BALADA SIROY #7 - TELEGRAM PENGARANG: GOLA GONG mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt   I. TELEGRAM Dunia adalah milik orang-orang pemberani! pepatah lama  ***  Langit di musim libur panjang di pertengahan tahun ini begitu bersahabat dan ramah kepada anak muda, yang akan mengisinya dengan beragam acara setelah usai menerima rapor atau ijazah dan berteriak girang: Aku naik kelas! Aku lulus! Yang punya deposito tentu tinggal membuka-buka brosur serta merencanakan liburannya ke tempat-tempat populer dan nyaman, sedangkan yang gemar bertualang biasanya membobol celengan ayamnya atau tembaksana tembak sini, asal cukup buat makan selama di perjalanan saja. Tapi bagi bumi di belahan timur, langit terang-benderang itu berarti petaka berkepanjangan. Matahari yang membakar itu berarti tanah-talnah retak yang sukar ditanami. Berarti penderitaan... Bagi siRoy juga liburan panjang ini berarti penderitaan. Sepanjang hari tadi dia uring-uringan dan menggerutu terus. Dia terpaksa, sangat terpaksa, mengubur dalam-dalam impiannya untuk avontur keSulawesi . Padahal dia sudah bikin pesta kecil-kecilan dengan kawan-kawannya untuk keberangkatannya. Padahal dia sudah pamitan kepada kawan-kawan gadisnya yang banyak berpesan: Jangan lupa oleh-oleh Sulawesinya! Padahal... Huh! Ini semua cuma gara-gara sebuah telegram: "Spider akan datang dan melakukan petualangan lagi!" begitu bunyinya. Ah, telegram sialan itu datang pada saat yang tidak tepat! gerutunya. Ya, mau tidak mau siRoy mesti mengosongkan lagi isi blue ransel-nya serta menggantungkannya di tembok kamarnya. Bagaimanapun kawan-kawannya dariBandung , Spider, berharga juga. Cuma, kenapa tidak jauh-jauh hari direncanakan, sih? Yang paling senang dengan kedatangan telegram itu siapa lagi kalau bukan mamanya. Ketika si Opik yang berputar-putar dengan sepeda mininya di depan rumah berteriak.: Mama, ada telegram! Wanita setengah baya itu langsung merobek dan membacanya. Tidak lama wanita itu berteriak pula:Roy , kawan-kawanmu dariBandung mau liburan di sini! Berarti kamu nggak usah pergi keSulawesi ! Roycuma meringis mendengar ungkapan isi hati mamanya. Dia jadi semakin tahu, bahwa mamanya sebetulnya tidak ingin ditinggal jauh-jauh. Tapi senyumnya mengembang juga begitu terbayang wajah ketiga sobatnya yang Bhineka Tunggal Ika itu. Si peranakan Cina Yuke, si Jimmi Menado, dan si Batak Posma. Weh, petualangan model apa pula yang mereka rencanakan! Lalu terbayang di benaknya ketika dia bersama Spider dulu. Setiap akhir pekan atau di musim libur, mereka selalu pergi ke mana saja melakukan hiking. Waktu itu Joe, anjing herder-nya, selalu menjadi pengawal setia dan selalu menjadi pencari jalan. Kini Spider datang menguak kenangan lama! Cuma telinganya sempat panas juga, karena kawan-kawannya meledek:Sulawesi ni yee! Ah, itukan ibarat duri yang terinjak saja,Roy . Sakitnya sebentar. Lupakan saja. Itu biasa pada anak muda. Asal tidak sengaja menyenggolkan tubuh, lantas tersinggung, dan timbul perkelahian antar kelompok atau sekolah saja. Pada saat yang ditentukan,Roy seharian nangkring di terminal. Dia duduk di tukang bubur kacang ijo dan ketan hitam. Di situ lumayan strategis juga. Bisa melihat bis dan penumpang keluar-masuk. Bermacam-macam orang hari ini yang bisa dilihatRoy . Di musim liburan para sopir bis dan kondektur memang panen. Itu rezeki mereka. Biar saja. Jangan diganggu-gugat. Tapi kadang kala suka trenyuh juga melihat bis-bis itu distop di luarkota oleh oknum polisi. Mana SIM, STNK, dan tolong bagi rezeki. Mungkin itu yang dibisikkan petugas kepada sopir. Ya, biar saja. Itu pun sudah rezekinya. Tiga orang anak kecil masuk. Laki, perempuan, dan perempuan lebih kecil lagi. Mungkin mereka tiga bersaudara. Dua orang yang agak besar memakai seragam sekolahnya, merah-putih, seperti yang biasa digunakan Si Unyil, idola mereka. Kelihatannya tukang bubur sudah terbiasa dengan mereka. Tiga mangkok bubur dengan harga khusus buat tiga anak kecil itu. Selagi makan bubur,Roy baru melihat bahwa anak-anak kecil itu membawa alat musik berupa kecrekan dan peti kecil yang diberi senar karet. "Ngamennya di mana, Dik?" tanyaRoy iseng. "Di perempatan, Kak," anak lelaki yang menjawab. Setiap dia sudah menyuap buburnya, buru-buru dia membantu adik perempuannya yang paling kecil menyuapkan buburnya. "Suka nyanyi apa saja?" tanyaRoy lagi. "Apa saja," jawab bocah lelaki itu singkat. "Sekolahnya kelas berapa ?" "Kelas dua. Adik saya juga sama." Bubur mereka habis.Roy menyuruh tukang bubur mengisi mangkok mereka lagi. "Nanti Kakak yang bayar," kataRoy . Lalu Roy menyuruh tukang bubur untuk mengembalikan uang ketiga bocah tadi. Tukang bubur itu tampaknya ogah-ogahan ketika mengembalikan tiga logam ratusan. "Semuanya saya yang bayar, Pak,"Roy kesal juga merogoh saku jeans-nya. Tukang bubur itu masih kurang suka menyerahkan uang kembalian.Roy semakin kesal dan tidak enak. "Kenapa, Pak? Apa Bapak nggak seneng kalau saya menraktir mereka?" Tukang bubur itu diam saja. Dia buru-buru melayani pembeli yang lain.Roy melirik ke bocah-bocah masa depan bangsa ini, yang begitu lahap menghabiskan buburnya. Mungkin mereka belum makan nasi hari ini. "Uang yang tadi kamu tabung, ya," kataRoy . Bocah-bocah cilik itu mengangguk. Wajah mereka jelas memancarkan kegembiraan ketika mereka memasukkan kembali logam seratusannya ke saku celana. Saking gembiranya mereka tidak pernah bisa mengucapkan terima kasih. Mereka ngeloyor membawa alat musiknya dan berlari ke perempatan jalan. Mereka menunggu lampu merah menyala dan menyanyi apa saja di pinggiran kaca jendela mobil-mobil mewah. Roymenggelengkan kepalanya. Sudah beberapa kali lampu merah dan sudah beberapa kali menyanyi dengan suara yang jauh dibilang merdu, belum sekali pun ada tangan terjulur dari balik kaca mobil merah itu. Mungkin di kantong mereka tidak terdapat uang logam recehan, sehingga mereka merasa sayang mengeluarkan uang lembaran. Tapi bocah-bocah itu pantang menyerah. Nyari uang sudah kalian pikirkan, Dik? batinRoy bimbang. Sementara kawan-kawan seumur kalian saat ini mungkin sedang tidur siang dengan nyenyaknya, atau ada yang sedang tertawa gembira bermain pasir di pantai bersama keluarganya, atau yang sedang perang-perangan di lorong-lorong kampung. Roymelihat bocah-bocah itu duduk di trotoar. Mereka tertawa-tawa. Dia tahu dan sering mendengar, bahwa banyak bocah-bocah seperti mereka yang diperalat oleh seseorang. Kadang kala baju seragam sekolah suka jadi kedok. Tapi kalau sudah melihat kenyataannya seperti bocah-bocah ini, perasaan manusiawi selalu saja yang utama menyembul ke atas. Bagaimanapun mereka masih polos. Masih lugu. Kini ada bis datang dari jurusanBandung .Roy berdiri dan memperhatikan penumpang yang turun. Spider masih juga belum tampak. Sudah beberapa kali bis dariBandung tiba, tapi Spider masih belum kelihatan. Dan ketika bis yang kesekian muncul,Roy melihat kelompoknya, Spider, turun dari pintu belakang menenteng ransel. Roymembiarkan mereka celingak-celinguk dulu. Dia bersembunyi di balik tukang rokok. Beberapa saat kemudianRoy berteriak, "Hey, guys!" Ketiga sobat lamanya memandang ke arah suara teriakan tadi. Mereka tersenyum dan menyerbu. Kini Spider komplet lagi. "Kamu agak putihan sekarang,Roy !" kata Yuke. Roytertawa. "Banyak keluar keringet di sini! " Si Batak celingak-celinguk. "Gua laper, nih!" "Er We di sini ada nggak,Roy ?" ledek Jimmi. Roytertawa lagi. Katanya, "Di rumah aja, deh. Mama udah nyiapin makanan khusus buat nyambut kalian!" Mereka bersorak. Tapi baru saja hendak naik ke mobil angkutankota , di perempatan jalan ada ribut-ribut. Orang-orang berkerumun dan tampak sedang mengeroyok seseorang. "Adaapa, tuh?" si Menado sudah berlari. Rupanya para pedagang asongan mengamuk memukuli sebuah sedan. Dan setelah memukuli pengemudinya, mereka kabur menghindari polisi. Pasalnya karena ada seorang bocah pengamen yang tangannya kelindes ban. "Anak itu cuma mau ngambillima puluhan yang dilemparin dari dalam mobil. Eh, nggak tahunya tangannya dilindes mobil!" seseorang menerangkan. "Kelindes 'kali," yang lain meralat. "Sama ajalah!" celetuk yang lain. "Sama apaan!" "Tapikan yang ngelindes udah kena ganjaran. Mobilnya penyok-penyok, lagi!" Roymengelus dada. Ini seperti dibalikkan ke masa lampau saja. Ke masa di mana hukum tidak ada gunanya. Tapi di zaman sekarang pun apa hukum ada gunanya? Entahlah. Dan Roy lebih mengelus dada lagi begitu melihat bocah cilik pengamen yang menangis meraung-raung. Seorang petugas mengamankannya naik ke atas mobil patroli. Mungkin ke rumah sakit. Bocah itu yang ditraktir ngebubur tadi,Roy ! Roylalu memasukkan kedua tangannya ke saku jeans-nya. Dia jadi pendiam dan menunduk menghitung langkahnya. Ketiga sobatnya cuma bisa mengangkat bahu dan merangkulnya.   II.MOUNTAIN    jalannya berkelok dan mendaki siapa menanti tak pernah kutahu sunyiku pun kekal: menjajah diri dan angin pun gelisah menderu ah, ingin aku istirah dari mimpi namun selalu kudengar ia menyeru tentang jejak di tanah berdebu diam-diam aku pun berangkat pergi   Toto STRadik  ***  Kamar itu jadi terasa pengap oleh asap rokok yang bergumpal bagai kapas membelenggu paru-paru, walaupun jendela terbuka lebar dan angin memorak-porandakan. Apalagi ketika lagu rock dari tape butut melengking dilengkapi tawa gelak, kamar itu seperti sebuah kafe kumuh saja. "I can't get no!" selalu saja mereka meneriakkan lagu Rolling Stones itu di setiap kesempatan. Spider*, (*baca "Reuni" Balada Si Roy 2) sudah mulai kegerahan di sini. Mereka mandi si Selat Sunda plus sunset, terlempar ke kerajaan Islam Banten tempo dulu, dan mencicipi makanan khas pula. Berarti cukuplah acara piknik seperti turis domestik. Sekarang mereka ingin hawa segar di gunung yang biasa mereka hirup diBandung . "Gunung karang itu tingginya nggak nyampe dua ribu," kataRoy melihat ke arah selatan. "Mendingan kita keSulawesi aja, yuk!" Ketiga sobatnya yang sedang mengepak ransel tertawa. "Ceritanya masih nepsong samaSulawesi , nih?" ledek Posma komplet dengan ledakan tawanya. "Tahun depanlah itu,Roy !" "Come on,Roy !" Yuke meninjau bahunya. "Aku pernah kok naik kesana ," Mumu nyeletuk. "Nah!" Jimmi bersorak. "Temenin kita ya, Mu!" Mumu mengangguk. "Kalau kalian setuju, setelah naik gunung, kita ke rumah kakekku di kampung. Kebetulan sungai disana lagi banjir. Kita bisa ikut main rakit-rakitan dari gedebok pisang dengan orang kampung," kata Mumu lagi. "Arung jeram, euy!" Yuke tertawa senang. "Boleh, boleh tuh, Mu!" Jimmi berseri-seri. "Ikut, Roy?" ledek Posma tetap dengan tawa kerasnya. "Tai kucing kalian ini! " Mau tidak mauRoy mengiyakan juga. Ya sudah,Sulawesi betul-betul mesti dikubur dulu. Gunung memang indah, magis, dan penuh misteri. Ibarat wanita, memang. Kerucut yang menjulang, menyundul langit itu memanggil siapa saja untuk menengok atau memberi senyum.Para pelukis tinggal ambil cat, kuas, dan kanvas, lalu... sret, sreet, sreet! Si penyair pergi menyepi dan lahirlah kata-kata indah. Yang lain-lainnya juga begitu, sesuai denngan keahliannya. Tapi bagi yang doyan bertualang, tinggal mengepak ransel lalu mendaki kesana ! Dengall ransel di punggung, tekad baja, dan kebanggaan, biasanya para petualang itu mendaki gunung. Padahal gunung hanyalah pohon-pohon besar, lembah-lembah yang siap merenggut nyawa, dan cadas-cadas yang bisa meremukkan tubuh. Banyak sekali kisah atau tragedi terjadi sebelum para penldaki mencapai puncak. Mungkin mereka tidak akan mau mengulangi untuk kedua kali, kecuali untuk menceritakanya berulang-ulang kepada orang-orang. Padahal setelah ambisi tercapai dan bendera kebanggaan berkibar di puncak, juga tenaga serta pikiran dicurahkan, mereka tidak tahu lagi apa yang mesti dilakukan selain mengumpulkan tenaga lagi untuk turun. Tapi naik gunung memang alternatif bagus ketimbang mengelus dada terus melihat tukang asongan ketakutan seperti diawasi hantu, anak-anak kecil ngemis setengah memaksa, dan pengamen-pengamen biskota merajalela. Mungkin kalau diadakan lomba "kebut gunung" di seluruh gunung yang ada di Indonesia (panitianya mahasiswa pencinta alam) khusus buat mereka, serta hadiah tunai sekian jut (dari sponsor bank-bank swasta), mungkin masalah-masalah informal sedikit bisa teratasi. Mungkin sedikit. Mungkin...  ***  Bis kecil itu melaju ke selatan. Semua bangku sudah terisi. Spider plus Mumu memilih duduk di belakang, karena angin masuk mengusir gerah. Di pertigaan bis berhenti mendadak. Itu kebiasaan sopir edan yang haus setoran. Dua gadis remaja dan seorang ibu berkerudung naik. Mereka jelas kecewa karena tidak kebagian kursi. Royberdiri memberikan tempat duduknya kepada ibu berkerudung. Dia melihat keempat kawannya kalem-kalem saja, walaupun sudah di beri kode. "Hobi berdiri,kan ?" ledek Yuke kepada dua gadis yang mesam-mesem saja mendengarnya. "Cewek sekarangkan pingin disamain kayak cowok, ya!" Posma tertawa ngakak. "Ceritanya emansipasi, ni yee!" Mumu juga ikut meledek. Jimmi diam saja. Dia asyik memandang lewat jendela bis. Gunung Karang yang cuma 1778 meter itu berupa sillhuet saja di kejauhan. Seluruh tubuhnya terbungkus selimut putih. Gunung paling tinggi di Banten ini punya legenda dan misteri. Pernah dengar legenda Sumur Tujuh? Kalau gemar baca komik dan nonton film silat, pasti pernah tahu tentang "Pendekar Sumur Tujuh" yang bertapa disana . Legenda itu bermula dari Syekh Mansyur yang pulang dari negeri Arab dan muncul tujuh kali di Gunung Karang. Bekas kemunculannya itu menjadi tujuh buah sumur yang sering diziarahi orang untuk minta "sesuatu". Atau kisah tentang putri cantik Lenggang Kencana yang dikawini raja jin, karena bosan digoda pemuda-pemuda kampung. Kabarnya kalau ternak-ternak dikota mati, berarti di kerajaan jin Lenggang Kencana sedang ada pesta besar! "Kayaknya bakalan hujan ya, Jim," kataRoy melihat juga. Jimmi mengangguk. "Tapi kita tetep naik,Roy ! Kamu kok jadi penakut gitu, sih?" "Gua juga nggak tau, Jim, kenapa tiba-tiba kok jadi waswas gini," kataRoy memandangi terus gunung itu. "Kamu sempet merhatiin Mama nggak sewaktu pamitan tadi?" Jimmi menggeleng. "Di mata Mama, gua lihat seperti ada bayang-bayang kematian Papa di gunung, Jim!" "Ah, nggak usah mikir macem-macem deh,Roy !" kata Jimmi. Lalu mereka melompat turun dikota Pandeglang. Sebuahkota yang punya kisah meriam Ki Amuk dan Ki Jagur. Dua meriam yang konon hobinya menelan kampung dan manusia. Lalu kedua meriam itu dipisahkan. Dibuatlah gelang-gelang anting dari besi untuk menggotongnya. Ki Amuk digotong ke Banten, dan Ki Jagur digusur keJakarta . Lantas kampung pandai besi itu pun beken dengan sebutan Pandeglang hingga sekarang. Di terminal mereka naik colt pick up ke kampung terakhir di kaki gunung. Banyak juga motor ojek berseliweran naik-turun mengangkuti penumpang. Motor ojek jadi primadona juga. Cuma satu jam perjalanan, sampai sudah di kampung yang menempel di punggung gunung. Rumah-rumah dari bilik, anyaman dari bambu, dan atap weulit, dari daun kelapa, berdiri bertingkat-tingkat seperti anak tangga. Penduduknya yang berladang sayur-mayur serta cengkeh sangat ramah. Sebelum mereka mulai mendaki, walaupun penduduk melarang karena sudah sore dan bakalan hujan lagi, seorang kuncen membawa mereka berziarah dulu ke makam Agus Jagaraksa, kerabat dekat keraton Banten, untuk minta izin dan restu. Makam itu persis di mulut jalan menuju puncak gunung. Setelah itu mereka mulai menapaki jalan setapak yang ditimbuni daun-daun busuk dan akar-akar melintang. "Ini ada dua rute. Terserah mau memilih yang mana. Dua-duanya sama-sama menuju puncak," kata Mumu sebagai guide amatir. "Heh, gimana kalau kita main umpet-umpetan, yuk!" usul Jimmi berseri-seri. "Maksud elo?" Yuke tertarik juga. "Gini. Kita naik sendiri-sendiri dengan selang waktu sepuluh menit. Gimana?" Jimmi menerangkan. Mereka langsung setuju saja, kecualiRoy yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara. Dia hanya duduk di batang pohon yang tumbang sambil mempermainkan geretan Zippo-nya. "Yang duluan berangkat elo ya, Mu!" kata Jimmi. "Oke!" Mumu mengiyakan. "Lantas gua! " kata Yuke. Terus Posma mengacungkan telunjuknya. "Gua terakhir, deh," kata Roy menyelipkan rokok dan menyulutnya. Satu per satu mereka mulai masuk ke dalam hutan. Kegembiraan bercampur dengan energi berlebihan anak muda tampak dominan. Mereka kadang kala suka melupakan satu hal, faktor yang tidak bisa ditebak dari rahasia alam. Dan itu hanya bisa diketahui setelah semuanya berakhir. Setelah semuanya menangis gembira dan bersyukur. Lantas setelah itu baru ingat kepada raja sesungguhnya: Tuhan. Hujan gerimis mulai jatuh dan matahari sore tidak tampak. Kalau sudah begini hutan di gunung menyimpan banyak bahaya. Kalau tidak hati-hati semuanya akan berakhir di gunung. Tinggal cerita-cerita duka saja yang akan sampai ke telinga kita. Hujan malah mengguyur. Roy buru-buru mengenakan ponconya. Hatinya kebat-kebit. Pada saat yang ditentukan, dia mulai melangkahkan kakinya. Baru saja beberapa langkah, ketika hendak menginjak batu yang lainnya, dia terpeleset jatuh. Lumayan lecet-lecet di sikut dan keningnya. Beberapa saat berlalu. Hujan terus memukuli. Suasana mulai redup di dalam hutan. Roy memungut spidol yang ditancapkan di tanah. Itu tanda jejak yang ditinggalkan kawan-kawannya. Terus ketika ada syal merah dia mengambilnya. Suasana kini semakin redup. Roy semakin hati-hati meletakkan kakinya. Beberapa kali dia mengusap air yang menampar-nampar wajahnya. Samar-samar dia mendengar teriakan yang sambung-menyambung dari keempat kawannya. Dia pun balas berteriak. Betul-betul gelap sekarang. Hujan mulai rintik-rintik lagi. Roy menyalakan sentemya. Matanya dibelalakkan lebar-lebar. Beberapa kali dia terpeleset dan beberapa kali pula dia menemukan tanda-tanda kalau keempat kawannya pun begitu. Tapi ketika dia merayapi sebatang pohon yang tumbang, dia mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Hujan yang mulai besar lagi dan kegelapan betul-betul membuat bulu kuduknya berdiri. Dia merayap terus ke atas dan suara itu semakin jelas terdengar. Dia arahkan senternya ke segala penjuru. "Hey, siapa di situ?" teriaknya. "Gua, Roy, gua!" Suara itu kedengaran dari bawah lembah. Roy menyorotkan senter ke sana. Tampak sinar senter yang tidak tentu arahnya menyala. Tidak jauh dari sana seorang remaja sedang berusaha untuk naik dengan berpegangan pada akar-akar. Tapi sia-sia saja. Beberapa kali terpeleset. Lantas pasrah dengan tetap berpegangan kuat-kuat pada akar. "Elo, Jim!" Roy kaget sekali. Dia meletakkan ransel birunya. Panik sekali dia. "Tenang, Jim, tenang! Nggak usah bikin gerakan-gerakan yang bisa bikin elo celaka! Udah, diam aja!" Roy memperingatkan sambil berteriak-teriak memanggil ketiga kawannya yang sudah jauh di atas. Tapi tampaknya sia-sia saja, karena suara hujan cukup gemuruh juga. Roy menenangkan pikirannya dulu. Dalam hatinya dia memaki-maki karena tidak membawa tali. Faktor dari si pendaki inilah yang biasanya jadi penyebab tragedi di gunung, karena kurang siapnya perlengkapan, selain faktor alam sendiri. "Ranselnya lepasin aja, Jim!" "Wah, ransel mahal ni, Roy!" Jimmi berusaha melucu. Roy meringis juga. "Iket ke pohon kenapa! Kita ambil besok, Jim!" Jimmi pelan-pelan melepaskan ranselnya sambil tangan yang lainnya bergantian memegang akar supaya tidak merosot lebih jauh lagi. Lalu hati-hati dia merayap ke samping. Menyelipkan ranselnya di antara batang-batang pohon. "Sekarang coba deh naik pelan-pelan, Jim!" Jimmi terus mencoba meraih akar-akar atau semak-semak. Roy sendiri membantunya dengan nyala senter sambil turun hati-hati. Sebuah syal diulurkannya, tapi masih belum bisa diraih. "Ayo, dikit lagi, Jim!" Roy memberi semangat. Dia mengaitkan kedua kakinya di sela-sela batang pohon. Kakinya sudah menjejak tanah. "Pegang syal itu, Jim!" Jimmi berhasil meraih syal itu. Perjuangannya agak mendingan sekarang. Tubuhnya mulai merayap terus. Dan dia merebahkan tubuhnya yang belepotan lumpur di sebelah Roy. Napasnya terlontar bebas dan lega. "Thank's, Roy!" katanya gembira. Mereka saling berlempar senyum. Saling meninju bahu masing-masing sambil tertawa-tawa. Tapi di sudut mata mereka ada terselip keharuan. Mereka lantas naik lagi dan semakin lebih hati-hati sekarang.   III. RIVER    sungai yang berlari menembus gelapnya belantara menyelam aku ke jagat raya mabuk dalam mimpi kanak-kanakku bagai kuda liar yang berlari tak berakhir di jalan buntu begitulah, kurenggutkan sepiku lalu mengapa mesti pilu ketika langit tak bermatahari    Toto ST Radik *** Kelima remaja badung itu melompat dari truk dengan riang. Mereka melambaikan tangan kepada sopir truk sambil bilang: Jangan bosen-bosen ngangkut kami, ya! Lalu mereka masuk ke jalan kampung yang cuma pengerasan saja atau berupa batu-batu. Belum ada angkutan umum resmi selain motor ojek atau satu-dua colt pick up yang selalu penuh muatan. "Kita jalan kaki aja, ya!" kata Mumu. "Deket, kok!" Yang paling menggerutu tentunya Jimmi, karena kakinya agak pincang akibat terjerumus ke lembah di gunung tempo hari. Tapi yang lainnya bersiul-siul gembira, sehingga agak menghibur juga. Setelah setengah jam perjalanan, mereka meniti sebuah jembatan bambu dan masuk ke kebun. Di rengah kebun ada rumah panggung besar. Dindingnya dari bilah-bilah bambu yang disusun rapi. Ada beberapa ekor ayam sedang berebut makanan yang ditaburkan seorang lelaki tua. Cobalah perhatikan dengan saksama tingkah polah ayam-ayam itu. Pasti ada seekor yang rakus mengusir ayam-ayam lainnya. Kadang kala paruh atau taji dipergunakan untuk menunjukkan kekuasaannya. Padahal makanan yang ditaburkan lelaki tua itu tidak akan habis untuk seekor ayam saja. Tapi begitulah kalau seekor ayam rakus dan berkuasa. Barangkali manusia juga bisa seperti itu. "Kakek!" teriak Mumu girang. Lelaki berambut dan berjenggot putih itu menaongak. "Saha iyeu teh? (siapa, ya?)" tanya si kakek, pangling melihat cucunya dengan tubuh belepotan lumpur. "Jang Mumu, Kek!" Si cucu mengulurkan lengan dan mencium punggung lengan kakeknya. Yang lainnya menyusul menirukan tradisi sun tangan itu. "Jang Mumu? Aduh, Kakek sudah lama pisan tidak melihat ujang," si kakek gembira. "Ini teman-temannya, jang? Ayoh, masuk, jangan asa-asa," ajak si kakek naik ke tangga rumah. Walaupun sudah di atas 60 tahun, tapi jalan si kakek masih tegap. Perawakannya tinggi dan otot-otot yang kuat menandakan di usia mudanya dia adalah seorang pekerja keras. Di ruang tengah yang besar mereka duduk menggelar tikar. Kopi panas dan sepiring pisang goreng dihidangkan. Mereka betul-betul. menikmati penganan sore ini. Tapi Mumu sejak tadi berada di kamar saja, menunggui neneknya yang berbaring sakit. "Gua nggak enak juga nih kalau ngajak si Mumu rakit-rakitan di sungai," kata Jimmi. "Tapi yang punya ide kan dia, Jim!" timpal Posma. "Masa sih kita tega ngajak si Mumu, sementara neneknya sakit. Itu nggak bijaksana," Roy menengahi. "Gua mah terserah aja deh," Yuke memilih netral. Tiba-tiba Mumu muncul. "Kita tetep jadi turun ke sungai. Tentang Nenek nggak usah dikhawatirkan, deh. Besok orangtuaku pasti dateng kok. Lagi disusulin." "Kita nggak enak Iho, Mu, sama keluarga disini. Ntar kalau ada apa.apa? Biarin deh kita aja sama pemuda-pemuda kampung di sini," kata Roy. Mumu tersenyum. "Aku juga kepingin, Roy. Udah lama aku nggak rakit-rakitan di sungai." Tawanya lepas. "Sekarang kita lihat sungainya. yuk!" ajak Mumu. Mereka menuju ke belakang rumah. Berjalan di pematang sawah dan naik ke sebuah bukit. Ketika turun, mereka melihat sebuah sungai yang airnya deras kecoklatan. "Nanti kita menambatkan rakit di sini. Finish-nya di sini," Mumu menerangkan. "Start-nya ?" tanya Yuke. Mumu menunjuk ke arah selatan, ke sebuah hutan kecil yang cukup jauh. Mereka tampak berseri-seri sekali melihat panorama sekeliling yang segar. Persawahan, gunung-gunung, dan sebuah sungai meliuk-liuk di antaranya. "Rakit gedebog pisangnya?" kini Jimmi yang bertanya. "Nanti kita bikin di tempat start. Di sana sudah banyak orang-orang yang lagi bikin rakit. Pokoknya besok rame, deh!" Mumu naik lagi ke bukit. "Mendingan kita istirahat, yuk!" Spider tampak berbinar-binar matanya. Mereka sedang membayangkan petualangan baru menyusuri sungai dengan rakit dari gedebog pisang. Arung jeram memang sedang dinikmati oleh para petualang atau kelompok pencintaalam mahasiswa. Dengan perahu karet yang kadang kala ditempeli pesan sponsor mereka melakukan ekspedisi menyusuri sungai-sungai ganas di pelosok bumi. Peralatan yang representatif melindungi mereka dari incaran bahaya. Semuanya direncanakan dengan matang dan kisah-kisah seperti ini sering kita baca dan kita tonton di mass media. Sungai juga penuh misteri dan banyak menyimpan kisah tragis. Pada mulanya sungai memang sahabat petani dengan persawahannya. Tapi ketika pepohonan di hulu ditebangi secara liar, sungai pun meluapkan amarahnya. Semuanya dilumat. Tak peduli kaya atau miskin. Apalagi ketika pabrik-pabrik membuang racunnya ke sungai dan gubuk-gubuk kumuh meranggas di pinggirannya, sungai jadi nelangsa, tapi bocah-bocah tetap saja gembira berenang di sana. Juga manusia-manusia biadab ikut nimbrung memanfaatkan sungai untuk membuang korban tak utuh. Tapi sungai di kampung-kampung terpencil adalah seperti jalanan bagi anak-anak berandal yang doyan ngebut. Segala cerita bisa dimulai di sungai. Ketika sore-sore si gadis mencuci dan si jaka mandi, mereka bercanda ria. Atau jika sungai banjir, mereka mendapat hiburan bermain rakit atau melompat seperti tarzan di pohon-pohon. *** Di langit siang itu awan hitam bergulung-gulung. Angin mulai keras berembus. Beberapa saat lagi semuanya akan basah. Di sebuah hutan kecil, berpuluh-puluh orang sedang menyeret gedebog pisang. Ada yang menyambung-nyambung batang gedebog itu dengan pasak kayu dan mengikatnya kuat-kuat. Lantas untuk pegangan, di bagian depan ditancapkan empat buah kayu. Kini hujan betul-betul deras mengguyur. Semua orang yang berada di hutan kecil itu berjingkrak girang. Mereka saling melumuri tubuh kawannya dengan tanah merah. Lalu setelah semuanya beres, mereka beriringan menyeret rakit ke bibir sungai. Arung jeram model kampung sangatlah tradisional dan bersifat hiburan belaka. Mereka adalah petualang alam yang lahir dan dibesarkan di lingkungan seperti itu. Mereka sudah dibentuk oleh kebiasaan. Ya, cukup dengan empat batang gedebog pisang yang dirapatkan kuat-kuat, mereka bertelanjang dada menghanyutkan diri ke arus sungai. Ada sekitar sepuluh, atau sebelas... oh, dua belas rakit yang berjejer di bibir sungai. Air sungai yang coklat karena dikirim dari hulu cukup deras juga. Mereka mulai meluncur satu-satu samhil bersorak girang. Satu rakit ditumpangi dua orang. Mereka tiarap sambil berpegangan pada kayu-kayu di bagian muka. Keseimbangan dan kekompakan mesti dijaga jika rakit oleng. Spider berpencar di rakit-rakit lain. Mereka dikawal oleh pemuda-pemuda kampung. Mumu yang mengusulkan begitu, karena mereka belum hafal seluk-beluk sungai di sini. Tadinya Jimmi bersikeras hendak berpasangan dengan Posma dan mengajak Roy serta Yuke untuk bertaruh, bar&ag siapa yang sampai duluan di finish dan rakitnya tidak terbalik, berarti mendapat sekian rupiah. Roy hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Ketiga sobatnya memang paling doyan bertaruh. Jika ada waktu luang, mereka suka main kyu-kyu atau kartu remi. Rakit-rakit itu berayun-ayun mengikuti alun sungai, atau meliuk-liuk bagai pemain bola yang melewati lawan. Pemuda-pemuda kampung ada yang berdiri sambil bersorak-sorak dan jika rakit hendak melewati belokan dan lekukan-lekukan gelombang, mereka bertiarap lagi menjaga keseimbangan. Spider ingin juga meniru, tapi pasangan di sebelahnya melarang, karena itu membutuhkan ketepatan dan feeling. Keberanian saja tidak cukup. Dan Roy tidak menggubris larangan itu. Dia bersikeras mengajak pasangannya untuk bekerja sama. Ketika sungai lurus, pasangannya berdiri. Mereka saling tersenyum. Jika rakit oleng ke kiri yang sebelah kanan agak meminggir. Begitu sebaliknya. Air tidak begitu deras beberapa saat. Roy merasa puas bisa melihat warna hijau di pinggiran sungai. Ketiga kawannya pun meniru. Tapi Posma yang suka gerabak-gerubuk tidak bisa menjaga keseimbangannya. Dia kecebur ke sungai. Untung di lokasi yang datar. Si Batak itu berenang sambil disoraki. Lalu ketika mulai ada lekukan dan air deras lagi, rakit yang di depan memberi komando untuk bertiarap lagi. Begitu terus, rakit-rakit itu meliuk-liuk dan terayun-ayun. Semuanya menikmati dengan gembira.  ***  Roy membantu menarik rakit itu ke darat. Banyak bocah-bocah yang terjun-terjunan ke sungai dari pohon-pohon di tepi sungai. Air di sini agak menjorok ke dalam dan menyerupai danau. Ada juga wanita-wanita yang mencuci baju bahkan mandi. Itu pemandangan yang menarik bagi pemuda-pemuda kota. Gadis-gadis desa dengan kain sebatas dada dan menyiram kepalanya dengan air sungai. Rakit-rakit itu dipisahkan jadi dua bagian. Digotong ke suatu tempat. Dijejerkan dan ditumpuk. Dibiarkan membusuk di sana. Kalau mereka hendak rakit-rakitan lagi, ke arah hulu banyak pohon pisang yang buahnya sudah diambil. Mereka tinggal menebang dan membuat rakit lagi. "Roy, terjun-terjunan, yuk! " Posma menarik lengannya. Spider pun berlari-lari menuju bocah-bocah itu. Mereka dengan gembira memanjat pohon. Secara bergiliran mereka terjun. Sebelum terjun mereka berteriak dulu seperti tarzan, byuuuuur! Hal semacam ini di kota tidak akan bisa mereka lakukan. Betapa gembira wajah mereka. Masa kanak-kanak seperti mereka miliki lagi. Tertawa-tawa tanpa perlu pusing dengan suasana rutin di kota yang memusingkan. Ketika Mumu hendak terjun ke sungai, seseorang berteriak-teriak memanggilnya. Tampaknya ada hal yang gawat dengan neneknya. Buru-buru dia turun dari pohon, berlari tanpa mengenal lelah menuju rumahnya. Spider sendiri tertinggal jauh. Begitu mereka sampai, rumah panggung itu sudah banyak dikerumuni penduduk. Sesuatu telah terjadi di rumah panggung ini. Isak tangis dan suasana haru menyelimuti. Mereka melongok dari jendela. Di tengah ruangan ada seorang nenek terbuyur kaku. Seluruh kerabat berkumpul dan larut dalam isak tangis. Mereka mengelilingi jenazah orang yang paling dicintai itu, tanpa tahu mesti berbuat apa. Di deretan belakang dan paling sudut, Mumu, masih basah dan tanpa baju, duduk melamun menemani kakeknya yang juga tidak berkata-kata. Roy sendiri tidak berani menyaksikan drama itu lebih lama lagi. Dia menuju ke belakang dan duduk di sebatang kayu. Memandang persawahan, gunung, langit yang kelabu, dan kepada dirinya sendiri. Suasana tadi betapa mencekam perasaannya. Tiba-tiba saja dia jadi teringat mamanya!   IV. LAUT    mengarungi samudra waktu tak bertepi gelisah aku dalam perahu nasib gelap dan rahasia, tak terselami aku tak tahu mengapa sampai di sini terlunta sendirian menyiulkan tembang o, alangkah rawannya hidup lelaki begitu jauh mencari tempat pijak     Toto ST Radik  ***  Spider sudah menggendong ranselnya. Sudah melangkahkan kaki meninggalkan halaman rumah panggung. Mereka menoleh lagi. Mumu masih saja duduk melamun di anak tangga rumah panggung kakeknya. Sebetulnya mereka berat sekali meninggalkan Mumu. Tapi suasana berkabung masih terasa dan seluruh keluarganya berkumpul meneteskan air mata meratapi kepergian nenek tercinta. Spider terus menyusuri jalan kampung berbatu-batu. "Kamu pendiem banget sekarang, Roy," Yuke menyikutnya. "Aku inget Mama," kata Roy pelan. "Tapi tetep jadi kan, melaut?" Posma agak waswas juga. Roy memandangi mereka satu per satu, meminta pengertian. Sebetulnya rada riskan juga melaut menuju Ujung Kulon dengan perahu nelayan biasa, yang suka menangkap ikan di Laut Selatan yang ganas. Apalagi suasana berkabung masih mencekam jiwanya. Bagaimanapun menyaksikan sebuah kematian adalah hal yang paling tidak menyenangkan. Tadinya rencana semula mereka bersikeras hendak masuk ke pedalaman Kanekes, di mana masyarakat Baduy bermukim. Tapi tradisi mereka, atau katakanlah pantangan dari Pu'un, sebagai penguasa adat dan religi, melarang keras orang Cina dan orang Barat masuk ke wilayah mereka. Ini bukan diskriminasi. Tapi tradisi turun-temurun. Dan kita, bagaimanapun, mesti menghormatinya. Yuke hanya meringis saja, karena dia keturunan Cina. Akhirnya Mumu menawarkan alternatif lain, yaitu melaut nebeng dengan perahu nelayan mengitari Ujung Kulon dan berlabuh di kota kecil, Labuhan. Akhirnya mereka bersorak juga, melaut adalah pengalaman pertama dan langka. Tentunya mereka tidak ingin melepaskan kesempatan ini. Di dalam bis kecil menuju pelabuhan rakyat, Spider ribut sekali begitu ada dua kembang desa naik dan duduk di depan. Dalam keadaan lelah di perjalanan, gadis-gadis adalah intermeso yang mengasyikkan. Mereka akhirnya iseng juga. Roy bangkit setelah berembuk dengan kondektur. Di telapak tangannya ada beberapa logam digesekkan, sehingga berbunyi gemerincing. Roy mencolek pundak kembang desa itu sambil menyodorkan lengan."Ka mana, Neng? (Ke mana, Non?)" lagak Roy seperti kondektur saja. Di jok belakang suara ketawa jelas terdengar. Dua kembang desa yang polos itu tidak tahu apa-apa, sehingga gampang ditipu hidung belang dari kota, dan merogoh saku, menyerahkan selembar ribuan. Roy tersenyum menyodorkan kembaliannya. Si bandel itu tersenyum-senyum saja kembali ke jok belakang. Dia tidak tega mempermainkan mereka lebih jauh lagi. Uang itu pun dikembalikan lagi kepada kondektur yang sedari tadi menggeleng-gelengkan kepala saja. Setelah bis mematikan mesipnya di sebuah lapangan yang agak luas, katakanlah terminal, dua kembang desa itu baru menyadari ketika dipanggil Spider sambil tertawa-tawa. Mereka malah tersenyum manis melambaikan tangan. Begitulah gadis-gadis desa yang ramah, polos, dan lugu. Yang selalu merasa seperti mendapat durian runtuh jika bisa berkenalan dengan pemuda kota, yang suka tidak tahu diri, memanfaatkan kepercayaan dari mereka. "Awas, jangan keluar dari jalur!" Roy memperingatkan. Posma yang lebib agresif mengerem juga. Itu lebih bagus, ketimbang melakukan hal-hal yang dibawa dari kota. Mereka tampak gembira ketika angin sudah membawa bau laut ke hidung mereka. Kadang kala bau laut suka menggoda untuk menyingkap tabir di dalamnya. Laut memang sumber kehidupan. Bagi siapa saja. Seperti halnya matahari. Dan nelayanlah yang kebagian peran sebagai penunggu laut. Jembatan bagi kita yang di kota untuk mencicipi ikan hasil tangkapan mereka. Tengoklah ke pantai di waktu pagi jika punya waktu. Para nelayan yang semalam memeras keringat dan melawan ombak menebar jala, pada pagi hari bergotong-royong menghimpun tenaga menarik jala itu ke darat. Tidak bisa dipastikan berapa ratus ikan yang terjerat. Tidak bisa dipastikan apakah seluruhnya kebagian jatah. Padahal selagi mereka sekuat tenaga menarik jaring, para tengkulak di pantai sudah mengipas-ngipaskan lembaran uang. Menawar dengan harga yang bikin kita bisa menendang kaleng saking kesalnya. Hari masih siang. Matahari betul-betul terik jika berada di pesisir. Spider dari tadi menanyai para nelayan yang sedang berkemas di perahunya. Berpuluh-puluh perahu kayu terayun-ayun di muara kena goyangan air. Para nelayan ada yang sedang asyik merajut jalanya yang rusak, ada yang menanak nasi, berselonjor telanjang dada sambil menyedot rokok kawungnya, atau ada yang hanya tidur-tiduran saja. Perahu-perahu yang diparkir berderet itu ibarat mobil mewah di pelataran parkir plaza saja. "Hey!" Posma berteriak. Rupanya dia menemukan orang yang dicari-cari. Spider akhirnya jadi berlompatan ke perahu kayu. Sang nakhoda masih kerabat keluarga Mumu. Orangnya tinggi besar dan wajahnya ditumbuhi bulu. Berkesan gagah seperti umumnya pelaut. Kulitnya pun hitam terbakar. Tapi senyumnya selalu saja mengembang. Apalagi jika sudah berkelakar dengan anak buah kapalnya, tawanya meledak ibarat ombak pemecah karang. "Kalian tahan duduk di perahu?" tanya si nakhoda sambil tersenyum. Spider mengangguk dan tersenyum juga, walaupun hati mereka belum merasa yakin. Tapi mencoba adalah yang paling bagus ketimbang memikirkannya melulu. Kerjakan dan buktikan daripada meributkannya melulu. Menjelang sore kapal kayu yang panjangnya tidak mencapai dua puluh meter dan lebar lima meter itu mengangkat jangkar. Matahari menggelincir terus. Burung-burung sebagian pulang ke karang-karang. Perahu yang ditempeli motor pun membelah laut. Ada sembilan orang plus satu anak kecil sepuluh tahunan yang gesit selain mereka di atas perahu. Mereka meneliti laut. Perahu kayu itu terus melaju ke barat. Tidak terlalu ke tengah dan tidak di pinggir. Sudah sekitar lima belas menit melaju. Roy duduk di tumpukan kayu-kayu dan kawan-kawannya tidur-tiduran di tumpukan karung. Tiba-tiba orang-orang ribut bersorak. Memang tidak jauh ada segerombolan ikan cucut berlompatan. Air laut yang biru bercipratan. Lalu suara ribut-ribut semakin tidak terkendali. Sang nakhoda berteriak menggelegar memberi aba-aba. Nelayan-nelayan tertawa sambil menunjuk-nunjuk segerombolan ikan itu. Sang nakhoda menyuruh menjajari laju gerombolan ikan itu. Perahu dan gerombolan ikan sejajar dan saling berpacu. Tiba-tiba perahu itu memotong. Anak kecil berusia sepuluh tahunan itu meloncat sambil menggigit sebuah bandul. Berbarengan dengan itu dua orang melemparkan jala ke laut. Perahu itu terus memutar, mengurung gerombolan ikan. Jala itu sudah membentuk lingkaran. Berarti ikan-ikan itu berada di tengah-tengahnya. Terkurung. Semuanya serba cepat. Anak kecil itu kini sudah ditolong naik ke perahu. Orang-orang pun mulai sibuk menarik jala. Spider pun nimbrung untuk mengusir kejenuhan. Satu per satu mereka menarik tali ke perahu, dan selalu saja diiringi dengan gelak tawa. Ketika jaring mulai tampak, mereka bersorak karena beban terasa begitu berat. Mungkin beribu-ribu ikan berhasil mereka tangkap. Kemudian ikan-ikan itu dihamburkan begitu saja di perahu. Setelah itu mereka bersiul-siul membereskan jala. Meneliti laut, dan bersorak lagi jika ada segerombolan ikan. Berulang lagi peristiwa yang dimulai dengan anak kecil yang melompat ke laut menggigit bandul jala. Begitu terus mereka mengulangnya sampai perahu terisi beribu-ribu ikan. Matahari kini perlahan mulai terendam laut. Warna senja berpendar dan memantill di laut. Lalu kegelapan melebarkan sayap dan membelenggu bumi. Laut kini berubah hitam. Perahu kayu melaju perlahan. Aroma ikan bakar menusuk hidung. Rupanya ada koki mahir pula di kapal penangkap ikan tradisional ini. Jimmi si Menado yang memang paling mahir masak di antara mereka nimbrung membakar ikan. Jimmi memang koki Spider jika sedang bertualang. Orang-orang perahu pun menyantap makan malamnya dengan nikmat di geladak, sambil menikmati bintang yang bertaburan dan kerlap-kerlip lampu di sepanjang pantai yang kelihatan seperti kunang-kunang. Tapi pantai-pantai di selatan masih bisa bernapas lega, karena tidak ada cerobong-cerobong pabrik yang meracuni paru-paru seperti di pantai Gresik. Angin menampar-nampar . Ombak mulai nakal. Perahu kayu pun naik-turun kena ombak. Bergoyang gemulai bagai penari jaipong. Orang-orang perahu tampak biasa-biasa saja. Mereka menganggap itu adalah bagian yang tidak terpisahkan. Laut, perahu, dan ombak. Itu pasti darah daging mereka. Tapi bagi Spider, itu jelas malapetaka. Perut mereka berontak. Semuanya merangkak ke bibir perahu dan mengeluarkan seluruh isi perut ke laut. Mereka mabuk laut. Sang nakhoda terbahak-bahak melihatnya. Perahu terus naik-turun. Angin semakin keras tidak bersahabat. Ombak mengempas dan airnya naik ke perahu. Geladak yang jadi dek darurat, cuma dipayungi terpal seadanya. Orang-orang perahu tetap bergembira menggelar tikar dan bermain domino. Mereka sudah punya beribu-ribu ikan di perahu dan esok pagi akan mereka jual di tempat pelelangan ikan. Hujan yang mengguyur pun bagi mereka tidak jadi masalah. Air ke sana kemari menampar wajah perahu. Membikin basah seluruh isinya. Ombak semakin nakal. Laut kalau sedang begini merepotkan bagi yang belum terbiasa. Tiba-tiba Jimmi berteriak-teriak. Dia terhuyung-huyung mengabari sang nakhoda. Orang-orang perahu pun gempar. Mereka bergegas ke buritan. Di sana Roy sedang berteriak-teriak memanggil sobatnya, "Yukeeee! Yukeeee!" Yuke tampak melambai-lambaikan tangannya di kegelapan. Sebentar-bentar hilang ditelan ombak lalu muncul lagi. Tampaknya anak malang itu berusaha terus untuk bertahan. Sebuah jerigen plastik yang dilemparkan tidak berhasil diraihnya. Dia hanyut terlalu jauh. Tapi sang nakhoda dengan gesit sudah memutar arah perahunya. Roy yang suka nekat sudah naik ke bibir perahu dan hendak terjun, tapi keburu dipegangi orang-orang perahu. Merekalah justru yang terjun ke laut. Dengan cahaya senter ala kadarnya ketiga orang itu berenang menuju Yuke yang nampak sudah kelelahan. "Kenapa bisa kecebur, Roy?!" teriak Posma jengkel campur cemas. "Dia nggak mau nurut omonganku! Udah dibilang kalau mau kencing tuh jangan sembarangan. Perahu lagi oleng gini! Dia nggak bisa ngejaga keseimbangan ketika ombak tadi dateng!" Roy menerangkan. "Dasar keras kepala tuh anak!" Roy juga jengkel. "Udah, udah!" Jimmi menengahi. "Tuh, lihat!" Dia menunjuk ke laut. Yuke sudah berhasil diseret oleh ketiga perenang alam itu. Dari perahu dilemparkan seutas tambang besar. Tidak ada pelampung bagi mereka untuk pencegahan selain modal keberanian dan sikap waspada atau rendah hati terhadap alam. Terhadap sang Pencipta. Itu saja sebetulnya modal untuk menjadi sahabat alam yang penuh misteri. Beramai-ramai mereka menarik Yuke yang sudah kepayahan. Yuke digeletakkan di tumpukan peti yang datar. Perutnya ditekan berulang-ulang. Dari mulutnya keluar air. Seperti sedang memompa saja. Roy menyikut kedua kawannya. Mereka saling senyum dan ingin menjitak kepala sobatnya yang satu ini setelah di darat. Gara-gara dia, mereka jadi repot semua. "Kamu jago renang juga rupanya!" sang nakhoda memuji. Membantu Yuke untuk duduk. "Orang kota ternyata berani-berani juga!" pujinya lagi. "Terima kasih, Pak," kata Yuke menarik napas. "Berterima kasihlah kepada Tuhan. Kami semua hanya tangan-tangan-Nya saja. Tanpa pertolongan-Nya, semua orang bisa celaka. "Lain kali hati-hati, ya! " kata sang nakhoda lagi menepuk pundaknya. Malam terus merembet turun. Angin dan hujan pun sudah kelelahan. Laut tenang lagi dan perahu pun melaju gembira. Beberapa orang meringkuk sebisanya dalam keadaan menggigil, karena pakaian basah semua. Pagi-pagi sekali perahu merapat di pelabuhan rakyat. Sudah banyak perahu-perahu lainnya yang pulang melaut. Orang-orang perahu itu bersorak gembira mengabarkan hasil tangkapannya. Di sini mereka tidak takut lagi kepada para tengkulak sialan, karena mereka sudah mengerti apa itu arti kebersamaan. Apa itu arti koperasi. Spider pun melompat turun ke darat dengan hati-hati. Mata mereka terpejam, karena pusing. Mereka berjalan terhuyung-huyung karena merasa masih saja seperti terombang-ambing oleh ombak. Lalu ketika mereka saling bertubrukan dan terjatuh mencium pasir, mereka tertawa keras-keras dan menyimpan peristiwa semalam di laut yang menegangkan buat mereka, di album kenangan atau di catatan harian. Spider terus tertawa-tawa sambil membayangkan gelas mereka akan diisi apa lagi nanti. Mereka masih kehausan dan ingin terus mereguknya. Tapi hidup toh bukan berarti hanya petualangan saja. Ada hal-hal yang juga mesti mereka kerjakan. Mereka kini sudah berada di pinggiran jalan.   V. ROADHOUSE BLUES    dan jemariku gemetar detik demi detik ditikam sangsi. ditikam keentahan kaki terantuk di batu-batu nadi luka tersiram air garam nikah kemustian hidup ? ah, aku tak bisa mengelak!    Toto ST Radik  ***  Roy menangkap handuk yang dilemparkan Posma. Mereka bergiliran mandi. Si Batak itu lalu mengganggu Yuke yang sedang menyisir di depan cermin. Sedangkan Jimmi sedari tadi masih saja memilih-milih kaus bersih untuk dipakai. Rupanya mereka sudah mengepak ransel dan hendak pulang ke Bandung. Mereka mau konsentrasi belajar agar diterima di PTN dan tidak ikut-ikutan jadi penganggur atau merepotkan negara atau menjadi bagian seminar dari kaum cendekia. "Gua sebenarnya nggak percaya sama si Roy," Jimmi sudah menemukan Kausnya. "Masa ke Bandung aja bawaannya banyak gini!" katanya sambil mengangkat-angkat blue ransel Roy. "Jangan-jangan ini cuma trik aja, biar bisa ngabur ke Sulawesi!" Yuke pun curiga. Posma tertawa. "Roy emang cocoknya jadi gelandangan!" "Gimana, Jim?" Yuke tampak bingung. "Kalau gini caranya, gua nggak terima. Gua nggak mau terlibat!" Jimmi rada kesal juga. Lalu Roy masuk ke kamar sambil menggosok-gosokkan rambutnya dengan tangan. Posma, dasar iseng, menarik handuk yang melilit pinggangnya. Roy berkelit sambil memaki, "Batak, lu!" "Sebenarnya kamu tuh mau ke mana sih, Roy?" tanya Jimmi. Roy tersenyum mengedipkan mata. "Gua serius, Roy." Jimmi menatapnya. Roy mengenakan celana Levi's belelnya. "Kamu ini kayak polisi aja, Jim!" katanya sambil memasukkan kaus oblong putihnya dan menarik ritsleting celananya. "Gua jadi curiga, nih!" tambah Yuke. Roy menatap mereka tajam. Mengencangkan sabuknya. Katanya agak kesal, "Heh, denger nih! Gua mau pergi ke mana. kek, itu urusan gua! Pokoknya malem ini kalian balik ke Bandung dan gua ikut!" Posma yang diam saja kini tertawa. Dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan Roy. "Berarti kamu nggak bakalan lulus tahun ajaran ini, dong! Wah, ketinggalan dua tahun deh, Roy, ama kita-kita!" dia meledek. "Gua mau lulus tahun ini atau nggak itu juga urusan gua, Batak!" Roy meringis. "Tapi, kalau kamu jadi mahasiswa nanti, gua yakin bakal nyusul! Orang macem kamu pasti banyak tunggakan SKS!" Roy tertawa. Posma yang tampaknya netral saja juga tertawa. Dia memang tidak peduli si Roy mau pergi ke mana. Toh, itu urusannya. Boleh-boleh saja kita sebagai sahabat memberikan saran atau pendapat atau apa sajalah namanya yang baik-baik. Tapi itu tidak berarti menjadi harus diterima. Harus diikuti. Harus-harus lainnya. "Kamu kenapa sih, Jim? Yuke? Mau ngelarang gua pergi?" gelagatnya dia mulai meledak-ledak. "Bukan itu masalahnya, Roy," Yuke menengahi begitu melihat Jimmi yang juga ikut kesal. "Kita-kita kan nggak enak sama Mama. Mama kan tahunya kamu itu ikut kita ke Bandung dan pas mau masuk sekolah nanti kamu balik lagi. Gitu kan yang kamu bilang sama Mama? Tapi kalau kenyataannya kamu nggak balik lagi? Mending sehari dua hari atau seminggu! Lha, kalau nyampe bulanan?" Yuke mengingatkan. "Oke, kalau begitu mau kalian. Udah, balik sana ke Bandung!" Roy tambah sengit. Dia mengambil blue ransel-nya dan melemparkannya ke sudut kamar. "Kalian ini kayak baru kenal sama gua kemaren sore aja!" hardiknya. Ketegangan mulai menjalari kamar. Jimmi menunding Roy. "Apa susahnya sih, kamu ngomong sama Mama hal yang sebenarnya?!" "Aduh, Jim!" Roy bertolak pinggang. "Kalau yang kamu omongin barusan itu bakalan berhasil, nggak usah disuruh juga udah gua omongin sama Mama! Kalian tahu ketika Mama nerima telegram dari kalian? Betapa senangnya, karena kedatangan kalian bikin hancur rencanaku ke Sulawesi! Ngerti?! "Sekarang gua emang memperalat kalian! Gua nggak peduli soal pendidikan, status simbol, kehormatan, atau yang lain-lainnya! Bullshit semuanya buat gua! Biarin aja orang-orang yang melakukannya. Atau kalian yang melakukannya. Sekarang yang ada di benak gua tuh, cuma menyandang ransel dan menyusuri jalan!" Roy turun-naik dadanya. Dia menuju jendela dan melihat langit sore yang mulai kelabu. "Tapi gua tetap nggak setuju caramu itu, Roy!" Jimmi memang sama-sama keras. "Buat Mama nggak ada bedanya bilang atau nggak bilang, Jim! Mama sebetulnya tahu keinginan anaknya. Cuma Mama trauma dengan kematian Papa saja. Nggak, nggak bakalan jadi masalah setelah Mama tahu, bahwa gua ke Sulawesi. Paling-paling Mama menangis begitu membaca surat gua nanti. Setelah itu Mama pasti mendoakan gua supaya selamat di perjalanan! "Nah, sekarang kenapa kamu repot-repot mikirin, Jim? Kenapa nggak bilang: hati-hati, Roy! Atau ikut mendoakan, misalnya?" enteng saja Roy bilang. Jimmi menggerutu. Yuke menggelengkan kepala. Dan Posma tertawa kecil. Mereka memang jadi serba salah, dan jadi serba ragu-ragu. Terasa mulai ada jarak. Itu biasa di dalam persahabatan. "Mau balik jam berapa, nih?" kata Posma. Semua tetap diam. Hampir senja. Tiba-tiba Roy menggumam, "Di Bandung gua pingin bener ketemu Rani.* (*Baca: "Ziarah", Balada Si Roy 2). Pingin tahu kabar Oma-Opa. Lalu ke Yogya dulu. Terus ke Semarang. Kabarnya di Semarang ada kapal laut ke Sulawesi. "Gua tahu, betapa Mama ngarepin gua jadi sarjana. Atau minimal punya ijazah SMA. Tapi kenapa gua selalu nggak pernah betah lama-lama di rumah. Nggak betah melakukan hal-hal yang itu-itu saja. Pagi-pagi bangun. Sarapan dan baca koran. Lalu sekolah. Ketemu temen yang itu-itu juga. Ngobrolin cewek. Ngobrolin guru. Ngobrolin teori-teori melulu. "Kalian tentu udah ngerti perasaan gua. Udah ngerti apa mau gua. Udah..." Belum juga habis kalimat Roy tadi, Jimmi memotong, "Kita balik sekarang, Yuk! Gua jadi pusing ngedenger omongan kamu, Roy! Terserah deh, kamu mau ikut apa nggak. Dan terserah setelah di Bandung nanti kamu mau kabur ke Sulawesi atau nggak. Terserah!" Jimmi betul-betul sewot menyeret ranselnya. Perselisihan kecil itu agak mengendur ketika Toni dan Iwin nongol di pintu kamar. Telinga kiri Iwin yang putus sekarang mulai tertutup oleh rambut yang memang sengaja dipanjangkan. Dan tampaknya Iwin sudah tidak peduli lagi apakah akan dioperasi plastik atau tidak. Yuke mengangguk. "Yuk!" Jimmi sudah keluar kamar. Posma memberi isyarat kepada Roy agar ikut, seperti rencana semula. Dia membisiki Roy, "Kalau gua punya duit, Roy, gua pasti ikut kamu. Jenuh juga gua sekolah, nih!" Roy tampak lesu sekali menyeret blue ransel-nya. Pikirannya betul-betul kalang-kabut. Tapi di dadanya ada sesuatu yang ingin diledakkan. Ingin diteriakkan. Dan dia tampak lebih lesu lagi begitu melihat mamanya yang sendirian duduk menonton TV . Ah, jangan terlalu sentimentil! batin Roy mengeras lagi. Bukankah hidup adalah berani mengambil risiko jika ingin maju. Bukankah jika ada sesuatu yang diinginkan mesti ada yang berkorban atau dikorbankan. Lihat itu, Roy, betapa para petani (terpaksa) berkorban atau mengorbankan tanah-tanah produktifnya untuk "sesuatu". Kamu hanya meninggalkan Mama untuk beberapa saat saja kok ragu-ragu begitu? Tidak apa, Roy. Pergi saja jika kamu takut kalau bilang terus-terang tidak diizinkan. Ya, pergi, pergi! batinnya semakin keras. "Sering-sering main ke sini, ya," kata wanita itu kepada mereka. "Wah, kalian tahun ini jadi mahasiswa!" Mereka tertawa. "Doain diterima di negeri ya, Ma," begitu kata mereka. Spider memang sudah terbiasa memanggil ibu Roy dengan sebutan Mama saja. Mereka memang sudah seperti keluarga. "Sayang Roy mundur setahun." Wanita itu memandang kepada anaknya sambil tersenyum. "Tapi talhun depan kamu mesti lulus, Roy." Roy meringis dan serba salah karena dipandangi terus oleh mereka. Terutama Jimmi yang tampaknya gelisah sekali ingin mengucapkan sesuatu. Roy menatapnya tajam. "Kamu mau nengok Oma-Opa, Roy?" tanya mamanya hati-hati. Roy berpikir sebentar. Lalu, "Mungkin hanya ketemu Rani saja, Ma." "Ketemu Oma-Opa juga boleh, Roy, kalau kamu mau." Roy menggeleng. "Hanya dengan Mama saja Roy mau ketemu Oma-Opa." Semua orang yang mendengarnya jadi merasa tidak enak. Mereka tahu persis betapa si Roy haus kasih sayang seorang kakek dan nenek. Betapa dia tidak pernah punya cerita tentang seorang cucu yang bermanja-manja dengan kakek-neneknya. Mereka beringsut keluar. "Roy, jangan terus keluyuran ke mana-mana, ya," kata mamanya begitu menusuk perasaan Roy. Oh! batin Roy merintih. Hampir saja mulutnya terbuka dan berteriak: Ma, Roy mau ke Sulawesi! Roy nggak betah diam terus di rumah. Roy ingin avontur. Roy ingin melihat kenyataan hidup yang bertebaran! Ya, ya, ya. Begitu keluar dari rumah, segalanya akan lain. Segalanya akan betul-betul nyata dan itulah praktek. Itulah hidup, Ma! Tapi Roy mengangguk pelan. Dia sebetulnya anak baik, tapi keras kepala saja. Jimmi menatapnya geram. Yuke buru-buru menariknya. Sedangkan Posma asyik berkelakar tentang kaki palsu Toni dan telinga kiri Iwin yang putus. Wanita setengah baya itu merasa sepi sekali hatinya. Dia adalah seorang ibu dan Tuhan sudah memberikan suatu mukjizat kepada seorang ibu untuk bisa mengerti perasaan anaknya. Walaupun bersedih wanita itu berkata juga, "Hati-hati ya, Roy. Jangan lupa kirim surat," katanya berlinang air mata. Begitu mereka hendak naik ke Combi Toni, Edi si mantan ketua OSIS dulu, datang tergopoh-gopoh. Dia langsung naik ke Combi sambil melambaikan tangannya kepada wanita setengah baya yang berdiri sendirian di pintu pagar rumah. Jimmi menggerutu terus. Roy menahan napas. Dia jadi panik. "Kamu ini kelihatannya nggak mau diam, Jim!" "Anak durhaka kamu, Royl" Jimmi balik menghardik. "Apa kamu nggak lihat tadi mamamu menangis, heh?!" Edi yang baru naik dan mendengar perselisihan itu jadi tidak enak. Kalau si Roy sudah meledak-ledak begini apa lagi kalau urusannya bukan: ransel! "Mau ke mana lagi kamu, Roy?" Edi serius sekali. "Mau jadi gelandangan lagi tuh, Ed!" Jimmi terus sewot. "Rumah gua tuh jalananlah, tidur beratapkan langitlah, beralaskan rumputlah, ber..." Roy buru-buru menjambret kerah jaket Jimmi. "Sinis amat, lu!" Edi mencekal lengan Roy. "Lepasin, Roy!" Matanya yang berwibawa sejak dulu memang jadi momok buat si Roy. Si bandel itu dengan jengkel meninju jok mobil. "Kamu mau ke mana lagi, Roy?" kali ini pelan suaranya. Roy menjawabnya dengan segan, "Ke Sulawesi, Di." "Dan kamu nggak bilang sama Mama?" desak Edi. "Ah, kalian ini jadi mendikte gua!" Roy buru-buru menyerobot. Combi mulai memasuki terminal. Toni memarkirnya di sudut. Dan Roy paling duluan keluar. Dia gelisah dan mengatupkan gerahamnya. Ketika semua orang turun, dia sudah menuding dan menghamburkan amarahnya. "Kalian, kamu lagi, Jim, kenapa nggak bilang sama Mama tadi di rumah?! Kenapa sekarang malah semakin sewot?! Kenapa tambah sinis kayak tadi?" Roy mendorong-dorong tubuhnya. "Sok jagoan kamu, Roy!" Jimmi meladeni. "Sok alim, lu!" Roy meninjunya. Jimmi mundur dan meraba bibirnya. "Gila! Elu mukul gua, Roy?!" Setengah tidak percaya dia menatap Roy. "Oke, kita olahraga sejenak, Roy! Minggir, minggir!" "Ayo, Roy!" Dia menendang.tanpa terduga. Lagi-lagi menendang dengan membalik. Gesit dan lincah tendangan-tendangannya disertai amarah. Roy beberapa kali bisa berkelit tapi satu-dua kali terkena juga. Dia terhuyung-huyung. "Bangsat! Elu serius juga, Jim!" Roy menubruknya. Mereka saling tindih. Edi menarik mereka dibantu Yuke. Posma hanya duduk saja menonton bersama yang lainnya. Orang-orang di terminal malah menyoraki dan menyuruh untuk berkelahi terus. Ada dua orang polisi datang menginterogasi mereka. Edi menerangkan secara gamblang, bahwa ini hanya persoalan sesama teman. Kesalahapahaman saja. Tidak ada embel-embel lain. Roy masih geram. Begitu juga Jimmi. Posma tertawa keras seperti biasanya. "Kalian ini kayak anak kecil aja," Yuke tampak kecewa. "Aku mau ke Jakarta, Roy." Edi merangkul pundaknya. "Mau ikut kakak perempuanku. Ya, bantu-bantu sambil cari kerja. Untuk kuliah mungkin hanya impian saja dulu," kata Edi tersenyum. Roy menatapnya. "Heh, kalian denger omongan Edi tadi? Dia mau ke Jakarta bukan untuk kuliah, tapi buat cari kerja! Dan kalian kenapa nggak perlu musingin kerja? Karena babe kalian kaya. Kalian bisa kuliah. Kalian bisa apa saja, karena uang bukan masalah. "Sekarang gua! Saban malam mengetik cerita-cerita, karena Mama nggak punya harta buat diwariskan kepada anaknya. Karena Papa nggak meninggalkan apa-apa selain meninggalkan semangat yang mesti gua tiru. "Gua tahu apa yang mesti gua lakuin. Gua tahu buat apa gua pergi ke Sulawesi atau ke mana aja gua suka. Semua ini buat masa depan gua. Buat bekal hidup gua, setelah gua sadar nggak bisa melakukan apa-apa lagi selain mengarang." Roy menarik napas. Emosional dan lserak suaranya. Jelas dia menangis. Kawan-kawannya mendengarkan dan ada yang menunduk saja. "Gua ngerti maksud kalian." Roy terisak-isak. "Gua terharu sekali, karena kalian begitu merhatiin Mama." Si bandel itu duduk di trotoar. Dia menyembunyikan wajahnya di sela kedua lututnya. Dia menangis tersedu-sedu. Dia berdiri lagi. "Kalau gua nggak berani mengambil keputusan kayak gini, gua nggak tahu bakal kayak apa masa depan gua nanti. "Sekarang terserah mau kalian gimana. Tapi kalau kalian menyuruh gua untuk balik lagi ke rumah dan minta izin, jelas gua nggak mau." Roy mengusap matanya. "Ya, sudah. Berangkatlah, Roy. Biar aku yang ngomong sama Mama nanti," kata Edi. Dia tahu wanita itu sebetulnya ikhlas anaknya pergi jauh. Tapi, dia juga mengerti perasaan wanita yang hanya punya anak lelaki semata wayang dan ditinggal mati suaminya yang tewas di gunung. "Saranku, Roy, kamu mesti sering kirim surat sama Mama. Biar Mama merasa, bahwa kamu itu selalu ada." Roy mengangguk. Mereka kini duduk-duduk dulu meredakan ketegangan. Beberapa bis jurusan Bandung dibiarkan lewat dulu. Posma tetap saja berkelakar dengan Toni dan Iwin. Di dalam hati si Batak itu terbit kekaguman pada dua orang yang cacat kaki dan telinga ini. Kadang kala dia tertawa keras jika mendengar humor-humor Toni dan Iwin. Sedangkan Roy dan Jimmi masih memisahkan diri. "Berangkat sekarang aja, yuk!" Yuke berdiri ketika ada bis, Merak-Bandung masuk terminal. Suara kenek bis selalu meneriakkan: Ini bis terakhir, bis terakhir! Padahal kenyataannya tidak begitu, dan itu membikin mereka bergairah lagi. "Roy." Edi menariknya. "Berapa lama kamu pergi'?" Si bandel itu menggeleng. "Entah, Di. Tapi kayaknya aku nggak peduli soal sekolah sekarang. Aku nggak peduli dengan ijazah SMA lagi, Di." "Kenapa mesti begitu, Roy? Kenapa mesti emosional? Pikirkan lagi mateng-mateng. Jangan takut dibilang pengecut jika kamu sekarang mengurungkan niat ke Sulawesi," Edi mencoba menjernihkan pikiran sobatnya ini. Roy menggeleng. "Tidak, Di. Tidak. Sekali aku sudah melangkah, sejak dulu kamu pun tahu, aku nggak bakalan mundur lagi. Aku mungkin anak durhaka ya, Di. Tapi, aku mencintai Mama, Di. Dan mencintai orangtua toh bukan berarti mesti berkumpul di rumah terus." "Tapi, Roy, kenapa kamu nggak berterus terang mau pergi ke Sulawesi?" "Aku juga nggak tahu. Itu bakalan menyedihkan nantinya. Tapi aku dan Mama sudah bicara lewat isyarat. Lewat hati. Dan aku tahu Mama merestui." Edi menatapnya. Mereka berangkulan. Roy juga merangkul Toni dan Iwin sambil membisikkan pesan, "Sering-sering tengokin Mama, ya!" Spider sudah berada di atas bis. Mereka melambaikan tangan lewat jendela bis yang sudah dibuka. Yuke dan Posma duduk sebangku, tapi Roy dan Jimmi duduk memisah. Mereka masih belum bisa meredakan perselisihan tadi. Biar saja.   VI. RUNAWAY BOY   Seorang menutup mata di balik jari sembunyi dari rasa malu, menjauh dan berlari kausembunyikan dirimu di tengah gelombang atau di balik batu gurun lapang aku menyepi di antara rembulan dan matahari padahal kita bisa duduk di taman malam menggelindingkan cerita klasik yang berulang    Asih Purwaningtyas  ***  Sudah hampir menjelang sore. Dan sudah dua jam Roy duduk mengintai di balik kaca Jimny kuning kepunyaan Yuke. Rumah megah itu selalu diperhatikannya. Dia seperti sedang menunggu seseorang keluar dari rumah itu. Sudah beberapa kali ada mobil keluar-masuk, tapi tidak ada yang dikenalnya. Begitu pun pembantu yang selalu setia membukakan pintu gerbang. Semuanya tidak dikenal. Sekarang dia memberanikan diri turun dari mobil. Menghampiri sebuah kios rokok. Dia membeli sebungkus rokok sambil mengorek informasi. "Yang punya rumah gedong ini sekarang siapa, Kang? Tahu, nggak?" tanya Roy menunjuk ke rumah mewah itu. Si tukang kios ya jelas tahu. Dia sudah bertahun-tahun mangkal di situ. Lalu tukang rokok itu bercerita tentang tragedi yang menimpa penghuni rumah mewah ini, sehingga anak gadisnya yang cantik jadi yatim-piatu. Dan sekarang rumah itu dijual. "Dijual?" Roy kaget juga. "Denger-denger sih, usaha kakeknya si... aduh, siapa tuh nama si geulis itu...," si tukang rokok berpikir . "Rani, Kang," Roy memberitahu. "Ya, ya, si geulis itu Rani!" si tukang rokok rada heran juga. "Ya, kabarnya kakek Neng Rani usahanya bangkrut. Terlibat utang. Lalu rumah ini dijual untuk menutupi utang itu." "Berarti Rani tinggal dengan kakeknya, ya?" "Sumuhun (iya)," kata si tukang rokok. "Nuhun nya, Kang (terima kasih Bang)!" Roy berlari menuju mobil. Sekarang mesti ke rumah Opa! batinnya. Mudah-mudahan tidak ada yang mengenaliku nanti! Sepanjang menuju rumah opanya, Roy menginjak pedal gas sedikit saja. Banyak sekali yang dipikirkannya. Tentang surat buat mamanya yang belum jadi-jadi, tentang Jimmi yang masih belum mau bicara dengannya, tentang petualangannya di Sulawesi nanti, dan kini... Rani! Ya, gadis kepang dua itu. Saudara perempuan anak kakak almarhum papanya. Rani yang kini yatim-piatu, karena orangtuanya tewas tabrakan. Kadang kala Roy berpikir, kenapa anak-anak opa-omanya begitu cepat dipanggil Tuhan? Pertama-tama papanya yang tewas di gunung. Lalu kakak papanya, Oom Budi, yang bersama istrinya tewas tabrakan. Berarti tinggal dua kakak papanya yang masih hidup.Yante Monik dan Oom Doni. Entah ada di mana mereka sekarang. Roy meminggirkan Jimny ke pinggir. Dia parkir di bawah pohon besar. Lalu melihat ke seberang jalan. Rumah itu kesannya suram sekali, walaupun pohon-pohon rindang menyejukkan mata. Hatinya berdebar-debar ketika dia memperhatikan lebih saksama lagi. Ah, selalu saja mimpi-mimpi buruk itu terulang. Itu masa lalu! Jangan mau terlempar ke sana, Roy! Tapi, siapa yang bisa melupakan peristiwa menyakitkan itu? Diusir oleh seluruh kerabat papanya ketika dia bersama mamanya bersilaturahmi! Huh! dia melontarkan napasnya. Ada sebuah taksi berhenti. Dia berharap-harap cemas. Pintu taksi itu terbuka. Seorang gadis yang rambutnya dikepang dua keluar. Masih cantik, tapi rada kurusan. Roy buru-buru menurunkan kaca mobilnya. Dia bersuit keras. Tapi gadis kepang dua itu belum menoleh. "Rani!" dia berteriak, walaupun khawatir diperhatikan oleh orang di dalam rumah besar itu. Rani menoleh. Dia mencari-cari asal suara tadi. Dia melihat seorang lelaki gondrong menyuruhnya untuk menghampiri. Gadis itu terperanjat, tidak percaya pada matanya. Mulutnya hendak berteriak, tapi ditutupnya. Lalu dia berlari menyeberang. "Ayo, masuk!" Roy membuka pintu sebelah. "Kamu, Roy!" Rani masih belurm percaya. "Kenapa nggak mampir dulu?" Rani masih belum mau naik. "Kebetulan Opa-Oma lagi ada di rumah." Roy menggeleng. "Ayolah, Rani. Aku nggak ada waktu. Nantilah itu dibicarakan." Sambil berbicara begitu, Roy melihat seorang pembantu keluar dan memanggil Rani. Roy tahu siapa pembantu itu. Mang Sukri. Bisa berabe kalau Mang Sukri tahu. Buru-buru Roy menaikkan lagi jendela mobilnya. Dia membuka pintu sedikit, "Nanti malam aku tunggu di..." Roy menyebutkan sebuah tempat. Dia buru-buru menyalakan mesin dan menginjak pedal gas. Rani tidak bisa mencegah. Dia hanya memandangi Jimny kuning yang ngebut ketakutan itu. Kenapa luka lama itu masih membelenggu, Roy? Padahal, betapa Opa-Oma ingin sekali jumpa dengan kamu. Ingin sekali memelukmu, karena Tante Monik dan Oom Doni tidak memberikan cucu lelaki. Hanya kamulah cucu lelaki Opa-Oma, Roy. Tapi, kenapa kamu begitu keras kepala? Kenapa tidak mau mengalah? Kenapa mau tenggelam dalam masa lalu? Rani melamun terus. Dia baru tersadar ketika Mang Sukri memanggilnya lagi. Dia berjalan menyeberang menuju rumahnya. Dan dia hanya menjawab, bahwa lelaki di Jimny kuning itu adalah kawan kuliahnya. "Tapi… kayaknya Mang pernah lihat, Neng," Mang Sukri masih penasaran. "Ng...ngg... kalau nggak salah..." "Sudah, sudah, Mang! " Rani tiba-tiba kesal. Mang sukri kontan mengunci mulutnya. "Awas kalau bilang sama Opa-Oma!" kata Rani serius. Mang Sukri mengangguk. Dia memandang Rani dengan prihatin. Betapa malang nasib putri majikannya ini. Sebetulnya ingin betul dia mengabarkan kepada majikannya tentang lelaki tadi. Pasti majikannya akan bahagia di saat-saat usahanya sedang mundur begini. Tapi, dia tidak berani, takut kena damprat Rani nanti. Dia tidak mau menambah beban persoalan lagi pada Rani. Roy sendiri membanting pintu Jimny dengan kesal dan berlari masuk halaman rumah Yuke. Dia membuka pintu kamar Yuke di paviliun dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Kacau, kacau! gerutunya. Dia membalikkan badannya. Menindih kepalanya dengan bantal. Dia berteriak gemas: Huuuuuuuuh! "Kenapa, Roy?" Yuke kelihatannya baru mandi. "Berhasil ketemu Rani?" tanyanya. Roy melompat bangun. "Nanti malem aku pinjem mobilmu lagi, ya!" Yuke mengangguk. Katanya hati-hati, "Tadi Jimmi ke sini. Tengah malam kita ke Gelap Nyawang, katanya. Entah apa maksudnya." Yuke menggelengkan kepalanya, mau apa Jimmi menyuruh mereka datang ke tempat yang biasa digunakan untuk belajar mengemudi mobil itu. "Jimmi, Jimmi!" Roy juga tidak habis pikir. "Aku memang yang memulai. Aku terlalu emosional waktu itu. Ah! Kalau sudah gini repot, deh!" Si bandel mondar-mandir. Dia tahu betul karakter si Jimmi yang tidak pernah menggantungkan permasalahan. Jimmi memang tidak pendendam, tapi kalau menurutnya masih mengganjal, dia mesti menyelesaikannya. Terhadap seorang sahabat pun! Tiba-tiba terdengar suara gedebak-gedebuk. Itu pasti si Posma yang suka bikin ribut. Anak pendeta itu memang betul-betul melampiaskan keterkekangannya di rumah, di mana ayahnya yang pendeta selalu punya aturan ini-itu kepada anak-anaknya, sehingga di luar rumah si Batak ini begitu gerabak-gerebuk. "Nanti malem bener si Jimmi ngajak duel, Roy?" tanyanya masih di pintu. Suaranya memang kencang. "Sparring!" Roy meralat. "Gila juga tuh si Menado!" Posma memaki. Tapi, "Elu megang siapa, Yuke? Taruhan, ya! Gua meg.ang si Roy!" Dia tertawa. "Batak, lu!" Yuke mengumpat. "Bukannya nyariin jalan biar clear!" Si bandel itu menggaruk-garuk kepalanya. Pikirannya tambah kacau. Persoalan seperti tidak ada habis-habisnya. Sebetulnya ingin sekali aku masuk ke rumah itu dan memeluk Opa-Oma. Tapi, aku sudah menelan janji, bahwa kalau tidak dengan Mama, sampai kapan pun, aku rela tidak memeluk mereka. Soal usaha opanya yang bangkrut, ah, itu bukah masalah. Toh, di garasi tadi masih ada dua mobil lagi! Wajar saja. Hidup kan ibarat roda yang berputar. Itu kata kiasan. Jimmi kini nyelonong masuk. Wajahnya biasa-biasa saja. Roy berusaha tersenyum kepadanya. Posma memukul bahunya dan Jimmi menangkis serta memitingnya. Posma mencak-mencak. Yuke tertawa senang. "Kamu serius, Jim?" Roy membuka percakapan. "Kamu keberatan?" Jimmi balik tanya. "Kamu tahu kan apa mau gua kalau sudah begini, Roy? Marah lebih repot jika nggak kamu layani." Jimmi duduk di sebelahnya. "Kita main-main sedikitlah! " Roy mengeluh. "Gua minta maaf, Jim. Gua emang yang mukul duluan. Biar nggak bertele-tele, kamu pukul lagi deh gua, Jim!" Roy berdiri dan mengosongkan mukanya. Jimmi tertawa. Lalu menggeleng. "Kita berteman bukan baru sehari dua hari. Tapi tahunan. Kita udah tahu karakter masing-masing. Makanya, gua kaget bener ketika kamu mukul gua, Roy. Gua tahu kamu itu suka cepet emosional. Tapi, gua nggak percaya kalau kamu kemarin itu mukul gua." "Tapi, bukan untuk nyari siapa yang jagoan kan, Jim?" "Tapi juga bukan berarti ada yang mesti mengalah, Roy." Posma tertawa dan Yuke menggerutu. Si Batak itu berbisik kepada Yuke, "Berapa dollar taruhannya?" Yuke tidak menggubris. Peranakan Cina itu berusaha memberi pengertian kepada Jimmi, bahwa Roy hendak melakukan perjalanan panjang. Tapi tetap sia-sia. Ya, sudah. Berarti mereka mesti sparring yang bukan sparring biasa tengah malam nanti. "Oke, Jim, kalau memang itu mau kamu," Roy berdiri. "Gua pergi dulu, ya." Si bandel itu ngeloyor lesu sekali. Dia mau tidak mau mesti melayani keinginan si Jimmi. Biasanya kalau tidak malah berabe. Si Menado itu bisa-bisa mengamuk tidak keruan di mana saja. Misalnya main bilyar dan cari gara-gara lalu berkelahi di sana. Atau menyenggol sengaja seseorang dan juga berakhir dengan perkelahian. Roy menjalankan Jimny pelan-pelan saja. Kadang kala melamun, sehingga sering kali bunyi klakson menyadarkannya karena lampu hijau sudah menyala. Sekarang dia menuju sebuah toko buku. Memarkir dan dia duduk-duduk di kapnya. Sengaja dia atraktif begitu, agar seseorang yang ditunggunya bisa cepat melihatnya. Sudah jam tujuh malam. Beberapa gadis manis dan centil yang melintas tidak diliriknya sedikit pun. Wajahnya betul-betul kusut. Betul-betul banyak persoalan. Orang-orang yang melihat wajahnya pun pasti mengerutkan kening. Pasti mereka pikir, remaja ini sedang patah hati atau uang bulanan dari orangtuanya belum datang. "Roy!" panggilan itu mengagetkannya. Rani tampak tergopoh-gopoh. Rambut kepangnya meloncat ke sana kemari. Roy melompat dan menariknya masuk ke toko buku. Mereka menuju sebuah kafe. Mengambil tempat di sudut. "Kamu datang sendiri kan, Rani?" Roy menyebar pandang. Rani mengangguk. "Kamu lagi liburan, Roy?" Roy masih saja menyebar pandang. Setiap ada orang yang menurutnya mencurigakan, dia memperhatikan terus. "Kamu ngomong apa tadi? Oh ya, aku sedang liburan," katanya menatap Rani. "Kamu kurusan, Rani." Rani menggangguk. "Aku sudah tahu semuanya, Rani." "Opa kena tipu, Roy," Roy menarik napas. "Opa-Oma pengen sekali ketemu kamu, Roy. Kasihan mereka. Hari tuanya ingin sekali berkumpul dengan cucu-cucunya. Mereka ingin sekali melihat cucu lelakinya dari anak bungsu mereka yang nakal." "Opa-Oma menyebut papaku nakal, Rani?" Roy meringis. Rani hanya bisa tersenyum. "Kata mereka, cucu kita pasti tidak beda dengan ayahnya." Roy tambah meringis. "Ayolah, Roy. Temui mereka. Berjabat tangan atau mengucapkan beberapa kalimat saja. Please," Rani memohon. Oh, Rani! Aku bukannya hanya ingin berjabat tangan, mengucapkan beberapa kalimat, atau tersenyum saja! Tapi lebih dari itu, Rani. Aku ingin bercerita tentang cerita-ceritaku yang sering dimuat di majalah. Opa-Oma pasti bangga punya cucu seorang pengarang! Tapi buru-buru dia menggelengkan kepalanya ketika ingat pada janjinya. Tidak. Kataku tidak, tetap tidak. "Aku kangen sama kamu, Rani," kata Roy serius. "Aku nggak pernah tahu di mana saudara-saudaraku yang lain. Anak-anak Tante Monik dan Oom Doni. Aku pingin betul ketemu sama mereka. Tapi aku tentu berbeda. Maksudku, dunia sehari-hari yang aku jalani berbeda dengan yang biasa kalian lakukan." Roy memegang jemari Rani dengan lembut. Begitu melindungi. "Sewaktu kita ketemu di kuburan itu, Roy, beberapa hari kemudian, mereka datang. Aku ceritakan kepada mereka tentang kamu. Mereka juga ingin betul ketemu, Roy." Lalu Rani menceritakan, bahwa Tante Monik punya dua anak perempuan. Sudah pada kuliah. Mereka tinggal di Jakarta dan Roy mencatat alamatnya. Sedangkan dari Oom Doni juga dua anak perempuan. Yang besar sudah kuliah dan yang kecil baru saja lulus SMA tahun ini. Mereka tingal di Surabaya. Roy pun mencatat alamat mereka. "Besok sore atau mungkin pagi, aku mau ke Yogya, Ran. Terus dari Semarang aku mau nyeberang ke Sulawesi." "Lho." Rani menatapnya bimbang. "Kamu nggak sekolah lagi? Kamu sia-siakan lagi hari-hari kamu, Roy?" "Ini bukan urusan kamu, Ran. Kita datang ke sini hanya untuk membicarakan keluarga saja; Tentang Opa, Oma, Tante Monik, Oom Doni, serta anak-anak mereka. Udah itu aja. Kamu nggak usah ngurusin soal-soal kecil tentang kehidupanku, Rani." Roy tersenyum. "Tapi kenapa mesti besok, Roy? Kenapa kamu tidak menyisakan waktu seminggu di sini? Di mana kita bisa ngobrol banyak tentang keluarga kita." "Aku juga ingin, Rani. Tapi, tapi nggak bisa sekarang." Tiba-tiba Roy melihat sesuatu yang mencurigakan. Dari tadi Rani melihat ke suatu tempat saja. Bukankah, bukankah itu... Ah, kamu sudah membohongi aku, Rani! Buru-buru Roy berdiri, tapi Rani memegangi lengannya. "Jangan pergi, Roy." Rani terisak. "Beri kesempatan kepada Opa-Oma untuk menebus kesalahannya. Beri kesempatan kepada mereka untuk bahagia di hari tuanya." Rani semakih terisak. Roy bimbang sekali. Dia melihat di lantai atas sepasang manusia yang sudah tua sedang menatapnya. Mereka tersenyum. Roy ingin sekali membalas senyum mereka, tapi buru-buru dibuangnya mukanya. Dia menarik lengannya kuat-kuat. Rani terjerembap. Dia mencoba menguatkan melihat ke atas lagi. Opa-Oma masih ada di sana menatapnya, tapi kini begitu bersedih. "Maafkan aku, Rani!" kata Roy berlari. "Roy!" Rani menangis. Dia memukul-mukulkan tangannya ke meja. Dia tidak mengejarnya, karena itu akan sia-sia saja. Tapi usahanya tidak begitu sia-sia juga, karena sudah berhasil memberi kesempatan kepada Opa-Oma untuk melihat sepuas-puasnya cucu lelaki mereka satu-satunya itu. Mungkin akan lebih komplet jika mereka saling berpelukan. Roy baru saja membuka pintu mobil dengan gelisah, ketika Mang Sukri menghampirinya. "Ada apa, Mang?" Roy masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. "Ini buat Aden." Mang Sukri menyodorkan sebuah bungkusan. "Dari Juragan Sepuh. Ambillah. Nanti Emang yang disalahkan, repot," kata Mang Sukri. Roy mengambil dan meletakkan bungkusan itu di jok samping. Dia masih bisa melihat bayangan Opa-Oma yang menatapnya di balik kaca. Dia menguatkan hatinya untuk menginjak pedal gas dan meninggalkan pelataran parkir. Roy gelisah terus dan melirik ke bungkusan itu. Apa isi bungkusan itu? Sambil menyetir dia merobek bungkusan dengan lengan kirinya. Isinya berupa foto-foto almarhum papanya beserta keluarganya, Satu per satu ditelitinya. Lalu ada sebuah amplop. Ketika dibuka, ya ampun! Beberapa lembar puluhan ribu! Dia meringis melihat lembaran-lembaran uang itu. Kasih sayang orangtua terhadap anaknya atau kakek-nenek terhadap cucunya macam-macam. Dan itu sah saja. Tidak usah menggerutu atau menolak. Terima saja apa adanya. Ketika Roy melihat cuma ada Yuke di kamar, buru-buru dia mengemasi ranselnya. Yuke pun mengerti dan membantunya. Sebetulnya Roy bukan pengecut menghindari ajakan Jimmi untuk ber-sparring. Sejak dulu mereka sering melakukannya. Tapi yang kali ini tampaknya bukan lagi sparring biasa. Tapi sparring yang tidak biasa. Dan Roy tidak mau hanya gara-gara itu lantas rencana avontur ke Sulawesinya berantakan lagi! "Cepetan, Yuke! " Roy menyeret ranselnya yang masih belum dikemas betul-betul. Yuke berlari. Dia cukup cekatan juga memarkir Jimny-nya. Untung Posma mengajak Jimmi keluar tadi dengan alasan yang kuat, sehingga strategi yang diatur Yuke berjalan lancar. Dan untung si Roy pulang agak cepatan. "Nggak ada yang ketinggalan, Roy?" Yuke memastikan. Roy menggeleng. "Anter ke luar kota aja, biar cepet naek bis!" usul Roy. Yuke langsung tancap gas. "Bilang sama Jimmi, sepulang dari Sulawesi, aku siap deh ngelayanin sparring! Tapi itu tahun depan kali!" Roy tertawa. "Lupain soal itu, Roy!" Yuke menginjak pedal lebih dalam lagi. Tapi Roy selintas memikirkan juga tentang Jimmi yang pasti mencak-mencak karena sudah diakali. Si Menado itu pasti ngamuk. Dia tersenyum sendiri. Lalu ia ingat Rani, Opa-Oma, dan bungkusan itu. Roy menyenderkan kepalanya di jok. Dia memejamkan matanya sebentar. Yuke memarkir mobilnya. Mereka tergesa-gesa turun. Mereka berangkulan. Yuke tampak memasukkan sebuah amplop ke saku jaket Roy. "Dari kami bertiga. Patungan!" kata Yuke. "Nggak banyak, Roy!" Roy tidak bisa mengucapkan apa-apa. Tapi, "Jimmi juga?" dia keheranan. "Itu akal si Posma aja. Dia pura-pura pinjem duit sama Jimmi!" Yuke tertawa. Roy juga tertawa. Ada bis muncul. Entah tujuan mana. Yang penting ke timur dulu. Yang penting menghindar dari Jimmi dulu. Mereka menyetopnya. Semuanya tampak terburu-buru. Mereka hanya sempat berangkulan tanpa banyak bicara lagi. Mata mereka saja yang mampu mengungkapkan perasaan mereka. Roy melompat ke bis dan melambaikan tangannya.   VII. DI ATAS BIS    seperti kita yang berlari waktu berpacu bersama angin melindas tapak membenamkan jejak, tak bermakna seperti pelarian kita    Asih Purwaningtyas  ***  Bis jurusan Yogya ini beberapa kali berhenti menurun-naikkan penumpang. Semua bangku kini sudah terisi penuh. Sopir dan kondektur bernapas lega, tapi si kenek masih saja berteriak: Masih kosong! Masih kosong! Dan sopir pun selalu tersenyum menginjak pedal remnya, mengangkuti penumpang terus. Mereka tidak pernah mempedulikan apakah penumpang kegerahan atau kepengapan. Itu bukan urusan mereka. Urusan mereka adalah uang. Ya, kalau tidak ngotot begitu, bagaimana mereka bisa dapat uang lebih untuk istri dan anak-anak di rumah? Segala aturan rambu-rambu buat mereka jadi tidak ada gunanya. Tidak pernah mereka gubris. Para penumpang juga begitu. Mereka malah suka menyetop bis persis di bawah rambu "S" dicoret. Jadi, biarkan saja semuanya begitu. Seorang lelaki gondrong tampak pulas di jok tengah. Jendela bis sengaja dibuka lebar-lebar, sehingga angin menerobos mengusir gerah. Tiba-tiba kepalanya membentur jok di depannya, karena sopir mendadak menginjak rem. Lelaki gondrong itu menggerutu dan mengelus-elus keningnya. Terdengar suara ketawa perempuan. Lelaki itu hanya meringis. Dia sangat lelah. Sudah beberapa kali dia berganti-ganti bis menuju Yogya. Tapi walaupun begitu, dia berdiri juga begitu melihat seorang ibu berdiri. Selalu saja dia ingat kepada mamanya jika melihat ada seorang ibu kepayahan berdiri di bis. Dengan melakukan hal seperti, dia hanya berharap, semoga mamanya pun mengalami hal yang sama jika tidak kebagian kursi. Dua gadis yang tadi menertawakannya hendak menyerobot duduk. Mereka tampaknya mahasiswa yang baru mengunjungi kawannya di luar kota Yogya. Lelaki itu tersenyum mencegah mereka. "Sori, kursi ini bukan buat kalian." Roy tertawa kecil. "Silakan, Bu." Roy menolong si ibu agar tidak jatuh. "Oh, aku ndak lihat," kata yang agak pendiam malu. "Ya, ya, silakan, Bu." Yang bibirnya basah menggemaskan juga ikut malu. Dia melirik kepada Roy dengan kesal. Tapi, bola matanya yang hitam mulai meneliti lelaki gondrong yang sok pahlawan itu. Roy menyender dan memegangi besi yang melintang di atas. Beberapa kali dia menguap tanpa pernah menutup mulutnya yang menganga lebar itu. Kalau ingin menguap ya menguap saja. Terdengar suara ketawa mereka lagi. Roy tersenyum. "Ngantuk banget, Mbak." "Iya," yang berbibir basah menggoaa. "Aku hitung-hitung, kamu sudah tujuh kali, tuh, menguap. Jangan diobral begitu, lho. Nanti ada lalat masuk kan berabe." Si bibir basah tertawa kecil. Roy tersenyum lagi. Dia mulai memperhatikan mereka. Matanya kontan cerah begitu sadar kedua gadis Jawa itu manis serta ayu. Apalagi yang berbibir basah, bikin geregetan juga. Kelelahan Roy yang hendak menempuh perjalanan panjang dan entah di mana akan berujung, sirna sudah. Lalu kelanjutannya sudah bisa ditebak. Basa-basi tentang: nama, dari mana mau ke mana, hobi, dan seterusnya saja. "Habis lihat Borobudur, ya?" si bibir basah meledek. Jika dia berbicara, bibir basahnya memang sudah dari sananya seperti kepedasan, seperti dimonyong-monyongkan. Ya, hati lelaki mana yang tidak gemas jika melihat hal seperti itu. Yang badung atau yang baik sekalipun. Roy mengangguk saja. "Ada saudara di Yogya?" si bibir basah bicara terus. Kawannya hanya tersenyum saja jika mendengar celotehannya. Roy mengangguk lagi. Dia menyebutkan alamat Ayu, si kacamata yang baru pindah itu. Jelas itu bohong. Si bibir basah menyikut kawannya yang pendiam. Mereka bicara pelan-pelan di telinga masing-masing. "Yang betul?" kata Mima, si bibir basah. Roy tertawa mengedipkan matanya. Si bandel mulai nakal lagi terhadap perempuan. Dengar .katanya, "Aku nggak punya saudara, kok. Aku mau cari temen baru sebanyak-banyaknya di Yogya. Hari ini buktinya, aku dapet temen dua ekor. Yang satu pendiem dan satu lagi centilnya minta ampun." Gombal ya, omongan si Roy. "Siapa yang ganjen, eh... yang centil?" Mima melotot. Dia menyikut. Imas, kawannya, meminta dukuhgan. Roy tertawa saja. Bis berhenti di perempatan Magelang. Mima dan Imas hendak tutun. Tapi kata Mima serius, "Betul Ayu itu saudara kamu?" Roy hanya menatapnya. "Kamu nggak ngasih alamat sama aku, Mima?" katanya nakal. Mima mencibir. "Nanti kamu menyesal nggak ketemu sama aku lagi," kata Roy sok yakin. Imas sudah menarik lengan Mima. Di pintu bis Roy berteriak, "Sebutin nama jalannya aja!" Mima masih saja mencibir. "Kalau ketemu lagi, aku ringkus kamu, Mima!" teriak Roy lagi betul-betul gemas. Di terminal Yogya Roy turun. Dia duduk-duduk dulu atau berjalan ke sana kemari melemaskan otot-ototnya yang pegal. Si bibir basah tadi menggelitiknya terus. Kalau saja dia tadi memberi satu titik saja untuk aku tuju, pasti aku buru! batinnya sombong. Lalu membayang lagi yang lainnya. Kini Rani, si kepang dua, yang menangis tersedu-sedu di kafe sebuah toko buku, karena gagal mempertemukannya dengan Opa-Oma. Lalu foto-foto almarhum papanya serta keluarga besarnya serta amplop berisi lembaran-lembaran puluhan ribu. Roy memang merasa bersyukur dengan rezeki itu. Toh, kalau mau main hitung-hitungan, rasanya papanya beIum pernah merasakan kekayaan orangtuanya sejak diasingkan sampai tewas di gunung. Ini tidak seberapa! batin Roy. Tapi, sungguh, dia merasa bersyukur begitu melihat isi bungkusan pemberian opa-omanya itu. Dan, ah, Spider pun menyelipkan amplop! Mereka memang kawan-kawan yang baik. Betapa aku merasa berutang budi kepada niat baik mereka, bukan kepada besar-kecilnya nilai uang di amplop itu. Dan, Jimmi! Si Menado itu mungkin masih uring-uringan sampai sekarang. Sekarang ada dua pilihan, batinnya. Memutar telepon kepada Ayu, si kacamata, atau Saraswati* (*Baca: "Sahabat Pena" Balada Si Roy 2). Atau mungkin ada pilihan lain lagi, cari losmen murah, Roy! Toh, dompetmu betul-betul tebel sekarang! Ya, ya, ya! Roy langsung menyeret ranselnya. Tanya sana-sini tentang penginapan murah. Di Yogya mencari penginapan model yang bagaimanapun berserakan. Tidak perlu khawatir. Setelah mandi sepuas-puasnya, Roy melenggang ke luar. Dia menikmati Yogya malam-malam. Sekarang Yogya tambah bising, batinnya. Biar saja. Apalagi Malioboro yang mulai berdandan. Mulai dari lesehan yang warna-warni dengan spanduk sponsor sampai pengamen yang tidak ada habis-habisnya. Itu juga biar saja. Kasih mereka kesempatan cari duit sebanyak-banyaknya. Sekarang kalau mau cari hal-hal yang spesifik dan populer mesti mau membayar mahal. Itu risiko. Roy memilih mengunjungi rumah Ayu. Tidak susah mencarinya, karena berada di lokasi populer juga. Dan Ayu hanya bisa terpekik kaget begitu membuka pintu dan tahu siapa lelaki yang berdiri tersenyum di depannya. "Roy!" pekiknya tertahan. Si bandel itu tersenyum membuka lebar-lebar lengannya. "Nggak kamu peluk, Ayu?" ledeknya. Ayu tertawa, "Ayo, masuk. Masuk, Roy. Kok, nggak avontur ke Sulawesi? Kangen sama aku ya, Roy? Kok, Rina nggak kamu ajak? Susah nggak nyari alamat rumahku?" si kacamata itu nyerocos terus. "Aku jadi bingung mesti ngejawab yang mana dulu." Roy tertawa. "Pakde-bude-mu lagi pada keluar?" Ayu mengangguk dan tertawa. Dia. tampak gembira sekali, karena kedatangan sobatnya yang bandel ini. Seharian dia hanya tekun melatih soal-soal UMPTN .Terasa jenuh memang. Makanya plong deh begitu si Roy nongol tidak terduga. Dan ketika si Roy menceritakan tujuannya Ayu pun bilang, "Jadi kamu korbankan lagi sekolah hanya untuk avontur, Roy?" Si kacamata itu tidak habis pikir . Roy mengangguk pasti. Ayu menggelengkan kepalanya. "Aku belum lama kenal kamu, Roy. Tapi sedikitnya aku sudah bisa memahami kalau setiap aku membaca cerita-ceritamu. Aku nggak bakal ngomong apa-apa. Cuma, kenapa mesti ke Sulawesi saja, Roy? Kenapa nggak sekalian aja ke Maluku atau ke Irian? Kan lebih asyik. Atau Kalimantan? Atau semuanya saja, Roy! "Nggak usah tanggung-tanggung. Bukankah kamu sekarang nggak lagi mikirin sekolah? Berarti kamu punya banyak waktu, kalau memang itu sudah menjadi keputusan kamu. "Akan lebih bagus kalau kamu ke Maluku lalu ke Irian. Lantas setelah itu Sulawesi dan Kalimantan. Rute yang bagus kan, Roy?" Ayu tersenyum. Roy mengangguk-angguk. Betul juga, batinnya. Berarti lebih bagus ke Surabaya saja. Di sana ada kapal laut mewah segede hotel, Rinjani, yang melayani trayek Belawan (Medan) Sorong (Irian). Ya, mengeluarkan ongkos agak mahal sedikitlah. Toh, dari opa-omanya juga masih berlebih. "Kamu kerasan di sini, Ayu?" Ayu mengangguk. Lalu dia memberi kode kepada Roy ketika ada wanita renta menghampiri mereka. "Ini teman Ayu, Eyang," kata Ayu. Roy buru-buru berdiri. Dia menyodorkan lengan. "Saya teman Ayu di Banten, Mbah," kata Roy. Kontan wajah wanita renta itu berubah. Rupanya dia tidak senang dipanggil Mbah. Seharusnya Roy bisa membedakannya mesti memanggil apa. "Mbah, Mbahmu!" wanita renta itu menggerutu masuk ke dalam. Ayu tersenyum geli. "Kamu mestinya manggil Eyang, Roy. Eyang Putri," Ayu menambahkan. "Aku lupa, Ayu," Roy kebingungan. Ayu tertawa kecil. "Satu orang sudah nggak simpati sama kamu di rumah ini." Roy meringis. "Hey, bagaimana ideku tadi?" "Aku tertarik," kata Roy. "Berarti besok aku langsung ke Surabaya saja." "Kok buru-buru, Roy?" Ayu tampak kecewa. "Kalau kamu pacarku, Ayu, mungkin aku mau tinggal beberapa hari di sini." Roy tersenyum. Ayu mencubitnya. Roy tertawa ngakak. "Ke Malioboro, yuk!" ajak Roy. Ayu menatapnya. "Atau ke mana sajalah! Aku kepingin jalan-jalan sama kamu. Ya, bernostalgia atau apa sajalah namanya." "Asal berani ngomong sama Eyang saja," kata Ayu pelan. "Wah, celaka itu!" kata Roy. Jelas kansnya tipis jika prosedurnya mesti ke Eyang. Tadi saja Roy sudah melakukan kesalahan fatal. Itu soal derajat tadi. Soal tinggi-rendahnya status seseorang. Ini jelas feodal. Tapi toh kita tidak bisa mengganggu-gugat keberadaannya. Tiba-tiba ada seorang gadis masuk tanpa mengetuk pintu lagi. "Halo, Ayu! Wah, lagi diapelin cowok, nih!" katanya main tembak saja. Ayu tertawa begitu melihat siapa yang datang. Gadis di seberang jalan yang lincahnya minta ampun. Yang suka menggoda lelaki dan suka gonta-ganti pacar. Ayu memperkenalkan mereka. Roy hanya bisa bengong dan ingin sekali meremas cewek centil di depannya itu, yang hanya tersenyum-senyum sambil mencibirkan bibirnya yang basah. Pintar berimprovisasi juga rupanya ini cewek! batin Roy menggerutu. Bagus. Ada sensasinya, Dan aku suka! batin Roy lagi. "Roy," si bandel itu menyebutkan namanya. Tangannya sengaja agak lamaan memegang tangan gadis centil yang halus itu. "Mima," gadis berbibir basah itu pun menyebutkan namanya. Mereka saling pandang dan ingin sekali tertawa. Tapi itu ditahan, karena ada Ayu. Karena ada Eyang Putri yang masuk lagi ke ruang tengah. Mima mencium punggung tangannya. Lalu si nenek itu masuk lagi ke dalam. Roy mengajukan usul lagi kepada Ayu, "Gimana, Ayu? Sekarang ada Mima. Mungkin kita bisa bertiga ke Malioboro." Mima tampak senang sekali. Tapi Ayu menggeleng. "Gimana kalau kalian aja pergi berdua?" Ayu menawarkan. "Aku nggak bisa, Roy. Bude-pakde-ku udah wanti-wanti agar aku nggak ke mana-mana." Roy menatap Mima yang lagi-lagi mencibirkan bibirnya. Si bandel jelas suka sekali. Tapi dia bisa menebak perasaan si kacamata itu. Lalu, "Aku ketemu Mima tadi siang di bis," kata Roy memberitahu. Ayu hanya mengangguk. "Kata Roy, kamu saudaranya. Betul itu, Ayu?" Ayu mengangguk lagi. Roy melihat jam. "Aku ke Malioboro dulu, ya!" Dia berdiri. Tampaknya tidak mengajak siapa-siapa. "Lho, kamu nggak ngajak aku, Roy? Ayu kan menyuruh aku untuk jadi guide kamu!" katanya rnelotot. "Kalau kamu mau, ayo!" kata Roy. "Jual mahal, kamu!" Mima sewot. Ayu memandangi mereka yang berjalan begitu gembiranya. Mereka memang serasi dan sama-sama gilanya, batin Ayu. Mereka memang pas dipertemukan. Biarkan saja mereka mengisi hari-harinya yang sekejap di sini. Biarkan saja di antara mereka timbul kenangan atau rnernbuat kenangan. Biarkan saja. Dan Ayu menutup pintu rumahnya. Dia kembali masuk ke kamar. Menekuni soal-soal UMPTN lagi. Aku memang mesti begini. Mesti jadi gadis penurut. Gadis Jawa yang manut terus. Biar saja, batinnya menghibur. Semua orang sudah diberikan porsi hidupnya masing-masing oleh Tuhan. Ya, biar saja.   VIII. SURAT   biarlah aku terus terlunta di jalan-jalan asing berdebu sendirian meraba arah hidupku menghadapi pahit nyeri luka-luka sebab langkah yang telah ditempuh tak bisa ditawar dengan keluh!    Totok ST Radik  ***  Ketika terdengar gemerincing becak dan tawa genit manja, si kacamata yang kesepian itu membuka gorden jendela kamarnya pelan-pelan. Dia mengintip ke seberang jalan dengan hati berdegup tidak keruan. Dia berdebar-debar dan hanya bisa menggigit bibirnya saja. Sebelum Mima masuk ke teras rumahnya, di hutan kecil pohon palem yang rindang, Roy menarik dan meraih pinggangnya. Menciumnya lagi. Mima tertawa kecil dan mendorong tubuh Roy. "Udah pergi, sana!" usirnya tersenyum manja. Roy masih saja memeluk pinggang Mima. Dia menatapnya penuh gelora. Lalu mencubit pipinya yang menggemaskan. "Aku tunggu di penginapan, ya!" Mima melepaskan pegangan Roy. "Lho, katanya mau terus ke Surabaya?" ledek Mima bikin gemas. "Wah, aku nggak mau lho rencana kamu gagal, Roy, gara-gara aku," ledeknya terus. Roy meringis. "See you tomorrow," katanya yakin. "Tapi nggak janjil, Roy!" Mima tertawa. Roy mengedipkan matanya dan berjalan tanpa menoleh lagi. Sepasang burung yang sedang menggelora itu tidak sadar kalau sedari tadi ada sepasang mata lain yang menyaksikan dengan nelangsa. Si empunya mata itu menghela napas, dan menutup lagi gorden jendela kamarnya pelan-pelan. Dengan gelisah dia merebahkan tubuhnya di pembaringan. Matanya menerawang dan pikirannya berlarian entah ke mana. Kenapa mesti begini? batinnya tidak mengerti. Si kacamata itu sudah tahu reputasi gadis di seberang jalan itu. Dia mengira setelah Mima kuliah, hobinya yang suka mengoleksi kawan lelaki berangsur-angsur hilang. Eh, ini malah makin menjadi. Pernah suatu hari Mima mengemukakan alasan, "Dengan begini aku jadi tahu model lelaki dari yang pembohong sampai ke yang pengecut, Ayu. Atau dari yang munafik sampai ke yang pemberani. Sehingga dengan begitu, kalau tiba masanya untuk kawin nanti, aku jadi tahu pasti memilih lelaki yang model bagaimana." Ayu hanya bisa takjub mendengar kata-kata gadis di seberang jalan rumahnya itu, yang jadi kawan kecilnya dulu. Dan si Roy? Lelaki bandel yang belum lama dikenalnya itu? Tapi kenapa aku mesti peduli dengan si bandel itu? Ah, kenapa semua itu kamu lakukan dengan Mima, Roy? Kenapa harus aku yang menyaksikan adegan mesra itu? Kenapa? Ayu merebahkan tubuhnya. Dia telentang menatap lelangit kamar. Merenungi hidupnya. Betapa dunia ini bagiku terasa sempit. Betapa aku seperti katak dalam tempurung. Semuanya serba diatur dan dihidangkan begitu saja buatku, batinnya gelisah. Dari mulai sekolah, aku sudah diatur. Juga soal calon suami yang sebenarnya masih belum terpikirkan pun sudah disediakan. Sedangkan si bandel sendiri tidak pernah tahu apa yang dirasakan Ayu. Dia memang menyayangi si kacamata itu, tapi bukankah Ayu tempo hari bilang: suka bukan berarti cinta. Tapi, kenapa ya aku selalu saja ketemu dengan wanita yang semodel Mima, yang juga mendambakan kebebasan, batin si bandel lagi. Cinta baginya memang ada di mana-mana. Tapi jika yang lebih dari cinta? Yang di atas cinta? Kalian menamakan apa itu? Kasih sayang? Entahlah, kenapa setiap si bandel menemukan hal seperti itu, selalu saja kandas. Sudah banyak kepahitan yang ditelannya. Biar saja, begitu batinnya. Biar saja. Ya, biar saja. Bukankah cinta ada di mana-mana? Jangan sekali-kali memandang lebih dalam ke bola mata wanita. Itu bisa bikin hati terperosok. Cukup tatap dan beri senyum saja. Lalu peluk dan lambaikan tangan. Itulah kini yang ada di benak si bandel. Kesannya memang meremehkan dan tidak enak. Tapi itulah tadi, kepahitan yang membentuknya jadi begitu. Si bandel terus saja menyusuri jalan-jalan Yogya. Becak-becak yang berderet di muka stasiun menyiratkan dunia lain. Wajah-wajah yang lmengharap jika kereta terakhir tiba. Ya, siapa tahu ada turis yang menawar becaknya. Lalu dia membelok, seiring dengan pikirannya yang membelok. Kini mamanya terlintas. Aku mesti bikin surat untuk Mama! batinnya mengingatkan. Dia tidak tahu apa yang bakal terjadi jika pak pos berteriak di muka rumah: "Surat, Bu!" Dan beberapa saat setelah mamanya membaca suratnya, ah, entah apa yang bakal terjadi? Roy menoleh ke belakang. Ada sebuah mobil merayap perlahan. Roy terus berjala menuju penginapannya. Bayang-bayang menakutkan tentang mamanya terus berkelebatan. Mestikah aku menulis surat? Edi pasti sudah mengabarkannya tempo hari. Ah, kamu anak bandel! Tahukah kamu ketika Edi mengabarkan, bahwa kamu hendak pergi avontur dalam waktu tidak terbatas tempo hari mamamu terisak-isak dan malah perlu dipapah ke kamar, Roy? Bahkan perlu pengawasan khusus segala, Roy! Tapi Roy mana tahu soal itu. Dia tahunya hanya mengikuti emosinya yang meledak-ledak dan energinya yang berlebihan saja. Berarti menulis surat untuk Mama, Roy! Si bandel menoleh lagi. MobiI tadi masih saja merayap pelan. Dia berhenti, membiarkan mobil melewatinya. Mobil biru gelap itu pelan-pelan melewatinya. Dia bisa melihat samar-samar beberapa orang turun dan berdiri menyender di bodi mobil. Roy memperhatikan tingkah laku penghuni mobil misterius itu. Siapa mereka? Hati Roy tidak enak juga. Apa mereka ada urusan denganku? Roy menggelengkan kepalanya, ketika empat orang berdiri menghalangi jalannya. Tapi Roy berjalan juga, walaupun hatinya kebat-kebit. Roy berusaha tersenyum ramah. "Numpang Iewat; Mas." Tapi mereka memasang wajah tidak bersahabat. Bahkan yang memakai T -shirt mahal menghadangnya. Lengannya menolak tubuh Roy kuat-kuat. "Kamu anak mana, sih?" bentaknya. Roy mundur beberapa Iangkah. Darah lelakinya jelas bergolak diperlakukan begitu. Dia tahu siapa yang sedang dihadapinya kini. Empat lelaki dewasa yang punya kekuasaan karena kelebihan materi. "Ada apa toh, Mas?" Roy betul-betul tidak mengerti. " Ada apa, ada apa!" si T-shirt mahal itu tambah berang. Roy mengeraskan gerahamnya, karena jengkel dan marah. Dia menatap lekat-lekat, semuanya. "Kayaknya Mas-mas nih doyan cari keributan, ya?" nada Roy mulai naik. Keempat pemuda itu bergerak gelisah. Mereka mulai mengurung Roy, Yang memakai topi hijau menghardik, "Kamu tadi jalan sama Mima, kan?!" Roy kaget sekali. Kini jelas semuanya. Lagi-lagi wanita penyebabnya. Dia menggigit bibirnya. Kacau, kacau sudah. Aku menggali lubang rupanya di sini! maki Roy. Wanita memang selalu jadi kambing hitam lelaki. Sejarah membuktikan itu semua. Tapi kenapa perempuan tidak mengkambinghitamkan lelaki? Kenapa sejarah tidak menuliskannya? batinnya lagi. "Kalau urusan soal perempuan, Mima, sori, aku nggak mau ribut-ribut!" Roy berlalu. Tapi si T-shirt mahal bermaksud mencekalnya. Roy yang memang gampang rneledak-ledak dan cepat sekali terpancing, karena semuanya terbentuk dari kepahitan hidupnya, langsung saja melayangkan tinjunya dengan kesal pada kesem.patan pertama. Dia bermaksud menghindar setelah rnernukul tadi, walaupun mungkin itu pengecut. Seseorang yang lain menjambret dan Roy menyikutnya. Si topi hijau menendang dan Roy terjengkang. Sebelum yang seorang lagi menyerang, Roy dengan nekat menubruk. Dia membabi-buta menghajar, walaupun dirinya dipukuli. Pertempuran yang tidak manusiawi. Roy terhuyung-huyung menyeka hidungnya yang berdarah. Dia mengincar si T-shirt mahal. Dia berteriak manpa diduga. Si T-shirt mahal mengerang kesakitan dan Roy berlari dikejar-kejar mereka. Roy menerjang apa saja. Dia tidak ingin menoleh. Dia hanya ingin berlari. Berlari. Ketika dirasakannya semuanya aman, Roy menoleh. Napasnya tersengal-sengal. Dia kini ada di bibir sungai yang selalu diributkan orang. Hati-hati dia menuju tepiannya. Menyibak permukaan air sungai dengan kedua tangannya. Pelan-pelan dia membasuh wajahnya. Dia meringis perih ketika luka di bibirnya kena air. Roy menarik napas panjang. Dia tampak waspada ketika ada suara orang. Ah, itu hanya orang yang mau buang air besar, Roy. Lalu dia duduk-duduk. Melamun. Melihat langit yang gemerlapan oleh bintang. Bulan curna separuh saja. Semuanya menggantung indah di langit dan Roy merasa terhibur. Tiba-tiba dia ingat surat yang akan ditulisnya buat mamanya di rumah. Buru-buru dia beranjak. Kali ini dia terpaksa ekstra hati-hati menuju penginapannya. Dia menghihdari tempat-tempat yang ramai. Dia menyelinap di lorong-lorong. Dia menjadi bayang-bayang malam ini. Dengan perasaan lega Roy merebahkan tubuhnya di kasur. Apa yang mesti aku tulis buat Mama? Bingung sekali hatinya. Dicari-carinya kertas di ransel. Dia menyobek beberapa lembar kertas di buku hariannya. Roy dengan bergetar mulai menuliskannya:    Mama  Roy mungkin anak durhaka, tapi Roy mencintai Mama. Bukankah kalau ingin maju, kita mesti mencari ilmu itu. Mama pernah bilang, bahwa kejarlah ilmu sampai ke ujung dunia. Roy juga ingin sampai ke ujung dunia, Ma. Roy sungguh tidak tahan menunggu saat itu tiba. Menunggu sampai lulus SMA. Roy mengecewakan Mama. Roy membuat Mama marah. Tapi, Mama harus mau menerima kenyataan, bahwa Roy gagal di sekolah. Mudah-mudahan dalam hal lain Roy bisa membuat Mama bangga. O ya, Ma, tempo hari di Bandung, Roy melihat Opa-Oma. Mereka tampaknya ingin sekali ketemu Roy. Tapi Roy tidak ntau. Kasihan juga melihat Opa-Oma. Kabarnya usahanya mundur, Ma. Mungkin kita mesti mengalah ya, Ma, untuk datang lagi bersilaturahmi. Semuanya pasti beres. Kita bisa berkumpul dengan kerabat almarhum Papa. Tapi kapan ya, Ma, kita bisa berkumpul dengan mereka ? Mama, Roy memang pergi lagi. Tapi pasti akan pulang.    Si bandel itu membaca lagi kalimat-kalimat yang ditulisnya. Surat kepada mamanya hanya bisa sampai di situ saja. Dia tidak mampu lagi menuliskan kata-kata lainnya, karena ada yang menyentak di dadanya, yang menyebabkan matanya berkaca-kaca. Si bandel itu melipat suratnya dan memasukkannya ke amplop.   IX. DI BAWAH HUJAN    aku rindu merah matahari mengusir gelap malam sekelilingku bulan cuma bayang remang-remang memerahlah matahari di dada, wahai! memecah kabut belenggu-belenggu atas cinta yang mulai kembang     Toto ST Radik   ***   Ada yang mengetuk pintu kamarnya. Lelaki yang merasa tubuhnya masih sakit-sakit sehabis dikeroyok semalam itu mempersilakan masuk. Pintu kamarnya memang tidak dikunci. Lelaki itu sendiri masih meringkuk di kasur. Seorang pelayan yang tadi sengaja disuruhnya, masuk membawa sepiring sarapan dan teh panas. Dengan lahap lelaki itu menyantap sarapannya yang bergeser hampir ke jam sepul.uh. Masih tetap di kasurnya. Setelah selesai, Piring-gelas litu digeletakkan begitu saja di bawah kasurnya. Lalu dia bersender di tembok. Menarik napas dan memejamkan matanya. Surat untuk mamanya masih menggeletak di meja. Drama menyebalkan tadi malam berkelebat lagi. Dia meraba bibirnya yang pecah. Darah kering terasa di sana. Pipinya yang sembap pun dielus-elusnya. Kalau ketemu lagi dengan keempat orang itu, wah celaka aku! batinnya mengeluh. Tapi, seumpama aku hanya dipertemukan dengan T-shirt mahal saja hari ini, huh, akan aku ajak berkelahi dia sampai puas! Sampai ada salah seorang yang kapok, yang menyerah! gerutu batinnya. Tidak peduli apakah yang menyerah dan yang kapok itu aku atau si T-shirt mahal. Lelaki itu merebahkan tubuhnya lagi. Tertidur lagi. Lelah dan menderita sekali dia. Sementara di luar kamar, langit mulai diserbu awan dari segala sudut. Matahari terkurung. Orang-orang yang berkeliaran di jalan mulai bergegas. Begitu juga para pedagang kaki lima, mereka mulai bersiap-siap menggulung atau menutup dagangannya. Tapi suasana seperti ini justru menggembirakan sebagian anak-anak. Mereka siap-siap menanti hujan dengan payungnya di tempat-tempat strategis. Siapa tahu ada yang membutuhkan jasa payung jika hujan mengguyur nanti. Pintu kamar itu ada yang mengetuk. Lelaki itu menggeliat, tapi tidak berusaha bangun. Terdengar ketukan lagi. Agak keras dari ketukan yang pertama. Lalu terdengar suara seorang wanita memanggil namanya. Masih saja lelaki itu tidak berniat untuk bangun. Dia seperti tidak menggubris ketukan dan panggilan tadi. "Roy, kamu masih di dalam?" Wajah seseorang menyembul. Wanita itu pelan-pelan mendorong pintu kamar. Dia menggelengkan kepalanya, begitu melihat Roy masih saja meringkuk. Dia mengambil piring, dan gelas di lantai,lalu meletakkannya di meja. Wanita itu menggelitik perut Roy. Roy menggeliat. Wanita itu menggelitik lagi. Roy terpaksa memicingkan matanya. "Oh, kamnu," ketus sekali suara si bandel itu. Mima heran juga. "Bangun dong, Roy." Mima menarik lengan Roy. "Kok, hari ini nggak ramah sih?" tanyanya manja. Roy bangkit. Dia berjalan ke jendela. Membukanya lebar-lebar. Si bandel itu menguap. Dia menyisir rambutnya yang kusut dengan jari-jarinya. Lalu membalik. Sinar dari luar yang masuk menampar wajahnya. Mima terkesiap! Roy meringis. "Kenapa kamu, Roy?" Mima mengusap-usap wajah Roy. "Seperti habis dijotosi, Roy?" Si bandel lagi-lagi meringis. Angin yang berkesiur dari luar masuk ke dalam lewat jendela. Tampaknya hujan bakal turun siang ini. Si bandel mengambil handuk, dan menyelendangkannya di leher. "Kamu kok diem aja, Roy?" Mima duduk di kusen jendela. "Aku mandi dulu." Roy ngeloyor ke luar kamar dan berjalan ke belakang. Untung kamar mandi yang cuma dua, tertutup satu. Roy ternyata masih bisa bersiul-siul masuk ke kamar mandi, walaupun hatinya semrawut. Mima menggigit bibirnya. Seperti ada yang tidak beres terjadi semalam. Sepulang Roy dari rumahnya, Yoyo dan tiga orang kawannya datang mencak-mencak, karena rencana mereka ke Kaliurang batal, gara-gara Mima nggak datang. Padahal kawan-kawannya sudah berkumpul semua. Roy memang sudah membuat Mima lupa dengan rencananya. "Lelaki tadi siapa, Mima?" Yoyo cemburu sekali malam tadi. Mima hanya mencibir dan berlari ke dalam rumah. Apakah... apakah Yoyo dan ketiga kawannya tadi malam menguntit Roy, lalu menjotosi Roy di tempat yang sepi? Bisa jadi begitu, batin Mima gelisah. Mima kini menggigit bibirnya. Lelaki ini daya pikatnya luar biasa sekali, bisik hatinya. Roy memang membuatku lupa pada Yoyo. Dia memang lain. Tidak seperti lelaki-lelaki yang pernah dikenalnya. Dla berkarakter dan punya kepribadian. Tapi aku suka kebandelannya, puji hatinya terus. Roy masuk lagi dengan rambut yang basah dikeramas. Handuk kini melilit di pinggangnya. Dia cuek saja mengenakan celana dan baju di depan Mima. Dia tidak risi sama sekali, padahal Mima melengos memandang ke luar lewat jendela. "Kamu mau apa kemari, Mima?" Suara Roy .tanpa rasa, tapi dia sudah di belakang Mima. Memeluknya pinggangnya. "Ini yang kamu ingini, kan?" Si bandel itu sudah membalikkan tubuh Mima. Menciumnya dengan kasar. Tidak terpuji sekali kelakuannya. Mima meronta. Roy tertawa puas. Hujan gerimis mulai turun di luar. "Kamu nggak punya perasaan!" Mima membuang wajah. "Cowokmu yang nggak punya perasaan kali, ya ?" ledek si bandel itu sambil mengemasi ranselnya. Dia sudah mengambil keputusan, bahwa hari ini mesti menyandang ransel lagi menuju matahari terbit. "Roy!" Mima memandangnya. "Kamu dikeroyok, ya?" khawatir sekali pertanyaannya. Roy diam saja. "Sama siapa, Roy?" Mima memegang lengan Roy. "Mana aku tahu!" dia menghindar. Mima menarik lengannya supaya berdiri. "Kamu mesti ngomong siapa orangnya, Roy!" kata Mima kesal. "DX biru gelap!" kata Roy. "Ah, lupain aja deh soal perkelahian semalam itu, Mima. Melihat bibirmu saja, rasa sakitku kontan hilang," Roy konyol lagi sambil mendekatkan wajahnya. Kelakuannya tidak beradab. Mima tidak keburu bertindak apa-apa. "Ah!" Tiba-tiba Roy kesal sekali, karena bibirnya yang pecah kena jotos semalam terasa perih. Hujan mulai rapat. Jendela dibiarkan terbuka sehingga angin membawa cipratan air hujan ke dalam kamar. Mereka tidak peduli kalau tiris hujan berupa embun yang menyerupai sayap-sayap menyelimuti. "Aku mau meneruskan perjalanan hari ini, Mima." "Kamu kayak sedang main di film-film koboi Amerika saja, Roy. Meninggalkan banyak cewek di setiap kota yang kamu lewati." Mima memeluk Roy dari belakang. Roy meringis. "Kamu nggak mau cerita tentang wajahmu yang sembap itu, Roy?" Roy memencet hidungnya. "Kalau kamu mau tahu, okelah," kata si bandel itu duduk di meja. Lalu dia bercerita tentang mobil biru gelap dan empat orang lelaki yang mengeroyoknya tadi malam. Komplet dengan ciri-cirinya. "Mereka, Yoyo dan kawan-kawannya," kata Mima. "Aku memang udah janji sama mereka mau ke Kaliurang. Tapi gara-gara kamu, aku mesti membatalkannya." Si bibir delima itu tersenyum. "Kamu sudah memikatku, Roy. Kamu memang cowok menarik." Terus terang sekali bicaranya. "Aku memang selalu memikat cewek-cewek model kamu, Mima." Mima merasa tidak enak mendengar kalimat Roy tadi. "Aku dan kamu, punya sifat yang sama. Dan itulah sebabnya kita dipertemukan. Kita ini ibarat anak panah dan busur. Aku anak panah dan kau busur. Aku mesti kaubidikkan untuk mencari busur yang lain lagi." "Aku nggak ngerti omonganmu, Roy?" "Kamu nggak ngerti?" Roy menatapnya. "Kamu nggak ngerti sama sekali tentang pertemuan kita di bis tempo hari? Tentang pertemuan kita selanjutnya di rumah Ayu? Kencan kita malam itu? Dan barusan yang tadi? Kamu nggak ngerti kenapa semua itu terjadi? "Kita hanyalah orang-orang yang suka membuat kenangan. Membuat sesuatu yang singkat jadi berkesan manis. Tapi itu untuk sesaat saja, Mima. Nggak bisa diulang. Dan setelah itu, usai sudah cerita kita ini," bicara Roy rada susah diikuti kalau sudah sok berfilsafat. "Maksudmu, Roy?" "Kita baru beberapa saat saja kenal, Mima. Inget itu," Roy menegaskan. Mima menggigit bibirnya. "Itu berarti kamu menilai aku negatif, Roy," sedih sekali suara si bibir delima ini. "Kenapa nggak pake kalimat sederhana saja, Roy? Misalnya, kamu perempuan gampangan, Mima. Itu kan langsung mengenai sasaran." Mima berkaca-kaca matanya. Roy menarik napas. Mima mulai ierisak-isak. "Terserah kamu mau menilai aku apa, Roy. Terserah. Aku memang sering gonta-ganti pacar, tapi aku bukan cewek yang gampang terpikat sama lelaki. "Kecuali, kecuali... sama kamu, Roy." Mima betul-betul menangis. Si bibir delima ini sudah tidak peduli lagi keterbukaan perasaan hatinya akan dinilai bagaimana oleh Roy. Roy pun trenyuh. Ini jelas sebuah kejujuran. Ah, kenapa segala sesuatunya mesti saja sepihak? Ada sedih dan gembira, siang atau malam, atau apa saja yang saling berlawanan, kita sudah tahu. Seperti jika perasaan Mima itu muncul dalam diri Roy, di pihak wanita justru terjadi kebalikannya. Dan juga sekarang, di saat Mima mendapatkan perasaan itu, Roy justru tidak. Kenapa? Ada yang punya jawabannya? Roy merangkul pundak Mima. Bagaimanapun perasaan seseorang mesti dihargai. Apalagi seorang wanita, yang pada dasamya berhati lembut. "Mima...," rada susah juga Roy memulai. "Aku bisa mengerti perasaan kamu. Aku nggak nyangka kalau kata-kataku tadi melukaimu. "Tadinya aku kira, kamu hanya mencari sesuatu yang lain saja dariku, seperti juga halnya aku. Aku memang hanya memanfaatkan kamu saja. Aku hanya iseng. Nggak ada maksud selain itu. "Aku memang norak. Mungkin juga bajingan. "Kamu mesti memaklumi aku, Mima." Roy menghela napas dulu. Lalu, "Aku sedang melakukan perjalanan jauh, Mima. Dan itu berarti, aku menolak keterikatan. Ah..." Roy bingung sekali. "Kalau ternyata kata-kataku yang ini pun melukai perasaan kamu, aku lebih baik nggak ngomong apa-apa." Si bandel itu menuju jendela. Dia menjulurkan lengannya jauh-jauh, menggapai air yang jatuh dari genting. Dia menampung air itu di kedua telapak tangannya. Lalu membasuhkannya ke mukanya. "Tapi, aku nggak terima kalau kamu menganggap aku cewek gampangan!" Tanpa diduga Mima berlari ke luar kamar. "Mima!" Roy memburunya. Mima terus berlari ke luar. Roy menggerutu. Kalau sudah begini, Roy hanya bisa mengutuki dirinya yang konyol. "Mima!" panggilnya lagi. Mima malah menerobos hujan. Roy kini sudah di belakangnya. Dia mencekal lengan Mima kuat-kuat. Mereka tarik-menarik. Orang-orang yang kebetulan berteduh memperhatikan mereka. Roy rada kikuk juga. "Denger dulu, Mima! Denger, kataku!" Roy menandingi suara hujan. Dia menarik Mima kuat-kuat ke sebuah gedung. Tapi Mima tidak bergeming. "Keras kepala!" Roy mulai tidak sabar. Si bandel itu melepaskan pegangannya. Dia berdiri saja mendengarkan suara tangis Mima. Hujan terus mengguyur mereka. Tangis Mima mulai mereda. Roy menyentuh pundaknya. Dia berkata peIan, "Nggak baik berbasah-basah begini, Mima. Yuk..." Roy membimbingnya. Mima menurut. Dadanya mulai teratur lagi. Roy merangkulnya. "Aku minta maaf. Sungguh. Kan tadi aku sudah bilang, bahwa aku sama sekali nggak menduga perasaan kamu." Mima menatapnya sebentar. Dia melepaskan pegangan Roy. Lalu dia menuju ke pinggir jalan. Si bibir delima itu menyetop taksi. Dia sama sekali tidak berkata-kata lagi. Kesedihan jelas tergambar di wajahnya. Tapi dia berusaha menelannya saja, tanpa perlu mengunyahnya lagi. "Kamu nggak ngomong sesuatu, Mima?" Roy menyeka wajahnya. Mima melambaikan tangannya ketika melihat taksi yang lampunya menyala. Taksi itu berhenti persis di depannya. Ketika dia hendak membuka pintu belakang, Roy menahannya. Mima memperlihatkan sikap tidak mau diganggu. Tiba-tiba wajahnya berubah keras. Roy tidak enak juga. Si bandel itu mundur, memberi jalan kepada Mima. Mima membuka pintu mobil dan naik. Menutupnya lagi. Ketika melakukan gerakan-gerakan tadi, dia sama sekali tidak mempedulikan Roy. Roy merasakan dadanya berkecamuk. Ingin sekali dia berteriak. Taksi melaju membelah jalan yang tergenang air hujan. Roy memaki-maki sendirian. Dia membanting kepalan tinjunya ke udara. Wajahnya menengadah ke langit. Membiarkan dipukuli hujan. Dia malah membuka mulutnya lebar-lebar. Membiarkan air hujan membanjir di mulutnya. Lalu dia memaki-maki lagi. BERSAMBUNG BALADA SI ROY #8 Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt