eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com MR. Collection's mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Diterjemahkan dari Birdman, karya Mo Hayder, terbitan Seal Books, Canada. Perpustakaan National RI: Katalog Dalam Terbitan Hayder, Mo Birdman / Mo Hayder; penerjemah, Basfin Siregar ; Cet. 1. — Jakarta: Dastan Books, 2007. 552 hal. ; 14 x 21 cm 978-979-3972-24-4 Anggota IKAPI I. Judul II. Siregar, Basfin (KDT) penyunting, III Marvel Neydi, Neydi. — Marvel 813 Penerjemah: Basfin Siregar Penyunting: Marvel Neydi Copyright © Mo Hayder 1999 Indonesian Language Translation Copyright © 2007 by Dastan Books. All rights reserved. Cetakan 1, September 2007 Jl. Batu Ampar III No. 14 Condet, Jakarta 13520 Tel.: (021) 8092269 Faks.: (021) 80871671 Hotline SMS: 0817 37 37 37 E-mail: layanan@dastanbooks.com Website: www.dastanbooks.com Direct Selling Layanan Antar: (021) 68 614 614 Pembelian secara on-line dapat dilakukan melalui www.zahra. co.id UCAPAN Terima KASIH terutang kepada setiap orang di AMIP Thornton Heath, terutama detektif superintenden D. Reeve dan Police Constable M. Little. Juga Iain West dari Departemen Patologi Forensik Rumah Sakit Guy, Dr. Elizabeth Wilson dan Doug Stowton dari Layanan Ilmu Pengetahuan Forensik, Zeno Geradts, dan patolog Ed Friedlander, Universitas Health, Missouri, mereka semua adalah para profesional dan sangat membantu di luar tiigas mereka. 5 Ucapan khusus untuk Detektif Inspektur Kepala Steve Gwilliam atas kesabaran dan bantuannya. Untuk persahabatan dan kepercayaan mereka terhadapku: Jimmy Brooks, Karen Catling, Rilke D., Linda Downing, Jon Fink, Jo Goldsworthy, Jane Gregory, Dave dan Deborah Head, Patrick Janson-Smith, Sue dan Michael Laydon, Doreen Norman, Lisanne Radice, Sam Serafy, dan Simon Taylor. Terima kasih juga untuk Caroline Shanks, yang menyelamatkan hidupku bertahun lalu, untuk Mairi Hitomi, yang terus melakukannya sampai sekarang, untuk keluargaku yang benar-benar hebat dan luar biasa (sekumpulan orang paling berpendidikan dan paling imajinatif yang pernah kutemui), dan, terutama, untuk Keith Quinn. [] 6 REENWICH UTARA. Akhir Mei. Tiga jam sebelum matahari terbit dan sungai sudah sepi. Perahu bergerak-gerak naik di tambatan dan ombak musim semi perlahan mengangkat beberapa sekoci kecil bebas dari lumpur tempat mereka tertidur. Kabut tipis terangkat dari air, bergerak ke darat, melewati toko-toko gelap, di atas gedung Millennium Dome yang kosong, dan melintas tempat pembuangan sampah yang sepi, aneh, seperti lanskap bulan— sampai akhirnya ia berhenti seperempat mil di darat, di antara 9 mesin-mesin terbengkalai di area konstruksi yang baru separo dibangun. Sorot lampu tiba-tiba menyapu—sebuah mobil polisi bergerak memasuki jalan, cahaya biru menyala perlahan. Diikuti kemudian oleh mobil kedua dan ketiga. Dua puluh menit kemudian lebih banyak mobil berkumpul di sana—delapan mobil polisi, dua Ford Sierra, dan van warna putih milik tim kamera forensik. Sebuah pembatas jalan dipasang di depan jalan masuk, dan polisi lokal berseragam diperintahkan untuk menutup akses dari sisi sungai. Petugas CID (Crime Investigation Division) yang pertama kali datang berbicara dengan petugas di Croydon, meminta nomor pager AMIP (Area Major Investigation Pool) dan, lima mil jauhnya, Inspektur Detektif Jack Caffery, AMIP tim B, terbangun dari tidumya. la berbaring mengedipkan mata dalam gelap, mengumpulkan pikirannya, melawan godaan untuk kembali tidur. Lalu sambil mengambil napas dalam, ia berhasil bangun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi, memercikkan air ke wajahnya—tidak ada lagi Glenmorangie saat minggu jaga, Jack, bersumpahlah sekarang, bersumpahlah—dan berpakaian, tidak terlalu tergesa, lebih baik datang benar-benar terjaga dan tenang. Sekarang dasi, sesuatu yang dipandang remeh—CID tidak suka kami terlihat lebih gemerlap dibanding mereka. Pager, kopi, banyak-banyak kopi instan—dengan gula namun tanpa susu, tanpa susu—dan yang terpenting, jangan makan, kau tidak akan pernah tahu apa yang harus kau lihat nanti. Menghabiskan dua cangkir kopi, menemukan kunci mobil di saku celana, dan sepenuhnya terjaga karena kafein. Sebatang rokok gulungan sendiri di antara gigi, menyetir melalui jalan-jalan sepi Greenwich menuju lokasi kejahatan, di mana 10 atasannya, Detektif Superintenden Steve Maddox, seorang lakilaki kecil yang beruban sebelum waktunya, senantiasa rapi dalam balutan jas warna cokelat, menunggu di luar area konstruksi— mondar-mandir di bawah lampu jalan, memutar-mutar kunci mobil dan menggigiti bibirnya. la melihat mobil Jack menepi, menyeberang ke arahnya, menaruh sikunya di atap mobil, bersandar di jendela yang terbuka dan berkata, "Kuharap kau tidak baru makan." Caffery menarik rem tangan. la mengambil rokok dan tembakau dari dasbor. "Hebat. Benar-benar seperti yang kuharapkan." "Yang ini sudah ini terlalu lama." Maddox melangkah mundur seiring Jack keluar dari mobil. "Perempuan, separo ditanam. Dihantam di tengah-tengah area pembuangan." "Kau sudah masuk, bukan?" "Belum, belum. Divisi CID yang memberiku penjelasan. Dan umm...." Maddox melihat sekilas dari bahunya ke arah di mana para petugas CID lokal tengah berdiri berkerumun. Ketika ia berbalik suaranya menjadi pelan. "Ada bekas autopsi di tubuhnya. Sayatan berbentuk huruf Y." Jack berhenti, tangannya di pintu mobil. "Autopsi?" 'Ya" "Mungkin itu mayat dari lab patologi." "Aku tahu...." "Olok-olok mahasiswa kedokteran...." "Aku tahu, aku tahu." Maddox mengangkat tangan, menghentikannya. "Ini bukan wilayah kita, tapi...." Ia mengecek lagi melewati bahunya dan bersandar lebih dekat. "Begini, CID 11 Greenwich biasanya cukup baik dengan kita. Ayo, kita senangkan mereka. Melihat sebentar tidak akan membunuh kita. Oke?" "Oke." "Baiklah. Sekarang." Maddox menegakkan tubuh. "Sekarang kau. Bagaimana denganmu? Yakin kau siap?" "Sialan, tidak." Caffery membanting pintu, mengambil kartu pengenal dari dompetnya dan menggerakkan bahu. "Tentu saja aku tidak siap. Kapan aku pemah siap?" * * * Mereka menuju jalan masuk, bergerak sepanjang perimeter. Satusatunya cahaya adalah pancaran redup dari lampu jalan yang bertebaran, beberapa kali cahaya putih dari kru kamera forensik menyapu area pembuangan sampah. Satu mil di atas, mendominasi pemandangan, adalah bangunan Millennium Dome yang bercahaya, lampu-lampunya yang merah mengedip kepada bintang. "Korban terbungkus plastik atau semacamnya," kata Maddox. "Tapi sangat gelap di sana. Petugas yang pertama datang tidak yakin—situasinya mencurigakan dan dia jadi gelisah." Maddox menjulurkan kepalanya ke arah sekumpulan mobil. "Mercedez. Kau lihat mobil itu?" "Yeah." Caffery tidak menghentikan langkah. Seorang laki-laki dengan punggung berat dan berjas tebal bersandar di kursi depan, berbicara serius dengan seorang petugas CID. "Sang pemilik. Banyak perbaikan di sana-sini, karena tetek bengek pergantian milenium. Katanya minggu lalu dia membawa 12 tim untuk merapikan tempat ini. Tanpa sadar mereka mungkin sudah mengganggu para penghuni kubur... banyak peralatan berat, dan lalu pada jam satu pagi...." Maddox berhenti di gerbang dan mereka menunjukkan kartu pengenal, melangkah ke dalam bersama seorang petugas polisi dan merunduk di bawah garis pembatas tempat kejadian perkara. "Dan lalu saat... oh, jam satu pagi ini, tiga remaja bermain-main di sini dan mereka mengenainya. Sekarang mereka ada di kantor. CSC (Crime Scene Coordinator) akan memberi tahu kita lebih banyak. Dia sudah di dalam". Sersan Detektif Fiona Quinn, koordinator tempat kejadian perkara (CSC), langsung dari Scotland Yard, menunggu mereka di bawah sorot lampu, nyaris tidak terlihat di balik baju Tyvek putihnya. Dengan serius ia menarik penutup kepalanya saat mereka masuk. Maddox yang berinisiatif memperkenalkan. "Jack, perkenalkan Sersan Detektif Quinn. Fionna, ini inspektur detektifku yang baru, Jack Caffery." Caffery melangkah maju, tangannya terulur. "Senang bertemu Anda." "Saya juga, Sir." Petugas CSC itu melepas sarung tangan lateksnya dan menjabat tangan Caffery. "Pertama kalinya, bukan?" "Ya, dengan AMIP." "Well, andai saya punya sesuatu yang lebih baik untuk Anda. Keadaannya tidak begitu baik di sana. Tidak baik sama sekali. Sesuatu membelah tempurung kepalanya—semacam mesin sepertinya. Dia bersandar pada punggungnya." Fionna kemudian bersandar untuk mendemonstrasikan. Lengannya terjulur keluar, 13 mulutnya terbuka. Dalam remang cahaya, Caffery bisa melihat pendar campuran merkuri. "Dari pinggul ke bawah tertanam di semen. Di sisi trotoar atau semacamnya." "Korban sudah lama di sana?" "Belum, belum. Perkiraan kasar..." Fionna mengenakan kembali sarung tangannya dan menyerahkan masker kepada Maddox, "kurang dari seminggu; tapi itu lebih dari cukup untuk memanggil seorang 'pakar'. Kupikir kita harus menunggu sampai siang untuk menarik patolog dari tempat tidurnya. Dia akan memberi Anda lebih banyak kalau dia sudah menaruhnya di pit dan melihat aktivitas serangga itu. Tubuh perempuan itu separo dikubur, separo dibungkus plastik. Mungkin ada petunjuk." "Patolog," ujar Caffery. "Anda yakin kita membutuhkan patolog? CID bilang sudah dilakukan autopsi." "Memang benar." "Dan Anda masih ingin kami melihatnya?" "Ya." Wajah Quinn tidak berubah. "Ya, kupikir kalian tetap perlu melihatnya. Kita tidak bicara tentang autopsi profesional di sini." Maddox dan Caffery saling bertukar pandang. Beberapa saat mereka terdiam, dan Jack akhirnya mengangguk. "Baiklah. Baiklah kalau begitu." Jack mengeringkan tenggorokannya, mengambil sarung tangan dan masker yang ditawarkan Quinn lalu dengan cepat memasukkan dasinya ke balik baju. "Ayo. Mari kita lihat." * * * 14 Bahkan dengan sarung tangan, kebiasaan lamanya di CID membuat Caffery tetap berjalan dengan kedua tangannya di dalam saku. Beberapa kali ia kehilangan jejak lampu forensik Quinn yang terus bergerak melambai, membuatnya merasa agak gelisah—sejauh ini di dalam area pembuangan begitu gelap: kru kamera sudah selesai dan tengah berada di van putih mereka, mengopi kaset master. Sekarang satu-satunya cahaya adalah sinar redup, pendar kimiawi dari perekat ber-fluorescent yang dipakai CSC untuk mengenali benda-benda atau sisi jalan, melindunginya sampai petugas pemeriksa AMIP datang untuk melabeli dan menaruh semua itu di dalam tas. Mereka melayang di dalam kabut seperti hantu penasaran, melewati botol-botol, kaleng-kaleng, sesuatu tak berbentuk yang tadinya mungkin T-Shirt atau handuk. Ban berjalan pembawa barang dan jembatan derek berdiri tegak 24 meter lebih menjulang ke arah langit malam di sekeliling mereka, abu-abu dan hening seperti roller coaster yang tidak berfungsi. Quinn mengangkat satu tangannya untuk menghentikan mereka. "Di sana," katanya pada Caffery. "Anda lihat? Bersandar pada punggungnya." "Dimana?" "Lihat drum minyak itu?" Quinn sedikit menggeser obornya. "Ya" "Dan dua tongkat penyangga di sebelah kanannya?" "Ya." "Ikuti sampai bawah." Ya Tuhan. "Anda melihatnya?" 15 "Ya". Caffery menenangkan dirinya sendiri. "Ya. Saya lihat." Itu? Itu tubuh manusia? Caffery sempat menyangka kalau itu tadi adalah busa yang memanjang, sejenis busa yang dikeluarkan dari aerosol, begitu mengapung, kuning sekaligus bersinar redup. Lalu ia melihat rambut dan gigi, dan mengenali lengan manusia. Akhirnya, dengan sedikit memiringkan kepalanya, Caffery menyadari apa yang sebenarnya ia lihat. "Oh, demi Tuhan," kata Maddox dengan suara letih. [] 16 ETIKA MATAHARI telah tinggi dan menyapu habis kabut, tiap orang yang sudah melihat mayat itu di siang hari tahu kalau ini bukan olok-olok sekolah kedokteran. Patolog dari kantor pusat, Harsha Krishnamurthi, datang lalu menghilang selama satu jam di dalam tenda forensik. Sebuah tim pencari bersarung tangan membentuk formasi lingkaran dan mendapatkan instruksi, lalu siangnya mayat tersebut berhasil dilepaskan dari dalam beton. Jack menemukan Steve di kursi depan mobil Sierra tim B. 17 "Kau baik-baik saja?" "Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan di sini, Kawan. Kita akan membiarkan Krishnamurthi mengambil alih dari sini." "Pulanglah. Tidur." "Kaujuga." "Tidak. Aku tetap tinggal." "Tidak, Jack. Kaujuga. Kalau kau ingin latihan insomnia, kau akan mendapatkannya beberapa hari ke depan. Percayalah padaku." Jack mengangkat tangannya. "Baiklah, baiklah. Apa pun yang kaukatakan, Sir." "Apa pun yang aku katakan." "Tapi aku tidak akan tidur." "Baiklah. Tak mengapa. Pulanglah." Steve melambai ke mobil Jaguar lama milik Jack. "Pulang dan berpura-puralah tidur." Bayangan tubuh berwarna kuning di bawah tenda terus menghantui Jack bahkan ketika dia sudah pulang. Di bawah lampu warna putih tubuh itu terlihat lebih nyata dibanding kondisinya malam sebelumnya. Kukunya, yang digigit dan dicat warna biru, tergulung ke dalam telapak tangannya. Jack mandi, lalu bercukur. Wajahnya di cermin berubah jadi cokelat karena sebuah pagi dekat sungai. Ada kerutan di sekitar matanya. Dia tahu dia tidak akan tidur. Percepatan promosi untuk darah baru di AMIP: lebih muda, lebih tangguh, lebih fit. Jack menyadari kekesalan petugas yang berpangkat lebih rendah dan memahami kesenangan kecil mereka saat shift jaga delapan minggu akhirnya kembali ke tim B, dengan tepat sekaligus mengesalkan bersamaan dengan kasus pertamanya. 18 Tujuh hari, dua puluh empat jam siaga, malam-malam di mana dia sering terbangun, lalu disodok telak oleh kasus ini. Tidak ada waktu untuk beristirahat. Dia tidak akan berada dalam kondisi terbaiknya. Dan, hal ini menjadi scmakin kompleks. Tidak hanya lokasi dan kurangnya saksi yang menyelimuti kasus ini. Di pagi hari mereka melihat adanya bekas lubang jarum yang sudah berwarna hitam membusuk. Pelaku telah melakukan sesuatu terhadap payudara korban, yang tidak ingin dipikirkan Jack di bak mandinya yang putih. Dia menyeka rambutnya dan menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengeluarkan air yang memasuki telinganya. Berhenti berpikir soal ini. Berhenti membiarkannya berputar-putar di kepalamu. Steve benar. Dia butuh beristirahat. Jack sedang berada di dapur, menuang Glenmorangie, ketika bel depan berbunyi. "Ini aku," Veronica memanggil melalui kotak surat. "Seharusnya aku menelepon, tapi ponselku tertinggal di rumah." Jack membuka pintu. Veronica mengenakan setelan sutra warna krem dan kacamata gelap Armani bertengger di atas rambutnya. Tas belanja dari butik-butik di Chelsea melingkar di sekitar tumitnya. Mobil Tigra convertible merah miliknya diparkir di bawah cahaya matahari senja dekat gerbang depan, dan Jack melihat kalau wanita itu tengah memegang kunci pintu depan seakan baru saja akan masuk. * * * 19 "Halo seksi," Veronica bersandar, menunggu ciuman. Jack menciumnya, merasakan lipstik dan napas berbau penyemprot rasa mentol. "Mmmmm!" Veronica memegang pergelangan tangan Jack lalu mundur sedikit, memerhatikan bekas kerutan, jins yang dipakai, dan kaki Jack yang tak beralas. Botol wiski bergerak-gerak di antara jari Jack. "Sedang rileks, ya?" "Aku tadi lagi di kebun." "Mengawasi Penderecki?" "Menurutmu aku tidak mampu pergi ke kebun tanpa mengawasi Penderecki?" "Tentu saja kau tidak bisa." Veronica mulai tertawa, lalu dia melihat wajah Jack. "Oh, ayolah Jack, aku cuma bercanda." Dia mengambil tas belanja Waitrose lalu mengulurkannya pada Jack. "Aku baru saja belanja—udang, pewangi, bumbu, dan anggur terbaik. Dan, ini...." Dia mengangkat kotak berwarna hijau gelap. "Dari Ayah dan aku." Dia mengangkat salah satu kakinya yang panjang seperti seekor burung eksotik dan menaruh kotak tersebut di atas lutut untuk membukanya. Sebuah jaket kulit wama cokelat terbungkus dalam kertas. "Salah satu pakaian yang kami impor." "Aku sudah punya jaket kulit." "Oh." Senyum Veronica memudar. "Oh. Baiklah. Tak perlu khawatir." Veronica menutup kembali kotak tersebut. Mereka berdua diam selama beberapa saat. "Tidak." Jack tiba-tiba merasa malu. "Jangan." "Sejujurnya. Aku dapat menukar jaket ini dari stok." "Jangan, sungguh. Sini, berikan padaku." 20 Ini, pikir Jack sembari berlutut dekat pintu depan yang tertutup dan mengikuti Veronica ke dalam rumah, adalah pola Veronica. Veronica menyarankan untuk mengubah gaya hidup, Jack menolak, Veronica memajukan bagian bawah bibirnya, menggedikkan bahunya, dan dengan segera Jack merasa bersalah, menurunkan punggungnya dan mengalah. Karena masa lalu gadis itu. Sederhana tapi efektif, Veronica. Dalam waktu enam bulan yang singkat mereka telah mengenal satu sama lain, rumahnya yang jelek tapi nyaman itu telah berubah menjadi sesuatu yang asing, dipenuhi oleh tanaman-tanaman beraroma dan alat-alat digital seharga tabungan para buruh, leinari pakaiannya penuh oleh pakaian yang tidak akan pernah dia pakai: setelan karya perancang busana, jaket buatan tangan, dasi sutra, jins moleskin, scgala barang dari perusahaan importir Mortimer Street milik ayahnya. Saat ini, ketika Veronica membuat dirinya merasa di rumahnya sendiri di dapur Jack—jendela terbuka, Guzzini mendengung, minyak kacang terbakar di atas wajan hijau menyala—Jack mengambil wiski dan melangkah ke teras. Kebun. Di sanalah, pikirnya, tanpa berhenti menuangkan Glenmorangie, terdapat bukti sempurna bahwa hubungannya dengan Veronica mulai goyah. Ditanam lama sebelum ayahnya membeli rumah ini—kebun yang dipenuhi bunga sepatu, lupin1-lupin Russel, tumbuhan menjalar usia purba dan berkenjal-kenjal—dia suka membiarkannya tumbuh tiap musim panas sampai hampir menutupi jendela dengan hijaunya. Tapi Veronica ingin melakukan pekerjaan menghias, memangkas, memupuki, menanam rumput jeruk dan semak-semak kecil, berbicara tentang jalan setapak dari batu kerikil dan pohon-pohon teluk. Dan akhirnya—setelah Veronica selesai mengepak ulang Jack dan kebunnya—dia ingin 21 Jack menjualnya, meninggalkan tempat ini, London Selatan kecil ini, meninggalkan rumah bergaya Victoria dengan batu bata tak tersusun rapi tempat dia dilahirkan, dengan jendelanya yang bersekat besi, kebunnya yang berantakan, dan suara kereta yang gemerisik dari kejauhan. Veronica ingin meninggalkan pekerjaannya di perusahaan ayahnya, pindah dari rumah mereka dan mulai membangun rumah sendiri untuk Jack. Tapi Jack tidak bisa. Sejarahnya tertanam terlalu dalam di tanah seluas seperempat ekar ini untuk bisa dicabut karena dorongan tibatiba. Dan, setelah enam bulan mengenal Veronica, dia meyakini satu hal: dia tidak mencintainya. Saat ini dia mengawasi Veronica melalui jendela, yang sedang mengupas kentang, membuat gulungan-gulungan mentega. Akhir tahun lalu Jack sudah menghabiskan empat tahun di CID dan mulai lambat—seperti berjalan di dalam air, bosan, menunggu hal berikutnya. Hingga, dalam suatu pesta Halloween CID yang kurang terkendali, dia sadar bahwa ke mana pun dia menoleh, seorang gadis dengan rok mini dan selop warna emas mengawasinya, senyum yang berarti sesuatu di wajahnya. Veronica memicu Jack dalam dua bulan obsesi hormonal. Veronica bisa mengimbangi gairah seksnya. Dia membangunkan Jack pukul enam pagi untuk bercinta dan menghabiskan akhir pekan dengan berkeliaran di dalam rumah tanpa mengenakan apa-apa selain sepatu tumit dan lipstik cerahnya. Veronica memberinya energi baru, dan wilayah lain dalam kehidupannya mulai berubah. Bulan April dia mendapat tanda tumit kucing Manolo Blahnik di kepala tempat tidurnya dan transfer ke AMIP. Seksi pembunuhan. 22 Tapi pada musim semi, seiring memudarnya gairah Jack terhadap Veronica, agenda Veronica berubah drastis. Dia menjadi serius dengan Jack, memulai kampanye untuk mengikat Jack ke dalam dirinya. Suatu malam dia mengajak Jack duduk dan bercerita tentang ketidakadilan besar dalam hidupnya. Lama sebelum mereka bertemu: dua tahun masa remajanya habis karena harus berjuang melawan kanker. Strategi itu berhasil. Akhirnya, tiba-tiba Jack tidak tahu bagaimana cara mengakhiri hubungannya dengan Veronica. Betapa arogan, Jack, dia menyadarinya, seakan-akan dengan tidak meninggalkannva bisa menjadi kompensasi. Betapa arogannya dirimu. Di dalam dapur Veronica mendekatkan dagunya, dagunya yang asimetris, ke dada, lidahnya di antara giginya, dan menyobek mint menjadi irisan. Jack menuang wiski dan menghabiskannya sekali teguk. Malam ini dia akan melakukannya. Mungkin setelah makan malam. * * * Makan malam siap dalam satu jam. Veronica menghidupkan semua lampu di dalam rumah lalu menyalakan lilin kebun citronella di teras. "Pancetta dan salad kacang dengan rocket, udang dengan madu dan saus tiram, lalu sorbet Clementine. Aku ini wanita sempurna atau apa?" Veronica menggoyangkan rambutnya dan 23 secara jelas memamerkan giginya yang terawat mahal. "Kupikir aku akan mencoba masakan ini buatmu dan melihat apakah cocok untuk pesta." "Pesta." Jack sudah lupa. Mereka merencanakannya ketika mereka berpikir bahwa sepuluh hari setelah minggu-jaga adalah waktu yang baik, cukup tenang untuk mengadakan pesta. "Untung aku tidak lupa, bukan?" Veronica melewatinya, membawa Le Creuset dipenuhi kentang-kentang kecil. Di ruang tamu jendela terbuka ke arah kebun. "Kita makan malam di sini, tak perlu membuka ruang makan." Veronica berhenti, melihat ke T-shirt berkerut yang dikenakan Jack, rambutnya yang hitam liar. "Tidakkah sebaiknya kau berganti pakaian untuk makan malam?" "Kau sedang bergurau." "Well, aku...." Veronica membuka serbet di pangkuannya. "Aku pikir itu bagus." "Tidak." Jack duduk. "Aku butuh jasku. Kasusku sudah dimulai." Ayolah, tanya aku tentang kasusku, Veronica, tunjukkan perhatian pada sesuatu selain lemari pakaian atau taplak mejaku. Tapi Veronica mulai menaruh kentang di piring Jack. "Kau punya lebih dari satu setelan, kan? Ayah mengirimmu yang abuabu." "Yang lain masih di binatu." "Oh, Jack, kau seharusnya bilang. Aku bisa saja mengambilnya." "Veronica...." 24 "Oke." Veronica mengangkat tangannya. "Aku minta maaf. Aku tidak akan menyebutnya lagi...." Dia diam. Di lorong telepon berbunyi. "Aku ingin tahu siapa itu." Dia mengiris kentang. "Seolah aku tidak bisa menebak saja." Jack menaruh gelasnya dan memundurkan kursinya. "Ya Tuhan," Veronica menghela napas, frustrasi, lalu meletakkan garpunya. "Mereka punya indra keenam, mereka betul-betul punya. Tidak bisakah kau mcnibiarkannya?" 'Tidak." Di lorong Jack mengambil telepon. "Ya?" "Jangan bilang padaku. Kau barusan tertidur." "Sudah kubilang tidak akan." "Maaf melakukan ini padamu, Kawan." "Ya, ada apa?" "Aku kembali kemari. Gubernur setuju kita membawa peralatan. Salah satu tim pencari menemukan sesuatu." "Peralatan?" "GPR." "GPR?" Jack terdiam. Veronica melewatinya dan berjalan ke atas, menutup pintu kamar di belakangnya. Jack berdiri di lorong menatapnya, satu tangan menempel di dinding. "Kau di sana, Jack?" "Ya, maaf. Apa tadi kaubilang? GPR, itu semacam pencari tanah atau apa?" "Radar tanah." "Oke. Kalau begitu...." Jack mencungkil dinding dengan kuku ibu jarinya. "Berarti kau mendapat mayat lagi?" 25 "Kita mendapatkannya lagi." Steve serius. "Empat mayat lagi." "Sialan." Jack memijat lehernya. "Di ujung pembuangan atau apa?" "Mereka sudah memulai pengangkatan sekarang." "Oke. Kau akan berada di mana?" "Di halaman. Kita bisa mengikuti mereka turun sampai ke Devonshire Drive." "Rumah mayat? Greenwich?" "Uh-uh. Krishnamurthi sudah mulai dengan mayat pertama. Dia setuju melakukannya sepanjang malam untuk kita." "Oke. Kutemui kau di sana dalam 30 menit." Di lantai atas, Veronica di dalam kamar tidur dengan pintu dirutup. Jack berganti pakaian di kamar Ewan, melihat sekali keluar jendela kalau-kalau ada aktivitas di seberang rel di rumah Penderecki— tidak ada—dan membereskan dasinya, menjulurkan kepalanya ke dalam kamar tidur. "Baiklah. Kita akan bicara. Saat aku kembali...." Jack berhenti. Veronica duduk di atas tempat tidur, selimut menutup sampai ke lehernya. Dia tengah memegangi sebuah botol pil. "Apaitu?" Veronica mendongak, memandang Jack. Matanya sayu. "Ibuprofen. Kenapa?" "Apa yang kaulakukan?" * * * 26 "Tidak ada." "Apa yang kaulakukan, Veronica?" "Tenggorokanku naik lagi." Jack berhenti, dasi bertambah panjang di tangan kirinya. "Tenggorokanmu naik?" "Itu yang kukatakan." "Sejak kapan?" "Aku tidak tahu." "Well, tidak tahu kalau tenggorokanmu naik lagi atau tidak." Veronica menggumamkan sesuatu di antara napasnya, membuka botol, menuang dua pil ke telapak tangannya dan memandang Jack. "Pergi ke suatu tempat menyenangkan?" "Kenapa kau tidak bilang tenggorokanmu naik? Bukankah kau seharusnya dites?" "Tak usah khawatir soal itu. Kau punya hal lebih penting untuk dipikirkan." "Veronica...." "Apa lagi sekarang?" Jack diam beberapa saat. "Tidak ada." Dia selesai membenahi dasinya dan berbalik ke tangga. "Tak perlu khawatir tentang diriku," Veronica berkata di belakangnya. "Aku tidak akan menunggu."[] 27 UKUL SETENGAH TIGA PAGI. Jack dan Steve berdiri diam menatap lewat pakaian autopsi tipis warna putih: lima meja bedah ahuriinium, lima mayat, dibuka dari pubis hingga ke bahu, kulit dikelupas bagai kulit binatang, menampilkan tulang mentah yang berpola dengan lemak dan otot. Cairan menetes ke baki di bawah mereka. Jack mengenal ini dengan baik: bau disinfektan yang bercampur dengan bau busuk organ manusia di udara dingin. Tapi lima. Lima. 29 Semuanya ditandai dan diberi tanggal yang sama. Dia belum pemah melihat dalam skala sebesar ini. Para pemeriksa mayat bergerak pelan dalam sepatu karet mereka yang berwarna hijau peppermint dan alat penyeka, tampak tidak menganggap hal ini aneh. Salah seorang tersenyum dan menawari Jack masker. "Tunggu sebentar, Tuan-Tuan." Harsha Krishnamurthi berada di meja bedah paling jauh. Wajah mayat itu telah dibuka dari bagian tengkorak sampai belahan hidung squamous, dan dilipat sedemikian rupa hingga rambut dan wajah tergantung bagai sebuah topeng karet basah, bagian dalam di luar, menutupi mulut dan leher, penyaruan pada tulang selangka Krishnamurthi mengangkat isi perut keluar dan menaruhnya ke dalam mangkuk tahan-karat. "Siapa yang bertugas?" "Aku." Seorang pemeriksa mayat bertubuh kecil berkacamata muncul di dekatnya. "Bagus, Martin. Timbang mereka, jalankan mereka, dan siapkan sampel. Paula, aku sudah selesai di sini. Kau bisa menutupnya. Jangan sampai jahitannya menutupi luka. Sekarang, Tuan-Tuan." Dia mendorong sebuah lampu halogen, melepas klep kaca depan plastiknya, dan berpaling ke Steve dan Jack, bersarung tangan, tangannya yang basah tergantung kaku di depan. Dia tampan, ramping, di usia lima puluh, matanya yang dalam dan berwarna hijau kayu sedikit basah karena usia, janggutnya yang abuabu tampak rapi. "Tur besar, bukan?" Steve mengangguk. "Apakah kita tahu sebab kematiannya?" "Kupikir begitu. Dan, bila aku benar, penyebab kematian mereka sangat menarik. Aku akan jelaskan nanti." Krishnamurthi lalu menunjuk ke sebuah ruangan di bawah.' Ahli entomologi akan memberi kalian lebih banyak... tapi aku bisa memberi perkiraan. 30 Mayat pertama yang kalian temukan adalah yang terakhir mati. Kita sebut dia nomor lima. Dia meninggal kurang dari seminggu lalu. Lalu kita mundur ke belakang, hampir sebulan, lalu lima minggu, dan lalu sebulan setengah. Korban pertama mungkin meninggal sekitar bulan Desember. Tapi rentangnya semakin pendek. Kita beruntung: tidak terlalu banyak menggunakan perkakas kelas tiga... mayat-mayat itu terpelihara dengan baik." Dia lalu menunjuk ke gundukan daging yang sudah mulai menghitam di atas meja bedah nomor dua. "Yang pertama mati. Tulangnya yang panjang menunjukkan kalau dia belum berusia 18 tahun. Ada scsuatu yang tampak seperti tato di lengan kirinya. Mungkin tato itu hanya satu-satunya cara untuk mengidentifikasi siapa dia. Cara itu atau dengan odontologi. Ini..."—dia mengangkat sebuah jari yang sudah bengkok—"terlihat ketika datang. Aku tidak tahu seberapa banyak yang kalian lihat di lapangan. Tapi semua korban memakai make up. Make up yang sangat tebal. Sangat jelas terlihat, bahkan ketika mereka sudah berada di dalam tanah selama ini. Eye shadow, lipstik. Fotografer sudah memotret semuanya." "Make up, tato-tato...." "Ya, Mr. Maddox. Dan, bila berpikir dengan jalur itu, dua korban memiliki infeksi pada rongga pinggul, satu memiliki anus keratiniz, ada penggunaan narkoba dalam jumlah besar, dan katup endocarditis triscupid. Aku tidak ingin melompat ke kesimpulan...." "Ya, ya, ya," Steve menggumam. "Jadi kita tahu bahwa mereka adalah pekerja seks. Kupikir kita sudah menebak hal itu. Apa yang bisa kaukatakan tentang mutilasinya?" "Ah! Menarik!" Krishnamurthi mendekat ke salah satu mayat, meminta mereka untuk ikut mendekat. Jack berpikir, bukan yang 31 pertama kali, seperti apa sisi dari daging tergantung sesosok korban yang dikuliti. "Kau dapat melihat bahwa yang telah aku lakukan adalah membuka perut dengan ketat, berusaha menghindari operasi yang dilakukan pelaku kita, dan menghindari daerah sekitar payudara, agar aku bisa mengambil sampel incisi dan melihat apa yang terjadi di dalam sana." "Dan?" "Sejumlah lapisan di payudara telah diangkat." Steve dan Jack bertukar pandang. "Ya. Secara sederhana bisa dikatakan kalau pengangkatan ini merupakan standar operasi payudara beta mark. Jahitan ke bagian atas juga sama. Kupikir, karena itu pelaku tidak melakukan 'dekorasi' apa pun pada korban yang berpayudara kecil." "Yang mana?" "Korban nomor dua dan tiga. Mari kutunjukkan sesuatu yang menarik." Krishnamurthi mengajak mereka mendekati seorang pemeriksa mayat yang tengah menjahit batang tubuh yang baru dia ambil ususnya. "Pola perlawanan dari kuku tidak menjanjikan... dan yang paling aneh adalah aku tidak dapat menemukan satu tanda pun adanya perlawanan. Kecuali pada yang ini. Korban nomor tiga." Mereka lalu berkumpul mengelilingi mayat tersebut. Tubuh itu kecil, hampir seperti anak-anak, dan Jack tahu bahwa karena kemiripan yang kebetulan ini, rasional atau tidak, korban itu akan dikesampingkan dalam pertimbangan tim. "Dia berbobot sekitar empat puluh kilogram. Itu tidak lebih dari enam stone2,''' kata Krishnamurthi, membaca pikiran Jack. "Tapi 32 dia juga bukan remaja. Hanya saja, dia sangat mungil. Mungkin karena itu payudaranya tidak dimutilasi." "Warna rambutnya ...?" "Itu pewarna rambut. Rambut berdegradasi secara perlahan. Rambut aubergine ini... tidak akan berubah banyak setelah kematian. Sekarang, lihat." Dia menunjuk ke jari warna hitam basah di pola tak beraturan di panggul. "Sulit membedakannya luka-luka pembusukan yang normal, tapi tanda ini sebenarnya adalah bekas balutan. Antemortem.3 Dan, bekas tekanan di sini di sekitar wajah. Di bagian tumit juga, pergerakan, pendarahan. Yang lain mati sedingin es. Mereka seperti"—dia menggantung tangannya dan menirukan jambul kepala—"baru saja dirumpahkan dari sisi itu. Seperti jaruhnya balok kayu. Tapi yang ini... yang ini berbeda." "Berbeda?" Jack mendongak. "Kenapa berbeda?" "Korban ini melawan, Tuan-Tuan. Dia berjuang untuk hidupnya." "Yang lain tidak melawan?" "Tidak." Krishnamurthi mengangkat tangannya. "Aku akan sampai ke sana. Bersabarlah, oke?" Dia bergeser ke samping sebuah neraca tiga tiang dan bergerak ke mayat pertama yang mereka temukan, yang terlampau besar dan membengkak. "Begini." Dia mendongak, menunggu Steve dan Jack mengikuti. "Sekarang begini. Kita akan menyebut mayat ini korban nomor lima. Kondisinya memang mengenaskan. Tidak diragukan lagi kalau luka di kepalanya terjadi sebelum kematian, dilakukan dengan alat berat. Perkiraan tentang adanya suara buldoser itu benar. Memberi kita masalah besar dalam mengidentifikasinya. Harapan terbaik kita adalah sidik jari, meski di sini ada masalah." Dia mengangkat tangan 33 mayat tersebut dan perlahan menggosok kulitnya maju-mundur. Kulit itu bergerak, berlendir, licin, seperti kulit yang berada di atas sebuah agar-agar. "Lihat betapa licinnya? Tidak ada harapan sama sekali bisa mendapatkan sidik jari lengkap secara langsung. Yang harus kita lakukan adalah mengelupas kulit jari ini dan mencetak sidik jarinya." Dia menurunkan kembali tangan tersebut. "Dia seorang pemakai narkoba, tapi kematiannya terjadi seketika, bukan karena overdosis. Tidak ada tanda seperti esophageal dan tracheal, tidak ada edema berkenaan dengan paru-paru." Perlahan Krislinamurthi membalik tubuh tersebut dan menunjuk ke bagian kulit yang berwarna kehijauan di bagian pinggul. "Apa yang kalian lihat ini adalah pembusukan. Tapi di bawah pembusukan itu, dapatkah kaulihat tusukan darah hitam?" "Ya" Dia membalikkan tubuh itu kembali. "Penggumpalan darah tak beraturan. Dia dipindah setelah mati. Ada lagi penggumpalan di lengan... bahkan yang agak tidak wajar, di tumitnya." "Tidak wajar?" "Kau akan menemukannya pada korban yang digantung. Darah menumpuk dari atas ke kaki dan ke tumit." Jack mengerutkan dahinya. "Kau bilang bagian lehernya tidak apa-apa." "Memang. Dan, dari apa yang tersisa di lehernya, aku berani menjamin bahwa dia bukan korban penggantungan." "Lalu?" "Dia hanya berada di posisi berdiri selama beberapa waktu setelah kematiannya." 34 "Berdiri?" Jack berkata. "Berdiri?" Bayangan sosok mayat yang berdiri membuatnya tidak merasa nyaman. Dia menoleh pada Steve, mengharapkan penjelasan—semacam penegasan yang lebih mudah. Tapi tidak ada. Sebaliknya, bahkan Steve menyipitkan mata dan menggelengkan kepalanya. Aku tidak tahu, seolah dia berkata. Jangan selalu melihatku untuk setiap jawaban. "Mungkin dia ditopang agar berdiri," Krishnamurthi melanjutkan. "Aku tidak melihat daerah kulit yang masih berwarna keputihan untuk menunjukkan bagaimana persisnya dia ditopang— pembusukannya sudah terlalu jauh—tapi dia sangat mungkin ditopang di bawah lengannya, atau dijepit hingga bisa berada di posisi tegak. Beberapa saat setelah kematiannya, ketika darah belum lagi mengental." Dia berhenti. "Mmmm-hm. Aku melewatkan itu." "Apa itu?" Krishnamurthi membungkuk dan perlahan mengangkat sesuatu dari kulit kepala. "Rambut." Jack mencondongkan tubuhnya. "Rambut kemaluan?" "Mungkin." Krishnamurthi mengangkatnya ke lampu. "Bukan. Ini rambut kepala. Kulit hitam. Tidak akan berguna untuk tes DNA kecuali dengan mitochondrial. Tidak ada cukup kantong-rambut di dalamnya." Dengan hati-hati dia menaruh rambut tersebut ke dalam kantong plastik dan menyerahkannya kepada pemeriksa mayat untuk diberi label. "Aku sudah mengambil sejumlah rambut wama pirang dari tiga korban. Rambut itu sekarang tengah dikirim ke Lambeth." Dia lalu bergeser ke meja berikutnya. "Korban nomor dua. Dia tewas empat belas atau lima belas minggu lalu. Lima puluh 35 delapan kilogram, usia mungkin tiga puluh tahun. Jarinya sudah mengering, tapi kita akan tetap mendapatkan sidik jari yang bagus. Ada chelation pembangun jaringan yang sangat bagus di pasar. Gelatin. Membengkakkan ujungnya. Biasanya untuk itu kami harus lepas tangan dan mengerjakannya di Lambeth, tapi..."—dia mencondongkan tubuh ke Steve—"sejak ribut-ribut soal Marchioness aku sudah berhenti berpikir lepas tangan. Kerjakan semuanya di sini, di lapangan, nyaman atau tidak." Krishnamurthi pindah ke meja berikutnya, tempat sebuah mayat berkulit putih terbaring di tengah, terbentang. Sebuah sarang labalaba fascia perak putih gemerlap di antara tulang rusuk yang biru. Rambut pirangnya yang sudah dibersihkan dari pewarna dibasahi dan disisir rapi ke belakang untuk memperlihatkan bagian dahi. Tenggorokannya juga dibedah dan dibuka lebar, memperlihatkan sekilas benang samar-samar. "Korban nomor empat, Tuan-Tuan." Jack menyentuh pelan tumit mayat itu. "Bagus." Sebuah tato, secara mengejutkan tampak jelas, beberapa sentimeter di atas tulang tarsal. Bugs Bunny. Lambahg wortel hijau di atas. "Kaubilang tidak ada tanda overdosis?" "Benar. Juga tidak ada tanda trauma." "Jadi bagaimana mereka mati?" Krishnamurthi mengangkat jarinya yang bemoda dan tersenyum pelan. "Di sinilah aku mendapat ide. Lihat ini." Perlahan Krishnamurthi memasukkan jarinya ke dalam rongga leher, dengan hati-hati membuka tenggorokan itu agar terbuka lebih lebar, menggeser beberapa inci batang tenggorok dan kerongkongan hingga rongga melingkar itu terlihat licin dan abu-abu. "Orang ini sungguh pintar. 36 Tapi tak sepintar diriku. Bila kau mengeringkan cukup banyak cairan cerebrospinal dari bawah ini"—dia memegang lalu menepuk punggung tangannya—"kematian seketika, nyaris tidak ada tanda. Bahkan pengambilan cairan tulang belakang standar harus dilakukan sangat, sangat hati-hati; kau mengambil terlalu banyak cairan itu dan huree, pasienmu meninggal. Para korban ini memiliki jumlali cairan CSF yang cukup di tulang belakang dan tidak ada bekas luka tusukan di punggung. Jadi aku berpikir kalau dia memotong jalan tengali itu dan langsung menusuk"—Krishnamurthi mendorong kulit kepala yang sudah terkalibrasi itu di antara tulang belakang dan dengan hati-hati mengambil sedikit myelin caul putih—"kejaringan syaraf itu sendiri." "Jaringan syaraf?" "Benar." Krishnamurthi mengambil sampel jaringan kedua dan membungkuk mengamatinya. "Hmmm." Dengan hati-hati dia menggerakkan pisau bedah dan bergumam sendiri. "Tidak. Aku keliru." Keningnya berkerut lalu dia mendongak. "Ini tidak dilakukan dengan menyedot CSF." 'Tidak?" "Tidak. Tapi pernah ada sesuatu yang menyebar di sink Begini, Superintenden Steve, jaringan syaraf adalah struktur yang sangat halus. Kau hanya perlu memasukkan jarum ke medulla oblongata, memutarnya sedikit, dan setiap fungsi fisiologis akan berhenti... seperti yang kita lihat pada mereka." "Kematian seketika." "Tepat sekali. Aku tidak melihat kerusakan parah yang kauharapkan dengan teknik itu, tapi tidak berarti tidak ada sesuatu yang diinjeksikan di sink Tidak jadi soal apa yang diinjeksikan... 37 bahkan air pun bisa mematikan. Jantung dan paru-paru subjek tetap akan berhenti. Seketika." "Dan, kau bilang bahwa selain korban nomor tiga, tidak satu pun dari mereka yang melawan?" "Begitulah." "Lalu bagaimana?" Jack mengusap pelipisnya perlahan. "Bagaimana dia membuat mereka diam?" "Perkiraanku adalah ketika kau mendapat hasil analisis perut, darah, dan jaringan-dalam lewat toksikologi, kau akan menemukan sesuatu yang menyebabkan mereka tidak bergerak." Krishnamurtlii menegakkan kepalanya. "Kita harus berasumsi bahwa mereka setengah sadar ketika jarum itu menusuk." "Benar." Jack melipat tangannya dan bertumpu lagi pada tumitnya. "Lambeth harus melakukan tes alkohol, Rohypnol, barbs, mazis, dan itu...." Jack mengangguk ke dahi korban. Sekitar satu sentimeter di bawah batas rambut, dia dapat melihat tanda berupa garis horizontal pucat berwarna cokelat-kekuningan. "Tanda itu di kepalanya." "Ya,anehbukan?" "Mereka semua punya tanda yang sama?" "Semua kecuali korban nomor empat. Tanda itu melingkar di sekeliling kepala. Hampir berbentuk lingkaran sempuma. Dan, tanda itu memiliki pola unik: beberapa titik, lalu garis." Jack membungkuk lebih dekat. Titik titik garis. Apakah ini lelucon seseorang? "Bagaimana tanda ini dibuat?" "Belum tahu... aku akan mengerjakannya." "Bagaimana dengan benang untuk menutup bekas pembedahan ini?" 38 "Ya," Krishnamurthi diam beberapa saat. "Itu profesional." Jack menegakkan tubuhnya. Steve memandangnya dengan matanya yang abu-abu terang di balik maskernya. Jack menaikkan alisnya. "Bukankah itu menarik?" "Aku tidak bilang tekniknya profesional, Tuan-Tuan." Krishnamurthi melepas sarung tangannya, memasukkannya ke dalam tempat sampah biohazard warna kuning dan membenamkannya ke dasar. "Hanya materialnya. Itu sutra. Tapi pengambilan jaringannya tidak sampai ke proses xiphoid. Sangat kasar. Pengambilan jaringan payudara beta, itu teknik bedah klasik yang diajarkan di sekolah kedokteran." Krishnamurthi mengambil batangan sabun kuning lalu menyabuni lengannya. "Dia mengambil lemak dari tempat yang tepat, dan pengambilannya sangat bersih, dilakukan dengan pisau bedah. Tapi jahitannya... tidak profesional. Sama sekali tidak profesional." "Tapi kalau kubilang pelaku mempunyai pemahaman tentang dasar-dasar pembedahan, kau akan bilang...?" "Aku akan bilang kau benar. Poin yang bagus. Dia bisa menemukan jaringan syaraf, dan itu mengagumkan." Krishnamurthi mencuci tangan dan melepas pelindung matanya. 'Well, kau ingin lihat apa yang dia perbuat sebelum menjahitnya kembali?" "Ya." "Kemari." Sambil mengeringkan tangannya, Krishnamurthi mengajak mereka ke sebuah ruangan di mana pemeriksa mayat bertubuh kecil tadi sedang mengunyah permen karet dan membersihkan usus di sebuah penggosok porselen: memegangnya di bawah keran dan membersihkan isinya di dalam sebuah mangkuk. Dia dengan hati- 39 hati memeriksa garis luar dan dalam, mengecek kalau-kalau ada korosi. Ketika melihat Krishnarnurthi, dia menaruh usus tersebut ke sisi lain lalu mencuci tangannya. "Tunjukkan apa yang kita temukan di rongga dada, Martin." "Tentu." Martin menaruh permen karet di pipinya dan mengambil sebuah mangkuk baja besar yang tertutup selembar kertas cokelat. Dia membuka kertas tersebut dan mengangkat mangkuknya, menunjukkannya pada mereka. Steve menunduk dan membuang mukanya seakan-akan baru saja ditampar. "Ya Tuhan." Dia berbalik, mengambil saputangan monogram bersih dari saku jasnya. 'Tunjukkan padaku." "Tentu." Martin mengangkat mangkuk tersebut dan Jack perlahan-lahan melihat dari tepi atasnya. Di bagian bawah mangkuk yang bau dan bernoda darah itu, lima sosok mungil berdesakan seolah hendak mencoba tetap hangat. Jack melihat ke arah Martin. "Apakah mereka seperti yang kupikirkan?" Pemeriksa mayat itu mengangguk. "Oh ya. Mereka adalah seperti apa yang terlihat."[] 40 Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER http://jowo.jw.lt