Alkemis mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt BAGIAN 2 SUDAH HAMPIR SATU BULAN SI BOCAH BEKERJA DI TOKO KRISTAL, dan dia dapat merasakan bahwa itu bukanlah pekerjaan yang membuatnya bahagia. Pedagang itu melewatkan sepanjang hari dengan mengomel di belakang meja, menyuruh si bocah berhati-hati dengan barang-barang dan supaya tidak memecahkan apapun. Tapi, dia bertahan dengan pekerjaannya karena pedagang itu memperlakukannya dengan baik, meski dia seorang penggerutu tua; si bocah mendapat komisi yang bagus untuk setiap barang yang terjual, dan sudah bisa menabung. Pagi itu dia menghitung: jika dia terus bekerja setiap hari seperti sekarang, dia perlu satu tahun penuh untuk dapat membeli beberapa domba. "Aku ingin membuat lemari pajangan untuk kristal ini," kata si bocah pada pedagang itu. "Kita dapat menaruhnya di luar, agar menarik perhatian orang-orang yang melewati dasar bukit." "Aku belum pernah punya lemari seperti itu," jawab si pedagang. "Orang-orang yang lalu-lalang bakal menabraknya, dan barang-barang itu bisa pecah." "Yah, saat aku membawa domba-dombaku melewati padang, beberapa di antara mereka mungkin mati bila kami bertemu ular. Tapi begitulah kehidupan domba dan para gembala." Pedagang itu berpaling ke seorang pembeli yang hendak membeli tiga gelas kristal. Kini dagangannya lebih laku..., seolah waktu berputar kembali ke hari-hari silam ketika jalan itu menjadi salah satu daya-tarik utama Tangier. "Bisnis kita benar-benar makin baik," katanya pada si bocah, setelah pembelinya pergi. "Barangku lebih laris, dan kamu bisa segera kembali ke domba-dombamu. Mengapa mesti minta lebih dari hidup ini?" "Karena kita harus menanggapi pertanda," kata si bocah, hampir tanpa arti; kemudian dia menyesali ucapannya, karena pedagang itu tidak pernah bertemu dengan sang raja. "Itulah yang disebut prinsip keberuntungan, kemujuran pemula. Karena kehidupan ingin kita meraih Legenda Pribadi kita," kata raja tua itu satu ketika. Tapi pedagang itu memahami perkataan si bocah. Kehadiran si bocah itu sendiri di tokonya merupakan satu pertanda, dan, seiring berjalannya waktu dan mengalirnya uang ke laci, dia tidak menyesal telah mempekerjakan si bocah. Dia mendapat bayaran lebih dari semestinya, karena pedagang itu menduga penjualan tidak akan tinggi, dan sebab itu ia menawari si bocah persentase komisi yang besar. Dia mengira si bocah akan segera kembali ke domba-dombanya. "Mengapa kamu ingin ke Piramida?" tanyanya, untuk melupakan soal lemari pajangan itu.. "Karena aku selalu mendengar tentang Piramida," jawab si bocah, tanpa sedikit pun menyebut mimpinya. Harta karun itu sekarang bukanlah apa-apa selain ingatan yang menyakitkan, dan dia berusaha menghindar dari memikirkan hal itu. "Aku tidak pernah mendengar ada orang di sini yang mau mengarungi gurun hanya untuk melihat Piramida," kata si pedagang. "Piramida-piramida itu hanya tumpukan batu. Kamu dapat membuatnya di halaman rumahmu." "Bapak tidak pernah bermimpi berkelana," kata si bocah, berpaling untuk menyambut seorang pembeli yang masuk toko. Dua hari kemudian, pedagang itu bicara tentang lemari pajangan yang dimaksud si bocah. "Aku tak terlalu suka pada perubahan," katanya. "Kamu dan aku tidak seperti Hassan, pedagang kaya itu. Jika dia salah beli, tidak akan berpengaruh banyak padanya. Tapi kita berdua harus menanggung beban kesalahan-kesalahan kita." Benar juga, pikir si bocah, dengan sedih. "Mengapa kamu berpikiran kita perlu memiliki lemari pajangan?" "Aku ingin lebih cepat mendapatkan kembali domba-dombaku. Kita harus mengambil keuntungan saat kemujuran berada di pihak kita. Itu disebut prinsip keberuntungan. Atau kemujuran pemula." Pedagang itu terdiam sejenak. Kemudian dia berkata, "Nabi memberi kami Al-Quran, dan meminta kami memenuhi hanya lima kewajiban selama hidup. Yang terpenting adalah percaya hanya pada satu Tuhan. Yang lainnya shalat lima waktu sehari, puasa selama bulan Ramadhan, dan berderma pada orang miskin." Dia berhenti sejenak. Matanya basah ketika dia bicara tentang Nabi. Dia orang beriman, dan, bahkan dengan segenap ketidaksabarannya, dia ingin rnenjalani hidupnya menurut hukurn Islam. "Kewajiban yang kelima, apa?" tanya si bocah. "Dua hari yang lalu, kamu mengatakan bahwa aku tidak pernah bermimpi mengembara,"jawab pedagang itu. "Kewajiban kelima bagi setiap Muslim adalah menunaikan ibadah haji. Kami diwajibkan, paling sedikit satu kali selama hidup, untuk rnengunjungi kota suci Mekkah. "Mekkah malah lebih jauh dari Piramida. Saat aku muda, yang kuinginkan hanyalah mengumpulkan uang untuk membuka toko ini. Aku berpikir, suatu hari nanti aku akan kaya dan dapat pergi ke Mekkah. Mulailah uang kudapat, tapi aku tak pernah bisa lega meninggalkan toko pada orang lain; kristal adalah barang yang rentan. Sementara itu, orang-orang berjalan melewati tokoku sepanjang waktu, menuju Mekkah. Beberapa dari mereka adalah peziarah yang kaya, berkelana dengan kafilah bersama para pembantu dan onta, tapi kebanyakan orang yang melakukan ziarah itu lebih miskin dari aku. "Semua orang yang ke sana merasa bahagia karena dapat melakukannya. Mereka meletakkan lambang-lambang penziarahan itu di pintu-pintu rumah mereka. Salah satunya, seorang tukang sepatu yang seumur hidupnya memperbaiki sepatu, bercerita bahwa dia sanggup berjalan selama hampir satu tahun rnelalui gurun, tapi merasa capek saat harus berjalan melewati jalan-jalan Tangier untuk membeli kulit." "Kok, Bapak tidak pergi ke Mekkah sekarang?" tanya si bocah. "Justru pikiran tentang Mekkah-lah yang membuatku terus hidup. Itulah yang membuatku kuat menghadapi hari-hari yang sama belaka ini; yang membuatku tahan menghadapi kristal-kristal bisu di rak, dan sanggup makan siang dan makan malarn di warung jelek yang itu-itu juga. Aku takut bila impianku terwujud, aku tak punya alasan lagi untuk melanjutkan hidup. "Kamu bermimpi tentang domba-domba dan Piramida, tapi kamu beda denganku, karena kamu ingin mewujudkan impianmu. Aku hanya memimpikan Mekkah. Sudah ribuan kali kubayangkan diriku melewati gurun pasir, tiba di Ka'bah, mengitarinya tujuh kali sebelum aku menyentuhnya. Kubayangkan orang-orang yang akan berada di sampingku, dan yang di depanku, dan percakapan dan doa-doa yang kami panjatkan bersama. Tapi aku takut semua itu akhirnya akan membuatku kecewa, jadi aku lebih suka memimpikannya saja." Hari itu, si pedagang mengizinkan si bocah membuat lemari pajangan. Tidak semua orang dapat melihat impiannya menjadi kenyataan dengan cara yang sama. DUA BULAN BERLALU, DAN LEMARI PAJANGAN ITU MENARIK banyak pembeli ke toko kristal. Si bocah sudah memperkirakan, bahwa jika dia bekerja selama enam bulan, dia dapat kembali ke Spanyol dan membeli enampuluh domba, malah ditamhah enampuluh domba lagi. Kurang dari setahun, dia sudah bisa menggandakan kawanan dombanya, dan dia bisa melakukan bisnis dengan orang Arab, karena dia sekarang dapat bicara dalam bahasa mereka yang aneh. Sejak pagi di pusat pasar tempo hari, dia tidak pernah lagi memanfaatkan Urim dan Thummim, karena Mesir baginya kini hanyalah mimpi yang sarna jauhnya dengan Mekkah bagi pedagang kristal itu. Toh, si bocah sudah senang dengan pekerjaannya, dan terus membayangkan hari saat dia turun dari kapal di Tarifa sebagai seorang pemenang. "Kau harus selalu tahu apa yang kau inginkan," orang tua itu pernah berkata. Si bocah tahu, dan sekarang sedang bekerja ke arahnya. Mungkin harta karunnya adalah ini: terdampar di negeri asing, ketemu pencuri, dan menggandakan jumlah kawanan dombanya tanpa keluar sesen pun. Dia bangga pada dirinya. Dia sudah belajar beberapa hal penting, seperti bagaimana berdagang kristal, dan tentang bahasa tanpa kata-kata.., dan tentang pertanda. Suatu sore dia melihat seorang pria di atas bukit, yang mengeluh bahwa susah sekali menemukan tempat yang layak untuk mendapatkan minuman setelah letih mendaki. Si bocah, terbiasa mengenali pertanda, berbicara kepada pedagang kristal. "Mari kita jual teh untuk orang-orang yang mendaki bukit." "Sudah banyak tempat minum teh di sekitar sini," kata pedagang itu. "Tapi kita bisa menjual teh di dalam gelas kristal. Orang akan menikmati tehnya dan ingin membeli gelasnya. Aku pernah diberitahu bahwa kecantikan adalah penggoda terbesar bagi lelaki." Pedagang itu tidak menanggapi, tapi sorenya, setelah sembahyang dan menutup toko, dia mengajak si bocah duduk dengannya dan memberikan hookahnya, pipa aneh yang biasa dipakai orang Arab. "Apa sebenarnya yang kamu cari?" tanya si pedagang tua. "Sudah kukatakan pada Bapak. Aku ingin membeli kembali domba-dombaku, jadi aku harus mendapatkan uang untuk itu." Pedagang itu menambahkan batubara ke hookah, dan mengisap dalam-dalam. "Sudah tigapuluh tahun toko ini kumiliki. Aku tahu kristal yang bagus dan yang jelek, dan mengerti semua hal yang perlu untuk memahami kristal. Aku tahu sisi-sisinya dan perilakunya. Kalau kita sajikan teh dalam kristal, toko ini bakal berkembang. Dan kemudian aku harus mengubah cara hidupku." "Lho, bukankah itu bagus?" "Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sebelum kamu datang, aku memikirkan betapa banyaknya waktu yang kusia-siakan di tempat yang sama ini, sementara teman-temanku telah pindah, entah mereka jatuh bangkrut atau menjadi lebih baik dari sebelumnya. Itu membuatku sangat tertekan. Kini kurasakan hal itu tidaklah terlalu buruk. Ukuran toko ini sudah pas seperti yang memang kuinginkan. Aku tak mau mengubah apapun, karena aku tidak tahu bagaimana menghadapi perubahan. Aku sudah terbiasa dengan keadaanku sekarang ini." Si bocah tidak tahu harus bilang apa. Orang tua itu melanjutkan, "Kamu benar-benar merupakan berkah bagiku. Sekarang aku mengerti sesuatu yang tidak kulihat sebelumnya: rahmat yang diabaikan akan menjadi kutuk. Aku tak ingin apa-apa lagi dalam hidup ini. Tapi kamu mendesakku untuk melihat kekayaan dan cakrawala yang tak pernah kukenal. Sekarang, setelah aku melihatnya, dan sesudah kulihat betapa besarnya peluang-peluangku, aku akan merasa lebih buruk daripada sebelum kamu datang. Sebab aku jadi tahu hal-hal yang mampu kulakukan, sementara aku tidak mau melakukannya." Baguslah aku menahan diri dengan tidak mengatakan apa-apa pada tukang roti di Tarifa itu, pikir si bocah. Mereka terus mengisap pipa sampai sesaat sebelum matahari mulai tenggelam. Mereka berbincang dalam bahasa Arab, dan si bocah berbangga diri karena mampu melakukannya. Pernah ada saat ketika dia mengira domba-dombanya dapat mengajari segala hal yang perlu dia ketahui tentang dunia. Tapi mereka tidak bisa mengajari dia bahasa Arab. Rupanya ada banyak hal di dunia ini yang tak dapat diajarkan oleh domba-domba itu padaku, pikir si bocah, saat dia menyalami pedagang tua itu. Yang selalu mereka lakukan, sesungguhnya, hanyalah mencari makanan dan air. Dan mungkin bukan mereka yang mengajarku, tapi akulah yang belajar dari mereka. "Maktub," kata pedagang itu, akhirnya. "Apa 'tuh artinya?" "Kamu harus lahir sebagai orang Arab untuk memahaminya," jawabnya. "Tapi dalam bahasamu maknanya kira-kira 'Sudah tertulis'." Dan, seraya menekan-nekan batubara di hookah, dia berkata pada si bocah bahwa dia boleh mulai menjual teh di gelas kristal. Kadang-kadang, tidak ada cara untuk membendung sungai. ORANG-ORANG ITU MENDAKI BUKIT, DAN KELELAHAN SAAT mencapai puncak. Tapi di sana mereka melihat sebuah toko kristal yang menawarkan teh rasa jahe yang menyegarkan. Mereka masuk untuk minum teh itu, yang disajikan dalam gelas-gelas kristal yang indah. "Isteriku tidak pernah berpikir tentang hal ini," kata seseorang, dan dia membeli beberapa kristal --dia akan menjamu sejumlah tamu malam itu, dan para tamu akan terkesan oleh keindahan gelas-gelas tuan rumah. Lelaki yang lain berkata bahwa teh selalu terasa lebih nikmat jika disajikan dalam kristal, karena aromanya bertahan. Orang ketiga berkata bahwa di Timur memang ada tradisi menggunakan gelas kristal untuk teh karena ia mengandung daya gaib. Tidak lama, tersebarlah kabar itu, dan banyak sekali orang yang mendaki bukit untuk melihat toko yang melakukan hal baru dalam perdagangan yang sudah kuno. Toko-toko lain dibuka dan menyediakan teh dalam kristal juga, tapi mereka tidak berada di puncak sebuah bukit, dan bisnis mereka kecil saja. Pedagang itu akhirnya harus mempekerjakan dua pegawai lagi. Dia mulai mengimpor teh dalam jumlah yang sangat besar, bersama dengan kristalnya, dan tokonya dicaricari oleh para lelaki dan perempuan yang haus akan hal-hal baru. Dan, dalam keadaan begitu, bulan-bulan pun berlalu. SI BOCAH TERBANGUN SEBELUM FAJAR. SUDAH SEBELAS BULAN sembilan hari sejak dia pertama kali menginjakkan kaki di benua Afrika. Dia mengenakan pakaian Arabnya yang terbuat dari linen putih, dibeli khusus untuk hari ini. Dia memasang kain penutup kepala dan mengencangkannya dengan cincin dari kulit onta. Memakai sandal barunya, dia menuruni tangga pelan-pelan. Kota masih tidur. Dia mengunyah kue dan minum teh panas dari gelas kristal. Lalu dia duduk di pintu masuk yang terkena sinar matahari, mengisap hookah. Dia merokok tenang-tenang, tak memikirkan apapun, dan mendengarkan suara angin yang mengantarkan bau gurun. Seusai merokok, dia merogoh salah satu sakunya, dan menahan tangannya di sana sejenak, untuk sesuatu yang akan diambilnya. Setumpuk uang. Cukup untuk membeli seratus duapuluh domba, tiket pulang dan surat izin untuk mengimpor barang-barang Afrika ke negerinya. Sabar dia menunggu pedagang itu bangun dan membuka toko. Lalu mereka berdua beranjak untuk minum teh lagi. "Aku akan berangkat hari ini," ucap si bocah. "Aku sudah punya uang yang kuperlukan untuk membeli domba. Dan Bapak sudah punya uang yang Bapak perlukan untuk pergi ke Mekkah." Lelaki tua itu diam saja. "Maukah Bapak memberi restu padaku?" tanya si bocah. "Bapak sudah menolongku." Lelaki itu terus menyiapkan tehnya, tanpa mengatakan apapun. Kemudian dia berpaling pada si bocah. "Aku bangga padamu," katanya. "Kamu membawakan suasana baru ke dalam toko kristalku. Tapi kamu tahu bahwa aku tidak akan pergi ke Mekkah. Seperti kamu tahu bahwa kamu tak akan membeli domba." "Dari mana Bapak tahu?" tanya si bocah, kaget. "Maktub," kata pedagang kristal tua itu. Dan dia memberi restunya pada si bocah. SI BOCAH PERGI KE KAMARNYA DAN MENGEMAS BARANG-barangnya. Tiga karung banyaknya. Saat dia hendak pergi, dia melihat, di pojok ruangan, kantong gembala lusuhnya. Kantong itu terikat, dan sudah lama dia hampir tak pernah memikirkannya lagi. Ketika dia mengeluarkan jaketnya dari kantong itu, berniat untuk memberikannya pada seseorang di jalan, dua butir batu jatuh ke lantai. Urim dan Thummim. Itu membuat si bocah berpikir tentang si raja tua, dan mengejutkannya karena sadar telah begitu lama waktu berlalu sejak terakhir kali dia memikirkan raja itu. Selama hampir setahun ini dia bekerja tanpa henti, hanya berpikir untuk menabung uang supaya bisa pulang ke Spanyol dengan bangga. "Jangan pernah berhenti bermimpi," raja tua itu pernah berkata. "Ikutilah pertanda." Si bocah mengambil Urim dan Thummim, dan, sekali lagi, mengidap perasaan yang aneh bahwa raja tua itu berada di dekatnya. Dia telah bekerja keras selama satu tahun, dan pertandanya mengisyaratkan itulah saatnya untuk pergi. Aku akan kembali ke pekerjaanku yang dulu, pikir si bocah. Meski domba-domba itu tidak mengajariku bahasa Arab. Tapi domba-domba itu mengajarinya sesuatu yang lebih penting: bahwa ada bahasa di dunia yang dimengerti setiap orang, bahasa yang digunakan si bocah sepanjang waktu saat dia mencoba mengembangkan hal-hal baru di toko kristal itu. Itulah bahasa gairah, menyangkut hal-hal yang dicapai dengan rasa cinta dan niat, dan sebagai bagian dari ikhtiar mencari sesuatu yang diyakini dan diinginkan. Tangier bukan lagi kota asing, dan dia merasa bahwa, sebagaimana dia menaklukkan tempat ini, dia sanggup menaklukkan dunia. "Jika kamu menginginkan sesuatu, segenap alam semesta akan membantumu mencapainya," kata raja tua itu. Tapi sang raja tua tidak bilang apa-apa tentang dirampok, atau tentang gurun pasir yang menghampar tak berbatas, atau tentang orang-orang yang tahu impian-impian mereka tapi tidak mau mewujudkannya. Raja tua itu tidak mengatakan padanya bahwa Piramida hanyalah tumpukan batu, atau bahwa setiap orang dapat membuatnya di halaman rumahnya. Dan dia lupa menyebut bahwa kalau kita punya uang yang cukup untuk membeli kawanan domba yang lebih besar daripada yang pernah kita miliki, maka kita perlu membelinya. Si bocah mengambil kantongnya dan memasukkannya bersama dengan barangbarangnya yang lain. Dia menuruni tangga dan mendapati pedagang itu sedang melayani sepasang orang asing, sementara dua pembeli lainnya berjalan menghampiri toko, ingin minum teh dari gelas-gelas kristal. Pagi ini lebih ramai daripada biasanya. Dari tempatnya berdiri, untuk pertama kalinya dia melihat rambut pedagang tua itu sangat mirip dengan rambut sang raja tua. Dia teringat senyum penjual manisan, di hari pertamanya di Tangier, saat dia tidak punya apa-apa untuk dimakan dan tak tahu mau kemana --senyum itu juga seperti senyum sang raja tua. Sepertinya dia pernah ke sini dan meninggalkan tandanya, pikirnya. Toh tak satu pun di antara orang-orang ini pernah bertemu dengan raja tua itu. Padahal, dia bilang bahwa dia selalu muncul untuk membantu orang-orang yang berusaha mewujudkan Legenda Pribadi mereka. Dia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal pada si pedagang kristal. Dia tidak ingin menangis dengan dilihat orang lain. Dia akan merindukan tempat ini dan semua hal baik yang pernah dialaminya di sana. Namun dia kini lebih percaya-diri, dan merasa seakan sanggup menaklukkan dunia. "Aku akan kembali ke ladang-ladang yang kukenal, untuk memelihara ternakku lagi." Dia berkata pada dirinya dengan sepenuh keyakinan, tapi dia tak lagi merasa bahagia dengan keputusannya. Dia telah bekerja setahun penuh untuk mewujudkan impiannya, dan impiannya itu, detik demi detik, menjadi makin tak penting. Mungkin karena itu bukanlah impiannya yang sejati. Siapa tahu.., mungkin lebih baik seperti si pedagang kristal: tak pernah pergi ke Mekkah, dan hanya menjalani hidupnya dengan menginginkan hal itu, pikirnya, sekali lagi mencoba meyakinkan dirinya. Tapi saat dia memegang Urim dan Thummim, mereka mengirimkan kekuatan dan keinginan sang raja tua. Secara kebetulan --atau mungkin ini adalah pertanda, pikir si bocah-- dia mampir ke kedai yang pernah dia masuki di hari pertamanya di Tangier. Pencuri itu tidak ada, dan pemilik kedai membawakan teh untuknya. Aku selalu dapat kembali menjadi gembala, pikir si bocah. Aku sudah tahu cara merawat domba, dan aku belum lupa bagaimana melakukannya. Tapi mungkin aku tak akan pernah lagi mendapat kesempatan untuk pergi ke Piramida di Mesir. Orang tua itu memakai piringan dada dari emas, dan dia tahu tentang masa laluku. Dia benarbenar seorang raja, raja yang bijak. Bukit-bukit Andalusia hanya berjarak dua jam perjalanan, sementara ada gurun luas membentang antara dia dan Piramida Toh si bocah merasa ada cara lain untuk melihat situasi dirinya: sebenarnya dia hanya berjarak dua jam dari harta karunnya..., kenyataan bahwa dua jam itu telah merentang menjadi setahun penuh bukanlah masalah. Aku tahu mengapa aku ingin kembali kepada kawanan dombaku, pikirnya. Aku memahami domba-domba; mereka bukan lagi merupakan masalah, dan mereka bisa menjadi sahabat. Sementara, aku tidak tahu apakah gurun dapat menjadi teman, padahal di gurun itulah aku harus mencari harta karunku. Tapi bila aku tidak mendapatkannya, aku selalu bisa pulang. Toh aku sekarang punya cukup uang, dan seluruh waktu yang kuperlukan. Jadi, mengapa tidak dicoba? Tiba-tiba dia merasa sangat bahagia. Dia selalu dapat kembali menjadi gembala. Dia selalu bisa menjadi penjual kristal lagi. Mungkin dunia punya harta-harta terpendam lainnya, tapi dia punya satu impian, dan dia telah bertemu dengan seorang raja. Ini tidak terjadi pada setiap orang! Dia menyusun rencana saat dia meninggalkan kedai. Dia ingat salah satu dari pemasok toko itu mengangkut kristal dengan karavan yang melintasi gurun. Dia menggenggam Urim dan Thummim; karena dua batu itulah dia sekali lagi berada di jalan menuju harta karunnya. "Aku selalu berada di tempat yang dekat, saat seseorang ingin mewujudkan Legenda Pribadinya," raja tua itu pernah berkata kepadanya. Bagaimana kalau dia mendatangi gudang pemasok kristal dan mencari tahu apakah Piramida memang sejauh itu? LELAKI INGGRIS ITU DUDUK DI BANGKU PANJANG DI SATU bangunan yang berbau binatang, keringat dan debu; bangunan ini separuh gudang, separuh kandang. Aku tak pernah berpikiran akan berakhir di tempat seperti, pikirnya, sembari membalik-balik halaman sebuah jurnal kimia. Setelah sepuluh tahun di universitas, di kandang ternak inilah diriku sekarang. Tapi dia harus terus. Dia percaya akan pertanda. Sepanjang hidupnya dan segenap penelitiannya ditujukan untuk mencari satu bahasa sejati di alam semesta. Pertamatama dia mempelajari bahasa Esperanto, lalu agama-agama besar, dan kini dia menekuni alkemi, kimia. Dia mampu berbahasa Esperanto, dia sangat paham semua agama besar, tapi dia belum juga menjadi ahli kimia, menjadi alkemis. Dia telah mengungkap kebenaran di balik pertanyaan-pertanyaan penting, tapi kajian-kajiannya telah membawanya ke titik jauh yang tampaknya tak sanggup dicapainya. Dia telah berupaya mati-matian untuk membina hubungan dengan seorang alkemis. Tapi para alkemis adalah orang-orang aneh, yang hanya memikirkan diri sendiri, dan hampir selalu menolak membantunya. Siapa tahu, mereka telah gagal mengungkap rahasia Karya Agung --Batu Filsuf-- dan karena alasan inilah mereka tak mau memaparkan pengetahuan mereka. Dia telah mengeluarkan banyak harta warisan ayahnya, mencari dengan sia-sia Batu Filsuf itu. Dia telah menghabiskan begitu banyak waktu di perpustakaan-perpustakaan besar dunia, dan telah membeli semua buku langka dan terpenting tentang alkemi. Di satu buku dia membaca bahwa dulu ada alkemis termashur Arab yang mengunjungi Eropa. Dikatakan bahwa umurnya lebih dari duaratus tahun, dan bahwa dia telah menemukan Batu Filsuf dan Obat Hidup. Lelaki Inggris itu amat terkesan dengan kisah tadi. Tapi dia tak pernah mengira bahwa cerita itu bukan sekadar dongeng, bila seorang temannya --sekembali dari ekspedisi arkeologi di gurun-- tidak memberitahu dia tentang seorang Arab yang memiliki kekuatan-kekuatan yang menakjubkan. "Dia tinggal di oasis Al-Fayoum," tutur temannya itu. "Dan orang-orang bilang umurnya duaratus tahun, dan bisa mengubah logam apapun menjadi emas." Orang Inggris itu tak sanggup membendung gairahnya. Dia menunda semua janjinya dan mengumpulkan semua bukunya yang terpenting, lalu di sinilah dia kini berada, duduk di dalam gudang yang berdebu dan bau. Di luar, sebuah karavan besar sedang disiapkan untuk menyeberangi Sahara, dan dijadwalkan melewati Al-Fayoum. Aku akan menemukan alkemis terkutuk itu, pikir si orang Inggris. Dan bau binatang terasa tak terlalu menyengat lagi. Seorang pemuda Arab, juga membawa banyak bagasi, masuk dan menyapa si orang Inggris. "Kamu mau ke mana?" tanya pemuda Arab itu. "Aku mau ke gurun," jawabnya, kembali ke bacaannya. Saat ini dia tidak ingin bercakap-cakap. Yang perlu dia lakukan adalah memeriksa lagi semua yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun, karena alkemis itu pasti akan mengujinya. Pemuda Arab itu mengeluarkan buku dan mulai membaca. Buku itu dalam bahasa Spanyol. Baguslah, pikir si orang Inggris. Dia lebih paham bahasa Spanyol daripada Arab, dan, kalau anak ini mau ke Al-Fayoum, akan ada orang yang bisa diajak ngobrol saat tidak ada hal-hal penting yang dikerjakan. "ANEH," KATA SI BOCAH, SAAT DIA SEKALI LAGI BERUSAHA membaca adegan pemakaman yang memulai buku itu. "Sudah dua tahun aku mencoba untuk membaca buku ini, dan aku tidak pernah bisa melewati halaman-halaman pertama ini." Bahkan tanpa ada seorang raja yang menyela pun dia tidak mampu berkonsentrasi. Dia masih bimbang dengan keputusan yang diambilnya. Tapi dia sudah bisa memahami satu hal: membuat keputusan hanyalah permulaan. Bila seseorang membuat keputusan, sebenarnya dia menyelam ke dalam arus kuat yang akan membawanya ke tempat-tempat yang tak pernah dia impikan saat pertama kali membuat keputusan itu. Waktu aku memutuskan untuk mencari harta karunku, pikirnya, aku tak pernah membayangkan bakal berakhir dengan bekerja di sebuah toko kristal Dan bergabung dengan karavan ini mungkin merupakan keputusanku, tapi kemana karavan ini akan menuju masih merupakan misteri bagiku. Di dekatnya ada lelaki Inggris, membaca buku. Kelihatannya dia tidak ramah, dan tampak terganggu saat si bocah masuk. Mereka mungkin bisa menjadi teman, tapi orang Inggris itu menutup pintu percakapan. Si bocah menutup bukunya. Dia merasa enggan melakukan apa yang membuatnya akan tampak seperti orang Inggris itu. Dia mengambil Urim dan Thummim dari sakunya, dan mulai bermain dengan mereka. Orang asing itu berteriak, "Urim dan Thummim!" Secepat kilat si bocah memasukkan keduanya kembali ke sakunya. "Batu-batu ini tidak dijual," katanya. "Mereka tak terlalu berharga," jawab lelaki Inggris itu. "Mereka hanya terbuat dari batu kristal, dan ada jutaan batu kristal di bumi. Tapi orang-orang yang paham hal-hal semacam ini pastilah tahu bahwa batu-batu itu adalah Urim dan Thummim. Aku tidak menyangka batu-batu itu ada di wilayah ini." "Aku mendapatkannya sebagai hadiah dari seorang raja," kata si bocah. Orang asing itu tidak menyahut; dia cuma memasukkan tangannya ke kantongnya dan mengeluarkan dua batu yang sama seperti milik si bocah. "Kamu tadi menyebut-nyebut raja?" tanyanya. "Mungkin kamu tidak percaya ada raja yang mau bicara dengan orang seperti aku, seorang gembala," katanya, ingin mengakhiri percakapan. "Sama sekali tidak Para gembalalah yang pertama kali mengakui seorang raja ketika seluruh dunia tak mau mengakui. Jadi, tidak mengherankan kalau raja-raja mau bicara dengan para gembala." Dan dia meneruskan, khawatir si bocah tidak memahami ucapannya. "Itu ada di Alkitab. Buku yang sama yang mengajariku tentang Urim dan Thummim. Batu-batu ini merupakan satu-satunya bentuk keilahian yang diizinkan oleh Tuhan. Para imam membawa mereka dalam piringan emas penutup dada." Si bocah tiba-tiba merasa gembira berada di gudang itu. "Barangkali ini adalah sebuah pertanda," kata orang Inggris, setengah berteriak. "Siapa yang memberitahumu tentang pertanda?" keingintahuan si bocah meningkat sejak itu. "Segala sesuatu di dunia adalah pertanda," kata orang Inggris, sekarang menutup jurnal yang sedang dibacanya. "Ada bahasa universal, dimengerti oleh setiap orang, tapi sudah dilupakan. Aku sedang mencari bahasa universal itu, antara lain. Itulah sebabnya aku di sini. Aku harus mencari orang yang tahu tentang bahasa universal itu. Seorang alkemis, ahli kimia." Percakapan mereka tersela oleh pemilik gudang. "Kalian beruntung, kamu berdua," kata orang Arab gemuk itu. "Ada karavan yang berangkat ke A1-Fayoum hari ini." "Tapi aku mau ke Mesir," kata si bocah. "Al-Fayoum itu di Mesir," kata orang Arab itu. "Orang Arab macam apa kau ini?" "Itu pertanda baik," kata si orang Inggris, setelah orang Arab gemuk itu pergi. "Kalau bisa, aku ingin menulis ensiklopedi yang sangat besar hanya tentang kata keberuntungan dan kebetulan. Dengan kata-kata itulah babasa universal ditulis." Dia berkata pada si bocah bahwa bukanlah kebetulan dia bertemu dengannya, dengan Urim dan Thummim di tangannya. Dan dia menanyakan si bocah apakah dia pun sedang mencari alkemis itu. "Aku sedang mencari harta karun," kata si bocah, dan segera menyesal telah mengungkapkannya. Tapi lelaki Inggris itu tampak tak terlalu menaruh perhatian. "Dalam satu hal, aku juga," katanya. "Aku bahkan tidak tahu apa itu alkemi," kata si bocah, ketika pemilik gudang memanggil mereka keluar. "AKU PEMIMPIN KAFILAH INI," KATA LELAKI BEREWOKAN bermata gelap itu. "Aku memegang kendali atas hidup dan mati setiap orang yang bersamaku. Gurun pasir itu seperti perempuan yang tak terduga, dan kadang ia membikin lelaki gila." Ada hampir duaratus orang berkurnpul di sana dan empatratus hewan --onta, kuda, keledai, dan unggas. Dalam kerumunan ada perempuan, anak-anak, dan sejumlah lelaki dengan pedang di pinggang dan senapan di bahu mereka. Orang Inggris itu membawa beberapa kopor penuh buku. Suasananya bising, sehingga sang pemimpin harus mengulang perkataannya beberapa kali supaya setiap orang mengerti. "Ada berbagai macam orang, dan setiap orang mempunyai Tuhannya masing-masing. Tapi Tuhan yang kusembah adalah Allah, dan dengan namaNya aku bersumpah akan sekali lagi melakukan segala yang mungkin untuk mengalahkan gurun. Tapi aku ingin setiap orang dari kalian semua berjanji kepada Tuhan yang kalian percayai bahwa kalian akan mengikuti apapun yang kuperintahkan. Di gurun, pembangkangan berarti kematian." Terdengar gumaman di kerumunan itu. Seriap orang berjanji dalam diam kepada Tuhan mereka masing-masing. Si bocah berjanji pada Yesus Kristus. Orang Inggris itu tidak mengatakan apapun. Dan gumam-gumam itu berlangsung lebih lama daripada sekadar sumpah. Orang-orang juga memanjatkan doa minta perlindungan. Nada panjang terdengar dari terompet, dan semua orang bergegas. Si bocah dan orang Inggris telah membeli onta, dan dengan ragu-ragu menaiki punggungnya. Si bocah merasa kasihan pada onta orang Inggris itu, karena harus membawa banyak kopor buku. "Tak ada hal yang kebetulan," kata si orang Inggris, menyambung percakapan yang terputus di gudang tadi. "Aku ke sini karena seorang kawanku mendengar tentang seorang Arab yang ...." Tapi karavan mulai bergerak, dan tak mungkinlah mendengar apa yang dikatakan lelaki Inggris itu. Namun si bocah tahu apa yang hendak dia ungkapkan: rantai misterius yang menghubungkan satu hal dengan hal lain, rantai serupa yang menyebabkan dia menjadi gembala, yang menyebabkan mimpinya berulang, yang membawanya ke sebuah kota di dekat Afrika, bertemu seorang raja, dan dirampok hanya untuk bertemu dengan seorang pedagang kristal, dan .... Semakin dekat seseorang ke pewujudan Legenda Pribadinya, semakin besar Legenda Pribadinya menjadi alasan utamanya untuk hidup, pikir si bocah. Karavan bergerak ke arah timur. Karavan itu berjalan pagi, berhenti saat matahari sedang terik-teriknya, dan melanjutkan perjalanan sore hari. Si bocah bicara sebentar dengan orang Inggris, yang menghabiskan sebagian besar waktu dengan buku-bukunya. Si bocah diam-diam mengamati progres hewan dan orang-orang yang melewati gurun itu. Sekarang semuanya sangat berbeda dari keadaan saat mereka berangkat: waktu itu ada kebingungan dan teriakan, tangisan anak-anak dan lenguh hewan-hewan, semuanya bercampur dengan perintah-perintah gugup para pemandu dan pedagang. Tapi, di gurun, yang terdengar hanya suara angin yang tak henti, dan irama kaki hewan-hewan. Bahkan para pemandu hanya bicara sepatah-dua kata antara sesamanya. "Aku sering menapaki pasir ini," kata salah seorang penunggang onta suatu malam. "Tapi gurun ini begitu luas, dan kaki langit begitu jauh, sehingga membuat orang merasa kecil, dan seakan dia harus tetap diam." Si bocah mengerti secara naluriah apa yang dimaksud, walau dia sebelumnya tak pernah menginjakkan kaki di gurun. Setiap dia melihat laut, atau api, dia terdiam, terpana oleh kekuatan dasar mereka. Aku telah belajar banyak hal dari dornba-domba, dan aku telah belajar banyak hal dari kristal-kristal, pikirnya. Aku dapat pula belajar sesuatu dari gurun. Ia tampak tua dan bijak. Angin tak pernah berhenti, dan si bocah ingat hari ketika dia duduk di benteng di kota Tarifa dengan angin yang sama ini menerpa wajahnya. Ini mengingatkannya pada wol dari domba-dombanya..., domba-dombanya yang kini mencari makanan dan air di ladang-ladang Andalusia, seperti selalu mereka lakukan. "Mereka bukan domba-dombaku lagi," katanya pada dirinya, tanpa kerinduan. "Mereka pasti sudah terbiasa dengan gembala baru mereka, dan mungkin sudah melupakanku. Itu bagus. Mahluk seperti domba, yang terbiasa berkelana, paham tentang langkah tanpa jeda." Dia memikirkan puteri pedagang kain itu dan yakin dia mungkin sudah menikah. Mungkin dengan seorang tukang roti, atau dengan gembala yang dapat membaca dan bisa menceritainya kisah-kisah yang memikat --bagaimanapun, dia bukanlah satusatunya lelaki. Tapi dia merasa gembira akan pemahaman naluriahnya atas komentar penunggang onta itu: mungkin dia juga sedang belajar bahasa universal yang berhubungan dengan masa silam dan masa kini setiap orang. "Firasat," begitu ibunya biasa menyebutnya. Si bocah mulai mengerti bahwa sebenarnya intuisi adalah penceburan mendadak suatu jiwa ke dalam arus kehidupan universal, tempat terhubungnya sejarah semua orang, dan kita bisa mengetahui semua hal, karena semuanya sudah tertulis di sana. "Maktub," ucap si bocah, teringat pedagang kristal itu. Gurun adalah hamparan pasir di beberapa tempat, dan bebatuan di tempat-tempat lainnya. Jika karavan terhalang oleh batu besar, ia harus mengitarinya; bila ada daerah bebatuan yang luas, mereka harus melakukan putaran besar. Kalau pasir terlalu lunak bagi kuku-kuku hewan, mereka mencari jalan yang tanahnya lebih keras. Di beberapa tempat, permukaan tertutup oleh garam dari bekas danau-danau yang mengering. Hewan-hewan mogok di tempat-tempat seperti itu, dan para penunggang onta terpaksa turun dan mengurangi beban mereka. Para penunggang itu membawa sendiri barang-barang mereka melalui pijakan-pijakan yang berbahaya, dan kemudian memuati lagi onta-onta itu. Bila seorang pemandu jatuh sakit atau meninggal, para penunggang onta harus mengadakan undian dan memilih pemandu baru. Tapi semua ini terjadi karena satu alasan dasar: tak peduli berapa banyak jalan putaran dan penyesuaian-penyesuaian yang dibuat, karavan-karavan itu teras berjalan menuju titik kompas yang sama. Begitu rintangan-rintangan teratasi, ia kembali ke jalannya, melihat bintang yang menunjukkan lokasi oasis. Saat orang melihat bintang itu bersinar di langit pagi, mereka tahu mereka berada di jalur yang benar menuju air, pohon-pohon palem, tempat berteduh, dan orang-orang lain. Hanya orang Inggris yang tidak menyadari semua ini; dia, sepanjang waktu, membenamkan diri dalam buku-bukunya. Si bocah juga punya buku, dan dia mencoba membacanya selama hari-hari pertama perjalanan. Tapi dia merasa lebih tertarik mengamati karavan itu dan mendengarkan angin. Segera setelah dia mengenal ontanya, dan menjalin hubungan dengannya, dia membuang bukunya. Meski si bocah telah mengembangkan suatu tahayul bahwa setiap dia membuka bukunya dia akan belajar sesuatu yang penting, dia memutuskan bahwa buku itu adalah sebuah beban yang tak perlu. Dia menjadi akrab dengan penunggang onta yang berjalan di sebelahnya. Di malam hari, ketika mereka duduk mengelilingi api unggun, si bocah menceritakan pada penunggang itu pengalaman-pengalamannya sebagai gembala. Pada salah satu percakapan, penunggang tadi bercerita tentang kehidupannya sendiri. "Aku dulu tinggal di dekat El Cairum," katanya. "Aku punya kebun anggrek, anakanak, dan kehidupan yang tampaknya tak akan berubah sampai aku mati. Suatu tahun, ketika terjadi panen terbaik, kami semua pergi ke Mekkah, dan aku memenuhi satu-satunya kewajiban yang belum kulaksanakan dalam hidupku. Aku dapat meninggal dengan bahagia, dan hal itu membuatku merasa nyaman. "Suatu hari, bumi berderak, dan Nil meluap. Selama ini kupikir itu hanya dapat terjadi pada orang lain, tak akan pernah pada diriku. Para tetanggaku takut kehilangan pohon-pohon zaitun mereka karena banjir itu, dan isteriku takut kami kehilangan anak-anak kami. Kurasa semua yang kumiliki akan musnah." "Lahanku rusak, dan aku harus mencari pekerjaan lain untuk mendapatkan nafkah hidup. Maka sekarang aku jadi penunggang onta. Tapi bencana itu mengajariku untuk memahami firman Allah: orang tidak perlu takut pada hal yang tak dikenal bila mereka sanggup meraih apa yang mereka butuhkan dan inginkan. "Kita takut kehilangan apa yang kita miliki, entah itu hidup kita ataupun barangbarang dan tanah kita. Tapi ketakutan ini lenyap saat kita memahami bahwa kisah hidup kita dan sejarah dunia ini ditulis oleh tangan yang sama." Sesekali, karavan mereka berpapasan dengan karavan lain. Yang satu selalu memiliki sesuatu yang dibutuhkan yang lain --seolah segalanya memang telah disuratkan oleh satu tangan. Saat mereka duduk mengelilingi unggun, para penunggang onta saling bertukar kabar tentang badai, dan menuturkan kisah-kisah tentang gurun. Di saat lain, muncul orang-orang misterius yang berkerudung; mereka adalah orangorang Badui yang mengawasi jalan sepanjang rute karavan. Mereka memberi peringatan tentang para perompak dan suku-suku buas. Mereka datang dan pergi secara diam-diam, mengenakan pakaian hitam yang hanya memperlihatkan mata mereka. Suatu malam, seorang penunggang onta mendatangi api unggun tempat orang Inggris dan si bocah duduk. "Ada isu tentang perang suku," ungkapnya kepada mereka. Ketiganya terdiam. Si bocah merasakan adanya rasa takut di udara, meski tak seorang pun yang mengatakan sesuatu. Sekali lagi dia mengalami bahasa tanpa katakata... bahasa universal. Orang Inggris itu bertanya apakah mereka dalam bahaya. "Sekali kau masuk ke dalam gurun, tak ada jalan untuk kembali," ujar penunggang onta itu. "Dan, bila kau tak dapat kembali, yang harus kau pikirkan hanyalah jalan terbaik untuk bergerak ke depan. Selanjutnya terserah Allah, termasuk bahaya." Dan dia menyimpulkan dengan mengucapkan kata misterius itu: "Maktub." "Kamu harus lebih memperhatikan karavan," kata si bocah pada lelaki Inggris itu, setelah si penunggang onta pergi. "Kita melewati banyak jalan memutar, tapi kita selalu mengarah ke tujuan yang sama." "Dan kamu harus membaca lebih banyak tentang dunia," jawab orang Inggris. "Dalam hal ini buku-buku itu seperti karavan." Himpunan orang dan hewan-hewan mulai berjalan lebih cepat. Hari-hari sebelumnya selalu redam, tapi sekarang, bahkan di malam hari --saat para pengembara biasanya mengobrol di sekitar api unggun-- pun senyap. Dan, suatu hari, pemimpin karavan memutuskan bahwa api unggun tidak boleh lagi dinyalakan, supaya tidak menarik perharian orang ke karavan. Para pengembara itu mengikuti kebiasaan dengan menata hewan-hewan menjadi lingkaran di malam hari, tidur bersama di tengah-tengahnya untuk berlindung dari dinginnya malam. Dan sang pemimpin menyebar para pengawal bersenjata di pinggiran kelompok. Suatu malam orang Inggris itu tidak bisa ridur. Dia memanggil si bocah, dan mereka berjalan-jalan di bukit-bukit pasir yang mengitari tempat perkemahan. Saat itu bulan purnama, dan si bocah menuturkan kisah hidupnya kepada lelaki Inggris itu. Si orang Inggris terpesona pada bagian kerika toko kristal itu mencapai kemajuan setelah si bocah mulal bekerja di sana. "Itulah prinsip yang mengatur semua hal," katanya. "Dalam alkemi, itu disebut Jiwa Buana. Bila kamu menginginkan sesuatu dengan segenap hatimu, itulah saat terdekatmu dengan Jiwa Buana. Ia selalu merupakan kekuatan yang positif." Dia juga berkata bahwa ini bukanlah berkah bagi manusia semata, bahwa segala yang ada di muka bumi ini mempunyai jiwa, entah itu mineral, sayuran, ataupun hewan --atau bahkan sekadar pemikiran sederhana. "Segala yang ada di dunia berubah tanpa henti, karena bumi ini hidup.., dan mempunyai jiwa. Kita adalah bagian dari jiwa itu, maka kita jarang menyadari bahwa ia bekerja untuk kita. Tapi di toko kristal itu kamu mungkin menyadari bahwa gelasgelas pun bekerja sama dalam suksesmu." Si bocah merenungkan hal itu sejenak saat ia memandang bulan dan putihnya pasir. "Aku telah melihat karavan saat ia menyeberangi gurun," katanya. "Karavan dan gurun berbicara dalam bahasa yang sama, dan dengan alasan itulah gurun mengizinkan penyeberangan itu. Ia akan menguji setiap langkah karavan untuk melihat apakah karavan itu tepat waktu, dan, jika tepat, kita akan sarnpai ke oasis." "Bila salah satu dari kita mengikuti karavan ini hanya berdasarkan keberanian pribadi, tapi tanpa memahami bahasa itu, perjalanan ini akan jauh lebih sulit." Mereka berdiri di sana memandang bulan. "Itulah keajaiban pertanda," kata si bocah. "Aku pernah melihat bagaimana para pemandu membaca tanda-tanda gurun, dan bagaimana jiwa karavan berbicara kepada jiwa gurun." Orang Inggris itu berkata, "Sebaiknya aku memberi lebih banyak perhatian pada karavan." "Dan sebaiknya aku membaca buku-bukumu," kata si bocah. BUKU-BUKU ITU ADALAH BUKU-BUKU YANG ANEH. MEREKA bicara tentang air raksa, garam, naga-naga, dan raja-raja , dan tak satu pun yang dia pahami. Tapi ada satu ide yang tampak terus berulang di semua buku itu: segenap benda merupakan perwujudan dari satu hal saja. Pada salah satu buku dia membaca bahwa teks terpenting dalam kepustakaan alkemi hanya memuat beberapa baris, dan tergurat di permukaan sebutir zamrud. "Itu adalah Tablet Zamrud," kata orang Inggris itu, bangga karena merasa dapat mengajari sesuatu pada si bocah. "Kalau begitu, mengapa kita memerlukan buku-buku ini?" tanya si bocah. "Supaya kita dapat memahami beberapa baris itu," jawabnya, tanpa terlihat benarbenar yakin akan apa yang dikatakannya. Buku yang paling menarik perhatian si bocah memuat cerita-cerita tentang keluarga para alkemis yang termashur. Mereka adalah orang-orang yang membaktikan seluruh hidup mereka untuk pemurnian logam-logam di laboratorium mereka; mereka yakin bahwa jika suatu logam dipanaskan selama beberapa tahun, ia akan membebaskan diri dari semua sifat individualnya, dan yang akan tertinggal adalah Jiwa Buana. Jiwa Buana itu memungkinkan mereka memahami segala sesuatu di muka bumi, sebab dengan bahasa inilah segala sesuatu berkomunikasi. Mereka menamakan penemuan itu Karya Agung --sebagian cair, sebagian padat. "Tidak dapatkah kamu sekadar mengamati orang dan tanda-tanda untuk memahami bahasa itu?" tanya si bocah. "Kamu ini gandrung menyederhanakan semua hal," jawab si orang Inggris, jengkel. "Alkemi adalah ilmu yang serius. Setiap langkah harus diikuti dengan tepat seperti yang dilakukan oleh para pakar besar itu." Si bocah belajar bahwa bagian cair dari Karya Agung tadi dinamakan Obat Hidup, dan bahwa ia dapat menyembuhkan semua penyakit; ia juga membuat sang alkemis tidak menjadi tua. Dan bagian padatnya dinamakan Batu Filsuf. "Tidak mudah menemukan Batu Filsuf itu," ujar si orang Inggris. "Para alkemis menghabiskan waktu bertahun-tahun di laboratorium mereka, mengamati api yang memurnikan logam-logam itu. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu di dekat api itu hingga berangsur-angsur mereka menghilangkan kecongkakan-kecongkakan dunia. Mereka menemukan bahwa pemurnian logam-logam itu mengarah pada pemurnian terhadap diri mereka sendiri." Si bocah teringat pada pedagang kristal itu. Dia pernah berkata bahwa baguslah bagi si bocah untuk membersihkan barang-barang kristal, supaya dia mampu membebaskan dirinya sendiri dari pikiran-pikiran negatif. Si bocah makin bertambah yakin bahwa alkemi dapat dipelajari dalam kehidupan sehari-hari seseorang. "Juga," kata si orang Inggris, "Batu Filsuf memiliki sifat yang menakjubkan. Seiris kecil batu itu mampu mengubah sejumlah besar logam menjadi emas." Mendengar hal itu, si bocah menjadi lebih tertarik lagi pada alkemi. Dia berpikir bahwa, dengan sedikit kesabaran, dia dapat mengubah apa saja menjadi emas. Dia membaca riwayat hidup macam-macam orang yang telah berhasil melakukan hal itu: Helvelius, Elias, Fulcanelli, dan Geber. Kisah-kisah mereka menakjubkan: setiap orang dari mereka menjalani Legenda Pribadi mereka sampai selesai. Mereka berkelana, bicara dengan orang-orang bijak, menunjukkan mukjizat-mukjizat kepada yang ragu, dan memiliki Batu Filsuf dan Obat Hidup. Tapi saat si bocah ingin mempelajari cara meraih Karya Agung, dia benar-benar bingung. Di situ hanya ada gambar-gambar, kode-kode instruksi, dan tullsan-tulisan yang kabur. "MENGAPA MEREKA MEMBUATNYA BEGITU RUMIT?" DIA bertanya pada orang Inggris suatu malam. Dilihatnya orang itu kesal, dan tidak memahami buku-bukunya. "Supaya mereka yang bertanggung jawab untuk memahaminya bisa memahami," katanya "Bayangkan jika setiap orang berkeliling mengubah timah menjadi emas. Emas akan kehilangan harganya. "Hanya orang-orang gigih, dan mau mempelajari hal-hal dengan sungguh-sungguh, yang dapat meraih Karya Agung. Itulah sebabnya aku ada di sini, di tengah-tengah gurun ini. Aku mencari seorang alkemis sejati yang mau membantuku mengurai kodekode itu." "Kapan buku-buku ini ditulis?" tanya si bocah. "Beberapa abad yang lalu." "Waktu itu belum ada mesin cetak,"sanggah si bocah. "Tidak akan ada seorang pun yang bisa paham tentang alkemi. Mengapa mereka memakai bahasa yang begitu aneh, dengan begitu banyak gambar?" Orang Inggris itu tidak langsung menjawab. Dia berkata selama beberapa hari terakhir ini dia memperhatikan bagaimana karavan itu berjalan, tapi dia tidak belajar sesuatu yang baru. Satu-satunya hal yang dia perhatikan adalah bahwa pembicaraan tentang perang semakin sering terjadi. LALU SUATU HARI SI BOCAH MENGEMBALIKAN BUKU-BUKU kepada orang Inggris itu. "Pelajaran apa yang kamu dapat?" dia bertanya, penasaran ingin tahu. Dia perlu berbincang dengan seseorang untuk menghindar dari berpikir tentang kemungkinan perang. "Aku belajar bahwa dunia mempunyai jiwa, dan bahwa siapapun yang memahami jiwa itu dapat juga memahami bahasa benda-benda. Aku belajar bahwa banyak alkemis menyadari Legenda Pribadi mereka, dan menyelesaikan pencarian Jiwa Buana, Batu Filsuf, dan Obat Hidup. "Tapi, terutama, aku belajar bahwa hal-hal ini sangat sederhana sehingga semuanya dapat ditulis di atas permukaan zamrud." Orang Inggris itu kecewa. Bertahun-tahun penelitian, simbol-simbol magis, istilahistilah asing dan peralatan laboratorium.., tak satu pun dari hal-hal ini yang mengesankan si bocah. Jiwanya pastilah terlalu primitif untuk memahami hal-hal seperti itu, pikirnya. Dia mengambil kembali buku-bukunya dan memasukkan lagi ke dalam tas-tasnya. "Kembali ke pengamatan karavan," katanya. "Itu juga tidak mengajarkan apa-apa padaku." Si bocah kembali merenungkan kesunyian gurun, dan pasir-pasir yang terbuncah oleh hewan-hewan. "Setiap orang mempunyai caranya sendiri dalam mempelajari sesuatu," katanya membatin. "Cara dia tidak sama dengan caraku, dan sebaliknya. Tapi kami berdua sedang mencari Legenda Pribadi kami, dan untuk itu aku menghormatinya." KARAVAN MULAI BERJALAN SIANG DAN MALAM. ORANG-orang Badui yang berkerudung semakin sering muncul, dan si penunggang onta --yang telah menjadi teman baik si bocah-- menjelaskan bahwa perang suku sudah dimulai. Karavan itu akan sangat beruntung jika bisa mencapai oasis. Hewan-hewan sudah kelelahan, dan orang-orang semakin jarang berbincang. Kesunyian adalah aspek terburuk dari malam itu, saat sekadar erangan onta pun -- yang sebelumnya tak berarti apa-apa selain suatu erangan onta-- sekarang menakutkan setiap orang, karena mungkin saja itu tanda adanya serangan. Namun si penunggang onta tampak tak terlalu pusing dengan ancaman perang itu. "Aku hidup," katanya pada si bocah, saat mereka makan seikat kurma suatu malam, tanpa api unggun dan tanpa bulan. "Saat aku makan, yang kupikirkan ya cuma makan, Bila aku sedang berbaris, aku hanya berkonsentrasi pada baris. Kalau aku harus bertempur, itu adalah hari yang sama baiknya untuk mati seperti semua hari lain. "Karena orang tidak hidup di masa lalu ataupun masa depan. Aku hanya tertarik pada masa kini. Bila kau dapat selalu konsentrasi pada masa kini, kau akan menjadi orang yang bahagia. Kau akan tahu ada kehidupan di gurun, bahwa ada bintang-bintang di langit, dan bahwa pertempuran suku ini karena mereka bagian dari ras manusia. Hidup akan menjadi pesta bagimu, suatu festival besar, karena kehidupan adalah momen kita hidup saat ini." Dua malam kemudian, ketika dia bersiap tidur, si bocah mencari bintang yang mereka ikuti setiap malam. Dia merasa cakrawala agak lebih indah dari semestinya, karena dia seakan menyaksikan bintang-bintang di permukaan gurun itu sendiri. "Itulah oasisnya," kata penunggang onta. "Oh, ya? Kalau begitu mengapa kita tidak ke sana sekarang saja?" tanya si bocah. "Karena kita harus tidur." SI BOCAH TERBANGUN SAAT MATAHARI TERBIT. DI SANA, DI depannya, tempat bintang-bintang kecil berada tadi malam, adalah deretan pohon kurma yang tak berujung, merentang sepanjang gurun. "Kita berhasil!" kata orang Inggris itu, yang juga bangun pagi. Tapi si bocah diam saja. Dia betah dengan kesunyian gurun, dan dia puas hanya dengan melihat pohon-pohon itu. Dia masih harus menempuh perjalanan jauh ke piramida, dan suatu hari kelak pagi ini hanya akan menjadi sepotong kenangan. Tapi ini adalah momen saat ini --pesta yang disebut-sebut si penunggang onta-- dan dia ingin menjalaninya seperti dia menjalani pelajaran-pelajaran masa lalunya dan impian-impian masa depannya. Meski pemandangan pohon kurma ini suatu hari nanti hanya akan menjadi kenangan, saat ini ia berarti keteduhan, air, dan suatu pengungsian dari perang. Kemarin, erangan onta menandakan bahaya, dan sekarang sederet pohon kurma melambangkan suatu keajaiban. Dunia memang berbicara dengan banyak bahasa, pikir si bocah. WAKTU BERANJAK CEPAT, DAN BEGITU PULA KARAVAN-karavan, pikir alkemis itu, ketika dia melihat ratusan orang dan hewan tiba di oasis. Orang-orang berteriak pada para pendatang baru, debu mengaburkan matahari gurun, dan anak-anak di oasis itu meluap kegirangan melihat kedatangan orang-orang asing tadi. Alkemis itu melihat para kepala suku menyambut pemimpin karavan, dan berbincang lama dengannya. Tapi tak ada yang mengesankan alkemis itu. Dia sudah sering melihat orang-orang datang dan pergi, dan gurun tetap saja seperti ini. Dia pernah melihat raja-raja dan para pengemis menapaki pasir gurun itu. Bukit-bukit pasir berubah tanpa henti oleh angin, toh tetap saja sama seperti pasir-pasir yang dikenalnya sejak dia masih kecil. Dia selalu senang melihat kebahagiaan yang dirasakan para pengembara ketika, setelah berminggu-minggu memandang pasir kuning dan langit biru, untuk pertama kalinya mereka menyaksikan hijaunya pelepah kurma. Mungkin Tuhan menciptakan gurun agar manusia bisa menghargai pohon kurma, pikirnya. Dia memutuskan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang lebih praktis. Dia tahu di karavan itu ada seseorang yang akan diajarinya beberapa rahasianya. Pertanda sudah memberitahu dia. Dia belum tahu siapa orang itu, tapi mata terlatihnya akan mengenali orang tersebut saat ia muncul. Dia berharap orang itu secakap muridnya yang terdahulu. Aku tidak tahu mengapa hal-hal ini harus disampaikan dengan kata-kata mulut, pikirnya. Sebenarnya tidak ada yang terlalu rahasia; Tuhan mengungkapkan rahasiarahasianya dengan mudah kepada segenap ciptaanNya. Dia hanya mempunyai satu penjelasan untuk kenyataan ini: segala hal harus disampaikan dengan cara itu karena mereka terbuat dari kehidupan murni, dan kehidupan jenis ini tidak dapat ditangkap dengan gambar atau kata-kata. Karena orang-orang menjadi terpesona dengan gambar dan kata-kata, mereka akhirnya lupa pada Bahasa Buana. SI BOCAH NYARIS TAK PERCAYA PADA APA YANG DILIHATNYA: oasis itu, lebih dari sekadar sebuah sumur yang dikelilingi segelintir pohon pelem --seperti yang pernah dia lihat di satu buku geografi-- ternyata lebih besar daripada kota-kota di Spanyol sana. Di sana ada tigaratus sumur, limapuluh ribu pohon kurma, dan tenda warnawarni tak terhitung banyaknya yang tersebar di antaranya. "Seperti Seribu Satu Malam saja," kata si orang Inggris itu, tak sabar ingin bertemu dengan sang alkemis. Mereka dikerumuni anak-anak, yang penasaran ingin melihat hewan-hewan dan orang-orang yang datang. Para pria di oasis itu ingin tahu apakah mereka melihat ada pertempuran, dan perempuan- perempuannya saling berebut untuk melihat pakaian dan batu-batu berharga yang dibawa para pedagang, Kesunyian gurun menjadi mimpi yang jauh; para pengembara dalam karavan itu bicara tanpa henti, terbahak dan berteriak, seakan mereka baru muncul dari alam gaib dan sekali lagi mendapati diri berada di dunia manusia. Mereka merasa lega dan bahagia. Mereka bersikap waspada di gurun, tapi penunggang onta menjelaskan pada si bocah bahwa oasis selalu dianggap sebagai wilayah netral, karena mayoritas penduduknya adalah perempuan dan anak-anak. Ada banyak oasis di seantero gurun itu, tapi warga suku melakukan pertempuran di gurun, membiarkan oasis-oasis itu menjadi tempat pengungsian. Dengan agak susah pemimpin karavan mengumpulkan semua pengikutnya dan menyampaikan perintah-perintahnya kepada mereka. Kelompok itu akan tinggal di oasis sampai perang suku selesai. Karena mereka tamu, maka mereka harus menumpang tinggal di tempat orang-orang yang menetap di sana, dan akan diberi akomodasi terbaik. Begitulah aturan keramahan yang berlaku. Kemudian dia menyuruh semua orang, termasuk para pengawalnya sendiri, untuk menyerahkan senjata-senjata mereka kepada orang-orang yang ditunjuk oleh para kepala suku. "Begitulah aturan perang," pemimpin itu menjelaskan: "Oasis bukan tempat berteduh buat pasukan atau serdadu." Si bocah terkejut melihat orang Inggris itu mengeluarkan pistol bersepuh perak dari tasnya dan menyerahkannya pada orang-orang yang mengumpulkan senjata. "Mengapa harus bawa pistol?" tanyanya. "Supaya aku bisa mempercayai orang," jawab lelaki Inggris itu. Sementara itu, si bocah memikirkan harta karunnya. Makin dekat ia keperwujudan mimpinya, makin sulit keadaan terasa. Seolah apa yang disebut raja tua itu "kemujuran pemula" tak berlaku lagi. Dalam mengejar impiannya, dia harus terus tunduk pada ujian kegigihan dan keberanian. Jadi dia tidak boleh terburu-buru, jangan tak sabaran. Bila dia mendesak maju karena dorongan hati, dia akan gagal melihat tanda-tanda dan pertanda yang ditinggalkan oleh Tuhan di sepanjang jalannya. Tuhan meletakkan mereka di sepanjang jalanku. Dia sendiri dulu terkejut dengan pikiran itu. Sampai waktu itu, dia menganggap pertanda merupakan hal-hal lumrah di dunia ini. Seperti makan atau tidur, atau seperti mencari cinta atau mendapat pekerjaan. Dia tidak pernah berpikir tentang pertanda-pertanda itu sebagai suatu bahasa yang digunakan oleh Tuhan untuk menunjukkan apa yang seharusnya dia lakukan. "Jangan tak sabaran," dia mengulang-ulang kepada diri sendiri. "Seperti yang dikatakan penunggang onta itu: 'Makanlah pada saatnya makan. Dan jalanlah terus di saat harus terus berjalan.'" Pada hari pertama itu, semua orang tidur karena kelelahan, termasuk si orang Inggris. Si bocah disediakan tempat yang jauh dari temannya itu, di sebuah tenda bersama lima remaja lain yang kira-kira sebayanya. Mereka adalah anak-anak gurun, dan terpukau mendengar ceritanya tentang kota-kota besar. Si bocah menuturi mereka kisah hidupnya sebagai gembala, dan baru mau menceritai mereka pengalaman-pengalamannya di toko kristal itu saat orang Inggris itu masuk ke dalam tenda. "Kucari-cari kau sepanjang pagi," katanya, ketika dia menuntun si bocah keluar. "Aku perlu bantuanmu untuk mencari tahu di mana sang alkemis itu tinggal." Semula mereka mencoba mencarinya sendiri. Seorang alkemis tentu hidup dengan cara yang berbeda dari semua orang lain di oasis itu, dan pastilah di tendanya ada tungku yang terus menyala. Mereka mencari ke mana-mana, lalu sadar bahwa oasis itu jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan; ada ratusan tenda di sana. "Kita sudah buang waktu hampir seharian," kata si orang Inggris, sambil duduk bersama si bocah di dekat sebuah sumur. "Mungkin sebaiknya kita tanya orang," saran si bocah. Lelaki Inggris itu tidak ingin ada orang lain tahu alasan : kehadirannya di oasis ini, dan masih pikir-pikir. Tapi, akhirnya, dia setuju pada saran si bocah, yang mampu berbahasa Arab lebih baik daripada dia. Si bocah mendekati seorang perempuan yang mendatangi sumur untuk mengisi kantong kulit kambingnya dengan air. "Selamat sore, Bu. Aku sedang mencari tempat tinggal alkemis di oasis ini." Perempuan itu berkata dia tidak pernah mendengar tentang orang semacam itu, dan bergegas menjauh. Tapi sebelum dia pergi, dia menasihati si bocah supaya jangan coba-coba bercakap-cakap dengan perempuan yang berpakaian hitam, karena mereka wanita yang sudah menikah. Dia harus menghormati adat. Orang Inggris itu kecewa. Agaknya sia-sia saja dia menempuh perjalanan yang panjang ini. Si bocah juga sedih; temannya sedang mencari Legenda Pribadinya. Dan, saat seseorang sedang berada dalam pencarian semacam itu, segenap alam semesta berusaha membantunya meraih sukses --begitulah yang dikatakan sang raja tua. Dia tak mungkin salah. "Aku belum pernah mendengar tentang para alkemis," kata si bocah. "Mungkin orang sini pun belum ada yang pernah dengar." Mata lelaki Inggris itu melotot. "Sudahlah! Mungkin orang sini juga tidak ada yang tahu apa itu alkemis! Cari saja siapa yang menyembuhkan penyakit-penyakit orang!" Beberapa perempuan berpakaian hitam mendatangi sumur untuk mengambil air, tapi si bocah tidak akan bicara dengan mereka, meski orang Inggris itu mendesak. Lalu seorang pria mendekat. "Apakah Bapak tahu orang yang menyembuhkan penyakit-penyakit orang di sini?" tanya si bocah. "Allah yang menyembuhkan penyakit-penyakit kami," jawabnya, jelas kelihatan takut pada orang-orang asing itu. "Kalian sedang mencari dukun." Dia mengutip beberapa ayat Quran, lalu terus jalan. Seorang lelaki lain muncul. Dia lebih tua, dan membawa ember kecil. Si bocah mengulangi pertanyaannya. "Mengapa kamu ingin bertemu dengan orang seperti itu?" tanya orang Arab tadi. "Karena temanku ini sudah berkelana berbulan-bulan untuk bertemu dengannya," kata si bocah. "Kalau ada orang seperti itu di oasis ini, dia pastilah orang yang sangat kuat," kata pria tua itu setelah berpikir sejenak. "Kepala-kepala suku pun tidak dapat menemuinya saat mereka ingin ketemu. Hanya bila dia setuju. "Tunggulah sampai perang berakhir Kemudian pergilah dengan karavan. Jangan cobacoba masuk ke dalam kehidupan oasis ini," katanya, lalu melangkah pergi. Tapi orang Inggris itu gembira. Mereka berada di jalan yang benar. Akhirnya, seorang perempuan muda yang tidak berpakaian hitam mendekat. Dia memhawa bejana di bahunya, dan kepalanya tertutup kerudung, tapi wajahnya terbuka. Si bocah mendekatinya untuk bertanya tentang alkemis itu. Saat itulah si bocah merasa waktu berhenti, dan Jiwa Buana menyentak dari dalam dirinya. Ketika dia menatap mata hitam gadis itu, dan melihat bibirnya bersikap antara tertawa dan diam, dia mengerti bagian terpenting dari bahasa yang digunakan oleh seluruh dunia --bahasa yang bisa dipahami oleh setiap orang di bumi dengan hati mereka. Itulah cinta. Sesuatu yang lebih tua dari umat manusia, lebih purba dari gurun. Sesuatu yang menggunakan daya yang sama kapanpun dua pasang mata bertemu, seperti rnata mereka kini dan di sini, di sumur ini. Gadis itu tersenyum, dan itu pastilah sebuah pertanda --pertanda yang telah dinantinya, bahkan tanpa dia sadari bahwa dia menantinya, sepanjang hidupnya. Pertanda yang dicarinya bersama dengan domba-dombanya dan dalam buku-bukunya, dalam kristal-kristal dan dalam kesunyian gurun. Itulah Bahasa Buana yang murni. Ia tidak membutuhkan penjelasan, sebagaimana alam semesta tak memerlukan apapun saat berjalan melewati waktu yang tiada akhir. Apa yang dirasakan si bocah pada saat itu adalah bahwa dia berada di hadapan satusatunya perempuan dalam hidupnya, dan bahwa, tanpa perlu kata-kata, gadis itu rnerasakan hal yang sama. Dia lebih yakin pada hal itu daripada terhadap apapun di dunia ini. Dia pernah diberitahu oleh orangtua dan kakek-neneknya bahwa dia harus jatuh cinta dan benar-benar mengenal seseorang sebelum terikat Tapi mungkin orangorang yang merasakannya tidak pernah memahami bahasa universal ini. Karena, jika kita memahami bahasa itu, mudahlah untuk mengerti bahwa seseorang di dunia menanti kita, entah di tengah gurun atau di kota besar. Dan saat dua orang itu berjumpa, dan mata mereka bertemu, masa lalu dan masa depan menjadi tak penting. Yang ada hanyalah momen itu, dan kepastian yang ajaib bahwa segala yang ada di langit dan di bumi telah dituliskan oleh tangan yang esa. Itulah tangan yang menimbulkan cinta, dan menciptakan suata jiwa kembar bagi setiap orang di dunia. Tanpa cinta seperti itu, impian- impian seseorang akan tak bermakna. Maktub, pikir si bocah. Orang Inggris itu mengejutkan si bocah: "Ayo cepat, tanya dia!" Si bocah mendekati gadis itu, dan ketika sang gadis tersenyum, dia pun tersenyum. "Siapa namamu?" dia bertanya. "Fatima," kata gadis itu, memalingkan wajah. "Di negeriku banyak perempuan yang bernama itu." "Itu nama puteri Nabi," kata Fatima. "Para penyerbu membawa nama itu ke manamana." Gadis cantik itu berucap tentang penyerbu dengan bangga. Orang Inggris itu menyenggolnya, dan si bocah bertanya pada sang gadis tentang orang yang menyembuhkan penyakit-penyakit manusia. "Dialah orang yang mengetahui semua rahasia dunia," katanya. "Dia berkomunikasi dengan para jin di gurun." Jin-jin itu adalah roh-roh baik dan jahat. Dan gadis menunjuk ke arah selatan, mengisyaratkan bahwa di sanalah orang asing itu tinggal. Lalu dia mengisi bejananya dengan air dan pergi. Si orang Inggris juga menghilang, pergi untuk mencari alkemis itu. Dan si bocah terduduk lama di sana, di dekat sumur, mengingat suatu hari di Tarifa ketika angin levanter membawa wangi perempuan itu, dan sadar bahwa dia telah mencintai gadis tadi bahkan sebelum dia tahu gadis itu ada. Dia tahu cintanya pada gadis itu akan memungkinkannya menemukan setiap harta di dunia. Keesokan harinya, si bocah kembali ke sumur, berharap bertemu dengan sang gadis. Kagetlah dia melihat lelaki Inggris itu ada di sana, sedang memandangi gurun. "Siang dan malam aku menunggu," katanya. "Dia muncul bersamaan dengan bintangbintang pertama malam. Kukatakan padanya apa yang sedang kucari, dan dia bertanya padaku apakah aku pernah mengubah timah menjadi emas. Kubilang bahwa aku datang ke sini justru untuk mempelajarinya. "Dia menyuruhku mencobanya. Cuma itu yang dikatakannya: 'Pergilah dan cobalah'." Si bocah diam saja. Orang Inggris malang ini telah berkelana sampai ke sini, hanya untuk diberitahu bahwa dia harus mengulang apa yang telah begitu sering dilakukannya. "Kalau begitu, coba saja," katanya pada orang Inggris itu. "Itulah yang mau kulakukan. Aku akan mulai sekarang." Ketika orang Inggris pergi, Fatima datang dan mengisi bejananya dengan air. "Aku datang untuk memberitahu satu hal padamu," kata si bocah. "Aku ingin kamu menjadi isteriku. Aku mencintaimu." Bejana gadis itu terjatuh, dan airnya tumpah. "Aku akan menunggumu di sini setiap hari. Aku telah menyeberangi gurun untuk mencari suatu harta yang berada di satu tempat dekat Piramida, dan bagiku, perang itu tampak seperti kutuk. Tapi sekarang ia adalah rahmat, karena ia membawa diriku padamu." "Perang akan berakhir suatu hari," kata gadis itu. Si bocah melihat pelepah-pelepah kurma di sekitar. Dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia pernah menjadi seorang gembala, dan dia dapat kembali menjadi gembala. Fatima lebih penting daripada hartanya. "Warga-warga suku selalu mencari harta," kata gadis itu, seakan bisa membaca apa yang sedang dipikirkan si bocah. "Dan perempuan-perempuan gurun bangga pada pria suku mereka." Dia mengisi kembali bejananya dan pergi." Si bocah pergi ke sumur itu setiap hari untuk bertemu dengan Fatima. Dia menceritakan pada sang gadis tentang hidupnya sebagai gembala, tentang raja itu, dan tentang: toko kristal. Mereka menjadi teman, dan selain limabelas menit yang dihabiskannya dengan gadis itu, tiap hari waktu seolah tak pernah beranjak. Ketika dia sudah berada di oasis itu hampir satu bulan, pemimpin karavan mengundang semua orang yang ikut rombongannya untuk rapat. "Kita tidak tahu kapan perang akan berakhir, jadi kita tidak dapat meneruskan perjalanan," katanya. "Pertempuran ini mungkin masih lama, barangkali tahunan. Kedua pihak sama-sama kuat, dan pertempuran ini penting bagi pasukan perang keduanya. Ini bukan pertarungan antara baik melawan jahat. Ini perang antara kekuatan-kekuatan yang bertarung untuk mencapai keseimbangan kekuasaan, dan bila perang seperti ini mulai, selesainya lebih lama dari perang-perang yang lain --karena Allah berada di kedua pihak." Orang-orang kembali ke tempat mereka tinggal, dan si bocah pergi untuk menemui Fatima sore itu. Dia menceritakan padanya mengenai pertemuan tadi pagi. "Sehari setelah kita bertemu," kata Fatima, "kamu bilang kamu mencintaiku. Kemudian kamu mengajariku sesuatu tentang bahasa universal dan Jiwa Buana. Karena itulah, aku menjadi bagian dari dirimu." Si bocah mendengarkan nada suara gadis itu, dan merasakannya lebih indah daripada suara angin di pelepah kurma. "Aku telah menunggumu di sini di oasis ini sejak dulu. Aku telah melupakan masa laluku, adat istiadatku, dan cara lelaki gurun mengharapkan perempuannya berperilaku. Sejak masih kecil, aku telah memimpikan bahwa gurun akan memberiku hadiah yang indah. Kini hadiahku telah tiba, dan itu adalah kamu." Si bocah ingin menggenggam tangan gadis itu. Tapi tangan Fatima memegang gagang kendi. "Kamu telah menceritakan mimpi-mimpimu, tentang raja tua dan hartamu. Dan kamu telah memberitahuku tentang pertanda. Jadi sekarang, aku tidak takut apapun, karena pertanda itulah yang telah membawa dirimu kepadaku. Dan aku adalah bagian dari mimpimu, bagian dari Legenda Pribadimu, seperti katamu. "Itulah sebabnya aku ingin kamu terus menuju cita-citamu. Bila kamu harus menunggu sampai perang selesai, tunggulah. Tapi bila kamu harus pergi sebelumnya, teruskan pencarian mimpimu. Bukit-bukit pasir berubah oleh angin, tapi gurun tak pernah berubah. Begitulah yang akan terjadi dengan cinta kita. "Maktub," kata gadis itu. "Bila aku sungguh-sungguh bagian dari mimpimu, kamu akan kembali suatu hari." Si bocah merasa sedih saat dia meninggalkan sang gadis hari itu. Dia memikirkan semua gembala yang menikah yang dikenalnya. Mereka mengalami saat-saat yang sulit untuk meyakinkan isteri-isteri mereka bahwa mereka harus pergi ke ladang-ladang yang jauh. Cinta menuntut mereka untuk tinggal bersama orang-orang yang mereka cintai. Dia memberi tahu Fatima tentang hal itu, pada pertemuan berikutnya. "Gurun mengambil para lelaki kami dari kami, dan mereka tidak selalu kembali," katanya. "Kami tahu itu, dan kami terbiasa dengannya. Mereka yang tidak kembali menjadi bagian dari awan, bagian dari hewan-hewan yang bersembunyi di jurangjurang dan dari air yang keluar dari bumi. Mereka menjadi bagian semuanya.., mereka menjadi Jiwa Buana. "Beberapa memang kembali. Dan kemudian perempuan- perempuan lainnya gembira karena mereka percaya suami-suami mereka pun akan kembali suatu hari nanti. Aku terbiasa melihat para perempuan itu dan iri pada kebahagiaan mereka. Sekarang, aku juga akan menjadi salah satu dari perempuan-perempuan yang menunggu. "Aku ini perempuan gurun, dan aku bangga akan hal itu. Aku ingin suamiku berkelana sebebas angin yang membentuk bukit-bukit pasir. Dan, jika terpaksa, aku akan terima kenyataan bahwa dia telah menjadi bagian dari awan, dan hewan-hewan, dan air gurun." Si bocah pergi mencari orang Inggris itu. Dia ingin menceritakan padanya tentang Fatima. Dia kaget melihat orang Inggris itu membangun sendiri tungku perapian di luar tendanya. Itu adalah tungku yang aneh, dihidupi oleh kayu bakar, dengan botol transparan memanas di atasnya. Saat lelaki Inggris itu memandang ke gurun, matanya tampak lebih berbinar dibanding saat dia sedang membaca buku-bukunya. "Ini adalah tahap pertama dari pekerjaan ini," katanya. "Aku harus memisahkan sulfurnya. Untuk melakukannya dengan sukses, aku tidak boleh merasa takut gagal. Perasaan takut gagal itulah yang dulu menahanku mencoba Karya Agung. Sekarang aku sedang memulai apa yang seharusnya kumulai sepuluh tahun lalu. Tapi setidaknya aku bahagia karena tidak harus menunggu duapuluh tahun." Dia terus menyalakan tungku, dan si bocah tinggal sampai gurun memerah jambu dengan terbenamnya matahari. Dia merasakan desakan untuk pergi ke tengah gurun, untuk mengetahui adakah kesunyiannya menyimpan jawaban untuk pertanyaanpertanyaannya. Dia berkeliling sebentar, memandangi pelepah-pelepah kurma di oasis itu. Dia mendengarkan angin, dan merasakan batu-batu di bawah telapak kakinya. Di manamana dia menemukan kerang, dan menyadari bahwa gurun itu, di masa silam, adalah lautan. Dia duduk di atas batu, dan membiarkan dirinya terpana oleh cakrawala. Dia berusaha menghadapi konsep cinta sebagai hal yang berbeda dari pemilikan, dan tidak dapat memisahkan keduanya. Tapi Fatima adalah perempuan gurun, dan, kalaulah ada sesuatu yang dapat membantu dia memahami, sesuatu itu adalah gurun. Saat dia duduk berpikir di sana, dia merasakan gerakan di atasnya. Memandang ke atas, dia melihat sepasang elang terbang tinggi di angkasa. Dia memandangi elang-elang itu sampai mereka pergi mengiringi angin. Meski penerbangan mereka tampak tak berpola, tapi memberi perasaan tertentu pada si bocah. Hanya saja dia tidak dapat menangkap maknanya. Dia mengikuti gerakan burung-burung itu, mencoba membaca apa yang tersirat di sana. Mungkin burungburung gurun ini dapat menjelaskan padanya arti cinta tanpa pemilikan. Dia merasa mengantuk. Dalam hatinya, dia ingin tetap terjaga, tapi dia juga ingin tidur. "Aku sedang belajar Bahasa Buana, dan semua yang ada di dunia ini mulai kumengerti..., bahkan terbangnya elang-elang itu," gumamnya. Dan, dengan perasaan seperti itu, dia bersyukur dapat mencinta. Saat kita jatuh cinta, banyak hal yang jadi lebih masuk akal, pikirnya. Tiba-tiba, salah seekor elang itu menukik dari angkasa, menyerang elang lainnya. Saat elang tadi melakukan hal itu, berkelebat selintas bayangan pada benak si bocah: pasukan tentara, dengan pedang-pedang terhunus, sedang bergerak menuju oasis. Bayangan itu segera hilang, tapi ia telah mengguncangnya. Dia sudah mendengar orang-orang yang bicara tentang fatamorgana, dan dia sendiri pernah melihatnya: ia adalah hasrat yang, karena kekentalannya, mewujud di atas pasir gurun. Tapi dia tentulah tidak menghasrati tentara menyerbu oasis itu. Dia ingin melupakan bayangan itu, dan kembali ke meditasinya. Dia mencoba berkonsentrasi lagi pada kemerahan gurun, dan batu-batunya. Tapi ada sesuatu di hatinya yang tidak memungkinkan dia melakukannya. "Selalulah perhatikan pertanda," kata raja tua itu. Si bocah teringat pada apa yang dilihatnya dalam bayangan tadi, dan merasa bahwa hal itu memang akan terjadi. Dia bangkit, dan kembali menuju ke arah pohon-pohon palem. Sekali lagi, dia merasakan banyaknya bahasa dalam hal-hal yang menyangkut dirinya: kali ini, gurun aman, dan oasislah yang jadi berbahaya. Penunggang onta itu duduk di bawah sebatang pohon palem, mengamati matahari terbenam. Dia lihat si bocah muncul dari balik bukit pasir. "Tentara bakal datang," kata si bocah. "Aku punya bayangan." "Gurun memenuhi hati manusia dengan bayangan-bayangan," jawab penunggang onta itu. Tapi si bocah menceritakan padanya tentang elang-elang itu: bahwa dia melihat pertarungan mereka dan tiba-tiba merasa dirinya mencebur ke Jiwa Buana. Penunggang onta itu mengerti apa yang dikatakan si bocah. Dia tahu bahwa setiap hal yang ada di muka bumi ini dapat mengungkapkan sejarah semua hal. Orang bisa membuka buku di halaman manapun, atau melihat tangan seseorang; orang dapat membaca kartu, atau melihat terbangnya burung-burung.., apapun yang dilihat, orang dapat menemukan suatu hubungan dengan pengalaman dirinya pada momen itu. Sebenarnya, bukan hal-hal itu sendiri yang mengungkapkan; manusialah, dengan melihat apa yang sedang terjadi di sekitarnya, yang dapat menemukan suatu cara menembus ke Jiwa Buana. Gurun itu penuh dengan orang-orang yang mendapat nafkah hidup berdasarkan kepandaian mereka menembus Jiwa Buana. Mereka dikenal sebagai peramal, dan mereka ditakuti oleh para perempuan dan orang-orang tua. Warga suku juga hati-hati dalam berkonsultasi dengan mereka, karena tak mungkinlah bisa tampil perkasa dalam pertempuran bila orang sudah tahu bahwa dia ditakdirkan mati. Warga suku lebih menyukai rasanya bertempur, dan ketegangan karena tak mengetahui bagaimana akhirnya; masa depan sudah ditulis oleh Allah, dan apa yang telah ditulisNya selalu untuk kebaikan manusia. Jadi, warga suku hidup hanya untuk masa kini, sebab masa kini penuh dengan kejutan, dan mereka harus waspada dengan banyak hal: Di mana gerangan pedang sang musuh? Di manakah kudanya? Pukulan macam apa yang harus diberikan selanjutnya agar orang tetap hidup? Penunggang onta itu bukanlah seorang petarung, dan dia telah berkonsultasi dengan para peramal. Banyak dari mereka benar tentang apa yang mereka katakan, sedang sebagian lainnya salah. Kemudian, suatu hari, peramal tertua yang pernah ditemuinya (dan yang paling ditakuti) bertanya mengapa penunggang onta itu begitu tertarik dengan masa depan. "Yah... supaya aku bisa melakukan macam-macam," jawabnya. "Dan supaya aku bisa mencegah terjadinya hal-hal yang tidak kuinginkan." "Tapi kalau begitu hal-hal itu tidak akan menjadi bagian dari masa depanmu," kata peramal itu. "Yah, mungkin aku hanya ingin tahu masa depan supaya aku dapat mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi." "Jika hal-hal baik yang datang, akan menjadi kejutan yang menyenangkan," kata peramal. "Bila hal-hal jelek, dan kamu sudah tahu sebelumnya, kamu akan sangat menderita bahkan sebelum hal-hal itu terjadi." "Aku ingin tahu tentang masa depan karena aku lelaki," kata si penunggang onta pada peramal. "Dan lelaki selalu menjalani hidupnya berdasar masa depan." Peramal itu adalah ahli membaca ranting; dia melemparkan ranting-ranting ke tanah, dan menafsirnya berdasar cara jatuhnya. Hari itu, dia tidak membuat ramalan apapun. Dia membungkus ranting-rantingnya di sepotong kain dan memasukannya kembali ke dalam tasnya. "Aku ini hidup dari meramal masa depan orang," katanya. "Aku tahu ilmu ranting, dan aku tahu bagaimana menggunakannya untuk menembus tempat di mana semua sudah tertulis. Di sana, aku dapat membaca masa lalu, mengungkap apa yang telah dilupakan, dan memahami pertanda-pertanda yang ada di sini saat ini. "Ketika orang-orang meminta nasihatku, aku bukannya membaca masa depan; aku menebak masa depan. Masa depan itu milik Tuhan, dan hanya Dia yang dapat mengungkapkannya, dalam kondisi yang luar biasa. Bagaimana caraku menebak masa depan? Berdasarkan pertanda-pertanda masa kini. Rahasianya terletak di masa kini. Kalau kamu memperhatikan masa kini, kamu dapat memperbaikinya. Dan, bila kamu memperbaiki masa kini, apa yang datang kemudian juga akan menjadi lebih baik Lupakanlah masa depan, dan jalanilah setiap hari menurut ajaran, percayalah bahwa Tuhan mencintai hamba-hambaNya. Tiap-tiap hari, pada dirinya, membawakan suatu keabadian." Penunggang onta menanyakan, dalam keadaan seperti apa Tuhan akan mengizinkannya melihat masa depan. "Hanya saat Dia, Dia sendiri, mengungkapkannya. Dan Tuhan jarang sekali mengungkap masa depan. Kalaupun Dia melakukannya, hanya untuk satu alasan: itu adalah sebuah masa depan yang telah ditulis seperti itu untuk diubah." Tuhan telah menunjukkan si bocah bagian dari masa depan, pikir penunggang onta. Mengapakah Dia menginginkan si bocah menjadi perantaraNya? "Pergi dan bicaralah pada para kepala suku," kata si penunggang onta. "Katakan pada mereka tentang tentara-tentara yang sedang mendekat." "Mereka akan menertawaiku." "Mereka itu orang gurun, dan orang gurun biasa berurusan dengan pertanda." "Kalau begitu, mereka mungkin sudah tahu." "Mereka tidak memikirkannya sekarang ini. Mereka percaya bila mereka harus mengetahui sesuatu yang Allah ingin mereka tahu, akan ada orang yang bakal memberitahukannya pada mereka. Sudah sering terjadi sebelumnya. Tapi, kali ini, orang itu adalah kamu." Si bocah memikirkan Fatima Dan dia memutuskan untuk pergi menemui para kepala suku.