnya telah berubah menjadi pucat pias seperti mayat. Tapi sekulum senyuman masih menghiasi bibirnya, dia berkata: "Benar, aku memang sudah menggadaikan pakaianku untuk ditukar dengan empat biji bakpao. Karena aku amat lapar, bile seseorang sedang lapar, tidak salah bukan untuk menggadaikan pakaian sendiri untuk ditukar dengan pengisi perut." "Kalau memang begitu, seharusnya kau makan dulu bakpao bakpaomu itu sebelum pulang dari pada kami. "Aku tidak bersembunyi sambil makan sendiri karena aku ini orangnya terlalu mementingkan diri sendiri ?" "Mementingkan diri sendiri ?" "Yaa, aku selalu merasa makan berempat jauh lebih enak daripada makan sendirian" Inilah yang dinamakan teman. Bila sedang susah mereka menanggulanginya bersama, bila sedang senang merekapun mencicipinya bersama. Bile seseorang bisa mempunyai teman seperti ini, miskin sedikitpun tidak mengapa, dingin sedikitpun apa salahnya ? Pelan-pelan Kwik Tay lok mengunyah bakpao itu, kemudian sambil tertawa katanya: "Terus terang kukatakan, selama hidup belum pernah aku makan makanan seenak ini!" "Ucapanmu itu tidak jujur." seru Lim Tay peng sambil tertawa, "yang kau makan sekarang toh tidak lebih cuma sebiji bakpao yang sudah dingin' "Walaupun cuma sebiji bakpao dingin, tapi walaupun ada orang hendak menukar bakpao ini dengan hidangan yang lezatpun aku juga tidak mau" Sepasang mata Lim Tay peng tampak memerah seperti mau menangis, ditangkapnya tangan Kwik Tay lok dan digenggamnya erat-erat, serunya: "Sesudah mendengar perkataanmu itu, akupun mulai merasa bahwa bakpao ini memang enak sekali." Ada sementara perkataan memang menyerupai suatu mantera yang hebat, bukan saja dapat merubah makanan yang tak enak menjadi hidangan terlezat, bisa membuat udara yang dingin menjadi hangat, juga dapat membuat orang yang sudah layu menjadi berseri kembali. Tiba tiba Kwik Tay lok menghela napas panjang. "Sayang aku tidak mempunyai baju bagus, bajuku ini terlampau jelek." "Pakaian yang jelekpun bukan sesuatu yang memalukan." "Aaaaaai . . . . . sayang si penyayat kulit itu ogah dengan bajuku ini, kalau tidak . . " "Kalau tidak kau akan menggadaikannya untuk ditukar dengan arak bukan ?" sambung Yan Jit sambil tertawa. "Tepat sekali." sahut Kwik Tay lok sambil tertawa. Tiba tiba Yan Jit bangkit berdiri dan berjalan keluar. "Tidak usah dicoba lagi, pakaianmu jauh lebih buruk dari pada pakaianku." Teriak Kwik Tay lok. Yan Jit tidak menggubris teriakannya, ia pergi dengan cepat dan kembali lagi dengan cepat. Ketika ia kembali lagi, di tangannya membawa sepoci air. "Orang bilang kalau ada tamu ditengah malam, air teh bisa dianggap sebagai arak, kalau toh teh bisa dianggap arak, kenapa tidak dengan air ?" Kwik Tay lok segera tertawa: "Sungguh talc kusangka kau juga tahu akan seni." Yan Jit turut tertawa. "Jika seorang jatuh miskin, ingin tidak senipun tak bisa." Bagaimanapun juga arak, dan air memang ada bedanya. Kalau arak, semakin diminum akan semakin panas, sebaliknya kalau air semakin diminum akan semakin dingin. Apalagi kalau di udara sedingin ini minum air dingin. Mendadak Kwik Tay lok bangkit berdiri, kemudian ia mulai bersalto. "Mau apa kau ?" tegur Yan Jit sambil tertawa. "Aku sudah mempunyai pengalaman, bila badan digerakkan maka akan menimbulkan panas, mengapa kalian tidak menirukan aku?" Yan Jit segera menggeleng. "Karena akupun mempunyai pengalaman, semakin banyak bergerak, semakin cepat menjadi lapar." Kwik Tay lok tertawa. "Terlalu banyak yang kau pikirkan" serunya, "asal sekarang tidak kedinginan, buat. . . . " Ucapan itu tak pernah diselesaikan. Mendadak ia menyaksikan ada sebuah benda terjatuh dari sakunya. Itulah sebuah benda yang berwarna emas, sebatang emas murni yang amat berat. Emas itu bukan jatuh dari atas langit, melainkan terjatuh dari dalam saku Kwik Tay-lok. Waktu itu dia baru mulai melakukan salto yang keenam, ketika kepalanya berada di bawah kakinya ada diatas, emas itu terjatuh dari dalam sakunya. "Traanggg . . . . !" emas itu segera menggeletak di atas tanah. Bila emas yang terjatuh di tanah bisa menimbulkan suara gemerincing, hal ini menandakan kalau emas itu berat sekali bobotnya. Sesungguhnya benda itu memang merupakan sebuah rantai emas yang amat besar, rantai dengan sebuah leontin berbentuk hati. Hati hatian itu besarnya paling tidak dua kali hati ayam, mana besar, berat lagi. Seseorang yang sudah beberapa hari tidak makan, ternyata dari sakunya ditemukan emas seberat itu, sesungguhnya kejadian ini sama sekali tidak masuk diakal. Tapi Ong Tiong sekalian mau tak mau harus mempercayainya, sebab mereka bertiga telah menyaksikannya dengan jelas sekali. Mereka hanya berharap bahwa dirinya tidak melihat kejadian itu. Mereka benar benar tak mau percaya bahwa apa yang dilihat adalah suatu kenyataan. Lim Tay peng saja telah menggadaikan baju hangatnya, masa Kwik Tay lok masih menyimpan emas sebesar ini Seseorang yang menyimpan rantai emas seberat gajah, tapi di depan teman temannya berlagak miskin, malah begitu mirip lagaknya, teman macam apakah itu? Mereka benar benar tak ingin mempercayai bahwa Kwik Tay lok adalah seorang teman semacam ini. Tiba tiba Ong Tiong menguap, lalu gumamnya: "Bila seseorang sudah kenyang, kenapa mata selalu menjadi berat dan ingin sekali tidur?" Ia berangkat untuk tidur, ketika lewat di hadapan Kwik Tay lok ternyata ia seperti tidak melihat ada rantai emas seberat itu tergeletak di lantai, juga tidak melihat bahwa Kwik Tay lok berada di situ. Lim Tay peng menguap pula, lantas bergumam: "Udara begini dingin, tempat mana lagi yang tidak lebih nyaman daripada didalam selimut." Diapun pergi tidur, seakan akan tak pernah menyaksikan apa apa. Cuma Yan Jit seorang masih duduk di situ, duduk sambil termangu mangu. Lewat lama sekali, kaki Kwik Tay lok baru diturunkan dari udara, kemudian pelan-pelan bangkit berdiri. Tubuhnya kelihatan seperti susah berdiri tegap lagi. Langit tiada berbintang, tiada rembulan, di sana cuma ada sebuah lentera. Sebuah lentera yang amat kecil, karena sisa minyak yang adapun tinggal tak banyak. Tapi rantai emas tersebut kelihatan berkilauan, meski tertimpa sinar lampu yang amat sedikit. Kwik Tay lok menundukkan kepalanya memandang ke arah rantai emas itu, lalu gumamnya: "Heran, mengapa ditempat yang bagaimana gelappun, emas selalu memancarkan cahaya terang ?" "Mungkin disinilah kegunaan dari emas" sahut Yan Jit hambar, "kalau tidak mengapa di dunia ini begitu banyak terdapat orang yang lebih memberatkan emas daripada teman.” Sekali lagi Kwik Tay-lok tertegun untuk beberapa saat lamanya, mendadak ia mendongakkan kepalanya sambil bertanya: "Mengapa kau tidak pergi tidur ?" "Aku masih menunggu." "Menunggu apa ?" "Menunggu penjelasanmu !" "Aku tidak mempunyai penjelasan apa apa, bila kalian menganggap aku sebagai manusia macam begitu, akupun manusia macam itu!" teriak Kwik Tay lok dengan suara keras. Yan Jit menatapnya tajam tajam, lewat lama, lama sekali, pelan pelan ia baru bangkit berdiri, kemudian pelan pelan berlalu dari dalam ruangan tersebut. Kwik Tay lok tidak memperhatikan dirinya lagi. Angin yang berhembus di luar ruangan sangat kencang, udara terasa dingin sekali. Minyak lampu sudah hampir kering, ketika segulung angin berhembus lewat dan memadamkan cahaya lentera tersebut. Meskipun suasana dalam ruangan itu berubah menjadi gelap gulita, ternyata emas itu masih memancarkan cahaya berkilauan. Kwik Tay lok menundukkan kepalanya memperhatikan rantai emas tersebut, entah berapa lama kembali lewat, akhirnya ia baru membungkukkan badan dan memungut kembali rantai emas tersebut. Ketika memegang rantai emas tersebut di tangannya, tiba tiba titik air mata jatuh berlinang membasahi telapak tangannya itu. Rantai emas itu dingin, tapi air mata itu panas ...... Tiba tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan akhirnya menangis, dia berusaha keras untuk menahan isak tangisnya agar tidak sampai terdengar orang lain. Sebab dia tak ingin orang lain mendengar isak tangisnya itu. Inilah rahasianya, juga merupakan penderitaannya yang terbesar dalam sejarah hidupnya, dia tak ingin orang lain mengetahui rahasia ini, juga tak ingin menyaksikan orang lain ikut memikul penderitaannya itu. Oleh sebab itulah tak pernah ada yang tahu berapa dalamkah penderitaannya itu, dan berapa dalam membekas dalam hatinya. Sekalipun peristiwa itu sudah usang, sudah terjadi lama sekali, tapi tiap kali teringat nya, ia akan merasakan hatinya hancur lebur. Ia tahu sepanjang hidupnya penderitaan tersebut akan selalu menempel di tubuhnya, sampai matipun tak akan terselesaikan. Kejadian yang barusan dialamipun cukup menyiksa perasaannya. Sesungguhnya ia lebih suka mati daripada kehilangan sahabat sahabatnya itu. Tapi ia tidak memberi penjelasan apa apa, sebab dia tahu mereka tak akan memaafkan dirinya, karena dia sendiripun tak dapat memaafkan dirinya sendiri. Mungkin di dunia ini terdapat semacam penderitaan yang benar benar menyiksa, yaitu penderitaan yang tak bisa disampaikan kepada orang lain. "Aku tak bisa berbicara .. . . . aku tak bisa mengatakannya .........” 'Mengapa aku masih punya muka untuk tetap tinggal di sini?" Angin yang berhembus di luar ruangan semakin kencang, udara semakin dingin, sambil menggigit bibir dia menyeka air matanya lalu bangkit berdiri, bagaimanapun keji dan tidak berperasaannya dunia luar, ia telah bersiap sedia untuk menerima dan merasakannya sendiri. Ia telah melakukan kesalahan, tentu saja dia harus menanggungnya, tapi dia enggan memberi penjelasan, apalagi minta maaf. Sekalipun di depan temannya, dia juga enggan. Tapi Thian tahu, sesungguhnya dia menganggap sahabat lebih berharga daripada nyawa sendiri. "Selamat tinggal teman temanku, suatu hari kalian pasti akan memahami diriku. Sampai waktu itu kami masih tetap sebagai teman, tapi sekarang . . . .” Air matanya tak terbendung lagi dan jatuh bercucuran bagaikan sebuah anak sungai. Ketika dia mengangkat tangannya hendak menyeka air mata di wajahnya, tiba tiba ia melihat Yan Jit. Bukan cuma Yan Jit saja, diapun melihat Ong Tiong serta Lim Tay peng. Entah sedari kapan mereka telah masuk kembali ke dalam ruangan itu dan berdiri di sana dengan tenang dan memandang ke arahnya dengan tenang. Ia tidak melihat mimik wajah mereka bertiga, tapi dia dapat menangkap tiga pasang sinar mata yang jeli. Diapun berharap agar mereka jangan melihat wajahnya, bekas air mata di atas wajahnya. Dia mendehem pelan, kemudian tegur-nya: "Bukankah kalian hendak pergi tidur ?" "Kami tak bisa tidur !" jawab Lim Tay peng. Kwik Tay lok tertawa paksa, katanya lagi: "Sekalipun tak bisa tidur, seharusnya berbaring dibalik selimut, dalam udara sedingin ini tempat mana lagi yang lebih enak daripada dibalik selimut ?" "Ada !" kata Ong Tiong. "Tempat ini jauh lebih nyaman daripada dibalik selimut." sambung Yan Jit lebih jauh. "Apanya yang enak dengan tempat ini ?" "Hanya satu hal !" kata Ong Tiong lagi. "Di sini ada teman, dibalik selimut tidak ada." sambung Yan Jit. Tiba tiba Kwik Tay lok merasakan munculnya segulung hawa panas dari hati kecilnya yang mana seakan akan membuat tenggorokannya menjadi tersumbat. Lewat lama, lama sekali, dia baru bisa berbicara lagi, dengan kepala tertunduk katanya: "Disinipun tak ada teman, aku sudah tak pantas menjadi teman kalian lagi!" "Siapa yang bilang" tanya Ong Tiong. "Aku tidak bilang!" seru Yan Jit. "Aku juga tidak!" sambung Lim Tay peng. "Kami semua datang kemari hanya ingin mengucapkan sepatah kata: "Kaa . . . . katakanlah" sahut Kwi Tay lok sambil mengepal tangannya kencang kencang. "Kami semua dapat memahami dirimu dan percaya kepadamu, apapun yang telah terjadi, kau tetap adalah teman kami!" Inilah yang dinamakan teman. Mereka dapat membagikan kebahagiaannya kepadamu, merekapun bersedia memikulkan sebagian dari penderitaanmu. Bila kau ada kesulitan, mereka bersedia membantu. Bila kau ada bahaya, mereka bersedia menolong. Sekalipun kau benar benar melakukan kesalahan, mereka juga dapat mengerti. Berada di depan teman semacam ini rahasia apa lagi yang tak dapat kau utarakan. Angin masih berhembus kencang di luar ruangan, udara masih dingin sekali. . . . . Suasana dalam ruangan itupun masih gelap gulita. Tapi waktu itu yang mereka rasakan hanya kehangatan dan ketenangan. Sebab mereka tahu dirinya telah mempunyai teman, seorang teman yang sejati. Dimana ada teman sejati, di situ ada kehangatan, di sana suasana terasa terang benderang. "Apapun yang bakal terjadi, kau adalah teman kami !" Darah panas dalam tubuh Kwik Tay lok terasa bagaikan sedang mendidih. Sebenarnya, ia lebih suka mati dari pada mengucurkan airmata di depan mata orang lain, tapi sekarang air matanya sedang bercucuran dengan amat derasnya. Sebenarnya dia lebih suka mati daripada mengungkapkan rahasia serta penderitaan yang terpendam dalam hatinya, tapi seka-rang ia telah mengungkapkannya. Tiada orang lain bisa membuatnya berbuat demikian selain sahabat sejati. Akhirnya dia menceritakan rahasianya..... Di desa kelahiran Kwik Tay lok terdapat seorang gadis yang amat cantik jelita, dia bernama Cu Cu. Ia jatuh cinta kepada Cu cu dan Cu Cu juga jatuh cinta kepadanya. Dengan tulus hati dan segala perasaannya dia mencintai Cu Cu, ia pernah berkata kepada gadis itu, ia bersedia mengorbankan segala galanya, termasuk jiwa raganya demi cintanya kepada gadis itu. Ia tidak seperti lelaki lain, hanya janji palsu atau ucapan di depan bibir saja. Ia benar benar sanggup melakukan seperti apa yang telah dia ucapkan itu. Cu Cu amat miskin, tapi menanti sepasang orang tua Kwik Tay lok sudah meninggal, ia tidak miskin lagi. Karena dia tahu bahwa gadis itu miliknya, gadis itupun berkata bahwa seluruh badannya adalah miliknya juga. Untuk membuat gadis itu percaya kepadanya, untuk menggembirakan hatinya, ia bersedia untuk melakukan perbuatan apapun. Kemudian diapun menemukan suatu peristiwa yang memedihkan hatinya. Ternyata Cu Cu tidak mencintainya dengan setulus hati. Seperti juga kebanyakan perempuan lain, apa yang dikatakannya hanya di bibir saja. Gadis itu pernah berjanji, kecuali kawin dengannya, dia tak akan kawin dengan siapapun. Bahkan mereka sudah menetapkan hari perkawinan mereka. Tapi sehari sebelum pesta perkawinan mereka, gadis itu telah kawin lebih dulu, kawin dengan orang lain. Ia telah menghianati semua cinta kasih yang diberikan Kwik Tay lok kepadanya, gadis itu telah minggat bersama orang lain. Rantai emas itu adalah tanda mengikat tali perkawinan yang di hadiahkan gadis itu kepadanya. Benda itu merupakan pula satu satunya benda yang pernah diberikan gadis itu kepadanya. Tak seorangpun yang bersuara, semua orang tak tahu bagaimana harus berkata. Akhirnya Kwik Tay lok sendiri yang memecahkan kesunyian tersebut, tiba tiba katanya sambil tertawa. "Selama hidup jangan harap kalian bisa menduga dengan siapakah ia minggat dari rumahku !" "Siapa ?" tanya Lim Tay peng. "Kacungku !" Sesudah tertawa bergelak, terusnya: "Selama ini aku memandangnya sebagai orang yang paling agung di dunia ini, bahkan kupandang dirinya bagaikan bidadari dari kahyangan, tapi akhirnya dia telah minggat dengan kacungku, haaahhh . . . haaahhh. . . haaahhh. . . coba bayangkan, lucu tidak kejadian ini ?" Tentu saja tidak lucu, tak seorangpun yang merasa kejadian ini lucu dan menggelikan. Hanya Kwik Tay lok seorang yang masih saja tertawa terus, sebab dia kuatir bila tertawanya terhenti, bisa jadi dia akan menangis. Lama sekali dia tertawa tergelak gelak, mendadak katanya lagi: "Kejadian ini benar benar telah memberi suatu pelajaran yang sangat baik bagiku !" "Pelajaran apa ?" tanya Lim Tay peng. Sesungguhnya dia bukan benar benar ingin bertanya, dia hanya merasa tidak seharusnya membiarkan Kwik Tay lok berbicara seorang diri. Dia merasa sudah sepantasnya kalau menunjukkan perasaan yang amat simpatik kepadanya. "Pelajaran ini adalah seorang lelaki janganlah terlalu mengagung agungkan perempuan, bila kau terlalu mengagungkan dirinya, dia akan menganggap dirimu sebagai orang bodoh, menganggap kau sama sekali tak ada harganya . . . ." kata Kwik Tay lok.. "Kau keliru !" tiba tiba Yan Jit menukas. "Siapa bilang aku salah ?" Gadis itu berbuat demikian, bukan lantaran kau terlalu mengagumkan dirinya ....... bila seorang gadis sampai berbuat demikian, biasanya hanya satu alasannya." "Apa alasannya." "Pada dasarnya dia memang seorang gadis yang jelek perangainya." Kwik Tay lok termenung sampai lama sekali, akhirnya pelan pelan dia mengangguk, sahutnya sambil tertawa getir. "Itulah sebabnya aku sama sekali tidak menyalahkan dirinya, aku hanya menyalahkan diriku sendiri, menyalahkan aku telah salah melihat orang....." "Pandangan inipun tidak benar!" tiba-tiba Ong Tiong menyela. "Tidak benar ?" "Selama ini kau menderita karena persoalan ini, hal mana dikarenakan kau selalu menganggap dia telah membohongi dirimu, kau selalu merasa kau telah dicampakkan orang dengan begitu saja." "Sesungguhnya memang demikian, memangnya aku salah ?" "Paling tidak kau harus membawa pandanganmu itu ke sudut yang lain." "Ke sudut yang bagaimana ?' "Kau harus mengalihkan pandanganmu ke sudut yang baik." Kwik Tay lok termenung, lalu sambil tertawa getir gelengkan kepalanya berulang ulang kali. "Sayang aku tak dapat berpikir sampai ke situ." "Pernahkah kau menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri, ia sedang berpacaran atau melakukan sesuatu perbuatan yang tidak senonoh dengan kacungmu itu ?" "Tidak pernah !" "Lantas atas dasar apakah kau menuduhnya kabur bersama kacungmu ?" Kwik Tay lok menjadi tertegun. "Aku ....... aku bukan cuma aku seorang yang berpendapat demikian, hampir setiap orang yang berada di desaku berpendapat demikian," katanya kemudian. "Kalau orang lain berpendapat demikian, lantas kau berpendapat demikian ? kalau orang lain beranggapan kau harus makan tahi, kaupun akan turuti anggapan mereka dan makan tahi?" Kwik Tay lok terbungkam dan tak mampu berbicara lagi. "Setiap orang tentu mempunyai pandangan yang sempit," kata Ong Tiong lebih jauh, "orang-orang itu pada hakekatnya tidak dapat memahami perasaan gadis itu, tanpa dasar yang kuat, bisakah dikatakan pandangan mereka pasti benar ? Apalagi sesama sahabat karibpun, kadangkala juga akan terjadi kesalahan paham" Setelah tertawa, pelan pelan lanjutnya: "Misalnya saja peristiwa yang barusan terjadi, besar kemungkinan kami akan salah paham kepadamu, bisa jadi kami akan menganggapmu si pelit, menganggapmu tidak bersetia kawan.” "Tapi kenyataannya dia dan kacungku telah lenyap secara tiba tiba pada hari yang sama." seru Kwik Tay lok. "Mungkin saja hal ini merupakan suatu kebetulan." "Aaah . . . . mana mungkin ada suatu kejadian yang begini kebetulannya . . . . ?" "Ada. Bukan saja ada, bahkan seringkali ada !" "Lantas mengapa mereka bisa kabur pada saat yang bersamaan ?" "Siapa tahu kacungmu itu merasa pekerjaannya selama ini tidak cukup berpenghasilan, maka dia ingin pindah ke tempat lain untuk mengembangkan bakatnya." "Bagaimana dengan Cu Cu? Alasan apa yang dia miliki untuk minggat dari sana ? Bahkan tandu pengantin pun sudah kupersiapkan." "Siapa bilang tiada alasannya untuk pergi? Siapa tahu pada malam itu secara tiba tiba terjadi suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaanmu, siapa tahu karena persoalan tersebut dia dipaksa untuk segera angkat kaki dari sana ? Mungkin juga ia sudah tidak bebas lagi, atau diikat orang dan dibawa lari." "Yaa, mungkin juga selama itu dia ingin menjelaskan sesuatu hal kepadamu, tapi ia tak mempunyai kesempatan tersebut," sambung Lim Tay peng pula. Yan Jit menghela papas panjang, katanya pula. "Seringkali di dunia ini memang bisa terjadi peristiwa memedihkan hati, mungkin sekali dengan jelas mengetahui kalau orang lain sudah menaruh kesalahan padamu terhadap dirinya, sekalipun dirinya jelas sudah terfitnah, namun sulit untuk memberi penjelasan." "Yang lebih memedihkan lagi jika orang lain sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk memberi penjelasan," terus Lim Tay peng. `Dan yang paling memedihkan lagi adalah ada sementara persoalan yang hakekatnya tak bisa dijelaskan kepada orang lain misalkan saja . . . .” "Misalkan saja kejadian tadi," sambung Kwik Tay lok sambil menghela napas, `Sebenarnya aku tak ingin memberi penjelasan, bila kalian datang aku sudah pergi, mungkin saja kalian akan menaruh kesalahan paham terus kepalaku." "Benar, sekarang tentunya kau sudah mengerti bukan?" kata Ong Tiong. Kwik Tay lok manggut manggut. "Makanya dalam mengungkap satu kejadian, seringkali harus dikupas dari pelbagai pandangan." kata Ong Tiong lebih lanjut. "Bila kau mau mengupas masalahnya dari sudut yang baik, hidupmu di dunia ini baru akan terasa senang dan gembira." Sayang ada orang justru tak mau berbuat demikian." seru Yan Jit, "justru orang lebih suka berpikir ke sudut yang jeleknya saja, justru suka mencari kemurungan buat diri sendiri." "Orang semacam ini bukan saja gobloknya setengah mati, bahkan boleh dibilang sedang mencari kesulitan buat diri sendiri, mencari siksaan buat diri sendiri. Aku rasa tentunya kau bukan manusia semacam ini bukan Kwik Tay lok segera tertawa sahutnya lantang: "Siapa mengatakan aku adalah manusia semacam ini, kuhajar hidungnya sampai ringsek" Ong Tiong masih berbaring di atas pembaringan, ketika secara tiba-tiba mendengar Kwik Tay lok sedang berteriak dari luar sana: "Mertua datang !" Kwik Tay lok tak punya mertua. Yang dimaksudkan "mertua" adalah penyayat kulit hidup, si pemilik rumah pegadaian. Biasanya pemilik rumah pegadaian tentu bertampang saudagar, berbadan gemuk dan tersenyum berwajah kemerah merahan. Tapi si penyayat kulit hidup ini kering kerontang seperti kelinci kelaparan, mana matanya sipit, punggungnya bongkok kecil lagi orangnya, mengingatkan orang pada seekor tikus yang sedang mencuri ikan asin. Walaupun selama ini Ong Tiong sering berkunjung ke rumahnya, baru kali ini dia berkunjung kemari. Maka mau tak mau terpaksa Ong Tiong harus bangun dari tidurnya. Bila seorang penyayat kulit bersedia naik gunung untuk 'berkunjung kepada seseorang, biasanya hanya ada satu alasan baginya. Alasan tersebut tak jauh berbeda daripada seekor musang yang berkunjung ke rumah sang ayam. Ketika Ong Tiong masuk ke ruang tamu, kebetulan Kwik Tay lok sedang bertanya sambil tersenyum: "Angin apa yang membawamu sampai ke mari?" Dia tahu paling tidak Ong Tiong sudah menggunakan dua puluhan macam cara untuk menjual rumah ini, sayangnya sekalipun rumah itu hendak diberikan kepada orang lain, belum tentu orang bersedia menerimanya. Si penyayat kulit hidup gelengkan kepala nya berulang kali, lalu sahutnya sambil tertawa kering: "Mana aku mampu untuk membeli rumah sebesar ini? Sejak bertemu kalian, hampir saja modalku ludas!, tidak menjual rumah sudah termasuk mujur." "Kalau ia bersedia menjual murah, apakah kau bersedia membelinya ..... ?" desak Kwik Tay-lok. "Buat apa kubeli rumah ini ?" "Kau toh bisa memberikan lagi kepada orang lain, atau digunakan saja untuk diri sendiri." Si Hoat liok pi (penyayat kulit hidup) segera tertawa menyeringai. "Orang yang tak punya penyakit sinting, tak nanti bersedia tinggal di rumah ini." Baru saja Kwik Tay lok ingin mendesak lebih jauh, mendadak Hoat liok pi bertanya: "Apakah saat ini kalian sangat membutuhkan uang ?" Ong Tiong segera tertawa. Kapan sih kami pernah tidak butuh uang?" sahutnya. “Nah, kalau memang begitu, bersediakah kalian mendapat untung sebesar lima ratus tahil perak?" Tentu saja semua orang ingin. Tapi siapapun tahu, tidak gampang untuk mencari untung sebesar itu dari tangan Hoat liok pi, bahkan akan jauh lebih susah dari mencabut rumput harimau. Walau begitu, lima ratus tahil perak merupakan suatu daya tarik yang besar sekali. Maka sambil mengerdipkan matanya Kwik Tay lok bertanya: "Kau maksudkan lima ratus tahil perak" "Yaa, lima ratus tahil perak?" Kwik Tay lok memperhatikannya sekejap dari atas sampai ke bawah, kemudian tegurnya: "Mungkin kau sedang mabuk?" "Tidak, aku sadar sekali, asal kalian setuju, sekarang juga aku boleh membayar persekot dua ratus lima puluh tahil perak!" Ia selalu percaya dengan beberapa orang ini, sebab dia tahu walaupun orang orang itu miskin, tapi setiap patah katanya lebih bernilai daripada emas. Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, katanya kemudian: "Bagaimana caranya untuk bisa mendapat untung sebesar itu?" "Gampang sekali asal kalian bersedia turut aku pergi ke kota sian sia sebentar saja, uang itu bisa kalian dapatkan" "Sebentar saja? Bagaimana caranya ke sana?” Hoat liok pi segera tertawa. "Tentu saja berjalan dengan sepasang kaki" katanya. Kwik Tay lok coba maju dua langkah, kemudian tanyanya lagi: "Apakah jalan dengan cara begini?" "Ehmm . . ! "Kemudian ?" "Kemudian kalian boleh membawa lima ratus tahil perak ini dan pulang kerumah!” "Tak ada pekerjaan lain?" "Tidak ada!" Kwik Tay-lok segera memandang ke arah Ong Tiong, kemudian ujarnya sambil tertawa: "Hanya berjalan sebentar saja bisa mendapat untung lima ratus tahil perak, pernahkah kau dengar kejadian semacam ini" "Belum pernah!" "Masih ada banyak persoalan yang belum pernah kalian dengar, tapi semuanya juga tidak bohong" sambung Hoat liok pi segera. "Kau juga bukan bohong bohong memberi uang kepada kami?" Hoat liok pi kembali menghela napas panjang. "Aaai . . . . . belakangan ini usahaku memang makin lama semakin sulit untuk dikerjakannya, yang menggadaikan lebih banyak dari pada yang menebus, barang yang telah digadaikan pun susah dijual lagi, modal yang kubutuhkan tidak sedikit jumlahnya" Ong Tiong manggut manggut, sikapnya seperti menunjukkan rasa simpatik yang besar. Kwik Tay lok tak bisa menahan diri lagi, kembali dia bertanya: "Kalau memang dagangmu dagang yang melulu merugi, kenapa kau masih mengerjakannya. Hoat liok pi kembali menghela napas. "Haaai . . . . apa boleh buat" katanya, "siapa suruh aku memilih pekerjaan semacam ini sedari dulu?" "Oleh karena itu, uang yang lima ratus tahil perak itu lebih baik kau gunakan sendiri secara pelan pelan " "Itu mah berbeda" seru Hoat liok pi lagi, "kalau soal itu, aku sendiri yang bersedia memberi untung buat kalian" "Uangmu tidak diperoleh secara gampang, sedang kami hanya pergi sebentar saja sudah mendapat lima ratus tahil, pekerjaan semacam ini mana dapat kulakukan?" Di atas paras muka Hoat liok pi yang pucat kelihatan agak merah, sesudah mendehem beberapa kali, katanya lagi: "Kenapa musti tidak enak? Apalagi aku suruh kalian menemani aku, tentu saja aku pun mempunyai tujuan tertentu" "Apa tujuanmu?" Sekali lagi Hoat liok-pi mendehem beberapa kali, kemudian tertawa paksa, katanya: "Jangan kuatir, pokoknya aku tak akan menyuruh kalian menjadi perampok, juga tak akan menyuruh kalian membunuh orang" "Kau juga tak usah kuatir, pokoknya aku tak akan pergi" kata Ong Tiong Mendengar jawaban tersebut, Hoat liok pi menjadi tertegun. "Lima ratus tahil perak bukan jumlah yg kecil, apakah kau tidak menginginkannya ?" dia berseru. "Tidak!" "Kenapa?" "Tiada alasan" Setelah termangu-mangu sekian lama, tiba-tiba Hoat liok pi berkata lagi sambil tertawa: "Kalau kau seorang diri tak mau pergi juga tidak mengapa, aku masih ada . . . ." "Dia bukan seorang diri" tiba tiba Yan Ji menyela. "Jadi kau juga tidak pergi?" "Aku juga tidak pergi, lagi pula tiada alasan, pokoknya kalau tidak pergi yaa tidak pergi !." Sambil tertawa Lim Tay-peng berkata pula: "Sebenarnya aku masih mengira hanya aku seorang yang tak ingin pergi, siapa tahu semua orang juga sama saja" Hoat liok pi menjadi amat gelisah. teriaknya keras-keras: "Apakah uangku tidak baik? Apakah kalian belum pernah menerimanya dari tanganku?" "Bila kami menginginkan uang kami pasti akan membawa barang untuk digadaikan" kata Ong Tiong hambar. "Aku tidak mau dengan barang kalian, asal kamu sekalian mau ikut aku pergi sebentar, uang lima ratus tahil perak segera akan menjadi milik kalian tapi kalian justru tidak mau? "Benar!" Hoat liok pi, seakan akan hendak melompat ke udara, teriaknya keras-keras: "Sebenarnya kalian mengidap penyakit atau tidak...? Aku lihat cepat atau lambat suatu hari kalian bakal mati kelaparan.. manusia macam kalian bila dikatakan tidak miskin, itu aneh namanya." Ong Tiong sekalian memang mengidap sedikit penyakit. Mereka lebih suka mati karena kemiskinan atau mati karena kelaparan daripada menerima yang tidak jelas asal usulnya. Mengambil barang untuk digadaikan bukan sesuatu yang memalukan, bahkan hampir berbagai macam barang sudah pernah mereka gadaikan. Tapi mereka cuma menggadaikan barang, tidak menggadaikan orang. Mereka lebih suka menggadaikan celana sendiri sekalipun, tapi mereka akan mempertahankan nama baik serta naluri mereka yang suci bersih. Mereka hanya mau melakukan pekerjaan yang mereka bersedia lakukan, takkan merasa bahwa pekerjaan itu seharusnya dilakukan. . Setiap orang tentu akan berkunjung ke kakus, bahkan setiap hari paling tidak juga tujuh delapan kali. Perbuatan semacam ini tidak kotor, tidak pula lucu, tapi suatu kejadian yang umum dan lumrah, bahkan pasti dilakukan dan sesungguhnya tidak perlu disinggung lagi. Jika ada orang hendak menulis hal tersebut, maka ceritanya akan berkepanjangan dan tak ada habisnya. Tapi ada kalanya kejadian seperti inipun pcrlu disinggung, misalnya sekarang ini. Ong Tiong memang baru saja keluar dari kakus, setiap pagi setelah bangun tidur pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah berkunjung ke kakus. Ketika ia kembali ke ruang tamu, dilihatnya paras muka Yan Jit dan Lim Tay peng agak istimewa, seakan akan dalam hati kecilnya ada persoalan yang hendak dikatakan, tapi tidak ingin pula diucapkan. Maka Ong Tiong juga tidak bertanya, ia selalu pandai membawa diri, lagi pula dia juga tahu didalam keadaan seperti ini, bila mau ingin bertanya maka lebih baik menanti sampai mereka yang membicarakannya sendiri. Benar juga, Yan Jit tak bisa menahan rasa hatinya, tiba tiba ia berkata: "Mengapa kau tidak bertanya ?" "Bertanya apa ?" "Tidakkah kau melihat di sini telah kekurangan seseorang ?" Ong Tiong manggut manggut. "Agaknya memang kurang seorang!" sahutnya. "Yang tidak nampak adalah Kwik Tay lok. "Mengapa tidak kau tanyakan kemana dan telah pergi?" tanya Yan Jit lagi. Ong Tiong segera tertawa. "Kemanapun dia juga tak menjadi soal, tapi bila kau memaksa juga untuk bertanya kepadaku, tak ada halangannya pula bagiku untuk bertanya." Pelan pelan dia duduk, kemudian setelah berlagak mencari kian kemari, tanyanya seperti orang keheranan. "Heeh... kemana perginya Siau Kwik?" Jangan harap kau bisa menebak untuk selamanya, tiba tiba Yan Jit tertawa dingin. "Justeru karena aku tak bisa menebaknya, maka aku baru bertanya."' Yan Jit menggigit bibirnya kencang kencang, lalu berkata: "Sudah pasti ia menyusul Hoat liok pi, begitu Hoat liok pi angkat kaki, dia segera mengejarnya dari belakang." Sekarang Ong Tiong baru merasa agak keheranan, dengan kening berkerut ujarnya: "Mau apa dia mengejar Hoat liok pi.?" Yan Jit membungkam, paras mukanya agak hijau membesi, Ong Tiong menatapnya sekejap, lalu bergumam: "Masa dia bersedia berkomplot dengan Hoat liok pi gara gara uang yang lima ratus tahil perak itu?" Sesudah menggelengkan kepalanya berulang kali dia melanjutkan: "Aku tak akan percaya dengan kejadian semacam ini, sebab Siau Kwik bukan manusia macam begitu?" "Sesungguhnya akupun tak ingin mempercayainya, tapi mau tak mau aku harus mempercayainya juga." "Kenapa?" "Sebab aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri!" "Menyaksikan apa?" "Menyaksikan dia berbicara hampir setengah harian lamanya dengan Hoat liok pi, kemudian Hoat liok pi mengeluarkan sekeping uang yang diserahkan kepadanya dan diapun pergi bersama Hoat Iiok pi." Ong Tiong agak tertegun sesudah mendengar ucapan tersebut. "Mengapa kau tidak menyusul dan bertanya kepadanya? Ia bertanya kemudian: Yan Jit tertawa dingin: "Buat apa aku harus menyusulnya? Aku toh tidak berniat untuk menjadi komplotannya Hoat liok pi." Tiba tiba Lim Tay peng menghela napas, katanya: "Seandainya dia cuma menemaninya dia pergi sebentar ke kota, itu mah tak menjadi soal, tapi aku lihat persoalan ini tak akan sedemikian sederhananya" Tentu saja tak akan sedemikian sederhananya. . Andaikata Hoat liok pi benar benar hanya bermaksud mencari teman, tidak sedikit orang di tepi jalan yang bersedia menemaninya meski hanya di bayar lima tahil perak, mengapa pula dia musti datang kemari mencari mereka, bahkan bersedia membayar lima ratus tahil perak? Sesudah berhenti sebentar, Lim Tay peng berkata lebih jauh. "Hoat liok pi sendiri juga telah berkata, dia berbuat sedemikian karena ada maksud tertentu, aku lihat perbuatan yang di lakukannya sudah pasti bukan perbuatan baik" "Hanya ada semacam persoalan yang bisa membuat manusia macam Hoat liok pi bersedia mengeluarkan uang sebesar lima ratus tahil perak untuk diberikan kepada orang lain" "Persoalan macam apakah itu?" "Persoalan yang bisa memberi keuntungan lima ribu tahil perak kepadanya!" `'Betul!°' seru Lim Tay peng. "andaikata persoalan itu tidak menguntungkan, tak nanti ia bersedia merogoh kocek sendiri untuk mengeluarkan lima ratus tahil perak untuk orang lain" "Persoalan yang bisa memberi untung besar, pun biasanya hanya semacam persoalan" "Persoalan apakah itu?" "Perbuatan yang malu diketahui orang" "Benar, aku lihat kalau dia bukan pergi mencuri, tentu sedang pergi menipu, tapi kuatir orang lain tidak sungkan kepadanya setelah konangan, maka diapun datang mencari kita untuk menjadi tukang pukulnya..!" Setelah menghela napas panjang, terusnya: "Masa teori semacam ini tak dapat diduga oleh Kwik Tay lok?" Yan Jit kembali tertawa dingin: "Bahkan kau sendiripun dapat memikir-kannya, masa dia tak bisa berpikir sampai ke situ? Dia toh tidak lebih goblok dari siapapun." Selama ini Ong Tiong memperhatikan terus perubahan mimik wajahnya, pada saat itu tiba tiba ia berseru: "Bila kau beranggapan bahwa ia tak pantas untuk pergi, mengapa kau tidak bermaksud untuk menghalanginya ?" "Hmm! " Yan Jit mendengus dingin, "jika seseorang sudah ingin menceburkan diri ke dalam kubangan, sekalipun orang lain berniat untuk menahannya juga belum tentu bisa melakukannya." 00000000000 "MAKA kaupun membiarkan dia terjun ke dalam kubangan tersebut?" tanya Ong Tiong lagi. Sambil menggigit bibir Yan Jit berbisik: "Aku. . . . . . aku . . . .." Mendadak ia membalikkan badan dan menerjang keluar dari situ, orang yang bermata tajam pasti dapat melihat matanya berkaca-kaca ketika menerjang keluar dari sini, agaknya air mata itu melompat keluar karena . . . . . Kebetulan Ong Tiong juga bermata tajam. Seorang diri ia duduk termangu sampai setengah harian lamanya, kemudian setelah menghela napas gumamnya: "Cinta yang mendalam mendatangkan tanggung jawab yang berat, tampaknya ucapan ini sedikitpun tak salah." "Hei, apa yang sedang kau katakan?" tiba-tiba Lim Tay-peng menegur. Ong Tiong tertawa lebar. “Aku sedang berkata, sampai detik ini aku masih belum percaya kalau siau Kwik bisa melakukan perbuatan semacam ini, bagaimana dengan kau ?" Lim Tay-peng agak sangsi sejenak, kemudian sahutnya: "Aku... aku sendiri juga kurang percaya." "Tapi paling tidak kau menaruh sedikit rasa curiga kepadanya bukan? " "Benar !" "Tapi Yan Jit sama sekali tidak curiga, ia sudah yakin kalau siau Kwik pasti melakukan perbuatan itu, tahukah kau mengapa ia sampai bersikap demikian?" Lim Tay-peng berpikir sebentar, lalu men-jawab: "Aku sendiripun merasa agak keheranan, padahal hubungannya dengan siau Kwik kelihatan luar biasa baiknya." Kembali Ong Tiong menghela napas. "Aaai.... justru karena hubungannya kelewat akrab, maka dia baru bersikap demikian. Lim Tay-peng mencoba untuk berpikir sejenak, kemudian tanyanya lagi: "Kenapa demikian? Aku tidak mengerti." "Lenyapnya Cu Cu secara tiba tiba kita semua bisa berpikir pada kemungkinan lain yang mungkin terjadi, tapi siau Kwik tak dapat menduganya, maka dia selalu berpikir ke sudut pandangan yang paling buruk, taukah kau apa sebabnya demikian?" "Karena dia sangat mencintai Cu Cu bahkan dalam sekali cintanya, karena itu..." "Karena itu otaknya menjadi kurang jelas, betul bukan?" seru Ong Tiong kembali. "Benar!" Cinta dapat membutakan orang, teori ini tidak sedikit yang memahaminya. "Bila kau menaruh cinta yang amat mendalam terhadap seseorang, maka kesimpulan yang kau ambil atas dirinya belum tentu selalu benar, karena biasanya kau hanya melihat kebaikan kebaikannya, tapi asal ada sedikit perobahan atau pukulan saja yang kau terima, maka kau segera akan merasa kesal dan murung, maka tak tahan lagi kau akan membawa jalan pikiranmu ke sudut pandangan yang terjelek" Tiba tiba Lim Tay peng tertawa, katanya, "Aku dapat memahami maksud, cuma aku perumpamaan ini kurang begitu cocok°' "Oya ?" "Kenapa kau membawa hubungan Cucu dan Siau Kwik sebagai perumpamaan?" kata Lim Tay peng sambil tertawa, 'hubungan cinta Siau Kwik dengan Cucu mana bisa disamakan hubungan batin antara Yan Jit dengan siau Kwik ...? Kan lucu?' Ong Tiong ikut tertawa. Ia seperti merasa sudah salah berbicara, diapun seperti merasa ucapannya terlampau banyak, maka dia tidak berbicara apa apa lagi. Cuma dia masih saja tertawa, bahkan istimewa sekali tertawanya itu. Menanti ia saksikan Yan Jit sedang berjalan lewat halaman hendak keluar rumah, ia baru berkata lagi: "Kau ingin pergi ?" Sepasang mata Yan Jit masih merah membengkak, tapi dia paksakan dari untuk tertawa juga, sahutnya: "Hari ini udara amat cerah. aku ingin ke luar rumah untuk berburu" "Aku juga akan ikut berburu" kata Lim Tay-peng sambil berdiri, “jika hari ini kita tidak berburu lagi' mungkin kita benar benar akan mati kelaparan!” Ong Tiong segera tertawa. katanya: "Kalau toh di saku siau Kwik ada uang, dia pasti tak akan membiarkan kita mati kelaparan, mengapa kau tidak menunggu sampai dia pulang lebih dahulu?" Yan Jit segera menarik mukanya seraya berseru: "Kenapa aku harus menunggu sampai dia pulang?" "Anggap saja karena aku, mau bukan?" Yan Jit segera menundukkan kepalanya dan berdiri kaku ditengah halaman rumah. Walaupun udara amat cerah, angin berhembus kencang dan menimbulkan hawa dingin yang menusuk tulang. Tapi Yan Jit seakan-akan sama sekali tidak merasa dingin, dia berdiri termangu sampai lama sekali di sana, kemudian dengan suara dingin baru katanya: "Andaikata ia tidak kembali?" "Kalau dia tidak kembali, aku akan mengundang kalian makan daging anjing..." kata Ong Tiong sambil tertawa lagi. "Dalam udara sedingin ini, kemana kau hendak mencari anjing?" tak tahan Lim Tay-peng berseru. "Tak usah dicari lagi, disinipun masih ada seekor!" "Mana anjingnya ?" Sambil menuding hidung sendiri sahut Ong Tiong: "Ini dia, disini !" Lim Tay peng mengerdipkan matanya berulang kali, sambil menahan rasa geli serunya: "Kau juga seekor anjing?" "Bukan cuma seekor anjing, bahkan seekor anjing kampungan." Akhirnya Lim Tay-peng tak kuasa menahan gelinya lagi dan tertawa terpingkal pingkal. Ong Tiong sama sekali tidak tertawa, dengan hambar katanya lebih lanjut. "Bila seorang sama sekali tak bisa membedakan manusia macam apakah sahabatnya itu, kalau bukan anjing kampungan lantas apa namanya?" Ong Tiong bukan anjing kampungan. Dengan cepat Kwik Tay lok telah pulang kembali, bahkan masih membawa bungkusan besar, bungkusan kecil dan setumpuk bahan makanan lainnya. Dalam bungkusan kecil terdapat daging dalam bungkusan besar terdapat bakpao, dalam bungkusan paling kecil terdapat kacang. Kalau toh ada kacang, tentu saja tak akan lupa ada arak. Sambil tertawa Kwik Tay lok segera berkata: "Sekarang aku mulai agak rindu dengan Moay Lo khong, semenjak ia pergi dari sini, agaknya ditempat ini sudah tak ditemukan lagi seorang tukang masak yang jempolan" "Paling tidak masih ada seorang!" sela Ong Tiong. "Siapa?" Kau, bila kau membuka restoran, sudah pasti dagangmu akan laris" "Waah, ini memang suatu ide yang bagus" kata Kwik Tay lok sambiI tertawa, cuma sayang masih ada satu hal yang tidak bagus.. ." "Hal yang mana?" "Bagaimanapun baiknya daganganku dan larisnya masakanku tidak sampai tiga hari pasti akan tutup pintu. "Mengapa?" Kwik Tay lok tertawa, sahutnya: "Sekalipun aku tidak menghabiskan daganganku sendiri kalian juga pasti akan melahapnya sampai ludas." Tiba tiba Yan Jit tertawa dingin, jengeknya: "Tak usah kuatir aku tak akan makan milikmu." Sebenarnya Kwik Tay lok masih tertawa akan tetapi setelah menyaksikan paras mukanya yang dingin dan kaku itu, dia menjadi tertegun. "Kau sedang marah?" serunya. “dalam hal apa aku telah melakukan kesalahan kepadamu?.." Kau pasti memahami sendiri: Kwik Tay lok segera tertawa getir. "Apa yang kupahami ....? serunya, sedikit pun aku tidak mengerti!" Kwik Tay lok tidak memperdulikan dia lagi, tiba tiba ia berjalan ke depan Ong Tiong kemudian katanya: Walaupun kau bukan seekor anjing kampungan, tapi di sini ada seekor anjing pesuruh, kalau anjing kampungan sih mendingan anjing pesuruh itulah yang paling tidak kutahan" "Siapa yang menjadi anjing pesuruh?" teriak Kwik Tay lok dengan mata melotot. Yan Jit masih tidak memperdulikan dirinya, sambil tertawa dingin ia lantas berlalu dari sana. Sepasang biji mata Kwik Tay lok segera berputar putar seolah olah mendadak menyadari akan sesuatu, ia lantas maju menghalangi jalan perginya, kemudian berseru: "Kau anggap aku telah menjadi anjing pesuruhnya Hoat liok pi? Kau mengira semua makanan ini kubeli dengan uang yang dia berikan kepadaku sebagai imbalannya!" "Memangnya barang barang itu bisa terjatuh dari langit, atau tumbuh sendiri dari tanah?" dengus Yan Jit dingin. Kwik Tay-lok memperhatikannya lekat-lekat, lewat lama sekali, ia baru menghela napas panjang, gumamnya tiba tiba: "Baik, baik.. kau mengatakan aku adalah anjing pesuruh, biarlah aku menjadi anjing pesuruh, bila kau sudah tak tahan, biar aku yang pergi!" Pelan pelan dia berjalan keluar dari sana, berjalan melewati depan mata Ong Tiong. Pelan pelan Ong Tiong bangkit berdiri, seperti hendak menghalanginya, tapi kemudian ia duduk kembali. Ketika kwik Tay lok berjalan sampai di luar halaman, ia menengadah memandang angkasa, tumpukan salju di atas pohon segera berhamburan ke bawah ketika terhembus angin dan menodai seluruh tubuh dan seluruh wajahnya. Ia tetap berdiri tak berkutik di sana. Bunga salju mulai meleleh di atas wajahnya dan menetes ke bawah melewati pipinya. Ia berdiri tak berkutik. Sebenarnya dia ingin pergi agak jauh, tapi secara tiba tiba dia tak berjalan lagi. Yan Jit tidak menengok lagi ke arah halaman, mungkin apapun tak terlihat lagi olehnya. Sepasang matanya sudah merah membengkak, mendadak sambil mendepak-depakkan kakinya dia menerjang ke arah pintu lain. Ong Tiong merentangkan tangannya menghadang jalan perginya, lalu berkata: "Coba kau lihat dulu, apakah ini?" Di tangannya terdapat semacam benda, selembar kertas yang berwana warni. Tentu saja Yan Jit cukup mengenali kertas apakah itu, dalam sakunya juga masih tersimpan beberapa lembar kertas seperti itu. "Itu adalah kertas gadai!" "Coba kau perhatikan lebih jelas lagi, benda apakah yang telah digadaikan?" kata Ong Tiong. . Tulisan yang tertera di atas surat gadai itu lebih hebat dari tulisan resep seorang dokter, kalau seseorang tidak berpengalaman, jangan harap bisa mengenali satu hurufpun. Yan Jit sangat berpengalaman, sudah terlalu banyak surat gadai dari Hoat liok pi yang pernah dibaca olehnya. "Rantai emas rongsok seuntai, hati ayam emas rongsok seuntai, total berat tujuh tahil sembilan rence. Digadaikan lima tahil perak" Padahal semua benda itu masih baru tapi begitu masuk pegadaian lantas dianggap kuno, rongsok Peraturan pegadaian dimanapun sama saja, hal ini memang tak perlu diherankan, tapi rantai emaspun ada yang dianggap rongsok, sesungguhnya perkataan itu boleh dibilang sangat keterlaluan. Hampir tertawa Yan Jit karena geli, sayangnya dia benar benar tak dapat tertawa. Seperti kena ditempeleng orang keras keras, ia hampir tertegun. Dengan suara hambar Ong Tiong berkata: "Surat gadai ini baru saja kucomot dari saku siau Kwik, dari tadi toh aku sudah bilang, jika aku ingin menjadi pencopet, maka sekarang aku sudah kaya raya." Setelah menghela napas, gumamnya: "Cuma sayangnya, aku benar benar enggan bergerak." Yan Jit juga tidak bergerak, tapi air matanya pelan pelan meleleh keluar membasahi pipinya. Sekalipun terhadap seorang sobat yang paling karibpun, kadangkala salah paham bisa saja terjadi." Oleh karena itu, seandainya terjadi kesalah pahaman dengan kawanmu, kau harus memberi kesempatan kepadanya untuk memberi penjelasan. "Dalam menilai satu masalah, seringkali bisa terdapat banyak sudut pandangan, jika kau selalu membawa jalan pemikirannya ke sudut pandangan yang jelek, maka hal ini sama artinya dengan menyiksa diri sendiri." Oleh karena itu, seandainya kau menerima pukulan batin yang berat, pandangan harus sedikit terbuka, usahakanlah untuk menemukan sudut pandangan yang cemerlang. Siapapun tidak berhak untuk menyiksa orang lain, tidak pula terhadap diri sendiri. . Inilah kesimpulan dari Ong Tiong. Kesimpulan dari Ong Tiong seringkali sangat tepat. Kesimpulan yang tepat pasti akan selalu teringat dalam benak setiap orang ooo000ooo Di dunia ini tiada suatu perbuatan yang sangat baik, tidak pula sesuatu yang amat jelek. Kegagalan meski tidak baik, tapi kegagalan adalah soko guru dari kesuksesan. Meski sukses itu baik, tapi seringkali akan membuat orang menjadi sombong, tekebur dan angkuh, maka kalau sampai begini, kegagalan tak lama kemudian pasti akan datang. Bila berkawan dengan seseorang, tentu saja kau berharap agar dia bisa menjadi sahabat yang paling akrab denganmu. Teman bisa akrab tentu saja hal ini sangat baik, tapi terlampau akrab gampang menimbulkan sikap saling memandang enteng, tentu saja akan gampang pula terjadi kesalah pahaman. Salah paham meski tidak baik, tapi bisa kau dapat memberi penjelasan yang amat jelas, maka hubungan masing masing pihak akan mendalam, perasaan batin merekapun akan mengikat lebih lama. Bagaimana juga, perasaan orang yang terfitnah itu tak enak. Seandainya di dunia ini masih ada peristiwa lain yang lebih tersiksa daripada terfitnah, maka hal mana pastilah peristiwa fitnahan yang secara beruntun, menimpa orang itu sebanyak dua kali. Yan Jit pernah difitnah orang, itu berarti ia dapat memahami perasaan Kwik Tay lok pada saat itu. Padahal dia sendiri jauh lebih tersiksa dan menderita daripada Kwik Tay lok sendiri. Selain tersiksa, masih ada perasaan lain lagi yang selain ia sendiri, siapapun tak akan dapat mencicipi perasaan tersebut, dia hanya ingin menyembunyikan diri dan menangis sepuas puasnya. Sudah cukup lama tak pernah menangis sepuas puasnya, karena seorang lelaki sejati tidak pantas untuk menangis macam gadis. Untuk menjadi seorang lelaki sejati, memang bukan suatu pekerjaan yang gampang. Tentu saja dia juga tahu, sekarang ia harus pergi mencari Kwik Tay-lok, tapi apa yang harus dia ucapkan setelah berjumpa dengannya ? Ada sementara perkataan ia tak ingin mengucapkannya keluar, ada sementara perkataan dia bahkan tak berani untuk mengeluarkannya. Perasaannya sedang kalut dan tak tahu apa yang musti dilakukan, ketika tiba tiba ada sebuah tangan disodorkan ke hadapannya, tangan itu memegang sebuah cawan arak. Kemudian ia terdengar seseorang sedang berkata kepadanya: "Minumlah dulu arak ini, kemudian kita damai, mau bukan?" Jantungnya berdebar keras, ketika ia mendongakkan kepalanya maka tampak Kwik Tay lok telah berdiri di hadapannya. Paras muka Kwik Tay-lok sangat tenang, sama sekali tidak terlintas perasaan gusar atau tak senang, juga tiada perasaan menderita seperti juga dimasa masa lampau, memandangnya sambil tertawa haha hihi. Wajah senyum tak senyum macam tukang jamu ini sebenarnya paling dibenci oleh Yan Jit. Dihari-hari biasa dia selalu merasa jemu untuk memandangnya. Dia selalu beranggapan, kadangkala seorang juga perlu serius, perlu mengikuti peraturan. Tapi sekarang, entah apa sebabnya tiba-tiba ia merasa bukan saja tampang itu sedikitpun tidak menjemukan, malahan terasa amat menarik hati. Bahkan dia berharap tampang Kwik Tay-lok selalu dapat demikian, selamanya tak pernah berkerut kening. Karena secara tiba-tiba dia menyadari bahwa tampang inilah tampang Kwik Tay-lok yang sesungguhnya paling dia sukai. “Mau damai tidak?" kembali Kwik Tay lok bertanya sambil tertawa. Yan Jit menundukkan kepalanya rendah-rendah. "Kau... kau tidak marah lagi?" "Sebenarnya marah sekali, tapi setelah kupikir kembali, bukan saja tidak marah, malahan aku merasa amat gembira" "Amat gembira?" "Ya, coba kalau kau tidak memperhatikan diriku, sekalipun aku menjadi tuyul busuk atau telur busuk anak kura kura, hal ini sama sekali tak ada hubungannya denganmu, kaupun tak usah marah kepadaku. Justru karena kau adalah sahabat yang paling akrab denganku, maka kau baru merasa amat marah kepadaku" "Tapi. . . tidak seharusnya aku memfitnahmu, seharusnya aku mempercayai dirimu" Kwik Tay lok segera tertawa. "Mau memfitnah aku juga boleh, menonjok aku juga tak mengapa, asal kau adalah sahabat karibku, mau apa saja terhadap diriku juga tak menjadi soal" Yan Jit segera tertawa lebar. Bila ia sedang tertawa, hidungnya mengernyit lebih dulu, lalu matanya yang tersenyum . . . . . . Noda air mata masih membasahi wajahnya, pipi yang sebenarnya hitam dan kotor tiba-tiba muncul beberapa jalur putih setelah tertetes air, bagaikan sinar matahari yang muncul dari balik awan gelap. Kwik Tay lok menatapnya, dia seakan akan dibuat terpesona olehnya. Yan Jit rnenundukkan kepalanya lagi, kemudian berbisik: "Mengapa kau melotot terus kepadaku?" Kwik Tay lok tertawa, kemudian menghela napas panjang, sahutnya: "Aku sedang berpikir, Swan Bwe tong sungguh tajam, bila kau benar-benar mau mencuci muka, sudah pasti kau seorang bocah lelaki yang tampan, mungkin jauh lebih tampan dari diriku . . .!" Yan jit ingin menarik muka, tapi akhirnya tak tahan tertawa juga, dia sambut cawan arak tersebut. Ong Tiong memandang Lim Tay peng, Lim Tay peng memandang ke arah Ong Tiong, kemudian kedua duanya sama-sama tertawa. Sambil tertawa kata Lim Tay peng: "Sebenarnya aku tak suka minum arak di pagi hari, tapi hari ini rasanya aku benar-benar ingin minum sampai mabuk." Yaa, sepanjang hidup berapa kali manusia bisa mabuk? Bila berjumpa dengan peristiwa semacam ini dan teman seperti ini, bila tak minum sampai mabuk, mau tunggu sampai kapan lagi? Tiba tiba Kwik Tay lok menghela napas panjang, kemudian katanya: "Sayang sekali, hari ini aku tak dapat menemanimu untuk minum sampai mabuk. "Kenapa ?" tanya Lim Tay peng. "Sebab hari ini aku masih ada urusan, aku harus turun gunung lagi." Bocah muda ini, begitu saku punya uang, dia paling tak betah untuk berdiam di rumah." Sambil menggigit bibir Yan Jit lantas bertanya: "Ada urusan apa kau turun gunung?" "Untuk memenuhi janji seseorang," Paras muka Yan Jit seperti agak berubah, dia melengos ke arah lain sambil bertanya lagi: "Kau ada janji dengan siapa?" "Hoat liok pi!" Sepasang mata Yan Jit segera mencorong sinar tajam, tapi sengaja serunya sambil menarik muka: "Kau punya janji dengannya?" "Dia mah tidak berjanji denganku, tapi aku justru hendak pergi mencarinya" "Ada urusan apa kau pergi mencari nya?" “Ia bersedia membayar lima ratus tahil perak kepada kita, itu berarti ia pasti mempunyai maksud tertentu, maka aku ingin tahu sesungguhnya kulit siapa yang hendak disayatnya?" Salju sudah mulai meleleh, jalan gunung penuh dengan lumpur dan becek sekali. Tapi Yan Jit sama sekali tak ambil perduli, kakinya yang menginjak lumpur seakan akan sedang menginjak di atas awan saja. Sebab Kwik Tay lok berjalan di sampingnya, bahkan ia dapat merasakan dengusan napas dari pemuda itu. Tiba tiba Kwik Tay lok tertawa, katanya: "Hari ini, aku kembali telah menemukan satu hal" "Oya ?" "Aku menemukan bahwa Ong lotoa benar-benar sangat memahami hatiku, mungkin di dunia ini sulit untuk menemukan orang kedua yang bisa demikian memahami diriku seperti dia" Yan Jit manggut manggut, sahutnya dengan sedih: "Dia memang paling memahami orang lain, bukan cuma kau, setiap orang pun bisa dia pahami" "Tapi orang yang paling ia kasihani adalah Lim Tay peng, aku dapat merasakannya' Yan Jit ragu-ragu sejenak. akhirnya tak tahan diapun bertanya: "Bagaimana dengan aku ?" "Kau bukan cuma tidak memahami diriku, juga tidak kasihan kepadaku, bukan saja kau paling galak kepadaku, bahkan setiap saat selalu mengajak cekcok diriku, mengajak bertengkar diriku . . . " Yan Jit menundukkan kepalanya rendah2. Tiba-tiba Kwik Tay lok tertawa, kemudian melanjutkannya: "Tapi entah mengapa, aku masih dapat merasakan bahwa kaulah orang yang paling baik kepadaku" Yan Jit tertawa, mukanya seperti agak memerah, lewat lama sekali dia baru bertanya lirih.. "Bagaimana dengan kau ?" Ada kalanya aku merasa kekinya setengah mati terhadapmu seperti misalnya hari ini jika Ong lotoa bersikap begitu kepadaku, aku malah mungkin tak akan semarah itu, mungkin segera akan memahami perasaannya tapi kau . . .." "Kau hanya marah kepadaku?" tanya Yan Jit. Kwik Tay lok segera menghela napas panjang. . "Aaai .. . mungkin hal ini dikarenakan aku sangat baik terhadap dirimu!" Yan Jit segera mengedipkan matanya, tiba-tiba ia tertawa: "Seberapa baiknya sih?" Kwik Tay lok termenung sebentar, lalu menjawab: "Sesungguhnya seberapa besarkah kebaikan itu, bahkan aku sendiripun tak bisa melukiskannya!` "Kalau tak bisa melukiskannya itu berarti bohong" "Tapi aku bisa memberikan suatu perumpamaan kepadamu" "Perumpamaan apa?" "Demi Ong lotoa, aku bersedia menggadaikan semua pakaianku dan pulang dengan memakai cawat." Setelah tertawa, lanjut: "Tapi demi kau, sekalipun cawat itu harus digadaikan juga, akupun rela." Yan Jit segera tertawa lebar. "Huuuh, siapa yang kesudian dengan celana robekmu itu." Ketika selesai mengucapkan kata kata tersebut, mendadak wajahnya berubah menjadi merah padam seperti kepiting rebus, cawat yang dikenakan Kwik Tay lok mau berlubang atau tidak, darimana ia bisa mengetahui nya...? Untung saja dasar mukanya itu memang hitam dan dekil, sehingga meskipun muka berubah menjadi merah padam seperti babi panggang, orang juga tak akan mengetahuinya. Tapi penampilan perasaan yang dipancarkan lewat sepasang matanya, senyuman hangat mesra dan lembut yang tersungging di ujung bibirnya, ditambah senyuman lirih yang diikuti sikap tersipu-sipu dan kemalu- maluan itu, jika ada orang tak dapat melihatnya, maka bukan saja orang itu adalah seorang manusia yang tolol, pada hakekatnya dia adalah seorang manusia tolol yang buta matanya. Kwik Tay lok memperhatikan sepasang matanya itu, mendadak ia tertawa dan berkata: "Aku masih mempunyai satu perumpamaan lagi." "Katakanlah!" Sekalipun aku sudah bersumpah tak akan kawin tapi seandainya kau ini seorang gadis aku pasti akan mengambilmu menjadi biniku. "Huh siapa yang mau jadi binimu? Bisa jatuh miskin delapan keturunanku!" Suaranya seperti agak kurang beres, mendadak ia mempercepat langkahnya dan berjalan ke depan sana. Kwik Tay lok tidak berusaha untuk me-ngejarnya, dia cuma memandang bayangan punggungnya dengan termangu mangu. Dia seakan akan dibuat terpesona, dibuat terkesima dan hampir saja kehilangan sukmanya. Sementara itu cuaca tiba tiba menjadi cerah, serentetan cahaya sang surya yang berwarna keemas emasan menembusi awan dan menyinari seluruh jagad, menyinari atas badan Yan Jit, menyinari pula atas badan Kwik Tay lok. Seakan akan cahaya matahari itu khusus menyorot bagi mereka berdua. ooooo0()Oooooo K U L I T siapa yang disayat ? Rumah pegadaian milik Hoat liok pi dibuat rumah pegadaian Lip gwan. Rumah pegadaian itu terletak persis di depan warung Moay Lo khong. Sekarang, papan nama warung Moay Lo khong sudah diturunkan, ada beberapa orang sedang mengapur dinding rumah. Teringat akan Moay Lo khong, baik Kwik Tay lok maupun Yan Jit merasakan hatinya sangat kesal. Bagaimanapun juga mereka sudah banyak memperoleh kesenangan ditempat itu. Di depan rumah pegadaian Lip gwan, parkir sebuah kereta kuda. Pintu gerbang rumah pegadaian itu belum dibuka, tampaknya hari ini dia seperti tak bermaksud untuk membuka usahanya. Kwik Tay lok dan Yan Jit saling bertukar pandangan sekejap, baru lewat disamping sebuah lorong, tampaklah Hoat liok pi muncul dari balik pintu samping, mata setannya berkeliaran memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, dalam bopongannya memeluk erat-erat sebuah bungkusan besar. Setelah yakin kalau disekitar sana tak ada orang lain ia segera melompat masuk ke dalam kereta. Pintu kereta tertutup rapat-rapat bahkan tirai di depan jendela keretapun diturunkan. Dari dalam rumah pegadaian pelan2 berjalan seorang nenek-nenek, di tangannya membawa sebuah tong sampah. Tentu saja Kwik Tay lok kenal dengan nenek itu, dia bukan bininya Hoat liok pi, dia tak lebih cuma seorang pekerja serabutan. Oleh karena usianya sudah lanjut, maka selain bersantap, sepeserpun Hoat liok pi tak pernah memberi gaji kepadanya, tapi dikala ia sedang menyuruhnya untuk bekerja, maka dia akan dianggapnya sebagai seorang babu saja. Seringkali Kwik Tay lok merasa heran, kenapa nenek itu mau bekerja lebih jauh dengan Hoat liok pi. Orang yang bekerja untuk seorang kikir macam Hoat liok pi, maka seandainya pada suatu hari mengalami sesuatu, mungkin peti mati untuk tempat jenazahnya tak punya. Terdengar Hoat liok pi sedang berteriak dari dalam kereta. "Tutup pintu rapat rapat, jangan biarkan siapapun memasukinya, besok pagi aku baru pulang." Maka kusir keretapun mengayunkan, cambuknya dan melarikan kereta itu menelusuri jalan raya. Tiba tiba Kwik Tay lok dan Yan Jit melompat keluar dari gang disamping jalan kemudian seorang sebelah membonceng di bawah as kereta. Jendela segera dibuka orang, menyusul Hoat liok pi menongolkan kepalanya dengan wajah terperanjat, dia lebih terperanjat lagi setelah mengetahui siapa yang turut membonceng, serunya: "Mau apa kalian?" "Tidak apa apa!" jawab Kwik Tay lok sambil tertawa, "aku cuma ingin menumpang keretamu sampai di kota. Hoat liok pi segera menggelengkan kepalanya berulang kali. 000000v 0 v00000 T I D A K bisa, aku sudah bilang, keretaku ini tidak menumpang orang lain," "Tidak bisa juga harus bisa !" kata Kwik Tay lok sambil tertawa terkekeh-kekeh, "Kami toh sudah naik ke atas kereta, masakah kau bisa mendorong kami turun?" "Yaa, betul!" sambung Yan Jit pula sambil tertawa, "bagaimana juga, kau toh sebenarnya memang berniat mengajak kami pergi menemanimu?" "Yang kucari bukan kalian." Mendadak ia seperti merasa telah salah berkata, dengan cepat mulutnya di tutup kembali. "Bukan kami? Apakah kau sudah berubah pikiran?", desak Yan Jit. Paras muka Hoat liok pi agak berubah memucat, mendadak ia tertawa lebar. "Kalau kalian bersikeras ingin numpang tentu saja boleh, cuma harus membayar uang sewa. Uang sewa kereta seluruhnya tiga tahil perak, jadi kebetulan sekali seorang membayar setahil" Dengan tangan kiri ia menerima uang, tangan kanannya segera membuka pintu kereta. Hoat liok-pi memang mempunyai kebaikan, asal kau ada uang yang bisa diberikan kepadanya, maka dia tak akan membuat kecewanya dirimu. Bahkan dia malah memberikan dua tempat yang paling baik untuk kedua orang itu. Kini, setelah berada di atas kereta, maka Kwik Tay lok pun mulai putar otak untuk mencari akal lain. Hoat liok pi masih saja memeluk buntalannya itu kencang-kencang. Mendadak Kwik Tay lok berkata: "Yan jit, bagaimana kalau kita bertaruh?" "Baik, bertaruh apa?" "Aku berani bertaruh isi buntalan ini pastilah seekor tikus, percayakah kau?" "Tidak percaya" "Baik, aku akan mempertaruhkan sepuluh tahil perak" Tiba-tiba Hoat liok pi tertawa, tukasnya: "Kalian tak perlu bertaruh, aku tahu kalian hanya ingin mengetahui isi buntalanku saja, bukan begitu?" Agaknya aku memang mempunyai maksud begitu" sahut Kwik Tay lok sambil tertawa "Mau lihat juga boleh, tapi sekali melihat harus membayar sepuluh tahil perak. Kwik Tay lok tidak menyangka kalau begitu cepat dia menyanggupi permintaannya. Padahal menurut anggapannya dalam buntalan itu pasti terdapat sesuatu rahasia yang takut di ketahui orang. Begitu tangan kirinya menerima uang, tangan kanan Hoat liok pi segera membuka bungkusan itu. Ternyata isi buntalan itu cuma beberapa stel pakaian lama. Kwik Tay lok segera memandang Yan Jit, Yan Jit pun memandang Kwik Tay lok ke dua orang itu cuma bisa tertawa getir. Sambil tertawa Hoat Hok pi segera berkata: "Sekarang kalian baru merasa kalau sepuluh tahil perak itu hilang dengan percuma bukan ? Sayang sekarang sudah terlambat." Sambil tertawa bangga dia bersiap-siap untuk membungkus kembali buntalan itu. Tiba tiba Yan Jit berseru. "Hei agaknya diantara beberapa stel pakaian itu ada yang kepunyaan Lim Tay peng?" "Agaknya memang begitulah!" sahut Hoat liok pi sambil mendehem, "tapi bagaimana pun juga toh sudah ia gadaikan kepadaku" "Tapi masa untuk digadaikan toh belum lewat, setiap saat dia bisa saja untuk menebusnya kembali, mengapa kau membawa pergi?` Lambat laun Hoat liok poi tak bisa tertawa lagi, dia berkata: “Bila dia hendak menebusnya kembali nanti, aku pasti ada baju yang akan diberikan kepadanya, apa yang musti dikuatirkan?" "Berapa perak pakaian itu ia gadaikan kepadamu?" “Satu tahil lima uang!" "Baik, sekarang juga akan kutebus pakaian itu baginya!" "Tidak bisa!" "Ada uangpun tidak bisa?"' "Sekalipun ada uang juga musti ada surat gadainya, ini adalah peraturan rumah pegadaian, apakah kau membawa surat gadainya?" Kwik Tay lok kembali memandang ke arah Yan Jit, kedua orang itu tidak berbicara lagi, tapi hati mereka merasa amat keheranan. Mau apa Liok hoat pi membawa pakaian milik Lim Tay-peng menuju ke kota? Walaupun bahan pakaian itu cukup baik, tapi sudah kuno, mengapa ia memeluknya erat erat bahkan menganggapnya seakan-akan benda mustika? Rahasia apa lagi dibalik ke semuanya itu? 000000( 0 )000000 Begitu kereta masuk kota, Hoat liok pi segera berkata: "Tempat tujuan telah tiba, silahkan kalian turun dari kereta" "Bukankah kau meminta kepada kami untuk menemanimu jalan-jalan?" seru Yan Jit. "Sekarang tidak perlu lagi, daripada anak kandung lebih baik uang dalam saku, bisa menghemat setahil ada baiknya untuk menghemat setahil" "Seandainya kami bersedia untuk menemanimu tanpa memungut bayaran. .?" "Gratispun juga tak bisa, sahut Hoat liok pi sambil tertawa, hanya transaksi dengan uang kontan baru merupakan suatu transaksi yang paling bisa dipercaya, biasanya hal hal yang gratis justru merupakan sumber dari segala kerepotan" Mendengar perkataan itu, Yan Jit segera menghela napas panjang. "Aaaai. . ! Kalau begitu kami akan turun kereta" "Tidak menghantar, tidak menghantar, silahkan!"` Baru saja mereka turun dari kereta, "Blaam” pintu kereta segera ditutup rapat-rapat. Memandang bayangan karena yang melaju ke muka, Kwik Tay lok juga menghela napas panjang. "Aaaai...! Orang ini sungguh amat licik, aku betul betul tak bisa menebak permainan busuk apakah yang sedang dia persiapkan" Yan Jit termenung sebentar, lalu berkata: "Barusan dia telah terlanjur salah bicara, dia bilang bukan kita yang dicari, apa kau tidak mendengar?" Kwik Tay lok segera manggut manggut. "Jangan-jangan orang yang hendak dicarinya hanya Lim Tay peng seorang, sedang kita tak lebih cuma tedeng aling-alingnya?" seru Yan Jit kembali. "Tapi ada keperluan apa dia mencari Lim Tay peng?" "Aku selalu merasa bahwa Lim Tay peng adalah seseorang yang mempunyai rahasia besar" Kwik Tay lok termenung beberapa saat lamanya, mendadak ia berkata: "Eeeh .... menurut pendapatmu, mungkinkah dia adalah seorang gadis yang menyaru sebagai pria?" Yan Jit kontan saja melotot sekejap ke arahnya, lalu mengomel: "Aku lihat kau ini terlalu banyak membaca buku, mana mungkin ada perempuan yang menyaru sebagai pria didunia ini ?" Kwik Tay lok tidak berbicara lagi. Hingga kereta itu sudah membelok di ujung jalan sana, tiba-tiba kedua orang itu mempercepat langkahnya dan menyusul ke depan sana. Bagaimanapun juga, mereka masih tak mau menyerah dengan begitu saja. Dengan cepat kereta itu berhenti di depan sebuah rumah penginapan yang amat besar. Manusia macam Hoat liok pi ternyata bersedia mengeluarkan uang untuk menginap di rumah penginapan besar ini, bukankah kejadian ini merupakan suatu peristiwa yang sangat aneh ? Untung saja ketika itu cuaca sudah mulai menggelap. Malam hari di musim salju memang selalu datangnya kelewat awal. Mereka segera berputar ke belakang rumah penginapan itu dan melompat masuk melewati pagar halaman. Siapa saja tak akan apes sepanjang masa, kali ini nasib mereka ternyata sangat mujur, baru saja bersembunyi di belakang pohon, mereka telah menjumpai Hoat liok pi masuk ke deretan kamar di halaman belakang. Udara masih amat dingin, dalam halaman tak nampak sesosok bayangan manusiapun. Dengan sangat berhati hati mereka melompat ke depan, lalu dalam tiga lima lompatan sudah berada di atas atap rumah. Mendadak kedua orang itu sama sama menemukan bahwa ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki hebat sekali, seakan akan sejak dilahirkan sudah ahli di bidang itu. Dalam hati kecil mereka diam diam mengambil keputusan, kemudian hari harus mencari akal untuk bertanya kepada lawannya, bagaimana caranya melatih ilmu meringankan tubuh tersebut. Mereka seolah olah secara mendadak ingin sekali mengetahui rahasia lawannya. 0000000000000 Di bawah wuwungan rumah itupun terdapat bongkahan salju, tentu saja daun jendelanya tertutup rapat. Untung saja dalam kamar itu memasang api penghangat, maka di atas jendela itu di buka sebuah lubang hawa. Melongok lewat jendela kecil lubang hawa tersebut, semua pemandangan didalam kamar itu dapat melihat amat jelas. Selain Hoat liok pi, didalam kamar itu masih ada dua orang manusia berbaju perlente yang bermuka dingin menyeramkan, seakan akan semua orang di dunia ini telah berhutang kepadanya. Sekilas pandangan saja Yan Jit sudah tahu, selain ilmu silat yang dimiliki kedua orang itu sangat tangguh, merekapun pastilah seorang jago kawakan. Salah seorang diantaranya mempunyai sebuah codet yang memanjang di atas wajahnya sehingga ia kelihatan menakutkan sekali. Orang kedua meski tiada codet di wajahnya, tapi lengannya hilang, setelah ujung bajunya yang kosong itu terikat di pinggang, sementara sebilah golok lengkung tersoren di pinggang. Golok lengkung semacam itu sudah merupakan senjata yang jarang ditemui dalam dunia persilatan, apa lagi orang yang berlengan tunggal masih mempergunakan golok lengkung seperti itu, sudah jelas kepandaian silat yang dimilikinya pasti tidak rendah. Selain daripada itu, andaikata ia bukan seseorang yang sering kali masuk keluar diantara pertarungan yang menyangkut soal mati hidup, tak mungkin tubuhnya akan menderita luka separah itu. Jika seseorang yang seringkali masuk keluar dalam pertarungan mati dan hidup ternyata masih bisa hidup sampai sekarang, sudah dapat dipastikan pamornya pasti besar dan dia tentu bukan seorang manusia yang gampang dihadapi. Kenapa Hoat-liok pi bisa mengadakan transaksi dagang dengan manusia semacam ini. Hoat liok pi telah membuka bungkusannya dan mengeluarkan pakaian milik Lim Tay peng, ketika menyodorkan ke tangan ke dua orang itu, wajahnya kelihatan amat bangga, seakan akan seperti lagi mempersembahkan benda mustika saja. Sesungguhnya sampai dimanakah berharganya pakaian kumel milik Lim Tay peng tersebut? Si lelaki bercodet itu menerima pakaian tersebut dan diamatinya sebentar dengan seksama, kemudian diserahkan kepada lelaki berlengan tunggal itu. Ketika ia sedang membolak balikkan pakaian itu, lamat lamat Kwik Tay lok juga dapat melihat di ujung baju itu seperti ada sebuah sulaman, cuma tidak jelas sulaman apakah itu? Lelaki berlengan tunggal itu telah membalik ujung baju itu dan menelitinya sekejap, pelan pelan ia mengangguk. "Benar, memang pakaian miliknya” dia berkata. "Tentu saja tak bakal salah, kata Hoat liok pi sambil tertawa, selamanya aku adalah seorang pedagang yang bisa dipercaya" "Sekarang, dimana orangnya?" Hoat liok pi tidak menjawab, melainkan mengulurkan tangannya. "Sekarang juga kau akan mengambilnya?” tegur orang berlengan tunggal itu. Kembali Hoat liok pi tertawa. "Orang yang membuka rumah pegadaian selalu membayar kontan, aku rasa kamu berdua tentu mengerti bukan' "Baik, berikan kepadanya!" Lelaki bercodet itu segera mengambil sebuah bungkusan dari bawah meja dan . . ."Blaaam" diletakkan ke atas meja. Sungguh berat bungkusan itu. "Pekerjaan yang bisa membuat Hoat liok pi bersedia mengeluarkan lima ratus tahil perak lebih dulu hanya ada satu, yaitu pekerjaan yang bisa mendatangkan keuntungan lima ribu tahi perak baginya " . Ucapan dari Yan Jit itu memang tepat sekali, paling tidak isi bungkusan itu juga ada lima ribu tahil perak. Kwik Tay lok memandang sekejap ke arah Yan Jit, sekarang mereka mengerti sudah apa gerangan yang telah terjadi. Kedua orang itu sudah pasti sedang mencari Lim Tay peng, bahkan amat terburu-buru maka mereka tak sayangnya mengeluarkan lima ribu tahil perak sebagai hadiah. Sudah lama, Hoat liok pi mengetahui akan soal ini, tapi sampai Lim Tay peng menggadaikan pakaiannya, dia baru menyadari bahwa Lim Tay peng sesungguhnya adalah orang yang sedang mereka cari. Oleh sebab itu dia berharap Lim Tay peng bisa menemaninya datang sebentar saja ke kota, kemudian menyerahkan Lim Tay-peng kepada kedua orang ini. Apabila bisa menghantar orangnya secara langsung, tentu saja hadiahnya lebih banyak. Tapi, apa yang sebenarnya telah dilakukan Lim Tay peng, mengapa dia begitu tinggi nilainya sehingga orang lain tak segan-segan mengeluarkan uang sebesar itu sebagai hadiah? Begitu melihat uang perak, tiba tiba Hoat liok pi berubah menjadi menyenangkan sekali, bahkan sewaktu tertawapun sepasang matanya menjadi hilang seperti tidak kelihatan. "Sekarang, tentunya kau sudah dapat menerangkan bukan, dia berada dimana ?" kata-kata lelaki bercodet itu. Entah apapun yang telah dilakukan Lim Tay peng, kalau toh dia sedang menghindari pengejaran dari kedua orang ini, maka dia tak boleh sampai ditemukan kembali oleh mereka berdua. Kwik Tay lok sudah bersiap-siap menerjang masuk lewat jendela. Siapa tahu pada saat itulah mendadak senyuman di atas wajah Hoat liok pi berubah menjadi kaku. Sepasang matanya melotot ke depan pintu dengan mata terbelalak, mulutnya melongo dan tak sanggup mengucapkan sepatah katapun, keadaan waktu itu seakan-akan seorang yang mendadak menyumbat mulutnya dengan lumpur. Mengikuti arah pandangan matanya, Kwik tay lok turut menengok ke depan, tapi dengan cepat diapun merasa terkejut. Entah sedari kapan, di depan pintu berjalan masuk seseorang. Orang itu cuma seorang nenek biasa yang sangat sederhana dan tiada sesuatu yang mengejutkan, tapi mimpipun Kwik Tay lok tak menyangka bakal bertemu dengannya disaat dan tempat seperti ini. Dengan jelas ia masih melihat orang itu berdiri di depan rumah pegadaian Lip gwan sambil membawa tong sampah. Kemudian mereka menunggang kereta datang kesana, sepanjang jalan tidak pernah berhenti, pun tidak berjalan pelan, mengapa si nenek inipun bisa sampai juga di sana? Apakah dia bisa terbang? Keadaan Hoat liok pi bagaikan bertemu dengan setan saja, dengan tergagap dia berseru: "Mau... mau apa kau datang kemari?" Ditangan si nenek membawa sebuah mangkuk, sambil berjalan masuk dengan langkah yang sangat lamban, dia gelengkan kepala dan menghela napas, sahutnya: "Waktu minum obatmu sudah sampai, mengapa kau selalu kelupaan? Aku sengaja datang mengantarnya untukmu, hayo cepat diminum dulu." Hoat liok pi menyambut mangkuk itu, kedengaran tutup mangkuk yang berada di tangannya berbunyi gemerutukan dengan amat nyaringnya. Bukan saja tangannya sedang gemetar, peluh dinginpun telah bercucuran membasahi tubuhnya. Paras muka si laki berlengan tunggal dan si lelaki bercodet itu masih tetap kaku tanpa emosi, mereka menatap sekejap ke arah nenek itu dengan pandangan dingin, tiba tiba mereka turun tangan bersama, dua titik cahaya tajam segera meluncur ke arah depan. Serangan kilat itu tak bisa dibilang amat lamban. . Siapa tahu baru saja titik cahaya hitam itu sampai di depan si nenek, tahu-tahu sudah lenyap tak berbekas. Padahal nenek itu sama sekali tak berkutik dari tempatnya semula. Paras muka si lelaki bercodet itu agak berubah. Sebaliknya si lelaki berlengan tunggal itu tertawa dingin, serunya tanpa emosi. "Tidak kusangka kaupun seorang jago lihay, bagus, bagus sekali" Tiba tiba nenek itu tertawa, lalu menjawab: "Tidak baik, sedikitpun tidak baik!" "Kenapa tidak baik?, tanya lelaki berlengan tunggal itu. "Apa pula baiknya? Bila kalian telah bertemu denganku, maka kalian bakal sial, apanya yang baik?" Lelaki berlengan tunggal itu segera melompat bangun, kemudian bentaknya keras-keras. Siapakah kau? Mengapa mencampuri urusan kami ?” Siapa yang akan mencampuri urusan kalian'! Urusan kalian masih belum pantas kucampuri, mengundang aku untuk mencampuri pun belum tentu aku mau bahkan berlutut sambil memohonpun aku juga tak akan kesudian untuk mengurusinya. "Lalu ada urusan apa kau datang kemari?" "Aku datang untuk menyuruhnya minum obat, Cepat minum ? Habis minum obat kau harus segera tidur" Dengan wajah murung Hoat liok pi segera memencet hidungnya dan minum obat itu sampai habis. "Bagus !" kata si nenek, "Sekarang kau harus pulang untuk tidur" Bagaikan sedang menarik anaknya saja, sambil menyeret tangan Hoat liok pi dia lantas beranjak dari situ. Tiba-tiba cahaya golok berkelebat lewat, sambil melompat ke tengah udara si lelaki berlengan tunggal itu sudah mengayunkan sebilah golok lengkungnya untuk membacok kepala orang. Bisa menyerang sambil melambung ke udara tentu saja ilmu golok yang dimilikinya tak terhitung lemah. Tapi cahaya golok itu hanya berkelebat lewat, kemudian lenyap tak berbekas. SEBILAH golok lengkung yang bersinar tajam, tahu tahu sudah kutung menjadi dua bagian dan... "Trang!" jatuh ke tanah. Terjatuhnya persis di sisi badan si lelaki berlengan tunggal itu entah apa sebabnya tahu tahu sudah berlutut di atas tanah, berlutut di hadapan si nenek sambil bermandi keringat, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk bangkit berdiri, tapi sayang sekalipun segenap tenaganya sudah dikerahkan, ia tetap belum berhasil untuk berdiri. Nenek itu menghela napas panjang, lalu gumamnya: “Sedari tadi aku toh sudah bilang, terhadap urusan kalian, sekalipun kamu berlutut sambil memohon kepadaku, akupun tak akan mengambil perduli, rupanya kau benar-benar tidak menurut, jangan jangan telingamu lebih tuli daripada telingaku" Sambil mengomel dia lantas berjalan ke luar dari situ. Dengan menurut sekali Hoat liok pi mengikuti di belakangnya, jangankan membangkang, untuk bernapas keras keraspun tidak berani. Sekujur badan si lelaki bercodet pun sudah bermandikan keringat, tiba-tiba serunya: "Cianpwe, harap tunggu sebentar!" "Apa lagi yang harus di tunggu? Apakah kau juga ingin berlutut di hadapanku?" Tatkala cianpwe sudah mencampuri urusan ini, akupun tak bisa berbuat apa-apa lagi, harap cianpwe suka meninggalkan namamu, agar aku bisa memberi pertanggungan jawab kepada majikan kami nanti" "Kau ingin mengetahui namaku ?" "Betul!" "Kau masih belum pantas untuk mengetahui namaku, sekalipun kukatakan juga belum tentu kau akan mengerti " Setelah berhenti sebentar, nenek itu melanjutkan kembali kata katanya: "Tapi kau boleh pulang menyampaikan kepada majikanmu, katakanlah ada seorang sobat lamanya menasehati dirinya, bocah cilik itu patut dikasihani, lebih baik jangan dipaksa terus menerus, kalau tidak orang lainpun akan merasa tidak leluasa untuk melihatnya " Selesai berkata pelan pelan dia berjalan keluar dari ruangan. Lelaki bercodet itu segera memburu ke depan, agaknya dia seperti ingin menanyakan sesuatu lagi kepadanya. Tapi di luar pintu sudah tiada seorang manusiapun, baik si nenek maupun Hoat liok pi, kedua duanya sudah lenyap tak berbekas. 000000000000000 Ternyata si nenek tukang menanak nasi ini adalah seorang jago persilatan yang berilmu tinggi, sedemikian tingginya kepandaian silat yang dimilikinya itu sehingga orang lain mimpipun tak pernah menduga. Tak heran ketika si anjing buldok dan si tongkat hendak melakukan penggeledahan ke rumah pegadaiannya dulu, sewaktu muncul kembali sikapnya begitu menghormat, kalau mereka bukannya sudah dibikin keok oleh si nenek tersebut, sudah pasti mereka telah mengetahui siapa gerangan dirinya itu. Sekarang Kwik Tay lok dan Yan Jit baru dibikin mengerti. Tapi mereka masih ada satu hal yang merasa tidak habis mengerti, setelah saling berpandangan sekejap serentak mereka meluncur ke arah belakang sana. Di belakang situ terdapat sebatang pohon, sebatang pohon yang besar sekali. Di atas pohon tiada duanya, yang ada cuma timbunan salju. Terpaksa Yan Jit harus berjongkok di atas dahan pohon, sedangkan Kwik Tay lok duduk dengan begitu saja, tapi kemudian ia melompat bangun dengan kaget, sebab pantatnya seperti digores dengan golok. Salju di atas dahan pohon itu sungguh dingin dan tajam bagaikan sebilah golok. Yan Jit menghela napas dan menggelengkan kepala berulang kali, katanya: "Setiap kali hendak duduk, apakah tak pernah kau periksa dulu ada apanya di bawah pantatmu itu?" Kwik Tay lok tertawa getir. "Aku tidak memperhatikannya, aku sedang memikirkan satu urusan" sahutnya. Dahan pohon itu sangat besar dan kuat, dia pun berjongkok disamping Yan Jit seraya berkata lagi: "Aku sedang memikirkan Si nenek tadi, padahal dia adalah seorang jago persilatan yang sangat luar biasa, mengapa ia bersedia menjadi seorang tukang masaknya Hoat liok pi dari rumah pegadaian...? Yan Jit termenung sejenak, lalu sahutnya: "Mungkin saja ia seperti juga Hong Si hu, sedang menghindarkan diri dari pencarian orang lain" "Sepintas lalu alasan ini seakan akan sangat kuat sekali, akan tetapi sesudah direnungkan kembali, ternyata terdapat banyak hal yang tak bisa diterima dengan akal" "Dunia bukan sedaun kelor masih terdapat banyak tempat lain yang bisa dia gunakan untuk menghindari kejaran orang, apalagi buat seorang jago silat yang begitu lihay seperti dia, anehnya, kenapa ia bersedia menjadi babunya orang lain, bersedia mendapat perintah orang dan menerima makian orang" Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, dia melanjutkan: "Sekalipun dia ingin menjadi seorang babu, sepantasnya kalau dia menjadi seseorang yang agak terhormat atau suatu tempat yang lebih baikan, kenapa justru Hoat liok pi si pelit yang dicari? Apakah hal ini tidak mengherankan?`. "Jadi kau tidak habis mengerti?" "Yaa, aku benar benar merasa tidak habis mengerti" "Persoalan yang bisa membuat kau tak habis mengerti, pasti tak akan dimengerti pula oleh orang lain" Kwik Tay lok tertawa: "Kalau aku pun tidak mengerti, biasanya memang tak banyak orang yang bisa memahaminya" "Mungkin saja dia memang menginginkan agar orang tidak habis mengerti?" "Tapi persoalan yang bikin orang tidak habis mengerti masih banyak sekali.” "Coba katakan!" "Kalau dilihat ilmu silatnya, mungkin tidak banyak manusia di dunia ini yang sanggup untuk menandinginya. Mendengar perkataan itu, Yan Jit manggut-manggut, sahutnya sambil menghela napas pula: "Ilmu silat yang dimilikinya memang sangat tinggi, bukan saja belum pernah kujumpai ada orang yang memiliki kepandaian silat selihai itu, bahkan pada hakekatnya mendengar pun belum pernah. . Oleh karena itu, aku beranggapan bahwa sesungguhnya ia tak perlu takut kepada orang lain, diapun tak perlu menyembunyikan diri. "Jangan lupa, diantara manusia yang lihay masih ada yang lebih lihay lagi, diantara bukit yang tinggi masih ada yang lebih tinggi lagi. "Itu mah pepatah kuno yang sudah usang" "Sekalipun sudah usang, kadangkala teori yang makin usang semakin masuk diakal" ooooo(O)oooooo RAHASIA LIM TAY PENG "SEANDAINYA ia benar benar lagi menghindarkan diri dari kejaran orang" kata Kwik Tay lok, paling tidak gerak geriknya pasti akan jauh lebih rahasia, tapi setiap kali kita berkunjung ke rumah pegadaian, kita selalu masuk keluar dengan leluasa, sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia kuatir dikenali orang lain" "Pada waktu itu, apakah kau bisa menduga manusia macam apakah dirinya itu ?" "Tidak !" "Kalau toh orang lain tak menduga siapakah dia, kenapa pula dia musti takut bertemu orang lain?" "Jadi menurut pendapatmu, seperti juga Hong si-hu, diapun sudah merubah wajahnya menjadi wajah yang lain ?" "Dalam dunia persilatan, toh bukan hanya Hong si hu seorang yang pandai menyaru ?" "Lantas, kenapa si anjing buldok dan si tongkat bisa mengenalinya hanya dalam sekilas pandangan saja ?" "Dari mana kau bisa tahu kalau mereka dapat mengenalinya hanya didalam sekilas pandangan saja?" "Kalau mereka tak dapat mengenalinya, mengapa pula sikap mereka terhadap Hoat-liok pi begitu menghormat dan munduk-munduk ?" Yan Jit segera mengerdipkan matanya, lalu berkata: "Lantas menurut pendapatmu, apa pula yang sebenarnya telah terjadi " "Menurut pendapatku, dia dengan Hoat liok pi pasti mempunyai suatu hubungan yang agak luar biasa, mungkin saja dia adalah sobat lamanya Hoat liok pi atau mungkin familinya Hoat liok pi, apakah hal ini bukan suatu alasan?" "Ya, memang suatu alasan" "Tak kusangka kaupun mengakui kalau aku beralasan." Kwik Tay lok tertawa. "Tentu saja karena pendapatku sendiripun juga demikian," sahut Yan Jit sambil tertawa pula. Kwik Tay lok menjadi tertegun. “Kalau toh pendapatmu sama dengan pendapatku, mengapa kau musti mengumpak aku?" seru sang pemuda tertegun. "Sebab sejak dilahirkan aku memang sudah suka mengumpak orang" Kwik Tay lok segera melototinya sampai lama, kemudian baru berkata: "Seandainya aku bilang salju ini putih?" "Maka aku akan mengatakan kalau salju itu hitam" 00000000 Bagaimanapun cerdiknya kau, betapa rajinnya kau bekerja, ada kalanya akan ketanggor juga pada tandingannya, maka bila hal ini sampai terjadi, bagaimanapun hebatnya kau, semua kepandaianmu seolah olah menjadi mati kutu. Agaknya Yan Jit adalah tandingan dari Kwik Tay lok, apapun juga yang dilakukannya seakan akan terbentur semua pada batunya. Lewat beberapa saat kemudian, sambil tertawa dia baru berkata lagi: "Paling tidak, ada satu hal yang mau tak mau harus kau akui akan kebenarannya.” "Soal apa?" Kali ini Hoat liok pi tidak berhasil membeseti kulit seorang manusiapun,” kata Kwik Tay lok sambil tertawa. "Lagi-lagi kau keliru." "Lagi-lagi aku keliru?" seru Kwik Tay lok sambil tertawa getir. "Yaa, paling tidak kali ini Hoat liok pi, telah membeseti kulit seseorang." "Kulit siapa yang dibeseti?" "Kulitnya sendiri!" Sebenarnya siapakah manusia yang dinamakan Lim Tay peng itu? Apa sebabnya ada seorang yang bersedia menghamburkan uang sebesar beberapa ribu tahi perak hanya bermaksud untuk mencari jejaknya ? "Ada persoalan apa mereka mencarinya? "Menurut pendapatmu, apa sebabnya orang-orang itu pergi mencari Lim Tay peng?" tanya Kwik Tay lok. Tampaknya ia sudah lebih pandai menguasahi diri, sebab kali ini ia tidak mengemukakan pendapatnya sendiri. Yan Jit termenung sebentar, kemudian katanya: "Seandainya kau bersedia menghamburkan uang sebesar lima enam ribu tahil perak untuk mencari seseorang, mungkin tujuannya karena apa ? "Aku tak bakal melakukan perbuatan semacam ini" sahut Kwik Tay lok sambil tertawa. Yan Jit melirik sekejap ke arahnya lalu, berkata: "Seandainya aku lenyap secara tiba tiba dan kau harus menghamburkan uang sebesar lima ribu tahil perak untuk menemukan diriku, bersediakah kau untuk melakukannya?" Tanpa berpikir panjang lagi Kwik Tay lok segera menjawab: "Tentu saja bersedia, demi kau sekalipun aku musti menggadaikan batok kepalaku juga aku bersedia." Mencorong sinar tajam dari balik mata Yan Jit. Sorot mata seseorang baru akan memancarkan sinar tajam bila ia sedang merasa sangat gembira atau merasa sangat bangga. Karena kita adalah sahabat karib maka aku bersedia untuk melakukannya" kata Kwik Tay lok lagi, "tapi, Lim Tay-peng sudah pasti bukan sahabat karibnya kedua orang itu, dia tak nanti akan bersahabat dengan manusia-manusia macam begitu" Yan Jit manggut manggut, sahutnya: "Seandainya ada orang telah membunuhku, bersediakah kau menghamburkan yang sebesar lima ribu tahil perak untuk menemukan jejak pembunuhnya?" "Tentu saja mau, sekalipun harus beradu jiwa, aku juga pasti akan mencari orang itu sampai ketemu dan membalaskan dendam bagimu" Tapi kemudian dia lantas menggeleng, katanya lagi: "Tapi Lim Tay-peng belum pernah membunuh manusia, aku rasa sikap menderita dan tersiksa yang diperlihatkannya sehabis membunuh Lamkiong Cho itu sudah pasti bukan dilakukannya dengan berpura pura." “Bila ada orang telah merampas lima puluh laksa tahil perak milikmu, kemudian kau menghamburkan lima ribu tahil perak untuk mencarinya, tentu saja kau bersedia untuk melakukannya bukan" Tapi ketika Lim Tay peng datang, sepeser uangpun tidak dimilikinya, apalagi dia toh bukan manusia semacam itu" Yan Jit segera tertawa. "Sekarang bukan aku yang mendebat ucapanmu, adalah kau yang terus menerus mendebat perkataanku" serunya. Kwik Tay lok turut pula tertawa. "Yaa, soalnya aku juga tahu kalau hati kecilmu yang sesungguhnya juga tidak berpendapat demikian" Yan Jit menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir: "Terus terang saja, pada hakekatnya akupun tidak berhasil menemukan jawaban yang tepat, apa sebabnya mereka mencari Lim Tay peng." "Walaupun tak bisa ditemukan, apakah kau lupa aku sudah banyak belajar cara menanyai orang dari diri si tongkat?" Sinar lentera didalam kamar masih terang benderang, tidak kelihatan ada orang berjalan keluar, juga tidak kelihatan ada orang berjalan masuk. Baru saja mereka bersiap-siap akan menanyai kedua orang itu, tiba-tiba daun jendela dibuka orang. Seseorang sedang menggape ke arah mereka dari depan jendela. Sementara kedua orang itu masih belum mengerti jelas siapa gerangan yang sedang di gape, sambil tertawa orang itu sudah berkata lebih dulu: "Di atas pohon udara tentu sangat dingin, mengapa kalian berdua tidak masuk saja, ke dalam untuk menghangatkan badan?" Api pemanas dalam ruangan itu amat besar. Duduk di tepi perapian sudah barang tentu jauh lebih nyaman ketimbang berjongkok di dahan pohon. Orang yang menggape mereka dari jendela tadi, kini sudah duduk kembali. Orang itu bukan si lelaki bercodet di wajahnya, juga bukan si manusia berlengan tunggal yang berwajah bengis. Sesungguhnya orang itu sama sekali tidak terlihat ada didalam ruangan tadi. Sebaliknya orang orang yang tadi berada dalam ruangan, kini sudah pergi entah ke mana. Kwik Tay lok tidak melihat mereka keluar dari situ, juga tidak melihat orang ini masuk ke dalam. Hanya ada satu hal yang membuat Kwik Tay lok merasa agak terhibur dan lega. Dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya, orang ini jauh lebih sedap dipandang daripada kedua orang tadi. Yang lebih penting lagi, orang ini adalah seorang perempuan. Sesungguhnya dia sudah tidak termasuk muda lagi, tapi wajahnya masih cantik dan agak menawan hati. Di dunia ini memang terdapat semacam perempuan yang bisa membuat kau tidak akan memperhatikan usianya. Dan kebetulan sekali dia adalah perempuan semacam itu. Perempuan yang cantik kebanyakan angkuh, tak tahu aturan, hanya sedikit sekali yang terkecuali. Kebetulan dia termasuk didalam pengecualian tersebut. Anehnya, perempuan semacam ini mengapa secara tiba-tiba bisa muncul didalam ruangan tersebut? Setelah tertawa, katanya lebih lanjut: Apa pula hubungannya dengan kedua orang itu? Apa pula hubungannya dengan persoalan ini ? Tentu saja Kwik Tay lok ingin bertanya, tapi hingga detik itu belum juga ada kesempatan. Setiap kali bila dia ingin bertanya, ternyata ia telah didahului terus oleh orang lain, bila ada seorang perempuan semacam itu mengajukan pertanyaan kepadamu, tentu saja kau harus menjawab lebih dulu. "Aku she Wi" kata perempuan itu sambil tersenyum, "dan kalian berdua?" "Aku she Kwik, dan dia she Yan, Yan dari huruf Yan cu si burung walet" Yan Jit segera mendelik ke arahnya, tapi sebelum dia mengucapkan sesuatu, Wi hujin telah berkata lagi sambil tertawa: "Semua teman Lim Tay peng tak ada seorangpun yang tidak kukenal, mengapa belum pernah kujumpai kalian berdua?" Kembali Kwik Tay lok ingin berebut menjawab, mendadak ia menjumpai Yan Jit sedang mendelik ke arahnya. Terpaksa dia harus menundukkan kepalanya dan mendehem pelan. Pelan-pelan Yan Jit baru mengalihkan sinar matanya ke wajah Wi-hujin, sahutnya hambar: "Darimana kau bisa tahu kalau kami ini adalah temannya Lim Tay peng ?" "Kalian berdua datang dari tempat kejauhan dengan menempuh hujan salju serta angin kencang, kemudian menunggu di luar dalam udara sedingin ini, sudah barang tentu bukan dikarenakan tauke rumah pegadaian itu bukan?" "Mengapa tidak mungkin?" Wi-hujin tersenyum. “Naga akan berteman dengan naga, burung hong akan berteman dengan burung hong, masih cukup jelas bagiku untuk mengetahui, siapa tepatnya berteman dengan siapa?" Yan Jit segera mengerdipkan matanya. "Kalau begitu, ternyata kau juga kenal dengan Lim Tay Peng bukan ....?" Wi hujin manggut manggut: Sambil tertawa kembali Yan Jit berkata: "Padahal tidak seharusnya kuajukan pertanyaan seperti ini, bahkan temannya saja kau kenal semua, tentu saja kenal dengan dirinya" "Yaa, memang boleh dibilang kenal sekali" Wi-hujin tersenyum. "Lain kali, bila kau bertemu lagi dengannya, tolong sampaikan salam dari kami, katakan kalau kami merasa rindu sekali dengannya" seru Yan Jit lagi. "Aku pun ingin sekali berjumpa muka dengannya, maka sengaja aku datang untuk minta petunjuk dari kalian berdua'" "Minta petunjuk apa?” "Aku minta kalian berdua suka memberitahu kepadaku, selama dua hari belakangan ini dia berada dimana?" Yan Jit merasa seperti amat terkejut bercampur keheranan lalu serunya dengan cepat: "Hubunganmu dengannya jauh lebih akrab dari pada kami, dari mana aku bisa tahu dia berada dimana sekarang ?" Wi-hujin segera tertawa. "Bagaimana akrabnya seorang teman kadangkala diapun bisa lama sekali tak pernah bersua muka" Yan Jit menghela napas panjang. “Aaaaaiii... aku malah punya rencana untuk meminta bantuanmu agar mengajak kami untuk pergi menjumpainya" "Apakah kalian juga tidak tahu dimanakah ia berada sekarang?" "Kalau kau sendiripun tidak tahu, darimana kami bisa tahu ? Seorangpun diantara temannya ini tak ada yang kami kenal" Mendadak ia bangkit berdiri sesudah menjura katanya: "Waktu sudah tidak pagi lagi kami harus segera mohon diri" Wi-hujin tertawa ewa. "Ooooohhh. . . kalian berdua akan pergi? Maaf aku tidak menghantar, tidak menghantar" Ternyata ia sama sekali tidak berniat untuk menghalangi kepergian mereka dengan begitu saja dia membiarkan Yan Jit berdua pergi meninggalkan ruangan. Baru keluar dari rumah penginapan, Kwik Tay lok sudah tidak tahan berseru: "Aku benar benar merasa kagum kepadamu kau memang hebat sekali" "Hebat kenapa ?" "Kalau kau sudah mulai berbohong, pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan orang yang sedang berbicara sungguhan" Yan Jit segera melotot sekejap ke arahnya kemudian berkata pula: "Akupun sangat mengagumi dirimu. . . " "Kagum apa kepadaku?" "Manusia macam kau memang jarang terdapat di dunia ini, asal melihat ada perempuan yang menarik, tanggal lahir sendiripun sudah terlupakan sama sekali kalau bisa seakan akan semua rahasianya akan diung-kapkan keluar" "Itu mah disebabkan aku lihat dia tidak mirip orang jahat” sahut Kwik Tay lok sambil tertawa. "Hmm, memangnya orang jahat akan pasang papan nama di atas wajahnya ?" seru Yan Jit sambil tertawa dingin. "Seandainya dia bermaksud jahat, masakah kita dibiarkan pergi dengan begitu saja?" "Kalau tidak membiarkan kita pergi lantas bagaimana? Apakah dia mempunyai kemampuan untuk menahan kita?" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang. "Aaaai ... andaikata kau menganggap dia hanyalah seorang perempuan biasa saja, maka pandanganmu itu keliru besar" "Oya. . . " "Semua gerak gerik kita agaknya diketahui olehnya dengan jelas, cukup mengandalkan persoalan ini aku berani memastikan kalau dia bukan manusia sembarangan" "Apa saja yang dia ketahui ?" "Ia tahu kita datang dari luar kota, dia tahu kita sembunyi di atas pohon . . . " Mendadak dia menghentikan ucapannya lalu berbisik: "Coba kau lihat di depan pintu toko obat dibelakang sana" "Tak usah dilihat lagi" "Jadi kau sudah tahu kalau ada orang sedang menguntil di belakang kita?" Sambil tertawa dingin Yan Jit manggut-manggut. Sementara itu mereka sudah berbelok ke sebuah jalanan yang lenggang dan sepi toko-toko di situ menutup pintu agak awal, saat itu hampir tiada orang yang perlu lalang lagi di sana. Toko obat itupun sudah menutup pintu, tapi seorang manusia berbaju hitam yang pendek kecil sedang berdiri di belakang pintu sambil kadang kala melongokkan kepalanya memperhatikan mereka. "Apakah orang ini mengikuti kita terus menerus?" "Baru keluar dari rumah penginapan, aku telah mengetahui jejaknya. Maka aku baru sengaja membelok ke jalanan ini" Sesudah tertawa dingin, lanjutnya: "Sekarang, tentunya kau sudah mengerti bukan, apa sebabnya Wi-hujin membiarkan kita berlalu dengan begitu saja?" "Masalah dia sudah tahu kalau kita sebenarnya tinggal bersama Lim Tay peng, maka sengaja membiarkan kita pergi dengan begitu saja sementara dia suruh orang mengikuti kepergian kita secara diam diam?" "Ehmm" Kwik Tay lok menghela napas panjang. "Perhitungan si poanya hebat juga cuma sayang ia terlalu menilai rendah diri kita" "Memangnya kau anggap dia memandang sebelah mata kepadamu?" jengek Yan Jit dingin. "Walaupun aku tiada sesuatu yang luar biasa, tapi bukan sesuatu yang gampang buat orang lain bila ingin menguntit diriku" "Oya !" Kwik Tay lok mengerdipkan matanya, lalu tertawa. "Siapa ingin menguntil diriku, maka dia harus mencicipi dulu hembusan angin barat laut" Di jalanan tersebut, hanya rumah makan yang belum menutup pintu. Tak tahan Yan Jit segera tertawa, katanya: "Aku lihat mungkin kau bukan berniat untuk menyuruh orang lain minum angin barat laut, adalah kau sendiri yang ingin minum arak bukan?" "Aku minum arak dan dia minum angin barat laut, pokoknya kan semua orang minum meski berbeda apa yang diminum" Kwik Tay lok mempunyai suatu penyakit didalam minum arak. Sebelum minum sampai mabuk, dia takkan pergi. Bila di kolong langit masih ada yang bisa menyembuhkan penyakitnya itu, maka dia pastilah Yan Jit. Rantai emas itu sudah digadaikan sebesar lima puluh tahil perak, separuh diantaranya sudah diberikan kepada Ong Tiong, sedang Kwik Tay-lok ternyata tidak menghabiskan isi sakunya dengan minuman tersebut. Bahkan ketika keluar dari warung itu, dia masih tetap sadar, tetap bisa mengenali orang. Betul juga, manusia berbaju hitam itu masih menunggu di depan pintu sambil minum angin barat laut. Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, katanya: “Seharusnya aku musti membiarkan dia lebih banyak minum sebab kelihatannya dia belum puas" "Tapi kau sudah minum terlalu cukup. Kalau minum terlalu banyak lagi, maka seorang bocah yang berusia tiga tahun dia pasti dapat menguntil dirimu" "Kwik Tay lok segera melototkan sepa-sang matanya bulat-bulat, serunya: "Siapa bilang begitu? sekalipun aku lari dengan kaki sebelah belum tentu dia bisa menyusulku, kau tidak percaya?" "Aku cuma percaya satu hal" "Hal apa?" "Sekalipun dia dapat menyusulmu, kaupun dapat meniupnya sampai pergi" "Meniupnya sampai pergi? Bagaimana cara meniupnya?" "Meniup seperti kau sedang meniup kertas (membual)!" Apapun tidak diucapkan oleh Kwik Tay lok tiba-tiba dia melompat ke muka dan mengayunkan kakinya. Ternyata lompat tersebut mencapai dua kaki lebih. Yan Jit segera menghela napas panjang, sambil menggeleng gumamnya: "Heran, kenapa orang ini selamanya tak pernah dewasa?" 0000000 0000000 Langit sudah menggelap, sedang jalan berwarna putih cemerlang. Sesungguhnya jalanan itu tidak berwarna putih, yang putih adalah timbunan salju, Kwik Tay lok, menyaksikan pepohonan di balik timbunan salju itu seakan-akan sedang lari ke belakang. Sesungguhnya pohon itu tidak lari, yang sedang berlarian adalah sepasang kakinya. Ia bukannya sedang takut tak bisa melepaskan diri dari penguntilan manusia berbaju hitam di belakangnya itu, melainkan dia kuatir tak bisa menyusul Yan Jit. Bila Yan Jit sedang mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, maka dia akan berubah bagaikan seekor burung walet. Kwik Tay lok sudah mulai terengah engah napasnya. Saat itulah Yan Jit baru pelan pelan menghentikan gerakan tubuhnya, lalu sambil mengerling sekejap ke arahnya, dia menegur sambil tertawa: "Apakah kau sudah kepayahan?" Kwik Tay lok menghembuskan napas panjang dan tertawa getir. "Makanku lebih banyak daripada darimu, kepalaku juga lebih gedean daripada dirimu, tentu saja lariku tak bakalan bisa menangkan kau" "Makan si kuda lebih banyak darimu, kepalanya juga lebih gedean dari pada dirimu mengapa larinya justru lebih cepat dari pada kau?" "Aku bukan kuda dan kakiku cuma dua" Yan Jit segera tertawa. "Bukankah kau pernah bilang sekalipun sedang lari dengan satu kaki, orang lain jangan harap bisa menyusul dirimu !" "Bukan kau yang kumaksudkan" "Memangnya kau anggap orang lain tidak becus !" "Tentu saja" Tiba-tiba Yan Jit menghela napas panjang lalu katanya: "Mengapa, kau tidak berpaling untuk melihat sendiri ?" Begitu Kwik Tay lok berpaling dia lantas dibikin tertegun. Tiba-tiba dia menjumpai ada seseorang berdiri ditengah jalan sana. Jalanan itu putih, sedangkan orang itu hitam. Manusia berbaju hitam yang bersembunyi di belakang pintu warung obat tadi, ternyata saat itu sudah menyusul sampai di sana. Kwik Tay lok tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian berkata: "Sungguh tak kusangka bocah keparat ini bisa berlari dengan begini cepatnya" "Jangankan kau cuma memakai sebuah kaki saja, tampaknya sekalipun kau lari dengan memakai tiga buah kakipun, dia tetap akan mampu mengikuti dirimu, percaya tidak?" "Aku percaya!" Yan Jit memandang ke arahnya, sinar mata itu penuh dengan makna senyuman . Dia memang seorang yang menyenangkan, yang paling menyenangkan adalah keberaniannya untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, kendatipun tak sedikit kesalahan yang pernah dilakukannya, dia masih tetap merupakan lelaki yang menyenangkan. "Ketika tak mampu, meninggalkan kejarannya, itu berarti kita tak boleh pulang ke rumah!" "Benar!" "Tapi kalau tidak pulang, kita harus ke mana?" "Tiada tempat yang bisa kita kunjungi." Tapi kemudian sambil mengerdipkan matanya mendadak ia tertawa, katanya lebih jauh: "Kau masih ingat dengan apa yang kau ucapkan tadi?" "Apa yang pernah kukatakan?". "Kau bilang, sekalipun dia benar-benar mampu menyusulku, akupun masih bisa meniupnya pergi.” "Aaah, masakah kau memiliki kemampuan sebesar itu? seru Yan Jit sambil tertawa. "Tentu saja." "Dengan cara apa kau hendak meniupnya pergi." "Dengan kepalanku." Tiba tiba ia membalikkan badannya dan berjalan mendekati orang berbaju hitam itu. Orang berbaju hitam itu berdiri ditengah jalan sambil mengawasi dengan tenang. "Hebat benar orang ini, sungguh pandai ia mengendalikan diri." Habis kesabaran Kwik Tay lok, pelan-pelan dia berjalan ke depan sementara hatinya sedang berputar, dia sedang mempertimbangkan untuk membuka mulut lebih dulukah atau menggerakkan kepalannya? Siapa tahu, orang berbaju hitam itupun tak sanggup mengendalikan diri, sambil putar badan ia lantas kabur meninggalkan tempat itu. Kwik Tay lok juga tak sanggup mengendalikan diri, dia mengerahkan tenaga dan mengejar dari belakang. Mendadak ia menemukan bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki berbaju hitam itu tidak berada di bawah Yan Jit, sekalipun ia mempunyai tiga buah kaki juga, belum tentu dapat menyusulnya, terpaksa dengan suara lantang teriaknya: "Sobat, tunggu sebentar, aku hendak berbicara denganmu!" Tapi orang berbaju hitam itu justru tidak menunggu, dia malahan lari semakin cepat. Kwik Tay lok menjadi naik darah, segera teriaknya keras keras: "Hei, apakah kau tuli?" Tiba tiba orang berbaju hitam itu berpaling dan tertawa, sahutnya: "Benar, aku memang tuli sekali, apa yang kau ucapkan tak sepatah katapun yang kudengar" Agaknya untuk membuat berkobarnya amarah Kwik Tay lok. Siapa saja yang berhasrat untuk membuat Kwik Tay lok marah hal ini bisa dilakukannya secara gampang, sebab dia memang seseorang yang gampang menjadi marah. Begitu amarahnya berkobar, ia lantas mengejar dengan kencang, Tadi, sebenarnya orang berbaju hitam itu yang menguntil mereka, tapi sekarang justru dia menguntil orang berbaju hitam itu. Terpaksa Yan Jit harus mengiringinya untuk turut mengejar ke depan . ... Di tepi jalan situ terdapat sebuah hutan yang tertimbun salju, dibalik hutan ternyata ada cahaya lampu. Orang berbaju hitam itu segera berkelebat lewat didalam hutan tadi, kemudian tubuhnya lenyap tak berbekas. Cahaya lampu masih bersinar terang di situ. 'Cahaya lampu itu memancar keluar dari balik sebuah rumah, ternyata orang berbaju hitam itu menerjang masuk ke dalam rumah itu. Sambil menggigit bibir, Kwik Tay lok berseru dengan gemas: "Tunggulah aku di luar, akan kuperiksa rumah itu." Yan Jit tidak berbicara, diapun tidak menahan pemuda itu. Apabila Kwik Tay lok sudah berniat untuk melakukan sesuatu, pada hakekatnya tak seorangpun yang sanggup untuk menghalanginya. Sekalipun dia ingin terjun ke sungai, Yan Jit terpaksa harus menemaninya juga. Pintu rumah dimana cahaya lentera itu berasal berada dalam keadaan terbuka lebar. Ketika Kwik Tay lok menyerbu masuk ke dalam pintu rumah, kembali ia bikin tertegun. Didalam ruangan itu tampak sebuah perapian, disamping perapian duduk seorang perempuan yang berwajah cantik. Ternyata perempuan itu adalah Wi hujin. Ketika menjumpai Kwik Tay lok, sedikitpun ia tidak merasa heran atau kaget, malah ujarnya sambil tersenyum: "Udara di luar sana tentu sangat dingin, mengapa kalian berdua tidak masuk untuk menghangatkan badan" Tampaknya kehadirannya di sana adalah khusus untuk menantikan kedatangan kedua orang itu. 00000000 Selain dia, dalam ruangan itu masih ada seseorang, itulah si orang berbaju hitam. Begitu melihat kehadiran orang itu di sana, api kemarahan dalam hati Kwik Tay lok kontan saja berkobar, tak tahan dia menyerbu masuk seraya berteriak keras: "Mengapa kau selalu menguntil di belakangku?” Orang berbaju hitam itu mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian menjawab: "Aku yang sedang menguntilmu? Atau kau yang sedang menguntil diriku ?" Mencorong sinar bening dari balik matanya, "Tentu saja kau yang sedang menguntil diriku!” sahut Kwik Tay lok. Kembali orang berbaju hitam itu tertawa. "Tahukah kau tempat manakah ini?" "Tidak!" "'Kalau begitu kuberitahukan kepadamu, tempat ini adalah rumahku" "Rumahmu?" "Yaa, betul!" jawab orang berbaju hitam itu sambil tertawa, "andaikata kau tidak menguntilku, mengapa kalian bisa sampai didalam rumahku ?" Kwik Tay lok jadi tertegun. Tiba-tiba ia merasakan bahwa sinar mata orang berbaju hitam itu bukan saja amat jeli, senyumannyapun sangat manis. Ternyata orang berbaju hitam itu adalah seorang gadis yang memakai baju hitam, lagi pula usianya paling banter sekitar enam tujuh belas tahunan. Dalam keadaan begini sekalipun Kwik Tay lok memiliki banyak alasan juga percuma saja sebab dia tak mampu untuk mengucapkan sepatah katapun. Sambil tertawa Wi hujin lantas berkata: "Toh kalian berdua sudah sampai di sini mengapa tidak duduk lebih dulu? Silahkan masuk, silahkan masuk!” Disamping perapian terdapat dua buah bangku. Yan Jit segera duduk lalu katanya tiba tiba sambil tertawa: "Agaknya kau sudah menduga kalau kami bakal datang kemari, maka kau sengaja menunggu kami di sini?" Wi hujin tersenyum. "Kalian ingin pergi, aku tak bisa menahannya, kalian mau datang, akupun tak bisa menolaknya" "Bila kami akan pergi juga sekarang?" tanya Yan Jit. "Akupun masih tetap dengan perkataan yang lalu" "Perkataan apa" "Tidak menghantar, tidak menghantar!" "Tapi kau masih akan menyuruh adik kecil itu untuk menguntil di belakang kami?" Nona berbaju hitam itu segera melotot: "Siapa yang sedang menguntil kalian?" protesnya, "toh jalanan itu bukan milik kalian, kalau kalian boleh melewati jalan itu, mengapa aku tak boleh? kalian saja boleh seenaknya saja menyerbu ke rumahku, memangnya aku tak boleh mengambil jalan yang sama dengan kalian?" "Oooh rupanya kau hanya secara kebetulan saja mengambil jalan yang sama dengan kami" jengek Yan Jit tertawa dingin. "Tepat sekali!" "Wah, kalau begitu sungguh amat kebetulan" Wi hujin tertawa ewa, katanya: "Bila usiamu sudah agak meningkat nanti, kau akan segera mengetahui kalau kejadian yang kebetulan memang tak sedikit jumlahnya.." "Kalau begitu kau sudah bertekad untuk menemukan kembali Lim Tay peng dari tangan kami?" "Soal itu mah, harus dilihat dulu apakah kalian tahu kemana perginya atau tidak" sahut Wi hujin sambil tertawa. "Seandainya kami tahu?" "Asal kalian tahu, maka cepat atau lambat akupun bakal tahu juga" Tiba tiba Yan Jit mengedipkan matanya kepada Kwik Tay lok, kemudian ujarnya: Andaikata kaki seseorang sudah dibelenggu dengan tali, dapatkah ia menguntil orang lagi? " "Agaknya tak bisa" jawab Kwik Tay lok. "Tepat sekali jawabanmu itu!" Mendadak dari sakunya meluncur keluar seutas tali dan secepat kilat menyambar kaki si nona berbaju hitam itu. Ibaratnya seekor ular, tali tersebut dengan cepat dan tepat bahkan seakan-akan mempunyai mata meluncur ke muka. Asal dia sudah melancarkan serangan dengan talinya, jarang sekali ada orang yang mampu menghindarkan diri. Sesungguhnya nona berbaju hitam itu sama sekali tidak berkelit, sebab tali itu sudah berada ditangan Wi hujin. Tangannya pelan pelan di ulurkan ke depan, tapi kenyataannya meski gerak tali itu cepatnya luar biasa, tapi entah mengapa tahu-tahu sudah berada dalam genggamannya. Yan Jit segera menarik dengan sepenuh tenaga, dia bermaksud untuk menarik kembali talinya. Wi hujin sama sekali tidak menggunakan tenaga, tapi entah mengapa, tahu-tahu tali itu sudah berada di tangannya. Paras muka Yan Jit berubah hebat, hanya seorang yang tahu apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi, dia hanya merasakan dari balik tali itu muncul segulung tenaga yang aneh sekali, sedemikian dahsyatnya tenaga serangan tersebut, membuat separuh badannya sampai kini masih terasa kesemutan. Selama hidup, ia belum percaya kalau di dunia ini terdapat tenaga dalam yang begitu dahsyatnya, tapi sekarang, mau tak mau ia harus mempercayainya. Sambil tersenyum Wi-hujin lantas berkata: "Padahal, sekalipun kau benar benar hendak membelenggu sepasang kakinya juga percuma" Yan Jit termenung beberapa saat lamanya, kemudian dia menghela napas panjang. "Yaa, memang percuma" "Paling tidak, kau harus membelenggu sepasang kakiku lebih dulu" "Benar!" "Tapi aku berani menjamin, mungkin di dunia ini tak ada seorang manusiapun yang sanggup membelenggu kakiku" kata Wi hujin sambil tertawa lebar. "Aku mempercayainya" Tiba tiba ia tertawa, lalu katanya pula: "Tapi akupun dapat membuktikan sesuatu kepadamu" "Membuktikan apa?" "Walaupun aku tak sanggup untuk membelenggu kaki kalian, tapi masih sanggup untuk membelenggu kaki orang lain, asal kaki orang ini sudah dibelenggu maka sekalipun, kalian mempunyai kemampuan yang bagai mana hebatpun, jangan harap bisa mendapat tahu tentang jejak Lim Tay peng...." "Kau berencana untuk membelenggu kaki siapa?" tanya Wi hujin sambil tertawa. "Kakiku sendiri!" Bagaimanapun tak becusnya seseorang, paling tidak ia dapat membelenggu kaki sendiri dan hal tersebut merupakan suatu hal yang tak dapat diragukan lagi. Yan Jit telah membelenggu kakinya sendiri. Dalam sakunya masih terdapat banyak sekali tali. Dia seakan akan gemar menggunakan tali sebagai senjatanya. Wi hujin jaga kelihatan agak tertegun, tapi sesudah tertegun beberapa saat lamanya dia baru tertawa lebar, sahutnya: "Benar, cara ini memang merupakan sebuah cara yang sangat baik. bahkan akupun mau tak mau harus mengakui bahwa cara ini memang merupakan sebuah cara yang sangat baik. "Terlalu memuji!" "Seandainya kau membelenggu dirimu sendiri ditempat ini, aku memang tak akan mampu untuk menemukan kembali jejak Lim Tay peng?" "Aku tak perlu membelenggu kakiku sendiri" kata Kwik Tay lok, "kakiku seperti juga dengan kakinya" "Jadi kalau begitu, kau sudah bertekad untuk tidak pergi dari sini?" "Agaknya memang begitu" "Sebenarnya aku telah bersiap siap untuk membelenggu kalian dengan tali kemudian memaksa kalian untuk mengatakan jejak Lim Tay peng, sebelum kalian berbicara, aku tak akan melepaskan kalian pergi" Setelah berhenti sebentar, dia menghela napas panjang, lalu terusnya sambil tertawa getir: "Siapa tahu kalian telah membelenggu diri sendiri" "Inilah yang dinamakan siapa turun tangan lebih dulu, dialah yang lebih tangguh" kata Kwik Tay lok tertawa, "Sayang sekali yang bakal mendapat musibah juga bukan aku, melainkan diri kalian” "Oya?" "Tentu saja kalian tak akan mengendon sepanjang hidup ditempat ini bukan?" "Siapa tahu begitu?" jawab Kwik Tay lok sambil tertawa. Setelah memperhatikan sakejap sekeliling tempat itu, katanya lagi seraya tersenyum: "Tempat ini mana hangat, sedap, nyaman lagi, paling tidak jauh lebih nyaman dari pada tempat bobrok kami itu?" Mencorong sinar tajam dari balik mata Wi hujin setelah mendengar perkataan itu, serunya: "Jadi kalian tinggal di sebuah rumah bobrok?" "Kau tak usah mencoba untuk memancing rahasia apa apa dari mulutku, tidak sedikit rumah bobrok yang ada di dunia ini, jika kau ingin mencarinya satu demi satu, maka sampai masuk liang kuburpun belum tentu pekerjaanmu itu sudah selesai. Wi hujin segera menghela napas panjang: "Aaai ....aku hanya merasa sedikit keheranan" "Apa yang kau herankan?" "Sejak kecil Lim Tay peng sudah terbiasa dimanja, kenapa ia bisa tahan untuk hidup didalam sebuah rumah bobrok?" "Karena didalam rumah bobrok kami itu, terdapat semacam benda yang tak akan didapatkan di tempat lain" "Ditempat kalian sana ada apanya?" "Teman!" Asal ada teman, sekalipun tinggal dirumah yang lebih miskin dan lebih bobrokpun juga tak mengapa. Sebab asal di sana ada teman, di situ pula ada kehangatan dan kegembiraan. Tempat yang tak ada temannya, meski di seantero lantai penuh dengan emas permata, dalam pandangan mereka tidak lebih hanya sebuah penjara yang terbuat dari emas. Wi hujin kembali termenung sampai lama sekali, akhirnya dia menghela napas panjang, katanya: "Tampaknya, walaupun kalian agak mengherankan, sesungguhnya cukup bersetia kawan.” "Yaa, paling tidak kami tak akan menghianati kawan!" kata Kwik Tay lok. "Apakah sampai kapanpun kalian tak akan menghianati teman?" tanya Wi hujin lagi. Kwik Tay lok mengangguk. Wi hujin kembali tertawa, katanya riang: "Baik, akan kulihat, kalian bisa menunggu sampai kapan?" Fajar telah menyingsing, langitpun menjadi terang. Di atas meja dihidangkan pelbagai aneka kueh dan santapan yang lezat, semuanya membangkitkan selera makan orang saja. Bersantap, bukan saja merupakan kenikmatan, juga merupakan suatu seni. Wi hujin pandai sekali mencari kenikmatan hidup, juga mengerti tentang seni memasak. Waktu makan, dia makan amat lamban, makan dengan indahnya. Entah apapun yang sedang dia makan, selalu bisa menimbulkan kesan bahwa makanan yang sedang dimakannya itu lezat sekali. Apa lagi semua hidangan tersebut pada hakekatnya memang merupakan hidangan yang paling lezat. Kalau baunya saja sudah sedap, apalagi kalau dimakan tentu enaknya bukan kepalang. Kwik Tay lok sudah tidak tahan dan diam-diam menelan air liur. Bila pengaruh arak sudah hilang, biasanya perut akan terasa lebih cepat laparnya. Sambil menahan lapar, harus menyaksikan orang lain berpesta pora, siksaan semacam ini pada hakekatnya jauh lebih menderita daripada siksaan apapun jua. Tiba-tiba Kwik Tay lok berteriak keras: "Aaai ...., masa tuan rumah makan sendiri, membiarkan tamunya menahan lapar sambil menonton orang makan, macam beginikah perlakuan dari seorang tuan rumah?" Wi hujin manggut manggut. "Yaa, ini memang bukan cara melayani tamu yang baik, tapi benarkah kalian adalah tamu-tamuku?" Kwik Tay lok berpikir sebentar, kemudian sambil menghela napas dia tertawa getir. "Bukan!" "Inginkah kalian menjadi tamuku?" "Tidak!" "Kenapa? Demi Lim Tay peng" Kwik Tay lok segera menghela papas panjang, sahutnya: "Aaai.... siapa suruh dia adalah sahabat kami!" "Walaupun kalian cukup setia kawan, tapi kalianpun cukup goblok!" kata Wi hujin sambil tertawa. "Oya?" "Hingga kini, kalian masih belum bertanya kepadaku, mengapa aku hendak mencari Lim Tay peng.." "Kami merasa tak perlu bertanya!" "Kenapa tidak perlu? Darimana kalian bisa tahu aku bermaksud baik atau bermaksud jahat kepadanya? Siapa tahu aku hendak mencarinya karena ingin memberi sedikit barang kepadanya?"' "Aku hanya tahu akan satu hal, bila dia tak ingin berjumpa denganmu, kamipun tak akan membiarkan kau menemukan dirinya, entah maksud baik atau jahat, kedua duanya adalah sama saja!" "Darimana kau bisa tahu dia tidak bersedia menjumpai diriku?" tanya Wi hujin lagi. "Sebab kau mencarinya dengan terlampau tergesa gesa, seperti mengandung satu maksud yang tidak baik, kalau tidak, seharusnya kau biarkan aku pulang dan memberitahukan hal ini kepadanya, kemudian suruh dia yang datang mencarimu" Wi hujin segera tertawa, katanya: "Tampaknya kalian tidak bodoh, cuma ada sedikit bodoh" "Oya ?" "Andaikata kalian takut dikuntil secara diam diam olehku sehingga tak berani pulang, janganlah pulang, kalian toh masih bisa pergi ke tempat lain? Buat apa musti mengikat diri ditempat ini?" Kwik Tay lok berpikir sebentar, lalu serunya kepada Yan Jit: "Agaknya apa yang dia ucapkan memang masuk diakal juga, mengapa kita belum juga pergi dari sini?" "Sebab saat ini, aku sudah tak akan membiarkan kalian pergi lagi!" kata Wi hujin dengan cepat. "Kau sendiri kan pernah bilang, setiap saat aku boleh pergi meninggalkan tempat ini ?” "Tapi sekarang aku telah berubah pikiran' Sesudah tertawa, lanjutnya: 'Kau toh juga tahu, perempuan itu suka berubah ubah pikiran setiap waktu!" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang. "Aaaai, andaikata kau bukan seorang perempuan, hal ini lebih baik lagi" "Apanya yang baik?" Sambil memandang Sio-may dan kueh kueh kecil lainnya di meja sahut Kwik Tay lok: "Jika kau ini seorang lelaki, paling tidak aku bisa tebalkan muka untuk merampas makanan milikmu itu" "Kenapa kau tidak menganggap saja diriku sebagai seorang lelaki?" tantang Wi hujin sambil tersenyum. Kwik Tay lok segera berpaling ke arah Yan Jit, sedang Yan Jit mengerdipkan matanya. Terdengar Wi hujin berkata lagi: "Tak ada salahnya kalau kalian berdua ingin maju bersama" Yan Jit segera tertawa. "Kulit mukaku masih belum setebal mukanya, lebih baik biar dia saja yang turun tangan seorang diri". Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, katanya: "Bila seseorang sudah kelaparan setengah mati, sekalipun tak ingin menebalkan mukanya juga tak bisa?" Mendadak tubuhnya meluncur ke depan dan menubruk ke atas meja yang penuh dengan hidangan itu: Ke sepuluh jari tangannya di pentangkan bagaikan kuku garuda, ternyata yang dipergunakan pemuda itu adalah jurus Hui eng poh toh (elang terbang menyambar kelinci) dari ilmu Eng jiau-kang yang sangat lihay itu. Menggunakan jurus elang terbang menerkam kelinci untuk merebut siomay dari atas meja, sebenarnya kejadian ini merupakan suatu peristiwa yang menggelikan sekali. Tapi, bila seseorang sudah kelaparan sekalipun perbuatan yang lebih menggelikan juga bisa dilakukannya. Wi hujin segera tertawa, katanya: "Aku lihat ilmu Eng jiau-kang yang kau miliki termasuk lumayan juga ....". Sekalipun mulutnya bercakap cakap dengan santai, namun sepasang supit di tangannya mendadak menotok ke muka dengan cepatnya. Supit yang digunakan adalah supit perak yang halus, supit semacam ini biasanya akan patah jika terbentur. Dengan cepat supit itu menotok pelan di atas jari tengah, tangan kanan Kwik Tay lok. Supit itu ternyata tidak putus. Sebaliknya tubuh Kwik Tay lok bagaikan layang layang putus benang, mendadak ia terjatuh dari tengah udara dan sebentar lagi agaknya akan segera menjatuhi hidangan di meja. Mendadak sumpit ditangan Wi hujin itu secepat kilat menjepit ke arah pinggangnya, dengan begitu seluruh bobot badannya terjatuh di atas sumpit yang terbentur sedikit saja akan patah itu. Ternyata sumpit itu belum juga patah. Tangan Wi hujin masih berhenti ditengah udara dan menjepit tubuhnya dengan sepasang sumpit itu, persis seperti lagi menyumpit seekor udang bago. Yan Jit menjadi tertegun setelah menyaksikan kejadian itu. Sambil tersenyum Wi hujin segera berkata: `0h. . . . begini besarnya sio-may cukup kenyang untuk isi perutmu seharian penuh" Begitu selesai berkata, tubuh Kwik Tay lok sudah melayang ke atas tubuh Yan Jit. Yan Jit ingin menerima tubuhnya, tapi tak sanggup, kedua orang itu segera saling bertubrukan dan sama sama terguling ke arah tanah. Lewat lama sekali Kwik Tay lok belum juga merangkak bangun, ia hanya bisa memandang ke wajah Wi hujin dengan sepasang mata terbelalak lebar lebar. Dia seakan akan dibuat tertegun oleh kejadian tersebut. Mendadak Yan Jit bertanya: "Tahukah kau jurus apa yang barusan dia pergunakan itu?" Kwik Tay lok segera menggeleng. "Kau toh mengerti ilmu Eng jiau-kang? serut Yan Jit, "seharusnya kau juga tahu bukan kalau dalam ilmu tersebut terdapat satu jurus serangan yang dinamakan Lo eng cua ki (elang tua menyambar ayam)?" Kwik Tay lok manggut manggut. Yan Jit segera tertawa, serunya: "Jurus serangan yang barusan ia pergunakan itu adalah perubahan dari jurus elang tua menyambar ayam yang diberi nama Kuay cu sia ki dengan sumpit ayam!" "Sebetulnya aku ini ayam atau siomay?" "Sudah pasti siomay isi daging ayam!" "Sungguh tak kusangka persoalan yang kau ketahui tak sedikit jumlahnya" seru Kwik Tay lok pula sambil tertawa. Mendadak tubuhnya meluncur ke depan dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Kali ini dia tidak mencomot ke atas meja, melainkan menerobos ke kolong meja. Wi-hujin sedang mendengarkan pembicaraan mereka sambil tersenyum, seakan-akan merasa tertarik sekali. Agaknya dia tidak menyangka kalau Kwik Tay lok akan menyusup maju lagi ke depan, sementara masih bercakap-cakap, lebih tidak menyangka lagi kalau orang itu bakal menerobos ke kolong meja. Dikolong meja tak akan dijumpai hidangan lezat, tapi mau apa dia menerobos ke bawah. Ingin mencari tulang? Tanpa terasa Wi hujin menjadi agak keheranan, tapi saat itulah mendadak hidangan yang berada di meja itu berlompatan ke tengah udara. SEBILAH golok lengkung yang bersinar tajam, tahu tahu sudah kutung menjadi dua bagian dan... "Trang!" jatuh ke tanah. Terjatuhnya persis di sisi badan si lelaki berlengan tunggal itu entah apa sebabnya tahu tahu sudah berlutut di atas tanah, berlutut di hadapan si nenek sambil bermandi keringat, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk bangkit berdiri, tapi sayang sekalipun segenap tenaganya sudah dikerahkan, ia tetap belum berhasil untuk berdiri. Nenek itu menghela napas panjang, lalu gumamnya: “Sedari tadi aku toh sudah bilang, terhadap urusan kalian, sekalipun kamu berlutut sambil memohon kepadaku, akupun tak akan mengambil perduli, rupanya kau benar-benar tidak menurut, jangan jangan telingamu lebih tuli daripada telingaku" Sambil mengomel dia lantas berjalan ke luar dari situ. Dengan menurut sekali Hoat liok pi mengikuti di belakangnya, jangankan membangkang, untuk bernapas keras keraspun tidak berani. Sekujur badan si lelaki bercodet pun sudah bermandikan keringat, tiba-tiba serunya: "Cianpwe, harap tunggu sebentar!" "Apa lagi yang harus di tunggu? Apakah kau juga ingin berlutut di hadapanku?" Tatkala cianpwe sudah mencampuri urusan ini, akupun tak bisa berbuat apa-apa lagi, harap cianpwe suka meninggalkan namamu, agar aku bisa memberi pertanggungan jawab kepada majikan kami nanti" "Kau ingin mengetahui namaku ?" "Betul!" "Kau masih belum pantas untuk mengetahui namaku, sekalipun kukatakan juga belum tentu kau akan mengerti " Setelah berhenti sebentar, nenek itu melanjutkan kembali kata katanya: "Tapi kau boleh pulang menyampaikan kepada majikanmu, katakanlah ada seorang sobat lamanya menasehati dirinya, bocah cilik itu patut dikasihani, lebih baik jangan dipaksa terus menerus, kalau tidak orang lainpun akan merasa tidak leluasa untuk melihatnya " Selesai berkata pelan pelan dia berjalan keluar dari ruangan. Lelaki bercodet itu segera memburu ke depan, agaknya dia seperti ingin menanyakan sesuatu lagi kepadanya. Tapi di luar pintu sudah tiada seorang manusiapun, baik si nenek maupun Hoat liok pi, kedua duanya sudah lenyap tak berbekas. 000000000000000 Ternyata si nenek tukang menanak nasi ini adalah seorang jago persilatan yang berilmu tinggi, sedemikian tingginya kepandaian silat yang dimilikinya itu sehingga orang lain mimpipun tak pernah menduga. Tak heran ketika si anjing buldok dan si tongkat hendak melakukan penggeledahan ke rumah pegadaiannya dulu, sewaktu muncul kembali sikapnya begitu menghormat, kalau mereka bukannya sudah dibikin keok oleh si nenek tersebut, sudah pasti mereka telah mengetahui siapa gerangan dirinya itu. Sekarang Kwik Tay lok dan Yan Jit baru dibikin mengerti. Tapi mereka masih ada satu hal yang merasa tidak habis mengerti, setelah saling berpandangan sekejap serentak mereka meluncur ke arah belakang sana. Di belakang situ terdapat sebatang pohon, sebatang pohon yang besar sekali. Di atas pohon tiada duanya, yang ada cuma timbunan salju. Terpaksa Yan Jit harus berjongkok di atas dahan pohon, sedangkan Kwik Tay lok duduk dengan begitu saja, tapi kemudian ia melompat bangun dengan kaget, sebab pantatnya seperti digores dengan golok. Salju di atas dahan pohon itu sungguh dingin dan tajam bagaikan sebilah golok. Yan Jit menghela napas dan menggelengkan kepala berulang kali, katanya: "Setiap kali hendak duduk, apakah tak pernah kau periksa dulu ada apanya di bawah pantatmu itu?" Kwik Tay lok tertawa getir. "Aku tidak memperhatikannya, aku sedang memikirkan satu urusan" sahutnya. Dahan pohon itu sangat besar dan kuat, dia pun berjongkok disamping Yan Jit seraya berkata lagi: "Aku sedang memikirkan Si nenek tadi, padahal dia adalah seorang jago persilatan yang sangat luar biasa, mengapa ia bersedia menjadi seorang tukang masaknya Hoat liok pi dari rumah pegadaian...? Yan Jit termenung sejenak, lalu sahutnya: "Mungkin saja ia seperti juga Hong Si hu, sedang menghindarkan diri dari pencarian orang lain" "Sepintas lalu alasan ini seakan akan sangat kuat sekali, akan tetapi sesudah direnungkan kembali, ternyata terdapat banyak hal yang tak bisa diterima dengan akal" "Dunia bukan sedaun kelor masih terdapat banyak tempat lain yang bisa dia gunakan untuk menghindari kejaran orang, apalagi buat seorang jago silat yang begitu lihay seperti dia, anehnya, kenapa ia bersedia menjadi babunya orang lain, bersedia mendapat perintah orang dan menerima makian orang" Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, dia melanjutkan: "Sekalipun dia ingin menjadi seorang babu, sepantasnya kalau dia menjadi seseorang yang agak terhormat atau suatu tempat yang lebih baikan, kenapa justru Hoat liok pi si pelit yang dicari? Apakah hal ini tidak mengherankan?`. "Jadi kau tidak habis mengerti?" "Yaa, aku benar benar merasa tidak habis mengerti" "Persoalan yang bisa membuat kau tak habis mengerti, pasti tak akan dimengerti pula oleh orang lain" Kwik Tay lok tertawa: "Kalau aku pun tidak mengerti, biasanya memang tak banyak orang yang bisa memahaminya" "Mungkin saja dia memang menginginkan agar orang tidak habis mengerti?" "Tapi persoalan yang bikin orang tidak habis mengerti masih banyak sekali.” "Coba katakan!" "Kalau dilihat ilmu silatnya, mungkin tidak banyak manusia di dunia ini yang sanggup untuk menandinginya. Mendengar perkataan itu, Yan Jit manggut-manggut, sahutnya sambil menghela napas pula: "Ilmu silat yang dimilikinya memang sangat tinggi, bukan saja belum pernah kujumpai ada orang yang memiliki kepandaian silat selihai itu, bahkan pada hakekatnya mendengar pun belum pernah. . Oleh karena itu, aku beranggapan bahwa sesungguhnya ia tak perlu takut kepada orang lain, diapun tak perlu menyembunyikan diri. "Jangan lupa, diantara manusia yang lihay masih ada yang lebih lihay lagi, diantara bukit yang tinggi masih ada yang lebih tinggi lagi. "Itu mah pepatah kuno yang sudah usang" "Sekalipun sudah usang, kadangkala teori yang makin usang semakin masuk diakal" ooooo(O)oooooo RAHASIA LIM TAY PENG "SEANDAINYA ia benar benar lagi menghindarkan diri dari kejaran orang" kata Kwik Tay lok, paling tidak gerak geriknya pasti akan jauh lebih rahasia, tapi setiap kali kita berkunjung ke rumah pegadaian, kita selalu masuk keluar dengan leluasa, sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia kuatir dikenali orang lain" "Pada waktu itu, apakah kau bisa menduga manusia macam apakah dirinya itu ?" "Tidak !" "Kalau toh orang lain tak menduga siapakah dia, kenapa pula dia musti takut bertemu orang lain?" "Jadi menurut pendapatmu, seperti juga Hong si-hu, diapun sudah merubah wajahnya menjadi wajah yang lain ?" "Dalam dunia persilatan, toh bukan hanya Hong si hu seorang yang pandai menyaru ?" "Lantas, kenapa si anjing buldok dan si tongkat bisa mengenalinya hanya dalam sekilas pandangan saja ?" "Dari mana kau bisa tahu kalau mereka dapat mengenalinya hanya didalam sekilas pandangan saja?" "Kalau mereka tak dapat mengenalinya, mengapa pula sikap mereka terhadap Hoat-liok pi begitu menghormat dan munduk-munduk ?" Yan Jit segera mengerdipkan matanya, lalu berkata: "Lantas menurut pendapatmu, apa pula yang sebenarnya telah terjadi " "Menurut pendapatku, dia dengan Hoat liok pi pasti mempunyai suatu hubungan yang agak luar biasa, mungkin saja dia adalah sobat lamanya Hoat liok pi atau mungkin familinya Hoat liok pi, apakah hal ini bukan suatu alasan?" "Ya, memang suatu alasan" "Tak kusangka kaupun mengakui kalau aku beralasan." Kwik Tay lok tertawa. "Tentu saja karena pendapatku sendiripun juga demikian," sahut Yan Jit sambil tertawa pula. Kwik Tay lok menjadi tertegun. “Kalau toh pendapatmu sama dengan pendapatku, mengapa kau musti mengumpak aku?" seru sang pemuda tertegun. "Sebab sejak dilahirkan aku memang sudah suka mengumpak orang" Kwik Tay lok segera melototinya sampai lama, kemudian baru berkata: "Seandainya aku bilang salju ini putih?" "Maka aku akan mengatakan kalau salju itu hitam" 00000000 Bagaimanapun cerdiknya kau, betapa rajinnya kau bekerja, ada kalanya akan ketanggor juga pada tandingannya, maka bila hal ini sampai terjadi, bagaimanapun hebatnya kau, semua kepandaianmu seolah olah menjadi mati kutu. Agaknya Yan Jit adalah tandingan dari Kwik Tay lok, apapun juga yang dilakukannya seakan akan terbentur semua pada batunya. Lewat beberapa saat kemudian, sambil tertawa dia baru berkata lagi: "Paling tidak, ada satu hal yang mau tak mau harus kau akui akan kebenarannya.” "Soal apa?" Kali ini Hoat liok pi tidak berhasil membeseti kulit seorang manusiapun,” kata Kwik Tay lok sambil tertawa. "Lagi-lagi kau keliru." "Lagi-lagi aku keliru?" seru Kwik Tay lok sambil tertawa getir. "Yaa, paling tidak kali ini Hoat liok pi, telah membeseti kulit seseorang." "Kulit siapa yang dibeseti?" "Kulitnya sendiri!" Sebenarnya siapakah manusia yang dinamakan Lim Tay peng itu? Apa sebabnya ada seorang yang bersedia menghamburkan uang sebesar beberapa ribu tahi perak hanya bermaksud untuk mencari jejaknya ? "Ada persoalan apa mereka mencarinya? "Menurut pendapatmu, apa sebabnya orang-orang itu pergi mencari Lim Tay peng?" tanya Kwik Tay lok. Tampaknya ia sudah lebih pandai menguasahi diri, sebab kali ini ia tidak mengemukakan pendapatnya sendiri. Yan Jit termenung sebentar, kemudian katanya: "Seandainya kau bersedia menghamburkan uang sebesar lima enam ribu tahil perak untuk mencari seseorang, mungkin tujuannya karena apa ? "Aku tak bakal melakukan perbuatan semacam ini" sahut Kwik Tay lok sambil tertawa. Yan Jit melirik sekejap ke arahnya lalu, berkata: "Seandainya aku lenyap secara tiba tiba dan kau harus menghamburkan uang sebesar lima ribu tahil perak untuk menemukan diriku, bersediakah kau untuk melakukannya?" Tanpa berpikir panjang lagi Kwik Tay lok segera menjawab: "Tentu saja bersedia, demi kau sekalipun aku musti menggadaikan batok kepalaku juga aku bersedia." Mencorong sinar tajam dari balik mata Yan Jit. Sorot mata seseorang baru akan memancarkan sinar tajam bila ia sedang merasa sangat gembira atau merasa sangat bangga. Karena kita adalah sahabat karib maka aku bersedia untuk melakukannya" kata Kwik Tay lok lagi, "tapi, Lim Tay-peng sudah pasti bukan sahabat karibnya kedua orang itu, dia tak nanti akan bersahabat dengan manusia-manusia macam begitu" Yan Jit manggut manggut, sahutnya: "Seandainya ada orang telah membunuhku, bersediakah kau menghamburkan yang sebesar lima ribu tahil perak untuk menemukan jejak pembunuhnya?" "Tentu saja mau, sekalipun harus beradu jiwa, aku juga pasti akan mencari orang itu sampai ketemu dan membalaskan dendam bagimu" Tapi kemudian dia lantas menggeleng, katanya lagi: "Tapi Lim Tay-peng belum pernah membunuh manusia, aku rasa sikap menderita dan tersiksa yang diperlihatkannya sehabis membunuh Lamkiong Cho itu sudah pasti bukan dilakukannya dengan berpura pura." “Bila ada orang telah merampas lima puluh laksa tahil perak milikmu, kemudian kau menghamburkan lima ribu tahil perak untuk mencarinya, tentu saja kau bersedia untuk melakukannya bukan" Tapi ketika Lim Tay peng datang, sepeser uangpun tidak dimilikinya, apalagi dia toh bukan manusia semacam itu" Yan Jit segera tertawa. "Sekarang bukan aku yang mendebat ucapanmu, adalah kau yang terus menerus mendebat perkataanku" serunya. Kwik Tay lok turut pula tertawa. "Yaa, soalnya aku juga tahu kalau hati kecilmu yang sesungguhnya juga tidak berpendapat demikian" Yan Jit menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir: "Terus terang saja, pada hakekatnya akupun tidak berhasil menemukan jawaban yang tepat, apa sebabnya mereka mencari Lim Tay peng." "Walaupun tak bisa ditemukan, apakah kau lupa aku sudah banyak belajar cara menanyai orang dari diri si tongkat?" Sinar lentera didalam kamar masih terang benderang, tidak kelihatan ada orang berjalan keluar, juga tidak kelihatan ada orang berjalan masuk. Baru saja mereka bersiap-siap akan menanyai kedua orang itu, tiba-tiba daun jendela dibuka orang. Seseorang sedang menggape ke arah mereka dari depan jendela. Sementara kedua orang itu masih belum mengerti jelas siapa gerangan yang sedang di gape, sambil tertawa orang itu sudah berkata lebih dulu: "Di atas pohon udara tentu sangat dingin, mengapa kalian berdua tidak masuk saja, ke dalam untuk menghangatkan badan?" Api pemanas dalam ruangan itu amat besar. Duduk di tepi perapian sudah barang tentu jauh lebih nyaman ketimbang berjongkok di dahan pohon. Orang yang menggape mereka dari jendela tadi, kini sudah duduk kembali. Orang itu bukan si lelaki bercodet di wajahnya, juga bukan si manusia berlengan tunggal yang berwajah bengis. Sesungguhnya orang itu sama sekali tidak terlihat ada didalam ruangan tadi. Sebaliknya orang orang yang tadi berada dalam ruangan, kini sudah pergi entah ke mana. Kwik Tay lok tidak melihat mereka keluar dari situ, juga tidak melihat orang ini masuk ke dalam. Hanya ada satu hal yang membuat Kwik Tay lok merasa agak terhibur dan lega. Dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya, orang ini jauh lebih sedap dipandang daripada kedua orang tadi. Yang lebih penting lagi, orang ini adalah seorang perempuan. Sesungguhnya dia sudah tidak termasuk muda lagi, tapi wajahnya masih cantik dan agak menawan hati. Di dunia ini memang terdapat semacam perempuan yang bisa membuat kau tidak akan memperhatikan usianya. Dan kebetulan sekali dia adalah perempuan semacam itu. Perempuan yang cantik kebanyakan angkuh, tak tahu aturan, hanya sedikit sekali yang terkecuali. Kebetulan dia termasuk didalam pengecualian tersebut. Anehnya, perempuan semacam ini mengapa secara tiba-tiba bisa muncul didalam ruangan tersebut? Setelah tertawa, katanya lebih lanjut: Apa pula hubungannya dengan kedua orang itu? Apa pula hubungannya dengan persoalan ini ? Tentu saja Kwik Tay lok ingin bertanya, tapi hingga detik itu belum juga ada kesempatan. Setiap kali bila dia ingin bertanya, ternyata ia telah didahului terus oleh orang lain, bila ada seorang perempuan semacam itu mengajukan pertanyaan kepadamu, tentu saja kau harus menjawab lebih dulu. "Aku she Wi" kata perempuan itu sambil tersenyum, "dan kalian berdua?" "Aku she Kwik, dan dia she Yan, Yan dari huruf Yan cu si burung walet" Yan Jit segera mendelik ke arahnya, tapi sebelum dia mengucapkan sesuatu, Wi hujin telah berkata lagi sambil tertawa: "Semua teman Lim Tay peng tak ada seorangpun yang tidak kukenal, mengapa belum pernah kujumpai kalian berdua?" Kembali Kwik Tay lok ingin berebut menjawab, mendadak ia menjumpai Yan Jit sedang mendelik ke arahnya. Terpaksa dia harus menundukkan kepalanya dan mendehem pelan. Pelan-pelan Yan Jit baru mengalihkan sinar matanya ke wajah Wi-hujin, sahutnya hambar: "Darimana kau bisa tahu kalau kami ini adalah temannya Lim Tay peng ?" "Kalian berdua datang dari tempat kejauhan dengan menempuh hujan salju serta angin kencang, kemudian menunggu di luar dalam udara sedingin ini, sudah barang tentu bukan dikarenakan tauke rumah pegadaian itu bukan?" "Mengapa tidak mungkin?" Wi-hujin tersenyum. “Naga akan berteman dengan naga, burung hong akan berteman dengan burung hong, masih cukup jelas bagiku untuk mengetahui, siapa tepatnya berteman dengan siapa?" Yan Jit segera mengerdipkan matanya. "Kalau begitu, ternyata kau juga kenal dengan Lim Tay Peng bukan ....?" Wi hujin manggut manggut: Sambil tertawa kembali Yan Jit berkata: "Padahal tidak seharusnya kuajukan pertanyaan seperti ini, bahkan temannya saja kau kenal semua, tentu saja kenal dengan dirinya" "Yaa, memang boleh dibilang kenal sekali" Wi-hujin tersenyum. "Lain kali, bila kau bertemu lagi dengannya, tolong sampaikan salam dari kami, katakan kalau kami merasa rindu sekali dengannya" seru Yan Jit lagi. "Aku pun ingin sekali berjumpa muka dengannya, maka sengaja aku datang untuk minta petunjuk dari kalian berdua'" "Minta petunjuk apa?” "Aku minta kalian berdua suka memberitahu kepadaku, selama dua hari belakangan ini dia berada dimana?" Yan Jit merasa seperti amat terkejut bercampur keheranan lalu serunya dengan cepat: "Hubunganmu dengannya jauh lebih akrab dari pada kami, dari mana aku bisa tahu dia berada dimana sekarang ?" Wi-hujin segera tertawa. "Bagaimana akrabnya seorang teman kadangkala diapun bisa lama sekali tak pernah bersua muka" Yan Jit menghela napas panjang. “Aaaaaiii... aku malah punya rencana untuk meminta bantuanmu agar mengajak kami untuk pergi menjumpainya" "Apakah kalian juga tidak tahu dimanakah ia berada sekarang?" "Kalau kau sendiripun tidak tahu, darimana kami bisa tahu ? Seorangpun diantara temannya ini tak ada yang kami kenal" Mendadak ia bangkit berdiri sesudah menjura katanya: "Waktu sudah tidak pagi lagi kami harus segera mohon diri" Wi-hujin tertawa ewa. "Ooooohhh. . . kalian berdua akan pergi? Maaf aku tidak menghantar, tidak menghantar" Ternyata ia sama sekali tidak berniat untuk menghalangi kepergian mereka dengan begitu saja dia membiarkan Yan Jit berdua pergi meninggalkan ruangan. Baru keluar dari rumah penginapan, Kwik Tay lok sudah tidak tahan berseru: "Aku benar benar merasa kagum kepadamu kau memang hebat sekali" "Hebat kenapa ?" "Kalau kau sudah mulai berbohong, pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan orang yang sedang berbicara sungguhan" Yan Jit segera melotot sekejap ke arahnya kemudian berkata pula: "Akupun sangat mengagumi dirimu. . . " "Kagum apa kepadaku?" "Manusia macam kau memang jarang terdapat di dunia ini, asal melihat ada perempuan yang menarik, tanggal lahir sendiripun sudah terlupakan sama sekali kalau bisa seakan akan semua rahasianya akan diung-kapkan keluar" "Itu mah disebabkan aku lihat dia tidak mirip orang jahat” sahut Kwik Tay lok sambil tertawa. "Hmm, memangnya orang jahat akan pasang papan nama di atas wajahnya ?" seru Yan Jit sambil tertawa dingin. "Seandainya dia bermaksud jahat, masakah kita dibiarkan pergi dengan begitu saja?" "Kalau tidak membiarkan kita pergi lantas bagaimana? Apakah dia mempunyai kemampuan untuk menahan kita?" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang. "Aaaai ... andaikata kau menganggap dia hanyalah seorang perempuan biasa saja, maka pandanganmu itu keliru besar" "Oya. . . " "Semua gerak gerik kita agaknya diketahui olehnya dengan jelas, cukup mengandalkan persoalan ini aku berani memastikan kalau dia bukan manusia sembarangan" "Apa saja yang dia ketahui ?" "Ia tahu kita datang dari luar kota, dia tahu kita sembunyi di atas pohon . . . " Mendadak dia menghentikan ucapannya lalu berbisik: "Coba kau lihat di depan pintu toko obat dibelakang sana" "Tak usah dilihat lagi" "Jadi kau sudah tahu kalau ada orang sedang menguntil di belakang kita?" Sambil tertawa dingin Yan Jit manggut-manggut. Sementara itu mereka sudah berbelok ke sebuah jalanan yang lenggang dan sepi toko-toko di situ menutup pintu agak awal, saat itu hampir tiada orang yang perlu lalang lagi di sana. Toko obat itupun sudah menutup pintu, tapi seorang manusia berbaju hitam yang pendek kecil sedang berdiri di belakang pintu sambil kadang kala melongokkan kepalanya memperhatikan mereka. "Apakah orang ini mengikuti kita terus menerus?" "Baru keluar dari rumah penginapan, aku telah mengetahui jejaknya. Maka aku baru sengaja membelok ke jalanan ini" Sesudah tertawa dingin, lanjutnya: "Sekarang, tentunya kau sudah mengerti bukan, apa sebabnya Wi-hujin membiarkan kita berlalu dengan begitu saja?" "Masalah dia sudah tahu kalau kita sebenarnya tinggal bersama Lim Tay peng, maka sengaja membiarkan kita pergi dengan begitu saja sementara dia suruh orang mengikuti kepergian kita secara diam diam?" "Ehmm" Kwik Tay lok menghela napas panjang. "Perhitungan si poanya hebat juga cuma sayang ia terlalu menilai rendah diri kita" "Memangnya kau anggap dia memandang sebelah mata kepadamu?" jengek Yan Jit dingin. "Walaupun aku tiada sesuatu yang luar biasa, tapi bukan sesuatu yang gampang buat orang lain bila ingin menguntit diriku" "Oya !" Kwik Tay lok mengerdipkan matanya, lalu tertawa. "Siapa ingin menguntil diriku, maka dia harus mencicipi dulu hembusan angin barat laut" Di jalanan tersebut, hanya rumah makan yang belum menutup pintu. Tak tahan Yan Jit segera tertawa, katanya: "Aku lihat mungkin kau bukan berniat untuk menyuruh orang lain minum angin barat laut, adalah kau sendiri yang ingin minum arak bukan?" "Aku minum arak dan dia minum angin barat laut, pokoknya kan semua orang minum meski berbeda apa yang diminum" Kwik Tay lok mempunyai suatu penyakit didalam minum arak. Sebelum minum sampai mabuk, dia takkan pergi. Bila di kolong langit masih ada yang bisa menyembuhkan penyakitnya itu, maka dia pastilah Yan Jit. Rantai emas itu sudah digadaikan sebesar lima puluh tahil perak, separuh diantaranya sudah diberikan kepada Ong Tiong, sedang Kwik Tay-lok ternyata tidak menghabiskan isi sakunya dengan minuman tersebut. Bahkan ketika keluar dari warung itu, dia masih tetap sadar, tetap bisa mengenali orang. Betul juga, manusia berbaju hitam itu masih menunggu di depan pintu sambil minum angin barat laut. Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, katanya: “Seharusnya aku musti membiarkan dia lebih banyak minum sebab kelihatannya dia belum puas" "Tapi kau sudah minum terlalu cukup. Kalau minum terlalu banyak lagi, maka seorang bocah yang berusia tiga tahun dia pasti dapat menguntil dirimu" "Kwik Tay lok segera melototkan sepa-sang matanya bulat-bulat, serunya: "Siapa bilang begitu? sekalipun aku lari dengan kaki sebelah belum tentu dia bisa menyusulku, kau tidak percaya?" "Aku cuma percaya satu hal" "Hal apa?" "Sekalipun dia dapat menyusulmu, kaupun dapat meniupnya sampai pergi" "Meniupnya sampai pergi? Bagaimana cara meniupnya?" "Meniup seperti kau sedang meniup kertas (membual)!" Apapun tidak diucapkan oleh Kwik Tay lok tiba-tiba dia melompat ke muka dan mengayunkan kakinya. Ternyata lompat tersebut mencapai dua kaki lebih. Yan Jit segera menghela napas panjang, sambil menggeleng gumamnya: "Heran, kenapa orang ini selamanya tak pernah dewasa?" 0000000 0000000 Langit sudah menggelap, sedang jalan berwarna putih cemerlang. Sesungguhnya jalanan itu tidak berwarna putih, yang putih adalah timbunan salju, Kwik Tay lok, menyaksikan pepohonan di balik timbunan salju itu seakan-akan sedang lari ke belakang. Sesungguhnya pohon itu tidak lari, yang sedang berlarian adalah sepasang kakinya. Ia bukannya sedang takut tak bisa melepaskan diri dari penguntilan manusia berbaju hitam di belakangnya itu, melainkan dia kuatir tak bisa menyusul Yan Jit. Bila Yan Jit sedang mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, maka dia akan berubah bagaikan seekor burung walet. Kwik Tay lok sudah mulai terengah engah napasnya. Saat itulah Yan Jit baru pelan pelan menghentikan gerakan tubuhnya, lalu sambil mengerling sekejap ke arahnya, dia menegur sambil tertawa: "Apakah kau sudah kepayahan?" Kwik Tay lok menghembuskan napas panjang dan tertawa getir. "Makanku lebih banyak daripada darimu, kepalaku juga lebih gedean daripada dirimu, tentu saja lariku tak bakalan bisa menangkan kau" "Makan si kuda lebih banyak darimu, kepalanya juga lebih gedean dari pada dirimu mengapa larinya justru lebih cepat dari pada kau?" "Aku bukan kuda dan kakiku cuma dua" Yan Jit segera tertawa. "Bukankah kau pernah bilang sekalipun sedang lari dengan satu kaki, orang lain jangan harap bisa menyusul dirimu !" "Bukan kau yang kumaksudkan" "Memangnya kau anggap orang lain tidak becus !" "Tentu saja" Tiba-tiba Yan Jit menghela napas panjang lalu katanya: "Mengapa, kau tidak berpaling untuk melihat sendiri ?" Begitu Kwik Tay lok berpaling dia lantas dibikin tertegun. Tiba-tiba dia menjumpai ada seseorang berdiri ditengah jalan sana. Jalanan itu putih, sedangkan orang itu hitam. Manusia berbaju hitam yang bersembunyi di belakang pintu warung obat tadi, ternyata saat itu sudah menyusul sampai di sana. Kwik Tay lok tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian berkata: "Sungguh tak kusangka bocah keparat ini bisa berlari dengan begini cepatnya" "Jangankan kau cuma memakai sebuah kaki saja, tampaknya sekalipun kau lari dengan memakai tiga buah kakipun, dia tetap akan mampu mengikuti dirimu, percaya tidak?" "Aku percaya!" Yan Jit memandang ke arahnya, sinar mata itu penuh dengan makna senyuman . Dia memang seorang yang menyenangkan, yang paling menyenangkan adalah keberaniannya untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, kendatipun tak sedikit kesalahan yang pernah dilakukannya, dia masih tetap merupakan lelaki yang menyenangkan. "Ketika tak mampu, meninggalkan kejarannya, itu berarti kita tak boleh pulang ke rumah!" "Benar!" "Tapi kalau tidak pulang, kita harus ke mana?" "Tiada tempat yang bisa kita kunjungi." Tapi kemudian sambil mengerdipkan matanya mendadak ia tertawa, katanya lebih jauh: "Kau masih ingat dengan apa yang kau ucapkan tadi?" "Apa yang pernah kukatakan?". "Kau bilang, sekalipun dia benar-benar mampu menyusulku, akupun masih bisa meniupnya pergi.” "Aaah, masakah kau memiliki kemampuan sebesar itu? seru Yan Jit sambil tertawa. "Tentu saja." "Dengan cara apa kau hendak meniupnya pergi." "Dengan kepalanku." Tiba tiba ia membalikkan badannya dan berjalan mendekati orang berbaju hitam itu. Orang berbaju hitam itu berdiri ditengah jalan sambil mengawasi dengan tenang. "Hebat benar orang ini, sungguh pandai ia mengendalikan diri." Habis kesabaran Kwik Tay lok, pelan-pelan dia berjalan ke depan sementara hatinya sedang berputar, dia sedang mempertimbangkan untuk membuka mulut lebih dulukah atau menggerakkan kepalannya? Siapa tahu, orang berbaju hitam itupun tak sanggup mengendalikan diri, sambil putar badan ia lantas kabur meninggalkan tempat itu. Kwik Tay lok juga tak sanggup mengendalikan diri, dia mengerahkan tenaga dan mengejar dari belakang. Mendadak ia menemukan bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki berbaju hitam itu tidak berada di bawah Yan Jit, sekalipun ia mempunyai tiga buah kaki juga, belum tentu dapat menyusulnya, terpaksa dengan suara lantang teriaknya: "Sobat, tunggu sebentar, aku hendak berbicara denganmu!" Tapi orang berbaju hitam itu justru tidak menunggu, dia malahan lari semakin cepat. Kwik Tay lok menjadi naik darah, segera teriaknya keras keras: "Hei, apakah kau tuli?" Tiba tiba orang berbaju hitam itu berpaling dan tertawa, sahutnya: "Benar, aku memang tuli sekali, apa yang kau ucapkan tak sepatah katapun yang kudengar" Agaknya untuk membuat berkobarnya amarah Kwik Tay lok. Siapa saja yang berhasrat untuk membuat Kwik Tay lok marah hal ini bisa dilakukannya secara gampang, sebab dia memang seseorang yang gampang menjadi marah. Begitu amarahnya berkobar, ia lantas mengejar dengan kencang, Tadi, sebenarnya orang berbaju hitam itu yang menguntil mereka, tapi sekarang justru dia menguntil orang berbaju hitam itu. Terpaksa Yan Jit harus mengiringinya untuk turut mengejar ke depan . ... Di tepi jalan situ terdapat sebuah hutan yang tertimbun salju, dibalik hutan ternyata ada cahaya lampu. Orang berbaju hitam itu segera berkelebat lewat didalam hutan tadi, kemudian tubuhnya lenyap tak berbekas. Cahaya lampu masih bersinar terang di situ. 'Cahaya lampu itu memancar keluar dari balik sebuah rumah, ternyata orang berbaju hitam itu menerjang masuk ke dalam rumah itu. Sambil menggigit bibir, Kwik Tay lok berseru dengan gemas: "Tunggulah aku di luar, akan kuperiksa rumah itu." Yan Jit tidak berbicara, diapun tidak menahan pemuda itu. Apabila Kwik Tay lok sudah berniat untuk melakukan sesuatu, pada hakekatnya tak seorangpun yang sanggup untuk menghalanginya. Sekalipun dia ingin terjun ke sungai, Yan Jit terpaksa harus menemaninya juga. Pintu rumah dimana cahaya lentera itu berasal berada dalam keadaan terbuka lebar. Ketika Kwik Tay lok menyerbu masuk ke dalam pintu rumah, kembali ia bikin tertegun. Didalam ruangan itu tampak sebuah perapian, disamping perapian duduk seorang perempuan yang berwajah cantik. Ternyata perempuan itu adalah Wi hujin. Ketika menjumpai Kwik Tay lok, sedikitpun ia tidak merasa heran atau kaget, malah ujarnya sambil tersenyum: "Udara di luar sana tentu sangat dingin, mengapa kalian berdua tidak masuk untuk menghangatkan badan" Tampaknya kehadirannya di sana adalah khusus untuk menantikan kedatangan kedua orang itu. 00000000 Selain dia, dalam ruangan itu masih ada seseorang, itulah si orang berbaju hitam. Begitu melihat kehadiran orang itu di sana, api kemarahan dalam hati Kwik Tay lok kontan saja berkobar, tak tahan dia menyerbu masuk seraya berteriak keras: "Mengapa kau selalu menguntil di belakangku?” Orang berbaju hitam itu mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian menjawab: "Aku yang sedang menguntilmu? Atau kau yang sedang menguntil diriku ?" Mencorong sinar bening dari balik matanya, "Tentu saja kau yang sedang menguntil diriku!” sahut Kwik Tay lok. Kembali orang berbaju hitam itu tertawa. "Tahukah kau tempat manakah ini?" "Tidak!" "'Kalau begitu kuberitahukan kepadamu, tempat ini adalah rumahku" "Rumahmu?" "Yaa, betul!" jawab orang berbaju hitam itu sambil tertawa, "andaikata kau tidak menguntilku, mengapa kalian bisa sampai didalam rumahku ?" Kwik Tay lok jadi tertegun. Tiba-tiba ia merasakan bahwa sinar mata orang berbaju hitam itu bukan saja amat jeli, senyumannyapun sangat manis. Ternyata orang berbaju hitam itu adalah seorang gadis yang memakai baju hitam, lagi pula usianya paling banter sekitar enam tujuh belas tahunan. Dalam keadaan begini sekalipun Kwik Tay lok memiliki banyak alasan juga percuma saja sebab dia tak mampu untuk mengucapkan sepatah katapun. Sambil tertawa Wi hujin lantas berkata: "Toh kalian berdua sudah sampai di sini mengapa tidak duduk lebih dulu? Silahkan masuk, silahkan masuk!” Disamping perapian terdapat dua buah bangku. Yan Jit segera duduk lalu katanya tiba tiba sambil tertawa: "Agaknya kau sudah menduga kalau kami bakal datang kemari, maka kau sengaja menunggu kami di sini?" Wi hujin tersenyum. "Kalian ingin pergi, aku tak bisa menahannya, kalian mau datang, akupun tak bisa menolaknya" "Bila kami akan pergi juga sekarang?" tanya Yan Jit. "Akupun masih tetap dengan perkataan yang lalu" "Perkataan apa" "Tidak menghantar, tidak menghantar!" "Tapi kau masih akan menyuruh adik kecil itu untuk menguntil di belakang kami?" Nona berbaju hitam itu segera melotot: "Siapa yang sedang menguntil kalian?" protesnya, "toh jalanan itu bukan milik kalian, kalau kalian boleh melewati jalan itu, mengapa aku tak boleh? kalian saja boleh seenaknya saja menyerbu ke rumahku, memangnya aku tak boleh mengambil jalan yang sama dengan kalian?" "Oooh rupanya kau hanya secara kebetulan saja mengambil jalan yang sama dengan kami" jengek Yan Jit tertawa dingin. "Tepat sekali!" "Wah, kalau begitu sungguh amat kebetulan" Wi hujin tertawa ewa, katanya: "Bila usiamu sudah agak meningkat nanti, kau akan segera mengetahui kalau kejadian yang kebetulan memang tak sedikit jumlahnya.." "Kalau begitu kau sudah bertekad untuk menemukan kembali Lim Tay peng dari tangan kami?" "Soal itu mah, harus dilihat dulu apakah kalian tahu kemana perginya atau tidak" sahut Wi hujin sambil tertawa. "Seandainya kami tahu?" "Asal kalian tahu, maka cepat atau lambat akupun bakal tahu juga" Tiba tiba Yan Jit mengedipkan matanya kepada Kwik Tay lok, kemudian ujarnya: Andaikata kaki seseorang sudah dibelenggu dengan tali, dapatkah ia menguntil orang lagi? " "Agaknya tak bisa" jawab Kwik Tay lok. "Tepat sekali jawabanmu itu!" Mendadak dari sakunya meluncur keluar seutas tali dan secepat kilat menyambar kaki si nona berbaju hitam itu. Ibaratnya seekor ular, tali tersebut dengan cepat dan tepat bahkan seakan-akan mempunyai mata meluncur ke muka. Asal dia sudah melancarkan serangan dengan talinya, jarang sekali ada orang yang mampu menghindarkan diri. Sesungguhnya nona berbaju hitam itu sama sekali tidak berkelit, sebab tali itu sudah berada ditangan Wi hujin. Tangannya pelan pelan di ulurkan ke depan, tapi kenyataannya meski gerak tali itu cepatnya luar biasa, tapi entah mengapa tahu-tahu sudah berada dalam genggamannya. Yan Jit segera menarik dengan sepenuh tenaga, dia bermaksud untuk menarik kembali talinya. Wi hujin sama sekali tidak menggunakan tenaga, tapi entah mengapa, tahu-tahu tali itu sudah berada di tangannya. Paras muka Yan Jit berubah hebat, hanya seorang yang tahu apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi, dia hanya merasakan dari balik tali itu muncul segulung tenaga yang aneh sekali, sedemikian dahsyatnya tenaga serangan tersebut, membuat separuh badannya sampai kini masih terasa kesemutan. Selama hidup, ia belum percaya kalau di dunia ini terdapat tenaga dalam yang begitu dahsyatnya, tapi sekarang, mau tak mau ia harus mempercayainya. Sambil tersenyum Wi-hujin lantas berkata: "Padahal, sekalipun kau benar benar hendak membelenggu sepasang kakinya juga percuma" Yan Jit termenung beberapa saat lamanya, kemudian dia menghela napas panjang. "Yaa, memang percuma" "Paling tidak, kau harus membelenggu sepasang kakiku lebih dulu" "Benar!" "Tapi aku berani menjamin, mungkin di dunia ini tak ada seorang manusiapun yang sanggup membelenggu kakiku" kata Wi hujin sambil tertawa lebar. "Aku mempercayainya" Tiba tiba ia tertawa, lalu katanya pula: "Tapi akupun dapat membuktikan sesuatu kepadamu" "Membuktikan apa?" "Walaupun aku tak sanggup untuk membelenggu kaki kalian, tapi masih sanggup untuk membelenggu kaki orang lain, asal kaki orang ini sudah dibelenggu maka sekalipun, kalian mempunyai kemampuan yang bagai mana hebatpun, jangan harap bisa mendapat tahu tentang jejak Lim Tay peng...." "Kau berencana untuk membelenggu kaki siapa?" tanya Wi hujin sambil tertawa. "Kakiku sendiri!" Bagaimanapun tak becusnya seseorang, paling tidak ia dapat membelenggu kaki sendiri dan hal tersebut merupakan suatu hal yang tak dapat diragukan lagi. Yan Jit telah membelenggu kakinya sendiri. Dalam sakunya masih terdapat banyak sekali tali. Dia seakan akan gemar menggunakan tali sebagai senjatanya. Wi hujin jaga kelihatan agak tertegun, tapi sesudah tertegun beberapa saat lamanya dia baru tertawa lebar, sahutnya: "Benar, cara ini memang merupakan sebuah cara yang sangat baik. bahkan akupun mau tak mau harus mengakui bahwa cara ini memang merupakan sebuah cara yang sangat baik. "Terlalu memuji!" "Seandainya kau membelenggu dirimu sendiri ditempat ini, aku memang tak akan mampu untuk menemukan kembali jejak Lim Tay peng?" "Aku tak perlu membelenggu kakiku sendiri" kata Kwik Tay lok, "kakiku seperti juga dengan kakinya" "Jadi kalau begitu, kau sudah bertekad untuk tidak pergi dari sini?" "Agaknya memang begitu" "Sebenarnya aku telah bersiap siap untuk membelenggu kalian dengan tali kemudian memaksa kalian untuk mengatakan jejak Lim Tay peng, sebelum kalian berbicara, aku tak akan melepaskan kalian pergi" Setelah berhenti sebentar, dia menghela napas panjang, lalu terusnya sambil tertawa getir: "Siapa tahu kalian telah membelenggu diri sendiri" "Inilah yang dinamakan siapa turun tangan lebih dulu, dialah yang lebih tangguh" kata Kwik Tay lok tertawa, "Sayang sekali yang bakal mendapat musibah juga bukan aku, melainkan diri kalian” "Oya?" "Tentu saja kalian tak akan mengendon sepanjang hidup ditempat ini bukan?" "Siapa tahu begitu?" jawab Kwik Tay lok sambil tertawa. Setelah memperhatikan sakejap sekeliling tempat itu, katanya lagi seraya tersenyum: "Tempat ini mana hangat, sedap, nyaman lagi, paling tidak jauh lebih nyaman dari pada tempat bobrok kami itu?" Mencorong sinar tajam dari balik mata Wi hujin setelah mendengar perkataan itu, serunya: "Jadi kalian tinggal di sebuah rumah bobrok?" "Kau tak usah mencoba untuk memancing rahasia apa apa dari mulutku, tidak sedikit rumah bobrok yang ada di dunia ini, jika kau ingin mencarinya satu demi satu, maka sampai masuk liang kuburpun belum tentu pekerjaanmu itu sudah selesai. Wi hujin segera menghela napas panjang: "Aaai ....aku hanya merasa sedikit keheranan" "Apa yang kau herankan?" "Sejak kecil Lim Tay peng sudah terbiasa dimanja, kenapa ia bisa tahan untuk hidup didalam sebuah rumah bobrok?" "Karena didalam rumah bobrok kami itu, terdapat semacam benda yang tak akan didapatkan di tempat lain" "Ditempat kalian sana ada apanya?" "Teman!" Asal ada teman, sekalipun tinggal dirumah yang lebih miskin dan lebih bobrokpun juga tak mengapa. Sebab asal di sana ada teman, di situ pula ada kehangatan dan kegembiraan. Tempat yang tak ada temannya, meski di seantero lantai penuh dengan emas permata, dalam pandangan mereka tidak lebih hanya sebuah penjara yang terbuat dari emas. Wi hujin kembali termenung sampai lama sekali, akhirnya dia menghela napas panjang, katanya: "Tampaknya, walaupun kalian agak mengherankan, sesungguhnya cukup bersetia kawan.” "Yaa, paling tidak kami tak akan menghianati kawan!" kata Kwik Tay lok. "Apakah sampai kapanpun kalian tak akan menghianati teman?" tanya Wi hujin lagi. Kwik Tay lok mengangguk. Wi hujin kembali tertawa, katanya riang: "Baik, akan kulihat, kalian bisa menunggu sampai kapan?" Fajar telah menyingsing, langitpun menjadi terang. Di atas meja dihidangkan pelbagai aneka kueh dan santapan yang lezat, semuanya membangkitkan selera makan orang saja. Bersantap, bukan saja merupakan kenikmatan, juga merupakan suatu seni. Wi hujin pandai sekali mencari kenikmatan hidup, juga mengerti tentang seni memasak. Waktu makan, dia makan amat lamban, makan dengan indahnya. Entah apapun yang sedang dia makan, selalu bisa menimbulkan kesan bahwa makanan yang sedang dimakannya itu lezat sekali. Apa lagi semua hidangan tersebut pada hakekatnya memang merupakan hidangan yang paling lezat. Kalau baunya saja sudah sedap, apalagi kalau dimakan tentu enaknya bukan kepalang. Kwik Tay lok sudah tidak tahan dan diam-diam menelan air liur. Bila pengaruh arak sudah hilang, biasanya perut akan terasa lebih cepat laparnya. Sambil menahan lapar, harus menyaksikan orang lain berpesta pora, siksaan semacam ini pada hakekatnya jauh lebih menderita daripada siksaan apapun jua. Tiba-tiba Kwik Tay lok berteriak keras: "Aaai ...., masa tuan rumah makan sendiri, membiarkan tamunya menahan lapar sambil menonton orang makan, macam beginikah perlakuan dari seorang tuan rumah?" Wi hujin manggut manggut. "Yaa, ini memang bukan cara melayani tamu yang baik, tapi benarkah kalian adalah tamu-tamuku?" Kwik Tay lok berpikir sebentar, kemudian sambil menghela napas dia tertawa getir. "Bukan!" "Inginkah kalian menjadi tamuku?" "Tidak!" "Kenapa? Demi Lim Tay peng" Kwik Tay lok segera menghela papas panjang, sahutnya: "Aaai.... siapa suruh dia adalah sahabat kami!" "Walaupun kalian cukup setia kawan, tapi kalianpun cukup goblok!" kata Wi hujin sambil tertawa. "Oya?" "Hingga kini, kalian masih belum bertanya kepadaku, mengapa aku hendak mencari Lim Tay peng.." "Kami merasa tak perlu bertanya!" "Kenapa tidak perlu? Darimana kalian bisa tahu aku bermaksud baik atau bermaksud jahat kepadanya? Siapa tahu aku hendak mencarinya karena ingin memberi sedikit barang kepadanya?"' "Aku hanya tahu akan satu hal, bila dia tak ingin berjumpa denganmu, kamipun tak akan membiarkan kau menemukan dirinya, entah maksud baik atau jahat, kedua duanya adalah sama saja!" "Darimana kau bisa tahu dia tidak bersedia menjumpai diriku?" tanya Wi hujin lagi. "Sebab kau mencarinya dengan terlampau tergesa gesa, seperti mengandung satu maksud yang tidak baik, kalau tidak, seharusnya kau biarkan aku pulang dan memberitahukan hal ini kepadanya, kemudian suruh dia yang datang mencarimu" Wi hujin segera tertawa, katanya: "Tampaknya kalian tidak bodoh, cuma ada sedikit bodoh" "Oya ?" "Andaikata kalian takut dikuntil secara diam diam olehku sehingga tak berani pulang, janganlah pulang, kalian toh masih bisa pergi ke tempat lain? Buat apa musti mengikat diri ditempat ini?" Kwik Tay lok berpikir sebentar, lalu serunya kepada Yan Jit: "Agaknya apa yang dia ucapkan memang masuk diakal juga, mengapa kita belum juga pergi dari sini?" "Sebab saat ini, aku sudah tak akan membiarkan kalian pergi lagi!" kata Wi hujin dengan cepat. "Kau sendiri kan pernah bilang, setiap saat aku boleh pergi meninggalkan tempat ini ?” "Tapi sekarang aku telah berubah pikiran' Sesudah tertawa, lanjutnya: 'Kau toh juga tahu, perempuan itu suka berubah ubah pikiran setiap waktu!" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang. "Aaaai, andaikata kau bukan seorang perempuan, hal ini lebih baik lagi" "Apanya yang baik?" Sambil memandang Sio-may dan kueh kueh kecil lainnya di meja sahut Kwik Tay lok: "Jika kau ini seorang lelaki, paling tidak aku bisa tebalkan muka untuk merampas makanan milikmu itu" "Kenapa kau tidak menganggap saja diriku sebagai seorang lelaki?" tantang Wi hujin sambil tersenyum. Kwik Tay lok segera berpaling ke arah Yan Jit, sedang Yan Jit mengerdipkan matanya. Terdengar Wi hujin berkata lagi: "Tak ada salahnya kalau kalian berdua ingin maju bersama" Yan Jit segera tertawa. "Kulit mukaku masih belum setebal mukanya, lebih baik biar dia saja yang turun tangan seorang diri". Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, katanya: "Bila seseorang sudah kelaparan setengah mati, sekalipun tak ingin menebalkan mukanya juga tak bisa?" Mendadak tubuhnya meluncur ke depan dan menubruk ke atas meja yang penuh dengan hidangan itu: Ke sepuluh jari tangannya di pentangkan bagaikan kuku garuda, ternyata yang dipergunakan pemuda itu adalah jurus Hui eng poh toh (elang terbang menyambar kelinci) dari ilmu Eng jiau-kang yang sangat lihay itu. Menggunakan jurus elang terbang menerkam kelinci untuk merebut siomay dari atas meja, sebenarnya kejadian ini merupakan suatu peristiwa yang menggelikan sekali. Tapi, bila seseorang sudah kelaparan sekalipun perbuatan yang lebih menggelikan juga bisa dilakukannya. Wi hujin segera tertawa, katanya: "Aku lihat ilmu Eng jiau-kang yang kau miliki termasuk lumayan juga ....". Sekalipun mulutnya bercakap cakap dengan santai, namun sepasang supit di tangannya mendadak menotok ke muka dengan cepatnya. Supit yang digunakan adalah supit perak yang halus, supit semacam ini biasanya akan patah jika terbentur. Dengan cepat supit itu menotok pelan di atas jari tengah, tangan kanan Kwik Tay lok. Supit itu ternyata tidak putus. Sebaliknya tubuh Kwik Tay lok bagaikan layang layang putus benang, mendadak ia terjatuh dari tengah udara dan sebentar lagi agaknya akan segera menjatuhi hidangan di meja. Mendadak sumpit ditangan Wi hujin itu secepat kilat menjepit ke arah pinggangnya, dengan begitu seluruh bobot badannya terjatuh di atas sumpit yang terbentur sedikit saja akan patah itu. Ternyata sumpit itu belum juga patah. Tangan Wi hujin masih berhenti ditengah udara dan menjepit tubuhnya dengan sepasang sumpit itu, persis seperti lagi menyumpit seekor udang bago. Yan Jit menjadi tertegun setelah menyaksikan kejadian itu. Sambil tersenyum Wi hujin segera berkata: `0h. . . . begini besarnya sio-may cukup kenyang untuk isi perutmu seharian penuh" Begitu selesai berkata, tubuh Kwik Tay lok sudah melayang ke atas tubuh Yan Jit. Yan Jit ingin menerima tubuhnya, tapi tak sanggup, kedua orang itu segera saling bertubrukan dan sama sama terguling ke arah tanah. Lewat lama sekali Kwik Tay lok belum juga merangkak bangun, ia hanya bisa memandang ke wajah Wi hujin dengan sepasang mata terbelalak lebar lebar. Dia seakan akan dibuat tertegun oleh kejadian tersebut. Mendadak Yan Jit bertanya: "Tahukah kau jurus apa yang barusan dia pergunakan itu?" Kwik Tay lok segera menggeleng. "Kau toh mengerti ilmu Eng jiau-kang? serut Yan Jit, "seharusnya kau juga tahu bukan kalau dalam ilmu tersebut terdapat satu jurus serangan yang dinamakan Lo eng cua ki (elang tua menyambar ayam)?" Kwik Tay lok manggut manggut. Yan Jit segera tertawa, serunya: "Jurus serangan yang barusan ia pergunakan itu adalah perubahan dari jurus elang tua menyambar ayam yang diberi nama Kuay cu sia ki dengan sumpit ayam!" "Sebetulnya aku ini ayam atau siomay?" "Sudah pasti siomay isi daging ayam!" "Sungguh tak kusangka persoalan yang kau ketahui tak sedikit jumlahnya" seru Kwik Tay lok pula sambil tertawa. Mendadak tubuhnya meluncur ke depan dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Kali ini dia tidak mencomot ke atas meja, melainkan menerobos ke kolong meja. Wi-hujin sedang mendengarkan pembicaraan mereka sambil tersenyum, seakan-akan merasa tertarik sekali. Agaknya dia tidak menyangka kalau Kwik Tay lok akan menyusup maju lagi ke depan, sementara masih bercakap-cakap, lebih tidak menyangka lagi kalau orang itu bakal menerobos ke kolong meja. Dikolong meja tak akan dijumpai hidangan lezat, tapi mau apa dia menerobos ke bawah. Ingin mencari tulang? Tanpa terasa Wi hujin menjadi agak keheranan, tapi saat itulah mendadak hidangan yang berada di meja itu berlompatan ke tengah udara. YAN JIT segera mengayunkan tangannya ke depan, tali yang sebetulnya digunakan untuk membelenggu kakinya itu mendadak meluncur ke depan bagaikan seekor ular berbisa, kemudian sekali menggulung, ke tujuh delapan macam hidangan yang terlempar ke udara itu sudah digulungnya..... Sementara itu Kwik Tay lok juga sudah menyusup keluar dari dasar kolong meja. Yan Jit segera lepaskan tangannya, ada tiga empat macam hidangan segera meluncur ke bawah, dengan cepat Kwik Tay-lok menyambut dua tiga buah diantaranya, sementara mulut pun dibuka lebar lebar untuk menyambut jatuhnya, sebiji siomay. Walaupun beberapa macam gerakan ini tidak dilakukan dengan suatu kepandaian silat yang luar biasa, namun kerja sama mereka benar benar dilakukan amat jitu dan bagus, pada hakekatnya membuat orang merasa kagum saja. Wi hujin ternyata juga turut menghela napas, katanya: “Setelah menyaksikan kepandaian kalian berdua, sekalipun harus kuberi sedikit makanan kepada kalian, itupun tidak rugi.” Dalam dua tiga kali gigitan saja ia sudah menghabiskan sebiji siomay, lalu katanya sambil tertawa: "Aku lihat agaknya kau masih punya sedikit liang sim . .. . ." Ketika ia mulai makan siomay yang ke dua, Yan Jit juga telah menghabiskan sebiji bakpao. Bisa makan sebiji bakpao dalam keadaan seperti ini sesungguhnya bukan terhitung suatu pekerjaan yang gampang, maka rasanya tentu saja luar biasa sedapnya. Sambil tertawa Yan Jit lantas berkata: "Bakpao ini benar benar sedap sekali, entah isinya terbuat dari apa ?" Wi hujin segera tersenyum, sahutnya: "Biasanya ada dua macam isi yang dipakai untuk isi bakpao dan siomay ....!" "Macam apa saja itu?" "Yang semacam adalah terbuat dari daging babi yang diberi udang!" "Sedang yang lain memakai daging apa?!" "Daging tikus, bangkai tikus!" Daging tikus memang bisa dimakan, tapi daging bangkai tikus tak bisa dimakan, siapa memakannya, tentu akan mampus. Bakpao yang dimakan Kwik Tay lok seakan-akan terhenti di tenggorokan dan tak mampu ditelan lagi.. Sebetulnya dia ingin bertanya, bakpao yang dimakannya itu terbuat dari daging apa, tapi sekarang ia tak perlu bertanya lagi. Mendadak ia merasakan ke empat anggota badannya menjadi lemas dan kepalanya mulai terasa pusing.Ketika berpaling ke arah Yan Jit, dilihat nya paras muka rekannya juga telah berubah menjadi kelabu, bahkan makin lama semakin menghitam pekat. Wi hujin masih saja tersenyum. Baru saja Kwik Tay lok ingin menerjang ke depan, mendadak ia merasa perempuan itu seakan akan berada ditempat yang jauh sekali, selembar wajahnya itu makin lama semakin bertambah buram, makin lama semakin tak kelihatan. Dia hanya merasakan Yan Jit menerjang ke hadapannya dan memeluknya erat erat. lalu terdengar ia berbisik: "Sebelum mati, aku mempunyai sebuah rahasia yang ingin kuberi tahukan kepadamu" "Raaa ....rahasia apa?" Belum sempat dia mengutarakan rahasianya, tahu tahu iapun turut roboh ke tanah. Dalam keadaan begini, sekalipun dia telah mengucapkan rahasianya, Kwik Tay lok juga tak akan bisa mendengar lagi. Manusia mati karena harta, burung mati karena makanan. Ucapan ini ternyata kurang tepat. Ada sementara orang yang sama sekali acuh terhadap harta kekayaan, mereka enggan bekerja keras demi uang, tapi seringkali mati demi makanan .... Apakah kau merasa bahwa cara kematian semacam ini penasaran sekali? Bila kau sudah kelaparan setengah mati, mungkin kaupun akan merasa bahwa lebih, baik mati daripada menahan lapar. Tapi mengapa mereka bisa kelaparan? Tentu saja karena teman. "Orang yang mati karena teman, dia tak akan dijebloskan ke dalam neraka" Tapi bila teman teman mereka berada di dalam neraka, mungkin mereka lebih suka hidup di neraka dari pada masuk ke sorga. Tiada manusia yang bisa terlepas dari kematian. Mati, sesungguhnya boleh dianggap sebagai suatu kejadian yang amat menakutkan. Maksudnya kau sudah habis, sudah lenyap, tak akan memiliki perasaan lagi, tak akan memiliki harapan, badan kasarmu dengan cepat akan membusuk, namamu dengan cepat akan terlupakan orang. . Di dunia ini masih ada kejadian apa lagi yang lebih menakutkan daripada kematian? Bila sudah mati harus masuk neraka, tentu saja kejadian ini lebih menakutkan lagi. Tapi macam apakah neraka itu ? Tak seorangpun yang tahu. Tempat itu tentu sangat gelap, sangat gelap sekali... Gelap yang luar biasa menyelimuti seluruh tempat. Demikian gelapnya membuat kau bukan saja tak dapat melihat orang lain, juga tak bisa melihat diri sendiri. . Kwik Tay lok yang ingin melihat diri sendiripun tak mampu melihatnya. Dia hanya merasakan sepasang matanya, terpentang lebar lebar. Tapi berada dimanakah dia sekarang?, masihkah hidup? Ataukah sudah mati? Ternyata dia tidak tahu. . "Tidak tahu" itu sendiri sebenarnya adalah suatu kengerian... mungkin suatu kengerian buat umat manusia. Umat manusia takut dengan kematian bukankah dikarenakan mereka tidak tahu macam apakah kematian itu? Kwik Tay lok mau tak mau merasa amat seram, hampir saja merasa ketakutan sehingga tak mampu bergerak lagi. Takut sebenarnya merupakan suatu perasaan yang selamanya tak akan mampu dikendalikan oleh manusia. Lewat lama sekali, Kwik Tay lok baru mendengar dari sisi tubuhnya seakan akan ada orang sedang bernapas. Tapi benarkah manusia yang sedang bernapas? Ia sama sekali tidak tahu ....! Dalam kegelapan malam semacam ini, siapapun tak akan mempercayai diri sendiri. Untung saja dia masih percaya akan satu hal. Dikala masih hidupnya Yan Jit berada bersamanya, setelah matipun dia tetap akan berada bersamanya. Ada sementara teman yang seakan akan tak bisa berpisah lagi untuk selamanya, entah masih hidup ataupun setelah mati. Maka sambil memberanikan diri, Kwik Tay lok lantas menegur dengan suara lirih: "Yan Jit... kaukah di situ?" Lewat beberapa saat kemudian, dari balik kegelapan baru terdengar seseorang menjawab dengan lirih: "Siau Kwik kah di situ?" Akhirnya Kwik Tay-lok dapat menghembuskan napas lega. Asal ada teman yang bersamanya, entah mati atau hidup tidak menjadi soal baginya. Tubuhnya mulai bergeser ke arah sana, akhirnya dia berhasil meraba sebuah tangan, sebuah tangan yang dingin bagaikan es: "Tanganmukah itu?" Kwik Tay lok segera bertanya. Tangan itu bergerak dan segera menggenggam tangan Kwik Tay-lok kencang-kencang. Menyusul kemudian terdengar suara Yan Jit bertanya lagi dengan lemah dan lirih: "Dimanakah kita berada sekarang?" "Entah!" "Apakah kita masih hidup?" "Entah!" sahut Kwik Tay lok sambil menghela napas. Yan Jit juga menghela napas. "Kelihatannya sewaktu masih hidup kau menjadi orang tolol, setelah matipun menjadi setan tolol" keluhnya. Kwih Tay-lok segera tertawa, sahutnya: "Tampaknya semasa masih hidup kau suka menyindir aku, sudah matipun masih suka menyindirku" Yan Jit tidak berbicara lagi, dia hanya memegang tangan Kwik Tay lok semakin kencang.. Di hari hari biasa dia adalah seseorang yang keras kepala dan pemberani, tapi sekarang tampaknya dia ingin menggantungkan diri pada Kwik Tay lok. Mungkin saja sebenarnya dia ingin menggantungkan diri pada Kwik Tay-lok, cuma dihari biasa selalu berusaha mengendalikan dirinya .... bila seseorang sudah mencapai pada keadaan yang benar-benar ketakutan, perasaan tersebut baru benar-benar akan terpancar keluar. Kwik Tay-lok termenung beberapa saat lamanya, mendadak ia bertanya lagi. "Coba tebak apa yang paling ingin kuketahui sekarang?" "Ingin tahu kita berada dimana sekarang?" seru Yan Jit. "Bukan !" "Ingin tahu sebenarnya kita masih hidup atau sudah mati?" "Juga bukan!" Yan Jit segera menghela napas panjang: "Sekarang aku belum punya kegembiraan untuk bermain tebak-tebakan denganmu, lebih baik katakan saja sendiri" "Aku sangat ingin mengetahui rahasiamu" "Aku...? Aku punya rahasia apa?" "Sebelum mati tadi, bukankah kau hendak memberitahukan rahasiamu kepadaku?" Mendadak Yan Jit menarik tangannya dan termenung, sampai lama sekali dia baru berkata sambil tertawa. "Sampai sekarang kau masih belum melupakannya?" Kwik Tay lok segera tertawa. "Entah masih hidup atau sudah mati, aku tak akan melupakannya" Kembali Yan Jit termenung lama sekali, kemudian baru berkata: "Tapi sekarang aku tak ingin memberitahukan soal itu kepadamu" oooo(O)oooo KEMATIAN TAK AKAN TERHINDAR "KENAPA?" seru Kwik Tay lok penasaran.. "Tidak karena apa apa, cuma...cuma..." Belum lagi dia menyelesaikan kata-katanya, dari kegelapan yang mencekam sekeliling mereka itu mendadak terbentik setitik cahaya api berwarna hijau yang sangat mengerikan. Itulah api setan! Di bawah cahaya api setan yang berwarna hijau, seakan-akan berdiri sesosok bayangan manusia. Mungkin saja bukan bayangan manusia, melainkan bayangan setan. Ia berada di situ seakan akan tidak menginjak tanah. Ia seperti sedang melayang-layang di udara. Tak tahan lagi Kwik Tay-lok segera membentak: "Kau ini manusia atau setan ?" Tiada Jawaban, entah manusia atau bayangan setan, tiba tiba dia melayang kembali ke depan. Entah dia orang baik atau setan, pokoknya itulah satu satunya titik cahaya di tengah kegelapan yang mencekam. Asal ada setitik cahaya, kan lebih baik dari pada ditengah kegelapan ... . "Kau masih bisa berjalan?" tanya Kwik Tay lok dengan suara dalam. "Bisa!" "Bagaimana kalau kita kejar bayangan tadi?" Yan Jit segera menghela napas panjang: "Aaai.. bagaimanapun juga aku rasa suasana di sana tak akan sejelek keadaan di sini" Api setan masih melayang-layang di depan sana, seakan-akan sengaja sedang menantikan mereka. Kwik Tay lok telah menemukan tangan Yan Jit, sambil menggenggamnya erat-erat katanya: "Peganglah tanganku kencang-kencang, jangan terlepas, entah baik atau buruk, kita harus berada bersama sama ..." Tenaga yang mereka miliki masih merasa agak kaku. Tapi bagaimanapun juga mereka sudah dapat berdiri, berjalan mengikuti di belakang api setan itu. Di depan sana terdapat apa? Sorga lokakah ? Atau neraka? Mereka tidak tahu, merekapun tak ambil perduli, sebab mereka bisa berjalan ke depan sambil bergandengan tangan. Menanti mereka merasa langkah kakinya makin lama semakin cepat, api setan di depan itupun sudah mempercepat pula langkahnya. Mendadak bagaikan kilatan cahaya bintang tahu tahu api setan itu lenyap tak berbekas. Suasana di sekeliling tempat itu segera berubah menjadi gelap gulita. Di sana tiada sinar, tiada pula suara. Yang bisa mereka dengar ketika itu hanya debaran jantung sendiri, debaran jantung yang kian lama kian bertambah cepat. Dua orang itu sama2 merasakan telapak tangannya basah oleh peluh dingin. "Kau tak usah takut" kata Kwik Tay lok, ''seandainya kita benar-benar sudah mati, mengapa pula yang musti ditakuti?" "Apabila bukan mati, kita lebih-lebih tak usah takut lagi" Bila seseorang menyuruh orang lain tak usah takut, biasanya dia sendiripun pasti merasa takut sekali. "Kita lanjutkan perjalanan ke depan? Ataukah mundur saja?" bisik Yan Jit kemudian. "Apakah kita adalah orang yang suka mundur?" "Baik, entah baik atau jelek, kita harus maju ke depan lebih dulu ....!" Mereka berdua makin kencang bergandengan tangan, dengan langkah lebar maju ke depan. Mendadak terdengar suara bentakan keras menggelegar dari depan sana. "Berhenti!" Begitu suara bentakan itu menggelegar, tiba tiba dari kegelapan muncul tujuh delapan titik api setan yang berkedip kedip. Api hijau yang menyeramkan melayang layang ditengah udara. Sekarang, mereka sudah melihat adanya sebuah meja pengadilan yang besar... besar sekali. Di atas meja itu tampak tempat pit serta tumpukan buku yang besar dan tebal. entah buku atau bon? Seseorang duduk di belakang meja pengadilan sedang membalik balik sebuah kitab besar. Mereka belum sempat melihat jelas wajah orang itu, hanya lamat lamat seperti mempunyai jenggot yang panjang sekali dengan kepalanya mengenakan kopiah jaman kuno. "Bayangan setan tadipun berada di sisi meja pengadilan, masih saja tubuhnya bergelantungan tidak di udara juga tidak menginjak tanah, di tangannya seakan akan membawa sebuah tanda lencana yang amat besar sekali. Apakah itu yang dinamakan Lencana pencabut nyawa? Apakah tempat ini adalah pengadilan di akherat? Dan orang yang duduk di situ apakah Raja akherat? Mereka tidak tahu, siapapun belum pernah berkunjung ke akherat, dan siapapun belum pernah melihat raja akherat. Tapi mereka hanya merasakan semacam hawa setan yang menyeramkan seakan akan menyelimuti sekeliling tempat itu, membuat bulu kuduk mereka pada bangun berdiri. . Raja akherat yang duduk di atas kursi kebesaran itu tiba tiba berkata, suaranya dingin menyeramkan seperti membawa hawa setan yang menyeramkan: "Umur kedua orang ini belum habis, mengapa mereka datang kemari?" "Sebab mereka melakukan pelanggaran!" jawab bayangan setan itu. Pelanggaran apakah yang mereka lakukan? "Rakus!" "Dosanya termasuk tingkat ke berapa?" "Lelaki rakus tentu pencoleng, perempuan rakus tentu pelacur, dosa ini tertera di tingkat ke tujuh. hukumannya dijatuhkan ke neraka tingkat ke tujuh, sepanjang masa tak akan makan kenyang" Mendadak Kwik Tay-lok berteriak keras: "Bicara bohong dosanya lebih besar lagi, dia harus dijebloskan ke dalam neraka pencabut lidah...." Raja akherat itu segera menggebrak meja sambil membentak: "Besar betul nyalimu, berani berbuat kurang ajar di sini?" "Perduli kau manusia juga boleh, setan juga boleh, asal memfitnah diriku, aku tak akan berlaku sungkan-sungkan" "Siapa yang memfitnahmu?" `'Kalau kau adalah raja akherat sungguhan tentunya kau lebih tahu" teriak Kwik Tay-lok. "Paling tidak kau harus tahu akan satu hal" teriak Yan Jit pula dengan suara keras. "Soal apa?" "Perduli kau raja akherat sungguhan juga boleh, raja akherat gadungan juga boleh, jangan harap kau bisa menyelidiki jejak Lim Tay peng dari mulut kami" Agaknya perkataan tersebut sebaliknya malah agak mengejutkan si raja akhirat itu, lewat lama sekali dia baru berkata dengan suara, menyeramkan: "Sekalipun aku adalah raja akhirat gadungan, tapi kalian akan betul-betul mampus. "Oya?." Setelah berada di sini, apakah kalian masih berharap akan pulang dengan selamat? " ejek Raja akhirat itu sambil tertawa dingin. Ingin hidup atau tidak adalah satu masalah, berbicara atau tidak adalah masalah lain. "Apakah kalian lebih suka mampus dari pada berbicara'" "Kalau tidak bicara yaa tidak bicara!" "Baik!" kata raja akhirat itu sambil tertawa dingin. Begitu ucapan tersebut diutarakan, tiba-tiba semua cahaya api di situ lenyap tak berbekas, suasanapun berubah menjadi gelap gulita. Kwik Tay lok segera menarik tangan Yan Jit dan menerjang maju ke depan. Baru saja mereka menerjang ke muka, ke dua orang itu segera roboh terjungkal. "Meja pengadilan di depan sana lenyap tak berbekas, Raja akhirat ikut lenyap, setan-setan cilikpun punah sama sekali. Kecuali kegelapan, apapun tidak dijumpai di situ. Yang ada tinggal mereka berdua. Dua orang itu kalau bukan terlalu pintar, tentu saja terlalu bodoh. Di sebelah kiri adalah dinding batu, di sebelah kanan juga dinding batu, di depan dinding batu, di belakangpun dinding batu. Dinding dinding batu itu semuanya lebih keras daripada baja. Akhirnya mereka menyadari bahwa tempat itu telah berubah menjadi sebuah ruang penjara batu yang kuat sekali. Maka sambil menahan sabar merekapun duduk di sana. Lewat lama sekali, Kwik Tay lok baru berkata sambil tertawa: "Apakah kau sudah mengetahui kalau raja akhirat itu adalah raja akhirat gadungan?,` "Tentu saja, raja akhirat itu sudah pasti adalah Wi-hujin!" "Tapi Wi-hujin tidak berjenggot!" "Jenggotnya juga palsu, segala sesuatunya palsu' Mendadak Kwik Tay lok mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Haaahh...haaahhh... haaahhh… lucu benar orang itu, tak kusangka dia bisa menemukan cara bodoh semacam itu untuk menjebak kita berdua" "Yaa, pada hakekatnya lucu sekali!" sambung Yan Jit sambil tertawa tergelak pula. Sekalipun mereka sedang tertawa, tapi suara tertawanya tak sedap didengar, bahkan jauh lebih tak sedap dari pada mendengar orang menangis tersedu. Sebab kejadian itu sesungguhnya tidak lucu, sedikitpun tidak lucu... Cara yang dipergunakanpun tidak bodoh. Bila kau makan sebiji bakpao yang beracun, tiba tiba sekujur badannya terasa lemas tak bertenaga, kemudian kaupun menyaksikan wajah temanmu berubah menjadi hitam dan roboh terkapar di tanah, lalu jikalau kau sadar menemukan suatu tempat yang tidak diketahui, dan menyaksikan bayangan setan yang tidak menginjak tanah, melihat raja akhirat berkopiah kebesaran yang berjenggot besar di belakang meja pengadilan yang besar, apakah kau bisa menganggap kejadian ini sebagai sesuatu kejadian yang lucu atau menggelikan ? Kwik Tay lok tidak tertawa lagi, mendadak katanya setelah menghela napas panjang: "Sekalipun apa yang dilakukan menggelikan, tapi ucapannya tidak menggelikan" "Perkataan apa?" "Meskipun raja akhiratnya gadungan, tapi kita berarti sedang benar-benar menunggu kematian" "Kau takut mati?" "Yaa, rada takut?" sahut Kwik Tay lok sambil menghela napas panjang. Mendadak tampak cahaya api berkilat, setumpuk benda bersinar keemas emasan yang menyilaukan mata kelihatan muncul di depan mata. Itulah tumpukan emas murni. Di dunia ini jarang sekali ada orang yang pernah melihat tumpukan emas sebanyak ini. Dari balik kegelapan, kembali terdengar suara menyeramkan tadi berkumandang lagi. "Asal kalian bersedia mengaku terus terang, bukan saja segera kulepaskan kalian pergi semua, tumpukan emas itupun menjadi milik kalian semua!" Mendadak Kwik Tay lok melompat bangun sambil berteriak keras-keras. 'Tidak bicara, tidak bicara, tidak bicara!" Dari kegelapan terdengar kembali suara helaan napas panjang, kemudian apapun tidak kelihatan dan apapun tidak terdengar. 'Kembali berapa saat telah lewat, tiba tiba Yan Jit berkata. "Rupanya kau juga tidak takut!" Kwik Tay lok menghela napas panjang. Aaaai,.... takutnya sih memang takut, cuma saja…. walaupun kita mati demi Lim Tay-peng, dia sendiri sama sekali tidak tahu, mungkin selamanya tidak tahu" "Bila kau sudah bersedia melakukan perbuatan untuk teman, itu adalah urusanmu sendiri, pada hakekatnya temanmu tahu atau tidak, bukanlah suatu masalah yang penting, "Sebenarnya aku masih khawatir tentang kau merasa kematianmu agak penasaran" kata Kwik Tay lok sambil tertawa, tidak kusangka ternyata kau lebih setia kawan daripada diriku” Yan Jit termenung beberapa saat lamanya, kemudian diapun menghela napas pula. "Aaaai.... mungkin aku masih belum cukup dikatakan setia kawan, cuma aku cukup memahami" "Memahami apa?" "Demi menemukan Lim Tay peng, agaknya dia tidak sayang sayangnya untuk mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya" "Yaa, agaknya memang begitu" "Seandainya dia tidak memiliki dendam kesumat yang dalam sekali dengan Lim Tay peng, mengapa bersedia untuk mengorbankan segala sesuatunya?" "Aku cuma heran, Lim Tay peng tidak lebih hanya seorang anak kecil, kenapa dia bisa mengikat tali permusuhan yang begitu mendalam dengan dirinya?" "Sudah pasti generasi yang lalu membuat permusuhan itu, demi membasmi rumput se akar-akarnya maka diapun harus membunuh Lim Tay peng pula...!" "Aaai, teori ini memang masuk diakal!" "Kalau toh dia tahu bahwa kita adalah teman Lim Tay peng, tentu saja kita tak akan dilepaskan dengan begitu saja, maka sekali pun kita mengungkapkan jejak Lim Tay peng, kita toh sama saja akan mampus, malah mungkin mampusnya lebih cepat" Kwik Tay lok menghela napas panjang, sambil tertawa getir katanya: Setelah mendengar uraianmu itu, aku jadi merasa bahwa diriku sesungguhnya tidak cukup setia kawan seperti yang semula ku duga. "Apakah kau juga sudah teringat sampai ke apa situ?" "Yaaa, tapi kalau bukan kau ingatkan, mungkin aku sendiripun sudah melupakannya.. "Kenapa bisa melupakannya?" "Bila kau sengaja melupakan sesuatu hal dan tidak memikirkannya lagi, bukankah hal itu sama halnya dengan melupakannya?" 'Kenapa kau sengaja tidak memikirkannya?" "Sebab dengan begitu aku baru akan merasa bahwa diriku sesungguhnya cukup setia kawan, menanti aku sudah mati nanti, maka akupun akan merasa bahwa kematianku ini cukup terhormat" Yan Jit tertawa, tapi suara tertawanya penuh dengan perasaan pahit dan getir yang tak sedap didengar. Lewat lama sekali, dia baru berkata: "Padahal sebetulnya kau lebih agung daripada siapapun juga" sangat agung? kau juga merasa aku sangat agung?'' seakan-akan kaget sekali Kwik Tay lok melompat bangun. "Tiada orang di dunia yang menjadi enghiong semenjak dilahirkan, menjadi enghiongpun kadangkala dipaksakan. Walaupun semua orang memahami teori tersebut, toh semuanya masih suka untuk menipu diri sendiri. Hanya kau. ..." Dia menghela napas panjang, pelan pelan terusnya: "Bukan saja kau berani mengakuinya, bahkan berani juga untuk mengutarakannya ke luar!" "Mungkin. . . . mungkin hal ini dikarenakan kulit mukaku jauh lebih tebal dari pada orang lain" "Soal ini bukan soal kulit muka yang tebal, melainkan.." "Melainkan karena apa?" "Keberanian! Itulah yang dinamakan keberanian, jarang sekali ada orang yang memiliki keberanian seperti ini' Kwik Tay lok segera tertawa. "Tak kusangka kaupun ada waktu untuk memuji-muji diriku' serunya, "apakah sengaja hendak menghibur hatiku, agar aku merasa nyaman?' Yan Jit tidak menjawab, dia hanya menggenggam tangannya erat-erat. Tangannya yang dingin itu seakan-akan muncul hawa hangat yang menyegarkan badan. Kembali beberapa waktu sudah lewat, pelan-pelan Kwik Tay lok baru berkata: Padahal perkenalan kita belum berlangsung lama, tapi aku selalu merasa bahwa kau adalah sahabatku yang paling akrab semenjak dilahirkan dulu, padahal Ong Tiong juga temanku yang paling baik, tapi sikapku terhadap dirimu dengan dirinya toh ada juga perbedaannya. "Apa bedanya?" tanya Yan Jit pelan. "Aku sendiripun tak dapat menerangkan dimanakah letak perbedaan tersebut, cuma... cuma... seandainya Ong Tiong berbuat salah kepadaku, aku pasti dapat memaafkan dirinya, tapi seandainya kau yang berbuat suatu kesalahan kepadaku, aku malah merasa sangat gusar, gusarnya setengah mati" Perasaan semacam ini memang aneh sekali, tak heran kalau ia tak dapat menerangkannya. Jari tangan Yan Jit seperti sedang gemetar, hatinya seperti merasa sangat terharu, cuma sayang Kwik Tay lok tak dapat melihat mimik wajahnya, kalau tidak mungkin dia akan memahami lebih banyak lagi. Tapi, tidak memahamipun jauh lebih baik lagi. Suasana remang remang dan kabur tak menentu justru kadangkala mendatangkan suasana yang jauh lebih indah dan juga lebih menawan hati. Sayang saja waktu untuk mereka guna menikmati suasana semacam ini tidak terlalu banyak. Tiba-tiba Yan Jit berkata: "Aku masih ingin mengetahui satu hal lagi, cuma tak tahu bolehkah kuajukan?" "Katakan, entah apapun yang kau ucapkan, kau boleh mengatakannya kepadaku" "Andaikata Wi hujin benar benar bersedia melepaskan kami dan benar benar menghadiahkan emas yang begitu banyaknya itu kepada kita, apakah kau akan memberitahukan jejak dari Lim Tay peng itu kepadanya?" "Kwik tay lok tidak langsung menjawab pertanyaan itu, hanya pelan pelan katanya: "Aku tahu emas pasti akan habis dipakai, orang juga pasti akan mati, tapi persahabatan dan setia kawan pasti akan selalu ada di dunia ini..." Setelah tertawa, terusnya: "Justru di dunia ini masih ada keadaan seperti itu, maka kehidupan manusia baru berbeda dengan kehidupan binatang" Yan Jit menghela napas panjang: "Agaknya aku jarang sekali mendengarkan ucapan semacam ini keluar dari mulutnya, sepanjang hari kau seperti cengar-cengir melulu, tidak kusangka kau masih bisa menerangkan semacam ini" "Ada sementara teori yang sebetulnya tidak perlu diucapkan dengan bibir..." "jika tidak kau katakan, darimana orang lain bisa tahu manusia apakah sebenarnya dirimu itu?" "Aku tidak perlu orang lain mengetahui akan hal ini, asal temanku tahu, asal kau tahu, hal ini sudah lebih dari cukup" Tiba tiba ia tertawa lagi, terusnya: "Tapi sekarang akupun ingin mengetahui akan satu hal ?" "Apakah kau ingin tahu rahasia yang belum kukatakan kepadamu itu" "Tepat sekali" "Kau ....kau belum melupakannya ?" "Aku sudah pernah berkata kepadamu! entah mati atau hidup aku tak akan melupakannya." Yan Jit termenung sampai lama sekali, ia baru berkata dengan sedih: "Padahal aku sudah berulang kali ingin memberi tahukan rahasia ini kepadamu, tapi aku takut setelah ku utarakan bisa menyesal nanti" "Menyesal? Siapa yang menyesal?" "Aku..!" "Kenapa kau musti menyesal ?" "Karena, karena aku takut bila kau sudah mengetahui soal ini, maka kau tak akan bersedia berteman lagi denganku" Kwik Tay lok segera menggenggam tangannya kencang-kencang', serunya lirih: "Jangan kuatir, entah manusia macam apa kah dirimu itu, entah perbuatan apapun yang pernah kau lakukan dulu, sepanjang masa kau tetap adalah sahabatku" "Sungguh ?" Dengan suara keras Kwi Tay-lok segera berteriak: "Belum lagi kata "mati dengan selamat" diucapkan, Yan Jit telah mendekap mulutnya sambil berkata dengan lembut: "Baiklah, akan kuberitahukan kepadamu, sebetulnya aku adalah ...." Mendadak dari kegelapan kembali muncul setitik cahaya api yang menyinari di atas sebuah benda yang aneh sekali. Kelihatannya benda itu seperti tabung besi yang amat besar dan panjang, warna hitam pekat dan diletakkan pada kayu pengganjal yang besar dan tebal. Menyusul kemudian terdengar suara dari Wi hujin berkumandang kembali dengan nyaring. 'Kalian kenal dengan benda ini?" "Tidak kenal!" "Tampaknya bukan saja kalian miskin uang, juga miskin pengetahuan!" kata Wi hujin sambil tertawa. Baru selesai berkata, mendadak dari balik tabung besi itu memancarkan sesuatu ledakan yang menggelegar di seluruh angkasa. Hampir pecah gendang telinga Kwik Tay lok ketika mendengar suara ledakan yang memekikkan telinga itu, Lewat lama sekali dia baru bisa membuka matanya kembali, tampak empat penjuru dengan asap belerang yang amat menusuk hidung, sedangkan dinding batu yang berada tepat di depan moncong benda tadi sudah muncul sebuah lubang yang besar sekali. "Sekarang tentunya kau sudah tahu bukan benda apakah itu?" Kwik Tay lok segera menghembuskan napas panjang, tanyanya kemudian dengan lirih: "Apakah benda inilah yang dinamakan meriam?" "Aaaah .... rupanya kau memang cerdik!" uji Wi hujin sambil tertawa tergelak. Moncong meriam pelan-pelan bergeser dan sekarang moncong tersebut sudah diarahkan ke depan tubuh Yan Jit dan Kwik Tay lok. "Apakah kau ingin merasakan bagaimana jika di tembak dengan meriam?" tanya Wi hujin. "Tidak ingin!" "Kalau begitu, cepatlah mengakui dimana dia berada!" "Tidak!" "Mungkin kau masih belum tahu sampai dimanakah kelihaian dari meriam ini?" kata Wi hujin lagi. "Aku tahu!" "Tahu apa?" "Konon jika menggunakan meriam semacam ini untuk menyerang benteng, bagaimanapun kuatnya dinding benteng, tak akan tahan jika dihantam dengan tembakan meriam tersebut!" Wi hujin segera tertawa. "Bayangkan sendiri, kalau dinding tembok kota pun bisa hancur, apakah kau mampu untuk menahannya." Tiba tiba Kwik Tay lok tertawa tergelak, serunya: "Kau tidak akan mengerti, kulit mukaku ini sebenarnya memang jauh lebih tebal daripada dinding benteng" "Jadi kau benar benar tak akan berbicara?" teriak Wi hujin marah. Agaknya untuk menjawabpun Kwik Tay lok sudah enggan, dia hanya memalingkan kepalanya memandang ke wajah Yan Jit. Sinar mata Yan Jit lebih lembut daripada air, suaranya lebih keras daripada baja. Dengan tegas dia berkata: "Berpikir semalam aku sudah mati delapan kali, apa salahnya untuk mati sekali lagi. "Mati sebenarnya merupakan suatu hal yang sukar, juga paling menakutkan tapi, ketika diucapkan dari mulut mereka, hal mana seakan akan ringan dan tiada sesuatu yang bisa dianggap serius. Tiba tiba Kwik Tay lok menghela napas panjang, sambil menarik tangan Yan Jit katanya: "Hanya ada satu hal yang kusesalkan" "Aku mengerti" bisik Yan Jit dengan lembut. "tapi kau tak usah kuatir, mati atau hidup aku pasti akan memberitahukan kepadamu` Tiba tiba wajah Kwik Tay lok berseri kembali, katanya: "Kalau memang begitu, apa pula yang musti ku risaukan lagi?' "Baik seru Wi hujin dingin, "matilah bersama !" Moncong meriam telah diarahkan ke tubuh Yan Jit dan Kwik Tay lok. "Blaaam!" suatu ledakan yang memekikkan telinga segera berkumandang memecahkan keheningan. Ditengah bau asap belerang yang tajam, kelihatan tubuh mereka berdua roboh bersama.... Ada orang bilang mati itu sulit, ada pula yang mengatakan mati gampang. Bagaimana dengan kau? (0oooo0)(0oooo0) HABIS GELAP TERBITLAH TERANG BAGI Yan Jit, kematian adalah yang mudah, ia sudah mati sembilan kali. Tapi sekarang, ia hidup kembali. Ia merasa tubuhnya berbaring di atas sebuah pembaringan yang empuk.. nyaman dan enak, setiap benda yang terlihat olehnya rata rata mewah, indah dan mahal harganya, seakan-akan bukan berada di alam dunia. Ketika untuk pertama kalinya sadar tadi, ia menebak tempat itu kalau bukan sorga tentu neraka. Tapi bila tidak berada bersama Kwik Tay lok, apalah artinya sorga? Dimana Kwik Tay lok? Apakah dia dimasukkan neraka ? Yan Jit meronta dan merangkak bangun, dengan cepat ia melihat Kwik Tay lok. Hampir saja dia tak percaya dengan apa dilihatnya di depan mata .. Dalam ruangan itu ada meja, di atas meja penuh dihidangkan makanan yang lezat, Kwik Tay lok sedang makan minum dengan lahapnya di sana. Ketika melihat Yan jit sadar, dia segera meletakkan sumpitnya dan berkata sambil tertawa. "Karena kulihat tidurmu sangat nyenyak, maka tidak kubangunkan dirimu, untung saja makanan di sini amat banyak, sepuluh orangpun tak bisa habis dimakan" "Kau yang membawa aku ke sini?" "Bukan!" "Tempat manakah ini?" "Aku juga tak tahu!" Yan Jit segera melotot sekejap ke arahnya, serunya dengan gemas: "Lantas kau tahu apa?" "Aku hanya tahu makanan koki di sini sangat lezat, arakpun amat wangi, apalagi yang kau nantikan?" Setelah berhenti sebentar dia menambah: "Daripada tidak makan lebih baik makan, apakah kau belum memahami perkataan itu?" "Dari dulu aku sudah memahami!" sahut Yan Jit sambil tak tahan untuk tertawa cekikikan. 0000000 Dalam ruangan itu bukan saja ada pintu, juga ada jendela. Dari luar jendela masih terendus bau harumnya bunga bwee yang semerbak. "Apakah kau sudah menengok keluar?" tanya Yan Jit. "Belum!" Kenapa tidak keluar untuk melihat keadaan?" seru Yan Jit sambil berkerut kening. Kalau mengurusi mulut maka tak bisa mengurusi mata, bagaimanapun juga mulut toh lebih penting dari pada mata!" "Tapi paling tidak, kau harus mencari dulu tuan rumah tempat ini!" "Aaaah ...? Akhirnya dia toh akan datang sendiri mencari kita, kenapa kita musti buru-buru mencarinya?." Baru selesai dia berkata, dari luar sudah kedengaran seseorang mengetuk pintu. Seorang nona cilik berbaju putih muda dengan senyum dikulum dan membawa dua buah poci arak masuk ke dalam, ia kelihatan seperti bidadari yang baru turun dari kahyangan. Sepasang mata Kwik Tay lok agak terbelalak, ketika Yan Jit melotot ke arahnya, dia baru mendehem beberapa kali, kemudian sambil membetulkan duduknya, tak tahan dia tertawa geli, katanya: "Aku memang sedang murung takut kekurangan arak, tak nyana arak dihidangkan" "Setelah kau berada di sini, apapun yang kau minta, dengan cepat permintaanmu itu akan terwujud" kata si nona baju putih itu sambil mencibirkan bibir. "Bagai mana ceritanya kami bisa sampai di sini" tanya Yan Jit. Kembali nona berbaju putih itu tertawa. "Tentu saja tuan rumah tempat ini yang telah menyelamatkan kalian" sahutnya. "Kau kah tuan rumah di sini?" "Menurut pandanganmu aku mirip tidak?" kata si nona baju putih itu sambil mengerdipkan matanya. "Tidak mirip!" "Aku sendiripun merasa tidak mirip!” "Lantas siapakah tuan rumahnya? Kami kenal tidak dengannya?" "Aku hanya tahu dia pasti kenal dengan dirimu" "Kenapa?" Nona berbaju putih itu tertawa, sahutnya: "Sebab dia bilang kau seorang mampu menghabiskan hidangan untuk lima orang, sengaja dia suruh aku menyiapkan hidangan yang lebih banyak. Seandainya dia tidak kenal dengan dirimu, mana mungkin ia bisa memahami tentang dirimu dengan sejelas itu?" Kwik Tay lok segera tertawa terbahak bahak: "Haaahhh... haaahhh... haaahhh kalau begitu, bukan saja dia kenal aku, mungkin dia pun seorang sahabat karibku" Nona berbaju putih itu mengerdipkan matanya berulang kali, lalu katanya lagi sambil tertawa: ""Apakah semua orang yang mengundang mu minum arak adalah sahabat karibmu " "Sedikitpun tak salah!" Jawab Yan Jit dingin. Bukan saja wajahnya berubah menjadi tak sedap dilihat, bahkan sumpitpun sudah diturunkan. Kwik Tay lok melirik sekejap ke arahnya, lalu tak berani banyak berbicara lagi. Kembali nona berbaju putih itu berkata. "Bila kalian sudah kenyang nanti, aku akan mengajak kalian berdua untuk menjumpai tuan rumah di sini. Dia selalu menantikan kedatangan kalian berdua" Mendadak Yan Jit melompat bangun sambil berseru: "Sekarang aku sudah kenyang!" "Hei, mengapa kau menjadi kenyang begitu melihat kedatanganku`!" seru nona berbaju putih itu sambil mengerling sekejap ke arahnya. "Sebab tampangmu persis seperti pantat!" Bunga bwe yang indah tumbuh di sepanjang kebun, salju nan putih menyelimuti permukaan tanah. Dengan wajah cemberut nona berbaju putih itu berjalan di muka, dia tidak berbicara apalagi tertawa. Sesungguhnya nona itu memang manis, cantik tapi sayang agak kegemukan sedikit. "Tak kusangka Yan Jit bisa membandingkan dirinya dengan pantat ....tak tahu bagaimana jalan pemikirannya, sehingga bisa nyeleweng sampai ke situ?" Kwik Tay lok memandang ke arah Yan Jit dan ingin tertawa, namun ia tak berani. Sebab paras muka Yan Jit ketika itu lebih tak sedap dilihat lagi. Entah mengapa, dia seperti amat membenci kaum wanita terutama sekali gadis yang suka bergurau dengan Kwik Tay-lok. "Dulu ia pasti pernah menderita kerugian ditangan perempuan, atau tertipu oleh perempuan maka dia menjadi sengit kalau melihat perempuan" Kwik Tay lok berjanji dalam hati kecilnya, dilain saat dia tentu berusaha untuk memberi pengertian kepadanya, memberitahu kepadanya bahwa perempuan bukan semuanya memuakkan, diantaranya juga ada beberapa orang yang jauh lebih menyenangkan dari pada lelaki yang ada di dunia ini. 000000 Serambi itu panjang sekali. Di ujung sana terdapat tirai yang terurai ke bawah. Baru saja mereka menuju ke situ, dari balik tirai sudah ada yang menyapa sambil tertawa: "Oooh... rupanya kalian datang lagi? Silahkan masuk, silahkan masuk." Wi hujin ! Ternyata suaranya itu adalah suaranya Wi hujin. Ternyata tuan rumah tempat ini adalah dia. Selain meracuni mereka diapun menyaru menjadi setan, bahkan menggunakan meriam penggempur kota untuk menghadapi mereka, tapi sekarang dia juga yang telah menolong mereka, bahkan melayani mereka dengan hidangan yang begitu lezat. Kwik Tay lok dan Yan Jit segera saling berpandangan sekejap, meraka benar benar tak bisa menduga, permainan busuk apa lagi yang sedang direncanakan perempuan itu? Senyuman Wi hujin masih kelihatan begitu anggun, begitu mempesonakan hati. Ia sedang mengawasi wajah Kwik Tay lok, kemudian Yan Jit, setelah itu baru ujarnya sambil tersenyum: "Kalian tak usah berpikir-pikir lagi permainan busuk apa yang sedang kupersiapkan sekarang, sebab rencanaku tak akan pernah bisa ditebak oleh siapapun" Kwik Tay lok segera menghela napas panjang, katanya: "Aku percaya dengan perkataanmu itu° "Ada satu hal lagi, kau pun harus percaya" "Soal apa?." "Sekarang kalian boleh pergi dari sini, setiap saat setiap waktu boleh pergi dari sini. Dimanapun kalian akan pergi, aku tak akan mengutus orang untuk menguntil kepergian kalian" Kwik Tay lok agak tertegun, serunya: "Kau tidak menginginkan nyawa kami?" 'Tidak menginginkan. . . . " "Juga tidak ingin mengetahui jejak Lim Tay peng?" "Paling tidak sampai sekarang tidak ingin" "Kau sudah menggunakan banyak tenaga dan pikiran untuk menghadapi kami, apakah sekarang membiarkan kami pergi dengan begitu saja?" "Benar!" Kwik Tay 1ok segera menghela napas panjang, serunya . . . Aku tidak begitu percaya dengan ucapanmu itu" "Bahkan ucapanku pun tidak kau percaya?" "Kenapa aku harus percaya denganmu?" "Kau tahu, siapakah aku?" "Aku tahu kau adalah seorang yang kaya raya, punya kedudukan, punya kepandaian, tapi perkataan dari manusia semacam ini justru biasanya paling tak boleh percaya" Wi hujin menatapnya tajam tajam, mendadak katanya lagi sambil tertawa lebar. "Kalian tentu merasa semua perbuatanku itu sangat mengherankan bukan? Akan tetapi bila kalian sudah tahu siapa kau yang sebenarnya, maka kalian tak akan merasa heran" "Sebenarnya siapakah kau?" tak tahan Yan Jit segera berseru. Sepatah demi sepatah Wi hujin menjawab: "Akulah ibu kandung Lim Tay peng!" Begitu ucapan tersebut diutarakan, Kwik Tay lok serta Yan Jit menjadi amat terkejut. Mereka benar benar tak berani mempercayainya, tapi mau tak mau harus mempercayainya juga. Sekalipun dalam sejarah hidupnya Wi hujin pernah berbohong, tapi sekarang dia sama sekali tidak mirip seseorang yang sedang berbohong. "Sekalipun aku percaya bahwa kau adalah ibu kandungnya Lim Tay peng, tapi seorang ibu masa tidak tahu kabar berita tentang anaknya?' kata Kwik Tay lok kemudian. Pelan pelan Wi hujin menghela napas panjang, katanya dengan sedih: "Inilah kesusahan yang dialami seorang ibu, dikala anaknya sudah menginjak dewasa, apa yang dilakukannya seringkali tidak bisa dipahami oleh ibunya sendiri" "Dia telah berubah menjadi seorang lelaki dewasa" "Sebenarnya apa yang telah dia lakukan?" tak tahan Kwik Tay lok kembali bertanya. Wi hujin segera menghela napas panjang. "Dia tidak melakukan apa apa, dia cuma melarikan diri dari rumah" "Melarikan diri dari rumah?" kembali Kwik Tay lok tertegun. "kenapa ia melarikan diri?" "Dia kabur karena menghindari perkawinan" "Lari karena takut kawin?" Wi hujin tertawa getir, katanya: "Ketika kulihat usianya lambat laun bertambah dewasa, maka aku toh mencarikan jodoh untuknya, siapa tahu semalam sebelum upacara perkawinan itu diselenggarakan, diam diam dia sudah minggat dari rumah" Kwik Tay lok menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian tak tahan lagi dia tertawa. "Ah, mengerti aku sekarang" serunya, sudai pasti dia tidak menyukai gadis itu....!" "Jangan toh kenal, berjumpa dengan gadis itupun belum pernah ....!" Kwik Tay lok semakin keheranan lagi. "Kalau memang berjumpa saja belum pernah, darimana dia bisa tahu gadis itu baik atau tidak?" serunya. "Ya, dia sama sekali tidak tahu" "Kalau memang tidak tahu baik atau jelek, kenapa pula dia minggat dari rumah?" "Aaaai .. justru karena jodohnya itu aku yang pilihkan, maka ia menjadi tak suka" "Bini adalah miliknya sendiri, tentu saja lebih cocok kalau dia memilih untuk dirinya sendiri. Bila kau perlihatkan dulu gadis itu kepadanya, mungkin saja dia tak akan kabur" Mendadak wajahnya berubah menjadi amat serius, katanya lebih jauh: "Perbuatannya itu bukan berarti dia, tidak berbakti kepadamu, sebaliknya setiap pria yang telah dewasa sedikit banyak dia pasti mempunyai idenya sendiri, kalau tidak, apakah dia masih bisa dianggap sebagai seorang lelaki"" Pelan pelan Wi hujin mengangguk. "Sebenarnya aku merasa gusar sekali'' katanya. " tapi kemudian, setelah kupikir kembali dengan otak dingin, aku malahan justru merasa agak gembira" "Kau memang sepantasnya merasa gembira" tiba tiba Yan Jit menyela, "Sebab lelaki yang tegas dan gagah seperti dia tidak terlalu banyak di dunia ini" "Yaa, meski sekarang tidak banyak, tapi di kemudian hari lambat laun pasti akan bertambah banyak" sambung Kwik Tay lok. "Itulah sebabnya sekarang aku sudah berubah pikiran" Wi hujin dengan wajah berseri. "Aku bertekad tak akan memaksanya pulang untuk kawin lagi" Pelan pelan sinar matanya dialihkan ke tempat kejauhan sana, kemudian lanjutnya: "Aku pikir, bila seorang lelaki yang sudah menginjak dewasa bila dia bisa melakukan perjalanan diluaran untuk melatih diri, baginya sifat tersebut merupakan suatu keberuntungan" Kwik Tay lok menghela napas lalu tertawa getir, katanya: "Bila perkataan semacam ini kau utarakan sejak tadi, kan urusan akan beres dengan cepat' "Dulu aku tidak mengutarakannya karena aku masih merasa agak kuatir ...." kata Wi Hujin sambil tertawa. "Kuatir apa?" "Kuatir dengan teman temannya" "Kalau begitu, apa yang kau lakukan selama ini tidak lebih hanya bermaksud untuk mencoba kami?" Wi hujin tertawa. "Kalian kalau memang sahabat karibnya, tentu saja tak akan menyalahkan diriku bukan?" "Sekarang, apakah kau sudah merasa lega?" Dengan suara lembut Wi hujin berkata: "Sekarang aku sudah tahu, teman-temannya bukan saja rela menanggung lapar baginya, rela mati baginya, bahkan menolak sebuah pancingan kemewahan karena deminya, dalam pandanganku keadaan semacam ini justru lebih sulit dilakukan daripada mati" 00000)0(00000 SETELAH menghela napas, terusnya: "Ia bisa berkawan dengan teman semacam kalian, berarti hal itu adalah rejekinya, apa lagi yang musti ku kuatirkan" Kota kecil itu masih begitu sederhana dan tenang. Ada sesuatu tempat yang selamanya seperti tak bisa berubah, hanya hati manusia yang dapat berubah. Tapi, ada pula sementara orang yang hatinya tak pernah berubah. Ketika menyaksikan Kwik Tay lok dan Yan Jit pulang, Ong Tiong masih berbaring di atas pembaringan, bergerakpun tidak. "Hei, enam hari tak bersua, apakah sepatah katapun tidak kau tanyakan kepada kami?" tak tahan Kwik Tay lok berseru. "Apa yang musti ditanyakan?" kata Ong Tiong sambil menguap dengan kemalas-malasan. "Paling tidak kau harus bertanya kepada kami, selama beberapa hari ini penghidupan kami baik atau tidak" "Aku tak perlu bertanya" "Kenapa tak perlu bertanya?" "Asal kalian bisa pulang dengan selamat, itu sudah lebih dari cukup..." "Tapi, paling tidak kau harus bertanya, sebenarnya kulit siapa yang telah disayati oleh Hoat liok pi?" "Akupun tak perlu bertanya" "'Kenapa?" Ong Tiong segera tertawa, sahutnya hambar. "Manusia macam dia, selain menguliti kulitnya sendiri kulit siapa pula yang hendak dikuliti olehnya....." Kecuali sewaktu turun tangan menghadapi Hong Si-hu tempo hari, entah sedang melakukan apa saja gerakan Lim Tay peng selalu lebih lambat setengah langkah ketimbang orang lain. Entah itu sedang bersantap, sedang berbicara sedang berjalan, dia selalu pelan pelan, tidak gugup, seakan-akan sekalipun alis matanya terbakarpun dia tak akan merasa gugup. Kadangkala Kwik Tay lok merasa dia seakan-akan seorang kakek yang sudah tua bangkotan. Dia tidak seperti Ong Tiong, dia tidak malas. Tapi lamban itulah yang memusingkan. Ketika Kwik Tay lok dan Yan Jit sudah pulang setengah harian lamanya, pelan-pelan dia baru berjalan keluar, bajunya sangat rapi, rambutnya juga disisir sangat rapi. Entah dimana saja, kapan saja, pokoknya dia selalu nampak necis, segar dan bersih. "Tampang orang ini seakan-akan setiap saat ada kemungkinan dia akan diundang untuk menghadap kaisar!" Kwik Tay lok dan Yan Jit saling berpandangan sekejap, kemudian tertawa. Sebab mereka teringat kembali akan Wi hujin. Hanya ibu Wi hujin saja yang bisa melahirkan seorang anak yang seperti Lim Tay peng. "Dari bibit yang baik, pohon yang segar, tak akan membuahkan buah tho yang jelek kwalitetnya" "Lim Tay peng memandang ke arah mereka, agaknya diapun tak tahu apa yang sedang mereka tertawakan, gumamnya: "Aku lihat selama beberapa hari ini kalian tentu senang sekali ...." "Yaa, senang sekali!" sahut Kwik Tay lok sambil tertawa. `Tahukah kalian Hoat liok pi sudah lenyap sedang rumah pegadaian Lip gwan sudah berganti tauke?" seru Lim Tay peng lagi. "Tidak tahu!" "Kejadian besar ini saja tidak kalian ketahui, lantas selama beberapa hari ini apa kerja kalian dan pergi kemana saja?" Kwik Tay lok dan Yan Jit saling bertukar pandangan sekejap, lalu tertawa, mereka sudah bertekad tak akan menceritakan semua pengalaman yang dialaminya selama ini kepada siapapun. Sebab mereka merasa lebih baik Lim Tay peng tidak mengetahui kejadian ini daripada mengetahuinya, mereka tak ingin mempengaruhi keputusan Lim Tay peng, juga tak ingin mendapat perasaan baru atau terima kasih Lim Tay peng kepada mereka. MEREKA cuma berharap Lim Tay peng bisa hidup dengan bebas merdeka persis seperti ketika berada di rumah dulu, maka dalam keadaan demikian dia pasti akan berubah menjadi lebih teguh, lebih matang dam lebih pintar ..... .... Sebab kesemuanya itulah merupakan apa yang diharapkan Wi hujin selama ini. Sambil tertawa kembali Kwik Tay Lok berkata: "Selama beberapa hari ini kami juga tidak melakukan apa apa, cuma kami pernah di racuni sampai mati satu kali, bertemu dengan raja akhirat satu kali, ditembak dengan meriam satu kali dan akhirnya orang itu mengundang kami makan minum sepuas puasnya sebelum kami pulang kemari. . . " Lim Tay peng melompat kearahnya, sampai lama, lama sekali, tiba tiba ia tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh.. . ... haaahhhh.... . .haaahhh. . .. . . aku tahu kau pandai sekali mengibul, tapi kali ini bualanmu terlalu besar, mungkin bocah cilik yang berumur tiga tahunpun tak akan mempercayai.' Dengan tangannya Kwik Tay lok membaringkan diri, memejamkan mata dan menghembuskan napas panjang, lalu ujarnya sambil ter senyum manis: "Aku juga tahu, tak akan ada seorang manusiapun yang mau percaya dengan ceritaku ini." Setiap orang tentu punya rahasia. Ong Tiong adalah orang. Maka Ong Tiong juga punya rahasia. Manusia seperti Ong Tiongpun ternyata punya rahasia, sesungguhnya hal ini merupakan suatu yang tak bisa dipercaya. Dia tak pernah pergi sendirian, bahkan waktu untuk turun dari pembaringan amat jarang. Sebenarnya mimpipun Yan Jit tidak menyangka kalau diapun memiliki rahasia. Tapi orang pertama yang menemukan bahwa Ong Tiong juga ada rahasia adalah Yan Jit. Bagaimana ceritanya ? Ternyata suatu ketika dia menemukan suatu benda yang aneh sekali. Yang ditemukan olehnya adalah sebuah layang layang. Layang layang sesungguhnya bukan sesuatu yang aneh, tapi dari atas layang layang itulah justru akan muncul banyak sekali kejadian aneh dengan manusia manusia yang menakutkan sekali. Menurut perhitungan almanak, semestinya saat itu sudah tiba saatnya musim semi, tapi kemanapun kau lihat sama sekali tidak menjumpai bayangan musim semi. Udara masih hangat dingin, angin masih amat kencang, timbunan salju ditanah sudah mencapai tujuh delapan inci tebalnya. Hari ini ternyata matahari sudah terbit. Ong Tiong, Yan Jit, Kwik Tay lok dan Lim Tay peng sedang berjemur badan dalam halaman. Sekalipun mereka miskin dan tak beruang tak pernah disia siakan kesempatan untuk ber jemur badan. Dimusim dingin yang menggigilkan seperti ini, berjemur badan dibawah sinar matahari boleh dibilang merupakan salah satu kenikmatan yang bisa dirasakan oleh kaum miskin secara gratis. Ong Tiong telah mencari sebuah kursi yang paling nyaman sedang berbaring dibawah atap rumah sambil menjemur diri. Lim Tay-peng duduk diatas undak undakan batu sambil bertopang dagu dan sinar mata mendelong, entah apa yang sedang dipikirkannya ketika itu. Sebenarnya Kwik Tay lok selalu merasa heran, dengan usia semuda itu, kenapa dia seperti banyak urusan dan dalam hatinya seperti tersirnpan banyak sekali rahasia yang tak boleh diketahui orang. Sekarang dia sudah tidak merasa heran lagi, dia sudah tahu apa yang sedang dipikirkan Lim Tay peng. Tapi bagaimana dengan rahasia Yan Jit ? Tak tahan lagi Kwik Tay lok segera menarik Yan Jit sambil bisiknya merintih: "Sekarang, tentunya kau sudah boleh memberitahukan rahasia itu kepadaku bukan ?" Sejak kembali kesana, kali ini adalah untuk ketujuh puluh delapan kalinya dia mengajukan pertanyaan yang sama kepada Yan Jit. Tapi jawaban Yan jit selalu sama seperti dulu. "Tunggu !" "Kau suruh aku menunggu sampai kapan?" "Menunggu sampai aku ingin mengatakannya !" Kwik Tay lok menjadi sangat gelisah, serunya lagi: "Apakah kau harus menunggu sampai aku hampir mati baru bersedia untuk mengatakannya?." Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya, sinar mata itu kelihatan aneh sekali, lewat lama, kemudian baru ujarnya dengan sedih: "Kau benar benar tak tahu rahasia apakah yang hendak kuberitahukan kepadamu itu?" "Kalau aku tahu, buat apa aku mesti bertanya kepadamu ?" Yan Jit memandangnya lagi beberapa saat, kemudian tertawa cekikikan, katanya sambil menggelengkan kepala: "Ucapan Ong lotoa memang betul, bila kau harus bodoh ternyata menjadi pintar, dikala harus pintar ternyata bodohnya bukan main . . . " "Aku toh bukan cacing pita dalam perutmu, mana aku tahu rahasiamu itu ?" Tiba tiba Yan Jit menghela napas panjang! "Mungkin lebih baik buatmu jika tidak tahu !" "Baik dalam hal apa ?" "Ada satu hal yang tidak baik, bukankah hidup kita sekarang jauh lebih menyenangkan?" "Apakah aku bisa menjadi tak senang bila mengetahui rahasia tersebut . .. . . . . . . " Kembali Yan Jit menghela napas. "Mungkin. .. .. . . mungkin waktu itu setiap hari kita akan cekcok, setiap hari akan bertengkar." Kwik Tay lok segera melotot kearahnya, kemudian mendepakkan kakinya keras keras ketanah, serunya dengan gemas: "Aku benar benar tidak mengerti, sesungguhnya kau adalah seorang yang suka berterus terang, kenapa kadang kala lebih sempit pikirannya daripada seorang perempuan?" Yang sempit pikirannya bukan aku, tapi kau ?" "Kenapa pikiranku sempit ?” "Perbuatan yang tak ingin orang lain lakukan, kenapa kau justru memaksa orang lain untuk melakukannya ?" "Siapakah orang lain itu ?” "Orang lain itu adalah aku !” Kwik Tay lok menghela napas panjang, dipegangnya kepala dengan kedua belah tangannya sendiri, kemudian bergumam: "Sudah jelas adalah dia, tapi dia justru mengatakan orang lain. Cara berbicara orang ini makin lama semakin mirip perempuan, coba bagaimana jadinya ?" Tiba tiba Yan Jit tertawa, sengaja dia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, ujarnya: "Menurut pendapatmu apa sebabnya secara tiba tiba Hoat liok pi angkat kaki dari sini?" Sebenarnya Kwik Tay lak tak ingin menjawab pertanyaannya itu, tapi setelah termenung sebentar, tak tahan katanya juga: "Bukan dia sendiri yang ingin pergi, si nenek itulah yang memaksanya untuk pergi ?" "Kenapa ?" "Sebab nenek itu kuatir kita akan menyelidiki rahasia asal usulnya" "Kalau begitu, asal usulnya tentu amat rahasia, dengan Hoat liok pi juga pasti mempunyai hubungan yang sangat luar biasa." 'Ehmm !" "Kenapa kau tidak pergi mencari kabar, sebenarnya mereka telah menyembunyikan diri dimana ?" "Kenapa musti di selidiki ?'' "Tentu saja untuk mengorek rahasia mereka !" "Kenapa aku barus mengorek rahasia orang ? Ada sementara rahasia yang tak akan berhasil kau gali sekalipun sudah diusahakan dengan cara apapun, tapi bisa saatnya sudah tiba tanpa digalipun rahasia itu akan tersingkap dengan sendirinya.." Yan Jit segera tertawa: "Kalau kau sudah memahami akan teori tersebut, kenapa pula kau selalu memaksaku untuk mengatakannya?" Kwik Tay lok melotot besar ke arahnya, kemudian menghela napas panjang, "Aaaai .....sebab aku tidak memperhatikan si nenek itu, yang kuperhatikan hanya kau !" Pelan pelan Yan Jit berpaling ke arah lain, rupanya sengaja hendak menghindarkan diri dari sinar mata Kwik Tay lok. Baru saja berpaling, dia telah menjumpai sebuah layang layang ........ Sebuah layang layang berbentuk kelabang buatannya sangat indah dan manis, ketika bergerak di udara, pada hakekatnya seperti hidup. Yan Jit segera bertepuk tangan sambil bersorak: "Cepat kau lihat, apakah itu ?'' Kwik Tay lok juga sudah melihat, meski merasa amat tertarik, tapi sengaja katanya sambil menarik muka: "Itu kan tak lebih cuma layang layang, apanya yang lucu ? Apakah kau belum pernah melihat layang layang ?" "Tapi dalam suasana seperti ini, mana mungkin ada orang yang bermain layang-layang?" "Hmm. asal lagi senang, setiap saat toh boleh saja menaikkan layang layang ?" Padahal dia juga tahu, sekarang belum tiba saatnya untuk bermain layang layang, sekalipun ada orang ingin menaikkan juga tak akan menaikkan setinggi itu, sebab tak mungkin layang layang itu bisa dinaikkan setinggi itu. Tapi layang layang itu dinaikkan sangat tinggi, amat lurus dan tenang, jelas orang itu adalah seseorang yang ahli. "Kau bisa membuat layang layang ?" tanya Yan Jit. "Tidak, aku hanya bisa makan !" Yan Jit melotot sekejap kearahnya, kemudian berkata sambil tertawa: "Ong lotoa tentu bisa .. . . ... . . . . Ong lotoa, bagaimana kalau kitapun membuat sebuah layang layang?" Tapi ketika tiba didepan Ong Tiong, dengan cepat wajahnya berubah menjadi tertegun. Ong Tiong sama sekali tidak mendengarkan apa yang sedang diucapkan olehnya, dia cuma membelalakkan sepasang matanya lebar lebar sambil mengawasi layang layang tersebut, sinar mata nya aneh sekali, seakan akan dia belum pernah menyaksikan layang layang. Akan tetapi kalau dilihat dari mimik wajahnya, dia seakan akan telah menganggap layang layang tersebut sebagai kelabang sungguhan. Seekor kelabang raksasa yang bisa makan manusia. Yan Jit turut menjadi tertegun, sebab dia tahu Ong Tiong bukankah seorang manusia yang gampang dibikin ketakutan. Sekalipun dia benar benar menyaksikan ada tujuh delapan puluh ekor kelabang sedang berjalan dihapannyapun, paras muka Ong Tiong tak akan berubah menjadi begini rupa. Apa lagi selembar wajahnya, sekarang telah berubah menjadi pucat melebihi mayat. Mendadak saja kelopak matanya seperti berdenyut keras, seakan akan tertusuk oleh beribu ribu batang jarum. Yan Jit segera mendengakkan kepalanya, sekarang dia menyaksikan diatas langit telah bertambah menjadi empat buah layang layang. Sekarang telah bertambah dengan sebuah layang layang berbentuk ular, sebuah berbentuk kala dan sebuah lagi berbentuk burung elang ........ Yang paling besar berbentuk segi empat, diatas kertas yang berwarna kuning itu tampak sebuah lukisan Hu yang berliuk entah apa artinya, seperti "hu" untuk pengusir setan. Mendadak Ong Tiong bangkit berdiri lalu masuk ke dalam rumah dengan sempoyongan, dia seperti tak tahan dan setiap saat bakal jatuh tak sadarkan diri. Kwik Tay lok segera memburu datang, dengan wajah keheranan segera tegurnya: "Ong lotoa, apa yang telah terjadi ?" Yan Jit menghela napas panjang, sahutnya: "Siapa tahu apa yang terjadi dengannya, ketika menyaksikan layang layang tersebut mendadak seluruh tubuhnya seakan akan telah mengalami perubahan". Kwik Tay lok merasa semakin keheranan lagi. "Hanya melihat layang layang, tampangnya lantas berubah menjadi begitu rupa ?" serunya. "Ehmm !" "Apakah layang layang itu mempunyai suatu keistimewaan ?" seru Kwik Tay lok dengan kening berkerut. Dia lantas mendongakkan kepalanya dan mencoba untuk mengamati layang layang tersebut dengan seksama, akan tetapi tiada sesuatu hasilpun yang berhasil diperoleh. Siapapun tak akan menemukan apa apa dari layang layang tersebut ........ Layang layang adalah layang layang, tiada bedanya dengan layang layang lainnya. "Lebih baik kita masuk dan tanyakan kepada Ong lotoa saja, tanya kepadanya apa yang sebenarnya telah terjadi !" usul Kwik Tay lok kemudian dengan lirih. Yan Jit menggelenglcan kepalanya berulang kali, setelah menghela napas katanya: “Ditanyapun percuma, kemungkinan besar dia tak akan mengatakannya " "Tapi layang layang itu ........” "Apakah kau tak pernah berpikir, persoalannya bukan terletak pada layang layang itu?" tukas Yan Jit. "Lantas dimanakah letak persoalannya ?'' "Pada orang yang melepaskan layang layang tersebut !" "Betul !" seru Kwik Tay lok sambil bertepuk tangan, "Mungkin Ong lotoa tahu siapakah yang melepaskan layang layang tersebut." "Kemungkinan besar orang itu adalah musuh besar dari Ong lotoa dimasa lalu." Selama ini Lim Tay peng hanya mendengarkan pembicaraan itu dari samping mendadak dia berseru: "Aku akan ke sana untuk melihat lihat, kalian tunggu saja di sini, menantikan kabat beritaku." Belum habis perkataan itu diucapkan, tubuhnya sudah meluncur keluar dari tempat itu. Biasanya dia selalu kemalas malasan dan lamban sekali cara kerjanya, tapi begitu terjadi peristiwa, maka gerak geriknya selalu jauh cepat dari pada siapapnn. Kwik Tay lok memandang kearah Yan Jit, kemudian katanya: "'Kenapa kita harus menunggu kabar beritanva disini ?" Tidak mungkin menunggu ucapan tersebut selesai diucapkan, Yan Jit sudah mengejar kedepan. Demi persoalan temannya, siapa saja tak ingin tertinggal dari rekan rekannya lainnya. Layang layang, itu dilepaskan sangat tinggi dan lurus. Yan Jit memperhatikan sekejap arahnya, kemudian berkata: "Tampaknya Iayang layang itu berasal dari tanah pekuburan sana!" Kwik Tay lok mengangguk, “Betul, sewaktu masih kecil dulu aku sering melepaskan layang-layang dari kuburan." Jarak dari perkampungan kaya dan anggun mereka dengan tanah pekuburan itu tidak terlalu jauh, dengan cepatnya mereka sudah sampai ditempat tujuan. Dalam tanah pekuburan itu cuma ada satu orang, dia adalah Lim Tay peng yang berangkat duluan. "Kau menjumpai sesuatu ?" tegur Kwik Tay lok. "Tidak, bayangan setanpun tidak nampak!" Lantas siapa yang menaikkan layang2 itu? Lima buah orang orangan. Kelima buah orang orangan itu semuanya memakai pakaian berkabung, ditangan sebelahnya membawa tongkat kesedihan. Sedangkan benang layang-layang tersebut terikat ditangan yang lain dari orang-orangan, didepan rumah kayu kecil dibawah tebing sana. Dalam rumah kayu itulah mereka menemukan Swan Bwe thong tempo hari . . . . . . . . . Tentu saja orang orangan tak akan bisa menaikan layang-layang. Orang orangan juga, tak akan memakai pakaian berkabung. Lantas siapa yang melakukan kesemuanya itu. Kwik Tay lok berkata saling berpandangan tanpa berbicara, mereka merasa persoalan itu makin lama semakin tidak sederhana. Kata Yan Jit kemudian: "Layang-layang ini belum lama dinaikkan, mungkin orangnya juga belum pergi jauh." "Betu1, mari kita lakukan pencarian keempat penjuru." "Aku rasa mereka pasti berlima, lebih baik, kita jangan sampai terpisah satu lama lainnya. Mereka mengitari tanah berkuburan itu satu kali, dan kemudian sampailah. “Mungkinkah orang yang melepaskan layang layang itu bersembunyi di dalam rumah kayu tersebut ?" Tanpa terasa ketiga orang itu berpikir demikian. Kwik Tay lok yang pertama tama menyerbu ke dalam bangunan rumah tersebut. "Hati hati !" teriak Yan Jit. Baru selesai dia berteriak, Kwik Tay lok sudah menendang pintu dan menerjang masuk ke dalam. Rumah kayu itu masih tetap berupa rumah kayu cuma bentuknya sama sekali telah berubah. Wajan dan tungku yang pernah dipakai Swan Bwe tong untuk menanak nasi tempo hari, kini sudah lenyap tak berbekas, rumah kecil yang sebetulnya kotor dan acak-acakan sekarang telah dibersihkan dari debu, mana rajin nyaman lagi. Di tengah ruangan terdapat meja, di atas meja siap lima pasang sumpit, lima buah cawan arak dan lima bilah pisau kecil yang memancarkan sinar tajam. Pisau itu tipis tapi tajam, tubuhnya berliuk liuk dengan bentuk yang aneh sekali. Kecuali itu, dalam ruangan tersebut sudah tidak ada benda yang lainya lagi. Baru saja Kwik Tay lok memegang gagang pisau itu, Yan Jit telah memburu masuk, serunya sambil mendepak depakan kakinya berulang kali. "Mengapa sih aku selalu gegabah didalam melakukan perbuatan apapun ?" Bagaimana coba seandainya dalam ruangan ada orangnya ? Apakah, kau tidak kuatir dicelakai orang ? "Aku tidak takut !" jawab Kwik Tay lok sambil tertawa. "Kau tidak takut, aku takut !" Baru saja mengucapkan kata itu, mendadak paras mukanya berubah menjadi merah padam, merah sekali. Untung saja orang lain tidak memperhatikannya. Lim Tay peng sebetulnya sedang menyelidiki pisau diatas meja, mendadak katanya: `'Pisau ini dipakai untuk memotong daging !" "Darimana kau bisa tahu !" tanya Kwik Tay lok. "Aku pernah melihat suku Oh diluar perbatasan seringkali memakai pisau semacam ini untuk memotong daging." "Masa mereka adalah suku Oh yang datang dari luar perbatasan?" Lim Tay peng termenung sebentar, kemudian sahutnya: "Mungkin saja demikian, cuma orang suku Oh hanya memakai pisau, tidak memakai sumpit. Mendadak mencorong sinar kaget dan ngeri dari balik mata Yan Jit, serunya tiba tiba: "Disini cuma ada pisau, tiada daging, mereka bermaksud hendak memotong daging siapa?" "Tak mungkin dipakai untuk memocong daging Ong Tiong bukan?" sahut Kwik Tay-lok sambil tertawa. Sekalipun dia sedang tertawa, tapi suara tertawanya kelihatan tidak leluasa. Yan Jit bersin beberapa kali, sekujur badannya menggigil keras, katanya kemudian: "Lebih baik kita cepat cepat pulang, kalau membiarkan Ong lotoa berada dirumah seorang diri, aku . . . . sesungguhnya aku merasa agak kurang lega." Paras muka Kwik Tay lok segera berubah. "Betul !" serunya, "lebih baik kita jangan sampai terkena siasat memancing harimau turun gunung." Teringat sampai kesitu, mereka bertiga menerjang keluar dari ruangan itu. Kemudian dengan mempergunakan gerakan yang paling cepat menyeberangi tanah pekuburan itu. Mendadak Yan Jit berhenti, kemudian serunya tertahan: "Aaaah! Ada yang tidak benar." "Apanya yang tidak benar ?' Dengan wajah memucat sahut Yan Jit "Barusan kelima buah orang orangan, itu masih berada di sini, tapi sekarang . . . ." mendadak Kwik Tay lok merasakan pula hatinya bergidik, bulu kuduknya pada bangun berdiri. Orang orangan yang semula berada disitu kini sudah lenyap tak berbekas. Awan putih melayang di udara dan biru, hari ini cuaca sangat cerah dan baik. Tapi layang layang di angkasa itu kini sudah lenyap tak berbekas. Menggunakan gerakan tubuh ysng paling cepat mereka balik kembali ke rumah, tapi baru sampai di depan pintu, lagi lagi mereka tertegun. Kelima buah orang orangan itu sekarang telah berdiri di depan pintu, mereka masih memakai baju berkabung, membawa tongkat dan segala sesuatunya masih tetap seperti sedia kala, satu satunya yang berbeda adalah diatas dada mereka telah menempel secarik kertas, di atas kertas itu seperti bertulisan beberapa huruf. Tulisan itu sangat kecil dan sukar dilihat jelas. Ketika angin behembus lewat, kertas itu segera berkibar kencang, agaknya dijahit dengan tubuh orang orangan itu. Lim Tay peng yang sampai ditempat tujuan paling dulu, dengan cepat dia menyambar kertas tadi. Ternyata kertas itu dijahit kuat sekali, dia harus menariknya keras keras sebelum berhasil membetotnya. Tapi pada saat itulah, mendadak tongkat ditangan orang orangan itu melejit keudara kemudian menghantam keatas perut Lim Tay- peng keras keras! Untung saja meski pengalaman Lim Tay-peng amat cetek, reaksinya tidak lambat, dia melompat keudara dan menghindarkan diri dari bacokan benda itu. Siapa tahu bersamaan dengan melejitnya tongkat tersebut, setitik cahaya hitam ikut meluncur pula ke depan. Lim Tay peng hanya menghindari ayunan toyanya saja tapi lupa untuk berkelit dari sambitan senjata rahasia tersebut. Tahu tahu dia merasakan lutut kanannya menjadi sakit bagaikan digigit nyamuk, kemudian menjadi kaku dan kesemutan. Menanti tubuhnya melayang balik ke tanah, dia sudah tak mampu berdiri tegak lagi. Dalam waktu singkat, kaki kanannya telah menjadi kaku dan mati rasa, tubuhnya segera roboh terkapar ke atas tanah. "Jarum beracun !" pekik Kwik Tay lok dengan paras muka berubah sangat hebat. Baru dua patah kata dia berbicara, Yan Jit sudah turun tangan secepat sambaran kilat, secara beruntun dia menotok empat buah jalan darah penting disekitar lutut kanan Lim Tay-peng, sementara tangan yang lain mencabut keluar pisau belati dibalik sepatunya. Cahaya pisau berkelebat lawat, pakaian Lim Tay peng sudah robek, kemudian ketika disambar lagi, kulit badan Lim Tay peng yang terluka itu sudah terpapas, darah segera muncrat keluar dengan derasnya. Darah yang bercucuran keluar ternyata darah hitam. Terbelalak lebar sepasang mata Kwik Tay lok menyaksikan ke semuanya itu. Mimpipun dia tidak menyangka kalau gerakan tangan Yan Jit begitu cepatnya sehingga sukar diikuti dengan pandangan mata. "Aku sudah pernah mati tujuh kali !" Hingga sekarang, Kwik Tay lok baru percaya bahwa ucapan dari Yan Jit itu tidak bohong. Hanya orang yang pernah mati sebanyak tujuh kali akan memiliki kecepatan reaksi sehebat itu dan pengalaman seluas itu. Lim Tay peng sudah merasa kesakitan setengah mati, peluh dinginpun telah jatuh bercucuran, tapi dia belum lupa unluk memeriksa kertas di tangannya itu. Sambil menggigit bibir dan napas terengah engah, katanya: "Coba kau lihat tulisan apakah diatas kertas itu ?" Diatas kertas itu tertera beberapa huruf yang kecil dan lembut : `Seandainya kau bukan Ong Tiong, maka kaulah setan sial yang akan menggantikannya untuk mampus!" Angin masih berhembus lewat. Orang-orangan itu bergoyang-goyang terhembus angin, seakan-akan merupakan suatu tantangan bagi mereka. Mendadak Kwik Tay lok naik pitam, tiba-tiba dia mengayunkan tinjunya menghantam orang orangan itu. Tentu saja orang-orangan tak bisa membalas, juga tak bisa menghindarkan diri. Baru saja Kwik Tay lok mengayunkan tinjunya, Yan Jit segera merangkul pinggangnya, tinjunya tak sampai telak bersarang ditubuh orang orangan itu, tapi toh kena juga. Dikala bogem mentahnya mampir didada orang orangan itu, tangannya segera merasa bagaikan digigit nyamuk pula. Seketika itu juga kepalanya terasa gatal sekali, bahkan rada kaku rasanya, setitik warna hitam muncul pada ruas jari tengahnya .......... Ketika Yan Jit mencukil dengan ujung pisaunya, darah berwarna hitam segera jatuh bercucuran. Darah yang mengandung racun, bahkan terendus bau amis yang sangat memuakkan. Tapi Yan Jit tidak takut bau, tidak takut kotor, dengan mulutnya dia hisap keluar semua darah beracun itu. Air mata Kwik Tay lok hampir saja jatuh bercucuran membasahi pipinya. . . .. . . . . . Mendadak dia merasakan bahwa Yan Jit terhadapnya bukan sikap seorang sahabat saja, bahkan semacam hubungan yang lebih dalam dari pada persahabatan, lebih akrab dan hangat dari pada sahabat biasa. Tapi dia sendiripun tak dapat menerangkan perasaan yang bagaimanakah itu. Hingga Yan Jit berdiri, dia masih tidak berbicara apa apa, sepotong kata terima kasihpun tidak. Bukan berarti dia tidak merasa berterima kasih, rasa terima kasihnya waktu itu pada hakekatnya tak bisa dilukiskan dengan kata kata. Yan Jit menghembuskan napas panjang, kemudian pelan pelan berkata: °°Sekarang, bagaimana rasamu ?" Kwik Tay lok tertawa getir. "Aku merasa diriku adalah seorang tolol, seratus persen seorang manusia tolol!" Lim Tay peng menatap mereka terus menerus, mendadak dia menghela napas dan bergumam: "Yaa, kau memang tolol sekali !" Air mukanya jauh lebih menarik dari pada tadi, cuma kakinya sama sekali tak mampu berkutik. Yan Jit sama sekali tidak menghisapkan darah beracun dari mulut lukanya, tapi dia sama sekali tidak bermaksud untuk menggerutu, apa lagi tak senang hati, seakan akan hal tersebut sudah merupakan sesuatu yang wajar. Apakah dia telah melihat sesuatu ? Menemukan sesuatu rahasia yang tak dapat dilihat oleh Kwik Tay lok ? Paras muka Yan Jit tampak agak memerah, tapi dengan cepat dia melengos ke samping, kemudian menggunakan pisaunya mencongkel baju dari orang orangan itu . . . . . . Sekarang Kwik Tay lok baru melihat bahwa seluruh badan orang-orangan itu penuh berisikan jarum-jarum tajam, dibawah teriknya matahari, ujung-ujung jarum itu kelihatan bersinar gelap dan berkilap, sekalipun orang dungu juga tahu kalau setiap batang jarum itu sangat beracun dan mematikan. Tadi, seandainya Yan Jit tidak menariknya, dan bila kepalan tersebut menghajar telak badan orang orangan itu sekalipun jiwanya masih bisa diselamatkan, paling tidak tanugannya juga bakal musnah. . . . Sekarang, tentu saja Lim Tay peng juga mengerti bahwa kertas surat itu merupakan kunci tombol untuk menggerakkan semua alat rahasia dari orang-orangan tersebut, bila kertasnya ditarik maka alat rahasia itupun ber jalan. Dari atas sampai kebawah dari orang-orangan itu ternyata tersembunyi siasat busuk seperti itu, sesungguhnya kejadian ini sama sekali diluar dugaan siapapun. Kwik Tay lok menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa geli: "Sebuah orang orangan ternyata mampu merobohkan dua orang manusia hidup, andaikata kejadian ini tidak kualami sendiri, siapapun yang bercerita aku juga tak akan percaya." "Aaaai, . . . . , . kalau orang orangnya saja sudah sedemikian lihaynya, bukankah itu berarti orang yang membuat orang orangan itu jauh lebih menakutkan lagi ?" "Kalau tidak amat menakutkan, masa Ong lotoa bisa begitu terperanjatnya ?" Paras muka Yan Jit berubah memucat, serunya kemudian: "Sekarang, orang orangannya sudah muncul, entah mereka sendiri sudah datang belum?'~ "Aaaaaaaah ! Mari kita masuk menengok Ong lotoa" teriak Lim Tay peng, "jangan pedulikan aku, tanganku masih dapat bergerak." Kwik Tay lok tidak berkata apa apa, dia hanya memayang tubuhnya dan menyeretnya masuk. Yan Jit telah menyerbu ke dalam sambil berteriak keras: "Ong lotoa . . . Ong Tiong !" Tiada jawaban, tiada suara barang sedikitpun jua. Ong Tiong telah lenyap tak berbekas! Selimut diatas ranjangnya Ong Tiong tidak berada diatas ranjangnya, juga tak ada dalam rumah. Kwik Tay lok sekalian sudah mencarinya dari depan sampai belakang, namun tak berhasil menemukan orangnya. Mereka semua cukup memahami watak Ong Tiong. Persoalan yang bisa membuat Ong Tiong bangun dari ranjangnya sudah tidak banyak, apalagi menyuruhnya pergi sendirian. "Jangan jangan disini telah terjadi suatu peristiwa ? Dan Ong Tiong sudah . . . ." Untuk berpikir lebih jauhpun Kwik Tay lok tidak berani. Lima Tay peng berbaring diatas ranjangnya Ong Tiong, muka yang pucat sudah berubah menjadi merah karena gelisah, teriaknya keras keras: "Aku toh sudah bilang kepada kalian, tak usah urusi aku, cepat mencari Ong lotoa . . ." Kwik Tay lok juga amat gelisah, teriaknya segera keras keras: "Tentu saja harus dicari, tapi kau suruh kami pergi mencarinya ke mana ........” Lim Tay peng tertegun. Dia mencoba untuk menengok ke arah Yan Jit, tapi Yan Jit juga tertegun. Sekarang, dua diantara mereka sudah terluka, tapi siapakah musuhnya hingga kini masih belum diketahui. Malahan setitik cahaya terangpun tidak di temukan. Sekarang, mereka hanya mengetahui akan satu hal. Orang orang itu sudah pasti punya dendam dengan Ong Tiong, bahkan dendam itu lebih dalam dari lautan. Tapi, sekalipun sudah tahu apalah gunanya ? Pada hahekatnya sama halnya dengan tidak tahu. Pada saat itulah mendadak mereka mendengar suara langkah kaki diatas beranda. Langkah kaki itu pelan dan sangat lambat. Hampir saja tersirat darah panas dalam tubuh Kwik Tay lok, jantung mereka serasa berhenti berdetak. Yang datang bukan orang orangan. Orang orangan tak mungkin bisa berjalan. Yan Jit memberi tanda kepada Kwik Tay-lok dengan kerlingan mata, kedua orang itu segera menyelinap ke samping dan bersembunyi dibelakang pintu. Suara langkah kaki itu kian lama kian mendekat, akhirnya berhenti didepan pintu. Yan Jit sudah menyiapkan pisau belatinya yang siap diayunkan setiap saat. Pintu pelan pelan dibuka orang tangan seseorang pun mendorong pintu. Yan Jit membalikkan badannya, secepat kilat pisau belatinya diayunkan ke depan siap membabat urat nadi orang itu. "Tahan!" tiba tiba Lim Tay peng membentak. 00000000000 Bentakan begitu menggelegar, Yan Jit segera menghentikan gerakan tangannya ditengah jalan, mata pisau tinggal setengah inci saja dari urat nadi dipergelangan tangan orang itu. Tapi tangan itu masih tetap tenang, masih melanjutkan gerakannya pelan pelan membuka pintu. Tangan itu seolah olah ! berurat kawat yang terbuat dari baja murni. , . . . . . .. Pintu sudah dibuka, Ong Tiong pelan-pelan berjalan masuk kedalam, tangannya yang lain membawa sebuah guci arak. Mata pisau ditangan Yan Jit masih berkilauan tajam. Lim Tay peng masih berbaring diatas ranjang, siapapun tahu kalau dia sedang menderita luka. Tapi Ong Tiong seolah olah tidak melihat apa apa, wajahnya masih tanpa emosi. Seolah-olah seluruh badan orang ini terbuat dari baja murni. Pelan pelan dia berjalan masuk, pelan-pelan meletakkan araknya diatas meja. Orang pertama yang tuk mampu mengendalikan diri adalah Kwik Tay lok, dengan suara keras dia bertanya: "Kau pergi kemana ?" "Pergi membeli arak !" jawab Ong Tiong hambar. Jawabannya amat santai dan biasa, seakan-akan apa yang dilakukan adalah sesuatu yang wajar. "Pergi membeli arak ?" ternyata dalam keadaan beginipun dia masih sempat meluangkan waktu untuk membeli arak ? Kwik Tay lok memandangnya dengan terbelalak, hampir boleh dibilang ia dibikin tertawa tak bisa, menangispun tak dapat. Sekali tepuk Ong Tiong membuka penutup guci arak tersebut, diendusnya sebentar, kemudian tampaknya ia merasa puas sekali, sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibirnya. "Lumayan juga arak ini, mari kita masing masing meneguk dua cawan arak . . . . . !" "Sekarang aku tak ingin minum!" kata Kwik Tay fok tak tahan. "Tidak inginpun harus minum, pokoknya kalian harus minum arak ini barang dua cawan." "Mengapa?" "Sebab inilah arak perpisahan untuk kalian dengan diriku." "Perpisahan! Kenapa harus memberi salam perpisahan kepada kami?" jerit Kwik Tay lok. "Karena sebentar lagi kalian akan berangkat meninggalkan tempat ini . . . . . " Kwik Tay lok segera melompat bangun, teriaknya keras keras "Siapa yang bilang kalau kami akan pergi ?" "Aku yang bilang." "Tapi kami toh ingin pergi ! teriak Yan Jit. Sambil menarik muka Ong Tiong berkata dengan dingin: "Tidak ingin pergi juga harus pergi, apakah kalian ingin tinggal disini sepanjang hidup?" Yan Jit memandang kearah Kwik Tay lok, Kwik Tay lok segera mengerdipkan matanya, lalu sahutnya sambil tertawa: "Tepat sekali jawabanmu, kami memang ingin berdiam terus disini sepanjang jaman!" "Selama tinggal disini, pernahkah kalian membayar uang sewa?" seru Ong Tiong dengan wajah hijau membesi. "Belum pernah." "Akukah yang suruh kalian pindah kemari ?” "Bukan, kami yang datang sendiri." "Ong Tiong segera tertawa dingin. "Heeehhh . . . . heeehhhh .. .. . . heeehhh .. . . . . kalau memang begitu, atas dasar apa kalian tak mau pergi dari sini?" "Baik, pergi yaa pergi !” tiba tiba Yan Jit berseru. Begitu bilang akan pergi dia lantas pergi, cuma sewaktu lewat dihadapan Kwik Tay dok, dia segera mengerdipkan matanya. Kwik Tay lok memutar biji matanya, lalu berseru pula: "Betul, pergi yaa pergi, apanya yang luar biasa." Ternyata dia bilang pergi lantas pergi, seakan-akan sedetikpun sudala tidak tahan lagi. Lim Tay-peng yang menyaksikan kejadian itu menjadi tertegun, serunya kemudian: "Hei, apakah minum arakpun tidak kalian tunggu ?" "Kalau memang sudah diusir, masa punya muka untuk minum arak lagi . .. . . ?" jawab Kwik Tay lok. Lim Tay peng segera berpaling dan memandang ke arah Ong Tiong. Paras muka Ong Tiong masih sama sekali tidak berperasaan, katanya dengan dingin: "Tidak minum yaa tidak minum, memangnya kalau arak ini disimpan lantas bakal busuk?" "Bagaimana kalau aku tinggal disini saja?" Aku tak mampu berjalan lagi . . . . !" "Tak mampu berjalan memangnya tak bisa merangkak ?" tukas Ong Tiong sambil menarik muka. Lim Tay peng tertegun beberapa saat lamanya, akhirnya dia menghela napas panjang kemudian dengan terpincang pincang turut mereka keluar dari situ. Ong Tiong masih berdiri disitu, memandang mereka dengan pandangan dingin, tubuhnya sama sekali tak berkutik. Lewat beberapa saat kemudian terdengar . . . . . . "Blaam!" entah siapa yang melakukannya, tahu tahu pintu gerbang dibanting keras-keras hingga tertutup. Mendadak Ong Tiong menyambar guci arak dimeja lalu meneguknya tujuh delapan tegukan baru berhenti, kemudian sambil menyeka mulut gumamnya lirih: "Arak bagus, arak wangi, ternyata ada juga manusia yang enggan minum arak wangi seperti ini, kalau bukan orang tolol, apa pula namanya.. Memandang guci arak yang berada di tangannya, sepasang mata yang dingin itu mendadak berubah menjadi merah, seolah olah sstiap saat kemungkinan besar air matanya akan jatuh bercucuran. Tanpa berpaling Yan jit berjalan keluar dari pintu gerbang, tiba-tiba ia berhenti. Kwik Tay lok yang berjalan ke sisinya juga tiba tiba berhenti. Lim Tay peng turun ke luar, "Blaaam !" ia membanting pintu itu keras keras, lalu sambil mendelik ke arah mereka, teriaknya: "Sungguh tak kusangka kalian mengatakan pergi lantas pergi !" Kwik Tay lok memandang ke arah Yan Jit, Yan Jit tidak mengucapkan sepatah katapun, melainkan duduk di undak undakan di luar pintu persis saling berhadapan dengan orang orangan itu. Kwik Tay lok segera duduk pula sambil mengawasi orang orangan itu, kemudian gumamnya: "Setiap tahun tentu ada kejadian aneh, tapi tahun ini paling banyak, bukan saja orang-orangan bisa main layang layang juga pandai membunuh orang, coba katakan aneh tidak ?" "'Aneh !" jawab Lim Tay peng. Dia pun telah duduk, tangannya yang sebelah masih memegangi mulut lukanya kencang-kencang, Sekarang ia sudah memahami maksud Yan Jit dan Kwik Tay lok, maka diapun tidak berkata apa apa lagi. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar suara langkah kaki Ong Tiong pelan-pelan berjalan keluar, menyeberangi halaman dan menuju kepintu gerbang, kemudian memalang pintu itu dari dalam. Mendadak palang pintu itu dicabut kembali, kemudian pintu gerbangpun dibuka lebar-lebar. Ong Tiong berdiri didepan pintu, memandang kearah mereka dengan sepasang mata terbelalak lebar-lebar. Yan Jit, Kwik Tay lok, Lim Tay peng tiga orang rekannya itu duduk diluar pintu seorangpun tak ada yang berpaling. Ong Tiong tak kuasa menahan diri, segera teriaknya keras-keras: "Kenapa kalian belum pergi ? Mau apa kalian duduk disini ?" Tak seorangpun diantara mereka bertiga yang memperdulikan dirinya. Yan Jit hanya melirik sekejap kearah Kwik Tay lok, lalu bertanya: "Melanggar hukumkah jika kita duduk disini ?" "Tidak !" "Yaa, orang orangan saja boleh duduk di sini, kenapa kita tak boleh . . . . . . .?" sambung Lim Tay peng. Dengan suara keras Ong Tiong segera berteriak kembali: "Tempat ini adalah pintu gerbang rumahku, kalau kalian duduk disitu, berarti telah menghalangi jalan pergiku!" Kembali Yan Jit melirik sekejap kearah Kwik Tay lok, lalu katanya: "Orang bilang kita menghalangi jalan lewatnya !” "Kalau begitu mari kite duduk bergeser kesamping, sedikit !" kata Kwik Tay lok. Tiga orang itu segera bangkit berdiri lalu pindah ke seberang sana, dengan duduk berjajar, kali ini mereka duduk menghadap ke pintu gerbang rumah. "Boleh tidak kita duduk di sini ?" tanya Yan Jit kemudian. "Kenapa tidak" sahut Kwik Tay lok, 'tempat ini toh bukan tempat orang, juga tidak menghalangi jalan lewat orang." "Betul '' sambung Lim Tay peng.. "Siapa yang suka duduk di sini, dia boleh duduk seenaknya di sini." "Lagi pula suka duduk berapa lama, dia boleh duduk berapa lama pula." Yan Jit menambahkan. Ong Tiong semakin mendelik ke arah mereka. Tapi ketiga orang itu menengok ke sana ke mari, tak seorangpun yang memandang ke arah Ong Tiong. Dengan suara keras kembali Ong Tiong berteriak: "Kalian mau ada duduk disitu ?° "Mau apa? Apapun tidak kami lakukan, kami cuma ingin duduk duduk saja .. . ... . . " kata Kwik Tay lok. "Yaa, kami senang duduk disini, kamipun duduk disini, tak ada orang yang biasa mengurusi kami." "Tempat ini nyaman sekali." Lim Tay-peng berkata. "Mana nyaman, segar lagi !" Yan Jit menimbrung. "Lagi pula tak bakal ada orang yang aka memungut uang sewa kepada kita" Mendadak Ong Tiong membalikkan badan dan masuk ke dalam, °Blaaam!" ia membanting pintu gerbang dan menutupnya rapat rapat. Yan Jit segera memandang ke arah Kwik Tay lok, Kwik Tay lok memandang kearah Lim Tay peng, lalu ketiga tiganya tertawa tergelak. Walaupun tertawa, namun dibalik tertawa tampak wajah yang murung dan kesal. Matahari telah tenggelam dibalik bukit. Bagaimanapun juga musim semi memang belum waktunya tiba, terang hari masih terlalu pendek. Begitu sang surya sudah tenggelam, cuaca pun berubah menjadi gelap gulita. Bila cuaca mulai gelap, berarti segala sesuatu kemungkinan bakal terjadi, siapa pun tak tahu, siapa pun tak bisa menebak, peristiwa apakah yang bakal terjadi? Diam diam Yan Jit menarik tangan Kwik Tay lok, kemudian tanyanya: "Bagaimana dengan lukamu ?" "Tidak menjadi soal, seperti sediakala, mampu untuk menghajar orang .. .” "Dan kau ?" Yan Jit baru berpaling ke arah Lim Tay peng. "Mulut lukaku secara lamat lamat sudah mulai terasa sakit." Yan Jit segera menghembuskan napas panjang. "Kalau begitu sudah tidak berbahaya lagi." katanya. Jika mulut luka yang terkena sambitan senjata rahasia beracun sudah mulai terasa sakit itu menandakan kalau sari racun sudah mulai bersih dari tubuh. Kwik Tay lok masih kurang lega, maka kembali dia bertanya: "Hebatkah sakitnya ?" Lim Tay peng tertawa: "Masih mendingan, meskipun belum tentu bisa dipakai untuk melompati pagar, tapi masih bisa menghantam orang." "Laparkah kalian ?" tanya Yan Jit lagi. "Saking laparnya sampai ingin menelanmu hidup hidup" "Tapi dikala sedang lapar, kau pun masih mampu untuk menonjok hidung orang, betul bukan ?" 'Tepat sekali !" Dengan cepat cuaca telah menjadi gelap. Sikap dan perasaan ketiga orang itupun makin lama semakin menjadi tegang. Tapi sekarang mereka sudah mempunyai persiapan, siap untuk menghajar orang. Kwik Tay lok mengepal sepasang tinjunya kencang kencang, dengan mata melotot besar serunya: "Sekarang kita boleh dibilang siap sedia secara komplit dan menunggu datangnya angin timur !" "Apakah yang dimaksud angin timur itu?" tak tahan Lim Tay peng bertanya. "Angin timur adalah orang yang hendak kita tonjok hidungnya !° Pada saat itulah, dia telah menyaksikan seseorang. Seorang yang membopong seguci arak. Tiba tiba pintu gerbang terbuka lagi, sambil membopong guci arak Ong Tiong berjalan keluar. Kali ini diapun memperdulikan mereka, sebaliknya duduk diatas undak undakan pintu gerbangnya. Empat orang duduk saling berhadapan, siapapun tak ada yang mulai berbicara. Orang pertama yang tak kuasa menahan diri tentu saja masih tetap Kwik Tay lok adanya. Dia menghela napas panjang, kemudian bergumam: "Aku masih ingat, agaknya tadi ada orang yang hendak mengundang kami minum arak." Ong Tiong tidak menjawab, juga tidak memandang kearahnya, tiba tiba guci arak itu digelindingkan kehadapannya. Bila kau melemparkan sesuatu benda ke arah Kwik Tay lok, mungkin saja ia tak mampu untuk menerimanya, tapi kalau guci arak......... Bila guci arak yang dilemparkan kepadanya, sekalipun selagi tidur, ia juga sanggup untuk menerimanya. Dalam waktu singkat ia sudah meneguk beberapa tegukan diberikan kepada Yan Jit, Yan Jit meneguk kemudian diserahkan kepada Lim Tay peng. Mendadak Ong Tiong berkata: "Orang yang sudah terluka masih ingin minum arak, itu berarti dia sudah bosan hidup. "Siapa bilang aku terluka? Aku tidak lebih cuma terpagut oleh binatang kecil." "Binatang apa?" tak tahan Ong Tiong kembali bertanya. "Seekor kelabang kecil !" Mendadak Ong Tiong merebut ke depan dan merampas guci arak itu kemudian dengan wajah hijau membesi serunya: "Sebenarnya kalian hendak duduk sampai kapan disini ?" Kwik Tay lok tidak sabar, teriaknya: "Duduk sampai ada orang yang datang mencarimu." "Siapa bilang ada orang hendak mencari ku ?” "Aku!" "Dari mana kau bisa tahu ?" "Orang orangan itu yang memberitahukan kepadaku." Diliriknya Ong Tiong sekejap dengan ekor matanya, kemudian melanjutkan sambil tertawa: "Orang orangan ini selain bisa main layang layang, juga pandai berbicara, coba kau kata kan lucu tidak?" Mendadak paras muka Ong Tiong berubah hebat, pelan pelan ia mundur kembali ke undak undakan batu didepan pintu gerbangnya. Suasana disekeliling tempat itu amat sunyi, hanya arak dalam guci yang masih kedengaran berbunyi. Tiba tiba Yan Jit berkata: "Hei, coba dengar ! Arak didalam guci pun pandai berbicara, sudah kalian dengar belum?" "Apa yang dia katakan!" tanya kwik Tay lok. "Dia bilang ada tangan seseorang sedang gemetar, bahkan gemetar sampai kepalanya ikut pusing." Mendadak Ong Tiong melompat bangun lalu mendelik kearahnya. Tapi ia tidak ambil perduli, menengok ke arah Ong Tiong pun tidak. Mereka bertiga masih celingukan kesana kemari, memandang ke semua tempat kecuali kearah Ong Tiong. Mendadak meluncur datang setitik cahaya api dan tepat menghajar telak diatas tubuh orang orangan yang pertama. "Bluuuummm . . . . !" orang-orangan itu segera terbakar hebat. Dibalik cahaya api yang menjilat jilat tampak warna hijau yang membawa bau aneh tersiar ke mana mana. Paras muka Ong Tiong segera berubah hebat, teriaknya tiba tiba : "Cepat mundur, mundur ke dalam rumah" Dia melemparkan guci arak itu ke arah Kwik Tay lok, kemudian membalikkan badan membopong Lim Tay peng dan menyerbu masuk ke dalam pintu gerbang. Ong Tiong akhirnya bergerak juga. Bila sedang tidak bergerak ia tampak malas, tapi begitu bergerak ternyata jauh lebih cepat dari siapapun. Kwik Tay lok juga bergerak, dia letakkan dulu guci arak itu kemudian baru bergerak. Karena dia tidak mundur ke arah rumah, sebaliknya menerjang ke arah mana berasalnya cahaya api itu. Begitu dia menubruk ke sana, tentu saja Yan Jit juga mengikuti dibelakangnya. 0ng Tiong segera berteriak keras: "Cepat mundur kembali, tempat itu tak boleh didatangi ?" Kwik Tay lok tidak menggubris, seakan-akan secara tiba tiba berubah menjadi orang tuli. Ia tidak mendengar, .tentu saja Yan Jit juga tidak mendengar. Lim Tay peng segera menghela napas panjang, katanya: "Orang ini tampaknya paling suka pergi ketempat yang tak boleh dikunjungi, sekarang apakah kau masih belum paham dengan penyakitnya itu . . . . . . . . . .” Jika sebuah gedung, rumah bisa disebut orang sebagai "°perkampungan," paling tidak dia harus mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi dulu“ Rumah itu pasti tidak terlampau kecil. Sekalipun rumah itu tidak didirikan di atas bukit, paling tidak harus berada di kaki gunung. Diluar gedung tersebut, besar atau kecil harus terdapat sebidang hutan yang rimbun. Meskipun Hok kui san ceng sedikitpun tidak kaya raya, paling tidak masih termasuk juga sebuah °san ceng" (perkampungan). Oleh karena itu, diluar gedung juga terdapat sebuah hutan, dari hutan itulah cahaya api tadi dibidikan. Dengan suara dalam Kwik Tay lok, berseru: "Apakah titik api itu dibidikan dari belakang pohon tersebut?" "Aku tidak melihat jelas" jawab Yan Jit "dan kau ?" "Aku juga tidak terlalu jelas." Cuaca memang sudah gelap, hutan itu tampak lebih gelap lagi, tidak nampak bayangan manusia, juga tidak kedengaran sedikit suarapun. Kembali Yan Jit berkata: "Aku rasa lebih baik kita kembali dulu untuk merundingkan persoalan ini dengan Ong lotoa." "Orang lain enggan berunding dengan kita, mau apa kita berunding dengannya ? Berunding soal kentut ?" Jika ia sudah mulai mengeluarkan kata-kata kotor, itu menandakan kalau hawa amarahnya sudah mulai berkobar. "Bila bertemu hutan jangan masuk. Apakah peraturan dunia persilatan inipun tidak kau pahami ?" . "Aku tidak paham. Aku memangnya bukan jago kawakan, segala macam peraturan dunia persilan tak sebuahpun yang kupahami.” Mendadak tubuhnya menerjang kedepan, langsung menerjang masuk kedalam hutan. . Dari dalam hutan itu seakan akan ada cahaya tajam yang berkilauan. Sebelum mata Kwik Tay lok melihat jelas, tubuhnya sudah menerjang ke dalam. Kemudian diapun menyaksikan sebilah pisau. Sebilah pisau untuk memotong daging. Pisau itu menancap di atas pohon, memantek secarik kertas. Di atas kertas itu tentu saja ada tulisannya, tapi tulisan itu lembut sekali, sekalipun berada ditengah hari yang terang benderang juga belum tentu bisa melihatnya dengan jelas. Baru saja Kwik Tay lok hendak mencabut pisau itu, Yan Jit telah menariknya. Dengan wajah pucat pias Yan Jit melotot sekejap ke arahnya, kemudian menegur: "Kau toh sudah tertipu satu kali, apakah sekarang ingin tertipu untuk kedua kalinya ?" Dia gelisah dan jengkel, sebaliknya Kwik Tay lok malah tertawa tergelak: °`Hei, apa yang kau tertawakan ?" Yan Jit segera menegur. `Aku sedang mentertawakan kau !” “Tertawa kentutmu'!" Jika dia sudah turut sertakan kata kotor dalam makiannya, itu menandakan kalau ia sudah jengkelnya setengah mati. Kwik Tay lok tidak tertawa lagi, katanya dengan bersungguh sungguh: "Sekalipun mereka masih menginginkan aku tertipu, pasti cara lain yang lebih segar yang akan dipakai, kenapa musti mengulangi lagi dengan cara itu, memangnya mereka anggap aku ini seorang bego yang tololnya bukan kepalang ?" "Kau anggap kamu ini bukan bego ?" teriak Yan Jit sambil menarik mukanya. Kwik Tay lok menghela napas panjang lalu tertawa getir. "Baik!" katanya, "kau suruh aku tidak turun tangan, akupun tak akan turun tangan, tapi maju mendekat toh tidak menjadi soal bukan ?" Ternyata ia benar benar menggendong tangan sambil maju kedepan. Tangan tidak bergerak, kalau cuma memandang dengan mata tentunya tak menjadi soal. Tapi huruf diatas kertas itu benar-benar terlalu kecil, mau tak mau terpaksa dia harus maju lagi lebih mendekat, AKHIRNYA SECARA lamat-lamat dia dapat membaca juga tulisan yang tercantum di atas kertas itu. "Hati-hati kakimu . . . " Ketika membaca tulisan itu, kakinya menjadi kehilangan keseimbangan dan segera ter­jerumus ke bawah. Ternyata di bawah sana terpasang sebuah perangkap. "Hati-hati . . . ." teriak Yan Jit. Ditengah bentakan, dia sudah menerjang, ke muka dan menarik tangan Kwik Tay-lok. Mendapat tarikan, Kwik Tay-lok segera me­mentalkan tubuhnya ke udara dan melompat ke atas. Ilmu dalamnya meringankan tubuh yang dimilikinya tidak terhitung lemah, lompatan­nya itu sangat tinggi. Sayangnya sekali, semakin tinggi dia me­lompat, semakin ruyamlah keadaannya. "Kraaakkk. . . . . . !" tiba-tiba dari balik daun berkumandang suara keras, tiba-tiba se­buah jaring besar terjatuh dari atas. Sungguh sebuah jaring yang besar sekali. Sekalipun Kwik Tay-lok punya sayap dan bisa terbang seperti burung, juga jangan harap bisa menghindarkan diri dari sergapan tersebut. Apalagi tubuhnya sedang melompat ke tengah udara, seakan-akan tubuhnya se­dang menyongsong datangnya jaring terse­but, mau menghindar ke arah manapun tak sempat lagi. Bukan dia saja yang tak bisa menghindar, Yan Jit sendiripun tak dapat menghindarkan diri. Tampaknya kedua orang itu segera akan terkurung oleh jaring besar itu . . . . Mendadak sesosok bayangan hitam me­luncur lewat seperti peluru yang ditembak­kan oleh meriam, kecepatannya hampir su­kar dilu­kiskan dengan kata-kata. Bayangan hitam itu menyambar lewat dari atas kepala mereka, tangannya dengan cekatan menyambar jaring tadi. Bayangan hitam itu bukan peluru kanon, melainkan manusia. Dia adalah Lim Tay-peng ! Setelah menyambar jaring itu, tubuh Lim Tay-peng masih meluncur ke depan sejauh dua tiga kaki lebih ke depan sebelum akhirnya ge­rakan itu melamban. Sementara itu Kwik Tay-lok dan Yan Jit sudah mengundurkan diri keluar dari hutan itu, tampak Lim Tay-peng masih bergelan­tung di atas pohon dengan tangan yang satu memegang dahan, tangan lain memegang jala, tubuhnya berayunan kesana kemari. Jantung Kwik Tay-lok masih berdebar keras, tak tahan lagi dia menghela napas panjang, lalu katanya sambil tertawa getir: "Kali ini, seandainya bukan kau, aku benar-benar sudah menghantarkan diri ke dalam jaring." "Kau tak usah berterima kasih kepadaku!" kata Lim Tay-peng sambil tertawa. "Kalau tidak berterima kasih kepadamu, lantas harus berterima kasih kepada siapa?" "Berterima kasih saja kepada orang yang berada di belakangmu." Ketika Kwik Tay-lok membalikkan badannya, dia baru melihat Ong Tiong de­ngan wajah hijau membesi sedang berdiri di belakang. Sambil tertawa kembali Lim Tay-peng berkata: "Sedari tadi toh sudah kukatakan, aku su­dah tak mampu untuk melompati tembok lagi" "Lantas tadi . . ." "Tadi, Ong lotoalah yang melemparkan tubuhku dengan kekuatan yang hebat, kalau tidak masa bisa secepat itu gerakan tubuh­ku?" Di dunia ini memang tak akan ada orang yang memiliki gerakan tubuh sedemikian cepatnya, andaikata tidak meminjam daya lemparan dari Ong Tiong, siapapun mustahil bisa memi­liki gerakan tubuh sedemikian ce­patnya. Kwik Tay-lok melirik sekejap ke arah Ong Tiong, lalu katanya sambil tertawa paksa: "Tampaknya tenaga lemparan yang dimi­liki Ong lotoa memang hebat juga . ... . !" "Tapi Ong lotoa justru mengagumimu." ucap Lim Tay-peng. "Mengagumi aku ?" "Meski tenaga lemparannya besar, nyalimu jauh lebih besar." kontan Kwik Tay-lok melotot sekejap ke arahnya sambil mengomel: "Apakah kau harus menirukan seekor mo­nyet, berbicara sambil bergelantungan di atas pohon ?" "Sebetulnya sedari tadi aku sudah pingin turun," jawab Lim Tay-peng sambil tertawa: sayang kakiku memang tidak penurut." Ong Tiong tidak berbicara apa-apa selama ini, demikian pula Yan Jit . . . . . . . . Kedua orang itu sedang mengawasi Kwik Tay-lok dengan mata mendelik. Kwik Tay-1ok cuma bisa tertawa getir sambil berkata: "Tampaknya, bukan cuma tiada perbuatan yang berhasil kulakukan hari ini, bahkan berbicarapun tak ada yang benar." Saat itulah Yan Jit baru menghela napas. "Aaaai. . . . . ! Baru kali ini perkataanmu itu benar," katanya. Cahaya lampu menyinari dalam ruangan. Di atas meja, selain terdapat lampu, ma­sih ada lagi secarik kertas, sebilah pisau dan se­guci arak. Karena pada akhirnya Kwik Tay-lok tak tahan juga untuk mencabut keluar pisau itu dari atas pohon, tentu saja dia tak lupa un­tuk membawa pulang seguci arak itu. Meski potongan badan orang ini tidak mirip kerbau, wataknya justru watak ker­bau. Dia malah kelihatan berbangga hati, ujarnya sambil tertawa: '°Aku toh sudah bilang, mencabut pisau itu tidak ada pengaruhnya, aku sudah tahu bahwa permainan yang mereka persiapkan kali ini sudah pasti adalah suatu permainan baru, coba lihatlah, bukankah permainan ini termasuk suatu permainan baru?" "Barunya sih memang baru, tapi ikan yang masuk jaringpun lebih baru dan se­gar." sam­bung Yan Jit dingin. Dia mengambil pisau di meja itu dan melanjutkan: "Sekarang aku baru tahu, pisau ini sebe­tulnya dipersiapkan untuk memotong daging apa." "Apakah untuk memotong daging ikan ?" tanya Kwik Tay-lok kemudian dengan cepat. "Akhirnya betul juga jawabanmu itu." 'Kalau begitu, lebih baik aku menjadi se­ekor ikan yang mabuk saja, biar kalau di po­tong tidak terasa sakit." Dia lantas mengangkat guci arak itu siap untuk diminum, gumamnya kembali : °'Udang mabuk konon merupakan hida­ngan yang terlezat dari wilayah Kanglam, aku rasa ikan mabuk pasti sedap pula rasanya." Tapi arak itu belum sempat diteguk olehnya, sebab secara tiba-tiba Ong Tiong merampas guci araknya itu. Kwik Tay-lok menjadi tertegun, lalu seru­nya: "Eeeh . . . . sejak kapan kau berubah menjadi seorang setan arak seperti aku ?" " Arak ini tak boleh diminum !" ucap Ong Tiong. "Tadi saja masih bisa diminum, mengapa sekarang tak boleh diminum ?" "Sebab tadi adalah tadi dan sekarang adalah sekarang" Yan Jit memutar sepasang biji matanya, lalu berkata: "Tadi guci arak ini kau letakkan dimana?" "Di depan pintu!" jawab Kwik Tay-lok. "Tadi kita semua berada didalam hutan, apakah di depan pintu tiada orang lain?" "Yaaa tak ada !" "Itulah sebabnya arak itu tak boleh dimi­num sekarang" "Masa baru pergi sejenak, sudah ada orang yang meracuni arak kita itu ?" "Jangan kau bilang kepergian kita tadi cuma sebentar, saat seperti itu sudah cukup buat orang lain untuk meracuni delapan puluh guci arak!” "Aaah. Kalian jangan menakut-nakuti aku, jangan kau lukiskan mereka itu menakutkan sekali, memangnya mereka benar-benar bisa menerobos masuk tanpa lubang dan tak pernah melewatkan setiap kesempatan yang bisa dipa­kai untuk mencelakai orang. Ong Tiong tidak berbicara, tiba-tiba dia melangkah keluar pintu dan membanting guci itu keras-keras. Guci itu seketika hancur berantakan, arak­pun mengalir membasahi seluruh tanah. Kwik Tay-lok segera menghela napas pan­jang, gumamnya: "Sayang, benar-benar amat . . . . " Tiba-tiba suaranya terhenti sampai sepa­ruh jalan, orangnya juga mendadak ikut tertegun. Seekor ular yang kecil, kecil sekali se­dang merambat keluar dengan pelan sekali dari balik hancuran guci arak tersebut. Ular itu bukan cuma kecilnya bukan ke­palang, tapi semakin kecil tubuhnya, konon semakin berbisa pula. Paras muka Kwik Tay-lok berubah hebat tak tahan lagi dia menghela napas panjang, gumamnya: "Tampaknya orang-orang itu betul-betul sudah menerobos masuk melalui setiap lubang yang ada !" "Yaa, itulah ular bergaris merah yang bisa masuk melalui setiap lubang yang ada!" seru Yan Jit secara tiba-tiba. Dengan terkejut dia memandang ke arah Ong Tiong, kemudian ujarnya kembali: "Betulkah ular itu adalah ular bergaris merah yang disebut Bu-khong-put-ji ?" Dengan wajah hijau membesi pelan-pelan Ong Tiong membalikkan tubuhnya lalu ber­ja­lan, kembali ke ruangan dan duduk di bawah sinar lentera. Kali ini, ternyata ia tidak membaringkan diri. Kembali Yan Jit menghampirinya sambil bertanya: "Apakah dia. .? Sebenarnya benarkah dia?" Kembali Ong Tiong termenung sampai lama sekali, tapi akhirnya dia mengangguk juga. Yan Jit segera menghembuskan napas panjang, selangkah demi selangkah ia mun­dur ke belakang, tiba-tiba diapun memba­ringkan diri. Kali ini dia membaringkan diri di atas ranjang. Kwik Tay-lok segera menghampirinya sambil bertanya: "Apa sih yang dimaksudkan dengan Bu­-khong-put-ji tersebut ?" "Dia adalah seorang manusia !" Bukan saja keadaan Yan Jit saat ini su­dah lemas sekali, bahkan tenaga untuk berbi­carapun sudah tidak dimiliki. "Manusia macam apakah dia ? Kau kenal dengan orang itu ?" tanya Kwik Tay-lok lagi. Yan Jit tertawa getir. "Seandainya aku kenal dia, aneh namanya kalau aku masih bisa hidup sampai sekarang." Tiba-tiba dia melompat bangun dan me­nerjang kehadapan Ong Tiong, setelah itu serunya: "Tapi kau, sudah pasti kau mengenalnya!" Ong Tiong termenung lagi beberapa saat lamanya, kemudian ia berkata sambil ter­tawa: "Sekarang, aku toh masih hidup !" "Aaaai . . . . . . . orang yang mengenali di­rinya, ternyata masih bisa hidup dengan se­gar bugar, memang kejadian ini merupakan suatu kenyataan yang tidak mudah." Pelan-pelan senyuman di wajah Ong Tiong lenyap tak berbekas, kemudian iapun menghela napas panjang. "Yaa, memang tidak mudah !" sahutnya. Hampir berteriak keras Kwik Tay-lok ka­rena tak sabar, serunya dengan lantang: "Sebenarnya kalian sedang membicarakan soal manusia ? Atau soal ular ?" "Manusia !" jawab Yan Jit. "Apakah orang itu bernama ular bergaris merah ?” "Yaa, lagi pula Bu-khong-put-ji, artinya: kau mempunyai setitik keteledoran saja maka dia akan segera meracunimu sampai mampus." "Setitik keteledoran ? Setiap orang tak akan terhindar untuk membuat sedikit keteledoran." "Aaai . . . itulah sebabnya andaikata dia hendak meracunimu, maka hanya ada satu jalan saja bagimu." "Jalan yang mana ?" "Mati diracuni olehnya !" Tanpa terasa Kwik Tay lok menghembus­kan napas dingin, serunya: "Kalau begitu permainan busuk yang di­pakai untuk mencelakai orang tadipun me­rupakan bagian dari permainan busuknya?" "Meskipun kepandaian meracuni orang yang dimiliki orang itu sudah mencapai ting­katan yang tak terhingga di dunia ini, tapi ke­pandaian yang lain masih belum seberapa hebat." "Kalau begitu, akupun bisa berlega hati" kata Kwik Tay-lok sambil menghembuskam napas lega. "Sayang, kecuali dia masih ada orang lain lagi." "Siapa ? " "Jian jiu-jian-hu-kong-sin (Dewa kelabang bertangan seribu bermata seribu) !" "Bertangan seribu bermata seribu ?" "Maksudnya orang ini mampu melepaskan sambitan senjata rahasia yang bagaimana gencarpun sehingga seakan-akan dia mem­punyai seribu buah tangan dan seribu buah mata, ko­non seluruh bagian tubuhnya pe­nuh berisikan senjata rahasia, bahkan dari hidungnyapun da­pat mengeluarkan senjata rahasia" Kwik Tay-lok, mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, tiba-tiba katanya sambil ter­tawa: "Bagus sekali, asal aku bisa berjumpa dengan orang ini, maka hidungnya pasti akan kuhajar dulu sampai pesek" "Tapi bila kau berjumpa dengan Ciu-ku-ciu-lam-ang-nio-cu (perempuan berbaju merah yang menolong kesulitan dan menolong pende­ritaan orang), sudah pasti pukulanmu itu tak akan tega kau lepaskan." "Perempuan baju merah yang menolong kesulitan dan penderitaan orang ? Kalau dide­ngar dari namanya sih tampaknya se­orang ma­nusia baik-baik . . .. ... . ." "Dia memang orang baik, tahu kalau ke­banyakan orang di dunia ini hidup dalam kesu­litan dan penderitaan, oleh sebab itu dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membantu mereka cepat-cepat memperoleh pelepasan." "Aaaai. . . . . . . kalau kudengar dari per­kataanmu itu, tampaknya dia seperti orang jahat." "Sekalipun kau memilih didalam delapan ratus laksa orang, belum tentu dapat kau jum­pai seorang manusia baik seperti dia." "Apakah dia memiliki kepandaian khusus?" Sambil menarik muka dan bernada dingin, sahut Yan Jit: "Soal kepandaiannya, lebih baik kau tak usah tahu." "Apakah dia adalah seorang perempuan yang cantik jelita ?" "Sekalipun benar, sekarang juga telah menjadi seorang nenek tua, seorang nenek yang cantik." "Ia sudah berusia enam-tujuh puluh tahu­nan ?” "Belum." "Lima-enam puluh tahunan ?" "Agaknya belum sampai !" "Kurang lima empat puluh tahunan ?” "Mungkin sudah mencapai!" Kwik Tay-lok segera tertawa, "Saat itu merupakan saat orang menjadi muda untuk kedua kalinya, mana bisa dianggap sebagai seorang nenek ?" Yan Jit melotot sekejap ke arahnya, lalu berseru: "Usianya sudah tidak muda, apa pula hubungannya dengan dirimu ? Apa yang kau gi­rangkan ?" "Kapan sih aku merasa gembira ?" "Kalau tidak gembira, kenapa tertawamu macam anjing mendapat tulang ?" "Karena aku memang seekor anjing" Sekali lagi Yan Jit melotot sekejap ke arahnya, kemudian tak tahan dia tertawa gelak sendiri. Menggunakan kesempatan itu Kwik Tay lok segera bertanya lagi: "Kalau kudengar dari perkataanmu tadi, kepandaian yang dia miliki itu sudah pasti khusus dipakai untuk menghadapi kaum le­laki, bukan begitu ?" Sekali lagi Yan Jit menarik mukanya. "Aku sendiripun tak tahu kepandaian apakah yang dia miliki, aku cuma tahu tidak sedikit orang lelaki yang mampus di tangan­nya." Selama ini Lim Tay-peng hanya bersandar di kursi sambil beristirahat, tiba-tiba sela­nya: "Mungkinkah orang-orangan itu hasil biki­nannya?" "Bukan !" jawab Yan Jit. "Kalau bukan dia, lantas siapa ?" "Sudah pasti It-kian-son-tiong-cui-mia-hu (Lencana pembetot sukma yang bertemu orang lantas mengantar jenasah) !" "Cui-mia-hu ?" ulang Lim Tay-peng de­ngan kening berkerut. "Bukan saja orang ini mempunyai akal busuk yang tak terhitung jumlahnya, lagi pula dia memiliki sepasang tangan yang pandai sekali membuat kerajinan tangan, pandai menyaru, pandai membuat alat pe­rangkap, alat jebakan dan lihay sekali dalam melepaskan senjata ra­hasia serta membuat senjata aneh, pokoknya orang ini hebat sekali. Berkilauan sepasang mata Kwik Tay-lok setelah mendengar perkataan itu tiba-tiba gu­mamnya: "Aku mengerti sekarang. . . . . . Aku mengerti. . . . ." "Apa yang kau pahami ?" "Seekor ular, seekor kelabang, seekor kalajengking dan sebuah lencana pembetot suk­ma, sekarang yang masih kurang adalah seekor burung elang . . . ." Tiba-tiba Lim Tay-peng menimbrung: "Sewaktu aku masuk ke hutan bersama Ong lotoa tadi, aku seperti menyaksikan ada sesosok bayangan manusia sedang mela­yang turun dari atas jaring tersebut ke atas dahan pohon yang lain." "Jaring itu sudah barang tentu tak mung­kin bisa melayang sendiri dari atas pohon, tentu saja di atas pohon ada orangnya." Seru Yan Jit. "Kemana perginya orang itu ?" tanya Kwik Tay-lok. Lim Tay-peng segera-tertawa getir. "Waktu itu aku sedang dilemparkan Ong Lo-toa ke atas pohon, dalam keadaan be­gitu, aku mana sempat untuk menggubris orang lain lagi? Apalagi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu lihay sekali, pada hakekatnya seperti seekor burung elang saja !" "It-hui-ciong-thian-pah-ong-heng ( Raja elang sakti yang terbang menembusi ang­kasa)!" "Yaa betul, lima buah layang-layang de­ngan lima orang manusia, akhirnya komplit juga sekarang !" seru Kwik Tay-lok sambil bertepuk tangan. "Diantara kelima orang ini, bukan saja ilmu meringankan tubuh dari Pah-ong-heng yang terhitung tinggi, konon ilmu silat yang dimilikinya pun termasuk paling lihay." "Menurut penglihatanku, diantara kelima orang itu, yang paling sukar dihadapi adalah si perempuan baju merah yang suka menolong kesulitan dan penderitaan orang itu." "Kenapa ?" "Karena kita semua adalah orang lelaki." "Jika seorang lelaki tidak suka bermain perempuan, sekalipun dia memiliki kepan­daian sejagadpun tak akan mampu diguna­kan." de­ngus Yan Jit dingin. "Aaai . . . . . tapi lelaki manakah di dunia ini yang tidak suka akan kecantikan wajah se­orang perempuan ?" Selama ini Ong Tiong cuma duduk di situ dengan wajah serius, dia tidak berbicara, tidak pula bergerak. Bila dapat tidak bergerak, dia tak akan sembarangan bergerak. Yan Jit mengambil sebuah bangku dan duduk tepat di hadapannya, lalu berkata: "Kau telah melihat layang-layang itu, kau tentu tahu bukan siapa-siapa saja yang te­lah datang mencari gara-gara denganmu?" Kwik Tay-lok memindahkan pula sebuah bangku di hadapannya, lalu berkata pula: "Oleh sebab itu kau mengusir kami pergi, karena kau tahu bilamana kelima orang itu sudah muncul di sesuatu tempat, maka mereka akan mengobrak-abrik tempat tersebut." "Kau tak ingin menarik kami tercebur di dalam air keruh ini, maka kau baru beru­saha untuk mengusir kami pergi dari sini." "Tapi, tahukah kau bahwa kami telah ber­siap-siap untuk terjun pula ke dalam air keruh itu ?" "Yaa, sejak kami kenal denganmu, kami telah bertekad untuk selalu berada bersa­mamu." "Karena kami adalah temanmu " "Maka entah kemanapun kau pergi, kami pasti ada di situ!" "Maka dari itu, bila kau ingin mengusir kami sekarang, keadaan sudah terlambat!" Ong Tiong memandang kedua orang itu secara bergantian, dia belum juga berkata apa-apa. Dia tahu, sekarang ia sudah tak perlu ber­kata apa-apa lagi. Dia kuatir bila sampai buka mulut maka air matanya akan jatuh bercucuran. Teman ! Kata-kata itu memang amat sederhana, tapi tahukah kalian bahwa dibalik keseder­hanaan itu justru tersimpan sesuatu yang agung? Ong Tiong telah mengepal sepasang ta­ngannya kencang-kencang, lalu sepatah demi sepa­tah katanya: "Kalian memang benar-benar merupakan sahabat karibku !" Walau cuma satu kalimat, namun itu su­dah lebih dari cukup. Asal kau benar-benar dapat memahami makna yang sebenarnya dari ucapan terse­but, maka kau tak usah berkata apa-apa lagi. Yan Jit tertawa, Lim Tay peng juga ter­tawa. Kwik Tay-lok menggenggam tangan Ong Tiong erat-erat. Asal mereka dapat mendengar, ucapan tersebut, hati mereka sudah merasa amat puas. Mereka tidak bertanya apa sebabnya Ong Tiong bisa bermusuhan dengan kelima orang itu, juga tidak menanyakan darimana datangnya kesulitan tersebut. Selama Ong Tiong tidak mengatakannya, merekapun tak akan bertanya.. Sekarang, satu-satunya persoalan dida­lam hati mereka adalah: "Bagaimana caranya untuk menghilang­kan kesulitan tersebut ?' "Begitu melihat munculnya kelima buah layang-layang tersebut, aku sudah tahu kalau kesulitan telah datang" ujar Yan Jit. "Layang-layang itu sesungguhnya me­mang merupakan suatu peringatan." Ong Tiong menerangkan. "Kalau toh mereka bermaksud untuk mencari gara-gara denganmu, apa sebabnya mereka memberi peringatan lebih dulu agar kau mem­buat persiapan-persiapan ?" "Sebab, mereka tidak menghendaki kema­tianku yang terlampau cepat !" Dengan wajah membesi, pelan-pelan terusnya: "Karena mereka tahu betapa hebatnya penderitaan seorang dalam menantikan saat ti­banya kematian, sebab penderitaan dan siksaan semacam itu beratus-ratus kali lipat lebih he­bat daripada siksaan serta penderi­taan macam apapun” Yan Jit segera menghela napas panjang. "Aaai .... tampaknya kesulitan yang kau hadapi sekarang benar-benar bukan suatu kesulitan yang kecil." "Yaa, memang tidak kecil." Mendadak Kwik Tay-lok tertawa, katanya: "Cuma sayang mereka toh masih salah menghitung sesuatu." "Oooooh .........” "Meskipun mereka terdiri dari lima orang kamipun berempat, kenapa kita musti ta­kut? Kenapa kita musti menderita ?' "Tapi paling tidak mereka lebih untung dalam posisi dari pada kita....." "Maksudmu ?" "Serangan yang terang-terangan mudah dihindari, serangan yang bersembunyi susah dihadapi, tentunya kau mengerti bukan apa maksudnya.” "Aku mengerti, tapi aku tidak takut." "Apa yang kau takuti ?" seru Yan Jit de­ngan mata melotot. "Takut padamu !" Tak tahan Yan Jit tertawa geli, tapi de­ngan cepat dia menarik muka kembali sam­bil melengos. Padahal diapun memahami perkataan dari Kwik Tay-lok, sebab dia sendiripun demi-kian. Manusia macam mereka hanya takut kalau orang lain baik kepada mereka, takut kalau di bikin terharu oleh orang lain. Andaikata membuat mereka terharu, sekalipun mereka disuruh memenggal batok kepalanya untuk diberikan kepadamu pun, mereka tak akan mengerutkan dahi. Kembali Kwik Tay-lok berkata: "Tentara datang kita tahan, air datang kita bendung, manusia-manusia semacam itu­pun bukan manusia yang luar biasa, se­lain mencelakai orang dengan akal busuk dan cara tersembunyi, aku lihat kepandaian sesungguhnya yang mereka miliki terbatas sekali." Setelah berhenti sebentar, terusnya: "Persoalannya sekarang hanyalah, kapan mereka baru akan benar-benar datang ke­mari?" "Entahlah !" ucap Ong Tiong. "Masa kau sendiripun tidak tahu ?" "Aku hanya tahu sebelum mereka meng­hantar keberangkatanku ke alam baka, su­dah pasti orang-orang itu tak pergi dari sini!" Kwik Tay-lok segera tertawa, katanya: "Sekarang, siapa yang akan menghantar keberangkatan siapa masih sukar ditentu­kan, rasanya kitapun tak perlu cepat ber­putus asa!" Disitulah terletak daya tarik Kwi Tay lok.. Dia selalu percaya pada diri sendiri, dia selalu periang, manusia macam ini, sekali­pun menghada­pi langit ambrukpun tak akan bermuram durja, sebab dia beranggapan asal seseorang memiliki keyakinan serta rasa percaya pada diri sendiri, maka kesuli­tan macam apapun dapat diselesaikan. Bukan saja dia memiliki rasa percaya pada diri sendiri, selain itu dia pun berusaha menanamkan rasa percaya pada diri sendiri itu di dalam hati orang lain. Pelan-pelan paras muka Ong Tiong ber­ubah menjadi cerah kembali, tiba-tiba ujarnya: "Walaupun mereka agak menang posisi, tapi akupun mempunyai suatu cara yang baik untuk menghadapi mereka.'' "Apa caramu itu ?" cepat-cepat Kwik Tay lok bertanya. "Tidur !" Kwik Tay-lok agak tertegun, kemudian tertawa geli. "Cara semacam ini mungkin hanya kau seorang yang dapat memikirkannya. . . . ", dia berseru. "Tidak baikkah cara ini ? Itulah yang di­namakan dengan ketenangan kita menanti­kan perubahan." Kwik Tay-lok segera bersorak sambil bertepuk tangan tiada hentinya. "Betul, betul sekali !" serunya, "kalau ingin tidur mari sekarang juga kita pergi tidur, dengan semangat yang segar serta kondisi badan yang lebih baik, kita hadapi cecunguk-­cecunguk itu." "Kalau ingin tidurpun kita harus membagi waktu meronda!" usul Yan Jit dengan cepat. "Betul, aku dan kau menjaga setengah malam pertama, kentongan ketiga nanti Ong lotoa dan Lim Tay-peng baru menggan­tikan kita." "Cara ini kurang baik," tiba-tiba Lim Tay-peng berseru, "lebih baik aku dan kau menjadi satu regu." "Kenapa?" Lim Tay-peng melirik sekejap ke arah Yan Jit, lalu berkata: "Sebab perkataan kamu berdua terlalu banyak, apalagi jika sudah berbincang de­ngan asyik, ada orang masuk ke rumah pun kalian tak akan tahu." Tiba-tiba Yan Jit berjalan keluar, sebab paras mukanya seperti agak memerah se­cara tiba-tiba. "Lebih baik aku satu regu dengan Yan Jit saja." kata Kwik Tay-lok dengan cepat, "justru karena ada teman berbicara, rasa me­ngantuk baru bisa dihilangkan." Di mulut dia berkata demikian, dia sudah melompat keluar dari ruangan itu. Perduli apapun yang diucapkan orang lain pokoknya dia tetap bersikeras menjadi satu dengan Yan Jit. Ia merasa seakan-akan antara dia dengan Yan Jit sudah terikat oleh seutas tali yang tidak nampak. Memandang kedua orang itu sudah keluar dari ruangan, tiba-tiba Lim Tai-peng ter­tawa, lalu gumamnya: "Kadangkala aku betul-betul merasa he­ran, mengapa Siau-kwik bisa begitu tolol­nya." Ong Tiong juga tertawa, sahutnya sambil tersenyum: "Jangan kuatir, dia tak akan terlalu lama berada dalam keadaan bodoh seperti itu." "Padahal aku sangat berharap agar dia bisa lebih lama lagi berada dalam keadaan begini baru terhitung menarik sekali." Suasana di ruang tamu sangat gelap. Setelah masuk ke ruang tamu, Yan Jit segera duduk. Kwik Tay-lok juga masuk ke ruang tamu serta ikut duduk pula. Cahaya bintang memancar masuk lewat jendela dan menyinari wajah Yan Jit, me­nyoroti sepasang mata Yan Jit. Sepasang matanya itu tampak jeli dan bercahaya berkilauan. Kwik Tay-lok duduk disampingnya sam­bil menatap wajahnya lekat-lekat, tiba-tiba katanya sambil tertawa: "Tahukah kau, kadangkala matamu itu persis seperti mata perempuan !" "Bagian mana lagi dari tubuhku yang mirip perempuan?" tegur Yan Jit sambil menarik muka. "Sewaktu tertawa pun kau juga sangat mirip !" "Kalau toh aku mirip perempuan, menga­pa kau masih mengintil terus di belakangku ?" "Sebab bila kau ini perempuan, aku akan lebih getol lagi mengikutimu . . . ." jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa. Tiba-tiba Yan Jit melengos ke arah lain kemudian bangkit berdiri, mencari batu api dan memasang lentera. Tampaknya dia kurang berani untuk du­duk berduaan dengan Kwik Tay-lok ditempat kegelapan. Setelah cahaya lentera bersinar, baya­ngan tubuh merekapun terbias di atas jendela. Mendadak Kwik Tay-lok menarik tubuh­nya, seperti hendak memeluknya. Dengan kaget Yan Jit berseru: "Kau, mau apa kau ?" "Bila kau berdiri di situ, bukankah persis akan menjadi sasaran hidupnya Jian-jiu- jian-gan toa-hu-kong ?" Biji matanya berputar, mendadak sinar ta­jam dari balik matanya, dia lantas bergu­mam: "Yaaa, inilah suatu ide yang bagus sekali . "Huuuh, masa manusia macam kau juga mempunyai ide yang bagus ?" Yan Jit melo­tot sekejap ke arahnya. "Kalau memang si kelabang besar itu suka melukai orang dengan senjata rahasianya, apa salahnya kalau kita mencarikan bebe­rapa buah sasaran hidup baginya?" "Siapa yang hendak kau jadikan sebagai sasaran hidup ?" "Orang-orangan dari rumput jerami itu!" Kemudian lanjutnya lagi: "Mari kita pindahkan orang-orang itu ke­mari dan dudukkan di sini, bila dilihat dari luar jendela, siapa yang akan tahu kalau mereka itu bukan orang sungguhan?" Kening Yan Jit yang semula berkerut de­ngan cepat mengendor kembali. "Si kelabang besar itu pasti cuma melihat bayangan manusia dari luar jendela," kata Kwik Tay-lok, "dia pasti akan merasa gatal tangannya setelah melihat bayangan manu­sia." "Kemudian ?" "Kitapun menunggu di luar, asal tangan­nya mulai gatal, maka kitapun gunakan akal untuk menghadapinya." Yan Jit termenung sebentar, lalu sahutnya hambar: "Kau anggap caramu itu sangat bagus ?" “Sekalipun tidak bagus juga tak ada sa­lahnya untuk dicoba, kita toh tak bisa menunggu saat kematian di sini, bagaima­napun juga tak ada salahnya bila kita guna­kan akal untuk menggoda mereka." "Jangan lupa, orang-orangan jerami itu tak bisa melukainya." "Bagaimanapun juga, orang-orangan dari jerami itu toh benda mati, bagaimanapun juga rasanya jauh lebih muda dihadapi dari pada orang hidup" Yan Jit segera menghela napas panjang. "Baiklah !" katanya kemudian, "untuk kali ini aku akan menuruti perkataanmu, coba lihat saja nanti apakah akalmu itu akan ber­hasil atau tidak." Kwik Tay-lok tertawa. "Akal yang bodoh paling tidak toh jauh le­bih baik dari sama sekali tak punya akal” Bayangan dari orang-orangan dari jerami masih terhias di atas jendela, dilihat dari luar memang mirip sekali dengan orang sungguhan. Sebab, bukan saja orang-orangan itu me­makai baju, juga memakai topi. Malam sudah semakin kelam, angin yang berhembus lewat membawa udara yang dingin yang menyayat badan. Walaupun Kwik Tay-lok dan Yan Jit telah menyembunyikan diri dibalik wuwungan rumah yang terhindar dari hembusan angin, namun masih terasa kedinginan sampai menggigil ba­dannya. Mendadak Yan Jit berkata: "Sekarang kalau ada sedikit arak untuk diminum, sudah barang tentu kita tak akan kedinginan seperti ini." "Oooh . . . . tidak kusangka suatu ketika kaupun ingin minum arak . . . . ." kata Kwik Tay-lok sambil tertawa. "Aaai . . . . inilah yang dinamakan dekat tinta jadi hitam, dekat gincu jadi merah, bila seseorang bergaul dengan setan arak tiap harinya, cepat atau lambat diapun akan berubah menjadi seorang setan arak." "Itulah sebabnya cepat atau lambat kau­pun tak akan membenci orang perempuan." sambung Kwik Tay-lok sambil tertawa. Mendadak Yan Jit menarik muka dan tidak berbicara lagi. Lewat beberapa saat kemudian, Kwik Tay lok baru berkata kembali: "Aku selalu tidak habis mengerti, manusia macam Ong lotoa mengapa bisa mengikat tali permusuhan dengan si kelabang besar, si ular bergaris merah dan lain-lainnya ? Lagi pula permusuhan mereka itu tampak­nya mendalam se­kali." "Kalau tidak habis mengerti, lebih baik jangan dipikirkan !" jawab Yan Jit dingin. "Apakah kau tidak merasa keheranan ?" "Tidak " "Kenapa ?" "Sebab aku tak pernah bermaksud untuk menyelidiki rahasia orang lain, terutama ra­ha­sia teman." Terpaksa Kwik Tay-lok membungkam dan tidak berbicara lagi. Lewat lama kemudian, mendadak terde­ngar bunyi . .. . "Krooooookkk !" Dengan wajah berubah Yan Jit segera berbisik: "Bunyi apakah itu ?" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang, sahutnya sambil tertawa getir: "Perutku yang berbunyi karena lapar !" Dia memang merasa kelaparan setengah mati. Lewat lama kemudian, tiba-tiba terde­ngar, lagi bunyi aneh . . . "Kroook .. . . krooookkk!" "Bunyi apa lagi kali ini ?" bisik Kwik Tay-lok. "Gigiku lagi saling beradu !" jawab Yan Jit sambil menggigit bibirnya kencang-kencang. Rupanya saking kedinginan sampai gigi­nya saling bergemerutukan dengan keras­nya. "Kalau memang kedinginan, mengapa ti­dak bersandar saja di tubuhku ?" usul Kwik Tay-lok. "Ehmmm .. . . !" "Ehmm itu apa maksudnya ?" "Ehmm artinya kau jangan berisik, bila mulutnya, nyerocos terus, mana mungkin kelabang besar itu berani muncul ?" Kwik Tay-lok tak berani bersuara lagi. Terhadap persoalan apa saja dia tak ta­kut, diapun tidak takut kepada mereka, yang dita­kuti adalah mereka tak berani datang. Bila mereka berdua harus menanti terus dalam keadaan begini, lama kelamaan mereka pun tak akan tahan. Yang paling tidak tahan adalah siapapun tak tahu sampai kapan orang-orang itu baru munculkan diri, mungkin harus menunggu be­berapa hari lagi, mungkin juga sedetik kemudi­an .... Kwik Tay-lok sedang bersiap-siap menye­limuti tubuh Yan Jit dengan jala ikan yang berada di tangannya. Jala itu enteng dan lembut, tapi kuatnya bukan kepalang, entah terbuat dari bahan apa ? Lim Tay peng sengaja membawanya pulang dan Kwik Tay-lok bersiap-slap mem­pergunakannya untuk menghadapi si kela­bang besar. Dia telah bersiap-siap untuk menggunakan gigi membalas gigi, dengan mata membalas mata. Meski jaring itu enteng, tapi dalam hati Yan Jit merasa amat hangat dan mesra. Mendadak tampak sesosok bayangan manusia meluncur masuk lewat dinding pekarangan sebelah depan, sesudah ber­jumpalitan dite­ngah udara, cahaya tajam segera berkilauan memenuhi seluruh ang­kasa, ada tiga empat puluh macam senjata rahasia yang disambitkan ke dalam jendela bagaikan hujan deras. Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu, tapi sambitan senjata rahasianya jauh lebih cepat. Baik Kwik Tay lok maupun Yan Jit ter­nyata tak sempat menyaksikan bagaimana cara­nya senjata rahasia itu dipancarkan ke de­pan. Begitu senjata rahasia itu disambit ke de­pan, orang itu pun menutulkan ujung kaki­nya ke tanah dan segera meluncur ke atas siap-siap kabur ke atas wuwungan rumah. Baru saja orang itu melayang ke atas, mendadak ia menemukan ada sebuah jala yang amat besar menyongsong kedata­ngannya, pada hal dia sedang meluncur ke atas, keadaan ini ibaratnya dia sedang me­nyongsong datangnya jala itu. Dalam kejutnya dia ingin meronta, tapi jaring itu bagaikan sarang laba-laba segera membelenggu tubuhnya. Dengan kegirangan Kwik Tay-lok segera berteriak: "Lihat kau, akan kabur kemana lagi ?" Yan Jit juga telah menerjang ke muka, kakinya langsung menendang jalan darah Hiat hay di pinggang orang itu. Siapa tahu, pada saat itulah dari balik ja­ring tersebut kembali memancar keluar ber­pu­luh puluh titik cahaya tajam yang melun­cur ke depan bagaikan hujan deras. Kali ini giliran Kwik Tay-lok dan Yan Jit yang merasa terkejut. Pada saat itu pula dari luar dinding men­dadak melayang datang sebuah kaitan yang segera menggaet jaring tersebut. Tentu saja di ujung kaitan itu terdapat seutas tali. Tentu pula tali itu sedang ditarik sese­orang. Dengan demikian, jaring itupun segera tertarik ke atas. Sewaktu jaring itu ditarik kembali, Kwik Tay-lok dan Yan Jit telah menubruk datang. Walaupun dia dan Yan Jit sama-sama me­rasa terkejut, tapi senjata rahasia tersebut sama sekali tidak disambitkan ke arah mereka ber­dua secara bersamaan waktu. Semua senjata rahasia tersebut ditujukan hanya pada tubuh Yan Jit seorang. Maka Kwik Tay-lok lebih kaget dan lebih gelisah dari pada Yan Jit. Meskipun dia tak tahu bagaimana caranya untuk menghadapi keadaan tersebut, na­mun tubuhnya telah menubruk ke arah Yan Jit, me­nubruk tubuh Yan Jit. Dengan cepat kedua orang itu bergulingan di atas tanah. Kwik Tay-lok hanya merasakan badannya menjadi sakit, tiba-tiba sekujur badannya menjadi kaku, Sedemikian kakunya sampai perasaan dan kesadarannya pun ikut menjadi kaku. Ia tak sempat menyaksikan jaring itu di­tarik orang, pun tidak menyaksikan orang dalam jaring itu melompat ke atas. Dalam keadaan sadar tak sadar, dia hanya mendengar dua kali jeritan, sebuah jeritan ka­get, sedang yang lain jeritan kesa­kitan. Tapi dia sudah tak dapat membedakan lagi siapa yang menjerit kaget dan siapa pula yang menjerit kesakitan. Dia hanya tahu dirinya tak sempat men­jerit apa-apa, sebab giginya sedang saling menggertak. Ada sementara orang mungkin akan menjerit keras dihari biasa, tapi dikala se­dang menderita, dia tak akan mendengus atau merintih. Tak disangkal lagi Kwik Tay-lok adalah manusia seperti itu. Ada sementara orang menjadi lupa akan keselamatan jiwa sendiri sewaktu menyak­sikan temannya sedang terancam oleh ba­haya. Tak disangkal, Kwik Tay-lok juga manusia seperti ini. Asal dia sudah menerjang ke depan, pada hakekatnya dia tak akan memperdulikan mati hidupnya lagi. Jeritan kaget itu seakan-akan makin jauh, makin tak terdengar lagi ....... Tapi, suara apakah ini ? Betulkah ada orang sedang menangis ? Pelan-pelan Kwi Tay-lok membuka mata­nya, dia lantas menyaksikan butiran air mata di atas wajah Yan Jit. Ketika Yan Jit melihat matanya terbuka lebar, tak tahan diapun berteriak keras de­ngan penuh kegirangan: "Dia telah sadar kembali !" Dari sisinya segera terdengar seseorang menyambung: "Kalau orang baik tidak berumur panjang bencana akan berlangsung seribu tahun, aku sudah tahu kalau dia pasti tak akan mati." Itulah suara dari Ong Tiong. Suara itu se­benarnya hambar, tapi sekarang kedenga­ran­nya agak gemetar. Kemudian, Kwik Tay-lok baru menyaksi­kan raut wajahnya. Selembar wajah yang dingin dan hambar itu sekarang diliputi rasa girang, berseri dan agak emosi. Sambil tertawa Kwik Tay-lok lalu berkata: "Apakah kalian mengira aku sudah mam­pus." Ia memang lagi tertawa, tapi tampangnya sewaktu tertawa jauh lebih mirip menangis. Sebab begitu tertawa, sekujur badannya segera terasa sakit. Diam-diam Yan Jit menyeka air matanya, lalu berbisik: "Baik-baiklah berbaring, jangan pergi-pergi dan jangan berbicara apa-apa !" "Baik !" "Sepatah katapun tak boleh bicara" kata Yan Jit lagi. Kwik Tay-lok mengangguk. "Juga tak boleh mengangguk, pokoknya bergerak sedikitpun tidak boleh. . . . . . .!" Kwik Tay-lok benar-benar tidak berkutik lagi, hanya sepasang matanya saja yang terbe­lalak lebar sambil mengawasi Yan Jit. Yan Jit menghela napas panjang, katanya dengan lembut: "Tubuhmu sudah terkena sebatang paku Siang-bun-teng, sebatang panah pendek, ditam­bah lagi dengan dua batang jarum beracun, hakekatnya selembar nyawamu itu berhasil di pungut kembali, maka kau harus baik-baik menyayangi dirimu." Sewaktu berbicara, sepasang matanya kembali menjadi merah. Ong Tiong juga menghela napas, katanya: "Bila kau melarang dia berbicara, mungkin dia akan lebih menderita lagi." "Betul!" seru Kwik Tay-lok cepat-cepat. Yan Jit segera melotot sekejap ke arah­nya, serunya: "Tampaknya aku benar-benar menjadi bibir orang ini !" "Kalau aku sedang berbicara, badanku ti­dak terasa sakit." "Masa benar ?" "Benar !" Dia ingin tertawa tapi ditahan, pelan-pelan terusnya: "Sebab kalau aku sedang berbicara, maka semua rasa sakit itu baru akan kulupakan!" Yan Jit memandangnya, sinar mata itu entah memancarkan rasa sayang ? Atau mengomel ? Atau perasaan cinta yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Paras mukanya pucat pias seperti mayat, lebih pucat dari pada kertas jendela di de­pan sana . Fajar telah menyingsing, sinar sang surya telah memancar masuk lewat balik jendela. Walaupun malam ini mereka lewatkan de­ngan penuh penderitaan, toh akhirnya dile­watkan juga. Tak tahan lagi Kwik Tay-lok lantas berta­nya: "Bagaimana dengan si kelabang besar itu?" ­"Sekarang telah berubah menjadi seekor kelabang mampus !" jawab Yan Jit cepat. Rupanya jeritan ngeri yang terdengar oleh Kwik Tay-lok adalah jeritan dari mulutnya. Tapi kata orang, ulat yang berkaki seratus matipun tidak kaku, maka Kwik Tay-lok bertanya lebih jauh: "Benar-benar mampus ? sudah mampus seutuhnya ?" Yan Jit tidak menjawab, yang menjawab adalah Lim Tay-peng: "Kujamin dia sudah mampus, mampus sampai keakar-akarnya !" "Kau kah yang membunuhnya ?” Lim Tay-peng menggeleng. "Yan Jit yang melakukan !" sahutnya. Tiba-tiba ia tertawa dan lanjutnya: "Apakah, kau tak pernah menyangka ka­lau dalam keadaan seperti itu, dia masih sempat membalaskan dendam bagimu ?" Kwik Tay-lok memang tak pernah me­nyangka, sebab pada waktu itu sudah jelas dia sedang menindihi tubuh Yan Jit. Dia ingin bertanya kepada Yan Jit, tapi Yan Jit sudah me­lengos ke arah lain. Lim Tay-peng pun berkata lagi: "Akupun tidak menyangka sampai di situ, tapi aku dapat menyaksikan ketika si kela­bang besar itu baru melompat bangun, ada sebilah pisau telah menembusi tenggoro­kannya, akupun dapat melihat darah yang bercucuran di tanah." "Di tanah cuma ada darahnya ? Kemana orangnya ?" "Sudah pergi, kabur sambil membawa pi­sau tersebut." "Masa orang mati juga masih bisa ber­jalan?" "Karena orang mati ini masih memiliki sisa tenaganya yang sedikit, paling banter juga sekali hembusan napas saja !" Kwik Tay-lok segera menghembuskan pula napasnya yang mengganjal didalam dada, de­ngan wajah berseri katanya: "Tampaknya kita masih belum terlalu rugi!" "Betul, sekarang kita akan menghadapi mereka berempat dengan empat orang pula," kata Kwik Tay-lok sambil tertawa getir. Tiba-tiba Ong Tiong berkata: "Mereka tak lebih hanya tinggal tiga orang saja." "Mana mungkin tinggal tiga ?" "Ang-nio-cu, ular bergaris merah dan Cui- mia-hu !" "Apakah kau lupa dengan It-hui-ciong thian Eng Tiong-ong ?" "Aku tak akan melupakannya !" Mendadak mimik wajahnya berubah men­jadi aneh sekali, sorot matanya seakan-akan sedang memandang suatu tempat yang jauh sekali. "Hong-nio-cu, Ci-lion-cua, Cui mia hu di tambah pula dengan Eng tiong ong, bukan­kah jumlah mereka menjadi empat orang ?" "Tiga tambah satu kan menjadi empat ke­napa masih tiga ?" Pandangan Ong Tiong terasa kosong, en­tah apa yang sedang dilihat, dan entah apa pula yang sedang dipikirkan, wajahnya hanya kosong dan hambar... Sampai lama sekali, sepatah demi sepatah dia baru berkata: "Karena akulah It-hui-ciong-thian eng- tiong ong !" Tak seorangpun yang menanyakan masa lalu Ong Tiong, sebab mereka dapat meng­hormati hak setiap orang untuk menyimpan rahasia pribadinya. Kalau Ong Tiong tidak berkata, mereka­pun tak akan bertanya. Rahasia dari Ong Tiong hanya Ong Tiong sendiri yang berhak untuk membicarakannya. Ong Tiong bukanlah seseorang yang tidak suka bergerak semenjak dilahirkan. Sewaktu masih kecil dulu, bukan saja ge­mar bergerak, bahkan sukanya setengah mati dan bergeraknya luar biasa. Sejak berusia enam tahun, dia sudah pandai memanjat pohon. Ia pernah memanjat pelbagai macam po­hon, maka diapun pernah terjatuh dari pel­bagai macam pohon. Jatuh dengan posisi serta gaya yang ber­aneka macam. Yang paling parah adalah sewaktu batok kepalanya mencium tanah lebih dulu, ham­pir saja batok kepalanya putus jadi dua. Menanti ia sudah mulai dapat bergelan­tungan di atas pohon macam monyet, dia baru tidak memanjat pohon lagi. Karena memanjat pohon baginya sudah seaman tidur didalam balik selimut saja, sama sekali tidak mendatangkan rangsa­ngan. Sejak itu pula, setiap hari ayah ibunya harus mengirim segenap pembantunya un­tuk mencari dia kemana-mana. Waktu itu meski keluarganya sudah jatuh pailit, tapi pembantunya, masih ada bebe­rapa orang. Setiap kali mereka berhasil me­nemukan­nya kembali, keadaannya pasti ke­capaian sete­ngah mati, seakan-akan dido­rong dengan ujung jaripun besar kemungki­nan akan roboh. Tapi dia masih tetap melompat-lompat dengan segarnya, bagaikan udang yang baru keluar dari air. Sampai pada akhirnya siapapun enggan untuk pergi mencarinya. Lebih baik memotong kayu bakar delapan ratus kati dari pada disuruh menemukan dirinya. Lebih baik membersihkan jalan raya dari pada disuruh mencari jejaknya . . . . . . Oleh karena itu orang tuanyapun terpaksa harus menyingkirkan ingatan tersebut, ter­paksa mereka membiarkan dia bermain se­kehendak hatinya dan selama dia suka. Untung saja setiap dua-tiga hari dia masih mau pulang satu kali. Pulang untuk mandi, makan, ganti pakaian, Pulang untuk meminta uang jajan. Sebab pada waktu itu dia masih berusia tiga empat belas tahunan, dia masih merasa minta uang kepada orang tuanya masih meru­pakan suatu kewajiban yang lumrah. Menanti dia sudah menginjak dewasa, dan merasa sudah saatnya untuk berdiri sendiri, sulitlah bagi orang tuanya untuk bersua muka lagi dengannya. Lo-sianseng dan Lo-tay-tay ini entah su­dah berapa kali bersumpah didalam hatinya: "Bila ia pulang nanti, akan kurantai kaki dan tangannya dengan rantai yang besar, akan kuhajar kakinya sampai putus, coba lihat apa­kah dia masih bisa kelayapan lagi atau tidak." Tapi menanti dia pulang ke rumah, me­nyaksikan tubuhnya yang kurus dan kela­paran mukanya kuning dan mengenaskan, hati Lo-sianseng pun menjadi lemah dan paling banter dia ha­nya dipanggil masuk ke kamar baca untuk dia beri pelajaran dan nasehat. Sementara Lo-tay-tay pun sudah turun ke dapur dan buatkan kuah ayam, belum habis nasehat dari Lo-sianseng, paha ayam sudah di jejalkan ke mulut anaknya. Mungkin di dunia ini hanya orang tua ber­putera tunggal yang dapat memahami perasaan mereka waktu itu. Mereka yang menjadi anaknya, tak per­nah akan mengerti perasaan dari orang tua­nya. Ong Tiong pun tidak terkecuali. Dia hanya mengerti, bila seorang lelaki sudah menginjak dewasa, dia harus berke­lana untuk membangun dunianya sendiri. Maka diapun mulai berpetualangan untuk berusaha membangun dunianya sendiri. Ketika itu dia baru berusia tujuh belas ta­hun. Seperti pula pemuda-pemuda berusia tu­juh delapan tahun lainnya di dunia ini, se­waktu Ong Tiong pertama kali meninggalkan rumahnya, dia hanya merasakan semangat yang menyala-nyala serta ambisi dan cita-cita yang setinggi langit. Tapi bila dua hari kemudian, dikala perut sudah mulai lapar, lambat laun diapun mulai teringat akan rumah. Kemudian diapun akan merasakan hatinya menjadi kosong, merasa amat kesepian. Dalam keadaan begini, diapun akan beru­saha keras untuk berkenalan dengan teman baru, tentu saja seorang teman perempuan yang paling baik. Pemuda berusia tujuh delapan belas tahu­nan manakah yang tidak mengharapkan cinta? Tidak mengkhayalkah dia ? Menanti dia sudah merasa kesepian setengah mati itulah, si Ang-nio-cu yang suka menolong kesulitan dan penderitaan orangpun muncul di depan mata. Perempuan itu dapat memahami ambisi­nya, memahami pula penderitaan serta ke­murungan yang mencekam perasaannya. Dia menghibur hatinya, menganjurkan kepadanya untuk melakukan pelbagai uru­san. Bila seorang lelaki sejati mau hidup di dunia ini, maka pekerjaan macam apapun harus dicoba, perbuatan apapun harus dila­kukan." Dalam pandangan Ong Tiong waktu itu, setiap patah katanya seakan-akan meru­pakan suatu firman. "Bila seseorang ingin hidup maka dia ha­rus punya uang, punya nama, sebab kehi­dupan seseorang di dunia ini sesungguhnya adalah demi kenikmatan, serta kebaha­giaan." Waktu itu dia masih belum tahu, kalau dalam kehidupan seseorang selain kenik­matan masih terdapat pula lebih banyak perbuatan yang lebih bermakna. Oleh karena itu untuk berhasil mendapat nama, dia tak segan-segannya untuk mela­ku­kan perbuatan apapun. Akhirnya diapun menjadi tenar. Waktu itu umurnya belum mencapai dua puluh tahun, tapi dia telah menjadi Raja elang yang sekali terbang menembusi langit! Ternama memang merupakan suatu peris­tiwa yang menggembirakan. Dengan sebisanya dia melakukan banyak pekerjaan, dengan begitu saja menjadi tenar. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang termahal, arak yang diminumpun me­rupa­kan arak wangi yang harganya tiga tahil perak sekatinya. Dia sudah mengerti untuk memilih tukang jahit yang paling baik. Hidangan Hi-sit yang masak kurang ma­tang sedikit saja, dia segera akan menum­pahkannya di atas wajah koki. Bukan saja dia mengerti untuk mencari kenikmatan, lagi pula kenikmatan yang dira­sakan pun luar biasa sekali. Sebenarnya dia merasa puas sekali. Tapi entah apa sebabnya, mendadak ia merasa agak menderita, agak murung, lagi pula jauh lebih murung daripada dahulu. Sebenarnya setiap kali kepalanya menem­pel bantal, dia lantas tertidur nyenyak, tapi sekarang dia seringkali tak bisa tidur. Bila sudah tak bisa tidur, diapun sering­kali bertanya kepada diri sendiri: "Semua perbuatan yang kulakukan, sebe­narnya pantaskah ku lakukan ?" "Teman-teman yang kujalin selama ini, sebenarnya betulkah merupakan teman se­jati.?" "Seseorang selain mencari kenikmatan buat diri sendiri, apakah harus memikirkan pula urusan yang lain ?" Tiba-tiba ia mulai teringat rumah, teringat orang tuanya. Di dunia ini memang terdapat banyak se­kali koki-koki kenamaan, tapi tak akan mampu membuat kuah ayam seperti yang dibuat oleh ibunya. Kata-kata sanjungan dan muluk-muluk diterimanya selama ini, lambat laun terasa ku­rang menarik bila dibandingkan dengan kata-kata nasehat dari ayahnya. Bahkan cumbu rayu dari Ang Nio-cu yang manis dan mesra pun kedengarannya tidak lebih menarik daripada kata-kata yang per­nah dide­ngarnya dulu. Kesemuanya itu masih belum terhitung penting. Yang paling penting lagi adalah secara tiba-tiba dia ingin menjadi seorang manusia yang normal. Seseorang yang tiap malam bisa tidur de­ngan hati yang aman tenteram . . . . Maka diapun mulai menyusun rencana untuk meninggalkan penghidupan semacam itu, meninggalkan teman-teman seperti itu. Tentu saja diapun tahu bahwa mereka tak akan melepaskannya pergi dengan begitu saja. Pertama. Karena mereka masih membu­tuhkan dirinya. Kedua. Karena banyak rahasia yang dia ketahui. Satu-satunya yang masih mujur adalah selama berada di hadapan mereka, ia tak pernah menyinggung soal rumahnya dan orang tuanya. Hal ini entah dikarenakan dia takut orang tuanya kehilangan dia, atau dia takut kehi­langan orang tuanya. ORANG TUANYA bukanlah seseorang yang luar biasa. Teman-temannya juga tak pernah mena­nyakan soal keluarganya dan soal orang tua­nya, mereka hanya berkata: "Darimana kau latih ilmu silatmu itu?" Ilmu silatnya ia latih sewaktu masih ke­cil dulu . . . . seorang kakek yang amat miste­rius tiap hari menunggu kedatangannya dalam hutan dan memaksanya untuk ber­latih tekun. Sampai sekarang dia tak tahu siapakah kakek itu, juga tidak tahu seberapa tinggi ilmu silat yang dia wariskan kepadanya. `Sampai dia berkelahi untuk pertama kali­nya, dia baru tahu dengan pasti. Itulah pengalaman aneh baginya. Yaa aneh, yaa misterius: Maka dia tak pernah membicarakan per­soalan ini di depan orang lain, sebab walau­pun dia katakan orang lain belum tentu akan mem­percayainya . . . . . . . . Bahkan kadangkala dia sendiripun tidak terlalu percaya. Setiap orang tentu mempunyai masa lalu. Setiap orang tak bisa dihindari pasti per­nah membicarakan masa lalunya di depan teman akrabnya. Ada kalanya keadaan tersebut bagaikan sedang mengisahkan suatu cerita saja. Kisah cerita semacam ini sering kali tidak menarik perhatian orang lain . . . . dari pada mendengarkan orang lain mengibul, lebih baik dirinya sendiri yang mengibul. Tapi entah persoalan apa, saja tentu ada pengecualiannya. Ketika Ong Tiong sedang berbicara, se­tiap orang mendengarkan dengan mata terbela­lak, bahkan menukaspun tidak. Orang pertama yang menimbrung cerita itu tentu saja Kwik Tay-lok. Dalam kenyataan sudah lama dia mena­han diri, setelah mendengarkan sampai di situ dia baru tak tahan untuk menimbrung. Dia menghembuskan napas panjang lebih dulu, kemudian baru bertanya: "Apakah tiap hari orang tua itu pasti menunggumu ?" "Yaa, setiap hari pasti menungguku da­lam hutan belakang dekat tanah pekuburan itu" sahut Ong Tiong. "Dan setiap hari kau pasti pergi !" "Baik hujan deras, atau hujan badai, tak seharipun aku absen . . . ." "Jadi seluruhnya kau telah pergi berapa lama ?" "Jumlah seluruhnya tiga tahun empat bu­lan. . . ." Kwik Tay-lok segera menghembuskan na­pas panjang, gumamnya: "Waaah . . . . bukankah jumlahnya men­jadi seribu kali lebih ?" Ong Tiong manggut-manggut. "Aku dengar, bila belajarmu agak lamban maka kau akan menerima gebukan, bahkan tidak enteng gebuknya?" kata Kwik Tay-Iok. "Sejak tahun itu, aku hampir jarang sekali tidak kena digebuk !" "Kalau toh setiap hari kena digebuk, ke­napa kau masih tetap pergi . . . . . . . ?" "Sebab waktu itu aku merasa perbuatan bukan cuma misterius saja, lagi pula segar dan merangsang." Kwik Tay-lok berpikir sebentar, kemudian katanya sambil tertawa: "Seandainya berganti aku, akupun tetap akan datang !" Lim Tay-peng juga tak kuasa menahan diri, dia lantas bertanya: "Apakah kau belum pernah menanyakan nama dari orang tua itu ?" "Aku sudah bertanya berapa ratus kali !" "Tahukah kau dia berasal dari mana ?" Ong Tiong menggeleng. "Setiap kali aku datang kesana, dia se­lalu sampai duluan." "Kenapa kau tidak mendahuluinya ?" "Bagaimanapun awalnya aku datang, dia selalu sampai duluan ditempat itu." "Kenapa tidak kau kuntil dirinya, coba li­hat dia pulang ke mana?" tanya Kwik Tay-lok dengan kening berkerut. Ong Tiong tertawa getir. "Tentu saja sudah kucoba !" sahutnya. "Bagaimana hasilnya ?" "Hasilnya tiap kali pasti kena digebuk setengah mati, kemudian pulang seorang diri tanpa banyak membantah!" Kening Kwik Tay-lok berkerut makin ken­cang, lalu gumamnya: "Setiap kali dia menunggu kedatanganmu di sana , setiap kali memaksa kau untuk berlatih silat, tapi ia enggan membiarkan kau tahu sia­pakah dia yang sebenarnya, betul-betul meng­herankan !" "Masih ada yang lebih mengherankan lagi yakni diapun tak pernah bertanya siapakah aku ?" Kwik Tay-lok segera menghela napas panjang. "Kejadian aneh semacam ini memang ja­rang terjadi di dunia ini, tampaknya hanya manusia aneh semacam kau saja yang bisa bertemu dengan kejadian aneh seperti itu." Tiba-tiba Yan Jit turut bertanya: "Ketika kau bersiap-siap hendak mening­galkan rekan-rekanmu, apakah Ang Nio-cu pun tidak tahu ?" "Aku tak pernah membicarakan hal ini di hadapan siapa saja." "Tapi Ang Nio-cu . . . . bukankah ia sangat baik kepadamu ?" Paras muka Ong Tiong berubah semakin tak sedap dipandang, lewat lama sekali dia baru berkata dengan dingin: "Kepada banyak orang pun dia selalu baik!" Agaknya Yan Jit baru merasa kalau dia telah salah berbicara, segera dia mengalih­kan pokok pembicaraannya ke soal lain, ujarnya kemudian: "Selanjutnya dengan cara apakah kau melarikan diri ?" "Suatu ketika mereka sedang bersiap-siap untuk mencuri kitab didalam kuil Siau-lim-si, mereka suruh aku mencari info terlebih dahulu maka aku pun manfaatkan kesempatan ini un­tuk melarikan diri. Yan Jit segera menghembuskan napas panjang katanya: "Beberapa orang itu berani juga mem­buat keonaran didalam kuil Siau-lim-si, nyata­nya nyali mereka tidak kecil !" "Setelah kau melarikan diri, apakah me­reka tak pernah menemukan dirimu?" "Tak pernah !" Mendadak dia bangkit berdiri dan menghampiri jendela. Malam itu sangat gelap, lagi pula dingin sekali. Dia berdiri kaku di depan jendela, berdiri termangu-mangu sampai lama sekali, ke­mudian baru pelan-pelan melanjutkan: "Sekembalinya ke rumah, aku jarang ke­luar.” `°Apakah secara tiba-tiba kau telah ber­ubah menjadi tak ingin bergerak lagi?" "Aku memang telah berubah, berubah sa­ngat cepat, berubah sangat banyak . . . .” Suaranya menjadi parau dan sedih sekali, lanjutnya: "Karena sekembalinya kemari, aku baru tahu bahwa tahun kedua setelah kepergian­ku, ibuku telah . . . ." Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Sepasang kepalanya telah di genggam kencang-kencang, sekujur badannya ge­metar dan ia tak mampu untuk melanjutkan kembali kata-katanya. Kali ini, bahkan Kwik Tay-lok pun tidak bertanya lagi, ia tak tega untuk bertanya, juga tak perlu bertanya. Semua orang sudah mengetahui musibah yang menimpa Ong Tiong, juga memahami pe­rasaannya. Menanti dia pulang untuk membalas budi kebaikan ayah ibunya, keadaan sudah ter­lambat. Kenapa setiap orang baru memahami pera­saan orang tuanya dikala keadaan su­dah ter­lambat ? Lim Tay-peng menundukkan kepalanya, sepasang matanya seperti basah oleh air mata. Kwik Tay-lok merasakan pula hatinya menjadi kecut, sepasang matanya berubah men­jadi merah membara. Sekarang dia baru tahu, mengapa Ong Tiong bisa berubah menjadi begini miskin, be­gitu malas dan begitu aneh. Sebab dia merasa amat sedih dan menye­sal. Dia sedang menghukum dirinya sendiri. Seandainya kau hendak mengatakan bah­wa dia sedang berusaha menghindarkan diri, maka yang dihindari bukanlah Ang Nio-cu, juga bukan ular bergaris merah, le­bih-lebih bukan yang lainnya. Yang dihindari sesungguhnya adalah diri sendiri. Membayangkan kembali ketika untuk pertama kalinya dia menyaksikan orang itu berbaring seorang diri dalam kegelapan, membiarkan tubuhnya dibuat bermainnya tikus, tanpa tera­sa Kwik Tay-lok menghela napas panjang ...... Seandainya seseorang tidak kehilangan semangatnya, sekalipun bisa menahan la­par, dia tak akan tahan membiarkan tikus bermain di atas badannya. Malam itu, seandainya Kwik Tay-lok tidak menyerbu ke sana dan tanpa sengaja ber­sahabat dengannya, entah dia masih bisa hidup sampai hari ini atau tidak ? Pertanyaan semacam ini bahkan dipikir­kan pun Kwik Tay lok tidak berani. Akhirnya Ong Tiong berpaling, kemudian katanya: "Aku sudah pulang tiga tahun, selama tiga tahun ini mereka pasti tiada hentinya men­cari aku." Kwik Tay lok tertawa paksa, katanya: "Tentu saja mereka agak susah menemu­kan dirimu, siapakah yang akan menyangka kalau si raja elang It hui ciong thian Eng-tiong­-ong bisa berdiam ditempat sema­cam ini dan melewati penghidupan seperti ini ?" "Tapi aku sudah tahu, cepat atau lambat suatu hari mereka pasti akan berhasil me­nemukan diriku." Yan Jit segera mengerdipkan matanya berulang kali, lalu katanya: "Sudah lewat sekian lama, kenapa mereka masih belum mau juga lepas tangan ?" "Karena perhitungan hutang piutang antara mereka denganku masih belum diselesaikan." "Sudahkah kau perhitungkan sendiri? Adalah kau yang berhutang kepada mereka ataukah mereka yang berhutang kepadamu?" Ong Tiong termenung agak lama, kemu­dian baru sahutnya : " Ada sementara hutang piutang yang sia­papun tak dapat memperhitungkannya sam­pai beres." "Kenapa ?". "Sebab setiap orang tentu mempunyai cara perhitungan setiap orang selalu tidak sama." Paras mukanya segera berubah makin se­rius dan berat, pelan-pelan sambungnya: "Didalam pandangan mereka, hutang pi­utang ini hanya bisa diselesaikan dengan suatu cara." "Cara yang mana ?" "Kau harus mengerti cara yang manakah itu" Yan Jit berbicara lagi, tapi dia mengetahui dengan jelas. Ada sementara hutang yang cuma bisa di perhitungkan dengan darah, sebab hanya darahlah yang bisa menyelesaikannya. Setetes darah masih tidak cukup, yang diperlukan adalah sejumlah darah yang cu­kup banyak. Kalau darah satu orang saja tidak cukup yang dibutuhkan adalah darah banyak. Yan Jit memandang sekejap mulut luka di tubuh Kwik Tay-lok, lewat lama dia baru berkata sambil menghela napas: "Tampaknya hutang piutang ini makin lama semakin sukar untuk diperhitungkan, en­tah sampai kapankah perhitungan ini baru bisa diselesaikan ?" "Jangan kuatir," sahut Ong Tiong sambil menghela napas, "sudah pasti kita tak usah menunggu terlalu lama lagi sebab . . . ." Mendadak ia menutup mulutnya rapat- rapat. Setiap orang menutup mulut, bahkan na­paspun seakan-akan ikut berhenti. Sebab setiap orang seperti mendengar suara lang­kah kaki. Suara langkah kaki itu sangat enteng, se­dang berjalan menembusi halaman yang bersalju dengan langkah yang sangat lam­ban. "Siapa yang telah datang ?" "Apakah saat ini sudah tiba pada saatnya untuk membuat perhitungan . . . ?" Lim Tay-peng ingin meronta sambil me­nerjang keluar dari pintu, namun niat itu kembali diurungkan. Kwik Tay-lok menunjuk keluar jendela, sedang Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali. Hanya sebuah langkah kaki .. . . Orang itu sedang menaiki anak tangga dan berjalan menuju ke pintu sebelah luar. Mendadak terdengar orang itu mengetuk pintu. Ternyata orang tersebut datang sambil mengetuk, datang secara terang-terangan, kejadian ini benar-benar sama sekali di luar dugaan mereka. Akhirnya Ong Tiong menegur: "Siapa ?" "Aku !" jawab orang diluar itu pelan. "Siapakah kau ?" Tiba-tiba orang di luar itu tertawa, suara tertawanya merdu seperti keliningan, malah jauh lebih merdu dan menarik hati. "Masa suaraku saja tidak kau kenali, kau benar-benar seorang bocah yang tak punya liang sim !" Ternyata orang yang munculkan diri itu adalah seorang perempuan. Seorang perempuan yang merdu suaranya dan tampaknya masih sangat muda lagi. Menyaksikan mimik muka Ong Tiong, setiap orang sudah dapat menduga siapa gerangan perempuan itu.. Paras muka Ong Tiong lebih pucat dari pada mayat. Yan Jit segera menepuk bahunya, kemu­dian setelah menuding pintu depan, dia menu­ding pula pintu belakang. "Maksudnya. . Bila kau tak ingin berjumpa dengannya, lebih baik menghindarlah lewat pintu belakang, aku akan menghadapinya untuk merintangi kedatangannya." Tentu saja Ong Tiong memahami pula ucapannya itu, hanya dia menggelengkan kepala­nya berulang kali: Dia jauh lebih memahami keadaan diri sendiri daripada orang lain. Dia telah mundur sampai langkah yang terakhir. Artinya dia sudah tak dapat mundur lagi, lagi pula diapun tak ingin mundur kembali. "Mengapa kau belum keluar untuk mem­buka pintu ?" Siapapun belum pernah bertemu dengan perempuan yang bernama Ang Nio cu itu, tapi kalau di dengar dari suaranya, entah siapa saja pasti akan membayangkan bahwa dia adalah seorang perempuan yang sedemikian cantik ser­ta mempesonakan hati. "Apakah didalam rumahmu masih ada pe­rempuan lain, maka kau takut bertemu de­nganku? Kau harus tahu, aku tidak seperti kau yang begitu pencemburu" Mendadak Ong Tiong maju ke muka de­ngan langkah lebar, tapi kemudian berhenti lagi, serunya dengan suara dalam: "Pintu itu tidak terkunci !" Hanya didorong pelan saja, pintu itu segera terbuka. Seseorang berdiri di depan pintu, lagi pula menyongsong sorotan cahaya lampu yang me­mancar keluar dari dalam ruangan. Segenap sinar lentera seakan telah terpu­satkan di atas tubuhnya seorang, sinar mata setiap orang tentu terpusatkan pula di atas tu­buhnya. Dari atas badannya seakan-akan meman­carkan pula serentetan cahaya. Semacam cahaya merah yang menyilaukan mata dan membuat jantung orang serasa berdebar. 'Pakaian yang dikenakan Ang-Nio-cu su­dah barang tentu berwarna merah, tapi si­nar tersebut bukan memancar keluar dari bajunya itu. Dalam kenyataan, selain pakaiannya, dari setiap bagian tubuhnya, dari setiap bagian tubuhnya itu seakan-akan terpancar keluar ca­haya yang menyilaukan mata. Terutama sekali sepasang matanya dan senyumannya. Setiap orang merasa bahwa sorot matanya itu seakan-akan sedang meman­dang ke arahnya merasa seakan-akan dia sedang tertawa kepa­danya. Andaikata orang bilang dibalik senyuman terdapat daya tarik yang membetot sukma, maka sudah pasti senyuman yang dimak­sudkan semacam inilah. Yan Jit menggeserkan sedikit tubuhnya, seperti sengaja tak sengaja dia menghalangi pandangan Kwik Tay-lok. Entah bagiamanapun juga, dia tak akan membiarkan temannya itu menyaksikan senyu­man maut dari perempuan semacam itu, maka daripada membiarkan dia meli­hatnya, lebih baik tidak membiarkan dia menyaksikannya. Bukankah setiap orang selalu berusaha untuk membawa temannya menjauhi segala dosa? Ang Nio-cu memutar sepasang biji mata­nya yang jeli, tiba-tiba dia berkata: "Kalian orang lelaki, mengapa selalu ber­sikap macam maknya . . . . . ." Itulah kata-katanya yang pertama. Ketika berbicara sampai di situ, mendadak dia berhenti sebentar, seakan-akan sengaja hendak membuat kata "Maknya" nya itu berkesan sekali didalam benak lelaki-lelaki itu . . . . . .. Seakan-akan dia tahu kalau setiap lelaki yang berada dalam ruangan itu senang sekali mendengarkan kata-katanya itu, juga senang mendengarkan kata-kata semacam itu muncul dari balik bibirnya. Sebab kata semacam itu memang mendatangkan suatu perasaan yang lain dari pada yang lain bila muncul dari mulutnya. Pada saat dia sedang berhenti sejenak ini­lah, terdengar seorang tak tahan sedang bertanya. "Kau bilang, kami lelaki adalah manusia maknya macam apa?" Suara itu muncul dari belakang tubuh Yan Jit. Dia bisa saja menghalangi pandangan ma­ta Kwik Tay-lok, namun tak akan dapat menghalangi telinganya, juga tak dapat menghala­ngi mulutnya untuk berbicara. Ang Nio-cu segera berkata: "Kenapa sikap kalian macam bertemu dengan setan saja bila bertemu dengan pe­rempu­an yang menarik hati? Bahkan sampai berken­tut pun tidak dapat ?" Dia mengerutkan hidungnya, lalu mem­perlihatkan kembali sekulum senyuman yang Yan Jit tak ingin membiarkan Kwik Tay-lok sampai melihatnya itu, kemudian baru sahutnya dengan pelan: "Diantara kalian semua, paling tidak harus ada satu orang yang mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam lebih dahulu" Dalam kenyataannya, sebelum dia me­nyelesaikan kata-katanya, dia sudah melangkah ke dalam ruangan. Setelah orang di dalam ruangan itu me­ngetahui siapakah dia, juga tahu mau apa dia da­tang ke situ, ketika menyaksikan pe­rempuan itu benar-benar masuk ke dalam, semua orang seharusnya merasa sangat gusar dan merasa sangat tegang. Tapi, secara tiba-tiba Yan Jit menemukan bahwa dibalik sorot mata Kwik Tay-lok serta Lim Tay Peng bukan saja sama sekali tiada rasa dendam atau tegang, malahan sebalik­nya tampak sekulum senyuman. Bahkan Yan Jit sendiripun sudah mulai tergoda pikirannya dan mulai curiga. Didalam anggapannya semula, Ang Nio-cu tidak seharusnya adalah manusia semacam itu. Sejak dia mengucapkan kata "Mak-nya" tadi, suasana didalam ruangan itu seakan-akan sama sekali telah berubah, ke­san orang lain terhadapnya pun sama sekali berubah juga. Seorang perempuan siluman yang berhati keji seperti ular, tidak seharusnya mengu­cap­kan kata-katanya dengan perkataan se­macam itu ..... Sampai detik itulah, Yan Jit baru mene­mukan bahwa di tangannya masih mem­bawa se­buah keranjang sayur yang besar sekali. Dia meletakkan keranjang sayur itu ke atas meja, kemudian meluruskan tangannya dan menghela napas panjang, katanya: "Seorang perempuan, hanya demi mem­bawakan sedikit makanan buat kalian, bu­kan saja harus membawa keranjang yang berat, lagi pula harus menempuh perjalanan selama setengah jam lebih, sampai lengan seperti hampir putus rasanya, apakah kalian sama sekali tidak merasa berterima kasih barang sedikit pun jua kepadaku'. Mendadak Ong Tiong berkata dengan suara dingin: "Tak ada orang yang menyuruh kau me­ngirim makanan kemari, pada hakekatnya tak seorang manusiapun yang menyuruh kau datang kemari !" Hingga kini, Ang Nio-cu baru mengerling sekejap ke arahnya dengan ujung matanya, lalu dengan marah tak marah, tertawa tak tertawa sambil menggigit bibirnya dia ber­kata: "Aku ingin bertanya kepadamu, apakah orang-orang ini semua adalah sahabatmu?" "Benar !" Ang Nio-cu segera menghela napas pan­jang, katanya lagi: "Dapatkah kau menyaksikan teman-temanmu kelaparan ? Kau bisa tapi aku tak dapat." "Apakah mereka sedang kelaparan atau tidak, denganmu sama sekali tak ada sang­kut pautnya." "Mengapa tak ada sangkut pautnya ? Te­manmu adalah temanku juga, seperti se­orang enso, mana tega menyaksikan sau­dara-saudara­nya menderita kelaparan ?" kata Ang Nio-cu. "Siapa sih enso itu ?" tanya Yan Jit tak tahan. Ang Nio-cu segera tertawa. "Kalian adalah teman baiknya Ong lotoa, mengapa dengan enso Ong pu tidak kenal ?" Dia lantas menyingkap kain yang menu­tupi keranjang besarnya itu, kemudian ber­kata lagi sambil tertawa: "Hari ini ensomu akan menjamu kalian, dan aku minta kalianpun tak usah sungkan-sungkan, tidak di makanpun sia-sia saja tak di­makan ........" "Setelah dimakan ?" "Setelah di makanpun kalian akan makan dengan gratis !" Yan Jit segera tertawa dingin, serunya: "Orang yang makan gratis, biasanya tak akan berumur panjang !" Ang Nio-cu melotot ke arahnya, kalau dili­hat tampangnya itu seakan-akan baru saja dia kena ditempeleng orang. Lewat lama kemudian, dia baru berpaling ke arah Ong Tiong sembari katanya lagi: "Apakah kalian beranggapan bahwa ma­kanan yang ku bawa itu semuanya beracun?" "Benar !" "Kau mengira kedatangan kami ini ada­lah bertujuan untuk meracuni kalian semua ?" "Benar !" "Bukan saja meracuni orang lain, juga meracuni pula dirimu ?" "Benar !" Sepasang Ang Nio-cu seakan-akan beru­bah menjadi merah, mendadak dia berpaling ke arah lain dan mengeluarkan sepotong paha ayam dari dalam keranjangnya, lalu serunya­ lagi: "Kalau begitu kau mengatakan dalam paha ayam inipun tentunya ada racunnya juga bukan?" "Kemungkinan besar !" "Baik, baik . . . ... . ." Dia menggigit paha ayam itu dan ditelan­nya, kemudian mengambil sebotol arak dan ber­kata lagi: "Apa didalam arakpun ada racunnya juga?" "Besar kemungkinannya.!" "Baik !" Kembali perempuan itu meneguk arak tersebut dari dalam botol araknya . . . . Pokoknya perempuan itu telah makan setiap hidangan yang berada di keranjang­nya itu satu demi satu, kemudian baru mendongakkan kepalanya dan melotot ke arah Ong Tiong, tanyanya: "Sekarang, bagaimana pendapatmu ?" Tanpa berpikir lagi, Ong Tiong segera menjawab: "Seperti dengan jawabanku tadi." "Kau masih menganggapnya beracun ?” "Benar !" Air mata telah jatuh bercucuran memba­sahi wajah Ang Nio-cu, tapi dia berusaha me­nahan diri, lewat lama kemudian dia baru pe­lan-pelan mengangguk, katanya dengan sedih: "Aku sudah memahami sekarang dengan jalan pemikiranmu itu." "Seharusnya kau dapat memahaminya se­menjak dulu!" "Kau menganggap sebelumnya aku telah makan obat penawarnya dulu baru datang ke­mari ?" "Hmmm !" Dengan sedih kembali Ang Nio-cu ber­kata: "Kau selalu menganggap aku sebagai se­orang perempuan yang berhati keji bagai­kan racun kala, selalu menganggap aku hanya berbaik kepadamu karena ingin memperalat dirimu ?" Ketika berbicara sampai di situ, tidak ta­han lagi air matanya jatuh bercucuran membasahi pipinya. Ketika mendengar sampai di situ, baik Kwik Tay-lok maupun Lim Tay-peng sudah merasakan hatinya bertambah lunak, meski dimulut dia tidak berkata apa-apa, namun dalam hati kecilnya mulai berpikir kenapa sikap Ong Tiong kepadanya bisa begitu keras ? Tidakkah tindakan tersebut kelewat batas ? Bagaimanapun juga, dahulu mereka toh pernah terikat dalam suatu hubungan percintaan yang cukup mesra. Andaikata berganti dengan Kwik Tay-lok mungkin sekali dia sudah memeluk perem­puan itu ke dalam pelukannya. Tapi wajah Ong Tiong masih belum me­nunjukkan perubahan apa-apa. Perasaan orang ini seakan-akan terbuat dari baja asli. Tampak Ang Nio-cu memasukkan kembali hidangan yang telah dikeluarkannya itu ke dalam keranjang, kemudian sambil meng­gigit bi­bir dia berkata: "Baik, kalau toh kau beranggapan bahwa makanan itu beracun semua, aku akan membawanya pergi." "Memang paling baik kalau kau ce­pat-cepat kau bawa pergi." Sekujur badan Ang Nio-cu telah gemetar keras, sambil menggigil serunya lagi. "Bila kau menganggap aku tak pernah berpikiran baik kepadamu, selanjutnya aku­pun dapat menghindari dirimu sedapatnya." "Kau sudah seharusnya tidak datang ke­mari dan berjumpa dengan diriku ....” "Aku . . . . aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu ......" Mendadak ia menerjang kehadapan Ong Tiong, lalu teriaknya keras-keras: "Aku ingin bertanya kepadamu, sejak kau berkenalan denganku, pernahkah aku mela­kukan suatu perbuatan yang menyalahi dirimu atau merugikan dirimu ?" Tiba-tiba Ong Tiong tak dapat berbicara. Ang Nio-cu mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, masih dengan sekujur badan yang gemetar keras, teriaknya lagi. "Betul aku memang bukan seorang pe­rempuan baik-baik, aku memang sudah pernah mencelakai banyak sekali lelaki yang lain, tapi sikapku kepadamu. .. .. kapan aku pernah mencelakai ? Katakan! Hayo cepat katakan !" "Sekarang, diantara kita sudah tiada per­kataan lain yang bisa dibicarakan Lagi !" ujar Ong Tiong dingin. Ang Nio-cu menjadi tertegun untuk be­berapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan me­ngangguk, katanya dengan sedih: "Baik, aku akan pergi, aku akan pergi . .... tak usah kuatir, kali ini aku akan pergi, se­lama hidup aku tak akan datang mencari dirimu lagi. . . . ." Pelan-pelan dia membalikkan badannya, mengambil keranjang dan pelan-pelan ber­jalan keluar dari situ. Memandang bayangan punggungnya yang kesepian, kurus dan mengenaskan itu menuju ke halaman yang dingin dan gelap, Kwik Tay-lok merasakan hatinya turut menjadi duka ...... Angin di halaman luar berhembus ken­cang, bunga salju berterbangan dan menye­bar kemana-mana, suasana terasa amat mengenaskan sekali. Bukankah perasaan manusia pun seperti keadaan tersebut ? Cinta kasih yang telah terjalin selama banyak tahun, kadangkala seperti juga tum­pukan salju di atas pohon, bila angin ber­hembus le­wat, maka salju itu akan bergu­guran dan tersebar entah kemana. Kwik Tay-lok merasakan hatinya menjadi pilu dan kecut, dia cuma berharap perasaan Ong Tiong bisa turut menjadi lembek dan bisa menahan perempuan yang mengenas­kan itu agar jangan pergi. Tapi hati Ong Tiong tampak lebih keras daripada baja, dia hanya menyaksikan kepergian perempuan tersebut dengan be­gitu saja, matanya melotot besar dan sama sekali tidak menunjukkan perubahan sikap apapun juga ...... Menyaksikan Ang Nio-cu sudah melangkah keluar dari pintu, hampir saja Kwik Tay-lok tidak tahan untuk mewakili Ong Tiong me­nahannya di situ ......... Mendadak, sekujur badan Ang Nio-cu mengejang keras, seakan-akan seseorang yang kena di cambuk secara tiba-tiba. Kemudian tubuhnya roboh terjengkang ke atas tanah. Begitu mencium tanah, ke empat anggota badannya segera mengejang lagi dengan kerasnya, paras mukanya yang putih ber­sihpun berubah menjadi hitam pekat, sepasang matanya melotot ke atas, buih putih tiada hentinya ke­luar dari ujung bibirnya. Dibalik buih putih itu masih terlihat noda darah. Dengan paras muka berubah Yan Jit se­gera berseru: "Aaaah. . . . . rupanya makanan yang dia bawa itu benar-benar ada racunnya . . . . !" "Tapi dia sendiri pasti tidak tahu" sam­bung Kwik Tay-lok dengan cepat, "kalau ti­dak, mengapa dia sendiri bisa keracunan?" Ong Tiong masih berdiri di situ bagaikan sebuah patung arca, bergerak sedikitpun tidak, seakan-akan dia sama sekali tidak menyaksikan peristiwa itu. Bahkan Yan Jit sendiripun merasa agak gelisah, tak tahan dia lantas berseru: "Ong lotoa, bagaimanapun juga seharus­nya pergi menengok keadaannya. ." "Melihat apa ?" "Periksalah dulu apakah dia keracunan atau tidak ? Apakah masih bisa tertolong atau­ tidak ?" "Tiada sesuatu yang perlu dilihat lagi." jawab Ong Tiong dengan suara dingin. Kwik Tay-lok yang mendengar jawaban tersebut, tak tahan lagi segera berteriak: "Bagaimana sih kamu ini? Mengapa kau sama sekali tidak berperikemanusiaan ?" Seandainya Yan Jit tidak menekan tubuhnya, mungkin dia sudah meronta dan merang­kak bangun. Tampak Ang Nio-cu tiada hentinya me­ngejang keras, terengah-engah dan berseru tiada hentinya: "Ong Tiong . . . . Ong Tiong . . . ." Akhirnya Ong Tiong tak tahan juga un­tuk menghela napas panjang, katanya lirih: "Aku berada di sini " Ang Nio-cu segera meronta dan mengu­lurkan tangannya seraya berseru kembali : "Kau . . . kau kemarilah . . . . . aku mohon kepadamu datanglah menjumpai aku ......" Ong Tiong menggigit bibirnya kencang-kencang, lalu berkata: "Jika kau ingin mengucapkan sesuatu, sekarang katakan saja, aku dapat mende­ngarnya dari sini." "Aku tidak tahu . . . . benar-benar tidak tahu kalau makanan tersebut ada racunnya, aku benar-benar bukan datang kemari un­tuk mencelakai dirimu, kau . . . . kau seha­rusnya percaya kepadaku." Ong Tiong belum juga menjawab. Tapi Kwik Tay-lok sudah tak kuasa mena­han diri lagi, dia segera berteriak-keras: "Aku percaya kepadamu, kami semua percaya kepadamu," Ang Nio-cu tertawa sedih, katanya lagi: "Walaupun ular bergaris merah sekalian beranggapan bahwa kau telah berbuat se­suatu yang menyalahi mereka, meski mereka ingin membinasakan dirimu, tapi aku. . . aku sama sekali tidak bermaksud demikian." Kembali dia mengejang keras, peluh di­ngin telah membasahi sekujur badannya sambil meronta, kembali katanya: "Walaupun aku bukan seorang perempu­an baik-baik, tapi sikapku kepadamu selalu bersungguh hati. Asal kau dapat memahami perasaanku, aku . . . . sekalipun aku harus mati juga rela, aku rela berkorban demi dirimu ......” Ketika habis mengucapkan perkataan itu, tampaknya dia telah mempergunakan segenap tenaga yang dimilikinya, sehingga tenaga un­tuk merontapun sudah tidak dimi­likinya lagi. Kwik Tay-lok yang menyaksikan keadaan tersebut, tanpa terasa matanya ikut menjadi basah, sambil menggigit bibir katanya: "Ong lotoa, sudah kau dengarkah perka­taannya?" Ong Tiong manggut-manggut. Kembali Kwik Tay-lak berseru sambil menggigit bibir: "Kalau sudah kau dengar, mengapa masih berdiri tak berkutik ditempat itu ?" "Gerakan apa yang harus kulakukan?" "Demi kau, dia telah berubah menjadi be­gitu, apakah kau tak bisa mencarikan akal un­tuk menyelamatkan jiwanya ?" "Kau suruh aku menolongnya dengan cara apa ?" Tiba-tiba Lim Tay-peng berkata: "Kalau toh kau bisa memunahkan racun senjata rahasia yang bersarang di tubuh Siau Kwik, seharusnya kaupun bisa memu­nahkan racun yang mengeram didalam tubuhnya seka­rang," Ong Tiong segera menggelengkan kepala­nya berulang kali. "Itu mah berbeda, sama sekali berbeda !" katanya. "Apa perbedaannya?" seru Kwik Tay-lok. Tiba-tiba Ong Tiong tidak berbicara lagi. Walaupun dia masih berusaha keras untuk mengendalikan diri, tapi dibalik sorot mata­nya itu seakan terpancar sinar air mata, bu­kan air mata kesedihan, melainkan rasa gusar yang tampaknya sudah mulai me-luap.... Jari tangannyapun turut gemetar keras. Yan Jit termenung sebentar, lalu ujarnya. "Andaikata Ong lotoa tak dapat, memu­nahkan racun didalam tubuhnya, maka di dunia ini hanya ada satu orang yang bisa memunahkan racunnya itu . ." "Siapa ?" "Si ular bergaris merah !” "Betul !" teriak Kwik Tay-lok, "kita harus minta si ular bergaris merah itu menyerah­kan obat pemunahnya." "Aku kuatir inipun sulit" kata Yan Jit sam­bil menghela napas panjang. Ingin meminta obat penawar dari ular bergaris merah, hakekatnya keadaan tersebut sama sulitnya dengan meminta harimau untuk menguliti kulitnya sendiri. Tentu saja Kwik Tay-lok juga menyadari akan teori tersebut. Sementara itu dengusan napas Ang Nio­cu makin lama semakin lemah, tapi dia masih tiada hentinya memanggil nama Ong Tiong. "Ong Tiong . . . . Ong Tiong. . . " Suara panggilannya makin lama semakin lemah, Kwik Tay-lok yang mendengarkan suara tersebut merasakan hatinya seperti hancur lebur tak tahan dia berteriak keras: "Kalau memang kalian tak bisa menolong­nya dan tak mau memintanya obat penawar dari si ular bergaris merah, apakah kalian akan menyaksikan orang itu mati di hada­pan kalian ? Sebetulnya kalian ini manusia atau bukan ?' Yan Jit menghela napas pula, sahutnya: "Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan ?" "Sekalipun si ular bergaris merah sendiri, diapun tidak akan membiarkan ia mati karena keracunan, kalian.. . . . ." Selama ini Lim Tay-peng hanya duduk di situ sambil termangu-mangu, pada saat itulah mendadak ia menukas perkataannya sambil ber­teriak keras: "Benar, ular bergaris merah juga tak akan membiarkan dia mati dengan begitu saja, oleh sebab itu kita harus menghantarnya pulang." Walaupun cara ini kurang baik, tapi tak bisa dianggap sebagai suatu cara yang jelek. Dengan kening berkerut Yan Jit lantas berkata. "Persoalannya sekarang, siapa yang meng­hantarnya pulang kesana ?" "Hmm . . . . . !" Kwik Tay-lak mendengus. Walaupun dia tidak mengatakan apa-apa, namun ujung matanya sedang melihat Ong Tiong. Tentu saja dia merasa Ong Tiomg yang berkewajiban untuk menghantarnya pulang. Asal orang ini masih memiliki sedikit liang-sim, dia tak akan membiarkan perem­puan itu mati di sana . . Siapa tahu Ong Tiong tidak menunjukkan reaksi apa-apa, bahkan sepasang matanya­pun tidak berkedip, seakan-akan ia tidak mendengar apa-apa, atau sekalipun mende-ngar seolah-olah tidak memahami apa arti-nya, dia mirip sekali dengan sese­orang yang lemah ingatan.. Tentu saja Ong Tiong bukan seseorang yang lemah ingatan. Dia tak lebih cuma berlagak seolah-olah bodoh. Tak tahan Kwik Tay-lok segera berteriak keras: "Baik, kalian tak mau menghantarnya pu­lang, biar aku saja yang menghantarnya !" Dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya, dia melompat bangun. Dengan cepat Yan Jit memeluknya ken­cang-kencang. Ong Tiong berpaling memandang sekejap ke arah mereka, sorot matanya memancar­kan rasa sedih dan kasihan. Siapapun tak ada yang tahu, sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan.... Lewat lama kemudian, akhirnya dia mendepak-depakkan kakinya ke atas tanah seraya berseru: "Baik, aku akan menghantarkanmu pu­lang!" Dia membalikkan badan dan maju ke de­pan baru saja akan membopong tubuh Ang Nio cu .... Mendadak Lim Tay-peng melompat maju ke depan, sekuat tenaga dia menumbuknya sehingga orang itu mundur tujuh-delapan depa dan jatuh di sudut dinding sana . Pada saat itulah Lim Tay-peng telah membopong tubuh Ang Nio-cu dari atas tanah. Mendadak paras muka Ong Tiong beru­bah hebat, teriaknya keras-keras: "Hei, apa yang hendak kau lakukan ?" Lim Tay-peng segera menukas perkataan­nya itu. "Hanya aku seorang yang dapat mengan­tarnya pulang, Yan Jit harus merawat siau­ Kwik, kau adalah duri dalam mata baginya, bila kau yang pergi maka mereka tak akan me­lepaskan dirimu." Sambil berkata dia sudah melayang keluar dari situ. Ong Tiong segera melompat bangun dan menerjang ke depan kecepatan luar biasa, ben­taknya keras-keras: "Cepat lepaskan dia, cepat . . . . . . ." Ditengah bentakan keras, mendadak ter­dengar Lim Tay-peng menjerit kaget. Ang Nio-cu yang sudah kempas-kempis napasnya itu mendadak melompat bangun dari bopongannya seperti seekor ular ber­bisa, ke­mudian melambung tiga kaki ke tengah udara, berjumpalitan beberapa kali dan sekejap mata kemudian lenyap dibalik kegelapan sana . Terdengar suara tertawa merdu seperti ke­leningan bergema dari kejauhan sana : "Telur busuk she Ong, kau melihat orang yang mau mati tak sudi menolong, kau betul­-betul seorang manusia yang tak punya liangsim, kau betul-betul seorang makhluk yang tak punya perasaan." Ketika mengucapkan kata-kata yang ter­a­khir, orangnya sudah pergi jauh sekali. Yang tersisa hanyalah suara tertawanya yang merdu dan lengking seperti suara kehila­ngan itu menggema dari kejauhan sana . Itulah suara tertawa yang merdu seperti keleningan perenggut nyawa. Lim Tay-peng sudah tergeletak di atas permukaan salju di atas dadanya telah ber­tambah dengan setitik bekas merah yang berwarna ke hitam-hitaman .... Tak ada orang yang bergerak. Tak ada orang yang berbicara. Bahkan sekulum senyuman manisnya yang terakhirpun akhirnya terbuyar oleh hembusan angin dingin. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Ong Tiong berjalan keluar dengan langkah pelan. kemudian membopong tubuh Lim Tay-peng dan dibawa kembali. Wajahnya jauh lebih dingin daripada hembusan angin, lebih gelap dari cahaya malam. Air mata Kwik Tay-lok telah jatuh ber­cu­curan membasahi seluruh wajahnya. Yan Jit sedang memandang ke arahnya, air mata pun telah membasahi seluruh wa­jahnya dengan lembut dia berkata: "Kau tak usah berkecil hati, soal inipun tak dapat menyalahkan dirimu!" Seandainya dia tidak mengucapkan per­kataan itu, keadaannya masih mendingan, begitu ucapan tersebut diutarakan, Kwik Tay-lok tak dapat menahan rasa sedihnya lagi. Mendadak seperti seorang anak kecil saja, dia menangis tersedu sedu . . . . . . . . . Entah berapa lama sudah lewat, pelan-pelan Ong Tiong baru mendongakkan kepalanya seraya berkata: "Dia belum mati !" Kejut dan girang Yan Jit setelah mende­ngar perkataan itu, serunya tertahan: "Apakah dia masih bisa tertolong ?" Ong Tiong manggut-manggut. "Apa yang harus dilakukan sehingga dia baru bisa tertolong ?" tanya Yan Jit lagi. Begitu ucapan itu diutarakan, sekali paras mukanya berubah hebat. Karena dia telah menduga apa yang bakal terjadi, sebab di dunia ini hanya ada satu cara yang bisa menolong jiwa Lim Tay-peng. Itulah suatu cara yang benar-benar mena­kutkan sekali. Dia memandang ke arah Ong Tiong, sorot matanya pun tanpa terasa memancarkan rasa takut yang luar biasa, sebab dia sudah tahu apa yang sedang dipikirkan Ong Tiong. Tentu saja Ong Tiong juga tahu apa yang sedang dia pikirkan, paras mukanya justru kelihatan sangat tenang sekali, katanya dengan suara hambar: "Kau harus tahu apa yang harus kulaku­kan untuk menyelamatkan jiwanya..." Cepat-cepat Yan Jit menggelengkan ke­palanya berulang kali, serunya: "Cara ini tak bisa kau lakukan." "Tidak bisa !" teriak Yan Jit dengan suara lantang. "Tidak bisa juga harus bisa, sebab kita sudah tidak memiliki pilihan yang lain." Mendadak Yan Jit roboh ke bawah, roboh di atas kursi dan duduk lemas, seolah-olah dia sudah tak sanggup lagi untuk memper­tahankan d iri, Kwik Tay-lok sedang mengawasi mereka dengan mata melotot besar, noda air mata ma­sih membasahi wajahnya, tak tahan diapun bertanya: "Sebenarnya apa yang sedang kalian bi­carakan ?" Tiada orang yang menjawab, tiada orang yang buka suara. Dengan gelisah Kwik Tay-lok berseru kembali: "Mengapa kalian tak mau memberitahu­kan kepadaku ?" Yan Jit menghela napas pelan, sahutnya: "Sekalipun kau tahu juga sama sekali tak ada gunanya!" "Kenapa tak ada gunanya ? Kalau bukan aku yang mengajukan usul tersebut, Lim Tay peng tak akan berubah menjadi begitu rupa, aku lebih sedih dari pada siapapun, lebih gelisah dan ingin menolong dirinya daripada siapa pun." "Sekarang kau hanya bisa menolong se­seorang." kata Ong Tiong dengan suara di­ngin. "Siapa ?" "Kau sendiri !" "Luka yang kau derita tidak ringan, bila pikiran sampai melayang kemana-mana, mung­kin nyawamu sendiripun tak bisa dipertahan­kan." bujuk Yan Jit dengan lem­but. Kwik Tay-lok melototi sekejap ke arah arang-orang itu, mendadak katanya: "Senjata rahasia yang terkena di tubuhku apakah juga beracun?" "Benar !" "Siapa yang telah menolongku ?" "Ong lotoa ! " "Kalau toh Ong lotoa bisa memunahkan racun yang bersarang di tubuhku, mengapa dia tak dapat memunahkan racun di tubuh Lim Tay peng ?" Yan Jit tidak menjawab. Kembali Kwik Tay-lok berkata: "Racun yang mereka poleskan di ujung senjata rahasia mereka seharusnya berasal dari satu aliran, bukankah begitu ?" Yan Jit termenung lagi sampai lama sekali, kemudian baru menghela napas panjang. "Kenapa kau harus menanyakan kese­muanya itu sampai sedemikian jelasnya?" "Kenapa aku tak boleh bertanya sejelas-jelasnya ?" seru Kwik Tay-lok dengan suara keras, "bila kalian tidak memberitahukan lagi kepadaku, aku akan . . . . aku akan. . ." Sekuat tenaga dia memukul-mukul ping­giran pembaringan, saking mendongkolnya dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Sambil menggigit bibir, Yan Jit segera berseru: "Baik aku akan memberitahukan ke­padamu, racun yang bersarang di tubuhmu serta racun yang bersarang di tubuh Lim Tay-pang, kedua-duanya adalah racun khusus dari si ular garis merah, oleh sebab itu hanya obat pena­war khusus darinya yang bisa menolong jiwamu. "Tapi Ong lotoa . . . . ." "Ketika Ong lotoa bersiap-siap hendak meninggalkan mereka, secara diam-diam dia telah mencuri sedikit obat pemunah khusus dari ular garis merah dan menyem­bunyikannya, maksudnya adalah sebagai persediaan untuk menghadapi segala ke­mungkinan yang tak diingin­kan". "Lantas dimana obat penawarnya ?" "Telah dipakai sampai habis sewaktu menolongmu !" jawab Yan Jit sepatah demi se­patah. "Sudah dipakai sampai habis ?" Kwik Tay lok berseru tertahan. "Yaa, sedikitpun sudah tak ada sisanya lagi: Sambil menggigit bibir, pelan-pelan kata­nya lagi. "Sebetulnya obat penawar itu dipersiap­kan untuk menolong dirinya sendiri, tapi sekarang telah digunakan semua untuk menolongmu. Sebetulnya aku mengira dia masih meninggalkan­nya sedikit, siapa tahu karena dia takut kau keracunan hebat dan takut kadar obat pemunahnya kurang, maka...." Berbicara sampai di situ, sepasang mata­nya menjadi merah dan ia tak sanggup melanjutkan kembali . sebetulnya persoalan ini hanya dia seorang yang tahu, sebab waktu itu Lim Tay-peng sedang berjaga ditempat luaran.. Kwik Tay-lok mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, peluh dingin membasahi sekujur badannya, lewat lama sekali dia baru bergumam: "Akulah yang telah mencelakai Lim Tay peng, obat pemunah yang bisa menyela­matkan diapun telah kupergunakan sampai habis, aku betul-betul hebat, betel-betul luar biasa .. ..'' "Kejadian ini sesungguhnya merupakan suatu kejadian yang sama sekali tak terduga oleh siapapun, kau sama sekali tidak . . . . " "Betul, aku sama sekali tidak meminta kepada kalian untuk menolongku." seru Kwik Tay-lok "kalian sendiri yang harus ber­buat demikian untuk menolongku, tapi mengapa kalian tidak pikirkan, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin bisa membuat aku hidup dengan hati yang lega dan tenteram . . . . ?' "Kau harus hidup terus," ujar Ong Tiong dengan wajah membesi, "setelah aku menolongmu, sekalipun kau ingin mati juga tak bisa." "Tapi Lim Tay-peng . . . ." "Kau tak perlu menguatirkan dirinya,"' ujar Ong Tiong dengan suara dalam, "kalau toh aku bisa menolongmu, tentu saja aku­pun mempunyai akal untuk menolong diri­nya." "Sekarang aku telah mengerti cara apakah yang hendak kau pergunakan itu." ujar Kwik Tay-lok sambil menggigit bibirnya. "Kau hendak meminta obat penawar ke­pada ular garis merah, bukankah begitu?"' Setelah menggertak bibir, kembali seru­nya: "Tadi kau tak mau pergi, lantaran kau terlalu memahami watak Ang Nio-cu, tapi se­karang, demi Lim Tay-peng, sekalipun harus mengorbankan jiwa untuk mempe­roleh obat penawar itu, mau tak mau kau harus pergi juga` Ong Tiong tertawa hambar. "Kau anggap It-hui-ciong-thian eng-tiong ong adalah seorang manusia baik-baik ?" "Aku tidak kenal siapa itu eng-tiong-ong, aku hanya kenal dengan Ong Tiong, akupun memahami manusia macam apakah Ong Tiong itu." "Ooooohhh . . . . ?" Sepasang mata Kwik Tay-lok kembali ber­kaca-kaca, katanya: "Manusia yang bernama Ong Tiong itu meski dingin dan kaku mukanya, padahal dia berhati lebih lunak daripada tahu, lebih panas daripada kobaran api." Ong Tiong termenung beberapa saat la­manya, kemudian diapun berkata: "Kalau toh kau sangat memahami diriku, tentunya kau juga harus tahu, apabila aku su­dah ingin melakukan sesuatu, maka siapa saja tak akan sanggup untuk menghalangi niatku itu. "Kau juga harus memahami diriku" kata Kwik Tay-lok pula, "bila aku ingin melaku­kan suatu pekerjaan, tak seorangpun yang dapat menghalangi diriku !" "Kau ingin melakukan apa ?” "Pergi mencari si ular garis merah untuk meminta obat penawar darinya .. . . . . " "Kau mana boleh pergi ?" seru Yan Jit berubah. "Kenapa aku tak boleh pergi? Pokoknya aku akan pergi, lagi pula hanya aku seorang yang dapat pergi." "Tapi lukamu . . . . . . .. ." "Justru karena aku terluka, maka kalian lebih-lebih harus membiarkan aku pergi." Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara, dia melanjutkan kem­bali: "Sekarang kita sudah tinggal dua orang, bila dua orang harus menghadapi tiga orang, maka jelas hal ini parah keadaannya, oleh sebab itu kalian tak boleh terluka lagi, kalau tidak kita semua hanya akan mene­mukan jalan kematian belaka." "Walaupun perkataanmu ada benarnya juga. tapi . . . . . . . . . .” Kwik Tay-lok segera menukas kata-kata­nya itu: "Tapi kami pun tak dapat membiarkan Lim Tay-peng mati keracunan, oleh sebab itu hanya aku seorang yang boleh pergi, ba­gaimanapun juga aku toh sudah terluka, dan tak mampu menyumbang tenaga lagi, apa lagi......" Setelah tertawa: "Paling tidak si ular garis merah sekalian juga masih terhitung manusia, bagaimana­pun juga mereka tak akan turun tangan keji terha­dap seseorang yang sudah tidak memiliki kemampuan untuk melawan bu­kan?" Ong Tiong segera tertawa dingin. "Kau anggap mereka tak dapat membu­nuhmu ?" jengeknya. "Aku rasa tidak" "Kau yang lebih memahami mereka? Atau aku ?" "Kalau begitu aku dapat memberitahukan kepadamu, mereka hanya tidak membunuh semacam manusia" "Manusia macam apa ?" "Orang yang sudah mati!" Mendadak serentetan suara tertawa yang merdu bagaikan keleningan berkumandang da­tang terbawa angin. Yan Jit menerjang ke muka, diapun me­nyaksikan sebuah layang-layang berwarna kuning sedang melayang turun dengan amat pe­lannya ditengah kegelapan malam. Layang-layang itu berbentuk segi empat diatasnya tertera pula lukisan yang me-liuk-li­uk seperti cacing. Sekarang Yan Jit sudah tahu, layang-la­yang tersebut bukan suatu layang-layang bia­sa, melainkan sebuah tanda pembetot nyawa yang mematikan bagi siapapun yang melihatnya. Tulisan apakah yang tertera di atas tanda pembetot nyawa itu? Siapapun tidak mema­ha­minya. Hanya manusia yang pernah mendatangi neraka saja yang dapat memahami tulisan ter­sebut. Ong Tiong juga memahaminya. Di atas layang-layang berwarna kuning itu penuh berisikan gambaran Hu yang ber­warna merah, merahnya seperti darah, seperti pula kobaran api dari neraka. Ong Tiong mengawasinya lekat-lekat, dari balik sorot matanya yang dingin terpancar ke­luar cahaya ngeri dan ketakutan yang luar biasa. Yan Jit tidak memperhatikan layang-la­yang tersebut, dia hanya memperhatikan sepasang mata Ong Tiong . . . . walaupun ia tidak mengerti makna dari gambaran Hu di atas layang-layang tersebut, namun dia memahami apa arti dari sorot mata Ong Tiong tersebut. Tak tahan lagi dia bertanya: "Tulisan apakah yang tertera di atas la­yang-layang tersebut ?" Ong Tiong termenung sampai lama sekali tanpa menjawab, dia malah membuka jendela dan memandang kegelapan malam yang mencekam. Bintang makin redup, malampun sudah mendekati akhir. Ditengah kegelapan malam, kembali tam­pak sebuah layang-layang dinaikkan ke te­ngah udara. Ong Tiong menghela napas panjang, gu­mamnya: "Fajar kembali sudah menyingsing!" "Langit tentu akan menjadi, terang !" sambung Yan Jit. "Akupun tentu akan pergi !" Ong Tiong menambahkan. KENAPA ? Tanya Yan Jit dengan paras muka berubah menjadi pucat pias seperti mayat. "Sebab sebelum fajar menyingsing nanti, bila aku masih belum sampai di bawah Layang­-layang tersebut, maka Lim Tay-peng akan mati!" Sewaktu mengucapkan perkataan itu, wa­jahnya tampak murung dan sedih sekali. Yan Jit juga tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya membungkam seribu bahasa. Dia tahu, apabila Ong Tiong telah berkata demikian, maka yang diucapkan itu sudah pasti tak bakal salah lagi. Sebab bagaimanapun juga Ong Tiong jauh lebih memahami keadaan dari pada dirinya. Langit sudah hampir terang tanah. Datangnya fajar selalu membawa kece­merlangan, kegembiraan serta harapan bagi siapapun juga. Tapi sekarang, yang diberikan untuk Ong Tiong sekalian hanyalah kematian. Sebelum fajar menyingsing, bila Ong Tiong tidak berdiri di bawah layang-layang tersebut, Lim Tay-peng akan mati !" Itulah arti dari pada tulisan yang tertera diatas, layang-layang tersebut . . . . . . Artinya, bagaimanapun juga Ong Tiong harus ke situ, dia harus mengorbankan ji­wanya. Dengan suara lantang Kwik Tay-lok ber­seru: "Aku toh sedari dulu sudah bilang, hanya aku seorang yang dapat ke situ, siapa saja jangan harap bisa menghalangi diriku !" "Baik, kau boleh pergi" kata Ong Tiong dengan hambar, "tapi perduli kau akan pergi atau tidak, aku tetap akan pergi juga." "Kalau aku toh sudah pergi, kenapa kau musti pergi juga ?" "Sebab yang mereka cari bukan kau, me­lainkan aku !" "Sekalipun kau pergi kesana, belum tentu mereka akan berikan obat penawar itu ke­padamu, tentunya dalam hal ini kau lebih jelas daripada diriku bukan ?" seru Yan Jit. "Yaa aku mengerti." "Apa yang mereka lakukan tidak lebih hanya merupakan siasat untuk memancing keda­tanganmu, cuma satu perangkap yang menanti kau masuk jebakan, sudah pasti mereka telah mempersiapkan diri di sana dan menunggu kau masuk perangkap." "Soal ini aku jauh lebih mengerti daripada dirimu." "Tapi kau masih bersikeras hendak pergi juga kesana ?" "Apakah kau harus membiarkan aku me­nyaksikan kematian Lim Tay-peng . . . ?" Napas Lim Tay-peng sudah makin lemah, sepasang giginya saling menggertak keras, wa­jahnya juga menunjukkan warna abu-abu, itulah suatu warna kematian. Entah siapapun juga, setiap orang dapat melihat bahwa jaraknya dengan kematian sudah tidak jauh lagi. Dengan sedih Yan Jit berkata: "Kami tak dapat menyaksikan dia mati, tapi juga tak dapat membiarkan kau pergi mati !" Ong Tiong segera tertawa-tawa ujarnya: "Dari mana kau bisa tahu kalau kepergi­anku kali ini adalah menghantar kematian ?” Siapa tahu kalau dengan cepat aku telah kem­bali lagi sambil membawa obat penawar!" Yan Jit, segera melompat sekejap ke arah­nya, kemudian berkata: "Sebetulnya kau lagi menipu kami? atau­kah sedang membohongi dirimu sendiri ?" Akhirnya Ong Tiong menghela napas panjang. "Aku sendiripun tahu kalau harapanku untuk kembali dengan selamat tidak besar, tapi asal masih ada setitik harapan, aku tetap akan mencobanya . . . . . ." "Seandainya setitik harapanpun tak ada?" "Aku masih tetap akan mendatanginya juga." Perkataan itu diucapkan dengan kata-kata yang tegas dan bersungguh-sungguh. Tiba-tiba Yan-Jit bangkit berdiri, kemudian berseru dengan suara lantang: "Baik, kalau kau ingin pergi, akupun akan menemani dirimu." Pelan-pelan Ong Tiong mengangguk. "Ai, kau boleh pergi, siapa saja yang bisa pergi boleh pergi ! Biarkan mereka yang tak bisa pergi tetap tinggal di sini, menunggu orang lain datang untuk menjaganya" Yan Jit tak mampu berbicara lagi. "Hei, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan ?" tiba-tiba Kwik Tay-lok berseru tak tahan, "kenapa tidak diucapkan saja se­cara berterus terang ?" "Aku akan pergi seorang diri," kata Ong Tiong, "sedang kalian dengan membawa Lim Tay-peng menunggu aku di bawah bukit sana ." "Kemudian ?" "Kemudian kalian usahakan sebuah kereta untuk menunggu di situ, entah mencuri atau merampas, aku pasti akan berusaha untuk mendapatkan obat pemunah itu." "Kemudian ?" "Kemudian kalian duduk dalam kereta dan menunggu kedatanganku, sebelum matahari terbenam nanti, bila aku belum datang juga men­cari kalian, maka tinggalkanlah tempat ini." 'Setelah meninggalkan tempat ini, kami harus pergi kemana?" tanya Kwik Tay-lok pula. Ong Tiong segera tertawa, meski suara tertawanya agak menyedihkan. "Dunia ini sangat luar, masa kalian tak tahu kemana harus pergi ?" Kwik Tay lok juga pelan-pelan mengang­guk, katanya: "Bagus, suatu ide yang sangat bagus, ide semacam ini tak nyana bisa juga kau dapat­kan." "Walaupun ide ini tidak terhitung suatu ide yang bagus, tapi inilah merupakan satu-satunya ide yang baik." "Bagus sekali, kau demi Lim Tay-peng pergi beradu jiwa, sedang kami harus sem­bu­nyikan ekor macam anjing untuk melari­kan diri, kau adalah seorang teman baik, tapi kami ha­rus menjadi binatang." "Apakah kau masih mempunyai cara lain yang lebih baik lagi ?" serunya dengan lan­tang. "Aku hanya punya satu akal." "'Katakan !” "Jika ingin hidup, kita harus hidup bersa­ma dengan riang gembira, kalau ingin mati maka kita pun harus mati bersama dengan riang gembira . . . ." Kwik Tay-lok tetap adalah Kwik Tay-lok, dia bukan Ong Tiong, juga bukan Yan Jit. Mungkin dia tidak memiliki ketenangan Ong Tiong, mungkin tidak memiliki kecer­dasan Yan Jit. Tapi orang ini justru selalu berpikir me­nurut perasaan, apa yang diucapkanpun selalu berbobot. Ketika angin berhembus lewat, kabut yang kelabu baru saja muncul dari tanah pekuburan. Api setan juga lenyap dibalik kabut. Siapa bilang di dunia ini tiada setan, Siapa yang bilang ? Yang sedang melayang dibalik kabut se­karang, bukankah merupakan sukma genta­yang­an yang tak diterima dalam neraka ? Siapapun tak dapat melihat jelas paras mukanya. Karena paras mukanya berwarna kelabu, seakan-akan telah melebur menjadi satu dengan kabut dingin yang tebal, hidungnya sudah me­lebur dengan kabut, mulutnya juga telah me­lebur dengan kabut. Yang tersisa tinggal sepasang mata se­tannya yang berwarna merah seperti api. Dibalik mata tiada sinar, juga tak bisa mana yang hitam mana yang putih, tapi pe­nuh berisikan sinar kebengisan seakan-akan sedang menyumpahi seluruh orang dan se­luruh kejadian yang berada di dunia ini . . . . . Entah tempat manapun yang dipandang oleh sorot mata tersebut, di tempat itu segera akan muncul suatu alamat yang ti­dak mengun­tungkan. Ang Nio-cu segera mengerlingkan mata­nya yang jeli, kemudian berkata lagi: "Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang ?" "Menurut kau ?" sukma gentayangan itu balik bertanya. "Kenapa harus aku yang menjawab ?" "Sebab kau toh lebih memahami tentang dirinya daripada kami !" Dengan lemah gemulai Ang Nio-cu maju menghampirinya, kemudian mengerling se­kejap ke arahnya sembari berkata: "Sekarang kau masih cemburu ?" "Hmmm!" sukma gentayangan itu mendengus: "Kau anggap aku benar-benar menaruh perhatian kepadanya." Sorot mata dari sukma gentayangan itu memancarkan rasa benci yang jauh lebih da­lam, katanya: "Selama ada dia, belum pernah kau me­nemani aku barang seharipun juga . . . . . ." Sekarang, sorot mata itu sedang meng­a­wasi daerah di sebelah barat, setiap kubu­ran setiap tumpukan salju, tak ada yang tertinggal olehnya. Kemudian sorot mata itu baru memperli­hatkan sinar yang penuh dengan senyuman. Siapa saja tak dapat menduga betapa keji dan menakutkannya senyuman semacam itu. Pada saat itulah, dari balik kabut yang te­bal kembali berkumandang suara tertawa yang merdu seperti keleningan. Bukan keliningan yang merdu, melainkan suara keleningan yang mengandung hawa pem­betot sukma. Bagaikan bayangan sukma saja Ang Nio­cu muncul dari balik kabut tebal, sambil ter­tawa katanya: "Segala sesuatunya telah dipersiapkan?" Sukma gentayangan itu pelan-pelan me­ngangguk. "Kecuali orang itu tidak datang kalau ti­dak jangan harap dia bisa pulang dalam ke­adaan hidup !" "Apakah kau sudah lupa siapa yang suruh aku berbuat demikian?" Sukma gentayangan itu tidak berbicara lagi. Ang Nio-cu tertawa dingin, kembali kata­nya : "Untuk berhasil merangkulnya agar ber­pi­hak kepada kita, kau suruh aku pergi mene­maninya tidur, sekarang kau malahan me­nyalah­kan aku, sebenarnya kau punya liangsim tidak?" "Tidak !" Kembali Ang Nio-cu tertawa, katanya: "Sungguh tak kusangka kaupun bisa me­ngucapkan sepatah kata yang jujur . . . . . ." "Dan kau ?" "Selama berada di hadapanmu, aku selalu berbicara dengan sejujurnya . . . . . .'' sahut perempuan itu. "Bila aku tidak menyuruhmu menemani­nya tidur, apakah kau tak akan pergi?" "Aku tetap akan pergi." "Kenapa ?" Ang Nio-cu tersenyum. "Karena aku suka menemani orang lelaki tidur." Sukma gentayangan itu segera mengger­tak giginya kencang-kencang, serunya lagi: "Menemani tidur lelaki macam apa ?" "Kecuali kau lelaki macam apapun aku suka !” Sorot mata sukma gentayangan yang pe­nuh rasa benci itu telah berubah menjadi surut penderitaan, tapi sinar matanya justru beru­bah menjadi terang, Ang Nio-cu mengawasi matanya itu, lalu katanya: "Sudah habiskah pertanyaanmu itu ?" Mendadak sukma gentayangan itu men­jambak rambutnya kemudian menempeleng wajahnya keras-keras, teriaknya: "Kau perempuan rendah !" Ang Nio-cu tidak merasa terkejut atau ta­kut, juga tidak merasa gusar, malah se-nyumannya bertambah manis. "Sebenarnya aku memang seorang pe­rempuan rendah, tapi kau lebih rendah dari­padaku.” Kembali sukma gentayangan itu menem­peleng wajahnya keras-keras. Ang Nio-cu masih saja tertawa, katanya: "Bukan saja kau suka kalau melihat aku pergi menemani lelaki lain tidur, suka pula bertanya kepadaku, tiap hari bertanya kepadaku, pertanyaan seperti ini entah su­dah betapa kali kau tanyakan kepadaku !" Tidak membiarkan si sukma gentayangan itu membuka suara, kembali dia berkata lagi: "Karena kau suka mendengarkan perkata­an semacam ini, suka menyiksa aku, hanya dikala aku sedang tersiksa, kau baru men­jadi orang, kau baru merasa bahagia." Sukma gentayangan itu mendesis lirih, sekuat tenaga menariknya keras-keras. Ang Nio-cu segera tertawa cekikikan. "Apakah kau ingin . . . : . . " Mendadak terdengar seseorang berkata dengan suara dingin: "Sekarang bukan saatnya buat kalian un­tuk berpacaran !" Suara itu lebih dingin daripada es. Karena suara tersebut memang datang-nya dari bawah lapisan salju yang amat tebal. Ang Nio-cu segera tertawa, serunya: "Rupanya kau telah menyusup ke dalam lapisan salju !" Selembar wajah tiba-tiba muncul dari ba­lik tumpukan salju yang tebal di atas per­mukaan tanah. Itulah selembar wajah yang lebih mena-kut­kan daripada wajah orang mati ..... "Bagaimana keadaan di bawah ?" Ang Nio-cu bertanya. "Nyaman sekali" sahut ular garis merah. Kembali Ang Nio-cu tertawa. "Di dunia ini memang sulit untuk mencari tempat kedua yang jauh lebih segar dari pada tempat kau berada sekarang." "Apakah kaupun ingin menerobos masuk kemari untuk menemani aku tidur . . . . . .?" "Asal kau punya kesabaran untuk menungguku di bawah, cepat atau lambat aku pasti akan menembus ke bawah." "Cuma sayang dia tak punya bernapsu terhadap dirimu" dengus si sukma genta­yangan sambil tertawa dingin Si ular garis merah memandang sekejap keadaan cuaca, tiba-tiba dia berkata: "Waktu sudah tidak pagi, lebih baik kau pergi mampus saja.” Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang ?" "Pasti akan datang" sahut Ang Nio cu dengan cepat. "Kenapa ?" "Sebab kecuali terhadap kita, terhadap sahabatnya selalu baik dan bersedia ber­korban" Sukma gentayangan itu mendongakkan kepalanya dan memandang pula keadaan cuaca. Fajar sudah mulai menyingsing. Sukma gentayangan atau setan pena­saran kebanyakan akan pulang ke rumah­nya jika fajar telah menyingsing. "Aku akan pergi mati !' kata sukma gen­tayangan itu kemudian. "Kalau begitu cepatlah pergi mati !" kata Ang Nio-cu. Pelan-pelan sukma gentayangan itu ber­jalan ke samping sebuah kuburan, menge­luar­kan sebuah botol porselen dan meletak­kannya ke atas kuburan tersebut. Kemudian diapun secara tiba-tiba lenyap didalam kuburan tadi. Ang Nio cu menghembuskan napas pan­jang, lalu bergumam: "Seandainya dia tak akan muncul untuk selamanya, betapa indahnya waktu itu." "Bagaimana indahnya ?" tanya si ular garis merah. Sambil menundukkan kepala, Ang Nio-cu memandang sekejap ke arahnya, sepasang mata­nya yang jeli dan bening itu menatap­nya le­kat-lekat, kemudian berkata dengan lembut. "kalau tinggal kita berdua, bukankah keadaan tersebut lebih baik lagi . . . . ?" "Kalau ingin begitu, paling tidak kita harus menunggu sampai semua perempuan yang ada di dunia ini sudah pada mampus se­mua." kata si ular garis merah dingin. Ang Nio-cu segera menerjang ke muka dan meludah di atas wajahnya, dengan ge­mas dia berteriak: "Sebetulnya kau ini manusia atau bukan?" "Bukan !" jawab si ular bergaris merah sambil tertawa seram. Belum habis dia berkata, wajahnya itu su­dah lenyap kembali dibalik lapisan salju. Ang Nio-cu menjadi tertegun untuk be­berapa saat lamanya, mendadak saja dia seperti mempunyai banyak pikiran. Lewat lama kemudian, tubuhnya baru ber­kelebat ke depan.. Dengan cepat bayangan tubuhnya lenyap pula dibalik kabut yang teramat tebal itu. Layang-layang itu sudah diturunkan. Langit hanya berwarna putih kelabu, ke­cuali itu tiada sesuatu yang tampak. Ong Tiong sedang berjalan dengan sangat lamban, wajahnya masih tetap dingin tanpa emosi. Sekalipun dalam hatinya merasa takut, perasaan tersebut tak akan dia perlihatkan di atas wajahnya. Entah siapa saja yang pernah merasakan penderitaan dan siksaan, dia seharusnya dapat menyembunyikan perasaan tersebut didalam hatinya. Pelbagai perasaan harus disembunyikan didalam hati. Tapi perasaan ibaratnya arak. Semakin dalam kau sampan, semakin lama kau simpan, justru akan semakin tebal dan keras. Sekarang dia cuma seorang diri. Teman-temannya tiada seorangpun yang datang. Apakah mereka telah menghianatinya, ataukah dia telah berhasil menundukkan perasaan mereka ? Siapa saja tidak tahu. Siapapun tak dapat membaca kesemua­nya itu dari perubahan mimik wajahnya. Tapi semua orang tahu, di dunia ini tiada perjamuan yang tak bubar, bagaimanapun akrab­nya suatu persahabatan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan berpisah juga. Kehidupan manusia memang serba tak menentu, kadangkala berkumpul kadang kala berpisah, tapi berkumpul juga baik, mengapa harus terlampau serius. Langit masih remang-remang, tapi untung saja masih ada setitik cahaya terang. Walaupun langkahnya sangat lamban, tapi akhirnya sampai juga ditempat tujuan. Manusia hidup memang demikian, banyak urusan memang selalu begitu, kenapa pula ha­rus terlampau tergesa-gesa ?" Angin masih terasa sangat dingin, dingin bagaikan sebilah pisau, pisau yang menya­yat wajahnya. Pelan-pelan dia berjalan menembusi tanah pekuburan, diam-diam menghitung jumlah batu nisan yang berserakan di situ. Batu nisan itu ada yang tumbang ada yang sudah lapuk dimakan cuaca, bahkan tu­lisannya pun sukar dibaca. Siapakah yang beristirahat didalam ku­buran itu? Tiada orang yang memperhatikan lagi. Dikala mereka masih hidup, bukankah merekapun mempunyai kebanggaan, kenis-taan, gembira dan sedih ? Tapi sekarang, mereka tidak memiliki apa-apa. Kalau toh sudah tahu begini, mengapa pula kau selalu memikirkan kebanggaan maupun kenistaan dirimu didalam hati ? Ong Tiong menghela napas panjang, men-dadak ia berhenti berjalan. Sebab dia telah mendengar suara tertawa dari Ang Nio-cu. Ang Nio-cu sedang tertawa cekikikan de­ngan suaranya yang merdu bagaikan kele-ningan. "Aku sudah tahu bahwa kau pasti datang, ternyata kau benar-benar telah datang." "Yaa, aku telah datang." . Dia telah melihatnya, perempuan itu telah berdiri di bawah sebatang pohon yang gun­dul di atas permukaan salju, pakaiannya masih ber­warna merah darah, seakan-akan masih tetap seperti ketika mereka bersua untuk pertama kalinya dulu. Tapi waktu yang sudah lewat tak pernah akan kembali lagi, kegembiraan dan kesedi­han yang sudah lewat pun akan segera terlupakan. Sekalipun, sekarang belum terlupakan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan terlu­pa­kan juga. Ang Nio-cu sedang berdiri di sana sambil mengawasi dirinya, dibalik sinar matanya itu entah terpancar rasa-marah atau murung? Cinta atau benci? Dia mau cinta juga boleh, benci juga bo­leh, sebab kesemuanya itu tak menjadi soal. Akhirnya Ang Nio-cu tertawa. "Betulkah kau datang untuk mengambil obat penawar bagi Lim Tay-peng ?" tanya­nya. "Benar !" "Kalau demi aku, kau tak akan sudi ke­mari?" kata Ang Nio-cu sambil menggigit bibir. "Yaa, tak sudi." Ang-Nio-cu tertawa amat sedih. ''Mengapa sikapmu terhadap teman selalu lebih baik daripada sikap kepadaku ?" "Sebab kau bukan temanku." "Aku bukan temanmu? Apakah kau sudah lupa ketika kami sedang berkumpul dulu, betapa besarnya perhatianku kepadamu?" "Aku sudah melupakannya." Ang Nio-cu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Bagaimanapun kerasnya ucapanmu itu, aku tahu dalam hati kecilmu, kau tak pernah akan melupakannya." Sinar matanya bagaikan kabut, dengan sedih lanjutnya: "Masih ingatkah kau, suatu ketika se­waktu kita sedang berbaring di puncak bukit Hoa-san, menggunakan awan putih sebagai se­limut, menggunakan bumi sebagai ran­jang, di dunia ini, seolah-olah tinggal kita berdua saja." Suaranya makin lama makin rendah, se­ma­kin lembut, kemudian lanjutnya lebih jauh: "Suatu ketika, kita berbaring ditengah gurun pasir yang tiada tepian, waktu itu kita menghitung jumlah bintang yang ada diang­kasa sampai sekujur tubuh kita berdua ter­benam di tengah pasir . . . . . semua keja­dian itu masih ingatkah kau ?" Ong Tiong tidak berbicara. Kejadian semacam itu memang tak akan dilupakan oleh siapapun juga. Benarkah dia dapat melupakannya ? Berhadapan muka dengan orang pertama yang dicintainya, benarkah perasaan, hati­nya bisa dingin dan tenang ? Ang Nio-cu menatapnya lekat-lekat, dari balik matanya nampak air mata berkaca kaca, lanjutnya: "Semua kejadian seperti itu tak akan ku­lupakan untuk selamanya, oleh karena itu aku baru membencimu, membenci diriku karena kau pergi tanpa mengucapkan sepa-tah katapun kepada­ku, membenci dirimu sehingga menginginkan kematianmu, tapi.." Dia menundukkan kepalanya rendah- rendah. "Asal kau bersedia untuk balik kembali" seperti sedia kala, asal kau bersedia mengu­capkan sepatah kata saja, sekarang juga aku bersedia pergi mengikuti dirimu, entah ke ujung langit sekalipun, aku akan selalu mengikuti dirimu." "Ke manapun aku tak akan pergi !" tiba-tiba Ong Tiong berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya sangat keras, seakan-akan hen­dak menyadarkan kembali dirinya dari im­pian. Sambil menggigit bibir Ang Nio cu ber­kata: "Kalau tempat manapun tak akan kau datangi, mengapa pula kau datang kemari ?" "Aku datang untuk mengambil obat penawar !" sahut Ong Tiong dingin dan ketus. "Selain itu, tiada alasan lainnya ?" "Tidak ada !" "Kau tak ingin datang untuk menengok­ku." "Tidak !" Mendadak paras muka Ang Nio-cu ber­ubah menjadi hijau membesi, hijau seperti kalajengking. Sorot matanya yang lemah lembut dan penuh kemesraan seketika lenyap tak ber­bekas, dia mendepak-depakkan kakinya berulang kali seraya berseru keras: "Baik, obat penawar itu berada di bela­kang sana , pergilah untuk mengambilnya sendiri." Ong Tiong berpaling, dia menyaksikan botol porselen di atas tanah kuburan itu. "Kali ini kami bersedia memberikan obat penawar itu kepadamu karena kami masih menganggap dirimu sebagai teman. Setelah menda­patkannya, lebih baik cepat-cepat kau tinggalkan tempat ini." Paras muka Ong Tiong masih kaku tanpa emosi. Apapun yang dikatakan perempuan itu, tak sepatah katapun yang dipercayai olehnya. Dia tahu, tak mungkin obat penawar ter­sebut akan diserahkan kepadanya dengan begitu gampang. Tapi dia toh maju pula ke depan. Bagaimanapun juga, apapun yang bakal terjadi, dia harus mendapatkan obat pena-war tersebut. Seandainya obat penawar itu berada di­dalam air keras, dia akan terjun ke dalam air keras, seandainya obat penawar itu berada di tengah kobaran api, dia akan ter­jun ke dalam kobaran api. Lapisan salju terasa dingin tapi lembut. Ong Tiong hanya cukup maju enam-tujuh langkah saja dengan cepat akan berhasil meraih obat penawar itu. Dia sudah mengulurkan tangannya. Botol itu sangat dingin, dingin seperti ta­ngannya mayat. Dia telah mengambil botol tersebut, ta­ngannya jauh lebih dingin daripada botol porselen tersebut. Sebab pada saat itulah dia sudah merasa­kan hawa kematian yang sangat tebal me­nye­limuti sekeliling tempat itu. Mendadak dari dalam kuburan itu muncul sepasang tangan yang segera menotok jalan darah Huan-tiam-hiat di atas lututnya. Sementara itu sepasang tangan yang lain­pun pada saat yang bersamaan muncul dari bawah lapisan salju dan secepat kilat mele­paskan dua titik bintang yang langsung menyerang kakinya. Dia segera terjatuh dan berlutut di atas tanah, berlutut di depan kuburan itu.. Kemudian dia baru menyaksikan, di ba-wah kuburan itu muncul sebuah liang gua. Ternyata kuburan itu hanya sebuah kub­uran palsu, didalamnya kosong melompong. Suara tertawa Ang Nio-cu yang merdu merayu kembali berkumandang datang, katanya sambil tersenyum manis. "Sekarang, kau benar-benar tak usah pergi ke mana-mana lagi . . . . . . " Ong Tiong berlutut di depan kuburan, wajahnya masih tanpa emosi, tapi muka itu pu­cat pasi dan nampak menakutkan sekali. Dia sangat memahami orang-orang itu, sa­ngat memahami cara kerja dan kekejian orang ini. Dia sedang menunggu, menunggu mereka lakukan tindakan yang lebih keji lagi. Akhirnya dari dalam kuburan itu berku­mandang suara keras: "Kau kalah !" Dia tahu, itulah suara Cui-mia-hu. Dimana pun juga, suara pembicaraan dari Cui-mia- hu selalu dingin seakan-akan uca­pan yang keluar dari dalam kuburan. "Yaa aku kalah !" Terpaksa dia harus mengakui kenyataan. "Kali ini kau tidak mempunyai kesempat­an lagi untuk meraih kembali modalmu !" kem­bali Cui-mia-hu berkata. "Yaa memang aku tak punya." "Tahukah kau, apa yang telah kau kalah­kan dalam pertaruhkan?" "Aku hanya mempunyai selembar nyawa yang kalah dipertaruhkan." "Kau masih memiliki yang lain." "Apa pula yang kau inginkan ?" "Kau seharusnya tahu, apa yang bakal di minta sebuah tangan yang dijulurkan dari peti mati ?" "Minta uang ?" "Betul, minta uang !" "Bila kau minta uang, maka kau telah salah sasaran." "Aku tak pernah salah mencari orang." "Yang membutuhkan uang seharusnya aku, dalam harta kekayaan yang kita miliki aku berhak satu bagian. tapi tidak seharus­nya kalau kau telan empat bagian yang lainnya sekaligus" Ong Tiong tidak berbicara, tiba-tiba saja mimik wajahnya berubah menjadi aneh sekali. "Penghasilan yang kita peroleh beberapa tahun itu lumayan sekali" kata Cui-mia-hu. "Yaa, memang lumayan." "Apakah cuma kita berlima yang tahu, berapa besar penghasilan kita semua . . . ?" "Benar !" "Apakah hanya kita, berlima juga yang tahu sebenarnya berapa banyak penghasilan yang kita simpan dan disembunyikan di­mana?"' "Benar !" "Adakah orang ke enam yang mengeta­huinya: "Tidak ada !" "Entah siapapun orangnya, bila uang ter­sebut berhasil diambilnya, sudah cukup bagi­nya untuk menikmati penghidupan yang cukup dan berlebihan ?" "Sekalipun seorang yang pemborospun masih lebih dari cukup." "Tapi ketika kau telah pergi kami baru tahu, rupanya hanya kau seorang yang da­pat menikmati uang tersebut!" "Kau mengira aku telah melarikan uang tersebut ?" seru Ong Tiong. "Harta tersebut sudah ludas hingga sepe­ser uangpun tak ada yang tersisa, kau me­ngira siapa yang telah membawanya lari?" Ong Tiong menghembuskan napas pan­jang, katanya: "Sekarang aku baru tahu, karena apakah kalian datang kemari." Cui-mia-hu juga tertawa dingin. "Semenjak dulu aku sudah tahu karena apakah kau pergi, harta kekayaan itu sudah cukup membuat siapa saja mengkhianati temannya." Tiba-tiba Ong Tiong tertawa. Kembali Cui-mia-hu, berkata: "Kau menganggap kami menggelikan. Mengira kami adalah telur busuk yang bodoh?" "Aku baru seorang telur busuk yang bodoh, seandainya aku memiliki sejumlah uang seperti yang kalian maksudkan, tak akan kule­wati penghidupan semacam ini, kecuali kalau dia itu seorang tolol." "Penghidupan macam apakah yang kau maksudkan ?" "Penghidupan yang miskin !" Tiba-tiba Ang Nio-cu melayang ke depan dan tertawa merdu seperti bunyi keliningan: "Berapa besar kemiskinanmu itu ?" "Miskin sekali !" Ang Nio-cu segera mengedipkan matanya berulang kali, katanya: "Konon ada seseorang yang dalam sema­laman saja telah kalah beberapa puluh laksa tahil perak dalam rumah makan Gui-goan- koan di kata Sian-sia, siapakah orang itu ?" "Aku !" "Konon, ada seseorang membeli arak se­banyak beberapa ratus tahil perak selama satu bulan di toko Yan-biau-gwan di bawah gunung sana . Siapa pula orang itu ?" "Aku ?" " Ada pula satu keluarga yang belakangan ini baru saja mengganti semua perabot rumahnya, bukankah kursi yang ada di ru­ang kecil di halam­an belakangpun, terbuat dari kayu jati, yang harganya paling tidak tujuh tahil perak sebuahnya. Siapa pula orang itu ?" "Aku !" Ang Nio-cu segera tertawa, katanya sam­bil tersenyum: "Bila seseorang dapat melakukan penghi­dupan semacam ini, dapatkah orang itu, dianggap miskin ?" "Tidak dapat !" "Kami sudah mencari kabar, meski tempat ini bernama Hok-kui-san-ceng, namun sejak generasi yang pertama kecuali namanya saja, ti­dak dijumpai segala sesuatu yang berbau kaya atau mewah." "Betul !" "Selama beberapa tahun ini, kau juga tak pernah keluar rumah untuk berdagang ?'' "Bila seseorang bisa hidup bahagia di da­lam rumah, mengapa harus keluar rumah untuk bersusah payah ?" "Memangnya uang bisa terbang datang dari atas langit?" "Tapi bisa digali dari dalam tanah !" Sekali lagi Ang-Nio-cu tertawa. "Tak kusangka begitu cepat kau telah mengakuinya !" "Tidak mengaku pun tak bisa !" "Yaa, memang tak bisa !" "Kau toh tidak bisa, mengapa aku tidak mengakuinya saja ?" Setelah tertawa, tertawa yang sangat di­paksakan, dia berkata lebih lanjut: "Bila kalian hendak menyelidiki asal-usul seseorang sejelasnya, tulang belakang dari kakek moyang tiga generasi pun akan digali ke­luar. Bila kau menginginkan seseorang berbi­cara sejujurnya, bahkan si bisu pun mau tak ­mau harus buka suara, hal ini aku mengetahui jauh lebih jelas lagi daripada orang lain." "Oleh sebab itu kau tidak seharusnya pergi." sambung Cui-mia-hu dengan dingin. "Aaai . . . . . . . sayang, ada banyak orang yang seringkali dapat melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan", gumam Ong Tiong sambil menghela napas. "Baik, sekarang kita berangkat." "Berangkat ? Ke mana?" "Pergi mengambil kembali tiga bagian yang menjadi hak kami". "Baik, kalian boleh pergi mengambilnya!" "Mengambilnya di mana?" "Kalau kau tidak berbicara, dari mana kami bisa tahu uang tersebut disembunyi­kan di mana ?" "Kenapa aku harus berbicara ? Aku tidak berbicara apa-apa." "Kau masih belum mau mengaku?" bentak Cui-mia-hu dengan suara keras bagaikan geledek. "Sekalipun uang itu aku yang mengambil, tapi mengaku mengambil uang adalah satu urusan, menyanggupi untuk mengambil uang adalah urusan lain." "Kau menginginkan uang? Atau meng-inginkan nyawa?" ancam Cui-mia-hu sambil tertawa dingin. . "Bila masih hidup, tentu saja menginginkan nyawa, bila sudah tak bisa hidup terus terpaksa minta uang." "Kau menginginkan yang bagaimana baru bersedia meluluskan permintaan kami ?" "Jikalau kalian bersedia mengembalikan nyawaku, akupun bersedia pula mengem­balikan uang kalian." Cui-mia-hu termenung beberapa saat la­ma­nya, tiba-tiba dia berkata keras: "Baik, kembalikan nyawamu." "Selembar nyawa dengan sebagian uang." "Kau mempunyai beberapa lembar nya­wa?" "Aku mempunyai selembar, Kwik Tay-lok selembar, Lim Tay-peng selembar, Yan Jit se­lembar, total jendral empat lembar nyawa de­ngan empat bagian harta." "Selembar nyawa dengan empat bagian harta !" "Tidak bisa." "Tidak bisa juga harus bisa, kau ini hidup sedang uang itu mati, kalau toh kami bisa me­nemukan dirimu, memang tak bisa me­nemukan uang itu . . . . ?" Ong Tiong juga termenung sampai lama sekali pelan-pelan dia baru menjawab: "Baiklah, kembali dulu nyawanya" "Nyawa siapa ?" "Kau mengharapkan siapa yang akan me­ngembalikan uang kepadamu ?" Ang Nio-cu kembali tertawa, sambil ce­kikikan katanya: "Sudah sejak lama aku tahu kalau dia ma­sih terhitung seseorang yang pintar, akhir­nya dia tahu juga nyawa siapa pun masih berharga nyawa sendiri." "Bebaskan dulu racun yang mengeram dalam tubuhku, kemudian bebaskan jalan darah di tubuhku kemudian aku akan me­ngajak kalian pergi mengambil uang." "Racun boleh kupunahkan, tapi jalan da­rah tak bisa kubebaskan" ucap Cui-mia-hu. "Bila jalan darahku tidak dibebaskan, se­tiap saat kalian masih bisa merenggut nya­waku." "Aku toh sudah bersedia untuk mengam­puni selembar nyawamu."' "Kecuali nyawa?" "Asal masih punya nyawa, seharusnya kau sudah merasa puas sekali." Ang Nio-cu tertawa dan menambahkan pula: "Betul daripada mati kan lebih baik hidup kau masih bisa memikirkan nyawa bukan ?" Ong Tiong kembali termenung beberapa saat lamanya kemudian dia pun menghela napas panjang. "Aaaai . . . . tampaknya aku sudah tiada jalan lain lagi." "Semenjak kau membawa kabur harta ke­kayaan tersebut, sesungguhnya kau telah melangkah ke sebuah jalan buntu" sambung Cui-­mia-hu dengan nada menyeramkan. "Bila jalan darah Huan tiau hiat di tubuh seseorang tertotok, mau ke manapun dia pasti tak bisa berjalan sendiri," ucap Ong Tiong. Ang Nio-cu segera tertawa genit. "Kau tak bisa jalan, biar aku saja yang menggendongmu. Jangan lupa dulu kau sering kali menunggangi tubuhku." "Kau mengikuti aku saja!" tukas Cui mia hu dengan dingin. "Lantas siapa yang akan membopong­nya?" "Aku!" tiba-tiba dari atas lapisan salju muncul seseorang bagaikan seekor alas.. Ong Tiong pun berada di atas punggung si ular bergaris merah. Tubuh si ular bergaris merah lembut, em­puk, basah dan dingin. Kabut telah buyar. Tapi udara masih mendung dan berawan tebal, tiada sinar cahaya matahari, tiada si­nar keemas-emasan. Tiba-tiba si ular bergaris merah berkata: "Jalan ini menuju ke rumahmu" "Aku hanya berharap jalan ini bukan me­nuju ke rumah nenek moyangku!" sambung Ong Tiong. "Kau sembunyikan uang itu di dalam ru­mahmu ?" "Seandainya berganti kau, uang itu akan kau sembunyikan dimana ?" "Tentu saja di suatu tempat yang setiap saat bisa kucomot. Uang itu bagaikan perem­puan, lebih baik disimpan pada tem­pat yang setiap saat bisa diraba." "Tak kusangka kau pun mengerti soal pe­rempuan." ujar Ong Tiong sambil tertawa. "Justru karena aku mengerti, maka aku baru menghendaki." "Kau hanya menginginkan uang ?" "Uang lebih baik daripada perempuan, uang tak dapat menipu dirimu, di dunia ini tiada benda lain yang lebih jujur daripada uang" "Oleh karena itu, uang bisa disimpan dalam ruang tamu, tapi perempuan tak da­pat." "Uang itu berada di ruang tamu ?" seru si ular bergaris merah. "Dalam sebuah rumah, masih ada tempat mana lagi yang jauh lebih luas dan menyo­lok daripada ruang tamu ?" Si ular bergaris merah segera manggut- manggut. "Benar, semakin menyolok tempat itu, semakin tak akan diperhatikan oleh orang lain." Cui-mia-hu selamanya enggan berjalan di depan siapa saja.. Di dunia ini ternyata terdapat juga manu­sia seperti itu, sebab sudah tak terhitung jum­lahnya ketika dia menyergap dan mem­bunuh orang dari arah belakang pula. Oleh karena itu, selamanya dia enggan berjalan di belakang orang lain . . . . Dengan ketat dia mengikuti di belakang Ang Nio-cu, seakan-akan selembar baya­ngan tubuh si perempuan itu. Bahkan Ang Nio-cu masih sempat merasakan pula dengusan napasnya yang dingin, dengusan napas yang membawa hawa mayat. Paras mukanya waktu itu sudah berubah menjadi amat tak sedap dipandang ..... . . Cui-mia-hu tak dapat menyaksikan paras mukanya, dia hanya dapat melihat tengkuk­nya. Dia sedang memperhatikan tengkuknva dengan wajah penuh kenikmatan, sebab di atas kulit tengkuknya yang putih halus itu, bulu kuduknya pada berdiri semua karena terkena dengusan napasnya. Ang Nio-cu sebaliknya sedang memper­hatikan Ong Tiong yang berada di hadapan­nya tiba-tiba ia berkata: "Kau mengira dia benar-benar akan mem­bawa kita untuk pergi mengambil uang tersebut?'" "Dia sudah tiada pilihan lain" jawab Cui-mia-hu. "Aku selalu merasakan gelagat kurang benar !" "Bagian mana yang tidak benar ?" "Dia bukan seorang manusia yang gam­pang dihadapi, diapun tidak semestinya be­gini takut mati." Cui-mia-hu segera tertawa dingin, kata­nya: "Perduli dia itu manusia macam apa, se­karang sudah tidak menjadi soal lagi." "Kenapa ?" "Sebab sekarang dia sudah merupakan se­seorang yang telah mati." "Orang mati ?" "Kau mengira aku sungguh-sungguh akan mengampuni selembar jiwanya....." Ang Nio-cu tersenyum. "Tentu saja aku tahu kalau kau tak akan berbuat demikian, tapi sekarang dia toh be­lum mati!” "Walaupun belum mati seluruhnya, tapi sudah mati separuh bagian." "Dia masih mempunyai teman." "Seorang adalah teman yang sudah ham­pir mati, sedang dua orang lainnya tak ubahnya seperti menanti saat kematiannya saja. Kami bertiga, entah siapa saja sudah cukup untuk menghadapi mereka, apa pula yang kau kuatirkan?" Tiba-tiba Ang Nio cu tertawa, katanya: "Aku bukan merasa kuatir, tapi cuma merasa agak sayang." "Apanya yang sayang!" Ang Nio-cu tertawa cekikikan. "Sayang aku belum sempat tidur bersama ketiga orang bocah itu." Mendadak Cui-mia-hu menggigit tengkuk­nya. Seakan-akan seekor anjing gila yang tiba­-tiba berhasil menggigit seekor anjing betina. Langit masih gelap, oleh sebab itu sua­sana di ruang tamu pun masih amat gelap. Daun jendela terbuka lebar, dari luar lamat-lamat masih kelihatan ada dua sosok bayangan manusia. "Siapa yang berada di dalam?" si ular ber­garis merah segera menegur. "Sungguh tak kusangka matamu makin lama semakin melamur" kata Ong Tiong hambar. Sesungguhnya mata si ular bergaris merah memang tidak begitu bagus. Andaikata seseorang hidupnya sepanjang tahun hanya bergelimpangan diantara obat-obat­an beracun, ketajaman matanya pasti akan berkurang. Tapi sekalipun seseorang yang ketajaman matanya lebih cetekpun, asal memandang bebe­rapa kejap saja sudah pasti dapat meli­hat bah­wa kedua sosok bayangan itu tak lebih cuma dua buah orang-orangan dari rambut kering. Dua buah orang-orangan yang baju be­laco. Tiba-tiba Ong Tiong tertawa, katanya: "Bila kau masih belum melihat jelas, tak ada halangannya kuberitahukan kepadamu, bila aku sudah mati, mereka adalah orang yang akan menjadi anak baktiku, jika kau mati, mungkin kaupun terpaksa harus mempergunakan mereka menjadi anak bak­timu." "Anak bakti semacam ini paling tidak jauh lebih baik daripada sama sekali tak ada." "Oleh karena itu kau lebih suka tak punya anak tak punya cucu ?" "Lebih baik lagi kalau temanpun tak punya." Mendadak Ang Nio-cu memburu ke depan, lalu serunya: "Kemana perginya teman-temanmu ?" Yang ditanyanya adalah Ong Thong, sebab diantara beberapa orang itu hanya Ong Tiong yang mempunyai teman. "Mereka menunggu aku di bawah bukit" jawab Ong Tiong. "Mengapa harus menunggu di bawah bukit?" Seandainya kau menjadi mereka, dalam keadaan seperti ini kalian akan menantiku di­mana ?" "Dia tak nanti akan menunggumu !" sela si ular garis merah. Ang Nio-cu segera mengerdipkan matanya berulang kali, katanya: "Selama ini aku selalu merasa kaulah orang yang paling kupahami, tahukah kau apa se­babnya ?" "Hmm!" "Karena cuma perempuan yang bisa me­mahami perempuan, teori ini diketahui oleh siapapun. "Dia adalah perempuan?" tanya Ong Tiong 'Memangnya kau mengira dia itu lelaki?" "Tampaknya sih seperti lelaki." "Sekalipun dia memang berwujud lelaki, tapi setelah merendam diri selama puluhan ta­hun di dalam obat beracun, sudah sedari dulu ia telah berubah menjadi perempuan" Paras muka si ular bergaris merah berubah menjadi kaku, seakan-akan seekor ular yang kena dicekal bagian mematikan­nya. Ang Nio-cu tertawa cekikikan kembali ujarnya: "Kesemuanya ini sebenarnya adalah raha­sianya yang terbesar, sebenarnya tidak se­harusnya kuucapkan, untung saja kaupun bukan orang luar, oleh karena itu . . . ." Sengaja dia merendahkan suaranya, ke­mudian berbisik: "Aku dapat memberitahukan lagi suatu rahasia besar kepadamu." "Rahasia apa?" "Coba tebak, setelah si kelabang besar mati, siapakah yang merasa paling sedih?" "Aku tahu dia adalah sahabat yang paling akrab dengan si kelabang besar itu." "Kau keliru besar" seru Ang Nio-cu sambil tertawa, "mereka bukan cuma berteman saja, mereka sudah . . . .” Si ular bergaris merah melototkan mata­nya bulat-bulat sambil mengawasi perem­puan itu tak berkedip, sepasang matanya yang dingin telah berubah menjadi kehi­jau-hijauan, tiba-­tiba saja ia mengarah wa­jahnya dan meniup satu kali. Dia tak lebih cuma meniup pelan, tapi Ang Nio-cu harus berkelit dengan tergopoh-gopoh bagaikan sedang menghindari senjata rahasia paling beracun di dunia ini, belum sem­pat ucapannya di selesaikan, tubuhnya sudah melompat dan berjumpalitan di udara lalu me­nyusup ke balik rumah. Cui-mia-hu yang berada di belakangnya sudah turut lenyap tak berbekas. Tiba-tiba Ong Tiong berseru. "Apa yang dia katakan, tak sepatah kata­pun yang kupercayai." "Kau memang sesungguhnya tidak bodoh" jawab si ular bergaris merah cepat. "Tapi kali ini aku telah mempercayainya". "Kenapa ?" "Sebab bila apa yang dia katakan bukan ucapan yang sesungguhnya, mengapa pula kau hendak merenggut nyawanya?" kata Ong Tiong sambil tertawa lebar. "Apakah kau juga menghendaki agar ku­renggut pula jiwamu ?" kata si ular bergaris merah dingin. "Selembar nyawaku ini sudah tidak she Ong lagi, siapa yang menghendaki toh tiada bedanya, tapi kau ?" "Kenapa dengan aku ?" "Bila kau mati, siapa yang akan paling sedih ?" "Tiada orang yang akan sedih." "Adakah orang yang merasa gembira?" " Ada ." "Kau juga tahu kalau dia ( perempuan ) membencimu ?" "Hmmm !" si ular mendengus. "Mengapa, dia selalu tidak merenggut nyawamu" "Sebab dia tahu, aku lebih berguna sela­gi masih hidup daripada setelah mati." "Selanjutnya ?" "Yaa, selanjutnya dikala hendak memba­gi uang tersebut ?" Mendadak paras muka si ular bergaris merah itu berubah menjadi kaku seperti mayat. Ong Tiong segera berkata lebih lanjut: "Si kelabang besar telah mati, apakah mereka pun merasa amat sedih sekali ?" "Hmm !" kembali si ular bergaris merah mendengus. "Mengapa, mereka tidak merasa sedih ?" "Karena lebih enak uang itu dibagi tiga orang dari pada dibagi untuk empat orang." "Seandainya uang itu hanya dibagi untuk dua orang ?" Si ular bergaris merah segera berpaling dan menatapnya lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah katanya: "Sebenarnya kau ingin berbicara apa ?" "Apa yang ingin kukatakan, tentunya kau sudah memahaminya sedari tadi . . ... . . ." Sepasang mata si ular bergaris merah yang hijau menyeramkan itu mendadak berubah men­jadi keabu-abuan, wajahnya dingin kaku tanpa emosi. Ong Tiong berkata lebih jauh: "Jika sebiji bakpao dimakan dua orang, tentu lebih enak daripada dimakan bertiga, teori semacam ini dipahami oleh siapapun. Persoalannya sekarang adalah kedua orang itu dapatkah merasakan bakpao tersebut?" "Menurut pendapatmu?" "Aku cukup mengetahui sampai dimana­kah kehebatan ilmu silatmu, tentu saja kau tak akan takut terhadap Ang Nio-cu?" "Hmmm ....." "Tapi apakah hubungannya dengan Cui lotoa? Dan apa pula hubunganmu dengan Cui lotoa? Dapatkah kau menandingi diri­nya?" Si ular bergaris merah tertawa dingin. Bila seseorang hanya tertawa dingin be­laka dalam suatu keadaan, itu berarti dia sudah tak mampu berbicara lagi, ini menan­dakan ka­lau perasaan hatinya sudah mulai tidak tenang. Bagi seseorang yang sama sekali yakin terhadap setiap persoalan yang sedang di­hada­pinya, dia akan jarang sekali memper­dengarkan suara tertawa dingin semacam itu. Maka Ong Tiong segera berkata lebih lanjut: "Oleh karena itu, jika kaupun ingin me­rasakan bakpao itu, lebih baik cepatlah men­cari akal lain." Si ular bergaris merah memikir sejenak, akhirnya tak tahan diapun bertanya: "Apa caranya ?" "Mencari orang yang lain untuk mem­bantu kau merampas kembali bakpao tersebut." "Siapa yang harus kucari ?" sekali lagi si ular bergaris merah itu tertawa dingin. "Pertama orang itu jangan terlalu sera­kah" "Adakah manusia semacam itu dalam dunia? "Aku adalah seseorang yang tidak terlalu serakah" "Dulu mungkin aku manusia macam be­gitu, tapi sekarang aku sudah mengerti, le­bih baik bakpao itu dimakan berdua dari­pada sama sekali tidak merasakannya" "Kedua ?" si ular bergaris merah itu kem­bali menatap tajam-tajam. "'Kedua, Orang itu harus tidak melebihi dirimu." "Kenapa, harus tidak melebihi diriku ?" "Sebab bila dia tidak melebihi dirimu, dia tak akan berani bermain gila di hadapan­mu." "Kau tidak melebihi diriku ?" Ong Tiong tertawa. "Seandainya aku lebih tangguh daripada dirimu, mengapa aku harus minta kau gen­dong sekarang ?" Dari balik mata si ular bergaris merah yang berwarna kelabu, mendadak terpancar setitik sinar terang. "Kau benar-benar akan berdiri dipihakku?" dia bertanya. "Mau tak mau aku harus berdiri dipihak­mu." "Kenapa !" "Sebab dipihak mereka sana sudah ter­lampau sesak." Sorot mata si ular bergaris merah kembali memancarkan sinar tajam, katanya kemu­dian: "Apa saja yang bisa kau lakukan buatku?" "Aku masih punya tangan." "Tanganmu itu bisa melakukan apa?" "Paling tidak masih bisa menahan sese­orang yang lain." Si ular bergaris merah tidak tertawa di­ngin lagi. Sebab lambat laun dia mulai merasa mantap dan rencana itupun semakin diya­kininya. "Sekarang tinggal satu persoalan saja yang harus diselesaikan," kata Ong Tiong lagi. "Katakanlah !" "Sanggupkah kau menghadapi Cui lotoa?" "Menurut pandanganmu?" "Bila sungguh sampai bertarung, aku tak tahu. Tapi jika dilakukan secara mendadak di luar dugaan, maka . . . " Mendadak dia menutup mulutnya rapat-rapat. Si ular bergaris merah juga menutup mu­lutnya rapat-rapat, setelah itu pelan-pelan dia baru masuk ke dalam rumah. Cui-mia-hu serta Ang Nio cu sudah me­nunggu didalam ruangan. Suasana didalam ruangan itu terang benderang. Di bawah sorotan cahaya lampu, paras muka Cui-mia-hu kelihatan pucat seperti se­lembar kertas putih. Selembar kertas putih yang kering dan berkeriput. Ada sementara orang yang tampaknya se­panjang masa tak dapat terkena sinar, jelas dia adalah manusia semacam itu. Si ular bergaris merah telah meletakkan Ong Tiong di atas bangku, kemudian ujarnya: "Sudah kalian periksa ?" "Setiap bagian dan setiap sudut tempat ini sudah kami periksa." sahut Cui-mia-hu. "Bahkan kakus pun sudah kami periksa," sambung Ang Nio-cu sambil tersenyum, "he­ran, ternyata tempat itu tidak berbau busuk." Dia mengerling sekejap ke arah Ong Tiong kemudian katanya lagi. "Oleh sebab itu aku tahu teman-temanmu itu sudah pasti adalah orang yang suka de­ngan kebersihan." "Apa pula yang kau ketahui ?" dengus Ong Tiong ketus. Ang Nio-cu tertawa. "Aku masih tau kalau orang itu sudah pasti bukan kau." "Ke mana perginya teman-temannya itu?" tanya si ular bergaris merah tiba-tiba. "Sudah pergi semua !" sahut Cui-mia-hu. Sekali lagi Ang Nio-cu mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian sambil ter­tawa genit katanya: "Tampaknya teman-teman yang kau da­patkan belakangan ini bukanlah teman- teman yang baik." "Di dunia ini memang tiada teman yang benar-benar bersedia menemani sampai mati" kata Ong Tiong hambar. Ang Nio-cu tersenyum. "Suami istri macam begini saja sudah tak ada, apalagi cuma sahabat . . . ." Kali ini biji matanya mengerling ke arah si ular bergaris merah. Tapi si ular bergaris merah seakan-akan tidak mendengar perkataan itu, diapun tidak memandang ke arahnya, cuma ujarnya: "Apakah didalam rumah ini sudah tiada orang lain?" "Cuma ada dua buah orang-orangan !" sahut Cui-mia-hu. "Orang orangan bukan termasuk orang !" kata Ong Tiong. Mendadak Cui-mia-hu tertawa seram. "Heeehhh . . . heeehhh . . . heeehhh . . . . jangan lupa, ada kalanya orang-oranganpun dapat membunuh orang." Paras muka Ong Tiong yang baru saja membaik tiba-tiba sedikit agak berubah. Cui-mia-hu mengawasi terus raut wajah­nya pada saat paras mukanya agak berubah itulah, Cui-mia-hu telah turun tangan. Jarang sekali ada yang tahu benda apakah yang dipergunakan Cui-mia-hu untuk mem­bu­nuh orang. Karena sewaktu membunuh orang dia se­lalu membunuh sungguhan, sekali turun tangan, pihak lawan tak pernah diberi ke­sempatan untuk hidup lebih jauh. Kalau tidak ada keyakinan tersebut, dia tak akan turun tangan. Hanya orang yang tak pernah menyaksi­kan dia membunuh orang saja yang tahu senjata apakah yang digunakan untuk membunuh orang. Hanya empat orang yang pernah menyak­sikan dia membunuh orang. Ong Tiong juga pernah menyaksikan. Senjata yang dipergunakan olehnya untuk membunuh orang adalah dua batang duri. Dua batang duri yang bertali serat baja, selain dapat merenggut nyawamu, dapat pula membelenggu senjatamu dan mencekik tengkukmu kemudian sekaligus menusuk ke dalam jantungmu. Itulah sepasang duri pembetot sukmanya yang tiada taranya di kolong langit. Dalam dunia persilatan terdapat banyak orang yang menjadi tenar karena mengan­dalkan senjata tunggalnya. KARENA bila kau mempergunakan senjata khusus yang aneh, seringkali kali akan ber­hasil meraih banyak keuntungan dari musuh­mu. Suatu keberuntungan yang se­ringkali di luar dugaan. Oleh sebab itu, bila kau dapat mencipta­kan semacam senjata khusus yang bisa mem­buat orang lain di luar dugaan, kau pasti dapat mencari nama yang tenar dalam dunia persilatan . . . . . . . menggunakan darah orang lain untuk mencetak namamu. Walaupun di kemudian hari kaupun bisa jadi mati pula di ujung senjata khusus lain yang sama sekali di luar dugaanmu. Tubuh orang-orangan itu kelihatan ter­lalu gemuk. Jauh lebih gemuk daripada sewaktu dipakai untuk menaikkan layang-layang. Dalam, soal ini mungkin orang lain tak dapat melihatnya, tapi Cui-mia-hu sudah pasti dapat melihatnya, sebab orang- orangan itu adalah hasil karyanya. Walaupun dia memiliki selembar wajah yang bodoh, namun memiliki sepasang ta­ngan yang cekatan . . . orang yang benar-benar pintar, tak akan selalu menunjukkan kepintarannya di atas wajah. Orang-orangan itu tidak makan daging, juga tidak minum arak, mengapa dalam se­malaman saja bisa berubah menjadi begitu gemuk? Mungkinkah ada orang yang bersembunyi dibalik orang-orangan itu serta bersiap sedia melancarkan sergapan? . . . . . . Mungkinkah hal ini merupakan pukulan terakhir yang telah dipersiapkan oleh Ong Tiong dan Yan Jit sekalian ? Paras muka Ong Tiong berubah hebat. Karena pada saat itulah sepasang duri pencabut nyawa dari Cui-mia-hu telah menusuk ulu hati orang orangan itu dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Senjata itu menusuk sangat dalam, dalam sekali. Di dunia ini memang jarang terdapat se­orang teman yang benar-benar mau sehidup se­mati denganmu. Bahkan suami isteri saja amat jarang, apa lagi cuma teman Tapi teman semacam ini, bukannya sama sekali tak ada. Paling tidak Kwik Tay-lok sekalian ada­lah teman-teman semacam itu. Mereka tahu nyawa Ong Tiong sudah berada di ujung tanduk, siapakah yang merasa tega untuk membiarkan dia pergi menempuh mara bahaya seorang diri ? Mana mungkin mereka akan pergi ? Orang-orangan itu memang gemuk, biasa­nya orang yang tentu mempunyai da­rah yang banyak. Sepasang duri pencabut nyawa dari Cui-mia-hu telah menembusi ulu hatinya. Tapi tak ada darah yang keluar, setetespun tak ada. Kali ini paras muka yang berubah bukan muka Ong Tiong, melainkan Cui-mia-hu. Pada saat paras muka Cui-mia-hu berubah itulah, mencorong sinar tajam dari mata si ular bergaris merah. Dan pada saat yang bersamaan pula, Ong Tiong menarik tangan Ang Nio-cu. Sengatan lebah beracun. Sengatan dari Cui-mia-hu lebih beracun. Jika lebah sudah menyengat orang, maka dia akan mati dan tak beracun lagi. Tapi sekarang sengatan dari Cui-mia-hu telah menancap di atas jantung orang- orangan itu. Kesempatan sebaik ini tentu saja tak akan disia-siakan oleh si ular bergaris merah. Tiba-tiba dia mengarah wajah Cui-mia-hu, kemudian meniupnya dengan sekuat tenaga. Cahaya yang menyorot masuk lewat jen­dela dapat menerangi hawa hijau yang ter­hem­bus keluar dari tiupannya itu. Cui-mia-hu seakan akan sedang tertegun, tapi pada saat hembusan itu menyambar datang inilah, ujung baju Cui-mia-hu men­dadak beru­bah menjadi tali penyeret yang segera menye­ret tengkuk Si ular bergaris merah kencang-kencang. Diapun menahan napasnya dengan sepe­nuh tenaga. Si Ular bergaris merah segera menjerit ngeri dengan suaranya yang memilukan hati. Dengusan napasnya makin tajam, dan makin pendek. Cui-mia-hu talah melompat naik ke atas rumah, tangannya memegang wuwungan rumah dan bergelantungan sambil menga­wasi lawannya. Sepasang mata si ular bergaris marah se­akan-akan sudah menjadi buta, apapun ti­dak terlihat olehnya, bagaikan seekor anjing buta yang menerkam ke depan dengan sempoyongan. Dia menerjang maju selangkah, dua lang­kah. tiga langkah . . . . . Wajah segera berubah menjadi hijau ke­biru-biruan. Dia baru maju dua langkah, tubuhnya su­dah roboh terjengkang ke atas tanah. Barang siapa terkena racun dari Si ular bergaris merah, tak akan bisa maju sampai tu­juh langkah. Bahkan si ular bergaris merah sendiripun tidak terkecuali. Ong Tiong telah melepaskan tangan Ang Nio-cu. Wajah masih sama sekali tidak menunjuk­kan perubahan, tapi kelopak matanya sudah mulai bergerak. Lambat laun dia sudah memahami apa gerangan yang telah terjadi, peristiwa se­macam ini sedikitpun tidak menarik. Tapi Ang Nio-cu seakan-akan merasa ke­jadian ini menarik sekali, dia sudah tertawa terpingkal-pingkal tiada hentinya. Suara tertawanya masih kedengaran merdu seperti bunyi keleningan. Sejak pertama kali berjumpa dengannya dulu, Ong Tiong sudah terpikat oleh suara tertawanya itu. Hingga dia sudah bertemu beberapa ratus kali dengannya, ia masih menganggap suara tertawanya begitu menarik. begitu merdu, seakan­-akan di dunia ini tiada keduanya lagi. Tapi sekarang, dia mulai merasa muak, mulai merasa seakan-akan hendak tumpah. Bagaimanapun juga si ular bergaris merah adalah temannya yang sudah hidup ber­sama selama banyak tahun. Barang siapa dapat tertawa terping­kal-pingkal disamping jenasah rekannya, maka ke­jadian tersebut pasti akan me­muakkan orang lain. Ang Nio-cu memutar sepasang matanya yang jeli, kemudian ujarnya dengan lembut: "Apakah kau sedang keheranan, mengapa aku harus tertawa terpingkal-pingkal ?" "Sedikitpun tidak heran !" "Kenapa ?" "Sebab kau sama sekali bukan manusia." Itulah kesimpulan dari Ong Tiong. Cui mia-hu masih mengawasi mayat si ular bergaris merah dengan terpesona, seakan-akan dia takut kalau itu belum mati secara sungguh­an . . . . . . Padahal si ular bergaris merah benar- benar sudah mati secara seratus per­sen. Padahal selama dia masih hidup, apa yang tak lebih hanyalah mempersembahkan kehi­dup­annya untuk obat-obatan racun. Dia tidak mempunyai teman lain. bahkan boleh dibilang dia tidak mempunyai apa-apa. Obat beracun adalah seluruh hidupnya. Lewat lama kemudian, Cui-mia-bu baru pelan-pelan membalikkan badannya seraya berkata: "Inilah seorang yang jujur dan setia!" "Kau maksudkan dia jujur dan setia ?" tanya Ang Nio-cu. Cui-mia-hu mengangguk. "Paling tidak terhadap perbuatan yang hendak dilakukannya dia amat setia, obat beracunnya memang tak pernah meleset walau ha­nya satu kali saja." . Sekali lagi Ang Nio-cu tertawa terkekeh-kekeh. "Oleh sebab itu kau harus lebih-lebih berterima kasih kepadaku, seandainya tiada aku, yang mati sekarang adalah kau." "Aku memang sama sekali tidak me­nyangka kalau diapun bakal menghianati diriku." Ang Nio-cu tertawa.