Ketika Cahaya Hidayah Menerangi Qalbu (How Islam Touched Their Hearts) Oleh Imtiaz Ahmad M. Sc., M. Phil (London) Madinah Al-Munawwarah mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Alih bahasa Ir. Gusti Noor Barliandjaja Editor Muhammad Arifin M. A. (Madinah) Converted to PDF by Ir. H. Ismail Umar (Ad Dauhah Qatar) 2 Author Imtiaz Ahmad Citizenship American Degrees M. Sc., M. Phil (London) Experience * Head of Physics Department. Government Degree College Islamabad, Pakistan. * Principal Islamic Schools in America. * General Manager, Mercy International.U. S. A. * Founder of Tawheed center of Farmington Hills, Michigan and Tawheed Center of Detroit, Michigan, U. S. A. * Consultant, Arabian Advanced Systems, Saudi Arabia. Authors Address: P.O.Box: 4321, Madina Munawwara, Saudi Arabia E-Mail: mezaan22@hotmail.com Web site: www.imtiazahmad.com Send Questions in Indonesian Language to gusti_noor@yahoo.com Imtiaz Ahmad, 2006 King Fahd National Library Cataloging-in-Publication Data Ahmad, Imtiaz Ketika cahaya hiadayah menerangi Qalbu /A. A. Imtiaz Al-Madinah Al-Munawarah 2006 84 Pages - 14 21 cm ISBN: 9960-52-321-7 1- Muslim converts 1- Title 213 dc 1427 / 488 Legal Deposit No. 1427 / 488 ISBN: 9960-52-321-7 AL-RASHEED PRINTERS, Madina Munawwara P.O. Box: 1101 Tel. 00966-4-8368382 Fax: 8383426 3 DAFTAR ISI - Daftar Isi 3 - Pendahuluan 4 - Abdullah (Seorang Serdadu US Army yang memeluk Islam) 6 - James Abiba (Remaja Amerika yang menemukan Islam) 11 - Kathy (Pemudi Amerika; memeluk Islam setelah membaca terjemahan Al-Quran) 14 - Rehana (Perilaku Islami anak-anaknya yang Muslim mengubah sikap kakek-nenek mereka) 16 - Imam Siraj Wahaj (Seorang Muslim Amerika; Singa Allah) 19 - Susan (Seorang ibu yang bersama anak-anaknya menampakkan ciri-ciri Islam dalam kehidupan sehari-hari) 22 - Dr. Najat (Liku-liku dokter Hindu yang masuk Islam dan melayani komunitas Muslim tanpa pamrih) 25 - Jim (Kisah Perjalanan pemuda bersama kekasihnya yang Budha menuju Islam) 29 - Renda Toshner (Seorang Arsitek keturunan Turki Amerika; Syuhada Bosnia) 34 - Pengatar Khusus Edisi-3 39 - Donald Flood (Instruktur Bahasa Inggris dari Amerika) 41 - Joe Paul Echon (Insinyur Komputer dari Filipina) 59 - Ibrahim Sulieman (Mahasiswa studi Agama dari Nigeria) 68 - Janet Rose (Seorang guru di Canada) 72 - Timothy Sensinyi (Seorang Mahasiswa bidang Bisnis dari Kerajaan Lesotho) 74 - Surat dari Zulia Muhammed, Nigeria 81 - Ayat-Ayat Quran 83 4 PENDAHULUAN Dua puluh enam tahun bermukim di Amerika Serikat, telah saya dapatkan keleluasaan sekaligus kesempatan yang berharga untuk banyak bergaul dengan para warga Muslim Amerika, baik secara perorangan maupun juga bersama-sama keluarganya. Pengalaman ini begitu mengilhami dan semakin memperkuat iman didalam dada saya. Saya akui, seperti juga para imigran Muslim lain di sana, saya jalani kehidupan sebagai seorang Muslim dengan lebih baik daripada ketika kami masih berada di negri sendiri. Keadaan ini terdorong oleh para Mualaf (muslim baru) setempat yang patut saya banggakan dan hargai. Sebagian besar mereka, dibanding diri saya sendiri, sangat tinggi pengetahuannya tentang Islam dan, begitu pula pengamalan ajaran Islam. Semoga Allah SWT memberi saya kesempatan mengejar kertertinggalan saya dari mereka. Sebagian besar dari para insan Muslim yang kisahnya disajikan disini merupakan anggota masyarakat Muslim biasa-biasa saja di Amerika Utara. Namun apa yang telah mereka lakukan itu, saya rasakan adanya pengaruh yang amat besar terhadap diri mereka sendiri dan orang-orang disekeliling mereka. Kepahlawanan itulah, walaupun bersifat lokal, perlu untuk kita kenali. Ini merupakan perubahan positif ditataran akar-rumput masyarakat Amerika, yang membuat heran bahkan mengagetkan para penganut agama lain disana. Sebagai contoh, banyak dari para narapidana yang sangat kejam telah berubah menjadi warga negara berperilaku baik dan anggota masyarakat yang cinta damai, setelah mereka menerima Islam dalam kehidupan mereka. Para mualaf Amerika ini adalah cahaya hidayah bagi Muslim dan Non-Muslim. Diam-diam, mereka telah menghiasi masyarakat Amerika dengan perilaku mereka yang amat mengesankan. Pada waktu itu saya adalah guru matematika di sebuah Sekolah Negeri di Maryland. Menjadi guru adalah pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran. Banyak guru yang menjadi sangat kelelahan karenanya. Biasanya para anggota Departemen Matematika mengadakan acara makan siang bersama seluruh anggota pada akhir semester. Kami menamakan acara ini Proses Pengenduran. Kami selalu menghidangkan masakan yang kami masak sendiri, yang dikenal dengan nama Sloopy Joe, daging sapi giling yang dimasak dengan saus tomat dan cabai halus. Hidangan ini dimasak di Departemen kami menggunakan pemasak yang diatur lambat pemanasannya. Rekan-rekan kami sangat menyukai sloopy joe ini. Suatu kali, saya mengumumkan keras-keras bahwa sayalah yang akan menyediakan daging sapi giling untuk acara mendatang. Semua rekan sangat setuju. Ketika waktunya telah tiba, saya terlibat percakapan yang sangat berharga dengan seorang kolega; Namanya Cindy; ia beragama Yahudi. Dalam pembicaraan itu saya mengatakan kepadanya, Tidakkah 5 kamu merasa beruntung aku bawakan daging sapi giling untuk kita semua, yang halal bagi kita berdua? Diluar dugaan, ia menjawab, Tuan Ahmad, saya ini bukan Yahudi yang taat, bahkan saya pun memakan daging babi. Maka saya pun tidak melanjutkan membahas hal ini agar terhindar dari hal yang peka. Cindy dan saya memiliki perhatian yang sama dalam hal perumahan karena kami berdua juga sama-sama berprofesi sebagai Tenaga Penjualan Perumahan yang terdaftar. Cindy bekerja pada kantor perantara penjualan real-estate milik suaminya. Ia mengatakan bahwa keadaan pasar real-estate cukup baik. Ia pun menceritakan bahwa ia harus lebih sering mengurusi usaha suaminya itu, mengingat bahwa suaminya adalah seorang Perwira berpangkat Kolonel yang berdinas di Pentagon; Markas Besar Militer Amerika Serikat. Saya katakan kepadanya, Cindy, kenapa kamu tidak pernah muncul bertugas dalam kegiatan sore di sekolah kita, seperti acara pertandingan bola basket ataupun kegiatan olah raga yang lain? Iapun menjawab dengan nada berani, Kepala Sekolah tidak bisa mewajibkan saya mengerjakan tugas itu karena saya harus mengantarkan anak-anak saya dan juga anak-anak tetangga saya ke Sekolah Ibrani (sekolah agama Yahudi) tiga kali seminggu di hari kerja. Ini merupakan kegiatan tambahan diluar kegiatan rutin pelayanan keagamaan. Saya lakukan ini secara sukarela sejak beberapa tahun terakhir. Betapa Cindy telah mengejutkan saya. Diam-diam, Sayapun berbicara kepada diri sendiri; perhatikanlah perempuan muda ini. Ia seorang guru purna-waktu yang setiap hari kerja menyetir mobil sendiri menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah selama empat puluh lima menit sekali jalan. Selain itu ia masih bekerja paruh-waktu sebagai agen penjualan real-estate. Diluar itu semua, ia adalah seorang perempuan berkeluarga lazimnya, yang lengkap dengan kehidupan rumah-tangga dan kegiatan sosial. Sungguhpun begitu ia masih sanggup meluangkan waktu dan mengikatkan-diri (berkomitmen) dengan sukarela melayani kegiatan sekolah agamanya. Walaupun begitu, ia masih menganggap dirinya sebagai pemeluk Yahudi yang buruk. Sayapun mulai mempertanyakan, adakah komitmen pribadi saya, dan orang-orang di sekitar saya yang merasa telah menjadi Muslim yang shalih. Semoga Allah SWT mengokohkan Iman dan Amaliyah kami sebagai Muslim. Amiin. Imtiaz Ahmad, Madinah Al-Munawwarah, Juni 2002 6 Cahaya Hidayah di Perang Teluk.. ABDULLAH Ketika itu ia adalah seorang pemuda tamatan Sekolah Menengah. Berdinas aktif di US Army (Angkatan Darat Amerika Serikat) selama beberapa tahun, dimana ia memperoleh kesempatan belajar beberapa kemampuan teknis. Kini ia menghidupi diri dan keluarganya dengan menggeluti usaha jasa perbaikan mesin fotocopy dan mesin fax. Sungguh menarik menyimak kisah awal mula Abdullah memeluk Islam. Namun jauh lebih menarik mengetahui bagaimana ia menyusuri proses Islamisasi diri. Ketika pecah Perang Teluk yang melibatkan Pasukan Amerika Serikat dengan Pasukan Irak, ia ditempatkan di Saudi Arabia. Suatu hari ia sedang berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar Saudi. Di sebuah toko, ia memilih barang, tawar menawar dengan penjaga toko, dan akhirnya sepakat atas harga yang harus dibayar untuk barang tersebut. Namun berkumdanglah Adzan panggilan shalat dari Masjid terdekat kala ia hendak membayar belanjaannya itu. Cukup sudah! kata penjaga toko itu kepadanya seraya menolak melakukan transaksi dagang apapun hingga selesai melaksanakan shalat. Toko pun ditutupnya dan ia bergegas pergi menuju Masjid. Abdullah begitu terperanjat dan tak habis pikir dengan kejadian kecil ini. Mengapa si penjual tidak mau mengambil uang yang telah menjadi haknya dengan terjadinya kesepakatan harga diantara mereka. Tak sekalipun dalam kehidupan Abdullah menjumpai orang yang menolak uang. Pada umumnya, di dunia bisnis, semua orang memburu uang dengan berbagai cara. Orang macam apakah si penjual itu? Agama apa pulakah yang begitu utama di matanya? Abdullah begitu penasaran dan ingin mengenal lebih banyak tentang agama itu. Dibacanya berbagai buku tentang Islam, semakin hari semakin banyak buku yang dibacanya dan akhirnya ketika kembali pulang ke Amerika ia memutuskan untuk memeluk Islam. Di New York, ia mendapatkan banyak guru yang baik yang mengajarkan kepadanya dasar-dasar pendidikan Islam. Iapun memperoleh pengajaran membaca Kitab Suci Al-Quran. Ini menjadikan Abdullah seorang Muslim yang sangat ketat menjalani keIslaman-nya. Saya baru mengenal Abdullah manakala ia pindah ke Detroit. Ia telah memutuskan untuk bermukim didekat Masjid Pusat Tauhid Detroit dan melaksanakan hampir dari seluruh shalat lima waktunya di Masjid ini. Pada waktu itu saya bekerja sukarela menjalankan kegiatan humas Masjid. Menjalankan hubungan kemasyarakatan sebuah organisasi Islam bisa menjadi tantangan tersendiri. Banyak kejadian antara akhi Abdullah 7 dengan saya, yang cukup menimbulkan masalah sementara diantara kami berdua. Kami sama-sama tulus dengan cara kami masing-masing. Permasalahan diantara kamipun sirna tanpa bekas ditelan waktu. Bagaimanapun juga kejadian ini merupakan ujian kesabaran dalam berbeda pendapat dengan seseorang yang bisa saling berjumpa beberapa kali dalam sehari berkenaan dengan kegiatan Masjid. Suatu hari, saya meminta akhi Abdullah mengumandangkan adzan. Ia katakan bahwa itu akan dilakukannya diluar Masjid di tepi jalan raya. Saya katakan padanya bahwa kami telah melalui prosedur pendaftaran ke Pemerintah Kota Detroit dan Dinas Pemadaman Kebakaran setempat diawal pendirian Masjid. Dewan Kota telah mengadakan pengumpulan pendapat umum sebelum akhirnya mereka mengijinkan kami membangun Masjid. Namun ia tidak merasa perlu mendengar nasehat saya. Maka sayapun menegaskan dengan gamblang bahwa kalau itu tetap dilakukannya, maka saya harus berhadapan dengan masyarakat umum, Kejaksaan, Komisi Tata Ruang, dan juga Departemen Perencanaan Kota. Saya katakan dengan tegas kepadanya, Anda hanya datang, shalat dan pergi meninggalkan Masjid. Tak pernahkah terbayangkan dalam pikiran anda bagaimana sulitnya pengalaman kami berhadapan dengan mereka di Balai Kota. Berbuat bijaklah dan berhati-hati dalam menjalankan keIslaman kita. Jangan sampai kita membuat lingkungan tetangga kita Non-Muslim merasa terganggu dan tergerak untuk mengajukan keberatan? Lagi pula, seyogyanya kita pusatkan perhatian kita pada menghidupkan Iman saudara-saudara Muslim kita daripada membuat masalah dengan para tetangga Non-Muslim di lingkungan kita ini. Tetap saja nasehat saya ini tak dihiraukannya sama sekali. Ia tetap menolak mengumandangkan adzan dari dalam Masjid. Maka saya pun; seraya berdoa:Wahai Allah maafkanlah hambamu ini; terpaksa meminta orang lain untuk mengumandangkan Adzan. Secara kebetulan saya mengetahui bahwa hanya ada satu Masjid di Amerika Utara yang memiliki ijin meletakkan pengeras suara diluar Masjid. Keputusan yang diambil oleh pengadilan Dearborn, Michigan menguntungkan kaum Muslim karena hampir semua anggota masyarakat di likungan itu beragama Islam. Pernah juga akhi Abdullah meminta saya memberikan kunci Masjid kepadanya. Saya jelaskan bahwa Masjid hanya dibuka pada waktu-waktu shalat dan untuk keperluan asuransi telah dilakukan pembatasan kebebasan masuk Masjid. Beberapa minggu kemudian, ia meminta ijin kepada saya agar tamunya diperbolehkan tidur di Masjid pada malam hari. Tetapi saya tidak meluluskan permintaannya. Saya bertanya kepadanya, Mengapa anda tidak menyediakan tamu anda tempat bermalam di rumah anda? Iapun 8 mejawab, Karena saya telah beristri. Saya pun menawarkan kepadanya, Kalau begitu, biarkan tamu anda bermalam di rumah saya. Iapun balik bertanya, Bukankah andapun beristri? Saya katakan kepadanya, Benar, tetapi akan saya usahakan untuk mencarikan ruangan untuknya di rumah saya, atau saya akan carikan hotel untuknya dan saya yang akan membayar biayanya. Akhi Abdullah pun pergi begitu saja dengan membawa amarahnya. Ia hanya mau melakukan sesuai dengan cara yang diinginkannya. Ia pun menyatakan keberatannya atas perlakuan saya itu kepada saudara-saudara Muslim yang lain. Walaupun ia begitu kecewa, ia tetap pada komitmennya untuk shalat berjamaah di Masjid. Akhi Abdullah telah menghafal cukup banyak Surah dari Al-Quran, pelafalannya pun sangat memesona dan tepat. Saya memintanya menjadi Imam shalat Isya setiap hari. Semakin banyak Surah yang ia hafal dari hari ke hari. Ia pun amat menyukai Surah yang baru ia hafal dan cenderung untuk ia bacakan ketika menjadi Imam Shalat. Namun selalu saja ada kekeliruan dalam pembacaan surah yang baru dihafalnya. Tentu saja ini menimbulkan perasaan kurang nyaman bagi saudara-saudara Muslim lainnya yang menjadi mamum. Saya keluhkan hal itu kepadanya, saya sarankan agar didalam shalat ia hanya membaca surah-surah yang ia kuasai hafalannya dan saya juga minta agar sehari sebelumnya ia bacakan dulu di hadapan saya surah yang akan ia bacakan didalam shalat. Akhi Abdullah suka dengan saran saya ini. Maka ia menjadi lebih baik dan telah memahami sudut pandang saya. Kesalahan-kesalahan bacaannya pun telah hilang seluruhnya dan kerjasama yang didukung sikap untuk saling menolong ini telah menjadi jalan untuk mempererat kembali persaudaraan diantara kami. Pernah juga kami (jamaah masjid) ada masalah lain dengan akhi Abdullah. Ia pernah terbiasa membacakan surah yang panjang dan dilanjutkan dengan surah Al-Ikhlas didalam setiap rakaat, sehingga shalat berlangsung lama. Kadangkala, shalat isya yang ia pimpin bisa berlangsung sampai duapuluh menit. Banyak peserta shalat berjamaah yang tidak siap menjalani dan memiliki kesabaran cukup dalam hal demikian ini. Saya ungkapkan perasaan para jamaah ini kepadanya. Iapun menjawab bahwa ia menyukai cara yang ia lakukan itu, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh salah satu sahabat Rasulullah SAW yang selalu menyambung pembacaan surah didalam shalatnya dengan surah Al-Ikhlas setiap kali mengerjakan shalat. Saya katakan kepada akhi Abdullah, Sepanjang pengetahuan saya, surah Al-Ikhlas hanya disambungkan dengan pembacaan surat lain didalam rakaat ke-dua. Kembali ia menjawab, Saya baca sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa itu dilakukan di kedua rakaat. Maka tak seorangpun dapat mencegahnya 9 membaca sebuah surah panjang diikuti dengan pembacaan Surah Al-Ikhlas di setiap rakaat. Suatu hari saya melihatnya sedang membaringkan badannya disisi kanan dan ditopangnya kepalanya dengan lengan kanannya menjelang shalat Subuh berjamaah. Saya pun menjadi khawatir dan menghampirinya, saya tanyakan kepadanya adakah terjadi sesuatu pada dirinya. Ia katakan bahwa ia baik-baik saja dan ia menjelaskan bahwa ia melakukan apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW untuk beristirahat sejenak dengan posisi tubuh sebagaimana ia sedang lakukan. Akhi Abdullah selalu ingin mencoba melakukan apapun yang ia baca dari Al-Quran dan Al-Hadits tanpa sedikitpun merasa canggung ataupun malu. Kehidupan rumah-tangganya pun amat mengesankan. Istrinya dan banyak saudara-saudaranya yang masuk Islam melalui usahanya yang gigih mendakwahkan Islam kepada mereka. Ia dikarunia Allah SWT banyak anak. Semua anaknya sangat bagus dalam membaca al-Quran. Anak lelakinya yang tertua, waktu itu berumur tujuh tahun, telah hafal sebagian Al-Quran atas bimbingan sang Ayah. Bersama-sama sang Ayah pula si anak secara teratur hadir untuk shalat bejamaah di Masjid, bahkan juga untuk shalat Subuh. Saya belum pernah tahu, adakah ayah-ayah yang lain yang dengan senang hati membawa anak lelaki mereka yang baru berusia tujuh tahun untuk berjamaah shalat subuh di Masjid, walaupun cuaca begitu dinginnya, lagi bersalju ataupun sedang hujan. Seusai shalat Subuh, akhi Abdullah biasanya mengajarkan Al-Quran kepada anak lelakinya itu di Masjid. Maka, jadilah anak lelakinya itu istimewa dalam hal pengetahuan dan pengamalan Islamnya, begitupun perilakunya sungguh menawan. Pembacaan Al-Qurannya pun seindah sang Ayah. Adabnya bagaikan seorang pria dewasa berusia tigapuluh tahun. Semoga kelak, ia bisa menjadi Imam Masjid yang baik. Seiring berjalannya waktu, akhi Abdullah tidak hanya memegang kunci Masjid, iapun bertanggung-jawab atas pelaksanaan shalat berjamaah di Masjid. Terpikirkan pula oleh saya, bahwa ia pun telah siap untuk memberikan khutbah Jumat. Meskipun awalnya sedikit engan, iapun bersedia untuk berkhutbah sekali saja. Itupun telah dikerjakannya dengan amat sangat baik. Oleh karena itu iapun selanjutnya ditugasi untuk setiap bulannya satu khutbah Jumat di Pusat Tauhid Detroit dan satu Jumat di Pusat Tauhid Farmington Hills, Michigan. Ia laksanakan tugas sukarela ini dengan begitu baik. Tanpa maksud membesar-besarkan, banyak jamaah yang datang untuk memintanya menjadi Khatib Tetap di kedua Masjid itu. Mereka juga suka mendengarkan pembacaan Al-Quran olehnya. Jujur saja, kamipun 10 bisa mengumpulkan infaq-shadaqah lebih banyak di masing-masing masjid itu manakala akhi Abdullah memimpin Shalat Jumat. Suatu hari diwaktu Subuh, manakala shalat Subuh berjamaah telah usai dan semua jamaah telah pulang ke rumah masing-masing, akhi Abdullah datang ke Masjid Pusat Tauhid Detroit bersama seorang akhi Muslim setempat. Saya sedang membaca kitab suci Al-Quran ketika mereka memasuki masjid. Mereka pun menunaikan shalat Subuh. Setelahnya, saya menyambut kehadiran mereka berdua yang baru saja pulang dari menunaikan ibadah Haji. Saya mendesak mereka agar berkenan singgah ke rumah saya untuk sarapan pagi. Akhi Abdullah menolak ajakan saya, ia katakan bahwa ia belum pulang ke rumah dan langsung menuju masjid. Ini ia lakukan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW yang selalu mendahulukan singgah di Masjid sepulang beliau dari sebuah perjalanan, sebelum pulang ke rumah untuk menjumpai keluarga beliau. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, seberapa banyakkah orang-orang yang terlahir dari keluarga Muslim yang mengamalkan sunnah Rasulullah SAW ini? Kini, akhi Abdullah suka menertawakan dirinya dimasa lalu yang begitu kaku perilakunya. Ia sekarang telah bisa menerima beraneka-ragam pengamalan ajaran Islam. Iapun sudah mulai bersedia mengumandangkan adzan dari dalam Masjid. Setelah akhi Abdullah berkesempatan menyampaikan khutbah Jumatnya yang pertama, seusai shalat saya memperkenalkannya kepada para jamaah, saya ceritakan bagaimana kisahnya memeluk Islam dan betapa bangga putranya ikut sang Ayah melaksanakan shalat Subuh di Masjid setiap hari. Begitu selesai perkenalan itu saya sampaikan nampak betapa akhi Abdullah begitu ingin mengetahui tangapan saya mengenai khubtbah yang dibawakannya. Saya katakan kepadanya bahwa khutbahnya baik sekali, iapun menyelesaikan dengan tepat waktu, sementara sering terjadi banyak khatib yang sulit untuk mengakhiri khutbahnya. Ia pun pergi tanpa berkomentar lagi. Setelah shalat Isya akhi Hani ingin berbicara dengan saya. Ia berkata, Akhi Abdullah merasa tersinggung, ia menganggap bahwa memujinya didepan umum sama halnya; sebagaimana yang diriwayatkan sebuah hadits; memotong urat lehernya. Saya menanggapinya, Hendaknya anda merujuk juga hadits yang lain, bahwa kitapun dianjurkan untuk menghormati secara patut dan menyampaikan penghargaan kepada siapapun yang pantas menerimanya. Nabi Syuaib AS juga menekankan agar umatnya tidak kikir memberikan penghargaan yang patut diberikan. Hal ini juga tercantum dalam berbagai ayat didalam Al-Quran. Banyak orang yang hanya dengan memperhatikan sebuah hadits langsung menarik kesimpulan sendiri. Alhamdulillah saya tidak melebih-lebihkan apapun dalam memperkenalkan dirinya. Terlebih lagi, 11 jamaah perlu mengenal segala sesuatu mengenai Khatib yang baru. Saya sampaikan pendapat saya ini kepada akhi Abdullah pada keesokan harinya. Iapun merasa puas dengan penjelasan saya. Sebulan setelah kejadian itu, sekali lagi saya memperkenalkannya kepada para jamaah setelah kedua-kalinya ia menyampaikan khutbah Jumat. Saya berkata, Saya bukannya memuji akhi Abdullah, tetapi saya rasa, saya perlu berlaku adil dalam menyampaikan fakta dan mutu sebenarnya dari khatib kita yang baru. Setelah memperkenalkannya , saya pun menambahkan bahwa tugas dan tanggung-jawab dijalankan bersama-sama. Kini akhi Abdullah dan akhi Hani memikul tanggung-jawab atas Masjid manakala saya berhalangan hadir ke Masjid. Mereka berdua menjalankan tugas dan tanggung-jawab mereka dengan baik sekali. Akhi Abdullah mengikuti kelas bahasa Arab pada sebuah perguruan lokal, pengajarnya adalah Dr. Syeikh Ali Suleiman. Maka kini iapun telah mampu berbahasa Arab dengan baik, memahami beberapa tata-bahasanya. Ia pun terus membaca dan menghafal surah-surah Al-Quran. Iapun belajar Hadits, memimpin Shalat Jumat, dan juga membimbing banyak orang yang belum beriman kepada cahaya Islam. Seorang tamatan sekolah menengah dengan ketulusan dan komitmennya telah berhasil mengerjakan hal-hal besar ini, juga memperkenalkan dan mendakwahkan Al-Islam ditengah-tengah masyarakat dari berbagai macam keyakinan. Itulah Akhi Abdullah, salah seorang produk sampingan dari Perang Teluk. Masih banyak lagi serdadu-serdadu lain yang menjadi pemeluk Islam setelah berkunjung ke Saudi Arabia. __________________________ Cahaya Hidayah di Perpustakaan Sekolah JAMES ABIBA Kisah ini terjadi pada waktu saya bertugas sebagai pengajar matematika dari Kelas-9 sampai dengan Kelas-12 pada Fort Mead High School di Maryland. Setiap hari saya harus mengajar di lima kelas yang berbeda. Setiap kelas terdiri atas sekitar empat puluh siswa. Namun James Abiba bukanlah salah satu dari murid di kelima kelas itu. Ia menghubungi saya melalui salah seorang siswa saya, meminta ijin untuk menemui saya. Tentu saja saya bersedia. Ketika bertemu, James menanyakan kepada saya pertanyaanpertanyaan dasar seputar Islam, saya berikan jawaban-jawaban ringkas atas pertanyaan itu. Pada kesempatan berikutnya ia datang lagi dengan lebih banyak pertanyaan. Saya pun berbalik menanyakan, Adakah ini dari 12 Kelompok belajar Pelajaran Sosial? Ia menjawab bahwa, secara kebetulan ia membaca sebuah buku perihal Islam di perpustakaan sekolahnya. Entah bagaimana, ia menjadi penasaran untuk mengetahui Islam. Saya mengingatkannya perihal konflik antara agama dan negara. Karena itu sekolah negeri bukanlah tempat yang tepat untuk mendiskusikan secara lebih terperinci. Saya ajak dia ke sebuah restoran cepat saji. Sambil menikmati makanan ringan, kami berdiskusi disana. Sebuah diskusi yang amat positif. Pada waktu itu James baru berumur 16 tahun. Beberapa hal menimbulkan kecemasan pada diri saya. James masih tergolong remaja, ia belum tergolong dewasa. Bisa saja orangtuanya mempermasalahkan saya. Terlebih lagi, Fort Mead adalah sebuah wilayah pangkalan militer yang terletak berdekatan dengan kantor Agensi Keamanan Nasional (NSA). Kadang saya khawatir, bisa-bisa timbul situasi yang tidak menyenangkan untuk diri saya. Puncak kecemasan saya adalah, ternyata ayahnya bertugas purna-waktu di NSA. Walaupun demikian, kami telah melangsungkan beberapa kali pertemuan di restoran cepat-saji. Pembicaraan kami begitu jujur dan banyak membuahkan pengertian. Iapun ingin melihat tempat ibadah Islam. Saya tunjukkan kepadanya sebuah rumah yang sangat tua, yang digunakan sebagai Masjid di kota tetangga; Laurel, Maryland. Saya peragakan kepadanya bagaimana cara bersembahyang umat Muslim. Ia menyukai kesederhanaan dan komunikasi langsung yang terjadi antara seseorang dengan Tuhan yang Maha Kuasa. Selanjutnya, James mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang Muslim. Saya terangkan kepadanya bahwa untuk itu hanya perlu proses yang sangat sederhana. Namun saya peringatkan juga konsekuensinya jika ia berbalik tidak beriman lagi. Maka, saya anjurkan dia untuk memanfaatkan waktu yang lebih banyak lagi untuk memperkaya pengetahuannya tentang Islam sebelum ia memutuskan memeluk Islam. Beberapa hari setelah itu, ia berkeras bahwa dirinya harus memeluk Islam. Alhamdulillah ia telah melakukannya. Kini lebih banyak tantangan bagi kami berdua. Saya mendapat tugas baru yang harus saya kerjakan. Setiap hari Ahad saya menjemputnya di rumahnya dan membawanya ke Masjid untuk shalat dzuhur. Selama didalam masjid saya ajarkan kepadanya abjad Arab, ternyata ia bisa menguasai dengan begitu cepat. James adalah seorang pemain musik, ia sangat antusias belajar mengumandangkan Adzan. Dengan segera ia telah pantas menjadi Muadzin di Masjid. Saya sadari betapa suara Adzan seorang mualaf begitu menyentuh. Tahap demi tahap, James mulai membaca Al-Quran dalam bahasa Arab. Suatu hari saya pergi menjemput ke rumahnya. Saya terperanjat mendapatinya mengenakan pakaian khas Saudi lengkap dari kepala sampai 13 kaki. Saya menjadi sangat khawatir, karena para siswa saya, orangtuanya, dan juga teman-temannya sudah sering berbisik-bisik tentang kunjungan saya secara teratur ke rumahnya. Saya katakan, Kamu tidak harus berpakaian seperti ini, Muslim boleh mengerjakan shalat dalam pakaian ala Amerika juga. Ia menampik seraya berkata, Pak Ahmad, anda lemah Iman. Adakah orangtuamu marah kamu berpakaian begini? Tanya saya. Tidak! Mereka begitu penuh pengertian. Bahkan Ibuku memasak menu halal untukku setiap hari. Jawabnya. Betapa lega saya mendengar jawaban ini. James masih duduk di bangku sekolah lanjutan. Ia mendekat, menyampaikan niatnya kepada saya untuk mengganti namanya dengan nama Islami. Dengan hati-hati saya meyakinkannya bahwa dengan namanya yang sekarang ia akan lebih mudah meng-komunikasikan nilainilai Islam kepada teman sebayanya. Malahan, bisa-bisa mereka menjauhinya jika ia mengganti nama yang berbau Islam. Sekali lagi ia berkata tegas, Pak Ahmad, Iman anda lemah. Maka namanya pun berubah menjadi, James Huseyin Abiba. Dalam kesempatan ini saya hendak mengetengahkan gambaran yang mengagumkan tentang masyarakat Amerika. Banyak remaja Amerika yang berusaha mendapatkan pekerjaan sementara guna mengumpulkan dana untuk bekal dirinya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Walaupun orangtua mereka banyak yang kaya dan terpandang status sosialnya, anak-anak mereka tidak merasa malu untuk mencari pekerjaan, meskipun itu pekerjaan kasar, demi mewujudkan harapan mereka. Mereka para remaja, tidak sembunyi-sembunyi melakukan pekerjaan sepele itu. Dengan bangganya mereka saling berbagi pengalaman dengan kawan, saudara, dan tetangga mereka. Pekerjaan demikian membawa mereka kepada kenyataan pasang-surut kehidupan yang sesungguhnya. Dengan demikian, meningkatkan kematangan diri dan rasa tanggung-jawab mereka. Akan halnya James, iapun mencari pekerjaan di musim panas untuk waktu seusai wisudanya dari Sekolah Lanjutan. Istri saya melatih James sebagai penerima-tamu medis dan mempekerjakan James di Klinik miliknya. Istri saya baru saja membuka praktek medisnya, karena itu tidak terlalu banyak pasien. Maka, cukup banyak waktu luang bagi James untuk membaca buku-buku Islam disana. Biasanya, James merayakan Ied bersama keluarga saya. Suatu kali, Allah SWT memberikan kesempatan saya melakukan perjalanan dari Amerika menuju Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah dalam bulan Ramadhan dan Ied. Dalam kebahagiaan ini, saya prihatin dengan kesendirian James di Amerika. Sekembali saya ke Amerika saya bergegas mencari kabar perihal keadaan James dari para ikhwan Muslim di masjid kami. Dengan bersemangat mereka berkisah, James ikut ambil 14 bagian di berbagai kegiatan Ramadhan, bahkan ia pun tinggal di masjid melakukan Itikaf selama sepuluh hari teakhir bulan Ramadhan. Mereka menambahkan, Ia selalu lebih dulu mempraktekan Islam dibandingkan kami. James begitu rendah-hati tidak pernah ia ceritakan kepada saya soal Itikafnya. Saya panjatkan doa ke Hadirat Allah SWT, semoga Allah menerima ketulus-ikhlasan James berserah diri kepada-Nya. Ia melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi dan lulus sebagai Sarjana dibidang Sejarah Islam. Iapun dikenal sebagai Ketua Asosiasi Mahasiswa Muslim di kampusnya di College Park, Maryland. Ia menikahi gadis Muslimah asal India. Selanjutnya mereka berdua menjadi guru di sekolah Islam yang dikenal sebagai Universal Islamic School, di Chicago. _______________________________ Cahaya Hidayah Itu Tersimpan Untuknya... KATHY Saya mengakhiri tugas di organisasi pendidikan Maryland dengan kedudukan sebagai Ketua Departemen Matematika untuk kemudian bergabung dengan Sekolah Islam Seattle, sebagai Kepala Sekolah. Kathy bertugas sebagai sekretaris di sekolah ini, ia juga aktif sebagai seorang pekerja sosial Muslimah di lingkungannya. Ia memeluk Islam secara unik yang di jalaninya sendiri. Berikut ini adalah kisah yang diceritakannya kepada saya: Sewaktu masih duduk di Sekolah Dasar, saya ditemani ibu pergi mengunjungi perpustakaan umum. Perpustakaan ini tidak membuang begitu saja buku-buku duplikat dan buku-buku yang sudah waktunya diganti. Mereka menjual buku-buku itu dengan harga murah untuk mengumpulkan dana. Penjualan buku murah pun sedang berlangsung ketika saya datang ke perpustakaan itu. Saya mempunyai beberapa keping recehan logam di kantong, maka saya pun membeli sebuah buku seharga satu sen dollar. Sesampai di rumah, buku itu saya simpan begitu saja di kamar. Kehidupan terus berjalan bersama sang waktu, saya lulus dari Sekolah Dasar. Melanjutkan ke Sekolah Menengah, dan begitu seterusnya, selesai dari Sekolah Menengah saya pun meneruskan belajar ke Sekolah Lanjutan, sehingga akhirnya saya pun lulus dari Sekolah Lanjutan. Beruntung saya sanggup melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Saya tidak memilih bidang Sains, tetapi memilih jurusan Art (Seni/Budaya). Bidang studi utama yang saya tekuni adalah Perbandingan agama-agama. Professor saya menawarkan begitu banyak pilihan tugas kerja di bidang ini. Tema Utamanya adalah studi perbandingan agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Namun tak satupun dari para pengajar kami yang beragama 15 Islam. Saya lalui semua tugas perkuliahan dengan mudah dan lancar. Dengan demikian, saya telah mengumpulkan banyak nilai untuk dinyatakan lulus. Sebagai lulusan baru, saya mulai mencari pekerjaan. Sangat sedikit lapangan kerja yang tersedia di daerah tempat tinggalku. Bagaikan mendapatkan keajaiban bahwa seorang perempuan lulusan jurusan Seni/Budaya bisa memperoleh pekerjaan. Saya menjadi begitu lelah, bosan dan duduk termenung di rumah hampir sepanjang waktu. Untuk mengusir rasa jemu, saya mulai mencari-cari bebagai barang yang saya miliki di rumah. Sampailah saya menemukan buku yang pernah saya beli bertahuntahun lalu ketika saya mengunjungi perpustakaan. Begitu lama tersimpan buku itupun tertutup debu. Saya bersihkan debu-debu itu dan mengambil buku itu. Adalah hal biasa bila seseorang menghargai apa yang telah pernah dibelinya menggunakan uangnya sendiri, terutama bagi seorang anak. Begitu pula bagi saya buku itu adalah sebuah barang berharga yang saya miliki. Saya mulai membaca buku itu halaman demi halaman. Ternyata buku itu berisi terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris. Isinya begitu menarik. Semakin jauh saya membacanya, saya semakin dibuat penasaran untuk lebih mengenal Islam. Apa yang tertulis disitu amat sangat berbeda dengan apa yang pernah diajarkan oleh professor saya di perguruan tinggi. Namun Demikian, nilai-nilai kebenaran Islam yang diketengahkan didalam Al-Quran memberikan kepuasan bagi akal dan nurani saya. Saya pun tersadar bahwa, jika demikian inilah Islam, sungguh sangat mengagumkan. Saya ingin menjadi seorang Islam. Saya pun berusaha memperoleh informasi bagaimana caranya saya bisa masuk Islam. Ternyata prosesnya begitu sederhana sekali, maka sayapun memeluk Islam. Alhamdulillah. Segera setelah itu, saya menikahi seorang pemuda Muslim dari Afghanistan. Berdua, kami memberikan pelayanan kepada masyarakat Muslim dan bekerja bahu-membahu dengan para pemimpin Muslim setempat. Tak pernah kami berharap untuk mengubah jalan hidup kami ini. Semoga Allah SWT menerima perjuangan kami.Amiin ___________________________________ Cahaya Hidayah Hadir Bersama Kelahiran Anak... REHANA Banyak berpindah-pindah merupakan kewajaran dalam pola kehidupan Amerika. Menurut perkiraan, rata-rata sebuah keluarga tidak pernah menetap di tempat yang sama lebih dari lima tahun. Menggunakan 16 ukuran ini, keluarga saya pun termasuk dalam keluarga Amerika sejati. Kami berpindah dari Seattle ke daerah perumahan di pinggiran kota Los Angeles. California. Tetangga Muslim kami yang terdekat adalah akhi Abdul Wahab. Kami tidak hanya bertemu di Masjid setiap hari, lebih dari itu kami juga secara rutin berbagi secangkir teh. Suatu hari, Abdul Wahab bertutur panjang-lebar ihwal tantangan dan ujian yang dilaluinya menjelang ber-Islam-nya sang istri, Rehana. Berikut ini adalah kisah mereka: Ketika menikahi Rehana, saya adalah seorang Muslim yang tidak menjalankan perintah agama, begitupun Rehana ia seorang Kristen yang tidak pernah menjalankan agamanya. Jarang sekali saya pergi ke masjid, begitupun ia tidak pernah pergi ke gereja. Saatnya pun tiba bagi kami dikaruniai keturunan oleh Allah SWT. Saya coba untuk membicarakan dengannya untuk pergi beribadah ke masjid. Terang-terangan ia menolak. Bahkan ia mengejutkan saya dengan mulai pergi ke gereja. Semakin sering saya mengajaknya ke masjid, semakin sering pula ia hadir ke gereja. Tak seorang lelaki pun yang bisa menang menghadapi perempuan. Gumam Abdul Wahab, dan meneruskan cerita, Maka sayapun menawarkan kompromi dengan penuh kelembutan dan kesantunan. Saya tawarkan, satu akhir pekan saya bersamanya hadir di gereja, dan akhir pekan berikutnya kami berdua hadir ke masjid. Ia menerima usul ini, walau dengan ogah-ogahan. Inilah cara yang bisa saya lakukan agar dapat memperkenalkan Islam kepadanya. Saya sadari bahwa saya pun harus menjadi Muslim yang mempraktekkan ajaran Islam sebaik-baiknya. Berperilaku Islami di rumah maupun di lingkangan sekitar saya. Hanya itulah cara agar istri saya dapat menemukan dan menikmati nilai-nilai Islami. Maka saya perbaiki diri saya. Aspek menguntungkan dan merugikan dalam hubungan suami-istri tidak boleh dibiarkan terpendam dalam diri masing-masing, mengingat kami berinteraksi sangat dekat dalam keseharian, dari hari ke hari. Ini merupakan pola hidup yang baru sekaligus indah bagi diri saya. Harus berperan sebagai sosok yang menghasilkan nilai positif. Sedikit demi sedikit, lambat namun pasti, Rehana mulai memahami Islam melalui pengalaman positif di rumah dan di lingkungan masyarakat Muslim. Apresiasinya terhadap Islam, tumbuh dan berkembang dari hari ke hari. Dan, sampailah pada puncaknya, ia memeluk Islam. Segala puji hanyalah bagi Allah!!... Alhamdulillah..!! Rehana yang sekarang lain dengan Rehana yang dahulu. Ia kini mengenakan kerudung penutup kepala merepresentasikan dirinya seorang Muslimah. Ia tak habis pikir mengapa banyak perempuan yang terlahir Muslimah tidak bersedia mengenakan pakaian penanda keIslamannya. Ia juga berkeinginan agar anak-anaknya memperoleh pendidikan di Sekolah 17 Islam yang berlangsung sehari penuh. Ia pun tetap melanjutkan menimba ilmu Islam bagi dirinya sendiri. Ia meminta suaminya membawakan salinan kuliah Fiqih (hukum) Islam yang diselenggarakan di Masjid oleh Dr. Muzammil Siddiqi, demi memperkaya kegiatan pendidikan dan pertumbuhan keIslamannya. Pada tahap ini, masalah Abdul Wahab telah usai dan masalah Rehana baru saja dimulai. Rehana berjuang keras untuk belajar dan terus belajar tentang Islam. Apapun yang telah dipelajarinya, ia berusaha menerapkan karena ia rasakan kesesuaian ajaran Islam dengan hati nurani dan akal-pikirannya. Diserapnya nilai-nilai Islami dengan kepala-dingin. Setiap kami berkesempatan bercakap-cakap dengannya, kami dapati ia semakin baik sebagai Muslimah. Lebih baik dari mereka yang dilahirkan dalam keluarga Muslim. Kecintaannya terhadap penerapan ajaran Islam menjadi inspirasi bagi kami. Rehana sangat berterima-kasih kepada suaminya atas hadiah istimewa yakni membawa dirinya menjadi sosok muslimah yang penuh Iman dan nilai-nilai Islami Orangtua Rehana tinggal di Chicago. Ber-Islamnya Rehana merupakan kejutan besar bagi mereka. Mereka bereaksi sangat menentang hal itu. Ayahnya bersikap kaku, kasar, dan terang-terangan tidak bisa menerimanya. Bahkan mereka berdua tidak lagi berkunjung ke rumah Rehana. Bagi Rehana, adalah kewajiban seorang anak untuk mengunjungi orangtuanya. Sambil berharap ia bisa mengajak orangtuanya ke Jalan Kebenaran. Biasanya ia kembali ke Los Angeles dalam keadaan begitu lelah setelah mengunjungi orangtuanya di Chicago. Anak-anaknya pun selalu dibawa serta bila ia berkunjung. Kakek-nenek mereka kaget dan kagum dengan begitu baiknya sikap dan perilaku cucu-cucu mereka, para Muslim belia itu. Jauh di lubuk hati mereka yang paling dalam mereka mulai merasakan bahwa Islam tidaklah seburuk gambaran yang mereka dengar, sehingga mereka setuju untuk mengunjungi Rehana di Los Angeles. Saya mengundang keluarga Abdul Wahab untuk makan malam, saya undang juga bapak-ibu Naseem. Ibu Naseem juga seorang mualaf berkebangsaan Amerika yang selalu mengenakan busana muslimah. Maksud saya mengundang juga mereka , agar kedua orangtua Rehana mengenal lebih banyak Muslim. Malam itu begitu menyenangkan sehingga kami berkumpul bersama hingga larut malam. Orangtua Rehana menjadi begitu ramah. Sekitar pukul satu dini hari, kami mengakhiri bincangbincang kami. Kami berpisah satu sama lain dalam suasana hati yang nyaman. Sampai disini kisah lain terjadi. Sementara Rehana dan keluarganya berjalan kaki menuju kediamannya, bapak-ibu Naseem harus mengemudikan mobil sejauh sekitar 20 Mil (setara 30 km) menuju tempat 18 tinggal mereka di Riverside ditengah larutnya malam. Pada jam-jam seperti ini pengemudi mabuk adalah ancaman di jalanan. Mobil pasangan Naseem tertabrak mobil lain yang dikemudikan oleh orang mabuk, sedemikian kencangnya tabarakan itu sehingga pak Naseem dan istrinya terlempar keluar dari mobil mereka. Pak Naseem tergeletak di tepi jalan tak sadarkan diri, sedangkan Bu Naseem menderita cedera tulang yang parah namun masih dalam keadaan sadar. Ia duduk disisi suaminya sambil terus menerus membaca Al-Quran yang dilantunkan dengan suara lantang. Pada saatnya, paramedispun tiba ditempat kejadian. Begitu mereka melihat bahwa korban kecelakaan dalam pakaian yang asing bagi mereka dan berbicara dalam bahasa yang asing bagi telinga mereka, pertanyaan pertama yang terucap dari paramedis itu adalah Anda bisa berbahasa Inggris? Maka Bu Naseem pun mengiyakan dan menjelaskan bahwa yang tadi diucakannya adalah ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa Arab. Alhamdulillah, atas Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, setelah melalui perawatan berbulan-bulan di rumah sakit, mereka pulih seperti sediakala. Orangtua Rehana ke Chicago setelah menginap beberapa hari. Rehana pun berharap suatu saat kelak kedua orangtuanya bisa menerima Islam. Suatu hari istri saya memberitakan bahwa Rehana sedang bersedih berurai air mata karena ibundanya sakit parah. Rehana khawatir ibu yang dicintainya wafat sebelum menerima Islam dan sebagai akibatnya akan menderita di Hari Kemudian. Malang tak dapat ditolak sang ibunda pun meninggal sebelum beriman. Setelahnya, menjadi lebih sulit bagi dirinya untuk berbicara dengan sang ayah. Kami semua berusaha untuk membantu mengatasi keadaan ini. Abdul Wahab mengunjungi ayah mertuanya tanpa mengusik dengan pembicaraan serius. Ayah Rehana adalah teman saya juga, maka sayapun ingin ikut membantu. Pada waktu itu saya telah pindah ke Detroit, Michigan. Saya menelepon ayah Rehana dan mengundangnya ke kediaman kami di Detroit yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya di Chicago. Namun sayang, kesan Detroit pada waktu itu dikotori oleh ulah bodoh sebagian oknum polisi kota itu. Karenanya meskipun senang dengan undangan saya, ayah Rehana mengatakan, Imtiaz, tentu saja saya senang jika bisa bertemu denganmu, namun saya pun selalu berusaha sebaik-baiknya untuk tidak menyusuri jalanan Detroit seumur hidup saya. Semoga Allah SWT memberikan hidayah bagi ayah Rehana kepada jalan yang lurus. Amiin. _______________________________ Cahaya Hidayah dalam Tilawah Al-Quran 19 Imam SIRAJ WAHAJ The Muslim Student Association (MSA); yang berarti Perhimpunan Mahasiswa Muslim; dahulu merupakan sebuah organisasi payung yang menaungi para Muslim di Amerika dan Kanada. Siraj Wahaj dan saya sendiri, telah mendapatkan kesempatan terhormat sebagai anggota Majlis Syura (dewan penasehat) sekaligus anggota Dewan Pelaksana MSA. Bertahun-tahun sudah, mahasiswa Muslim menjadikan Negara Amerika Serikat sebagai rumah masa depan mereka, dan oleh karena itulah mereka menjadi warga negeri Paman Sam ini. Guna melayani kebutuhan para warga negara ini, maka dibentuklah organisasi payung yang baru, yang dinamakan ISNA; Islamic Society of North America, (Masyarakat Islam Amerika Utara). Didalam organisasi baru ini, kami berdua pun menjadi anggota Majlis Syura sekaligus anggota Dewan Pelaksana. Kami harus sering mengikuti pertemuan di kantor pusat ISNA di Indiana. Biasanya, pertemuan berlangsung sangat lama dan begitu melelahkan. Jarang sekali kami mempunyai kesempatan untuk ngobrol bebas satu sama lain, karena agenda rapat yang begitu panjang. Hanya sebagian kecil anggota yang sempat mengemukakan pendapat terhadap pokok bahasan yang beraneka ragam. Dalam keadaan begini, saya rasakan kehampaan diantara para pimpinan kelompok-kelompok Muslim tingkat nasional itu. Beruntung sekali, suatu hari saya sempat bersama Siraj Wahaj sewaktu rehat makan siang dalam acara pertemuan Dewan Pelaksana ISNA. Saya sangat ingin mengetahui awal mula ia bisa menerima Islam. Inilah penuturannya: Dulu saya anggota kelompok pergerakan Black Moslem (Muslim Kulit Hitam) yang memiliki banyak perbedaan ajaran dan amalan dengan Muslim tradisional. Suatu kali, MSA mengadakan perkemahan musim panas dalam rangka pelatihan para relawan masyarakat. Saya adalah salah seorang peserta. Acara itu diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al- Quran oleh seorang akhi berkebangsaan Sudan. Walaupun waktu itu saya tidak mengenal bahasa Arab, namun lantunan ayat-ayat suci Al-Quran itu merasuk jauh kedalam diri saya. Saya pun mulai terisak-isak berurai airmata. Semakin banyak ayat yang saya dengar, semakin deras airmata mengucur dari kedua mata saya ini, mengalir turun membasahi kedua pipi dan jatuh membasahi pakaian. Saya tidak mengenal bahasa Arab sepatah katapun. Saya pun berkata pada diri sendiri, Apapun arti ayat ini, nampak begitu nyata. Maka, setelah peristiwa itu saya menganut aliran tradisional Muslim Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah). 20 Akhi Siraj begitu rajin belajar bahasa Arab dan menguasai pembacaan Kitab Suci Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW dalam waktu singkat. Segera setelah itu ia pun menjadi Imam Masjid At- Taqwa, New York. Khutbah Jumatnya juga sangat berbobot. Melalui dakwah yang disampaikannya banyak lelaki dan perempuan menjadi pemeluk Islam. Masyarakat Muslim di sekitar masjidnya tumbuh dan berkembang semakin besar, dan oleh karena itu ia diangkat sebagai pemimpin North American Muslims (Ummat Islam Amerika utara). Saya juga sempat menanyakan pendapatnya ihwal kegiatan ISNA dan kelompok-kelompok Muslim yang lain. Dengan lantangnya ia menjawab, Kalian semuanya lamban dan hasil dari kegiatan yang kalian kerjakan sedikit sekali. Tengoklah contoh sewaktu saya masih menjadi bagian dari Black Moslems Movement, saya harus berjualan koran banyak sekali. Berdiri berjam-jam bersusah-payah agar semua koran yang saya bawa habis terjual. Terkadang kedua belah kaki saya sampai gemetar kelelahan meskipun saya masih muda. Sebagian besar kalian banyak bicara sedikit sekali bekerja! Usai ia melontarkan jawaban ini, tidak ada lagi waktu tersisa untuk bertanya lagi kepadanya walau satu pertanyaan saja. Masjidnya terletak ditengah Kota New York, dimana perdagangan narkoba berlangsung siang-malam. Para gembong pengedar narkoba itu kaya raya dan amat sangat berbahaya. Untuk mengenyahkan peredaran narkoba dari wilayah ini sangatlah sulit dan beresiko tinggi. Pengedar dengan mudahnya membunuh setiap pengganggu kegiatan perdagangan mereka. Tak tanggung-tanggung, perdagangan merekapun berkembang pesat diseputaran Masjid At-Taqwa. Tentu saja Imam Siraj tidak menyukai keadaan ini. Iapun lantas mencari tahu perihal para pengedar ini dari beberapa mualaf yang masa lalu mereka adalah bagian dari perputaran roda perdagangan terlarang itu. Selanjutnya Imam Siraj mengumpulan beberapa ratus Muslim di lingkungannya, kemudian satu demi satu gembong narkoba di wilayah itu mereka datangi dan berpesan, Enyahlah kalian dari wilayah ini mulai esok hari. Atau kami terpaksa harus mengusir kalian semua! Beberapa dari mereka mengatakan, Mangapa kalian hendak merampas penghidupan sehari-hari kami? Siraj menjawab, Tidak ada tempat untuk beredarnya narkoba di dalam wilayah masyarakat Muslim. Begitulah ia dan para pengikutnya mengulangi kunjungan peringatan ini pada hari berikutnya. Maka para gembong pengedar itupun dengan terpaksa menyingkir, dan wilayah seputar Masjid At-Taqwa menjadi terbebas dari pengedar-pengedar narkoba hingga radius 5 mil (sekitar 7,5 km). Pemerintah Amerika Serikat pun terheran-heran dengan keberhasilan ini, sementara pemerintah sendiri selalu gagal menghentikan aksi para 21 pengedar itu, walaupun telah mengeluarkan biaya besar, dengan berbagai siasat, dan para personil yang handal. Keberhasilan yang mengagumkan ini, membawa akhi Siraj pada sebuah wawancara dengan stasiun televisi nasional Amerika Serikat. Pewawancara bertanya, Bagaimana dan mengapa anda melakukan hal itu? Siraj menjawab, Islam dan pengedar narkoba tidak mungkin hidup berdampingan. Saya tidak mau melihat rakyat miskin dihancurkan tangantangan para pengedar narkoba itu. Murninya tujuan dan kuatnya niat mempermudah tercapainya tujuan mulia. Kini akhi Siraj erat bekerja-sama dengan komunitas-komunitas Muslim yang lain di Amerika dan Kanada. Ia sangat berhasil mengilhami para muda Muslim dan meningkatkan penggalangan dana untuk Masjid dan Sekolah Islam. Adalah hal yang wajar jika kita jumpai dia dengan kitab Hadits ataupun kitab suci Al-Quran terbuka ditangannya, meskipun sedang berada di bandara. Ia dihormati secara internasional. Dalam kunjungan terakhir saya ke Makkah dari Amerika Serikat saya berjumpa dengan beberapa Muslim Amerika. Saya tanyakan kepada mereka siapa lagi yang hadir di Makkah. Mereka mengatakan bahwa Imam Siraj pun hadir. Maka para imam lokal Masjidil-Haram pun mencari beliau agar dapat berperan-serta dalam upacara penggantian Kiswah (kain penutup) Kabah; Baitullah. Terakhir kali saya menyimak khutbahnya, sewaktu Pertemuan Tahunan ISNA di Chicago. Waktu itu bertepatan dengan puncak masa kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat dengan kandidat George Bush, Bill Clinton dan Ross Perot. Mereka saling melempar cemooh satu sama lain, karena yang demikian itu diperkenankan menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Kaum Muslim yang bermukim di Negeri Paman Sam pun berharap memperoleh arahan dari pertemuan tersebut berkaitan partisipasi mereka dalam pemungutan suara untuk pemilihan presiden. Nasehat dari para pemimpin umat Muslim Amerika seperti Siraj Wahaj sangatlah berarti bagi mereka untuk menentukan pilihan. Maka, simaklah apa yang dikatakan Siraj Wahaj memulai khutbahnya, Semalam saya sempatkan diri membaca Kitabullah Al- Quran. Betapa terperanjatnya saya bahwa saya membaca perihal George Bush didalamnya. Benar! Anda sekalian mendengar yang saya ucapkan bukan?! Semalam, saya membaca perihal George Bush didalam Al-Quran. Sungguh, sayapun membaca perihal Bill Clinton dan Ross Perot. Mereka semua disebut bersamaan dalam satu ayat didalam Surah ke-2 dari Al- Quran. Baiklah, saya bacakan saja secara tepat ayat yang saya maksud. Selanjutnya Siraj mengumandangkan ayat yang dimaksud: [ ??S??=( ??  (S?? ? ????S e  ?( ? ] [ ?=?? ??p?? T??S{ ???? ? ??? ??? ?:? ??v =( ???p ???? ? ?/ ?S?? ? ??v (??????? :? ???? / ??S?v?S?? "Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi (Muhammad SAW) dan orang-orang beriman bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (At Tahrim:8) Demikiahlah kisah Yahya, ia suka melakukan dialog yang bersifat membangun untuk berbagi pengalaman dan temuan/pengamatannya. Ia dapat dihubungi melalui alamat e-mail berikut: dflood58_2000@yahoo.com _____________________________________ Cahaya Hidayah Terbit Kala Seorang Muslim Menyebut Nama Yesus JOE PAUL ECHON Banyak orang yang datang ke Saudi Arabia terutama karena alasan mencari nafkah. Namun ada juga hal lain yang kemudian muncul dalam diri mereka. Salah seorang yang mengalami hal ini adalah Joe Paul Echon. Kisah dirinya penuh dengan perbenturan kultural dan spiritual, serta langkah demi langkah ia mendapatkan jalan keluarnya. Kecerdasan, kerja 53 keras, dan ketulusan maksud, selalu membawa pada keberhasilan yang membahagiakan. Jalan menuju sukses sangatlah panjang. Semakin keras berusaha menghasilkan keyakinan yang kokoh dan kesuksesan yang tahan lama. Pencarian yang sungguh-sungguh dan pengetahuan yang mantap memberikan hasil yang mantap pula. Melakukan sesuatu dengan pengabaian dan sekedar coba-coba menyebabkan rapuhnya landasan kerja. Sebenarnya, menuntut ilmu dengan akal pikiran yang terbuka berarti telah memenangkan setengah dari perjuangan hidup. Setengahnya lagi dimenangkan melalui keberanian dan komitmen yang jujur terhadap panggilan kesadaran nurani. Joe adalah bagian dari keluarga yang amat taat beragama. Ia giat dalam kegiatan-kegiatan gereja sejak masa kecil dan selalu bangga dengan apa yang dilakukannya. Berikut in ceritanya perihal didikan dan latar belakang kristianinya. Latar Belakang Kristiani Saya terlahir dalam keluarga Katolik Roma yang sangat rajin hadir ke gereja. Sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, saya menjadi sukarelawan kanak-kanak yang bertugas membersihkan kapel. Saya pun menjadi asisten pastor dalam komini. Setelah saya duduk di sekolah menengah, saya bergabung dalam kelompok paduan suara gereja sebagai pemain gitar, kadang juga bermain piano. Saya aktif di Legiun Maria, sebuah kelompok diskusi yang membahas bagaimana mencintai dan memuja Maria. Kami memiliki bermacam-macam sosok Maria; diantaranya, Perawan Maria, Maria Magdalena, Maria Immaculata, dll. Dalam pertemuan ibadah, pastor membaca Kitab Bibel sementara kami menyimak yang dibacanya. Dalam hati, saya selalu bertanya-tanya mengapa kami tidak diperkenankan ikut serta membaca Kitab. Perubahan Besar yang Pertama Dalam Hidup Setelah menjadi mahasiswa, terjadi perubahan besar pada diri saya dalam kehidupan beragama. Salah seorang teman kuliah mengundang saya untuk datang ke kelompok non-sektarian (tanpa sekte) untuk melihat kegiatan mereka. Sulit bagi saya untuk mengerti apa yang mereka lakukan dan mereka sampaikan. Di gereja saya, pastor memegang Kitab Bibel dan membacakan isinya untuk kami. Di kelompok yang kemudian saya ketahui sebagai aliran Protestan ini, masing-masing orang memegang Bibel dan membacanya. Saya terheran-heran bahwa didalam Bibel berulang-kali ditegaskan larangan memuja patung atau lambang (idol). Ini merupakan pelajaran besar untuk saya. Maka sayapun beralih dari pemeluk Katolik Roma menjadi penganut Kristen Protestan demi menhindari pemujaan terhadap patung atau lambang apapun. Jadilah saya seorang yang pertama beragama Kristen Protestan dalam keluarga saya. Keluarga saya pun mulai 54 mengkaji ajaran Protestan dan akhirnya mereka juga menjadi pengikut ajaran ini. Kami sangat giat ke gereja. Saya juga memulai pelatihan formal sebagai penyampai Bibel. Dengan demikian saya memperoleh pengetahuan yang lengkap soal Bibel dan saya bagaikan seorang pastor kecil atau pendeta. Gambaran Muslim di Filipina Saya sedikitpun tidak memiliki pengetahuan soal Islam. Sewaktu masa sekolah saya tidak mengenali adanya anak-anak Muslim, mungkin saja karena mereka tidak mempraktekkan Islam meskipun beragama Islam, sehingga tidak dapat dibedakan dengan yang lain. Saya memiliki beberapa guru Muslim sewaktu kuliah, tetapi begitulah, mereka hanya Islam sekedar nama. Saya tidak peduli dengan keberadaan Muslim sebab gambaran yang saya peroleh dari media adalah gambaran buruk tentang mereka. Misalnya, mereka itu teroris. Jika seorang Muslim kedapatan terlibat kejahatan, media massa biasanya menyalahkan seluruh umat Muslim. Kami dipesan agar jangan melintas didepan sekelompok Muslim karena bisa-bisa kami akan dibunuh. Kami juga disarankan untuk tidak berhubungan dengan orang-orang Muslim karena mereka adalah orang-orang jahat. Harus saya tambahkan disini, bahwa para pendeta dan para pastor yang kami kenal, tidak pernah mengatakan apapun tentang Muslim sebab mereka selalu disibukkan dengan melontarkan kritikan sekte-sekte Kristiani yang lain. Pengalaman Kerja Saya Setelah saya menyelesaikan pendidikan Stata-1 dibidang Rekayasa Komputer (Computer Engineering), saya bekerja pada perusahaan komputer Intel di Filipina. Kami memproduksi mikro-prosesor untuk perangkat keras komputer. Setelah sebulan bekerja, saya pindah ke perusahaan komputer yang lain dimana sebagian besar teman kuliah saya bekerja. Hal ini memberi peluang saya dalam perkembangan profesional dan pengalaman yang berharga. Setelah lima tahun bekerja, saya memutuskan berwira-usaha dengan mendirikan perusahaan di bidang komputer bekerjasama dengan beberapa orang. Sayangnya, perusahaan ini gagal akibat ketidak-efisienan pengelolaan. Saya adalah orang yang pertama mengundurkan diri dari usaha ini. Mencari Pekerjaan Baru Seorang kawan mengajak saya mencoba mencari lowongan kerja di Saudi Arabia demi untuk mendapat tambahan modal. Setelah beberapa tahun bekerja disana, tentu kami sudah dapat menjalankan usaha sendiri. Maka kami menghubungi agen penyalur tenaga kerja. Agen ini memiliki lowongan kerja untuk beberapa sarjana teknik komputer yang dibutuhkan oleh Bank Saudi Arabia, dan manajer bank tersebut sedang berada di Manila untuk keperluan perekrutan. Singkatnya, setelah itu kami diwawancarai. Kami diterima, namun gaji yang ditawarkan kurang 55 menggiurkan. Saya pun mundur. Agen itu tetap menghubungi saya berulang-ulang. Akhirnya teman saya mendesak agar saya menyertainya dalam petualangan ini. Jadilah saya terima tawaran kerja ini demi menunjukkan rasa hormat kepada teman, berangkatlah kami berdua ke Saudi Arabia. Kesan Pertama Saya Terhadap Saudi Arabia Saya tidak mengenal bahasa dan huruf Arab dan saya tidak menyukainya karena saya pikir tak ada manfaatnya untuk urusan dunia. Lagi pula saya tidak ingin belajar bahasa Arab, toh rekan-rekan kerja saya semuanya bisa berbahasa Inggris dengan baik. Pekerjaan saya yang baru adalah pemeliharaan komputer dan jaringan komunikasi untuk sebuah bank yang berlokasi di Saudi Arabia Bagian Timur. Saya tinggal bersama kelompok orang-orang Filipina di sebuah apartemen. Kehidupan di Saudi Arabia amat sangat berbeda, banyak sekali hambatan-hambatan sosial yang berlaku juga bagi kami walaupun kami Non-Muslim. Jadilah saya merasa tertekan dan rindu kampung halaman. Suatu hari saya menyewa taksi di Dammam dan sepakat dengan harga sewa limabelas Riyal. Pengemudi taksi itu berpakaian rapi dan berjenggot panjang. Dalam perjalanan, ia berubah pikiran dan minta kami membayar sewa lebih besar. Di akhir perjalanan, kembali lagi pengemudi itu mendesak saya untuk membayar lebih. Ini jelas mengusik perasaan saya. Saya melompat keluar dari taksi dan bertanya lantang kepadanya, Tidakkah kamu mengerjakan shalat lima waktu!? Iapun segera mengatakan, Baiklah bayarlah limabelas Riyal saja. Saya membayarnya dan iapun berlalu tanpa sepatah katapun. Saya mulai merenungkan kejadian ini. Saya berkesimpulan, pengemudi itu tentulah berhati baik. Ini adalah pengalaman pertama saya yang positif. Mulailah saya berpikir bahwa pada dasarnya warga Saudi itu orang-orang yang baik. Seolah lapisan perak yang tertutup awan kelam. Hal positif lain pun saya alami. Kali ini berkenaan dengan makanan. Saya tak pernah mencoba makanan khas Saudi. Sampailah suatu kali kami berada di tempat yang jauh untuk menyelesaikan sebuah proyek. Kami begitu lapar. Tak mungkin disitu kami mendapatkan makanan khas Filipina. Saya pun menyantap kabsa (nasi ayam khas Saudi) untuk pertama kalinya. Ternyata lezat rasanya. Setelah itu saya selalu mencari tempat makan yang menyajikan kabsa. Dari sini bertambahlah cita rasa saya terhadap makanan Saudi yang lain. Sebuah Dialog Kritis Penyelia kami di bank seorang Saudi bernama Abdullah Al-Amar. Ia berbahasa Inggris dengan baik karena pernah mendapatkan pelatihan di luar negeri. Ia juga seorang yang sangat senang bercakap-cakap. Ia memulai berkisah kepada saya. Ketika ia sedang bercerita, terucap kata 56 Yesus (alaihi salam) dari mulutnya. Saya berkata kepadanya, Hentikan, berhentilah sampai disitu. Yesus adalah Tuhan saya. Bagaimana kamu bisa mengenalnya? Itulah saat pertama saya mendengar kata Yesus dari seorang Muslim. Ini mengejutkan saya. Dua tahun lamanya saya telah tinggal di Saudi Arabia tak seorangpun pernah berbicara dengan saya perihal Yesus (AS). Sejak masa kecil, saya beranggapan bahwa matahari adalah tuhannya orang Muslim, sebab mereka mengerjakan sembahyang ketika matahari terbenam dan ketika matahari sedang tinggi. Abdullah berhenti sejenak. Selanjutnya ia dan saya bergantian menyebutkan nama para Nabi yang lain; termasuk Nuh, Ibrahim, Musa, dll. Ia berkata, Mereka pun Nabi-nabi kami. Saya mengenal nama-nama Nabi itu dari Bibel. Setelah mendengarkan penuturan ini saya sadari bahwa Yahudi, Kristen, dan Muslim tentulah memiliki keterkaitan tertentu. Menyelidiki Islam Semenjak itu, saya mulai menyelidiki Islam, agamanya Abdullah mitra kerja saya. Saya pergi ke toko buku Jarir di Dammam untuk membeli beberapa buku tentang Islam. Saya telusuri seluruh rak buku. Saya terperanjat melihat begitu banyak buku yang bertajuk perbandingan agama, termasuk juga disitu buku tentang ajaran Kristiani. Sebuah buku memiliki judul yang sungguh mengagetkan saya. Judulnya adalah Jesus, not God, son of Mary (Yesus, bukan Tuhan, anak Maryam). Saya membeli lima judul buku tentang perbandingan agama dan kembali ke rumah untuk mempelajari buku-buku itu. Buku-buku ini banyak memuat kutipan ayatayat Bibel. Segera sesudah itu, saya bertanya kepada Abdullah, Adakah Pusat dakwah Islam di kota ini? Ia menyebutkan sebuah alamat yang kebetulan dekat dengan tempat tinggal saya. Saya pun mendatangi tempat itu untuk melihat-lihat dan mengamati. Nampaknya, tempat ini masih baru, maka saya hanya singgah sebentar dan pulang kembali ke rumah. Banyak warga Filipina yang bermukim di kota Al-Khobar yang terletak di Saudi Arabia Wilayah Timur. Sekali waktu saya pernah pergi kesana untuk sekedar berjalan-jalan dan saya mengetahui dari seorang Filipina bahwa di Al-Khobar pun terdapat sebuah Pusat Islam (Islamic Center). Tempat ini dapat saya temukan dengan mudah dan saya memutuskan untuk membeli lagi beberapa buku, karena buku-buku yang terdahulu telah selesai saya baca. Saya juga mendapati banyak buku perihal perbandingan agama di Pusat Dakwah Islam yang saya inginkan. Para penerima tamu disana menjelaskan bahwa buku-buku itu gratis untuk Non-Muslim dan Mualaf. Ia berupaya memberikan buku-buku itu sebagai hadiah untuk saya, namun saya mendesak membayar harga buku-buku itu. Mereka pun besedia menerima uang pembayaran. Saya pergi meninggalkan tempat itu dengan membawa buku-buku baru. Saya bergegas pulang ke rumah untuk 57 mencermati isi buku-buku itu. Saya sangat ingin menemukan pemelintiran dan tipuan yang mereka mainkan dalam mengutip ayat-ayat Bibel didalam buku-buku itu. Saya buka juga Kitab Bibel saya. Saya segera mencocokkan kutipan yang pertama saya jumpai di buku itu terhadap Bibel. Sayapun terperanjat, kutipan itu benar sama sekali. Sebelumnya saya curiga bahwa kutipan itu adalah tipuan. Saya pun melanjutkan membandingkan kutipankutipan berikutnya satu demi satu. Ternyata semuanya sama persis dengan yang tertulis didalam Bibel. Muncullah teka-teki di benak saya. Masih saja saya belum yakin dengan Islam. Namun, sekali lagi saya pergi mengunjungi pusat dakwah itu. Seorang lelaki mengajak saya menyimak rekaman video tentang Ahmad Deedat. Saya putuskan untuk bersikap terbuka dalam menonton video itu. Saya katakan kepada diri saya sendiri agar tidak mereka-reka prasangka. Video ini berisi rekaman diskusi antara seorang Ulama Muslim dengan seorang agamawan Kristen. Tergambar dengan jelas dalam rekaman itu sang agamawan telah gagal dalam mempertahankan keyakinannya. Seusai menyimak rekaman itu, saya bertanya pada diri sendiri, jika seorang agamawan Kristen yang ternama saja tak sanggup mempertahankan keyakinannya, bagaimana pula dengan saya? Saya hanyalah seorang penganut agama. Pada saat itu keyakinan sayapun mulai runtuh. Seolah saya baru saja menelan kekalahan dalam perempuran besar dan tidak tahu kemana harus berlari mencari bantuan pertolongan. Tidak Ada Paksaan Dalam Agama Suatu hari saya bermain Dart (paser-sasaran) dengan seorang teman asal Filipina yang kebetulan juga seorang Muslim. Ia bernama Radwan Abdus Salam, satu-satunya Muslim Filipina yang saya kenal. Sambil beristirahat di sudut ruangan, secara ringkas saya bertanya kepadanya tentang Islam sementara teman-teman lain masih asyik bermain. Ia tidak menjawab dengan penjelasan yang panjang lebar. Saya menemaninya pulang ke rumahnya dan ia memberikan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris kepada saya, juga beberapa brosur perbandingan agama. Teman saya, Muslim Filipina itu, juga tidak berusaha membujuk saya agar memeluk Islam. Begitu pula dengan orang-orang di Pusat Dakwah Islam, tak satupun dari mereka yang pernah mencoba membujuk saya untuk menukar keyakinan saya. Semua orang menyediakan informasi yang saya butuhkan dan selanjutnya membiarkan saya memilih sesuai hati nurani dan akal pikiran saya sendiri. Dengan cara demikian inilah saya merasa nyaman berinteraksi dengan orang-orang Muslim. Kalau saja mereka pernah memaksakan pengajaran Islam kepada saya, tentu saya telah menjauhkan diri dari mereka. Namun demikian, saya juga heran mengapa 58 pada dua tahun pertama saya berada di negeri Islam, Saudi Arabia ini, tak seorangpun pernah membicarakan Islam kepada saya. Panggilan Kesadaran Hati Nurani Setelah melalui pembelajaran dan penyelidikan secara luas, menjadi jelaslah dalam akal pikiran saya mengenai tiga hal; (a) Yesus bukan Tuhan (b) Bibel bukanlah kitab suci dalam format aslinya. Telah terjadi pengubahan, oleh karena itu maka banyak pertentangan didalamnya. Sedangkan agama yang saya anut berdasarkan atas keterangan didalam Bibel. Sayapun menjadi bimbang, jika kitab itu telah diubah-ubah, bagaimana saya dapat meyakini bahwa ajaran agamanya benar? Jika saya berusaha memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada, itupun akan menjadi lebih rumit lagi dan malah membingungkan. Jadi, keyakinan Kristiani hanyalah sebuah dogma; terima saja apa adanya tanpa berpikir Jika/seandainya dan Tetapi/Kalau begitu perihal ajaran itu. Kerancuan ini mengakibatkan sebuah tekanan dalam akal pikiran saya. (c) Pernyataan Tidak ada tuhan yang layak disembah kecuali Tuhan Yang Esa sangatlah sederhana, gamblang dan sangat mudah dimengerti. Inilah yang menghilangkan tekanan dalam benak saya dan membuat saya merasa sebagai orang yang bebas merdeka. Rasa lapang dan nyaman ini membuat saya dapat berulang kali bercermin pada kalimat itu. Kalimat itu bergema didalam diri saya ketika sedang di kamar maupun pada waktu perjalanan jarak jauh didalam mobil saya. Biasanya saya mendengarkan berbagai macam kaset yang saya beli di Pusat Dakwah Islam sambil berkendaraan. Paham Keesaan Tuhan kian waktu pun kian jelas bagi saya. Sebuah kekuatan dari dalam diri saya berulang-kali membisikkan agar saya segera mengambil keputusan menurut kesadaran hati nurani. Kebenaran telah nampak begitu jelas dalam akal pikiran saya sehingga saya tidak peduli lagi tentang apa yang bakal dilakukan oleh teman-teman dan keluarga saya atas keputusan yang saya ambil. Hal yang ingin saya ketahui hanyalah, bagaimana caranya menjadi seorang Muslim. Maka, pergilah saya menuju Pusat Dakwah Islam Aqrabiyah yang berada di Al-Khobar untuk menyatakan menerima Islam. Ketika saya memasuki gedung itu, kuliah Islam sedang berlangsung di beberapa ruangan, masing-masing dalam bahasa pengantar yang berlainan. Saya bergabung di ruangan kelompok Filipina. Kuliah disampaikan oleh Akhi Fareed Oquendo. Seusai kuliah, saya bertanya kepadanya, Bagaimana cara seseorang untuk menjadi Muslim? Ia balik bertanya, Adakah kamu ingin menjadi seorang Muslim? Dengan mantap saya jawab, Ya, benar sekali! Ketika itu, semua orang terperanjat karena saat itu baru pertama kali saya mengikuti kuliah Islam di pusat dakwah ini. Fareed pun bertanya, Yakinkah anda bahwa benar-benar anda ingin menerima Islam? Sudahkah kamu cukup 59 mempelajari perihal Islam? Saya menjawab, Ya, saya telah mempelajarinya. Lagi-lagi saya terheran-heran bahwa tak seorangpun memaksa saya ataupun berupaya mengatakan agar saya memeluk Islam. Kemudian, disini saya kebetulan berjumpa dengan seorang akhi asli Saudi. Ia katakan kepada saya, Wajah anda menampakkan bahwa anda seorang Muslim. Maka Akhi Fareed mengumpulkan semua peserta kuliahnya, kemudian ia meminta saya, Silahkan anda tirukan apa yang diucapkan akhi Saudi kita ini dalam bahasa Arab. Kalimat itu nanti akan diulang dalam bahasa Inggris yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa, dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Pernyataan sederhana inilah yang menjadikan anda seorang Muslim. Seusai upacara ringkas dan sederhana ini semua peserta berbaris dan memeluk saya satu per satu dan memberikan ucapan selamat dari lubuk hati mereka yang terdalam. Mereka semua mengumandangkan takbir dengan lantang dan berulang-ulang, Allahu Akbar Allahu Akbar!!! Yang artinya, Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Joe menguraikan saat-saat terjadinya peristiwa itu kepada saya dengan berlinang air-mata bahagia, Ia katakan, Tak pernah saya berharap peristiwa semacam itu terjadi terhadap diri saya. Kenangan masa lalu yang manis dan penuh kedamaian ini selalu menyentuh sanubari saya. Segala puji hanyalah bagi Allah, karena Dia-lah maka syeitan telah tak sanggup lagi menakut-takuti saya untuk mengucapkan ikrar menjadi seorang Muslim, dengan kekhawatiran atas reaksi yang mungkin timbul dari teman-teman dan keluarga saya. Memilih Nama Islami Setelah ber-syahadat, yaitu ikrar menerima Islam, Akhi Fareed bertanya, Sudah adakah nama Muslim yang anda pilih untuk anda? Saya berkata dalam hati kepada diri sendiri, bahwa saya akan mengenakan nama seorang Muslim yang pertama kali membicarakan Islam dengan saya pada waktu saya mengunjungi pusat dakwah ini. Orang yang saya maksud ini berpembawaan amat sopan, meyakinkan dan cakap dalam menjelaskan. Ia telah memberi kesan baik kepada saya dengan sikapnya, penyajian yang ringkas, dan keterangan yang tepat. Sayang sekali saya tidak tahu namanya, tetapi saya mengenali orang yang dulu saya bersikukuh untuk membayar beberapa buku dan kaset yang saya pilih. Saya bertanya kepadanya, Siapakah nama orang yang dulu sempat berbicara dengan saya setelah saya membeli buku dari anda? Ia berkata, Ohsaya ingat, beliau adalah Syeikh Saleh! Maka saya katakan kepada mereka bahwa mulai saat itu nama saya adalah Saleh. Akhi Fareed kemudian menyuruh saya pulang, mandi dan berdoa ke hadirat Allah, menyampaikan rasa syukur saya kepada-Nya. Shalat Pertama 60 Malam itu saya mandi dan kemudian saya tidur dengan nyenyak. Pagi hari, saya pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat Subuh. Saya malu untuk masuk kedalam masjid karena tidak tahu apa yang musti saya lakukan. Seorang akhi asal Sudan melintas dekat saya dan menangkap keraguan saya. Ia pun berkata kepada saya, Ayolah masuk. Apa gerangan yang menghentikan langkahmu? Saya katakan kepadanya, Baru semalam saya menjadi seorang Muslim. Saya tidak tahu bagaimana cara shalat. Ia berkata, Masuklah, akan saya tunjukkan kepadamu. Ia terangkan bagaimana cara membersihkan diri di toilet, kemudian ia tunjukkan kepada saya cara berwudlu. Kemudian ia menambahkan, Ikuti saja kami dalam shalat, dan panjatkanlah doa di akhir shalat. Ketika pertama kali saya pada posisi sujud, dimana kening menyentuh lantai sambil berlutut; Saya merasa nikmat luar biasa, suatu perasaan yang tak dapat saya ungkapkan lagi dalam kata-kata. Saya selalu memohon kepada Allah agar memberikan lagi rasa nikmat sujud saya yang pertama itu. Sejak hari itu, saya telah mengerjakan shalat lima waktu dalam sehari. Pendidikan Islam Saya pun mulai datang ke Pusat Dakwah Islam secara teratur setiap malam. Saya belajar huruf Arab, bagaimana menulis dan membacanya. Tahap demi tahap, saya pun mulai membaca Al-Quran. Sasaran utama dalam hidup saya kala itu adalah belajar bagaimana saya dapat membaca Al-Quran dengan benar dan lancar. Saya juga mempelajari Rukun Islam dan Rukun Iman secara terperinci. Kuliah umum yang berlangsung memberikan banyak inspirasi. Pengajar kami akhi Ahmad Ricalde. Caranya menyampaikan kuliah menarik dan menyenangkan. Saya tak ingin terputus dari kegiatan pendidikan ini. Maka, saya pun menunda liburan saya untuk berkunjung ke orang-tua dan tanah kelahiran saya. Diantara pengetahuan yang saya peroleh, menjadi jelas bagi saya bahwa keterlibatan dalam segala bentuk riba (tambahan/bunga pinjaman) tidak diperbolehkan; alias haram; dalam Islam. Islam juga melarang makanan yang dibuat dengan tujuan persembahan kepada selain Allah. Saya mencerna semua pengajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan berusaha sebaik mungkin untuk menaatinya. Saya puas dan sangat bangga dengan cara hidup saya yang Islami. Namun, rekan-rekan dan teman serumah belum mengetahui perubahan besar yang telah terjadi pada diri saya ini. Sebuah Peristiwa Lucu Suatu hari Penyelia kami, Abdullah, menugaskan kami bekerja di tempat yang jauh. Rencananya, kami akan pulang dulu ke rumah, makan siang, dan baru menuju ke tempat tugas. Saya menyelinap memisahkan diri untuk mengambil wudhu dan mengerjakan shalat. Sesudah wudhu saya bergegas menjumpai Abdullah. Ia melihat tangan dan wajah saya masih basah. Ia pun bertanya, Kenapa kamu (basah-basah) begini? Saya 61 katakan padanya bahwa saya baru selesai wudhu dan akan mengerjakan shalat. Ia pun bertanya, Apakah kamu seorang Muslim? saya jawab, Ya! Ia begitu gembira. Ia katakan agar saya tidak pergi ke proyek dan menemuinya sesudah shalat. Abdullah menelepon keluarganya menyampaikan berita yang mengejutkannya. Ia mengajak saya ke rumahnya dan disana ia merayakan keislaman saya dengan seluruh keluarganya. Segera saya merasa menjadi bagian dari keluarga mereka. Reaksi Teman-teman Waktu itu saya tinggal bersama dengan lima orang filipina lainnya di sebuah rumah. Setiap kamar dihuni dua orang. Saya berbagi kamar dengan teman dekat yang sekaligus teman sekelas di kampus. Kami semua memasak untuk makan siang dan makan malam bersama-sama. Dua kejadian kecil berlangsung ketika itu. Teman-teman saya sedang merayakan Tahun Baru maka disiapkanlah makan malam yang mewah. Saya pun diundang untuk makan malam bersama mereka. Namun, saya memberi syarat untuk kehadiran saya disana. Saya meminta mereka tidak melakukan doa bersama sebelum mulai makan seperti yang biasa dilakukan dalam keyakinan Kristiani. Mereka melanggar janji pada saatnya tiba, maka saya meninggalkan acara makan bersama itu. Kejadian kecil serupa terjadi lagi. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, kami biasa bersantap siang bersama-sama. Tetapi saya selalu menyelinap dari kelompok untuk mengerjakan shalat Dzuhur terlebih dahulu sehingga agak terlambat bergabung dengan mereka. Suatu hari saya terlambat lebih lama dari biasanya. Mereka telah menyelesaikan makan siang. Hanya teman sekamar saya saja yang masih tinggal. Ia bertanya kepada saya sambil bercanda, Apa kamu juga shalat dulu? Saya katakan kepadanya,Kamu sungguh membuat saya tersudut. Ya, saya baru saja shalat? Ia kembali bertanya, Kamu hanya berolok-olok kan? Saya menjawab sungguh-sungguh, Saya seorang Muslim. Maka diberitakanlah hal ini olehnya kepada teman-teman Filipina yang lain. Hal ini mengakibatkan perubahan besar dalam pertemanan saya dengan temanteman serumah. Mereka Semua berkumpul di kamar saya dan pertanyaan yang terucap dari mereka adalah, apakah saya telah meninggalkan agama saya. Selanjutnya, mereka mengajukan pertanyaan yang lazim diajukan orangorang terhadap Mualaf. Apakah Islam itu? Bagaimana kamu mengenal Islam? Apapun yang mereka tanyakan, saya membuka buku-buku saya dan saya bacakan jawabnya kepada mereka. Inilah pengalaman pertama saya menerangkan Islam kepada orang lain. Mereka pun berupaya mengajak saya kembali kepada agama Kristen. Saya menjawab pertanyaanpertanyaan mereka secara baik-baik tanpa menyinggung perasaan mereka 62 sedikitpun. Akhirnya, seorang diantara mereka menutup kitab Bibelnya dan berkata kepada saya, Apa sebenarnya yang kamu coba buktikan? Saya katakan kepada mereka, Adalah jelas disini bahwa Islam adalah agama yang benar. Dan Jelas pula bahwa Yesus (alaihissalam) bukan Tuhan tetapi adalah Utusan (Rasul) Allah. Maka akibatnya mereka pun pergi meninggalkan saya karena kecewa. Sejak itu, Tak ada lagi diskusi diantara kami. Mereka selalu pergi bersama-sama melakukan kegiatan mereka. Saya ditinggalkan sendirian. Karena itu, saya mulai mencari teman saya, Filipina Muslim, Abdus Salam. Namun ia telah pindah rumah. Dengan menghubungi beberapa kenalan, saya dapat menemukan alamat rumahnya yang baru, maka saya pun mengunjunginya. Abdus Salam baru saja kembali dari menunaikan ibadah Haji. Saya ucapkan salam kepadanya. Ia terperanjat. Saya katakan kepadanya bahwa saya telah memeluk Islam dan mengajaknya berbagi kamar agar kami bisa menjalani kehidupan Islami. Teman sekamarnya waktu itu seorang Non-Muslim, maka ia mencari apartemen baru dan kamipun segera pindah kesana. Kami bersahabat dan menikmati kehidupan kami di tempat itu. Kami biasa mengunjungi Pusat Dakwah Islam bersama-sama untuk memperoleh pendidikan Islam dan memperkaya keIslaman kami. Kami tolongmenolong satu sama lain sebagai saudara yang sejati. Impian Menjadi Kenyataan Waktu itu guru kami untuk membaca Al-Quran di pusat dakwah bernama Bp. Muhammad. Seorang Akhi asal Mesir yang sudah usia pertengahan. Pekerjaan ini ia lakukan dengan sukarela. Pekerjaannya sehari-hari adalah sebagai pesuruh kantor purna-waktu disebuah perusahaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Suatu hari saya dan Abdus Salam membalas kunjungan keakraban ke rumahnya. Ternyata beliau tinggal disebuah kamar yang sangat sempit dan kumuh. Kami lihat berbagai kaset Al-Quran terletak diberbagai rak memenuhi satu sisi dinding kamarnya. Kami menyarankan agar beliau bersedia tinggal bersama kami, tanpa harus ikut membayar apapun. Namun kami memintanya berjanji mengajarkan Al-Quran kepada kami. Dengan penuh semangat beliau menerima tawaran kami. Kami diajari membaca Al- Quran setiap hari seusai shalat Subuh. Dengan demikian kami belajar membaca Al-Quran dari seorang Qori (pembaca Quran) Profesional. Puji syukur kepada-Mu ya Allah, impian kami telah menjadi kenyataan. Kesenangan Saya Saya mempunyai hobbi (kesenangan) bermain gitar sambil bernyanyi sejak masih di sekolah dasar. Saya pun pernah belajar memainkan piano ketika di sekolah lanjutan. Saya membawa gitar dan harmonika milik saya ke Saudi Arabia. Saya juga memiliki koleksi rekaman musik dalam bentuk kaset-kaset yang bermutu tinggi. Lebih dari 63 itu saya juga seorang perokok berat. Saya berhenti merokok tanpa paksaan segera setelah saya memeluk Islam. Suatu hari saya melihat seseorang sedang merokok di tempat kerja saya. Lidah saya seketika bergairah tergoda untuk mencicipi sebatang rokok. Namun saya tak jadi menyentuh sebatangpun karena rasa takut saya kepada Allah Yang Maha Besar. Saya pun menjual gitar dan koleksi kaset musik yang saya miliki dengan harga murah karena keinginan yang begitu kuat untuk segera menyingkirkan benda-benda itu. Seseorang menginginkan harmonika saya. Saya katakan kepadanya itu boleh diambilnya dengan cuma-cuma. Setelah itu, saya memiliki lebih banyak waktu untuk saya curahkan pada pertumbuhan keIslaman saya. Kunjungan Pertama Ke Orangtua Saya telah merencanakan untuk pulang ke Filipina selama liburan. Abdus-Salam memberitahukan bahwa istri dan anak-anak perempuannya telah memeluk Islam, maka ia menyarankan hendaklah saya mengunjungi keluarganya selama berada di Filipina untuk andil memberikan pendidikan Islam kepada keluarganya. Sesampai di Manila, saya disambut oleh kedua orangtua saya. Dulu pendeta kami mengajarkan, agar bila anak menjabat tangan orangtuanya meletakkan tangan mereka ke dahi kami sebagai penghormatan. Sewaktu saya berjumpa dengan kedua orangtua saya di bandara, saya tidak melakukan hal itu lagi. Justru saya yang mengecup kening mereka. Mereka pun amat terperanjat. Namun kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan penuh semangat. Ayah saya seorang purnawirawan militer, tampang serius selalu nampak di wajahnya. Namun ia seorang yang dapat menyimpan sikap kerasnya. Ibu saya lulusan perguruan tinggi dan bekerja sebagai guru. Biasanya saya merasa lebih mudah membicarakan sesuatu dengan Ibu. Maka saya katakan kepadanya, Saya telah menjadi seorang Muslim, saya tidak boleh makan daging babi. Hal ini merupakan kejutan besar untuk kedua orangtua saya. Mereka katakan bahwa, mereka telah persiapkan iga babi khusus untuk menyambut saya. Itu merupakan menu yang sangat spesial di Filipina. Bukanlah hal tabu jika Joe menceritakan pengalamannya soal iga babi, Sewaktu saya menjadi guru matematika di Amerika, para siswa saya biasa menanyakan perbedaan Islam dan Kristen, saya pernah menjawab, Salah satunya adalah, Muslim tidak makan daging babi. Salah seorang dari mereka nyeletuk, Tuan Ahmad, tidakkah anda tahu yang anda lewatkan? Yaitu, iga babi panggang yang sangat lezat! setelah celotehnya itu, seisi kelas mengikuti dengan tawa riuh dan sempat menyelipkan lagi kata-kata, Pak Ahmad tidak tahu apa yang ia lewatkan. Keimanan Saleh alias Joe begitu kuat. Dengan mudah ia meninggalkan makan daging babi dan produk-produk yang mengandung 64 babi. Ia juga mengatakan kepada saya, Orang tua saya tak ada pilihan lain lagi kecuali menyajikan makanan yang Halal bagi Muslim. Selama berada di Filipina, saya coba untuk mengenalkan ajaran Islam kepada kedua orangtua dan sanak saudara saya. Saya terlalu bersemangat dan menginginkan mereka dapat melihat kebenaran dalam waktu singkat. Hal ini menyebabkan banyak perdebatan dan suasana rumah menjadi penuh ketegangan selama saya berada di sana. Saya adalah pendakwah tak berpengalaman yang ingin cepat menuai hasil. Kini saya sadari bahwa saya telah melakukan pendekatan yang salah. Saya sangat menyesali kejadian itu sebab saya telah menempatkan mereka pada keadaan yang teramat mengusik perasaan akibat pendekatan saya yang salah. Terlebih lagi, keberhasilan mereka memperoleh hidayah adalah semata-mata atas Kehendak Allah dan bukanlah atas kepiawaian pendakwah. Jadi, seorang pendakwah hendaknya tidak merasa kecewa. Saya lakukan juga kunjungan kepada keluarga Abdus Salam dan berbagi pengetahuan Islam saya yang masih sedikit. Sekembali saya ke Saudi Arabia, saya sarankan kepada Abdus Salam agar memindahkan tempat tinggal keluarganya ke dekat Pusat Dakwah Islam di Cavite City didekat Manila. Dengan demikian keluarganya akan lebih mudah memperoleh pengajaran Islam dan lebih mudah juga bagi mereka untuk menerapkan ajaran Islam di lingkungan yang Islami. Abdus Salam setuju dengan gagasan ini dan memindahkan keluarganya tinggal di dekat pusat dakwah itu. Kunjungan Ke-dua ke Filipina Tahun berikutnya, saya dan Abdus Salam berkunjung ke Filipina dalam waktu yang bersamaan. Saya sangat gembira melihat keluarganya telah mendapatkan banyak pendidikan Islam. Saya dapati mereka, istri dan anak-anak perempuan Abdus Salam, telah mengenakan busana Muslimah dan menunjukkan kemajuan yang sangat besar dalam menerapkan ajaran Islam. Begitu besarnya kemajuan itu sehingga Abdus Salam meminta saya menikahi seorang putrinya. Saya katakan bahwa saya akan segera memberi jawaban. Sayang sekali suasana di rumah saya masih penuh ketegangan sehingga saya tidak dapat kembali berkunjung ke keluaraga Abdus Salam tepat waktu. Ia telah kembali ke Saudi Arabia. Maka saya sampaikan kepada istrinya bahwa saya setuju dengan permintaannya untuk menikahi putri mereka, namun saya minta waktu setahun lagi untuk pelaksanaannya. Saya menelepon Abdus Salam di Madinah al-Munawarrah, Saudi Arabia, dan menerangkan kepadanya alasan saya tidak dapat menemuinya sebelum ia berangkat meninggalkan Filipina. Juga saya katakan kepadanya bahwa saya menyetujui permintaannya dan, Insya Allah, pernikahan dilangsungkan tahun depan. Berdialog Dengan Pastor 65 Ibu saya berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan saya kepada agama Kristen. Ia mengundang seorang pastor ke rumah kami dan saya berdialog panjang lebar dengannya. Pastor itu gagal meyakinkan saya. Tanpa putus asa, ibu mengundang lagi pastor yang lain, beliau duduk bersama kami mendengarkan kami saling berargumentasi, Ayah saya sedang menyiram tanaman didekat kami berdialog dan bersamaan dengan itu juga memasang telinga mengikuti percakapan kami. Saya menjawab sang pastor dengan merujuk pada buku-buku perbandingan agama yang saya miliki. Ia tidak memiliki sanggahan yang kuat. Iapun pergi sambil berjanji akan kembali lagi dengan mengajak pastor yang lebih senior. Saya katakan kepadanya, Saya dengan senang hati menantikan kedatangan anda berdua. Tetapi mereka tak kunjung datang. Ayah menghampiri Ibu dan berkata, Anakmu mempunyai pengetahuan yang lebih banyak dari pastormu. Dengan rendah hati saya berkata kepada Ayah, Mungkin mereka perlu mengumpulkan dahulu fakta-kata dan data. Saya katakan hal ini agar Ibu tidak terluka perasaannya karena pastor itu dari gerejanya dan pengajar agama beliau. Prioritas Hidup Prioritas hidup saya saat itu bukanlah pernikahan. Tujuan utama saya adalah meninggalkan pekerjaan di bank. Saya mencari saran dan masukan dari para ulama. Saya sangat menghargai nasehat mereka yang sangat mengagumkan. Mereka katakan, Lakukan dengan sungguh-sungguh dan tulus mencari pekerjaan yang lebih cocok untukmu, tapi jangan dilepas dulu pekerjaan yang sudah ada sekarang. Kalau kamu tinggalkan pekerjaan yang sekarang, maka kamu harus pergi meninggalkan Saudi dan kami akan kehilangan kamu. Carilah pekerjaan yang baru dan lakukanlah perubahan sesegera mungkin. Saya mulai mencari lowongan pekerjaan di koran lokal. Saya temukan lowongan kerja untuk operator mesin Fax. Saya pun datang untuk wawancara. Pewawancara bertanya mengapa saya tinggalkan pekerjaan yang gajinya lebih besar. Saya katakan bahwa alasan saya sepenuhnya bersifat pribadi. Ia katakan bahwa saya melampaui kualifikasi yang dibutuhkan, karena itu mereka tak dapat mempekerjakan saya. Sebuah perusahaan lain sedang membutuhkan beberapa teknisi penunjang (support engineer). Lagi-lagi gaji yang ditawarkan lebih kecil dari yang saya terima saat itu. Saya hadir untuk wawancara dan saya katakan kepada mereka bahwa saya tidak mempermasalahkan gaji. Yang saya butuhkan adalah sebuah perubahan pekerjaan untuk alasan yang bersifat pribadi. Saya diterima bekerja dan pindahlah saya ke tempat kerja yang baru. Ini adalah sebuah berkah teramat besar yang tersembunyi. Sebab, ternyata saya mulai bekerja sebagai teknisi pemeliharaan pada salah satu dari dua tempat yang teramat suci di muka bumi ini, yakni di Masjid An-Nabawi, Madinah, Saudi Arabia. 66 Pernikahan Islami Setahun telah berlalu, saya dan Abdus Salam berkunjung ke Filipina bersama-sama, dan pernikahan saya pun berlangsung. Saya jelaskan kepada kedua orangtua saya dan para sanak-saudara bahwa pernikahan kami dilaksanakan secara Islam. Mereka bersedia ikut ambil bagian dalam acara itu. Acara resmi pernikahan hanya memakan waktu lima menit. Setelah usai acara resmi itu, saya katakan kepada orangtua saya bahwa upacara pernikahan telah selesai. Nenek saya berkomentar dengan lantang, Belum pernah saya menyaksikan mempelai lelaki dan perempuan dipersandingkan seperti dengan cara pernikahan Kristen. Ibu saya membisikkan kepadanya bahwa ini pernikahan secara Islam. Kedua orangtua saya menjadi lebih pengertian sesudah itu. Saya masih tinggal di Filipina sampai beberapa hari di bulan Ramadhan. Ibu memasakkan makanan buka puasa untukku. Seusai liburan saya kembali ke Madinah, istri saya pun ikut serta. Selanjutnya, Allah telah mengaruniai kami dengan dua orang putri, kami namakan mereka Safa dan Marwa. Kini, saya telah memiliki pekerjaan purna-waktu, dan saya juga giat di Pusat Dakwah Islam di Madinah sebagai sukarelawan yang membantu para Mualaf (mereka yang baru memeluk Islam). Semoga Allah menerima amaliyah yang saya lakukan dengan penuh kerendahan-hati dan mengokohkan iman saya, dan menjadikan istri dan anak-anak saya hambahambanya yang taqwa. Akhi Saleh suka berbagi pengalaman dan berhubungan dengan para Mualaf ataupun Non-Muslim. Ia dapat dihubungi di alamat e-mail berikut: saleh_echon@hotmail.com ___________________________________ Cahaya Hidayah Hadir Dalam Tugas Pelayanan IBRAHIM SULIEMAN Masing-masing agama pasti berusaha meyakinkan kepada setiap individu perihal kebenaran dan keutamaannya. Kegiatan semacam ini berlangsung dari waktu ke waktu di berbagai negeri. Adapun berpindah dari satu agama ke agama yang lain adalah keputusan yang besar bagi seseorang. Di banyak kelompok masyarakat, keputusan yang diambil oleh kepala keluarga berpengaruh pada generasi-generasi berikutnya. Banyak orang yang beragama hanya lantaran menghormati para orang tua dan leluhur mereka saja. Keterikatan sosial dan budaya yang sangat kuat menyebabkan terbentuk pemahaman bahwa merusak atau melemahkan ikatan-ikatan tersebut adalah perbuatan melanggar tata-krama dan tidak beradab. Kekuatan sosial budaya yang begitu kuat itu bahkan 67 mengakibatkan orang-orang yang berpendidikan pun tidak memiliki keberanian untuk menggali dan memperbandingkan ogama-agama menggunakan akal-pikiran yang terbuka. Sejauh ini, mereka berdalih bahwa karena dalam diri mereka tidak ada prasangka tentang agama-agama yang lain. Walaupun sebenarnya prasangka itu bersarang dan meliputi akal pikiran mereka. Menekan perasaan semacam ini menempatkan mereka dalam kemudahan, meskipun memendam prasangka itu bertentangan dengan kesadaran nurani mereka. Namun Sang Maha Pencipta sesungguhnya menunjukkan jalan kebenaran kepada mereka yang tanpa prasangka sedikitpun ketika sedang dalam pencarian jalan-Nya itu. Segunung Ampunan Tuhan Yang Maha Penyayang tercurahkan kepada orang-orang yang demikian. Kisah Ibrahim berikut ini merupakan gambaran yang tepat untuk hal ini. Saya terlahir dan tumbuh di Nigeria. Kakek saya seorang Muslim bernama Sulieman. Beliau mempunyai tiga orang anak lelaki. Seorang dari anaknya berubah menyadi seorang Kristen di usia duabelas tahun lantaran adanya kegiatan misionaris Kristen. Setelah menginjak dewasa, si anak ini menikah dengan seorang perempuan Muslimah yang kemudian juga mengubah keyakinannya menjadi seorang Kristen. Mereka berdua bekerja di sekolah menengah di Kano. Sang Suami bekerja di perpustakaan departemen Sains (Iptek), sang Istri sebagai penyedia konsumsi di sekolah itu. Saya adalah anak termuda keluarga ini. Ibu telah wafat sekitar seminggu setelah kelahiran saya. Kami tujuh bersaudara, enam lelaki dan satu perempuan. Kami semua beragama Kristen mengikuti agama orang tua kami. Namun, kakek kami memberi nama kami dengan nama-nama Muslim. Saya dinamakannya Ibrahim, nama yang sangat saya sukai. Setiap kali kakek mengunjungi kami, ayah berlaku seolah ia seorang Muslim yang tidak menjalankan agamanya. Kami juga mempunyai nama-nama suku yang mana kami lebih dikenal dengan nama-nama ini. Atas pengaruh langsung dari ayah, kami sekeluarga menjalankan ajaran Kristiani, meskipun kami tinggal di lingkungan yang mayoritas Muslim. Kami ikuti pemikiran ayah tanpa keberanian melanggar yang telah ia gariskan. Sebagian besar kakak-kakak saya menikahi pasangan mereka yang berasal dari keluarga Kristen. Hal yang menarik adalah, salah satu kakak lelaki saya tertarik untuk menikah dengan seorang perempuan Muslim. Kemudian dikatakan kepadanya bahwa seorang perempuan Muslim dilarang menikah dengan Non-Muslim. Kemudian ia mengubah agamanya, menjadi seorang Muslim yang tidak menjalankan kewajibannya dan tidak pernah menyampaikan apapun kepada kakak dan adiknya perihal Islam. Ketika saya bersekolah di sekolah menengah dimana kedua orangtua saya bekerja, sebuah delegasi dari Saudi biasa menghadiri sebuah 68 konferensi tahunan yang diselenggarakan di kota kami. Ayah saya mendapatkan pekerjaan untuk saya di tempat konferensi. Ayah meminta saya melayani delegasi itu sebaik-baiknya selama konferensi berlangsung, namun sayang, saya sama sekali tidak mengerti bahasa Arab. Saya tidak memahami apa yang mereka bahas dalam konferensi. Sungguhpun demikian saya bisa rajin melayani mereka dengan bantuan instruksi dari penerjemah. Mereka pun merasa puas dengan pelayanan yang saya berikan. Tahun berikutnya, delegasi ini kembali lagi ke Kano. Sekali lagi, ayah meminta saya ikut membantu dalam penyelenggaraan konferensi tahunan ini. Dengan demikin terbangunlah rasa saling menghargai diantara kami dengan peserta konferensi. Seorang dari penyelenggara yang bernama Sheikh Fahd, bertanya kepada saya, Apakah kamu seorang Muslim? Saya pun menjawab, Bukan, Saya Kristen. Dijelaskannya dasar-dasar ajaran Islam kepada saya selama ia berada di Kano. Menjelang kepulangannya, ia bertanya, Apakah kamu percaya bahwa Islam adalah kebenaran? Saya jawab, Ya. Iapun ingin tahu lebih jauh, Apakah kamu berkeinginan menjadi Muslim? Saya katakan kepadanya, Saya harus minta ijin kepada ayah terlebih dahulu. Ayah saya memiliki sifat lemahlembut. Beliau tidak marah ataupun menanggapi negatif ketika saya sampaikan hal ini kepadanya. Beliau berkata, Kalau kamu suka, lakukanlah. Maka hari berikutnya saya pun memeluk Islam dengan bimbingan Sheikh Fahd. Maka hebohlah komunitas Kristen disana. Mereka mendesak ayah saya untuk menarik saya kembali kepada ajaran Kristiani. Berbagai pertanyaan mereka ajukan kepada ayah. Apakah anakmu masuk Islam karena yang berdakwah berkulit putih?; Apakah mereka memberinya uang?; Apakah mereka ingin membawanya ke Saudi Arabia?; Dengan datar ayah saya menjawab bahwa tidak satupun dari yang mereka sebutkan itu menjadi alasan anaknya masuk Islam. Ditambahkannya pula, Saya tak dapat menghalanginya, sebab kakeknya pun seorang Muslim. Saya juga diberitahu bahwa saya bisa menjalankan ajaran Islam dengan tulus hanya melalui pendidikan dan latihan. Maka, saya pun mulai datang ke Pusat Islam terdekat untuk belajar Islam dan bahasa Arab. Beruntung kami memiliki tetangga yang sangat baik. Namanya Ny. Karim. Ia bergelar Doktor (Ph.D.) di bidang Studi Agama Islam dan mengajar di sekolah setempat. Seorang ulama biasa mengunjungi rumahnya setiap hari untuk mengajarkan Al-Quran kepada anak-anaknya. Saya diijinkannya bergabung dengan kelompok belajar dirumahnya. Para delegasi Saudi pun terperanjat melihat kemajuan saya dalam pendidikan Islam, sewaktu mereka mengunjungi kami di tahun berikutnya. Betapa Allah telah mencurahkan kasih-sayang-Nya yang tak terhingga kepada saya. Delegasi Saudi itu merancang pendaftaran ke 69 Universitas Islam di Madinah untuk saya. Kini (ketika Ibrahim berkisah) saya telah tiga tahun belajar di Universitas Islam untuk mempelajari bahasa Arab. Tahun depan, saya akan masuk ke fakultas Syariah dan insyaAllah, saya dapat diwisuda setelah empat tahun mendatang saya menjalani pendidikan yang lebih luas. Saya rasakan kekuatan Iman dalam diri saya dan saya pun mencintai jalan hidup Islami dengan segenap hati dan jiwa saya. Ayah menikah lagi setelah ibu saya meninggal. Dari ibu tiri ini, ayah mendapatkan lima orang anak. Mereka semua beragama Kristen. Ketika universitas sedang liburan musim panas, saya pulang ke Nigeria untuk mengunjungi keluarga saya. Saya mencoba menerangkan prinsip-prinsip Islam kepada saudara kandung maupun saudara tiri saya, karena sebagai Muslim kita wajib menyampaikan Islam, pertama kepada sanak saudara. Atas Pertolongan Allah SWT, satu dari saudara kandungku yang lelaki telah bersungguh-sungguh memeluk Islam. Ia secara teratur hadir di Pusat Islam setempat untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan Islam lebih lanjut. Saya pun sangat bersyukur kepada Allah atas cahaya hidayah-Nya kepada saudara tiri saya yang lelaki berusia sepuluh tahun. Mengikuti jejak saya, ia rajin datang ke rumah Ny. Karim untuk memperoleh pendidikan dasar-dasar Islam dan belajar Al-Quran. Semoga Allah melimpahkan balasan atas kebajikan yang telah dilakukan oleh Ny. Karim dengan berperan-serta dalam pendidikan Islam kepada remaja-remaja di lingkungannya. Setelah kelak saya menyelesaikan pendidikan di Universitas Islam Madinah, saya sangat ingin melanjutkan pendidikan saya ke tingkatan yang lebih tinggi lagi agar dapat mengabdikan diri sebagai Juru Dakwah Islam yang paripurna. Tak ada kalimat yang tepat untuk menggambarkan rasa syukur saya kepada Allah yang telah menunjukkan saya kepada Kebenaran. Saya sangat menikmati menyerukan Islam dengan cara yang mengena, kepada sanak saudara saya. Harapan saya, semoga Allah akan menujukkan kepada lebih banyak lagi orang, menuju Jalan-Nya yang lurus melalui dakwah yang saya sampaikan. Sesungguhnya, segala puji hanyalah bagi Allah. Kisah saya tidaklah lain dari yang lain. Kekuatan Misionaris Kristen juga telah melakukan banyak pengubahan keyakinan di Nigeria dan beberapa negara lain di Afrika. Mereka memiliki organisasi yang sangat kuat, yang mendukung pendanaan bagi para juru dakwah mereka maupun bagi orang-orang yang baru menjadi pengikut agama mereka. Mereka juga memiliki buku-buku bacaan yang dicetak dalam bentuk yang sangat menarik. Tenaga kerja mereka mendapatkan kebanggaan dalam menyebarluaskan buku-buku bacaan dari pintu ke pintu dari hampir seluruh rumah tangga. Hasilnya pun nyata sekali. Atas keberhasilan usaha misionaris ini, 70 maka berkuranglah sumber daya dan tenaga kerja pendidikan Islam di berbagai negara di Afrika. Juru dakwah yang berbobot dan menguasai bahasa setempat sangatlah dibutuhkan di setiap masyarakat. Malangnya, banyak masyarakat yang tidak mampu memberikan dukungan pendanaan kepada para juru dakwah tersebut. Akibatnya sia-sia saja keberadaan tenaga kerja yang mampu dan berbobot itu. Buku-buku bacaan Islami dalam bahasa setempat pun sangat sedikit. Apa yang saya katakan ini bukanlah gagasan yang baru saya dapatkan. Semua fakta itu telah diketahui secara umum. Saya sampaikan ini untuk mengingatkan siapa saja yang memiliki kemampuan keuangan untuk mendukung pendidikan Islam di negara-negara Afrika. _______________________________________ Cahaya Hidayah Ditemukannya Pada Diri Suaminya JANET ROSE Janet dilahirkan di kota Edmonton, Kanada. Di kota inilah keluarganya telah bermukim selama beberapa generasi. Ia menceritakan kisah singkatnya berikut ini: Keluarga saya adalah pengikut gereja Katolik-Roma, maka sayapun dididik dalam lembaga pendidikan Katolik-Roma. Ajaran Katolik yang sering menjadi pertanyaan saya adalah, bagaimana Yesus bisa dikatakan sebagai putra Tuhan. Semakin saya coba untuk memahami hal ini, sayapun semakin bingung. Tak seorangpun yang memberikan jawaban yang terang dalam menjelaskan pertanyaan ini. Ironisnya, yang menerangkan malah lebih kebinggungan daripada yang meminta penjelasan. Singkat kata, setelah saya menyelesaikan sekolah lanjutan (highschool), Saya berjumpa dengan Tn. Khaled, warga negara Pakistan yang tinggal di Edmonton. Karena hukum Kanada memungkinkan adanya perkawinan untuk keperluan keimigrasian, maka Tn. Khaled menikahi saya agar bisa memperoleh kewarganegaraan Kanada. Setelah pernikahan kami berlangsung beberapa tahun, saya pun menjelang menjadi seorang ibu; saya mengandung. Maka sebelum kelahiran si jabang-bayi, saya ingin mengambil keputusan perihal kelangsungan perkawinan kami terlebih dahulu. Suami saya seorang yang sangat terpelajar dan sangat baik perilakunya. Yang mengagetkan saya, ia tak pernah mendesak-desak saya untuk memeluk Islam. Nampaknya ia cenderung memberikan kebebasan kepada saya apakah kelak akan mendidik anak kami, yang akan segera lahir, sebagai seorang Kristen ataupun seorang Muslim. Sikap keterbukaan akalnya dan keteladanan perilakunya-lah yang membangkitkan diri saya untuk secara pribadi mendidik diri perihal Islam. Dari belajar sendiri inilah 71 saya mengetahui bahwa ajaran Islam sangat mirip dengan ajaran Kristiani. Lebih dari itu, saya pun mendapat pengetahuan bahwa Yesus (Isa, AS) bukanlah anak Tuhan. Beliau adalah seorang Nabi yang utama; seorang Utusan (Rasul) Allah. Pemahaman inilah yang memecahkan teka-teki sepanjang hidup saya. Kemudian saya pun secara sukarela memeluk Islam dan memutuskan untuk meneruskan jalinan pernikahan saya dengan Tn. Khaled untuk selamanya. Saya bersyukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas pemberian cahaya hidayah-Nya kepada diri saya ini. Tak lama kemudian kami mendapatkan anugerah Allah, seorang anak perempuan. Sekarang saya telah diberkahi-Nya dengan dua orang putri dan dua putra. Suami saya mengajarkan Islam kepada kami setiap hari. Biasanya, ia menceritakan kisah-kisah dalam Al-Quran kepada kami dalam bahasa yang sederhana, ini sangat memudahkan kami untuk memahami Al- Quran. Terjadinya gesekan-gesekan antara menantu perempuan dengan ibu mertua adalah hal yang lumrah terjadi. Namun ketika Ibunda Khaled mengunjungi kami di Kanada, saya dapati beliau sebagai pribadi yang tulus dan penuh kasih. Beliau memperlihatkan sikap dan perilaku Islami begitu tepatnya kepada saya. Beliau juga menumbuhkan semangat saya menjadi sangat tinggi melalui keteladan yang utama. Kesimpulan saya, jika ibu mertua dan menantu perempuannya sama-sama mengikuti ajaran Islam, tak akan timbul pertentangan diantara mereka. Tak lama berselang, kami pindah ke kota lain di Kanada. Di kota ini saya bekerja sebagai guru taman kanak-kanak di sebuah sekolah Islam, dan juga ambil bagian dalam mengajarkan pengetahuan dasar Islam kepada anak-anak. Pekerjaan ini sangat bermanfaat bagi diri saya sendiri karena membantu kristalisasi ajaran Islam terhadap akal-pikiran saya sendiri. Berbagi sedikit ilmu yang saya ketahui juga merupakan hal yang sangat menggembirakan hati. Selang beberapa tahun kemudian, kami kembali ke kota Edmonton. Di kota ini, bekerjasama dengan beberapa orang teman, kami telah mendirikan Pusat Informasi Islam. Disini terdapat tiga ribuan buku, dan banyak juga kaset dan video perihal Islam. Terdapat juga layanan internet gratis dalam hal informasi Islam. Pusat ini layaknya sebuah perpustakaan. Setiap hari banyak kaum Muslim maupun Non-Muslim berkunjung ke tempat ini. Kami berdoa, semoga Allah mencurahkan bimbingan dan petunjuk-Nya lebih banyak lagi kepada umat manusia melalui fasilitas layanan yang kami sediakan ini dan menerima usaha yang kami lakukan dengan rendah-hati ini. Perlu saya tambahkan pula bahwa, suami saya juga menyiarkan sebuah acara TV Islami setiap minggu. Putra kami yang termuda sangat antusias membantu ayahnya dalam proyek ini. 72 Mengakhiri kisah ini, secara jujur saya mengakui bahwa, setelah memeluk Islam kehidupan saya menjadi sangat penuh kedamaian. Saya begitu puas dengan kehidupan yang saya jalani dan berharap agar saya lebih berkembang dalam ilmu dan amal islami. Saya tidak berkeberatan untuk berbagi pengalaman keIslaman saya dengan orang lain. Alamat email saya adalah: "mailto:jsehbai@hotmail.com. ______________________________ Cahaya Hidayah Terbit Di Lomba Debat TIMOTHY SENSINYI Timothy berasal dari Kerajaan Lesotho, sebuah negara kecil yang terletak tepat di sebelah Utara negara Afrika Selatan. Ia menuturkan kisahnya sebagai berikut: Pendidikan Dasar Saya dilahirkan pada tahun 1972 di sebuah desa bernama Maseru yang berjarak dua-belas kilometer dari Ibukota Lesotho. Pendidikan dasar dan menengah pertama saya peroleh di sekolah Katolik yang berada di dekat desa saya. Meskipun ada kewajiban dari sekolah untuk muridnya supaya hadir ke Gereja Katolik setiap hari Minggu, saya seringkali menghindar. Namun, terkadang saya bersama dengan nenek menghadiri kebaktian di gereja Protestan. Di sekolah lanjutan atas, saya mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah berasrama yang terletak delapan kilometer dari kota asal saya. Sekolah ini diselenggarakan oleh Gereja Penginjil Lesotho. Induk gereja ini berada di Perancis dan dikenal dengan nama Parish Evangelical Misionary Society; disingkat PEMS. Disini terdapat seorang pendeta muda usia yang amat rajin memberikan pendidikan Kristiani kepada kami. Ia pernah berkata kepada murid-muridnya, Seandainya gereja tidak membiayai pendidikan saya, tentu saya telah menjadi seorang Muslim sebab inilah satu-satunya Agama yang sejalan dengan ajaran Kristiani. Sebelum ia katakan hal ini, saya tak kenal sedikitpun perihal Islam. Kepala Sekolah ditempat saya belajar adalah seorang yang baik budi, ia mendukung kami untuk ambil bagian dalam sebuah acara debat dengan topik-topik semisal Hidup membujang lebih utama daripada Menikah. Saya telah terbiasa ikut andil dalam debat-debat semacam ini dengan semangat tinggi. Pendidikan Tinggi Saya memperoleh beasiswa dari pemerintah untuk belajar di akademi teknik selama dua tahun. Kampusnya terletak dekat dengan Johannesburg Afrika Selatan. Disini, saya berhasil meraih gelar dibidang Manajemen Pemasaran. Banyak peristiwa menarik terjadi selama saya belajar disini. 73 Bangunan gereja-gereja PEMS memiliki ciri-ciri khas. Didekat asrama saya terdapat sebuah gereja PEMS. Sayapun bergabung dalam kegiatan gereja ini dan mulai mengajar kelompok remaja hal-hal yang pernah saya pelajari dari gereja terdahulu. Saya tidak mampu menyanyi dengan baik. Maka saya mengusulkan beberapa kegiatan debat agar diselenggarakan di gereja. Merekapun meminta ijin kepada Pendeta setempat. Sang Pendeta menyetujui bahkan sangat bersemangat mempromosikan kegiatan ini. Kegiatan Debat Delapan regu telah terbentuk untuk kegiatan ini. Setiap regu beranggota empat orang, dua remaja putra dan dua remaja putri. Topik ditentukan oleh Pendeta. Acara Debat berlangsung setiap hari Minggu, dihadiri oleh jamaah gereja. Pemenang debat mendapatkan berbagai macam hadiah, diantaranya Kitab Bibel dalam bahasa Lesotho. Sebuah gereja PEMS di lingkungan terdekat juga membentuk empat regu debat. Mereka biasanya mengadu regu pemenang dari gereja mereka melawan regu-regu pemenang dari gereja kami. Saya ikut serta dalam pertandingan ini. Topik pertama dalam debat itu adalah Trinitas (Tiga Yang Tunggal). Regu saya ditugasi membuktikan bahwa Trinitas adalah konsep yang salah. Secara kebetulan, saya berjumpa dengan seorang pemuda bernama Ndavu di rumah seorang teman. Ia memberi saya rujukan lengkap ayatayat Bibel untuk mendukung pandangan regu kami. Sangat mengagumkan kami bahwasanya Ndavu menghafal ayat-ayat ini di luar-kepala. Saya telah membaca kitab Bibel versi King James, mulai bab Kejadian hingga Wahyu. Namun setelah membaca lagi ayat-ayat yang dirujuk itu, saya sadari bahwa saya tidak memahami Bibel. Saya berikan beberapa dari ayatayat rujukan itu kepada teman satu regu, merekapun sangat gembira. Akhirnya, regu kami pun memenangkan lomba debat. Topik dalam debat yang ke-dua adalah, Yesus Benarkah Ia anak Tuhan? Regu kami menjadi penentang pandangan ini. Sekali lagi saya menemui Ndavu dan iapun memberikan rujukan lengkap dari Bibel sehari kemudian. Dan, regu kami pun memenangkan sesi debat ini. Topik debat yang ke-tiga bertajuk Keaslian Kitab Bibel. Team kami bertugas membuktikan bahwa kitab ini bukanlah kitab otentik mengingat bahwa banyak pertentangan didalamnya. Ndavu membantu kami lagi, dan kami juga menjadi pemenang sesi debat yang ke-tiga ini. Para jamaah gereja menganggap debat itu sebagai hiburan ataupun sekedar sebuah latihan kecerdasan intelektual. Saya jadi mengenal banyak pertentangan dalam Kitab Bibel versi King James. Begitu pula halnya pertentangan antara Bibel berbahasa 74 Inggris dengan Bibel dalam bahasa Lesotho. Ini semua menggoncangkan keimanan saya. Saya bertanya kepada Ndavu, Kamu jamaah gereja mana? Ia menjawab, Saya tidak ke gereja manapun juga, sebab para pendeta tidak mengajarkan kebenaran dan mereka tidak merujuk ayat-ayat. Ia balik bertanya kepada saya, Apakah yang kamu yakini dalam hal ketuhanan? Saya katakan, Saya percaya kepada Tuhan yang tersebut dalam perintah pertama untuk Musa. Misalnya, didalam Markus 12:28-30 dikatakan Perintah pertama berbunyi: Dengarlah wahai Israel, Tuhanmu adalah Tuhan yang Tunggal, dan hendaklah engkau mencintai Tuhan, Allah-mu dengan sepenuh hatimu, dan seluruh jiwamu, dan seluruh akalmu, dan segenap kekuatanmu. Ketika ia telah memahami pandangan saya perihal ketuhanan, iapun menceritakan perihal saya kepada beberapa temannya. Kunjungan Seorang Asing Di suatu hari Sabtu di bulan Maret 1996, seorang pemuda datang kerumah saudara saya. Ia mengenakan pakaian berwarna putih dan peci berwarna putih juga. Inilah pertama kalinya saya melihat seorang Afrika berpakaian sebagaimana beberapa orang India. Pemuda itu berkata, Saya sengaja datang untuk menemuimu saudaraku sesama Muslim. Saya katakan, Saya bukan seorang Muslim sebab saya tak tahu apapun perihal Islam selain bahwa Islam adalah agama orang-orang India. Ia pun menegaskan, Saya memberitahukan kepadamu, bahwa kamu adalah seorang Muslim. Saya sorongkan kursi kepadanya dan mempersilahkannya untuk duduk agar kami bisa santai bercakap-cakap. Mudah sekali bercakap-cakap dengannya karena ia dapat berbicara menggunakan bahasa daerah saya. Saya minta tolong kemenakan perempuan saya untuk membelikannya minuman ringan. Ia menolak menggunakan gelas yang biasanya kami gunakan. Ia lebih suka minum langsung dari botolnya. Saya pun bertanya, Mengapa kamu tidak mau menggunakan gelas kami? Ia menjawab, Saya khawatir gelas itu pernah digunakan untuk minum minuman beralkohol. Ia benar. Maka saya minta tolong kemenakan perempuan saya untuk membeli gelas baru untuk kami karena saya pun membenci alkohol semenjak saya meninggalkan minum minuman beralkohol pada tahun 1988. Ia bertanya, Bagaimanakah imanmu kepada Tuhan? Saya katakan, Saya mengimani Tuhan sebagai satu-satunya Pencipta, satu-satunya yang patut disembah, tidak beristri dan tidak butuh makan dan minum untuk menjaga kelangsungan hidup-Nya. Dia tak memiliki orangtua. Itu semua disebutkan didalam Bibel. Ia bertanya kepada saya soal Trinitas. Saya katakan kepadanya, Diantara berbagai ajaran ayahku kepadaku adalah, Tuhan itu Esa dan 75 tiada satupun bandingan bagi-Nya. Saya lebih mempercayai ayah saya daripada orang-orang lain. Menurut pemikiran saya, konsep Bapa, Putra dan Roh Kudus didalam Trinitas saling bertentangan satu sama lain. Pemuda itu pun berkata, Demikianlah Islam. Betapa terperenjatnya saya waktu itu, sebab sebelum itu pengertian saya tentang Islam adalah bahwa Islam hanyalah agama bangsa India. Pemuda itu menambahkan, Jika kita menilik didalam Bibel, ajaran Kristus (Al-Masih) adalah Islami. Kontradiksi antara ajaran gereja dengan ajaran Kristus adalah karena Paulus yang membubuhkan banyak aturan dan hukum dalam epistel (surat-surat) yang ditulisnya. Saya percaya apa yang dikatakan pemuda ini. Kemudian ia bertanya, Adakah keinginan pada dirimu untuk menjadi seorang Muslim, atau untuk mengenal Islam? Saya jawab, Sesungguhnya, Ya! Ia katakan, Saya mempunyai seorang teman, seorang guru yang pengetahuannya perihal Islam lebih baik. Saya katakan, Saya ingin bertemu dengannya. Maka kami berdua berangkat menemui temannya karena jarak ke tempat temannya itu hanyalah tigapuluh menit berjalan-kaki dari rumah saya. Mengucapkan Syahadat Sampai di tempat tujuan, saya melihat orang yang dimaksud sedang mengajar sekelompok pelajar dalam bahasa Inggris. Saya dengarkan pelajaran yang ia sampaikan dengan penuh perhatian. Sekitar satu jam kemudian mereka berhenti belajar dan melakukan shalat. Saya hanya duduk disana memperhatikan yang mereka sedang kerjakan. Seusai shalat para pelajar itu pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah saya, sang guru, dan pemuda teman saya berada disitu. Kami saling memperkenalkan diri. Sang guru bernama Abdur Rahman, pemuda tamu saya bernama Haroon. Sheikh Abdur Rahman menerangkan kepada saya makna Syahadat. Begitu saya mengetahui arti kalimat Syahadat dalam bahasa Inggris, sayapun mulai mengimani kalimat ini dalam hati saya. Sheikh berkata, Kamu boleh pulang dan memikirkan kalimat itu. Kamu boleh mengikuti pelajaranku kapan saja kamu anggap perlu. Saya katakan kepadanya, Sekarang saya telah mengerti Syahadat dan oleh karena itu saya ingin menjadi seorang Muslim. Ia berkata, Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Saya katakan kepadanya, Apa yang anda dan Haroon sampaikan kepada saya perihal Islam adalah sama dengan yang telah diajarkan ayah saya perihal ajaran Kristiani yang sejati kepada saya. Maka saya hendak mengikrarkan keIslaman saya. Pada saat itu juga saya mengucapkan dua kalimat Syahadat; dan segala puji bagi Allah; saya telah menjadi seorang Muslim. Sheikh mengajarkan kepada saya cara berwudhu (mensucikan diri menggunakan air). Ia menyarankan agar saya pulang ke rumah, mandi dan kembali lagi kemari pada jam 4.00 sore untuk 76 bersyahadah di hadapan para jamaah. Saya memilih nama Abdullah Sensinyi untuk nama saya yang Islami. Sheikh mengajari saya setiap hari dari Ashar hingga Maghrib selama dua minggu. Setelah itu, ia berangkat ke luar negeri untuk menempuh pendidikan tingkat lanjut. Saya hanya sempat belajar Suratul-Fatihah dalam bahasa Inggris, inilah yang selalu saya baca didalam shalat saya selama sekitar satu tahun. Sangatlah sulit untuk mendapatkan pegajar agama Islam di sekitar tempat tinggal saya. Suatu hari saya sedang berjalan-jalan melihat-lihat di pertokoan dan saya mendapati seorang pemuda India yang berdagang pakaian-pakaian jadi di tokonya. Saya bertanya kepadanya, Apakah anda Muslim? Dengan bangga ia menjawab, Ya. Saya katakan kepadanya, Saya juga seorang Muslim. Saya pun memintanya menjelaskan perihal Islam kepada saya. Ia berkata, Pengetahuan saya tentang Islam sangat sedikit. Saya tanyakan kepadanya, Adakah masjid di sekitar sini? Ia menjawab, Ada satu, tetapi anda bisa melakukan shalat dhuhur di toko saya berjamaah dengan saya. Ia juga mengajak saya untuk berkendara bersamanya pergi ke masjid untuk shalat Jumat setiap minggu. Saya lakukan hal ini secara teratur selama setahun. Sholat Ied Pertama Sejauh itu, saya belum mengenal apapun perihal Puasa dan Ied. Suatu hari Haroon menelpon saya dan memberitahukan bahwa akan dilaksanakan Shalat Ied esok hari. Saya pun mengikuti shalat Ied dan merayakan Iedil Fitri. Saya berjumpa dengan banyak Muslim Afrika dan juga kaum Muslim dari suku saya. Saya juga berjumpa dengan Ndavu disana, inilah pertama kalinya saya mengetahui bahwa ia pun telah memeluk Islam. Ia memilih nama Bilal untuk nama Islaminya. Saya bertanya kepada Bilal, Bagaimana kamu belajar merujuk ayat-ayat Bibel yang kamu gunakan untuk membantu saya di acara debat? Ia menjawab, Rujukan itu tertulis didalam dua buah buku karya Sheikh Ahmad Deedat. Ia hadiahkan buku-buku itu kapada saya dan juga Terjemahan Kitab Suci Al-Quran dalam bahasa Inggris oleh Abdullah Yousuf Ali. Inilah pertama kalinya saya mengikuti kegiatan sosial Islam. Saya dapati semua orang amat sangat berbahagia dan mereka sangat baik terhadap saya. Seusai shalat Dhuhur kami kembali ke tempat tinggal kami. Saya menyelesaikan kuliah pada bulan Juli tahun 1997 dan kembali ke Lesotho. Pendidikan Dasar Islam Saya mengetahui seorang tetangga saya di desa biasa menulis dengan huruf Arab. Maka saya tanyakan kepadanya, apakah anda Muslim? Ia menjawab, Benar. Kemudian ia menambahkan, Sayangnya, saya tidak menjalankan ajaran Islam. Ia memberitahu saya keberadaan Masjid Thabong di Ibukota. Di suatu pagi kami berdua berjalan 77 kaki sejauh duapuluh kilometer untuk belajar Islam di masjid ini. disini menyelenggarakan sekolah Islam pada setiap akhir pekan. Saya bersama tetangga saya, Basheer, dapat mengikuti pelajaran karena pihak masjid menyediakan sarana transportasi untuk kami. Atas bimbingan dan saran dari guru saya, Tn. Mahmood, saya dapat diterima mondok di sekolah berasrama yang bernama Assalam Educational Institute (Lembaga Pendidikan Assalam) di Braemar yang terletak sekitar 150 km. dari kota Durban. Saya belajar disini selama delapan bulan dan selanjutnya saya kembali ke rumah. Wakil Kepala Pendidikan memberi saya Kitab The Noble Quran (Al-Quranul Karim) dengan terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Dr. Mohsin Ali. Mendakwahkan Islam Untuk menunjang kebutuhan hidup, saya mulai berjualan pakaian. Saya juga mulai mensyiarkan Islam. Saya lakukan ini bekerjasama dengan Basheer tetangga saya. Atas Rahmat Allah, dalam satu tahun dua belas keluarga memeluk Islam melalui usaha kami yang tak seberapa. Saya dan Basheer mengajukan permintaan kepada pemancar siaran radio daerah kami agar menyediakan waktu bagi kami untuk memperkenalkan Islam. Radio Pemerintah mengijinkan perwakilanperwakilan dari kaum Muslim, Kristen, dan kepercayaan Bahai, untuk menyiarkan presentasi ringkas di radio. Siaran selalu diikuti dengan telepon dari pendengar dan masing-masing agama dapat mempertahan pandangan mereka masing-masing. Jaringan Televisi Lesotho mengundang saya dan Basheer untuk menyajikan perihal Iedil Fitri kepada pemirsa. Acara ini mendapat sambutan hangat dari umat Muslim dan banyak dari kaum Kristiani yang menjadi sangat ingin tahu lebih banyak perihal Islam. Sementara itu, Abdul Karim, seorang akhi Muslim dari Tunisia, membeli waktu-siar di sebuah radio swasta bernama Joy FM Voice of America, di Ibukota. Ia mengundang saya dan seorang akhi bernama Rafiq, untuk mengisi acara mingguan perihal Islam. Kami menjalankan acara ini selama lebih kurang satu tahun. Sebuah delegasi dari Saudi mengunjungi Ibukota kami. Atas arahan dan pertolongan akhi Mahmood dan akhi Abdul Karim, Saya melamar untuk belajar ke Universitas Islam Madinah Al-Munawarah pada tahun 1999. Satu setengah tahun berlalu, tak ada jawaban atas lamaran itu. Saya mulai bekerja di perusahaan konstruksi jalan yang cukup jauh dari tempat tinggal saya. Penyelia saya membuat hidup saya terasa lebih menderita akibat pemikiran saya yang Islami. Abdul karim menasehati agar saya berpuasa dan lebih banyak membaca Al-Quran supaya Allah mengangkat kesulitan yang saya hadapi. Mulailah saya lakukan puasa sunnah Senin- Kamis dan memperbanyak membaca Al-Quran. 78 Atas persetujuan lembaga yang berwenang, saya juga memulai mengajar pada kelompok belajar beranggotakan sekitar seratus narapidana setiap Minggu sore. Para narapidana berhasil mengeluarkan pendeta pengajar mereka yang berasal dari Assembly of God karena sang pendeta tidak mengijinkan mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Saya mengajar disana selama tiga bulan dan kemudian saya harus berpindah dari tempat itu. Saya sangat bergembira mendapatkan surat penerimaan dari Universitas Islam Madinah Al-Munawarah pada bulan Juli 2001. Alhamdulillah, saya masuk universitas pada bulan September 2001. Disini saya harus belajar bahasa Arab selama dua tahun sebelum melanjutkan belajar Islam secara formal di universitas. Saya sangat senang di Madinah Al-Munawarah. Beberapa sanaksaudara saya pun telah memeluk Islam melalui dakwah yang saya sampaikan. Semoga Allah SWT menerima amaliyah saya yang tak seberapa ini dan menguatkan iman dan amal Islami saya. Harapan Saya Setelah menengok kembali peristiwa-peristiwa kehidupan yang saya lalui, saya menyimpulkan bahwa fasilitas pendidikan Islam di negaranegara Afrika amat sangat kurang. Mutu pendidikannya pun sangat rendah. Maka tingkat kemajuan keberhasilan dakwah pun begitu lambat. Ini semua melemahkan hati para Mualaf (para Muslim baru). Amat sangat sulit mendapatkan guru-guru agama Islam yang tulus dan berbobot. Oleh karena itu, saya berharap kepada para orangtua agar mengarahkan sekurang-kurangnya satu dari anak-anak mereka yang cerdas menjadi guru. Hanya para gurulah yang sanggup mengubah arah sebuah bangsa. Saya juga menghimbau kepada para Muslim yang berkelimpahan harta agar mendirikan lebih banyak lagi Lembaga-lembaga Islam dimana mereka bisa dan sanggup mengelola secara profesional. Inilah, yang sesungguhnya merupakan investasi terbaik dan ganjarannya pun sangat tak terkirakan. Semoga Allah SWT membimbing kita ke Jalan-Nya yang Lurus. Amiin. ___________________________________ Surat dari Zulia Muhammed, Nigeria Akhi Imtiaz Ahmad, Assalaamualaikum. Betapa beruntungnya saya telah dapat melaksanakan Ibadah Haji pada tahun 2005. Dalam kesempatan itu saya mendapat sebuah buku karya anda; REMINDERS (Peringatan Kepada Ulul Albab Pent.); sewaktu di Madinah. Jiwa saya tersentuh ketika membacanya dan saya pun membaca tulisan-tulisan anda yang lain melalui situs (website) anda di internet. Saya 79 telusuri lembar demi lembar sampai saya selesai membaca seluruh isi buku anda, betapa senang perasaan saya dapat menyelesaikan membaca semuanya. Buku-buku itu sangat bermanfaat, memesona, dan mengagumkan. Berjuta-juta terima kasih untuk anda Akhi Ahmad, atas buku-buku yang istimewa dan juga kenikmatan yang telah saya peroleh, dan juga yang diperoleh saudara-saudara yang lain di negara saya dengan jalan membaca buku-buku anda itu. Boleh jadi anda terkejut jika saya katakan bahwa saya baru delapan tahun yang lalu memeluk Islam, dan ini merupakan pengalaman hidup yang sangat istimewa sehingga saya selalu bertanya kepada diri sendiri, mengapa saya tidak menjadi seorang Muslim sejak dulu. Perjalanan saya menuju Islam adalah hal yang amat menarik. Saya terlahir tahun 1969 dalam keluarga yang seutuhnya Kristen di Nigeria. Kami delapan bersaudara, enam perempuan dan dua lelaki. Ayah kami meninggal dunia di usia muda, pada tahun 1972. Keluarga kami pun terpisah menjadi dua bagian, Ibunda kami dan beberapa dari kami berpindah tinggal bersama saudara kandung lelaki dari ayah di kampung yang jauh di pelosok, adapun dua orang kakak perempuan kami menetap di kota bersama seorang bibi asuh. Di tepi jalan menuju sekolah dasar dimana saya belajar terdapat sebuah Masjid besar, saya sering memperhatikan kaum Muslim bersembahyang dengan tata-cara yang seragam. Cara mereka bersembahyang memperbesar ketertarikan saya terhadap agama ini. Kala itu saya biasa mengatakan kepada ibu saya perihal keinginan saya untuk berpindah agama, tentu saja beliau selalu menentang hal itu. Saya tidak menginginkan beliau dirundung masalah apapun. Maka saya pun tetap dalam agama Kristen namun didalam diri saya berketetapan hati bahwa suatu hari saya pasti akan mengubah keyakinan saya. Dua orang kakak perempuan saya tinggal di lingkungan Muslim. Mereka begitu terkesan dengan kebersihan dan cara hidup kaum Muslim di sekitar mereka, maka mereka berdua pun memeluk Islam dan menikah dengan lelaki Muslim. Mereka pun memperoleh pendidikan Islam tingkat lanjutan dan membesarkan anak-anak mereka dengan pengetahuan Islam yang mantap. Hal yang amat mengejutkan saya adalah, ibunda kami pun telah memeluk Islam, bahkan lebih awal daripada saya, beliau terkesan atas hakhak perempuan didalam Islam dan juga perilaku Islami yang mengesankan dari kedua anak menantunya yang Muslim. Namun beliau tidak memaksa anak-anaknya untuk masuk Islam. Ibu sangat meyakini bahwa semua anakanaknya akan memeluk Islam dengan jalan menemukan keindahan Islam. Sayapun kemudian mulai membaca buku-buku ajaran Islam dan mengajukan berbagai pertanyaan seputar Islam. Saya menjadi amat enggan 80 untuk mengubah keyakinan lantaran membayangkan beraneka kewajiban dalam Islam yang nampak memberatkan diri saya, seperti: Shalat Lima waktu dalam sehari-semalam, membaca Al-Quran dalam bahasa Arab, kewajiban berbusana Muslimah, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Bahkan lebih ringan bagi saya untuk membangunkan Ibu dari tidurnya ketika tiba waktu shalat, sementara sulit untuk mengajak diri saya sendiri melakukan hal serupa. Jujur saja, pada waktu itu saya tidak menjalani ibadah agama apapun juga, saya adalah seorang insan yang tersesat. Akhirnya, pada bulan Ramadhan tahun 1997 Allah membukakan hati saya untuk menerima hidayah-Nya, dan saya pun memeluk Islam setelah melalui banyak perenungan diri. Saya temukan kenikmatan, kedamaian fikiran dan kebahagiaan karena saya rasakan telah terangkat beban berat yang selama ini berada didalam benak saya. Tentu anda turut merasa bahagia bahwa lima orang perempuan dan seorang lelaki dari kami kakak-beradik, telah masuk Islam. Lebih jauh lagi, banyak diantara sanak-saudara kami pun telah masuk Islam, lantaran terkesan oleh perilaku Islami Ibunda kami maupun keluarga kami. Mereka menganggap Ibunda kami bagaikan Ratunya Islam. Saya memohon ke hadirat Allah semoga kami semua terpelihara di Jalan-Nya yang Lurus. Amiin. Sebagai penulis buku, saya ingin mengingatkan kepada saudaraku yang secara tradisi terlahir beragama Islam bahwa, para mualaf ataupun mereka yang kembali kedalam Islam telah mengikatkan diri mereka dalam melaksanakan ajaran Islam dengan ketulusan dan kesungguhan tekad yang amat besar walaupun harus menghadapi kerumitan dan benturan dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Saya berdoa kepada Allah SWT semoga dianugerahi-Nya kita dengan ketulusan dan kesungguhan yang setara dengan mereka, saudara-saudara kita yang baru menemukan Islam. Imtiaz Ahmad,Website: "http://www.imtiazahmad.com" 81 AYAT-AYAT QURAN Surat Az-Zumar; ayat 23: >????? ? T? ?S??T / f?????o? ? ???v? ? S??S??S S????? S=T ?????? ? ???? T? _???? ?? ST? ?_ ?? ? ?? ? ? ~??? ? ??S?? ?S~??? ??? = ??? ? ???S?=T v? ??v?? ?8? ??? :? ??S???? ?'??? ] ?T?  S??? ????? ? (84) ??????? ?v? ?? ?( ?????T? ??? "Dan jikalau Kami jadikan Al-Quran itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan:Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya? Apakah (patut Al-Quran) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah:Al-Quran itu adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh." PERINGATAN MENDESAK! Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi ketika bersuci dengan air (Wudlu): 1. Siku masih kering (belum terbasuh air) 2. Pergelangan kaki masih kering (tidak terbasuh air) 3. Ingatlah bahwa tanpa wudlu yang sempurna maka shalat tidak sah. Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi didalam shalat: 1. Duduk diantara dua sujud hendaklah sempurna (harus ada jeda waktu) 2. Ketika sujud, jangan mengangkat telapak kaki walau sejenak. Begitu pula hidung harus menyentuh lantai selama sujud. 3. Untuk lelaki, sewaktu sujud siku harus tidak menempel di lantai. 4. Jangan bergerak mendahului imam. 5. Berdirilah setegak mungkin pada waktu itidal (berdiri setelah ruku). 6. Jangan berlari sewaktu akan bergabung dalam shalat berjamaah. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt