Oh…Visca By : Racka maulana Kalau seandainya saat ini ada seseorang yang bertanya kepadaku tentang satu kebahagiaan yang pernah aku rasakan dalam hidup, maka aku akan memjawab kebahagiaan itu ada saat aku mampu melupakan dan memupuskan harapanku untuk cinta yang sesungguhnya bukan untukku. Dan kalau saat ini ada yang bertanya kpadaku tentang satu penyesalan yang pernah singgah dalam hidupku, maka aku akan menjawab bahwa penyesalan itu ada saat kamu meninggalkanku tanpa sempat aku meyakinkan dirimu akan sebentuk perasaan yang selama ini aku pendam diam-diam. Dan sebenarnya saat itu aku baru bisa kembali mempercayai semua keajaiban tentang cinta yang sebelumnya pernah ada dan pernah kucoba untuk berikan semua itu pada seseorang sebelum kamu. Visca…gerimis yang turun sore ini tiba-tiba memaksaku untuk kembali mengenang detik-detik yang dulu sempat kita miliki bersama. Aku menyandarkan punggungku pada pilar dibelakangku sambil terus memandangi keindahan titik-titik gerimis itu dan berharap untuk bisa kembali menemukan gurat senyummu yang dulu sempat begitu akrab dalam ingatanku. Aku menatap rimbunan daun akasia di depanku. Satu persatu daunnya gugur berderai menyentuh permukaan tanah karena terpaan angin dan hujan. Aku sendiri tidak menganggapnya sebagai sebuah tragedi, namun harmoni yang sangat menakjubkan. Visca…gerimis itu tiba-tiba menjadi hujan deras yang dengan cepat mengguyur halaman depan sekolahku dan sekolahmu juga. Tapi semua itu justru membuatku semakin rindu untuk segera menyambut kehadiranmu. Aku pertama kali mengenalmu saat acara ritual penerimaan siswa baru. Kebetulan kau adik kelasku saat itu. Setelah itu kemudian waktu memberikan kesempatan kepada kita untuk merenda cerita tentang cita juga cinta yang seolah sudah menjadi persoalan klasik kehidupan remaja, seperti halnya juga kita. Hari pertama tahun pelajaran baru selain disibukkan dengan pelajaran, aku juga sibuk berkompetisi untuk mendapatkan sosok putri yang lagi giat-giatnya diincar senior disekolah. Dan saat itu aku yakin, suatu saat nanti, putri cewek cantik yang pintar dan juga ramah itu akan tumbuh menjadi kembang sekolah yang baru. Visca…siang itu aku merasa menjadi orang paling bodoh. Aku ternyata terlalu buta mengartikan kebaikan putri terhadapku selama ini. Dan untuk kesekian kalinya aku mencoba untuk mengingkari keberadaan cinta. Walaupun dalam hati kecilku berbisik untuk tidak cepat-cepat memvonis, cinta itu tak akan prnah ada untukku. Aku sama sekali tidak menyadari, ternyata kamu memperhatikan semua ketidakberdayaanku di teras sekolah siang itu. ” kamu sedang punya problem, San?’ ” kamu percaya cinta itu ada?” aku balik bertanya, tapi kamu malah tertawa lalu sesaat menatapku. ” aku sedang berusaha mempercayainya ,joe.” ” maksud kamu?” ” aku sepertinya tidak bisa menjawab dengan pasti, tapi yang jelas karena kasih sayang cintalah yang menyebabkan kamu, aku, dan juga yang lainnya ada di dunia ini.” Ucapmu datar. ” udahlah San,..jangan jadikan penolakan itu sebagai akhir dari segalanya. Kamu harus ingat bahwa kalau kamu mempunyai hak untuk mencintai putri, berarti putri juga berhak untuk tidak menerima cinta kamu. Cukup adil bukan? Mungkin putri mempunyai alasan tersendiri untuk melakukan semua itu.” Ucapmu saat itu menceritakan hasil akhir perjuanganku selama ini. Tahukah kamu vis? Saat itu kamu seolah mengajariku bagaimana seharusnya aku hidup dan bagaimana seharusnya aku memperlakukan hidup itu sendiri. Visca…itu adalah saat -saat berharga yang pernah aku terima dalam hidupku. Aku masih ingat, kalau kamu juga mengatakan ” aku ini tidak berharga” Nietzhe yang mengajariku semua itu. Ucapmu menyebut nama seorang filosof terkenal dari Eropa. Oh..visca, entah kenapa aku semakin bangga ada didekatmu. Aku tidak menyangka dibalik semua kecuekanmu, kamu memang seorang gadis yang smart. Kamu juga lebih sering aku temukan nongkrong didepan kelas ,dibanding di kantin sekolah. Itulah gambaran jiwa kesederhanaanmu. Kamu juga sering membiarkan supir pribadi papamu pulang tanpa kamu ada disampingnya. Entah berapa kali kamu menemaniku mengejar-ngejar bus kota saat pulang. Visca…rupanya dewa amor kembali mencoba menggodaku lewat semua kekagumanku akan dirimu. Aku juga mulai berfikir untuk membiarkan kuncup rinduku itu makin tumbuh seiring rasa yang semakin menyatu. Mudah-mudahan bukanlah suatu dosa apabila suatu saat nanti kita merubah jalinan persahabatan ini menjadi kata yang tentunya memiliki makna. Ucapku dalam hati. Aku yakin kamu tahu apa yang aku maksud vis…! Tak perlu menunggu terlalu lama. Desas desus hubungan kitapun telah merebak. Padahal kamu tahu, saat itu aku belum sempat mengucapkan satu katapun. Tapi rupanya teman-teman kita yang baik itu mungkin cukup jeli menangkap keganjilan keakraban kita dalam konteks sebagai seorang sahabat. Akhirnya, aku dan kamu menjadi salah satu bahan obrolan yang menarik untuk diperbincangkan atau bahkan diperdebatkan. Karena tak sedikit yang percaya bahwa kita cuma sepasang sahabat yang cukup tahan banting terhadap musibah perpecahan. Dan aku sendiri semakin kokoh menancapkan pilar harapku. Saat suatu hari, Tina yang pernah menjadi teman akrabmu menceritakan begitu banyak hal yang tak pernah aku duga sama sekali. Katanya, kamu juga diam-diam pernah menyimpan satu harapan terhadapku. Tapi pantaskah aku mendampingimu sosok anak konglomerat yang selalu diantar jemput itu? Ah… Aku benar-benar tidak pantas untukmu. ” Vis…! Kira-kira apa alasan Putri menolakku?” tanyaku suatu hari. Visca hanya tersenyum tanpa menatapku sama sekali. ” Mungkin karena kamu…” Visca tidak meneruskan kata-katanya. ” Mungkin kenapa?” ” Mungkin karena kamu baik sama semua cewek.” candanya saat itu. ” Ah…itu bukan alasan” tolakku. ” Yaa…apapun yang dilakukan Putri terhadapmu, yang jelas dia punya pertimbangan yang dia anggap terbaik buatnya. Dan mungkin juga buatmu.” ucapnya sambil memainkan kuku-kuku di jari lentiknya. Suatu hari karena gosip kita yang semakin memanas, akhirnya kitapun setuju untuk membahas masalah tersebut sepulang sekolah di warteg ‘Kauman’ yang katanya sudah menjadi tempat makan favoritmu. Aneh memang…seorang gadis kelas atas sepertimu justru memilih makan di warteg pinggir jalan, bukan restoran mewah seperti orang kaya pada umumnya. ” Jadi sekarang gimana? Tanyaku. ” Gimana apanya?” ” Apa kamu mau digosipin pacaran sama aku, orang kampung yang gak jelas masa depannya ini?” tanyaku lagi. Visca tergelak, lalu dengan cuek memasukkan tempe goreng yang sedari tadi ada di tangannya itu ke mulutnya. ” Tapi aku pikir tidak ada ruginya kan kalau aku pacaran sama kamu.” aku tersenyum kecut mendengar kata-katanya itu. ” Iya, mudah-mudahan sih tidak ada ruginya, tapi….” ” Tapi apa San?” ” Itu semua kan cuma gosip yang gak bener.” ucapku akhirnya. Visca sesaat terdiam. Lalu dengan tersenyum kembali menatapku. ” Jadi maunya gimana?” Ya ampun…saat itu aku cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalaku tanpa bisa mengatakan apa-apa. Aku benar-benar bingung. Lidahku ngilu rasanya. Terus terang, aku juga menyukaimu Vis… Tapi aku belum berani mengambil keputusan lebih saat itu. ” Kita pulang?” Kamu hanya mengangguk tanpa semangat. Visca… Aku yakin, mulai saat itulah kamu mungkin begitu benci dengan semua ini. Saat kita pulang, kamu lebih banyak diam. Seolah sama sekali tidak peduli dengan banyolanku yang biasanya membuatmu tertawa. Aku tersenyum getir saat aku melirik wajahmu yang seolah begitu membenci keberadaanku di sampingmu sore itu. Hingga suatu hari aku dikejutkan oleh sepucuk surat yang diberikan mbak Sumi, pemilik warteg kauman. Dear San, Sorry, jika kedatangan surat ini sama sekali tudak kamu harapkan. Aku cuma mau pamit, karena mungkin mulai hari ini kita sudah tidak bisa ketemu lagi. Yah… Mulai minggu besok kita gak bisa lagi jalan-jalan bersama. Aku sekarang ada di Pati, di rumah tante Irma. Pagi ini aku akan berangkat ke Jogja bersama Papa. Mama yang memintaku melanjutkan sekolah di sana. Aku berharap, takdir akan mempertemukan kita lagi suatu saat. Dan tentunya keadaannya menjadi lebih baik dari sekarang. Selamat tinggal! Visca Aku termangu membaca semua itu. Aku baru sadar kalau mama kamu berasal dari kota pelajar itu. Kapan kamu pulang Vis…? Aku akan menunggumu. Kubayangkan hari-hari yang akan aku lalui esok. Ah… Aku pasti sangat kesepian. Ini kenyataan tersulit yang pernah aku terima dalam hidupku. * * * * * Dua tahun sudah berlalu. Dan dua hari yang lalu, aku menerima surat bahwa kamu akan kembali ke Pati, dan berniat untuk menghabiskan liburanmu di kota Kajen yang menurutku banyak menyimpan cerita tentang kita. Oh iya Vis… Pasti kamu belum tahu, kalau Kajen sekarang makin ramai dengan pengunjungnya. Masih ingatkan pada perayaan haul KH. Ahmad Mutamakkin saat itu? Pasar malamnya, Kemedi putar, kembang api, dan kerlip lampu yang menghiasi di sepanjang jalan Ronggo Kusumo menjadi saksi persahabatan kita. Meskipun sebenarnya aku menginginkan bukan kata ’sahabat’ yang ada antara kita. Perasaan itu begitu kuat menghujam dalam jiwaku. Visca… Sore ini hujan masih mengguyur kota Kajen dan meninggalkan genangan air di mana-mana. Aku masih berdiri di teras sekolah menikmati rintik-rintik hujan yang tersisa sambil membayangkan saat-saat perjumpaan kita nanti. Visca… Seperti apa kamu sekarang? Masihkah kamu berwujud mahluk tomboy yang demen pakai jeans belel plus topi yang sering aku lihat nangkring di kepalamu itu? Atau mungkin… Ah, aku tidak berani menebak seperti apa kamu sekarang. Tapi bagaimanapun kamu saat ini, aku akan bahagia menyambut kedatanganmu nanti. Hujan akhirnya telah mereda. tapi aku masih enggan untuk mninggalkan teras sekolahku. Dan aku tiba-tiba ingat satu hal. Visca… Mungkinkah kamu masih memberikan kesempatan kepadaku untuk memperbaiki semua ketidak berdayaanku saat itu? Atau mungkin saat ini aku sudah tidak memiliki hak untuk menyimpan rasa itu? Katakanlah semua itu nanti Visca…! Senja masih mengiblatkan perak cahayanya. Berkejap-kejap dilangit yang berarak awan-awan tembaga. Aku ingin tersenyum untukmu Vis… Senyum paling ikhlas yang pernah aku miliki. Senyum kekaguman dan rasa rindu yang mendentam-dentam. Kulihat senja yang semakin melintas merenang menuju malam. Di senja yang terakhir seperti kulihat bayang-bayang bidadari-bidadari surga yang bersunting melati tujuh mahkota dan berselendang aneka warna. Kau…adalah satu diantara bidadari itu. Oh…Visca!