BARTIMAEUS TRILOGY BUKU SATU AMULET SAMARKAND JONATHAN STROUD eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt THE BARTIMAEUS TRILOGY BUKU SATU AMULET SAMARKAND JONATHAN STROUD Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2007 THE BARTIMAEUS TRILOGY # 1: THE AMULET OF SAMARKAND by Jonathan Stroud Copyright © 2003 by Jonathan Stroud All rights reserved Copyright arranged with The Laura Cecil Agency 17 Alwyne Villas, London, Nl 2HG, England through Tuttle- Mori Agency Co., Ltd AMULET SAMARKAND Alih bahasa: Poppy Damayanti Chusfani Editor: Indah S. Pratidina GM 322 07.002 Hak cipta terjemahan Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Anggota IKAPI, Jakarta, Mei 2007 Cetakan Kedua : Juni 2007 Cetakan Ketiga : Oktober 2007 512 hlm; 20 cm ISBN-10: 979 - 22 - 2641 - 9 ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 2641 - 6 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan Untuk Gina Temperatur dalam ruangan menurun drastis. Bunga es terbentuk di tirai dan mengerak tebal di sekeliling bola lampu di langit-langit. Pijaran cahaya di tiap bohlam mengecil dan meredup, sementara lilin-lilin yang berdiri di tiap permukaan yang tersedia, sumbunya tertiup padam, tampak seperti sekoloni jamur. Kamar yang sekarang gelap itu dipenuhi asap belerang yang kuning menyesakkan, di dalam sana bayangan hitam yang kabur menggeliat dan melintir. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara-suara jeritan. Pintu yang menuju anak tangga tiba-tiba mendapat tekanan kuat. Pintu itu menggembung ke arah dalam, kayu-kayunya bergemeretak. Suara langkah kaki yang tak tampak mengentak lantai kayu dan mulut-mulut yang tidak kasatmata membisikkan kata-kata jahat dari belakang tempat tidur dan balik meja. Awan sulfur itu memadat menjadi gumpalan asap tebal yang memuntahkan sulur-sulur tipis; sulur-sulur itu menjilat-jilat ke udara seperti lidah sebelum akhirnya menghilang. Gumpalan asap itu tergantung di atas bagian tengah pentacle, menggelegak 9 Bartimaeus 1 naik menuju langit-langit seperti awan gunung berapi yang meletus. Hampir tak tampak jeda sedikit pun. Lalu dua mata kuning yang menatap lurus terbentuk di tengah-tengah asap. Hei, ini pengalaman pertamanya. Aku ingin menakut-nakutinya. Dan aku berhasil. Anak laki-laki berambut gelap itu berdiri di tengah-tengah pentacle-nya. sendiri yang lebih kecil, dipenuhi berbagai tulisan kuno, satu meter jauhnya dari pentacle besar. Wajahnya sepucat mayat, tubuhnya gemetar seperti daun mati yang ditiup angin kencang. Gigi-giginya bergemeletuk karena dagunya bergetar. Keringat menetes dari alisnya, setiap butir membeku menjadi es ketika terjatuh melewati udara. Butiranbutiran keringat itu berderak seperti hujan es batu saat jatuh ke lantai. Semua baik dan lancar, tapi memangnya kenapa? Maksudku, dia tampaknya baru dua belas tahun. Mata besar, pipi cekung. Tak banyak kepuasan yang didapatkan dari menakut-nakuti bocah kurus kering.1 Maka aku melayang dan menunggu, berharap anak ini tak memerlukan waktu lama untuk akhirnya merapalkan mantra pembebasan. Agar tidak bosan, aku membuat lidah-lidah api biru menjilati bagian dalam tepi pentacle, seakan mencari jalan keluar untuk menyergapnya. Itu tipuan, tentu saja. Aku telah memeriksa dan tanda itu digambar dengan cukup baik. Tak ada kesalahan mantra di mana pun, sayangnya. 1 Tak semua sepakat denganku soal ini. Beberapa menikmatinya sebagai permainan yang menyenangkan. Mereka dengan licik mencari cara yang tak terhitung jumlahnya untuk menyiksa para pemanggil mereka dengan penampakan yang mengerikan. Biasanya paling tidak kau akan membuat pemanggilmu bermimpi buruk, tapi kadang kala muslihat ini begitu berhasil sehingga para murid itu biasanya langsung panik dan melangkah keluar dari lingkaran perlindungan mereka. Itu berarti semua berjalan lancar—bagi kami. Tapi ini perbuatan yang berisiko. Sering kali para murid itu berlatih dengan baik. Lalu mereka tumbuh dewasa dan membalas dendam. 10 Akhirnya tampaknya bocah menyedihkan itu mulai memberanikan diri berbicara. Aku menebak ini dari getaran di bibirnya yang sepertinya bukan akibat rasa takut semata. Aku menyingkirkan lidah-lidah api biru, menggantinya dengan bau busuk. Anak itu berbicara. Suaranya seperti tercekik. "Aku memerintahkanmu... untuk... untuk..." Ya ampun, cepatlah! "M-m-memberitahuku n-namamu." Begitulah biasanya mereka memulai, para penyihir muda itu. Ocehan yang tak berarti. Dia sudah tahu, dan aku tahu dia tahu, namaku; jika tidak, bagaimana mungkin dia bisa memanggilku? Kau butuh kata-kata yang tepat, tindakan yang tepat, dan yang paling penting nama yang tepat. Maksudku, ini kan tidak seperti memanggil taksi—kau tidak bisa mendapatkan siapa saja jika memanggil. Aku memilih suara yang dalam dan kental seperti cokelat, yang bergema dari setiap arah tapi juga seolah tidak dari mana-mana, yang membuat bulu kuduk di leher orang-orang yang tak berpengalaman berdiri. "Bartimaeus." Aku melihat anak itu menelan ludah dengan susah payah ketika mendengar namaku. Bagus—berarti dia tidak sepenuhnya tolol; dia tahu siapa dan apa aku. Dia tahu reputasiku. Setelah terdiam beberapa saat untuk menelan segumpal dahak, dia berbicara lagi. "A-aku memerintahkanmu lagi untuk menjawab. Apakah kau sang B-Bartimaeus yang pada zaman dahulu dipanggil para penyihir untuk membetulkan tembok Praha?" Anak ini benar-benar tukang buang waktu. Siapa lagi kalau bukan aku? Aku meninggikan volume suara untuk menjawab. Es yang terbentuk di lampu bohlam bergemeretak seperti gula yang mengeras menjadi karamel. Di balik tirai yang kotor, 11 kaca jendela berkilau dan bergetar. Tubuh anak itu mendoyong ke belakang. "Aku Bartimaeus! Aku Sakhr al-Jinni, N'gorso yang Hebat, dan sang Ular dari Silver Plumes! Aku membangun kembali tembok-tembok Uruk, Karnak, dan Praha. Aku berbicara dengan Solomon. Aku pernah berlari bersama nenek moyang kerbau-kerbau di padang rumput. Aku menjaga Zimbabwe Tua hingga hujan batu menghancurkannya dan anjing-anjing memakan tuan-tuan mereka. Aku Bartimaeus! Aku tak bertuan. Maka aku memerintahkanmu menjawab sekarang, bocah. Siapa kau yang berani memanggilku?" Keren, kan? Plus, semua keterangan itu memang benar sehingga efeknya lebih kuat. Dan aku melakukannya bukan hanya untuk menyombongkan diri. Aku berharap anak itu akan tegertak sehingga menyebutkan namanya, yang akan memberiku sesuatu yang dapat digunakan jika dia lengah.2 Tapi aku tidak mujur. "Dengan lingkaran pembatas, ujung-ujung pentacle, dan rangkaian tulisan kuno, aku tuanmu! Kau akan mematuhi perintahku!" Ada sesuatu yang amat memuakkan bila mendengar tingkah menyebalkan ini dilakukan anak tanggung yang penampilannya acak-acakan, dengan suara melengking konyol pula. Aku menahan keinginan mengutarakan isi hati dan menyuarakan jawaban yang biasa. Apa saja asal bisa mempercepat proses ini. "Apa keinginanmu?" Aku mengakui bahwa aku sudah dibuatnya terkesan. Kebanyakan penyihir yang masih hijau melihat dulu, baru ber- 2 Aku tak dapat berbuat apa-apa selama berada di dalam lingkaran, tentu saja. Tapi nanti aku akan mendapatkan informasi tentang siapa ia sebenarnya, mencari kelemahan karakternya, hal-hal di masa lalu yang dapat dieksploitasi. Mereka semua memilikinya. Atau lebih tepatnya, kalian semua memilikinya. 12 tanya. Mereka memeriksa, mengira-ngira potensi kekuatan mereka sendiri, tapi terlalu gugup untuk mencobanya. Lagi pula kau jarang menemukan penyihir bau kencur seperti ini memanggil makhluk sekaliber aku. Anak itu berdeham. Inilah saatnya. Ini saat yang dinantinantikannya. Dia telah memimpikan hal ini selama bertahuntahun, ketika seharusnya dia berbaring di tempat tidur memikirkan mobil balap atau cewek. Aku menunggu perintahnya yang menyedihkan dengan geram. Apa gerangan permintaannya? Membuat beberapa objek melayang adalah hal yang biasa mereka minta, atau menggeser benda-benda dari sisi ruangan yang satu ke sisi yang lain. Mungkin dia menginginkan aku membuat suatu ilusi. Mungkin akan menyenangkan: ada saja cara untuk pura-pura salah mengartikan permintaannya dan membuatnya kesal.3 "Aku memerintahkanmu mencuri Amulet Samarkand dari rumah Simon Lovelace dan membawanya kepadaku saat aku memanggilmu besok subuh." "Apa?" "Aku memerintahkanmu mencuri—" "Ya, aku dengar apa katamu." Aku tak bermaksud terdengar naik pitam. Kelepasan saja, dan nada suaraku yang seram agak terpeleset juga. "Pergilah!" "Tunggu sebehtar!" Aku merasakan sensasi mual di perutku yang selalu timbul jika ada yang mengusirmu. Seolah ada yang menyedot isi perutmu dari punggung. Pengusirannya harus disebutkan tiga kali sebelum dapat membuatmu pergi, jika kau berkeras tinggal. Biasanya kau tak ingin berlama-lama. Tapi 3 Seorang penyihir pernah menyuruhku menampakkan cinta sejatinya. Aku menampilkan bayangan cermin yang kabur. 13 kali ini aku tetap berada di tempatku, berwujud dua mata yang menyala di dalam asap menggeiegak. "Kau tahu apa yang kauminta, Nak?" "Aku tidak akan membicarakan, mendiskusikan, atau tawarmenawar tentang ini denganmu; tidak juga akan meladeni tekateki, taruhan, atau permainan kemungkinan; tidak juga—" "Aku tak berminat mengobrol dengan remaja kerempeng, percayalah, jadi simpan saja sampah hafalanmu itu. Ada yang memanfaatkanmu. Siapa—kurasa, mastermu? Pengecut yang bersembuyi di balik anak kecil." Aku membiarkan asap menipis sedikit, menampakkan siluetku untuk pertama kali, melayang redup di balik bayangan. "Jika kau berniat merampok penyihir sejati dengan memanggilku, berarti kau dua kali bermain api. Di mana kita? London?" Anak itu mengangguk. Ya, memang London. Dalam rumah bobrok di tengah kota. Aku mengamati ruangan dari balik asap kimia. Langit-langit rendah, kertas pelapis dinding yang terkelupas; poster pudar di dinding. Poster itu menampakkan pemandangan suram di Belanda—pilihan aneh untuk ukuran bocah. Aku mengharapkan melihat poster-poster cewek penyanyi pop, pemain sepak bola... Kebanyakan penyihir adalah konformis, bahkan meskipun masih muda. "Ah, malangnya..." Kubuat suaraku lembut dan sedih. "Dunia ini kejam dan mereka hanya mengajarimu sedikit." "Aku tak takut padamu! Aku telah memberikan perintah dan aku menuntut kau segera pergi!" Pengusiran kedua. Ususku seakan dilalui mesin penggilas. Aku merasakan wujudku mulai meredup, berkedip. Anak ini memiliki kekuatan, walaupun ia masih amat muda. "Bukan aku yang harus kautakuti; paling tidak, untuk saat ini. Simon Lovelace akan mendatangimu sendiri jika sadar amuletnya hilang dicuri. Dia takkan membiarkanmu hidup hanya karena kau masih belia." 14 "Kau terikat untuk melaksanakan perintahku." "Memang." Aku menyerah, dia bertekad bulat. Dan amat bodoh. Tangannya bergerak. Aku mendengar suku kata pertama mantra Penjepit Sistematik. la akan menyakitiku. Aku pergi. Aku tak mau bersusah payah membuat special effect lagi. 15 2 Saat aku mendarat di tiang lampu jalanan petang itu di London, hujan deras sedang turun. Nasibku yang buruk. Aku mengambil wujud burung hitam, jenis yang lincah dengan paruh kuning terang dan bulu hitam pekat. Dalam beberapa detik saja aku telah menjadi unggas paling basah kuyup yang pernah mengepakkan sayap di Hampstead. Sambil menolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, aku melihat pohon beech besar. Dedaunan membusuk di kakinya—pohon itu telah gundul diterjang angin November—tapi dahan-dahannya yang tumbuh rapat menawarkan perlindungan dari kebasahan ini. Aku terbang menghampirinya, melewati bagian atas mobil yang melaju sendirian di jalan perkotaan yang lebar. Di balik temboktembok tinggi dan pagar hijau halaman, bagian muka beberapa vila besar yang putih dan jelek bersinar menembus gelapnya malam bagaikan wajah mayat. Well, mungkin suasana hatiku saja yang membuat bangunanbangunan itu tampak demikian. Ada lima hal yang membuatku khawatir. Pertama, mulai datangnya rasa sakit samar-samar 16 yang menyertai setiap kali aku mengambil wujud fisik. Aku dapat merasakannya di tiap helai buluku. Mengubah bentuk akan melenyapkan rasa sakit untuk sementara, tapi juga mungkin akan menarik perhatian pada tahap penting perubahan. Sebelum yakin akan keamanan situasi sekitar, aku harus tetap menjadi burung. Masalah kedua adalah cuacanya. Tak perlu penjelasan lebih lanjut. Ketiga, aku melupakan batas-batas yang dimiliki wujud nyata. Ada rasa gatal di sebelah atas paruhku, dan aku terus berusaha dengan sia-sia menggaruknya dengan sayap. Keempat, anak itu. Banyak pertanyaan di benakku tentang dirinya. Siapa dia? Mengapa dia mencari mati? Bagaimana caranya agar aku dapat membalas dendam padanya sebelum dia mati karena menyuruhku melakukan tugas ini? Kabar tersiar cepat, dan sudah dapat dipastikan aku akan mendapat pelecehan karena berkeliaran atas nama anak bau kencur seperti dia. Kelima... amiiletnya. Dari segi mana pun amulet itu jimat ampuh. Aku sama sekali tak dapat menebak apa yang akan dilakukan anak itu terhadapnya. Dia tak mungkin tahu kekuatan sejati benda itu. Mungkin ia hanya akan memakainya sebagai aksesori fashion yang nyentrik. Mungkin mengutil amulet adalah tren terbaru, seperti mencungkil velg ban mobil versi penyihir. Bagaimanapun, aku harus mendapatkannya dulu, dan ini tidak akan mudah, bahkan untukku. Aku menutup mata burungku dan membuka mata benak, satu demi satu, masing-masing dalam plane—tingkatan keberadaan— yang berbeda.1 Aku memandang bolak-balik ke sekitar, melompat-lompat di dahan untuk mendapatkan peman- 1 Aku memiliki akses ke tujuh plane, semua secara berurutan. Plane-plane itu saling menumpuk seperti lapisan roti pastry mille-feuille yang remuk. Tujuh plane sudah cukup bagi semua makhluk. Mereka yang beroperasi pada lebih dari tujuh plane hanya berniat pamer. 17 dangan yang optimal. Tak kurang dari tiga vila di sepanjang jalan itu memiliki proteksi sihir, yang menunjukkan betapa kayanya area ini. Aku tak memeriksa dua vila yang agak jauh di ujung jalan sebelah sana; vila yang berada di seberang kedua vila itulah, yang letaknya di belakang lampu jalan, yang raembuatku tertarik. Kediaman Simon Lovelace, penyihir. Plane pertama aman, tapi Simon Lovelace melengkapi plane kedua dengan jaringan pertahanan—jaringan itu bersinar bagaikan jaring laba-laba tipis berwarna biru di sepanjang tembok tinggi. Tapi tidak berhenti di situ saja; jaring itu terus menjalar ke atas hingga cukup tinggi, melampaui atap rumah putih yang rendah, dan menurun lagi ke sisi seberang, membentuk semacam kubah besar yang bersinar. Boleh juga, tapi aku dapat mengatasinya. Tak ada apa-apa di plane ketiga dan keempat, tapi pada plane kelima aku melihat tiga sentry—penjaga gaib—berpatroli di udara, tepat di balik bibir tembok halaman. Seluruh tubuh mereka kuning redup, masing-masing memiliki tiga kaki berotot yang berotasi di tulang rawan mereka. Di atas tulang rawan itu terdapat setumpuk gumpalan, yang dilengkapi dua mulut dan beberapa mata yang awas. Makhluk-makhluk itu melintas tanpa aturan, bolak-balik mengelilingi garis batas pekarangan. Aku meringkuk di belakang dahan pohon beech secara refleks, tapi aku tahu mereka tak mungkin dapat melihatku dari jarak itu. Dalam jarak itu aku hanya tampak sebagai burung hitam di seluruh tujuh plane. Barulah jika aku mendekat, mereka bakal dapat melihat menembus ilusiku. Plane keenam aman. Tapi plane ketujuh... ini aneh. Aku tak melihat ada apa-apa—rumah, jalan, suasana malam tampak tak berubah—tapi, sebut ini intuisi jika kau suka, aku yakin ada sesuatu di sana, mengintai. Dengan ragu-ragu, aku menggesekkan paruh ke tonjolan di batang pohon. Seperti yang kuduga, banyak kegiatan sihir 18 berkekuatan tinggi di sini. Aku pernah mendengar tentang Lovelace. Dia dinilai sebagai penyihir hebat dan master pemberi tugas yang sulit. Aku beruntung karena tak pernah dipanggil untuk melayaninya, aku juga tak ingin bermusuhan dengannya atau para abdinya. Tapi aku harus mematuhi anak itu. Burung hitam yang kuyup itu mengudara dari dahan dan melayang menyeberangi jalan, dengan lincah menghindari pancaran sinar lampu jalan terdekat. Burung tersebut mendarat di rumput rimbun di sudut tembok. Empat kantong sampah hitam diletakkan di sana untuk diambil esok pagi. Si burung hitam melompat-lompat ke balik kantong-kantong itu. Seekor kucing yang telah mengawasi burung itu2 dari kejauhan menunggu beberapa saat hingga burung tersebut muncul kembali, kehilangan kesabaran, dan berlari mengejar. Di balik kantong-kantong itu si kucing tak menemukan si burung, baik hitam maupun warna lain. Tak ada apa-apa di sana selain tikus tanah yang baru saja menjelma. 2 Dalam dua plane. Kucing memiliki kemampuan itu. 19 3 Aku benci rasa lumpur. Lumpur tak pantas bagi makhluk udara dan api. Beban tanah yang menyesakkan mengimpitku dengan kuat setiap kali aku menyentuhnya. Itulah sebabnya aku begitu pemilih mengenai penjelmaanku. Burung, bagus. Serangga, bagus. Kelelawar, oke. Semua yang berlari dengan kecepatan tinggi juga boleh. Penghuni pepohonan lebih bagus lagi. Makhluk bawah tanah, tidak bagus. Tikus tanah, buruk. Tapi tak ada gunanya rewel jika kau harus melewati perisai proteksi. Aku benar saat menebak perisai itu tak' mencakup bawah tanah. Si tikus tanah menggali liang dalam-dalam, jauh ke dalam, ke bawah pondasi tembok. Tak ada alarm sihir yang menyala, walaupun kepalaku terantuk kerikil lima kali.1 Aku menggali ke arah atas lagi, menggapai permukaan setelah dua puluh menit mengendus, menggaruk, dan menghadapkan hidungku yang seperti manik ke arah cacing-cacing gemuk. Aku menemukan cacing di setiap dua kerukan. 1 Lima kerikil yang berbeda. Bukan kerikil yang sama lima kali. Hanya ingin memperjelas masalah ini. Karena terkadang kalian umat manusia begitu bebal. 20 Si tikus tanah menjulurkan kepala dengan hati-hati, keluar dari gundukan tanah kecil yang didorongnya ke permukaan pekarangan Simon Lovelace yang amat rapi. Tikus itu memandang sekeliling, memeriksa keadaan. Lampu menyala di dalam rumah, di lantai dasar. Tirainya tertutup. Lantai-lantai atas, dalam jarak pandang si tikus tanah, semua gelap. Rentangan biru tembus pandang sistem keamanan sihir melengkung di atas. Satu sentry kuning melintas dengan konyol tiga meter di atas semak-semak. Yang dua lagi mungkin berada di belakang rumah. Aku mencoba lagi melihat plane ketujuh. Masih tidak ada apa-apa, namun masih terasa adanya bahaya yang tak menyenangkan itu. Oh, well. Si tikus tanah kembali masuk ke liang dan menggali di bawah akar-akar rumput menuju rumah. la muncul di petak bunga persis di bawah jendela terdekat. la berpikir keras. Tak ada gunanya mempertahankan penyamaran ini, meski ia tergoda menyusup melalui gudang bawah tanah. Ia harus mencari metode yang berbeda. Telinga si tikus tanah yang berbulu menangkap suara gelak tawa dan gelas-gelas beradu. Suara itu begitu nyaring terdengar, bergema dari jarak yang dekat. Ventilasi udara, retak dimakan usia, terpasang di dinding tak lebih dari setengah meter jauhnya. Ventilasi itu bisa jadi jalan masuk. Dengan perasaan lega, aku menjelma menjadi lalat. 21 4 Dari balik perlindungan ventilasi udara, aku mengintip dengan mata multifasetku ke dalam ruang duduk yang ditata dengan selera agak tradisional. Karper tebal yang terhampar di lantai, kertas pelapis dinding bergaris-garis yang jelek, benda kristal mengerikan yang berpura-pura menjadi kandelir, dua lukisan minyak yang gelap termakan usia, sofa dan dua kursi malas (juga bergaris-garis), meja kopi rendah yang memuat baki perak, lalu, di atas baki itu, sebotol anggur merah dan tak ada gelas. Gelas-gelas itu berada di tangan dua manusia. Salah satunya wanita. la tampak masih muda (untuk manusia, yang artinya amat sangat muda) dan mungkin cukup cantik meski agak berisi. Mata besar, rambut gelap, model bob. Aku langsung menghafal wajahnya. Aku akan muncul dengan wujud wanita itu besok ketika kembali mengunjungi si bocah. Tapi telanjang. Mari kita lihat bagaimana respons wataknya yang sekeras baja tapi masih begitu hijau itu!1 1 Bagi yang penasaran, aku tak memiliki kesulitan menjelma jadi wanita. Ataupun 22 Tapi saat ini aku lebih tertarik memerhatikan si pria yang membuat wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Pria itu jangkung, kurus, tampan, sedikit berkesan kutu buku, dengan rambut yang licin disisir ke belakang dan dilumuri minyak rambut berbau tajam. la mengenakan kacamata bundar kecil dan memiliki bibir lebar dengan gigi-gigi rapi. Rahangnya kuat. Sesuatu memberitahuku inilah si penyihir, Simon Lovelace. Apakah karena aura kekuatan dan wibawanya yang tak dapat dijelaskan? Atau apakah karena gerak tubuhnya yang mengisyaratkan penguasaan penuh atas seluruh ruangan? Atau karena imp—setan peliharaan—kecil yang melayang-layang di atas bahunya (pada plane kedua), dengan waspada memerhatikan keadaan sekeliling, mengawasi bahaya yang mungkin mengintai? Aku menggosok-gosokkan kedua kaki depanku dengan kesal. Aku harus berhati-hati sekali. Imp itu membuat segalanya menjadi lebih rumit.2 Sayang sekali aku bukan laba-laba. Laba-laba dapat duduk diam berjam-jam tanpa masalah. Lalat jauh lebih tak bisa diam. Tapi jika aku berubah di sini, abdi si penyihir pasti akan merasakannya. Aku harus memaksa tubuh engganku bergerak, dan mengabaikan rasa sakit yang mulai mendera lagi, kali ini di dalam lapisan kulit luarku yang keras. Si penyihir berbicara. Dia nyaris tak melakukan apa-apa selain itu. Si wanita memandangnya dengan mata bak anjing pria. Dalam beberapa hal kurasa menjelma menjadi wanita sedikit lebih sulit, tapi aku takkan menjelaskannya sekarang. Wanita, pria, tikus tanah, belatung—jika sudah terbentuk, mereka semua sama, kecuali sedikit variasi dalam kemampuan kognitif. 2. Jangan salah. Aku tidak takut pada imp itu. Aku dapat meremukkannya tanpa berpikir dua kali. Tapi dia ada di sana karena dua alasan: loyalitas penuhnya kepada sang master dan matanya yang tangkas. Dia takkan tertipu penyamaranku scbagai lalat meski hanya sedetik pun. 23 spaniel lebar dan konyol, penuh kekaguman sehingga aku tergoda untuk menggigitnya. "...Akan menjadi acara yang paling menyenangkan, Amanda. Kau akan menjadi pusat perhatian masyarakat London! Apakah kau tahu Perdana Menteri sendiri berharap bisa melihat tanah milikmu? Ya, aku mendengarnya dari sumber tepercaya. Musuh-musuhku mendesaknya selama bermingguminggu dengan tuduhan-tuduhan keji, tapi dia tetap berkomitmen menyelenggarakan konvensi itu di Hall. Jadi kaulihat, sayangku, aku masih dapat memengaruhinya saat diperlukan. Kuncinya adalah tahu cara menanganinya, bagaimana mempermainkan kesombongannya... Jangan bilang siapa-siapa, tapi sebetulnya dia agak lemah. Spesialisasinya adalah Charm, dan bahkan sekarang, dia sudah jarang mempergunakannya. Untuk apa? Dia memiliki pria-pria bersetelan untuk melakukannya...." Si penyihir mengoceh seperti ini selama beberapa menit, menyebutkan nama-nama orang penting dengan energi yang tak ada habisnya. Si wanita meminum anggurnya, mengangguk, terkesiap, dan berseru terkejut di saat-saat yang tepat, kian lama kian merapat pada pria itu di sofa. Aku nyaris mendengkur karena bosan.3 Tiba-tiba si imp menjadi waspada. Kepalanya berputar 180 derajat dan dia menatap pintu di sisi lain ruangan. Makhluk itu menarik telinga si penyihir perlahan untuk memberi peringatan. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan pelayan 3 Kalau yang mendengarkan percakapan ini manusia, dia mungkin akan ternganga terkejut. Kisah korupsi dalam Pemerintahan Inggris yang diutarakan si penyihir sangat mendetail. Tapi aku tidak terkesan. Berhubung pernah melihat banyak kebudayaan yang jauh lebih hebat runtuh dan menjadi debu, aku tak tertarik dengan masalah ini. Aku menghabiskan waktu dengan sia-sia untuk berusaha memperkirakan kekuatan supernatural mana yang kira-kira terikat untuk melayani Simon Lovelace. Tak ada salahnya mempersiapkan diri. 24 pria berjaket hitam dengan kepala botak masuk dengan sikap hormat. "Maaf, Sir, tapi mobil Anda telah siap." "Terima kasih, Carter. Kami takkan lama." Pelayan itu keluar. Si penyihir meletakkan kembali gelas anggurnya (yang masih penuh) ke meja kopi dan meraih tangan si wanita. Dia mengecup tangan itu dengan sopan santun pria terhormat. Di balik punggungnya si imp menunjukkan raut wajah muak. "Amat menyakitkan bagiku karena kau harus pergi, Amanda, tapi tugas memanggil. Aku takkan berada di rumah malam ini. Bolehkah aku menghubungimu lagi? Kita ke teater, besok malam, mungkin?" "Akan sangat menyenangkan, Simon." "Kalau begitu sudah diputuskan. Kawan baikku Makepeace sedang mempertunjukkan drama baru. Aku akan mendapatkan tiketnya segera. Sekarang, Carter akan mengantarmu pulang." Pria, wanita, dan imp keluar, membiarkan pintu terbuka lebar. Mengikuti mereka, seekor lalat yang waspada perlahan keluar dari tempat persembunyian dan melayang tanpa suara melintasi ruangan ke tempat strategis yang dapat memperlihatkan pemandangan ke seluruh ruang selasar depan. Selama beberapa menit terdapat aktivitas, mantel-mantel diserahkan, perintah diberikan, pintu-pintu dibanting tertutup. Lalu si penyihir meninggalkan kediamannya. Aku terbang ke selasar. Ruangan itu besar dan dingin, lantainya dilapisi tegel hitam-putih. Tanaman pakis hijau terang tumbuh di pot-pot keramik raksasa. Aku terbang mengelilingi lampu kristal, mendengarkan. Suasana amat hening. Satu-satunya suara yang terdengar bersumber dari dapur di kejauhan, dan suara itu cukup wajar—hanya bunyi benturan panci dan piring lalu beberapa suara sendawa keras, mungkin berasal dari si juru masak. 25 Aku berdebat dengan diriku sendiri apakah akan mengirimkan sinyal sihirku dengan hati-hati untuk menemukan artefakartefak milik si penyihir, tapi memutuskan itu terlalu berisiko. Makhluk-makhluk sentry di luar mungkin akan menangkap sinyalnya, itu satu hal, bahkan kalaupun tidak ada penjagaan lain. Aku, si lalat, harus berburu sendiri. Semua plane aman. Aku terbang melintasi selasar, lalu— mengikuti insting—menyusuri tangga ke atas. Di landasan tangga, koridor yang dilapisi karpet tebal membentang ke dua arah, setiap dinding digantungi lukisanlukisan minyak. Aku segera tertarik dengan lorong yang mengarah ke kanan, karena di tengahnya ada mata-mata. Bagi mata manusia, itu alarm kebakaran, tapi pada plane yang lain bentuk aslinya terungkap: katak bermata menonjol tak menyenangkan yang duduk jungkir balik di langit-langit. Setiap sekian menit sekali, katak itu melompat di tempatnya, berputar sedikit. Jika si penyihir kembali, makhluk itu akan membeberkan segala hal yang telah terjadi. Aku mengirimkan sihir ringan ke arah katak itu. Asap tebal yang berminyak muncul dari langit-langit dan mengelilingi si mata-mata, menghalangi pandangannya. Ketika dia melompat dan mendengkung kebingungan, aku terbang dengan kecepatan tinggi melewatinya melintasi lorong menuju pintu di ujung. Selain terpisah dari pintu-pintu lain di koridor itu, yang satu ini tak memiliki lubang kunci; di balik cat putih, kayunya diperkuat dengan lempengan besi. Dua alasan bagus untuk mencoba pintu ini terlebih dahulu. Ada celah sempit di bawah pintu itu. Celahnya terlalu sempit untuk dimasuki serangga, tapi aku toh sudah gatal ingin berubah wujud. Si lalat menjelma menjadi asap, yang lolos tanpa terlihat melalui celah di bawah pintu persis sebelum asap yang meliputi si katak menipis dan menghilang. Di dalam ruangan aku menjadi anak kecil. 26 Kalau tahu siapa nama murid penyihir itu, aku akan membalas dendam dengan mengambil wujudnya, hanya untuk memberi Simon Lovelace petunjuk saat dia menyelidiki pencurian ini. Tapi tanpa nama, aku tak dapat menguasainya. Maka aku menjelma menjadi bocah lelaki yang pernah kukenal dulu, seseorang yang dulu pernah kusayangi. Abunya telah lama mengalir bersama sungai Nil, maka kejahatanku tak akan menyakitinya, lagi pula mengingatnya seperti ini membuatku senang. Kulitnya cokelat, matanya bersinar, tubuhnya mengenakan jubah putih. Anak lelaki itu melihat sekeliling dengan gerakan yang biasa dilakukannya dulu, kepalanya sedikit ditelengkan ke samping. Ruangan itu tak berjendela. Ada beberapa lemari yang menempel ke dinding, dipenuhi perlengkapan sihir. Kebanyakan barang-barang itu tak berguna, hanya cocok untuk aksi panggung,4 tapi ada beberapa barang yang menarik di sana. Ada terompet pemanggil yang aku tahu asli, karena melihatnya saja membuatku mual. Hanya dengan satu tiupan, segala yang berada dalam kekuasaan sang penyihir akan datang bersimpuh di kakinya memohon ampun dan mendesak diberi tugas. Itu instrumen yang jahat serta amat tua dan aku tak mau dekat-dekat. Di kabinet lain ada mata yang terbuat dari 4 Oh, semua itu memang cukup mengesankan bila kau bukan penyihir. Coba kulihat, ada bola kristal, cermin pengintai, tengkorak dari makam-makam, persendian orang-orang suci, tongkat-tongkat perantara sihir yang dirampas dari para shaman di Siberia, botol-botol berisi darah yang asalnya diragukan, topeng dukun, buaya yang diawetkan, koleksi tongkat sihir, satu rak jubah untuk segala jenis upacara, dan banyak sekali buku tebal tentang sihir yang tampaknya dilapisi kulit manusia sejak permulaan zaman, tapi kemungkinan telah diproduksi masal minggu lalu oleh pabrik di Catford. Para penyihir menyukai semua ini; mereka menyukai segala misteri simsalabim yang meliputi benda-benda itu (dan setengah memercayainya, beberapa dari mereka) dan mereka tergila-gila akan efek yang ditimbulkan benda-benda tersebut kepada orang-orang yang bukan penyihir. Di balik semua alasan itu, benda-benda omong kosong ini mengalihkan perhatian orang pada sumber kekuatan mereka yang sebenarnya: kami. 27 tanah liat. Aku pernah melihat yang seperti itu, di kepala golem—boneka tanah liat yang bisa dihidupkan dengan sihir. Aku ingin tahu apakah si bodoh itu mengetahui potensi benda tersebut. Kemungkinan besar tidak—dia bisa saja mendapatkannya untuk koleksi benda antiknya setelah perjalanan pesiar ke Eropa Tengah. Pariwisata penyihir... yang benar saja.5 Well, kalau mujur, benda itu akan membunuhnya suatu hari nanti. Dan di sanalah tersimpan Amulet Samarkand. Benda itu berada di dalam kotaknya sendirian, terlindungi pelapis kaca dan reputasinya sendiri. Aku melangkah mendekat, menyisir ketujuh plane, mencari adanya bahaya dan mendapati—well, tak ada yang sangat jelas sih, tapi di plane ketujuh aku samar merasa ada yang bergerak. Bukan di sini, tapi dekat. Sebaiknya aku cepat-cepat. Amulet itu kecil, warnanya pudar, dan terbuat dari emas tempaan. Amulet itu tergantung di rantai emas pendek. Di tengah-tengahnya terdapat batu giok berbentuk oval. Emasnya dicetak dengan motif timbul yang menggambarkan kuda-kuda berlari. Kuda adalah harta yang berharga bagi orang-orang Asia Tengah pembuat amulet itu tiga ribu tahun lalu. Mereka kemudian menguburnya di dalam makam salah seorang putri raja mereka. Seorang arkeolog dari Rusia menemukannya pada tahun 1950-an, dan tak lama setelah itu amulet tersebut dicuri para penyihir yang menyadari nilainya. Bagaimana amulet itu berada di tangan Simon Lovelace—siapa persisnya yang ia bunuh atau tipu untuk mendapatkannya—aku tak tahu. 5 Mereka semua menyukainya—bergerombol naik kereta (atau, karena kebanyakan dari mereka memiliki banyak uang, menyewa pesawat jet) untuk pergi tur ke kota-kota sihir kuno. Semua mendesah dan berseru kegirangan melihat situs-situs terkenal—kuil-kuil, tempat kelahiran penyihir-penyihir terkenal, tempat mereka menemui ajal dengan mengerikan. Dan mereka semua siap menyambar potonganpotongan patung atau merampok pasar gelap, berharap mendapatkan barangbarang sihir yang oke dengan harga miring. Bukan masalah vandalisme terhadap warisan budaya yang membuatku keberatan. Hanya saja semua itu begitu vulgar. 28 Aku menelengkan kepala lagi, mendengarkan. Hcning di dalam rumah. Aku mengangkat tangan ke arah kabinet, tersenyum pada pantulan bayanganku saat dia mengepalkan tangan. Lalu aku menurunkan tangan dan menggerakkannya menembus kaca. Denyutan energi sihir bergetar pada ketujuh plane. Aku menyambar amulet itu dan menggantungkannya di leherku. Aku berbalik dengan cepat. Ruangan masih seperti sebelumnya, tapi aku dapat merasakan sesuatu di plane ketujuh, bergerak cepat dan menghampiriku. Sudah bukan waktunya mengendap-endap lagi. Ketika berlari menuju pintu, aku menyadari dari ujung mataku ada portal yang tiba-tiba terbuka di udara kosong. Di dalam portal itu terdapat kegelapan hitam yang segera tertutup begitu sesuatu melangkah keluar. Aku menyerang pintu dengan kepalan tangan anak lelakiku yang kecil. Pintu itu remuk terbuka seperti kartu remi yang terlipat. Aku berlari melewatinya tanpa berhenti. Di koridor, si katak menoleh ke arahku dan membuka mulut. Gumpalan lendir hijau keluar, yang seketika meluncur cepat ke arahku, membidik kepalaku. Aku menunduk dan lendir itu muncrat mengenai dinding di belakangku, menghancurkan lukisan dan segalanya sampai ke batu bata di baliknya. Aku melontarkan petir Kompresi ke arah si katak. Bersama suara koakan penuh penderitaan, dia meletus menjadi gumpalan kental sebesar kelereng dan terjatuh ke lantai. Aku tak mengurangi kecepatan. Ketika berlari menyusuri koridor, aku membuat Perisai pelindung di sekeliling wujud fisikku kalaukalau ada peluru susulan. Ternyata ini langkah bijaksana karena detik berikutnya Detonasi menghantam lantai persis di belakangku. Ledakannya begitu hebat sehingga membuatku terlontar kepala terlebih da- 29 hulu ke sudut koridor dan nyaris menembus dinding. Api hijau menjilat-jilat di sekelilingku, meninggalkan bekas pada dekorasi koridor seperti jari-jari tangan raksasa. Aku berjuang bangkit di antara reruntuhan bata yang pecah dan menoleh ke belakang. Berdiri di depan pintu yang rusak di ujung koridor, tampak sesuatu yang berwujud pria yang bertubuh amat tinggi, berkulit merah terang, dan berkepala serigala. "Bartimaeus!" Detonasi melesat lagi melalui koridor. Aku berjungkir balik di bawahnya, mengincar tangga, dan ketika ledakan hijau itu menghancurkan sudut dinding, aku berguling-guling menuruni tangga, menerobos pegangan tangga, dan meluncur sejauh dua meter ke bawah, menuju lantai hitam-putih, membuat tegelnya retak lumayan parah. Aku berdiri dan melihat ke arah pintu depan. Melalui kaca buram di sebelah pintu, aku dapat melihat sosok kuning besar salah satu sentry di luar. Makhluk itu diam menunggu, tak menyadari dia dapat terlihat dari dalam. Aku memutuskan mencari jalan keluar yang lain. Maka terbuktilah bahwa otak yang lebih cerdas akan selalu menang melawan otot, kapan saja! Omong-omong, aku harus segera kabur. Suara-suara dari atas menandakan adanya pengejaran. Aku berlari melintasi beberapa ruangan—perpustakaan, ruang makan—setiap kali berusaha kabur lewat jendela dan setiap kali mengurungkan niat ketika salah satu atau lebih dari makhluk-makhluk kuning itu tampak melayang di luar jendela. Kebodohan mereka yang membiarkan diri mereka dapat dilihat hanya dapat diimbangi kesigapanku mengelak dari senjata sihir macam apa pun yang mereka bawa. Di belakangku, namaku diteriakkan dengan suara penuh kemurkaan. Dengan rasa frustrasi yang meningkat, aku mem- 30 buka pintu berikutnya dan mendapati diriku berada di dapur. Tak ada lagi pintu yang menuju ke dalam, tapi ada satu yang membuka ke ruangan yang tampaknya rumah kaca yang menempel di sisi rumah utama, dipenuhi tumbuhan obat dan pepohonan. Setelah itu terbentang pekarangan—juga ketiga prajurit penjaga itu, yang datang meluncur mengitari rumah dengan kecepatan menakjubkan kaki-kaki mereka yang berputar. Untuk mencuri waktu, aku memasang Perisai pada pintu di belakangku. Lalu aku memutar tubuh dan menatap si juru masak. Dia duduk bersandar di kursinya dengan kaki di atas meja, pria itu gemuk dengan raut periang dan wajah merah serta pisau daging besar di tangannya. Dia tampak tekun sekali memotong kuku-kukunya dengan pisau itu, menjentikkan setiap potongan kuku dengan ahli ke udara, yang kemudian mendarat di perapian di sebelahnya. Sambil melakukan itu, dia menatapku tak berkedip dengan kedua matanya yang kecil dan gelap. Aku resah. Tampaknya dia tidak kebingungan melihat bocah Mesir berlari masuk ke dapurnya. Aku memeriksa pria itu pada plane-plane berbeda. Satu sampai enam dia tetap tampak sama, juru masak gemuk dalam balutan celemek putih. Tapi pada plane ketujuh... Oh-oh. "Bartimaeus." "Faquarl." "Apa kabar?" "Lumayan." "Lama tidak bertemu." "Ya. Kurasa." "Sayang sekali ya?" "Ya. Well... aku di sini sekarang." "Kau di sini sekarang, memang." Nurul Huda Kariem MR. 31 nurulkariem@yahoo.com Sementara percakapan menyenangkan ini berlangsung, suarasuara Detonasi bertubi-tubi datang dari balik pintu. Perisaiku tetap utuh, untungnya. Aku tersenyum sesopan yang kubisa. "Tampaknya Jabor masih tetap bersemangat seperti biasa." "Ya, dia masih sama. Hanya saja kupikir dia agak sedikit lapar, Bartimaeus. Itu satu-satunya perubahan yang kulihat dalam dirinya. Dia tampaknya tak pernah merasa puas, bahkan setelah diberi makan. Dan itu amat jarang dilakukan akhirakhir ini, seperti yang dapat kaubayangkan." "'Perlakukan dengan kejam, bikin mereka jadi tajam', itu kata-kata mutiara mastermu, bukan? Tetap saja, dia pasti cukup berkuasa sehingga dapat memeliharamu dan Jabor sebagai budaknya." Si juru masak menyunggingkan senyum tipis dan dengan jentikan pisaunya dia membuat sepotong kuku melayang berputar- putar ke langit-langit. Potongan kuku itu menancap pada plester pelapis langit-langit dan tetap bercokol di sana. "Nah, nah, Bertimaeus, kita tak menggunakan kata B itu dalam perbincangan beradab, bukan? Jabor dan aku hanya menunggu waktu." "Tentu saja." "Omong-omong tentang perbedaan kekuasaan, aku menyadari kau menghindar untuk berhadapan denganku pada plane ketujuh. Ini sepertinya kurang sopan. Mungkinkah kau tidak nyaman dengan wujud asliku?" "Mual, Faquarl, bukan tak nyaman."6 "Well, sungguh menyenangkan. Omong-omong, aku mengagumi pilihan wujudmu, Bartimaeus. Pantas sekali. Tapi kulihat kau agak terbebani dengan sebuah amulet. Mungkin kau mau berbaik hati melepaskannya dan meletakkannya di meja. Lalu 6 Tampangku juga tidak keren, tapi Faquarl memiliki terlalu banyak tentakel, aku tak tahan 32 jika kau bersedia menyebutkan nama penyihir yang mempekerjakanmu, aku mungkin akan mempertimbangkan mengakhiri pertemuan ini tanpa kejadian fatal." "Kau baik sekali, tapi kau tahu aku tak dapat melakukan itu."7 Si juru masak menghunjam meja dengan ujung pisau dagingnya. "Aku akan berterus terang. Kau bisa dan akan melakukannya. Tidak ada masalah pribadi, tentu; suatu hari mungkin kita akan bekerja sama lagi. Tapi sekarang aku pun terikat, sama seperti dirimu. Aku juga memiliki tugas untuk kuselesaikan. Maka kita tiba, seperti biasa, pada pertanyaan mengenai kekuatan. Koreksi jika aku keliru, tapi aku melihat kau tak memiliki rasa percaya diri seperti biasanya hari ini—jika memilikinya, kau tentu telah kabur melalui pintu depan, menumpas para triloid itu saat kau melintas, alih-alih membiarkan mereka menggiringmu mengelilingi rumah ke arahku." "Aku hanya mengikuti langkah kakiku." "Mmm. Mungkin sebaiknya kau berhenti berusaha minggir ke arah jendela, Bartimaeus. Usahamu yang menyedihkan itu bahkan akan tampak jelas dengan mata8, lagi pula, para triloid itu menunggumu di sana. Serahkan amulet itu, kalau tidak kau akan mendapati Perisai pelindungmu yang bobrok itu tak akan berguna sama sekali." Dia berdiri dan mengulurkan tangan. Jeda beberapa saat. Di belakang Perisai-ku, Detonasi-Detonasi Jabor yang sabar (meski tak imajinatif) masih terdengar. Pintunya sendiri telah lama menjadi abu. Di pekarangan, ketiga penjaga melayang-layang, 7 Tidak seluruhnya betul. Aku bisa saja menyerahkan amulet itu dan gagal dalam tugas. Tapi kemudian, meski aku dapat kabur dari Faquarl, aku masih harus kembali dengan tangan kosong kepada anak lelaki berwajah pucat itu. Kegagalanku akan membuatku tunduk padanya, melipatgandakan kekuasaannya, dan entah bagaimana aku tahu ini bukan ide yang bagus. 8 Aduh. 33 mata mereka tertuju padaku. Aku melihat ke sekeliling ruangan mencari inspirasi. "Amuletnya, Bartimaeus." Aku mengangkat lengan, dan dengan desahan berat yang agak dramatis, mengambil amulet itu. Lalu aku melompat ke kiri. Pada detik yang sama aku melepaskan Perisai di pintu. Faquarl mendecak kesal dan mulai menggerakkan tangan. Ketika melakukan itu, dia terhantam telak ledakan Detonasi dahsyat yang datang dari celah terbuka tempat Perisai-ku tadinya berada. Detonasi itu melontarkannya ke belakang ke dalam perapian, batu-batu bata runtuh menimpanya. Aku melesat ke arah rumah kaca persis ketika Jabor masuk melalui celah terbuka ke dalam dapur. Saat Faquarl bangkit dari reruntuhan, aku melintasi pekarangan. Ketiga penjaga itu mengepungku, mata mereka terbuka lebar dan kaki-kaki mereka berputar. Cakar-cakar mirip sabit muncul dari ujung gumpalan kaki mereka. Aku merapalkan mantra Iluminasi yang paling terang. Seluruh pekarangan terang benderang bagaikan dibanjiri sinar matahari yang meledak. Mata para penjaga itu terbutakan; mereka mencicit kesakitan. Aku melompati mereka dan berlari melintasi pekarangan, menghindari peluru-peluru sihir yang berdesingan dari arah rumah, membakar pepohonan. Di ujung pekarangan, di antara tumpukan kompos dan mesin pemotong rumput, aku melompati tembok. Aku menerobos jaring sihir yang berkisi-kisi, meninggalkan lubang berbentuk tubuh anak lelaki. Seketika lonceng alarm mulai bergaung di seluruh halaman. Aku menjejakkan kaki di trotoar, amulet itu terayun-ayun dan membentur dadaku. Dari balik tembok aku mendengar derap langkah kaki. Waktunya berubah wujud. Burung rajawali Peregrine adalah binatang tercepat dalam sejarah. Burung itu dapat mencapai kecepatan dua ratus kilo- 34 meter per jam bila terbang menukik. Jarang yang dapat mencapai kecepatan ini secara horisontal di atas atap-atap rumah di London Utara. Beberapa mungkin ragu apakah ini dapat dilakukan, apalagi sambil membawa amulet berat yang tergantung di leher. Apa pun yang pernah dikatakan orang, saat Faquarl dan Jabor menapakkan kaki di jalan belakang Hampstead, sambil membuat rintangan tak kasatmata yang segera diterobos mobil van yang melaju kencang, aku sudah tak tampak di mana-mana. Aku telah pergi jauh. 35 Lebih penting dari segalanya," kata masternya, "ada satu fakta yang harus kita tanamkan ke dalam batok kepalamu yang menyedihkan itu sehingga kau takkan melupakannya di hari mendatang. Dapatkah kautebak fakta apa itu?" "Tidak, Sir," kata si anak lelaki. "Tidak?" Alisnya yang seperti sikat terangkat mengejek. Terpana, si anak lelaki memerhatikan alis-alis itu menghilang di balik rambut putih yang berumbai-rumbai. Di sana, nyaris secara malu-malu, kedua alis itu bersembunyi beberapa saat, sebelum akhirnya tiba-tiba turun dengan tajam mengerikan. "Tidak. Kalau begitu..." Si penyihir mencondongkan tubuh dari kursinya. "Aku akan memberitahumu." Dengan gerakan lambat yang disengaja, penyihir itu menyatukan jemarinya sehingga ujung-ujungnya membentuk kubah melengkung, yang ditudingkannya kepada si anak lelaki. "Ingat ini" katanya dengan suara lirih. "Demon adalah makhluk yang amat jahat. Mereka akan melukaimu jika mampu. Kau mengerti ini?" 36 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's Si anak lelaki masih memerhatikan alis-alis itu. la tak dapat mengalihkan perhatian. Sekarang mereka berkerut ke bawah dengan seram, dua mata panah tajam yang menyatu. Mereka bergerak dengan tangkas—ke atas, ke bawah, miring, menyudut, terkadang bersama-sama, terkadang hanya salah satu. Karena bergerak seolah memiliki kehidupan sendiri, alis-alis itu menimbulkan rasa tertarik yang aneh pada diri si anak lelaki. Lagi pula, rasanya jauh lebih baik memerhatikan alis-alis itu daripada bertemu pandang dengan mata masternya. Si penyihir terbatuk memberi peringatan. "Kau mengerti?" "Oh—ya, Sir." "Well, nah, kau bilang mengerti, dan aku yakin kau memang bersungguh-sungguh—tapi..." Sebelah alis terangkat tinggi-tinggi dengan menakjubkan. "Tapi aku belum yakin betul kau memang benar-benar dan sungguh-sungguh mengerti." "Oh, ya, Sir; ya, saya mengerti. Demon adalah makhluk jahat juga keji dan akan melukaimu jika kaubiarkan, Sir." Si anak lelaki bergerak-gerak gelisah di bantalan yang didudukinya. Dia amat bersemangat ingin membuktikan telah mendengarkan dengan tekun. Di luar, sinar matahari musim panas membakar rerumputan dan trotoar yang panas; van penjual es krim melintas dengan riang di bawah jendela lima menit lalu. Tapi hanya seberkas cahaya siang menyilaukan yang dapat menyinari tepi tirai merah yang berat di dalam ruangan si penyihir; udara di dalam ruangan pengap dan menyesakkan. Anak lelaki itu berharap pelajaran akan segera berakhir, agar ia dapat diperbolehkan pergi. "Saya telah mendengarkan dengan saksama, Sir," katanya. Masternya mengangguk. "Apakah kau pernah melihat demon?" dia bertanya. "Belum, Sir. Maksud saya, hanya dalam buku." "Berdiri." 37 Anak lelaki itu berdiri dengan cepat, sebelah kakinya nyaris tergelincir dari bantalan. la menunggu dengan canggung, kedua lengan di samping tubuh. Sang master menunjuk pintu di belakangnya dengan sambil lalu. "Kau tahu ada apa di balik itu?" "Ruang kerja Anda, Sir." "Bagus. Pergilah menuruni tangga dan masuk ke sana. Di ujung ruangan ada meja kerjaku. Di meja ada kotak. Di dalam kotak itu ada sepasang kacamata. Pakai kacamata itu dan kembali ke sini. Mengerti?" "Ya, Sir." "Baiklah. Pergilah." Di bawah tatapan awas masternya, si anak lelaki menghampiri pintu yang terbuat dari kayu berwarna gelap tanpa dicat, pada permukaannya tampak banyak alur dan sulur. Dia harus berusaha keras ketika memutar kenop kuningannya, tapi rasa dingin kenop itu menyenangkan. Pintu membuka tanpa suara di engsel-engselnya yang diminyaki, si anak lelaki melewatinya dan mendapati dirinya berdiri di ujung teratas tangga yang dilapisi karpet. Dinding-dindingnya dilapisi kertas berbungabunga dengan elegan. Jendela kecil yang terdapat di pertengahan tangga memasukkan seberkas cahaya matahari yang bersahabat. Anak lelaki itu menuruni tangga dengan hati-hati, satu demi satu. Keheningan dan cahaya matahari membuatnya tenang dan menguapkan sebagian rasa takutnya. Karena belum pernah masuk ke bagian rumah ini, dia tak tahu apa-apa kecuali dongeng anak-anak yang dapat memenuhi khayalannya tentang apa saja yang menunggu di dalam ruang kerja sang master. Bayangan mengerikan tentang buaya-buaya yang diawetkan dan bola-bola mata di dalam botol meruak ke dalam pikirannya. Dengan marah dia membuang pikiran itu jauhjauh. Dia takkan merasa takut. 38 Di kaki tangga ada pintu lagi, mirip dengan yang pertama, tapi lebih kecil dan bagian tengahnya dihiasi gambar bintang berujung lima yang dicat merah. Anak lelaki itu memutar kenop pintu dan mendorong: pintu itu membuka dengan enggan, tersendat karpet tebal. Ketika celah yang terbuka cukup lebar, anak lelaki tersebut masuk ke ruang kerja. Tanpa sadar dia menahan napas ketika masuk; sekarang dia mengembuskan napas kembali, nyaris dengan rasa kecewa. Pemandangan di sana sungguh biasa. Ruangan panjang dengan buku-buku berjejer di sisi-sisinya. Di ujung ruangan ada meja kerja besar dari kayu dengan bangku empuk berlapis kulit di belakangnya. Beberapa pena ada di meja, bersama beberapa carik kertas, komputer tua, kotak metal kecil. Jendela di seberang ruangan menampakkan pemandangan pohon horse chestnut yang rimbun dengan daun-daun musim panas. Cahaya dalam ruangan bersemu kehijauan indah. Anak lelaki itu melangkah mendekati meja. Setengah jalan, dia berhenti dan menoleh ke belakang. Tak ada apa-apa. Namun begitu dia merasa ada yang aneh... Entah kenapa pintu yang terbuka sedikit, yang dilaluinya hanya beberapa saat lalu, sekarang memberikan sensasi tidak nyaman. Dia jadi menyesal karena tidak terpikir untuk menutupnya. Dia menggeleng. Tidak perlu. Dia akan melaluinya lagi dalam beberapa detik. Empat langkah tergesa-gesa membawanya ke sisi meja. Dia menoleh lagi. Dia mendengar suara... Ruangan itu kosong. Anak lelaki itu mendengarkan dengan kesungguhan kelinci di semak-semak. Tidak, tak ada suara yang terdengar selain suara lalu lintas samar-samar di kejauhan. Dengan mata terbuka lebar, napas berat, anak lelaki itu mengalihkan perhatian ke meja kerja. Kotak metal itu memantulkan sinar matahari. Dia meraihnya melintasi permukaan 39 kulit meja kerja. Ini sebetulnya tak perlu—dia bisa saja mengitari meja ke sisi seberangnya dan mengambil kotak tersebut dengan mudah—tapi sepertinya dia ingin menghemat waktu, menyambar barang itu, dan keluar. Dia mencondongkan tubuh di atas meja dan merentangkan tangan, tapi dengan keras kepala kotak itu tetap berada di luar jangkauan. Anak itu mendorong tubuhnya ke depan, mengayunkan jari-jarinya dengan membabi buta. Jemarinya tak dapat mencapai kotak, tapi lengannya yang menebas-nebas membuat wadah pena terjatuh. Pena-pena berhamburan di atas lapisan kulit permukaan meja. Anak lelaki itu merasakan sebutir keringat mengalir dari ketiaknya. Dengan panik, dia mulai mengumpulkan pena-pena itu dan menjejalkannya kembali ke dalam wadah. Terdengar suara terkekeh serak, tepat di belakangnya, di dalam ruangan. Dia memutar tubuh dengan cepat, menahan teriakan. Tapi tak ada apa pun di sana. Beberapa saat anak lelaki itu menyandarkan punggung pada meja, lumpuh akibat ketakutan. Lalu sesuatu merasuki pikirannya. Lupakan pena-pena itu, benaknya seperti berkata. Kotak itu yang kauinginkan. Dengan lambat, dengan gerakan yang tak kentara, dia mulai merayap mengitari meja, punggungnya menghadap jendela, mata menatap ruangan. Sesuatu mengetuk kaca jendela, dengan ketukan mendesak, tiga kali. Dia berbalik. Tak ada apa-apa; hanya ada pohon horse chestnut di balik jendela, bergoyang lembut diterpa angin musim panas. Tak ada apa-apa di sana. Detik itu sebuah pena yang dijatuhkannya menggelinding dan jatuh dari meja ke karpet. Pergerakan itu tak menimbulkan suara, tapi dia menangkapnya dari sudut matanya. Pena yang lain mulai bergoyang maju-mundur—mula-mula per- 40 lahan, lalu makin cepat. Tiba-tiba pena itu berputar, terpental ke bagian bawah komputer, dan jatuh melalui sisi meja ke lantai. Sebuah pena lagi melakukan hal yang sama. Lalu satu lagi. Secara mengejutkan, semua pena itu menggelinding, menuju beberapa arah sekaligus, bergulir dengan cepat ke pinggir meja, bertabrakan, jatuh, mendarat di lantai, terdiam. Anak lelaki itu menatap. Pena terakhir jatuh. Dia tak bergerak. Sesuatu tertawa lirih, persis di telinganya. Sambil berteriak dia mengibaskan lengan kiri, tapi tak menyentuh apa-apa. Kibasan lengannya membuatnya berputar menghadap meja. Kotak itu berada tepat di hadapannya. Dia menyambarnya tapi lalu langsung menjatuhkannya—besi kotak itu pasti telah lama terpapar sinar matahari sehingga permukaannya yang panas menyengat telapak tangan si bocah. Kotak tersebut membentur permukaan meja dan tutupnya terbuka. Sepasang kacamata berbingkai tanduk terlempar keluar. Sedetik kemudian, kacamata itu telah berada di tangannya dan dia berlari menuju pintu. Sesuatu mengejarnya. Dia merasakan ada yang melompat di belakangnya. Dia hampir berada di pintu; dia dapat melihat tangga di baliknya yang akan membawanya kepada sang master. Tapi pintu itu terbanting menutup. Si anak lelaki mengguncang-guncangkan kenopnya, menggedor- gedor kayunya, menggebuk, berteriak memanggil sang master dengan suara tercekik sambil tersedu, tapi semua itu tanpa hasil. Sesuatu berbisik di telinganya dan dia tak dapat menangkap kata-katanya. Dalam kepanikan luar biasa, dia menendang pintu, tapi dia hanya menyakiti ibu jari kakinya dalam sepatu bot kecilnya. Lalu dia berbalik dan menghadap ke ruangan kosong itu. Suara gemeresik lirih terdengar di sekelilingnya, ketukan-ke- 41 tukan lembut dan langkah-langkah kaki kecil, seakan karpet, buku-buku, rak-rak, bahkan langit-langit bergesekan dengan benda-benda tak kasatmata yang bergerak. Salah satu kerai di atas kepala anak lelaki itu bergoyang perlahan meski tak ada angin yang berembus. Di sela-sela air matanya, di antara rasa takut, anak lelaki itu menemukan kata-kata untuk diucapkan. "Stop!" dia berteriak. "Pergi!" Suara gemeresik, ketukan, dan langkah kaki berhenti seketika. Ayunan kerai melambat, makin pelan, dan berhenti. Ruangan amat hening. Sambil mereguk udara untuk bernapas, anak lelaki itu berdiri dengan punggung menempel di pintu, mengawasi ruangan. Tak ada suara yang terdengar. Lalu dia teringat kacamata yang masih berada dalam genggamannya. Setelah mampu menembus kabut kengerian yang meliputinya, dia ingat masternya menyuruhnya mengenakan kacamata itu sebelum kembali. Mungkin jika dia melakukan itu, pintu akan terbuka dan dia dapat menaiki tangga menuju tempat aman. Dengan jari-jari gemetar dia mengangkat kacamata itu dan mengenakannya. Dan melihat kebenaran yang berada di ruangan itu. Seratus demon kecil memenuhi setiap inci ruang di hadapannya. Mereka bertumpukan di seluruh ruangan, seperti bijibiji melon atau kacang dalam kantong, banyak sekali kaki yang menekan wajah dan siku yang menyikut perut. Mereka berkerumun begitu rapat sehingga karpet tidak tampak. Melirik dengan tatapan jahil, mereka berjongkok di atas meja, tergelantung di lampu serta rak-rak buku, dan melayang-layang di udara. Beberapa menyeimbangkan diri di hidung-hidung lancip kawannya atau menggelantung di lengan yang lain. Beberapa dari mereka memiliki tubuh besar dengan kepala seukuran 42 je'ruk; beberapa lagi kebalikannya. Ada yang memiliki ekor, sayap, dan tanduk, juga penuh kutil dengan tambahan tangan, mulut, kaki, dan mata. Terlalu banyak sisik dan rambut serta hal-hal lain di tempat-tempat yang mustahil. Beberapa memiliki paruh, yang lain memiliki mulut pengisap, kebanyakan memiliki gigi. Mereka terdiri atas berbagai warna yang dapat dibayangkan, kebanyakan dalam kombinasi yang tidak cocok. Dan mereka semua berusaha keras menjadi amat sangat diam seakan tengah meyakinkan si anak lelaki bahwa tak ada siapasiapa di sana. Mereka berusaha sekuat tenaga membeku tak bergerak, meski ekor dan sayap mereka bergetar dan gemetar serta mulut-mulut mereka yang tak mau diam berkedutkedut. Tapi begitu si anak lelaki mengenakan kacamatanya dan melihat mereka, mereka sadar dia dapat melihat mereka juga. Lalu, diiringi teriakan-teriakan gembira, mereka merangsek ke arahnya. Anak lelaki itu menjerit, terbanting ke pintu lalu meluncur miring ke lantai. Dia mengangkat tangan untuk melindungi diri, gerakan ini melontarkan kacamata itu dari hidungnya. Tak dapat melihat mereka sekarang, dia menutup wajahnya dan bergelung seperti bola, tercekik suara sayap, sisik, dan cakar-cakar kecil yang mengerikan di atas, di sekeliling, di sampingnya. Anak lelaki itu masih berada di sana dua puluh menit kemudian, ketika masternya masuk untuk menjemputnya dan mengusir kawanan imp itu. Anak tersebut dibawa ke kamarnya. Sehari semalam dia tidak makan. Selama seminggu berikutnya dia tak bersuara dan tak merespons apa-apa, tapi akhirnya berangsur- angsur dia kembali dapat berbicara dan melanjutkan pelajaran. Masternya tak pernah berkata apa-apa mengenai insiden tersebut, tapi dia puas akan hasil akhir pelajaran itu—sumur 43 kebencian dan kengerian telah tergali dalam diri muridnya di ruangan bermandi cahaya itu. Ini salah satu pengalaman awal Nathaniel. Dia tak pernah menceritakan kejadian itu kepada orang lain, tapi bayangbayang yang mengikuti tak pernah meninggalkan hatinya. Dia berusia enam tahun waktu itu. 44 Masalah dengan benda magis berkekuatan tinggi seperti Amulet Samarkand adalah benda ini memiliki getaran aura1 sangat jelas yang menarik perhatian, seperti pria bugil di pemakaman. Aku tahu segera setelah Simon Lovelace diberitahu tentang pelarianku, dia akan mengirimkan pasukan pencari untuk menemukan getaran pengkhianat ini, dan lebih lama aku berada di satu tempat, kemungkinan ketahuan akan lebih besar. Anak lelaki itu takkan memanggilku hingga 1 Semua makhluk hidup memiliki aura. Bentuk aura seperti awan nimbus berwarna yang mengelilingi tubuh sang individu dan sebenarnya adalah fenomena visual yang paling dekat dengan bau-bauan. Aura tampak pada plane pertama, tapi tak kasatmata bagi kebanyakan manusia. Banyak hewan, seperti kucing, dapat melihatnya; jin dan makhluk-makhluk sejenisnya juga. Aura berganti warna tergantung suasana hati dan merupakan indikasi yang berguna untuk mendeteksi rasa takut, benci, sedih, dsb. Inilah sebabnya mengapa begitu sulit mengelabui kucing (atau jin) jika kau bermaksud buruk. 45 subuh,2 maka aku memiliki beberapa jam menggelisahkan yang harus kulalui dengan selamat. Apa yang akan dikirimkan Simon Lovelace kepadaku? Kecil kemungkinan dia dapat menyuruh lebih banyak jin berkekuatan seperti Faquarl dan Jabor, tapi pasti dia dapat mengerahkan segerombolan abdi berkekuatan lebih lemah untuk ikut mencari. Biasanya aku dapat membantai foliot dan sejenisnya dengan satu cakar di belakang punggung, tapi jika mereka datang berombongan, dan aku telah lelah, bisa timbul kesulitan.3 Aku terbang dari Hampstead dengan kecepatan tinggi dan berlindung di bawah naungan atap rumah kosong di tepi sungai Thames, di sana aku bersolek merapikan bulu-buluku dan menatap langit. Setelah beberapa waktu, tujuh sphere kecil berupa sinar merah melintas rendah di langit. Ketika mencapai pertengahan sungai, mereka berpencar: tiga melanjutkan ke selatan, dua ke barat, dua ke timur. Aku mendesakkan tubuhku ke dalam lindungan bayangan atap rumah, tapi tak dapat 2 Sebenarnya lebih mudah segera kembali kepada anak gembel itu agar dapat terbebas dari amulet ini. Tapi para penyihir selalu berkeras melakukan panggilan spesifik dalam waktu spesifik. Hal itu meniadakan kemungkinan bagi kami untuk menangkap basah mereka (besar kemungkinan berakibat fatal) dalam keadaan yang tak menguntungkan. 3 Bahkan para penyihir pun bingung akan variasi jenis kami yang tak terbatas, yang berbeda satu sama lain seperti gajah dengan serangga, atau elang dengan amuba. Meski begitu, bicara secara umum, ada lima tingkatan dasar yang biasanya dapat kautemukan bekerja melayani penyihir. Mereka adalah, dalam urutan semakin ke bawah semakin kecil kekuatan dan kedahsyatannya: marid, afrit, jin, foliot, imp. (Ada berkompi-kompi jenis sprite yang lebih lemah daripada imp, tapi para penyihir tak buang-buang waktu untuk memanggil mereka. Begitu juga, jauh di atas kekuatan marid, ada beberapa entitas dengan kekuatan luar biasa; mereka jarang ditemukan di bumi, karena hanya sedikit penyihir yang berani bahkan hanya untuk mengungkap nama mereka). Pengetahuan mendetail akan hierarki ini amat vital bagi penyihir maupun kami, karena keselamatan biasanya tergantung pada pengetahuan akan keberadaanmu. Contohnya, sebagai spesimen jin yang amat bagus, aku memperlakukan jin-jin lain dan semua yang berada di tingkat atasku dengan hormat, tapi foliot dan imp akan kuberikan dengusan. 46 memungkiri amulet itu mengeluarkan getaran ekstra saat sphere-sphere pemburu itu menghilang di sepanjang sungai. Hal ini membuatku gelisah; tak lama kemudian aku berangkat menuju kerangka kayu yang tingginya setengah crane di tepi seberang sungai, tempat mereka membangun kondominium mewah pinggir sungai untuk para penyihir ningrat. Lima menit yang hening berlalu. Air sungai menggelegak dan berputar di sekitar pancang dermaga yang berlumpur. Awan berarak melewati bulan. Cahaya hijau memualkan tibatiba memancar dari jendela-jendela rumah kosong di seberang sungai. Bayangan-bayangan yang membungkuk berkeliaran di dalam, mencari-cari. Mereka tak menemukan apa-apa; cahaya itu membeku dan berubah menjadi kabut bersinar yang melayang dari jendela dan tertiup pergi. Aku segera terbang ke selatan, melesat dan meluncur dari jalan ke jalan. Setengah malam itu aku melanjutkan dansa pelarianku yang penuh kepanikan melintasi London. Sphere-sphere itu4 berkeliaran dengan jumlah yang lebih banyak daripada yang kukhawatirkan (jelas lebih dari satu penyihir yang memanggil mereka) dan muncul di atasku dalam selang-selang waktu beraturan. Agar tetap aman aku harus terus bergerak, meski begitu aku nyaris tertangkap dua kali. Suatu kali aku terbang mengelilingi blok perkantoran dan hampir bertabrakan dengan sphere yang datang dari arah berlawanan; sebuah lagi menghampiriku saat aku meringkuk di pohon birch Green Park karena terlalu capek. Dalam dua kejadian itu aku berhasil minggat sebelum bala bantuan mereka datang. 4 Sphere pemburu seperti ini adalah sejenis imp yang lebih kokoh. Mereka memiliki cuping telinga besar bersisik dan satu lubang hidung berbulu, yang membuat mereka amat sensitif pada getaran sihir dan sangat sebal bila terjebak dalam suara-suara keras atau bau menyengat. Akibatnya sebagian malam itu aku terpaksa bersembunyi di tengah-tengah Pipa Pembuangan Rotherhithe. 47 Tak lama kemudian aku kelelahan. Menyeret wujud fisikku terus-menerus membuatku lelah dan mengeluarkan banyak energi yang berharga. Maka aku merangkai rencana baru— me'ncari tempat yang bisa meredam getaran Amulet dengan pancaran getaran sihir lain. Waktunya untuk berbaur dengan kelompok yang jumlahnya besar, ras yang tak terpunahkan: dengan kata lain, manusia. Sebegitu putus asanya aku. Aku terbang kembali ke pusat kota. Bahkan di jam-jam selarut ini, para turis di Trafalgar Square masih berkeliaran di kaki Nelson's Column dalam arus keceriaan yang norak, membeli jimat-jimat diskonan dari kios-kios penjualan resmi yang diapit dua patung singa. Suara-suara getaran sihir yang menjengkelkan meruak dari lapangan itu. Tempat yang terbaik untuk bersembunyi. Seberkas kilat berbulu menghunjam membelah malam dan menghilang di celah sempit antara dua kios. Kemudian anak lelaki Mesir bermata sayu muncul dan menyeruak kerumunan orang. Dia mengenakan jins baru dan jaket bomber hitam berlapis di atas t-shirt putihnya; juga sepasang sepatu olahraga putih besar dengan tali-temali yang terus-menerus lepas. Dia berbaur dengan kerumunan orang. Aku merasakan amulet itu membakar dadaku. Pada selang waktu tertentu amulet itu mengeluarkan panas intens dalam dua getaran, seperti degup jantung. Aku sungguh-sungguh berharap getaran itu akan tenggelam di antara sekian banyak aura di sekitarku. Kebanyakan piranti sihir di sini adalah untuk pertunjukan, bukan sungguhan. Plasa itu dipenuhi penjual obat berlisensi yang menjual jimat-jimat murahan dan perhiasan-perhiasan 48 kecil yang telah disetujui untuk dijual kepada umum.5 Turisturis dengan mata terbelalak dari Amerika Utara dan Jepang dengan antusias mengaduk-aduk tumpukan batu multiwarna dan perhiasan-perhiasan tak berguna, berusaha mengingat batu kelahiran anggota-anggota keluarga mereka di rumah sementara para penjual beraksen Cockney yang ceria dengan sabar merayu mereka. Kalau tak ada sinar lampu kamera, aku mungkin berada di desa Karnak, Mesir, lagi. Tawar-menawar di manamana, seruan-seruan gembira menggema, semua orang tersenyum. Pertunjukan lakon penipuan dan keserakahan. Namun tak semua barang di lapangan itu tak berguna. Di sana-sini pria-pria yang berwajah lebih bersungguh-sungguh berdiri di pintu masuk tenda-tenda kecil yang tertutup. Para pengunjung dipersilakan masuk satu demi satu. Tampaknya ada artefak asli yang bernilai di dalamnya, karena tanpa kecuali pengamat-pengamat kecil berkeliaran di dekat tiap tenda. Mereka datang dalam berbagai bentuk yang tak mencolok— kebanyakan burung dara; aku berusaha tidak terlalu dekat, kalau-kalau mereka lebih awas daripada tampaknya. Beberapa penyihir berkeliaran di antara kerumunan orang. Kecil kemungkinan mereka membeli sesuatu dari sini; lebih mungkin mereka dinas malam di kantor pemerintahan Whitehall dan sedang keluar mencari angin. Salah satunya (dalam balutan setelan berkelas) ditemani imp dalam plane kedua yang mengikuti sambil melompat-lompat; yang lain 5 Yang paling populer adalah potongan kristal yang berfiingsi menebarkan aura perpanjangan kehidupan. Orang-orang menggantungkan benda itu di leher mereka untuk nasib baik. Potongan itu tak memiliki kekuatan gaib sama sekali, tapi kukira dalam satu segi benda itu memang memiliki fungsi proteksi: orang yang memakainya segera menunjukkan mereka orang-orang tolol yang buta sihir, dan hasilnya mereka tak diacuhkan berbagai partai penyihir yang saling berseteru. Di London, keadaannya berbahaya bagi orang yang, walaupun sedikit, pernah mengecap pendidikan sihir: orang itu bisa jadi berguna dan/atau berbahaya—dan akibatnya orang itu akan menjadi lawan seimbang bagi penyihir-penyihir lain. 49 (berpenampilan lebih kumuh) hanya mengikuti aroma dupa, keringat kering, dan lilin wangi. Polisi juga ada di sana—beberapa petugas biasa dan sepasang pria berewok dengan air muka tajam dari Polisi Malam, membiarkan diri mereka terlihat cukup jelas untuk mencegah timbulnya masalah. Dan di sekeliling lapangan, lampu-lampu mobil berseliweran, membawa menteri-menteri dan penyihir-penyihir lain dari kantor di Parlemen, ke klub mereka di St. James. Aku berada dekat dengan poros roda kekuasaan besar yang meliputi keseluruhan kerajaan, dan di sini, jika beruntung, aku akan tetap tak terdeteksi sampai tiba saatnya dipanggil. Atau tidak. Aku berjalan mendekati kios yang tampak amat bobrok dan mengamati barang dagangannya ketika mendapatkan perasaan tak enak seperti sedang diawasi. Aku menolehkan kepala sedikit dan memeriksa kerumunan. Gerombolan orang tak beraturan. Aku menyisir semua plane. Tak ada bahaya tersembunyi: kawanan orang dungu, semua membosankan dan manusiawi. Aku mengarahkan pandangan kembali ke kios dan tanpa sadar mengambil My Magic Mirror™, sepotong cermin murahan yang ditempel pada bingkai plastik pink dengan dekorasi jelek bergambar tongkat sihir, kucing, dan topi penyihir. Perasaan itu lagi! Aku membalikkan tubuh dengan cepat. Melalui celah di kerumunan di belakangku, aku melihat penyihir wanita gemuk pendek, sekelompok anak yang mengerumuni kios, dan polisi yang mengawasi mereka dengan curiga. Tampaknya tak seorang pun memerhatikanku. Tapi aku tahu apa yang kurasakan. Lain kali aku akan siap. Aku berpura-pura tertarik untuk membeli cermin itu. SALAH SATU OLEHOLEH TERBAIK DARI LONDON, IBU KOTA SIHIR DUNIA! teriak label di belakangnya. MADE IN TAIW— Lalu perasaan itu timbul lagi. Aku berputar lebih cepat dari- 50 pada kucing dan—sukses! Aku menatap para pengamatku langsung ke bola mata mereka. Dua dari mereka, anak lelaki dan anak perempuan, dalam segerombolan anak. Mereka tak sempat mengalihkan pandangan. Si anak lelaki berusia pertengahan belasan; jerawat menggempur wajahnya dengan sukses. Si anak. perempuan lebih muda namun matanya tampak dingin dan keras. Aku menatap balik. Apa peduliku? Mereka manusia, mereka tak dapat mengetahui siapa aku sebenarnya. Biarkan saja mereka memandang. Setelah beberapa detik mereka menyerah; mereka mengalihkan pandangan. Aku mengangkat bahu dan mulai melangkah pergi. Terdengar suara batuk keras si pedagang kios. Aku mengembalikan My Magic Mirror™ dengan hati-hati ke baki, nyengir, dan melangkah. Anak-anak itu mengikutiku. Aku melihat mereka di loket berikutnya, memerhatikan dari belakang kios gulali. Mereka bergerak bergerombol—mungkin ada lima atau enam orang, aku tak yakin. Apa mau mereka? Merampok? Jika begitu, mengapa memilih aku? Banyak kandidat yang lebih baik, lebih gemuk, lebih kaya. Untuk mengetes, aku mendekati turis bertubuh kecil dan tampak kaya raya dengan kamera raksasa dan kacamata tebal. Jika aku ingin merampok seseorang, turis ini berada paling atas dalam daftarku. Tapi ketika aku meninggalkannya dan berkelit ke dalam kerumunan orang, anak-anak itu langsung mengikuti. Aneh. Dan menjengkelkan. Aku tak ingin berubah dan terbang pergi; aku terlalu capek. Aku hanya ingin dibiarkan sendirian. Aku masih memiliki waktu panjang sebelum matahari terbit. Aku mempercepat langkah; anak-anak itu juga. Lama sebelum kami melakukan tiga putaran mengelilingi lapangan, aku sudah bosan. Dua polisi memerhatikan kami berputarputar dan pasti akan menghentikan kami sebentar lagi, meski 51 hanya untuk mencegah diri mereka menjadi pusing. Waktunya untuk pergi. Apa pun yang diincar anak-anak ini, aku tak ingin menarik perhatian lebih banyak orang. Ada stasiun kereta bawah tanah dekat-dekat sini. Aku melompat- lompat menuruni tangga, melewati begitu saja pintu masuk ke Underground, dan naik kembali di sisi jalan sebelah sana, di seberang Central Square. Anak-anak itu menghilang— mungkin mereka berada dalam kereta bawah tanah. Sekaranglah kesempatanku. Aku membelok ke salah satu sudut jalan, melalui toko buku, dan merunduk di gang. Aku menunggu di sana selama beberapa saat, dalam lindungan bayangan di antara bak-bak sampah. Satu-dua mobil melaju melewati ujung gang. Tak ada yang membuntutiku. Aku tersenyum simpul. Kupikir aku telah mengelabui mereka. Aku keliru. 52 Anak lelaki Mesir itu berjalan di sepanjang gang, berbelok ke kanan beberapa kali dan keluar ke salah satu dari sekian banyak jalan raya yang mengelilingi Trafalgar Square. Aku mengkaji ulang rencanaku sambil melangkah. Lupakan lapangan itu. Terlalu banyak anak menyebalkan berkeliaran di sana. Tapi mungkin jika aku menemukan tempat berlindung di dekat-dekat sini, getaran Amulet akan tetap sulit ditemukan para sphere. Aku dapat meringkuk di balik beberapa tong sampah hingga pagi. Itu satu-satunya pilihan. Aku terlalu lelah untuk terbang lagi. Dan aku ingin berpikir. Rasa sakit itu mulai lagi, berdenyut-denyut di dada, perut, tulangku. Tidak sehat untuk terjebak dalam sebuah tubuh selama ini. Bagaimana manusia dapat menahannya tanpa menjadi gila, aku tak pernah tahu.1 Aku melangkah menyusuri jalan yang gelap dan dingin, 1 Atau... mungkin itu malah menjelaskan banyak hal. 53 mengamati bayanganku berpindah-pindah melompati celahcelah segi empat jendela di sepanjang sisi jalan. Bahu si anak lelaki itu mengerut melawan angin, tangannya terbenam dalam-dalam di saku jaket. Sepatu olahraganya menggesek beton jalanan. Postur tubuhnya menggambarkan dengan sempurna suasana hatiku yang kesal. Seiring langkahku, amulet itu membentur-bentur dadaku. Jika saja memiliki kuasa, aku akan segera menariknya dan melemparkannya ke keranjang sampah terdekat sebelum buru-buru menghilang. Tapi aku terikat pada perintah anak itu.2 Aku harus terus menjaganya. Aku mengambil jalan samping menghindari lalu lintas. Kegelapan total akibat bayangan gedung-gedung tinggi menyelimuti kedua sisinya, menekanku. Perkotaan membuatku murung, nyaris seperti bila berada di bawah tanah. London tempat yang paling buruk—dingin, kelabu, dipenuhi bau-bauan tajam dan hujan. Kota ini membuatku merindukan daerah Selatan, karena gurun pasirnya dan langit birunya yang kosong. Sebuah gang lagi menuju ke kiri, dipenuhi kardus-kardus basah dan surat-surat kabar. Secara otomatis aku menyisir ketujuh plane, tak melihat apa-apa. Gang ini bolehlah. Aku 2 Ada beberapa kasus ketika si makhluk halus mencoba menolak perintah. Pada salah satu kejadian penting, Asmoral the Resolute diinstruksikan masternya membunuh sang jin Ianna. Tapi Ianna telah lama menjadi sekutu terdekat Asmoral dan mereka saling mencintai. Meski masternya terus memberikan perintah tegas yang semakin kejam, Asmoral menolak berbuat apa-apa. Sayangnya, walaupun keteguhannya sebanding dengan tantangan yang diberikan kepadanya, inti rohnya telah terikat pada tarikan perintah sang master yang tak dapat ditolak. Tak lama kemudian, karena Asmoral tetap pada pendiriannya, dia benar-benar terbelah dua. Ledakan yang terjadi menghancurkan sang penyihir, istananya, dan lingkungan perkotaan Baghdad yang mengelilinginya. Setelah kejadian tragis ini, para penyihir belajar untuk berhati-hati dalam memberikan perintah serangan langsung terhadap makhluk halus pihak lawan (jika lawannya penyihir, itu lain soal). Bagi kami, kami menghindari konflik yang bersifat prinsipil. Hasilnya, loyalitas di antara sesama kami hanyalah sementara dan dapat berubah kapan saja. Secara garis besar, pertemanan adalah strategi. 54 tidak mengacuhkan dua ambang pintu pertama karena alasan kebersihan. Pintu ketiga kering. Aku duduk di sana. Sudan waktunya aku memikirkan rangkaian kejadian yang berlangsung malam ini. Malam ini begitu sibuk. Ada si anak lelaki berwajah pucat itu, Simon Lovelace, Amulet, Jabor, Faquarl... Adonan yang cukup mengerikan. Tetap saja, apalah artinya? Saat matahari terbit aku akan menyerahkan Amulet dan terbebas dari kekacauan menyedihkan ini selamanya. Kecuali urusanku dengan anak lelaki itu. Dia akan membayarnya, mahal. Kau tak dapat menurunkan derajat Bartimaeus dari Uruk dengan menjadikannya gembel di gang belakang West End dan berharap dapat selamat. Pertama-tama, aku akan mencari tahu namanya, lalu— Tunggu... Langkah-langkah kaki di gang... Beberapa pasang sepatu bot datang menghampiri. Mungkin ini hanya kebetulan. London adalah kota. Orangorang menggunakannya. Orang-orang menggunakan gang-gang. Siapa pun yang datang mungkin sedang pulang melalui jalan pintas. Menyusuri gang yang sama tempat aku kebetulan bersembunyi. Aku tak percaya pada yang namanya kebetulan. Aku merapat pada kegelapan ambang pintu dan membuat mantra Pelapis Perlindungan di seputar wujudku. Selapis anyaman benang hitam melindungiku di tempat aku duduk dalam bayangan, membuatku melebur dengan kegelapan. Aku menunggu. Langkah sepatu-sepatu bot itu mendekat. Siapakah itu? Patroli Polisi Malam? Penyihir-penyihir kaki tangan Simon Lovelace yang dikirimnya? Mungkin tenyata para sphere itu berhasil melihatku. 55 Bukan polisi maupun penyihir. Mereka anak-anak dari Trafalgar Square tadi. Lima anak lelaki, dipimpin si gadis. Mereka berjalan lambatlambat, menoleh ke kanan dan ke kiri sambil lalu. Aku merasa sedikit rileks. Aku tersembunyi dengan baik, dan bahkan jika tidak pun, tak ada yang perlu ditakuti dari mereka saat ini, setelah kami berada di luar jarak pandang publik. Patut diakui, anak-anak lelaki itu bertubuh besar dan tampak menyeramkan, namun mereka tetap saja anak-anak, dibalut jins dan jaket kulit. Si gadis mengenakan jaket kulit hitam dan celana panjang yang berkibar selebar-lebarnya dari lutut ke bawah. Banyaknya bahan pada celana itu dapat dipakai untuk membuat sepasang celana lagi bagi orang cebol. Mereka datang menyusuri gang, menerobos sampah. Aku menyadari sekarang betapa anehnya keheningan mereka. Dalam keraguan, aku mengecek kembali seluruh plane. Pada setiap plane, semua tampak seperti seharusnya. Enam anakanak. Terlindung di balik lapisan pelindungku, aku menunggu mereka berlalu. Si gadis itu memimpin jalan. Dia kini sejajar denganku. Merasa aman di balik lapisan pelindung, aku menguap. Salah satu dari anak lelaki menepuk pundak si gadis. "Di situ," katanya, menunjuk. "Tangkap," kata si gadis. Sebelum aku punya kesempatan untuk tersadar dari kekagetan, tiga anak lelaki yang paling tegap melompat ke ambang pintu dan menyerangku. Saat mereka menyentuh jalinan Pelapis Perlindungan, benangnya terkoyak dan menguap menjadi kehampaan. Sesaat aku terjebak di antara gelombang pasang yang terdiri atas tekanan bahan-bahan kulit, aftershave murahan, dan bau badan. Aku diduduki, ditonjok, dan dipukul di kepala. Aku tergopoh-gopoh berdiri dengan gerakan canggung memalukan. 56 Lalu aku membuat diriku tegak kembali. Bagaimanapun, aku kan Bartimaeus. Gang itu disinari sekilas ledakan panas dan cahaya terang. Batu bata di ambang pintu tampak seperti habis terbakar di kompor. Aku terkejut menyadari anak-anak lelaki itu masih bertahan. Dua di antara mereka mencengkeram pergelangan tanganku, sementara yang ketiga melingkarkan kedua lengan di pinggangku erat-erat. Aku mengulangi efek yang kubuat dengan tekanan lebih tinggi. Alarm mobil di jalan sebelah mulai menyala. Kali ini, kuakui, aku berharap dicengkeram tangan-tahgan gosong tiga sosok mayat rontok.3 Tapi anak-anak lelaki itu masih di sana, mendenguskan napas berat dan bertahan seperti maut yang mencengkeram. Sesuatu yang aneh tengah terjadi di sini. "Pegang dia kuat-kuat," kata si gadis. Aku menatapnya, dia menatapku. Dia sedikit lebih tinggi daripada wujudku sekarang, dengan mata gelap, rambut gelap panjang. Dua anak lelaki yang lain berdiri di kedua sisinya seperti pengawal kehormatan berjerawat. Aku menjadi tak sabaran. "Apa maumu?" aku bertanya. "Ada yang melingkar di lehermu." Gadis itu secara mencengangkan memiliki suara tegas dan berkesan berkuasa untuk orang semuda dia. Aku menebak umurnya sekitar tiga belas tahun. "Kata siapa?" "Benda itu tampak jelas dalam dua menit terakhir, dungu. 3 Berbeda dari pendapat orang tentang masalah ini, kebanyakan dari kami tak tertarik untuk menyakiti manusia biasa. Ada beberapa perkecualian, tentu saja, salah satunya Jabor. Meskipun begitu, bahkan bagi sesosok jin yang ramah sepertiku, kesabaranku ada batasnya. 57 Terlompat keluar dari balik t-shirt-mu ketika kami menyerangmu. "Oh. Bisa diterima." "Serahkan." "Tidak." Gadis itu mengangkat bahu. "Maka kami akan mengambilnya. Ini pemakamanmu." "Kau tidak sungguh-sungguh tahu siapa aku, bukan?" Aku mengatakannya sebiasa mungkin, dengan sedikit sentuhan nada mengancam. "Kau bukan penyihir." "Memang." Dia menyemburkan kalimat itu. "Penyihir tahu tidak boleh bermairi-main dengan lawan seperti aku." Aku sibuk membangun faktor kedahsyatan reputasiku lagi, walaupun ini cukup sulit dilakukan bila ada seonggok otot tak berotak mencengkeram pinggangmu. Gadis itu menyeringai dengan tatapan dingin. "Apakah penyihir dapat melawan kelicikanmu sehebat kami?" Dalam hal ini, dia benar juga. Pertama-tama, penyihir takkan mau mendekatiku, bahkan dalam jarak terdengarnya gonggongan anjing, tanpa perlindungan hingga ke ujung pedang dengan mantra dan pentacle. Kemudian dia akan membutuhkan bantuan imp untuk menemukanku di balik Pelapis Perlindunganku; dan akhirnya, dia harus memanggil sesosok jin kelas berat untuk menaklukkanku. Jika dia berani. Tapi gadis ini beserta kawan-kawan lelakinya telah melakukan semuanya sendiri, tanpa tampak kerepotan. Seharusnya aku melontarkan Detonasi berkekuatan penuh atau sejenisnya, tapi aku terlalu capek untuk melakukan yang berat-berat. Aku kembali melontarkan ancaman kosong. Aku tertawa dengan suara mengerikan. "Hah! Aku mempermainkanmu." "Itu ancaman kosong." Aku mencoba taktik lain. "Berlawanan dengan kebiasaanku," 58 aku berkata, "kuakui bahwa aku tertarik. Aku salut akan keberanianmu menyapaku. Jika kauberitahu aku nama dan tujuanmu, aku takkan mengambil nyawamu. Bahkan, aku mungkin dapat membantumu. Aku memiliki banyak kemampuan." Yang membuatku kecewa, gadis itu malah mengatupkan kedua tangannya di telinga. "Jangan beri aku kata-kata manismu, demon!" katanya. "Aku takkan tergoda." "Tentunya kau tak menginginkan permusuhan dariku," aku melanjutkan, dengan suara menenangkan. "Persahabatan dariku lebih disukai." "Aku tak peduli akan keduanya," kata si gadis, menurunkan tangannya. "Aku hanya ingin apa pun itu yang melingkar di lehermu." "Kau tak bisa mendapatkannya. Tapi kau bisa mendapatkan perlawanan jika kau mau. Selain kerusakan yang akan timbul di pihakmu, aku akan memastikan melontarkan sinyal yang bakal membawa Polisi Malam menyerbu kita seperti setansetan dari neraka. Kau tidak menginginkan perhatian mereka, bukan?" Kalimat itu membuatnya mengernyit sedikit. Aku memanfaatkan keunggulanku. "Jangan naif," kataku. "Pikirkanlah. Kau berusaha merampokku untuk mendapatkan objek berkekuatan besar. Benda ini milik penyihir kejam. Jika kau berani menyentuhnya saja, dia akan menemukanmu dan menggantung kulitmu di pintunya." Entah karena ancamanku atau tuduhan bahwa dia naif yang membuatnya kesal, gadis itu terpengaruh. Aku dapat melihatnya dari bibirnya yang cemberut. Aku mencoba menggerakkan sedikit salah satu sikuku. Anak lelaki yang memegangnya menggeram dan mengeraskan cengkeramannya di lenganku. Suara sirene meraung dari beberapa jalan jauhnya. Si gadis beserta para bodyguard-nya memandang ujung gang ke arah 59 kegelapan dengan gelisah. Beberapa tetes air hujan turun dari langit yang tersembunyi. "Cukup," kata si gadis. Dia melangkah mendekatiku. "Hati-hati," kataku. Dia mengulurkan tangan. Saat dia melakukannya, aku membuka mulut dengan amat sangat perlahan. Lalu dia meraih rantai yang melingkari leherku. Dalam sekejap aku menjadi buaya Nil dengan rahang ternganga. Aku mengatupkan rahang menyambar jari-jarinya. Gadis itu menjerit dan menarik tangannya lebih cepat daripada yang kukira dapat dilakukannya. Gigi-gigiku yang siap merobek hanya terpisah setitik dari kuku-kuku jarinya. Aku mencoba menggigitnya lagi, meronta-ronta ke kiri dan ke kanan dalam cengkeraman penangkapku. Gadis itu berteriak, tergelincir, dan terjatuh di atas tumpukan sampah, menabrak salah seorang dari kedua pengawalnya hingga terjatuh. Transformasiku yang tiba-tiba membuat ketiga anak lelaki yang memegangiku terkejut, terutama yang mencengkeram bagian tengah tubuhku yang besar dan bersisik. Genggamannya melemah, namun yang dua lagi masih bertahan. Ekorku yang panjang dan keras menyabet ke kiri, lalu ke kanan, membuat kontak memuaskan dengan dua tengkorak keras yang bergemeretak. Otak mereka, jika mereka memilikinya, terguncang dengan indah; rahang-rahang mereka mengendur, begitu pula cengkeraman mereka. Salah satu dari kedua pengawal si gadis hanya terkejut sebentar. Dia tersadar, meraih kantong jaketnya, mengeluarkan benda mengilat. Saat dia melemparkan benda itu, aku berubah lagi. Pertukaran cepat dari besar (si buaya) menjadi kecil (rubah) adalah tindakan pandai, jika aku boleh menyombongkan diri. Enam lengan yang berjuang menangani tubuh bersisik skala besar tiba-tiba mendapati diri mereka mencengkeram udara 60 saat seonggok bulu merah kecil dan cakar-cakar yang berputar terjatuh ke tanah di sela jari-jari mereka yang meraba-raba. Pada detik yang sama, senjata perak melesat melewati tempat tadinya leher si buaya berada dan tertancap di daun pintu besi. Rubah itu berlari melintasi gang, kaki-kakinya tergelincir di kerikil yang licin. Suara peluit yang memekakkan terdengar di depan. Si rubah mempercepat larinya. Lampu-lampu senter menerangi dan berputar- putar di sekitar pintu-pintu dan dinding-dinding bata. Langkah-langkah kaki berlari mengikuti cahaya senter. Itu yang kuperlukan. Polisi Malam datang. Ketika seberkas sinar terayun ke arahku, aku melompat dengan lincah ke dalam kantong plastik sampah yang terbuka. Kepala, badan, ekor berbulu—hilang; cahaya itu menyapu melewati kantong sampah dan berlalu menuju bagian dalam gang. Pria-pria berdatangan sekarang, berteriak-teriak, meniup peluit, berlarian ke arah aku meninggalkan gadis itu beserta kawan-kawannya. Lalu ada suara geraman, bau yang tajam; dan sesuatu yang bisa saja anjing besar bergegas mengejar mereka dalam gelapnya malam. Suara-suara itu bergema menjauh. Sambil melingkarkan tubuh dengan nyaman di antara kantong sampah yang mengempis dan satu kerat botol kosong berbau cuka, si rubah mendengarkan, kedua telinganya terjulur ke depan. Suara teriakan dan tiupan peluit melemah dan berbaur, dan bagi si rubah suarasuara itu seakan bersatu dan menjadi lolongan gelisah. Kemudian suara-suara itu semakin samar. Gang menjadi hening. Sendiri di antara bau busuk, si rubah bersembunyi. Nurul Huda Kariem MR. 61 nurulkariem@yahoo.com eBook oleh : Arthur Underwood adalah penyihir kelas menengah yang bekerja di Kementerian Dalam Negeri. Dia pria penyendiri, susah diajak bekerja sama. Dia tinggal bersama istrinya, Martha, di rumah tinggi bergaya Georgia di daerah Highgate. Mr. Underwood belum pernah memiliki murid, dan ia tak menginginkannya. Dia cukup bahagia bekerja seorang diri. Tapi dia tahu cepat atau lambat, seperti penyihir-penyihir lain, dia akan mendapatkan giliran dan menerima seorang anak dalam rumahnya. Benar saja, hal yang tak dapat dihindari itu terjadi: suatu hari sepucuk surat datang dari Kementerian Tenaga Kerja, berisi permintaan yang dibencinya itu. Sambil menerima meski dengan hati dongkol, Mr. Underwood melaksanakan tugas. Pada sore hari yang telah ditentukan, dia berangkat ke kantor Kementerian untuk mengambil tanggung jawabnya yang tak bernama. Dia menuruni tangga marmer di antara dua tiang granit dan 62 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com MR. Collection's a masuk ke selasar yang bergenia. Selasar itu berupa ruangan luas tanpa dekorasi; para pekerja kantoran berlalu-lalang dalam diam, bolak-balik melalui pintu-pintu kayu di tiap sisinya, sepatusepatu mereka membuat suara berderak di lantai. Di seberang lorong, dua patung mantan Menteri Tenaga Kerja dibangun dalam skala besar, ada meja terhimpit di antara dua payung itu, di atasnya tampak tumpukan tinggi kertas. Mr. Underwood mendekat. Barulah setelah mencapai meja itu, dia dapat mengintip melalui gundukan berkas yang berantakan dan melihat wajah petugas kantor yang kecil dan sedang tersenyum. "Halo, Sir," kata si petugas. "Menteri Muda Underwood. Aku ke sini untuk menjemput murid baruku." "Ah—ya, Sir. Saya sudah menunggu Anda. Silakan menandatangani beberapa dokumen ini..." Petugas itu mencari-cari di tumpukan di dekatnya. "Tak akan makan waktu lama. Lalu Anda dapat menjemput bocah itu di ruang duduk siang." "'Bocah'? Dia anak lelaki kalau begitu?" "Anak lelaki, lima tahun. Amat pandai, jika hasil tesnya dapat dijadikan penentu. Jelas sedang sedikit sedih sekarang ini..." Si petugas menemukan berlapis-lapis kertas dan mengambil pena yang bertengger di telinganya. "Tolong paraf tiap halaman, tanda tangani di titik-titik yang disediakan..." Mr. Underwood menggerakkan pena. "Orangtuanya—mereka telah pergi, kukira?" "Ya, Sir. Mereka pergi sesegera mungkin. Pasangan yang seperti biasa: ambil uangnya dan kabur, jika Anda mengerti maksud saya, Sir. Nyaris tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada bocah itu." "Dan semua prosedur normal kerahasiaan—?" "Akta kelahirannya telah diambil dan dihancurkan, Sir, dan dia telah dengan tegas diperintahkan melupakan nama lahirnya dan tak mengatakannya kepada siapa pun. Dia sekarang secara 63 resmi telah tak ternoda. Anda dapat mulai mengajarnya dari nol." "Baiklah." Sambil mendesah, Mr. Underwood membubuhkan tanda tangan terakhirnya yang seperti cakar ayam dan menyerahkan dokumen-dokumen itu kembali. "Jika itu sudah semua, kukira aku harus segera menjemputnya." Dia menyusuri beberapa koridor sepi dan melalui pintu berpanel berat menuju ruangan bercat terang yang dipenuhi mainan untuk menghibur anak-anak yang tak bahagia. Di sana, di antara kuda-kudaan yang tersenyum lebar dan boneka penyihir dari plastik yang mengenakan topi kerucut konyol, dia menemukan anak lelaki berwajah pucat. Anak itu habis menangis, tapi untungnya telah berhenti. Dua mata merah bengkak memandangnya tanpa ekspresi. Mr. Underwood berdeham. "Aku Underwood, mastermu. Kehidupanmu yang sebenarnya dimulai sekarang. Ikut denganku." Anak itu menyedot ingus dengan keras. Mr. Underwood melihat dagu anak itu bergetar, tangisnya hampir meledak. Dengan rasa tidak suka, dia meraih tangan anak lelaki itu, menariknya hingga si bocah berdiri, dan menuntunnya keluar menyusuri koridor-koridor bergema ke mobilnya yang telah menunggu. Dalam perjalanan kembali ke Highgate, penyihir itu mencoba satu-dua kali untuk bercakap-cakap dengannya, tapi balasannya hanya kebisuan yang diiringi air mata. Mr. Underwood jadi tidak senang; dengan dengusan frustrasi, dia menyerah dan menyalakan radio untuk mendengarkan skor pertandingan kriket. Bocah itu duduk tak bergerak di bangku belakang, menatap lutut. Istrinya menyambut mereka di pintu. Dia membawa senampan biskuit dan segelas cokelat panas yang mengepul, lalu segera 64 menggiring anak lelaki itu ke ruang duduk yang nyaman, di mana api telah menyala di perapian. "Kau takkan bisa membuatnya bicara, Martha," Mr. Underwood menggerutu. "Belum bersuara sama sekali." "Dan kau heran? Dia ketakutan, anak malang. Serahkan dia padaku." Mrs. Underwood adalah wanita gemuk yang luar biasa, berambut amat putih yang dipotong pendek sekali. Dia menyuruh anak lelaki itu duduk di kursi dekat perapian dan menawarkan sepotong biskuit. Anak itu tak mengacuhkan sama sekali. Setengah jam berlalu. Mrs. Underwood mengoceh ceria tentang apa saja yang terlintas di kepalanya. Anak lelaki itu minum sedikit cokelat dan menggigit sepotong kecil biskuit, tapi selebihnya hanya memandang perapian sambil membisu. Akhirnya, Mrs. Underwood mengambil keputusan. Dia duduk di sebelah anak itu dan merangkul pundaknya. "Nah, Sayang," katanya, "ayo kita buat kesepakatan. Aku tahu kau telah dilarang menyebutkan namamu kepada siapa pun, tapi kau dapat membuat pengecualian untukku. Aku tak dapat mengenalmu dengan baik hanya dengan memanggilmu 'Nak', bukan? Nah, jika kau memberitahuku namamu, aku akan memberitahumu namaku—dengan kepercayaan penuh. Bagaimana? Apakah itu anggukan? Baiklah kalau begitu. Aku Martha. Dan kau adalah...?" Dengusan kecil, suara yang lebih kecil lagi. "Nathaniel" "Nama yang indah, Sayang, dan jangan khawatir, aku takkan memberitahu siapa pun. Kau sudah merasa lebih baik, bukan? Nah, sekarang, makan sepotong biskuit lagi, Nathaniel, dan aku akan mengantarmu ke kamarmu." Setelah anak itu diberi makan, dimandikan, lalu akhirnya dibaringkan di tempat tidur, Mrs. Underwood melapor kepada suaminya, yang berada di ruang kerjanya. 65 "Akhirnya dia tertidur," katanya. "Aku takkan kaget jika anak itu mengalami shock—dan tidak aneh, orangtuanya meninggalkannya begitu saja. Kupikir sungguh memalukan, merenggut seorang anak dari rumahnya di usia amat muda." "Begitulah cara yang dilakukan selama ini, Martha. Para murid harus datang dari suatu tempat." Si penyihir tetap menundukkan kepala mempelajari buku di hadapannya, menunjukkan kesibukan. Istrinya tak menangkap sindiran itu. "Dia seharusnya diizinkan tinggal bersama keluarganya," dia terus mengoceh. "Atau setidaknya bertemu mereka sekali-sekali." Dengan lagak capek, Mr. Underwood meletakkan buku di meja. "Kau tahu persis itu mustahil. Nama lahirnya harus dilupakan, jika tidak, musuh-musuhnya yang akan datang bakal menggunakannya untuk melukainya. Bagaimana dia bisa melupakan namanya jika keluarganya terus berhubungan dengannya? Lagi pula, tak ada yang memaksa orangtuanya berpisah dengan anak bengal mereka. Mereka tak menginginkannya, itu faktanya, Martha. Jika tidak, mereka takkan menjawab iklaniklan itu. Kesepakatannya jelas sekali. Mereka mendapatkan sejumlah uang pembayaran yang wajar sebagai kompensasi, dia berkesempatan melayani negaranya pada level tertinggi, dan negara mendapatkan murid baru. Simpel. Semua orang menang. Tak ada yang dirugikan." "Tetap saja..." "Kesepakatan itu tak merugikan aku, Martha." Mr. Underwood meraih bukunya. "Akan mengurangi kekejamannya jika para penyihir diizinkan melatih anak-anak mereka sendiri" "Jalan itu akan menimbulkan dinasti-dinasti yang berkompetisi, aliansi-aliansi keluarga... semua itu akan mengakibatkan peperangan keturunan. Baca buku sejarahmu, Martha: lihatlah apa yang terjadi di Italia. Jadi, jangan khawatir me- 66 ngenai anak itu. Dia masih muda. Dia akan melupakannya dengan cepat. Sekarang, bagaimana jika kaubuatkan aku makan malam?" Rumah penyihir Underwood berupa bangunan yang memberikan kesan ramping, sederhana, berkelas di jalan itu, namun memanjang luas ke belakang dengan banyak tangga, koridor, dan beberapa lantai berbeda. Ada lima tingkat secara keseluruhan: ruang bawah tanah, dipenuhi rak-rak anggur, berkotak- kotak jamur kalengan, dan bertumpuk-tumpuk kaleng buah kering; lantai dasar, berisi ruang tamu, ruang makan utama, dapur, dan ruang kaca; dua lantai atas umumnya berisi kamar mandi, kamar tidur, dan ruang belajar; dan paling atas, loteng di bawah atap. Di ruangan inilah Nathaniel tidur, di bawah palang-palang rusuk atap berpelitur yang miring. Setiap pagi, saat subuh, Nathaniel dibangunkan suara berisik burung-burung dara dari atap di atasnya. Celah kecil dengan kaca tembus pandang dipasang di langit-langit. Melalui atap kaca itu, Nathaniel dapat melihat keluar ke cakrawala langit London yang kelabu dan disapu hujan. Rumah itu berdiri di atas bukit dan pemandangannya indah; di hari cerah dia dapat melihat menara radio Crystal Palace jauh di seberang kota. Kamar tidurnya dilengkapi perabotan murah dari kayu lapis, bufet kecil, meja belajar dan kursi, juga lemari buku di sisi tempat tidur. Setiap minggu Mrs. Underwood meletakkan serumpun bunga segar dari kebun dalam vas di meja. Sejak hari pertama yang menyedihkan itu, istri si penyihir melindungi Nathaniel. Dia menyukai anak itu dan amat baik terhadapnya. Di dalam rumah yang terlindung, dia sering memanggil anak itu dengan nama lahirnya, melawan ketidaksetujuan suaminya. "Kita bahkan seharusnya tidak mengetahui nama bocah bengal itu," dia berkata kepada istrinya. "Dilarang! Dia bisa 67 kena bahaya. Saat dia dua belas tahun, saat umurnya telah cukup, dia akan diberikan nama baru, nama yang dikenal orang, sebagai penyihir dan pria, sepanjang sisa hidupnya. Sebelum itu, amat salah jika—" "Siapa yang akan tahu?" istrinya memprotes. "Tak ada. Nama itu membuat anak malang itu merasa nyaman." Mrs. Underwood satu-satunya orang yang menggunakan nama lahir Nathaniel. Guru-gurunya memanggilnya Underwood, seperti nama masternya. Masternya sendiri hanya memanggilnya "Nak". Membalas kebaikan hatinya, Nathaniel memuja Mrs. Underwood. Dia mendengarkan setiap kata wanita itu, mematuhi segala perintahnya. Pada akhir minggu pertamanya berada di rumah itu, Mrs. Underwood memberi Nathaniel hadiah. "Ini untukmu," katanya. "Sudah agak tua dan lusuh, tapi kukira kau mungkin akan menyukainya." Benda itu lukisan perahu-perahu yang berlayar di sungai kecil, dikelilingi tanah berlumpur dan lahan pertanian datar. Permukaannya telah gelap termakan usia sehingga detail-detailnya nyaris tak terlihat, namun Nathaniel segera jatuh sayang pada lukisan tersebut. Dia memerhatikan Mrs. Underwood menggantungnya di dinding di atas meja belajarnya. "Kau akan menjadi penyihir, Nathaniel," kata wanita itu, "dan itu hadiah terbesar yang dapat diperoleh anak laki-laki atau perempuan. Orangtuamu telah berkorban dengan merelakanmu menjalani takdir mulia ini. Tidak, jangan menangis, Sayang. Maka untuk membalasnya kau harus menjadi tegar, berusaha sekeras yang kau bisa, dan mempelajari segala yang ditugaskan guru-gurumu. Dengan mengerjakan itu semua, kau akan memberikan penghormatan kepada orangtua dan dirimu sendiri. Lihatlah keluar jendela. Berdiri di atas kursi itu. Seka- 68 rang—lihat ke sebelah sana; kau lihat menara kecil di kejauhan itu?" "Yang itu?" "Bukan, itu gedung perkantoran, Sayang. Yang kecil berwarna cokelat itu, di sebelah kiri? Itu dia. Itu Gedung Parlemen, sayangku, tempat seluruh penyihir andal pergi, untuk memerintah Inggris dan kerajaan kita. Mr. Underwood pergi ke sana setiap waktu. Dan jika kau bekerja keras dan melakukan semua yang diperintahkan mastermu, suatu hari nanti kau akan pergi ke sana juga, dan aku akan merasa bangga, sebangga dirimu sendiri." "Ya, Mrs. Underwood." Nathaniel menatap menara itu sampai matanya terasa sakit, merekam letaknya di kepala. Pergi ke Parlemen... Suatu hari nanti itu akan terjadi. Dia akan bekerja keras dan membuat Mrs. Underwood bangga. Seiring waktu berjalan, dengan tuntunan terus-menerus dari Mrs. Underwood, rasa rindu Nathaniel mulai memudar. Memori tentang orangtuanya meredup dan rasa sakit hatinya berangsur hilang, sehingga dia tak merasakannya lagi. Rutinitas pekerjaan dan pelajaran yang ketat membantu proses ini: menghabiskan nyaris seluruh waktunya dan hanya menyisakan sedikit kesempatan untuk melamun. Di hari-hari kerja, rutinitas dimulai dengan Mrs. Underwood membangunkan dengan dua ketukan cepat di pintu kamarnya. "Teh di luar, di tangga. Mulut, bukan kaki." Panggilan ini ritual yang berasal dari suatu pagi, ketika, dalam perjalanan ke kamar mandi di bawah, Nathaniel menghambur keluar dari kamarnya dalam keadaan kebelet, kakinya menabrak gelas, dan melontarkan teh panas ke dinding di dasar tangga. Nodanya masih tampak bertahun-tahun kemudian, seperti noda percikan darah. Untung masternya tak pernah mengetahui insiden ini. Dia tak pernah pergi ke loteng. Setelah membersihkan diri di kamar mandi yang terletak di 69 lantai bawah kamarnya, Nathaniel akan mengenakan kemeja, celana pendek abu-abu, kaus kaki panjang abu-abu, sepatu hi tarn resmi dan, jika sedang musim dingin dan udara di dalam rumah terasa dingin, jumper Irlandia tebal yang dibelikan Mrs. Underwood. Dia akan menyisir rambut dengan hati-hati di depan cermin tinggi di kamar mandi, matanya menyapu bayangan tubuh kurus dan rapi dengan wajah pucat yang menatapnya dari cermin. Lalu dia turun lewat tangga belakang menuju dapur, membawa pekerjaan sekolahnya. Sementara Mrs. Underwood menyiapkan cornflake dan roti panggang, dia akan berusaha menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkannya semalam. Mrs. Underwood biasanya membantu sebisanya. "Azerbaijan? Ibukotanya Baku, kurasa." "Bakoo?" "Ya. Lihat di atlasmu. Untuk apa kau mempelajari itu?" "Mr. Purcell berkata aku harus menguasai Timur Tengah minggu ini—mempelajari negara-negara dan sebagainya." "Jangan murung begitu. Roti bakarnya sudah siap. Well, penting bagimu untuk mempelajari 'sebagainya itu—kau harus mengetahui latar belakangnya sebelum melanjutkan ke bagianbagian yang menarik." "Tapi ini sungguh membosankan" "Itu yang kau tahu. Aku pernah ke Azerbaijan. Baku kota kumuh, tapi tempat itu pusat penting untuk mempelajari afrit." "Apa itu?" "Demon yang berasal dari api. Makhluk halus kedua yang paling kuat. Elemen apinya sangat kuat di pegunungan Azerbaijan. Itu juga tempat dimulainya keyakinan Zoroastrian; mereka memuja api kelahiran yang berada dalam setiap makhluk hidup. Jika kau mencari selai cokelat, ada di belakang sereal." "Kapan aku dapat melihat frit?" 70 "Afrit. Tidak dalam waktu dekat, jika kau tahu apa yang baik untukmu. Sekarang, cepatlah habiskan sarapanmu—Mr. Purcell menunggu." Setelah sarapan, Nathaniel akan mengumpulkan buku-buku pelajarannya dan pergi ke atas ke ruang belajar di lantai pertama, tempat Mr. Purcell telah menunggu. Gurunya pria muda berambut pirang yang mulai menipis, yang setiap kali diratakan dengan sia-sia untuk menyembunyikan kulit kepalanya. Dia mengenakan setelan abu-abu yang agak kebesaran dan serangkaian dasi mengerikan berganti-ganti. Nama depannya Walter. Banyak yang membuatnya gugup, dan berbicara dengan Mr. Underwood (yang harus dilakukannya sekali-kali) membuatnya kedutan. Sebagai akibat .sarafnya yang selalu tegang, dia menumpahkan rasa frustrasi pada Nathaniel. Dia pria yang terlalu bermoral sehingga tidak bisa bertindak terlalu brutal pada anak itu, yang merupakan murid kompeten; sebagai gantinya, biasanya dia» akan cepat membentak jika Nathaniel berbuat kesalahan, menyalak seperti anjing kecil. Nathaniel tidak belajar ilmu sihir dari Mr. Purcell. Gurunya itu tak tahu apa-apa mengenai sihir. Maka dia harus mengajar pelajaran-pelajaran lain: matematika dasar, bahasa modern (Prancis, Ceko), geografi, dan sejarah. Pelajaran politik juga penting. "Nah sekarang, Underwood muda," Mr. Purcell berkata. "Apakah tujuan utama pemerintah kita yang mulia?" Nathaniel menatap kosong. "Ayolah! Ayolah!" "Memerintah kita, Sir?" "Melindungi kita. Jangan lupa bahwa negara kita dalam keadaan perang. Praha masih menguasai dataran sebelah timur Bohemia, dan kita sedang berjuang menghalangi angkatan daratnya memasuki wilayah Italia. Sekarang ini adalah masamasa berbahaya. Para penghasut dan mata-mata berkeliaran di London. Jika kerajaan kita ingin tetap tegak, pemerintahan 71 yang kuat harus mengaturnya, dan kuat berarti penyihir. Bayangkan negara ini tanpa mereka! Akan tak terkirakan: orang-orang biasa akan berkuasa! Kita akan terperosok ke dalam kekacauan, dan pengambilalihan kekuasaan akan segera terjadi. Semua yang berada di pihak lawan dan anarki akan memimpin kita. Inilah hal yang harus menjadi cita-citamu, Nak. Menjadi bagian dari Pemerintah dan memimpin dengan terhormat. Ingadah itu." "Ya, Sir." "Harga diri adalah kualitas paling penting dalam diri penyihir," Mr. Purcell melanjutkan. "Orang yang memiliki kekuatan besar harus menggunakannya dengan penuh pertimbangan. Dulu, para penyihir liar pernah berniat menggulingkan kekuasaan: mereka selalu dikalahkan. Mengapa? Karena penyihir sejati berjuang dengan kebajikan dan keadilan di sisi mereka." "Mr. Purcell, apakah Anda penyihir?" Sang guru meratakan rambut dan mendesah. "Bukan, Underwood. Aku... tidak terpilih. Tapi aku tetap melaksanakan tugas sebaik mungkin. Sekarang..." "Kalau begitu, Anda commoner—orang biasa?" Mr. Purcell menggebrak meja dengan telapak tangannya. "Beraninya! Hanya aku yang boleh mengajukan pertanyaan! Ambil busur derajatmu. Kita akan membahas geometri." Tak lama setelah berulang tahun kedelapan, kurikulum pelajaran Nathaniel ditambah. Dia mulai belajar kimia dan fisika, juga sejarah agama. Dia juga mulai mempelajari beberapa bahasa penting, termasuk Latin, Aramaic, dan Yahudi. Segala aktivitas ini membuat Nathaniel sibuk sejak pukul 09.00 hingga saat makan siang pukul 13.00, ketika dia turun ke dapur sendirian untuk melahap sandwich yang telah disiapkan Mrs. Underwood dalam bungkus berembun Saran Wrap. Pada sore hari, jadwal pelajaran Nathaniel bervariasi. Dua hari seminggu, Nathaniel melanjutkan pelajaran bersama Mr. 72 Purcell. Pada dua sore lain, dia dikawal ke ujung jalan menuju kolam renang umum, tempat pria gemuk yang bentuk kumisnya mirip spatbor mobil mengawasi latihan yang melelahkan. Bersama segerombolan anak basah kuyup lainnya, Nathaniel harus berenang bolak-balik berkali-kali menggunakan semua gaya renang yang pernah diciptakan. Dia selalu terlalu malu atau terlalu lelah untuk berbicara dengan murid renang lain, dan mereka, merasa Nathaniel bukanlah murid biasa, tak pernah mendekatinya. Pada usia delapan tahun, Nathaniel telah dihindari dan dikucilkan. Pada dua sore yang lain lagi, aktivitas Nathaniel adalah musik (Kamis) dan menggambar (Sabtu). Nathaniel lebih membenci musik daripada berenang. Gurunya, Mr. Sindra, adalah pria gendut lekas marah yang dagunya bergetar jika dia berjalan. Nathaniel memerhatikan dagu itu dengan saksama: jika getarannya semakin cepat, itu tanda pasti datangnya kemarahan. Kemarahan selalu datang disertai depresi. Mr. Sindra nyaris tak pernah dapat menahan kemurkaannya jika Nathaniel bermain terlalu cepat, salah membaca not, atau tak berhasil membaca not tanpa memainkannya, dan hal-hal seperti ini sering terjadi. "Bagaimana," Mr. Sindra berteriak, "kau dapat memanggil lamia jika kau memetik seperti itu? Bagaimana? Keterlaluan! Kemarikan benda itu!" Dia merampas dengan kasar lyre di tangan Nathaniel dan memeluk alat musik itu di dadanya yang Iebar. Lalu, dengan kedua mata terpejam seolah terbuai, dia mulai memainkannya. Suara melodi yang indah memenuhi ruang belajar. Jari-jari Mr. Sindra yang pendek dan gemuk bergerak seperti sosis yang menari di antara senar-senar lyre; di luar burung-burung berhenti berkicau untuk mendengarkan. Mata Nathaniel dipenuhi air mata. Memori dari masa lampau yang jauh melayang-layang bagaikan hantu di depan matanya... 73 "Sekarang kau!" Musik itu berhenti dengan suara mendecit nyaring. Lyre itu diserahkan kembali kepadanya. Nathaniel mulai memetik senarnya. Jari-jarinya tergelincir dan bertautan; di luar bebetapa burung terjatuh dari pohon dalam keadaan pingsan. Rahang Mr. Sindra gemetar seperti puding tapioka dingin. "Dasar idiot! Stop! Apakah kau ingin lamia memangsamu? Makhluk itu harus dibuat terpesona, bukan murka! Letakkan instrumen menyedihkan itu. Kita akan mencoba seruling." Seruling atau lyre, suara nyanyian maupun suara sistrum— apa pun yang dicoba Nathaniel, usahanya yang sia-sia selalu berujung kemarahan dan keputusasaan. Jauh berbeda keadaannya dengan pelajaran menggambar, yang berlangsung dengan damai dan baik di bawah asuhan gurunya, Ms. Lutyens. Dengan tubuh langsing dan sifat manis, dia satu-satunya guru yang dapat diajak Nathaniel bicara dengan bebas. Seperti Mrs. Underwood, Ms. Lutyens tak memedulikan status Nathaniel yang "tanpa nama". Dengan percaya diri, dia menanyakan nama Nathaniel, dan Nathaniel memberitahukannya tanpa berpikir dua kali. "Mengapa," Nathaniel pernah bertanya pada suatu sore musim semi, ketika mereka duduk di ruang belajar sementara angin sepoi-sepoi bertiup melalui jendela yang terbuka, "mengapa aku menghabiskan seluruh waktuku untuk meniru pola ini? Pola ini sulit dan membosankan. Aku lebih memilih menggambar kebun, atau ruangan ini—atau Anda, Ms. Lutyens." Ms. Lutyens tertawa. "Menggambar sketsa bagus untuk para seniman, Nathaniel, atau untuk wanita-wanita muda kaya yang tak punya pekerjaan lain. Kau takkan menjadi seniman atau wanita muda kaya, tujuanmu mengangkat pensil sama sekali berbeda dengan mereka. Kau akan menjadi ahli, ahli gambar teknis—kau harus dapat meniru segala pola yang kauinginkan, dengan cepat, dengan percaya diri, dan di atas segalanya, dengan akurat." 74 Nathaniel memandang muram kertas yang terletak di meja di antara mereka. Kertas itu menunjukkan gambar rumit daundaun bersulur, bunga-bunga, dan tanaman rambat, dengan bentuk-bentuk abstrak terimpit di tengah-tengahnya. Nathaniel menyalin gambar itu di buku sketsanya dan telah mengerjakannya selama dua jam tanpa henti. Gambar itu kini setengah jadi. "Rasanya tak ada gunanya, itu saja," katanya lirih. "Bukan tak ada gunanya," jawab Ms. Lutyens. "Coba kulihat hasil pekerjaanmu. Well, tidak jelek, Nathaniel, sama sekali tidak jelek, tapi lihat—tidakkah kaupikir kubah menara ini tampak lebih besar daripada gambar aslinya? Lihat di sini? Dan kau meninggalkan satu celah pada batang ini—ini kesalahan yang cukup buruk." "Hanya kesalahan kecil. Sisanya lumayan, bukan?" "Bukan itu intinya. Jika kau menyalin pentacle dan meninggalkan celah di gambarmu, apa yang akan terjadi? Nyawamu akan menjadi taruhannya. Kau belum ingin mati kan, Nathaniel?" "Belum." "Nah. Singkatnya, kau tak boleh membuat kesalahan. Mereka akan menyerangmu jika itu terjadi." Ms. Lutyens menyandarkan punggungnya di kursi. "Demi kebaikan, aku harus menyuruhmu mengulang gambar ini dari awal." "Ms. Lutyens!" "Mr. Underwood takkan menerima kurang dari ini." Dia terdiam sesaat, menimbang-nimbang. "Tapi mendengar seruanmu itu kupikir tak ada gunanya mengharapkanmu membuat yang lebih baik pada kali kedua. Kita akan berhenti sampai di sini hari ini. Bagaimana kalau kau keluar ke kebun saja? Tampaknya kau butuh udara segar." Bagi Nathaniel, kebun di rumah itu adalah tempat menyendiri 75 dan beristirahat sementara. Tak ada pelajaran yang diadakan di kebun. Tempat itu tidak memiliki memori tak menyenangkan. Kebun itu panjang dan sempit serta dikelilingi tembok tinggi dari bata merah. Rumpun tanaman mawar merambati tembok pada musim panas, dan enam pohon apel menebarkan pucuk bunga putih di sekitar halaman. Dua semak tanaman rhododendron terentang melebar ke tengah-tengah kebun—di seberang semak-semak itu ada area tertutup yang terlindung dari pandangan jendela-jendela di rumah. Di tempat ini rerumputan tumbuh tinggi dan basah. Pohon horse chestnut dari halaman sebelah menjulang tinggi, dan bangku dari batu, hijau tertutup lumut, terletak terlindung di bawah bayangan tembok tinggi. Di sebelah bangku itu ada patung marmer berbentuk pria yang memegang seberkas kilat di tangannya. Patung itu mengenakan jaket model Victoria dan memiliki sepasang cambang raksasa yang menonjol di kedua pipinya seperti capit kumbang. Patung itu telah aus termakan cuaca dan ditutupi lapisan tipis lumut, namun tetap memberikan kesan berkekuatan besar dan berkuasa. Nathaniel terkagum-kagum padanya dan bahkan berani bertanya kepada Mrs. Underwood siapa sebetulnya pria itu, tapi wanita itu hanya tersenyum. "Tanya mastermu," katanya. "Dia tahu segalanya." Tapi Nathaniel tidak berani. Tempat yang nyaman ini, dengan keterkucilannya, bangku batunya, dan patung penyihir yang tak dikenal, adalah tempat Nathaniel datang kapan saja dia butuh menimbun keberanian sebelum memulai pelajaran dengan masternya yang dingin dan tegas. 76 Saat berusia antara enam sampai delapan tahun, Nathaniel hanya bertemu masternya sekali seminggu. Pada kesempatankesempatan itu, setiap Jumat sore, berlangsung ritual besar. Setelah makan siang, Nathaniel harus pergi ke lantai atas untuk membersihkan diri dan mengganti kemeja. Lalu, tepat pada pukul 14.30, dia muncul di pintu ruang duduk masternya di lantai satu. Dia akan mengetuk pintu tiga kali, kemudian terdengar suara yang mempersilakannya masuk. Masternya bersandar di kursi anyaman dekat jendela yang menghadap ke jalan. Wajahnya biasanya tersembunyi di balik bayangan. Cahaya yang memancar dari jendela mengitarinya seperti kabut remang-remang. Saat Nathaniel masuk, tangan panjang dan kurus akan melambai ke arah tumpukan tinggi bantalan kursi yang terletak di bangku Oriental di dinding seberang ruangan. Nathaniel akan mengambil sebuah bantalan kursi dan meletakkannya di lantai. Kemudian dia duduk, dengan dada berdebar, mendengarkan dengan saksama agar 77 dapat menangkap setiap nada suara masternya, takut bila ada yang terlewatkan. Pada tahun-tahun awal, si penyihir biasanya puas dengan hanya bertanya mengenai pelajaran-pelajaran anak lelaki itu, mengundangnya mendiskusikan vektor, aljabar, atau prinsip probabilitas, memintanya menjabarkan dengan singkat sejarah Praha atau mengulang, dalam bahasa Prancis, kejadian-kejadian penting dalam perang Salib. Jawaban-jawabannya nyaris selalu memuaskan—Nathaniel cepat belajar. Pada kesempatan-kesempatan langka, sang master menyuruh Nathaniel berhenti di tengah-tengah jawaban dan dia sendiri akan berbicara mengenai beberapa objek dan keterbatasan sihir. "Penyihir," katanya, "adalah pengguna kekuasaan. Penyihir melaksanakan keinginannya dan memengaruhi perubahan. Dia dapat melakukannya dengan motif egois atau demi kebaikan. Perbuatannya dapat menghasilkan sesuatu yang baik atau buruk, tapi satu-satunya penyihir buruk adalah yang tidak kompeten. Apakah definisi inkompetensi, Nak?" Nathaniel beringsut di bantalan kursinya. "Kehilangan kontrol." "Benar. Jika penyihir tetap mengontrol setiap kekuatan yang diperintahkannya untuk bekerja, dia akan tetap—dia akan tetap apa?" Nathaniel bergerak maju-mundur. "Eh..." "Tiga S, Nak, tiga S. Gunakan otakmu." "Safe—aman, secret—rahasia, strong—kuat, Sir." "Benar. Apakah rahasia besarnya?" "Makhluk halus, Sir." "Demon, Nak. Sebut mereka seperti apa adanya. Apakah yang tak boleh dilupakan seseorang?" "Demon adalah makhluk jahat dan akan melukai kita jika bisa, Sir." Suara Nathaniel bergetar ketika mengucapkan ini. "Bagus, bagus. Kau memiliki ingatan yang amat tajam, itu 78 pasti. Berhati-hatilah dalam melafalkan kata-katamu—aku dengar lidahmu terpeleset tadi. Salah melafalkan sebuah suku kata pada saat yang tidak tepat akan memberi demon kesempatan yang dicari-carinya." "Ya, Sir." "Jadi, demon-lah rahasia besarnya. Para commoner sadar akan keberadaan mereka dan tahu kita dapat berkomunikasi dengan mereka—itulah sebabnya mereka takut pada kita! Namun mereka tak menyadari seluruh kebenarannya, yaitu semua kekuatan kita berasal dari demon. Tanpa bantuan demon, kita tak lain hanyalah pesulap murahan dan tukang obat. Satusatunya kemampuan kita yang terbesar adalah memanggil mereka dan membuat mereka mematuhi perintah kita. Jika kita melakukannya dengan benar, mereka hams mematuhi kita. Jika kita membuat kesalahan sedikit saja, mereka akan menyerang kita dan mencabik-cabik kita hingga menjadi serpihan. Kita melangkah pada sehelai benang tipis, Nak. Berapa umurmu sekarang?" "Delapan, Sir. Sembilan minggu depan." "Sembilan? Bagus. Kalau begitu, minggu depan kita akan mulai mempelajari ilmu sihir yang sesungguhnya. Mr. Purcell sekarang sibuk memberikan basis pelajaran yang memadai soal pengetahuan dasar. Setelah ini kita akan bertemu dua kali seminggu, dan aku akan mulai memperkenalkanmu dengan dalil sentral orde kita. Meski begitu, hari ini kita akhiri dengan kau mengulang alfabet Yahudi dan dua belas angka pertamanya. Lanjutkan." Di bawah pengawasan master dan para gurunya, pendidikan Nathaniel maju pesat. Dengan gembira, dia melaporkan perkembangan pelajaran tiap harinya kepada Mrs. Underwood dan merasa berbunga-bunga karena dihujani pujian wanita itu. Pada sore hari, dia akan menatap ke luar jendela kamarnya, ke 79 arah cahaya kuning di kejauhan yang menandakan menara gedung-gedung Parlemen, dan melamunkan hari saat dia pergi ke sana sebagai penyihir, sebagai salah satu menteri dalam pemerintahan yang terhormat. Dua hari setelah ulang tahunnya yang kesembilan, masternya muncul di dapur saat dia sarapan. "Tinggalkan itu dan ikut denganku," kata si penyihir. Nathaniel mengikutinya menyusuri lorong dan masuk ke ruangan yang merupakan perpustakaan masternya. Mr. Underwood berdiri di sebelah rak buku besar yang dipenuhi buku berbagai ukuran dan warna, mulai dari kamus bersampul kulit yang tampak antik hingga yang bersampul tipis dan menguning rapuh dengan simbol-simbol mistis tak beraturan di permukaannya. "Ini bahan bacaanmu untuk tiga tahun ke depan," kata masternya, mengetuk-ngetuk permukaan rak buku. "Saat berusia dua belas tahun, kau sudah harus menghafal seluruh isinya. Buku-buku ini ditulis dalam bahasa Inggris Pertengahan, Latin, Ceko, dan Yahudi sebagian besar, walaupun kau juga akan menemukan yang dalam bahasa Coptic tentang ritual kematian Mesir. Ada kamus Coptic untuk membantumu membaca. Terserah padamu bagaimana kau membaca semuanya; aku tak punya waktu untuk menolongmu. Mr. Purcell akan membantumu meningkatkan kemampuan bahasamu dengan cepat. Mengerti?" "Ya, Sir. Sir?" "Apa, Nak?" "Jika saya telah selesai membaca ini semua, Sir, apakah saya akan mengetahui semua yang diperlukan? Untuk menjadi penyihir, maksud saya. Tampaknya semua amat banyak." Masternya mendengus; alisnya naik. "Lihat ke belakangmu," katanya. Nathaniel memutar tubuh. Di balik pintu ada rak buku 80 yang menjulang dari lantai hingga langit-langit; dipenuhi ratusan buku, setiap buku lebih tebal dan lebih berdebu dibandingkan sebelumnya, jenis buku yang, orang dapat mengetahuinya tanpa membukanya, berisi tulisan-tulisan kecil dalam dua kolom di setiap halamannya. Nathaniel menelan ludah. "Baca semua buku itu;" kata masternya dengan nada kering, "dan kau mungkin akan berhasil menuju ke suatu tempat. Rak itu memuat ritual dan mantra yang kauperlukan untuk memanggil demon tertentu; dan kau bahkan belum akan memulainya hingga kau berusia remaja, maka singkirkanlah dari pikiranmu. Rak milikmu"—dia mengetuk-ngetukkan jari di permukaan kayunya lagi—"memberikan pengetahuan persiapan dan sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Sekarang, ikut aku." Mereka melanjutkan berjalan ke ruang belajar yang belum pernah dikunjungi Nathaniel. Sejumlah besar botol dan tabung disimpan di sana dalam rak-rak bernoda dan kotor, diisi cairan berbagai warna. Beberapa botol itu berisi benda-benda yang melayang-layang di dalamnya. Nathaniel tak dapat memastikan apakah ketebalan dan bentuk melingkar kaca botol-botol itu yang menyebabkan benda-benda di dalamnya tampak menyeramkan dan aneh. Masternya duduk di bangku tinggi di hadapan meja kerja kayu sederhana dan memberi tanda agar Nathaniel duduk di sebelahnya. Dia mendorong kotak tipis di meja. Nathaniel membukanya. Di dalamnya ada sepasang kacamata kecil. Sepotong memori samar-samar membuatnya merinding hebat. "Well, keluarkan benda itu, Nak, dia takkan menggigit. Begitu. Sekarang lihat aku. Perhatikan mataku; apa yang kaulihat?" Dengan enggan, Nathaniel melihat. Dia merasa sulit memandang mata galak berwarna cokelat milik pria tua itu, dan akibatnya otaknya membeku. Dia tak melihat apa-apa. 81 "Well?" "Mm, mm... maaf, saya tidak..." "Lihat di sekitar lingkaran biji mataku—ada sesuatu di sana? "Mm..." "Oh, dasar bodoh!" Masternya berseru frustrasi dan menarik kulit bawah matanya, menampakkan bagian merah di dalamnya. "Tak dapatkah kau melihat? Lensa, Nak! Lensa kontak! Di seputar bagian tengah mataku! Lihat?" Dengan putus asa, Nathaniel melihat lagi, dan kali ini dia memang melihat lingkaran samar, tipis seperti garis pensil di seputar biji mata, menutupinya. "Ya, Sir," katanya bersemangat. "Ya, saya melihatnya." "Akhirnya. Baiklah." Masternya duduk santai kembali di bangku tinggi. "Saat kau berusia dua belas tahun, dua hal penting akan terjadi. Pertama, kau akan diberi nama baru, yang akan kaugunakan. Mengapa?" "Untuk mencegah demon menguasai diri saya dengan cara mengetahui nama lahir saya, Sir." "Benar. Penyihir-penyihir lawan akan sama berbahayanya, tentu saja. Kedua, kau akan menerima sepasang lensa baru, yang dapat kaupakai setiap saat. Lensa itu akan membantumu melihat sebagian kecil muslihat para demon. Sebelum itu kau akan menggunakan kacamata ini, tapi hanya jika disuruh, dan tak ada alasan membawa kacamata ini keluar dari ruang belajar ini. Mengerti?" "Ya, Sir. Bagaimana cara kacamata ini membantu melihat menembus sesuatu, Sir?" "Saat demon berubah wujud, mereka dapat menjadi bentuk apa saja, bukan hanya dalam dunia keberadaan ini, tapi juga dalam beberapa tingkatan keberadaan—aku akan memberikan pelajaran mengenai beberapa plane ini segera, jangan bertanya sekarang. Beberapa demon tingkat tinggi bahkan bisa menjadi 82 tidak kasatmata; kekejaman perilaku mereka tak ada habisnya. Lensa-lensa itu, dan kacamata itu bagi skala yang lebih kecil, akan membantumu melihat dalam beberapa plane sekaligus, memberikan kesempatan bagimu untuk melihat menembus ilusi mereka. Perhatikan—" Master Nathaniel meraih rak penuh berisi botol di belakangnya dan memilih botol kaca besar yang mulutnya ditutup sumbat dan lilin perekat. Di dalamnya ada cairan garam kehijauan dan tikus mati, bulu-bulunya cokelat dan berdaging pucat. Nathaniel mengernyit. Masternya menatapnya. "Menurutmu ini apa, Nak?" dia bertanya. 83 "Tikus, Sir." "Jenis apa?" "Jenis yang berwarna cokelat. Rattus norvegicus, Sir." "Bagus. Bahasa Latin pula, heh? Bagus sekali. Salah sama sekali, tapi tetap saja bagus. Ini sama sekali bukan tikus. Pakai kacamatamu dan lihat lagi." Nathaniel mengerjakan apa yang disuruh. Kacamata itu terasa dingin dan berat di hidungnya. Dia memandang melalui kacanya yang buram, butuh satu atau dua detik untuk menjadi fokus. Ketika botol itu tampak di depan matanya, Nathaniel tersentak. Tikus itu telah hilang. Sebagai gantinya tampak makhluk kecil berwarna hitam dan merah dengan wajah seperti spons, sayap seperti kumbang, dan perut bagian bawah berbentuk akordion. Mata makhluk itu terbuka dan ekspresinya terluka. Nathaniel membuka kacamata dan melihat lagi. Si tikus cokelat tampak mengambang dalam cairan, seperti acar. "Astaga," katanya. Masternya mendengus. "Scarlet Vexation, ditangkap dan dibotolkan Institut Medis di Lincoln's Inn. Sesosok imp kecil, tapi terkenal sebagai penebar wabah. Dia hanya dapat berubah wujud menjadi tikus di plane material. Pada plane-flane lainnya, wujud aslinya tampak." "Apakah dia sudah mati, Sir?" tanya Nathaniel. "Hmm? Mati? Kupikir begitu. Jika tidak, dia pasti akan marah. Dia telah berada dalam botol itu selama setidaknya lima puluh tahun—aku mewarisinya dari masterku." Dia mengembalikan botol itu ke rak. "Kaulihat, Nak," dia melanjutkan, "bahkan demon yang paling kecil pun kekuatannya jahat, berbahaya, dan licik. Kita tak boleh melepaskan kesiagaan walau sebentar saja. Perhatikan ini." Dari belakang pembakar bunsen, dia mengambil kotak segi empat dari kaca yang sepertinya tak memiliki tutup. Enam makhluk kecil berdengung di dalamnya, membentur-bentur dinding penjara mereka. Dari kejauhan mereka tampak seperti serangga; setelah melihat dari jarak dekat, Nathaniel menyadari kaki mereka terlalu banyak untuk ukuran serangga. "Makhluk-makhluk kecil ini," masternya berkata, "mungkin wujud demon yang paling rendah. Nyaris tak memiliki inteligensi. Kau tak memerlukan kacamata untuk melihat wujud asli mereka. Tapi bahkan mereka ini dapat menimbulkan masalah jika tak ditangani dengan tepat. Kau lihat sengat berwarna jingga di bawah ekor mereka? Sengat-sengat itu menimbulkan bengkak menyakitkan pada tubuh korbannya; jauh lebih buruk daripada sengatan lebah atau tawon. Mereka menjadi metode yang dikagumi untuk menghukum seseorang, entah dia pesaing menyebalkan... atau murid yang tak menurut." Nathaniel memerhatikan serangga-serangga kecil yang marah itu membenturkan kepala mereka ke dinding kaca. Dia mengangguk kuat. "Ya, Sir." "Makhluk-makhluk kecil yang galak." Masternya menyingkirkan kotak itu. "Tapi hanya diperlukan kata-kata perintah yang tepat dan mereka akan mematuhi semua instruksi. Mereka merupakan demonstrasi, dalam skala terkecil, mengenai prinsip keahlian kita. Kita memiliki alat-alat berbahaya yang harus kita 84 kontrol. Kini kita akan mulai mempelajari cara melindungi diri." Nathaniel segera mengetahui bahwa masih lama sekali baru dia akan diizinkan menggunakan peralatan-peralatan itu sendiri. Dia belajar dengan masternya dalam ruangan itu dua kali seminggu, dan selama berbulan-bulan dia tak melakukan apaapa selain mencatat. Dia belajar tentang prinsip penggunaan pentacle dan seni tulisan kuno. Dia mempelajari ritual pensucian yang benar yang harus diperhatikan penyihir sebelum mulai memanggil makhluk halus. Dia disuruh mengaduk dan menumbuk campuran dupa yang akan menarik demon atau menyingkirkan yang tak diinginkan. Dia memotong-motong lilin menjadi berbagai ukuran dan mengaturnya menjadi beberapa pola. Tapi tak sekali pun masternya memanggil sesuatu. Tak sabar akan kemajuan pelajarannya, di waktu senggangnya Nathaniel asyik dengan buku-buku di raknya dalam perpustakaan. Dia membuat Mr. Purcell terkesan karena rasa laparnya akan pengetahuan. Dia bekerja keras dalam pelajaran menggambar bersama Ms. Lutyens, menumpahkan kemampuannya pada pentacle yang dia buat di bawah pandangan tajam masternya. Dan selama itu, kacamatanya tertimbun debu di rak dalam ruang belajar. Ms. Lutyens adalah satu-satunya orang tempat dia menumpahkan rasa frustrasinya. "Sabar," wanita itu berkata padanya. "Kesabaran adalah hal terpenting. Jika terburu-buru, kau akan gagal. Dan kegagalan amat menyakitkan. Kau harus selalu rileks dan berkonsentrasi pada pekerjaanmu sekarang. Nah, kalau kau sudah siap, aku ingin kau membuat gambar itu lagi, tapi kali ini dengan mata tertutup." Enam bulan setelah masa pelatihannya, Nathaniel menyaksikan pemanggilan roh untuk pertama kalinya. Dia amat sebal 85 karena tak diikutsertakan melakukannya. Masternya menggambar pentacle, termasuk pentacle kedua tempat Nathaniel harus berdiri di dalamnya. Nathaniel bahkan tak diizinkan menyalakan lilin dan, yang lebih buruk lagi, dia tak diperkenankan mengenakan kacamata. "Bagaimana saya bisa melihat?" dia bertanya, agak terlalu kasar daripada biasanya bila berbicara dengan masternya; tatapan masternya dengan mata agak menyipit segera membuatnya tutup mulut. Pemanggilan itu berlangsung mengecewakan. Setelah merapalkan mantra, yang dengan lega didapati Nathaniel bahwa dia mengerti sebagian besar di antaranya, tampaknya tak terjadi apa-apa. Angin sepoi-sepoi berembus ke dalam ruang belajar; selain itu semua hening. Pentacle yang kosong tetap kosong. Masternya berdiri di dekatnya, mata terpejam, seperti tertidur. Nathaniel menjadi amat bosan. Tungkainya mulai sakit. Rupanya demon yang satu ini memutuskan tidak datang. Mendadak, dia menyadari dengan terkejut bahwa beberapa lilin di salah satu pojok ruangan telah tumbang. Setumpuk kertas terbakar, dan apinya menyebar. Nathaniel berseru kaget dan melangkah... "Diam di tempat!" Jantung Nathaniel nyaris berhenti berdetak karena ketakutan. Dia membeku dengan satu kaki terangkat. Mata masternya terbuka dan memandangnya tajam dengan tatapan marah. Dengan suara menggelegar, masternya merapalkan tujuh Kata Pembebasan. Api di pojok ruangan lenyap, beserta kertas-kertas yang terbakar; lilin-Iilin itu kembali tegak berdiri dan menyala dengan tenang. Jantung Nathaniel bagai mengerut di dadanya. "Melangkah keluar dari lingkaran, ya?" Tak pernah dia mendengar suara masternya begitu bengis. "Aku telah memberitahumu bahwa beberapa dari mereka tetap tak terlihat. Mereka ahli ilusi dan tahu seribu cara untuk mengalihkan perhatian serta 86 membujukmu. Satu langkah lagi dan kau sendiri akan tersambar api. Pikirkan itu sementara kau kelaparan malam ini. Pergi ke kamarmu!" Pemanggilan-pemanggilan berikutnya tak terlalu membuat depresi. Hanya dituntun indra biasanya, Nathaniel memerhatikan demon-demon dalam berbagai bentuk yang menipu. Beberapa muncul dalam wujud binatang yang sehari-hari biasa ditemui— kucing mengeong, anjing bermata besar, hamster pincang menyedihkan yang membuat Nathaniel tergoda untuk mengangkatnya. Burung-burung kecil yang manis melompat dan mematuk garis tepi lingkaran mereka. Suatu kali, hujan pucuk bunga apel jatuh dari langit, memenuhi ruangan dengan keharuman tajam dan membuat Nathaniel mengantuk. Dia belajar melawan segala jenis bujukan. Beberapa roh tak kasatmata menyerangnya dengan bau memuakkan yang membuatnya muntah; yang lain memesonanya dengan bau parfum yang mengingatkannya akan parfum Ms. Lutyens atau Mrs. Underwood. Beberapa berusaha menakut-nakutinya dengan suara-suara mengerikan—dengan suara koyakan, bisikan, dan seruan-seruan yang tak tertangkap artinya. Dia mendengar suara-suara aneh memanggil memohon-mohon, mula-mula bernada tinggi, lalu jatuh menjadi rendah dan makin rendah sehingga menjadi mirip lonceng pemakaman. Namun dia berhasil menutup pikiran dari semua ini dan tak pernah sekali pun tergoda keluar dari lingkaran. Satu tahun telah lewat sebelum Nathaniel diperkenankan mengenakan kacamata pada tiap pemanggilan. Sekarang dia dapat memerhatikan setiap demon dalam wujud asli mereka. Beberapa, yang sedikit lebih kuat, dapat mempertahankan ilusi mereka bahkan pada plane-plane lain yang terdeteksi. Terhadap seluruh persepsi membingungkan ini Nathaniel menyesuaikan diri dengan tenang dan percaya diri. Pelajaran-pelajarannya 87 mengalami kemajuan pesat, rasa percaya dirinya meningkat. Dia menjadi lebih tegar, lebih lentur, lebih bertekat untuk maju. Dia menghabiskan seluruh waktu senggangnya mempelajari manuskrip-manuskrip baru. Sang master puas akan kemajuan muridnya dan Nathaniel, biarpun tak sabar dengan kecepatan tahapan pelajarannya, amat senang akan apa yang telah dipelajarinya. Mereka memiliki hubungan yang produktif, biarpun tidak dekat, dan mungkin akan terus berlanjut seperti itu jika tak ada insiden mengerikan yang terjadi pada musim panas sebelum ulang tahun Nathaniel yang kesebelas. 88 Akhirnya, subuh datang juga. Cahaya pertama yang muncul malu-malu berkelip di langit timur. Lingkaran cahaya perlahan-lahan muncul dari cakrawala di atas daerah pelabuhan itu. Aku menyorakinya. Matahari muncul tepat pada waktunya. Sepanjang malam tadi terjadi urusan yang melelahkan dan kadang-kadang memalukan. Aku berulang kali harus mengendap- endap, bersembunyi diam-diam, dan kabur, setiap kali dengan urutan itu, nyaris di seluruh distrik pos di London. Aku dikasari gadis berusia tiga belas tahun. Aku bersembunyi di tong sampah. Dan sekarang, untuk menutup segalanya, aku meringkuk di atap Westminster Abbey, berpura-pura menjadi patung gargoyle. Keadaan tak mungkin lebih buruk daripada ini. Seberkas sinar matahari terbit menimpa bagian pinggir Amulet, yang tergantung di leherku yang berlumut. Amulet itu memantulkan sinar matahari, terang bagaikan pantulan kaca. Otomatis aku mengangkat sebelah cakarku untuk me- 89 nutupinya, kalau-kalau ada yang mengawasi, tapi aku tak terlalu khawatir. Aku meringkuk dalam tong sampah di gang itu selama dua jam, cukup lama untuk beristirahat, dan bau sayuran busuk terserap di sekujur tubuhku. Lalu ide cemerlang muncul di kepalaku untuk menyamar sebagai salah satu patung penghuni gereja. Di sana aku terlindung ornamen-ornamen sihir yang melimpah di dalam gedung—ornamen-ornamen itu menutupi sinyal Amulet.1 Dari sudut pandangku yang menguntungkan, sekarang aku melihat beberapa sphere di kejauhan, tapi tak ada yang mendekat. Akhirnya malam berlalu, dan para penyihir yang memburuku telah lelah. Sphere-sphere yang berkeliaran di langit meredup dan padam. Ketegangan telah lewat. Ketika matahari terbit, aku menunggu panggilan dengan tidak sabar. Anak lelaki itu berkata akan memanggilku saat subuh, tapi tak diragukan lagi dia akan terus tidur seperti umumnya remaja malas. Sementara menunggu, aku menyusun pikiran-pikiranku. Satu hal yang pasti adalah anak itu telah dikibuli penyihir dewasa, semacam bayang-bayang pengaruh yang ingin mengalihkan kesalahan kepada anak itu. Tak sulit menebaknya—tak ada anak seumurnya yang sanggup memanggilku untuk melaksanakan tugas sebesar ini sendiri. Kemungkinannya adalah si penyihir misterius ini ingin menjatuhkan Lovelace dan merebut kekuatan Amulet. Jika benar, dia mempertaruhkan segalanya. 1 Banyak penyihir besar dari abad kesembilan belas dan kedua puluh dimakamkan di Westminster Abbey setelah (dan dalam satu atau dua kasus, beberapa saat sebelum) mereka meninggal. Nyaris semua membawa minimal satu artefak berkekuatan tinggi ke dalam kubur. Ini lebih daripada sekadar untuk memamerkan kekayaan dan kekuatan mereka, sekaligus membuat benda-benda tersebut mubazir. Ini cara untuk dengan licik menghindari benda-benda itu jatuh ke tangan pewaris mereka—penyihir-penyihir lain tidak mau mengambil benda-benda dari kuburan tersebut karena takut akan pembalasan dari dunia supernatural. 90 Dilihat dari besarnya jumlah pemburu yang baru saja berhasil kuhindari, beberapa manusia berpengaruh amat merisaukan hilangnya amulet ini. Bahkan jika sendirian, Simon Lovelace adalah masalah menakutkan. Fakta bahwa dia dapat mempekerjakan (dan mengikat) Faquarl dan Jabor membuktikan itu. Rasanya anak itu takkan memiliki kesempatan hidup jika si penyihir menemukannya. Lalu ada gadis itu, anak non-penyihir yang kawan-kawannya dapat melawan sihirku dan melihat menembus ilusiku. Beberapa abad telah berlalu sejak terakhir kali aku berurusan dengan manusia sejenis mereka, karena itulah menemukan mereka di London sini membuatku tertarik. Apakah mereka mengerti atau tidak akibat kekuatan mereka, sulit diketahui. Si gadis sepertinya tak tahu persis apa amulet ini, hanya bahwa barang ini cukup berharga untuk dimiliki. Dia pasti tidak berkomplot dengan Lovelace atau si bocah. Aneh... aku tak dapat melihat apa sebetulnya kepentingan gadis itu dalam hal ini. Oh well, ini takkan menjadi masalahku. Sinar matahari menerpa atap gereja. Aku mengizinkan sayap-sayapku meregang sedikit dengan nyamannya. Pada detik itu, panggilan datang. Seribu kail pancing seakan menancap pada diriku. Aku ditarik ke beberapa arah sekaligus. Bertahan terlalu lama akan merobek inti rohku, tapi aku memang tak ingin berlama-lama. Aku ingin segera menyerahkan Amulet dan pergi. Dengan harapan yang menjulang tinggi dalam benakku, aku mematuhi panggilan itu, menghilang dari atap... ...dan muncul seketika di kamar anak itu. Aku melihat sekeliling. "Baiklah, apa ini?" 91 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's "Aku memerintahkanmu, Bartimaeus, untuk mengatakan apakah kau telah melaksanakan tugasmu dengan patuh dan berhasil—" "Tentu saja—memangnya menurutmu ini apa, perhiasan imitasi?" Aku menunjuk dengan cakar gargoyle-ku ke Amulet yang tergantung di leherku. Amulet itu bergoyang dan berpendar ditimpa cahaya lilin yang bergetar. "Amulet Samarkand. Benda ini tadinya milik Simon Lovelace. Sekarang jadi milikmu. Tak lama akan menjadi milik Simon Lovelace lagi. Ambil dan nikmatilah konsekuensinya. Aku tadi mau bertanya tentang pentacle yang kaugambar ini: huruf kuno apa ini? Garis tambahan ini?" Anak lelaki itu membusungkan dada. "Pentacle Adelbrand." Jika aku tidak berpengalaman, aku berani bersumpah dia menyeringai mengejek, raut wajah yang tak wajar untuk orang semuda dia. Pentacle Adelbrand. Itu artinya masalah. Aku berlagak memeriksa garis-garis berbentuk bintang dan lingkaran itu dengan dramatis, mencari-cari celah kecil atau garis tidak lurus di sapuan kapur itu. Lalu aku membaca tulisan-tulisan kuno dan simbol-simbolnya dengan teliti. "Aha!" aku mengaum. "Kau salah melafalkan yang ini! Dan kau tahu apa itu artinya, bukan...?" Aku menekuk tubuhku seperti kucing yang siap menerkam. Wajah anak itu berubah menjadi campuran warna putih dan merah yang menarik; bibir bawahnya bergetar; matanya melotot. Tampaknya dia sangat ingin melarikan diri, tapi dia tak melakukannya, maka rencanaku pun berantakan.2 Cepatcepat dia memeriksa tulisan-tulisan di lantai. 2 Jika penyihir meninggalkan lingkarannya sementara pemanggilan berlangsung, kuasanya terhadap si korban akan terputus. Aku berharap itu terjadi, maka aku akan terbebas. Kebetulan, hal itu juga memungkinkan aku melangkah keluar dari pentacle dan menyerangnya. 92 "Demon bernyali ciut! Pentacle ini rapat—mengikatmu dengan ketat!" "Oke, aku bohong." Tubuhku mengerut. Sayap-sayapku yang terbuat dari batu melipat di bawah punukku. "Kau mau amulet ini atau tidak?" "T-taruh di dalam mangkuk itu." Mangkuk sabun kecil terletak di lantai di antara lingkaran terluar kedua pentacle. Aku mengambil Amulet dan dengan rasa lega yang besar melemparkannya dengan santai ke mangkuk. Anak lelaki itu membungkuk untuk mengambilnya. Dari ujung mataku aku memerhatikannya dengan saksama—jika satu kaki, satu jari, keluar dari lingkarannya, aku akan menyergapnya lebih cepat daripada belalang yang sedang berburu. Tapi anak itu tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengeluarkan sebatang ranting dari saku jaketnya yang lusuh. Di ujung ranting itu tertempel kaitan dari kawat yang kelihatannya mirip penjepit kertas yang bengkok-bengkok. Dengan beberapa sodokan dan entakan, dia berhasil mengait tepi mangkuk itu dan menariknya ke dalam lingkarannya. Lalu dia mengambil rantai amulet itu, sambil mengernyitkan hidung. "Uh, baunya busuk!" "Bukan gara-gara aku. Salahkan saja Pipa Pembuangan Rotherhithe. Jangan, kalau dipikir-pikir lagi, salahkan dirimu sendiri. Aku menghabiskan sepanjang malam berusaha menghindari sergapan gara-gara kau. Kau beruntung aku tak menyelam di sana." "Kau dikejar-kejar?" Suaranya nyaris terdengar bersemangat. Emosi yang salah, Nak—cobalah merasa takut. "Oleh setengah kompi makhluk halus di London." Aku memutar bola mata batuku dan mengatupkan paruhku yang bertanduk. "Jangan salah, Nak, mereka akan datang kemari, bermata kuning dan haus darah, siap membekukmu. Kau akan tak berdaya, tak memiliki perlindungan untuk melawan ke- 93 kuatan mereka. Kau hanya punya satu kesempatan; bebaskan aku dari lingkaran ini dan aku akan membantumu lolos dari genggaman mereka."3 "Kau pikir aku tolol?" "Amulet yang berada di tanganmu telah menjawab pertanyaan itu. Well, tak mengapa. Aku telah melaksanakan perintah, tugasku selesai. Untuk sisa masa hidupmu yang singkat, selamat tinggal!" Wujudku meredup, mulai lenyap. Riak-riak kecil uap mengepul dari lantai seakan hendak menelanku dan membawaku pergi. Cuma harapan kosong—Pentacle Adelbrand takkan membiarkan hal itu terjadi. "Kau tak dapat pergi! Aku memiliki tugas lain untuk engkau." Lebih daripada segel penahanan baruku yang sekarang, pernyataan-pernyataan kuno seperti ini membuatku sebal setengah mati. Engkau, demon bernyali ciut—yang benar saja! Tak ada yang menggunakan bahasa seperti itu sekarang, dan sudah tak pernah terdengar sejak dua ratus tahun lalu. Setiap orang bisa menganggap dia mempelajari ini semua dari buku kuno. Tapi ada engkau atau tidak, dia benar. Kebanyakan pentacle biasa akan mengikatmu pada satu tugas saja. Laksanakan, lalu kau bebas untuk pergi. Jika si penyihir membutuhkanmu lagi, dia harus mengulangi dari awal semua ritual tetek-bengek melelahkan untuk memanggilmu. Tapi Pentacle Adelbrand mengenyahkan semua kerepotan itu: garis-garis dan mantramantra tambahannya seperti mengunci pintu dengan kunci dobel dan menahanmu secara paksa untuk tugas-tugas selanjutnya. Ini formula sihir yang kompleks dan membutuhkan stamina serta konsentrasi orang dewasa, dan ini memberiku amunisi untuk seranganku berikutnya. 3 Yap, dengan menghancurkannya dengan tanganku sendiri sebelum mereka datang. 94 Aku membiarkan uap menipis. "Nah, di mana dia sekarang?" Anak lelaki itu sibuk membolak-balik Amulet di tangannya yang pucat. Dia menengadah heran. "Siapa yang di mana?" "Si bos, mastermu, sang eminence grise, yang berkuasa di balik takhta. Pria yang menyuruhmu melakukan pencurian ini, yang memberitahumu apa yang harus kaukatakan dan harus kaugambar. Pria yang akan berdiri tak tersentuh di balik bayangan saat jin-jin Lovelace melemparkan mayatmu yang tercabik-cabik ke atas atap-atap rumah London. Dia bermainmain dengan sesuatu yang tak kaupahami, memanfaatkan kebodohan dan kesombongan jiwa mudamu." Pernyataanku menyakiti hatinya. Bibirnya sedikit mengerut. "Aku ingin tahu, apa yang dikatakannya kepadamu?" Aku berkata dengan nada sok berkuasa yang berirama: "Pekerjaan yang baik sekali, anak muda, kau penyihir kecil terhebat yang pernah kulihat sejak lama. Katakanlah, apakah kau ingin membangunkan jin yang kuat? Mau? Well, mari kita lakukan! Kita juga bisa mempermainkan seseorang—mencuri amulet—" Anak lelaki itu tertawa. Aku tak menduganya. Aku siap menghadapi kemarahan yang menyembur atau keputusasaan. Tapi tidak, dia malah tertawa. Dia membalik amulet itu untuk terakhir kali, lalu membungkuk dan meletakkannya kembali ke mangkuk. Itu juga tak kuduga. Dengan menggunakan ranting berkait tadi, dia mendorong mangkuk itu kembali ke tempatnya semula di lantai. "Apa yang kaulakukan?" "Mengembalikannya." "Aku tak menginginkannya." "Ambil." 95 Aku tak ingin saling melontarkan penghinaan sok sopan dengan anak dua belas tahun, terutama yang dapat memaksakan kehendaknya padaku, maka aku meraih keluar dari lingkaranku dan memungut amulet itu. "Sekarang apa? Saat Simon Lovelace datang, aku tak mau mempertahankan benda ini, kau tahu? Aku akan segera mengembalikannya disertai senyuman dan lambaian. Dan menunjukkan di balik tirai mana kau bersembunyi sambil gemetar. Tunggu. Anak itu mengambil sesuatu dari saku bagian dalam jaketnya yang kedodoran. Apakah aku sudah menyebutkan bahwa jaket itu tiga ukuran terlalu besar untuknya? Jaket tersebut jelas tadinya milik penyihir ceroboh, karena, meskipun telah dipenuhi tambal sulam, jaket itu masih menunjukkan kerusakan yang tak diragukan lagi akibat api, darah, dan cakaran binatang. Aku berharap anak ini memiliki nasib yang sama dengan pemilik jaket sebelumnya. Sekarang dia memegang piringan mengilap di tangan kirinya— cermin pengintai dari perunggu yang digosok hingga berkilau. Dia mengusapkan tangan kanannya ke permukaan benda itu beberapa kali dan mulai memandangi besi yang memantul itu dengan konsentrasi tinggi. Entah imp jenis apa yang terperangkap di dalamnya, tapi piringan itu segera merespons. Sebentuk gambar samar mulai menjelma; anak itu memerhatikannya dengan sungguh-sungguh. Aku terlalu jauh untuk mengintip bayangan yang tergambar di sana, tapi sementara anak itu sibuk, aku sendiri melihat-lihat sekeliling. Kamarnya... aku ingin menemukan petunjuk mengenai identitasnya. Beberapa surat yang ditujukan kepadanya, mungkin, atau papan nama di jaketnya. Keduanya pernah menjadi petunjuk bagiku. Aku tak mencari nama lahirnya, tentu saja—itu 96 harapan yang terlalu tinggi—tapi nama resminya bolehlah untuk permulaan.4 Tapi aku tak beruntung. Barang yang paling pribadi, paling intim, paling mengungkapkan siapa dirinya— meja belajarnya—telah ditutup saksama dengan selembar kain hitam tebal. Lemari pakaian di pojok kamar tertutup; bufet sama saja. Ada vas kaca retak berisi bunga segar di antara tumpukan lilin—sentuhan yang aneh, benda ini. Aku menduga dia tak meletakkannya sendiri di sana; rupanya ada orang yang menyukai bocah ini. Anak itu melambaikan tangannya pada cermin pengintai dan permukaannya redup. Dia mengembalikan piringan itu ke sakunya, lalu menatapku tiba-tiba. Uh-oh. Ini dia. "Bartimaeus," ia mulai, "aku memerintahkanmu membawa Amulet Samarkand dan menyembunyikannya dalam ruang penyimpanan benda-benda sihir milik Arthur Underwood, menyembunyikannya sehingga dia tak dapat menemukannya, dan melakukan hal ini dengan amat lihai sehingga tak ada seorang pun, baik itu manusia maupun makhluk halus, dalam plane ini atau plane-plane lain, dapat melihatmu masuk atau keluar; aku kemudian memerintahkanmu segera kembali kepadaku, diam-diam dan tak terlihat, untuk menunggu perintah selanjutnya. 4 Semua penyihir memiliki dua nama, nama resmi mereka dan nama lahir. Nama lahir adalah yang diberikan orangtua mereka, dan karena nama lahir berhubungan kuat dengan sifat dasar dan tabiat mereka, nama itu merupakan sumber kekuatan sekaligus kelemahan mereka. Mereka merahasiakannya dari semua orang, karena jika musuh mengetahuinya, dia dapat menguasai si pemilik nama, caranya mirip dengan penyihir yang hanya bisa memanggil jin jika dia mengetahui nama aslinya. Maka para penyihir menyembunyikan nama lahir mereka dengan hati-hati sekali, menggantinya dengan nama resmi saat mereka cukup umur. Selalu berguna jika mengetahui nama resmi penyihir—tapi jauh, jauh lebih menguntungkan jika mengetahui nama rahasianya. 97 Karena telah mengatakannya dalam satu napas, wajahnya membiru setelah itu.5 Aku merengut di balik alis batuku. "Baiklah. Di mana penyihir malang ini tinggal?" Anak lelaki itu tersenyum tipis. "Di bawah." 5 Sangat dianjurkan bila berurusan dengan entitas halus dan cerdik seperti diriku. Amat biasa jika tarikan napas diartikan sebagai kaliraat yang telah selesai, yang dapat mengubah arti instruksinya atau merabuat kalimat itu raenjadi tak berarti. Jika kami dapat menyalahartikan sebuah kalimat, kami akan dengan senang hati melakukannya. 98 Di bawah... Well, memang mengejutkan. "Menjebak mastermu, ya? Nakal." "Aku tidak menjebaknya. Aku hanya ingin amulet itu aman, di balik perlindungan apa pun yang dia miliki. Takkan ada yang menemukannya di sana." Dia berhenti sebentar. "Tapi jika mereka menemukannya..." "Kau akan terbebas dari tuduhan. Taktik khas penyihir. Kau belajar lebih cepat daripada kebanyakan orang." "Takkan ada yang menemukannya." "Begitu menurutmu? Kita lihat saja." Tetap saja, aku tak dapat melayang-layang di sana bergosip sepanjang hari. Aku menyelimuti amulet itu dengan mantra, membuatnya mengecil untuk sementara dalam bentuk sarang laba-laba yang melayang terbawa angin. Lalu aku melesak melalui lubang mata kayu pada lempengan papan terdekat, merayap sebagai asap menembus celah pada lantai, dan dalam wujud laba-laba merangkak dengan hati-hati keluar dari retakan langit-langit ruangan yang berada tepat di bawah. 99 a eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's Ruangan itu kamar mandi kosong. Pintunya terbuka; aku berlari menuju pintu melalui eternit secepat delapan kaki dapat membawaku. Sembari jalan, aku menggeleng-gelengkan rahangku mengingat kekurangajaran anak itu. Menjebak penyihir lain: itu hal biasa. Sudah lumrah bila menjadi penyihir, karena berhubungan dengan daerah kekuasaan. 1 Tapi menjebak mastermu sendiri, itu baru luar biasa—bahkan sungguh unik pada penyihir dua belas tahun. Tentu, setelah dewasa, para penyihir kadang kala melakukan hal-hal yang melanggar aturan, tapi tidak saat mereka baru saja memulai; tidak saat mereka baru saja mempelajari peraturannya. Bagaimana aku bisa yakin penyihir yang dimaksud adalah masternya? Well, kecuali praktik yang telah lama dilakukan sekarang diubah dan murid-murid penyihir dibawa dengan bus ke sekolah berasrama (nyaris tak mungkin terjadi), tak ada penjelasan lain. Para penyihir mendekap ilmu pengetahuan dekat dengan jiwa mereka yang keriput, melindungi kekuatan dengan tamak seperti orang kikir mendekap emas mereka, dan mereka hanya akan mewariskannya dengan penuh kehatihatian. Sejak zaman Median Magi, murid-murid selalu tinggal sendiri di rumah guru mereka—satu master untuk satu murid, menerima pelajaran mereka dalam kerahasiaan dan diam-diam. 1 Para penyihir adalah kelompok manusia yang paling licik, dengki, dan pandai memanipulasi di dunia, bahkan jika dibandingkan pengacara dan kalangan akademis. Mereka memuja kekuasaan dan berusaha mendapatkannya, juga mencari setiap kesempatan untuk menyikut pesaing mereka. Menurut perkiraan kasar, setidaknya delapan puluh persen pemanggilan makhluk halus ada hubungannya dengan menipu sesama penyihir, atau mempertahankan diri dari hal yang sama. Kebalikannya, kebanyakan konfrontasi antarmakhluk halus sama sekali bukan masalah pribadi, hanya karena konfrontasi itu terjadi bukan atas kemauan kami sendiri. Pada saat itu, misalnya, aku tak membenci Faquarl secara pribadi; well, sebetulnya itu bohong—aku membencinya, tapi tak lebih membencinya dari sebelumnya. Lagi pula kebencian di antara kami membutuhkan waktu beberapa abad, beberapa milenium malah. Para penyihir menganggap percekcokan mereka sebagai permainan. Namun kami yang harus bersusah-payah. 100 Sejak ziggurat hingga piramid, sejak pohon ek suci hingga gedung pencakar langit, ribuan tahun telah berlalu namun tak ada yang berubah. Maka kesimpulannya: sepertinya untuk melindungi dirinya sendiri, anak tak tahu terima kasih ini mengambil risiko mengarahkan kemurkaan penyihir berkuasa ke masternya yang tak bersalah. Aku amat terkesan. Meskipun dia hams bersekongkol dengan orang dewasa—beberapa musuh masternya, mungkin— rencana jahat ini cukup mengagumkan untuk dilakukan seseorang yang begitu muda. Aku melangkahkan kedelapan kakiku,berjingkat-jingkat keluar melalui pintu. Lalu aku melihat masternya. Aku belum pernah mendengar tentang penyihir ini, Mr. Arthur Underwood. Aku menduga dia penyihir kelas rendahan, tukang tipu dan pembual yang tak pernah berani mengganggu makhluk dengan tingkatan lebih tinggi seperti aku. Benar saja, saat dia melangkah di bawahku memasuki kamar mandi (aku keluar di saat yang tepat), penampilannya pantas menjadi penyihir kelas dua. Penegas pasti dugaan ini bisa dilihat dari atribut-atribut terkenal sepanjang masa yang ada pada dirinya, yang oleh manusia lain dikaitkan dengan sihir hebat dan luar biasa: rambut panjang tak terurus berwarna abu tembakau, janggut panjang putih yang menjulur ke depan seperti haluan kapal, dan sepasang alis yang rimbun.2 Aku dapat membayangkan pria ini mengendap-endap di jalan-jalan London mengenakan setelan beludru hitam, rambut berkibar dramatis ala penyihir dalam dongeng di belakangnya. Dia mungkin memiliki tongkat dengan ujung berhiaskan emas, bahkan mungkin sehelai jubah gaya. Ya, dia cocok sekali dengan gambaran 2 Penyihir-penyihir kelas bawah mau bersusah payah mempertahankan penampilan penyihir tradisional seperti ini. Kebalikannya, para penyihir yang benar-benar hebat malah lebih senang berpenampilan seperti akuntan. 101 itu: amat mengesankan. Kebalikan dari sekarang, terseok-seok memakai celana piama, menggaruk-garuk bagian tubuh yang tak pantas disebutkan dan mengepit surat kabar yang terlipat di ketiak. "Martha!" Dia berteriak persis sebelum menutup pintu kamar mandi. Wanita kecil dan bulat keluar dari kamar tidur. Untungnya, dia berpakaian lengkap. "Ya, Sayang?" "Bukannya kau bilang wanita itu sudah membersihkan rumah kemarin?" "Ya, memang, Sayang. Kenapa?" "Karena ada sarang laba-laba kotor tergantung di tengah langit-langit, dengan laba-laba menjijikkan menempel di sana. Kotor. Wanita itu harus dipecat." "Oh, aku melihatnya. Kotor sekali. Jangan khawatir, aku akan berbicara pada wanita itu. Dan aku akan segera membersihkannya dengan kemoceng." Penyihir hebat itu menggerutu dan menutup pintu. Wanita itu menggeleng dengan raut wajah maklum dan, sambil menggumamkan lagu riang, menghilang ke lantai bawah. Si labalaba "menjijikkan" membuat tanda tidak sopan dengan dua kakinya dan melangkah melintasi langit-langit, menyeret benang sarang di belakangnya. Butuh waktu beberapa menit untuk berkeliaran sebelum akhirnya aku menemukan ruang kerja di bawah undakan pendek. Dan di sini aku berhenti. Pintunya diberi perlindungan dari orang-orang tak berkepentingan berupa jampi berbentuk bintang bersudut lima. Ini rintangan mudah. Bintang itu tampak dibuat dari cat merah yang mengelupas; meski begitu, jika pelanggar yang tak sadar membuka pintunya, jebakan itu akan bereaksi dan cat di pintu itu akan berubah kembali menjadi wujud aslinya—bola api yang berputar. Kedengarannya hebat, aku tahu, tapi itu sebenarnya hanya 102 trik dasar. Pelayan rumah yang mau tahu mungkin akan histeris, tapi Bartimaeus tidak. Aku membuat Perisai di seputar wujudku dan, sambil menyentuh bagian bawah pintu dengan cakar kecilku, pintu itu kudorong membuka beberapa sentimeter. Garis-garis tipis oranye muncul di bagian dalam tepi bintang bersudut lima itu. Selama sedetik garis-garis itu mengalir bagaikan sesuatu yang cair, menjalar mengitari bentuk bintang. Lalu semburan api melesat dari ujung teratas bintang, memantul di dinding dan menukik ke arahku. Aku telah siap menghadapi hantaman dengan Perisai-ku, tapi hantaman itu tak pernah menyentuhku. Semburan api melewatiku dan mengenai jejak benang sarang yang kutarik. Dan benang sarang itu menyedotnya, mengisap api dari bintang itu bagaikan mengisap jus dengan sedotan. Dalam sekejap semua berakhir. Api itu lenyap. Api menghilang terisap ke dalam benang sarang, yang tetap dingin seperti semula. Dengan sedikit terkejut, aku menoleh. Bentuk bintang yang hangus terpapar pada pintu ruang kerja. Saat aku memerhati_ kan, jampi itu mulai berubah kembali menjadi merah—gambar bintang tengah mengisi kembali amunisinya untuk dilontarkan ke pengganggu selanjutnya. Tiba-tiba aku menyadari apa yang terjadi. Jelas sekali. Amulet Samarkand melakukan sesuatu yang memang selayaknya dilakukan amulet-amulet—benda itu melindungi pemakainya.3 Dengan amat baik pula. Amulet itu telah menyerap jampi 3 Amulet adalah jimat pelindung; benda yang menghalau kekuatan jahat. Benda ini objek pasif dan meskipun dapat mengisap atau memantulkan segala jenis sihir berbahaya, amulet tak dapat secara aktif dikontrol si pemilik. Maka benda ini kebalikan dari talisman, yang memiliki kekuatan magis aktif yang dapat digunakan sesuai kehendak pemiliknya. Tapal kuda adalah amulet (primitif); sepatu bot tujuh league (bot ajaib yang bisa membuat pemakainya bergerak sejauh tujuh league dalam satu langkah) adalah salah satu bentuk talisman. 103 tanpa kesulitan berarti. Oke-oke saja buatku. Aku membuka Perisai-ku, menyusup ke sela pintu yang terbuka, dan masuk ke ruang kerja Underwood. Setelah pintu, aku tak menemukan jebakan lain dalam plane mana pun, satu lagi tanda bahwa penyihir ini berasal dari kelas rendahan. (Aku teringat jaringan panjang perlindungan yang disebarkan Simon Lovelace dan telah kutembus dengan amat mudah. Jika anak lelaki itu beranggapan amulet ini akan aman dalam "lindungan" masternya, dia akan mendapati kebalikannya.) Ruangan itu rapi, meski berdebu, dan berisi antara lain lemari terkunci yang kuanggap sebagai tempat penyimpanan harta karun. Aku masuk melalui lubang kunci, menarik benang sarang di belakangku. Setelah berada di dalam aku membuat mantra Iluminasi kecil. Tumpukan benda sihir rongsokan yang menyedihkan disusun dengan kasih sayang dalam rak kaca tiga susun. Beberapa dari benda-benda itu, seperti Dompet Tinker, dengan saku rahasianya yang dapat membuat uang "menghilang", sama sekali tidak berkekuatan sihir. Membuat perkiraanku yang menyatakan Underwood sebagai penyihir kelas dua terdengar melebih-lebihkan. Aku nyaris merasa kasihan pada pria tua bodoh itu. Demi keselamatannya kuharap Simon Lovelace tak pernah mampir ke sini. Ada totem burung Jawa di bagian belakang lemari, paruh dan bulunya kelabu terselaput debu. Aku menarik benang sarang di antara dompet dan kaki kelinci era Edward dan meletakkannya di belakang totem. Bagus. Takkan ada yang menemukannya di sana kecuali mereka mencari. Akhirnya aku mengenyahkan mantra dari benang sarang itu, mengembalikan ukuran dan bentuk amuletnya seperti semula. Dengan begitu, tugasku selesai. Aku keluar dari lemari dan ruang kerja tanpa sekali pun cegukan lalu kembali ke lantai atas. 104 Pada saat inilah dimulai sesuatu yang menarik. Aku sedang kembali menuju loteng, tentu saja, melalui langit-langit yang miring di atas tangga, ketika tanpa diduga anak lelaki itu melewatiku menuju ke bawah. Dia mengikuti istri si penyihir, wajahnya tampak kesal. Rupanya dia baru saja dipanggil dari kamarnya. Aku segera menegakkan tubuh. Ini tak bagus untuknya, dan aku dapat melihat dari wajahnya bahwa dia pun menyadarinya. Dia seharusnya tahu aku masih berkeliaran di dekat-dekat sini. Dia tahu aku akan kembali, bahwa perintah yang dia berikan adalah untuk segera kembali kepadanya, diam-diam dan tak terlihat, untuk menunggu perintah selanjutnya. Maka dari itu dia tahu aku mungkin sedang mengikutinya sekarang, mendengarkan dan mengamati, mengetahui lebih banyak mengenai dirinya, dan bahwa dia tak dapat melakukan apa pun sampai dia kembali berada di kamarnya dan berdiri kembali dalam pentode. Singkatnya, dia telah kehilangan kontrol situasi, keadaan yang berbahaya bagi semua penyihir. Aku memutar tubuh dan membuntuti mereka dengan bersemangat. Sesuai dengan yang diperintahkan, tak ada yang melihat atau mendengarku saat aku merayap mengikuti dari belakang. Wanita itu menggiring si anak lelaki ke pintu di lantai dasar. "Dia di sana, Sayang," katanya. "Oke," sahut anak itu. Suaranya ramah dan pasrah, tepat seperti yang kuinginkan. Mereka masuk, wanita itu terlebih dahulu, anak lelaki itu kemudian. Pintu tertutup dengan amat cepat sehingga aku hams dua kali melontarkan benang secara kilat dan mengayunkan tubuhku melalui celah pintu sebelum tertutup. Pertunjukan yang canggih—kalau saja ada yang menyaksikannya. Tapi tidak. Diam-diam dan tak terlihat, itulah aku. 105 Kami berada di dalam ruang makan yang muram. Si penyihir, Arthur Underwood, duduk sendirian di kepala meja makan yang berwarna gelap dan mengilat. Cangkir, piring, dan teko kopi dari perak dalam jangkauannya. Dia masih terbenam dalam surat kabarnya, yang terletak setengah terlipat di meja. Ketika si wanita dan anak itu masuk, dia mengangkat surat kabar, membuka lipatannya, menyentakkan halamannya hingga terbuka dengan bergemeresak dan melipatnya lagi. Dia tak menengadahkan kepala. Wanita itu melangkah mendekati meja. "Arthur, Nathaniel sudah di sini," katanya. Si laba-laba telah melangkah ke sudut gelap di atas pintu. Mendengar kata-kata ini dia tetap tak bergerak, seperti biasanya laba-laba. Tapi dalam hati dia bersorak. Nathaniel! Bagus. Itu permulaan. Aku senang melihat wajah si anak lelaki mengernyit. Matanya dengan cepat menyapu sekitar, pasti bertanya-tanya apakah aku ada di sana. Si penyihir tak memberikan tanda bahwa dia telah mendengar, tetap terpaku pada surat kabarnya. Istrinya mulai menyusun ulang rakaian bunga kering yang agak menyedihkan di rak perapian. Aku segera menebak siapa yang bertanggung jawab atas vas bunga di kamar anak lelaki itu. Bunga-bunga mati untuk sang suami, yang segar untuk si murid—menarik sekali. Sekali lagi Underwood membuka lipatan koran, membaliknya, melipatnya lagi, melanjutkan membaca. Anak lelaki itu berdiri diam menunggu. Karena sekarang aku terbebas dari lingkaran dan karenanya tak berada dalam kekuasaannya secara langsung, aku berkesempatan mempelajarinya dengan lebih baik. Dia telah (tentu saja) menanggalkan jaket compangcampingnya dan sekarang mengenakan celana panjang serta jumper abu-abu. Rambutnya dibasahi dan disisir rapi ke 106 belakang. Seberkas kertas dikepit di lengannya. Dia menjelma menjadi anak patuh. Dia tak memiliki tanda yang jelas—tak ada tahi lalat, keanehan, tak ada bekas luka. Rambutnya gelap dan lurus, wajahnya cenderung kecut. Kulitnya pucat sekali. Jika dilihat sambil lalu, dia biasa-biasa saja. Tapi dari pengamatanku yang lebih bijaksana dan saksama, ada hal lain yang dapat dilihat: mata yang cerdas dan penuh perhitungan; jari-jemari yang mengetuk- ngetuk tak sabat di kertas-kertas yang dikepitnya; yang terpenting adalah raut wajah yang berhati-hati sehingga dengan halus dapat berubah ke ekspresi apa pun yang orang lain harapkan. Saat ini dia menunjukkan wajah patuh dan penuh perhatian yang akan membuat orang-orang tua tersanjung. Tapi secara terus-menerus matanya menyapu seluruh ruangan, mencariku. Aku akan mempermudah usahanya. Ketika dia melihat ke arahku, aku berlari-lari kecil di tempat, melambaikan beberapa lengan, menggotang-goyangkan perutku dengan ceria. Dia langsung melihatku, wajahnya menjadi semakin pucat, menggigit bibirnya. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa terhadapku tanpa membongkar rahasianya. Di pertengahan tarianku, Underwood tiba-tiba menggerutu sebal dan memukulkan punggung tangannya pada surat kabar yang dibacanya. "Lihat ini, Martha," katanya. "Makepiece memenuhi teater lagi dengan omong-kosong dari timurnya. Angsa-angsa Arabia... Aku bertanya padamu, pernahkah kau mendengar rongsokan sentimental seperti ini? Tapi tetap saja karcisnya terjual habis hingga akhir Januari! Ajaib sekali." "Sudah habis? Oh, Arthur, tadinya aku mau pergi..." "Dan aku mengutip: '...ketika misionaris muda yang baik hati dari Chiswick jatuh cinta pada sesosok jin berkulit sawo matang...'—bukan hanya roman picisan tapi juga amat berbahaya. Menyebarkan informasi yang salah pada masyarakat." 107 "Oh, Arthur..." "Kau pernah melihat jin, Martha. Pernahkah kau melihat yang 'bermata sayu sehingga dapat melumerkan hatimu'? Melumerkan wajahmu, lebih mungkin." "Aku yakin kau benar, Arthur." "Makepiece harusnya lebih tahu. Memalukan. Aku akan melakukan sesuatu, tapi dia terlalu dekat dengan Perdana Menten. "Ya, Sayang. Apa kau ingin tambah kopi, Sayang?" "Tidak. P.M. harusnya membantu Departemen Dalam Negeri tempat aku bekerja, daripada buang-buang waktu untuk bersosialisasi. Empat pencurian lagi, Martha, empat di minggu terakhir. Yang dicuri barang-barang berharga pula. Kukatakan padamu, kita akan menuju kehancuran." Sambil berkata begitu, Underwood mengangkat kumisnya secara ahli dengan satu tangan dan menyelipkan bibir cangkir di antaranya. Dia minum lama dan berisik. "Martha, ini sudah dingin. Ambilkan aku kopi lagi." Dengan patuh sang istri bergegas menjalankan perintah. Ketika dia keluar, si penyihir melemparkan surat kabarnya dan akhirnya sudi menyadari bahwa muridnya ada di sana. Pria tua itu menggerutu. "So. Kau di sini ya?" Berlawanan dengan rasa cemasnya, suara anak lelaki itu mantap. "Ya, Sir. Anda memanggil saya, Sir." "Memang. Nah, aku telah berbicara pada guru-gurumu, dan terkecuali Mr. Sindra, semua memberikan laporan yang memuaskan." Dia mengangkat tangan untuk menghentikan anak lelaki itu menyemburkan kata-kata terima kasih. "Hanya Tuhan yang tahu, kau sebetulnya tak berhak mendapatkan itu semua setelah perbuatanmu tahun lalu. Meski begitu, biarpun memiliki kekurangan-kekurangan tertentu, yang telah kutegaskan padamu berulang kali, kau membuat kemajuan dengan dalil 108 pokoknya. Maka"—jeda yang dramatis—"kurasa waktunya telah tepat bagimu untuk melaksanakan pemanggilan rohmu yang pertama." Dia mengatakan kalimat terakhir itu dengan nada lambat bergaung yang tentunya disengaja agar si anak lelaki dipenuhi perasaan kagum. Tapi Nathaniel, dengan senang aku sekarang memanggilnya begitu, pikirannya tengah bercabang. Ada labalaba dalam benaknya. Underwood menyadari kegelisahan anak itu. Si penyihir mengetuk- ngetuk meja dengan tidak sabar untuk mendapatkan perhatian muridnya. "Dengarkan aku, Nak!" katanya. "Jika prospek pemanggilan roh saja membuatmu resah, kau sama sekali takkan menjadi penyihir, bahkan tidak juga sekarang. Penyihir yang memiliki persiapan matang tak takut pada apa pun. Kau mengerti?" Anak lelaki itu tersadar, memusatkan perhatian pada masternya. "Ya, Sir; tentu saja, Sir." "Lagi pula, aku akan terus bersamamu selama pemanggilan berlangsung, dalam lingkaran tambahan. Aku akan mempersiapkan selusin mantra pelindung dan banyak bubuk rosemary. Kita akan mulai dengan demon tingkat rendah, sesosok imp natterjack muda.4 Jika sukses, kita akan melanjutkan ke mouler."5 Ini dapat menjadi ukuran betapa tak perhatiannya si penyihir sehingga dia tak menyadari adanya kilatan pandangan menghina yang memancar dari mata si anak lelaki. Dia hanya mendengar jawabannya yang bersemangat. "Ya, Sir. Saya sangat menantikannya, Sir." "Bagus sekali. Kau sudah mendapatkan lensa kontakmu?" 4 Imp natterjack muda: makhluk tidak menarik yang memiliki kesamaan sifat dengan jenis katak yang membosankan. 5 Mouler. bahkan lebih tidak menarik daripada imp natterjack, jika itu mungkin. 109 "Ya, Sir. Lensanya datang minggu lalu." "Bagus. Maka tinggal satu persiapan lagi yang harus kita lakukan, dan itu adalah..." "Apakah itu bunyi bel pintu, Sir?" "Jangan menyelaku, Nak. Berani sekali kau. Persiapan nomor satu, yang akan kutahan jika kau lancang lagi, adalah memilih nama resmimu. Kita akan mengaturnya sore ini. Bawa Loew's Nominative Almanac kepadaku dari perpustakaan setelah makan siang dan kita akan memilih nama untukmu bersamasama." "Ya, Sir." Bahu anak itu merosot; suaranya nyaris tak terdengar. Dia tak perlu melihatku melompat-lompat di sarangku untuk mengetahui bahwa aku telah mendengar dan mengerti. Nathaniel bukan hanya nama resminya! Itu nama aslinya! Anak tolol itu memanggilku sebelum membuang nama lahirnya. Dan sekarang aku tahu! Underwood bergeser di kursinya. "Well, apa yang kautunggu, Nak? Ini bukan waktunya untuk bengong—kau punya waktu beberapa jam untuk belajar sebelum makan siang. Pergi sana." "Ya, Sir. Terima kasih, Sir." Anak lelaki itu bergerak tanpa semangat ke pintu. Sambil mengertakkan rahang dengan bahagia, aku menyusulnya seraya membuat salto ekstraspesial ke belakang dengan tendangan oktal. Aku punya kesempatan membalasnya sekarang. Keadaan menjadi agak seimbang. la tahu namaku, aku tahu namanya. la memiliki enam tahun pengalaman, aku punya 5.010. Perbandingan yang menguntungkan. Aku mengikutinya naik tangga. Dia melangkah dengan lambat sekarang, menyeret setiap langkahnya. 110 Ayolah, ayolah! Kembali ke pentacle-mu. Aku menyusulnya, antusias untuk segera memulai kompetisi. Oh, dadu benar-benar ada di genggaman makhluk berkaki delapan sekarang. 111 Suatu hari di musim panas, ketika Nathaniel berusia sepuluh tahun, dia duduk bersama gurunya di bangku batu taman, membuat sketsa pohon horse chestnut di balik tembok. Sinar matahari menerpa batu bata merah. Kucing abu-abu putih duduk berselonjor di tembok, menggoyang-goyangkan ekor perlahan ke kanan dan ke kiri. Angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan di pohon dan membawa semerbak bau semak rhododendron dari seberang halaman. Lumut yang menyelimuti patung pria yang memegang berkas kilat bersinar keemasan ditimpa cahaya kuning matahari. Serangga-serangga berdengung. Hari itu semua berubah. "Sabar, Nathaniel." "Anda sering mengatakan itu, Ms. Lutyens." "Dan aku yakin aku akan mengatakannya lagi. Kau terlalu gelisah. Itu kelemahanmu yang terbesar." Nathaniel menggambar garis-garis bayangan dengan kesal. "Tapi ini sungguh mengesalkan!" serunya. "Dia tak pernah 112 a eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. MR. Collection's membiarkanku mencoba apa pun! Aku hanya diperbolehkan mempersiapkan lilin, dupa, dan hal-hal lain yang dapat kulakukan sambil tidur jungkir balik! Aku bahkan tak diizinkan berbicara dengan mereka." "Tindakan yang tepat," Ms. Lutyens berkata tegas. "Ingat, aku hanya ingin kau membuat bayangan halus. Bukan garisgaris tegas." "Konyol." Nathaniel cemberut. "Dia tak menyadari kemampuanku. Aku telah membaca semua bukunya, dan..." "Semuanya?" "Well, semua yang ada di rak buku kecilnya, dan dia berkata semua itu akan membuatku sibuk sampai usia dua belas tahun. Aku bahkan belum sebelas tahun, Ms. Lutyens. Maksudku, aku telah menguasai Mantra Pengarahan dan Penguasaan, sebagian besar; aku bisa memberikan perintah pada jin, jika dia memanggilnya untukku. Tapi dia bahkan tak pernah membiarkan aku mencoba." "Aku tak tahu mana yang lebih menjengkelkan, Nathaniel— bualanmu atau sifat pemarahmu. Kau harus berhenti mengkhawatirkan apa yang belum kaumiliki dan menikmati apa yang telah kaudapatkan sekarang. Taman ini, misalnya. Aku amat senang kau mengusulkan kita belajar di sini hari ini." "Aku selalu datang ke sini jika dapat. Tempat ini membantuku berpikir." "Aku tak heran. Tempat ini nyaman, tersembunyi... dan sedikit sekali tempat seperti ini di London, maka bersyukurlah." "Dia menemaniku." Yang dimaksud Nathaniel patungnya. "Aku menyukainya, meskipun aku tak tahu siapa dia." "Dia?" Ms. Lutyens menengadah dari buku sketsanya, tapi sambil tetap menggambar. "Oh, itu gampang. Dia Gladstone." "Siapa?" 113 "Gladstone. Pastinya kau tahu. Apakah Mr. Purcell tak mengajarimu sejarah modern?" "Kami membahas politik kontemporer." "Terlalu modern. Gladstone meninggal dunia lebih dari seratus tahun lalu. Dia pahlawan besar di masanya. Mungkin ada ribuan patung dengan wujudnya, ditegakkan di seluruh penjuru negeri. Memang pantas, dilihat dari sudut pandangmu. Kau berutang padanya." Nathaniel bingung. "Mengapa?" "Dia satu-satunya penyihir terhebat yang pernah menjadi perdana menteri. Dia memerintah selama tiga puluh tahun pada masa Victoria dan membuat partai-partai penyihir yang berseteru berada dalam kuasa pemerintah. Kau tentu telah mendengar duelnya dengan si penyihir Disraeli di Westminster Green? Belum? Kau harus melihat lokasinya. Bekas hangus di dindingnya masih dipamerkan. Gladstone terkenal akan energinya yang besar dan keteguhannya saat keadaan tidak menguntungkan. Dia tak pernah mengubah tekadnya, bahkan ketika keadaan menjadi buruk." "Astaga." Nathaniel menatap wajah tegas yang memandang dari balik lapisan lumut. Tangan batunya menggenggam berkas kilat dengan longgar, penuh percaya diri, siap melontar. "Mengapa dia berduel, Ms. Lutyens?" "Kurasa Disraeli melontarkan komentar kurang sopan pada kawan wanita Gladstone. Itu kesalahan besar. Gladstone tak pernah membiarkan siapa pun menghina harga dirinya, atau teman-temannya. Dia amat berkuasa dan siap menantang siapa saja yang berani menghinanya." Ms. Lutyens meniup serpihan arang dari sketsanya dan mengangkatnya untuk diperiksa di bawah sinar matahari. "Gladstone berbuat lebih banyak daripada siapa pun untuk membuat London menjadi pusat sihir terkemuka. Pada zaman itu Praha masih merupakan kota terkuat di dunia, tapi masa- 114 nya sudah lama lewat; kota itu sudah tua dan mengalami kemunduran, para penyihirnya juga saling cekcok di antara perkampungan kumuh. Gladstone memberikan ide-ide baru, proyek-proyek baru. Dia menarik banyak penyihir asing ke sini dengan menyediakan barang-barang antik tertentu. London menjadi kota tujuan. Dan masih seperti itu, untuk baik dan buruknya. Seperti yang kukatakan, kau harus bersyukur." Nathaniel memandang Ms. Lutyens. "Apa maksud Anda dengan, 'Untuk baik dan buruknya?' Apa yang buruk?" Ms. Lutyens mengerutkan bibir. "Sistem pemerintahan sekarang amat menguntungkan pihak penyihir dan beberapa orang yang berada di sekitar mereka. Kurang menguntungkan bagi yang lainnya. Sekarang—coba kulihat hasil sketsamu." Nada suara gurunya membuat Nathaniel naik darah. Pelajaran- pelajarannya bersama Mr. Purcell melintas di kepalanya. "Anda tak boleh berbicara seperti itu tentang Pemerintah," katanya. "Tanpa penyihir, negeri ini tak memiliki perlindungan! Para commoner akan berkuasa dan negara akan tumbang. Para penyihir mengorbankan nyawa mereka demi menjaga keamanan negeri ini! Anda harus mengingat itu, Ms. Lutyens." Bahkan di telinganya sendiri, suaranya terdengar histeris. "Aku yakin jika kau besar nanti kau akan memberikan banyak pengorbanan penting, Nathaniel." Suara Ms. Lutyens terdengar lebih tajam daripada biasanya. "Tapi kenyataannya tak semua negara memiliki penyihir. Banyak yang berjalan baik tanpa mereka." "Anda tampaknya tahu segalanya." "Untuk ukuran guru menggambar yang sederhana? Apakah kudengar nada terkejut di suaramu?" "Well, Anda hanya commoner—" Nathaniel segera berhenti, wajahnya bersemu merah. "Maaf, aku tak bermaksud—" "Benar sekali," Ms. Lutyens berkata singkat. "Aku memang commoner. Tapi bukan cuma para penyihir yang memiliki ilmu 115 pengetahuan, kau tahu. Jauh dari itu. Lagi pula, pengetahuan dan kecerdasan adalah hal yang berbeda sama sekali. Suatu hari nanti kau akan mengetahuinya." Selama beberapa menit mereka menyibukkan diri dengan kertas dan pena tanpa berbicara. Kucing yang berada di tembok mengibaskan kaki dengan malas ke lebah yang terbang berputar-putar. Akhirnya Nathaniel memecahkan kesunyian. "Apakah Anda pernah ingin menjadi penyihir, Ms. Lutyens?" dia bertanya, dengan suara lirih. Ms. Lutyens tertawa kering. "Aku tak mendapatkan kehormatan itu," katanya. "Tidak, aku hanya guru seni, dan bahagia karenanya." Nathaniel mencoba lagi. "Apa yang Anda lakukan bila tak berada di sini? Maksudku bila tak bersamaku." "Aku bersama murid-murid lain, tentunya. Apa yang kaukira— aku akan pulang ke rumah dan bersantai? Aku khawatir Mr. Underwood tak memberiku cukup upah untuk bersantai. Aku harus bekerja." "Oh." Tak pernah terpikirkan oleh Nathaniel bahwa Ms. Lutyens mungkin memiliki murid-murid lain. Kenyataan ini membuat perutnya terasa melilit. Mungkin Ms. Lutyens merasakannya; setelah terdiam sebentar dia berbicara lagi dengan nada yang tak lagi terdengar dingin. "Lagi pula," katanya, "aku amat menunggu-nunggu waktu mengajarku di sini. Salah satu yang membuat pekerjaan mengajarku selama seminggu menjadi lebih ceria. Kau teman berbincang yang baik, meskipun kau masih condong terburuburu dan menganggap dirimu tahu segalanya. Maka cerialah dan coba kulihat kemajuanmu menggambar pohon itu." Berlanjut ke pembahasan santai mengenai hal-hal yang berhubungan dengan seni, perbincangan mereka kembali berjalan dengan damai, tapi tak lama setelah itu, pelajaran terhenti ka- 116 rena kehadiran Mrs. Underwood yang tak diduga-duga, tampaknya dia kebingungan. "Nathaniel!" serunya. "Di situ kau rupanya!" Ms. Lutyens dan Nathaniel berdiri dengan hormat. "Aku telah mencarimu ke mana-mana, Sayang," kata Mrs. Underwood, terengah-engah. "Kupikir kau berada di kelas..." "Saya amat menyesal, Mrs. Underwood," kata Ms. Lutyens. "Hari amat cerah—" "Oh, tak apa-apa. Tak masalah sama sekali. Hanya saja suamiku membutuhkan Nathaniel segera. Dia kedatangan tamu, dan ingin memperkenalkan mereka padanya." "Nah, betul, kan?" Ms. Lutyens berkata lirih ketika mereka bergegas melintasi halaman. "Mr. Underwood tak mengabaikanmu sama sekali. Dia pasti amat puas padamu sehingga ingin memperkenalkanmu kepada penyihir-penyihir lain. Dia akan memamerkanmu!" Nathaniel tersenyum lemah, tapi tak berkata apa-apa. Membayangkan akan bertemu dengan penyihir-penyihir lain membuat perutnya terasa mual. Selama bertahun-tahun berada di rumah itu, tak pernah sekali pun dia diizinkan bertemu kolega-kolega profesional masternya, yang sekali-sekali berkunjung. Dia selalu diusir ke kamarnya, atau dikurung di lantai atas bersama guru-gurunya. Ini perkembangan baru yang menggairahkan, walau agak menakutkan. Dia membayangkan ruangan yang dipenuhi pria-pria tinggi berkuasa dengan sikap mengancam, melotot memandangnya, dengan janggut-janggut mereka yang rimbun dan jubah-jubah mereka yang berkibar. Lututnya gemetar karena gugup. "Mereka ada di ruang tamu," Mrs. Underwood berkata saat mereka memasuki dapur. "Coba lihat dirimu..." Dia membasahi salah satu jarinya dan cepat-cepat menghapus noda pensil dari sisi kening Nathaniel. "Amat layak. Baiklah, masuklah ke sana." 117 Ruangan itu memang penuh; dugaan Nathaniel benar untuk yang satu ini. Ruangan itu hangat karena suhu tubuh, bau teh, dan usaha untuk bercakap-cakap sopan. Tapi saat Nathaniel menutup pintu dan beringsut ke sudut untuk menempati satusatunya ruang yang kosong, di bawah lindungan lemari pajangan, bayangannya yang megah mengenai sekelompok pria hebat telah menguap. Mereka sama sekali tak berpenampilan seperti itu. Tak ada jubah. Hanya ada sedikit janggut bagus, tapi tak ada yang semenakjubkan janggut masternya sendiri. Kebanyakan dari para pria itu mengenakan setelan kusut dengan dasi yang lebih kusut lagi; hanya beberapa yang berani menambah_ kan beberapa aksesori, seperti rompi dalam abu-abu atau saputangan yang muncul di saku atas jas. Semua mengenakan sepatu hitam mengilat. Nathaniel merasa tersesat ke dalam pesta kantor pengurus pekuburan. Tak ada di antara mereka yang mirip Gladstone, dalam kekuatan atau sikap. Beberapa di antara mereka pendek, yang lain tampak ketus dan tua, lebih dari satu condong gempal. Mereka saling berbicara dengan serius, menghirup teh dan menggigit biskuit kering, dan tak ada yang meninggikan suara mereka lebih dari sekadar gumaman setuju. Nathaniel amat kecewa. Dia memasukkan tangannya ke saku dan mendesah dalam-dalam. Masternya beringsut di tengah kerumunan, menjabat tangan dan mengeluarkan suara tawa yang terdengar seperti salakan pendek aneh setiap kali tamunya mengatakan sesuatu yang dikiranya bermaksud melucu. Matanya melihat Nathaniel, dia melambaikan tangan memanggil anak itu; Nathaniel menyelinap di antara piring teh dan perut gendut seseorang dan menghampiri masternya. 118 * * * "Ini dia anaknya," penyihir itu berkata dengan suara kasar, menepuk pundak Nathaniel dengan gerakan canggung. Tiga pria menunduk menatapnya. Salah satunya sudah tua, berambut putih, dengan wajah merah seperti tomat terjemur matahari dan dipenuhi kerutan-kerutan kecil. Yang seorang lagi bertubuh gemuk, dengan mata yang selalu berair, di usia pertengahan; kulitnya tampak dingin dan lembap, seperti ikan yang terkapar di meja tukang ikan. Pria yang ketiga jauh lebih muda dan lebih tampan, dengan rambut tersisir licin ke belakang, kacamata bundar, dan gigi-gigi putih rapi bersinar sebesar tuts xylophone. Nathaniel balik memandang mereka tanpa bersuara. "Sepertinya biasa saja," kata si pria lembap. Dia menyedot hidung dan menelan sesuatu. "Dia lamban soal belajar," kata master Nathaniel, tangannya masih menepuk-nepuk pundak Nathaniel dengan sikap tak acuh yang menandakan ketidaknyamanannya. "Lamban ya?" kata si pria tua. Aksennya amat kental sehingga Nathaniel nyaris tak mengerti apa yang dikatakannya. "Ya, beberapa anak lelaki memang begitu. Kau harus tabah." "Kau memukulnya?" tanya si lembap lagi. 119 "Tidak bijaksana. Pukulan akan mendorong daya ingatnya." "Berapa umurmu, Nak?" pria yang lebih muda bertanya. "Sepuluh, Sir," Nathaniel menjawab sopan. "Sebelas bulan Nov..." "Masih dua tahun lagi sebelum dia berguna bagimu, Underwood." Pria muda itu memotong kalimat Nathaniel seakan anak itu tak ada di sana. "Banyak memakan dana, kukira." "Apa, untuk tempat tidur dan makan? Tentu." "Aku bertaruh dia juga makan seperti cerpelai." "Rakus ya?" ucap si pria tua. Dia mengangguk dengan menyesal. "Beberapa anak lelaki memang begitu." "Jarang" Nathaniel mendengarkan dengan kemarahan yang nyaris tak tertahankan. "Saya tidak rakus, Sir," katanya dengan suara yang paling sopan. Mata si pria tua itu meliriknya, lalu memandang ke arah lain seakan dia tak mendengarnya; tapi tangan masternya menekan pundaknya kuat-kuat. "Well, Nak; kau harus kembali ke pelajaranmu," katanya. "Pergilah." Nathaniel amat senang dapat pergi dari sana, tapi saat dia mulai beranjak, pria muda berkacamata itu mengangkat sebelah tangan. "Lidahmu tajam rupanya," katanya. "Tak takut pada orang yang lebih tua darimu." Nathaniel tak berkata apa-apa. "Mungkin kau berpikir kami tidak lebih baik darimu?" Pria itu berbicara dengan santai, tapi ketajaman suaranya amat jelas terdengar. Nathaniel segera mengetahui sebenarnya bukan dirinyalah yang menjadi pusat sasaran dan pria muda itu menantang masternya melalui dirinya. la merasa seharusnya menjawab, tapi pertanyaan itu membuatnya bingung harus menjawab ya atau tidak. Pria muda itu menyalahartikan sikap Nathaniel yang hanya diam. "Dia pikir dia terlalu baik untuk berbicara dengan kita sekarang!" katanya kepada kawan-kawannya dan menyeringai. Si pria lembap tertawa terkekeh-kekeh sambil menutup mulut dengan tangan dan si pria tua berwajah merah menggeleng- geleng. "Ck ck," katanya. "Pergilah, Nak," Master Nathaniel berkata lagi. "Tunggu, Underwood," si pria muda berkata, tersenyum lebar. "Sebelum dia pergi, coba kita lihat apa saja yang telah kauajarkan kepada anjing kecilmu ini. Akan amat menyenangkan. Kemari, Nak." Nathaniel menatap masternya, yang tak membalas tatapannya. Dengan lambat dan enggan dia mendekati kelompok itu 120 Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER http://jowo.jw.lt