KUMPULAN CERITA PENDEK PILIHAN ALFRED HITCHCOCK eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt KUMPULAN CERITA PENDEK PILIHAN ALFRED HITCHCOCK UNTUK ORANG-ORANG PEMBERANI Untuk Orang-Orang Pemberani Diterjemahkan dari Alfred Hitchcock Presents: More Stories Not For The Nervous, Deil Publishing Co., Inc. New York 1973 Penerjemah: Ritoresmi Pujiningsih Penyunting: Yustina Dian Rachmawati Desain: Camelia Tri Lestari Komputer Gratis: nDhien Cetakan Pertama: Desember 2004 Untuk Orang-Orang Pemberani / oleh Alfred Hitchcock— Yogyakarta: Balang Press, 2004. 384 hlm ; 11x18 cm. ISBN 979-3239-20-4 Diterbitkan oleh Batang Press e-mail: batangpress@plasa.com DAFTAR ISI Dari Jendela Kamar Hal Dresner—7 Lemming Richard Mathieson—29 Ratu Putih Idris Seabright—33 Teriakan Minta Tolong Robert Arthur—45 Permainan Mike Marmer—81 Kecelakaan Henry Slesar—103 Gadis Emas Ellis Peters—131 Bocah Peramal Gempa Margaret St. Clair—143 Berjalan Sendirian Miriam Allen Deford—163 Hukuman untuk Orang-Orang Kasar Jack Ritchie—195 Maaf, Salah Sambung Lucille Fletcher dan Allan Ullman—225 DARI JENDELA KAMAR Hal Dresner Tubuh yang kurusnya tertutup selimut tebal, disangga dengan enam buah bantal terbaik dan termahal, di situlah Jacob Bauman berada dan memandang jijik ke arah pelayannya yang sedang mempersiapkan nampan makanan di hadapannya. Pelayan tersebut lalu meyibakkan tirai, dan segera saja kamar tersebut diterangi cahaya pagi. "Apakah Anda lebih suka bila jendelanya terbuka, Tuan?" tanya Charles. "Kau ingin aku masuk angin, ya?" "Tidak, Tuan. Apa ada lagi yang lain?" Jacob menggelengkan kepala dan menyelipkan serbet makan di celah antara atasan piama dan dada tipisnya. Dibukanya tutup piring sarapan, dan tangannya terhenti di udara sambil menatap Charles yang masih berdiri bagai pengawal di sebelah jendela. "Kamu menunggu tip?" tanya Jacob sinis. "Tidak, Tuan. Saya menunggu Nona Nivens. Dokter Holmes menyatakan agar Anda tidak dibiarkan berada sendirian kapanpun, Tuan." "Sana keluar," kata Jacob. "Jika aku memutuskan untuk mati lima menit lagi, aku akan memanggilmu dengan bel. Kau tidak akan kehilangan momen apapun." Jacob memandang pelayan itu pergi, menunggu sampai pintu kamar benar-benar tertutup lalu membuka tutup piring logam perak yang di bawahnya terdapat sebuah telur mata sapi yang seperti berselaput, terbaring di atas selembar roti bakar. Seoles tipis selai dan secangkir teh encer melengkapi menu pagi itu. Ah! Jacob menatap makanannya tanpa selera dan memandang ke jendela. Cerah sekali di luar sana. Halaman mansion Bauman yang hijau membentang luas bagai meja bilyar, dilengkapi dengan jalan kecil berbentuk tapal kuda dari kerikil halus yang putih berkilau. Di sana-sini ada hiasan patung perunggu mungil; dewi cantik dan menggoda berhias kerubin, kurir dengan tumit bersayap, singa betina garang dan sekelompok anak-anaknya; semua diletakkan seolah tersembunyi dan berkesan mahal. Di ujung sebelah kiri tapal kuda tersebut, di luar pondok bata kecil yang ditempati pengurus taman, Jacob melihat karyawannya, Pak Coveny, berlutut memeriksa rumpun bunga azalea. Di ujung sebelah kanan, di bawah pagar besi tinggi berujung runcing, pintu garasi dua lantai terbuka dan supirnya sedang mengelap bagian depan mobil convertible biru 8 | Hal Dresner milik Mrs. Bauman sambil mengobrol dengan Nona Nivens, perawat harian Jacob yang masih muda. Di luar pagar tersebut, halaman luar menghampar tak terputus sampai ke jalan raya. Jauh, sangat jauh, sehingga mata awas Jacob tidak dapat mengenali mobil-mobil yang melintas di sana. Jacob Bauman yang malang, pikirnya. Semua hal yang indah-indah dalam hidupnya datang sangat terlambat. Akhirnya, dia memiliki rumah mewah dan megah tetapi dia terlalu sakit untuk dapat menikmatinya. Akhirnya dia menikahi seorang perempuan muda dan cantik yang mampu membuat setiap lelaki berpaling memandangnya, tetapi dia terlalu tua untuk dapat bersenang-senang dengan perempuan itu. Dan akhirnya, Jacob memiliki wawasan yang luas tentang misteri sifat manusia, tetapi dia hanya bisa terbaring di tempat tidur dan orang-orang yang ditemuinya hanya sebatas para pembantu yang menemani. Jacob Bauman kaya yang malang, pikir Jacob. Dengan semua kekayaan, keberuntungan dan kebijaksanaan yang dimiliki, dunianya hanya selebar kasur, sepanjang jalanan pada taman yang dapat dia lihat dari jendela, dan sedalam alam pikiran Nona Nevins. Dimana gadis itu, ya? Kepalanya berpaling ke jam di atas meja di sebelah tempat tidurnya yang dikerumuni botol-botol, obat-obatan dan Dari Jendela Kamar | 9 10 | Hal Dresner tabung-tabung kecil. Jam sembilan lewat enam menit. Jacob kembali memandang ke jendela dan dilihatnya si gadis berseragam putih melirik ke jam tangannya dengan cemas, meniupkan ciuman untuk si supir, lalu berjalan cepat-cepat masuk rumah. Dia adalah seorang gadis pirang dan tegap, berjalan dengan lenggak-lenggok nan anggun dan tangan mengayun; luapan energi yang melelahkan Jacob. Dia terus memandang gadis itu sampai dia menghilang di bawah atap beranda lalu kembali menghadapi sarapannya. Nona Nevins akan berhenti untuk menyapa koki dan pelayan perempuan, dan itu artinya Jacob sedang menghabiskan telur dan rotinya nanti ketika dia mengetuk pintu, begitulah perkiraannya. Jacob sedang mengunyah remah roti terakhir saat terdengar ketukan di pintu; dia berteriak "Pergi" dan si perawat itu masuk, tersenyum. "Selamat pagi, Mr. Bee," sapanya riang. Dia meletakkan novel bersampul tipis di atas lemari, sekilas memandang acuh ke arah grafik kesehatan yang ditinggalkan oleh perawat yang bertugas tadi malam. "Bagaimana kabar Anda hari ini?" "Hidup," sahut Jacob. "Ini hari yang indah sekali!" kata si gadis sambil berjalan ke jendela. "Tadi saya berdiri di luar dan bicara dengan Vic sebelum kesini dan cuacanya seperti musim semi saja. Apa Anda menginginkan saya membuka jendelanya?" "Tidak usah. Teman doktermu itu memperingatkan aku agar tidak kedinginan." "Oh, iya... Saya lupa. Saya rasa saya bukan seorang perawat yang baik ya?" katanya sambil tersenyum. "Kamu memang perawat, kok" sahut Jacob. "Kamu lebih baik dari perawat-perawat yang tidak pernah meninggalkanku seorang diri." "Anda hanya menyenangkan hati saya saja. Saya tahu, saya tidak cukup berdedikasi." "Berdedikasi? Kamu masih muda dan cantik, kamu punya minatmu sendiri. Saya mengerti itu. Kamu berkata pada dirimu sendiri. 'Saya akan jadi perawat sebentar, pekerjaannya mudah, makanannya enak, jadi saya akan bisa menghemat uang sampai saya menikah.'" Gadis itu terkejut. "Tahukan Anda? Itu sama seperti yang saya katakan pada diri saya sendiri ketika Dokter Holmes menawarkan pekerjaan ini pada saya. Tahukah Anda bahwa Anda ini sangat cerdas, Mr. Bee?" "Terimakasih," kata Jacob kering. "Makin tua, makin cerdas." Dia menghirup teh dan berlagak seolah merasakan pahit. "Ah. Tidak enak! Bawa pergi." Dia menendang pelan dari balik selimutnya. Dari Jendela Kamar | 11 12 I Hal Dresner "Anda harus menghabiskannya," kata si gadis. "Bawa pergi dari hadapanku," kata Jacob tidak sabar. "Terkadang Anda seperti anak kecil." "Jadi anggaplah saya ini bocah lelaki kecil dan kamu gadis kecil. Tapi lebih baik kita bicara tentang dirimu." Jacob mengatur tumpukan bantalnya, tetapi segera berhenti ketika si gadis datang membantunya. "Katakan padaku, Frances," tanyanya ketika wajah si perawat itu dekat dengan wajahnya. "Apa kau sudah memilih calon suami?" "Mr. Bee, itu masalah yang sangat pribadi untuk ditujukan pada seorang gadis." "Aku memang bertanya tentang masalah pribadi, kok. Bila kau tidak mau mengatakannya padaku bagaimana aku tahu? Apa aku akan bercerita pada orang-orang? Apa ada orang yang bisa kuceritakan? Dokter spesialismu itu bahkan melarang adanya telepon di samping tempat tidur untuk menghubungi pialang sahamku sewaktu-waktu. Terlalu tegang bagiku untuk mengetahui berapa ratus ribu dolar yang telah hilang. Apa dia tidak tahu bahwa aku bisa mengetahui berapa untung-rugi yang kudapat dari koran-koran yang kubaca, sampai hitungan sen? ...Jadi, ayo ceritakan padaku," Jacob tersenyum penuh kemenangan, "bagaimana pacarmu itu." Dari Jendela Kamar | 13 "Mr. Bee! Seorang suami yang bermasa depan cerah adalah yang dicari, tapi pacar..." Dia meletakkan bantal terakhir dan duduk di kursi dekat jendela. "Saya tidak bisa bayangkan bagaimana saya dalam pikiran Anda." Jacob mengangkat bahunya. "Aku rasa kamu itu gadis muda baik-baik. Tetapi gadis baik-baik zaman sekarang sangat berbeda dengan gadis baik-baik limapuluh tahun yang lalu. Aku tidak mengatakan lebih baik atau lebih buruk. Hanya berbeda. Aku mengerti hal-hal semacam ini. Lagipula, kau hanya beberapa tahun lebih muda dari istriku. Aku tahu, para lelaki senang melihatnya, jadi mereka juga senang melihatmu." "Oh, tetapi istri Anda jauh lebih cantik. Sungguh. Saya rasa beliau adalah salah satu perempuan yang paling mempesona yang pernah saya lihat." "Bagus baginya," jawab Jacob. "So, ceritakan padaku tentang pacarmu itu." "Well," sahut si gadis memulai, wajahnya terlihat bahagia. "Semuanya belum pasti betul. Maksud saya, kami belum menentukan tanggal dan semacamnya." "Kamu sudah yakin, tentu," ujar Jacob. "Kamu hanya tidak ingin bercerita padaku karena takut kupecat sebelum kau siap." "Tidak, sungguh, Mr. Bauman..." 14 | Hal Dresner "Kamu memang belum menetapkan kapan harinya. Tapi kamu sudah menetapkan bulannya, bukan?" Dia menunggu adanya penyangkalan untuk beberapa saat. "Jadi benar," sambungnya. "Percaya padaku jika aku bilang aku mengerti hal-hal seperti ini. Bulan apa? Juni?" "Juli," sahut si gadis sambil tersenyum. "Tembaklah aku... cuma meleset sebulan... Aku tidak akan bertanya apakah dia tampan atau tidak karena aku tahu dia tampan... dan juga kuat." "Ya." "Tetapi lembut." Si gadis mengangguk, wajahnya bersinar. "Bagus," ujar Jacob. "Menikah dengan lelaki yang lembut itu sangat penting... Asal jangan terlalu lembut. Orang-orang yang terlalu lembut mempersilahkan diri mereka untuk diinjak. Percayalah, aku tahu. Aku dulu juga pernah menjadi orang yang sangat lembut, dan tahukah kau kemana hal itu membawaku? Tidak kemanapun. Jadi aku belajar untuk berbeda. Bukan berarti aku tidak melakukan kesalahan sama sekali... tapi tiap aku melakukan kesalahan aku membayarnya... pernikahan yang buruk bisa jadi kesalahan yang besar, bahkan yang paling besar. Kamu harus tahu apa isi di dalam paket yang kamu dapatkan. Tapi kamu tahu, bukan?" Dari Jendela Kamar | 15 "Ya. Dia sangat baik. Sungguh. Anda tidak bisa mengetahuinya karena Anda tidak mengenalnya dengan baik, Mr. Bauman, tapi bila Anda pernah duduk bersama dengannya—" dia berhenti di tengah kalimat sambil menggigit bibirnya. "Oh, saya tidak bermaksud—" "Jadi, dia memang seorang yang kukenal," ujar Jacob. "Ini menarik. Aku bahkan tidak menyangka. Temanku, mungkin?" "Bukan. Bukan, sungguh, saya tidak bermaksud mengatakan itu. Semuanya hanya salah ucap. Dia bukan siapa-siapa—" "Dokter Holmes?" Jacob menebak. "Oh, bukan!" "Atau mungkin seseorang yang bekerja untukku?" tanya Jacob sambil tersenyum licik, memandang wajah si gadis. "Charles? Tidak... bukan... tidak mungkin Charles. Kau tidak begitu menyukai Charles, 'kan Frances? Kau menganggap dia merendahkanmu, bukan?" "Ya," sahut si gadis, dengan semburat marah di wajah. "Dia membuatku merasa seperti... oh, saya tidak tahu apa namanya. Hanya karena dia merasa begitu anggun. Well, bila Anda bertanya, menurut pendapat saya dia itu seperti ikan." Jacob terkekeh. "Kamu benar sekali. Charles itu ikan. Ikan kaku... lalu siapa? Pak Coveny terlalu tua untukmu, jadi tinggal..." Dia 16 | Hal Dresner berhenti sesaat, matanya bersinar-sinar menggoda si gadis, dan mulutnya terbuka. Lalu pandangannya terarah melewati si gadis, keluar jendela, dan berkata, "Tidak, aku tidak tahu. Beri aku petunjuk. Dia berbisnis di bidang apa? Saham, mungkin? Minyak? Tekstil?" Nada suaranya meninggi. "Transportasi?" "Oh, Anda menggoda saya," sahut si gadis. "Anda tahu calon suami saya adalah Vic. Pasti selama ini Anda sudah tahu. Saya harap Anda tidak marah. Sungguh, saya akan memberitahu Anda sebelumnya, tetapi—" Ketukan di pintu mengejutkannya. "Pergi," teriak Jacob. Pintu terbuka dan Mrs. Bauman masuk. Dia seorang perempuan mempesona dengan rambut merah, seperti masih berusia duapuluhan dengan swearer kuning daffodil dan celana panjang ketat yang provokatif. "Selamat pagi semuanya. Jangan, duduklah, sayang," ujarnya ke arah Frances. "Bagaimana kabar pasien kita pagi ini?" "Buruk," sahut Jacob. Istrinya tertawa dibuat-buat dan menepuk pipi Jacob. "Apa tidurmu nyenyak?" "Tidak." "Dia kasar, ya?" kata Mrs. Bauman kepada Frances. "Aku heran bagaimana kau bisa tahan menghadapinya." Dari Jendela Kamar | 17 "Karena uang," sahut Jacob. "Sama sepertimu." Mrs. Bauman tertawa dipaksakan. "Dia seperti bayi, bukan? Apa dia sudah minum pilnya yang berwama jingga?" "Sudah," kata Jacob. "Belum," sahut Frances. "Apa sekarang sudah pukul 09.15? Oh, saya—" "Sayangnya sekarang hampir pukul 09.20," jawab Mrs. Bauman dingin. "Biar aku yang melakukannya." Dia lalu membuka botol kecil yang diambil dari meja di sebelah tempat tidur dan menuang segelas air dari teko perak. "Ayo, buka mulutmu." Jacob memalingkan wajah darinya. "Aku masih bisa memegang segelas air dan sebutir pil," katanya. "Kau bahkan tidak terlihat seperti perawat." Dia memasukkan pil itu ke dalam mulut lalu mendorongnya masuk dengan seteguk air. "Kau mau pergi kemana, berpakaian seperti mahasiswi begitu?" "Ke kota, belanja sedikit." "Vic sudah mempersiapkan mobil Anda," kata Frances. "Dia mengelapnya pagi ini sampai mengilat seperti baru." "Aku yakin itu, sayang." "Kalau kurang mengilat, beli yang baru," kata Jacob. "Aku juga sudah memikirkan hal itu," jawab istrinya. "Tapi kupikir aku akan menunggu 18 I Hal Dresner sampai kau sembuh dulu. Lalu kita akan membeli sebuah mobil sport mungil dengan dua kursi penumpang di dalamnya dan kita akan berkendara berdua, hanya berdua." "Aku sudah tidak sabar lagi," ujar Jacob. "Lihat! Bukankah hari ini cerah sekali? Mengapa kau tidak meminta Charles membuka jendela?" "Karena aku tidak mau kedinginan dan mati," jawab Jacob. "Tapi terimakasih atas sarannya." Sambil tersenyum semanis mungkin, Mrs. Bauman menyentuh bibirnya dengan jari dan menempelkannya di dahi suaminya. "Kau bahkan tidak berhak menerima ciuman di dahi hari ini," katanya dengan nada main-main. "Bila dia masih jadi penggerutu seperti ini," lanjutnya kepada Frances, "jangan bicara dengannya. Dia pasti kapok." Senyumannya mengundang Frances untuk turut serta dalam persekutuan perempuan. "Aku akan cepat kembali," katanya sambil memandang Jacob. "Aku akan setia menunggumu disini." "Bye." Mrs. Bauman mengucapkan salam dengan manis, lalu pergi. "Tutup pintunya," kata Jacob pada Frances. "Beliau sangat cantik, ya?" ujar Frances sambil berjalan ke arah pintu dan kembali ke Dari Jendela Kamar | 19 tempatnya. "Saya ingin sekali bisa mengenakan celana panjang seperti itu." "Lakukan sesuatu untuk suamimu dan kenakan celana seperti itu sebelum kau menikah," jawab Jacob. "Oh, Vic pasti tidak akan keberatan. Dia bahkan tidak punya rasa cemburu sedikitpun di tubuhnya. Dia pernah berkata kepada saya ratusan kali bahwa dia sangat suka ketika saya dilirik lelaki lain." "Dan bagaimana perasaanmu saat dia yang dilirik perempuan lain?" "Oh, saya tidak keberatan. Lagipula, hal itu alami, kan? Dan Vic memiliki—" wajahnya sedikit merona. "Saya tidak mengerti bagaimana kita akan membicarakan hal ini lagi nanti. Anda benar-benar payah, Mr. Bauman." "Biarkan seorang lelaki tua bersenangsenang sambil ngobrol," sahut Jacob. "Jadi Vic sudah banyak pengalaman dengan perempuan... begitu?" "Kadang hal ini membuat saya malu. Maksud saya, ada beberapa wanita yang dengan gampangnya melemparkan diri ke seorang lelaki. Dua minggu yang lalu, Rabu malam, kami sedang berada di sebuah klub. Saat itu Vic sedang libur." Jacob mengangguk dan sekali lagi memandang melewati kepala si gadis yang mulai 20 | Hal Dresner berbicara dengan nada cepat. Dia bisa melihat istrinya berjalan melintasi halaman menuju garasi. Dia bergerak dengan cara yang berbeda dari Frances, lebih pelan, seakan-akan malas. Di balik celana coklat tanah, pinggul itu bergoyang, bergerak samar, seperti timbangan yang sedang mencari keseimbangan. Bahkan ayunan tangannya yang lesu terlihat seperti sedang menghemat energi, tidak mengayun kesana-kemari seperti Frances, tetapi menyimpannya untuk gerakan-gerakan yang lebih penting. "...dia benar-benar gadis yang mengerikan," lanjut Frances. "Maksud saya, saya benarbenar terkejut waktu dia menghampiri meja kami. Rambutnya selegam malam dan sepertinya dia tidak bersisir selama bermingguminggu, dan dia mengoleskan lipstik sebotol penuh..." Jacob mendengarkan sambil melamun, matanya masih menatap ke arah istrinya di luar sana. Dia telah mencapai mobilnya dan berdiri sambil bersandar ke pintu, bicara pada Vic. Jacob bisa melihat senyum yang melebar saat istrinya sedang mendengarkan dan kemudian, sambil menyentak kepala ke belakang, dia tertawa. Jacob tidak dapat mendengarnya, tapi dia ingat bagaimana suara tertawa itu terdengar di telinganya bertahun-tahun sebelumnya, tajam dan ringan, tawa yang menggairahkan dan memuji. Vic, satu kaki tersangga ke bemper mobil, Iengan besar yang menyilang di dada, ikut tersenyum bersamanya. "...kupikir dia mabuk," kata Frances, terserap dalam ceritanya sendiri. "Maksud saya, saya tidak bisa bayangkan ada seorang perempuan yang berani melompat ke pangkuan seorang lelaki dan menciumnya. Maksud saya, tepat di hadapan teman kencannya dan di hadapan orang banyak. Saya kan bisa saja disangka istrinya." "Lalu apa yang dilakukan Vic?" tanya Jacob, berpaling dari jendela. "Well, dia tidak melakukan apapun. Maksud saya, apa yang bisa dia lakukan? Kami sedang berada di muka umum dan Vic hanya tertawa dan menganggap semua itu hanya gurauan. Tapi saya tidak bisa. Maksud saya, saya sudah berusaha, tapi gadis itu sama sekali tidak beranjak dan Vic tidak bisa mengibaskannya. Semua orang melihat hal itu dan saya semakin marah dan marah dan—well, sejujurnya, Mr. Bauman, sesungguhnya saya adalah orang yang emosional. Maksud saya, jika sudah menyangkut hal-hal pribadi seperti Vic, saya tidak dapat mengendalikan diri saya sendiri." "Sebagaimana yang terjadi dengan Betty?" tanya Jacob. Frances menggigit bibir bagian bawahnya. "Saya kira Anda tidak tahu tentang hal ini. Saya Dari Jendela Kamar | 21 22 | Hal Dresner betul-betul minta maaf mengenai hal itu, Mr. Bauman. Saat itu saya akan ke dapur untuk mengambil makan siang. Saya melihat lengannya melingkar di leher Vic dan, well, saya gelap mata." "Begitulah yang kudengar," sahut Jacob sambil tersenyum. "Aku tidak sempat melihat Betty setelah dia pergi, tetapi Charles bilang wajah gadis itu sama sekali tidak menyenangkan lagi untuk dilihat." "Saya rasa saya mencakarnya cukup parah," ujar Frances sambil menyipitkan mata. "Saya sungguh-sungguh menyesal mengenai hal itu. Saya sudah mencoba minta maaf kepadanya, tetapi dia bahkan tidak mau mendengar. Seakan-akan semua itu kesalahan saya." "Lalu apa yang kau lakukan terhadap gadis di klub itu?" "Saya jambak rambutnya dan menariknya pergi dari Vic," kata Frances mengaku dengan suara malu-malu. "Dan jika Vic tidak menghentikan saya, mungkin sudah saya congkel mata gadis itu. Maksud saya, saat itu saya sudah benar-benar gila. Itu bahkan lebih buruk daripada kejadian dengan Betty, karena dia sungguh-sungguh mencium Vic. Saya rasa, jika saat itu ada pisau atau semacamnya, pasti saya sudah berusaha untuk membunuhnya." Dari Jendela Kamar | 23 "Benarkah?" kata Jacob. Pandangannya meninggalkan wajah si gadis dan kembali ke arah jendela. Tidak ada seorangpun, Vic maupun istrinya, yang terlihat. Matanya menyisir seluruh halaman, melewati patungpatung yang berkilau di bawah sinar matahari, ke arah Pak Coveny yang masih memeriksa tanaman, lalu kembali ke mobil istrinya yang berkilat-kilat. Dia melihat bentuk aneh di atas atap mobil itu dan, sambil menyipitkan mata, meyakinkan diri bahwa itu adalah lap yang digunakan Vic untuk membersihkan mobil istrinya. "Dan bagaimana perkelahian-perkelahian kecil itu mempengaruhi perasaanmu terhadap Vic?" tanyanya sambil lalu. "Oh, semua tidak ada pengaruhnya sama sekali. Maksud saya, bagaimana bisa? Bukan salah Vic jika banyak perempuan yang tergilagila padanya. Maksud saya, dia jelas-jelas tidak mengundang mereka." "Tentu saja tidak," kata Jacob. Dia kembali memicingkan matanya, berusaha untuk terfokus pada jendela gelap di atas garasi. Dia merasa melihat semburat kuning terang disana. Ataukah itu hanya kilatan cahaya matahari yang dipantulkan kaca jendela? Tidak, jendelanya terbuka. Berarti itu bukan cahaya matahari. Itu dia, ada lagi, berada diantara bayangan24 | Ha! Dresner bayangan yang bergerak. Bayangan itu berwarna terang, kotak, semakin lama semakin menyempit, dan kini terangkat ke atas perlahanlahan, seperti selembar kain. Mungkin sepotong pakaian yang terang, yang perlahanlahan dilepaskan dari sesuatu, dari seseorang. Kemudian warna cerah itu menghilang, dan bahkan bayangan-bayangan itu sama sekali tidak terlihat lagi di jendela. Jacob tersenyum. "Aku yakin Vic sangat setia," ujarnya. "Bila ada yang harus disalahkan, pastilah para perempuan itu. Kecemburuanmu sangat bisa dimengerti. Itu adalah hakmu yang kau gunakan untuk menjaga apa yang kau miliki. Bahkan bila hal itu harus menghancurkan beberapa bagian dari hidupmu." Frances terkejut. "Apa Anda pikir Vic tidak mencintai saya sebagaimana saya mencintainya dengan apa yang telah terjadi? Dia bilang dia mengerti." "Aku yakin dia mengerti," kata Jacob. "Bahkan, dia mungkin lebih mencintaimu karena kau telah menunjukkan kesetiaanmu padanya. Lelaki suka hal-hal seperti itu... Tidak, tidak, itu hanya perkataanku saja. Cuma bicarabicaranya orang tua saja. Lagipula, apa yang bisa kulakukan selain bicara?" "Oh, Anda dapat melakukan banyak hal," sahut Frances. "Anda sangat pintar. Maksud saya, setidaknya saya pikir begitu. Seharusnya Dari Jendela Kamar | 25 Anda punya hobi. Mengisi teka-teki silang atau semacamnya. Saya yakin Anda menguasai halhal semacam itu." "Mungkin aku akan mencobanya kapankapan," ujar Jacob. "Tapi sekarang, kurasa aku akan tidur sebentar." "Itu ide bagus," kata Frances. "Saya membeli sebuah buku untuk dibaca hari ini. Saya mulai membacanya dalam perjalanan naik bis kesini. Bagus sekali. Ceritanya tentang seorang perempuan Perancis yang membodohi para raja." "Kedengarannya bagus," ujar Jacob. "Tapi sebelum kau mulai membaca, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku." Dia membalikkan badannya dan membuka satu-satunya laci di meja samping tempat tidurnya. "Jangan takut." Jacob berhati-hati ketika dia mengambil sepucuk pistol kecil berwarna abu-abu dari dalamnya. "Aku menyimpannya kalau-kalau ada perampok yang masuk kesini. Lama sekali benda ini tidak dibersihkan, sampai-sampai aku tidak yakin masih berfungsi atau tidak. Maukah kau membawanya ke Vic dan minta dia untuk memeriksanya?" "Tentu saja," jawab Frances sambil berdiri dan mengambil pistol tersebut dengan acuh. "Hey, ringan sekali. Saya pikir pistol itu beratnya sepuluh kilo." "Kurasa itu pistol untuk perempuan," kata Jacob. "Untuk perempuan dan lelaki tua. Hatihati, pistol itu terisi. Aku akan mengeluarkan pelurunya karena kau akan membawanya. Sayangnya aku tidak begitu mengerti bagaimana caranya." "Aku akan berhati-hati," jawab Frances sambil bermain-main dengan gagang pistol. "Dan Anda harus berusaha untuk tidur sementara saya pergi. Apakah saya harus memanggil Charles untuk datang menemani Anda?" "Jangan, tidak usah repot-repot. Aku akan baik-baik saja. Tidak usah terburu-buru untuk kembali lagi kesini, temani dulu tunanganmu. Kurasa tadi aku melihatnya naik ke kamar." "Dia tidur," kata Frances. "Kalau begitu, coba kau mengendap-endap ke kamarnya dan kejutkan dia," ujar Jacob. "Mungkin dia menyukainya." "Well, bila ternyata dia tidak suka, saya akan bilang bahwa semua itu ide Anda." "Ya," kata Jacob. "Kau bilang saja padanya kalau itu ideku." Dia tersenyum, menatap gadis itu pergi, kemudian kembali merebahkan diri di atas bantal dan memejamkan mata. Suasana sangat sepi dan dia merasakan keletihan yang amat sangat sampai-sampai dia merasa mulai terlelap ketika terdengar tembakan pertama, 26 | Hal Dresner lalu yang kedua, dan ketiga. Suaranya terdengar melintasi halaman. Dia ingin sekali duduk dan melihat semuanya dari jendela, tapi sepertinya itu melelahkan. Lagipula, tidak ada satupun yang bisa dilakukannya, karena dia hanya bisa terbaring di tempat tidur. [] Dari Jendela Kamar | 27 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com LEMMING Richard Mathieson "Mereka datang darimana, ya?"tanya Reordon. "Dari manapun," jawab Carmack. Mereka berdiri di jalan raya dekat pesisir pantai. Sejauh mata memandang yang terlihat mobil dan mobil lagi. Ribuan mobil berhimpitan bemper ke bemper, pintu ke pintu. Jalan raya itu benar-benar banjir mobil. "Itu ada lagi," seru Carmack. Kedua polisi itu memandang kerumunan orang yang berjalan ke pantai. Diantara mereka ada yang mengobrol dan tertawa. Beberapa lagi hanya diam dan serius. Tetapi semua menuju ke satu arah: pantai. Reordon menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti," katanya, untuk yang kesekian ratus kali dalam minggu ini. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti." Carmack hanya mengangkat bahu. "Jangan terlalu dipikir. Semuanya sudah terjadi. Ada apa lagi disana?" "Tapi ini gila." "Lihat, orang-orang yang tadi sudah tidak ada," kata Carmack. eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com 30 | Richard Mathieson Sambil diawasi oleh dua polisi, kerumunan orang itu bergerak menapaki pasir pantai abuabu dan berjalari ke air. Beberapa diantara mereka mulai berenang. Ada juga yang tidak dapat bergerak di air karena pakaian yang mereka kenakan. Carmack memandang seorang gadis muda yang menggapai-gapai di atas air dan kemudian tenggelam akibat mantel bulu yang dikenakannya. Dalam beberapa menit mereka semua menghilang. Kedua polisi tersebut memandang tempat orang-orang yang tadi berjalan ke laut. "Sampai kapan kejadian ini akan berlangsung?" tanya Reordon. "Kurasa sampai tidak ada satupun yang tersisa," jawab Carmack. "Mengapa?" "Kau pernah membaca tentang lemming?" tanya Carmack. "Tidak." "Lemming adalah sejenis binatang pengerat yang tinggal di negara-negara Skandinavia. Mereka terus berkembang biak sampai sumber makanan mereka habis. Lalu merekai bergerak dari satu negara ke negara lain dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapan. Ketika mereka sampai di laut mereka terus saja maju. Mereka berenang sampai kekuatan mereka habis. Jumlah lemming itu mencapai jutaan." Lemming | 31 "Kau pikir mereka juga seperti itu?" tanya Reordon. "Mungkin," jawab Carmack. "Manusia 'kan bukan binatang pengerat!" sahut Reordon marah. Carmack tidak menjawab. Mereka berdiri sambil menunggu di tepi jalan, tetapi tidak ada seorangpun yang nampak. "Dimana mereka?" tanya Reodon. "Mungkin semua sudah masuk ke air," jawab Carmack. "Semuanya?" "Kejadian ini sudah berlangsung seminggu lebih," jawab Carmack. "Orang-orang dari berbagai pelosok datang kesini. Lagipula, 'kan ada danau." Reordon menggigil. "Semua," katanya. "Mana kutahu," jawab Carmack, "tetapi mereka masih terus saja datang sampai sekarang." "Ya Tuhan." Carmack mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Well, sekarang bagaimana?" Reordon menghembuskan nafas dengan keras. "Kita?"tanyanya. "Kau pergilah," kata Carmack. "Aku akan menunggu sejenak kalau-kalau masih ada orang lagi yang datang." 32 | Richard Mathieson "Baiklah." Reordon mengulurkan tangannya. "Selamat tinggal, Carmack," ujarnya. Mereka berjabatan tangan. "Selamat tinggal, Reordon," jawab Carmack. Dia berdiri sambil merokok dan mengawasi sahabatnya berjalan menapaki pasir pantai abu-abu dan masuk ke dalam air sampai air tersebut melampaui kepalanya. Dilihatnya Reordon berenang beberapa meter sebelum akhirnya menghilang. Beberapa menit kemudian dia mematikan rokok dan memandang sekeliling. Sampai akhirnya dia ikut menceburkan diri ke dalam air. Sejuta mobil membisu dalam kekosongan mereka di sepanjang jalan pantai.[] eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com RATU PUTIH Idris Seabright "Aku rasa kau sama sekali tidak menginginkan sendok-sendok tehku yang sudah rusak itu, kan?" kata Miss Smith tajam. Tajam memang, tetapi suaranya terdengar serak-serak basah dan merdu, layaknya aktris BBC yang sedang berperan sebagai seorang perempuan tua, seorang aktris BBC belia; dan Carson melihat, teriepas dari kekesalannya karena tertangkap basah dengan harta temuannya itu—dia pasti memiliki sepasang mata di belakang kepalanya—harapan bahwa nenek ini sebenarnya seorang perempuan muda yang karena alasan-alasan tertentu yang bersifat pribadi, memilih untuk berpakaian dan berlagak seperti perempuan tua bangka. Menganggapnya sebagai perempuan muda yang sedang menyamar membuat si nenek tidak sebegitu menakutkan daripada sebaliknya: mengandaikannya sebagai nenek yang bertingkah laku dan bicara layaknya gadis duapuluhan. Siapapun nenek itu, dia bukan seorang korban yang lembut, bodoh dan dicintai sebagaimana yang diinginkan. Sebaliknya, dia eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com 34 | Idris Seabright seseorang dengan bahu warna ungu muda dan lengan berurat-nadi kebiruan. Dia bertemu nenek itu di jalanan, salah satu tempat perburuan nenek tua nan baik kesukaannya. Tidak terlalu sulit baginya untuk memancing mereka mengundangnya ke acara minum teh. Sekarang yang dilihatnya dari nenek itu bukan sebagai nenek tua maupun nenek baik. Dan nama yang diambilnya adalah sebuah ejekan. Miss Mary Smith—anonimitas titik akhir. "Kenapa kau menyeringai begitu?" tanyanya. Lalu berubah jadi paksaan. "Kemarikan sendok tehku." Dijangkaunya saku mantel tanpa suara dan mengeluarkan lima sendok teh dari sana. Si nenek benar, dia tidak memerlukan uang si nenek. Barang-barang yang dicurinya dari orang-orang tua seusia si nenek hampir tidak laku dijual, kalaupun bisa uangnya akan dia gunakan untuk membayar tagihan-tagihan yang berlainan dan tidak tersentuh. Itu adalah sesuatu yang membuatnya ketakutan, tidak lebih baik daripada masokisme moral, tetapi lebih baik dari apapun yang pernah terpikirkan olehnya. Dia menikmatinya dan belum mau menyingkirkan kebiasaan itu. Diletakkannya sendok-sendok tersebut di meja teh di hadapan si nenek dan kembaii menenggelamkan diri di kursi. Si nenek menghitung. Kakinya—datar dan bersandal rata— Ratu Putih | 35 diketuk-ketukkan ke lantai. "Cuma lima. Harusnya ada enam. Aku menginginkan yang satu lagi." Dengan malas-malasan diberikannya sendok terakhir si nenek. Sendok itulah yang terbaik diantara yang lain, asli dan kuno, dengan bentuk yang imut, dan sekarang nilainya pasti tidak lebih mahal dari ketika pertama kali sendok itu dibuat. Cekungannya penuh lubang-lubang kecil dan halus seakan seorang bayi yang baru tumbuh gigi, yang sezaman dengan Washington dan Jefferson, telah menggigit-gigit bagian tersebut. Bayi yang menyedihkan—pinggirannya yang tajam dan bergerigi itu pasti sudah mencabik gusinya. Si nenek merampas sendok itu dan menggosoknya keras-keras dengan taplak meja teh. Lalu si nenek mengembalikan sendok itu ke tamunya. "Lihat ke dalam cekungan sendok." Carson melakukan apa yang diperintahkan si nenek. Miss... Smith kelihatannya tidak akan menghubungi polisi, sementara itu dia hanya merasa tidak nyaman, bukan takut. "Well?" katanya, meletakkan kembali sendok itu di meja. "Tidakkah kau lihat sesuatu?" "Hanya bayangan diriku sendiri, terbalik. Seperti biasa." "Hanya itu?" ujarnya kaget. "Kembalikan lukisan cat airku, sementara aku berpikir. 36 | Idris Seabright Barang itu nilainya bahkan lebih murah ketimbang sendok-sendok tadi." Si nenek tidak mungkin melihatnya mengambil lukisan cat air itu. Dia sedang membuat teh, membelakangi Carson, dan tidak ada cermin atau apapun dengan permukaan mengkilat di dekatnya. Dia bahkan tidak mungkin memperhatikan jarakdimana lukisan cat air tersebut tergeletak, karena benda itu berada diantara pernak-pernik lain yang jelek dan tidak berharga. "Lebih baik kita minum teh," ujarnya, menarik lukisan cat air yang didapatnya kembali dan meletakkan ke tempatnya semula. Dibingkaipun, lukisan itu tidak lebih besar daripada sebuah kartupos Eropa. Ada gambar pohon palem, sebuah pulau, air, semuanya seakan-akan cair dengan gaya yang meniru Winslow Homery. Tidak heran jika Carson sampai memutuskan bahwa benda tersebut patut dicuri. "Kau mau sedikit campuran gin dalam teh? Rasanya agak sedikit membantu." "Ya, terima kasih." Si Nenek menuang sesuatu dari botol kotak ke dalam poci teh dan kemudian meletakkannya di meja. Mereka minum. Teh itu panas membakar, dan Carson hanya bisa mengatasi penderitaan itu dengan cnra memasukkan gula banyak-banyak ke dalam cangkir. Miss Smith meletakkan cangkirnya sendiri pada tatakan. Dia batuk dan kemudian membersihkan hidungnya dengan saputangan katun untuk pria. "Lebih baik kau masuk," katanya, sambil mengetuk-ngetukkan jari tengahnya ke permukaan lukisan cat air itu, "dan melihat seberapa pantas kau berada di dalamnya." Wuuuush, wuuush, pluk. Carson sudah berada dalam lukisan cat air, duduk di sebuah pulau dengan pohon-pohon palem bergaya Winslow-Homer. Rerumputannya lengket sekali dan tempat itu sangat berisik seolah sedang terjadi kerusuhan. Ombaknya, butiran petak-petak menyerpih berwarna biru, mencapai pantai dengan suara keras bagai piring keramik membentur batu, camar laut memekik seperti alat musik tiup dari Inggris, dan daun-daun palem yang bergerigi mengeluarkan suara seperti lempengan seng. Tetapi Carson tidak terlalu terganggu untuk menerima kenyataan yang dikatakan Miss Smith bahwa pulau itu lumayan cocok untuknya. Suara yang dia dengar mengaburkan semuanya; dia tidak perduli apa ada lemari pajangan seorang nenek, dimanapun dia berada, menyimpan pernak-pernik yang cukup untuk dimasukkan ke dalam saku. Dia terlalu Ratu Putih | 37 38 | Idris Seabright leiah dan nyaman seolah sedang berada dalam rengkuhan hangat Miss Smith dan bersandar di bahunya yang lembut. Yu-hu. Pasti karena pengaruh gin. Dia tertidur. Ketika dia bangun semuanya masih sama. Camar, ombak dan pohon palem mengeluarkan suara bersahut-sahutan. Disana, dimana ombak kaku bikinan lemari pendingin itu terbentuk, air bergolak dengan sebentuk berwarna biru tua berputar dibawahnya. Apakah itu sudah ada disana sebelumnya? Pasti. Tapi dia tidak yakin. Itu bisa saja disebabkan karena banyak hal—hiu yang sedang naik ke permukaan, kura-kura raksasa, gurita seperti dalam cerita Jules Verne. Bisa saja. Tidak. Tidak. Carson memekik lirih ketakutan. Plup. Dia kembali duduk di depan Miss Smith, terpisah oleh meja teh. Si nenek itu telah menudungi poci tehnya dengan penutup kain, tapi tampaknya itu masih poci teko yang sama. Dia mengoleskan mentega ke biskuit dan memasukkannya utuh ke dalam mulut. "Apa kau suka berada di pulau itu?" tanyanya sambil mengunyah. "Pertama sih lumayan," jawabnya dengan agak terpaksa. "Tapi kemudian ada sesuatu yang berenang di bawah air dan aku tidak suka itu." Ratu Putih | 39 "Menarik." Si nenek menyeringai. "Kau tidak peduli pada kebisingan, kau tidak peduli pada keterasingan. Tapi ada sesuatu yang bergerak di bawah air dan tidak dapat kau lihat yang kau... tidak sukai." Apa yang sedang direncanakannya? Apakah dia sedang mencoba semacam analisa mulia terhadapnya? Mencoba, dengan cara yang disetujui para psikiater, mencari tahu apa yang membuatnya takut sehingga dia dapat menghilangkannya? Tidak. Lebih tepatnya, dia sedang memetakan kontur ketakutannya sehingga dia dapat memasukkan, menguasai, kedalamnya. "Mengapa Anda kelihatannya sangat tertarik?" tanya Carson. Dia mencoba mengoleskan mentega pada biskuit, tapi tangannya bergetar sangat keras sehingga dia harus meletakkan pisaunya. "Jarang sekali ada orang yang mau mencuri apapun dariku." Tidak. Tidak akan ada yang mau mencuri darinya. Hanya Carson, yang diantara semua nenek di seluruh dunia yang dapat dipilihnya, hanya Carson yang harus terlibat dengan seseorang bernama Isis, Rhea, Cybele—ada banyak nama-nama dewi yang bisa dipilih— Anatha, Dindymene, Astarte. Atau Neith. Carson menjilat bibirnya. "Bagaimana jika kita minum teh lagi?" usulnya. "Dan sedikit gin? 40 | Idris Seabright Pasti teh itu akan jadi minuman yang menyegarkan." "Kurasa gin yang kutuang tadi sudah cukup banyak." Tetapi nenek itu tidak protes ketika Carson membuka tudung poci dan mengambil botol kotaknya. Kelihatannya dia bahkan tidak melihat Carson melakukannya. Carson tadi telah dibodohi dengan cara seperti itu, dan si nenek mungkin saja melihatnya. Tetapi dia bisa membalas perlakuannya bila si nenek dengan kekuatan serupa dewi ini mabuk. Dia meletakkan kembali botol itu di meja dengan label menghadap ke si nenek agar dia tidak tahu seberapa banyak Carson menuangnya. "Anda yang menuang." Bergetarkah tangan yang sedang memegang poci teh itu? Dia tidak yakin betul. "Ya Tuhan, kau membuat teh ini jadi keras sekali," katanya. "Menyegarkan!" Dia berusaha tersenyum. "Ayo, disambi biskuitnya. Saat-saat seperti ini biasanya orang kurang bersemangat, sore-sore begini." "Ya." Badan si nenek agak bergetar karena batuk. Sebutir remah biskuit mungkin menyangkut di tenggorokannya. Dia berharap si nenek tersedak dan mati. Ratu Putih | 41 Si nenek mendorong remahan itu dengan tegukan terakhir dari cangkirtehnya. "Sekarang aku menginginkan pemberat kertasku." Itu adalah harta karun terakhir yang dimilikinya. Itu adalah benda yang paling dia sukai diantara benda-benda yang lain. Dengan sedih dia mengambil bulatan itu dari saku dan memberikannya ke si nenek. Dia mengetukkan jari. Salju tiruan turun dari atas kubah dan jatuh perlahan ke bagian dasar yang berhiaskan pemandangan musim dingin. "Cantik," kata si dewi memuji. "Salju yang cantik." "Ya. Saya mengaguminya." "... sudah larut untuk mencobamu ke yang lain lagi. Lagipula, aku tahu pasti apa yang kau inginkan. Kau adalah jenis orang yang tidak tahan untuk menunggu sesuatu yang tidak menyenangkan." Poci tehnya tidak sengaja menyentuh cangkir. Suara si nenek makin samar terdengar. Dia meninggalkan tetes teh di taplak sebelum meletakkan poci teh kembali ke tempatnya. Sekaranglah saatnya, jika memang saat yang tepat itu ada. "Terimakasih untuk sore yang menyenangkan," katanya sambil menggeser kursi ke belakang, kemudian berdiri. "Mungkin kita bisa mengadakan acara seperti ini lagi kapankapan." 42 | Idris Seabright Mulut si nenek terbuka. Seuntai ludah berkilau diantara bibirnya dan kemudian jatuh. "Dasar busuk. Masuk ke dalam kau, mahluk bodoh." Pemberat kertas itu menerima tubuhnya. Rasanya seperti menembus angin ribut, seperti berenang, tapi dia bisa bernafas dengan baik. Carson berusaha berjalan melintasi cairan itu— gliserin kah?—menuju dinding kaca dan mengintip keluar. Miss Smith menjentikkan jari. Bibirnya bergerak. Dia mulai berdiri. Lalu jatuh ke lantai. Cangkirnya jatuh dari jemarinya yang lemah dan turun perlahan di sampingnya. Miss Smith benar-benar mabuk berat. Setelah beberapa saat, Carson mulai berpikir. Rasanya dia melihat tubuh si nenek berkedut. Setidaknya dia yakin bahwa si nenek tidak pergi keluar. Dia mati. Sekitar pukul delapan pagi seseorang datang dan menemukannya. Banyak orang lalu-lalang sebelum akhirnya para petugas yang membawa brankar datang. Cangkir teh itu tetap tinggal di lantai. Mereka bahkan tidak mau bersusah-susah menutup tirai jendela. Cahaya bulan berkilauan dalam penjara kaca dan menyinari salju di dasarnya dengan sangat cemerlang. Andaikan itu salju sungguhan! Dia sangat menginginkan Ratu Putih | 43 sebuah ceruk nyaman yang bisa dia buat sendiri dalam rinai salju, pondokan hangat bergaya Steffanson yang dapat dinikmatinya dalam kandangnya yang empuk. Sebagaimana pertama kali dia datang, Carson mengapung vertikal di malam hari, menderita karena insomnia, dan merasa sangat tidak nyaman bagai batang asparagus di atas wajan. Akhirnya malam berganti. Dia tidak tahu apa dia menyesal atas kematian Miss Smith atau tidak. Apakah kepercayaan yang tidak masuk akal tentang adanya kemurahan hati yang potensial pada diri si nenek itu masih menghantuinya? Setelah kejadian dengan pulau itu dan sekarang ini? Pagi berlangsung cepat ketika dengan masuknya seorang perempuan yang bertugas membersihkan rumah. Dia seorang perempuan yang masih muda, dengan bibir merah dan rambut kuning flamboyan. Perempuan itu menancapkan kabel penghisap debu dan mulai membersihkan lantai. Dilepasnya taplak meja teh dan mencuci semua perabot yang ada di atasnya. Kemudian dia mengambil pemberat kertas dengan pemandangan musim salju itu. Pemberat itu diguncang dengan kasar. Salju buatan mulai turun di sekeliling Carson. Si perempuan menekan hidungnya ke kaca 44 | Idris Seabright agar bisa melihat lebih jelas ke dalam. Matanya sangat, sangat besar. Tidak mungkin dia tidak melihat Carson. Dia menyeringai. Carson mengenalinya. Miss Smith. Mestinya dia tahu, Neith tidak akan mati begitu saja. Si perempuan mengguncang pemberat itu sekali lagi. Kemudian dia meletakkannya dengan kasar ke atas meja. Untuk sesaat Carson berpikir gadis itu akan melemparnya ke dinding perapian. Tapi itu akan terjadi nanti. Dia mungkin akan membiarkan Carson hidup selama beberapa hari. Dia bisa meletakkannya di bawah terik matahari, membekukannya di lemari pendingin, mengguncangnya berulang-ulang sampai dia merasa mabuk laut bagai janin yang tidak diinginkan... banyak kemungkinan yang akan terjadi. Dan pada akhirnya akan terjadi benturan. Si gadis itu memain-mainkan jarinya dengan membuat garis melintang di tenggorokannya. Dicabutnya kabel penghisap debu, kemudian pergi keluar.[] eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com TERIAKAN MINTA TOLONG Robert Arthur Untuk keberapa puluh kalinya hari itu, dengan suara sedikit gemetar, Martha Halsey membaca artikel di harian Dellville Weekly Call dengan suara keras: Firma real estat Boggs and Boggs hari ini menyatakan penjualan rumah tua keluarga Halsey yang berlokasi di seberang pengadilan. Rumah tersebut, yang merupakan milik Miss Martha dan Louise Halsey, putri almarhum Hakim Hiram A. Halsey, telah diperintahkan untuk dijual oleh kemenakan mereka, Mrs. Ellen Halsey Baldwin. Kali ini, Louise, dengan tangan dipenuhi urat nadi kebiru-biruan dan sedang mengibaskan potongan-potongan perca untuk dibuat selimuttebal yang sedang dikerjakannya di atas kursi roda, diam membisu. Hanya suara angin New England yang menjawab, seakan melengking dan memekik gembira saat meniup lanaman merambat di atap rumah kuno itu, lerasing dari kebisingan dan kesibukan kota. Sepanjang hari itu, sejak Ellen membawa masuk koran yang didapat dari kotak surat, eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com 46 I Robert Arthur tepat sebelum sarapan pagi, mereka telah membaca dan membaca lagi beberapa kali sambil membahas semuanya dari berbagai sudut. Mulanya Louise yakin ini adalah kesalahan. Tetapi dengusan Martha bagai mengejek gagasan itu. Lalu Louise ingin menghubungi Ellen dan bertanya tentang hal ini. Tetapi ada perasaan waspada yang selama ini terbengkalai dalam kehidupannya yang membuat Martha berkata tidak. Dan sekarang, setelah sehari penuh mereka saling bicara, berspekulasi dan meletihkan diri dengan berbagai perkiraan, jawaban itu terbit dalam pikirannya. Hanya itu satu-satunya jawaban yang memungkinkan, dan dengan kejadian-kejadian yang diterimanya tanpa prasangka selama enam bulan terakhir ini—termasuk kematian si malang Queenie seminggu sebelumnya—tiba-tiba saja semuanya jelas terpampang. Martha menarik nafas sebelum bicara. Lalu, dengan tenang dan perlahan, dia mulai menjabarkan kebenaran pada Louise. "Louise, aku yakin betui Ellen dan Roger menginginkan kita mati." "Mati?" Louise menatapnya dari kursi roda dengan pandangan kaget dan raut wajah tidak percaya terpancar dari sana. "Oh, tidak, Martha!" Teriakan Minta Tolong | 47 "Tidak ada jawaban lain," kata Martha. Garis wajahnya bagaikan granit New England yang ditempa cuaca, keras. Di usia yang sudah delapan puluh tahun itu mata birunya menyala. "Sekarang aku mengerti mengapa Roger dan Ellen memaksa kita menjual rumah di kota dan tinggal di pinggiran sini bersama mereka," katanya. "Juga mengapa mereka merayu untuk memberi kuasa hukum pada mereka sehingga Ellen bisa mengurusi apa yang diistilahkan Roger sebagai detil-detil minor yang melelahkan dan ada hubungannya dengan tanah kita." "Kebenarannya cukup sederhana jika kau mencermati kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam sudut pandang yang tepat. Pertama Roger dan Ellen mengasingkan kita dari semua sahabat dan tetangga. Dan sekarang mereka cukup berani menjual tanah kita. Nanti, sebentar lagi, mereka pasti berharap dapat mewarisi saham dan surat obligasi yang kita miliki." "Tetapi mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali jika kita meninggal!" sahut Louise dengan suara agak tergagap. "Itulah maksudku." Martha berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju jendela kamartiduryang juga berfungsi sebagai ruang duduk tempat mereka tinggal, berjalan dengan sangat hati-hati agar sakit 48 | Robert Arthur panggulnya tidak bertambah parah. Angin musim gugur New England menggerakkan dahan-dahan pohon meranggas yang mengelilingi rumah kuno bergaya Kolonial itu. Martha mengangkat daun jendela, memeluk tubuhnya sendiri melawan angin yang meniup dingin. "Toby, Toby!" panggilnya. "Kesini, Toby!" Tidak ada sahutan meooong, tidak ada gumpalan berbulu coklat-kuning melompat ke dalam. Dibantingnya daun jendela sampai menutup dan berjalan tertatih kembali ke lingkaran terang yang dipancarkan oleh lampu minyak tanah yang besar di meja tengah, dekat kursi roda kakaknya. "Pertama Queenie," lanjutnya sedih, "Sekarang Toby! Aku beritahu kamu, Louise, besok atau lusa Roger akan membawa Toby dalam keadaan dingin dan kaku, dan berpurapura sedih—sebagaimana yang dia lakukan sewaktu membawa masuk Queenie minggu lalu. Diracun, tentu." Martha memandang dengan tajam ke arah kakaknya dan sepasang mata Louise mendadak berkabut. "Queenie yang malang," bisiknya. "Kata Roger dia pasti telah menemukan umpan yang dipasang para petani di luarsana. Itu memang benar, Martha. Para petani itu memang—" "Apakah Queenie akan makan makanan seperti itu setelah mendapatkan makanan layak darimu selama delapan tahun?" sahut Martha menegaskan. "Queenie itu kucing pemilih. Aku beritahu kau siapa yang meracuninya. Roger, tidak lain dan tidak bukan." Louise memandang adiknya dan angin bersiul di sekeliling sayap rumah kuno itu. "Tapi mengapa?" "Pikirkan kembali apa yang terjadi sebulan terakhir. Mantra yang sedang mengenai dirimu ini. Sehari kau merasa iemah dan sakit. Besoknya kau merasa lebih baik. Dan beberapa hari kemudian kau kembali Iemah kembali. Penjelasan apa yang bisa kau katakan mengenai kondisimu itu?" "Setelah seseorang melampaui usia tujuh puluh lima tahun—" "Tidak mungkin. Kau tidak pernah mengalami hal-hal semacam ini ketika kita berada di rumah kita sendiri." "Tidak... Itu benar. Aku tidak pernah seperti itu." "Weill Dan aku tidak perlu mengingatkanmu bahwa sebagai apoteker Roger memiliki akses kemanapun mengenai obat-obatan— termasuk racun." "Oh, Martha, tidak!" "Roger itu sangat pintar. Dia melakukannya sodikit demi sedikit, jadi kita hanya akan merasa sakit pelan-pelan dan suatu saat nanti kita akan mati—-karena sebab yang wajar." Martha Teriakan MintaTolong | 49 50 | Robert Arthur seperti mendesiskan kata-kata terakhirnya. "Semua gejala penyakitmu itu, Louise, adalah akibat keracunan kronis, sepertinya racun arsenikum. Queenie diberi makan dari piringmu. Tetapi dia hanya menjadi semakin kurus dan kurus lalu mati, sementara kau hanya menjadi semakin sakit. Dan Roger membawanya kesini sambil mengarang-ngarang cerita tentang Queenie yang memakan umpan yang dipasang para petani." Martha menarik nafas dalam-dalam, paruparunya dipenuhi dengan kebencian. "Lalu Roger menyadari bahwa hal yang sama bisa saja terjadi pada Toby. Hanya saja Toby dia biarkan sakit bersama-sama dengan kita disini, tetapi kita telah curiga bagaimana cerita sebenarnya. Jadi dia memutuskan untuk melenyapkan Toby selamanya. Dan kini Toby kita tersayang namun malang telah tiada." "Oh, jahat sekali," kata Louise menggeragap. "Tapi bagaimana kau bisa yakin?" "Berdasarkan bukti, termasuk mobil baru yang dibeli Roger kemarin." "Tapi itu kan bukan mobil yang benar-benar baru," sanggah Louise. "Itu mobil bekas. Dan Roger memang membutuhkannya, karena musim dingin yang akan datang." "Itulah tujuan sebenarnya. Kebutuhan. Roger dan Ellen sangat memerlukan uang. Kau tahu betapa sedikit gaji yang diterima Roger di Teriakan Minta Tolong | 51 apotik Mr. Jebway. Kau hanya perlu mencermati semua fakta-fakta yang ada. Dua tahun yang lalu Roger datang kemari tanpa tahu dari mana dia berasal—orang asing. Dia bertemu Ellen dan tanpa pikir panjang akhirnya Ellen mau menikah dengannya. "Tapi coba lihat, Ellen itu biasa-biasa saja. Mengapa Roger tertarik padanya? Aku sebenarnya heran saat itu. Kini aku tahu. Itu semua karena Ellen adalah pewaris tunggal kita, kemenakan kita. Dan kita punya rumah megah, juga saham dan surat obligasi yang ditinggalkan ayah untuk kita. Kemudian Roger melihat kesempatan ini. Dia menikahi Ellen dan mengira bahwa suatu saat nanti dia akan menguasai harta kita dengan cepat—dengan cara meracun kita berdua." "Semua hal yang kau bicarakan tentang Ellen memang benar," kata Louise, dan raut wajahnya yang mungil dan keriput menunjukkan keraguannya. "Dia itu amat sangat biasabiasa saja. Tapi sifatnya yang manis, dan seorang lelaki tidak selalu menikahi perempuan karena melihat penampilannya saja." Martha mengacungkan jari telunjuknya yang kurus kering kearah kakaknya. "Kau tahu, menurutku Ellen sudah berubah. Kau merasakannya bukan, bagaimana dia menjadi penuh rahasia sekarang ini. Bagaimana dia selalu menghindar saat kita sedang bicara 52 | Robert Arthur masalah rumah? Bagaimana Roger dan Ellen diam-diam saling berpandangan saat mereka pikir kita tidak melihat mereka? Dan bagaimana mereka, saat kita membicarakan masalah uang, selalu mengalihkan pembicaraan?" Martha mencondongkan tubuh ke depan, memelankan suaranya. "Aku lupa. Mereka mungkin mendengarkan pembicaraan kita dari luarpintu. Sebagaimana yang aku katakan tadi, pertimbangkan semua kenyataannya. Kita bahagia di rumah kita di kota. Lalu musim panas yang lalu Ellen dan Roger membuat kita yakin dengan kekhawatiran mereka atas kondisi kesehatan kita. Karena sakit panggulku dan arthritismu, mereka bilang kita tidak bisa mengurus diri dengan benar. Tidak masuk akal! Kita bisa saja menjual beberapa saham kita dan membayar seorang tukang masak dan pembantu. "Tapi tidak. Layaknya nenek-nenek bodoh kita setuju saja memberi kuasa hukum pada Ellen dan pindah kesini bersama mereka. Sekarang kita benar-benarterasing. Kita tidak pernah bertemu orang lain sama sekali, dan bisa dibilang kita tidak pernah meninggalkan rumah. Kita tidak pernah mendapat surat sepucukpun. Bahkan Hakim Beck juga tidak datang menjenguk kita, dan aku menulis kepadanya tiga hari yang lalu, memintanya— tidak, memohon padanya—untuk datang Teriakan MintaTolong | 53 mengunjungi kita. Kukatakan bahwa kita ingin membicarakan sesuatu yang penting." "Kau menyurati Hakim Beck?" seru Louise. "Kau tidak mengatakannya kepadaku." "Karena aku tidak ingin membuatmu khawatirdengan kecurigaanku. Tapi sekarang aku yakin, dan aku akan menyampaikan semuanya ke pak hakim. Kalau kita bisa bertemu dengannya, Aku yakin Roger tidak pernah menyampaikan suratku kepadanya." Bibir Martha menegang. "Kita harus menghadapinya dengan tabah. Roger jadi tidak sabaran. Kelihatan sekali dia berencana untuk menghabisimu dulu. Kemudian aku. Dan tidak ada seorangpun yang akan curiga sedikitpun." "Oh, Martha!" sepasang mata Louise yang pucat kebiruan mengerjap cemas. "Aku akan memanggil mereka dan mencari tahu bagaimana sikap mereka. Oh, aku bukannya mau menuduh mereka. Tapi dari cara mereka menjawab pertanyaanku, kita bisa tahu seberapa banyak yang harus mereka tutupi." Martha berjalan pincang ke pintu yang mnnuju ke selasar penghubung ke bagian rumah utama. Sambil membuka pintu, dia berteriak, "Roger! Ellen!" "Ya, Bibi?" sahut suara seorang perempuan muda. Martha kembali ke tempat duduknya dan Ellen segera datang menghampiri. Ellen 54 | Robert Arthur adalah seorang perempuan muda dengan mata menonjol, dagu tipis dan raut muka khawatir. Dia masuk, mengelap tangannya ke celemek, dan tersenyum. "Sebentarlagi makan malam siap," katanya. "Daging bakar. Bagaimana?" "Bagus sekali, Ellen," sahut Martha, "tetapi kami ingin bicara dengan Roger." "Apa ada yang memanggilku?" Suara langkah kaki yang beratterdengardi lorong dan Roger muncul di belakang Ellen. Roger bertubuh pendek, dengan rambut kaku dan raut wajah cerah, hanya saja garis-garis di sekitar mulut dan kacamata tebal yang dia kenakan tidak membuatnya tampak menyenangkan. "Ini aku, Bibi, lengkap." Dia tertawa seperti baru saja menceritakam gurauan. "Bibi perlu bantuanku?" Dia melingkarkan tangan di sekeliling pinggang istrinya dan wajahnya berseri-seri. Di atas bibiryang sedang tersenyum itu sepasang mata dibalik kacamatanya terlihat bertambah besar dan menyiratkan pikiran rahasia dari benaknya. "Tiga gadis kesayanganku, semua berada dalam satu atap. Harem kecil rahasia milikku." Sambil bicara begitu, dia meremas lengan Ellen dengan lembut. "Roger, aku penasaran mengapa aku belum mendapat surat balasan dari Hakim Beck," kata Martha. "Apa kau sudah memberikan suratku padanya?" "Well, belum,"jawab Roger ragu-ragu. "Aku meninggalkan surat itu pada sekretaris Hakim Beck. Sebenarnya aku baru akan memberitahukan Bibi malam ini. Hakim Beck sedang keluar kota." "Keluar kota?" tanya Louise. Matanya menatap Roger. Roger berdehem, dan Louise bisa melihat bagaimana Roger dan Ellen saling melirik. "Beliau pergi ke Boston karena ada kasus di sana. Menurut sekretarisnya, kasus itu lumayan penting." "Tetapi Pak Hakim tidak punya klien di Boston," sahut Martha tegas. "Beliau pergi atas permintaan klien lokal," sambung Roger. Raut wajahnya yang tidak tenang semakin terlihat. "Kapan beliau kembali? Pak Hakim itu benci Boston." "Mungkin satu atau dua hari lagi," sahut Roger cepat. "Segera setelah beliau kembali, surat Bibi akan segera dibaca." "Mmm." Martha memandang penuh arti ke arah Louise dan Louise membalas dengan anggukan yang mengisyaratkan bahwa dia juga bisa melihat pengingkaran Roger. "Ada berita di koran Call hari ini, Roger, yang mengatakan bahwa Ellen telah menyerahkan Teriakan MintaTolong | 55 56 | Robert Arthur rumah kami ke Boggs untuk dijual. Tentu saja, menggunakan kuasa hukum yang kami serahkan padanya. Itu pasti tidak benar." Lagi-lagi mereka melihat Roger dan Ellen saling berpandangan secara diam-diam. Kepercayaan diri Roger hilang pelan-pelan. "Well, tidak, Bibi Martha," katanya. "Rumah itu perlu perbaikan dimana-mana. Kami pikir Bibi berdua bahagia tinggal bersama kami dan—well, kami pikir rumah itu memang hams dijual." "Roger!" Martha bangkit, bersandar pada penyangganya kemudian berdiri berhadapan dengan Roger yang tidak berani menatap matanya. "Kau ingat, kami setuju untuk tinggal di sini asal kami bisa kembaii ke rumah kami kapanpun kami mau. Bukan begitu, Ellen?" "Ya, tentu saja, Bibi Martha," sahut Ellen sambil memilin-milin celemeknya. "Dan maksud dari pernyataan tersebut adalah kami sama sekali tidak berniat menjual rumah itu selama kami masih hidup." "Kami ingin pindah kembaii," kata Louise dengan suara bergetar. "Oh, Bibi Louise!" protes Ellen. "Bibi tidak boleh begitu!" "Mengapa tidak? Apa alasannya?" tanya Martha. "Sebentar lagi musim dingin," sambung Roger yang mendapatkan keyakinannya Teriakan MintaTolong | 57 kembali. "Rumah itu perlu membutuhkan pemanas yang baru, dan pemasangannya memerlukan waktu lama dan mahal. Mungkin baru musim panas nanti kita bisa memasangnya. Tidak ada yang lebih buruk daripada rumah yang dingin ketika cuaca sedang bersalju, apalagi bila Bibi sedang sakit." Saat itu wajahnya hampir bisa dikatakan menarik, meskipun garis-garis itu terlihat semakin dalam. "Lagipula, seperti yang dikatakan Ellen, kami ingin Bibi tingal bersama kami. Kami pikirakan menyenangkan bagi kita jika Bibi tidak hidup sendiri." Dengan tatapannya Martha memperingatkan Louise untuk tidak protes. "Kami akan memikirkannya dan membicarakan masalah ini dengan Hakim Beck," jawabnya. "Itu baru gadisku! Well, Ellen, ayo kita makan malam. Aku harus kembali ke apotik malam ini. Mr. Jebway kelihatannya agak flu saat ini." Roger dan Ellen kembali ke bagian rumah yang mereka tempati. Martha berpaling pada Louise. "Well? Kau setuju denganku sekarang?" "Oh, ya, aku setuju," jawab Louise menggeragap. "Ya ampun, kelihatan sekali kalau dia berbohong. Sistem pemanasan di rumah kita bekerja dengan sempuma. Kita tidak pernah mengalami gangguan pemanas sejak Ayah 58 | Robert Arthur memasangnya tiga puluh tujuh tahun yang lalu." "Dan siapa klien lokal yang sampai mengutus Hakim Beck pergi ke Boston?" tanya Martha dengan suara mencibir. Dia menatap lurus-lurus ke wajah kakaknya. "Apakah kau lihat tadi Roger berkata dia harus kembali lagi ke apotik malam ini? Seakan-akan dia hanya berpikir bagaimana cara melarikan diri dari sini sebelum kita sempat bertanya-tanya lagi. Tampaknya dia perlu lebih banyak racun dari persediaan obat Mr. Jebway." "Martha!" seru Louise, dengan jemari refleks menutup bibirnya yang bergetar. Malamnya dua bersaudara tersebut tidak dapat tidur nyenyak. Martha terbangun beberapa kali dan berjalan tertatih-tatih ke jendela sambil memanggil Toby. Tapi tetap saja suara sahutan meooong itu tidak kunjung datang. "Toby mati," kata Martha pada Louise keesokan paginya. "Kita tidak akan pernah melihat Toby lagi." "Toby yang malang." Mata Louise yang biru pucat berkaca-kaca. "Mereka itu monster. Dulu kupikir Ellen gadis yang manis." "Dulu memang begitu," sahut Martha. "Roger telah mengubah seluruh sifatnya. Secara alami, perempuan biasa menuruti perintah dan bimbingan suaminya." Teriakan MintaTolong | 59 "Tapi menuruti perintah Roger untuk membunuh kita—" "Sejauh ini mereka hanya membunuhi kucing. Kita akan cari cara untuk mencegah mereka membunuh kita. Aku punya rencana." Nada suara Martha terdengar putus asa. "Sebenarnya aku tidak suka jika aku harus melakukannya, tapi cara ini akan kupergunakan bila terpaksa." Terdengar langkah kaki di lorong, dan Ellen datang membawa nampan. "Selamat pagi," katanya sambil meletakkan piring di atas meja. Dilihat dari wajahnya pagi itu, kelihatannya Ellen tidak bisa tidur nyenyak semalam. "Telur rebus, keik panas dan teh. Enak dan mengenyangkan. Tahukah Bibi, ada butiran es di kandang ayam pagi ini." "Kami sama sekali tidak bisa tidur nyenyak tadi malam," kata Martha pada Ellen. "Kami mengkhawatirkan Toby." "Ya ampun, dia belum kembali?" kekhawatiran Ellen tidak dibuat-buat. "Kuharap dia belum—maksudku, kuharap dia tidak keluyuran kemana-mana. Tapi meskipun dia melakukannya, Toby pasti akan kembali." "Aku tidak bisa makan, sungguh, makanan ini tidak tertelan," sahut Louise sedih setelah Ellen pergi. Dia hanya mengacak-acak keik panasnya yang berwarna coklat keemasan. 60 | Robert Arthur "Kita harus menjaga agar tubuh kita tetap kuat," kata Martha. "Makan saja telumya. Telur itu di dalam cangkang, jadi sangat aman dimakan. Dan minum tehnya." "Aku coba." Louise akhirnya bisa memakan telur dan minum teh, meskipun dirasa agak terlaiu kental. Martha memakan semua keik coklat dan telur di piringnya. Tapi dia juga merasa teh pagi itu terlaiu kental. "Apakah kau bisa menyelinap keluar dan menelepon Hakim Beck?" tanya Louise ketika mereka selesai sarapan. "Kamu lupa!" Martha memandang kakaknya dengan serius. "Bulan lalu Roger mencabut saluran telponnya." "Ya Tuhan, iya," seru Louise. "Katanya tagihan telpon terlaiu mahal." "Meskipun kita menawarkan diri untuk membayarnya. Itu cara pertama yang dilakukannya untuk memutuskan hubungan kita dengan dunia luar." "Sekarang kita tidak mungkin bisa minta tolong!" suara Louise bernada panik. "Kita masih bisa. Seperti yang kukatakan tadi malam, aku benci melakukannya, tapi akan kujakukan jika terpaksa. Sekarang, lanjutkan pekerjaanmu menjahit selimut. Aku akan membacakan koran untukmu. Kita harus pura-pura sibuk. Apa yang pertama harus kubaca?" Teriakan Minta Tolong | 61 "Oh, berita kematian," kata Louise. "Kalaukalau ada orang yang kita kenal meninggal dunia." Wajahnya khawatir. "Kita tidak mendapatkan kabar lagi sekarang ini. Mary Thompson biasanya memberitahu kita jika terjadi apa-apa, tapi dia tidak punya mobil—" suara nafas Martha yang tertahan membuat Louise menghentikan ucapannya. "Ada apa?" "Mary Thompson!" "Dia tidak mati kan?" tanya Louise, waspada. "Tidak," sahut Martha sambil memainkan mulutnya. "Tapi mungkin dia lebih baik meninggal. Menurut berita, dia masuk Haven Home." "Oh, tidak!" teriak Louise. Martha mengangguk. "Perempuan malang itu memintanya sendiri. Bayangkan, orang seusianya dipaksa tinggal di tempat tua dan mengerikan itu. Tempat itu dingin, busuk, dan penuh tikus. Benar-benar Rumah Perlindungan! Nama yang bagus bukan berati tempatnya juga bagus. Tempat itu hanya sebuah rumah di desa dan sudah rusak, mencoreng lingkungan! Baginya, itu sama saja dengan mati." "Mary yang malang," ujar Louise sedih. "Oh, aku teringat pada acara minum teh, dengan perapian yang sedang menyala dan kucing62 | Robert Arthur kucing yang tidur di depannya, dan Mary datang mengunjungi kita." Raut wajahnya berubah bagai anak kecil yang kegirangan. "Jika kita bisa kembali ke rumah kita yang lama Mary bisa tinggal bersama kita! Kita akan membayar beberapa pembantu dan itu pasti akan menyenangkan!" "Kita bisa," kata Martha berjanji. "Mary Thompson tidak akan melewati hari-hari sepinya di tempat mengerikan itu selama kita masih punya cara untuk membantunya." Harapan untuk mendapatkan rumah mereka kembali dan tinggal serumah dengan sahabat lama mengangkatsuasana hati Louise beberapa saat. Kemudian, saat hendak menjahit potongan perca yang dua puluh tahun silam adalah gaun wol terbaik yang biasa dipakai ke gereja di hari Minggu, tiba-tiba Louise tertegun. "Aku—aku merasa tidak enak badan." Dia menunggu beberapa saat, kemudian menatap adiknya dengan ngeri. "Aku sakit. Lebih baik aku tidur." Martha membantunya naik ke ranjang dan memijat pergelangan tangan Louise. "Sudan agak baikan?" tanyanya. "Aku merasa aneh," jawab Louise berbieik. "Lemah, tidak berdaya dan—dan kaget. Seperti—sepertinya aku diracun!" Kata-kata terakhir itu keluar dalam bisikan putus asa dan Teriakan MintaTolong | 63 ketakutan, dan ketika terucap kedua kakak beradik itu bersitatap dengan sebuah pengertian yang tampak jelas di mata mereka. "Tehnya," kata Martha. "Oh, pintar sekali Roger itu. Tapi aku tidak meminumnya dan kau hanya minum sedikit—" dia mencengkeram pergelangan tangan Louise dengan kuat. "Aku yakin kau tidak sakit parah. Kau hanya minum the itu sedikit dan itu tidak cukup untuk membuatmu keracunan. Lagipula, aku yakin Roger merencanakan untuk melakukannya perlahanlahan, untuk membuatnya terlihat seperti penyakit yang bisa menyebabkan kematian. Tapi kita akan memaksa mereka untuk memanggil dokter Roberts. Dan dia akan menyampaikan pesan kita ke Hakim Beck." "Kamu memang cerdas, Martha," ujar Louise menggumam kagum. "Sebelum kita bertemu Hakim Beck, kita harus merahasiakan kecurigaan kita terhadap Roger dan Ellen. Kalau sampai terlihat, dia tidak akan menunggu lama-lama." "Tidak, tentu tidak." Tetapi ketika Ellen masuk, dia tidak menyarankan agar mereka dijenguk oleh dokter. Ellen hanya mondar-mandir mengurusi Louise dan menyarankan minum aspirin, bikarbonat dan botol air panas. Bagaimanapun, Martha tetap memaksa dan akhirnya, dengan malas, Ellen mengenakan mantel dan pergi ke 64 | Robert Arthur rumah tetangga terdekat yang jaraknya seperempat mil untuk menghubungi dokter Roberts lewat telpon. Dia kembali, mengabarkan bahwa dokter Roberts sedang menangani kelahiran, tapi akan datang secepatnya. Waktu berjalan lambat. Louise tidak bertambah parah. Tetapi dia tetap tinggal di kasur, selalu mengaduh dan mengeluh, sementara Martha memijat pergelangan tangannya dan menyeka pelipisnya dengan minyak angin. Mereka menolak makan siang dan hal ini membuat Ellen bertambah panik. "Tapi Bibi harus makan," bujuknya "supaya Bibi tetap kuat." "Aku sudah makan banyak tadi pagi," kata Martha. "Dan aku yakin Louise malah akan bertambah parah jika dia makan dalam keadaan tegang seperti ini. Lebih baik tidak makan apapun ketika perutmu sedang bermasalah." Ellen yang kelihatan marah dan khawatir itu akhirnya membawa nampan makan siang mereka keluar. Dokter Roberts datang sore-sore, agak kedinginan dan nafas berembun. Dia adalah seorang lelaki pendek dan gempal dengan rambut-rambut halus berwama putih, sedikit lebih muda dari kedua kakak-beradik itu. "Ayo, ayo... ada apa ini?" tanya si dokter sambil duduk dan meraba denyut nadi di Teriakan Minta Tolong | 65 pergelangan tangan Louise. "Mmm. Sepertinya kamu gelisah. Coba kuperiksa lidahmu, gadis kecil." Martha segera mendekat ketika dokter Roberts memasang stetoskop dan mendengar denyut jantung Louise. "Ada sesuatu yang mengganggumu, Louise?" tanyanya sambil mengelus dagunya. "Kata Ellen kucingmu baru saja hilang?" "Kucing itu diracun," kata Martha. "Sekarang Toby sudah tidak ada. Kami khawatir kalau-kalau Toby juga diracun." "Hmmm, hmmm. Gawat sekali. Menurutku kau terlalu mencemaskan binatang peliharaanmu. Aku akan memberimu resep yang dapat dibeli Roger. Kau beruntung, ada Roger yang bekerja di apotik. Kau bisa menghemat setengah harga obat. Sekarang ini harga obat sangat mahal." "Cemas!" seru Louise ketika dokter Roberts meraih buku resepnya. "Dokter, aku—" Martha mengisyaratkan Louise untuk diam. Dokter Roberts, yang sedang sibuk dengan rosepnya, tidak memperhatikan kedua perempuan itu. "Dokter," tanya Martha ketika dokter sedang melipat stetoskopnya, "bisakah Anda menyampaikan pesan kami untuk Hakim Beck?" 66 | Robert Arthur "Tentu, tentu, Martha. Apa pesannya?" Dokter Robertrs berdiri dan memijit lembut puncak kepalanya yang botak. "Tolong katakan pada Hakim Beck untuk datang kesini malam ini! Katakan padanya ini amat sangat penting." "Amat sangat penting. Hmmm.. aku tidak suka memintanya pergi malam-malam. Dia sedang demam." "Jadi, dia tidak sedang di Boston?" tanya Louise. "Boston? Darimana kail tahu bahwa dia di Boston? Dia sedang sakit ketika terakhir aku bertemu dengannya." "Tolong minta padanya untuk datang malam ini," kata Martha memohon. "Katakan padanya ini masalah hidup dan mati." "Hidup dan mati? Hmmm." Dokter Roberts mengangkat alisnya yang putih dan tebal. "Well, baiklah, baiklah, bila dia sudah cukup sehat. Dan jangan khawatir tentang Toby dan Queenie. Peliharalah lagi beberapa anak kucing yang sehat dan kalian akan merasa jadi perempuan baru." "Saat kami kembali ke rumah kami di kota kami akan melakukannya," sahut Martha tegas. "Pasti menyenangkan melihat kucing yang bermain-main di depan perapian." "Rumah kalian di kota?" tanya si dokter keheranan. "Mengapa kalian ingin kembali Teriakan MintaTolong j 67 kesana? Tempat itu terlalu besar buat kalian— amat sangat besar. Kalian tidak akan mampu menjaganya. Kusarankan lebih baik kalian tetap disini karena ada yang akan merawat kalian." Setelah dokter itu meninggalkan ruangan, Martha mendengar Ellen berbicara dengannya di lorong. Martha melongokkan kepalanya keluar pintu untuk mencuri dengar. Sesaat kemudian dia berjalan kembali ke samping Louise. "Katanya kau hanya gelisah," bisiknya. "Dia meresepkan obat penenang." "Obat penenang! Seharusnya tadi kita bilang kalau itu racun!" "Dia tidak akan mendengarnya. Tidakkah kau lihat? Semua orang berpihak pada Ellen dan Roger. Orang-orang semua mengira mereka adalah sepasang suami istri yang manis dan menyenangkan yang merawat dua orang nenek tua yang tidak berdaya." Martha melambaikan tangannya putus asa. "Louise, meskipun Hakim Beck datang malam ini, dia pasti akan berpikiran sama. Aku bisa menyimpulkannya sekarang. Kita berdua sudah berada di kuburan dalam waktu sebulan dan semua orang akan bersedih untuk Roger dan Ellen." "Kita berikan saja saham dan surat berharga kita pada mereka," bisik Louise. "Jadi 68 | Robert Arthur mereka tidak punya alasan untuk membunuh kita." "Tentu saja tidak boleh." Mata Martha membelalak. "Mereka akan langsung membawa kita ke Haven Home. Kau mau hari-harimu berakhir di tempat yang mengerikan itu?" "Lebih baik aku mati. Tapi bila tak ada satupun yang mau mendengarkan kita—" "Hanya ada satu cara, kita harus kabur." "Martha!" Louise terduduk. "Kau tahu kita tidak bisa seperti itu. Kau bahkan tidak akan sanggup berjalan setengah mil ke rumah keluarga Lamb, apalagi sambil mendorong kursi rodaku. Kita akan mati kedinginan. Coba dengar angin di luar sana!" Angin itu menggetarkan daun jendela sekan menegaskan pernyataan Louise. Tetapi Martha mengangguk-angguk dengan raut wajah misterius. "Kau akan lihat. Aku sudah mengatakannya, aku punya rencana. Kita akan kabur. Jangan takut." "Tapi jika kita memang bisa kabur, mereka akan mengatakan kita ini nenek-nenek yang tolol dan mereka pasti akan membawa kita kembali kesini lagi," sahut Louise. "Aku juga sudah memikirkannya. Kita akan lari dan mereka akan membawa kita kembali ke rumah lama. Tapi kita harus menunggu sampai Roger pulang." Teriakan Minta Tolong | 69 Tanpa menghiraukan rasa penasaran Louise, Martha tetap bungkam mengenai rencananya itu. Ketika hari beranjak sore, suhu mulai bertambah dingin, dan saat malam mulai menjelang suhu dingin mulai terasa mendesak jendela-jendela tinggi di rumah itu. Martha mulai memilah-milah perhiasan dan pernakpernik berharga yang mereka miliki dan mengumpulkannya menjadi satu dan dimasukkan dalam syal. "Kita tidak bisa membawa banyak-banyak," katanya. "Kita harus meninggalkan pakaian kita disini. Tapi kita bisa menjual saham kita dan membeli pakaian lagi." Louise merasa lebih baik dan sekarang dia duduk. "Kuharap aku tahu lebih banyak tentang rencanamu itu. Kau pasti tidak akan bisa berjalan sambil mendorongku sejauh setengah mil. Kita akan membeku." "Bantuan akan datang pada waktunya," sahut Martha berjanji. "Sekarang kau harus ingat, Ellen dan Roger tidak boleh mencurigai hal ini karena mereka adalah pembunuh. Mereka telah membunuh Queenie dan Toby mereka berencana membunuh kita juga. Biarkan aku saja yang bicara." "Baiklah," sahut Louise pasrah. "Tapi kita tentu tidak akan makan makanan mereka, bukan?" 70 I Robert Arthur "Tentu saja jangan. Sekarang sssttt— Roger sudah pulang, dan kurasa aku dengar Ellen membawakan kita makan malam." Terdengar suara piring berdentingan dan Ellen masuk membawa nampan berisi piring dan peralatan makan perak. Roger berdiri di belakangnya, kacamata tebalnya berkilat dalam cahaya lampu. "Dr. Roberts memintaku untuk membawakanmu obat istimewa, Bibi Louise," kata Roger. Dia tersenyum lebar saat mengambil botol obat itu dari saku, melempar dan menangkapnya kembali. "Debu emas murni mungkin lebih murah. Tetapi dengan obat ini, dalam seminggu Bibi akan selincah anak kuda." "Terima kasih, Roger. Aku akan meminumnya nanti." "Sebelum makan, begitu resepnya. Ini. Ditelan, ya." Dia memegang sebutir kapsui merah dan segelas air. Louise menatap Martha seolah memohon padanya, kemudian menelan kapsui itu. "Itu baru gadisku. Bibi harus meminumnya lagi sebelum tidur." "Kau sudah menemukan Toby?" tanya Martha. "Dia masih belum pulang." Roger membasahi bibirnya dan Ellen langsung menyela. "Toby? Tidak, tapi aku yakin dia akan kembali. Dia hanya keluyuran di luar." Teriakan MintaTolong | 71 "Kukira aku mendengarnya di ruang bawah tanah. Kedengarannya dia lemah sekali." Martha terlihat khawatir. "Tolonglah, Roger, maukah kau lihat ke bawah?" "Di ruang bawah tanah?" Roger dan Ellen saling berpandangan tidak nyaman. "Aku heran mengapa dia ada di bawah sana. Aku juga pernah mendengarnya mengeong disana sebelum kejadian ini." "Ayolah, Roger. Tolong dilihat. Kau juga mendengarnya bukan, Louise?" "Oh, iya. Aku yakin dia ada di ruang bawah tanah," sahut Louise. "Tidak ada salahnya melihat kesana," saran Ellen. "Mungkin dia menyelinap masuk saat aku mengambil persediaan makanan kita dua hari yang lalu." "Baiklah, aku pergi." Roger mengangkat bahunya dengan gaya berlebihan. "Ke ruang bawah tanah untuk menemukan Toby." Dia melangkah ke lorong dan mereka mendengarnya menuruni tangga dengan berisik. Sesaat kemudian mereka mendengar gumaman di bawah lantai. "Tidak ada tanda-tanda adanya kucing disini." "Ellen, tolong, bantu Roger mencari Toby," pinta Martha. "Toby mungkin sembunyi di belakang tempat batu bara dan Roger tidak dapat melihatnya." 72 | Robert Arthur "Well, baiklah," sahut Ellen, dan pergi menyusul Roger di ruang bawah. "Kemari, Toby." Mereka bisa mendengar suara Ellen dan Roger memanggil-manggil Toby. Martha terpincang-pincang menuju lorong dan pelan-pelan menutup pintu ruang bawah tanah. Kemudian didorongnya palang pintu yang berat itu ke tempatnya. "Sudah!" kata Martha dengan suara penuh kemenangan. "Sekarang kita bisa kabur." "Tapi kita akan kedinginan!" Louise memekik ketika Martha setengah menariknya dari tempat tidur dan membantu mengenakan pakaian hangat. "Dan mereka akan membawa kita kembali lagi kesini." "Tidak. Mereka tidak akan mengirim kita kembali kesini." Martha kemudian mengenakan mantel dan mengerudungi kepalanya dengan syal, kemudian mendudukkan Louise di kursi roda. Saat itulah Roger dan Ellen sadar pintu ruangan sudah terkunci rapat dan mereka menggedor-gedomya. "Bibi Martha!" teriak Ellen memanggilmanggil. "Buka pintu! Mengapa dikunci?" "Hey Bibi!" teriak Roger. "Leluconnya bagus, sekarang biarkan kami keluar. Toby tidak ada di bawah sini. Kami sudah mencarinya kemana-mana." Teriakan Minta Tolong j 73 "Toby tidak ada di bawah karena mereka telah membunuhnya." Martha bergumam sinis sambil menatap Louise. Dia mendorong kakaknya ke selasar yang menuju ke pintu depan dan keluar melalui beranda. Malam menjelang, dan diluar sana gelap gulita. Angin dingin menggoyangkan dahan-dahan pohon yang meranggas, suaranya berdengung lembut. Louise memekik kaget ketika Martha membuat kursi rodanya tersandung satu anak tangga dan Martha terus mendorong sampai ke jalan raya, seratus meter dari rumah. Lalu dia memutar kursi itu dan mengunci rodanya. "Sekarang kau tunggu sebentar," ujarnya. "Aku tidak akan lama." Martha berjalan tertatih-tatih dan masuk kembali ke dalam rumah, mengacuhkan teriakan Roger dan Ellen yang memohon dari ruang bawah tanah yang terkunci rapat. Terbungkus dalam syal dan mantel tebal, Louise menunggu dalam gelap di luar rumah. Angin mempermainkannya, menggigitinya bagai geligi kecil, dan Martha kembali, membawa syal dengan perhiasan mereka di dalamnya. "Martha!" teriak Lousie. "Aku kedinginan. Apa yang akan kau lakukan?" "Kau akan lihat." Martha berhenti di sebelahnya, menggigil, dan membungkuk 74 | Robert Arthur bertelekan tongkat. "Kau akan lihat nanti, Louise. Perhatikan saja rumahnya." Lousie memperhatikan. Di belakang jendela tepat di bagian sayap tempat tinggal mereka terlihatsemburat kuning cerah. Berkelap-kelip, kemudian menyembur. Dan semburat kuning itu membesar dengan cepat dan berubah menjadi tirai api yang menjilat-jilat melalui jendela yang setengah terbuka. Api terus bertambah besar, menjadi lebih besar dan kuat seiring angin yang berhembus di sela-sela tanaman rambatyang lebat. "Api!" Louise tersentak. "Rumah itu terbakar!" "Aku memercikkan minyak tanah dari lampu ke sekitar ruangan," sahut Martha, "ingat, Ellen dan Roger berencana membunuh kita. Mereka telah melakukannya pada kucing-kucing kita. Kita harus melindungi diri kita sendiri. Tidak ada jalan lain." Suara Martha sedikit meninggi. "Tapi ingat. Kita tidak boleh membicarakan rencana mereka ini kepada siapapun. Mereka keturunan kita. Tidak ada seorangpun yang akan mempercayainya. Anggaplah semua ini adalah tragedi yang menyedihkan. Kau mengerti?" "Oh, ya. Ya," sahut Louise, senang. "Kau sangat cerdas. Sekarang akan ada orang yang melihat api itu dan memanggil pemadam kebakaran. Bukankah begitu?" Teriakan MintaTolong | 75 "Ya, kebakaran di desa selalu menarik perhatian orang. Begitulah cara kita memanggil bantuan karena kita tidak berdaya. Setelah semua ini berakhir, kita akan kembali ke rumah lama kita." Kemudian mereka mengamati api itu dalam diam. Lidah api dari jendela semakin besardan segera berubah menjadi obor raksasa. Setelah beberapa saat terdengar raungan sirine yang sayup-sayup terdengar dari atap pemadam kebakaran di kota. "Api ini lumayan hangat." Louise bergumam sambil mengulurkan tangannya ke arah rumah. "Nyaman sekaii rasanya." Atap tempat tinggal mereka runtuh sambil memercikkan bara api, seiring datangnya mobil pemadam kebakaran dan para petugas yang mengenakan helm yang saling teriak satu sama lain. Tetapi rumah itu sudah diselimuti api dan para petugas tidak bisa berbuat apa-apa. Perapian ruang tamu hakim Beck berderak menyenangkan. Martha dan Louise memandangnya, dan melihat bayangan-bayangan indah disana. "Kita akan berada di rumah kita sendiri secepatnya," gumam Louise. "Dengan anak-anak kucing yang bermain di karpet dan Mary Thompson menemani kita. Putri Mrs. Rogers bisa kita perbantukan dengan 76 | Robert Arthur bayaran dua puluh lima dolar seminggu. Kita mampu membayarnya dengan mudah." "Harta kita akan bertahan selama kita masih hidup," jawab Martha menyetujui. "Kurasa aku mendengar Pak Hakim datang." Pintu terbuka, tetapi bukan seorang lelaki yang masuk melainkan seekor kucing Siam yang menyelinap. Kucing itu melompat ke pangkuan Martha dan mengeong senang. "Toby!" seru Louise. "Toby!" ujar Martha mengikuti. "Darimana saja kau, kucing nakal?" "Kukira dia akan menjadi sebuah kejutan yang menyenangkan," sebuah suara kering menyahut. Suara itu berasal dari Hakim Beck, seorang pria kurus, tinggi dan agak bungkuk berusia enampuluhan, yang berjalan masuk di belakang si kucing. "Sesuatu yang akan membuat hari-hari mendung ini sedikit berwarna. Salah satu petugas pemadam kebakaran menemukannya semalam tidak jauh dari reruntuhan." Dia menyalami masing-masing perempuan itu dengan genggaman tangan yang kuat, kemudian meniup hidungnya dengan suara keras. "Maaf," katanya. "Saya terserang demam ketika berada di Boston. Kota yang buruk. Berangin, ribut." Teriakan Minta Tolong | 77 "Anda—ke Boston?" tanya Martha. Bibirnya terasa kering tiba-tiba. "Tiga hari. Dan bisa dibilang semuanya siasia saja." Hakim itu duduk dan menggelengkan kepalanya. "Ini adalah peristiwa yang sangat menyedihkan. Rumah-rumah kuno adalah perangkap api yang mengerikan. Tapi kita tidak akan bicara masalah itu. Lebih baik kita tidak membahasnya. Kita akan bicara tentang kalian, karena Roger dan Ellen—well, tiada." "Oh, kami akan baik-baik saja," sahut Louise cepat. "Kami akan pindah kembali ke rumah lama. Dan kami akan membawa serta Mary Thompson bersama kami. Dia tidak boleh tinggal lebih lama seharipun di tempat mengerikan itu." Hakim Beck meniup hidungnya kembali. Raut wajahnya terlihat sedih saat tanpa sadar dia menelusuri lambang Mason di jam berantai emas miliknya. "Martha, Louise—" Hakim Beck berhenti sesaat. Mereka memandangnya, sepasang mata cerah di wajah antik itu. "Sulit bagiku untuk mengatakannya pada kalian. Kunjunganku ke Boston sesungguhnya mengenai kalian." "Mengenai kami?" tanya mereka beriringan. "Sesungguhnya mengenai harta warisan ayah kalian, tepatnya. Sebagaimana yang 78 | Robert Arthur kalian ketahui, warisan itu terdiri dari sejumlah uang—yang sudah dibelanjakan—dan beberapa saham Rel Kereta Api di New England dan Toronto." "Ya?" tanya Martha, dan mereka tetap saja menatapnya. "Well, bisnis perkeretaapian sedang menurun belakangan ini dan New England dan Toronto menderita bangkrut musim panas yang lalu. Itulah alasan mengapa Ellen dan Roger menginginkan kalian tinggal bersama mereka, agar bisa merawat kalian. Ellen menginginkan kuasa hukum darimu untuk memudahkannya dan Roger mengurus sisa harta yang ada tanpa kalian ketahui. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi mereka khawatirhal tersebut akan membuat kalian cemas. Karena itulah kami tetap menutupi dan merahasiakannya. "Sayang sekali, sekarang kalian harus tahu, Martha dan Louise. Aku turut bersedih karena rumah kalian yang lama tidak bisa ditempati. Bahkan kami tidak bisa menemukan orang yang mau membelinya. Tidak ada dana untuk merenovasi. Bahkan tidak ada uang yang tersisa dari harta warisan yang ditinggalkan ayahmu." Hakim Beck berhenti sesaat. Dengan lembut Hakim Beck melanjutkan, "Kalian mugkin sering bertanya-tanya mengapa Ellen dan Roger sering merasa tegang dan malu. Kini Teriakan Minta Tolong | 79 kalian tahu. Percayalah, mereka tidak keberatan. Mereka mencintai kalian." Kedua bersaudara itu saling pandang, membisu dalam kengerian. "The Haven Home." Suara Louise berbisik sangat pelan. Martha bahkan tidak bisa berkata apa-apa.[] eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com Matahari merah-jingga yang hampir terbenam di langit Jamaika tergantung rendah di cakrawala Kepulauan Karibia seolah sengaja berada disana untuk bergaya. Bayang-bayang senja memanjang sudah, miring, dengan warna hitam lembut di atas semak bougenvil dan bunga sepatu yang berwarna cerah, dan ujung bayang-bayang itu berakhir di bagian depan Hotel Dorando yang mewah dan terang di Montego Bay. Pemandangan itu seperti yang terdapat pada gambar-gambar di kartu pos, ketika tubuh George Farnham, dengan tangan menggapai-gapai liar dan teriakan yang makin lama makin terdengar samar, melesat turun melewati dedaunan kelapa dan terjerembab di beranda bawah. Dua puluh menit kemudian, di kamar lantai dua belas di mana almarhum Mr. Farnham memulai perjalanan jatuhnya ke beranda, jandanya duduk membisu di sofa, dengan raut wajah kedukaan. Di seberangnya, Mr. Tibbie, Asisten Manager yang sedikit botak, duduk bertengger PERMAINAN Mike Marmer eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com seperti burung di pinggir kursi. Wajahnya menyiratkan dukacita, selain perasaan tidak nyaman yang membebaninya selama seperempat jam terakhir sejak janda Mr. Farnham berada dalam tanggungjawabnya. Tibbie menggeleng-gelengkan kepala. "Buruk sekali," ujarnya ke arah Mrs. Farnham. "Kecelakaan yang buruk sekali," ulangnya. Janda Mr. Farnham mendongak, mendapati raut wajah penuh simpati Mr. Tibbie yang mengangguk samar, dan menundukkan kepalanya kembali. Kecelakaan. Hal itu tidak pernah terlintas di benaknya, kematian George dianggap sebagai kecelakaan. Dalam waktu sepersekian detik di teras tadi, dia hanya memikirkan polisi, pemeriksaan dan pengadilan. Tetapi disini, untuk kesekian kalinya dalam lima belas menit terakhir, Mr. Tibbie menyebutnya sebagai kecelakaan. Dan sebelumnya, saat dia bergegas menuju beranda secepat mungkin dengan lift, semua orang berbisik-bisik mengenai kecelakaan itu. "Tragedi," bisik mereka. "Kecelakaan yang mengerikan... perempuan yang menyenangkan... dengan dua anak-anak yang cantik dan tampan... kecelakaan yang sangat buruk." Apakah tidak ada seorangpun yang melihat kejadian di teras saat itu? 82 I Mike Marmer Permainan | 83 Priscilla Farnham adalah seorang perempuan lembut dan agak gemuk, dengan garisgaris kecantikan masa remaja yang masih membayang di wajahnya. Selama ini tidak pernah dia menganggap dirinya sebagai orang yang kuat dan cerdik, dan sekarang dia terkejut mendapati kekuatan yang terdapat dalam dirinya untuk bisa tabah menghadapi semua ini. Dia heran akan kemampuannya untuk tetap tenang dan tetap mengenakan topeng sedih seorang janda yang baru ditinggal suaminya. Perasaanya pada George sudah hilang sejak lama. Seingatnya, Priscilla hanya merasa sedikit menyesal ketika dia memandang ke bawah dari balkon. Menurutnya, George seperti sepotong bagian aneh dari sebuah gambar teka-teki yang terbingkai di lempengan lantai batu. Suara telpon membuyarkan lamunannya. Tibbie, dengan pandangan minta maaf karena suara telpon yang mengganggu, bergegas menjawabnya. Dia memperkenalkan siapa dirinya, mendengarkan, kemudian mengatupkan sebelah tangannya ke telpon. "Ini Pak Edmonds, dari kepolisian. Dia bilang, ada orang dari C.I.D yang menunggu di lobi dan, bila Anda menyanggupi, dia akan datang kesini dan mengajukan beberapa pertanyaan." Tibbie tersenyum meyakinkan. "Saya yakin, ini hanya tugas rutin mereka. Anda adalah pelancong di pulau ini. Dan menurut Pak Edmonds, dia akan membawa seorang penyelidik bersamanya." Wajah Priscilla pasti menunjukkan perubahan, karena Tibbie langsung menambahkan: "Tapi bila Anda keberatan mengenai hal ini..." "Tidak, tidak, mereka dipersilahkan untuk datang kemari," sahutnya. Tibbie menyambungkan jawaban itu ke telpon, kemudian kembali menoleh ke Priscilla. "Lima menit?" Priscilla mengangguk. "Lima menit bisa," kata Tibbie memberitahu Pak Edmonds lewat telpon, kemudian meletakkan gagang telpon kembali ke tempatnya. Matanya memandang Priscilla kembali. "Apa masih ada lagi yang bisa saya bantu?" "Saya akan sangat berterimakasih jika Anda sudi menjaga anak-anak." Dengan wajah yang menunjukkan rasa terima kasih karena diperkenankan pergi, dia bergegas menuju kamar tidur. Anak-anak. Merekalah yang terpenting saat ini. Apa yang dapat mereka perbuat tanpa dirinya? Dia membayangkan Mark, dengan rambut ikalnya yang legam dan bulu mata yang panjang. Usianya baru sembilan tahun, tetapi 84 I Mike Marmer Permainan | 85 sudah menunjukkan ciri fisik tubuh yang tegap dan tampan saat dia dewasa nanti. Dan Amy, berbeda dua tahun dari Mark, mewarisi kecantikan dan rambut pirang Priscilla dengan mata violet yang besar. Berpikir untuk berpisah dengan mereka membuatnya kacau, dan kecerdikan yang baru saja didapatnya itu tibatiba dibayangi rasa ketakutan. Lima menit. Lima menit untuk membangun benteng pertahanannya. Untuk apa? Mungkin pertanyaan-pertanyaannya nanti hanya formalitas belaka, penyelidikan tentang peristiwa kecelakaan yang mengerikan, seperti yang diyakinkan oleh Mr. Tibbie, dan tidak perlu persiapan berlebihan untuk menghadapinya. Tetapi bila anggota C.I.D itu memeriksa lebih jauh, bila mereka bisa mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya, penyeiidikan tersebut akan berbeda sama sekali. Pembunuhan! Priscilla menggigil mengingatnya, tetapi harus disebut apalagi selain pembunuhan? Dia mengakui, kematian George bukan hal yang sudah "dipersiapkan"; tidak ada perencanaan matang dan berdarah dingin. Tapi tetap saja pikiran tentang hal itu masih selalu ada, limasepuluh menit sesudahnya. Pembunuhan? Mungkin. Akan ada banyak interpretasi mengenai tingkat pembunuhan itu sendiri, tapi masing-masing memiliki hukuman khusus. 86 | Mike Maimer Tidak, dia harus mengambil arah lain. Pembenarankah? Apakah kematian George adalah sesuatu yang dapat dibenarkan? Secara sah memang tidak; meskipun dalam cara yang paling sederhana dan hampir primitif sekalipun Priscilla menganggap itu adalah hal yang bisa dibenarkan. Dalam hal tertentu, semua ini salah George sendiri. Dia yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini. Tibbie kembali ke ruangan dan membuyarkan pemikirannya. Dia melaporkan keadaan anak-anak, dan mereka baik-baik saja. Salah satu pegawai hotel yang diminta Tibbie untuk menjaga mereka mengatakan anak-anak itu bersikap sangat baik. "Kelihatannya mereka hanya mengkhawatirkan keadaan Anda," Tibbie menambahkan dengan senyuman menghibur. "Saya katakan pada mereka, Anda akan kembali bersama mereka sebentar lagi." Priscilla mengangguk berterimakasih. "Kami memang sangat dekat," ujarnya pada Asisten Manager itu ketika dia kembali duduk bertengger di kursi. Sekarang semua sudah ditangani, begitu pikir Priscilla pada dirinya sendiri. Semua hal untuk dapat terhindar dari tuduhan pembunuhan. Apa yang akan ditanyakan oleh anggota C.I.D itu? Mereka tentu mencari motif. Uang? Permainan | 87 Tidak, hal itu tidak berlaku disini. Cemburu? Dia segera menghilangkan pikiran itu. Benci? Well, mereka memang sempat bertengkar sebelumnya, tetapi bukankah pertengkaran adalah hal yang wajar terjadi, di keluarga yang paling harmonis sekalipun? Tetapi, karena keluarga Farnham sedang berada di negara asing, tidakkah penelitian akan berdasarkan pada keadaan mereka selama disini? Harapannya segera kandas. Mereka memang bertengkar sebelumnya. Pertengkaran hebat dan menyakitkan. Dan seingatnya, ketika semuanya memuncak, dia berpaling dari George dan tiba-tiba melihat anak-anaknya berdiri disana, di ambang pintu ruang tamu, dengan raut wajah yang menyiratkan ketakutan dan kepedulian. Dia telah berusaha memperingatkan George, tetapi dia terus saja berteriak-teriak, menumpahkan sumpah serapah yang menyakitkan untuk didengar. Kemudian dia bergegas ke balkon, dan anakanak berlari mendekat dan memeluk ibu mereka erat-erat. Perlu waktu lima sampai sepuluh menit untuk merangkai kata-kata, membujuk George membatalkan niatnya. Dia mengajak anak-anak untuk mengadakan Permainan. Ketakutan dan kecemasan menghilang, dan mereka berlari ke ruang tamu untuk mulai bermain. 88 | Mike Marnier Aneh, pikirnya. Kalau saja George mengerti dan turut serta dalam Permainan itu, maka semuanya akan lain. Kalau saja George mau turut serta dalam semua hal yang melibatkan perasaan cinta dan saling berbagi, dia tidak akan terbaring di bawah sana, tertutup taplak meja beranda konyol berwarna cerah. Kejadian yang menyebabkan pemandangan di bawah sana dimulai sejak lama, ketika George berubah. Awalnya dia seorang yang riang dan penuh perhatian saat mereka masih pacaran. Tetapi ketika ayah Priscilla meninggal tidak lama setelah mereka menikah, George mengambil alih perusahaan dan manajemen yang ditinggalkan ayah Priscilla, dan perubahan itupun dimulai. Yang dipikirkan George hanya perusahaan. Mereka tidak punya waktu lagi untuk bersenang-senang berdua. Tidak ada lagi kejutan-kejutan berbentuk hadiah, coklat dan bunga yang datangnya tak terduga. Tidak ada satupun barang bawaan di dalam mobil yang membuat Priscilla terkejut dengan senang, tidak seperti George yang dulu. Dia berusaha membuat George tertarik untuk mengikuti Permainan dan membuatnya mengalami keasyikan dalam keceriaan dan kedekatan yang bisa ditemukan dalam keluarganya sendiri. Seingatnya, George pernah mengikuti permainan itu sekali, dengan terpaksa. Priscilla mendekat manja dan berkata, "coba tebak." George akan menjawab sesuai peraturan Permainan: "Apa?" Kemudian Priscilla akan berkata: "Coba tebak apa yang sudah kulakukan untukmu hari ini." Kemudian George harus menerka dengan hal-hal konyol, seperti: "Kau menemukan emas seharga sejuta dollar dan akan menyembunyikannya di bawah serbet makanku." Atau, "kau membuat replika Taj Mahal dari tusuk gigi, dan besok kita akan pergi ke kota untuk mengambil beberapa mebel." Lalu tebak-menebak itu akan semakin serius sampai George bisa menebak dengan benar apa yang telah dilakukan Priscilla untuk mengejutkannya; atau dia menyerah dan Priscilla mengatakan kejutannya. Tapi biasanya George selalu berhenti setelah berkata "Apa?" Dia selalu bilang, Permainan itu "konyol" dan Priscilla lebih konyol karena memainkannya. Priscilla mengaku, Permainan itu memang konyol, tapi menyenangkan. Permainan itu penuh dengan Kejutan, rasa Saling Memberi, Bermain, dan Cinta. Juga Romantis, karena kejutannya hari itu adalah gaun tidur yang sangat menggoda. Baik George maupun dirinya terus saja mengambang, dan satu-satunya yang menyelamatkan pernikahan mereka adalah hadirnya anak-anak. Mark dan Amy mewaris- Permainan | 89 90 | Mike Marmer kan paras dan semangat Priscilla. Mereka pergi tamasya, membuat kejutan-kejutan, melakukan Permainan, dan menunjukkan rasa saling mengasihi sebagaimana yang ditunjukkan sang ibu pada mereka. Dan itu membuat mereka sangat dekat dengan Priscilla. Mungkin—Priscilla merasa sedikit kegetiran dalam hatinya—Priscilla terlalu mencurahkan perhatiannya pada Mark dan Amy dan tidak pada George. Tetapi Priscilla membela diri, kalau saja George mau menjadi bagian dari mereka... kalau saja dia mau berbagi perasaan saling mengerti yang menyenangkan itu... kalau saja— Priscilla menghentikan lamunannya. Ketukan pelan di pintu mengakhiri rentetan ingatannya dan membuat Tibbie terlompat dari tempatnya bertengger. Dia berjalan ke pintu, membukanya, dan menyapa Pak Edmonds dan seorang lelaki jangkung dengan pakaian preman. Edmonds yang gilang-gemilang dalam seragam musim panas dengan seragam santai berwama merah dan topi "Bobby", topi polisi yang layaknya dipakai anggota kepolisian Inggris, memperkenalkan rekannya. Lalu dia mengangguk dan mundur kembali ke lorong, menutup pintu di belakangnya. Lelaki itu adalah Sersan Detektif Waring, berparas tangkas dengan sepasang mata biru terang dan rambut sewarna pasir yang mulai memutih dan bertindak sebagai penyelidik dari Pusat Penyelidikan Daerah untuk wilayah Teluk Montego. "Saya minta maaf karena mengganggu Anda di saat seperti ini, Mrs. Farnham," sapanya patah-patah dalam bahasa Inggris berdialek British. "Jika Anda bersedia untuk menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan, saya usahakan untuk menyelesaikannya secepat mungkin." "Saya akan memberi semua informasi yang Anda perlukan," jawabnya. Sersan tersebut duduk di sebelah Tibbie dan mengambil sebuah buku notes kecil dari saku jas. Tanpa sadar dia mencari pensil dan menemukannya, lalu membalik lembaran buku itu, memandang sekilas dan kembali menatap Priscilla. "Kita bisa muiai dengan apa yang Anda bisa ingat, semampu Anda, mengenai sesaat sebelum... peristiwa tersebut terjadi." "Saya tidak ingat banyak, sayang sekali. Saya sedang berbaring di sofa—pikiran saya sedang kacau. Saya tidak ingat apakah jeritan itu yang menyadarkan saya ataukah anakanak. Yang saya ingat hanya ketika mereka mengguncang saya, kemudian saya bangkit. Kemudian kami ke balkon—saya melongok ke bawah"—Priscilla berusaha mengatasi Permainan | 91 92 | Mike Marmer suaranya yang bergetar—"dan saya melihat suami saya." Sersan Waring berdiri dan berjalan cepat ke balkon, memandang sebentar, kemudian kembali ke kursinya. "Apakah suami Anda tampak tertekan belakangan ini? Apakah Anda merasa bahwa dia mungkin sedang berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri?" "Oh, tidak!" jawab Priscilla cepat, dan langsung menyesali jawabannya itu. Dia tidak berpikir akan adanya kemungkinan bunuh diri. Sekarang kemungkinan itu hilang. Waring bertanya, "Apakah dia baik-baik saja?" Priscilla agak bingung mendengarnya. "Maksud saya, apakah dia sehat-sehat saja? Apakah dia pernah pingsan atau merasa pusing atau semacamnya?" "Ya," sahutnya. "Malahan, itu adalah salah satu alasan mengapa kami mengadakan liburan kesini. Suami saya bekerja terlalu keras. Terlalu keras, menurut kami. Dan terkadang dia mengeluh sakit kepala dan pusing. Saya merasa dia harus terbebas dari semua itu... untuk santai. Karena itulah kami pergi ke Jamaika." Priscilla heran, sungguh mengagumkan betapa mudahnya orang berbohong ketika apa yan dipertaruhkan sangat besar. Penyelidik itu membuat catatan di buku hitamnya. "Saya mengerti betapa menegangkannya hal ini bagi Anda," lanjutnya. Ucapannya bernada prihatin. "Jika Anda masih sanggup saya akan mengajukan beberapa pertanyaan lagi selama beberapa menit. Saya yakin semuanya akan selesai. Kami harus membuat beberapa penyelidikan mengenai kematian yang tidak wajar." Waring berhenti beberapa saat, lalu melanjutkan. "Sebagaimana yang Anda tahu, disana ada teralis setinggi tiga kaki yang mengelilingi teras di balkon. Sangat sulit untuk memastikan seorang pria jatuh begitu saja dari teralis setinggi itu..." Priscilla mulai merasa terganggu dengan kegugupannya sendiri. "... kecuali bila memang dia mendadak terserang pusing dan terpeleset. Begini, Mrs. Famham, seorang karyawan..." dia melirik ke buku catatannya"... seorang pelayan bernama Parsons, sedang mempersiapkan meja di beranda untuk makan malam. Kebetulan dia mendongak, atau mungkin teriakan suami Anda—yang juga Anda dengar—yang membuatnya mendongak. Dan dia metihat suami Anda jatuh melampaui teralis tersebut. Tapi Parsons bersikeras, dia merasa bahwa suami Anda tidak terjatuh." Permainan | 93 94 | Mike Marmer Kejutan mendadak itu membuatnya kaget. Seseorang telah melihat kejadian yang sebenarnya. "Biasanya, kami akan meminta Parsons memastikan adanya orang lain disamping suami Anda saat itu. Dan dia mengaku tidak melihat siapa-siapa." "Tentu Anda tidak berpikir bahwa—" "Tentu saja tidak," sahut Waring memotong cepat. "Tetapi kami hams menindaklanjuti pernyataan apapun mengenai hal itu. Kami juga mendapati pernyataan Parson ini tidak berarti apapun bagi kami. Lagipula, Parson berada tepat di bawah balkon, jadi dia melihat lurus ke atas, dia tidak mungkin melihat balkon Anda denganjelas. Dan pernyataan Parsons tersebut membuat saya yakin bahwa suami Anda seolah sedang berusaha menyeimbangkan posisinya. Tangannya melambai-lambai di udara mencari pegangan. Karenanya dapat disimpulkan bahwa..." Priscilla merasakan kehangatan yang merasukinya tiba-tiba dan meyakinkannya. Mungkin dia bisa lolos dari tuduhan pembunuhan! "...dan mungkin dia salah mengartikan gerakan suami Anda yang sedang menyelamatkan diri itu sebagai hal lain," lanjut Sersan itu. "Dan karena sekarang telah terbukti bahwa memang suami Anda sedang dalam keadaan tidak sehat, kami dapat menyimpulkan bagaimana suami Anda terjatuh dari balkon." Ketukan di pintu mengganggu mereka. Dia melangkah ke pintu, membukanya, dan melihat topi Pak Edmonds menyembul ketika dia bicara cepat dengan suara pelan. Waring melongokkan kepalanya kembali ke ruang tamu. Dia memandang dengan teliti ke arah Priscilla sebelum berkata, "Saya permisi sebentar, hanya akan keluar beberapa menit. Kelihatannya kita punya saksi mata yang lain." Keyakinannya memudar. Priscilla duduk dengan bibir terkatup rapat dan pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benaknya. Jawaban itu datang ketika Waring masuk kembali ke ruangan itu dan berjalan ke arahnya. Raut wajahnya berubah serius. "Mrs. Farnham, apa Anda dan suami Anda sempat bertengkar sebelum dia tiada?" "Ya," jawab Priscilla dengan suara pelan. Waring mendesak. "Pasangan di kamar sebelah—keluarga Rinehart—berkata bahwa mereka mendengar Anda dan suami bertengkar lumayan hebat. Suara Anda terdengar keras, dan mereka mendengar suami Anda menyebut-nyebut tentang... mati." "Semua ini terdengar seperti pertengkaran konyol sekarang—" Sersan itu menatapnya, meminta penjelasan lebih lanjut. Permainan | 95 96 | Mike Marmer "Maksud saya tidak benar-benar konyol," lanjutnya. "Sekarang semuanya terlihat... well, tidak penting lagi sekarang. Suami saya ingin mengakhiri liburan ini dan pulang. Saya dan anak-anak masih ingin tinggal disini setidaknya seminggu lagi. Liburan yang sudah kami rencanakan mestinya baru berakhir minggu depan. Sayangnya, pertengkaran kami memanas dan beberapa perkataan kasarterucap dari mulut kami. Lalu dia mengatakan, saat dia mati nanti saya boleh melakukan apa yang saya mau. Tapi sekarang, saat dia masih menjadi kepala keluarga, kami harus pulang." Priscila menarik sudut bibirnya membentuk seulas senyum samar. "Itu adalah salah satu ungkapan kesukaannya." Dia kembali memandang Waring. Itu adalah kebisuan'terlama yang pernah dialami Priscilla. Wajah Sersan itu melembut. "Sepertinya hal itu menjelaskan apa yang didengar keluarga Rineharts tanpa sengaja." Sekali lagi Waring melihat catatannya. "Ada satu lagi, Mrs. Farnham," lanjutnya. "Anda bilang Anda sedang berbaring di sofa ketika suami Anda jatuh." Priscilla mengangguk. "Dan Anda juga mengatakan," sambungnya, "anak-anak membangunkan Anda segera setelah Anda merasa mendengar teriakan suami Anda." Dia kembali mengangguk. Waring menatapnya kembali dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. "Apa Anda keberatan jika anak-anak dibawa masuk kesini dan bertanya pada mereka dimana Anda berada ketika mereka memanggil? Ini semua sekedar formalitas saja. Biasanya, kami tidak bisa bertanya pada mereka secara resmi; dan kami harus mendapatkan persetujuan dari Anda. Tapi semua akan memperjelas laporan saya dan akan menghentikan semua penyelidikan ini." Priscilla mengangkat bahunya. "Baiklah," jawabnya. "Tapi tolong—" Waring mengangguk menghargainya. Dia mengangguk ke Tibbie yang langsung pergi ke kamartidur, kemudian kembali membawaAmy dan Mark. Priscilla tidak menoleh ketika mereka masuk. Kemudian, ketika mereka dibimbing ke arah Sersan Waring, perlahan dia menengadahkan wajahnya dan tersenyum. Waring kembali ke tempat duduknya, sedikit membungkuk agar dia dan anak-anak berada dalam jarak pandang yang sama. Dia bicara dengan lembut tapi tegas. "Apakah kalian mengerti apa yang terjadi hari ini?" Mark dan Amy mengangguk pelan. "Bapak akan bertanya sesuatu pada kalian. Maukah kalian meniawabnya?" Permainan | 97 98 | Mike Marmer Wajah mereka tetap sendu ketika mereka melempar pandangan bertanya-tanya ke arah Priscilla. "Kalian hams menjawab pertanyaan bapak itu," ujarnya lembut. Ketika Priscilla mengisyaratkan agar anak-anaknya kembali memperhatikan Waring, dia melihat pandangan sersan itu yang terarah langsung padanya. Tatapan pak polisi itu kembali terarah ke Amy dan Mark, lalu dia mulai dengan sangat hati-hati. "Tadi, ketika kalian mendengar Ayah— berteriak... Apa kalian ingat?" Mereka menatap balik ke arah si sersan. Waring melanjutkan. "Kalian berteriak ketika kalian melihat ayah. Kalian berteriak pada Ibu... dan mengguncangnya. Benar?" Mereka mengangguk khidmat. "Kalian ingat, dimana Ibu berada ketika kalian mengguncangnya?" Mark menjawab, "tadi Ibu berada di tempatnya sekarang." "Kau yakin?" "He eh," sahut Amy. "Kami sedang mengadakan Permainan." "Permainan?" Priscilla menjelaskan, "Itu hanya permainan kecil yang kami mainkan—" Kata-katanya terhenti saat Sersan mengangkat tangannya, memperingatkan untuk diam. Ini adalah saat yang ditakuti Priscilla. Permainan | 99 Bagaimanapun, dia merasa semuanya akan terungkap ketika mereka mengetahui perihal Permainan ini. "Permainan apa? Apa yang kalian mainkan?" Mark mengambil alih. "Itu semacam permainan yang kami mainkan bersama ibu. Menyenangkan sekali. Kami membuat kejutankejutan kecil. Kami membeli... atau membuat sesuatu... atau melakukan sesuatu. Lalu kami akan berkata, 'Coba tebak!'" "'Coba tebak?'" ulang Sersan. "lya," ujar Amy. Suaranya melengking pelan. "Ibu akan berkata, 'Coba tebak apa yang Ibu lakukan untuk kalian,' dan kami akan mencoba menebak kejutannya." "Atau kami akan berkata, 'Coba tebak apa yang kami lakukan untuk Ibu,' dan Ibu akan menebaknya," Mark menambahkan. "Lanjutkan." "Well, setelah Ayah dan Ibu"—suara Mark berubah pelan—"bertengkar, Ibu berkata mari kita mengadakan permainan." Suaranya kembali ceria, kemudian berpaling melihat adiknya. "Lalu Amy dan aku pergi ke kamar untuk memikirkan kejutan apa yang akan kami buat untuk Ibu. Dan Ibu tetap tinggal disini memikirkan kejutan untuk kami." "Lalu, ketika kalian mendengar Ayah berteriak," tanya Waring hati-hati sekali, "kalian 100 | Mike Marnier langsung menghampiri Ibu. Dan Ibu berada disana, di sofa?" "Oh, iya," ujar Amy riang. "Ibu sedang berbaring. Kami datang untuk memberitahukan kejutan kami pada Ibu. Apa Bapak mau tahu kejutan apa yang kami siapkan untuk Ibu?" "Tidak," sahut Sersan Waring sambil tertawa. "Rahasia adalah rahasia. Aku hanya ingin bertanya apakah kalian masih ingat dimana Ibu kalian berada saat itu." Dia kembali memandang Priscilla. "Saya rasa ini membuat semuanya menjadi jelas, Mrs. Farnham. Dan nanti akan ada pemeriksaan post mortem, tapi itu adalah hal rutin." "Haruskah anak-anak dilibatkan kembali?" tanyanya. "Saya rasa tidak. Masalah ini sudah cukup berat bagi mereka." Waring berjabat tangan dengan Amy dan Mark dan mengucapkan terima kasih. "Saya turut prihatin, Mrs. Farnham," ujarnya. "Saya harap penyelidikan ini tidak terlalu memberatkan Anda. Saya sadar, kecelakaan tragis yang menimpa suami Anda sudah cukup membuat Anda sedih tanpa harus terganggu lagi dengan pertanyaan-pertanyaan saya ini. Tapi ini adalah tugas saya." "Saya mengerti, Sersan Waring. Dan terima kasih karena Anda sangat pengertian menghadapi anak-anak." Permainan | 101 "Oh, tidak masalah," sahutnya. "Saya juga punya anak." Sersan itu mengisyaratkan Tibbie untuk mengikutinya keluar dan menutup pintu dengan lembut. Priscilla duduk tanpa bergerak selama beberapa saat seakan tidak percaya semuanya sudah berakhir. Lalu dia tersenyum pada anakanaknya yang masih saja berdiri tanpa suara. Amy, dengan raut muka sedikit marah, memecahkan keheningan diantara mereka. "Ibu, Ibu belum bilang kejutan Ibu untuk kami." Mark menambahkan dengan nada suara kecewa. "Ibu belum mengatakan apa yang Ibu lakukan untuk kami. Ibu lupa ya?" "Tidak, Ibu tidak lupa," jawab Priscilla. Suaranya terdengar sedih. Dia akan segera memberitahukan mereka apa yang dilakukannya. Ketika sudah saatnya untuk duduk bersama dan menjelaskan bagaimana Permainan yang selama ini mereka mainkan disalahgunakan hari itu. Tidak, dia tidak lupa. Dia juga tidak akan lupa ketika Mark dan Amy mengguncangnya dan berteriak, "Coba tebak!" Dalam keheranannya, Priscilla bertanya, "Apa?" Dan anakanaknya, berwajah cerah karena kejutan yang telah mereka buat, menariknya ke teras di balkon dan menunjuk ke arah teralis kemudian berteriak riang, "Coba tebak apa yang kami lakukan hari ini untuk Ibu!" [] KECELAKAAN Henry Slesar Fran keluar dari apartemen Lila, memasukkan kertas taruhan pacuan kuda berwama hijau dalam kantung celemeknya. Lila, si gadis beruntung itu! Tiga kali menang dalam seminggu! Fran menggeleng-gelengkan kepala sambil menaiki tangga kumuh ke apartemennya sendiri di sebelah, cemburu dengan keberuntungan Lila dan sebal dengan ketidakberuntungannya sendiri. Ketika pintu terbanting di belakangnya, Fran bergegas ke meja dapurdan mendorong sisa sarapan suaminya ke samping. Kertas taruhan kuda dikeluarkan, matanya turun naik mencermati tulisan kecil-kecil dan membaca daftar pacuan ke empat besok. "Sonny Boy, County Judge, Chicago Flyer, Marzipan, Goldenrod..." Dibacanya semua nama itu keras-keras sambil jemarinya memain-mainkan sejumput rambut coklat di keningnya. Lalu matanya tertutup dan kepalanya mendongak ke atas. Seharusnya nama-nama berarti sesuatu, kalau tidak, sia-sia saja. Begitulah caranya memilih. eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com 104 | Henry Slesar Memang tidak begitu banyak membantu, tetapi hanya begitulah caranya. "Sonny Boy," bisiknya. Ed, suami Fran, sangat mengagumi Jolson. "Sonny Boy," teriaknya keras-keras. Dia berjalan menuju telepon dan dengan cepat memutar nomer yang dituju. "Vito's," jawab suara seorang lelaki di ujung sana. "Halo, apa Mr. Cooney ada disana?" "Hey, Phill, untukmu." "Halo?" jawab Cooney. "Mr. Cooney? Ini Fran Holland. Bisakah Anda mernap^ng taruhan lima dollar untukku pada pacuan kuda besok? Aku ingin—" "Tunggu, Mrs. Holland. Saya senang Anda menelpon. Begini, saya sudah berniat mengunjungi Anda, Mrs. Holland. Segera setelah saya selesai bercukur." "Mengunjungi saya?" Fran memandang aneh ke pesawat telpon. "Ya, Mrs. Holland. Begini. Pertama, saya tidak diizinkan memasang taruhan untuk Anda sampai semua urusan selesai, Mrs. Holland. Kedua, saya hams datang kesana dan mungkin menagih hutang Anda. Semua jadi dua puluh lima dollar sekarang." "Dua puluh lima dollar? Tapi itu banyak sekali. Maksud saya, sebesar itu?" Kecelakaan | 105 "Ya, Mrs. Holland. Anda mungkin tidak menyadarinya. Saya cuma resepsionis. Semua ini bukan gagasan saya. Terlalu banyak simpang siur masalah uang disini, Anda tahu kan maksud saya?" "Tidak! Saya tidak tahu!" sahut Fran naik darah, layaknya ibu-ibu yang dibohongi oleh tukang daging. "Well, saya akan datang kesana dan menjelaskan semuanya, Mrs. Holland. Kita bertemu nanti." "Jangan! Tunggu sebentar—" Tetapi lelaki bernama Cooney itu tidak mau menunggu. Suara klik di ujung sana mengakhiri percakapan mereka. Fran memandang tolol ke corong telpon yang berdengung sebelum meletakkan kembali ke tempatnya. Dan berpikir tentang Cooney yang datang nanti—atau siapapun—membuat Fran bertindak otomatis. Dia segera membersihkan sisa-sisa makanan dipiring dan menumpuknya di bak cuci piring. Meja juga dibersihkan dari remah-remah dengan sapuan tangannya, dan kotorannya dia masukkan ke dalam tas kertas yang bersandardekat kompor. Fran segera melepaskan celemeknya dan melempar ke lemari dinding. Di kamar, Fran berhenti dan membersihkan wajahnya sambil berkaca di meja rias. Wajah 106 | Henry Slesar itu masih terlihat muda, tetapi garis-garis ketuaan sedikit nampak di sekitar matanya. Rambutnya mencuat ke segala arah dan Fran mengambil sisir lalu merapihkannya dengan tarikan-tarikan menyakitkan. Dia berencana menghubungi Lila, tetapi mengingat raut wajahnya yang ceria dan senang membuatnya kesal. Tidak, dia akan membicarakan hal ini dengannya nanti, saat mereka bersimpati pada kuda-kuda yang lambat. Dia duduk di meja dapur dan menyalakan sebatang rokok. Sepuluh menit kemudian bel pintu berbunyi. Dengan tenang Fran berjalan menuju pintu. Cooney melepas topinya. Lingkaran topi itu lumayan kencang dan meninggalkan bekas bulat di permukaan rambutnya yang baru dicukur. Dia tampak seperti agen asuransi yang mulai beranjak tua, antusias untuk mendapatkan banyak nasabah. "Selamat pagi, Mrs. Hollad. Boleh masuk?" "Tentu saja," sahut Fran. Cooney melangkah masuk, mata kecilnya memeriksa apartemen tiga kamar itu. Dia duduk di kursi tamu dan menggoyang-goyangkan abu rokok di asbak. "Ada masalah apa sebenarnya?" tanya Fran layaknya ibu-ibu yang sedang mengomel. "Bukan masalah pribadi sebenarnya, Mrs. Holland. Anda tahu, saya senang berbisnis Kecelakaan | 107 dengan orang-orang seperti Anda. Hanya saja pihak manajemen sedikit terganggu dengan laporan penerimaannya." Fran hampir tersenyum. "Saya kira apa." "Tidak, saya serius." Wajahnya terlihat sedih. "Anda kira berapa banyak keuntungan yang kami dapatkan dengan menjalankan bisnis seperti ini? Begini, orang-orang menengah bawah adalah motor penggerak bisnis kami ini. Tapi saat Anda mengumpulkan banyak orang seperti itu, Mrs. Holland—" "Saya menggunakan uang saya sendiri! Anda jangan menuduh saya—" "Siapa yang menuduh? Begini, Mrs. Holland, Anda telah berhutang dua puluh lima dollar pada kami sejak—" Cooney merogoh saku jasnya dan mengambil buku neraca berwama hitam, "20 Mei," ujarnya. "Ini sudah hampir dua bulan. Sekarang coba Anda pikir, bagaimana perasaan seseorang atau bagaimana tindakan perusahaan jika Anda melakukan hal itu, Mrs. Holland?" "Dengar, Mr. Cooney. Anda tahu, kan, saya selalu bayar, cepat atau lambat. Sejak saya mulai—" "Anda teman Mrs. Shank, bukan?" Pertanyaan itu datang tiba-tiba. "Ya, dan Anda juga sudah tahu itu. Apakah Lila yang memberitahu—" 108 | Henry Slesar "Ya. Well, dia sebenarnya juga tidak lebih baik, Mrs. Holland. Bila ini membuat Anda merasa lebih baik." "Tapi dia baru saja menang—" "Bagus baginya. Jika Mrs. Shank menang kami harus membayarnya secepat mungkin, kalau tidak dia akan berteriak-teriak kesetanan. Tapi saat dia sedang tidak beruntung—" Wajahnya merengut, dan itu membuat Fran tidak nyaman dengan situasi yang sedang dia hadapi. "Baiklah," sahutnya getir. "Bila Anda bertingkah seperti itu maka saya akan mencari orang lain." "Silahkan. Anda boleh melakukan itu, Mrs. Holland." Cooney memasukkan kembali buku itu ke sakunya. "Tapi yang dua puluh lima dollar itu tetap harus dibayar." "Saya akan membayarnya minggu depan." "Tidak, Mrs. Holland." "Tidak bagaimana? Saya akan memberikan uangnya minggu depan. Suami saya baru gajian minggu depan." "Ya, Mrs. Holland." Fran memandangnya. "Anda kenapa sih? Saya tidak mungkin memberi Anda sesuatu yang tidak saya miliki. Anda mau mengharapkan apa lagi?" "Dua puluh lima dollar, Mrs. Holland. Saya diperintah untuk itu. Anda bisa meminjamnya, bukan? Dari Mrs. Shank, mungkin?" "Jangan dia," ujar Fran pahit. "Anda pasti punya sesuatu dalam rumah ini. Uang belanja." "Tidak! Saya hanya punya satu dollar lima puluh sen. Hanya itu! Hutang saya dimanamana—" Lelaki itu berdiri, kalau cahaya dalam ruangan itu tidak berubah, maka rautwajah Mr. Cooney-lah yang berubah. Kelembutan menghilang dari wajahnya, dan raut itu mengeras, walaupun tidak berbahaya. "Saya harus dapat uangnya hari ini, Mrs. Holland. Dan kalau saya tidak mendapatkannya sekarang—" "Apa yang akan Anda lakukan?" Fran tidak percaya tingkah lakunya; selama ini Cooney berlaku baik padanya. "Saya akan datang kembali jam enam, Mrs. Holland." "Kembali?" "Untuk menemui suami Anda." Itu adalah kata-kata yang tidak pernah diucapkan Cooney, tidak pernah sama sekali. Dia datang pagi-pagi dua kali dalam seminggu dalam tiga bulan terakhir. Keberadaan Eddie membekas dimana-mana. Piring sarapan yang tandas karena nafsu makan Eddie yang besar, pipa rokoknya yang butut tergeletak di rak piring, dan kadang-kadang ada kemeja yang harus ditisik dan diletakkan di kursi dapur, tetapi Kecelakaan | 109 110 | Henry Slesar Cooney tidak pernah menyebutkan hal itu sebelumnya. "Mengapa?" sahut Fran. "Mengapa Anda harus melakukannya? Saya sudah bilang, nanti saya cari uangnya. Eddie tidak usah tahu tentang semua ini, bukan?" "Tentu tidak usah sampai beliau tahu, Mrs. Holland. Anda hanya harus membayarhutang itu—lain tidak. Dan suami Anda tidak perlu mengetahui hal ini sama sekali." "Bukannya karena saya malu atau semacamnya!" teriak Fran. "Saya belum kehilangan keberuntungan saya, kok!" "Tentu saja, Mrs. Holland." "Anda tidak bisa melakukan itu pada saya, Mr. Cooney—" Topi itu kembali ditancapkan ke rambut yang mengkilap dan berminyak. "Saya benarbenar harus pergi, Mrs. Holland. Anda tahu dimana Anda bisa bertemu saya. Di Vito's. Bila Anda datang jam berapapun sebelum jam enam, maka kita bisa melupakan semuanya." "Tapi saya sudah mengatakannya pada Anda!" Fran mengacak-acak kembali rambutnya yang sudah tersisir rapi. "Saya tidak memiliki uang sebanyak itu! Saya tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu! Tidak ada cara apapun—" "Anda tahu pegadaian?" Kecelakaan | 111 "Saya sudah—" Fran berhenti dan jarijarinya menutupi mulut. Kalau saja Eddie tahu! "Sampai jumpa, Mrs. Holland." Lelaki itu keluardan menutup pintu pelanpelan. Fran mendengar langkah kaki lelaki itu di lorong yang semakin sayup dan kemudian menghilang, dan dia memikirkan Eddie. Fran memandang ke meja dapur seakan dapat melihat suaminya duduk di seberangnya, terlihat sedih dan bingung seperti yang sudah pernah dilihat Fran berkali-kali sebelumnya, menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, "Mengapa kau lakukan itu, Fran? Untuk apa?" Bagaimana mungkin dia menghadapi adegan itu lagi? Setelah semua janji-janji, adegan saling tuduh yang penuh airmata, dan kata-kata maaf? Saat pertama itu terjadi semua tidaklah begitu buruk; mereka masih berbulan madu, dan apapun yang dilakukan mempelai Eddie selalu menyenangkan, lucu dan menarik—bahkan bertaruh untuk pacuan kuda dengan uang belanja. Mereka mentertawakan hal itu lalu menyelesaikannya—sebelum perdebatan berlangsung terlalu jauh—dengan cara-cara lembut dan penuh kasih seperti yang biasa dilakukan pasangan pengantin baru. Tapi peristiwa itu terulang untuk yang kedua kali, kemudian ketiga, dan di setiap kejadian itu, 112 I Henry Slesar Eddie terlihat semakin sedih dan heran, dan keheranan itu meningkat sampai berubah jadi kemarahan. Kemudian ada kejadian buruk bulan Oktober kemarin, ketika Eddie mengetahui lingkaran putih di jari manis Fran itu tadinya tempat cincin pertunangan... Fran merinding mengingatnya. Tidak ada pengampunan dari Eddie saat itu. Fran telah bersumpah kebiasaannya itu sudah hilang; dia juga berusaha sebisanya untuk meyakinkan Eddie bahwa dia telah belajardari pengalaman. Tetapi tetap saja Eddie tidak mau memaafkannya; dia telah memperingatkan Fran dengan halus. "Kalau sampai terjadi sekali lagi, Fran... Ya Tuhan... kalau sampai terjadi sekali lagi... Aku akan keluar dari sini..." Dia beranjak dari kursi dapur dan lari ke kamar. Dibukanya laci lemari dengan kasar, melemparpakaian-pakaian dan kardus-kardus dari swalayan yang berisi kancing, jepitan topi, dan kain-kain perca. Semua tas tangannya digerayangi, jemarinya meraba ke semua kantung demi mencari recehan yang tertinggal. Fran meraba dua pasang saku-saku setelan milik suaminya yang tergantung di lemari, berharap bisa mendengar suara gemerincing uang receh. Dibukanya kotak perhiasan dari plastik yang diberikan Ed Natal kemarin, dan kaget karena di dalamnya hampir tidak ada apaapa lagi yang berharga kecuali pernak-pernik berharga murah yang didapatnya di toko obralan. Bahkan ketika Fran "terbang" ke ruang tamu dia merasa sudah pernah melakukan semua hal yang baru dilakukannya. Di bawah bantal sofa Fran menemukan koin sepuluh sen dan satu sen yang sudah menghitam. Di dalam vas bunga porselen di rak buku ditemukannya selembar uang satu dollar yang terlipat. Dibawanya semua harta karun yang ditemukan ke meja dapurdan mulai menghitung. "Dua dollar tujuh puluh delapan sen," bisiknya. Fran menopang dagu dengan kedua tangan. "Ya Tuhan! ya Tuhan," katanya. Dua puluh lima dollar tidaklah banyak, pikirnya. Tapi dimana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu? Dia tidak punya teman lagi kecuali Lila. Keluarganya tinggal berpuluhpuluh kilo jauhnya dari sini. Dimana dia bisa mendapatkannya sebelum jam enam? Dia melirik pergelangan tangannya, tetapi jam yang dulu berada disana sekarang sedang berdetik di sebuah toko loak di jalan Broadway. Dia memandang sekilas ke jam listrik di meja dapur dan kaget demi melihat jam yang menunjukkan pukul sebelas tigapuluh. Kecelakaan | 113 114 | Henry Slesar Kurang dari tujuh jam! Dua puluh lima dollar! Dan Cooney menyebutnya bisnis recehan. Lalu gagasan itu muncul di kepala Fran. Gagasan itu terlahir dari kenangan sedih, gambaran yang tidak menyenangkan di sudut jalan berangin dua minggu lalu. Fran baru saja pulang setelah seharian berbelanja dan ada gaun yang agak terlalu mahal dalam kotak garis-garis cantik dalam dekapannya. Dia sudah lama berdiri di sudut itu, dengan kaki sakit, sambil berdoa moga-moga Bis Nomer Lima tidak penuh. Kemudian Fran membuka tas tangannya, tas tangan yang ini, yang diletakkannya di atas meja, mencari recehan... Fran beranjak secepat kilat sampai kursi yang didudukinya bergeser dan menggesek lantai linoleum dibawahnya dengan keras. Dia berlari ke kamar dan berdandan sedikit. Diambilnya sepasang sepatu beludru dan mengeluarkan benda serupa sutra yang disebutnya "selendang sore" dari laci. Efek yang dilihatnya di cermin tidak begitu menggembirakannya, dan Fran segera mengganti pakaiannya. Ketika semuanya selesai, Fran terlihat seperti gadis yang biasa dipamerkan Eddie di pesta-pesta. Kemudian dia melangkah keluar. Empat blok dari bangunan apartemen Fran terdapat halte bis terdekat. Halte bis yang bagus, dengan bis Nomer Lima, Nomer Lima Belas dan Nomer Dua Puluh Tiga saling menyeruduk satu sama lain di pinggir jalan saat jam-jam sibuk. Bis Nomer Lima baru saja pergi terseok-seok, setengah terisi di siang hari. Tapi masih banyak orang yang berdiri disana, menunggu angkutan ke tempat yang hanya Tuhan yang tahu. Sebagian besar adalah orang-orang tua. Orang tua tidak terlalu bagus untuk rencana yang akan dijalankannya. Tetapi Fran melangkah dengan pasti ke arah tiang penyangga berbentuk panah dan terlihat seperti seorang perempuan dengan maksud tertentu Dari sudut matanya, Fran memilih calon korban pertama. Dia tahu, yang pertama adalah yang paling sulit, jadi dia harus berhati-hati dalam memilih. Bapak itu tidak terlalu tua, mungkin beberapa tahun di atas lima puluh. Matanya menggembung dan bahunya naik, seakan matahari bulan Juni, anehnya, membuat dia kedinginan. Kedua tangannya berada dalam saku, dan uang receh di dalamnya bergemerincing. Dia berjalan ke arah si bapak itu dari samping, mengintai jalanan kalau-kalau ada bis yang mendekat. Si bapak melihat Fran dengan acuh. Kecelakaan | 115 116 I Henry Slesar Lalu Fran melihat bis Nomer Lima Belas di kejauhan. Dia membuka tas tangan dan mengaduk-aduk isinya. "Ya Tuhan!" sahutnya keras. Si bapak menatap Fran dengan mata melebar. Fran memandang tanpa daya ke arah si bapak, dan ekspresi setengah panik dan setengah bergurau terpadu di wajah Fran dengan sangat baik. "Bagus sekali!" kata Fran. "Aku tidak punya sesenpun!" Si bapak tersenyum samar, tidak tahu hams berbuat apa. Dan tangannya berhenti mempermainkan recehan. "Apa yang hams kulakukan? Aku harus pergi ke kota—" "Saya—hmm" Si bapak itu berdehem. "Begini, bisakah saya—ehmm—" "Bisakah Anda? Bisakah Anda meminjamkan saya lima belas sen? Saya merasa bodoh—" Bapak itu tersenyum lebar; ini akan menjadi bahan obrolan buatnya nanti. Fran juga tidak merasa segan; karena dialah yang beramal untuk si bapak sebenamya. Tangannya meraih saku dan keluar dengan segenggam koin perak. Diambilnya koin lima dan sepuluh sen dan kemudian mengangsurkannya ke Fran. "Tidak usah dipikirkan," ujarnya. Bis itu berhenti di depan mereka. "Kau bisa mengembalikannya lewat pos," katanya lagi. "Hahaha! Well, ini bisnya—" "Bukan bisku," jawab Fran sambil tersenyum. "Aku menunggu bis Nomer Lima. Terima kasih banyak." "Kembali!" sahutnya riang dan mulai berjalan menaiki bis. Semoga harimu cerah, Pak, pikirnya. Seorang lelaki muda yang baru turun dari bis sedang melipat koran di depannya. "Maaf—" "Hah?" Orang itu menengadahkan wajahnya, matanya yang pucat bertanya-tanya. "Saya merasa bodoh sekali, tapi—" Fran mengedip-ngedipkan bulu matanya dengan cantik. Lelaki itu masih sangat muda, dan dia tersipu. "Saya meninggalkan rumah tanpa membawa uang sesenpun. Dan saya harus naik bis berikutnya ke kota—" "Ya ampun," sahutnya, menyeringai malu. "Saya tahu bagaimana perasaan Anda. Sebentar—" Dia meraba-raba saku jaketnya. "Hanya ada dua puluh lima sen—" "Oh, tapi—" "Tidak, tidak, ambillah semuanya. Aku juga sering begitu." Dia kembali menatap wajah Fran lebih lama, dan baru menyadari ternyata Fran terlihat lebih tua daripada senyumnya. Lelaki Kecelakaan | 117 118 I Henry Slesar itu mengangguk dan melanjutkan perjalanannya. "Permisi," katanya pada seorang perempuan tua yang sedang memicingkan matanya ke arah jalan. "Saya merasa tidak enak sekali meminta bantuan Anda, tapi saya baru sadar—" "O yah?" kata si perempuan tua itu. Fran tersenyum getir. "Tidak," katanya dengan muka masam. Seorang lelaki perlente berkacamata, mengepit buku di salah satu lengannya, berjalan perlahan menuju halte. Matanya berkedip ketika Fran berjalan mendekatinya. "Permisi," kata Fran. Sejam kemudian, Fran merasa tumit kanannya membengkak. Aneh sekali, bagaimana mungkin hal ini dapat mengakibatkan sakit yang begini hebat pada kakinya. Padahal untuk berjalan bermil-mil ke seluruh toko-toko pakaian dia bisa... Lalu Fran memikirkan uang recehan yang ada di tas tangannya dan cepat-cepat menyeberang jalan. Ada apotik di sudut jalan, dan Fran segera menghampiri salah satu bilik telepon dan segera menutup pintu lipatnya rapat-rapat. Dia menghitung recehannya dengan cermat. Jumlah semuanya tiga dollar lima belas sen. Ditambah uang yang dia miliki, semuanya jadi lima dollar sembilan puluh tiga sen. Fran mendesah. Pekerjaannya masih panjang... Seorang lelaki berdiri di luar ketika Fran membuka pintu bilik telepon. "Permisi," sahutnya otomatis. "Saya merasa bodoh sekali, tapi saya keluar rumah tanpa membawa uang sesenpun, dan saya harus pergi ke—saya harus menelpon." Lelaki itu tersenyum lemah. "Begitukah?" sahutnya. Lalu dia menyadari Fran mengharapkan sesuatu darinya, dan dia segera mengaduk-aduk sakunya. "Oh, yah, tentu, aku punya sepuluh sen." "Terima kasih," sahut Fran. "Terima kasih banyak." Fran kembali menutup pintu bilik dan memencet nomer tanpa memasukkan uang. Dia bicara dengan cepat dan riang pada pesawattelpon yang mati itu untuk sesaat, lalu meletakkan corong telpon kembali ke tempatnya setelah dia mengucapkan salam perpisahan yang menyenangkan, lalu tersenyum penuh kemenangan pada lelaki yang menyusul masuk segera setelah Fran keluar. Kemudian Fran kembali ke halte bis. Pukul tiga sore, dan Fran hampir mengumpulkan sepuluh dollar lagi. Pukul tiga Kecelakaan | 119 lewat lima belas, Fran kembali ke bilik telepon untuk kembali menghitung. "Empat dollar sembilan sen," ujarnya keras. Jarinya mengorek-ngorek kotak pengembalian koin di bagian bawah pesawat, dan dia mendapatkan koin sepuluh sen. "Ini memang hari keberuntunganku!" Dan Fran tertawa senang. Pukul empat sore Fran mulai kehilangan semangat. Kumpulan orang yang menunggu bis di halte mulai memadat, tetapi meningkatnya lalu-lintas tidak membantunya mengumpulkan receh-receh yang diperlukan. Pukul setengah lima Fran masih harus berusaha keras memenuhi target dua puluh lima dollar. "Permisi..." Fran menyapa seorang lelaki gemuk dengan raut wajah kosong. "Saya merasa bodoh sekali, tapi saya keluar rumah tanpa menyadari bahwa saya tidak membawa uang sepeserpun. Bisakah Anda membantu saya—" "Pergi," sahut lelaki gemuk itu kasar. "Anda tidak mengerti," kata Fran. "Saya hanya meminta Anda untuk—" "Nyonya, tolong, pergilah," sahut si lelaki gemuk. Itu penolakan pertamanya. Fran tahu, dia lebih baik tidak membantah lelaki itu. Tapi tibatiba dia merasa bebal. 120 | Henry Slesar Kecelakaan | 121 "Begini," kata Fran dengan suara meninggi. "Hanya lima belas sen. Maksud saya, itu 'kan cuma ongkos bis—" Dia merasa lengannya dicengkeram dan Fran berputar marah. "Maafkan saya, Nyonya—" Dia menatap dengan pandangan terhina ke arah lelaki yang jemarinya bersandar dengan kukuh di lengan Fran. Usianya masih awal tigapuluhan, dan pakaian yang dikenakannya berpotongan mewah. Si lelaki gemuk bergegas dari hadapan mereka, dan hal itu membuat Fran lebih marah. "Apa yang Anda inginkan?" Lelaki itu tersenyum. Giginya panjangpanjang dan matanya tidak memancarkan senyum yang terpampang di wajahnya. "Saya rasa Anda harus ikut dengan saya, Nyonya." "Apa?" "Tolong. Lakukanlah demi kita berdua dan jangan membuat situasi yang membuat orang curiga. Bagaimana?" "Saya tidak mengerti maksud Anda!" "Begini, Nyonya. Aku telah mengamatimu setengah jam terakhir ini. Kau mengerti maksudku, bukan? Sekarang mari ikut baikbaik denganku sebelum aku berubah pikiran." Perut Fran yang kosong mulai bergolak. 122 | Henry Slesar "Mengapa saya harus ikut Anda? Anda pikir Anda ini siapa?" "Kalau kau ingin melihat lencana, aku bisa melambaikannya untukmu. Tapi kita sudah cukup membuat banyak orang menatap kesini. Jadi, bagaimana menurutmu?" Fran menelan ludah dengan susah payah. "Baiklah." Mereka berjalan menjauhi halte bis, dengan tangan si lelaki masih berada di lengan Fran sambil tersenyum layaknya teman lama yang kebetulan bertemu. Dia tidak mengatakan apapun sampai mereka tiba di sebuah mobil sedan abu-abu yang diparkir seratus meter dari halte. Dia membuka pintu mobil untuk Fran. "Silahkan masuk." "Begini, Tuan, kalau boleh, saya bisa menjelaskan apa yang terjadi—" "Kau akan mendapatkan kesempatan itu nanti. Silahkan naik." Fran menurut. Lelaki itu menuju ke sisi yang lain dan menyelinap masuk di sebelah Fran. Mereka segera meninggalkan tempat itu dan berputar ke kiri di sudut jalan. "Anda tidak mengerti," ujar Fran memelas. "Saya tidak melakukan kesalahan apapun. Saya tidak mencuri atau semacamnya. Saya hanya meminta, Anda mengerti kan? Begini, saya punya masalah—" "Kau memang dalam masalah, itu benar." Dengan mulus mereka menerabas lampu merah yang telah berganti hijau dan kembali berbelok ke kiri. Fran menutup wajah dengan kedua tangannya dan mulai menangis. Tapi sumurnya telah kering; tidak ada airmata menetes disana. "Percuma saja kau melakukannya," ujar si lelaki. "Aku telah banyak melihat perempuanperempuan sepertimu, Nyonya. Tapi harus kuakui—gayamu tadi belum pernah kulihat sebelumnya. Kau pikir berapa banyak uang yang berhasil kau kumpulkan?" "Tapi saya tidak memerlukan uang banyak. Hanya beberapa dollar! Saya harus punya dua puluh lima dollar sebelum jam enam nanti. Harus!" "Berapa banyak yang kau dapat?" "Tidak banyak. Saya mengatakan yang sejujumya. Hanya beberapa dollar! Anda tidak akan menahan saya hanya karena beberapa dollar, bukan?" "Berapa banyak, Nyonya?" Fran membuka tas tangannya dan memandang sekumpulan uang receh di dalamnya. "Saya tidak tahu persis berapa," jawabnya lemah. "Mungkin lima belas atau enam belas dollar. Tapi semua ini belum cukup..." Kecelakaan | 123 124 | Henry Slesar Mobil mereka meluncur di jalur lambat, jauh dari jalan utama yang sibuk, menuju daerah pergudangan dekat sungai. "Please!" teriak Fran. "Jangan laporkan saya! Saya tidak akan melakukannya lagi! Saya putus asa demi mendapatkan uang itu—" "Seberapa banyak lagi yang kau perlukan, Manis?" "Apa?" "Untuk menggenapi dua puluh lima dollar?" Fran kembali membuka tasnya. "Saya tidak tahu persisnya. Mungkin sepuluh dollar. Mungkin kurang dari itu." "Hanya itu?" Dia menyeringai. Kakinya menekan pedal gas kuat-kuat, seakan-akan dia ingin segera sampai di tujuan. Leiaki itu menikung tajam di tiap belokan, ban mobilnya meneriakkan protes, dan Fran menjadi waspada karenanya. "Hey!" Fran memandang keluarjendela dan dilihatnya kawasan sepi yang aneh itu. "Apa ini? Anda ini polisi atau bukan?" "Menurutmu bagaimana?" "Fran menatap leiaki itu. "Kau bukan polisi! Kau bahkan tidak akan menangkapku sama sekali—" Fran menepi ke pintu dengan satu tangan memegang gagang pintu. "Jangan bertindak bodoh; kau hanya akan melukai dirimu sendiri. Lagipula, Manis, aku masih bisa menghadapkanmu ke polisi. Aku masih bisa mengadukan penipuan yang kau lakukan itu—" "Mereka tidak akan mempercayaimu!" "Mungkin saja. Tapi kenapa harus susahsusah?" Dia melepaskan tangan kanan dari kemudi dan menggapai Fran kemudian merangkulnya. "Hati-hati!" teriak Fran dengan tajam. "Kau tidak bertindak cerdas, sayang. Kau harus mendapatkan uang dua puluh lima dollar sebelum jam enam. Sekarang sudah hampir jam lima. Kau kira darimana kau akan mendapatkan sisanya?" "Keluarkan aku dari sini!" "Mungkin aku bisa membantumu, Manis." Dia menarik Fran mendekat, matanya masih menatap lurus ke jalan, dengan seringai yang makin lebar di wajahnya. "Jika kau memperbolehkan aku—" "Tidak," sahut Fran. "Tidak!" Dia melambat di belokan berikutnya, dan Fran melihat kesempatannya datang. Tangannya membuka gagang pintu, dan pintu itu segeraterbuka. Si lelaki menyumpah-nyumpah dan menarik tangan Fran. "Tinggalkan aku sendiri!" Fran berteriak, kemudian melayangkan tas tangannya yang diberati recehan ke kepala si lelaki. Dengan suara buk pelan, tas itu mengenai pelipisnya. Lelaki itu berteriak marah, dan tangannya yang Kecelakaan | 125 126 | Henry Siesar luput mencengkeram lengan Fran malah merobek lengan bajunya. Tangannya yang kiri, tanpa sadar, melepas setir, dan mengakibatkan mobilnya melesat bagai kuda liar, melemparkan Fran kejalan. Fran jatuh dengan lutut lebih dulu, terisak tapi tidak terluka, dan menatap tanpa rasa ngeri atau sesal ketika mobil itu menabrak trotoar kemudian menabrakkan kap depannya ke tembok gudang yang terbuat dari batu bata merah. Pikiran pertama yang ada di benak Fran adalah lari, karena tidak ada siapapun yang melihat kejadian itu. Lalu dia ingat tas tangannya yang masih ada di dalam. Fran kemudian memaksakan diri untuk mendekati mobil yang sudah penyok itu untuk mencari tasnya. Pintunya masih terbuka, dan tasnya berada di sebelah lelaki yang sedang pingsan itu. Fran tidak tahu apakah orang itu sudah mati atau masih hidup, dan hal itu bukanlah hal yang penting baginya. Lelaki itu membungkuk, tertahan oleh setir mobil di bawah tubuhnya dengan tangan menggantung tak berdaya di sisi badannya. Fran terperanjat, tapi dia tetap meraih tasnya. Kemudian Fran mendapat gagasan untuk mencari dompet si lelaki itu. Tangannya menjelajah mantap tanpa ragu, dan tidak ada kegugupan dalam caranya bergerak. Dia Kecelakaan | 127 menemukan lembaran-lembaran uang dalam saku di dalam jas yang dikenakan si lelaki. Berlembar-lembar uang, tetapi—dengan rasa keadilan yang aneh—Fran hanya mengambil sepuluh dollar. Fran mencapai pemangkas rambut Vito sepuluh menit sebelum pukul enam. Vito baru akan menyeringai, tetapi raut wajahnya langsung berubah ketika dia melihat Fran masuk dengan wajah kusut dan pakaian kotor. "Cooney, ya? Dia ada di belakang. Hey, Phill! Ada perempuan mencarimu!" Cooney menatap Fran penasaran ketika dia masuk keluar dari ruang belakang. Lengan kemejanya tergulung dan kelihatannya dia sedang main poker. Wajahnya berubah cerah ketika dilihatnya Fran meraih tasnya dan tertawa ketika Fran mengeluarkan tangannya yang penuh recehan. "Apa yang Anda lakukan, Mrs. Holland? Merampok celengan anak-anak?" "Hitunglah," ujar Fran pelan. "Hitunglah, Mr. Cooney." Mereka menumpahkan isi tas ke atas meja manicure. Vito membantunya. Setelah selesai, Cooney menengadah. "Tiga puluh dollar empat puluh enam sen, Mrs. Holland," ujarnya, tersenyum puas. "Akhirnya Anda bisa melunasinya dengan uang recehan sekalipun. Saya menyesal karena hams menetapkan peraturan ini pada Anda seperti yang telah saya lakukan tadi pagi. Tapi Anda sudah membuktikan, Anda bisa melakukannya." Fran menaiki tangga menuju apartemennya dengan langkah perlahan. Di lantai tiga, sebuah pintu terbuka, dan seorang perempuan pirang, dengan rambut penuh alat pengeriting, melongok keluar. "Fran! Ya Tuhan, kemana saja kau?" "Belanja," sahut Fran letih. "Kau berantakan sekali. Dapat barang bagus?" "Tidak. Tidak ada yang bagus, Lila." "Well, aku punya berita bagus untukmu, nak. Kau tidak perlu memasak malam ini. Datanglah ke tempatku dan kita akan makan bersama kalau kau enggan memasak sendiri—" "Maksudmu?" "Susah sekali mencarimu, kiddo." Perempuan pirang itu tertawa. "Ed pasti menelpon sembilan kali siang ini. Dan akhirnya dia menelponku, dikiranya kita sedang kumpul disini, mabuk atau semacamnya." "Ed?" Fran menatap perempuan itu, matanya mengerjap. 128 | Henry Slesar Kecelakaan | 129 "Ya. Dia menelpon dari kantor. Dia ingin memberitahu kalau dia tidak pulang sampai besok. Ada urusan penting dan mendadak dengan seorang klien, atau apalah. Katanya, dia harus pergi ke Chicago dengan penerbangan pukul lima sore ini." "Tidak pulang?" Fran memandang dengan bodoh. "Hey, santai saja. Kau dengar kataku. Dia pergi ke Chicago. Kau bisa santai malam ini, sayang." Fran mendesah dan mulai melangkah pergi. "Terimakasih, Lila." "Santai saja," jawab perempuan pirang itu sambil mengangkat bahu. "Hey, yakin kau baikbaik saja?" "Ya, aku baik-baik saja. Jangan khawatir." Diatas, Fran memutar kunci, membuka pintu depan dan masuk ke dalam. Piring-piring bekas sarapan di bak cuci piring terlihat suram dalam cahaya matahari yang mulai memudar. Dia melempar tasnya ke atas meja, dan melepas sepatunya dengan kasar. Di ruang tamu, Fran menghempaskan diri ke sofa dan menyalakan sebatang rokok. Dia duduk kelelahan, menatap cahaya muram di luar, menghisap rokoknya dalam diam. Dia membetulkan selendang sore dari bahunya, seakan-akan udara menjadi dingin dalam ruangan itu. 130 | Henry Slesar "Chicago," sahut Fran dengan getir. Dan nama itu punya arti tertentu. Pasti punya arti. Fran segera berdiri. Itulah rahasia dari semua ini, pikimya. Nama itu harusnya memiliki arti tertentu. Fran bergegas menuju telepon dan memutar nomer yang dihafalnya luar kepala. "Halo, apa Mr. Cooney ada?" Kakinya yang terbalut stoking mengetukngetuk lantai linoleum tidak sabar. "Halo, Mr. Cooney? Dengar, ini Fran Holland. Pada pacuan keempat besok. Saya bertaruh lima dollar untuk Chicago Flyer. Benar, pada pacuan keempat..." [] eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com "Shakespeare," ujar manajer keuangan kapal itu dengan muram, saat dia menghadap gelas bir keduanya seusai pertunjukan teater, "tentu saja semuanya menampilkan Shakespare tahun ini". Aktor-aktor itu juga memainkan peranannya dengan cukup menggigit. Kalimat 'hartaku dan putriku' dan semacamnya—ada seorang aktor yang memainkan peranan itu dengan lebih bagus. Aku ingat, aku pernah menontonnya. The Jew of Malta judulnya, dan Marlowe yang menulisnya 'Oh emas, Oh gadis! Oh, kecantikan! Oh, kebahagiaanku!' Menonton The Merchant malam ini membuatku teringat kembali. Juga mengingatkanku akan sebuah kasus nyata yang kualami—hanya saja dia bukan putrinya. Bukan, bukan seperti itu. "Saat itu aku masih seorang awak kapal junior, atasanku si tua McLean, di perahu Aurea, oh, sepuluh tahun yang lalu, hal itu terjadi. Kadang aku masih memimpikannya, tapi jarang sekali sekarang ini. Perahuku sedang berlayar dari Liverpool ke Bombay, pelayaran ketiga bagiku, dan pasangan itu naik, GADIS EMAS Ellis Peters eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com 132 | Ellis Peters dalam keramaian, tepat sebelum perahu mulai berlayar. Di kerumunan orang yang begitu banyak, kau pasti bisa melihat mereka. Gadis itu. Dia amat sangat cantik, benar-benarcantik, dengan rambut warna jagung keemasan, mata sayu, dan satu lagi, dia sedang hamil, dan itu membuat orang-orang tersentuh. Kau tahu, 'kan, dengan baju longgar dan sepasang lengan ramping yang terjuntai di samping tubuhnya yang berat. Dan caranya berjalan, hati-hati dan canggung, berusaha agar tidak jatuh. Perlahan dia menuju geladak bawah, berpegang erat pada susuran tangga. Kau bisa rasakan semua lelaki disana berusaha menahan diri untuk tidak lari dan membantunya. "Mereka memesan perjalanan ke Bombay, mungkin mengenai pekerjaan sebagai penasihat handal disana. Suaminya, lebih tua dari si gadis, mungkin empatpuluhan sementara si gadis baru dua puluh dua, tapi ada sesuatu yang menarik dari diri si suami ini. Perempuanperempuan di perahu saling berbisik-bisik tentang si suami, padahal perahu baru berlayar kurang dari satu jam. Lelaki itu gagah, dengan wajah tampan, kulit gelap, pendiam, dengan raut wajah cerdas, berputar-putar di sekeliling istrinya, dengan perhatian yang membuat semua istri-istri yang berada di perahu berwajah hijau karena cemburu. Bandot insyaf, kata mereka. Don Juan yang telah menetapkan satu gadis pilihan. Godalah dan jauhkan diri dari istrinya! Banyak diantara peremption perempuan itu yang memang mencoba mendekatinya sebelum perahu berlabuh di Bombay. Tapi tidak, sepanjang perjalanan itu, tidak ada perempuan lain selain istrinya. Dia selalu menempel pada istrinya dengan wajah khawatir, tiap hah, selama tujuh belas hari. "Dua hari kemudian kami mengadakan latihan sekoci di perahu. Kami memang selalu melakukannya, walaupun biasanya kurang dari setengah penumpang yang muncul, apalagi pada pelayaran tahun itu, ketika laut bertingkah seperti yang biasa terjadi di laut. Aku adalah awak yang menangani sekoci mereka, dan aku bergegas ke kabin mereka ketika sirine pertama berbunyi. Suaminya tidak ada. Dia pergi mengambil beberapa buku perpustakaan untuk istrinya. Menyenangkan sekali membantunya memakai jaket penyelamat. Seperti perempuan pada umumnya, dia tidak tahu sama sekali bagaimana mengenakannya, dengan atau tanpa pedoman. "Dia tidak terlihat begitu tambun di bawah baju longgarnya. Hanya sedikit lebih besar dari ukuran normal, menurutku. Dan caranya mengucapkan terimakasih padaku, membuatku rela lompat ke laut untuknya. Ya, dia baik-baik saja, ya, dia akan pergi ke dek dan melaporkan semuanya sebagaimana mestinya, seperti Gadis Emas | 133 134 | Ellis Peters orang-orang yang lain. Dan dia memang melakukannya. Bagai anak-anak yang sedang bermain, orang yang paling ceria diantara orang-orang sekelilingnya. Tiba-tiba si suami datang bergegas ke arahnya, dengan liar menculiknya dari kerumunan orang-orang di sekitar dan menjaganya sendiri. Tidak ada seorangpun yang tidak iri dengan haknya itu. "Seperti itu, sepanjang perjalanan, selama tujuh belas hari. Ketika diadakan pemutaran film, mereka saling berpegangan tangan di sudut yang sepi. Menurut si istri, mereka merasa belum lama menikah, dan menurut si suami dia belum sembuh benar dari keterkejutan yang membahagiakan dengan menikahi istrinya itu, dan dia seperti tidak percaya akan keberuntungan yang menimpanya. "Kami menurunkan kira-kira setengah penumpang di Karachi, dan terus melaju menuju Bombay, sepi dan perlahan-lahan seperti biasanya. Dan malam itu, sekitar tengah malam, kebakaran terjadi. "Waktu itu sedang berlangsung pesta dansa, dan kami biasa menampilkan sesuatu yang menggembirakan untuk melengkapi pesta perpisahan itu. Jadi kami tidak tahu bagaimana awal mulanya. Yang kutahu, tiba-tiba terdengar suara sirine dari bawah dek, tapi di dalam barbar di atas, sirine itu tidak terdengar sama sekali, dan musik tetap mengalun, dan di geladak atas masih banyak orang di kolam renang bahkan ketika situasi di bawah sudah mendekati kepanikan. Komunikasi tidak dapat dilakukan karena seluruh sistem pengeras suara rusak. Dan sebelum kau selesai mengucapkan kata 'pisau', asap sudah menyebar kemana-mana. Dalam sepuluh menit, semuanya jadi kacau. Tidak ada seorangpun yang bisa mendengar suaranya sendiri, bahkan jika dia berteriak sekuat-kuatnya sekalipun. Dan jika orang sudah merasa ketakutan, suara yang keluar juga tidak terlalu keras. "Bukan panik, sebenarnya. Harusnya bisa lebih baik kalau saja ada cara memberitahu mereka bagaimana menghadapi keadaan seperti itu. Sayangnya tidak semua seperti itu, hanya sebagian kelompok kecil saja. Lagipula jumlah awak perahu tidak mencukupi untuk berkeliling dan mengawasi para penumpang. Kadang rasa bingung dan kekacauan menyebabkan hal yang sama seperti panik. Beberapa diantara mereka, orang-orang atletis yang berusaha berbuat sesuatu, melakukan hal-hal yang salah karena tidak ada panduan bagi mereka. Dan yang lain berjalan mondarmandir, menghalang-haiangi kelompok mereka dan kami. Apa yang bisa kau lakukan? Puji Tuhan, untung saja keadaan laut saat itu tenang Gadis Emas | 135 136 | Ellis Peters sekali. Dua-tiga perahu menerima panggilan kami dan bergerak menyelamatkan para penumpang dan awak perahu. "Dan terjadilah semuanya. Api menyebar seolah marah, dan si istri juga ada di dek diantara kerumunan penumpang yang lain. Kami mendorong orang-orang untuk naik ke geladak atas dan meminta mereka mengenakan jaket penyelamat, lalu mulai menurunkan sekoci. Hiruk-pikuk itu adalah sesuatu yang akan kuingat seumur hidupku. Tidak ada yang menjerit, tapi semua orang saling berteriak. "Aku tertatih-tatih berusaha mencapai Dek B dalam kepulan asap, membuka pintu kabin, menyisir apakah ada penumpang yang masih berada di dalam kabin, dengan salah satu penumpang perempuan bersandar di tangan kananku dan seorang awak perahu dari Goa juga menggandeng dua orang penumpang yang lain. Aku mendorong pintu 56, dan disanalah si gadis emas kami, menempel pada suaminya, dan sepasang mata bak danau berwarna abu-abu besar dan membelalak itu terbius oleh teror. Mereka berdua sedang berusaha memasangkan jaket penyelamat ke tubuh si istri dengan canggung. Jaket si suami sendiri tergeletak di bawah. Aku menggeram keras, menyegerakan memakaikan jaket itu ke istrinya, dengan cepat, dan segera merangkulnya dengan tangan kiriku setelah dia terlindung jaket. Dia bekerja keras menjejakkan kakinya selangkah demi selangkah menaiki tangga geladak di belakangku, terengah-engah, dan caranya berjalan sangat sukar dan menyakitkan seperti seorang nenek tua. Aku bahkan sedikit terluka, di dalam, karena aku hams memaksanya berjalan cepat-cepat, tapi, Ya Ampun, kami memang harus buru-buru. Aurea berderak di bawah kami, menggigil di laut yang tenang dan damai. Perahu itu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. "Well, akhirnya aku bisa menuntun mereka ke sekoci, ke hiruk-pikuk yang ada di dek atas. Disana sudah ada perahu pengangkut minyak ke arah timur yang sudah menunggu, dengan sekoci-sekoci terapung menunggu kami dan lampu-lampu besar berseliweran di air yang kelam. Kemudian dek di bawah kaki kami bergerak miring dan mulai berdiri tegak, membuat kami tergelincir menuju pagar di pinggir perahu. Para penumpang perempuan menjerit histeris dan menggapai apapun yang terpegang. Kukira kami juga akan jatuh, sebagaimana orang-orang lain, tapi si gadis emas itu segera membetulkan posisi tubuhnya kembali. Sekoci kami tergelincir ke buritan, dan macet, dan aku tahu sekoci itu tidak akan bisa dipergunakan. Beberapa penumpang lainnya sudah selamat sampai ke perahu tanker, berdiri tegak di geladak dan menunggu untuk dapat Gadis Emas | 137 138 | Ellis Peters menyelamatkan barang-barang sebisanya ketika kami sedang tenggelam. Sekoci lainnya bergerak mendekat dari perahu tanker itu. Salah satunya sudah dekat ke kapal dan berteriak-teriak ke arah kami. Aku berteriak balik ke arah mereka, dan mereka bergerak semakin mendekat. Aku memeluk erat-erat si gadis emas. Dua nyawa—kau tidak tahu bagaimana rasanya. "Suaminya memekik marah, memegangnya erat dengan ketakutan yang sangat, menjerit kasar dengan bahasa yang bahkan tidak bisa dimengerti dalam kondisi hiruk pikuk yang biasanya. Tidak ada waktu untuk meyakinkan siapapun tentang apapun. Aku merengkuhkan tanganku untuk menggapai dagu si suami dan menariknya ke atas, dan pegangannya ke si istri terlepas. Aku merengkuhnya dan melemparnya melewati pagar, dan meletakkannya dengan lembut dan hati-hati ke tempat yang kutahu adalah tempat teraman saat itu, ke laut yang hanya beberapa meter jaraknya dari sekoci yang sedang mendekat. Petugas yang kupanggil-panggil sudah condong ke laut dan bersiap-siap menangkapnya. "Dan setelah itu dua hal yang kerap kuimpikan sampai sekarang, terjadilah. Suaminya menjerit keras bagai suara pekikan jiwa yang terkutuk, suara yang tidak pernah kulupakan. Dia berusaha sekuat tenaga mencapai pagar Gadis Emas | 139 sambil terus berteriak. Dan si gadis, si gadis emas itu—Ya Tuhan, begitu dia menyentuh air, tubuhnya langsung tenggelam seperti batu! "Wajahnya menengadah ke arahku, tanpa suara, menatapku dengan pandangan tersesat dan takut, sedetik sebelum laut menelannya. Dia menghilang dan tidak muncul-muncul lagi. "Semenit penuh aku berusaha meraihnya. Bayangkan! Lalu aku menyelam mencarinya, terus ke dalam dan semakin dalam, memburunya, terus, terus, terus, sampai aku harus ditarik ke sekoci dengan paksa. Aku tidak menemukannya. Tapi sekilas, kurasa, aku melihat suaminya, jauh di bawah sana, sama nekatnya sepertiku. Sepertinya aku ingat seraut wajah dengan rambut mencuat ke berbagai arah, matayang kalut, dan mulutyang meraung tanpa suara. Nama si gadis? Mungkin akan jauh lebih baik kalau saja semuanya hanya terjadi dalam khayalanku. Lebih baik melupakannya. Tapi tetap saja aku tidak bisa melakukannya. "Saat itu yang tersisa dari si suami tidak ada sama sekali, hanya jaket penyelamatnya yang terobang-ambing tanpa tujuan, saat dia merobek dan melemparkannya demi menyelamatkan si istri. Seharusnya kami tidak usah menemukannya, kalau saja pusaran air Austeria tidak mengaduk-aduk isi laut dan menghempaskannya kembali ke pinggir pantai. 140 | Ellis Peters Sekoci perahu tanker itu masih berputar-putar berkeliling, dan salah satu diantaranya secara kebetulan menemukan tubuh si gadis, sesaat sebelum kembali tenggelam. Tapi kami tidak pernah menemukan suaminya. "Tubuhnya ditemukan, dan kami juga menemukan apa yang terdapat padanya, yang membuat Interpol terlibat dalam cerita ini." "Tentu saja dia bukan istrinya. Dia adalah model yang biasa berpose untuk fotografer dan aktris kacangan yang dikenalnya di sebuah klub. Dia juga tidak hamil. Hanya saja, perasaan si lelaki itu padanya—dan aku berani bersumpah— itu tulus. Dia belum pernah menyewa gadis itu sebelumnya. Semua muatannya yang berharga telah diselundupkan lewat udara, dengan alat transportasi lainnya, dan yang terakhir ini adalah hal mudah, perjalanan menyenangkan dengan hadiah yang cantik menunggu di tempat tujuan. Bisnis yang sangat menguntungkan. Kurasa mereka tidak akan kembali. "Semua barang yang dia bawa dalam korset di bawah baju hamil longgarnya itu, ketika latihan perahu telah selesai, disembunyikan dalam jaket penyelamat yang dikenakan si gadis. Apa mereka pikir itu adalah tempat yang amat sangat aman? Well, begini, kuberitahu kau. Tidak ada yang bakal percaya mereka Gadis Emas | 141 menggunakan jaket penyelamat itu untuk tujuan sesungguhnya—tidak ada seorangpun. Itu bukan tempat yang paling aman. Dan dia bisa membuat dirinya nyaman sampai dia harus mengumpulkan semua bebannya itu di Bombay dan membawanya dengan sabar ke darat melalui Pabean. Hanya saja mereka lupa menukarnya kembali malam sebelumnya, sehingga mereka tidak siap menghadapi kebakaran. "Tentu saja si suami bisa mengenakan jaket itu ke tubuhnya sendiri dan menyerahkan jaketnya untuk si gadis. Mungkin dia akan melakukannya, kalau saja aku tidak menyeretnya memakai jaket itu dan memaksa tangannya. Atau mungkin saja dia tidak akan melakukannya. Gadis itu memang seorang profesional yang melakukan pekerjaannya untuk si suami. Begitu si gadis sampai di sekoci maka dia akan selamat. Dan apapun yang terjadi sesudahnya, itu adalah karena si gadis, dengan kecantikannya yang melenakan dan keadaannya yang membuat trenyuh, yang pasti akan mendapatkan perawatan V.I.P, dan kesempatan besar mendapatkan hadiah mereka, dan membawanya ke India dengan aman. "Aku masih bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang membuat si lelaki itu menyelam mencarinya, si gadis, atau lima belas kilogram batangan-batangan gemuk emas murni yang menenggelamkan si gadis." [] 142 | Ellis Peters BOCAH PERAMAL GEMPA Margaret St. Clair "Kamu ini memang skeptis," ujar Wellman. Dia menuang air dari teko kristal, menaruh sebutir pil di lidahnya, dan menelannya dengan bantuan air. Secara alamiah memang bisa dimengerti. Aku tidak akan meyalahkanmu, aku bahkan tidak bermimpi untuk menyalahkanmu. Sayangnya, banyak dari kami disini yang berpikiran sepertimu, ketika kita mulai menayangkan si bocah Herbert ini. Aku tidak berkeberatan memberitahukanmu, ini hanya diantara kita berdua, aku sendiripun agak ragu-ragu acara itu nantinya akan berhasil di televisi." Weilman menggaruk-garuk belakang telinganya ketika Read memandangnya dengan tatapan tertarik yang sok ilmiah. "Well, aku salah," sahut Wellman sambil meletakkan kembaii tangannya dari belakang telinga. "Dengan senang hati aku katakan bahwa aku 1000 persen salah. Pertunjukan si bocah pertama kalinya, yang tanpa pariwara dan tanpa pemberitahuan menghasilkan 1400 pucuk surat keesokan harinya. Dan rating yang dia eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com 144 | Margaret St. Clair hasilkan sekarang..." Dia membungkuk ke arah Read dan membisikkan sesuatu. "Oh!" Hanya itu yang bisa dikatakan Read. "Kami belum bisa menyebutkannya dengan pasti sekarang ini, karena banyaknya orangorang usil di Purple yang tidak akan mempercayai kita. Tapi ini hanyalah kejujuran yang sederhana. Tidak ada karakter televisi lain sekarang ini yang memiliki banyak pengikut seperti bocah itu. Dia bahkan dibicarakan di saluran gelombang pendek, dan orang-orang seluruh dunia mendengarkannya. Tiap acaranya ditayangkan, kantor pos mengirimkan dua truk berisi surat-surat untuknya. Kau tidak bisa membayangkan betapa bahagianya aku, Read, akhirnya kalian para ilmuwan mulai berpikiran untuk menelitinya. Aku amat bersungguhsungguh tentang hal ini." "Bagaimana sifat anak itu?" Read bertanya. "Si bocah? Oh, sangat sederhana, pendiam, amat sangat tulus. Aku sangat suka padanya. Ayahnya—well, dia itu yang berkarakter kuat." "Bagaimana program ini berlangsung?" "Maksudmu bagaimana Herbert melakukannya? Sejujurnya, Read, itulah yang seharusnya menjadi bahan penelitian kalian, para ilmuwan. Kami tidak memiliki petunjuk apapun mengenai hal ini, sungguh." Bocah Peramal Gempa | 145 "Tapi aku bisa memberikanmu perincian bagaimana program ini bekerja. Bocah ini mengadakan pertunjukan dua kali seminggu, tiap Senin dan Jumat. Dia tidak menggunakan naskah"—Wellman meringis—"yang cukup membuat kami sakit kepala. Katanya, naskah membuatnya kering. Dia mengudara selama dua belas menit. Kebanyakan dia hanya bicara, bercerita pada para pendengartentang apa saja yang telah dilakukannya di sekolah, buku-buku yang sedang dibacanya, dan sebagainya. Halhal yang sering kau dengar dari anak-anak baik dan pendiam. Tapi dia selalu membuat dua atau tiga ramalan, selalu, sedikitnya satu, dan tidak pernah lebih dari tiga. Ada hal-hal yang nantinya akan terjadi dalam empat puluh jam mendatang. Menurut Herbert, dia tidak bisa melihat lebih jauh dari itu. "Dan hal-hal itu benar-benar terjadi?" tanya Read yang pertanyaannya itu lebih mirip penegasan. "Ya," sahut Wellman dengan agak berat. Tanpa sadar dia mencibirkan bibirnya. "Herbert meramalkan ada sebuah pesawat yang jatuh di Guam April kemarin, angin topan dinegaranegara Gurun, dan hasil pemilu. Dia meramalkan bencana perahu selam di kepulauan Tortuga. Sadarkah kau, ada agen FBI yang menontonnya di studio, diam-diam, setiap 146 | Margaret St. Clair pertunjukannya berlangsung? Itu agar Herbert bisa diamankan dan pertunjukannya dihentikan bila dia mengatakan sesuatu yang mengacaukan stabilitas keamanan umum. Mereka menanggapi bocah ini dengan serius. "Aku melihat-lihat catatan anak ini kemarin ketika aku tahu universitas akan mengadakan penelitian mengenai anak ini. Acaranya telah ditayangkan selama satu setengah tahun, dua kali seminggu. Dia telah meramalkan 106 kejadian selama ini. Dan setiap ramalan, satu demi satu, benar-benar terjadi. Dan saat ini masyarakat luas percaya"—Wellman membasahi bibirnya dan mencoba mencari katakata yang tepat—"mereka akan percaya bila dia meramalkan hari kiamat atau siapa yang akan memenangkan hadiah dari Pertempuran di Irlandia. "Aku sungguh-sungguh mengenai hal ini, Read. Amat sangat sungguh-sungguh sampai aku sendiri takut. Herbert adalah hal terbesar yang ada di televisi sejak adanya penemuan sel selenium. Kau tidak membesarbesarkannya atau mengada-ada akan pentingnya dia. Sekarang, maukah kau pergi menghadiri acaranya? Sudah waktunya dia mengudara." Wellman berdiri dari meja kerjanya, merapikan dasi bermotif penguin ungu dan merah muda di lehernya. Dia memimpin Read melalui Bocah Peramal Gempa | 147 koridor stasiun radio menuju ruang observasi studio 8G tempat Herbert Pinner mengudara. Menurut Read, Herbert terlihat seperti anak baik yang pendiam. Usianya sekitar 15 tahun, dengan perawakan tinggi untuk anak seumurnya, dan dengan raut wajah menyenangkan dan cerdas, tetapi juga penuh kekhawatiran. Dia berdiri tegak saat sedang mempersiapkan diri untuk mengudara dan terkesan menyakitkan bagi orang yang melihatnya. "... aku sedang membaca sebuah buku yang sangat menarik," ujar Herbert kepada para pendengarnya. "Judulnya The Count of Monte Cristo. Kurasa semua orang yang membaca buku itu pasti suka isi ceritanya." Herbert mengambil buku dan menunjukkannya ke penonton di studio. "Aku juga mulai membaca buku mengenai astronomi yang dikarang oleh seseorang bernama Duncan. Membaca bukunya membuatku ingin membeli teleskop. Kata ayahku, jika aku belajar dengan giat dan mendapatkan nilai-nilai bagus di sekolah, aku boleh memiliki teleskop kecil pada akhir tahun pelajaran. Aku akan menceritakan pada Anda semua apa saja yang kulihat setelah aku membelinya nanti. "Akan ada gempa bumi, tidak begitu besar, di negara-negara Atlantik Utara malam ini. Banyak bangunan yang akan rusak, tapi tidak ada korban jiwa. Besok pagi sekitar pukul 148 | Margaret St. Clair sepuluh mereka akan menemukan Gwendolyn Box yang hilang di kepulauan Sierra sejak Kamis kemarin. Kakinya patah, tapi dia masih hidup. "Setelah mendapatkan teleskop aku berharap agar bisa menjadi salah satu anggota kelompok-kelompok pengamat bintang variabel. Bintang-bintang variabel adalah bintang yang kecemerlangannya bervariasi akibat perubahan internal maupun eksternal..." Setelah acara selesai, Read diperkenalkan pada si Pinner muda. Dia merasa anak itu sangat kooperatif dan sopan, tetapi agak sedikit tertutup. "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya, Mr. Read," jawab Herbert ketika sejumlah pertanyaan awal diajukan. "Bukan gambar-gambar, seperti yang Anda tunjukkan, dan juga bukan kata-kata. Tetapi—tapi semua hal itu datang begitu saja dalam benakku." "Satu hal yang aku sadari, aku tidak bisa meramalkan apapun yang aku sama sekali tidak tahu. Aku bisa meramalkan adanya gempa bumi karena semua orang tahu apa itu gempa bumi. Tapi aku tidak akan bisa meramalkan Gwendolyn Box jika aku tidak tahu dia hilang. Aku hanya merasakan seseorang atau sesuatu akan ditemukan." "Maksudmu, kau tidak akan bisa meramalkan apapun kecuali hal tersebut ada dalam Bocah Peramal Gempa | 149 kesadaranmu sebelumnya?" tanya Read bersemangat. Herbert agak ragu-ragu menjawabnya. "Kurasa begitu," ujarnya. "Hal itu membuat... semacam titik dalam benakku, hanya saja aku tidak dapat mengatakannya. Seperti melihat dalam sinarterang dengan mata yang tertutup rapat. Anda tahu ada cahaya disana, tapi hanya itu yang Anda tahu. Itulah alasannya mengapa aku membaca begitu banyak buku. Makin banyak hal-hal yang kuketahui, makin banyak juga yang bisa kuramalkan." "Kadang-kadang aku juga melupakan beberapa hal penting. Aku tidak tahu mengapa. Waktu itu ada kejadian meledaknya sejumlah bahan atom dan banyak korban jatuh. Yang aku ingat saat itu adalah melonjaknya kebutuhan tenaga kerja." 'Aku betul-betul tidak mengerti bagaimana cara kerjanya, Mr. Read. Aku betul-betul tidak mengetahuinya." Ayah Herbert datang menghampiri. Dia adalah seorang lelaki kecil dan agak bungkuk dengan sifat persuasif dan tertutup. "Jadi Anda yang akan meneliti Herbie, ya?" katanya setelah perkenalan singkat dengan Read. "Well, baiklah. Sudah saatnya dia diteliti." "Saya yakin kita berpendapat sama,"jawab Read hati-hati. "Saya harus mengetahui beberapa hal untuk diuji." 150 j Margaret St. Clair Mr. Pinner memandangnya dengan galak. "Anda ingin menguji apa benar ada gempa bumi nanti? Begitu? Semuanya berbeda bila Anda mendengarkannya sendiri. Well, memang akan ada gempa bumi. Hal yang menyedihkan, gempa bumi itu." Dia mendecakkan lidah seakan meledek. "Tapi tidak akan ada korban jiwa, itu bagusnya. Dan mereka akan menemukan Miss Box itu sebagaimana yang tadi dikatakan Herbie." Gempa yang diramalkan terjadi pukul 9:15 ketika Read sedang duduk di bawah lampu penghubung dan membaca laporan dari Perkumpulan untuk Penelitian Supranatural. Read mendengar sekelilingnya berderak-derak dan bergerak, dan kemudian tanah di bawahnya berayun lama dan membuatnya mual. Keesokan paginya, Read meminta sekretarisnya menghubungi Haffner, seorang seismologis yang dikenalnya. Haffner, melalui sambungan telpon itu, menjelaskan dengan cepat dan terperinci. "Seharusnya tidak akan ada cara meramalkan terjadinya gempa," ujarnya dengan gemas. "Bahkan tidak sejam sebelumnya. Kalaupun ada, kami akan mengeluarkan pengumuman dan mengungsikan orang-orang tepat pada waktunya. Tidak akan ada korban jiwa jika kami dapat melakukan hal itu. Ya, kami akan menjelaskan bagaimana gempa itu secara Bocah Peramal Gempa | 151 keseluruhan. Sudah bertahun-tahun kami mengetahui daerah ini termasuk dalam salah satu daerah gempa. Tetapi untuk mengetahui waktu tepatnya itu—"ini seperti kau bertanya pada seorang astronom untuk meramalkan terjadinya nova. Dia tidak akan tahu, begitu juga kami. Ngomong-ngomong, apa yang menyebabkan hak ini? Ramalan yang dibuat si bocah pinner ini ya?" "Ya, kami sedang menimbang-nimbang untuk menelitinya." "Menimbang-nimbang? Maksudmu, sekarang kau berkeliling dan menelitinya? Ya Tuhan! Kalian psikolog-psikolog peneliti, benarbenar membangun menara gading!" "Menurutmu dia asli?" "Jawabannya secara tidak profesional adalah:ya." Read menutup telponnya. Ketika dia keluar makan siang dia melihat kepala berita di koran tentang ditemukannya Miss Box seperti yang diramalkan Herbert dalam acara radio kemarin. Tapi Read masih ragu. Kamis kemarin dia baru menyadari, masalahnya bukan dia takut menghabiskan uang universitas dalam meneliti penipuan, tetapi dia terlalu yakin apapun yang diramalkan Herbert Pinner adalah sungguhan. Dia tidak terlalu antusias sekarang untuk memulai penelitiannya. Dia takut. Kesadaran itu mengejutkannya. Dia langsung menghubungi dekan saat itu juga, menanyakan mengenai persetujuan yang dia ajukan, dan dekan memberitahukan tidak akan ada kesulitan dalam birokrasi penelitiannya. Jumat pagi dia segera memilih dua asisten untuk membantunya dalam proyek ini, dan ketika acara Herbert akan ditayangkan mereka sudah berada di stasiun radio. Mereka melihat Herbert duduk tegang di kursinya dalam studio 8G didampingi oleh Wellman dan sekitar lima atau enam eksekutif radio yang berkerumun di sekelilingnya. Ayahnya berjalan mondar-mandir kebingungan, dengan tangan melambai-lambai kesanakemari. Orang-orang FBI itu bahkan lupa bersikap tenang dan pasif, dan bergabung dalam argumentasi yang memanas. Dan Herbert, di tengah, menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, tidak, aku tidak bisa," dengan terus menerus sambil bergerakgerak. "Tapi mengapa, Herbie?" Ayahnya merengek. "Tolong katakan pada Ayah mengapa? Mengapa kau tidak mau mengudara sekarang?" "Aku tidak bisa,' jawab Herbert. "Tolong jangan paksa aku. Aku benar-benar tidak bisa sekarang!" Read menyadari betapa pucat anak itu, apalagi di sekeliling mulutnya. 152 | Margaret St. Clair Bocah Peramal Gempa | 153 "Herbie, kau bisa mendapatkan apapun yang kau mau, apapun, kalau kau mau mengudara malam ini. Yang penting kau mau mengudara! Teleskop itu—aku akan membelikanmu besok. Aku akan membelinya malam ini!" "Aku tidak ingin teleskop," ujar si Pinner muda itu sedih. "Aku tidak ingin melihat apapun lewat teleskop itu." "Aku akan membelikanmu kuda poni, perahu bermotor, bahkan membuatkanmu kolam renang! Herbie, aku akan melakukan apapun untukmu!" "Tidak," jawab Herbert. Mr. Pinner memandang berkeliling dengan putus asa. Matanya tertumbuk ke arah Read yang sedang berdiri di sudut, dan dia segera menghampirinya. "Nasihatilah dia, Mr. Read," ujarnya tergagap. Read menggigit bibir bawahnya. Dalam satu hal itu memang urusannya. Dia menyeruak diantara orang-orang yang mengerumuni Herbert, dan menepuk bahu bocah itu dengan tangannya. "Aku dengar kau tidak mau mengudara malam ini, Herbert. Ada apa ini?" tanya Read. Herbert memandangnya. Ungkapan terhina yang ada dalam matanya membuat Read merasa bersalah sedih. "Saya hanya tidak bisa melakukannya sekarang. Anda juga jangan mulai bertanya-tanya pada saya, Mr. Read." 154 | Margaret St. Clair Read menggigit bibirnya sekali lagi. Sebagian teknik dalam para psikologi adalah bagaimana membuat subjek untuk bisa diajak bekerjasama. "Bila kau tidak mengudara sekarang ini, Herbert, maka akan ada banyak orang yang sangat kecewa." Wajah Herbert menunjukkan sedikit kepastian. "Saya tidak dapat menahannya," kata Herbert. "Lebih dari itu, akan ada banyak orang yang ketakutan. Mereka tidak tahu mengapa kau tidak mengudara dan mereka pasti akan membayangkan yang tidak-tidak. Banyak bayangan yang tidak-tidak. Bila mereka tidak melihatmu maka banyak orang yang akan ketakutan." "Aku—" Herbert mengusap-usap pipinya. "Mungkin itu benar," jawabnya pelan. "Hanya saja..." "Kau harus melanjutkan acaramu itu." Herbert menyerah dengan mendadak. "Baiklah," ujarnya. "Aku akan mencobanya." Setiap orang yang ada di studio menghembuskan nafas lega. Orang-orang itu kemudian bergerak menuju pintu ke ruang observasi. Mereka bicara dengan nada suara gugup dan agak meninggi. Ketegangan sudah berlalu, hal yang paling buruk sekalipun tidak akan terjadi. Bagian pertama acara Herbert hampir tidak ada bedanya dengan pertunjukan-pertunjukannya yang lalu. Suara si bocah itu sedikit bergetar dan tangannya juga sedikit gemetar, tetapi ketidakwajaran ini tidak akan diperhatikan oleh kebanyakan penonton di studio. Ketika acara sudah berlangsung kira-kira lima menit, Herbert menyingkirkan bukunya dan menggambar (dia telah membahas beberapa gambar mekanis sebelumnya), dan menunjukkannya kepada penonton lalu mulai bicara dengan sangat serius. "Saya akan memberitahukan kalian mengenai kejadian besok," ujarnya. "Besok"— Herbert berhenti dan dan menelan ludah— "besok akan menjadi hari yang berbeda dari yang sudah-sudah. Besok adalah awal dari dunia yang baru dan lebih baik bagi kita semua." Read, mendengarkan dari ruangan yang tertutup kaca, merasa hawa dingin merayap sedikit demi sedikit di sekujur tubuhnya ketika dia mendengar si bocah bicara. Dia menatap wajah orang-orang di sekelilingnya dan mereka sedang mendengarkan Herbert dengan seksama, wajah mereka terlihat gugup dan kaget. Rahang bawah Wellman agak sedikit terbuka, dan dia meraba penjepit dasi berbentuk unicorn di lehernya. "Di masa lalu, kita mengalami masa-masa yang cukup sulit. Kita mengalami peperangan— banyak sekali peperangan—dan kelaparan, dan wabah penyakit. Kita meng- Bocah Peramal Gempa | 155 156 | Margaret St. Clair alami depresi dan tidak tahu apa yang menyebabkannya. Banyak orang-orang kelaparan sementara banyak makanan tersedia, dan banyak orang yang sakit parah padahal kita tahu obatnya. Kita telah melihat sumber daya alam dihabiskan tanpa malu, sungai-sungai berair hitam oleh tanah-tanah yang dihanyutkan, sementara kelaparan semakin mendekati kita hari demi hari dengan pasti. Kita telah menderita, kita telah mengalami masa-masa sulit. "Mulai besok"—suaranya semakin keras dan dalam—"semua hal akan berubah. Tidak akan ada lagi peperangan. Kita akan hidup bersama-sama berdampingan layaknya saudara. Kita akan melupakan pembunuhan dan perampokan dan bom. Dari kutub ke kutub, dunia ini akan menjadi sebuah taman yang besar, dipenuhi dengan kekayaan dan buahbuahan, dan semua itu akan tersedia buat kita untuk dipergunakan dan dinikmati. Manusia akan berumur panjang dan hidup dengan bahagia, dan ketika mati, mereka akan meninggal karena usia tua. Tidak akan ada seorangpun yang akan takut. Pertamakalinya sejak manusia menghuni bumi ini, kita akan hidup dengan cara sebagaimana manusia hidup." "Kota-kota akan diperkaya dengan budaya yang beragam, dengan seni dan musik serta Bocah Peramal Gempa | 157 buku-buku. Dan setiap ras di dunia ini akan turut andil dalam menyumbangkan kebudayaannya masing-masing sesuai dengan tingkatannya. Kita akan menjadi lebih bijaksana, lebih gembira dan lebih kaya daripada manusia-manusia sebelumnya. Dan dalam waktu dekat"—Herbert agak ragu-ragu sebentar seakan-akan pikirannya terhenti di tengah jalan—"dalam waktu dekat kita akan meluncurkan pesawat roket." "Kita akan pergi ke Mars, Venus dan Jupiter. Kita akan pergi ke perbatasan sistem tata surya kita untuk melihat bagaimana Uranus dan Pluto itu. Dan mungkin dari sana—ini mungkin saja— kita akan melanjutkan untuk pergi melihat bintang-bintang." "Besok adalah awal dari semua itu. Cukup sekian untuk malam ini. Selamat tinggal. Selamat malam." Sesaat setelah Herbert mengundurkan diri tidak ada seorangpun yang bergerak atau bicara. Kemudian suara-suara panik mulai terdengar. Read memandang sekeliling, menyadari betapa pucat orang-orang di sekelilingnya dengan mata-mata mereka yang membelalak. "Aku penasaran bagaimana dampak hal ini dalam acara televisi," kata Wellman, seolah pada dirinya sendiri. Dasinya berkibar-kibar liar. "Akan ada pertunjukan televisi, itu pasti— 158 | Margaret St. Clair itu adalah bagian bagusnya." Dan kemudian ke arah Pinner yang sedang meniup hidung dan mengusap matanya. "Bawa dia keluar dari sini, Pinner, secepatnya. Dia akan dikerubuti orang-orang bila dia tetap tinggal disini." Ayah Herbert mengangguk. Dia segera berlari kedalam studio mendapatkan Herbert yang sudah dikerumuni orang-orang dan kembali dengan anaknya itu. Bersama dengan Read, mereka berusaha keluar dari kerumunan itu dan berjalan melalui koridor ke luar menuju jalanan di belakang gedung stasiun radio. Read masuk ke dalam mobil tanpa dipersilahkan dan duduk di hadapan Herbert di salah satu kursi lipat. Anak itu kelihatan lelah, tetapi wajahnya menunjukkan senyum samar. "Lebih baik kau minta supir untuk membawamu ke sebuah hotel yang sepi," kata Read menganjurkan ayah Herbert. "Kau akan digerebek jika pulang ke tempat biasanya." Pinner mengangguk. "Hotel Triler," perintahnya pada supir. "Pelan-pelan saja, Pak. Kita butuh waktu untuk berpikir." Mr. Pinner melingkarkan tangan ke tubuh Herbert dan memeluknya. Matanya berkilatkilat. "Ayah bangga padamu, Herbie," ujarnya tulus, "bangga sebagaimana biasanya. Apa yang kau katakan—itu adalah hal yang amat, sangat, indah." Pak supir tidak membuat gerakan apapun untuk menyalakan mobil. Dan sekarang dia menolehkan wajahnya ke belakang dan berkata, "Anda Mr. Pinner muda, bukan? Saya tadi baru saja melihat pertunjukan Anda. Bisakah saya bersalaman?" Setelah beberapa saat Herbert membungkuk ke depan dan menjabat tangan si supir. Supir yang disalami menanggapinya dengan semangat. "Saya hanya ingin berterimakasih— hanya ingin mengucapkan terimakasih—Oh, persetan! Maafkan saya, Mr. Herbert. Yang tadi Anda sampaikan benarbenar berarti bagi saya. Dulu saya ikut dalam perang yang terakhir." Mobil itu meluncur dari bahu jalan. Ketika mereka melalui perkotaan, Read memperhatikan bahwa saran Mr. Pinner untuk berjalan pelan-pelan sesungguhnya tidak perlu. Orangorang sudah memadati jalan-jalan yang mereka lalui. Pinggir-pinggir jalan dipadati manusia. Orang-orang mulai berlarian ke trotoar. Mobil melambat, akhirnya merangkak, dan orangorang itu tetap saja berlarian keluar. Read segera menutup kaca dengan tirai, dia takut mereka mengenali Herbert. Penjual-penjual koran berteriak-teriak di sudut-sudut dengan suara histeris dan keras. Ketika mobil itu berhenti Pinner membuka pintu mobil dan menyelinap keluar. Dia datang Bocah Peramal Gempa | 159 kembali dengan sekumpulan koran yang dirangkum dalam kedua tangannya. "DUNIA BARU AKAN DATANG!" kata salah satu koran, sementara yang lain, "MILENIUM ESOK!" dan yang lainnya, cukup sederhana "KEBAHAGIAAN BAGI DUNIA!" Read melebarkan salah satu koran itu dan mulai membaca. "Seorang bocah berusia lima belas tahun mengatakan bahwa dunia dan semua permasalahannya akan segera berakhir, mulai besok, dan dunia menjadi liar karena gembira. Si bocah, Herbert Pinner, yang ramalanramalan mengagumkannya sangat akurat dan membuatnya digandrungi banyak orang di seluruh dunia, meramalkan sebuah masa damai, makmur dan sejahtera sebagaimana yang belum pernah dialami dunia ini sebelumnya..." "Bukankah ini indah, Herbert?" kata Pinner agak gagap. Matanya menyala-nyala. Dia mengguncang lengan Herbert. "Bukankah ini menakjubkan? Tidakkah kau senang?" "Ya,"jawab Herbert. Mereka akhirnya tiba di hotel dan mendaftar. Mereka menempati sebuah kamar mewah di lantai enam belas. Bahkan pada ketinggian ini mereka masih bisa mendengar suara teriakan-teriakan samar kerumunan orang-orang yang bergembira di bawah. 160 | Margaret St. Clair "Berbaring dan istirahatlah, Herbert," kata Pinner. "Kau terlihat letih. Mengatakan semua itu—pasti hal itu menyulitkanmu." Dia berkeliling ke seluruh ruangan untuk beberapa saat dan kembali ke putranya sambil meminta maaf. "Kau tidak apa-apa bukan kalau aku keluar sebentar, Herbert? Aku terlalu gembira untuk bisa tenang. Aku ingin melihat ada apa di luar sana." Tangannya sudah berada di kenop pintu. "Ya, silahkan," jawab Herbert. Dia menenggeiamkan dirinya di sofa. Read dan Herbert hanya berdua di ruangan itu. Beberapa saat hanya ada kesunyian diantara mereka. Herbert menjalin jari-jemarinya di kening dan menghela nafas. "Herbert," Read memanggil pelan. "Kupikir kau tidak dapat melihat masa depan lebih dari empat puluh jam mendatang?" "Itu benar," jawab Herbert tanpa melihat.[] Bocah Peramal Gempa | 161 eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com John Larsen berdiri menunggu bis yang akan membawanya ke tempat kerja. Saat itu pertengahan Maret, tetapi musim semi telah menebarkan aromanya; udara cenderung hangat dan langit berwarna biru lebih gelap daripada saat musim dingin. Di seberang jalan, pucuk-pucuk tunas daun berwarna hijau di pohon poplar seperti sedang mengiklankan datangnya musim semi. Saat itu juga ingatannya kembali pada suatu pagi yang cerah bagai musim di semi ketika dia masih seorang bocah, empat puluh tahun yang lalu. Dia akan bangun dan menatap langit yang berwarna seperti ini melaluijendela kamarnya yang terbuka, dan hatinya akan dipenuhi dengan emosi yang aneh dan tanpa nama, akibat kehausannya akan sesuatu, menunggu hal yang belum pernah dialami. Bis yang ditunggu belum juga datang. Jika bis itu terlambat datang, dia juga terlambat masuk kerja, dan Sims, atasannya, akan memasang raut wajah masam dan berkata, "Hah yang sibuk, Larsen. Bisakah kau datang tepat BERJALAN SENDIRIAN Miriam Allen Deford eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com 164 | Miriam Allen Deford waktu?" Tapi sebenarnya tidak pernah ada hari yang sibuk—sangat jarang terjadi. Orang-orang tidak membeli karpet dan keset seperti mereka jnembeli sayur-mayurdan serbet kertas. "Muak," ujar Larsen pada dirinya sendiri, menungu sendiri di sudut yang suram. "Benarbenar muak." Benaknya kosong mengingat kejadian sejam sebelumnya, dan suara Katie yang menjengkelkan. "Demi Tuhan, John, bangun! Kau mau terlambat sampai ke tempat kerja? Kalau kau terus begini mungkin kau akan dipecat, dan kita akan kemana? Cepat! Kau pikir aku suka bangun jam berapapun untuk memasakkan sarapanmu? Setidaknya kau bisa memakannya saat makanan itu sudah kumasakkan!" Itu adalah monolog yang sama dan selalu terulang. Ketika dia pergi, istrinya akan kembali merangkak ke tempat tidur, masih mengenakan pengeriting yang tidak sedap dipandang itu, dan hanya Tuhan yang tahu kapan dia akan merangkak keluar dari sana hanya untuk berleha-leha sepanjang hari. Dia bisa mempersiapkan sarapannya sendiri dan hanya perlu setengah dari waktu yang diperlukan istrinya, tapi itu tidak akan membuat Katie bagai martir untuk seorang suami yang tidak efisien dan suka melamun. Larsen menggigil dalam mantelnya yang sudah usang; saat ini tidak seperti suasana Berjalan Sendirian | 165 musim semi seperti yang dilamunkannya, meskipun matahari akan menghangatkan semuanya dengan cepat. Pikirannya melayang pada hutan dan lapangan bermain di masa kecilnya, sebuah kebebasan dan kemerdekaan di tahun masa lampau. Matanya dipicingkan ke jalanan; tidak ada isyarat sedikitpun bis itu akan lewat. Dengan tiba-tiba, Larsen menyeberang ke apotik di sudut, sebelum akal sehatnya mengambil alih. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sekeping recehan sepuluh sen dan pergi ke bilik telepon. "Mr. Sims? Ini Larsen. Begini, saya benarbenar minta maaf, tapi saya tidak bisa datang hari ini. Nyeri punggung saya kambuh; saya akan pergi ke dokter untuk memeriksanya. Tapi saya akan datang besok, meskipun saya masih sakit. Tidak, saya tidak bisa datang meskipun hanya setengah hari—nyeri punggung ini seperti sakit gigi. Ya, saya tahu, tapi—Well, baiklah, Mr. Sims. Saya akan melakukannya. Ya, Pak, saya juga menyesal." Sims mungkin akan heran mengapa bukan Katie yang menelepon jika dia sendiri sedang sakit. Mungkin dia akan mengatakan bahwa dia memerlukan karyawan yang lebih muda untuk menangani pekerjaannya. Oh, persetan dengan itu semua; sekarang sudah terlambat untuk mempertimbangkannya kembali. 166 | Miriam Allen Deford Dia kembali berdiri di tempatnya tadi, dan bis yang dinaikinya adalah bis yang mengarah ke arah yang berlawanan, jauh dari kota. Dia turun setelah bis itu mencapai tujuan terakhir. Hanya ingin sendiri—itu adalah perasaan yang menyenangkan. Tidak ada seorangpun yang merengek padanya, tidak perlu bergegasgegas. Dia belum pernah berada di daerah pinggiran tempat bis itu menurunkannya. Dia hanya berjalan berputar-putar untuk beberapa saat, mengagumi rumah dan halaman—jenis tempat tinggal yang sering dia impikan, saat dia dan Kate masih pengantin baru. Mungkin jika mereka punya anak yang akan membuatnya berambisi melakukan sesuatu, atau jika Kate tidak berubah menjadi sangat keras dan galak seperti sekarang— Ketika siang menjelang Larsen sudah letih berjalan. Dia kembali ke daerah perkantoran yang tidak begitu luas, makan sepotong hamburger dan minum secangkir kopi di ruang makan yang hampir sepi. Dia menanyakan jadwal bis disana. Agar bisa kembali ke rumah seperti biasanya, agar Kate tidak akan tahu, jadi tidak ada alasan bagi Kate untuk berteriakteriak dan mengomelinya. Tidak ada rasa takut kalau-kalau dia meneleponnya ke toko; Katie tahu orang-orang disana tidak akan memanggilnya kecuali dalam keadaan darurat. Dia membeli sekotak rokok dan majalah, lalu mulai Berjalan Sendirian | 167 berjalan menuju ke pinggir kota dengan penuh harapan. Setelah berjalan selama satu jam lebih, akhirnya dia menemukan apa yang dia cari— sebuah hutan kecil dan teduh yang dilaiui sungai kecil dan dataran cerah bermandi sinar matahari di pinggir jalan yang sepi, tempat dia bisa duduk di atas pokok pohon yang tumbang sambil membaca dan merokok, lalu membiarkan keheningan dan kedamaian meresap masuk ke syaraf-syarafnya. Di kejauhan dilihatnya atap-atap rumah perbukitan yang tersembunyi di balik tajuk pohon-pohon rindang, tapi tidak ada satupun yang terlalu dekat dengan hutan itu yang akan membuatnya merasa diamati. Kendaraan lewatsatu-dua kali ke arah yang berlainan, dan tidak ada satupun orang yang memperhatikan di tempat perlindungan yang nyaman itu. Suasana saat itu sangat sunyi dan membuat Larsen terkantukkantuk. Dia terbangun dan merasa segar, dan hal pertama yang dilihatnya adalah matahari, lalu jam tangannya. Pukul 4:40; masih banyak waktu untuk mengejar bis yang akan membawanya kembali ke rumah. Dia berdiri dan meregangkan tubuhnya, berdebat dalam hati apakah dia akan berjalan kaki lebih jauh atau berbalik berlenggang perlahan-lahan menuju halte bis. Di jalan, dalam keheningan, didengarnya suara dedaunan kering bergemerisik. Dia melongok, dan melihat seorang gadis remaja berjalan menuju ke arahnya. Larsen mundur, menunggu sampai si gadis melewatinya; mungkin dia akan membuat si gadis takut jika tiba-tiba dia melihat ada seorang lelaki tua muncul dari dalam hutan. Sambil bersandar pada sebatang pohon, Larsen memperhatikan si gadis berjalan. Gadis itu cantik, dengan rambut kuning keemasan yang jatuh sampai ke kerah sweater merahnya. Dia mengenakan rok berwarna biru gelap, kaus kaki merah, dan sepatu kulit coklat, dan dia mengepit beberapa buku pelajaran di bawah lengannya. Dia bersenandung sambil jalan, suaranya jernih, tipis, dan kekanakkanakkan. Saat itu senja sudah agak larut baginya untuk pulang sekolah, tapi mungkin gadis itu baru selesai menghadiri rapat pelajar. Mungkin dia tinggal di salah satu rumah yang atapnya terlihat diantara pepohonan; mungkin ada jalan pintas menembus hutan menuju ke sana. Dia melewati Larsen dan Larsen menunggu sampai si gadis hilang dari pandangan di kelokan jalan. Lalu didengarnya suara mobil, berjalan perlahan dari belakang, ke arah yang sama dengan si gadis. 168 | Miriam Allen Deford Berjalan Sendirian | 169 Mobil dua pintu itu berwarna hitam dan reyot, dengan seorang lelaki di dalamnya. Larsen melihat sekilas ke lelaki di belakang kemudi—seorang lelaki berperawakan besar seusianya, dengan rambut hitam yang mengherankan untuk lelaki tua seusianya, tanpa topi. Mobil itu juga melewatinya, dan Larsen keluar dari persembunyiannya lalu melangkah menuju ke arah kota. Sayangnya, dia terlambat untuk melambai ke mobil reyot itu dan mungkin meminta tumpangan sampai ke halte bis. Jarak si gadis dengan mobil itu sekarang hanya kira-kira seratus kaki, hampir membelok di tikungan. Mobil itu hampir mencapai si gadis. Dan mendadak berhenti. Semuanya terjadi dengan sangat cepat dan Larsen tidak segera menyadari, akibat tidur siangnya tadi. Lelaki tua yang mengemudi melompat keluar, mengatakan sesuatu pada si gadis, dan si gadis menggelengkan kepala. Lelaki itu mencengkeram lengan si gadis dan menggiringnya masuk ke dalam mobil. Dia melawan dan berteriak; tetapi lelaki itu membekap mulutnya dengan satu tangan. Diseretnya si gadis, lalu dia menyusul masuk ke dalam mobil dan membanting pintu. Si gadis melompat— mungkin dia melihat Larsen saat itu, yang seakan lumpuh karena keterkejutannya— 170 I Miriam Allen Deford menggapai pintu mobil dan mencoba berteriak. Lelaki itu memukulnya dua kali, membuatnya roboh ke lantai mobil. Lalu dia segera menjalankan mobil dan melaju sekencang-kencangnya. Ketika Larsen, yang masih gemetar, lari menuju tikungan, mobil dan pengendaranya sudah hilang dari pandangan. Plat nomer mobil bahkan tidak diperhatikannya. Sepanjang jalan di daerah pinggiran menuju kota, Larsen merenungkan apa yang harus dia lakukan. Sudah menjadi tugasnya, dia tahu itu, untuk mencari polisi kota itu dan melaporkan kejadian yang tadi dilihatnya. Tapi itu membuatnya harus menjelaskan keberadaannya disana, memberi nama dan alamat, dan mengharuskannya datang ke kantor polisi sebagai saksi yang melihat kejahatan yang telah terjadi dan mengidentifikasi pelakunya. Lalu Sims akan tahu alasan ketidakhadirannya di tempat kerja adalah bohong belaka. Kate juga akan tahu. Sims mungkin akan memecatnya. Kate bahkan akan membuat hidupnya lebih buruk daripada di neraka. Dia bahkan tidak akan mendapatkan pekerjaan lain, walaupun nantinya pekerjaan itu sama payahnya dengan yang dia miliki sekarang, di usianya sekarang. Dia tidak punya tabungan, dan hutang mereka adalah setengah barang yang memenuhi rumah mereka sekarang. John Larsen membayangkan dengan jelas hal menakutkan apa yang bakal dihadapinya nanti bila dia berniat melaporkan kejadian itu. Dia tidak begitu mengerti situasinya. Lelaki itu mungkin ayahnya. Si gadis mungkin sedang keluyuran, sebagaimana yang sedang dilakukannya, atau mungkin dia telah melanggar beberapa aturan yang ditetapkan orangtuanya. Apa yang disaksikannya mungkin hanyalah hukuman berat tapi syah menurut hukum untuk kenakalan-kenakalan yang diperbuat anakanak. Lagipula, apa yang bisa dilakukannya? Dia bahkan tidak bisa mengidentifikasi lelaki itu— hanya melirik sekilas ketika mobil lelaki itu melewatinya, tidak akan bisa menunjuk orang yang tepat bila harus dihadapkan dengan berbagai macam lelaki setengah baya dengan rambut hitam tebal. Larsen hanya akan membuat dirinya berada dalam kekacauan tanpa bisa keluardari sana, dan semua sia-sia belaka. Dia sampai di kota dengan cepat, tanpa melihat atau mendengar mobil tadi sekilaspuh; lagipula mobil seperti itu ada dimana-mana dan salah satunya mungkin mobil si lelaki. Untuk menenangkan kesadarannya, dia mencari-cari polisi di sekitar daerah perkantoran itu, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka di sekitar. Tercekat dengan ketidaktentramannya, Larsen Berjalan Sendirian | 171 172 | Miriam Allen Deford ikut masuk ke dalam bis yang baru saja datang, dan menyadari nanti dia akan tiba di kota terlalu cepat, kemudian dia ikut sampai separuh jalan, dan menanti bis berikutnya. Dia sampai di rumahnya sendiri pada jam yang biasa, dan Kate belum mempersiapkan makan malam. Dia duduk dengan marah sambil membaca koran sore, sementara Kate mengeluh dan mengomelinya dari dapur. Mereka tidak pernah bertanya satu sama lain tentang apa yang mereka hadapi hari itu; tidak ada sesuatupun yang akan menarik minat salah satu dari mereka. Akhirnya Larsen bisa berpikir jernih keesokan harinya dan mengatakan pada Sims bahwa dokter yang ditemuinya berkata penyakitnya hanya encok biasa, dan istirahatnya seharian kemarin sudah cukup membuatnya merasa lebih baik. Saat dia melihat tatapan Sims, Larsen meringis dan mengusap-usap pinggang belakangnya seringsering. Larsen cukup beruntung hari ini karena berhasil menjual karpet tangga kuno yang panjang dan sudah berbulan-bulan lalu ingin mereka singkirkan. Sims menunjukkan kepuasannya dengan mengucapkan selamat malam dan berharap encok yang diderita Larsen cepat sembuh. Bagaimanapun Sims tidak lupa memotong gajinya karena membolos sehari penuh. Artinya, Larsen harus tetap Berjalan Sendirian | 173 bekerja pada jam makan siang minggu depan tiap hari; dia tidak ingin Kate sampai tahu gajinya berkurang. Saat Larsen berhenti untuk membeli koran, dua hari sesudahnya, ada gambar wajah seorang gadis terpasang di halaman depan. Apakah Anda pernah melihat gadis ini? begitu bunyi kepala beritanya. Larsen segera mengenali wajah itu. Pakaian yang digambarkan di koran sama seperti yang dikenakan si gadis di foto pada hari itu. Namanya Diane Morrison, putri kepala sekolah Belleville Consolidated Junior High School, tempatnya belajar di tahun pertama. Biasanya, ayahnya yang mengantar-jemput putrinya itu. Selasa kemarin Diane menunggu ayahnya sampai pukul setengah empat, laiu ayah mengatakan bahwa dia masih sibuk sampai sejam kemudian; lalu, sebagaimana yang sering terjadi, si ayah menganjurkan anaknya pulang dengan berjalan kaki dan bilang pada ibu bahwa ayah akan pulang terlambat. Ketika si ayah pulang pukul enam, anak gadisnya belum muncul. Dia adalah seorang anak yang bisa diandalkan, yang selalu menelepon ke rumah bila ingin mampir kemanapun. Orangtuanya telah menelusuri semua jalan pulang dari sekolah dan menghubungi semua kawan-kawannya. Tapi tidak ada seorangpun yang melihat Diane. Dan 174 I Miriam Allen Deford sejak saat itu Diane tidak terlihat lagi dimanapun. Karena ada kemungkinan terjadinya penculikan, FBI diminta menangani kasus tersebut. FBI, polisi negara bagian dan kepolisian distrik setempat menyisir hutan dan daerah perbukitan sekitar Belleville. Sejauh ini mereka sama sekali tidak menemukan jejak atau petunjuk keberadaannya. "Demi Tuhan," omel Kate, "Bisakah kau buka mulutmu selain untuk makan? Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutmu, kerjamu hanya melamun terus. Sementara aku disini, terkurung seharian, dan kau pulang dan berlagak seolah aku hanya salah satu perabot rumah atau semacamnya. Kau pikiraku ini—" Larsen membiarkan istrinya meracau. Dia mencoba memutuskan, haruskah dia melapor atau tidak? Apakah laporannya nanti akan membantu? Mereka mungkin akan mengenali lelaki itu bila dia menggambarkannya. Tapi nanti John Larsen berada dimana? Yang pasti dia akan menghadapi permasalahan hidup yang paling buruk. Ditatapnya Kate dan Larsen hampir saja mengatakan semuanya dan meminta nasihat istrinya. Tapi kemudian dia mempertimbangkan kembali, gentar mengingat bagaimana dia akan menghadapinya nanti. Dan dia bahkan tahu apa yang akan dinasihatkan istrinya nanti— menjauhlah dari masalah itu dan jangan membuat kita makin susah sebagaimana yang kau buat pada kehidupan kita. Biarkan polisipolisi itu melakukan tugas mereka—untuk itulah mereka dibayar. Sejak saat itu Larsen mulai rajin membeli koran terbitan pagi dan sore, memaksakan diri, disertai rasa takut yang menjalar dingin di perut, untuk mencari berita tentang kejadian itu. Seminggu berlalu sudah, dan dibawah tumpukan kerikil di sebuah pertambangan tua, mereka menemukan mayat si gadis. Tulang tengkoraknya retak di tiga tempat akibat pukulan benda berat serupa linggis. Tubuh itu penuh luka dan memar, dan si gadis itu juga disinyalir telah mengalami perundungan seksuai. Di tangan kanannya tergenggam selembar sapu tangan lelaki, bermotif kotakkotak warna merah dan putih. John Larsen terjaga sepanjang malam, sementara Katie tertidur lelap dengan nafas berat dan teratur di sebelahnya. Ketika dilihatnya jendela telah berubah warna menjadi abu-abu karena sinar matahari yang malumaiu, Larsen memutuskan untuk membiarkan masalah itu berialu beberapa lama. Dia ingat beberapa cerita kriminal yang pernah dibacanya. Mungkin ada serpihan kulit di bawah kuku si gadis dan lembaran-lembaran benang dan rambut di pakaian korban yang ditemukan Berjalan Sendirian | 175 176 | Miriam Allen Deford penyelidik forensik hanya dalam hitungan menit, dan mereka akan melacak mobil-mobil yang dicurigai dan mencari sidik jari disana. Di desa kecil seperti Belleville mereka akan menemukan lelaki berambut gelap itu dengan cepat, kecuali jika si lelaki adalah orang asing yang berasal dari tempat lain. Dan Larsen mungkin satu-satunya saksi mata yang menyaksikan penculikan itu. Kalau saja dia tidak berada disana—tetap saja mereka harus menyelidikinya sebagaimana yang telah mereka lakukan sampai detik ini. Dia membayangkan dirinya mencoba menjelaskan semuanya pada petugas FBI yang meragukan keterangan Larsen mengenai apa yang sedang dilakukannya di jalanan dekat Belleville sementara dia seharusnya bekerja di kota. Ketika Larsen mempertimbangkan kembali semuanya, gagasannya membolos kerja seharian sepertinya amat sangat mengherankan dan kekanak-kanakan. Tidak ada seorangpun yang akan mengerti; mereka pasti mengira dia bohong. Mereka pasti mengira dia hanya mengarang-ngarang cerita untuk melindungi dirinya sendiri. Mereka mungkin akan menuduhnya melakukan pembunuhan tingkat tiga. Saat terbaring di tempat tidur, Larsen sedang mempertimbangkan nasibnya. Dan hidupnya akan hancur. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah berpura-pura kejadian itu Berjalan Sendirian | 177 tidak pernah ada. Lagipula mereka akan segera menemukan si lelaki itu—mereka selalu bisa menemukannya. Dan ketika itu terjadi, Larsen akan merasa lega karena dia masih punya nyali untuk membiarkan semua itu berlalu. Dan, ketika tiga hari kemudian dia membaca kepala berita Tersangka Pembunuhan Morisson Tertangkap, Larsen merasa luar biasa lega dan membuat matanya berkacakaca. Sambil berdiri dalam bis, Larsen membaca berita itu dengan cermat. Yang ditangkap adalah asisten penjaga sekolah. Namanya Joseph Kennelly. Dari awal dia memang sudah dicurigai, begitu menurut berita yang dimuat. Tentu saja, dia kenal gadis itu sambil lalu. Joe tidak menikah, dan tinggal sendiri di sebuah gubuk dua kamar dekat pertambangan tempat mayat si gadis ditemukan. Dia juga memiliki catatan kejahatan— tidak termasuk kejahatan seksual, tapi dia sering sekali ditangkap akibat pelanggaran dan menyetir sambil mabuk. Joe juga menghabiskan sebagian besar masa remajanya di tempat penampungan anak-anak terbelakang. Teori yang diajukan polisi adalah; Joe melihat si gadis pulang terlambat saat dia sudah selesai bertugas. Tidak diragukan lagi, Joe sangat tertarik pada si gadis; sekarang ketika semuanya sudah terlambat, temanteman sekolah Diane sering melihat Joe 178 | Miriam Allen Deford melontarkan lelucon vulgar tentang rambut keemasan dan perawakan Diane yang sedang mekar. Joe adalah karyawan yang serampangan, dengan kelakuan yang sering menjengkelkan kepala sekolah dan sering kepergok minum ketika sedang bekerja. Mr. Morisson sudah mengancam akan memecatnya. Dan motif kejahatan itu jelaslah sudah—balas dendam dan nafsu. Saputangan itu memang miliknya—yang dibuktikan dengan tanda penatu. Lagipula, ada bekas luka dalam di rahang kirinya, kemungkinan sudah berumur satu atau dua minggu. Joe menyangkal semuanya dengan marah, tentu. Dia sudah pulang sambil mengendarai mobilnya seperti biasa, dan sama sekali tidak meninggalkan gubuknya sampai dia pergi bekerja keesokan harinya. Dia bahkan tidak pernah bertemu Diane—atau orang lain. Sebuah botol wiski yang hampir kosong ditemukan di lemari sapu, dan menurut Kennelly dia memang agak mabuk ketika dia pulang. Di rumah dia kembali minum, tertidur kira-kira pukul sepuluh malam, dan tidak bangunbangun lagi sampai fajar menjelang. Tidak ada orang yang melihatnya saat itu, di sekolah maupun di tempat lain, antara hari Selasa jam empat sore sampai Rabu pagi jam sembilan. Mengenai saputangannya, dia mengakui saputangan itu memang miliknya yang sudah lama hilang, berminggu-minggu sebelumnya, entah dimana. Pasti si pembunuh itu yang menemukannya. Bekas luka di pipi? Keesokan paginya setelah bermabuk-mabukan tangannya gemetar dan dia melukai dirinya sendiri saat sedang bercukur. Sejauh ini baik-baik saja: John Larsen membaca berita itu dengan penuh rasa syukur karena telah membiarkan semua berjalan apa adanya. Tapi kemudian hatinya melonjak bagai peluru meriam demi membaca berita selanjutnya. Joseph Kennelly berusia dua puluh enam tahun. Gambar yang tercetak di koran menunjukkan seorang lelaki muda tinggi dan kurus dengan rambut sedikit terang dan agak botak di sekitar pelipis. Dan mobilnya adalah sedan biru gelap. Larsen sampai di rumah, berjalan bagai robot dari halte bis. Dilemparnya koran dan topi ke kursi terdekat, pergi ke kamar mandi, dan mengunci diri disana: satu-satunya kamar tempat dia bisa merenung sendirian di rumah. "Kaukah itu, John?" panggil Kate; dan ketika dia melihat kemana suaminya itu pergi dia berjalan kembali ke dapur. Makan malam baru saja dimasak, seperti biasa; John sering heran, apa saja sih yang dilakukan istrinya sepanjang hari. Mungkin melekat di kursi tepat di depan Berjalan Sendirian | 179 180 I Miriam Allen Deford televisi, sebagaimana dulu dia melekat di kursi dekat radio. Sambil meringkuk di dudukan toilet, Larsen bergumul dengan kesadarannya. Tiada gunanya dia yakinkan diri sendiri bahwa apa yang diketahuinya bukan suatu hal yang penting. Dia telah melihat Diane Morisson diculik, melihat pelakunya, dan itu bukan Joseph Kennelly. Dia tidak bisa menelepon dari rumah—Kate akan berada di dekat lehernya, menguping. Dia harus mencoba mencari alasan untuk bisa menelepon dari luar. Dia bermain-main kembali dengan gagasannya untuk menceritakan semuanya pada Kate. Tidak, hal itu sama sekali tidak bisa diharapkan; dia kenal betui siapa Kate. Kenop pintu diputar-putar dari luar. "Ya ampun," ujarnya dari balik pintu, "kenapa kau kunci pintunya? Apa kau sakit atau apa?" "Aku baik-baik saja," sahut John bergumam, kemudian memutar kunci. "Aku tidak pernah melihat lelaki sepertimu! Tidak ada satu katapun keluar dari mulutmu saat kau pulang—mungkin kau tidak merasa punya istri. Aku hanya pembantu disini, yang memasak makanan dan merawatmu. Kau mengunci diri di sana, seakan-akan aku ini orang asing. Aku terkurung disini, bekerja keras seharian—" Berjalan Sendirian | 181 "Kau mau aku bicara apa? Aku lelah." "Kau pikir aku tidak?" "Sudah, kita tidak usah bertengkar lagi, Kate," ujar John lelah. Sebuah gagasan muncul di benaknya. "Kepalaku sakit sekali. Kalau makan malam belum siap, kurasa aku akan pergi ke apotik dan membeli obat." "Makan dulu," jawabnya, berusaha berdamai. "Kau akan merasa lebih baik sesudah makan." Dia berusaha keras mendapat jawaban bernada ramah dari John, dan itu terlihat jelas di wajahnya. "Aku baru saja membaca-baca berita yang ada di koran. Ya ampun, anak itu kasihan sekali ya? Aku senang mereka berhasil menangkap pelakunya. Orang-orang seperti itu harusnya diceburkan dan digoreng dalam minyak panas." "Bagaimana kau tahu kalau dia memang pelakunya?" Larsen tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Saat itu juga Kate menjadi panas. "Well, sekarang kau jadi lebih tahu dari para polisi itu ya, Tuan Pintar? Bila dia bukan pelakunya, mengapa mereka menangkapnya? Mereka tidak akan menangkapnya sampai mereka mendapatkan barang-barang milik korban padanya—dan semua orang juga tahu itu." "Mungkin juga," sahutnya lemah, dan Larsen segera mengatur meja makan sebelum Kate menyuruhnya. 182 | Miriam Allen Deford Kepalanya memang sakit, dan itu bukan hal yang aneh. Ucapan-ucapan Kate membuatnya berpikir kembali. Kate salah: mereka memang menangkap orang yang tidak bersalah. Dengan kesadaran itu, mereka tidak bisa menjatuhkan vonis padanya. Pikirannya terbang ke laboratorium polisi yang pernah dia baca di cerita misteri. Rambut dan serat yang ada di pakaian si gadis itu mungkin saja milik orang lain, seorang lelaki setengah baya yang tegap dengan rambut gelap dan tebal, siapapun dia. Tidak diragukan lagi, ada banyak temuan ilmiah lain yang tidak diketahui Larsen, dan temuan-temuan itu akan meringankan tuduhan terhadap Kennelly. Penjaga sekolah itu mungkin akan didakwa oleh juri yang agung berdasarkan apa yang mereka temukan—asal Larsen tidak muncul di pengadilan. Mereka sungguh-sungguh yakin bahwa mereka akhirnya menangkap pelakunya. Dan bila John Larsen tidak menjulurkan leher kemana-mana, maka kehancuran yang tidak pernah usai tidak akan dialaminya. Dia tidak keluar rumah untuk menelepon. Para juri akhirnya memang mendakwa Kennelly, dan dia ditahan tanpa uang jaminan di penjara setempat. Larsen sering sekali memikirkan Kennelly, meskipun pengaruh jahat kejadian itu telah terasa samar dalam dirinya, sedikit demi sedikit. Benar-benar nasib buruk untuk Kennelly, dipenjara selama itu untuk sesuatu yang tidak dilakukannya. Tapi dilihat dari sudut manapun, lelaki itu memang tidak berguna, dan bila dia ditakut-takuti dengan baik, mungkin dia akan menjadi lurus. Saat ini mungkin mereka sadar mereka tidak punya bukti yang cukup untuk membawa Kennelly ke meja hijau, atau akan muncul sesuatu yang akan menunjukkan pada mereka siapa pelaku kejahatan itu sebenarnya—meskipun Larsen sadar mereka tidak akan mencari tertuduh lain dengan sekuat tenaga ketika mereka pikir mereka telah mendapatkan tertuduh yang sebenarnya. Kennelly dibela seorang pengacara yang hebat—dari seorang paman kaya yang muncul entah dari mana dan membayarsemua keperluannya. Lawrence Prather, nama si pengacara. Dia membela beberapa kasus pembunuhan di beberapa daerah dan hampirselalu meloloskan kliennya dari dakwaan. Kennelly yakin dirinya akan dibebaskan, jika dia diadili. Tanggal pengadilan ditetapkan. Larsen menenangkan dirinya sendiri, jika nanti ada sedikit saja keraguan tentang pembebasannya maka dia akan mengorbankan diri dan menemui Prather dengan ceritanya. Tapi tidak ada keraguan sedikitpun saat pengadilan berlangsung. Larsen mendengar orang-orang membicarakan kasus itu di toko, juga di bis; Berjalan Sendirian | 183 184 | Miriam Allen Deford semua orang sangat tertarik mengikuti berita itu. Semua orang mengira Kennelly akan bebas, bukan berarti mereka menganggap Kennelly tidak bersalah. Beberapa orang memandang sinis pada peradilan: mereka menganggap orang tidak bisa didakwa hanya karena bukti atau tuduhan semata. Kadangkala, dengan gemetar, John Larsen membayangkan dirinya sedang diwawancara pengacara pembela. Keberadaannya tidak berguna, meskipun dia datang ke pengacara itu, jika Larsen tidak mau menjadi saksi mata. Dan dia bisa mendengar suara jaksa penuntut yang mengadakan pemeriksaan silang terhadapnya di pengadilan. "Ceritakan bagaimana Anda sampai berada di tempat yang tidak wajar dan di waktu yang juga tidak wajar itu, Mr. Larsen?" Tidak akan ada seorangpun yang membelanya: hanya ada kata-katanya yang bertentangan dengan ucapan semua orang. Jaksa penuntut mungkin akan membuat dirinya menjadi salah satu kaki-tangan Kennelly, atau menuduhnya menerima suap demi umpan ini: bahwa Larsen mengarang semua hal yang dikatakannya. Mereka bahkan akan mencurigai, atau berpura-pura curiga, tentang ceritanya yang tidak melindungi Kennelly tetapi melindungi dirinya sendiri. Orang-orang yang Berjalan Sendirian | 185 ada di tempat makan siang akan mengenali wajahnya; dia ada Belleville sore itu. Namanya akan segera dibersihkan, memang, tetapi dengan begitu banyak perhatian yang tertuju padanya saat itu, orang akan memandangnya dengan tatapan lain saat dia keluar dari sana. Larsen menjauh dari kantor Prather. Pengadilan Kennelly dimulai bulan Oktober. Larsen benar-benar tidak bisa pergi; dia harus bekerja. Tetapi dia mengikuti berita tersebut dari koran-koran, kata demi kata. Dia tidak bisa mengalihkan pikirannya ke hal lain. Sims memergokinya membicarakan kasus itu pada salah satu pelanggan, dan marah karenanya. "Kita ingin orang-orang bicara tentang karpet disini, bukan pembunuhan," ujarnya. "Jika kau tidak bisa bekerja dengan benar, Larsen—" Larsen segera minta maaf dan lebih berhati-hati. Dia terpana dan takut akan antusiasme masyarakat. Perlu waktu hampir seminggu hanya untuk mendapatkan juri. Kennelly disoraki dan diteriaki saat dibawa ke dan dari ruang sidang. Pembunuh dan penyiksaan seksual terhadap seorang gadis kecil adalah kejahatan terburuk yang bisa dibayangkan, dan masyarakat ingin ada orang yang diganjar untuk kejahatan ini. Larsen menggigil saat berpikir untuk memberanikan diri mencabut mangsa dari mulut mereka. Menyatakan bahwa dia percaya Joseph Kennelly mungkin tidak bersalah hanya akan membuatnya tidak aman. Saat pengadilan berlangsung, Larsen mulai mengalami mimpi buruk. Dia tidak nafsu makan dan bobotnya terus turun. Kate bahkan menyadari keadaannya dan terus saja merongrong suaminya dengan berbagai macam pertanyaan. Sebagaimana orang-orang di sekitarnya, Kate juga rajin mengikuti berita tentang kasus tersebut di koran-koran, dan tiap malam dia sangat ingin membicarakannya. Dia tahu Kennelly memang bersalah, dan kursi listrik terlalu bagus untuknya. Dan jika dia sampai bebas, dia hams dirajam sampai mati. "Diam!" teriak suaminya. "Sepertinya kau prihatin padanya ya?" sahutnya. "Mungkin kau berharap untuk dapat melakukan sesuatu seperti yang dilakukannya dan pergi begitu saja!" Larsen masuk ke kamar mandi demi menghindari istrinya yang selalu menuntut jawaban. Selama pengadilan berlangsung, dia menunggu sia-sia akan adanya rambut atau serat kain yang akan disebut-sebut sebagai bukti: kelihatannya tidak ada apapun yang ditemukan, atau mungkin keberadaannya diacuhkan karena bukti-bukti tersebut tidak menunjukkan bahwa Kennelly memang tidak bersalah. Tidak 186 | Miriam Allen Deford Berjaian Sendirian | 187 ada seorangpun yang menyebut-nyebut adanya noda darah atau sidik jari dalam mobil—mungkin dengan alasan yang sama. Seorang saksi ahli mengatakan ada serpihan kerikil yang ditemukan dalam sepatu terdakwa yang memang berasal dari pertambangan itu, tapi Kennelly sering mengunjungi tempat itu karena dekat dengan gubuknya. Dan tidak ada saksi mata yang membuktikan alibi Kennelly, atau menyangkalnya. Teman-teman sekolah Diane hanya bisa menyatakan kebiasaan Kennelly secara samar. Larsen merasa bebannya mulai berkurang. Tapi pembelaan itu ternyata lebih dari sekedarformalitas. Hanya Kennelly sendirilah saksinya, dan dia adalah saksi yang buruk, bahkan bagi dirinya sendiri—dia mengaku mabuk di saat-saat yang menentukan. Pengacaranya tidak berusaha untuk menyatakan ketidakwarasan Kennelly sebagaimana yang diharapkan Larsen. Prather menyampaikan pidato penutup yang kuat, merujuk pada kurangnya bukti dan menyatakan tidak adanya kesaksian apapun yang bisa sungguh-sungguh menjerat kliennya dan mendakwanya bersalah. Tetapi Jaksa Penuntut Holcombe memaparkan semua hal yang menyangkut si penjaga sekolah—mencela, mengungkap catatan kejahatannya yang panjang, dan 188 | Miriam Allen Deford memanggilnya "mahluk berbentuk manusia, dengan sifat kebinatangan yang kejam jahat". Yang paling celaka dari semua itu adalah saputangan. "Aku sama sekali tidak percaya dengan kebetulan-kebetulan seperti itu," ujar Holocombe sarkastis. "Kuberitahu apa saja yang aku percaya—aku percaya si gadis malang itu menarik keluar saputangan itu dari saku Kennelly sendiri saat dia berusaha untuk melawan dan berjuang demi keselamatan dan kehormatannya. Dan aku percaya gadis malang itu melukai wajah Kennelly dalam perjuangannya yang tanpa daya, hanya untuk melarikan diri dari monster yang menyerangnya." Orang-orang yang menonton di ruang sidang bertepuk tangan, dan mereka tidak berhenti sampai Hakim mengancam untuk mengusir mereka. Di depan juri, Hakim Stith berusaha netral, tapi para juri sendiri bisa menilai di pihak siapa Hakim itu berdiri. Mereka juga berpihak pada orang yang sama; masih jelas dalam ingatan mereka foto-foto si malang Diane kecil yang sudah jadi mayat. Beberapa orang diantara juri tersebut juga memiliki putri. Harus ada seseorang yang dihukum untuk kejahatan brutal ini. Akhirnya mereka memutuskan terdakwa bersalah atas kedua tuduhan: penculikan dan pembunuhan. Pemungutan suara hanya diBerjalan Sendirian | 189 adakan tiga kali—begitu menurut pegawai pengadilan pada wartawan setelah sidang selesai—untuk mengembalikan akal sehat beberapa juri yang sentimentil dan konyol yang menyatakan keraguan beralasan. Tetapi Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, pikir Larsen panik. Dia tidak bisa berbuat begitu, hanya dengan kesaksian tidak langsung. Paling berat, orang itu hanya akan diberi hukuman seumur hidup, dan itu artinya dia akan bebas bersyarat suatu hari nanti. Hal itu tidak akan begitu menyakitkan bagi kennelly, juga tidak akan membuatnya menjadi lebih baik. Hakim memutuskan untuk menghukum Kennelly di kursi listrik. Dia juga punya seorang putri di rumah. Tapi 'kan selalu ada permohonan naik banding, pikir Larsen putus asa. Dan permohonan itu akan dikabulkan. Kennelly akan bersidang lagi, dan nanti kebenaran akan muncul ke permukaan. "Demi Tuhan, berhentilah mondar-mandir begitu!" ujar Kate dengan nada marah untuk kesekian kalinya sore itu. "Ada apa denganmu akhir-akhir ini? Dan kau terlalu banyak merokok, John. Aku tidak suka itu—kau menghabiskan terlalu banyak uang untuk rokok!" Permohonan naik banding ditolak. Jaksa penuntut menyatakan kegembiraannya pada wartawan. "Kematian terlalu bagus bagi manusia ular seperti Kennelly," ujarnya. Prather tidak membawa persidangan itu ke Pengadilan Negara Tertinggi. "Tidak ada alasan,"jelasnya. Tapi masih ada alasan-alasan lain. Dan Larsen akan menyediakannya. Dua kali Larsen mencoba menghubungi nomertelepon Prather. Tapi kemudian dia sadar apa yang akan setelah itu. Lalu dia meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya. Tunggu dan lihat sajalah, ujarnya pada diri sendiri. Halhal seperti ini akan makan waktu bertahuntahun, itu berarti tahun demi tahun penangguhan hukuman. "Dan mengapa Anda menunda-nunda terlalu lama untuk memberi informasi ini, Mr. Larsen?" tanya pengacara pembela di dalam kepala Larsen sendiri. Tidak ada guna mengorbankan diri demi mendapatkan pengampunan bagi Kennelly, memohon mereka untuk mengikuti beberapa petunjuk tanpa keterlibatan John Larsen sama sekali. Tanpa kesaksiannya, semua bukti-bukti baru sama sekali tidak berarti. Lagipula, sekarang ini semuanya sudah tidak ada artinya lagi. Ketika pertama kali Kennelly ditahan—atau sebelumnya—mungkin apa yang diketahui Larsen akan sangat berguna. Sekarang dia 190 | Miriam Allen Deford hanya akan melibatkan diri dalam peluang tipis untuk menyelamatkan Kennelly, begitu Larsen berkata, terus dan terus, pada diri sendiri. Kalau saja ada seseorang—seorang saja di dunia ini—untuk bisa diceritakan tentang peristiwa itu, yang akan memberinya nasihat, melindunginya, dan membuat segalanya berakhir dengan baik! Kennelly berada dalam tahanan khusus bagi terhukum mati di penjara negara bagian. Tanggal eksekusinya sudah ditetapkan tiga bulan lagi. Dua bulan berlalu. Akhirnya hanya tinggal sebulan. Prather membawa paman Kennelly, satusatunya keluarga yang dimiliki lelaki itu, menghadap gubernur. Sementara Gubemur sedang berkampanye kembali mencalonkan diri bulan November nanti. Dan dia tidak ingin ada penangguhan hukuman seorang lelaki yang didakwa atas pembunuhan seksual seorang gadis kecil. Waktu berlalu. Eksekusi itu berlangsung seminggu lagi. Kemudian dua hari lagi. Bobot John Larsen berkurang dua puluh kilogram. Dia takut tidur; karena dia pernah berteriak dalam tidurnya dan membangunkan Kate. Dia bahkan tidak pernah memperhatikan omelan istrinya lagi. Berjalan Sendirian | 191 "Kalau kau sakit, pergilah ke dokter." "Aku tidak sakit." "Kau pikir aku bodoh? Kau menyimpan sesuatu, John. Apa yang telah kau lakukan, John?" Kate mencoba beberapa kemungkinan. "John, beritahu aku!" Tiba-tiba istrinya menangis terisak-isak. "Aku tahu ada apa ini sebenarnya, dan aku tidak akan bertahan menghadapinya. Kau berhubungan dengan perempuan lain! Bila selama dua puluh tujuh tahun pernikahan ini kau pikir aku akan membiarkanmu—" Larsen tertawa. Dan tawa yang keluar bukanlah suara yang enak didengar. Beberapa rencana gila memenuhi benaknya. Dia akan pergi ke Belleville, dia akan berburu sampai dia menemukan lelaki berambut gelap itu dan akan memaksa pembunuh itu mengaku. Semuanya hanya omong kosong. Penangguhan pada menit-menit terakhir ditiadakan. Dalam hati Larsen juga berharap hal itu tidak ada. Kennelly menduduki kursi tepat sesuai jadwal, berteriak-teriak dirinya tidak bersalah dengan sisa nafas yang masih dia miliki. Membaca cerita menyedihkan itu seluruhnya dari koran, akhimya John Larsen berhadapan dengan kebenaran yang sesungguhnya. 192 | Miriam Allen Deford Mungkin dia tidak bisa mencegah terjadinya pembunuhan terhadap gadis itu— meskipun dia mungkin bisa melakukannya jika dia bertindak cepat saat itu juga. Tapi apa yang dilakukannya sudah cukup. Dia telah mengakhiri hidup seorang lelaki yang tidak bersalah, hanya demi mempertahankan pekerjaan yang menjijikkan dan istri yang dia benci. Dia, John Larsen, telah membunuh seorang lelaki yang tidak dikenalnya, sebagaimana lelaki tak dikenal itu membunuh Diane Morisson. Dia adalah pembunuh, dan pembunuh harus mati. Tapi dia tidak punya cukup keberanian untuk menyelamatkan Kennelly, dan dia juga tidak punya nyali sedikitpun untuk mati. Yang dapat dilakukannya hanya bertahan, sampai batas kemampuannya. Melihat raut wajah suaminya petang itu, omelan Kate tertahan sampai di bibir. John memunguti makan malam di piringnya dalam kebisuan. Setelah itu dia segera tidur. Dalam tidur panjangnya yang tanpa mimpi, Larsen bagai binatang yang letih. Keesokan paginya Larsen sedang menunjukkan sebuah karpet pada seorang pelanggan. Tiba-tiba dia menjatuhkan karpet itu dan berdiri dengan tegang. Dan dia berteriak-teriak: "Aku melakukannya! Aku melakukannya!" Berjalan Sendirian | 193 Perlu dua orang lelaki untuk menenangkannya sampai ambulan datang... Dan di dekat Belleville, seorang lelaki dengan rambut hitam kelam, 'tokoh' yang tidak berbahaya yang dikenal setiap orang tapi tidak diperhatikan siapapun, menyusuri jalan sepi di desa itu dengan mobil tuanya yang berwarna hitam, dan matanya mencari-cari seorang gadis cantik yang sedang berjalan sendirian.[] 194 | Miriam Allen Deford "Berapa usiamu?" tanyaku! Matanya mengarah ke pistol yang sedang kupegang. "Begini, Mister, uang dalam mesin kasir ini memang tidak terlalu banyak, tapi ambillah semuanya. Aku tidak akan menyusahkanmu." "Aku tidak tertarik dengan uang kotormu itu. Berapa usiamu?" Dia terkejut. "Empat puluh dua." Aku mendecakkah lidah. "Sayang sekali. Setidaknya—menurutmu. Kau mungkin bisa hidup dua sampai tiga puluh tahun lagi kalau saja kau bisa sedikit bersusah payah untuk berlaku sopan." Dia tidak mengerti. "Aku akan membunuhmu," kataku, "untuk sebuah perangko seharga empat sen dan sekantung permen cherry." Dia tidak mengerti sedikitpun tentang permen cherry, tapi dia tau apa yang kumaksud dengan perangko. HUKUMAN UNTUK ORANG-ORANG KASAR Jack Ritchie eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com 196 | Jack Ritchie Kepanikan mulai menjalar di wajahnya. "Kau pasti gila. Kau tidak bisa membunuhku hanya karena itu." "Tapi buktinya aku bisa." Dan memang kulakukan. Ketika dokter Biller mengatakan bahwa aku hanya punya sisa waktu empat bulan sebelum mati, tentu saja aku merasa gelisah. "Apakah Anda yakin hasil X-ray saya tidak tertukar dengan orang lain? Saya pernah mendengar ada peristiwa semacam itu." "Sayangnya tidak, Mr. Turner." Aku menyatakan apa yang ada di benakku dengan lebih bersungguh-sungguh. "Laporan laboratorium itu. Mungkin secara tidak sengaja petugasnya menempelkan nama saya pada kertas yang salah..." Perlahan dia menggelengkan kepalanya. "Saya sudah memeriksanya dua kali. Saya selalu melakukannya dalam kasus-kasus seperti ini. Keamanan praktek medis, seperti biasa." Saat itu sore hampir beranjak petang, dan sudah waktunya matahari lelah. Aku sedikit berharap ketika sudah saatnya jiwaku beranjak dari raga, maka saat itu adalah pagi hari. Agak lebih cerah kelihatannya. "Dalam kasus-kasus seperti ini," lanjut dokter Biller, "seorang dokter menghadapi sebuah dilema besar. Haruskah dia mengatakan yang sesungguhnya pada si pasien? Saya selalu berterus terang pada semua pasien saya. Itu akan memudahkan mereka mengurus semuanya dan mencoba-coba alternatif penyembuhan lainnya." Dia menarik sebuah buku catatan. "Saya juga sedang menulis sebuah buku. Apa yang akan Anda lakukan dengan sisa waktu yang Anda miliki?" "Saya sungguh-sungguh tidak tahu. Saya baru saja memikirkannya satu-dua menit yang lalu." "Tentu saja," jawab Briller. "Tidak usah buruburu. Tapi ketika Anda sudah memutuskannya, Anda akan memberitahukannya pada saya, bukan? Buku saya berisi tentang hal-hal yang akan dilakukan orang-orang dengan sisa waktu mereka saat mereka sadar usia mereka hanya sebentar lagi." Buku catatannya disingkirkan. "Datanglah tiap dua atau tiga minggu sekali. Dengan cara itu kita akan lihat bagaimana perkembangan kemunduran kesehatan Anda." Briller mengiringiku ke pintu. "Saya sudah menulis sekitar dua puluh dua kasus seperti Anda." Matanya menerawang ke masa depan. "Anda tahu, ini bisa jadi buku laris." Hidupku selalu saja membosankan. Bukannya tidak bermakna, cuma membosankan. Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 197 198 | Jack Ritchie Aku merasa tidak menyumbangkan apapun di dunia ini—dan aku memiliki banyak kesamaan yang terdapat pada hampir setiap orang—tetapi di sisi lain aku juga tidak mengambil apapun. Singkatnya, aku hanya minta untuk tidak diganggu. Hidup ini sudah cukup susah tanpa harus bersosialisasi dengan masyarakat yang tidak pernah ada habisnya. Apa yang dapat dilakukan seseorang dengan sisa waktu hidup empat bulan yang membosankan? Aku tidak tahu sudah seberapa jauh aku berjalan dan berpikirtentang hal itu, sampai aku tiba di sebuah jembatan panjang yang melengkung turun ke sebuah lapangan di pinggir danau. Suara musik mekanis meruyak masuk ke dalam benakku dan aku melihat ke bawah. Sirkus, atau mungkin pasar malam, adalah apa yang kulihat. Disana adalah dunia keajaiban yang lusuh, tempat benda-benda berkilat dianggap emas, tempat pemimpin pertunjukan dengan topi tinggi dianggap seorang pria sejati, sama sejatinya dengan medali yang tersemat di dadanya. Tempat para wanita yang terbalut gaun merah muda di atas punggung-punggung kuda berwajah tegang dengan mata memicing. Disanalah tempat para penjual-penjual bersuara kasar, dengan kembalian yang sering kurang. Aku selalu merasa kematian sebuah sirkus besar mungkin dianggap sebagai salah satu kemajuan budaya pada abad ke duapuluh, tetapi aku terus saja berjalan menuruni jembatan itu dan dalam beberapa menit aku sudah berada di tengah jajaran kios-kios dimana mutasi manusia dieksploitasi dan dipamerkan sebagai hiburan anak-anak. Tanpa sadar aku sampai ke sebuah kubah besar dan memandang pemeriksa tiket yang bosan dalam kotaknya di sebelah pintu masuk utama yang beberapa tangga lebih tinggi. Seorang bapak dengan wajah menyenangkan menggiring dua gadis kecil mendekati sebuah pos dan mengangsurkan beberapa kartu segiempat yang kelihatannya seperti tiket. Si pemeriksa tiket menelusuri daftar di hadapannya dengan jari. Matanya menegang dan dia membentak si bapak dan anak-anak kecil itu beberapa saat. Kemudian pelan-pelan dan dengan sengaja dia merobek-robek kartu itu menjadi sobekan-sobekan kecil dan menjatuhkannya ke lantai. "Ini sudah tidak bisa dipakai lagi," katanya. Wajah si bapak memerah. "Saya tidak mengerti." "Kau tidak menjaga poster sirkus tetap di tempatnya," bentak si pemeriksa tiket. "Pergi sana, sampah!" Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 199 Anak-anak itu menengadah memandang ayah mereka, keheranan membayang di wajah mereka. Apa yang akan dilakukan Ayah? Bapak itu hanya berdiri dengan wajah pucat menahan amarah. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian dia menatap kedua gadis kecilnya. Matanya mengatup sebentar, mengendalikan amarahnya. Kemudian dia berkata, "Mari, Nak. Kita pulang." Dia kembali menggiring dua gadis kecil itu pergi, terus ke jalan, dan kedua bocah itu menoleh ke belakang, heran, tapi mereka tidak mengatakan apapun. Aku mendekati si pemeriksa tiket. "Mengapa kau lakukan itu?" Dia memandangku dari tempatnya yang agak tinggi. "Apa urusannya denganmu?" "Banyak, mungkin." Dengan marah dia meneliti wajahku. "Karena dia tidak menjaga poster yang kami tempelkan itu di tempatnya." "Aku sudah mendengarnya tadi. Jelaskan padaku." Dia menarik nafas seakan-akan dia harus bayar hanya untuk menjelaskan hal itu. "Anak buah kami menyusuri kota dua minggu lebih duiu. Mereka menempelkan poster berisi iklan pertunjukan ini dimanapun sebisa mereka— toko kelontong, toko sepatu, toko daging— tempat manapun yang mau memajang poster- 200 | Jack Ritchie poster itu di jendela dan menjaganya tetap melekat disana sampai sirkus ini datang kemari. Anak buah kami akan memberikan dua atau tiga tiket gratis sebagai ganti penempelan poster. Tetapi beberapa pelawak ini tidak tahu kalau kami memeriksa poster-poster tersebut. Bila poster itu sudah tidak ada di tempatnya saat sirkus datang ke kota maka tiket-tiket yang kami berikan sudah tidak berlaku lagi." "Begitu," ujarnya kering. "Jadi kau merobek tiket-tiket itu di hadapan mereka dan anak-anak mereka. Memang terbukti orang itu menurunkan poster dari jendela toko mungilnya terlalu cepat. Atau mungkin orang-orang yang menurunkan poster itu dari jendela mereka memberikan tiket itu padanya." "Apa bedanya? Tiket-tiket itu tetap tidak berlaku." "Mungkin menurutmu tidak ada bedanya. Tapi sadarkah apa yang telah kau lakukan?" Matanya menyipit, mencoba mengira-ngira kemampuan dan kekuatanku. "Kau telah melakukan salah satu kejahatan terbesar dalam bersikap terhadap sesama manusia," ujarku datar. "Kau mempermalukan seorang ayah dihadapan anak-anaknya. Kau telah menorehkan luka dalam diri anakanaknya dan luka itu akan tetap tinggal seumur hidup mereka. Dia akan pulang bersama anakanaknya, dan perjalanan itu akan sangat Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 201 panjang sekali. Dan apa yang dapat dia katakan pada mereka?" "Apakah kau polisi?" "Aku bukan polisi. Anak-anak seusia mereka menganggap ayah adalah orang terbaik di seluruh dunia. Paling berani, paling baik. Dan sekarang mereka akan selalu ingat ada seorang lelaki yang jahat pada ayah—dan si ayah tidak melakukan apapun terhadapnya." "Aku memang sudah merobek tiketnya. Kenapa dia tidak membeli tiket saja? Apa kau penyelidik kota?" "Aku juga bukan penyelidik kota. Apa kau berharap dia membeli tiket setelah kejadian yang memalukan itu? Kau membuat bapak itu tidak bisa mengambil jalan lain. Dia tidak bisa membeli tiket dan tidak bisa menciptakan skenario untuk memperbaiki keadaan tersebut karena anak-anak ada bersamanya. Dia tidak bisa melakukan apapun. Sama sekali tidak bisa, kecuali kembali pulang bersama anakanak yang ingin melihat sirkusmu yang menyedihkan itu." Aku melihat ke lantai pos jaganya. Ada banyak serpihan-serpihan mimpi yang terbuang disana—reruntuhan dari ayah-ayah yang lain yang melakukan kejahatan terbesar karena tidak menjaga poster-poster itu tetap menempel di tempatnya. "Setidaknya kau bisa berkata, 'Maaf, Pak, tiket-tiket ini tidak berlaku 202 | Jack Ritchie lagi.' Kemudian kau bisa menjelaskan kepada mereka dengan baik-baik dan sopan." "Aku tidak dibayar untuk sopan." Dia menunjukkan gigi-giginya yang kuning. "Lagipula, Mister, aku suka merobek-robek kertas. Itu membuatku merasa berkuasa." Dan begitulah. Orang kecil yang diberi sedikitkekuasaan dan menggunakannya bagai Caesar. Dia setengah berdiri. "Sekarang keluarlah dari sini, Mister, sebelum aku datang dan mengejar-ngejarmu ke seluruh taman bermain ini." Ya. Dia memang orang yang kejam, seekor binatang dua dimensi yang lahir tanpa kepekaan dan perasaan, yang ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang mencelakakan orang lain seumur hidupnya. Dia adalah mahluk yang hams dimusnahkan dari muka bumi ini. Andaikan aku punya kekuatan untuk... Aku menatap wajah orang yang sedang merengut itu dan sesaat kemudian berbalik dan pergi. Di atas jembatan aku naik bis menuju toko olahraga di Thirty-seventh Street. Aku membeli pistol kaliber .32 dan sekotak peluru. Mengapa kita tidak membunuh? Apakah karena kita tidak merasakan pembenaran moral dalam melakukan hal final seperti itu? Atau apakah kita cenderung takut pada konsekwensi Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 203 yang menimpa jika kita tertangkap—harga yang harus dibayar oleh kita sebagai pelaku, oleh istri, oleh anak-anak kita? Kita telah memperlakukan orang-orang yang bersalah dengan sikap lunak, dan kita harus bertahan dengan keberadaan mereka karena untuk menghilangkan mereka dari muka bumi ini akan membuat kita mengalami penderitaan akan kesakitan dan kepedihan yang lebih parah. Tapi aku tidak punya keluarga dan sahabat. Dan hidupku tinggal empat bulan lagi. Matahari telah tenggelam dan lampu-lampu di pasar malam bersinar terang saat aku turun dari bis di jembatan yang tadi. Aku melongok ke jajaran panggung dan melihat lelaki itu masih berada disana. Bagaimana aku melakukannya? Aku bertanya- tanya dalam hati. Apa aku langsung saja berjalan kesana dan menembaknya di atas singgasana yang mungil itu? Masalah itu terpecahkan begitu saja. Aku melihatnya digantikan oleh pemeriksa tiket lainnya—dan itu jelas-jelas membuatnya lega. Dia menyalakan rokok dan dengan santai berjalan keluar dari jajaran panggung menuju tepi danau yang gelap. Kususul dia saat akan membelok di tikungan yang tertutup semak-semak. Tempat 204 | Jack Ritchie itu sepi, tapi cukup dekat dengan pasar malam dan suara riuh masih terdengar dari sana. Dia mendengar langkah kakiku yang sedang rnendekat dan menoleh. Seulas senyum licik tersungging di bibirnya dan dia mengusap buku-buku jarinya. "Kau yang minta, Pak." Matanya membelalak saat dia melihat pistol yang kupegang. "Berapa usiamu?" tanyaku. "Begini, Pak, aku hanya punya beberapa lembar sepuluh dolar di saku," jawabnya panik. "Berapa usiamu?" aku kembali bertanya. Matanya berkilat-kilat gugup. "Tiga puluh dua." Dengan raut wajah sedih aku menggelenggelengkan kepala. "Kau bisa hidup sampai usia tujuh puluh tahun. Mungkin kau masih punya waktu sampai empat puluh tahun lagi, kalau kau mau sedikit bersusah payah bersikap selayaknya manusia." Wajahnya memucat. "Apa kau sudah gila atau semacamnya?" "Mungkin." Dan pelatuknya kutarik. Suara tembakan itu tidak sekeras yang kubayangkan, atau mungkin bunyinya tertelan oleh hiruk-pikuk riuhnya pasar malam. Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 205 Dia terhuyung-huyung sedikit dan jatuh ke pembatas jalan setapak. Dari penampilannya, dia memang sudah mati. Aku duduk di bangku taman terdekat dan menunggu. Lima menit. Sepuluh. Apa tidak ada orang yang mendengar suara tembakan tadi? Tiba-tiba aku merasa lapar sekali. Aku belum makan apapun sejak tadi siang. Bayangan tentang kantor polisi dan pertanyaan- pertanyaan panjang yang harus kujawab membuatku tidak tahan lagi. Lagipula, kepalaku sangat sakit. Aku merobek selembar kertas dari buku catatanku dan menulis: Kata-kata ceroboh masih dapat dimaafkan. Tetapi kehidupan yang dipenuhi sikap kasar dan kejam tidak dapat dimaafkan. Orang ini pantas mati. Aku baru akan menuliskan namaku, tapi akhirnya kuputuskan, mungkin inisialku sudah cukup untuk saat ini. Aku tidak mau ditangkap sebelum makan kenyang dan minum aspirin. Kertas itu kulipat dan kumasukkan ke saku kemeja lelaki yang sudah mati itu. Tidak ada seorangpun yang kutemui saat aku menelusuri jalan setapak yang menanjak kejembatan. Aku berjalan menuju Weschler's, yang mungkin merupakan restoran terbaik di seluruh kota. Harganya, dalam keadaan 206 | Jack Ritchie normal, diluar jangkauanku, tapi kupikir inilah saatnya memanjakan diriku sendiri. Setelah makan, kuputuskan untuk pesiar petang dengan bis sebagai kegiatan selanjutnya. Aku lebih menyukai tamasya seperti ini, lagipula sebentar lagi kemerdekaanku untuk bisa bergerak bebas akan sangat terbatas. Supir bis yang kukendarai adalah lelaki yang tidak sabaran dan dia memperlakukan para penumpang bagai musuh. Tetapi malam itu indah dan bis yang kutumpangi juga sepi. Di Sixty-eighth Street, seorang perempuan berambut putih dengan raut wajah halus menunggu di halte. Si supir menghentikan kendaraannya sambil menggerutu dan membuka pintu. Nenek itu tersenyum dan mengangguk pada setiap penumpang ketika dia menjejakkan kaki ke tangga bis, dan orang yang melihatnya bisa langsung tahu kehidupannya yang penuh kebahagiaan nan lembut dan sedikit perjalanan naik bis. "Welir bentak si supir. "Apa naik ke dalam bis saja perlu waktu seharian?" Wajah si nenek memerah dan dia gugup. "Maaf." Tangannya menyodorkan selembar uang lima dolar ke si supir. Dia murka. "Apa kau tidak punya uang receh?" Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 207 Warna di wajahnya semakin memerah. "Kukira tidak. Tapi coba kulihat dulu." Supir itu tidak terburu-buru untuk mengejar jadwalnya dan dia menunggu. Dan yang terlihat jelas di wajahnya adalah: dia sangat menikmati keadaan ini. Si nenek menemukan pecahan seperempat dollar dan mengangsurkannya dengan tangan gemetar. "Masukkan dalam kotak!" bentak si supir lagi. Dan uang pecahan itu dijatuhkannya ke dalam kotak. Si supir kembali menjalankan kendaraannya dengan gerakan mendadak. Untung tangan si nenek berhasil meraih tali pegangan tepat pada waktunya. Matanya mencari-cari mata penumpang yang lain, seolah minta maaf—karena tidak bergerak lebih cepat, karena tidak menyediakan uang receh, dan karena hampir jatuh saat bis bergerak. Senyum itu gemetar, kemudian dia duduk. Di Eighty-second Street, dia membunyikan bel tanda berhenti, bangkit dari kursi, dan berjalan ke depan. Supir itu menoleh ke belakang dan kembali membentak-bentak si nenek sambil menghentikan kendaraannya. "Gunakan pintu 208 | Jack Ritchie belakang! Kalian semua, tidak pernah belajar mempergunakan pintu belakang ya?" Aku adalah penumpang yang selalu menggunakan pintu belakang. Khususnya jika bis sedang penuh. Tapi saat itu hanya ada enam orang penumpang dan mereka membaca koran dengan ketakutan netral. Dia berbalik, wajahnya pucat, dan turun lewat pintu belakang. Petang yang telah atau akan dia nikmati, sekarang sudah hancur. Mungkin petangpetang lainnya juga akan hancur, saat si nenek kembali mengingat kejadian yang baru saja dia alami. Aku tetap duduk di dalam bis sampai tujuan terakhir. Aku satu-satunya penumpang ketika si supir berbelok dan parkir. Tempat parkir itu adalah sebuah sudut remang-remang yang sepi, dan tidak ada satupun penumpang yang menunggu di halte. Supir itu melirik jam tangannya, menyalakan rokok, dan baru sadar masih ada satu penumpang di dalam bisnya. "Jika kau ingin kembali ke kota, bayar seperempat dollar lagi, Pak. Disini tidak ada penumpang gratis." Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan pelan ke depan. "Berapa usiamu?" Matanya menyipit. "Bukan urusanmu." Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 209 "Mungkin sekitar tiga puluh lima tahun," kataku. "Kau mungkin masih bisa hidup sampai sekitar tiga puluh tahun lebih." Sambil berkata demikian, aku mengeluarkan pistolku. Dia menjatuhkan rokoknya. "Ambil saja uangnya," ujarnya. "Aku tidak tertarik dengan uangmu. Aku memikirkan nenek baik yang tadi, dan mungkin ratusan nenek-nenek, kakek-kakek dan anakanak baik yang sedang tersenyum. Kau penjahat. Keberadaanmu tidak dibenarkan." Dan aku membunuhnya. Aku duduk dan menunggu. Setelah sepuluh menit aku masih sendirian dengan si mayat. Tiba-tiba aku merasa ngantuk. Sangat mengantuk. Mungkin akan lebih baik jika aku menyerahkan diri kepada polisi setelah aku tidur nyenyak malam ini. Aku menuliskan surat pembenaran diriku atas kematian si supir dengan selembar kertas dari buku notes, membubuhkan inisialku, dan meletakkannya di saku kemeja si supir. Aku berjalan empat blok sebelum aku mencegat taksi yang mengantar ke apartemenku. Aku tidur nyenyak sekali dan mungkin aku bermimpi saat tidur itu. Dan kalaupun iya, mimpiku sangat menyenangkan dan damai, dan ketika aku bangun, ternyata sudah pukul sembilan. 210 | Jack Ritchie Setelah mandi dan sarapan dengan nikmat, aku memilih pakaianku yang terbaik. Lalu aku ingat, aku belum membayar tagihan telepon bulan ini. Aku menuliskan sejumlah angka di cek dan memasukkannya ke dalam amplop yang kemudian kububuhkan alamat di sampul depannya. Tapi aku ingat, aku kehabisan perangko. Tidak apa-apa. Aku bisa membelinya di jalan menuju kantor polisi. Aku hampir sampai di sana ketika aku ingat perangko itu. Lalu aku berhenti di sebuah apotik di sudut jalan. Tempat itu belum pernah kukunjungi sebelumnya. Penjaganya, mengenakan jas yang terlihat seperti dokter, duduk di belakang teko soda sambil membaca koran dan seorang agen penjual keliling sedang mencatat sesuatu di buku pesanannya yang besar. Penjaga itu tidak menoleh dari bacaannya ketika aku masuk. "Mereka mendapatkan sidik jarinya pada kertas notes itu, mereka juga mendapatkan tulisan tangannya dan inisial si pelaku. Ada apa dengan para polisi sekarang?" Si agen mengangkat bahu. "Apa gunanya jika sidik jari pembunuh tidak ada dalam catatan polisi? Tulisan tangan juga begitu, kalau tidak ada pembandingnya ya buat apa? Lagipula, ada berapa ribu L T di kota ini?" Dia menutup bukunya. "Aku akan kembali lagi minggu depan." Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 211 Ketika si agen itu pergi, apoteker itu masih saja membaca koran. Aku berdehem. Dia segera menyelesaikan bacaannya yang panjang dan lalu mendongak. "Well?" "Aku mau membeli perangko seharga empat sen." Apa yang kukatakan membuatnya bagai tersambar petir. Dia hanya memandangku selama lima belas detik penuh. Dia beranjak dari kursi dan berjalan pelan ke belakang apotik menuju rak toko berteralis. Langkahku mendadak terhenti demi melihat pipa-pipa yang dipajang di rak. Setelah beberapa saat aku merasa ada yang mengawasi dan aku mendongak. Si apoteker itu berdiri di ujung rak terjauh, dengan satu tangan berkacak pinggang dan tangan lain memegang perangko dengan acuh. "Kau mau aku membawakannya?" Dan aku teringat seorang bocah lelaki berumur enam tahun yang hanya punya uang lima sen. Kali ini tidak hanya satu sen, tapi lima, dan peristiwa ini terjadi waktu uang satu sen seharga dengan bermacam-macam permen. Bocah itu masuk karena apa yang terpajang di rak menarik perhatiannya—lima puluh jenis permen manis beraneka rasa, dan benaknya berjingkrak gembira campur bingung menentukan permen mana yang akan dipilih. Cambuk 212 | Jack Ritchie merah? Licorice? Atau campuran? Tapi jangan permen cherry. Dia tidak suka permen cherry. Dan kemudian dia menyadari, apoteker yang menjaga toko itu sedang berdiri di sebelah rak pajangan—mengetuk-ngetukkan sebelah kaki. Matanya membara karena merasa terganggu, dan—tidak lebih dari itu—marah. "Apa kau perlu waktu seharian hanya untuk memutuskan bagaimana cara menghabiskan uang lima senmu itu?" Bocah itu sangat halus perasaannya dan mendengar hal itu dia merasa seperti ada orang yang baru saja meninju perutnya. Uang lima sennya yang berharga kini bukan apa-apa lagi. Lelaki itu menghina uangnya. Dan dia juga menghina si bocah. Dia menunjuk asal-asalan. "Aku mau itu sebanyak lima sen." Ketika dia meninggalkan apotik, dibukanya kantung permen itu dan menemukan permen cherry di dalamnya. Bukan masalah baginya. Apapun yang dia temukan di dalam kantung itu dia tidak akan bisa memakannya. Saat ini aku sedang memandang si apoteker itu, yang memegang perangko seharga empat sen, dan kebencian yang ditujukan pada orang-orang yang tidak menyumbang langsung demi keuntungannya. Aku yakin, Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 213 apoteker itu pasti tidak akan berjingkrak senang jika aku membeli salah satu pipa rokoknya. Kemudian aku teringat perangko seharga empat sen itu, dan sekantung permen cherry yang kubuang beberapa tahun yang lalu. Aku bergerak menghampiri si apoteker dan mengeluarkan pistol dari dalam saku. "Berapa usiamu?" Ketika dia mati, aku segera menuliskan pesan. Saat ini aku membunuh untuk diriku sendiri dan sepertinya aku perlu minum. Aku berjalan beberapa saat dan masuk ke sebuah bar kecil. Aku memesan brandy dan air. Setelah sepuluh menit aku baru mendengar suara sirine polisi yang melintas. Bartender menghampiri jendela. "Sepertinya dekat." Dia lalu mengambil mantelnya. "Aku harus lihat apa yang terjadi. Jika ada yang masuk, bilang saja aku akan kembali." Botol brandy diletakkannya di atas meja bar. "Ambil sendiri, tapi nanti katakan padaku seberapa banyak yang kau minum." Aku menyesap brandyku perlahan-lahan dan memandang mobil polisi tambahan yang melintas di jalan, yang disusul dengan ambulans. Si bartender kembali setelah sepuluh menit menghilang, diikuti seorang pelanggan. "Bir botol pendek, Joe." 214 | Jack Ritchie "Ini brandy keduaku," ujarku. Joe memungut recehanku. "Si apoteker di seberang jalan terbunuh. Sepertinya oleh pembunuh yang menghabisi orang-orang yang kurang sopan." Si pelanggan melihat Joe yang sedang membuka tutup botol bir. "Bagaimana kau tahu? Mungkin hanya perampokan." Joe menggelengkan kepalanya. "Bukan. Fred Masters—yang punya toko TV di seberang jalan—menemukan mayatnya dan membaca pesan di sakunya." Pelanggan itu meletakkan sepuluh sen di atas meja. "Aku tidak akan menangisinya. Aku selalu membeli keperluanku di tempat lain. Dia bertingkah seakan dia berbuat kebajikan saat dia menunggumu." Joe mengangguk. "Kurasa orang-orang sekitar sini tidak akan merindukannya. Dia selalu membuat banyak masalah." Aku baru saja berniat untuk menghampiri apotik itu dan menyerahkan diri, tapi aku malah memesan segelas brandy lagi dan mengeluarkan buku catatanku. Aku mulai mendaftar beberapa nama. Mengejutkan sekali bagaimana satu nama mengikuti nama-nama yang lain dalam daftarku. Ada kenangan-kenangan pahit dalam nama-nama tersebut, beberapa kenangan besar, lainnya kecil, dan kenangan-kenangan Hukuman UntukOrang-Orang Kasar | 215 216 | Jack Ritchie lain yang kualami sendiri dan banyak lagi yang kusaksikan—mungkin dirasakan lebih mendalam oleh korbannya. Nama-nama. Juga seorang penjaga gudang yang tidak kuketahui namanya tapi harus kusertakan dalam daftar. Aku ingat ketika Miss Newman mengajarku. Kami adalah murid-muridnya di kelas enam dan beliau membawa kami mengadakan kunjungan—kali ini ke gudang yang terletak di sepanjang sungai, tempat dia akan menjelaskan 'bagaimana cara kerja industri'. Beliau selalu merencanakan kunjungankunjungannya dan meminta izin dari para pengelolanya, tapi kali ini kami tersasar ketika kami sampai di gudang-gudang itu—Miss Newman dengan tiga puluh anak yang mengaguminya. Dan penjaga gudang itu mengusirnya keluar. Dia menggunakan bahasa yang tidak kami mengerti, tapi kami merasakan kegalakannya, dan dia menggiring kami dan Miss Newman. Miss Newman adalah seorang perempuan mungil yang ketakutan ketika kami akhirnya meninggalkan tempat itu. Beliau tidak hadir keesokan harinya, juga hari-hari berikutnya, sampai akhirnya kami tahu bahwa beliau minta izin pindah tugas. Dan aku, yang juga sangat menyayanginya, tahu alasan sebenarnya. Beliau tidak punya muka menghadapi kami, murid-muridnya, setelah apa yang terjadi kemarin. Apakah penjaga gudang itu masih hidup? Aku membayangkan lelaki berusia duapuluhan saat itu. Ketika aku pergi meninggalkan bar setengah jam kemudian, kusadari ada banyak pekerjaan yang harus kulakukan. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang sibuk, dan diantara orang-orang lainnya, aku menemukan si penjaga gudang itu. Aku mengatakan alasan kematiannya karena dia tidak ingat sama sekali tentang kejadian dulu. Dan ketika aku sudah menyelesaikan apa yang harus kulakukan, aku mampir ke sebuah rumah makan kecil tidak jauh dari sana. Pelayan yang ada disana segera menyudahi obrolannya dengan kasir dan menghampiri mejaku. "Kau mau apa?" Aku memesan steak dan tomat. Daging steaknya ternyata tepat seperti yang diharapkan dari lingkungan seperti ini. Ketika aku akan mengambil sendok kopi, tanpa sengaja aku malah menjatuhkannya ke lantai. Aku memungutnya. "Pelayan, bisakah Anda mengambilkan sendok lagi?" Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 217 Dia kembali ke mejaku dan merampas sendok itu dari tanganku. "Kau ini gemetaran atau kenapa, sih?" Setelah beberapa saat dia kembali dan keiihatannya dia ingin membanting sendok itu ke meja. Tapi kemudian raut wajahnya yang galak berubah. Gerakan tangannya berhenti sesaat, dan ketika sendok itu akhirnya menyentuh taplak, dia meletakkannya dengan lembut sekali. Sangat lembut. Dia tertawa gugup. "Maafkan ucapan saya tadi ya, Pak." Itu adalah sebuah permintaan maaf, dan aku menjawab,"Tidak apa-apa." "Maksud saya, Anda boleh menjatuhkan sendok berapa kali pun sesuka Anda. Saya akan senang mengambilkan sendok lain untuk Anda." "Terima kasih." Dan aku mencermati kopiku. "Anda tidak merasa kesal, kan, Pak?" "Tidak. Sama sekali tidak." Dia mengambil koran dari meja kosong di dekatnya. "Ini, Pak. Anda bisa membaca koran ini sambil makan. Maksud saya, ini bagian dari pelayanan kami. Gratis." Ketika pelayan itu meninggalkan mejaku, kasir yang tadi mengobrol dengannya menatap si pelayan dengan mata membelalak. "Apa maksudmu dengan semua itu, Mable?" 218 | Jack Ritchie Mable melirik sekilas ke arahku sebelum menjawab pertanyaan si kasir dengan pandangan tidak nyaman. "Kau tidak akan tahu siapa yang kau hadapi sekarang-sekarang ini. Lebih baik kau berlaku sopan mulai sekarang." Aku membaca koran sambil makan, dan satu berita menarik perhatianku. Seorang lelaki memanaskan uang receh di wajan sebelum memberikannya ke anak-anak yang mengetuk pintu dan berteriak trick-or treat pada malam Halloween. Dan dia hanya didenda dua puluh dolar. Menyedihkan. Aku mencatat nama dan alamatnya. Dokter Briller baru selesai memeriksa kesehatanku. "Selesai sudah, Mr. Turner." Aku mengambil kemejaku. "Saya rasa dunia pengobatan belum menemukan keajaiban untuk penyakit saya sejak terakhir kali saya kesini. Bukan begitu, dokter?" Dia tertawa riang seperti biasa. "Sayangnya belum." Dia memandangku yang sedang mengancingkan kemeja. "Ngomong-ngomong, Anda sudah memutuskan apa yang akan Anda lakukan dengan waktu yang tersisa?" Sudah, tapi kupikir-pikir lebih baik aku mengatakan, "Belum." Dia kelihatannya agak kesal dengan jawabanku. "Harusnya Anda memikirkannya. Sekarang Anda hanya punya waktu tiga bulan Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 219 lagi. Dan katakan pada saya apa yang akan Anda lakukan nanti. Harus." Ketika aku selesai mengancingkan kemejaku, dia duduk di kursinya dan melirik ke koran yang tergeletak di atas meja. "Kelihatannya pembunuh itu sedikit sibuk, ya?" "Tapi yang paling mengejutkan adalah reaksi publik terhadap kejahatan ini. Apa Anda sudah membaca Surat Pembaca baru-baru ini?" "Belum." "Pembunuhan ini kelihatannya sangat disetujui oleh seluruh masyarakat. Beberapa penulis surat itu malahan ada yang mengusulkan akan memberi daftaryang berisi beberapa nama pilihan mereka untuk si pembunuh." Aku harus membeli koran itu. "Tidak hanya itu," ujar dokter Briller, "seluruh kota diserang demam kesopanan." Aku mengenakan mantelku. "Apa saya harus kembali kesini dua minggu lagi?" Dia menyingkirkan korannya. "Ya. Dan cobalah untuk menghadapi semuanya dengan gembira. Kita semua kan pasti mati suatu hari nanti." Tapi waktu kematian dokter Briller belum ditentukan dan mungkin maut akan menjemputnya beberapa puluh tahun lagi nanti. 220 | Jack Ritchie Pertemuanku dengan dokter Briller berlangsung tadi sore, dan sekarang sudah pukul sepuluh malam ketika aku turun dari bis dan berjalan menuju apartemenku. Ketika aku mendekati tikungan terdengar suara tembakan. Aku berbalik arah menuju ke Milding Lane dan memergoki seorang lelaki dengan pistol di tangan sedang berdiri di sebelah mayat yang tergeletak di trotoar yang sepi. Aku melongok ke bawah. "Ya ampun. Polisi." Lelaki kecil itu mengangguk. "Ya. Apa yang saya lakukan mungkin terlihat agak keterlaluan, tapi tadi dia mempergunakan berbagai macam bahasa yang tidak penting untuk diucapkan." "Ah," ujarku. Lelaki kecil itu kembali mengangguk. "Saya memarkir kendaraan di dekat hidran pemadam kebakaran. Dan saya tidak bermaksud untuk berlama-lama disana, sungguh. Polisi ini menunggu saya ketika saya kembali ke mobil. Dan akhirnya dia tahu saya lupa membawa SIM. Saya tidak akan bertindak seperti ini kalau saja dia cukup menulis surat tilang—karena saya memang bersalah, Pak, dan saya mengakuinya— tapi dia tidak puas hanya dengan surat tilang itu. Dia mempertanyakan hal-hal yang membuat saya malu, menyangkut kecerdasan, keawasan mata, kemungkinan mobil Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 221 itu mobil curian, dan akhirnya mengenai keabsahan kelahiran saya." Matanya mengerjap, mengenang sesuatu. "Padahal ibu saya itu bagaikan malaikat, Pak. Malaikat sejati." Aku ingat ketika aku ditegur saat menyeberang sembarangan. Dengan senang hati aku terima peringatan biasa, atau surat tilang, tetapi polisi yang menegurku itu terus saja memberiku kuliah dengan bahasa yang kasar di hadapan para pejalan kaki yang lalulalang di sekitarku sambil tersenyum simpul. Sangat memalukan. Lelaki kecil itu memandang pistol di tangannya. "Saya baru saja membelinya hari ini dan bermaksud menggunakannya untuk pengelola bangunan apartemen tempat saya tinggal. Seorang lelaki kasar yang sokjagoan." Aku setuju. "Jenis orang yang patut menerima hukuman." Dia menarik nafas. "Haruskah saya menyerahkan diri ke polisi sekarang?" Aku menimbang-nimbang. Dia memandangku. Dia berdehem sekali. "Atau mungkin saya tinggalkan pesan saja, ya? Saya pernah membaca di koran tentang..." Aku meminjamkan buku notesku. Dia menuliskan beberapa kata, membubuhkan inisial namanya, dan meletakkan 222 | Jack Ritchie kertas itu diantara dua kancing jaket si polisi yang sudah mati. Dia menyerahkan kembali buku notesku. "Saya harus ingat untuk membeli buku notes seperti ini nanti." Dia membuka pintu mobilnya. "Apakah saya bisa mengantar sampai ke tempat tujuan Anda, Pak?" "Terima kasih, tapi tidak usah," jawabku. "Malam ini cerah sekali. Saya ingin berjalan kaki saja." Seorang lelaki yang menyenangkan, kataku dalam hati, ketika aku berjalan meninggalkannya. Sayangnya, hanya sedikit orang yang seperti dia.[] Hukuman Untuk Orang-Orang Kasar | 223 Dia menggapai telepon di meja sebelah tempat tidurnya sekali lagi, memutar piringan nomer dengan kekuatan berlebihan. Cahaya dari lampu tidur—satu-satunya cahaya yang bersinardi kamar gelap itu—membuat perhiasanperhiasan di tangannya berkilat-kilat. Wajah yang cantik dan lembut, dalam taburan cahaya lampu yang melingkar, mengerutkan kening, menyiratkan perasaan kesal yang sesuai dengan gerakan tergesa-gesa dan resah saat dia memutar piringan nomer telepon. Setelah selesai memutar nomer telepon yang dituju, dia duduk dengan resah untuk beberapa saat. la merasa tidak nyaman dengan sakit di punggung belakangnya akibat duduk tanpa penyangga. Terdengar suara di telepon yang menandakan nomer yang dituju sedang sibuk. Dia membanting gagang telepon ke tempatnya, dan berteriak, "Tidak mungkin. Tidak mungkin." Tubuhnya dihempaskan ke bantal-bantal lembut di tempat tidur. Matanya terpejam, mencoba menghilangkan bayangan-bayangan MAAF, SALAH SAMBUNG Lucille Fletcher dan Allan Ullman eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com di dalam dan di luar kamar, panorama kota yang kabur berbentuk segiempat yang dapat dilihatnya melalui jendela yang terbuka. Saat dia terbaring di seprei tipis yang biasa dipergunakan di musim panas, dirasakannya angin sore sepoi-sepoi meraba lipatan-lipatan baju tidumya. Suara-suara malam dan hirukpikuk jalan tiga lantai di bawahnya masih bisa didengamya. Konsentrasinya yang keras itu membuatnya menganggap saat-saat menunggu seperti ini adalah sebuah siksaan. Dimana dia? Apa yang membuatnya tidak pulang-pulang? Mengapa dia tidak memilih malam lain selain malam ini untuk meninggalkannya sendirian, untuk menghilang tanpa memberi kabar padanya lebih dulu, dan tanpa pesan apapun? Itu bukan kebiasaannya. Sama sekali bukan kebiasaannya. Dia tahu betul bagaimana sikap yang seperti itu berpengaruh terhadap istrinya. Dan terhadap dirinya sendiri. Untuk melakukan apa yang hampirdilakukan sebelumnya sangatlah tidak mungkin. Tapi bila sekarang ini ketidakhadirannya memang disengaja—bagaimana? Apa dia terluka? Tidak mungkin dia mengalami kecelakaan tanpa ada orang yang menghubungi ke rumah saat itu juga! Tapi ada hal lain yang membuatnya jengkel, dan semuanya berakar dari kejengkelannya akibat ketidakhadiran lelaki itu yang tanpa 226 I Lucille Fletcher & Allan Ullman alasan. Ada masalah dengan telepon. Setelah dipikir-pikir, itulah yang paling mengganggunya— telepon. Dia telah menghubungi kantornya berkali-kali selama setengah jam lebih. Dia telah mencoba menghubungi kantor lelaki itu. Tiap saat dia memutar nomer, selalu saja nada sibuk yang terdengar. Bukan nada 'jangan dijawab' yang lebih meyakinkan, tapi selalu saja nada sibuk. Kalau saja lelaki itu disana—dan jelas sekali selalu ada seseorang disana—apa mungkin dia bicara lewat telepon selama setengah jam penuh? Kemungkinan? Ya. Kesempatan? Tidak. Benaknya membayangkan apa saja yang dilakukan si lelaki saat ini, seolah dia sendiri yang berhadapan langsung dengan semua yang dihadapi lelaki itu sekarang. Hasilnya adalah kesulitan yang ditimbulkan akibat sakit—penyakitnya—yang membobol benteng pertahanan kesabarannya. Kelihatannya lelaki itu tidak pernah terlalu peduli dengan periodeperiode panjang saat dia tidak mampu merespon ajakan si lelaki. Meskipun dia itu lelaki yang memiliki hasrat menggebu-gebu— binatang sehat dan kuat—kemampuannya mengendalikan diri sangat patut diandalkan. Dengan kata lain, terus terang saja, dia tidak pernah bermimpi mengenai perempuan lain— atau beberapa! Tapi sekarang... ? Maaf, Salah Sambung | 227 Tetapi kemungkinan seperti itu sepertinya tidak cocok dalam situasi sekarang. Apalagi setelah dia membicarakannya secara terangterangan dan memeriksa semua kemungkinan dengan seksama. Dia adalah seorang lelaki yang hati-hati. Apapun yang dia lakukan, direncanakannya dengan matang dan dilaksanakan dengan rapi. Dia tidak mungkin bertindak bodoh—atau ceroboh—karena itu tidak sesuai dengan sifatnya selama ini. Prospek terkecilpun bahkan tidak mungkin untuk dilaksanakan. Dia lebih menginginkan sesuatu yang berskala besar, sesuai dengan keberanian yang merefleksikan kekuatan dan ketampanan sendunya dengan sempuma. Pikiran-pikiran itu membuatnya membuka mata sejenak, menatap ke foto pernikahan mereka dalam pigura cantik di meja sebelah tempat tidurnya. Foto itu terlihat samar-samar, tapi kenangannya tergambar jelas, berdampingan. Dia mengenakan gaun sutra gading yang anggun di sebelah lelaki tegap dan tampan dan mereka tersenyum bahagia. Tidak ada yang berubah darinya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, tidak ada yang merubah tubuh berototnya yang bersih itu, juga senyum yang jarang terpancar di wajahnya yang tampan dan tanpa kerut. Yang berubah adalah perempuan itu sendiri. Hanya perawatan yang sangat 228 | Lucille Fletcher & Allan Ullman paripurna sajalah yang meninggalkan sedikit bukti-bukti apa saja yang telah dilakukan oleh waktu dan ketidakberdayaannya sekarang. Tetapi, secepat apapun dia berusaha memulihkan kekuatannya kembali dan memanfaatkan kemudaan yang masih tersisa, peralatan kecantikan termahalpun tidak dapat menutupi kerut-merut di seputar mata dan garis di dekat bibir yang semakin dalam, atau kulit yang menggelambir di bawah dagu. Apakah mungkin lelaki itu memperhatikan apa yang membuat istrinya terus mengurung diri di rumah sepanjang hari semata-mata bukan karena penyakit saja? Dia mengenang kembali apa yang disukai suaminya—hal-hal yang sangat dihargai lelaki itu. Setelah sepuluh tahun menikah—pernikahan yang direncanakan si istri dengan amat sangat cermat—dia tahu betul kekayaan ayahnya adalah sesuatu yang meredakan kegelisahan si suami selama ini. Dia sangat menghormati gundukan uang itu. Jangan harap dia mau melakukan apapun jika dia tidak terjangkau oleh gelimangan uang jutawan Cotterell. Begitulah caranya jika kau menginginkan sesuatu, ujarnya, mengingatkan dirinya sendiri. Jangan pernah lupa tentang hal itu. Dia yang selalu menginginkannya seperti itu. Hubungan praktis dengan suaminya yang kini telah Maaf, Salah Sambung | 229 berkembang itu telah memberi apa yang paling diinginkannya—lelaki yang paling bisa menciptakan ilusi yang dikembangkannya sendiri, ilusi sebuah pernikahan yang bahagia. Temantemannya cemburu, dan dicemburui adalah hal yang paling didambakan yang bisa ditawarkan oleh kehidupan. Kenangan akan pernikahannya yang dirancang sedemikian rupa itu memudar, dan sekali lagi kejengkelannya karena ditinggal sendiri membuatnya mendidih. Telepon sialan! Ada sesuatu yang licik tentang telepon itu— tentang nada sibuk yang tidak putus-putus itu. Tapi kemudian terlintas di benaknya, mungkin ada kerusakan mekanis atau semacamnya dalam sistem pemanggilan nomer. Dia duduk kembali, menjangkau telepon dengan tangannya, dan tidak sabar dengan dirinya sendiri karena tidak memikirkan hal itu sebelumnya. Piringan nomer ke 'Operator' diputarnya. Suara dengungan yang putus-putus itu, kemudian berbunyi klik diikuti suara ramah yang berkata, "Silahkan sebutkan nomer tujuan." "Operator, bisakah Anda menghubungi Murray Hill 3:0093?" "Anda bisa menghubungi nomer itu langsung dengan menelepon dari pesawat Anda sendiri," jawab si operator. 230 I Lucille Fletcher & Allan Ullman "Sudah, tapi selalu tidak bisa," katanya lagi, merasa terganggu. "Karena itulah saya menghubungi Anda." "Apa masalahnya, Nyonya?" "Well, saya telah menghubungi Murrray Hill 3:0093 selama setengah jam ini dan nadanya selalu saja sibuk. Itu sangat tidak mungkin." "Murray Hill 3:0093?" ulang si operator. "Saya akan mencoba menghubunginya. Silahkan tunggu sebentar." "Itu kantor suami saya," jelasnya sambil mendengarkan operator yang sedang berusaha. "Harusnya dia sudah berada di rumah sejak tadi. Aku tidak habis pikir apa yang membuatnya tertahan disana—atau mengapa sambungan telepon konyol ini tiba-tiba selalu saja bernada sibuk. Biasanya kantor itu tutup pukul enam sore." "Menghubungi Murray Hill 3:0093," jawab si operator otomatis. Lagi-lagi nada sibuk! Nada sibuk bodoh dan terkutukyang seakan-akan berlangsung abadi. Dia baru akan meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya, ketika tiba-tiba, secara ajaib, nada sibuk itu berhenti, dan suara seorang lelaki berkata, "Halo?" "Halo!" teriaknya, bersemangat. "Tolong sambungkan dengan Mr. Stevenson." Lagi-lagi lelaki itu menjawab, "Halo?" Maaf, Salah Sambung | 231 Suaranya dalam, serak, dengan aksen kental, dan suara itu mudah dikenali meskipun dia hanya mengucapkan satu kata. Dia mendekatkan bibirnya ke gagang telepon, berbicara lambat-lambat, dengan suara ramah, "Maaf, saya ingin bicara dengan Mr. Stevenson, disini Mrs. Stevenson." Dan suara serak itu berkata, "Halo? George?" Yang lebih gila lagi, tiba-tiba terdengar suara kedua—sengau—dan datar—menjawab, "Ya." Dengan suara putus asa, dia berteriak, "Siapa ini? Ini nomer berapa, ya? Tolong katakan." "Aku sudah menerima pesanmu, George," kata si suara serak. "Apa semua berjalan lancar malam ini?" "Ya. Semuanya lancar, Aku sedang bersama klien kita sekarang. Dia bilang medannya sudah bersih." Fantastis sekali. Tidak bisa dipercaya dan sangat tidak mungkin. Dengan suara dingin akhirnya dia berkata, "Permisi. Apa yang sedang terjadi disini? Saya sedang mempergunakan sambungan ini, jika Anda semua tidak berkeberatan." Bahkan ketika dia sedang bicara tadi, dia tahu mereka yang di ujung sana tidak bisa mendengarnya. Si 'George' atau lelaki satunya 232 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 233 itu sama sekali tidak dapat mendengarnya. Dia menyalahkan sambungan telepon yang acakacakan. Sekarang dia harus memutuskan teleponnya, menghubungi si operator lagi, dan harus menjalani semua tetek-bengek seperti tadi. Setidaknya itulah yang seharusnya dia lakukan. Tapi tidak. Orang-orang aneh itu sedang berbicara dan apa yang didengarnya membuatnya terpaku di tempat. "Oke," sahut si suara serak lagi. "Nanti jam 11:15 kan, George?" "Ya, tepat pukul 11:15. Kuharap kau sudah mengerti semuanya sekarang." "Ya. Kurasa begitu." "Well, coba jelaskan padaku sekali lagi agar aku tahu kau sudah memahami semuanya dengan baik." "Oke, George. Jam 11:00 polisi penjaga rumah akan pergi ke bar di Second Avenue untuk membeli bir. Aku akan masuk melalui jendela dapur di belakang rumah. Kemudian aku akan menunggu kereta melintas di jembatan—kalau-kalau jendelanya terbuka dan dia berteriak." "Benar." "Aku lupa menanyakannya padamu, George. Apa aku boleh mempergunakan pisau?" "Boleh," jawab suara nasal si George itu datar. "Tapi lakukan dengan cepat, ya. Klien kita tidak mau perempuan itu menderita terlalu lama." "Aku mengerti, George." "Danjangan lupa, ambil cincin dan kalungnya— dan perhiasan di laci lemari pakaian," ujar George. "Klien kita ingin semua terlihat seperti perampokan biasa. Hanya perampokan biasa. Ini penting sekali." "Semuanya tidak akan meleset, George. Kau tahu betul siapa aku." "Ya. Sekarang sekali lagi..." "Oke. Saat polisi itu pergi beli bir, aku akan masuk lewatjendela belakang—di dapur. Lalu aku menunggu kereta lewat. Setelah semuanya selesai, aku akan mengambil perhiasannya." "Benar. Kau ingat alamatnya?" "Ya," sahut si suara serak. "Di—" Terpana oleh rasa takut dan gelisah, ditempelkannya gagang telepon itu erat-erat ke telinga sampai pelipisnya terasa sakit. Saat itu juga tiba-tiba sambungan terputus, lalu beberapa detik kemudian suara dengung monoton menggantikan percakapan tadi. Dia tercengang, dan berteriak, "Mengerikan sekali! Sangat mengerikan!" Adakah tandatanda keraguan dalam suara yang aneh, tanpa emosi, dan bernada bisnis itu? Pisau? Pisau! Pisau! Orang di telepon itu mengatakan dengan jelas seakan-akan pisau adalah hal paling 234 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 235 umum dibicarakan orang di dunia ini, selain jendela yang terbuka dan perempuan yang menjerit. 9:35 Dia memegang gagang telepon, menatapnya dengan penuh ketakutan ke arah meja yang berantakan. Apa yang barusan didengarnya? Tidak mungkin—semua itu tidak mungkin. Itu hanya imajinasinya saja yang menipu—jeda waktu yang sejenak dirasakan saat kenyataan memudardan lamunan menyapu ceruk pikirannya. Tapi nada suara George yang tenang dan datar yang sedang berbicara dengan lelaki bersuara dalam itu kembali terdengar sejelasjelasnya ketika dia mencoba mengingat-ingat mereka. Tidak pernah ada mimpi dengan gambaran sejelas ini. Dia memang mendengar mereka. Dia merasa itu nyata, senyata benda hitam dingin yang dia pegang sedari tadi, senyata itulah dia mendengar mereka. Dia mendengar dua suara yang berbeda menggambarkan kematian seorang perempuan malang—perempuan yang sedang berada di rumah sendirian, seseorang yang memesan pembunuh bayaran seakan-akan dia memesan sayuran pada sebuah toko agar diantar ke rumahnya. Dan apa yang bisa dia lakukan? Dalam hal ini, apa yang harus dia lakukan? Dia tidak sengaja mendengarnya, sistem telepon yang dipergunakannya meleset secara mekanik. Dia tidak mendengar apapun yang mengarah langsung ke para lelaki tadi. Mungkin dia dapat memaksakan benaknya untuk mencoba mengingat- ingat lagi dengan sekuat tenaga untuk bisa mengurutkan kembali percakapan tadi. Tapi dia tidak bisa, yang dia ingat hanya perempuan ini—perempuan seperti dirinya, mungkin, sendiri dan kesepian—bisa dia peringatkan kalau saja dia tahu bagaimana caranya. Dia tidak bisa hanya berdiam diri saja disini—dia harus segera melakukan sesuatu untuk menenangkan kesadarannya. Dengan jemari bergetar, dia kembali mengangkat gagang telepon dan menghubungi operator. "Operator," katanya gugup. "Sambunganku baru saja diputus." "Maaf, Nyonya. Nomer berapa yang Anda hubungi?" "Harusnya Murray Hill 3:0093, tapi ternyata bukan. Pasti ada sambungan lain yang masuk ke dalam saluran saya dan tiba-tiba saya malah terhubung dengan nomer yang salah dan saya—saya baru saja mendengar hal yang paling mengerikan—pembunuhan—" Suaranya meninggi dan bernada memerintah. "Dan saya ingin Anda menghubungi nomer itu kembali." 236 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 237 "Maaf, Nyonya. Saya tidak mengerti." "Oh!" serunya tidak sabar. "Aku tahu aku salah nomer dan bukan urusanku untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan, tapi dua orang lelaki ini—dua orang jahat berdarah dingin—akan membunuh seseorang. Seorang perempuan malang yang tidak bersalah—yang sedang sendirian—di sebuah rumah dekat jembatan. Dan kita harus menghentikan mereka—kita harus menghentikan mereka!" "Nomer berapa yang Anda tuju, Nyonya?" tanya si operator dengan sabar. "Itu tidak jadi soal sekarang," bentaknya. "Ini nomer yang salah. Nomer yang kau putar sendiri. Dan kita harus tahu nomer berapa tadi yang kau putar, secepatnya." "Tapi—Nyonya—" "Bodoh sekali kamu ini!" Sekarang dia benar-benarmurka. "Begini. Kelihatannya kau salah memutar nomer. Aku memintamu untuk menghubungkan aku dengan Murray Hill 3:0093. Kau memutamya. Tapi jari tanganmu terpeleset atau semacamnya—dan kau membuatteleponku salah sambung ke nomer lain— dan aku bisa mendengar mereka bicara tapi mereka tidak bisa mendengarku. Sekarang, sepertinya aku bisa memintamu untuk membuat kesalahan seperti itu lagi, kali ini sengaja. Bisakah kau menghubungkanku kembali dengan Murray Hill 3:0093, sama cerobohnya seperti tadi?" "Murrray Hill 3:0093, silahkan tunggu sebentar," sahut operator dengan cepat. Ketika dia menunggu operator itu, tangannya bergerak ke arah botol-botol obat di meja samping tempat tidur dan memungut selembar sapu tangan berenda yang teronggok di antara botol-botol. Dia melap butiran keringat di kening ketika lagi-lagi terdengar nada sibuk, dan operator menyela, "salurannya sedang sibuk, Nyonya." Dengan marah dia meninju kasurnya. "Operator! Kamu pasti tidak mencoba menghubungkan saya dengan nomer yang salah seperti tadi! Saya sudah jelas-jelas memintanya. Kamu malah menghubungkan saya dengan nomer yang benar. Sekarang saya minta kamu melacak nomer tadi. Sudah tugasmu melacak nomer tadi!" "Sebentar," sahut si operator, tetap dengan suara ramah, seperti ingin mengundurkan diri. "Saya akan menyambungkan Anda dengan atasan saya." "Silahkan," jawabnya, kembali menghempaskan diri ke bantal di belakangnya. Lalu terdengar suara lain yang ramah, efisien dan menenangkan dari seberang sana. "Disini Kepala Operator," dan sekali lagi dia ber- 238 | Lucille Fletcher & Allan Ullman konsentrasi dengan gagang telepon di tangannya, bicara dengan sangat hati-hati. Suaranya terdengar sangat jengkel. "Saya sedang sakit keras, tapi saya baru saja mendengar sesuatu yang mengejutkan— melalui telepon—dan saya ingin sekali melacak sambungan telepon tadi. Yang saya dengar ini menyangkut pembunuhan—pembunuhan berdarah dingin yang kejam yang akan diiaksanakan pada seorang perempuan malang, malam ini—pukul 11:15. Begini, tadi saya mencoba menghubungi kantor suami saya. Saya sedang sendirian sekarang—pembantu saya sedang libur dan pelayan yang lain tidur di rumah masing-masing. Suami saya berjanji untuktiba di rumah pukul enam—jadi ketika dia belum pulang jam sembilan, saya menghubungi kantornya. Tapi yang terdengar selalu nada sibuk. Kemudian saya mengira mungkin salurannya ada yang salah dan meminta operator untuk menghubungkannya. Tapi ketika sudah terhubung, saya malah masuk ke saiuran yang salah dan mendengar percakapan dua orang pembunuh yang mengerikan ini. Dan kemudian salurannya terputus sebelum aku tahu siapa dua orang ini, dan kupikir bila kau bisa menghubungkanku kembali dengan saiuran yang salah tadi, atau mungkin melacaknya..." Maaf, Salah Sambung | 239 240 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Kepala operator itu adalah orang yang penuh pengertian dan lembut hati—dan hal itu hampir membuatnya gila. Dia menjelaskan hanya sambungan yang sedang berlangsung saja yang bisa dilacak. Dan sambungan yang sudah terputus sudah pasti tidak bisa dilacak. "Saya tahu mereka mungkin sudah berhenti bicara sekarang," sahutnya tajam. "Mereka kan tidak sedang bergosip. Karena itulah saya minta operatormu untuk mencoba menemukan kembali nomer mereka. Kau kira hal sederhana seperti itu tidak..." Kritikan pedas dalam suaranya tidak menggoyahkan ketenangan suara Kepala Operator di seberang. "Atas dasar apa Anda menginginkan nomer ini dilacak, Nyonya?" "Alasan!" serunya. "Apa aku perlu alasan yang lebih daripada alasan yang sudah kuutarakan tadi? Secara tidak sengaja, aku mendengar dua pembunuh. Pembunuhan yang mereka lakukan akan dilaksanakan malam ini—pukul 11:15. Ada seorang perempuan yang akan terbunuh—di suatu tempat di kota ini..." Kepala Operator itu sangat simpatik—dan dia sangat sabar. "Saya mengerti itu, Nyonya," sahutnya. "Saya hanya bisa menyarankan agar Anda memberitahukan kepada polisi mengenai inforrmasi ini. Bila Anda ingin menghubungi operator dan meminta..." Maaf, Salah Sambung | 241 Dia langsung memutuskan telepon, namun ia kembali mengangkat gagang telepon lalu menunggu sampai ada nada paggil. Kemarahan bangkit dalam dadanya, membuat pipinya yang pucat berwarna kemerahan, dan mengasingkannya dari sekitar kecuali nada panggil di teleponnya yang terus berrdengung. Dia tidak mendengar suara berbisik dari perahu-perahu yang membelah sungai kelam di bawahnya, atau suara lalu-lintas yang mengalir pelan di sepanjang jalan tol di pinggir sungai. Dia tidak mendengar suara denting logam baja yang beradu, dan suara grek, grek, grek dari kereta yang mendekati jembatan. Jendela kamarnya yang bergetar akibat kereta yang melintas juga tidak diperhatikannya— getaran yang dirambatkan secara molekuler oleh jembatan yang bergetar. Dan ketika kereta itu akhimya berbunyi dengan keras, dia baru mendengamya. Di saat yang sama, suara seorang operator terdengar dari seberang telepon. "Silahkan sebutkan nomer yang Anda tuju." "Sambungkan saya dengan polisi," katanya, sambil menyipitkan mata ketika suara baja yang saling beradu itu berteriak memenuhi malam dan kemudian semakin samar dan menghilang. Ketika dengung telepon terdengar di telinganya sekali lagi, dia baru merasakan hawa 242 I Lucille Fletcher & Allan Ullman panas yang menekan. Dia menyentuh keningnya dan bagian lembab di bawah matanya dengan sapu tangan. Kemudian sebuah suara lelah menyahut, "Kantor Polisi. Markas Tujuhbelas. Disini Sersan Duffy." "Ini Mrs. Stevenson—Mrs. Henry Stevenson—Sutton Place nomer 43," sahutnya. "Saya bermaksud melaporkan kejadian pembunuhan..." "Apa yang Anda maksud, Nyonya?" "Saya mau melaporkan adanya pembunuhan." "Anda bilang pembunuhan, Nyonya?" "Tolong, dengarkan saya sampai selesai..." "Ya, silahkan, Nyonya." "Pembunuhan ini belum berlangsung, tapi pasti akan terjadi... Saya baru saja mendengar secara tidak sengaja tentang pembunuhan itu melalui telepon." "Anda bilang Anda mendengarnya di telepon, Nyonya?" "Ya. Melalui saluran yang salah sambung yang dihubungkan oleh operator telepon. Saya sudah mencoba untuk melacak sendiri nomer telepon itu—tapi semua orang yang kumintai bantuan-sepertinya begitu bodoh..." "Bisakah Anda memberitahukan kepada saya dimana pembunuhan itu akan terjadi?" "Rencana pembunuhan itu jelas sekali," sahutnya getir, merasakan keraguan polisi itu mengenai laporannya. "Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Ada dua orang lelaki yang sedang berbicara. Mereka akan membunuh seorang perempuan pada jam 11:15 malam ini. Perempuan itu tinggal di sebuah rumah dekat jembatan." "Lalu?" "Dan ada satpam di jalanan. Dia akan pergi ke suatu tempat di Second Avenue untuk membeli segelas birdan kemudian pembunuh ini akan memanjat jendela dan membunuhnya dengan pisau." "Selanjutnya bagaimana, Nyonya?" "Dan ada lelaki ketiga disana—seorang klien—begitu mereka memanggilnya—yang membayar mereka untuk melakukan hal ini— hal mengerikan yang akan dilakukan lelakilelaki lainnya. Si klien ini menginginkan agar perhiasan si perempuan itu diambil agarterlihat seperti perampokan biasa." "Begitu. Apakah itu sudah semuanya, Nyonya?" "Well, hal ini benar-benar mengguncang syarafku—saya sedang sakit..." "Begitu. Dan kapan Anda mendengar hal ini, Nyonya?" "Sekitar delapan menit yang lalu." "Dan nama Anda, Nyonya?" "Mrs. Henry Stevenson." "Dan alamat Anda?" Maaf, Salah Sambung | 243 "Sutton Place nomer empat puluh tiga. Dekat jembatan. Jembatan Queensboro, Anda tahu, bukan? Dan kami juga punya penjaga pribadi di jalan rumah kami—dan di Second Avenue..." "Nomer berapa yang Anda hubungi tadi, Nyonya?" "Murray Hill 3:0093. Tapi bukan dari nomer itu saya mendengarnya. Murray Hill 3:0093 itu kantor suami saya. Saya sedang mencoba menghubungi suami saya karena dia belum pulang-pulang juga—" "Well," ujar si polisi merasa bosan, "kami akan mencoba mengeceknya, Mrs. Stevenson. Kami akan mengecek perusahaan telepon." "Tapi tadi perusahaan telepon bilang mereka tidak bisa meiacak telepon yang sambungannya sudah terputus. Mungkin Anda pribadi bisa melakukan sesuatu dengan lebih cepat dan drastis daripada hanya mengecek panggilan itu. Di saat Anda sedang meiacak telepon itu—mereka sudah akan melaksanakan pembunuhan tersebut." "Well, kami akan menanganinya, Bu,"jawab si polisi itu sambil menghela napas. "Jangan khawatir." "Tapi saya benar-benar khawatir, Pak," sahutnya setengah mengeluh. "Anda harus melakukan sesutu untuk melindungi orang ini. Saya akan merasa lebih aman bila Anda me- 244 I Lucille Fletcher & Allan Ullman lakukannya—bila Anda mengirimkan panggilan melalui radio polisi ke lingkungan itu." Polisi itu menarik napas lagi. "Begini, Bu, apakah Anda tahu seberapa panjang jalan Second Avenue itu?" "Saya tahu, tapi..." "Dan apakah Anda tahu ada berapa banyak jembatan di Manhattan?" "Tentu saja, tapi..." "Jadi apa yang membuat Anda berpikir bahwa pembunuhan ini akan terjadi di lingkungan Anda, kalau memang nanti akan terjadi pembunuhan? Mungkin yang Anda dengar tadi adalah panggilan dari New York. Mungkin Anda tersambung ke saluran interlokal." "Saya kira Anda mau melakukan sesuatu," jawabnya getir. "Anda seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi para anggota masyarakat yang baik. Tapi ketika saya membicarakan tentang pembunuhan yang akan terjadi Anda malah mengira saya sedang bergurau atau semacamnya." "Maafkan saya, Bu," sahut si polisi itu dengan tenang. "Banyak terjadi pembunuhan di kota ini. Bila kami bisa menghentikan semuanya, kami akan lakukan itu. Tapi petunjuk yang Anda berikan pada saya—well, itu petunjuk yang masih samar. Bahkan hampir tidak ada gunanya sama sekali. Begini saja," tambahnya, Maaf, Salah Sambung | 245 246 I Lucille Fletcher & Allan Ullman berusaha terdengar riang. "Mungkin yang Anda dengartadi hanyalah salah satu program radio sinting yang tanpa sengaja masuk ke saluran telepon. Mungkin Anda terhubung dengan salah satu acara kriminal tentang pembunuhan. Bahkan mungkin Anda mendengarnya samarsamardari jendela dan mengira mendengarnya di telepon." "Bukan," jawabnya dingin. "Sama sekali bukan begitu. Sudan saya bilang saya mendengarnya di telepon. Mengapa Anda ngotot sekali sih?" "Saya ingin membantu Anda sebisa mungkin, Nyonya," sahut si polisi dengan suara meyakinkan. "Apakah Anda tidak merasa ada sesuatu sifatnya menipu mengenai panggilan tadi—atau apakah ada seseorang yang berencana membunuh Anda?" Dia tertawa, gugup. "Saya? Tentu saja tidak. Itu akan menjadi hal yang paling menggelikan. Maksudku—mengapa harus ada orang yang menginginkan kematianku? Aku bahkan tidak kenal seorangpun di New York. Aku baru beberapa bulan tinggal disini dan aku tidak menemui siapapun kecuali pembantu-pembantuku dan suamiku." "Kalau begitu, Bu, tidak ada sesuatupun yang harus Anda khawatirkan," ujarnya jujur. "Dan sekarang—jika Anda mengijinkan, Bu, ada beberapa hal lain yang lebih penting yang harus saya tangani. Selamat malam, Nyonya." Dengan perasaan jijik dia menjatuhkan gagang telepon ke tempatnya. Diambilnya tabung kecil berisi garam harum, membuka sumbatnya, dan menghirupnya dalam-dalam. Setelah dia merasa lega, dia menyumbatnya dengan gabus dan meletakkan kembali di meja sebelah tempat tidur. Lagi-lagi dia menghempaskan diri ke bantal, bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Marahnya akibat laporan yang hanya ditanggapi sekenanya oleh polisi itu telah berkurang sekarang. Lagipula, mungkin memang sulit sekali. melacak kedua orang yang berbicara di telepon tadi secara langsung. Tapi tetap saja, mereka harus melakukan sesuatu—setidaknya mereka mengumumkannya lewat radio atau semacamnya untuk memperingatkan polisi-polisi lainnya di kota tentang adanya bahaya yang mengancam seseorang—dimanapun orang itu berada. Sesaat, keadaan genting yang diakibatkan telepon pembunuhan itu terasa samar-samar di benaknya. Tetapi percakapan keji yang dia dengar itu bukan berarti bisa dilupakannya sama sekali—juga pikiran tentang perempuan malang yang bernasib buruk itu. Tetapi kesepiannya sendiri kembali menjadi hal yang Maaf, Salah Sambung | 247 248 I Lucille Fletcher & Allan Ullman mengganggu. Perbuatan Henry meninggalkannya sendirian di rumah benar-benar tidak bisa dimaafkan. Kalau saja dia tahu, pembantunya pasti akan dipaksa untuk tetap tinggal di rumah. Sekelilingnya mulai membuatnya gugup kini. Ruangan yang remang-remang, dipenuhi dengan perabotan terbaru yang mahal-mahal, menjadi kepompong yang membuatnya terkungkung dan merasa tidak ada jalan keluar. Jajaran botol-botol dan tabung-tabung, kotak dan penyegar yang terletak di atas meja has yang terletak di dinding seberangnya, memancarkan suasana membosankan, mengingatkannya akan kecantikan yang makin memudar. Ruang duduk mewah dan nyaman, dengan bangku-bangku anggun dan kursikursi taman yang diletakkan di ruangan yang ditutupi dengan cantik, meja-meja pajangan yang dihias dengan mewah—semuanya diletakkan dalam ruangan dengan karpet setinggi mata kaki yang sesuai dengan warna dindingnya—dan semua terlihat seakan-akan diatur oleh tangan terampil yang tidak terlihat. Ruangan itu tidak memiliki kehidupan. Serasa di dalam tahanan. Kain halus dan berkilat yang menutupi tirai, membingkai jendela bagai terali besi penjara. Dia benci sekali tempat ini. Dia juga membenci ketidakberdayaannya dalam mengatasi kesepian. Lagi-lagi dia menyambar pesawat telepon dan memutar nomer operator. Maaf, Salah Sambung | 249 "Operator, demi Tuhan, bisakah Anda menghubungkan saya dengan Murrray Hill 3:0093 sekali lagi? Saya tidak habis pikir, apa yang menahannya disana sebegitu lama." Kali ini tidak ada nada sibuk terdengar! Hanya nada panggil yang bersuara seperti mendengkur, terus dan terus. Sampai akhimya suara operator memutus dengkuran itu dan berkata, "Tidak ada jawaban dari sana, Nyonya." "Saya tahu," sahutnya dengan suara manis. "Saya tahu. Anda tidak usah mengumumkannya pada saya. Saya bisa dengar sendiri." Akhirnya telepon itu diletakkannya kembali. Dia kembali berbaring di kasur, menatap pintu kamar yang setengah terbuka, mendengarkan dengan seksama layaknya orangorang kesepian yang mencoba mendengarkan suara-suara dari sekelilingnya, mencari bukti adanya gerakan sekecil apapun, tanda-tanda berakhirnya kesepian ini. Tapi tidak ada apaapa sama sekali. Pandangannya tertumbuk ke meja kecil di sebelah tempat tidur, dengan jejeran botol-botol obat, jam meja, dan saputangan kusut—semuanya terkelompok dekat telepon. Tanpa sadar, dia membuka iaci di bawah meja itu, mengambil sisir bertatahkan berlian dan kaca kecil dari sana. Sisir berkilau itu meluncur tenang di rambutnya, dan dia menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk melihat hasilnya di kaca. Puas dengan tatanan rambutnya yang anggun, dia mengambil lipstik dari laci yang sama, dengan hatihati memulaskan warna merah yang kembali memunculkan kesegaran di wajahnya. Henry selalu bisa menunjukkan kekaguman akan kecantikannya, pikirnya. Belakangan ini, mungkin, komentarnya yang menggebu-gebu menjadi kurang spontan, terasa rutin, mekanis. Atau apakah karena sekarang dia belum pulang tanpa ada pemberitahuan makanya dia merasa seperti itu? Dan itu mengingatkannya akan keberadaan Henry yang masih jadi masalah sekarang ini, situasi menyebalkan yang tidak juga terselesaikan. Dari laci yang sama dia mengambil notes kecil bersampul hitam dengan jilid spiral. Dia membuka pada bagian "J" ketika telepon berbunyi tiba-tiba. Dengan cepat dan antusias, disambarnya telepon dan dijawab dengan suara manis, "Hallo-o-o-o." Kepalanya agak pusing saat dia mendengar suara dari telepon, "Ini adalah sambungan interlokal. Ada seseorang yang ingin berbicara dengan Mrs. Stevenson dari Chicago." "Ya, disini Mrs. Stevenson." Lalu beberapa menit kemudian, "Halo, Ayah, apa kabar?" "Baik-baik saja," sahut Jim Cotterell bersemangat. "Baik-baik saja, Leona. Dan— bagaimana kabar gadisku malam ini?" 250 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Sepanjang hidupnya, Leona Stevenson selalu mendengar dan selalu sebal dengan ungkapan yang selalu diucapkan ayahnya yang tinggi besar itu dalam setiap percakapan yang biasanya hanya terjadi satu arah. Percakapan yang isinya—biasanya—si ayah memerintahkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Dan sesuatu itu seringkali berhubungan dengan kenyamanan pribadi Jim Cotterell maupun rekening banknya yang membengkak, atau keduanya. Energinya yang meluap-luap dan lidahnya yang tajam telah berhasil menggelindingkan formula pil biasa menjadi salah satu bisnis pabrik farmasi terbesar saat ini. Walaupun dia sendiri bukan seorang kimiawan, dia telah berhasil menemukan tambang platina murni yang mengguncangkan hasrat publik akan pengobatan diri sendiri. Kimiawan— seperti yang biasa dia katakan saat tidak ada seorangpun kimiawan hadir di tempat yang sama, atau kadang ada beberapa—kimiawan itu pasaran, dinilai hanya dengan setumpuk recehan. Tapi agen penjual yang baik itu sangat jarang ditemui dan mereka bernilai layaknya emas. Tiga puluh tahun yang lalu Jim Cotterell berhasil menipu seorang apoteker di sudut jalan agar menjual murah formula obat sakit kepala yang tidak berbahaya tapi selalu bekerja efektif. Dan sekarang, pil, puyer dan sirup obat Maaf, Salah Sambung | 251 batuknya mengalir dari selusin pabrik raksasa ke seluruh penjuru dunia. Dia memerintah jaringan korporasi yang besar ini dengan tangan besi, dan itu adalah tangan yang sama yang bergetar kebingungan saat putrinya, Leona, merajuk atau marah. Hubungan antara Jim dan Leona memang aneh, dan tidak ada seorangpun yang mengerti kecuali Jim dan Leona sendiri. Ibu Leona, yang meninggal ketika melahirkan putrinya, memiliki kecantikan anggun dan kebanggaan halus. Tapi perempuan itu bukanlah pasangan yang sebanding dengan mahluk besar yang biasa mengayun tubuh mungil istrinya sampai kakinya terjuntai dari atas lantai. Kematian istrinya adalah kekalahan Jim Cotterell yang pertama, dan yang paling utama. Kejadian itu membuat jiwanya kosong akan kelembutan, membuatnya enggan melakukan hal-hal yang menyenangkan dan membuat insting bisnisnya berkurang. Kecuali untuk hal-hal yang menyangkut diri si putri, Leona. Bukannya menjadi objek cinta ayahnya, Leona adalah semacam tanda mata dari cinta yang pernah dimiliki ayahnya. Jim menjaga Leona seperti seorang pemburu tersesat yang kedinginan menjaga api unggun yang hampir mati. Dan ketika api itu membesar, dia menjadi semakin takut. Bukan takut akan api yang membakar dirinya, tapi takut api itu mati. 252 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 253 Leona, yang mewarisi kecantikan ibunya, memiliki perpaduan aneh antara kebanggaan yang dimiliki ibunya dan sifat keras kepala dari ayahnya. Ketika tahun demi tahun dia tumbuh dewasa, Leona tidak memiliki pribadi yang cukup kuat dari perpaduan ini. kebalikannya, dia menjadi sangat galak, sangat perhitungan, dan harus mendapatkan segala sesuatu yang dia inginkan, apapun itu. Tanpa perduli siapa nanti yang akan menjadi korban. Jim, dengan alasan yang jauh tersembunyi di balik sifatnya yang agresif, malah mendorong temperamen putrinya yang keras itu. Dalam hal tertentu, itu menyenangkan baginya—memuaskan kebutuhan akan sesuatu di dalam dirinya—memiliki sepotong pujaan tempat dia bisa merendahkan diri di hadapan pujaan itu. Dia membenarkan sikapnya sendiri dengan alasan kesehatan Leona yang lemah dan mengancam jiwa sang putri. Ketakutannya akan hal ini ditunjang sepenuhnya oleh dokter keluarga yang heran karena seringnya Leona murka maka dia menganjurkan untuk selalu membuat Leona tenang. Kemudahan yang dimiliki putri kecil itu seakan seperti perisai dan pedang khayalan yang akan melawan segala kesusahan yang dia alami, dan tahun-tahun berikutnya keluhan sakitnya menelan hal-hal nyata yang dia alami. Kenangan masa kecil tenggelam di alam bawah sadarnya—hanya gejala-gejala sakitfisik yang mengkhawatirkan yang terlihat saat dia mengalami stres berat. Dan akibatnya, di usia tigapuluhan, dia percaya dan yakin bahwa dia menderita lemah jantung. Dokter yang menanganinya masih saja heran, meskipun kemungkinan dia mengidap penyakit itu tetap ada. Ada banyak indikasi yang menunjang pendapat si dokter. Tapi Jim tetap saja memperlakukan Leona sekehendak hatinya. Hanya ketika Leona memutuskan untuk pindah ke New York saja maka Jim memintanya untuk menemui ahli jantung lainnya. "Bagaimana kabar gadisku malam ini?" tanya Jim. "Aku sedang kesal," jawab si putri, cemberut. "Kesal?" "Well, siapa sih yang tidak kesal? Aku tidak tahu dimana Henry, lagipula—aku baru saja mendengar rencana pembunuhan di telepon!" "Demi Tuhan, sayang, apa yang kau bicarakan?" "Aku mencoba menghubungi Henry dikantornya. Dan entah bagaimana tahu-tahu aku sudah terhubung dengan saluran yang salah dan aku mendengar kedua orang ini bicara mengenai pembunuhan yang akan mereka lakukan terhadap seorang perempuan..." "Tunggu sebentar," potong Jim kasar. "Aku harus tahu hal yang sebenarnya. Mengapa kau . 254 I Lucille Fletcher & Allan Ullman mencoba menghubungi Henry dikantornya— malam-malam begini?" "Karena dia belum pulang. Aku tidak tahu ada apa sebenarnya. Sudah kucoba untuk telepon kantornya, tapi malah nada sibuk yang terdengar. Sampai akhirnya kudengar dua orang itu bicara." "Begitu ya, sayang?" sahut ayahnya dengan suara marah. "Ini sangat menggangguku. Anak ini memang tidak punya tanggung jawab sama sekali dan sekarang dia berulah seperti ini. Kalaupun dia memang menghadiri rapat di Boston, harusnya dia..." "Boston?" teriaknya. "Ada apa di Boston?" "Apa Henry belum bilang? Ada konvensi pengusaha obat-obatan di Boston, dan dari laporannya, dia berencana akan pergi kesana. Bahkan jika dia berubah pikiran dalam menitmenit terakhir, dia tidak berhak membuatmu menunggu sendiri di rumah." "Mungkin dia sudah berusaha mengabarkan aku," jawab Leona ragu-ragu. "Mungkin dia mencoba menelepon kesini saataku mencoba menghubungi kantornya pada waktu yang bersamaan. Jika dia harus berangkat dengan kereta malam..." "Alasan apa itu! Seharusnya dia berusaha keras untuk mengabarkan hal ini padamu!" "Aku tahu, Ayah." Maaf, Salah Sambung | 255 "Well, jangan khawatir, Sayang. Aku akan meluruskan kelakuan Henry ini..." "Masalahnya," sahut Leona tiba-tiba, "aku tidak bisa berhenti mengkhawatirkan percakapan di telepon tadi..." "Santai sajalah, Sayang. Yang kau dengar tadi mungkin saja cuma gurauan—cuma beberapa orang badut iseng yang sedang beraksi. Lagipula. Siapa yang bakal membicarakan tentang pembunuhan yang sebenarnya di telepon?" "Tapi itu sungguhan," ujarnya, mencoba meyakinkan ayahnya. "Dan aku sama sekali merasa tidak enak jadinya—apalagi aku hanya sendirian di rumah." "Sendiri! Dan bahkan pembantumu itu..." "Ya, Ayah," ujarnya. "Well, kalau begitu...Apa kau sudah menelepon polisi?" "Tentu saja. Tapi mereka tidak begitu tertarik. Hal-hal seperti ini dianggap tidak masuk akal." "Well, kau sudah melakukan sebisamu dalam situasi seperti ini. Jadi, Sayang, jangan biarkan hal itu terus mengganggumu lagi. Dan besok," suaranya kini berat karena kemarahan yang ditahan. "Besok kita akan bicara sedikit dengan Henry—dimanapun dia berada." "Baiklah Ayah. Selamat malam." "Selamat malam," sahutnya. "Ya ampun... kuharap kau pulang, Sayang. Tempat ini seperti 256 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 257 kamar mayat saja. Aku tidak tahu mengapa Henry membuatku membicarakan tentang... Well, jaga dirimu baik-baik. Aku akan menelepon lagi besok." Leona meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, seulas senyum samar terbayang di wajahnya, membayangkan bagaimana bencinya Henry mendapatkan telepon seperti ini dari bapak mertuanya. Henry tidak pernah menyinggung mengenai hal ini sama sekali, tapi kebenciannya adalah sesuatu yang bisa dirasakan, bukan dilihat atau didengar oleh Leona. 9:51 Dia agak tenang dengan kepedulian ayahnya dan dengan pikiran akan ganti rugi yang hebat yang menunggu kepulangan Henry nanti. Tapi tetap saja dia tidak dapat membujuk pikirannya untuk tenang dan membiarkan waktu yang menjawab pertanyaan dalam benaknya. Dari pembicaraan tidak mengenakkan antara "George" dan salah satu teman iblisnya yang suka memakai pisau, dia telah mencoba sebisanya untuk menarik perhatian para polisi. Tidak ada alasan kejujurannya nanti akan disalahkan jika terjadi tragedi nanti. Koran besok pagi mungkin akan menjelaskan akhir cerita malam ini—jika akhir itu memang ada. Dan jika nanti ada seorang perempuan tidak bersalah yang ditikam sampai mati, dan dirampok, dia akan meminta Henry untuk menulis ke koran itu, ke Komisaris Polisi, dan mungkin ke Walikota, tentang tanggapan para polisi di Departemen Kepolisian yang biasa-biasa saja terhadap informasi vital ini. Dan mereka akan menyelidiki misteri sebenarnya karena kesaksiannya akan membuktikan perampokan itu bukan hal yang sesungguhnya terjadi dan ada seseorang yang memerintahkan agar perempuan itu dibunuh. Hal-hal seperti ini akan menjadi sensasi untuk pers, dan kebajikannya untuk menceritakan apa yang dia dengar semalam akan membuat dirinya menjadi kepala berita di koran-koran. Kawan-kawannya di Chicago akan terpesona oleh keberaniannya. Padahal dia invalid—setidaknya itulah yang dia rasakan. Tapi Henry ini kemana sih? Pikiran-pikirannya terganggu oleh usaha yang dia lakukan untuk dapat medengarkan suara sekecil apapun—dan itu dipertegas dengan gerakangerakannya— akan adanya seseorang yang masuk ke dalam rumah. Papan yang berderak, atau kertas yang bergemerisik karena hembusan angin, dan untuk sesaat dia mendengar suara langkah kaki, maupun orang bernapas. Jantungnya berdebar-debar tiap saat; dan kekecewaannya seperti menambahkan minyak ke dalam api kemarahannya. Dia 258 I Lucille Fletchers Allan Ullman tidak bisa hanya duduk dan menunggu disana. Setidaknya dia dapat berusaha melaporkan semua ini ke Henry. Sebuah buku notes berwarna hitam kecil dikeluarkannya dari dalam laci meja sebelah tempat tidur, mencari-cari bagian dengan huruf 'J'. Disana dia menemukan entri dengan nama 'Miss Jennings', dan di sebelahnya ada nomer: Main 4:4500. Dan nomer ini diputarnya. Perempuan-perempuan yang serupa burung dan bersarang di hotel khusus perempuan di Elizabeth Pratt itu bercicit-cicit heboh di ruang duduk utama. Malam itu adalah malam permainan Bingo, dan mereka seakan bertengger di meja-meja yang memenuhi ruangan itu—meja kartu, meja perpustakaan, dan meja biasa yang dipinjam dari ruang makan—dan berkonsentrasi penuh pada kartu-kartu dihadapan mereka, berdecak dan berderik, dan kadang-kadang berkoak-koak ketika sejumlah angka disebutkan. Ruangan itu kuno, tua, dengan bau beledu dan kehormatan yang sudah usang. Lukisanlukisan suram dan berdebu di bingkai-bingkai berkilat berukuran besar tergantung pada dinding coklat pudar. Kursi-kursi kecil dan dudukan-dudukan antik bersandar di dinding dengan nuansa kaku, dipisahkan oleh meja- Maaf, Salah Sambung | 259 meja dengan berbagai lampu porselen berkap rumbai-rumbai di atasnya. Di langit-langit terdapat tempat lilin kuningan yang sudah usang, dengan keran gas yang dibuka dan bersinar menandakan zaman kesangsian saat tempat lilin itu dibuat, yang meninggalkan semacam kilatan di barisan lampu-lampu listrik yang berjajar. Tidak ada sesuatupun di dalam ruangan itu yang bisa mengganggu bayangan kejayaan masa lalu tempat sebagian besar tamu hotel itu hidup. Di salah satu ujung ruangan, seorang perempuan besar bergaun warna hitam karat menatap melalui kacamata tanpa gagang ke arah angka-angka yang diambil dari tabung di sebelahnya. Ketika satu demi satu angkaangka itu menjadi jelas di matanya, dia akan menyentak kepalanya ke satu arah, memandang ke seluruh ruangan, dan menyebut angka itu dengan suara yang keras, tinggi, dan menyakitkan. Wajah tirusnya akan tersenyum mendadak dan kemudian dia akan kembali mengambil angka-angka itu lagi. Itu berlangsung beberapa waktu secara terus menerus dan monoton, sehingga ketika ada gangguan mendadak dia terhuyung kagetdari duduknya. Seorang perempuan kecil dan bundar dengan kerah dan lengan baju terkanji, merayap ke dalam ruangan dan mengangkat 260 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 261 tangan ragu-ragu ke arah si penyebut nomer itu. "Ssss-shhht, Miss Jennings—" Perempuan yang dipanggil itu, terkejut dan marah, memandang galak ke arah si pengacau. "Tolong ya!" katanya tajam, dan sekali lagi mulai memilih sebuah angka dari tabung. Tapi pengacau itu, meskipun jelas-jelas diintimidasi, tidak mau diusir begitu saja. "Ada telepon," bisiknya seolah meminta maaf. "Untuk Anda, Miss Jennings... dari Mrs. Stevenson..." Miss Jennings, dengan sepotong kertas karton terhenti di udara, memandang tajam ke arah perempuan kecil yang gugup itu. "Siapa?" tanyanya terkejut. "Mrs. Stevenson... Itu juga kalau dia masih menunggu..." Mata Miss Jennings membesar dan kacamata tanpa gagang yang ada di ujung hidungnya bergetar. "Oh!" teriaknya. "Katakan padanya, aku segera datang." Lalu dia memutar kepalanya yang dihiasi rambut bercat hitam yang disanggul ke orang-orang yang menontonnya, dengan riang dia berteriak, "Aku mohon maaf, nona-nona. Kuharap kalian tidak keberatan. Aku harus menerima telepon penting dari Mrs. Stevenson... Kalian tahu kan—putri Mr. Cotterell... Mr. Cotterell yang memiliki Perusahaan Cotterell..." kemudian dia terbang ke tujuannya. Sambil meluncur keluar ruang duduk dan melintas di depan meja operator telepon, perempuan itu berteriak agardia dihubungkan dengan Mrs. Stevenson dari kamarnya yang terletak di ujung lorong sempit dan panjang di lantai satu—yang dilaluinya dengan kaki yang hampir tidak menyentuh tangga berkarpet maupun lantai papan tua. Pintu kamar dibuka, dan dia langsung melemparkan diri ke sebuah kursi malas raksasa berwama hijau di sebelah ranjang bertiang kuningan, dan menyambar pesawat telepon—semua dilakukan dengan satu gerakan mengalir. "Hal—halo. Halo, Mrs. Stevenson," dia menyapa sambil menghembuskan napas lega. Matanya yang kecil terlihat seperti mata burung sekarang karena kacamata tanpa gagang yang biasa dikenakannya diletakkan di pangkuan. "Saya senang sekali karena Anda menelepon." "Maafkan jika saya mengganggu," ujar Leona. "Tidak apa-apa," seru Miss Jennings. "Saya hanya sedang mengadakan permainan kecil sebagai pengisi waktu luang di hotel sini. Saya harap saya tidak membuat Anda menunggu terlalu lama." "Tidak apa-apa. Saya menelepon karena ingin bertanya, kira-kira Mr. Stevenson pergi kemana, ya? Telepon saya—nadanya sibuk sekali sore ini sehingga saya—saya khawatir 262 I Lucille Fletcher & Allan Ullman mungkin dia tidak dapat menghubungi saya. Dan saya cemas sekali..." Miss Jennings mencengkeram gagang telepon lebih erat ke dadanya yang kurus. Matanya memancarkan ketertarikan yang tidak tulus. Ini mengasyikkan. "Tidak," jawabnya agak terengah. "Saya tidak tahu Mr. Stevenson pergi kemana. Aneh sekali beliau belum sampai ke rumah." "Apa dia ada sesuatu yang hams dikerjakan sampai malam begini?" tanya Leona. "Ti—tidak. Saya rasa tidak. Beliau tidak ada di kantor ketika saya pulang pukul enam." "Dia tidak ada disana?" "Tidak. Bahkan beliau hanya ada di kantor beberapa menit seharian ini. Siang, kalau tidak salah. Kemudian beliau pergi dengan seorang perempuan dan itu adalah terakhir kalinya saya melihat Mr. Stevenson hari ini." "Perempuan—?" "Ya," sahut Miss Jennings, dan sinar di matanya itu semakin terang. "Ada seorang perempuan yang menunggu kedatangan Mr. Stevenson selama satu jam lebih. Dan kelihatannya dia sangat cemas." Leona ragu-ragu sejenak. Kemudian dia bertanya, suaranya bergetar. "Apakah— apakah—perempuan itu orang yang dikenal Mr. Stevenson? Seseorang yang pernah kesana sebelumnya?" Maaf, Salah Sambung | 263 "T-t-tidak. Dia belum pernah kesini sebelumnya. Saya tidak yakin. Dan Mr. Stevenson juga kelihatannya tidak—tidak mau mengenalinya. Awalnya memang begitu." "Apakah Anda ingat siapa nama perempuan itu, Miss Jennings?" "Namanya Lord—L-O-R-D, Mrs. Lord. Saya rasa nama depannya Sally." "Well, apa yang mereka lakukan?" desak Leona. Miss Jennings memandang langit-langit kamar, mengingat-ingat apa saja yang telah terjadi hari ini. "Mr. Stevenson kelihatannya agak malu, tapi bagaimanapun beliau berusaha memulihkan situasi tersebut. Beliau mengatakan pada Mrs. Lord bahwa beliau sudah ada janji dengan seseorang dan memintanya untuk datang lain kali. Perempuan itu menolak, dia bilang ini penting. Jadi Mr. Stevenson mengusulkan agar dia menemaninya makan sebelum mengadakan pertemuan dengan orang yang dijanjikan. Lalu mereka pergi keluar." "Dan dia sama sekali tidak kembali setelah itu?" "Tidak, Mrs. Stevenson. Saya pulang pukul enam, seperti yang sudah saya katakan tadi, dan beliau belum datang juga. Hanya ada satu pesan untuk beliau selama beliau pergi sepanjang sore tadi." 264 I Lucille Fletcher & Allan Ullman eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com Maaf, Salah Sambung | 265 "Pesan? Dari siapa?" "Oh, dari Mr. Evans—orang yang menghubungi Mr. Stevenson tiap minggu. Biasa... pengganggu." "Well," sahut Leona agak bimbang." Semua ini aneh sekali. Tapi saya yakin Mr. Stevenson akan mengabari saya jika ada sesuatu yang penting. Dia selalu mengatakan segala yang terjadi di kantor." "Ya, Mrs. Stevenson." Seulas senyum mengejek membayang di wajahnya ketika dia mengatakannya. "Saya ingin bertanya," sambung Leona. "Apa Mr. Stevenson pernah mengatakan pada Anda tentang kepergiannya ke Boston? Dia— dia mengatakan padaku..." "Oh, itu!" seru Miss Jennings. "Beliau memang melaporkan pada Mr. Cotterell mengenai kemungkinan untuk menghadiri kovensi di Boston. Tapi jika beliau pergi sekarang—saya tidak tahu." "Well, terima kasih," sahut Leona seriang mungkin. "Terima kasih banyak, Miss Jennings. Saya tidak akan menahan Anda lebih lama lagi." "Saya yang berterima kasih pada Anda, Mrs. Stevenson. Saya senang bisa membantu Anda. Saya harap keterangan saya cukup membantu. Sebagian besar orang-orang di kantor—well—kami agak-agak iri terhadap Anda, Mrs. Stevenson. Mr. Stevenson sangat setia pada Anda." "Ya," sahut Leona. "Dia memang begitu—" "Saya harap Anda menyukai bunga yang dikirim hari ini," sambung Miss Jennings. "Saya rasa bunga kamelia cukup cantik, sebagai ga;nti..." "Sangat cantik memang," sahut Leona. "Selamat malam, Miss Jennings." Miss Jennings menjawab salam Leona dan menutup teleponnya. Dia bersandar sambil menerawang, menatap langit-langit kuningan tempat tiga bola lampu yang berpendar telanjang tanpa tudung. Tapi dia tidak melihat sinar tajam itu atau yang lainnya. Matanya berputar di dalam rongganya, mengira-ngira akan adanya sebuah rahasia yang nantinya amat menjanjikan dan mengejutkan. Tidak ragu lagi, itu memang rahasia, atau sesuatu yang dulunya dirahasiakan. Adanya penjelasan yang nantinya akan dikemukakan oleh Mr. Stevenson akan langsung ditolaknya mentahmentah. Dia selalu merasa ada yang aneh tentang diri Mr. Stevenson. Ada suasana konflik yang selalu melingkupi wajah tampan dan keras itu dan sikapnya tak tertembus. Kalau dipikir-pikir, dia hanya sebentar saja berada di kantor. Dan Miss Jennings, dengan pikirannya yang sedang berputar-putar penuh tipu daya, mulai memikirkan segala kemungkinan. 266 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 267 Pucat dan gemetar, Leona jatuh ke atas tempat tidur yang bertaburkan bantal-bantal. Jadi begitu ya! Apa yang tidak bisa terjadi temyata sekarang terjadi! Bodoh! Benar-benar bodoh! Membuat dirinya terjebak perselingkuhan kotor dengan gadis dari masa lalunya. Dan terpergok hampir saat itu juga. Membuka aibnya tentang caranya bertugas dalam menangani perusahaan ayahnya. Untuk memaksanya memilih salah satu adalah aib dalam masyarakat—hancurnya ilusi yang diciptakan Leona tentang kehidupannya yang menyenangkan—tapi di sisi lain dia harus menanggung malu yang dirasakannya secara pribadi, dikalahkan selamanya oleh Henry yang tahu Leona tidak bisa mengalahkannya, selamanya. Tidak masuk akal! Mengapa semuanya terjadi malam ini? Apakah ada seseorang yang mencoba membuatnya gila? Apakah ada seseorang—Henry, mungkin— yang mencoba untuk membuatnya kena serangan jantung? Sesuatu melintas di benaknya... nama perempuan itu—Lord. Sepertinya nama itu pernah dia dengar sebelumnya. Atau melihatnya. Hari ini. Suatu waktu di hari ini nama itu pernah dilihatnya. Tapi karena gelisah, sulit sekali mengingatnya. Dia yakin nama itu pernah dilihatnya. Dan tiba-tiba saja dia ingat. Dia mengayunkan kakinya untuk turun dari 268 I Lucille Fletcher & Allan Ullman tempat tidur, awalnya agak gemetar. Dia berjalan menuju meja rias, menyalakan lampu yang menyala di salah satu ujungnya. Matanya menangkap sebentuk kartu putih di dekat tempat bunga—kartu yang menyertai bunga kamelia yang dikirimkan Henry hari ini. "Dengan segenap cintaku, Henry," tulisnya. Dia menyambar kartu putih itu, merobeknya sampai membentuk serpihan kecil dan menyebarnya di lantai. Dia mulai mengacak-acak barangbarang yang ada di meja, sampai matanya tertumbuk pada salah satu botol parfum yang di belakangnya ada sepucuk kertas dengan beberapa ban's berisi daftar yang ditulis oleh pelayannya. Ketika dia mengambil kertas itu, telepon berdering. Dia kembali meneggelamkan diri ke tempat tidur dengan kertas itu tergenggam di tangannya sambil mengangkat telepon. Suara seorang lelaki—bergaung, lelah, dan tua, dengan aksen Inggris yang kental, berkata, "Tolong dengan Mr. Stevenson." "Dia tidak ada," bentaknya. "Siapa ini?" "Mr. Evans disini. Kapan kira-kira dia datang? Ini penting sekali. Saya sudah menghubungi kantornya, dan sepertinya dia tidak ada disana." "Saya tidak tahu dimana Mr. Stevenson sekarang ini," sahutnya. "Lebih baik Anda menelepon lagi nanti." Maaf, Salah Sambung | 269 "Kira-kira lima belas menit lagi?" tanya si lelaki. "Saya tidak punya waktu lagi. Saya akan menginggalkan kota tengan malam nanti." "Baiklah," ujarnya. "Lima belas menit lagi." "Terima kasih," sahutnya bergumam. "Saya akan menelepon lagi nanti. Dan—tolong katakan pada Mr. Stevenson saya menelepon. Jika dia sudah pulang. Nama saya Evans. EV- A-N-S. Saya ada keperluan yang sangat penting." Evans dan teleponnya tadi segera menghilang dari benaknya segera saat Leona menutup telepon. Dia membawa sepucuk kertas itu ke bawah lampu. Di atasnya tertulis: Telepon untuk Mr. Stevenson." Di bawahnya ada 3 entri yang ringkas: 15:30 Mr. Evans. Richmond 8:12. 16:35 Mr. Evans. Richmond 8:12. 16:50 Mrs. Lord. Jackson Heights 5:9964. Itu dia. Mrs. Lord! Menghubungi Henry di rumahnya sendiri—di rumah Leona. Konyol sekali. Ada batasan tertentu untuk hal-hal semacam ini, dan salah satu batas itu telah terlampaui. Dijangkaunya telepon dan diputarnya nomer Jackson Heights. Wajahnya mengeras, cemburu, sekeras batu. Jemarinya gemetar gugup, menggenggam ujung tempat tidur ketika dia menunggu jawaban dari seberang. Kemudian nada panggil berubah 270 | Lucille Fletcher & Allan Ullman menjadi suara anak kecil yang berkata, "Halo, disini kediaman Lords." Terkejut, Leona berkata, "Saya ingin bicara dengan Mrs. Lord. Apa dia ada?" "Sebentar," sahut si bocah. "Saya panggil." Didengarnya anak kecil itu meletakkan telepon. Samar-samar terdengar suara seorang lelaki, "Apa itu untuk Ayah, Nak?" Lalu suara si bocah, "Buat Ibu," lalu suara lelaki itu menggumam bingung, tapi tidak terlalu jelas untuk dikenali. Dia mencoba mendengarkan dengan seksama, jika mungkin mengenali, gaya bicara lelaki itu. Tapi tidak ada satupun dari suarasuara tersebut yang dikenalnya. Tiba-tiba dia merasa tegang, dan menempelkan gagang telepon lebih erat ke telinganya untuk bisa mendengar lebih jelas. Tadi dia mendengar ada yang menyebutkan "Stevenson" dari percakapan yang samar-samar itu. Dan "Cotterell Corporation"! Dan "Staten Island." Setelah itu ada seseorang—perempuan—mendekati telepon, memperingatkan si bocah untuk kembali ke tempat tidur, berkata ke salah seorang lelaki disana, "Fred—teganya kamu! Dia berjalan keluartanpa alas kaki!" Kemudian ada suara berkerisik ketika telepon itu kembali diangkat, dan perempuan itu menyapa, "Halo?" Mulut Leona tiba-tiba seperti penuh kapas. Dia terdiam sesaat untuk menelan ludah. "Halo, Mrs. Lords?" Maaf, Salah Sambung | 271 "Saya sendiri." "Ini Mrs. Henry Stevenson, Mrs. Lords. Saya—saya yakin kita belum pernah bertemu— tapi saya tahu Anda menemui suami saya siang ini." "Oh—ya—memang," sahut suara di seberang agak ragu. Kegugupan yang didengarnya dari si perempuan itu membuat lidah Leona terasa longgar. "Biasanya, saya bahkan tidak akan bermimpi untuk mengganggu Anda, Mrs. Lord," kata Leona menyindir. "Tetapi—sebagaimana yang sudah terjadi—suami saya belum pulang sore ini. Saya tidak dapat menghubunginya dimanapun. Dan saya pikir mungkin Anda bisa mengatakan pada saya dimana kira-kira dia berada..." "Oh—ya—bisa," sahut si perempuan tadi, samar-samar. "Saya tidak bisa mendengar suara Anda, Mrs. Lords. Bisakah Arrda bicara sedikit lebih keras?" "Tentu saja—saya..." "Apa ada yg salah?" tanya Leona dengan dingin. "Saya harap Anda tidak menyembunyikan sesuatu dari saya, Mrs. Lords." "Oh, tidak... Bisakah saya menghubungi Anda kembali?" "Mengapa?" 272 I Lucille Fletcher & Allan Ullman "Karena..." Suara perempuan itu mendadak berubah dari putus asa yang diam menjadi aneh dan merasa terganggu. "Sekarang malam bermain kartu bridge, Anda mengerti kan?" "Apa maksud Anda?" Tanya Leona mendesak. 'Apa hubungannya permainan bridge dengan hal ini? Maaf, tapi saya sama sekali tidak mengerti apa yang Anda maksud, Mrs. Lords!" "Dan kemudian kita jalan-jalan ke Rotin Point," si perempuan itu melanjutkan seolah tidak terjadi apapun. "Hey, dengar," ujar Leona kasar. "Anda ingin mempermainkan saya, ya, Mrs. Lords? Jika Anda belum tahu, saya ini invalid. Saya tidak tahan dengan perbuatan yang menjengkelkan ini. Sekarang bilang pada saya: Apakah suami saya ada disana bersama Anda? Apakah dia ada disana? Katakan sejujurnya pada saya!" "Tiga telur dipisahkan," kata si perempuan itu meracau. "Dua gelas susu, dan satu gelas susu asam. Buat krim susu asam itu dengan menambahkan sedikit gula, lalu tambahkan satu sendok tepung..." Kemudian hening sesaat, lalu terdengar suara perempuan itu berbisik. "Leona... Leona... Ini Sally Hunt, Leona. Kau ingat kan? Maafkan kekonyolanku, tapi tadi suamiku berdiri dekat sekali dengan telepon. Aku tidak bisa bicara sekarang. Aku Maaf, Salah Sambung | 273 akan menghubungi secepat mungkin. Tunggu saja..." Dan suaranya menghilang. Leona berbaring di kasur, menenangkan sarafnya. Dia sangat bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Aneh sekali cara Sally untuk kembali masuk ke dalam kehidupannya seperti ini! Sally Hunt! Dulu Sally jatuh cinta pada Henry, mungkin sampai sekarang juga masih, meski mungkin dia sudah menikah dan punya anak. Dia sudah jatuh cinta pada Henry sejak dia mengundang Henry untuk menemaninya ke pesta dansa di kampus. Malam itu Leona mencabutnya dari keramaian. Kejadian itu sudah lama berselang. Tapi Leona mengingatnya dengan mudah. Musik dansa menggelegar dari sebuah fonograf yang disandarkan pada tembok panggung Auditorium. Dibawahnya, dalam ruang luas yang dihiasi dengan baliho dan kertas warna-warni, beberapa pasang mudamudi menari berjingkrakan, atau hanya berdiri sambil ngobrol, atau berkelana ke meja prasmanan. Sebagian besardari para pemuda itu bertampang sama—rambut cepak, celana baggy, jas wol. Dan gadis-gadisnya memiliki seragam mereka sendiri—sweater gombrong dan rok, dengan rambut panjang diikat di tengkuk. 274 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Tapi ada dua orang diantara mereka yang berbeda. Pemuda yang berdansa dengan Sally jelasjelas bukan anak kampus. Pakaiannya sesuai, rambutnya dipotong bergaya konvensional dan rapih; dan caranya menari sangat anggun dan jauh dari kesan kasar. Tubuhnya tinggi, berotot, dan berambut gelap, juga tampan. Dari cara Sally memandang penuh rasa kagum, mudah sekali mengetahui apa yang membuat sepasang mata gadis itu berbinar-binar, dan itu bukan akibat kegairahan pesta saat itu. Dari raut wajahnya, tidak ada sedikitpun yang bisa menampakkan isi hati si pemuda. Dia memandang acuh dari atas kepala Sally, dan lagaknya hampir seperti pengawal. Leona, gadis berpengalaman dengan kecantikan pucat, terbalut gaun hitam dan rambut pendek berkilat sampai ke ujung daun telinga, adalah sosok yang menonjol diantara kumpulan pemuda-pemudi itu bagai kapal pesiar diantara tongkang. Segala hal yang ada pada dirinya terlihat sangat berbeda. Perbedaan mahal itu nyata-nyata terpampang. Gadis-gadis tidak berpakaian seperti itu dari uang saku yang paspasan. Dia memperhatikan Sally yang berdansa untuk beberapa saat, lalu melangkah ke arah mereka, menuju punggung lebar pasangan Sally itu. Dia menepuk bahu pemuda itu dan Maaf, Salah Sambung | 275 berkata, sambil tersenyum, "Boleh aku menyela?" Mereka berdua terkejut, berdiri sampingmenyamping, dan Sally bingung. Pemuda itu menatap langsung ke wajah Leona penasaran. "Kau tidak keberatan kan, Sally?" tanya Leona. Sally segera pulih dari keterkejutannya, dengan cepat berkata, "Kau mendapat taklukan, Henry. Selamat." Leona menatap dengan pandangan sayu ke arah pasangan Sally. "Aku Leona Cotterell. Siapa namamu?" Sebelum si pemuda menjawab, Sally segera mengenalkannya. "Ini Henry Stevenson, Leona." Leona tersenyum dan menyibakkan rambutnya dengan anggun kemudian bergerak ke arahnya. "Mari kita berdansa," ajaknya. Dan terjadilah apa yang terjadi. Mereka berdansa dan Leona menjadi pusat perhatian. Pandangan acuh Henry tidak terlihat lagi sejak saat itu. Diajelas-jelas terpesona, dan meskipun pemuda itu tidak mengobrol pujian terhadap Leona, dia telah menyampaikan kekagumannya pada daya tarik Leona, akan jurang yang memisahkannya dengan temantemannya yang lain, seperti misalnya, Sally. Dia langsung menebak ayahnya adalah Jim Cotterell. "Beliau adalah orang yang sangat kukagumi," ujarnya. "Beliau tahu apa yang diinginkan. Memiliki otak untuk merencanakan dan mendapatkannya. Uang. Kau bisa lakukan apapun dengan uang. Suatu hari nanti..." dan dia berhenti mendadak sambil tersenyum layaknya seorang bocah. Leona suka senyum itu. Senyum yang tidak melebar ke seluruh wajah sebagaimana perubahan wajah dengan mempertontonkan banyak gigi seperti sebagian pemuda lainnya. Senyum itu seperti menyalakan lilin di matanya, dan lengkungan menarik di sudut mulutnya menjadi lebih dalam. Hal ini malah memperkuat karakter wajahnya. Senyum yang tulus, lugu dan tidak berkesan sombong. Ketika mereka bergerak perlahan melintasi lantai dansa, ada hal lain tentang diri pemuda acuh ini dan membuat Leona sangat tertarik. Dia sama sekali tidak peduli dengan kuliah. "Terlalu miskin," jawabnya tanpa senyum. "Keluargaku terlalu miskin. Aku harus membantu mereka sebisaku." Leona menanggapi dengan apik. "Beberapa orang-orang menarik yang aku tahu malah tidak kuliah. Ayahku juga bukan orang kuliahan." "Oh?" Henry menanggapi senang. "Jadi masih ada harapan bagiku. Maksudku, untuk bisa meraih kesuksesan." 276 I Lucille Fletcher & Allan Ullman "Ayahku selalu bilang, jika seorang lelaki tidak punya bakat untuk mencetak uang, kuliah tidak akan membuatnya jadi berbakat. Dan jika dia memang berbakat mencetak uang, mengapa menghabiskan waktu di bangku kuliah?" Hal itu benar-benar membuat Henry senang. "Hore untuk Ayah!" ujarnya. Musik berhenti dan Henry menarik tangannya dari pinggang Leona, juga melepaskan tangan gadis itu yang sedari tadi digenggamnya. "Terima kasih," katanya. "Banyak terima kasih." Leona tersenyum nakal. "Maukah kau duduk jika musik diputar kembali?" "Tunggu sebentar," ujarnya dengan wajah pura-pura takut. "Bagaimana dengan Sally? Lagipula, Sally itu adalah—adalah pengiringku— kalau dia tidak mengundangku..." Leona menunjuk ke arah Sally yang sedang berbicara asyik dengan beberapa pemuda berambut cepak di seberang ruangan. "Sally sudah ada yang menemani, lagipula kita cuma beberapa menit saja. Ayo kita keluar dan akan kutunjukkan mobilku padamu—kesayanganku." Dia menarik tangan si pemuda dan membawanya keluar dari auditorium. Mereka melintasi halaman yang diterangi cahaya bulan ke Maaf, Salah Sambung | 277 278 | Lucille Fletcher & Allan Ullman arah jalanan. Berpuluh-puluh mobil berjajardi sepanjang halaman parkir, tapi ada satu mobil yang bentuknya lebih rendah dan lebih panjang daripada mobil lainnya, dan dua kali lebih gagah daripada mobil di sebelahnya. "Bukankah dia cantik?" ujarnya bangga. "Tidak ada satupun yang seperti ini. Perbandingannya satu banding seratus, begitu kata penjual yang menawarkan ke Ayah. Kata Ayah mobil ini terlalu mewah untukku, tapi setelah aku melihatnya, mobil lain sepertinya tidak ada apa-apanya di dunia ini." "Mobil hebat," ujar Henry. "Bugatti! Lumayan! Sangat lumayan!" Leona kembali menarik tangan Henry. "Bagaimana kalau kau mencobanya?" tanya Leona memaksa. "Cuma berputar-putarsedikit di jalanan sekitar sini. Tidak ada seorangpun yang akan kehilangan kita." Dengan segera dia menyetujuinya, dan Leona bahkan ingat betul bagaimana Henry kemudian agak berlari kembali melintasi halaman dan masuk ke dalam auditorium untuk mengambilkan mantel bulu Leona dan jaketnya sendiri. Hanya dalam beberapa menit mereka sudah berada di jalanan, atap terbuka, dengan mesin Bugatti menderum dan bergetar galak. Udara musim dingin yang tajam mengiris wajah mereka, mengaduk-aduk mereka dengan perasaan gembira yang menggelitik. Dia Maaf, Salah Sambung | 279 mengerti kini—ketika hal itu dipikirkannya kembali sekarang—bukan dia atau mobilnya yang hebat yang menjadi sumber kesenangan Henry yang menyetir sambil berteriak-teriak ribut malam itu. Tapi kesan yang ditampilkan dari diri dan kendaraannya itu—yang tidak hanya dilihat dari kejauhan, tidak dimimpikan, ada di bawah kendali tangannya. Dan itulah sebabnya mengapa wajahnya bercahaya saat dia mengendarai mobil Leona. Dan itulah alasan mengapa dia tidak menolak ketika diajak kabur dari lantai dansa. Dia telah merasakan apa yang selanjutnya diketahui dengan pasti, dan bahkan benaknya telah mulai membuat rencana, membuat bagan, dan menentukan pola yang akan dilaksanakannya nanti. Sedikit demi sedikit dia merasakan kepastian yang makin menguat di dalam pikirannya. Dia mengarahkan Henry untuk berbelok dan akan membuat mereka terjebak di jalan buntu. "Mobil hebat," katanya memuji, enggan untuk berhenti. "Mobil ini benar-benar bisa ngebut. Aku ingin membawanya keluar kapankapan dan melepaskannya di alam bebas." Sambil tertawa Leona berkata, "Kita hampir tidak mengenal satu sama lain. Kuharap kau mau mengantarku pulang nanti. Atau apakah aku harus keluar dan berjalan kaki pulang?" Leona merebahkan diri ke jok mobil untuk menatap langit malam, hitam bagai beledu dan bertabur bintang-bintang, terpotong di satu tempat oleh bulan dingin setipis pisau. "Sally Hunt," gumamnya, melamun. "Aku tidak pernah bisa membayangkan kalian berdampingan berdua sampai kapanpun." Dia berpaling dari setir dan memandangnya, tangan melingkar dari atas kepala memeluk jok mobil bagian belakang. "Mengapa?" "Oh—perasaanku saja. Aku mengenali berbagai sifat. Ayahku sering mengajakku kemana-mana—keluar negeri dan semacamnya— dan aku sering sekali bertemu banyak orang baru. Kau akan mengkotak-kotakkan orang berdasarkan kelasnya setelah beberapa saat—setelah kau sering bepergian seperti itu. Kau dan Sally tidak berada di kelas yang sama. Kalian sangat jauh berbeda." "Maksudmu uang?" tanyanya getir. "Maksudmu keluarganya kaya dan aku seharusnya tidak masuk begitu saja dan merusak tatanan itu?" "Bukan begitu maksudku," katanya terburuburu. "Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu." "Tidak ya? Lalu apa?" "Aku hanya berpikir Sally memang cocok untukmu karena kalian berasal dari kota kecil yang sama. Tapi kau berbeda." 280 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 281 "Aku berbeda? Dan kau bisa menemukan perbedaan itu pada diriku—dalam waktu sesingkat ini?" Dia tertawa kecil mengejek. "Mengapa tidak?" Leona balik bertanya. "Kau lihat saja anak-anak di lantai dansa tadi. Mereka anak-anak kampus yang berasal dari keluarga baik-baik, kaya dan terpandang. Tapi kau membuat mereka terlihat seperti bayi. Dan sebagian besar dari mereka akan tetap menjadi bayi seumur hidup." "Bagaimana denganku?" "Kau bukan bayi, Henry. Mungkin bahkan kau tidak pernah menjadi bayi." Saat itulah Henry mencondongkan badan ke arah Leona dan menciumnya—agak kasar, dan berpengalaman. Ciuman itu cukup lama untuk membuat Leona merasa gemetar karena kegembiraan luar biasa yang menjalari setiap syaraf di tubuhnya. Lalu Henry kembali ke tempatnya semula, menatapnya seperti seorang seniman memeriksa hasil karya seninya. "Aku selalu ingin mencium uang sejuta dollar," ujarnya. Dia tersenyum licik. "Apa kau mau mencoba mencium uang dua juta dolar?" Ucapannya membuat Henry kaget, memaksanya untuk terpaksa tersenyum. Dia telah memasukkan cakarnya kembali—untuk sesaat—dan mata Henry berkilat-kilat gembira. "Aw!" serunya, dan kemudian, "Mungkin aku agak sedikit lebih baik daripada anak-anak berandal di pesta dansa tadi. Tapi semua itu karena aku harus memenuhi kebutuhan hidupku dan keluargaku selama ini—dan itu tidak cukup bagiku." "Bagiku itu sudah cukup jauh. Aku tahu kau akan berusaha semampumu. Semua ini berkaitan dengan penampilanmu. Bagaimana kau mempengaruhi orang lain. Orang sepertiku." Raut wajahnya kembali dingin dan sinis. "Ini lucu sekali," ujarnya. "Yang kulakukan hanya duduk disini dan menyerap semua pujian dari seorang gadis yang punya uang jutaan dolar, jaket bulu, dan Bugatti, dan tidak akan pernah kutemui lagi." "Kau tidak tahu," kata Leona. "Kau tidak tahu—apa-apa." "Aku tidak mengerti." "Kau akan mengerti nanti," ujarnya lembut. "Ceritakan tentang dirimu, Henry. Darimana asalmu? Bagaimana keluargamu?" Dia tertawa sinis. "Itu cerita yang sangat singkat. Aku datang dari keluarga yang sering disebut sebagai 'salah jalur'. Ayahku mengantarkan batubara ketika dia sadar, dan berpidato tentang kemiskinan saat mabuk. Keadaan ibuku mungkin akan baik-baik saja jika beliau tidak jatuh cinta pada Ayah. Ibu dulu pernah mengenyam pendidikan dan meng- 282 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 283 inginkan pendidikan yang lebih tinggi lagi. Tapi beliau malah membesarkan enam anak, menjaga mereka agar tetap hidup dan jauh dari masalah, dengan atap—bocor lagi—di atas kepala mereka dan sesuatu untuk mengganjal perut mereka. Begitulah. Impian Amerika." "Tapi bagaimana dengan kamu?" tanya Leona. Kau tidak kelihatan seperti—seperti—" "Seperti orang miskin? Seperti orang yang membagi rokoknya menjadi dua agar lebih awet? Tidak," ujarnya. "Tidak separah itu. Ibuku berusaha memasukkanku ke sekolah lanjutan dan bukan memaksaku bekerja, setelah aku menyelesaikan kelas delapan. Di sekolah lanjutan mereka sadar bahwa aku bisa berlari cepat sambil mengepit bola. Aku jadi terkenal. Sally Hunt mengajakku untuk menemui keluarganya—di kotaku, keluarga Hunt tergolong keluarga yang lumayan terpandang— dan ayahnya temyata menyukaiku. Dia memberiku pekerjaan di apotikterbesardi kota itu." "Apotik!" seru Leona. "Henry, ini takdir!" "Tentu saja," sahut Henry menyeringai dan menerima sindiran Leona. "Sudah kuduga kau akan merasa seperti itu." "Ceritakan lebih banyak lagi padaku," ujar Leona dengan riang. "Apa kita masih berurusan di bidang yang sama?" "Tentu saja," sahut Henry. "Sekarang aku adalah manager segalanya kecuali bagian 284 I Lucille Fletcher & Allan Ullman resep. Bocah lokal membuat semua jadi enak. Sandwich enak, soda enak..." "Bagaimana dengan Sally?" tanya Leona. Saat-saat konyol dan singkat itu hilang. Dia ragu-ragu, raut sedih yang terlihat alami kembali mewarnai wajahnya. "Sally anak yang baik," jawabnya. "Kami berteman akrab. Tidak lebih dari itu. Keluarganya sangat baik padaku. Mereka membantuku di masa-masa sulit. Tapi aku tidak tahu. Kadang-kadang aku merasa..." Dia mengalihkan pandang dari Leona. Matanya menerawang jauh ke depan, ke arah hutan gelap di pinggir lapangan di tepi jalan, dan jauh lagi sampai dia tidak bisa melihatnya. "Ya... Merasa... apa?" tanya Leona lembut. "Seolah-olah aku terjebak. Seolah-olah apapun yang kulakukan—sekeras apapun aku bekerja—aku tidak akan pernah mendapatkan apa yang kumau karena aku menginginkan lebih banyak." Mereka duduk dalam diam. Henry menawarkan rokok padanya, mengambil satu, dan menyalakan rokok mereka. Pengakuannya itu menimbulkan kemarahan terpendam dalam dirinya. Akhirnya dia menghisap rokoknya dalam-dalam, berbalik ke arah Leona sambil menyeringai dan berkata, "Kau dan Bugatti sialanmu! Ayo kita kembali ke pesta dansa!" Maaf, Salah Sambung | 285 Mereka kembali berkendara dalam diam. Tidak ada seorangpun yang bicara sampai mereka memarkir mobil dan Henry membuka pintu untuk Leona. Tiba-tiba Leona menarik lengan bajunya. "Bagaimana jika kau kupertemukan dengan ayahku, Henry?" "Boleh, itu boleh saja. Kami punya banyak kesamaan. Kami berdua bekerja dalam bidang obat-obatan." Dia tertawa, kali ini tanpa kegetiran di dalamnya, melainkan ingin menunjukkan apa yang diucapkan itu memang lucu. "Aku sungguh-sungguh. Kurasa Ayah akan menyukaimu. Apalagi jika dia kupaksa untuk itu. Beliau akan datang akhir pekan besok dan aku akan membolos hari Sabtu. Bagaimana jika kau bertemu dengan kami pada hari itu?" "Tahukah kau," jawabnya lambat-lambat. "Mengapa tidak? Lagipula tidak akan kerugian padaku jika kulakukan." Dan dari situlah semuanya bermula. Henry, layaknya anak kuda yang gelisah, awalnya tidak mudah ditangani. Dia memiliki kebanggaan dan kemandirian, dan dia tahu ada seorang gadis anak orang terkaya di Amerika yang menaruh perhatian besar padanya. Perhatian khusus yang sangat besar, dan itu membuatnya curiga. Tapi Leona sabar menunggu. Henry pernah berkata mungkin dia meminta terlalu banyak. Dengan itulah Leona membuka pintu hati Henry. Dengan dunia dalam genggamannya, kebanggaan itu tidak bisa ditahan lagi. Dan ketika itu dihancurkan saat itulah Leona mendapatkan apa yang ia inginkan. Leona mengenang kejadian dengan Sally Hunt yang hampir membuatnya tertawa, tidak lama setelah pesta dansa itu. Suatu sore Sally mendatangi kamarnya, agak ragu-ragu, tapi dengan ketegasan yang meliputi wajah cantik yang biasanya hang itu. "Leona, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu." Saat itu Leona sedang membungkuk di atas beberapa koper yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Dia menegadah ke arah Sally sambil berkata dengan nada jengkel, "Well—Ya Tuhan, cepat katakan apa maksudmu! Aku akan pergi ke Chicago dalam beberapa menit." Sally menunduk sesaat, kemudian menatap mata Leona dengan tiba-tiba. "Kau sering sekali menemui Henry beberapa minggu ini, Leona, dan ada sesuatu..." "Ya?" jawab Leona agak mengejek. "Ada sesuatu yang kurasakan—dan kupikir—aku harus mengatakannya padamu." "Kau sudah mengatakan hal itu sebelumnya. Ayo, katakan saja ada apa." 286 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 287 "Dia bukan jenis laki-laki—untuk dipermainkan, Leona. Jangan main-main lagi dengan dia, Leona—tolong." "Siapa bilang aku main-main dengannya?" tanya Leona ingin tahu sambil berjalan ke arah lemari untuk mengambil pakaian lagi. "Oh, Leona—dia itu bukan orang dari golonganmu—dia tidak lebih dari anak-anak yang lain..." Leona mendadak diam. "Aku suka keberanianmu..." Tapi Sally terus bicara dengan penuh semangat. "Jika kau tidak menghentikannya sekarang kau akan menyesal, Leona. Henry bukan orang yang tepat untukmu. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku. Ayahku membantunya. Seluruh keluargaku memperlakukannya seolah dia bagian dari kami. Dan dia selalu baik jika salah satu dari kami ada di dekatnya—untuk membantunya. Tapi dia— agak lain. Dia memang manis, baik dan lembut—untuk beberapa saat, kemudian suasana hatinya akan—berubah. Dia menginginkan hal-hal yang tidak bisa didapatkannya. Dan jauh di dalam lubuk hatinya hal itu membuatnya gila. Saat itulah dia perlu bantuan— kami. Oh, kukira aku memang mencintainya. Tapi pengertian lebih penting dari cinta. Dia tidak akan nyaman dengan orang yang tidak 288 | Lucille Fletcher & Allan Uilman mengerti dirinya. Dia melakukan hal-hal yang—yang akan membawanya berhadapan dengan banyak masalah jika orang tidak memahami betul bagaimana dia sebenarnya." Leona tertawa keras. "Tipuan bagus, tapi tidak berhasil untukku, Sally. Kau hanya tidak bisa bersaing. Sesungguhnya, aku sangat memikirkan si Henry Stevenson itu. Dan aku mengerti dia. Dan kupikir dia terlalu bagus untuk ditempatkan di kotamu. Jika aku ingin mengajaknya bersenang-senang, memperkenalkannya ke beberapa orang, itu urusanku. Jika aku ingin menikahinya—itu juga urusanku." "Menikahinya!" Sally terperanjat. "Kau tidak bermaksud begitu 'kan. Kau bercanda." Leona tersenyum puas. "Apa ada alasan yang lebih baik mengapa aku tidak bisa menikahinya?" Sally menarik diri setelah Leona mengatakan hal itu, dan Leona kembali mengingatnya ketika dia berbaring gelisah di ranjang. Sally sama sekali tidak melakukan perlawanan yang cukup berarti. Dan jika dia melakukan kebalikannya, sebenarnya itu lebih baik. Perlawanan dari Jim Cotterell juga tidak banyak berarti, meskipun dia telah berusaha sekuat tenaga bagai lembu jantan yang sedang distempel dengan logam panas. Maaf, Salah Sambung | 289 "Anak itu tidak punya apa-apa," ujar Jim setahun kemudian, Ada setitik permohonan dalam suaranya yang bergemuruh itu. "Dia memang seorang pemuda yang gagah. Tapi dia hanya bocah biasa—layaknya batu—pasaran. Setelah banyaknya biaya yang kukeluarkan untuk pendidikanmu—ke luar negeri—memberikan apapun yang kau mau—mengapa kau membuat dirimu jadi sia-sia begini?" "Aku mencintainya," jawab Leona dengan tegas, menatap langsung mata ayahnya. "Sampah!" teriak Jim. "Kau itu keras kepala." Leona dengan kepala batu berdebat dengan ayahnya untuk menegaskan bahwa dia bukan anak yang keras kepala. Dia mencintai Henry dan itu dikatakannya berulang-ulang kali. Tapi Jim mengetahui semua dengan lebih baik. Leona mencintai Henry sama seperti dia mencintai Bugatti-nya, teriak Jim. "Masalahnya, Ayah," sahut Leona murka, "Ayah tidak ingin aku menikah dengan siapapun. Ayah hanya ingin aku tinggal disini, di rumah ini—bersamamu." Leona berdiri tegak menantang ayahnya. Jim berjalan mondar-mandir di kandangnya, dengan wajah segemuk sapi berwarna keunguan karena kecemasan dan kejengkelannya. "Itu tidak benar—sama sekali tidak benar," jawabnya sambil menghentikan langkah di hadapan Leona. "Kau tahu aku memberikan segalanya untukmu. Aku selalu memberikan apa yang kau inginkan—membiarkanmu melakukan apapun yang kau suka, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Tapi kali ini lain. Pernikahan adalah hal besar bagi gadis dengan posisi sepertimu. Aku telah bekerja dengan sangat keras. Aku membangun bisnis besar. Untukku? Bukan! Pertama untuk ibumu, sekarang untukmu. Saat aku mati nanti, kau akan dapatkan semuanya. Dan aku tidak ingin nantinya ada seorang bodoh yang menggerayangi hakmu hanya karena kau menikah dengannya. Apalagi di saat kau terlalu gelisah untuk bisa berpikir dengan jernih." "Dengarkan Ayah, sayang. Kau harus berpikir tentang hal ini sekali lagi. Coba beri waktu bagi dirimu sendiri—misalnya setahun— untuk bisa melihat seberapa baik anak ini untukmu. Temuilah dia sesuka hatimu. Kemudianjika kau masih menginginkannya..." Tawaran ayahnya hanya membuat amarah Leona makin memuncak. "Ayah ini pembenci!" teriak Leona. "Egois dan pembenci. Ayah tidak peduli denganku. Ayah hanya memikirkan diri dan bisnis Ayah itu. Ayah tidak suka Henry hanya karena dia mencampuri rencana egois Ayah. Anggaplah 290 | Lucille Fletcher & Allan Ullman dia anak desa. Memangnya sewaktu Ayah memulai semuanya itu, Ayah siapa, sih—di Texas sini?" Tubuh Leona tergetar menahan amarah. Dia memandang senang demi melihat raut wajah khawatir yang segera terpampang di sana. "Tenang, Sayang," ujar Jim memohon. "Kau hanya akan membuat dirimu sendiri jadi sakit." "Sakit!" teriak Leona. "Membuat diriku sakit! Ayahlah yang membuat diriku sakit. Ayah dengan uang dan bisnis Ayah yang hebat itu. Ayah tidak peduli jika semua itu hanya akan membawaku ke alam kubursupaya aman dan tidak ada seorangpun yang akan mengambilnya dari Ayah." Leona mengisak, dan Jim mencoba merangkulnya. Dia berkelit, dengan sebal menghempaskan diri ke kursi. "Aku—aku tidak ingin lagi membicarakan hal ini" ujarnya sedih diantara isak tertahan. "Aku merasa tidak enak badan..." Kemudian, sambil berkonsentrasi penuh, Leona membuat dirinya pingsan, dan ketika dia mendekati kegelapan yang mengundang, Leona mendengarayahnya berteriakteriak memanggil pelayan kepaia. Pernikahan itu adalah kemenangan yang mulus dan cepat. Masih segar dalam ingatannya getaran suara yang gembira sarat dengan Maaf, Salah Sambung | 291 hasrat memiliki ketika dia mengucapkan, "Saya—Leona—bersedia menerima Henry—" Dan sikap Henry memenuhi semua harapan Leona. Dia tidak tegang—juga tidak terlalu santai—dan perilakunya membuat semua tamu terpesona. Dan Henry sudah mulai menyerap pengaruh menyenangkan dari gelimang kemewahan yang tiada akhir. Jika ada sedikit keraguan dan keberatan dalam diri Henry maka Leona akan segera menampiknya. Saat itu Henry menunjukkan bahwa pembawaan dirinya yang sempurna dan itu membanggakan Leona. Bahkan Jim kelihatannya senang akan semua itu, untuk beberapa saat. Tapi Leona mengerti wajah ayahnya yang tersenyum lelah itu sebenarnya menyimpan banyak kesedihan. Jim tidak akan pernah bisa menerima Henry seutuhnya. Tidak akan pernah. Seberapapun kerasnya dia mencoba. Semua ini memenuhi benaknya selama upacara pernikahan dan setelah makan malam di kediaman Jim. Bagi Leona, Henry adalah sebuah proyek yang sedang ditangani, sebuah persamaan matematika yang harus dipecahkan. Dia bermaksud menyelesaikan persamaan dan proyek itu dengan harga berapapun. Pada akhirnya Jim harus mengakui kesalahannya. Kesenangan akan kemenangan yang belum juga dimenangkannya terpancar dengan riang 292 | Lucille Fletcher & Allan Ullman di benaknya, ketika—tanpa terlihat oleh orang lain—tangannya yang memandu tangan Henry menelusuri jajaran perangkat makan perak yang berkilat di meja sarapan. Selama bulan madu panjang di Eropa setelah itu, Leona senang akan kesantaian yang tidak memalukan sama sekali yang diajarkan Henry padanya. Tidak diragukan lagi, tawaran kemewahan tanpa batas yang diajukan Leona untuknya, serasi dengan wajah ayu dan penerimaan tubuh Leona atas Henry, membuat lelaki itu lengah. Dia menerima ajaran Leona dengan anggun, bahkan dengan penghormatan. Jika Leona memaksa memilihkan pakaian untuk Henry dan bagaimana cara Henry memakainya, maka itu adalah kesenangan, bukan gangguan atau penghinaan. Dia kelihatannya cukup cepat untuk menyadari sebagaimana pentingnya hal-hal tersebut dalam dunia Leona, dan bagaimana dia bisa lebih nyaman bila dia tampil dengan benar dan perilakunya tanpa cela. Bahkan dia juga tidak sadar ketampanannya yang nyata dan tegas diperjelas dengan tatanan yang teratur itu. Leona melihatnya mendiami kehidupan dimana masa lalu—bagaimanapun itu—menghilang, atau begitulah yang diinginkannya. Itu tidak begitu penting. Yang penting baginya adalah pada saatnya nanti Henry akan begitu larut ke dalam keghidupan yang diciptakan Maaf, Salah Sambung | 293 294 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Leona sampai tidak ada sedikitpun kekuatan yang bisa melawannya. Dan itulah yang diinginkan Leona. Pandangan kemenangan—senyum puas yang terulas samar—bermain-main di wajah lelah dan ketakutan Leona ketika dia terbaring sambil menduga-duga apa yang kira-kira terjadi sejak malam ketika Sally memperkenalkan Leona pada Henry. Sesaat kemudian Leona mendengar ledakan serak dari salah satu perahu di sungai. Senyum itu memudar ketika dia bangkit, memandang botol-botol obat di meja kecil, dan jam di sebelahnya. Tiba-tiba saja suara telepon berdering mengejutkannya. 9:55 Ternyata Sally yang menelepon. "Aku minta maaf karena tadi terdengar bodoh dan misterius," kata Sally. "Aku tidak bisa bicara saat itu. Aku takut suamiku mendengar apa yang aku bicarakan. Jadi aku mencari alasan agar aku bisa keluar dan menelepon dari telepon umum." "Well, kalau dipikir-pikir memang aneh," jawab Leona. "Kau mungkin akan berpikir bahwa semua ini aneh, Leona—mendengar suaraku lagi setelah beberapa tahun. Tapi aku harus Maaf, Salah Sambung | 295 menemui Henry lagi hari ini. Aku sangat khawatir memikirkannya." "Khawatir? Kalau boleh tahu, mengapa kau sangat mengkhawatirkan Henry? Kuharap kau ingat, Sally, simpatimu itu tidak terlalu banyak berguna." "Aku tidak memiliki maksud apapun— hanya menolongmu. Ini mungkin bisa jadi hal yang serius untuk Henry—sangat serius. Agak sukar menjelaskannya. Tapi akan kucoba menjelaskannya secepat mungkin." "Tolong lakukan," sahut Leona kasar. "Well—Fred, suamiku, adalah penyelidik Jaksa Wilayah..." "Oh, menyenangkan sekali!" bisik Leona. "Sekitartiga minggu yang lalu dia, suamiku, menunjukkan kliping koran tentang kau dan Henry. Sepertinya itu dari halaman Perkumpulan atau semacamnya..." "Ya, aku ingat." "...dan dia ingin tahu apakah itu Henry Stevenson yang dulu adalah kekasihku." "Kekasihmu?" ujar Leona. "Aneh sekali!" "Kukatakan pada Fred, itu memang Henry dan Fred hanya tertawa sambil berkata, 'Well, tenyata kau tidak tahu 'kan!' Lalu dia memasukkan kliping itu kembali ke dalam saku. Aku bertanya apa yang aneh melihat nama Henry di koran. Dia hanya tersenyum dan berkata semua ini hanya kebetulan—ada sesuatu yang berhubungan dengan kasus yang sedang ditanganinya." "Kasus?" "Ya. Fred bilang dia tidak bisa membicarakan kasus itu—hanya dugaan. Aku sudah mencoba memancing-mancing. Tapi dia mulai menggodaku dengan mengatakan aku masih menaruh rasa pada Henry..." "Yang, tentu saja, kau sangkal," ujarLeona menyindir. "Tentu saja—" sahut Sally merepet. "Sungguh konyol mengatakan hal itu setelah bertahun-tahun yang kami alami!" "Teruskan—" "Kami hampir selesai sarapan saat itu. Lalu telepon berbunyi. Itu adalah salah satu bawahannya Fred—dari kantor Jaksa Wilayah. Aku dengar Fred bicara sesuatu tentang 'Stevenson' dan seseorang yang kedengarannya seperti 'Harpootlian'. Fred berkata Tentu saja kita akan pergi. Katakan pada Harpootlian untuk mengatur semuanya. Hari kamis sekitar pukul 11:30, di bilik pergantian Ferry di Selatan." Sally berhenti bicara sesaat, dan Leona membentak marah, "Begini, Sally. Semua ini memang menarik. Tapi bisakah kau langsung ke pokok permasalahan? Henry mungkin sedang mencoba menghubungiku saat ini. 296 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 297 Lagipula, apa hubungan Henry dengan semua hal sampah menyangkut suamimu itu?" "Aku akan mengatakannya padamu secepat mungkin," rengek Sally. "Tapi ini semua agak rumit dan aku harus menceritakan padamu seluruhnya. Aku tidak akan mengganggumu, Leona, jika apa yang kukatakan ini tidak penting." "Well,—" Leona menarik napas pasrah. "Lalu bagaimana selanjutnya." "Aku—aku menguntit mereka—" "Kau—apa?" "Aku menguntit mereka. Kamis pagi. Aku tahu mungkin semua ini sulit dipercaya— kedengarannya gila—tapi aku takut. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Lagipula, aku sudah mengenal Henry hampir seumur hidupnya. Aku—well—ada hal-hal dalam dirinya yang agak aneh. Aku mencoba mengatakannya padamu—bertahun-tahun yang lalu." Leona mengeluarkan suara-suara tidak sabar. "Sungguh," ujarnya. "Tapi—apakah ini semua penting? Jika kau ingin memperingatkan aku, Sally, lebih baik kau berhenti sekarang." Jawaban Sally semakin menunjukkan kesan sedih. "Tolonglah, jangan terlalu curiga padaku," ujarnya memohon. "Aku mengatakan apa yang terjadi padamu karena semua ini mungkin ada hubungannya dengan ketidakhadiran Henry malam ini. Aku tidak tahu pasti, tapi biarkan aku menyelesaikan ceritaku..." "Silahkan," ujar Leona. "Secepatnya." "Pagi itu hujan rintik-rintik. Aku membawa payung, jadi aku menutupi wajahku hampir sepanjang waktu. Meskipun kupikir hal itu tidak membawa banyak perbedaan. Tidak sulit untuk menguntit orang-orang itu—apalagi saat gerimis. "Aku melihat Fred menemui dua orang lelaki—salah satunya adalah Joe Harris, rekan kerja Fred yang hampir setiap waktu bekerja bersamanya. Lainnya adalah seorang lelaki gemuk dengan rambut putih berombak. Kukira dia adalah orang yang disebut-sebut sebagai Harpootlian. "Aku menunggu di kejauhan sampai mereka bergerak ke kerumunan orang di dekat ferry. Kemudian aku membeli tiket dan mengikuti mereka. Tidak sulit untuk sembunyi dari mereka dalam ferry. Lagipula hampir sepanjang waktu kuhabiskan dengan duduk di kamar mandi." "Menyenangkan sekali," sahut Leona megejek. "Well, itu adalah tempat terbaik... Oh, well" lanjut Sally dengan mantap, "setelah mereka turun dari ferry di Staten Island mereka naik 298 I Lucille Fletcher & Allan Ullman kereta. Aku menempel ketat di belakang mereka. Tentu saja tidak di gerbong yang sama..." "Tentu saja!" sahut Leona menggaung. "...tapi dua gerbong' sesudah gerbong mereka. Aku menunggu mereka turun dari kereta, dan ketika mereka turun aku juga turun. Saat itu gerimis masih saja turun dan tidak ada seorangpun yang memperhatikanku. Kukira sebagian besar orang-orang itu sedang bergegas- gegas, terburu-buru keluar dari gerbong." "Kamu benar-benar perhatian terhadap sekeliling—" "Tempat ini adalah semacam koloni pantai, Leona. Kelihatan kosong dan kumuh sekali. Jalan-jalan disana bergelombang dan dialasi dengan semen kasar. Disana-sini banyak tumpukan pasir kecil-kecil. Rumah-rumah itu sebagian besar berupa pondok-pondok lusuh dan di tengah-tengahnya terdapat rumah judi kecii. Setelah Fred dan kedua lelaki itu berjalan menuju pantai, aku berjalan menuju rumah judi itu dan mengawasi mereka dari sudut beranda. Aku bisa melihat mereka dengan jelas dari sana. Dan sepertinya tidak ada yang memperhatikan aku yang berdiri di keteduhan." "Sungguh!" sahut Leona. "Apakah aku harus...?" Maaf, Salah Sambung | 299 "Itu benar! Itu benar!" seru Sally. "Sudah kubilang semua ini mungkin kedengarannya gila..." "Gila itu bukan kata yang tepat..." "Hanya ada seorang lelaki disamping Fred dan dua orang lelaki itu—seorang lelaki sedang menggali kerang di pinggir pantai. Lelaki berambut putih itu kelihatannya berhenti sesaat dan memandang ke arah si lelaki, dan lelaki itu sedang melakukan sesuatu di kejauhan. Kemudian dia melanjutkan menggali, dan si lelaki berjalan menuju meja makan kecil lalu masuk ." Leona, mengomel dongkol, menyela, berteriak. "Demi Tuhan, Sally, apakah harus sebegini lama? Bisakah kau memberitahukan secara langsung tanpa harus mengajakku berputar-putar sampai ke Staten Island seperti ini? Atau apakah kau sengaja menahanku untuk terus mendengarkanmu dengan alasan tertentu?" Sally meyakinkan Leona. "Kau harus mendengar semuanya. Kau kira aku senang meringkuk di dalam bilik pengap ini? Pemilik toko ini terus saja melirik ke arahku. Dia marah karena tokonya sudah mau tutup. "Kemudian," lanjutnya, "aku menunggu di dalam rintik hujan selama satu jam dan tidak terjadi apapun. Kemudian, ketika aku sedang memikirkan kebodohanku ikut dalam per- 300 I Lucille Fletcher& Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 301 jalanan ini, aku melihat sesuatu yang aneh. Leiaki yang sedang mencari kerang itu berdiri dan merentangkan tangannya seolah-olah sedang menguap. Beberapa saat kemudian kudengar suara perahu bermotor di pantai, dan aku lihat perahu itu bergerak cepat menuju daratan. Perahu itu melambat mendekati daratan dan menuju dermaga yang paling dekat ke rumah teraneh di tempat itu. "Kuharap kau bisa melihat rumah itu, Leona. Kuno, dan sedikit miring. Kukira fondasinya sudah tenggelam ke pasir bertahun-tahun sebelumnya. Menyeramkan sekali, horor, seperti rumah Charles Adams—di New Yorker, kau tahu kan?" "Tolong," kata Leona. "bisakah kau bicara secara langsung?" "Well, perahu itu merapat di dermaga dan seorang leiaki bungkuk keluar dari sana dan mengikat kapal itu. Kemudian seorang leiaki paruh baya bertubuh tinggi juga keluar dari perahu itu. Dia berpakaian hitam-hitam, kecuali topi Panama yang dikenakan di kepalanya. Dia mengepit koper kerja. Saat kakinya menginjak daratan, si leiaki kecil bungkuk itu segera menyalakan motor dan pergi. "Leiaki berpakaian hitam itu berjalan keluar dermaga dan masuk ke dalam rumah tua itu. Beberapa saat kemudian si pencari kerang mengambil ember dan sekopnya dan berjalan 302 I Lucille Fletcher & Allan lillman menuju ke rumah makan kecil itu. Aku memperhatikan ketika dia melewati rumah makan itu dia agak tersandung, membuat embernya membenturpintu. Itu pasti isyarat. Dia terus saja melewati pantai, dan Fred serta yang lainnya keluar dari rumah makan itu dan berjalan menuju ke rumah tua. Lelaki berambut putih itu mengetuk pintu, pintu dibuka, dan mereka masuk. "Aku masih tidak mengerti sedikitpun apa yang terjadi saat itu, Leona—siapa orang-orang itu maupun apa yang terjadi di rumah tua..." "Sebuah rumah bordil, tidak diragukan lagi," sindir Leona tajam. "...tapi aku sadar mereka di dalam selama setengah jam penuh. Ketika mereka akhirnya keluar, Fred membawa tas kerja—yang tadinya dibawah oleh orang yang berpakaian hitamhitam!" "Baiklah," ujar Leona. "Fred membawa tas kerja. Lalu apa?" "Aku tidak tahu," sahut Sally lemah. "Sesudah itu aku harus segera pulang ke rumah—mendahului Fred. Tapi aku tahu," tambahnya dengan penuh semangat, "kita harus melakukan sesuatu... sebelum semuanya terlambat!" Sebelum Leona menjawab, sekeping uang receh berbunyi nyaring mengenai dasar kotak telepon dan terdengar suara operator menyela. Waktu bicara Sally selama lima menit sudah habis. Leona mendengar Sally mengegerutu seraya mencari-cari recehan di dalam tasnya. Akhirnya dia berkata, "Sudah, Operator." Kemudian, "Leona, Leona—apakah kau masih disana?" "Ya, aku masih mendengarkanmu," sahut Leona curiga. "Aku harus bilang, ini semua aneh sekali." "Aku tahu," Sally mengamini. "Ini memang aneh sekali bagiku. Aku tidak bisa mempercayainya. Aku tidak bisa menghubungkan Henry dengan—dengan kejahatan yang diselidiki Fred. Itulah mengapa aku menemui Henry hah ini—untuk mengetahui kebenaran dari dirinya." "Apakah kau mendapatkannya?" tanya Leona suram. "Aku menemuinya—kau tahu itu—tapi aku tidak berhasil mengetahui apapun. Aku tidak punya kesempatan." "Tapi kau keluar bersamanya," kata Leona. "Sekretarisnya bilang dia melihatmu." "Ya, aku memang keluar bersamanya. Dia juga tidak begitu senang melihat kedatanganku. Aku memang tidak mengharapkan dia melompat- lompat atau semacamnya. Tapi dia— bisa dibilang tidak begitu sopan. Dia kelihatan asik dengan pikirannya sendiri. Aku pem.ih melihatnya seperti itu ketika dia masih kecil, dan Maaf, Salah Sambung 303 304 I Lucille Fletcher & Allan Uliman itu biasanya terjadi ketika—well—dia sedang mengalami konflik dalam dirinya sendiri. "Dia mengajakku makan bersama dengannya, dan kami pergi ke Georgian Room di Metropolis. Ketika kami baru saja duduk, seorang pria bernama Freeman—Bill Freeman— seorang lelaki tua dan makmur—datang menghampiri dan bicara tentang bursa saham pada Henry." "Freeman?" tanya Leona. "Kurasa aku tidak kenal seorangpun bernama Freeman—" "Henry kelihatannya tidak ingin membicarakan hal itu tapi Mr. Freeman itu terus saja bicara. Kurasa ada hal serius yang sedang terjadi pada beberapa saham atau semacamnya pagi itu. Henry berkata, 'Kau pasti membuat kesalahan suatu hari nanti,' dan Freeman hanya tertawa dan berkata 'Suatu hari nanti, Stevenson? Kau hanya sedikit beruntung. Tapi seorang lelaki dengan posisi sepertimu bisa menerima berbagai macam hukuman. Tapi aku, aku harus lebih berhati-hati. Aku ini hanya kentang biasa.' "Henry makan sedikit sekali, begitu juga aku. Yang menggangguku adalah Mr. Freeman yang sedang bicara tentang masalah-masalahnya, dan aku sama sekali tidak bisa mengatakan apa-apa. Akhirnya kami berdiri dan Mr. Freeman pergi. Henry dan aku berjalan keluar menuju lobi hotel. Henry meminta maaf karena Maaf, Salah Sambung | 305 dia punya janji dalam beberapa menit, dan dia menyarankan mengapa aku tidak menelepon kau, Leona, kapan-kapan, dan kita bisa berkumpul bersama-sama. Tapi sepertinya dia tidak bersungguh-sungguh mengatakan itu. Kami berdiri dekat pintu masuk kantor cabang pialang saham di hotel itu, dan seorang lelaki kurus keluar dan memanggil Henry, 'Oh, Mr. Stevenson, aku ingin segera bicara dengan Anda secepatnya.' Henry menjadi pucat, bagiku sepertinya begitu, dan dia berkata pada lelaki kecil itu, 'Baiklah, Mr. Hanshaw, saya akan segera berada di kantor Anda.' Dia mengucapkan selamattinggal padaku dengan agak terburu-buru dan aku melihatnya masuk ke dalam kantor itu. Di pintunya tertulis, T. F. Hanshaw, Manager." "Well—dia pasti—dia pasti mengatakan sesuatu padamu," ujar leona merepet. "Aku yakin dia tidak hanya duduk disana dan bicara tentang saham dan semacamnya—karena dia tidak tahu apapun tentang itu—tiap saat." "Oh, aku sudah bertanya padanya apakah dia bahagia, dan apakah dia menyenangi pekerjaannya. Dia berkata, 'Baik—baik. Aku sekarang adalah wakil direkturyang besar.Aku memencet lebih banyak tombol daripada orang lain—kecuali diantara beberapa wakil direktur.' Dia mencoba melucu, tapi aku bisa merasakan kegetiran yang dia rasakan. Aku bertanya padanya mengenai hal itu, dan saat itulah Mr. Freeman datang." "Aku sama sekali tidak mengerti semua ini." Kesangsian Leona yang mengejek itu jelas terdengar. "Saat Henry pergi pagi ini, dia kelihatan seperti biasa, dan aku yakin sekali. Kami sangat bahagia dalam kurun waktu sepuluh tahun ini—sangat bahagia. Henry sama sekali tidak punya masalah apapun. Ayahku juga melihatnya. Dan sepanjang itu menyangkut masalah bisnis, kukira semuanya baik-baik saja dengan Henry. Kau pasti salah mengartikan ucapannya—kalaupun memang dia mengucapkan sesuatu. Aku masih tidak yakin kalau ini bukanlah semacam permainan yang kau lakukan padaku, Sally." Lagi-lagi, sebelum Sally menjawab, terdengar suara operator berkata dengan jelas, "Waktu Anda selama lima menit sudah habis, Nyonya. Silahkan masukkan lima sen untuk waktu bicara lima menit lagi.' Sally mencari-cari ke dalam tasnya, dan akhirnya berkata, putus asa, "Aku tidak punya recehan lagi. Aku akan kembali meneleponmu jika aku sudah dapat uang receh lagi." Kemudian dia menambahkan dengan sedikit terburu-buru, "Aku hanya ingin mengatakan— sekarang aku tahu—bahwa Henry memang sedang dalam masalah. Fred sedang 306 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 307 mengerjakan semacam laporan malam ini. Kasus ini, apapun itu masalahnya, kelihatannya akan jadi besar nanti. Dia sedang sibuk bertelepon kesana-sini. Aku mendengar nama Henry disebutkan berulang-ulang. Dan ada juga nama lain—seseorang bernama Evans." "Waktu Anda sudah habis, Nyonya," kata si operator. "Waldo Evans," kata Sally berbicara dengan cepat. "Kurasa itulah nama yang kulihat pada rumah yang ada di Staten Island..." "Waktu Anda sudah habis, Nyonya." 10:05 Segera setelah Sally menutup telepon, Leona menjumput gumpalan kertas dimana dia menemukan nomer telepon Sally. Dan disitu tertulis, "Mr. Evans. Richmond 8:1112." Dengan hati-hati dia memutar nomer itu dan terkejut ketikaterdengarsuara operator yang bertanya, "Apakah Anda menghubungi W. Evan, Richmond 8:1112?" "Ya," jawab leona gelisah. "Betul." "Nomer tersebut... sudah diputus." Dia duduk tegak di tempat tidur dan meletakkan gagang telepon ke tempatnya, memandang ke depan—matanya terbuka lebar dan bingung. Kejadian-kejadian aneh sore ini saling berkejaran di benaknya. Tidak adanya Henry di rumah, pembunuh di telepon, Miss Jennings, cerita gila Sally—tidak ada satupun yang masuk akal. Dan entah bagaimana, ada kekacauan yang akan terjadi, aroma yang menyiratkan bahayatercium di udara. Mungkin Henry dalam kesulitan. Mungkin ada sesuatu yang terjadi dan Leona tidak mencurigainya sebelumnya. Pikiran mengenai kesendiriannya dalam kebingungan yang menegangkan syaraf itu membangkitkan rasa kasihan pada diri sendiri. Mengapa semuanya harus terjadi malam ini—pada malam saat dia benar-benar sendirian—yang bahkan seorang pelayanpun tidak ada? Semua ini terlalu berat baginya. Amat sangat berat untuk ditanggung seorang yang cacat dan lemah. Bibirnya bergetar, dan dia menghubungi operator interlokal untuk disambungkan ke Jim Cotterell di Chicago. Operator di Chicago mengulangi nomer telepon yang diberikan Leona dan dia segera dapat mendengar suara telepon di rumah Jim Cotterell berdering. Seseorang mengangkatnya dan Leona berkata, "Halo," tapi sambungan itu langsung terputus. Keheningan itu membuatnya murka dan dia menyuarakan kejengkelannya. Beberapa detik berlalu, dan operator itu berkata dengan halus, "Mr. Cotterell tidak berada di Lake Forest, Nyonya. Saya akan coba mencarinya untuk Anda." "Apa?" sahut Leona sebal. 308 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 309 "Saya akan menghubungi Anda kembali, Nyonya, " jawab operator itu dan mematikan teleponnya. Marah oleh kebiasaan ayahnya yang suka pergi ke klub malam atau ke tempat main kartu semalaman, dia kembali memikirkan siapa kirakira yang bisa diceritakan tentang kegelisahannya. Sulit sekali—menjadi seorang asing di New York—untuk memilih seeorang yang bisa dimintai bantuan. Kurangnya pilihan membuatnya semakin marah. Akhirnya dia ingat seorang dokter—dokter Alexander. Hanya kenalan biasa. Dia pernah memeriksanya beberapa kali. Dia pernah beberapa kali membuat beberapa tes terhadapnya yang hasilnya tidak diketahui Leona. Dia bisa meminta dokter itu kesini, dan dia harus datang. Setidaknya ada orang di dekatnya untuk beberapa saat. Kembali dia meraih gagang telepon, berhenti sesaat ketika didengarnya kereta melintas dengan suara gaduh di jembatan. Terkutuk sekali kekacauan ini! Leona berpikir, bodoh sekali hidup di sebuah kota dimana penduduknya, siapapun dia, tidak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan. Dia juga memikirkan kereta yang diceritakan para pembunuh itu (Pasti seperti keadaan saat ini!) dan dia merasa ngeri. Lebih baik dia tidak mengingat-ingat kejadian itu. Suara kereta itu semakin menghilang dan Leona kembali meraih telepon. Di saat yang sama telepon itu berdering dan Leona segera mengangkatnya. Itu adalah Evans. Leona tidak kesulitan mengenali suara lelah, bergaung, dan beraksen kental itu. "Apa Mr. Stevenson ada disana?" tanyanya. "Tidak," jawab Leona. "Apakah ini Mr. Evans?" "Ya, Mrs. Stevenson." Leona berkata dengan riang, "Pertamatama— saya ingin mengetahui kebenaran tentang apa yang terjadi di Staten Island. Saya baru saja mendengar tentang hal itu malam ini—dan saya gugup sekali—apalagi Mr. Stevenson sedang tidak ada di rumah—juga saya mendengar telepon aneh tentang pembunuhan—" Leona menceracau, dan dia takjub. Ketika dia bicara, Leona mendengar suara deru angin yang berasal dari telepon Mr. Evans, dimanapun dia berada. Semakin Leona mencoba mendengarkan, semakin kencang pula suara itu. Suaranya seperti sering didengar Leona—suara pemadam kebakaran atau mobil polisi yang berjalan melintasi jalanan di dekat rumahnya. Dengan gugup dia memanggil, "Apakah Anda masih disana, Mr. Evans?" 310 I Lucille Fletcher & Allan Ullman eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com Maaf, Salah Sambung | 311 Suara deru angin itu makin kencang terdengar dan Leona berteriak, "Mr. Evans—? Apakah Anda masih ada?" Tidak ada jawaban, hanya suara deru angin. Akhirnya telepon itu ditutupnya dengan putus asa. Tapi segera telepon itu berbunyi lagi. "Hello? Mr. Evans?" tanyanya dengan cepat. Tidak ada jawaban. Dia malah mendengar suara ributdan bergemuruh yang lebih menakutkan dari suara sebelumnya. "Mr. Evans—" Leona memanggil lagi, hampir berteriak, tapi hanya suara gemuruh itu yang menjawab. Dengan suara mendekati histeris, Leona berteriak, "Halo! Siapa disana? Siapa ini yang menelepon?" Leona berhenti beberapa saat, lalu kembali berteriak, "Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?" Lagi-lagi Leona diam beberapa saat. Kemudian, ketika tidak ada sedikitpun suara yang terdengar, benteng pertahanan Leona runtuh dan dia berteriak nyaring, "JAWAB!" Dari kejauhan, hampir terkubur oleh gemuruh suara yang berkepanjangan, dia mendengar suara kecil berkata, "Leona—?" Leona bertanya takut-takut, "Siapa disana?" Suara itu sepertinya menjadi lebih jelas sekarang, dan lebih jernih, lalu suara itu berkata, "Ini Sally. Aku menelepon dari stasiun 312 | Lucille Fletcher & Allan Ullman kereta bawah tanah. Semua toko sudah tutup jam sepuluh di dekat tempat tinggalku. Aku hams bicara padamu, jadi aku pergi kesini. Aku sudah pulang tadi, Leona—setelah bicara denganmu—dan ternyata ada lagi yang terjadi." Leona, dengan wajah tegang dan keras, berkata, "Kali ini, Sally, tolong katakan semuanya atau jangan kau ganggu aku lagi. Aku sudah cukup mendengar apa yang terjadi hari ini." "Ada mobil polisi parkir di halaman rumahku tadi," kata Sally terburu-buru. "Rumah di Staten Island itu terbakar sore ini. Polisi mengepung rumah itu. Mereka menangkap tiga orang lelaki. Tapi orang yang bernama Evans ini berhasil lolos." "Tapi siapa Evans ini? Apa hubungannya dengan Henry?" tanya Leona. "Aku masih belum mengetahuinya, Leona. Yang aku tahu, semua ini ada hubungannya dengan perusahaan ayahmu..." "Perusahaan ayahku? Tapi—ini aneh. Ayahku meneleponku dari Chicago malam ini dan dia sama sekali tidak menyebut-nyebut masalah ini." Dia berhenti, menunggu sampai suara kereta yang sedang lewat itu menghilang. Kemudian dia melanjutkan, "Begini. Coba kau runtutkan kembali ceritanya. Siapa yang ditangkap? Mengapa?" Maaf, Salah Sambung | 313 "Tiga orang lelaki," jawab Sally. "Aku tidak tahu apa alasannya." "Dan mengapa kau pikir Henry ada diantara mereka?" "Aku tidak berkata begitu. Aku hanya tahu dia terlibat dalam masalah ini." kemarahan Leona bangkit lagi. "Apa mereka bilang Henry ditangkap—atau akan ditangkap?" "Tidak, bukan begitu tepatnya." "Lalu—kau ini bicara apa?" tanya Leona murka. "Mengapa kau meneleponku begini? Sadarkah kau bahwa kau membuatku takut sampai hampir mati?" "Aku tahu, tapi—" "...pertama aku mengangkat telepon dan tanpa sengaja mendengar dua orang bicara tentang pembunuhan..." "Pembunuhan—!" "...mereka merencanakan akan membunuh seorang perempuan... lalu mahluk ini yang bernama Evans meneleponku, suaranya seolah-olah dia berada di dalam kuburan... lalu orang-orang yang teleponnya kuhubungi tibatiba saja bernada sibuk atau diputus... dan sekarang kamu—tanpa alasan sama sekali..." "Maafkan—" "...tanpa alasan sama sekali..." Leona terdiam untuk menarik napas. "Apakah kitu 314 I Lucille Fletcher & Allan Ullman cemburu karena aku mengambilnya darimu? Apakah kau tidak bisa melihatku bahagia?" "Sungguh, Leona..." "Kau tidak bisa berhenti mengatakan halhal bohong dan menyusahkan sekarang ini ya? Aku tidak percaya sepatah katapun yang kau ucapkan—kau dengar? Tidak sepatah katapun! Dia tidak bersalah. Dia sedang dalam perjalanan pulang kesini—sekarang!" Sebelum Leona sempat berkata-kata lagi, Sally sudah menutup teleponnya. Leona terbaring sambil menggerak-gerakkan tangannya, bertanya-tanya tentang teriakanteriakan tadi. Dengan semua hal tadi terjadi, Sally mungkin mengetahui sesuatu yang akan melibatkan Henry dalam bahaya. Tapi apa? Uang? Tentang pasar saham tadi? Ini sukar dimengerti. Leona tahu, tidak ada seorangpun yang berani bermain di bursa saham tanpa uang. Henry tidak punya uang. Gajinya sebagai wakil direktur Cotterell Company tidak begitu besar, dan sebagian besar habis untuk biaya rumahtangga yang bersikeras dibayarkan Henry. Kebanggaan membuatnya melakukan itu, sebagaimana kejadian konyol tentang apartemen mereka—apartemen yang dia ingin sewa untuk Leona ketika mereka masih tinggal bersama Jim di Chicago. Tidak, Henry tidak punya apa-apa sama sekali. Tapi dia diperMaaf, Salah Sambung | 315 bolehkan untuk membiayai rumah tangga mereka. Tapi biaya terbesar yang dikeluarkan tetap berasal dari kocek Jim Cotterell. Leona tidak bisa menemukan celah dimana Henry bisa bermain-main masalah keuangan. Bahkan investasi yang dilakukan Jim selalu berbalik pada Leona—untuk mengurangi pajak kematian yang suatu saat nanti akan dibebankan pada kekayaannya—dan terdaftar atas nama Leona, dan sepengetahuan Henry itu sama sekali tak bisa disentuh. Kecuali, tentu saja, jika istrinya itu meninggal. Jika Leona meninggal, maka kekayaan itu akan menjadi milik Henry. Wasiat Leona menyatakan hal-hal semacam itu—dan Leona turut senang untuk Henry. Dan pikiran itu benar-benar mematikan— untuk saat ini! Dia langsung membuang jauh-jauh pikiran itu. Terlalu menakutkan baginya. Tapi pasti ada alasan lain dibalik cerita menakjubkan yang dikatakan Sally. Kecuali jika itu hanyalah khayalan Sally belaka. Kecuali jika Sally memiliki rencana busuk dan keji untuk menyakitinya karena apa yang telah terjadi di masa lalu. Anggaplah dia memang punya rencana seperti itu. Apa dia mampu mengarangngarang cerita seperti tadi? Dan jika memang dia mampu, mengapa dia harus menceritakannya di malam yang aneh ini? Misteri itu semakin berkembang di benaknya, berputar dalam awan perkiraan. Kecurigaan kecil yang menakutkan makin berkembang dan menolak untuk dipadamkan. Tiap pikiran yang tersembunyi menghasilkan pikiran yang lain, dan imajinasinya menjadi layaryang menampilkan bayangan-bayangan jahat akan kemungkinan yang masuk akal. Mungkin! Mungkin! Bagaikan mimpi buruk, teror melimpah yang ditimbulkan kejadiankejadian itu menyebabkan reaksi fisik yang kentara. Jantungnya berdebar kencang, sangat kencang dan itu membuatnya sakit. Untuk bernafaspun dia harus berusaha keras agar udara yang ada dalam paru-parunya berkeinginan untuk keluar. Dengan tangan bergetar, dia mengambil saputangan dan melap wajahnya yang menyiratkan ketakutan dan kekhawatiran yang amat sangat. Dia sudah tidak ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Henry— atau apa yang nanti akan terjadi. Kepeduliannya akan keadaan dirinya sendiri mengalahkan semuanya. Bayangan tentang kekacauan yang akan terjadi, runtuhnya ketidakjujuran yang selama ini dibangunnya, semuanya sudah tidak tertahankan. Tubuhnya mulai bergetar dengan perasaan tersiksa di atas ranjang, ketika lagilagi terdengar suara telepon berdering. "Apakah ini Plaza 9:2265?" tanya seorang lelaki. 316 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 317 "Ya, ada apa?" sahutnya dengan suara bergetar, hampir seperti bisikan. "Ini Western Union. Kami ada pesan untuk Mrs. Stevenson. Apakah ada orang yang bisa menerima pesan ini?" "Disini Mrs. Stevenson." "Telegram ini berbunyi: 'Mrs. Henry Stevenson, Sutton Place nomer 43, New York, New York. Sayang, maaf sekali, aku harus pergi ke pertemuan di Boston pada menit terakhir. Titik. Naik kereta kesana. Titik. Kembali Minggu pagi. Titik. Menelepon, tapi selalu sibuk. Titik. Baik-baik ya. Penuh cinta, Henry. 10:15 Leona tertegun. Tangannya bergerak menutupi mulut dengan putus asa. Operator Western Union itu ingin tahu apakah salinan telegram perlu diantar atau tidak, dan Leona mengatakan, "Tidak, itu—tidak—perlu," dengan suara lemah, meletakkantelepon kembali ketempatnya dan bergerak layaknya robot. Dan Leona kembali mendengar gemuruh ribut dari jembatan dan dia beranjak dari tempat tidur menuju jendela, perlahan, seakan berjalan dalam mimpi. Dengan satu tangan bertumpu pada bingkai jendela, Leona memandang siluet jembatan bergaya Gotik dengan latar belakang langit malam. Sekarang dia bisa melihat kereta, yang serupa deretan sinar kotak-kotak panjang yang bergerak seperti ulat, dan gemuruhnya semakin keras saat kereta itu bergerak ke arahnya, makin keras, makin keras, makin keras, dan suara itu bertambah lemah saat menjauh. Bingkai jendela sedikit bergetar di bawah tangannya. Dia hanya berdiri seperti terhipnotis. Potongan-potongan pembicaraan mengalir dari benaknya, "Kemudian aku menunggu... sampai kereta melintasi jembatan... menurut klien kita tempat itu aman... aku sudah dapat pesanmu, George, apa semuanya siap malam ini?... Dimana Henry? Bisnis. Bisnis apa ?... kadang-kadang hari berlalu begitu saja ketika Mr. Stevenson tidak hadir... Henry sedang bermasalah... sangat bermasalah... sayang, maaf sekali, harus naik kereta... kemudian aku tunggu sampai kereta melintasi jembatan... Dengan keluhan kecil dia membawa dirinya kembali ke dunia nyata, berjalan kembali ke tempat tidur, menggenggam dinginnya gagang telepon di tangannya. Terdorong kebutuhan dari dalam diri, Leona bergerak gugup sambil memutar piringan nomer telepon. Suara dengung kipas angin yang monoton terdengar diantara hiruk-pikuk suara dalam ruang tamu sederhana di sebuah apartemen kecil. Anginnya diarahkan langsung ke arah papan kontrol yang berjajar dalam satu tembok. Kipas angin itu menawarkan kenyamanan pada 318 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 319 empat orang gadis yang duduk dekat papan pengendali yang sibuk memindahkan colokan telepon, memencet tombol, dan mencatat pesan dengan cepat yang kemudian akan di sampaikan ke para pelanggan Layanan Penjawab. Di sebuah sofa dekat jendela yang terbuka, pegawai kelima sedang beristirahat, Dari arah arah jendela, gadis itu bisa melihat tangga darurat, dengan salah satu batang tanaman geranium yang miring di dalam salah satu pot di sudut. Si gadis, yang tidak terlalu suka tanaman, hanya berbaring dan mengawasi teman-temannya yang sedang bertugas. Ketika sinyal terdengar, dia berdiri dan duduk di salah satu kursi, bergantian dengan salah seorang pegawai lain yang keluar. Dia memasang kabel penghubung corong bicara ke sekitar lehernya serta alat penerima melalui kepalanya. Matanya melihat cahaya berkedip di papan pengendali, dan dia langsung bekerja dengan berkata, "Tidak, Nyonya. Dokter Alexander tidak ada di tempat. Apakah Anda ingin meninggalkan pesan?" Dia mendengarkan beberapa saat, wajahnya menyiratkan kewaspadaan. "Bagaimana, Nyonya? Tidak—saya tidak bisa mengatakan... Bila Anda memberikan nama dan alamat Anda? Ya, Nyonya. Ya—Mrs. Stevenson. Mrs. Henry Stevenson. Plaza 9:2265. Saya pasti akan mencoba menghubungi beliau." 320 I Lucille Fletcher & Allan Uflman Dr. Alexander meletakkan kartu-kartu di atas meja, mengaturnya dalam jajaran panjang dan rapi dengan tangannya yang lentik dan bersih. "Sudah, partner," ujarnya sambil tersenyum. "Coba lihat apa yang dapat kau lakukan dengan kartu-kartu itu." "Sempuma!" "Kurasa memang sempurna—kalau saja aku tahu tawaranmu." Dia merioleh ke arah tuan rumah yang duduk di sebelah kirinya. "Jika boleh, aku mohon permisi sebentar, Mona. Aku ingin menelepon—" "Tentu saja, Philip," sahutnya. "Kau tahu dimana teleponnya, 'kan?" "Sayangnya..." ujarnya sambil bangkit dari kursi. "Di seberang lorong di ruang kerja. Kau akan lihat telepon itu ada di atas meja Harry. Kau tidak mungkin tidak melihatnya." "Sekarang aku ingat. Bodohnya diriku..." Dengan langkah kaki panjang-panjang, postur tubuhnya yang tegap keluar dari ruangan. Tanpa sadar, dua perempuan yang berada di meja kartu menoleh saat memandangnya pergi. Dia memang selalu menjadi perhatian para perempuan. Sebagai konsekuensinya, dia menarik bayaran besar— Maaf, Salah Sambung | 321 lumayan besar, untuk kemampuannya yang setara dengan penampilannya. Ketika dia sudah duduk di meja kerja, dengan telepon di hadapannya, lampu di meja itu membuat bayangan menarik di sekitar wajahnya. Wajah serupa elang, hidup, sehat, dengan garis-garis di sudut bibir tipis dan mata abu-abunya yang terbentuk semakin dalam oleh waktu dan rasa humor. Rambutnya tebal dan hitam, dengan bayangan abu-abu di sekitar pelipis. Dia itu, sebagaimana biasa dikatakan para suami saat pembayaran tagihan yang biasa, adalah seorang dokter Kerah Arrow, dokter rapi dan gaya—seorang pemeran dokter beralatkan pisau bedah, bukan naskah. Tapi mereka harus mengakui kehebatannya— meskipun istri-istri mereka kadang memancarkan raut wajah seperti orang melamun yang memandang nanar ke depan, sejalan dengan aura sehat yang terpancar dari dalam diri mereka. Dokter itu memutar nomer Layanan Penjawab secara mekanis sambil berpikir betapa menyenangkan jika malam itu dia tidak terganggu oleh hal-hal sepele. Dia sedang menikmati malam—sebuah hal yang jarang ditemui oleh seorang dokter sukses. "Dokter Alexander," kata si dokter pada seorang gadis yang menjawab teleponnya. "Apa ada pesan untukku?—kuharap tidak ada..." "Oh—ada, dokter," jawab si gadis. "Dari Mrs. Stevenson. Mrs. Henry Stevenson. Dia bilang dia sangat sakit dan khawatir. Salah satu pasienjantung Anda, katanya. Kedengarannya dia agak panik." "Ada lagi?" tanya si dokter lagi. "Tidak, dokter. Hanya Mrs. Stevenson." "Baik, saya akan segera menghubungi Mrs. Stevenson. Terima kasih." Dari dalam saku jasnya, dokter itu mengambil sebuah buku alamat yang bagus sekali dan mencari-cari nama Leona di dalamnya. Dia ragu sejenak sebelum memutar nomer telepon, dengan rasa putus asa berpikir ini mungkin saja hanya telepon yang merepotkan. Mrs. Stevenson kadang-kadang bersikap sombong. Dan kesombongan itu akan bertahan lama, sedangkan si dokter tidak berniat untuk mendengarkan kondisi kesehatannya yang tidak berkesudahan itu. Sambil tersenyum, dokter itu berpikir, sepertinya Mrs. Stevenson sudah membuat gadis operator di Layanan Penjawab itu ketakutan, meskipun kemungkinan keadaannya benar-benar mengkhawatirkan itu kecil sekali—Well, mungkin saat ini tidak terlalu buruk. Sudah saatnya dia tahu keadaan yang sesungguhnya. Diputarnya nomer telepon Leona. 322 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 323 Leona menjawab telepon tepat pada dering pertama. Merengek sesaat, kemudian marahmarah, dan semua masalah langsung membanjiri telinga si dokter. "Aku amat sangat ketakutan," ujarnya lemah. "Jantungku seperti terjepit. Debarannya menyakitkan sekali—aku—aku tidak tahan lagi. Paru-paruku seolah mau meledak setiap kali aku menarik napas panjang. Dan aku terus saja gemetar. Aku hampir tidak dapat memegang telepon ini, sakit sekali." "Oh, ayolah—ayo, Mrs. Stevenson," sahutnya menenangkan. "Saya rasa kondisi Anda tidak separah itu. Dimana pelayan Anda malam ini? Bisakah dia datang menemani Anda? Saya yakin jika ada seseorang yang menemani maka Anda tidak akan begitu tersiksa." "Tidak ada seorangpun disini—semua tidak ada," teriak Leona, hampir menangis. "Dan kurasa aku tidak begitu sehat. Aku ingin kau datang kesini malam ini. Kau dokterku dan aku perlu kau—malam ini." "Wah—saya rasa saya tidak bisa kesana," ujarnya, masih dengan nada lembut yang profesional. Saya akan datang jika memang sangat mendesak—dan saya rasa sekarang kondisi Anda tidak begitu mendesak. Anda hanya sedang gugup, itu saja. Jika Anda memaksa diri untuk rileks dan duduk diam-diam untuk beberapa menit, maka akan merasa lebih 324 | Lucille Fletcher & Allan Ullman baik. Jika Anda mau, minumlah beberapa butir bromide. Obat itu akan membantu menenangkan kegugupan Anda." Leona menangis, "Tapi kau tahu saya sedang sakit. Untuk apa aku datang padamu selama beberapa bulan ini? Bagaimana mungkin kau menolak untuk menemuiku sekarang—saat aku sedang memerlukanmu? Dokter macam apa kamu ini?" Rahang dokter itu mengeras. Ini sudah terlalu jauh, bahkan untuk Mrs. Stevenson yang kaya itu. "Begini, Mrs. Stevenson," sahutnya dingin. "Bukankah sekarang sudah saatnya bagi Anda untuk menghadapi secara jujur dan mulai bekerjasama dengan suami Anda dan juga saya?" "Kau ini bicara apa?" tanya Leona. "Apa yang kau maksud dengan—bekerjasama?" Pertanyaannya mengagetkan dokter Alexander. "Apa yang saya bicarakan? Mrs. Stevenson, Anda tahu betui sebagaimana saya juga mengetahuinya. Saya sudah menjelaskan semuanya pada suami Anda—seminggu yang lalu." "Suami saya? Anda pasti sedang ingin membuat saya jengkel seperti yang lain. Saya yakin, suami saya tidak mengatakan apapun..." Dokter Alexander menjadi semakin heran. "Anda yakin suami Anda... Saya sudah menMaaf, Salah Sambung | 325 ceritakan semuanya... Dia berjanji... Dan dia belum bilang apa-apa?" "Cerita semua tentang apa?" tanya Leona mendesak. "Cerita apa? Ada apa sih dengan semua ini?" Dokter Alexander berhenti bicara. Semua ini agak membingungkannya. "Well, ini benar-benar aneh, sangat aneh, Mrs. Stevenson. Saya sudah membahas masalah kesehatan Anda dengan suami Anda—semuanya—kira-kira sepuluh hari yang lalu. Dia datang ke kantorsaya." "Dan apa yang kau katakan padanya, dokter?" "Sungguh, Nyonya yang baik, sekarang bukan waktunya untuk membahas semua ini. Jika Anda sudah bisa menguatkan diri— cobalah untuk tidur—mungkin kita bisa membicarakan masalah ini besok." "Kita akan membahas masalah ini sekarang—SEKARANG! Kau dengar!" jerit Leona. "Kau pikir bagaimana saya bisa melewati malam ini tanpa tahu—dengan hati bertanya-tanya tentang kejadian buruk apa lagi yang akan terjadi padaku selanjutnya? Saya tidak akan mendengar Anda..." Dokter Alexander mengangkat bahu dan sebelah alisnya naik seolah melecehkan sambil mendengarkan telepon. "Baiklah, Mrs. Stevenson. Tolong tunggu sebentar..." Dia meletakkan telepon itu di atas meja dan berjalan keluar ruang kerja untuk kembali ke ruang tamu. Di pintu, dokter itu berhehti. Kartu sudah dibagi dan mereka menunggunya. "Maaf," ujarnya ke arah mereka. "Aku masih hams bicara di telepon agak lama..." "Penaklukanmu lagi ya, Philip?" tanya rekannya dengan senyum menyiratkan keriangan yang berlebih. "Tentu saja. Tapi hanya sebentar. Sebenarnya saya tidak suka membuat kalian menunggu seperti ini." Dia kembali ke ruang kerja. "Terima kasih sudah menunggu, Mrs. Stevenson." "Aku harap kau bisa menjelaskan semuanya sekarang," desaknya, merajuk. "Aku tidak habis pikir mengapa suamiku sampai menemuimu." "Dia datang ke kantor saya untuk mengetahui diagnosis penyakit Anda. Dia bilang ayah Anda memperingatkan tentang penyakit jantung yang Anda derita—dan Anda gampang sekali terkena serangan sejak kecil. Katanya, sebagai jawaban pertanyaan yang saya ajukan, keadaan Anda sudah sejak lama membaik, dan dia tidak mengetahui kondisi jantung Anda sampai kalian berdua menikah. Ayah Anda 326 | Lucille Fletcher & Allan- Ullman Maaf, Salah Sambung | 327 yang mengatakannya pada hari pernikahan kalian. Itu membuatnya terkejut." "Ayah saya memang agak-agak—bebal." "Suami Anda mengatakan Anda tidak mengalami serangan jantung sampai kira-kira sebulan setelah pernikahan dan kalian baru saja kembali dari berbulan madu. Apakah itu benar, Mrs. Stevenson?" "Ya," jawab Leona. "Saya menyesalkan hal itu." "Suami Anda mengatakan serangan itu terjadi ketika dia ingin berpisah dari perusahaan ayah Anda, dan Anda tidak ingin mendengarnya." "Kurasa—kurasa memang seperti itu," jawab Leona mengakui. "Henry menginginkan— kalau dipikir-pikir memang konyol kedengarannya—dia menginginkan untuk berusaha sendiri. Dia memang agak tidak sabar dalam hal ini—kadang-kadang." "Menurutnya lebih daripada itu, Mrs. Stevenson." "Oh? Lebih dari itu?" "Ya, sepertinya ada semacam pertengkaran dengan ayah Anda—apakah benar?" "Well, iya..." jawab Leona enggan. "Menurut Henry, ayah tidak memberinya cukup tanggung jawab. Pernyataan bodoh." "Tapi menurut suami Anda itu tidak bodoh." "Tetap saja bodoh. Ayah mengangkatnya jadi wakil direktur dan memberikan salah satu kantor yang paling indah..." "Bagaimanapun kejadiannya, dia telah bertengkar dengan ayah Anda dan kemudian dengan Anda sendiri. Dan karena itu Anda jadi sakit keras." "Ya," jawabnya. "Saya tidak tahan menghadapi pertengkaran." "Suami Anda sepertinya sudah memperkirakan hal itu," ujar si dokter kering. "Dia juga tidak memperdulikan pertengkaran itu—setelah apa yang terjadi. Kelihatannya suami Anda seorang pria yang kuat—dan cerdas menurut saya. Katanya, sejak saat itu tidak ada lagi serangan jantung sampai dia mengejutkan Anda dengan apartemen—yang dia ingin untuk Anda tempati." "Oh—ya," sahutnya. "Dia itu sangat konyol. Dia ingin membawaku pergi dari rumah Ayah dan tinggal di tempat kontrakan. Henry yang malang. Dia tidak tahu apa-apa mengenai hal itu. Dia bahkan tidak bisa menghargai bagaimana enaknya tinggal bersama Ayah, tidak ada masalah bagaimana menjalankan rumahtangga. Ayah tidak pernah mengganggu kami. Hanya saja Henry punya pikiran konyol untuk menjadi kepala rumah tangga—seperti layaknya pegawai atau tenaga penjual kebanyakan yang tinggal di pinggir kota." 328 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 329 "Anda juga bertengkar tentang hal itu, bukan?" "Ya," sahutnya. "Dan meskipun aku mencoba sekuat tenaga, tetap saja aku jadi sakit." "Hal itu tepat seperti yang dikatakan suami Anda," ujar dokter Alexander. "Hal itu membuatnya berpikir untuk tidak bertentangan dengan apa yang Anda inginkan. Tapi kondisi kesehatan Anda menurun sejak saat itu, dan semakin memburuk—menurutnya—sampai sekarang Anda menjadi hampir invalid begini. Tentu saja dia ingin tahu apa yang akan terjadi di masa depan." "Aku yakin dia khawatir," sahut Leona. "Dia selalu menjagaku. Dia sangat mencintaiku." Dokter Alexander terbatuk. "Saya sepakat dengannya mengenai tidak tersedianya waktu untuk dia bisa bersenang-senang. Saya bahkan bertanya apa pernah terlintas di benaknya untuk meninggalkan Anda." Dia mendengar Leona tersentak, dan buru-buru melanjutkan ucapannya. "Dia menatap saya terkejut. Katanya hal itu bahkan tidak pernah dipertimbangkannya. Aku mengatakan, itu mungkin hal yang paling Anda perlukan, Mrs. Stevenson. Jelas sekali, dia adalah sumber semua gangguan emosional yang Anda alami selama sepuluh tahun belakangan ini. Jika dia keluar dari kehidupan Anda, mungkin kesehatan Anda akan membaik." 330 I Lucille Fletcher & Allan Ullman "Itu—ucapanmu itu jahat sekali—sangat jahat," bisik Leona sambil menahan tangis. "Menurutnya hal itu mungkin malah akan membunuh Anda," lanjut dokter Alexander dengan tenang. "Dan saya langsung menyetujuinya untuk satu hal itu. Menurut saya hal ini mungkin akan menjadi tahap yang menakutkan bagi Anda, Mrs. Stevenson, tapi seiring dengan berjalannya waktu Anda akan menjadi pulih—bila Anda menginginkannya, tentu. Dengan kata lain, saya akan mengatakan yang sesungguhnya, Nyonya yang baik. Jantung Anda itu sama sekali tidak bermasalah..." "Apa?" "Betul, Mrs. Stevenson. Secara medis, jantung Anda sehat walafiat." "Berani sekali kau berkata seperti itu!" bentaknya. "Kau tahu, aku ini perempuan yang sakit keras..." "Semua ini bukan sebagaimana penyakit yang Anda rasakan," ujarnya. "Penyakit ini hanya ada dalam pikiran Anda saja..." "Pikiran saya! Saya rasa Anda bersekongkol dengan—dengan orang-orang yang lain yang mencoba mengacaukan pikiran saya." "Saya mohon, Mrs. Stevenson, Anda hams menggunakan akal sehat Anda. Tidak ada seorangpun yang berusaha menyakiti Anda." Maaf, Salah Sambung | 331 "Ada!" teriaknya. "Mereka ingin menyakitiku!" "Saya rasa saya tidak mengerti maksud Anda," sahutnya tenang. "Saya sarankan Anda membicarakan semua hal ini dengan suami Anda, Mrs. Stevenson..." "Membicarakan? Bagaimana saya membicarakannya? Dia tidak ada disini. Aku tidak tahu kemana dia pergi." "Mungkin besok Anda dapat..." "Oh, Anda..." Dokter Alexander hampir bisa merasakan keterkejutan yang dirasakan Leona ketika telepon itu dibanting dari seberang. Nada panggil mendadak berdengung pelan di telinganya. Dia menurunkan gagang telepon, tangannya berada di atas piringan nomer. Meneleponnya kembali? Tidak. Dia tersenyum sinis, mengangkat bahu, dan dengan lembut meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Saat dia baru saja menuju pintu, sebuah suara dari ruangan lain mengambang di udara. "Philip! Kau sudah terlalu lama berada disana, sayang!" Leona—terkejut, merasa semuanya tidak masuk akal—menatap ke pesawat telepon, sebuah mesin celaka yang khusus dirancang untuk menyiksanya tanpa henti melebihi batas kemampuannya. Kemarahan, rasa kebanggaan yang terluka, keraguan, bertempur dalam batinnya. Itu sangat tidak mungkin! Semasa kecil memang dia membesar-besarkan masalah kesehatannya. Tapi sekarang dia benar-benar sakit! Dia tidak berpura-pura! Dia memang sakit! Tangan Leona meraba jantungnya, menekan dengan keras di tempat yang terasa sakit. Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan sakit yang mengiris tajam. Alexander bodoh. Orang bodoh yang jahat. Mengatakan semua gagasannya mengenai halhal yang buruk, menyatakan bahwa dirinya adalah penyebab ketidakbahagiaan Henry. Apakah dia sengaja membuatnya kesal, membuatnya mengalami semacam krisis? Dia akan melaporkannya ke Asossiasi Kedokteran nanti. Dan kebohongannya tentang Henry! Semua itu dusta dan dia akan mengajak Henry menemui dokter itu dengan semua kebohongankebohongan yang telah dia sampaikan tadi. Semua itu hanya kebohongan belaka. Dia seorang perempuan yang sakit keras. Henry mencintainya dan ingin membantu. Memang sudah seperti itu. Tidak bisa tidak. Tiba-tiba matanya memancarkan sikap menantang. Leona menyibakkan selimut tipis, mengayunkan sebelah kakinya ke lantai dan kemudian satunya lagi. Dia berdiri, menahan napas, dan berjalan ke arah jendeia. Jantung- 332 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 333 nya berdebar kencang. Dadanya ditekan, seakan apa yang dilakukannya akan membuat jantungnya berhenti berdebar-debar karena tekanan jemarinya. Dan sekali lagi telepon itu berbunyi! Keterlaluan! Dia terjatuh ke atas tempat tidur, megap-megap, tersiksa oleh rasa sakit karena penderitaannya. "Pembohong!" isaknya. "Pembohong... pembohong... pembohong!" Telepon itu terus berdering, dan dia menolehkan wajahnya yang terkejut, sambil menangis. "Aku tidak ingin bicara dengan siapapun. Aku benci kalian semua!" Tapi deringan yang berkelanjutan itu seakan mengejek kemarahannya. Lalu, diantara deringan itu dia mendengarsuara yang dikenalnya. Leona bisa merasakan getaran halus dari bangunan apartemennya ketika kereta kembali melintasi jembatan. Kedekatannya memulihkan akal sehat Leona, membuang semua gerakan tergesa-gesa yang dihasilkan oleh syarafnya yang terguncang. Sementara telepon itu terus saja berbunyi. Dia mengangkatnya. 10:30 "Halo,"sahutnya. Suara itu keluardari mulutnya dengan lemah. "Mrs. Stevenson?" Tidak sukar baginya untuk mengenali suara itu. "Ya, Mr. Evans, ini Mrs. Stevenson." "Apa Mr. Stevenson sudah pulang?" "Belum," jawabnya tegang. "Dia tidak akan pulang sampai besok." Lalu mendadak dia menambahkan, "Maukah Anda—tolong, saya mohon dengan sangat, Mr Evans, katakan pada saya apa arti semua ini. Mengapa Anda meneleponnya setiap lima menit?" Evans menyahut dengan suara penuh penyesalan, "Maafkan saya. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda." "Well, Anda sudah mengganggu saya. Saya meminta Anda untuk—" "Ini adalah saat yang agak genting— terutama bagi Mr. Stevenson," sahut Evans sedih. "Saya rasa jika Anda bisa mengatakannya..." "Saya tidak bisa menerima pesan sekarang," teriak Leona. "Saya terlalu jengkel..." "Sayang sekali, Anda harus melakukannya, Mrs. Stevenson. Ini sangat penting." "Anda punya hak apa untuk..." tanya Leona. Tapi Evans melanjutkan dengan tenang, "Tolong katakan pada Mr. Stevenson bahwa rumah di Dunham Terrace nomer 20—dieja DU- N-H-A-M—Dunham Terrace nomer 20— sudah dibakar. Saya sudah membakarnya sore ini." 334 ! Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 335 "Apa? Apa maksud Anda?" teriak Leona terkejut. "Ada lagi—tolong katakan pada Mr. Stevenson," lanjutnya dengan tenang, "saya tidak percaya pada Mr. Morano—ejaannya MO- R-A-N-0—menghianati kita ke polisi karena Mr. Morano sudah ditangkap. Jadi sekarang ini tidak ada gunanya untuk mengangkat uangnya." "Siapa itu Morano?" tanya Leona sambil gemetar. Evans mengacuhkan pertanyaannya dan melanjutkan pesannya. "Ketiga, tolong katakan pada Mr. Stevenson bahwa saya melarikan diri dan sekarang berada di Manhattan. Lagipula seharusnya saya tidak berada disini sebelum tengah malam—tapi jika beliau ingin bertemu dengan saya—beliau bisa menghubungi Caledonia 5:1133." "Tapi—apa maksud semua ini sebenarnya?" teriak Leona memprotes. "Saya rasa cukup sekian," ujar Evans dengan tenang. "Jika Anda tidak keberatan, saya ingin Anda mengulanginya—" "Mengulanginya! Saya tidak akan melakukannya!" pekik Leona. "Apakah Anda tidak sadar saya invalid, Mr. Evans? Sakit keras? Saya—saya tidak tahan menghadapi semua ini..." 336 I Lucille Fletcher & Allan Uilman Ada nada kasihan dan pengertian di dalam suara lelah Mr. Evans saat dia berkata, "saya sangat sadar akan kondisi Anda yang memprihatinkan, Mrs. Stevenson. Bahkan saya sudah cukup lama mengetahui keadaan Anda." "Anda mengetahui keadaan saya?" tanya Leona murka. "Well, seumur hidup saya sama sekali belum kenal Anda—sama sekali!" Dengan penuh rasa hormat Evans berkata, "Saya menyesal atas apa yang terjadi dengan Anda, Mrs. Stevenson. Tapi saya pastikan bahwa semua hal ini bukanlah kesalahan Mr. Stevenson—seutuhnya." "Demi Tuhan! Berhentilah berteka-teki! Sesungguhnya apa yang telah terjadi?" desak Leona. "Mungkin akan lebih baik jika saya memberitahu Anda," sahut Evans bijak, "sebelum fakta yang sesungguhnya dikatakan oleh— ah—polisi." "Polisi...\" Evans terdiam, kemudian bciara dengan perlahan, "Apakah Anda punya pensil, Mrs. Stevenson? Ada beberapa nama dan tempat yang harus Anda catat yang mungkin berguna— jika Anda—ehm—menulisnya..." Saya akan mulai pada saat saya pertama kali mengenal Mr. Stevenson (kata Evans). Saya rasa waktu itu tanggal 2 Oktober 1946, Maaf, Salah Sambung | 337 tempatnya di pabrik ayah Anda di Cicero, Illinois. Saat itu pabrik sedang sibuk-sibuknya dan saya bekerja terlalu larut di laboratorium— menguji beberapa catatan formula obat-obatan. Suara pelan di belakang punggung menarik perhatian saya dan saya menoleh dan melihat seseorang sedang memandang ke arah saya melalui jendela pengintai di pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dan seorang lelaki muda masuk. "Selamat malam," sapa si lelaki muda. "Bukankah sekarang sudah terlalu malam untuk bekerja?" "Ya, Mr. Stevenson," kata saya. "Memang sudah larut." Saya jelaskan, saya terbiasa bekerja sampai larut malam. "Saya hanya sedang berjalan-jalan," ujar beliau, sambil melangkah pelan mengelilingi laboratorium. "Baru kali ini saya berkesempatan melihat-lihat." Saya sangat senang mendengarnya. Saya jarang dikunjungi oleh orang yang tertarik dengan hasil kerja saya, dan harus saya akui, kesempatan untuk pamer amat sangat dinantinanti. Karena Mr. Stevenson itu menantu Mr. Cotterell, maka kunjungannya membuat suasana hati saya tambah terangkat. Laboratorium itu adalah tempat yang menyenangkan. Saya memiliki peralatan ter338 I Lucille Fletcher & Allan Uilman baik, dan semua peralatan itu berada dalam jajaran yang teratur dan efisien di bawah pendar lampu neon di langit-langit yang dengan lembut dibiaskan lantai keramik di bawahnya. "Apakah ada yang ingin Anda lihat secara khusus?" tanya saya. "Tidak—tidak—saya hanya penasaran," ujarnya. "Saya selalu bertanya-tanya ada apa di dalam departemen ini. Apa yang Anda kerjakan disini?" "Pekerjaan kami disini meliputi kimiawi narkotika. Narkotika itu tidak selalu berbahaya sebagaimana yang sering kita baca. Banyak manfaatnya juga bagi manusia jika digunakan dalam dosis yang tepat—seperti pada produkproduk Cotterell." . Kelihatannya sikap saya membuatnya senang. Beliau tersenyum pada saya. "Begini, Evans, saya telah berurusan dengan obatobatan hampir seumur hidup saya. Sekarang katakan, apa yang sedang terjadi disini?" "Well, di laboratorium ini kami memecahkan opium mentah menjadi berbagai macam senyawa alkaloid. Saya rasa Anda tahu opium itu terdiri dari 24 alkaloid—morpin, kodein..." "Baik," sahutnya menyela. "Candu. Pasti banyak sekali disini." "Memang. Boleh dibilang, tanggung jawab yang berat, Pak." "Apa yang Anda lakukan dengan berbagai macam alkaloid itu?" tanyanya. "Digunakan dalam produk-produk Cotterell, tentu saja." "Tidak, bukan, maksud saya apa yang Anda lakukan sebelum alkaloid-alkaloid itu dipergunakan dalam Cotterell Industry? Tidak mungkin disini Anda menyimpannya begitu saja dalam staples." "Well—saya rasa hal itu rahasia, Mr. Stevenson." "Memang sudah begitu peraturannya. Mungkin saya bisa bertanya sendiri pada Mr. Cotterell..." "Oh, jangan," jawab saya. "Saya hanya ingin membuat Anda terkesan dengan cara kami memperlakukan semua informasi disini dengan sangat hati-hati. Tidak ada alasan bagi menantu Mr. Cotterell untuk tidak mengetahuinya." Saya berjalan diatas lantai keramik menuju pintu dan membuka sebuah celah di atas saklar lampu dengan sebuah kunci. Sebagian dinding itu bergeser ke samping, menampakkan brankas yang sangat besar tempat persediaan narkotika kami disimpan. Mr. Stevenson kelihatan sangat terkesan. "Apakah ini membuatmu khawatir?" tanya beliau ingin tahu. "Menyimpan bom manusia ini sendirian?" Maaf, Salah Sambung | 339 "Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, ini adalah tanggung jawab. Lemari besi ini tidak akan terbuka kecuali dengan kombinasi nomeryang tepat." "Maksud saya bagaimana jika terjadi kesalahan? Misalnya saja Anda salah menjumlahkan zat yang Anda lepaskan untuk produk tertentu. Apakah itu tidak membahayakan?" "Kejadian seperti itu bisa dibilang hampir tidak mungkin terjadi," jawab saya yakin. "Zat yang kami lepaskan sangat tepat dan sesuai dengan formula yang kami buat. Saya sudah bekerja disini selama lima belas tahun dan tidak pernah sekalipun terjadi kesalahan seperti itu." "Tentu saja," sahutnya sambil tersenyum. "Saya hanya penasaran." Beliau datang ke laboratorium beberapa kali setelah itu—selalu bersikap ramah dan baik pada saya. Saya menunjukkan berbagai proses yang sedang berlangsung, dan pengalaman selama bertahun-tahun bekerja di apotik membuatnya cepat mengerti apa yang mungkin dirasa sulit bagi orang kebanyakan. Saya sangat tersanjung, ada orang penting di kantor yang sangat ramah pada saya. Kau sama sekali belum mengatakan apa yang tidak aku tahu, pikir Leona. Henry 340 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 341 memang seperti itu. Penasaran. Cermat. Dan untuk tahu apa yang terjadi di perusahaan itu sudah menjadi urusannya. Yang diistilahkan ayah sebagai pengintai. Itu adalah salah satu hal yang mereka perdebatkan. Henry merasa ayah membencinya dan ingin menjatuhkannya. Dia bahkan membicarakannya pada dokter Alexander. Mungkin ayah terlalu keras. Sekitarsebulan setelah pertemuan pertama dengan Mr. Stevenson, saya sedang berada di luar, menunggu bis untuk pulang ke rumah. Sore itu cuaca agak buruk, dengan angin bertiup kencang yang membuat hujan turun hampir horisontal di sepanjang jalan di kota. Payung yang saya pegang tidak memberi cukup perlindungan. Saya benar-benar terlihat menyedihkan sambil menunggu di sudut itu. Tapi tidak lama kemudian sebuah mobil sedan yang mengagumkan berhenti di depan saya, dan seseorang memanggil, "Evans!" Saya menyipitkan mata untuk bisa melihat dengan jelas dalam rinai hujan, dan saya melihat Mr. Steveson di dalam mobil itu. "Ayo masuk. Kuantar kau." "Anda baik sekali. Tapi saya tidak ingin merepotkan. Mungkin Anda bisa mengantar saya untuk menunggu bis di tempat yang lebih baik. Saya rasa saya tidak berminat untuk menunggu sambil berhujan-hujan." 342 I Lucille Fletcher & Allan Ullman "Lupakan saja. Aku akan senang mengantarmu sampai rumah. Sebenarnya, aku tidak begitu suka bermobil sendirian." Kami meluncur dengan tenang, dan saya tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi keanggunan mobil itu. "Ini milik istriku," ujarnya ketika kekaguman itu terucap. "Saya tidak pernah punya mobil. Kelihatannya mobil itu terlalu—well—mekanis. Secara pribadi, saya ingin punya kuda dan kereta saja." Mr. Stevenson tidak menghentikan pembicaraan saya, jadi saya kira saya terus saja mengoceh selama beberapa saat mengenai— kuda. Saya dibesarkan di tempat kuda-kuda dikembangbiakkan, di Surrey. Dan saya rasa tidak seorangpun yang bisa mengingkarinya. "Kuda itu binatang yang baik. Mereka kuat—dan juga sangat lembut. Saya kadang berharap bisa memiliki ratusan kuda." Ketika saya berkata demikian, Mr. Stevenson memandang saya dengan tatapan aneh. "Maksudmu...?" "Ya," saya meyakinkannya. "Tidak ada yang lebih saya sukai selain kuda. Saya bahkan ingin punya peternakan kuda sendiri. Istal yang bersih dan bagus. Dengan hamparan padang rumput menghijau. Dan ternak terbaik di seluruh Inggris." "Inggris?" tanya Mr. Stevenson. Maaf, Salah Sambung | 343 "Oh, ya. Saya heran dengan setiap orang Inggris yang tinggal di luar negeri. Mereka selalu berharap untuk bisa menghabiskan masa tua di daerah kelahiran mereka. Selalu ada sesuatu yang menarik kami kembali kemanapun kami pergi." Mr. Stevenson kembali menatap saya, dengan seulas senyum samar membayang. "Tidak ada salahnya menginginkan sesuatu. Yang salah adalah jika kau tidak melakukan apapun untuk mendapatkannya." "Bicara memang mudah. Maaf jika ucapan saya kurang sopan, tapi tidak setiap orang bisa mewujudkan keinginan dengan tenaga yang dimilikinya—dan uang, terutama. Kadang seseorang tidak tahu apa yang diinginkan sampai semuanya sudah terlambat. Misalnya saja—saya sedang bermain sedikit dengan diri saya sendiri." "Kau...?" Wajah Mr. Stevenson memancarkan rasa senang. "Ya. Saya pergi berlibur ke Inggris beberapa tahun yang lalu, dan saya tertarik dengan sebuah tempat di dekat Dorking. Tempat sempuma. Ada sebidang tanah disana, padang rumput membentang dengan pohon-pohon besar dan rindang, dan sungai kecil yang indah. Kuda suka sekali hidup di dekat sungai kecil. Saya memikirkan harganya setiap waktu— hanya untuk bersenang-senang saja—tapi 344 | Lucille Fletchers Allan Ullman saya tahu saya tidak akan pernah mampu membelinya. Saya mendapatkan kesenangan hanya dengan membuat rencana untuk tempat itu jika saya memilikinya." "Kau benar," sahut Mr. Stevenson agak sinis. "Kau tidak akan pernah mampu membeli tempat itu dengan bekerja untuk bapak mertuaku." Hal ini agak membuat saya malu. "Menurut saya juga begitu," ujarsaya, mengakui. Lagi-lagi dia menatap saya sekilas, dan kali ini saya melihat pandangannya menyiratkan sebuah spekulasi, seakan-akan dia sedang berpikir untuk mengatakan—atau tidak mengatakan—sesuatu. Apa yang beliau katakan, akhirnya, membuat saya kaget. "Kau dan aku, Evans, memiliki banyak kesamaan." Fantastis! Ujar Leona dalam hati. Henry dan bapak tua yang membosankan! Mengapa Henry menghubungkan dirinya sendiri dengan orang yang melelahkan ini? Kedengarannya bapak tua ini sedikit aneh. "Tapi—tapi, Mr. Stevenson, itu omong kosong! Saya pikir..." "Jangan berpikir, Evans, kecuali tentang pekerjaanmu dan peternakan di Inggris itu." Beliau mengucapkannya dengan agak muram. Maaf, Salah Sambung | 345 Untuk beberapa saat, kami hanya terdiam. Sesampainya di rumah, aku membuka pintu mobil dan akan keluar. Tiba-tiba aku merasakan tangan Mr. Stevenson memegang lenganku. "Sebentar, Evans. Aku ingin bicara denganmu." "Silahkan, Mr. Stevenson," jawabku dan kembali menutup pintu mobil. "Evans, aku ada ide. Jika menurutmu ini ide bagus, maka peternakan di Inggris itu akan jadi milikmu. Bagiku, itu berarti—well—tidak penting apa artinya bagiku. Kau yang akan memutuskan apakah ini ide yang bagus atau bukan, Evans. Tidak ada seorangpun yang bisa memutuskan selain kau." Beliau sama sekali tidak tersenyum. Wajah beliau memancarkan kegelapan sekelam malam. Matanya menatap tajam menembus mata saya. Cekalannya di lengan saya mengeras, hampir menyakitkan. "Maksud Anda?" tanya saya dengan cepat, karena sikapnya itu sangat menakutkan saya. "Maksudku, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan di Inggris, atau dimanapun, hanya dengan membuat beberapa kesalahan." "Kesalahan? Maaf, tapi saya rasa saya tidak mengerti maksud Anda." "Kesalahan," sahutnya datar. "Kesalahan dalam mengukur jumlah candu yang kau atur untuk produk-produk Cotterell. Tidak dilebihkan, Evans—kurang. Hanya dikurangi sedikit." 346 | Lucille Fletcher & Allan Ullman "Demi Tuhan, tidak," sahut saya dengan gemetar. "Saya belum pernah mendengar..." "Tidak ada seorangpun kecuali kau—dan aku—yang akan mengetahuinya, Evans," ujarnya. "Kau tahu betul sebagaimana aku mengetahuinya bahwa obat ajaib murahan itu akan lebih baik bagi penyakit yang diderita manusia jika diberikan lebih sedikit candu di dalamnya. Tidak ada seorangpun—apalagi di Cotterell Industries—yang akan tahu perbedaannya. Dan candu yang ada padamu nanti, Evans, akan mampu memberimu peternakan yang kau bicarakan itu—di inggris." Tidak! Teriak Leona dalam hati. Itu tidak mungkin. Lelaki ini gila. Apa yang berusaha dilakukannya? Dia pikir, siapa yang akan percaya ceracaunya? Dengan mengatakan Henry melakukan hal seperti ini! Dia gila. Sudan pasti. Gila! Pasti ada sesuatu dibalik semua omong kosong ini. Henry pasti membuat semacam perjanjian dengan lelaki ini. Miss Jennings mengatakan lelaki ini menelepon Henry beberapa kali. Aku amat ketakutan—dan terpesona. Beliau menjelaskan semuanya dengan sangat cepat sehingga saya hampir tidak bisa berpikir. Saya perlu sedikit waktu untuk berpikir. Maaf, Salah Sambung | 347 "Saya tidak yakin semua itu bisa dilakukan dengan begitu mudah." "Apa! Bagi seorang kimiawan sepertimu semuanya akan menjadi mudah." Pujian beliau membuat perasaan saya jadi hangat, dan itu harus saya akui. Tidak ada seorangpun yang mau bersusah payah menghargai atau memahami keajaiban kimia yang dengan sangat hati-hati diproduksi dibawah pengawasan saya di laboratorium Cotterell. Apalagi Mr. Cotterell sendiri. "Apa Anda benar-benar percaya saya seorang kimiawan yang baik?" tanya saya bodoh. "Saya tahu kamu adalah yang terbaik disini," jawab beliau dengan cepat. "Saya mengawasi pekerjaanmu. Saya melihat catatanmu. Dan saya benci melihat mereka yang hanya menghargai otakmu seharga kacang." Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Godaan merupakan sesuatu yang sangat buruk, apalagi bila yang harus saya lakukan sangat mudah—menjadi seorang kimiawan yang baik. Saya ragu-ragu—dan memain-mainkan pegangan pintu. Tapi ada lagi yang dikatakan Mr. Stevenson. "Ayolah, Evans—jangan bodoh. Aku sudah membicarakan semuanya dengan seseorang." Saya terperanjat. "Orang lain? Ya Tuhan! Itu tolol sekali!" "Bukan tolol," jawab beliau sambil tersenyum suram. "Hanya indera yang peka. Harus ada seseorang yang menjual barang itu setelah kita mendapatkannya. Aku tidak akan tahu apa yang harus kulakukan dengan benda itu. Belum tahu—begitu tepatnya. Tapi orang yang kutemui tahu betul bagaimana melakukannya. Namanya Morano. Dia akan menjual apapun yang kita berikan padanya— dan hasilnya dibagi tiga." Gila, pikir Leona. Sekarang sudah tidak diragukan lagi. Mungkin dia hanya seorang pegawai yang sudah dipecat dan pikirannya sedang kacau. Cerita gila. Seperti dalam film saja. Kejahatan berdarah dingin yang terdapat dari rencana itu akhirnya membunyikan bel tanda bahaya di benak saya. Jika yang mengatakan itu orang lain selain Mr. Stevenson, saya tidak akan begitu kaget. Tapi lelaki muda tampan dan berkuasa ini, yang hidup di tengahtengah keluarga kaya, adalah hal yang menakjubkan jika sampai memiliki rencana jahat seperti itu. "Anda—Anda benar-benar membuat saya kaget setengah mati, Mr. Stevenson," ujar saya 348 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung j 349 dengan suara lemah. "Bagaimana mungkin Anda—dari semua orang yang ada disini—mau melibatkan diri dalam urusan sepele tapi membahayakan seperti ini? Saya yakin Anda hanya menguji integritas saya saja—dan saya menolaknya, Pak." Wajah beliau cemberut, dan seringai di wajah itu sangat tidak sedap dipandang. "Evans, kau menginginkan sesuatu— peternakan itu. Aku juga menginginkan sesuatu. Uang. Uangku sendiri. Aku akan mendapatkannya. Dan lebih cepat lebih baik. Itu saja. Aku menginginkannya. Aku mendapatkannya. Sekarang mari kita masuk ke dalam rumahmu dan membicarakan semuanya." "Tunggu," ujar saya memohon. "Bagaimana jika kira tertangkap nanti?" "Tidak akan. Ayo kita masuk." Dan kami memang tidak tertangkap, Mrs. Stevenson. Dari tanggal 15 Desember 1946 sampai 30 April 1947 kami tidak pernah tertangkap. Saya melaksanakan bagian pekerjaan saya dengan kemudahan yang menakjubkan. Gampang sekali mengganti sejumlah besar alkaloid morfin dengan bubuk dan cairan yang tidak berbahaya. Biasanya saya melakukan penggantian itu di malam hari, saat para pegawai tidak ada. Tidak ada seorangpun yang memperhatikan. Dan paket barang haram itu saya serahkan pada Mr. Stevenson tiap Jumat. Lalu Mr. Stevenson menyerahkannya pada Morano, yang saya sendiri tidak tahu dimana dia berada. Saya tidak pernah bertemu dengan Morano sama sekali. Tanggal 30 April saya telah mengumpulkan hampir lima belas ribu dollar. Luar biasa sekali. Rasanya mimpi saya jadi kenyataan. Kemudian, pada suatu hari saya menerima pemberitahuan dari Cotterell Company yang isinya saya harus dimutasi ke pabrik di Bayonne, New Jersey. Menurut surat itu saya juga akan bertanggung jawab untuk laboratorium narkotik disana, sama seperti disini. Meskipun begitu saya tetap takut. Kelihatannya kepindahan saya ke tempat baru untuk mengerjakan pekerjaan dan bayaran yang sama sangat tidak penting. Saya langsung menemui Mr. Stevenson secepatnya. Ketika kami hanya berdua di kantor, saya memperlihatkan surat itu. "Apakah kau meminta pemindahan itu?" tanya beliau tajam. "Tidak, sama sekali tidak pernah," jawab saya meyakinkan. "Karena itulah saya agak khawatir dengan hal ini. Saya yakin ada sesuatu yang dicurigai disini." "Omong kosong," ujar beliau. "Kau pasti sudah lama diangkut polisi jika ada yang salah. Perpindahan ini pastilah hanyalah masalah 350 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 351 rutin. Aku akan mengeceknya sendiri, tapi untuk apa kita menarik perhatian orang dengan hal itu? Tidak usah khawatir mengenai hal ini." Saya sama sekali tidak tenang dengan keyakinan dingin beliau. Mr. Stevenson memiliki sifat sekeras besi dalam dirinya, tapi saya tidak. "Ini adalah sebuah isyarat," ujar saya dengan gugup. "Sebuah petanda. Saya yakin sekali." "Pertanda—apa?" tanya Mr. Stevenson. "Untuk berhenti," jawab saya. "Ini—ini adalah bisnis yang jelek, Mr. Stevenson. Saya tidak bisa meneruskannya. Saya sudah tua, Mr. Stevenson. Di satu sisi saya sudah tidak muda lagi. uang saya sudah hampir cukup untuk berhenti sekarang dan kembali ke Inggris. Mungkin saya akan melakukannya segera setelah pemindahan saya ke Bayonne dilaksanakan." Mr. Stevenson memandang saya dengan senyum licik. Bukan tatapan yang sedap dipandang, menurut saya. "Evans," ujar beliau lembut. "Kau boleh berhenti saat aku bilang berhenti. Kita harus memperjelas semuanya ini—saat aku bilang berhenti. Bukan sebelumnya." Beliau bangkit dari meja kerjanya dan berjalan ke pintu untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar pembicaraan kami. 352 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Kemudian beliau kembali dan duduk di ujung meja dekat kursi yang saya duduki. Bibirnya masih saja tersenyum, tapi matanya sedingin es. "Aku memerlukanmu, Evans, dan aku tidak bermaksud melepaskanmu. Mungkin kau merasa cukup dengan uang untuk membeli pakan ternak yang berhasil kita kumpulkan. Tapi aku belum. Aku menginginkan lebih. Lebih banyak, Evans, dan aku akan mendapatkannya. Dan kurasa aku tahu bagaimana cara untuk mendapatkannya—dengan cepat. Lebih cepat daripada yang kita dapatkan selama ini." "Maksud Anda?" "Kau memberiku gagasan, Evans. Gagasan besar—gagasan yang membuatku tertarik. Kau benar dengan mengatakan pemindahan itu adalah sebuah pertanda. Itu adalah pertanda terbesaryang pernah kau rasakan. Dan semua ini menunjuk tepat pada tumpukan uang terbanyak yang pernah kau lihat. Saat aku mendapatkan tumpukan itu—kau juga dapat memilikinya, Evans. Tidak perlu waktu lama untuk mendapatkannya—jika kau melakukan apa yang kusuruh." Beliau bicara dengan suara rendah, tapi ketegasannya tidak diragukan lagi. Matanya bersinar dengan ketegasan itu dan saya merasakan sedikit kegilaan disana. eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com Maaf, Salah Sambung | 353 "Tolonglah, Mr. Stevenson," kata saya sambil memohon. "Apakah Anda yakin untuk melanjutkan semua ini lebih jauh adalah hal yang bijaksana? Saya akui sejauh ini semuanya masih sederhana bagi saya. Tapi tidakkah kemudahan yang ada di awal ini mengacaukan penilaian Anda? Lagipula, sejauh mana Anda mempercayai Mr. Morano?" Beliau mendengus. "Morano. Gangster kecil-kecilan. Dia memanfaatkan kita sebagaimana dia memanfaatkan kroco-kroconya, Evans. Kita yang menanggung resikonya sementara dia yang mengangguk untung banyak." Beliau bangkit dan berjalan menujujendela, memandang ke arah pabrik besar itu. Sambil berdiri memunggungi saya, beliau berkata, "Aku tidak melihat Morano lagi dalam gambaran ini. Tidak, aku tidak lagi melihatnya—si penipu kecil itu." Beliau berbalik menatap saya. "Dengan keberadaanmu di Bayonne, Evans, kurasa Mr. Morano harus mencari orang lain untuk bisa memasoknya." Saya sama sekali tidak mengerti apa yang beliau maksud. "Tidak begitu mudah untuk berhenti berurusan dengan orang seperti Morano. Aku bisa membayangkannya," kata saya. "Orang-orang ini bekerja dalam kelompok, dan biasanya mereka agak sulit—mereka menyukai 354 | Lucille Fletcher & Allan Ullman kontak fisik—untuk menangani hal-hal semacam ini." "Aku akan menangani Morano," ujar Mr. Stevenson. "Jika dia mengetahui kepindahanmu ke Bayonne, memotong pasokanku, dia tidakakan berpikirdua kali. Dia itu orang bodoh, Evans. Dan seluruh orang-orangnya itu sama sekali tidak punya otak. Dia tidak akan membuat masalah." Beliau kembali duduk di atas meja. "Sekarang, begini rencananya. Masalah narkotik ini adalah hal besar. Aku tidak menyadari seberapa besar hal ini sampai aku lihat apa yang didapat penjahat kecil-kecilan seperti Morano itu dari kita. Dan jangan lupa transaksinya dengan orang lain. Baiklah, kita akan menutup toko sekarang, melenyapkan Morano dan sepertiga bagiannya. Kita akan mulai usaha kita sendiri di Bayonne, menjajakannya di New York, pasarterkaya di negara ini. Usaha kita akan berkembang, dengan keuntungan yang lebih besar untuk kita berdua. Yang harus kau lakukan adalah hal-hal seperti biasanya. Kecuali mungkin kita harus menyimpannya di gudang di suatu tempat. Kita akan mencari tempat lain untuk—showroom. Dan kita kembali berbisnis!" "Ini fantastis, Mr. Stevenson. Tapi misalkan saja—ini sekedar berandai-andai—misalnya saya membantu Anda dengan cara ini. Bagaimana Anda bisa—bisa menghubungi para pembeli? Terlalu riskan. Lebih baik kita tetap berbisnis kecil-kecilan tapi aman, dan tetap terpelihara," kata saya. "Begini, Evans. Waktu itu aku masih kecil, pekerjaanku menuang soda dan membungkus beberapa paket di apotik, aku selalu berhasil mengutil beberapa barang, beberapa botol parfum, barang-barang kecil semacam itu. Selalu ada orang yang mau membelinya dariku, dengan harga murah, tanpa bertanya. Aku hanya pernah tertangkap sekali. Dan seorang lelaki tua bernama Dodge, yang kebetulan menyukaiku dan memahami keadaanku yang miskin serta harus membantu keluarga, mengentaskanku dari masalah. Aku tertangkap karena aku tidak berhati-hati dalam melangkah— dan hal itu menjadi pelajaran bagiku. Kau bisa lolos dari apapun jika kau pintar dan berhati-hati dalam melangkah. Well, Evans, aku sudah cukup cerdas untuk membuat beberapa penghubung di New York. Kau serahkan saja hal itu padaku. Dan percayalah padaku, orangorangpun tidak akan memimpikan kau dan aku ada hubungannya dengan hal ini." Ya Tuhan! Semua ini busuk sekali! Leona hampir mempercayai ucapannya. Dia membuat semuanya seakan nyata. Semua tergabung dengan sangat rapih. Tapi dia tidak Maaf, Salah Sambung | 355 boleh berpikiran seperti itu, sama sekali tidak boleh mempercayainya. Semua ini tidak mungkin terjadi. Leona tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Satu setengah bulan kemudian kami mulai operasi kami di Staten Island, New York. Markas kami adalah sebuah rumah kuno di Dunham Terrace nomer 20. Saya membeli rumah itu untuk Mr. Stevenson. Saya berhasil menyewa bocah-bocah sekitar—anak-anak yang tidak terlalu cerdas, Anda tahu kan— anak-anak yang mengira saya sedang mengerjakan proyek ilmiah untuk pemerintah. Salah seorang bocah itu bertindak sebagai semacam pengintai untuk saya, memperingatkan akan adanya orang asing, dan semacamnya. Yang lainnya, si bungkuk, menjaga tempat itu agar selalu bersih dan menjalankan perahu motor yang saya beli untuk pergi ke rumah itu lewat jalan air. Keduanya sangat setia dan sangat menjaga rahasia, meskipun saya tetap memiliki sedikit ketakutan, tapi di dalam rumah itu memang tidak ada apa-apa yang bisa membuat mereka curiga. Rumah itu hanya sebagai tempat distribusi—showroom, menurut istilah Mr. Stevenson—dan obat terlarang itu dibawa dari "gudang" dan langsung dilepaskan. 356 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Gudang yang dimaksud adalah kamar saya, kamar darimana saya menelepon sekarang ini. Disini adalah rumah pribadi dengan lingkungan yang cukup terpandang— pemilik rumah saya adalah seorang pensiunan menteri dengan sikap hidup sangat sederhana. Koper saya berguna sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang kami jual. Sepertinya tidak ada tempat seaman ruangan yang menyenangkan ini, dimanapun. Saya mengunjungi State Island beberapa kali dalam seminggu, dimana saya akan bertemu dengan klien yang dikirimkan oleh Mr. Stevenson. Bagaimana beliau bisa mendapatkannya, saya sama sekali tidak tahu. Kami memiliki semacam kode rahasia untuk mengidentifikasi klien-klien tersebut sampai saya mengenal sebagian besar dari mereka saat saya melihatnya. Para lelaki ini—dan beberapa perempuan—adalah para pedagang kecil. Mereka membeli dalam jumlah tertentu dan mendistribusikan barang-barang itu kembali ke—ah—para konsumen utama. Mungkin Anda pikir saya menabung cukup banyak uang setiap minggunya dan Anda memang benar. Tapi kelihatannya Mr. Stevenson tidak begitu senang dengan kemajuan yang saya buat. Beberapa bulan yang lalu—sebagaimana yang Anda ketahui—Mr. Stevenson tiba di New Maaf, Salah Sambung | 357 358 I Lucille Fletcher & Allan Ullman York, bertindak seolah beliau sudah mulai bekerja di tempatnya yang baru, kantor Cotterell Company di New York. Dan seperti yang Anda duga, tujuan sebenarnya adalah untuk mengambil alih penjualan obat-obatan itu, karena beliau percaya peningkatan volume bisnis kami bisa distimulasikan lebih jauh jika kami dekat dengan sumber. Saya mengetahui hal itu sesaat setelah Mr. Stevenson merasa terdesak untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin, secepatnya. Nyatanya, Mr. Stevenson sedang bermain-main di bursa saham, mempergunakan hasil dari keringatnya yang tidak begitu halal itu sebagai modalnya. Sayang, beliau tidak begitu cerdik dalam spekulasi pasar saham, tidak seperti di bisnis kami yang ilegal itu. Beliau sedang berada tingkat kesulitan tinggi. Yang lebih disayangkan lagi adalah, beliau tidak berhenti, sesampainya di New York, untuk terus mengucurkan uang lebih banyak lagi untuk operasi pasar yang tidak berguna itu, sehingga tiap sen yang beliau miliki segera saja berpindah tangan ke pialang saham. Sally! Sally menyebut-nyebut tentang kantor pialang. Dan lelaki itu—Freeman atau siapapunlah namanya—bersimpati pada Henry atas kekalahannya. Ini bukan suatu kebetulan. Evans tidak mengada-ada pada bagian ini. Semuanya jadi lebih masuk akal Maaf, Salah Sambung | 359 dari waktu ke waktu, dan itu menakutkan. Mungkin Evans memang tidak gila. Semuanya ini sangat mengejutkan saya, apalagi saya melihat tidak adanya kesempatan melepaskan diri dari cengkeraman Mr. Stevenson. Kesombongan beliau yang meluapluap itu—yang benar-benar sudah mengakar pada kegelisahannya untuk berhasil dengan cara yang halal—membuat beliau berusaha menutupi kekalahannya, berulang-ulang. Ketika saya menyarankan untuk berhenti dan mengumpulkan keuntungan dari bisnis kami yang lumayan itu, beliau hanya memandang saya dengan tatapan dingin yang akhirnya sudah saya kenal dengan amat baik, dan beliau berkata untuk tidak usah turut campur. Suatu hari saya bertanya pada beliau, "Mr. Stevenson, mengapa Anda terus bersikeras untuk berjudi di pasar saham? Belakangan ini kesempatan untuk mendapatkan keuntungan berlebih dengan cara begitu sangat terbatas— dibandingkan dengan bisnis yang kita jalankan." Beliau hanya tersenyum aneh dan memandang saya. "Kau tahu aku menginginkan uang. Bukan sembarang uang. Tapi uang yang bisa kupamerkan kemana-mana—uang yang bisa membelikanku penghormatan walau sedikit. Aku menginginkan banyak sekali uang seperti itu. Dan aku tidak mau menunggu uang itu seumur hidupku. Baiklah—bagaimana caraku menjelaskan; bagaimana caraku mendapatkan uang dari penipuan ini? jawabannya— tidak bisa. Yang bisa kulakukan adalah menggunakannya untuk mendapatkan sesuatu yang terhormat. Jadi aku main-main dengan bursa saham. Saat aku sudah berhasil, tidak akan ada satupun yang tahu dari apa aku memulainya. Aku akan bilang pada mereka, aku menabung sedikit uang dari Mr. Cotterell untuk menghangatkan kursinya. Kemudian, jika semuanya terlaksana sebagaimana mestinya, aku akan kaya, terhormat, dan operator yang cerdas—dan kemudian aku bisa mengatakan pada Cotterell apa yang bisa dilakukannya dengan kursi wakil direkturku." Mr. Stevenson, sebagaimana yang bisa Anda rasakan, sangat getir—dan sangat sombong. Hasratnya untuk dipandang lebih amat sangat dimengerti jika saja hal itu terjadi pada lelaki muda selain beliau. Tapi lelaki muda yang lain akan bekerja dengan jujur untuk mencapai tujuannya, dimana Mr. Stevenson berusaha untuk mendapatkan tujuannya tanpa bekerja. Saya dapat menarik pelajaran moral malam ini dari keadaan Mr. Stevenson yang kurang bermoral itu. karena—sebagaimana yang Anda perkirakan—saya akhirnya melepaskan diri dari ikatan itu. Saya bukan lagi 360 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 361 miliknya. Saya tidak akan membiarkan lagi tindakan saya yang seperti ini. Tapi tingkah laku saya ini adalah kelemahan seorang lelaki tua yang hilang harapan dan mudah sekali tergoda. Di sisi lain, Mr. Stevenson adalah sebuah produk yang tidak bahagia dari sebuah pikiran yang sesat dan berahlak buruk di dalam tubuh tegap dan kuat. Dengankata lain: saya adalah si jahat—beliau si berbahaya. Untungnya—atau sayangnya, tergantung bagaimana cara Anda memandang—bab terakhirdari cerita kami ini sedang ditulis bahkan pada saat Mr. Stevenson sedang merencanakan untuk meningkatkan penjualan obat-obatan terlarang yang saya pasok. Sekitar sebulan yang lalu kami kedatangan tamu. 10:40 Pada suatu malam saya harus menemui Mr. Stevenson di rumah Dunham Terrace. Saya datang agak terlambat daripada biasanya. Kali ini saya datang dengan ferry dari Manhattan, dan kabut di sungai membuat kedatangan jadi terlambat. Saya terburu-buru menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah. Mr. Stevenson sedang duduk di salah satu kursi reyot yang melengkapi ruangan itu. Sebuah lampu minyak berdiri di meja sebelahnya, dan cahayanya membuat saya dapat melihat wajah beliau dengan jelas. Pucat seperti kapas, dan senyum aneh itu berkelap-kelip di wajahnya. Beliau menatap saya, kemudian memandang ke sudut ruangan di belakang pintu yang saya buka. Saya masuk, menutup pintu—dan melihat seorang lelaki dibaliknya! Dia mengangkangi kursi dapur, lengannya terlipat di belakang sandaran kursi. Dengan sinar lampu yang remang-remang itu saya tidak begitu jelas melihat wajahnya. Yang saya tahu saya belum pernah melihat orang itu sebelumnya. Perawakannya kecil, pakaiannya rapih. Rambutnya yang hitam berminyak memantulkan cahaya lampu. Dia melihat ke arah saya, dan yang dapat saya lihat dari wajahnya sangat tidak menyenangkan—tajam, dengan garisgaris wajah yang biasa, dengan warna kulit kehitaman, dan sepasang mata kecil yang hampir tidak pernah berkedip. Sesaat setelah saya menutup pintu, tidak ada satupun diantara kami yang bicara. Kemudian si lelaki kecil itu menoleh ke arah Mr. Stevenson. "Dia?" tanyanya. Mr. Stevenson menjawab. "Dia." Dan beliau berkata, "Evans, kenalkan kawan lama kita— Morano." Lelaki kecil itu memandangku. "Duduk," perintahnya. Saya duduk—dengan rasa lega. Keterkejutan atas pertemuan yang tidak disangka ini 362 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 363 membuat saya lemas. Saya sangat gusar dengan kejadian ini. "Morano tidak senang dengan kita," ujar Mr. Stevenson mengejek. "Beliau ini sakit hati memikirkan bahwa kita telah mendepaknya dari dewan direksi." Saya menatap cemas ke arah Morano demi melihat reaksinya terhadap ucapan Mr. Stevenson. Kalaupun ada, maka saya tidak bisa melihatnya. Dia hanya duduk diam-diam di tempatnya, menunggu Mr. Stevenson menyelesaikan kalimatnya. "Saya baru saja memberitahukan Mr. Morano bahwa kita tidak dapat menerima lamarannya untuk kembali duduk dalam jajaran kepengurusan ini," lanjut Mr. Stevenson. "Beliau baru akan mengomentari keputusan ini ketika kau baru saja masuk." Sambil bicara, ujung-ujung jemarinya disatukan, bertumpu pada bibirnya, dan matanya menatap Morano dengan kesopanan yang menjengkelkan. Morano masih menatap sesaat lebih lama seolah-olah sedang merencanakan sesuatu dalam benaknya. Kemudian dia mulai bicara. Kata-katanya seperti tertelan ketika dia bicara dengan bibir yang hampir tidak bergerak. Tapi kami tidak kesulitan menangkap ucapannya. "Hati-hati," ujarnya. "Mungkin semua ini tidak terlalu lucu. Mungkin jika kau menyimak 364 I Lucille Fletcher & Allan Ullman dan mendengarkan maka kau akan mempelajari sesuatu, Stevenson. Bahkan terkadang orang pintar sepertimu juga harus belajar. Sesuatu... misalnya saja belajar bagaimana untuk tetap hidup." Ucapannya terhenti sesaat. "Kau pikir ini bisnis macam apa? Barang kelontong? Apa tiap orang bisa buka toko? Bisa langsung pindah dan bekerja begitu saja? Apa otak pintarmu itu mengatakannya, Stevenson? Sebagaimana otakmu itu menyuruhmu untuk menghianatiku? Aku tidak akan mengawasimu?" "Satu kemenangan bagimu," jawab Mr. Stevenson malas-malasan. "Saya salah menilaimu." "Semua itu bukan murni kesalahanmu," bentak Morano. "Jika bukan karena aku, mungkin kau sudah mati sekarang. Setiap mafia yang bergerak di bidang ini tahu apa yang kau lakukan. Atau barangkali kau pikir mereka tidak tahu? Kau itu mudah dijatuhkan segera setelah mereka tahu siapa profesor dibalik ini semua. Mereka menginginkannya. Segera setelah mereka mendapatkannya, dan terus dapat memasok barang, sesuatu akan terjadi padamu, Stevenson. Sesuatu yang amat menyedihkan. Tadi aku sudah mengurusnya. Aku punya banyak teman disini. Jadi mereka akan membiarkanmu sendiri—dengan hanya sedikit luka kecil." Maaf, Salah Sambung | 365 Mr. Stevenson tidak tersenyum lagi. "Saya rasa kami tidak tertarik, Mr. Morano. Saya rasa kami akan meneruskannya tanpa bantuan Anda. Jika kami ingin membuat perjanjian maka kami akan membuatnya secara langsung. Kau punya bisnis di Chicago. Seharusnya itu sudah cukup." "Lucu," sahut Morano, "tapi tidak cukup. Kau ini bertindak sangat bodoh, Stevenson. Kurasa kau tidak punya banyak pilihan dalam perjanjian ini. Rasanya kau sama sekali tidak punya pilihan apapun." "Dan itu artinya adalah...?" "Artinya kau bisa memilih mau memasukkan aku kembali atau biarkan aku meniup peluit di toilet ini. Semudah itu. Aku ambil alih sekarang—atau nanti tidak akan ada bisnis sama sekali." Mr. Stevenson berdiri tegak. "Kau tidak akan melakukannya, Morano. Kau sendiri termasuk dalam perjanjian Chicago waktu itu. Kau akan jatuh bersama kami." "Tidak—" jawab Morano. "Tidak ada seorangpun yang akan menggangguku. Tidak ada seorangpun yang memiliki bukti dan membuatku tertangkap. Aku belum pernah melihat kalian sama sekali seumur hidupku, bukan begitu? Terlebih lagi, tidak akan ada seorangpun yang tahu siapa yang menyanyikan Iagu tentang menantu Mr. Cotterell yang 366 I Lucille Fletcher & Allan Ullman menjalankan bisnis obat terlarang. Sebuah persenan seperti itu bisa membeli berbagai macam perlindungan." Lalu terjadilah hal itu. Mr. Stevenson serentak bangkit dari kursinya, pucat karena marahnya dan meneriaki Morano. Tinjunya menghantam pelipis si lelaki kecil itu dan membuatnya terjungkal. Bagaikan binatang murka, Mr. Stevenson mengikuti arah jatuhnya, menghempaskan diri ke tubuh Morano dan mencekik lehernya saat mereka jatuh berbarengan. Saya yakin beliau pasti sudah membunuh si Morano saat itu juga— semua setara kini. Tapi sebagaimana yang sudah saya ketahui, dan menurut perkataan Morano sendiri, tidak ada apapun yang setara. Ketika dua lelaki itu menghantam lantai, tibatiba pintu terbuka lebar dan Mr. Stevenson langsung berdiri tegak, kedua lengannya dicengkram oleh anak buah Morano. Mereka adalah bandit-bandit bertampang kejam, dan saya takut mereka akan memukuli Mr. Stevenson sampai babak belur. Tapi Morano berkata, dari lantai tempatnya duduk, "Anakanak, biarkan dia. Aku tidak mau dia sampai kenapa-kenapa. Aku tidak mau kalau sampai dia harus menjelaskan apapun pada siapapun." Morano berdiri, menepis-nepis pakaiannya yang rapi itu dan meluruskan dasi di lehernya. Dari sakunya dia mengambil sebuah sisir dan Maaf, Salah Sambung | 367 secara hati-hati dia kembali merapihkan rambut hitam berkilatnya agar berkilau dengan sempurna. Kemudian dia berkata, "Dudukkan dia di kursi itu—dan sana pergi." Mereka menyorong-nyorongkan Mr. Stevenson kembali ke kursinya. Saya melihat salah satu anak buah Morano itu meraba-raba pakaian Mr. Stevenson, sepertinya mencari senjata. Mr. Stevenson duduk dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, sementara orangorang itu keluar ruangan. Morano menghampiri Mr. Stevenson dan berdiri di hadapan beliau. "Kau mengerti maksudku, 'kan?" Mr. Stevenson mengangguk sambil merengut. "Oke. Sekarang kita sudah sama-sama mengerti. Kita tidak perlu lagi main jambakjambakan. Kau lakukan apa yang kuperintahkan dan aku akan mengurusmu. Peraturan ini juga berlaku untuk si profesor." Dia menatapku sambil menyeringai jahat. "Mulai sekarang aku yang mengambil alih urusan ini. Hasilnya akan dibagi separo-separo. Setengah untukku dan setengahnya lagi kalian bagi berdua. Mungkin tidak sebanyak yang kalian dapatkan seperti sebelumnya—tapi pengeluaranku banyak." "Ini—ini tidak adil," ujar Mr. Stevenson lemah. "Jumlahnya tidak akan cukup..." "Ini sudah adil," bentak Morano. "Adil karena aku bilang begitu. Kalau kau tidak suka maka kau dipersilahkan untuk keluar, asal si profesor tetap tinggal." Lalu dia menoleh padaku. "Atau mungkin profeesor lebih suka itu? Setengah bagian penuh? Profesor ini tidak akan menghianati siapapun—kecuali mungkin kau, Stevenson." Tapi omongan Morano yang sok lucu itu tidak berlangsung lama. Tatapan dinginnya kembali ke Mr. Stevenson. "Sekarang kita tahu tempat kita berdiri dari sekarang. Hanya ada satu masalah kecil yang hams diselesaikan— masalah kecil sebesar seratus ribu dollar." Mr. Stevenson menegang di kursinya. "Seratus ribu dollar? Untuk apa?" "Sebagai ganti rugi saat ini sampai kau memutuskan untuk mendepakku tadi." "Kau gila," teriak Mr. Stevenson. "Aku tidak punya uang sebanyak itu. Aku hampir kehilangan semua uangku dalam bisnis ilegal ini." "Sial sekali," ujar Morano berlagak sedih. "Ini benar-benar sial." Lalu tatapannya kembali dingin. "Kau akan bisa mengumpulkan uang sejumlah itu. Dan kau harus bisa mengumpulkannya dalam waktu sebulan." Mr. Stevenson memucat. "Kau gila, Morano. Aku tidak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu sebulan. Aku perlu waktu lebih. Kemudian mungkin istriku akan..." 368 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Morano berkata dengan penuh penghinaan, "Istrimu! Kau tidak mungkin tidak bisa mendapatkan uang sepeserpun dari istrimu." "Kau tidak mengerti," sahut Mr. Stevenson serak. "Dia itu sedang sakit. Dia akan segera meninggal... sebentar lagi. Dia akan mewariskan semuanya padaku... Semua ada pada surat wasiatnya. Tunggulah beberapa bulan lagi... Itu saja, aku yakin itu..." "Aku tidak akan menunggu siapapun meninggal—tidak akan," sahut Morano. "Dan kau juga tidak akan seperti itu—jika kau cerdas. Bila ada orang yang akan mati—maka dia akan mati." "Ya Tuhan!" teriak Mr. Stevenson. "Aku tidak bisa..." "Aku tidak peduli apa yang kau bisa atau tidak bisa," bentak Morano. "Kau harus membawa uang sejumlah itu dalam tiga puluh hah." "Tapi—" "Begini—" kata Morano sambil menyeringai. "Aku tidak ingin terlalu keras terhadapmu, Stevenson..." "Ya?" tanya Mr. Stevenson penuh harap. "Kau datang padaku dengan beban berat. Mungkin aku bisa memberimu—bantuan." Malam itu tanggal 17 Juli. Dan sejak saat itu saya belum melihat Mr. Stevenson maupun Morano. Dan sekarang—seperti saya Maaf, Salah Sambung | 369 370 I Lucille Fletcher & Allan Ullman menyampaikan pesan terakhir ini pada Anda, saya yakin sisa cerita ini akan dapat Anda lanjutkan sendiri... Telepon itu bergetar dalam genggaman tangan Leona. Air mata ketakutan menggenang di pelupuk matanya. Tubuhnya terasa kosong dan energinya tersedot, dan Leona hampir tidak bisa mengendalikan rahangnya yang gemetar hebat. "Melanjutkan—bagaimana?" tanya leona pada akhirnya. "Dimana suami saya? Dimana Mr. Stevenson saat ini?" "Saya harap saya bisa memberitahu dimana beliau berada, Mrs. Stevenson," jawab suara lelah itu. "Mungkin jika Anda coba menghubungi nomer di Caledonia..." "Nomer—Caledonia?" "Nomer yang tadi saya berikan sebagai pesan," jawab Evans. "Dan sekarang—jika Anda ingin mengeceknya bersama saya..." "Saya tidak bisa," sahut Leona sambil menangis. "Saya tidak bisa, saya lupa menuliskannya." "Saya akan mengulanginya sekali lagi untuk Anda, Mrs. Stevenson. Pertama: rumah di Dunham Terrace nomer 20 sudah dibakar oleh Mr. Evans sore ini. Kedua: Mr. Evans berhasil lolos. Ketiga: Mr. Morano sudah ditangkap. Keempat: uang itu sudah tidak diperlukan lagi karena bukan Morano yang menghubungi polisi." "Semua itu tidak penting," sahut Leona. "Semuanya sudah tidak penting lagi sekarang. Berikan saja padaku nomer Caledonia itu— nomer untuk menghubungi Mr. Stevenson." "Kelima," lanjut Mr. Evans datar. "Kelima: Mr. Evans ada di alamat Manhattan, tapi dia sudah pergi sekarang dan bisa ditemukan di alamat Caledonia 5:1133." "Caledonia 5:1133," sahut Leona mengulang, menulisnya dengan lipstik di atas selembar kertas yang dirobeknya dari buku notes. "Setelah tengah malam—" kata Evans dengan suara pelan. Kemudian, dengan suara menghembuskan napas karena lega, dia menambahkan, "Terima kasih banyak, Mrs. Stevenson. Dan selamat malam." Setelah Evans menutup teleponnya, Leona hanya menatap kosong pada nomer telepon berwarna merah tua yang seperti membara di atas kertas putih itu, seolah-olah jika dia menolehkan matanya memandang ke arah lain maka angka-angka itu akan menghilang. Secara otomatis, tanpa perasaan sama sekali, dia memutar nomer itu. Pertama dia mencobanya, jemarinya terpeleset karena gemetar dan dia harus mengulanginya lagi. Saat dia sedang Maaf, Salah Sambung | 371 372 I Lucille Fletcher & Allan Uilman memutar piringan nomer, ketegangannya memuncak dan menyebabkan tiap tarikan napasnya terasa sakit. Kali ini dia berhasil memutar nomer telepon itu dan setelah terdengar nada panggil mendengkur dua kali, telepon itu diangkat. Seorang lelaki menjawab, "Caledonia 5:1133." Takut dan cemas membuat suara Leona meninggi mendekati histeris. "Caledonia 5:1133? Apakah Mr. Stevenson ada disana?" tanya Leona. "Siapa, Bu?" "Mr. Stevenson. Mr. Henry Stevenson. Saya diberi nomer ini—oleh Mr. Evans." "Anda bilang Stevenson? Tunggu sebentar—saya carikan." Leona mendengar suara tumbuikan pelan ketika lelaki itu meletakkan teieponnya. Leona mendekatkan gagang telepon itu di telinganya dan mencoba mendengarkan suara selain langkah kaki si lelaki itu yang semakin jauh. Lalu hening. Detik demi detik berlalu pelan. Jantungnya berdebar kencang sekali seolah sedang berusaha untuk terbang dari dadanya. Dia mengepal-ngepalkan tangan yang tidak memegang telepon berulang-ulang kali, meremasnya sampai kuku jemarinya yang panjang terbenam di telapak tangan. Di luar, suara siulan rendah seperti rengekan dari arah Maaf, Salah Sambung | 373 sungai terdengar sayu-sayup, dan dibawah sana, seseorang—polisikah?—menggesergeser kayu di pagar besi. Tiba-tiba suara lelaki itu kembali terdengar. "Tidak, Mr. Stevenson tidak ada disini, Bu." "Oh, Mr. Evans bilang dia mungkin ditunggu disini. Apa saya bisa meninggalkan pesan?" "Pesan? Kami tidak mencatat pesan disini, Bu." Suara lelaki itu terdengar heran—dan sedikit terhibur. "Disini pesan tidak berguna, Bu." "Tidak? Memang ini nomer apa? Siapa— saya menghubungi nomer apa ya?" "Caledonia 5:1133," ujar si lelaki. "Kamar Mayat." Leona duduk tidak bergerak di tempat tidur, dengan putus asa berusaha untuk menyatukan bagian demi bagian gambar puzzle dari kejadian-kejadian malam ini. Kekacauan yang bagai mimpi itu membuat keterkejutannya makin menumpuk, tapi dia berhasil merangkai semuanya menjadi satu bentuk kebenaran yang utuh. Dan ketika kebenaran itu terasa makin nyata, hal itu makin membuatnya menggigil. Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi padanya! Bagaimana mungkin hal jahat seperti ini bisa menimpa dirinya! Telepon jahat, pikirnya. Mengapa harus dia yang mendengar para penjahat itu bicara? Mengapa teleponnya ke kantor Henry—telepon yang dihubungi tanpa bantuan operator—harus dijawab oleh nada sibuk? Siapa yang ada di kantor Henry kalau bukan dia? Kalaupun ada seseorang—siapapun dia—sedang mempergunakan telepon di kantor Henry, bukankah dia bisa saja menghubungi para penjahat yang suaranya terdengar...? Tidak—dia tidak akan memikirkan hal itu. Dia akan memaksa diri untuk membuang hal itu dari benaknya. Banyak hal lain yang harus dipikirkan. Bagaimana dengan cerita dari Sally? Tentang keterlibatan Henry dengan pihak yang berwajib? Dia harus percaya juga—setidaknya sebagian dari hal itu—karena Evans sudah melengkapi kebenaran cerita itu. Kalau saja semua itu benar adanya dan bukan sebuah rencana jahat untuk membuatnya gila. Kalau memang apa yang diceritakan Evans memang benar, berarti Henry ditekan untuk segera mengumpulkan uang sebegitu banyak, seratus ribu dollar. Dan dia tidak akan bisa, kecuali Henry menceritakan semua hal busuk ini ke ayah mertuanya, Jim Cotterell! Dan ini sangat tidak mungkin terjadi! Leona masih terheranheran bagaimana Henry bisa tampak begitu— begitu normal selama beberapa minggu ini. Ketika Leona mengingat-ingat kembali, dia kembali ingat apa yang dikatakan Sally bertahun- tahun yang lalu, saat Sally berusaha 374 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 375 memperingatkan Leona akan sifat Henry yang misterius. Sally tidak bohong saat itu! Apa yang sekarang harus dilakukan Henry? Tentu saja Leona tahu apa jawaban pertanyaan itu. Dia tahu hal itu ketika Evans sudah menyelesaikan ceritanya. Dia tidak lagi bisa melenyapkan pikiran itu dari benaknya, juga pikiran tentang apa yang didengarnya dari para penjahat di saluran telepon tadi. Dan ketika kesadaran yang menakutkan itu sedang merobek-robek akal sehatnya, Leona kembali mendengar suara desing dan dentang kereta yang melaju di atas jembatan. Potonganpotongan percakapan melintas dengan bebas di alam bawah sadarnya... klien kami...Lalu aku akan menunggu kereta yang melintas di atas jembatan...kalau-kalau dia nanti menjerit... apakah aku boleh memakai pisau...klien kami...klien kami...dia akan mati...aku tidak mau menunggu orang mati...klien kami...klien kami... Leona gusar dengan ketakutannya sendiri dan dia kembali menyambar telepon dan menghubungi operator. "Silahkan sebutkan nomer yang Anda tuju." Mulus sekali! Dan tanpa keramahan! "Tolong sambungkan saya dengan polisi," teriaknya tanpa sadar. "Menghubungi Kepolisian..." Dalam beberapa detik telepon itu diangkat. "Kepolisian. Markas Tujuhbelas. Dengan Sersan Duffy disini." "Ini Mrs. Stevenson lagi," sahut Leona. "Saya tadi menelepon Anda kesini.." "Ya, Bu. Anda bilang Mrs. Stevenson?" "Mrs. Henry Stevenson. Sutton Place nomer 43. Saya menelepon karena secara tidak sengaja saya mendengarkan percakapan di telepon..." "Ya, Bu. Saya ingat itu." "Well, saya bertanya-tanya tentang apa— apa yang kalian lakukan untuk mengatasinya?" "Semuanya sudah dicatat, Bu," jawab Duffy waspada. "Berarti—Anda belum...?" "Well, kami akan melakukan apapun yang kami bisa, Bu. Jika ada sesuatu yang terjadi—" "Jika ada sesuatu yang terjadi?" ulang Leona. "Maksud Anda jika sesuatu terjadi maka baru Anda akan melakukan sesuatu?" "Saya sudah katakan sebelumnya, Bu, bahwa informasi samar seperti ini tidak begitu banyak membantu..." "Tapi..." Ucapannya terhenti. Dia tidak mungkin mengatakannya pada polisi. Bahkan jika mungkin semua itu benar, Leona tidak mungkin mengatakannya. Dalam keadaan apapun, itu tidak mungkin terjadi. Dan jika dia 376 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maal, Salah Sambung | 377 mengatakannya sekarang maka semua itu tidak bisa ditarik kembali. Dia tidak akan menarik ucapannya. Itu akan menjadi akhir mimpinya. Dia tidak bisa mengatakannya pada polisi. Dia harus mencari cara lain... "Maafkan jika saya menyusahkan," ucapnya dengan suara lemah. "Saya rasa Anda mungkin bisa mengabarkan lewat radio polisi..." "Itu semua terserah keputusan Markas Besar," ujar Sersan Duffy. "Kami hanya mengatakan pada mereka dan semua terserah bagaimana mereka memperlakukan informasi yang telah kami beri. Sejauh ini tidak ada satupun laporan yang masuk." "Terima kasih," kata Leona. "Saya—saya harap semua ini hanya kesalahan saja." Telepon ditutup, dan Leona memikirkan langkah apa yang harus dilakukan dengan rasa takut. Dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang bisa melindunginya jika ada sesuatu terjadi... Agen detektif? Mungkin itu salah satu cara untuk mendapatkan seseorang yang bisa melindunginya, seseorang yang dijamin bisa menjaga kerahasiaan. Dia melihat sekilas ke jam meja di samping tempat tidur. Jam sebelas! Dia tidak punya cukup waktu. Tubuhnya kembali gemetar, dan dia kembali memutar nomer telepon dan menghubungi operator. "Tolong sambungkan saya dengan agen detektif," pinta Leona dengan gugup. "Anda bisa mencari daftar nama agen-agen detektif di buku telepon, Nyonya." "Saya tidak punya buku telepon—maksud saya—saya tidak punya waktu—untuk mencari- cari—ini—sekarang hampir terlambat." "Saya akan sambungkan Anda dengan bagian informasi." "Jangan!" teriak Leona dengan marah. "Kau tidak peduli dengan apa yang terjadi padaku, bukan? Saya bisa mati—dan kau sama sekali tidak peduli...!" "Bagaimana, Nyonya...?" "Sambungkan saya dengan rumah sakit kalau begitu," ujar Leona. "Apa ada rumah sakit khusus yang ingin Anda hubungi?" "Rumah sakit manapun! Pokoknya rumah sakit! Kau dengar?" teriak Leona. "Silahkan tunggu sebentar." 11:00 Dia menunggu sementara telepon berbunyi, melihat ke sekeliling ruangan dengan rasa tidak nyaman dan menatap pintu kamar yang setengah terbuka dengan gugup, ke arah gambar-gambar yang membayang di dinding, ke jejeran barang-barang anggun yang kacau balau di meja dan kaca riasnya. Deringan itu 378 | Lucille Fletcher & Allan Ullman segera berhenti dan seorang perempuan menjawab teleponnya. "Disini Rumah Sakit Bellevue." "Tolong hubungkan saya dengan bagian Perawat Terdaftar." "Anda ingin bicara dengan siapa?" "Saya ingin dihubungkan dengan bagian Perawat Terdaftar. Saya perlu seorang perawat terlatih. Saya ingin mempekerjakan seorang perawat malam ini, segera." "Begitu. Saya akan meneruskan telepon Nyonya kesana," jawab perempuan itu. "Kantor Perawat Tedaftar," sahut sebuah suara lain menjawab. "Saya ingin mempekerjakan seorang perawat malam ini, segera," jawab Leona mengulang. "Saya perlu seorang perawat secepatnya. Penting sekali untuk saya untuk memperoleh soorang perawat malam ini." "Apa kasusnyn, Nyonya?" "Kasus? Saya—saya invalid—dan saya sendirian—saya—saya tidak kenal siapapun di kota ini—dan saya baru saja mengalami keterkejutan yang amat sangat—saya tidak bisa sendirian malam ini." "Apakah Anda sudah diinstruksikan untuk memanggil salah satu dari anggota kami disini, Nyonya?" "Tidak," jawab Leona jengkel dengan nada suara semakin meninggi. "Tapi saya tidak Maaf, Salah Sambung | 379 380 I Lucille Fletcher & Allan Ullman mengerti mengapa—mengapa semua pertanyaan ini harus diajukan pada saya? Lagipula saya pasti akan membayar siapapun yang akan datang..." "Saya mengerti, Nyonya," jawab suara itu tenang. "Tapi ini adalah rumah sakit kota. Bukan swasta. Kami tidak mengutus perawat tanpa ada kasus tertentu kecuali untuk urusan darurat dan harus atas instruksi salah seorang dokter kami. Saya sarankan Anda menghubungi nomer telepon Perawat Terdaftar swasta yang lainnya saja." "Tapi saya tidak tahu nomer lainnya," ujar Leona setengah merengek. "saya tidak bisa menunggu. Saya betul-betul memerlukan bantuan saat ini." "Saya akan memberikan nomer yang bisa Anda hubungi. Schuyler 2:1037. Mungkin disana ada orang yang bisa membantu Anda." "Schuyler 2:1037. Terima kasih." Lagi-lagi Leona memutar nomer telepon, detaknya seolah palu'yang menghantam kepalanya. Dering telepon seakan tidak berkesudahan, walaupun hanya beberapa detik sebelum telepon itu diangkat. "Pusat Perawat Terdaftar. Dengan Miss Jordan disini." "Saya ingin mempekerjakan seorang perawat malam ini—secepatnya." "Dengan siapa saya bicara?" "Mrs. Stevenson. Mrs. Henry Stevenson, Sutton Place nomer 43. Dan ini sangat mendesak." "Apakah Anda menghubungi nomer ini atas instruksi seorang dokter, Mrs. Stevenson?" "Tidak," jawab Leona tidak sabar. "Saya orang baru disini—dan saya sakit. Dan malam ini saya melewati malam yang berat. Saya sudah tidak tahan tinggal sendirian di rumah." "Well," sahut Miss Jordan ragu-ragu. "Sekarang ini kami sedang kekurangan perawat disini. Mengirimkan perawat tanpa sepengetahuan dokter adalah hal yang tidak biasa, kecuali ada dokter yang menyatakan bahwa kasusnya sangat penting." "Tapi ini memang sangat penting," sahut Leona setengah memohon. "Penting sekali. Saya sedang sakit dan saya sendirian di rumah—saya tidak tahu dimana suami saya berada—saya tidak bisa menghubunginya. Dan saya sangat ketakutan. Jika tidak ada seorangpun yang datang dengan segera—jika tidak ada seorangpun yang bisa datang kesini, saya rasa saya akan jadi gila." "Begitu, ya," jawab si perempuan dengan penuh perhatian. "Well—saya akan meninggalkan pesan untuk Miss Phillips untuk menghubungi Anda secepatnya jika dia sudah datang." "Miss Phillips? Kapan dia datang?" Maaf, Salah Sambung | 381 382 I Lucille Fletcher & Allan Ullman "Kira-kira pukul sebelas tiga puluh..." "Sebelas tiga puluh!" Saat itulah Leona mendengar suara berdetik. Detik pelan yang terdengardari telepon. Leona merasa suara itu sering didengarnya di telepon. "Apa itu?" tanya Leona, tanpa sadar berteriak. "Apa, Nyonya?" "Suara klik—yang baru saja kudengar—di telepon. Sepertinya ada orang yang mengangkat telepon di bawah..." "Saya tidak mendengar apapun, Nyonya." "Tapi saya mendengarnya!" seru Leona dengan suara tercekat saking takutnya. "Ada orang di rumah inL.ada seseorang di dapur... dan mereka sedang mendengarkan apa yang kubicarakan sekarang. Mereka..." Kengerian melingkupinya dan dia berteriak, meletakkan telepon begitu saja dengan gerakan mekanis. Dengan tangan mencengkram seprai dengan kengerian yang tak terkatakan, Leona berkonsentrasi dengan kesunyian di sekitarnya. Tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki di lantai—pelan—teratur. Tubuhnya gemetar, dengan mata nyalang, dan tangan terangkat menutupi wajah. "Siapa itu?" panggilnya panik. "Siapa disana?" Maaf, Salah Sambung | 383 Saat suara langkah itu berlanjut—perlahan tapi pasti—dia hanya menatap dengan pandang ketakutan yang amat sangat ke arah pintu kamar—menunggu—menunggu. Tibatiba Leona berteriak keras, "Henry! HENRY!" Tidak ada jawaban. Suara langkah yang teratur dan tanpa ragu itu terus saja terdengar. Dihentaknya selimut dan berusaha bangkit dari tempat tidur. Tapi rasa takut yang melumpuhkan itu menyedot semua tenaganya. Dia berusaha keras menarik dirinya untuk bangkit, tapi lagi-lagi dia terhempas ke atas bantal— membeku karena ngeri—tidak dapat bergerak. Pandangan matanya yang liar memandang ke sekeliling ruangan, dan langsung tertumbuk ke arah pintu kamar yang setengah terbuka dan memandang ke arah luar, takut akan apa yang nantinya akan dia lihat. Terdengar gemuruh suara mesin truk di bawah, dan sambil memandang ke jendela akhirnya Leona mengetahui sumber suara yang mirip langkah kaki itu—tirai jendela yang diberi pemberat dan sedang melambai-lambai karena angin yang bertiup agak kencang! Dia merasa lega untuk sesaat. Debar jantungnya sedikit berkurang. Dokter Alexander mungkin benar, pikirnya. Jantung ini baik-baik saja. Dan tiba-tiba saja Leona menangis saking senangnya. Jika dia bisa melewati malam ini 384 I Lucille Fletcher & Allan Ullman dan tetap hidup, dia tidak akan terus tinggal di tempat tidur, tidak akan pernah! Dia akan sembuh dan kuat secepat mungkin. Tapi aroma bahaya masih tercium dimana-mana. Dia harus cepat-cepat melakukan sesuatu. Dia harus keluar dari ruangan itu! Secara otomatis Leona meraih gagang telepon. Tapi mendadak tangannya terhenti di udara. Siapa yang akan dia hubungi? Siapa yang akan membantunya sekarang? Pendengar bisu yang berada di suatu tempat di dalam rumahnya sudah mendengarnya bicara dengan perawat itu. Seberapa besar kesempatan Leona untuk bisa lolos darinya? Dari mereka? Dia terbaring sambil memikirkan keputusan apa yang harus diambil. Kengerian telah mengambil alih kemampuannya untuk memilahmilah semua hal yang membanjiri pikirannya sekarang. Kemudian, sebagaimana yang sering terjadi malam itu, kesunyian yang suram dan mencekam itu ditingkahi oleh suara dering telepon yang memekakkan. Dia segera menyambarnya, mencoba tetap bertahan pada akal sehatnya. "Halo," jawabnya, dengan suara yang mengundang belas kasihan. Suara menyebalkan si operator yang tanpa perasaan itu menyapanya. "Sambungan telepon dari New Haven untuk Mrs. Henry Stevenson. Apa Mrs. Stevenson ada?" "Ya," teriak Leona dengan hati mencelos. "Saya tidak punya waktu sekarang... telepon kembali beberapa menit lagi. Saya tidak bisa bicara—" "Ini sambungan telepon pribadi untuk Mrs. Henry Stevenson dari Mr. Henry Stevenson. Anda tidak ingin menerimanya, Nyonya?" Seakan disambar petir Leona mendengarnya. "Mr. Henry Stevenson...?" tanya Leona hampir menangis. 'Apa Anda tadi bilang— Mr.?—Dari New Haven?" "Apa Anda bisa menerimanya, Nyonya?" Dan saat itulah muncul sebuah harapan besar—bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Tidak ada hal buruk setitikpun yang terjadi dengan lelaki yang sudah berbagi kehidupan bersamanya beberapa tahun ini. Tapi di sisi lain dia tahu ini bukanlah mimpi. Kalau saja ada jawaban untuk semuanya ini! Well, setidaknya dia bisa minta tolong Henry untuk segera menghubungi polisi. Itu akan menyelesaikan semua masalah. "Ya... saya akan menerimanya." Dia menunggu dengan tegang, hampir tak bernapas. Leona mendengar suara dering telepon ditempat operator telepon interlokal itu, kemudian, "New Haven, silahkan." Maaf, Salah Sambung | 385 386 I Lucille Fletcher & Allan Ullman 11:05 Stasiun kereta di New Haven adalah sebuah tempat yang sepi di malam selarut ini. Hanya beberapa orang saja yang berjalan-jalan di luar, atau duduk-duduk di bangku taman, terlihat bagai titik-titik di tempat seluas itu. Langkah kaki berdetak-detak di atas lantai batu dan bergaung ke langit-langit jauh di atas. Kekosongan itu hampir bisa dirasakan, keadaan maya yang hampir terasa nyata—seolah-olah stasiun tersebut kelelahan oleh kesibukan siang hari dan saat ini sedang beristirahat dengan nyenyak. Dibawah sebuah jam dinding raksasa jejeran telepon umum berderet di sepanjang dinding, semua dalam keadaan kosong dan gelap, kecuali satu. Di sebelah pintu bilik yang sedang terisi terdapat sebuah tas yang cantik— terbuat dari kulit babi yang halus dengan inisial "H. S." tercetak dalam huruf emas di dekat kunci utamanya. Di dalam bilik terang itu Henry Stevenson sedang berusaha menghubungi istrinya. Kepalanya tanpa topi. Dengan rambut acakacakan berwama coklat, lelaki itu sangat tampan—seraut wajah menarik dengan dandanan rapih, bulu mata panjang dan bagus, dan bentuk rahang dan mulut yang sesuai. Saat dia berdiri sambil memandangi telepon, raut wajahnya memancarkan rasa sedih dan khawatir. Dia seperti seorang yang mengerti betul apa yang sedang dilakukannya, dan apapun yang dilakukannya harus diselesaikan. Akhirnya didengarnya suara operator interlokal itu berkata, "Silahkan, New Haven." "Halo. Kaukah itu, sayang?" tanya Henry hampir berbisik. "Henry! Henry, dimana kau?" Lelaki hampir bisa merasakan genggaman istrinya dari jarak ratusan kilometer. "Aku sedang dalam perjalanan ke Boston, sayang. Singgah sebentar di New Haven. Apakah kau sudah menerima pesanku?" "Ya, sudah...Tapi—tapi aku tidak begitu mengerti—" "Tidak ada yang perlu dimengerti, sayang. Aku tidak bisa menghubungimu sebelumnya. Teleponmu sering sekali sibuk. Kupikir lebih baik kutelepon sekarang untuk mengetahui bagaimana keadaanmu. Aku minta maaf— karena meninggalkanmu tanpa kabar—tapi aku percaya kau akan baik-baik saja." "Aku tidak baik-baik saja—aku..." Kemudian Leona mulai bicara menggeragap. "Ada seseorang yang masuk ke dalam rumah—aku yakin sekali." Selarik sinar jahat berkilat di matanya untuk sesaat. Dia mendengus dan dia menghembuskan napas dengan keras. Maaf, Salah Sambung | 387 388 I Lucille Fletcher & Allan Ullman "Tidak mungkin, sayang. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa masuk? Kau tidak sendirian disana, bukan?" ujarnya. "Aku memang sendirian," jawabnya, merengek. "Hanya aku sendiri disini, tidak ada siapapun. Kau meliburkan Larsen..." "Iya,ya..." "Dan kau berjanji untuk pulang tepat pukul enam." "Oh ya?" tanyanya tanpa dosa. "Aku tidak ingat." "Kau sudah janji, dan aku berada di rumah sendirian selama berjam-jam. Aku banyak menerima telepon-telepon jahat yang aku tidak mengerti... dan Henry... kuminta kau menelepon polisi... kau dengar kan, Henry? Katakan pada mereka untuk segera datang kesini..." Dia bertanya-tanya demi mendengarsuara istrinya yang panik. Leona betul-betul ketakutan. Tapi yang dikatakannya itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia tahu? Kalau Cuma marah, dia bisa mengerti—Leona memiliki kapasitas berlebih untuk marah. Tapi ketakutan yang dirasakannya ini adalah masalah lain. "Dengar, Leona. Kau tidak perlu gugup..." "Gugup!" "Kau tahu betul, kau benar-benar aman di dalam rumah. Larsen pasti sudah mengunci semua pintu sebelum dia pergi..." Maaf, Salah Sambung | 389 "Aku tahu," jawabnya dengan suara lemah. "Tapi—aku dengar—suara—ada orang yang mengangkat telepon di dapur. Aku yakin aku mendengamya." "Tidak mungkin. Rumah itu terkunci. Lagipula ada satpam pribadi yang mengurusi keamanan disana. Dan telepon itu juga berada di samping tempat tidurmu. Terlebih lagi, kau berada di jantung kota New York, Leona. Tempat teraman di seluruh dunia." "Aku akan merasa lebih baik jika kau menelepon polisi, Henry. Aku sudah menghubungi mereka. Tapi mereka tidak mempedulikan aduanku." Leona mulai menangis dan mengasihani dirinya sendiri. "Begini, aku sekarang berada di New Haven. Jika aku menelepon dari sini mereka pasti mengira aku gila. Lagipula mengapa harus sampai memanggil polisi? Mengapa kau tidak menghubungi dokter Alexander saja?" Teruskan, pikirnya sambil melihat ke jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Biarkan dia terus bicara—hanya beberapa menit lagi. Apa yang bisa dilakukannya saat itu? Dia tersenyum, sebuah senyum aneh yang mengubah wajah muramnya menjadi serupa topeng setan yang sedang marah. Sambil merubah posisi berdirinya dalam bilik telepon, dia melirik sekilas ke arah pintu, kemudian kembali memandang telepon. Ada seorang lelaki tua ubanan berkulit gelap dengan sepasang mata berair berwarna hitam yang sedang mondar-mandir beberapa langkah dari biliknya dan hampir tidak diperhatikannya. Apa yang dikatakan Leona ini? "Henry! Apa kau kenal seseorang bernama Evans?" "Evans?" Henry terperanjat. "Ya. Waldo Evans." "Aku belum pemah mengenalnya seumur hidupku, Leona. Memangnya ada apa?" "Dia meneleponku—tadi—dan dia bercerita banyak... tentang kau." 11:10 Lelaki bertubuh besar dengan rambut beruban, berkulit hitam dan raut wajah sedih itu bergerak cukup jauh dari bilik telepon Henry. Kalau tidak, mungkin dia akan bisa melihat wajah Henry yang tiba-tiba berubah pucat seperti mayat— dan mempertegas bentuk rahangnya yang semakin mengeras. Tapi lelaki itu sama sekali tidak tertarik dengan percakapan Henry di telepon, dia hanya tertarik dengan Henry. Lelaki itu menunggu dengan sabar, mengawasi barisan bilik-bilik telepon umum itu, dan tanpa sadar meraba lambang polisi di sakunya. "Tentang aku?" tanya Henry, berusaha terdengar datar. "Apa yang dikatakannya tentangku?" 390 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maaf, Salah Sambung | 391 "Dia mengatakan beberapa hal yang menakutkan, Henry. Bahkan kedengaran seperti— orang gila. Tapi ada sebagian yang kedengarannya sungguhan..." "Orang iseng," ujar Henry. "Seharusnya kau tidak usah mendengarkan setiap orang yang iseng menelepon ke rumah. Sekarang lebih baik kau coba lupakan saja kejadian itu..." "Dia mengatakan padaku bahwa kau mencuri obat-obatan terlarang dari pabrik Ayah. Apakah itu benar?" Henry mendengus. "Benar? Begini, Leona. Aku sedikit tersinggung dengan apa yang barusan kau ucapkan. Kau pasti bermimpi buruk tadi..." "Mimpi!" jerit Leona. "Aku sama sekali tidak bermimpi! Dia meninggalkan beberapa pesan untukmu. Dia bilang dia sudah membakar rumah di Staten Island—dan polisi sudah mengetahui semuanya. Dia bilang seseorang bernama Morano sudah ditangkap..." "Apa?" bentak Henry. "Apa yang kau katakan?" "Aku—aku sama sekali tidak percaya ucapannya—kecuali tadi ada telepon dari Mrs. Lord—kau ingat? Sally Hunt—dan dia mengatakan padaku hal yang sama..." Hening beberapa saat, sampai terdengar suara Leona memanggil, "Apa kau masih disana—Henry?" Dia membasahi bibirnya. "Ya," sahutnya. "Ya, aku disini." "Mereka bilang kau penjahat," lanjut Leona menceracau. "Mereka bilang kau putus asa... dan Evans bilang kau—kau—kau ingin agar aku—mati!" "Aku—" Dia berusaha mengatakan sesuatu, tapi banjir kata-kata dari istrinya tidak bisa dihentikan. "Uang itu, Henry—uang sebanyak seratus ribu dollar. Mengapa kau tidak minta saja padaku? Aku akan dengan senang hati memberikannya padaku—kalau saja aku tahu." "Lupakan saja," gumamnya. "Apakah sudah terlambat?" tanya Leona sambil menangis. "Aku akan memberikannya untukmu—jika belum terlambat." "Tidak apa-apa,"jawabnya. "Lupakan saja." Airmata mengalir deras di pipinya. Suaranya serak dan tercekat. "Aku tidak bermaksud jahat padamu, Henry," ujarnya. "Aku—melakukannya— karena—aku mencintaimu. Aku takut kau tidak benar-benar mencintaiku. Kurasa aku takut jika kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Aku takut—aku takut kau pergi begitu saja—dan meninggalkanku sendirian..." 392 I Lucille Fletcher & Allan Ullman Maal, Salah Sambung | 393 11:11 Sekarang Henry ingat siapa orang yang berdiri di dekat bilik teleponnya. Dia melirik ke arah pintu dan ketika dia tidak melihat siapapun, pintu itu dibuka lebih lebar agar pandangannya bisa lebih leluasa. Leiaki itu sedang berdiri disana, tidak terlalu jauh. Dia sedang mengawasi biliknya. Henry segera menutup pintu dan memanggil Leona di telepon. "Leona?" "Ya." "Leona, ada sesuatu yang harus kau lakukan." "Apakah kau mau memaafkanku—Henry?" tanya Leona sambil terisak. "Maukah kau memaafkanku?' "Demi Tuhan," bentak Henry kasar. "Hentikan semua omong kosong itu dan dengarkan aku!" "Baiklah," sahut Leona berbisik. "Lakukan seperti yang kusuruh, mengerti? Aku mau kau beranjak dari tempat tidur..." "Aku—aku tidak bisa," keluh Leona. "Aku tidak bisa melakukannya." "Kau harus berdiri, Leona," perintahnya. "Kau harus bangkit dari tempat tidur—dan berjalan keluar dari kamar. Pergilah ke kamar depan. Berjalan ke jendela dan berteriaklah— berteriaklah ke jalanan." 394 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Henry menunggu dengan tegang, melawan rasa takut yang bersarang dalam dirinya. Dia bisa mendengar suara istrinya yang bernapas dengan berat dari gagang telepon. "Aku tidak bisa!" gumam Leona lemah. "Aku tidak bisa bergerak, Henry. Aku terlalu takut. Aku sudah berusaha, tapi aku tidak bisa bergerak." "Teruslah berusaha," sahut Henry memohon. "Aku akan celaka jika kau...jika kau tidak..." "Bakar!" jeritnya. "Apa...?" "Kau harus bergerak, Leona. Ayo coba terus. Jika tidak, kau hanya punya waktu tiga menit untuk hidup!" 11:12 "Apa...?" Suaranya tercekat di kerongkongan. "Jangan bicara lagi, Leona." Kini suaranya sendiri terdengar sangat ketakutan. Keringat dingin membasahi bajunya. Berat tubuhnya disandarkan sepenuhnya ke dinding, agar lututnya yang gemetar tidak terlalu kentara. "Tidak usah banyak bicara, berdirilah dari tempattidursekarang. Semua itu benar, Leona. Semuanya, kau dengar? Aku sedang dalam masalah besar. Aku sangat putus asa—aku bahkan mencoba—malam ini—mengutus seseorang—untuk..." "Henry!" Jeritan ngeri terdengar dari bibirnya. "Henry! Ada seseorang—naik ke atas!" "Keluar!" teriak Henry bagai orang gila. "Bangunlah dari tempat tidur! Jalan, Leona!" "Aku tidak bisa!" "Kau harus bisa! Kau harus bisa!" "Henry!" Lagi-lagi Leona berteriak. "Henry! Selamatkan aku! Selamatkan aku!" Henry tidak marnpu lagi mengendalikan diri—nasib buruk yang datang dengan pasti yang akan menimpa istri dan dirinya sendiri menyedot habis semua keberaniannya— tubuhnya bergetar hebat. "Tolong, Leona. Aku mohon. Mereka akan menangkapku. Mereka akan tahu—mereka mengetahuinya dari Morano." Kemudian, melalui telepon, Henry mendengar suara—samar-samar—yang kemungkinan berasal dari kereta yang lewat di atas jembatan. Dan diantara suara itu, dia bisa mendengar suara Leona dengan jelas, berteriak memanggil namanya. "Henry!" 11:15 Sesaat setelah dia berteriak, Leona mencengkram erat-erat telepon di genggamannya. Kemudian dia membanting telepon itu ke tempatnya. Matanya menyiratkan ketakutan Maaf, Salah Sambung | 395 yang tidak terkatakan, debaran jantungnya berdentam tanpa ampun, dan dia mendengar gemuruh suara kereta yang memekakkan telinga. Dengan tenggorokan tercekat Leona berusaha menarik diri untuk bangkit dari tempat tidur. Tapi tubuhnya seperti terikat pada besi baja yang berat sekali. Dia sama sekaii tidak bisa bergerak. Suara itu semakin keras, dan dari kekelaman malam kereta itu muncul, dan udara dipenuhi gemuruhnya yang meninggi bagai guntur. Tidak ada suara apapun yang bisa menandingi kerasnya suara kereta itu. Bahkan desahan napas Leona yang putus asa... dan untuk terakhir kalinya. Kereta itu melintas, dan ruangan itu menjadi sunyi kembali, hanya suara desahan napas yang kasar terdengar disana—dan gerakan mengendap menjauhi tempat tidur. Tiba-tiba telepon itu kembali berbunyi. Terdengar suara sol sepatu karet yang sedang melangkah di atas lantai. Sebentuk tangan dengan sarung ternoda darah meraih gagang telepon itu dan mengangkatnya. Terdengar suara Henry yang gemetar, putus asa. "Leona! LEONA!" Sunyi sesaat. Komudian terdengar suara kasar yang dalam, menjawab... "Maaf, salah sambung..." 11:16 [] 396 | Lucille Fletcher & Allan Ullman Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt