Alkemis mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt SI BOCAH MENDEKATI PENJAGA DI DEPAN TENDA PUTIH BESAR di tengah-tengah oasis. "Aku ingin ketemu pare kepala suku. Aku membawa pertanda dari gurun." Tanpa bertanya, penjaga itu masuk ke dalam tenda, dan tetap di sana beberapa saat. Ketika muncul lagi, dia bersama seorang remaja Arab, yang berpakaian putih dan keemasan. Si bocah memberitahu anak itu apa yang dilihatnya, dan anak itu menyuruhnya menunggu di sana. Dia menghilang ke dalam tenda. Malam pun tiba, dan bermacam-macam serdadu dan pedagang keluar-masuk tenda. Satu per satu, obor di tenda-tenda padam, dan oasis itu menjadi sesenyap gurun. Hanya penerangan di tenda besar itu yang masih menyala. Selama itu, si bocah memikirkan Fatima, dan dia masih belum mampu memahami percakapan terakhirnya dengan gadis itu. Akhirnya, setelah menunggu berjam-jam, penjaga itu menyuruh dia masuk. Si bocah terpesona dengan apa yang dilihatnya di dalam. Tak pernah dia bayangkan bahwa, di tengah-tengah gurun sana, ada tenda seperti ini. Lantainya tertutup karpet terindah yang pernah dipijaknya, dan di puncak bangunan itu tergantung lampu tempaan emas, masing-masing dengan sebatang lilin yang menyala. Para kepala suku duduk di bagian belakang tenda yang berbentuk setengah-lingkaran, bersandar di atas bantal-bantal bersulam sutra. Para pelayan datang dan pergi dengan baki-baki perak penuh rempah dan teh. Pelayan-pelayan lainnya menjaga api di hookah. Udara diliputi aroma asap yang manis. Ada delapan kepala suku, tapi si bocah segera dapat melihat siapa di antara mereka yang paling penting: seorang Arab berpakaian putih dan kuning emas, duduk di tengah setengah-lingkaran itu. Di sebelahnya adalah remaja Arab yang sebelumnya bicara dengan si bocah. "Siapa ini orang asing yang bicara tentang pertanda?" tanya salah satu kepala suku, memandang si bocah. "Aku," jawab si bocah. Dan dia menceritakan apa yang telah dilihatnya. "Mengapa pula gurun mengungkapkan hal-hal seperti itu pada orang asing, padahal gurun itu tahu kita telah berada di sini selama beberapa generasi?" kata kepala suku yang lain. "Karena mataku belum terbiasa dengan gurun," ucap si bocah. "Aku dapat melihat hal-hal yang mungkin tak terlihat oleh mata yang terbiasa dengan gurun." Dan juga karena aku tahu tentang Jiwa Buana, pikirnya kepada dirinya. "Oasis adalah daerah netral. Tak ada orang yang menyerang oasis," kata kepala suku ketiga. "Aku hanya memberitahu kalian apa yang kulihat. Kalau kalian tidak mempercayaiku, kalian tidak perlu melakukan apapun." Orang-orang itu segera membahasnya. Mereka bicara dengan dialek Arab yang tidak dimengerti si bocah, tapi, saat dia hendak pergi, penjaga memintanya menunggu. Si bocah jadi takut; pertanda memberitahunya bahwa ada yang tidak beres. Dia menyesal telah bicara kapada penunggang onta itu tentang apa yang dilihatnya di gurun. Tiba-tiba, ketua yang di duduk tengah tersenyum sekilas, dan si bocah merasa lebih tenang. Orang itu tidak ikut serta dalam diskusi tadi, dan sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun sampai saat itu. Tapi si bocah sudah terbiasa dengan Bahasa Buana, dan dia dapat merasakan getaran damai di seantero tenda. Sekarang intuisinya mengatakan bahwa kedatangannya adalah benar. Diskusi selesai. Para kepala suku terdiam beberapa saat ketika mereka mendengarkan apa yang dikatakan orang tua itu. Kemudian dia berpaling pada si bocah: kali ini ekspresinya dingin dan tidak ramah. "Duaribu tahun silam, di sebuah negeri yang jauh sekali, seorang lelaki yang percaya pada mimpinya dimasukkan ke penjara bawah tanah dan kemudian dijual sebagai budak," ucap orang tua itu, sekarang dengan dialek yang dimengerti si bocah. "Pedagang-pedagang kami membeli orang itu, dan membawanya ke Mesir. Kami semua mengetahui bahwa siapapun yang percaya pada mimpi juga tahu cara menafsirkannya." Sesepuh itu melanjutkan, "Saat Fir'aun bermimpi tentang sapi-sapi kurus dan sapisapi gemuk, orang yang sedang kubicarakan ini menyelamatkan Mesir dari bencana kelaparan. Namanya Yusuf. Dia juga orang asing di negeri asing, seperti kamu, dan mungkin.seusia denganmu." Dia menjeda, dan matanya masih tak ramah. "Kami selalu memperhatikan Tradisi. Tradisi telah menyelamatkan Mesir dari kelaparan di masa lalu, dan menjadikan orang Mesir sebagai bangsa terkaya. Tradisi mengajari orang cara menyeberangi gurun, dan bagaimana anak-anak mereka harus menikah. Tradisi menyatakan bahwa oasis adalah daerah yang netral, karena kedua pihak mempunyai oasis, dan karenanya keduanya rentan." Tak ada yang bicara saat orang tua i'm melanjutkan. "Tapi Tradisi juga menyatakan kita harus mempercayai pesan-pesan gurun. Semua yang kami ketahui diajarkan kepada kami oleh gurun." Lelaki tua itu memberi isyarat, lalu semua orang berdiri. Pertemuan selesai Hookah dimatikan, dan para penjaga berdiri siap. Si bocah akan beranjak pergi, tapi orang tua itu berkata lagi: "Besok, kami akan melanggar kesepakatan yang menyatakan bahwa tidak seorang pun di oasis yang boleh membawa senjata Sepanjang hari kami akan mengintai musuhmusuh kami. Saat matahari terbenam, orang-orang harus menyerahkan lagi senjatasenjata mereka kapadaku. Untuk tiap sepuluh musuh yang mati, kamu akan mendapat sekeping emas. "Tetapi senjata tidak boleh dihunus selain untuk perang. Senjata sama tak terduganya dengan gurun, dan, bila ia tidak digunakan, saat berikutnya ia mungkin tak berguna. Jika sedikitnya satu dari mereka tidak terpakai sampai hari besok berakhir, seseorang akan menggunakannya terhadapmu." Ketika si bocah meninggalkan tenda, oasis itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama. Dia berada duapuluh menit dari tendanya, dan mulai melangkah ke sana. Dia waspada terhadap apa yang akan terjadi. Dia telah berhasil menjangkau Jiwa Buana, dan sekarang harga untuk itu mungkin adalah nyawanya. Sebuah taruhan yang menakutkan. Tapi dia telah menempuh taruhan-taruhan yang berbahaya sejak saat dia menjual domba-dombanya untuk mengejar Legenda Pribadinya. Dan, seperti kata penunggang onta itu, mati besok tidaklah lebih buruk daripada meninggal di hari lainnya. Hari-hari ada untuk dijalani atau untuk menandai keberangkatan seseorang dari dunia ini. Semuanya bergantung pada satu kata: "Maktub." Berjalan di sepanjang kesunyian, dia tak menyimpan penyesalan. Bila dia mati besok, itu berarti Tuhan tidak berkenan mengubah masa depan. Setidaknya dia meninggal setelah menyeberangi selat, setelah bekerja di toko kristal, dan sesudah mengetahui kesunyian gurun dan mata Fatima. Dia telah menjalani tiap hari dalam hidupnya dengan penuh sejak dia meninggalkan rumah dulu. Kalau dia meninggal besok, dia tentulah sudah melihat lebih banyak daripada gembala-gembala lain, dan dia bangga karena itu. Tiba-tiba dia mendengar suara menggelegar, dan dia terlempar ke tanah oleh sejenis angin yang tak pernah dikenalnya. Daerah ini memang tempat angin beliung dengan debu yang begitu pekatnya hingga menutupi bulan dari pandangan. Di hadapannya menjulang seekor kuda putih yang sangat besar, mendompak ke arahnya dengan ringkikan yang menakutkan. Saat debu yang membutakan itu reda, si bocah tergetar pada apa yang dilihatnya. Di punggung kuda itu duduk seorang berpakaian hitam-hitam, dengan tenggeran elang di bahu kirinya. Dia mengenakan sorban, dan seluruh wajahnya, kecuali mata, tertutup dengan kain hitam. Dia tampak seperti seorang pembawa pesan dari gurun, tapi sosoknya terlihat lebih kuat daripada sekadar pembawa pesan lazimnya. Penunggang kuda yang aneh itu mencabut pedang lengkung besar dari sarung yang tergantung di pelananya. Baja di pedangnya berkilauan dalam cahaya bulan. "Siapa yang berani membaca makna pertarungan elang itu?" desaknya, begitu lantangnya hingga kata-katanya seolah menggema melalui limapuluh ribu batang palem Al-Fayoum. "Akulah yang berani melakukannya," ucap si bocah. Dia teringat gambar Santiago Matamoros, yang menjulang di punggung kuda putihnya, sementara kaum kafir bersimpuh di bawahnya. Orang ini tampak sama persis, hanya sekarang peranperannya terbalik. "Akulah yang berani melakukannya," dia mengulangi, dan menundukkan kepalanya untuk menadah penggalan pedang. "Banyak nyawa yang akan terselamatkan, sebab aku dapat melihat ke dalam Jiwa Buana." Pedang itu tak memenggal. Orang asing itu malah menurunkannya pelan-pelan, sampai ujungnya menyentuh kening si bocah. Ia mengucurkan setetes darah. Penunggang kuda itu sama sekali tidak bergerak, seperti si bocah. Tak terlintas pada si bocah untuk melarikan diri. Dalam hatinya, dia merasakan perasaan senang yang aneh, dia sebentar lagi akan mati dalam pencarian Legenda Pribadinya. Dan demi Fatima. Pertanda itu memang benar bagaimanapun. Di sinilah dia, berhadapan muka dengan musuhnya, tapi tak ada yang perlu dicemaskan tentang mati --Jiwa Buana telah menantinya, dan dia akan segera menjadi bagian darinya. Dan, besok, musuhnya pun akan menjadi bagian dari Jiwa itu. Orang asing itu masih menempelkan pedangnya dikening si bocah "Mengapa kamu membaca makna perkelahian burung-burung itu?" "Aku hanya membaca apa yang ingin dikatakan burung-burung itu padaku. Mereka ingin menyelamatkan oasis. Besok kalian semua bakat mati, sebab jumlah orang yang akan datang ke oasis lebih banyak daripada yang kalian miliki." Pedang itu tetap di tempatnya. "Kamu ini siapa, kok mau mengubah kehendak Allah?" "Allah menciptakan tentara, dan Dia juga menciptakan elang-elang. Allah mengajarkan padaku bahasa burung. Semuanya sudah ditulis oleh tangan yang sama," kata si bocah, ingat kata-kata penunggang onta itu. Orang asing itu menarik pedangnya dari kening si bocah, dan dia merasa sangat lega. Tapi dia tetap tak sanggup untuk melarikan diri. "Hati-hatilah dengan ramalan-ramalanmu," kata orang asing itu. "Bila sesuatu sudah ditulis, tak ada jalan untuk mengubahnya." "Yang kulihat hanya tentara," kata si bocah. "Aku tidak melihat akibat pertempurannya." Orang asing itu tampak puas dengan jawaban tersebut. Tapi dia tetap memegang pedangnya. "Apa yang dilakukan seorang asing di negeri asing?" "Aku mengikuti Legenda Pribadiku. Sesuatu yang tidak akan kamu pahami." Orang asing itu memasukkan pedangnya kembali ke sarungnya, dan si bocah tenang. "Aku harus menguji keberanianmu," kata si orang asing. "Keberanian adalah kualitas yang terpenting untuk memahami Bahasa Buana." Si bocah terkejut. Orang asing itu bicara tentang hal-hal yang hanya diketahui oleh segelintir kecil orang. "Kamu tidak boleh berhenti, bahkan setelah apa yang terjadi sampai saat ini," dia melanjutkan. "Kamu harus mencintai gurun, tapi jangan pernah mempercayainya sepenuhnya. Karena gurun menguji semua orang: ia menantang setiap langkah, dan membunuh mereka yang lengah." Perkataannya mengingatkan si bocah pada sang raja tua. "Bila para serdadu itu tiba, dan kepalamu masih di bahumu saat matahari terbenam, datang dan temuilah aku," kata orang asing itu. Tangan yang tadi menghunus pedang kini menggenggam cemeti. Kuda itu mendompak lagi, menimbulkan awan debu. "Di mana tempat tinggalmu?"teriak si bocah, ketika penunggang kuda itu pergi. Tangan bercemeti itu menunjuk ke arah selatan. Si bocah telah berjumpa dengan sang alkemis. KEESOKAN PAGINYA ADA DUARIBU SERDADU BERPENCAR DI sekitar pohon-pohon palem di Al-Fayoum. Sebelum matahari mencapai titik puncaknya, limaratus warga suku muncul di cakrawala. Para serdadu berkuda itu memasuki oasis dari arah utara; kelihatannya seperti ekspedisi damai, tapi, semuanya membawa senjata yang disembunyikan di balik jubah mereka. Saat mereka tiba di tenda putih di tengahtengah Al-Fayoum, mereka mengeluarkan jambia dan senapan mereka. Warga oasis mengepung para penunggang kuda itu dari gurun dan dalam setengah jam semua penyerbu, kecuali satu orang, tewas. Anak-anak sudah disembunyikan di belakang sebuah kebun palem, dan tidak melihat apa yang terjadi. Para perempuan tetap tinggal di dalam tenda-tenda, berdoa untuk keselamatan suami-suami mereka, dan juga tidak menyaksikan pertempuran itu. Seandainya tidak ada mayat-mayat di atas tanah, oasis itu akan tampak seperti di hari biasa. Satu-satunya penyerbu yang selamat adalah komandan batalion. Sore itu, dia dibawa ke hadapan para kepala suku, yang bertanya mengapa dia melanggar Tradisi. Komandan itu mengatakan orang-orangnya lapar dan haus, letih karena bertempur berhari-hari, dan memutuskan untuk menduduki oasis supaya dapat kembali berperang. Kepala suku mengatakan dia merasa iba pada orang-orang suku itu, tapi Tradisi harus dijunjung tinggi. Dia menjatuhi komandan itu bukuman mati secara tak hormat. Ia bukan dibunuh dengan pedang atau peluru, tapi digantung di pohon palem mati, membuat tubuhnya bergoyang-goyang diterpa angin gurun. Kepala suku memanggil si bocah, dan memberi limapuluh keping emas padanya. Dia mengulangi kisah tentang Yusuf dari Mesir, dan meminta si bocah menjadi penasehat di gurun itu. KETIKA MATAHARI TELAH TENGGELAM, DAN BINTANG- bintang pertama muncul, si bocah mulai melangkah ke arah selatan. Dia akhirnya melihat sebuah tenda kecil, dan sekelompok orang Arab yang lewat memberitahu si bocah bahwa tempat itu didiami jin. Tapi si bocah duduk dan menunggu. Tak sampai bulan meninggi, sang alkemis menampakkan diri. Di pundaknya, dia membawa dua elang mati. "Aku datang,"kata si bocah. "Kamu seharusnya tidak ke sini," jawab sang alkemis. "Atau Legenda Pribadimu yang membawamu kemari?" "Karena perang suku berkecamuk, tidak mungkin bagiku melintasi gurun. Jadi aku ke sini." Sang alkemis turun dari kudanya, dan memberi isyarat supaya si bocah masuk ke tenda bersamanya. Tenda itu seperti tenda-tenda lain di oasis itu. Si bocah mencaricari tungku dan peralatan lain yang biasa digunakan dalam alkemi, tapi tak melihat satu pun. Hanya ada beberapa buku di timbunan, satu kompor masak kecil, dan permadani-permadani bermotif aneh. "Duduk. Kita akan minum dan makan elang-elang ini," kata sang alkemis. Si bocah curiga mereka adalah elang-elang yang dilihatnya kemarin, tapi dia diam saja Sang alkemis menyalakan api, dan tenda itu segera terisi dengan aroma yang nikmat. Lebih enak dari bau hookah. "Mengapa kamu ingin bertemu denganku?" tanya si bocah. "Karena pertanda," jawab sang alkemis. "Angin berbicara padaku bahwa kamu akan datang, dan bahwa kamu akan memerlukan bantuan." "Bukan aku yang dimaksud angin itu. Yang dimaksud adalah orang asing lain, lelaki Inggris itu. Dialah orang yang mencarimu " "Dia harus mengerjakan sesuatu dulu. Tapi dia berada di jalan yang benar. Dia sudah mulai mencoba memahami gurun." "Lalu, aku bagaimana?" "Saat seseorang benar-benar menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk membantu orang itu mewujudkan mimpinya," kata sang alkemis, menggemakan kata-kata raja tua itu. Si bocah mengerti. Ada satu orang lagi yang membantunya menuju Legenda Pribadinya. "Jadi kamu mau mengajarku?" "Tidak. Kamu sudah mengetahui semua yang perlu kamu ketahui. Aku hanya akan menunjukimu arah ke harta-mu." "Tapi, di sana ada perang suku," si bocah mengulangi. "Aku tahu apa yang sedang terjadi di gurun." "Aku sudah menemukan hartaku. Aku punya seekor onta, aku punya uang dari toko kristal, dan aku punya limapuluh keping emas. Di negeriku, aku akan jadi orang kaya." "Tapi tak satu pun dari semua itu yang berasal dari Piramida," kata sang alkemis. "Aku juga memiliki Fatima. Dia adalah harta terbesar dibanding apa saja yang telah kudapatkan." "Dia pun tidak ditemukan di Piramida." Mereka makan dalam diam Sang alkemis membuka sebuah botol dan menuangkan cairan merah ke dalam cangkir si bocah. Itu anggur ternikmat yang pernah dirasakannya. "Bukankah di sini anggur diharamkan?" tanya si bocah. "Yang buruk bukanlah sesuatu yang masuk ke dalam mulut manusia," kata sang alkemis. "Yang buruk adalah yang keluar dari mulut mereka." Alkemis ini agak menakutkan, tapi, selama si bocah minum anggur, dia merasa santai. Seusai makan, mereka duduk di luar tenda, di bawah bulan yang begitu cemerlang hingga membuat bintang-bintang tampak pucat. "Minumlah dan senangkan dirimu," kata sang alkemis, tahu bahwa si bocah merasa lebih bahagia. "Istirahat yang enak malam ini, seolah kamu prajurit yang bersiap untuk perang. Ingatlah bahwa di manapun hatimu berada, di sana akan kau temukan hartamu. Kau harus menemukan harta itu, supaya semua yang telah kau pelajari selama ini dapat dipahami. "Besok, jual ontamu dan belilah seekor kuda. Onta itu khianat: mereka berjalan ribuan langkah dan tak pernah kelihatan lelah. Kemudian tiba-tiba, mereka berlutut dan mati. Tapi kuda letihnya sedikit demi sedikit. Kamu selalu tahu sejauh apa kamu bisa menyuruh mereka, dan kapan saat mereka akan mati. MALAM BERIKUTNYA SI BOCAH MUNCUL DI TENDA ALKEMIS ITU dengan membawa seekor kuda. Sang alkemis sudah siap, dan dia menaiki kudanya sendiri dan meletakkan elang di pundak kirinya. Dia berkata pada si bocah, "Tunjukkan padaku di mana ada kehidupan di gurun. Hanya orang-orang yang mampu melihat tanda-tanda kehidupan semacam itu yang dapat menemukan harta." Mereka mulai berkuda di atas pasir, dengan bulan menerangi jalan mereka. Aku tidak tahu apakah aku sanggup menemukan kehidupan di gurun, pikir si bocah. Aku belum seakrab itu dengan gurun. Dia ingin mengatakan hal itu pada sang alkemis, tapi dia takut padanya. Mereka sampai di tempat bebatuan di mana si bocah pernah melihat elang-elang itu di langit; tapi sekarang hanya ada kesunyian dan angin. "Aku tidak tahu bagaimana menemukan kehidupan di gurun," kata si bocah. "Aku tahu ada kehidupan di sini, tapi aku tidak tahu ke mana mencarinya." "Kehidupan menarik kehidupan,"jawab sang alkemis. Dan kemudian si bocah mengerti. Dia mengendurkan tali kekang kudanya, yang berderap maju di atas bebatuan dan pasir. Sang alkemis mengikuti ketika kuda si bocah berlari selama hampir setengah jam. Mereka tidak dapat lagi melihat palempalem oasis --hanya bulan raksasa di atas mereka, dan cahaya peraknya yang memantul dari bebatuan di gurun itu. Tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas, kuda si bocah mulai melambat. "Ada kehidupan di sini," kata si bocah pada sang alkemis. "Aku tidak tahu bahasa gurun, tapi kudaku tahu bahasa kehidupan." Mereka turun, dan sang alkemis tidak berkata apa-apa. Maju perlahan-lahan, mereka mencari di antara batu-batu. Sang alkemis tiba-tiba berhenti, dan berlutut di atas tanah. Ada lubang di sana, di antara bebatuan. Sang alkemis memasukkan tangannya ke dalam lubang itu, dan kemudian seluruh lengannya, sampai ke bahu. Ada yang bergerak di sana, dan mata sang alkemis --si bocah hanya bisa melihat matanya memejam dengan sekuat tenaga. Lengannya tampak seperti bertarung dengan entah apa di lubang itu. Lalu, dengan gerak yang mengejutkan si bocah, dia menarik lengannya dan melompat berdiri. Di tangannya, dia memegang seekor ular pada ekornya. Si bocah juga melompat, tapi menjauh dari sang alkemis. Ular itu berontak dengan panik, mengeluarkan desis yang memecah kesunyian gurun. Ular itu kobra, yang bisanya dapat membunuh orang dalam hitungan menit. "Hati-hati dengan bisanya," kata si bocah. Tapi meski sang alkemis telah memasukkan tangannya ke lubang tadi, dan pastilah sudah digigit, ekspresinya tenang saja. "Alkemis itu berusia duaratus tahun," si orang Inggris telah memberitahunya. Dia pasti tahu cara menghadapi ular-ular gurun. Si bocah memperhatikan saat teman perjalanannya menuju kudanya dan mengeluarkan jambia. Dengan pedang lengkungnya itu, dia menggurat lingkaran di pasir, dan kemudian meletakkan ular itu di dalamnya. Hewan melata itu segera tenang. "Tak perlu khawatir," kata sang alkemi. "Ular itu tidak akan keluar dari lingkaran. Kamu telah menemukan kehidupan di gurun, pertanda yang kubutuhkan." "Mengapa hal itu begitu penting?" "Karena Piramida dikelilingi oleh gurun." Si bocah tidak ingin membicarakan Piramida. Hatinya berat, dan dia merasa pilu sejak tadi malam. Untuk melanjutkan pencariannya atas harta itu berarti dia harus melupakan Fatima. "Aku akan membimbingmu melintasi gurun," kata sang alkemis. "Aku ingin tinggal di oasis saja," jawab si bocah. "Aku telah menemukan Fatima, dan, sejauh yang kuketahui, dia lebih berharga daripada harta." "Fatima itu perempuan gurun," kata sang alkemis. "Dia tahu bahwa lelaki harus pergi agar kembali. Dan dia sudah mendapatkan hartanya: kamu. Kini dia berharap kamu akan menemukan apa yang sedang kau cari." "Bagaimana seandainya aku memutuskan tetap di sini?" "Akan kuberitahu apa yang akan terjadi. Kau akan menjadi penasihat di oasis. Kau punya banyak emas untuk membeli banyak domba dan onta. Kau akan menikah dengan Fatima, dan kalian berdua akan bahagia selama satu tahun. Kau akan belajar mencintai gurun, dan kau akan mengenal setiap batang dari limapuluh ribu palem yang ada di sini. Kau akan menyaksikan mereka tumbuh, menunjukkan bagaimana dunia ini senantiasa berubah. Dan kau akan semakin pandai memahami pertanda, karena gurun adalah guru terbaik di sini. "Suatu saat dalam tahun kedua, kau akan ingat tentang harta itu. Pertanda akan mulai terus membicarakannya, dan kau akan berusaha mengabaikannya. Kau akan manfaatkan pengetahuanmu bagi kesejahteraan oasis dan penduduknya. Para kepala suku akan menghargai tindakanmu. Dan onta-ontamu akan memberimu kekayaan dan kekuasaan. "Selama tahun ketiga, pertanda akan melanjutkan bicara tentang hartamu dan Legenda Pribadimu. Kau akan berjalan mondar-mandir di oasis, setiap malam demi malam, dan Fatima akan bersedih karena dia akan merasa dialah yang mengganggu pencarianmu. Tapi kau akan mencintainya, dan dia akan membalas cintamu. Kau akan ingat bahwa dia tak pernah memintamu untuk tinggal, karena seorang perempuan gurun tahu dia harus menunggu lelakinya. Jadi kau tidak akan menyalahkan dia. Tapi kau akan sering berjalan di pasir gurun, sambil berpikir bahwa kau mungkin bisa pergi.., bahwa kamu bisa semakin mempercayai cintamu pada Fatima. Sebab yang menahanmu di oasis adalah ketakutamnu sendiri bahwa kau mungkin tak akan pernah kembali. Pada titik itu, pertanda akan mengatakan padamu bahwa hartamu sudah terkubur selamanya. "Kemudian, suatu saat selama tahun keempat, pertanda akan melupakanmu, karena kau berhenti mendengarkan mereka. Para kepala suku akan melihat hal itu, dan kau akan dipecat dari jabatanmu sebagai penasihat. Tapi, setelah itu, kau akan menjadi pedagang kaya, punya banyak onta dan banyak barang dagangan. Kau akan menghabiskan sisa-sisa harimu seraya tahu bahwa kau tidak mencari Legenda Pribadimu, dan bahwa sekarang sudah terlambat. "Kau hendaknya mengerti bahwa cinta tidak pernah menahan seorang lelaki untuk mencari Legenda Pribadinya. Bila dia mengabaikan pencarian itu, itu karena ia bukanlah cinta sejati..., cinta yang berbicara dengan Bahasa Buana." Sang alkemis menghapus lingkaran di pasir, dan ular itu merayap pergi di antara bebatuan. Si bocah teringat pada pedagang kristal yang selalu ingin pergi ke Mekkah, dan pada orang Inggris yang mencari sang alkemis Dia memikirkan perempuan yang percaya pada gurun itu. Dan dia memandangi gurun yang telah membawanya kepada perempuan yang dicintainya. Mereka menaiki kuda masing-masmg, dan kali ini si bocahlah yang mengikuti sang alkemis kembali ke oasis. Angin mengantarkan suara-suara dari oasis kepada mereka, dan si bocah mencoba mendengar suara Fatima. Tapi malam itu, saat dia memandangi kobra di dalam lingkaran, seorang penunggang kuda asing dengan elang di bahunya berbicara tentang cinta dan harta, tentang perempuan-perempuan gurun dan tentang Legenda Pribadinya. "Aku akan pergi denganmu," kata si bocah. Dan dia segera merasakan kedamaian di hatinya. "Kita pergi besok sebelum matahari terbit," hanya itu jawaban sang alkemis. SI BOCAH MELEWATKAN MALAM TANPA TIDUR DUA JAM sebelum fajar, dia membangunkan salah satu anak yang tidur di tendanya, dan menyuruhnya menunjukkan padanya di mana Fatima tinggal. Mereka pergi ke tendanya, dan si bocah memberi temannya emas yang cukup untuk membeli seekor domba. Kemudian dia menyuruh temannya untuk masuk ke dalam tenda tempat Fatima sedang tidur, dan untuk membangunkan dan memberitahunya bahwa dia menunggu di luar. Remaja Arab itu melakukan apa yang dimima kepadanya, dan diberi emas yang cukup untuk membeli domba lainnya. "Sekarang tinggalkan kami," kata si bocah pada anak Arab itu. Ia kembali ke tendanya untuk tidur, bangga telah membantu penasihat oasis, dan gembira mendapatkan uang untuk membeli domba sendiri. Fatima muncul di pintu masuk tenda. Mereka berdua berjalan-jalan di antara pohonpohon palem. Si bocah tahu ini merupakan pelanggaran terhadap Tradisi, tapi hal itu tidak dipedulikannya saat ini. "Aku mau pergi," katanya, "Dan aku ingin kamu tahu bahwa aku akan kembali. Aku mencintaimu karena..." "Jangan berkata apapun," Fatima menyela. "Seseorang dicintai karena ia dicintai. Tak perlu ada alasan untuk mencintai." Tapi si bocah melanjutkan, "Aku mengalami sebuah mimpi, dan aku bertemu dengan seorang raja. Aku menjual kristal dan melintasi gurun. Dan, karena suku-suku menyatakan perang, aku pergi ke sumur itu, mencari sang alkemis. Jadi, aku mencintaimu karena segenap alam semesta bersatu membantuku menemukanmu." Keduanya berpelukan. Itulah saat pertama kalinya yang satu menyentuh yang lain. "Aku akan kembali," kata si bocah. "Sebelum ini, aku selalu memandang gurun dengan kerinduan," kata Fatima. "Kini akan dengan harapan. Ayahku suatu hari pergi, tapi dia kembali pada ibuku, dan dia selalu kembali sejak itu" Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan lebih jauh di antara palempalem , dan kemudian si bocah meninggalkannya di pintu masuk tendanya. "Aku akan kembali, seperti ayahmu kembali pada ibumu," katanya. Dia melihat mata Fatima berlinang. "Kamu menangis?" "Aku ini perempuan gurun," katanya, memalingkan wajah. "Tapi bagaimanapun, aku ini perempuan." Fatima kembali ke tendanya, dan, ketika siang menjelang, dia keluar untuk melakukan pekerjaan sehari-hari yang telah dia kerjakan bertahun-tahun. Tapi segalanya telah berubah. Si bocah tidak ada lagi di oasis, dan oasis ini tak akan lagi punya arti yang sama seperti kemarin. Tempat ini bukan lagi tempat dengan limapuluh ribu pohon palem dan tigaratus sumur, tempat para peziarah datang, merasa lega di akhir perjalanan panjang mereka. Sejak hari itu, oasis menjadi tempat yang kosong baginya. Sejak hari itu, gurunlah yang menjadi penting. Dia memandangi gurun itu setiap hari, dan mencoba menduga-duga bintang mana yang diikuti si bocah dalam pencarian hartanya. Dia menitipkan kecupannya pada angin, berharap angin akan menyentuh wajah si bocah, dan mengatakan padanya bahwa dia masih hidup. Bahwa dia menunggunya, seorang perempuan yang menunggu seorang lelaki berani yang sedang mencari hartanya. Sejak hari itu, baginya gurun hanya mewakili satu hal: harapan kembalinya si bocah. "JANGAN MEMIKIRKAN APA YANG KAU TINGGALKAN," KATA SANG alkemis pada si bocah saat mereka mulai berkuda melintasi pasir gurun. "Segala sesuatu sudah ditulis di Jiwa Buana, dan akan berada di sana selamanya." "Para lelaki lebih memimpikan pulang ke rumah daripada pergi," kata si bocah. Dia sudah terbiasa lagi dengan kesunyian gurun. "Bila apa yang didapat seseorang terbuat dari bahan yang murni, ia tak akan pernah rusak. Dan orang dapat selalu kembali. Bila apa yang telah kau peroleh hanya kilasan sinar, seperti ledakan bintang, kau tak akan menemukan apa-apa saat kau kembali." Lelaki itu berbicara dengan bahasa alkemi. Tapi si bocah tahu bahwa dia sedang merujuk pada Fatima. Sulitlah untuk tidak memikirkan apa yang telah dia tinggalkan. Gurun, dengan tunggal-nadanya yang tiada akhir, membuatnya berkhayal. Si bocah masih dapat melihat pohon-pohon palem, sumur-sumur, dan wajah perempuan yang dicintainya. Dia dapat melihat orang Inggris itu sedang melakukan percobaan-percobaannya, dan penunggang onta yang sebenarnya adalah seorang guru yang tak disadarinya. Mungkin alkemis ini tak pernah jatuh cinta, pikir si bocah. Alkemis itu berjalan di depan, dengan elang di bahunya. Burung itu sangat paham bahasa gurun, dan setiap mereka berhenti, dia terbang jauh untuk mencari buruan. Di hari pertama, ia kembali dengan membawa kelinci, dan di hari kedua dengan dua burung. Di malam hari, mereka membentangkan perlengkapan tidur dan menyembunyikan api unggun mereka. Di gurun malam sangat dingin, dan menjadi semakin gelap seiring menghilangnya bulan. Mereka terus berjalan selama sepekan, hanya membicarakan hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari perang suku. Perang itu berlanjut, dan terkadang angin mengantarkan bau amis darah. Pertempuran-pertempuran berlangsung di dekat situ, dan angin mengingatkan si bocah bahwa ada bahasa pertanda-pertanda, yang selalu siap menunjukkan padanya apa yang tak dilihat oleh matanya. Di hari ke tujuh, sang alkemis memutuskan membuat tenda lebih awal dari biasanya. Elangnya terbang mencari buruan, dan sang alkemis menyodorkan tempat minumnya pada si bocah. "Kau hampir tiba di ujung perjalananmu," kata sang alkemis. "Kuucapkan selamat padamu untuk pencarian Legenda Pribadimu." "Dan kamu tidak mengatakan apa-apa sepanjang jalan," kata si bocah "Kukira kamu bakal mengajariku beberapa hal yang kamu ketahui. Beberapa waktu lalu, aku berjalan melewati gurun bersama seorang yang mempunyai buku-buku tentang alkemi. Tapi aku tidak dapat belajar apapun dari buku-buku itu." "Hanya ada satu cara untuk belajar," jawab sang alkemis. "Melalui tindakan. Semua yang perlu kau ketahui telah kau pelajari melalui perjalananmu. Kamu hanya perlu mempelajari satu hal lagi." Si bocah ingin tahu apakah itu, tapi sang alkemis memandang ke cakrawala, mencari elangnya. "Mengapa kamu disebut alkemis?" "Karena memang itulah aku" "Dan apa yang salah ketika alkemis-alkemis lain mencoba membuat emas dan tak berhasil melakukannya?" "Mereka hanya mencari emas," jawab teman perjalanannya. "Mereka mencari harta dalam Legenda Pribadi mereka, tanpa benar-benar menginginkan menjalani Legenda Pribadi itu." "Apa yang masih perlu kuketahui?" tanya si bocah. Tapi sang alkemis kembali menatap cakrawala. Dan akhirnya, elang itu kembali dengan membawa makanan untuk mereka. Mereka membuat lubang dan menempatkan api unggun di lubang itu, supaya cahaya apinya tidak terlihat. "Aku ini alkemis karena memang aku seorang alkemis," katanya, saat dia menyiapkan makanan. "Aku belajar ilmu itu dari kakekku, yang belajar dari ayahnya, dan seterusnya, sampai ke penciptaan dunia. Di masa-masa itu, Karya Agung dapat ditulis di sekadar sebutir zamrud. Tapi manusia mulai menolak hal-hal yang sederhana, dan ingin menulis risalah, tafsir-tafsir, dan kajian-kajian filsafat. Mereka juga mulai merasa lebih tahu daripada orang lain. Toh Tablet Zamrud itu masih ada sampai sekarang." "Apa yang tertulis di Tablet Zamrud itu?" si bocah ingin tahu. Sang alkemis mulai menggambar di pasir, dan menyelesaikan gambarnya dalam waktu kurang dari lima menit. Saat dia menggambar, si bocah memikirkan sang raja tua, dan alun-alun tempat mereka bertemu hari itu; rasanya seakan itu terjadi berpuluh tahun silam. "Inilah yang ditulis di Tablet Zamrud itu," kata sang alkemis, saat dia selesai. Si bocah mencoba membaca apa yang tertulis di pasir. "lni cuma kode," kata si bocah, agak kecewa. "Seperti yang kulihat di buku-buku orang Inggris itu." "Bukan," jawab sang alkemis. "Ini seperti pertarungan dua elang itu; ia tidak dapat dimengerti hanya dengan akal. Tablet Zamrud adalah sebuah perjalanan langsung menuju Jiwa Buana. "Orang-orang bijak memahami bahwa dunia alami ini hanyalah suatu citra dan tiruan surgawi. Keberadaan dunia ini sekadar suatu jaminan bahwa di sana ada sebuah dunia yang sempurna. Tuhan menciptakan dunia supaya, melalui benda-benda yang dapat dilihat, manusia mampu memahami ajaran-ajaran rohaniNya dan kearifanNya yang menakjubkan. Itulah yang kumaksud dengan tindakan." "Perlukah aku memahami Tablet Zamrud itu?" tanya si bocah. "Mungkin, bila kamu berada di laboratorium alkemi, ini adalah saat yang tepat untuk mempelajari cara terbaik guna memahami Tablet Zamrud. Tapi kamu sekarang berada di gurun. Jadi larutkanlah dirimu ke dalamnya. Gurun akan memberimu suatu pemahaman tentang dunia; sebenarnya, segala sesuatu di muka bumi ini akan memberimu pengertian itu. Kamu bahkan tidak perlu memahami gurun: yang perlu kamu lakukan hanyalah merenungkan butir-butir pasir yang sepele, dan kamu akan melihat di dalamnya segenap keajaiban penciptaan." "Bagaimana cara melarutkan diri dalam gurun?" "Dengarkan hatimu. Ia tahu segala hal, karena ia berasal dari Jiwa Buana, dan suatu hari ia akan kembali ke sana." MEREKA MELINTASI GURUN SELAMA DUA HARI DALAM DIAM. Sang alkemis menjadi sangat berhati-hati, karena mereka mendekati daerah tempat pertempuran dahsyat sedang berlangsung. Saat mereka meneruskan perjalanan, si bocah mencoba mendengarkan hatinya. Tidak mudah melakukannya; di saat-saat pertama, hatinya selalu siap menuturkan ceritanya, tapi belakangan ceritanya tidak benar. Ada saat-saat ketika hatinya menghabiskan waktu berjam-jam menceritakan kesedihannya, dan di saat lain ia menjadi sangat emosional terhadap terbitnya matahari di gurun hingga si bocah harus menyembunyikan air matanya. Hatinya berdebar kencang saai ia bicara pada si bocah tentang harta, dan melambai saat si bocah terpukau menatap cakrawala gurun yang tak berbatas. Namun hatinya tidak pernah diam, bahkan saat si bocah dan sang alkemis terhanyut dalam kesunyian. "Mengapakah kita harus mendengarkan hati kita?" tanya si bocah, saat mereka membuat tenda hari itu. "Karena di manapun hatimu berada, di situlah akan kau temukan hartamu." "Tapi hatiku gelisah," kata si bocah. "Hatiku memiliki impian-impiannya, ia menjadi emosional, dan ia menjadi bergairah terhadap seorang perempuan di gurun. Ia menanyakan banyak hal tentang diriku, dan ia membuatku terjaga dari tidur-tidurku di malam hari, saat aku memikirkan dia." "Baguslah kalau begitu. Hatimu masih hidup. Terus saja dengarkan apa yang ia harus katakan." Selama tiga hari berikutnya, kedua pengembara itu melewati sekelompok warga suku bersenjata, dan melihat lainnya di arah cakrawala. Hati si bocah mulai bicara tentang takut. Hatinya menuturkan kepadanya cerita-cerita yang telah ia dengar dari Jiwa Buana, kisah-kisah tentang orang-orang yang mencoba menemukan harta mereka dan tak pernah berhasil. Kadang-kadang ia menggentarkan si bocah dengan gagasan bahwa dia mungkin tidak menemukan hartanya, atau bahwa dia mungkin mati di gurun sana. Di lain waktu, ia berkata pada si bocah bahwa ia sudah puas: ia telah mendapatkan cinta dan kekayaan. "Hatiku ini pengkhianat," ujar si bocah pada sang alkemis, saat mereka berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kuda. "Ia tidak ingin aku meneruskan perjalanan ini." "Itu masuk akal," jawab sang alkemis. "Memang menakutkan bahwa, dalam mengejar impianmu, kau mungkin kehilangan semua yang telah kau dapatkan." "Kalau begitu, mengapa aku harus mendengarkan hatiku?" "Karena kau tak akan pernah lagi mampu membungkamnya Bahkan jika kau berpurapura untuk tak mendengar apa yang ia katakan padamu, ia akan selalu ada di sana, di dalam dirimu, terus mengulang padamu apa yang kau pikirkan tentang hidup dan tentang dunia." "Maksudmu aku harus mendengarkan, bahkan kalaupun ia khianat?" "Pengkhianatan adalah pukulan yang datang tanpa terduga. Bila kau memahami benar hatimu, ia tak akan pernah sanggup berbuat begitu terhadapmu. Sebab kau tahu mimpi-mimpinya dan harapan-harapannya, dan akan tahu cara menghadapi semua itu. "Kau tak akan pernah mampu melarikan diri dari hatimu. Jadi, lebih baik dengarkan apa yang ia harus katakan. Dengan begitu, kau tak akan pernah gentar pada pukulan yang tak terduga." Si bocah kembali mendengarkan hatinya selama mereka melintasi gurun. Dia kini memahami muslihat dan kecohannya, dan menerimanya seperti adanya. Dia tidak merasa takut lagi, dan lupa dengan keinginannya untuk kembali ke oasis, karena, suatu sore, hatinya berkata bahwa ia bahagia. "Walau kadang aku mengeluh," katanya, "itu karena aku adalah hati seorang manusia, dan memang begitulah hati manusia. Orang takut mengejar impian-impian mereka yang terpenting, sebab mereka merasa mereka tak berhak memperolehnya, atau bahwa mereka tak akan mampu meraihnya. Kami, hati mereka, menjadi gentar hanya dengan berpikir tentang orangorang tercinta yang akan pergi selamanya, atau tentang saat-saat yang seharusnya baik tapi ternyata tidak, atau tentang harta-harta yang mungkin mestinya sudah ditemukan tapi selamanya terkubur dalam tanah. Karena, saat hal-hal ini terjadi, kami sangat menderita." "Hatiku takut kalau ia harus menderita," kata si bocah pada sang alkemis suatu malam saat mereka melihat langit yang tak berbulan. "Katakan pada hatimu bahwa takut menderita itu lebih buruk daripada menderita itu sendiri. Dan bahwa tidak ada hati yang pernah menderita saat ia mengejar mimpiSpecial e-book for kikilers mimpinya, karena setiap detik dari pencarian itu adalah detik perjumpaan dengan Tuhan dan dengan keabadian." "Setiap detik dari pencarian adalah suatu perjumpaan dengan Tuhan," kata si bocah pada hatinya. "Jika aku sungguh-sungguh mencari hartaku, hari-hari akan menjadi bercahaya, karena aku tahu bahwa setiap jam adalah bagian dari mimpi yang akan kuraih. Jika aku sungguh-sungguh mencari hartaku, di sepanjang jalannya aku juga menemukan hal-hal yang tak pernah kulihat lantaran aku tak berani mencoba hal-hal yang tampak mustahil dicapai oleh seorang gembala." Maka diamlah hatinya sepanjang sore. Malam itu, si bocah tidur pulas, dan, saat dia bangun, hatinya mulai mengatakan padanya hal-hal yang berasal dari Jiwa Buana. Hatinya berkata bahwa semua orang yang bahagia mempunyai Tuhan di dalam diri mereka. Dan kebahagiaan itu dapat ditemukan di sebutir pasir gurun, seperti kata sang alkemis. Karena sebutir pasir adalah suatu momen penciptaan, dan alam semesta telah menghabiskan waktu jutaan tahun untuk menciptakannya. "Setiap orang di bumi mempunyai harta yang menantinya," kata hatinya. "Kami, hati manusia, jarang mengatakan banyak hal tentang harta-harta itu, karena orang-orang tak lagi ingin pergi mencarinya. Kami berbicara tentangnya hanya kepada anak-anak. Kemudian, kami biarkan saja kehidupan berjalan, dengan arahnya sendiri, menuju takdirnya sendiri. Tapi, sayangnya, sangat sedikit yang mengikuti jalan yang telah dibentangkan untuk mereka --jalan menuju Legenda Pribadi mereka, dan menuju kebahagiaan. Kebanyakan orang melihat dunia sebagai tempat yang menakutkan, dan, karena mereka begitu, dunia sungguh-sungguh berbalik menjadi tempat yang menakutkan. "Maka, kami, hati mereka, bicara semakin pelan. Kami tak pernah berhenti bicara, tapi kami mulai berharap agar kata-kata kami tak didengar: kami tak ingin orang menderita karena mereka tidak mengikuti hati mereka." "Mengapa hati orang-orang tidak mengatakan pada mereka supaya terus mengikuti mimpi-mimpi mereka?" tanya si bocah kepada sang alkemis. "Karena itulah yang paling membuat hati menderita, dan hati tidak suka menderita." Sejak saat itu, si bocah memahami hatinya. Dia memintanya, mohon agar ia tak pernah berhenti bicara padanya. Dia meminta supaya, saat dia melanglang jauh dari mimpi-mimpinya, hatinya menekannya dan membunyikan tanda bahaya. Si bocah bersumpah bahwa, setiap dia mendengar tanda bahaya itu, dia akan menyimak pesannya. Malam itu, dia mengungkapkan semua ini pada sang alkemis. Dan sang alkemis paham bahwa hati si bocah telah kembali ke Jiwa Buana. "Jadi apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya si bocah. "Melanjutkan perjalanan ke Piramida," kata sang alkemis. "Dan teruslah perhatikan pertanda. Hatimu masih mampu menunjukkan padamu di mana harta itu berada." "Apakah hal itu masih perlu kuketahui?" "Tidak," jawab sang alkemis, "Yang masih perlu kau ketahui adalah: sebelum sebuah mimpi terwujud, Jiwa Buana menguji semua yang telah dipelajari di sepanjang perjalanan. Ia melakukan hal ini bukan karena ia jahat, tapi supaya kita mampu -- sebagai tambahan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita-- menguasai pelajaranpelajaran yang kita tekuni saat kita bergerak menuju mimpi itu. Itulah titik saat kebanyakan orang menyerah. Itulah titik saat, seperti yang kami ucapkan dalam bahasa gurun, orang mati kehausan ketika pohon-pohon palem sudah terlihat di cakrawala. "Setiap pencarian dimulai dengan kemujuran pemula. Dan setiap pencarian berakhir dengan kemenangan yang telah melewati ujian yang berat." Si bocah teringat pepatah kuno dari negerinya. Pepatah itu menyatakan bahwa masa tergelap di malam hari adalah saat menjelang fajar. DI HARI BERIKUTNYA, MUNCUL TANDA PERTAMA YANG JELAS. Tiga warga suku bersenjata datang mendekat, dan menanyakan apa yang dilakukan si bocah dan sang alkemis di sana. "Aku sedang berburu dengan elangku," jawab sang alkemis. "Kami harus menggeledah kalian untuk melihat apa kalian bersenjata," kata salah satu warga suku itu. Sang alkemis turun pelan-pelan dari kudanya, dan si bocah berbuat serupa. "Kenapa kamu bawa uang?" tanya warga suku itu, ketika dia menggeledah tas si bocah. "Aku memerlukannya untuk pergi ke Piramida," katanya. Warga suku yang menggeledah bawaan sang alkemis menemukan botol kristal kecil yang dipenuhi cairan, dan telur kaca berwarna kuning yang sedikit lebih besar dari telur ayam. "Benda-benda apa ini?" tanyanya. "Itu Batu Filsuf dan Obat Hidup. Itu adalah Karya Agung para alkemis. Siapa saja yang menelan obat itu tak akan pernah sakit lagi, dan sepotong pecahan dari batu itu bisa mengubah segala macam logam menjadi emas." Orang-orang Arab itu menertawai dia, dan sang alkemis juga ikut tertawa. Mereka anggap jawaban itu lucu, dan membiarkan si bocah dan sang alkemis melanjutkan perjalanan dengan semua bawaan mereka. "Apa engkau sudah gila?" tanya si bocah pada sang alkemis, saat mereka kembali berjalan. "Buat apa berbuat begitu?" "Untuk menunjukkan padamu satu pelajaran sederhana dalam hidup," jawab sang alkemis. "Bila kau memiliki harta yang sangat benilai di dalam dirimu, dan mencoba untuk memberitahu orang lain tentang hal itu, jarang ada yang percaya." Mereka meneruskan perjalanan melintasi gurun. Seiring berlalunya hari-hari, hati si bocah menjadi semakin tenang. Ia tak lagi ingin tahu tentang hal-hal silam atau mendatang; ia puas dengan sekadar merenungi gurun, dan dengan minum bersama si bocah dari Jiwa Buana. Si bocah dan hatinya menjadi teman, dan kini yang satu tidak dapat lagi mengkhianati yang lain. Saat hatinya bicara padanya, ia memberi dorongan pada si bocah, dan memberinya kekuatan, karena hari-hari sepi di gurun sana sungguh meresahkan. Hatinya memberitahu si bocah kekuatan dirinya yang terbesar: keberaniannya melepaskan domba-dombanya dan mencoba hidup sampai meraih Legenda Pribadinya, dan gairahnya selama dia bekerja di toko kristal itu. Dan hatinya memberitahu dia hal lain yang tidak pernah diperhatikan si bocah: ia mengatakan pada si bocah bahaya-bahaya yang mengancamnya, tapi tak pernah dia sadari. Hatinya mengatakan bahwa ia pernah menyembunyikan senapan yang telah diambil si bocah dari ayahnya, karena ada kemungkinan si bocah melukai dirinya sendiri. Dan hatinya mengingatkan si bocah saat dia sakit dan muntah-muntah di ladang, setelah itu dia tertidur lelap. Ada dua perampok di jalan di depannya yang berencana merampas domba-domba si bocah dan membunuhnya. Tapi, karena si bocah tidak lewat, mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan, mengira bahwa dia berbelok ke jalan lain. "Apakah hati seseorang selalu membantunya?" tanya si bocah pada sang alkemis. "Umumnya hanya hati orang-orang yang berupaya mewujudkan Legenda Pribadi mereka. Tapi mereka juga membantu anak-anak, para pemabuk, dan juga orangorang tua." "Apakah itu berarti aku tak akan pernah terancam bahaya?" "Itu artinya hati melakukan apa yang ia bisa," kata sang alkemis. Suatu sore, mereka melewati perkemahan salah satu suku. Di setiap pojok kemah tampak orang-orang Arab berjubah putih yang indah, dengan senjata siap di tangan. Orang-orang itu mengisap hookah dan bertukar cerita-cerita dari medan tempur. Tak ada yang menaruh perhatian pada kedua pengembara itu. "Tidak ada bahaya," kata si bocah, saat mereka telah melewati perkemahan tadi. Sang alkemis terdengar marah: "Percayalah pada hatimu, tapi jangan pernah lupa bahwa kamu berada di gurun. Saat manusia-manusia saling memerangi, Jiwa Buana dapat mendengar jaritan-jeritan perangnya. "Tiada seorang pun yang luput dari akibat-akibat segala sesuatu di bumi ini." Semuanya satu belaka, pikir si bocah. Dan kemudian, seolah gurun ingin menunjukkan bahwa sang alkemis benar, dua orang berkuda muncul dari belakang pengembara-pengembara itu. "Kalian tidak bisa pergi lebih jauh," kata salah satu dari mereka. "Kalian berada di wilayah tempat suku-suku sedang berperang." "Aku tidak akan pergi terlalu jauh," jawab sang alkemis, menatap lurus ke dalam mata penunggang kuda itu. Mereka terdiam sesaat, dan kemudian membiarkan si bocah dan sang alkemis terus berjalan. Si bocah mengamati perubahan tersebut dengan perasaan kagum. "Engkau mendominasi penunggang-penunggang kuda itu dengan caramu menatap mereka," katanya. "Mata manusia menunjukkan kekuatan jiwanya," jawab sang alkemis. Betul, pikir si bocah. Dia sudah perhatikan bahwa, ditengah-tengah banyaknya orang bersenjata di perkemahan tadi, ada satu yang menatap mereka berdua. Ia berada terlalu jauh sehingga wajahnya bahkan tak terlihat. Tapi si bocah yakin bahwa orang itu melihat mereka. Akhirnya, saat mereka melintasi jajaran garun yang merentang sepanjang cakrawala, sang alkemis berkata bahwa mereka tinggal dua hari perjalanan dari Piramida. "Bila kita akan segera pergi ke arah kita masing-masing," kata si bocah, "maka ajarilah aku tentang alkemi." "Kamu sudah tahu tentang alkemi. Itu tentang penembusan Jiwa Buana, dan penemuan harta yang telah tersedia untukmu." "Bukan, bukan itu maksudku. Yang kumaksud adalah soal mengubah timah menjadi emas." Sang alkemis terdiam sebisu gurun, dan menjawab si bocah baru setelah mereka berhenti untuk makan. "Semua yang ada di alam semesta ini tumbuh," katanya. "Dan, bagi orang-orang bijak, emas adalah logam yang paling lama tumbuhnya. Jangan tanya padaku mengapa; aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa Tradisi selalu benar. "Manusia tidak pernah memahami kata-kata orang bijak. Maka emas, bukan dilihat sebagai simbol evolusi, malah menjadi dasar pertentangan." "Ada banyak bahasa yang diucapkan oleh benda-benda," kata si bocah. "Pada suatu waktu, bagiku, lenguh seekor onta tidak berarti apa-apa selain lenguhan semata. Kemudian ia menjadi tanda bahaya. Dan, akhirnya, ia kembali menjadi sekadar lenguhan." Tapi kemudian dia berhenti. Sang alkemis mungkin sudah paham semua itu. "Aku mengenal alkemis-alkemis sejati," lanjut sang alkemis. "Mereka mengunci diri di laboratorium, dan berusaha untuk tumbuh, seperti emas. Dan mereka menemukan Batu Filsuf, karena mereka mengerti bahwa saat sesuatu tumbuh, segala yang ada di sekitar benda itu juga tumbuh. "Yang lainnya menemukan batu itu tanpa sengaja. Mereka sudah punya bakat, dan jiwa mereka lebih siap untuk hal-hal seperti itu daripada jiwa orang-orang lain. Tapi mereka tidak berarti. Mereka sangat jarang. "Dan kemudian ada yang lain-lain, yang hanya tertarik pada emas. Mereka tidak pernah menemukan rahasianya. Mereka lupa bahwa timah, tembaga, dan besi mempunyai Legenda Pribadi sendiri untuk dipenuhi. Dan setiap orang yang mencampuri Legenda Pribadi hal lain tak akan pernah menemukan miliknya sendiri." Kata-kata sang alkemis terdengar bagai kutukan. Dia menjangkau dan mengambil sebuah kulit kerang dari tanah. "Gurun ini dulunya laut,"katanya. "Aku tahu," jawab si bocah. Sang alkemis menyuruh si bocah meletakkan kulit kerang itu di telinganya. Dia telah sering melakukan hal itu sejak masih kecil, dan mendengar suara laut. "Laut telah hidup di dalam kulit kerang ini, karena itulah Legenda Pribadinya. Dan ia tak akan pernah berhenti rnelakukannya sampai gurun sekali lagi tertutup oleh air." Mereka menaiki kuda masing-masing, dan menapak jalan menuju Piramida Mesir. MATAHARI TENGAH TENGGELAM SAAT HATI SI BOCAH memperdengarkan tanda bahaya. Mereka dikelilingi oleh bukit-bukit pasir raksasa, dan si bocah menoleh pada sang alkemis untuk mencari tahu apakah dia merasakan sesuatu. Tapi dia tampak tak tanggap terhadap bahaya. Lima menit kemudian, si bocah melihat dua orang penunggang kuda menunggu di depan mereka. Sebelum dia dapat berkata apa-apa pada sang alkemis, dua penunggang kuda itu menjadi sepuluh, lalu seratus. Dan kemudian mereka ada di seantero bukit-bukit pasir itu. Mereka adalah warga-warga suku yang berpakaian biru, dengan cincin hitam melengkapi sorban-sorban mereka. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik kerudung biru, dan hanya mata mereka yang terlihat. Dari jauh pun mata mereka memancarkan kekuatan jiwa mereka. Dan mata mereka bicara tentang kematian. KEDUANYA DIBAWA KE KEMAH MILITER DI DEKAT SITU. SEORANG serdadu mendorong si bocah dan sang alkemis ke dalam tenda tempat pak ketua mengadakan rapat dengan para pembantunya. "Mereka ini mata-mata," kata salah seorang. "Kami hanya pengembara," jawab sang alkemis. "Kalian terlihat di perkemahan musuh tiga hari yang lalu. Dan kalian berbicara dengan seorang serdadu di sana". "Aku hanya orang yang berkelana di gurun dan tahu tentang bintang-bintang, "kata sang alkemis. "Aku tidak punya keterangan apapun tantang serdadu atau tentang gerakan suku-suku. Aku hanya menjadi pemandu bagi kawanku ini." "Siapa kawanmu itu?"tanya ketua. "Seorang alkemis," kata sang alkemis. "Dia memahami kekuatan-kekuatan alam. Dan dia ingin menunjukkan padamu kekuatannya yang luar biasa." Si bocah mendengarkan dalam diam. Dan dengan takut. "Apa yang dilakukan orang asing di sini?" tanya seorang yang lain. "Dia membawa uang untuk diberikan pada sukumu," kata sang alkemis, sebelum si bocah dapat berkata apa-apa. Dan setelah mengambil tas si bocah, sang alkemis memberikan keping-keping emas kepada ketua. Orang Arab itu menerimanya tanpa berkata-kata. Nilainya cukup untuk membeli banyak senjata. "Apa itu alkemis?" dia bertanya, akhirnya. "Seorang yang memahami alam dan dunia. Bila dia mau, dia dapat memusnahkan perkemahan ini hanya dengan kekuatan bayu." Orang-orang itu tertawa. Mereka terbiasa dengan kerusakan-kerusakan akibat perang, dan tahu bahwa angin tidak dapat menimbulkan hantaman yang mematikan. Toh tiap orang merasa hatinya berdetak lebih kencang. Mereka adalah orang-orang gurun, dan mereka takut pada penyihir. "Aku mau lihat dia melakukannya," kata ketua. "Dia perlu tiga hari" jawab sang alkemis. "Dia akan mengubah dirinya menjadi angin, hanya untuk memperlihatkan kekuatannya. Bila dia tidak dapat melakukannya, kami dengan rendah hati menawarkan jiwa kami, demi kehormatan sukumu." "Kamu tidak bisa menawarkan apa yang sudah menjadi milikku," kata pak ketua, dengan sombongnya. Tapi dia memberi waktu tiga hari pada kedua pengembara itu. Si bocah gemetar ketakutan, tapi sang alkemis membantunya keluar dari tenda. "Jangan biarkan mereka tahu kamu takut," kata sang alkemis. "Mereka adalah orangorang yang berani, dan mereka memandang rendah pada pengecut." Tapi si bocah tetap tak sanggup bersuara. Dia baru bisa bicara setelah mereka berjalan melewati pusat perkemahan itu. Tidak dirasa perlu memenjarakan mereka: orang-orang Arab itu cukup menyita kuda-kuda mereka. Maka, sekali lagi, dunia telah menunjukkan banyaknya bahasanya: beberapa saat lalu gurun adalah tempat yang bebas dan tak tak bertepi, dan kini ia tembok yang tak tertembus. "Kau serahkan semua milikku! "kata si bocah. "Semua yang kutabung seumur hidupku!" "Ya, apa gunanya semua itu bagimu kalau kau harus mati?" jawab sang alkemis. "Uangmu menyelamatkan kita selama tiga hari. Jarang uang menyelamatkan hidup orang." Tapi si bocah terlalu takut untuk mendengarkan kata-kata bijak. Dia tidak tahu bagaimana cara mangubah dirinya menjadi angin. Dia bukan alkemis! Sang alkemis minta teh pada seorang serdadu, dan menuangkannya ke pergelangan tangan si bocah. Perasaan lega menyelimutinya, dan sang alkemis berkomat kamit dalam bahasa yang tidak dipahami si bocah. "Jangan kalah pada rasa takutmu," kata sang alkemis, dengan suara lembut yang aneh. "Bila kau kalah, kau tak akan mampu bicara pada hatimu." "Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengubah diriku menjadi angin." "Bila seseorang menjalani Legenda Pribadinya, dia tahu semua yang perlu dia ketahui. Hanya ada satu hal yang membuat mimpi tak mungkin diraih: perasaan takut gagal." "Aku tidak takut gagal. Hanya aku tidak tahu bagaimana caranya mengubah diri menjadi angin." "Kalau begitu, kamu harus belajar; hidupmu tergantung pada itu." "Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa?" "Maka kau akan mati di tengah-tengah perjuangan mewujudkan Legenda Pribadimu. Itu masih jauh lebih baik daripada mati seperti berjuta-juta orang lainnya, yang bahkan tidak tahu apakah Legenda Pribadi mereka. "Tapi jangan khawatir," sambung sang alkemis. "Biasanya ancaman kematian membuat orang jauh lebih menyadari jiwa mereka." HARI PERTAMA BERLALU, ADA PERTEMPURAN BESAR DI DEKAT perkemahan itu, dan sejumlah orang yang terluka dibawa kembali ke sana. Para prajurit yang mati digantikan oleh yang lain, dan kehidupan jalan terus. Kematian tidak mengubah apaapa , pikir si bocah. "Kau pasti mati nanti," kata seorang prajurit pada jenazah temannya. "Kau bisa saja mati setelah perdamaian dimaklumatkan. Tapi, bagaimanapun, kau akan mati juga akhirnya." Di ujung hari itu, si bocah pergi mencari sang alkemis, yang membawa elangnya ke gurun di luar. "Aku masih belum tahu bagaimana caranya mengubah diriku menjadi angin,"si bocah mengulangi. "Ingat apa yang sudah kukatakan: dunia hanyalah aspek Tuhan yang terlihat. Dan bahwa yang dilakukan alkemis adalah membawakan kesempurnaan spiritual ke dalam hubungan dengan bidang material." "Apa yang sedang engkau lakukan?" "Memberi makan elangku." "Kalau aku tidak dapat mengubah diriku menjadi angin, kita akan mati," kata si bocah. "Buat apa elangmu itu diberi makan?" "Kamulah yang mungkin mati," kata sang alkemis. "Aku sudah tahu bagaimana cara mengubah diriku menjadi angin." PADA HARI KEDUA SI BOCAH MEMANJAT TEBING DI DEKAT perkemahan. Para penjaga mengizinkan dia pergi; mereka telah mendengar tentang penyihir yang dapat mengubah dirinya rnenjadi angin, dan mereka tidak ingin berada di dekatnya Toh gurun tidak mungkin dia sebrangi. Dia menghabiskan sepanjang sore di hari kedua itu memandangi gurun, dan mendengarkan harinya. Si bocah tahu gurun merasakan ketakutannya. Mereka berdua berbicara dengan bahasa yang sama. PADA HARI KETIGA, KETUA BERAPAT DENGAN PARA perwiranya. Dia memanggil sang alkemis ke rapat itu dan berkata, "Mari kita lihat bocah yang bisa mengubah dirinya menjadi angin itu" "Mari," jawab sang alkemis. Si bocah membawa mereka ke tebing tempat dia berada kemarin. Dia menyuruh mereka semua untuk duduk. "Akan makan waktu sebentar," kata si bocah. "Kami tidak buru-buru," jawab ketua. "Kami ini orang gurun." Si bocah melihat ke cakrawala. Tampak banyak gunung di kejauhan. Ada bukit-bukit pasir, batu-batu karang, dan tanaman-tanaman yang bergigih untuk hidup di tempat yang tampak mustahil. Ada gurun tempat dia berkelana selama berbulan-bulan; meski sepanjang waktu itu dia hanya mengetahui sebagian kecilnya saja. Dalam bagian kecil itu, dia telah menemukan orang Inggris, kafilah-kafilah, perang antarsuku, dan oasis dengan limapuluh ribu pohon palem dan tigaratus sumur. "Apa yang kau inginkan di sini hari ini?"gurun bertanya padanya. "Bukankah kemarin kau sudah menghabiskan waktu memandangiku?" "Di sebuah tempat kau menyimpan orang yang kucinta," kata si bocah. "Maka, saat aku memandangi pasirmu, aku juga sedang menatap dia. Kuingin kembali padanya dan aku perlu bantuanmu agar aku dapat mengubah diriku menjadi angin." "Apakah cinta itu?" tanya gurun. "Cinta adalah terbangnya elang di atas pasirmu. Sebab baginya, kau adalah ladang hijau, tempat dia selalu kembali dari perburuannya. Dia kenal karang-karangmu, bukit-bukit pasirmu, dan gunung-gunungmu, dan kau murah hati terhadapnya." "Paruh burung itu membawa sedikit demi sedikit dariku, diriku," kata gurun. "Bertahun-tahun, kupelihara mainannya, kuhidupi dengan sedikit air yang kupunya, dan kemudian kutunjukkan pada elang di mana mainannya itu. Dan, suatu hari, ketika aku menikmati kenyataan bahwa mainannya itu hidup di permukaanku, sang elang menukik dari langit, dan mengambil apa yang telah kuciptakan." "Tapi itulah sebabnya kau ciptakan buruan itu pertama kali," jawab si bocah. "Untuk menghidupi elang. Dan elang kemudian menghidupi manusia. Dan, akhirnya, manusia akan menghidupi pasirmu, tempat buruan itu tumbuh sekali lagi. Begitulah jalannya dunia." "Jadi itukah cinta?" "Ya, itulah cinta. Itulah yang membuat buruan menjadi elang, elang menjadi manusia, dan manusia, pada waktunya, menjadi gurun. Itulah yang mengubah timah menjadi emas, dan membuat emas kembali ke bumi." "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan," kata gurun. "Tapi setidaknya kau mengerti bahwa di suatu tempat di pasirmu ada seorang perempuan yang sedang menungguku. Itulah sebabnya aku harus mengubah diriku menjadi angin." Gurun tidak menjawab untuk beberapa saat. Kemudian ia berkata kepada si bocah, "Akan kuberikan pasirku untuk membantu angin bertiup, tapi, aku tidak mampu berbuat apapun sendirian. Kau harus minta bantuan angin." Angin sepoi mulai bertiup. Para warga suku itu memandang si bocah dari kejauhan, berbicara di antara mereka dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh si bocah. Sang alkemis tersenyum. Angin mendekati si bocah dan menyentuh wajahnya. Dia tahu percakapan si bocah dengan gurun, karena angin tahu segalanya. Mereka bertiup melintasi dunia tanpa tempat lahir, dan tanpa tempat mati. "Tolonglah aku," kata si bocah. "Suatu hari kau pernah mengantarkan suara orang yang kucintai kepadaku." "Siapa yang mengajarimu bicara bahasa gurun dan angin?" "Hatiku," jawab si bocah. Angin punya banyak nama. Di bagian dunia itu, ia dinamakan sirocco, karena angin membawa uap lembab dari samudera ke timur. Di negeri jauh tempat asal si bocah, mereka memanggilnya levanter, karena mereka percaya ia membawakan pasir gurun, dan pekik-pekik perang bangsa Moor. Mungkin, di tempat-tempat di luar padang rumput di mana domba-dombanya hidup, orang mengira bahwa angin datang dari Andalusia. Tapi, sebenarnya, angin tidak datang dari manapun, atau pergi ke manapun; itulah mengapa angin lebih kuat dari gurun. Suatu hari orang mungkin menanam pohon-pohon di gurun, dan bahkan beternak domba di sana, tapi mereka tak akan pernah bisa mengekang angin. "Kau tak dapat menjadi angin," kata angin. "Kita adalah dua hal yang sangat berbeda." "Itu tidak benar," kata si bocah. "Aku mempelajari rahasia-rahasia para alkemis dalam perjalananku. Di dalam diriku ada angin, gurun, lautan, bintang-bintang dan semua ciptaan di bumi ini. Kita semua terbuat dari tangan yang sama, dan kita punya jiwa yang sama. Aku ingin menjadi sepertimu, mampu mencapai setiap pojok dunia, menyeberangi lautan, meniup pasir yang menutupi hartaku, dan membawa suara perempuan yang kucintai." "Aku mendengar apa yang kau bicarakan dengan sang alkemis kemarin," kata angin. "Dia berkata bahwa semua benda mempunyai Legenda Pribadinya. Tapi manusia tidak dapat mengubah diri mereka menjadi angin." "Tolonglah ajari aku menjadi angin sebentar saja," kata si bocah. "Agar kau dan aku dapat berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan ketakterbatasan manusia dan angin." Rasa ingin tahu angin muncul, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelurnnya. Dia ingin bicara tentang hal-hal itu, tapi tidak tahu bagaimana mengubah manusia menjadi angin. Dan lihatlah betapa banyaknya yang sudah diketahui angin cara melakukannya! Dia sudah menciptakan gurun, mengaramkan kapal-kapal, memusnahkan seluruh hutan, dan berhembus melalui kota-kota yang penuh musik dan suara-suara aneh. Ia merasa tidak terbatas, tapi di tempat ini ada seorang bocah yang berkata bahwa ada hal-hal lain yang mestinya bisa dilakukan oleh angin. "Inilah yang kita sebut cinta," kata si bocah, merasa bahwa angin bakal mengabulkan permintaannya. "Bila kau dicintai, kau dapat melakukan apapun untuk berkreasi. Bila kau dicintai, sama sekali tak perlu memahami apa yang sedang terjadi. karena semuanya terjadi di dalam dirimu, dan manusia bahkan dapat mengubah diri mereka menjadi angin. Sepanjang angin membantu, tentu saja." Angin adalah mahluk yang pongah, dan merasa terganggu dengan apa yang dikatakan si bocah. Ia mulai bertiup makin kencang, membuat pasir-pasir terbang. Tapi akhirnya ia harus mengakui bahwa, walau ia sanggup berjalan mengitari dunia, ia tidak tahu bagaimana mengubah seorang manusia menjadi angin. Dan ia tak tahu apa-apa tentang cinta. "Dalam perjalanan-perjalananku mengelilingi dunia, aku sering melihat orang-orang bicara tentang cinta dan mendambakan surga," kata angin, kesal karena menyadari keterbatasan dirinya. "Mungkin lebih baik bertanya pada surga." "Kalau begitu, bantu aku melakukannya," kata si bocah. "Penuhi tempat ini dengan badai pasir yang dahsyat sampai matahari tertutup. Hingga aku dapat melihat surga tanpa membutakan diri." Maka angin pun bertiup dengan segenap kekuatannya, dan langit dipenuhi pasir. Matahari berubah menjadi cakram emas. Di perkemahan, sulit untuk melihat apapun. Orang-orang gurun sudah terbiasa dengan angin itu. Mereka menamakannya simum, dan ia lebih buruk dari badai laut. Kuda-kuda mereka meringkik-ringkik, dan semua senjata mereka terisi pasir. Di ketinggian, salah seorang komandan berpaling pada ketua dan berkata, "Mungkin lebih baik ini kita akhiri!" Mereka hampir tidak dapat melihat si bocah. Wajah mereka tertutup kain biru, dan mata mereka menunjukkan ketakutan. "Ayo kita hentikan ini," kata komandan lainnya. "Aku ingin melihat kebesaran Allah," kata ketua, dengan khidmat. "Aku ingin lihat bagaimana seorang manusia mengubah diri menjadi angin." Tapi dia telah mencatat dalam hati nama-nama dua orang yang menampakkan ketakutan mereka. Segera setelah angin berhenti, dia akan memecat mereka, karena lelaki gurun sejati tidak takut pada apapun. "Angin berkata padaku bahwa kau tahu tentang cinta," kata si bocah pada matahari. "Jika kau tahu tentang cinta, kau juga tentu tahu tentang Jiwa Buana, karena ia terbuat dari cinta." "Dari tempatku berada," kata matahari, "aku dapat melihat Jiwa Buana. Ia berkomunikasi dengan jiwaku, dan bersama-sama kami menyebabkan tanaman tumbuh dan domba-domiba mencari tempat berteduh. Dari tempatku berada --dan aku sungguh jauh dari bumi-- aku belajar bagaimana mencintai. Aku tahu bahwa bila aku sedikit saja mendekati bumi, semuanya akan mati, dan Jiwa Buana tidak akan ada lagi Jadi kami saling menghayati, dan kami saling membutuhkan, dan kuberi ia kehidupan dan kehangatan, dan ia beri aku alasan untuk hidup." "Jadi kau tahu tentang cinta," kata si bocah. "Dan aku tahu tentang Jiwa Buana, karena kami berbincang lama sekali selama perjalanan tanpa henti melalui alam semesta ini. Ia memberitahuku bahwa masalah terbesar adalah, sampai sekarang, hanya mineral dan sayuran yang memahami bahwa segalanya satu belaka. Bahwa tak perlu lagi bagi besi untuk menjadi sama dengan tembaga, atau tembaga sama dengan emas. Masing-masing menjalankan fungsi pokoknya sendiri-sendiri sebagai suatu mahluk yang unik, dan semuanya akan menjadi simfoni kedamaian bila tangan yang menulis semua ini berhenti pada hari kelima penciptaan. "Tapi ada hari keenam,"lanjut matahari. "Kau ini jadi bijak, karena kau mengamati semuanya dari kejauhan," kata si bocah. "Tapi kau tak tahu tentang cinta. Bila tidak ada hari keenam, manusia tak akan ada; tembaga akan selalu cuma jadi tembaga, dan timah hanya jadi timah belaka. Benar bahwa semua punya Legenda Pribadi masing-masing, tapi suatu hari Legenda Pribadi itu akan terwuiud. Jadi tiap-tiap benda harus berubah untuk menjadi sesuatu yang lebih baik, dan untuk mencapai Legenda Pribadi yang baru, sampai, suatu ketika, Jiwa Buana rnenjadi hanya satu." Matahari memikirkan tentang hal itu, dan memutuskan untuk bersinar lebih terang. Angin, yang menikmati percakapan itu, mulai bertiup dengan daya yang lebih besar, sehingga matahari tidak membutakan si bocah. "Itulah sebabnya mengapa alkemi ada," kata si bocah. "Supaya setiap orang mencari hartanya, menemukannya, dan kemudian ingin menjadi lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Timah akan memainkan perannya sampai dunia tak memerlukan timah lagi; dan kemudian timah akan harus berubah menjadi emas. "Itulah yang dikerjakan para alkemis. Mereka memperlihatkan bahwa, jika kita berusaha menjadi lebih baik daripada diri kita sekarang, semua yang ada di sekeliling kita pun rnenjadi lebih baik." "Baiklah, mengapa kau mengatakan aku tidak tahu tentang cinta?" tanya matahari pada si bocah. "Karena bukanlah cinta namanya bila statis seperti gurun, bukan pula cinta namanya bila menjelajah bumi seperti angin. Dan bukan cinta namanya bila melihat semuanya dari kejauhan, seperti yang kau lakukan. Cinta adalah daya yang mengubah dan meningkatkan Jiwa Buana. Saat pertama kali aku menjangkaunya, kupikir Jiwa Buana itu sempurna. Tapi kemudian, dapat kulihat bahwa Jiwa Buana sama seperti aspekaspek ciptaan lainnya, dan memiliki hasrat-hasrat dan perang-perangnya sendiri. Kitalah yang merawat Jiwa Buana itu, dan apakah bumi yang kita tinggali ini akan menjadi lebih baik atau lebih buruk, tergantung pada apakah kita menjadi lebih baik atau lebih buruk Dan di situlah daya cinta masuk. Karena ketika kita mencinta, kita selalu berjuang untuk menjadi lebih baik daripada diri kita sekarang." "Jadi apa yang kau inginkan dariku?" tanya matahari. "Aku ingin kau membantuku berubah menjadi angin," jawab si bocah. "Alam tahu aku adalah mahluk terbijak," kata matahari. "Tapi aku tidak tahu bagaimana mengubahmu menjadi angin." "Lalu, aku harus bertanya pada siapa?" Matahari berpikir sejenak. Angin mendengarkan dengan seksama, dan ingin mengatakan pada setiap penjuru dunia bahwa kearifan matahari itu terbatas. Bahwa matahari tidak dapat menghadapi bocah ini, yang bisa berbicara Bahasa Buana. "Bicaralah pada tangan yang menuliskan semuanya," kata matahari. Angin berteriak kegirangan, dan bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Tendatenda terhempas ke tanah dari pancangnya, dan hewan-hewan terbebas dari tambatannya. Di tebing, orang-orang saling berpegangan saat mereka berusaha bertahan agar tak tergeming. Si bocah berpaling pada tangan yang menulis semuanya. Saat dia melakukan hal itu, dia merasakan alam semesta terdiam, dan dia memutuskan untuk tidak bicara. Arus cinta mengalir dari hatinya, dan si bocah mulai berdoa. Sebuah doa yang tak pernah ia panjatkan sebelumnya, karena itu adalah doa tanpa pinta atau kata-kata. Doanya tidak bersyukur karena domba-dombanya menemukan padang rumput yang baru; tidak meminta agar si bocah dapat menjual lebih banyak kristal; dan tidak memohon supaya perempuan yang telah dia jumpai terus menunggunya puIang. Dalam kesenyapan, si bocah memahami bahwa gurun, angin, dan matahari juga mencoba untuk memahami tanda-tanda yang ditulis oleh tangan itu, dan ingin mengikuti jalan-jalan mereka, dan mencoba memahami apa yang telah ditulis di satu zamrud. Dia melihat bahwa pertanda-pertanda tersebar ke seluruh bumi dan langit, dan bahwa tidak ada alasan atau makna yang melekat pada kehadiran mereka; dia dapat melihat bahwa baik gurun, atau angin, atau matahari, ataupun manusia, tidak tahu mengapa mereka diciptakan. Tapi bahwa tangan itu mempunyai alasan untuk semua ini, dan bahwa hanya tangan itu yang dapat melakukan keajaiban-keajaiban, atau mengubah laut menjadi gurun...., atau manusia menjadi angin. Karena hanya tangan itulah yang mengerti bahwa ia adalah desain yang lebih besar yang telah mengubah alam semesta ke titik saat enam hari penciptaan berkembang menjadi sebuah Karya Agung. Si bocah menjangkau ke Jiwa Buana, dan melihatnya sebagai bagian dari Jiwa Tuhan. Dan dia melihat bahwa Jiwa Tuhan adalah jiwanya sendiri. Dan bahwa dia, seorang bocah lelaki, dapat melakukan keajaiban-keajaiban. HARI ITU SIMUM BERTIUP SEAKAN IA TAK PERNAH berhembus sebelumnya. Selama beberapa generasi mendatang, orang-orang Arab akan menceritakan legenda tentang seorang bocah yang dapat mengubah dirinya menjadi angin, nyaris menghancurkan sebuah kemah militer, memenuhi tantangan ketua yang paling berkuasa di seantero gurun. Saat simum berhenti melanda, semua orang melihat ke tempat si bocah tadi berada. Tapi dia sudah tidak ada di sana; dia berdiri di sebelah penjaga yang tertutup pasir, di sisi yang jauh dari perkemahan itu. Orang-orang itu ketakutan dengan ilmu sihirnya. Tapi ada dua orang yang tersenyum: sang alkemis, karena dia telah menemukan murid yang sempurna, dan pak ketua, karena murid itu telah memahami keagunganNya. Di hari berikutnya, jenderal itu mengucapkan selamat tinggal pada si bocah dan sang alkemis, dan menyediakan sekelompok pengawal untuk menemani mereka sejauh yang mereka ingini. MEREKA BERKUDA SEPANJANG HARI MENJELANG SORE, MEREKA sampai di sebuah biara Koptik. Sang alkemis turun dari kuda, dan menyuruh pangawal-pengawal itu kembali ke perkemahan mereka. "Dari sini, kamu akan sendirian," kata sang alkemis. "Kamu hanya tiga jam jauhnya dari Piramida." "Terima kasih," kata si bocah. "Engkau telah mengajariku Bahasa Buana." "Aku hanya membantu apa yang sudah kau tahu." Sang alkemis mengetuk gerbang biara. Seorang biarawan berpakaian hitam mendatangi gerbang itu. Mereka berbicara beberapa menit dengan logat Koptik, dan sang alkemis menyilakan si bocah masuk. "Aku minta padanya supaya kita dapat menggunakan sebentar dapurnya," sang alkemis berkata. Mereka menuju dapur di belakang biara. Sang alkemis menyalakan api, dan biarawan membawakan timah, yang diletakkan sang alkemis di atas panci besi. Ketika timah itu mencair, sang alkemis mengeluarkan telur berwarna kuning yang aneh dari kantongnya. Dia mengiris telur itu dalam irisan setipis rambut, membungkusnya dengan lilin, dan memasukkan ke dalam panci tempat timah itu sudah mencair. Campuran itu berubah menjadi kemerahan, hampir seperti warna darah. Sang alkemis memindahkan panci dari api, dan mendinginkannya. Sewaktu dia mengerjakan itu, dia berbicara dengan biarawan tentang perang antarsuku. "Kurasa perang itu akan lama berakhirnya," katanya pada biarawan. Biarawan itu risau. Kafilah-kafilah telah berhenti cukup lama di Giza, menunggu perang itu berakhir. "Tapi kehendak Tuhan telah berlaku," kata biarawan itu. "Tepat sekali," jawab sang alkemis. Saat panci mendingin, biarawan dan si bocah melihatnya. Mereka terpesona. Timah tadi mengering menjadi bentuk panci itu, tapi ia bukan timah lagi. Ia menjadi emas. "Bisakah aku melakukannya kelak?" tanya si bocah. "Ini adalah Legenda Pribadiku, bukan milikmu," jawab sang alkemis. "Tapi aku ingin memperlihatkan padamu bahwa itu mungkin terjadi. "Mereka kembali ke gerbang biara. Di sana, sang alkemis membagi piringan itu menjadi empat bagian. "Ini untukmu," katanya, rnemberikan satu bagian kepada biarawan itu. "Untuk kemurahan hatimu kepada para peziarah." "Tapi bayaran ini terlalu besar untuk kemurahanku," ucap sang biarawan. "Jangan lagi itu diucapkan. Kehidupan mungkin sedang mendengarkan, dan memberimu lebih sedikit di lain kesempatan." Sang alkemis berpaling pada si bocah. "Ini untukmu. Untuk mengganti apa yang telah kau berikan pada jenderal itu." Si bocah ingin berkata bahwa itu lebih dari yang dia berikan pada sang jenderal. Tapi dia diam saja, karena dia telah mendengar apa yang diucapkan sang alkemis pada biarawan tadi. "Dan ini untukku," kata sang alkemis, menyimpan satu bagian. "Karena aku harus kembali ke gurun, di mana ada perang suku." Dia mengambil bagian keempat dan menyerahkannya pada biarawan itu. "Ini untuk anak ini. Kalan-kalau dia memerlukannya." "Tapi aku akan mencari hartaku," kata si bocah. "Aku sekarang sudah sangat dekat dengannya." "Dan aku yakin kau akan menemukannya," kata sang alkemis. "Lalu, ini buat apa?" "Karena kau sudah kehilangan tabunganmu dua kali. Sekali oleh pencuri, dan sekali oleh jenderal itu. Aku ini orang tua Arab yang tahayulan, dan aku percaya pada pepatah-pepatah kami. Ada orang yang bilang, 'Semua yang terjadi satu kali tidak akan terjadi lagi. Tapi semua yang terjadi dua kali pasti akan terjadi untuk ketiga kali." Mereka menaiki kuda-kuda mereka. "AKU INGIN MEMBERITAHUMU SEBUAH KISAH TENTANG MIMPI," kata sang alkemis. Si bocah membawa kudanya mendekat. "Di Romawi kuno, pada rnasa Kaisar Tiberius, hiduplah seorang lelaki yang baik dengan dua orang puteranya. Seorang menjadi tentara, dan telah dikirim ke wilayahwilayah yang jauh di imperium itu. Putera lainnya adalah penyair, dan menggembirakan seluruh Roma dengan syair-syair indahnya. "Suatu malam, sang ayah bermimpi. Satu malaikat muncul padanya, dan mengatakan bahwa kata-kata dari salah satu anaknya akan dipelajari dan diulangi ke seluruh dunia bagi semua generasi mendatang. Sang ayah terbangun dari tidurnya dengan berterima kasih dan menangis, karena kehidupan begitu murah hati, dan telah mengungkapkan padanya sesuatu yang akan membuat bangga setiap ayah yang mengetahui. "Tak lama kemudian, sang ayah meninggal sewaktu dia mencoba menyelamatkan seorang anak yang akan ditabrak kereta tempur. Karena sepanjang hayatnya dia hidup dengan benar dan jujur, dia langsung masuk surga, tempat dia bertemu dengan malaikat yang muncul dalam mimpinya. "'Kau selalu menjadi orang baik,' kata malaikat itu padanya. 'Kau menjalani hidupmu dengan penuh kasih, dan meninggal dengan terhormat. Kini aku dapat mengabulkan apapun keinginanmu.' "'Kehidupan telah berbaik kepadaku,' kata lelaki itu. 'Saat kau muncul di mimpiku, aku merasa semua upayaku telah dihargai, karena syair-syair anakku akan dibaca oleh orang-orang selama beberapa generasi mendatang. Aku tidak ingin apa-apa untuk diriku sendiri. Tapi setiap ayah akan merasa bangga akan kemashuran yang dicapai seseorang yang dia rawat sebagai anak, dan dididiknya saat dia tumbuh. Terkadang dari kejauhan aku ingin mendengar kata-kata anakku.' "Malaikat menyentuh bahu lelaki itu, dan keduanya melesat jauh ke masa depan. Mereka berada di latar yang sangat luas, dikelilingi oleh beribu-ribu manusia yang berbicara dengan bahasa yang aneh. "Orang itu menangis bahagia." "'Aku tahu bahwa syair-syair anakku abadi,' katanya pada malaikat dengan berlinang air mata. 'Dapatkah engkau mernberitahuku syair puteraku mana yang sedang dilantunkan orang-orang ini?' "Malaikat mendekati lelaki itu, dan, dengan lembut, membimbingnya ke bangku panjang di dekatnya, tempat mereka kemudian duduk. "Syair-syair anakmu yang menjadi penyair sangat terkenal di Roma,' kata Malaikat. 'Setiap orang menyukainya dan menikmatinya. Tapi saat pemerintahan Tiberius berakhir, puisi-puisinya terlupakan. Kata-kata yang kau dengar sekarang adalah katakata anakmu yang ada di militer.' "Orang itu menatap malaikat dengan terkejut. "'Anakmu pergi berperang ke suatu tempat yang jauh, dan menjadi seorang komandan. Dia lelaki yang sederhana dan baik. Suatu sore, salah seorang pelayannya sakit, dan tampaknya dia mau meninggal. Anakmu pernah mendengar tentang seorang rabi yang dapat menyembuhkan penyakit, dan dia berkuda berhari-hari untuk mencari orang itu. Sepanjang jalan, tahulah dia bahwa orang yang dicari adalah Putera Tuhan. Dia bertemu orang-orang yang pernah disembuhkan olehnya, dan mereka mengajarkan pada anakmu ajaran-ajaran orang itu. Jadi, walaupun dia seorang komandan Romawi, dia beralih ke keyakinan mereka. Tidak lama kemudian, dia sampai ke tempat di mana orang yang dicarinya sedang berkunjung. "'Dia mengatakan pada orang itu bahwa salah seorang pelayannya sakit keras, dan rabi itu bersiap pergi dengannya ke rumahnya. Tapi komandan itu adalah orang yang beriman, dan, melihat ke dalam mata rabi itu, dia tahu bahwa dia yakin akan kehadiran Putera Tuhan.' "'Dan inilah yang dikatakan puteramu,' malaikat memberitahu lelaki itu. 'Inilah katakata yang dia ucapkan pada rabi itu waktu itu, dan kata-kata ini tidak pernah dilupakan: "Tuhanku, aku tidaklah berarti sampai tempatku perlu kau datangi. Tapi ucapkanlah sepatah kata saja maka pelayanku akan sembuh.'" Sang alkemis berkata, "Tak peduli apa yang dilakukannya, setiap orang di dunia memainkan peran sentral dalam sejarah dunia. Dan biasanya ia tidak menyadarinya." Si bocah tersenyum. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan akan jadi begitu penting bagi seorang gembala. "Selamat tinggal," kata sang alkemis. "Selamat tinggal," kata si bocah. SI BOCAH BERKUDA MELINTASI GURUN SELAMA BEBERAPA JAM, menyimak baik-baik apa yang akan dikatakan hatinya. Hatinyalah yang akan memberitahu di mana hartanya tersembunyi. "Di mana hartamu berada, di sana jugalah hatimu," sang alkemis pernah berkata. Tapi hatinya berbicara tentang hal-hal lain. Dengan bangga, ia menuturkan kisah tentang seorang gembala yang meninggalkan kawanan ternaknya untuk mengikuti satu impian yang dimimpikannya dalam dua kesempatan yang berbeda. Mimpi itu bercerita tentang Legenda Pribadi, dan tentang banyaknya orang yang berkelana mencari negeri-negeri yang jauh atau perempuan- perempuan cantik, menghadapi orang-orang sezaman mereka dengan gagasan-gagasan yang sudah terpola. Mimpi itu bercerita tentang perjalanan-perjalanan, penemuan-penemuan, buku-buku, dan perubahan. Saat dia hendak mendaki bukit pasir yang lain lagi, hatinya berbisik, "Cermatilah tempat jatuhnya airmatamu. Di situlah aku berada, dan di situlah hartamu." Si bocah memanjat bukit pasir itu dengan perlahan.Bulan pumama muncul lagi di langit yang berbintang: telah satu bulan berlalu sejak oasis itu ia tinggalkan. Cahaya bulan menyajikan bayangan melalui bukit-bukit pasir, menciptakan tampilan seperti laut yang bergelombang; ia mengingatkan si bocah pada hari ketika kuda itu mendompak di gurun, dan dia datang untuk mengenal sang alkemis. Dan bulan itu turun di kesenyapan gurun, dan di perjalanan seseorang dalam pencarian harta. Saat dia mencapai puncak bukit pasir itu, hatinya melonjak. Di sana, disinari cahaya bulan dan kecemerlangan gurun, berdirilah dengan khidmat dan megahnya Piramida Mesir. Si bocah berlutut dan menangis. Dia berterima kasih pada Tuhan karena membuat dia percaya pada Legenda Pribadinya, dan karena membimbingnya bertemu dengan seorang raja, seorang pedagang, seorang Inggris, dan seorang alkemis. Dan terutama karena mempertemukannya dengan seorang perempuan gurun yang berkata kepadanya bahwa cinta tidak pernah menahan seorang lelaki dari Legenda Pribadinya. Bila dia mau, dia sekarang dapat kembali ke oasis, kembali ke Fatima, dan menjalani hidupnya sebagai seorang gembala biasa. Betapapun, sang alkemis meneruskan tinggal di gurun, meski dia memahami Bahasa Buana, dan tahu bagaimana mengubah timah menjadi emas. Dia tidak perlu menunjukkan ilmu dan seninya pada siapapun. Si bocah berkata pada dirinya bahwa, di perjalanan menuju pewujudan Legenda Pribadinya sendiri, dia telah belajar semua yang perlu dia ketahui, dan telah mengalami semua yang mungkin diimpikannya. Tapi di sinilah dia, di titik pencarian hartanya, dan dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa tidak ada proyek yang selesai sampai tujuan proyek itu tercapai. Si bocah memandang pasir di sekelilingnya, dan melihat bahwa, di tempat airmatanya jatuh, seekor scarab melesat melintasi pasir. Selama dia di gurun, dia telah mengerti bahwa, di Mesir, kumbang hitam itu adalah simbol Tuhan. Pertanda yang lain! Si bocah mulai menggali bukit pasir tadi. Sewaktu dia melakukannya, dia memikirkan apa yang pernah dikatakan pedagang kristal itu: bahwa setiap orang dapat membuat piramida dihalaman rumahnya. Kini si bocah bisa mengerti bahwa dia tidak dapat melakukannya bila dia meletakkan batu di atas batu sepanjang sisa hidupnya. Sepanjang malam, si bocah menggali tempat yang telah dipilihnya, tapi tidak menemukan apa-apa. Dia merasa tertinggal berabad-abad sejak Piramida dibangun. Tapi dia tidak berhenti. Dia berjuang melanjutkan menggali sambil melawan angin, yang kadang-kadang meniup pasir kembali ke galian. Tangannya bergetar dan kelelahan, tapi dia mendengarkan hatinya. Hatinya telah menyuruhnya menggali tempat airmatanya jatuh. Sewaktu dia mencoba menarik batu-batu yang dijumpainya, dia mendengar langkahlangkah kaki. Beberapa orang mendekatinya. Punggung-punggung mereka menutupi cahaya bulan, dan si bocah tidak dapat melihat mata ataupun wajah-wajah mereka. "Sedang apa kamu di sini?" tanya salah seorang dari mereka. Karena ketakutan, si bocah tidak menjawab. Dia telah menemukan tempat hartanya berada, dan takut akan apa yang mungkin terjadi. "Kami ini pengungsi perang suku, dan kami perlu uang," kata orang yang lain. "Apa yang kamu sembunyikan di sana?" "Aku tidak menyembunyikan apa-apa," jawab si bocah. Tapi seorang dari mereka mendorong si bocah dan menyentakkannya ke dalam lubang. Yang lainnya, yang memeriksa tas-tas si bocah, menemukan potongan emas. "Ini ada emas," katanya. Rembulan menyinari wajah orang Arab yang telah mendorongnya, dan di mata orang itu si bocah melihat kematian. "Mungkin dia punya emas lebih banyak lagi yang disembunyikan di dalam tanah." Mereka menyuruh si bocah terus menggali, tapi tidak menemukan apa-apa. Saat matahari terbit, orang-orang itu mulai menghajar si bocah. Dia terluka dan berdarah, bajunya robek-robek, dan dia merasa kematian mendekat. "Apa gunanya uang bila kau mati? Jarang uang menyelamatkan hidup orang," sang alkemis pernah berkata. Akhirnya, si bocah berteriak pada orang-orang itu, "Aku sedang menggali hartaku!" Dan, meski mulutnya berdarah dan bengkak, dia menceritakan pada para penyerangnya bahwa dia dua kali bermimpi tentang harta yang tersembunyi di dekat Piramida Mesir. Lelaki yang tampaknya menjadi pemimpin kelompok itu berkata pada seorang di antara mereka: "Tinggalkan dia. Dia tidak punya apa-apa lagi. Pasti dia mencuri emas ini." Si bocah terjatuh ke pasir, hampir pingsan. Pemimpin itu mengguncang tubuhnya dan berkata, "Kami pergi." Tapi sebelum mereka pergi, dia kembali pada si bocah dan berkata, "Kamu tidak akan mati. Kamu akan hidup, dan kamu akan belajar bahwa seorang lelaki tidak boleh bodoh. Dua tahun lalu, tepat di sini, aku juga mendapat mimpi yang berulang. Aku bermimpi bahwa aku harus berkelana ke ladang-ladang di Spanyol dan mencari sebuah gereja yang rusak tempat para gembala dan domba-domba tidur. Dalam mimpiku, ada pohon sikamor tumbuh di reruntuhan sakristi, dan aku diberitahu bahwa, jika aku menggali akar sikamor itu, aku akan menemukan harta terpendam. Tapi aku tidak begitu bodoh sampai mau menyeberangi gurun yang luas hanya untuk mimpi yang datang berulang." Dan mereka menghilang. Si bocah berdiri dengan gemetar, dan melihat sekali lagi pada Piramida. Mereka kelihatannya menertawai dia, dan dia balik menertawai, hatinya dipenuhi kegembiraan. Sebab kini dia tahu di mana hartanya berada. EPILOG SI BOCAH SAMPAI DI GEREJA KECIL DAN TERBENGKALAI SAAT malam tiba. Pohon sikamor itu masih tegak di sakristi, dan bintang-bintang masih dapat dilihat melalui atap yang nyaris hancur. Dia teringat kala dia di sana dengan domba-dombanya; itu adalah malam yang damai.., kecuali mimpinya. Kini dia di sini bukan dengan ternaknya, tapi dengan sekop. Dia duduk memandang langit untuk beberapa lama. Kemudian dia mengambil dari ranselnya sebotol anggur dan meminumnya. Dia ingat malam di gurun kala dia duduk dengan sang alkemis, saat mereka melihat bintang-bintang dan minum anggur bersama. Dia memikirkan jalan-jalan yang telah dia lalui, dan dengan cara yang aneh Tuhan menunjukkan padanya hartanya. Bila dia tak percaya pada arti mimpi yang berulang, dia mungkin tidak bertemu dengan perempuan Gipsi, raja, pencuri, atau... "Yah, daftarnya panjang. Tapi jalurnya sudah tertulis pada pertanda, dan tidak mungkin aku keliru," katanya pada dirinya sendiri. Dia tertidur, dan ketika dia terbangun, matahari sudah tinggi. Dia mulai menggali di dasar pohon sikamor itu. "Hai, penyihir tua," si bocah berteriak ke langit. "Kau mengetahui cerita lengkapnya. Kau bahkan meninggalkan emas di biara itu supaya aku kembali ke gereja ini. Biarawan itu tertawa saat dia melihatku kembali dengan pakaian compang-camping. Tak dapatkah kau menolongku waktu itu?" "Tidak," dia mendengar suara di angin. "Bila aku memberitahumu, kau tidak akan melihat Piramida. Mereka itu indah bukan?" Si bocah tersenyum, dan melanjutkan menggali, Setengah jam kemudian, sekopnya membentur sesuatu yang keras. Satu jam kemudian, di hadapannya tampak sepeti koin emas Spanyol. Juga ada batu-batu berharga, topeng-topeng emas yang dihiasi bulu-bulu merah dan putih, dan patung-patung batu bertatahkan permata. Barangbarang rampasan dari penakluk yang telah lama dilupakan oleh negeri ini, dan yang tak diceritakan oleh sang penakluk pada anak-anaknya. Si bocah mengeluarkan Urim dan Thummim dari tasnya. Dia hanya sekali menggunakan kedua batu itu, suatu pagi di pusat pasar. Hidupnya dan jalannya selalu memberikan cukup pertanda untuknya. Dia meletakkan Urim dan Thummim di peti itu. Mereka juga merupakan bagian dari hartanya yang baru, karena mereka adalah pengingat pada sang raja tua, yang tak akan pernah dilihatnya lagi. Benar; kehidupan sungguh-sungguh murah hati bagi mereka yang mengejar Legenda Pribadi mereka, pikir si bocah. Kemudian dia ingat bahwa dia harus kembali ke Tarifa untuk dapat memberikan sepersepuluh dari hartanya kepada perempuan Gipsi itu, seperti yang dia janjikan. "Orang-orang Gipsi itu benar-benar pintar," pikirnya. Mungkin karena mereka sering berpindah-pindah. Angin mulai bertiup lagi. Itu levanter, angin yang datang dari Afrika. Ia tidak membawa bau gurun, tidak pula ancaman serbuan bangsa Moor. Ia justru mengantarkan wangi parfum yang sangat dikenalnya, dan sentuhan sebuah kecupan -- kecupan yang datang dari jauh, pelan, pelan, hingga akhirnya sampai di bibirnya. Si bocah tersenyum. Inilah kali pertama gadis itu melakukannya. "Aku datang, Fatima," katanya