Bende MATARAM Saduran : Herman Pratekno/ Dari kisah Memanah Burung Rajawali mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Episode 3 TAK pernah mereka bermimpi, kalau rumah tangganya yang begitu tenteram damai tiba-tiba mengalami gelombang malapetaka dahsyat. Kesan pertempuran itu mengusik ketenteraman hatinya. Mereka sadar, ekornya masih panjang. Pastilah gerombolan anak buah sang Dewaresi tak mau sudah, manakala mereka belum dapat merampas kedua pusaka Pangeran Semono. "Apa kita serahkan saja?" Wayan Suage minta pertimbangan. Isterinya segera menyetujui. Begitu pula Rukmini. Mereka sepaham, bahwa tidak ada untungnya memiliki kedua pusaka itu. "Sawah kita sudah cukup lebar. Rumah kita besar pula. Sapi dan kerbau kita miliki. Pendek kata, cukuplah buat hidup tenteram. Anak-anak kita takkan kelaparan. Hidup macam apa lagi yang kita inginkan?" kata Rukmini. Besar pengaruhnya ujar mereka berdua terhadap Wayan Suage. Tetapi Made Tantre berpaham lain. Katanya, "Kita tak berhak mengadili kedua pusaka itu. Hajar Karangpandan bukanlah orang sembarangan. Kalau sampai mempercayakan kedua pusaka itu kepada kita, pasti ada maksudnya. Seumpama kedua pusaka itu lantas kita serahkan begitu saja kepada mereka yang menghendaki, apa kata Hajar Karangpandan? Kita tahu, dia bertahan mati-matian dan berjuang dengan segenap hatinya. Dia dapat datang pergi sesuka hati seperti burung rajawali mendaki angkasa. Ah, harga diri kita takkan dipandangnya lagi. Dia dapat menimbulkan malapetaka jauh lebih mengerikan daripada gerombolan orang-orang Banyumas tadi." "Tapi soalnya, mereka berjumlah besar. Sedangkan kita hanya dua orang," bantah Wayan Suage. "Itu gampang. Kita lapor ke Kepala Kampung. Kita taruhkan kedua pusaka itu dalam penjagaan seluruh penduduk. Nah, apakah mereka mampu merebut?" Kata-kata Made Tantre masuk akal pula. Maka pada sore harinya mereka lapor kepada Kepala Kampung. Tetapi setelah Kepala Kampung itu mendengar tentang kedua pusaka Pangeran Semono, timbul pulalah keingin-annya hendak mengangkangi. Kepala Kampung Karangtinalang seorang laki-laki berumur 60 tahunan. Tetapi pandang matanya masih memancarkan sinar perjuangan hidup jasmaniah. Dengan diam-diam ia memanggil dua orang pembantunya. Kemudian bergegas mengunjungi rumah Wayan Suage dan Made Tantre agar mengawalnya dari jauh. Made Tantre yang mempunyai penglihatan cermat, segera memperoleh kesan tertentu. Celaka! katanya dalam hati. Orang inipun mempunyai nafsu serigala pula. Maka ia mem-bisikkan kesannya kepada Wayan Suage. Wayan Suage percaya benar kepada prasangkanya, maka ia berbisik kepada Sapartinah agar memanggil Kepala Kampung Kemarangan, Krosak dan Gemrenggeng. Mereka akan dijadikan saksi hak milik kedua pusaka. Maka pada senja hari itu, ber-turut-turut datanglah kepala-kepala kampung tiga desa. Wayan Suage menyambut kedatangan mereka dengan gembira. Beramai-ramai mereka memeriksa kedua pusaka Pangeran Semono yang diletakkan di atas meja. Pan¬dang mereka mendadak berubah seperti orang kelaparan. Tetapi mereka tidak berani menyatakan keinginan hatinya terang-terangan. Juga Kepala Kampung Karangtinalang agak segan pula. Untuk menutupi kata hatinya, mereka berbicara tentang pusaka-pusaka kuno yang bertuah. Dihubungkan pembicaraan itu kepada penobatan Sultan Yogyakarta. "Siapa mengira. Raden Mas Sundara akhirnya naik tahta kerajaan," kata Kepala Kampung Karangtinalang. "Tadinya kukira Kanjeng Gusti Anom Amengkunegara atau Kanjeng Pangeran Arya Ngabei." "Ah! Kanjeng Arya Dipasana atau Kanjeng Pangeran Arya Kusumayuda lebih tepat," sambung Kepala Kampung Gumrenggeng. "Sebab mereka berdua lebih perwira dan perkasa." "Siapa bilang," bantah Kepala Kampung Kemarangan. "Meskipun mereka sakti, apakah dapat menandingi kekeramatan tombak Kyai Pleret. Raden Mas Sundara beruntung memperoleh warisan pusaka. Sekiranya tidak, beliau pun takkan dapat naik tahta." "Hm!" Kepala Kampung Krosak memotong. "Berbicara tentang pusaka inilah pusaka sakti tak terlawan. Kalian tahu, Pangeran Semono dulu adalah cikal-bakal kerajaan Jawa. Dia putera Bathara Karawelang, Raja Loano. Pusaka Raja Karawelang sebenarnya tiga buah. Yang pertama: Bende Mataram, kedua: kens Kyai Tunggulmanik dan ketiga Jala Karawelang. Barang siapa memilikl ketiga pusaka itu, akan dapat merebut tahta kerajaan Jawa." "Mengapa?" mereka bertiga menyahut berbareng. "Mengapa?" Kepala Kampung Krosak mengulang. "Dia akan sakti tak terlawan. Suaranya seperti guntur. Gerak-geriknya gesit bagalkan kilat. Otaknya menjadi cerdas tanpa guru. Sekali melihat lantas bisa. Dia akan disujuti jin, setan dan iblis di seluruh kepulauan. Mereka bersedia menjadi bala tentaranya yang kelak disebut balatentara sirolah. Nah, siapa dapat melawan? Apa kalian sanggup berlawanan dengan jin, setan dan iblis yang tak nampak oleh mata?" Dengan disinggungnya nama kedua pusaka itu, gejolak hati mereka tak tertahankan lagi. Mereka lantas saja meruntuhkan pandangan kepada pusaka Bende Mataram dan Keris Kyai Tunggulmanik. "Pernahkah kamu melihat pusaka Jala Karawelang?" ujar Kepala Kampung Karangtinalang. "Bagaimana mungkin aku kuasa melihatnya," sahut Kepala Kampung Krosak. "Menurut tutur-kata orang-orang kuno, jala itu tidak nampak. Dia selalu bersama dengan kedua pusaka ini." "Kalau begitu, pasti pusaka Jala Karawelang berada di sekitar kedua pusaka ini," seru Kepala Kampung Karangtinalang. Tangannya kemudian meraba-raba, karena napsunya sangat besar hendak menjamah kedua pusaka itu. Tetapi belum lagi dia menyentuh, mendadak tangan Kepala Kampung Kemarangan menyambar cepat. "Jangan sentuh! Kau tak berhak!" bentaknya. Kemudian seperti seorang majikan yang berhak melarang pegawainya, ia berganti menurunkan tangan. Tetapi maksudnya dihalang-halangi Kepala Kampung Gumrenggeng. "Hai beraninya kamu menghalangi aku?" bentaknya. "Mengapa tidak?" Kepala Kampung Gum¬renggeng membalas membentak. "Kalau dia tak berhak, kamupun tak berhak pula. Memang kamu ini siapa?" "Bangsat!" maki Kepala Kampung Kema¬rangan. Dimaki demikian, meledaklah amarah Ke¬pala Kampung Gumrenggeng. Tanpa berpikir panjang lagi, tangannya menyambar, Kepala Kampung Kemarangan terkejut. Gugup ia menangkis dan sebentar saja mereka berdua telah berhantam seru. Melihat mereka berdua saling berhantam Kepala Kampung Karangtinalang mempergunakan kesempatan itu. Ia tak mempedulikan lagi pandang tajam Way an Suag'e dan Made Tantre yang berdiri di pojok. Pikirnya, mereka kan penduduk kampungku nanti tak akan menghalangi maksudku. Tetapi ia melupakan Kepala Kampung Krosak yang mengincar pula pusaka itu. Maka begitu dia_hendak menubruk kedua pusaka Pangeran Semono, tangannya kena dipapas tinju Kepala Kampung Krosak. Mereka berdua lantas berdiri. Kedua-duanya sudah berumur lanjut. Kumis, jenggot dan alisnya memutih kapuk. Pandang matanya suram kuyu. Mereka berusaha memperkasakan diri. Kemudian sa¬ling menerjang dengan sekuat tenaga. Mereka berbenturan dan tergetar mundur dua langkah. Tubuhnya bergoyang-goyang. Tapi seperti kemasukan setan mereka mener¬jang lagi dan bergumul rapat pepat. Jaman dulu tak gampang orang jadi Kepala kampung. Dia harus seorang perwira, berwibawa, berani dan cerdik sebagai syarat mutlak memperoleh kewibawaan. Itulah sebabnya mereka kebanyakan terdiri dari bekas jagoan, pembegal atau maling ampuh. Maka tak mengherankan, kalau mereka pandai berkelahi dan ulet. Waktu itu senja rembang telah tiba. Dalam rumah panjang itu seketika menjadi gelap. Tubuh mereka yang berkelahi berkelebatan seperti bayangan. Mereka mengadu ketajaman pendengaran dan berpedoman pada kesiur angin belaka. Keempat orang kepala kampung itu sebenarnya tak mempunyai musuh tertentu. Mereka hanya bersedia bertempur demi kedua pusaka. Siapa saja yang menghampiri meja, lantas saja digempur bersama. Karuan saja, pertempuran itu berlangsung sangat kacau. Mula-mula, Kepala Kampung Kemarangan berhantam dengan Kepala Kampung Gumrenggeng. Tiba-tiba mereka melihat pergulatan mati-matian antara Kepala Kampung Karangtinalang dan Kepala Kampung Krosak. Ketika kedua kepala kampung itu bergeser tempat sehingga mendekati meja, dengan berbareng mereka menyerang. Karena serangan itu, pergulatan bubar tersentakkan. Mereka mendongkol dan permusuhannya kini beralih kepada Kepala Kampung Kemarangan dan Kepala Kampung Gumrenggeng. "Kalian manusia rendah!" maki Kepala Kampung Karangtinalang. "Apa kau bukan bangsa tikus pula?" Kepala Kampung Gumrenggeng membalas bentakan itu. la mengayunkan tinju. Cepat-cepat Kepala Kampung Karangtinalang menangkis. Maka bentroklah adu tenaga itu, sehingga kedua-duanya mundur sempoyongan. Dalam pada itu Kepala Kampung Krosak melayani Kepala Kampung Kemarang, yang merangsak dengan hebat. Mereka mencakar dan menendang sejadi-jadinya. Kedua-keduanya mengerang kesakitan, tetapi tak mau mengalah. Mereka berputar memasuki gelanggang pertarungan Kepala Kampung Karang¬tinalang dan Kepala Kampung Gemrenggeng. Justru waktu itu, Kepala Kampung Gemreng¬geng sedang menyerang punggung. Karuan saja mereka berdua terkejut. Buru-buru mere¬ka menangkis berbareng. Prak! Mereka terjengkang ke samping. Mendadak Kepala Kampung Karangtinalang berjongkok dan mengirimkan tendangan. Serangan ini samasekali tak diduga oleh ketiga-tiganya. Lagipula, mereka bertiga tadi terkejut karena. bentrokan tanpa rencana. Itulah sebabnya, maka masing-masing kena hajaran tendangan kaki Kepala Kampung Karangtinalang. Mereka lantas kalangkabut dan berbareng merangsak maju. Sudah barang tentu, Kepala Kampung Ka¬rangtinalang ketakutan diserang bertiga. Ontung ia tak kehabisan akal. Cepat ia merangkak menjauhi dan mengumpet di bawah meja. Napasnya tersengal-sengal menyekat leher. Dalam hati ia mengharap kedatangan dua pembantunya yang tadi disuruhnya mengawal dari jauh. Tetapi semenjak ia masuk ke rumah Wayan Suage dan Made Tantre, mereka jauh berada di luar. Apakah mereka mengetahui apa yang telah terjadi pada petang hari itu. Memikirkan hal itu, ia merayap keluar dari bawah meja. Hatinya tak rela jika belum dapat menggenggam pusaka Pangeran Semono sebagai miliknya. Tetapi begitu dia keluar dari kolong meja, segera ia terlibat dalam pertempuran kalang kabut. Ia lantas menerjang dan mengamuk serabutan. Pada saat itu Wayan Suage dan Made Tantre yang berdiri di luar gelanggang tercengang-cengang menyaksikan terjadinya pertarungan. Lama-kelamaan mereka mendongkol, jengkel dan geli. Bagaimana tidak? Sama sekali tak diduganya kalau mereka berempat yang diharapkan menjadi saksi hak milik barang pusaka, malahan saling berhantam begitu mati-matian. Perkakas rumahnya rusak berantakan. Sedangkan Sapartinah dan Rukmini terlihat memepet dinding dengan wajah ketakutan. Maklumlah, selama mereka mendirikan rumah tangga, belum pernah sekali pun menyaksikan orang bertempur di depan hidungnya. Apa lagi mereka yang bertempur adalah kepala-kepala kampung yang mereka hormati. Sangaji dan Sanjaya sudah sejak tadi terkunci mulutnya. Mereka berdua gemetaran, meringkaskan badan dan menyusup ke lambung ibunya masing-masing. Mempertimbangkan keadaan keluarganya, Made Tantre habis kesabarannya. Serentak ia lari ke dapur dan datang kembali dengan membawa kayu menyala. Segera ia menyalakan lampu. Kemudian berbareng dengan nyala lampu, ia berteriak nyaring, "Berhenti! Mengapa kalian saling berhantam? Bukankah kalian kami undang untuk menjadi saksi hak-milik pusaka kami?" Mereka berhenti berkelahi dengan serentak. Tetapi bukan karena teriakan Made Tantre, melainkan karena sinar terang yang menerangi ruang rumah. Mereka saling memandang dengan pandang mengancam dan menyiasati. Raut muka mereka bengis dan hawa pembunuhan mulai terasa. Seketika itu di dalam rumah hanya terdengar napas mereka. Made Tantre bergemetaran karena menahan marah. Ingin ia mendepaki muka mereka, andaikata mereka bukan kepala-kepala kampung yang harus dihormati. Mendadak ia mendengar suara lantang dari serambi depan. Suara itu mengalun dan menusuk seluruh penjuru. Ia kaget dan cepat-cepat memepet dinding. "Aku Wirapati, murid keempat Kyai Kasan Kesambi. Ada sesuatu hal yang harus kusam-paikan kepadamu. Kuharap jangan salah paham!" bunyi suara itu. Jahanam mana lagi yang datang? pikir Made Tantre. Dia menoleh kepada Wayan Suage minta keyakinan. Waktu itu Wayan Suage sedang memusatkan pendengarannya, menangkap suara kata-kata yang terucapkan dengan pelahan dan terang. Ia terkejut. Suara itu begitu riuh seperti guruh. Pastilah yang datang bukan sembarangan orang. "Wayan!" bisik Made Tantre. "Apa kata hatimu?" "Jangan bergerak. Tunggu! Dia pasti datang ke mari," jawab Wayan Suage berbisik pula. Waktu itu Wirapati berjongkok ketika meli-hat sinar mengejap. Sebenarnya tak usahlah dia berbuat begitu, karena sinar yang menge¬jap adalah nyala pelita yang sedang disulut Made Tantre. Tapi oleh pengalamannya di tengah perjalanan tadi, ia perlu bersikap waspada. Bukankah pemuda ganas yang membunuh si pendek gemuk belum menampakkan diri? Ia menunggu beberapa saat. Jawaban tetap tak diperolehnya. Dalam rumah sunyi hening. Hati-hati ia merangkak maju menjenguk ke dalam. Sekarang dilihatnya nyala pelita menerangi ruang sana. Nampak pula ada bebera¬pa bayangan berombak-ombak pada dinding. Cepat ia berdiri dan melompat ke belakang tiang guru. Dilihatnya sepuluh orang bersikap diam tak bergerak. Yang empat orang terdiri dari dua perempuan dan dua kanak-kanak. Yang enam, laki-laki semua. Apa yang sedang dikerjakan? Sebagai murid Kyai, Kasan Kesambi yang sudah berpengalaman, segera ia dapat membaca kesan muka mereka masing-masing. Mendadak pada saat itu di atap rumah terdengarlah suara membentak. "Semua jangan bergerak dan jauhilah meja!" Wirapati segera mengenal suara itu. Ah, pikirnya. Itulah si pemuda ganas yang membunuh si pendek gemuk. Aku harus berhati-hati. Nampaknya di dalam rumah ini telah terjadi sesuatu yang menegangkan. Tetapi keenam laki-laki yang berdiri tegang tetap berada di tempatnya, seolah-olah tak mendengarkan ancaman itu. Diam-diam hati Wirapati tergetar. Kalau pemuda itu sampai menurunkan tangan jahatnya, bagaimana mereka dapat mengelakkan diri? Terdengariah kemudian suara tertawa dingin di atas atap. Kemudian dengan kesiur angin ringan, turunlah si pemuda ke tanah dengan sekali melompat. Ia adalah seorang pemuda yang berumur kurang lebih 24 tahun. Wajahnya agak pucat, tetapi tampan dan bermata ningrat. Pakaian yang dikenakan terbuat dari kain mahal. Ia menyengkelit sebilah keris melintang perutnya. Mulutnya menyungging senyum manis. Seumpama Wirapati tak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, tak percaya kalau pemuda itu dapat berlaku ganas. "Hai! Apa kalian tak dengar perintahku!" bentaknya tajam. Masih saja keenam orang itu tak menghiraukan. Tiba-tiba kakek yang berada di timur (dia Kepala Kampung Karangtinalang) mengayunkan tangannya dan bergerak hendak mencakar muka si pemuda. Cepat pemuda itu mengelak, terus maju selangkah. Melihat si pemuda melangkah maju, Kepala Kampung Krosak yang berada di sebelah utara mengemplang kepalanya. Tetapi gerak-gerik si pemuda itu gesit. Sedikit ia menggeser tubuh dan kemplangan Kepala Kampung Krosak menumbuk udara kosong. Medapat bantuan Kepala Kampung Krosak, hati Kepala Kampung Karangtinalang jadi mantap. Ia menerjang dan menyodokkan ta¬ngannya. Tangannya sebelah kiri dipentang siap menerkam dada. Ini hebat! Diam-diam Wirapati memuji dalam hati. Tetapi ilmu berkelahi si pemuda benar-benar aneh dan bagus. Dengan tersenyum merendahkan lawan, mendadak ia menangkis dan membalas menyerang. Kedua kakek itu dilawannya dengan gampang. "Iblis! Siapa kamu? Hayo mengaku, apa kauingin juga memiliki pusaka ini," bentak Kepala Kampung Krosak. Si pemuda membalas bentakan itu dengan tertawa dingin. Tiba-tiba tubuhnya melesat dan lengan Kepala Kampung Krosak kena disambar dan dipatahkan sampai berbunyi bergeratakan. Alangkah terkejut Kepala Kampung Karangtinalang menyaksikan lengan Kepala Kampung Krosak kena dipatahkan. Buru-buru ia menarik serangannya dan bersikap mempertahankan diri. Tetapi terlambat. Dia pun terserang si pemuda. Tahu-tahu ia terbanting ke tanah. Betisnya patah tak berdaya, sehingga ia jatuh tengkurap tak berkutik lagi. Mendapat kemenangan itu, si pemuda mendongakkan kepala. Kemudian tertawa dingin. "Siapa yang salah. Bukankah aku tadi mem¬beri perintah supaya kalian menjauhi meja? Nah, siapa maju lagi?" Wirapati mendongkol mendengar sumbar si pemuda. Sikapnya yang sombong itu benar-benar memuakkan hati. Hati ksatrianya lantas bangkit. Mendadak ia melihat si pemuda itu mengamat-amati perempuan yang berdiri memepet dinding mendekap bocah. Itulah Sapartinah, isteri Wayan Suage. Dia sesungguhnya seorang perempuan berwajah manis. Hidungnya mancung. Matanya bersinar. Alisnya tebal dan mempunyai tahi lalat di atas mulutnya. Umurnya belum lagi mencapai 22 tahun . Kulitnya kuning langsat. Perempuan seumur dia cepat menarik hati laki-laki yang sudah berpengalaman. Itulah sebabnya maka tak mengherankan kalau si pemuda tertegun melihat kecantikannya. "Isteri siapa dia?" tanyanya sambil membagi pandang. Tidak ada jawaban. "Isteri siapa dia?" ia mengulang. Karena tetap tidak ada jawaban, ia meneruskan, "Bagus! Tidak ada yang mengaku. Kalau begitu kepunyaan umum." Mendengar ucapannya Made Tantre tak dapat mengendalikan hatinya. Tak rela ia mendengar isteri sahabatnya direndahkan demikian rupa. Secepat kilat ia menjejak tanah dan terbang menerkam si pemuda. Pemuda itu nampak terkejut. Ia mengibaskan tangannya, tahu-tahu Made Tantre jatuh terkulai. Wirapati kaget bukan kepalang. Ia tahu apa sebabnya. Pemuda itu melepaskan senjata rahasia seperti yang dilakukan terhadap si pendek gemuk. Menyaksikan keganasan si pemuda, darahnya seketika mendidih. Ia lantas meloncat sambil berjaga-jaga. Serangan Wirapati cepat dan tak terduga. Pemuda itu tak dapat mengelakkan diri. Terpaksa dia menangkis. Tetapi kena benturan tangan Wirapati, ia bergetar mundur dua langkah. Ia heran atas kejadian itu. "Jahanam, siapa kamu?" "Selama kamu tak mau memperkenalkan namamu, apa perlu aku meladeni tampangmu?" Wirapati menyahut. la menoleh dan melihat tubuh Made Tantre tak berkutik. Rukmini merenggutkan dekapan anaknya dan lari menubruk. Cepat-cepat Wirapati menghalang-halangi. "Jangan sentuh! Dia terkena racun!" Mendengar ucapannya semua jadi terkejut. Tetapi Rukmini tak mempedulikan. la memaksa maju merangsak. Terpaksa Wirapati mendorongnya pergi. Karuan Rukmini menjerit dan jatuh pingsan. Anaknya lari menghampiri dan menangis ketakutan. "Bagus! Rupanya kaukenal senjataku!" teriak si pemuda. "Mengapa tidak? Bukankah tadi kau juga menurunkan tangan jahatmu ke salah seorang rombongan penari?" Wirapati mendamprat. Si pemuda tertegun. Kemudian tersenyum dingin. Berkata, "Eh, agaknya ada juga yang tahu. Hm!" Dada Wirapati serasa akan meledak. la melesat dan mengirimkan gempuran. Si pemuda tak berani menangkis. la mengendapkan diri dan bergulingan ke tanah. Tetapi Wirapati tak memberi kesempatan dia bernapas. Secepat kilat ia menyapu dengan kakinya, sambil melindungi dadanya. Diserang demikian, si pemuda tak menjadi gugup. Kakinya menjejak tanah. Kemudian seperti seekor ikan melentik dari genggaman tangan, ia meloncat tinggi sambil menyerang kepala Wira¬pati. Kedua tangannya disodokkan menggempur kaki. Kemudian dengan berjumpalitan ia mementalkan diri. Si pemuda berjumpalitan pula di udara dan jatuh berdiri dengan sempoyongan. "Bahaya!" terdengar suaranya di antara giginya. Pada saat itu tubuh Made Tantre telah men¬jadi kaku. Wayan Suage tertegun karena terkejut. Ia berdiri terpaku di tempatnya. Matanya terbeliak tak tahu apa yang harus dilakukan. Sebaliknya Kepala Kampung Kemarangan dan Kepala Kampung Qumrenggeng berbuat lain. Seperti telah berjanji mereka menggunakan kesempatan itu untuk menyambar kedua pusaka Pangeran Semono. Niatnya begitu berhasil membawa kedua pusaka itu, kemudi¬an akan kabur. Tetapi justru karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, malahan mereka jadi saling bentrok. Kepala Kampung Gum¬renggeng lantas saja menyiku saingannya. Dan Kepala Kampung Kemarangan mengemplang Kepala Kampung Gumrenggeng Perhatian mereka berdua sedang terpusat pada pusaka itu, sehingga tak sempat menangkis. Maka siku dan kemplangan tangan mengenai tepat sasarannya. Keduanya kaget dan batal mencapai pusaka. Wayan Suage mendadak sadar karena pergulatan itu. Tadi dia tertegun. Kini ia tergugah, kalau matinya Made Tantre karena membela kehormatan isterinya. Mana bisa ia hanya berpeluk tangan. Seketika itu juga timbullah rasa dendamnya, benci dan jijik. Ia melihat kedua kepala kampung yang sedang meliukliuk kesakitan. Deru hatinya lantas saja ditumpahkan kepada mereka. Secepat kilat dan di luar dugaan, ia menyambar keris pusaka Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Dengan kedua pusaka itu, ia menggempur mereka berdua. Kedua kepala kampung itu melihat datangnya bahaya. Mereka hendak meloncat mundur. Tetapi serangan Wayan Suage sangat ce¬pat. Sebelum mereka sadar apa yang terjadi, kedua pusaka sakti telah menggempurnya. Dengan menjerit mereka mencoba bertahan. Tetapi bagaimana mereka kuasa melawan kesaktian kedua pusaka itu. Mereka terjungkal ke tanah dan mati. Hawa pembunuhan kini mulai merangsang. Wayan Suage menggeram penuh dendam. Sedangkan Sapartinah memekik tinggi sambil menutupi mukanya. Tak rela ia menyaksikan suaminya menjadi seorang pembunuh, namun tak ada jalan lagi. Tiba-tiba di luar dinding terjadilah suatu keributan. Rombongan penari yang mengepung rumah mulai berteriak dan merangsak maju. Terasa kini udara jadi panas. Wirapati menoleh. Ah! Ia mengeluh dalam hati. Rupanya tali yang melingkar rumah bukan tali beracun, melainkan tali berminyak tanah. Mereka bermaksud membakar rumah. Darah kesatria Wirapati kian menjadi meluap-luap. Ia harus cepat bertindak, mengingat di dalam rumah terdapat dua orang perempuan dan dua orang kanak-kanak. Maka de¬ngan memusatkan perhatian, ia menerjang si pemuda sambil berteriak, "Cepat keluar! Rumah akan terbakar!" Kepala Kampung Karangtinalang dan Kepala Kampung Krosak yang kena dipatahkan lengan serta kakinya oleh si pemuda, terkejut mendengar teriakan itu. Mereka sadar akan bahaya, maka dengan sempoyongan dan meloncat-loncat lari menghampiri pintu. Tetapi waktu itu, rombongan penari dari Banyumas sudah menyerbu memasuki rumah. Mereka berteriak-teriak kalang kabut. Kekacauan segera terjadi. Api mulai menjilat dinding rumah dan telah pula membakar atap ruang tengah. Wayan Suage segera membungkuki Rukmini yang masih saja jatuh pingsan. la menggapai isterinya. Tetapi isterinya tidak melihat. Masih saja dia mendekap mukanya, sedang Sanjaya dipeluknya erat-erat. Waktu itu, Wirapati sedang mendesak si pemuda dengan serangan bertubi-tubi. la ingin menyelesaikan pertempuran secepat mungkin. Sebaliknya si pemuda tak gampang dapat dikalahkan. la dapat bergerak dengan gesit. Gerak-geriknya aneh pula, bahkan kini mulai memperlihatkan tongkatnya. Mendadak saja si pemuda yang bermata tajam melihat Wayan Suage membungkuki mayat Made Tantre, sedang kedua tangannya menggenggam dua pusaka sakti. la tak berniat mengadu kepandaian dengan Wirapati. Tujuannya memasuki rumah panjang semata-mata hendak merampas kedua pusaka sakti. Maka dengan dahsyat ia mencoba mengundurkan Wirapati. Maksud itu sudah barang tentu tak mudah dilakukan. Penjagaan Wirapati rapat dan tidak memberinya bidang gerak. la mengeluh dalam hati. Kemudian meloncat tinggi dan berjumpalitan di udara. Ketika ke¬dua kakinya telah meraba tanah, sekali melesat ia menghampiri Wayan Suage sambil melepas senjata rahasianya. Ternyata senjata rahasianya berbentuk butiran-butiran lada dan disembunyikan di dalam tongkatnya yang dibuatnya sebagai jepretan. Wayan Suage menyadari datangnya bahaya. Gntung, bidikan si pemuda dilakukan dengan gugup karena dirintangi Wirapati. Meskipun demikian, senjata rahasianya mengenai juga mata kaki Wayan Suage yang seketika itu juga menjerit roboh. Wirapati terkejut. Cepat ia melesat dan menyambar punggung si pemuda. Si pemuda terpaksa mengelak, sehingga gagal merampas kedua pusaka. Ia bermurung dan memaki-maki dalam hati. Dalam kemurungannya itu mendadak ia teringat akan kecantikan Sapartinah. Tanpa kesulitan lagi, ia menerkam lengan Sapartinah. Kemudian ibu dan anak diangkat tinggi. Dalam hatinya ia akan mempergunakan mereka sebagai perisai, jika Wirapati tiba-tiba menyerang. Tetapi kala itu, Wirapati memikirkan akibat bidikan senjata rahasia si pemuda yang mengenai mata kaki Wayan Suage. Buru-buru ia melolos belatinya dan memangkas kaki Wayan Suage sekali pagas. Itulah satu-satunya jalan buat menahan menjalarnya racun berbahaya. Kemudian ia menotok urat nadi sambil berdiri di depannya siap melindungi serangan-serangan si pemuda yang mungkin datang lagi. Mendadak ruang tengah telah terbakar habis. Rombongan penari benar-benar telah menyerbu. Kedua kepala kampung yang bemasib malang kena ditumpas mati. Tubuh mereka terjengkang di dekat ambang pintu dan sebentar saja telah digerumit nyala api. Melihat bahaya, si pemuda tak mempedulikan kedua pusaka sakti yang masih tergenggam erat-erat dalam tangan Wayan Suage. Pikirnya, yang penting aku harus menyingkir. Kedua pusaka itu perlahan-lahan akan dapat kujejak di kemudian hah. Tubuh Sapartinah dan Sanjaya diringkusnya erat-erat kemudian ia meloncat menubruk dinding. Dinding rumah terbuat dari papan. Di ujung sana telah terbakar hangus. Itulah sebabnya sisa dinding tidak sekokoh semula. Maka dengan mudah si pemuda dapat menggempur roboh dan melesat melintasi lautan api. Wirapati tak dapat berpikir lama-lama. la harus segera mengambil keputusan. Dilihatnya tubuh Rukraini dan anaknya menggeletak di atas tanah. Untuk menolong mereka sekaligus tidaklah mungkin, sedangkan rombongan penari mulai menghujani senjata. Pedang, tombak dan belatinya dilontarkan membabi buta. Wirapati tak menjadi gugup. la mengendapkan kepalanya sambil menyabetkan belatinya. Dengan kecekatan yang telah dilatihnya semenjak berguru di Gunung Damar, ia dapat menangkis hujan senjata itu dengan sekali sabet. Kemudian ia mencengkeram ikat pinggang Wayan Suage sambil berpikir, mereka datang untuk merebut pusaka sakti. Aku tak dapat membiarkan mereka mencapai maksudnya. Baiklah kuselamatkan dulu orang ini. Mereka boleh mengejarku, masa aku tak mampu. Ia melesat ke dinding. Seperti laku si pemuda, ia menggempur dinding dan melintasi lautan api. Ia mendengar rombongan penari itu berteriak-teriak tinggi. Tapi tak usahlah dia khawatir, karena lautan api menjadi batas pagar yang cukup sentosa. "Kejar dia!" terdengar suara si tinggi jangkung yang telah dikenalnya. "Pusaka ada padanya. Perempuan dan anak itu, biar aku yang mengurusi." Mendengar seruan si tinggi jangkung, hati Wirapati bersyukur. Rukmini dan anaknya pasti dapat diselamatkan. Sekarang ia memusatkan perhatiannya ke tujuan melarikan diri. Ke mana dia akan lari? Dalam gelap, ia kehilangan kiblat arah. Lagi pula jalan Desa Karangtinalang sama sekali belum dikenalnya. Tanpa berpikir ia lari terus dan lari terus. Ia mendengar desa menjadi ribut oleh kentungan tanda bahaya. Kentungan tanda bahaya itu segera disahut dari desa ke desa. Celaka! pikirnya dalam hati. Kalau aku lewat jalan besar aku kena cegat penduduk desa. Baiklah aku menyeberang sawah, moga-moga hilanglah jejakku. O hujan, turunlah kau! Kalau tadi ia merasa dirintangi turunnya hujan kini ia berdoa sebaliknya. Larinya dipercepat dan dipercepat. Ia tak mengenal lelah sampai akhirnya tak terdengar lagi kentung tanda bahaya. Dengan hati lega ia memperlambat larinya. Ia mencium daun-daun hutan. muncullah harapan untuk membebaskan diri. Sekarang ia menaruh Wayan Suage di atas tanah. Ia memeriksa lukanya. Ternyata Wayan Suage jatuh pingsan, karena darahnya bercecer sepanjang jalan. Ih! jejakku mungkin akan hilang dihisap air tanah tapi darah ini ..., pikir Wirapati Karena merasa tidak aman. Wirapati segera merobek lengan baju Wayan Suage dan dibalutkan pada kakinya yang buntung. Kemudian ia memapahnya dan dibawanya berlari lagi. Sewaktu fajar menyingsing sampailah dia di tepi sebuah kali. Diseberanginya kali itu dan ia beristirahat di dalam gerumbul pohon tembelekan yang rimbun. Ia memeriksa keadaan Wayan Suage. Hatinya bersyukur karena Wayan Suage ter-nyata masih hidup. Racun senjata rahasia si pemuda bisa dipunahkan, berkat ia memotong ujung kakinya sebatas setengah betis. Segera ia membebat luka. Tak lama kemudian, terdengar rintih Wayan Suage. Wirapati gembira. Ia memijat kedua pundak Wayan Suage. "Bagaimana keadaanmu?" Antara sadar tak sadar, Wayan Suage membuka matanya. Ia mencoba bangun, tetapi tenaganya habis. Agaknya dia hampir kehabisan darahnya. "Tak usah kaubangun!" kata Wirapati lagi. "Sekarang kamu telah terhindar dari bahaya. Aku tak dapat menemanimu lebih lama lagi. Ijinkanlah aku pergi." "Pergi?" gumam Wayan Suage. "Mengapa tak kaurampas kedua pusaka ini?" "Sungguh pun kedua pusaka itu mempunyai riwayat khayal yang menarik hati, tetapi apa hakku merebutnya. Pusaka itu bukan milikku atau hak warisku." "Bagaimana keadaanmu?" Wayan Suage terbelalak heran. Ia tak percaya mendengar ujar Wirapati. la menduga, Wirapati sedang mengatur tipu muslihat. "Kau ... kau ... apa lagi yang mau kaulakukan?" Tuduh Wayan Suage. Ia mencoba berdiri, tiba-tiba kakinya terasa sangat sakit. Tatkala melihat kakinya yang sebelah menjadi buntung, ia memekik kaget dan menjatuhkan diri ke tanah. "Kausiksa aku? Mengapa kau ... kau ..." Pekik Wayan Suage marah. "Aku dan kamu baru semalam berkenalan. Lagi pula antara aku dan kamu tidak ada permusuhan. Mengapa kau menuduh aku menyiksamu? Kakimu itu memang akulah yang memagas buntung, tapi demi keselamatanmu semata. Semalam kaukena senjata beracun." Lamat-lamat Wayan Suage teringat peristiwa semalam. Mata kakinya seperti kena tusukan halus dan tiba-tiba menjadi kaku. Tahulah dia, mata kakinya kena senjata rahasia. Siapa pembidiknya, ia tak tahu. Maka ia menuduh Wirapati. "Jiwaku berada dalam genggamanmu. Nan, bunuhlah aku! Jangan kau menyiksaku begini caranya. Aku tak mau kauhina!" katanya garang. Wirapati menarik napas dalam. Ia tahu, pikiran Wayan Suage belum jernih. Maka ucapannya yang pedas tajam itu, tak dihiraukan. Malahan ia mencoba tersenyum. Kemudian ia bergerak hendak melangkah pergi. Wayan Suage mendadak memeluk kakinya sambil mengerang. Mendengar erang itu. Wira¬pati tak sampai hati meninggalkan seorang diri. Dia luka parah. Seorang diri pula di tengah alam yang serba asing. Apa jadinya kalau kutinggalkan begitu saja. Ah, biariah kurampungkan sekalian soal ini. Menolong seseorang dengan separuh hati apa guna, pikir Wirapati. "Kawan, siapa namamu?" tanyanya lunak. "Apa perlu kau menanyakan namaku. Aku bernama setan, iblis atau jin, apa pedulimu?" sahut Wayan Suage galak. Wirapati tersenyum pahit mendengar ucapan Wayan Suage. "Aku hanya ingin tahu namamu, apa itu jahat? Kau terluka parah. Seandainya kau tidak mendapat pertolongan cepat, nyawamu akan melayang karena kehabisan darah. Dan kalau aku tahu namamu, aku akan dapat membawa pusaka itu kepada keluargamu." Wayan Suage mengerang dalam sambil memeluk kedua pusaka yang digenggamnya semenjak semalam. Wirapati jadi trenyuh. Ia beriba. "Apa untungnya mempunyai pusaka itu. Serahkan saja kepada orang-orang Banyumas yang berhak memiliki. Kudengar tadi mereka merawat salah seorang keluargamu. Kalau kamu bisa berdamai dengan mereka, kau akan dapat berkumpul kembali dengan keluargamu," katanya lembut. Mendengar disebutnya nasib keluarganya, tubuh Wayan Suage menggigil. Teringatlah ia pada masa sebelum peristiwa itu terjadi. Dia hidup tentram damai. Jauh dari segala masalah keriuhan kota-kota besar. Siapa sangka, mendadak datanglah badai topan yang menghancurkan segalanya yang telah dipupuknya semenjak enam tujuh tahun yang lampau. Ini gara-gara datangnya kedua pusa¬ka Pangeran Semono, hadiah tamu asing pada hari pesta penobatan. "Diserahkan? Diserahkan?" ia berteriak seperti meradang. "Kepada siapa?" "Orang-orang Banyumas. Bukankah kedua pusaka itu hak milik mereka?" "Tidak! Tidak! Kedua pusaka ini bukan miliknya!" teriaknya lagi. Tubuhnya menggigil, kemudian menangis terisak-isak. Terdengar dia berkata di antara sedu-sedannya, "Pusaka ini, kami yang punya! Kami telah membayarnya dengan sangat mahal. Bagaimana mungkin terlepas dari tangan begitu gampang. Lihat, adikku Made Tantre mati karena pusaka ini. Keluarganya hancur pula. Sekarang di mana isteri dan anaknya? Kauapakan mereka?" Sakit hati Wirapati dituduh merusak keluar¬ganya. Ia mengibaskan kakinya dan melompat pergi. "Hai, ke mana kamu pergi?" teriak Wayan Suage. "Ke mana aku pergi, apa pedulimu?" sahut Wirapati mendongkol. Ia melanjutkan langkahnya. Sekonyong-konyong ia mendengar Wa¬yan Suage menangis begitu sedih sambil memeluk kedua pusaka yang dipertahankan semenjak semalam. Tangisnya begitu memilukan dan menggetarkan hati. Hati nurani Wirapati yang perasa mencairkan rasa mendongkolnya. Ia menoleh, kemudian menghampiri lagi. Tanyanya sabar, "Mengapa kamu menangis begitu sedih?" "Biarlah aku menangis. Biarlah aku me¬nangis. Aku akan menangis sampai mati," jawab Wayan Suage. Wirapati menghela napas. Ia duduk di sam-pingnya sambil merenggut-renggut seonggok rumput. Pandangannya dilayangkan ke jauh sana. Fajar hari kala itu mulai menyingkap tirai malam. Angin pagi terasa menyelinapi tulang. Langit agak cerah, karena sejak kemarin hujan turun sangat deras. "Mengapa kau menangis begitu sedih?" Wirapati mengulangi pertanyaannya. "Mengapa aku menangis? Ya… bagaimana aku tidak menangis." jawab Wayan Suage. "Inginlah aku mengulangi pertanyaanmu itu kepada Yang menghidupiku, apa sebab aku harus menangis. Benarkah kamu tak menghendaki kedua pusaka ini?" "Aku bukan hak waris pusaka itu, mengapa kamu mencurigaiku? Sekalipun pusaka itu kauberikan kepadaku, aku akan menolak. Karena pusaka yang bukan miliknya atau bukan hak warisnya akan dapat membawa malapetaka. Itulah kepercayaanku." Jawaban Wirapati tepat mengenai hati Wayan Suage. Teringatlah dia kepada nasib¬nya yang hancur berantakan dengan tiba-tiba karena menerima pusaka pemberian orang yang bukan termasuk hak warisnya. Dengan mengusap-usap mata, ia mencoba mengamat-amati Wirapati. "Apa kau bukan termasuk salah seorang dari mereka?" Kata Wayan Suage dengan pelahan. Wirapati menggelengkan kepala. "Apa kamu yang datang hendak mengabarkan sesuatu kepada kami?" Wirapati mengangguk. "Ah!" Wayan Suage kaget. Ia menegakkan lehernya. "Apa yang mau kausampaikan kepada kami?" "Rumahmu telah terkepung orang-orang dari Banyumas. Keselamatan keluargamu terancam bahaya," jawab Wirapati kering. Mendengar jawaban Wirapati, mendadak Wayan Suage menangis seru. Dan di antara tangisnya ia mengisahkan peristiwa terkutuk itu yang menghancurkan kesejahteraan keluarganya. "Mencapai suatu martabat tinggi bukan tergantung pada pusaka sakti. Alat yang sempurna adalah kemampuan diri sendiri," kata Wirapati. "Kenapa orang mesti menggantungkan nasibnya kepada kekeramatan suatu benda yang takkan berkutik apabila tak digerakkan oleh tangan orang hidup?" Tak terduga Wayan Suage merasa tersinggung oleh kata-katanya. Matanya menyala. Alisnya tegak. Dan terdengarlah suaranya melontarkan isi hatinya. "Apa kaukira aku mabuk martabat tinggi, kekuasaan besar kesaktian khayal lantas ingin mengangkangi pusaka ini? Kau salah duga, Saudara! Aku bukan termasuk orang-orang macam begitu." "Kenapa kaupertahankan pusaka itu begitu mati-matian?" "Karena aku dipercayai orang untuk menyimpan dan merawatnya. Sekiranya kamu diberi kepercayaan seseorang untuk menyimpan dan merawat sesuatu benda dan kemudian datanglah orang-orang mau merampasnya, apa yang akan kaulakukan?" Wirapati terdiam. Pikirnya, akupun akan mempertahankan diri demi kepercayaan itu. Matipun rasanya senang, karena pulang sebagai laki-laki sejati. Wayan Suage manangis lagi. Kali ini tambah menyayat hati. "Saudara," katanya. "Katakanlah kepadaku, bagaimana nasib yang lain?" Melihat keadaannya yang menyedihkan, tak sampai hati ia mengabarkan nasib keluarganya. Tetapi ia diminta memberi penjelasan, maka mau tak mau harus berbicara. "Rumahmu terbakar habis menjadi abu. Itu pasti. Kulihat tadi, seorang perempuan yang mendekap anaknya dibawa lari si pemuda jahanam. Kemudian kudengar pula salah seorang rombongan penari Banyumas mau merawat isteri yang mati kena senjata racun si pemuda. Si anak kecil pastilah diselamatkan pula." Kata Wirapati dengan tenang. "Bagaimana nasib saudaraku yang mati di dalam rumah?" potong Wayan Suage. Perhatiannya ditumpahkan kepada mayat Made Tantre dan bukan kepada anak-isterinya. Diam-diam Wirapati memuji keluhuran budinya. "Selanjutnya tak tahulah aku. Kukira, mayatnya terbakar menjadi abu. Siapa yang mau bersusah payah menyingkirkan mayat seseorang, sedangkan seluruh isi rumah dalam keadaan bahaya." "Ah!" Wayan Suage memekik. Tubuhnya terkulai dan jatuh menelungkup di atas tanah. Wirapati gugup. Cepat-cepat ia memeluknya dan memangku kepalanya. "Dia sudah mati sebelum terbakar!" serunya. "Biar tubuhnya terbakar habis, dia tak menderita lagi." Perlahan-lahan Wayan Suage membuka matanya. Dengan suara lemah ia menjawab, "Aku tahu... Aku tahu, semua akan kembali ke asal. Aku tahu, itulah upacara kematian yang sempurna bagi kepercayaan kami di Bali. Tapi aku tahu pula, dia mati penasaran ... dia mati penasaran ... dia mati penasaran ..." Kata-kata terakhir itu diucapkan berulang kali. Makin lama makin lemah. Kemudian berhenti dengan tiba-tiba. Ia pingsan tak sadarkan diri. Seringkali Wirapati menyaksikan orang mati karena sesuatu malapetaka. Tapi hatinya belum pernah terguncang seperti kali ini. Terasa benar dalam dirinya, betapa besar deru hati orang itu yang terguncang oleh sesuatu nasib buruk dengan tiba-tiba. Dalam keadaan hening, mendadak pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah berderapan. Langkah-langkah itu mendatangi dan mengepung gerumbulan pohon tembelekan. "Ssst, mereka datang lagi," bisiknya kepada Wayan Suage yang sebenarnya tidak ada gunanya. Ia memapah tubuh Wayan Suage dan diletakkan ke dalam rimbun mahkota daun. Dia sendiri kemudian bertiarap sambil menajamkan pendengaran. Langkah-langkah itu sekonyong-konyong berhenti. Mereka saling berbisik, suatu tanda kalau tempatnya bersembunyi belum diketahuinya dengan pasti. Terdengar kemudian suara siul bersuit, dan disusul dengan langkah-langkah tadi. "Celaka! Mereka datang," mendadak Wayan Suage berkata. Ternyata dia telah memperoleh kesadarannya kembali. "Bawalah aku lari ke sana." "Kita telah terkepung rapat," sahut Wirapati berbisik. "Kalau hati-hati, pasti kita masih dapat lolos dari kepungan mereka." "Dengarkan!" Wirapati memotong. "Yang datang adalah mereka yang menyelamatkan istri dan anak saudaramu. Serahkan pusaka itu kepada mereka sebagai alat penukar." "Hai," kata Wayan Suage dengan suara bergetar. "Saudaraku telah mengorbankan diri demi pusaka ini. Akupun harus sanggup berkorban pula. Mati tak jadi soal. Kalau kau tak sudi melindungi aku, biarlah tinggalkan saja aku di sini. Aku tidak akan menyesal dan tidak takut mati." "Mengapa kamu begitu keras kepala? Apa untungnya?" Wirapati mendongkol. "Aku sendiri tidak punya keuntungan sedikit pun. Tapi pusaka ini dipercayakan kepadaku agar kelak kuberikan kepada anak-anak kami. Setelah aku menyerahkan pusaka ini atas nama saudaraku pula, aku lantas bunuh diri menyusul ke nirwana." Wirapati tertegun mendengar kekerasan hatinya. la terharu dan kagum. Direnungi raut mukanya. Terlihat dua lapis bibirnya yang mengatup rapat, suatu tanda dari keteguhan hati. Sebagai murid Kyai Kasan Kesambi, dia diajar menghargai suatu kebajikan dan keluhuran budi. Maka kesan-kesan yang diperolehnya itu lantas saja membakar semangat perwiranya. Wirapati memanggut. "Tenteramkan hatimu. Aku akan selalu berada di sampingmu." Betapa gembira rasa hati Wayan Suage tak terperikan. Jantungnya sampai berdetakan keras. Tapi justru oleh kegoncangan itu, ia jatuh pingsan. Maklumlah, kekuatan tubuhnya makin melemah karena darahnya terus saja mengalir. Apa orang ini bisa tertolong nyawanya! pikir Wirapati. Kemudian ia memusatkan perhatiannya kepada mereka yang datang. Terdengarlah suara pohon gemeretakan. Seseorang telah menendangnya patah. Wirapati kaget. Hebat tenaga orang itu, diam-diam memuji dalam hati. Langkah-langkah itu makin lama makin jelas. Suara ribut terjadi di segala penjuru. Mereka mematahkan dahan-dahan dan membabat belukar. Tiba-tiba Wirapati melihat mereka merentangkan tali. Cepat-cepat Wira¬pati berjaga-jaga. Tahulah dia, mereka akan membakar semak-belukar yang berada di sekitarnya. Wirapati berpaling kepada Wayan Suage yang masih belum berkutik. Apa yang harus kulakukan? Ia melihat ke depan. Sebagian dari mereka berjalan berpencar. Makin lama makin mendekati gerumbulan tempat dia bersembunyi. Aku harus membelokkan perhatiannya, pikir Wirapati. Memikir demikian, lantas saja dia meloncat keluar dari gerumbulan dan menerjang. Mereka segera mengepung sambil memperdengarkan siul bersuitan. Dan mau tak mau, terpaksalah Wirapati mundur mendekati gerumbulan. "Kauserahkan tidak pusaka itu!" ancam salah seorang dari mereka. "Pusaka apa yang harus kuserahkan?" Wirapati menyahut. "Di mana orang itu?" dengus orang itu seperti tak mendengarkan ucapannya. Ditanggapi demikian, Wirapati jadi sakit hati. Orang ini tak memandang mata padaku. Perlu apa lagi aku meladeninya, pikirnya. "Di mana orang itu?" pertanyaan itu terdengar diulangi. "Dia sudah kutelan," jawab Wirapati. Mendengar jawaban Wirapati, mata orang itu menyala. Bentaknya, "Aku maafkan perbuatanmu, kenapa kamu bersikap kurang ajar?" Wirapati tersenyum. Mendadak seorang yang berdiri di barat lantas menyerang. Wira¬pati tahu, mereka semua bertenaga besar. Tetapi ia ingin mencoba. Maka ia menangkis dengan mengadu tenaga. Tubuhnya bergetar, tetapi orang itu terpental empat langkah. "Bangsat!" makinya. Ia merangsak maju. Teman-temannya merapat pula. Dengan bersuit, mereka menerjang. Wirapati menjejak tanah dan melayani mereka dengan mengandalkan kecepatannya. Sepuluh kali gempuran telah berlangsung dengan cepat. Baik Wirapati dan mereka, tak mau mengalah. Mendadak terdengarlah suara suitan nyaring dua kali dari kejauhan. Mereka lantas mengundurkan diri dengan berbareng. Wirapati heran. Pandangnya menebak-nebak. Tak usah dia menunggu lama atau nampaklah batang-batang pohon telah terbakar hangus. Semak belukar dan ranting-ranting liar sebentar saja terbakar pula. Asap hitam bergulungan menutupi penglihatan. Alangkah terkejut Wirapati. Tiba-tiba, api bisa membakar batang-batang pohon begitu cepat. la mengeluh dalam hati, matilah aku sekarang. Apa dosaku? Teringatlah dia akan sungai yang letaknya tak jauh dari gerumbulan tempat persembunyiannya. Dengan cepat ia lari ke sana. Sekonyong-konyong di antara bunyi gemeretak pepohonan yang sedang terbakar, terdengar suit panjang bersahut-sahutan. Wirapati menghentikan langkahnya. Ia menajamkan pendengaran. "Ohoi! Mereka sudah terkepung rapat. Kenapa tak diserbu saja?" terdengar suara dari arah barat. "Tunggu sampai mereka mati hangus. Pemuda itu tak gampang dirobohkan," sahut suara dari sebelah utara. Hati Wirapati tergetar. Ia bimbang. Dijenguknya arus sungai yang keruh berlumpur. Ingin ia cepat-cepat terjun ke dalamnya, tapi teringat¬lah kemudian nasib Wayan Suage. "Hai bangsat muda! Cepat menyerah! Kau akan segera kami tolong!" ancam suara dari arah selatan. "Apa perlu buang nyawa dengan sia-sia?" Wirapati mulai mempertimbangkan ancam-an itu. "Aku tak bermusuhan dengan mereka. Maksud mereka semata-mata hanya mau merebut pusaka itu. Apa perlu aku berkepala batu. Apa keuntunganku? Baiklah kuserahkan saja, barangkali mereka mau mengampuni orang itu pula." Ia menoleh ke arah gerumbulan. Tetapi pikiran yang lain segera mengendapkan. Bagaimana mungkin aku berbuat begitu. Aku murid Kyai Kasan. Kalau aku mendengarkan ancaman mereka, berarti aku tahluk. Apa nama perguruanku tak terseret juga? Ah, tak mungkin aku menurunkan martabat perguruanku. Mendapat pikiran demikian, hilanglah keragu-raguannya. Ia melesat ke gerumbulan. Niatnya sudah tetap. Ia hendak mendukung Wayan Suage dan akan bersama-sama terjun ke dalam sungai. Sekiranya di ujung sana mereka menghadang dia takkan menyerah. Nama perguruan akan diutamakan. Kalau perlu akan meninggalkan Wayan Suage dan menerjang mereka sebisa-bisanya. Selagi ia mau memasuki gerumbul, tiba-tiba ia mendengar suara suitan panjang tiga kali berturut-turut. Kemudian terdengarlah suara teriakan bergema melintasi udara. Pohon-pohon tergetar oleh pantulan suara itu. Wirapati tertegun. Suara apa itu, ia berte-ka-teki, mendongak ke udara. Suara teriakan itu berulang lagi. Kali ini lebih dahsyat. Tiba-tiba saja terdengarlah kesibukan di setiap penjuru. "Hajar! Hajar! Hajar!" terdengar suara orang yang tadi mengancam. Dan lainnya segera menyambung. Suara mereka agak bergetar membayangkan kesan rasa takut. Wirapati benar-benar tercengang. Tak habis mengerti mengapa mereka jadi ketakutan. Suara yang menggema tadi memang dahsyat. Apa suara raksasa? Ah, apa mungkin raksasa hidup di jaman ini. Apa itu suara binatang? "Hajar datang! Celaka!" terdengar suara menjerit. Hajar! Apa itu, Wirapati berteka-teki. Pada saat itu nyala api kian menjadi-jadi. Hawa sangat panas dan asap hitam bertambah menyesakkan pernapasan. Sekonyong-konyong ia mendengar teriakan dahsyat lagi. Kali ini sa¬ngat dekat. Dia heran membayangkan kecepatan itu. Tadi suara teriakannya berada lebih kurang seribu langkah. Dalam tiga kali teri¬akan rasanya sudah begini dekat. Bagaimana mungkin, kalau bukan seekor burung garuda yang mempunyai kecepatan terbang tak terkatakan. Kuda yang dapat lari sangat cepat pun takkan mampu menempuh jarak seribu langkah dalam sekejap. Tiba-tiba rasa herannya kian melonjak. Dengan suara gedebukan, terjadilah kesibukan seorang demi seorang ter¬dengar jatuh terpental. Kemudian menyusul suara tertawa berkakakkan. Ah, manusia! Manusia macam apa? "Hayo ngaku! Di mana dia?" terdengar bentakan gemuruh. "Ampun ... ampun ..." "Bagus! Kalian tak mau jawab." Bluk! Terdengar orang menjerit dan tak bersuara lagi. Jelas orang itu mati kena hantaman. Wirapati tak tahan lagi digulung asap dan nyala api. la ingin segera memasuki gerumbulan menolong Wayan Suage. Tetapi sebatang pohon yang terbakar hangus roboh menimpa gerumbulan. la melesat ke tebing dan menerjunkan diri ke dalam sungai. Di seberang sana, suara gedebukan berlangsung sangat cepat. Berkali-kali orang yang disebut Hajar membentak-bentak. "Kalau tidak mau buka mulut, aku habisi nyawa kalian!" "Dia tadi... dilarikan ..." "Siapa yang dilarikan? Pusaka atau tuan rumah?" "Dia bersama-sama ...!" Bluk! Orang itu menjerit dan mati terjengkang. Wirapati tak sempat lagi mendengarkan kesibukan itu. Perhatiannya kini mengarah kepada gerumbul. Celaka, pikirnya. Gerumbulan terbakar. Apa dia mati terbakar? Dengan sekuat tenaga, ia mencoba merangkaki tebing. Tetapi panas api tak tertahankan lagi. Terpaksa ia menjauhi dan akhirnya mendaki tebing seberang. Ia melihat suatu keajaiban di daratan. Orang-orang yang mengepungnya tadi, menggeletak berserakan di atas tanah. Bulu kuduknya menggeridik. Tak terbayangkan macam apa Hajar itu, yang begitu gampang membinasakan orang-orang Banyumas. TTT ORANG yang disebut Hajar itu sesungguhnya Hajar Karangpandan tamu Wayan Suage dan Made Tantre. Setelah dia berpesan kepada tuan rumah agar menyimpan kedua pusaka Pangeran Semono baik-baik untuk anak-anaknya, lantas saja dia pergi dengan suatu kecepatan mengagumkan. Sengaja dia berbuat demikian, agar mengesankan tuan rumah. Pikirnya, kalau aku tak memperlihatkan sedikit kemampuanku, pastilah mereka akan menyia-nyiakan pesanku. Sayang, kalau kedua pusa¬ka keramat itu jatuh ke tangan orang-orang yang haus kekuasaan. Pada petang hah sampailah dia di Dusun Bandangan. Niatnya hendak mengadakan perjalanan ke timur. Mula-mula akan dijenguknya kota Magelang. Kemudian Yogyakarta. Dan dari sana akan kembali ke pertapaannya di kaki Gunung Lawu di Dusun Karangpandan. Di Desa Bandangan ia berhenti di sebuah kedai kopi. Seharian dia kehujanan, dan pakaiannya basah kuyup. Meskipun tubuhnya kuat perkasa, tapi lambat-laun dingin air meresap ke kulit dagingnya. Gntuk menghangatkan tubuh, ia perlu minum kopi barang segelas. Hari telah menjadi gelap. Awan hitam datang berarak-arak. Ia mendekati tungku api sambil menenangkan pikiran. Kopinya diteguknya sedikit demi sedikit dan dinikmati selama mungkin. Mendadak selagi memikirkan perjalanan yang akan ditempuhnya, terdengarlah bunyi kentungan tanda bahaya. Ia menegakkan kepala. Di jalan terjadilah suatu kesibukan. Nampaklah kemudian dua orang polisi desa berlari-larian. Tertarik pada kesibukan itu lan¬tas saja ia melompat ke jalan. Ia adalah seorang pendeta bekas pendekar liar. Sejak muda gemar merantau dan berbuat kebajikan untuk kepentingan umum. la benci Belanda dan menyatakan diri sebagai musuh utamanya. Karena kebenciannya itu, sering-kali ia membunuh orang-orang yang mau bekerja sama dengan Belanda. Lambat laun usianya kian menjadi tua, merubah peranannya sedikit demi sedikit. Ia berusaha mengendalikan diri. Akhirnya menjadi seorang pende¬ta sebagai penebus kesalahan-kesalahan yang lampau. Meskipun demikian hatinya yang penuh gejolak petualang tak gampang hilang dari perbendaharaan. Setiap kali melihat atau mendengar suatu peristiwa yang bertentangan dengan kepentingan umum, selalu saja ia usilan. Itulah sebabnya, begitu ia melihat kesibukan dan mendengar bunyi kentung tanda bahaya terus saja mengejar dua orang polisi desa tadi. "Kentung tanda bahaya apa itu?" tanyanya. "Terang sekali tanda bahaya kebakaran dan pembunuhan," jawab polisi desa serempak. "Di mana ada kebakaran dan pembunuhan?" "Siapa yang tahu? Bunyi kentung dari arah barat." Mendapat keterangan itu, bergegas ia kembali ke kedai membayar kopi. Ia masih mempunyai sisa uang perjalanan lima kelip. Kemudian pamit dan lari ke arah barat. Di sepanjang jalan ia mencari keterangan. Tatkala sampai di Desa Kamarankan, terdengarlah suatu warta yang mengejutkan. "Desa Karangtinalang menjadi lautan api. Enggak jelas, rumah siapa yang mula-mula terbakar." Kata seorang polisi desa. Hajar Karangpandan mempercepat langkahnya. Dengan cepat sampailah dia di batas Desa Karangtinalang. Benar saja, di sebelah barat nampaklah api menjilat langit. Mendadak saja ia melihat salah seorang rombongan Banyumas yang telah dikenalnya dalam pertempuran tadi sore. Ia bekuk orang itu dan diseretnya ke tepi sawah. "Apa yang telah terjadi?" desaknya. Orang itu gemetaran ketika mengenal dirinya dan tak dapat menjawab pertanyaan Hajar Karang¬pandan dengan cepat. Tahulah dia akibatnya. Tetapi Hajar Karangpandan tak dapat diperlakukan menurut pertimbangannya. Dia mendesak lagi sambil memijat pundak. Orang itu berteriak kesakitan. Maka dengan terpaksa ia menerangkan malapetaka yang telah menimpa keluarga Wayan Suage dan Made Tantre. Seketika itu berubahlah wajah Hajar Karang¬pandan. Ia pucat bergetaran, karena sedih bercampur marah. Hatinya begitu menyesal dan lantas saja menjadi sesak. la tahu, kalau malapetaka itu terjadi akibat kedua pusaka sakti yang diberikan kepadanya. "Siapa pemimpinmu? Gandi?" "Gandi sudah mati terbunuh di tengah jalan." "Lantas siapa?" "Kodrat. Orangnya tinggi jangkung, tapi banyak pula di antara kami yang berperawakan tinggi." "Sekarang dia di mana? Bilang?" "Dia membawa seorang perempuan dan seorang anak." Mendidih darah Hajar Karangpandan. la tak dapat mengendalikan amarahnya. Dan tanpa ampun Iagi. Orang itu dibantingnya mati ke tanah. Seperti kemasukan setan ia memasuki desa langsung menuju rumah Wayan Suage dan Made Tantre. Seluruh desa jadi sibuk. Laki-laki dan perempuan berlarian kalang-kabut. Kanak-kanak menangis dengan pekikan tinggi. Tapi Hajar Karangpandan tak mempedulikan itu semua. Otaknya sedang dirumun berbagai gagasan yang menggugat-gugat perlakuannya terhadap keluarga yang tadinya hidup tentram damai. O, Hajar! Hajar! Dengan ramah tamah keluarga itu menyambut kedatanganmu. Tetapi mereka kaucelakakan akibat ulahmu. Kalau mereka tak kauberi kedua pusaka itu, pastilah sampai saat ini masih hidup aman damai. Apa yang akan kaulakukan sekarang? Pikirannya terus berputar tak tenang. Digugat pikiran demikian, hatinya hampir meledak. Ia menyibakkan kerumunan penduduk yang lagi sibuk memadamkan api. Hatinya pilu tersayat-sayat. Rumah panjang yang tadi masih berdiri begitu megah, kini hancur berantakan jadi abu. Mendadak terciumlah bau daging hangus. Tanpa menghiraukan pertimbangan yang lain, ia melesat menerobos puing tiang-tiang rumah. Bara api diinjaknya berserakan. Ia melihat beberapa mayat menggeletak hangus. Ah, pastilah ini akibat suatu pertempuran seru. Kata hatinya hampir meledak. O Hajar, mengapa kamu menghancurkan keba-hagiaan orang? Karena tak tahan diamuk deru hatinya, ia menghajar tiang-tiang rumah sehingga menja¬di roboh berserakan. Orang-orang yang meli¬hat sepak-terjangnya, memekik terkejut dan undur serentak. Tetapi ia tak mempedulikan. Segera ia membungkuki tiap mayat dengan pertolongan sebatang kayu yang masih menyala. Beberapa saat kemudian mayat Made Tantre telah dikenalnya. la jongkok. Tangannya menggigil. "Bukankah kamu yang bernama Made Tantre?" bisiknya. "Kamu seorang laki-laki seperti kata-katamu sendiri. Sekarang akulah saksinya, kamu benar-benar seorang laki-laki sejati. Di mana anak-istrimu? Di mana pula sahabat serta anak-istrinya? Made Tantre! Made Tantre aku amat menyesal berkenalan denganmu begitu cepat. Tak kukira, kamu berani mempertahankan kedua pusaka itu semata-mata karena pesanku. Baik, selama hidupku aku takkan tentram sebelum dapat mewujudkan harapanmu. Akan kucari anak dan kedua pusaka itu." Setelah berkata demikian, ia bersujud dalam. Mukanya kena abu dan hangus. Selang beberapa lama kemudian, ia menegakkan kepalanya. Mukanya berubah menjadi hitam kelabu. Dalam malam gelap, seluruh kepala¬nya tidak nampak lagi oleh penglihatan mata. Orang-orang kampung yang mengawasinya dari jauh meremang bulu romanya. Karena mengira dia penjelmaan setan tak berkepala. Malam itu juga ia berangkat hendak mencari jejak. Tadi dia mendapat penjelasan, kalau pemimpin rombongan Banyumas membawa seorang perempuan dan seorang anak. Tak peduli anak dan istri siapa, ia harus merebut kembali. Dia berjanji dalam hati akan merawat dan mengasuhnya sebaik mungkin sebagai penebus kesalahan. Secepat kilat ia menuju ke barat. Ia berputar-putar dari desa ke desa. Dugaannya keras, kalau rombongan dari Banyumas belum meninggalkan Desa Karangtinalang jauh-jauh. Bukankah keluarga Wayan Suage tidak ada di tengah puing rumahnya. Entah mereka selamat atau tertawan, pastilah kedua pusaka itu masih ada padanya. Dugaannya tepat. Waktu itu Kodrat si tinggi jangkung berada di gardu di dekat Desa Kaliputih. Ia lagi memeriksa Rukmini dan Sangaji untuk mendapat keterangan tentang kedua pusaka Pangeran Semono. Empat orang bawahannya disuruhnya berjaga di sekitar gardu, sedangkan yang lain diperintahkan menjejak lenyapnya Wayan Suage. Mendadak ia mendengar salah seorang penjaganya menjerit tinggi. Terkesiap ia menjenguk ke luar. Dilihatnya seseorang yang berpakaian pendeta lagi membekuk penjaga itu. la kenal bahaya dan cepat-cepat mendekap mulut Rukmini dan Sangaji. Kedua orang itu kemudian diringkusnya cepat dan digulingkan ke dalam kotak penyangga gambang . Kemudian ia melompat keluar. "Siapa?" bentaknya. Hajar Karangpandan sedang menghajar ketiga penjaga yang lain sekali rampung. Mendengar bentaknya itu, segera ia menghampiri. "Bilang, siapa yang bernama Kodrat?" Belum lagi Kodrat membuka mulut, lengannya kena disambar dan ditekuk ke punggung. Alangkah sakit! Tak berani dia berkutik. Ia berpura-pura bersikap lemah seolah-olah seorang yang tak mempunyai kepandaian berkelahi. Kemudian berkata merintih, "Sang pendeta mencari siapa?" "Orang yang bernama Kodrat si jahanam itu. Apa betul kamu?" "Bukan, bukan! Dia pemimpin kami," sahut Kodrat dengan licik. "Dia... dia... ke sana dengan membawa seorang perempuan dan anak..." Hajar Karangpandan kena dikelabui. Dikendorkan terkamannya tetapi pandang matanya masih tajam luar biasa. Kodrat memanggil salah seorang penjaganya yang tadi kena hantam Hajar Karangpandan. Dengan suara gugup dia berkata, "Tolong antarkan sang Pendeta ini ke Kodrat!" Penjaga yang kesakitan itu terlongok-longok keheranan. Dia belum dapat memahami akal pemimpinnya. "Cepatlah!" desak Kodrat dengan suara khawatir. "Cepat antarkan!" Ia mendorong penjaga itu dan dipaksa membawa Hajar Karangpandan pergi. Kemu¬dian memberi perintah kepada penjaga yang lain. "Ikuti dia dan serang pendeta itu!" Setelah memberi perintah demikian, cepat-cepat ia memanggul kotak penyangga gambang. Dan lari memasuki kepekatan malam. Ia tahu, pendeta itu pasti akan mencarinya lagi. Melihat tenaganya yang besar tidaklah sukar membekuk keempat bawahannya tadi. Dan mau tak mau mereka pasti mengaku siapa dia sebenarnya. Berpikir demikian, ia jadi ketakutan. Larinya dipercepat. Dalam sekejap saja, Desa Kaliputih telah ditinggalkannya jauh. Taksirnya, kalau tidak ada halangan lagi Desa Selakrama yang terletak di tepi jalan Wonosobo - Banyumas akan dapat dicapainya sebelum tengah malam. Tetapi Sangaji yang diringkusnya di dalam kotak penyangga gambang mulai me¬rintih. Akhirnya malahan menangis ketakutan. "Diam!" bentaknya. Karena dibentak Sangaji tidak diam. Sebaliknya tangis Sangaji makin keras. Dia pun memanggil ibunya amat berisik. "Diam!" bentak Kodrat lagi. "Kalau tak mau diam, kulempar ke kali. Ayo, diam tidak!" Sangaji kian meronta mendengar bentakan itu. Seumur hidupnya, belum pernah dia diben¬tak ayah-bundanya. Keruan saja bentakan itu membuatnya menggigil ketakutan. Ia mulai meronta-ronta di dalam kotak penyangga gambang. Kodrat jadi kuwalahan . Akhirnya Kodrat berbicara pada Rukmini dengan nada mengancam, "Hai suruhlah anakmu menutup mulut! Cepat!" Rukmini yang semenjak dilarikan dari rumah kehilangan iman, tidak menyahut. Hatinya amat berduka, dendam dan benci kepada semuanya. Tetapi hati ibunya tidak begitu saja terenggut hilang. Jika terdengar anaknya menangis, ia memiringkan badan. Rasa hatinya kian tersayat-sayat. Dipipitkan badannya ke anaknya, tetapi mulutnya tak mampu bicara. "Hai! Kaudengar tidak tangis anakmu? Bagaimana kalau sampai terdengar orang, apa jadinya!" bentak Kodrat jengkel. Ia menunggu. Rukmini tidak menyahut. Hanya kotak pe¬nyangga gamelan terasa bergoyangan. Tetapi tangis si anak kian menjadi-jadi. Ia mendongkol. Diturunkan kotak penyangga gamelan dari pundaknya, kemudian diletakan di tanah. Ia membuka ringkusannya dan menampar pipi Sangaji. "Mengapa kautampar dia," bentak Rukmini. "Kau dapat menutup mulutnya tidak? Su¬ruhlah dia diam!" sahutnya tak peduli. "Kalau tidak, kulempar dia ke kali. Apa rugiku?" Perkataan Kodrat bukanlah ancaman semata. Dia dapat berbuat begitu. Karena pertimbangan itulah, terpaksa Rukmini membujuk anaknya. "Jangan kauringkus dia," kata Rukmini setengah meminta belas kasihan. "Apa kaubilang?" bentak Kodrat. "Mestinya harus kusekap mulutnya dengan kain." Rukmini terdiam. Air matanya meleleh. Ia benci laki-laki itu. Tetapi ia tak berdaya melawannya. Tenaganya terasa hilang sebagian karena peristiwa yang maha dahsyat baginya. "Sekarang dengarkan!" kata Kodrat lagi, "Kalian kupanggul lagi. Tetapi jika anakmu menangis, terpaksa kalian berdua kuajak jalan kaki. Kau bisa memikirkan akibatnya. Langkahku panjang dan cepat. Kalian akan kupaksa jalan berlari-larian. Dan kalau anakmu rewel di sepanjang jalan, kubunuh dia. Kaupaham ini?" Rukmlni diam tak menyahut. Hatinya hambar, la bertekad ingin ikut mati juga, jika anaknya dibunuh. "Hai dengarkan lagi!" kata Kodrat mengesankan. "Mulai sekarang kau harus tunduk pada semua perintahku. Membantah sedikit atau mengingkari atau mengkhianati, tanggung sendiri akibatnya. Aku terpaksa membunuhmu." Rukmini memalingkan muka. Anaknya didekapnya erat. Pandangnya mengarah ke jauh sana ke arah desanya. Hatinya terguncang manakala teringat akan nasib suaminya yang mati di tengah rumah. Tadi ia tak melihat nyala api membakar rumahnya. Seandainya dia melihat itu, belum tentu dia sanggup berdiri lagi. Pada saat itu, ia dan anaknya dinaikkan lagi ke dalam kotak penyangga gambang. Kali ini, Kodrat tak meringkusnya. la membiarkan bebas, hanya saja mereka dipaksa agar berbaring. Dengan demikian takkan menimbulkan kecurigaan orang. Kotak penyangga gambang itu kemudian dipanggulnya dan ia meneruskan perjalanan. Langkahnya dipercepat. Tujuannya ke Desa Selakrama. Pikirnya, kalau aku berhasil mencapai batas daerah Banyumas sebelum fajar hari, amanlah sudah. Tapi kalau si jahanam itu tiba-tiba mengejarku... Apa yang harus kulakukan? Otaknya lantas saja bekerja. Tiba-tiba teringatlah dia kepada pamannya yang bertempat tinggal di Desa Segaluh. Pamannya bernama Jaga Saradenta. Dia bekas seorang kepala pasukan tentara Banyumas dalam perang Giyanti. la benci kepada Belanda. Benci juga kepada semua yang berbau Kerajaan Susuhunan Surakarta. Maklumlah, sebagai salah seorang prajurit Pangeran Mangkubumi ia berpaham memusuhi Susuhunan Paku Buwono II. Dia terkenal berani, tangkas dan sakti. Setelah perang selesai, ia diangkat menjadi Gelondong Segaluh. Kodrat adalah seorang laki-laki yang berotak licin. Pikirnya, aku adalah bawahan sang Dewaresi yang bekerja sama dengan Belanda. Tapi kalau aku bisa menempatkan diri, pamanku pasti mau menjadi pelindungku. Lebih baik aku ke sana saja. Kalau si jahanam datang, biarlah Paman yang menghadapi. Mendapat ide seperti itu, bangkitlah semangatnya. Dikerahkan tenaganya sekuat-kuatnya. Dan menjelang jam dua, sampailah di rumah Jaga Saradenta. Pintu rumah segera digedornya. Ia mengancam Rukmini juga agar bersikap membantu apa yang dikatakan. Belatinya diperlihatkan. Bisiknya tajam, "Awas! Inilah bagianmu." Kodrat pandai bermain sandiwara. Begitu ia melihat pamannya membuka pintu, lantas saja dia berlutut dan merangkul kedua lututnya. Katanya dengan menangis sedu-sedan, "Tolong, Paman tolong!" "Hai, kenapa!" Jaga Saradenta kaget. Dua tiga tahun, dia tak pernah bersua dengan kemenakannya. Tahu-tahu, ia diratapi demikian rupa. Hati siapa yang tak terguncang. "Aku dihina orang. Aku dikejar orang. Aku mau dibunuhnya." "Ah, siapa berani menghinamu. Siapa berani mengejar. Dan siapa yang mau membunuhmu, hamba Adipati Banyumas. Tidak ada yang berani kurang ajar padamu." "Dia orang asing, Paman. Dia mengenakan pakaian pendeta. Tetapi pendeta cabul. Pendeta begundal kompeni Belanda yang menjual dirinya menjadi mata-mata." Kena betul permainan ini di dalam hati Jaga Saradenta. Segera ia membawa kemenakannya duduk di kursi. Pada saat itu isterinya ikut terbangun pula. Melihat kemenakannya me¬nangis sedu-sedan, sibuklah dia tak keruan. Buru-buru ia menyalakan lampu besar. "Kena¬pa, kenapa," katanya. "Biarlah dia bicara, Bu," kata Jaga Sara¬denta. Kodrat memanggut-manggut cepat. Isaknya dinaikkan dan ia berlutut lagi di hadapan pamannya. Melihat itu, isteri Jaga Saradenta tahu diri. Segera ia mengundurkan diri, memasuki dapur memasak air teh. "Nah, katakan!" desak Jaga Saradenta. "Tetapi apa Paman mau menolong?" ujar Kodrat. "Celakalah nasibku, kalau Paman tak peduli." "Terangkan dulu. Biar kupertimbangkan." Jaga Saradenta terpengaruh. "Tadi sore aku dolan ke rumah pelara-lara . Di sana aku berjumpa dengan seorang perempuan cantik yang berasal dari Wonosobo. Perempuan itu membawa anaknya ..." "Hm ... macammu!" bentak Jaga Saradenta. "Kalau ibumu masih, bagaimana kamu berani memandang mukanya. Apa untungnya mengumbar nafsu birahi begitu rupa? Bedebah!" "Dengarkan dulu Paman," rengek Kodrat mengambil hati. "Sebenarnya tak biasa aku dolan ke rumah pelara-lara. Aku datang ke sana semata-mata karena suatu laporan. Katanya di rumah itu ada seorang perempuan yang dirundung nasib buruk terpaksa menjual diri. Ternyata laporan itu setengah benar. Perempuan dan anaknya itu sebenarnya terculik oleh seorang bangsat yang membutuhkan uang. Dia lantas dijual kepada pengurus rumah pelara-lara. Menyaksikan perlakuan itu, aku tak bisa tinggal diam. Kemudian, perem¬puan dan anaknya itu kurampas dan kulindungi. Tetapi pengurus rumah pelara-lara itu bilang, kalau perempuan itu disediakan untuk kepentingan serdadu-serdadu Belanda. Sebentar malam, mereka akan datang, pengantarnya telah dikirimkan terlebih dahulu." "Lantas!" Jaga Saradenta tak sabar. Darahnya mendidih mendengar kisah rekaan itu. "Aku bilang tak takut dan kubawa perem¬puan dan anaknya itu. Niatku mau kuantarkan ke Wonosobo. Mendadak aku dikejar seorang yang berpakaian pendeta. Si begundal kompeni. Aku diancam, dihardik dan akhirnya kutempur dia sebisa-bisanya. Jahanam betul dia kuat seperti kerbau. Lenganku hampir dipatahkan." "Ah!" potong Jaga Saradenta. Darahnya meluap. Tetapi pikirannya dapat berjalan tenang. la melemparkan pandangan melihat Rukmini dan Sangaji, ia menuding, "Apa dia yang kaumaksudkan?" "Ya ... dialah gara-gara peristiwa ini. Tapi niatku pasti. Bagaimana pun juga, akan kuantarkan dia sampai ke kampung halamannya." "Apa betul?" teriak Jaga Saradenta kepada Rukmini. Pandang mata Rukmini bergetaran. Ia ragu-ragu. Kemudian ia melihat mata Kodrat menyala tajam. Tangannya meraba hulu hatinya. Maka dengan terpaksalah ia mengangguk. "Janganlah Paman desak begitu rupa!" Ko¬drat menyesali. "Peristiwa yang menimpa dirinya, sudah cukup menghina kehormatannya." Jaga Saradenta menunduk dalam. Pikirnya, benar juga ujar bocah ini. Tak sopan aku mendesak dia agar bicara. "Sekarang di mana pendeta bangsat itu?" katanya kepada Kodrat. "Tadi dia mengejar-ngejarku. Pasti dia segera datang ke sini." "Hm ..." Jaga Saradenta berpikir keras. "Dia seorang pendeta, katamu? ... hm, mustahil dia berbuat begitu. Mustahil dia di rumah pelara-lara." "Aku bilang dia mengenakan pakaian pendeta. Apa dia benar-benar seorang pendeta, hanya iblis yang tahu. Bukankah seorang begundal kompeni bisa saja mengenakan pakaian yang dikehendaki." Kata-kata Kodrat masuk akal. Maka orang tua itu benar-benar terjebak. Serentak ia berdiri sambil berkata memerintah. "Bawalah dia masuk! Biar dia istirahat di bilik sebelah. Lantas kauikut aku keluar." "Paman! Biarlah aku bersembunyi di dalam saja ... A a aku takut benar pada bangsat itu..." "Kucing!" maki Jaga Saradenta. "Bagaimana mungkin aku punya kemenakan yang licik?" Tetapi Kodrat tak mengenal malu. Sudah terlanjur basah kuyup. Permainan tidak boleh berhenti di tengah jalan. Segera dia berkata minta belas-kasih. "Bunuhlah aku di sini saja, daripada menanggung malu di depan pendeta cabul. Tadi dia telah memakiku begitu rupa, sampai-sampai nama bapak-ibu, Paman dan ia semuanya ... semuanya diseret-seret. Mulut pendeta cabul itu begitu kotor!" Jaga Saradenta diam menimbang-nimbang. Akhirnya diluluskan permintaan kemenakannya. Rukmini dan Sangaji dipanggilnya dan diantarkan masuk ke bilik. Kodrat sangat gembira. Dia tak usah mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan yang merugikan. Segera ia memasuki bilik itu juga sambil menjaga Rukmini serapi mungkin. "Kodrat!" tiba-tiba terdengar Jaga Saradenta berkata. "Kuatkah pendeta itu?" "Dia kuat seperti kerbau. Tinjunya tak terlawan." Jaga Saradenta diam agak ragu-ragu. Katanya lagi, "Baiklah, aku akan menghadapinya sebisaku. Tapi seumpama aku kalah, larilah kau ke timur. Carilah sebuah gunung yang terletak di sebelah utara Bagelen. Gu¬nung itu bernama Gunung Damar. Di kaki Gunung Damar sebelah timur ada dusun ber¬nama Sejiwan. Aku mempunyai seorang sahabat bernama Kyai Kasan. Dia seorang sakti. Di dusun itu ia membuka sebuah perguruan. Muridnya lima orang. Jika kamu datang atas namaku, pasti dia mau menolong kesulitanmu. Kaudengar pesanku ini?" "Ya, Paman," sahut Kodrat sambil menelan ludah. "Tetapi aku yakin, Paman dapat mengalahkan bangsat itu." Jaga Saradenta kemudian keluar pintu. Dia berdiri di tengah serambi depan sambil menyalakan pelita. Waktu itu Desa Segaluh sunyi sepi. Alam seolah-olah berhenti berbicara. Tiba-tiba ia mendengar langkah orang. la melompat dan lari ke pekarangan. Ditajamkan matanya. Dan nampaklah seorang laki-laki berpakaian pendeta menghampiri pintu pagar. Dialah Hajar Karangpandan. Setelah ia disesat-sesatkan oleh orangnya Kodrat, lambat-laun sadarlah dia. Segera dia membentak, "Di mana dia?" "Dia siapa?" orang itu membalas bertanya. "Kodrat." "Kodrat? Masyaallah ..." bawahan itu terbeliak. "Tuan mencari Kodrat? Bukankah Tuan sudah berjumpa?" "Yang mana?" Hajar Karangpandan menjadi gusar. "Tadi... yang Tuan bekuk di depan gardu." "Ah! Kenapa kalian tak mau bilang! Jahanam!" maki Hajar Karangpandan. Dengan penuh kemarahan dihajarnya mereka habis-habisan. Kemudian ia lari mengejar. Sebagai seorang yang telah mempunyai banyak pengalaman dalam perantauan, de¬ngan cepat ia dapat mencium jejak buruannya. Dia hanya tertinggal beberapa saat. Tatkala Kodrat berada di dalam rumah Jaga Saradenta, dia telah melintasi Desa Segaluh. Sebentar dia berputar-putar. Ketika jejak Kodrat tak diketemukan, yakinlah dia kalau Kodrat pasti berada di sekitar Desa Segaluh. Kembalilah dia ke desa itu dengan niat hendak mengaduk-aduk seluruh penduduk. Untuk melaksanakan niatnya itu, ia datang terlebih dahulu ke Gelondongnya. Ia hendak minta ijin. Secara kebetulan Gelondong Jaga Saradenta telah menghadangnya. Begitu dia masuk ke halaman, mendadak saja Jaga Saradenta menyerangnya tanpa berbicara. Cepat ia mengelak dan kemudian mem¬balas menyerang. Ia tahu, penyerangnya mempunyai tenaga yang ampuh. Tetapi tak dihiraukannya. Begitulah, maka bentrokan tangan tak dapat dihindarkan. Masing-masing terkejut. Jaga Saradenta tergetar mundur lima langkah sedangkan tubuh Hajar Karang¬pandan terguncang-guncang. Jaga Saradenta lantas saja merasa dirinya takkan dapat merebut kemenangan. Meskipun demikian, ia menyerang juga. Hajar Karang¬pandan menggempurnya lagi. Dan sekali lagi dia terpental mundur. Kali ini lebih hebat. Ia jatuh tertelungkup mencium tanah. Belum lagi dia berdiri, Hajar Karangpandan telah mencekik lehernya. "Kenapa kamu menerjang aku tanpa bicara?" tegurnya. Jaga Saradeta tergugu. Direngguknya cekukukan itu, "Kau seorang pendeta memasuki pekarangan orang di tengah malam, apa maksudmu?" sautnya. "Aku mencari buruanku." "Siapa buruanmu?" Hajar Karangpandan menimbang-nimbang. Niatnya tadi mau minta ijin kepada Gelondong Dusun Segaluh diurungkan karena ketinggian hatinya. la meludah ke tanah. "Aku tak bermusuhan dengan kamu. Tapi kamu menyerang. Bagus! Kalau kau masih penasaran, lain hari aku datang ke sini. Sekarang aku tak punya waktu lagi." Jaga Saradeta sadar, ia bukan tandingan si pendeta. Maka ia berlaku sabar. "Tuan seorang pendeta. Pastilah hati Tuan lebih lapang dan lebih berbudi dari padaku. Maafkan perlakuanku tadi Tuan. Aku Gelondong Dusun Segaluh. Sudah beberapa waktu lama, dusun ini dihampiri perusuh-perusuh. Karena itu aku selalu mencurigai orang-orang yang berjalan di tengah malam." Hajar Karangpandan tertawa dingin. Pandangannya menyelidiki ke dalam rumah. "Bagus!" dengusnya. "Seorang Gelondong menyembunyikan seorang buruan. Apa itu benar?" "Siapa buruan Tuan?" bantah Jaga Saradenta. "Memang aku mempunyai seorang tamu, tetapi dia kemenakanku." Hajar Karangpandan diam, ragu mendengar ujar Jaga Saradenta. "Orang itu membakar rumah dan membunuh orang. Dia melarikan orang pula ..." Katanya sambil mendongakkan kepala. "Siapa dia? ..." Jaga Saradenta terkejut. Tetapi sandiwara Kodrat tadi masih saja mempunyai pengaruh dalam hatinya. Ia mensiasati Hajar Karangpandan. Ia mecurigai kelicinan orang. Lantas saja berkata meneruskan, "Di mana ada kebakaran dan pembunuhan?" "Kalau kau tak percaya kata-kataku ini, ayo ikut! Di sana ... di timur ... di Desa Karang-tinalang. Hm ... kau seorang Gelondong. Baiklah aku menaruh percaya kepadamu. Tetapi kalau buruanku itu temyata bersembunyi di rumahmu, akan kubunuh seluruh keluargamu". Setelah berkata demikian, sekali melesat ia hilang dari pandangan. Jaga Saradenta tertegun keheranan. Kagum dia akan kesaktian tamunya. Pikirnya, dia tak berniat jahat, kalau dia mau pastilah nyawaku sudah melayang... barangkali Kodrat yang salah tafsir. Memikir begitu, lantas saja dia memasuki rumah. Waktu itu Kodrat telah lama mengintip di belakang pintu. Melihat Hajar Karangpandan meninggalkan halaman, legalah hatinya. la terus menyongsong pamannya. "Mengapa bangsat itu Paman biarkan berlalu?" "Bedebah! Sini kamu!" bentak Jaga Saradenta. "Aku bukan bangsat penakut, tetapi aku membutuhkan keterangan yang benar. Sekarang ikut aku." "Ke mana?" Kodrat gemetaran. "Ke Karangtinalang," sahut Jaga Saradenta. "Perempuan itu biar ditemani bibimu. Aku tanggung dia takkan terusik oleh siapa pun juga." Setelah berkata begitu, ia menyeret Kodrat ke luar pekarangan. Kemudian larilah ia secepat angin. Dan mau tak mau, Kodrat terpaksa ikut berlari pula. Di bawah pengawasan pamannya dia tak bisa main gila lagi. Pada saat itu Hajar Karangpandan telah meninggalkan Desa Segaluh. Ia kembali ke Desa Karangtinalang. Tujuannya hendak mencari jejak yang lain. Dia telah tahu di mana Kodrat berada. Jaga Saradenta telah mengabarkan perihal seorang kemenakan yang datang di rumahnya. Siapa lagi kalau bukan dia. Dengan demikian, dia tinggal minta pertanggung jawaban Jaga Saradenta. Jika melindungi kemenakannya, ia sudah mempunyai keputusan. Seluruh keluarga Jaga Saradenta akan dihabisi nyawanya. Tatkala sampai di Desa Karangtinalang ia menjenguk tempat dia menghajar orangnya Kodrat. Dilihatnya ia masih menggeletak di tanah dengan mengerang-ngerang kesakitan. "Nah, dengarkan!" bentaknya. Mendengar suaranya, mereka menjadi ketakutan. Tetapi mereka tak berdaya apa pun juga. Terdengar suara Hajar Karangpandan. "Kalian masih kuampuni. Sekarang aku minta keterangan yang jelas. Siapa yang bicara benar akan kuampuni. Yang tidak, akan kudepak mati. Tahu!" la berhenti sejenak. "Di mana teman-temanmu yang lain? Jawab!" Ia menghampiri orang yang menggeletak di sebelah utara. Orang itu diam tak menyahut. Tak mau dia berkhianat. Lagi pula apa gunanya? Tadi dia ikut menerangkan siapa Kodrat itu. Akibatnya ia mendapat ganjaran begitu rupa. Sebaliknya Hajar Karangpandan tak sabar. Sekali depak matilah orang itu. Menyaksikan keganasannya, mau tak mau yang lain jadi terpengaruh. Yang menggeletak di sebelah barat segera berkata sebisa-bisa-nya, "Mereka bertugas mengikuti jejak. Pusaka di bawa lari." "Bagus! Kau kuampuni," kata Hajar Karangpandan. Setelah berkata begitu dua orang lainnya didepaknya mati. Sedang yang berbicara tadi diinjak lehernya hingga pingsan tak sadarkan diri. Hajar Karangpandan menghampiri rumah Wayan Suage dan Made Tantre. la menyelidiki tapak-tapak kaki. Sebentar saja dia telah menemukannya, tetapi hari masih saja gelap gulita. Meskipun demikian, ia tak putus asa. Di waktu fajar hampir menyingsing, nampaklah tapak-tapak kaki di mana-mana dengan cukup jelas. Segera ia melesat dengan kecepatan yang tak terlukiskan. Beberapa waktu kemudian, sampailah dia di atas gundukan tinggi. Pandangnya menyapu. Ia melihat titik-titik hitam. Itu mereka! Mendadak dilihatnya asap mengepul tebal. Hutan yang berdiri berleret di kaki pegunungan nampak terbakar. "Jahanam! Apa mereka sedang membakar tempat persembunyiannya Wayan Suage," ia khawatir. Gntuk menghambat pembakaran hutan itu, ia mengumpulkan seluruh tenaganya. Napasnya dipusatkan ke perut. Kemudian sambil mendongak ke udara ia berteriak tak ubah Guntur Sejuta . Suaranya bergelora menusuk udara. Burung-burung yang menginap di atas pohon-pohon, kaget beterbangan. Batang pohon-pohon tergetar pula. Daun-daun kering runtuh bertubrukan. Kemudian larilah ia amat pesat. Dia mengulangi teriakannya dua kali lagi. Pada teriakan yang ketiga kalinya, sampailah dia di tepi hu¬tan. Segera ia menurunkan tangan ganas untuk membangunkan pengaruh tertentu. Empat orang mati terjengkang sekaligus. "Mana Wayan Suage?" Ia membentak sam¬bil membekuk korbannya yang kelima. "Siapa Wayan Suage?" sahut orang itu menggigil. Orang itu benar-benar belum mengenal nama buruannya. Tapi Hajar Karang¬pandan menduga lain. Ia mengira, orang itu mengecohnya. Maka tanpa memberi kesempatan lagi, ia mengemplangnya mati. Yang lain jadi ketakutan. mereka saling bersuitan mengabarkan tanda bahaya. Tetapi Hajar Karangpandan berlalu sangat cepat. Ia melesat terbang tak ubah seekor burung garuda dan membunuh mati dua orang lagi. Kini tinggal dua orang yang masih hidup. la menyabarkan diri agar mendapat keterangan. Bentaknya, "Mana Wayan Suage?" Seperti yang lain mereka menyahut, "Siapa Wayan Suage?" "Bangsat! Pusaka itu! Bukankah kalian mau merampok pusaka itu?" "Dia ... dia di sana ... seorang pemuda bersamanya..." orang itu menuding ke lautan api. Betapa hebat pengaruh kata-kata itu terhadap Hajar Karangpandan tak dapat terlukiskan. Dengan mata liar ia merenungi nyala api. Hatinya serasa hampir meledak. "Apa pemuda itu pimpinanmu?" dampratnya. Dua orang itu akan membuka mulut, mendadak Hajar Karangpandan telah menerkam dahsyat. Mereka terpental ke udara dan menghembuskan napasnya yang penghabisan sebelum tubuhnya terbanting di tanah. Hebat gempuran itu. Dia berhasil menewaskan sembilan orang seorang diri. Sebabnya, karena mereka telah merasa ngeri terhadapnya. Mereka telah kena gertak sebelum bertempur. Hajar Karangpandan menggeram seperti seekor singa. Pandangannya tak beralih dari lautan api. Tiba-tiba ia meloncat ke dalam dan terbang menjelajah hutan yang sedang terbakar. Tetapi meskipun berkulit kebal, tak seseorang pun tahan berenang dalam lautan api. Sebentar saja, dia melesat ke luar dan berdiri tertegun dengan hati terguncang hebat. Tatkala itu dia menoleh, pandangnya bentrok dengan pandang mata seorang pemuda yang berdiri gagah di tepi sungai. Itulah Wirapati murid keempat Kyai Kasan Kesambi. Tanpa berbicara lagi, Hajar Karangpandan lantas saja menyerang. Wirapati terkejut. Cepat ia menghindar sambil mengirimkan sodokan. Hajar Karangpandan terkejut. Pikirnya, orang ini bisa mengelakkan seranganku sambil menyerang, ini hebat. Ia mengulangi lagi lebih dahsyat. Hajar Karanpandan mempunyai watak mau menang sendiri. Sebaliknya Wirapati bukan pula orang sembarangan. Dia angkuh dan tinggi hati. Selain itu seluruh hatinya bersujud kepada perguruannya. Menurut kepercayaannya, tidak ada ilmu lain yang bisa menandingi ilmu perguruannya. Demikianlah, jika menda¬pat serangan lagi tak mau dia mengelak. Ia ingin mencoba-coba seperti yang dilakukan nya pada orang Banyumas. Kesudahannya ia menumbuk batu. Karena begitu tangannya kebentrok, seketika itu juga terpentallah dia tiga langkah. Tetapi Hajar Karangpandan pun mundur terjengkang selangkah. Wirapati kaget bukan main. Sadarlah dia, kalau sikap keagung-agungan akan membahayakan diri sendiri. Maka sekarang bersikap waspada dan hati-hati. Hajar Karangpandan mempunyai kesan pula. Ia kagum pada kekuatan si pemuda. Biasanya orang tak tahan menerima pukulannya. Tetapi meskipun pemuda itu tahan menerima pukulan, terpental juga tiga langkah. "Bagus!" ia memuji. "Tapi hari ini kaubakal mampus di tanganku! Sayang, sayang! Punya kepandaian begitu hebat, kenapa jadi bangsat?" Wirapati tahu, orang itu salah duga. Tetapi dia terlalu tinggi hati untuk menjelaskan kesalahpahaman itu. Cepat ia siaga. Ketika itu, Hajar Karangpandan menyerang lagi dengan garangnya. Tangannya yang kanan mencengkeram mengarah kepala, sedangkan yang kiri menyodok tulang rusuk. Wirapati cukup waspada. Ia mengendapkan diri sambil mengirimkan tendangan. Sodokan Hajar Karangpandan kebentur kakinya. Ia terguling ke samping dan tepat pada saat cengkeraman Hajar Karangpandan turun ke bawah. Suatu kesiur angin menyambar lambungnya. Sikunya lantas digerakkan sambil menjejak kaki. Hajar Karangpandan tahu bahaya. Mau tak mau terpaksa ia meloncat mundur. Dia luput dari serangan itu. Kemudian menerjang menerkam dada. Wirapati menundukkan kepalanya sambil menyapu kaki. Hajar Karangpandan tak sempat mengelak. Betisnya kena terhajar. Tetapi Wirapati kena ditubruk pundak kirinya. Keduanya bercucuran keringat dingin. Kemudian berdiri tegak sambil mengatur napas. Hajar Karangpandan jadi panas hati. la merangsak lagi dengan benturan-benturan dahsyat. Wirapati tak berani mengadu tenaga. Ia melesat menghindari sambil mengayunkan tangan. Dengan demikian, pertarungan bertambah seru. Masing-masing dapat bergerak dengan gesit dan cekatan. Kala itu di pinggir gelanggang berdirilah dua orang laki-laki yang mengawasi pertarungan tanpa mengedipkan mata. Mereka adalah Jaga Saradenta dan Kodrat. Jaga Saradenta berkesan lain, setelah menyaksikan kebakaran itu. la mencurigai Kodrat dan berniat menghapuskan diri dari salah sangka. Sebagai seorang yang jujur tak sudi dia memihak kepada orang yang salah. Meskipun orang itu kemenakannya sendiri. Maka diringkuslah lengan kemenakannya dan dibawa lari mengikuti jejak kaki Hajar Karangpandan. la kalah cepat dalam hal berlari. Lagi pula, ia dibebani berat badan kemenakannya yang ikut berlari ogah-ogahan. Meskipun demikian, ia mencoba mengejar. Sesampainya di tepi hutan dilihatnya dua orang lagi bertempur seru. Legalah hatinya demi nampak berkelebatnya Hajar Karangpandan. Tetapi siapakah pemuda itu? Ia minta penjelasan kepada kemenakan¬nya. "Apa dia termasuk salah seorang bawahanmu?" bentaknya bengis. Kodrat menggelengkan kepala. "Bagaimana yang benar?" bentaknya lagi. Mendadak ia melihat mereka meloncat mun¬dur dua langkah. "Hai, siapa kau sebenarnya? Bilanglah sebelum mampus!" Kata Hajar Karangpandan nyaring. "Apa perlu menyebut nama?" sahut Wirapati. Hajar Karangpandan mendongakkan kepala sambil tertawa meriah. "Bagus! Bagus! Kaumampus tanpa nama, jangan salahkan aku Hajar Karangpandan. Nan, kaudengar sudah namaku. Kau tak perlu lagi penasaran di alam kuburmu." Wirapati tersenyum, "Mengapa kamu meracau tak keruan? Siapa bilang Wirapati akan mati? Aku murid keempat Kyai Kasan Kesambi bagaimana mungkin gampang mau kaupunahkan?" "Hm!" Hajar Karangpandan meludah ke tanah. "Ayo, kita buktikan!" Lantas saja dia menyerang cepat. Wirapati menangkis. Ia kena gempur sampai mundur selangkah. Kemudian membalas menyerang dengan cepat pula. Keduanya menggunakan serangan-serangan berbahaya dan mematikan. Syahdan, ketika Jaga Saradenta mendengar disebutnya nama sahabatnya yang bermukim di Gunung Damar terkejutlah dia. Ah, dia murid sahabatku. Kalau sampai terluka parah, aku tidak bisa berpeluk tangan, pikirnya. Ia yakin, kalau murid Kyai Kasan Kesambi takkan mungkin berbuat sesuatu hal yang rendah. Sedangkan Hajar Karang¬pandan bertempur dengan suatu tuduhan tertentu. Menduga demikian, ia jadi gelisah. Akhirnya dia berseru, "Tahan! Tahan! Ayo, kita bicara!" Dalam suatu pertempuran sengit, sudah barang tentu seruan Jaga Saradenta tak tergubris. Hajar Karangpandan yang mengenal suara Jaga Saradenta malah mendakwa yang bukan-bukan. "Kamu kawanan bangsat, ayo maju sekalian!" dampratnya. Dia lantas memperhebat serangannya. Sebentar saja Wirapati kena dirangsak mundur sampai ke tepi batas lautan api. Karuan saja Jaga Saradenta mendongkol berbareng khawatir. Mengingat kepada guru Wirapati, dia terus melompat membantu dan mengirimkan gempuran. "Monyet!" maki Hajar Karangpandan. "Ka¬mu kira aku mau lari lintang-pukang?" Wirapati heran mendapat bantuan itu. Dia mau menebak-nebak siapa orang itu, mendadak Hajar Karangpandan telah menyerangnya bengis. Terpaksa dia memusatkan seluruh perhatiannya dan membalas menyerang. Hajar Karangpandan jadi keripuhan dikerubut dua orang, meskipun Jaga Saradenta bertempur dengan setengah hati. Maklumlah, dia tak menghendaki pertempuran itu. Kalau sekarang sampai mengadu kekuatan semata-mata karena terpaksa, demi melihat murid sahabatnya terangsak mundur. Eh, ternyata dia bukan orang sembarangan, pikir Hajar Karangpandan. Untung dia tidak muda lagi. Kutaksir umurnya kira-kira 70 tahun. Kalau kupaksa bertempur berputaran, akan kulihat apa napasnya masih panjang. Sambil berpikir begitu, segera ia mengadu kegesitan. Seakan-akan seekor burung garuda ia menyambar cepat dan rapih dia menyerang bertubi-tubi. Jaga Saradenta tak sanggup mengikuti gerakan itu. Cepat-cepat ia menutup diri. Dadanya dilindungi dan ia merendahkan badan. Sebaliknya Wirapati dapat mengimbangi kegesitan Hajar Karangpandan. Dengan menjejak tanah ia memotong tiap serangan, tetapi ia menghindari suatu perbenturan karena merasa diri tak sanggup menandingi tenaga lawan.