Menggali Yang Terabaikan Oleh : Indraganie mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Bab I DARUL ISLAM : USAHA MEMBENTUK NEGARA MADINAH DI INDONESIA Dalam sejarah Indonesia banyak terjadi peristiwa pergolakan atau lazim disebut pemberontakan terhadap rezim kolonial maupun lokal. Dengan berbagai variasi, inti penyebabnya adalah rasa tidak puas terhadap suasana yang ada atau tatanan yang berlaku. Ada beberapa pemberontakan yang sukses mencapai tujuan dan tentu ada pula yang gagal. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa bangsa yang konon ramah ini ternyata pada dasarnya garang. Riwayat bangsa ini penuh kekerasan dan agaknya belum berakhir, termasuk pada tingkat pertumpahan darah dan kehilangan nyawa. Berbagai usaha untuk menertibkan bangsa ini memang dilaksanakan tetapi banyak gagal. Memang, bangsa Indonesia aslinya tidak punya peradaban. Peradaban didapat dari hubungan dengan bangsa asing semisal Cina, Arab dan India. Kemerdekaan bangsa ini juga didapat dari kekerasan, tetapi hal tersebut mungkin dapat difahami mengingat bangsa ini tidak punya pilihan. Proses meraih kemerdekaan sedemikian panjang dan menampilkan berbagai akibat sampingan, antara lain kekerasan baru. Darul Islam (DI) termasuk pergolakan sampingan akibat proses perjuangan melawan imperialisme Barat sekaligus usaha untuk menertibkan bangsa ini dengan corak agamis. Imperialisme Barat dimulai sejak penaklukan Kerajaan Malaka oleh Kerajaan Portugal tahun 1511. DI adalah pemberontakan terbesar dalam sejarah perioda pasca proklamasi kemerdekaan. Terbesar dalam arti mencakup wilayah terluas dan waktu terlama dibanding pemberontakan lain yang terjadi pada perioda yang sama, antara lain APRA, RMS, PRRI dan G30S PKI. Pemberontakan DI atau disebut juga Negara Islam Indonesia (NII) mencakup wilayah pokok Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Dari Aceh merembes ke Sumatera Utara, dari Jawa Tengah merembes ke Jawa Timur, dari Kalimantan Selatan merembes ke Kalimantan Timur, dari Sulawesi merembes ke Nusa Tenggara dan Maluku. Rentang waktunya adalah 1949-1965. Trauma yang ditimbulkannya tidak dapat disangkal, juga bertahan lama. Tetapi ironisnya pemberontakan ini sekian lama kurang dibahas, jika ada umumnya disajikan dalam bentuk terpisah. Sangat sedikit yang menyajikan peristiwa tersebut secara keseluruhan di dalam satu buku. Contoh tepat penyajian secara menyeluruh tersebut adalah buku karya Cornelis van Dijk berjudul Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. DI memiliki ciri perlawanan terhadap dua fihak sekaligus yaitu kolonial dan lokal. Kekuatan kolonial diwakili Kerajaan Belanda, kekuatan lokal diwakili Republik Indonesia. Ciri lainnya adalah ideologi yang dianut yaitu menempatkan agama sebagai dasar negara yang ingin dibentuk. Ciri-ciri demikian bukan hal baru bagi Indonesia. Perang Paderi (1821-37) dan Perang Diponegoro (1825-30) sebagai misal, juga memiliki ciri sama. Walaupun DI adalah pemberontakan perioda Indonesia merdeka, akar gerakan berada jauh sebelum kemerdekaan. Pada hakikatnya gerakan ini hanya lanjutan dari gerakan-gerakan sebelumnya dan mungkin gerakan DI akan dilanjutkan oleh gerakan-gerakan lain. PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG Istilah daarul Islam atau daar al-Islam bermakna “rumah Islam” atau “tempat Islam”. Adapun definisinya adalah “suatu tempat atau wilayah di mana berlaku syari’at Islam”. Kaum non Muslim di wilayah tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim antara lain kebebasan melaksanakan agamanya. Sumber-sumber Islam kaya dengan konsep ini dan sebagian besar sejarah Muslim hal tersebut dipraktekkan. Sangat jarang ada kasus penindasan terhadap non Muslim. Konsep tata negara dalam Islam lazim disebut “al-khilafah” dan orangnya disebut “khalifah”. Makna khalifah adalah “pengganti” yaitu pengganti Nabi Muhammad (570-632) dalam hal kepemimpinan duniawi dan bukan kenabian, mengingat jabatan nabi berasal dari Tuhan. Dalam hidupnya beliau bukan hanya berfungsi sebagai nabi, tetapi juga kepala negara. Fungsi kepala negara itulah yang dapat diganti oleh orang lain. Konsep ini dasarnya telah dirintis pada perioda Nabi Muhammad berfungsi sebagai kepala negara (622-632) dan dilanjutkan oleh perioda “Khalifah Empat Utama” (Khulafaur Rasyidin) selama 632-661. Pada umumnya kaum Muslim menilai dua perioda tersebut sebagai praktek paling ideal dan sering menjadi acuan dibanding perioda sesudahnya. Umumnya kaum Muslim menilai bahwa perioda khalifah bermula dari perioda Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq (632-634) dan berakhir bersamaan dengan penghapusan Kerajaan Turki Usmani (al- Mamlakah al-‘Utsmaniyyah) tahun 1924 dan diganti dengan republik oleh Mushthafa Kamal. Peristiwa penghapusan tersebut sering dianggap merupakan peristiwa sangat menyedihkan dan kaum Muslim harus menyadari hal itu. Simbol persatuan dan perlindungan kaum Muslim sedunia telah sirna. Kaum Muslim makin bercerai- berai dan tentu saja makin mudah dijajah, khususnya oleh imperialisme Barat. Ini mengingat bahwa orang Barat yang memulai penjajahan keluar wilayah sendiri. Bicara tentang imperialisme Barat, sesungguhnya telah ada sejak pra Islam. Faham imperialis berasal dari faham rasialis, yaitu faham yang mengagumi ras sendiri dan merendahkan ras lain. Dengan demikian ras lain boleh dijajah dengan berbagai dalih dan bentuk. Faham ini merupakan bagian dari budaya Barat. Dengan faham tersebut orang Barat menjelajah dan menjajah ke seantero dunia. Usaha yang telah berlangsung lama ini mencapai puncaknya sejak abad ke-6. Pelakunya bukan hanya satu bangsa, demikian pula korbannya. Dalam meraih niatnya, orang Barat menghadapi perlawanan dari non Barat. Setelah sekian lama menghadapi perlawanan, mereka menilai bahwa musuh paling tangguh adalah kaum Muslim. Walaupun sejak abad-19 kaum Muslim relatif lemah, masih dianggap musuh berat. Karena itu, kesuksesan rekayasa menghapus khilafah dianggap prestasi besar. Layak disayangkan, bahwa usaha tersebut juga dibantu oleh kaum Muslim juga, yang sadar tidak sadar menjadi antek. Berbagai usaha membangkitkan khilafah dilaksanakan tetapi sejauh ini gagal, di antaranya gerakan DI. Gerakan tersebut dimusuhi tidak hanya oleh non Muslim tetapi juga Muslim. Ini bukan perkara baru. Riwayat kaum Muslim membuktikan bahwa sebagian besar usaha-usaha perbaikan intern mendapat perlawanan lebih berat sekian lama, justru dari kalangan intern pula. Contoh di Indonesia antara lain gerakan Muhammadiyyah di Jawa dan Paderi di Sumatra. ASAL MUASAL Gerakan DI tidak dapat dilepaskan dari nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905-1962) karena dialah pelopornya. Dalam perjalanan selanjutnya tampil nama-nama antara lain Tengku Muhammad Daud Beureuh di Aceh, Amir Fatah di Jawa Tengah, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan dan Kahar Muzakkar (‘Abdul Qahhar Mudzdzakkar) di Sulawesi Selatan. Adapun Kartosoewirjo aktif di Jawa Barat sekaligus pusat DI dan dia adalah pemimpin pusat (imam). Tetapi Kartosoewirjo bukan asli Jawa Barat, tetapi kelahiran Cepu, Jawa Timur. Latar belakang dia relatif tidak istimewa, bukan berasal dari keluarga yang dikenal aktif anti kolonial. Bahkan ayahnya adalah mantri yang bertugas sebagai koordinator penjualan candu yang berarti pegawai kolonial. Jabatan tersebut relatif penting mengingat sekitar seperempat ekonomi Hindia Belanda disokong oleh penjualan candu. Keluarga cenderung menyerahkan sang anak kepada peredaran zaman. Mengingat jabatan ayahnya, dia masuk lembaga pendidikan dari ISTK (Inlandsche School Tweede Klasse), kemudian yang terbilang elit yaitu HIS (Hollandsch-Inlandsche School), ELS (Europeesche Lagere School). Kedua sekolah tersebut diperuntukkan bagi orang Barat dan Indo. Hanya pribumi elit saja yang diizinkan belajar di sekolah tersebut. Pada tahun 1923 dia masuk ke NIAS (Nederlandsche Indische Artsen School) di Surabaya, yaitu lembaga pendidikan kedokteran untuk pribumi. Lulusannya lazim disebut “Dokter Jawa”. Tingkatnya berbeda dengan dokter Barat, tentu dalam arti lebih rendah. Untuk sederajat dengan dokter Barat harus menempuh pendidikan lagi di Geneeskundige Hogeschool di Batavia atau ke Belanda, sesuatu hal yang sulit. Memang, rezim kolonial memberi pendidikan kepada bangsa Indonesia bukan untuk menjadi pemimpin, tetapi pelayan. Ditinjau dari latar belakang pendidikan formalnya, adalah suatu hal yang ironis bagi seseorang yang kelak aktif dalam gerakan bercorak agamis. Karena latar belakang pendidikannya praktis sekuler. Pendidikan agamis awal yang diterimanya berasal dari seorang tokoh bernama Notodihardjo. Faham keagamaannya cenderung kepada Muhammadiyyah. Didikannya sangat mempengaruhi sikap Kartosoewirjo terhadap agama. Masuk usia dewasa, dia berkenalan dengan organisasi bercorak agamis yaitu Sarekat Islam (SI). Organisasi tersebut berawal dari nama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk oleh Samanhoedi (1868-1956) di Solo tahun 1905 – tapi ada yang menyebut tahun 1911. Versi lain menyebutkan SDI dibentuk oleh Tirtoadisoerjo di Batavia tahun 1909. Kelak organisasi ini dipimpin oleh tokoh kharismatis ‘Umar Said Tjokroaminoto (1882-1934). Tokoh ini menjadi guru politik Kartosoewirjo, juga Soekarno (1901-1970), Semaoen dan beberapa lagi. Soekarno sempat menjadi menantu Tjokroaminoto dan kelak menjadi presiden pertama RI. Semaoen kelak menjadi tokoh PKI setelah mengawali karir politiknya di SI. Kebetulan, ketiga orang tersebut pernah menetap di rumah Tjokroaminoto. Tidak jelas apakah ketiganya pernah menetap pada waktu yang sama. Samanhudi - Tjokroaminoto - Soekarno - Semaun Untuk beberapa lama rumah Tjokroaminoto menjadi tempat pertemuan para aktivis anti kolonial dari berbagai latar belakang. Di bawah kepemimpinannya SI sempat menjadi partai terbesar di Hindia Belanda. Akibat penyusupan dan penggembosan kaum komunis, partai tersebut pecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI Merah menjadi PKI dan SI Putih menjadi Partai Syarikat Islam (PSI). Boleh dibilang inilah awal permusuhan antara gerakan komunis dan agamis. Tentu saja peristiwa ini melemahkan perjuangan kaum Muslim. Ada yang layak diketahui, penggembosan tersebut tidak disetujui oleh intern komunis sendiri. Tan Malaka (1897-1949) mewakili penentang penggembosan. Kelak dia say goodbye dengan PKI dan membentuk partai sendiri. Kegiatan anti kolonial Kartosoewirjo tidak terlepas dari suasana nasional. Di wilayah yang kini disebut Indonesia perioda 1500 hingga kini layak disebut “perioda jahiliyah”. Perioda ini ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit setelah sekian lama tampil dominan di Asia Tenggara. Runtuh kerajaan berarti runtuh peradaban. Praktis dalam waktu bersamaan, hadir imperialisme Barat di Asia Tenggara dengan bangsa Portugis sebagai perintisnya. Proyek pertamanya yaitu menaklukan Kerajaan Malaka (1400-1511), kemudian bergerak ke Maluku –tempat rempah-rempah berasal, hasil bumi yang sangat diperlukan dunia Barat. Kedua peristiwa itu mengakibatkan segala prestasi kemanusiaan bangsa Indonesia –antara lain kemakmuran– rusak atau hilang. Pelan tapi pasti, bangsa Indonesia bergerak menuju keterbelakangan. Ini masih terjadi hingga saat ini. Untuk melawan imperialisme Barat, bangsa Indonesia menempuh cara militer. Perioda sejak awal abad-16 hingga abad-20 penuh dengan peperangan silih berganti. Cara tersebut gagal. Cara politik kemudian dipilih untuk mencerdaskan bangsa. Hasil tak dapat dinikmati segera tetapi tidak ada pilihan. Jika sudah canggih, boleh perang lagi. Gejolak di tingkat nasional tidak terlepas dari gejolak internasional, perimbangan dalam hubungan dunia Timur dengan dunia Barat. Perioda 1500-1800 praktis Barat dan Timur tampil seimbang dalam banyak bidang. Setelah sekian lama tenggelam dalam tidur yang lama, Barat mencoba bangkit kembali. Istilahnya dikenal dengan Renaissance. Kebangkitan tahap berikut yaitu Aufklarung, semisal Revolusi Industri pada pertengahan abad ke-18 di Inggris mengubah perimbangan tersebut. Mulai tahun 1800 hingga kini untuk pertama kali Barat mengungguli Timur. Kebangkitan Timur bermula pada pertengahan abad ke-18 pula, tapi sedikit yang tahu. Gerakan Muwahhid atau Wahhabi di Arabia yang bertujuan memurnikan pemahaman dan pelaksanaan ajaran Islam, sesungguhnya adalah bentuk kebangkitan. Kebangkitan yang mungkin lebih spektakuler adalah kemenangan Jepang melawan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang (1904-1905). Dampaknya lebih besar, dunia Timur seperti bangun dari tidurnya termasuk bangsa Indonesia. Kembali pada Kartosoewirjo, dia menetapkan pilihan bergabung dengan gerakan anti kolonial yang bercorak agamis. Dia menilai gerakan anti kolonial yang bercorak non agamis semisal nasionalis dan komunis adalah faham jahiliyah yang secara sadar tidak sadar diterima dari Barat. Mungkin faham nasionalis dan komunis dipakai oleh sebagian aktivis anti kolonial sebagai strategi “senjata makan tuan”, memakai cara Barat melawan Barat. Kartosoewirjo beranggapan bahwa kedua faham tersebut tidak cocok untuk Indonesia yang mayoritas adalah Muslim. Islam dianggap faham yang ampuh untuk dasar perjuangan anti kolonial karena Islam membahas segala aspek termasuk masyarakat. Konsep Islam tentang masyarakat ideal lazim terumus dalam baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan dinaungi ampunan tuhan) atau “masyarakat adil dan makmur dalam ridha Tuhan”. Kartosoewirjo mungkin khawatir terhadap nasionalisme karena dapat menjurus pada pengagungan bangsa sendiri, dan khawatir terhadap komunisme karena berfaham “agama adalah candu”. Rasa tidak suka terhadap kedua kelompok tersebut bertambah ketika beberapa tokoh nasionalis, antara lain Soekarno mencela Islam. Suatu sikap jahiliyah yang jelas ditiru dari imperialis Barat. Tetapi mayoritas rakyat Indonesia sudah terbius oleh sosok kharismatis Soekarno. Begitu juga dengan komunis, tidak hanya mencela tetapi juga menggembosi kekuatan Muslim sebagaimana tersebut di atas. Padahal mayoritas kelompok nasionalis dan komunis juga berlatar belakang Muslim, tetapi entah kenapa mereka cenderung lebih suka dengan konsep jahiliyah. Mungkin mereka sadar tidak sadar telah terpengaruh oleh imperialisme Barat, yang menganggap Islam adalah agama kurang bermutu semisal kejam, terbelakang dan curang. Mereka menganggap Barat lebih beradab atau asal muasal peradaban. Padahal peradaban berasal dari Timur dan Barat hanya memoles atau mengembangkannya, Barat maju setelah proses belajar yang lama dari Timur. Hal tersebut sedikit diketahui orang, dan Barat cenderung menutupi atau memalsukan fakta. Akibatnya dapat disaksikan hingga kini, mayoritas orang Timur kagum atau minder dengan Barat. Kartosoewirjo juga menyaksikan hal tersebut. Kegiatan politik Kartosoewirjo harus dibayar mahal, tahun 1927 dia dikeluarkan dari NIAS justru karena dituduh aktivis komunis. Sungguh tuduhan yang tidak bermutu. Pemecatan dari NIAS memberi peluang baginya untuk lebih terlibat dalam gerakan kemerdekaan. Hubungannya kian erat dengan Tjokroaminoto, tetapi ketika itu pengaruh Tjokroaminoto memudar yang otomatis berdampak terhadap partainya. Muncul tokoh-tokoh yang lebih muda antara lain Soekarno dan Muhammad Hatta (1902-1980). Ada persamaan yang unik antara Soekarno dengan Kartosoewirjo. Mereka sama-sama orang Jawa Timur, sama-sama pernah dalam bimbingan Tjokroaminoto, mereka pernah pula aktif dalam organisasi bercorak lokal yaitu Jong Java. Dan mereka pernah sama-sama kecewa dengan Jong Java walau dengan alasan berbeda. Bahkan mereka pernah bertemu berulang-ulang dalam beberapa rapat pergerakan. Tetapi ironisnya hal tersebut tidak membantu mempersatukan keduanya. Kelak mereka berhadapan sebagai musuh. Soekarno menjadi presiden RI, Kartosoewirjo menjadi imam NII. Sama-sama kepala negara di wilayah yang sama! Soekarno kecewa dengan Jong Java karena kurang bersikap keras terhadap kolonial. Soekarno merasa semangat anti kolonial yang menggebu dalam dirinya tidak tersalurkan dalam Jong Java. Kartosoewirjo kecewa dengan Jong Java karena netral agama. Semangat agama yang menggebu dalam dirinya juga tidak tersalurkan oleh organisasi tersebut. Soekarno membentuk partai sendiri bernama Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Kartosoewirjo masuk PSI, kemudian tahun 1930 bernama Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), nama yang masih dipakai hingga kini. Sepeninggal Tjokroaminoto, PSII terbagi oleh dua dewan, yaitu dewan eksekutif dan dewan partai. Dewan eksekutif dipimpin Abikoesno Tjokrosoejoso dan dewan partai dipimpin Agoes Salim. Perpecahan tak dapat dihindarkan. Latar belakangnya adalah sikap partai terhadap rezim kolonial. PSII mengembangkan sikap non kerja sama dengan kolonial sejak 1920-an yaitu swadeshi dan hijrah. Swadeshi bermakna “mandiri” dan hijrah bermakna “pindah dari suasana tidak Islami ke suasana Islami”. Konsep hijrah secara tersirat menganggap suasana kolonialisme sebagai tidak Islami, tentu saja yang dianggap suasana Islami adalah menghapus kolonialisme. Rezim mungkin faham maksudnya mengingat terdapat para pakar tentang Islam yang lazim disebut orientalis. Sebagai akibat sikap makin menindas rezim kolonial –mungkin akibat Revolusi 1926 dan konsep non kooperatif PSII– Agoes Salim mengusulkan penghentian sikap non kerja sama. Perlu waktu untuk menyejukkan suasana kembali sebagaimana sebelum revolusi. Perlu diketahui sedikit tentang Revolusi 1926, peristiwa perlawanan militer terhadap kolonial. Perlawanan yang sangat berat berkobar di Banten dan Minangkabau. Revolusi tersebut dimulai November 1926 hingga Januari 1927, berakhir dengan kegagalan. Usul tersebut ditolak Abikoesno dan dengan terpilihnya Abikoesno sebagai ketua partai tahun 1936, peluang untuk memecat kelompok Agoes Salim jelas ada dan itu memang dilaksanakan. Dalam pertentangan Salim-Abikoesno, Kartosoewirjo memihak Abikoesno. Adapun kelompok Salim membentuk partai baru. Kartosoewirjo mengembangkan konsep hijrah begitu mengesankan. Langsung mengacu pada kitab dan sunnah, dia menegaskan bahwa hijrah wajib dilaksanakan oleh kaum Muslim, kecuali mereka yang lemah, hingga tercapai keselamatan (falaah) dan kebebasan (fatah). Kartosoewirjo berpendapat lebih jauh lagi, menghubungkan antara hijrah dengan jihad (berjuang). Istilah jihad sering terkesan mengerikan, karena yang teringat adalah perang. Sering terlupakan atau memang sengaja dilupakan bahwa jihad tidak selalu berarti perang (qital). Jika suasana Islami dapat dicapai tanpa perang, kenapa harus perang? Tetapi karena suasana ketika itu adalah suasana kolonial, di mana rezim kolonial tidak berniat melepaskan Indonesia, maka pilihan perang (qital) merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan. Ditambah lagi suasana internasional yang makin mengarah pada perang dunia. Kartosoewirjo berusaha menghindar dari pemahaman tersebut. Dia memahami jihad secara luas, antara lain menjelaskan bahwa jihad yang sangat utama dan sekaligus sangat berat adalah jihad dalam diri sendiri. Berjuang mengubah atau memindahkan diri sendiri dari perilaku tidak Islami menjadi Islami. Adapun jihad untuk hijrah ke suasana Islami ditempuh dengan cara membentuk lembaga pendidikan kader, guna mencerdaskan umat yang kelak suatu saat mengatur negara sendiri. Tersirat makna “kemerdekaan mengatur bangsa dan negara dengan suasana Islami.” Adapun lembaganya disebut Suffah, istilah yang mengacu pada suatu ruang di dalam Masjid Nabawi yang dipergunakan oleh Nabi Muhammad mendidik umat terutama kaum muda untuk terbiasa hidup serba kurang dalam segi materi. Kelak diharap tampil para alumni yang siap berjuang dengan segala resiko. Kartosoewirjo mencoba merujuk konsep tersebut. Pada awalnya usul tersebut didukung partai, tetapi tahun 1939 dia terlibat pertengkaran sengit dengan Abikoesno. Masalahnya lagi-lagi tentang hijrah. Abikoesno menilai bahwa rezim kolonial makin menindas karena sikap hijrah tersebut. Kartosoewirjo menolak, suatu sikap berani mengingat berat resikonya. Singkat cerita, kelompok Kartosoewirjo dipecat. Kartosoewirjo membalas dengan membentuk semacam PSII tandingan yang disebut “Komite Pembela Kebenaran PSII” dengan memilih kota Malangbong di Jawa Barat sebagai pusatnya. Dia menetap di kota tersebut sejak tahun 1929 ketika telah terpilih menjadi wakil partai untuk Jawa Barat. Di Malangbong, dia makin akrab dengan kehidupan ala Jawa Barat. Kelak wilayah Priangan yaitu Malangbong, Tasikmalaya, Garut dan Ciamis menjadi basis DI yang terkuat di Jawa Barat. Institut Suffah dibentuk pula di Malangbong berdasar resolusi kongres KPK-PSII pada Maret 1940, sesungguhnya hal tersebut merupakan lanjutan usaha yang ditetapkan kongres PSII di Bandung tahun 1937, sebelum Kartosoewirjo dipecat. Setelah dipecat, PSII-Abikoesno tidak mendukung lagi. Dengan fasilitas terbatas, lembaga ini berjalan. Para muridnya berasal dari berbagai daerah semisal Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Ketika perioda penjajahan Jepang, lembaga tersebut sempat ditutup dan dibuka kembali ketika perang berubah merugikan Jepang. Pada Oktober 1943 rakyat diizinkan ikut latihan militer, terbentuklah organisasi militer semisal PETA (Pembela Tanah Air), Gyu Gun (Laskar Rakyat), dan Hizbullah. Peluang tersebut tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh Kartosoewirjo, pendidikan militer dimasukkan dalam kurikulum Institut Suffah. Kelak para alumni Suffah umumnya menjadi anggota DI. PENDUDUKAN JEPANG (8 Maret 1942 – 17 Agustus 1945) Sulit untuk dibantah, bahwa perioda pendudukan Jepang ikut membawa pengaruh di Indonesia. Walaupun singkat, pengaruh yang muncul tidak dapat dianggap remeh. Kemerdekaan Indonesia, penyelenggaraan negara, khususnya keberadaan militer nasional, sedikit banyak juga disebabkan oleh pendudukan Jepang, walaupun terkesan pahit untuk mengakuinya. Memang, perioda tersebut terbilang pahit. Bahkan ada yang menilai bahwa pendudukan Jepang lebih buruk dari penjajahan Barat. Pengumpulan paksa –barang dan orang– yang berakibat kehidupan serba kurang dan jatuh korban adalah contohnya. Imperialisme Jepang tidak bermula (dan sekaligus berakhir) dengan Perang Pasifik, atau disebut juga “Perang Asia Timur Raya” (7 Desember 1941 – 2 September 1945). Tetapi relatif jauh sebelum itu. Percobaan pertama Jepang untuk menaklukan luar negeri terjadi pada abad ke-16, ketika itu menuju Cina melalui Korea. Usaha tersebut dilaksanakan dua kali dan semuanya gagal. Setelah sekitar 250 tahun Jepang menutup diri, kekuatan imperialis Barat yang dipelopori Amerika Serikat, sukses memaksa Jepang membuka diri melalui Perjanjian Shimoda (1854). Selanjutnya beberapa negara Barat lain mencoba mendapat beberapa hak di wilayah Jepang. Keadaan tersebut menimbulkan revolusi oleh sekelompok Samurai pada 1860 melawan rezim Shogun (1192-1868), rezim yang sesungguhnya menciptakan kasta Samurai. Rezim Shogun berakhir dan kekuasaan kaisar dipulihkan dari sekedar lambang menjadi lebih nyata dibanding sebelumnya. Mutsuhito dilantik menjadi kaisar tahun 1867. Dengan bimbingan para penasihat yang handal, Jepang dengan relatif singkat meraih kemajuan yang setaraf dengan Barat. Sebagai contoh, pada awal abad ke-20 sekitar 90 persen warganya melek huruf. Revolusi Industri yang diterima Jepang berakibat muncul kebutuhan bahan dan wilayah pemasaran. Seiring dengan itu, akibat taraf kesehatan yang baik terjadi pertambahan penduduk. Keadaan tersebut memaksa Jepang harus mencari wilayah untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Prakteknya berarti penaklukan luar negeri. Wilayah luar negeri pertama dicaplok Jepang adalah Kepulauan Kurile milik Rusia (1875), menyusul Kepulauan Ryukyu dari Cina (1879), Perang Cina-Jepang I (1894-1895) menghasilkan Pulau Formosa, Perang Rusia-Jepang (1904-1905) menghasilkan bagian selatan Manchuria, bagian selatan Sakhalin dan pengaruh di Korea, mencaplok Korea (1910), menyita jajahan Jerman di Provinsi Syantung (Cina), Kepulauan Carolina, Kepulauan Mariana dan Kepulauan Marshall berdasar Perjanjian Versailles (1919). Ketika Cina dilanda revolusi yang menghasilkan perang saudara (1911-1949), dengan cepat pasukan Jepang merebut wilayah Manchuria selebihnya pada 18 September 1931. Dengan “pancingan” di Jembatan Marco Polo Peking pada 7 Juli 1937, berkobar Perang Cina-Jepang II hingga akhir Perang Pasifik. Pasukan Jepang memerlukan waktu 2 tahun untuk merebut sekitar 30 persen wilayah Cina. Setelah melalui konflik di berbagai tempat sejak usai Perang Dunia I (1914-1918), dunia kembali “kebakaran” akibat Perang Dunia II (1 September 1939 – 2 September 1945) dengan diawali serbuan pasukan Jerman ke Polandia. Berturut-turut beberapa negara di Eropa ditaklukan antara lain Belanda dan Perancis, dua negara yang memiliki jajahan di Asia Tenggara. Pada 27 September 1940 terbentuk persekutuan yang disebut kelompok Poros sebagai lawan Sekutu. Perjanjian tersebut lazim disebut “Tripartite Pact” (Perjanjian Tiga Fihak) terdiri dari Jerman, Italia dan Jepang. Kekalahan Perancis dan Belanda memberi peluang kepada Jepang untuk merebut jajahannya. Pasukan Jepang merebut Indocina Perancis tanpa perlawanan. Menyaksikan itu, Amerika Serikat menghimbau Inggris dan Belanda melaksanakan embargo terhadap Jepang dan pada Juli 1941 hal tersebut berlaku. Ini pukulan berat bagi Jepang, negeri miskin sumber alam, wilayah sempit, penduduk banyak dan sering dilanda gempa. Untuk menyelesaikan perselisihan dengan AS, Jepang mencoba berunding. Pemerintah AS sejak awal menilai –dan tepat– bahwa perundingan akan gagal. Jepang tidak akan memenuhi tuntutan penghapusan negara antek Manchukuo dan penarikan militer dari Cina dan Indocina. Singkat cerita, perang dengan AS dan imperialis Barat lain tak terhindarkan. Bermula dari serangan udara Jepang ke pangkalan AS di Pearl Harbor, perang melebar ke Asia Tenggara selebihnya dan Samudera Pasifik. Belanda menyatakan perang dengan Jepang pada 8 Desember 1941 dan segera pasukan Jepang menyerbu Hindia Belanda. Ketika itu Hindia Belanda dipertahankan oleh pasukan Belanda, Inggris, Australia dan AS, tetapi gerak maju pasukan Jepang tak terbendung. Setelah melalui beberapa pertempuran sengit, praktis seluruh Hindia Belanda resmi dikuasai Jepang. Penyerahan resmi dilaksanakan di pangkalan udara Kalijati, Hindia Belanda diwakili Gubernur Jenderal Alidius WL. Tjarda van Starkenborg-Stachouwer dan Letnan Jenderal Hein Ter Poorten. Jepang diwakili Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Kehadiran penakluk baru sesama bangsa Timur menghadapkan rakyat Indonesia pada pendapat yang berbeda. Ada yang menilai kehadiran Jepang memang betul membebaskan Indonesia dari imperialisme Barat, ada yang menilai kehadiran Jepang hanya sekedar ganti majikan dan ada pula menilai bahwa bagaimanapun perilaku Jepang, kerja sama untuk kemerdekaan Indonesia memang diperlukan karena tidak ada pilihan lain. Pemikiran tersebut terakhir itu berdasar pertimbangan bahwa rakyat Indonesia tidak berdaya. Belanda membiarkan Indonesia jatuh begitu saja dicengkeram Jepang dan kelak menimbulkan kebencian yang sangat kepada Belanda ketika kembali pada tahun 1945 tanpa bertempur melawan Jepang, tapi membonceng di belakang Inggris setelah Jepang kalah. Kasus tersebut jelas berbeda dengan Filipina. Perlakuan AS terhadap Filipina lebih manusiawi ketimbang perlakuan Belanda terhadap Indonesia. Bahkan AS telah menjanjikan dan menyiapkan kemerdekaan Filipina pada 1935 dengan pembentukan Persemakmuran Filipina. Mayor Jenderal Douglas MacArthur telah memberi latihan militer walau terbatas. Ketika pasukan Jepang menyerbu dan Filipina di bawah pendudukan, sekitar 95 persen rakyat Filipina pro AS. Kehadiran kembali pasukan AS disambut gembira dan janji kemerdekaan memang ditepati pada 4 Juli 1946. Kembali ke Indonesia, sekelompok orang Indonesia memilih melawan dengan “gerakan bawah tanah” semisal Sutan Syahrir, ada yang terbuka bekerja sama sambil menyiapkan kemerdekaan semisal duet Soekarno-Hatta dan ada pula yang memang menjadi antek Jepang. Kartosoewirjo mungkin termasuk kelompok yang pertama disebut. Mungkin belum setahun pendudukan Jepang berlangsung, kekecewaan dan kebencian muncul. Kadang dalam bentuk pemberontakan seperti di Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur bahkan juga di Irian Barat. Sebelum Perang Pasifik bermula, pemerintah Jepang sungguh sadar bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim dan sekian banyak telah terserap ke berbagai parpol dan ormas. Jepang juga tahu bahwa di Indonesia terjadi pertarungan antara kekuatan Islamiyah dengan jahiliyah untuk menentukan masa depan. Setelah Indonesia ditaklukan, Jepang membuat suatu kebijakan untuk mengerahkan rakyat Indonesia untuk mendukung perang melawan imperialis Barat sambil menetralkan semangat meraih kemerdekaan. Tetapi agaknya maksud tersebut telah diketahui oleh para tokoh kemerdekaan, karena itu setiap propaganda anti imperialisme Barat juga disusupi dengan propaganda kemerdekaan atau minimal anti pendudukan Jepang. Usaha tersebut terbilang sukses. Perilaku kejam pendudukan Jepang dengan sendirinya menimbulkan semangat anti Jepang. Kekecewaan pertama mungkin terjadi pada 20 Maret 1942. Beberapa hari setelah rezim kolonial Belanda lenyap beberapa tokoh bersidang tentang pemerintah Indonesia. Abikoesno seorang di antaranya, bahkan dia yang mungkin paling bersemangat. Dia menyusun daftar beberapa nama untuk mengisi kabinet, tanpa persetujuan yang bersangkutan dia menunjuk Hatta sebagai menteri ekonomi dan Soekarno sebagai menteri propaganda. Jepang menanggapi aspirasi itu dengan memberi maklumat pada tanggal tersebut di atas bahwa dilarang membahas dalam bentuk apapun, struktur politik Indonesia. Maklumat tersebut tersusun sedemikian rupa sehingga berakibat semua partai tidak berfungsi. Beberapa ormas diizinkan terus berfungsi dan tentu diawasi, untuk mengerahkan rakyat. Jepang lebih suka membentuk ormas yang baru ketimbang bekerja dengan ormas yang telah ada. Ormas baru tersebut diisi oleh tokoh terkenal sekaligus kooperatif. Kartosoewirjo bersikap menunggu, KPK-PSII telah bubar dan Institut Suffah sempat ditutup. Dia mendapat berita bahwa beberapa politikus Indonesia diundang ke Jakarta, tetapi dalam daftar yang disusun Jepang tidak ada nama Kartosoewirjo. Praktis selama pendudukan Jepang dia hanya menjadi tokoh lokal. Pada dasarnya kebijakan Jepang sama dengan kebijakan Belanda, antara lain politik “devide et impera” (pecah belah dan jajah). Jepang sengaja menciptakan dua organisasi yaitu Masyumi yang bercorak Islamiah dan Putera (Pusat tenaga Rakyat) yang bercorak jahiliyah untuk diadu domba, dengan demikian semangat kemerdekaan dapat dikurangi akibat potensi yang diharapkan terkuras. Ketika maksud tersebut diketahui, Jepang mengganti Putera dengan “Jawa Hokokai Chuo Honbu” (Perhimpunan Kebaktian Rakyat Jawa). Para tokoh Indonesia “diserap” supaya dapat diawasi lebih ampuh. Waktu berjalan terus. Perang berubah menguntungkan Sekutu. Gerak maju pasukan Jepang ke Australia tertahan dalam Pertempuran Laut Koral (7-8 Mei 1942) dan gerak maju ke Amerika tertahan dalam Pertempuran Midway (4-6 Juni 1942). Pada 7 Agustus 1942 pasukan Sekutu menyerbu Guadalcanal. Sejak itu secara umum Jepang berada dalam posisi bertahan. Jepang menilai Sekutu mungkin merebut Indonesia. Untuk mendapat simpati rakyat, Jepang memberi sedikit peluang, antara lain latihan militer. Pertimbangannya adalah pasukan Jepang tidak cukup untuk menjaga semua wilayah taklukannya. Pasukan Jepang diperlukan untuk langsung berperang, karena itu untuk tugas garnisun perlu sumber daya manusia baru. Cara yang relatif mudah adalah merekrut warga lokal. Telah disebut di atas contoh organisasi militer bentukan Jepang. Izin membuka kembali Institut Suffah adalah contoh lain peluang tersebut. Ketika Institut Suffah dibuka kembali, latihan militer masuk kurikulum. Kemudian Kartosoewirjo mengawasi latihan militer di Banten. Dengan cermat, Kartosoewirjo mencoba berkiprah lebih luas sambil menghindar dari kesan antek Jepang. Dia coba masuk MIAI (Majlis al-Islam al-A’la Indunisiyyah). Untuk memperkenalkan gagasannya, dia kembali menulis. Tulisannya dibuat pula dengan cermat untuk tidak dicurigai Jepang. Dia menjelaskan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim, setiap Muslim wajib membuktikan iman dengan amal. Secara tersirat, dia mencoba menjelaskan bahwa memahami dan mengamalkan agama perlu kebebasan atau kemerdekaan supaya hal tersebut berjalan aman. Syari’at Islam Islam sulit dilaksanakan dalam masyarakat yang dikuasai non Muslim, karena itu perlu suatu pemerintahan Islami. Pada Oktober 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Masyumi (Majlis Syura’ Muslim Indunisiyyah) pada 11 November 1943. Bulan Juli 1944, Sekutu sukses merebut Kepulauan Mariana. Peristiwa tersebut berakibat pergantian kabinet Jepang, Perdana Menteri Hideki Tojo diganti Perdana Menteri Kuniyaki Koiso. Pada 7 September 1944 Koiso memberi janji “kemerdekaan kelak kemudian hari” kepada Indonesia. Kebebasan kembali berangsur diberikan, boleh menyanyi lagu “Indonesia Raya” dan mengibarkan bendera “Merah Putih”. Rakyat Indonesia telah membayar mahal untuk sebuah janji, dan masih harus membayar mahal pula untuk sebuah proklamasi. Pengumpulan paksa barang berupa hasil bumi, perhiasan, rel hingga besi tua. Pengerahan lelaki dengan cara tipu atau paksa menjadi pekerja paksa (romusha) dan pengerahan perempuan dengan tipu atau paksa pula menjadi pelacur (juugun ianfu). Tambah pula rasa takut diciduk seenaknya karena dicurigai melawan serta keadaan serba kurang. Masuk tahun 1945 proses perebutan Filipina dan Birma (kini Myanmar) sedang berlangsung. Beberapa tempat di wilayah Hindia Belanda juga direbut yaitu pesisir utara Irian Barat, Kalimantan Timur dan Maluku Utara. Pasukan Sekutu juga makin masuk ke wilayah Jepang yaitu Iwojima pada 19 Februari 1945 dan Okinawa pada 1 April 1945. Sementara itu wilayah utama Jepang rutin mendapat serangan udara. Mengetahui hal itu, Jepang melangkah pada persiapan kemerdekaan Indonesia. Agaknya Jepang tidak sempat lagi berfikir tentang kemenangan atau mempertahankan wilayah taklukan. Yang menjadi fokusnya adalah menciptakan Indonesia merdeka untuk mencegah kehadiran kembali imperialisme Barat. Tujuan ini boleh dibilang sukses. Pada 1 Maret 1945 panglima Jepang mengumumkan pembentukan “Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan”. Kemudian melangkah pada pembentukan “Dokuritsu Zyunbi Choosakai” (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan menyusul “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Menjelang akhir perioda pendudukan inilah Jepang memberi kepedulian lebih kepada kelompok jahiliyah. Walaupun kelompok Islamiyah tetap mendapat pengamanan, kelompok jahiliyah lebih dipersiapkan untuk memegang kendali masa depan Indonesia. Sedikit banyak hal tersebut menimbulkan kejengkelan kelompok Islamiyah. Pada sidang-sidang pada kedua organisasi itu terjadi perdebatan sengit antara kedua kelompok tersebut mengenai dasar Indonesia merdeka. Kelompok Islamiyah mengusulkan gagasan negara Indonesia berdasar syari’at Islam. Kelompok jahiliyah menolak, mereka mengusulkan gagasan yang dianggap netral yaitu “Pancasila”. Setelah berdebat sengit tercapai suatu kompromi: dasar negara disebut Pancasila dengan sila pertama “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Empat sila berikutnya sama dengan yang kita kenal kini. Pancasila versi ini lazim disebut “Piagam Jakarta”, ditetapkan pada 22 Juni 1945. Begitu juga sebagai akibat dari sila pertama, dalam konsep konstitusi tentang syarat presiden tercantum “presiden adalah orang Indonesia dan beragama Islam”. Adapun istilah Pancasila diperkenalkan pada 1 Juni 1945 dalam pidato Soekarno. Tetapi kelak terbukti bahwa perdebatan tersebut menjadi mubazir. Piagam Jakarta tidak bertahan lama. Kelak pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 sila pertama diubah menjadi “ketuhanan yang maha esa”. Indonesia menjadi negara jahiliyah, penuh praktek KKN dan pelanggaran HAM dengan mayoritas korban adalah kaum Muslim. Peristiwa Tanjung Priok (1984), status DOM di Aceh (1989-98) dan Peristiwa Lampung (1989) adalah contohnya Sementara itu Jepang mendapat musuh baru yaitu Uni Soviet. Pada 7 Mei 1945 Jerman –sekutu kuat Jepang di Barat– menyerah. Dengan demikian Sekutu dapat melaksanakan konferensi di negeri tersebut yang dikenal dengan Konferensi Potsdam (17 Juli 1945 – 2 Agustus 1945), dihadiri oleh Presiden Franklin Delano Roosevelt (AS), Perdana Menteri Sir Winston Churchill (Inggris) dan Diktator Josef Stalin (Uni Soviet). Hasil konferensi tersebut antara lain kesediaan Uni Soviet menyatakan perang kepada Jepang. Janji tersebut ditepati, US menyatakan perang pada 8 Agustus 1945. Pasukan Rusia masuk Manchuria, Korea dan Sakhalin Selatan. Kelicikan kembali diperlihatkan komunis, menikam dari belakang dan terhadap lawan yang sudah lemah pula. Stalin membiarkan Inggris dan AS melaksanakan semua pertempuran dan dia hanya megambil hasilnya. Sikap ini pernah ditujukan kepada Polandia tahun 1939. Ketika Polandia sudah lemah melawan serbuan Jerman dari sisi barat, pasukan Rusia menyerbu dari sisi timur. Kemudian Adolf Hitler dan Josef Stalin membagi menjadi dua negeri malang itu. Walaupun US (Uni Soviet) adalah anggota Sekutu, AS ingin memastikan bahwa Jepang menyerah bukan kepada US, karena AS cemas Jepang akan menjadi komunis. Bom atom dijatuhkan oleh pasukan udara AS ke Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Sesuai dengan harapan, Jepang menyerah kepada AS atas nama Sekutu pada 15 Agustus 1945 dan upacara resmi pada 2 September 1945 di Teluk Tokyo. Sesuai keadaan gawat tersebut, pada 11 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Wediodiningrat dipanggil ke Dalat dekat Saigon untuk menghadap panglima Jepang untuk Asia Tenggara, Jenderal Hisaichi Terauchi. Pembicaran tersebut menghasilkan restu Terauchi untuk kemerdekaan bekas Hindia Belanda pada 7 September, yang kemudian diubah menjadi 24 Agustus. Ketiganya kembali ke Jakarta pada 14 Agustus 1945. Pernyataan menyerah Jepang menampilkan masalah sulit bagi para aktivis kemerdekaan. Generasi muda ingin proses kemerdekaan berada di luar rekayasa Jepang, tapi generasi tua keberatan. Pertimbangannya, Jepang memang telah menyerah tapi masih berkuasa di Indonesia. Pertimbangan ini didukung oleh seorang Jepang yang cukup simpati kepada Indonesia, yaitu Laksamana Muda Maeda. Proses kemerdekaan harus dilaksanakan dengan cermat untuk tidak menimbulkan kemarahan panglima Jepang, yang telah mendapat perintah dari atasannya untuk menjaga keadaan aman hingga pasukan Sekutu datang. Setelah melalui perundingan sengit tercapai kompromi, jadwal proklamasi dipercepat menjadi 17 Agustus dan pernyataan kemerdekaan disusun dengan bahasa yang tenang. Ini dapat dilaksanakan dengan lancar. Tetapi hanya sedikit yang tahu bahwa sesungguhnya Kartosoewirjo lebih dulu menyatakan kemerdekaan Indonesia, yaitu 14 Agustus. Tetapi pengaruhnya “tertelan” oleh pengaruh proklamasi Soekarno-Hatta. Kartosoewirjo untuk sementara berjuang dalam lingkup Republik Indonesia ketika Revolusi 1945. Konsep proklamasi 17 Agustus sesungguhnya jiplakan dari milik Kartosoewirjo. Agaknya kontroversi ini perlu penelitian ulang pula selain berbagai kontroversi lain yang banyak “menghiasi” sejarah Indonesia. REVOLUSI 1945 (17 Agustus 1945 – 17 Agustus 1950) Umumnya orang menganggap Revolusi 1945 adalah satu-satunya revolusi di Indonesia, mungkin karena perioda ini Indonesia sudah merdeka dan kemerdekaan tersebut terancam hilang oleh kehadiran imperialis. Yang terjadi adalah konflik akibat tekad mempertahankan kemerdekaan melawan tekad melenyapkan kemerdekaan. Sesungguhnya revolusi sudah ada di Indonesia jauh sebelum 1945 dan masih terjadi setelah itu. Mengakhiri rezim Soekarno (1965) dan Soeharto (1998) sesungguhnya termasuk revolusi. Demikian juga semisal Perang Aceh (1873-1942), Perang Bali, Perang Banjar dan Perang Makassar. Revolusi 1945 ditinjau dari segi konflik dengan fihak asing dan anteknya dapat dibagi ke dalam beberapa perioda yaitu: Perioda 17 Agustus 1945 – 28 September 1945, Gerakan kemerdekaan yang lazim disebut “Republik” terlibat konflik dengan Jepang yang telah menyerah tetapi dengan perintah Sekutu harus menjaga keadaan hingga pasukan Sekutu datang. Perintah tersebut mencakup membatalkan proklamasi kemerdekaan. Selain itu Republik perlu mengambil alih berbagai aset terutama senjata. Perioda 29 September 1945 – 30 November 1946, Republik masih konflik dengan Jepang, juga dengan Sekutu yang terdiri dari British Commonwealth dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Pasukan British Commonwealth yang bertugas mencakup dari Inggris, India, Gurkha dan Australia, adapun pasukan NICA terdiri dari KL (Koninklijke Leger) dan KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger). Perioda 1 Desember 1946 – 27 Desember 1949, Republik konflik dengan NICA dengan komposisi tersebut di atas. Perioda ini juga mencakup Agresi Militer I (21 Juli 1947 – 4 Agustus 1947) dan Agresi Militer II (19 Desember 1948 – 6 Januari 1949). Perioda 28 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, Republik konflik dengan KNIL beserta antek kolonial lain sekaligus memantapkan pengaruh Republik ke seantero bekas wilayah Hindia Belanda. Sehari setelah proklamasi, sidang PPKI menghasilkan beberapa ketetapan antara lain mensahkan UUD 1945, memilih Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden. Menjelang sidang terjadilah suatu bencana bagi kelompok Islamiyah. Konon Hatta didatangi seorang Jepang yang menyampaikan berita, bahwa ada kelompok yang mengaku mewakili Indonesia Timur menuntut supaya sila pertama versi Piagam Jakarta dihapus atau diganti. Jika tidak, wilayah yang mayoritas non Muslim tidak akan masuk Republik. Hatta kemudian berunding dengan kelompok Islamiyah. Hasilnya kelompok Islamiyah dengan rasa berat setuju mengganti kalimat sila pertama sebagaimana dijelaskan di atas, untuk menjaga persatuan. Otomatis syarat presiden harus beragama Islam juga diganti, cukup tercantum “presiden adalah orang Indonesia asli”. Singkat cerita, berubahlah Indonesia yang Islamiyah menjadi Indonesia yang jahiliyah. Perlu diketahui, janji akan bergabung dengan Republik jika sila pertama diganti ternyata tidak ditepati. Kelak terbukti, sekelompok non Muslim terlibat berbagai usaha lepas dari Republik –bahkan dengan bantuan imperialis Barat. Gerakan semisal Republik Maluku Selatan, Organisasi Papua Merdeka dan Forum Kedaulatan Maluku adalah buktinya. Gerakan Republik melangkah lebih lanjut: pembentukan kabinet, Komite Nasional Indonesia Pusat (semacam MPR), tentara, provinsi dan sebagainya. Di atas kertas, semuanya nyaris tanpa hambatan. Hambatan mungkin pada pengambil alihan kekuasaan yang dalam prakteknya adalah ambil alih berbagai aset semisal gedung, bandara dan tentu saja senjata. Semua aset masih dikuasai Jepang. Dalam beberapa kasus, ambil alih tersebut cukup dengan berunding. Pasukan Jepang relatif kurang semangat menghadapi massa, mereka hanya ingin pulang secepat mungkin. Tetapi beberapa kasus ambil alih harus dengan bertempur semisal di Surabaya, Semarang dan Bandung. Keadaan makin panas ketika para tawanan selama Perang Pasifik yang terdiri dari orang Barat dan Indo dibebaskan oleh Jepang. Mereka berkeliaran dengan sikap sombong, merasa berkuasa kembali dan tentu tak lupa menghina Republik. Sikap ini jelas menampilkan kemarahan aktivis Republik. Konflik tak terhindarkan, korban berjatuhan. Revolusi juga minta korban dari pribumi yang dibenci warga karena dinilai antek Barat atau Jepang. Umumnya mereka dari tingkat elit semisal bupati dan demang. Para aktivis mendatangi mereka dan menyelesaikan dendam lama dengan pertumpahan darah. Sementara itu di kalangan Sekutu terjadi kekacauan. Sumbernya adalah perpindahan wewenang menjelang perang usai. Sejak tahun 1942 wilayah Hindia Belanda minus Sumatera adalah wilayah Komando Pasifik Barat Daya (South West Pacific Area Command) dengan panglima Jenderal Douglas MacArthur dari AS. Pada tahun 1943 Sumatera termasuk wilayah Komando Asia Tenggara (South East Asia Command) dengan panglima Laksamana Lord Louis Mountbatten dari Inggris. Berdasar Konferensi Postdam, Mac Arthur mendapat tugas menyerbu Jepang. Untuk memudahkan tugas, seluruh wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Mountbatten dan mulai berlaku pada 15 Agustus 1945. Ternyata pada tanggal tersebut Jepang menyerah. Peristiwa tersebut berakibat pasukan yang disiapkan untuk bertempur harus di tata ulang untuk tugas pendudukan. Penundaan pendudukan memerlukan waktu relatif lama padahal tugas tersebut harus segera dilaksanakan. Para tawanan harus segera dirawat, pasukan Jepang harus dilucuti sekaligus dipulangkan, pengusutan kejahatan perang dan pemulihan keamanan. Mountbatten yang demikian bekerja keras menghimpun pasukan pendudukan untuk Asia Tenggara minus Filipina, ternyata hanya dapat menghimpun sekitar 30.000 orang untuk menghadapi Hindia Belanda dengan luas sekitar 1.900.0000 kilometer persegi. Jumlah tersebut jelas tidak cukup. Masalah tersebut diselesaikan dengan minta bantuan Australia, negara anggota British Commonwealth dan juga anggota Sekutu untuk menduduki wilayah luar Jawa dan Sumatra. Australia setuju dengan syarat bahwa pasukannya tidak di bawah wewenang Inggris. Pasukan di bawah wewenang Inggris disebut Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Belanda ingin lekas kembali ke Hindia Belanda, tetapi pada awalnya tidak memiliki kekuatan militer cukup untuk merebut Hindia Belanda sendirian. Masalah tersebut diselesaikan dengan perjanjian Inggris-Belanda pada 24 Agustus yaitu “Civil Affairs Agreement”. Intinya, pasukan Inggris selain akan bertindak atas nama Sekutu, juga bertindak atas nama Belanda melaksanakan pendudukan. Pasukan Belanda akan berada di bawah wewenang Inggris. Setelah pasukan Inggris selesai melaksanakan tugas, Hindia Belanda diserahkan kepada Belanda. Perjanjian ini kelak menjadi sumber konflik dengan Republik. Perjanjian tersebut di atas dibuat berdasar anggapan bahwa rakyat akan menerima baik kehadiran Belanda. Belanda sungguh sadar dengan gerakan Republik, tetapi mereka cenderung meremehkannya sebagai rezim ciptaan Jepang yang sedikit didukung rakyat. Inggris untuk sementara sempat menerima anggapan ini. Ketika pasukan Sekutu datang, secara umum mereka tidak siap menghadapi suasana campur aduk: pemerintah Republik yang baru terbentuk, pasukan Jepang yang gelisah dan aktivis muda yang ingin berperang. Lebih buruk lagi Sekutu tidak memiliki rencana detail memperlakukan wilayah bekas jajahan. Tujuan perang Sekutu terumuskan dalam “Atlantic Charter” (Piagam Atlantik) 14 Agustus 1941 oleh Inggris dan AS, yaitu janji kemerdekaan kepada negeri jajahan dan memberi bantuan ekonomi kepada mereka. Khusus Hindia Belanda, Ratu Wilhelmina berjanji akan memperbaiki nasib Hindia Belanda pada pidato 7 Desember 1942. Tetapi makna janji tersebut tidak jelas memberi kemerdekaan. Yang jelas, Belanda ingin memiliki Hindia Belanda untuk memulihkan ekonomi yang rusak akibat Perang Dunia II. Pasukan Sekutu yang terdiri dari Australia, Belanda dan AS dipimpin oleh Jenderal Sir Thomas Blamey, atas perintah MacArthur, telah merebut Kalimantan Timur saat Perang Pasifik. Setelah perang usai, dengan cepat pasukan Australia-Belanda menduduki beberapa tempat di Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Sunda Kecil. Pasukan yang tergabung dalam AFNEI dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison terdiri dari Divisi India-26 dipimpin Mayor Jenderal HM Chambers untuk Sumatra, Divisi India-23 dipimpin Mayor Jenderal DC Hawthorne untuk Jawa dan Divisi India-5 dipimpin Mayor Jenderal EC Mansergh untuk Jawa Timur. Divisi India-5 adalah bantuan untuk Divisi India-23 ketika muncul masalah di Surabaya. Pada awalnya Republik menyambut kehadiran Sekutu dengan ramah, tapi keramahan tersebut berubah menjadi kemarahan karena sikap Sekutu yang kian nyata memulihkan kekuasaan Belanda. Para mantan tawanan dilatih militer dan dipersenjatai, jelas mereka makin semangat memancing konflik. Tembak menembak yang berkembang menjadi pertempuran terjadilah. Untuk meredakan kemarahan Republik, Christison bertemu Soekarno dan menyatakan bahwa Sekutu tidak mencampuri urusan politik. Dalam pernyataannya dia menggunakan istilah “The NRI Government” (Pemerintah Negara Republik Indonesia). Bagi Republik, ini berarti pengakuan penting. Tetapi bagi Belanda, ini pelanggaran Civil Affairs Agreement. Mountbatten agaknya tidak punya pilihan lain, suatu pemerintahan telah hadir di Hindia Belanda dan telah berjalan walau masih sederhana. Dia merasa harus bekerja sama dengan pemerintahan tersebut, apapun bentuknya, supaya tugas Postdam berjalan lancar. Sebagian besar kamp tawanan dan garnisun Jepang berada di wilayah Republik, jelas mudah menjadi sasaran kemarahan dan kasus demikian memang terjadi. Wakil mahkota Belanda untuk Hindia Belanda, Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook didesak untuk berunding dengan Soekarno. Dia ragu, karena kebencian orang Belanda terhadap Soekarno. Pasukan Sekutu di Jawa dan Sumatra menghadapi perlawanan lebih berat karena dua pulau tersebut adalah kubu kuat Republik. Pertempuran besar terjadi di Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Magelang, Surabaya dan beberapa kota yang lebih kecil. Di luar Jawa dan Sumatra sempat juga terjadi pertempuran antara lain Banjarmasin, Balikpapan, Tarakan dan Makassar. Tetapi secara umum pendudukan berjalan lancar karena gerakan Republik relatif lemah. Beberapa kesatuan Australia diganti kesatuan Belanda tanpa hambatan serius. Seiring dengan pertempuran, perundingan diupayakan. Kedua hal tersebut sama-sama melelahkan dan menjengkelkan tapi sekaligus dibutuhkan. Tentu dengan niat yang berbeda. Republik butuh perundingan untuk meraih simpati internasional, Sekutu butuh untuk menyelesaikan tugas Postdam dan Civil Affairs Agreement. Suasana Perjanjian Linggarjati Serangkaian perundingan menghasilkan perjanjian pertama yaitu “Perjanjian Linggajati” yang di teken Republik dan Belanda pada 25 Maret 1947. Intinya, Belanda mengakui “de facto” wilayah Republik mencakup Sumatra, Jawa dan Madura. Di luar Republik dibentuk beberapa negara bagian dan bersama dengan Republik membentuk Negara Indonesia Serikat di bawah ratu sebagai lambang. Perjanjian tersebut menimbulkan pro dan kontra dalam kubu kedua fihak. Dalam kubu Republik, fihak yang kontra menilai sebagai pengurangan kemerdekaan secara geografis dan politis. Juga dianggap menguntungkan Belanda karena memberi waktu memperkuat militernya, mereka menilai bahwa Belanda akan melanggar. Dalam kubu Belanda, fihak yang kontra menilai pengakuan keberadaan Republik menyakitkan perasaan rakyat karena anggapan umum bahwa Republik adalah ciptaan Jepang dan Soekarno-Hatta harus diadili sebagai antek Jepang. Memang, Belanda tidak serius berunding demi perdamaian, mereka serius berunding untuk peperangan. Ketika Agresi Militer pertama dimulai, pasukan Belanda berjumlah sekitar 150.000 orang. Seiring waktu berjalan, Belanda mulai mengajukan beberapa tuntutan yang menjengkelkan Republik. Pada 21 Juli 1947 Agresi Militer pertama dimulai, Sumatra digempur dengan tiga brigade dan Jawa digempur dengan tiga divisi ditambah satu brigade. Tujuan pokok merebut sasaran ekonomi yaitu perkebunan, persawahan, pertambangan, pelabuhan dan pergudangan. Pasukan Republik tidak siap dengan serbuan frontal tersebut. Gerak mundur sambil merusak aset dilaksanakan. Inilah penampilan pasukan Republik yang terpelihara hingga kini: mampu melawan warga sipil, bukan tentara asing. Yang tidak sempat mundur terperangkap dalam wilayah pendudukan Belanda Akibat serbuan tersebut sungguh gawat bagi Republik karena kehilangan wilayah yang bernilai ekonomi. Fihak Belanda hanya rugi di bidang politik, gerakan militernya mengundang kecaman internasional. PBB menuntut kedua fihak menahan diri dan kembali berunding. Agresi militer menghadapkan Republik pada konsep perang gerilya, konsep tersebut tidak bertujuan mengusir tapi mengganggu dan menguras musuh. Di wilayah pendudukan Belanda, pasukan Republik mencoba menghimpun kekuatan, membentuk wilayah “kantong” dan melaksanakan siasat “hit and run” Akibat desakan internasional, Republik dan Belanda kembali berunding. Perundingan berikut menghasilkan “Perjanjian Renville” yang diteken pada 17 Januari 1948. Intinya, Belanda tidak perlu melepas wilayah yang telah direbut, pasukan Republik harus mengosongkan kantong gerilya dan di wilayah Republik yang tersisa akan diadakan pemungutan suara. Pro dan kontra kembali muncul. Suara kontra dalam kubu Belanda menilai perjanjian tersebut menghambat konsep “Uni Indonesia-Belanda”, menghambat gerak maju militer menuju Yogyakarta untuk mengganti pemerintahan Republik yang nakal menjadi patuh. Suara kontra dalam kubu Republik menilai pengosongan kantong gerilya akan memperkuat Belanda dan pasti Belanda akan menyerang lagi untuk “menelan” wilayah Republik yang tersisa. Mereka mengingatkan bahwa nasib Renville akan sama dengan Linggajati. Untuk meredakan kejengkelan yang kontra, pemerintah Republik menggunakan istilah “hijrah” untuk meninggalkan daerah kantong. Pemerintah mencoba menjelaskan bahwa cara tersebut mirip dengan peristiwa pindah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah tahun 622, yang sepintas terkesan sebagai suatu kekalahan, tetapi kelak kembali dalam kemenangan. Ternyata rezim jahiliyah tersebut merasa perlu menggunakan istilah dalam Islam untuk menipu umat. Bagi Kartosoewirjo, sikap itu bukan “hijrah” tapi “lari”. Dia pilih tetap bertahan. Dengan rasa berat pengosongan dilaksanakan, rasa jengkel karena harus meninggalkan daerah asal dan kehilangan perlindungan bagi yang ditinggalkan tak dapat dicegah. Perasaan tersebut terutama hadir di Jawa Barat. Kelak rasa jengkel tersebut akan menjadikan Jawa Barat sebagai basis kuat DI melawan Republik. Kartosoewirjo merasa tidak perlu bersusah payah meraih simpati. Persetujuan Renville berakibat kubu Republik terpecah makin parah, juga berakibat Kabinet Amir Syarifuddin jatuh dan diganti oleh Kabinet Hatta. Mirip dengan akibat Perjanjian Linggarjati, Kabinet Syahrir jatuh dan diganti oleh Kabinet Amir. Walau pemerintah Republik bercorak jahiliyah, tidak semua para tokohnya jahiliyah. Ada beberapa yang Islamiyah. Masyumi misalnya, masih ada dalam Republik. Mereka menunggu peluang untuk memberi corak Islamiyah kepada Republik. Perioda revolusi, dianggap kurang tepat untuk usaha tersebut. Usir imperialis dahulu, baru memberi corak. Kartosewirjo tidak demikian, rasanya mubazir berjuang dalam Republik. Para tokoh Republik umumnya setia menjaga penampilan necisnya dari debu, asap dan darah perjuangan serta warga jelata dengan cara berunding dan berpidato. Kelak dia “say goodbye” dengan Republik dan membentuk pemerintahan sendiri. Kelompok lain dalam Republik yaitu komunis memanfaatkan rasa tidak puas terhadap Renville. Mereka meraih pengikut dan memperkuat diri. Moeso, tokoh yang terlibat dalam Revolusi 1926 datang dari tempat pengasingan di Rusia dan langsung memimpin. Daerah jahiliyah kejawen di pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah lahan subur memelihara faham komunis. Kaum komunis melaksanakan “warming up” untuk mematangkan suasana menjadi revolusioner sebelum mengobarkan revolusinya. Dimulai dengan hasutan, pemogokan, penculikan, pembunuhan dan tembak menembak kecil-kecilan. Ketika suasana yang diharap sudah matang, berkobar peristiwa yang disebut “Madiun Affair” pada 18 September 1948. Beberapa kota dan desa direbut pasukan komunis, para tokoh yang netral atau anti komunis ditangkap dan dibunuh. Bahkan daerah yang dikenal agamis semisal Kudus sempat direbut. Pemerintah Republik segera bergerak. Divisi Siliwangi dan unsur-unsur anti komunis lainnya merebut kembali wilayah setelah bertempur sengit. Pasukan komunis terdesak dan bercerai-berai tapi sempat membunuh beberapa tawanan yang tersisa. Pada bulan Desember 1948 perlawanan berat telah ditumpas. Moeso tewas dalam suatu pertempuran dan Amir Syarifudin ditangkap dan dibunuh. Balas dendam tak terhindarkan, orang yang dicurigai sebagai komunis juga dibantai besar-besaran. Pemberontakan komunis makin menguras potensi Republik yang makin kecil akibat terkuras oleh Belanda. Yang paling menjadi korban adalah kaum Muslim. Beberapa ulama dan santri tewas, aset umat banyak yang rusak. Agaknya sampai kapanpun komunis tetap menjadi musuh kaum agamis manapun. Peristiwa itu juga menyadarkan pendukung kuat Belanda yaitu AS. Jelas AS gembira dengan penumpasan tersebut di tengah kecemasan karena gejala kemenangan komunis di Cina dan Indocina. Republik dapat menjadi benteng kuat anti komunis di Asia. Tetapi AS tidak begitu saja meninggalkan Belanda mengingat negara itu adalah sekutunya di Eropa saat Perang Dunia II dan juga selama Perang Dingin (1945-1991). Sikap berimbang coba dilaksanakan. Belanda menilai bahwa kelemahan Republik akibat Madiun Affair adalah peluang untuk memukul telak. Tanggal yang dipilih adalah 19 Desember 1948, Agresi Militer kedua dilaksanakan. Pasukan Belanda menyerbu frontal ke wilayah Republik yang tersisa dan sekali lagi pasukan Republik mundur dan merusak aset. Perlawanan tidak berarti, hanya taktik “hit and run”. Perlawanan berarti justru dari internasional. Kemarahan tak dapat ditahan lagi, Belanda harus menghentikan petualangan kolonialnya di Hindia Belanda. AS menyusun resolusi yang keras untuk diajukan kepada PBB. Intinya, hentikan perang, bebaskan tokoh Republik, pulihkan pemerintah Republik dan kembali berunding. Belanda menanggapi resolusi tersebut dengan jawaban bahwa komunis akan berkuasa di Hindia Belanda kalau Belanda melepasnya. Dalih tersebut ditolak, dan Belanda tidak berdaya. Berunding dan berunding lagi, pro dan kontra lagi. Seakan pengalaman yang masih segar teringat tidak cukup bikin jera. Perundingan Roem-Van Roijen (April-Mei 1949) dan Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949) digelar kembali menghasilkan kekecewaan. Belanda melepas Hindia Belanda minus Irian Barat, pembentukan RIS, Uni Indonesia-Belanda, mengakui dominasi ekonomi Belanda dan membayar hutang Hindia Belanda; itu semua adalah daftar kekecewaan bagi Indonesia. Kekecewaan dalam kubu Belanda juga ada. Harus melepas surga tropis Hindia Belanda jelas adalah kekecewaan utama, sikap sombong terhadap pribumi harus dikurangi dan berbaur dengan pribumi tak terhindarkan jika masih ingin mukim di Indonesia. Sekelompok dari kubu Belanda mencoba “memutar balik jarum jam sejarah” dengan memberontak. Bagi Republik mereka adalah “bom waktu warisan kolonial” yang harus dijinakkan, antara lain APRA di Jawa Barat pada 23 Januari 1950, Andi ‘Abdul ‘Aziz di Sulawesi Selatan pada April 1950 dan RMS di Maluku pada 25 April 1950. Beberapa orang bergabung dengan DI. Penumpasan berbagai pemberontakan tersebut di atas sekaligus berhubungan dengan usaha memantapkan pengaruh Republik ke seantero bekas Hindia Belanda, yang tertunda akibat konflik dengan imperialis dan anteknya. Para simpatisan Republik di luar Jawa dan Sumatera bangkit kembali setelah sekian lama ditekan atau ditumpas. Mereka menuntut pembubaran negara bagian ciptaan Belanda. Usaha tersebut sukses. Pada 17 Agustus 1950 RIS bubar dan kembali menjadi RI. MENUJU NII Kartosoewirjo selama sebagian besar perioda Revolusi 1945 lebih banyak bermain di latar belakang. Hasrat membentuk Indonesia yang Islamiyah disimpan dulu. Sisa pendudukan Jepang dan kehadiran kembali imperialis Barat mengancam kemerdekaan. Prioritas dia adalah menyelamatkan kemerdekaan, yang mau tak mau terkait dengan menyelamatkan Republik walau bercorak jahiliyah. Kartosoewirjo kembali ke Malangbong dan menyusun kekuatan kelompok Islamiyah antara lain Hizbullah dan Sabilillah karena dia masuk Masyumi sebagai sekretaris pertama. Masyumi dijadikan partai pada 7 November 1945 di Yogyakarta. Kelak terbukti para aktivis Islamiyah lebih berani bertempur dari pada tentara pemerintah Republik. Pada awalnya mereka juga merebut aset yang masih dikuasai Jepang dan proses tersebut masih berlangsung ketika Sekutu hadir. Pasukan Sekutu tiba di Jakarta pada 29 September 1945 yaitu Divisi India-23 dipimpin oleh Mayor DC Hawthorn. Panglima Sekutu untuk Hindia Belanda Letnan Jenderal Sir Philip Christison juga datang ke Batavia (kini Jakarta). Kehadiran yang awalnya disambut ramah oleh Republik dimanfaatkan untuk memulihkan kekuasaan kolonial Belanda. Dalam waktu relatif singkat, suasana berubah menjadi permusuhan Dari Jakarta, sebagian bergerak ke pedalaman Jawa Barat. Tujuan utamanya adalah Buitenzorg (kini Bogor) dan Bandung, dua kota yang memang dibangun oleh orang Barat untuk tempat istirahat. Tak heran jika banyak orang Barat yang mukim di kota-kota tersebut. Ketika Perang Pasifik, orang Jepang memasukkan mayoritas orang Barat ke dalam tempat tawanan yang lazim disebut “kamp internir”. Di kamp itulah mereka melewati masa perang dengan penuh penderitaan. Tidak sedikit yang tewas. Ketika perang usai, kamp tawanan dibuka dan mereka boleh keluar masuk. Kebebasan itu tentu dimanfaatkan sepenuhnya, mereka ada yang kembali melihat rumah, kantor atau aset lain miliknya. Tidak banyak yang tersisa, perang telah membuat mereka miskin. Walaupun miskin, kekalahan Jepang membuat mereka sombong. Mereka bersikap sebagai majikan di negeri ini, tidak peduli ketika sudah tahu bahwa telah hadir pemerintahan baru yang dibentuk oleh pribumi. Tanpa menunda, mereka menghina Republik dengan berbagai istilah. Tentu saja membangkitkan kemarahan aktivis Republik. Muncul konflik dengan korban kedua fihak. Aktivis Republik yang masih sabar mencoba membatasi ruang gerak mereka hingga perkembangan lebih lanjut. Ketika Sekutu tiba, mereka dibawa ke tempat pemulihan. Kehadiran Sekutu makin menambah sombong mereka, terlebih lagi Sekutu merekrut sebagian mereka menjadi militer. Akibatnya, kehadiran Sekutu justru menambah gawat. Sebagaimana di tempat lain yang didatangi Sekutu, di Jawa Barat juga terjadi pertempuran antara lain Bogor, Sukabumi, Bekasi dan Bandung. Di Bandung, setelah pertempuran sengit beberapa bulan pasukan Republik melaksanakan bumi hangus sebelum melepas kota. Termasuk juga Hizbullah dan Sabilillah. Pasukan Republik, pemerintah maupun swasta, pindah markas terutama di Garut. Sejak awal hubungan tentara pemerintah dan tentara swasta cenderung tidak harmonis. Ini tak lepas dari suasana gembira yang sangat (euphoria) akibat kemerdekaan yang baru diraih. Berbagai organisasi, baru dan lama, termasuk partai cepat bermunculan antara lain Masyumi, PKI, PNI, dan PSI. Pembentukan partai juga berlanjut pada pembentukan tentara semisal Masyumi membentuk Hizbullah dan Sabilillah, PKI membentuk Tentara Merah Indonesia (Temi). Ada juga organisasi militer yang bukan bentukan partai semisal Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Laskar Rakyat, Laskar Jawa Barat, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). Adapun pemerintah awalnya membentuk Badan Keamanan rakyat pada 22 Agustus 1945, kemudian berturut-turut berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945, Tentara Republik Indonesia pada 23 Januari 1946 dan Tentara Nasional Indonesia pada 3 Juni 1947. Organisasi polisi dibentuk pada 1 Juli 1946. Pembentukan berbagai organisasi bersenjata menampilkan masalah gawat: tentara tanpa senjata. Sesungguhnya jumlah senjata di negeri ini berlimpah tetapi sebagian besar masih dikuasai Jepang. Maka berlomba-lombalah individu dan kelompok mencari senjata dengan berbagai cara. Pasukan Jepang yang patah semangat menanggapi dengan sikap beragam, ada yang ketakutan dan ada yang melawan. Beberapa kasus cukup dengan meminta, beberapa kasus lain harus bertempur. Bahkan bukan jarang sesama aktivis Republik terjadi rebut merebut hasil rampasan. Pemerintah Republik mencoba melebarkan pengaruh ke seantero negeri, ini berarti aparat sipil dan militernya harus bergerak mengendalikan keadaan yang umumnya kacau akibat kekalahan mendadak Jepang. Di beberapa daerah muncul rezim-rezim kecil yang melaksanakan revolusi sendiri, tanpa peduli petunjuk dari pemerintah. Dengan kekuatan yang ada mereka merombak struktur sosial, sering dengan pertumpahan darah. Peristiwa tersebut lazim disebut “revolusi sosial”, semisal di Aceh, Sumatra Timur, Banten dan pesisir utara Jawa Tengah. Ketika aparat pemerintah tiba di suatu wilayah, mereka menemukan bahwa aparat bentukan lokal telah ada. Bentrokan aparat pusat dengan aparat daerah tak terhindarkan, termasuk aparat keamanan. Tentara pemerintah mencoba menyerap sebanyak mungkin tentara swasta untuk dapat dikendalikan atau melucuti senjata mereka yang menolak bergabung. Pemerintah ingin hanya ada tentara pemerintah di negeri ini dan hal tersebut berarti hanya pemerintah yang menguasai senjata. Siapa yang ingin memegang senjata harus bergabung dengan tentara resmi. Jelas hal tersebut ditolak oleh warga mengingat keadaan saat itu tidak aman dan senjata telah didapat dengan usaha sendiri, senjata perlu untuk jaga-jaga. Di beberapa tempat hubungan antara tentara swasta dengan tentara pemerintah berlangsung relatif baik, minimal pada awalnya. Beberapa kelompok swasta bergabung dalam satu organisasi semisal Markas Daerah Pertahanan Priangan (MDPP). Dalam organisasi tersebut terdapat Kartosoewirjo, Kamran dan Yusuf Tauziri. Dua nama tersebut terakhir adalah anggota PSII yang bersama Kartosoewirjo dipecat Abikoesno dan kemudian membentuk KPK-PSII. Hasrat tentara pemerintah untuk mengendalikan tentara swasta belum hilang dengan kehadiran organisasi tersebut. Di Karawang terjadi pertempuran antara TRI dengan Laskar Rakyat Jawa Barat pada 24-25 April 1947 karena masalah itu. Selain untuk menyerap tentara swasta dan menguasai senjata, pemerintah juga ingin tentara yang sedikit tapi profesional. Caranya adalah setelah tentara swasta diserap dan senjata dilucuti, mereka “disaring” dengan berbagai ujian. Mereka yang tak lulus harus kembali ke masyarakat dan pada prakteknya lebih banyak yang tidak lulus. Telah dijelaskan bahwa bahwa Republik berazaz jahiliyah dan didominasi oleh kelompok jahiliyah, termasuk dalam tentara. Ini mempengaruhi kebijakan pemerintah menyerap atau mengendalikan tentara swasta. Kelompok jahiliyah ingin menyingkirkan atau minimal mengurangi peran kelompok Islamiyah dalam berbagai aspek kehidupan di negeri ini. Banyak para aktivis Islamiyah yang sulit diterima masuk tentara pemerintah. Tetapi selama revolusi, usaha melenyapkan kelompok militer Islamiyah boleh dibilang gagal. Ketika Kartosoewirjo membentuk NII, sebagian besar mereka masuk tentara NII. Kegagalan pemerintah Republik melaksanakan niatnya antara lain karena ancaman serbuan Belanda. Pada 21 Juli 1947 pasukan Belanda atas perintah Letnan Jenderal Simon H. Spoor, menyerbu frontal ke wilayah Republik. Di Jawa Barat, pasukan Belanda bergerak dari Jakarta, Bogor dan Bandung dan merebut wilayah timur provinsi tersebut. Sisi barat, yaitu Banten tidak masuk sasaran gerakan yang disebut Agresi Militer pertama itu. Serbuan tersebut berakibat pasukan Republik, swasta dan pemerintah, bercerai- berai. Banyak yang terperangkap akibat gerak cepat pasukan Belanda “memotong-motong” wilayah Republik. Pasukan Republik membalas dengan perang gerilya di wilayah pendudukan Belanda yang dibatasi oleh garis khayal ciptaan sendiri. Garis tersebut dikenal dengan sebutan “Garis Van Mook”. Kartosoewirjo tidak dapat ke Yogyakarta karena banyak jalur yang rusak. Dengan persetujuan pimpinan Masyumi dia dilantik sebagai wakil pengurus besar Masyumi untuk Jawa Barat. Dengan jabatan itu dia kembali menyusun kekuatan pejuang untuk melaksanakan perang. Terbentuklah Madjlis Pertahanan Oemat Islam (MPOI) di Tasikmalaya-Ciamis dan Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOI) di Garut. Perundingan Republik-Belanda setelah agresi pertama menghasilkan Perjanjian Renville. Pasukan Republik harus mengosongkan kantong gerilya yang tersebar di wilayah pendudukan Belanda, dikenal dengan istilah “hijrah”. Istilah yang pernah dipakai PSII dan didukung Kartosoewirjo. Tapi dia tidak berniat melaksanakan hijrah versi pemerintah Republik tersebut. Dia menganggap sesungguhnya pemerintah tidak “hijrah” tetapi “lari”. Pengosongan kantong gerilya menimbulkan gerutu, di kalangan pemerintah sempat terjadi protes yang berakibat Kabinet Amir Syarifuddin jatuh. Rakyat di wilayah pendudukan merasa “dijual” kepada Belanda. Pasukan yang harus pergi merasa pilu karena berpisah dengan kampung halaman, tetapi mereka adalah tentara pemerintah maka harus patuh pada kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah tersebut di atas memberi peluang tak disangka kepada Kartosoewirjo. Dia tidak merasa perlu mematuhi perintah bathil tersebut dan memilih bertahan. Sikap dia mengundang simpati rakyat Jawa Barat yang merasa telah kehilangan perlindungan dari pemerintah Republik. Dia memberi perintah bahwa aktivis Islamiyah harus tetap di Jawa Barat, siapa yang memilih hijrah harus dilucuti. Pelucutan juga berlaku bagi siapapun yang masih bertahan tapi tidak patuh pada Kartosoewirjo. Untuk memastikan sejauh mana dia punya pengaruh, Kartosoewirjo melaksanakan konferensi di desa Pangwedusan pada 10-11 Februari 1948. Hadir sekitar 160 para aktivis Islamiyah seluruh Priangan, antara lain Kamran sebagai panglima wilayah Priangan, Sanusi Partawidjaja sebagai ketua Masyumi untuk Priangan, Raden Oni sebagai pemimpin Sabilillah daerah Priangan, ‘Abdullah Ridhwan sebagai ketua Hizbullah untuk Priangan, Dahlan Luqman sebagai ketua GPII, beberapa orang dari DPOI dan MPOI. Hasil pokok konferensi tersebut adalah membekukan Masyumi cabang Jawa Barat dan membentuk pemerintah daerah dasar. Pada pertengahan Februari 1948 digelar rapat untuk memberi bentuk nyata organisasi militer yang dikenal dengan Tentara Islam Indonesia (TII) dan Polisi Islam Indonesia beserta korps kelengkapannya semisal Barisan Rakyat Islam dan Pahlawan Darul Islam. Pada 1-2 Maret 1948 digelar konferensi Cipeundeuy antara lain menghasilkan penetapan Kartosoewirjo sebagai imam, urusan agama oleh Kiyahi ‘Abdul Halim dan KH Ghazali Thusi, urusan politik oleh Sanusi Partawidjaja dan Thaha Arsyad, urusan militer oleh Kamran dan Raden Oni. Pada 1-5 Maret 1948 digelar konferensi di Cijoho dengan hasil pokok Majlis Imamah dipimpin Kartosoewirjo yang terdiri dari 5 kementrian/kemajlisan yaitu majlis penerangan dipimpin Thaha Arsyad, majlis keuangan dipimpin Sanusi Partawidjaja, majlis kehakiman dipimpin KH Ghazali Thusi, majlis pertahanan dipimpin Kartosoewirjo dan majlis dalam negeri dipimpin Sanusi Partawidjaja. Selain Majlis Imamah dibentuk pula Majlis Fatwa yang dipimpin mufti besar. Kartosoewirjo membentuk susunan pemerintahan sebagai pengganti pemerintah Republik jika kalah melawan Belanda. Pada 27 Agustus 1948 menyusun “Qanun Asasi” (UUD) untuk bakal NII. Sementara itu keadaan di wilayah Republik makin parah, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengungsi dan pasukan dari daerah pendudukan Belanda menumpuk dan masalah sosial muncul. Warga lokal makin kurang senang dengan kehadiran pendatang karena makin sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebelumnya, kekurangan tersebut akibat blokade Belanda. Keadaan buruk tersebut mencapai titik ledak dengan pemberontakan PKI di Madiun. Walau pemberontakan dapat ditumpas relatif cepat, kekuatan Republik makin kecil. Kartoseoewirjo termasuk yang tidak setuju dengan segala perjanjian dengan Belanda. Dia yakin pasti Perjanjian Renville akan dilanggar Belanda. Sudah watak imperialis Barat melanggar janji. Keyakinan tersebut terbukti pada 19 Desember 1948. Agresi Militer kedua terjadi dan wilayah Republik makin sempit. Ibu kota Republik di Yogyakarta dapat direbut, Soekarno-Hatta ditangkap dan diasingkan, demikian juga beberapa anggota kabinet. Adapun Jenderal Soedirman lolos dan meneruskan perlawanan bersama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat, yaitu pemerintahan yang dibentuk berdasar mandat dari Soekarno sebelum ditangkap. Dengan demikian pemerintah Republik dianggap masih ada. Walaupun bagi internasional PDRI adalah lambang kelangsungan Republik, tetapi yang tersisa praktis hanya tentara dan warganya. Mereka bergabung melanjutkan perang. Agresi tersebut menjadi dalih bagi Republik untuk tidak terikat dengan Perjanjian Renville, pasukan diperintah kembali ke daerah asal dan mengobarkan perang gerilya. Dengan demikian Divisi Siliwangi bergerak ke Jawa Barat dengan jalan kaki, dikenal dengan istilah “Long March Divisi Siliwangi”. Perjalanan berat karena warga sipil juga ikut, melewati alam liar, menghindari patroli Belanda dan kadang disergap. Long March Siliwangi Reaksi Kartosoewirjo cepat, dia menyatakan “perang suci, perang total dan perang rakyat seluruhnya” melawan Belanda pada 20 Desember 1948. Tapi dia masih menahan diri untuk tidak memproklamirkan NII. Begitu pasukan Republik sampai di Jawa Barat, mereka disambut ramah oleh TII dan diajak kerja sama melawan Belanda – di bawah wewenang TII. Tetapi ajakan tersebut ditolak oleh TNI karena tidak mau berada di bawah wewenang TII. Sesungguhnya usul TII tersebut masuk akal karena sejak TNI meninggalkan Jawa Barat, yang berjuang melawan Belanda adalah rakyat bersama TII dengan segala penderitaannya. TNI tidak berhak menduduki Jawa Barat. Pilihannya adalah diserap ke dalam TII atau dilucuti dan dibubarkan. Konflik pertama antara pasukan Republik dengan pasukan DI terjadi di Desa Antralina pada 25 Januari 1949. Sejak itu upaya damai berakhir gagal. Jawa Barat menjadi medan perang Belanda-DI-Republik. Pasukan Belanda menjaga negara bagian jahiliyah ciptaan Belanda yaitu Negara Pasundan. Negara Pasundan tidak punya tentara sendiri, tentu keadaannya lemah. Konflik di Jawa Barat menghasilkan buah yang aneh: Negara Pasundan menjadi perantara pasukan Belanda dengan pasukan Republik. Negara tersebut takut dengan DI dan mencoba ciptakan kerja sama antara Republik dengan Belanda untuk melindungi diri sendiri. Perundingan rahasia antara wakil tentara Republik dengan wakil tentara Belanda dilaksanakan beberapa kali dengan sponsor Negara Pasundan. Setelah beberapa kali berunding, hasilnya tidak jelas. Intinya, pasukan Republik menolak di bawah wewenang Belanda. Dari contoh kasus ini, jelas watak jahiliyah Republik. Demi nafsu Islamofobia (takut kepada Islam, entah di bagian apa yang bikin ngeri), mereka sempat berniat kerja sama dengan kolonialis ketimbang kerja sama dengan kelompok Islamiyah melawan kolonialis. Kebencian dan kecemasan terhadap DI nyaris mempersatukan dua kekuatan jahiliyah tersebut. Singkat cerita, perang melawan DI terpaksa dilaksanakan sendiri-sendiri. Hal tersebut sedikit banyak membantu DI panjang umur beberapa waktu. Agresi Militer kedua menghasilkan kecaman internasional. Singkat cerita, Belanda ditekan untuk berhenti bertualang di bekas Hindia Belanda dan hal itu dipatuhi. Perundingan Roem-Van Roijen menghasilkan kesepakatan menghentikan permusuhan dan memulihkan pemerintah Republik. Dan kemudian berlanjut dengan Konferensi Meja Bundar yang hasilnya telah dijelaskan di atas. Seperti biasa, Kartosoewirjo menolak. Dasar penolakan terhadap KMB telah dijelaskan di atas. Proklamasi Negara Islam Indonesia dilaksanakan pada 7 Agustus 1949 di Cisampang, dikiaskan dengan nama “Madinah Indonesia”, kini masuk Kabupaten Tasikmalaya. Susunan Dewan Imamahnya sebagai berikut: Imam, Panglima Tertinggi, Kuasa Usaha (SM Katosoewirjo). Wakil Imam, Komandan Divisi (Kamran). Menteri Dalam Negeri (Sanusi Partawidjaja). Menteri Penerangan (Thaha Arsyad). Menteri Keuangan (Udin Kartasasmita). Menteri Pertahanan (Raden Oni). Menteri Kehakiman (Ghazali Thusi). Selanjutnya dia menyusun berbagai hukum dan lembaga sebagai kelengkapan NII. Secara lebih rinci dapat ditemukan dalam buku karya Al Chaidar “Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia SM. Kartosoewirjo”, sebuah buku yang penulisannya berdasar pada berbagai dokumen lama NII. Sekedar contoh, berikut ini adalah susunan organisasi NII dikutip dari buku Al Chaidar. ORGANISASI PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM INDONESIA. Menurut Maklumat Komandemen Tertinggi No. 1 Komandemen Tertinggi (KT). Pimpinan Umum, politis dan militer dipegang oleh Imam sebagai Panglima Tertinggi. Pimpinan Harian, dilakukan oleh Kepala Staf Umum (KSU) atau “Generaale-Staf”. Komandemen Wilayah (KW). Pimpinan Umum, politis dan militer dilakukan oleh Panglima Komandemen Wilayah (Plm. KW), selanjutnya bila berhalangan, maka kewajiban itu dilakukan oleh Kmd II dan Kmd III (wakil I dan wakil II Plm. KW). Selainnya, jika dilakukan pembagian pekerjaan yang merupakan pembagian tugas. Pimpinan Harian, oleh Kepala Staf Komandemen Wilayah (KS.KW). Komandemen Daerah (KD). Pimpinan Umum, oleh Kmd. KD (Kmd I). Jika berhalangan, pindah tugas itu kepada Kmd II dan Kmd III (wakil I Kmd. KD dan wakil II Kmd. KD). Selainnya , jika dilakukan pembagian pekerjaan yANg merupakan pembagian tugas. Pimpinan Harian, dilakukan oleh Kepala Staf (KD) (KS.KD). Komandemen Kabupaten (KK). Pimpinan Umum, oleh Kmd. KK (Kmd I). Jika berhalangan, maka kewajiban itu beralih kepada Kmd II dan Kmd III (wakil I dan wakil II Lmd. KK). Selainnya, jika dilakukan pembagian pekerjaan yang merupakan tugas. Pimpinan Harian, dipegang oleh Kepala Staf KK (KS.KK). Komandemen Kecamatan (K.Kt). Pimpinan Umum, oleh K.Kt (Kmd I) atau Kmd II (wakil I Kmd. K. Kt). Pimpinan Harian, oleh Kepala Staf K. Kt (KS.K.Kt). Untuk melengkapi administrasi kenegaraan, Maka NII menetapkan “Administrasi Keuangan Negara” guna menstabilkan pemerintahan yang sesuai dengan keadaan perang. Memang pada kenyataannya, NII berada dalam keadaan perang hingga keberadaan negara tersebut ditumpas oleh musuh-musuhnya. REVOLUSI DI Sejak dilahirkan oleh DI, NII menjadi kekuatan yang diperhitungkan oleh musuh-musuhnya yaitu Belanda dan Republik. Berawal dari Jawa Barat, negara tersebut meluas ke daerah lain. Bahkan di Jawa Tengah telah diproklamirkan Negara Islam Jawa Tengah oleh Amir Fatah Widjajakoesoemah pada April 1949, sebelum proklamasi Kartosoewirjo. Wilayahnya mencakup perbatasan Jawa Barat hingga Pekalongan. DI di wilayah ini diperkirakan berakhir tahun 1956. Di Jawa Tengah, DI kurang mendapat simpati warga karena sebagian besar rakyat di provinsi ini kurang Islami. Selain mengamalkan Islam, rakyat juga mengamalkan berbagai faham di luar Islam semisal syirik, bid’ah dan khurafat yang lazim disebut “kejawen”. Sedangkan Amir Fatah ingin mewujudkan masyarakat yang murni Islami. Selain itu, terdapat pula kelompok Angkatan Oemat Islam pimpinan Kiyahi Machfudz dan unsur tentara dari Divisi Diponegoro juga terlibat DI. Di Sulawesi, gerakan DI dipimpin Kahar Muzakkar. Selama Revolusi 1945 dia berjuang di Jawa sambil menyusupkan aktivis Republik ke Sulawesi Selatan, tetapi usaha mengobarkan perlawanan terhadap Belanda gagal karena ditumpas oleh gerakan pembersihan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Praktis gerakan Republik tidak aktif hingga revolusi usai. Usai revolusi, Republik mempersulit para aktivisnya sendiri masuk TNI dengan dalih efisiensi. Ironisnya, antek kolonial dari KNIL justru lebih mudah diterima dengan dalih lebih profesional. Kebijakan tersebut membangkitkan kejengkelan terhadap pemerintah dan hal tersebut membangkitkan perlawanan. Pemerintah harus membayar mahal kebijakan tersebut. Negara Islam untuk Indonesia Timur diproklamirkan pada 7 Agustus 1953 dengan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara sebagai basis kuatnya. Gerakan ini berakhir tahun 1965. Dari Sulawesi, gerakan DI sempat merembes ke Nusa Tenggara dan Maluku. Di Kalimantan, gerakan DI dipimpin Ibnu Hajar. Penyebabnya mirip dengan di Sulawesi, para aktivis Republik bernasib “habis manis sepah dibuang”. Selama Revolusi 1945, dia berjuang di Kalimantan. Akibat perlakuan Republik tersebut dia membentuk organisasi “Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT) tahun 1950. Masuk NII tahun 1954 dan melaksanakan perlawanan terhadap Republik hingga 1963. Di Aceh, gerakan DI dipimpin Tengku Muhammad Daud Beureuh (1900-1987). Penyebabnya adalah penggabungan Aceh ke Provinsi Sumatra Utara tahun 1950 dan ingkar janji Soekarno akan memberlakukan syari’at Islam di Aceh ketika dia berkunjung ke Aceh tahun 1948. Proklamasi Negara Islam Aceh sebagai bagian dari NII dilaksanakan pada 21 September 1953. Gerakan ini berakhir pada 1962 ketika pemerintah Republik berjanji –yang kelak terbukti kosong– akan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa. Daerah istimewa cuma di atas kertas, faktanya Aceh diperlakukan sama dengan provinsi lain, bahkan lebih buruk. Sumber alamnya yang demikian kaya sebagian besar “disedot” ke pusat dan warga Aceh mayoritas tertinggal. Konflik muncul lagi tahun 1976 hingga kini. Di Jawa Barat, gerakan ini berakhir tahun 1962 dengan penangkapan Kartosoewirjo di wilayah Garut. Dia dihukum mati pada tahun itu juga. PENUTUP Demikianlah, proklamasi NII yang dicetuskan oleh DI menjadi bagian dari riwayat perjuangan rakyat Indonesia melawan imperialisme Barat beserta anteknya. Betapa berat perjuangan DI, sejak lahir selain dimusuhi oleh imperialisme Barat dan anteknya juga dimusuhi oleh gerakan kemerdekaan Republik. Ketika Revolusi 1945 berakhir, sadar tidak sadar justru Republik melanjutkan program imperialisme Barat menumpas DI dan gerakan Islamiyah lainnya hingga kini. Bahkan lebih buruk lagi, sedikit banyak tercipta kerja sama antara Republik dan imperialis Barat. Gerakan Islamiyah diberi berbagai istilah “seram” semisal “teroris”, “ekstrimis” dan “fundamentalis”. Sebagaimana telah disebut, di dalam Republik masih ada kelompok Islamiyah, ketika revolusi usai mereka segera memperjuangkan Indonesia yang Islamiyah. Kelompok tersebut juga gagal. Beberapa tokohnya masuk penjara antara lain Muhammad Natsir dan Hamka. Praktis kini NII tinggal sejarah, sejauh ini usaha membangkitkan NII masih gagal. Tetapi agaknya niat mewujudkan Indonesia yang Islamiyah belum tamat. Indonesia yang Islami agaknya makin menjadi suatu kebutuhan mengingat Indonesia makin bergerak menuju jahiliyah. Imperialisme Barat dan anteknya menilai bahwa Indonesia adalah harta yang sangat berharga untuk dimiliki, apapun bentuk atau dalih memenuhi niat tersebut. Dan gerakan Islamiyah adalah lawan beratnya. Bab II DA’WAH ISLAM DI INDONESIA: KERJA YANG TAK KUNJUNG RAMPUNG Sudah sama-sama diketahui, Indonesia termasuk wilayah yang memiliki letak strategis sehingga terbuka terhadap pengaruh asing. Wilayah luas dan alam kaya menambah pesona negeri ini untuk didatangi bangsa-bangsa lain berikut pengaruhnya. Tetapi tidak hanya berbagai bangsa asing yang hadir ke Indonesia, bangsa Indonesia sejak zaman purba telah merantau ke berbagai negeri asing sejauh Madagaskar (sebuah pulau di lepas pantai timur Afrika) di sisi barat, hingga Kepulauan Mikronesia di sisi timur. Hubungan bangsa Indonesia dengan bangsa asing tidak terlepas dari suasana internasional saat itu. Di dunia Barat terdapat Kerajaan Romawi dan di dunia Timur terdapat Kerajaan Cina, ketika awal tarikh Masehi sama-sama meraih puncak kejayaannya. Hubungan antara kedua super power tersebut terjalin melalui jalur darat dan laut. Di darat dikenal dengan istilah “Jalur Sutra”, jalur panjang yang membentang dari Chang’an (kini Xi’an) hingga Constantinople (kini Istambul) melalui Asia Tengah dan Asia Barat. Di laut, terdapat jalur perkapalan melalui Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Barat dari Kanton (Kwangchou) hingga Suez (al-Suwaiys). Dengan demikian Indonesia masuk jalur pelayaran tersebut. Hubungan yang sesungguhnya bermotif ekonomi tersebut kemudian merambah ke aspek lain seperti politik, seni, hukum, bahasa, adat dan syari’at. Ketika itu negara-negara maju bukan hanya Cina dan Romawi, tetapi juga Arabia, Persia dan India. Saling kunjung antar bangsa-bangsa tersebut lambat laun juga melibatkan bangsa Indonesia. Bangsa Cina, Arab, Persia dan India singgah atau mukim di Indonesia, demikian pula bangsa Indonesia hadir di negeri-negeri tersebut. Namun layak disayangkan, pengaruh Indonesia di negeri-negeri yang dikunjungi praktis tidak ada atau sangat sulit dicari dibanding pengaruh bangsa-bangsa asing di Indonesia. Jawaban untuk itu agaknya tidak sulit dicari. Bangsa Indonesia tidak memiliki peradaban asli nan canggih untuk mempengaruhi bangsa-bangsa lain. Pada awal tarikh Masehi, Cina, Arab, Persia, Romawi, India, Yunani dan mungkin ada lagi yang lain minimal telah memiliki huruf atau tegasnya budaya tulisan namun tidak demikian halnya dengan bangsa Indonesia. Bagi Indonesia, awal Masehi masih terbilang pra sejarah karena belum mengenal huruf. Bangsa ini mengenal huruf diperkirakan sekitar abad ke-5, itupun bukan hasil ciptaan sendiri tetapi pengaruh dari India. Jika perkara huruf saja belum kenal, apatah pula ciri peradaban lain semisal arsitektur dan filsafat. Hasil-hasil alam Nusantara yang waktu itu digemari antara lain kapur barus, kayu manis, kulit harimau, lada dan emas. Perdagangan rempah-rempah sempat didominasi bangsa Arab dan kapur barus sempat didominasi bangsa India. Walaupun pernah ada dominasi tetapi tidak ada monopoli. Interaksi antara bangsa Indonesia dan berbagai bangsa Timur asing tersebut praktis berlangsung damai karena saling menguntungkan. Kelak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa Barat yang tiba di Indonesia pada awal abad ke-16, mereka datang tidak hanya untuk berdagang tetapi juga untuk menjajah. Jelas dengan cara ini ada fihak yang dirugikan. Dari bangsa Barat jua, bangsa Indonesia kenal dengan monopoli. PENGARUH ASING AWAL DI INDONESIA Dari hubungan yang ramah itulah bangsa Indonesia mengenal pengaruh asing. Agama dan budaya secara pelan tapi pasti masuk. Mengingat letak India relatif paling dekat dengan Indonesia maka pengaruh India yang pertama kali masuk dan tampil dominan selama sekitar 1500 tahun. Di India telah ada agama Hindu dan Budha. Agama Hindu adalah agama yang tertua di India bahkan mungkin agama tertua di dunia yang masih ada umatnya. Konon Hindu tampil bersamaan dengan peradaban India yaitu sekitar 3000 BC dan hingga kini masih meraih mayoritas umat di negeri tersebut walaupun pernah dalam kuasa raja-raja Budha dan Muslim. Para penguasa non Hindu secara umum memahami agama yang dianut mayoritas dalam arti memberi toleransi. Selain itu, nama “India” memang berasal dari kata “Hindi” atau “Hindu” dan negeri tersebut juga dikenal dengan nama “Hindustan” (Tanah Hindu). Adapun Budha lahir sekitar abad ke-6 BC, berawal dari pencerahan yang diterima oleh Pangeran Sidharta Gautama setelah sekian lama mencari makna hidup dalam pengelanaan. Peristiwa tersebut memberi Gautama nama yang dikenal dengan “Budha” (Yang Disinari atau Yang Dicerahkan). Tokoh yang berjasa bagi agama Budha setelah Sidharta adalah Raja Ashoka, seorang raja yang semula terkenal gila perang tetapi berubah total menjadi cinta damai. Dia mengganti kebijakan peperangan dengan pembangunan. Perioda pemerintahannya adalah satu di antara beberapa puncak kejayaan India. Dari Cina, bangsa Indonesia mengenal agama Konghucu. Walaupun agama tersebut masuk relatif bersamaan dengan Hindu dan Budha, praktis tidak meraih hati umat pribumi. Mungkin karena agama Konghucu sangat terkait dengan norma-norma Cina lama. Bahkan di Cina, agama Budha sempat meraih posisi penting walaupun kelak lama kelamaan berpadu dengan Konghucu. Mungkin suatu kebetulan, Gautama dan Konghucu hidup relatif sezaman. Dari Persia dan Arabia, pada awalnya bangsa Indonesia tidak mendapat pengaruh dalam bentuk agama atau budaya. Pada perioda awal hubungan antara ketiga bangsa tersebut, di Arabia tidak ada umat mayoritas tertentu. Sejak perioda Nabi Ibrahim –sekitar 2000 BC– bangsa Arab menganut agama yang dibawa Ibrahim, dikenal dalam istilah Arab dengan nama “Hanif”. Tetapi agama tersebut praktis tidak pernah berkembang keluar Arabia, bahkan kelak “terdesak” dengan agama-agama lain yang “berebut” pengaruh di Arabia. Agama yang sempat mengemuka di Persia (kini Iran) adalah Zaratushtra atau Zoroaster. Agama tersebut lahir pada abad ke-6 BC dan hingga abad ke-7 menjadi agama resmi negara. Walaupun di Persia juga lahir agama Manu atau Manichaen pada abad ke-3 AD dan sempat meraih umat dari Samudera Atlantik hingga Samudera Pasifik, agama tersebut tidak berumur panjang. Di Persia ditumpas oleh penguasa yang menganut Zaratushtra, di luar Persia terdesak oleh agama Islam dan Nashrani. Sama hal dengan Hanif, kedua agama tersebut tidak sempat dikenal oleh bangsa Indonesia. Pengaruh Arab dan Persia justru masuk ke Indonesia setelah keduanya menganut agama Islam. Dan kelak –minimal di atas kertas– Islam meraih mayoritas di Indonesia sebagaimana hal di Arabia dan Persia. Inilah yang menjadi pokok pembahasan. Agama Islam lahir di Arabia pada abad ke-7 diawali oleh wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW. Islam adalah lanjutan dari syari’at yang dibawa para nabi sebelum Muhammad, khususnya agama Hanif. Setelah melalui perjuangan yang mengerikan, dia sukses membawa Islam ke level terkemuka di Arabia. Ketika itu keadaan Arabia tidak menguntungkan, sejak abad ke-3 negeri tersebut terkepung oleh dua negara besar yaitu Bizantium dan Persia. Kedua negara tersebut telah menetapkan agama resmi, warganya yang menganut agama lain cenderung ditindas. Secara umum, kedua rezim tersebut memang menindas rakyat. Rakyat sedemikian lama mengharap pembebasan. Dengan latar belakang tersebut, tidaklah mengherankan jika saat Muhammad SAW memperkenalkan Islam, maka mereka dengan sigap menolaknya bahkan dengan ancaman tersamar akan menyerbu Arabia untuk menumpasnya. Menindas rakyat sendiri dan niat untuk menyerbu Arabia memaksa kaum Muslim melawan mereka sekaligus. Secara logika adalah mustahil mengalahkan kedua super power tersebut, tetapi fakta membuktikan bahwa kaum Muslim mampu melaksanakannya. Singkat cerita, Kerajaan Persia masuk sepenuhnya ke dalam kuasa Muslim dan Kerajaan Bizantium banyak kehilangan wilayahnya. Sampai pada taraf tertentu sukses gerak maju kaum Muslim didukung oleh rakyat di dua kerajaan tersebut Sekitar tahun 732 –seabad setelah Muhammad SAW wafat– kaum Muslim telah membentuk imperium yang membentang dari Iberia hingga perbatasan Cina. Islam tak hanya tersebar di wilayah taklukan. Melalui jalur dagang Islam juga tersebar hingga pesisir Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sebaliknya, dalam wilayah Muslim ada wilayah yang dihuni mayoritas non Muslim. Kaum non Muslim dibiarkan bebas menganut norma-normanya. Penampilan Muslim ke pentas dunia juga menampilkan peradaban yang turut berjasa bagi kemanusiaan. Mereka mewariskan dan melestarikan beberapa peradaban sebelumnya sekaligus memperkaya dengan mencipta yang belum ada. Tetapi di Indonesia kaum Muslim hanya merupakan kelompok minoritas di pesisir, mereka belum membentuk kekuasaan maka belum memiliki peluang membangun peradaban. Mereka harus “menunggu” sekitar 600 tahun lagi untuk demikian. Ketika Islam pertama hadir di Indonesia, pengaruh Hindu dan Budha mencapai puncak kejayaannya. Sekedar contoh, di Sumatera tampil Kerajaan Sriwijaya (Budha) yang mendominasi Asia Tenggara hingga sekitar 600 tahun. Di Jawa tampil Wangsa Syailendra yang mewariskan Candi Borobudur. Bahkan ketika kaum Muslim membentuk negara, Kerajaan Majapahit (Hindu) ganti mendominasi Asia Tenggara sekitar 200 tahun. KEHADIRAN AWAL ISLAM DI INDONESIA Telah tersebut bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bangsa asing telah terjalin pada awal tarikh Masehi. Ketika Islam lahir, penyebaran ke Indonesia dapat terjadi karena “fasilitas” jalur dagang yang tercipta karena hubungan tersebut di atas. Muslim dari Arabia, Persia dan India banyak pula berprofesi sebagai pelaut, pedagang dan petualang. Mereka merantau sejauh Madagaskar di lepas pantai Afrika dan pesisir Cina, dengan demikian Indonesia menjadi tujuan singgah atau mukim. Ketika mereka tiba, nyatalah bahwa pengaruh Hindu dan Budha telah kuat. Para raja sekaligus dianggap dewa, titisan dewa atau setengah dewa. Segala kehendaknya praktis dipatuhi warganya karena status kedewaannya memastikan anggapan bahwa raja tidak mungkin salah. Keadaan ini untuk waktu lama belum memungkinkan Islam meraih umat dari kaum pribumi. Hubungan dengan kaum Muslim asing dengan pribumi hanya terbatas pada soal ekonomi. Kaum Muslim menampilkan perilaku yang simpatik antara lain berdagang dengan jujur dan menjaga kebersihan dengan mandi dua kali sehari dan wudhu minimal 5 kali sehari, membangkitkan rasa hormat pribumi. Dihormati tapi belum diteladani, karena keterikatan erat antara pribumi dengan penguasanya. Ini perlu diketahui untuk membantah pendapat imperialis Barat yang berusaha membangkitkan kebencian terhadap Islam antara lain dengan menyebut bahwa para pedagang Muslim bersifat rakus, licik dan kejam. Padahal para pedagang Barat yang justru banyak berperilaku demikian. Bukan jarang mereka berdagang dengan todongan senjata. Ini sekedar contoh cara “maling teriak maling” yang banyak diterapkan oleh imperialis. Islam tampil bertepatan dengan kehadiran satu kekuatan dominan di Asia Tenggara yaitu Sriwijaya. Negara tersebut diberi istilah oleh kaum Muslim dengan “Sribuza”, “Sribusah”, “Zabaq” atau “Zabay”. Konon negara bagian Kedah di Malaysia berasal dari bahasa Arab yaitu “Kataha”. Menurut teori Profesor Fatemi, hubungan diplomatik antara kaum Muslim dengan Sriwijaya bermula pada perioda Khilafah ‘Ummayah (661-750), yaitu negara kerajaan beribu kota Damaskus atau Damsyiq di Syria atau Suriyyah. Negara inilah yang membawa kaum Muslim pada puncak perluasan wilayahnya: dari Iberia hingga perbatasan Cina. Di Jawa, pada abad ke-7 terdapat negara yang dikenal dengan Kalingga. Negara tersebut mencapai masa jaya pada perioda Ratu Sima. Terkenal kisah keadilan, keamanan dan kemakmuran ini dari cara ratu menguji kejujuran rakyatnya dengan meletakkan pundi-pundi emas di ruas jalan. Selama bertahun-tahun isi pundi tersebut tetap utuh, tak ada yang mengambil. Prestasi ratu tersebut menarik perhatian musafir Muslim untuk berkunjung, mungkin mereka adalah utusan dari Khilafah ‘Ummayah juga. Secara berangsur-angsur wilayah yang kini disebut Indonesia disebut-sebut dalam berita-berita Arab dan Persia antara lain Ibnu Khuradadzbah, Idrisiy dan Yaqut tetapi dengan sebutan semisal “Jawiy” atau “Aqshal Hindiy (India Jauh) selain istilah tersebut di atas untuk Sriwijaya. Istilah “Indonesia” baru muncul abad ke-19. Dari contoh kisah di atas seorang pakar sejarah yaitu Profesor Ricklefs menilai bahwa kehadiran Islam di Indonesia adalah perioda yang paling penting tetapi sekaligus paling tidak jelas karena langka bukti-bukti tertulis. Bukti kehadiran awal Islam di Indonesia umumnya berbentuk makam semisal makam di desa Leran (dekat Gresik) atas nama Fathimah binti Maymun yang berasal dari abad ke-11. Tidak jelas apakah dia Muslim asing ataukah pribumi, dan juga tidak jelas apakah makam tersebut membuktikan ada pemukiman awal kaum Muslim di daerah itu. Kisah kunjungan musafir Muslim ke Kalingga tersebut di atas tidak jelas pula membuktikan apakah mereka hanya singgah ataukah mukim sambil memperkenalkan Islam. Waktu berjalan terus, hubungan juga terus berlangsung walaupun pada abad ke 11-13 dunia Muslim mendapat bencana berat akibat serbuan dari Eropa dan Mongolia, serta di Indonesia pada saat yang sama sempat mengalami perioda gejolak antara keruntuhan Sriwijaya dengan kebangkitan Majapahit. Bahkan pada perioda suram tersebut tampil negara bentukan pertama Muslim di Indonesia yaitu Kerajaan Samudra Pasai (kini masuk Provinsi NAD). Malik al-Shalih sering disebut raja pertama di Indonesia yang menganut Islam. Dari awal yang kecil inilah kelak da’wah Islam tersebar luas (namun sekaligus tidak tuntas). PERKEMBANGAN BERIKUT Nama Malik al-Shalih dikenal dari tulisan makam yang menyebut tahun Hijrah yang mengacu pada 1297 Masehi. Menurut legenda, sebelum menganut Islam dia bernama Marah Silu. Ada kemungkinan dia memilih Islam karena hubungan dengan Muslim asing –kemungkinan dari Gujarat (kini masuk negara India)– berdasar ciri makamnya yang menggunakan batu dari sana. Ini boleh dibilang masuk akal karena Samudra Pasai terletak di Selat Malaka, jalur yang ramai sejak awal Masehi. Dari info di atas para pakar dari Barat menilai bahwa Islam masuk abad ke-13 melalui India, pendapat tersebut bertahun-tahun menjadi acuan banyak buku sejarah di Indonesia. Tetapi sekitar tahun 1960-an HAMKA berpendapat bahwa Islam masuk sejak abad pertama Hijrah atau abad ke-7 Masehi langsung dari Arabia bersamaan dengan kehadiran Islam di India, bahkan Cina, berdasar info yang juga telah penulis sajikan di atas. Karena itu penulis juga mencoba membahas kehadiran Islam di Cina dan India. Kehadiran Islam di India dan Cina jauh lebih jelas dari pada di Indonesia. Di India, Islam hadir melalui perdagangan di laut dan penaklukan di darat. Di laut para pedagang Muslim dari Arab dan Persia hadir di pesisir barat India yang dikenal dengan nama Malabar atau Koromandel. Di darat pasukan Muslim dari Khilafah ‘Ummayah dipimpin oleh Muhammad bin Qasim merebut wilayah India yang kini bernama Pakistan pada tahun 706. Penaklukan tersebut merupakan awal penguasaan India oleh Muslim, yang berlangsung hingga tahun 1858 akibat dihapus oleh imperialis Barat. Penaklukan India yang kedua berasal dari Afghanistan. Raja Mahmud Ghazna membangun Kerajaan Ghaznawiy melalui penaklukan timur Persia, utara India dan selatan Turkistan. Kerajaan ini berlangsung dari abad ke-10 hingga ke-12. Ada yang berpendapat bahwa suku Gujarat, dan juga Kasymir, mulai menganut Islam pada perioda tersebut. Penaklukan ketiga berasal dari bangsa Turki pada abad ke-12 oleh Quthbuddin Aybak, yang menampilkan Kerajaan Delhi (1206-1526). Kekuasaan Muslim meluas hingga bagian tengah India. Penaklukan keempat berasal dari Turkistan oleh Zhahiruddin Muhammad alias Babur yang menampilkan Kerajaan Moghul (1526-1858). Ketika itu wilayah India yang dikuasai Muslim sekitar 90 persen. Sesungguhnya masih ada beberapa penaklukan lain, tetapi penulis hanya membahas secara singkat empat penaklukan tersebut. Dengan demikian jika dijumlah maka kaum Muslim menguasai India sekitar 1000 tahun. Pada tahun 1947 wilayah mayoritas Muslim di barat laut dan timur laut India menjadi negara Pakistan, di India kini jumlah kaum Muslim sekitar 12 persen. Kehadiran Muslim di Cina lebih banyak terjadi karena perdagangan. Hubungan pertama yang bersifat diplomatik terjadi pada tahun 651 ketika Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan mengirim utusan yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash ke Chang’an, ibu kota Dinasti T’ang (618-907). Rombongan tersebut melalui jalur laut dan berlabuh di Kwangchou, kota yang telah lama menjadi pusat dagang yang ramai didatangi para pedagang dari Arab, Persia dan India. Para musafir Muslim yang melalui jalur darat banyak terhimpun di Chang’an, ujung Jalur Sutra. Khilafah ‘Ummayah pernah mencoba memperluas wilayah ke arah timur dan tertahan di perbatasan Cina. Gerakan tersebut dipimpin oleh Qutaybah bin Muslim. Pada tahun 751 terjadi bentrokan antara pasukan Arab dengan Cina di perbatasan Cina. Pasukan Cina mendapat kekalahan dan di antara personil yang ditawan terdapat para ahli pembuat kertas. Sejak itu penggunaan kertas yang kita kenal kini menyebar pesat sejauh Eropa Barat oleh bangsa Arab setelah berabad-abad Cina menjadi produsen tunggal kertas karena teknik pembuatannya dirahasiakan begitu ketat. Terlepas dari konflik yang terjadi sekali-sekali, secara umum hubungan Cina dengan dunia Muslim berlangsung akrab. Tetapi perilaku penguasa Cina di dalam negeri yang berubah-ubah antara simpati dan antipati membuat perkembangan Islam terjadi tarik-ulur alias mandeg, tentu hal tersebut membuat kehadiran Islam di negeri tersebut hanya sedikit. Kini jumlah kaum Muslim hanya sekitar 12.000.000 (dua belas juta) di antara sekitar 1.300.000.000 (satu miliar tiga ratus juta) orang. Kembali ke Indonesia, kemakmuran Samudra Pasai mempengaruhi da’wah Islam. Islam tersebar bahkan membentuk negara-negara Muslim baru semisal Malaka dan Demak. Seorang panglima Demak yang memperkenalkan Islam ke Jawa Barat juga berasal dari Pasai, dikenal dengan beberapa nama antara lain Fatahillah atau Syarif Hidayatullah. Dia juga dikenal sebagai leluhur para raja di Banten dan Cirebon. Pada perioda pemerintahan Malik al-Zhahir konon dibangun lembaga pendidikan yang diilhami oleh Universitas Nizhamiyyah di Baghdad. Universitas tersebut dibangun atas usaha Nizhamul Muluk, seorang Persia yang menjadi perdana menteri Kerajaan Saljuqiyyah. Kejayaan Pasai relatif singkat, penaklukan oleh Majapahit menempatkan Pasai sebagai vasal. Walaupun nilai politik dan ekonominya pudar, Pasai masih tetap menjadi pusat da’wah Islam. Beberapa ulama Pasai yang ditawan dan di bawa ke ibu kota Majapahit bahkan sukses berda’wah. Beberapa elit Majapahit menjadi Muslim. Dari elit tersebut kelak menampilkan negara Muslim pertama di Jawa yaitu Demak. Pasai juga sempat mengalami penaklukan imperialis Barat dari Portugal pada 1521. Banyak warga yang merantau ke daerah lain sambil berda’wah, antara lain Fatahillah. Syukur alhamdulillah, kehadiran imperialis tersebut tak berkepanjangan. Raja ‘Ali Mughayyat Syah dari Aceh sukses mengusirnya tahun 1524 dan sejak itu Pasai masuk wilayah Kerajaan Aceh. Di wilayah yang kini disebut Malaysia, pernah tampil negara Muslim pertama di semenanjung tersebut yaitu Kerajaan Malaka. Konon dibentuk oleh seorang pangeran Majapahit bernama Parameswara atau Paramisora, setelah menganut Islam dia bernama Megat Iskandar Syah. Kejayaan berpindah dari Pasai ke Malaka, banyak para perantau asing hadir di negeri tersebut. Bangsa Arab menyebutnya dengan “Mulaqat” (Tempat Bertemu Segala Dagang). Kemajuan dagang sejajar dengan kemajuan da’wah namun hal tersebut relatif singkat, bangsa Portugis dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque menaklukan Malaka pada 1511. Peristiwa tersebut sekaligus merupakan awal perioda imperialisme Barat di Asia Tenggara serta awal Asia Tenggara masuk zaman suram atau jahiliyyah. Hal tersebut berlangsung hingga kini. Secara umum, Asia Tenggara masih terbilang terbelakang dengan penjajahan menjadi penyebab pokok. Usaha merebut Malaka berulang-ulang dilaksanakan oleh beberapa negara antara lain Aceh dan Demak, namun usaha tersebut gagal. Dengan hanya diselingi Perang Pasifik (7 Desember 1941 – 2 September 1945) oleh pendudukan Jepang, Malaka di bawah kuasa imperialis Barat hingga kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 1957. Penaklukan Malaka tersebut berakibat masyarakat dagang internasional bubar, tercerai berai ke berbagai pelabuhan di Asia Tenggara. Aceh kebagian “berkah” dari peristiwa itu. Banyak pedagang yang pindah ke Aceh, berakibat negara-kota tersebut maju pesat. Raja Mughayyat Syah bertekad mewujudkan Aceh menjadi kekuatan dominan di barat Asia Tenggara. Dia memperluas wilayahnya dengan menguasai pesisir timur maupun barat Sumatera. Perang dengan Portugis, dan juga Kerajaan Johor, tidak terelakkan: Portugis pernah menyerbu Aceh namun gagal menaklukannya. Hasilnya kemudian adalah perang segitiga Aceh-Malaka Portugis-Johor untuk tampil terkemuka di Selat Malaka yang tak pernah dimenangkan oleh siapapun. Perioda pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam (1607-1636) sering dinilai sebagai puncak kejayaan Aceh. Bangsa Barat yang hadir untuk merebut “pasar imperialisme” bertambah dengan bangsa Belanda dan Inggris. Dengan cerdik dia mengadu domba kedua bangsa tersebut. Sementara itu penyebaran Islam, selain dengan perdagangan, juga bergerak seiring dengan penaklukan oleh Aceh. Penyebaran Islam oleh Aceh menjangkau Bengkulu melalui Minangkabau, di wilayah tersebut Aceh berbatasan dengan wilayah kekuasaan Banten. Keunggulan Aceh di bidang politik dan ekonomi memudar sepeninggal Iskandar Muda, hanya da’wah Islam yang masih bertahan. Aceh menjadi pusat pergolakan pemikiran agama terutama tashawuf, tersebut beberapa ulama yaitu Nuruddin al-Raniriy, Hamzah Fanshuriy, Syamsuddin al-Sumatraniy. Kelak Aceh dikenal sebagai wilayah yang sangat Islamiy di Indonesia walaupun tetap harus diingat bahwa keislaman di Asia Tenggara terbilang tidak murni. Masuk abad ke-15 Kerajaan Majapahit berangsur-angsur runtuh akibat konflik intern sepeninggal tokoh kuat Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Beberapa wilayah taklukannya melepaskan diri termasuk di Jawa, pusat negara tersebut. Perioda tak nyaman tersebut menampilkan tokoh Raden Patah, yang konon anak raja Majapahit yaitu Brawijaya. Kaum Muslim –yang makin berpengaruh di pesisir– cemas jika Jawa dilanda kekacauan besar, mereka bertekad memulihkan ketentraman –dan kemakmuran jika mungkin– di seantero Jawa. Mereka membentuk beberapa negara-kota semisal Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya. Melalui pernikahan dan peperangan akhirnya beberapa negara-kota tersebut tergabung dalam Kerajaan Demak. Demak menghadapi tantangan berat yaitu masyarakat non Muslim pribumi warisan Majapahit dan pra Islam lainnya di dalam negeri serta imperialis Barat di luar negeri. Setelah menaklukan Malaka, Portugis maju menjelajah Indonesia sejauh Maluku termasuk mengincar Jawa. Sejak zaman Majapahit ada anggapan yang begitu bertahan lama bahwa menguasai Jawa berarti menguasai Nusantara, menguasai Nusantara berarti menguasai Asia Tenggara. Mungkin karena sejak lama Jawa dikenal paling banyak penduduknya Kecemasan Demak terhadap kemungkinan persekutuan non Muslim antara pribumi dengan asing kelak terbukti dan hal tersebut bukanlah yang pertama dan yang terakhir dalam sejarah Muslim. Sejak Muhammad masih hidup hal tersebut pernah terjadi. Secara diam-diam, Bizantium dan Persia seperti ada kesepakatan mengurangi permusuhan sengit mereka yang sudah berabad-abad. Mereka menjalin hubungan dengan non Muslim pribumi Arab untuk melawan Muslim. Penghancuran peradaban Muslim di Asia Barat oleh Hulagu Khan dari Mongol pada abad ke-13 tak terlepas dari bagian persekongkolan tersebut. Bangsa Mongol menyerbu dunia Muslim dari belahan timur ketika kaum Muslim sibuk melawan imperialis Eropa yang menyerbu dari barat. Saling kirim utusan antara Mongolia dan Eropa dilaksanakan untuk membentuk front yang mengepung dunia Muslim. Persekutuan sesama non Muslim dari umat mana pun melawan Muslim sepanjang riwayat agaknya membuat kecurigaan penulis makin kuat, bahwa Islam adalah si bungsu yang dinanti umat-umat dari sebelumnya bukan untuk dikasihi tetapi dinanti untuk dihabisi. Padahal Islam bukanlah agama yang begitu saja jatuh dari langit tetapi adalah lanjutan syari’ah Allah yang disampaikan para nabi sebelum Muhammad SAW. Penyelidikan terhadap sumber-sumber beberapa kitab suci menunjukkan –walau mungkin tak sejelas yang diharapkan– bahwa ada info tentang agama terakhir dan nabi terakhir yang mengarah pada Islam dan Muhammad. Dan setiap gerakan anti Islam jika diusut-usut hampir pasti bersumber dari imperialis Barat, yang non Barat cenderung menjadi antek. Kembali ke Jawa, Portugis mencoba menjalin hubungan dengan Pajajaran di Jawa Barat dan Majapahit di Jawa Timur. Maksudnya tidak sulit dicari: mengepung Demak di Jawa Tengah. Mirip taktik mengepung non Muslim Mongolia dengan non Muslim Eropa. Beberapa elit Majapahit mengirim hadiah kepada gubernur Portugis untuk Malaka, di Jawa Barat bahkan lebih jauh lagi: Pajajaran membuat perjanjian tahun 1522 yang mengizinkan Portugis membuat pangkalan di Sunda Kelapa. Demak tidak punya pilihan selain bergerak ke kedua arah tersebut sekaligus. Dengan cepat pesisir ke arah barat sejauh selat Sunda direbut supaya hubungan Portugis-Pajajaran terputus. Usaha Portugis merebut Sunda Kelapa digagalkan, peristiwa ini mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (kini Jakarta). Kesuksesan tersebut di atas menampilkan nama yang hingga kini belum tuntas terungkap, yaitu Fatahillah, Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Ada pendapat bahwa nama-nama tersebut menunjuk orang yang sama, ada pula yang menyebut orang yang berbeda. Untuk kisah ini, penulis memakai nama Fatahillah, mengingat nama tersebut yang diabadikan untuk museum di Jakarta. Fatahillah menetap di Jawa Barat hingga wafatnya, ketika Demak mengalami kekacauan intern dia melepaskan diri dari kuasa Demak dengan membentuk negara baru yaitu Banten dan Cirebon. Adapun kekacauan di Demak karena Raja Trenggono dibunuh oleh bawahannya sendiri ketika dia memimpin proyek penaklukan Jawa Timur. Kekacauan di Demak berakibat tampilnya negara baru di Jawa Tengah yaitu Pajang dan Mataram, bahkan Palembang di Sumatera. Selain negara-negara tersebut di atas, di wilayah yang kini disebut Indonesia juga terdapat beberapa negara Muslim semisal Jambi, Banjarmasin, Makassar, Ternate dan Tidore. Tetapi bukan maksud penulis untuk membahas semua negara-negara Muslim di Indonesia. Penulis mencoba membahas hambatan yang dihadapi oleh da’wah Islam yang berakibat Indonesia tidak sepenuhnya Islamiy sehingga da’wah menjadi kerja yang perlu terus menerus dilaksanakan seakan-akan tak kunjung rampung. Dan hambatan pokok da’wah di Indonesia sejak abad ke-16 jika diusut-usut akan mengarah pada imperialis Barat, hambatan lain hanyalah turunan dari hambatan pokok tersebut. Penulis hanya membahas Pasai dan Demak karena kedua negara tersebut adalah perintis: Pasai negara Muslim pertama di Sumatera (sekaligus di Indonesia) dan Demak negara Muslim pertama di Jawa. Dari keduanya kelak lahir negara-negara Muslim lain di Indonesia. HAMBATAN DA’WAH Telah dijelaskan bahwa walaupun hubungan antara kaum Muslim asing dengan pribumi Indonesia telah ada sejak abad pertama Hijrah, sulit ditemukan bukti bahwa ada pribumi yang telah menganut Islam. Pengaruh Hindu dan Budha masih kuat akibat tuah raja sehingga hubungan tersebut terbatas pada ekonomi. Kaum Muslim harus menunggu sekitar 600 tahun untuk meraih pengaruh selain ekonomi termasuk di bidang agama. Islam adalah agama dengan ciri tauhid yang mungkin paling jelas dibanding agama lain. Faham bertuhan satu dalam Islam praktis masih asli dalam dua sumber pokok Islam yaitu Al-Qur’an dan Haits Nabi Muhammad SAW. Demikian pula bagian-bagian lain dalam Islam semisal moral dan syariat. Hal tersebut jelas sangat berbeda –kalau tidak boleh disebut bertentangan– dengan budaya atau sifat bangsa Indonesia yang cenderung bertuhan banyak. Sebelum ada hubungan dengan pengaruh asing, bangsa Indonesia percaya dengan kuasa ghaib yang menjelma atau bercokol dalam berbagai benda atau bentuk. Pohon besar, batu besar atau segala sesuatu yang terlihat mengagumkan atau menakutkan semisal petir dan gunung meletus dihubungkan dengan perkara ghaib. Kepercayaan tersebut mengarah pada musyrik, karena segala benda atau bentuk dianggap memiliki kuasa ghaib, setiap benda, bentuk atau tempat ada “penunggunya”, yang kelak dituhankan, disembah dan dipuja, bahkan diberi sesaji supaya tidak marah yang berakibat bencana. Sejauh yang diketahui, Indonesia bukan tempat muncul agama, nabi, wahyu atau hal semacam itu, walau dalam al-Qur’an ada tersebut bahwa setiap kaum diutus nabi untuk menuntun kaum tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka dan kelak kenabian “ditutup” dengan Muhammad. Tetapi sejauh yang diketahui, agama yang lahir di Asia Barat (Hanif, Yahudi, Zoroaster, Nashrani, Manichaen dan Islam), Asia Selatan (Hindu, Budha dan Jain) dan Asia Timur (Konghucu). Tidak ada di Asia Tenggara. Islam bukanlah pendatang awal di Indonesia, kehadiran Islam terjadi saat pengaruh Hindu dan Budha telah kuat. Walaupun mungkin Hindu dan Budha mengenal faham keesaan tuhan, tetapi sejauh yang penulis kenal masih terdapat penyembahan/pemujaan terhadap sosok yang lain, apapun sebutannya, meskipun ada yang menilai hal tersebut sekadar lambang. Mereka menilai penyembahan tetap ditujukan kepada tuhan yang maha esa. Konsep ketuhanan yang boleh dibilang mirip antara kedua agama tersebut dengan sifat asli bangsa Indonesia menyebabkan pengaruhnya sanggup bertahan sekitar 1500 tahun. Bahkan walaupun kini mayoritas bangsa ini Muslim, pengaruh sifat asli kedua agama tersebut belum lenyap sepenuhnya dari kaum Muslim. Pada abad ke-16 tampil hambatan baru da’wah Islam di Indonesia yaitu imperialisme Barat. Berawal dari kehadiran Portugis, kemudian Spanyol, Inggris dan Belanda. Berbeda dengan bangsa-bangsa asing sebelumnya yang pernah hadir di Indonesia. Mereka –minimal atau terlebih lagi saat itu– memiliki perilaku yang sungguh berbeda. Cara berdagang, atau secara umum perilaku mereka cenderung tidak simpatik: kasar dan serakah. Mungkin boleh dibilang bahwa mereka berdagang hanya kedok, niat mereka sesungguhnya adalah menjajah. Karena itu mereka bersikap bahwa kepandaian berdagang adalah urusan kedua, serta kurang peduli dengan cara mereka yang cenderung menyakiti dan merugikan orang lain. Konsep imperialisme Barat terumuskan sejak abad ke-16 dengan semboyan mereka sendiri yaitu “gold” (mencari kekayaan), “gospel” (menyebarkan pengaruh yaitu agama dan budaya) dan glory (mencari kemuliaan). Khusus tentang agama, mayoritas bangsa-bangsa Barat menganut agama Nashrani. Walaupun tidak ada hubungan antara imperialisme dengan Nashrani, bangsa-bangsa Barat sekian lama menjadikan Nashrani sebagai bagian dari imperialisme, atau imperialisme sebagai bagian dari Nashrani. Artinya kira-kira begini: Barat menilai bahwa untuk menyebarkan agama layak atau perlu menggunakan cara imperialisme, dan karena itulah imperialisme dinilai dibenarkan agama. Untuk menjernihkan perkara, penulis ulangi: tidak ada hubungan antara imperialisme (dan juga terorisme) dengan agama manapun, termasuk Nashrani dan Islam. Imperialisme Barat sudah ada sejak sebelum Masehi, tegasnya sebelum lahir Nashrani. Demikian pula terorisme –yang sering dihubungkan dengan Islam– sesungguhnya berasal dari Barat sejak sebelum Masehi. Juga penulis ulangi, permusuhan antara imperialisme Barat dengan Muslim telah ada sejak Muhammad SAW masih hidup, yaitu Bizantium. Ketika Islam lahir, Bizantium selain menduduki Eropa telah menjajah wilayah Timur yaitu Asia Barat dan Afrika Utara. Gerak maju pembebasan oleh kaum Muslim berakibat Bizantium kehilangan banyak wilayahnya, dan pada tahun 1453 kaum Muslim akhirnya menamatkan riwayat negara imperialis tersebut. Pada abad ke-11 terjadi kebangkitan imperialisme Barat, beberapa negara Eropa bergabung menyerbu dunia Muslim dari Iberia hingga Mesopotamia dengan nama perang salib (1095-1291). Perang tersebut ternyata menampilkan akibat yang lebih parah dibandingkan konflik Muslim-Bizantium, permusuhan yang sempat mereda bangkit kembali dengan lebih sengit sehingga trauma, dendam, curiga, benci atau apapun sebutannya masih hadir saat ini. Mungkin perlu waktu sangat lama dan usaha sangat serius bagi Muslim–Barat untuk pulih dari dampak perang salib. Kebangkitan imperialisme Barat yang entah kesekian kalinya pada abad ke-16 banyak yang menilai sebagai lanjutan dari perang salib, namun dengan nama berbeda: perang kolonial. Dipelopori Spanyol dan Portugis, imperialis Barat bergerak maju ke wilayah yang hingga saat itu hanya didengar tetapi belum dijamah, atau bahkan masih misterius. Wilayah yang terbilang misterius adalah benua yang kini dikenal dengan nama Amerika dan Australia, dua benua yang luas tapi berpenduduk jarang. Adapun Asia Tenggara dan Asia Timur sudah pernah mereka dengar dari perjalanan musafir Marcopolo pada abad ke-13, tetapi belum dijamah. Di Amerika dan Australia boleh dibilang mudah ditaklukan mengingat wilayah luas penghuni jarang dan mayoritas masih primitif. Entah berapa banyak jumlah pribumi yang tewas akibat perilaku imperialis Barat, selebihnya ada yang berbaur atau mengasingkan diri lebih ke pedalaman. Pada abad ke-19 kedua benua tersebut sukses dibaratkan dan menjadi dunia Barat. Di Afrika dan Asia, imperialis Barat mendapat perlawanan lebih berat. Kedua benua tersebut selain luas juga berpenghuni padat sekaligus banyak yang sudah berperadaban canggih mengingat asal muasal peradaban manusia memang berasal dari dunia Timur. Barat hanya mengembangkan peradaban tersebut. Akibatnya, walaupun sebagian besar dunia Timur dijajah Barat tetap saja hingga saat ini gagal dibaratkan. Di Asia Tenggara, imperialisme Barat dikenal dengan penaklukan Kerajaan Malaka oleh Portugis sebagai tersebut di atas. Selain menempati letak strategis di Selat Malaka, da’wah Islam juga sukses dihentikan. Portugis berkuasa di Malaka hingga tahun 1641 setelah diusir oleh Belanda. Seakan berpacu dengan waktu, penjelajahan Portugis maju ke Maluku di pimpin oleh Francisco de Serrao tahun 1512. Mereka melihat kaum Muslim juga lebih dulu hadir di kepulauan yang sejak lama menjadi pusat rempah-rempah dunia tersebut. Peperanganpun dengan Muslim pribumi tak terhindarkan yang memaksa Portugis hanya bertahan di Ambon hingga 1605, juga karena diusir Belanda. Tetapi kekuasaan di Timor Timur bertahan hingga 1976. Walaupun beberapa bangsa Eropa pernah hadir di Indonesia, tetapi yang pernah memiliki pijakan kolonial hanya Portugis, Inggris dan Belanda. Pada awal abad ke-20 Belanda menguasai sebagian besar Indonesia dan Portugis hanya “kebagian” sisa di sudut negeri ini. Konflik dengan imperialis Barat yang kejam dan lama menimbulkan korban jiwa dan harta kaum Muslim, banyak aset umat semisal masjid dan pesantren rusak atau hancur. Banyak ulama dan santri yang tewas, hilang atau ditangkap sehingga umat kehilangan panutan dan bimbingan padahal mereka masih memerlukan da’wah karena pemahaman yang belum utuh terhadap agama. Akibatnya, pemahaman terhadap Islam tercampur dengan berbagai faham pra Islam semisal musyrik dan bid’ah. Potensi untuk da’wah terkuras untuk perang. Imperialis Barat praktis tak memberi peluang untuk da’wah. Usaha umat untuk bangkit membuat tatanan yang Islamiy segera ditumpas, terutama di Jawa. Imperialis cemas jika suatu kebangkitan pribumi terutama di Jawa dan berbasis Islam. Mereka tahu betul nilai strategis Jawa sebagaimana telah disebut di atas. Kebangkitan “Khilafah Majapahit” – kiasan yang bermakna kebangkitan pribumi di Jawa mendominasi Asia Tenggara selevel Majapahit sekaligus berbasis Islam, jelas mengancam kepentingan imperialis Barat. Contoh kecemasan imperialis terhadap kebangkitan Muslim di Jawa dapat disimak dari kasus Pangeran Diponegoro. Dia jelas-jelas berjuang mewujudkan negara Muslim Jawa. Belanda mengerahkan sebagian besar sumber dayanya untuk menumpas revolusi tersebut yang berakibat berkobar Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830). Walaupun gerakan serupa telah ada lebih dulu di Sumatera –yaitu gerakan Paderi yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol– di mana Belanda telah terlibat perang sejak 1821, Belanda tetap menilai penting menumpas Diponegoro terlebih dulu karena ada di Jawa. Belanda yakin, bahwa Diponegoro tidak akan berhenti hanya di Jawa, pasti revolusinya akan meluas ke Nusantara, bahkan ke Asia Tenggara. Untuk itu Belanda bersedia menghentikan permusuhan dengan gerakan Paderi supaya dapat menghimpun sumber dayanya untuk perang di Jawa Mengingat teknologi transportasi dan komunikasi belum secanggih kini, serta usaha Belanda menutup seketat mungkin Jawa supaya info tidak bocor keluar, Imam Bonjol tidak tahu apa sebab Belanda minta damai. Tidak tahu bahwa Belanda sedang terdesak. Dia menerima uluran damai Belanda dengan penilaian bahwa Islam agama damai, jika musuh menghentikan permusuhan ya hentikan permusuhan. Dia juga menilai bahwa damai memberi peluang untuk membina umat, perang dilaksanakan jika da’wah terganggu atau agama dilecehkan. Setelah revolusi Diponegoro dapat ditumpas, Belanda kembali menempatkan Imam Bonjol dalam daftar berikut yang harus ditumpas. Perang di Minangkabau kembali berkobar hingga 1837. Usai Perang Diponegoro, Belanda bekerja keras mencegah Jawa menjadi Islamiy, pengaruh Barat disebar luaskan dengan mendatangkan missie dan zending. Pusat-pusat zending dan missie ditempatkan antara lain Semarang, Salatiga, Ambarawa, Muntilan dan Magelang. Persis di pusat Jawa! Markas tersebut masih dapat kita saksikan. Belanda juga merangkul kaum Muslim nominal, lazim disebut abangan, untuk mencegah kebangkitan Muslim santri atau “mutihan”. Penjajahan yang begitu lama selain menampilkan keterbelakangan juga menampilkan sekelompok pribumi yang menjadi antek imperialis, umumnya mereka seagama dengan Barat. Belakangan, agaknya dalam jumlah makin bertambah dari kaum Muslim juga secara sadar maupun tidak menjadi antek Barat. Mungkin mereka dapat dikira-kira dari perilaku semisal tidak setuju jika hukum Islam berlaku di Indonesia. Demikianlah, sejak abad ke-16 bertemulah kepentingan yang sama antara non Muslim yang berasal dari pra Islam di Indonesia dengan imperialis Barat untuk melawan Islam. Mereka mungkin saja dapat terpecah belah sejauh tidak terkait dengan Islam. Tetapi begitu terkait, mereka segera satu rasa, satu logika, satu kata, dan satu kerja menghadapi Islam. Dan imperialis Barat masih tetap memegang peranan kunci mengingat keunggulan mereka membentuk pendapat umum untuk antipati terhadap Islam. Hal tersebut juga berlaku di luar Indonesia. Makin terbukti bahwa Islam memang si bungsu yang dinanti bukan untuk dikasihi tetapi dinanti untuk dihabisi. Ingin dihabisi oleh umat-umat yang sudah dipesan oleh para nabi mereka untuk (kelak) menerima agama terakhir: Islam. PENUTUP Kini mayoritas penduduk Indonesia menganut Islam, mayoritas dalam jumlah sekaligus mayoritas dalam keterbelakangan. Pemahaman agama misalnya, masih banyak bercampur dengan faham-faham yang bertentangan dengan Islam sebagai warisan dari pra Islam. Selamatan sekian hari untuk yang mati, memohon kepada tempat-tempat atau benda-benda yang dianggap angker atau keramat, praktek santet dan adu kelahi hewan adalah beberapa contoh pemahaman dan pengamalan agama yang kurang atau dangkal. Pengaruh imperialis Barat makin memperparah mutu umat. Berbagai tempat maksiat serta berbagai faham dari Barat semisal sekularisme, hedonisme, materialisme, bahkan ateisme sempat atau masih atau bahkan makin hadir di Indonesia. Keinginan untuk melaksanakan syari’at Islam dalam segala aspek, termasuk kehidupan bernegara, jelas tidak mungkin terlaksana dengan suasana macam ini. Yang menentang bukan hanya non Muslim tetapi juga Muslim karena kedangkalan pemahaman mereka. Sebelum melangkah pada pelaksanaan syari’at Islam haruslah ada proses persiapan yang tidak singkat mengingat tidak mudah. Untuk sampai ke tujuan tersebut hanya da’wah yang terus menerus baik perkataan (da’wah bil lisaan) maupun perbuatan/teladan (da’wah bil haal) yang dapat memberi harapan. Beramai-ramai para ulama masuk parpol, atau membentuk banyak parpol berasas Islam atau sebanyak mungkin bercokol dalam MPR/DPR tidak dapat dijadikan ukuran sukses mengislamkan Indonesia. Bukan jarang dengan berpolitik praktis kepentingan umat terabaikan, lalai karena nikmat dari jabatan. Kelak ujung-ujungnya bukan sibuk mengurus umat tetapi sibuk mengurus jabatan, termasuk mempertahankan. Maka penulis ulangi: mengislamkan Indonesia harus dimulai dengan da’wah, perbaiki mutu umat, khususnya pemahaman agama, sehingga bukan mustahil tanpa resmipun mencantumkan syari’at Islam dalam konstitusi maupun hukum tertulis lain kaum Muslim menjadi Islamiy sehingga segala aspek hidup bercorak Islamiy pula. Ingat! Nabi Muhammad butuh waktu 22 tahun mewujudkan masyarakat Islamiy. Jangan harap kita manusia biasa mampu mewujudkan masyarakat Islamiy dalam sekejap bagai sulap. Maka da’wah Islam di Indonesia adalah kerja yang tak kunjung mengenal rampung. Wallahu a’lam bish shawwab. Bab III GERAKAN WAHVABI : RENAISSANCE MUSLIM Istilah renaissance bermakna kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Istilah ini mungkin pertama muncul sekitar abad 14-15 di Eropa. Karena itu mau tak mau kita harus mengetahui sejarahnya. Abad tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali dunia Barat (yang waktu itu hanya mencakup Eropa) meraih capaian kemanusiaan yang hilang atau rusak selama sekitar 1.000 tahun. Umumnya orang menilai bahwa perioda suram sejarah Barat tersebut bermula dari peristiwa penaklukan terhadap Kerajaan Romawi Barat oleh beberapa bangsa yang dianggap masih biadab tahun 476 hingga peristiwa “penemuan” benua yang kini dikenal dengan Amerika oleh Christophorus Colombus tahun 1492. Perioda 476-1492 lazim disebut Dark Ages (Abad Kegelapan) atau Middle Ages (Abad Pertengahan). Praktis tidak banyak prestasi kemanusiaan atau sumbangsih Barat untuk kemanusiaan yang lahir pada perioda tersebut. Walaupun masih ada Kerajaan Romawi Timur atau Bizantium hingga 1453, runtuhnya Romawi Barat dinilai sebagai runtuhnya peradaban Barat. Barat terperangkap dalam kolusi negara-gereja yang cenderung menindas terhadap kemerdekaan, terutama kemerdekaan berfikir. Padahal kemerdekaan berfikir adalah termasuk dasar untuk membangun peradaban. Siapa yang memiliki pendapat yang berbeda dengan negara atau gereja, dia akan menerima sejumlah resiko: dikucilkan, disiksa atau bahkan dibunuh dengan sejumlah tuduhan pula semisal “murtad”, “kafir”, “pembangkang” atau “pemberontak”. Jelas suasana demikian tidak memberi kesegaran untuk berfikir. Ketika Barat terjerumus dalam perioda kegelapan, Timur sedang mengalami perioda kejayaan dalam segala bidang praktis tanpa putus sejak awal muncul peradaban manusia yang memang muncul di Timur sejak sekitar 5000 BC hingga 1800 AD. Berbagai pemerintahan dan peradaban muncul silih berganti memberi sumbangsih kepada kemanusiaan, termasuk ke Barat. Mungkin –minimal pada zaman itu– lahir pemerintahan identik dengan lahir peradaban. Pemerintahan akan memungkinkan tercipta masyarakat yang teratur. Keteraturan tersebut memungkinkan manusia berkarya dengan tenang sehingga muncul peradaban. Selama berabad-abad Barat dikuasai oleh satukekuatan, awalnya Yunani dan kemudian Romawi. Dengan demikian praktis Barat mengandalkan atau dikuasai peradaban tunggal yaitu gabungan peradaban Yunani-Romawi. Ini mungkin tak terlepas dari dunia Barat yang dihuni oleh masyarakat yang praktis seragam, berasal dari rumpun yang sama. Dengan demikian, ketika Romawi Barat runtuh, praktis runtuh pulalah peradaban Barat. Dunia Timur –yang hingga kini mencakup Asia, Afrika dan ada yang menambah dengan Pasifik– dihuni oleh masyarakat yang beragam, lebih dari 1 rumpun. Dengan demikian Timur tidak dikuasai oleh satu kekuasaan atau satu peradaban. Ada peradaban Mesir, Mesopotamia, Arabia, India, Cina dan sebagainya. Antara satu dengan lainnya memiliki ciri tersendiri, persamaan jarang didapat. Dengan demikian, walaupun ada perang, peradaban runtuh atau berbagai kekacauan di Timur tidaklah berakibat seluruh Timur terjerumus dalam keruntuhan, minimal hal tersebut bertahan hingga abad ke-19. Sebagai misal, jika di Cina terjadi kemunduran, di India dan negeri lain masih ada kemajuan. Atau jika di India terjadi kekacauan, di Cina dan di negeri lain masih ada keteraturan. Karena kekuasaan dan peradaban di Timur tidak tunggal terhimpun, tetapi tersebar di beberapa negeri atau masyarakat. Ada hal lain yang perlu diketahui, kemajuan yang diraih oleh Barat sesungguhnya berasal dari Timur. Kejayaan Barat perioda sekitar 1000 BC - 500 AD (termasuk Yunani-Romawi) juga hasil belajar yang lama dari Timur, khususnya Asia Barat atau lazim disebut “Timur Tengah” dan Afrika Utara atau lazim disebut “Timur Dekat”. Kebangkitan kembali dari perioda Abad Kegelapan juga tak lepas dari proses belajar dari Timur. Hasilnya, dari sekitar tahun 1800 hingga kini untuk pertama kalinya Barat mengungguli Timur dalam banyak bidang. Gerakan Renaissance di Barat tidak terlepas dari tantangan. Selama beberapa abad usaha melawan penindasan negara-gereja mengalami kegagalan. Tetapi penindasan tersebut tidak mampu membendung arus orang Barat untuk belajar ke Timur. Walaupun hubungan Barat-Timur sempat rusak berat oleh perang salib (1095-1291), yaitu usaha Barat untuk meraih bekas wilayah jajahan di Asia Barat dan Afrika Utara sekaligus cikal bakal perang kolonial abad ke-16, pemulihan hubungan pasca perang boleh dibilang relatif cepat. Perang tersebut justru berakibat makin mendekatkan Barat dengan Timur. Sepulang dari Timur, orang Barat mengembangkan berbagai pengaruh Timur semisal dalam teknologi. Beberapa lembaga pendidikan dibentuk antara lain Heidelberg, Cambridge, Leiden dan lain-lain. Demikian pula kelompok intelektual. Hasrat lepas dari kungkungan berfikir tak dapat dibendung lagi dan berarti konflik beserta korban antara pro Renaissance dengan anti Renaissance tak terhindarkan lagi. Galileo Galilei adalah satu di antara banyak korban konflik tersebut. Di dalam gerakan Renaissance juga terdapat gerakan pembaharuan pemahaman dan pengamalan agama yang lazim disebut “Reformasi Protestan” atau lazim hanya disebut “Protestan”. Gerakan ini jelas menolak hak gereja Katholik sebagai penafsir atau pemberi pendapat tunggal agama yang harus dipatuhi tanpa tanya atau kritik. Perintisnya adalah Martin Luther dari Jerman dan Jean Cauvin atau John Calvin dari Perancis. Kelak dari nama mereka muncul gereja Lutheran dan gereja Kalvinis. Di bidang ilmiyah, muncul Nicolaus Copernicus dan Galileo dengan teori mengenai tata surya. Teori tersebut dianggap bertentangan dengan pendapat gereja sehingga Galileo pernah berurusan dengan pendeta. Namun teori tersebut semakin banyak pendukungnya. Gerakan Renaissance bersamaan waktunya dengan pagelaran imperialisme Barat secara besar-besaran. Pelaku dan korban lebih dari satu. Sesungguhnya imperialisme Barat sudah ada sejak lama, tetapi perkembangan yang pesat terjadi sejak abad ke-16. Perkembangan teknologi pada masa itu –khususnya pelayaran dan persenjataan– membangkitkan hasrat beberapa bangsa Barat menjelajah dan menjajah ke seantero dunia. Di benua yang baru dikenal –Amerika dan Australia– imperialis Barat boleh dibilang tidak mendapat perlawanan berarti. Mengingat kedua benua tersebut terbilang luas dibanding jumlah penduduknya, dan juga umumnya masih primitif. Demikian pula di Samudera Pasifik. Memang, ada peradaban canggih pribumi di tengah dan selatan Amerika tetapi ternyata praktis mudah ditaklukan. Di Asia-Afrika, penduduknya boleh dibilang banyak jika diukur dengan luasnya. Umumnya penduduk di wilayah tersebut telah memiliki peradaban canggih sejak lama, jauh ketika Barat masih primitif. Dengan demikian, penaklukan ke wilayah tersebut jauh lebih sulit. Perlawanannya berat. Agaknya, imperialisme termasuk dalam gerakan Renaissance Barat. Bersamaan dengan itu, secara menyeluruh Timur masih bertahan hingga awal abad ke-19. Turki, Maroko, Persia, Cina dan India masih mampu menjadi fihak-fihak yang dikagumi prestasinya, terutama di bidang militer. Warisan prestasi tersebut masih banyak yang ada di negeri-negeri tersebut hingga kini. Tetapi suatu kebangkitan berupa pencerahan yang mampu mewujudkan prestasi segar tetap diperlukan, mengingat proses pembusukan peradaban telah muncul akibat kurang atau tidak ada pembaharuan dan tidak waspada dengan kebangkitan Barat. Timur seakan mengalami suatu “kelelahan melahirkan” prestasi peradaban. Orang umumnya cenderung sudah puas atau mengagumi prestasi atau kejayaan masa lalu, tanpa memperbaharuinya. Jika ada yang memperjuangkan pembaharuan atau kebangkitan, masyarakat cenderung menilai hal tersebut sebagai murtad, kafir, pembangkang dan pemberontak. Mirip dengan Barat perioda Abad Kegelapan. Bahkan imperialisme Barat mendukung sikap anti kebangkitan dan membantu kekuatan lokal yang anti untuk melawannya, apakah diminta ataupun tidak. Inilah yang juga dialami gerakan yang menjadi pokok pembahasan ini: Wahhabi (Wahhabiy)! LATAR BELAKANG Ditinjau dari namanya, jelas Wahhabi adalah nama Arab (‘Arabiy). Dan jika ingat Arab, maka umumnya cenderung ingat agama mayoritas bangsa tersebut: Islam. Memang, Wahhabi adalah nama gerakan atau faham yang lahir di Arabia (‘Arabiyyah) dan berkaitan dengan Islam. Sesungguhnya nama tersebut tidak dipakai oleh pembentuk atau pengikutnya. Sebutan “Wahhabi” justru bermula dari para musuhnya. Kemudian sadar tidak sadar dipakai oleh umum. Nama asli gerakan tersebut adalah Muwahhid yang bermakna Kaum Monoteis atau Kaum Bertuhan Satu. Sebutan Wahhabi adalah untuk memfitnah atau menjelekkannya sebagai faham “berbahaya” atau “sesat”, sehingga orang menjadi alergi, benci atau takut dengan nama Wahhabi. Hingga kini sekta Wahhabi dinilai “sempit”, “kaku”, “kejam”, “licik” atau “garang”. Jika ada gerakan yang ingin memperjuangkan pemahaman dan pengamalan Islam secara murni dan konsekuen, maka mendapat beberapa sebutan antara lain Wahhabi. Gerakan al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin yang ramai dibahas menampilkan atau mengingatkan kembali pada nama Wahhabi mengingat Usamah berasal dari Arabia, tepatnya Kerajaan Arab Saudi (al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Sa’udiyyah). Negara ini jelas memilih Wahhabi sebagai faham resmi negara. Bahkan keluarga Usamah memiliki hubungan akrab dengan keluarga kerajaan, yaitu keluarga Sa’udiy. Karena tekanan imperialis Barat, Usamah harus pergi dari negerinya, dijauhi keluarganya dan dibekukan asetnya. Beberapa gerakan kebangkitan Muslim semisal di Chechnya, Tadzikistan dan Sinkiang di Cina dituduh sebagai gerakan yang terkait dengan al-Qaidah dan kadang disebut dengan Wahhabi. Sesungguhnya nama Wahhabi berasal dari nama Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, seorang ulama asal Provinsi Najad, di bagian tengah Arabia. Dia mencoba membangkitkan kaum Muslim dari kebekuan atau penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan agama. Dia menilai bahwa dua hal tersebut adalah penyebab pokok keruntuhan kaum Muslim, keruntuhan yang mulai terasa sejak abad ke-13. Islam lahir di Arabia disampaikan oleh Muhammad SAW (570-632). Agama ini tidak hanya membahas perkara ritual tetapi juga sosial. Segala aspek terbahas di dalamnya dengan mengacu pada konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta). Karena itu perjuangan Muhammad tidak hanya mencakup pembenahan ritual tetapi juga sosial. Ketika dia lahir, Arabia telah mengalami abad kegelapan dengan sebutan khas jahiliyah selama sekitar 500 tahun. Perpecahan di dalam dan penjajahan dari luar telah meruntuhkan peradaban Arab, peradaban yang sempat diperhitungkan dunia. Pembenahan yang dilaksanakan Muhammad mendapat tantangan hebat dari masyarakat. Selama sekitar 12 tahun berjuang di kampung halamannya (Makkah) hanya meraih sedikit pengikut. Sambutan simpatik justru datang dari Madinah, sekitar 450-500 km dari Makkah. Gerakan Muhammad berangsur-angsur tersiar, ada yang mendukung ada yang menentang. Pada tahun 622 dia dan pengikutnya pindah ke Madinah. Perpindahan tersebut merupakan peristiwa penting karena merupakan titik balik nasib kaum Muslim. Peristiwa tersebut lazim disebut “hijrah” dan menjadi dasar kalendar Muslim. Di Madinah, kaum Muslim untuk pertama kali mendapat kekuasaan: membentuk pemerintahan dengan segala kelengkapannya. Pertumbuhan kaum Muslim tetap tidaklah sepi dari tantangan. Berbagai kelompok dalam masyarakat Arab mencoba menumpas umat baru ini, bahkan juga dari dua superpower yaitu Persia dan Bizantium. Berbagai perang bahkan digelar. Usaha tersebut gagal walaupun kaum Muslim banyak menderita korban. Pelan tapi pasti, kaum Muslim meraih pengaruh di Arabia. Tahun 630 Makkah ditaklukan dan ketika Muhammad wafat pada 632, sebagian besar Arabia telah takluk. Para penggantinya, yang lazim disebut “khalifah” mencoba mempertahankan dan menambah perolehan yang telah diraih, dan hal tersebut harus melalui perjuangan pula. Bizantium dan Persia dianggap penghalang utama karena “mengepung” Arabia dan terbukti mengganggunya. Karena itulah melawan dua superpower tersebut sekaligus adalah satu-satunya pilihan. Peperangan dan penaklukan dilaksanakan dan sukses, Persia takluk sepenuhnya dan Bizantium kehilangan banyak wilayah. Kehadiran kaum Muslim umumnya disambut lega oleh warga kedua negeri tersebut karena penindasan yang dilaksanakan oleh penguasanya. Kaum Muslim memberi banyak kebebasan termasuk kebebasan menganut agama. Karena itu istilah perluasan wilayah dikenal dengan istilah futuh atau fatah yang bermakna pembukaan atau pembebasan. Ternyata penindasan tak hanya terdapat di Persia dan Bizantium. Di Iberia dan Turkistan tak jauh berbeda, rakyat berharap kebebasan. Penindasan telah berlangsung lama dan tak dapat ditanggung lagi. Pasukan Muslim –umumnya Arab– segera melebarkan jangkauannya. Mereka bergerak menuju Turkistan dan India tahun 706 serta Iberia tahun 711. Pada tahun 732 –seabad setelah Muhammad wafat– kaum Muslim telah menguasai wilayah terbentang dari pantai Atlantik hingga perbatasan Cina. Kaum Muslim segera menyadari bahwa sebagian besar penduduk wilayah taklukannya telah memiliki peradaban canggih semisal Mesir dan Mesopotamia. Bahkan di Arabia pun pernah muncul peradaban demikian semisal Mina’iyyah, Saba’iyyah, Himyariyyah dan Nabathiyyah. Wilayah taklukan yang berbatasan dengan Cina dan India juga memungkinkan kaum Muslim mengenal kedua peradaban tersebut. Mengingat Islam menghargai ilmu, maka kaum Muslim dengan penuh gairah mewarisi berbagai peradaban tersebut dengan giat belajar. Para pakar dan buku yang berkaitan dengan peradaban tersebut didatangkan, tidak peduli apapun latar agamanya. Hasilnya mengagumkan, selama sekitar perioda 700-1400 kaum Muslim tidak hanya menerima hasil temuan dan ciptaan dari orang lain tetapi juga menjadi penemu, pencipta dan penyebar peradaban, termasuk ke Barat. Tampil tokoh-tokoh semisal al-Khawarizmi, Jabir ibnu Hayyan, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazaliy, al-Kindi, Ibnu Khaldun, Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali dan Imam Hanafi. Karya-karya intelektual mereka masih berpengaruh hingga kini. Sebagaimana halnya dengan masyarakat lain, kaum Muslim juga mengalami perpecahan dan penaklukan. Hal tersebut mulai muncul sekitar awal abad ke-11. Usaha imperialis Barat merebut kembali bekas wilayah jajahannya yaitu yang pernah menjadi jajahan Bizantium, serta penyerbuan bangsa primitif Turki-Mongol mempengaruhi peradaban Muslim. Banyak pustaka dan sekolah dijarah atau dirusak serta para pakar yang ditawan atau dibunuh. Usaha imperialis Barat tersebut gagal mencapai maksud dan bangsa Turki-Mongol berangsur-angsur menjadi Muslim, mereka membangun kembali peradaban yang pernah mereka hancurkan semisal di Persia, India dan Turkistan. Gejala pembusukan peradaban telah dirasakan oleh Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim pada abad ke-14. Mereka berdua mencoba membangkitkan kesadaran kaum Muslim untuk berbenah tapi tak banyak hasilnya. Gerakan kebangkitan harus menunggu sekitar 400 tahun lagi untuk tampil. ASAL MUASAL Muhammad bin ‘Abdul Wahhab lahir di Uyaynah –kini masuk Provinsi Najad– pada tahun 1703. Sebelum minyak ditemukan pada abad ke-20, Najad boleh dibilang “menyajikan” suatu masyarakat khas pengelana. Praktis tidak banyak peradaban kota di wilayah tersebut mengingat wilayah tersebut terkurung karena relatif jauh dari pesisir dan melintasi gurun. Bahkan apa yang dinamakan kota sesungguhnya banyak yang hanya kumpulan pondok dari lumpur. Selama berabad-abad Najad bebas dari penaklukan asing dan tentunya tidak banyak pengaruh asing di situ. Penaklukan asing hanya menguasai pesisir barat yaitu Laut Merah dan pesisir timur yaitu Teluk Persia. Selama hidupnya, kedua pesisir tersebut dikuasai Kerajaan Turki Usmani (al-Mamlakah al-‘Utsmaniyyah). Kerajaan Muslim yang berlangsung dari 1299 hingga 1924. Asal muasal bangsa Turki bukanlah Asia Barat, tetapi Asia Tengah. Mereka berangsur-angsur bergerak ke Asia Barat, Afrika Utara dan Eropa Timur. Membangun kekuasaan dan peradaban. Mereka berperan membendung hasrat imperialisme Barat pada perioda perang salib dan kemudian perang kolonial. Pada abad ke-16 Usmani menaklukan Arabia, pesisir barat sejauh Yaman dan pesisir timur sejauh Qathar. Adapun bagian tengah yaitu Najad dibiarkan bebas. Hal tersebut bertahan sampai akhir Perang Dunia I (1914-1918). Di Najad tidak ada kerajaan. Yang ada ialah kekuasaan para kepala suku yang tersebar dan cenderung saling bermusuhan. Perang antar suku lazim terjadi, yang kalah disita hartanya dan dirinya mungkin menjadi budak atau minimal penguasa bawahan (vassal). Kehidupan yang keras memang. Dalam suasana demikian Ibnu ‘Abdul Wahhab hidup: lahir, tumbuh dan kemudian wafat. Sejak kecil sudah dididik untuk tegar. Pendidikan agama pun ditempuh. Seiring dengan waktu, dia tumbuh dewasa dan mencoba memahami keadaan masyarakat. Dengan kecerdasannya dia menilai bahwa masyarakatnya memiliki pemahaman dan pengamalan agama yang tidak murni. Walaupun wahyu dan hadits berbahasa Arab, tetapi agaknya bukan jaminan bagi masyarakatnya untuk memahami dan mengamalkan Islam dengan tepat. Apakah masyarakat Muslim di tempat lain juga demikian? Mungkin itulah pertanyaan yang mengusiknya. Pertanyaan itu terjawab ketika dia belajar di luar kampung halamannya antara lain Madinah, Baghdad, Bashrah, Kurdistan dan Qum. Dia menilai –berdasar perjalanan belajarnya– bahwa keruntuhan peradaban Muslim praktis merata di seantero dunia Muslim. Keadaan masyarakat di tempat-tempat yang dikunjunginya dapat dianggap mewakili keadaan dunia Muslim. Sumber utamanya ya kebekuan dan penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan Islam. Walaupun dia mempelajari beberapa faham dalam Islam, tetapi dia tetap menganut faham Hanbali, yang mayoritas dianut di wilayah Arabia. Istilah “Hanbali” berasal dari nama Ahmad bin Hanbal, seorang ulama yang hidup pada abad ke-9. Mengenai faham pemurniannya dia terpengaruh oleh faham Ibnu Taymiyyah. Sepulang dari kelana, dia segera memperkenalkan fahamnya tentang agama dan dia juga menulis buku Kitab al-Tauhid (Buku Monoteis), dan segera pula mendapat tantangan dari masyarakatnya. Mungkin dia sudah menduga hal tersebut, contoh dalam sejarah begitu banyak tentang hal itu. Contoh yang paling mudah, ya riwayat para nabi. Setiap perubahan –sebaik apapun– tidaklah sepi dari tantangan. Ibnu ‘Abdul Wahhab menilai kebekuan dan penyimpangan tersebut membuahkan dua hal yang sangat bertentangan dengan Islam yaitu syirik dan bid’ah. Syirik dalam bentuk yang murni adalah faham mempersekutukan tuhan semisal percaya pada keramat kubur, ramalan dukun, keramat benda dan memuja kepada selain Allah. Adapun bid’ah adalah praktek ritual yang dasarnya tak terdapat atau tidak jelas dalam sumber asli Islam, kitab al-Qur’an dan sunnah Muhammad Praktis dunia Muslim dilanda suasana “keramat” atau “kuburan”. Muncul ajaran yang bukan-bukan –lazim disebut “khurafat”– yang sangat sulit dibersihkan. Tantangan masyarakatnya memaksa dia pindah ke Dar’iyyah atau Dir’iyyah, masih wilayah Najad. Di situ dia berkenalan dengan seorang kepala suku bernama Muhammad bin Sa’ud, leluhur keluarga Kerajaan Arab Saudi. Mirip kisah Muhammad yang diusir dari Makkah dan disambut ramah di Madinah, Ibnu ‘Abdul Wahhab disambut ramah oleh Ibnu Sa’ud. Mulailah “duet 2M” berlangsung: Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dan Muhammad bin Sa’ud. Kerja sama mereka akan membawa faham Wahhabi dan keluarga Sa’udiy tampil ke panggung dunia. Adapun leluhur Sa’ud telah berada di Dar’iyyah sejak sekitar tahun 1500, mengusahakan perkebunan kurma dan menetap di situ. Dengan dukungan Ibnu Sa’ud, Ibnu ‘Abdul Wahhab bergerak merusak beberapa kubur yang dianggap keramat di sekitar Uyaynah. Pada tahun 1744 mereka mengikat diri dalam sumpah setia menurut Islam –lazim disebut bai’at– akan membentuk negara berdasar Islam. Ketika itu Ibnu Sa’ud telah dilantik berdasar kesepakatan para pemimpin suku sebagai pemimpin mereka. Revolusi Wahhabi mulai. Sebelum kita berlanjut lebih jauh ada baiknya untuk mengetahui sekilas tentang keadaan di luar Arabia ketika mereka hidup. Pada pertengahan abad ke-18 di Barat –saat itu sudah mencakup tidak hanya Eropa, tetapi juga Amerika dan Australia– muncul gerakan kebangkitan lanjutan dari Renaissance yaitu apa yang dinamakan Aufklarung (Pencerahan). Di benua Amerika berkobar Revolusi Amerika (1775-1783), yaitu usaha warga Amerika Utara lepas dari Kerajaan Inggris dan membentuk negara sendiri. Usaha tersebut sukses dan lahir negara baru yaitu Republik Amerika Serikat, yang kelak menjadi negara superpower sejak usai Perang Dunia II (1939-1945). Di Eropa muncul revolusi teknologi yaitu penemuan mesin uap praktis oleh James Watt tahun 1769, lazim dianggap sebagai awal dari Revolusi Industri. Penemuan tersebut kelak akan membebaskan sebagian tenaga manusia dan digantikan mesin dalam menghasilkan barang dan jasa. Revolusi politik juga muncul di Eropa yaitu Revolusi Perancis yang bermula pada 14 Juli 1789, revolusi tersebut menumbangkan sistem kerajaan di Perancis. Kelak Perancis menjadi imperialis terbesar kedua setelah Inggris pada abad ke-19. Ketiga peristiwa yang menjadi ciri pokok Aufklarung tersebut menempatkan dunia Barat mengungguli Timur pada abad ke-19 sebagaimana telah tersebut di atas. Ibnu ‘Abdul Wahhab kemungkinan besar tidak tahu tentang kebangkitan tersebut, karena itu gerakan kebangkitan yang dia laksanakan juga kemungkinan besar adalah inisiatif murninya. Dia hanya tahu bahwa kaum Muslim sedang loyo. Jika ada persamaan waktu antara dua kebangkitan tersebut, dapat dianggap hanya kebetulan. Ibnu Sa’ud mulai bergerak ke beberapa kota dan desa di Najad untuk menaklukan sekaligus menumpas praktek keagamaan yang dinilai bertentangan dengan kemurnian Islam –khususnya Syi’ah– mengingat bagian timur Arabia terdapat masyarakat Syi’ah yang terbilang besar. Arabia Timur dekat dengan Iraq (‘Iraq) dan Iran, dua negeri berpenduduk mayoritas Syi’ah. Sejak ribuan tahun silam Arabia Timur mendapat pengaruh dari kedua negeri tersebut. Muslim Syi’ah muncul pada abad ke-7. Istilah tersebut bermakna “pengikut”, maksudnya pengikut ‘Ali bin Abu Thalib, seorang menantu Nabi Muhammad sekaligus termasuk apa yang disebut “Sepuluh Sahabat Mulia” (‘Asyrat al-Kiraam) karena 10 orang tersebut telah diberitahu nabi bahwa mereka masuk surga. Kelompok ini pada awalnya muncul karena motif politik bercorak teokrasi. Mereka percaya bahwa yang berhak menjadi pengganti Muhammad sebagai pemimpin kaum Muslim adalah keturunan nabi melalui pasangan ‘Ali dengan Fathimah al-Zahra, putri nabi. Syi’ah menyebut pemimpin tersebut sejak ‘Ali dan keturunannya sebagai “imam”. Ini berbeda dengan Muslim Suni atau Ahl al-Sunnah wal Jama’ah, yang menilai bahwa pemimpin Muslim pasca nabi berasal dari pemilu. Perbedaan yang berasal dari politik akhirnya merambah ke bidang agama. Sementara itu, Ibnu Sa’ud wafat pada tahun 1765, penggantinya yaitu ‘Abdul ‘Aziz tetap memilih Ibnu ‘Abdul Wahhab sebagai penasehat dalam hal agama. Ibnu ‘Abdul Wahhab wafat pada tahun 1792. Sebagaimana Ibnu Sa’ud dan juga berbagai kepala suku, ‘Abdul ‘Aziz bertekad ingin menjadi penguasa terkemuka di Arabia –ambisi yang telah ada sejak ribuan tahun sebelumnya. Untuk itu dia perlu dasar ideologi yang jelas dan faham Ibnu ‘Abdul Wahhab menjadi pilihan. Tetapi nama resminya adalah Muwahhid, nama yang menjelaskan faham yang menolak syirik dan bid’ah. Dengan demikian perluasan kuasa Sa’ud seiring dengan perluasan pengaruh Wahhabi. Sejak 1765 faham Wahhabi dan juga kuasa Sa’ud mencakup sebagian besar Najad. Jika gerakan Wahhabi hanya berkutat di Najad, hampir pasti dunia hanya memberi kepedulian kecil pada mereka. Pada awalnya pemerintah Turki cenderung meremehkan gerakan tersebut sebagai gejolak sesaat atau konflik antar suku yang lazim terjadi, dalam arti tiada membawa ideologi tertentu. Lagi pula, gerakan tersebut tampil di luar wilayah taklukan Turki. Urusannya menjadi lain ketika Wahhabi bergerak ke luar Najad. Pada tahun 1801 pasukan Wahhabi bergerak menuju Karbala di Iraq –kota suci Syi’ah– karena berkaitan dengan peristiwa kematian cucu nabi yaitu Hussayn bin ‘Ali bin Abu Thalib pada abad ke-7. Mereka menyerang, membunuh, merusak dan menjarah kota tersebut, bukan hanya tempat-tempat suci yang menjadi target perusakan dan penjarahan tetapi juga aset lain. Sekitar dua tahun kemudian mereka menyerbu Hijaz, wilayah di mana kota suci utama Muslim yaitu Makkah dan Madinah berada –lazim disebut wilayah “Haramayn”. Di Haramayn mereka tidak melaksanakan perusakan dan penjarahan sedahsyat ketika menyerang Iraq, mengingat wilayah tersebut adalah “jantung” dunia Muslim dan mayoritas warganya adalah Suni juga. Perusakan dan penjarahan dilaksanakan dengan lebih cermat yaitu peninggalan yang (waktu itu) dikeramatkan. Mungkin mereka coba meniru tindakan Muhammad SAW menghancurkan berhala ketika menaklukan Makkah pada tahun 630. Penaklukan Hijaz berakibat gerakan Wahhabi berhadapan dengan sisa dunia, khususnya dunia Muslim. Kaum Muslim, terutama Syi’ah, cemas jika tempat-tempat suci lain menjadi target berikutnya dan jalan masuk ke Haramayn dibatasi. Selain itu penaklukan Hijaz adalah lambang yang penting, karena pemerintah Usmani –yang merupakan kekuatan terpenting dalam dunia Muslim– secara resmi menguasai Hijaz. Usmani jelas menolak penguasaan Hijaz oleh siapapun selain dirinya. Usmani ingin bertindak tapi sulit. Negara tersebut sedang mengalami proses keruntuhan sejak sekitar 150 tahun sebelumnya dan tentaranya tersebar luas dan sekaligus lemah. Karena itu pemerintah menyerahkan tugas menumpas Wahhabi kepada Muhammad ‘Ali Basya, atau Pasya. Dia adalah panglima setengah merdeka garnisun Turki di Mesir (Mishri). Sejak abad ke-16 Turki menguasai Mesir, dengan demikian militer Mesir berada di bawah wewenang Turki. Muhammad ‘Ali segera melantik anaknya yaitu Tursun atau Tusan sebagai panglima merebut Hijaz. Tursun bergerak pada tahun 1816. Sementara itu, Ibnu ‘Abdul Wahhab wafat tahun 1792 dan ‘Abdul ‘Aziz menyusul tak lama menjelang penaklukan Makkah. Kepemimpinan diganti oleh anak ‘Abdul ‘Aziz yaitu Sa’ud. Setelah Sa’ud wafat pada 1814, dia diganti oleh anaknya yaitu ‘Abdullah. ‘Abdullah yang harus menghadapi serbuan pasukan Mesir. Pasukan Tursun merebut Makkah dan Madinah nyaris bersamaan. ‘Abdullah terpaksa mundur kembali ke Najad dan Muhammad ‘Ali bertekad mengejar. Tugas mengejar pasukan Wahhabi diserahkan kepada anaknya yang lain yaitu Ibrahim. Ibrahim segera maju menuju Dar’iyyah, ibu kota gerakan Wahhabi sekaligus keluarga Sa’ud. Kaum Wahhabi menjadikan kota tersebut sebagai pertahanan akhir. Pasukan Muhammad ‘Ali perlu waktu sekitar dua tahun untuk merebut Dir’iyyah melalui pertempuran dahsyat. Jelas pasukan Wahhabi bukan tandingan pasukan Mesir. Akhirnya, Dar’iyyah jatuh dan ‘Abdullah ditangkap pada tahun 1818. Dia dihukum mati di Istambul, anggota keluarga Sa’ud dipaksa meninggalkan negeri. Pasukan Mesir meratakan kota Dar’iyyah dan merusak lahan pertanian di sekitarnya. Beberapa tempat yang dinilai strategis segera ditempati. Garnisun yang telah ada diperkuat. Gerakan anti Wahhabi dihimpun oleh pemerintah Turki dan para antek termasuk ulama, mereka beramai-ramai memfitnah Wahhabi ke seantero dunia Muslim termasuk ke Indonesia. Ibnu ‘Abdul Wahhab dituduh keturunan Mussaylamah al-Kadzdzab, seorang tokoh di Najad abad ke-7 yang mengaku sebagai nabi tak lama setelah Nabi Muhammad wafat. Sikap anti keramat kubur difitnah sebagai anti ziarah, menolak praktek doa melalui perantaraan difitnah sebagai anti ulama. Dan berbagai ragam fitnah lain. Perebutan Dar’iyyah dan penangkapan ‘Abdullah jelas merupakan pukulan berat bagi gerakan Wahhabi. Agaknya mereka harus mulai dari awal lagi dan perlu waktu lama untuk mampu tampil kembali, tetapi faham Wahhabi sempat tersebar ke luar Arabia termasuk ke Indonesia. Gerakan Paderi di Minangkabau dan Muhammadiyyah di Jawa Tengah jelas berfaham Wahhabi. Gerakan Wahhabi dan keluarga Sa’udiy sukses meraih kuasa di sebagian besar Arabia pada 23 September 1932 dengan membentuk Kerajaan Arab Saudi. FAHAM WAHHABI Faham ini tampil dari rasa kepedulian Muhammad bin ‘Abdul Wahhab terhadap martabat kaum Muslim yang runtuh seiring dengan proses pembusukan peradaban Muslim. Faktornya mungkin bermacam-macam, tetapi semuanya itu dinilainya berasal dari pemahaman dan pengamalan Islam yang dicemari oleh penyimpangan dan kebekuan berfikir. Dia saksikan masyarakat Najad mengamalkan hal-hal yang dinilai syirik dan bid’ah. Semisal memuja orang suci, berziarah ke kubur atau masjid tertentu, bahkan memuja pohon, gua dan batu, mengajukan nazar dan memberi sesaji. Kurang teguh atau lalai beragama semisal tak peduli dengan anak yatim dan janda, berzina, lalai shalat dan gagal membagi warisan dengan adil adalah beberapa contoh lain yang dinilai perlu dibenahi. Kesemua kemunkaran tersebut dinilai sebagai perilaku jahiliyyah, tak beda dengan suasana pra Islam. Persekutuan dua Muhammad tersebut di atas secara ampuh menampilkan kesetiaan politik menjadi atau sebagai bagian kewajiban agama. Menurut faham Wahhabi, seorang Muslim harus melaksanakan bai’at sebagaimana tersebut di atas, sumpah akan patuh kepada pemimpin selama si pemimpin patuh pada agama. Dengan demikian diharapkan terwujud masyarakat agamis. Ketika Ibnu ‘Abdul Wahhab pindah ke Dar’iyyah dan disambut oleh Ibnu Sa’ud, kota tersebut menjadi pusat gerakan Wahhabi termasuk kegiatan penyebaran yang lazim disebut da’wah (missionary). Tenaga da’wah disebar ke seluruh Arabia, juga Suriah (Suriyyah) dan Iraq. Mereka juga melaksanakan “perjuangan di jalan Allah” (al-jihad fiy sabilillah) melawan kaum Muslim yang dianggap murtad. Dengan semangat demikian gerakan Wahhabi memperluas wilayah dari pesisir Laut Merah hingga pesisir Teluk Persia, membangun sekolah, menempatkan guru dan aparat negara. Sekilas faham Wahhabi mencakup antara lain: 01. Tiada obyek lain untuk memuja melebihi Allah, mengacu konsep “tiada tuhan selain Allah”. 02. Orang suci tidak boleh digunakan untuk mohon pertolongan Allah, tegasnya mohon langsung kepada Allah. 03. Tidak boleh merokok. 04. Tidak boleh mencukur janggut. 05. Tidak boleh berbicara kasar. 06. Tasbih dilarang. 07. Praktek shufiy dilarang. 08. Masjid harus dibangun tanpa menara dan segala bentuk hiasan. 09. Semua orang harus menghadiri shalat jama’ah 10. Zakat harus dibayar dari seluruh penghasilan. 11. Memotong hewan sesuai dengan persyaratan “halal” melalui pemeriksaan teliti, tak cukup bahwa mereka menampilkan ritual dengan benar. 12. Tidak boleh ada perayaan agama semisal Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj. 13. Tidak boleh membangun kubur atau tempat suci, untuk mencegah peluang syirik. 14. Menolak analisa atau penafsiran berdasar logika –lazim disebut ijtihad– sejauh dalilnya masih nyata tersebut dalam kitab dan sunnah. Jika ditinjau satu per satu point-point di atas, agaknya tidak ada yang istimewa untuk dipermasalahkan. Tetapi mengingat beberapa perilaku telah berlangsung demikian lama maka muncul tantangan jika diubah, semisal tak boleh merokok, tidak boleh memilih orang sebagai perantara mohon kepada Allah, tak boleh ada perayaan agama dan tak boleh pakai tasbih. PENUTUP Sebagaimana halnya faham atau gerakan lain, sekali muncul Wahhabi sulit dibasmi oleh musuh-musuhnya. Sempat lenyap tapi kemudian muncul lagi. Setelah melalui perjuangan sulit mereka meraih kekuasaan di Arabia sebagaimana tersebut di atas. Di Indonesia, muncul gerakan berfaham Wahhabi yaitu Paderi yang waktunya relatif dekat dengan usaha Wahhabi meraih kuasa di Arabia. Gerakan Paderi menempuh revolusi untuk mencapai tujuan sehingga juga mendapat tantangan dari warga setempat –dengan dibantu imperialis Barat yaitu Belanda– yang berakibat berkobarlah Perang Paderi (1821-1837). Walaupun gerakan tersebut dapat ditumpas dan Tuanku Imam Bonjol ditangkap, fahamnya tetap hidup dan muncul dalam nama lain. Muhammadiyyah adalah organisasi berfaham Wahhabi yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) tahun 1912 juga sempat mendapat tantangan berat. Berbeda dengan Paderi, Muhammadiyyah tidak menempuh revolusi tetapi pendekatan pendidikan dan kesejahteraan sehingga lambat laun dapat diterima dan hingga kini masih ada. Untuk tingkat internasional, kelompok al-Qaidah adalah perintis kebangkitan Muslim yang bercorak Wahhabi. Lawannya berat yaitu imperialis Barat yang bernama Amerika Serikat beserta sekutu dan anteknya. Musuhnya menduga bahwa kelompok tersebut memiliki jaringan luas, teknologi canggih, dana berlimpah dan senjata berat. Julukan “teroris” diberikan kepada al-Qaidah karena dinilai mengganggu kepentingan imperialis Barat beserta anteknya. Serangkaian serangan atau kekerasan selama beberapa waktu dituduhkan kepada al-Qaidah melalui jaringan globalnya. Layak disayangkan bahwa ada Muslim yang sadar tidak sadar ikut komplotan anti al-Qaidah atau minimal benci –termasuk pemerintah Arab Saudi. Mungkin karena kagum atau minder kepada Barat. Di Arab Saudi, Wahhabi sukses memurnikan agama tetapi harus membayar mahal. Perusakan terhadap warisan sejarah Muslim untuk mencegah syirik adalah kehilangan berat bagi dunia Muslim. Jika kita ingin menyaksikan warisan sejarah Muslim dalam bentuk masih asli umumnya bukanlah di Arab Saudi, tetapi di Suriah, Iraq, Iran, Mesir, Turki dan lain-lain. Bab IV MENUJU RENAISSANCE INDONESIA Istilah renaissance bermakna kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Istilah ini mengacu kepada sejarah dunia Barat –khususnya Eropa dan memang berawal dari Eropa– sejak perioda abad ke-15 menurut satu sumber, atau abad ke-16 menurut sumber lain. Karena itu kita perlu menelusuri secara singkat sejarah Barat, dan kebangkitan tersebut tidak terlepas dari hubungan yang sedemikian lama antara dunia barat dengan dunia Timur. Mungkin muncul pertanyaan, apa yang bangkit kembali atau lahir kembali? Dalam sejarah dunia Barat dikenal dengan Zaman Kegelapan (Dark Ages) atau Abad Pertengahan (Middle Ages). Pada perioda tersebut segala prestasi kemanusiaan yang pernah dicapai dunia Barat rusak atau hilang. Dunia Barat mengalami perioda kemandegan terutama di bidang pemikiran akibat pengaruh gereja-negara yang sedemikian besar, dalam arti menindas. Segala faham atau pemikiran yang menyimpang dari dua lembaga tersebut dilarang, bahkan para pendukungnya yang masih bertahan diburu. Berbagai tuduhan diberikan semisal murtad, sesat atau bid’ah. Suasana macam ini jelas tidak memberi kesegaran untuk berfikir. Umumnya orang menilai perioda suram tersebut bermula pada tahun 476, ketika Kerajaan Romawi Barat runtuh oleh serbuan bangsa Jerman yang waktu itu masih primitif. Kota Roma ditaklukan, warga ditangkap atau dibantai serta berbagai aset dijarah atau dirusak. Hal tersebut merupakan peristiwa yang memilukan bagi Barat karena pada zaman tersebut ada anggapan umum bahwa kerajaan runtuh berarti peradaban runtuh. Perioda ini dianggap berakhir pada tahun 1492, ketika itu kekuasaan kaum Muslim di Eropa Barat dapat dihapus oleh persekutuan Castilia-Aragon yang kelak membentuk Kerajaan Spanyol. Disamping itu, tahun tersebut diisi oleh peristiwa spektakuler Christoforus Columbus menemukan benua Amerika. Peristiwa tersebut agaknya perlu diteliti ulang, sesungguhnya Columbus hanya mencapai gugusan pulau di Laut Karibia, lepas pantai benua Amerika. Juga sesungguhnya sebelum Columbus sudah ada beberapa pelayaran menjangkau benua tersebut antara lain bangsa Arab, Berber dan konon Cina. Tetapi dampaknya tidak sedahsyat pelayaran Columbus. Ketika Barat mengalami masa suram, dunia Timur masih bertahan menampilkan berbagai prestasi kemanusiaan yang telah ada sejak sekitar 5000 BC, ketika peradaban manusia pertama lahir di Timur. Sejak itu berbagai kerajaan dan peradaban tampil silih berganti memberi sumbangsih kepada kemanusiaan, termasuk ke dunia Barat. Setelah sekian lama menyerap pengaruh Timur, Barat bangkit sekitar tahun 1000 BC di Yunani, kemudian diwarisi oleh Romawi. Pada perioda 1000 BC – 500 AD Barat boleh dibilang tampil imbang dengan Timur. Kemudian sebagai akibat Romawi Barat runtuh, sekitar perioda 500-1500 Timur kembali mengungguli Barat. Barat terpaksa belajar lagi kepada Timur untuk bangkit kembali. Perioda bangkit kembali itulah disebut Renaissance. Pada abad ke-7 di Timur muncul suatu kekuatan sekaligus peradaban yang kelak memberi banyak sumbangsih bagi manusia tetapi sekaligus sering atau sengaja dilupakan, yaitu Islam. Dirintis oleh Nabi Muhammad SAW (570-632) di Arabia, setelah mengalami perjuangan pahit menyebar Islam dan mempersatukan Arab, terbentuklah umat baru dan negara baru yaitu Muslim. Negara baru tersebut menghadapi masalah berat: terkepung oleh dua kekuatan raksasa (super power) saat itu di kawasan yang terbentang dari Afrika Utara hingga Asia Tengah, yaitu Kerajaan Romawi Timur (Bizantium) dan Kerajaan Persia (Sassanida) yang cenderung menindas sehingga rakyat mengharap kebebasan. Walaupun kedua negara tersebut mengalami perang yang menguras tenaga dan kebobrokan dalam negeri, agaknya masih tangguh dibanding Muslim. Diawali oleh gangguan dua super power tersebut terhadap stabilitas Arabia, kaum Muslim bergerak ke luar Arabia melawan keduanya sekaligus. Singkat cerita, Persia dapat ditaklukan sepenuhnya dan Bizantium kehilangan banyak wilayahnya. Penaklukan relatif cepat tersebut sedikit banyak juga karena didukung oleh rakyat kedua negara tersebut. Gerak maju kaum Muslim tersebut menampilkan imperium baru yang membentang dari Iberia hingga Turkistan. Kaum Muslim menaklukan wilayah yang sebagian besar telah berperadaban canggih dari warisan semisal Arabia, Mesir, Mesopotamia, Levant, Yunani, Romawi dan Persia. Wilayah sebelah timur berbatasan dengan Cina dan India sehingga kaum Muslim mengenal peradaban kedua bangsa tersebut. Selama perioda 700-1400 kaum Muslim menerima berbagai peradaban tersebut, mengolah dan memberi peradaban tersebut kepada Barat. Barat tidak punya pilihan kecuali menerima mengingat wilayah mereka berbatasan dengan imperium Muslim, walau hubungan Timur-Barat pada perioda tersebut sempat rusak oleh perang salib (1095-1291). Perang tersebut adalah usaha Barat untuk merebut kembali wilayah yang pernah dijajahnya, yaitu Afrika Utara dan Asia Barat. Juga dapat dianggap semacam cikal bakal perang kolonial yang kelak dikobarkan pada abad ke-16. Dengan demikian sesungguhnya Renaissance yang kelak mengantar Barat mencapai kemajuan dalam berbagai bidang sebagian besar adalah proses belajar yang lama dari kaum Muslim, yang antara lain dari bangsa Arab, Persia, Kurdi, Berber dan Turki. Mereka bangkit melawan penindasan gereja-negara. Yang sangat menonjol dari gerakan tersebut adalah kelompok Protestan. Tak dapat disangkal, perubahan tersebut meminta waktu yang lama dan korban yang banyak. Hal tersebut kelak juga terjadi di Nusantara, walau tidak sepenuhnya mirip. Ini perlu dijelaskan khususnya kepada siapapun yang kagum atau minder kepada Barat. Kebangkitan kembali Barat juga mencakup penjelajahan dan penjajahan ke seantero dunia. Kemajuan teknologi hasil belajar yang lama semisal penciptaan senjata api, kompas, mesin cetak, kapal layar dan pemetaan membantu dan makin merangsang hasrat imperialisme, yaitu hasrat yang memang sudah ada sejak Barat masih primitif. Indonesia termasuk yang kena dampak itu, karena orang Barat sukses mencapai wilayah tersebut. Bahkan Indonesia adalah tujuan pokok imperialisme karena penghasil rempah-rempah. Hasil bumi tersebut sangat diperlukan Barat saat itu untuk bumbu dan mengawetkan bahan makanan. Jika abad ke-16 merupakan awal kebangkitan Barat, justru bagi Indonesia adalah awal keruntuhan. Imperium Majapahit setelah sekian lama tampil dominan di Asia Tenggara, runtuh akibat konflik intern, beberapa wilayah taklukan memisahkan diri. Peristiwa tersebut juga sedikit banyak mempengaruhi perkembangan peradaban. Dan kedatangan bangsa Portugis dan disusul oleh bangsa-bangsa Barat lainnya sungguh tepat waktunya, Nusantara –bahkan Asia Tenggara– dalam proses perpecahan. Keruntuhan Majapahit dan kedatangan imperialisme Barat berakibat prestasi kemanusiaan yang pernah dicapai menjadi rusak atau hilang, mirip dengan nasib Barat pada abad ke-5 sebagaimana telah dijelaskan di atas. Pelan tapi pasti bangsa Indonesia bergerak menuju keterbelakangan. Mungkin perioda 1500 hingga kini layak disebut zaman jahiliyah. ZAMAN JAHILIYAH DI NUSANTARA Seiring dengan proses Majapahit runtuh dan imperialisme Barat hadir, di Nusantara muncul beberapa kerajaan yang bertekad memulihkan capaian prestasi yang pernah diraih sebelumnya. Aceh, Demak, Banten, Palembang, Mataram, Goa, Ternate dan Tidore adalah beberapa contoh. Negara-negara tersebut sempat meraih puncak kejayaan –mungkin setaraf dengan Renaissance Barat– tetapi relatif tidak lama. Satu demi satu beberapa negeri di seantero Nusantara ditaklukan imperialis Barat, sehingga tak banyak yang tersisa dari prestasi tersebut. Imperialis Barat banyak menghancurkan bukti fisiknya semisal beberapa bangunan di Aceh dan Banten. Negara yang pertama ditaklukan adalah Kerajaan Malaka tahun 1511 oleh bangsa Portugis. Berulang-ulang usaha merebut kembali dilaksanakan tetapi gagal. Tahun berikutnya gerak maju mencapai Ambon di Kepulauan Maluku dan Timor di Kepulauan Sunda Kecil. Usaha menaklukan Jawa dapat digagalkan Demak. Selain Portugis, imperialis yang datang berikutnya adalah Spanyol, Inggris dan Belanda. Kelak, setelah melalui peperangan dengan sesama Barat dan sekaligus pribumi, Belanda tampil dominan di Nusantara. Perlawanan pribumi terhadap kolonial Belanda terjadi sejak awal kedatangan. Kedatangan pertama yang dipimpin Cornelis de Houtman di Banten hanya sebentar disambut ramah. Perilaku tidak sopan para tamu tersebut membuat marah pribumi dan muncul perlawanan. Perilaku tersebut bukan diperbaiki tetapi bahkan dilaksanakan pula di daerah lain, tentu saja kebencian dan perlawanan pula yang diterima. Pada awalnya rakyat Nusantara memilih perlawanan militer, hal tersebut masih memungkinkan mengingat teknologi Barat dengan Nusantara masih boleh dibilang berimbang. Tetapi imperialis memiliki cara yang dikenal dengan istilah “sistem senjata sosial”, yaitu devide et impera (pecah belah dan jajah). Hal tersebut memungkinkan mengingat Nusantara terbagi-bagi dalam beberapa negara sebagaimana tersebut di atas. Pada waktu itu apa yang disebut “bangsa Indonesia” belum ada, yang ada ialah bangsa Aceh, bangsa Jawa, bangsa Sunda, bangsa Bugis, bangsa Papua, bangsa Ambon dan lain-lain. Dengan demikian sulit terbentuk front terpadu melawan imperialis. Hal tersebut berlangsung hingga masuk abad ke-20. Seiring dengan banyak peperangan dan penaklukan, praktis peradaban tidak berkembang karena sebagian besar potensi terkuras untuk perang. Banyak kaum intelektual yang tewas, hilang, ditangkap atau diasingkan. Sekedar contoh akibat tersebut tadi, pada awal abad ke-20 sekitar 90 persen rakyat buta huruf. Singkat cerita, mayoritas rakyat Indonesia nyaris gila menanti akhir tragedi kemanusiaan ini. Kapankah datang kebangkitan kembali yang akan memulihkan capaian kemanusiaan yang pernah diraih bangsa ini? PERIODA PEMBENIHAN RENAISSANCE Masuk abad ke-20 terasa muncul gejala kebangkitan Timur, padahal kebangkitan tersebut telah dicoba pada abad ke-18. Di Arabia, Muhammad bin ’Abdul Wahhab mengobarkan revolusi pemikiran agama berbentuk pemurnian pemahaman dan pengamalan Islam. Gerakan ini dikenal dengan sebutan “Wahhabi”. Abad ke-19 tampil pula Jamaluddin al-Afghani mengobarkan revolusi pemikiran agama berbentuk pembaharuan pemahaman dan pengamalan Islam. Tetapi yang mungkin lebih spektakuler adalah kebangkitan Jepang yang dikenal dengan sebutan Restorasi Meiji. Dengan cepat Jepang menyerap pengaruh Barat tanpa perlu kehilangan kepribadian sendiri. Hasilnya, Jepang menang melawan imperialis Barat (yaitu Rusia) pada Perang Rusia-Jepang (1904-1905). Kemenangan tersebut bergema di Barat dan di Timur. Sama-sama heran walau mungkin dari sudut pandang berbeda. Bagi orang Barat, mitos keunggulan ras Barat seakan runtuh. Bagi orang Timur, bangkit rasa percaya diri tampil di panggung dunia. Indonesia kena pengaruh tersebut. Benih-benih Renaissance Indonesia muncul juga dalam bentuk reformasi dan revolusi pemikiran. Sebagai akibat dari kebangkitan Muslim dari Ibnu ‘Abdul Wahhab dan al-Afghani, terbentuk organisasi Jamiyyatul Khair pada 1901. Organisasi tersebut bergerak di bidang pendidikan. Mungkin terkesan kurang spektakuler, tetapi menampilkan orang yang spektakuler dalam arti intelek tentu harus melalui pendidikan. Dari situ akan tampil teknisi, politisi, ekonom dan lain-lain. Dan itu terbukti kelak, beberapa aktivis Jamiyyatul Khair menjadi aktivis parpol dan ormas semisal Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Muhammadiyyah. Jelas Jamiyyatul Khair menjadi tempat awal belajar berorganisasi. Walaupun organisasi tersebut (Jamiyyatul Khair) dibentuk oleh orang Arab tetapi terbuka untuk orang lain, tentunya Muslim (kelompok mayoritas di Nusantara). Ini jelas lebih luas dibanding dengan Boedi Oetomo yang dibentuk pada 20 Mei 1908 sebagai akibat pengaruh kemenangan Jepang. Boedi Oetomo membatasi keanggotaan pada suku Jawa dan Madura, itupun yang elit. Anehnya, versi resmi sejarah nasional Indonesia sekian lama menetapkan pembentukan Boedi Oetomo sebagai Kebangkitan Nasional. Di mana letak nasionalnya kalau tertutup untuk suku selain Jawa-Madura dan tertutup untuk selain elit? Jelas organisasi tersebut bercorak lokal, bukan nasional. Bercorak elitis, bukan populis. Ada lagi yang juga memerlukan penelitian ulang. Serikat Dagang Islam, cikal bakal PSII, menurut versi resmi dibentuk tahun 1911, tetapi versi lain menyebut 1905 yang berarti sebelum Boedi Oetomo dibentuk. Apakah tujuan menyusun sejarah versi resmi adalah untuk memperkecil atau menutupi peran kaum Muslim melawan imperialisme? Pada hemat penulis, sudah tiba waktunya untuk meneliti ulang seluruh penulisan sejarah versi resmi tersebut, termasuk kapan terjadi Kebangkitan Nasional. Apa yang disebut Kebangkitan Nasional –terlepas dari masalah waktu dan pelaku pembentukannya– kelak akan menampilkan tiga kelompok utama yang mencoba menjadi pendukung Renaissance Indonesia yang saling bersaing menentukan arahnya, yaitu nasionalis, agamis dan komunis. Benih-benih Renaissance juga muncul karena kebijakan baru Belanda. Akibat kecaman kaum humanis terhadap praktek penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Hindia Belanda –sebutan untuk Nusantara atau Indonesia ketika itu– pemerintah Belanda menetapkan kebijakan yang disebut “eereschuld” atau “de etische politiek”. Dasar pemikirannya adalah Belanda sangat berhutang budi kepada Hindia Belanda, karena itu harus terwujud hubungan yang saling menguntungkan antara kedua belah fihak. Kebijakan tersebut dimulai tahun 1901, berbagai perangkat dari Eropa datang ke Hindia Belanda. Pembangunan jalur rel, jalur aspal, jembatan, waduk, sekolah, rumah sakit dan sebagainya dilaksanakan. Berangsur-angsur anak-anak pribumi masuk lembaga pendidikan. Kelak dari kaum terdidik akan tampil aktivis kemerdekaan, suatu hal yang tak diharapkan rezim kolonial. Rezim ingin pribumi pandai melayani Belanda, bukan pandai memimpin Hindia Belanda. Tetapi walau muncul resiko macam itu, suka tidak suka rezim harus melanjutkan kebijakan balas budi tersebut jika tidak ingin menuai kecaman atau dicap biadab. Pemikiran yang juga mungkin mendasari balas budi adalah “menjajah boleh saja, tetapi yang manusiawi dong”. Karena itulah pemberian kemerdekaan tidak termasuk di dalam kebijakan baru tersebut. Yang lebih siap menerima perubahan tersebut adalah para elit tradisional terutama di Jawa semacam raden, bupati, kanjeng atau tumenggung. Dan Jawa adalah pusat pemerintahan serta berpenduduk terbanyak di Hindia Belanda. Adapun kelompok jelata semisal petani boleh dibilang tidak siap. Umumnya mereka cenderung enggan ikut dalam arus perubahan tersebut demi “mendapat sesuatu” dari rezim yang dinilai “asing” dan “kafir”, mengingat mereka cenderung berwawasan Islam atau animisme disamping mereka secara teknis tidak terdidik. Para elit di Jawa siap karena memiliki latar belakang status sosial “canggih”, sikap tradisional yang renggang terhadap Islam dan sering bergaul dengan orang Barat sehingga dekat dengan pengaruh Barat. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran seorang orientalis bernama Snouck Hurgronje bahwa pembaratan Hindia Belanda dapat dilaksanakan jika didukung oleh para elit karena faktor tersebut di atas. Dengan demikian tampil kelompok terpelajar arogan terhadap segala yang bercorak Islam atau Timur. Tak heran dalam diri mereka sepi dari kepedulian terhadap nasib bangsa yang notabene masih teguh memegang nilai-nilai tersebut di atas. Sementara itu, rakyat Indonesia sampai pada suatu pendapat bahwa perlawanan militer tidak akan sukses, mengingat Belanda lebih dulu mengalami tahap kebangkitan berikut di dunia Barat setelah Renaissance yaitu Aufklarung termasuk menikmati hasil Revolusi Industri. Revolusi Industri menghasilkan kemajuan antara lain teknologi militer. Karena itulah perlawanan politik menjadi pilihan, dan hal tersebut perlu pendidikan. Karena itulah berangsur-angsur muncul lembaga pendidikan swasta di samping milik pemerintah. Milik swasta tersebut diberi dengan sebutan tidak enak wilde scholen (sekolah liar) oleh rezim kolonial. Kelak sekolah swasta tersebut menjadi cikal bakal sekolah modern, dengan kata lain turut mencerahkan pemikiran bangsa. Jamiyyatul Khair termasuk contohnya. Lembaga pendidikan milik Muhammadiyyah adalah contoh lain. Organisasi tersebut dibentuk oleh KH Ahmad Dahlan (1868-1923) pada 18 November 1912. Dia berasal dari level elit keraton Yogya dalam hal agama yang lazim disebut “kauman”, tetapi dia dikenal sebagai sosok populis karena keberfihakan kepada rakyat. Dia terpengaruh oleh gerakan pemurnian Ibnu ‘Abdul Wahhab dan pembaharuan al-Afghani ketika berada di Makkah. Dia mencoba membawa kedua faham tersebut ke Hindia Belanda. Pada awalnya dia masuk Boedi Oetomo tahun 1909, dia memperkenalkan faham kebangkitan tersebut di dalamnya. Kemudian atas desakan beberapa orang yang telah mengenal pemikirannya, dia membentuk organisasi sendiri. Perkara kebangkitan berbentuk gerakan pemurnian di Nusantara sesungguhnya telah ada sebelum abad ke-20. Faham Wahhabi diperkirakan hadir sejak akhir abad ke-18 dan kemudian terbentuk gerakan Paderi di Minangkabau. Sebagaimana di Arabia, gerakan Paderi memilih cara revolusi yang berkembang menjadi Perang Paderi (1821-1837). Walaupun gerakan tersebut secara organisasi dapat ditumpas oleh kolonial dan anteknya, fahamnya hidup terus antara lain diwarisi Muhammadiyyah. Perang Diponegoro (1825-1830) atau disebut Belanda Java Oorlog (Perang Jawa) kemungkinan ada diilhami juga dari Arabia. Tetapi Muhammadiyyah tidak memilih revolusi, bahkan mencoba menjaga jarak dengan politik. Fokusnya adalah pendidikan dan kesejahteraan sambil berda’wah melawan pengaruh Barat dan jahiliyah lokal. Sama hal dengan gerakan-gerakan kebangkitan di manapun, pada awalnya Muhammadiyyah mendapat hambatan dari fihak-fihak yang merasa nyaman dengan tatanan lama. Muhammadiyyah mendapat hambatan dari pejabat, tokoh agama model lama, kelompok agamis yang menolak faham modernis. Faham pemurniannya mengecam berbagai praktek yang diyakini oleh orang shalih di Jawa sebagai praktek Islam sesungguhnya seperti maulud, selamatan dan haul. Kehadiran Muhammadiyyah dianggap mengancam kelestarian tradisi masyarakat sehingga menampilkan kebencian oleh kelompok agamis di Jawa. Walau sempat mengalami kemunduran di Jawa, organisasi tersebut mendapat sambutan simpatik di Minangkabau. Daerah tersebut telah mengenal pemurnian dan pembaharuan sejak lama. Muhammadiyyah diperkenalkan ke Minangkabau oleh Haji ‘Abdul Malik Karim Amrullah alias Haji Rasul tahun 1925. Pada tahun 1938 Muhammadiyyah telah menyebar ke seluruh pulau utama Nusantara. Layak diketahui bahwa sebagaimana gerakan Renaissance Barat, gerakan Renaissance Indonesia juga mendapat penindasan. Bedanya terletak pada pelaku penindasan, di Barat pelakunya boleh dibilang bangsa sendiri, yaitu persekongkolan gereja-negara. Tetapi di Indonesia lebih berat, pelaku penindasan bukan hanya elit pribumi tetapi juga bangsa asing. Mereka bersekongkol melestarikan suasana jahiliyah yang masih berlanjut hingga kini, walaupun kini secara fisik tidak ada kehadiran kolonialis asing. Dengan kemajuan teknologi, hubungan masih terjalin. Bahkan para antek imperialis mampu masuk ke pemerintahan Republik Seiring pertambahan jumlah kaum intelek, bertambah pula organisasi. Awalnya berdasar kedaerahan atau kesukuan semisal Jong Java (1918), Jong Pasoendan (1914), Soematranen Bond (1918), Timorsch Verbond (1921) dan Kaoem Betawi (1923). Organisasi berdasar konsep identitas se Indonesia belum mendapat pendukung berarti. Serikat Dagang Islam berubah nama menjadi Syarikat Islam. Di bawah pimpinan ‘Umar Said Tjokroaminoto (1882-1934) partai ini sempat meraih pengikut terbanyak untuk ukuran Hindia Belanda. Walaupun Jawa tetap menjadi pusat kegiatannya, organisasi tersebut menyebar ke luar Jawa. Tjokroaminoto sesungguhnya tidak berlatar belakang agamis. Dia pernah menerima pendidikan kolonial di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren), yaitu sekolah yang mengajar ilmu pemerintahan untuk pribumi. Dia bahkan sempat berdinas dalam pemerintahan. Dia mengundurkan diri dari dinas pemerintahan mungkin karena watak dasarnya yang populis, dia tak suka dengan para pejabat kolonial, pribumi maupun asing. Dengan cepat dia menjadi tokoh terkenal dalam SI. Kecepatan SI meraih banyak pengikut tidak terlepas dari kharisma Tjokroaminoto. Kadang dia dianggap sebagai tokoh masa depan yang dinanti-nanti tampil mewujudkan adil dan makmur dan menertibkan segala ketidakteraturan dunia. Sosok atau kepercayaan demikian ada pada tiap kelompok masyarakat di dunia. Di Jawa dikenal sebagai istilah “Ratu Adil”, bagi umat Islam dikenal sebutan “Imam Mahdi”, dan bagi umat Yahudi-Nashrani disebut “Messias”. Pada awalnya SI tidak menentang rezim kolonial. Tetapi ketika meraih pengikut di pedesaan, berkobar kekerasan. Rakyat menganggap SI sebagai wadah bela diri terhadap tatanan kolonial yang dibenci itu. SI dianggap sebagai wadah solidaritas kelompok terhadap Cina, elit pribumi, orang Indo dan orang Barat. Kira-kira dengan urutan seperti itu. Di beberapa tempat SI menjadi pemerintahan bayangan atau tandingan sehingga aparat harus menyesuaikan diri. Gerakan boikot terhadap pedagang batik Cina di Surakarta dengan cepat menjadi tindak saling menghina antara Cina dengan pribumi dan berkembang menjadi kekerasan di sebagaian besar Jawa antara 1913-1914. SI lokal memegang peranan penting. Kelompok lain yang ingin ikut mencerahkan pemikiran bangsa ini adalah komunis, padahal kelak terbukti bukan mencerahkan tapi menyesatkan. Komunisme dibawa masuk ke Indonesia oleh HFJ. Sneevliet (1883-1942) tahun 1913. Pada 1914 dia membentuk Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya. Pada awalnya hampir seluruh anggotanya berkebangsaan Belanda, tetapi partai ini bertekad meraih basis massa dari rakyat Indonesia. ISDV menempuh cara licik, tidak mau bersusah payah merangkul rakyat yang belum berpartai untuk mendapat pengikut besar pertama. SI terpilih menjadi sasaran penggembosan karena partai tersebut adalah yang terbesar di Hindia Belanda ketika ISDV masih kecil. Inilah awal permusuhan antara kelompok agamis –khususnya Islamiyah– dengan jahiliyah komunisme di Nusantara. Agaknya ISDV menempuh strategi Iblis menggoda manusia. Mungkin tidak banyak tahu bahwa pada awalnya Iblis adalah makhluk yang sangat agamis, menjadi makhluk kepercayaan tuhan. Tetapi kemudian murtad karena kecewa dengan niat tuhan menciptakan manusia. Singkat cerita, Iblis bertekad menyesatkan manusia. Hal tersebut mirip dengan Sneevliet. Dia berlatar belakang agamis tetapi kemudian murtad menjadi komunis dan mengajak orang murtad juga. Mungkin dia juga kecewa dengan agama. Memang, komunisme dan beberapa faham sesat lain di Barat berasal usul dari rasa kecewa terhadap agama atau tokoh agama. Kelompok yang pertama dimurtadkan adalah para anggota SI, organisasi yang bercorak agamis. Maka faham Iblis yang bernama komunisme disusupkan ke SI, hasilnya luar biasa. Dengan cepat ISDV mendapat banyak pengikut antara lain seorang tokoh SI cabang Semarang bernama Semaoen. Pada 23 Mei 1920 ISDV berubah nama menjadi Partai Komunis Hindia dan Semaoen terpilih menjadi ketua yang pertama. Dia berlatar belakang buruh kereta api dan menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pada 1916 dia pindah ke Semarang, tempat Sneevliet aktif dalam Serikat Buruh Kereta Api dan Trem (Vereeniging Spoor en Tramweeg-personeel). Semaoen bergabung dengan ISDV sekaligus masih anggota SI. Kharisma Semaoen menghasilkan jumlah pengikut yang bertambah pesat bagi SI cabang Semarang. SI cabang ini pernah menentang niat SI masuk Volksraad (parlemen semu Hindia Belanda) dan menentang gigh kepemimpinan Centraal Sjarikat Islam (CSI). Sikap tersebut mendapat dukungan kuat, memaksa Tjokroaminoto mengecam “kapitalisme yang berdosa” yang jelas berarti mengecam modal asing tetapi dengan cerdik menghindar dari sikap mengecam modal yang dimiliki para haji dan ulama. Tapi perpecahan tetap tak terhindarkan. SI terpecah menjadi SI Putih dan SI Merah. Tahun 1921 Tjokroaminoto melaksanakan disiplin partai sekaligus mengubah nama menjadi Partai Syarikat Islam (PSI). Anggota SI tidak boleh merangkap anggota organisasi lain. Penggembosan terjadi, SI Merah menjadi Partai Komunis Hindia dan tahun 1923 berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). SI Putih mempertegas corak Islamiyahnya. Kedua organisasi tersebut berjalan sendiri-sendiri. Dalam beberapa hal komunis meniru cara yang lazim dilaksanakan kaum agamis, bahkan sedikit banyak menggunakan agama untuk meraih pengikut. Hal tersebut dipilih karena fakta yang tak dapat dibantah bahwa mayoritas rakyat masih menganggap perkara ruhani sebagai hal penting. Fakta tersebut jauh hari telah disadari oleh seorang tokoh PKI bernama Tan Malaka (1897-1949). Dia menentang penggembosan SI karena melemahkan gerakan Renaisance terutama anti imperialisme. Dia menolak anggapan Komintern (Komunis Internasional) yang telah menuduh gerakan Pan Islam adalah bentuk imperialisme. Tan Malaka menegaskan bahwa Pan Islam adalah gerakan anti imperialisme. Jauh-jauh hari dia menegaskan bahwa kelompok agamis harus dirangkul, bukan dibenci. Ketika makin nyata perbedaan faham antara dia dengan rekan-rekan komunisnya, dia pilih bentuk partai sendiri yaitu PARI (Partai Republik Indonesia) dan ketika Revolusi 1945 dia membentuk Partai Murba. Mungkin dengan malu-malu komunis melaksanakan pendapat Tan Malaka tersebut dan agaknya pendapat Tan Malaka benar. Maka muncul istilah aneh “Komunisme Islam” yang menunjukkan bahwa komunis tidak sepenuhnya bertahan dengan dogma aslinya yang menganggap “agama adalah candu”. Di Surakarta Haji Misbakh berceramah bahwa Islam dan komunisme adalah sama. Ceramah tersebut meraih simpati dan kerusuhan di pedesaan terjadi. Dia dikenal dengan sebutan “Haji Merah”. Di Banten sikap komunis mungkin lebih aneh: fanatik agama. Kebencian terhadap imperialis dan anteknya, semangat yang dikobarkan oleh SI dan PKI serta faktor lain menyebabkan Revolusi 1926, perlawanan militer yang boleh dibilang sudah bercorak se Indonesia terhadap rezim kolonial dengan titik berat di Banten dan Minangkabau. Tetapi nasib baik masih memihak rezim kolonial, revolusi dapat ditumpas dengan relatif singkat. Kelompok nasionalis adalah kelompok utama berikutnya yang ingin ikut mencerahkan pemikiran bangsa. Kelompok ini berfaham mencintai bangsa dan negeri se Nusantara, faham tersebut menganggap bahwa faham kesukuan dan kedaerahan sempit ruang lingkupnya. Kelompok ini membentuk beberapa partai tetapi yang sering dianggap dapat mewakilinya adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), partai ini dibentuk oleh Soekarno (1901-1970). Mengawali kiprah politiknya di Jong Java, Soekarno kemudian mendapat bimbingan dari Tjokroaminoto. Soekarno membentuk PNI ketika pengaruh Tjokroaminoto pudar, demikian pula PSI. Penggembosan oleh PKI dan tekanan rezim kolonial terhadap aktivis kemerdekaan pasca Revolusi 1926 adalah penyebabnya. Dengan demikian boleh dibilang bahwa PNI yang mewakili kaum nasionalis mengambil alih kepemimpinan perlawanan terhadap kolonial yang sebelumnya dipegang oleh kaum agamis dan komunis. Dan untuk itu agaknya Soekarno siap mengambil resiko, resiko yang juga pernah diambil kaum agamis dan nasionalis yaitu minimal adalah penangkapan dan pengasingan. Sebelum PNI tampil, sudah ada organisasi yang bercorak se Indonesia yaitu “Perhimpunan Indonesia” yang merupakan himpunan beberapa organisasi yang bercorak kedaerahan dan kesukuan. PI memiliki empat pokok pemikiran yaitu: Kesatuan nasional, rakyat se Nusantara harus menempatkan persatuan di atas corak kesukuan dan kedaerahan dalam meraih Indonesia yang merdeka dan satu. Jika persatuan terwujud, akan sulit bagi imperialis melaksanakan siasat devide et impera dan akan terbentuk perlawanan yang padu. Solidaritas, rakyat harus menyadari bahwa ada persamaan nasib dari ujung ke ujung Nusantara. Tanpa mengingkari ada perbedaan antar suku, sesungguhnya persamaannya lebih nyata dan hubungan antar suku di Nusantara telah berlangsung lama. Rakyat harus menyadari bahwa ada perbedaan yang lebih besar yaitu Nusantara dengan kolonialis Belanda semisal bahasa, warna kulit, adat dan agama. Perbedaan antara “kita di sini” dengan “mereka di sana” harus difahami dan ditegaskan sebagai kita adalah “Indonesia” atau “Timur” dan mereka adalah “Belanda” atau “Barat”. Tidak kerja sama, bahwa gerakan kemerdekaan harus menolak atau menjaga jarak dari segala bentuk kerja sama dengan kolonial. Kemerdekaan yang ingin diraih harus berdasar dari usaha sendiri dan bukan hadiah dari kolonial. Karena itu tidak perlu peduli dengan segala kebijakan dari Volksraad. Swadaya, gerakan harus berdasar pada kemampuan diri sendiri atau kepercayan pada diri sendiri. Perlu membentuk suatu tatanan alternatif atau tandingan dengan tatanan kolonial. Gerakan tidak berkenan dengan bentuk persekutuan dengan kolonial. Usaha mempersatukan rakyat se Nusantara mencapai puncak dengan peristiwa yang disebut Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928. Walaupun tidak dihadiri semua kelompok pergerakan tetapi dapat dianggap mewakili se Nusantara. Sejak itu makin dimasyarakatkan pemakaian istilah Indonesia untuk wilayah Nusantara dan bangsa pribumi yang mukim di wilayah tersebut. Istilah Hindia Belanda dan inlander dihindari sedapat mungkin. Hal tersebut boleh dibilang sebagai langkah maju menuju Renaissance Indonesia. Mungkin boleh dibilang bahwa Sumpah Pemuda adalah hari lahir bangsa Indonesia, adapun yang disebut Aceh, Minang, Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Bali, Dayak, Bugis, Minahasa, Papua, Ambon dan lain-lain tidak lagi disebut bangsa tetapi suku. PERIODA PERTUMBUHAN RENAISSANCE Gerakan Renaissance telah meraih kemajuan penting, melahirkan bangsa baru. Setelah meraih persatuan, berlanjut ke tahap pembebasan sambil menjaga persatuan. Proses pembebasan semakin mendekati tujuan tetapi semakin berat karena rakyat harus menanggung beban suatu perang terbesar yang pernah diciptakan manusia, yaitu Perang Dunia II (1 September 1939 – 2 September 1945). Perang yang sesungguhnya bukan urusan rakyat Indonesia itu, namun harus ditanggung akibatnya. Mengingat perang tersebut telanjur menyengsarakan rakyat, maka sedapat mungkin harus diambil apa saja yang mungkin bermanfaat dari perang tersebut. Apa saja peluang yang “disediakan” oleh perang? Perang tersebut bermula dari serbuan pasukan Jerman ke Polandia. Sesungguhnya Polandia bukan negara besar, tetapi serbuan tersebut sanggup “membakar” dunia karena proses “pemanasan” sejak usai Perang Dunia I (1914-1918) seperti Nazi meraih kekuasaan di Jerman (1933) dan membangun angkatan perang, penaklukan Manchuria oleh Jepang (1931), Italia mencaplok Ethiopia (1935-1936) dan Albania (1939), Perang Cina-Jepang II (1937-1945), serta Jerman mencaplok Austria (1938) dan Cekoslovakia (1939). Perang di Asia semula hanya terbatas di Cina, kemudian melebar ke sebagian Asia-Pasifik setelah pasukan udara Jepang menyerang pangkalan AS di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Pasukan Jepang hanya perlu waktu sekitar tiga bulan merebut Hindia Belanda. Propaganda Jepang terbilang berani yaitu “Asia untuk orang Asia”, karena semboyan tersebut jelas membenturkan atau mempertentangkan Barat denganTimur mengingat sebagian besar dunia Timur dijajah oleh orang Barat. Dengan demikian Jepang mengobarkan semangat anti Barat, semangat yang sangat diperlukan untuk bangkit. Jepang berusaha membuktikan bahwa orang Barat bukan ras unggul, khususnya menjelaskan bahwa orang Barat dapat dikalahkan. Walaupun kekejaman pendudukan Jepang juga berlaku bagi sesama orang Timur, agaknya semboyan tersebut dapat diterima dan kelak terbukti berguna bagi orang Timur termasuk Indonesia. Pencerahan pemikiran yang pahit. Selain memberlakukan pengekangan yang lebih ketat dibanding Belanda, pendudukan Jepang juga memberi peluang untuk meraih simpati. Orang Indonesia diberi beberapa jabatan yang sebelumnya hanya untuk orang Barat, juga mendapat peluang lebih besar mendapat latihan militer. Para aktivis Renaissance mencoba menyusupkan propaganda anti Jepang ke dalam propaganda anti Barat pada setiap kesempatan. Perang Jepang melawan imperialis Barat harus berada dalam lingkup meraih kemerdekaan sendiri. Semangat anti Jepang tetap muncul tanpa propaganda apapun, perilaku orang Jepang yang menindas menampilkan semangat itu. Perlawanan muncul antara lain di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Irian Barat. Walaupun perlawanan dapat ditumpas, minimal pada saat itu rakyat sadar bahwa untuk hidup layak sebagai manusia haruslah merdeka. Imperialisme Barat dan pendudukan Jepang jangan berlama-lama berlangsung. Bangsa Indonesia harus memiliki negara sendiri, mengatur diri sendiri. Perang berubah arah menguntungkan Sekutu. Dengan banyak pertempuran dahsyat pasukan Sekutu merebut beberapa tempat yang dianggap perlu. Keadaan tersebut memaksa Perdana Menteri Kuniyaki Koiso memberi janji kemerdekaan kepada Indonesia. Beberapa kebebasan diberikan lagi berangsur-angsur seiring gerak maju Sekutu. Pembicaraan mengenai serba-serbi negara dilaksanakan dengan melibatkan para tokoh kemerdekaan. Organisasi Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk Jepang dan diisi oleh orang Indonesia. Dalam dua organisasi tersebut terjadi perdebatan sengit antara kelompok agamis Islamiyah dengan kelompok nasionalis tentang dasar negara Indonesia merdeka. Hasil dari perdebatan tersebut adalah dasar negara “Pancasila”. Kemerdekaan dari bangsa asing akhirnya diraih pada 17 Agustus 1945. Ini juga kemajuan penting gerakan Renaissance, melahirkan negara baru. Tetapi kekecewaan agaknya masih betah menyertai bangsa ini karena kelak terbukti bahwa rakyat masih harus mengalami penindasan dari para elit bangsa sendiri. Selain itu kehadiran kembali kolonialis Belanda untuk meraih bekas jajahannya tak lama setelah proklamasi kemerdekaan merupakan suatu penderitaan tersendiri. Bangsa ini dipaksa perang karena tidak punya pilihan, kolonialis mencoba kembali dengan militer yang masih lebih unggul dibanding Indonesia. Agresi Militer pertama (21 Juli 1947 – 4 Agustus 1947) dan Agresi Militer kedua (19 Desember 1948 – 6 Januari 1949) kembali minta korban rakyat. Gerakan Renaissance nyaris tertumpas. Pendidikan militer oleh Jepang dan ambil alih aset yang dikuasai Jepang memungkinkan bangsa Indonesia melaksanakan perlawanan militer disamping perlawanan politik. Perlawanan perioda 1945-1950 dikenal dengan Revolusi 1945 memaksa kolonial Belanda melepas sebagian besar Hindia Belanda. Irian Barat masih dikuasai hingga 1963. Perlawanan militer telah menampilkan angkatan perang yang relatif kuat tetapi juga kelak menjadi penghambat Renaissance. Hal ini sangat nyata pada perioda Orde Baru. Konon dengan berdasar pengalaman revolusi, militer mengembangkan suatu konsep yang dikenal dengan konsep “Dwifungsi”. Konsep tersebut menyebut fungsi militer tidak hanya sebagai kekuatan hankam tetapi juga sebagai kekuatan sospol. Dengan konsep tersebut pengaruh militer merambah ke segala bidang antara lain beberapa jabatan harus orang militer, militer –secara individu dan lembaga– terlibat bisnis. Dan sebagai kekuatan hankam menumpas gerakan Renaissance, bahkan dengan bantuan imperialis Barat. Walaupun secara politik dan militer imperialisme Barat boleh dibilang tamat riwayatnya, tidak demikian halnya di bidang ekonomi dan norma. Kemajuan teknologi makin membantu kelestarian hubungan antara biang dengan antek, kerja sama melawan arus Renaissance semakin canggih. Dalam penulisan sejarah resmi, militer mencoba menampilkan citra sebagai pemeran utama pembebas Republik dari ancaman kolonial. Sesungguhnya prestasi demikian sangat dilebih-lebihkan. Revolusi 1945 tidak hanya dilaksanakan oleh tentara pemerintah, ada banyak kelompok tentara swasta, dan tentara pemerintah sempat mengalami perpecahan. Revolusi dengan perlawanan politik tidak kalah pentingnya, dan hal tersebut cenderung ditutupi dalam versi sejarah resmi. Usaha diplomasi mengundang simpati internasional terutama pendukung kuat Belanda yaitu AS. Belanda dipaksa untuk mengakhiri petualangan kolonialnya di Indonesia dan menyelesaikan konflik dengan perundingan. Tetapi AS tidak meninggalkan Belanda begitu saja. Walaupun kecil, Belanda tetap dianggap bernilai bagi AS. Strategi AS adalah mencoba merangkul Indonesia dan Belanda sekaligus untuk melawan komunis. Jika pada Perang Dunia II Indonesia harus menanggung beban perang antara Jepang dengan imperialisme Barat, maka selama beberapa tahun Indonesia harus menanggung beban Perang Dingin (1945-1991) yaitu antara blok kapitalis yang dipimpin AS dengan blok komunis yang dipimpin US, dua faham yang sesungguhnya berasal dari Barat. Pada hakikatnya Perang Dingin adalah perang antara dua kekuatan imperialis Barat untuk menguasai dunia, tanpa kecuali Indonesia. Tetapi sayang, rezim Soekarno membawa Indonesia terlibat Perang Dingin melawan AS dan rezim Soeharto membawa Indonesia terlibat Perang Dingin melawan US, terlepas dari bobot keterlibatan tersebut. Yang jelas, keterlibatan tersebut menjauhkan Indonesia dari tujuan Renaissance akibat potensi bangsa yang terkuras untuk perang tersebut atau tertindas demi kelestarian rezim tersebut. Beberapa peristiwa semisal Tanjung Priok (1984), Lampung (1989) dan Aceh adalah contohnya. Tidak jelas kapan potensi bangsa dapat terfokus penuh kepada tujuan Renaissance. Ada satu hal yang perlu diketahui dari konflik yang membingungkan ini, ada gerakan Renaissance yang bersikap tegas melawan dengan kekuatan sendiri walau dengan resiko menciptakan banyak musuh yaitu Darul Islam (DI). Gerakan ini mencoba mewujudkan Indonesia merdeka berdasar Islami, lazim disebut “Negara Islam Indonesia” (NII). DI menolak keberfihakan kepada kekuatan non Muslim, kaum Muslim harus membentuk kekuatan sendiri sebagaimana pernah terjadi pada masa silam. DI mengambil contoh perioda Muhammad dan Khulafaur Rayidin (622-661) untuk konsep negara idealnya. Namun sayang, gerakan tersebut dapat ditumpas oleh imperialisme Barat dengan anteknya. Bahkan di antara antek tersebut terdapat tokoh-tokoh Renaissance, kebencian mereka terhadap DI ternyata melebihi kebencian terhadap imperialisme Barat. Ini sekaligus membuktikan bahwa gerakan Renaissance sudah diisi –bahkan mungkin sejak awal– oleh berbagai niat yang tidak murni, terlebih jika para aktivisnya menempati jabatan tertentu. Lupa akan tujuan perjuangan, itulah tantangan yang mungkin paling berat bagi gerakan Renaissance di Indonesia. Rezim Soekarno telah menumpas gerakan Renaissance yang dianggap tidak sesuai dengan versinya semisal NII. Kebijakan tersebut dilanjutkan rezim Soeharto. Jumlah partai diciutkan, Dwifungsi ABRI dilaksanakan, berbagai LSM dikekang, perlawanan bersenjata ditumpas, praktek KKN dipelihara, yang dianggap oposan disingkirkan, adalah beberapa contoh kebijakan yang memusuhi gerakan Renaissance yang murni ingin membawa Indonesia meraih capaian kemanusiaan yang telah lama lepas. Seperti Soekarno, Soeharto punya versi sendiri tentang Renaissance. Soeharto meraih kekuasaan melalui pertumpahan darah hebat, mungkin sekitar 1.500.000 orang tewas akibat peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sejak 1959 Soekarno mencoba memperkokoh kekuasaannya melalui sistem yang dikenal dengan “Demokrasi Terpimpin” yang prakteknya berarti kediktatoran. Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan pada 1960 dengan dalih beberapa orangnya terlibat pemberontakan PRRI-Permesta (1958-1961), pemberontakan daerah melawan pusat karena daerah merasa dihisap dan diabaikan pusat. Selain itu pengaruh komunis makin merajalela ditambah sebab-sebab lain. Setelah pemberontakan ditumpas, beberapa tokoh masuk penjara. Komunis makin memantapkan pengaruhnya, mereka sukses mempengaruhi Soekarno menjadi radikal. Setelah Irian Barat masuk Republik, Soekarno mengarahkan fokusnya ke Malaysia, yang waktu itu dalam proses dekolonisasi. Dia menilai bahwa proses tersebut terkesan masih mempertahankan kolonialisme. Muncul istilah “nekolim” (neo kolonialisme dan imperialisme). Singkat cerita, konflik terjadi antara Persemakmuran Inggris dengan Republik yang dikenal dengan “Konfrontasi” (1963-1966). Potensi Republik banyak terkuras konflik ini. Yang paling gembira dengan proyek ini praktis hanya komunis, TNI-AD kurang bergairah karena menilai bahwa Inggris adalah kekuatan lama di Asia Tenggra yang menuju proses “pelapukan”. Angkatan Darat lebih suka menyimak pada kekuatan-kekuatan yang baru muncul. Mereka lebih cemas kepada komunis ketimbang Inggris. Apa yang dinamakan “Pemberontakan G30S PKI” memberi peluang kepada Soeharto –waktu itu berpangkat mayor jenderal– untuk tampil ke panggung. Hal tersebut tidak terlepas dari dukungan AS, Inggris dan Australia yang cemas dengan perkembangan komunisme di Asia Tenggara. Terlebih AS, negara ini terlibat perang saudara antara Vietnam Utara (komunis) dengan Vietnam Selatan (non komunis) yang disebut “Perang Vietnam” (1964-1975). Perang tersebut juga merembet ke negara tetangga yaitu Kamboja dan Laos, di kedua negara tersebut komunis juga berjuang meraih kekuasaan. Dengan bantuan mereka, Soeharto menumpas pemberontakan tersebut dalam waktu relatif singkat. Jelas hal tersebut menggembirakan imperialis kapitalis, mereka tidak peduli dengan pelanggaran HAM yang terjadi. Yang banyak dibantai atau ditangkap bukan hanya kaum komunis, tetapi orang yang dicurigai komunis. Rezim Soekarno –yang dinilai sedikit banyak melindungi komunis– tumbang, rezim Soeharto datang. Bagi gerakan Renaissance hal tersebut cuma tukar pelaku kezhaliman. Indonesia cuma pindah kiblat dari imperialis komunis ke imperialis kapitalis. Pada hakikatnya Indonesia telah dan masih menjadi lahan permainan perebutan pengaruh antara sesama kekuatan kontra Renaissance, tetapi jika menghadapi gerakan Renaissance mereka satu suara. Setelah gerakan Renaissance dikalahkan, sesama kontra Renaissance saling cekcok dan kompak lagi jika gerakan Renaissance muncul. Dengan demikian Indonesia jahiliyah lestari hingga kini. Timor Timur adalah contoh di antara permainan tersebut di atas. Imperialis Barat yaitu Portugis tiba di pulau itu tahun 1512. Kehadiran imperialis Barat lain yaitu Belanda pada abad ke-17 memaksa Portugis berbagi rezeki di pulau tersebut. Caranya? Ya, dengan membagi pulau Timor . Timor Timur dijajah Portugis, Timor Barat dijajah Belanda. Bagi Indonesia, kedua kekuatan tersebut sama jahatnya dalam arti sama-sama imperialis, yang berarti menghambat gerakan Renaissance. Perang Pasifik menghadirkan kekuatan kontra Renaissance lain yaitu Jepang. Sebagaimana wilayah Nusantara lain, Timor diduduki Jepang hingga 1945. Usai Revolusi 1945 Timor Barat masuk Republik dan Timor Timur kembali dikuasai Portugal. Ketika proses dekolonisasi dilaksanakan di Timor Timur, terjadi kekacauan yang berkembang menjadi perang saudara. Portugal tidak sanggup menentramkannya dan memilih lari. Arus pengungsi membanjiri Indonesia. Imperialis kapitalis yaitu AS dan Australia khawatir jika Timor Timur dikuasai komunis mengingat kelompok tersebut terbilang kuat. Mereka memberi restu tersembunyi kepada Soeharto untuk mencaplok pulau tersebut. Singkat cerita, wilayah tersebut “ditarik” ke Republik. Pencaplokan tersebut tidak diakui PBB, PBB menetapkan wilayah tersebut sebagai wilayah sengketa. Untuk meraih simpati, rezim Soeharto membangun daerah itu. Namun sekaligus tidak lupa melanggar HAM. Kejahatan tersebut praktis sekian lama terjadi nyaris tanpa hambatan. Ketika Perang Dingin usai dengan menampilkan imperialis kapitalis sebagai pemenang, rezim kapitalis menganggap komunis bukan lagi ancaman berat. Saat itu pula rezim Soeharto kurang memiliki arti penting lagi. Maka mulailah pencaplokan Timor Timur disebut-sebut keabsahannya dengan dalih ada pelanggaran HAM. Rezim Soeharto tamat tidak terlepas dari rekayasa imperialis Barat. “Habis manis sepah dibuang” begitulah kira-kira nasib rezim tersebut. Revolusi 1998 terjadi dan rezim tumbang. Dengan tekanan imperialis yang tepat saatnya yaitu ketika Indonesia sedang bergolak, Timor Timur lepas pada tahun 1999 dan kemudian menjadi negara sendiri dengan nama Republik Demokratik Timor Leste pada 2002. PENUTUP Pada 21 Mei 1998 rezim Soeharto tumbang setelah bertahan 32 tahun. Muncul istilah “Orde Reformasi”, istilah “reformasi” jelas mengacu pada sejarah Renaissance di Barat karena yang berjuang membawa Barat kembali meraih capaian kemanusiaan –yang sekian lama terlepas– adalah aktivis reformis dan gerakan mereka kadang disebut “reformasi”. Untuk kesekian kalinya rakyat terbuai harapan dan kegembiraan karena pergantian rezim. Tetapi apakah pergantian tersebut membawa keadaan lebih baik? Beberapa fakta menunjukkan bahwa untuk kesekian kali pula agaknya kekecewaan muncul. Indonesia makin jahiliyah. Praktek KKN dan pelanggaran HAM masih berlanjut, pengaruh imperialisme Barat tidak terhapus, orang makin rakus dengan jabatan karena faham “jabatan adalah nikmat, bukan amanat” masih lestari, praktek hukum jauh dari rasa keadilan dan berbagai kejahiliyahan lain. Khusus mengenai imperialisme Barat, mereka tidak berniat berhenti sekarang. Wilayah luas, sumber daya kaya, letak strategis dan bangsa terbelakang menempatkan Indonesia sebagai harta berharga yang tak boleh dilepas begitu saja. Imperialisme dapat berubah bentuk dan dalih, jika tak dapat ditaklukan secara fisik, dikuasai secara mental bolehlah. Konflik di Maluku pada Januari 1999 adalah contoh kasus pasca Soeharto di mana imperialisme Barat bermain. Imperialis Barat hadir di Maluku tahun 1512. Maluku adalah daerah yang termasuk banyak menghasilkan antek imperialis. Kolonial Belanda banyak merekrut pribumi dari Maluku dan daerah lain menjadi tentara kolonial yang lazim disebut “Koninklijke Nederlands Indische Leger” (KNIL). Umumnya KNIL terdiri dari pribumi antek kolonial, orang Barat dan Indo mengisinya dengan jabatan perwira. Ketika Revolusi 1945 usai sebagian mereka menetap di Belanda, ada yang dapat berbaur dan melupakan daerah asalnya tapi ada pula yang melanjutkan hasrat membentuk negara sendiri yaitu Republik Maluku Selatan (RMS). RMS adalah negara yang diproklamirkan pada 25 April 1950 oleh Christiaan Robert Steven Soumokil. Gerakan tersebut ditumpas oleh Republik dan Soumokil dapat ditangkap, namun dilanjutkan oleh sekelompok orang Maluku di Belanda. Adapun yang berada di Indonesia melanjutkan gerakan tersebut secara sembunyi-sembunyi sambil menjalin hubungan dengan rekan di Belanda. Karena itu tak heran jika nama RMS disebut lagi ketika konflik di Maluku berkobar. Selain itu ada nama lain dari gerakan separatis tersebut yaitu Forum Kedaulatan Maluku. Konflik boleh dibilang berakhir tahun 2002 setelah minta korban relatif besar mengingat mereka dapat bantuan dari imperialis Barat. Layak disayangkan, bahwa hal tersebut praktis kurang disadari oleh bangsa ini. Perjuangan Renaissance agaknya masih panjang dari tujuan. Bab V PERADABAN MUSLIM KLASIK (700-1400) Dalam riwayat manusia dikenal berbagai peradaban: ada peradaban dulu, kini dan nanti. Ini tak terlepas dari rezeki berupa akal, yang membuat manusia menjadi makhluk yang dinamis: cenderung berubah dalam arti berkembang, maju atau menuju perbaikan. Sekedar contoh, dulu manusia pernah berteduh di gua atau pohon tetapi kini berteduh di rumah atau apartemen. Bandingkan dengan binatang, sejak bermula ada mereka membuat sarang yang berbentuk sama hingga akhir zaman. Perubahan yang dicapai oleh manusia dari prosesnya kadang dikenal dengan istilah seperti “evolusi”, “revolusi” atau “reformasi”. Evolusi adalah perubahan yang berlangsung pelan, revolusi adalah perubahan yang berlangsung cepat dan reformasi adalah perubahan dalam arti mengganti yang lama dengan yang baru. Sejauh ini –terhitung hingga tahun 2000– manusia telah mengenal 3 tahap atau macam revolusi yaitu: Revolusi agraria, perubahan kebiasaan manusia dari hanya memetik atau berburu dari alam kepada menanam atau memelihara dari alam. Manusia telah mengenal mengolah tanah dan bercocok tanam. Perioda ini diperkirakan berawal dari sekitar 10000-5000 BC. Revolusi industri, perubahan kerja manusia menghasilkan barang dari lebih banyak menggunakan tenaga manusia kepada lebih banyak menggunakan tenaga mesin. Perioda ini diperkirakan berawal dari abad ke-18. Revolusi informatika, perubahan dalam hal mengirim atau menyebar informasi lebih banyak dengan manusia dan hewan –semisal burung pos– kepada media elektronik semisal televisi dan/atau komputer. Perioda ini diperkirakan berawal dari abad 19-20 Pada awalnya peradaban tampil terpencar dan tak berhubungan satu sama lain. Dengan teknik transportasi semisal kapal layar atau hewan tunggang, manusia mampu berhubungan satu sama lain sehingga timbul suasana saling mempengaruhi. Dari saling mempengaruhi kadang muncul peradaban baru yang cenderung lebih maju dari sebelumnya. Tetapi sejarah manusia begitu banyak menyajikan riwayat saling pengaruh tersebut tidak selalu berlangsung ramah, rela atau nyaman. Begitu banyak kasus terjadi pemaksaan pengaruh antara satu dengan yang lain. Ini tidak terlepas dari fitrah manusia yang cenderung ingin menguasai karena dengan demikian terbuka peluang mempengaruhi fihak yang dikuasainya. Tak jarang yang menguasai terpengaruhi atau sengaja dipengaruhi oleh yang dikuasainya sejauh pengaruh tersebut mempertinggi mutu kemanusiaannya, tetapi yang menguasai sengaja tidak memberi pengaruh kepada yang dikuasai dengan maksud menghambat kemajuan kemanusiaannya, atau mungkin karena tidak ada yang dapat ditawarkan atau ditukarkan. Hal tersebut dapat terjadi mengingat peradaban antara yang satu dengan yang lain berbeda tingkat kemajuannya. Suasana tersebut di atas menyajikan panggung sejarah yaitu yang canggih menguasai (mempengaruhi) yang primitif dan juga yang primitif menguasai (mempengaruhi) yang canggih. Walaupun seiring waktu berjalan, manusia berpencar ke segala penjuru mata angin, pembagian manusia, peradaban bahkan dunia cenderung hanya dua pembagian besar yang sering disebut yaitu barat dan timur. Maka muncul istilah orang Barat orang Timur, dunia Barat dan dunia Timur atau peradaban Barat dan peradaban Timur. SEKILAS PERADABAN AWAL Sekitar 10000 BC, atau lebih pasti 5000 BC peradaban mulai muncul terpencar pada beberapa tempat di dunia Timur. Manusia tidak hanya memetik atau berburu dari alam tetapi juga menanam dan beternak. Pertanian tidak hanya terkait dengan tanah tetapi juga terkait dengan cuaca. Dari penelitian tanah muncul ide membangun sistem pengairan untuk menyuburkan tanah yang tandus (lazim disebut irigasi), adapun dari penelitian cuaca muncul ide membagi perilaku cuaca untuk memilih musim tanam yang tepat (yang lazim disebut musim). Dari ide awal tersebut kelak muncul perkembangan ilmu semisal matematika untuk mengukur luas tanah dan astronomi untuk menghitung jadwal tanam yang kelak menampilkan sistem penanggalan (lazim disebut kalender). Sejauh yang diketahui, minimal ada 5 peradaban awal yaitu Mesir, Mesopotamia (kini mencakup Iraq, Kuwait, sedikit Suriah dan sedikit Turki), Cina, India dan Arabia yang cenderung diabaikan. Mereka telah mampu membangun irigasi, dengan demikian termasuk awal mengenal revolusi agraria. Hal tersebut berlangsung antara 5000-3000 BC. Adapun teknologi bangunan nyaris bersamaan muncul sekitar 3000 BC. Peradaban tersebut di atas merupakan asal muasal peradaban modern, setelah melalui proses perkembangan yang lama. Di Mesir tercatat nama yang dianggap sebagai raja pertama yaitu Menes sekaligus untuk pertama kalinya dibangun piramid untuk makam raja dan hartanya. Gelar penguasa di Mesir lazim disebut Fir’aun, gelar yang bertahan hingga sekitar 2500 tahun. Peradaban Mesir sejak itu berkembang pesat. Selain piramid, juga dibangun istana dan kuil besar yang hingga kini masih ada. Ilmu kedokteran misalnya, juga berasal dari Mesir. Di Mesopotamia dibangun makam raja mirip piramid yang lazim disebut ziggurat. Di antara sekian banyak sumbangsihnya terhadap kemanusiaan adalah Hukum Hammurabi –sekitar 2000 BC– yang mungkin merupakan asal muasal ilmu hukum. Di India terdapat peradaban yang dikenal dengan Mohenjo-Daro dan Harappa (kini sebagian masuk Pakistan). Peradaban tersebut antara lain menyajikan tata kota pertama yang menjadi dasar tata kota modern. Dari penggalian purbakala, kota-kota tersebut telah memiliki jaringan jalan dan air yang rapi, begitu pula dalam hal pemanfaatan lahan semisal untuk tempat mukim dan tempat usaha Di Cina, dari sekian banyak sumbangannya terhadap manusia adalah penemuan kertas, yang sangat luas pemakaiannya. Selain itu, boleh dibilang Cina adalah super power yang awet walau pernah berulang menjadi lemah atau kacau. Cina menjadi saksi muncu dan lenyapnya berbagai super power atau negara besar dalam sejarah, sementara Cina tetap besar. Berbagai super power yang pernah muncul semisal Yunani, Romawi, Persia dan Arab telah lama lenyap, berubah nama atau menjadi negara kecil. Mungkin karena sejak zaman kuno Cina dikenal dengan paling banyak penduduknya. Penelitian purbakala di Arabia masih relatif baru, terhambat oleh gurun yang luas. Dari hasil penelitian yang didapat, sekitar 3000 BC di Arabia terdapat peradaban di selatan, utara dan timur. Sekitar 1000-750 BC dibangun waduk yang mungkin pertama di dunia di wilayah yang kini masuk Republik Arab Yaman. Selain waduk, mungkin Arabia adalah asal muasal teknik membuat gedung bertingkat-tingkat. Di Barat, peradaban awal muncul sekitar 1000 BC. Tepatnya di wilayah yang kini masuk Yunani. Yunani dianggap sebagai asal muasal peradaban Barat, tetapi perlu diketahui bahwa peradaban Yunani adalah pengaruh dari peradaban Timur yaitu Mesir, Mesopotamia, Funisia dan Asiria. Mungkin bangsa Yunani yang menjadi perintis pengembangan dan penyebaran peradaban sebelumnya, tentunya setelah di-Yunani-kan. Huruf Latin misalnya, adalah pengembangan huruf Funisia yang kini disebut Libanon. Bangsa Yunani menyebarkan peradaban antara lain melalui penaklukan. Penaklukan yang dipimpin oleh Alexander Agung adalah penaklukan yang pertama sekaligus yang terakhir dilaksanakan Yunani. Alexander bukan hanya panglima tetapi juga seorang intelek: yang pernah berguru kepada Aristoteles, seorang filsuf yang mungkin paling terkemuka. Alexander memiliki ambisi besar: menyatukan Barat dan Timur, di bawah kekuasaannya. Dia berpendapat bahwa kedua dunia tersebut dapat saling melengkapi, hasil usahanya menampilkan peradaban campuran yang disebut Hellenisme. Pada zaman itu, pemikiran tersebut sangat langka. Romawi mewarisi prestasi Yunani, pengaruh Timur yang diterima adalah agama Nashrani. Kaisar Constantin Yang Agung adalah kaisar Romawi pertama yang menganutnya. Dia berperan dalam pembangunan kota Constantinople (kini Istambul) yang sekian lama dinilai termasuk kota yang sangat indah. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa peradaban berasal dari Timur. Adapun Barat berperan mengembangkannya menjadi secanggih yang kita saksikan kini. Sebagai contoh adalah jam bermesin, walaupun benda itu ditemukan oleh orang Barat tetapi perhitungan waktunya yaitu jam, menit dan detik berasal dari Timur, tepatnya Mesir dan Mesopotamia. Perhitungan waktu dari kedua negeri kuno (Mesir dan Mesopotamia) tersebut semisal tahun, bulan, minggu dan hari juga menghasilkan kalendar yang kita gunakan kini. Sumbangan Timur yang tak terbantahkan adalah agama. Semua agama yang kita kenal kini lahir di Timur: Hindu, Yahudi, Budha, Konghucu, Nashrani dan Islam. Sesungguhnya masih ada beberapa agama yang pernah lahir tetapi perjalanan waktu telah melenyapkannya atau mungkin masih dijumpai pada tempat yang begitu terpencil. Walaupun agama berasal dari tuhan dan jelas bukan hasil pemikiran manusia, agaknya menjadi tanda tanya kenapa tuhan “memilih” dunia Timur untuk menampilkan manusia pilihan-Nya. Setelah penulis ajak pembaca sedikit menjelajah sejarah awal peradaban manusia, penulis juga mencoba mengajak pembaca kepada suatu peradaban yang tak kalah pentingnya tetapi ada kecenderungan kuat untuk meremehkannya, bahkan menutupi atau menyangkalnya. Yang penulis maksud adalah peradaban Muslim klasik dan peradaban inilah yang menjadi pokok bahasan tulisan ini. PENGERTIAN KLASIK Istilah “klasik” menurut terjemahan di kamus adalah “kuno”. Tetapi penulis menilai makna istilah tersebut kurang tepat karena pengertian kuno yang sering dipakai adalah sesuatu yang berkaitan dengan masa lampu yang tidak cocok dipakai lagi atau tidak cocok dijadikan acuan di masa kini. Maka penulis menilai istilah klasik dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan masa lampau sekaligus masih dapat dijadikan acuan untuk masa kini walau ada yang harus melalui penyesuaian dengan ukuran masa kini Sejauh pengetahuan penulis, setiap kelompok manusia memiliki apa yang disebut dengan “perioda klasik”, yaitu suatu perioda masa lampau yang dinilai sebagai perioda ideal suasana tata hidup kelompok masyarakat tertentu sehingga suasana perioda tersebut dijadikan acuan untuk diteladani pada tata hidup masa kini –bahkan nanti– walaupun peneladanan tersebut belum tentu menghasilkan suasana yang persis sama dengan suasana masa lampau yang ingin diteladani. Sejauh yang berkaitan dengan kaum Muslim, masa klasiknya cenderung mengacu pada perioda 622-661 yaitu perioda sejak Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah –yang menandai awal kekuasaan Muslim– hingga akhir perioda “Khalifah Besar Empat” –lazim disebut “Khulafa al-Rasyidin”– yang ditandai dengan kematian Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib. Mungkin ada pertanyaan, kenapa perioda tersebut sering –minimal secara teori– dinilai sebagai contoh ideal tata hidup kaum Muslim. Pertanyaan ini mungkin perlu jawaban yang panjang mengingat penjelasannya sulit disederhanakan. Apapun jawabannya, mungkin intinya memiliki kesamaan yaitu bahwa pada perioda tersebut di atas agama Islam sangat meresap dalam segala segi hidup umat baik dalam pemahaman maupun dalam pengamalan, melebihi perioda manapun dalam sejarah Islam. Tetapi harus diingat bahwa tidak ada kehidupan ideal sempurna di dunia ini, hal tersebut juga berlaku bagi kaum Muslim. Perioda klasik Muslim –sebagaimana kelompok manusia lain– juga tak lepas dari ketidaknyamanan semisal peperangan atau musibah lain. Nilai lebih dari perioda tersebut mungkin adalah menghadapi segala ketidaknyamanan tersebut dengan sikap lebih Islami dibanding perioda manapun dalam sejarah Islam, dengan sumber utama yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad. Mungkin muncul lagi pertanyaan, jika perioda 622-661 dinilai sebagai masa klasik kenapa perioda 700-1400 juga disebut perioda klasik? Apakah kaum Muslim pernah mengalami 2 kali perioda klasik ataukah hanya sekali? Jawabannya bisa beragam. Bagi yang berpendapat hanya sekali masa klasik terdapat dua pendapat pula, pendapat yang berdasar pada fakta bahwa perioda 622-661 adalah pada perioda tersebut kaum Muslim dipimpin oleh tokoh paling bermutu dibanding perioda manapun, yaitu Nabi Muhammad beserta para sahabat utama yaitu Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abu Thalib. Keempat sahabat tersebut masuk kelompok “Sepuluh Sahabat Utama” (‘Asyratul Kiraam) karena keutamaan mereka dalam pemahaman dan pengamalan agama. Nabi telah memberitahu mereka sejak mereka masih hidup bahwa mereka akan masuk surga. Perioda setelah itu dinilai terdapat penyimpangan atau pelunturan dalam pemahaman dan pengamalan agama. Walaupun Islam berkembang lebih luas dibanding masa 5 tokoh tersebut, pengaruh atau rasa keislaman kaum Muslim tidak sebagus perioda tersebut. Bagi yang menjawab perioda 700-1400 adalah masa klasik, mereka berdasar fakta bahwa pada perioda tersebut adalah kelahiran dan perkembangan apa yang dinamakan peradaban Muslim. Pada perioda tersebut kaum Muslim –umumnya Arab– secara intensif berhubungan dengan umat lain, tidak hanya sebatas Arabia, sehingga otomatis berhubungan dengan peradaban lain pula semisal Yunani, Romawi, Persia, India, Cina, Mesir, Mesopotamia, Asiria dan Funisia. Selama perioda tersebut kaum Muslim sukses menerima peradaban sebelumnya dan sezamannya, mengembangkannya dan menyebarkannya. Pada tahap tersebut kaum Muslim nyata memberi sumbangan bagi kemanusiaan dibanding sebelumnya dan sesudahnya. Dengan kata lain berguna bagi orang lain. Hal tersebut sungguh memenuhi konsep rahmatan lil ‘alamin. Penulis cenderung menilai bahwa kedua pendapat tersebut sama-sama memiliki kebenaran, karena itu penulis menggabungkan masa klasik yang terbagi dua tersebut menjadi satu masa, yaitu 622-1924: berawal dari hijrah nabi yang menandai titik balik perjuangan nabi dari fihak yang tertindas menjadi fihak yang berkuasa, yaitu memiliki negara. Tahun 1924 adalah akhir perioda khilafah –istilah yang dipakai sejak 632– yaitu konsep tata negara berdasar Islam. Walaupun praktek khilafah sempat terdapat penyimpangan, kaum Muslim menilai bahwa khilafah adalah lambang persatuan kaum Muslim (Pax Islamica). Memang, selama berabad-abad pemegang gelar khalifah menjadi acuan bagi negeri-negeri Muslim lain. Para penguasa Muslim, apapun gelarnya, meminta restu kepada khalifah. Kurang afdhal rasanya jika berkuasa tanpa restunya. Di antara yang pernah meminta restunya adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram dan raja-raja di bagian lain Nusantara. Boleh dibilang, dengan lembaga khilafah saat itu kaum Muslim lebih bersatu, dengan demikian lebih kuat, dibanding setelahnya walaupun persatuan tersebut sejak abad ke-19 tidak lagi menempatkannya sebagai super power. Sejak tahun 1517 pemegang gelar khalifah adalah para sultan Turki dari Dinasti ‘Utsmaniyyah, mereka mewarisinya dari keturunan sultan/khalifah terakhir Dinasti ‘Abbasiyyah. Keturunan tersebut dibawa dari Kairo (al-Qahirah) ke Istambul, ibukota kerajaan tersebut. Adalah seorang antek imperialis Barat bernama Mushthafa Kamal alias Attaturk menghapus lembaga khilafah yang berakibat kaum Muslim lebih terpecah belah dibanding sebelumnya. Attaturk juga melaksanakan program deislamisasi lainnya: menutup zawiyah, madrasah, melarang jilbab dan mengganti huruf Arab dengan huruf Latin serta tentu saja menghapus pengaruh Islam dalam kehidupan publik semisal kenegaraan. Hapus kekhalifahan sesungguhnya termasuk musibah besar kaum Muslim. Layak disayangkan, semakin jauh perjalanan waktu peristiwa itu praktis dilupakan. Adapun perihal capaian kemanusiaan, penulis setuju bahwa perioda 700-1400 adalah perioda peradaban Muslim klasik dalam arti pada perioda tersebut memang nyata sumbangsih kaum Muslim terhadap kemanusiaan sebagaimana tersebut di atas. Sebelum maupun sesudah perioda tersebut praktis tidak ada atau sedikit. Sebelum perioda tersebut kaum Muslim masih sibuk menata diri, membebaskan wilayah dari penjajahan Bizantium dan pendudukan Persia serta memperkokoh kemenangan. Belum sempat memberi peradaban kepada kemanusiaan. Adapun sesudah perioda tersebut kaum Muslim mengalami pula nasib yang sama dengan kaum sebelumnya yaitu “kelelahan melahirkan” prestasi. Kelelahan tersebut bertambah dengan serbuan dari Eropa dan Mongolia yang jelas menguras potensi. SEKILAS AWAL PENAMPILAN KAUM MUSLIM Islam bukanlah agama yang begitu saja jatuh dari langit, tetapi merupakan lanjutan dari karya para nabi sebelum Muhammad SAW. Sejak Nabi Adam As hadir di dunia agama pun demikian. Para nabi sesudahnya melanjutkan tuntunan kepada manusia dengan agama yang makin disempurnakan seiring perjalanan waktu. Bahkan dari penelitian telah ditemukan info dari sumber agama sebelum Islam tentang kehadiran nabi terakhir dan agama terakhir walaupun bantahan terhadap hasil penelitian tersebut juga ada. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Muhammad SAW lahir tahun 570 di Makkah, kota dagang terkemuka di Arabia. Suku mayoritas di kota tersebut yaitu Quraisy dikenal sebagai perantau dan pedagang. Dengan demikian Makkah adalah kota dagang terpenting di Arabia, banyak pula pendatang dari dalam maupun luar Arabia. Arabia saat Muhammad SAW lahir, telah mengalami masa suram mungkin sejak abad pertama Masehi. Capaian kemanusiaan yang sempat diraih telah hilang, Arabia seakan mengalami kelelahan melahirkan peradaban. Beberapa kerajaan terkemuka semisal Ma’in dan Saba’ telah lenyap, yang ada hanya beberapa kerajaan kecil bercorak setengah pengelana, dengan demikian peradabannya relatif primitif. Bahkan ada pula yang hanya merupakan bawahan kerajaan asing. Makkah mungkin lebih tepat disebut sebagai negara kota karena wibawa politiknya praktis tidak menjangkau seluruh Arabia, tetapi Makkah memiliki wibawa agama yang tak tertandingi di negeri tersebut selain dikenal sebagai kota dagang. Di kota tersebut terdapat Ka’bah, rumah ibadat yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il. Keturunan Isma’il kelak menjadi cikal bakal bangsa Arab baru yang dikenal dengan sebutan ’Arab al-Musta’ribah, seakan “melengkapi” keberadaan bangsa Arab dari kelompok sebelumnya yaitu ‘Arab al-Ba’idah dan ‘Arab al-‘Aribah. Adapun suku Quraisy termasuk keturunan Isma’il. Suku Quraisy diakui oleh bangsa Arab sebagai penguasa yang sah di Makkah, memiliki hak di bidang agama dengan kewajiban melayani para peziarah dari seantero Arabia. Semua penganut dari berbagai agama di Arabia menganggap Makkah sebagai pusat keagamaan. Kehadiran agama Islam membuat para elit Makkah merasa “gerah”, dan hal itu “menular” pula keluar Makkah. Mereka menilai Islam sebagai ancaman terhadap wibawa mereka. Islam sekian lama sempat dianggap bagai kerikil dalam sepatu. Sejarah para nabi sebelumnya seakan berulang pada Muhammad, yang menerima dia –minimal awalnya– adalah kaum jelata semisal gembel atau budak. Para elit sigap menolaknya. Sekitar 12 tahun berda’wah di Makkah hasilnya menyedihkan, tetapi pada saat yang sama muncul harapan. Madinah, kota yang terletak sekitar 400-500 km utara Makkah menyambut simpatik misi Muhammad. Singkat cerita, dia dan kaum Muslim pindah ke Madinah. Perpindahan tersebut merupakan titik balik nasib kaum Muslim: dari tertindas menjadi berkuasa. Mereka mendapat peluang yang tak mereka peroleh semasa madih di Makkah yaitu pembenahan ke dalam dan perkenalan ke luar. Unsur-unsur masyarakat di luar Madinah berangsur-angsur menjadi Muslim. Walaupun kaum Muslim telah tersingkir dari Makkah, para elitnya tidak puas, dan itu beralasan. Mereka simak dengan serius perkembangan musuhnya sehingga perlu suatu penyelesaian akhir permusuhan ini. Menyingkirkan ternyata tidak cukup, kaum Muslim harus dihabisi. Di Madinah sendiri kaum Muslim mendapat musuh baru yang tak kalah berbahaya: kaum Yahudi. Mereka lebih memahami wahyu dibanding elit Makkah atau elit Arab manapun yang masih pagan. Pada awalnya tidak ada masalah dengan kaum Yahudi, kaum Muslim mencoba merangkul non Muslim di Madinah dan sekitarnya untuk hidup berdampingan secara damai dengan berdasar suatu konstitusi yang lazim disebut Piagam Madinah. Tetapi suasana nyaman itu berlangsung singkat, kaum Yahudi yang nota bene tahu tentang kehadiran nabi terakhir, menggunakan berbagai dalil wahyu untuk menolak nubuwat Muhammad karena dia adalah keturunan Isma’il. Sejak lama kaum Yahudi menilai hina keturunan Isma’il karena ibunya adalah budak, padahal kaum Yahudi sendiri selama ratusan tahun menjadi budak kaum lain dan mereka berlindung di Arabia. Selain itu, beberapa anak Nabi Ya’qub, moyang Israel, berasal dari dua perempuan budak. Penolakan kaum Yahudi mungkin sejak awal memang lemah dalilnya karena dalam budaya rumpun Semit (Samiyyah) –termasuk Arab dan Israel– memiliki budaya patriarkat: anak ikut silsilah bapaknya. Dengan demikian tidak ada perbedaan derajat antara anak dari perempuan merdeka dengan anak dari perempuan budak. Gerakan anti Islam di dalam maupun di luar Madinah sempat bergabung dalam perang melawan Muslim yang dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Parit. Syukurlah, kaum Muslim menang. Perdamaian dengan Makkah, walaupun hanya bertahan sekitar dua tahun, memberi peluang kaum Muslim berda’wah. Untuk pertama kalinya kaum Muslim berhubungan dengan luar negeri sekaligus super power zaman itu, Bizantium dan Persia, tetapi keduanya sigap pula menolak. Surat nabi dirobek oleh raja Persia dan utusan nabi dibunuh oleh bawahan Bizantium. Perang dengan mereka tak terhindarkan, masih berlanjut hingga jauh setelah nabi wafat. Sebagai hukuman terhadap pelanggaran Makkah terkait perjanjian gencatan senjata, kaum Muslim menaklukan Makkah praktis tanpa perlawanan. Amnesti yang diberikan nabi sukses merangkul warga Makkah kepada Islam. Setelah itu, sisa dua tahun hidupnya, fokus nabi tercurah untuk memantapkan pengaruhnya ke seantero Arabia. Ketika wafat tahun 632, sebagian besar Arabia berada di bawah supremasi Muslim. PEMBEBASAN DAN PERKENALAN Berdasar hasil musyawarah, Abu Bakar dipilih sebagai khalifah. Menurut arti aslinya, istilah “khalifah” bermakna “pengganti”. Istilah tersebut ada dalam al-Qur’an mengacu pada penciptaan manusia pertama yaitu Adam dan fungsinya di alam, tepatnya di dunia. Tuhan berfirman hendak menciptakan manusia sebagai khalifah bertempat di dunia, pengertian tersebut dapat berarti pengganti pelaksana kehendak Tuhan di dunia. Konon sebelum Adam, Tuhan telah memberi tugas kepada makhluk lain sebagai pelaksana kehendaknya tetapi makhluk tersebut justru membuat kerusakan. Setelah mereka dibinasakan, Tuhan ciptakan manusia untuk menggantikannya. Makna khalifah juga dapat berarti “wakil” yaitu Tuhan berbagi atau memberi wewenang –tentunya terbatas– kepada manusia untuk menguasai, memanfaatkan dan memelihara alam. Adapun dalam kasus pasca Muhammad, pengertian pengganti bukanlah bermakna Abu Bakar dipilih sebagai nabi menggantikan Muhammad tetapi menggantikan perannya sebagai kepala negara mengingat tugas Muhammad sebagai nabi dalam perkembangannya memerlukan “peran tambahan” semisal kepala negara dan panglima. Jabatan nabi berasal dari Tuhan dan terlebih lagi Muhammad adalah nabi terakhir, tetapi peran lain yang pernah dimilikinya dapat diganti oleh orang lain. Sejak itulah dalam sejarah Muslim dikenal pemerintahan yang disebut “khilafah” dan orangnya disebut “khalifah”. Lembaga khilafah berlangsung dari pelantikan Abu Bakar tahun 632 hingga penghapusan lembaga tersebut bersamaan dengan penghapusan Kerajaan ‘Utsmaniyyah di Turki tahun 1924 oleh Attaturk. Selama perioda tersebut berbagai raja, dinasti dan bangsa memegang gelar tersebut. Dalam sejarah Muslim, telah tersebut bahwa dalam perioda khilafah dikenal perioda Khalifah Besar Empat atau Khulafa al-Rasyidin. Perioda tersebut adalah awal pembentukan imperium Muslim, berawal dari gerak maju kaum Muslim membebaskan wilayah dari penjajahan Bizantium dan pendudukan Persia yang begitu menindas rakyat. Selain itu, konflik dengan kedua super power tersebut sebagai tindak hukuman terhadap usaha merongrong kaum Muslim. Wilayah yang pertama dibebaskan adalah Asia Barat dan Afrika Utara, Bizantium kehilangan sebagian besar jajahannya dan Persia masuk imperium Muslim seutuhnya. Pada perioda Dinasti ‘Ummayah (661-750) gerak maju dilanjutkan hingga pada tahun 732 –seabad setelah Muhammad SAW wafat– menjangkau sejauh Iberia di barat dan Turkistan di timur, termasuk imperium terluas dalam sejarah. Tentunya usaha tersebut menghadapi tantangan antara lain dari Visigoth, Franka, Turki, India dan Cina. Pembebasan yang seiring dengan perkenalan Islam tersebut juga menghadapi masalah: kaum Muslim menghadapi masyarakat yang lebih canggih saat itu. Bagaimana menyikapi kenyataan tersebut? Apakah menghapus ataukah mencari titik temu atau persamaan antara Islam dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat? Untuk mencari jawabnya, kaum Muslim sedapat mungkin “menggali” al-Qur’an dan menyimak perilaku nabi semasa hidup. Dari situ didapat jawaban bahwa Islam hadir bukan menghapus yang ada begitu saja tetapi menyimak segala sesuatu berdasarkan asas manfaat-mudharat dan maslahat-mafsadat. Segala yang sesuai dengan Islam boleh diambil, adapun yang bertentangan ditolak atau dilarang, minimal larangan tersebut berlaku untuk kaum Muslim. Dengan demikian masyarakat non Muslim praktis mendapat toleransi melaksanakan nilai-nilai yang dianutnya. Perbedaan yang tak dapat dihindari dibiarkan, dinilai sebagai sunnatullah atau hukum alam. Jawaban yang memang telah “tersedia” dalam kitab dan sunnah relatif mudah dicari, yang relatif sulit adalah mencari jawaban karena menghadapi masalah yang belum pernah ada semasa hidup nabi. Kaum Muslim mencoba mencari jawaban terhadap masalah yang ada saat pasca nabi tersebut berdasar kasus semasa nabi yang mirip-mirip dengan itu untuk mendapat persamaan sebabnya, dari situ dapat menemukan persamaan hukumnya. Hasilnya adalah –sering dianggap sebagai– sumber tambahan dalam Islam yang dikenal dengan istilah kias (Arab: qiyas, Inggris: analogy). Usaha mencari jawaban atau hasil analisa tersebut dikenal dengan istilah ijtihad. Ijtihad yang mendapat kesesuaian atau disepakati oleh para ahli disebut ijma’ tetapi dengan ketentuan bahwa ijtihad tidak bersifat mutlak, dengan kata lain relatif. Ijtihad dapat ditinjau kembali walau selama beberapa abad sempat ada tabu untuk diutak-atik. Dengan demikian segala sesuatu pengaruh yang telah diterima Islam menjadi bagian yang lazim disebut syari’at. Dari uraian ini jelas bahwa Islam tidak menolak pengaruh asing sejauh tidak bertentangan, dan kaum Muslim pada perioda peradaban klasik mempraktekkan ajaran tersebut dengan sangat baik. Hal tersebut layak menjadi contoh bagi generasi berikutnya. Seiring waktu berjalan kaum Muslim secara sadar tidak sadar terbagi menjadi beberapa golongan berdasar ijtihad beberapa ulama yang lazim disebut madzhab, walaupun tokoh-tokoh yang dianggap sebagai “pendiri” madzhab tidaklah bermaksud demikian. Kini, suka atau tidak suka, kaum Muslim terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Suni (Ahl al-Sunnah wal Jam’ah) dan Syi’ah. Madzhab yang termasuk Suni yaitu: 1. Hanafiy, berasal dari nama Abu Hanifah. Umumnya terpusat di Asia Selatan, Asia Tengah, Levant, Iraq dan Turki. 2. Malikiy, berasal dari nama Malik bin Anas al-Ashbahiy. Umumnya terpusat di Afrika Utara. 3. Syafi’iy, berasal dari nama Muhammad bin Idris al-Syafi’iy. Umumnya terpusat di Asia Tenggara. 4. Hanbali, berasal dari nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Umumnya terpusat di Arabia. Dalam Syi’ah juga terdapat beberapa madzhab semisal Itsna ‘Asy’ariyyah yang merupakan mayoritas diantara berbagai madzhab Syi’ah. Madzhab tersebut terpusat di Iran dan Iraq. Pertemuan antara kaum Muslim dengan kaum dan peradaban lain tersebut kelak menampilkan peradaban Muslim klasik, yang termasuk cikal bakal peradaban modern melalui apa yang disebut zaman renaissance dan aufklarung di Barat. PERKEMBANGAN PERADABAN MUSLIM KLASIK Ketika kaum Muslim meraih wilayah baru, sulit disangkal bahwa mereka takjub menemukan warisan peradaban dalam berbagai bentuk semisal istana, pustaka, benteng dan kaum intelek. Kaum Muslim menilai betapa canggih kaum yang dirangkul dalam imperiumnya mengingat kaum Muslim mayoritas berlatar belakang budaya di Arabia Tengah, wilayah yang primitif. Penduduknya praktis hanya mengenal berdagang dan berperang. Praktis tidak ada peradaban canggih setara rekan-rekannya di utara dan selatan. Pada awalnya tak mengherankan jika terjadi kesulitan berbicara mengingat perbedaan bahasa, tetapi interaksi sosial merupakan keharusan mengingat Islam adalah agama universal. Islam tidak mengajarkan pengasingan dari pergaulan masyarakat walaupun dengan non Muslim. Dengan demikian muncul usaha penterjemahan. Warga Arab di perbatasan utara Arabia –umumnya beragama Nashrani– telah lama mendapat pengaruh Yunani, Romawi dan Persia. Adapun ketiga bangsa tersebut mewarisi peradaban yang lebih senior semisal Mesir, Mesopotamia, Asiria, Akkadia dan Funisia. Kemungkinan besar warga Arab tersebut adalah penghubung awal antara kaum Muslim dengan orang asing. Dengan rasa ingin tahu kaum Muslim berusaha mengenal warga negara barunya nyaris dalam segala hal tetapi yang menjadi pokok tertariknya adalah pengetahuan yang tersimpan dalam buku dan otak. Maka pada perioda 700-1000 perkembangan peradaban Muslim klasik berciri pokok pada penterjemahan besar-besaran buku-buku asing. Kaum Muslim tidak segan-segan mengajak non Muslim membangun peradabannya. Bahkan jika buku atau ahli tidak didapat di wilayah imperium Muslim, maka utusan dikirim ke luar negeri untuk memboyong keduanya. Agaknya layak diakui bahwa pada perioda ini peradaban Muslim –walaupun terbilang spektakuler– tetapi kurang memiliki nilai keaslian mengingat apa yang disebut pakar kaum Muslim adalah mereka yang umumnya ahli setelah mempelajari pengetahuan dari bangsa asing, baik karena mereka terjemahkan sendiri maupun mereka pelajari dari terjemahan orang lain. Masih terbilang jarang ada penemuan atau penciptaan ilmiyah asli dari pakar tersebut. Karya monumental dari perioda tersebut di atas antara lain Masjid ‘Umar atau dikenal dengan Masjid Qubbat al-Shakhrah dan Masjid al-Aqsha di Yerussalem (al-Quddus al-Syarif) yang dibangun pada perioda kuasa Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan serta Masjid Jami’ ‘Ummayah di Damaskus (Damsyiq) yang dibangun pada perioda kuasa Khalifah Walid bin ‘Abdul Malik. Pada perioda kuasa Khalifah Ma’mun bin Harun al-Rasyid (813-833) dibentuk lembaga penterjemahan yang disebut “Bayt al-Hikmah” (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad. Berbagai buku dihimpun, diterjemahkan, dipelajari dan disebarkan. Masih dalam perioda di atas pada tahun 969 dibangun kota al-Qahirah oleh Jawhar, seorang panglima Dinasti Fathimiyyah. Pembangunan tersebut mencakup pula pembangunan Masjid-Universitas al-Azhar yang juga masih ada. Kota ini seakan melengkapi prestasi kaum Muslim setelah Baghdad di Iraq dan Cordova (Qurthubah) di Spanyol. Konon pustaka di Qurthubah menyimpan sekitar 400.000 buku dari berbagai cabang pengetahuan. Dari Iberia –dan juga Sisilia– peradaban Muslim menembus kebekuan dan kegelapan Eropa. Ketika itu Eropa mengalami zaman yang disebut abad pertengahan atau abad kegelapan (476-1492), perioda ketika Eropa kehilangan capaian kemanusiaan yang pernah teraih pada zaman Yunani-Romawi. Sebagian besar warisan tersebut sukses diselamatkan oleh kaum Muslim. Beberapa pakar pada perioda tersebut di atas antara lain: 1. Abu Yusuf Ya’qub ibnu Ishaq Al-Kindiy (wafat 873), karya tulisnya mencakup matematika, astrologi, fisika, kedokteran, farmasi, geografi dan musik. Tetapi ia lebih dikenal sebagai filsuf. 2. Al-Farghaniy (wafat 870), seorang pakar astronomi. Karya monumentalnya adalah “Unsur-unsur Astronomi” yang banyak membahas gerakan benda-benda langit. 3. Al-Khawarizmiy (wafat 850), lebih dikenal sebagai seorang pakar matematika walaupun dia juga pakar astronomi dan geografi. 4. Al-Raziy (865-925), lebih dikenal sebagai pakar kedokteran walaupun ia juga pakar psikologi dan fisika. 5. Al-Farabiy (wafat 950), lebih dikenal sebagai pakar teologi dan filsafat. Kaum Muslim menampilkan sumbangsih aslinya pada perioda 1000-1400. Penterjemahan pada perioda ini relatif kurang dibanding sebelumnya. Banyak ciptaan dan temuan asli penelitian kaum Muslim tampil dalam perioda ini. Tetapi prestasi tersebut sempat mendapat gangguan berat oleh perpecahan di dalam dan serbuan dari luar. Imperialis Barat mencoba meraih wilayah bekas jajahannya melalui perang salib (1095-1291) yang berakhir gagal dan penaklukan besar-besaran oleh bangsa Mongolia dipimpin oleh Jenghis Khan serta keturunannya. Banyak aset umat yang rusak atau hilang: pustaka diratakan dengan tanah dan pakar dibunuh atau ditangkap. Pada perioda ini terdapat karya monumental yaitu pembangunan Universitas Nizhamiyyah di Baghdad atas kuasa Wazir Nizham al-Muluk. Universitas inilah yang menampilkan alumni sekaligus dosen terbaiknya yaitu al-Ghazaliy (1058-1111) walaupun ada juga pemikirannya terkesan janggal. Dia lebih dikenal sebagai pakar tashawuf. Beberapa pakar pada perioda ini antara lain: 1. Al-Biruniy (wafat 1048), lebih dikenal sebagai pakar matematika, astronomi dan geografi. 2. Ibnu al-Haytsam (wafat 1039), lebih dikenal sebagai pakar fisika. Karya monumentalnya adalah “Kitab al-Manazhir” yang merupakan pembahasan tentang mata. 3. Ibnu Sina (980-1037) dikenal dengan nama yang dibaratkan “Avicenna” sangat terkemuka dalam bidang kedokteran walaupun dia juga pakar astronomi, geologi, matematika dan filsafat. 4. ‘Umar Khayyam (wafat 1123), lebih dikenal sebagai pakar sastra walaupun dia juga pakar matematika dan astronomi. 5. Ibnu Rusyud (wafat 1194), lebih dikenal sebagai filsuf walaupun dia juga terkemuka sebagai dokter. Di Barat dikenal dengan nama “Averroes”. Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa para pakar Muslim pada zaman klasik peradaban tidak hanya pakar dalam 1 bidang. Bukan jarang seorang pakar memiliki prestasi dalam 5-10 cabang ilmu. Selain itu tidak ada dikotomi pengetahuan agama-non agama. Seorang pakar yang genius dapat sekaligus seorang ulama yang shalih. Hal tersebut dapat terjadi karena kaum Muslim zaman tersebut menilai bahwa tidak ada pertentangan antara iman dan ilmu. Iman adalah anugerah tuhan dan ilmu juga anugerah tuhan. Keduanya diperlukan untuk amal. Amal mungkin rusak atau timpang jika kurang satu di antaranya. Pengertian ulama zaman itu tidak hanya ahli agama tetapi juga ahli di bidang umum. Sungguh berbeda dengan keadaan sekarang. Musibah semacam perang agaknya masih tak menghalangi kaum Muslim untuk berprestasi. Sumbangan yang mungkin terbaik (sekaligus yang terakhir) dari perioda peradaban Muslim klasik adalah di bidang sosial, arsitektur dan astronomi. Dinasti Timuriyyah di Turkistan mewariskan arsitektur monumental berupa masjid dan madrasah serta kecermatan perhitungan dalam astronomi di Observatorium Ulugh Beg di Samarkand (Samarqand), ibu kotanya. Sayang, peninggalan yang masih tersisa di seantero bekas wilayahnya terkesan tidak terawat. Bahkan ada juga yang sulit dikenali. Adapun intelektual terkemuka yang terakhir pada perioda ini adalah Ibnu Khaldun (1332-1406), pakar dalam ilmu sosial. Karya monumentalnya adalah Kitab al-Ibar dengan bagian terpenting adalah bab Muqaddimah (Pembukaan). Dalam karya tulisnya dia menjelaskan tentang politik, ekonomi, sejarah, geografi dan hukum dari beberapa kaum. Walaupun masih ada prestasi pada perioda pasca peradaban klasik antara lain dengan “diwakili” oleh Kerajaan ‘Utsmaniyyah (1299-1924) di Turki, Kerajaan Shafawiyyah (1502-1722) di Iran dan Kerajaan Mughal (1526-1858) di India, kaum Muslim telah kehilangan daya kreatif dan inovatifnya. Dalam hal pemahaman agama misalnya, tidak banyak ijtihad bermutu yang dihasilkan para ulama. Mereka cenderung hanya mengikut para pendahulunya, lazim disebut taqlid. Maka jangan tanya prestasi di bidang teknologi, praktis penelitian dan pengembangan untuk itu tidak ada. Justru Barat yang mengambil alih pencerahan yang pernah membawa kaum Muslim pada puncak martabatnya sebagai manusia. Sambil sedapat mungkin meremehkan –bahkan berusaha menutupi– prestasi kaum Muslim. Pemalsuan sejarah atau fakta menjadi hal tak terhindarkan. PENUTUP Penulis memaparkan ini supaya kaum Muslim kini dan nanti sadar akan fungsinya di tengah umat manusia yaitu menebar manfaat sebanyak mungkin sebagaimana telah dilaksanakan sangat baik oleh generasi terdahulu. Penulis mengingatkan bahwa betapa jauh lebih tinggi mutu kaum Muslim dulu dibandingkan dengan sekarang, dalam arti generasi dulu sebagaimana yang telah diuraikan di atas jauh lebih baik walaupun jumlahnya tidak sebanyak kini. Bahkan pada perioda klasik ada wilayah dalam imperium Muslim yang mayoritas non Muslim. Kini jumlah kaum Muslim sedunia sekitar 1.000.000.000 tetapi sumbangsihnya terhadap kemanusiaan di segala bidang secara total konon tak lebih dari 1%. Sebagian besar kaum Muslim terperangkap dalam kemiskinan dan kebodohan, faktor utamanya adalah penjajahan oleh non Muslim –terutama Barat– yang telah berlangsung sejak abadke-16. Walaupun penjajahan dalam bentuk kehadiran fisik kini praktis jarang dijumpai tetapi dalam hal perusakan mental masih banyak dijumpai, bahkan cenderung menjadi-jadi. Hal tersebut sebagian juga tak terlepas dari kekeliruan kaum Muslim antara lain dalam bentuk perpecahan, kebekuan dan kelalaian. Tak layak sepenuhnya menyalahkan penjajah, mereka melakukannya selain karena nafsu serakahnya juga karena ada peluang. Dan peluang tersebut muncul dari kesalahan kaum Muslim. Wallahu a’lam. Bab VI PERANG PASIFIK : REVOLUSI TIMUR ALA JEPANG Pakar sejarah Will dan Ariel Durant pernah menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa sebagian besar waktu dalam riwayat manusia adalah perang. Hanya beberapa tahun saja yang merupakan tahun tanpa perang. Berkaitan dengan itu penulis mencoba membahas suatu perang yang berdasar pada anggapan umum yang cenderung membagi dunia menjadi dua, yaitu dunia Timur dan dunia Barat. Dalam hidup sehari-hari, jika mengingat Timur orang teringat dengan Asia dan Afrika; dan jika mengingat Barat orang teringat dengan Eropa, Amerika dan Australia. Memang, riwayat umat manusia sebagian besar didominasi hubungan kedua dunia tersebut walaupun sadar tidak sadar kadang ada kecenderungan memelihara dikotomi Timur-Barat. Jelas bahwa walaupun dua umat tersebut hidup berdampingan tetapi sulit dibantah bahwa bentuk hubungan tersebut lebih merupakan persaingan daripada persandingan. Ya, persaingan hampir dalam segala hal. Orang cenderung berfokus pada perbedaan dari pada persamaan dari dua umat tersebut. Akibatnya, titik temu nyaris mustahil didapat. Berfokus pada perbedaan, sesungguhnya sudah lama tetapi mencapai puncaknya –atau lebih tepat diperparah– mungkin sejak abad ke-16, ketika orang Barat dari berbagai bangsa menjelajah dan menjajah ke seantero dunia. Praktis pada awal abad ke-20, sebagian besar dunia Timur dijajah oleh Barat. Segala perbedaan tersebut akhirnya lebih banyak menampilkan peperangan dari pada pemahaman. Semuanya menampilkan korban yang mengerikan dan kadang dendam yang berkepanjangan. Di antara sekian banyak peperangan antara kedua umat tersebut, ada satu perang yang hingga kini dianggap terbesar antara dunia Barat dengan dunia Timur walaupun tidak murni konflik Barat-Timur. Perang yang dimaksud adalah Perang Pasifik (7 Desember 1941 – 2 September 1945). Perang ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, terutama bukanlah peristiwa yang muncul begitu saja, tetapi berkaitan dengan berbagai konflik lain sebelumnya yang kemudian bermuara pada Perang Dunia II (1 Septmber 1939 – 2 September 1945), perang terbesar yang pernah diciptakan manusia. Berbagai konflik tersebut merupakan “pemanasan” sebelum “pembakaran” yang melanda sebagian besar dunia. Tegasnya, Perang Pasifik adalah bagian dari Perang Dunia II. Perang Dunia II adalah perang yang terbilang ruwet jika kita hanya berfokus pada dikotomi Barat-Timur. Perang ini mencakup konflik Barat-Barat, Timur-Timur dan Barat-Timur. Dengan demikian Perang Pasifik mencakup konflik Barat-Timur dan Timur-Timur. Para “pemain” Perang Dunia II terbagi dua kelompok, yaitu Sekutu dan Poros. Pemain utama Sekutu adalah Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Uni Soviet (US) dan Cina. Adapun pemain utama Poros adalah Jerman, Jepang dan Italia. Khusus Perang Pasifik, konflik Barat-Timur nyata dari perang antara AS, Inggris dan kemudian US melawan Jepang. Mengenai konflik Timur-Timur adalah Cina melawan Jepang. Tetapi umumnya cenderung berfokus dari Perang Pasifik adalah segi konflik Barat-Timur –khususnya bagi yang pernah mengalaminya– karena sebagian besar wilayah Asia-Pasifik dikuasai imperialis Barat, termasuk Indonesia. Penilaian tersebut diperkuat oleh propaganda Jepang yang terbilang berani yaitu “Asia untuk orang Asia” dan Jepang ingin memiliki citra pembebas Timur dari imperialis Barat. Tetapi jelas pula bahwa Jepang tidak murni membela Timur, propaganda tersebut dirusak oleh rasa unggul diri dibanding dengan bangsa lain termasuk Timur. Perilaku kejam Jepang tidak hanya berlaku bagi orang Barat tetapi juga orang Timur. Kekaguman atau kegembiraan yang mungkin sempat muncul nyaris tak bersisa karena kebencian dari penindasan tersebut. Jepang lebih mengejar kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan sesama Timur. Propaganda “Asia untuk orang Asia” mungkin lebih ampuh ketika Jepang kalah dan imperialis Barat mencoba hadir kembali ke wilayah bekas jajahannya semisal kolonial Belanda kembali ke Indonesia. Sesudah Perang Pasifik, tampil gerakan kuat anti imperialis Barat bukan hanya di wilayah bekas taklukan Jepang tetapi juga wilayah jajahan Barat yang tidak sempat ditaklukan Jepang. Gejolak di Asia menyebar ke dunia Timur lain yaitu Afrika. Muncul negara-negara baru bagai jamur tumbuh di musim hujan. Hal tersebut memaksa imperialis Barat mencari cara baru untuk tetap unggul dan agaknya hal tersebut telah ditemukan dan dilaksanakan. Perang Pasifik, walaupun adalah peristiwa yang pahit tetap harus diakui telah mengubah wajah Asia-Pasifik termasuk Indonesia. Sulit membayangkan wajah Indonesia –waktu itu disebut Hindia Belanda– tanpa perang tersebut. Perang tersebut telah “mempercepat” kemerdekaan Indonesia mengingat gerakan kemerdekaan yang berlangsung sejak abad ke-16 belum sukses mengantar Indonesia kepada kemerdekaan. Sejak awal abad ke-20 corak perlawanan adalah politik setelah sebelumnya corak militer gagal mengusir kolonialis. Perlawanan politik perlu waktu lama untuk mewujudkan kemerdekaan. Serbuan pasukan Jepang adalah tantangan yang tak dapat dibendung oleh kolonial Belanda. Jepang hanya perlu waktu sekitar 3 bulan untuk merebut Nusantara. Kekejaman Jepang makin menggelorakan semangat kemerdekaan, dan ketika Jepang dipaksa menyerah oleh Sekutu, hasrat merdeka terwujud dengan proklamasi kemerdekaan dan tak dapat dibendung oleh Jepang dan imperialis Barat. LATAR BELAKANG Umumnya orang menilai bahwa imperialisme Barat bermula pada abad ke-16, hal tersebut berdasar fakta bahwa pada abad tersebut pelaku imperialis tersebut tidak hanya satu bangsa tetapi beberapa bangsa. Demikian pula korbannya, juga terdiri dari beberapa bangsa. Padahal imperialisme Barat telah ada sejak sebelum Masehi. Penaklukan oleh Alexander Yang Agung dari Kerajaan Macedonia sejauh Asia Tengah pada abad ke-4 sebelum Masehi adalah contoh imperialisme Barat. Pada perioda 500-1500 dunia Barat mengalami apa yang disebut Zaman Kegelapan (Dark Ages) atau Zaman Pertengahan (Middle Ages). Dunia Barat kehilangan capaian kemanusiaan yang pernah diraih sebelumnya yaitu sekitar perioda 1000 BC – 500 AD. Untuk kedua kalinya Barat harus belajar pada Timur yang sukses mempertahankan keunggulan pencapaian kemanusiaan praktis tanpa putus pada sekitar perioda 5000 BC – 1800 AD. Masuk abad ke-16 Barat boleh dibilang mulai bangkit kembali. Peradaban dari Timur dipoles, dikembangkan dan dipercanggih. Perioda 1500-1800 lazim dikenal dengan Renaissance (Kebangkitan atau Kelahiran Kembali). Tetapi sangat disayangkan bahwa ada ciri buruk dari kebangkitan tersebut yaitu imperialisme. Perkembangan teknologi memudahkan, dan tentu membangkitkan hasrat imperialisme. Penjelajahan dan penjajahan ke seantero dunia tak terbendung. Menaklukan Australia dan Amerika relatif mudah karena penduduknya sedikit dan umumnya masih primitif, tetapi di Asia dan Afrika lebih sulit karena penduduknya banyak dan umumnya telah canggih. Sekitar abad ke-18 muncul gerakan kebangkitan berikut yang disebut Aufklarung (Pencerahan), dengan ciri sebagai berikut: Revolusi Industri di Inggris, yang umumnya dianggap bermula dari penemuan mesin uap oleh James Watt pada 1769. Revolusi Amerika (1775-1783), usaha pemukim Eropa di Amerika Utara lepas dari negara induk yaitu Kerajaan Inggris dan membentuk Republik Amerika Serikat. Kelak AS menjadi superpower sejak abad ke-20. Revolusi Perancis (1789-1815), usaha rakyat Perancis menghapus monarki dan kelak akan menampilkan negara imperialis terbesar kedua pada abad ke-19. Akibat dari Aufklarung dapat dirasakan pada abad ke-19, dari 1800 hingga kini untuk pertama kalinya Barat mengungguli Timur. Usaha Timur untuk membendung keunggulan Barat banyak gagal. Nyaris mirip dengan Barat, gerakan kebangkitan di Timur lebih banyak dihambat oleh kalangan intern. Kelompok yang anti kebangkitan tidak ragu untuk minta bantuan imperialis Barat menumpas setiap gerakan kebangkitan. Dengan demikian gerakan kebangkitan di Timur kadang menghadapi lawan intern sekaligus ekstern. Contoh tantangan intern maupun ekstern dapat kita temui dalam sejarah Perang Paderi (1821-1837) di Minangkabau. Perang tersebut berawal dari tantangan kelompok anti kebangkitan terhadap gerakan kebangkitan yang dikenal dengan gerakan “Paderi”. Gerakan tersebut melaksanakan kebangkitan dengan cara pemurnian pemahaman dan pengamalan agama Islam. Mereka yakin bahwa pemahaman dan pengamalan Islam yang tercampur berbagai faham yang dianggap bertentangan dengan Islam telah membawa keruntuhan moral masyarakat. Faham pemurnian tersebut dibawa dari Arabia. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab membentuk gerakan pemurnian sebagai dasar kebangkitan dengan nama Muwahhid (Kelompok Monotheis), tetapi akan lebih dikenal dengan nama Wahhabi. Perbedaannya adalah gerakan Wahhabi mendapat tantangan hanya dari intern, sedangkan Paderi mendapat tantangan dari intern dan ekstern. Kelompok anti kebangkitan minta bantuan imperialis Barat menumpas Paderi. Nasib yang mungkin mirip dengan Paderi adalah al-Qaidah, dipimpin Usamah bin Ladin. Propaganda imperialis Barat mampu mempengaruhi Timur untuk melawan gerakan tersebut. Kembali pada pokok masalah, mengingat bahwa Perang Pasifik dikobarkan oleh Jepang maka perlu dijelaskan walau mungkin sekilas latar belakangnya. Bangsa Jepang adalah termasuk rumpun (keluarga bangsa) Mongoloid, ciri umumnya adalah mata sipit, kulit putih atau kuning (menurut mata orang Barat), tinggi relatif sedang atau pendek. Yang juga termasuk rumpun ini adalah Cina, Korea, Tibet, Manchu dan Mongolia. Rumpun ini masuk bergelombang dari Cina melalui Korea masuk Jepang sekitar menjelang tarikh Masehi dan kelak kita kenal dengan bangsa Jepang. Di tempat baru mereka menemukan kepulauan yang kaya sumber laut tetapi miskin sumber tambang. Letak Jepang yang sedemikian rupa cenderung menciptakan ketertutupan dan keterasingan dari pengaruh luar selama berabad-abad. Hal tersebut berakibat bangsa Jepang termasuk bangsa sangat homogen, dengan demikian orang Jepang yang maju perang melawan Barat pada tahun 1941 adalah keturunan langsung –nyaris tanpa campuran– dari suku-suku primitif yang menyeberang dari daratan Asia tersebut. Hingga kekalahan Jepang tahun 1945 tidak sampai satu persen terjadi percampuran dengan bangsa lain. Sekitar abad ke-6 berangsur-angsur Jepang menjalin hubungan dengan Cina, negeri dengan penduduk yang berperadaban canggih. Hubungan tersebut membawa Jepang dari corak primitif ikut dalam arus besar peradaban Timur. Huruf Jepang contohnya, adalah huruf Cina yang telah mengalami proses alih tulis yang lama. Jepang memang dikenal sebagai bangsa peniru, tetapi selama berabad-abad segala pengaruh luar tersebut disesuaikan dengan identitas Jepang. Dengan demikian Jepang sekian lama mampu memperkaya peradaban tanpa perlu kehilangan kepribadian. Sistem pemerintahan Jepang menempatkan kaisar sebagai lambang, kaisar dianggap sebagai keturunan tuhan matahari dan berbagi status dengan rakyatnya. Dengan demikian rakyat juga memiliki status ketuhanannya. Penempatan kaisar secara demikian, berdasar pemikiran bahwa kaisar adalah sosok sempurna, dengan demikian berbagai ciri ketidaksempurnaan yang lazim terdapat pada manusia semacam kita semisal salah, gagal, ceroboh atau bodoh harus dihindarkan. Kaisar harus berjarak dengan masyarakat, walau hadir di dunia tetapi harus terkesan berada pada “negeri di awan” dan pemerintahan duniawi diserahkan kepada siapapun yang kebetulan berkuasa. Sebab jika kaisar terlibat dalam membuat ketetapan yang terkait dengan masyarakat, dikhawatirkan jika ketetapan tersebut ada yang ditolak umum maka akan menjatuhkan martabat kaisar menjadi manusia biasa, yang dapat bertindak bodoh atau ceroboh. Dalam agama asli Jepang yaitu Shinto, pemujaan berpusat pada kaisar. Dengan demikian kaisar adalah imam. Agama ini tidak memuat hukum dan moral tetapi hanya ritual terhadap keajaiban alam. Sejarah awal Jepang boleh dibilang masih misteri, sebagian besar berbentuk dongeng yang tentunya sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Walaupun menurut dongeng kaisar pertama adalah Jimmu sekitar perioda 700-600 BC, info yang layak dipercaya berasal dari abad ke-7. Pada abad ke-7, berkuasa keluarga Kamatari Fujiwara yang berlangsung hingga abad ke-12. Pada perioda tersebut hubungan dengan dunia luar berlangsung lebih giat. Dari hubungan tersebut Jepang mengenal agama Budha dan budaya Cina. Secara umum rezim ini ramah, konon selama sekitar 500 tahun tidak ada hukuman mati karena politik. Rezim ramah tersebut akhirnya ditumbangkan oleh tokoh-tokoh militernya sendiri yang kelak membentuk rezim, dikenal dengan rezim Shogun (1192-1868). Pada perioda ini benih militerisme muncul, keberanian atau bahkan kekejaman dihargai. Sekitar 30 tahun rezim ini hadir, tampillah sekelompok masyarakat atau kasta baru yang dikenal dengan nama Samurai, pendekar yang menjunjung keberanian dan meremehkan kematian demi martabat. Sering tampil dalam naskah kuno sebagai manusia berbaju zirah dan bersenjata pedang. Bagi samurai pedang adalah simbol status. Waktu berjalan terus. Sebagaimana umumnya bangsa lain, Jepang juga mengalami konflik dengan bangsa lain dalam bentuk percobaan penaklukan. Pada abad ke-13 Jepang mendapat serbuan dari bangsa Mongol, yang telah menaklukan wilayah terbentang dari Korea hingga Polandia. Usaha tersebut gagal. Dan usaha Jepang menaklukan luar negeri juga gagal pada abad ke-16. Sejak itu Jepang tidak terlibat penaklukan hingga abad ke-19. Walaupun menyerap pengaruh luar, rasa unggul diri begitu kuat sehingga sejak abad ke-17 hingga abad ke-19 praktis Jepang menutup diri begitu ketat yang dikenal dengan “politik isolasi”. Pada perioda tersebut Jepang mengalami perioda unik dalam sejarah manusia yaitu perdamaian tanpa putus sekitar 250 tahun. Tetapi hal tersebut harus dibayar mahal, karena pengawasan ketat rezim Shogun yang sulit memungkinkan bangsa itu untuk berkembang. Ketika isolasi dibuka pada sekitar pertengahan abad ke-19, Jepang mirip dengan Barat abad ke-16. Tertinggal sekitar 300 tahun. Usaha membuka diri Jepang dilaksanakan AS. Armada kecil AS pimpinan Matthew Calbraith Perry dikirim ke Jepang untuk menjalin hubungan pada 1853. Setelah serangkaian perundingan tercapai kesepakatan disebut Perjanjian Shimoda tahun 1854. Intinya adalah AS diizinkan menempatkan konsul di Jepang dan beberapa pelabuhan dibuka untuk persinggahan kapal AS. Sukses tersebut ingin ditiru oleh bangsa Barat lain, tapi dengan niat lebih rakus. Semisal Inggris mencoba mengulang sukses di Cina, Inggris belum lama menang perang dan Cina dipaksa melepas Hongkong. Imperialis Barat ingin mendapat tempat berpijak berbentuk jajahan di Jepang, hanya istilahnya diperhalus yaitu “hak luar wilayah”. Kehadiran orang asing menampilkan gejolak. Pemerintah dinilai gagal melindungi Jepang. Tanpa sadar rezim Shogun sukses melindungi kaisar dari kegagalan tersebut dengan cara mengasingkan kaisar dari masyarakat. Revolusi bermula pada 1860 ketika sekelompok Samurai mengobarkan pemberontakan. Pemberontakan tersebut sukses mengakhiri rezim Shogun. Status kaisar diubah dari sekedar lambang belaka, beberapa wewenang yang sekian lama “terlarang” jadi diberikan dan Mutsuhito dilantik menjadi kaisar dengan corak demikian tahun 1867. Perioda pemerintahannya lazim disebut Restorasi Meiji. Kaisar ini bertahta hingga 1912. Dengan didampingi para penasihat yang handal, kaisar mencoba mengubah Jepang dari ketertinggalan menjadi modern. Hal tersebut harus dilaksanakan dengan cara belajar di luar, mengingat Cina tidak dapat diharapkan lagi maka pilihan diarahkan ke Barat. Banyak orang Jepang belajar ke negeri-negeri Barat, antara lain demokrasi. Tetapi untuk kesekian kali Jepang meniru sambil menyesuaikan. Parlemen atau dikenal sebagai diet dibagi dua, majelis tinggi diisi para ningrat dan majelis rendah diisi para pilihan rakyat. Tentu saja majelis tinggi berwenang membatalkan ketetapan dari majelis rendah. Penghapusan kasta Samurai adalah contoh lain modernisasi. Membawa senjata tidak lagi hanya menjadi hak mereka, juga memiliki tentara sendiri. Sebagai gantinya dibentuk angkatan perang tunggal nasional, pembentuknya adalah Jenderal Aritomo Yamagata. Dengan usaha serius untuk maju, Jepang memiliki rakyat paling terdidik di Timur. Pada awal abad ke-20 sekitar 90 persen warga melek huruf. Pembangunan industri yang pesat menghadapkan Jepang pada masalah serius: kebutuhan dengan sumber daya alam dan wilayah pemasaran. Mau tak mau Jepang harus menoleh ke luar negeri untuk menyelesaikan dua masalah tersebut dengan sekali perhitungan. Jalan keluarnya: penaklukan luar negeri! Jepang agaknya tidak ingin kalah pula dengan Barat dalam perkara ini. Penaklukan memungkinkan meraih suatu wilayah untuk dikeruk sumber daya alamnya dan tempat menjual hasil-hasil industrinya. Wilayah pertama yang dicaplok adalah Kepulauan Kurile dari Rusia pada 1875, berikutnya adalah mencaplok Kepulauan Ryukyu dari Cina pada 1879. Perang Cina-Jepang I (1894-1895) menghasilkan pulau Formosa (kini Taiwan). Tetapi peristiwa yang lebih menggemparkan adalah Perang Rusia-Jepang (1904-1905). Peristiwa ini tak dapat disangkal lagi memang murni konflik Barat-Timur, Jepang sukses mengalahkan Rusia padahal militer Rusia jauh lebih kuat, ketika itu Rusia memiliki personal militer berjumlah sekitar 4.500.000 orang dan Jepang hanya sekitar 283.000 orang. Rusia harus melepas antara lain Sakhalin Selatan dan Manchuria Selatan. Sadar tidak sadar Jepang telah meruntuhkan mitos keunggulan ras Barat dan menyadarkan Timur akan potensi diri sendiri. Gerakan anti kolonial yang secara umum lesu seakan mendapat kesegaran lagi, termasuk di Hindia Belanda. Sebagaimana telah disebut di atas bahwa Jepang tidak murni membela Timur, mementingkan diri sendiri jelas prioritas pertama dan utama. Hingga peristiwa Pearl Harbor, Jepang justru lebih banyak berperang dengan sesama Timur dari pada Barat. Pada tahun 1910 Korea dicaplok, Manchuria selebihnya mendapat giliran pada 1931 dari Cina. Pada Perang Dunia I (1914-1918) Jepang bersama dengan beberapa negara Barat tergabung dalam kelompok Sekutu melawan kelompok Sentral dengan Jerman sebagai anggota terkuatnya. Perjanjian Versailles 1919 mengakui pencaplokan Jepang terhadap jajahan Jerman mencakup Provinsi Syantung di Cina, juga Kepulauan Marshall, Kepulauan Mariana dan Kepulauan Carolina di Samudera Pasifik. Rekan Jepang dalam Sekutu yaitu AS dan Inggris cemas dengan kemajuan penaklukan itu. Mereka mencoba membatasi Jepang dengan mengundang Jepang ikut konferensi yang dikenal dengan “Konferensi Angkatan Laut” di Washington tahun 1922. Hasilnya sungguh memukul martabat Jepang, konferensi tersebut menetapkan kekuatan armada AS : Inggris : Jepang sebesar 5 : 5 : 3. Sedikit menghibur Jepang adalah kesepakatan AS-Inggris untuk tidak membangun kubu pertahanan baru di Asia-Pasifik. Pencaplokan Manchuria dari Cina ternyata mendapat reaksi keras. Jepang memilih keluar dari Liga Bangsa Bangsa, organisasi yang dibentuk pasca Perang Dunia I untuk menjaga perdamaian dunia. Proyek penaklukan tetap diteruskan. Jepang menilai segala pembatasan tersebut adalah bentuk kelicikan Barat. Barat dianggap berlomba-lomba meraih jajahan, tetapi ketika Jepang ikut main mendadak Barat ingin menghentikan permainan –tentunya setelah mendapat banyak yang diinginkan– dan menciptakan citra penuh kebajikan. Krisis ekonomi sedunia 1929 ikut memukul Jepang, beberapa usaha tutup dan jutaan orang menganggur. Suasana tersebut menampilkan radikalisme: Jepang perlu perubahan drastis berupa pembaharuan ke dalam dan penaklukan ke luar. Yang mampu mengambil untung dari krisis tersebut adalah nasionalis fanatik yang dikenal dengan istilah jingo, kelompok ini mencakup sipil dan militer. Mereka menginginkan pemurnian Jepang, mereka mencela banyak tiruan dari Barat. Untuk itu mereka tidak ragu membunuh para lawannya, beberapa tokoh pemerintah dibunuh. Setahap demi setahap mereka meraih kekuasaan, Diet ditekan untuk memberi berbagai ketetapan yang menjurus pada pemberangusan demokrasi. Pada tahun 1940 Diet praktis bersih dari para penentang militerisme dan chauvinisme. Jepang menjadi mesin totaliter dengan tokoh-tokoh berdedikasi semisal Hideki Tojo, Koki Hirota dan Sadao Araki. Penaklukan berlanjut. Siasat memancing konflik di Jembatan Marco Polo Peking mengobarkan Perang Cina-Jepang II (7 Juli 1937 – 2 September 1945). Hanya waktu dua tahun yang diperlukan untuk merebut sekitar 30 persen wilayah Cina. Cina dipaksa melepas pesisirnya dan terkurung. Jalan ke dunia luar hanya Jalan Sutra dan Jalan Birma. Di Cina propaganda “Asia untuk orang Asia” praktis tidak laku, Cina adalah negara merdeka dan tentu saja bangsa Cina menjadi majikan di negeri sendiri. Hanya sedikit wilayah Cina dikuasai asing dan orang Cina di wilayah kekuasaan asing praktis sepakat bahwa dijajah Barat masih lebih baik dari pada dijajah Jepang. Kekejaman yang ditampilkan pasukan Jepang membangkitkan kebencian rakyat Cina dan mereka melawan. Walau serba kekurangan dan terpecah belah, Cina mampu bertahan hingga usai Perang Pasifik. Jelas konflik Cina-Jepang adalah konflik Timur-Timur, bukan Barat-Timur. Perang di Cina makin mencemaskan Barat, simpati diberi kepada Cina. Perasaan tersebut sangat kuat hadir di AS tetapi membantu bukan berarti ikut perang, walau Cina berharap AS ikut. Bantuan diberi dalam bentuk pinjaman atau sumbangan. Negara yang cemas juga dengan gerak maju Jepang adalah US. Negara ini adalah pengganti Kerajaan Rusia, kerajaan tersebut berakhir pada 1917 akibat Revolusi Rusia. Setelah perang saudara yang mengerikan kaum komunis memastikan diri menjadi penguasa di bekas kerajaan itu. Pemimpin pertama US yaitu Lenin wafat tahun 1924 dan diganti Josef Stalin. Tanpa membuang waktu dia memantapkan kekuasaannya dengan kejam, para penentangnya disingkirkan hingga nyaris tak bersisa. Pada perioda 1930-an, dengan cemas Stalin melihat kekuatan yang berpotensi mengepung yaitu Jerman yang dikuasai Nazi sejak 1933 di sisi barat dan Jepang yang berbatasan langsung di sisi timur. Sejak 1933 dia membangun militer yang kuat sambil tak lupa membersihkan siapa yang dicurigai sebagai penentang, termasuk dalam militer. US menjalin hubungan dengan Cina berdasar pakta “tidak saling menyerang”, pakta tersebut memuat ketentuan rahasia yaitu memberi bantuan militer kepada Cina. US menilai Cina adalah penghalang ambisi Jepang di Asia Timur. Sementara Jepang sibuk dengan Cina, US memperkuat diri. Yang dicemaskan Stalin terbukti kebenarannya, bentrokan US-Jepang terjadi pada bulan April 1939 dan berakhir pada bulan September 1939. US menang, agaknya Stalin bertekad Rusia tak boleh kalah lagi. Stalin dengan cerdik menghindar dari konflik 2 front sekaligus, pada 23 Agustus 1939 terwujud pakta “tidak saling menyerang” antara Soviet dengan Nazi. Pakta tersebut memuat ketentuan rahasia membagi Eropa menjadi dua. Pelaksanaan pakta tersebut pertama di Polandia, Jerman menyerbu pada 1 September dan US menyerbu pada 17 September dan membagi negeri malang tersebut. Beberapa anggota Persemakmuran Inggris, Perancis dan Polandia bergabung dalam kelompok yang disebut “Sekutu” melawan Jerman. Pada 10 Mei 1940 pasukan Jerman menyerbu Perancis, Belanda, Belgia dan Luxemburg. Perancis dan Belanda memiliki jajahan di Asia Tenggara, wilayah yang diincar Jepang. Terutama Hindia Belanda! Penaklukan negeri induk oleh Jerman memperlemah negeri jajahan. Pasukan Jepang masuk Indocina Perancis pada tahun itu juga tanpa perlawanan karena bulan Juni Perancis menyerah kepada Jerman. Rezim pro Jerman dibentuk dipimpin Jenderal Henri Petain. Jepang membiarkan urusan dalam negeri Indocina tetap dipegang Perancis karena wilayah tersebut hanya diperlukan Jepang untuk pangkalan militer. Pada 27 September 1940 Jerman, Jepang dan Italia mengikat diri dalam persekutuan yang disebut Tripartite Pact (Pakta Tiga Fihak), kelompok ini dikenal dengan sebutan “Poros” sebagai lawan Sekutu. Beberapa negara kemudian bergabung dengan Poros, tetapi jumlah anggota Sekutu lebih banyak. Untuk memastikan bahwa Jepang tidak diserang dari belakang ketika berperang di Pasifik, Jepang membuat pakta non agresi dengan US pada April 1941. Pakta tersebut jelas menggembirakan Stalin, dia tahu niat Jerman akan menyerbu US walau ada pakta non agresi yang dibuat Menteri Luar Negeri Vyacheslav Molotov dengan Menteri Luar Negeri Joachim von Ribbentrop pada Agustus 1939 sebagai tersebut di atas. Bagi Stalin, persoalannya adalah bukan apakah Jerman akan menyerbu tetapi kapan menyerbu. Pakta non agresi dengan Jepang memungkinkan Stalin memusatkan kekuatan untuk kelak melawan Jerman. Gelagat Jepang untuk menaklukan Hindia Belanda makin jelas karena wilayah tersebut adalah tujuan pokok perang yang akan dikobarkan kelak. Rezim kolonial berusaha memanfaatkan waktu untuk memperkuat diri. Warga pribumi diizinkan mendapat latihan militer sekaligus memberlakukan pembatasan terhadap aktivis kemerdekaan. AS mencoba untuk membendung ambisi agresi Jepang dengan embargo. Inggris dan Belanda diajak bergabung. Usaha tersebut sukses, embargo tiga negara tersebut berlaku bulan Juli 1941. Embargo tersebut memukul Jepang, negara miskin sumber alam, penduduk banyak, wilayah sempit dan masuk jalur gempa bumi pula. Karena itu Jepang mencoba berunding dengan AS sambil menghimpun kekuatan jika perundingan gagal. AS sudah menduga bahwa perundingan akan gagal. Jepang mustahil memenuhi tuntutan untuk menghapus negara ciptaan Jepang yaitu Manchukuo, menarik kekuatan militernya dari Cina dan Indocina. Jepang menilai bahwa untuk menguasai Pasifik haruslah lebih dulu melumpuhkan kekuatan AS di kawasan tersebut. Pandangan terarah ke Hawai, tepatnya pangkalan militer AS di Pearl Harbor. Rencana disusun: serangan ke Pearl Harbor harus langsung disusul dengan gerak maju di wilayah lain yang diincar. Ada hal yang boleh dibilang masih misteri atau kontroversi, suatu pendapat dari Robert B. Stinnet dalam buku Day Of Deceit (2001) yang menyatakan bahwa sesungguhnya beberapa tokoh pemerintah termasuk Presiden Franklin Delano Roosevelt sudah tahu niat Jepang, tetapi membiarkan saja karena ada tujuan yang lebih besar yang ingin di capai. Roosevelt ingin AS ikut Perang Dunia II dengan tujuan menolong Sekutu melawan Jerman, tetapi mayoritas rakyat AS enggan terlibat walaupun bersimpati pada Sekutu. Untuk membangkitkan minat rakyat untuk terlibat, Roosevelt menugaskan seseorang bernama Arthur H. MacCollum untuk menyusun rekayasa supaya Jepang terpancing menyerang AS, tidak mengapa muncul korban jika memang diperlukan untuk membangkitkan gairah rakyat. Logikanya, jika Jepang berperang dengan AS maka rekan utama Jepang di Eropa yaitu Jerman dan Italia ikut menyatakan perang dengan AS. Dengan demikian rakyat tidak melihat alasan untuk enggan terlibat perang. Rekayasa tersebut sukses, pada 7 Desember 1941 Pearl Harbor diserang dengan korban di fihak AS sekitar 2.500-3.000 orang tewas dan kekuatan AS di Pasifik lumpuh karena beberapa kapal, pesawat serta fasilitas lain rusak. Pada 8 Desember AS menyatakan perang dengan Jepang, Jerman dan Italia menyatakan perang dengan AS pada 11 Desember. Keikutsertaan AS berperang berlangsung lancar karena didukung mayoritas rakyat. Adapun kerugian di Pearl Harbor dapat dipulihkan dalam waktu relatif singkat mengingat AS adalah negara wilyah luas, sumber alam kaya dan teknologi canggih. PERANG BERKOBAR Perang Pasifik disebut Jepang dengan Perang Asia Timur Raya. Jepang memakai istilah “Asia” tidak terlepas dari propaganda “Asia untuk orang Asia”. Untuk meraih simpati, dengan berani Jepang membenturkan dua dunia yang pada waktu itu terjalin hubungan yang tidak enak: Barat menjajah Timur. Dikotomi Barat-Timur, “kita di sini mereka di sana”, “kolonialisme-nasionalisme” dihembus-hembuskan, tetapi ada satu hal yang tidak dihembuskan yaitu pembebasan ala Jepang tidak disertai kemerdekaan. Hal tersebut itulah yang sedikit disadari. Mayoritas rakyat Timur –minimal pada awalnya– mendukung perang Jepang. Cina, Korea dan Filipina termasuk yang tidak mendukung sejak awal. Cina tidak lupa kehilangan wilayah jauh sebelum Perang Pasifik sekaligus mengalami kekejaman Jepang. Ketika Pearl Harbor diserang, Cina telah terlibat perang kejam dengan Jepang sejak 1937. Demikian pula Korea sejak negeri tersebut dicaplok tahun 1910, merendahkan orang Korea telah menjadi cara hidup orang Jepang. Adapun Filipina merasa lebih dekat dengan AS karena perlakuan manusiawi yang sudah diterima sekitar 40 tahun sebelum perang. Kepercayaan Filipina akan janji diberi kemerdekaan pada tahun 1946 diperkuat oleh pembentukan pemerintahan sendiri tapi masih di bawah AS sebagai langkah awal merdeka penuh, yang disebut “Republik Persemakmuran Filipina” pada 1935. Presiden Manuel Luis Quezon meminta Mayor Jenderal (Purnawirawan) Douglas MacArthur membentuk tentara Filipina. Praktis sekitar 95 persen rakyat pada tiga negeri tersebut anti Jepang. Sebagaimana telah disebut di atas, serangan ke Pearl Harbor segera diikuti gerak maju ke wilayah lain. Pasukan Jepang menyerbu Filipina, Birma, Hongkong, Muangthai dan Malaya pada Desember 1941. Demikian pula Guam dan Tinian milik AS dan Kepulauan Gilbert jajahan Inggris. Hindia Belanda, Irian Timur dan Kepulauan Solomon mendapat giliran pada Januari 1942. Kepulauan Aleut milik AS diserbu pada Juni 1942. Di Filipina, MacArthur diaktifkan kembali sebagai tentara pada bulan Juli 1941 sebagai panglima pasukan AS di Timur Jauh dengan pangkat jenderal. Pasukan AS dan Filipina digabung di bawah pimpinannya. Pasukannya mengalami serba kekurangan karena bantuan kecil dari AS, karena itu tidaklah mengherankan ketika pasukan Jepang pimpinan Letnan Jenderal Masaharu Homma menyerbu pada 10 Desember 1941 gerak mundur pasukan AS-Filipina tak dapat dihindar. Manila jatuh pada 2 Januari 1942 dan kekuatan dihimpun di Semenanjung Bataan dan Pulau Corregidor. Pertempuran sengit terjadi hingga pasukan Mac Arthur dipaksa menyerah pada 6 Mei 1942. Mac Arthur diperintah untuk pindah ke Australia pada bulan Maret 1942 dan Quezon pindah ke AS membentuk pemerintah dalam pengasingan (government in exile). MacArthur menyerahkan komando kepada Letnan Jenderal Jonathan Wainwright, yang kemudian menyerah. Sesuai rencana, sebagian dari mereka melaksanakan perang gerilya. Jepang berusaha keras menarik simpati rakyat Filipina namun gagal. Walaupun Filipina diberi kemerdekaan pada Oktober 1943, rakyat tahu bahwa suasana nyata adalah tidak merdeka. Perilaku menindas membantu kegagalan tersebut. Makin banyak warga yang terlibat kegiatan anti Jepang dan mempersiapkan kedatangan kembali Amerika. Birma (kini Myanmar) telah mendapat hak pemerintahan sendiri di bawah Inggris sejak tahun 1937. U Saw dipilih sebagai perdana menteri. Pada tahun 1941 dia pergi ke London meminta kemerdekaan penuh tapi ditolak. Dia kemudian mencoba berhubungan dengan Jepang, akibatnya dia ditangkap dan diasingkan ke Uganda yaitu jajahan Inggris di Afrika. Sebelum menyerbu Jepang, sekelompok orang Birma mendapat latihan militer dari Jepang untuk ikut serta bersama pasukan Jepang menyerbu Birma. Tentara tersebut dikenal dengan nama “Tentara Kemerdekaan Birma”. Kelak tentara tersebut dipengaruhi oleh aktivis kemerdekaan yang disebut “Tiga Puluh Sekawan” yang dipimpin oleh Aung San. Jelas aktivis tersebut tidak ingin mengganti penjajahan dengan penjajahan. Ketika kolonial Inggris runtuh, gerakan tersebut mulai melawan Jepang. Pasukan Jepang masuk dari Muangthai, diawali dengan serangan udara terhadap ibu kota Rangoon (kini Yangon) pada 26 Desember 1941. Pertempuran dahsyat berlangsung hingga kota tersebut jatuh pada 7 Maret 1942. Pasukan British Commonwealth yang terdiri dari Inggris, India, Gurkha dan Birma mati-matian mundur ke utara dengan tujuan India. Pasukan Cina yang dikirim untuk membantu ternyata praktis tidak berguna karena bobrok: kurang gizi, kurang semangat, kurang terlatih, kurang perlengkapan, organisasi kacau, penuh korupsi dan lain-lain. Tentara Cina adalah gambaran pemerintahnya –yaitu Nasionalis Cina pimpinan Chiang Kai-shek– terutama praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Pasukan Cina lebih banyak mundur dari pada bertempur. Birma praktis jatuh pada akhir Mei 1942. Penaklukan Birma berakibat gawat bagi Sekutu. Terbuka kemungkinan bahwa Jepang akan menyerbu India, dan hal itu kelak terjadi. Penaklukan tersebut juga berakibat Jalan Birma ditutup dan Cina akan makin kekurangan. Kemungkinan Cina akan kalah jelas terbayang. Sementara pertempuran di darat berlangsung, armada Jepang melaksanakan serangkaian serangan ke Samudera Hindia selama 31 Maret hingga 9 April untuk memastikan bahwa penaklukan Birma tidak mendapat gangguan dari laut. Tujuannya adalah pangkalan Sekutu di Sailan. Beberapa kapal Sekutu dapat ditenggelamkan. Di Malaya, pasukan Jepang menyerbu dari utara. Tujuannya adalah Singapura, benteng terkuat imperialis Barat di Timur Jauh. Tapi perang dengan Jerman memaksa Inggris mengurangi kekuatan di Asia untuk dikirim ke Afrika dan Eropa sebelum Jepang menyerbu. Jazirah Malaya yang berhutan lebat bukan rintangan berarti, pasukan Jepang sudah dilatih perang hutan. Armada Inggris telah dilumpuhkan oleh serangan udara spektakuler yang berakibat kapal kebanggaan Inggris yaitu “Prince Of Wales” dan “Repulse” tenggelam pada 10 Desember 1941. Pada 15 Februari 1942 Letnan Jenderal Arthur E. Percival terpaksa menyerah kepada Letnan Jenderal Tomoyuki Yamashita di Singapura. Peristiwa tersebut sangat memukul martabat Inggris, dan juga Barat umumnya. Mitos keunggulan ras Barat makin runtuhlah. Singapura jatuh berarti Hindia Belanda jatuh hanya soal waktu. Pada 15 Januari 1942 Sekutu membentuk ABDACOM (American-British-Dutch-Australian Command) dengan markas di Bandung. Panglima tertinggi adalah Jenderal Sir Archibald Wavel dari Inggris, panglima darat adalah Letnan Jenderal Hein Ter Poorten dari Belanda dan panglima laut adalah Laksamana Thomas C. Hart dari AS. Pasukan Jepang menyerbu dari Filipina dan Indocina walaupun perlawanan Sekutu di Filipina belum usai. Untuk merebut Hindia Belanda dipilih Letnan Jenderal Hitoshi Imamura sebagai panglima. Gerak pasukan Jepang bagai tangan gurita memotong-motong pertahanan Sekutu sehingga terkepung atau terjepit. Nasib Jawa –jantung Hindia Belanda– ditentukan dalam “Pertempuran Laut Jawa” pada 27 Februari hingga 1 Maret 1942 dengan kemenangan Jepang. ABDACOM bubar, Wavel pindah ke Sri Langka. Demikian pula Hart. Ter Poorten mengambil alih komando dari kekuatan yang tersisa. Pada 8 Maret rezim kolonial Hindia Belanda menyerah di pangkalan udara Kalijati, Jawa Barat. Sisa kekuatan Sekutu ada yang lari ke Australia, Selandia Baru, Irian Timur dan berbagai kepulauan di kawasan tersebut. Nasib negeri berpenduduk (waktu itu) 70 juta telah ditentukan: hanya ganti majikan. Majikan yang lebih kejam. Timor Portugis terkena amuk perang akibat serbuan ke Hindia Belanda. Portugis telah berada di pulau tersebut sejak 1512. Pada abad ke-17 orang Belanda mendesak orang Portugis ke timur dan pulau tersebut terbagi antara Belanda di barat dengan Portugis di timur. Untuk mencegah pasukan Jepang masuk ke Timor, Sekutu tidak hanya mengirim pasukan ke sisi barat tetapi juga ke sisi timur pada Desember 1941. Portugis mengajukan protes –karena memilih bersikap netral dalam Perang Dunia II– tapi tak berdaya mencegah pencaplokan jajahannya oleh Sekutu. Portugis cemas pasukan Jepang pasti akan memasukkan Timor Portugis sebagai bagian dari penaklukan dan Sekutu tak akan mampu membendungnya, ternyata hal tersebut memang terbukti. Gerak maju pasukan Jepang mencerai-beraikan pasukan Sekutu, Sekutu memilih siasat perang gerilya untuk menahan pasukan Jepang sebanyak mungkin supaya tidak dikirim ke tempat lain. Perang berlangsung hingga Desember 1942 dan sukses menahan cukup banyak pasukan Jepang. Timor Portugis digabung dengan Timor Barat, yang berarti digabung ke Hindia Belanda Portugis mungkin masih sedikit terhibur karena jajahan lainnya yaitu Macao dihormati. Australia dan Selandia Baru juga terancam serbuan Jepang. Kedua negara tersebut telah terlibat perang sejak 3 September 1939 ketika Inggris menyatakan perang dengan Jerman. Mereka telah mengirim pasukan ke Afrika dan Eropa sehingga relatif sedikit yang tersisa untuk melawan Jepang. Tanpa bantuan AS kedua negara tersebut tak akan bertahan dan tanpa kedua negara garis pertahanan Sekutu terpaksa ditarik ke benua Amerika. Ketika Hindia Belanda diserbu, pasukan Jepang juga bergerak menuju Kepulauan Solomon. Garnisun Australia di Pulau New Britain dengan cepat dikalahkan dan pasukan Jepang cepat membuat pangkalan besar di kota utama di pulau tersebut, Rabaul. Pada bulan Juni gerak maju pasukan Jepang di Pasifik Barat Daya telah menjangkau sejauh Guadalcanal setelah mendapat perlawanan ringan. Artinya jelas, Australia terkurung. Untuk memastikan bahwa Australia makin terkurung, pangkalan Sekutu di Port Moresby di bagian selatan Irian Timur (kini Papua Nugini) harus direbut. Sejak Februari 1942 Port Moresby mendapat serangan udara dari Rabaul untuk melemahkan pangkalan tersebut dan kota Darwin di Australia juga diserang dari udara oleh pesawat yang berpangkalan di Hindia Belanda. Usaha merebut pangkalan tersebut digagalkan Sekutu dalam Pertempuran Laut Karang pada 7-8 Mei 1942. Demikian pula usaha merebut lewat darat pada 21 Juli dapat digagalkan setelah pertempuran sengit hingga 22 Januari 1943. Kepulauan Aleut di dekat Alaska diserbu pasukan Jepang pada bulan Juni 1942, tapi sesungguhnya hanya pancingan supaya armada AS menuju ke wilayah tersebut. Laksamana Isoroku Yamamoto mengincar pangkalan AS di Midway, bagian tengah Pasifik. Jika Midway dilumpuhkan atau direbut maka gerak maju pasukan Jepang dapat menjangkau Hawai atau bahkan AS. Tetapi niat tersebut diketahui Laksamana Chester Nimitz sehingga Aleut dibiarkan direbut pasukan Jepang dan kekuatan Sekutu dihimpun untuk mempertahankan Midway, adapun Yamamoto menyerbu Midway dengan kekuatan yang sudah terbagi untuk Aleut. Hasilnya, dalam Pertempuran Midway pada 4-6 Juni 1942 Jepang mendapat kekalahan berat. Yamamoto mungkin sedikit terhibur karena ada wilayah AS yang direbut. Babak awal Perang Pasifik boleh dibilang berakhir pada 7 Agustus 1942, karena pada tanggal tersebut Sekutu menyerbu Guadalcanal yang merupakan serbuan Sekutu yang pertama dalam Perang Pasifik.Serbuan tersebut adalah awal babak kedua. SEKILAS SUASANA PENDUDUKAN JEPANG Dengan kehadiran pasukan Jepang sejak berkobar Perang Pasifik, rakyat di wilayah taklukan tersebut memiliki pendapat yang saling berbeda. Ada yang menilai bahwa Jepang memang tulus memerdekakan Timur, ada yang menilai Jepang hanya mementingkan diri sendiri dan ada pula yang menilai bahwa bagaimanapun perilaku Jepang kerja sama dengan Jepang diperlukan untuk meraih kemerdekaan. Pendapat berbeda ini juga ada di Hindia Belanda. Sikap Cina, Korea dan Filipina telah jelas: lawan Jepang! Dari ketiga bangsa ini, Korea boleh dibilang sangat lemah perlawanannya. Umumnya perlawanan tersebut dilaksanakan di luar negeri. Cengkeraman Jepang yang sangat kuat nyaris sempurna menutup peluang melawan. Dari seluruh wilayah taklukan Jepang, Korea yang paling dekat dan tentunya paling mudah diawasi Jepang. Pendudukan Jepang di Korea menampilkan 2 aktivis kemerdekaan yang menonjol yaitu Syngman Rhee dan Kim Il-sung. Akibat kegiatannya, Rhee terpaksa meninggalkan Korea dan menetap di AS. Di pengasingan, dia menghimpun orang Korea di AS untuk menyiapkan kemerdekaan. Dia kembali ke Korea pada 1945 dan menjadi presiden Korea Selatan pada 1948. Kim Il-sung melawan Jepang juga dari luar negeri. Dia memilih faham komunis sebagai ideologi gerakannya. Selama 1941-1945 dia bergerilya di Manchuria dengan dukungan rahasia US. Dia juga kembali pada 1945 bersama pasukan US dan menjadi presiden Korea Utara juga tahun 1948. Di Korea, rezim Jepang berusaha melaksanakan Jepangisasi. Orang Korea harus menerima budaya Jepang dan agama Shinto. Mungkin kita mengira bahwa hal tersebut mudah mengingat kedua bangsa tersebut serumpun. Faktanya tidak semudah itu, walaupun serumpun Korea benci dengan proyek tersebut. Jelas ada beberapa hal yang merupakan ciri khas Korea. Hal tersebut berlaku juga pada bangsa lain. Bahkan dalam satu bangsa terdapat beberapa suku yang tentunya memiliki ciri sendiri semisal bangsa Indonesia, tidak dapat dipaksakan untuk seragam dalam segala hal. Perilaku merendahkan dari orang Jepang adalah hal lain yang dibenci orang Korea. Ada beberapa tempat yang terlarang didatangi orang Korea atau hanya untuk orang Jepang semisal restoran, toko atau sekolah tertentu. Orang Korea yang berdinas dalam militer dan sipil Jepang cenderung mendapat penghasilan yang lebih kecil tapi pekerjaan lebih sulit dibanding orang Jepang. Kesalahan sekecil apapun dapat dihukum berat. Tak heran jika ketika Korea baru bebas, bangsa itu kekurangan sumber daya manusia yang bermutu akibat pembatasan di bidang pendidikan dan kesempatan lain. Korea harus bekerja keras mengejar ketertinggalan dan boleh dibilang sukses walaupun dalam bidang berbeda. Korea Utara unggul dalam militer dan Korea Selatan unggul dalam ekonomi. Mengingat keterbatasan data, tak banyak yang dapat disajikan tentang suasana pendudukan Jepang dan perlawanan Korea. Di Cina, peluang melawan sangat besar karena sebagian besar wilayah Cina masih bebas. Tapi sayang, Cina dilanda perang saudara –terutama antara komunis dengan nasionalis– sehingga sulit membentuk gerakan perlawanan terpadu. Usaha bersatu selalu gagal karena perbedaan ideologi yang jelas. Sejak tahun 1934 komunis pimpinan Mao Tse-tung memilih Yenan sebagai markas pusat karena didesak oleh nasionalis pimpinan Chiang Kai-shek. Wilayah tersebut kering dan miskin. Kedua fihak tersebut muncul akibat Revolusi Cina yang berkobar sejak 1911, revolusi untuk meruntuhkan Dinasti Manchu (1644-1912) dan mengubah Cina menjadi republik. Pada awalnya komunis dan nasionalis bersatu di pimpin oleh Sun Yat-sen, tokoh nasionalis. Pada tahun 1925 Sun wafat dan diganti oleh Chiang, Chiang makin lama makin kurang suka dengan komunis dan melaksanakan pembersihan besar-besaran terhadap komunis pada 1927. Selama beberapa tahun internasional mengakui nasionalis sebagai pemerintah yang sah di Cina. Sejak tahun 1938 Chiang Kai-shek menetap di Chungking, kota di tepi Sungai Yangtze jauh di pedalaman. Pasukan Jepang telah memaksa Chiang melepas Nanking pada Desember 1937 yang sekian lama menjadi ibukota nasionalis. Harapan Chiang untuk melibatkan negara lain –khususnya AS– berperang melawan Jepang tercapai setelah peristiwa di Pearl Harbor. Cina perlu hubungan ke luar negeri dan itu sulit dilaksanakan mengingat pesisir telah direbut Jepang dan kekurangan fasilitas perhubungan. Ketika Perang Pasifik berkobar AS dan Inggris berusaha membangun pangkalan di India untuk membantu Cina, juga beberapa pangkalan Sekutu dibangun di Cina. Penaklukan Birma mempersulit pengiriman bantuan. Mengingat Cina adalah negeri luas, alam tak ramah, penduduk yang banyak dan ulet serta faktor lain telah menjadikan Cina sebagai pengganggu yang menjengkelkan, karena memaksa Jepang harus menahan pasukan sekitar 1.000.000 orang padahal mereka diperlukan di tempat lain. Perlawanan Cina menghambat gerak maju pasukan Jepang ke wilayah lain. Hal itu memberi dalih kepada Jepang untuk bersikap kejam menumpas perlawanan supaya Cina menyerah selekas mungkin. Pembalasan berupa pembantaian, perusakan dan penjarahan besar-besaran tanpa pilih-pilih oleh pasukan Jepang karena perlawanan Cina menjadi menu sehari-hari. Kekejaman tersebut lebih membangkitkan kebencian dari pada ketakutan dan makin menambah perlawanan. Hingga perang usai, Jepang tidak pernah betul-betul menguasai wilayah yang direbut karena diganggu perlawanan Cina. Bagi Sekutu, menahan pasukan Jepang sebanyak mungkin dan selama mungkin di Cina supaya tidak dikirim ke tempat lain adalah tujuan. Untuk itu Sekutu berusaha membantu Cina supaya mampu berperang selama mungkin. Usaha merebut Birma adalah bagian dari bantuan Sekutu kepada Cina. Juga beberapa personal militer Sekutu dikirim untuk melatih tentara Cina. Bicara tentang perang gerilya, komunis lebih mahir. Keseriusan komunis meraih simpati berakibat banyak warga bergabung. Mao melaksanakan disiplin sedemikian rupa sehingga walau serba kekurangan masih sanggup melawan dengan ampuh. Kedisiplinan tersebut tidak terdapat pada nasionalis. Pemerintahan Chiang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dukungan para tuan tanah dan feodalis lain pada rezimnya berakibat bangkit kebencian rakyat pada rezim, kebencian tersebut bertambah karena kaum feodalis tersebut cenderung bekerja sama dengan Jepang. Hal tersebut dimanfaatkan dengan lihai oleh komunis. Selain melawan Jepang, komunis juga tidak segan bertindak kejam terhadap kaum feodalis sehingga mereka praktis bebas berbaur dengan warga tanpa takut dikhianati. Doktrin Mao adalah “tentara dan warga ibarat ikan dengan air” memang serius dilaksanakan. Mungkin Cina adalah yang paling berat menanggung derita pendudukan Jepang dibanding yang lain. Sekitar 15.000.000 orang tewas sejak perang berkobar dengan Jepang pada 1937 dengan berbagai sebab antara lain aksi militer maupun dampak tak langsung dari perang semisal kurang gizi dan wabah. Bantuan dari Sekutu jelas tak cukup. Di Filipina, rakyat relatif cepat pulih dari rasa kaget akibat serbuan pasukan Jepang. Berbagai gerakan perlawanan tampil tapi kadang tidak rukun. Setelah beberapa waktu terjadilah penggabungan: kelompok kecil “diserap” oleh kelompok besar. Muncul nama-nama tokoh perlawanan semisal Luis Taruc, Ramon Magsaysay dan Ferdinand Marcos. Walaupun MacArthur tahu bahwa gerakan perlawanan ada tetapi tidak jelas nama kelompok dan tokohnya. Sekitar awal 1943 dia mencoba menjalin hubungan dengan Filipina dalam bentuk mengirim spion dengan kapal selam. Selain spion dia juga mengirim berbagai bantuan semisal senjata, amunisi dan radio. Beberapa waktu kemudian jaringan spionase tersebut telah tersebar di seantero Filipina, bahkan ke Manila. Rakyat Filipina makin percaya bahwa Sekutu akan kembali. Pemberian kemerdekaan pada 14 Oktober 1943 praktis diabaikan karena suasananya tetap tidak merdeka. Pemberian kemerdekaan palsu tersebut di atas menampilkan Jose P. Laurel sebagai presiden. Rakyat Filipina mengembangkan sikap yang mungkin unik terhadap orang yang bekerja sama dengan Jepang. Mereka cenderung menganggap bahwa para antek tersebut berusaha mengurangi kekejaman Jepang dan boleh dibilang hal itu ada benarnya. Para antek tersebut secara rahasia melawan Jepang dan para aktivis kemerdekaan memerlukan mereka untuk mendapat berbagai data. Pekerjaan spionase memiliki resiko besar. Tidak jarang orang yang tak tahu apapun tentang itu harus menanggung resikonya. Jika seorang spion tertangkap, aparat Jepang segera menciduk orang-orang yang kenal dengannya semisal keluarga dan teman. Selanjutnya pembaca dapat menebak nasib mereka. Pembantaian warga dan pembakaran desa juga terjadi di Filipina, membunuh seorang Jepang dibalas dengan membunuh atau menangkap banyak orang. Karena itulah MacArthur menghimbau rakyat untuk tidak melawan terang-terangan. Sebelum pasukan Sekutu tiba di Filipina, MacArthur hanya perlu data. Karena itu jarang terjadi pertempuran. Umumnya pertempuran terjadi karena melindungi markas, merebut logistik atau markas Jepang. Pasukan Sekutu menyerbu Filipina pada 20 Oktober 1944, dengan demikian terpenuhilah janji MacArthur yang terkenal I shall return (saya akan kembali). Di Birma, Jepang juga memberi kemerdekaan semu pada 1 Agustus 1943. Presidennya adalah Ba Maw dan tentaranya adalah Tentara Pertahanan Birma. Tentara ini menggantikan Tentara Kemerdekaan Birma. Walaupun ada pergantian organisasi, pada hakikatnya sama saja yaitu dipengaruhi oleh gerakan “Tiga Puluh Sekawan” pimpinan Aung San, bahkan rezim Ba Maw dipengaruhi olehnya. Ada empat anggota kabinetnya yang sesungguhnya aktivis kemerdekaan. Selama pendudukan Jepang, Aung San menghimpun kekuatan dan menyebar pengaruh praktis tanpa diketahui Jepang. Agaknya Jepang lebih sibuk mempersiapkan serbuan ke India. Kelak ketika pasukan Sekutu tiba, dia menampilkan niat aslinya: berontak terhadap Jepang. Karena itu praktis tidak ada pemberontakan terbuka hingga tahun 1945, walaupun derita karena pendudukan juga hadir di Birma. Untuk mempermudah gerakan pasukan dan logistik –antara lain sebagai persiapan menyerbu India– Jepang membuat proyek terkenal dengan nama “Jalur Rel Maut”. Jalur tersebut dibuat untuk menghubungkan Muangthai dengan Birma dengan menggunakan tenaga paksa dari tawanan maupun warga dari berbagai bangsa antara lain Indonesia. Proyek tersebut meminta tumbal besar: ribuan tewas karena kurang kepedulian, perlakuan kejam dan kasus kecelakaan. Selebihnya ada yang terpaksa menetap karena tak mampu pulang atau hilang entah ke mana. Ada juga yang kelak mendapat perawatan dari Sekutu setelah usai perang. Usaha merebut Birma dimulai pada Oktober 1943 oleh pasukan Cina yang dilatih dan dilengkapi oleh AS di India. Tokoh yang terkemuka di arena ini antara lain Letnan Jenderal Joseph W. Stilwell dari AS dan Laksamana Lord Louis Mountbatten dari Inggris. Di Malaya (termasuk Singapura), Jepang mencoba memberi perlakuan berbeda antara tiga kelompok besar rakyat Malaya yaitu Melayu, Cina dan Keling. Yang paling menderita adalah Cina sebagai akibat Perang Cina-Jepang II, Jepang secara sistematis membunuh orang Cina dengan berbagai dalih antara lain tuduhan komunis walaupun secara umum orang Cina hidup sebagai kapitalis. Memang ada yang berfaham komunis tetapi mereka lolos dan membentuk kelompok perlawanan. Kelompok yang terkemuka adalah “Tentara Rakyat Malaya Anti Jepang”, kelompok tersebut dibantu orang Inggris yang sempat lolos atau mencoba melaksanakan gerilya yang telah direncanakan sebelum perang. Kadang kala bantuan Sekutu disusupkan kepada mereka. Orang Melayu mungkin sedikit lebih beruntung. Jepang memerlukan mereka untuk kelak membentuk pemerintahan Melayu masa depan. Demikian pula orang Keling, mereka diperlukan untuk membentuk pemerintahan India. Walaupun demikian, ribuan orang Melayu didaftar untuk ikut dalam berbagai proyek pembangunan antara lain “Jalur rel Maut” di Birma dan Muangthai. Sebagian mereka tewas atau hilang. Di Hindia Belanda tidak ada yang berubah kecuali pengawasan lebih ketat atau perlakuan lebih kejam. Pada 20 Maret 1942 Jepang mengumumkan larangan membicarakan dalam bentuk apapun soal tata negara. Larangan tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga berbagai partai yang dibentuk pada masa kolonial Belanda praktis tak berkutik. Jepang cenderung pada organisasi baru dengan para tokoh yang terkenal sekaligus mau bekerja sama. Secara umum rakyat Indonesia tidak punya pilihan, Belanda tidak mempersiapkan rakyat untuk melawan Jepang. Belanda membiarkan rakyat tak berdaya jatuh dicengkeram Jepang. Soekarno, Hatta dan beberapa tokoh lain memilih kerja sama dengan Jepang untuk menuju Indonesia merdeka, mereka menempuh itu karena sudah terkenal sehingga sulit untuk sembunyi. Beberapa organisasi dibentuk antara lain “Putera” (Pusat Tenaga Rakyat), secara resmi Putera berfungsi menghimpun potensi rakyat membantu Jepang. Beberapa orang Indonesia diberi jabatan yang dulu terlarang oleh Belanda, atau beberapa jabatan baru diciptakan dan diisi orang Indonesia. Jepang berniat membawa rakyat terlibat perang dengan Sekutu sambil meredam hasrat kemerdekaan. Tapi hal tersebut diketahui oleh para tokoh. Karena itu pada tiap kesempatan mereka mengingatkan rakyat untuk tidak lupa pada tujuan pokok: merdeka! Propaganda anti Sekutu dengan cerdik disusupi dengan propaganda anti Jepang. Adapun Sutan Syahrir dan beberapa orang lain memilih jaga jarak dan melawan secara rahasia. Tanpa propaganda apapun, rasa anti Jepang muncul jua. Dimulai dari larangan mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyi “Indonesia Raya”, keharusan menundukkan kepala pada orang Jepang yang ditemui hingga berbagai perlakuan kejam. Pemberontakan muncul antara lain di Aceh, Jawa Barat dan Irian Barat. Di Kalimantan Barat pernah terjadi pembunuhan massal mencakup keluarga sultan, orang Barat dan warga lokal dengan dalih percobaan berontak. Konon di Irian Barat, pernah ada proyek Jepangisasi dengan pembunuhan massal dan wilayah tersebut kelak diisi dengan orang Jepang. Jika proyek tersebut sukses, akan dicoba di tempat lain. Proyek di Irian Barat itu dilaksanakan sambil menumpas pemberontakan yang terjadi. Pembunuhan massal juga terjadi di Kepulauan Tanimbar. Ketika perang berubah merugikan Jepang, orang Indonesia diizinkan berlatih militer untuk menghadapi kemungkinan serbuan Sekutu. Di Sumatera dibentuk Gyu Gun dan di Jawa dibentuk Peta (Pembela Tanah Air). Selain itu dibentuk pula organisasi semi-militer semisal Hizbullah dan Seinandan. Orang Indonesia yang berdinas dalam militer Jepang disebut Heiho, Jepang menggaji mereka dan bebas mengirim ke berbagai medan perang semisal Birma dan Morotai. Pada 7 September 1944 Perdana Menteri Kuniyaki Koiso berjanji memberi kemerdekaan kepada Indonesia “kelak kemudian hari”, sejak itu berangsur-angsur kelonggaran diberikan antara lain mengibarkan bendera nasional dan menyanyikan lagu nasional. Sementara itu pasukan Sekutu telah masuk di beberapa tempat di Hindia Belanda yaitu pesisir utara Irian Barat, Maluku Utara dan Kalimantan Timur. Jepang memacu gerak menuju Indonesia merdeka guna mencegah Belanda datang kembali, mengingat Belanda adalah anggota Sekutu dan pasukan Belanda memang bergabung dalam pasukan Sekutu menyerbu wilayah tersebut tadi. Langkah awal persiapan kemerdekaan adalah membentuk “Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). Di situ terdapat Soekarno, Hatta, Agoes Salim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Muhammad Yamin dan lain-lain. Mereka terlibat pembahasan sengit mengenai bentuk Indonesia merdeka. Ada yang mengusulkan Indonesia berdasar Islam dalam arti kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya, ada pula yang menolaknya dengan dalih Indonesia terdiri berbagai umat walaupun kaum Muslim adalah mayoritas. Pembahasan tersebut kemudian menghasilkan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. BPUPKI diganti dengan “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (PPKI), beberapa orang adalah mantan dari BPUPKI. Kelak PPKI sempat mengalami proklamasi kemerdekaan, pengesahan konstitusi dan pemilihan presiden serta wakil presiden. Di Indocina, sejak sebelum Perang Dunia II telah ada gerakan kemerdekaan. Tokoh yang terkemuka adalah Ho Chi Minh, pada 1920 dia membentuk “Partai Komunis Vietnam” dan pernah berontak melawan kolonial Perancis. Pemberontakan tersebut gagal, tapi peristiwa tersebut telah menempatkan komunis sebagai aktivis kemerdekaan paling tangguh di Indocina. Pada tahun 1941 dia membentuk “Vietminh” (Liga Kemerdekaan Vietnam), ketika itu pasukan Jepang telah masuk Indocina dengan persetujuan pemerintahan Perancis pro Nazi, yang dikenal dengan sebutan “Vichy”. Hingga Maret 1945 hubungan Perancis-Jepang di Indocina relatif baik. Jepang hanya perlu Indocina sebagai pangkalan militer, adapun urusan sipil tetap wewenang Perancis. Sejak tahun 1932 Raja Bao Dai berkuasa di bawah Perancis, tugasnya praktis hanya lambang. Ketika Jepang menghapus kolonialisme Perancis, kekuasaan Raja Bao Dai ala Perancis tetap dipertahankan. Raja berusaha meraih kekuasaan lebih dari sekedar lambang namun gagal. Sulit mengajak orang bekerja sama dengan suasana tidak menentu, orang Vietnam yang cakap cenderung lebih suka melawan Jepang dari pada kerja sama. Sekutu pernah mencoba menjalin hubungan dengan Vietminh, beberapa spion dikirim menemui Ho Chi Minh. Hasilnya adalah Vietminh mencari data Jepang dan pilot Sekutu yang jatuh, Sekutu memberi senjata dan perlengkapan lain. Ketika perang usai Vietminh kuat di utara dan membentuk Republik Demokrasi Vietnam di Hanoi. Di India, pasukan Jepang sempat masuk pada 8 Maret 1944 tetapi dipaksa pergi pada 8 Juli 1944 setelah pertempuran sengit dekat perbatasan Birma-India. Jepang sempat membentuk tentara India pro Jepang yang dikenal dengan “Tentara Nasional India” (INA) bersama aktivis kemerdekaan bernama Subhas Chandra Bose. Tentara tersebut umumnya beranggota orang India yang berdinas dalam militer Inggris dan ditangkap Jepang di Birma dan Malaya. Jepang menggunakan mereka untuk bersama menyerbu India dan membangkitkan pemberontakan terhadap kolonial Inggris. Usaha merebut India gagal, INA bubar setelah Sekutu merebut Birma dan Bose tewas dalam suatu perjalanan dengan pesawat Jepang. Secara umum suasana pendudukan Jepang boleh dibilang sama terutama dalam arti mendapat derita yang sama yaitu: Serba kekurangan, tujuan perang Jepang adalah merebut wilayah untuk dikeruk sumber alamnya, diisi dengan bangsa Jepang dan menjadi wilayah pemasaran barang serta jasa. Harta paling berharga adalah firdaus tropis Hindia Belanda: sumber alam kaya, wilayah luas, letak strategis dan rakyat masih bodoh. Bahkan bukan hanya sumber alam yang dikeruk, tetapi berbagai fasilitas juga diangkut semisal rel, lokomotif, gerbong, mobil, truk, bis, tiang listrik, pagar sampai besi tua. Tekstil sedemikian langka sehingga banyak orang menutup tubuh –dan jenazah– dengan karung. Perhiasan perempuan juga tak luput dari permintaan untuk disumbangkan, banyak yang mencoba menyembunyikan antara lain dengan dikubur. Kelaparan tak terelakkan, beras –sama halnya dengan tekstil– berlimpah tapi hampir semua disimpan dalam gudang untuk persiapan perang. Pada perioda tersebut sudah menjadi pemandangan biasa melihat mayat terkapar di mana-mana atau orang dengan kulit pembungkus tulang karena kelaparan. Jepang menghadapi masalah pengiriman ke dan dari Jepang. Sejak 1943 kapal selam Sekutu berkeliaran mencari mangsa dan mengirim kapal-kapal Jepang ke dasar laut. Akibatnya ganda, serba kekurangan di luar dan dalam negeri. Untuk meningkatkan produksi pangan terutama beras, hutan dibuka untuk lahan pertanian dan perkebunan. Mengingat suasana darurat, pembukaan hutan dilaksanakan tanpa perhitungan cermat. Hasilnya, kekeringan di musim panas dan kebanjiran di musim hujan. Serba ketakutan, turut menyumbang suasana ini. Antara lain tak jelas apakah besok dapat makan atau belanja. Aparat Jepang sangat mudah curiga dan dengan demikian sangat mudah menuduh, menangkap, menyiksa, membunuh orang dengan tuduhan spionase anti Jepang. Yang menjadi sasaran kecurigaan ini umumnya kelompok menengah ke atas. Kaum intelek dicurigai sebagai antek Barat dan kaum kaya dicurigai membiayai kegiatan anti Jepang. Aparat yang terkenal dalam hal ini adalah Kenpeitai, semacam polisi rahasia. Kekejamannya selevel dengan rekan Jepang di Barat selama Perang Dunia II yaitu Gestapo, polisi rahasia Jerman perioda Nazi. Untuk mengeruk sumber daya alam perlu sumber daya manusia, demikian pula untuk proyek pembangunan dan perawatan. Aparat Jepang tidak segan menciduk orang seenaknya untuk tujuan tersebut. Ada juga yang ditipu dengan janji mendapat pekerjaan enak dan penghasilan enak. Sampai di tujuan bukan kedua hal tersebut yang dijumpai tapi segala yang tidak enak mencakup pekerjaan, perlakuan dan lingkungan. Sumber daya manusia demikian lazim disebut romusha (prajurit kerja). Mereka dikirim sesuai kebutuhan semisal proyek “Jalur Rel Maut” Birma-Muangthai. Jepang juga pernah membangun jalur rel Sijunjung-Pekanbaru menembus hutan, rawa dan menyeberangi sungai dengan tenaga romusha. Para tawanan juga digunakan, ada orang Belanda, Inggris, Australia dan Amerika. Untuk menghadapi kemungkinan serbuan Sekutu maka perlu membangun kubu pertahanan semisal bunker, gua dan benteng. Tenaga yang paling murah tentu siapa lagi kalau bukan romusha. Maka bekerja keras dan diperlakukan keras para romusha membangun kubu pertahanan. Ada yang selesai ada pula yang tak kunjung selesai. Semua proyek tersebut minta korban besar: tewas, hilang atau cacat. Bangsa Jepang memang ahli membangun di dalam tanah. Kisah Perang Pasifik penuh dengan perang dari gua ke gua mengingat gua sulit direbut sekaligus mudah dipertahankan. Sekutu belajar merebut atau menghancurkan gua pertahanan dengan korban begitu besar. Jika romusha adalah penderitaan untuk lelaki, maka ada pula penderitaan untuk perempuan yang dikenal dengan istilah juugun ianfu, yang diterjemahkan dengan perempuan penghibur atau comfort woman. Perekrutannya mirip dengan romusha: paksa atau tipu. Ditipu dengan janji pekerjaan dan penghasilan enak, atau janji akan disekolahkan di Jepang. Sampai di tujuan bukan sekolah yang dijumpai tetapi bordil, yang dikenal dengan istilah rumah panjang, rumah kuning atau rumah bambu. Bordil tersebut terutama disediakan untuk militer mengingat resiko pekerjaan yang lebih berat dari pada sipil. Ketegangan akibat perang memerlukan ketenangan dan rumah bordil adalah tempatnya. Jepang membangun banyak bordil: tersebar dari Manchuria di utara hingga New Britain di selatan. Sekitar 200.000 perempuan berbagai bangsa direkrut jadi juugun ianfu. Ada Korea, Cina, Indonesia, Filipina, Belanda dan lain-lain. Mereka umumnya harus melayani sekitar 30-40 orang per hari. Sama hal dengan romusha, mereka kurang perawatan. Di kamp tawanan yang dihuni warga negara Sekutu, ada kasus beberapa perempuan dipanggil dengan dalih periksa kesehatan. Dan mereka tidak kembali lagi. Ini jelas membangkitkan ketakutan. Jenis kekejaman lain yang mengerikan adalah praktek kanibalisme. Masuk tahun 1944 pasukan Jepang harus melepas banyak pangkalan akibat gerak maju pasukan Sekutu. Ada pula beberapa pangkalan yang terpencil akibat gerakan tersebut. Serba kekurangan tak terhindarkan termasuk pangan, kelaparan pun dialami pasukan Jepang. Untuk menyelesaikan masalah tersebut dipilih cara kanibalisme. Beberapa tawanan diambil dan dibunuh kemudian dijadikan santapan. Sejauh pengetahuan penulis, kasus tersebut banyak terjadi di arena Pasifik Barat Daya. Sungguh, perilaku kejam Jepang yang juga berlaku terhadap sesama Timur praktis menggagalkan usaha membentuk front bersama “Kawasan Sekemakmuran Asia Timur Raya” pimpinan Jepang. Konferensi mengenai hal tersebut yang dilaksanakan di Tokyo pada November 1943 praktis mubazir karena hanya sukses di atas kertas tapi gagal di lapangan. Sama halnya dengan Jerman, Jepang merasa dirinya sebagai bangsa unggul. Tidak sudi dianggap sederajat walau dengan sesama Timur. SEKUTU BALAS MENYERBU Gerak maju pasukan Jepang memaksa pasukan Sekutu tercerai-berai, ada yang ke India, Australia dan AS. MacArthur pergi dari Filipina dan Hubertus Johannes van Mook pergi dari Hindia Belanda menuju Australia. Stilwell pergi dari Birma dan Wavell pergi dari Hindia Belanda menuju India. Pada bulan Desember 1941 Sekutu membentuk arena perang yang dikenal dengan “Arena CBI” (China-Burma-India) dan ABDACOM pada bulan Januari 1942. ABDACOM runtuh ketika gagal mempertahankan Hindia Belanda. Istilah Arena CBI tetap dipakai hingga perang usai. Sekutu, yaitu Presiden Franklin D. Roosevelt dari AS dan Perdana Menteri Sir Winston Churchill membuat persetujuan: Inggris –dengan bantuan AS– membantu mempertahankan Birma dan India, Samudera Pasifik dipertahankan oleh AS. Adapun Cina harus mempertahankan diri sendiri dan Birma dengan bantuan AS dan Inggris. Belanda turut serta dengan mengirim Laksamana Conrad Emil L. Helfrich membantu Inggris di India dan Van Mook membantu AS di Australia. Untuk wilayah Pasifik dibentuk “Komando Wilayah Pasifik Barat Daya” dengan panglima MacArthur dan “Komando Wilayah Samudera Pasifik” dengan panglima Nimitz tahun 1942. Pada 1943 dibentuk “Komando Wilayah Asia Tenggara” (SEAC) dengan panglima Mountbatten. Hindia Belanda terbagi antara Sumatera di bawah Mountbatten dan selebihnya di bawah MacArthur. AL Jepang (Kaigun) telah mendapat kekalahan di Laut Koral dan Midway. Sesungguhnya. Midway adalah titik balik perang tapi hal tersebut kurang disadari, terlebih oleh Jepang. Hal tersebut mungkin karena AD Jepang (Rikugun) belum pernah kalah. Pada 7 Agustus 1942 pasukan Sekutu mendarat di Guadalcanal, pulau yang termasuk rangkaian Kepulauan Solomon. Tujuannya adalah mematahkan kepungan Jepang terhadap Australia-Selandia Baru sekaligus membuka front kedua setelah Irian Timur. Pertempuran di Irian Timur sedang berlangsung, pasukan Sekutu mati-matian mempertahankan pangkalan Port Moresby. Dengan demikian fokus Jepang terpecah. Letnan Jenderal Haruyoshi Hyakutake dihadapkan pada pilihan rumit: membantu pasukan di Irian atau Guadalcanal. Pertempuran di Guadalcanal berlangsung hingga Februari 1943. Pertempuran tersebut mencakup tiga matra: laut, darat dan udara. Di darat, pasukan yang bertempur harus juga melawan musuh ketiga: alam. Guadalcanal mungkin surga untuk piknik, tetapi neraka untuk perang. Rawa, hutan, gunung dan wabah harus dihadapi. Pasukan Jepang bertahan dalam gua –siasat baru bagi Sekutu saat itu– dan kadang menyerbu garis pertahanan Sekutu. Pertempuran di darat ditentukan oleh pertempuran laut. Armada Jepang dan armada Sekutu bertarung sengit untuk menguasai perairan Guadalcanal. Ketika Sekutu menang di laut, menang di darat hanya soal waktu. Blokade laut Sekutu berakibat pasukan Jepang menderita kekurangan. Dengan tipuan cerdik, pasukan Jepang dalam jumlah sedemikian besar dapat diungsikan dari Guadalcanal. Sebagian besar dari mereka sakit, lelah, lapar dan haus. Yang tertinggal bersembunyi atau bergerilya bertahun-tahun. Di Irian, pasukan Australia secara bertahap menghalau pasukan Jepang di sepanjang “Jalan Setapak Kokoda” (Kokoda Trail) dan pasukan AS mendarat di pesisir utara “ekor” Irian. Pada akhir Januari 1943 pasukan Jepang terhalau dari ekor Irian. Dengan demikian AD Jepang untuk pertama kali mendapat kekalahan di Pasifik. Kekalahan di Guadalcanal dan Irian Timur berakibat pada perubahan mendasar strategi Jepang di Pasifik. Tidak ada gerak maju lagi menaklukan wilayah, yang dapat dilaksanakan adalah memperkuat wilayah taklukan. Sementara itu Sekutu sedang terlibat pembahasan mengenai tujuan selanjutnya. Kesuksesan di kedua tempat tersebut memberi peluang untuk menekan perang untuk mengalahkan Jepang, bukan sekedar mematahkan kepungan terhadap Australia-Selandia Baru. Sekutu menilai bahwa tiba waktunya dapat melaksanakan serbuan besar terhadap Jepang tanpa perlu lebih dulu mengalahkan Jerman. Ada dua pendapat untuk mengalahkan Jepang. MacArthur berpendapat bahwa hal itu dapat dicapai dengan melalui Filipina. Jika Filipina direbut, hubungan Jepang dengan Hindia Belanda terputus. Filipina dapat menjadi pangkalan untuk membom wilayah asli Jepang. Memblokade dan membom Jepang dapat memaksa untuk menyerah. Nimitz berpendapat bahwa Jepang lebih mudah diserang dari sisi timur, hal tersebut berarti gerak maju Sekutu melintasi Pasifik Tengah. Gerakan tersebut tidak mencakup Filipina tapi Formosa, atau jika Filipina perlu direbut akan lebih mudah dari timur, bukan barat daya Pasifik. Untuk mencapai titik temu, gabungan kepala staf AS memilih gerakan rangkap. MacArthur bergerak dari barat daya dan Nimitz dari timur. Tujuan resminya adalah “supaya Jepang tidak tahu kapan dan di mana sasaran Sekutu berikutnya”. Secara samar dinyatakan bahwa gerakan rangkap tersebut “ke arah Filipina”. Ketetapan menyerbu atau melangkaui Filipina masih ditunda. Kelak akan terjadi perlombaan atau persaingan diam-diam untuk mencapai tujuan akhir: Tokyo! Usaha Jepang untuk memperkuat wilayah taklukan sempat mendapat bencana. Pada bulan Maret 1943 sekelompok armada Jepang mengirim bantuan dari Rabaul menuju Semenanjung Huon di Irian Timur. MacArthur mengirim pesawat dan kapal untuk mencegat konvoi tersebut. Pencegatan terjadi di Laut Bismarck dan pertempuran tak terhindarkan pada 3-4 Maret. Hasilnya, sebagian besar bantuan tersebut dihancurkan dan hanya sedikit yang menjangkau Irian. Yamamoto membalas dengan serangan udara terhadap Guadalcanal dan Teluk Milne. Teluk Milne adalah pangkalan Sekutu di ujung ekor Irian. Tetapi karena pemberitahuan spion Sekutu yang begitu tersebar di Solomon, hasil serangan tersebut kurang banyak. Kelak Yamamoto tewas karena pencegatan oleh pesawat Sekutu pada bulan April 1943, hal tersebut tidak terlepas dari sukses Sekutu membaca pesan rahasia Jepang. Pada 30 Juni Sekutu bergerak lagi, pulau berikutnya adalah New Georgia. Penyerbuan ke pulau tersebut adalah bagian dari gerakan besar-besaran menguasai Kepulauan Solomon untuk merebut atau mengepung Rabaul dengan nama sandi Operasi “Cartwheel”. Gerakan tersebut merupakan kerja sama MacArthur-Nimitz: pasukan MacArthur bertugas merebut Semenanjung Huon dan menyeberang ke New Britain dan pasukan Nimitz –dipimpin Laksamana Madya William Halsey– menyerbu beberapa pulau di Kepulauan Solomon antara Guadalcanal dengan New Britain. Sekutu menghadapi masalah: wilayah taklukan Jepang begitu luas, merebut tempat satu per satu –istilahnya island hopping (lompat pulau)– jelas perlu pengorbanan besar. Perang akan berlangsung lama. Merebut New Georgia misalnya, perlu waktu sekitar satu bulan pertempuran sengit. Kemudian muncul ide, bagaimana kalau melangkaui (melampaui) beberapa tempat yang masih dikuasai Jepang untuk merebut tempat yang paling lemah pertahanannya? Dengan demikian pertahanan yang dilangkaui (dilampaui) akan terpencil atau terkepung dan lemah dengan sendirinya? Usul melangkaui (melampaui) pulau tersebut menjadi pilihan, istilah untuk siasat tersebut adalah leapfrog (lompat katak). Dan kelak terbukti bahwa siasat tersebut mempersingkat dan tentu memperhemat perang. Gerak maju sejak 30 Juni berlangsung hingga April 1944 melalui beberapa pertempuran sengit. Pada bulan April Halsey telah mencapai Pulau Bougainville dan sejak Desember 1943 MacArthur mencapai ujung New Georgia yaitu Tanjung Gloucester. Dengan demikian pesawat Sekutu menjangkau Rabaul. Dengan blokade laut dan udara pertahanan tersebut menjadi lemah. Walaupun terdapat sekitar 100.000 orang Jepang di Rabaul, mereka terkurung. Pada tahap itu Sekutu menetapkan bahwa Rabaul tak perlu direbut, pangkalan tersebut tidak lagi menjadi ancaman untuk Australia-Selandia Baru. Gerak maju Sekutu melintasi Pasifik Tengah dimulai pada 20 November 1943. Sasaran pertama adalah Kepulauan Gilbert, jajahan Inggris yang direbut tak lama setelah peristiwa di Pearl Harbor. Di wilayah itu terdapat pangkalan Jepang di Tarawa. Pertempuran dahsyat terjadi sekitar 72 jam dengan korban tewas sekitar 4700 orang Jepang –termasuk panglima garnisun Laksamana Madya Keiji Shibasaki– dan sekitar 1200 orang Sekutu. Pertempuran tersebut menggemparkan Sekutu. Nimitz mendapat hujan protes dari rakyat AS. Penyerbuan tersebut dinilai berdasarkan persiapan yang kurang cermat. Kubu pertahanan Jepang begitu kuat dan tersamar. Gempuran dahsyat Sekutu bagai kiamat hanya berakibat sedikit kerusakan pada pertahanan Jepang. Kelak Sekutu berusaha mengambil pelajaran sebanyak mungkin dari kasus Tarawa dalam gerak maju melintasi Pasifik Tengah. Tujuan berikut setelah Gilbert adalah Kepulauan Marshall, wilayah jajahan Jerman yang dikuasai Jepang berdasar mandat Liga Bangsa Bangsa setelah Perang Dunia I. Merebut beberapa pulau tersebut perlu waktu lebih lama tapi korban lebih kecil dibanding dengan merebut Tarawa. Sekutu mencoba tidak mengulang kesalahan di Tarawa, persiapan menyerbu Marshall jauh lebih cermat. Beberapa pulau yang masih dikuasai Jepang cukup dipencilkan saja. Sebelum menyerbu Marshall, pangkalan kuat Truk di Kepulauan Carolina dilumpuhkan dulu dengan serangan besar dari udara pada 17-18 Februari 1944. Serangan tersebut menghancurkan sekitar 200 pesawat dan menenggelamkan sekitar 30-40 kapal. Truk begitu penting bagi strategi luas Jepang di Pasifik sehingga Laksamana Mineichi Koga –pengganti Yamamoto– memerintahkan sejumlah kekuatan untuk melindunginya dengan membiarkan pertahanan di Irian digempur oleh MacArthur. Usaha MacArthur menghalau pasukan Jepang di Semenanjung Huon praktis selesai pada Januari 1944. Letnan Jenderal Hatazo Adachi –lawan utama MacArthur di Irian– mundur lebih ke barat. Di sepanjang pesisir Irian dan beberapa pulau sekitarnya terdapat beberapa pangkalan Jepang semisal Madang, Wewak, Aitape, Hollandia (kini Jayapura), Wakde, Biak dan Manokwari. Sesuai siasat lompat katak, MacArthur tidak merebut setiap jengkal tanah Irian tetapi merebut tempat yang dianggap paling lemah pertahanannya atau paling penting semisal Hollandia dan Biak. Merebut beberapa tempat di pesisir utara Irian dan beberapa pulau sekitarnya berlangsung dari Januari hingga Agustus 1944. Citra MacArthur sebagai ahli siasat meloncat tinggi dan mengundang pujian antara lain dari orang yang sangat membencinya yaitu Laksamana Ernest J. King, panglima operasi angkatan laut. Berarti dia atasan Nimitz. MacArthur sukses melaksanakan Perang Pasifik hingga akhir dengan korban relatif lebih kecil. Pasukan Sekutu pimpinan MacArthur terutama terdiri dari AS dan Australia. Pasukan Australia dipimpin oleh Jenderal Sir Thomas Blamey. Selain itu pasukan Belanda juga ada. Dalam pasukan Belanda tersebut terdapat beberapa orang yang kelak terlibat sengketa Belanda-Indonesia dalam Revolusi 1945 antara lain Simon H. Spoor. Kelak Spoor menjadi panglima Belanda di Indonesia dengan pangkat letnan jenderal. Setelah Hollandia direbut pada April 1944, segera aparat Belanda bermarkas di situ karena sebelum Perang Pasifik Hollandia adalah ibukota Irian Barat, bagian dari Hindia Belanda. MacArthur berunding dengan Van Mook –kelak letnan gubernur jenderal dalam sengketa Belanda-Indonesia selama Revolusi 1945– mengenai masa depan Hindia Belanda, peluang yang tentu dimanfaatkan oleh Belanda. Belanda berharap Sekutu merebut Hindia Belanda dan hal itu akan memulihkan kolonialisme Belanda di wilayah tersebut. Mengenai beberapa pangkalan Jepang yang dilangkaui (dilampaui), MacArthur memberi tugas kepada Blamey untuk membersihkannya. Tugas tersebut berlangsung hingga perang usai. Walaupun Blamey patuh, ada sedikit rasa jengkel karena dia berharap Australia mendapat peran besar di Filipina. Australia –dan juga Belanda– “hanya” kebagian tugas merebut Kalimantan Timur. Tugas yang praktis hanya memberi “sedikit kesibukan”, nilai strategisnya tidak terlalu penting. Sebelum kita meneruskan kisah duet kurang harmonis MacArthur-Nimitz, penulis ingin mengajak pembaca pada kisah tempat lain yang mungkin paling kurang dipedulikan oleh ahli strategi Sekutu. Tempat yang dimaksud adalah Arena CBI, dengan Birma sebagai “kunci”. Sesungguhnya Birma tidak berbatas dengan Samudera Pasifik tetapi Samudera Hindia, mungkin muncul pertanyaan kenapa perang di Birma termasuk dalam Perang Pasifik? Hal tersebut dapat dijawab dengan nilai penting Birma bagi Cina. Sekutu perlu Birma untuk mengirim bantuan ke Cina supaya sanggup melawan Jepang. Perlawanan Cina penting bagi Pasifik karena Sekutu ingin pasukan Jepang “terikat” di Cina dan tak dikirim ke Pasifik. Arena ini dinilai paling kurang dipedulikan karena Sekutu memberi fokus pertama melawan Jerman, melawan Jepang adalah fokus kedua. Dalam perang melawan Jepang, Pasifik diutamakan dibanding CBI. Pasukan Sekutu di CBI boleh dibilang lebih mengalami kekurangan dibanding di Pasifik, dan tentu saja jika dibanding pasukan Sekutu yang melawan Jerman. Arena CBI juga menyajikan kisah keruwetan dalam hal susunan organisasi dan hal tersebut menunda serbuan balik merebut Birma. Cina dinilai penting bagi Sekutu walau Chiang terkesan tidak serius melawan Jepang, menumpas komunis adalah tujuan pokok. Dia menganut doktrin kuno bahwa menentramkan dalam negeri harus dilaksanakan sebelum melawan fihak asing. Bantuan Sekutu lebih banyak disimpan untuk melawan komunis, akibatnya melawan Jepang kurang ampuh. Koordinasi komando yang terbagi di Delhi dan Chungking sangat sulit karena antara AS, Inggris dan Cina memiliki tujuan berbeda. AS ingin merebut Birma untuk Cina, Cina lebih serius melawan komunis dari pada Jepang dan Inggris lebih suka merebut Singapura untuk memulihkan martabat Inggris. Yang sangat menderita akibat keruwetan tersebut mungkin adalah Stilwell. Sejak tahun 1943 dia mendapat jabatan rangkap yaitu wakil panglima Komando Wilayah Asia Tenggara dan kepala staf Chiang. Mendampingi Chiang saja sudah sulit, Stilwell harus menata ulang tentara Cina, mengawasi pengiriman bantuan ke Cina –yang sering lenyap dalam jaringan korupsi, kolusi dan nepotisme rezim Chiang– dan memimpin pasukan Cina berperang. Mendampingi Chiang perlu kesabaran luar biasa dan Stilwell tak memiliki sifat itu. Dia tipe orang lapangan, bukan tipe kantoran. Lebih suka di medan perang dari pada di markas besar. Pada Februari 1943 Sekutu menguji kekuatan Jepang di Birma dengan menyusupkan pasukan sekitar 3.000 orang dipimpin oleh Charles O. Wingate dari Inggris. Pasukan tersebut dikenal dengan nama Chindit. Selama beberapa bulan Chindit bergerilya di Birma. Hasilnya secara umum mengesankan Sekutu. Churchill menilai taktik Wingate dapat memuaskan AS dengan harga hemat. AS memang terkesan, Jenderal George C. Marshall berjanji membantu Wingate. Setelah berbenah diri, pasukan Cina yang dilatih di India oleh AS –dikenal dengan Pasukan X– masuk Birma pada Oktober 1943. Tujuannya merebut utara Birma untuk membuka jalur darat India-Cina. Kelak pasukan tersebut bertemu dengan pasukan Cina yang masuk Birma dari Cina –dikenal dengan Pasukan Y– di suatu tempat sekitar Myitkyina, kota yang memiliki pangkalan udara. Pasukan British Commonwealth masuk Arakan, wilayah pesisir Birma. Setelah sukses menghalau pasukan Jepang dari Imphal-Kohima di India pada Juli 1944, pasukan Commonwealth mendesak menuju Mandalay di bagian tengah Birma. Kedua pasukan tersebut dipimpin oleh William J. Slim. Adapun Wingate bertugas membantu Stilwell Perjalanan menuju Myitkyina mendapat perlawanan gigih pasukan Jepang pimpinan Letnan Jenderal Shinichi Tanaka dan usaha merebut kota tersebut mendapat perlawanan gigih pula dari Mayor Jenderal Mizukami. Myitkyina dapat direbut sepenuhnya pada 1 Agustus 1944. Tapi pertemuan antara Pasukan X dengan Pasukan Y baru terlaksana pada Januari 1945, setelah Stilwell ditarik pulang akibat hubungan yang makin tidak harmonis dengan Chiang. Jepang agaknya ingin membuktikan bahwa di Asia masih mampu menang walau kalah di Pasifik. Pada 8 Maret 1944 Letnan Jenderal Kotuku Sato menyerbu India dan pada April Jenderal Shunroku Hata merebut beberapa pangkalan Sekutu di Cina Timur. Nyaris pangkalan terpenting Sekutu yaitu Kunming di Cina dan Ledo di India direbut. Pasukan Sekutu merebut Mandalay pada bulan Maret 1945 dan Rangoon pada Mei 1945. Ketika Jepang sibuk dengan gerak maju Sekutu, tibalah waktu yang ditunggu oleh Aung San untuk berontak terbuka melawan Jepang dengan tentaranya yang berganti nama dengan “Tentara Nasional Birma”, waktu yang dipilih adalah 27 Maret 1945. Setelah Rangoon jatuh, Slim bertemu dengan Aung San. Slim –dan juga Mountbatten– terkesan dengan Aung San. Di Cina, serbuan pasukan Jepang tersebut di atas memaksa AS berusaha menyatukan komunis dan nasionalis menjadi front terpadu dalam politik dan militer. Usaha tersebut sempat memberi harapan sukses karena serbuan Jepang tersebut nyaris merebut Kunming, yang berarti dapat mengakhiri perlawanan Cina. Pada bulan Januari 1945 nyatalah bahwa gerak maju Jepang mulai kehabisan tenaga dan hal tersebut membuat Chiang tidak memandang perlu bersatu dengan komunis. Agaknya dia menilai bahwa komunis adalah musuh yang harus ditumpas tuntas. Sedangkan AS – minimal beberapa waktu – lebih suka komunis terserap dalam rezim nasionalis. Singkat cerita, koalisi nasionalis-komunis yang diprakarsai AS gagal terwujud. Hingga akhir perang, praktis kedua fihak berperang sendiri-sendiri. Perang di Cina mendapat peserta baru yaitu US. Pada 8 Agustus 1945 US menyatakan perang dengan Jepang. Licik, karena pada saat itu Jepang sudah sekarat. Stalin membiarkan AS, British Commonwealth dan Cina melaksanakan semua pertempuran dan dia hanya memungut hasilnya. Karena itu ketika pasukan US masuk Manchuria, pasukan Jepang memberi perlawanan relatif ringan karena garnisun di Manchuria banyak yang dikirim ke tempat lain. Dia ingin memulihkan martabat Rusia yang pernah kalah dan terusir dari Manchuria dalam Perang Rusia-Jepang. Kembali ke Pasifik, pada bulan Juni 1944 pasukan Sekutu menyerbu Kepulauan Mariana. Ada 3 pulau yang dipilih yaitu Saipan, Tinian dan Guam. Pertempuran besar merebut pulau-pulau tersebut berlangsung hingga akhir Juli dan disambung pertempuran kecil dalam rangka pembersihan selama beberapa bulan. Usaha armada Jepang untuk mencegat armada Sekutu mengobarkan “Pertempuran Laut Filipina” pada 19-20 Juni yang berakhir dengan kemenangan Sekutu. Perebutan wilayah tersebut berdampak hingga Tokyo yang berjarak sekitar 2000 km. Jarak tersebut dapat ditempuh pesawat pembom yang paling besar saat itu yaitu B-29. Dengan demikian Jepang makin rentan terhadap serangan udara karena jika jarak makin dekat maka pembom dapat memuat bom lebih banyak dan pemakaian bahan bakar lebih hemat. Sebelum Mariana jatuh, B-29 berpangkalan di Cina dan India. Jarak terdekat dengan Jepang adalah Chengtu, jarak yang jelas lebih jauh ke Jepang dibanding dari Mariana. Kehadiran B-29 di Cina juga kurang disukai panglima udara “Harimau Terbang” yaitu Mayor Jenderal Claire Chennault karena menguras banyak sumber daya yang sangat diperlukan. Secara berangsur pesawat tersebut dipindah ke Pasifik. Makna Mariana jatuh disadari oleh beberapa tokoh Jepang, mereka merekayasa supaya Kabinet Hideki Tojo jatuh. Usaha tersebut sukses, Tojo diganti Koiso. Tapi ternyata perang masih berlanjut, mengusulkan perdamaian kepada Sekutu cuma sebatas wacana. Pada 20 Agustus 1944 markas besar MacArthur menyatakan bahwa kegiatan militer secara resmi berakhir di Irian. Untuk mengamankan sisi barat saat menyerbu Filipina, MacArthur melaksanakan operasi selingan ke Morotai di utara Kepulauan Maluku pada 15 September. Pasukan Jepang –termasuk Heiho dari Indonesia– melawan dengan gigih hingga pulau tersebut jatuh. Mungkin karena kebetulan, pada tanggal itu Nimitz menyerbu Kepulauan Palau. Pertempuran dahsyat berkobar hingga November dengan korban tewas sekitar 10.000 orang Jepang dan sekitar 1.500 orang Sekutu. Palau dan Maluku dekat dengan Filipina. Janji kembali ke Filipina makin dekat kenyataan, kepala staf gabungan AS menerima rencana MacArthur. Duet kurang harmonis Nimitz-MacArthur dapat diredakan: Nimitz membantu MacArthur menyerbu Filipina dan MacArthur membantu Nimitz menyerbu Iwojima dan Okinawa. Janji tersebut menjadi kenyataan pada 20 Oktober 1944. Dengan dukungan armada Nimitz, pasukan MacArthur menyerbu Leyte di Filipina Tengah. Mulailah pertempuran dahsyat merebut negeri tersebut hingga perang usai. Siasat lompat katak tidak dilaksanakan, MacArthur bertekad merebut semua pulau. Berbuat kurang dari itu dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Filipina. Lawan MacArthur di Filipina adalah Yamashita “Si Harimau Malaya”, karena dialah yang sukses menyerbu Malaya dan memaksa Sekutu menyerah di Singapura. Pulau Luzon diserbu pada 9 Januari 1945 dan kota Manila jatuh pada 3 Maret. Korban pertempuran di Manila begitu mengerikan. Sekitar 80% kota hancur dan sekitar 100.000 warga tewas. Jepang kehilangan sekitar 16.000 orang dan Sekutu sekitar 1.000 orang. Usaha merebut Filipina juga membuahkan pertempuran laut yang dahsyat yaitu “Pertempuran Teluk Leyte” pada 23-25 Oktober 1944. Peristiwa tersebut berlatar belakang usaha Jepang mencegah pendaratan Sekutu di Pulau Leyte. Armada Jepang nyaris lenyap dalam pertempuran ini. Sementara pertempuran di Filipina sedang berlangsung, Nimitz menyerbu Iwojima pada 19 Februari 1945 dan Okinawa pada 1 April, dengan perbekalan antara lain dari MacArthur di Filipina. Kedua pulau tersebut adalah wilayah “asli” Jepang. Pertempuran besar di Iwojima berlangsung sekitar sebulan dengan korban tewas sekitar 21.000 orang Jepang dan sekitar 7.000 orang Sekutu. Adapun di Okinawa, pertempuran besar terjadi sekitar 2,5 bulan dengan korban tewas sekitar 110.000 orang Jepang dan sekitar 12.000 orang Sekutu. Setelah itu, masih ada pertempuran kecil dengan sisa-sisa tentara Jepang yang pantang menyerah. Dalam usaha untuk meringankan beban garnisun di Okinawa, panglima laut Jepang memancing fokus Sekutu dengan umpan kapal perang megah “Yamato” dan beberapa jenis kapal lain. Satuan tersebut bermaksud melawan satuan laut Sekutu yang berfungsi sebagai bantuan bagi pasukan yang bertempur di darat. Drama tersebut berakhir dengan lumpuhnya “Yamato” akibat serangan sengit beberapa pesawat Sekutu. Kapal tersebut meledak hebat. Gerak maju Sekutu di Filipina, Iwojima dan Okinawa menampilkan “senjata maut” Jepang yaitu kesatuan penerbang bunuh diri yang lazim disebut “Kamikaze”. Kesatuan tersebut beranggota para pemuda yang nekad dan dilatih singkat untuk menubrukkan pesawat sendiri ke pesawat dan kapal Sekutu. Cara tersebut lebih ampuh dan hemat dibanding bertarung di udara melawan penerbang Sekutu yang berpengalaman. Dasar pemikirannya adalah Jepang hanya mengorbankan 1 pilot kurang terlatih dan 1 pesawat dan Sekutu dipaksa untuk kehilangan kapal dan pesawat mahal serta manusia yang terlatih. Tujuan tersebut sukses, beberapa pesawat dan kapal Sekutu jatuh, rusak atau tenggelam serta banyak orang yang tewas, luka dan hilang. Namun usaha nekad tersebut tak dapat membendung langkah kemenangan Sekutu. Sekutu menyusun rencana menyerbu pulau-pulau besar Jepang untuk bulan November 1945 dengan nama “Operasi Olympic” dan “Operasi Coronet”. Diperkirakan bahwa akan terjadi pertempuran maha dahsyat hingga tahun 1946. Hal tersebut sungguh mengerikan, mungkin jutaan lagi akan tewas. Harus cari cara lain untuk memaksa Jepang menyerah. Pada 7 Mei 1945 Jerman menyerah, perang di Eropa berakhir. Dengan demikian fokus tunggal terarah pada Jepang. Sekutu mengadakan konferensi di Potsdam dari 17 Juli hingga 2 Agustus. Hadir Roosevelt, Churchill dan Stalin. Hasilnya antara lain adalah US ikut perang melawan Jepang, MacArthur menjadi panglima tertinggi Sekutu untuk menyerbu Jepang yang sedang dalam proses pematangan rencana, Hindia Belanda di bawah wewenang Mountbatten, pembagian Korea dan Indocina untuk pembagian wewenang pendudukan, pendudukan Jepang dan wilayah taklukan guna pelucutan senjata dan demobilisasi tentara Jepang, mengurus tawanan dan mengusut kejahatan perang. Konferensi tersebut menuntut Jepang menyerah tanpa syarat, suatu hal yang ditolak terutama militer. Militer ketika itu bersiap-siap menghadapi kemungkinan serbuan Sekutu. Mereka bertekad memaksa Sekutu terlibat perang berkepanjangan. Lagi pula wilayah taklukan Jepang masih cukup luas. Sementara itu pada Juli 1945 AS sukses melaksanakan percobaan bom atom dan Presiden Harry S. Truman berniat menggunakannya. Truman tidak menyangkal jika korban akibat bom atom tersebut sangat banyak. Tetapi jumlah korban akan lebih kecil jika dibandingkan dengan menyerbu Jepang. Pertimbangan lain adalah Jepang tidak akan “kehilangan muka” jika menyerah karena senjata tersebut memang sangat dahsyat dan belum ada yang memilikinya. Kecemasan jika Jepang jatuh kepada US dan menjadikannya negara komunis di masa depan juga menjadi pertimbangan. Jepang harus menyerah kepada AS dan bukan kepada US. Singkat cerita, bom atom dijatuhkan ke Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus. Pada tahap ini militer Jepang masih belum berniat menyerah sehingga nasib Jepang ditetapkan oleh seorang sipil yaitu Kaisar Hirohito sendiri, walaupun dalam konstitusi Jepang dia tidak berwenang menetapkan. Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, perintah berhenti menembak disebar-luaskan. Hasilnya ampuh, memang prajurit Jepang berperang demi kaisar dan kini menyerah demi mematuhi kaisar. Sipil dan militer mencoba bersikap tenang. MacArthur datang ke Jepang Agustus itu juga dan memimpin pendudukan Sekutu di Jepang berdasar wewenang yang didapat dari kesepakatan anggota Sekutu terutama Konferensi Potsdam. Sebab kemenangan Sekutu dalam Perang Pasifik sebagian besar adalah usaha AS, karena itu negara tersebut mendapat peran paling besar dalam pendudukan di Jepang. Upacara penyerahan resmi Jepang kepada Sekutu dilaksanakan di Teluk Tokyo pada 2 September 1945, upacara yang mengakhiri Perang Pasifik dan berarti mengakhiri Perang Dunia II yang bermula pada 1 September 1939. Perang Dunia II bermula di Eropa dan berakhir di Asia genap berlangsung 6 tahun dengan korban sekitar 50.000.000 orang tewas. PENUTUP Perang Dunia II usai. Banyak yang berubah karena perang tersebut, yang pasti sebagian wajah dunia menjadi puing. Segala kerusakan harus dibangun kembali. Di Asia-Pasifik, pemulihan sesudah perang harus dimulai dengan pendudukan di Jepang dan wilayah bekas taklukan Jepang. Berdasar konferensi anggota Sekutu, AS dan Inggris adalah pemeran utama dalam hal ini. Peran pembantu adalah US dan Cina. Namun sejak awal, optimisme akan masa depan yang lebih baik –khususnya perdamaian abadi– mendapat tantangan. US –dengan berbagai sikap di Eropa dan Asia– telah membuang kerja sama masa perang dan mengejar kepentingan diri sendiri. Di Cina, pertarungan nasionalis-komunis berkobar kembali dan pembagian Korea yang sesungguhnya hanya sementara menjadi berkepanjangan. Di bagian lain, muncul pemberontakan pribumi melawan imperialis Barat. Belanda, Inggris dan Perancis berharap dapat kembali ke wilayah bekas jajahannya. Semangat dari propaganda Jepang “Asia untuk orang Asia” justru berkobar setelah Jepang kalah. Kaum imperialis agaknya tidak memahami semangat tersebut. Walaupun Jepang telah bersikap kejam terhadap sesama Timur dan Barat telah memperkenalkan modernisasi, rakyat Timur tetap benci kepada arogansi imperialis Barat: menganggap hina bangsa lain dan tidak mengakui hak pribumi mendapat kemerdekaan atau menentukan nasib sendiri. Keberanian Jepang menghadapi dan sempat mengalahkan Barat menimbulkan kekaguman yang pada giliran membangkitkan rasa percaya diri Timur. Demikianlah, pada pertengahan tahun 1945 rakyat pribumi menuntut hak: rasa nasionalisme yang kuat memaksa Inggris melepas Birma, India, Sri Langka dan Malaya. Indonesia dicabik-cabik oleh pertentangan sesama Indonesia sekaligus perang dengan Belanda. Di Indocina kaum nasionalis dengan gigih membendung ambisi Perancis berkuasa kembali. Adapun AS bersiap-siap melepas Filipina dengan rela. Tujuan perang Sekutu tercantum dalam Atlantic Charter 14 Agustus 1941, hasil pertemuan antara Roosevelt dengan Churchill. Intinya adalah hak rakyat jajahan mendapat kemerdekaan. Roosevelt menilai bahwa “kekuatan yang menuju pada pemerintahan sendiri sedang bangkit di Asia. AS sebagai negara demokrasi terbesar tidak boleh menghambat tapi harus bertindak searah dengannya”. Tetapi tujuan tersebut diselimuti keprihatinan perang lain yaitu apa yang disebut Perang Dingin antara blok AS dan blok US. Arena utamanya adalah Eropa: AS dan US bersaing sengit berebut pengaruh. AS agaknya terpaksa mengendurkan keteguhannya terhadap prinsip itu, jika gerakan kemerdekaan membahayakan ketahanan atau minimal mengusik kepentingan Eropa, terutama ekonomi, sehingga Eropa rentan terhadap pengaruh komunis, biasanya sikap AS jelas: memihak Eropa atau bersikap tidak membantu gerakan kemerdekaan. Kasus demikian sempat menimpa Indonesia. Di Indocina, AS jelas membantu Perancis menumpas gerakan kemerdekaan karena gerakan tersebut berfaham komunis yaitu Vietminh. Di Jepang, pendudukan Sekutu relatif lunak. AS bertekad mengubah Jepang dari musuh yang dikalahkan menjadi rekan yang berpengaruh. MacArthur tidak menuntut pengadilan terhadap Hirohito sebagai penjahat perang. Hirohito sesungguhnya tidak menyukai perang, tetapi tidak kuasa menghambat ambisi kaum chauvinis terutama dari militer meraih kekuasaan dan menggelar penaklukan. Kaum chauvinis dengan cerdik berlindung di balik status ketuhanan kaisar dalam meraih tujuan. Beberapa orang dari mereka –antara lain Hideki Tojo– diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melaksanakan kejahatan perang dan dihukum mati. Ada juga yang dihukum penjara sekian lama. MacArthur berusaha menghapus militerisme dari segala bidang kehidupan di Jepang dan membawa Jepang kepada konsep civil society. Konstitusi Jepang yang baru mengharamkan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah internasional. Angkatan bersenjata dibatasi hanya untuk pertahanan dalam negeri. Konstitusi baru tersebut juga melepas status ketuhanan kaisar, menempatkan kaisar hanya sebagai lambang dan agama Shinto bukan lagi agama resmi Jepang. Dengan demikian agama tersebut tidak mendapat bantuan pemerintah serta sederajat dengan agama lain. Kesetaraan gender juga mendapat perhatian, norma patriarkal sangat ketat di Jepang. Lelaki mendapat begitu banyak hak dibanding perempuan. Perubahan yang diajukan adalah menempatkan lelaki dan perempuan sederajat semisal perempuan mendapat hak waris dengan jumlah sama dengan lelaki. Untuk mencegah pemberontakan dan pengaruh komunis meluas akibat kehidupan sulit pasca perang, AS mengirim bantuan ekonomi mirip dengan Marshall Plan di Eropa. Marshall Plan adalah program pemulihan Eropa pasca perang terutama untuk membendung pengaruh komunis di benua itu. Pendudukan Sekutu resmi berakhir pada April 1952, tetapi AS masih memiliki pangkalan di negeri itu dan US (kini Republik Rusia) masih menguasai Kepulauan Kurile. Kurile hingga kini masih menjadi gangguan hubungan Rusia-Jepang. Berdasar Konferensi Potsdam, Sekutu membagi Korea menjadi dua wilayah pendudukan berdasar Garis Lintang 38°. Pasukan US sekitar 120.000 orang dipimpin Kolonel Jenderal Ivan Chistyakov menduduki wilayah utara garis dan pasukan AS sekitar 50.000 orang dipimpin oleh Letnan Jenderal John R. Hodge menduduki belahan selatannya. Pasukan Jepang di Korea didemobilisasi dan dilucuti. Pasukan AS memulangkan mereka berangsur-angsur dan pasukan US mengasingkan mereka ke Siberia. Banyak yang tewas dan hilang di sana. Untuk memepersiapkan Korea menuju pemerintahan sendiri, Sekutu mencoba membentuk pemerintahan sementara di bawah perwalian empat anggota Sekutu yaitu AS, US, Cina dan Inggris. Tetapi niat tersebut terbentur masalah sumber daya manusia. Pendudukan Jepang yang demikian lama menempatkan rakyat Korea menjadi terbelakang. Sulit mencari orang Korea yang memenuhi syarat. Karena itu agaknya tak ada pilihan kecuali mengajak orang Korea di pengasingan, antara lain Syngman Rhee. Pada Oktober 1945 Syngman Rhee kembali ke Korea setelah mengasingkan diri ke AS beberapa lama. Dia mencoba menghimpun rakyat Korea untuk merdeka dan bersatu. Usahanya gagal, Korea memang merdeka tapi terbagi. US membentuk rezim tandingan dengan pimpinan Kim Il-sung. Garis Lintang 38° menjadi garis permusuhan antara dua superpower: penuh dengan tentara, jebakan, lubang perlindungan dan sarang senapan. Karena sulit menyatukan kembali, AS menyerahkan masalah tersebut kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). PBB kemudian mempersiapkan pemerintahan sendiri di selatan garis. Pada 15 Agustus 1948 Republik Korea atau Korea Selatan lahir dan Syngman Rhee menjadi presiden pertama. US bereaksi dengan membentuk “Republik Demokrasi Rakyat Korea” atau Korea Utara pada September 1948 dengan memilih Kim Il-sung sebagai pemimpin. Di bidang militer, Korea Utara jauh lebih siap dibanding tetangganya. US melatih dan mempersenjatai pribumi, awalnya dengan perlengkapan bekas Jepang. Ketika pasukan US meninggalkan Korea, pasukan Korea Utara siap menggantikannya. Pasukan AS juga meninggalkan Korea Selatan, segera nyata bahwa kekuatan dua Korea tersebut tak seimbang. Hal tersebut mungkin tak terlepas dengan kebijakan pertahanan AS untuk Asia-Pasifik. Korea Selatan tak termasuk dalam lingkar pertahanan AS, tetapi harus mampu mempertahankan diri sendiri, dengan bantuan PBB. Syngman Rhee berulang kali meminta AS jaminan akan mempertahankan Korea Selatan, dia sadar bahwa militernya lemah. Kecemasan akan diserbu tetangganya menjadi nyata pada 25 Juni 1950. Pasukan Korea Utara bergerak cepat melintas Garis Lintang 38°, pasukan Korea Selatan dan sisa tentara AS terpaksa mundur hingga Pusan. AS bertindak cepat mengajukan masalah tersebut kepada PBB. Singkat cerita, dukungan mayoritas anggota PBB terhadap Korea Selatan muncul. Pasukan PBB, dipimpin AS, dikirim ke Korea dan bertempur di sana. Garis pertahanan Pusan dapat dipertahankan, dan setelah bertempur dahsyat selama tiga tahun Korea Selatan dapat diselamatkan. Tetapi garis lintang tersebut tetap menjadi kawasan panas dan merupakan warisan berbahaya dari Perang Dunia II. Hingga kini perjanjian perdamaian belum terlaksana, perang tersebut berhenti karena gencatan senjata. Di Cina, rezim Chiang Kai-shek telah banyak terkuras akibat Perang Dunia II dan cekcok yang kadang muncul dengan Mao Tse-tung. Perpecahan dan peperangan telah berakibat Cina seakan mundur sekian tahun. Untuk membangun Cina menjadi kuat dan dekat, AS melanjutkan bantuan terutama militer. Pasukan AS melaksanakan tugas pendudukan bersama dengan pasukan US. Sekitar 1.000 orang tentara AS yang hadir sejak Perang Pasifik untuk melatih pasukan Cina diperpanjang waktu kehadirannya, mereka dipimpin Jenderal Albert C. Wedemeyer. Pasukan US dipimpin oleh Marsekal Rodion Malinovsky hadir sejak 8 Agustus 1945 dengan menyerbu Manchuria yang waktu itu masih dikuasai Jepang. Setelah wilayah tersebut direbut, US memanfaatkan peluang itu dengan mengeruk nyaris tanpa sisa industri yang telah dibangun Jepang di Manchuria. Chiang memprotes hal tersebut dan menyebut sebagai “Penjarahan Manchuria”. Segera AS membantu mengirim pasukan Chiang ke beberapa tempat untuk mencegah perluasan wilayah oleh komunis antara lain Syanghai dan Nanking. Sementara itu pasukan komunis menuju Manchuria dan merekrut anggota baru – dengan dukungan US. Walaupun AS memberi dukungan resmi kepada rezim Chiang, AS masih mencoba merujukkan nasionalis dengan komunis. Jenderal Marshall dikirim untuk mengusahakan perundingan, usaha tersebut gagal. Cina kembali dilanda perang saudara yang dahsyat. Pada awalnya pasukan nasionalis unggul, beberapa wilayah yang dikuasai komunis, termasuk markas Mao di Yenan, direbut. Mao tidak cemas, perang gerilya dan sesekali perang frontal dilaksanakan dan sungguh merepotkan Chiang. Pada tahun 1948 beberapa garnisun nasionalis tertahan di beberapa tempat. Chiang menambah daftar penyebab kekalahannya dengan memperlakukan warganya dengan kejam dan hal itu mengurangi simpati kepadanya. Jumlah anggota komunis makin bertambah seiring dengan pertambahan wilayah. AS terpaksa bersikap berat sebelah, dukungan langsung kepada Chiang pun diberikan. Dukungan tersebut gagal menahan gerak maju komunis. Syanghai, Peking dan Nanking jatuh. Chiang terpaksa pindah ke Formosa dan menyusun pemerintahan lagi, yang kita kenal dengan “Republik Cina” atau “Taiwan”. Pada 1 Oktober 1949 Mao memproklamirkan “Republik Rakyat Cina”. Hingga kini dua negara tersebut masih sulit disatukan. RRC menganggap Taiwan sebagai provinsi yang memberontak. Di India, rasa percaya diri warisan perang muncul. Ketika perang masih berkobar, Inggris terpaksa memberi kepercayaan kepada orang India untuk beberapa tugas dan hal tersebut dilaksanakan dengan baik. Orang India membuktikan bahwa mereka mampu mengatur diri sendiri, jelas mereka tak mau diperlakukan sebagai warga kelas dua di negeri sendiri. Mereka tidak menganggap anggota INA sebagai pengkhianat. Ketika Inggris mengadili anggota INA, keributan terjadi dan panglima Inggris di India yaitu Jenderal Sir Claude Auchinlek memerintahkan pembebasan mereka. Pembebasan tersebut makin menggairahkan semangat kemerdekaan. Inggris mengirim utusan untuk menemui beberapa tokoh kemerdekaan antara lain Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru dan Muhammad ‘Ali Jinnah. Suasana saat itu sedang panas akibat masalah yang sedemikian lama tak terselesaikan yaitu konflik antar masyarakat terutama konflik Muslim-Hindu. Agama Hindu muncul praktis bersamaan dengan kelahiran peradaban India, yaitu sekitar 3000 BC. Kata “India” sendiri berasal dari kata “Hindi” atau “Hindu”. Negeri India dikenal juga dengan sebutan “Hindustan” (Tanah Hindu). Agama Islam adalah agama yang relatif baru hadir di India. Awalnya dibawa pedagang Arab dan Persia kemudian disebarkan oleh beberapa kerajaan Muslim antara lain Moghul atau Mughal. Harus diakui, perbedaan kedua agama tersebut nyaris mencakup segala segi dan itu terbawa dalam sikap sehari-hari antar umatnya. Konflik tersebut mempengaruhi masa depan India yang akan dibentuk. Jinnah menilai bahwa kedua umat tersebut sangat sulit hidup berdampingan dengan damai, minimal pada saat itu. Karena itu kaum Muslim perlu memiliki negara tersendiri untuk melindungi hak-haknya. Negara yang dimaksud adalah Pakistan. Istilah tersebut adalah ciptaan mahasiswa Muslim India yang berada di Inggris sekitar tahun 1930-an, maknanya adalah “Tanah Yang Murni”. Gagasan tersebut pada awalnya sulit diterima oleh Inggris maupun kaum Hindu. Tetapi kerusuhan yang nyaris tiada henti –tentu dengan korban besar– memaksa mereka menerima kenyataan. Inggris –yang hampir kehabisan tenaga akibat perang– tidak mampu menahan letusan aspirasi rakyat jajahannya. Mountbatten dilantik sebagai “raja muda” (viceroy) –istilah untuk wakil mahkota Inggris di India– dan memimpin Inggris mundur dari India. Sungguh bukan pekerjaan yang enak Kemerdekaan sekaligus pembagian India tak terhindarkan, demikian pula kerusuhan. Banjir pengungsi terjadi, kadang dengan dua arah. Mereka menderita karena wabah, lapar dan tindak kriminal. Korban tewas mencapai jutaan. Proklamasi Pakistan dan India terjadi bersamaan, yaitu 15 Agustus 1947. Kedua negara tersebut sejak awal terlibat konflik soal Kasymir, negeri yang dipimpin maharaja beragama Hindu dengan mayoritas rakyatnya Muslim. Sesungguhnya Kasymir ingin berdiri sendiri. Ketika Pakistan mencoba menarik wilayah tersebut masuk Pakistan, maharaja terpaksa cepat-cepat memilih bergabung dengan India. Masalah Kasymir sempat mengobarkan perang Pakistan-India dan hingga kini masih mengganggu hubungan kedua negara. Di Indocina, Konferensi Potsdam juga membagi wilayah tersebut dengan Garis Lintang 16°. Sebagaimana halnya di Korea, garis tersebut berfungsi untuk tugas pendudukan pasukan Sekutu tetapi kelak membagi wilayah tersebut beberapa lama. Pasukan Cina bertugas di bagian utara dan pasukan Inggris bertugas di selatan. Sebelum kedua pasukan tersebut tiba, Perancis –juga anggota Sekutu– mencoba memulihkan kekuasaan kolonialnya dengan mengirim regu kecil dari udara pada Agustus-September 1945. Usahanya gagal. Karena itu Perancis “membonceng” dengan Inggris. Pasukan Sekutu hadir di Indocina pada September 1945 Pada 2 September, Ho Chi Minh memproklamirkan “Republik Demokrasi Vietnam dengan ibu kota Hanoi. Hanoi masuk wilayah wewenang pasukan Cina. Kehadiran pasukan Cina memunculkan rasa campur aduk rakyat Indocina. Sebagian Indocina pernah dikuasai Cina sekitar 1000 tahun dan menimbulkan hubungan yang buruk antara Cina dengan Indocina. Tetapi pendudukan pasukan Cina sekaligus dianggap pelindung dari imperialisme Barat yang saat itu berusaha bangkit. Walaupun ada pengaruh komunis pada rezim Ho, Cina bersikap netral. Mereka melaksanakan tugas pendudukan dengan cepat dan tertib. Mereka juga berwenang mengawasi perdagangan candu di wilayah yang dikenal dengan Segitiga Emas, wewenang tersebut dimanfaatkan pasukan Cina untuk memperkaya diri. Dengan perjanjian antara Chiang dengan Perancis, pasukan Cina terakhir pergi pada Oktober 1946. Di selatan, pasukan Inggris dipimpin Mayor Jenderal Douglas Gracey masuk bersama sekelompok pasukan Perancis. Perancis mengirim Georges Thierry d’Argenlieu sebagai komisaris tinggi untuk Indocina, adapun sebagai panglima perang –di bawah d’Argenlieu– adalah Jenderal Phillippe Leclerc. Sesungguhnya wewenang Sekutu adalah melucuti dan memulangkan orang Jepang, memulihkan kondisi tawanan, mengusut kejahatan perang dan menjaga keamanan. Tetapi pada 21 September Gracey bertindak di luar wewenang: menyatakan keadaan darurat perang di selatan garis lintang. Segera dia mempersenjatai orang Perancis dan mereka bergerak merebut beberapa tempat di Saigon serta mengusir orang Vietnam. Vietminh membalas pada 25 September dengan perang gerilya, mereka ganti menyerbu, menangkap, menyiksa dan membunuh warga Perancis. Inggris terpaksa menggunakan pasukan Jepang untuk memulihkan keamanan. Pasukan Jepang melaksanakan itu dengan rasa berat, mereka hanya ingin pulang. Ada juga yang membantu Vietminh, solidaritas sebagai sesama Timur. Kekacauan tak terhindarkan, dan pengungsian terjadi. Warga yang tak ingin hidup di bawah komunis pergi ke selatan dan warga yang tak ingin di bawah kolonial Perancis pergi ke utara. Pada awal 1946 –ketika pasukan Inggris pergi– jelas bahwa Vietminh unggul di utara dan Perancis unggul di selatan. Ho belum merasa perlu melaksanakan perang, demikian pula Perancis. Mereka mencoba menyesuaikan keinginan sendiri-sendiri dalam perundingan. Hasilnya memberi harapan, Vietnam untuk sementara menjadi negara merdeka tapi berada dalam Union Perancis –mirip British Commonwealth– Perancis melatih dan melengkapi pasukan Vietnam dan penghentian perang. D’Argenlieu mencoba merongrong hasil perundingan Vietminh-Perancis. Tanpa wewenang dari Paris, dia mengadakan konferensi yang dihadiri dari beberapa tokoh yang konon mewakili Indocina. Dia lebih suka berperang dari pada berunding. Atasannya di Paris menginginkan hal tersebut sedapat mungkin dihindarkan –minimal sementara– untuk mendapat tempat berpijak di utara. Adapun keinginan Ho sederhana: ingin pengakuan kemerdekaan dan mulai membangun negerinya. Harapan Ho sirna ketika Perancis mengesahkan konstitusi yang antara lain tidak mengakui negara baru tersebut. Suasana mengarah pada perang. Perang berkobar kembali pada Desember 1946, pasukan Vietminh melaksanakan serangan umum ke seluruh garnisun Perancis. Berkobarlah Perang Indocina yang lama dan kejam, menewaskan sekitar 600.000 orang. Vietminh kembali memilih perang gerilya, mereka rela melepas kota-kota, termasuk ibu kota Hanoi, dan menguasai desa-desa. Siasat tersebut memaksa pasukan Perancis tertahan di kota-kota yang diberi perlindungan. Demikianlah, pada tahun 1949, ketika perang masih jauh dari selesai, Perancis berada pada posisi bertahan. Untuk membendung pengaruh Vietminh, Perancis sekali lagi mencoba menghubungi Bao Dai untuk membantu. Perancis menilai bahwa dia masih dihormati karena status ningratnya. Caranya adalah memilih Bao Dai sebagai kepala negara Vietnam Selatan sebagai tandingan terhadap rezim Ho. Ketika dihubungi, Bao Dai sedang menikmati hidup mewah, seakan hidup adalah hari libur yang tiada habisnya. Bao Dai hadir di Saigon pada Juni 1949 setelah berunding dengan cerdik di Jenewa. Hasilnya, dia adalah menjadi presiden Vietnam Selatan. Pengakuan terhadap Vietnam Selatan datang dari AS dan Inggris, mereka juga membantu Perancis melawan Vietminh. Sementara itu, Vietminh semakin tangguh. Pada pertempuran dahsyat di Dhien Bien Phu tahun 1954 Perancis kalah, dan terpaksa meninggalkan Indocina setelah perundingan di Jenewa. Tapi warisannya di selatan dilindungi AS, AS menggantikan peran Perancis untuk menjaga jangan sampai seluruh Indocina dikuasai komunis. Komunis akhirnya menguasai seluruh bekas wilayah Indocina Perancis pada 1975 setelah melalui perang yang mengerikan. Di Malaya, pasukan Sekutu hadir pada September 1945. Berbagai kelompok perlawanan diminta menyerahkan senjatanya dan diikutsertakan dalam pesta kemenangan di London dan Kuala Lumpur. Mereka umumnya ikut pesta kemenangan tapi umumnya tidak menyerahkan senjata. Senjata disembunyikan di hutan. Pemerintah Inggris menyusun bentuk pemerintahan di Malaya berbeda dengan yang ada sebelum perang. Bentuk baru tersebut ternyata mengundang kemarahan rakyat karena menghilangkan beberapa hak yang sebelumnya dinikmati. Singapura tetap menjadi jajahan terpisah dan wilayah bekas protektorat disatukan dan diperintah langsung oleh Inggris. Sebelum perang, 9 wilayah kesultanan mendapat wewenang mengatur dalam negeri, residen Inggris hanya mendampingi sebagai penasehat. Dengan demikian rakyat hanya memberi kesetiaan kepada sultan setempat. Adapun Singapura, Penang dan Malaka diperintah oleh seorang gubernur jenderal yang bertempat di Singapura. Gubernur jenderal tersebut merangkap sebagai komisaris tinggi untuk wilayah kesultanan. Usai perang, hak tersebut ingin dihapus. Sultan tidak memiliki kekuasaan apapun, hanya sekadar “boneka”. Kemarahan rakyat di Malaya bergema hingga ke parlemen di Inggris, rencana tersebut mendapat tantangan keras di parlemen. Demonstrasi terjadi di se antero negeri. Inggris akhirnya mengalah, rencana tadi dibatalkan. Sementara itu komunis –umumnya mantan Tentara Rakyat Malaya Anti Jepang– menempuh cara lain untuk merdeka: perlawanan bersenjata. Mereka ambil lagi senjata yang disembunyikan dan mulai bertempur. Pemerintah di Kuala Lumpur berusaha memadamkannya, pemberontakan tersebut menghambat harapan para tokoh kemerdekaan non komunis untuk segera merdeka. Pada tahun 1952 Jenderal Sir Gerald Templar memimpin gerakan penumpasan komunis. Dengan bantuan pasukan Inggris, Malaya dan Commonwealth lain dia melaksanakan operasi anti gerilya yang disebut “cari dan hancurkan”. Pasukan tersebut mampu meronda jauh dari pangkalan dalam waktu relatif lama karena dibantu helikopter. Gerakan tersebut sukses. Ketika Templar meninggalkan Malaya tahun 1954, komunis dalam posisi terdesak walaupun masih bertahan di perbatasan Malaya-Muangthai. Malaya –termasuk Singapura– merdeka pada 31 Agustus 1957 dengan nama “Malaysia”. Di Filipina, kehancuran akibat perang sungguh luar biasa. Usai perang, Presiden Sergio Osmena tak punya waktu berkampanye untuk menghadapi kemerdekaan yang akan diproklamirkan pada 4 Juli 1946, dan komunis mulai melaksanakan kekacauan. Ketika itu MacArthur masih memiliki wewenang mengatur Filipina dari markasnya di Tokyo. Contohnya, dalam kasus mengusut kejahatan perang Jepang di negeri itu. Dua terdakwa utama yaitu Homma dan Yamashita dipersalahkan atas terjadi kekejaman Jepang, walaupun secara pribadi keduanya tidak jahat. Yamashita tidak tahu menahu tentang kekejaman selama pertempuran di Manila dan Homma jelas memberi perintah untuk memperlakukan para tawanan secara manusiawi. Pengadilan menetapkan keduanya bersalah dan dijatuhi hukuman mati. MacArthur –yang berkuasa mengubah hukuman– mendukung ketetapan tersebut. Mengenai komunis, pada awalnya mereka adalah pasukan gerilya anti Jepang. Dipimpin oleh Luis Taruc, kelompok ini dikenal dengan nama Hukbalahap atau Huk. Mereka melanjutkan perang mereka melawan para tuan tanah. Bahkan ketika masih pendudukan Jepang, mereka lebih banyak membunuh para tuan tanah dari pada orang Jepang. Pada 4 Juli berakhirlah Persemakmuran Filipina dan menjadi Republik Filipina. Manuel Roxas menjadi presiden. Bantuan AS mengalir ke negara tersebut sebagai imbalan penempatan pangkalan AS dan beberapa keistimewaan lain. Tetapi manajemen buruk, korupsi menggila. Sebagian besar bantuan tersebut lenyap dalam jaringan korupsi, kolusi dan nepotisme. Roxas bekerja keras memanfaatkan bantuan itu, mungkin karena itulah dia wafat. Penggantinya adalah Elpidio Quirino. Dia bukan koruptor tetapi menjadi korban permainan rekannya yang koruptor. Manajemen buruk berakibat kemiskinan juga menggila dan hal tersebut adalah lahan subur komunisme. Beramai-ramai warga bergabung dengan Huk. AS segera bertindak. Bantuan ekonomi ditambah sekaligus mengirim penasehat. Ramon Magsaysay dipilih untuk menumpas komunis. Dia benahi aparat, melaksanakan proyek yang langsung menyentuh rakyat, memberi amnesti bagi pemberontak yang menyerah, dan terus menggempur bagi yang membandel. Usahanya sukses dan dia menjadi populer. Pada 1953 dia menjadi presiden. Di Birma, kerusakan akibat perang juga parah. Hasrat kemerdekaan juga merupakan masalah bagi Inggris. Walaupun para tokoh di London menilai Aung San dan aktivis kemerdekaan lainnya sebagai antek Jepang, tidaklah demikian bagi dua orang yang telah bertempur di Birma yaitu Slim dan Mountbatten. Kharisma Aung San memaksa kolonial Inggris untuk berunding menuju kemerdekaan. Jika hasrat merdeka tidak dipenuhi, Birma tidak ragu untuk berontak. Senjata cukup untuk itu dan disembunyikan. Inggris sempat berniat menghambatnya dengan menghapus status pemerintahan sendiri di bawah Inggris, hak yang dinikmati Birma sebelum perang. Ketika proses menuju kemerdekaan mengalir, U Saw –selepas dari pengasingan– mendalangi usaha pembunuhan terhadap Aung San. Singkatnya, Aung San tewas beserta beberapa rekannya akibat tembakan senapan mesin. Kematian Aung San tidak menghambat proses kemerdekaan. Inggris menunjuk seorang teman Aung San bernama Thakin Nu atau dikenal dengan nama U Nu untuk melanjutkan proses tersebut. Birma merdeka pada 17 Januari 1948 dan U Nu menjadi perdana manteri. Di Hindia Belanda, jadwal kemerdekaan semula ditetapkan pada 7 September 1945, kemudian diubah menjadi 24 Agustus. Soekarno-Hatta pergi ke Dalat menemui panglima Jepang untuk Asia Tenggara yaitu Pangeran Hisaichi Terauchi untuk membahas soal itu. Ketika mereka kembali, di Jakarta beredar “kabar angin” bahwa Jepang telah menyerah. Kaum muda menuntut supaya proklamasi kemerdekaan dilaksanakan di luar acuan Jepang, hal yang kurang disukai oleh kaum tua termasuk Soekarno-Hatta. Setelah berunding sengit –bahkan disertai penculikan terhadap kedua tokoh tersebut– akhirnya disepakati bahwa proklamasi dilaksanakan pada 17 Agustus dan susunan kata dalam proklamasi diperlunak untuk tidak membangkitkan amarah Jepang. Proklamasi kemerdekaan, yang melahirkan negara baru yaitu Republik Indonesia, pengesahan konstitusi, pemilihan presiden-wapres, membentuk KNIP (semacam MPR), pembentukan kabinet dan penetapan wilayah praktis berlangsung lancar. Yang terbilang sulit adalah menyusun militer, organisasi militer bentukan Jepang telah dibubarkan dan sebagian besar senjata masih dikuasai Jepang. Pembentukan berbagai kelompok militer menampilkan keadaan gawat: persaingan antar kelompok dan tentara tanpa senjata. Yang juga sulit adalah memperluas pengaruh. Gerakan kemerdekaan, yang lazim disebut Republik, mencoba memperluas pengaruh ke seluruh wilayah bekas Hindia Belanda. Sarana perhubungan yang langka, rezim Jepang yang masih berkuasa dan gejolak semangat kemerdekaan yang tak mau diatur menghambat usaha tersebut. Pada perkembangannya, hanya Jawa dan Sumatera yang menjadi kubu kuat Republik. Wilayah selebihnya cepat didatangi pasukan Sekutu yang mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Bahkan Kalimantan Timur, Maluku Utara dan Irian Barat telah dikuasai Sekutu sebelum perang usai. Republik mencoba bergerak cepat, kekuasaan Jepang, termasuk kepemilikan senjata, dilucuti. Ada yang cukup dengan berunding dan ada pula dengan bertempur. Hal tersebut masih berlangsung ketika pasukan Sekutu datang. Pada 29 September satuan utama Sekutu datang ke Jakarta. Pasukan tersebut terdiri dari British Commonwealth yaitu Inggris, India dan Gurkha, serta NICA (Netherlands Indies Civil Administration). NICA adalah gabungan dari Koninklijke Leger yang beranggota orang Barat dan Koninklijke Nederlands Indische Leger yang beranggota orang Indonesia pro Belanda. Pasukan yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Phillip Christison ini disebut AFNEI (Allied Force Netherlands East Indies). AFNEI adalah bagian dari SEAC, dipimpin Mountbatten. Mengingat sejak 15 Agustus wewenang di Hindia Belanda berpindah dari MacArthur kepada Mountbatten. Mountbatten hanya mendapat sekitar 30.000 orang untuk menduduki Hindia Belanda seluas sekitar 1.900.000 km2, pasukan tersebut jelas tidak cukup. Dia minta bantuan Australia –juga negara anggota British Commonwealth dan Sekutu– untuk menduduki wilayah di luar Jawa, Sumatera dan Madura, berarti mencakup Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Sunda Kecil dan Irian Barat. Australia setuju dengan syarat pasukannya tidak tergabung dalam AFNEI. Pasukan Australia dipimpin Jenderal Blamey menduduki wilayah yang dimaksud sebelum AFNEI datang. Pada awalnya kehadiran Sekutu disambut ramah oleh Republik, tetapi segera hal tersebut menjadi kemarahan ketika Sekutu mencoba memulihkan kolonial Belanda. Pertempuran tak terhindarkan lagi. Ketika British Commonwealth pergi, Republik praktis berhadapan langsung dengan NICA. Sementara itu Republik menghadap masalah intern. Gerakan tersebut merupakan campuran dahsyat sekaligus goyah dari berbagai kelompok yang terpecah belah berdasar daerah, suku, agama dan sebagainya. Tetapi secara sederhana kelak hanya ada 3 kelompok yang terkemuka yaitu nasionalis, agamis dan komunis. Ketiga kelompok tersebut telah tampil dan saling bersaing sejak sebelum merdeka. Kaum nasionalis mendominasi gerakan bahkan rezim hingga kini. Hal tersebut menampilkan rasa cemburu bagi dua kelompok lainnya. Komunis mencoba membentuk pemerintahan sendiri pada 1948 tetapi cepat ditumpas oleh gabungan nasionalis-agamis. Dan usaha kaum agamis membentuk pemerintahan sendiri pada 1949 sempat berlangsung hingga 1965. Giliran gabungan nasionalis-komunis menumpas usaha kelompok agamis. Hubungan nasionalis-komunis juga tak berlangsung lama. Pada 1965 kembali gabungan nasionalis-agamis menumpas usaha komunis untuk berkuasa. Corak perang kemerdekaan di Indonesia –lazim disebut Revolusi 1945– adalah paduan antara berunding dan bertempur. Perjanjian Linggajati (25 Maret 1947) membuahkan pengakuan Belanda secara de facto terhadap Republik yang mencakup Sumatera, Jawa dan Madura. Agresi Militer Perama (21 Juli – 4 Agustus 1947) yang berakibat Republik kehilangan wilayah yang bernilai ekonomi, Perjanjian Renville (17 Januari 1948) yang berakibat pasukan Republik harus mengosongkan kantong-kantong gerilya di wilayah yang telah direbut pasukan Belanda saat Agresi Militer Pertama. Agresi Militer Kedua (19 Desember 1948 – 6 Januari 1949) yang berakibat ibu kota Yogyakarta direbut, Soekarno-Hatta ditangkap, juga beberapa anggota kabinet ditangkap dan pasukan Belanda menambah perolehan lagi wilayah Republik. Perjanjian Roem-Roijen (Mei 1949) dan Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949) untuk menuju pelepasan bekas wilayah Hindia Belanda minus Irian Barat, Pengakuan Kedaulatan (27 Desember 1949) dan peleburan Republik Indonesia Serikat menjadi RI (17 Agustus 1950). Demikianlah, beberapa contoh keadaan Asia-Pasifik pasca Perang Pasifik. Kolonialisme runtuh dan nasionalisme tumbuh membuahkan kemerdekaan adalah mungkin warisan Perang Pasifik yang paling utama. Tetapi imperialisme belum mati. Ia bagai siluman: panjang umur hingga kiamat, mampu berubah bentuk dan dalih. Karena itulah hal tersebut perlu diwaspadai. Imperialisme adalah masalah yang belum berakhir. Bagi Jepang, agaknya menyadari bahwa konsep Kawasan Sekemakmuran Asia Timur Raya tidak dapat dicapai dengan penaklukan dan penindasan, tetapi dengan kerja sama sebagai mitra sejajar untuk mewujudkan abad manusia atau abad dunia. Bukan waktunya lagi mewujudkan abad Timur atau abad Barat. Harapan yang sama juga ditujukan kepada Barat. Bab VII REVOLUSI 1926 Peristiwa ini merupakan satu dari sekian banyak perlawanan rakyat Indonesia melawan imperialisme Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda yang hadir sejak 1596 dalam bentuk delegasi dagang di bawah pimpinan Cornelis de Houtman ke Banten. Tetapi hingga tahun 1799 bentuk kolonialisme ini tidak langsung dilaksanakan oleh pemerintah Belanda, perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang mendapat wewenang untuk bertindak sebagai negara adalah pelaksananya. Perusahaan ini dibentuk pada tahun 1602. Pada tahun 1605 Belanda mendapat wilayah taklukan pertamanya yaitu Ambon, setelah merebut dari Portugis. Kota Jayakarta menyusul direbut pada tahun 1619 dari Kerajaan Banten dan berubah nama menjadi Batavia. Dari Batavia gerak perluasan wilayah dilaksanakan di wilayah yang kini disebut Indonesia. Tentu saja gerak maju tersebut tidak selalu berlangsung mulus. Hingga sisa terakhir kekuasaan Belanda tamat di Irian Jaya pada tahun 1963, Belanda tidak sepi menghadapi perlawanan dari ujung ke ujung Nusantara. Revolusi 1926 adalah salah satu di antaranya. Perlawanan ini menurut versi resmi Belanda dilaksanakan oleh komunis, anehnya versi kolonialis ini dipertahankan sebagai versi resmi Indonesia. Hingga kini belum ada usaha untuk meneliti ulang peristiwa tersebut, padahal para aktivis revolusi tersebut adalah rakyat Indonesia dari berbagai latar belakang, bukan hanya kelompok komunis. Apalagi pusat peristiwa tersebut terdapat di Minangkabau dan Banten, dua daerah yang dikenal berpenduduk agamis. Mungkin saja ada kelompok komunis di kedua daerah tersebut, tetapi jelas hanya kelompok kecil. Kisah ini ditampilkan mengingat betapa sedikit pembahasan mengenai hal ini, akibat versi resmi tadi maka sekian lama Revolusi 1926 cenderung ditutupi. Dengan menampilkan kisah ini diharap akan muncul pembahasan yang lebih bermutu sekaligus penghargaan yang layak bagi para aktivis dan korban penumpasan revolusi tersebut Bicara tentang revolusi di Indonesia, masyarakat pada umumnya hanya mengenal Revolusi 1945 atau lazim disebut Perang Kemerdekaan 5 Tahun (1945-1950), padahal sejak imperialisme Barat hadir pada tahun 1511 telah terjadi berbagai pergolakan yang layak disebut revolusi, terlepas dari masalah melawan penguasa kolonial maupun lokal. Setelah Revolusi 1945 sesungguhnya masih ada revolusi lagi, antara lain Revolusi 1965 yang menumbangkan rezim Soekarno dan Revolusi 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto. Juga beberapa peristiwa semisal Perang Paderi (1821-1837) di Minangkabau dan Perang Jawa (1825-1830) layak digolongkan sebagai revolusi. Disadari atau tidak, bagi Belanda dan Indonesia, Revolusi 1926 menyajikan suatu hal bahwa peristiwa tersebut adalah perlawanan militer yang mana hal tersebut melawan arus dalam cara perlawanan terhadap kolonial, karena masuk abad ke-20 perlawanan militer tidak menjadi pilihan pokok Indonesia. Maka bentuk perlawanan yang masih memungkinkan adalah politik, yaitu membentuk organisasi politik (partai), pendidikan dan kesehatan antara lain Boedi Oetomo (1908), Muhammadiyyah (1912), Partai Nasional Indonesia (1927) dan masih banyak lagi. Tujuannya adalah mencerdaskan bangsa. Tentu saja hasilnya tak dapat dinikmati segera. Strategi tersebut memang untuk jangka panjang. Ini dipilih mengingat teknologi militer Barat yang dimiliki Belanda telah sukses menumpas perlawanan militer bangsa Indonesia. Pada perioda 1500-1800 tingkat kecanggihan teknologi antara Indonesia dengan Barat boleh dibilang berimbang. Kedua fihak sama-sama menggunakan kapal layar, hewan tunggang, senapan sundut, meriam sundut dan berbagai senjata tajam. Tetapi Revolusi Industri yang bermula pada pertengahan abad ke-18 di Inggris mengubah perimbangan tersebut. Akibat dari revolusi tersebut mulai terasa sejak perioda 1800 hingga kini. Untuk pertama kalinya dunia Barat sukses mengungguli dunia Timur dalam banyak bidang antara lain militer, termasuk kasus Indonesia-Belanda. Barat telah mengganti kapal layar dengan kapal mesin, senapan dan meriam tidak lagi diisi dari depan tetapi dari belakang yang memungkinkan menembak lebih cepat. Mengangkut pasukan dengan hewan tunggang mulai kurang umum dipakai, masuk abad ke-20 secara berangsur-angsur digunakan kendaraan bermesin semisal tank. Dari latar belakang tersebut di atas, dengan usaha mencerdaskan bangsa melalui pembentukan organisasi diharapkan pada suatu saat bangsa Indonesia meraih kemajuan. Hal lain yang juga mungkin kurang disadari adalah, Revolusi 1926 merupakan uji coba kedua fihak yang bersengketa untuk menghadapi revolusi mendatang yaitu Revolusi 1945. Uji coba tersebut mencakup teknologi dan strategi baru berdasar hasil Revolusi Industri yang lebih dulu dinikmati Belanda sebagaimana telah disebut di atas LATAR BELAKANG REVOLUSI Masuk abad ke-20 seluruh wilayah Nusantara, yang diistilahkan dengan Hindia Belanda (Nederlandsch Oost Indische), secara resmi telah ditaklukan oleh kolonial Belanda. Belanda telah sukses memenangkan perang kolonial terlama di Nusantara bahkan mungkin di Asia Tenggara yaitu Perang Aceh, yang bermula pada tahun 1873 yang secara resmi dinyatakan berakhir pada tahun 1904 dengan ditandai peristiwa Sultan Muhammad Daud Syah menyerah. Sesungguhnya perlawanan rakyat Aceh masih berlangsung hingga tahun 1942, bertepatan dengan serbuan pasukan Jepang pada Perang Pasifik (7 Desember 1941 – 2 Septmber 1945) yang mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda. Sekitar pertengahan abad ke-19 mulai muncul gerakan humanis di Belanda yang dipelopori antara lain oleh Conrad Theodore van Deventer (1857-1915). Gerakan ini muncul setelah ada berita-berita tentang perilaku kolonial di Hindia Belanda, tegasnya praktek penindasan. Gerakan ini menilai bahwa Belanda telah berhutang budi banyak kepada Hindia Belanda. Belanda telah mengambil banyak dari negeri jajahan, praktis tanpa memberi apa-apa. Gerakan ini menuntut perubahan bentuk hubungan yang menguntungkan sefihak tersebut menjadi hubungan yang saling menguntungkan (symbiosis mutualism). Tuntutan tersebut mendapat tanggapan pemerintah Belanda pada tahun 1901. Tahun tersebut dianggap sebagai awal dari politik balas budi, lazim disebut de etische politiek atau eereschuld. Tetapi kebijakan ini tidak mencakup pemberian kemerdekaan kepada Hindia Belanda. Butir-butir dari kebijakan ini antara lain memberi pendidikan dan kesejahteraan kepada rakyat. Lembaga pendidikan mulai dibentuk, fasilitas pengairan dan pengangkutan dibangun. Demikian pula klinik dan hospital. Kebijakan ini kelak akan menampilkan suatu level masyarakat Indonesia yang intelek, suatu lapisan masyarakat yang sesungguhnya tidak diharap ada oleh tatanan kolonial. Rezim khawatir –dan kelak terbukti– bahwa kaum intelek itu akan menyadarkan masyarakat untuk merdeka. Rasa khawatir tersebut bertambah karena perkembangan internasional. Masuk abad ke-20, bertepatan dengan rampungnya perang kolonial di Nusantara, terasa muncul gejala kebangkitan dunia Timur. Sesungguhnya kebangkitan itu muncul pada abad ke-18. Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1791) di Arabia mengobarkan gerakan revolusi yang aslinya disebut Muwahhid (Kaum Monotheis), tetapi kelak lebih dikenal dengan sebutan Wahhabi. Gerakan ini berniat memurnikan pemahaman dan pelaksanaan agama Islam yang sekian lama telah dicampuri oleh berbagai faham dan praktek yang tidak sesuai dengan aslinya. Walaupun sempat ditumpas, gerakan ini muncul kembali pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada 23 September 1932 Wahhabi sukses meraih kekuasaan dan membentuk Kerajaan Arab Saudi (al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al- Sa’udiyyah) dengan ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdul Rahman al-Sa’ud sebagai raja pertama. Dia keturunan Muhammad bin Sa’ud, kepala suku di Najad yang bekerja sama dengan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Dari Arabia, pengaruh gerakan ini menyebar kebeberapa negeri Muslim antara lain Nusantara. Gerakan Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol (1775-1864) di Minangkabau nyata adalah pengaruh dari Wahhabi, bahkan gerakan ini berbentuk revolusi yang dikenal dengan Perang Paderi. Walaupun gerakan tersebut dapat ditumpas kolonial beserta anteknya, fahamnya hidup terus dan menyebar. Di Jawa muncul organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912 yang dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Gerakan ini tidak hanya memurnikan tetapi juga memperbaharui pemahaman dan pelaksanaan agama, tetapi Muhammadiyah tidak menempuh revolusi. Fokusnya adalah pendidikan dan kesehatan. Bicara pembaharuan, tidak dapat dilepaskan dari nama Jamaluddin al-Afghaniy (1839-1897). Mengawali gerakannya di Afghanistan, dia berkelana menyebar fahamnya ke Mesir, Iran dan Turki. Dia sempat pula menetap di Eropa, di Paris dia sempat menerbitkan majalah al-Urwah al-Wutsqa yang walaupun hanya bertahan 8 tahun tetapi pengaruhnya hidup lebih lama dan menyebar lebih luas. Ada lagi kebangkitan dunia Timur yang tak kalah spektakuler atau bahkan lebih. Setelah menutup diri selama sekitar 250 tahun, Jepang dipaksa untuk membuka diri oleh kekuatan imperialis Barat. Tetangganya yaitu Cina harus membuka diri secara menyakitkan. Diawali dengan Perang Candu Pertama (1839-1841) yang berakhir dengan kekalahan Cina terhadap Inggris, secara berturut-turut Cina dikalahkan oleh kekuatan imperialis Barat yang lain yang berpuncak pada kekalahannya pada Perang Boxer (1900-1901). Rezim Manchu (1644-1911) yang bobrok dan sejak lama dibenci bangsa Cina serta keunggulan kolonial asing mengobarkan Revolusi Cina (1911-1949) yang akhirnya menampilkan Republik Rakyat Cina dan Republik Cina. Kesuksesan di Cina ingin diulangi di Jepang. Bermula dari kehadiran sekelompok kapal perang Amerika Serikat pimpinan Komodor Matthew Calbraith Perry tahun 1853, yang menghasilkan Perjanjian Shimoda (1854). Kemudian seperti beramai-ramai kekuatan imperialis Barat lain memaksa Jepang membuka diri bahkan cepat muncul gejala ingin mendapat wilayah Jepang. Peristiwa ini menimbulkan revolusi (1860) yang dirintis oleh sekelompok samurai yang akhirnya menumbangkan rezim Shogun (1192-1868). Kaum revolusioner tersebut memulihkan kekuasaan kaisar dari sekedar lambang menjadi lebih nyata. Mutsuhito nama kaisarnya, dilantik tahun 1867 dan berkuasa hingga 1912. Perioda pemerintahannya disebut Restorasi Meiji. Dengan didampingi para penasihat yang handal, kaisar membawa Jepang maju setaraf dengan Barat. Seakan tidak mau kalah, Jepang ikut bergerak memperluas wilayah taklukan. Kepulauan Kurile direbut dari Kekaisaran Rusia (1875), Kepulauan Ryukyu direbut dari Kerajaan Cina. Perang Cina-Jepang Pertama (1894-1895) menghasilkan Formosa dan Perang Rusia-Jepang (1904-1905) menghasilkan Sakhalin Selatan, Manchuria Selatan dan pengaruh di Korea. Perang Rusia-Jepang memberi akibat dahsyat bagi hubungan dunia Barat dengan dunia Timur. Setelah sekian lama mendapat banyak kekalahan, bangsa Timur dapat mengalahkan bangsa Barat. Hal ini membangkitkan dan menyebarkan rasa percaya diri bangsa Timur bahwa bangsa Barat bukan manusia unggul, tetapi hanya manusia biasa yang kadang kalah kadang menang. Perasaan demikian semakin bertambah pada Perang Pasifik, ketika dalam waktu relatif singkat (8 bulan) pasukan Jepang sukses merebut jajahan Barat di Asia-Pasifik termasuk Hindia Belanda. Ada hal yang mungkin terlupakan oleh sebagian besar manusia berkaitan dengan prestasi atau keunggulan yang diraih kedua belahan dunia tersebut bahwa jika dihitung dari masa kini, masa keunggulan Timur masih jauh lebih lama dari Barat. Ini perlu diketahui oleh orang Timur supaya tidak merasa minder atau kagum begitu saja dengan Barat. Peradaban pertama muncul di Timur sekitar tahun 5000 BC. Sejak itu seakan susul menyusul muncul peradaban berikut yang turut menyumbang kemanusiaan termasuk Barat. Setelah sekian lama mendapat pengaruh Timur, Barat bangkit sekitar tahun 1000 BC. Pada perioda 1000 BC – 500 AD prestasi Barat dengan Timur relatif seimbang. Pada perioda 500-1500 Timur kembali mengungguli Barat, Barat kembali harus belajar dari Timur untuk bangkit. Usaha ini sukses, Barat kembali bangkit yang dikenal dengan istilah Renaissance (Kebangkitan Kembali) dan tampil unggul berimbang dengan Timur hingga sekitar tahun 1800. Kemudian sejak 1800 Barat untuk pertama kalinya mengungguli Timur dalam banyak hal. Mengapa Barat dapat mengungguli Timur? Ini perlu juga diketahui sebagai pelajaran bagi Timur. Dan pelajaran tersebut agaknya telah disimak dengan baik. Pada pertengahan abad ke-18 di Eropa muncul gerakan kebangkitan berikut yang dikenal dengan Aufklarung (Pencerahan). Peristiwa ini ditandai dengan gabungan tiga peristiwa yang relatif dekat jarak waktunya dan saling berkaitan yaitu: Revolusi Industri, yang sering dikaitkan dengan penemuan mesin uap oleh James Watt tahun 1769. Mengenai akibatnya telah dijelaskan di atas. Revolusi Amerika (1775-1783), usaha rakyat di koloni Amerika Utara lepas dari Kerajaan Inggris dan membentuk Republik Amerika Serikat. Kelak negara ini menjadi super power sejak usai Perang Dunia II (1 September 1939 – 2 September 1945). Revolusi Perancis 14 Juli 1789, usaha rakyat Perancis menumbangkan sistem monarki menjadi republik. Kelak negara ini menjadi imperialis nomor 2 sejak abad ke-19. Dengan perihal tersebut, kebangkitan Barat mengungguli Timur tidak dapat dibendung. Adapun kebangkitan Timur telah dijelaskan. Demikian sekilas penjelasan latar belakang yang mungkin dapat membantu memahami masalah yang kita bicarakan. Kenangan indah masa lalu dapat dimanfaatkan atau menjadi ilham untuk bangkit meraih kembali prestasi tersebut, walaupun bentuk atau suasananya belum tentu persis sama. Memang, sejauh ini pengalaman masih menjadi guru terbaik. Kembali ke Indonesia, dampak kemenangan Jepang terhadap Rusia juga masuk ke Indonesia. Versi sejarah resmi Indonesia menjelaskan bahwa organisasi pertama yang dibentuk oleh bangsa Indonesia adalah Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, pembentuknya antara lain Soetomo dan Wahidin Soedirohoesodo. Peristiwa ini cenderung kuat dikaitkan dengan peristiwa kemenangan tersebut. Tanggal tersebut dikenang sebagai “Kebangkitan Nasional”. Versi lain menjelaskan bahwa pada tahun 1901 dibentuk organisasi Jamiyyatul Khair yang masih ada hingga kini. Kelak beberapa mantan anggotanya membentuk atau menjadi anggota organisasi lain semisal Muhammadiyyah, PSII dan lain-lain. Organisasi ini berfokus pada pendidikan. Mungkin pembentukan Boedi Oetomo diilhami juga oleh organisasi tersebut. Agaknya perlu tinjauan ulang mengenai kapan awal terjadi Kebangkitan Nasional. Jamiyyatul Khair lebih luas keanggotaannya dibanding dengan Boedi Oetomo. Boedi Oetomo membatasi keanggotaan pada suku Jawa dan Madura, dan ningrat pula. Ada lagi versi resmi sejarah Indonesia yang menyatakan bahwa Sarekat Dagang Islam (kelak menjadi PSII setelah berulang kali ganti nama) dibentuk pada tahun 1911, versi lain menyatakan bahwa organisasi tersebut telah dibentuk tahun 1905 oleh H. Samanhoedi (1868-1956). Inipun perlu penelitian ulang. Waktu berjalan terus, berbagai organisasi dibentuk bagai cendawan tumbuh dimusim hujan. Indische Partij (1911), ISDV (kelak menjadi PKI) (1914), Nahdhatul ‘Ulama (1926), Jong Islamieten Bond, Jong Java, Jong Sumatra dan sebagainya. Untuk membendung gejala ini rasanya sudah sulit. Karena desakan Sarekat Islam (dulu SDI) dan Indische Partij, Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum (1916-21) setuju membentuk parlemen Hindia Belanda yang disebut Volksraad (Dewan Rakyat) pada November 1918. Ini juga berkaitan dengan suasana internasional yaitu Perang Dunia I (1914-1918). Presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat menampilkan konsep self right determination (hak menentukan nasib sendiri). Ini sedikit banyak memberi “angin surga” kepada rakyat jajahan untuk memperjuangkan haknya, mengingat konsep itu berasal dari seorang presiden dari negara besar dan berkebangsaan Barat. Dengan demikian rakyat jajahan menilai bahwa ada juga orang Barat yang tidak setuju dengan imperialisme. Konsep ini tentu membuat rezim kolonial merasa kurang nyaman. Terkesan bahwa perjuangan menuntut hak seakan mendapat restu dari orang Barat juga. Karena itulah tujuan membentuk Volksraad agaknya bersifat taktis, yaitu mengendalikan suara lantang partai-partai menuntut lebih banyak hak JALAN MENUJU REVOLUSI Telah disebutkan bahwa versi resmi menyebut bahwa Revolusi 1926 adalah pemberontakan komunis, karena itu perlu dijelaskan kehadiran komunisme di Indonesia dan kaitan dengan revolusi tersebut. Faham komunis masuk ke Indonesia oleh HFJ Sneevliet (1883-1942) tahun 1913, konon pengikut pertamanya adalah Soekarno, Hatta dan Kartosoewirjo. Soekarno dan Hatta tentu banyak yang tahu, adapun Kartosoewirjo adalah tokoh gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia. Mungkin berita tersebut benar, karena tidak ada larangan belajar suatu faham. Sebagaimana di negeri-negeri lain, yang tertarik pada faham komunis umumnya adalah kaum jelata karena memang faham ini konon untuk membela kaum jelata dan menjadikan kaum elit sebagai musuh. Adapun basis pendukungnya adalah buruh dan tani. Di Indonesia, jelas faham komunis mendapat lahan yang subur. Tatanan kolonial menjadikan bangsa Indonesia sengsara di negeri sendiri, selain miskin juga tertindas. Sneevliet membentuk organisasi bernama ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) tahun 1914. Tetapi untuk merekrut anggota sebanyak mungkin ke dalam suatu organisasi ternyata relatif tidak semudah yang diperkirakan. Walaupun minimal secara teori memihak jelata, tetapi bagaimanapun juga komunisme masih terkesan asing karena berasal dari Barat, tepatnya oleh dua orang Jerman yaitu Karl Marx dan Friedrich Engels. Ini mungkin sulit dicerna oleh bangsa Indonesia yang berbangsa dan bernorma Timur, minimal pada saat itu. Bangsa Indonesia lebih mudah tertarik oleh faham atau organisasi bercorak agamis dan untuk itu telah tersedia wadahnya pada saat itu semisal Sarekat Islam. Sarekat Islam pernah menjadi organisasi terbesar di Hindia Belanda, konon jumlah anggotanya pernah mencapai 2.500.000 orang, jumlah yang besar menurut ukuran Hindia Belanda yang waktu itu berpenduduk sekitar 60.000.000 jiwa. Organisasi tersebut telah memiliki beberapa cabang di luar Jawa. Corak agamis dan anti kolonial jelas menjadi daya tarik kuat, dan di bawah pimpinan sosok kharismatis H. ‘Umar Said Tjokroaminoto (1882-1934) organisasi SI kian berbobot. Tokoh ini sudah pernah berurusan dengan aparat hukum kolonial karena faham anti kolonial yang jelas. Pada masa itu berurusan dengan aparat dalam arti melawan penguasa dapat menaikkan martabat dalam pandangan rakyat. Tentu saja juga memiliki resiko besar, termasuk nyawa taruhannya. Dengan pertimbangan tersebut, kaum komunis menempuh cara licik. Mereka tidak merasa perlu bersusah payah meraih pengikut dari warga yang belum menjadi anggota suatu partai, tetapi mencoba menyusup masuk Sarekat Islam dan menggembosinya. Dan hasilnya memuaskan, banyak anggota SI yang terpengaruh. Dengan bantuan Semaoen –tokoh SI yang kelak menjadi tokoh senior PKI– organisasi SI pecah menjadi SI Putih dan SI Merah sebagai akibat pembelotan para anggotanya. Tjokroaminoto bersikap tegas dengan kebijakan larangan beranggota ganda. Pada tahun 1920 ISDV berganti nama menjadi Perserikatan Komunis Hindia, dan tahun 1924 berganti nama lagi menjadi Partai Komunis Indonesia. Selain Semaoen, ada 2 tokoh SI bergabung dengan PKI yang juga menonjol yaitu Alimin Prawirodirdjo (1889-1964) dan Moeso (1897-1948). Bagi SI, penggembosan tersebut merupakan pukulan berat. Anggotanya berkurang drastis. Namun penggembosan itu juga mendapat tantangan dari intern PKI sendiri. Ibrahim Tan Malaka (1897-1949), aktivis kemerdekaan asal Minangkabau adalah penentang penggembosan. Dia pernah belajar di Eropa sekaligus aktif dalam gerakan kemerdekaan. Kritik pada pemerintah Belanda ketika berada di Belanda menyebabkan dia berurusan dengan aparat. Proses hukum yang dijalani menaikkan martabatnya. Tan Malaka pernah dicalonkan sebagai anggota parlemen oleh Partai Komunis Belanda, tidak jelas apakah terlaksana. Pada awalnya dia terkesan oleh kemajuan teknologi di negara kapitalis Amerika Serikat dan Jerman. Tetapi sukses Revolusi Bolshevik yang membawa kaum komunis berkuasa di Rusia berakibat dia condong pada komunisme. Tetapi juga perlu diketahui, diantara sekian banyak tokoh PKI, Tan Malaka yang paling moderat. Dia tidak menerima begitu saja semua doktrin komunis. Praktek komunisme harus disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, jangan dibiasakan menjiplak begitu saja pengaruh dari luar. Tan Malaka misalnya tidak setuju dengan faham atheis, doktrin “agama adalah candu” tidak masuk akal baginya. Tan Malaka pernah menentang pendapat Komintern (Komunis Internasional) yang menyatakan bahwa gerakan Pan Islam adalah bentuk baru imperialisme. Tan Malaka menegaskan bahwa Pan Islam juga anti imperialisme. Tan Malaka mengingatkan komunis untuk mengakui fakta bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim yang jelas memiliki potensi melawan imperialisme. Maka, yang harus dilaksanakan komunis adalah merangkul kekuatan agamis, bukan memusuhi. Jelas, bahwa menggembosi SI dapat melemahkan perjuangan anti imperialisme. Usulannya gagal diterima. Kegagalan lainnya adalah mencegah PKI ikut perlawanan militer yang kita kenal dengan Revolusi 1926 karena dia menilai PKI masih lemah Tragisnya, ketika revolusi tersebut gagal Tan Malaka dipersalahkan oleh PKI sebagai penyebab kegagalan. Merasa tidak cocok dengan PKI dia memilih keluar dan membentuk PARI (Partai Republik Indonesia) (1927) dan pada zaman Revolusi 1945 membentuk Partai Murba. Kelak Partai Murba menjadi lawan tangguh PKI. Setelah mendapat pengikut dari penggembosan SI, PKI semakin giat menambah pengikut dan melaksanakan program. Berbagai pemogokan dan kerusuhan terjadi. PKI meraih banyak pengikut dari pegawai kereta api, mereka membentuk organisasi bawahan (onderbouw) khusus untuk pegawai kereta api. Organisasi bawahan lain juga dibentuk sesuai profesi semisal buruh perkebunan, tani dan sebagainya. Rezim kolonial menyaksikan ini dengan cemas, tindakan tegas dilaksanakan. Banyak orarng-orang komunis yang ditangkap, rapat dan demonstrasi dibubarkan serta berbagai dokumen di sita atau dimusnahkan. Namun kegiatan PKI belum berhenti dan cenderung semakin garang. Aktivis kemerdekaan lain juga terkena dampaknya. Keberanian tersebut relatif cepat mendapat simpati rakyat yang memang muak dengan rezim kolonial. Mereka kurang peduli dengan latar belakang PKI sesungguhnya, yang dibutuhkan rakyat adalah pembangkit keberanian melawan. Sesungguhnya bukan PKI yang pertama dituduh terlibat pemberontakan, SI pernah dituduh terlibat hal itu dan beberapa tokohnya sempat ditangkap. Mungkin PKI berusaha meniru SI untuk mendapat simpati sebanyak mungkin. Di antara yang simpati adalah kelompok agamis dan inilah yang diharapkan PKI ketimbang kelompok nasionalis. Para ulama memiliki pengaruh yang tak dapat diremehkan di tengah masyarakat yang masih menempatkan agama atau perkara ruhani sebagai hal sangat penting dalam hidup dan mati. Supaya makin berbobot di tengah masyarakat bercorak demikian, sadar tidak sadar PKI menempuh cara yang diusulkan Tan Malaka, bahwa kelompok agamis memiliki potensi besar melawan kolonial sehingga perlu dirangkul. Maka, para propagandis menyebar ke berbagai pelosok mendekati para ulama. Dengan lihai mereka menjelaskan persamaan nilai-nilai agamis dengan komunis, antara lain faham sosialisnya. Para propagandis menjelaskan bahwa agamis dan komunis sama-sama memihak kaum jelata, hanya istilahnya yang berbeda. Komunis memiliki istilah proletar dan agamis memiliki istilah dhuafa. Bahkan di Banten, PKI menampilkan gaya yang aneh, fanatik dengan agama. Sikap aneh tersebut juga ditampilkan di wilayah Surakarta oleh H. Misbakh, dia menyebarkan konsep “Komunisme Islam” dan sempat menggerakkan kerusuhan. Minangkabau, daerah agamis lainnya adalah daerah yang ingin digarap. Perkenalannya dengan imperialis Barat mungkin terjadi sejak awal abad ke-16, yaitu Portugis. Beberapa waktu setelah Kerajaan Portugal menaklukan Kesultanan Malaka (1511), beberapa pelaut Portugis kemungkinan besar telah menjelajahi pesisir barat Sumatra. Secara berangsur Kesultanan Aceh menaklukan Sumatra, di pesisir barat kekuasaan Aceh menjangkau kota Silebar yang sekaligus merupakan batas dengan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Seiring dengan langkah Aceh, agama Islam diperkenalkan dengan penduduk setempat. Pada awal abad ke-17 orang Belanda hadir dan berdagang di pesisir barat dengan seizin Aceh. Tentu saja tidak lupa menyelidiki kemungkinan mendapat pijakan kolonial di wilayah tersebut. Keinginan tersebut semakin mendapat peluang ketika tokoh kuat Aceh, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (1607-1636) wafat. Di bawah pimpinan beberapa sultan yang lemah secara berangsur pengaruh Aceh berkurang. Pada tahun 1660 Belanda mendapat tempat berpijak di Padang. Tanpa membuang waktu gerak mendapat wilayah dilaksanakan. Selain menempuh cara mendekati rakyat setempat melalui para tokoh, Belanda juga mencoba berhubungan dengan Kerajaan Minangkabau di pedalaman. Pendekatan kepada raja adalah mungkin sebagai antisipasi jika rakyat menolak dikendalikan langsung oleh Belanda. Tetapi masuk abad ke-16 kerajaan tersebut mengalami masa surut setelah prestasi puncak kejayaan diraih pada abad 14-15. Sisi barat dan timur wilayahnya dikuasai Aceh. Usaha mendekati warga dan raja relatif sama sulitnya. Pengaruh Aceh masih bertahan mungkin hingga akhir Perang Paderi, ditambah kesulitan akibat sikap rakyat yang tidak bersedia begitu saja menerima kehendak asing. Walaupun rakyat masih terkenang dengan masa jaya Kerajaan Minangkabau, bukan berarti mereka dapat diperintah dengan mutlak. Raja hanya dianggap sebagai lambang dan kekuasaan sesungguhnya tersebar pada tokoh semacam datuk atau penghulu. Juga menempuh pedalaman terbilang sulit. Pada tahun 1665 berkobar perlawanan pertama rakyat Minangkabau terhadap Belanda, dan sejak itu perlawanan berikut silih berganti muncul hingga tahun 1950, usai Revolusi 1945. Masuk abad ke-20 di Minangkabau juga muncul perlawanan politik sebagai pengganti perlawanan militer, berbagai organisasi politik dan sosial muncul. Semangat perlawanan yang berkesinambungan turun-temurun demikian adalah modal berharga bagi PKI. Untuk itu PKI bersedia menyesuaikan fahamnya dengan norma setempat. Semangat perlawanan turun temurun juga dimiliki Banten. Daerah ini semula adalah kota milik Kerajaan Pajajaran dengan pusat di Pakuan, kini masuk Kabupaten Bogor. Pada tahun 1526 wilayah utara Jawa Barat dari Cirebon hingga Banten direbut Kesultanan Demak untuk mencegah Portugis membangun pangkalan. Ketika Demak dilanda kerusuhan Banten melepaskan diri tahun 1552 dengan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama. Kerajaan ini mengalami kejayaan hingga masa pemerintahan Sultan ‘Abdul Fatah Ageng Tirtayasa (1651-1682). Banten mengalami masa surut ketika Sultan ‘Abdul Qahhar berkuasa. Sultan ini dianggap antek kolonial, rela melawan ayahnya demi persahabatan dengan kolonial Belanda. Awal perlawanan terhadap Belanda tidak terjadi pada periode Sultan Ageng, tetapi sejak awal kehadiran Belanda di Banten sekaligus di Nusantara. Sebagai akibat perilaku tak sopan rombongan Cornelis de Houtman tersebut, konflik tak terhindarkan. Sejak itu citra buruk diberikan kepada Belanda dan tak mudah hilang. Perebutan kota Jayakarta dari Banten dan konflik berikutnya makin menambah citra tersebut. Belanda terlibat konflik di Banten juga hingga tahun 1950. Penulis membahas kedua daerah tersebut di atas karena menjadi biang Revolusi 1926. Dan dari penjelasan itu dapat sulit dinilai bahwa peristiwa tersebut murni perlawanan komunis mengingat jumlah anggota komunis yang terlibat relatif sedikit dibanding anggota masyarakat lain yang juga terlibat. Tanpa propaganda komunis pun, perlawanan tetap ada karena semangat sudah ada. PERSIAPAN REVOLUSI Di sela-sela tindakan tegas kolonial, persiapan aktivis anti kolonial melaksanakan revolusi berlangsung terus. Tak dapat disangkal bahwa penindasan rezim mengurangi kekuatan aktivis. Penangkapan aktivis dan penyitaan dokumen berakibat gerakan revolusioner terkesan canggung kalau tidak dapat dikatakan lumpuh –hal yang dikhawatirkan oleh Tan Malaka. Gerakan belum matang. Tetapi untuk berhenti setelah persiapan berlangsung sekian lama juga mustahil. Sebagai akibat dari propaganda anti kolonial, rakyat bangkit semangatnya dan tak dapat diredakan begitu saja. Kecewa berat nantinya dan akan sulit di lain waktu untuk diajak bangkit. Maka hanya ada satu pilihan: maju terus! Perkara kalah menang itu soal nanti, yang penting berusaha. Selain penangkapan aktivis dan penyitaan dokumen, penyediaan senjata adalah masalah yang tak ringan. Senjata tajam memang berlimpah tetapi senjata api lebih penting, dan justru itulah yang langka. Para aktivis terpaksa membuat sendiri berdasar model standard tapi hasilnya tidak sebagus aslinya. Yang mungkin relatif mudah adalah penetapan sasaran, dapat berbentuk orang, barang maupun bangunan. Sasaran orang adalah para tokoh kolonial beserta antek, sasaran barang adalah yang dapat dirampas untuk perjuangan atau terpaksa dimusnahkan jika tidak dapat dibawa. Senjata api adalah sasaran pokok. Adapun sasaran bangunan jelas lebih beragam, banyak pilihan. Gudang senjata, jembatan, jalur rel, jalur listrik dan telefon dan sebagainya. Pemilihan pangkalan gerakan juga relatif mudah. Awal pemberontakan se Nusantara adalah di Batavia. Dari Batavia akan menjalar ke Banten. Di Minangkabau pilih di Silungkang, kota kecil yang dekat dengan pertambangan batu bara Sawahlunto. Semula sempat memilih Padang dan/atau Sawahlunto. Tetapi garnisun kolonial kuat pada kedua tempat tersebut. Padang adalah ibu kota Keresidenan Sumatra Barat dan Sawahlunto memiliki nilai strategis karena pertambangannya. Buruh tambang yang relatif banyak tentu potensi untuk dipengaruhi dan agaknya Belanda tahu hal tersebut. Belanda tidak ingin ambil resiko membiarkan garnisun tidak diperkuat. Mengenai daerah-daerah lain persiapan revolusi tidak matang dan secara menyeluruh memang tidak matang. Kaum revolusioner hanya mengandalkan Jawa dan Sumatra. Menggelorakan semangat revolusi seantero Hindia Belanda memang perlu waktu lama berdasar keadaan pada saat itu REVOLUSI BERKOBAR Revolusi dimulai pada 12 November 1926 di Batavia, Banten dan Jawa Barat. Serentak para aktivis menyerbu tempat-tempat yang ditargetkan dalam rencana. Aparat kolonial –karena sempat menyusup jaringan aktivis– agaknya hanya sedikit kaget dengan gerakan tersebut. Beberapa tempat sempat direbut atau dirusak aktivis dan beberapa aparat kolonial sempat dibunuh. Pemerintah segera bertindak dengan mengirim tentara dan polisi. Veldpolitie dan Marechausse yang terkenal kejam menjadi pelopor penumpasan. Di Batavia, perlawanan dapat ditumpas pada tanggal berikutnya. Hal ini tidak mengherankan. Batavia adalah ibu kota Hindia Belanda, tentu jumlah aparatnya paling banyak. Di daerah, perlawanan memang berlangsung tidak dalam hitungan hari. Pasukan kolonial mendapat perlawanan lebih berat dari pada di Batavia. Usaha sabotase berbagai sarana relatif mudah. Gerak maju tentara kolonial banyak terhambat akibat sarana perhubungan yang rusak, demikian juga hubungan via kawat. Begitu tiba di suatu tempat, pasukan kolonial banyak menemukan sarana yang rusak berat atau lenyap dijarah. Tetapi mengingat persenjataan aktivis kurang canggih atau kurang lengkap, mereka dapat didesak dan dibubarkan. Sarana perhubungan dengan cepat diperbaiki dan dipakai. Dengan kendaraan bermesin pasukan kolonial tiba di sasaran dengan kecepatan di luar dugaan aktivis. Ada lagi satu hal yang tak terfikirkan, yaitu perang gerilya. Perang model tersebut relatif sulit cepat diakhiri dan cocok untuk fihak yang serba kurang. Fihak yang kuat dapat terkuras secara berangsur. Cara tersebut tidak dipilih mungkin karena sangat bersemangat maka para aktivis memilih perang frontal, berakibat banyak korban yang tidak perlu. Dengan penuh percaya diri, pemerintah menumpas perlawanan. Di Jawa, perlawanan dapat ditumpas pada bulan Desember 1926. Tetapi di Sumatra justru muncul perlawanan pada 1 Januari 1927. Perlawanan lebih berat maka perlu penumpasan lebih berat pula. Pemerintah menggunakan segala kekejaman yang diperlukan atau lebih untuk menumpasnya. Lagi-lagi Marechausse mempeloporinya. Korban yang ada bukan hanya para aktivis, tetapi juga warga yang tidak ada hubungan sama sekali. Perlawanan dapat ditumpas pada 4 Januari. Aparat menangkap sekitar 13.000 orang. Proses hukum menghasilkan 16 orang dihukum mati, sekitar 4500 orang masuk penjara dan sekitar 1308 orang dikirim ke kamp konsentrasi mengerikan di Boven Digoel (Digul Atas), Irian. Tempat ini khusus dibangun untuk para aktivis Revolusi 1926 dan aktivis lain. Ternyata kolonial Belanda lebih dulu membangun kamp konsentrasi dibanding Nazi Jerman. Tempat ini sarang penyakit, binatang buas dan dihuni oleh pribumi yang masih kanibal. Peluang lolos mungkin hanya satu persen, banyak yang mati di kamp tersebut. Ketika Perang Pasifik, para tawanan yang tersisa dibawa ke Australia. Ketika Revolusi 1945, ada yang menetap di Australia dan ada yang sukses kembali ke Indonesia. Hatta, adalah di antara orang yang selamat. Dia tidak ada hubungan dengan Revolusi 1926. Hatta ditawan di Boven Digoel pada Februari 1934 karena perlawanan yang terpisah dengan Revolusi 1926. Revolusi 1926 terjadi pada masa Gubernur Jenderal Andries CD de Graeff (1926-1931). PENUTUP Revolusi 1926 memberi dampak besar bagi Hindia Belanda. Pemerintah makin memperketat pengawasan terhadap aktivis anti kolonial. Para aktivis harus menata lagi dari awal, membuat keadaan yang nyaman untuk gerakan. Sikap relatif lunak terpaksa ditempuh beberapa waktu untuk menenteramkan keadaan, tetapi relatif kurang sukses. Dengan hak khusus yang disebut exorbitant, pemerintah Hindia Belanda boleh mengambil segala sikap yang perlu untuk menghadapi keadaan yang dianggap gawat semisal menangkap orang yang dicurigai. Hak ini menghasilkan banyak korban para aktivis antara lain Soekarno, Hatta dan Syahrir (kelak perdana menteri pertama Republik Indonesia). Kolonial Belanda bertekad mempertahankan kekuasaan di wilayah yang kini disebut Indonesia. “Kami telah berkuasa sekitar 300 tahun dan akan berkuasa 300 tahun lagi,” demikian komentar seorang tokoh kolonial. Keinginan tersebut tidak tercapai, tahun 1942 Belanda harus melepas Indonesia kepada Jepang. Usaha kembali tahun 1945 untuk berkuasa mengalami kegagalan setelah melalui konflik berdarah 1945-1950. Kekhawatiran akan sengsara jika Indonesia merdeka tidak terbukti. Tanpa Indonesia, Belanda juga bisa makmur. Namun kenangan indah masa kolonial agaknya tetap sulit dihapus. Bab VIII SEKILAS SEJARAH BANTEN Jika disebut nama “Banten” orang cenderung mengenalnya sebagai kawasan industri besar di Cilegon dengan PT Krakatau Steel sebagai perintisnya. Ini tidak salah, karena memang industrialisasi modern di Banten diawali oleh pembangunan tersebut yang waktu itu bernama Pabrik Besi Baja Dwikora. Nama Dwikora mengacu pada proyek “perang” yang dilaksanakan rezim Soekarno pada tahun 1964-1966 terhadap imperialis Barat –dalam hal ini Persemakmuran Inggris– yang masih bercokol di wilayah yang kini disebut Malaysia dan Brunei. Pabrik tersebut dibangun pada perioda tersebut yang dikenal juga dengan istilah Konfrontasi Malaysia. Pembangunan tersebut sempat terhenti akibat Revolusi 1965, yaitu pemberontakan PKI 1965 yang menumbangkan rezim Soekarno dan menampilkan rezim Soeharto. Masuk tahun 1970-an usaha membangun kawasan industri tersebut kembali dilanjutkan dengan bantuan Jerman Barat, menggantikan peran Uni Soviet. Pembangunan industri berat tersebut seakan membuka atau membangkitkan wilayah Banten dari keterbelakangan yang bahkan hingga kini masih setia melekat dengan citra Banten. Keterbelakangan yang merupakan warisan konflik yang panjang, melelahkan, bahkan berdarah-darah, dari perioda kolonial sejak abad ke-17. Riwayat itulah yang sedikit diketahui orang, mereka hanya mengetahui bahwa Banten adalah daerah terbelakang, minus, kurang menarik atau mungkin kurang dikenal tanpa tahu sebab musababnya. Akibat lanjutnya adalah sikap meremehkan daerah tersebut, padahal keterbelakangan tersebut adalah harga pengorbanan yang harus dibayar karena kegigihan Banten melawan kolonial. Layak disayangkan, bahwa sikap tersebut juga menjangkiti para penyelenggara pemerintahan selama bertahun-tahun. Sadar tidak sadar mereka menilai Banten adalah “pantat” pulau Jawa dan memperlakukan daerah tersebut sebagai hal yang kurang perlu dipedulikan, walaupun usaha untuk membangkitkan kepedulian terhadap wilayah tersebut dengan cara menjadi provinsi tersendiri telah diusahakan sejak 1953. Bertahun-tahun Banten diperlakukan sebagai wilayah “taklukan” provinsi Jawa Barat. Revolusi 1998 yang sukses menumbangkan rezim diktator Soeharto menampilkan berbagai perubahan yang tak pernah terfikirkan sebelumnya. Berbagai aspirasi yang sekian lama terpendam, tertindas atau bahkan tertumpas keluar bagai letusan gunung. Di antara sekian banyak aspirasi tersebut antara lain adalah hasrat Banten untuk menjadi provinsi tersendiri. Hasrat tersebut tercapai pada bulan Oktober 2000. Pembentukan provinsi tersebut tak diragukan lagi selain disambut dengan gembira juga menampilkan berbagai masalah yang selama ini belum pernah ada, antara lain bahwa cepat atau lambat Banten harus mandiri sebagai provinsi. Kemandirian tersebut memerlukan sumber daya alam yang cukup dan manusia yang bermutu Mengenai sumber daya alam agaknya bukan masalah. Tetapi potensi manusia jelas perlu pembenahan, penyebabnya yaitu tadi: keterbelakangan. Rezim terdahulu agaknya kurang bijaksana melaksanakan pembangunan di Banten. Pembangunan terfokus di utara, di selatan sedemikian jauh tertinggal. Keduanya memiliki sejumlah masalah walaupun coraknya lain. Di utara terjadi pertambahan penduduk akibat daya tarik pembangunan yang berbuah masalah sosial, semisal kriminalitas dan lunturnya nilai-nilai yang dianut masyarakat serta kerusakan lingkungan. Adapun di selatan, masih ada beberapa tempat yang memiliki sarana transportasi dan komunikasi yang buruk, jaringan penerangan yang belum menjamah pedalaman yang berakibat warga di situ kurang terbuka terhadap orang luar. Masih ada yang menilai bahwa kehadiran orang luar berarti kehadiran pengaruh luar yang dikhawatirkan akan mengusik nilai-nilai yang dianut masyarakat. Untuk tercapai keseimbangan antara utara dengan selatan serta antara tuntutan pembangunan menuju kemajuan dengan tuntutan pelestarian alam dan norma perlu suatu format pembangunan yang mengacu pada apa yang dibutuhkan dan apa yang dianut oleh masyarakat serta sejarah yang membentuk keadaan masyarakat sedemikian rupa. Tulisan ini mencoba membahas –walaupun mungkin terkesan kurang lengkap– mengenai sejarah Banten, mengingat kita dapat mengambil pelajaran untuk masa kini dan nanti. Apa yang ada di Banten tidak terlepas dari proses sejarah yang telah dilalui. Sejarah bukan hanya untuk dihafal tetapi untuk direnungkan apa yang boleh terulang dan apa yang tak boleh terulang. ASAL MUASAL Sebagaimana halnya dengan bagian lain Jawa Barat, suku yang terbilang asli bemukim di situ adalah Sunda. Bersama dengan beberapa suku lain di Nusantara, penduduk di Jawa Barat menerima peradaban dari luar semisal Cina, India, Arab, Portugis dan Belanda. Diperkirakan peradaban hasil pengaruh asing tersebut muncul pertama kali di Jawa Barat berasal dari sekitar awal Masehi. Peradaban awal tersebut didominasi pengaruh dari India. Sekitar abad ke-5 muncul pemerintahan awal yang dikenal dengan Tarumanegara, tempatnya kemungkinan besar mencakup wilayah yang kini disebut “Jabotabek” berdasar temuan purbakala. Negara tersebut sebagian besar masih misteri riwayatnya mengingat sedemikian langka bukti tertulisnya. Di Banten, ditemukan bekas peninggalan purbakala yang kemungkinan besar berupa biara, yaitu tempat mukim atau ritual umat tertentu. Untuk kasus di Nusantara, peninggalan awal berupa biara menunjukkan bahwa tempat tersebut adalah warisan Hindu dan Budha, agama dari India. Dengan demikian Banten diduga berat telah mendapat pengaruh asing sejak awal Masehi. Tetapi sama halnya dengan wilayah lain di Jawa Barat, sejarah awal Banten masih misteri. Secara samar diketahui bahwa Banten sejak sekitar abad ke-14 berangsur-angsur menjadi bagian dari negara Sunda berikutnya yaitu Pajajaran, negara yang berpusat di Bogor dan sekitarnya. Ketika itu beberapa titik di pesisir utara Jawa Barat menjadi tempat singgah bangsa asing terutama Cina. Ketika itu Banten dan Sunda Kelapa –kelak bernama Jakarta– masih berupa desa nelayan. Masuk abad ke-16 terjadilah peristiwa yang mempengaruhi riwayat Banten. Di tingkat Nusantara –bahkan Asia Tenggara– Kerajaan Majapahit masuk perioda keruntuhan setelah melewati perioda jaya pada abad 14-15. Di bekas wilayah kuasanya tampil berbagai negara-negara baru antara lain Demak, Goa, Aceh, Ternate dan Tidore. Sebagian besar Jawa Barat mampu bertahan terhadap gerak maju kuasa Majapahit tetapi pada saat relatif bersamaan Pajajaran juga menuju proses keruntuhan. Keadaan suram untuk Asia Tenggara diperparah oleh kedatangan bangsa asing yang lainnya, yaitu bangsa Portugis. Bangsa tersebut bukanlah termasuk orang Timur tetapi orang Barat, yaitu benua Eropa. Mengenai bangsa Barat, Asia Tenggara mengenal sekilas dari perjalanan seorang musafir Italia yaitu Marco Polo pada abad ke-13. Dampak dari kehadirannya boleh dibilang tak ada, rombongan Marco Polo tidak memilih bermukim secara tetap. Tetapi bangsa Portugis, kemudian disusul dengan Spanyol, Inggris dan Belanda datang bukan sekadar untuk bermukim secara permanen tetapi juga menaklukan secara permanen, yang lazim disebut menjajah, imperialisme dan kolonialisme. Hal tersebut merupakan hal baru bagi Asia Tenggara saat itu. Hingga abad ke-16 dunia Barat masih sebatas Eropa, adapun benua Amerika dan Australia masih dinilai misteri, walau beberapa pelaut Timur telah menjangkaunya. Kehadiran beberapa pelaut Timur tidaklah berakibat sedahsyat kehadiran pelaut Barat di Amerika yang diawali dengan Christophorus Colombus pada 1492. Sejak abad ke-16 terjadi proses pembaratan kedua benua tersebut, sering dengan pertumpahan darah. Akibatnya dahsyat, pribumi menjadi minoritas karena ada program pemusnahan bagi yang cenderung menolak keunggulan Barat. Pembaratan benua Amerika dan Australia dipermudah oleh tingkat peradaban pribumi yang umumnya masih primitif serta berjumlah sedikit jika diukur dengan luas kedua benua tersebut. Memang ada peradaban canggih pribumi di bagian tengah dan selatan Amerika, tetapi secara militer kurang unggul dibanding Eropa. Usaha pembaratan dunia Timur –yang hingga kini mencakup Asia, Afrika dan sebagian mengatakan kawasan Pasifik– gagal memusnahkan pribumi. Adapun pembaratan melalui pengaruh norma memerlukan waktu lama untuk dapat disaksikan hasilnya saat ini. Mungkin karena berpenduduk padat dan berperadaban canggih, termasuk dalam hal militer. Hasrat imperialisme Barat sesungguhnya tidak berawal dari abad ke-16 tetapi jauh sejak sebelum Masehi. Yang pertama mengalaminya adalah Asia Barat dan Afrika Utara. Abad ke-16 mungkin kebangkitan imperialisme yang ketiga kalinya, yang merupakan bagian dari kebangkitan Barat dalam segala bidang yang lazim disebut Renaissance. Kemajuan di bidang teknologi terutama militer membantu hasrat penaklukan. Dan yang menjadi korban bukan hanya Asia Barat dan Afrika Utara tetapi mencakup nyaris seantero dunia termasuk Asia Tenggara. Barat bangkit setelah mengalami keterputusan peradaban sekitar 1000 tahun, melalui proses belajar yang lama dari Timur. Saat itu Timur mengalami perioda kemajuan, praktis tanpa putus, sejak awal peradaban manusia yang memang muncul di Timur sekitar 5000 sebelum Masehi, dan berlangsung hingga sekitar tahun 1800. Sejak awal abad ke-19 barulah Barat untuk pertama kali mengungguli Timur. Imperialisme Barat hadir pada awalnya tidak langsung berbentuk penaklukan tetapi berbentuk kunjungan atau lazim disebut goodwill mission oleh serombongan perantau Portugis. Yang pertama dikunjungi adalah Kerajaan Malaka (1400-1511) di Semenanjung Malaya pada tahun 1509. Waktunya tepat. Kesultanan tersebut sedang dilanda konflik intern antara Sultan Mahmud Syah (berkuasa 1488-1511) di satu fihak dengan perdana menteri dan putra mahkota di fihak lain. Agaknya Portugis tidak perlu melaksanakan politik divide et impera (pecah belah dan jajah) karena perpecahan sudah tersedia. Walaupun telah hadir sejak 1509 dan ada perpecahan di pemerintahan Malaka, penaklukan Malaka terlaksana 2 tahun kemudian. Portugis mencoba dulu hubungan secara bersahabat. Pemerintah Malaka menyediakan fasilitas dagang dan pemukiman kepada mereka. Jauh sebelum bangsa Portugis datang, Malaka telah banyak dikunjungi oleh orang asing semisal dari Cina, Arabia, India, Birma, Jawa, Sumatera dan Maluku. Malaka juga menjadi pusat da’wah Islam di Asia Tenggara. Para perantau Muslim memiliki pengaruh kuat di Malaka, mereka itulah yang lebih dulu tahu niat bangsa-bangsa Eropa datang karena telah mengetahui bahwa sebelum hadir di Malaka, bangsa Portugis telah memiliki beberapa wilayah jajahan di sebagian besar pesisir Afrika, Goa di India dan beberapa pulau di Teluk Persia dan Samudera Hindia. Para perantau Muslim sukses meyakinkan pemerintah Malaka untuk menolak kehadiran perantau Eropa. Pemerintah segera menangkap atau membunuh beberapa orang, selebihnya lolos. Yang lolos segera memberi kabar keadaan di Malaka kepada gubernur jenderal Portugis di Goa. Sang gubernur segera menanggapinya dengan mengirim armada kuat ke Malaka dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque membawa perintah jelas: taklukan Malaka! Pertempuran merebut Malaka berlangsung beberapa bulan dan sukses, sultan beserta beberapa orang lolos. Tersebut riwayat bahwa sultan segera membentuk pemerintahan baru di Johor, bagian selatan semenanjung, yang lain menetap di Sumatera dan beberapa pulau sekitarnya. Penaklukan Malaka membangkitkan perlawanan dari negara-negara sekitarnya. Beberapa serbuan dilaksanakan untuk merebut kembali Malaka tetapi gagal, antara lain serbuan gabungan dari Aceh, Palembang, Demak dan Johor pada tahun 1513. Portugis berkuasa di Malaka hingga tahun 1641 akibat diserbu oleh orang Belanda. Penaklukan Malaka juga berakibat para perantau menghindarinya terutama perantau Muslim dan mencari pangkalan baru antara lain Aceh dan Johor. Segera kedua negara tersebut berkembang pesat sekaligus bersaingan. Terciptalah persaingan segitiga Aceh-Malaka Portugis-Johor merebut keunggulan di Selat Malaka, persaingan yang praktis tak pernah dimenangkan oleh siapapun. Tempat lain yang kebagian “berkah” dari penaklukan Malaka adalah beberapa kota pesisir utara Jawa semisal Sunda Kelapa, Cirebon dan Banten di Jawa Barat. Setelah Malaka ditaklukan, beberapa perantau Portugis antara lain Tome Pires datang ke beberapa kota pesisir tersebut dan dia menulis apa yang dia ketahui dari hasil kunjungan dalam buku berjudul Summa Oriental. Buku tersebut menyebutkan antara lain Simda Calapa (Sunda Kelapa) dan Bantam (Banten). Imperialisme Portugis tidak puas dengan hasil yang didapat, pada tahun 1512 serombongan perantau dipimpin Fransisco de Serrao pergi ke tujuan pokok datang ke Timur: pusat rempah-rempah di Kepulauan Maluku! Dia sukses mencapai Pulau Ambon dan kelak Maluku menjadi wilayah Nusantara yang sangat banyak mendapat pengaruh Barat dan termasuk menghasilkan para antek imperialis Barat bahkan hingga kini. Walaupun pusat rempah adalah Maluku, tetapi pusat Nusantara adalah Jawa. Pulau tersebut telah lama mendapat pengaruh asing sejak awal Masehi dan berbagai kerajaan dan tentu peradaban tampil silih berganti. Karena itu Jawa masuk daftar wilayah target imperialisme. Di Jawa ketika itu sedang terjadi pergolakan pergantian kekuasaan dari Majapahit ke Demak. Demak adalah negara Muslim pertama di Jawa dan berusaha keras untuk menjadi ahli waris nama besar Majapahit. Sultan pertamanya yaitu Raden Patah sering disebut sebagai anak Brawijaya, seorang raja Majapahit. Seorang anggota keluarga Kerajaan Demak yaitu Patih Yunus atau Pati Unus memimpin serbuan ke Malaka pada tahun 1513. Dengan pertimbangan itu kolonial Portugis memilih Jawa Barat yang saat itu masih dikuasai kekuatan non Muslim walaupun konon telah ada kelompok masyarakat Muslim di pesisir utara. Pada tahun 1522 tercapai persetujuan antara Portugis dengan Pajajaran, Portugis mendapat izin memiliki pangkalan di Sunda Kelapa untuk mencegah kemajuan da’wah Islam di Jawa Barat. Kisah terulang kembali, ada saja orang yang mau menjadi antek imperialis Barat demi keuntungan tertentu. Orang-orang seperti itulah yang turut menyumbang kemenangan imperialis. Hal tersebut masih terjadi hingga kini. Usaha menjajah Jawa menampilkan seorang tokoh yang melawan imperialis –dengan dukungan Demak– tetapi identitasnya masih terbilang kontroversi. Beberapa nama terkait dengan identitas tokoh tersebut yaitu Fatahillah, Fadhillah, Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, Tagharil dan mungkin masih ada nama lain. Untuk kisah ini penulis menggunakan nama Fatahillah karena namanya diabadikan dengan nama museum di Jakarta. Tokoh ini sering disebut sebagai pembentuk Kerajaan Banten dan Cirebon. Asal usulnya juga mengundang kontroversi, untuk kisah ini penulis memilih Pasai di utara Sumatera sebagai kampung halamannya. Berdasar versi di atas, Fatahillah meninggalkan Pasai ketika pasukan Portugis merebut kota tersebut tahun 1521. Dia kemudian melaksanakan ibadah haji dan belajar agama di Arabia. Kemudian dia memilih pergi ke Demak dan menikah dengan seorang putri Demak. Ketika itu Demak di bawah pemerintahan Sultan Trenggana. Dia tahu bahwa Portugis berminat menguasai Jawa dengan dimulai dari Jawa Barat, wilayah yang terbilang jauh dari Demak. Tetapi sebagaimana tersebut di atas, Demak ingin menjadi pewaris Majapahit. Dengan demikian berambisi menaklukan Nusantara termasuk seluruh Jawa. Antara 1525-1526 pasukan Demak dipimpin Fatahillah bergerak ke barat sejauh Selat Sunda. Dengan demikian pesisir utara relatif tertutup bagi niat Portugis, dan Pajajaran kehilangan jalan keluar andalannya. Kedatangan rombongan Portugis untuk mulai membangun pangkalan di Sunda Kelapa dengan mudah digagalkan pada tahun 1527. Nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta. Adapun tahun 1526 diperingati sebagai hari lahir Banten, karena sejak itu Banten lepas dari Pajajaran. Fatahillah menghabiskan waktu hidupnya di Jawa Barat untuk memantapkan pengaruh Demak. Sementara itu Demak mencoba memperluas wilayah taklukannya ke arah timur Jawa sejauh Blambangan. Usaha tersebut gagal karena konflik intern yang berakibat Trenggana tewas. Keluarga kerajaan tercerai-berai: ada yang ke Banten, ada yang ke Palembang dan sebagainya. Setelah berfikir sematang-matangnya, Fatahillah bertekad untuk tetap di Jawa Barat dan membentuk kerajaan baru yang merdeka yaitu Banten dan Cirebon. Pada tahun 1552 dia menyerahkan kekuasaan atas Banten kepada anaknya yaitu Maulana Hassanuddin dan dia pindah ke Cirebon. Fatahillah wafat tahun 1570 di Cirebon. KESULTANAN DAN PERKEMBANGAN Hassanuddin segera membenahi negara baru tersebut. Untuk memajukan Banten dia tanpa ragu mencontoh pengaruh luar dalam banyak hal dengan tetap berpijak pada identitas diri yaitu ketimuran dan keislaman. Dia bukanlah orang yang berfaham sempit dan kaku, sejauh pengaruh luar tersebut bermanfaat. Hassanuddin mencoba mencontoh peradaban Muslim klasik (700-1400) yang sempat menjadi ukuran internasional. Peradaban tersebut berasal dari berbagai budaya antara lain Arabia, Mesir, Mesopotamia, India, Cina, Persia dan Romawi yang di-Islam-kan. Banyak buku dibawa dan pakar diundang untuk turut membangun peradaban Muslim tanpa menilai latar belakang agamanya. Hasilnya, kaum Muslim bukan sekadar menerima tetapi turut memberi peradaban dengan cara menjadi penemu dan pencipta semisal Jabir ibnu Hayyan, al-Kindiy, al-Khawarizmiy, Ibnu Sina, Ibnu Rusyud, al-Ghazaliy, ‘Umar Khayyam, Imam Syafi’iy, Imam Malikiy, Imam Hanafiy dan Imam Hanbaliy. Karya-karya mereka masih berpengaruh hingga kini. Singkat cerita, prestasi yang teraih itu disebabkan keberanian kaum Muslim saat itu berdialog dengan umat lain atau peradaban lain dengan berdasar semangat universalisme Islam. Mereka menyadari bahwa manusia tercipta dengan keragaman asal usul untuk bergaul dan Islam mengajarkan kesamaan derajat dengan ukuran kemuliaan adalah taqwa. Mereka bergaul, belajar dan membangun kemanusiaan dan peradaban dengan umat lain tanpa perlu mengganggu keislamannya. Inilah yang perlu dicontoh oleh kaum Muslim dari zaman ke zaman. Maka, Hassanuddin mulai mengundang bangsa-bangsa lain untuk turut serta membangun Banten. Banyak ahli semisal seni, bangunan, politik, ekonomi dan planologi berdatangan ke Banten menunjukkan keahliannya. Maka bangsa Cina, India, Arab, Portugis, Persia, Turki, Inggris, Perancis, Belanda dan sebagainya bahu membahu membangun Banten di segala bidang dan hal tersebut berlangsung demikian lama karena dilanjutkan oleh para penggantinya. Hasilnya dapat kita saksikan kini, pengaruh asing dari sisa peninggalan Kerajaan Banten semisal masjid, istana, benteng dan makam. Walaupun tak dapat dibantah banyak peninggalan tersebut tidak utuh akibat dimakan zaman dan konflik berkepanjangan. Istana Surosowan misalnya, dirusak oleh pasukan Belanda atas perintah Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels tahun 1808. Reruntuhannya dipakai untuk membangun kota Serang, ibu kota Keresidenan Banten dan kini Provinsi Banten. Kota Banten diperluas dan dibentengi oleh tembok tebal serta dikelilingi parit besar, ciri umum kota-kota zaman itu. Hal tersebut berdasar pemikiran bahwa zaman itu masih banyak peperangan. Adapun jalan-jalan kota diperkeras dengan batu bata sehingga mengurangi becek saat hujan dan debu saat kemarau. Selain jalur darat, jalur air juga mendapat perhatian. Dia melaksanakan program pembuatan kanal dari Teluk Banten ke pedalaman sehingga kapal-kapal dapat masuk kota dan melaksanakan bongkar muat. Ada kanal yang masih bertahan hingga kini walaupun relatif sudah sempit dan tak dapat dimasuki kapal besar. Beberapa pengunjung asing menilai bahwa Banten memiliki tata kota yang rapi. Keindahan kota tersebut konon tidak kalah dengan kota-kota di Eropa perioda Renaissance. Pemukiman dibangun berdasar pengelompokan masyarakat. Ada kampung Cina, kampung Keling, kampung Arab dan lain-lain, selain itu setiap pemukiman masyarakat luar Banten memiliki pemimpin. Berdasar dokumen tua di Perancis berasal dari abad 17-18 Banten termasuk 10 kota besar dunia. Untuk menjamin ketersediaan air beberapa danau dibuat semisal di Tasik Ardi. Danau tersebut sekaligus berfungsi sebagai tempat istirahat keluarga istana. Dari danau tersebut air dibagi-bagikan melalui saluran batu setelah melalui tempat proses penjernihan. Ada yang untuk air minum dan ada pula untuk pengairan sawah. Hal tersebut membuktikan bahwa teknologi pengendalian air telah canggih. Sebagaiman halnya dengan banyak penguasa lain, Hassanuddin melaksanakan perluasan wilayah taklukan mencakup belahan selatan Sumatera dan barat Jawa. Di Sumatera kelak kuasa Banten berbatasan dengan Kesultanan Aceh dan Kesultanan Palembang, di Jawa pengaruh Banten menjangkau Cirebon. Hassanuddin wafat tahun 1570 dan diganti oleh anaknya yaitu Maulana Yusuf, yang berkuasa hingga 1580. Menurut riwayat, Yusuf berminat besar pada pertanian dan perkebunan. Dia laksanakan program pembukaan lahan untuk persediaan pangan. Tetapi “proyek” yang menonjol adalah penaklukan Pajajaran. Dia mengirim pasukan ke ibukota Pakuan dan terlibat pertempuran dengan pasukan Pajajaran. Raja Pajajaran terakhir yaitu Prabu Sedah tewas dan berakhirlah riwayat Pajajaran. Para warga, elit dan jelata, yang tak mau mengakui penaklukan tersebut menyingkir lebih ke pedalaman. Konon masyarakat Badui di Banten Selatan adalah sisa-sisa dari mereka yang menyingkir. Penaklukan tersebut makin memastikan bahwa penduduk di Jawa Barat menerima Islam. Ada hal yang layak diketahui bahwa sesungguhnya peristiwa Banten lepas dari Pajajaran, merupakan kelahiran suku atau etnis baru yang relatif berbeda dengan pribumi Jawa Barat lain. Memang, pribumi Banten pra Islam adalah suku Sunda. Penaklukan Demak dari suku Jawa kemudian kehadiran beberapa suku di Nusantara dan bangsa semisal Cina, Arab dan India menciptakan suatu etnis baru dari campuran tadi dengan basis budaya Sunda-Jawa bercampur dengan pengaruh asing lain. Ini membuktikan bahwa suku Banten perioda antara awal kesultanan hingga ditaklukan kolonial adalah suku yang terbuka dengan pengaruh luar. Dengan semangat menjaga teguh identitasnya mereka bergaul, belajar dan membangun dengan orang lain sehingga Banten meraih prestasi dalam segala aspek. Mirip dengan masyarakat Muslim perioda klasik tersebut di atas. Inilah yang juga layak dicontoh oleh generasi Banten zaman ke zaman. Kembali ke riwayat kesultanan, sepeninggal Yusuf berkuasalah anaknya yaitu Maulana Muhammad. Dia berkuasa antara 1580-1596, seorang yang juga berambisi memperluas wilayah taklukan. Fokusnya tertuju pada wilayah Sumatera, bagian selatannya adalah penghasil lada. Banten telah menguasai wilayah yang kini disebut Lampung dan sebagian Bengkulu. Kota Silebar di Bengkulu adalah perbatasan antara wilayah Banten dan Aceh, adapun wilayah Tulangbawang adalah perbatasan antara Banten dan Palembang sekaligus penghasil lada yang diincar kedua negara tersebut. Hubungan antara Aceh dan Banten terbilang baik namun tidaklah demikian antara Banten dengan Palembang. Mungkin antara Aceh dan Banten menyadari bahwa mereka sama-sama berasal dari Pasai, tetapi entah kenapa antara Banten dengan Palembang tidak terlihat kesadaran bahwa mereka sama-sama berasal dari Demak. Kehadiran seorang ningrat Demak yang dikenal dengan “Pangeran Mas” memperburuk hubungan Banten-Palembang. Pangeran Mas adalah sosok yang penuh ambisi. Dia tahu bahwa Demak adalah asal usul Banten dan Palembang. Bahkan dia memiliki hubungan keluarga dengan kedua penguasa tersebut tetapi hubungan keluarga dengan istana Palembang tersebut tidak diberi tahu kepada sultan Banten. Dia ingin memanfaatkan Banten untuk menaklukan Palembang dan dia berambisi menjadi penguasa di Palembang. Sementara itu sultan –yang mungkin masih muda dan sedikit pengalaman– hanya tahu bahwa Palembang relatif dekat dengan Selat Malaka, selat strategis. Dia percaya pada cerita sang pangeran bahwa Palembang adalah masih non Muslim. Cerita itu mungkin sebagian benar, pribumi wilayah pedalaman Sumatera sebagian besar saat itu memang masih non Muslim semisal suku Pasemah, Rejang dan Komering. Sultan –atas hasutan Pangeran Mas– ingin menaklukan Palembang untuk menyelesaikan tiga perhitungan sekaligus: menguasai wilayah kaya lada, mengislamkan penduduk setempat dan mendekati Selat Malaka. Hal tersebut menyenangkan si pangeran tetapi sekaligus menjengkelkan, mungkin sultan sudah curiga dengan niat Pangeran Mas, maka proyek penaklukan tersebut langsung dipimpin sultan sendiri. Singkat cerita, pertempuran dahsyat antara pasukan Banten dengan Palembang terjadi. Nyaris Palembang kalah tetapi pada saat terakhir Sultan Muhammad terbunuh akibat tembakan. Segera pasukan Banten mundur dan selamatlah Palembang dari ancaman penaklukan. Kegagalan ekspedisi tersebut menimbulkan duka berat bagi Banten dan menempatkan Pangeran Mas sebagai sosok yang dikucilkan. Tak tahan dengan suasana tersebut dia pindah ke Jayakarta hingga akhir hayat. Sengketa Palembang-Banten dan juga sengketa lain antara sesama kekuatan di Nusantara jelas merugikan persatuan dan kesatuan. Ini terjadi karena waktu itu belum ada bangsa Indonesia, yang ada ialah bangsa Jawa, bangsa Sunda, bangsa Aceh, bangsa Bugis, bangsa Banjar dan lain-lain. Penulis menilai bahwa rasa persatuan dan kesatuan se Nusantara yang waktu itu belum ada memberi peluang masuknya imperialisme, bahkan mempermudah prosesnya selain faktor lain penyebab sebagian besar Nusantara dapat ditaklukan imperialis. Memang devide et impera adalah termasuk konsep standar imperialis untuk mencapai tujuan. Sultan Muhammad tewas ketika berumur sekitar 25 tahun. Sang putra mahkota masih bayi yaitu ‘Abul Mafakhir Mahmud ‘Abdul Qadir. Pemerintahan diselenggarakan oleh pejabat yang lazim disebut Mangkubumi. Seorang sepuh kerajaan bernama Jayanagara dipilih sebagai Mangkubumi dan bertindak sebagai wali sultan bersama seorang perempuan yang sudah sepuh pula. Jayanagara bertugas demikian selama sekitar 6 tahun, dia wafat tahun 1602. Tahun kematian Sultan Muhammad bersamaan dengan kehadiran perantau Eropa lain yaitu Belanda. Mereka terlibat permusuhan –terutama karena faktor agama– dengan negara gabungan Spanyol-Portugal sejak tahun 1580 di bawah raja Spanyol yaitu Felipe. Dengan demikian ketiga bangsa Eropa tersebut membawa permusuhan tersebut ke luar Eropa termasuk ke Nusantara. Bagi mayoritas rakyat Belanda, Felipe adalah raja yang kejam. Dia dinilai fanatik Katholik karena menindas umat non Katholik. Sebagian rakyat Belanda beragama Protestan Kalvinis, mereka menderita ditindas Felipe. Bahkan cukup banyak kaum ningrat yang antipati terhadap dia. Belanda menanggapi kezhaliman tersebut dengan berontak untuk lepas dari Felipe. Usaha lepas tersebut dikenal dalam sejarah dengan sebutan Perang 80 Tahun (1568-1648). Pangeran Willem van Oranje-Nassau adalah pemimpin pertama perlawanan Belanda. Dia membentuk negara tersendiri disebut Republik Tujuh Negeri Belanda Bersatu. Karena itu keluarga monarki Belanda disebut Oranje-Nassau. Negara inilah yang kelak mengirim rombongan pertama ke Nusantara. Willem sendiri bukanlah orang Belanda, dia asal Jerman. Felipe membalas pembangkangan Belanda dengan melarang usaha perkapalan Belanda. Kapal-kapal Belanda dilarang datang ke beberapa pelabuhan, ada juga yang disita. Sadar bahwa Belanda adalah negara kecil, Willem berusaha menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Sambutan datang dari Inggris dan Perancis. Pada tahun 1588 armada Spanyol dikalahkan armada Inggris dan sejak itu Spanyol berhenti menjadi singa lautan. Adapun Perancis –walaupun seagama dengan Spanyol dan Portugis– tidak suka dengan sikap keduanya yang ingin menguasai dunia. Maka Perancis juga melaksanakan imperialisme walaupun ada Perjanjian Thordesilas 1494 antara Spanyol dan Portugal yang membagi dunia untuk mereka berdua, dengan restu paus di Roma. Setelah mendapat data tentang jalur ke Nusantara, Cornelis de Houtman dipilih memimpin serombongan perantau Belanda dan pada tahun 1596 mereka tiba di Banten. Hal ini prestasi besar bagi Belanda sekaligus peristiwa penting dalam sejarah nasional Indonesia. Jelas, hubungan Belanda-Indonesia berawal dari Banten, wilayah yang kini cenderung dilupakan atau diremehkan. Perilaku orang Belanda –minimal saat itu– praktis sama dengan perilaku umumnya orang Barat lainnya: menilai rendah orang non Barat dengan dalih “biadab”, “primitif”, atau “kafir”. Sikap yang diwarisi dari Yunani-Romawi, asal muasal peradaban Barat. Mereka tidak atau sulit mengakui keunggulan orang lain. Walaupun mereka maju karena belajar dari Timur semisal dari Mesir, Mesopotamia dan Arabia, mereka tetap menganggap rendah orang Timur. Pada kesempatan ini penulis menjelaskan kepada siapapun terutama yang kagum atau minder kepada Barat, sesungguhnya Barat menjadi jaya sebagaimana kini karena dua hal: maju karena belajar dari Timur dan makmur karena menjajah Timur. Layak dijelaskan pula bahwa asal muasal peradaban manusia berasal dari Timur, Barat hanya mengembangkannya atau memolesnya. Peradaban awal muncul dari Timur sekitar 5000 sebelum Masehi yaitu di Mesir, Mesopotamia, Arabia, India dan Cina. Sejak itu berbagai peradaban silih berganti tampil menyumbang kemanusiaan. Setelah proses belajar yang lama, peradaban di Barat tampil sekitar 1000 sebelum Masehi hingga sekitar 500 sesudah Masehi. Pada perioda 500-1500 Barat kembali tenggelam dan bangkit lagi setelah belajar dari Timur. Kemajuan Barat yang kita saksikan kini, baru terjadi sekitar 200 tahun terakhir ini. Kembali ke inti cerita, kedatangan perantau Belanda tersebut disambut ramah oleh pribumi, tetapi hal tersebut berlangsung singkat. Keramahan berubah jadi kemarahan karena perilaku tamu yang tidak sopan. Baru diterima baik di negeri orang, mereka melaksanakan kegiatan spionase. Asal tahu saja, ketika singgah di suatu tempat di Afrika, sikap ramah pribumi dibalas dengan mabuk-mabukan, caci maki, pembakaran dan penjarahan kampung. Kegiatan spionase tersebut di atas terbongkar dan mereka ditangkap serta barang disita. Setelah beberapa lama ditahan mereka dilepas, barang dikembalikan dan boleh berdagang lagi tetapi hal tersebut juga berlangsung singkat. Beberapa pejabat Banten didatangi utusan Portugis dan mereka bercerita yang jelek-jelek tentang Belanda. Karena baru mendapat kesan jelek dari Belanda atau mungkin rayuan (dan sogokan) Portugis yang ampuh, para pejabat tersebut terpengaruh oleh cerita utusan tadi. Rombongan Belanda sangat marah, mereka pergi dari Banten sambil menembaki kota dari kapal setelah jauh dari pelabuhan. Perilaku tersebut diulangi di beberapa tempat lain hingga sejauh Madura. Karena sadar tidak mendapat simpati, mereka tidak melanjutkan ke Maluku tetapi balik langsung ke Belanda. Perilaku buruk tadi diakui oleh seorang pelaut yang ikut rombongan tersebut yaitu Frank van der Does, bahkan diakui oleh rakyat Belanda sendiri. Mereka dinilai sebagai “manusia sangat kurang ajar dan tidak diharap kembali ke Belanda”. Setelah Jayanagara wafat, adiknya dipilih menggantikannya sebagai mangkubumi pula. Akibat perilaku yang tercela dia dipecat dan untuk beberapa lama tidak ada mangkubumi baru. Perwalian sultan langsung dijabat ibunya, janda Sultan Muhammad. Sementara itu ibunda sultan menikah lagi dengan seorang ningrat dan dia mendesak supaya suaminya menjadi mangkubumi. Usahanya sukses tetapi ambisinya itu menampilkan masalah: mangkubumi tak punya wibawa, dia gemar terima sogokan dari orang asing sehingga banyak peraturan yang dilanggar. Hal tersebut membangkitkan perlawanan sekaligus perpecahan intern kesultanan. Beberapa elite pro orang asing: ada pro Belanda, ada pro Portugis. Perang saudara Banten berawal dari tindak penyitaan kapal dari Johor oleh anak Maulana Yusuf yaitu Pangeran Mandalika tahun 1604. Permintaan mangkubumi untuk melepas kapal tersebut tidak mendapat tanggapan baik dari pangeran. Mangkubumi coba menumpas pembangkangan tersebut dengan bantuan dari rombongan Pangeran Jayakarta yang ketika itu datang berkunjung ke acara khitanan sultan. Mandalika menyingkir ke luar kota dan menghimpun kekuatan. Usaha kudeta pangeran terhadap mangkubumi digagalkan persekutuan mangkubumi dan Pangeran Jayakarta serta bantuan orang Inggris. Kudeta gagal tersebut tidak menciptakan perdamaian bahkan justru menambah peperangan. Pemberontak membunuh syahbandar dan sekretarisnya tahun 1608, serta mangkubumi mendapat giliran pula. Perioda Abul Mafakhir juga diramaikan oleh peristiwa yang disebut Pacerebonan, pasukan Cirebon bergerak menuju Banten namun dapat dibendung oleh pasukan Banten. Tetapi yang lebih menyakitkan adalah penaklukan Jayakarta oleh orang Belanda tahun 1619 dan mengubah nama menjadi Batavia. Penaklukan Jayakarta bermula dari niat perantau Belanda membangun tempat mukim sekaligus berfungsi untuk kantor dan gudang. Bangunan tersebut lazim dikenal dengan nama loji (lodge) atau factorij. Niat tersebut mendapat izin dari wakil Banten untuk Jayakarta –ada yang menyebut “Wijayakrama”, “Ahmad Jayakarta”, atau “Pangeran Jayakarta”, karena kota tersebut saat itu di bawah kuasa Banten. Belanda memliki loji di kota tersebut tahun sejak 1611. Hubungan antara pusat dengan wakil tidak selalu rukun, terkesan ada gejala Jayakarta ingin lepas dari Banten. Mungkin memberi izin untuk membangun loji bermotif demikian, ingin menunjukkan bahwa Jayakarta ingin mengatur diri sendiri. Tetapi pangeran tidak mengizinkan siapapun membangun benteng di wilayahnya. Pada awalnya Belanda setuju, tetapi makin lama makin jelas bahwa pembangunan loji tersebut “memenuhi syarat” disebut benteng. Belanda pernah mencoba taktik demikian di Banten namun gagal. Dengan tegas penguasa Banten menyuruh bongkar bangunan dari batu. Banten juga tidak ingin ada loji Belanda di Jayakarta. Karena itu Banten meminta Laksamana Thomas Dale dari Inggris untuk pergi ke Jayakarta dengan tugas mengusir orang Belanda. Sebelum ada loji Belanda konon sudah ada loji Inggris di Jayakarta. Ketika itu hubungan Belanda-Inggris kurang rukun. Begitu ketahuan orang Belanda sesungguhnya ingin membuat benteng dan selesai, segera pangeran minta bantuan Inggris untuk melawan Belanda dan dikabulkan. Orang Belanda terdesak, terkepung dan segera minta bantuan ke Ambon di Maluku, Ambon telah direbut Belanda dari Portugis tahun 1605 Kemelut di Jayakarta menampilkan tokoh kuat Belanda yang dikenal dengan Jan Pieterszoon Coen, dia menjadi gubernur jenderal perioda 1619-1623 dan 1627-1629. Dia bertekad memberi yang terbaik untuk negaranya dengan cara main monopoli, kalau perlu perang. Dia tak gentar menghadapi Aceh, Banten dan Mataram sekaligus walaupun kelak dia tewas ketika pasukan Mataram tahun 1629 menyerbu kota yang telah dinamakan Batavia. Coen cepat memberi bantuan bagi garnisun Belanda yang terkepung. Sementara bantuan dalam perjalanan, datang pasukan Banten berbalik menyerang orang Inggris sekaligus Wijayakrama. Mungkin Banten tidak ingin kehadiran orang Inggris menggantikan orang Belanda, yang mungkin akan membuat kesulitan pula. Dan pangeran akhirnya terdesak ke pedalaman dan orang Inggris lari ke kapal oleh gerak maju pasukan Banten yang tanpa kesulitan dapat merebut kota. Ketika bantuan tiba, nyaris garnisun Belanda menyerah. Bantuan tersebut memang tiba tepat pada waktunya. Tibalah giliran pasukan Belanda yang keluar dari kepungan mendesak pasukan Banten. Kota dibakar hingga tinggal puing. Tidak sulit membakar kota Jayakarta karena praktis semua bangunannya saat itu terbuat dari kayu. Setelah kota direbut dan dibakar, Coen memerintahkan bangun ulang kota berdasar tata kota Belanda. Bangunan batu didirikan dan juga menggali kanal yang sebagian masih ada hingga kini. Abul Mafakhir wafat tahun 1651, anaknya yaitu Abul Ma’aliy Ahmad lebih dulu wafat (1650). Pemerintahan diserahkan kepada anak Abul Ma’aliy yaitu Abul Fat-hi ‘Abdul Fatah yang lebih dikenal dengan nama “Ageng Tirtayasa”. Pelajaran yang dapat diambil dari perpecahan intern tersebut adalah betapa harta dan tahta memang perhiasan dunia yang sangat menggiurkan. Pesonanya tak pernah luntur dari zaman ke zaman. Kedua hal tersebut mampu melenyapkan kesadaran manusia akan tujuan hidupnya. Bahkan hubungan antar manusia, termasuk hubungan keluarga, dapat dengan mudah dikorbankan untuk meraih minimal satu di antara dua hal tadi. Dengan demikian, manusia tak pernah betul-betul insyaf akan bahaya di balik pesona tadi walaupun sejarah manusia demikian panjang terkait dengan urusan harta dan tahta. Pelajaran mahal akibat meraih harta dan tahta tak pernah disimak sungguh-sungguh, apa lagi bagi negara yang masih memakai konsep monarki. Saling dengki antar anggota keluarga monarki relatif mudah terjadi mengingat para anggotanya ingin menjadi pewaris berikut dari pemegang kekuasaan sebelumnya. PERIODA SURUT Abul Fathi naik tahta tahun 1651 dengan nama “Sultan Ageng Tirtayasa”, dia termasuk sultan yang menonjol karena pada periodanya Banten sanggup, sekali lagi, meraih kembali prestasinya yang sempat hilang akibat konflik tersebut di atas, dan juga karena kegigihannya melawan imperialisme. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, ketika dia turun tahta tahun 1683 berangsur-angsur Banten runtuh. Sultan melaksanakan dua program secara bersamaan sekaligus memiliki akibat yang bertentangan: pembangunan dan peperangan. Pembangunan berakibat kemakmuran dan peperangan berakibat kesengsaraan. Mungkin arahnya adalah pembangunan untuk modal peperangan. Dia antara lain membangun armada dagang sekaligus armada perang. Hubungan Banten-Belanda sekian lama tidak stabil. Kadang permusuhan bertambah kadang berkurang. Secara rahasia Banten memerlukan kehadiran Belanda di Batavia sebagai penyangga dari ambisi Mataram menjadi penguasa tunggal di Jawa, bahkan Nusantara. Kerajaan Mataram dibentuk oleh Panembahan Senopati setelah merebut kuasa dari Kerajaan Pajang, Pajang muncul setelah merebut kuasa dari Demak. Kelak cucunya yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo memerintahkan penyerbuan ke Batavia tahun 1628 dan 1629. Ketika pasukan Mataram menyerbu Batavia, perasaan Banten campur aduk: Banten senang Belanda diganggu Mataram supaya tetap lemah tetapi sekaligus khawatir jika Belanda kalah. Pasti Mataram akan menjadikan Banten sebagai tujuan penaklukan berikutnya. Keinginan Banten sesungguhnya adalah Belanda dan Mataram sama-sama lemah sehingga Banten dapat memukul Belanda dan sekaligus Mataram tak dapat menaklukan Banten. Tujuannya tentu saja merebut Batavia kembali dan mengubah nama kembali menjadi Jayakarta. Suatu keinginan yang tak pernah tercapai: Mataram kelak memang lemah tetapi sekaligus Belanda makin kuat. Setelah Mataram gagal merebut Batavia, giliran Banten uji kekuatan Belanda. Batavia diganggu dengan cara yang mirip dengan Mataram: dikepung dari laut dan darat. Perang gerilya diterapkan, beberapa aset Belanda dirusak atau dijarah. Belanda membalas dengan mengirim armada untuk mengepung Banten. Beberapa usaha perdamaian ditempuh namun gagal, sultan menilai bahwa setiap perjanjian yang disodorkan Belanda pasti mengandung kecurangan dan Belanda menilai bahwa perlu ada suatu status penyelesaian akhir untuk Banten. Suasana “perang tidak damai tidak” sungguh tak nyaman dipelihara. Caranya seperti biasa: menciptakan perpecahan jika belum ada atau menambah perpecahan jika sudah ada. Dan di Banten sudah ada benih perpecahan, perpecahan antara bapak dan anak. Anak tersebut bernama ‘Abdul Qahhar atau lebih dikenal dengan nama “Sultan Haji”. Sang anak sungguh telah mengecewakan banyak orang termasuk tentu bapaknya. Perjalanan ke luar negeri atas sponsor sang bapak untuk meluaskan wawasan justru mengubah sikapnya, menjadi pro kolonial. Pembangunan istana baru oleh sultan untuk pangeran dimanfaatkan untuk menghimpun kekuatan untuk kudeta, dengan bantuan kolonial. Kesabaran sultan mencapai batasnya ketika pangeran membuat suatu perjanjian yang merugikan Banten dan tentu saja menguntungkan Belanda. Segera sultan menghimpun kekuatan untuk membendung ambisi pangeran. Kedua fihak saling himpun kekuatan, sultan mendapat dukungan rakyat dan pangeran mendapat dukungan Belanda. Sementara itu ‘Abdul Qahhar melaksanakan kudeta terhadap bapaknya, si bapak ditawan tetapi tidak lama kemudian dapat dibebaskan oleh pendukungnya. Ketika pasukan sultan menyerbu istana pangeran, pangeran lari dan minta bantuan Belanda. Langsung saja Belanda menyodorkan perjanjian dan diterima begitu saja oleh pangeran. Isinya antara lain Belanda mendapat monopoli, bangsa-bangsa asing harus diusir dari wilayah kuasa Banten dan Belanda mendapat izin membangun benteng. Benteng tersebut diberi nama Speelwijk, mungkin berasal dari nama gubernur jenderal saat itu, Speelman. Keadaan memang mengarah pada perang terbuka, Ageng selain mendapat dukungan mayoritas dari rakyatnya juga didukung para perantau dari Makssar yang dipimpin oleh Syaikh Yusuf Taj al- Khalwatiy al-Maqashariy, seorang ulama yang kelak menjadi mufti negara sekaligus menantu sultan. Ketika berkobar Perang Trunojoyo, sultan memberi bantuan kepada Trunojoyo dan mencela Sunan Amangkurat I –putra Sultan Agung Hanyokrokusumo– karena pro kolonial. Pasukan Banten bergerak ke Cirebon dan Priangan selain mengepung Batavia. Mereka siap menyerbu Batavia jika Trunojoyo menang, namun niat itu tidak terlaksana. Trunjoyo dapat dikalahkan. Pasukan Belanda beserta anteknya berangkat dipimpin oleh Francois Tack dan Isaac de Saint Martin. Pasukan pribumi pro Belanda dipimpin oleh Kapten Yonker asal Maluku, seorang yang banyak berjasa bagi Belanda tapi kelak dibunuh atas perintah pejabat Belanda sendiri setelah pelindungnya yaitu Speelman tiada. Pertempuran dahsyat terjadi, sultan pelan tapi pasti terdesak. Tahun 1683 dia menyerah dan ditahan di Batavia hingga wafatnya, kemudian dia dikubur di Desa Tirtayasa. ‘Abdul Qahhar naik tahta tahun 1683 dengan sebutan Sultan Haji hingga akhir hayatnya tahun 1687. Praktis dia hanya sultan vassal Belanda, demikian pula beberapa penggantinya. Dia wafat karena ada rasa tertekan telah berbuat zhalim terhadap bapak, negara, rakyat dan agamanya sendiri PENUTUP Banten sempat gagal mengambil pelajaran dari hal tersebut di atas, konflik masih berlanjut bahkan lebih rumit karena bangsa-bangsa asing pun terlibat, ingin turut “bermain” untuk mendapat minimal agak sepotong dua potong perhiasan dunia dengan dibantu para pengkhianat dari Banten sendiri dan suku lain di Nusantara. Akibatnya Banten tenggelam tinggal sejarah karena konflik intern dan intervensi asing, dalam hal ini Belanda. Mungkin Banten sedikit “terhibur” karena ternyata belum betul-betul lenyap, Banten masih tetap disebut atau dikenal walaupun statusnya hanya provinsi dalam Republik Indonesia, bukan negara Banten yang merdeka. Perlawanan Banten belum berakhir walau kesultanan dihapus awal abad ke-19 dan Banten turun derajat menjadi keresidenan. Pada pertengahan abad ke-18 terjadi perlawanan serius pimpinan Kiyahi Tapa, ada lagi peristiwa yang dikenal dengan nama Geger Cilegon 1888 serta mungkin masih banyak perlawanan lain yang belum diselidiki. Perlawanan terakhir melawan imperialis Barat perioda pra 1945 terjadi pada bulan Februari 1942, ketika itu berkobar Perang Pasifik (7 Desember 1941 – 2 September 1945). Pasukan Jepang menyerbu wilayah Asia-Pasifik termasuk Nusantara, waktu itu dikenal dengan istilah Hindia Belanda. Aktivis Banten sukses membunuh beberapa aparat kolonial beserta simpatisannya. Ketika perioda pendudukan Jepang (9 Maret 1942 – 17 Agustus 1945) Banten turut menderita sebagaimana rakyat wilayah lain yang diduduki pasukan Jepang. Pengerahan paksa warga untuk bekerja pada proyek pembangunan semisal jalur rel ke selatan Banten serta penggalian tambang emas di Bayah-Cikotok berakibat ribuan orang tewas, cacat atau hilang. Perjuangan rakyat Banten melawan kekuatan asing boleh dibilang berakhir tahun 1950, bersamaan dengan usainya perang kemerdekaan nasional yang sering dikenal dengan Revolusi 1945 (1945-1950). Banten harus membayar mahal untuk merdeka, keterbelakangan dijumpai dalam banyak bidang akibat tiada peluang membangun selama sekitar 350 tahun. Konflik berkepanjangan dengan fihak asing berakibat rakyat Banten mayoritas antipati terhadap banyak pengaruh asing. Inilah kendala berat membangun Banten. Perlu waktu lama bagi rakyat Banten untuk mampu berdialog dengan orang atau pengaruh luar sebagaimana yang telah dilaksanakan para pendahulu pra perang kolonial, memilih pengaruh luar dengan cara menerima yang manfaat-maslahat dan menolak mudharat-mafsadat. Setelah berbagai suku bangsa se Nusantara mewujud dalam bangsa Indonesia, persatuan dan kesatuan walau terdapat keragaman hendaklah dipertahankan. Imperialisme Barat tidak tamat sampai dunia kiamat. Devide et impera masih menjadi cara ampuh untuk memperlemah dan menjajah walau bentuk dan dalih penjajahan dapat berubah sesuai dengan keadaan. Indonesia, bahkan Asia Tenggara, masih menjadi target memikat imperialisme mengingat wilayah luas, letak strategis, alam kaya dan rakyat terbelakang. Bab IX UMAT ISLAM : UMAT YANG TERKEPUNG Sejak awal kehadiran manusia, Tuhan menuntun manusia untuk tetap pada jalan lurus (al-shirath al-mustaqim) yaitu jalan yang diridhai, mengingat sejak awal telah tercipta permusuhan antara insan dan setan. Setan telah bersumpah akan menyelewengkan manusia dari jalan Tuhan karena merasa “tersaingi” oleh manusia yang notabene adalah makhluk terakhir muncul. Padahal penciptaan segala makhluk adalah kuasa Tuhan, bukan kehendak makhluk. Adapun bentuk tuntunan tersebut adalah mengutus para nabi dengan berbekal wahyu, bahkan manusia pertama adalah nabi yaitu Adam. Adam adalah juga manusia pertama yang telah mengalami sendiri permusuhan setan yang notabene adalah “salah alamat”, kalau jengkel silakan kepada Tuhan jangan kepada insan. Beliau –mengingat belum berpengalaman hidup– sempat terjebak manuver setan, makhluk yang jauh lebih “senior” dalam umur dan pengalaman. Pengalaman pahit tersebut merupakan pelajaran mahal baginya, beliau bertekad tidak akan terjebak lagi, demikian pula keturunananya. Setelah dilantik menjadi nabi, beliau bagai tak kenal lelah selama hidupnya menjaga keturunannya dari jebakan setan. Namun manusia berikutnya yang terjebak justru anaknya sendiri –agaknya ada hikmah di balik itu– yang dikenal dalam sumber Islam bernama Qabil. Dalam beberapa sumber disebut bahwa sebelum Adam dijebak, Tuhan telah memberi tahu kepadanya bahwa dari keturunannya kelak akan menjadi manusia termulia karena dia adalah nabi terakhir. Hal tersebut ditegaskan lagi setelah beliau terjebak, bahwa keturunannya tersebut kelak akan mengalahkan kuasa setan terhadap manusia. Bahkan disebut pula namanya, yaitu Muhammad. Sejak itu, Adam –yang sempat merasa terpukul akibat manuver setan– kembali menjadi optimis, bahwa kelak akhirnya setan dikalahkan, dikalahkan oleh keturunannya pula. Dia menunggu kehadiran sosok tersebut dengan sabar yang ternyata menjadi penantian yang sangat panjang, lebih panjang dari umurnya. Adam wafat dalam usia sekitar 1000 tahun tanpa sempat bertemu dengan sang nabi terakhir. Sejak Adam, setiap nabi yang tampil selalu diberi tahu oleh Tuhan dan harus disampaikan kepada umatnya bahwa kelak akan muncul nabi terakhir pembawa agama terakhir. Jika sempat bertemu dia hendaklah ikuti dia. Begitulah berlangsung dari waktu ke waktu. Walaupun para nabi yang tersebut dalam al-Qur’an hanya 25 nama, sesungguhnya jumlah nabi lebih banyak dari itu. Dalam al-Qur’an disebut bahwa setiap kaum diutus nabi dan tidak semua nama nabi tersebut diberitahu kepada umat manusia, hadits menyebut ada 124.000 nabi. Manusia dipersilakan menyelidiki sendiri siapakah nama nabi selain 25 orang tersebut. Sikap umat yang didatangi nabi tersebut beragam: ada yang percaya dan ada yang menyangkal. Ini juga tidak terlepas dari manuver setan mengingat setan tahu pula sejak awal bahwa Tuhan akan menciptakan manusia yang paling mulia dari segala makhluk. Mungkin ini pula yang turut menjadi faktor kebenciannya terhadap manusia. Golongan yang percaya kepada ramalan tersebut menunggu dengan penuh harap tetapi jumlah mereka sedikit. Yang menolak sebagian atau seluruh ajaran yang dibawa para nabi tersebut mencoba menghapus atau mengubah pesan tersebut. Para elit umat –terutama elit keagamaan– berperan besar mengkhianati amanat nabinya. Pesan “jika bertemu dia ikutilah dia” diubah menjadi “jika bertemu dia habisi dia”. Habisi riwayatnya, habisi agamanya dan tentu saja habisi umatnya. Ketika sosok yang dimaksud tersebut datang, golongan yang percaya segera mengikutinya dan yang menyangkal mencoba menghabisinya. Hal tersebut terbukti sejak awal, nabi terakhir yaitu Muhammad dengan agama terakhir yaitu Islam nyaris tiada henti menghadapi berbagai usaha menumpasnya. Dan terjadilah hal tersebut berlangsung hingga akhir dunia. KEHADIRAN ISLAM Dari penjelasan di atas, nyatalah bahwa kehadiran Muhammad dengan Islam bukanlah “paket” tuhan yang begitu saja jatuh dari langit, tetapi adalah lanjutan dari karya para nabi sebelumnya. Dengan demikian antara para nabi sesungguhnya tidak ada perselisihan, yang berselisih justru umatnya, berselisih dengan sesama umat maupun berselisih dengan lain umat. Ini dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa kelak manusia akan berselisih setelah mendapat penjelasan, bukan hanya selisih pakai mulut tetapi juga dengan senjata. Islam lahir di Arabia pada abad ke-7 tetapi bukan hanya untuk bangsa Arab dan abad ke-7, agama terakhir tersebut dirancang untuk segala zaman dan tempat. Dengan demikian, Islam terjaga keasliannya walaupun berbagai usaha dilaksanakan untuk mencemarinya. Walaupun kelak terbukti bahwa pemahaman dan pengamalan Islam ada yang tercemar oleh faham-faham lain, tetapi sumber utamanya yaitu kitab suci al-Qur’an tetap terjaga keasliannya. Ini dijamin Tuhan sendiri. Adapun hadits Nabi Muhammad, seluruhnya diketahui mana yang sahih dan mana yang dhaif. Berbeda dengan semua agama sebelum Islam, sumber utamanya yaitu wahyu (kitab suci) telah tercampur dengan tulisan atau perkataan lain. Karena agama-agama tersebut tidak dirancang tahan lama. Dengan demikian, Islam lahir ketika di kolong langit ini telah ada agama-agama lain dengan umat dan kitabnya. Sebagai contoh, di wilayah Romawi mayoritas beragama Nashrani, di wilayah Persia mayoritas beragama Zaratushtra atau dalam Islam dikenal istilah “Majusi”, di India mayoritas beragama Hindu dan Budha, di Cina mayoritas beragama Konghucu. Selain itu terdapat umat Yahudi, umat ini terserak sebagai minoritas dari pantai Atlantik hingga pantai Pasifik, mirip dengan agama Manu atau Manichaen, agama yang lahir di Persia. Khusus di Arabia, sejak sekitar tahun 2000 BC hadir agama yang dikenal dengan Hanif, agama Nabi Ibrahim. Agama tersebut adalah leluhur agama Yahudi, Nashrani dan Islam. Dan Ibrahim sendiri adalah leluhur para pembawa agama tersebut di atas yaitu Musa, al-Masih dan Muhammad. Perlu diketahui bahwa Yahudi dan Nashrani juga sempat hadir di Arabia. Sebagaimana tersebut di atas, berbagai agama tersebut telah berkurang atau bahkan mungkin hilang keasliannya. Hal ini tentu saja sulit diakui oleh mayoritas umatnya. Kesulitan untuk mengakui terbukti dari kesigapan mereka menolak Islam. Penolakan pertama justru berasal dari keluarga nabi sendiri, sosok Abu Lahab adalah contoh yang paling dekat hubungannya dengan nabi karena dia adalah sang paman. Dia termasuk yang terdepan menentang Islam. Selain itu, penolakan terhadap Islam juga berdasar keterbiasaan dengan agamanya. Terutama kelompok keagamaan, mereka sudah merasa nyaman menjadi tokoh agama tersebut: dipandang atau dihormati masyarakat. Pindah agama membuat mereka berubah dari ahli agama menjadi awam agama: harus belajar lagi dari awal. Dan masih ada sebab-sebab lainnya. Riwayat nabi memperkenalkan Islam penuh dengan berbagai detail yang mengerikan: dari perlakuan kejam terhadap kaum Muslim hingga peperangan berulang kali, yang jelas meminta korban harta dan nyawa. Barulah pada tahun 632 –tahun wafatnya Nabi Muhammad– Islam mendapat level terhormat di Arabia. Secara menyeluruh selama berabad-abad, kaum Muslim membagi umat beragama menjadi dua kelompok yaitu umat samawi atau ahlul kitab atau kitabi (mencakup Yahudi, Nashrani dan Islam), serta umat non samawi atau non kitabi (mencakup antara lain Hindu dan Budha). Kini ada pendapat –walau masih kontroversial– yang mengelompokkan agama Hindu dan Budha termasuk kitabi karena juga memiliki kitab suci, dengan demikian penilaian bahwa Hindu dan Budha termasuk non kitabi terkesan kurang adil atau kurang berdasar. Penilaian tersebut sedikit banyak mempengaruhi cara memperlakukan berbagai umat non Muslim. Dalam banyak kasus, agaknya kaum Yahudi dan Nashrani mendapat perlakuan relatif sedikit lebih istimewa. Mungkin pembagian yang lebih tepat untuk kaum Muslim untuk kini dan seterusnya adalah agama serumpun dan agama non serumpun di mana Yahudi dan Nashrani adalah termasuk serumpun karena berasal dari “moyang” yang sama yaitu Ibrahim. Seiring dengan perluasan langkah Islam, meluas pula tantangan terhadap agama ini. Di kota Makkah, kaum Muslim dilawan oleh penyembah berhala yang merasa masih menganut agama Hanif. Di Madinah, lawan bertambah dengan tantangan kaum Yahudi. Dari tetangga Arabia bertambah lagi dengan Bizantium (Romawi Timur) yang Nashrani dan Persia Sassanida yang Majusi, yaitu tantangan yang berdasar rasa cemas jika Islam melangkah keluar batas Arabia. Untuk itu mereka secara rahasia membantu gerakan anti Islam di dalam Arabia sekaligus meredakan permusuhan antara mereka yang telah berlangsung ratusan tahun, minimal sampai kaum Muslim tertumpas. Sikap penguasa kedua super power tersebut tidaklah didukung oleh mayoritas rakyatnya. Mereka berabad-abad ditindas oleh penguasa yang nota bene seagama, rakyat begitu lama mendambakan kebebasan. Dan memihak kaum Muslim sampai batas tertentu agaknya merupakan pilihan menarik. Demikianlah, ketika bentrokan terbuka antara kaum Muslim dengan koalisi goyah Bizantium-Persia sungguh terjadi, rakyat di wilayah kerajaan tersebut membantu. Ternyata pilihan mereka tepat, dalam banyak kasus, kaum Muslim memperlakukan rakyat dengan begitu manusiawi, khususnya rakyat dibiarkan menganut agamanya. Tanpa dipaksa, mayoritas rakyat kelak memilih Islam. Gerak maju perluasan wilayah kaum Muslim mencapai batas maksimal sekitar tahun 732, kaum Muslim menguasai wilayah yang membentang dari pantai Atlantik hingga batas Cina. Selain itu Islam berkembang keluar wilayah taklukan dan juga dalam wilayah taklukan ada yang dihuni mayoritas non Muslim. Di tapal batas India dan Cina, kaum Muslim bertemu dengan umat Hindu, Budha dan Konghucu. Walaupun hubungan antara bangsa Arab dengan India dan Cina telah berlangsung sejak pra Islam, agaknya Muhammad SAW belum mengenal persis agama yang dianut kedua bangsa tersebut. Dia hanya tahu bahwa mereka masih non Muslim –bahkan non kitabi– mengingat di Arabia sendiri belum semua menjadi Muslim. Sejak itu selama berabad-abad kaum Muslim mengelompokkan ketiga agama tersebut sama dengan Majusi sebagai agama non kitabi. Selain kenal dengan umat lain, perluasan wilayah tersebut juga memperkenalkan peradaban lain, yang dalam beberapa hal lebih canggih dari pada kaum Muslim. Ini merupakan tantangan yang menarik: bagaimana Islam dapat diterima oleh kaum tersebut? Kaum Muslim segera mewarisi peradaban pra Islam dengan cara menerima yang sesuai dengan Islam dan menolak yang tak sesuai. Sedapat mungkin peradaban tersebut di-Islam-kan kemudian dikembangkan dengan memperkayanya. Bukan jarang usaha tersebut dengan mengajak non Muslim. Sementara itu peradaban yang tidak sesuai dengan Islam tidaklah dilarang untuk dipertahankan oleh non Muslim sejauh tidak mempengaruhi identitas Muslim. Maka tampillah peradaban yang memberi sumbangsih besar bagi martabat kemanusiaan. Warisan Muslim tersebut masih berpengaruh hingga kini walau sangat sedikit yang sadar. Walaupun terdapat hubungan harmonis semacam itu, ancaman terhadap keberadaan Islam tetap ada. Hanya menunggu peluang untuk tampil, umumnya saat kaum Muslim sedang lengah atau lemah. Kelak dari semua kelompok anti Islam, ada kelompok yang tampil dominan melawan atau mengganggu kaum Muslim di segala aspek hingga kini. Kelompok yang penulis maksud adalah imperialis Barat. Adapun kelompok lain praktis hanya menjadi antek. Mereka hanya berselisih atau berpecah belah sejauh tidak terkait dengan Islam. Tetapi begitu terkait dengan apa yang disebut ancaman, radikalisme, fundamentalisme, ekstrimisme atau fanatisme Islam maka mereka satu kata, satu suara, satu gaya dan satu kerja. Karena mereka adalah umat-umat yang telah dipesan oleh nabi mereka untuk menerima Islam, tetapi memperlakukan Islam sebagai “si bungsu yang dinanti bukan untuk dikasihi tetapi dinanti untuk dihabisi” akibat pengaruh para elitnya. Hal inilah yang membuat kaum Muslim sejak awal menjadi umat yang pas dengan judul tulisan ini: terkepung! SEKILAS TENTANG IMPERIALISME BARAT Imperialisme Barat sesungguhnya telah ada jauh sebelum Islam, bahkan sebelum Masehi. Asal muasalnya adalah negeri yang kita kenal dengan Yunani, yang dinilai sebagai asal muasal peradaban Barat. Bangsa Yunani menilai diri sendiri sebagai bangsa unggul atau mulia, entah atas dasar apa. Memang mereka sempat meraih peradaban canggih, tetapi hal tersebut karena pengaruh peradaban sebelumnya dari Timur semisal Mesir, Mesopotamia, Asiria dan Funisia. Mereka membagi manusia kepada dua macam yaitu bangsa Yunani dan bangsa barbar (biadab). Bahkan bangsa-bangsa yang telah berjasa memperadabkan Yunani tersebut di atas dinilai pula barbar. Faham rasialis tersebut melahirkan faham imperialis: Yunani dianggap sebagai bangsa unggul, karena itu berhak memimpin bangsa lain termasuk dalam bentuk penjajahan. Atas dasar tersebut, Alexander Yang Agung bergerak menaklukan dunia Timur sejauh perbatasan India dan Cina. Penaklukan tersebut membuka kesadaran akan keunggulan bangsa-bangsa lain, dia mencoba merukunkan Barat dengan Timur dengan tetap dia di puncak kekuasaan. Hasilnya adalah suatu peradaban campuran yang disebut Hellenisme. Pewarisnya yaitu Romawi juga demikian, selain mewarisi peradaban Yunani mereka juga mewarisi peradaban Timur yang sama. Tetapi rasa unggul diri tetap tidak hilang: Romawi menaklukan dunia Timur dari Asia Barat hingga ujung Afrika Utara. Sekitar abad ke-4 agama Nashrani mendapat level terhormat di dunia Romawi, agama tersebut memang lahir di wilayah taklukan Romawi yaitu Palestina. Maka leburlah ke-nasharani-an dengan kebaratan, hal tersebut sadar tidak sadar menimbulkan anggapan bahwa Nashrani terkait dengan imperialisme Barat. Artinya mungkin begini: penyebaran agama Nashrani dilaksanakan dengan cara antara lain imperialisme, karena itu imperialisme dianggap bagian dari Nashrani walaupun jelas bahwa Nashrani adalah agama yang lahir dari Timur, yang tidak ada kaitan apapun dengan imperialisme. Anggapan inilah yang kelak makin memperparah hubungan Barat dengan non Barat dan dampak yang ditimbulkannya masih terasa hingga kini, antara lain juga menampilkan anggapan bahwa “imperialis adalah Barat dan Barat adalah imperialis”. Jika Timur terdapat imperialisme, sering dinilai sebagai meniru atau dimulai oleh Barat: imperialisme Timur adalah reaksi terhadap imperialisme Barat. Contoh kasus ini adalah Jepang, menyaksikan bangsa-bangsa Barat beramai-ramai berebut wilayah jajahan jauh dari negara mereka maka Jepang juga tergoda berbuat serupa. Jepang menilai bahwa dunia Timur adalah hak Jepang dan bukan hak Barat. Waktu bergerak terus, imperialisme Barat memiliki “ahli waris” semisal Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Portugis dan Belanda. Perang salib pada abad ke-11 dan perang kolonial pada abad ke-16 adalah proyek penaklukan dunia lain oleh imperialisme Barat. Umumnya diperbagus dengan semboyan muluk semisal perdamaian, peradaban, kemakmuran dan aduhai masih banyak lagi. Ini masih berlangsung hingga kini. Kasus penyerbuan Iraq oleh koalisi AS-Inggris bulan Maret 2003 juga tidak jauh dari perang kolonial dengan pemakaian semboyan tersebut di atas. Siapa yang berani menentang segera mendapat cap “teroris”, “ekstremis”, “bandit”, “pemberontak” dan berbagai sebutan seram lainnya. Persis kasus konflik Belanda-Indonesia sebelum dan sesudah 1945. Umumnya imperialis Barat jarang sukses mengalahkan Timur tanpa keroyokan. Jarang kasus Barat mengalahkan Timur dengan satu lawan satu. Sejarah banyak menyajikan hal tersebut: Cina, Turki, dan terakhir adalah Afghanistan dan Iraq kalah karena dikeroyok. Dan kekalahan AS di Vietnam dan Rusia di Afghanistan adalah contoh perang satu lawan satu. Setelah selama berabad-abad menghadapi berbagai macam lawan, imperialis Barat agaknya mendapat kesimpulan: lawan yang paling berat adalah Islam, atau kaum Muslim. MENGHIMPUN UNTUK KUAT, KEMUDIAN MENGEPUNG UMAT Seakan tidak cukup menghimpun kekuatan sesama Barat, imperialis Barat mencoba pula merangkul non Barat untuk melawan gerakan anti imperialis. Kehancuran Baghdad tahun 1258 oleh serbuan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan menyerbu Asia Barat tak terlepas dari kesuksesan Barat untuk merangkul non Barat melawan Muslim. Tersebutlah kisah bahwa aset non Muslim banyak yang selamat dari penghancuran karena istri Hulagu Khan adalah agen Barat. Dia yang menetapkan hanya aset Muslim yang dihancurkan semisal masjid, pustaka, istana dan sekolah. Memang, kehancuran Baghdad adalah lembaran sejarah yang sejauh ini paling hitam bagi Muslim. Usaha lain Barat untuk melawan Muslim adalah mengirim beberapa utusan ke dunia Timur untuk membentuk front bersama, antara lain musafir asal Italia bernama Marco Polo. Dia pernah menetap di istana Kubilai Khan di Khanbaligh (kini Beijing). Mongol pernah pula mengirim utusan hingga sejauh Inggris. Dengan demikian dunia Muslim dikepung dari barat dan timur, persis pengepungan yang dilaksanakan oleh Persia dan Bizantium pada masa Muhammad. Di Indonesia pernah diterapkan cara tersebut. Demak adalah negara Muslim pertama di Jawa, sejak awal Demak harus berhadapan dengan dua front: Portugis di luar negeri dan negara dari pra Islam di dalam negeri yaitu Majapahit dan Pajajaran. Pernah utusan Majapahit berkunjung ke Malaka –bekas negara Muslim– yang telah ditaklukan Portugis dan juga tercapai perjanjian Portugis-Pajajaran yang mengizinkan Portugis membangun pangkalan di Sunda Kelapa (kini Jakarta). Demak berusaha mencegah akibat lebih jauh dengan menaklukan pesisir utara Jawa Barat sejauh Selat Sunda dan pesisir utara Jawa Timur sejauh Pasuruan. Portugis memang gagal bercokol di Jawa tetapi sultan terbunuh dalam konflik intern ketika memimpin gerakan ke timur. Di Asia Barat, ketika Perang Dunia I (1914-1918) berlangsung, Inggris terlibat perang dengan Turki. Turki menguasai Asia Barat sejak abad ke-16 termasuk Palestina, tanah suci Yahudi, Nashrani dan Islam. Inggris melihat peluang untuk menebus kekalahan Barat dalam perang salib namun merasa ragu akan mampu mengerjakan sendiri. Persekutuannya dengan Perancis dan Rusia dinilai pula tidak cukup untuk mengalahkan Turki. Harus cari sekutu lain tetapi dari Timur atau Muslim. Kolonel Thomas Edward Lawrence ditunjuk untuk membentuk persekutuan dengan bangsa Arab. Waktunya tepat, bangsa Arab sedang memendam rasa tidak puas terhadap Turki. Ini tidak mengherankan, sejak abad ke-18 Turki berangsur-angsur mengalami proses pembusukan dengan kebobrokan di segala bidang. Bangsa Arab dijanjikan akan mendapat kemerdekaan. Pembusukan dari dalam ditambah penyerbuan dari luar oleh Inggris, Perancis dan Rusia ditambah bangsa Arab, India dan Gurkha menyebabkan Turki kalah. Melengkapi kekalahan tersebut, Barat sukses menyusupkan anteknya yaitu Mushthafa Kamal Basya alias Attaturk untuk mengobarkan kudeta terhadap sistem khilafah dan mengganti dengan republik. Begitu berkuasa, Attaturk melaksanakan gerakan deislamisasi semisal mengusir khalifah terakhir, larangan jilbab dan surban, menghapus huruf Arab, menutup madrasah dan zawiyah serta menghapus syariat dalam konstitusi. Adapun bangsa Arab mendapat “buah” dari persekongkolannya dengan Barat yaitu Palestina, Yordania dan Iraq menjadi mandat Inggris. Suriah dan Libanon menjadi mandat Perancis. Istilah “mandat” hanya penghalus istilah “jajah”. Sementara itu Inggris makin mencengkeram India. Kaum Muslim agaknya belum insyaf dari kekeliruannya. Kemajuan Barat sejak awal abad ke-19 menyebabkan kaum Muslim cenderung kagum atau takut kepada Barat. Bukannya bersatu padu melawan imperialis, tetapi berpecah belah memihak imperialis. Kekeliruan serupa diulangi di awal abad ke-21, serangan berani mati dengan pesawat ke gedung kembar WTC di New York dan gedung Pentagon pada 11 September 2001 adalah momentum yang tepat dan dimanfaatkan dengan ampuh oleh imperialis Barat untuk melawan Muslim, walaupun secara resmi tidak dimaksud demikian. Karena keunggulan propaganda imperialis, segera tampil “paduan suara” internasional –termasuk kaum Muslim– yang menuduh dan mengutuk gerakan al-Qaidah dan Thaliban sebagai fihak yang bertanggungjawab. Segera mata dan telinga internasional mengarah ke Afghanistan, negeri terbelakang akibat perang panjang dan kejam dengan imperialis Barat berideologi komunis bernama Uni Soviet. Negeri tersebut dipaksa untuk berperang lagi melawan imperialis Barat berideologi salibis-zionis bernama AS dan Inggris dengan dukungan komunis di Cina dan sisa-sisanya di bekas Uni Soviet. Penumpasan terhadap aktivis Muslim di Afghanistan dilanjutkan ke seantero dunia, tidak terkecuali di Asia Tenggara. Di Indonesia, para antek Barat –Muslim maupun non Muslim– mendukung gerakan imperialis dalam kampanye yang disebut “melawan terorisme”. Beberapa aktivis Muslim diintai, dikejar, diculik atau ditangkap. Demi memuaskan selera imperialis, pemerintah Indonesia menzhalimi warganya sendiri. Ini tak mengherankan, sejak merdeka kelompok Islamofobia mendominasi politik, ekonomi dan hankam. Kelompok tersebut telah berperan besar menumpas aktivis Muslim semisal Darul Islam atau membantai kaum Muslim di Tanjung Priok, Lampung dan Aceh. Revolusi 1998 sempat menggoyahkan posisi mereka tetapi tidak lama, mereka tersebar dan menyusup ke berbagai kekuatan kelompok masyarakat yang ada, bahkan masih ada yang tetap bercokol di pemerintahan. Mereka melanjutkan “karya” mereka: melawan kebangkitan Muslim, jika perlu dengan bantuan imperialis melawan bangsanya atau umatnya sendiri. PENUTUP Pada akhir 1979 bertepatan dengan 1 Muharram 1400 Hijrah atau masuk abad ke-15 Hijrah dicanangkan sebagai awal kebangkitan Muslim. Mungkin pencanangan ini diilhami oleh awal kebangkitan Barat abad ke-15 yang dikenal dengan Renaissance, yang mengantar Barat pada kemajuan segala bidang. Jika benar diilhami dari Barat, sepertinya kaum Muslim tidak memasalahkannya karena kebangkitan Barat tersebut juga diilhami oleh kemajuan Muslim pada perioda 700-1400. Prestasi kemanusiaan Muslim banyak mempengaruhi Barat. Tetapi awal kebangkitan Muslim –agaknya mirip pula dengan awal kebangkitan Barat– perlu proses panjang dan kejam untuk meraih posisi puncak. Perang Afghan-Rusia (1979-1989), Perang Iran-Iraq atau Perang Teluk I (1980-1988), Perang Arab-Israel 1982, Perang Teluk II antara Iraq dengan koalisi pimpinan AS (1990-1991), Perang antara Afghan dengan koalisi pimpinan AS (2001), Perang Teluk III yang menumbangkan rezim Shaddam Hussayn (Maret-Mei 2003) serta berbagai konflik yang mengorbankan kaum Muslim di berbagai tempat termasuk Indonesia agaknya membuat sebagian orang pesimis atau skeptis: benarkah abad ke-15 Hijrah adalah kebangkitan kaum Muslim? Jawaban tersebut tentu terpulang kepada kaum Muslim sendiri, apakah syarat-syarat kebangkitan telah terpenuhi? Adapun penulis menilai belum mengingat beberapa hal yaitu: Perpecahan: kaum Muslim terpecah belah nyaris pada segala segi. Dalam hal agama masih terbagi ke dalam berbagai mazhab dan sekta yang memberi peluang konflik intern yang berdarah-darah. Ketika non Muslim sudah menginjak-injak bulan, kaum Muslim masih bertengkar soal penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan. Dalam politik masih terbagi ke dalam berbagai faham yang non Islam bahkan bertentangan dengan Islam semisal sekularisme, kapitalisme, komunisme dan chauvinisme. Di dunia Arab misalnya, ada kecenderungan untuk menonjolkan kearaban dibandingkan keislaman, bahkan lebih menonjolkan kenegaraan dibandingkan kebangsaan. Orang menyebut dahulu asal Iraq, Mesir, Suriah, Saudi, Maroko dan sebagainya kemudian menyebut Arab. Keterbelakangan: terhitung sejak abad ke-16 yaitu bertepatan dengan imperialisme Barat, kaum Muslim terlibat perang panjang dan kejam dengan mereka. Perang tersebut meminta korban harta dan nyawa kaum Muslim. Banyak aset umat semisal masjid, madrasah atau pesantren rusak atau hancur. Banyak ulama dan santri yang tewas, hilang atau ditangkap. Peluang untuk membangun praktis tidak ada. Keterbelakangan tersebut terlestarikan setelah merdeka oleh para elit yang tidak amanah terhadap kekayaan dan kekuasaan. Kelengahan: kaum Muslim terkesan tidak sadar bahwa jika umat manusia dibagi menjadi Muslim dan non Muslim maka sesungguhnya lebih banyak non Muslim ketimbang Muslim. Memang, kaum Muslim (2000) berjumlah sekitar 1.000.000.000 tetapi pada saat bersamaan jumlah umat manusia sekitar 6.000.000.000. Berarti kaum Muslim hanya 1/6 dari jumlah penduduk kolong langit ini. Berarti pula selebihnya adalah non Muslim, yang nota bene jumlah tersebut dapat memiliki potensi sebagai lawan, dan memang ada yang menjadi lawan. Belum lagi yang berpotensi sebagai “musuh dalam selimut” atau “musang berbulu ayam”. Cinta dunia takut mati : inilah peringatan jitu Muhammad menjelang wafat. Jitu karena sungguh kena untuk kaum Muslim kini. Nikmat dunia yang disodorkan Barat semisal materialisme dan hedonisme memegang peranan penting menciptakan “penyakit” ini. Sadar tidak sadar penyakit ini telah menjangkiti kita. Jika ini berkelanjutan, bukan mustahil kebangkitan Muslim hanya mimpi di siang bolong dan tetaplah kaum Muslim menjadi umat terkepung. Wallahua’lam bish shawwab. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt