AURA CINTA YANG TERHALANG Seperti malam-malam sebelumnya, Hafids selalu sendiri. Dia merenung memandangi karunia Sang Pencipta, memandangi bulan yang hampir purnama, juga taburan bintang-gemintang yang selalu menghias malam. Hawa dingin terasa menyengat kulitnya yang tebal. Yang terasa tidak lagi kesejukan, badannya pun sudah menggigil kedinginan dan hampir membeku diterpa angin kemarau. Hafids mencoba menahan rasa dingin yang menderanya hanya untuk menyendiri. Karena musim kemarau, malam tampak cerah, tapi cerahnya malam tak sepadan dengan apa yang dirasakan hafids, seolah tak merasakan karunia Tuham yang mengagumkan. Hatinya mendung lantaran perasaan cinta yang tiada bisa dibendung. Ia sudah berkali-kali mencoba mengalihkan pikirannya dari Afifah (Ifa), gadis cantik nan lugu dan selalu membalut tubuhnya dengan pakaian yang serba panjang, kepalanya pun terbalut kain suci berupa jilbab. Ifa ialah anak pertama dari pasangan Pak Hasan dan Bu Maryam tetangganya. Sudah hampir 3 (tiga) tahun ini Ifa nyantri. Dalam waktu yang tidak sebentar itu, Ifa mengabdikan diri di pesantren sambil menempuh SMA-nya. Karena jadwal nyantri adalah 3(tiga) tahun itu, maka dalam bulan ini Ia akan pulang dan akan kuliah di fakultas umum dekat rumahnya. Oleh karena alasan itulah yang membuat malam-malam Hafids terasa mendung. Bulan ini adalah bulan terlama yang dirasakan Hafids, karena Hafids memang benar-benar berharap Ifa pulang, dan bertemu setiap hari. Ya... hanya sekedar bertemu, atau memandangnya dari jauh. Tapi penantian selalu terasa membosankan. Hafids sempat berfikir, apa gerangan yang dirasakannya, hingga rasa rindunya pada Ifa begitu menyala-nyala. Kalau ibarat generator listrik, mungkin sudah bermega-mega volt tegangan yang dihasilkan. Padahal Ifa bukanlah siapa siapa Hafids, Ia hanya anak Bu Maryam yamg baik hati dan Pak Hasan yang dermawan. Hafids masih termenung, merasakan dinginnya malam, merasakan getar cinta yang membara. Hari telah berganti hari. Malam yang gelap berubah menjadi pagi yang indah. Bulan tergantikan oleh mentari yang mengintip dibalik pohon kelapa. Pagi ini, setelah sholat subuh agak kesiangan, Hafids harus pergi kuliah, ya... tiap hari senin Hafids ada kuliah pagi. Dia menaiki motornya yang baru pelan-pelan, mungkin setengah jam sampai, karena jarak rumah dari kampus sekitar 15 kilometer. Baru beberapa kilo dari rumah, Hafids melihat Bu Maryam jalan kaki berlawanan arah darinya. Melihat Bu Maryam, Ibunya Ifa, bagi hafids adalah sesuatu yang tidak biasa, mungkin seperti melihat air di padang pasir yang luas, dan tidak menemukannya selama satu minggu. Hal itu membuat Hafids salah tingkah. Ya... salah tingkah. Hafids seolah ingin menunjukkan dirinya anak yang baik. Hafids mengendorkan tarikan gas motornya. Motor yang baru diambil dari dealer bulan lalu itu pun berhenti tepat di depan Bu Maryam. Sesaat kemudian Hafids memacu motornya kembali dengan secepat-cepatnya. Hafids merasa tidak pantas berbalik arah kemudian mengantarkan Bu Maryam sampai rumah. Bu Maryam bukan muhrim dengannya. Tapi seharusnya Hafids tidak berhenti tadi. Itu adalah kesalahan yang membuat Bu Maryam penuh tanda tanya di kepalanya. Penuh tanya oleh kelakuan Hafids tadi. Hafids pun berangkat kuliah dengan cemas. Materi mata perkuliahan tidak bisa diterimanya. Hari-hari Hafids setelah itu ada rasa tidak enak bila ketemu Bu Maryam, apalagi kalau Bu Maryam menyapanya.... Kesalahan yang hampir sama juga pernah dilakukan Hafids di perpustakaan masjid. Waktu itu, Hafids pergi ke perpustakaan masjid untuk rapat Remaja Masjid atau REMAS. Di jalan Hafids melihat sylvi keponakannya berjalan bersama Ifa yang pulang beberapa hari dari pesantren karena libur. Hafids sudah lama tidak melihat Ifa, jadi kerinduan tak beralasan menyelimutinya. Ia urung melangkah dan berhenti beberapa saat. Setelah memastikan Sylvi dan Ifa telah sampai perpustakaan, Ia melangkah dengan kecepatan dipercepat beraturan layaknya bola yang menggelinding di alas yang miring. Sesampainya di perpus masjid, Hafids melihat siapa-siapa yang ada di dalam. Dia melihat ada Hanif, si ketua remas, Andi, Iqbal, dan Heru. Juga Izah, Nur dan Sylvi. Dia tidak mendapati Ifa ada didalam. Hafids langsung masuk dan mendekati Sylvi. Dengan setengah berbisik, Hafids menanyakan keberadaan Ifa. "Vi, Ifa mana?" pertanyaan yang tidak biasa pikir sylvi. Sylvi mendengarnya heran. "kak Hafids ada perlu apa mencari Ifa?, kok kelihatannya serius!!!" jawab Sylvi agak keras. Semua yang ada pun mendengarnya. Dan mendengar itu Izzah pun nyaut, "ada yang mangil Ifa ya?". Wajah Hafids langsung memerah, Dia tak tahu harus menjawab apa. Dengan gugup Hafids pun menjawab pertanyaan yang baginya adalah buah simalakama, bila dijawab salah, tak dijawab apa lagi. "engga, cuma nanya, soalnya tadi kesininya saya lihat, dia sama Sylvi". Mendengar pernyataan Hafids, semua tersenyum kecut, menganggap pernyataan Hafids tidak penting. Kesalahan itulah yang akan diingat Hafids sampai kapanpun, sampai dianggap pernyataanya selalu tidak penting oleh teman-temannya. ...3 minggu kemudian.... Sekarang Afifah telah ada dirumah. Jadwal nyantrinya sudah selesai. Dia lulus dengan nilai rata-rata 8,5, cukup memuaskan. Ifa akan melanjutkan kuliah di fakultas umum dekat rumahnya. Semenjak kepulangan Ifa mungkin untuk selamanya, hari-hari Hafids dipenuhi bunga-bunga cinta yang indah nan harum. Baginya hari-harinya laksana melewati karpet merah mewah, ditaburi 7 macam bunga, disamping perjalanannya selalu terdapat bidadari-bidadari yang sangat cantik. Dan diujung karpet itu terdapat ratu bidadari yang cantiknya luar biasa. Bidadari itu adalah Ifa. Dan penantian yang membosankan telah melewati ujungnya. Angan yang berlebihan memang. Semenjak itu pula, Hafids selalu berusaha untuk bangun lebih pagi. Walaupun sebelumnya, Dia selalu bangun pagi, pergi ke masjid, dan sholat subuh di masjid. Tapi kali ini lain, hari-hari ke masjid Hafids selalu memunculkan harapan adanya Ifa di masjid. Sempat terbesit dalam hati Hafids, bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah riyah. Hafids selalu mencoba melupakan Ifa, tapi semakin mencoba, semakin melekat wajah Ifa di hati Hafids. Astagfirullah... tapi itulah kenyataan. Hafids tak bisa menepis rasa cinta yang mendarah daging. Tak bisa meletakkan bayangannya untuk diam dan tidak lagi hinggap pada bayang Ifa. Tidak dapat dimengertinya, mengapa Dia dikaruniai cinta yang begitu membara, cinta yang tiada tara, tiada terjamah kata-kata, juga tidaklah halal sebelum cinta itu dihalalkan dengan ikatan suci burupa pernikahan. Lambaian dedaunan pohon kelapa serasa tak bisa diam. Diterpa angin kemarau sore yang kencang. Matahari berwarna kuning dan tampak lebih besar dari yang terlihat kala siang hari yang terik. Hari hampir gelap, adzan maghrib berkumandang bersahut-sahutan. Mendengarnya Hafidz bergegas pergi ke masjid, awalnya Hafidz tidak berfikir apa-apa kecuali bahwa Ia pergi ke masjid untuk sholat maghrib, karena seruan adzan yang seolah memanggil-manggil, agar ridha Allah selalu menyertai. Hafidz melewati gang kecil di depan rumahnya dan menyusur ruas-ruas jalan yang masih kasar aspalnya. Dia melalui ujung gang rumah Ifa, Hafidz melihat lorong gang itu dari jalan, di lorong gang itu terdapat pohon randu muda yang masih belum tinggi, kemudian di samping kanan dan kiri gang, bunga sepatu berjajar sepanjang gang, terus pandangannya ke lorong gang itu. Dan oh... Matanya bertemu dengan mata Ifa yang indah. Melihat Hafidz, Ifa tersenyum seolah ada sesuatu pada senyumannya, seolah sesuatu tersembunyi di pelupuk matanya. Hafidz yang santun membalas senyum itu dengan seribu harapan. Hatinya berdesir, jantungnya seolah berhenti berdetak, karena terlalu kencang. Hafidz melambatkan langkahnya berharap Ifa menyusul dan berbarengan ke masjid. Ifa berjalan biasa, apa adanya hingga semakin berjalan jarak mereka semakin dekat. Namun hanya beberapa meter saja jarak mereka, Hafidz tersadar dengan apa yang dilakukannya dan mengucap istighfar kemudian kembali mempercepat langkah. Dia tidak ingin kepergiannya ke masjid di bayang-bayangi Ifa, sholatnya tidak ikhlas dan hanya karena dilihat Ifa dengan demikian semua akan sia-sia. Hafidz melupakan Ifa sejenak, Dia sholat maghrib dengan tenang. Tiada lagi bayang Ifa dalam otaknya, tak memikirkan Ifa sudah sampaikah di masjid, dimana Ifa menaruh sendal jepitnya, kemudian ada di barisan berapa Ifa sholat. Semua itu wajar dialami orang yang sedang jatuh dalam jurang cinta yang dalam. Tapi Hafidz melupakan Ifa. Walaupun toh cuma beberapa menit. Beberapa saat saja untuk lebih mengingat sang pencipta yang menganugerahkan cinta padanya. Setiap sholat, Hafids selalu berusaha untuk khusyu', namun ada kalanya Hafids tidak bisa konsen seratus persen pada sholatnya. Saat Hafids didera masalah-masalah yang memecahkan kepala, entah itu masalah dengan keluarga, teman-temannya, ataupun masalah pribadi yang mengganjal hati. Apa lagi semenjak setetes rasa yang menghanyutkan, menguatkan, juga membingungkan, rasa cinta merasuk dalam tubuh seolah membunuh dengan lembut. Semenjak kedekatannya dengan Ifa, masalah-masalah itu kerap kali membuat Hafids sering melamun, lebih sering lupa rakaat sholat, apalagi saat sholat sendiri. Puncaknya ialah ketika Hafids sholat isya sehabis mendatangi acara walimatul 'ursyi temannya, Hafids tidak sholat jamaah lantaran waktunya sangat mepet. Hafids mendatangi rumah Andi, ternyata Andi diketahui telah berangkat bersama Iqbal. Mau tidak mau, Hafids harus berangkat sendiri. Hafids tau Ia akan sedikit terlambat. Dan pasti akan duduk ditempat duduk paling depan, tempat duduk yang selalu dibencinya, juga oleh orang-orang sekitarnya. Hafids bergegas melangkah menuju rumah mempelai. Tidak seperti pikirnya, masih ada satu kursi di deret nomer dua, sementara kursi yang lain hanya tersisa di barisan paling depan. Matanya melihat-lihat sekitarnya. Terlihat semrawut!. Tempat duduk putra dan putri tidak terpisah, campur aduk seperti setumpuk peci diantara tumpukan-tumpukan jilbab dan baju koko di toko pakaian muslim. Ya hanya kursi itu pilihannya. Hafids pun bergegas karena dibelakangnya masih ada tamu lain yang pasti akan memilih tempat duduk itu. Dua langkah terlewat, ces... Mata Hafids menemukan sorot mata Ifa yang mungkin sudah memperhatikannya dari tadi. Tepat berada dibelakang tempat duduk pilihannya itu, bersama Syilvi keponakannya dan juga Nur temannya. Melihat Ifa, seolah melihat mempelai wanita. Dan mempelai pria adalah Dirinya. Tubuhnya tidak stabil, pikirannya kemana-mana, hingga hampir saja menabrak tiang terob, pelindung tamu dari hujan. Rasanya Ia enggan duduk di tempat itu, tapi karena ketergesa-gesaannya membuat Hafids tak bisa memilih. Ia tidak ingin duduk di depan, juga tidak ingin berfikir lama karena tamu lain akan segera mendahuluinya. Dengan mata sedikit berkaca, hatinya bergetar dan denyut jantung cepat memompa darah dari ujung rambut sampai ujung kaki, Hafids tak berkutik duduk di depan Ifa. Beberapa saat lamanya Hafids membisu, tubuhnya pun membatu, tapi Ia segera bisa mengendalikannya. Ia mencoba mengurangi kegugupannya dengan mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali. Tapi entah kenapa getaran hatinya masih terasa menyengat, membuat tak sadar dan tak ingat, karena perasaan cinta yang melekat. Karena tidak ingin dirinya dianggap cuek pada Ifa dan teman-temanya, Hafids menggerakkan bibirnya dengan menyapa sylvi terlebih dahulu, karena sylvi memang keponakannya. Kemudian Izzah dan nur, lalu dengan suara agak terbata-bata, Ia menyapa Ifa. Ifa pun tersenyum manis dan Hafids gemas dibuatnya. Hafids ber-istighfar beberapa kali. Astagfirullah... Astagfirullah... Astagfirullah... Matanya melirik-lirik ke belakang, Ia menemukan Andi dan Iqbal. Agaknya mereka berangkat lebih awal, agar memperoleh tempat duduk di belakang. Sedangkan Heru, entah apa yang dilakukannya. Ia duduk di dapan menghadap para tamu, juga Hanif di samping Heru. Hafids semakin heran ketika Hanif dengan akrabnya berbincang dengan mempelai wanita, padahal setau Hafids, mereka hanya kenal dengan mempelai pria, si Amrun, anak P.Masrun bilal masjid. Di tengah keheranannya itu, Hafids mendengar suara yang halus, lembut, laksana suara bidadari langit yang ingin bercengkrama dengannya. "Kak Hafids sendiri?, kok tidak bareng sama Iqbal sama Andi tadi?" suara lembut itu datang tepat dari belakangnya, ya, suara indah Ifa yang membuatnya hanyut. Dia merasakan ubun-ubun kepalanya bak ditetesi setetes air es, kulitnya seperti dielus-elus angin musim semi yang sejuk. Ifa memanggilnya kak karena meniru sylvi memanggilnya kak, sedangkan yang lain cukup dipanggil dengan namanya saja. Dengan suara lagi-lagi menunjukkan kegugupannya Hafids kemudian menjawab. "iya...! Kak Hafids tidak janji sama mereka, lagian tadi kak Hafids agak telat perginya, jadi ya ditinggal." Dengan awal pertanyaan itu, Ifa lantas bicara kemana-mana. Sedangkan Hafids masih dalam kecanggungan, Ia hanya bicara bila Ifa bertanya. Hafids tidak perduli dengan apa yang sylvi dan teman-temannya bicarakan, apalagi dengan Iqbal dan Andi, juga Heru dan Hanif yang cengengas-cengenges di depan. Hafids juga tidak perduli lagi dengan prosesi pernikahan, juga pada apa yang disampaikan pak Abdul, guru ngaji TPA, yang memberikan sedikit kuliah. Dia juga tidak perduli dengan apa yang dirasakan oleh Amrun dan istrinya. Yang Ia rasakan dunia hanya miliknya dan Ifa. Tubuhnya serasa melayang, entah sampai mana. Pikirannya yang tadi pontang-panting, kini sudah stabil, sudah bisa manut oleh apa yang dibicarakan Ifa. Karena terlarut dalam kebahagiaan, Hafids dan Ifa tidak sadar bahwa acara telah usai. Mereka baru tersadar setelah semua tamu berdiri meninggalkan tempat duduknya. Sylvi menepuk pundak Ifa seolah membangunkannya dari tidur. Hafids pun bergegas bangkit, menyalami kedua mempelai dan langsung pergi meninggalkan teman-temannya, padahal Iqbal dan Andi mencarinya kemana-mana. Sedangkan Ifa, setelah keluar dari tempat pernikahan itu juga masih banyak melamun. Ifa memang memberi secerca harapan pada Hafids, namun Ia takut pada Hafids, juga pada Sang Pencipta Cinta yang menganugerahkan cinta kepadanya. Hingga sampai rumah pun Ifa tidak sadar bahwa Sylvi menemaninya. Setelah mengucap salam, Ifa langsung masuk rumah dan mengunci pintu rumahnya, kemudian langsung berbaring di tempat tidur. Mengetahui hal itu, Ibunya tidak mau menggaggunya, karena sepertinya sangat lelah. Sampai larut Ifa tak henti-hentinya meneteskan air mata, air mata kebahagiaan juga air mata kesedihan, kebahagiaan karena bisa bersama Hafids dalam waktu yang lama, dan kesedihan karena kedekatannya rasanya sulit untuk lebih dekat lagi. Sementara itu, dalam kekaburannya, Hafids langsung ke rumah. Dia berjalan melewati aspal-aspal yang kasar. Lima meter dari gang rumahnya, Dia berhenti, Dia merasa melupakan sesuatu. Ya, Dia belum sholat isya, akhirnya Dia membalikkan badan dan pergi kemasjid. Sampai masjid Hafids mengambil air wudhu dan sholat. Dari keluar tempat pernikahan, sampai sholat, Hafids merasa dibayang-bayangi nama Ifa, ini jelas mengganggunya. Dan dalam sholat isya, Hafids tidak bisa benar-benar khusyu'. Hafids malah mengulang sholatnya beberapa kali lantaran merasa batal di tengah jalan. Beberapa kali mengambil air wudhu membuat Hafids kedinginan. Mengulang-ulang sholat tidak membuat Hafids berhasil. Akhirnya Dia memutuskan untuk duduk, air matanya tak hentinya meleleh, menangis, mohon ampun, dan meminta agar hatinya ditenangkan oleh Allah. Dia terlarut dalam munajat... Ya... Allah, lindungilah aku dari fitnah jahannam, dan dari fitnah kubur, dan dari fitnah hidup dan mati, dan dari kejamnya fitnah dajjal... Ya... Allah, Engkau maha pengampun, ampunilah dosaku, ya... Allah, Engkaulah pencipta segalanya, pencipta rasa dan cinta. Karuniakanlah cinta yang halal bagiku, bila hambamu ini pantas merasakan karuniamu itu, temukanlah jodohku, bimbinglah Aku untuk menginjakkan kakiku pada Mahligai Cinta yang sangat indah. Engkau maha murah Ya Allah... Kabulkanlah doaku... Robbana atina fiddunya hasanah, wafil akhirati hasanah, wakinaa adzabannaar.... Tuban, mei-juni-juli 2008 oleh: Ery Hendri. H. (Avix)