NAMAKU MERAH KIRMIZI ORHAN PAMUK mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt "Anda akan menemukan keasyikan bermain puzzle, tentunya yang tak terlalu rumit, apalagi puzzle berisi pembunuhan, intrik sosial, dan latar belakang sejarah dan peradaban Islam, yang diramu secara romantis dengan cinta, seks, dan drama. My Name is Red menjadi novel tebal yang asyik dibaca lebih dari sekali, hanya untuk menguji, seobjektif apa kita meningkahi argumentasi." PIKIRAN RAKYAT "Reputasi internasional Pamuk makin mencorong ketika ia memublikasikan Benim Adim Kirmizi (My Name is Red) pada 2000. Novel ini campuran misteri, roman, dan teka-teki filosofis dengan setting Istanbul abad ke-16." KORAN TEMPO "My Name is Red mendapat pujian dari para pengamat sastra dunia. Novel-novel Pamuk banyak mengemukakan pertikaian antara kelompok muslim dan sekuler yang hidup di Turki, yang ditulis dengan cukup teliti, termasuk lokasi kejadian." MEDIA INDONESIA "Fenomena Estetik Orhan Pamuk memang pantas mendapat Hadiah Nobel. My Name is Red memang hebat. Beda dengan Eco yang hanya punya satu kisah, yaitu kisah detektif, Pamuk menampilkan kisah cinta, ditambah lagi kisah penggalan sejarah Turki di abad silamnya serta diskusi tentang estetika seni hias buku." IKRANEGARA "Yang puitik, yang 'aneh', yang tak harus seratus persen dipahami, memang hadir dalam prosa Pamuk yang bisa halus, bisa kocak, bisa cemerlang, dan bisa mengejutkan itu. Dalam My Name is Red, pelbagai karakter bicara dalam sebuah cerita pembunuhan pada abad ke-16—termasuk si korban ('Aku sebuah mayat'), si pembunuh yang tak bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya yang mula-mula realistis kita langsung masuk ke kisah si Hitam yang melakukan apa saja dalam waktu sepekan: menyeberangi Bosphorus, cerai lewat pengadilan, kawin secara meriah, memandikan mayat, dan potong rambut . . ." GOENAWAN MUHAMAD menghidangkan kisah-kisah pilihan, fiksi maupun nonfiksi, yang cerdas sekaligus melipur sebuah novel Hanya Menerbitkan Buku eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com © Orhan Pamuk, 2001 Diferjemahkan dari My Name is Red (terjemahan Erdao M. Goknar dari Benim Adim Kirmizi, 1 998), karangan Orhan Pamuk, terbitan Faber and Faber, London, 2002 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Penerjemah: Atta Verin Penyunting: Anton Kurnia Perwajah Isi: Fadly & Nana PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co:id Cetakan II: Desember 2006 Cetakan I: Desember 2006 ISBN: 979-1112-40-1 Dicetak oleh Percetakan PT SUN, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan Orang yang buta dan orang yang melihat tidaklah sama. (Fatir: 19) Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat. (Al-Baqarah: 115) TENTANG PENGARANG ORHAN PAMUK lahir pada 7 Juni 1952 di Istanbul, Turki. la adalah pengarang tujuh novel. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, lima di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. The White Castle (Beyaz Kale, 1985) memenangkan Independent Award for Foreign Fiction pada 1990, dan penerbitan The New Life (Yeni Hayat, 1995—) menyebabkan sebuah sensasi di tanah airnya, sekaligus menjadi buku yang paling cepat terjual habis dalam sejarah Turki. My Name is Red (Benim Adim Kirmizi, 1998—Namaku Merah Kirmizi) telah terjual ratusan ribu eksemplar. Novel ini meraih berbagai penghargaan, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger (Prancis, 2002), Premio Grinzane Cavour (Italia, 2002), dan International IMPAC Dublin Literary Award (Irlandia, 2003). Pamuk juga merupakan peraih Peace Prize of the German Book Trade (Jerman, 2005) dan Prix Medicis Etranger (Prancis, 2005) untuk novel terakhirnya, Snow (Kar, 2002—Salju). Kini ia menetap di Istanbul. KISAH MEMUKAU TENTANG BENTURAN DUA PERADABAN Catatan Penyunting Benim Adim Kirmizi (1998)—judul asli buku ini—tak pelak merupakan sebuah novel yang mengukuhkan nama pengarangnya, Orhan Pamuk, sebagai salah satu novelis terbaik dunia saat ini. Novel ini secara cemerlang menggabungkan teka-teki misteri, kisah cinta, dan renungan filsafati yang berlatar masa kekuasaan Sultan Murat III di Kesultanan Utsmaniyah dalam sembilan hari musim salju 1591, sekaligus mengajak para pembacanya untuk mengalami ketegangan antara Timur dan Barat dari perspektif yang sangat memukau. Kisah indah dan memikat ini bermula di Istanbul—simbol tonggak kejayaan Islam yang terakhir—di ujung abad keenam belas, saat sang Sultan secara diam-diam menugaskan pembuatan sebuah buku tak biasa untuk merayakan kejayaannya, dihiasi ilustrasi para seniman terkemuka saat itu. Ketika seorang seniman yang mengerjakan buku itu dibunuh secara misterius, seorang lelaki muram dengan masa silam sekelam namanya ditugasi untuk mengungkap misteri pembunuhan yang pada akhirnya menguak jejak benturan peradaban Timur (Turki-Islam) dan Barat (Eropa-Kristen)—dua cara pandang dunia berbeda yang pada akhirnya memicu konflik tak berkesudahan, bahkan hingga saat ini. Dalam sebuah wawancara tentang novel yang ditulisnya selama enam tahun ini, Pamuk menegaskan pandangannya tentang 9 ORHAN PAMUK betapa perbedaan hendaknya tidak dijadikan alasan untuk bertikai dan saling membunuh, "Dua cara yang berbeda dalam melihat dunia dan bercerita ini tentu saja berkaitan dengan kebudayaan kita, sejarah kita, dan apa yang kini secara luas disebut identitas. Seberapa dalam rriereka terlibat dalam konflik? Dalam novel saya, mereka bahkan saling membunuh karena pertentangan antara Timur dan Barat ini. Namun, tentu saja, Saya berharap para pembaca menyadari bahwa saya tidak percaya pada konflik ini. Karya seni yang baik muncul dari perpaduan beragam hal yang berasal dari aneka akar dan budaya, dan semoga novel ini mampu menggambarkannya." Benim Adim Kirmizi (diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai My Name Is Red pada 2001, dan kini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Atta Verin, seorang wartawati dan penulis, dengan judul Namaku Merah Kirmizi) paling tidak telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan memenangkan sejumlah hadiah sastra internasional terkemuka, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger 2002 (Prancis), Premio Grinzane Cavour 2002 (Italia), dan International IMPAC Dublin Literary Award 2003 (Irlandia). Ketika ditanya, apakah pengaruh kemenangan hadiah IMPAC (nilainya sekitar 1,2 miliar rupiah) itu atas kehidupan dan karyanya, dengan santai Pamuk yang telah berkali-kali dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra menjawab, "Tiada yang berubah dalam hidup saya karena saya bekerja sepanjang waktu. Saya telah menghabiskan 30 tahun untuk menulis karya sastra. Selama 10 tahun pertama, saya khawatir soal uang dan tak seorang pun bertanya berapa banyak uang yang saya hasilkan. Dalam 10 tahun kedua, saya menghabiskan banyak uang dan tak seorang pun bertanya tentang hal itu. Kini, saya telah menghabiskan 10 tahun terakhir dan setiap orang ingin tahu bagaimana saya menggunakan uang itu ..." 10 Siapakah sesungguhnya Orhan Pamuk? la dilahirkan sebagai Ferit Orhan Pamuk di Istanbul pada 7 Juni 1952 dari sebuah keluarga berada—ayahnya adalah CEO pertama IBM Turki. Pamuk menghabiskan sebagian besar hidupnya di -Istanbul, diselingi masa tiga tahun di New York saat ia menjadi dosen tamu di Universitas Columbia dari 1985 hingga 1988. Setelah sempat kuliah arsitektur selama tiga tahun di Universitas Teknik Istanbul karena tekanan keluarganya yang ingin agar ia menjadi insinyur, ia memutuskan keluar untuk menjadi penulis penuh waktu dan berkonsentrasi menulis novel pertamanya—walaupun kemudian ia menyelesaikan kuliahnya di jurusan jurnalistik Universitas Istanbul pada 1977. Pamuk pernah menikah dengan Aylin Turegen pada 1982, tetapi mereka bercerai sembilan belas tahun kemudian. Keduanya memiliki seorang anak perempuan, Ruya (untuknya novel Benim Adim Kirmizi dipersembahkan). Pamuk yang awalnya lebih tertarik pada seni rupa mulai menulis secara serius pada 1974. Novel pertamanya, Karanlik ve Isik (Gelap dan Terang) memenangi sayembara penulisan novel Milliyet Press 1979. Novel ini kemudian diterbitkan dengan judul Cevdet Bey ve Ogullari (Tuan Cevdet dan Anak-anaknya) pada 1982, dan memenangkan Hadiah Sastra Orhan Kemal pada 1983. Novel ini berkisah tentang tiga generasi sebuah keluarga Istanbul kaya yang hidup di Nisantasi, sebuah kawasan makmur di Istanbul tempat Pamuk dibesarkan. Pilihan tepat atas jalan hidupnya ditandai dengan sejumlah penghargaan yang diraih Pamuk untuk karya-karya awalnya, termasuk Hadiah Madarali 1984 untuk novel keduanya Sessiz Ev (Rumah yang Sunyi) dan Prix de la Decouverte Europ£enne 1991 untuk terjemahan bahasa Prancis novel ini. Novel historisnya, Beyaz Kale (Kastil Putih, 1985—diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai White Castle pada 1990), memenangkan Independent Foreign Fiction Prize di Inggris pada 1990 dan mem- 11 My Name is Red ORHAN PAMUK perluas reputasinya di luar negeri. The New York Times Book Review yang berwibawa itu bahkan menulis tentang Pamuk dengan pujian setinggi langit, "Bintang baru telah terbit di Timur: Orhan Pamuk, seorang penulis Turki." Novel Pamuk berikutnya, Kara Kitap (Buku Hitam, 1990), menjadi salah satu bacaan paling kontroversial dalam sastra Turki karena kompleksitas dan kekayaannya. Pada 1992, ia menulis naskah untuk film Gizli Yuz (Wajah Rahasia) berdasarkan novel Kara Kitap yang disutradarai oleh sineas Turki terkemuka, Omer Kavur. Novel keempatnya, Yeni Hayat (Hidup Baru), menimbulkan sensasi di Turki saat terbit pada 1995 dan sempat menjadi buku terlaris dalam sejarah negeri itu. Reputasi Pamuk kian melambung seiring terbitnya novel Benim Adim Kirmizi ini pada 1998. Novel paling mutakhir Pamuk adalah Kar (Salju, 2002— diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Snow, 2004), yang membahas konflik antara Islam dan Barat di Turki modern. The New York Times mencatat Snow sebagai salah satu dari Sepuluh Buku Terbaik 2004. Sementara itu, terjemahan bahasa Prancis novel ini, Neige, meraih Prix Medicis 2005. Pamuk juga menerbitkan karya nonfiksi, antara lain sebuah catatan perjalanan, Istanbul—Hatiralar ve Sehir (Istanbul—Kenangan dan Kota, 2003). Karya-karya Pamuk umumnya bercirikan kegamangan atau hilangnya identitas yang sebagian ditimbulkan oleh benturan antara nilai-nilai Eropa dan Islam. Karya-karyanya kerap mengganggu dan menggelisahkan, dengan alur yang rumit dan memikat, serta penokohan yang kuat. Di negerinya sendiri yang penduduknya mayoritas muslim, ia dianggap pemberontak karena menentang fatwa hukuman mati terhadap Salman Rushdie dan membela hak-hak etnis minoritas Kurdi. Ia juga bicara lantang tentang hak-hak asasi 12 manusia, hak-hak perempuan, reformasi demokratis, dan isuisu lingkungan hidup. Akibat keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran walaupun getir, pada 2005 pemerintah Turki menjeratnya dengan tuduhan kriminal setelah ia membuat pernyataan keras dalam wawancara dengan Das Magazin, sebuah majalah terbitan Swiss pada Februari 2005. Dalam wawancara itu Pamuk menyatakan, "Tiga puluh ribu orang Kurdi dan sejuta orang Armenia dibunuh di negeri ini dan tak seorang pun yang berani berbicara tentang hal ini, kecuali saya." Bila dinyatakan bersalah dalam sidang pengadilan, Pamuk bisa dipenjarakan hingga tiga tahun. Pada Oktober 2005, Orhan Pamuk memenangkan Hadiah Perdamaian dalam Pameran Buku Jerman untuk karya-karya sastranya yang dianggap berhasil mengemukakan konflik nilai antara peradaban Eropa dan Turki-Islam. Ini adalah hadiah buku paling bergengsi di Jerman. Walaupun tengah menghadapi ancaman serius di negerinya sendiri, dalam pidato yang disampaikannya pada upacara pemberian hadiah itu, Pamuk menegaskan kembali kesaksiannya, "Saya ulangi, saya katakan dengan jelas bahwa sejuta orang Armenia dan tiga puluh ribu orang Kurdi telah dibunuh di Turki." Tuduhan dan ancaman terhadap Pamuk mengundang reaksi internasional. Pada 1 Desember 2005, Amnesti Internasional menyerukan agar Pamuk dibebaskan. Dalam bulan itu juga, delapan pengarang terkemuka dunia—Jose Saramago (Portugal), Gabriel Garcia Marquez (Kolombia), Gunter Grass (Jerman), Umberto Eco (Italia), Carlos Fuentes (Meksiko), Juan Goytisolo (Spanyol), John Updike (Amerika Serikat), dan Mario Vargas Llosa (Peru)—mengumumkan pernyataan bersama yang mengecam tuduhan-tuduhan terhadap Pamuk sebagai pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. 13 My Name is Red ORHAN PAMUK Namun, ironisnya, di saat yang sama sebagian rekan sebangsanya justru menyerang Pamuk karena ia dianggap terlalu memusatkan kritiknya terhadap "Turki dan orang Turki", tetapi tidak bersuara keras terhadap pemerintah-pemerintah lain yang juga berbuat kejahatan serupa—baik di masa lalu maupun di masa kini. Selain itu, sebagian pengamat mencurigai pernyataan kerasnya itu hanyalah siasat agar ia memenangkan Hadiah Nobel Sastra 2005 yang kemudian dianugerahkan kepada sastrawan Inggris, Harold Pinter. Terlepas dari segala kontroversi yang melingkupi penulisnya, bagi khalayak pembaca di Indonesia, novel ini tentu merupakan sebuah bacaan bermutu yang layak disimak. Melalui karya cemerlang yang diramu dengan intrik politik, dongeng klasik, dan kisah cinta bercabang yang getir ini, Orhan Pamuk membuktikan diri sebagai salah satu sastrawan terkemuka dunia masa kini. Salam dan selamat membaca. Anton Kurnia 14 Untuk Ruya KINI AKU hanyalah sesosok mayat, sesosok tubuh di dasar sebuah sumur. Walaupun sudah lama sekali aku mengembuskan napas terakhirku dan jantungku telah berhenti berdetak, tak seorang pun tahu apa yang terjadi padaku, selain pembunuh keji itu. Sementara bajingan itu, ia merasakan detak nadiku dan mendengarkan desah napasku untuk memastikan apakah aku sudah mati. Setelah itu, ia menendang bagian depan tubuhku, menyeretku ke mulut sumur, mengangkat tubuhku, dan menjatuhkannya ke dalam sumur. Begitu jatuh, kepalaku, yang telah ia hantam dengan sebongkah batu, pecah terbelah. Wajahku, keningku, dan kedua pipiku hancur, tulangtulangku berantakan, dan mulutku penuh darah. Selama hampir empat hari aku menghilang: Istri dan anakanakku pasti mencari-cariku; putriku menangis habis-habisan, dan dia pasti akan memandangi gerbang halaman rumah dengan cemas. Ya, aku tahu mereka semua akan berada di jendela, mengharapkan kepulanganku. Tetapi, apakah mereka sungguh-sungguh menantiku? Aku bahkan tidak terlalu yakin ten tang hal itu. Mungkin saja mereka sudah mulai terbiasa dengan ketiadaanku—betapa menyedihkan! Karena di sini, di sisi lain, seseorang merasakan kehidupan 17 terdahulunya terus bertahan. Sebelum aku lahir, ada suatu masa yang tak terbatas, dan setelah aku mati, terbentang masa yang tiada terhingga. Tak pernah kupikirkan sebelumnya: Aku telah menjalani kehidupan yang gemilang di antara dua kegelapan yang abadi. Aku sangat bahagia. Aku sadar sekarang bahwa aku pernah bahagia. Aku membuat hiasan-hiasan terbaik di dalam bengkel kerja Sultan kami. Tak seorang pun mampu menandingi keahlianku. Melalui pekerjaan yang kulakukan secara pribadi, aku menghasilkan sembilan ratus keping rak sebulan yang hanya membuat semua ini semakin berat untuk kutanggung. Aku bertanggung jawab melukisi dan menghiasi buku-buku.* Aku menghiasi pinggiran halamannya, mewarnai ujung-ujungnya dengan corak-corak dedaunan, kuntum-kuntum mawar, bebungaan, dan burung-burung yang paling tampak hidup. Aku melukis awan bergaya Cina, sekelompok pepohonan cemara yang lebat, dan hutan berwarna-warni yang menyembunyikan kijang, perahu, para sultan, pepohonan, istana-istana, kuda, dan para pemburu. Waktu aku masih muda, aku menghiasi piring, atau bagian belakang cermin, atau sebuah meja, atau kerap kali langit-langit atau seluruh bagian rumah megah bangsawan Bosphorus**, atau bahkan hanya menggambari sebuah sendok kayu. Di tahun-tahun berikutnya, aku hanya berkarya di atas lembaran-lembaran manuskrip, karena Sultan kami membayar- *Pada sekitar abad keenam belas itu para penguasa kerap menugaskan para seniman terkemuka untuk menghiasi buku-buku pesanan istana dengan dekorasi berukuran kecil pada pinggiran buku dan memberi ilustrasi pada manuskrip-manuskrip cerita. Para seniman yang masing-masing memiliki keahlian khusus ini disebut miniaturis, iluminator, dan ilustrator. **Para bangsawan Turki yang tinggal di sekitar Selat Bosphorus, sebuah selat yang menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara dan memisahkan daratan Eropa dengan benua Asia. Dekat ujung sebelah selatan selat sepanjang 31 km itu terdapat Golden Horn, pelabuhan Istanbul. 18 ORHAN PAMUK nya dengan sangat dermawan. Tak bisa kukatakan bahwa hal itu tidak penting lagi sekarang. Kau bisa menakar nilai uang bahkan setelah kau mati. Setelah mendengar keajaiban suaraku, kau mungkin akan berpikir, "Siapa yang peduli pada yang kauperoleh saat kau masih hidup? Katakan padaku apa yang kaulihat. Benarkah ada kehidupan setelah mati? Di manakah sukmamu? Bagaimana dengan surga dan neraka? Bagaimana rasanya mati? Apakah kau merasa sakit?" Kau benar, mereka yang masih hidup sangat penasaran mengenai kehidupan sesudah mati. Mungkin kau pernah mendengar kisah tentang seorang lelaki yang dikuasai oleh keingintahuannya sehingga ia menjelajah di antara para serdadu di medan perang. Ia mencari orang yang sudah mati yang hidup kembali di antara orang-orang terluka yang sedang mencOba bertahan hidup di kubangan darah, seorang serdadu yang bisa menceritakan padanya tentang rahasia-rahasia dunia lain. Namun, salah seorang tentara Timurleng*, yang menganggap si pencari itu sebagai musuh, membelah tubuhnya menjadi dua dengan satu ayunan lembut pedang scimitar** miliknya, membuat laki-laki itu menyimpulkan bahwa di kehidupan setelah mati manusia terbelah menjadi dua. Omong kosong! Justru sebaliknya, aku bahkan bisa mengatakan bahwa jiwa-jiwa yang terbagi dalam kehidupan berpadu dalam alam kubur. Kebalikan dari pernyataan orang-orang kafir pendosa yang telah terbuai rayuan Iblis, syukurlah, ternyata *Timurleng (1336-1405), atau Tamerlane bagi lidah orang Barat, seorang penguasa dan penakluk bangsa Turki kelahiran Samarkand—kota tertua di Asia Tengah yang terletak di sebuah lembah di jantung Uzbekistan—yang juga masih keturunan bangsa Mongol. Ia merupakan salah seorang penglima militer terbesar sepanjang sejarah yang pernah menguasai India hingga Laut Tengah. **Pedang khas Turki, dengan bentuk yang agak melengkung dan melebar di bagian ujungnya. 19 My Name is Red ORHAN PAMUK kehidupan setelah mati itu memang ada, dan buktinya aku kini sedang berbicara padamu dari sini. Aku sudah mati, tetapi seperti yang bisa kaukatakan, aku belum sirna. Harus kuakui, bahwa aku memang belum menyusuri sungai-sungai yang mengalir di tepi istana-istana surga yang terbuat dari perak dan emas, pepohonan berdaun lebar yang menjuntaikan buah-buah prem, serta perawan-perawan jelita, sebagaimana yang disebutkan di dalam Alquran—meskipun aku ingat dengan baik, betapa sering dan bersemangatnya aku membuat lukisan bidadari-bidadari bermata lebar yang dikisahkan dalam surat "Al-Waqi'ah."* Di sana juga tidak ada jejak tentang sungai-sungai susu, anggur, air segar, dan madu, yang diceritakan dengan sangat indah, bukan di dalam Alquran, melainkan oleh para pengkhayal cerdas seperti Ibnu Arabi. Namun, aku sama sekali tidak berniat menggoda iman mereka yang hidup lurus dalam melewati harapanharapan dan pandangan hidupnya tentang kehidupan setelah mati. Maka, izinkan aku menyatakan bahwa semua yang kulihat hanya berkaitan dengan keadaan pribadiku sendiri. Orang yang beriman meskipun hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kehidupan setelah mati, akan tahu bahwa ketidakpuasanku terletak pada tidak kulihatnya sungai-sungai di surga. Secara singkat, aku yang dikenal sebagai Elok Effendi, telah mati. Tetapi, aku belum dikuburkan, oleh karenanya sukmaku belum sepenuhnya meninggalkan ragaku. Situasi yang luar biasa ini, meskipun bukan yang pertama, telah menimbulkan penderitaan yang amat mengerikan pada bagian diriku yang baka. Meskipun aku tidak mampu lagi merasakan hancurnya tulang belulangku, atau tubuhku yang membusuk terbungkus luka-luka, dengan tulang-tulang yang remuk dan setengah terbenam di *"Dan (di dalam surga mereka memperoleh) bidadari-bidadari yang bermata jeli (menyejukkan pandangan mata)." (Q.S. 56 : 22). 20 dalam air sedingin es, aku tetap merasakan siksaan di dalam jiwaku yang dengan putus asa berjuang untuk keluar dari inti raganya yang fana. Rasanya seperti jika seluruh dunia ini, bersama tubuhku, sedang mengerut menjadi sebongkah kepiluan. Aku hanya bisa membandingkan pengerutan ini dengan perasaan lega yang mengejutkan yang kurasakan pada saat kematianku. Ya, aku langsung paham bahwa bajingan itu ingin membunuhku, ketika tiba-tiba saja ia menghantamku dengan sebongkah batu yang meremukkan tengkorak kepalaku, tetapi aku tidak percaya ia melakukannya. Seketika aku tersadar bahwa aku adalah seseorang yang penuh harapan, sesuatu yang tidak kusadari saat aku masih menjalani kehidupanku dalam bayangbayang bengkel kerja dan rumahku. Aku berjuang mempertahankan hidupku, lewat kuku-kukuku, lewat jari jemariku dan gigi geligiku, yang kubenamkan ke dalam kulitnya. Aku tidak akan membuatmu bosan dengan rincian menyakitkan dari hantaman- hantaman yang kuterima sesudahnya. Ketika aku merasakan kepedihan ini, ketika aku tahu bahwa aku akan mati, sebentuk perasaan lega menyeruak dalam diriku. Aku merasakan kelegaan ini di saat-saat kematianku; kedatanganku ke sisi lain dunia ini begitu menyejukkan, bagaikan bermimpi melihat seseorang yang jatuh tertidur. Sepatu pembunuhku yang tertutup salju dan lumpur adalah hal terakhir yang kulihat. Aku mengatupkan kedua mataku seakan-akan aku sedang memejamkan mata menjelang tidur, dan perlahan-lahan aku pun mati. Keluhanku saat ini bukan karena gigi-gigiku yang rompal seperti butiran kacang ke dalam rongga mulutku yang penuh darah, juga bukan wajahku yang hancur tak bisa dikenali lagi, ataupun mengenai diriku yang ditinggalkan di dasar sebuah sumur—melainkan karena semua orang mengira aku masih hidup. Sukmaku yang gundah kini merana memikirkan keluargaku dan orang-orang terdekatku yang, tentu saja, kerap memikirkanku, 21 My Name is Red ORHAN PAMUK membayangkan diriku terlibat urusan-urusan sepele di suatu tempat di Istanbul, atau bahkan dianggap sedang mengejar perempuan lain. Cukup! Temukan jenazahku, jangan ditunda lagi, doakan aku, dan kuburkanlah ragaku. Dan yang lebih penting lagi, temukanlah pembunuhku! Karena meski kau menguburku di makam yang paling agung sekalipun, selama bajingan itu tetap bebas berkeliaran, aku akan menggeliat-geliat resah di dalam kuburku, menanti dan merasuki kalian semua dengan ketidakpercayaan. Temukan pembunuh laknat itu, dan aku akan menceritakan padamu secara terperinci tentang apa yang kulihat di alam kubur. Tetapi ketahuilah, setelah ia berhasil ditangkap, ia harus disiksa perlahan-lahan dengan membengkokkan delapan atau sepuluh ruas tulangnya—aku lebih suka tulang rusuknya— dengan sebuah penjepit, sebelum melubangi kulit kepalanya dengan ganco yang dibuat khusus untuk menyiksanya, dan mencabuti rambut berminyaknya yang menjijikkan, helai demi helai, agar ia memekik kesakitan setiap kali dicabut. Siapakah si pembunuh ini? Mengapa ia membunuhku dengan cara yang begitu mengejutkan? Bertanya-tanyalah, dan pikirkan baik-baik masalah ini. Kau bilang bahwa dunia ini dipenuhi penjahat-penjahat tengik yang tak berguna? Mungkinkah yang satu-ini berguna, mungkinkah orang ini lain dari mereka? Jika demikian, izinkan aku memperingatkanmu: Kematianku menyembunyikan sebuah persekongkolan dahsyat terhadap agama kita, tradisi kita, dan cara kita memandang dunia ini. Bukalah matamu, temukan alasannya, mengapa musuh-musuh kehidupan yang kauyakini, musuh-musuh kehidupan yang sedang kaujalani, dan musuh-musuh Islam, telah menghancurkanku. Pelajarilah bahwa suatu hari mereka mungkin akan melakukan hal yang sama kepadamu. Satu persatu, semua yang diperkirakan oleh ulama besar Nusret Hoja dari Erzurum, yang ajarannya kusimak sambil berlinangan air mata, akan terjadi. Biar kukatakan juga bahwa 22 jika situasi yang sedang kita hadapi ini digambarkan di dalam sebuah buku, ilustrator yang paling ahli sekalipun tidak akan mampu menggambarkannya. Sementara di dalam Alquran— ampuni aku ya Allah jika aku salah memahaminya—kekuatan dahsyat sebuah buku muncul dari ketidakmungkinannya diungkapkan dalam bentuk gambar. Aku meragukan dirimu bisa sepenuhnya memahami fakta ini. Dengarkan aku baik-baik. Ketika aku masih menjadi seorang anak didik, aku juga merasa ketakutan, dan karenanya aku mengabaikan kebenaran-kebenaran yang sesungguhnya, serta suarasuara dari alam sana. Aku akan menertawakan hal-hal semacam itu. Namun, kini aku malah berakhir di dasar sumur jahanam ini! Ini juga bisa terjadi pada dirimu, berhati-hatilah. Sekarang, tak ada lagi yang bisa kulakukan, selain berharap diriku akan membusuk sepenuhnya, agar mereka bisa menemukanku dengan menelusuri bau busukku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain berharap—dan membayangkan siksaan yang akan dilakukan oleh seseorang yang baik hati terhadap pembunuh biadab itu setelah ia tertangkap.[] SETELAH MENGHILANG selama dua belas tahun, aku memasuki Istanbul seperti seseorang yang berjalan dalam tidur. "Bumi memanggilnya," itu yang mereka katakan tentang orang yang sekarat, dan dalam kasusku, kematianlah yang menyeretku kembali ke kota tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Saat pertama kali aku kembali, kukira yang ada 23 My Name is Red ORHAN PAMUK hanya kematian, tetapi kemudian aku juga menemukan cinta. Cinta, entah bagaimana, berada amat jauh dan menjadi sesuatu yang terlupakan, seperti kenanganku tentang hidup di kota besar. Kota itu adalah Istanbul, dua belas tahun yang lalu, tempat aku jatuh cinta setengah mati pada adik sepupuku. Empat tahun setelah aku meninggalkan Istanbul untuk pertama kali, ketika aku mengelanai stepa-stepa tak berujung, gununggunung berselimut salju, dan kota-kota melankolis di Persia, sambil mengantar surat dan mengumpulkan pajak, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku perlahan-lahan akan melupakan cinta masa kecilku yang kutinggalkan itu. Dengan panik, aku berusaha mengenangnya dengan putus asa, hanya agar aku sadar bahwa selain cinta, seraut wajah yang lama tak kujumpai pada akhirnya akan memudar. Selama enam tahun yang kuhabiskan di Timur, saat berkelana atau bekerja sebagai seorang sekretaris untuk seorang pejabat daerah, aku tahu bahwa wajah yang kubayangkan bukan lagi wajah orang yang kucintai. Kemudian, dalam waktu delapan tahun, aku melupakan apa yang telah kucamkan secara salah di benakku pada saat aku berumur enam tahun, dan sekali lagi aku membayangkan seraut wajah yang sepenuhnya berbeda. Dengan cara ini, di tahun kedua belas, ketika aku kembali ke kotaku pada usia tiga puluh enam tahun, aku menjadi terpukul saat menyadari bahwa wajah orang yang kucintai sudah lama meninggalkanku. Banyak teman dan kerabat yang meninggal dalam waktu dua belas tahun pelarianku. Aku mengunjungi kompleks pemakaman yang menghadap ke Golden Horn, dan berdoa untuk ibuku, juga untuk paman-pamanku yang sudah meninggal dunia selama aku pergi. Aroma tanah berlumpur berbaur dengan kenanganku. Seseorang telah memecahkan bejana tanah Hat di samping makam ibuku. Entah karena apa, begitu aku menatap bejana yang terbelah itu, aku mulai menangis. Apakah aku 24 menangis karena kematian ibuku, atau aku menangisi kenyataan bahwa diriku ternyata masih saja berada di awal kehidupanku setelah bertahun-tahun berlalu? Atau apakah karena aku tiba di ujung perjalanan hidupku? Sebongkah salju jatuh. Aku terpukau melihat kepingan salju beterbangan di sana-sini. Aku menjadi sedemikian tersesat ke dalam perubahan tak terduga dari kehidupanku, sehingga aku tidak memerhatikan seekor anjing hitam menatapku dari sebuah sudut gelap pemakaman itu. Hujan air mataku mereda. Aku menyeka hidungku. Aku melihat anjing hitam itu menggoyang-goyangkan ekornya bersahabat saat aku melangkah pergi dari pemakaman itu. Berapa waktu kemudian aku sudah menetap di lingkungan kami, menyewa salah satu rumah yang pernah ditinggali salah satu kerabatku dari pihak ayah. Sepertinya aku telah mengingatkan nyonya pemilik rumah pada putranya yang dibunuh oleh serdadu- serdadu Persia dari dinasti Safawiyah* sehingga dia bersedia membersihkan rumah itu dan memasak untukku. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sepuas hati melewati jalanan, seakan-akan aku bukan sedang berdiam di Istanbul, melainkan tinggal sementara di salah satu kota di Arab, di ujung lain dunia ini. Jalanan menjadi lebih sempit, atau begitulah yang kurasakan. Di beberapa wilayah tertentu, di mana jalanan terjepit di antara rumah-rumah yang saling menyandar, aku terpaksa bergesekan dengan tembok dan pintu, untuk menghindari terjangan kuda-kuda pengangkut beban yang sarat muatan. Tidak ada lagi orang-orang kaya, setidaknya begitulah yang kulihat. Aku menyaksikan sebuah kereta yang dipenuhi hiasan, sebuah kereta kencana yang ditarik oleh kuda-kuda yang sombong, seperti yang bisa ditemui di Arab atau Persia. Di dekat "Pilar *Sebuah dinasti yang berkuasa di Persia pada 1500-1722 dan berasal dari sebuah suku nomaden di Turki. Dinasti ini menyatakan mazhab Syiah sebagai agama negara. 25 My Name is Red ORHAN PAMUK Terbakar", aku menyaksikan pengemis-pengemis menjengkelkan yang berpakaian compang-camping, berkerumun saat aroma jeroan melayang keluar dari pasar penjual ayam. Salah satu dari mereka yang tampaknya buta, tersenyum saat ia mengamati salju yang berjatuhan. Aku pernah mendengar cerita tentang betapa Istanbul pernah menjadi kota yang lebih miskin, lebih kecil, dan lebih bahagia. Aku mungkin tidak memercayainya, tetapi itulah kata hati nuraniku. Meskipun rumah kekasihku selalu berada di antara pepohonan limau dan kastanye, tetapi kini ada orang lain yang mendiaminya. Aku mengetahuinya saat aku mengingat pintunya. Aku jadi tahu bahwa ibunda kekasihku, bibiku dari pihak ibu, telah meninggal dunia, sementara suaminya, Enishte-ku dan putrinya telah pindah dari tempat itu. Dari sinilah aku tahu bahwa ayah dan anak perempuannya itu menjadi korban sebuah kesialan. Ada orang asing yang membukakan pintu, yang dalam situasi seperti itu bisa dipastikan terjadi, tanpa sedikit pun menyadari betapa mereka sudah dengan kejam membuatmu patah hati, atau betapa hal itu telah menghancurkan mimpi-mimpimu. Aku tidak akan menceritakan semua ini padamu sekarang, tetapi izinkanlah aku berkata bahwa saat aku mengingat hari-hari di musim panas yang cerah, hijau, dan hangat di kebun tua itu, aku juga memerhatikan. untaian es yang menggantung sebesar jari kelingkingku di cabang-cabang pohon limau. Di sebuah tempat yang menyimpan penderitaan, salju dan pengabaian hanya bisa membangkitkan kematian. Aku sudah mengetahui apa yang terjadi pada kerabat-kerabatku dari surat yang dikirimkan Enishte-ku padaku di Tabriz. Dalam suratnya itu, ia mengundangku kembali ke Istanbul. Ia juga menjelaskan bahwa ia sedang menyiapkan sebuah kitab rahasia untuk Sultan kami, dan bahwa ia membutuhkan bantuanku. Ia mendengar, pada suatu masa saat aku berada di 26 Tabriz, aku pernah membuat buku-buku untuk para bangsawan Utsmaniyah*, gubernur, dan orang-orang terkemuka di Istanbul. Yang kulakukan kemudian adalah menggunakan uang panjar dari para klien yang telah menata susunan manuskrip di Istanbul untuk mencari para ilustrator dan penulis kaligrafi yang frustasi karena perang dan kehadiran para serdadu Utsmaniyah. Namun, aku tidak juga meninggalkan Kazin, ataupun kota Persia lainnya, dan para empu inilah—yang mengeluhkan kemiskinan dan pengabaian— yang kutugaskan untuk menuliskan, memberi ilustrasi, dan menjilid halaman-halaman manuskrip yang akan kukirimkan kembali ke Istanbul itu. Kalau bukan karena kecintaan terhadap ilustrasi dan buku-buku bermutu yang ditanamkan Enishte-ku padaku di masa mudaku, aku tidak akan pernah melibatkan diri dalam pencarian semacam ini. Di pasar di ujung jalan, tempat Enishte-ku pernah tinggal, aku menemukan seorang tukang cukur, seorang ahli, di kedai cukurnya, di antara jejeran cermin, pisau-pisau silet yang lurus, bejana-bejana air, sabun, dan sikat. Aku bersirobok pandang dengannya, tetapi aku tidak yakin ia mengenaliku. Menyenangkan rasanya melihat baskom tempat keramas yang digantungkan dari langit-langit dengan sebuah rantai masih saja menunjukkan kemiringan yang sama, berayun ke depan dan ke belakang saat ia mengisinya dengan air panas. Lingkungan sekitar dan jalanan yang sama yang sering kulewati di masa kecilku telah menghilang ditelan debu dan asap, *Kesultanan Utsmaniyah (orang-orang Barat menyebutnya Ottoman) yang sebagian besar wilayahnya kini menjadi bagian Republik Turki didirikan oleh seorang pejuang Turki Muslim bernama Utsman. Pada 1299 ia memimpin serangan terhadap pemukiman orang-orang Kristen Byzantium di bagian barat Anatolia. Ia lalu mendirikan sebuah kerajaan kecil berbatasan dengan Kekaisaran Byzantium. Setelah kematiannya pada 1324, para keturunannya memperluas kerajaannya hingga menjelma menjadi salah satu imperium terkuat sepanjang sejarah sampai kejatuhannya pada 1923. 27 My Name is Red ORHAN PAMUK berganti dengan puing-puing reruntuhan, di mana anjing-anjing liar berkeliaran dan para pendatang gila menakut-nakuti anakanak setempat. Di wilayah lainnya yang juga dihancurkan api, rumah-rumah orang kaya yang megah dan luas telah didirikan, dan aku terpana melihat kemegahannya, terpukau oleh jendelajendela yang dihiasi kaca patri Venesia yang paling mahal, dan rumah-rumah dua lantai dengan jendela-jendela yang menonjol tergantung pada dinding-dinding tinggi menjulang. Seperti juga di kota-kota lainnya, uang tidak lagi bernilai di Istanbul. Di saat aku kembali dari Timur, para tukang roti yang dulu menjual sekeping roti yang amat besar senilai seratus drachma dengan harga satu keping koin perak, kini memanggang roti dengan ukuran setengahnya untuk dijual dengan harga yang sama, dan roti-roti itu tidak lagi selezat di masa kecilku. Pernah almarhumah ibuku ketika dia terpaksa membelanjakan tiga keping perak untuk selusin telur, lalu berkata, "Kita harus segera pergi sebelum ayam-ayam jadi sedemikian manja, sehingga mereka berak di atas tubuh kita, bukan di tanah." Namun, aku tahu masalah berkurangnya nilai uang itu terjadi juga di mana-mana. Kabar burung beredar bahwa kapal-kapal dagang Flanders* dan Venesia sudah dipenuhi berpeti-peti koin palsu. Di pabrik uang logam istana, di mana lima ratus keping uang dibuat sekaligus dari seratus drachma perak, kini, setelah dikeruk habis untuk perang tak berkesudahan dengan orang-orang Persia, delapan ratus keping uang dibuat dari jumlah yang sama. Ketika para tentara Turki menemukan koin-koin yang mereka bayarkan sesungguhnya mengambang di Golden Horn bagaikan biji-bijian kering yang berjatuhan di dok kapal para pedagang sayuran, *Sebuah wilayah di bagian barat laut Eropa yang sepenuhnya merdeka sekitar abad kesebelas hingga abad keempat belas. Saat ini wilayah tersebut sama dengan gabungan propinsi-propinsi Flanders di Belgia, wilayah Nord di Prancis, dan sebagian provinsi Zeeland di Belanda. 28 mereka rusuh, mengepung istana Sultan Kami seolah-olah tempat itu adalah benteng musuh mereka. Seorang ulama bernama Nusret yang berdakwah di Masjid Bayazid dan mengaku memiliki hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad, telah membuat namanya masyhur dalam masa kehancuran moral, inflasi, kejahatan, dan pencurian ini. Hoja ini, yang berasal dari sebuah kota kecil Erzurum, menganggap semua bencana yang menimpa Istanbul di sepuluh tahun terakhir ini—terrriasuk kebakaran di distrik Bahcekapi dan Kazanjilar, wabah penyakit yang memakan korban puluhan ribu jiwa, perang tak berkesudahan dengan Persia yang harus dibayar oleh nyawa yang tak terhitung jumlahnya, dan kehilangan atas sebuah benteng Utsmaniyah kecil di bagian barat karena dirampas orang-orang Kristen dalam revolusi—disebabkan kami sudah melangkah terlalu jauh dari jalan yang dicontohkan oleh Nabi kami, karena kami mengabaikan ajaran Alquran, karena kami bertoleransi pada orang Kristen, karena kami membiarkan perdagangan anggur, dan karena kami memainkan alat-alat musik di rumah-rumah para pengikut ajaran sufi. Penjual acar yang dengan penuh semangat memberitahuku tentang ulama dari Erzurum itu berkata bahwa koin-koin palsu— ducat baru, koin-koin Inggris yang bergambar singa, dan koinkoin Utsmaniyah yang terbuat dari perak yang bisa luntur— yang mengalir di pasar dan bazar-bazar, seperti koin-koin Sirkasia, Abkhazia, Mingaria, Bosnia, Georgia, dan Armenia, yang beredar di jalanan, telah menyeret kami pada kemunduran, karena akan sulit sekali melepaskan diri dari keadaan tersebut. Aku diberi tahu bahwa berandal-berandal dan para pemberontak itu berkumpul di kedai-kedai kopi, dan melakukan pemurtadan sampai fajar menyingsing; orang-orang melarat berwatak peragu, orangorang yang kecanduan opium, dan para pengikut tarekat sufi Kalenderi yang mengaku berada di jalan Allah dan menghabis- 29 My Name is Red kan malam mereka di rumah sufi, menari-nari diiringi musik, melubangi tubuh mereka dengan besi dan melakukan segala perbuatan bejat, sebelum akhirnya bersanggama dengan ganas dengan sesama mereka sendiri dan sembarang bocah laki-laki yang mereka temui. Aku tak tahu apakah suara merdu sitar yang menggerakkanku mengikuti melodinya, atau apakah dalam kekacauan kenangan- kenangan dan gairah-gairahku, aku jadi merasa tak tahan pada si penjual acar yang licik ini dan mengikuti suara musik sebagai jalan untuk terlepas dari percakapan tersebut. Meskipun demikian, aku mengetahui satu hal: Saat kau mencintai sebuah kota, dan sering menjelajahinya dengan berjalan kaki, tubuhmu, apa lagi jiwamu, akan mengenal segala sudut jalannya dengan baik setelah beberapa tahun merasakan semacam kesedihan yang akan terbangkitkan hanya oleh segumpal kecil salju yang jatuh. Kau akan menemukan tungkai-tungkai kakimu menyeret tubuhmu dengan sendirinya ke salah satu sudut dunia kesukaanmu. Begitulah yang terjadi saat aku meninggalkan Pasar Farrier dan berakhir dengan mengamati salju yang jatuh ke Golden Horn dari satu sudut di samping Masjid Sulaiman: salju telah mulai menggunung di atas atap yang menghadap ke utara, dan di bagian kubah yang terkena embusan angin timur laut. Sebuah kapal mendekat, tiang-tiang layarnya sudah diturunkan, menyapaku dengan kibaran kanvasnya. Layarnya berwarna kelabu seperti kabut di permukaan Golden Horn. Pepohonan cemara, atap-atap rumah, kepiluan di senja hari, suara-suara yang terdengar dari lingkungan perumahan di bawah sana, pekikan burung-burung elang dan jeritan anak-anak yang bermain di halaman masjid, bercampur baur dalam kepalaku, seakan-akan mengumumkan dengan penuh empati bahwa pada akhirnya, aku tidak bisa hidup di mana pun kecuali di kota mereka. Aku merasakan sensasi di mana wajah orang yang kucintai, yang 30 ORHAN PAMUK 31 telah menghilang dariku selama bertahun-tahun, tiba-tiba saja bisa muncul di hadapanku. Aku mulai berjalan perlahan menuruni bukit dan berbaur dengan kerumunan orang. Selepas Azan isya, aku mengisi perut di kedai jeroan. Di kedai yang kosong itu, aku menyimak suara si pemilik yang dengan bersemangat mengamatiku makan sesuap demi sesuap, seakan-akan ia baru saja memberi makan seekor kucing. Dengan mengikuti tanda yang diberikan olehnya ke suatu arah, aku lalu menemukan diriku berbelok menuruni gang-gang sempit di belakang pasar budak—tentu saja setelah jalanan menjadi gelap—dan menemukan sebuah kedai kopi. Di dalam kedai itu begitu ramai dan hangat. Si pendongeng, seperti yang kusaksikan di Tabriz dan kota-kota di Persia, dan yang dikenal sebagai "penyeru tirai", sedang bercerita di sebuah panggung kecil di samping tungku dengan kayu-kayu yang terbakar. Ia telah membentangkan dan menggantungkan sebuah lukisan di depan hadirin, lukisan seekor anjing yang dibuat dengan tergesa di atas selembar kertas, tetapi dengan keanggunan tertentu. Ia memberi suara pada anjing itu, dan menunjuk- nunjuk lukisan itu berkali-kali.[] My Name is Red SEBAGAIMANA YANG bisa kalian katakan tanpa ragu, kawan-kawanku tersayang, gigi-gigiku panjang dan ujungnya runcing, dan nyaris tidak muat di mulutku. Aku tahu hal ini memberiku penampilan yang menyeramkan, tetapi menyenangkanku. Mengetahui ukuran gigiku, seorang tukang eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. a MR. Collection's ORHAN PAMUK jagal pernah berkata dengan berani, "Ya, Tuhan, itu sama sekali bukan anjing. Itu adalah seekor celeng!" Aku menggigit kakinya dengan amat keras, hingga gigigigiku terhunjam sangat dalam menembus dagingnya yang gempal hingga ke tulangnya yang terasa keras. Bagi seekor anjing, kalian tahu, tidak ada yang bisa lebih memuaskan selain membenamkan gigi ke tubuh musuh yang malang untuk memuaskan sebuah kemarahan naluriah. Saat kesempatan seperti itu hadir, yakni ketika korbanku yang memang patut kugigit dengan bodoh dan tanpa sadar melewatiku, gigi-gigiku terasa sakit dan ngilu menantikannya, kepalaku berputar dengan kerinduan yang bahkan tanpa arti, lalu aku menggeram dan bulu-buluku meremang. Aku adalah seekor anjing, dan karena kalian para manusia adalah binatang-binatang yang kurang rasional daripada aku, kalian katakan saja pada diri kalian, "Anjing-anjing tidak berbicara!" Namun, kalian sepertinya memercayai sebuah kisah di mana mayat-mayat bisa bicara dan tokoh-tokoh menggunakan rangkaian kata-kata yang tidak mungkin bisa mereka mengerti. Anjing-anjing bisa berbicara, tetapi hanya pada mereka yang tahu bagaimana mendengarkannya. Pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri yang jauh, seorang ulama dari sebuah kota pedalaman tiba di salah satu masjid terbesar di ibukota. Baiklah, sebut saja itu Masjid Bayazid. Selayaknya kita menyembunyikan namanya, jadi mari kita anggap saja ulama ini sebagai "Husret Hoja." Tetapi mengapa aku harus menutup-nutupi hal lain lagi: Laki-laki ini adalah seorang ulama bodoh. la mengarang-ngarang kemajuan intelektualnya dengan kekuatan lidahnya. Setiap Jumat, ia begitu asyik dengan jamaahnya. Ia membuat mereka menangis, sehingga beberapa di antaranya akan meratap-ratap hingga pingsan atau kelelahan dan lemas. Jangan salah sangka, tidak seperti ulama-ulama lainnya yang 32 dianugerahi kemampuan berdakwah, ia sendiri tidak menangis. Sebaliknya, saat para jamaahnya menangis, ia semakin bersemangat menyampaikan ceramahnya tanpa berkedip sedetik pun, seolaholah sedang menghukum mereka. Dalam semua kemungkinan, para tukang kebun, pelayan-pelayan kerajaan, para pembuat halva*, para gelandangan, dan ulama-ulama lainnya seperti dirinya, menjadi pengikutnya yang setia, karena mereka menikmati aksi silat lidahnya. Baiklah, laki-laki ini memang sama sekali bukan anjing, tidak, ia adalah seorang manusia—yang harus bersikap buruk untuk menjadi manusia—dan di hadapan khalayak yang terpesona, ia kehilangan dirinya sendiri. Ketika ia menyaksikan kerumunan orang yang membeo padanya, itu sama menyenangkannya dengan membuat mereka menangis. Saat ia paham bahwa ada lebih banyak roti yang bisa dibuat dalam garapan baru ini, ia terus maju dan berani berkata sebagai berikut: "Satu-satunya alasan kenaikan harga-harga, mewabahnya penyakit dan kekalahan militer, ada pada kealpaan kita terhadap Islam di masa Nabi Besar kita dan kita jadi terhanyut dalam kepalsuan. Apakah kisah kelahiran Nabi kita dibacakan untuk mengenang hari wafatnya pada zaman dahulu? Apakah perayaan hari keempat puluh dilaksanakan, di manakah makanan manis seperti halva dan adonan tepung goreng dipersembahkan bagi mereka yang sudah mati? Ketika Nabi Muhammad masih hidup, apakah Alquran yang mulia dibacakan dengan sedemikian merdunya seperti sebuah lagu? Apakah para jamaah dipanggil dengan suara kencang dan dengan riang gembira untuk menunjukkan betapa dekatnya seorang Arab dengan orang Arab lainnya? Apakah pernah ada azan dikumandangkan dengan malu-malu, dengan kelembutan seorang laki-laki yang menyerupai perempuan? *Makanan khas Timur Tengah terbuat dari biji-biji wijen yang sudah ditumbuk, lalu dicampur dengan madu, dan dibubuhi kacang, cokelat, atau bahan lainnya. 33 My Name is Red ORHAN PAMUK Hari ini, orang merata-ratap di depan nisan kubur, memohon penebusan dosa. Mereka berdoa dengan keterlibatan mereka yang sudah mati atas nama diri mereka. Mereka menziarahi kuburan orang-orang suci dan memuja makam bagaikan orang tak beragama di depan bongkahan batu. Mereka mengikatkan simbol kain di mana-mana, dan bersumpah akan balas berkorban sebagai penebusan dosa. Adakah anggota tarekat sufi yang menyebarkan keyakinan mereka di zaman Muhammad? Ibnu Arabi, guru dari tarekat-tarekat ini, telah berdosa dengan bersumpah bahwa Firaun yang kafir itu mati sebagai seorang mukmin. Orang-orang sufi ini, kaum Maulawi, Halawi, dan Kalenderis, dan mereka yang menyanyikan Alquran dengan iringan musik, atau membolehkan tarian dengan anak-anak dan remaja, dengan berkata bahwa 'Kita toh sembahyang juga, bukan?' semuanya adalah orang-orang kafir. Pondok-pondok para sufi harus dihancurkan, fondasinya harus dibongkar, dan tanah yang terkumpul harus dibuang ke laut. Hanya setelah itulah salat wajib bisa dilakukan lagi di sana." Aku mendengar selentingan bahwa Husret Hoja memperluas persoalan ini jauh lebih parah lagi, dengan membuat pernyataan berikut, disertai ludah yang beterbangan keluar dari mulutnya, "Oh, jamaahku yang taat! Minum kopi adalah sebuah dosa besar! Nabi Besar kita tidak minum kopi karena beliau tahu kopi akan menumpulkan kecerdasan, mengakibatkan bisul, hernia, dan kemandulan. Beliau paham bahwa kopi tak lain hanyalah perangkap Iblis. Kedai-kedai kopi adalah tempat para pencari kenikmatan yang kaya raya, duduk beradu lutut, melibatkan diri dalam perilaku-perilaku yang kasar. Pada kenyataannya, bahkan sebelum pondok-pondok sufi ditutup, kedai kopi seharusnya juga dilarang buka. Apakah para fakir miskin punya eukup uang untuk minum kopi? Para lelaki membiasakan diri mengunjungi tempat-tempat ini, terpikat oleh kopi dan kehilangan kendali 34 mental mereka, hingga ke titik di mana mereka mendengarkan dan memercayai apa yang dikatakan oleh anjing dan anjing buduk. Mereka yang mengutukku dan agama kita adalah anjinganjing buduk yang sesungguhnya." Dengan izin kalian, aku ingin menanggapi komentar terakhir yang dikeluarkan ulama agung ini. Tentu saja, sudah menjadi rahasia umum bahwa para haji, hoja, ulama, dan pendakwah memandang rendah terhadap anjing. Menurut pendapatku, seluruh persoalan ini berkaitan dengan Nabi Muhammad, semoga kedamaian dan rahmat Tuhan menyertai beliau, yang memilih merobek secarik kain jubahnya yang sedang ditiduri seekor kucing daripada membangunkan binatang itu. Dengan menunjukkan kasih sayang pada seekor kucing yang tanpa sengaja tidak dilakukan pada kami para anjing, dan berdasarkan pertikaian abadi kami dengan hewan ini, yang oleh manusia paling tolol sekalipun dilihat sebagai perbuatan tak tahu terima kasih, orangorang menyimpulkan bahwa Nabi sendiri tidak menyukai anjing. Mereka percaya kami akan mengotori mereka yang telah berwudu, dan akibat kekeliruan dan keyakinan yang semu ini kami dilarang masuk masjid selama berabad-abad, dan kami didera pukulan-pukulan di halaman masjid oleh gag'ang sapu penjaga masjid. Izinkan aku mengingatkan kalian tentang "Al-Kahfi", surah paling indah dalam Alquran. Aku mengingatkan kalian bukan karena aku curiga ada banyak orang yang tidak pernah membaca Alquran di antara kita di kedai minum yang bagus ini, melainkan karena aku sekadar ingin mengembalikan ingatan kalian: Surah ini menceritakan kisah tujuh pemuda yang lelah karena harus hidup di antara orang-orang yang tak beragama, dan akhirnya mereka mengungsi ke dalam sebuah gua, di mana mereka tertidur nyenyak dalam waktu lama. Allah lalu mengunci telinga mereka, dan membuat mereka tertidur selama tiga ratus 35 My Name is Red ORHAN PAMUK sembilan tahun. Ketika mereka terbangun, mereka baru menyadari betapa lama tahun telah berganti saat salah seorang dari mereka mendatangi kumpulan orang dan hendak membelanjakan uang logam yang sudah tidak berlaku. Mereka semua terpana menyaksikan apa yang sudah terjadi. Surah ini dengan gamblang menceritakan keterikatan manusia dengan Allah. Mujizat Allah yang membuat perubahan masa secara alami dan kenikmatan tidur yang sangat nyenyak. Dan meskipun itu bukan wewenangku, izinkan aku mengingatkan kalian ayat kedelapan belas surah ini yang menyebutkan tentang seekor anjing yang beristirahat di mulut gua tempat ketujuh pemuda itu tertidur.* Jelas sekali, siapa saja akan merasa sangat bangga disebutkan di dalam Alquran. Sebagai seekor anjing, aku bangga pada surah ini, dan karenanya aku berniat membuat para pengikut Erzurumi yang menganggap musuh-musuhnya sebagai anjing buduk, tersadar. Maka, apakah alasan sesungguhnya atas rasa jijik terhadap anjing? Mengapa kalian begitu kukuh berpendapat bahwa anjing itu najis, dan kalian akan membersihkan serta menyucikan rumah kalian dari atas hingga bawah jika seekor anjing tak sengaja memasukinya? Mengapa kalian meyakini bahwa mereka yang tersentuh oleh kami akan batal wudunya? Jika jubah kalian bergesekan dengan bulu kami, mengapa kalian tetap harus mencuci kain itu tujuh kali seperti seorang perempuan kalap? Para perajin timah seharusnya bertanggung jawab terhadap fitnah bahwa bejana miring yang telah dijilat oleh seekor anjing harus dilemparkan, dibuang, atau dilebur kembali. Atau mungkin itu adalah ulah para kucing .... *"Dan kamu mengira mereka bangun, padahal mereka tidur, dan Kami menggerak-gerakkan mereka ke kanan dan ke kiri, dan anjing mereka membentangkan kakinya di mulut gua ..." (Q.S. 18:18). 36 Ketika orang-orang meninggalkan desa mereka untuk menetap di kota, anjing-anjing gembala tetap di pedesaan, itulah saat ketika gunjingan tentang kenistaan anjing-anjing sepertiku mulai tersebar ke mana-mana. Sebelum Islam berkembang, dua dari dua belas bulan dalam setahun dinamai "bulan anjing." Sekarang, seekor anjing dianggap pertanda buruk. Aku tidak ingin membebanimu dengan masalahku sendiri, teman-temanku tercinta yang datang untuk mendengar cerita dan merenungkan maknanya—sejujurnya, kemarahanku bangkit karena serangan ulama agung itu terhadap kedai-kedai kopi kita. Bagaimana menurutmu jika aku berkata bahwa Husret dari Erzurum ini terlahir tak bermoral? Tetapi mereka juga mengatakan hal yang sama terhadapku, "Anjing macam apa dirimu ini menurutmu? Kau menyerang seorang ulama yang lemah karena tuanmu adalah seorang pendongeng yang menggantungkan gambar, yang menceritakan kisah-kisahnya di kedai-kedai kopi, dan kauingin melindunginya. Enyah kau, najis!" Astaghfirullah, aku tidak sedang menjelek-jelekkan siapa pun, tetapi seorang penggemar setia kedai-kedai kopi kita. Kalian tahu, aku tidak bermasalah dengan kenyataan bahwa gambarku dilukiskan di atas sehelai kertas murahan, atau bahwa aku adalah binatang berkaki empat, tetapi aku sungguh menyesal bahwa aku tidak bisa duduk seperti manusia, dan mereguk secangkir kopi bersama kalian. Kami akan mati untuk kopi dan kedai-kedai kopi—apakah ini sebenarnya? Lihatlah, tuanku sedang menuangkan kopi untukku dari sebuah poci kopi kecil. Sebuah gambar tidak bisa meminum kopi, katamu? Ayolah! Lihatlah sendiri, anjing ini melompat keluar dengan riangnya. Ah, ya, hal itu mengena dengan tepat, menyemangatiku, menajamkan penglihatanku, dan mempercepat daya pikirku. Sekarang dengarkan apa yang akan kuceritakan padamu: Selain gulungan sutra Cina dan gerabah Cina yang dihiasi bebungaan 37 My Name is Red ORHAN PAMUK biru, apa lagi yang dikirimkan Hakim Agung Venesia kepada Nurhayat Sultan, putri Sultan yang kita hormati? Seekor anjing betina yang berbulu lembut dan menggemaskan dengan jubah sutra dan bulu musang. Aku mendengar bahwa binatang betina ini begitu dimanjakan, dia juga memiliki pakaian sutra berwarna merah. Salah seorang teman kami telah bersanggama dengan anjing betina itu, itu sebabnya aku mengetahuinya, dan anjing betina itu bahkan tidak bisa beraksi tanpa pakaiannya. Di negeri asalnya di tanah orang-orang Frank11, semua anjing berpakaian seperti itu. Aku mendengar cerita bahwa di sana ada seorang perempuan yang dianggap anggun dan berasal dari keturunan ningrat Venesia melihat seekor anjing telanjang—atau mungkin perempuan ini melihat kelamin si anjing. Aku tidak yakin— kemudian dia menjerit, "Ya Tuhanku, anjing itu telanjang!" Dia jatuh pingsan dan kemudian mati. Di negeri-negeri orang-orang kafir Frank, yang mereka sebut bangsa Eropa, setiap anjing memiliki seorang majikan. Binatang-binatang malang ini diarak di jalanan dengan rantai membelit leher mereka, mereka dikekang bagaikan para budak yang paling merana, dan diseret ke mana-mana dalam kekangan itu. Orang-orang Frank ini memaksa binatang-binatang malang ini memasuki rumah mereka, bahkan ranjang mereka. Anjing tidak diizinkan berjalan dengan sesamanya, apalagi dibiarkan mendengus-dengus dan bermain bersama-sama. Dalam kondisi yang "pantas" tersebut, terkekang rantai, mereka tidak bisa melakukan apa pun selain saling memandang dengan frustasi satu sama lain dari kejauhan saat mereka berpapasan di jalan. Anjing yang menggelandang di jalanan Istanbul dengan bebas di peti-peti dagangan dan berbaur dengan keramaian masyarakat, seperti kami, anjing-anjing yang kalau perlu bisa mengancam manusia, 11Sebutan terhadap orang-orang Kristen dari Eropa. 38 yang bisa bergelung di sudut hangat atau menggeliat-geliat di tempat teduh, dan tidur dengan damai, serta anjing-anjing yang bisa berak di mana pun mereka mau dan menggigiti apa pun yang mereka inginkan, anjing-anjing semacam itu berada di luar jangkauan pikiran orang-orang kafir itu. Bukan berarti aku tidak pernah memikirkan bahwa mungkin inilah alasan para pengikut Erzurumi menentang doa untuk anjing dan memberi makan daging pada mereka di jalanan Istanbul, dan bahkan mengapa mereka menentang kemurahan hati yang melakukan jasa-jasa semacam itu. Jika mereka berniat memperlakukan anjing sebagai musuh dan menjadikan kami kaum kafir, maka biarlah aku ingatkan mereka bahwa menjadi musuh bagi anjing dan menjadi kafir adalah sesuatu yang sama. Kuharap, orang-orang memalukan ini akan segera mendapatkan hukuman. Aku berdoa agar teman-teman kami para algojo itu mengundang kami untuk ikut menggigit, sebagaimana yang terkadang mereka lakukan untuk memberi contoh. Sebelum kutuntaskan, izinkan aku mengatakan ini: Majikanku yang sebelumnya adalah seorang laki-laki yang adil. Ketika kami keluar rumah di malam hari untuk mencuri, kami bekerja sama. Aku akan menggonggong, dan pada saat yang sama ia akan menggorok leher korban kami yang jeritan kencangnya pasti akan teredam suara gonggonganku. Sebagai balasan atas bantuanku, ia akan memotong sedikit bagian tubuh laki-laki yang dihukumnya itu, merebusnya, dan memberikannya padaku untuk kumakan. Aku tidak suka daging mentah. Atas izin Tuhan, algojo yang akan menghukum mati ulama dari Erzurum itu akan mengingat hal ini, jadi aku tidak akan membuat mual perutku dengan menyantap daging mentah bajingan itu.[] 39 My Name is Red ORHAN PAMUK 40 TIDAK, AKU tak mau percaya aku bisa mencabut nyawa orang, bahkan andai aku diberi tahu tentang itu sesaat sebelum aku membunuh si bodoh itu sekalipun. Dan karenanya, kejahatanku itu menjauh dari diriku bagaikan sebuah kapal asing yang lenyap di cakrawala. Kini sekali lagi, aku bahkan merasa seolah-olah tidak pernah melakukan kejahatan apa pun. Empat hari berlalu sejak aku harus melakukan itu pada Elok yang bukan saudaraku, dan baru saat inilah aku bisa raenerima keadaanku. Aku lebih senang menuntaskan dilema yang tak terduga dan mengerikan ini tanpa harus menghilangkan nyawa siapa pun. Namun, aku sadar tidak ada pilihan lain. Aku menangani persoalan ini, menanggung beban tanggung jawab ini. Aku tidak bisa membiarkan tuduhan palsu seorang laki-laki bodoh membahayakan seluruh masyarakat ilustrator. Meski demikian, menjadi seorang pembunuh ternyata harus membiasakan diri. Aku tidak tahan berada di rumah, jadi aku mengeluyur keluar ke jalanan. Aku tidak tahan berada di satu ruas jalan, maka aku mengambil jalan lain, lalu jalan lainnya lagi. Ketika aku menatap wajah orang-orang, aku sadar bahwa sebagian besar dari mereka merasa yakin bahwa mereka tidak bersalah, karena mereka belum pernah memiliki kesempatan menghilangkan nyawa orang. Sulit dipercaya bahwa sebagian besar orang memiliki moral lebih tinggi, atau lebih baik dariku, hanya karena satu tikungan nasib. Terlebih lagi, mereka menampakkan ekspresi wajah yang lebih bodoh, karena mereka a belum pernah membunuh. Dan seperti orang-orang tolol, mereka tampak memiliki niat baik. Setelah aku menangani lelaki menyedihkan itu, aku menelusuri jalanan Istanbul selama empat hari, dan itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa siapa pun dengan sorot mata yang membiaskan kepandaian dan bayang-bayang jiwa yang melintas di wajahnya adalah seorang pembunuh tersembunyi. Hanya orang-orang idiot yang tak berdosa. Malam ini, contohnya, saat aku menghangatkan diri dengan secangkir kopi panas di sebuah kedai kopi di jalanan belakang pasar budak, aku menatap selintas gambar seekor anjing yang tergantung di dinding belakang, perlahan-lahan aku bisa melupakan kemalanganku dan ikut tertawa-tawa dengan mereka, menertawakan apa pun yang diceritakan si anjing. Kemudian, aku merasakan sensasi seakan-akan salah seorang laki-laki yang berada di sampingku adalah seorang pembunuh biasa seperti diriku sendiri. Meskipun ia hanya menertawakan si pendongeng sepertiku, naluriku menyala, entah dari gaya tangannya yang diletakkan di dekat lenganku, atau dari cara jemarinya menggenggam cangkirnya dengan gelisah. Aku tidak yakin bagaimana aku bisa mengetahuinya, tetapi tiba-tiba saja aku menoleh dan menatap langsung ke arah matanya. Ia tampak terpaku sejenak dan wajahnya berkerut. Begitu orang-orang bercerai berai, salah seorang temannya meraih tangannya dan berkata, "Orang-orang Nusret Hoja pasti akan menyerbu tempat ini." Sambil mengangkat salah satu alis matanya, ia memberi tanda pada laki-laki itu untuk tenang. Ketakutan mereka memengaruhiku. Tak seorang pun memercayai siapa pun. Siapa pun bisa dibunuh saat itu juga oleh laki-laki yang ada di sampingnya. Tempat itu jadi semakin dingin. Salju menggunung di sudutsudut jalan dan kaki-kaki dinding. Di malam buta aku bisa menemukan jalan sepanjang gang-gang kecil hanya dengan merabaraba menggunakan kedua tanganku. Beberapa kali, pendar cahaya 41 My Name is Red ORHAN PAMUK lampu minyak yang masih menyala di suatu tempat di dalam rumah kayu menyelinap keluar dari balik jendela-jendela yang sudah gelap dan dari daun-daun jendela yang tertutup. Pendar cahaya itu membias di atas salju. Namun, seringnya aku tidak melihat apa-apa, maka aku menemukan jalanku dengan mendengarkan suara-suara para penjaga malam yang memukulmukulkan tongkat mereka di atas batu, aku juga mendengarkan lolongan anjing-anjing gila, atau sekadar suara-suara samar dari dalam rumah-rumah itu. Terkadang lorong-lorong yang begitu sempit dan mematikan di kota itu seakan-akan diterangi cercahan cahaya ajaib yang datang dari salju. Dan di tengah kegelapan, di antara puing-puing dan pepohonan, aku mengira telah melihat salah satu hantu yang telah menjadikan Istanbul sebuah kota yang menyeramkan selama ribuan tahun. Dari dalam rumah-rumah itu, sesekali aku mendengar suara orang-orang malang yang terbatuk-batuk kencang, mendengkur, atau meratap- ratap seperti jika mereka mengigau. Atau sesekali aku mendengar teriakan para suami dan istri mereka ketika mereka mencoba saling mencekik, dan anak-anak mereka menangis terisakisak di kaki mereka. Selama dua malam berturut-turut, aku mendatangi kedai kopi ini untuk merasakan kembali kebahagiaan yang pernah kurasakan sebelum menjadi seorang pembunuh. Aku ingin membangkitkan gairah dan semangatku, dan mendengarkan si pendongeng. Sebagian besar di antara teman-teman ilustratorku, kelompok persaudaraan tempatku membagi seluruh hidupku, datang ke tempat ini setiap malam. Semenjak aku membungkam si dungu, seseorang yang telah menjadi temanku menggambar sejak kecil, aku tidak ingin lagi bertemu dengan siapa pun dari mereka. Banyak hal yang memalukan bagiku tentang kehidupan kelompok persaudaraanku itu, yang tak bisa bekerja tanpa bergunjing, dan tentang suasana riang yang memalukan di tempat 42 ini. Aku bahkan membuat sketsa beberapa gambar untuk si pendongeng agar mereka tidak menuduhku berkhianat, tetapi itu pun gagal mengakhiri kecemburuan mereka. Mereka punya alasan kuat untuk cemburu. Tak satu pun di antara mereka yang bisa melebihi kemampuanku dalam mencampur warna, dalam mencipta dan menghiasi tepian gambar, dalam menyusun halaman-halaman buku, memilih bahan cerita, menggambar wajah, menyusun adegan peperangan dan perburuan yang seru, dan melukiskan binatang-binatang buas, para sultan, perahu-perahu, kuda, prajurit, dan kekasih-kekasih. Tak seorang pun yang bisa mendekati tingkat keahlianku dalam mengejawantahkan puisi jiwa ke dalam lukisan, juga dalam hal menyepuh dengan emas sekalipun. Aku tidak sedang membual, tetapi menjabarkan semua ini padamu, agar kau sepenuhnya memahamiku. Dengan berlalunya waktu, kecemburuan itu menjadi unsur yang sedemikian penting, seperti lukisan dalam hidup seorang empu seni rupa. Dalam masa jalan-jalanku, yang menjadi semakin lama saja karena terus-menerus kulakukan tanpa henti, aku terkadang berpapasan muka dengan salah seorang penduduk desa yang lugu dan taat beragama, dan sebuah gagasan aneh mendarat di benakku: jika aku memikirkan kenyataan bahwa diriku ini seorang pembunuh, orang di depanku ini mungkin akan mampu membacanya di wajahku. Oleh karena itu, aku mendorong diriku sendiri untuk memikirkan hal lain, seperti saat aku memaksakan diri, dengan mengesampingkan rasa malu, memupus pikiranpikiranku tentang perempuan saat aku melakukan salat sebagai seorang lelaki dewasa. Namun, tidak seperti di masa mudaku, ketika aku tidak mampu membuang bayangan tentang adegan persanggamaan dari benakku, kali ini aku benar-benar bisa melupakan pembunuhan yang sudah kulakukan. 43 My Name is Red ORHAN PAMUK Sadarkah kau, pada kenyataannya, bahwa aku menjelaskan sernua ini karena setiap rincian kisah ini berhubungan dengan kesulitanku. Namun, jika aku harus mengungkapkan satu detail saja yang berhubungan dengan pembunuhan itu, kau akan mampu membayangkan semuanya dan ini akan melegakanku. Aku akan lega karena terbebas dari predikat seseorang yang tak bernama, menjadi pembunuh tak berwajah yang gentayangan di antara kalian seperti hantu, dan menjatuhkanku ke status seorang biasa, seorang penjahat yang mengakui kejahatannya dan kemudian menyerahkan diri untuk membayar kejahatannya dengan kepalanya. Izinkan aku untuk tidak berpanjang-panjang pada setiap detail, biarkan aku menyimpan beberapa petunjuknya untukku sendiri: Cobalah temukan siapa diriku dari pilihan kata-kata dan warna-warnaku, layaknya orang-orang cermat sepertimu meneliti jejak kaki untuk menangkap seorang pencuri. Sebaliknya, ini akan membawa kita ke masalah "gaya", yang kini menjadi ketertarikan yang meluas: Apakah seorang ilustrator memiliki gaya sendiri? Penggunaan warna sendiri, suaranya sendiri? Mari kita pertimbangkan sebuah karya Bihzad, empu segala empu, orang suci yang diteladani oleh segenap ilustrator. Aku sempat melihat karya besar ini, yang juga amat sepadan dengan situasi yang kuhadapi sekarang, karena lukisan ini menggambarkan sebuah pembunuhan, di antara berhalaman-halaman buku berusia sembilan puluh tahun aliran Herat yang benarbenar sempurna. Buku ini berasal dari perpustakaan seorang pangeran Persia yang terbunuh dalam peperangan dahsyat untuk memperebutkan kekuasaan, dan isinya menceritakan kembali kisah Hiisrev dan Shirin. Kau, tentu saja, mengetahui nasib Hiisrev dan Shirin, aku mengacu pada versi Nizami, bukan Firdausi: Sepasang kekasih itu akhirnya menikah setelah diterpa sejumlah cobaan dan guncangan. Namun, Shiruye yang muda dan lalim, anak laki-laki Hiisrev dari istrinya yang terdahulu, tidak 44 akan membiarkan mereka merasakan kedamaian. Pangeran ini tidak hanya mengincar tahta sang ayah, melainkan juga istri mudanya, Shirin. Shiruye, yang seperti ditulis oleh Nizami, "Napasnya menebarkan bau rongga mulut seekor singa," lewat caracara licik, berhasil mengambil alih takhta. Suatu malam, ia memasuki kamar tidur ayahnya dan Shirin, ia meraba-raba dalam gelap, dan begitu menemukan pasangan itu di atas ranjang mereka, ia menikam dada ayahnya dengan belatinya. Maka, darah sang ayah mengalir deras hingga fajar tiba, ia pun tewas di atas ranjang yang ditidurinya bersama si jelita Shirin yang tetap tertidur lelap di sampingnya. Adegan yang dilukis oleh Bihzad ini, seperti kisahnya sendiri, menampakkan ketakutan akan kematian yang kubawa-bawa dalam diriku selama bertahun-tahun: Kengerian ketika terjaga dalam kelam malam, menyadari ada seorang asing yang menimbulkan suara-suara samar saat ia mengendap-endap di kegelapah kamar! Aku membayangkan si penyusup itu bersenjatakan sebilah belati di salah satu tangannya, sementara tangannya yang lain digunakan untuk mencekikku. Setiap detailnya, dinding yang dipoles rapi dan indah, jendela dan ornamen-ornamen bingkainya, desain melengkung dan lingkaran-lingkaran di karpet merahnya, jeritan sunyi yang datang dari tenggorokanmu yang tercekik, warna bunga-bunga kuning dan ungu yang dibordir dengan sangat terampil dan bersemangat di atas penutup ranjang yang indah, di mana kaki telanjang pembunuhmu yang menjijikkan itu tanpa ampun menjejak di atasnya saat ia mengakhiri hidupmu. Semua detail ini memberi pengaruh yang sama: Sementara sebagian orang berdebat tentang keindahan lukisan itu, mereka akan mengingatkanmu tentang betapa indahnya kamar tempat kau akan segera mati di dalamnya, dan dunia yang akan segera kautinggalkan. Betapa tidak pentingnya keindahan lukisan itu dan dunia ini, dibandingkan kematianmu. Kenyataan yang di- 45 My Name is Red ORHAN PAMUK ungkap lukisan itu adalah bahwa kau sepenuhnya sendirian saat mati, meskipun ada istrimu di tempat itu. Inilah makna tak terhindarkan, yang akan membuatmu terguncang. "Ini karya Bihzad," ujar empu yang semakin uzur itu, dua puluh tahun lalu, saat kami meneliti buku yang kupegang dengan gemetar. Wajahnya bercahaya, bukan oleh nyala lilin di dekatnya, melainkan oleh rasa senang terhadap pengamatan itu. "Ini khas Bihzad, tidak diperlukan lagi tanda tangannya." Bihzad sangat sadar pada kenyataan bahwa dirinya tidak menyembunyikan tanda tangannya di bagian mana pun lukisan itu. Dan menurut para empu zaman dulu, ada kesan malumalu dan sebentuk rasa jengah dalam keputusannya itu. Di mana terdapat karya seni sejati dan keahlian yang murni, sang seniman bisa melukiskan sebuah karya agung yang tak tertandingi tanpa harus meninggalkan jejak identitasnya. Merasa takut akan keselamatanku, aku membunuh korban malang itu dengan sikap yang biasa-biasa saja dan kejam. Saat aku kembali ke daerah yang dihancurkan kobaran api itu, malam demi malam, untuk memastikan bahwa aku tidak meninggalkan jejak apa pun yang bisa mengkhianatiku, pertanyaan tentang gaya membunuh itu terus muncul di benakku. Apa yang dianggap gaya, tak lebih dari sebuah kekurangan, atau cacat yang menyingkap tangan orang yang bersalah. Aku bisa saja menemukan tempat ini, bahkan tanpa kilaukilau butiran salju yang berjatuhan, karena tempat yang telah dihancurkan api ini adalah tempat aku mengakhiri hidup seseorang yang sudah menjadi kawanku selama dua puluh tahun. Kini, salju menutupi dan menghapus semua jejak yang mungkin saja diartikan sebagai tanda tangan, untuk membuktikan bahwa Allah sepakat dengan Bihzad dan aku tentang soal gaya dan tanda tangan. Jika kami benar-benar melakukan sebuah dosa tak berampun dengan menghiasi buku itu—seperti yang tetap 46 dilakukan oleh si ceroboh itu empat hari lalu—bahkan andaikan kami melakukannya tanpa kami sadari, Allah tidak akan menganugerahkan karunia semacam ini kepada kami para ilustrator. Malam itu, ketika Elok Effendi dan aku datang kemari, salju belum turun. Kami bisa mendengar suara lolongan anjing liar bergema di kejauhan. "Untuk apa kita datang kemari?" si malang itu bertanya. "Apa yang ingin kautunjukkan padaku di sini pada malam selarut ini?" "Di depan ada sebuah sumur sedalam kurang lebih 18 meter, tempat aku menguburkan uang yang kukumpulkan selama bertahun- tahun," jawabku. "Jika kaumau merahasiakan semua yang akan kujelaskan padamu, Enishte Effendi dan aku akan memberimu hadiah yang akan membuatmu bahagia." "Apakah aku harus mengerti bahwa kau mengaku sudah mengetahui apa yang kaulakukan sejak awal?" ujarnya bergetar. "Aku mengakuinya," aku terpaksa berbohong. "Kau sadar, bukan, bahwa lukisan yang kaubuat kenyataannya adalah sebuah penistaan?" ujarnya dengan lugu. "Itu adalah pemurtadan, sebuah penistaan yang tak akan berani dilakukan oleh orang baik-baik. Kau akan dibakar dalam api neraka. Kau akan menderita dan rasa sakitnya tak akan pernah berakhir— dan kau sudah menjadikanku seorang antek untuk itu." Ketika mendengarkannya bicara, aku merasakan dengan ngeri betapa kata-katanya mengandung kekuatan dan daya tarik yang, mau tak mau, akan diperhatikan orang, berharap mereka terbukti benar di antara makhluk-makhluk menyedihkan ini. Banyak desas-desus seperti ini tentang Enishte Effendi sudah mulai gentayangan, karena kerahasiaan buku yang diciptakannya, dan uang yang bersedia ia keluarkan—dan karena Tuan Osman, Iluminator Kepala, meremehkannya. Terpikir olehku bahwa mungkin saudaraku si tukang sepuh, Elok, telah memanfaatkan dengan cerdik fakta- 47 My Name is Red ORHAN PAMUK fakta ini untuk mendukung tuduhan palsunya. Sampai tahap mana ia berlaku jujur? Aku memintanya mengulangi pernyataan yang membuat kami jadi saling bertentangan, dan ketika ia bicara, ia tidak memperhalus kata-katanya. Ia seolah-olah sedang menghasutku untuk menutupi 'sebuah kesalahan, seperti pada masa magang kami dahulu, yang tujuannya adalah menghindar dari pukulan Tuan Osman. Waktu itu, aku menganggap ketulusannya begitu meyakinkan. Sebagai seorang anak didik, matanya akan melebar seperti sekarang ini, tetapi saat itu sepasang bola matanya belum menjadi muram didera kerja keras menghiasi buku. Akhirnya aku menguatkan hati; ia sudah siap untuk mengakui semuanya pada semua orang. "Dengarkanlah aku," ujarku dengan kegundahan yang dipaksakan. "Kita telah membuat ilustrasi-ilustrasi buku, menciptakan desain pinggiran buku, membingkai setiap halamannya dengan indah, kita menghiasi setiap halaman dengan sangat cemerlang menggunakan warna indah keemasan, kita membuat lukisanlukisan hebat, kita' juga menghiasi lemari dan peti-peti. Kita tidak melakukan apa pun lagi selama bertahun-tahun. Ini adalah panggilan jiwa kita. Mereka menugasi kita membuat lukisanlukisan, memerintahkan kita untuk melukis sebuah kapal, seekor antelop, atau seorang sultan, dengan dibatasi oleh bingkai khusus. Mereka juga menuntut gambar seekor burung dengan gaya tertentu, sosok dengan jenis tertentu, mengambil adegan tertentu dari sebuah kisah, lupakan tentang gambar yang seperti ini atau seperti itu. Apa pun yang mereka inginkan, kita lakukan. 'Dengar,' seru Enishte Effendi padaku, 'gambarlah sebuah kuda sesuai imajinasimu sendiri, di sini.' Selama tiga hari, seperti senimanseniman hebat zaman dulu, aku membuat sketsa ratusan ekor kuda, sampai aku tahu pasti kuda seperti apa 'yang sesuai dengan imajinasiku' itu. Untuk melemaskan tanganku, aku meng- 48 gambar serangkaian gambar kuda di atas lembaran kasar kertas Samarkand." Aku mengeluarkan sketsa-sketsa itu dan menunjukkannya pada Elok. la memeriksanya dengan penuh perhatian, mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke kertas itu, dan mulai mengamati kuda-kuda berwarna hitam dan putih yang dilatarbelakangi temaram cahaya bulan. "Para empu tua dari Shiraz dan Herat," ujarku, "mengatakan bahwa seorang ilustrator harus membuat sketsa kuda tanpa henti selama lima puluh tahun untuk bisa melukiskan dengan tepat seekor kuda yang sesuai dengan keinginan dan gambaran Allah. Mereka berkata bahwa gambar kuda yang terbaik harus dibuat di dalam gelap, mengingat seorang ilustrator sejati akan mampu bekerja dengan mata tertutup setelah menjalani periode lima puluh tahun itu, tetapi dalam prosesnya, tangan si ilustrator itu akan mengingat gambar kuda dengan sendirinya." Mimik polos wajahnya adalah sesuatu yang selalu kulihat sejak lama, saat kami masih kanak-kanak. la mengatakan padaku bahwa ia sepenuhnya terserap ke dalam gambar-gambar kudaku. "Mereka membayar kita, dan kita berupaya untuk menciptakan kuda yang paling misterius dan paling liar, sebagaimana yang dilukiskan seniman-seniman tua kawakan. Tidak ada lagi selain itu. Tidak adil jika mereka meminta kita bertanggung jawab atas selain ilustrasi." "Aku tidak yakin itu benar," ujarnya. "Kita juga memiliki tanggung jawab dan keinginan-keinginan sendiri. Aku tidak takut pada siapa pun selain Allah. Hanya Allah sajalah yang menjadi alasan kita mampu membedakan Kebaikan dari Kejahatan." Itu adalah tanggapan yang pantas. "Allah melihat dan mengetahui semuanya ..." kataku dalam bahasa Arab. "Allah akan mengetahui bahwa kau dan aku, kita 49 My Name is Red ORHAN PAMUK melakukan pekerjaan ini tanpa menyadari apa yang sedang kita lakukan. Siapa yang akan kau beri tahu tentang Enishte Effendi? Apakah kau sadar bahwa di balik masalah-masalah ini ada keinginan Sultan kita yang mulia?" Hening. Aku bertanya-tanya, apakah ia sungguh-sungguh seorang badut, atau apakah ia sudah kehilangan kendali emosinya dan mengoceh, dan itu menguak rasa takut yang amat tulus terhadap Allah. Kami berhenti di mulut sumur. Di tengah kegelapan, samarsamar kutangkap sorot matanya, dan aku bisa melihat bahwa ia sedang ketakutan. Aku merasa iba padanya. Namun, sudah terlambat untuk iba. Aku berdoa pada Tuhan agar memberiku satu petunjuk lagi bahwa laki-laki yang berdiri di hadapanku tidak hanya seorang pengecut, melainkan juga seseorang yang hina tak terkira. "Hitung sampai dua belas langkah, lalu galilah," ujarku. "Lalu, apa yang akan kaulakukan?" "Aku akan menjelaskan semuanya pada Enishte Effendi, dan ia akan membakar gambar-gambar itu. Apa lagi yang bisa ada di sana? Jika salah satu dari pengikut Nusret Hoja mendengar penjelasan seperti itu, tidak akan ada yang tersisa dari diri kita ataupun bengkel kerja buku seni. Apakah kau mengenal salah satu dari para pengikut Erzurumi? Terimalah uang ini agar kita bisa pastikan bahwa kau tidak akan mengadukan kami." "Uang itu diwadahi apa?" "Ada tujuh puluh lima kepingan emas Venesia di dalam sebuah tempat acar tua yang terbuat dari keramik." Koin-koin emas Venesia memberi satu alasan kuat, tetapi bagaimana aku mengarang-ngarang tentang ttempat acar keramik itu? Itu adalah sesuatu yang sangat bodoh sehingga mudah dipercayai. Dari situlah aku merasa diyakinkan bahwa Tuhan 50 bersamaku, dan sudah memberiku satu tanda. Kawan lamaku sesama anak didik yang seiring bergantinya tahun menjadi semakin tamak sudah mulai menghitung tepat dua belas langkah ke arah yang kutunjuk. Ada dua hal yang menyibukkan benakku saat itu. Pertama, sebenarnya tidak ada koin-koin Venesia itu atau apa pun yang dikubur di sana! Jika aku tidak memperlihatkan uang itu, maka badut ini akan menghancurkan kami. Seketika aku merasa ingin memeluk si tolol itu dan mencium pipinya, seperti yang kadangkadang kulakukan saat kami masih sama-sama magang, tetapi kami telah dipisahkan waktu bertahun-tahun lamanya! Kedua, aku sedang sibuk memikirkan bagaimana kami akan menggali. Dengan kuku-kuku jari kami? Namun, pemikiran ini, jika kau bisa menyebutnya sebagai pemikiran, hanya bertahan sekejap saja. Dengan panik, aku menyambar sebongkah batu yang tergeletak di dekat dinding. Sementara ia masih berada di langkah ketujuh atau kedelapannya, aku menyergapnya dan menghantam bagian belakang kepalanya dengan batu itu sekuat tenaga. Aku menghantamnya dengan amat cepat dan bfutal, hingga sejenak aku sempat merasa gentar, rasanya seakan-akan hantaman itu mengenai kepalaku sendiri. Ya, aku merasakan kesakitannya. Bukannya merenungkan apa yang sudah kuperbuat, aku malah ingin menuntaskan pekerjaan itu dengan cepat. Ia menggelepar- gelepar di atas tanah, dan kepanikanku pun bertambah. Lama setelah aku melemparnya ke dalam sumur, aku baru menyadari betapa kejinya perbuatanku, dan tak sedikit purt sesuai dengan keanggunan seorang miniaturis pembuat ilustrasi buku yang indah.[] 51 My Name is Red ORHAN PAMUK AKULAH PAMAN kandung Hitam dari pihak ibu, enishtenya, tetapi yang lainnya pun memanggilku "Enishte". Suatu ketika ibunda Hitam meminta anaknya itu untuk memanggilku "Enishte Effendi," dan kemudian, tidak hanya Hitam, tetapi juga semua orang mulai memanggilku dengan sebutan itu. Tiga pulub tahun yang lalu, setelah kami pindah ke jalan yang gelap dan lembab, dinaungi pohon-pohon kastanye dan limau di luar kawasan Aksaray, Hitam mulai sering mengunjungi rumah kami. Rumah itu adalah tempat tinggal kami sebelum rumah yang sekarang ini. Saat itu aku sedang pergi ke perkemahan musim panas dengan Mahmut Pasha, lalu aku kembali di musim gugur dan menemukan Hitam dan ibunya telah mengungsi ke rumah kami. Ibunda Hitam, semoga dia damai di kuburnya, adalah kakak almarhumah istriku. Di malam-malam musim dingin, aku pulang mendapati istriku dan ibunda Hitam sedang berpelukan dan berurai air mata saling menenangkan. Ayahanda Hitam, yang tidak pernah bisa mempertahankan kedudukannya sebagai guru di sekolah-sekolah agama kecil di daerah terpencil, berperangai sangat buruk, pemarah, dan mempunyai kelemahan soal minum minuman keras. Hitam saat itu berusia enam tahun, ia menangis saat melihat ibunya menangis, merasa terpuruk ketika ibunya terdiam dan menyapaku, Enishte-nya, dengan muram. Amat menyenangkan melihatnya di hadapanku sekarang, seorang keponakan yang tangguh, dewasa, dan terhormat. Penghormatan yang ditunjukkannya padaku, mencium tanganku dengan takzim dan menempelkannya ke dahinya, caranya berkata, "Merah 52 a murni," saat ia mempersembahkan padaku sebuah pot tinta Mongol sebagai hadiah, dan kesantunan dan sikap bersahajanya dengan duduk di depanku dengan kedua lutut bersentuhan, semua ini tidak hanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang laki-laki dewasa yang peka sebagaimana yang diharapkan orang darinya, tetapi juga mengingatkanku bahwa aku adalah seorang tua yang sudah sepantasnya dihormati. Ia tampak sangat mirip dengan ayahnya yang pernah bertemu denganku satu dua kali saja. Ia kurus tinggi, dan bahasa tubuh gerak tangannya menunjukkan sikap malu-malu. Kebiasaannya adalah menempatkan kedua telapak tangannya di atas lutut saat duduk, atau menatap dalam dan serius ke mataku seakan-akan berbicara, "Aku paham, aku mendengarkanmu dengan khidmat," ketika aku memberitahukan sesuatu yang penting padanya, atau dari caranya mengangguk-anggukkan kepalanya yang samar seperti berirama mengikuti kata-kataku, semua itu sangat pantas dilakukannya. Kini setelah aku mencapai usia setua ini, aku tahu bahwa penghormatan yang sesungguhnya muncul bukan dari hatinya, melainkan dari aturan-aturan tersendiri dan rasa hormat. Selama tahun-tahun ketika ibunda Hitam sering membawanya ke rumah kami, dengan sikap yang dibuat-buat, karena dia mengharapkan masa depan untuk anaknya di tempat ini, aku paham bahwa buku-buku bisa membuat anak itu senang, dan hal inilah yang membuat kami dekat. Sebagaimana yang diartikan oleh semua penghuni rumah, ia telah mengabdikan diri untuk menjadi "anak didikku". Aku menjelaskan padanya betapa para ilustrator di Shiraz telah menciptakan suatu gaya baru dengan menaikkan garis cakrawala menjadi amat jelas di atas bingkai gambarnya. Dan sementara semua orang melukiskan Majnun dalam keadaan kacau di padang pasir, tergila-gila pada Laila, sang empu agung Bihzad lebih pandai lagi karena mampu 53 My Name is Red ORHAN PAMUK menerjemahkan kesepian yang dirasakan Majnun dengan melukiskannya berjalan di antara sekelompok perempuan yang sedang memasak, berusaha untuk menyalakan kayu-kayu bakar dengan meniupnya, atau berjalan di antara tenda-tenda. Menurutku betapa tak masuk akal ketika sebagian besar ilustrator yang menggambarkan peristiwa Hiisrev mengintip Shirin yang sedang mandi di telaga, telanjang di tengah malam, telah mewarnai pasangan itu, kuda-kuda mereka, dan pakaiannya tanpa membaca puisi Nizami. Intinya adalah seorang ilustrator yang menggunakan kuasnya tanpa menyempatkan diri membaca teks yang akan diilustrasikannya, hanya didorong oleh keserakahan. Kini aku sangat senang melihat Hitam telah memiliki kebajikan mendasar lainnya: Untuk menghindari kekecewaan dalam berkesenian, seseorang janganlah menjadikan kesenian sebagai karir. Terlepas dari naluri artistik dan bakat besar yang dimiliki seseorang, ia seharusnya mencari uang dan kekuasaan di tempat lain agar tidak mengorbankan karya seninya apabila ia tidak mendapat imbalan yang setimpal untuk bakat dan kerja kerasnya. Hitam menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan semua empu ilustrator dan penulis kaligrafi itu satu persatu di Tabriz dengan membuatkan buku untuk para pasha, orangorang kaya dari Istanbul, dan tokph-tokoh di daerah pedalaman. Semua seniman ini, kuketahui kemudian, menjadi jatuh melarat dan dihanyutkan oleh kegagalan nasib mereka. Tidak hanya di Tabriz, di Mashhad dan Aleppo pun banyak ilustrator yang meninggalkan pekerjaan mereka dalam membuat buku, dan mulai beralih membuat gambar-gambar satu halaman yang ganjil— rasa ingin tahu yang akan menyenangkan para pelancong dari Eropa—bahkan gambar-gambar cabul. Isu yang beredar mengatakan bahwa manuskrip yang dihiasi Shah Abbas dan dipersembahkan kepada Sultan kita dalam perjanjian damai Tabriz, telah direncah-rencah, sehingga setiap halamannya bisa digunakan 54 untuk buku-buku lain. Mungkin saja Kaisar Hindustan, Akbar, menghamburkan begitu banyak uang untuk sebuah buku baru yang besar, sehingga para ilustrator yang paling berbakat di Tabriz dan Kazvin menghentikan pekerjaannya dan bergerombol menuju istananya. Ketika menceritakan semua ini, ia dengan senang hati menyertakan kisah-kisah lainnya juga. Contohnya, ia menggambarkan sambil tersenyum sebuah kisah menghibur tentang seorang peniru Mehdi atau tentang kekacauan yang terjadi di antara orang-orang Uzbek ketika seorang pangeran idiot yang dikirimkan pada mereka oleh orang-orang Safawiyah sebagai sandera untuk perdamaian, jatuh sakit karena demam dan meninggal dunia dalam waktu tiga hari. Meskipun demikian, aku tahu dari kemuraman yang terbias di wajahnya, dilema yang tak berkaitan dengan kami, tetapi amat menganggu kami berdua, belum juga tertuntaskan. Hitam, seperti juga para pemuda lainnya yang sering mengunjungi rumah kami, atau mendengar apa yang dikatakan orang tentang kami, atau mereka yang mengetahui keberadaan putriku yang rupawan, Shekure, dari pembicaran orang, telah jatuh cinta pada putriku itu. Mungkin dulu aku tidak menganggap hal itu cukup berbahaya agar aku menjadi waspada, tetapi semua orang—termasuk mereka yang belum pernah melihatnya— jatuh cinta pada putriku, yang tercantik dari yang cantik. Yang membuat Hitam gundah gulana adalah hasrat yang menggebu seorang pemuda bernasib sial yang memiliki kebebasan untuk memasuki rumah kami, yang sudah kami terima dengan baik dan amat disukai di rumah kami, dan yang memiliki kesempatan untuk melihat Shekure. Ia tidak memendam rasa cintanya, sebagaimana yang kuharap dilakukannya, tetapi membuat kesalahan fatal dengan mengungkapkan hasratnya yang menggelora kepada putriku. 55 My Name is Red Hasilnya, ia sepenuhnya terusir dari rumah kami. Kurasa kini Hitam pun telah mengetahui bahwa tiga tahun setelah ia meninggalkan Istanbul, putriku menikah dengan seorang tentara kavaleri di puncak kejelitaannya, dan bahwa tentara yang memberinya dua anak laki-laki ini tidak memiliki nalar yang sehat, karena pergi mengikuti sebuah operasi militer dan tak pernah kembali lagi. Tak seorang pun mendengar kabar dari pasukan kavaleri itu selama empat tahun. Kurasa Hitam mengetahui hal ini, bukan hanya karena gunjingan semacam itu beredar luas dengan cepat di Istanbul, melainkan karena selama kami berdiam diri, aku merasa ia mengetahui keseluruhan cerita itu sejak lama, dari caranya memandangi mataku. Bahkan pada saat ini, saat ia melihat-lihat Kitab Sukma yang dibiarkan terbuka di atas rehal, aku tahu ia sedang mendengarkan suara anak-anak Shekure yang berlarian di sekeliling rumah. Aku tahu ia menyadari bahwa putriku sudah pulang kembali ke rumah ayahnya beserta kedua anak laki-lakinya. Aku lupa menyebutkan rumah baru yang kubangun saat Hitam tak ada. Hitam, seperti juga para pemuda lainnya yang berniat menjadi lelaki kaya raya dan terhormat, menganggap cukup kasar jika ia menyinggung soal seperti itu. Tapi saat kami berjalan masuk, aku memberitahunya di tangga bahwa lantai dua tidak terlalu lembab, dan pindah ke lantai atas akan meredakan nyeri-nyeri di persendianku.. Ketika aku berkata, "lantai dua," aku merasakan rasa malu yang ganjil, tetapi akan kujelaskan: Orang-orang yang memiliki uang lebih sedikit dariku, bahkan seorang serdadu kavaleri sederhana dengan tanah kecil pemberian dinas militer sekalipun, bisa membangun rumah dua lantai dengan cepat. Kami berada di ruangan berpintu biru yang kugunakan sebagai bengkel kerja seni rupa di musim dingin. Aku bisa merasakan bahwa Hitam menyadari keberadaan Shekure di kamar 56 ORHAN PAMUK penghubung. Aku langsung membeberkan masalah yang menjadi alasanku mengirim surat untuknya ke Tabriz, mengundangnya ke Istanbul. "Tepat seperti kerja sama yang kaulakukan dengan para penulis kaligrafi dan ilustrator Tabriz. Aku juga sudah menyiapkan sebuah manuskrip yang sudah diberi ilustrasi," ujarku. "Klienku adalah Yang Mulia Sultan kita, penyangga dunia ini. Karena buku ini sesuatu yang dirahasiakan, Sultan kita telah membayarku melalui Kepala Bendahara. Dan aku telah membuat kesepakatan dengan masing-masing seniman paling berbakat di bengkel kerja milik Sultan. Aku sedang menugaskan salah satu dari mereka untuk melukis seekor anjing, yang lainnya sebatang pohon, yang ketiga kuminta untuk membuat desain pembatas dan gumpalan-gumpalan awan di cakrawala, dan yang lainnya kuserahi tanggung jawab menggambar kuda-kuda. Aku ingin hal-hal yang kugambarkan itu mewakili keseluruhan dunia Sultan kita, seperti lukisan-lukisan karya para seniman besar Venesia. Tetapi tidak seperti lukisan Venesia, karyaku tidak semata-mata melukiskah objek material, tetapi juga kekayaan yang terkandung di dalam batinnya, kebahagiaan dan ketakutan di segenap wilayah yang diperintah oleh Sultan kita. Andai aku akhirnya menyertakan lukisan sekeping uang emas, itu Untuk meremehkan uang. Aku menyertakan Kematian dan Setan, karena kita takut pada kedua hal itu. Aku tidak tahu apa yang sedang dipergunjingkan. Aku menginginkan keabadian sebatang pohon, keletihan seekor kuda, dan kekasaran seekor anjing untuk raerepresentasikan Yang Mulia Sultan kita dan alam duniawinya. Aku juga menginginkan para ilustrator kaderku, dengan nama julukan "Bangau", "Zaitun", "Elok" dan "Kupu-kupu" untuk memilih bahan ilustrasi yang mereka inginkan. Bahkan di malammalam musim dingin yang paling dingin dan paling parah sekalipun, salah satu ilustrator Sultan akan mengunjungiku secara 57 My Name is Red ORHAN PAMUK diam-diam untuk memperlihatkan apa yang sudah disiapkannya untuk buku itu. "Gambar-gambar seperti apa yang sedang kita buat ini? Mengapa kita membuat ilustrasi dengan cara seperti itu? Aku tak bisa memberimu jawaban sekarang ini. Bukan karena aku menyembunyikan rahasia darimu, dan bukan karena aku tak akan mengatakannya padamu. Masalahnya, aku sendiri tidak cukup paham gambar-gambar seperti apa yang dimaksud. Namun, aku tentu saja tahu hikisan seperti apa yang diharapkan nantinya." Empat bulan setelah aku mengirimkan suratku, aku mendengar lewat tukang cukur di jalan tempat kami pernah tinggal, bahwa Hitam sudah kembali ke Istanbul, dan kemudian aku mengundangnya ke rumah kami. Aku sangat sadar bahwa ceritaku akan mendatangkan harapan kedukaan dan sekaligus berkah yang akan menyatukan kembali kami berdua. "Setiap gambar harus bisa menceritakan sebuah kisah," ujarku. "Seorang miniaturis yang membuat ilustrasi berukuran kecil, untuk memperindah manuskrip yang kita baca, harus menggambarkan adegan-adegan yang paling penting: saat-saat pertama sepasang kekasih saling berpandangan, sang pahlawan Riistem yang memenggal kepala sesosok monster jahat; kedukaan Riistem ketika ia menyadari bahwa makhluk asing yang dibunuhnya ternyata adalah putranya sendiri; cinta yang membuat Majnun menjadi gila saat ia berkelana di tengah alam liar yang tak berpenghuni di antara singa, harimau, pelanduk betina dan anjing hutan; Iskandar Agung yang merana, yang datang ke hutan sebelum peperangan dimulai untuk mengetahui hasil akhirnya dari burung-burung, menyaksikan seekor rajawali mengoyak daging burung kecil mangsanya. Mata kita yang sudah lelah membaca kisah-kisah ini, akan melihat gambar-gambar tersebut. Jika ada sesuatu di dalam teksnya yang tidak mampu dicerna 58 oleh pikiran dan imajinasi kita, ilustrasinya langsung membantu. Gambar adalah pengembangan cerita yang beraneka warna. Namun, lukisan tanpa kisah yang melatarbelakanginya adalah sebuah kemustahilan." "Aku dulu berpikir seperti itu," tambahku, seakan-akan mengandung penyesalan. "Tetapi ternyata itu amat mungkin. Dua tahun yang lalu aku kembali pergi ke Venesia sebagai duta besar Sultan. Aku mengamati potret-potret yang dibuat seniman besar Venesia. Aku mengamatinya tanpa mengetahui adegan ataupun kisah dari gambar-gambar itu, dan aku berusaha keras menyimpulkan kisah itu dari gambarnya. Suatu hari, aku menemukan sebuah lukisan yang digantung di atas sebuah dinding palazzo, dan terpukau. "Lebih dari apa pun, gambar itu adalah tentang seorang individu, seperti diriku sendiri. Itu adalah gambar seorang kafir, tentu saja, bukan salah satu dari kita. Saat aku memandanginya, aku merasa diriku menyerupai gambar itu, meskipun ia tidak menyerupai aku sama sekali. Ia memiliki wajah bundar yang sepertinya kekurangan tulang pipi, dan terlebih lagi, ia tidak memiliki daguku yang amat indah ini. Walaupun ia tidak seperti aku, saat aku menatap lukisan itu, untuk beberapa alasan tertentu, jantungku berdetak kencang, seolah-olah lukisan itu adalah potret diriku sendiri. "Aku tahu dari lelaki Venesia yang mengajakku berkeliling palazzo miliknya itu bahwa potret itu adalah potret seorang temannya, seorang bangsawan seperti dirinya. Ia melibatkan apa pun yang penting dalam kehidupannya dalam potretnya. Di latar belakang terdapat sebuah pemandangan yang dari jendela terbuka tampak seperti sebuah peternakan, sebuah desa, dan sebuah perpaduan warna yang melukiskan hutan dengan amat nyata. Di atas meja di depan si bangsawan terdapat sebuah arloji, buku-buku, Waktu, Kejahatan, Kehidupan, sebatang pena kaligrafi, 59 My Name is Red ORHAN PAMUK sebuah peta, kompas, kotak-kotak berisi koin emas, pernakpernik, benda-benda unik dan sisa-sisa, benda-benda misterius yang tampak aneh, yang mungkin dimasukkan ke dalam banyak gambar, bayangan jin dan setan, juga gambar anak perempuannya yang kecantikannya memukau saat dia berdiri di samping ayahnya. "Apa artinya narasi jika gambar ini telah indah dan sempurna? Saat aku menilai karya itu, perlahan-lahan aku merasakan kisah yang melatarbelakanginya adalah lukisan itu sendiri. Lukisan itu sama sekali bukan perpanjangan dari sebuah kisah, lukisan itu adalah sesuatu yang berdiri sendiri. "Aku tidak pernah bisa melupakan lukisan yang mengharubiruku itu. Aku meninggalkan palazzo itu, kembali ke rumah tempat aku tinggal sebagai tamu, dan memikirkan lukisan itu sepanjang malam. Aku juga ingin dilukis dalam sikap seperti itu. Tetapi tidak, itu tidak pantas, Sultan kitalah yang pantas untuk dilukis seperti itu! Sultan kita harus digambarkan beserta semua yang dimilikinya, dengan benda-benda yang mewakili dan menunjukkan dunianya. Aku merasa yakin dengan pendapat bahwa sebuah manuskrip bisa diberi ilustrasi sesuai dengan gagasan ini. "Seorang Venesia yang sangat berbakat telah melukiskan seorang bangsawan sedemikian rupa, sehingga kau akan segera tahu bangsawan yang mana yang dimaksudkannya. Jika kau belum pernah melihat orang tersebut, lalu mereka memintamu menjemput orang itu di antara kerumunan ribuan orang lainnya, kau tetap akan bisa memilih laki-laki yang benar dengan bantuan lukisan potret itu. Para seniman besar Venesia telah menemukan teknik melukis di mana mereka bisa membedakan seorang laki-laki dari laki-laki lainnya—tanpa mengandalkan pakaian yang dikenakannya atau medali yang disematkari di dadanya, hanya dengan bentuk unik wajahnya. Ini adalah intisari 'lukisan potret.' 60 "Andai wajahmu dilukiskan dengan gaya seperti ini, meski hanya sekali, tak akan ada yang mampu melupakan rupamu, dan jika kau kemudian jauh, seseorang akan memandangi potretmu dan bisa merasakan kehadiranmu seolah-olah kau ada di dekatnya. Mereka yang tidak pernah melihatmu secara langsung, bahkan bertahun-tahun setelah kematianmu, akan bisa berhadapan denganmu, seakan-akan kau sedang berdiri di hadapan mereka." Kami tetap terdiam selama beberapa waktu. Secercah cahaya sewarna es dari luar menyelusup masuk lewat bagian atas jendela kecil yang menghadap ke jalan. Jendela ini daun penutupnya tak pernah dibuka, dan baru-baru ini kututup dengan selembar kain yang dicelupkan ke dalam lilin lebah. "Ada seorang miniaturis," ujarku. "la datang kemari seperti seniman-seniman lainnya, demi kitab rahasia Sultan kita. Dan kami kerap bekerja bersama sampai pagi. la yang terbaik dalam bidang menyepuh. Elok Effendi yang malang, ia pergi dari sini suatu malam dan tak pernah tiba di rumahnya. Aku khawatir mereka telah membunuhnya, empu penyepuhku yang malang." [] HITAM BERTANYA, "Apakah mereka memang membunuhnya?" Si Hitam ini tinggi, kurus, dan penampilannya agak mengerikan. Aku sedang berjalan ke arah mereka yang tengah duduk bercakap-cakap di lantai dua bengkel kerja berpintu biru, ketika kakekku berkata, "Mereka mungkin sudah membunuhnya." 61 My Name is Red eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's Kemudian ia menangkap bayanganku. "Apa yang kaulakukan di sini? Ia memandangiku sedemikian rupa, sehingga aku memanjat naik ke pangkuannya tanpa menjawab pertanyaannya. Kemudian, ia menurunkan kembali tubuhku. "Cium tangan Hitam," pintanya. Aku mencium punggung tangannya dan menempelkannya ke keningku. Tangannya tidak berbau. "Ia tampan juga," kata Hitam dan mencium pipiku. "Suatu hari ia akan menjadi seorang pemuda pemberani." "Ini Orhan. Ia masih enam tahun. Ada satu lagi yang lebih tua, Shevket, yang usianya tujuh tahun. Yang satu itu bocah kecil yang amat nakal." "Aku kembali ke jalan tua di Aksaray," sahut Hitam. "Tempatnya dingin, semuanya tertutup salju dan es. Tetapi pemandangannya menunjukkan seolah-olah tidak ada yang berubah di sana." "Aduh! Semuanya sudah berubah, segalanya menjadi lebih buruk," ujar kakekku. "Buruk sekali." Ia menoleh ke arahku, "Di mana kakakmu?" "Ia sedang bersama guru kami, empu penjilid." "Jadi, apa yang sedang kaulakukan di sini?" "Empu itu berkata padaku, 'Karya yang bagus, sekarang kau boleh pergi.'" "Kau berjalan sendirian kemari?" tanya kakekku. "Kakakmu seharusnya menemanimu." Kemudian ia berbicara pada Hitam, "Ada seorang tukang jilid temanku di mana mereka bekerja dua kali seminggu selepas sekolah Alquran. Mereka datang sebagai muridnya, mempelajari seni menjilid." "Apakah kau senang membuat ilustrasi seperti kakekmu?" tanya Hitam. Aku tidak menjawabnya. 62 ORHAN PAMUK "Baiklah kalau begitu," ujar kakekku. "Tinggalkan kami sekarang." Hawa panas dari wadah batu bara yang terbuka menghangatkan ruangan yang begitu nyaman sehingga aku malas meninggalkannya. Aku mencium bau cat dan lem, aku berdiri sejenak. Aku juga bisa mencium aroma kopi. "Apakah membuat ilustrasi dengan teknik baru menunjukkan cara berpikir yang baru?" kakekku mulai berbincang lagi. "Inilah alasan mereka membunuh penyepuh malang itu dengan mengabaikan fakta bahwa ia bekerja dengan gaya lama. Aku bahkan tidak yakin ia telah dibunuh, hanya karena ia menghilang. Mereka sedang membuat ilustrasi tentang sebuah kisah kenang-kenangan dalam bentuk sajak, Kitab Segala Pesta, untuk Sultan kita, atas pesanan dari Kepala Iluminator, Tuan Osman. Setiap ilustrator bekerja di rumahnya masing-masing. Tuan Osman, bagaimanapun, sibuk di bengkel kerja seni buku di istana. Untuk memulainya, aku ingin kau pergi ke sana dan mengamati segalanya. Aku khawatir yang lainnya, yaitu para ilustrator, berakhir dengan berselisih dan saling bunuh. Mereka dijuluki dengan nama-nama yang diberikan oleh Tuan Osman bertahun-tahun lampau: 'Kupu-kupu,' 'Zaitun,' 'Bangau' ... Kau pergilah dan amati mereka saat mereka bekerja di rumah mereka masingmasing." Bukannya turun ke lantai bawah, aku malah memutar. Terdengar suara dari kamar sebelah yang dilengkapi kamar kecil tempat Hayriye tidur. Aku masuk. Di dalamnya tidak ada Hayriye, yang ada hanya ibuku. Dia tampak malu melihatku. Dia berdiri dengan setengah badannya di dalam kamar kecil. "Dari mana saja kau?" tanyanya. Namun, dia sebenarnya tahu dari mana aku. Di bagian belakang kamar kecil ada sebuah lubang untuk mengintip, di mana kau bisa melihat bengkel kakekku. Dan jika pintunya 63 My Name is Red ORHAN PAMUK terbuka, terlihat lorong yang lebar dan kamar tidur kakekku di seberang lorong di samping tangga—tentu saja jika pintu kamar tidurnya dalam keadaan terbuka. "Aku sedang bersama kakek," sahutku. "Ibu sedang apa di sini?" "Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa kakekmu sedang kedatangan tamu dan kau tidak boleh mengganggu mereka?" Dia mengomeliku, tetapi dengan suara yang tidak keras, karena dia tidak ingin tamu itu mendengarnya. "Apa yang sedang mereka lakukan?" tanyanya setelah mengomel, dengan nada suara amat manis. "Mereka sedang duduk-duduk, tetapi tentu saja tidak melukis. Kakek berbicara, yang satunya mendengarkan." "Dengan sikap seperti apa ia duduk?" Aku menjatuhkan diri di atas lantai, dan menirukan cara duduk tamu itu. "Aku sangat serius sekarang, Ibu. Lihatlah. Aku mendengarkan kakekku dengan alis mata berkerut, seolah-olah aku sedang mendengarkan kisah kepahlawanan dibacakan. Aku mengangguk-angggukkan kepalaku sekarang, sangat serius, seperti tamu itu." "Turunlah ke bawah," pinta ibuku, "panggil Hayriye sekarang juga." Dia duduk dan mulai menulis di atas secarik kecil kertas di papan tulis yang diangkatnya. "Ibu, apa yang sedang Ibu tuliskan?" "Cepatlah! Bukankah aku sudah menyuruhmu turun dan memanggil Hayriye?" Aku turun lewat dapur. Kakakku, Shavket, sudah kembali. Hayriye tengah menyiapkan sepiring nasi bumbu yang dimaksudkan untuk sang tamu. "Pengkhianat!" seru kakakku. "Kau pergi begitu saja dan meninggalkanku dengan guru kita. Aku melakukan semua pe- 64 kerjaan lipat melipat untuk sampul itu sendirian. Jari-jariku sampai lecet-lecet." "Hayriye, ibu ingin bertemu denganmu." "Begitu aku selesai di sini. Aku akan memukulmu," ucap kakakku. "Kau akan membayar untuk kemalasan dan pengkhianatanmu." Ketika Hayriye pergi, kakakku berdiri dan mendatangiku dengan pandangan mengancam, bahkan sebelum ia menghabiskan nasi bumbunya. Aku tidak bisa melarikan diri tepat pada waktunya. Ia menyambar pergelangan tanganku dan memuntirnya. "Hentikan, Shevket, jangan sakiti aku." "Apakah kau akan menghindari tugas-tugasmu lagi dan kabur?" "Tidak. Aku tidak akan pernah kabur lagi." "Bersumpahlah." "Aku bersumpah." "Bersumpahlah atas nama Alquran." "... atas nama Alquran." Ia tidak juga melepaskan tanganku, dan malah menyeretku ke arah baki tembaga besar yang kami gunakan sebagai meja makan dan memaksaku untuk berlutut. Ia cukup kuat untuk makan nasi bumbu sambil memuntir tanganku. "Berhenti menyiksa adikmu, tiran!" seru Hayriye. Dia mengenakan kerudung dan hendak beranjak pergi. "Jangan ganggu adikmu. "Urus saja urusanmu sendiri, budak betina," seru kakakku. Ia masih saja memuntir tanganku. "Akan pergi ke mana kau?" "Membeli limau," jawab Hayriye. "Kau pembohong," sahut kakakku. "Lemari itu masih penuh dengan buah limau." Begitu kakakku melonggarkan puntirannya di tanganku, aku berhasil melepaskan diri. Aku menendangnya dan menyambar 65 My Name is Red ORHAN PAMUK sebuah pegangan lilin dengan dudukannya, tetapi ia menyergapku, lalu mencekikku. Ia memukul pegangan lilin itu, dan baki tembaga itupun terjatuh. "Kalian berdua bencana dari Tuhan!" seru ibuku. Dia tetap bersuara lirih agar tamu itu tidak mendengarnya. Bagaimana dia bisa melewati pintu bengkel kerja yang terbuka hingga ke lorong dan menuruni tangga tanpa terlihat oleh si Hitam? Dia memisahkan kami berdua. "Kalian berdua akan terus membuatku malu, ya?" "Orhan berdusta pada Empu Penjilid," sahut Shevket. "Ia meninggalkanku di sana untuk mengerjakan semua pekerjaan." "Diam!" seru ibuku sambil menamparnya. Dia memukulnya perlahan. Kakakku tidak menangis. "Aku ingin ayahku," tukasnya. "Kalau ia sudah pulang, ia akan membawa pedang dengan gagang bertatahkan batu rubi milik paman Hasan, dan kami akan pindah bersama Paman Hasan." "Tutup mulut!" bentak ibuku. Dia tiba-tiba saja menjadi begitu berang sehingga dia menyambar tangan Shevket dan menyeretnya melewati dapur, melewati anak-anak tangga menuju ke ruangan yang berhadapan dengan bagian terjauh sisi yang teduh di halaman. Aku mengikuti mereka. Ibuku membuka pintu. Ketika dia melihatku, dia berkata, "Masuk, kalian berdua!" "Tetapi aku tidak melakukan kesalahan apa pun," sahutku. Tapi aku masuk juga. Ibuku menutup pintu di belakang kami. Meskipun di dalamnya begitu gelap—hanya ada secercah cahaya pudar jatuh dari langit di antara daun-daun jendela yang menghadap pohon delima di halaman—aku begitu ketakutan. "Buka pintunya, Ibu," jeritku. "Aku kedinginan." "Berhentilah merengek, pengecut!" ujar Shevket. "Dia akan membuka pintu itu tak lama lagi." Ibu membuka pintunya. "Apakah kalian akan berperilaku baik sampai tamu itu pergi?" tanyanya. "Baiklah kalau begitu, 66 kalian akan duduk di dapur di dekat kompor, sampai Hitam pergi, dan kalian tidak akan naik ke lantai atas, mengerti?" "Kami akan merasa bosan di sana," seru Shevket. "Ke mana Hayriye pergi?" "Jangan ikut campur urusan orang lain," ujar ibuku. Kami mendengar suara ringkikan kuda di istal. Kuda itu meringkik lagi. Itu bukan kuda kakek, melainkan kuda milik Hitam. Kami segera merasa riang, seolah-olah itu adalah hari raya. Ibu tersenyum, dia ingin agar kami tersenyum juga. Seraya mengambil dua langkah ke depan, dia membuka pintu istal yang menghadap kami, lalu keluar ke tangga di bagian luar dapur. "Sssttt," serunya sambil memasuki istal. Dia membalikkan tubuhnya dan menuntun kami memasuki dapur Hayriye yang berminyak dan bau, serta dipenuhi tikustikus yang berkeliaran. Dia memaksa kami duduk. "Jangan beraniberani berdiri sampai tamu kita pergi dan jangan bertengkar. Kalau tidak, orang akan mengira kalian anak-anak manja." "Ibu," aku berkata padanya sebelum dia menutup pintu dapur, "aku ingin mengatakan sesuatu: Mereka telah membunuh tukang sepuh kakek kita."[] My Name is Red 67 SAAT PERTAMA kali aku memandangi anaknya, aku langsung tahu apa yang telah salah kukenang dari wajah Shekure, tetapi amat kurindukan. Seperti wajah Orhan, wajah Shekure juga tirus, meskipun dagunya lebih panjang dari yang kuingat. Tetapi tentu saja bibir kekasihku lebih mungil ORHAN PAMUK dan lebih sempit dari yang kubayangkan. Selama selusin tahun, aku berkelana dari kota ke kota, dan tanpa kusadari aku telah melebarkan bibir Shekure karena terpengaruh hasratku, dan membuatku membayangkan bibirnya lebih berisi, kenyal, dan basah menggoda, bagaikan sebutir buah ceri yang besar dan berkilau. Aku membawa gambar Shekure ke mana-mana, kuhormati dengan gaya seperti yang dilakukan seniman besar Venesia. Kulakukan itu agar aku tidak begitu merasa kehilangan selama aku berkelana, juga ketika aku sulit mengingat-ngingat kekasihku yang wajahnya kutinggalkan di suatu tempat di belakangku, karena selama wajah seorang kekasih terus bercahaya di dalam hatimu, dunia masih akan terus menjadi rumahmu. Bertemu dengan putra bungsu Shekure, berbicara dengannya, melihat wajahnya dari dekat dan menciumnya, membuatku merasakan kegelisahan layaknya mereka yang tidak beruntung, para pembunuh dan para pendosa. Sebuah suara dari dalam nuraniku berteriak, "Ayo cepatlah pergi dan temui dia." Sejenak, aku berpikir untuk mohon diri diam-diam dari hadapan Enishte-ku, dan membuka setiap pintu di sepanjang lorong yang lebar itu—aku telah menghitungnya dengan sudut mataku, ada lima pintu yang gelap, salah satunya pasti mengarah ke tangga—sampai aku menemukan Shekure. Namun, aku telah terpisah dari kekasihku itu selama dua belas tahun, hanya garagara aku mengungkapkan isi hatiku. Aku memutuskan untuk menunggu dalam diam, mendengarkan Enishte-ku berbicara, sementara aku mengagumi benda-benda yang pernah disentuh Shekure, dan sebuah bantal besar yang pernah disandarinya entah berapa kali. la menceritakan padaku bahwa Sultan ingin agar buku itu selesai tepat pada waktunya, sebelum perayaan seribu tahun hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Sultan 68 kami ingin menunjukkan bahwa setelah seribu tahun dalam penanggalan Muslim, ia dan negerinya mampu menggunakan gaya kaum Frank sebagus dan seindah yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena Sultan juga menginginkan Kitab Segala Pesta dibuat, maka ia mengizinkan para ilustrator yang diketahuinya sangat sibuk untuk mengasingkan diri di rumah masing-masing agar bisa bekerja dengan tenang, daripada berada di antara kerumunan orang di bengkel kerja. Ia juga tentu mengetahui bahwa mereka semua diam-diam mengunjungi Enishte-ku secara teratur. "Kau akan menemui Iluminator Kepala Tuan Osman," ujar Enishte-ku. "Sebagian orang berkata ia sudah buta, sebagian lagi berkata ia sudah kehilangan kemampuan inderanya. Menurutku ia telah buta sekaligus uzur." Terlepas dari kenyataan bahwa Enishte-ku tidak memiliki posisi sebagai seorang Iluminator Kepala, dan itu memang bukan bidang keahlian artistiknya, ia memegang kendali atas sebuah manuskrip yang harus diberi ilustrasi. Kenyataannya, hal ini berlangsung atas izin dan dukungan Sultan. Sebuah situasi yang tentu saja membuat hubungannya dengan Tuan Osman yang lebih tua darinya menjadi tegang. Aku memikirkan masa kanak-kanakku, kubiarkan perhatianku terserap oleh perabot dan benda-benda di dalam rumah ini. Sejak dua belas tahun yang lalu, aku masih saja mengingat karpet biru dari Kula yang menutupi lantai, bejana tembaga, perkakas minum kopi dan bakinya, keranjang tembaga dan cangkircangkir kopi yang mungil, yang didatangkan jauh-jauh dari Cina lewat Portugis, sebagaimana yang selalu disombongkan almarhumah bibiku. Semua itu berdampak padaku, seperti rehal tempat dudukan buku yang dihiasi mutiara besar, gantungan sorban yang dipakukan ke dinding, dan bantal beludru berwarna merah dengan kelembutan yang langsung kuingat begitu aku menyen- 69 My Name is Red ORHAN PAMUK tuhnya. Benda-benda itu berasal dari Aksaray, tempat aku menghabiskan masa kanak-kanakku bersarna Shekure, dan semua itu masih saja membangkitkan perasaan bahagia dari hari-hari saat aku melukis di rumah itu. Lukisan dan kebahagiaan. Aku ingin agar para pembacaku yang telah sungguh-sungguh mencermati cerita dan nasibku untuk memahami kedua hal ini, karena keduanya adalah asal muasal duniaku. Pada suatu ketika, aku disibukkan di tempat ini, di antara buku-buku, kuas-kuas kaligrafi dan lukisan-lukisan. Lalu, aku jatuh cinta dan direnggut dari surga ini. Selama bertahun- tahun aku menjalani masa pembuangan karena cintaku ini, aku sering memikirkan betapa kenyataannya aku begitu berutang pada Shekure dan perasaan cintaku padanya, karena dengan itulah aku mampu bertahan dengan penuh harap menjalani kehidupan dan menaklukkan duniaku. Karena aku, dalam kepolosan masa kanak-kanakku, tidak memiliki keraguan bahwa perasaan cintaku itu pasti berbalas, aku merasa semakin yakin dan memandang dunia ini adalah tempat yang amat indah. Kaulihat, dengan ketulusan seperti itu pula aku melibatkan diri dengan buku-buku untuk kemudian mencintai semua itu, kecintaanku pada membaca yang diminta oleh Enishte-ku saat itu, serta kesenangan membaca pelajaran-pelajaran sekolah agamaku, ilustrasi, dan lukisan. Namun, sebanyak aku berutang atas keceriaan, kesemarakan, dan kesuburan dalam separuh masa pendidikan pertamaku pada rasa cintaku terhadap Shekure, aku juga berutang atas kesedihan yang meracuni masa-masa berikutnya akibat penolakan yang kuterima atas cintaku. Hasratku di malam-malam dingin untuk meledak dan lenyap bagai pijar api yang mati di atas kompor besi di penginapan di tengah gurun, berulang-ulang kumimpikan setiap kali usai semalam penuh cinta bersarna perempuan mana pun yang terbaring di sampingku, membuatku terlempar ke dalam jurang kehampaan, 70 meninggalkan kesan betapa tak pantasnya diriku—semua itu tercipta karena Shekure. "Sadarkah kau," ujar Enishte-ku beberapa saat kemudian, "bahwa setelah kematian, jiwa kita masih mampu bertemu dengan roh semua manusia, laki-laki dan perempuan, di dunia ini, yang tertidur nyenyak di ranjangnya?" "Tidak, aku tidak tahu." "Kita akan melakukan sebuah perjalanan panjang setelah mati, maka aku tidak takut pada kematian. Yang kutakutkan adalah kematian yang datang sebelum aku menyelesaikan buku pesanan Sultan kita." Sebagian dari diriku lebih kuat, lebih rasional, dan lebih bisa diandalkan daripada Enishte-ku, sedangkan sebagian lagi sibuk memikirkan harga tunik yang kubeli dalam perjalanan ke sini untuk bertemu dengan orang yang telah menampik lamaranku pada putrinya ini, juga tentang pakaian kuda dari perak dan pelana buatan tangan untuk kuda yang begitu aku turun dari tangga akan kukeluarkan dari istal dan kupacu pergi. Kukatakan padanya bahwa aku akan memberitahukan semua yang kuketahui dalam kunjunganku ke berbagai miniaturis. Aku mencium tangannya dan menempelkannya di keningku. Lalu aku berjalan menuruni tangga, memasuki halaman, dan merasakan salju yang dingin di atasku, menerima kenyataan bahwa diriku bukan lagi seorang bocah, juga bukan seorang lelaki tua: Aku dengan riang merasakan dunia di atas kulitku. Begitu aku menutup gerbang istal, embusan angin mulai terasa. Aku menuntun kuda putihku dengan memegang pakaiannya, melintasi jalanan berbatu hingga ke jalan tanah di halaman, dan kami berdua menggigil. Aku merasa seolah tungkai-tungkai kakinya yang kuat dan berurat besar, ketidaksabaran dan kekeraskepalaannya, adalah diriku sendiri. Begitu kami memasuki jalan besar, aku hendak melompat menunggangi kuda hebatku itu—dan 71 My Name is Red ORHAN PAMUK menghilang ke jalanan sempit bagaikan seorang penunggang kuda ulung dan tak akan pernah kembali lagi—saat seorang perempuan Yahudi gemuk berpakaian merah muda dan membawa buntalan tiba-tiba muncul entah dari mana dan mendekatiku. Dia adalah seorang perempuan berbadan besar dan lebar, seperti sebuah lemari. Dia juga amat bersemangat, lincah, dan bahkan tampak menggoda. "Lelakiku yang pemberani, pahlawanku, bisa kulihat betapa tampannya dirimu, tepat seperti yang mereka katakan," katanya. "Apakah kau sudah menikah? Atau kau masih lajang? Bersediakah kau membeli sehelai saputangan sutra untuk kekasih gelapmu dari Esther, penjaja pakaian indah paling utama di Istanbul?" "Tidak." "Selembar selendang merah dari sutra Atlas?" "Tidak." "Janganlah berkata tidak padaku seperti itu! Bagaimana mungkin jiwa pemberani seperti dirimu tidak memiliki seorang tunangan atau kekasih gelap? Siapa yang tahu berapa banyak air mata perawan yang menetes karena terbakar hasratnya padamu?" Tubuh perempuan itu memanjang seperti tubuh liat seorang pemain akrobat dan dia mencondongkannya ke arahku dengan posisi tubuh yang anggun. Di saat yang sama, dengan kepiawaian seorang tukang sulap yang bisa memunculkan bendabenda dari udara, dia mengeluarkan sepucuk surat dari tangannya. Bagaikan seorang pencuri aku menyambarnya, dan seakanakan telah berlatih bertahun-tahun untuk menghadapi saat-saat seperti ini, dengan cepat dan rapi kumasukkan surat itu ke dalam selempangku. Surat itu tebal dan terasakan seperti api membakar kulitku yang membeku, di bagian antara perut dan punggungku. 72 "Pacu kudamu pelan-pelan saja," ujar Esther si penjaja pakaian. "Belok ke kanan di pojok jalan itu, ikuti din ding yang melengkung tanpa men'ghentikan langkahmu. Begitu sampai di pohon delima, beloklah dan pandangilah rumah yang baru saja kautinggalkan, pandangi jendela di sebelah kananmu." Perempuan itu berlalu dan menghilang dalam sekejap. Aku menaiki punggung kudaku, tetapi aku melakukannya seperti orang yang baru pertama kali ilaik kuda. Jantungku berdetak kencang, benakku berkecamuk oleh gairah, kedua tanganku seperti lupa bagaimana mengendalikan tali kekang, tetapi saat kedua tungkai kakiku menjepit kencang tubuh kudaku, akal sehat dan kepiawaianku serta merta mengendalikan kudaku dan juga diriku. Seperti yang petunjuk Esther, kudaku melangkah perlahan tapi pasti, dan betapa indahnya kami kemudian berbelok ke kanan memasuki jalan raya! Saat itulah aku merasa bahwa aku mungkin memang tampan. Seperti dalam dongeng, dari balik setiap kusen dan daun jendela, seorang perempuan pemalu sedang memerhatikanku dan aku merasa aku kembali terbakar oleh api yang dulu pernah membakarku. Inikah yang kuidamkan? Akankah aku pasrah merasakan kembali penderitaan yang pernah kurasakan selama bertahun- tahun? Matahari tiba-tiba saja menerobos dari celah awan, menatapku tajam. Di manakah pohon delima itu? Apakah pohon yang kurus dan muram itu? Ya! Aku menoleh cepat ke sisi kanan tungganganku. Aku melihat sebuah jendela di bawah pohon, tetapi tak ada seorang pun di sana. Aku sudah diperdaya oleh perempuan bernama Esther itu! Tepat saat aku sedang memikirkan kemungkinan buruk itu, daun jendela berselimut es terbuka kencang seakan hendak meledak dan, setelah dua belas tahun, aku memandangi wajah menakjubkan kekasih hatiku di antara cabang-cabang pohon. 73 My Name is Red Wajah itu dibingkai indah oleh pinggiran jendela yang terselimuti es dan cahaya es itu berkilauan terkena sinar matahari. Apakah bola mata hitam kekasihku itu menatapku atau kehidupan lain di luar diriku? Aku tidak tahu apakah dia sedang sedih, atau tersenyum, atau tersenyum sedih. Kuda bodoh ini tidak bisa merasakan isi hatikur Tenanglah! Perlahan aku memutar tubuhku di atas pelana, menyorotkan pandangan mata penuh gairah selama mungkin, hingga wajahnya yang tirus, elok, dan misterius itu menghilang di balik dahan-dahan pohon. Lama sesudah itu, setelah membuka suratnya dan melihat ilustrasi di dalamnya, aku memikirkan perjumpaanku dengannya di jendela, dari atas pelana kudaku. Perjumpaanku itu sangat menyerupai lukisan yang telah dibuat ribuan kali, di mana Husrev menjumpai Shirin di bawah jendela kamar perempuan itu—hanya saja pada kisah kami, ada sebatang pohon yang muram di antara kami berdua. Ketika aku mengenali persamaan ini betapa aku terbakar api cinta, sebagaimana yang mereka kisahkan dalam buku yang sangat kami sukai dan kagumi itu.[] ORHAN PAMUK 74 AKU TAHU, kalian semua bertanya-tanya tentang apa yang ditulis Shekure dalam surat yang kuberikan pada Hitam. Karena hal ini juga menjadi keingintahuanku, aku telah mengetahui semua yang ada di sana. Jika kalian bersedia, berpura-puralah sedang membolak-balik halaman sebuah buku cerita, dan izinkan aku memberi tahu kalian tentang apa yang terjadi sebelum aku menyerahkan surat itu. Sekarang, menjelang malam, aku pulang ke rumah kami di perkampungan orang Yahudi yang menyenangkan di mulut Golden Horn bersama suamiku Nesim. Kami adalah dua orang tua yang meniup-niup dan mendengus-dengus, mencoba untuk tetap merasa hangat dengan melemparkan potongan kayu bakar ke dalam tungku. Abaikan caraku menyebut diri kami sendiri 'tua.' Ketika aku memasukkan pernak-pernikku—benda-benda murahan dan tampak seperti barang berharga, khusus untuk memikat para perempuan seperti cincin, giwang, kalung dan manik-manik— ke dalam lipatan sapu tangan sutra, sarung tangan, sprei dan kemeja warna-warni yang dikirimkan oleh kapal-kapal Portugis, ketika aku memanggul buntalan itu, maka aku adalah Esther si sendok sayur dan Istanbul adalah pancinya, dan tidak ada satu jalan pun yang tidak kujelajahi. Tak sepatah kata pun dari sebuah gunjingan atau surat yang tak kubawa dari satu pintu ke pintu lainnya, dan aku menjalankan peran sebagai mak comblang pada separuh perawan yang ada di Istanbul. Aku tidak menyebutkan semua ini untuk membual. Seperti yang kukatakan, kami sedang beristirahat malam itu, dan "tok ... tok ... tok ..." ada seseorang di balik pintu. Aku pergi membukanya, dan raenemukan Hayriye, gadis budak yang tolol itu, sedang berdiri di depanku. Dia memegang secarik surat di tangannya. Aku tidak tahu apakah karena hawa dingin atau karena bersemangat, tetapi dia tampak gemetar saat dia menjelaskan keinginan-keinginan Shekure. Awalnya, kupikir surat itu untuk diberikan pada Hasan. Itu sebabnya aku merasa sangat terkejut. Kautahu tentang suami si cantik Shekure, lelaki yang tidak pernah kembali dari medan perang itu—jika kau bertanya padaku, menurutku laki-laki itu sudah lama mati. Kautahu, suaminya yang serdadu tak pernah pulang itu memiliki seorang adik yang bersikukuh bahwa kakaknya masih hidup, namanya Hasan. Jadi, bayangkanlah betapa 75 My Name is Red ORHAN PAMUK terpananya aku saat kulihat surat Shekure itu bukan ditujukan untuk Hasan, melainkan untuk laki-laki lain. Apa isi surat itu? Esther merasa gila karena rasa ingin tahunya, dan pada akhirnya, aku berhasil membacanya. Tapi sialnya, kita tidak saling mengenal satu sama lain, bukan? Sejujurnya, aku diliputi perasaan malu dan khawatir. Bagaimana aku bisa membacanya, kau tak akan pernah mengetahuinya. Mungkin kau akan merasa malu dan meremehkanku karena telah ikut campur urusan pribadi orang lain— seolah-olah kau sendiri tidak secomel tukang cukur. Aku akan menghubungkanmu dengan apa yang kuketaui dari surat itu. Inilah yang ditulis oleh si manis Shekure: 76 Hitam Effendi, kau adalah seorang tamu di rumahku, berkat hubungan dekatmu dengan ayahku. Tapi jangan kauharapkan sebuah anggukan kepala dariku. Banyak yang terjadi sejak kepergianmu. Aku dinikahkan dan mendqpatkan dua orang putra yang kuat dan bersemangat. Salah satunya adalah Orhan, ia adalah bocah yang kautemui tadi, yang masuk ke dalam bengkel kerja. Saat aku menanti kepulangan suamiku selama empat tahun, ada satu hal kecil lainnya yang mengganggu pikiranku. Aku merasa kesepian, tak berdaya dan lemah, hidup bersama dua orang anak dan seorang ayah yang sedang beranjak uzur. Aku merindukan kekuatan dan perlindungan seorang laki-laki, tapi aku tidak membiarkan siapa pun memanfaatkan situasi ini. Oleh karena itu, akan menyenangkan bagiku jika kaumau berhenti mengunjungi kami. Kau pernah membuatku malu dulu, dan sesudahnya, aku harus merasakan penderitaan dalam mendapatkan kembali kehormatanku di depan ayahku! Bersama surat ini, aku juga mengembalikan gambar yang kaulukis dan kaukirimkan padaku saat kau masih seorang pemuda penuh semangat yang belum bijak. Aku melakukan hal ini agar kau tidak menambatkan harapan-harapan semu atau salah membaca isyarat. Sebuah kesalahan bila kau memercayai bahwa seseorang bisa jatuh cinta hanya dengan menatap sebuah lukisan. Lebih baik kau berhenti mengunjungi rumah kami untuk selamanya. Shekure yang malang, kau bukan seorang bangsawan, bukan juga seorang pasha yang memiliki segel indah untuk menyegel suratmu! Di bagian bawah halaman surat itu, dia menandatanganinya dengan namanya yang tampak seperti seekor burung kecil yang ketakutan. Tak ada apa-apa lagi. Aku berkata soal "segel." Kalian mungkin heran bagaimana aku membuka dan menutup surat bersegel lilin ini. Namun kenyataannya, surat itu tidak disegel sama sekali. "Esther adalah seorang Yahudi yang tidak berpendidikan," mungkin begitu yang dipikirkan Shekure. "Dia tidak akan mengerti isi tulisanku." Benar, aku memang tidak bisa membaca, tetapi aku selalu bisa meminta seseorang membacakannya untukku. Sementara, untuk yang tak tertulis, aku sendiri sanggup "membacanya." Apakah kau bingung? Mari kujelaskan, agar mereka yang paling tolol di antara kalian sekalipun bisa memahaminya: Sepucuk surat tidak hanya menyampaikan pesan melalui rangkaian kata-kata. Sepucuk surat, seperti sebuah buku, bisa dibaca dengan menciumnya, menyentuhnya, dan mengelusnya. Karenanya, orang yang pintar akan berkata, "Ayo, bacalah yang diceritakan oleh surat itu!" Adapun orang-orang bodoh akan berkata, "Ayo, bacalah yang tertulis dalam surat itu!" Kini, dengarkan, apa lagi yang dikatakan oleh Shekure: 1. Meskipun aku mengirimkan surat ini secara diam-diam, dengan mengandalkan Esther yang menjadikan proses berkirim surat sebagai soal perniagaan dan kebiasaan, aku sedang menunjukkan bahwa aku tidak berniat menutup-nutupinya. 2. Benar bahwa dengan aku melipatnya seperti roti Prancis akan menunjukkan adanya rahasia dan misteri. Namun, surat ini tidak disegel dan ada sebuah lukisan besar yang 77 My Name is Red ORHAN PAMUK dilampirkan. Maksud yang terkandung adalah, "Berdoalah, jagalah rahasia kita dengan segala upaya," yang lebih cocok sebagai undangan pada seorang kekasih daripada sepucuk surat pengusiran. 3. Lebih jauh lagi, wangi surat ini membenarkan penafsiran ini. Wewangiannya cukup samar untuk memberi dua penafsiran— apakah dia dengan sengaja membubuhkan parfum pada surat ini?—meskipun cukup membangkitkan keingintahuan pembacanya—apakah ini aroma minyak bunga tujuh rupa atau harum tangannya? Dan wewangian yang cukup untuk memikat seorang lelaki malang yang membacakan surat itu untukku, pasti akan menimbulkan dampak yang sama pada Hitam. 4. Akulah Esther, yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi aku tahu yang satu ini: Meskipun alur kalimat surat dan tulisan tangan itu seolah-olah berkata, "Sial, aku terburuburu, aku menulis asal-asalan dan tanpa keseriusan," surat ini berbicara dengan anggun seakan-akan diterpa angin lembut yang membawa pesan kebalikannya. Bahkan frase "yang kautemui tadi" saat membicarakan Orhan, menunjukkan bahwa surat itu ditulis saat itu juga, menguliti sebuah siasat yang tak kalah jelas dibanding setiap baris yang dituliskan dengan hati-hati. 5. Gambar yang dilampirkan melukiskan Shirin yang cantik sedang memandangi sosok Hiisrev yang tampan, dan tampak jatuh cinta, sebagaimana yang tersurat dalam cerita yang aku pun, seorang perempuan Yahudi, tahu benar jalannya. Semua gadis yang sulit mendapatkan cinta di Istanbul amat mengagumi kisah ini, tetapi tak pernah kutahu orang yang mengirimkan sebuah ilustrasi yang berhubungan dengan kisah itu. 78 Selalu terjadi pada kalian orang-orang berpendidikan yang beruntung. Seorang gadis buta huruf memintamu membacakan sepucuk surat yang diterimanya. Surat itu begitu mengejutkan, bersemangat, dan membuat risau, sehingga pemiliknya, meskipun malu karena kau jadi tahu persoalan pribadinya, tetap akan memintamu membacakannya sekali lagi. Kau membacakannya lagi. Pada akhirnya, kau membaca surat tersebut berulangulang, sehingga kalian berdua hafal isinya. Sebelum terlalu lama, si perempuan akan mengambil surat itu dan bertanya, "Apakah ia membuat pernyataan itu di sebelah sini?" dan "Apakah ia menyatakannya di bagian ini?" Begitu kau menunjukkan tempat yang tepat, dia akan mencermati kalimat itu, meski tetap saja tak mampu memahami kata-katanya. Begitu dia menatap hurufhuruf yang melengkung dari kata-kata itu, terkadang aku akan merasa sangat tersentuh sehingga aku lupa bahwa aku sendiri tidak bisa membaca atau menulis, dan aku merasakan keinginan yang mendesak untuk memeluk gadis-gadis tak berpendidikan yang tangisnya membasahi halaman-halaman surat itu. Lalu ada para pembaca surat yang sungguh-sungguh terkutuk— berdoalah agar kau bukan salah satu di antaranya. Ketika si gadis mengambil surat itu dengan tangannya sendiri, untuk menyentuhnya lagi, ingin memandanginya tanpa memahami katakata yang berbicara dalam surat itu, binatang-binatang ini akan berkata padanya, "Apa yang akan kaulakukan? Kau tidak bisa membaca, apa lagi yang ingin kaupandangi?" Beberapa di antaranya bahkan tidak akan mengembalikan surat, itu, menganggap bahwa sejak itu surat-surat tersebut telah menjadi milik mereka. Kadang-kadang, tugas untuk mendatangi mereka dan mengambil kembali surat-surat itu dibebankan kepadaku, Esther. Jenis perempuan baik seperti itulah aku. Jika Esther menyukaimu, dia pun akan menolongmu.[] 79 My Name is Red ORHAN PAMUK 80 DUH, KENAPA aku ada di sana, di jendela itu, saat Hitam lewat di atas kuda putihnya? Mengapa aku membuka daun jendela itu menuruti kata hatiku di saat itu juga, dan memandanginya begitu lama dari balik dahan-dahan bersalju pohon delima itu? Aku tidak tahu apakah bisa memberimu jawaban. Aku sudah mengirimkan pesan pada Esther melalui Hayriye. Tentu saja aku sangat tahu bahwa Hitam akan melewati jalan itu. Sementara itu, aku akan sendirian di kamar yang ada kamar kecilnya dan memiliki jendela yang menghadap ke pohon delima, memeriksa sprei-sprei di dalam peti. Tibatiba saja, dan di saat yang tepat, aku mendorong daun jendela itu dengan sekuat tenaga dan cahaya matahari pun membanjiri kamar itu: Berdiri di jendela, aku bertatap muka dengan Hitam yang, bagaikan matahari, membuatku silau. Oh, betapa indahnya. la tumbuh dewasa dan sudah kehilangan kekikukan masa mudanya, ia telah berubah menjadi seorang laki-laki yang menawan. Dengarkan Shekure, seru hatiku, ia tidak hanya tampan, lihatlah ke dalam matanya, ia memiliki hati seorang anak kecil, begitu murni, begitu sendirian: Menikahkah dengannya. Entah bagaimana aku mengiriminya sepucuk surat di mana aku malah menyampaikan pesan yang bertentangan dengan hatiku. Meskipun ia dua belas tahun lebih tua dariku, saat aku berusia dua belas aku lebih dewasa darinya. Waktu itu, bukannya berdiri tegak dan tinggi di depanku dengan pakaian seorang laki-laki dewasa dan menyatakan apa yang akan dikerjakannya, melompat dari satu titik atau memanjat hal lain, ia malah membenamkan wajahnya ke dalam buku atau lukisan, ia bersembunyi seolah-olah segala di sekitarnya membuatnya malu. Di saat yang sama, ia juga jatuh cinta padaku. la rhembuat sebuah lukisan tentang pernyataan cintanya. Saat itu kami berdua sudah sama-sama dewasa. Ketika aku mencapai usia dua belas tahun, aku merasa bahwa Hitam tidak bisa lagi menatap mataku, seakan-akan ia takut aku. akan tahu bahwa ia mencintaiku. "Serahkan padaku pisau bergagang gading itu," katanya seraya menatap ke arah pisau dan bukan ke arahku. Jika aku bertanya, misalnya, "Apakah sari buah ceri itu sesuai dengan seleramu?" Ia tidak bisa langsung mengiyakan dengan seulas senyuman atau anggukan kepala, seperti yang kami lakukan jika mulut kami dipenuhi makanan. Ia malah akan berteriak keras, "Ya" seperti yang sedang berusaha bercakap-cakap dengan seorang tuli. Ia takut memandangi wajahku. Saat itu aku adalah seorang gadis dengan kecantikan yang memesona. Laki-laki mana pun yang menangkap bayangan diriku, bahkan untuk sekali saja, dari kejauhan, atau dari celah tirai, atau pintu yang terbuka, atau bahkan dari balik berlapis-lapis penutup kepala yang kukenakan, seketika mereka akan jatuh cinta padaku. Aku bukan seorang pembual. Aku menjelaskan semua ini padamu agar kau memahami kisahku dan mampu membagi kedukaanku dengan lebih baik. Dalam kisah cinta ternama Hiisrev dan Shirin, ada satu bagian yang aku dan Hitam diskusikan panjang lebar. Sahabat Hiisrev, Shapur, berniat menjodohkan Hiisrev dan Shirin agar mereka saling jatuh cinta. Suatu hari Shirin sedang pergi berjalan- jalan ke pinggiran kota bersama beberapa perempuan kerabat istana ketika dia melihat sebuah lukisan diri Hiisrev yang digantungkan Shapur secara diam-diam di dahan salah satu pohon di tempat mereka berhenti untuk beristirahat. Hanya dengan memandang lukisan diri Hiisrev yang tampan berada di sebuah taman yang indah itu saja, Shirin langsung tertancap 81 My Name is Red ORHAN PAMUK panah asmara. Banyak sekali lukisan yang menggambarkan peristiwa ini—atau "adegan" ini, sebagaimana yang disebut para ilustrator—yang menunjukkan tatapan kagum Shirin dan sorot matanya yang bergelora saat menatap gambar Hiisrev. Ketika Hitam sedang bekerja dengan ayahku, ia melihat lukisan ini beberapa kali dan sudah dua kali membuat tiruannya dengan amat mirip, hanya dengan melihat lukisan aslinya. Setelah ia jatuh cinta padaku, ia membuat sebuah salinan untuk dirinya sendiri. Namun kali ini ia melukiskan dirinya sendiri dan aku, Hitam dan Shekure, untuk mengganti Hiisrev dan Shirin. Jika bukan karena tulisan di bawah lukisan itu, aku tidak bisa mengetahui siapa sepasang lelaki dan perempuan yang dilukiskan dalam gambar itu karena kadang-kadang, saat kami bercandacanda, ia akan melukiskan kami dalam sikap tubuh dan warna yang sama: aku berwarna biru, ia berwarna merah. Dan jika ini tidak cukup sebagai petunjuk, ia juga akan menuliskan nama kami di bawah gambarnya. Ia meninggalkan lukisan itu di tempat aku bisa menemukannya, lalu ia akan pergi. Ia mengawasiku dari jauh, melihat bagaimana reaksiku terhadap lukisannya itu. Aku juga sangat sadar bahwa aku tidak akan sanggup mencintainya seperti Shirin maka aku pun berpura-pura tak peduli. Pada suatu malam di musim panas ketika Hitam memberikan padaku lukisannya itu, saat kami mendinginkan diri dengan sari buah ceri masam dingin ditambah es batu yang kabarnya dibawa jauh-jauh dari potongan salju yang menutupi Gunung Ulu, aku memberi tahu ayahku bahwa Hitam telah membuat sebuah pernyataan cinta padaku. Saat itu Hitam baru saja lulus dari sekolah agama. Ia mengajar di lingkungan terpencil jauh di sana, dan lebih karena keinginan ayahku daripada keinginannya sendiri, Hitam sedang berusaha mendapatkan dukungan dari Nairn Pasha yang berkuasa dan berpengaruh. Namun, menurut ayahku, Hitam belum menunjukkan kecerdasannya. Ayahku, yang 82 telah bersusah payah untuk mendapatkan sebuah tempat di lingkaran Nairn Pasha, setidaknya dimulai dari pekerjaan sebagai seorang pegawai, mengeluhkan betapa Hitam tidak banyak berusaha demi kemajuan dirinya sendiri. Dengan kata lain, menurut ayahku, Hitam telah bersikap sangat abai. Dan malam itu juga, mengenai Hitam dan aku, ayahku membuat pernyataan, "Menurutku, ia telah menetapkan pandangannya terlalu tinggi, keponakanku yang manja ini," dan tanpa menghormati kehadiran ibuku, ia menambahkan, "ia lebih cerdas dari yang kita duga." Aku mengingat dengan pilu apa yang dilakukan ayahku keesokan harinya. Bagaimana aku harus menjaga jarak dari Hitam dan bagaimana ia berhenti mengunjungi rumah kami. Namun, aku tidak akan menjabarkan semua itu, karena aku cemas ini akan membuatmu tidak menyukaiku dan ayahku. Aku berani bersumpah, bahwa kami tidak memiliki pilihan lain. Kautahu, dalam situasi seperti itu, orang-orang berakal sehat tiba-tiba saja bisa merasakan bahwa cinta tanpa harapan adalah ketidakberdayaan, dan yang memahami batasan-batasan dunia yang tidak logis dari hati dan perasaan akan segera mengakhirinya lewat pernyataan santun, "Menurut mereka, kita bukan pasangan yang serasi. Memang begitulah adanya." Tetapi, aku akan raemberitahumu apa yang dikatakan ibuku berulang-ulang, "Setidaktidaknya, jangan kaubuat anak itu patah hati." Hitam, yang oleh ibuku dianggap sebagai seorang "anak", saat itu berusia dua puluh empat, dan aku berumur setengah dari usianya. Karena ayahku menganggap pernyataan cinta Hitam sebagai tindakan kurang ajar, ia tidak akan menganggap keinginan ibuku sebagai lelucon. Meskipun kami belum betul-betul melupakannya saat kami menerima kabar bahwa ia telah meninggalkan Istanbul, kami membiarkannya menyelinap pergi dari kasih sayang kami se- 83 My Name is Red ORHAN PAMUK penuhnya. Karena kami tidak juga menerima kabar tentangnya dari kota mana pun selama bertahun-tahun, aku beranggapan cukup wajar bagiku menyimpan lukisan yang dibuat dan ditunjukkannya padaku sebagai kenang-kenangan dari masa kanakkanak dan persahabatan kami. Untuk mencegah ayahku dan suamiku yang terdahulu menemukan lukisan itu, lalu menjadi kesal karena cemburu, aku dengan pandai telah menutupi nama "Shekure" dan "Hitam" dibawah gambar itu, dengan membuat dua nama itu terlihat hanya apabila seseorang menyapu tinta Hasan Pasha milik ayahku ke atasnya, di mana pada suatu kejadian tak disengaja beberapa waktu kemudian, huruf-huruf itu disamarkan menjadi bebungaan. Semenjak aku mengembalikan gambar itu padanya hari ini, mungkin di antara kalian ingin mengetahui, betapa aku yang menunjukkan diriku ke hadapannya di jendela ini, merasa malu dan memikirkan prasangkaprasangka kalian. Setelah memperlihatkan wajahku kepadanya, selama beberapa saat aku tetap di depan jendela, dihujani semburat merah matahari senja, dan aku terpukau menatap taman yang bermandikan cahaya jingga kemerahan, hingga aku merasakan dinginnya hawa malam yang menusuk. Tak ada angin seembus pun. Aku tak peduli orang-orang yang melintas di jalanan akan bergunjing karena melihatku di jendela yang terbuka. Salah satu putri Ziver Pasha, Mesrure, yang selalu tertawa dan senang mengatakan hal-hal mengejutkan di saat-saat terburuk ketika kami bermain-main di pemandian umum dengan ceria setiap minggu, pernah berkata bahwa orang tidak pernah tahu apa yang diinginkan dirinya sendiri. Ini yang kutahu: Terkadang aku mengatakan sesuatu dan seketika menyadari bahwa yang kukatakan itu pikiranku sendiri, tetapi begitu aku sampai pada kesadaran itu, aku menjadi yakin bahwa justru kebalikan dari pemikiranku itulah yang sesungguhnya benar. 84 Aku merasa menyesal ketika Elok Effendi yang malang, salah satu dari para ilustrator yang sering diundang ayahku ke rumah kami—dan aku tak akan berpura-pura bahwa aku tidak memata- matai mereka—hilang, seperti suamiku yang malang. "Elok" adalah yang paling buruk rupa dan yang paling lemah jiwanya di antara mereka. Aku menutup daun jendela, meninggalkan ruangan, dan menuruni tangga menuju dapur. "Ibu, Shevket tidak mendengar kata Ibu," ujar Orhan. "Ketika Hitam sedang mengambil kudanya dari istal, Shevket meninggalkan dapur dan memata-matainya dari lubang." "Memangnya kenapa!" seru Shevket, sambil mengayun-ayunkan tangannya di udara. "Ibu juga memata-matinya dari lubang kamar kecil." "Hayriye," sahutku. "Gorenglah beberapa potong roti dengan sedikit mentega, dan berikan pada mereka dengan selai kacang almond dan gula." Orhan melompat naik turun dengan lincah meskipun Shevket terdiam. Begitu aku berjalan naik kembali ke tangga, mereka berdua menyergapku, berteriak-teriak, dan mendorong-dorongku penuh semangat. "Tenanglah, tenang," seruku sambil tertawa. "Kalian anak-anak bengal." Aku menepuk-nepuk punggung mereka yang lembut. Betapa indahnya berada di rumah bersama anak-anak saat hari menjelang malam! Ayahku diam-diam telah membenamkan dirinya pada sebuah buku. "Tamumu sudah pergi," ujarku. "Kuharap ia tidak terlalu merepotkanmu." "Justru sebaliknya," sahutnya. "Ia telah menghiburku. Ia selalu menghormati Enishte-nya." "Baguslah." "Tetapi sekarang ia penuh pertimbangan dan perhitungan." 85 My Name is Red ORHAN PAMUK la berkata bahwa lebih mudah mengamati reaksiku daripada mendekatkan bahan pembicaraan dalam sebuah sikap yang meringankan Hitam. Dalam kesempatan lainnya, aku akan menjawabnya dengan ketus. Kali ini, aku hanya memikirkan Hitam menyusuri jalan di atas kuda putihnya, dan aku pun gemetar. Tidak jelas bagaimana terjadinya, tetapi beberapa lama kemudian di kamar yang ada kamar kecilnya, Orhan dan aku saling berpelukan erat. Shevket bergabung dengan kami. Terjadi sebuah pertengkaran kecil yang singkat di antara mereka. Begitu mereka saling memiting, kami semua bergulingan ke atas lantai. Aku menciumi leher belakang mereka, dan juga rambut mereka. Aku merengkuh dan menekan kepala mereka ke dadaku, dan merasakan berat tubuh mereka di payudaraku. "Aah ..." seruku. "Rambut kalian bau. Aku akan mengirimkan kalian ke pemandian besok, bersama Hayriye." "Aku tidak mau pergi ke pemandian bersama Hayriye lagi," protes Shevket. "Mengapa? Apakah kau terlalu besar untuk didampingi Hayriye?" tanyaku. "Ibu, mengapa kau mengenakan baju ungumu yang terbaik?" balas Shevket. Aku pergi ke kamar lain dan mengganti baju unguku. Aku memakai baju hijau pupus yang biasa kukenakan. Saat aku berganti pakaian, aku merasa menggigil dan gemetar, tetapi aku bisa merasakan bahwa kulitku terbakar, tubuhku bergetar dan hidup. Aku menggosokkan seulas pulas merah muda ke pipiku yang mungkin kotor ketika aku bergulingan dengan anak-anak, tetapi aku menghapusnya dengan menjilat telapak tanganku dan menggosokkannya ke pipiku. Tahukah kau bahwa kerabatku, para perempuan yang kutemui di pemandian, dan semua orang yang melihatku, bersumpah bahwa aku lebih tampak seperti seorang perawan berumur enam belas tahun daripada ibu dua 86 anak berusia dua puluh empat tahun yang sudah melewati masa puncaknya? Percayai mereka, benar-benar percayalah pada mereka, atau aku tidak akan memberitahumu apa-apa lagi. Jangan terkejut pada kenyataan bahwa aku berbicara padamu. Selama bertahun-tahun aku menelusuri lukisan-lukisan di buku ayahku, mencari-cari gambar para perempuan dan kecantikan- kecantikan yang memukau. Mereka sungguh-sungguh ada dan selalu tampak malu-malu, tersipu, hanya saling menatap seolah-olah sedang saling meminta maaf. Mereka tidak pernah tampak mengangkat kepaknya, berdiri tegak, dan berhadapan dengan orang-orang di dunia ini, seperti yang dilakukan para serdadu dan para sultan. Hanya dalam sebuah buku murahari yang diberi ilustrasi secara serampangan oleh seniman-seniman yang ceroboh, ada beberapa pasang mata perempuan yang terlatih untuk tidak memandangi tanah yang mereka pijak atau sesuatu yang lain dalam ilustrasi tersebut—oh, aku tak tahu, kita sebut saja seorang kekasih atau sebuah cangkir—melainkan langsung menatap pembacanya. Aku sudah lama bertanya-tanya tentang pembaca buku seperti itu. Aku gemetar karena merasa senang, saat kupikirkan bukubuku berusia dua ratus tahun, berasal dari zaman Timurleng, jilid-jilid buku yang oleh orang-orang Kristen yang haus akan hal-hal baru itu dengan senang hati akan ditukar dengan kepingan- kepingan emas dan yang mereka bawa sepanjang jalan pulang ke negeri-negeri mereka sendiri: Barangkali suatu hari seseorang dari negeri yang jauh akan mendengarkan kisahku. Bukankah ini kebohongan di balik keinginan untuk dicantumkan di dalam halaman-halaman sebuah buku? Bukankah demi kesenangan seperti inilah para sultan dan para pemimpin Muslim menyiapkan berkantung-kantung emas? Agar sejarah mereka dituliskan? 87 My Name is Red ORHAN PAMUK Ketika aku merasakan kegairahan semacam ini, seperti perempuan- perempuan cantik dengan sebelah mata menjalani kehidupan di dalam buku, dan sebelah mata lainnya di dalam kehidupan di luar buku, aku juga, merindu untuk bisa berbicara dengan kalian yang mengamatiku dari waktu dan tempat yang jauh. Aku adalah seorang perempuan yang menarik dan pintar, dan amat menyenangkan bagiku menyadari bahwa diriku diamati. Jika aku terkadang sedang kebetulan menceritakan satu dua kebohongan, maka kalian tidak akan menyimpulkan hal yang salah tentang aku. Mungkin kauperhatikan betapa ayahku memujaku. la memiliki tiga orang putra sebelum aku, tetapi Tuhan mengambil mereka satu persatu, dan menyisakan aku, putrinya. Ayahku amat memanjakanku, meskipun aku menikahi seorang laki-laki yang bukan pilihannya. Aku memilih seorang serdadu kavaleri yang sebelumnya kuperhatikan dan kudambakan. Jika terserah pada ayahku, maka suamiku tak lain adalah seorang ulama besar yang juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lukisan dan seni, memiliki kekuasaan dan kewenangan, dan kaya raya seperti Karun—lelaki terkaya yang tertulis di dalam Alquran. Jenis lakilaki yang bahkan tidak akan ditemui dalam buku-buku karya ayahku, sehingga aku tidak akan pernah menjadi lapuk karena berdiam di rumah selamanya. Ketampanan suamiku sudah menjadi legenda, dan aku mengamininya. la menemukan kesempatan untuk muncul di hadapanku saat aku baru pulang dari pemandian umum. Matanya menyala seterang kobaran api, aku langsung jatuh cinta saat itu juga. la berambut gelap, berkulit terang, seorang laki-laki bermata hijau dengan tangan yang kuat, tetapi di hatinya ia adalah seorang lelaki polos dan pendiam seperti seorang bocah yang mengantuk. Namun demikian, bagiku, setidak-tidaknya ia juga bernafsu melihat darah, mungkin karena ia menghabiskan 88 seluruh kekuatannya dengan membantai orang dalam peperangan dan mengumpulkan barang-barang jarahan, meskipun di rumah ia selembut dan setenang seorang perempuan terhormat. Laki-laki ini—yang oleh ayahku dianggap sebagai serdadu miskin, dan karena itu tidak disetujuinya—kemudian diizinkan untuk menikahiku, karena aku mengancam akan bunuh diri jika tidak direstui. Setelah mereka memberi suamiku tanah sebagai anggota militer senilai sepuluh ribu koin perak, sebuah hadiah atas kepatriotannya di medan peperangan di mana ia menunjukkan aksi terhebatnya dalam hal keberanian, semua orang benar-benar merasa iri pada kami. Empat tahun yang lalu, saat ia gagal kembali bersama pasukan yang tersisa dari perang melawan kaum Safawiyah, awalnya aku tidak terlalu mencemaskan hal itu, karena dengan banyaknya pengalaman perang yang dijalaninya, ia telah semakin mahir dalam menciptakan kesempatan-kesempatan untuk menyelamatkan hidupnya sendiri, selain juga membawa pulang barangbarang bagus, memenangkan tanah jatah yang lebih luas, dan dalam menambah jumlah tentara bawahannya. Ada beberapa saksi mata yang berkata bahwa ia melarikan diri ke pegunungan dengan anak-anak buahnya, setelah terpisah dari pasukan lainnya. Pada awalnya, aku mencurigai suatu taktik tertentu, dan aku berharap ia akan kembali. Namun, setelah dua tahun, perlahan tapi pasti, aku mulai terbiasa dengan ketiadaannya. Ketika aku menyadari betapa banyak perempuan kesepian seperti aku di Istanbul yang ditinggalkan suaminya yang hilarig di medan perang, aku pun pasrah, menyerah pada takdirku. Kala malam, di atas ranjang kami, aku akan memeluk anakanak, melamun, lalu menangis. Untuk menenangkan tangis mereka, aku mengatakan dusta-dusta penuh harapan pada mereka. Contohnya, bahwa ayah mereka akan pulang sebelum musim semi. Setelah itu, ketika dustaku mulai beredar, berubah-ubah, dan 89 My Name is Red ORHAN PAMUK menyebar luas, hingga berbalik ke diriku sendiri, aku akan menjadi orang yang pertama memercayai kabar-kabar baik itu. Saat penyokong utama rumah tanggaku menghilang, kami mulai memasuki masa-masa sulit. Kami tinggal di sebuah rumah sewaan di Charshikapi dengan ayah suamiku yang keturunan Abkhazia dan sangat baik dan santun. la tidak pernah menjalani kehidupan yang mudah dan menyenangkan. Aku juga tinggal bersama adik suamiku yang juga bermata hijau. Ayah mertuaku, yang meninggalkan usahanya membuat cermin setelah anak tertuanya berhasil sebagai seorang serdadu, kembali menjalani usaha lamanya di usia yang sudah renta itu. Hasan, adik suamiku yang masih lajang, bekerja di bea cukai dan dengan gajinya yang lumayan, ia berniat mengambil alih tugas sebagai "kepala keluarga." Pada suatu musim dingin, karena khawatir kami tidak mampu membayar sewa rumah, mereka bergegas membawa budak yang mengerjakan tugas-tugas rumah tangga kami ke pasar budak untuk dijual, dan setelahnya mereka membuatku harus mengerjakan semua pekerjaan di dapur, mencuci pakaian, dan bahkan pergi ke pasar untuk berbelanja, menggantikannya. Aku tidak melakukan protes dengan mengatakan, 'Apakah aku jenis perempuan yang pantas melakukan semua pekerjaan yang melelahkan itu?" Aku menelan harga diriku dan melakukan semua pekerjaan itu. Namun, ketika adik iparku Hasan, yang kini tak memiliki budak perempuan untuk menemaninya di atas ranjang pada malam hari, mulai mendorong pintuku, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Tentu saja, aku bisa saja segera pulang kembali ke rumah ayahku, tetapi menurut keputusan kadi, karena suamiku masih secara resmi dianggap hidup, meskipun aku marah pada iparku, mereka tidak bisa berhenti memaksa anak-anakku dan diriku kembali ke rumah suamiku, dan malah akan lebih mempermalukan kami dengan memberi hukuman padaku dan ayahku yang 90 Bersambung....... Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt