BALADA SIROY #5 - BLUE RANSEL PENGARANG: GOLA GONG mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt I. BLUE RANSEL 1 Lalu setelah ini apa? begitulah berulang kali aku bertanya sambil menyeret beribu impian kutahu tiada yang 'kanmenyahut di bumi asing yang kian keriput cuma deru angin, cuma deru angin! Toto STRadik *** Adadi mana remaja bandel itu sekarang? "Ma kasih, Mas!" Dia melompat turun dari sebuah truk. Senyum riangnya muncul sambil mengacungkan ibu jari. Si sopir mesem-mesem dan menggelengkan kepala. Roymenepiskan debu-debu yang menempel di tubuh seperti dia menepiskan kekhawatiran orang-orang yang dicintai dan dekat dengannya. Ya, dia tidak pernah peduli dengan hal-hal begitu jika sudah ingin bertualang. Mamanya memang bisa memaklumi, bahkan sudah ikhlas. Tapi apakah dia tahu hal lainnya? Seperti si manis Suci yang gelisah sendirian di kamarnya. Baru saja Toni mengabarinya lewat telepon, bahwa siRoy pergi avonturir. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa seperti ada yang akan hilang, yang pasti akan selalu dirindukannya. Berapa lama, si manis tidak pernah tahu. Dia memang belum mengenal jauh siRoy . Sedikit-sedikit memang dia baru tahu sebatas yang dibaca di cerita-ceritanya. Ya, si manis gelisah sendirian di kamarnya, sedangkanRoy tidak tahu sampai sejauh itu. Si bandel malah sedang berada di sebuahkota kecil, yang tercatat dalam sejarah dengan pertempuran Palagan-nya. sebuahkota yang sering dikunjungi orang untuk melihat beragam kereta api tempo dulu.Kota yang masih dihiasi andong, sehingga sering terdengar bunyi tapal kuda-tak tok tak tok tak tik tok-ditimpali dengan desisansais , celetar cemeti, dan ringkik kuda. Langit siang itu digayuti awan. Tidak pekat sehingga biru langitnya masih samar kelihatan. Tapi pasti akan hujan, karena angin mulai berembus. Roymenyandang blue ransel-nya. Memasuki halaman monumen Palagan. Dia memang menyukai warna biru. Seluruh yang melekat di tubuhnya serba biru. Setelan jeansnya. Baginya biru adalah cakrawa1a. Langit dan laut. Di mana birunya langit terkaca di birunya laut dan begitu juga sebaliknya. Atau kedua-duanya akan terkaca di bening mata seorang gadis: k a m u! Si bandel asyik tenggelam ke masa revolusi fisik dulu. Dipimpin seorang Isdiman, masyarakatkota ini mempertahankan buminya dari bule-bule serakah. Oh, betapa banyak nyawa dipertaruhkan. Tiba-tiba dia merasa terharu dan iri, karena dilahirkan belakangan, sehingga hanya bisa membaca dan mengenangnya saja. Angin kini menderu-deru. Roymelihat gadis itu masih menunggu bis di emperan toko. Ketika dia melompat dari truk tadi, gadis itu sudah dilihatnya sekelebat. Sekarang dia melompati pagar monumen tanpa menggubris tulisan larangan melompat, karena tiba-tiba hujan gerimis turun. Dia berlari ke emperan toko di mana gadis itu juga berteduh disana . Roytersenyum. "Belum dapat bis juga, Mbak?" "Penuh terus," kata si gadis ramah. Matanya tampak berkilat, seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Matanya, Mbak."Roy tertawa, "Apa saya mirip maling?" gurau si bandel. Cadis itu tersadar dan tertawa sedikit. Tapi kalau saja dadanya diraba, akan terasa debar jantungnya yang tidak teratur. Mungkin ada ombak dan bunyi petir disana . Entah kenapa bisa begitu. "Ke Semarang ya, Mbak?"Roy meletakkan blue ransel-nya. "He-eh." Dia mengangguk. Roymenyodorkan tangannya. Mereka berjabat tangan sambil menyebutkan nama. Erat dan hangat. Kedua-duanya ekstrover. Memang harus begitu jika sedang bepergian. Tentunya mendapat kawan baru untuk ngobrol di perjalanan sangat mengasyikkan. Misalnya di bis, yang cewek dapat kawan duduk cowok atau sebaliknya. "Kamu mahasiswi ya, Is?'! tanyaRoy . Iis tersenyum. "Baru tingkat persiapan. Di sastra. Kamu, Roy?" Si bandel tertawa. "Masih SMA. Kelas dua dan pernah nggak naek kelas!" "Keluyuran terus, sih." Iis tersenyum. Gerimis semakin menggila. Mereka merapat ke dinding toko.Roy merogoh saku jaket. Mengambil rokok dan menyalakan Zippo dengan menggesekkannya ke celana jeans. Iis memperhatikan saja setiap gerakannya.Ada sesuatu yang menari-nari di sorot matanya. Sesuatu yang mesti dikenangnya jika melihat petualang jalanan ini. Yang pernah dikecap teramat manis sekaligus meninggalkan luka yang dalam. Sayang siRoy tidak menyadarinya. "Kamu perokok juga,Roy ." "Inilah salah satu problem hidup yang belum bisa saya atasi, Is. Berhenti merokok." "Berarti masih ada yang lainnya?" Royhanya tertawa. "Sebutin satu lagi dong!" ledeknya. Roylagi-Iagi hanya tertawa. Tapi, "Oke." Katanya pelan, "Cinta." Iis menatapnya. Ya, cinta. Itulah juga problem hidupnya yang belum bisa diatasi selain merokok, tablet-tablet laknat, dan sekolah. Tentang cinta, mungkin luka masa silamnya yang permanen membentuknya begitu. Jadi jangan berbicara soal cinta dengannya, walaupun John Lennon bilang: Love is love, atau sebagian orang bilang: Love is blind, baginya tetap tidak keduanya. Lantas: What is love? Seorang petani akan mati-matian membela sawahnya jika diserang wereng, karena dia mencintai tanah garapan setelah bersusah payah menghitung musim. Atau anak kecil tukang jual koran yang sudah dilarang di perempatan jalanJakarta , yang mesti kejar-kejaran dengan Polantas, karena selalu dianggap biang kerok semrawutnya lalu lintas. Anak kecil penjual koran itu punya "cinta", ya pada lembar-lembar koran itu. Hujan masih rintik-rintik. Namun kini mulai mereda. "Muter-muter naek andong kayaknya asyik, ya!" usulRoy . Iis tersenyum. "Kamu buru-buru, Is?" Iis menggeleng. "Mau nemenin saya naek andong, Is?" Iis menatapnya. Dia seperti mencari kesungguhan di balik ajakannya tadi. Lalu Iis mengangguk juga. Mereka memang cepat akrab. Mungkin sama-sama membutuhkan. Yang lelaki karena lelah setelah diguncang-guncang truk, sedangkan yang wanita bosan menunggu bis yang belum muncul-muncul juga. Terserah mau menganggap mereka sembarangan. Yang jelas sebuah misteri terungkap di sini. Kini mereka sudah bermesraan duduk berangin-angin di tempat rindang, memandang danau Rawa Pening. Tempat yang biasa di sebut "Bukit Cinta" oleh orang-orang. Suasana hening sore hari membius mereka. "Kamu nakal,Roy ," kata Iis. Roytertawa kecil. "Katanya kamu mau cerita, Is. Ayo, ceritalah," kataRoy tidur-tiduran. Iis memandangnya lama-lama. Tiba-tiba matanya bersinar dan berkaca-kaca. "Katakanlah ini sebuah kebetulan,Roy ," Iis memulai ceritanya. "Atau apalah saja namanya. Yang jelas ini sudah aturan Tuhan, bahwa kita mesti ketemu di sini dan mungkin juga mesti berpisah di sini." Dia menarik napas dulu. Lantas ceritanya lagi: Semasa SMA Iis sering menyakiti lelaki, pacar-pacarnya. Iis senang melakukan itu karena ibunya disakiti dan dikhianati ayahnya.Ada wanita lain yang merebut ayahnya sehingga perkawinan kedua orangtuanya berantakan. Ibunya memilih dicerai saja ketimbang dimadu. Begitulah terus Iis menyakiti setiap lelaki yang mencintainya, karena di situlah dia merasa sudah ikut membalaskan kenyerian hati ibunya. Lantas sampai suatu saat ketika para dewa menurunkan seorang lelaki untuk menaklukkannya, Iis memang bertekuk lutut. Jagat raya bersorak, karena putri liarnya sudah berada aman di pelukan pangerannya. Tapimalang tak dapat ditolak. Ketika mereka sedang asyik-asyiknya berkasih-kasihan, si lelaki tewas kecelakaan. Tragis! Satu lagi kisah hidup manusia terekam di benakRoy . "Lelaki itu mirip kamu,Roy ." Iis betul-betul terisak. Royberdiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini jelas mengada-ada, batinnya. Tapi tentang cerita Iis tadi, hatinya selalu lumer jika mendengar penderitaan, karena hidupnya sendiri terdiri dari kisah-kisah semacam itu. "Sejak kamu turun dari truk tadi dan kemudian asyik melihat-lihat monumen Palagan, saya sengaja membiarkan bis-bis lewat. Kenapa? Karena saya ingin menikmati kamu lebih lama, Roy. "Saya tahu ini mimpi. Saya sendiri nggak yakin, Roy. Mungkin ini seperti kamu merokok lantas puntungnya dibuang," kata Iis pelan sambil memungut batu kecil. Dia berdiri dan melempar batu kecil itu sebisanya. Bunyinya: p l u n g. Roy merasa tidak enak juga. Wajahnya tengadah ke langit, barangkali ada warna biru bisa dinikmati di sana untuk menyejukkan hati yang gelisah. Tapi ternyata warna kelabu yang menggantung di sana. Kalau saja sekarang berada di pantai, apakah warna biru laut bisa dinikmati? "Boleh saya tanya, Roy?" "Asal jangan tentang cinta saja," kata Roy. "Kamu pernah patah hati?" Roy tertawa hambar. 'Tadi kan sudah saya bilang, jangan tanya soal cinta." Iis memandangnya. "Dari sini kamu terus ke mana, Roy?" "Ke Surabaya." Roy mengemasi matrasnya yang dijadikan alas duduk. "Kita cabut, yuk! Kayaknya mau hujan lagi." "Antar ke Semarang ya, Roy. Di sana kamu bisa naek kereta kan," pinta Iis. Roy mengangguk. Dia menyandang blue ransel-nya dan Iis merapatkan tubuhnya terus. Roy berusaha menghibur dan menyenangkan hatinya. Di atas bis, gadis malang itu tertidur pulas. Di wajahnya terlukis kebahagiaan. Roy berusaha untuk tidak mengusiknya. Di sebuah kota menjelang Semarang, bis memasuki terminal. Roy melompat turun dan tergesa-gesa mencari kamar kecil. Tidak terpikir olehnya untuk lapor pada kenek atau sopir, karena bis pasti berhenti agak lama. Tapi dasar sial, di kamar kecil dia bersenggolan dengan seseorang yang berangasan tampangnya. "Maaf, Mas, saya buru-burn nih." Roy ngeloyor saja masuk. Tapi lelaki berangasan itu tidak mau terima. Dia malah dengan kasar mencekal bahu Roy. Alamat tidak beres! Bahkan lengan kukuh khas jagoan terminal itu sudah mencekal kerah jaketnya. Mendesak Roy ke dinding. "Lain kali lihat-lihat kalau jalan!" bentaknya. Roy diam saJa. Si berangasan itu melepaskan cekalannya dengan kesal. Roy menarik napas lega. Dia buru-buru ke kamar kecil. Semuanya bergerak dengan cepat. Dia langsung berlari karena takut ketinggalan bis. Ternyata, ya Tuhan! Dia panik sekali ketika bis itu sudah tidak ada. Dia berlari ke jalan raya. Berlari terus. Ada kira-kira sebatas pandang bis itu kelihatan. Dia berteriak-teriak. Berteriak-teriak seperti orang gila. Tapi sia-sia saja. Ah! Tapi bukankah di bis itu ada Iis! Batinnya sedikit berharap. Ayo, Is, tunggu apa lagi! Cepat turun dari bis! harapnya terus. Ketika dirasa harapannya tidak kunjung datang, dia mengutuki kebodohannya yang suka gegabah dan tidak memperhitungkan segalanya masak-masak. Lalu dilihatnya sekelompok anak muda sedang nangkring dengan motor-motornya. Dia dengan kalap menghampiri mereka. "Pinjem motornya, ya!" Tanpa basa-basi dia bicara. Napasnya turun-naik tidak teratur sehingga kedengarannya jadi kurang sopan. Anak-anak muda itu memandangi Roy dengan curiga. "Ayolah! Nggak usah mandang saya dengan curiga begitu!" Roy mulai kesal. "Saya mau ngejar bis itu!" Dia menunjuk semaunya. Dilihatnya sebuah motor yang kuncinya tergantung. Secepat kilat dia menunggangi dan menendang si empunya yang berusaha menghalanginya. Bahkan memukul salah seorang yang nekat menghalanginya ketika hendak menyela. "Nanti saya kembalikan!" teriak Roy melepaskan kopling. Anak-anak muda itu sejenak memang seperti terpesona melihat kenekatan Roy. Pikir mereka, seperti di film-film action saja. Tapi mereka akhirnya naik pitam dan rame-rame menguber Roy. Mereka jadi liar kebut-kebutan di jalan. Bunyi peluit polisi di perempatan tidak mereka gubris. Bunyi sirene polisi meraung-raung. Roy mengatupkan gerahamnya. Berabe kalau sudah berurusan dengan polisi. Akhirnya Roy menepi ke pinggir jalan. Anak-anak muda itu mengurungnya dengan marah. Malah hampir-hampir mengeroyok Roy jika tidak keburu dilerai polisi. Dengan lunglai si Roy menurut saja diangkut ke kantor polisi, diikuti anak-anak muda itu. Dikantor polisi Roy berusaha menjelaskan persoalan sesungguhnya. Dia tidak jemu-jemunya memohon pengertian kelompok anak muda itu sambil minta maaf. Dia mengakui segala kesalahannya dan kalau perlu siap menerima balasan pukulan dan tendangan. Akhirnya polisi dengan bijaksana menyerahkan semua persoalan kepada mereka. Dan kelompok anak muda itu mau tidak mau menerima juga. "Apa yang mesti kami bantu sekarang, Roy?" Mereka malah menawarkan jasa. Roy tidak enak juga. Sekali lagi dia mohon maaf dan memuji kebaikan mereka. "Seharusnya saya bicara agak sopan tadi. Maklum saya panik," kata Roy. "Kami yang kurang tanggap dengan situasi kamu tadi." "Iya. Kalau saja kami membiarkan kamu mengejar bis itu, pasti semuanya beres." "Udahlah," kata Roy semakin tidak enak mendengar mereka merasa yang paling bersalah. "Antar saya ke terminal, ya!" katanya lagi mengambil keputusan akhir. Hidup Roy memang ingin diisi dengan berbagai kisah. Dia ingin menggelutinya sampai ke batas mana pun. Dia yakin kalau pantang menyerah, Tuhan akan senantiasa bersama. Karenanya dia selalu berusaha dan berdoa. Sekarang ke garasi bis ya, Roy!   II. BLUE RANSEL 2   akulah Sisyphus beribu tahun memburu matahari gelap malam dan bayangan hitam pepohonan hilangkan jejak koyakkan jiwa tapi aku adalah Sisyphus terus berlari walau fajar masih lama!   Toto ST Radik *** Seorang lelaki dengan jeans lusuh dan robek di sana-sini, serta keringat membekas di kausnya, baru saja naik dan mencari-cari bangku yang kosong. Ada ransel berdebu diseretnya. Jelas lelaki ini seorang yang senang mengembara. Dan dia tersenyum ketika melihat ada seorang gadis tertidur pulas sedangkan bangku di sebelahnya kosong. Tapi ada ransel berwarna biru tergeletak di sana. Lelaki itu menurunkan ransel. Duduk dengan hati-hati, karena takut mengusik tidur si gadis. Tapi ternyata si gadis menggeliat juga. "Sudah saropai mana, Roy?" Si gadis merapikan rambutnya yang kusut sambil melihat ke luar lewat jendela bis. Si lelaki keheranan. "Saya bukan Roy," katanya. Si gadis menoleh hendak tersenyum, tapi mendadak dia jadi panik. Dia berdiri rnelihat-lihat seluruh penumpang bis. Kecemasan dan kebingungan jelas terlukis di wajahnya. "Jangan bergurau!" katanya gusar. Matanya masih saja mencari-cari si bandel. Ke mana dia? batinnya kacau. "Kenapa, sih? Ngelindur, ya?" kata si lelaki meledek. "Roy!" si gadis berteriak panik. "Aduh, Pir! Berhenti dulu, Pir!" teriaknya lagi pada si sopir. Dia berdiri dan hampir saja terjatuh. Untung si lelaki menahannya. "Ke mana ya si Roy?" tanyanya pada si lelaki. "Kawan saya itu tadi duduk di sini!" katanya terus pada siapa saja. "Nggak ngasih tahu waktu turun tadi!" kata si kenek keras mengimbangi bunyi mesin. "Mungkin turun di terminal tadi!" seorang penumpang nimbrung. Iis hanya bisa duduk dengan lemas. Tanpa berkata-kata dia memegangi ransel biru itu, yang entah harus diapakan nanti. Ah, kenapa aku tidak memberikan alamat tempat kosku? batinnya mengutuk. Sebetulnya bisa saja dia turun kembali ke terminal. Tapi, dia harus memberi les Inggris kepada anak-anak sMP (lumayan buat nambah-nambah uang saku). Lagian bagaimana kalau si Roy menyusulnya dengan bis lain? Aduh, bagaimana nih? batinnya gelisah. "Tenangin dulu pikiran kamu, Mbak," lelaki yang duduk di sebelahnya mengusik. Iis tersadar lagi kalau di sebelahnya ada orang lain, yang kalau ditilik dari penampilannya tidak jauh beda dengan Roy. Memang bukan hal aneh untuk zaman sekarang, melihat anak-anak muda menyandang ransel di musim liburan, menyusuri jalan, menapaki bukit dan gunung untuk mengusir kejenuhan. "Jadi ransel biru ini bukan punyamu, Mbak?" Iis menggeleng. "Lantas ransel biru ini punya siapa?" Lelaki itu meneliti. Di ransel biru itu tertulis inisial dengan spidol besar-besar: R B H. Masih dengan kebingungan Iis bercerita tentang siapa yang memiliki ransel biru. Kedengarannya memang rada ngawur. Tidak ketahuan mana awal dan mana akhirnya. "Tenang dikit dong, biar saya bisa ngerti, Mbak." Lelaki itu tertawa kecil. Iis langsung berhenti bercerita. Dia terdiam dan menarik napas berkali-kali. Bis terus melaju tidak mempedulikan persoalan mereka. Sopir dan kenek janganlah disalahkan. Karena yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana caranya mengangkut penumpang banyak-banyak, sehingga setoran yang suka mencekik bisa mereka kejar. Apalagi ketika perusahaan-perusahaan bis semakin bersaing dalam menarik penumpang, sehingga persoalan-persoalan seperti Iis itu tidak boleh tambah merumitkan persoalan mereka yang sudah menumpuk. "Udah tenang sekarang, Mbak?" Si lelaki tersenyum. Iis melirik, tersenyum, dan mengangguk. "Oke, ceritalah." *** Hari baru saja menyentuh malam. Semua penumpang sudah turun di terminal. Tinggal dua orang saja yang belum turun. Rupanya mereka mengusulkan untuk ikut sampai ke garasi bis. "Jadi yang punya ransel biru ini Roy?" Iis mengangguk. "Kenapa? Kamu kenal?" Lelaki itu menggeleng. "Cuma, figur seperti yang kamu ceritakan itu pernah saya kenal. Entah di mana." Kini Iis yang ganti kebingungan. "Saya paling seneng membaca kisah-kisah petualangan di majalah, seperti saya menggemari Old Shaterhand yang begitu bangga dengan bangsa Jerman-nya. Mungkin si Roy yang kamu ceritakan itu menganggap dirinya bagian dari kisah-kisah petualangan itu. "Eh, ngomong-ngomong kamu seneng dengan kisah-kisah klasik? Petualangan? Sastra?" "Saya kuliah di Sastra," Iis menjawab pasti. Lelaki itu mengangguk. "Kamu yakin Roy bakalan dateng ke sini, ke garasi?" Iis masih belum yakin. "Percayalah itu." Dia mengangguk pasti. "Saya tahu naluri orang-orang semacam Roy. Saya bisa merasakannya, karena saya pun bagian dari itu. Seorang petualang, dia tidak akan pantang menyerah. Dia akan memulainya dari 'satu' sampai 'sembilan'." "Kenapa nggak sampai 'sepuluh'?" Iis menatapnya. Lelaki itu menggeleng. "Angka 'sepuluh' berarti 'puncak'. Sempurna. Dan bukankah yang sempurna itu hanya Tuhan?" Iis tersenyum saja mendengarnya. Rupanya lelaki ini sedang berfilsafat. "Udahlah, serahkan aja semuanya sama saya. Les Inggris itu lebih penting. 'Ntar anak-anak didikmu pada kecewa, karena gurunya yang cantik nggak datang. Honornya dikurangi lagi!" Dia tertawa. Iis merenung sambil minum es jeruknya. Dia bukannya tidak percaya dengan lelaki yang muncul tiba-tiba ini. Dia juga tahu kualitas orang-orang seperti lelaki ini, yang betul-betul menghayati arti petualangan sesungguhnya, yang mempunyai rasa solidaritas tinggi di antara sesamanya. "Okelah kalau begitu," kata Iis sambil menulis sesuatu di secarik kertas. Buru-buru sekali dia menulis. "Aku percaya sama kamu." "Nah, gitu dong!" lelaki itu bersorak. "Pokoknya besok saya sama si Roy datang deh ke tempat kos kamu!" Iis mengangguk-angguk. "Inget, jangan kamu salah gunakan kepercayaan saya ini!" Lelaki itu tertawa. "Orang-orang semacam kami, sepintas memang patut dicurigai. Tapi percayalah, syak wasangka seperti itu sama sekali nggak bener!" Iis melirik jamnya. "Oke, saya pergi sekarang. Dan surat ini kasihkan sama Roy, ya!" "Sip!" kata si lelaki menerima surat tidak beramplop. *** Si Roy berteriak kesal. Gerahamnya dikatupkan pertanda geram. Seseorang tadi menyerahkan secarik kertas kepadanya. Sekali lagi dibacanya surat itu: "Temui aku di stasiun. Tengah malam. Ransel birumu ada pada saya, kawan!" si pengembara Hanya begitu saja isi suratnya. Dia meremas-remas kertas itu hingga lumat dan menginjaknya dengan gemas. Huh! makinya. Bodoh sekali kamu, Iis! Masa sih percaya sama orang yang baru sekelebatan kenal di bis? Ah, siapa pula si pengembara? Dia meninggalkan garasi bis tanpa tahu juntrungannya mesti ke mana lagi. Dia lantas luntang-lantung saja menyusuri jalan-jalan di kota Semarang. Di depan toko kaset dia berhenti dulu, mendengarkan lagu Aku Kembali-nya Deddy Stanzah. Lagu ini jadi seperti rintihan penyanyinya yang come back setelah jatuh-bangun. Dan tiba-tiba, tanpa mempedulikan sekelilingnya, noraknya kumat. Dia buang dulu jauh-jauh kekesalannya, lantas mengikuti reffrain lagu si eksentrik itu sambil menirukan aksi panggungnya. Kemudian dia tersadar ketika ada beberapa orang yang merubungnya geli, nyinyir, dan melecehkan ulahnya yang tidak lazim. Heheheh... dia tertawa malu dan ngeloyor . Untuk perintang waktu menunggu tengah malam nanti, si Roy nangkring di tempat parkir. Dia duduk-duduk di sadel motor. Ngobrol apa saja dengan tukang parkir. Dia suka prihatin juga dengan golongan ini, yang kadang-kala suka mendapat perlakuan kurang bijaksana dari si pemilik kendaraan yang diparkir. Misalnya saja, "Nanti balik lagi ke sini, Mas!" begitu kata yang punya mobil dan motor. Atau, "Wah, nggak ada duit kecil, Mas!" Padahal apalah artinya sih uang seratus untuk parkir motor atau dua ratus untuk parkir mobil buat yang empunya kendaraan dibanding dengan harga kendaraan itu sendiri? Waktu merangkak terus. Si Roy kini sudah sejak tadi mondar-mandir di peron stasiun Tawang. Sudah beberapa kali dia tanya sana tanya sini: Adakah yang melihat seseorang menenteng ransel biru? Tapi nihil, nihil! Dia duduk di bangku. Menjambaki rambutnya yang kusut. Pengembara sialan! gerutunya. Dia memperhatikan orang-orang di peron. Semuanya pada bergeletakan kelelahan. Pada berkelompok. Dia melihat paling sudut peron ada sekelompok orang yang menjadikan ransel mereka sebagai bantal. Roy berdiri dari duduknya dan menghampiri mereka. Dia merogoh saku jaketnya. "Hai!" sapanya. "Hai juga!" balas mereka. "Kayaknya dilarang ngerokok ya di sini?" Roy meledek sambil melemparkan sebungkus rokok, setelah sebelumnya mencomot sebatang. "Thank's!" Yang memakai topi laken menangkap bungkusan rokok itu. Membagi-bagikannya kepada yang lain. Roy menyalakan Zippo buat mereka. Tapi yang menyender di dinding stasiun dan berambut gondrong menyalakan Zippo-nya sendiri dengan gaya seorang cowboy menembakkan pistolnya. Tampaknya si gondrong ini terpisah dari kelompok si topi laken. Iseng-iseng dia menghitung ransel yang bergeletakan. Cuma empat buah. Berarti si gondrong tidak membawa ransel seperti dirinya juga. "Mau pada ke mana, nih?" Roy basa-basi. "Bali!" mereka menjawab serempak. Roy rnenghampiri si gondrong. "Boleh dong ajarin gaya kayak tadi." Dia memainkan Zippo-nya. Si gondrong tertawa. Mereka lalu asyik saling bertukar gaya dalam menyalakan geretan Zippo. Sesekali tertawa kalau mereka berhasil menirunya. "Kamu mau ke Bali juga?" tanya Roy. Si gondrong menggeleng. "Mau ke surabaya," katanya. "Kamu nggak lihat seseorang bawa ransel biru?" Si gondrong menggeleng lagi. Lantas si Roy menceritakan persoalannya. "Jadi ransel kamu ilang?" "Bukan ilang, tapi dibawa kabur sama, sama siapa tadi?" "Sama pengembara sialan! Makanya kalau orang cerita tuh didengerin!" Roy dan si gondrong tertawa saja mendengar omongan kelompok si topi laken. "Kamu yakin nggak kalau si pengembara yang kamu bilang sialan itu bakal nepatin janjinya?" kali ini si gondrong bertanya. Roy merenung sebentar. "Menurut kamu, gimana?" Roy pasrah balik bertanya. "Kenapa balik nanya?" "Orang baik dan orang jahat itu bisa kita temui di mana-mana. Nah, saya nggak tahu sipengembara sialan itu masuk ke golongan yang mana. Yang baik atau yang jahat?" Si gondrong tertawa. "Ada duitnya nggak?" "Ada yang lebih berharga selain duit di ransel biru itu. Catatan-catatan dan konsep-konsep karangan saya yang belum selesai," kata Roy. "Oh, berarti kamu pengarang? Bisa seru nih kalau dibikin cerita!" usul si gondrong. Roy kini yang tertawa. "Nggak usah khawatir. Saya yakin ransel birumu pasti dibalikin," si gondrong menghibur. "Mudah-mudahan begitu," kata Roy sambil memejamkan mata. Dia merebahkan badan berbantalkan kedua lengannya. "Kayaknya kisah saya mesti berakhir di sini. Si Iis sama si pengembara sialanlah yang jadi biang keladinya." Kalimatnya sudah datar-datar saja. Si gondrong hanya tersenyum. Malam merembet terus, menjelang fajar. Kelompok si laken sudah sejak tadi asyik mendengkur. Orang-orang yang kelelahan dengan kerja kasar seharian bergeletakan di sepanjang peron tanpa mempedulikan suasana khas stasiun besar yang tidak pernah mati. *** Si Roy menggeliat kegerahan. Suara-suara orang membangunkannya. Ternyata hari lain sudah menjelang. Dia berdiri bersender pada dinding, memandangi kesibukan stasiun. Ada kereta ekonomi yang tidak lama lagi bergerakke arah timur mengangkuti orang kebanyakan. Mereka berjejalan di setiap pintu gerbong. Si petualang jalanan itu memandang ke kereta dengan pasrah. Si pengembara sialan ternyata tidak menepati janjinya seperti yang tertulis di surat. Dia menarik napas. Si topi laken dan tiga orang kawannya serta si gondrong sudah tidak ada. Mereka mungkin berjejalan di kereta tanpa karcis dan di perjalanan nanti pasti kucing-kucingan dengan kondektur. Tiba-tiba seorang anak kecil penjual koran mendekatinya. "Mas namanya Roy, ya?" tanyanya ragu-ragu. Roy tersenyum. "Rupanya beken juga saya di sini." Tawanya terdengar. "Ada berita apa hari ini di koran? Masih tentang perang? Kenaikan harga?" Anak kecil itu tidak menjawab apa-apa. Dia merogoh saku celananya yang lusuh. "Ada surat buat Mas." Anak kecil itu menyodorkan secarik kertas. "Dari siapa?" Roy tersadar dan langsung menyambar. Anak kecil itu lagi-lagi tidak menjawab. Dia ngeloyor. Roy membuka kertas itu. Ini pasti tentang ransel birunya! Permainan apa lagi dari si pengembara sialan itu? Dia tampak gemas, kesal, dan geram, begitu dibacanya kertas itu: Temui aku di gerbong. Cari aja! Si pengembara. Tanpa sadar dia berteriak dan berlari ke kereta. Aduh! Dia langsung berbalik arah, karena belum membeli karcis. Bukan apa-apa, dalam situasi darurat seperti ini dia tidak ingin menambah kesulitan tanpa membeli karcis kereta. Kalau kepergok kondektur dan diturunkan di tengah perjalanan, padahal ransel birunya belum ketemu, wah, sudah jatuh ketimpa tangga pula! Pluit sudah ditiup. "Tungguuuuu!" Roy berteriak dan berlari serabutan ke loket karcis. Dia tidak peduli menabrak siapa saja. Yang ada di benaknya cuma: ransel biru dan si pengembara sialan itu! Kereta mulai mendesis dan bergerak perlahan. Beberapa kali dia tersungkur bertabrakan. Orang-orang menyoraki memberi semangat. Ayo lari, Roy! Lari! Si bandel yang sedang kalap itu merendengi terus kereta yang bergerak. Dia tercecer dan tertinggal dua gerbong penghabisan. Tangannya berhasil meraih pegangan pintu kereta gerbong paling belakang. Ada beberapa orang membantu menarik tubuhnya. Hup! Dia berhasil melompat.   III. BLUE RANSEL 3   menarik garis langit di atas kertas putih dari setitik noktah tak kutemukan juga ujungnya selalu berlanjut dan selalu berlanjut menembus malam menembus siang terang bulan menyinari sebuah garis langit yang kutarik di atas sebuah kertas putih dari setitik noktah tapi selalu saja tak nampak jelas : garis langit memburam di atas kertas putih!   Toto ST Radik *** Yeah! Roy menarik napas lega. Melempar senyum kepada orang-orang yang bersorak dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia lantas meminta jalan untuk masuk ke dalam gerbong. Susah payah dia menggeliat di antara jejalan orang. Kereta ini mendesis dan semakin laju. Di luar jendela, rumah-rumah dan pepohonan berlarian ke belakang. Si avonturir bandel itu menuju gerbong paling belakang. Biasanya gerbong ini suka dimanfaatkan penumpang tanpa karcis. Kebanyakan pedagang kecil, di mana sang kondektur cukup bijaksana dengan meminta ongkos berapa saja sanggupnya. Tapi kepada anak-anak badung serta-merta sikapnya akan berbeda lagi. Kadangkala baju mereka dilubangi atau diturunkan di stasiun terdekat. Memang ada sesekali kondektur yang bisa diajak kompromi. Tapi bagi yang cari aman (nekat juga sih), mendingan gentayangan di atap gerbong melawan angin maut atau jadi bunglon di setiap gerbong. Roy memperhatikan isi gerbong belakang yang sesak. Ada sepeda motor diikat, beberapa sepeda butut, berkarung-karung hasil bumi, peti-peti jawatan Pos dan Giro, dan ketawa orang kebanyakan yang ingin melupakan sejenak tentang harga yang membumbung. Si avonturir bandel itu mengambil tempat di pojokan yang tersisa. Merebahkan tubuhnya. Kepalanya disenderkan ke karung berisi hasil bumi. Dia tampaknya ingin melengkapkan sisa tidurnya semalam. Matanya terpejam dan dia tertidur. Blue ransel, tunggulah sebentar! Kereta berhenti dulu di stasiun kecil. Tampak mengalah kepada kereta mewah yang akan lewat. Kalau membangkang, wah, tragedi Bintaro pasti terulang lagi. Si Roy menggeliat. Perutnya melilit. Dia melompat ke luar gerbong dan menuju kamar kecil. Berkumur-kumur dan mengguyur kepalanya. Dia merasa segar sekarang. Jari-jarinya menyisir rambutnya yang basah ke belakang. Dia membeli nasi bungkus dan air plastikan. Sebelum melompat naik ke gerbong lagi, dia melemparkan pandang ke gerbong paling depan sampai ke belakang. Orang-orang pada berceceran. Tawa mereka memenuhi seluruh stasiun. Di mana ya si pengembara sialan itu? batinnya penasaran. Lantas melompat ke gerbong. Melahap nasi bungkusnya. Nikmat sekali dia makan. Pesta nasi bungkus pun usai. Perburuan blue ransel dimulai lagi, Roy! Dia kemudian masuk ke gerbong kedua. Matanya meneliti seluruh yang ada di situ. Setiap ada yang berwama biru diperhatikannya. Kini di gerbong ketiga. Matanya tampak berkilat dan terlukis senyum kemenangan di bibirnya, ketika ada ransel biru ditindih ransel-ransel lainnya. Tanpa memperhatikan sekeliling dia langsung saja menarik dan memeriksa ransel biru itu. "Hei, apa-apaan ini?!" Gadis yang memakai ikat kepala menarik ransel biru itu kembali. Roy jadi tersipu dibuatnya. "Oh, sori. Sori. Sori, Mbak." Ada empat orang gadis army look memandangi Roy. "Saya kira itu ransel biru punya saya." Roy mencoba tersenyum. "Ransel-ransel ini punya kalian?" Keempat army look itu mengangguk. "Ransel biru itu punya siapa?" Roy ingin tahu. Yang memakai topi base ball menyahut, "Saya. Kenapa?" Roy mengulurkan tangannya. "Ransel saya juga biru. Rupanya selera warna kita sama. Tapi nggak tahu deh bagaimana nasib ransel biru saya sekarang." Si base ball menyahut uluran tangan Roy. "Ransel biru kamu dicuri orang?" tanyanya ikut prihatin. "Atau lupa nyimpen di gerbong?" Yang mernakai kaus bergambar Jeep nimbrung. Karena sedang kalut dan butuh tempat pelampiasan, si Roy membeberkan kesulitannya kepada gadis-gadis energik yang tidak mau kalah dengan lelaki dalam mengisi liburan ini. "Kamu yakin kalau si pengembara sialan itu sekarang ada di kereta?" tanya si celana loreng cemas. "Mesti yakin," kata Roy. "Kalau cuma tipu belaka, gimana?" si ikat kepala menambahi kecemasan. "Mudah-mudahan nggak deh," kata Roy lagi. "Soalnya perasaan-perasaan negatif semacam itu bakal mengganggu keyakinan kita yang udah dari semula optimis. Kalau lantas pesimis, lha buat apa nyape-nyape nyari?" Keempat army look itu menyembunyikan senyum. "Kalau ransel birumu tetap nggak ketemu?" tanya si Jeep. "Ya, udah. Berarti ceritaku berakhir di stasiun Surabaya." Roy menarik napas. "Cerita apa, Roy?" si base ball ingin tahu. Roy tersenyum. "Maksud saya... kalau ransel biru saya nggak ketemu, ya udah, berarti pulang. Pulang ke rurnah. Ketemu kebosanan lagi." "Mudah-rnudahan ketemu," si loreng bersimpati. "Kalian mau terus ke Bali?" Roy menebak. Keempat army look itu mengangguk. Hebat juga wanita-wanita itu. Mereka berani menembus image masyarakat, bahwa kalau wanita bepergian jauh tuh suka disangka macam-macam. Serba susah memang jadi wanita. Mereka tidak (belum) bisa sebebas kaum lelaki bepergian ke mana saja mau. Jangankan pergi sendirian, berkelompok saja kadang kala masih dicap tidak-tidak. Tapi pergi berkelompok-lah sebagai jalan keluar yang terbaik. Ya, bepergianlah selagi ada waktu dan muda. Ke mana saja. Tidak usah yang jauh-jauh dulu. Di lingkungan sendiri dulu. Yang kecil-kecil dulu. Ya, selagi hidup harus mencoba untuk sering melihat, mendengar, mengalami, dan kalau perlu mengalami hal-hal yang baru. Kita berdiri di satu titik, padahal di langit timur, barat, utara, dan selatan ada titik-titik lainnya. Bagaimana kita bisa melihat titik-titik itu, kalau kita tidak pergi melihatnya? Kalau tidak begitu, ya sudah! Nikmati saja hidup dan sisa umur dengan kebosanan atau ratapan yang tidak berujung. "Kami bantuin nyari, boleh?" usuk si Jeep. "Thank's!" Roy berseri mengiyakan. Lantas dia menyebutkan ciri-ciri ransel kesayangannya. "Kita mulai dari gerbong paling depan!" Si topi base ball menarik lengan si Jeep. "Ira, ikut sama aku! Kamu jagain ransel sama Yayu ya, Met!" katanya pada si ikat kepala dan si celana loreng. "Jangan lupa honornya, Mona!" Meta tertawa.  Mona juga tertawa. Roy mesem-mesem mendengarnya. Mona dan Ira dengan gesit menyelip di antara jejalan orang di lorong-lorong gerbong. Mereka sudah menyeberang ke gerbong lain dan lenyap dari pandangan. "Doain, ya!" Roy ngeloyor. Baru saja dia sampai di sambungan gerbong, si gondrong tampak sedang santai bersender. "Hai, friend!" teriak Roy menandingi gemuruhnya roda besi. Si gondrong tersenyum. Dia mengambil spidol besar yang terselip di saku belakang jeans bluweknya. Lantas dia menulis di dinding gerbong. Biasa: grafiti, yang sering bikin kesal orang-orang yang cinta kebersihan. "Ransel birumu, ketemu?" Si gondrong asyik menulis. Roy belum sempat menjawab, karena tulisan si gondrong lebih menarik perhatiannya. Tiga huruf besar-besar: R B H ! "Heh, ini inisial namaku di ransel!?" kata Roy menatapnya. "Kamu maen sandiwara sama aku, ya?!" Dia mulai mencekal lengan si gondrong. "Lho?" Si gondrong keheranan. "Sialan! Nggak usah pura-pura, pengembara sialan! Mana ransel biruku?!" Roy kini kalap, mencekal kerah jaket si gondrong. "Heh, sabar dong!" Si gondrong tenang saja. "Kita kan belum saling nyebutin nama?" Dia tertawa. "Namaku Roga Bara Hari. Itu berarti inisial namaku RBH. sama dengan inisial nama kamu, Roy?" Huh! Roy dengan kesal melepaskan cekalannya. "Kamu ini meledak-ledak, Roy!" kata Roga. "Aku masih yakin kalau pengembara sialan itu kamu!" Roga tertawa. "Kamu emosional, Roy!" Si avonturir bandel itu bergerak ke gerbong berikutnya. Kacau sekali pikirannya. Si gondrong, ah! batinnya ragu-ragu menebak. Lalu dia melihat orang-orang tanpa karcis sibuk lari sana-sini, karena kondektur mulai memeriksa. Ada yang ke gerbong belakang sambil berharap semoga kereta berhenti di stasiun kecil dan mereka bisa melompat turun berlari ke gerbong paling depan. Atau yang cekatan tapi nekat naik ke atap gerbong. Yang lucu, ada yang kepergok sembunyi di kamar kecil. Akhirnya Roy menghentikan perburuannya. Di gerbong depan kan ada Mona dan Ira. Dia yakin pasti bakal ada permainan lain lagi dari si pengembara sialan itu. Lebih bagus menunggu saja. Toh, nanti bakal ada seseorang yang menyerahkan secarik kertas bertuliskan: Tunggu di anu. Ransel birumu ada padaku. Si pengembara. Kemudian Mona dan Ira muncul. Mereka menggelengkan kepala sambil mengangkat bahu. "Tapi thank's berat atas bantuannya, ya!" kata Roy. Mona dan Ira mengangguk dan tersenyum aneh. Roy tidak memperhatikan. Dia menggelesor dan menekukkan kedua kakinya. Wajahnya yang kusut disembunyikan di sela-sela lututnya. Ah, kalau saja aku tidak turun di Purwokerto! batinnya menggerutu. Ya, itulah awal dari bencana dengan blue ransel-nya. Rencana semula ke luar Jawa, tapi tiba-tiba Pegunungan Dieng yang merupakan plateu terbesar, di mana kawah Sinila pemah mengamuk dengan gas racunnya, memanggil-manggil rasa petualangannya. Lantas dia ber-liften ke Dieng. Lantas monumen Palagan, lantas Iis... Huh! Ya sudah, Roy. Mungkin segalanya mesti berakhir di sini. *** Kereta membunyikan tandanya ketika tubuhnya mulai dimakan moncong Kota Buaya. Orang-orang mulai berkemas dan saling berebut untuk berada paling dekat di pintu gerbong. Biar keluar nomor satu dari gerbong yang pengap ini! begitu pikir mereka. Sehingga yang tadinya mau serba cepat malah jadi semrawut. Budaya begini memang sudah milik kita. Lihat saja ketika antre di bioskop, berebut naik bis kota, atau suasana hari-hari besar di setiap terminal. Roy menunggu paling akhir turun dari gerbong. Dia membuka jaketnya: Dia masih berdiri di peron. Belum bisa menentukan mesti melangkah ke arah mana. Dia hanya melempar pandang ke sana kemari. Tiba-tiba matanya berkilat dan wajahnya berubah tegang. Ada ransel biru tergeletak sendirian di dekat tiang penyangga stasiun. Dadanya berdebar tidak keruan. Lalu matanya bergerak sekitar lima meteran. Heh, yang berdiri menyender di tembok itu kan si gondrong sialan! makinya. Malah di kakinya tergeletak sebuah ransel berwarna alam dan kekuasaan, hijau. Roy bergerak mendekati dengan geram sambil matanya terus bergerak ke sana kemari. Lantas tidak jauh dari si gondrong, ya ampun, mereka kelompok si topi laken! Sebelah sananya lagi, hah, keempat gadis army look! Warna merah menampar wajahnya. Mereka tampaknya seperti sengaja menonton drama brengsek ini! Siapa lagi sutradaranya kalau bukan si gondrong?! Mereka malah tertawa-tawa. Roy tidak bisa apa-apa. Dia hanya meremas jari-jarinya. Kedua kakinya gelisah tidak mau diam. Greget. Tiba-tiba dia meledak: "Kalian mempermainkan aku!" "Halo, Roy!" Si gondrong tersenyum. "Apa kataku, buat dibikin cerita asyik, kan?" dia meledek. "Kamu menyebalkan, pengembara sialan!" Roy masih kesal. Kelompok topi laken dan gadis-gadis army look merubung Roy. Mereka melempar senyum dan sesekali tertawa kecil. "Kalian berbakat juga jadi aktor dan aktris." Kalimat Roy kedengaran masih gemas. "Hitung-hitung intermeso, Roy!" si topi laken nyeletuk. Roy hanya bisa meringis. "Periksa dulu tuh ransel birumu, Roy!" Si gondrong menyeret blue ransel ke depan Roy. "Kalau ada yang hilang, maling-malingnya kan masih pada ngumpul di sini," katanya bergurau terus. Semua tertawa. Roy tidak menggubris, dia memegangi blue ransel-nya. Meraba-rabanya. Seperti seseorang yang baru menemukan lagi benda kesayangannya yang hilang. Lalu dia membuka dan memeriksa isinya. "Masih pada utuh kan, Roy?" Si topi base ball mendekati. Roy mendelik. Lalu dia terperangah ketika dirasakannya ada yang ganjil. "Heh, si Roga ke mana?" "Roga? Roga, siapa?" Mereka keheranan. "Kalian mau maen sandiwara lagi?!" hardik Roy kesal. "Si gondrong! Si pengembara sialan tuh, pergi ke mana dia?" Kini giliran si topi laken yang kena hardik. Bahkan Roy sudah mencekal kerah bajunya. Roy memang suka gegabah kalau lagi kesal dan geram begitu. Si topi laken rada segan juga. "Si pengembara udah pergi, Roy!" kata si Jeep. "Melanjutkan perjalanannya lagi!" yang lain nimbrung. "Ke mana?" Roy gelisah melepaskan cekalannya. "Ke Tanjung Perak. Dia mau nyeberang ke Kalimantan!" Roy kesal lagi. "Kenapa kalian nggak ngasih tahu aku?!" "Kamu lagi asyik dengan ransel birumu tadi!" "Iyaaaa, aku tahu! Tapi, aku belum ngomong banyak sama si gondrong sialan itu! Si pengembara sialan itu!" "Skenario dari dia memang begitu," kata mereka tertawa. "Ah, ini kan bukan lagi syuting film!" Mereka tertawa terus. "Ngucapin ma kasih kek sama dia!" "Si pengembara nggak butuh ucapan ma kasih, Roy. Dia cuma nitip ini buat kamu." Si topi base ball menyerahkan secarik kertas. Roy menyambarnya dengan kasar. Buru-buru dia membacanya: Berjuang dan bekerjalah tanpa kebencian, Roy! Semuanya mendengarkan dan merenungkan kalimat pendek yang dibaca Roy tadi. Si bandel itu terdiam beberapa saat. Dilipatnya kertas itu dan dimasukkannya ke kantong luar ransel birunya. "Aku mau ke Tanjung Perak!" Tiba-tiba Roy menyandang blue ransel-nya dan tergesa-gesa ke luar stasiun.   IV. MESDJID   pagi. embun terakhir melayang jatuh pecah dan lesap di tanah berdebu tanpa jejak! dan matahari terus berlari. malam. sunyi merajai hatiku kembali kelam dan kekal di langkah gundah tak berkesudahan   Toto ST Radik *** Dari tadi si avonturir bandel memandangi mesjid kota. Dia merasa beberapa hari ini seperti sudah melupakan Tuhan. Matanya terus melekat ke sana, ke rumah Tuhan. Mulai dari "bintang bulan", kubah, pintu-pintu, dan orang-orang bersarung peci. Semuanya. Lantas kakinya terseret ke sana, seperti ada yang memanggil-manggil. Sebetulnya dia merasa risi, malu, dan tidak layak memasuki tempat suci dengan tubuh kotor berdebu. Tapi, bukankah Tuhan kepunyaan segala macam orang dan tidak peduli siapa dan bagaimana orang itu? Roy terus terseret ke sana. Membiarkan terseret. Dia membuka sepatu ketsnya yang berlumpur. Memasukkannya ke ransel dan menuju ke belakang mesjid. Ke kamar mandi. Dia mandi sepuas-puasnya membasuh keringat dan debu-debu jalanan. Kini dia merasa segar dan bergairah lagi. Lantas Roy bersujud dan larut dengan doa kepada Tuhan. Seseorang menghampirinya. "Ranselnya disimpan di ruangan itu saja." Seorang petugas DKM menunjuk ke sekretariat. Roy mengangguk. Menjinjing ransel birunya dan menggeletakkannya di pojok dekat lemari. Aman sudah. Bisa tidur nyenyak sekarang, batin Roy. Roy merebahkan badan dan jaketnya dijadikan bantal. Lalu memejamkan matanya pelan-pelan. Dia menikmati suasana mesjid ini. Betapa damai menghirup udara rumah Tuhan, batinnya. Ini di sebuah kota penyeberangan ke Pulau Dewata. Malam-malam. Sebelum betul-betul puas, Roy menyediakan beberapa saat untuk mengenang hari-hari yang lewat. Tentang si gondrong, pengembara sialan itu, yang sudah menyemut di atas KM Kambuna. Dia melaut ke Kalimantan. Sayangnya tidak sempat berjabat erat dengan dia. Pengejaran yang sia-sia. Roy sudah mencoba berteriak-teriak dan melambaikan tangan kepada si pengembara. Tapi tetap sia-sia. Suara hiruk-pikuk dan lambaian orang-orang yang mengantar kepergian kerabatnya menelan suaranya. Apa boleh buat. Lain waktu siapa tahu bisa ketemu lagi! Tiba-tiba berkelebat Suci, si manis. Dia jadi tersenyum sendiri. Cadis itu memang menyenangkan untuk kawan bicara. Sedang apa kamu malam ini, Manis? Kemudian mamanya, sobat-sobatnya, sekolah, Dieng, blue ransel, Palagan, dan... ah, Iis! Kenapa mesti berpisah tanpa diduga sebelumnya? Lalu kenapa mesti mengenal gadis malang itu di perjalanan? Lalu, lalu kenapa lupa meminta alamat kosnya di Semarang? Kadang kala si Roy suka tidak mengerti dengan perjalanan hidupnya, yang selalu dihadapkan pada kenyataan-kenyataan hidup itu sendiri. Dia memang ingin selalu melihat, mendengar, mengalami, dan kalau perlu mencoba mengalami. Karena dengan cara itulah dia bisa menikmati hidup. Orang-orang yang menyerukan asma Tuhan dengan berzikir satu per satu meninggalkan mesjid. Wajah mereka bersinar dan bahagia sekali. Roy betul-betul iri melihat mereka. Pintu-pintu mesjid mulai dikunci petugas DKM. Untuk zaman sekarang segala pintu memang harus ditutup rapat, karena para pencoleng tidak akan pernah peduli barang-barang buruannya berasal dari mana. Bagi mereka mencuri ya mencuri. Angin malam mulai menggerayangi. Roy berlindung di balik pilar. Jaketnya dikenakan. Dia tertidur kelelahan. Tapi tidak lama, karena seseorang berpakaian lusuh (baca: gembel) mengusik tidurnya. Gembel itu tersenyum dan mengambil tempat di sebelah Roy. Si bandel itu berusaha tersenyum, walaupun matanya diganduli batu sebesar gunung. "Ayo tidur lagi, Dik," kata gembel itu. Roy mengucek-ucek matanya. Memperhatikan seseorang yang datangnya tiba-tiba itu. Rambut orang itu kusut dan gondrong tidak terurus. Begitu juga dengan kumis dan brewoknya yang awut-awutan. Roy jadi teringat dengan mendiang Gombloh. Tapi anehnya wajah gembel ini bercahaya dan tenang sekali. Rasanya pakaian kumal yang membungkus orang itu sungguh tidak pantas dikenakannya. Roy menguap dan jadi tidak mengantuk lagi. "Kenapa nggak tidur lagi, Dik? Takut, ya?" Gembel ini bersender di tembok. Roy diam saja. Serba salah. Dia melihat sekitar tiga meter di sebelah kirinya, petugas DKM tadi sedang asyik mendengkur. "Adik kemalaman?" tanya gembel itu lembut. Roy mengangguk. "Sedang bepergian jauh, Dik?" Roy mengangguk lagi. "Adik dari mana?" "Dari barat, Mas. Paling barat." Gembel itu mengangguk dan tersenyum. Bagi Roy senyum itu misterius sekali. "Manusia memang selalu menilai sesamanya dari kulitnya, Dik," orang misterius ini tiba-tiba melemparkan masalah. Roy jadi serba salah. "Sangat sukar menebak sifat manusia, Dik." Roy mendengarkan saja. "Coba Adik bandingkan antara Mas dengan orang itu," katanya menunjuk ke petugas DKM yang pulas. "Mungkin penilaian Adik banyak minusnya tentang Mas ketimbang orang itu," katanya lagi sambil tersenyum. Roy memandangnya tidak percaya. Si bandel kini menguap. "Mas sering tidur di mesjid ini?" tanya Roy penasaran. "Sudah beberapa hari Mas tidur di sini, Dik. Tempat ini memberikan ketenangan buat Mas. Ya, hanya inilah rumah idaman itu, Dik." Suaranya pelan tapi tenang. Roy menguap lagi. "Tidurlah. Adik tampaknya mengantuk." Roy mengangguk dan menggeser tempatnya. Bahkan cenderung mendekati tempat si petugas DKM. Roy memang berhati-hati dan menjaga jarak dengan orang berpakaian gembel ini. Roy tertidur pulas lagi. Tiba-tiba Roy merasa berjalan sendirian di padang pasir. Matahari membakar tubuhnya. Dia kepanasan dan kehausan. Kakinya terbenam di pasir. Lalu dia melihat banyak tangan yang muncul dari dalam pasir menarik-narik tubuhnya. Dia meronta-ronta. Kakinya menendang ke sana kemari. Dia berlari dan jatuh. Berlari lagi dan jatuh lagi. Begitu terus. Beberapa wajah yang dikenalnya berkelebatan. Papa dan mamanya, sobat-sobatnya, bahkan opa-omanya. Mereka ada yang menangis dan menertawakannya. Sampai akhirnya dia melihat sebuah cahaya kemilau di sebuah bukit. Matanya silau. Ada seorang gadis di balik sinar itu melambaikan selendang kepadanya. Hah! Roy terperanjat. Gadis itu, ah, tidak mungkin! Tapi Roy berussaha menarik selendang yang diulurkan gadis itu agar terbebas dari tarikan setan-setan padang pasir. Dan anehnya, semakin dia berusaha menggapai selendang itu, semakin jauh pula gadis dan selendang itu untuk diraih. Roy meronta-ronta dan berteriak-teriak, karena tubuhnya semakin tersedot. Sudah sebatas dada dia tersedot ke perut bumi. Kini sudah seleher. Sekepala! Roy berteriak lagi dan terbangun. Ketika bangun itulah dia menyadari kalau tubuhnya sedang digerayangi petugas DKM. Dompet di saku belakang celana jeansnya sudah berpindah tangan. Untung Roy memergoki maling sialan itu. Dia menepiskan lengan usil itu. Dompetnya terpental. Dia menubruk maling dadakan itu. Tapi maling amatiran itu berkelit dan lari menghindar . Roy tidak mengejar. Dia memungut dompetnya. Lantas duduk merenung bersender di tembok mesjid. Dia menelungkupkan wajahnya. Prihatin dan tidak percaya sekali rona wajahnya. Tiba-tiba dia merasa malu kepada orang berpakaian gembel itu, karena sudah salah menilai dirinya. Si gembel itu tampak tertidur pulas. Betul juga, menilai orang itu jangan dari kulitnya dulu. Tapi mimpi tadi, Roy, mimpi tadi! Duh, kenapa bisa begitu? Kenapa mesti si manis yang mengulurkan selendang dan pergi menjauh? Kenapa mesti berjalan kepanasan dan kehausan di padang pasir? Kenapa mesti ada tangan-tangan setan yang menariknya ke perut bumi? "Belum tidur juga, Dik?" si gembel itu mengejutkan. Roy terperanjat sebentar. "Hampir subuh, Mas," katanya berdalih. Si gembel itu melemparkan pandang. "Ke mana orang itu, Dik?" dia menanyakan petugas DKM. Roy menggeleng saja. Malam sudah merembet jatuh. Kesibukan di kota ini mulai tampak. Becak-becak yang mengangkut hasil bumi atau yang mengayuh sepeda dari kampung mengangkuti kerajinan tangan mulai menghiasi jalan menuju pasar. Azan subuh pun menggema menyertai mereka. Menyusup ke segala sudut, membangunkan orang-orang untuk mengingat Tuhan. Roy masih menelungkupkan wajahnya di sela lututnya. Dia masih merasa ngantuk dan kecewa sekali dengan kenyataan yang dialami tadi. "Salat subuh dulu, Dik." Si gembel itu menyentuh pundak Roy. "Lebih baik berjamaah daripada salat sendiri," tambahnya. Roy menatap si gembel dengan beragam perasaan. Rasa bersalah tergambar di wajahnya. Dia bangkit dan berjalan mengekor. Orang ini aneh sekali, batin Roy bertanya. "Boleh tahu sedikit tentang Mas?" Hati-hati Roy bertanya. "Tentang saya? Dalam hal apa?" orang itu balik bertanya. Roy kelabakan juga. "Hal apa saja, Mas." Roy memberanikan diri. "Tentang diri Mas tentunya." Orang itu tersenyum. "Apa, ya?" dia bergumam. "Saya hanyalah segelintir dari orang-orang yang tidak punya tempat tinggal. Orang-orang yang tergusur dari kehidupan yang serba keras dan penuh persaingan ini. Atau sebut saja Mas ini segelintir dari orang-orang yang pernah mendustakan Tuhan, yang kini sedang berusaha mendekati-Nya." Lumayan panjang juga bicaranya, walaupun itu tidak cukup menyibak misterinya. Roy semakin penasaran. "Mas sedang mencari Tuhan?" Orang itu lagi-lagi tersenyum. Katanya, "Pada mulanya iya, Dik. Tapi Tuhan ternyata tidak bisa dicari. Tuhan itu ada di mana-mana. Terlebih-lebih di hati setiap orang yang beriman." Mereka mengambil air wudhu. "Semalam tampaknya ada kejadian, Dik?" Roy akhirnya mengangguk malu. "Orang itu hendak mencuri dompet saya, Mas. Tapi alhamdulillah, Tuhan masih melindungi saya, Mas." "Syukurlah, Dik." "Saya minta maaf, Mas." "Lho, memangnya kenapa?" "Saya sudah salah menilai Mas." Orang itu tersenyum. "Itu biasa, Dik. Wajar. Kita memang harus waspada kepada semua orang. Mudah-mudahan pengalaman ini ada hikmahnya buat Adik." Roy mengangguk. "Betul kata Mas, sangat sulit sekali menebak sifat orang." "Nanti juga Adik akan menemukan jawabannya sendiri, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang Adik peroleh." Mesjid kota di ujung timur Jawa ini mulai ramai dikunjungi orang yang hendak mendekatkan diri pada Tuhan. Mereka terdiri dari segala macam atau lapisan orang. Kalau sudah di rumah Tuhan, mereka sama saja: manusia. Tidak ada perbedaan si anu itu bertitel atau tidak, kaya atau miskin. Semuanya sama, sujud dan menyembah kepada Tuhan. Tidak peduli si kaya kebagian tempat di barisan belakang atau si miskin di barisan depan. Pokoknya siapa yang datang duluan ke tempat ibadat ini, dia layak mengambil tempat di barisan mana pun. Sesukanya. Setelah usai mengucapkan salam dan berzikir beberapa saat disambung bersilaturahmi, Roy tidak melihat si gembel itu lagi. Dia tergesa-gesa ke luar mesjid mencari si gembel yang misterius itu. Bahkan sampai ke jalan raya. Tapi si gembel tetap tidak ditemuinya. Si gembel seperti raib entah ke mana. Roy lagi-lagi bersender di tembok mesjid. Wajahnya lelah dan kecewa sekali. Dia mengusap wajah dan tengadah ke langit.    V. MISS KODAK   seperti ikan Kaulepas aku ke dalam akuarium berenang di antara rumputan meliuk di sela-sela karang Tuhan kulihat Kau berdiri memandangi aku tapi kaca ini, kaca ini...!   Toto ST Radik *** Kapal. ferry mulai membelah Selat Bali. Kabut terkuak ditembus tubuh besi raksasa itu. Matahari sejak tadi belum bisa kuat sinarnya, karena terhalang awan. Langit memang mendung. Tapi tidak jadi soal bagi anak-anak laut yang berenangan dan menyelam bagai pesut, mengambil uang recehan yang dilemparkan para penumpang. Si avonturir jalanan tersenyum menikmati puisi pagi ini. Ah, ini hal biasa di penyeberangan Ketapang. Candi Bentar yang menjulang mulai kelihatan. Sebuah gapura sebagai pintu gerbang, seolah menyambut siapa saja yang akan menikmati pesona Pulau Dewata. Warna merah batanya mencolok. Candi Bentar memang bisa disebut simbol Bali kini. Di mana-mana sebelum kita memasuki desa, pasti akan disambut Candi Bentar, satu di kiri jalan dan satu lagi di kanan jalan. Kita berjalan di tengah Candi Bentar, masuk ke perutnya. Candi Bentar bisa disebut simbol "Selamat Datang". Kapal ferry berbunyi nyaring dan merapat di dermaga Gilimanuk. Orang-orang sudah bergegas dan yang bawa kendaraan sibuk menyalakan mesinnya. Aroma Pulau Dewata untuk kesekian kali dihirupnya lagi. Pertama kali dia bersama almarhum papanya, lantas bersama kelompoknya di Bandung mengisi liburan panjang. Dan sekarang sendirian saja. Si avonturir bandel melenggang perlahan. Kadang kala menepi kalau ada kendaraan lewat. Sudah, agak siangan. Dia melihat ada pesta kawinan. Sambil tersenyum simpul dia menitipkan ransel di warung rokok. Membersihkan badan seperlunya dan bergabung dengan rombongan yang membawa beberapa bungkus kado. Hohoho, rupanya Roy berlagak jadi undangan di pesta kawinan ini. Lihat tuh, dia stil yakin saja menuju kedua mempelai. Menyalami dan memberi ucapan selamat sambil berpesan: dua anak saja cukup. Setelah menyalami kedua mempelai, Roy mengikuti arus ke meja prasmanan. Dia memang lapar dan ingin makan gratisan. Boleh juga idenya ini. Mau ditiru, boleh-boleh saja. Bersikap sopan saja. Jangan khawatir bakal diusir yang punya hajat deh. Malah kabarnya: semakin banyak tamu malah semakin sukses. Berarti yang punya hajat disukai orang-orang. Lha, siapa sih yang mau pesta kawinannya sepi dikunjungi orang? Roy mengambil tempat di deretan bangku paling memisah. Dia ingin enjoy menikmati pesta makan siangnya. Piringnya, busyet, luber amat! Seseorang ikut duduk di sebelahnya. Roy mengangguk rada kikuk juga. "Ranselnya disimpan di mana, Dik?" tanya orang itu. Roy meringis dan tersenyum. Wealah, kedoknya terbuka juga. "Jangan bilang-bilang ya, Mas," kata Roy tertawa kecil. "Saya kepengen makan besar, nih!" katanya lagi. Orang itu tertawa juga. "Mau menjelajahi Bali, Dik?" tanyanya. Roy menggeleng. "Mau terus ke Lombok, Mas." Ya, si bandel itu mau terus ke Lombok. Di Bali sudah tidak ada yang mesti dilihat lagi, selain turis-turis nudis yang bergelimpangan mengotori Bali. Puncak Rinjani memang lebih memancing minatnya. Ada Danau Segara Anak di sana. "Mampir ke rumah dulu, Dik," lelaki ini menawarkan. "Rumah saya jelek, tapi Adik pasti akan kerasan karena ada sungai bening dan dekat ke pantai," katanya lagi berpromosi. Roy tersenyum gembira. Kebetulan dia mau mencuci pakaiannya yang kotor. "Betul nih, Mas?" Lelaki itu mengangguk. *** Roy sedari tadi merendam tubuhnya di air sungai yang bening. Sesekali dia melihat ke jembatan jika ada kendaraan yang menuju Denpasar lewat. Lantas dia mencari-cari tempat yang enak untuk mencuci pakaian. Agak ke arah hulu dia melihat banyak wanita bersenda-gurau. Satu-dua melenggang gemulai dengan tempat air di atas kepalanya. Seorang gadis seusianya menghampiri. Roy tersenyum menyambut adik si Mas. Dia membantu meletakkan keranjang penuh berisi cucian. "Sini saya cuciin, Roy ," katanya. Roy menggeleng. "Cuma celana dan kaus, kok." Gadis ini sebelum mencuci membersihkan dulu batu untuk alas mencucinya. Gesit sekasi cara kerjanya. Gadis Bali memang sudah kondang sebagai wanita pekerja. Mereka akhirnya mencuci bersama-sama sambil bercerita tentang sekolah masing-masing. Gadis Bali ini sekolah di sekolah kejuruan. Cita-citanya luhur juga! Ingin menjadi seorang pendidik. Jadi seorang guru. "Seminggu lagi sekolah masuk lho, Roy." Gadis Bali itu mengingatkan. Roy mengangguk saja. Hari semakin sore. Roy memeriksa pakaiannya. Beberapa kali dia memindahkan pakaiannya ke tempat yang panas. Biar cepat kering. Kegelapan tak terasa menyelimuti wajah desa. Pepohonan dan rumah-rumah tersembunyi di baliknya. Semuanya serba samar dengan cahaya penerangan tradisional. Roy merebahkan tubuh di bale-bale. Lampu tempel bergoyang-goyang. Mereka yang menampung Roy malam ini adalah keluarga sederhana. Rumah bilik yang mengandalkan kerja si ayah sebagai tukang dan si ibu sebagai penjual sayur. Si Mas, anak paling besar, sudah berkeluarga dan tinggal di pihak istri. Si Mas yang guru sekolah dasar kadang kala suka membantu ketiga adiknya untuk masalah sekolah. Roy memicingkan matanya ketika lampu tempel sinarnya semakin terang. Ada bayang bergoyang-goyang. Rupanya si gadis Bali membesarkan sinar lampu tempel tadi. Dia menuju meja satu-satunya di ruang tengah. Mengeluarkan Kodak dan bungkusan kecil dari tas sekolahnya. Kodak itu ditimang-timangnya seperti gadis kecil menimang boneka pandanya. Roy menebak-nebak apa yang akan dilakukan si gadis. Ternyata gadis Bali itu mengeluarkan sebuah gunting. Lalu mengguntingi lembaran foto seukuran pasfoto. Begitu telaten dan hati-hati mengerjakannya. Hebat! batin Roy kagum. Dia mengerti kini, bahwa si gadis selain seorang pelajar juga serang tukang foto keliling. Padahal biasanya gadis seusia dia sedang asyik-asyiknya dengan mimpi-mimpi remaja. Roy sendiri jadi malu melihat gadis Bali yang berpikiran maju ini. Roy berdiri. Suara bale-bale berderak mengusik keasyikan si gadis Bali. Roy menghampiri dan duduk berhadap-hadapan. "Belum tidur?" katanya. "Pindah saja di da)am. Biar saya yang tidur di bale-bale," gadis pekerja keras ini menawarkan kamarnya. "Mungkin sampai pagi saya mengguntingi foto-foto ini. Besok sudah harus dianterin." "Nggak usah. Saya nggak keganggu, kok. Tapi, boleh kan saya bantu? Lagi kesel juga, nih," kata Roy. Gadis itu tersenyum. Akhirnya mereka bekerja sama-sama. Kadang kala Roy yang mengguntingi foto dan gadis Bali itu memasukkannya satu-satu ke plastik atau sebaliknya. Pekerjaan lantas jadi cepat selesai. "Kalau tidak begini, mana sanggup orangtua saya membiayai sekolah saya?" Hidup mereka penuh perjuangan, batin Roy. Kalau tidak begini buat orang kebanyakan, huh, tersisih sudah dari kehidupan. Si bandel menguap. Pekerjaan sudah beres. Dia bermaksud tidur lagi. "Saya tidur lagi, ya." Roy menuju bale-bale. Si gadis juga menguap. Dia menumpuk saja pekerjaan itu di meja. Kodak-nya juga tergeletak. Dia lelah sekali ketika menuju kamarnya. "Selamat malam, Roy," katanya, mengecilkan penerangan lampu tempel. *** Sinar matahari menerobos lewat celah-celah bilik. Denyut kehidupan di luar samar-samar menyusup ke telinga. Si Roy membatin, betapa hari-hari cepat berganti. Dia duduk di bale-bale. Mengucek-ucek mata. Sepi sekali rumah ini. "Pada ke mana, Bu?" tanya Roy ketika si ibu menyuguhi teh panas. Wajah si ibu begitu murung dan berduka. "Pada ke kantor polisi," jawab si ibu getir. "Ke kantor polisis? Ada apa, Bu?" "Semalam ada pencuri." "Pencuri? Ke mana?" "Ke sini." Roy memandang si ibu. "Yang betul, Bu?" katanya keheranan. "Saya nggak denger apa-apa semalam." "Semua juga nggak mendengar apa-apa. Ketahuan ada pencuri masuk ya baru tadi pagi." Roy menggelengkan kepala tidak percaya. "Apa yang dicuri, Bu?" Roy mengitari pandang ke seluruh ruangan. Ibu itu menarjk napas. "Kodak," katanya pilu. Roy ternganga. "Hah?!" Dia buru-buru menuju meja tempat semalam dia mengguntingi foto-foto. Kodak itu dibiarkan tergeletak di meja. "Semalam Kodak itu diletakkan dij sini, Bu." Roy tidak percaya meraba-raba permukaan meja. "Biasanya Kodak itu disimpan di kamar," si ibu seperti menyesali. Roy mencengkeram bibir meja. Berarti maling sialan itu masuk ke ruangan tengah dan mengambil Kodak di depan hidungku! makinya kesal. Sementara maling sialan itu mengobrak-abrik isi rumah, aku malah asyik mendengkur! Keterlaluan! Betapa teganya maling bedebah itu! Kenapa tidak memilih-milih dulu calon mangsanya?! "Saya menyesal mendengarnya, Bu. Maafkan kalau tidur saya terlalu nyenyak semalam," Roy merasa bersalah. "Nak Roy ndak salah," kata si ibu. Roy duduk lemmas di kursi. Dia bisa merasakan sedihnya kehilangan sesuatu yang disayangi. Apalagi sesuatu ini yang menjadi alat mata pencaharian. Ah, lagi-lagi penderitaan selalu ditimpakan kepada orang kebanyakan. Sibandel itu jelas tidak bisa rnelakukan apa-apa selain hanya mengelus dada dan ikut prihatin. Matahari terus naik dan sudah di pertengahan. Roy hendak menyandang ransel lagi. Dia tidak bisa melakukan apa-apa setelah rnelihat banyak penderitaan atau kemalangan orang lain. Dia hanya baru bisa melihat dan ikut merasakan saja. Tidak lebih. Dia bawa kegelisahannya selama perjalanan terus ke tirnur . Menyetopi truk dan meloncat ke baknya.   VI. ISLAND   seperti matahari kehilangan bumi aku beredar menjalani hari-hari mengapa mesti sia-sia begini kutemukan wajahku letih dan sunyi di antara kenyataan dan mimpi-mimpi tapi mestikah berhenti?   Toto ST Radik *** Si Avonturir jalanan sedang memandang ke laut. Di pantai banyak turis asing, domestik, dan beberapa petualang antre berebut naik ke perahu. Bisa terlihat di sini sebuah tradisi yang patut di contoh dari turis-turis asing, ketika perahu-perahu datang mereka tidak berebut naik. Mereka mempersilakan kepada siapa saja yang datang lebih awal dari mereka dan akan naik ke perahu kalau memang sudah merasa saat itu gilirannya. Orang-orang itu rupanya hendak ke salah satu dari tiga pulau yang berendengan di utara kota Mataram. Pulau-pulau itu memang alternatif yang bagus setelah lelah dan jenuh menjelajahi Pulau Dewata yang bising. Orang-orang Lombok pasti tahu tentang pulau-pulau indah itu. "Gili Air?" tanya yang punya perahu. Roy mengangguk. Dia mencopot sepatu dan menggulung ujung celana jeans-nya sampai lutut. Dia naik ke perahu. Kenapa ke pulau, Roy? Ingin menyepi di sana? Ya, aku ingin menyepi. Ingin melepas lelah dengan air laut, nyiur, dan bermain ombak. Setelah itu pulang ke rumah. Ke mamanya. Ke sekolahnya. Ke semuanya. Si bandel sudah selesai memasang tendanya. Sore hari dan gerimis. Ada bocah-bocah nelayan yang sehat dan hitam kulitnya berlarian di pantai yang lembut. Mereka bermain ombak dan saling menyembur-nyemburkan air laut. Ada satu-dua yang menyelam lalu muncul tertawa di tempat lain. Kadang kala seseorang dibopong di pundak kawannya lalu terjun ke laut. Roy membuka kausnya. Dia berlari ke arah mereka. Dia ikut bermain-main bersama bocah-bocah itu. Ikut merasakan kegembiraan mereka. Gerimis makin besar. Mereka semakin asyik berlarian di kaki-kaki hujan. Berkali-kali punggung Roy dilumuri pasir oleh bocah-bocah itu. Satu-dua bocah berhasil diringkus Roy dan membalas melumuri pasir di sekujur tubuh mereka. Mereka terus bermain-main dan berlarian di kaki-kaki hujan sampai lelah. Sampai matahari turun perlahan, sehingga senja tidak bisa mereka nikmati karena warna kelabu masih memulas langit. Kini gerimis lagi. Dan kegelapan mulai membungkus wajah pulau. Roy menutup catatan perjalanannya. Ditimang-timangnya lembar-lembar hidupnya yang sebagian sudah dibaca dan sebagian lagi akan dibaca atau tidak sama sekali. Siapa pernah tahu itu? Roy ke luar tenda menyusuri pantai. Nyala-nyala lampu mulai menghiasi wajah pulau, seperti kunang-kunang yang berlarian di hutan rimba. Banyak turis bule tertawa keras di teras cottage yang menghadap ke laut. Mulut mereka bau alkohol. Yang lelaki menggandeng wanita domestik atau wanita bule menggelayut di pundak lelaki domestik. Mereka tampaknya melanjutkan kencan yang tertunda di Bali. Roy menuju warung persis di dekat dermaga kayu. Memesan makan malam serta the hangat setelah menanyakan terlebih dulu harganya. Beberapa orang masuk. Tiga lelaki dan dua wanita. Gerakan-gerakan mereka gesit dan sembarangan, tapi penuh keyakinan dan perhitungan. Yang model begini jelas dari kelompok pecinta alam. Mulut mereka masih saja menggerutu soal larangan pendakian. Semua pendakian memang dilarang keras karena musim hujan. Di awal-awal tahun langit memang sukar diajak kompromi dengan keinginan anak muda. Kalau ada yang nekat naik dan di luar pengawasan, para petugas di base camp tidak mau ambil risiko. Itu di luar tanggung jawab mereka. Tapi serba salah juga jadi mereka. Kalau tetap ada yang nekat ugal-ugalan naik, lantas hujan lebat, lantas terjadi sesuatu hal, lantas... bisa kita bayangkan betapa repotnya mereka. Sebaiknya kita memang menghargai perasaan mereka. Ada saling pengertian sehingga lembar-lembar kusam para petualang tidak terulang lagi. Si Roy tersenyum menggeser duduknya. Warung nasi jadi meriah. "Tendamu yang dekat perahu itu ya, Roy?" tanya Rima yang berambut pendek. Roy mengangguk. "Kawan-kawanmu mana, Roy?" Neni nimbrung. Roy tersenyum malu. "Sendirian kok, Mbok." Lelaki berkemeja kotak-kotak flanel memotong. "Rencana kita gimana, nih?" "Aku sama Neni besok tetap pulang," kata Rima memastikan dan langsung diiyakan Neni. "Kita tunggu sampai lusa deh, Rim! Siapa tahu nggak hujan!" Si kotak-kotak kesal juga. "Aku kan sudah bilang kalau musim hujan tuh jangan naek gunung!" Neni menimpali dengan sewot. 'Tahu begini mendingan ngecengin bule di Bali ya, Rim!" "Kalau mau balik ya sudah, sana balik!" si kotak-kotak ikut sewot. Rima memasukkan beberapa bungkus mie ke plastik. Katanya kepada dua lelaki lainnya, "Ada yang mau ikut pulang nggak sama kita?" Si kotak-kotak menatap kedua lelaki itu dengan tajam. Tidak ada reaksi. Neni menyumpahi kedua lelaki yang tidak punya pendirian itu. "Kita pulang berdua aja, Rim!" katanya masih sewot. Rima mengangguk dan tersenyum. "Oke, guys..." Dia menarik Neni keluar dari warung. "Kalau pengen makan anget-anget jangan kelamaan nongkrong di warung!" tambahnya. "Setengah jam lagi deh, Rim!" si topi pandan sekarang nyeletuk. "Pokoknya masak dulu yang bener deh!" si syal juga bersuara. "Mampir ke tenda kami, Roy!" undang kedua gadis itu. "Tenda kami di balik tanjung!" teriak mereka menambahkan. Kedua gadis juru masak itu hilang di kegelapan. Tinggal tiga lelaki yang kini mulai tertawa-tawa. Si kotak-kotak mengeluarkan botol minuman dari tas pinggangnya. Meneguknya. Kulit wajahnya mengeras dan matanya terpejam. Kemudian dengan cepaat menggoyang-goyangkan kepalanya seperti sedang mengusir sesuatu yang menusuki kepalanya. Lalu napas busuknya terlontar bebas. Si kotak-kotak menyerahkan botol minumannya kepada si topi pandan. Lantas bergilir ke si syal. Kedua orang terakhir itu hanya meneguk ala kadarnya saja, sekadar rasa setia kawan yang sudah lazim di kalangan anak muda sekarang. "Minum, Roy!" Si kotak-kotak menyodorkan botol. Tapi dia menarik botol itu dan meneguknya sekali lagi. Lalu, "Ayo minum, Roy!" suruhnya agak kasar. Roy menggeleng. Si kotak-kotak menatapnya tajam. "Aku nggak percaya tampang semacam kamu nggak suka minum." Dia tertawa sinis. "Saya lagi nggak kepengen minum, Mas," kata Roy. Si kotak-kotak masih bertahan dengan botol minumannya yang terus disodorkannya ke Roy, malah botol itu diacungkannya persis di depan muka Roy. Kurang sopan memang. Tapi itulah alkohol. "Minum sedikit saja, Roy," kata si syal menengahi. "Hitung-hitung ngerayain pertemuan kita. Bukan begitu?" Dia meminta pendapat kepada si topi pandan. "Ya, untuk pertemuan kita malam ini, Roy!" kata si kotak-kotak meneguk minumannya lagi. "Nih!" Roy mengambil botol dan meminumnya sedikit. Si kotak-kotak tertawa keras. Padahal apa yang lucu? Tapi ya itu tadi, alkohol. Segalanya bisa berlebihan kalau sudah dipengaruhi alkohol. Pada akhirnya si kotak-kotak seperti tukang obat, berkoar tidak ada juntrungannya. Si Roy merasa gerah da.n meninggalkan warung. "Mampir ke tenda ya, Roy!" teriak si kotak-kotak. Si Roy mengangguk saja. Dia menuju tendanya. Di langit bintang bertaburan. Awan kelabu yang tadi melapisi langit berlarian entah ke mana. Si Roy rebah-rebahan di luar tenda. Laut, langit, dan bintang menghibur hatinya. Dia terlena dalam suasana alam yang hening. Matanya terpejam. Roy tertidur. Semakin menapak malam. Angin pantai begitu lembut ditimpali debur ombak. Melenakan. Semua orang sudah bersembunyi di balik selimut. Para nelayan juga kelelahan berimpitan di gubuknya. Cahaya bintang memantul di permukaan laut. Roy menggeliat. Dia bangun. Menyatukan kedua lututnya. Merenungkan hari-harinya lagi. Sudah berakhirkah pengembaraan ini, Roy? Belum. Tapi tundalah dulu barang sejenak. Ya, akan kutunda. Besok kemasi ransel birumu dan pulanglah. Di rumah juga ada pengembaraan lain yang mesti dituntaskan. Roy bangkit. Kakinya yang telanjang terbenam di pasir sebatas mata kaki. Dia terus menyusuri pantai. Suasana malam membiusnya. Dia mengambil karang kecil. Melempar sekuatnya. Dipungutnya lagi karang lain. Hendak dilemparkan seperti tadi, tapi baru saja mengambil ancang-ancang, terdengar jerit terputus-putus. Suara wanita! Jerit wanita! Seorang wanita menjerit minta tolong! Di balik tanjung asal jeritan itu! Roy berlari ke sana. Drama tidak bermoral itu memang disembunyikan malam dan sepi. Samar-samar dua bayangan meronta-ronta. Seorang wanita yang mempertahankan sesuatu miliknya dari cengkeraman si lelaki. Kedatangan Roy sama sekali tidak memadamkan kehendak bedebah lelaki itu. Roy menarik tubuh ]elaki berkemeja kotak-kotak. Mlereka saling mengadu tenaga dan jatuh terjerembap. Roy lebih dulu bangkit dan menendang si kotak-kotak yang hendak menerkam. Roy menarik si wani ta berambut pendek yang tergesa-gesa merapikan pakaiannya. Kancing baju wanita itu sudah terbuka, sehingga penutup bagian dalamnya kelihatan. Sabuk celananya pun terlepas. Dia berlindung di balik tubuh Roy. "Rima!" suara serak si kotak-kotak gusar sekali. Rima semakin bersembunyi. "Nggak apa-apa kan, Mbak?" tanya Roy menenangkan. Rima mengangguk walaupun napasnya masih turun-naik. "Kamu nggak usah ikut campur, Roy!" Si kotak-kotak maju beberapa langkah. Jalannya limbung. "Ke sini, Rima!" hardiknya lagi. Rima menggeleng cepat. Beberapa kali dia membentak-bentak dan berteriak-teriak ketika si kotak-kotak menyerbu dan saling bergumul dengan Roy. Wanita berambut pendek itu berusaha melerai perkelahian yang tidak perlu ini. Rima menjambak rambut si kotak-kotak. "Kamu kok jadi macem-macem, Yan!" Rima masih menjambak rambut si kotak-kotak. "Jadi berlebihan!" tudingnya lagi. "Aku jadi nggak suka dengan caramu!" Dia tambah berani. "Aduh, lepasin, Rima! sakit, nih!" Yana meringis. Roy berdiri dan menepiskan pasir yang menempel di tubuhnya. Jalan yang paling baik bagi Roy sekarang adalah minggir dan memperhatikan perselisihan mereka. Roy tahu kalau Yana terpengaruh alkohol yang diminumnya tadi. "Sudah aku bilang jangan minum, jangan minum! Mabokmu itu kampungan, Yan! Aku muak melihatnya!" Yana masih meringis dan tercenung. Rima melepaskan jambakannya. "Kalau kamu tetap begini terus, Yan, mendingan putus aja, deh!" Rima mengultimatum. "Rima," Yana memohon, "aku... aku khilaf tadi," suaranya penuh penyesalan. "Maafkan aku, Rima. Aku nggak bakalan minum lagi. Nggak bakalan mabok lagi. Sungguh, Rima." Rima tersenyum sinis. "Hm! Sudah sering aku dengar bualanmu itu, Yan!" "Kali ini sungguh-sungguh, Rim!" "Hm!" Rima meninggalkan kekasihnya. "Rim, aku mencintaimu!" Roy tersenyum mendengar percakapan mereka. Olala, seperti di film-film percintaan saja. Susah juga kalau sudah mencampuradukkan cinta dan seks. Kalau ingin selamat, sebaiknya lelaki pemabuk model Yana dihindari saja. "Untung kamu lewat, Roy," kata Rima. "Sebaiknya kita ke tenda saja, Mas," usul Roy. Dia memberanikan diri mendekati si kotak-kotak dan bermaksud membantunya berdiri. Tapi Yana menolak. Keluhan dan sesalannya terus terdengar, bercampur dengan ombak. "Tinggalin aja, Roy ," kata Rima. "Kenapa Mbak bisa berduaan di tempat sepi ini?" "Dia mabok, Roy. Dia ngomong ngawur dan jorok di tenda. Kawan-kawan yang lain malah menganggapnya seperti wayang orang saja. Mbak malu dong, Roy. Makanya Mbak bawa dia jalan-jalan. "Anehnya dia berubah jadi kasar tadi. Sepertinya Mbak ini orang lain saja. Seperti bukan pacarnya saja. Mbak nggak yakin, nggak nyangka kalau dia punya niat jahat seperti tadi. Seandainya kamu nggak lewat, Roy, nggak tahu deh bakalan seperti apa hidup Mbak seterusnya. "Mbak kuno ya, Roy?" Si bandel bingung dengan pertanyaan itu. Untuk sekarang kuno dan tidak kuno jadi simpang-siur. Mungkin yang paling aman mengikuti arus saja daripada terbawa arus atau melawan arus. Setidak-tidaknya kalau mengikuti arus masih bisa mengontrol diri. "Mbak mencintai dia?" iseng-iseng Roy bertanya. Rima merenung sebentar. "Kami sudah dua tahun pacaran, Roy. Sejak di kelas tiga SMA. Aku tahu kenapa dia jadi pemabuk. Semenjak orangtuanya bercerai. Bapaknya kawin lagi. Sebetulnya dia lelaki yang baik, tapi sejak perceraian orangtuanya dia jadi tidak terkendali. "Aku bukannya ingin jadi pahlawan, karena berhasil membawa seseorang ke hidup yang benar. Tapi aku yakin kalau suatu saat, pelan-pelan, dia akan kembali seperti lelaki yang pertama aku kenal. Sebagai lelaki yang baik dan periang," Rima mengakhiri keterangan tentang pacarnya. "Mbak belum menjawab apakah mencintai dia atau nggak," Roy meledek. "Tapi dari omongan tadi sih, saya yakin Mbak masih mencintai dia," sambung Roy. Rima tersenyum dan mencubit bahu Roy. *** Matahari sudah menanjak. Langit cerah sekali. Si Roy membuka kausnya. Huh, gerah sekali! Dia melongok ke luar tenda. Kontan matanya menyipit karena silau. Dia lalu membuka lebar-lebar pintu tendanya. Dia beringsut ke luar tenda. Menguap. Melakukan gerakan-gerakan kecil untuk melemaskan otot-ototnya. Dia melemparkan pandang ke timur dan ke barat. Di sana ada puncak Rinjani dan puncak Agung. Betapa mempesona. Kedua puncak gunung itu seperti mengepit dan mengecilkan yang berada di tengah. Lantas Roy berlari-lari menuju tanjung. Dia melihat di ujung pantai sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Kedua tenda kelompok pencinta alam itu sudah tidak ada. Tampaknya mereka bergegas berkemas pagi-pagi betul. Roy tiba-tiba terlonjak kaget. Dia tertawa jengkel meraba punggungnya yang kotor dilumuri lumpur. Dia melihat bocah-bocah nelayan yang sehat dan hitam kulitnya berlarian ke laut. Mereka tertawa terjun dan bermain ombak. Satu-dua bocah menertawakan Roy dan bersiap-siap menjaili lagi. Roy juga tertawa menceburkan diri ke laut.   VII. TERMINAL   kudengar keluh daun kering di ujung ranting kudengar tangis burung tua kehilangan bulu-bulu sayapnya berhadapan dengan sang waktu segala jadi tak berdaya maka aku pun terus mengembara sebelum sang waktu menghunus pisaunya   Toto ST Radik *** Angin malam menampar-nampar wajah terminal. Seluruh yang ada di sana berkesan basah, karena hujan baru saja reda. Kalau mau meneliti masih akan terlihat air menetes di ujung genteng. Lampu penerangan yang nyalanya tidak kuat seperti tidak ada artinya. Tidak bisa memberi kehangatan. Orang-orang yang merubungi warung di sudut terminal mencoba menghangatkan tubuh dengan kopi panas dan rokok. Juga sesekali dengan guyon dan tawa. Tetap saja sia-sia. Semuanya memang membawa lagu malam. Lagu orang kebanyakan yang memanfaatkan sisa hari-harinya di bawah langit. Yang menyisakan dan mempertaruhkan nasibnya pada jerit malam. Ya, inilah lagu malam, Roy! Si bandel itu menyenderkan tubuhnya ke tembok. Memperhatikan anak sepuluh tahunan yang pulas di antara tumpukan meja bangku. Kedua kakinya buntung. Menurut cerita dari mulut ke mulut, si buntung itu dibuang ke terminal oleh ibunya ketika umur lima tahunan. Tentang bapaknya tidak ada yang bisa memastikan, karena ibunya adalah wanita penjaja di pinggiran jalan. Wanita lima ribuan. Saban hari kerja si Buntung meratap-ratap minta belas kasihan orang-orang. Mimpi apa malam ini, Dik? batin Roy. Semoga mimpi merayakan ulang tahun bersama kawan-kawan kecilmu. Meniup lilin-lilin umur itu mengasyikkan. Pernah mengalami, Dik? Ah, tentu saja belum pernah. Jangankan beli kue tart plus lilin-lilin, tanggal kelahiran pun pasti tidak pernah tahu ya, Dik? Lantas lelaki lusuh yang menutupi wajahnya dengan koran. Dia juga datang begitu saja di terminal. Tidak pernah jelas rimba dan buruannya untuk hidup. Saban pagi lelaki produk kenyataan hidup itu ngeloyor. Entah ke mana dan entah berburu apa. Menjelang tengah malam dia sudah kembali ke terminal lagi dengan nasi bungkus dan sekadar dongeng anak-anak buat si Buntung. Sesekali (mungkin sedang banyak buruannya) dia pulang dengan beberapa nasi bungkus untuk dibagi-bagikan kepada penghuni terminal lainnya. Dia tampaknya bukan penghuni terminal sembarangan. Tubuh berotot dan wajah keras liar itu hal biasa untuk penghuni terminal. Tapi kalau sorot mata yang sejuk lembut seperti melindungi itu yang tidak biasa. Lelaki ini seperti punya tanggung jawab pada penghuni-penghuni lainnya. Tadi ketika lelaki itu pulang, yang pertama-tama didatangi adalah si Roy. Dia seperti menjenguk tamunya yang hendak bermalam di tempatnya. Lelaki itu memang tidak pernah menyebut bahwa terminal ini adalah kepunyaannya. Tapi tidak ada daerah yang tidak bertuan untuk kehidupan sekarang. "Sudah makan, Dik?" begitu kata lelaki itu tadi. Roy mengangguk. "Kalau ada apa-apa bilang aja sama Abang," katanya lagi. Roy mengangguk saja. Lalu lelaki itu menghampiri si Buntung. Menemaninya makan dan mendongeng. Mereka tertawa-tawa seperti tidak akan pemah ada hari esok lagi. "Kapan kawin, Bang?" tanya si Buntung tadi. "Kalau ada duit." Si abang tertawa. "Makanya duitnya ditabung, Bang, buat modal kawin." Si Abang tertawa terus walaupun kedengarannya getir. Dia memeluk si Buntung erat-erat. Anak ini sudah dianggap adiknya dan bagian dari jiwanya. Ketika tadi memeluknya, si Abang merasa seperti akan kehilangan. "Kalau duitnya buat beli tanah di kampung, gimana? Nanti kita bikin gubuk dan bertani di sana," si Abang melontarkan impiannya. "Mau, mau, Bang!" Anak itu berseri-seri. "Nah, besok kita mulai menabung!" "Tapi sampai kapan, Bang?" "Sampai kapan aja. Pokoknya sampai duit kita cukup!" Roy meringis menyadap percakapan mereka tadi. Mereka punya impian. Tapi, entahlah mereka punya harapan atau tidak. Biasanya bagi orang kebanyakan seperti mereka, yang baru bisa jadi penonton pawai kehidupan di pinggir jalan, memang lebih bagus punya impian ketimbang harapan. Bagi mereka impian memang sahabat di kala tidur. Malam bergulir dari puncaknya. Semakin hening. Angin terasa mengembuskan napas kematian. Dingin, menakutkan, dan menggelisahkan. Semua terlena. Si Roy sendiri gelisah terus. Berkali-kali dia membetulkan posisi tidurnya. Atau diaturnya lagi letak matras alas tidurnya biar nyaman. Tapi beberapa saat sebelum memejamkan mata tadi, dia mendengar suara mengaduh pelan sekali. Lalu sebuah bayangan berkelebat dan lenyap di kegelapan pasar. Roy malas untuk mengetahui lebih jelas lagi. Paling-paling orang mengigau, pikirnya praktis. Tentang bayangan, Roy? Ah, itu salah penglihatan. Mata lagi berat begini! batinnya meneruskan tidur. Si avonturir jalanan terlelap. Angin malam berdesir meniupkan hawa kematian. Seseorang menyentuh tubuhnya. Roy menggerutu karena sedang nikmat-nikmatnya tidur. Weh! Buru-buru dia bangkit ketika seorang petugas berdiri di depannya. Dia merasakan terminal kok jadi ramai? Sambil mata masih menyipit dia melempar pandang. Dia melihat si Buntung menangis meronta-ronta. "Ada apa, Pak?" Roy mengemasi ransel birunya. Roy melihat orang-orang menggotong tubuh seseorang yang ditutupi koran. Ada warna merah membercaki koran itu. Bukankah itu tubuh si Abang? Kenapa dia? Apakah suara mengaduh dan bayangan tadi...? Ah! Lantas hati Roy kebat-kebit melihat si Buntung menangis merangkak-rangkak mengejar tubuh si Abang. Beberapa orang menggendong dan mencoba menghibur. Lambat-laun si Roy bisa menerka apa yang terjadi di terminal ini. Semacam hukum rimba. Di mana yang kuat dan cerdik (baca: curang atau licik) dialah sang penguasa. Di mana yang lemah dan lengah dialah yang ditindas. Cuma sayang, yang baik selalu saja cepat pergi. Yang baik selalu saja cepat dipanggil Tuhan. Duh, malang betul nasib si Buntung! Roy buru-buru mengeluarkan tanda pengenalnya ketika petugas itu meminta. Dia merasa serba salah begitu mendengar ceramah, betapa sangat berbahaya tidur di sembarang tempat sebagai orang asing, bukan sebagai penduduk setempat. "Ikut ke kantor!" kata petugas itu. Roy mengangguk. Menyandang ransel birunya dan naik ke mobil terbuka. Selama di mobil patroli, Roy hanya bisa meratapi nasib si Buntung. Duh, duh, tidak akan pernah ada lagi yang membawakanmu nasi bungkus dan dongeng menjelang tidur ya, Dik! Sebilah belati sudah menghancurkan mimpi si Abang dan si Buntung. Mimpi tentang sebidang tanah di kampung, tentang sebuah gubuk dan tempat berladang. Di .kantor polisi ada pemeriksaan ala kadarnya. Tanya tentang identitas dan pencatatan di buku piket. Karena malam sudah jatuh dan menjelang fajar, Roy duduk-duduk saja di bangku penjagaan, walaupun sesekali terpejam juga. Tapi akhirnya dia menyenderkan kepalanya di tembok dan tertidur beberapa saat. Pagi-pagi betul dia sudah dibangunkan. Sudah banyak petugas berkeliaran. Satu-dua petugas tersenyum dan menawarkan sarapan pagi bersama di kantin kepadanya. Buru-buru dia mengemasi ransel birunya dan berlari ke belakang untuk mandi pasfoto. Di lorong bagian belakang, dia melongok dulu ke dalam, ke beberapa tahanan. "Dik!" seseorang memanggilnya. "Punya rokok?" kata pesakitan itu memohon. Roy tersenyum sambil merogoh saku jaketnya. "Nih, bagi-bagi!" katanya sambil melemparkan bungkus rokok itu ke dalam tahanan. "Matur nuwun, Dik!" teriak mereka gembira. Roy tersenyum lagi. Dia merasa lega karena masih bisa bebas menghirup udara. Agak siangan remaja delapan belas itu sudah duduk-duduk di terminal. Telinganya dipasang kuat-kuat. Matanya menyambar ke setiap sudut terminal. Ke mana si Buntung? Ya, ke mana anak itu? Ketika dia makan siang di warung, terdengar dari bisik-bisik orang-orang, bahwa si Buntung dibawa oleh seorang wanita entah ke mana. Ada yang pro-kontra bahwa wanita itu adalah ibu si Buntung yang sudah mengakui segala dosa-dosanya dan bermaksud pulang ke kampung. Lalu dari bisik-bisik yang lain, Roy menangkap sebuah ketakutan tentang penguasa baru di terminal ini. Dengan penasaran Roy mengikuti arah bisik-bisik mereka. Lalu dilihatnya di sebuah sudut terminal, seorang lelaki berpenampilan kasar dan beringas sedang menerima setoran dari orang-orang. Di sekelilingnya kroco-kroco-nya melindungi. Roy menggigit bibirnya. Dia buru-buru, membayar makan siangnya. Menyandang ransel birunya dan menyusuri jalanan lagi. Menyetopi truk-truk dan melompat ke baknya.   VIII. TRAIN 1   bulan separuh sunyi mencumbu waktu kereta api menguik memecah lamunan sendirian aku menatap gelap dari balik jendela kaca kusam bulan sepenuhnya terusir dari langit di benak masih tersisa pertanyaan lain : di manakah rumahku?   Toto ST Radik *** Kereta gerbong mulai bergerak. Seorang remaja berlari kecil sejak dari gerbong depan sampai ke gerbong belakang. Dia mencari-cari gerbong yang pintunya terbuka. Kereta mulai merayap. Dia melemparkan ransel birunya ke gerbong. Tangannya meraih pegangan dan kakinya mengait ke atas. Hup! Kereta mulai meninggalkan mulut stasiun. Si avonturir jalanan itu rnasih berdiri di pintu gerbong. Melihat lampu-lampu dan rumah-rumah yang berlarian ditinggalkan kereta. Kereta menembus kegelapan. Merobek keheningan. Roy meletakkan ransel birunya di sudut. Tiba-tiba dia memasang telinganya kuat-kuat. Ada suara gemerisik di sudut yang lain. Dia mencoba meyakinkan dengan mencari-cari arah suara tadi. Dia menyalakan Zippo dan diangkatnya tinggi-tinggi. Nyala kecil itu diarahkan ke sebuah sudut. Tampak seorang anak kecil menggigil kedinginan dan di wajahnya terlukis ketakutan yang amat sangat. Pakaiannya cornpang-camping. Ada darah kering membekas di bibirnya. "Nggak usah takut, Dik." Roy mendekati. Anak kecil itu semakin menggigil dan merapatkan dirinya di sudut gerbong. Roy memandangnya. Lantas tersenyum. Anak kecil itu masih diam di sudut. Roy menarik ransel birunya. Mencari-cari sesuatu di dalamnya. Sebuah kaus berada di pegangannya. Dia menimbang-nimbang apakah kaus ini kebesaran atau tidak. Tapi, "Pakailah, Dik, biar nggak dingin," katanya, menyodorkan kausnya. " A yo, Dik." Anak kecil itu memandang Roy dengan bola matanya yang bundar tapi redup. Ragu-ragu dia mengambil kaus itu. Setelah dirasakan semuanya baik-baik saja, anak itu memakai kaus pemberian si Roy. Kedodoran memang. Roy duduk di depan anak kecil itu. "Nama kamu siapa, Dik?" tanyanya. "Narto, Kak." "Wajahmu ini kenapa?" Roy meraba bibirnya. "Dipukul orang." "Kenapa dipukul?" Narto menunduk. Suara anak kecil itu terdengar pelan. "Narto lapar, Kak." Roy menarik napas mendengar kenyataan, bahwa anak itu dipukul karena lapar. Dia berdiri dan berpegangan pada pegangan pintu gerbong. Matanya menjelajah kegelapan. Lapar memang menakutkan. Orang kadang kala suka nekat kalau sudah berurusan dengan lapar. Karena lapar orang-orang suka mudah mengambil jalan pintas. Kucing-kucing dan tikus-tikus di rumah juga suka mengobrak-abrik lemari makan karena lapar. Tapi kok kenapa ada korupsi, padahal lemari dan dompet mereka padat berisi? Kenapa masih ada sisa makanan di tempat sampah, padahal masih banyak yang tidak kebagian dan susah mencari.makan? Roy merogoh saku jaketnya. Ada dua biji permen lagi. Kebiasaannya untuk mengusir lapar memang mengulum permen. "Ambillah, To." Roy menyodorkan permen. Narto mengambil satu. Langsung membuka bungkusnya dan mengulum permen itu. Roy meniru. Mereka lantas saling senyum ketika mengulum permen. Rasa lapar sejenak mereka lupakan. Kereta terus berlari membelah persawahan dan bukit-bukit. Malam menyelimutinya. Dingin merangkulnya. Hening membelainya. Mimpi-mimpi harapannya. Fajar mulai menghias langit timur . Anak kecil itu duduk di pintu gerbang. Kedua kakinya menjuntai bergoyang-goyang. Wajahnya bersinar. Anak kecil itu sedang membayangkan duduk di rumah panggung sambil memperhatikan persawahan. Lalu menyusul Roy duduk di sebelahnya. Mereka berteriak-teriak menyambut pagi. Kedua anak manusia itu menikmati pagi yang selalu indah. Warna putih bagai kapas halus mengambang di pucuk-pucuk padi. Petani dengan kerbau dan bajaknya berkubang di lumpur. Serta anak-anak kampung yang hendak sekolah bersepeda menghiasi jalan-jalan tanah perkampungan. "Kakak pengen denger ceritamu, To." Anak kecil itu melirik. "Narto mau ke Semarang. Cari Pak'e," katanya. "Ibumu?" Narto menatap kosong. "Bu'e sudah mati, Kak." Roy merangkulnya. "Bapak Kakak juga sudah mati, To," katanya menghibur. "Bapakmu di Semarangnya di mana, To?" "Kata orang-orang di kampung, tanya saja sama sopir-sopir angkutan kota di Semarang. Mereka sudah pada tahu di mana Pak'e Narto," katanya polos. Roy manggut-manggut. "Kamu sekolah, To?" Narto rnengangguk. "Sudah kelas lima. Nanti kalau ketemu Pak'e di Semarang, Narto mau rninta disekolahin lagi." Kereta kembali merayap memasuki ujung stasiun. "Ayo, To!" Roy menarik ransel birunya. Meloncat turun. "Kereta gerbong ini berangkat lagi nanti malam," kata Roy sambil membantu Narto turun. "Kamu lapar ya, To?" Narto rnengangguk. "Yuk, kita makan!" Roy tertawa berlari-lari. Hari ini mereka gembira. Wajah mereka berseri dan senyum terus mengembang kepada dunia. Kepada siapa saja. Mungkin kalian kalau bertemu dengan mereka pasti mendapat bingkisan senyum. Lantas mereka mencari bangku yang nyaman di stasiun. Memanggil tukang nasi bungkus. Mereka makan seperti di restoran saja. "Di kampung tinggal sama siapa, To?" "Sama Bulik," katanya, Lalu katanya lagi, "Bulik kejem, Kak. Kalau Narto salah sedikit pasti dipukul Narto ndak tahan. Narto kabur dari rumah. Narto mau cari Pak'e ke Semarang," ceritanya. "Sudah dua hari Narto ndak makan. Kemarin Narto nyuri roti saking laparnya. Tapi ketahuan sama yang punya toko. Narto dipukul, Kak. Narto lari ke stasiun takut dibawa ke kantor polisi. Sembunyi seharian di gerbong." Roy trenyuh juga mendengar ceritanya. "Tambah lagi ya, Kak." Narto dengan polos mengambil nasi sebungkus lagi. Dengan lahap dia menyantapnya. Roy pun tersenyum mengambil sebungkus lagi. Setelah pesta makan pagi usai, Roy membawa Narto ke terminal bis. Ini mungkin jalan keluar yang terrnudah bagi Narto: dititipkan ke sopir-sopir bis! Bukankah Semarang tinggal beberapa jam perjalanan lagi? Mudah sekali, mencari rasa gotong-royong di sini. Setelah tawar-menawar, Roy sepakat dengan ongkos termurah yang dibumbui rasa kemanusiaan. Sebetulnya minta gratis demi anak kecil ini pun bisa. Tapi itu bukan langkah bijaksana. "Hati-hati ya, To!" Roy mengucek-ucek rambutnya. Wajah Narto tampak sedih. Mereka saling melambaikan tangan. Lantas Roy bergerak lambat ke barat hari itu. Dia berdiri di pinggiran jalan untuk menyetop truk yang menuju rumahnya. Dan malam-malam seperti biasanya, Roy sudah berada di stasiun lagi. Mencari-cari kereta gerbong yang hendak ke barat. *** Stasiun pas siang hari sedang sibuk. Ada yang sedang antre karcis di loket sambil menggerutu, si ibu yang mengawasi anak-anaknya, si bapak yang menjagai barang-barang bawaannya, kuli-kuli yang berebutan cari angkutan barang, para pengemis yang menadahkan kaleng bututnya, dan anak-anak sekolah yang badung. Si Roy sendiri baru keluar dari kamar mandi umum. Rambutnya basah dikeramas. Segar sekali. Dia merogoh dan mengodok dua logam ratusan, lalu memasukkannya ke boks sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada penjaganya. Tampaknya Roy sudah berkemas untuk pulang ke rumah. Karcis kereta ada di tangannya. Terus-terang aja, Roy rindu pada kotanya. Pada mamanya, Toni, si manis, dan Iwin. Ya, Iwin! Bagaimana Iwin sekarang? Telinga kirinya yang putus sudah sembuh? Sudah normalkah bicaranya? Pengeras suara mengumumkan kereta tujuan barat akan masuk di rel dua. Roy cepat-cepat menyeret ransel birunya. Lok kereta kelihatan menyembul dari jauh. Roy bersender di pilar. Lok itu semakin jelas kelihatan. Lantas iseng-iseng dia menarik garis lurus antara lok dan tempatnya berdiri. Weh, naga-naganya kalau berdiri di situ terus, Roy, pasti kena hantam bagian pinggir lok! Kepala kereta itu memasuki ujung stasiun. Seorang lelaki tampak berjalan ke arah Roy. Orang itu terus memperhatikan seluruh yang ada pada Roy. Mulai dari ujung kaki sampai rambut, mungkin begitu kata pepatah. Roy hanya tersenyum saja. Kereta mendesis di belakang orang itu. Roy mundur beberapa langkah. Dia pikir orang itu pasti akan mengikuti minggir atau mundur beberapa langkah. Tapi nyatanya tidak. Orang itu terus saja berjalan pada jalurnya. Suara desis kereta seperti tidak mampir di telinganya. Roy hanya bisa membuka mulut tanpa ada suara. Segalanya begitu cepat. Roy masih berusaha untuk menjambret tubuh orang itu, tapi keburu terpental kena seruduk kepala kereta. Orang itu menggelepar dan mengerang. Seluruh isi stasiun ribut dan merubung sang korban. Roy bergidik saja di tempatnya. "Wah, kalau mental ke rel habis sudah!" "Mati, nggak?" "Laki, perempuan?" "Kenapa nggak ditarik? Kan deket sama kamu?" seseorang seperti menyalahkan si Roy. Avonturir jalanan itu diam saja. Dadanya bergemuruh dan saling tuding-menuding. Pelan-pelan dia mulai ikut menerobos dan melihat sang korban. Masinis kereta tergopoh-gopoh menyeruak kerumunan. Katanya gelisah, "Penumpang, bukan?" Lalu ketika didengarnya bahwa si korban malang itu bukan penumpang, wajah masinis berseri-seri. Mungkin karena bukan penumpang berarti tidak usah dapat santunan. "Kenapa nggak djbawa ke rumah sakit?" seseorang yang iba menggugat. Tapi tidak ada teaksi dari gugatan tadi. Masinis menyuruh beberapa petugas menggotong si malang ke kantor. Lantas sang masinis kembali dengan kewajiban rutinnya. Si korban dibaringkan di meja. Roy memandang si korban lebih dekat. Tapi buru-buru Roy membuang muka, karena sorot mata si korban menghunjamnya. Sorot mata si korban begitu menakutkan. Mengerikan! Peluit tanda berangkat melengking nyaring. Orang-orang yang ke barat berjejalan di tiap pintu gerbong. Kejadian mengerikan tadi seperti satu babak dari sandiwara tidak berjudul. Tidak ada artinya. Terjadi dan dilupakan begitu saja. Roy hanya bisa membatin dengan kesal. Dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Juga tidak pernah tahu nasib keluarga si korban, tidak akan pernah mendengar ratapan keluarga si korban dan mungkin istri serta anak-anaknya. Yang masih dia ingat adalah sorot mata mengerikan yang beberapa saat kemudian meredup ke lembah sunyi. Orang malang itu mati. Roy gelisah sekali. Di dalam kereta si avonturir yang gelisah duduk di pintu gerbong.. Dia biarkan angin menampar-nampar wajahnya. Dicabutnya spidol besar dari saku belakang celana jeansnya. Ditulisnya kata "Brengsek" besar-besar di dinding kereta. Tapi itu pun tidak menolongnya. Dengan kesal dicoretinya grafiti sialan itu. Huh! Dia membuang kekesalannya ke luar. Kereta semakin lepas ke barat. Roy berdesak-desakan di lorong tiap gerbong. Susah payah dia menarik ransel birunya yang terimpit. Dia menuju gerbong paling penghabisan. Berdiri sendirian di sana. Memandangi rel yang kadang lurus dan kadang meliuk seperti ular. Besi-besi yang membelenggu bumi Jawa itu menyimpan jejak-jejaknya. Roy berdiri di pintu gerbong belakang itu. Tiba-tiba dia berteriak. Entah kepada siapa.   IX. TRAIN 2   menggeliatlah! menarilah! sampai basah tubuh oleh peluh biar saja senjakala jatuh dan malam menyergapkan kelam tak perlu menyumpah menyerapah atau termangu atau tersedu pilu menggeliatlah! menarilah! seperti burung malam yang tak lelah menyeru bulan. tak lelah-lelah!   Toto ST Radik *** Roy sengaja berdiri di pintu gerbang. Dia biarkan angin menyambar-nyambar tubuhnya. Rambutnya yang gondrong tergerai. Dia melihat orang-orang berdiri di sepanjang rel di mulut stasiun. Mereka berlari menjajari kereta. Satu per satu dengan berani meraih pegangan pintu. Tersangkut dan tersentak melompat naik ke gerbong. Di pintu kereta tempat Roy berdiri, seorang lelaki tengah berusaha melompat naik. Tangannya sudah berhasil meraih pegangan pintu. Roy membantunya. Menariknya, ketika hampir terseret. Mereka masuk ke gerbong-gerbong, berebut rezeki. Siapa tahu ada yang butuh tenaga mereka untuk mengangkuti barang bawaan. Mereka memang kuli stasiun. Demi uang, nyawa jadi tidak berharga lagi. Roy melompat turun begitu kereta berhenti. Matanya berkeliling ke setiap sudut. Selalu kutemui pemandangan sama, batinnya. Orang-orang berjejalan, lelah berpergian dan menunggu saat pemberangkatan kereta yang selalu saja molor. Roy merasa kelopak matanya menggayut. Kata petugas stasiun, kereta ke arah matahari tenggelam sore nanti. Sebetulnya bisa saja dia ke terminal bis, tapi dia memilih naik kereta saja. Ada nikmat yang dia rasakan, jika dia sudah berada di gerbong kereta; berdesak-desakan menghirup aroma orang kebanyakan, yang duitnya pas-pasan. Si bandel itu melihat seseorang meninggalkan tempat duduk. Buru-buru dia menyerobot, tidak peduli dengan orang-orang. Duduk melonjorkan kaki. Ransel biru dia geletakkan begitu saja. Matanya terpejam beberapa saat. Si avonturir bandel membuka matanya dengan kesal. Dia mendengar suara ribut-ribut. Ada orang berkerumun. Tangan mereka berebut diacung-acungkan. Sedang ada hukum rimba. Beberapa orang petugas dengan pentungan membubarkan mereka. Seseorang yang babak-belur mengerang-erang di lantai. Orang malang itu diseret dan diamankan para petugas. "Copet nekat," seseorang ngedumel. "Berani-beraninya nyopet di tempat ramai begini," kata yang lain. "Untung si ibu itu tau kalau dompetnya diambil." "Copet itu lagi sial 'kali! Biasanya orang-orang nggak pernah peduli dengan kejadian sekelilingnya. Mau ada copet kek, tawuran anak sekolah kek, bodo amat! Yang penting cari selamet, deh!" "Kalau kita teriak, jangan-jangan malah kita yang dikira copet!" Mereka tertawa, tepatnya menertawakan kegetiran hidup. Roy cuma menyadap pembicaraan mereka saja. Matanya terpejam lagi. Kejadian getir ini biar aku catat di buku harian saja, batinnya. Ya, cari selamat memang paling bagus jika hidup di Metropolitan. Tak usah mau disebut pahlawan jika melihat ada ibu-ibu kecopetan atau memberikan tempat duduk kita di bis kota pada seorang gadis. Tidak ada artinya. Ya, ikut-ikut individual saja. Ikut-ikut jadi "gila" saja. Tiba-tiba Roy merasa gerah berada di sini. Rasanya menunggu hari sore serasa seabad saja. Baru lepas tengah hari, gerutunya. Tapi dia berusaha mengusir sikap apatis tadi dengan membayangkan lagi jejak-jejak perjalanannya kali ini. Blue ransel! batinnya tertawa ketika ingat petualangannya menguber-uber ranselnya. Ah, si gondrong itu sudah menyeberang! Ya, blue ransel sialan! Dia meraba-raba mencari ranselnya. Heh, ke mana ranselku ! Roy membuka matanya dengan panik! Blue ransel-nya lenyap! Oh, oh, ooh! Dia melempar pandang! Ada yang bergegas membeli tiket, tapi dicegat calo-calo atau pedagang asongan yang suka liar menawarkan dagangannya. Semuanya untuk duit, demi duit! Ya, tapi mana blue ransel-ku?! Tadi aku geletakkan di... di mana, ya? Roy kebingungan. Dia teledor. Dia panik berlari menyibak orang-orang, ke segala arah. Oh, God! Sekelebat dia melihat seseorang dengan tenangnya keluar stasiun. Blue ransel-nya disandang orang itu seperti milik sendiri saja! "Hey, copet, copeet!" teriak Roy gemas. "Tuh, yang bawa ransel, ransel biru! Tangkep, dong, tangkeep!" dia terus berteriak-teriak, berharap orang-orang menangkap copet sialan itu. Tapi, betapa jauh berbeda dengan situasi tadi, tidak ada orang yang mau peduli dengan teriakannya. Betapa cepat keadaan berubah! makinya. Dia semakin panik seradak-seruduk mengejar. Beberapa kali dia menabrak orang-orang hingga terjerembap. Jika ada yang memakinya, dia balas memaki lebih garang. "Minggiir, minggiiir!" teriaknya tidak peduli. Blue ransel adalah harta hidupnya. Di sana ada catatan harian, yang tidak akan bisa diganti oleh apa pun. Oleh kecup perempuan sekalipun. Ke mana pun akan aku kejar! "Heey, heeey!" Roy sudah di luar stasiun. Dia memanggil-manggil orang yang menyandang blue ransel-nya. Copet brengsek itu menyeberang jalan. Roy mengejar .Beberapa kali dia hampir tertabrak mobil. Jika orang-orang di mobil memaki, dia membentak mereka. Roy tinggal beberapa meter saja. Copet tidak tahu diri itu hampir saja tersambar mobil. Roy sudah tidak mengharapkan bantuan orang-orang lagi. Dia tidak peduli melihat wajah copet itu brewokan. Si bandel selintas melihat seorang petugas di simpang empat memperhatikan, karena lalu lintas jadi semrawut. Saat itu pulalah Roy berlari kencang dan menubruknya! Mereka bergulingan di jalan raya. Klakson mobil bersahutan dan mengerem lajunya. Orang-orang di trotoar malah berhenti dan menonton juga. Mungkin pikir mereka, ini shooting film actions murahan. Si brewok itu berhasil lepas. Roy menarik ranselnya, tapi pukulan si brewok mendarat. Dia tersungkur. Ranselnya terlempar dan menggeletak persis di ban sebuah mobil. Dia mengerang, menendang sekenanya. Si brewok, melihat situasi yang menyudutkan, berlari, dan menghindar. Dia memilih cari selamat saja. Dia tidak menyangka juga kalau anak kemarin sore ini nekat melawannya, mempertahankan hartanya. Roy memaki-maki sepuasnya. Dia menyeka bibirnya yang perih. Dia mengambil ransel birunya. Berjalan ngeloyor sambil memaki-maki juga pada orang-orang yang cuma menonton saja. Seorang petugas mencegatnya di pintu stasiun. "Kok baru muncul sekarang, Pak?" kesal sekali Roy. Dia tidak peduli wajah petugas itu berubah seram dan menariknya ke sudut. Dia semakin kesal ketika dituduh mengganggu ketertiban lalu lintas. Roy bersungut-sungut menerangkan duduk perkaranya. Untung ada beberapa orang yang berani membantu menjelaskannya. Petugas itu tetap memasang wajah angker. "Lain kali hati-hati! Ini bukan kampung, tapi Metropolitan!" pesan si petugas kesal. Roy cuma mengangguk saja. Lalu ngeloyor. Orang-orang di stasiun cuma melirik dan ada yang mencoba tersenyum. Tapi si avonturir bandel tidak peduli. Dia menyeret blue ransel-nya, yang sering membuatnya pusing tujuh keliling. Roy duduk seenaknya. Kekesalan campur geram pada ketidakpedulian orang-orang terhadap sekelilirig masih tercermin. Ranselnya digeletakkan. Diinjak dengan kedua kakinya. Dia cuma duduk saja menunggu kereta ke barat berangkat. *** Kereta ekonomi ke barat bergerak pelan-pelan. Orang-orang berjejalan di tiap gerbong, luber ke pintu-pintu. Di Tanah Abang kereta semakin terseok-seok, karena beban bertambah lagi. Orang-orang berebut naik, malah sampai ke atap kereta segala. Roy tidak peduli dengan sesaknya penumpang kereta. Dia kebagian duduk di dekat jendela tanpa kaca. Jendela-jendela kereta ekonomi ini memang banyak yang bolong. Bahkan jok bangkunya pun banyak yang lepas. Kereta ke arah matahari tenggelam cuma dua pemberangkatan. Pagi dan sore. Begitu juga dari arah barat, kota yang paling akhir tersentuh kereta. Atau kota yang mengawali Pulau Jawa dengan besi yang mengikat sampai ke Banyuwangi seperti pepatah Joyoboyo. Berarti persis dengan jam kantor. Mereka kaum urban, yang tinggal di sepanjang rel kereta. Mereka mengais rejeki di Metropolitan. Ada yang pergi pagi pulang sore, atau ada yang menetap beberapa hari dan di akhir minggu pulang. Di Kebayoran perut kereta semakin kenyang. Manusia-manusia tidak peduli lagi dengan kenyamanan dan tata krama. Angkutan ke arah barat di sepanjang jalur kereta memang tidak ada jika sore. Keretalah alternatif buat mereka, tidak peduli kereta penumpang atau kereta gerbong yang mengangkut batubara atau semen. Dengan kereta gerbong, mereka dipungut seratus perak oleh masinis. Mereka bisa berhenti di mana saja, karena kereta akan diperlambat. Silakan melompat saja! Kereta semakin terseok-seok menembus senja, ke arah barat. Menembus perkampungan kumuh, melintasi real estate. Setiap sore orang Metropolitan menonton pemandangan menyedihkan, para penumpang menyemut sampai ke atap-atap kereta. Padahal tragedi 17 Oktober 1987, Bintaro, yang memakan 125 nyawa, dan menelan 1,9 milyar rupiah masih terus membayang. Tapi Roy tidak mau melihat itu semua. Dia memejamkan matanya. Dia betul-betul lelah dalam perjalanan kali ini. Yang ada di benaknya cuma rumah, rumah, dan rumah! Dia tertidur nyenyak. Semua penumpang melihatnya dengan iri, karena Roy tertidur dengan senyuman. Dia memang menikmati perjalanan kereta.menyebalkan ini dengan mimpi. Mimpi tentang rumahnya! Kota leluhurnya! Kawan-kawannya. Dia tidak mau tahu kalau kereta berhenti di setiap stasiun kecil, menaik-turunkan penumpang. Juga di sembarang tempat, di kampung terisolir, asalkan penumpang membayar bonus pada masinis. Mereka berlompatan ketika kereta merayap pelan-pelan. Atau pedagang asongan-jeruk, apel, rokok, minuman plastikan, mainan anak-anak, pisang, koran, lontong plus telur asin, dan macem-macem lagi-berdesakan di antara penumpang menawarkan dagangannya. Tidak keruan, tidak keruan! Biarlah dunia kecil kereta arah barat ini cuma dinikmati mereka saja, orang kebanyakan dari bagian barat Jawa. Jangan sekali-kali orang berduit naik kereta ini. Bisa mati kepanasan atau kepengapan bukan mustahil! Kereta terus meluncur menembus malam. Semakin ke barat penumpang semakin berkurang. Orang-orang mulai bernapas lega dan bisa duduk leluasa. Roy masih tidur dengan senyumnya. Di Stasiun Rangkasbitung, kota yang beken karena Max Havelaar dan Rendra mengeksploitirnya, penumpang tumpah-ruah. Gerbong-gerbong kini melompong. Roy kini menggeliat. Dia melongok ke jendela. Membeli nasi bungkus. Memakannya dengan lahap. Dia berdiri, tersenyum sendiri karena banyak tempat duduk yang melompong. Dia melihat ke tempat barang. Blue ransel-nya masih ada di situ. Roy melihat ada bocah cilik sedang duduk sendirian. Jari-jarinya tampak bergerak-gerak menghitung penghasilannya hari ini. Ada boks kecil dan serbet kumal. Rupanya bocah itu penyemir sepatu. Iseng-iseng si bandel mendekati. Menawarkan sepatu gunungnya yang lecek untuk disemir . Bocah cilik itu tanpa banyak cakap memasukkan uangnya ke saku celana yang kumal. Mengambil boksnya. Mengeluarkan semir sepatu dan sikat kecil. Sambil membuka sepatunya, Roy melihat tubuh bocah cilik itu kotor sekali. Segala-galanya. Mulai dari pakaian sampai kulit tubuhnya. Penuh keringat bercampur debu jalanan. Rupanya bocah ini sudah memeras keringat seharian. "Nama kamu siapa?" iseng-iseng Roy bertanya dalam bahasa daerah. "Anip," kata bocah itu singkat. Tangannya bergerak cepat membuka tali sepatu. Membersihkan dulu dengan serbet. Lampu neon kereta yang cuma satu menyala menerangi gerbong. Tidak ada bayang-bayang mereka terpantul di dinding gerbong, yang ada cuma bayang-bayang nasib mereka. Yang kecil dengan nasib getirnya, berebut cari rejeki untuk menghidupi keluarga. Yang remaja dengan nasibnya yang selalu gelisah memandang kehidupan; masa depannya sebagai penerus pertiwi. Dari mulut Anip, Roy akhirnya mendengar tentang sebuah keluarga kecil di kampung di jalur kereta. Dia cuma sekolah sampai kelas 5 SD. Adiknya dua orang, Bapaknya sudah meninggal, karena terlalu lelah menggarap sawah orang lain. Ibunya jadi penjual makanan di kereta juga. Roy menelan saja cerita Anip tadi. Betapa bertebaran cerita-cerita Anip yang dia temui di perjalanan kali ini. Dengan penghasilan sekitar dua atau tiga ribu perak, Anip mengambil setengahnya. Untuk jajan dan ditabungkan di bank keliling. Setengahnya lagi diberikan pada ibunya. Begitu terus hidup mereka menggelinding, berbarengan dengan roda-roda kereta yang menggilas hari-hari. Ah, belum saatnya Roy memikirkan tentang sebuah sistem. Entah di sebelah mana rusaknya sistem itu. Yang jelas, dia cuma bisa bertanya dan mendengarkan dulu nasib orang-orang. Cuma untuk didengar saja. Ditelan atau jadi pegangan hidupnya. Bukankah kata pepatah, dengan mendengarkan nasib atau kepahitan orang saja sudah merupakan tindakan yang baik? Kereta sebentar lagi berhenti di kota leluhurnya. Si avonturir bandel sudah berdiri di pintu kereta. Berteriak-teriak gembira pada siapa saja yang ada di sepanjang rel. Hari sekitar jam sepuluh malam. Kereta berhenti di stasiun. Roy melompat turun. Menyeret dengan gembira blue ransel-nya. Dalam hati dia berbisik, kita istirahat dulu beberapa saat! BERSAMBUNG BALADA SI ROY #6 Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt