Bayang di Cermin Buram mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt   Balonku adalima , rupa-rupa warnanya. Merah, kuning, kelabu, hijau muda dan biru. Meletus balon hijau…DHUAR ! Hatiku sangat kacau. Balonku tinggal empat, kupegang erat-erat. Pagi ini, seharusnyasama seperti pagi lainnya. Aku berangkat ke sekolah dengan terburu-buru, karena lagi-lagi aku terlambat bangun. Ibu memarahiku, dan minta agar aku mengubah kebiasaan burukku itu. Dengan setengah enggan, aku meng-iya-kan, lalu mengambil sepeda dan berangkat. Tidak ada yang aneh, semua berlangsung seperti pagi hari-hari sebelumnya. Tetapi… Ketika sedang melewati perempatan jalan yang ramai, tiba-tiba aku merasa sekelilingku menjadi sangat sunyi. Dan pada saat itulah, aku mendengar seseorang memanggilku dengan sebuahnama asing, “Rani…” Suara klakson yang memekakkan telinga, membuatku kembali tersadar; Aku sedang terbengong di atas sepedaku tepat di tengah-tengah perempatan jalan, dan sebuah mobil van dengan kecepatan tinggi sedang menuju tepat kearahku ! Akibat terkejut, sekujur tubuhku terasa lemas, dan aku tidak dapat bergerak. “Seseorang, tolong… tolonglahaku !” Pada saat yang kritis, seseorang melompat dan mendorongku, “Awas,bahaya !”   Tubuhku terguling dan kakiku menabrak lampu lalu lintas, sehingga terkilir. Walau demikian, aku selamat. Aku mendengar jeritan dari orang-orang di sekelilingku, dan ketika aku melihat tempatku tadi berada, aku melihat sebuah pemandangan yang mengerikan; Darah memenuhi seluruh jalan, dan tubuh orang yang tadi menolongku tergeletak di tengah jalan merenggang nyawa. Dengan tertatih-tatih aku mendekat, dan melihat bahwa orang itu masih hidup.   “Tolong, panggilambulans ! Dia..dia masih hidup ! Cepatlah !”   Maka pagi inipun menjadi berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, tetapi ini hanyalah suatu awal.       “Mira, tolong sampaikan pada guru, aku tidak bisa datang ke sekolah, karena seseorang mengalami kecelakaan untuk menolongku ... Aku baik-baik saja, tetapi aku tidak bisa meninggalkan orang itu begitu sajakhan ? ...Sekarang aku ada di Rumah Sakit Umum Pusat ... Iya, bye.”   Aku memutuskan hubungan telepon selularku dengan Mira, teman sekelasku. Saat ini aku sedang duduk di bangku panjang di lorong Rumah Sakit Umum Pusat, tepat di depan kamar operasi tempat para dokter berusaha mempertahankan nyawa orang yang menolongku.   “Aku selamat, tetapi sebagai gantiku, orang itu yang berada di ambang hidup dan mati.   Tuhan, tolong, selamatkanlah penolongku itu.”   Tiba-tiba lampu kamar operasi mati. Perasaanku langsung menjadi tegang. Ketika dokter keluar dari ruang itu, aku segera bangkit berdiri lalu bertanya, “Dokter, bagaimana keadaan orang itu ? Apakah ia selamat ?”   Dokter memperhatikanku, lalu bertanya, “Apakah kamu kerabatnya ?”   “Bukan, tetapi aku adalah.. orang yang telah diselamatkan olehnya. Tolong katakan padaku dokter, apakah dokter berhasil menolongnya ?”   Dokter menarik nafas panjang, “Ia masih hidup, kalau itu maksudmu. Tetapi...”   “Tetapi apa, dokter ?”, aku mulai merasa tidak sabar.   “Tetapi, mungkin ia akan mengalami kelumpuhan seumur hidupnya.”   Seketika itu pula, kakiku terasa lemas, dan aku jatuh berlutut. Lalu aku memegang bagian bawah jas dokter.   “Dokter, apa benar ia akan lumpuh ? Apa dokter tidak bisa menyembuhkannya ? Apa tak ada cara agar ia bisa segera pulih ?!”, suaraku semakin meninggi akibat merasa putus asa.   Dokter memandangku penuh rasa iba.   “Aku bisa memahami perasaanmu. Aku akan berusaha semampuku untuk menyembuhkannya, tetapi maaf, aku tidak bisa menjanjikan apapun.”   Setelah berkata demikian, dokter berjalan pergi meninggalkanku, yang masih berlutut sambil memandang ke arah pintu kamar dengan pandangan hampa.       Hari sudah siang, dan jam dinding menunjukkan Pk 14.00 Pemuda yang telah menolongku itu telah dipindahkan ke kamar perawatan, dan aku terus mendampinginya. Aku memandang keluar jendela.   “Saat ini, sekolah pasti telah bubar. Jika tidak ada kejadian ini, pasti aku sedang berjalan keluar sekolah bersama dengan Mira dan teman lainnya, sambil mengobrol dan tertawa.”   Lalu aku menengok ke arah pemuda tersebut.   “Mengapa ? Mengapa semua ini harus terjadi ?    Apa yang dapat kulakukan untuk menolongnya ?”   Tiba-tiba pintu terbuka, dan seorang gadis manis dikuncir satu memakai seragam sekolah, berlari masuk sambil menjerit, “Kakak !”   Ketika melihat kondisi pemuda tersebut, air matanya mulai mengalir.   “Ini.. ini tidak mungkin khan ? Kak Victor khan orang paling kuat, semua ini sangat tidak sesuai untuk kakak !”   Sambil menunduk aku berkata, “Maaf, karena demi menolongku, kakakmu jadi seperti ini. Maafkan aku.”   Gadis itu berjalan mendekat.   “Kamu ya ? Kamu yang telah menyebabkan Kak Victor menjadi seperti itu ?!”, tiba-tiba sebuah tamparan keras menghantam pipiku, “Aku takkan memaafkanmu ! Keluar, keluar dari kamar ini ! Aku tidak ingin melihatmu.”   Aku tertegun sesaat karena terkejut, lalu aku bangkit dan keluar dari kamar itu. Sebelum menutup pintu, aku berkata, “Kuharap kakakmu segera pulih.”   Aku terduduk lemas di ruang tunggu sambil menunduk.   “Ia memang berhak marah dan membenciku.   Selama ini aku selalu saja bersikap cuek dan tak acuh, serta menganggap enteng semua masalah.   Apakah ini hukuman untukku ?”   Tiba-tiba telepon selularku berdering. Rupanya Mira sudah berada di depan Rumah Sakit Umum Pusat. Ketika sampai di ruang tunggu, Mira bertanya, “Mengapa kamu ada disini ? Bukankah kamu bilang ingin mendampingi orang itu ?”   “Tadi adiknya datang. Ia berkata bahwa ia tidak akan memaafkanku, lalu mengusirku keluar.”   “Eeh ?! Tapi, itu khan bukan salahmu, itu kecelakaan ! Dia tidak bisa seenaknya menyalahkanmu begitu dong !”   “Tidak, mungkin apa yang dikatakannya ada benarnya. Kecelakaan itu terjadi karena aku sedang melamun, jadi wajar jika ia menyalahkanku.”   “Te.. tetapi...”   “Mira, sudahlah. Aku akan tetap menunggunya, sampai ia sadar. Aku senang kamu datang, Mira.”   Mira menghela nafas, lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan beli makanan. Kamu belum makan siang khan ?”       “Rani...”, suara itu kembali kudengar. Begitu sunyi dan kelam.   “Dimanakah ini ? Dan.. siapa yang memanggil itu ?”   “Rani... Rani...”, berulang-ulang suara itu bergema di kepalaku, sampai akhirnya, “Rauny ! Hey Rauny, sadarlah !”   Tiba-tiba aku melihat Mira sedang memegang bahuku, dan mengguncangkan tubuhku dengan keras.   “Eh.. Mi.. Mira, a.. apa yang terjadi.. padaku ?”   “Justru seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu ! Dari tadi kamu diam saja, padahal sudah berulang kali kupanggil ! Aku sangat khawatir tahu ?!”   “Ma.. maaf. Tadi setelah kamu pergi, tiba-tiba saja di sekelilingku terasa begitu sunyi. Aku tak dapat mendengar suara apapun juga, lalu kemudian segalanya menjadi gelap dan dingin.”   Mira memukul kepalaku dengan lembut, “Kamu ini ! Jangan mimpi di siang hari seperti ini dong !”   Aku langsung menggelengkan kepala dengan keras, “Tidak Mira, ini bukan mimpi ! Sebelum kecelakaan itu terjadi, aku juga mengalami hal ini ! Kurasa, ada hal yang aneh pada diriku.”   Mira menatapku dalam-dalam, lalu akhirnya mengambil makanan yang ditaruhnya di bangku, dan memberikannya padaku.   “Sudahlah, yang terpenting sekarang, kamu harus makan dulu.”   “Mira, kamu.. nggak percaya padaku khan ?”   Mira tersenyum sambil memandang ke arah langit-langit rumah sakit, “Memang benar, aku nggak mudah percaya pada hal-hal aneh seperti itu, tetapi aku yakin kamu tidak berbohong, Rauny.”   Aku-pun ikut tersenyum, “Terima kasih.”       Matahari sudah terbenam, sementara pemuda itu masih belum sadar.   “Rauny, apa kamu masih berniat untuk terus menunggu hingga ia sadar ? Belum tentu ia sadar hari ini. Mungkin besok, lusa, minggu depan, bahkan tidak tertutup kemungkinan, ia tidak pernah sadar lagi.”   Aku menunduk, “Aku tahu itu, Mira. Tetapi ia telah menolongku, menyelamatkan jiwaku ! Aku... pokoknya aku merasa, tidak bisa pergi meninggalkannya begitu saja !”   Mira menghela nafas dengan kesal, “Terserahlah ! Tetapi maaf, aku tidak bisa terus menemanimu. Masih banyak hal lain yang lebih penting bagiku, daripada menunggu sesuatu yang tidak pasti !”   Aku memandang ke arah Mira, lalu mengangguk.   “Aku mengerti. Terima kasih.”   Mira mengangkat bahu, lalu pergi. Menit demi menit terus berlalu, sementara rumah sakit semakin sepi. Kebanyakan para pengunjung sudah pulang. Akhirnya aku memberanikan diri, dan pergi lagi ke kamar tempat penyelamatku itu dirawat. Dari balik pintu, aku mendengar sebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh gadis berseragam sekolah tadi; Sebuah nyanyian anak-anak.   “Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya.   Merah, kuning, kelabu, hijau muda dan biru.   Meletus balon hijau… DHUAR ! Hatiku sangat kacau. Balonku tinggal empat, kupegang erat-erat.” Entah mengapa, ketika aku mendengar nyanyian tersebut, tiba-tiba timbul sebuah perasaan yang sangat hangat, dan aku merasa sangat rindu dengan lagu itu. “Kak Victor, dulu ketika aku masih kecil, aku sangat suka dengan lagu tersebut. Dan kakak selalu menyanyikannya untuk kami sebagai lagu pengantar tidur. Walau kadang merasa kesepian, tetapi lagu itu benar-benar menghibur kami berempat, karena kami sadar, masih ada orang yang memperhatikan kami.”, tiba-tiba terdengar isak tangis, “Maka dari itu Kak Victor, cepatlah sadar.Kalau kakak tidak ada, apa yang harus kulakukan ?!” Mendengar kata-kata gadis itu, aku termenung. “Bagi gadis itu, pemuda itu adalah segala-galanya. Dan.. aku telah menyebabkan dia kecelakaan. Oh Tuhan, apa yang telah kulakukan ?!” Tiba-tiba tasku terjatuh. “Siapa itu ?!” Aku membuka pintu, “Maaf, aku benar-benar minta maaf. Kakakmu pastilah orang yang sangat baik, dan aku.. telah menyebabkan ia kecelakaan.”   “Mengapa kamu masih ada disini ?”   “Aku tidak bisa pergi begitu saja ! Aku sadar, kejadian ini akibat kesalahanku. Maka dari itu, aku tidak bisa meninggalkannya ! Tolong, ijinkanlah aku menunggunya hingga sadar.”   Gadis itu memandangku dalam-dalam, lalu akhirnya ia menghela nafas.   “Seharusnya yang minta maaf itu aku. Kakakku kecelakaan bukan karena kesalahanmu; Ia hanya ingin menolongmu. Aku menyalahkanmu tadi, karena aku kebingungan. Maafkan aku.”   Melihat gadis itu menunduk, aku merasa tidak enak.   “E.. eh, tidak apa-apa kok. Kita sama-sama menunggu hingga kakakmu sadar ya ?”   Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.   “Oh ya, maaf aku lupa memperkenalkan diri. Aku Helen, dan nama kakakku adalah Kak Victor.”   Aku menerima jabat tangan gadis itu, “Namaku Rauny, senang berkenalan denganmu.”   Mendengar itu, Helen terkejut. Bola mata indahnya terbelalak.   “Ra.. Rauny ? Namamu.. Rauny ? Itu.. mustahil !”       Aku memandang Helen dengan pandangan bertanya. Tetapi kemudian Helen menggeleng.   “Ya, itu tidak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja.”   “Memangnya ada apa ?”   “Sebenarnya, sejak awal melihatmu, aku merasa kamu mirip dengan seseorang yang kukenal. Dan namanya juga sama, Rauny. Tetapi itu tidak mungkin.”   “Kenapa tidak mungkin ?”   “Karena...”, wajah Helen terlihat tegang sesaat, “Karena ia sudah meninggal ! Ya, ini pasti hanya kebetulan, tak mungkin ia hidup kembali.”   Aku memperhatikan Helen sejenak, lalu berkata, “Helen, bisakah kamu menceritakan mengenai temanmu itu ?”   “Eh, kenapa ?”   Lalu aku berjalan menuju jendela.   “Sejujurnya, aku tidak ingat masa laluku. Orang tuaku yang sekarang, menolongku ketika terjadi sebuah kebakaran hebat di bekas tempat tinggalku dulu. Karena terlalu shock, aku mengalami amnesia.”   Helen terpana memandangku, lalu perlahan air matanya mulai mengalir di pipinya.   “Kebakaran ? Kalau begitu, kamu benar-benar.. Rauny yang kukenal ?”   Ia langsung memelukku, “Kamu tentunya tidak tahu, betapa inginnya aku bertemu lagi denganmu.”   “Eh tu.. tunggu ! Sudah kubilang kalau aku sama sekali tidak ingat masa laluku, jadi belum tentu aku adalah Rauny yang kau kenal. Jadi tolong, ceritakanlah mengenai dia.”   Helen menghapus air matanya, lalu mengangguk. Dan setelah duduk, ia-pun mulai bercerita...       “Sejak kecil aku yatim piatu, karena orang tuaku mengalami kecelakaan. Itu sebabnya aku takut dan kebingungan, ketika mendengar Kak Victor mengalami kecelakaan. Dalam kesedihan akibat kehilangan kedua orang tuaku secara mendadak, Kak Victor hadir dalam hidupku. Ia adalah anak dari pemilik panti asuhan tempatku dan anak-anak lainnya dirawat. Berkat Kak Victor, keceriaanku kembali, dan aku mulai bisa mengerti makna hidup. Ia mengajarkan banyak hal kepada kami, dan menganggap kami sebagai adik-adiknya sendiri.”, lalu ia menengok ke arahku, “Rauny adalah teman dekatku di panti. Kehidupan di panti memang menyenangkan, tetapi semua itu tidak berlangsung lama. Pada suatu malam saat kami sedang tidur, tiba-tiba terjadi kebakaran. Kak Victor dan ayahnya mati-matian berusaha menyelamatkan kami. Tetapi ketika sedang menyelamatkan Rauny yang tertinggal, ayah Kak Victor terperangkap oleh api. Usaha Kak Victor untuk menolong mereka sia-sia, dan akhirnya mereka dianggap meninggal. Kehidupan kami setelah terjadinya kebakaran itu sangat sulit, dan akhirnya kami terpencar. Kak Victor sangat sedih, karena merasa tak mampu menggantikan ayahnya untuk merawat kami. Akhirnya hanya aku-lah satu-satunya orang yang masih berada di sisi Kak Victor.”   “Apa penyebab kebakaran tersebut ?”   Helen hanya mengangkat bahu, “Entahlah. Menurut polisi, akibat api lilin, tetapi mereka juga tidak yakin.”   Lalu aku mengalihkan pandanganku ke arah Victor yang sedang terbaring.   “Apa aku benar-benar ‘Rauny’ yang dikenal oleh mereka ?   Kalau benar, berarti sebenarnya aku adalah anak yatim piatu...”   Tiba-tiba aku terkejut, karena melihat bibir Victor bergerak.   “He.. Helen !”   “Ada apa ?”   “Kakakmu, dia.. sepertinya dia mulai sadar !”   “Eh benarkah ?”, lalu Helen menengok ke arah Victor dan mengguncangkan tubuhnya, “Kak Victor, apakah benar kakak sudah sadar ? Tolong, jawablah kak !”   Mendengar Helen, aku teringat akan kata-kata dokter.   “Helen, tenang dulu ! Kondisi kakakmu bisa tambah parah kalau kamu mengguncangkannya seperti itu.”   Helen tertegun sejenak.   “Maaf, kamu benar.”, lalu Helen menggeleng, “Padahal Kak Victor selalu memperingatiku, agar jangan mudah terbawa emosi. Tetapi benarkah Kak Victor sudah sadar ?”   “Entahlah. Tadi sepertinya bibirnya bergerak, seperti ingin mengucapkan sesuatu.”   Helen tersenyum sambil menghenyakkan tubuhnya ke kursi, “Kalau begitu, kakak pasti segera pulih.”   Aku terdiam, memperhatikan Helen. Akhirnya aku bertanya, “Helen, apakah kamu sudah berbicara dengan dokter ?”   “Belum. Memangnya kenapa ?”   “Menurut dokter, ada kemungkinan kakakmu..”, aku merasa berat untuk melanjutkan kalimatku, “..lumpuh seumur hidup.”   Bola mata Helen terbelalak akibat terkejut.   “A.. Apa ? Apa katamu ?”, Helen memandangku dengan bingung, seakan salah dengar, “Kamu.. bilang apa, Rauny ?”   Aku tidak dapat menjawab, hanya menunduk.   “Kak Victor.. akan lumpuh.. seumur hidup ?”, lalu gadis itu menggelengkan kepalanya keras-keras, “Tidak mungkin, aku tak percaya !”   Helen bangkit berdiri dan kembali mengguncangkan tubuh Victor, “Kak Victor, kumohon sadarlah ! Tolong katakan padaku, kalau kakak tidak mungkin lumpuh ! KAK VICTOR !!”   Lalu tubuh Helen-pun roboh; Ia jatuh pingsan.       “Tenanglah, ia cuma pingsan karena shock. Tak lama pasti akan sadar lagi.”   Aku menghela nafas lega, lalu duduk di samping Helen. Saat ini kami berada di ruang dokter, dan Helen dibaringkan di sebuah bangku panjang.   “Oh ya dokter, lalu bagaimana keadaan Kak Victor ?”   “Victor ? Oh, maksudmu pemuda yang telah menolongmu itu ?”, lalu dokter menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya, “Mungkin tadi kamu salah lihat. Ia masih belum sadar kok.”   “Begitu ?”, aku menunduk dengan kecewa, “Padahal kuharap yang kulihat benar-benar nyata, tetapi ternyata hanya perasaanku saja.”   Dokter memperhatikanku sejenak, lalu berkata, “Nona Rauny, sebaiknya Anda pulang. Kalau nanti pemuda itu sadar, kami akan segera memberi kabar pada Anda.”   “Te.. tetapi...”   “Anda tentunya tahu, orang yang mengalami koma tidak dapat diketahui kapan kesadarannya akan pulih. Dan tidak mungkin Anda terus menerus menunggunya khan ? Itu-pun jika kesadarannya pulih.”   Walau kesal, aku sadar bahwa apa yang dikatakan oleh dokter memang benar. Akhirnya aku hanya bisa mengangguk.   “Tetapi setidaknya, ijinkan aku berada disini sampai Helen sadar.”   “Baiklah. Tetapi maaf, aku masih harus bertugas lagi. Tidak apa-apa khan, kalian kutinggal ?”   “Tidak apa-apa kok. Terima kasih, dokter.”   Setelah itu, dokter tersebut keluar ruangan. Di ruang itu, hanya tinggal aku bersama dengan Helen. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa sangat mengantuk. Perlahan mataku mulai terpejam...   “Rani, mengapa kamu mencelakakanku ?”   “Siapa ? Siapa yang bicara itu ?”   “Padahal aku selalu menyayangimu. Mengapa ?!”   “Aku tidak mengenalmu. Siapakah kamu ?”   Tiba-tiba tubuhku terguncang dengan keras, “Rauny !”   Ketika melihat sekelilingku, aku sangat terkejut. Saat ini aku berada di ambang jendela ruang dokter dan hendak melompat, sementara Helen menahan tubuhku dari belakang.   “Rauny, apa kamu mau bunuh diri ?!”   Mendengar kata-kata Helen, perlahan-lahan aku turun dari jendela, dan berpegangan pada sebuah meja yang terletak di dekat jendela. Sekujur tubuhku terasa lemas.   “Kamu ini kenapa, Rauny ? Kamu tahu, tadi aku kaget sekali ketika sadar, melihatmu sudah hampir melompat keluar jendela !”   Aku berusaha menenangkan hatiku dan mengatur nafasku.   “Maaf Helen, tetapi sebenarnya, aku juga tidak sadar apa yang barusan kulakukan.”   Helen tertegun, “Eh ? Apa maksudmu ?”   Aku duduk di bangku tempat Helen tadi berbaring.   “Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi yang pasti, ada sesuatu yang aneh dalam diriku. Kecelakaan tadi pagi juga kejadiannya mirip dengan yang barusan. Seperti ada seseorang.. yang terus menerus berbicara di dalam pikiranku.”   Helen memandangku dengan takut, “He..hey, kamu bercanda khan ? Aku paling tidak suka dengan hal-hal aneh seperti itu.”   “Sayangnya, ini adalah kenyataan.”, lalu aku menarik nafas panjang, “Helen, terima kasih kamu telah menolongku. Dan maaf, kurasa lebih baik aku pulang ke rumah. Mungkin juga aku terlalu lelah, seperti kata dokter.”   Helen mengangguk, “Kalau begitu, kita pulang sama-sama ya ?”   “Eh, bukankah kamu hendak mendampingi kakakmu ?”   “Setelah kupikir-pikir, Kak Victor tentunya tidak ingin aku terus menerus di sampingnya. Selain itu, besok aku juga harus pergi ke sekolah.”   Aku-pun tersenyum.   “Tetapi Rauny, aku tetap yakin Kak Victor bisa pulih ! Kak Victor sangat kuat, tidak mungkin lumpuh hanya akibat kecelakaan seperti ini !”   “Ya, aku juga merasa demikian.”       “Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya...”   Perlahan aku membuka mataku. Di dalam kegelapan, terlihat bayangan seseorang yang sedang memangku kepalaku. Ia berkata dengan lembut, “Tenang saja, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian. Kembalilah tidur..”   Mendengar kata-kata orang tersebut, entah mengapa perasaanku menjadi sangat tenang. Aku-pun kembali memejamkan mata, sementara orang itu melanjutkan lagi lagunya...   “Merah, kuning, kelabu, hijau muda dan biru.   Meletus balon hijau… DHUAR ! Hatiku sangat...”, perlahan nyanyian itu tidak terdengar lagi, karena aku semakin lelap.   “Siapa orang itu ? Mengapa aku merasa sangat rindu pada nyanyian itu ?”   Tiba-tiba aku merasakan panas yang teramat sangat dari dalam tubuhku; Seakan tubuhku terbakar. Aku ingin menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dan di sekelilingku tiba-tiba muncullah api, sementara suara itu kembali terdengar, “Apa kamu kepanasan, Rani ? Dulu aku juga mengalami hal yang sama. Rasanya panas sekali, dan benar-benar menyakitkan ! Kenapa Rani, kenapa kamu melakukan ‘hal itu’ padaku ?!”   Perlahan, terlihat sesosok tubuh berdiri di antara api yang menyala; Seperti seorang anak kecil. Aku berusaha melihat wajahnya, dan sangat terkejut ketika berhasil melihatnya. Anak itu adalah diriku, ketika masih kecil ! Dan, aku-pun terbangun.       Ketika hari sudah pagi, ibu terkejut melihatku sudah bangun.   “Tumben sekali, pagi ini kamu tidak telat bangun, Rauny. Ada apa nih ?”   Dengan menggerutu aku berkata, “Bukannya mama sendiri yang minta supaya aku nggak telat bangun lagi ? Kok sekarang ngomongnya gitu sich ?”   Ibuku hanya tersenyum, “Memang iya, cuma tetap aja rasanya aneh. Tapi baguslah kalau kamu udah bisa bangun pagi.”   “Iya, iya.”, lalu aku mengambil tas sambil berkata, “Aku pergi dulu, Ma !”   Ketika sampai di persimpangan tempat terjadinya kecelakaan itu, aku meminggirkan sepedaku.   “Gimana keadaan Kak Victor ya ? Apa sudah sadar ?”   Untuk sesaat, aku teringat kembali ketika tubuhku tidak dapat bergerak, sementara mobil van itu melaju dengan kecepatan tinggi ke arahku.   “Aku tidak tahu, apakah aku ‘Rauny’ yang dikenal oleh mereka atau tidak, tetapi aku tetap berhutang nyawa kepada Kak Victor. Aku ingin mengucapkan terima kasih, kalau ia sadar nanti.”   Tiba-tiba aku merasa suatu perasaan aneh. Ketika melihat ke seberang jalan, terlihat seorang gadis sedang memperhatikanku; Yang benar-benar membuatku terkejut, wajah gadis itu sama denganku ! Ketika sadar bahwa aku melihatnya, ia segera memalingkan muka dan pergi. Tetapi aku sempat melihat bahwa sisi kiri wajahnya ada bekas luka terbakar. Aku berusaha mengejarnya, tetapi ia menghilang dengan cepat di antara orang-orang yang lalu lalang. “Gadis itu.. berwajah sama denganku. Tetapi ia bukan aku; Wajah kirinya terbakar. Siapa dia sebenarnya ?” “Begitulah. Bagaimana pendapatmu, Mira ?” Aku baru saja selesai menceritakan kejadian pagi tadi kepada Mira. Mira memandangku sambil bertanya, “Apa kamu punya kembaran ?” “Eh, kembaran ? Entahlah. Kamu khan tahu, kalau aku amnesia. Tetapi...”, Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu secara samar; Mengenai seorang gadis kecil yang selalu bersamaku, dan selalu memanggilku, “Rani...” “Rauny, hey Rauny, apa kamu baik-baik saja ? Kok kamu tiba-tiba bengong ?” “A.. ah, Mira ?”, lalu aku tersenyum, “Yah, mungkin juga dulu aku punya kembaran. Tadi tiba-tiba saja aku sedikit teringat sesuatu.” “Oh ya ? Baguslah kalau kamu mulai bisa mengingat masa lalumu.” Mendengar kata-kata Mira, aku hanya terdiam.   “Mungkin memang bagus. Tetapi entah mengapa, aku selalu merasa... lebih baik jika aku tetap tidak ingat apapun mengenai masa laluku.”   Tiba-tiba bel sekolah berdering.       Ketika pulang sekolah, aku berencana untuk kembali mengunjungi Rumah Sakit Umum Pusat.   “Rauny, tunggu !”   Aku menengok; Ternyata Mira berlari menyusulku.   “Apa kamu ingin menjenguk laki-laki itu lagi ?”   “Iya. Kenapa ?”   “Boleh khan aku menemanimu ? Kemarin kita hanya menunggu di luar, jadi aku tidak sempat melihat penolongmu itu. Juga, aku ingin bilang pada adiknya, kalau kamu sebenarnya tidak bersalah !”   Aku tersenyum, “Terima kasih, Mira. Aku senang sekali kamu mau menemaniku.”   Dan kami-pun bersama-sama pergi. Ketika kami masuk ke kamar tempat Victor dirawat, ternyata Helen sudah ada disana.   “Helen, cepat sekali kamu datang.”   “Oh, rupanya kamu Rauny.”   “Keebtulan kali ini ada temanku yang ikut. Perkenalkan, ini...”, kata-kataku terputus, karena wajah Mira tampak terkejut melihat Helen.   “Kamu.. Helen ?”, tanya Mira.   Helen juga terkejut, “Mira ? Benarkah ini kamu ?”   Aku hanya terdiam karena bingung.   “Apa mereka sudah saling kenal ?”   “Ini.. benar-benar keajaiban ! Tak kusangka, akibat kecelakaan ini, kita bisa berkumpul lagi.”   Tiba-tiba Mira menyadari sesuatu, “Tu.. tunggu ! Kalau begitu, berarti yang kecelakaan itu...”   Helen mengangguk dengan sedih, “Iya, yang mengalami kecelakaan itu Kak Victor.”   Wajah Mira langsung berubah pucat. Ia segera melihat ke arah Victor yang sedang terbaring di ranjang.   “Kak Victor, tak kusangka kita bertemu lagi dalam keadaan seperti ini.”   Aku yang dari tadi hanya memperhatikan mereka, akhirnya memutuskan untuk membuka mulut.   “Helen, apakah Mira juga sebenarnya.. anak dari panti asuhan milik ayah Kak Victor ?”   Untuk sesaat, Helen memandangku dengan bingung. Lalu ia menarik nafas.   “Oh ya aku lupa, kamu mengalami amnesia. Memang benar.”, lalu ia menengok ke arah Mira, “Tetapi Mira, kamu seharusnya membantu Rauny untuk mengingat kembali masa lalunya dong !”   Mira memandang Helen dengan bingung, “Eh, apa maksudmu ?”   “Rauny mengalami amnesia akibat kebakaran waktu itu.”   Wajah Mira semakin tampak kebingungan, “A..aku.. benar-benar tak mengerti maksudmu, Helen.”   “Ya ampun, Mira ! Itu lho, kebakaran yang menghancurkan panti asuhan kita ! Padahal waktu itu, kupikir Rauny sudah meninggal di tengah kobaran api, tetapi untung dia masih selamat.”   “Tu.. tunggu ! Rauny.. di tengah kobaran api ? Apa kamu tidak salah, Helen ?”   Mendengar kata-kata Mira, giliran Helen yang bingung, “Eh ? Salah apanya ?!”   “Bukankah yang waktu itu meninggal di tengah kobaran api adalah Rani ?”   DEG ! Aku sangat terkejut ketika nama itu disebut oleh Mira. Tetapi sebelum ada yang kembali membuka mulut, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah ranjang. Sepertinya Victor sudah mulai sadar !   “Kak Victor !”, Helen segera mendekat ke arah Victor.   Lalu ia menengok ke arah Mira sambil berkata, “Nanti saja kita lanjutkan percakapan ini. Sekarang lebih baik kita memanggil dokter.”, lalu ia berpaling padaku, “Rauny, tolong jaga kakak ya ?”   Aku mengangguk, dan mereka-pun berlari keluar kamar.       Aku memandang ke arah Victor dengan setengah termenung.   “Rani.. lagi-lagi aku mendengar nama itu. Siapa dia sebenarnya ?”   Tiba-tiba mata Victor terbuka, dan ia melihat ke arahku. Bibirnya bergerak-gerak seakan hendak mengatakan sesuatu. Maka aku-pun mendekatkan telingaku ke bibirnya.   “Ka..mu...”   “Aku Rauny, orang yang telah kakak tolong.”   Victor menggeleng dengan lemah, “Kamu.. Ra..ni...”   Aku terkejut ketika mendengar nama itu lagi. Aku memperhatikan Victor selama beberapa saat, lalu mencoba mendekatkan telingaku ke bibirnya lagi.   “Rani, mengapa kamu berusaha melupakan keberadaanku ?!”   Kali ini aku terpekik dan melompat mundur; Suara itu bukanlah suara Victor, melainkan suara yang selalu kudengar dalam pikiranku. Dan ketika melihat ke arah ranjang, yang kulihat sedang terbaring di sana bukanlah Victor, melainkan gadis yang berwajah sama denganku, yang kulihat di jalan pagi tadi ! Dengan sisi kiri wajahnya bekas terbakar, gadis itu menatapku dengan sangat tajam; Seakan marah bercampur rasa sedih menjadi satu dalam tatapannya itu.   “Siapa.. siapa kamu sebenarnya ?!”, suaraku berubah menjadi jeritan ketika menanyakan itu.   Akhirnya aku berlari keluar kamar. Tepat ketika aku membuka pintu, aku menabrak seseorang, yang rupanya Helen yang baru kembali dari memanggil dokter.   “Hey Rauny, ada apa ?”   Aku memandang Helen sekilas, lalu beralih ke Mira. Untuk sesaat, aku kembali teringat kata-kata Mira, “Bukankah yang waktu itu meninggal di tengah kobaran api adalah Rani ?”   Aku menggelengkan kepala keras-keras, lalu berlari meninggalkan mereka.       Keluar dari rumah sakit, aku terus saja berlari; Seakan ada sesuatu yang memaksa kakiku untuk terus berlari, walau aku tidak tahu pergi ke arah mana. Ketika berhenti, ternyata aku sudah berada di sebuah bekas gudang yang terbakar, yang terletak di sebuah tanah kosong yang luas.   “Aneh ! Aku belum pernah datang ke sini, tetapi mengapa aku merasa mengetahui tempat ini ?   Selain itu.. mengapa aku merasa sangat takut ?”   Perlahan aku berjalan di antara reruntuhan gudang, sambil berusaha mencari sesuatu yang mungkin masih tersisa dari kebakaran. Semakin jauh aku melangkah, semakin keras getaran pada diriku.   “Apa lebih baik aku pergi saja ? Tempat ini.. benar-benar menakutkan !”   Baru saja aku berbalik hendak pergi, ketika tiba-tiba sebuah kilauan di antara puing-puing menarik perhatianku. Aku-pun mendekat, dan ternyata kilauan tersebut akibat pantulan cahaya dari sebuah liontin yang tergeletak di tanah. Ketika melihat liontin itu, tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit luar biasa. Aku jatuh terduduk, lalu memegang kepalaku, dan berusaha untuk menahan rasa sakit itu. Setelah berhasil, aku kembali memandang liontin tersebut.   “Liontin apakah itu ? Mengapa kepalaku tiba-tiba terasa sakit.. setelah melihatnya ?”   Dengan tangan gemetar, aku mengambil liontin tersebut. Setelah memperhatikannya dari dekat, aku baru menyadari ternyata ada sebuah ukiran yang sangat indah yang menghias permukaan liontin itu; Ukiran seorang malaikat yang memegang tongkat, dengan sayap sebelah. Kemudian aku menyadari ada sebuah tuas kecil pada bagian pinggir liontin itu, dan aku menekannya. Liontin itu terbuka, dan pada bagian dalamnya, terdapat sebuah foto yang sangat kuno. Ketika melihat foto itu, aku sangat terkejut; Itu adalah foto diriku ketika masih kecil, bersama dengan seorang gadis kecil lain yang berwajah sama persis dengan diriku !       Seketika itu pula, kepalaku terasa mau pecah. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, ingatan akan masa laluku mulai kembali.   “Rani, main sama-sama yuk ?”   “Tenang saja, aku akan selalu bersamamu, Rani.”   “Aku takkan membiarkan kamu sendirian, karena kamu adik kembar yang paling kusayangi.”   Dengan terhuyung-huyung, aku berusaha mencari pegangan agar tubuhku tidak terjatuh.   “Adik.. kembar ? Aku.. Rani, dan aku.. adik kembar.. Rauny ?   Tidak mungkin ! Tetapi...”   Akhirnya aku hanya terduduk lemas di antara reruntuhan gudang tersebut. Ingatanku akan apa yang terjadi di bekas gudang yang terbakar ini sudah kembali, dan aku hanya bisa menutup wajahku.   Walau aku dan Rauny saudara kembar, tetapi sifat kami sangat berbeda, bagai langit dengan bumi. Rauny yang lincah dan selalu penuh semangat, sedangkan aku sangat pemalu dan tertutup. Aku selalu berpikir, andai aku bisa seperti Rauny. Lincah, ceria, dan disukai oleh teman-teman. Dan tanpa kusadari, akhirnya tumbuh rasa iri yang tak dapat kutahan. Aku menjadi bertanya-tanya, mengapa hanya Rauny yang disukai, padahal kami anak kembar ?!   Pada suatu hari, ketika sedang main sendirian seperti biasa, aku menemukan sebuah gudang yang tidak terpakai, yang terletak tak jauh dari tempat tinggal kami. Saat itu timbul sebuah idea dalam benakku, bagaimana jika aku mengurung Rauny dalam gudang ini, sementara aku menjadi Rauny selama sehari saja. Ya, aku ingin sekali bisa bermain bersama teman yang lain, walau harus menjadi orang lain !   Dan aku-pun mengajak Rauny ke gudang ini. Dengan mengatakan ada suara-suara aneh dari dalam gudang, sementara aku takut mencari tahu, aku minta Rauny untuk masuk. Tetapi Rauny minta agar aku menemaninya, karena katanya ia juga takut. Dengan terpaksa, aku menemaninya, lalu kami-pun bersama-sama masuk. “Kalau saja waktu itu aku tidak ikut masuk bersamanya...” Ketika aku hendak melarikan diri, Rauny tahu akan rencanaku. Kami-pun berkelahi di dalam gudang, dan lilin yang dipegang oleh Rauny terjatuh ! Api mulai berkobar, dan Rauny terjebak di tengah api. Aku mencoba untuk menolongnya, tetapi tidak bisa. Lalu aku berusaha mencari bantuan, tetapi begitu aku keluar dari gudang, gudang tersebut meledak. Aku hanya bisa terduduk lemas, sampai Kak Victor dan ayahnya datang. Aku benar-benar ketakutan, sehingga ketika Kak Victor bertanya, aku hanya bisa menjawab, Rani terjebak di dalam gudang. Dan aku tak pernah berani mengaku, bahwa aku adalah Rani yang asli. “Rauny, maafkan aku...” Tiba-tiba terdengar suara, “Akhirnya kamu kembali ingat padaku, Rani.” Aku terkejut dan menengok; Gadis berwajah sama denganku, dengan sisi kiri wajahnya bekas terbakar, sedang memandang ke arahku. “Rauny ! Jadi kamu.. masih hidup ? Kamu selamat dari kebakaran itu ? Kenapa kamu tidak pernah muncul lagi dihadapan kami ?” Rauny memandangku dalam-dalam selama beberapa saat, lalu berkata, “Sepertinya, kamu belum ingat seluruhnya. Aku memang selamat dari kebakaran di gudang ini. Itu sebabnya pada hari itu, aku mendatangimu di panti asuhan untuk menanyakan mengapa kamu melakukan hal itu padaku. Tetapi kamu malah berkata kalau kamu adalah Rauny, dan kamu tidak mengenalku. Akhirnya kejadian itu kembali terulang; Kita bertengkar, dan lilin terjatuh sehingga panti terbakar. Aku... meninggal dalam kebakaran yang kedua itu.”   “Kamu.. benar-benar sudah meninggal ? Lalu..”, tanpa kusadari, sekujur tubuhku gemetar, “.. kenapa kamu bisa ada dihadapanku ?!”   Rauny tidak menjawab, tetapi ia berjalan mendekat ke arahku.   “Ti.. tidak, jangan mendekat !”   Aku terus berjalan mundur, sementara Rauny tetap mendekatiku. Akhirnya kakiku tersandung dan aku terjatuh. Dan Rauny juga terjatuh ke atas tubuhku. Pada saat itulah, tubuh Rauny hancur, dan tinggal tulang belulang saja ! Aku menjerit, lalu segalanya menjadi gelap...       Beberapa hari kemudian   Di taman rumah sakit tempat Victor dirawat, terlihat Helen sedang mendorong kursi roda dimana Victor sedang duduk, sementara Mira berjalan di samping mereka. Kicau burung membuat suasana taman itu terasa sangat nyaman. Sebuah tiupan angin menyebabkan Helen memalingkan wajahnya. Pada saat itulah terlihat olehnya, tak jauh dari mereka, ada seorang suster yang sedang memberikan sebuah balon berwarna hijau kepada seorang anak kecil yang sedang duduk di bangku taman. Melihat itu, Helen-pun tersenyum.   “Kak Victor, apa kakak masih ingat, dulu ketika kami masih kecil, kakak sering menyanyikan lagu Balonku sebagai lagu pengantar tidur kami ?”   Victor juga melihat ke arah anak laki-laki yang sedang memegang balon tersebut. Lalu ia menghela nafas panjang.   “Ya, aku masih ingat. Mungkin kalian tidak tahu, tetapi lagu itu mempunyai arti penting bagiku.”   “Eh ?”, baik Helen maupun Mira sama-sama terkejut, “Maksud kakak ?”   “Apa kalian masih ingat, balon itu berwarna apa saja ?”   Sambil menaruh jarinya di bibir, Mira berusaha mengingat.   “Kalau tidak salah, warnanya antara lain merah, kuning, hijau, biru, ungu...”   Dengan cepat Helen protes, “Yang terakhir salah ! Itu kelabu.”   “Ya begitulah. Helen, kamu yang selalu penuh semangat, aktif dan suka berolahraga, sama seperti balon berwarna merah yang dinamis. Lalu Mira yang sabar dan penuh pengertian, seperti balon berwarna biru.”   Mendengar itu, Helen dan Mira saling berpandangan. Sementara Victor melanjutkan.   “Lukas yang aneh dan misterius, seperti balon berwarna abu-abu yang sulit ditebak. Rauny yang lincah, ceria dan penuh kehangatan, seperti balon berwarna kuning. Lalu terakhir...”, untuk sesaat, Victor terdiam.   Mira langsung bertanya, “Berarti, Rani dilambangkan dengan warna hijau ?”   Victor mengangguk.   “Benar. Rani yang penyendiri dan juga pencemburu, dilambangkan dengan balon hijau. Dan kalian pasti ingat, balon berwarna hijau-lah yang meletus.”   “I.. iya, sepertinya begitu.”   “Dalam ledakan di gudang yang terletak tak jauh dari tempat kita tinggal, Rani terperangkap di dalamnya. Mungkin kalian sudah lupa, karena kalian masih kecil. Itulah sebabnya, aku selalu menyanyikan lagu Balonku dengan perasaan sedih, karena lirik dalam lagu tersebut selalu mengingatkanku akan Rani yang telah meninggal.”   Victor terdiam sesaat, dan hanya suara angin yang terdengar.   “Tetapi akhirnya aku sadar, bahwa aku salah.”   “Eh ?”, Baik Helen maupun Mira kembali terkejut.   “Yang meninggal dalam ledakan itu, sebenarnya adalah Rauny, dan ‘Rauny’ yang selama ini kita kenal, sebenarnya adalah Rani.”   Mira melangkah mundur sambil menutup mulutnya, “Ti.. tidak mungkin !”   “Mungkin Rani merasa bersalah, dan karena takut, ia mengaku sebagai Rauny. Aku mengetahuinya secara tidak sengaja; Ketika hendak memanggil Rauny pada suatu hari, aku melihat ‘Rauny’ sedang duduk menyendiri di kamarnya, melihat keluar jendela. Itu adalah kebiasaan Rani, tidak mungkin Rauny yang selalu ceria tiba-tiba menjadi pemurung seperti itu. Karena curiga, maka aku kembali memeriksa tempat terjadinya ledakan itu. Dan aku semakin yakin, setelah melihat sebuah liontin yang biasa dipakai Rauny, berada di antara reruntuhan.” “Ja.. jadi, Rauny temanku itu...”, Mira tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Victor menarik nafas dalam-dalam, “Mungkin, aku salah telah membiarkan Rani menjadi ‘Rauny’. Sekarang, semuanya sudah terlambat.” Sementara itu, di sebuah ruangan kecil yang tertutup rapat, aku sedang duduk di pojok ruangan. Kepalaku terasa pusing, dan suara-suara asing terdengar bergantian dalam pikiranku. “Aku.. Rani.”, lalu aku menggeleng keras-keras, “Bukan, bukan ! Aku adalah Rauny !” Lalu aku berkata lagi, “Tetapi Rauny sudah mati. Berarti aku Rani khan ?” Untuk kedua kalinya aku menggeleng, dan berkata, “Aku Rauny ! Siapa ituRani ? !” Entah mengapa, aku merasa sangat lelah...