Bende MATARAM Saduran : Herman Pratekno/ Dari kisah Memanah Burung Rajawali mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Episode 2 Rumah Siapakah yang Berbentuk Panjang itu? RUMAH itu sendiri berdiri di pinggir Desa Karangtinalang. Dindingnya terbuat dari papan. Pekarangannya luas dan berada di dekat sungai. Seumpama tidak berkesan mentereng, letaknya mirip sebuah padepokan seorang pendeta yang mulai mengasingkan diri dari pergaulan ramai. Penghuni rumah terdiri dari dua keluarga berasal dari pulau Bali. Keluarga pertama bernama, Wayan Suage. Keluarga kedua, Made Tantre. Mereka berasal dari kerajaan Klungkung yang merantau ke Pulau Jawa, karena tak senang menyaksikan perang saudara antara sesama kerajaan . Di Pulau Jawa me¬reka kawin. Isteri Wayan Suage bernama Sapartinah, dan isteri Made Tantre bernama Rukmini. Isteri mereka kebetulan berasal dan satu kampung pula. Maka persahabatan antara Wayan Suage dan Made Tantre bertambah erat bagaikan saudara sekandung. Setelah beberapa tahun menikah, secara ke¬betulan pula mereka mempunyai anak laki-laki. Hari kelahirannya terpaut beberapa bulan saja. Anak Wayan Suage lahir pada bulan Maulud dan anak Made Tantre bulan Sura. Anak Suage bernama Sanjaya dan anak Made Tantre bernama Sangaji. Keduanya kini sudah berumur enam tahun. Mereka merupakan teman sepermainan yang tak pernah terpisah. Maklumlah, kedua orangtuanya bertempat tinggal dalam satu rumah pula. Penghidupan Wayan Suage dan Made Tantre dari bercocok tanam. Mereka memilih hidup tentram, menjauhi segala urusan negara. Pada setiap sore sehabis bekerja di ladang, mereka duduk di ruang tengah. Kemudian membicarakan tentang adat-istiadat tanah airnya dahulu dan sekarang. Kadangkala menyinggung pula tentang nasib kerajaan Bali yang terpecah belah. Mereka keturunan prajurit Bali yang dekat pada raja. Karena itu pula, seringkali membicarakan juga tentang jenis kekebalan dan kesaktian. Sore hari itu, mereka pulang sebelum waktu Ashar. Hujan turun sangat lebat. Angin meniup keras pula. Itulah sebabnya mereka tak betah di ladang. "Rupanya pada hari penobatan Sultan Yogyakarta ini, tak boleh kita bekerja terlalu lama," ujar Wayan Suage sambil tertawa. "Itulah kesalahan kita, tak tahu menghormati hari besar. Mari kita menyembelih ayam dan bikin kopi hangat!" sahut Made Tantre. Sudah barang tentu ajakan itu amat menyenangkan hati. Mereka berdua kemudian me-nangkap empat ekor ayam dan segera diberikan kepada isterinya masing-masing. "Ah, dapur kita harus satu saja. Apa perlu mesti memasak masing-masing?" kata Sapartinah. "Usui bagus!" seru Wayan Suage. "Dinda Rukmini tak usah ribut-ribut lagi." "Mengapa memanggilku Rukmini? Bukankah aku nyonya Tantre!" "Oho ... Itu pun bagus. Tapi maksudku, pada hari pesta penobatan ini hendaklah dinda Rukmini tegak berdiri sebagai orang Jawa. Begitu juga dinda Sapartinah. Sedangkan kami berdua ini hanyalah dua orang perantau yang mendapat anugerah dewa memetik dua tangkai bunga melati dari Pulau Jawa. Pendek kata pada hari pesta penobatan ini, yang memegang peranan adalah dinda Rukmini dan dinda Sapartinah. Dan kami berdua hanya hamba-hambamu. Bukankah begitu Made Tantre?" Made Tantre mengangguk sambil tersenyum lebar. la menyetujui ujar Wayan Suage. "Kami sudah menyerahkan empat ekor ayam. Akan dimasak apa terserah. Kami akan berusaha memakannya habis sampai ketulang-tulangnya. Perkara Sangaji dan Sanjaya, kami berdua yang akan mengasuh." Dengan memberi isyarat kepada Wayan Suage, ia mencari Sanjaya. Ternyata Sanjaya lagi main petak-petakan dengan Sangaji. Kemudian dipapahnya dan dibawa duduk di ruang tengah. "Kamu berdua kelak harus menjadi sahabat seperti ayah-ayahmu," ujar Made Tantre. "Ya, tentu. Harus pula sepenanggung-sependerita. Seia-sekata, bahu-membahu ... Pendek kata suka-duka harus bersama," sahut Wayan Suage. Mereka berdua nampak bergembira. Masing-masing memangku anaknya laki-laki dan saling dihadapkan. Si anak sudah barang tentu belum mengerti benar makna kata-kata orang-tuanya, tetapi oleh kesan keriuhan itu mereka tertawa lebar. Mereka didorongkan ke depan dan disuruh berpeluk-pelukan. Tanpa membantah mereka segera berpelukan. "Lihat!" kata Wajan Suage. "Alangkah mudah menjalinkan rasa bersatu dalam hati kanak-kanak. Bila menyaksikan kejadian ini, rasanya sedih ingat kelakuan orang-orang tua yang katanya sudah merasa diri menjadi makhluk penuh kesadaran. Mereka malahan saling bertengkar dan berebut sesuatu seakan-akan dunia miliknya seorang." Mereka kemudian mengalihkan pembicaraan ke masalah tata hidup, keadaan negara Bali dan perangai orang-orang ningrat. "Disinipun terjadi pula sejarah seperti di Bali," sahut Made Tantre. "Coba kalau kita mendengarkan sejarah perang Giyanti, perang Mangkunegoro dan Perang Kompeni. Ah, bukankah banyak terjadi pengkhianatan yang menjijikkan hati belaka? Apa yang mereka perebutkan, selain kedudukan, harta-benda dan perempuan?" Wayan Suage menarik napas panjang. la melemparkan pandang ke luar pintu. Hujan di luar bertambah lebat. Gdara gelap oleh awan hitam, sehingga sore hari bagai waktu rembang petang. Tiba-tiba ia mengerutkan dahi. la melihat seseorang berjalan di tengah hujan. Orang itu mengenakan pakaian pendeta dan berjalan amat cepatnya. "Tantre, lihat! Apa akan kita biarkan dia ber¬jalan di tengah hujan?" Made Tantre berdiri. Diletakkan anaknya di atas meja, kemudian berjalan menghampiri pintu. Diam-diam ia heran menyaksikan ketangkasan orang itu. "Dia bukan sembarang orang. Langkahnya tegap dan kuat. Kecekatannya melebihi orang biasa. Baiklah kita panggil dia untuk singgah. Berkenalan dengan orang seperti dia, tidak ada ruginya." "Tuan! Hari masih panjang. Mengapa terge-sa-gesa di tengah hujan badai?" seru Wayan Suage. Orang itu menghentikan langkahnya. Ia me-noleh sambil mengerutkan dahi. Kemudian dengan langkah lebar ia memasuki halaman rumah. "Kami sedang merayakan pesta penobatan. Kami akan senang jika Tuan sudi mencicipi masakan kami," kata Wayan Suage lagi. Tanpa menjawab sepatah katapun juga, ia memasuki serambi. Dikebutkan sebuah ta-ngannya, sedang yang lain menurunkan se¬buah kantong berwarna coklat gelap. Matanya disiratkan kepada Wayan Suage dan MadeTantre seperti mencurigai, kemudian berpaling ke jalan. Melihat sikap tamunya yang mencurigai dirinya, Made Tantre merasa tak senang. la kini memandangnya seperti lagi menyiasati. Ke¬mudian menghela napas panjang. "Apakah Tuan tak mau masuk?" tegurnya. Tamu itu berpaling kepadanya, kemudian melangkah ke ambang pintu. Made Tantre menyambut hendak bersalaman. Dalam hati ia sengaja akan mencoba kekuatan orang itu. Tetapi ia kecele. Ternyata tangan orang itu kuat seperti besi. Dia kena digenggam dan rasa nyeri menusuk sampai ke ketiak. Melihat Made Tatre kesakitan, Wayan Suage tak berani berlaku sembrono. Segera ia meng-alihkan perhatian. "Mari Tuan masuk! Beginilah rumah orang kampung." Si tamu melepaskan genggamannya dan memasuki ruang tengah tanpa mempedulikan Made Tantre. Ia mengedarkan pandangannya. Mendeham dua kali, kemudian menarik kursi dan duduk terhenyak. "Logat kata-katamu seperti bukan orang Jawa. Benarkah itu?" katanya. Suaranya berat dan mengesankan. "Benar. Kami berdua berasal dari Pulau Bali," jawab Wayan Suage. "Siapa anak-anak itu?" dia seperti tak mendengarkan jawaban Wayan Suage. "Mereka anak-anak kami." Tamu itu menaikkan alisnya. la melem-parkan pandang kepada Wayan Suage dan Made Tantre. "Dimanakah ibunya?" tegurnya. Wayan Suage segera memanggil Sapartinah dan Rukmini. Kedua orang itu muncul dari pintu dapur. Tangan dan mukanya penuh arang. "Apakah kalian benar-benar sudah lapar?" kata mereka berbareng. Tiba-tiba mereka melihat tamu itu. Mereka saling memandang. Mukanya merah tersipu. Cepat-cepat mereka hendak mengundurkan diri ke dapur, tiba-tiba Wayan Suage berkata, "Perkenalkan, ini tamu kita. Bagaimana kalau nanti kita makan bersama? Nah, dia tamu undangan kami." Tamu yang bersikap kaku itu, mendadak saja berubah menjadi ramah. "Maaf, maaf! Aku mengganggu. Namaku Hajar Karangpandan." Setelah berkata demikian, ia menghampiri Sangaji dan Sanjaya. Dengan jari-jarinya yang kaku, ia meraba pipi mereka. "Hm ... mataku yang sudah tua bisa salah lihat. Maafkan! Kukira kalian sedang memasang jebakan." "Jebakan?" sahut Made Tantre. Hatinya masih mendongkol, karena rasa nyerinya belum juga hilang. "Tuan kira, kami ini siapa?" "Duduklah, nanti kuterangkan." Hajar Karangpandan kemudian membuka goni yang ditaruh di atas meja. Disontakkan goni itu dan terdengarlah suara gemerincing hening. "Hai! Apa itu?" seru Wayan Suage dan Made Tantre berbareng. "Ini sebuah bende dari perunggu campur besi berani. Namanya Bende Mataram. Sedangkan keris ini bernama Kyai Tunggulmanik. Konon kabarnya, benda ini milik Pangeran Semono di jaman dulu." Tiba-tiba Hajar Karangpandan menjadi gusar dan menggempur meja. Wayan Suage dan Ma¬de Tantre sudah barang tentu tercengang-cengang melihat perangainya. Belum lagi mereka habis menimbang-nimbang perangainya, tiba-tiba dia berkata lagi. "Karena benda ini, banyaklah terjadi pembunuhan dan pengkhianatan. Aku datang dari Banyumas. Di tengah jalan aku bertemu dengan rombongan manusia-manusia rendah. Kuhajar mereka kalang kabut." "Mengapa?" "Mengapa?" ulangnya. "Karena mereka membawa benda ini. Kautahu, kedua benda ini mula-mula tersimpan baik-baik di museum Belanda di Jakarta. Orang-orang yang gila kekayaan dan martabat, sudah hampir melupakan adanya benda itu. Tapi apa yang terjadi? Keturunan Sultan Cirebon datang ke Jakarta untuk minta dihadiahkan kedua benda ini kepadanya. Nah semenjak itu, terjadilah keributan-keributan lagi. Kedua benda ini dengan cepat berpindah tangan. Mereka saling membunuh, memfitnah dan meracun. Mereka bersedia berhamba pada Belanda, asalkan saja dapat memiliki. Cuh, aku tak bisa memberi tempat hidup bagi manusia-manusia serendah itu?" Tertarik kepada keterangan Hajar Karangpandan, kedua orang itu lantas saja duduk mendekat. "Apa untungnya memiliki benda ini?" kata Wayan Suage. "Tanyalah pada setan dan iblis! Kata mereka, barang siapa yang memiliki kedua benda ini akan dapat memerintah seluruh Nusantara. Dia akan sakti, kebal dan berpengaruh. Setiap katanya akan didengar oleh sekalian raja-raja di kepulauan Nusantara ini. Hah… bukankah itu omong kosong belaka?" Wayan Suage dan Made Tantre bertambah tertarik hatinya. Dengan cermat mereka mengamat-ngamati kedua benda itu. Yang disebut Bende Mataram, adalah sebuah canang terbuat dari perunggu agak kehitam-hitaman. Benda itu berkesan kuno. Sedangkan keris Tunggulmanik tak beda de¬ngan keris-keris yang lazim dikenakan orang-orang Jawa. Bentuknya panjang lurus. "Nah… apa yang istimewa dari kedua benda ini," kata Hajar Karangpandan. "Meskipun demikian orang-orang yang gila nama saling berebut dengan sungguh-sungguh." "Tetapi bagaimanakah pendapat Tuan?" potong Made Tantre. Hajar Karangpandan menarik napas dalam. Selagi ia hendak berkata, tiba-tiba Sapartinah muncul dari ambang pintu dapur membawa niru penuh masakan. Asap kuahnya meluap ke udara dan menyebarkan bau harum segar. "Ah! Masakan apa itu?" Hajar Karangpandan mengalihkan pembicaraan. Dikibas-kibaskan pakaiannya yang basah kuyup kemudian memperbaiki duduknya. Wayan Suage dan Made Tantre cepat-cepat mengurungkan niatnya hendak mendengarkan pendapat tamunya. Mereka berdiri serentak dan menyambut niru. Diletakkanlah di atas meja dengan penuh nafsu. Sangaji dan Sanjaya datang merubung. "Sabar, sabar! Tunggu nasinya dulu. Baru kita makan bersama," dengus Wayan Suage. Sebentar kemudian Rukmini datang menghantarkan sebakul nasi. Dan tanpa dipersilakan lagi, masing-masing telah melebarkan mulut menggerumuti masakan hangat. Udara di kala itu, dingin basah. Hujan belum juga berhenti. Karena itu, masakan sehangat itu benar-benar nikmat. Sangaji dan Sanjaya ikut makan pula. Mereka berdua tidak takut lagi kepada tamu¬nya yang galak. Mereka bahkan berani mendekati dan Hajar Karangpandan bersikap ramah menyenangkan. Dengan jari-jarinya yang kuat ia membelah ingkung ayam , kemudian dibaginya amat cekatan. Ia kelihatan gembira dan tak segan-segan pula. Menyaksikan perubahan sikapnya Wayan Suage dan Made Tantre diam-diam bersyukur dalam hati. "Tentang kedua benda ini, menurut pendapatku tak lebih dan benda-benda kuno lainnya," ujar Hajar Karangpandan tak terduga. "Sayang, aku bukan keturunan priyayi atau begundal negeri. Seumpamanya aku keturunan seorang priyayi atau salah seorang begundal negeripun, agaknya usiaku tak mengijinkan memimpikan kekuasaan yang bukan-bukan. Kautahu, aku seorang pendeta. Eh, apa tampangku sama sekali tak mirip dengan seorang pendeta? Baiklah, setidaknya ada cita-citaku untuk jadi seorang pendeta." la berhenti mendongakkan kepalanya. Dahinya mengerinyit seolah-olah sedang teringat pada sesuatu yang mengerikan. Tak lama kemudian ia tertawa perlahan. "Masakan ini sedap dan enak. Meskipun tak puny a uang, aku akan berusaha membayar." "Tidak, tidak," Wayan Suage dan Made Tantre berkata berbareng. "Tuan kami undang berpesta." Hajar Karangpandan tertawa. "Sepuluh tahun yang lalu, tak mau aku membayar makanan yang disuguhkan padaku! Kalau aku mengemplang botak penyuguhnya, sudah untung." la berhenti mengesankan. Meneruskan, "aku seorang jahanam. Sudah terlalu banyak menyusahkan orang-orang yang mencoba berlaku baik kepadaku. Sebab aku terlalu curiga kepada siapa saja. Aku terlalu benci melihat kelemahan orang." "Tapi demi persahabatan, kami tak dapat menerima bayaran," bantah Wayan Suage. "Tentang mengapa Tuan selalu bercuriga kepada orang-orang yang Tuan jumpai, apa peduliku?" Hajar Karangpandan heran mendengar ujar Wayan Suage. Seperti kepada dirinya sendiri ia berkata, "Kalau kamu berkata demikian pada beberapa tahun yang lalu, tanganku sudah melayang ke mukamu. Sebab aku benci kepa¬da orang yang berani membantah kemauanku." Made Tantre yang semenjak tadi berkesan kurang baik kepadanya, tiba-tiba menyahut sambil berdiri tegak. "Eh, apakah dunia ini hanya Tuan seorang yang merasa diri seorang laki-laki? Kami pun laki-laki." "Bagus! Justru kamu seorang laki-laki, aku mau membayar makanan ini. Apa salahnya? Nan dengarkan! Aku tak beruang, tapi aku mempunyai dua benda ini. Apakah kedua benda ini cukup berharga untuk kubayarkan padamu?" Made Tantre tergugu mendengar keterangannya. Matanya dilemparkan kepada Wayan Suage minta pertimbangan. Wayan Suage ter¬gugu pula. Maklumlah, sama sekali dia tak mengira kalau kedua benda itu akan diberikan sebagai alat pembayaran. "Tuan," katanya hati-hati. "Sungguh…. dengan hati selapang-lapangnya aku tak mengharapkan balas jasa berupa apa pun juga. Apa Tuan kuatir, pesta yang kami adakan kali ini seperti suatu jebakan seperti tuduhan semula, agar Tuan berhutang budi pada kami? Kuminta singkirkan dugaan yang bukan-bukan itu!" "Aku salah seorang yang selama hidupku tak mau berhutang budi, kepada siapa pun juga. Akupun seorang yang tak mau pula memberi hutang budi kepada siapa pun. Kedua benda ini kuberikan kepada kalian, sebagai bayaran. Inilah pengganti terima kasihku. Dimanakah ada persoalan balas budi?" Wayan Suage terdiam, sedangkan Made Tantre masih saja berdiri tegak. Tak sanggup lagi mereka berlawanan berbicara dengan tamunya. Tetapi mereka seia-sekata tak dapat menerima kedua benda sebagai pembayar hidangan. Ini tabu bagi mereka berdua. Hajar Karangpandan agaknya tahu membaca gejolak hatinya. Dengan merenggutkan sekerat daging, ia berkata, "Baiklah. Apa kalian menolak kedua benda ini karena bukan milikku? Oho... Siapa pula yang berhak bilang kalau kedua benda ini miliknya? Selain Pa-ngeran Semono yang hidup entah ribuan tahun yang lalu tidak berhak berkata demikian. Karena itu pula, tiap orang berhak memiliki dengan sah. Sekarang kedua benda ini ada padaku. Nah, akulah pemiliknya. Aku pulalah ahli waris Pangeran Semono. Kuberikan kepada siapa saja, tidak seorang pun yang akan mem-bantah. Kecuali bangsa tikus dan cecurut." Mendadak dia berdiri dan menyambar kedua benda itu. Kemudian diberikan kepada Sangaji dan Sanjaya, masing-masing sebuah. "Orangtua kalian tolol dan tak pandai berpikir. Nah, kepadamu berdua benda-benda ini kuberikan," katanya. Kemudian menoleh kepada Wayan Suage dan Made Tantre. "Siapa nama mereka?" Wayan Suage dan Made Tantre diam berbimbang-bimbang. "Jawablah! Siapa nama mereka!" Hajar Karangpandan membentak. Terpaksa Wayan Suage menjawab, "Mereka bernama Sangaji dan Sanjaya." "Yang mana yang Sangaji dan yang mana Sanjaya?" Wayan Suage memperkenalkan masing-masing. Setelah itu, dia bersiaga menolak pemberian itu. Tetapi Hajar Karangpandan mendahului. "Kali ini jangan kautentang maksudku. Kehormatan diriku akan tersinggung." Mendengar ucapannya yang bernada sung-guh-sungguh, tak berani dia melawan. Terpaksalah dia tegak seperti patung menyaksikan Hajar Karangpandan membagi kedua bendanya kepada anak-anak. Terdengar Hajar Karangpandan berkata mengesankan. "Kedua benda ini pusaka Pulau Jawa yang keramat. Kalian berdua yang beruntung memiliki. Kata orang, barang siapa memiliki kedua benda itu akan dapat memerintah raja-raja seluruh Nusantara. Aku sudah terlalu tua untuk memimpikan martabat itu. Kupujikan kini padamu sekalian, semoga kalian akan menjadi penguasa kepulauan Nusantara di kemudian hari. Sanjaya, kuberikan Keris Kyai Tunggulmanik agar kamu kelak menjadi seorang pahlawan tiada tara." Kedua anak itu surut mundur. Mereka takut menghadapi raut muka Hajar Karangpandan yang sungguh-sungguh. Gundu matanya mencari orangtuanya masing-masing. Tiba-tiba terdengarlah suatu kesibukan di luar rumah. Tujuh orang laki-laki datang memasuki halaman, sambil berseru, "Hai pendeta busuk! Biar kaulari sampai ke ujung langit. Takkan mungkin terluput dari pengamatan kami. Hayo serahkan!" Mendengar seruan itu, Hajar Karangpandan meloncat dari kursi dan tiba-tiba saja telah berada di depan ambang pintu. Gerakan itu sangat gesit, sehingga Wayan Suage dan Made Tantre tergugu heran. "In! Kiranya kamu bangsa cecurut berani mengikuti aku," bentak Hajar Karanpandan. "Jadi kalian masih saja menginginkan kedua benda itu?" Seorang berperawakan pendek gemuk yang rupanya menjadi pimpinan mereka lantas datang menghampiri. "Aku bernama Gandi. Aku diperintahkan pemimpin kami untuk membawa pulang benda itu. Kauserahkan tidak?" "Mengapa harus kuserahkan?" "Kedua benda itu milik kami turun-temurun." "Cuh!" Hajar Karangpandan meludah ke tanah. "Kaukira apa aku ini sampai macam tampangmu berani mengelabui mataku. Katakan kepada pimpinanmu, kalau kedua benda itu bukan milik siapa pun juga. Orang bilang, kedua benda itu milik Belanda. Kemudian diberikan kepada anak keturunan Sultan Cirebon, asalkan mereka bersedia men jadi hamba Belanda. Kemudian entah bagai mana kalian berhasil merampas. Atau karena bersedia menjadi begundal Belanda? Cuh! Alangkah rendah kalian. Aku seorang tua mana bisa membiarkan kamu mengangkat diri menjadi majikan?" "Lantas?" bentak si pendek gemuk. "Siapa saja boleh memiliki, asalkan dapat mempertahankan diri. Aku telah merampas kedua benda itu dari tangan kalian, nah akulah pemiliknya. Sekarang apa yang kalian kehendaki?" "Serahkan!" "Ambillah kalau mampu." Mendengar tantangan Hajar Karangpandan, salah seorang dari rombongan pendatang itu menyerang dengan tiba-tiba. Hajar Karang¬pandan meloncat ke samping. Tetapi Gandi si pendek gemuk ikut menggencet dari samping. Hajar Karangpandan terkejut. Meskipun demikian, ia tidak nampak berusaha membebaskan diri. Sengaja ia ingin memperlihatkan kekuatan tubuhnya. Pukulan si pendek gemuk dibiarkan mendarat didadanya. Tubuhnya tak bergetar. Sebaliknya si pendek gemuk mengaduh kesakitan. Kaget ia mundur selangkah. Kemudian dengan mengajak teman-temannya, ia meninju dan mengirimkan tendangan bertubi-tubi. Hajar Karangpandan tetap tak bergerak dan tempatnya. Ia membiarkan serangan itu me-ngenai dirinya. Tak mau ia menghindar atau membalas. Bahkan ia tertawa terbahak-bahak merendahkan lawannya. Karuan saja mereka tercengang-cengang. Ternyata tinju dan kakinya seperti memukul sebongkah batu. Rasa nyeri menusuk-nusuk tulangnya. "Apa kau ini setan atau iblis?" teriaknya. Menyaksikan tamunya dikerubut beramai-ramai, Wayan Suage dan Made Tantre jadi gelisah. Sebagai pemilik rumah mereka merasa tak dipandang mata oleh ketujuh orang itu. Maka mereka berseru berbareng. "Stop! Di sini bukan tempat pertarungan." Mendadak saja si pendek gemuk mencabut pedang yang disembunyikan di dalam celana-nya, kemudian menikam Wayan Suage dan Made Tantre sekali gerak. Serangan itu mengejutkan Hajar Karangpandan. Jahanam, mengapa menikam orang luar? umpatnya dalam hati. Secepat kilat ia menangkis serangan kemudian memukul tangkai pedang dengan penasaran. Begitu pedang si pendek gemuk terbentur pukulan Hajar Karangpandan, seketika itu juga ia mengaduh kesakitan. Ia mundur selangkah dengan pandang kagum. Dengan menggeram ia menikam. Hajar Karangpandan memiring-kan tubuhnya dan memotong pergelangan tangan. Melihat serangan itu, kawan-kawan Gandi terkejut dan bersiap-siap. Cepat mereka menyerang berbareng, sehingga Hajar Karang¬pandan mengurungkan sabetan tangannya. "Kurang ajar, kalian biadab tak tahu harga diri. Mengapa menyerang orang luar?" "Tutup mulutmu!" bentak si pendek gemuk. "Suruhlah kedua temanmu itu maju berbareng. Kalau bisa merampas pedangku, akan kusembah serendah tanah." Hajar Karangpandan mendongkol mende-ngar ucapan si pendek gemuk. "Eh! Apa sih susahnya merebut pedangmu. Hayo cabut pedang kalian!" bentaknya. Benar-benar mereka mencabut pedangnya. Mereka menyerang serentak dan teratur. Hajar Karangpandan mengerahkan tenaganya. Begitu ujung pedang sampai di depannya, ia mementil dengan jarinya. Dengan suara raungan nyaring, pedang si pendek gemuk terpental di udara. Kemudian pedang-pedang yang lain menyusul bergeroncangan jatuh ke tanah. Wayan Suage dan Made Tantre kagum menyaksikan kepandaian Hajar Karangpandan. Karena rasa kagumnya mereka bertepuk-tepuk tangan. Waktu itu Sangaji dan Sanjaya yang berada di ruang dalam, duduk terpaku karena terkejut. Sapartinah dan Rukmini yang bekerja di dapur berlari ke depan ketika mendengar suara keributan. Segera mereka mendekap anaknya masing-masing dan menonton pertempuran yang berlangsung di serambi rumah. "Eh, Tuan pemilik rumah!" seru Hajar Karangpandan tiba-tiba. "Bagus tidak permainan ini?" "Bagus! Bagus!" sahut Wayan Suage dan Made Tantre hampir berbareng. "Itulah berkat ayam panggang kalian. Terima kasih!" Kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, ia mendesak lawan-lawannya sampai mundur ke pekarangan. Hujan masih saja turun deras, sehingga mereka yang sudah basah kuyup menjadi kuyup kehujanan. Ketujuh orang itu mendongkol diperlakukan demikian. Tiba-tiba saja mereka berjajar sam¬bil bergandengan tangan. Hajar Karangpandan sadar, dia kini sedang menghadapi perlawanan berat. Tetapi ia berlagak merendahkan. Kepada Wayan Suage dan Made Tantre dia berkata nyaring, "Eh, kalian masakan tinggal diam? Kalian telah diserang. Jangan biarkan musuh menang tanpa pembalasan. Inilah gara-gara pusaka Pangeran Semono yang telah kalian miliki. Pertahankan pusaka itu. Matipun tak jadi soal, karena kalian berdua telah meninggalkan warisan paling berharga pada jaman ini kepada anak-anakmu. Nah, maju dan serang! Kalau takut ngumpetlah di dalam kamar. Intip saja dari kejauhan, aku akan mewakili kalian melabrak bangsa cecurut itu." Tajam ucapan Hajar Karangpandan, sehingga bulu kuduk Made Tantre berdiri meremang. "Tuan! Kami pun seorang laki-laki. Minggir, biar kuterjang perusuh-perusuh yang tak tahu menghargai tuan rumah." Ia melompat maju dan menggempur musuh. Wayan Suage tak mau ketinggalan pula. Ia menyerang dari samping. Tetapi ketujuh orang itu tak mudah diundurkan. Mereka segera mengepung dengan rapat. Dan perkelahian terjadi amat sengit. Hajar Karangpandan berdiri di luar gelang-gang. Ia melihat pertempuran itu. "Kedua orang ini bisa berkelahi. Nampaknya. bekas prajurit berpengalaman. Tapi kalau melawan dengan tangan kosong, bagaimana bisa mengundurkan musuh." Berpikir demikian, ia melompat maju. Kemudian dengan sekali mengayunkan tangan ia menyerang cepat dan dahsyat. Ketujuh orang itu ditendangnya berjungkir-balik. Pedang-pedangnya terpental di udara dan jatuh berge-roncang di tanah. "Hoo ... Berhenti!" teriak si pendek gemuk. Kawan-kawannya berdiri tertatih-tatih di tempatnya masing-masing. Kemudian berkata agak lunak, "Apakah pusaka Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik tak berada di tanganmu lagi?" "Kedua pusaka itu ada di dalam rumah," sahut Hajar Karangpandan dingin. "Mereka berdua inilah yang menjadi pemilik sebenarnya. Bukan kalian!" "Ah! Jika demikian, maaf. Tak sepatutnya kami bermusuhan denganmu. Biarlah kami kini berurusan dengan mereka berdua." Hajar Karangpandan tertawa melalui hidungnya. Tahulah dia, kalau mereka bertujuh mau mengalihkan permusuhan. "Eh, eh, eh…. kaubilang apa? Sekali kau berani meraba tubuhnya, akan kubalas seribu tamparan. Kaudengar!" "Aku hanya akan berbicara kepadanya," sa¬hut si pendek gemuk agak jera. "Pusaka itu telah ada padanya." "Siapa nama mereka." "Mengapa begitu bertingkah?" "Mengenal jalan pegunungan lebih baik dari pada berjalan membabi buta." "Bagus!" Hajar Karangpandan tercengang. Barulah sekarang ingat, kalau diapun belum mengenal nama tuan rumah. Maka buru-buru dia berkata, "Tanyalah sendiri siapa mereka." Tanpa menunggu pertanyaan, Made Tantre menyambut, "Aku Made Tantre bekas kepala prajurit Bali Klungkung. Dia Wayan Suage kepala prajurit Bali Klungkung pula. Apa yang kalian kehendaki?" "Kedua pusaka itu benar-benar ada padamu?" "Kalau benar, apa yang mau kalian laku-kan?" Gandi maju selangkah. Raut mukanya yang bengis mendadak padam, dengan lunak dia berkata, "Biarlah pusaka itu kami beli. Kautinggal menyebutkan jumlah uang dan aku berjanji takkan menawar barang satu sen pun." Made Tantre merah padam. la merasa dihina dan direndahkan. Dengan mengerlingkan mata pada Wayan Suage, ia menjawab lantang. "Rumah kami sudah cukup besar. Sawah kami cukup luas pula. Uang pun kami punya. Lagi pula pusaka itu bukan milik kami. Kami tak berhak menjualnya." "Tapi pusaka itu ada padamu, kan? Itu suatu karunia. Kau tak bermodal, tapi mendapat tawaran. Iya, kan?" "Apa kaubilang?" bentak Made Tantre. "Sekiranya pusaka itu diberikan kepada kami sebagai barang milik, kami pun akan mempertahankan. Kami takkan berlaku hina menjual pusaka pemberian." "Bagus!" Hajar Karangpandan bertepuk-tepuk. "Itu jawaban seorang laki-laki. Nah, sekarang kalian minggat dari sini!" Tetapi mana bisa Gandi menyia-nyiakan kesempatan itu. Dua minggu yang lalu rom-bongan mereka yang membawa kedua pusa¬ka itu dari Cirebon, dihadang oleh Hajar Karangpandan. Pusaka terampas dan mereka tak berani pulang ke Banyumas. Maklumlah, pusaka itu diperoleh dengan susah payah. Pemimpinnya yang bernama sang Dewaresi berhasil membeli pusaka itu dengan harga tinggi dari tangan keturunan Sultan Cirebon. Tetapi keluarga Sultan Cirebon yang lain tak menyetujui. Perselisihan segera terjadi. Rombongan sang Dewaresi berhasil merebut pusaka itu dengan suatu kekerasan. Begitu berhasil, sang Dewaresi kemudian memberi perintah kepada dua puluh orang anak buahnya mendahului pulang ke Banyumas. Sedangkan dia sendiri, menghadapi perlawanan keluarga Sultan Cirebon dengan beberapa orang bawahannya. Secara tak terduga, pusaka itu telah berpindah tangan begitu gampang. "Pendeta busuk!" bentak Gandi. "Berhari-hari kami mengikuti jejakmu. Bagaimana aku harus melepaskan moncongmu. Meskipun langit runtuh, kami takkan mundur sebelum berhasil membawa pusaka pulang ke Banyumas." "Itulah tekad yang patut dipuji!" Hajar Karangpandan mengacungkan ibu jari. Kemudian berkata kepada Wayan Suage dan Made Tantre, "Heh, kalian berdua siaplah! Cobalah pertahankan pusaka itu! Aku seorang tua akan berdiri di luar gelanggang. Kalau kalian dapat mempertahankan din, pantaslah pusaka itu menjadi milik kalian. Nah, kalau kalian keok , aku akan merampasnya kembali." Dibakar demikian, bangkitlah semangat Wayan Suage dan Made Tantre. Mereka seia-sekata hendak berjuang sebisanya. "Kalian mencari mati. Jangan salahkan ka¬mi!" ancam Gandi dengan mendongkol. Kemudian dengan berteriak, ia menyerang dengan dahsyat. Pedangnya berkelebat menikam lambung. Wayan Suage memiringkan tubuhnya dan menghantam pergelangan. Kena hantaman itu, pedang Gandi terpental. Secepat kilat ia menendang. Tendangannya mengenai betis Wayan Suage. Wayan Suage tak dapat mempertahankan diri. Ia jatuh tersungkur, tetapi tangannya berhasil menyambar pedang Gandi tatkala kaki Gandi hendak menendangnya lagi, ia menyingkir dengan bergulingan. Sekarang ia dapat berdiri tegak sambil menggenggam pedang rampasan. Pakaiannya sekaligus kena lumpur basah. Sekujur badannya basah kuyup. Gandi tak memberinya kesempatan bernapas. Ia menerjang dengan sepenuh tenaga. Wayan Suage terkejut. Cepat-cepat ia menangkis serangan itu. Pedangnya berkelebat memapas tangan, sedang tangan kirinya menerkam tulang rusuk. Melihat tangkisan Wayan Suage. Gandi mengurungkan serangannya. Ia menjatuhkan diri ke tanah sambil menyepakkan kakinya. Suatu kesiur angin mendesak udara. Wayan Suage melompat tinggi sambil berjumpalitan. "Bagus!" puji Hajar Karangpandan. Tetapi belum lagi Wayan Suage menjejakkan kaki ke tanah mendadak dia dirangsang empat orang kawan-kawan Gandi. la mengeluh dalam hati, meskipun demikian pantang menyerah. Pedangnya diputar kencang seperti kitiran. Tubuhnya ditutup rapat-rapat. Gandi mendongkol, karena serangannya gagal. Cepat ia bangun dan merampas pedang temannya. Kemudian merangsang maju sambil mengirimkan tikaman berbahaya. Wayan Suage dengan cepat terdesak mundur sampai memasuki serambi rumah. Memang ia kalah berpengalaman dengan si pendek gemuk, Lagi pula ia dikerubut empat orang yang menyerang bergiliran. Melihat Wayan Suage terdesak mundur, Gandi berlega hati. Yakinlah dia, kalau kemenangan ada pada pihaknya. Hanya saja ia mengkhawatirkan Hajar Karangpandan. Kalau orang itu tiba-tiba turun ke gelanggang, akan terjadi sebaliknya. Dulu orang itu dapat membuat kalang kabut kedua puluh teman-teman-nya. Apa lagi sekarang, dia hanya berenam. Memikirkan hal itu, ia ingin merebut kemenangan secepat mungkin. Ia mengirimkan tusukan dahsyat sambil berteriak keras. Wayan Suage kerepotan. Dalam repotnya ia melompat mundur sambil memiringkan tubuhnya. Tak urung ujung pedang Gandi masih saja merobek bajunya. Wayan Suage bergerak cepat. Pedangnya dibenturkan ke pergelangan tangan Gandi. Tetapi Gandi bermata tajam. Pedangnya disonteknya ke atas. Suatu benturan tak terelakkan, kemudian tangan kirinya membentur dada. Wayan Suage terkejut. Pedangnya lepas. Mendadak empat orang lainnya menyerang dari samping. Dalam gubuknya ia menjatuhkan diri sambil memungut pedangnya. Tetapi tendangan kaki Gandi mengenai 1ambungnya. Ia terguling dan berdiri sempoyongan. Kesempatan itu dipergunakan baik-baik oleh Gandi. Sekali lagi ia menikam. Kali ini, Wayan Suage hendak mengadu tenaga. Ia menangkis dan kedua-duanya tergetar mundur. Di sudut lain, Made Tantre menghadapi tiga orang musuh. Ia bertangan kosong, sehingga terpaksa mengandalkan kegesitannya. Untung, ketiga lawannya tidaklah seperkasa Gandi. Ia masih sanggup mengadakan perlawanan dengan seimbang. Namun, karena dia tak bersenjata lambat laun terdesak juga. Segera ia mengirimkan serangannya dengan gerak khas ajaran Pulau Bali. Kedua tangannya bergerak berserabutan seperti gerak tari Bali. Tetapi tiba-tiba berubah menjadi ceng-kraman yang mengancam kepala. Ketiga lawannya terkejut. Mereka mundur berdesakan. Diam-diam mereka heran atas perlawanannya. Dengan bergandengan tangan, mereka maju berbareng. Mereka bermaksud mau mengurung. Tetapi Made Tantre tidak memberi kesempatan mengatur serangan. Dengan tangkas ia menerjang sambil menyapu kaki. Mereka tak gentar. Pertahanannya sangat teguh. Kini bahkan telah berhasil membuat kurungan dan sedikit demi sedikit maju selangkah. Terpaksalah Made Tantre bersikap hati-hati. Ia mundur pula sambil menajamkan penglihatan. Tiba-tiba Rukmini datang melemparkan sebuah pisau. "Ini, gunakanlah!" Made Tantre menoleh. Besar hatinya, karena mendapat bantuan isterinya. Pisau itu ia sambar dengan sebat, kemudian menerjang lawan. Hatinya berubah mantap. Ia bersilat berputaran. Gerak-geriknya tak ubah tarian Leyak. Ia berputar-putar sambil menikam. Kadangkala menjatuhkan diri sambil menyapu kaki lawannya. "Ah, bagus!" seru Hajar Karangpandan. "Tapi gerak begitu menghabiskan tenaga. Dekatilah Wayan Suage. Kamu berdua memiliki corak perkelahian yang sama, sehingga kalian bisa saling membantu." Seruan Hajar Karangpandan itu menyadarkan mereka berdua. Meskipun tak pernah berlatih bersama, tetapi hati mereka seia-sekata. Mereka sependirian dan seperasaan, bagaikan saudara kembar. Itulah sebabnya tidak ragu-ragu lagi, mereka saling mendekati. Kini bertempur dengan berendeng. Gandi yang bermata tajam tak membiarkan mereka menjadi kuat. Secepat kilat ia menyerang. Dada Wayan Suage terancam. Made Tantre melihat bahaya itu, segera ia melompat menangkis serangan. "Terima kasih!" kata Wayan Suage bersyukur. Dalam hati ia memuji kelincahan sahabatnya. Segera ia beralih tempat menghadapi lawan-lawan Made Tantre. Kala itu Gandi mulai menyerang lagi. Kawan-kawannya mengikuti sepak terjangnya. Mereka mengepung sambil menyabetkan pedangnya. Yang bertangan kosong meliuk rendah dan mengirimkan tinju. Wayan Suage dan Made Tantre terkejut. Serentak mereka mendekatkan tubuh. Wayan Suage sadar, kalau senjata Made Tantre terlalu pendek untuk meng¬hadapi perlawanan pedang lawan. Maka ia membabatkan pedangnya mengarah muka lawan. Made Tantre mengerti maksud sahabatnya. Dengan sebat ia membenturkan pisaunya. Karuan saja pisaunya tak dapat mempertahankan diri. Kena sabetan pedang seketika terlepas kutung, dan tapak tangannya terasa sakit. Hajar Karangpandan yang melihat pertempuran dari luar gelanggang mengerti bahaya mengancam tuan rumah. Tak sampai "hati ia membiarkan tuan rumah terluka di depan matanya. Secepat kilat ia melompat menerjang sambil membentak, "Hai, bangsa tikus! Kalian mencari ajal, tak tahu diberi hati. Minggat!" Ia menggempur seorang yang berperawakan tinggi ramping. Orang itu terkejut bukan kepalang, sampai tak sempat menangkis atau mengelakkan diri. Akibatnya hebat! Lengannya kena, tergempur patah dan tak dapat digerakkan lagi. Gandi menggeram menyaksikan serangan Hajar Karangpandan yang datang begitu cepat. Tanpa berkata lagi ia membalas. Kawan-kawannya bergerak juga membantu dari samping. Hajar Karangpandan mengangkat kedua tangannya tinggi ke udara. Kemudian seperti kilat, ia menyambar kepala mereka dan menghadiahkan satu tamparan kepada muka mereka masing-masing. Dalam kagetnya, mereka tertegun. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Wayan Suage dan Made Tantre. Mereka berdua lantas saja menerjang dan mengirimkan tendangan keras. Tak ampun lagi mereka yang kena tendangannya jatuh terbalik sambil berteriak kesakitan. Dengan masuknya Hajar Karangpandan ke gelanggang, suasana pertempuran cepat berubah. Rombongan Gandi kena dihajar bolak-balik sehingga jadi kalang kabut. Empat orang terluka berat. Ketiga orang lainnya terdesak mundur sampai ke jalan. Hajar Karangpandan agaknya tidak berniat menghabisi nyawa mereka. la menghentikan serangannya, kemudian berkata memerintah, "Hari-hari penobatan raja, tabu aku membunuh orang. Pergilah kalian! Bawalah kawan-kawanmu yang terluka, aku tak akan mengganggumu." Tersipu-sipu Gandi memberi isyarat teman-temannya agar tunduk pada peringatan itu. Empat orang kawannya segera dipanggul bersama dan mereka lantas meninggalkan halaman rumah dengan sempoyongan. Hajar Karangpandan tidak menghiraukan mereka lagi. Hatinya sangat senang mendapat kesan pertempuran itu. Kepada Wayan Suage dan Made Tantre dia berkata, "Siapa mengira aku bakal berjumpa dengan dua orang bekas kepala perajurit Bali yang gagah perkasa di suatu dusun begini sunyi. Tenaga kalian masih murni. Jika mau berlatih selama sepuluh tahun, jarang orang bisa menandingi kalian berdua. Selamat! Selamat!" Tetapi Wayan Suage dan Made Tantre tidak menanggapi kata-katanya. Napas mereka tersengal-sengal. Tubuhnya basah kuyup. Rasa nyeri kini terasa menjalari sekujur tulang-tulangnya. Maklumlah, selama merantau di Pulau Jawa, tak pernah sekali juga berkelahi begitu mati-matian. "Nah, tahulah kini kalian, bagaimana berharganya kedua pusaka itu," kata Hajar Karangpandan lagi. "Rawat dan peliharalah baik-baik. Kelak kalau anak-anakmu bisa menjadi majikan seluruh kepulauan Nusantara, janganlah lupakan aku si orang tua ini." Sehabis berkata demikian, mendadak ia meloncat pergi. Sebat sekali ia meloncati pagar halaman dan dalam beberapa detik telah lenyap dari pandangan. Wayan Suage dan Made Tantre tertegun seperti orang linglung. Sama sekali tak diduganya, tamunya akan pergi dengan begitu saja tanpa mengucapkan kata-kata perpisahan sebagai lazimnya tata-santun dalam pergaulan. Mereka saling memandang, kemudian mengejar berbareng. "Tuan! Hujan belum lagi reda!" Hajar Karangpandan tak nampak lagi batang tubuhnya. Mereka berusaha memanggil, tetapi sia-sia belaka. Akhimya mereka memasuki halaman dengan kepala menunduk. Tak habis mengerti mereka memikirkan perangai tamunya yang datang pergi seperti iblis. Di serambi rumah, mereka disambut isterinya masing-masing. Mereka inipun tercengang-cengang melihat perginya Hajar Karangpandan. Pengalaman hari itu amat hebat bagi mereka, sampai-sampai mulutnya nyaris terbungkam karena tak kuasa menterjemahkan kesan hatinya. "Alamat apakah ini?" kata Sapartinah terbata-bata. Wayan Suage dan Made Tantre tidak men-jawab. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tenaganya terasa seperti terlolosi. Lemah lunglai mereka memasuki rumah. Wajahnya kuyu, sekujur badannya dingin kaku. Sapartinah dan Rukmini ke kamar menyediakan pakaian kering. Sangaji dan Sanjaya dibiarkan berdiri tanpa teman. "Tinah! Rukmini! Dan kau Sangaji dan Sanjaya, kemarilah!" kata Wayan Suage dengan napas tersekat-sekat. "Marilah kita periksa kedua pusaka itu."