AHMADIYAH TELANJANG BULAT DI PANGGUNG SEJARAH Oleh: Abdullah Hasan Alhadar mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Chapter 1 Titik Bertolak - Awal Berkait 1.1 Agama Kristen Nyaris Roboh 7 April tahun 30 A.D. (Anno Domini)1 bertepatan dengan hari Jum'at, YESUS KRISTUS putera Tuhan yang diutus pada domba-domba Israel telah dijatuhi hukuman mati, disalib! Demikianlah cerita yang tersurat dalam kitab suci ummat Kristen, Perjanjian Baru. Di lembah GOLGOTTA Bethlehem Yerusalem, kira-kira pukul 3 sore pada Jum'at yang na'as itu, dalam keadaan hampir telanjang, Yesus sang Putera telah menjalani hukuman matinya. Itulah klimaks dari kegagalan missinya. Ia gagal total menanam benih di atas ketandusan bangsanya. James M. Stalker berkata dalam bukunya: "Belum pernah di dunia ini sesuatu kegagalan begitu mutlak nampaknya seperti kegagalan Tuhan Yesus. Tubuhnya terkapar dalam kubur. Musuh-musuhnya sudah menang. Kematian mengakhiri segala pertentangan dan dari kedua yang bertentangan itu, kemenangan adalah pada pihak pemimpin-pemimpin Yahudi. Tuhan Yesus sudah tampak dan menyatakan diri sebagai Messias. Tetapi Ia bukanlah jenis Messias yang mereka idam­idamkan. Pengikut-pengikutnya sedikit saja jumlahnya dan tidak berpengaruh. Masa kerjanya singkat sekali. Sekarang Ia sudah mati dan tamatlah riwayatnya." 2 Alangkah ironisnya peristiwa itu. Betapa tidak, sang BAPAK di sorga seolah­olah tidak mengenal watak hakiki bangsa Israel "selalu berkhianat" terutama terhadap Utusan-utusan yang datang. Ah, lagi-lagi Tuhan Bapak itu telah lalai mempersiapkan keamanan menjelang Sang Putera datang ketengah domba­domba Israel. Ataukah ada unsur kesengajaan sang BAPAK membunuh PUTERANYA sendiri? Cobalah lihat peristiwa yang menimpa diri Yesus ini. Bahkan pengikut-pengikutnya yang sedikit itupun mengingkari dia. SIMON PETRUS murid yang dicinta dan menyintai juga meninggalkannya. Bukan itu saja, ia banyak menyaksikan adegan-adegan hina atas Gurunya. Ia menyaksikan Gurunya dituntut di depan pengadilan, tapi ia diam saja. Ia menyaksikan pukulan-pukulan tinju menjatuhi tubuh Gurunya, ia diam saja. Saat Gurunya diludahi, ia diam saja. Ketika orang bertanya apakah ia kenal Yesus, ia menjawab: "Aku tidak kenal orang itu." Sampai tiga kali orang bertanya padanya, Simon Petrus murid yang terdekat itu tetap menyangkal. Padahal ia pernah bersumpah di hadapan Gurunya: "Biarpun hamba mati bersama-sama TUHAN tiada hamba akan menyangkali Tuhan. "3 Takutkah ia? Ataukah ia sehaluan dengan Judas Iskariot si pengkhianat?!! Cobalah lihat yang lain, seluruh lapisan masrakat, orang-orang Yahudi, orang tua ahli-ahli Taurat, seluruhnya ikut melibatkan diri mereka atas pembunuhan yang keji. Bahkan yang memilih vonis salib adalah mereka.4 Tatkala kematian di salib berakhir dengan jeritan putus harap: "Ya Tuhan! Ya Tuhan, mengapa Engkau tinggalkan Aku" (Eli Eli Lama Sabakhtani), sedangkan dari sang BAPAK di sorga tiada juga datang jawaban atas panggilan putera yang menyayat pilu, maka berakhirlah sudah kisah dramatis di lembah Golgotta. Sebaliknya dari kisah yang tamat, dimulailah awal persengketaan religius di kalangan theoloog-theoloog Kristen terhadap diri Yesus. Figur siapa "YESUS KRISTUS" menjadi pokok fundamentil dari kekacauan iman yang tak habis-habisnya. Siapakah sebenarnya ia itu? Seorang manusia, Superman, Juru Selamat yang celaka, SEMI (setengah) GOD, ataukah ia PUTERA Tuhan atau TUHAN itu sendiri? Itulah soal-soal yang memusingkan akal, mengacaukan keyakinan kaum kristen. Missinya yang singkat dan gagal total, kematiannya yang hina di palang kayu, membuktikan secara nyata betapa mati gersang rohani bangsa Yahudi dan betapa sia-sia serta konyol setiap Utusan Tuhan yang datang pada mereka. Adalah satu hal yang wajar bila sejarah Yesus berakhir pada kematiannya: Sebagaimana yang dikatakan James Stalker: "Sekarang ia sudah mati dan tamatlah riwayatnya." Akan tetapi pada kenyataannya tidak demikian; Sejarah Kristen mulai menampilkan lembaran-lembaran babak baru tentang Yesus. Justru dengan kisah "SESUDAH MATINYA" itulah, jalan baru telah terbuka lempang bagi kelangsungan iman kristiani. Kematian Yesus bukan penutup dari kegagalannya, demikian theolog-theolog Kristen berbicara. Dari kematian timbul masa cerah. Samuel Zwemer berkata: "Syukur kepada Allah bahwa berita Injil tidak berakhir dengan kematian Kristus. Cerita itu tidak tammat dengan jeritan kemenangannya "sudah selesai." Demikian juga amanat kerasulan. Kematian Kristus disusul oleh kebangkitannya. "5 Orang-orang yang menjadi saksi mata kisah kebangkitan dari maut tersebut, termasuk murid-muridnya yang ingkar, konon memperoleh kembali keyakinan mereka akan Tuhannya Yesus. Kebangkitan dari maut memancarkan cahaya baru, kata Samuel.6 Karenanya kegagalan missi beralih success, yang ingkar balik percaya, yang berdosa putih kembali, dan tammatnya kisah Kristus karena kematiannya menjadi berlanjut. James Stalker berkata: "Karena kebangkitannya dari maut maka kebangkitan itu sendiri adalah MUJIZAT terbesar, sehingga karenanya SELURUH KEHIDUPANNYA YANG AJAIB menjadi dapat dipercaya."7 Rasul Paulus juga berkata: "Jika Kristus tidak dibangkitkan maka sia-sialah kepercayaanmu dan kamu masih hidup dalam dosamu. "8 Itulah makna kebangkitan. Sayangnya kebangkitan itu hanya berjalan 40 hari. Pada hari ke-40 dari kematian Yesus maka tubuhnya yang dipermuliakan itupun kembalilah ke tempatnya yang sejati, di sebelah KANAN ALLAH BAPAK.9 Tidak semua kaum Yahudi yang mati rohani sempat menjadi saksi-saksi mata. Konon kepercayaan hanya menjalar pada segelintir manusia yang melihat kisah kebangkitan itu. Apakah yang melihat sanggup bertahan, padahal semenjak Yesus lenyap telah timbul kontroversi-kontroversi religius yang tak kunjung selesai. Bertahun­tahun awan gelap meliputi ummat Masehi. Opini-opini yang bertentangan mengenai siapa YESUS KRISTUS melanda kaum pendeta, kaum paderi, uskup­uskup dan Paus-paus. Mereka saling berbantah, saling mengucil, saling melaknat dan mengutuk. Masa gelap dan silang sengketa ini harus disudahi serta dicarikan obat penawar demi kelangsungan hidup agama itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan kisah versi Perjanjian Baru masih berlanjut. 1.2 Kedatangan Kembali Almasih Pada akhirnya diketemukanlah semacam obat penawar yang kelihatannya dipaksakan pada tubuh yang sedang sakit itu. Obatnya tidak lagi berkisar pada cerita "KUBURAN KOSONG" atau pada "KEMATIAN TUHAN DISALIB" atau pada cerita "BANGKIT DARI MAUT" melainkan pada cerita baru: "KEDATANGAN KEMBALI ALMASIH" ke atas dunia ini. Entah kapan ia datang, namun ia sudah berjanji untuk kembali dan mendirikan kerajaan Allah yang kekal. Charles H. Spurgeon berkata dalam kitabnya: "Drama keseluruhan yang meliputi kebangkitan kembali itu belum komplit jika Yesus Kristus belum juga datang kembali ke dunia sebagai Raja. Jika dia sudah datang, dia tidak akan dihina, diludahi lagi. Setiap orang akan berlutut padanya. Dia akan datang bersama salib namun tidak sepotongpun paku akan melukai tangannya yang halus lembut itu. Dia datang untuk mendirikan kerajaan Allah yang kekal dan akan memerintah untuk selama-lamanya. Haleluyah!"10 Demikian makna kedatangan kembali Yesus ke dunia; menjadi obat penawar, sinar cerah dan keyakinan usang yang diperbarui. Masa keragu-raguan tampaknya hilang sudah karena konsep baru telah diperoleh. Akan tetapi pada hakikatnya dalam praktek penindoktrinasian konsepsi baru tersebut ternyata tidak sanggup mendominir ratio maupun fitrah insaniah di dada setiap orang. Logika mulai menolak, dada mulai sangsi. Bentrokan-bentrokan opini timbul kembali. Masih belum terjawab juga soal: "SIAPA YESUS ITU." Ahli sejarah Inggris yang mashur, Prof. J. Arnold Toynbee berkata: "Sudah jelas bahwa kedatangan kembali Almasih mula-mula dipusakai sendiri oleh gereja, tatkala mereka diliputi kelemahan kepercayaan serta kegagalan dalam pokok keimanan mereka. Jelas pula bahwa doktrin kedatangan kembali menjalar dengan cepat pada masyarakat, sekte-sekte dan orang-orang yang sama-sama merasa serta mengalami kekecewaan karena kehilangan pegangan."11 Demikian yang terjadi doktrin kedatangan kembali Almasih menyerap ke dalam tubuh kristen hanya sebagai penawar iman "yang semu belaka." Ia tidak lebih dari pada suatu sumbangan konsep yang harus diterima oleh setiap Kristiani yang setiap waktu pula bersiap-siap pergi karena ditolak oleh rongga-rongga dada yang sesak yang telah lama menyimpannya, maupun oleh logika kritis yang memberontak atas dogma membeku yang melekat padanya. 1.3 Siapakah Imam Mahdi Itu? Satu hal yang menarik untuk disisipkan di sini masih perihal KEDATANGAN KEMBALI ALMASIH ialah, bahwa bukan saja kaum Kristen yang memiliki kepercayaan "kedatangan kembali" itu melainkan pada kaum Muslimin ternyata pula menyimpan kepercayaan itu. Entah siapa yang berhak di antara kedua ummat ini, ataukah keduanya sama-sama berhak? Jika kedatangan Almasih bagi ummat Kristen merupakan HALELUYAH KEMENANGAN, maka bagi ummat muslimin merupakan DATANGNYA YANG HAQ SIRNANYA YANG BATIL. Bukankah Almasih akan datang dan menyatakan bahwa Islam adalah Agama sejati? Bukankah Almasih akan mendirikan Shalat berjama'ah serta menjadi ma'mum di shaf pertama? Alangkah bahagia saat-saat demikian! Disamping kebahagiaan ummat Muslimin karena Almasih datang untuk kemenangan Islam, terpetik pula sebuah "kabar suka" bahwa kebahagiaan akan melimpah, kemenangan akan mutlak yaitu pada saat seseorang yang bergelar IMAM MAHDI datang di tengah-tengah ummat Muslimin. Yang lebih meyakinkan lagi ialah bahwa munculnya Imam Mahdi itu bertepatan waktunya dengan kedatangan Almasih. Beliau inilah yang didorong oleh Almasih untuk menjadi imam dalam shalat berjama'ah itu. Kedatangan Imam Mahdi telah tersebut dalam beberapa Hadits. Di antara Missi-missinya yang utama ialah: * Beliau akan membagi harta sama rata; * Beliau menegakkan Agama pada akhir zaman seperti Nabi Muhammad saw. pada permulaan zaman. * Beliau akan menegakkan keadilan di bumi. * Beliau akan berperang atas Sunnah Rasul. * Beliau akan membunuh babi dan salib.l2 * Ummat Islam akan mendapat kesenangan dari padanya yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. * Beliau tidak membangunkan orang tidur dan tidak menumpahkan darah. * Penduduk Bumi dan Langit serta burung-burung suka pada kekhalifahan­nya. Demikianlah missi-missi utamanya. Begitu hebat makna kedatangannya, bahkan terpetik berita-berita yang mengatakan bahwa meriam-meriam musuh yang memuntahkan peluru untuk membunuh kaum Muslimin konon mendadak berobah menjadi cairan dingin. Jika demikian kondisi dan situasinya, beliau tentunya sangat diharapkan mengingat penderitaan ummat sudah semakin parah. Akan tetapi kapan beliau datang? Soalnya hanya tunggu waktu saja; dan sesudah sekian tahun bahkan sekian abad belum juga terjawab "kapan beliau datang," maka yang menunggu bertambah menderita sedang yang ditunggu belum juga tiba. Last but not least harapan ummat yang menderita telah terpenuhi. Secara mengejutkan namun menggembirakan, sejarah Islam telah menampilkan Imam Mahdi; Beliau sudah datang! Siapa orangnya, dimana munculnya, kapan datangnya, inilah yang sulit memastikan! Sebab Imam Mahdi yang datang tidak seorang melainkan banyak. Bahkan yang menambah sulit lagi masih ada Imam­imam Mahdi yang belum datang. Mereka juga ditunggu-tunggu kedatangannya. Untuk memudahkan Kita mengenal para Imam Mahdi tersebut, baiknya kita memisalkan mereka dalam dua masa. Masa pertama ialah masa "mereka yang belum datang" dan masa kedua ialah "masa mereka yang sudah datang." Mereka yang akan datang menurut aliran Syiah Sabaiyah adalah Ali bin Abi Talib; Menurut Syiah Kaisaniyah adalah Mohammad Ali Hanafiyah. Menurut Syiah AI-Jaridiyah, Mohammad bin Abdullah An-Nafsus Zakiyah adalah Mahdi yang ditunggu-tunggu. Menurut Syiah Imamiah, Mohammad bin Hasan Al-Askari adalah Mahdi yang ditunggu-tunggu. Adapun para Mahdi yang "sudah datang" antara lain ialah: Ubaidullah bin Mohammad Alhabib oleh Syiah Qaramithah dianggap Mahdi. Mohammad bin Ismail bin Ja'far oleh golongan Syiah Ismailiyah dianggap Mahdi. Golongan Muwahidin menganggap Mohammad bin Taumert adalah Mahdi. Segolongan Muslim di India menganggap Ahmad bin Mohammad Berelvi adalah Mahdi. Golongan Ahmadiyah di India menganggap Mirza Ghulam Ahmad adalah Mahdi. Golongan Babiyah menganggap Ali Mohammad Al-Bab adalah Mahdi. Penduduk Sudan Afrika menganggap Mohammad Ahmad Donggola adalah Mahdi. Mahdi-mahdi yang lain seperti Mahdi dari Rief Afrika, dari Tunisia, dari Marokko, dari Pegunungan Shahrazur, dari Kurdistan, dari Senegal dan Mahdi dari Jawa timur Indonesia, merekapun telah datang dan masing-masing membawa missi-missi utamanya.l3 Demikian kumpulan Mahdi yang tercatat dalam sejarah Islam. Kenyataan dari mereka yang telah datang itu sama sekali tidak sanggup memenuhi missi-missi utamanya. Jangankan seluruh missi sanggup dipikulnya, pada tugas pembagian harta sama-rata saja, beliau-beliau itu tidak sanggup melaksanakannya; Juga mereka tidak membunuh BABI atau memecah SALIB, baik harafiyah maupun kiasan. Apalagi memberi kesenangan pada kaum Muslimin yang belum pernah dirasakannya. Bagaimana dengan Mandi-mahdi yang belum datang?! Apakah kaum Muslimin harus menanti kedatangan mereka? Padahal, penantian itu membuat ummat jadi lamban. Lebih-lebih penantian yang tak menentu, entah tahunan, puluhan tahun, abad bahkan ribuan tahun. Ummat Muslimin akan kehilangan langkah, statis, mati gerak, bahkan tertelan zaman. Mengambil sikap yang baik adalah tidak menanti dan tidak terlintas dalam pikiran untuk menanti. Lebih baik lagi ialah membuang jauh doktrin kedatangan kembali Almasih maupun Almahdi. Namun andaikata sejarah Islam nanti menampilkan tokoh-tokoh tersebut, maka biarkanlah nama beliau, tempat munculnya, waktu datangnya berada dalam ketentuan TUHAN. 1.4 Tersusunlah Buku Ini Berbagai ragam aliran kepercayaan, kebatinan maupun pergerakan yang menamakan dirinya sebagai faham-faham baru dalam Islam, pikiran-pikiran baru tentang Islam. Modernisasi Islam atau Neonisasi Islam, telah berada maupun berkisar berputar di sekeliling tubuh Islam, melekat merapat mengisap tubuh itu bahkan melukainya dalam goresan yang dalam. Mereka pada kenyataannya memecah belah mayoritas, kemudian bagian-bagian dari mereka mengisolir diri dan menyatakan bahwa mereka adalah pewaris-pewaris Islam serta pengikut-pengikutnya adalah muslim-muslim sejati. Banyak kaum Muslimin terkena jerat terbawa jauh bahkan terpisah dari pedoman Al-Qur'an dan Sunnah. Pada mulanya patokan-patokan yang dipakai untuk landasan berpijaknya gerakan-gerakan itu tampaknya bersandar pada Kitab Suci Al-Qur'an; Namun pada saat-saat mereka bergerak selangkah ke depan tampaklah isi maupun hakikatnya bertujuan menyimpang bahkan menyesatkan! Mereka sebenarnya merupakan tanda-tanda nyata kelemahan iman maupun kondisi ummat Islam di satu pihak, dan keunggulan musuh-musuh Islam di lain pihak. Membahas gerakan neonisasi Lslam ini akan banyak memakan tempo, tenaga dan pikiran yang dicurahkan. Karenanya lebih baik diambil satu contoh dari mereka untuk dikemukakan disini. Maka perkenankanlah kiranya jika contoh itu jatuh pada aliran atau gerakan AHMADIYAH yang didirikan oleh MIRZA GHULAM AHMAD dari QADIAN INDIA. Aliran ini terkenal juga dengan doktrin kedatangan kembali Almasih dan Almahdi. Bahkan yang menarik dari aliran ini ialah bahwa Almasih dan Almahdi itu sudah datang dan terdapat pada seseorang yang bernama MIRZA GHULAM AHMAD. Ia merangkap kedua jabatan itu sekaligus. Aliran Ahmadiyah menyatakan diri sebagai Islam sejati. Organisasinya rapi, keuangannya padat, kerjanya agak lambat namun berbekas pada penganut-penganutnya. Justru karena kerapian organisasi dan kepadatan uangnya, maka Ahmadiyah pikatannya sangat menarik, jeratannya sangat lekat dan sekujur tubuhnya kelihatan mulus dan cantik. Namun demikian, pada hakikatnya di balik kecantikan yang mulus itu, pada darah yang mengalir dalam tubuhnya, rumah tempat bernaungnya, pelindung tempat berteduhnya, semua itu merupakan kenyataan-kenyataan yang sangat berlawanan dengan lahirnya. Hal mana apabila diungkapkan di sini akan menjadi suatu sajian menarik baik sebagai bahan telaal maupun sebagai bahan pengetahuan. Sungguh sangat menyedihkan bahwa ISLAM dilingkari dan diisap oleh gerakan semacam itu, yang pada lahirnya merupakan MERCU SUAR ISLAM dengan pancaran sinar terang benderang, namun pada hakikatnya mercu suar itu telah mengantar biduk-biduk iman serta pikiran manusia ke tempat labuh yang sesat sehingga menimbulkan tubrukan-tubrukan keras dan kerusakan­kerusakan fatal. Adalah menjadi harapan-harapan saya dengan tersusunnya tulisan ini, semoga dapat dijadikan pangkal study mendalam terhadap gerakan tersebut maupun terhadap gerakan-gerakan yang lain. Dan semoga pula dapat disisipkan sebagai bahan-bahan tambahan untuk LEMBAGA RESEARCH ISLAM. Hanya kepada ALLAH YANG MAHA MENGETAHUI jualah saya pasrahkan segala pekerjaan ini dengan memohon ampun serta keridhaanNya. Kemudian salam dan selawat serta sejahtera terlimpah kepada Rasul MUHAMMAD Nabi penutup junjungan ummat serta tauladan hidup. Kepada keluarga beliau, kerabat serta sahabat terucap pula salam selawat sejahtera. Kepada TUHAN PENCIPTA ALAM SEMESTA segala puja dan pengabdian tertuju satu. ---- catatan kaki ---- 1.Tahun A.D. (Anno Domini) = Tahun-tahun Tuhan masehi. ^ 2 James M. Stalker, SENGSARA TUHAN YESUS, terjemahan T.F. Foedioka, Jakarta, B.P. Keristen, tiada tahun, hal. 120. ^ 3. Matius 26: 35. ^ 4 Yahya 18: 35;-Mattius 27: 23. 5 Samuel Zwemer, Kemuliaan Salib, ^ 5 Samuel Zwemer, Kemuliaan Salib, terjemah Gajus Siagian, BPK. Jakarta, 1970, hal. 70. ^ 6 idem, hal 72. ^ 7 James Stalker, Sengsara Tuhan Yesus, hal. 121. ^ 8 Korintus 15: 11. ^ 9 James Stalker, Sengsara Tuhan Yesus, hal. 128. ^ 10 Charles H. Spurgeon, The Second Coming of Christ, Moody Press, Chicago, th.?, hal. 101: (Make you sure of this that the whole drama of redemption cannot be perfected without this last act of coming the king. None shall spit in his face then, but every knee shall bow before him. The crucified shall come again, no nails shall then fasten his dear hands to the tree, haleluyah!). ^ 11 Arnold J. Toynbee, A Study of History, Vol. III, London Oxford University Press, 1956, hal. 462: (It is certainly true that the doctrine of the second coming was conceived in the primitive christians church at a time when church was oppressed by a sense of weakness and failure ... It is also true that this doctrine here since been adopted with the greatest enthusiasm by societies and sects and people that have been in the same dissapointed or frustrated state of mind.) ^ 12 Ali Mohammad Ali Dhukhayyil, Al-Imam Mahdi, Darut-turas Al-Islami, 1974, Beirut, hal. 13. ^ 13 H.M. Arsyad Thalih Lubis, IMAM MAHDI, Medan, Firma Islamiyah, 1967, hal 8 dan hal. 94/95/96. ^ Chapter 2.1 Ahmadiyah Sebagai Isolasionisme 2.1 Biang Keladi Pada tahun 1933 di kota Lahore India, terjadi huru-hara. Pada mulanya para Ulama bersama-sama kaum muslimin yang dikenal dengan sebutan - Golongan Ahrar - mengajukan appeal pada Pemerintah agar aliran Qadiani atau yang lebih dikenal dengan nama: AHMADIYAH, dinyatakan sebagai aliran non­Islam. Mereka juga minta agar Sir Zafrullah Khan, seorang tokoh dari kelompok Ahmadiyah, dipecat dari kabinet India.1 Zafrullah Khan di samping seorang negarawan terkenal, juga seorang diantara tokoh-tokoh Salvation Army Ahmadiyah yang giat menyusun keku­atan di atas terutama mempengaruhi kalangan pemerintahan maupun militer. Kepala pemerintahan daerah Punjab barat, tuan Mumtaz Daultana, eng­gan sekali untuk turun tangan serta mengambil sikap bertolak belakang dengan keinginan para Ulama; Ia merasa akan mengakibatkan timbulnya kekeruhan dalam suasana politik di negerinya.2 Bagaimanapun juga pada akhirnya pertemuan dengan mereka tidak bisa dielakkan lagi. Dalam suatu perundingan yang lama, antara para ulama dengan perdana menteri Nazimuddin serta tuan Mumtaz Daultana, tokoh-tokoh dari pemerintahan India ini ternyata bersikap kaku, lamban bahkan menolak untuk mempertimbangkan tuntutan mereka itu. Suasana hangat dalam pertemuan itu, kiranya telah menembus ke luar gedung meliputi massa kaum Muslimin yang sedang menunggu hasil­hasilnya. Kegelisahan pada mereka telah merata, kesabaran telah lenyap, dan tanpa menanti lebih lama lagi, mereka mulai bergerak turun ke jalan-jalan mengadakan demonstrasi. Kemarahan dan emosi membawa mereka, bagaikan arus yang menyisihkan setiap rintangan di depan bahkan kekerasanpun terjadi di sana-sini.3 Pemerintah cepat-cepat turun tangan. Melalui campur tangan militer, keadaan yang penuh ketegangan itu berubah menjadi keadaan yang mencekam dada, pekik dan tangis terdengar, ketakutan tampak pada wajah-wajah mereka. Suatu peristiwa yang sulit untuk dilupakan, telah terjadi di tempat berkumpulnya kaum Muslimin itu. Pada suatu ketika, sebuah jeep dengan kecepatan yang luar biasa mendadak muncul menerjang ke arah kelompok­kelompok massa kaum Muslimin, sambil melepaskan tembakan-tembakan membabi buta. Maka jatuhlah korban yang tidak sedikit jumlahnya. Seorang Ahmadiyah yang fanatik berkata, bahwa "peristiwa jeep" itu adalah suatu mu'jizat, dan para penembak didalamnya tidak lain adalah Malaikat­malaikat Tuhan yang dikirim untuk menolong Ahmadiyah.4 Suatu kenyataan yang jelas ialah, bahwa pemerintah dalam bertindak telah berdiri berat sebelah. Dalam suatu laporan tertulis yang disampaikan oleh hakim-hakim Mohammad Munir dan M.R. Kayani, dimana kedua orang tersebut menghakimi seluruh sidang-sidang perkara Ahrar, ternyata isi laporan mereka itu sangat kabur serta merugikan para Ulama. Naseem Saifi, seorang tokoh Ahmadiyah kelahiran Qadian, mengutip isi laporan tersebut, sebagai berikut: "Jelas sudah, bila pemimpin-pemimpin Ahrar itu mengetengahkan pada publik hanya soal-soal perbedaan dalam Agama, maka suguhan mereka itu tidak aka berpengaruh apa-apa. Akan tetapi bila pada mereka diissuekan bahwa Ahmadiyah menghina Nabi Muhammad dengan cara mengumumkan kenabian baru sesudah kenabian akhir Muhammad s.a.w. bahkan nabi baru itu jauh lebih mulya. Maka disinilah jebakan pemimp-pemimpin Ahrar itu mengenai sasarannya dengan tepat. Ummat Muslimin akan tergugah, terkejut, bahkan murka mendengar pidato-pidato semacam itu."5 Sesudah laporan Munir dan Kayani tersebut, datang lagi laporan dari Badan Penyelidik Kejahatan Pemerintah, yang nadanya lebih keras serta memberatkan pemimpin Ahrar. Ahmadiyah mengutip isi laporan tersebut: "Sesungguhnya para pemimpin Ahrar itu tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya telah bermain api. Mereka sedang membangkitkan kemarahan di kalangan ummat Islam sedemikian rupa, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya korban-korban jiwa, kerusakan-kerusakan, penghinaan dan lain­lain tidak dapat dielakkan lagi. Suatu tindakan keras harus segera diambil! "6 Demikianlah tindakan tangan besi pemerintah telah merenggut jiwa kaum Muslimin tidak sedikit. Sungguh patut disesalkan bahwa telah terjadi peristiwa tragis semacam itu; padahal benih-benih yang menyebabkan timbulnya api kemarahan ummat yang sekaligus telah merenggut jiwa mereka yang tidak sedikit itu, masih tetap bercokol. Sudah selayaknya bila pemerintah India pada waktu itu menelaah jauh­jauh sebelumnya sebab-sebab dari timbulnya kemarahan kaum Muslimin. Bahwasanya apa yang telah diucapkan oleh pemimpin-pemimpin Ahrar itu, tidak semuanya fitnah semata-mata. Munculnya nabi baru sesudah kenabian akhir Muhammad s.a.w., memang telah dipropagandakan oleh Ahmadiyah, dimana Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah itu sendiri yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru di kalangan ummat Islam. Justru inilah, nabi baru itu, benih diantara benih-benih yang ditanam Ahmadiyah, yang telah menimbulkan kemurkaan ummat mencapai puncaknya. Tiga tahun kemudian setelah terjadinya peristiwa Ahrar tersebut, DR. Mohammad Iqbal, Failosoof dan Pujangga besar Islam mengirim sepucuk surat pada Pandit Nehru, dimana beliau mengutarakan pendiriannya terhadap Ahmadiyah. Isi dari surat beliau tersebut yang bertanggal 21 Juni I936, berbunyi: "Sahabatku Pandit Jawahar Lal, Terima-kasih atas surat anda yang telah kami terima kemarin. Pada saat saya menulis jawaban atas artikel-artikel anda, saya merasa yakin bahwa anda tidak menaruh minat apapun terhadap sepak-terjang orang-orang Ahmadiyah itu. Kendatipun demikian adanya saya menulis juga jawaban tersebut, ialah semata-mata didorong untuk membuktikan, terutama pada anda, bagaimana sikap loyalitas kaum Muslimin di satu pihak, dan bagaimana sebenarnya tingkah laku yang ditontonkan oleh gerakan Ahmadiyah itu. Setelah diterbitkan risalah kami, saya mengetahui benar-benar bahwa tidak seorang Muslimpun yang berpendidikan, menaruh perhatian atas asal-usul maupun perkembangan ajaran­ajaran Ahmadiyah. Selanjutnya perihal artikel-artikel yang anda tulis itu, bahwasanya bukan saja penasihat-penasihat Muslim anda yang berada di Punjab yang merasa cemas, bahkan hampir di seantero negeri mereka semua cemas. Hal ini lebih membuat mereka gelisah, bila memperhatikan bagaimana orang­orang Ahmadiyah bersorak-sorai karena artikel anda itu. Tentu saja dalam hal ini surat kabar Ahmadiyah banyak membantu sepenuhnya timbulnya prasangka dan kecemasan-kecemasan itu. Namun demikian, pada akhirnya saya sungguh bergembira bahwasanya anda tidak sebagaimana yang kami cemaskan itu. Selanjutnya perlu saya utarakan di sini bahwa perhatian saya terhadap ilmu ke-Tuhan-an, kurang. Akan tetapi saya mulai gandrung padanya, ketika saya harus mengenal Ahmadiyah dari asal-usulnya. Ingin saya meyakinkan anda di sini, bahwa risalah yang saya tulis itu adalah semata-mata untuk kepentingan Islam dan India. Kemudian saya tidak pernah ragu untuk menyatakan disini, bahwasanya orang-orang Ahmadiyah itu, adalah pengkhianat-pengkhianat terhadap Islam dan India. Saya menyesal sekali tidak mendapal kesempatan menemui anda di Lahore. Saya jatuh sakit pada hari-hari itu dan tidak keluar dari bilik. Bahkan hampir selama dua tahun terakhir ini saya berada dalam keletihan dikarenakan sering jatuh sakit. Harap anda kapan saja bila anda datang lagi ke Punyab. Kemudian apakah anda telah menerima surat saya yang berkenaan dengan usul anda mengenai penyatuan hak-hak kemerdekaan kaum sipil. Ketika anda tidak menyinggung lagi hal tersebut dalam surat anda, saya merasa kuatir bahwa anda tidak pernah menerimanya. Wassalam, sahabatmu," Sd. Mohammad Iqbal.7 Apa sebab DR. Iqbal termasuk diantara mereka yang menyerang Ahmadiyah, bahkan menyatakan sebagai pengkhianat-pengkhianat terhadap Islam dan India? Justru pendirian beliau inilah yang harus digaris-bawahi sebagai suatu problema yang patut diteliti sejauh mungkin. Beliau sendiri tidak berkesempatan untuk menulis tentang dalih-dalih maupun dasar-dasar dari pernyataannya yang drastis itu secara luas, mungkin dikarenakan kesehatannya yang banyak terganggu. Akan tetapi beliau tidak lupa memberikan metode-metode yang baik dalam rangka mengenal Ahmadiyah. Sebaliknya bagi pemerintah India, sudah sewajarnya bila pernyataan Iqbal tersebut dijadikan sebagai titik-tolak daripada penelitian yang seksama terhadap gerakan Ahmadiyah. Setidak-tidaknya bertindak sebagai penen­gah yang suka mendengar suara-suara ulama yang tidak diragukan identitas maupun kwalitasnya, termasuk suara Iqbal. Jika tidak, maka apa yang terjadi kemudian ialah timbulnya gerakan­gerakan estafet para Ulama maupun kaum muslimin yang bersikap menentang hadirnya aliran Ahmadiyah dalam tubuh Islam. Bukti-bukti timbulnya gerakan-gerakan estafet telah ada. Peristiwa­peristiwa yang hampir sama dan dari sebab-sebab yang sama telah terjadi; mengambil tempat di anak benua India kembali. ---- catatan kaki ---- 1 (1). Iih. LH. Qureshi, a Short History of Pakistan, 1967, University of Karachi, hal. 245: ( suddenly they reentered public life with their old demand for having the Qadianis declared non Muslim O without waiting for the result they started a vigorous agitation for the removal of Zafrullah Khan, a recognised leader of the Qadiani community, from the central Cabinet.) ^ 2 lih. Syed Sharifuddin Pirzada, Evolution of Pakistan, 1963, Lahore, The All Pakistan Legal Decisions, hal. 444: (The chief minister of West Punjab, Mumtaz Daultana, was not reluctant to take any vigorous stand against it because he felt that it would be politically dangerous). ^ 3 lih. LH. Qureshi A Short history of Pakistan hal. 245 (the agitation grew in violence and threatened to destroy ordered life.).^ 4 Ucapan seorang Ahmadiyah bernama: Mohammad Idris, dengan alamat: Gg. H. Murtadho XII/A. 280 Matraman Jakarta, bekerja pada perpustakaan kedutaan Pakistan Jakarta. Ia tinggal di India selama 12 tahun, berada di Lahore ketika peristiwa Ahrar tersebut terjadi. ^ 5 lih. Naseem Saifi Our Movement Lagos The Islamic Literature 1957 hal. 14: (if they had carried on this religious controversy, as other religious controversies are carried on, they not have perhaps attracted much support. But they clever enough to recognise that the feelings of a muslimin are nowhere more easily and bitterly aroused and his indignation awakened than over a real or fanciful insult to the Holy Prophet. They therefore, began to give out that their activities were meant to preserve the nubuwat of the Holy prophet and to repel attacks on his famous (honor) which had been made by Ahmadis in propagating the belief that the Holy Prophet was not the last of the prophets and that another prophet had appeared who claimed not only to be equal superior to the Holy Prophet. The trick succeeded ...). ^ 6 lih.: Naseem Saifi-Qur Movement-hal. 16: (The D.LG., C.LD. said in his report: The Ahrar leaders probably do not realise that they are playing with fire. A certain amount of buffoonery can be overlooked, but where feelings are inflamed to such an extent that the murders, riots, the heaping of insults, etc; are threatened, a halt must be called!). ^ 7 lih. Syed Abdul Vahid Thoughts and Reflections of Iqbal Lahore 1964 SH. Mohammad Ashraf Lahore Hal. 306: (My dear Pandit Jawahar Lal, Thank you so much for your letter which I receieve yesterday. At the time I wrote in reply to your articles I believed that you had no idea of the political attitude of the Ahmadis. Indeed the main reason why I wrote a reply was to show, espesially to you, how Muslim loyalty had originated and how eventually it had found a revelational basis in Ahmadism: After the publication of my paper I discovered, to my great surprise, that even educated Muslim had no idea of the historical causes which shaped the teachings of Ahmadism. Moreover your Muslim advisers in the Punjab and elsewhere felt pertubed over your articles as they thought you were in sympathy with the Ahmadiyya movement. This was mainly due to the fact that the Ahmadis were jubilant over your articles. The Ahmadi press was mainly responsible for this misunderstanding about you. However I am glad to know that my impression was erroneous. I myself have little interst in theology but had to dabble in it a bit in order to meet the Ahmadis on their own ground. I assure you that my paper was written with the best of intensions for Islam and India. I have no doubt in my mind that the Ahmadis are traitors both to Islam and to India. I was extremely sorry to miss the opportunity of meeting you in Lahore. I was very ill in those days and could not leave my room. For the last two years I have been living a life practically of retirement on account of continued illness. Do let me know when you come to the Punjab next. Did you receive my letter regarding your proposed union for Civil liberty? As you do not acknowledge it in your letter I fear it never reached you, your sincerely, Sd. Mohammad Iqbal. ^ Chapter 2.2 Ahmadiyah Sebagai Isolasionisme 2.2 Kemurkaan Estafet Pada tanggal 15 Mei 1953 di kota Lahore Pakistan, seorang Ulama besar, syed Abul A'la al-Maududi, karena menyerang keras aliran Qadiani (Ahmadiyah) dan bersama-sama kaum Muslimin menuntut agar pengikut­pengikut Ahmadiyah dinyatakan sebagai golongan non-muslim, oleh pengadilan militer di Lahore, beliau dan seorang Ulama bernama Maulana Niazi, dijatuhi hukuman mati! 8 Berita vonnis yang tidak disangka-sangka itu, bahkan tidak pernah ter­lintas dalam pikiran kaum Muslimin, telah menimbulkan kepanikan di kalangan ummat Islam Pakistan, India, bahkan seluruh dunia Islam ikut terkejut atasnya.9 Keputusan akan "membunuh" tokoh kecintaan ummat, seorang mujahid, dan seorang sumber ilmu Agama yang tidak kering­keringnya itu, telah menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan dimana­mana. Kemarahan kaum Muslimin hampir-hampir tidak dapat dibendung lagi. Melihat situasi yang semakin panas itu, pemerintah cepat-cepat turun tangan, mengambil langkah mendatangi Syed Maududi di tempat tahanannya, menawarkan pada beliau kesempatan untuk mohon ampun dan mohon dikasihani. Namun dengan sikap yang berani dan tegas, beliau berkata: "Tidak, lebih baik aku mati daripada merendah-rendah diri di hadapan suatu Tyran. Jika ini sudah Takdir Allah, aku dengan segala keikhlasan menerimanya. Akan tetapi jika ini bukan KehendakNya, maka ketahuilah! Jangan coba-coba menyakiti diriku."10 Melihat pendirian syed Maududi begitu gigih, lebih-lebih sikap dari kaum Muslimin Pakistan, India, dan seluruh dunia Islam dalam suasana prihatin, akhirnya pemerintah menempuh jalan lain dan merobah hukuman mati atas diri syed Maududi menjadi hukuman penjara selama 20 tahun. Namun tidak lama kemudian jumlah 20 tahun itu berobah lagi, bahkan berobah berkali-kali sehingga sampai pada hukuman penjara dua tahun. Tindakan drastis oleh pengadilan militer Lahore atas diri Ulama besar itu, menurut sinyalemen maupun pendapat-pendapat tokoh-tokoh pemerintahan dan militer, didasarkan atas pertimbangan politis semata-mata. Namun bila diteliti lebih seksama, pokok pangkal daripada peristiwa 1953 itu, ialah agitasi golongan Ahmadiyah, yang terang-terangan mengacaukan ketentraman iman kaum Muslimin dan membelakangi aqidah mereka.11 Bahwa sebab utamanya terletak pada kegiatan Ahmadiyah mempropagan­dakan faham-fahamnya yang bersimpang jalan itu, tidak diragukan lagi. Peristiwa yang sama dan dari sebab-sebab yang sama telah terjadi lagi, mungkin suatu peristiwa yang akhir, akan tetapi mungkin juga bukan terakhir, telah mengambil tempat di anak benua India kembali. Pada tanggal 8 Juni 1974, di Islamabad Pakistan, telah terjadi demonstrasi kemarahan kaum Muslimin yang mencapai klimaxnya. Kali ini peristiwa itu lebih banyak makan korban harta benda dan jiwa. Gerakan Ahmadiyah yang mula-mula menceritakan kejadiankejadian tersebut, berkata: "Sejak Minggu terakhir dari bulan Mei 1974 telah terjadi kerusuhan­kerusuhan di Pakistan. Dengan dihasut oleh kaum Ulama dan digelorakan oleh surat-surat kabar kaum Islam yang fanatik menjalankan tindakan kekerasan terhadap orang-orang dan harta benda milik jemaat Ahmadiyah di Pakistan. Orang-orang Ahmadiyah dibunuh dan mesjid, rumah, toko, perpustakaan, pabrik, gudang dan klinik mereka dirampoki, dihancurkan dan dibakar. Boikot sosial dan ekonomi dilakukan terhadap o-orang Ahmadiyah di seluruh Pakistan sehingga mereka tak dapat memperoleh bahan kebutuhan sehari-hari, bahkan air minum tak dapat mereka beli. Bayi-bayi juga menderita akibat boikot itu, karena susu untuk mereka tak bisa didapat."12 Bahkan rentetan dari peristiwa itu lebih jauh lagi. Di luar Pakistan, dari kota Mekkah Al-Mukarramah, telah datang keputusan Rabithah 'Alam Islamy, menyatakan golongan Ahmadiyah sebagai golongan non­Muslim serta melarang anggauta-anggautanya naik haji. Jelas sudah, bahwa penyebab utama timbulnya kerusakan-kerusakan maupun korban jiwa itu, datang dari Ahmadiyah sendiri. Aliran inilah biang keladi dari kemarahan ummat Islam yang tak terbendungkan itu. Sungguh sangat disesalkan telah terjadi peristiwa itu, akan tetapi sangat disayangkan bahwa pemerintah tidak mengambil inisiatif jauh­jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum peristiwa-peristiwa yang silam itu, untuk menghentikan aliran Mirza Ghulam itu dan menyatakan sebagai aliran non-Islam maupun membubarkannya sekaligus! Sudah jelas, bila golongan kecil Ahmadiyah ini, bila dikaji faham­fahamnya, maupun aqidahnya ataupun hanya disebut-sebut. namanya, akan menimbulkan tidak sedap dan menggelisahkan kaum Muslimin, bahkan bisa terjadi kemarahan-kemarahan dan korban. Ia jauh lebih terorganisir, rapi, sempurna, dan persiapan-persiapan masa depannya maupun keuangannya sangat padat. Sebaliknya dari peristiwa 1974 itu, gerakan Ahmadiyah sendiri mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Golongan ini berkata: "Rahasia di-non-Islamkannya Ahmadiyah, ialah sebagaimana yang diberitakan oleh harian - Imroz Lahore Pakistan, seperti berikut ini: Chiniot, 16 November (74). Menteri Kehakiman Propinsi merangkap urusan Parlemen, Sadar Asghar Ahmad, dihadapan rapat akbar di Jerwala mengatakan, bahwa partai rakyat (yang berkuasa di Pakistan sekarang) telah berhasil menyelesaikan masalah "Khataman Nubuwah" dengan cara yang amat bijaksana. Penyelesaian masalah ini merupakan kejadian besar sesudah peristiwa Karbala yang tercatat dalam sejarah Islam. Perdana Menteri Ali Butto telah berhasil menghancurkan siasat pemimpin­pemimpin opposisi dengan menyelesaikan masalah Qadiani itu." Kelihatan belangnya, bukan? Kita ini (Ahmadiyah) memang sudah tau. Itu­lah sebabnya tidak pernah kecil hati. Permainan politik memang begitu. Kaum opposisi di pemilihan umum mendatang (1975) di Pakistan ingin menjadikan masalah Ahmadiyah sebagai issue menarik untuk memperoleh suara. Tetapi Ali Butto bukan goblog. Dia tau mental "alim-ulama" yang rakus kursi, berselimutkan Agama ingin mencapai tujuan politis."13 Lebih lanjut Ahmadiyah berkata: "Saudi Arabia atau Rabhitah kalau mencap Ahmadiyah non Islam - tidak mengherankan. Itu biasa, asal jangan Tuhan yang me-non­Islamkan."14 Bahwa peristiwa di Pakistan itu merupakan tindakan kaum oposisi serta para Ulama dengan maksud untuk mencapai tujuan politis, itu adalah pendapat Ahmadiyah pribadi. Adalah sukar untuk diterima, bahwa ikut sertanya Organisasi Dunia Islam yang berkedudukan di Mekkah itu, termasuk dari rasa solidaritas atau bertindak dalam rangka membantu tujuan politis kaum oposisi di dalam negeri Pakistan. Melainkan yang logis dan mudah dimengerti, bahwa Rabhitah Alam Islamy telah me-non-Islamkan Ahmadiyah dan sekaligus melarang angauta-anggautanya naik haji, ialah atas dasar-dasar pertimbangan serta penelitian yang seksama akan bentuk hakiki dari gerakan Ahmadiyah itu. Ulama-ulama di Pakistan, India, atau dimana saja, melihat gerak-gerik Ahmadiyah tidak lagi dari segi-segi lahirnya, akan tetapi pada segi­segi bagian dalamnya. Kenyataan dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ah­madiyah sendiri, bahkan semenjak fajar-fajar munculnya Mirza Ghulam Ahmad dan alirannya, sikap dan tindakan para Ulama selalu menentang keras padanya. Dari suatu pengamatan yang teliti, benih-benih yang ditanam Ahmadiyah di kemudian hari jauh berbeda-beda dari sebelumnya, ia lebih banyak menonjolkan merk Islamnya daripada sifatnya yang complex. Syukur bahwa dari Ulama-ulama yang masyhur seperti: Mohammad Hadr Husein, Abul Hasan Ali an-Nadwi, Abdul 'Alim Assidiqhi, Abul Ala al­Maududi dan lain-lain, telah berhasil membuka selubung kulit Ahmadiyah serta mengurai-urai isi dalamnya. Predikat Ulama yang ada pada mereka, lebih­lebih lagi sebagai putera-putera dari anak benua India, tidaklah menimbulkan keragu-raguan untuk menyatakan bahwa hasil-hasil tulisan mereka tentang kesesatan Ahmadiyah, adalah hasil dari sikap-sikap yang jujur, obyektif dan tidak emosional. Sehingga apa yang tidak jelas dari "Apa dan Siapa Ahmadiyah itu" menjadi jelas dan disadari. Namun demikian, kendati hasil telah dicapai, yaitu kesadaran kaum Muslimin terhadap aliran Mirza Ghulam Ahmad itu, akan tetapi pada kenyataannya pencapaian Ulama-ulama itu belumlah sampai pada titik-titik intinya, belum mengena bahkan belum menyentuh sekalipun pada lubuk dasar yang hakiki dari Ahmadiyah. Akibatnya karena hal-hal tersebut, maka problema-problema baru yang tampaknya lebih segar dan logis, susul­menyusul datang dari Ahmadiyah. Bagaikan suatu santapan yang dihidangkan pada kaum Muslimin, lebih sedap dipandang, lebih enak disantap dan lebih komplit dari yang sudah-sudah. Ternyata Ahmadiyah berada dalam sigap berdiri di atas kuda-kuda, menanti setiap serangan maupun kritikan dari luar dan siap pula menangkis dan menyerangnya. Lebih jauh Ahmadiyah berkata: "Memang, seperti di persada Indonesia ini, umpamanya, masih ada pula gelintiran manusia-buta yang menganggap Ahmadiyah itu sesat. Sekalipun mereka tak mampu membuktikannya menurut Qur'an dan Hadits Nabi s.a.w. dan tak pula mampu memperhadapkan "dalil-dalil" nya itu dengan Ahmadiyah, namun sekali-sekali terdengar pula cetusan hati-kotornya yang tak pernah membekas "juridu li-yuthfi 'u nurallahi bi-afwahihim" (mereka berhasrat memadamkan cahaya kebenaran Ilahy itu dengan mulutnya), tentu saja tak mungkin. Sebab itu untuk mereka tak lain ialah: "mutu be-ghaidhikum" (benci dan dengkinya akan dibawa atau membawa mereka pada maut."15 Akhirnya dengan lantang Ahmadiyah berkata: "Anda orang berakal, bukan? Jangan mau diburung-ontakan oleh anasir-anasir yang memusuhi Ahmadiyah dengan cara lempar batu sembunyi tangan. Rata-rata mereka berkaok-kaok dari belakang Ahmadiyah tetapi tidak berani berhadapan. Mereka tau akan kelihatan belangnya."16 ---- catatan kaki ---- 8 lih: Leonard Binder Religion and Politics in Pakistan 1963 University of California Press hal. 302: (In Mid-May 1953, Maulana Maududi and Maulana Niazi were both sentenced to death by a military court sitting at Lahore. The severity of these sentence in an indication of the outraged view that less restrained branch of the services took of the effect of the Ahmadi agitation. lih: Misbah-ul-Islam Faruqi- Introducing Maududi-1968 - Darr al-Qalam al-Sur St Kuwait­hal. 113: (.., he was made to face a farce of trial by a military tribunal and was awarded death sentence for writing a pamphlet: the Qadiani Problem. ^ 9 lih: L. Binder hal. 302: religious persons throughout Pakistan were, of course shocked at this action of the military, but perhaps even more astounded at the implied generalization of guilt. ^ 10 lih: M.I Faruqi hal. 114: (When, after the death sentence he was offered option of making an appeal for mercy, his reply was: I would rather lay down my life than request mercy from tyrans. If God has so wished, I shall gladly submit. But if it is not His decision, no matter what they may plan, they can do no harm to me.) ^ 11 lih: L. Binder hal. 303: (the military and many civil servants, apparently, have been so taken in by propaganda of the jamaat they actually believe that Maududi single handely created the whole islamic constitution controvercy. Regardless of whether this view is correct, the important thing to note is that the islamic constitution controversy was considered the root cause of the dreadful effects of the Ahmadi agitation.) ^ 12 lih: bulletin Ahmadiyah, al-Hisyam, jemaat Ahmadiyah Ujung Pandang, no. 23/24 th. 1974 hal. 2/3. ^ 13 lih. al-Hisyam, no. 25, 1974, hal. 3/7. ^ 14 lih. al-Hisyam, no. 25, 1974, hal. 3. ^ 15 lih. Saleh A, Nahdi Ahmadiyah di mata orang lain, 1971, Rapen Makassar. hal. 3. ^ 16 17 lih. bulletin al-Hisyam, no. 23/24, 1974, hal. 5. Naseem Saifi, Our Movement, hal. 8. ^ Chapter 2.3 Ahmadiyah Sebagai Isolasionisme 2.3 Tantangan Rutin Bahkan jika masih ada niat untuk berhadapan dengan Ahmadiyah, janganlah coba-coba melakukannya. Naseem Saifi, seorang tokoh Ahmadiyah kelahiran Qadian, dengan lantangnya berkata: "Coba tunjukkan padaku, apa yang telah dicapai oleh mereka (Ulama-ulama) yang memusuhi Ahmadiyah itu? Adakah hasil yang mereka peroleh, ataukah mereka sanggup membendung masuknya orang-orang ke dalam Ahmadiyah? Jelas sekali, mereka telah gagal, bahkan jika seribu satu macam kitab diterbitkan untuk menentang Ahmadiyah, mereka pasti gagal !!"17 Dengan tantangan yang begitu gigih itu, maka Ahmadiyah dengan segala kerapiannya mempertontonkan diri di mata orang lain, dalam bentuk ke­Islamannya yang baik. Apa yang logis, yang segar dan mudah untuk dicerna kaum Muslimin, telah disuguhkan oleh Ahmadiyah. Lebih banyak kitab-kitab Ahmadiyah disertakan didalamnya dengan catatan maupun mukaddimah, bahwa Syahadat Ahmadiyah adalah syahadat kaum Muslimin, bahwa rukun Islam dan rukun iman Ahmadiyah adalah sama dengan kaum Muslimin, memang pada kenyataannya sama. Hal ini tidak perlu dibantah, bahkan Ahmadiyah menegaskan lagi: "Ahmadiyah sehelai rambutpun tidak menyimpang dari ajaran Qur'an dan Sunnah Rasul kita Muhammad s.a.w. Untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam di seluruh dunia Ahmadiyah melalui cara dan jalan yang dihalalkan oleh Islam dan dibenarkan oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku di mana Ahmadiyah berada dengan menekankan: mengirimkan muballigh-2 nya ke seluruh dunia; menyiarkan Al-Qur'an dalam berbagai bahasa yang hidup di dunia seperti bahasa-bahasa: Inggris, Jerman, Perancis, Italy, Belanda, Spanyol, Scandinavia, Persia, dan lain-lain; mendirikan mesjid-mesjid di seluruh dunia termasuk mesjid-mesjid di Eropah, Amerika Serikat, Afrika dan lain-lain; menyiarkan buku-buku secara cuma-cuma tentang berbagi masalah seperti perbandingan agama, sistim ekonomi dalam Islam, Kapitalis dan Komunis. Dan seterusnya."18 Excelent dan menyilaukan bukan? Justru karena inilah, maka usaha­usaha untuk menemukan bentuk yang lama dari Ahmadiyah yakni bentuk fitrahnya, akan mengalami kesulitan dan mungkin kegagalan seperti yang dilantangkan Naseem Saifi di atas. Hal ini telah diduga sebelumnya dan dinyatakan oleh Pujangga besar Isla, DR. Mohammad Iqbal. Beliau berkata: "Para Ulama di India yang menggunakan pedoman atau hujjah­hujjah Theologis untuk berhadapan dengan aliran Ahmadiyah, pada kenyataannya tidak berhasil mencapai kesempurnaan buat menengok kebagian sebelah dalam dari Ahmadiyah. Cara-cara mereka itu bukan suatu methode yang effektif. Bahkan bila mereka mencapai suatu success, itu hanya semu (sementara) belaka." 19 Justru karena pedoman atau hujjah theologis yang dipakai para Ulama itu, Ahmadiyah kemudian berputar haluan, berganti taktik, merobah sikap dan menutup segala kemungkinan untuk mengenal asal-usul maupun bentuknya yang semula. Ini terbukti dari adanya kegiatan missi Ahmadiyah yang lebih banyak menonjolkan kerja dan jasa atas nama Islam, daripada mengungkap­ungkap lagi perihal kedudukan maupun jabatan-jabatan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad. Sudah tentu, dari suatu organisasi yang baik dan sempurna, lebih-lebih dengan keuangannya yang padat, Ahmadiyah sanggup menonjolkan dirinya sebagai organ Islam yang militant. Banyak pujian-pujian datang dari Ulama-ulama di luar Ahmadiyah, lebih­lebih dari tokoh-tokoh Ketimuran {Orientalist), antara lain yang perlu disebut di sini ialah Prof. H.A.R. Gibb, seorang Guru besar bahasa Arab pada Universitas Oxford dan Harvard. Gibb berkata tentang Ahmadiyah: "Ahmadiyah adalah gerakan yang giat melawan penyiaran Agama Kristen baik di Indonesia di Afrika selatan maupun di Timur dan Barat. "20 Tidaklah penting untuk memperbanyak halaman-halaman di sini den­gan mengutip berbagai pujian terhadap Ahmadiyah, melainkan yang penting untuk dicatat ialah hasrat terpendam yang ingin dicapai Ahmadiyah, yaitu menarik orang-orang baik yang belum memeluk Islam maupun yang sudah Muslim, pada aliran Mirza Ghulam Ahmad. Kemudian dari setiap pribadi yang kena pengaruh itu, dimintanya untuk berbai'at, setia, dan taat serta meyakini seluruh pangkat, gelar dan kedudukan yang dimiliki Mirza Ghulam tanpa mempersoalkannya lagi. Lebih daripada itu, aliran Mirza Ghulam Ahmad ini telah meny­atakan dirinya sebagai Organisasi bentukan Tuhan 21, sebagai Islam sejati 22 dan sebagai "illa wahidah" hanya satu yang masuk sorga dari 73 pecahan ummat Islam itu 23 Karenanya, kedudukan illa wahidah pada gerakan Ahmadiyah itu, telah mendorong orang-orang Ahmadiyah untuk tugas suci mengIslamkan kembali kaum Muslimin, atau dengan kata lain, meng"ahmadiyah"kan mereka. Jelas di sinilah letaknya benih pemecah-belah kesatuan Islam serta mengobrak-abrik ketentraman iman mayoritas ummat Islam yang telah berjalan hampir empat-belas abad itu. Maka tidaklah ragu untuk menyatakan bahwa pujian-pujian yang datang dari orang-orang Barat kepada Ahmadiyah adalah semata-mata untuk tujuan menyuburkan benih pemecah dan pengacau iman itu. Di Indonesia, hampir di setiap kota-kota besar, Ahmadiyah dapat memperoleh tempat yang subur buat pertumbuhannya. Meskipun gerakannya lambat namun aliran ini kian hari kian meluas serta membawa bekas. Bahkan di suatu tempat di Jawa Barat, dekat kota Cirebon, sebuah desa atau kecamatan bernama Kayu Manis, Ahmadiyah telah menjadikannya sebagai proyek daerah tauladan, dimana hampir seluruh penduduknya di sana menganut faham yang diajarkan Mirza Ghulam. "Bahwa lebih penting daripada mengemukakan ajaran Ahmadiyah dalam perbandingannya dengan faham kaum Muslimin (yang kontra) ialah usaha mencatat perkembangan alam pikiran keagamaan di Indonesia sebagai suatu bagian dari sejarah kita dimana ajaran Ahmadiyah ternyata mempunyai bekas yang bisa diraba meskipun nyaris tak pernah disinggung. Bahkan dengan asumsi pertama bahwa dari mereka banyak bisa diambil hal-hal yang kedudukan ajaran ini dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia."24 Jalan pikiran Syu'bah Asa tersebut di atas sebenarnya merupakan garis­garis sentuhan baru dari Ahmadiyah terhadap mereka yang masih belum mengenalnya. Dengan cara-cara yang menarik dan flexible, Ahmadiyah berusaha memperlunak diri dari kekerasan mengisolir dirinya; Mungkin suatu usaha berkompromi telah disodorkan ke tengah-tengah masyarakat Muslimin, dengan penuh harap pada mereka yang berada di luar Ahmadiyah, agar tidak berjerih payah atau meniliti atau memikirkan sebab-sebab, sehingga Mirza Ghulam Ahmad pendiri Ahmadiyah itu, telah memiliki gelar-gelar pangkat dan kedudukan begitu komplex dan penuh; melainkan dimintanya untuk menaruh perhatian yang saksama akan bukti-bukti maupun kenyataan-kenyataan yang ada yang telah dicapai oleh Ahmadiyah dengan success-success missinya Itulah harapan Ahmadiyah! Apakah mungkin bagi kaum muslimin mengabaikan begitu saja akan pangkat-pangkat, gelar-gelar dan kedudukan Mirza Ghulam? Padahal pengikut-pengikut Ahmadiyah sendiri meresapkan ke dalam dada mereka seluruh pendakwaan pemimpinnya itu. Dan bagaimana mungkin, padahal untuk pangkat-pangkat itulah justru Mirza Ghulam Ahmad muncul di tengah-tengah kaum Muslimin, dengan berbagai-bagai alasan demi kepentingan dirinya. Bahkan dalam keterangan­keterangan pendakwaannya itu, Mirza Ghulam maupun Ahmadiyahnya membuat suatu surprise di kalangan kaum Muslimin, dengan mengemukakan dalil-dalil al-Quran dan Hadits, meskipun cara­cara pemakaian maupun pengertiannya, sangat dipaksa-paksakan. ---- catatan kaki ---- 17 lih. bulletin al-Hisyam, no. 23/24, 1974, hal. 5. Naseem Saifi, Our Movement, hal. 8. ^ 18 Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan-tuduhan Ustadz Bakry Wahid B.A. Ujung Pandang, Djema'at Ahmadiyah Indonesia, 1972, hal. 4. ^ 19 Syed Abdul Wahid, Thoughts and Reflections of Iqbal, hal. 269: (Suffice it to say that the real nature of Ahmadism is hidden behind the mist of mediaeval mystcism and theology. The Indian Ulama, therefore took it to be a purely theological movement and came out with theological weapons to deal with it. I believe, however, that this was not the proper method of dealing with the movement; and the success of the Ulama was, therefore only partial.") ^ 20 Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terjemah L.E. Hakim, Jakarta Tinta Mas 1954, hal. 77. ^ 21 Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah di mata orang lain, hal. 7. ^ 22 Saleh A.,Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry! hal. 14. ^ 23 Majallah bulanan Ahmadiyah, Sinar Islam, Jajasan Wisma Damai, no. 13 th. XV/1965, hal. 34 dan lihat Saleh Nahdi, Ahmadiyah membantah Wahid Bakry, hal. 99. NOTE: di majalah Sinar Islam tersebut Ahmadiyah menyebut angka 75 pecahan ummat Islam, akan tetapi di batahan atas Wahid Bakry, 73 saja, manakah yang dipakai oleh Ahmadiyah dari dua angka yang berbeda itu? ^ 24 Tempo, 24 Sept. 1974, no. 29, Jakarta Grafiti Pers hal. 3/ 50. ^ Chapter 2.4 Ahmadiyah Sebagai Isolasionisme 2.4 Mirza Ghulam Ahmad Duplikat Sir Syed Ahmad Khan Success yang dicapai Ahmadiyah mungkin dapat mengaburkan pandangan kaum muslimin akan tetapi tidak demikian pada pandangan Ulama­ulama. Justru sebaliknya, dari success yang dicapai Ahmadiyah itu timbullah kecurigaan Ulama-ulama terhadapnya. Kelahirannya yang baru kemarin, bangunnya yang kesiangan dan daerah-daerah yang dibabatnya bukan hutan lagi, adalah sebab-sebab diantara sebab timbulnya rasa curiga. Usaha-usaha untuk mengenal Ahmadiyah telah disiapkan dengan baik oleh penulis-penulis India, Pakistan, maupun di luar kedua negara itu. Akan tetapi sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal, bahwa cara-cara mereka memperkenalkan masih belum memuaskan karena methode-methode yang dipakai untuk itu kurang effektif. Jelaslah kiranya, bahwa untuk mengetahui "Apa dan Siapa Ah­madiyah" sampai kepada lubuk dasarnya, pada hakikat dirinya latar belakang munculnya, kekuatan berpijaknya serta bayangan tempat berteduhnya, akan memerlukan ketekunan menggarap dan ketelitian menelaah kitab-kitab Ahmadiyah baik yang Qadiani maupun yang Lahore. Alhasil kita harus masuk liwat belakang dari pintu dapur Ahmadiyah, dimana masakan Mirza Ghulam Ahmad ini, digarap. Nama "AHMADIYAH" bukan pertama kalinya ada setelah Mirza Ghulam Ahmad membentuk atau mengadakannya. Jauh-jauh sebelum Mirza Ghulam dikenal, nama Ahmadiyah itu telah ada. Ketika Mirza Ghulam masih bocah jadi masih belum ada apa-apa padanya, Sir syed Ahmad Khan, (1817-1898) pendiri Aligarh yang mashur itu, pada tahun 1842 membukukan hasil-hasil kuliyah-kuliyahnya dengan judul: "Al-Khutbatu-Al-Ahmadiyah" Ketika itu Mirza masih berumur kurang lebih tujuh tahun. Bahkan jauh-jauh lagi di belakang syed Ahmad Khan, kira-kira 600 tahun sebelum Mirza Ghulam lahir, nama Ahmadiyah itu telah ada. Syed Ahmad al-Bedawi, seorang pejuang Islam yang mashur, mendirikan suatu Thariqat yang menggunakan nama beliau sendiri, ialah Ahmadiyah atau Bedawiyah.25 Bagi Mirza Ghulam Ahmad, adalah lebih tepat bila gerakannya itu memakai nama "Mirzaiyah" atau "Qadianiah." Tetapi ia dan pengikut-pengikutnya tidak menghendaki nama-nama itu. Berkata seorang tokoh Ahmadiyah: "Nama 'Ahmadiyah Qadian' itu selalu digunakan oleh orang­orang yang memusuhi Ahmadiyah. Jadi bukan nama yang tepat beliau ambil sesuai dengan kebenaran tetapi yang made in orang lain itu yang dipilihnya. Jujurkah begini? Bukankah ini karena sentimen, dengki,' dan benci?"26 Maka yang benar ialah yang resmi digunakan oleh orang-orang Ah­madiyah sendiri terhadap gerakannya yakni gerakan Ahmadiyah atau Ahmadiyah movement. Nama inilah yang sering, ditulis dalam sejarah pergerakan Islam, sebagai suatu gerakan yang bermerk Islam, merek yang telah dipasang oleh Mirza Ghulam Ahmad dan pengikut-pengikutnya. Penilaian terhadap aliran ini oleh orang-orang di luar Ahmadiyah, sebagaimana telah disebutkan, akan sedikit banyak mengambil tempat di sini. Di antara mereka yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja ialah penilaian Prof. H.A.R. Gibb; beliau berkata tentang Ahmadiyah: "Gerakan Ahmadiyah mulai melangkah sebagai suatu pergerakan Liberal dan gerakan pembaharuan yang bersifat damai yang membawa minat ke arah satu langkah baru kepada mereka yang sudah kehilangan kepercayaannya dalam Agama Islam yang tua. Pendiri gerakan ini, Mirza Ghulam Ahmad tidak saja mengaku sebagai Mahdi dari Islam dan sebagai Messiah dari Kristen akan tetapi jtaga sebagai penjelmaan (Avatar) dari Khrisna." Gibb kemudian menambah lagi: "Bahwa gerakan Ahmadiyah ini adalah gerakan Sinkretis sebagai reaksi terhadap gerakan Aligarh, dimana Mirza Ghulam Ahmad menuntut sebagai pembawa wahyu untuk mentafsirkan baru Islam bagi keperluan zaman baru "27 Demikian ulasan Prof. Gibb. Yang perlu digaris-bawahi dari ucapan­ucapan beliau, diantaranya ialah bahwa gerakan Ahmadiyah adalah gerakan Sinkretis sebagai reaksi terhadap gerakan Aligarhnya Sir syed Ahmad Khan. Lebih terarah lagi pada wujud yang sebenarnya dari Ahmadiyah, ialah penilaian Pujangga Islam Muhammad Iqbal. Beliau berkata: "Di Barat daya India, negeri dimana keadaan maupun kondisinya lebih orisinil, primitip dari negeri-negeri lain di Indla, gerakan yang dilahirkan Sir syed Ahmad Khan segera mendapat reaksi serta ditandingi dan diikuti dengan seksama oleh suatu gerakan baru, yakni Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad, suatu aliran mistik yang aneh, mencakup mistik-mistik bangsa Smit dan Arya, dimana ajaran-ajarannya tidak lagi mementingkan keutamaan jiwa yang bersih sebagaimana lazimnya pada ajaran-ajaran sufi, melainkan terarah dan terpusat pada cita-cita dan kepuasan seseorang yangmengaku dirinya sebagai Messiah yang dijanjikan."28 Kemudian lebih tertuju pada orangnya daripada alirannya, ialah penilaian se­orang penulis muslimah dan sufiyah yang mashur Maryam Jameelah. Beliau berkata tentang Mirza Ghulam Ahmad: "Bahwa hampir semua langkah-langkah, cara-cara maupun idea-idea Sir syed Ahmad Khan, diambil oleh Mirza Ghulam dan diterapkan dengan seksama, sambil menyelipkan fatwa bahwa jihad melawan Inggris adalah kejahatan yang terkutuk."29 Dari penilaian-penilaian tersebut di atas terhadap Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya , ternyata nama Sir syed Ahmad Khan selalu ada dan disebut­sebut sebagai tokoh yang mendahului Mirza Ghulam dalam segala aspek. Hal ini mendorong kita untuk mengenal lebih dahulu pendiri Aligarh tersebut sebelum sampai pada pendiri Ahmadiyah. Kendati dari pihak Ahmadiyah jelas tidak membenarkan apa yang dinyatakan oleh Gibb, Iqbal, dan Jameelah terhadap diri Mirza Ghulam dan alirannya, akan tetapi tidaklah dapat diabaikan begitu saja kebenaran-kebenaran dari ucapan-ucapan mereka itu. Mungkin Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah duduk di bangku sekolahnya syed Ahmad Khan, dan mungkin juga ia bukan murid Sir syed, namun tidaklah berlebih-lebihan untuk mengatakan di sini, bahwa menarik kesimpulan dari ucapan-ucapan tokoh-tokoh di atas, jelas bahwa Mirza Ghulam Allmad telah berguru pada syed Ahmad Khan secara absentia. Karenanya mengenal Mirza Ghulam Ahmad melalui suatu langkah perkenalan pada syed Ahmad Khan, adalah jalan yang enak ditempuh serta memudahkan. ---- catatan kaki ---- 25 lih. Gibb, Islam dalam Lintasan sejarah, hal. 130. ^ 26 lih.Saleh A. .Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry, ha1.88 ^ 27 lih.Gibb, Islam dalam lintasan sejarah ha1.153, dan lih: Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, 1954, Jakarta, Tinta Mas, terjemah L.E. Hakim, ha1.77 ^ 28 lih syed Abdul Vahid, Thoughts and Reflections of Iqbal, ha1.277: ("in the north­West of India, a Country more primitive and saint-ridden than the rest of India, the syed's movement was soon followed by reaction of Ahmadism - a strange mixture of Semetic and Aryan mysticism with whom spiritual revival consist not in the purification of the individuals inner life according to the principles of the old Islamic sufism, but in satisfying the expectant attitude of the masses by providing a promised Messiah") ^ 29 lih. Maryam Jameelah, Islam and Modernism, 1968, Lahore-Mohammad Yusuf Khan, ha1.54: ("Mirza Ghulam Ahmad followed faithfully in the footstep of his Master. In declaring it most desirable to shed one's blood in the cause of British imperialism but condemning jihad as a crime, he was merely carrying sayyid Ahmad Khan's ideas to their logical conclusion). ^ Chapter 2.5 Ahmadiyah Sebagai Isolasionisme 2.5 Sir Syed Ahmad Khan Dilahirkan di Delhi pada tanggal 27 Oktober 1817, wafat di Aligarh tahun 1898, dalam usia 81 tahun. Ayah beliau bernama syed Muhammad Muttaqi dan kakek beliau bernama syed Hadi. Pada usia lebih dari tiga-perempat abad itu, benar-benar merupakan tahun­tahun yang dijalani syed Ahmad dengan penuh pengabdian serta pengorbanan buat bangsanya. Semenjak usia yang masih muda, beliau sudah produktif dalam segala aspek ilmu pengetahuan, seperti ilmu sejarah, politik, hukum, Agama dan kesusasteraan. Tafsir Al-Qur,an buah karyanya yang tiada tandingannya itu, telah memberikan kesegaran iman serta daya kreatif buat sarjana-sarjana Muslim serta generasi-generasi sesudahnya. Dalam kegiatan sehari-hari beliau adalah seorang pegawai sipil dalam pe­merintahan Inggris yang berkuasa di India waktu itu. Akan tetapi lingkungan gerak syed Ahmad Khan bukan hanya pulang-pergi kantor saja; beliau jauh daripada itu. Beliau adalah contoh figur pejuang yang tak kenal letih. Seorang teoritis dan sekaligus seorang realis. Penelitiannya yang tajam pada situasi dan kondisi bangsanya yang berada dalam penjajahan Inggris; pengalaman-pengalaman hidupnya tatkala terjadi perang tahun 1857, dimana kaum Muslimin hancur berantakan dan berada dalam tragedi hidup, semua itu telah menggerakkan syed Ahmad pada jalan lepas yang mengagumkan. Lebih-lebih lagi setelah kembali dari perjalanannya ke Inggris tahun 1869 itu, syed Ahmad Khan mendapatkan saudara-saudaranya dalam keadaan parah, terbelakang, dan rasa rendah diri. Dengan diagnose yang jelas itu, syed Ahmad berjuang untuk perbaikan­perbaikan yang menyeluruh. Lebih dahulu beliau mengajak kaum Muslimin agar bersikap loyal kepada penguasa Inggris. Beliau memberi contoh bagaimana nabi Yusuf a.s. bersikap Ioyal bahkan duduk dalam pemerintahan Fir'aun yang kafir itu.30 Bagi syed Ahmad, suatu bangsa yang dikalahkan harus menyiapkan waktu yang lama untuk dapat tegak kembali, dan hal ini tidak cukup dijalani hanya dengan satu jalan kekerasan saja, melainkan suatu perjalanan damai yang effektif haruslah ditempuh. Cara-cara beliau ini merupakan jalan terbaik dan konstruktif yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh kaum Muslimin India serta generasi sesudahnya. Meskipun demikian sikap syed Ahmad Khan, beliau tidak pernah menyembunyikan kepribadian Muslimnya. Terhadap Missionaris-missionaris Kristen yang berusaha menggoncangkan iman generasi muda Islam, beliau tidak tanggung-tanggung melawannya. Ketika Sir Muir menerbitkan tulisannya tentang pribadi Nabi Muhammad s.a.w. sebanyak empat jilid, dimana isinya merupakan senjata penghinaan terhadap Islam dan RasulNya, sehingga kitab Muir tersebut dipakai oleh Dr. Pfandar, seorang zending Kristen yang militant, untuk mengkocar-kacirkan pemuda­pemuda Islam, maka segera bangkitlah syed Ahmad Khan dengan sanggahan­sanggahan yang gemilang. Beliau telah terbitkan jawaban-jawaban atas tulisan Muir itu, dengan judul: Al-Khutbat -ul-Ahmadiyah, yang merupakan senjata pengobrak-abrik dasar-dasar dari tulisan Muir. Ketika Komisaris pembagian Benares, tuan Shakespeare, sahabat beliau, menawarkan sebidang tanah serta uang untuk diri beliau dan keluarga, Syed Ahmad Khan dengan tegas menolak pemberian itu, bahkan beliau merasa tersinggung serta tertusuk hati. "Bagaimana saya harus menerima hadiah itu, kata beliau dalam pidatonya tanggal 28 Desember I889, ketika membuka konperensi pendidikan bagi semua muslim India, bagaimana saya harus menjadi tuan tanah, padahal itulah penghinaan vang berat buat saya, justru di saat bangsaku berada dalam penderitaan yang hebat. "31 Apa yang telah beliau saksikan sendiri dalam peperangan tahun 1857, juga yang terjadi di Khanam Bazar, Balakot dan di daerah-daerah lainnya, dimana kaum muslimin dibinasakan, tidak dapat lenyap selamanya dari ingatan syed Ahmad. Ketika negara berada dalam hukum militer, Ahmad Khan telah berbuat sesuatu yang amat membahayakan keselamatan dirinya. Dengan keberanian yang luar biasa ia menerbitkan pamphlet dengan judul: "Penyebab timbulnya revolusi bangsa India." Beliau membuka terang-terangan kesalahan-kesalahan Penguasa­penguasa Inggris terhadap anak negeri India, terutama dan terlebih­lebih terhadap kaum Musliminnya. Phamplet itu beliau sebarkan kemana­mana, bahkan sampai terbaca oleh anggauta-anggauta Parlemen di Inggris. Demikian pula ketika Sir W.W. Hunter menulis buku yang berjudul: "Orang­orang Islam India adakah mereka terikat kesadaran terhadap pembrontakan melawan Ratu!"32 Syed Ahmad Khan telah menjawabnya dengan suatu pandangan yang menakjubkan. Karier syed Ahmad yang gemilang itu telah membuka kesadaran kaum Muslimin India. Penyair yang mashur, Maulana Hali, penulis riwayat hidup syed Ahmad Khan, mencatat suatu peristiwa tahun 1867, ketika beberapa orang Hindu dari Benares dengan sepenuh daya upaya mengusulkan penghapusan bahasa Urdu dan tulisan Persia dalam kantor pemerintahan serta memasukkan sebagai gantinya bahasa Bhasa (suatu logat Hindu) yang bertuliskan Sankrit. Syed Ahmad Khan seorang pengawas situasi yang tajam serta cepat menangkap makna dan tujuan dari orang-orang Benares itu, merasa terkejut dan menyadari bahwa tidaklah mungkin kiranya bagi orang-orang Muslim dan Hindu untuk bersatu. Dari peristiwa itulah lahirnya satu benih baru yang kemudian tumbuh menjadi suatu gagasan dan akhirnya terlaksana kelak menjadi suatu negara untuk orang-orang Islam (Pakistan). Apa yang telah beliau tempuh sebagai suatu cara terbaik konstruktif serta sangat dirasakan manfaatnya oleh bangsa Islam India, ialah dibinanya su­atu pendidikan yang menyeluruh bagi semua tingkatan Muslimin. Ketika beliau pindah dari Ghazipur ke Aligarh pada bulan April 1864, syed Ahmad Khan memindahkan seluruh kekayaan yang dimilikinya dan diserahkan untuk masyarakat ilmu pengetahuan Aligarh. Putera beliau yang mashur, syed Mahmud Ahmad, seorang ahli hukum, cendikiawan, saling bahu membahu dengan ayahnya dalam merintis suatu pendidikan buat semua Muslimin. Melalui Aligarhnya yang terkenal itu terbukalah jalan lempang bagi keluasan aspirasi dan dinamika kaum Muslimin maupun bangsa India. Dari Aligarh Universitynya syed Ahmad Khan kelak lahir suatu badan pendidikan bagi Muslim India, menyusul ,gerakan Universitas Muslim India, kemudian Liga Ummat Islam India. Semua itu telah mengangkat kepribadian Muslims, harga diri, serta semangat untuk berjuang. Suatu kemustahilan logika di atas tanah jajahan Inggris, telah terjadi di India. Realita yang menggembirakan kaum tertindas muslimin, hasil jerih-payah syed Ahmad Khan. Tokoh-tokoh Pujangga besar Urdu seperti Nasir Ahmad, Shibli, Hali, Zakaullah, Wahiduddin Salim, Abdul Halim Sharar, Dr. Maulvi Abdul Haq, Zafar Ali Khan, Hazrat Mohani, dan lain-lain adalah alumni-alumni Universitas Aligarh syed Ahmad Khan. Pujangga besar Pakistan, DR. Mohammad Iqbal, menulis tentang syed Ahmad Khan: "Pengaruh dari syed Ahmad meluas ke seluruh India. Beliaulah kiranya seorang modernisir yang dengan tangkasnya menangkap kilatan sinar dari watak zaman yang datang. Obat mujarrab bagi tubuh Islam yang sakit, telah diberikan oleh beliau, sebagaimana di Russia diberikan oleh Mufti Alam Jan. Obat mana tidak lain ialah pendidikan buat setiap Muslim. Akan tetapi letak kebesaran yang sesungguhnya dari syed Ahmad Khan, ialah bahwa beliaulah Muslim India yang pertama kali nnerasakan perlunya pembaharuan alam pemikiran kaum Muslimin, dan beliau pulalah orang pertama yang melaksanakannya. Kita boleh saja berbeda pendapat dalam masalah Agama dengan beliau, akan tetapi kita tidak bisa menolak suatu kenyataan dari beliau, bahwa pengabdiannya yang tulus Ikhlas itu, telah menjadikan zaman kehidupan ummat Islam semerbak harum."33 ---- catatan kaki ---- 30 lih. Maryam Jameelah, Islam and Modernism, hal. 50/54: (In an attemp to reconcile political servility to Islam, Sir sayyid Ahmad Khan cited the example of Yoseph who served the Egyptian Pharaoh loyally and obediently even though the latter was not a Muslim.") ^ 31 lih.Jamil-ud-Din Ahmad, Early Phase of Muslim Political Movement, 1967, Publishers United Ltd. Lahore, ha1.42: (When my late mented friend, mr. Shakespeare, whose I shared and who share mine, wished to give me the taluka of Jahanabad belonging to a prominent family of syeds and yielding an annual income of over one lakh rupees my hearth was deeply grieved. I said to my self no one would be more despicable then I if, at a time when my nation was facing.ruin I should become a talukadar (lanlord) by acception this property. I refused to accept it and said that I had no intention of stayins in India. This was a fact.") ^ 32 lih. Haroon Khan Sherwani, Islam Tentang Administrasi Negara, Jakarta, Tinta Mas, terjemah M.Arief Lubis, 1964, ha1.198: (The Indian Muhammedans, are they bound in conscience to rebel against the Queen.") ^ 33 lih.The influence of Sir syed Ahmad Khan remained on the whole confined to India. It is probable, however, that he was the first modern Muslim to catch a glimpse of the positive character of the age which was aoming. The remedy for the ills of Islam proposed by him, as by Mufti Alam Jan in Russia, was modern education. But the real greatness of the man consists in the fact that he was the first Indian Muslim who felt the need of a fresh orientation of Islam and worked for it. We may differ from his religious views, but there can be no denying the fact that his sensitive soul was the first to react to the modern age.") hal. 277, syed Abdul Vahid, Thoughts and Reflections of Iqbal. ^ Chapter 2.6 Ahmadiyah Sebagai Isolasionisme 2.6 Metode Pendekatan Itulah tokoh syed Ahmad Khan, seorang diri merencanakan dan mencetuskan satu revolusi zaman baru bagi ummat Islam India. DR.J.M.S. Baljon, seorang sarjana bangsa Belanda berkata: "Syed Ahmad Khan telah merencanakan dan melakukan pemberontakan (mutiny) India yang kedua."34 Maka sungguh tidak patut dan keliwat batas bila pendiri Aligarh itu, hendak disejajarkan atau ditandingkan dengan pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad. Bagaimana hendak ditandingkan, syed ahmad Khan seorang realis tulen dengan Mirza Ghulam seorang khayalis itu? Bahkan tidaklah patut untuk mengatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad telah berguru secara absentia pada syed Ahmad. Jauh dari pada berguru, Mirza Ghulam hanyalah seorang plagiat besar penunggang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan situasi di India. Ia tidak lebih dari seorang pencuri buah-buah dari hasil tanaman perjuangan pejuang Muslimin. Untuk kepentingan Islam dan ummatnya misalnya, Mirza Ghulam Ahmad menciptakan gagasan-gagasan yang mustahil dan tampaknya lebih merupakan kisah-kisah advonturir daripada cerita-cerita yang menggelikan. Di antara kissah-kissahnya yang menarik ialah, Mirza Ghulam Ahmad harus menjadikan dirinya lebih dahulu, sebagai Al-Mahdi, Al-Masih, Kreshna, dan last but not least sebagai Nabi dan Rasul. Andaikata masih hendak dicari persamaan­persamaan dengan syed Ahmad Khan dan syed Ahmad Al-Bedawi, maka memang ada juga persamaan-persamaannya. Nama Ahmad kebetulan sama, nama putranya yang terkenal sebagai penerus juga sama, yaitu Mahmud Ahmad; dan nama aliran yang dimiliki mereka sama, Ahmadiyah. Hanya itu saja persamaan-persamaannya. Akan tetapi tidak demikian pada spirit, perjuangan, maupun ajaran-ajaran mereka itu. Kita sudah tahu perjuangan syed Ahmad Khan, juga perjuangan syed Ahmad Al-Bedawi, yang semasa hidupnya mengadakan perlawanan dan peperangan yang sengit terhadap penyerbu-penyerbu kaum salib dalam perang salib yang ketujuh . Sedangkan Mirza Ghulam Ahmad adalah sebaliknya, ia dan Ahmadiyah­nya berlindung teduh di bawah naungan salibisme. Sejarah hidup Mirza dan keluarganya serta gerakannya akan membuktikan sendiri keterlibatannya itu. Mungkin perkenalan terhadap Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya, ini masih garis-garis besarnya saja atau masih serba samar dan tidak to the point. Maka untuk menuju pada persoalan-persoalan yang lebih jauh, dan lebih lengkap dari sejarah Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya, methode-methode yang dianjurkan oleh DR. Muhammad Iqbal akan lebih membantu sepenuhnya. Methode beliau yang pertama ialah: Menyusuri jejak-langkah, sepak­terjang, maupun tingkah laku Mirza Ghulam Ahmad, ajaran-ajarannya, contoh-contoh wahyu yang ia terima dari Tuhannya, dan jika ditambah lagi, kehidupan keluarganya. Methode lainnya, yang juga penting dan effektif ialah, mencari dan menggarisbawahi letak-letak Ahmadiyah dan pendirinya di dalam mata rantai sejarah kaum Muslimin India, sebelum abad keduapuluh, atau meneliti situasi dan kondisi Muslim India dalam abad kesembilanbelas itu, sejak jatuhnya Sultan Tipu.35 Dengan methode-methode yang dianjurkan Iqbal itu, perkenalan pada tokoh yang empunya cerita di sini, MIRZA GHULAM AHMAD, sampai pada lubuk dasarnya. ---- catatan kaki ---- 34 lih.Jamil-ud-din Ahmad, Early of Muslim political Movement, ha1.136. ^ 35 lih. syed Abdul Vahid, Thoughts and Reflections of Iqbal, hal. 269:,(A Careful Psychological analysis of the revelations of the founder would perhaps be an effective method of dissecting the inner life of his personality ...Another equally effective and more fruitful method, from the standpoint of the plain man, is to understand the real content of Ahmadism in the light of history of Muslim theological thougt in India, at least from the year 1799. The year 1799 is extremely important in history of the world of Islam. In this year, fell Tippu and his fall meant the extinguishment of Muslim hopes for political prestige in India; and I do hope that one day some young student of modern psychology will take it up for serious study.) ^ Chapter 3.1 Ahmadiyah Sebagai Sincretismel 3.1 Identitas Sang Pemimpin Nama dan keturunan: Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, mempunyai banyak nama dan keturunan. Suatu keistimewaan buat dia, konon semua itu diperoleh dari Tuhannya. Bahkan yang lebih menarik lagi, Mirza Ghulam Ahmad menguasai banyak bahasa, antaranya: Bahasa Urdu, Inggris, Arab, Parsi, dan bahasa Ibrani. Dengan bahasa-bahasa itulah ia berdialog dengan Tuhannya. Puteranya yang mashur, Bashiruddin Mahmud Ahmad (1899-1965) yang menduduki tahta khalifah kedua dalam jema'at Ahmadiyah, menulis tentang saat-saat kelahiran ayahnya, sebagai berikut: "Hazrat Ahmad a.s. lahir pada tanggal 13 Pebruari 1835 sesuai dengan 14 Syawal 1250 hijrah, hari Jum'at pada waktu shalat shubuh, di rumah Mirza Ghulam Murtaza di desa Qadian. Beliau lahir kembar, yakni beserta beliau lahir pula seorang anak perempuan yang tidak berapa lama meninggal dunia. Demikianlah sempurna kabar ghaib yang telah ada dalam buku-buku Agama Islam, bahwa Imam Mahdi akan lahir kembar. "2 Demikian Bashiruddin M.A. menceritakan kelahiran ayahnya. Yang menjadi pertanyaan disini ialah, oleh siapa dan pada siapa kabar ghaib lahir kembar itu telah disampaikan? Kemudian dalam buku-buku Agama Islam yang mana kabar itu dimuat? Kiranya Bashir M.A. dan Ahmadiyahnya tidak berhasrat atau ku­rang perlu untuk menyebut nama orang-orang maupun buku-buku yang berkenaan dengan kabar ghaib dan lahir kembar itu. Lebih lanjut perihal nama­nama yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, Bashiruddin maupun Ahmadiyah berkata: "Asal nama beliau hanyalah Ghulam Ahmad, atau nama lengkap (full name) beliau adalah Ghulam Ahmad."3 Kemudian terdapat di depan Ghulam Ahmad, sebuah nama lagi ialah Mirza. Dengan demikian nama kepanjangannya menjadi Mirza Ghulam Ahmad. Di antara ketiga sebutan tadi, hanya Ghulam sajalah yang tidak diperbincangkan. Sisanya yakni Mirza dan Ahmad, merupakan nama­nama yang mengandung didalamnya arti dan tujuan yang istimewa. Menurut Bashiruddin Mahmud Ahmad, perkataan atau sebutan nama MIRZA adalah untuk menyatakan bahwa ayahnya keturunan dari MUGHAL (Moghol). Bashiruddin melanjutkan bahwa ayahnya itu adalah keturunan haji Barlas, raja daerah Kesh, yang jadi paman Amir Tughlak Taimur.4 Disinilah kiranya kena keturunan Moghol Mirza Ghulam Ahmad. Lebih lanjut Bashiruddin menulis: "Dalam tahun-tahun yang akhir dari kerajaan Keiser Babar, yakni pada tahun 1530 masehi, seorang Moghol bernama Hadi Beg meninggalkan tanah tumpah darahnya ialah Samarkhand dan pindah ke daerah Gurdaspur di Punjab."5 Beginilah yang mendirikan kota Qadian, tempat lahirnya Mirza Ghulam­Ahmad dan Ahmadiyahnya. Hadi Beg adalah termasuk dalam urutan keduabelas ke atas dari kakek-kakek Mirza Ghulam. Akhirnya lebih meyakinkan lagi tentang keturunan mogholnya itu, ayah Mirza Ghulam Ahmad, Mirza Ghulam Murtaza memberi tahu anaknya bahwa nenek-nenek moyangnya adalah dari keturunan Moghol.6 Demikian kesaksian sejarah Ahmadiyah tentang darah Moghol yang, mengalir dalam tubuh Mirza Ghulam Ahmad. Sayang bahwa darah Moghol ini tidak menjadi kebanggaan bagi yang empunya maupun bagi Ahmadiyahnya. Mungkin dikarenakan arti maupun tujuan dari darah itu kurang atau tidak istimewa, atau samasekali tidak berarti. Alasannya bisa diduga-duga mengapa darah Moghol sampai diabaikan begitu saja. Yang penting untuk diketahui ialah, bahwa setiap nama maupun keturunan yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, bahkan gelar-gelarnya sekalipun, datangnya dari pemberian Tuhannya. Itulah sebabnya meskipun kenyataannya darah Moghol mengalir dalam tubuh Mirza Ghulam, akan tetapi karena bukan dari pemberian Tuhan, maka Mirza segera menumpangi kwalitet Mogholnya itu dengan darah lain yang baru. Ia berkata: "Aku mendengar dari ayahku bahwa kakek-kakekku berdarah Moghol, akan tetapi aku mendapat wahyu dari Tuhan, bahwa kakek-kakekku berdarah Parsi."7 Dengan perkataan "akan tetapi," lebih-lebih lagi ditambah dengan "mendapat wahyu dari Tuhan" maka praktis kata-kata atau ucapan ayah Mirza Ghulam tentang darah Moghol, menjadi lemah atau bisa gugur! Seringkali diketemukan dalam ucapan-ucapan tokoh-tokoh Ahmadiyah adanya pertentangan satu dengan yang lain. Bahkan kadangkala seo­rang pimpinan Ahmadiyah berkata tentang sesuatu hal atau masalah, di lain kesempatan orang tersebut merobah atau mengganti ucapannya yang semula. Misalnya dari ucapan-ucapan khalifah kedua Ahmadiyah, Bashiruddin Mahmud Ahmad. Mula-mula ia berkata bahwa perkataan "Mirza" pada nama ayahnya, menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah dari keturunan Moghol. Akan tetapi di lain kesempatan ia berkata: "Perkataan "Mirza" di dalam namanya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menunjukkan bahwa beliau a.s. adalah keturunan orang Parsi."8 Pernyataan Bashir yang bertentangan itu telah menimbulkan keragu­raguan. Bagaimana ia bisa berkata bahwa perkataan Mirza pada nama ayahnya, adalah untuk menyatakan keturunan dari Moghol, akan tetapi di lain kitab ia menyatakan bahwa perkataan Mirza, adalah menyatakan keturunan Parsi?! Jelas bahwa ucapan-ucapan Bashiruddin tersebut, tidak beres. Akan tetapi bagi Ahmadiyah hal-hal seperti itu mudah diselesaikan, bahkan dengan cara­cara yang simple. Jika Bashir mula-mula menyatakan bahwa Mirza adalah keturunan Moghol, kemudian ia menyatakan di lain kitab bahwa Mirza adalah keturunan Parsi, maka Ahmadiyah menjelaskan: "Adapun Mirza adalah nama kepangkatan dan suku dari nenek-moyang beliau. Beliau adalah keturunan Parsi dan keturunan Bangsawan."9 Di sini Ahmadiyah membuktikan bahwa Mirza Ghulam Ahmad memi­liki dobel keturunan, Moghol dan Parsi. Untuk membereskan makna dobel keturunan, maka Ahmadiyah menegaskan lagi: "Pendiri Jema'at Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, berasal dari keluarga terhormat. MIRZA adalah gelar yang biasa diberikan kepada kaum ningrat keturunan raja-raja Islam dinasti Moghol berasal dari Parsi."10 Demikianlah cara pemberesannya; raja-raja Islam dinasti Moghol yang berasal dari Parsi. Dengan susunan kalimat yang demikian, maka kesulitan yang terdapat pada dua buah tulisan Bashir yang berbeda, telah terpecahkan. Lebih jelas lagi ialah, bahwa keturunan dalam darah yang mengalir dalam tubuh pendiri Ahmadiyah itu, hanyalah darah Moghol saja. Sedangkan keturunan Parsi yang dimiliki Mirza Ghulam tidak lain kecuali tem­pat, domisili, dimana kakek-kakeknya tinggal berdiam. Dengan kata lain, Mirza Ghulam Ahmad keturunan Moghol dari Parsi. Namun demikian Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya lebih mengutamakan tempat asal kakek-kakeknya daripada darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Parsi lebih penting dari Moghol, sebab di dalam Parsi itulah kepentingan Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya, terletak. Dari keturunan Parsi terletak makna dan arti maupun tujuan dari sebuah Hadits, yaitu pada saat Nabi Muhammad s.a.w. sambil menaruh tangan beliau kepundak sahabat Salman Al Parisi, bersabda: "Sekiranya keimanan menggantung di bintang tsuraya, niscaya akan dicapai oleh laki-laki dari Parsi." Mirza Ghulam Ahmad berkeyakinan bahwa yang dimaksud dan dituju dari sabda Nabi Muhammad s.a.w., tidak lain ialah untuk dirinya, karena dialah anak Parsi itu. Bahkan Tuhan memberi wahyu padanya: "Pegang teguhlah iman itu wahai anak Parsi."11 Sudah jelas bahwa Mirza Ghulam dan alirannya bertekad sebagai yang empunya hak mutlak atas sabda Nabi s.a.w. tersebut. Benarkah mereka berhak, benarkah Mirza Ghulam Ahmad yang dituju sabda Nabi Muhammad s.a.w.? Padahal Mirza Ghulam Ahmad bukan keturunan Parsi, ia ketu­runan Moghol. Lebih-lebih lagi ia kelahiran India, berdomosili di India. Bahkan ayahnya maupun kakek-kakeknya sampai kepada Hadi Beg kakeknya yang keduabelas itu, berada di India. Abad enam-belas masehi mereka sudah di Hindustan. Sudah hampir tiga ratus tahun kakek-kakek Mirza Ghulam berurat berakar di India. Tigaratus tahun jauh daripada cukup untuk memberi titel pada ayah dan Mirza Ghulam Ahmad maupun pada kakek-kakeknya sebagai pribumi India. Ia harus dipanggil, tidak dengan panggilan "ya ibna­Al-Faras"melainkan dengan panggilan "ya ibnul Hind" wahai anak Hindustan. Cara-cara yang ditempuh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya mengambil Hadits tersebut di atas buat mereka, jelas merupakan pengingkaran mereka terhadap sejarah serta memutar balikkan makna dan tujuan yang sebenarnya dari Hadits tersebut. Padahal tidak perlu menunggu sampai 1200 tahun kemudian serta memilih negeri India sebagai tempatnya, untuk menemukan maupun menunjuk orang yang dimaksud dan dituju dari sabda Nabi Muhammad s.a.w. tersebut. Justru pada saat-saat itulah dan di tempat Nabi bersabda makna dan tujuan dari ucapan Beliau terletak adanya. Sahabat Salman Al-Farisi mempunyai kissah hidup yang unik serta mengagumkan. Dalam pengembaraannya mencari serta menemukan iman Tauhid, putera Parsi yang orisinil ini, pergi meninggalkan tanah tumpah darahnya Parsi, pergi jauh sampai ribuan mil, melalui proses perpindahan kepercayaan dari agama syirik menyembah api (zarahustra) pada agama syirik mentuhankan Isa Al-Masih (Kristen) dan akhirnya sampai pada Agama Tauhid yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Ketabahan, gairah, tekad, dan revolusi yang bergolak dalam jiwa Salman Al-Farisi, mencari kepuasan iman, ketentraman bathin dan sekaligus menemukannya pada diri Rasulullah s.a.w., telah mendapat pujian langsung dari Nabi sendiri, liwat sabda Beliau di atas. Bahkan Salman Al-Farisi, telah memperoleh kedudukan istimewa. Siapa menduga bahwa musafir dari ribuan mil ini, telah memperoleh derajat "termasuk dari ahli bait Nabi" serta mendapat jaminan sorga dari junjungannya. ---- catatan kaki ---- 1 Sincretisme: aliran atau pergerakan yang ingin mempersatukan seluruh pergerakan yang ada di bawah pimpinan seseorang. ^ 2 lih. Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat hidup hazrat Ahmad a.s., 1966, Djemaat Ahmadiyah tjabang Djakarta, hal. 2, terjemah oleh Malik Aziz Ahmad Khan. ^ 3 lih. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, riwayat hidup hazrat Ahmad a.s., ha1.2 dan lih. J.D. Shams. h.a., ISLAM, th.?, Ahmadiyya Muslim Foreign Missions Office, Rabwah, hal. 16 (his full name was Ghulam Ahmad, ) ^ 4 lih. M.B.M.A., riwayat hazrat Ahmad a.s., hal. 1/2 ^ 5 lih. idem, hal. 6 ^ 6 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-Istiftha', 1378 hijrah, Rabwah Matba'ah an Nasrah. hal. 75: (fi kitab sawaanah abaaii wa sami'tu min abi an abaaii kaanuu min-al-jarthumah almuqliyah ) . ^ Al-jum'iyat-ul-syrargiyah linasyru-al-kutub-diniyah Rabwah. 7 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Al-Istiftha', hal. 75: (wa lakin Allah auhii ilaa annahum kaanu min bani Fares, la minal aghwaan turkiyah.) ^ 8 lih. Bashiruddin Mahmud Ahmad, Djasa Imam Mahdi a.s., Soerabaya Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia (A.A.D.L) Gemeente, th. 1940, hal. (c) ^ 9 lih. Suara Lajnah Imaillah (majallah kaum ibu Ahmadiyah), no. 10, th 11-1974, B.P.L.I. (Badan Penghubung Lajnah Imaillah Indonesia), Yogjakarta, ha1.27. ^ 10 lih. Sinar Islam (majallah Ahmadiyah), no. 5-6, 1974, Jakarta Yayasan Wisma Damai, hal. 26. ^ 11 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Baqdad, Matba'ah an-Nashrah, Rabwah 1377h., hal. 26. ^ Chapter 3.2 Ahmadiyah Sebagai Sincretisme 3.2 Ia Telah Difirmankan Maka apa yang telah dilakukan Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya men­dominir hadits demi kepentingan memperoleh pegangan guna memperkuat dirinya, akan selalu dijumpai dalam setiap obrolan Ahmadiyah. Sampai­sampai pada ayat-ayat Al-Quran, tidak terlepas dari pemakaian Mirza Ghulam menurut cara dan selera mereka. Jelasnya, menggxunakan dasar Al­Qur'an dan Hadits untuk mengukuhkan pegangan dengan jalan mengartikan dan mentafsirkan menurut kepentingan dan selera mereka, adalah watak khas serta hobby yang menyolok yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, puteranya, pengikut-pengikutnya maupun alirannya. Kitab-kitab mereka sendiri yang membuktikan ciri-ciri khas itu. Beralih kini pada urutan yang ketiga atau yang terakhir dari nama pendiri Ahmadiyah, yakni nama AHMAD, maka untuk nama inilah, Mirza Ghulam, puteranya dan alirannya telah membuat suatu surprise yang tidak tanggung­tanggung, menarik dan istimewa: Jauh dari pada nama Mirza, nama AHMAD ini merupakan kebanggaan bagi yang empunya maupun bagi pengikut-pengikutnya. Menurut puteranya, Bashiruddin Mahmud Ahmad, bahwa acapkali beliau (Mirza) suka menggunakan nama Ahmad bagi diri beliau secara ringkas. Maka waktu menerima bai'at dari orang-orarg beliau hanya memakai nama Ahmad. Dalam ilham-ilham acapkali Allah s.w.t. suka memanggil kepada beliau dengan nama Ahmad juga.12 Bagaimana dengan yang empunya nama, Mirza Ghulam? Dengan perasaan bangga akan namanya, ia berkata: "Bahwasanya Allah sendirilah yang memberi nama Ahmad, padaku, ini sebagai pujian untukku di bumi serta di langit."13 Mau apa lagi? Kalau Tuhan yang memberi nama padanya, maka jangan ada orang yang mencoba-coba untuk meragukannya. Hanya sayang masih ada kekurangan dari ucapan-ucapan Mirza di atas. Ia maupun Ahmadiyahnya tidak pernah menceriterakan bagaimana cara Tuhan memberi nama Ahmad itu. Setidak-tidaknya ayah Mirza Ghulam ataupun kakeknya, pernah kedatangan ilham atau dapat mimpi atau bagaimana saja, dari Tuhan Mirza berkenaan dengan nama Ahmadnya. Kendatipun kisah atau cerita pemberian nama itu tidak ada, namun itu tidak berarti bahwa pemberian nama dari Tuhan tersebut, tidak mempunyai bukti. Justru yang paling berkesan serta meyakinkan, dibuktikan dengan tandas oleh Mirza Ghulam Ahmad dan alirannya. Adapun bukti yang ditunjukkan itu bukan terjadi pada saat­saat Mirza Ghulam dilahirkan, melainkan pada saat-saat Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu. Jelasnya, 1200 tahun sebelum kelahiran Mirza Ghulam Ahmad, nama AHMAD yang dimilikinya itu, sudah disebut-sebut Tuhan dalam KitabNya, Al-Qur'an Al-Karim pada surah As-Shaf ayat.6, sebagai AHMAD yang DIJANJIKAN.14 Lebih serius lagi dari pada ulasan Ahmadiyah ialah, bahwa pangkat yang terdapat pada nama Ahmad dalam surah As-Shaf itu, yakni pangkat Rasul, adalah juga milik Mirza Ghulam; berkata Ahmaddyah: "Jika orang benar-benar meniliti maksud Al-Qur'an itu (surah 61:6 tadi) maka akan mengetahui, bahwa yang dimaksud dengan nama AHMAD bukanlah Nabi Muhammad saw. tetapi seorang RASUL yang diturunkan Allah swt. pada akhir zaman sekarang ini. Bagi kami ialah: Hazrat (Mirza Ghulam) AHMAD Al-Qadiani."15 Demikian tafsir dan makna surah Ash-Shaf ayat 6 yang diolah oleh Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya. Akhirnya dengan ucapan yang meyakinkan, Ahmadiyah dengan lantang berkata: "Dengan demikian jelaslah, bahwa yang dimaksud Rasul Ahmad dalam surah Ash-Shaf ayat 6 tersebut, adalah pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s."16 Inilah dia, obrolan-obrolan Mirza Ghulam dan para pengikut­nya; mereka seringkali menonjolkan watak-watak Yahudinya dengan Yuharrifu nal kalimah an-mawadi'ih, bermain sulap, awut-awutan, tamak didalam men­gartikan maupun menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an serta Hadits. Alasan-alasan yang digunakan Ahmadiyah untuk menguasai nama Ahmad dalam surah As-Shaf itu, seolah-olah kelihatannya masuk akal; akan tetapi kalau diteliti dengan seksama, maka mereka hanya memaksakan agar makna maupun tafsir dari ayat 6 surah As-Shaf itu, dikhususkan pada Mirza Ghulam Ahmad saja. Dengan kata lain, Ahmadiyah menafsirkan maupun rnengartikan ayat-ayat Al-Qur'an, menurut jalan pikiran mereka dan menurut kepentingan mereka. Sebagai alasan mengapa ayat 6 Ash-Shaf itu untuk Mirza, Ahmadiyah berkata: "Memang dalam Al-Quran surah 61:6 tertulis nama Ahmad. Tidak mungkin nama itu digunakan bagi Nabi Muhammati saw. karena disitu tertulis tanda-landa dan kejadian-kejadian yang lain, terangnya seperti di bawah ini: 1. Wa huwa yud'a ilal Islam = dan dia {Ahmad) dipanggil (oleh orang-orang yang mengaku dirinya Islam) supaya kembali kepada agama Islam. Mengapa demikian? Mereka menganggap bahwa Hazrat Ahmad a.s. itu sudah kafir-nauzubillah-, disebabkan mengaku dirinya sebagai nabi. Marilah kita perhatikan: Nabi Muhammad saw. berkewajiban memanggil ummat dunia kepada Islam (lih61:8) tetapi pada ayat tersebut malah mereka itulah (baca: ummat Islam) yang memanggil Ahmad, supaya kembali kepada Islam. 2. Yuriduna li yuthfiu nurullahi bi afwahihim: mereka itu (baca: seluruh ummat manusia di dunia sekarang ini) ingin benar memadamkan cahaya Allah Ta'ala dengan mulutnya. Pada zaman Nabi Muhammad saw. yang memusuhi Agama Allah (Islam) menghunus pedang, tetapi pada akhir zaman ini, yang melawan dan menghantam Islam tidak dengan pedang lagi, melainkan dengan "propaganda," dengan alat-alat modern, radio dan tulisan-tulisan. Ingatlah pula lidah lebih tajam lagi dari pedang. 3. Huwalladzi arsala rosulahu bilhuda wa dinil haqqi liyuzhhirahu 'ala dini kullihi: Dia, Tuhan itulah yang mengirim Rasulnya dengan petunjuk, agar dapat ia (Ahmad) memenangkan agama Allah atas segala agama-agama. Terlaksananya ayat ini, hanya di suatu zaman, dimana pergaulan dunia antara agama dengan agama semuanya, menjadi lebih dekat, jarak antara benua dengan benua itu seakan-akan dekat, semuanya disebabkan alat-alat teknik yang modern tadi, bahkan antara bangsa dengan bangsa kini sudah dapat disatukan (PBB), atau bila dengan alat ialah: radio dan pesawat terbang. Bila kita mau menganalisa semuanya ini, mustahil bisa terkecoh lagi."17 Demikianlah ocehan-ocehan Ahmadiyah mempropagandakan alasan­alasan apa sebab Mirza Ghulam yang menjadi pemilik mutlak nama Ahmad itu. Ditambah lagi dengan ocehan tafsir yang berlagak berani memperkosa ayat-ayat Tuhan, maka jelas tidak seorang mufassirpun yang berani berbuat demikian, kecuali mufassir-mufassir Ahmadiyah yang serba awut-awutan. Berbicara tentang ayat 7 dari Surah Ash-Shaf tersebut, dimana sebagian dari ayat yang tersurat: wa huwa (dan dia) diajak pada Islam, telah digunakan oleh Ahmadiyah sebagai landasan untuk menguatkan hak milik Mirza Ghulam akan nama Ahmadnya itu, maka untuk mengetahui yang sebenarnya dari Firman Allah tersebut, haruslah diketahui keseluruhan ayat-ayatnya. Dan tidak boleh melepaskan kaitannya yang erat dengan ayat-ayat yang sebelumnya. Pada bagian akhir dari ayat 6 surah Ash-Shaf. tersebut: "Maka tatkala Rasul datang pada mereka dengan membawa keterangan atau bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang terang." dilanjutkan kemudian dengan ayat 7 dari surah yang sama, tersebut: "Dan siapakah yang terlebih aniaya daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah, pada saat mana ia diajak pada Islam? Sungguh Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang yang aniaya." Maka jelas sekali di situ bahwa huwa (ia) adalah orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah pada saat ia diajak oleh Nabi Muhammad s.a.w. kepada Islam. Dan bukan seperti yang diulas Ahmadiyah, bahwa huwa {ia) adalah Ahmad Mirza Ghulam yang diajak pada Islam oleh orang-orang Islam yang menuduhnya kafir. Ini hanya silatan lidah dan sulapan mata yang dibuat oleh mufassir-mufassir Ahmadiyah. Contoh yang mirip daripada ayat 7 Ash-Shaf tersebut ialah pada surah Az­Zumar ayat 32, yang tersebut: "Maka siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika sampai padanya? Bukankah dalam neraka tempat tinggal orang-orang kafir?" Ayat, ketika sampai padanya ialah, ketika sampai kebenaran yang dibawa Muhammad s.a.w. pada ia (huwa), maka ia mendustakan ayat-ayat Allah itu. Demikianlah tafsir maupun makna yang benar. Alasan yang kedua yang dipakai Ahmadiyah bagi landasan pegangan Mirza untuk memiliki nama Ahmad ialah ayat: yuriduna li yuthfi'u nurullahi bi afwahihim. Ahmadiyah mengatakan, bahwa seluruh ummat manusia di dunia sekarang ini ingin benar memadamkan cahaya Allah dengan mulutnya, sedang pada zaman Nabi Muhammad s.a.w. yang memusuhi Agama Allah (Islam) menghunus pedang. Akhir zaman ini yang melawan dan menghantam Islam tidak dengan pedang lagi, melainkan dengan propaganda. Dan ingatlah bahwa lidah lebih tajam dari pedang. Demikian ulasan Ahmadiyah dari ayat tersebut di atas. Inilah bukti kerabunan mata dan kejumutan pikiran mufassir Ah­madiyah. Mereka terang-terangan menutupi peristiwa-peristiwa sejarah Nabi, ataupun mereka sedang bersilat lidah dan membodohi um­mat manusia dengan ocehan-ocehan tafsirnya itu. Apakah benar pada akhir zaman ini yang melawan dan menghantam Islam tidak dengan pedang lagi?! Apakah benar pada zaman Nabi Muhammad s.a.w. yang memusuhi Agama Allah tidak dengan mulut pula?! Pertanyaan yang pertama akan dijawab kelak, tetapi yang kedua, karena berhubungan dengan obrolan Ahmadiyah tentang nama Ahmadnya Mirza Ghulam, akan dijawab; menurut dasar-dasar dari Al-Qur'anul Karim. Ayat 78 surah Ali-Imran: "Di antara mereka itu ada satu golongan yang memutar-balikkan lidahnya dengan membaca kitab, supaya kamu kira bahwa ia daripada kitab, padahal bukanlah ia daripada kitab, dan mereka berkata: ia daripada sisi Allah. Padahal bukan ia dari sisi Allah dan mereka itu mengadakan dusta atas Allah sedang mereka mengetahui." Ayat 33 surah Al-An'aam: "Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa engkau {ya Muhammad) berduka­cita oleh karena perkataan mereka itu, sesungguhnya mereka itu tiada mendustakan engkau, tetapi orang yang aniaya itu menyangkal ayat-ayat Allah." Surah Al-A'raf ayat 177: "Amat jahatlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri." Surah At-Taubah ayat 65: "Jika engkau bertanya pada mereka, niscaya mereka menjawab: sesungguhnya kami bercakap-cakap dan bermain-main. Katakanlah! Patutkah kamu memerolok-olokkan Allah dan ayat-ayatNya serta RasulNya?" Bagian akhir dari ayat 2 surah Yunus: "Orang-orang kafir berkata: Sesungguhnya ini (Muhammad) ahli sihir yang nyata." Surah Yunus ayat 65: "Janganlah engkau berduka cita karena mendengarkan perkataan mereka. Sesungguhnya kekuatan itu bagi Allah semuanya. Dia mendengar lagi mengetahui." Surah Al-Anfal ayat 31: "Apabila dibacakan ayat-ayat Kami kepada mereka lalu mereka berkata: Sesungguhnya telah kami dengar jika kami kehendaki niscaya dapat pula kami mengatakan seperti ini. Ini lain tidak melainkan dongeng-dongen orang-orang dahulu kala." Surat Al-Anbiya' ayat 5: "Bahkan mereka berkata: (Qur'an ini) mimpi yang kacau balau. Bahkan dia mengada-adakannya, bahkan dia seorang ahli syair. Sebab itu hendaklah dia mendatangkan satu ayat (mu'jizat) buat kami, seperti telah diutus orang­orang dahulu." Surat. Ash-Shaffaat, ayat 14/15: "Apabila mereka melihat ayat (tanda kekuasaan Allah) mereka memperolok-olokkannya. Mereka berkata: ini lain tidak hanya sihir yang nyata." Surat Shaad ayat 4: "Mereka takjub karena datang pada mereka pemberi kabar takut di antara mereka, dan berkata orang-orang kafir: Orang ini tukang sihir lagi pendusta." Surat Az-Zukhruf ayat 7: "Dan tiadalah datang Nabi kepada mereka melainkan mereka perolok­olokkan." Demikianlah, masih banyak lagi ayat-ayat Tuhan yang mengeten­gahkan cara-cara kaum musyrikin hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulutnya. Sesungguhnya omongan mereka itu keji hina, nista, jahat dan fitnah­fitnah mereka lebih biadab daripada pembunuhan . Maka para mufassir Ahmadiyah pada kenyataannya buta atau sengaja hendak mengelabui ummat dengan mulut mereka. Jelas bahwa orang Ahmadiyah mengingkari ayat-ayat Al-Qur'an dan mengingkari sejarah Nabi s.a.w. Lebih daripada itu, Ahmadiyah mengingkari sejarah perjuangan kaum muslimin pada akhir zaman, dengan kata-kata mereka: bahwa yang melawan dan menghantam Islam akhir zaman ini, tidak lagi dengan pedang! Alasan ketiga yang dipakai oleh Ahmadiyah untuk mengukuhkan Mirza Ghulam sebagai pemilik satu-satunya atas nama Ahmad dari surat. Ash-Shaf itu, ialah ayat: Huwalladzi arsala rasulahu bilhuda wa dinil haqqi li yuzhhirohu ala dini kullihi. Ahmadiyah mengartikan ayat tersebut ialah bahwa Dia Tuhan itulah yang mengirim Rasul-Nya dengan petunjuk, agar dapat ia (AHMAD) memenangkan agama Allah atas segala agama-agama. Dengan kata lain, Ahmadiyah meyakinkan kita bahwa Mirza Ghulam (Ahmad)lah pendiri Ahmadiyah itu, yang akan memenangkan Islam di­atas segala Agama. Apakah benar demikian? Jika alasan-alasan yang sebelumnya, Ahmadiyah telah menyalah-gunakan ayat-ayat AJ-Qur'an, maka alasan yang terakhir ini tentu saja dibuat sedemikian pula liwat ocehan­ocehan mereka yang akan membuat kaum Muslimin terkecoh. Kelak ocehan­ocehan mereka itu akan terlihat bentuknya. ---- catatan kaki ---- 12 lih. Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat hidup Hazrat Ahmad a.s. hal 2. ^ 13 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Al-Khutbatul-Islamiyah, Rabwah wikalah at-tab-syiir li- tharik uj-jadid, 1388 h., hal. 86: (wa-an Allaha sammahu Ahmad bima yahmadu bihir Rabbul Jalil fil-ardhi kama yahmadu fis-sama') ^ 14 lih. suara ANSHARULLAH, majallah bulanan Ahmadiyah, no. 3 & 4, Djuni/Djuli th.1955, P.P. Ansharullah-Pusat Indonesia Djogjakarta, hal. 18. ^ 15 lih idem Suara Ansharullah, hal. 18. ^ 16 lih. Suara Lajnah Imaillah, majallah kaum ibu Ahmadiyah no. 10. th. 11. 1974, B.P L 1. (Badan Penghubung Lajnah Imaillah Indonesia), Yogjakarta, hal. 27. ^ 17 lih. suara Ansharullah, hal. 18/19 (note: aslinya ditulis dalam ejaan lama, di sini terlanjur dengan ejaan baru). ^ Chapter 3.3 - 3.4 Ahmadiyah Sebagai Sincretisme 3.3 Ahmad Terakhir Berbicara tentang nama AHMAD dalam surat Ash-Shaf ayat 6, dimana tersirat di dalamnya ucapan Nabi Isa a.s. yang menyampaikan kabar gembira (mubasysyiran) tentang datangnya seorang Nabi di kemudianku (mim ba'di ismuhu) yang bernama AHMAD, tidak lain yang dituju dari ucapan beliau a.s. itu, adalah Nabi Muhammad s.a.w. Ucapan Nabi Isa a.s. dengan kata-kata "di kemudianku" itu, tidak akan meloncati seorang Nabi yang benar-benar datang tepat sesudah dirinya. Lebih-lebih lagi, dan inilah yang harus menjadi perhatian, bahwa Al-Qur'an adalah Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dengan demikian beliaulah orang pertama yang mengetahui akan makna tujuan serta seluruh yang tersirat dalam ayat-ayat Allah. Dengan kata lain, Nabi Muhammad Pesuruh Allah yang menyampaikan kabar gembira dan kabar takut (basyiiran wa nadziiran) pada ummat manusia, tidak akan menyembunyikan sesuatu kabar dari Allah seperti yang tersurat dalam Al-Qur'an surah Ash-Shaf ayat 6 itu. Jika itu memang ditujukan pada seorang AHMAD dari INDIA dari desa QADIAN, maka Nabi Muhammad s.a.w. pasti mensabdakannya. Juga para sahabat Nabi, para Tabiiin maupun yang sesudahnya akan menyebut "milik siapa Ahmad" pada surah Ash-Shaf itu. Padahal Nabi tidak menyabdakan, tidak juga para sahabat maupun Tabi'in. Jelaslah kiranya bahwa cara-cara yang dipakai Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya, mencapai konklusi yang terang di sini, bahwa aliran Qadiani dan pendirinya itu telah melakukan penghinaan yang terang-terangan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. Mereka sebenarnya telah menyepelekan tugas suci yang dipikul Nabi Muhammad, menerima kebenaran, menyampaikan serta menegakkan kebenaran itu. Tingkah laku maupun cara-cara yang demikian itulah yang paling disebar-sebarkan Ahmadiyah dalam kitab-kitab mereka. Yang haq atas nama AHMAD dalam surat Ash-Shaf ayat 6 itu, ialah seorang yang menerima wahyu itu sendiri, AHMAD MUHAMMAD s.a.w. Ribuan tahun sebelum beliau s.a.w. memangku jabatan Rasul dan Nabi yaitu tatkala Nabi Musa a.s diutus oleh Allah untuk bani Israil, tersebut dalam sebuah do'anya; beliau a.s. memohon: "Ya Allah jadikanlah hamba sebagai pengikut AHMAD."18 Kemudian sahabat Salman Al-Farisi tatkala berada di Baitul Maqdis, beliau mendengar dari seorang rahib, yang berkata padanya: "Wahai Salman, sesungguhnya Tuhan sedang mengutus seorang Rasul bernama AHMAD. Ia mau makan dari pemberian hadiah, akan tetapi ia menolak atas pemberian sedekah. Di antara pundaknya terdapat tanda dari khataman Nubuwah. Ketahuilah wahai Salman, bahwa saat-saat sekarang inilah kedatangannya."19 Dan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Dharimi, Tirmidzi, An-Nasa'i, Bukhari dan Muslim, dari Jabir ibn Muth'am, beliau s.a.w. bersabda: "Padaku ada beberapa nama-nama, Aku bernama Muhammad, aku bernama AHMAD, Al-Mahi (yang menghapuskan) kekafiran, Al-Hasyir (yang mengumpulkan) ummat dibawah naunganku, dan Al-Aghib (yang penghabisan) dimana tidak ada Nabi sesudahku." Demikianlah tentang nama Ahmad dalam surah Ash-Shaf ayat 6. Adapun yang dipakai alasan oleh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya, baik Hadits maupun Al-Qur'an, hanyalah suatu penipuan belaka. Tidak sepotong ayatpun dalam Al-Qur'an yang menyebut-nyebut nama Mirza Ghulam. Juga tidak sehuah Hadits. Jika memang ada, maka Mirza Ghulam dan Ahmadiyahlah yang mengada-adakan. Bahkan andaikata ada sebuah nama Ahmad kiriman Tuhan yang ditujukan pada Mirza Ghulam, maka itu adalah kiriman yang datang dari Tuhannya Mirza. Sebab ia rupa-rupanya memiliki Tuhan yang khas yang hanya menjadi miliknya. Kelak akan dijumpai dalam beberapa kitab-kitab Ahmadiyah, Tuhan khas milik Mirza Ghulam itu. 3.4 Setumpuk Asal-Usul What is in a name? Untuk apa Mirza maupun Ahmadiyahnya memberi embel­embel, komentar terhadap namanya dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits? Andaikata Mirza Ghulam tidak berbuat itu semua, maka segala kepalsuannya tidak secepat itu ditemukan. Tapi apa boleh buat, mungkin dikiranya alasan­alasan itu yang mendukung sepenuhnya, bahkan yang bisa diterima kaum Muslimin di luar alirannya. Padahal justru alasan-alasan itulah yang membuka kedok kepalsuannya. Demikian juga pada hal-hal lain yang digunakan selalu dijumpai sikap-sikap yang ceroboh dan Ahmadiyah dan pendirinya, menggelikan. Beralih dari nama-namanya pada keturunannya kembali, maka yang inipun tidak kurang hebatnya. Sebagaimana diketahui bahwa dari pihak ayah dan kakek-kakeknya, Mirza Ghulam merangkap dua keturunan, yaitu keturunan Moghol dan keturunan Parsi. Akan tetapi yang lebih menarik dari hal keturunan Mirza ini, ialah dari pihak ibunya maupun nenek-neneknya. Meskipun Mirza Ghulam jarang bahkan hampir tidak pernah menyebut-nyebut nama ibunya maupun nama nenek-neneknya apalagi membanggakannya, namun demikian ternyata mereka memegang posisi yang menentukan di dalam karier Mirza Ghulam. Justru keturunan mereka itulah yang lebih mantap bagi Mirza Ghulam untuk meletakkan dirinya pada kedudukan yang paling menarik dan jempolan . Ternyata keturunan Mirza dari pihak ibunya lebih baik, bahkan lebih istimewa dibanding dengan keturunan dari pihak ayahnya. Mula-mula Mirza Ghulam membantah dengan tegas bahwa ia dari kaum Turki.20 Tidak dimengerti mengapa Mirza sampai membantah dirinya sebagai kaum Turki. Mungkin ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Turki, pada waktu ia hidup. Akhir-akhir dari abad ke 19 masehi sekitar tahun-tahun 1881 sampai dengan tahun 1900-an, Sultan Abdul Hamid Turki yang berkedudukan sebagai Khalifah Islam bersama-sama Sayid Jamaluddin Al-Afghani, seorang agitator yang paling ditakuti oleh kekuasaan kolonial Barat, terutama Inggris, telah mendirikan organisasi Pan Islamisme. Suatu gerakan propaganda gencar anti Barat yang militant, effeknya yang mendalam dan kuat memaksa kolonial Barat memperhitungkannya dengan sungguh-sungguh. Kota Konstantinopel menjadi pusatnya semua orang fanatik dan agitator anti Barat seperti Jamaluddin.21 Seorang pemimpin Islam India berseru kepada kekuasaan Brittania: "Saya berseru kepada pemerintahan Brittania yang sekarang supaya mengubah politik permusuhannya dengan Turki, untuk menjaga supaya gunung kemarahan jutaan rakyat Islam jangan meletus, yang akan membawa kebinasaan dahsyat."22 Demikian hebatnya Pan Islamisme menentang dunia Barat terutama kolonial­isme Inggris. Sebaliknya, Inggris telah menancapkan cengkeramannya dalam­dalam terhadap kaum Muslimin India. Adanya kontradiksi yang hebat itu, maka tidak mustahil atau bisa diduga-duga jika orang-orang seperti Mirza Ghulam Ahmad cepat-cepat mencari posisi yang enak di tengah-tengah arena politik kaum Muslimin India yang hangat. Dan yang paling enak atau paling mudah untuk bersih diri, ialah membantah dirinya dari kaum Turki. Kalau tidak henar perkiraan di atas atau sama sekali tidak beralasan maka setidak-tidaknya Mirza Ghulam Ahmad maupun Ahmadiyahnya sanggup membuat suatu catatan kecil, yaitu memberi penjelasan, mengapa sampai-sampai Mirza Ghulam menolak diri sebagai kaum Turki; dan mengapa kata-kata "Turki" itu sempat disisipkan diantara berita wahyu yang ia terima dari Tuhannya. Kembali pada keturunan dari pihak ibunya, Mirza Ghulam Ahmad ternyata mempunyai keistimewaan yang tidak tanggung-tanggung. Dengan bangga ia berkata: "Ketahuilah, bahwasanya Al-Masih Al-Mau'ud itu datangnya dari golongan QUREIS, sebagalmana Isa datangnya dari Bani Israel."23 Al-Masih Al-Mau'ud yang dimaksud ialah Pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam. Ia memperoleh gelar itu, dan banyak lagi gelar-gelar yang ia peroleh dari Tuhannya. Lebih meyakinkan lagi tentang keturunan Qureisnya, Mirza Ghulam Ahmad berkata yakin: "Adalah suatu keharusan bahwa Khalifah ini dari keturunan Qureis."24 Gelar khalifah inipun termasuk milik Mirza Ghulam Ahmad. Satu per­satu dari gelar-gelarnya akan dikenal nanti. Demikianlah pendakian telah sampai ke puncaknya. Keturunan QUREIS pada diri Mirza Ghulam Ahmad merupakan target terpenting dari planningnya. Sambil bertepuk dada ia berkata: "Ketahuilah siapa aku ini! Jika kamu abaikan maka akan kau hadapi kerugian-kerugian dalam hidupmu." Qureis mungkin masih agak luas ruang lingkupnya, karena ia masih terdiri dari keluarga-keluarga besar. Maka tidak salah lagi jika Mirza Ghulam Ahmad maupun Ahmadiyahnya memilih satu keluarga saja di dalam satu rumah yang paling mulia dan dimuliakan manusia. Dengan perasaan bangga ia berkata: "Sesungguhnya akulah Al-Mahdi itu, juga Al-Masih Mau'ud, dimana kedudukannya sudah jelas bahwa untuk jabatan kedua pangkat ini harus dipegang oleh seorang dari Bani Fatimah."25 Apa sebab Mirza memilih Bani Fatimah unluk melengkapi dirinya? Tidak lain, karena ia akan mengambil alih sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut: "Dari Ummu Salamah r.a. aku telah mendengar Rasul Allah bersabda: Mahdi itu dari anak cucuku, dari anak Fatimah." Maka Mirza Ghulam Ahmadlah yang menyatakan diri sebagai anak dari anak-anak Fatimah r.a. Kemudian dengan lantang sekali lagi ia berkata: "Daripada kakek-kakekku, aku ini keturunan Parsi, sedang daripada nenek­nenekku aku ini keturunan Fatimah. Maka bergabunglah pada diriku dua kemuliaan."26 Jika dua kemuliaan saja, itu masih kurang. Harus ditambah lagi kemuliaan yang di atas segala-galanya. Last but not least inilah kemuliaan­kemuliaan itu. Mirza berkata: "Daripada Tuhanku, telah turun wahyu padaku, bahwa dari pihak nenek-nenekku, aku ini keturunan Fatimah ahli baitin nubuwah. Demi Allah, telah bersatu pada diriku Nasl (keturunan) Nabi ISHAQ dan nasl (keturunan) Nabi ISMA'IL. "27 Bagaimana Mirza Ghulam Ahmad mengaku menjadi anak-cucu Nabi Ishaq a.s.? Apakah benar ia keturunan Nabi Ishaq? Mungkin ada yang tidak beres di sini, dan yang tahu persis bahwa Mirza tidak beres, adalah ia sendiri. Akan tetapi kalau Ahmadiyah mengatakan bahwa itu benar dan tidak ada yang perlu dibereskan, maka kita ucapkan hallo-hallo pada Mirza. Dengan nasl Ishaqnya itu, maka orang boleh berkata pasti, bahwa Mirza Ghulam Ahmad juga dari keturunan YAHUDI! Nah bergembiralah ya Mirza Israeli. Demikianlah keturunan-keturunan istimewa milik pendiri Ahmadiyah. Satu lagi keturunan yang tidak boleh diabaikan juga hak milik Mirza Ghulam Ahmad. Negeri dimana ia dilahirkan dan dibesarkan, INDIA, juga merupakan salah satu daripada keturunan-keturunan yang ia miliki. Ahmadiyah menjelaskan bahwa dalam buku agama Hindu (yang mana?) ada tersebut bahwa Messiah yang dijanjikan itu adalah orang INDIA.28 Akhirnya, demikian Bashiruddin Mahmud Ahmad menutup cerita tentang identitas ayahnya, berkata: "Maka sempurnalah sudah apa yang telah termaklum dalam kitab­kitab Ummat Parisi, Ummat Nasrani, Ummat Islam dan Ummat Hindu tentang datangnya Al-Masih yang ditunggu-tunggu zaman, yaitu MIRZA GHULAM AHMAI)."29 Itulah bunyi gong Bashiruddin; orang-orang Ahmadiyah boleh merasa bangga terhadap kedudukan maupun keturunan yang dimiliki pemimpin­nya. Andaikala semua keturunan-keturunannya disandangkan di belakang namanya, maka inilah dia: Mirza Ghulam Ahmad AL-MOGHOLI, AL-PARISI, AL-QUREISY, AL-FATIMI ahli Batin Nubuwah dan AL-ISRAELI dan lagi AL-HINDUSTANI. Sungguh suatu keistimewaan yang menggelikan. ---- catatan kaki ---- 18 lih. Abul-Qasim as-Suhaily, ar-Raudul Unuf, 1332/1914, Marokko Sultanul Maghrib, hal. 106: (Allahummaj 'alni min ummati Ahmad). ^ 19 lih. dr. Abdul-Aziz Muhammad Azzam, Muhammad Rasul-ul A'zham, 1394/ 1974, majlis a'lalisy-syuun al-Islamiyah, Cairo, hal. 24. ^ 20 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-Istiftaa', hal. 75: (wa lakinnal-lah auhi ila annahum kanu min bani faras la min al-aqwaam ut-turkiyah). ^ 21 lih. L Stoddard, Dunia Baru Islam, terjemahan Panitya, Jakarta, 1966,ha1. 65. ^ 22 lih. L Stoddard, Dunia Baru Islam, terjemahan Panitya, Jakarta, 1966,ha1. 66, 67. ^ 23 lih. Mirza Chulam Ahmad, Al-Khutbat-ul-Ilhamiyah, hal. (ha'): (wa innahu ma ja'a min-al Qureisy kama inna Isa ma Ja'a min-bani Israel). ^ 24 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-Khutbat-ul-Ilhamiyah, hal. 13. (wa wajaba anla yakun hadzal Khalifah min-al-Qureisy). ^ 25 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-Khutbat-ul-Ilhamiyah, hal. 46: (inni ana Al-mahdi alladzihuwa Al-masih muntadzir al-mau'ud, wama jaa fihi annahu min-bani Fatimah) ^ 26 idem, idem, hal. 87: (wa ja'alahu min haisul aba'min abna Faras wa min haisul ummahaat min bani Fatimah liyajmau fihil jalaal waljamaal). ^ 27 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-Istiftha', hal. 75: (wa ma'a dzalika akhbarani rabbi bian ba'da ummahati min banil Fatimah wa min-ahli baitin-nubuwwah; wallahu fihim nasl Ishaq wa Ismail min kamalil hikmah wal mushalahah). ^ 28 lih. Bashiruddin Mahmud Ahmad, Ahmadiyya Movement, Rabwah The Ahmadiyya Muslim Foreign Missions Office, 1962, hal. 47: (from the books of the Hindus it appeared that the promised Messiah was an Indian). ^ 29 lih. Bashiruddin M.A., Ahmadiyya Movement, hal. 47: (in short, in him were fulfilled all the prophecies contained in the books of the Christians, the Parsees, the Hindus and Muslims), note: semua kitab tersebut di atas dalam jumlah lebih dari satu; setidak-tidaknya Ahmadiyyah dapat menyebut masing-masing dua? ^ Chapter 3.5 - 3.6 Ahmadiyah Sebagai Sincretisme 3.5 Kuning Langsat Bukan Kemerah-merahan Sesudah kita ketahui sejumlah nama maupun keturunan-keturunan Mirza Ghulam Ahmad, maka adalah lebih sempurna lagi jika kita kenal lebih jauh identitas lahiriyahnya. Dalam hal ini perihal warna atau kelir kulit Mirza Ghulam Ahmad mustahaq untuk diketahui dan dibicarakan di sini. Sebabnya tidak lain ialah karena orang-orang Ahmadiyah merasa bangga akan kelir kulit pemimpinnya itu. Ahmadiyah menjelaskan bahwa dalam beberapa Hadits diterangkan: "Kelir kulit yang mulia Nabi Muhammad s.a.w. adalah PUTIH. Kulit yang mulia Nabi Isa a.s. adalah KEMERAH-MERAHAN. Kulit yang mulia Nabi AHMAD a.s. (Al-Masih, II) adalah KUNING LANGSAT. "30 Yang dimaksud dengan yang mulia Nabi Ahmad a.s., tidak lain ialah Mirza Ghulam Ahmad. Dikemukakan oleh Ahmadiyah bahwa ada beberapa Hadils yang menerangkan tentang kelir kulit-kulit ke-tiga Nabi di atas itu. Manakah beberapa Hadits itu? Cukup kiranya sebuah saja dikemukakan di sini, maka Ahmadiyah akan tertolong dirinya dari kecerobohan­kecerobohannya. Lebih lanjut Ahmadiyah menambahkan bahwa kalau Nabi Isa a.s. itu kulitnya kemerah-merahan sedangkan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. itu kulitnya kuning langsat, itu merupakan satu bukti yang menggelora, bahwa Al-Masih yang datang kedua kalinya itu bukanlah Almasih putera Maryam r.a. yang dulu itu. Sebab seandainya Nabi Isa a.s. yang dulu itu datang keduakalinya di dunia ini selaku Al-Masih II, pastilah Almasih II itu kulitnyapun kemerah-merahan, bukan kuning langsat.31 Demikianlah salah satu alasan dari seribu satu macam alasan yang dipakai Ahmadiyah untuk memahkotai Mirza Ghulam dengan gelar Al-Masih kedua. Berbicara tentang warna kulit manusia di atas dunia ini, maka warna "kuning langsat" itulah yang lebih menarik bagi orang-orang Asia khususnya. Memang demikian, justru itulah kulit yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, benar-benar menggelora! Seorang cucunya berkata tentang kakeknya itu: "Bahwasanya Mirza Ghulam Ahmad termasuk dalam golongan yang paling elok. "32 Begitu eloknya dia, wahai siapa pula yang lidak jatuh hati padanya?! 3.6 Lampu Aladin Di Tangan Mirza Sudah tentu yang jatuh hati padanya adalah puteranya Bashiruddin, cucu­cucunya dan orang-orang yang buta hati dan buta pikiran. Kepalsuan yang be­gitu kentara ternyata dapat disulap-sulap menjadi elok dan bergelora berkat propaganda-propaganda obralan dan pakaian-pakaian kebesaran yang menyolok. Keistimewaan Mirza Ghulam Ahmad yang explosiv itu bukan hanya terda­pat pada nama-nama keturunan-keturunan maupun kelir kulitnya, bahkan jauh daripada itu, lebih banyak dan lebih istimewa lagi terdapat pada pangkat­pangkat gelar-gelar maupun jabatan-jabatan yang menjadi miliknya. Bukan kepalang-tanggung hebatnya, tidak seorang Nabi maupun seorang Rasul sebelumnya yang memperoleh kedudukan begitu tinggi, mulia, seperti yang pernah diperoleh Mirza Ghulam Ahmad. Bahkan lebih tinggi, lebih mulia dari Yesus Kristus yang dianak-Tuhankan oleh kaum Kristen. Letak kehebatannya ialah bahwa semua milik Mirza Ghulam Ahmad diperoleh langsung dari Tuhannya. Maka marilah berkenalan dengan orang Qadian yang superior ini. Mirza Ghulam Ahmad mendapat julukan Pelindang "telur" Islam.33 Tidak dijelaskan mengapa Islam dikiaskan dengan telur itu. Setidak­tidaknya telur gampang sekali retak atau pecah. Alangkah lemahnya kondisi Islam sehingga dikiaskan sebagai telur belaka dan Mirza Ghulam Ahmad adalah orangnya, pelindung dari keretakan dan pecah itu, ataukah ia yang mengerami dan sekaligus yang menetaskan telur itu?! Beralih pada gelar-gelarnya yang lain, Mirza Ghulam dikatakan sebagai penjaga kebun Allah.34 Mungkin yang dimaksud kebun di situ adalah Islam atau sorga? Pendek kata demikian pendapat Ahmadiyah, pribadi Mirza Ghulam Ahmad itu patut dihormati sebab ia berkhasiat sebagai "kibriti ahmar. "35 Oleh wujudnya itu maka nampaklah kehidupan agama Islam. Selanjutnya Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid akbar,36 kepala dari semua pembaharu yang dikirim ke dunia untuk memperbaharui Islam yang di dalam akidah-akidahnya telah terdapat banyak kontradiksi-kontradiksi. Bahkan lebih dari pada mujaddid akbar, Mirza Ghulam turunnya ke dunia ini sebagai "Fadhlan kabiran" bagi ummat manusia.37 Kemudian masih juga perihal turunnya Mirza Ghulam ke dunia, Ahmadiyah berkata: "Pada hakikatnya ketika Imam Zaman turun ke bumi maka besertanya turun ribuan cahaya demi cahaya, dan di persada langit terjadi suatu suasana kemeriahan, dan terjadilah suatu penyebaran rohaniyat dan nuraniyat yang menggugahkan orang-orang berbakat suci. Pendeknya barangsiapa yang mempunyai bakat untuk menerima ilham semenjak itulah ia mulai menerima ilham."38 Dan siapakah Imam Zaman itu? Maka pada saat ini, kata Mirza Ghulam Ahmad, 'aku berkata tanpa merasa takut dan gentar sedikitpun, dengan kerunia dan anugerah Allah Ta'ala menyatakan: "Imam Zaman itu adalah aku sendiri."'39 Bagaimana Hadits mengenai Imam Zaman itu? Ahmadiyah berkata telah mengutip sebuah Hadits, akan tetapi sayang tidak menyebut tentang isi maupun perawi-perawinya; Dikatakan dalam Hadits itu bahwa, "barangsiapa yang kembali ke hadirat Allah dalam keadaan tidak menahu atau tidak mengenal tentang Iman Zamannya, ia akan datang dengan mata buta dan matinya berada dalam keadaan jahiliyah"!40 Demikian vonnis Ahmadiyah terhadap Muslimin maupun yang bukan Muslim, yang berada di luar aliran Mirza Ghulam Ahmad; kalau tidak mau tahu atau tidak mau kenal Imam Zaman itu, maka ia mati jahiliah! Ingin tahu bagaimana akhlak Imam Zaman Mirza Ghulam Ahmad itu? Ahmadiyah dengan lantang berkata: "Pada diri Imam Zaman Mirza Ghulam Ahmad telah cocok sepenuhnya kandungan ayat: Innaka la-'ala khuluqin 'azhim. "41 Innaka la 'ala khuluqin azhim, Al-Qur'anul Karim ayat 4 suratul-Qalam, yang disampaikan Allah s.w.t. kepada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai insan kamil yang dihiasi ahlak mulia, dengan enaknya diambil alih begitu saja oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai kualitet dari akhlaknya sendiri. Ia merasa telah memiliki segala-galanya. Di tangannya ada lampu aladin, tinggal ia menggosok maka segala keinginannya terkabul! Perhatikanlah kini sebaris pantun yang ditujukan pada Mirza Ghulam Ahmad, dibuat oleh pengikut-pengikutnya yang setia: "Wujudnya meliputi segala-gala. Sedang engkau hanya sebagian Kau akan binasa jika melarikan diri dari padanya. "42 Pantun diatas bukan saja satu peringatan keras bagi mereka yang melarikan diri dari lingkungan rumah Mirza Ghulam Ahmad tatkala wabah pes melanda Punjab termasuk Qadian, melainkan juga satu peringatan keras buat setiap orang yang tidak masuk Ahmadiyah, bahwa mereka akan binasa, yakni mati kafir jahiliyah! Kemudian ia, Mirza Ghulam Ahmad, dikenal sebagai khatamal aulia', yakni wali yang paling sempurna.43 Disamping kata khatam yang diartikan sempurna itu, ternyata Ah­madiyah memberi arti lain juga yakni: akhir. Sebab Mirza Ghulam Ahmad mengambil lagi kedudukan yang lebih meyakinkan dengan berkata: Aku adalah Wali yang terakhir sebab tidak ada wali sesudahku. Yang dimaksud tidak ada wali sesudahku ialah wali-wali yang berada di luar lingkungan Ahmadiyah.44 Mereka bukan wali dan tidak bisa jadi wali, kecuali kalau mereka mau masuk menjadi pengikut-pengikut Mirza Ghulam Ahmad. Langkah-langkah berikut yang ditempuh Mirza Ghulam Ahmad adalah langkah-langkah yang paling berani, dalam arti kata ceroboh, dari seorang Qadian yang mengaku dirinya Muslim. Sesudah dikenal sebagai khatamal aulia' Mirza Ghulam dikenal juga sebagai Muhaddats yakni orang yang diajak bercakap-cakap oleh Allah.45 Bahkan Ahmadiyah mengatakan dari tingginya derajat Mirza Ghulam Ahmad, sampai-sampai Allah Taala dengan sangat terbukanya bercakap-cakap dengan beliau.46 Seringkali terjadi soal jawab dan waktu itu ditanya, waktu itu juga datang jawaban.47 Last but not least, Ahmadiyah berkata: "Dan DIA {ALLAH) membuka tabir dari sebagian wajahNya yang bercahaya dan mengkilap itu. Bukan itu saja, bahkan seringkali demikian rupa seolah-olah Allah Ta'ala tengah bergurau dengan beliau. "48 Explosive bukan! belum lagi, Mirza Ghulam belum meledakkan seluruh ambisinya. Bagaimana hendak diartikan oleh Ahmadiyah kata-kata: seolah­olah Allah Ta'ala tengah bergurau dengan beliau?! Lebih dari itu, mungkin dikarenakan Mirza Ghulam sudah melihat dari sebagian wajahNya yang bercahaya dan mengkilap itu maka wajah Mirza kena kecipratan cahaya mengkilapnya Tuhan. Salah seorang cucunya yang bernama: Mirza Mubarak Ahmad tokoh pimpinan dalam instansi tahrikjadid yang mengemudikan missi-missi Ahmadiyah di luar Pakistan dan India, menyanjung kakeknya Mirza Ghulam Ahmad dengan kalimat-kalimat yang amat mengesankan: "Ketika hari raya Adha tiba, demikian Mubarak Ahmad bercerita, setelah beliau (Mirza Ghulam) duduk di kursi dan mulai berpidato, nampak seakan-akan beliau berada di alam lain. Mata beliau hampir-hampir tertutup dan wajah suci beliau begitu bercahaya nampaknya seakan-akan Nur Ilahy itu menyelimutinya dalam keadaan luar-biasa bercahaya dan terang. Pada saat itu wajah beliau sukur dipandang dan dari kening beliau cahaya demikian memancar-mancar, sehingga, menyilaukan tiap orang yang memandangnya."49 Selanjutnya sang cucu meneruskan puja-pujinya terhadap kakeknya dengan mengatakan bahwa beliau (Mirza Ghulam) adalah Satu nur yang dizhahirkan ke dunia untuk menyinari ummat manusia.50 Beliau adalah juga Bulan Purnama yang sempurna.51 Dengan gelar satu Nur dan Bulan Purnama yang sempurna itu, maka sebenarnya Mirza Ghulam Ahmad boleh dipastikan, bahwa pada wajahnya terdapat satu cahaya yang sedap dipandang. Akan tetapi kalau mengingat kata-kata Mubarak Ahmad bahwa Mirza pada keningnya ada cahaya demikian memancar-mancar sehingga menyilaukan setiap orang yang memandangnya, maka apakah gerangan kiranya cahaya yang melekat di dahi Mirza Ghulam itu?! Kalau tidak sinar cahaya sang surya, mungkinkah ia cahaya mercusuar, yang langsung menyorot mata-mata para pengikutnya dari jarak yang tidak jauh, katakanlah tiga mil laut?! ---- catatan kaki ---- 30 lih. Suara lajnah Imaillah, no. 10 th. 11, 1974, hal. 33. ^ 31 idem, hal. 33. ^ 32 lih Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s., Yayasan Wisma Damai, Bandung 1971, hal. 7 ^ 33 lih. Mirza Ghulam Ahmad, perlunya seorang Imam Zaman, terjemah: R. Ahmad Anwar, 1996, P.P. Majlis Chuddamul Ahmadiyah Indonesia, Jakarta, hal. 17. ^ 34 lih. idem hal. 17. ^ 35 lih. idem hal. 17.^ 36 lih. Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah selayang pandang, 1963, hal. 27 ^ 37 lih. Saleh A. Nahdi, Soal-Jawab Ahmadiyah 1, Ujung ^ 38 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Imam zaman, hal. 10 ^ 39 idem, hal. 32. ^ 40 idem hal. 10 dan lih. majallah Ahmadiyah Sinar Islam-no.13, 1965, Bandung, Yayasan Wisma Damai, ha1.8 Khuddamul Ahmadiyah, Surabaya Pandang, RAPEN, 1972, hal. 23. ^ 41 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Imam Zaman, hal. 15 ^ 42 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Perlunya Imam Zaman, hal. 18. ^ 43 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-khutbat-ul-ilhamiyah, hal. 9. ^ 44 lih. Mirza Ghulam Ahmad, idem, hal. 10: (wa ana khatam-al auliya' Ia wali ba'di illal lazhi huwa minni wa ala ahdi.) ^ 45 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Ajaranku, alih bahasa R. Ahmad Anwar, Bandung Yayasan Wisma Damai, 1966, hal. 43. ^ 46 lih. Mirza Ghulam Ahmad, perlunya seorang Imam Zaman, hal. 20 ^ 47 lih. Idem, hal. 20. ^ 48 lih. Idem, hal. 20. ^ 49 lih. Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s., hal. 83. ^ 50 lih. idem hal. 87. ^ 51 lih. idem hal. 5. ^ Chapter 3.7 Ahmadiyah Sebagai Sincretisme 3.7 Mirza Ghulam Tokoh Penjelmaan Lebih banyak lagi kita mengenal tumpukan pangkat, gelar maupun ibarat­ibarat yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, maka kita akan lebih meyakini letak hakiki dari tokoh Ahmadiyah itu dalam sejarah Islam. Tidak lebih kalau kita mengumpulkan seluruh pangkat yang ada dalam sejarah kerohanian semua Agama, maka Mirza Ghulam Ahmad merupakan juara, baik sebagai kolektor maupun sebagai pemilik dari hasil-hasil koleksinya itu. Ia berkata tentang dirinya: "Akulah hajar aswad yang dimiliki bumi ini, aku dicium ummat manusia guna memperoleh berkahnya."52 Selanjutnya Mirza mengaku sebagai khalifah akhir zaman,53 juga bergelar sebagai Guru Jagat54 yakni guru bagi seluruh ummat manusia. Karena sifatnya yang meliputi, maka Mirza Ghulam Ahmad mengambil langkah-langkah baru agar dapat memperoleh simpati dari ummat Hindu dan Buddha. Untuk ini Mirza Ghulam berkata: "Sebagaimana kita ketahui di negeri India, seorang nabi telah lama pergi beberapa abad yang silam, yakni yang dikenal dengan nama: Krishna. Ia juga dipanggil, Ruvaddar Gowpal, si perusak sekaligus juga si pembangun, nama itu semua juga diberikan padaku. Sejak waktu itu bangsa Arya menanti-nanti kedatangan kembali sang Kreshna. Maka ketahuilah, aku inilah Sang Kreshna. Tuhan telah memberi kabar padaku bahwa Kreshna yang sedang dinanti­nantikan kedatangannya itu, tidak lain adalah aku raja bangsa Aryan."55 Mirza Ghulam Ahmad menerangkan bahwa dari gelarnya sebagai Ruvaddar yakni si perusak tidak lain bahwa ia adalah orang yang akan membunuh musuh­musuhnya dengan dalih serta alasan-alasan yang kuat. Dengan pengertian yang demikian itu, maka Mirza Ghulam Ahmad telah merobah makna asal daripada kata-kata Ruvaddar atau sang Perusak sebagaimana yang terdapat dalam agama Hindu. Kedudukannya sebagai raja bangsa Aryan dan sekaligus sebagai Kreshna, menurut Ahmadiyah telah dinubuwatkan dalam kitab suci kaum Hindu, dimana dikatakan bahwa akan datang kelak seorang Autar yang mempunyai spirit dan martabat seperti Kreshna, atau sebagai buruz dari padanya, dan sudah dipastikan, demikian Mirza Ghulam, bahwa aku inilah sang Kreshna. Untuk lebih meyakinkan terhadap kedudukannya itu, putera Mirza, Bashiruddin M.A. pernah mengatakan bahwa Tuhan sendirilah yang mewahyukan pada Mirza bahwa ia adalah Kreshna. Antara lain Tuhan menurunkan wahyu: "Engkau ya Mirza adalah Kreshna, namaku telah dinyanyikan dalam kitab suci Gita."56 Peristiwa diatas tersebut, yakni turunnya wahyu pada Mirza sebagai sang Kreshna, mempunyai keistimewaan yang perlu digarisbawahi. Mula­mula Tuhan sendirilah yang mengabarkan bahwa dalam kitab suci Gita pujian terhadap Mirza telah dinyanyikan. Dan yang menarik lagi bahwa wahyu di atas disampaikan pada Mirza Ghulam oleh Tuhan, dalam bahasa India. Maka tidak ragu-ragu lagi kalau orang-orang India akan meyakini kabar tersebut! Dengan kata lain, Mirza Ghulam Ahmad maupun puteranya dan alirannya ingin menunjukkan sikap berbaik hati dan bertoleransi bahkan telah beriman pula terhadap kitab suci kaum Hindu. Bukankah Tuhan Mirza alias Tuhannya ummat Islam, yang menyebut-nyebut "Gita," kitab suci orang-orang Hindustan itu? Apakah Ahmadiyah akan mengatakan bahwa Tuhannya Mirza juga menyebut-nyebut nama kitab suci golongan Kristen, yakni kitab Beibel untuk kepentingan Mirza Ghulam? Mungkin kalau Mirza Ghulam yang berkompromi dengan kaum Hindu, itu masih bisa diterima, akan tetapi kalau Tuhan yang berbuat demikian untuk diri Mirza, maka jelas sudah itu hanya suatu obrolan kosong. Lebih menarik lagi jika Tuhan sampai-sampai menurunkan wahyu pada Mirza dengan kata-kata: "Engkau juga adalah Brahman Avatar, dan engkau adalah seorang yang telah dinubuwatkan semua nabi-nabi. "57 Terus-menerus tiada henti-hentinya, Mirza Ghulam menyusun seluruh pangkat dan gelar-gelarnya. Ia juga seorang yang digelari Rahmat Mujassam, yakni rahmat untuk keluarga, rahmat untuk kawan, rahmat untuk musuh, rahmat untuk tetangga, pembantu-pembantu, peminta-peminta dan untuk ummat manusia.58 Rahmat (?) yang diberikan pada musuh, tetangga, dan ummat manusia oleh Mirza, akan merupakan cerita yang menarik dan sangat mengesankan. Selanjutnya Mirza Ghulam Ahmad dikenal juga sebagai Sultanul Kalam, yakni raja di raja penulis yang karya-karyanya tiada tolok bandingannya.59 Sebagai Sultanul-kalam, Mirza Ghulam ternyata memiliki mu'jizat bahasa Arab dan untuk ini ia mengajukan tantangan pada siapa saja yang berani menandingi keistimewaan bahasa Arabnya. Bashiruddin Mahmud Ahmad berkata: "Tuhan telah mengkurniai Mirza Ghulam Ahmad ilmu bahasa Arab yang luar-biasa, bahkan tidak dapat ditandingi sekalipun oleh mereka yang empunya bahasa itu sendiri. Untuk menyebarluaskan permaklumannya itu, ia telah menulis dan menerbitkan buku­buku dalam bahasa Arab kemudian menantang musuh-musuhnya, termasuk penulis-penulis di negeri Arab, Mesir dan Syria, andaikata mereka ini masih meragukan kedudukan Mirza Ghulam Ahmad. Tentu saja jawaban atas tantangannya harus denganb ahasa Arab pula. Namun kalau dilihat pada karya-karya Mirza, bagaimana keindahan sastranya, syair-syairnya, dan kehebatan serta kepadatan maknanya, maka tidak seorangpun yang akan berani muncul sebagai penantangnya. Buku-buku hasil karyanya itu sampai sekarang masih ada, dan kami masih membuka front bagi siapa yang berminat menandinginya."60 Siapa pula yang berani menantang bahasa Arab Mirza Ghulam? Tidak seorangpun yang menjawab tantangan itu! Bahkan, kata Ahmadiyah melanjutkan, juga syed Rasyid Ridha yang pernah mendapat tantangan itu, tidak berani menjawabnya.61 Apa sebab Mirza Ghulam Ahmad konon menguasai bahasa Arab tak terkalahkan? Ahmadiyah menjawab: "Perbendaharaan kata-kata beliau bertambah secara sangat ajaib, 40.000 kata dasar diperoleh Mirza Ghulam hanya dalam waktu satu malam saja! "62 Akhirnya Bashiruddin M.A. putera Mirza Ghulam itu, berkata: "Kemu'jizatan bahasa Arab Mirza Ghulam Ahmad, menyamai kemu'jizatan Al-Qur'an ul-Karim. "63 Jika demikian kedudukan bahasa Arab Mirza Ghulam, maka ia benar-benar raja di raja pena. Apakah ia juga raja untuk bahasa Urdu, Parsi dan Inggris? Kita akan tahu kelak bagaimana contoh dari bahasa Arabnya Mirza Ghulam yang tak terkalahkan itu. Dan yang paling menarik dari kehebatan bahasa Arab Mirza Ghulam Ahmad, ialah sebagaimana yang diceritakan sendiri olehnya, bahwasanya segala yang diucapkan Mirza Ghulam adalah ayat-ayat suci yang di­awali dengan Bismillahir-Rahmanir-Rahim, serta meyakini isi dari ayat­ayatnya sebagaimana meyakini ayat-ayat Al-Qur'anul Karim.64 Itulah ciri-ciri khasnya bahasa Arab Mirza. Masih meneruskan tentang pangkat-pangkatnya, dikatakan oleh Ah­madiyah maupun oleh Mirza sendiri, bahwa dari sudut tugas memperbaiki keadaan ummat dan membereskan masalah-masalah yang dipertikaikannya baik yang menyangkut Sunnah dan Hadits, beliau Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi.65 Kemudian dilihat dari sudut tugas menghadapi Dajjal dan fitnah-fitnahnya yang hebat di akhir zaman ini dan tugas menghadapi musuh­musuh Islam dengan keterangan-keterangan yang nyata dan tak terpatahkan, beliau adalah Al-Masih yang dijanjikan. Perihal kedudukannya sebagai Al-Masih itu, oleh karena munculnya di kalangan Islam, maka Mirza Ghulam Ahmad bergelar Al-Masih Al­Muhammady, sebab Al-Masih yang pertama, yakni Isa Al-Masih adalah Al­Masih Al-Israeli.66 Mirza Ghulam Ahmad ternyata masih menggosok­gosokkan lampu aladinnya, atau ia semacam lipan berkaki seribu, ambisinya untuk memiliki seluruh pangkat kerohanian, masih disusunnya lagi. Dan inilah klimax dari cita-citanya. Mula-mula ia mengaku sebagai Nabi, akan tetapi bukan Nabi yang membawa syari'at melainkan sebagai Nabi Ummati, yakni nabi dari ummatnya nabi Muhammad s.a.w. Sebagai nabi ummati, Mirza Ghulam bisa juga memakai gelar-gelar seperti: nabi ghair tasy'ri', nabi buruzi, nabi zilli, nabi majazi, nabi lughowi, yang kesemuanya hanya menunjukkan sebagai bayangan atau pantulan atau nabi dari ummat nabi Muhammad s.a.w. Akan tetapi karena Mirza memiliki lampu Aladdin, apa kehendaknya pasti terkabul. Bahkan ternyata ia bukan saja sebagai nabi bayangan tetapi sebagai nabi yang membawa dekrit dari Tuhan yang mungkin disetarakan dengan syari'at. Last but not least, Mirza Ghulam ternyata mengangkat dirinya sebagai Rasul Allah dengan sekaligus memperolen sanjungan s.a.w. (sallallahu alaihi wasallam) .67 Apa lagi yang belum menjadi miliknya? Ternyata Mirza masih mengumpulkan lagi pangkat-pangkat yang luar-biasa. Ia harus menjadi segala­galanya. Ia berkata dengan bangga: "Sesungguhnya Allah telah memberiku semua nama-nama dari para Nabi. "68 Yakni bahwa Mirza Ghulam Ahmad boleh dipanggil dengan panggilan nama­nama semua nabi.. Sesungguhnya, berkata Mirza Ghulam: "Bukan saja, aku ini dipanggil dengan nama Isa anak Maryam, bahkan semua nabi baik nama mereka maupun martabat mereka telah aku terima dari Allah. Itulah sebabnya sebagaimana yang dijanjikan Tuhan dalam Baraheen Ahmadiyya, aku ini adalah Adam, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ya'kub, aku Ismail, aku Musa, aku Daud, aku Isa, anak Maryam, dan aku Muhammad dalam arti buruznya. "69 Dengan martabat para nabi yang ia miliki itu, maka Mirza Ghulam Ahmad sanggup menonjolkan beberapa mu'jizat dari para nabi, maupun mengalami beberapa peristiwa seperti yang dialami mereka. Satu nama lagi yang ia terima dari Tuhannya ialah: Abdulkadir, entah untuk panggilannya itu ia sejajar dengan sayidina Abdulkadir Jaelani, atau Abdulkadir yang lain, kurang jelas.70 Demikianlah cerita tentang nama, pangkat gelar dan kedudukan yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad. Dan sekedar untuk menyegarkan pikiran, inilah keseluruhannya itu: Mirza Ghulam Ahmad adalah kibriti ahmar, hajar aswad pelindung telur Islam, penjaga kebun Allah, bulan purnama, satu Nur, Guru Jagat, Fadhlan kabiran, Rahmat Mujassam, Sultanul kalam, Raja Aryan. Mujaddid, Mujaddid Akbar, Khatamul Aulia', Khatamul Khulafa', Imam Zaman, Imam Mahdi Al-Ma'hud, Hakim yang adil, Al-Masih Al-Mauud, nabi buruzi, nabi dengan dekrit Tuhan, Rasul Allah s.a.w., Abdulkadir, Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Ya'kub, Ishaq, Daud, Ismail, dan semua nabi. Aku adalah Kreshna, Brahman Avatar, dan aku adalah Kodrat Tuhan yang berjasad.71 Perihal akhlak dan perangainya maka Mirza Ghulam Ahmad adalah: Seekor singa jantan yang tampil ke depan, pemaaf, penutup kekurangan orang lain, pemurah, setia, rendah hati, sabar, syukur, memadakan yang ada, pemalu, tunduk mata, menjaga diri dari segala keburukan, rajin, mencukupkan dengan yang dapat, tidak suka formalitas, sederhana, menyayangi, adab Ilahi, adab Rasul, dan orang-orang suci Agama, pendamai, tidak suka berlebih-lebihan, suka melaksanakan kewajiban, suka memenuhi janji, terampil, bersimpati, suka menyebar agama, mendidik, indah dalam pergaulan, pengamat harta, berwibawa, kesucian, periang, penyimpan rahasia, ghairat, ihsan, pemelihara martabat orang, baik sangka, bersemangat, ulul'azam, penjaga-diri, tenang berpikir, menahan amarah, menahan tangan dan lisan dari perbuatan lancang, berkorban, waktunya selalu penuh, mengatur perkembangan ilmu dan ma'rifat, pencinta Tuhan dan RasulNya, pengikut Rasul yang sempurna, mempunyai daya tarik magnitis, satu daya penarik yang ajaib disegani, berbakat kecintaan, katanya mengesankan, doanya makbul.72 Itulah Mirza Ghulam Ahmad, tidak ada satu kekurangan lagi bukan? Itulah keinginannya dan untuk itulah puteranya maupun pengikut-pengikutnya percaya tanpa reserve. Siapa yang tidak percaya dan tidak mengakui sebagai Imam Zaman dimana tercakup kenabian dan kerasulannya, maka matinya mati jahiliyah of mati kafir.73 ---- catatan kaki ---- 52 Analyst, Facts about Ahmadiyya Movement, 1951, Ahmadiyya Anjuman Islam, Lahore, hal. 28: (I am that Hajar-i-Aswad that has been accepted on this the people and is touched by them for blessing). ^ 53 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Khutbat-ul-ilhamiyah, hal. 82. ^ 54 lih. Malik Aziz Ahmad Khan, Jasa Imam Mahdi a.s., hal. 139 Isha'at-1­earth by ^ 55 lih. The Review of Religions, March 1966, Rabwah, ha1.79: (we find that in the country known as India, a Prophet of God has gone before, in the ages of past, who bore the name "Kreshna," he was also called Ruvaddar Gowpal (i.e. destroyer, on one side, sustainer and developer, on the other). This name too, has bestowed on me. Since, therefore, the Aryan people, these days, are awaiting the second advent of the Lord Krishna, I am that Krishna. I am not making claim purely on my own behalf; Allah has revealed to me, time and time again, that the Knshna expected to appear towards the latter days, was none other than my self King of the Aryans.) ^ 56 lih.Basharuddin M.A, Ahmadiyya Movement, hal. 4:(Brahman av-tar sa mo-kwa-bi-la achha na-heen. Aye Krishna dar Go-pal teri meh-ma Geeta men hai. (Thou an the Blessed Krishna, the cherisher of Cows, and thy praise is chanted in the Gita.) ^ 57 lih. Bashiruddin M.A., Ahmadiyya Movement, ha1.4 ^ 58 lih. Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s., hal. 47 ^ 59 lih. Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s. hal. 47 ^ 60 Bashiruddin M.A., Ahmadiyya Movement, hal. 115: (..., he made an announcement that God has bestowed upon him an extraordinary knowledge of and command over, the Arabic language which could not be matched even by those whose mother tongue was Arabic. In persuance of this announcement he wrote and published several books in Arabic and called upon his opponents, including the people of Arabia, Egypt, and Syria, if they doubted his claim, to write books in Arabic, which should, in point of literary style, purity of diction, beauty of composition and the excellence and pregnancy of meaning, match those written by himself, but none has so far dared to take up the challange. The books written by him are still extant, and we still claim that they cannot be matched, and that God's hand would be raised against any person who presumes to make an attemp to match (them.) ^ 6l lih. Bashiruddin M.A., Invitation, Rabwah, Ahmadiyya Muslim Foreign Missions 1961, hal. 97: (Arabs were included in the challenge, one book being specially addressed to Syed Rashid Riza of Al-Manar. The Syed did not accept the challenge.) ^ 62 lih. Bashiruddin M.A., Invitation, hal. 97: (When the Ulama had done their worst, God granted him special knowledge of the Arabic language. His vocabulary grew miraculously to 40.000 root-words in a single night.) ^ 63 lih. Bashiruddin MA., Invitation, hal. 97. (This miracle of language imitates the miracle of the Holy Quran. It is a sign of the Promissed Messiah's truth.) ^ 64 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-Istifta', ha1.77: (wa nu'minu biha kama nu'minu bi kitabillah khaliqil Anaam, wahii hadzihi: bismillahirRahmanirRahim) ^ 65 lih. Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 29, serta hampir semua kitab-kitab Ahmadiyah. ^ 66 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-Khutbat-ul-Ilhamiyah, hal. dzal dan hal. zai. Juga oleh sdr. Drs Bahrum Rangkuti (sekjen) Departemen Agama pada puisinya yang berjudul "Silaturahmi (II)" pada halal bihalal di-Bali Room dari masyarakat Sumut 29/12/'69, menyebut Isa a.s. sebagai al-Masih al-Israeli. ^ 67 M.G.A., Khutbat-ul-Ilhamiyah, hal. muka, perlunya seorang Imam zaman, hal. 32, Tuhfah Bagdad, hal. muka dan lainnya. ^ 68 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-lstifta', hal. 82: (sammani rabbi ibrahim wa kadzanka sammani bi jama'i asmail-anbiya min adam ila khatimurusl) ^ 69 lih. The Review of Religions, Mart 1966, ha1.10: (But, in the heavenly records. Isa, the son of Mary, is not only the name given to me: I have other names as well, twenty six years ago, which Allah made me put down in the pages of Baraheen-i-Ahmadiyya. There is no prophet of God whose name and qualities Allah has not bestowed on me. Therefore, as God has promised in Baraheen-i-Ahmadiyya, I am Adam. I am Noah, I am Abraham, I am Isaac, I am Jacob, I am Ismail, I am Moses, I am David, I am Isa, the son of Mary; and I am Muhammad, in a sense and manner I call burzi.) ^ 70 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Thuhfah Bagdad, Rabwah Matba'ah An-Nadrah, 1377, hal 29: (ya Abdulkadir inni ma'aka asman wa araa). ^ 71 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-wasiyat-Neraca Trading Company-Jakarta 1949, hal . 12 ^ 72 lih Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mauud a s, hal. 85/86 ^ 73 lih. Mirza Ghulam Ahmad, perlunya seorang Imam Zaman, hal. 10/32. ^ Chapter 4.1 - 4.2 Ahmadiyah Sebagai Crypto-Mohammadanisme 4.1 Ciuman Judas l Kedudukan, pangkat-pangkat serta tingkah laku yang dipamerkan oleh Mirza Ghulam Ahmad, putera dan cucunya maupun oleh pengikut­pengikutnya yang tiada tolok-bandingannya, pada hakikatnya hanyalah merupakan perisai atau selubung dari kelemahan, kepalsuan yang terdapat didalam diri Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya. Demikianlah satu kelemahan harus dilindungi banyak kekuatan, barulah persembunyian itu berhasil lolos dari setiap pencaharian. Akan tetapi satu keanehan telah terjadi, bahwa kekuatan-kekuatan yang dipamerkan Ahmadiyah itu, ternyata menjadi boomerang memukul balik pada dirinya sendiri. Kekuatan-kekuatan dalil yang dipakai tentang kemahdian Mirza Ghulam Ahmad, kealmasihannya, kenabian dan kerasulannya akhirnya menjadi satu bahan yang menarik untuk dibicarakan. Justru pada posisi-posisi Mirza Ghulam yang berat itulah, ia dan alirannya menutup semua kemungkinan bagi lolosnya suatu penelitian terhadap dirinya. Kubu-kubu pertahanan yang dibangun Mirza dan Ahmadiyahnya dalam masalah ke-mahdian kealmasihan, kenabian maupun kerasulannya, merupakan kubu-kubu yang ampuh untuk diterobos. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan tadi, satu keanehan telah terjadi; justru daripada pertahanan yang tertutup rapat itu, secara tidak sengaja pintu-pintu rahasia dari kubu-kubu pertahanan Ahmadiyah, terbuka lebar dan mereka sendirilah yang membukanya. Bahkan boleh dikata ibarat tubuh bertelanjang bulat di hadapan cermin seiarah, Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya telah mempertontonkan segala jenis kemunafikan­nya yang paling samar sekalipun. Padahal Ahmadiyah pada zhahirnya menyuguhkan ajaran-ajarannya ke tengan-tengah masyarakat diluar Jemaatnya, dengan segala macam kalimat-kalimat puji dan puja kepada Allah dan Nabi Muhammad s.a.w. Penjelasan-penjelasan yang menarik yang disajikan Mirza dan Ahmadiyah­nya tentang sebab-sebabnya mengapa ia harus menjadi nabi, rasul dan sebagainya itu, menurut Ahmadiyah sama sekali tidak mengandung maksud untuk mengecilkan kedudukan Nabi Muhammad s.a.w. Mirza Ghulam Ahmad, kata Ahmadiyah, tidak lain hanyalah khadim nabi Muhammad, melanjutkan serta menerangkan ajaran-ajaran tuannya.2 Bahkan Mirza Ghulam adalah orang pertama yang jatuh cinta pada Nabi Muhammad. Dalam syairnya Mirza Ghulam berkata: "Lihatlah kepadaku dengan pandangan rahmat dan kasih wahai penghuluku. aku adalah seorang sahayamu yang paling hina dina. wahai kekasihku, cinta kepadamu sudah amal meresap dalam jiwa ragaku, ke dalam jantungku dan benakku. wahai taman firdaus dari seluruh kegembiraanku! Alam pikiranku tidak pernah sunyi sesaat atau sedetikpun dari mengenang engkau. Jiwaku sudah menjadi milikmu. Jisimkupun bercita-cita benar ingin terbang ke hadiratmu. alangkah bahagianya bila dalam diriku ada daya untuk terbang."3 Dalam syairnya yang lain, Mirza Ghulam berkata lagi: "Sesudah asyik kepada Allah, akupun mabuk pula pada keasyikan terhadap Muhammad. Kalau ini dikatakan kufur, maka demi Tuhan akulah orang yang sangat kafir! "4 Bahkan dari keasyikan Mirza Ghulam kepada Nabi Muhammad, menurut Ahmadiyah, ia telah fana fir-rasul yakni pada dirinya membayang wujud yang mulya Rasulullah s.a.w.5 Malahan bila diperhatikan benar-benar, Mirza Ghulam adalah kenabian Muhamadiyan juga, yang zhahir dalam suatu cara yang baru. Ibarat melihat cermin, demikian Ahmadiyah melanjutkan, kamu tidak menjadi dua, bahkan kamu tetap satu juga adanya, kendatipun nampaknya dua.6 Salah seorang pengikut Mirza yang setia menceritakan bahwa ia pernah melihat dalam mimpi, wujud suci Hadrat Rasulullah Muhammad Mustafa s.a.w. adalah juga merupakan wujud suci Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih Ma'uud a.s. Aku tidak ingat, demikian sahibul mimpi melanjutkan, apakah lebih dahulu melihat Mirza sahib Mirza Ghulam Ahmad atau melihat wujud suci nabi Muhammad s.a.w. Tetapi yang jelas ialah kedua wujud suci itu telah diperlihatkan dalam keadaan hanya merupakan satu wujud suci. Hal ini mengandung arti, bahwa pada masa kini, pantulan dan kazhahiran yang sempurna dari wujud suci nabi Muhammad adalah wujud Mirza Ghulam Ahmad.7 Apakah yang demikian itu, tidak suatu penghormatan pada nabi Muhammad oleh Mirza Ghulam?! Maka, terimalah nabi yang datang dari Allah ini, demikian seru seorang Ahmadiyah.8 Akan tetapi dilain kesempatan datang ancaman keras dari Ahmadiyah pada mereka yang tidak mau percaya pada kenabian Mirza, dengan kata-kata lantang: "Bahwa semua orang Islam harus percaya pada nabi Mirza Ghulam Ahmad; kalau tidak, berarti mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur'an. Dan siapa-siapa yang tidak mengikuli Al-Qur'an maka ia bukan muslim. Dan barang siapa mengingkari seorang nabi, menurut istilah agama Islam disebut kafir! "9 Demikian Ahmadiyah, mula-mula mereka memuji-memuji Nabi Muham­mad, kemudian minta agar ia diakui sebagai nabi, akhirnya ia mengancam vonnis kafir bagi siapa-siapa yang tidak mau percaya kenabiannya. Jelas disini adanya watak-watak munafik pada diri Mirza Ghulam maupun pengikut-pengikutnya. Namun demikian apakah benar kaum Muslimin tidak mengikuti ajaran­ajaran Al-Qur'an bila tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi? Untuk menjawab soal diatas sebaiknya kita lebih jauh melihat ajaran­ajaran Ahmadiyah tentang sebab-sebabnya mengapa Mirza Ghulam memakai gelar nabi. Dalil-dalil yang dipakai Ahmadiyah guna menguatkan landasan bagi tegaknya kenabian maupun kerasulan Mirza Ghulam, ialah dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits. Tentu saja menurut penafsiran cara-cara mereka sendiri. Mula­mula dalil yang dipakai, berkisar pada ayat "khataman nabiyin" dalam surah Al-Ahzab ayat 40. Kata khatam disitu menurut Ahmadiyah bukan berarti "penutup" melainkan termulya. Jadi nabi Muhammad adalah nabi yang "termulya," bukan nabi penutup. Oleh karena itu pengertian yang diberikan oleh sebagian orang-orang Islam terhadap kata khatam dengan pengertian pintu wahyu tertutup, bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an dan sabda-sabda Rasulullah s.a.w.10 4.2 Vonnis Yang Mengejutkan Oleh karena itu, demikian Ahmadiyah melanjutkan, perlu kiranya dijelaskan ala kadarnya arti "khataman" didalam ayat tersebut yang dijadikan sumber salah mengerti oleh sebagian orang. 11 Kata-kata: bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an dan sabda­sabda Rasulullah, dan kata-kata: sumber salah mengerti, tampaknya tidak mempunyai effek-effek yang berat pada mereka "sebagian orang itu." Padahal kenyataannya itu adalah sebaliknya; effek-effek itu telah disuarakan sendiri oleh Ahmadiyah, yaitu effek yang paling berat bagi "sebagian orang itu," yakni bagi orang-orang yang menentang kandungan Al-Qur'an dan sabda Nabi Muhammad s.a.w. adalah kafir buat mereka. Kemudian kata-kata: "sebagian orang-orang Islam," kami garis-bawahi, oleh karena kata­kata tersebut seolah-olah tidak mengandung problema yang serius atau persoalan-persoalan yang perlu dibahas; demikian kelihatannya. Padahal jika diteliti dengan seksama kata-kata sebagian orang-orang Islam itu, mengandung isi yang berat atau jumlah yang sangat banyak. Sebagian orang tentunya orang-orang sang berada di luar Ahmadiyah, dan kalau dibandingkan dengan jumlah pengikut-pengikut Ahmadiyah maka sebagian orang-orang itu, mungkin sudah dua-ratus kali lebih banyak dari pengikut Ahmadiyah. Bahkan lebih dari itu, mungkin sudah empat ratus juta kaum Muslimin yang oleh Ahmadiyah dikatakan: "telah bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an dan sabda-sabda Rasulullah s.a.w. atau dengan kata lain, tidak mengikuti Al­Qur'an dan sabda Nabi s.a.w. atau dengan kata lain tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi atau dengan kata lain, mengingkari seorang nabi Mirza Ghulam, yang menurut istilah Islam adalah kafir! 12 Tegasnya ratusan juta kaum Muslimin yang non Ahmadiyah adalah kafir, demikian vonnisnya kaum Mirza Ghulam Ahmad. Maka untuk kata­kata: "sebagian orang-orang Islam" itu hendaknya dihapus saja dan se­baliknya Ahmadiyah berterus-terang bila menyebut jumlah yang sebenarnya, jangan bermain diplomasi. Belum lagi kaum Muslimin yang hidup sebelum pendiri Ahmadiyah itu muncul, generasi-generasi sampai pada Tabi'in dan para Sahabat Nabi s.a.w., mereka telah bertentangan dengan faham Ahmadiyah yang menabikan orang dari Qadian itu, dan alangkah malangnya nasib mereka yang salah mengerti itu. Ataukah mereka adalah orang-orang - hanifan, karena belum kedatangan seorang nabi (Mirza Ghulam Ahmad)?! Pendirian bahwa Ahmadiyahlah yang haq, oleh karena hanya mereka yang memiliki nabi baru itu, maka untuk persiapan-persiapannya untuk menguatkan landasan berpijaknya Mirza Ghulam Ahmad diatas kenabiannya itu, tidak tanggung­tanggung lagi, mereka menggunakan dalil-dalil Al-Qur'an dan sabda-sabda Nabi Muhammad s.a.w. Kembali pada pegangan mereka yang mula-mula yakni kata "khatam" dari khataman nabiyin, menurut Ahmadiyah, perkataan khatam adalah perkataan yang ratusan kali dapat dijumpai dalam kata-kata lainnya yang menerangkan arti yang jelas yaitu bukan penghabisan atau penutup. Didalam Itqaan juz I ditulis, bahwa Imam Suyuthi adalah "khatam" bagi orang-orang Muhaqqiq, padahal orang Muhaqqiq {penyelidik) tidak pernah henti-hentinya di dunia ini. Muhammad Rasyid Ridha, pujangga Mesir yang kenamaan menulis dalam tafsir Fatihahnya halaman 148 tentang Syeikh Muhammad Abduh: "khatimul - A-immah ini tidak berarti Muhammad Abduh itu sebagai penutup dari pemimpin-pemimpin (Imam). Seorang penyair yang kenamaan yaitu Abu Tamam dikatakan "khatam Asy-Syu'ara" penyair yang termulya. Tentu tidak dapat dikatakan penutup dari semua penyair yang penghabisan. Singkatnya arti khatam tidak lain ialah mulya dan kalimat tersebut dalam ayat tadi dimaksudkan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Nabi termulya dari semua nabi-nabi.l3 Demikian Ahmadiyah menjelaskan. Benarkah bahwa Suyuthi, Abduh dan Abu Tamam adalah orang-orang yang digelari "khatam"? Jika salah seorang murid­nya atau banyak muridnya atau semua pengikut­pengikutnya mengatakan bahwa Suyuthi adalah Muhaqqiq termulya, Abduh adalah Imam yang termulya, dan Abu Tamam adalah penyair yang termulya, maka biarkanlah mereka berkata demikian. Itu adalah hak mereka. Bahkan jika mereka mengatakan bahwa ketiga orang tersebut bergelar yang penghabisan atau penutup, itupun adalah hak mereka. Keyakinan yang mereka utarakan tentang ketiga orang itu adalah relatip. Kita dan siapapun juga berhak untuk menolak kedudukan khatam pada mereka itu. Sebaliknya, jika Ahmadiyah mempopulerkan pengertiannya tentang khatam dalam khataman nabiyin dari Al-Ahzab ayat 40 itu dengan menuduhkan pada ratusan juta kaum Muslimin bahwa pendapat mereka telah bertentangan dengan kandungan isi Al-Qur'an dan sabda Nabi Muhammad s.a.w.. yang menimbulkan effek paling berat dalam pandangan Agama Islam, yakni menjadi kafir, belum lagi mereka-mereka yang hidup sebelum munculnya tokoh Qadian itu sampai pada para Tabi'in dan sahabat-sahabat Nabi, maka atas penilaian Ahmadiyah yang gegabah itu, akan kita lihat satu persatu. Selanjutnya Ahmadiyah mengatakan bahwa sekiranya sebagai perumpa­maan kita terima arti dan pengertian sementara orang-orang itu, bahwa khatam itu berarti penutup, dapat pula diartikan penutup, nabi-nabi yang membawa syariat.14 Sekali lagi Ahmadivah ingin mendekatkan pengertiannya dengan pengertian kaum muslimin. Namun untuk menyebut bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi pertutup yang membawa syariat, pengertian yang demikian tidak bisa diterima. Pengertian yang benar adalah yang diberikan oleh ratusan juta kaum muslimin, bahwa Nabi Muhammad adalah penutup segala nabi­nabi. Tidak lagi ditambahi, yang membawa syari'at. Itu hanya satu helah, dimana Ahmadiyah akan berkata bahwa kesempatan untuk datang nabi baru sesudah Nabi Muhammad akan ada. Dan satu hal yang pasti bagi mereka bahwa nabi yang akan datang itu telah ada, yakni Mirza Ghulam Ahmad, dengan tambahan di belakangnya: nabi ghair tasyri' (nabi yang tidak membawa syariat) . Jika Ahmadiyah mengatakan lagi bahwa sebab-sebab turunnya ayat 40 dari surah Al-Ahzab itu, juga dikarenakan atau dimaksudkan Allah untuk membela nama baik nabi Muhammad dikarenakan beliau mengawini bekas istri anak angkatnya, maka andaikata yang diniatkan mereka itu demikian, justru jalan yang mereka tempuh itu keliru. Jelasnya, bahwa Ahmadiyah dengan hanya mengutamakan kata khataman nabiyin saja yang diartikan termulya, mereka merasa telah mengangkat nama baik Nabi Muhammad s.a.w.; padahal yang utama dari ayat 40 Al-Ahzab itu terletaknya pada ayat: "Aba Ahadin min rijalikum" (bukan ayah seorang di antara laki-laki kamu), hal ini telah diabaikan dan di sinilah letak salah jalannya mereka. Surah Al-Ahzab ayat 40, adalah mengandung salah-satu hukum dari hukum­hukum Allah untuk menunjukkan pada kaum kuffar bahwa apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. yakni mengawini bekas istri anak angkat beliau (Zaid) adalah boleh dan haq. Inilah hukum Allah dan inilah pembelaan Allah pada Rasul-Nya. Adapun ayat "Rasulullah" dan "khataman nabiyin" pengertiannya adalah pesuruh Allah dan Nabi penutup semua nabi. Pengertian inipun adalah hukum Allah, ketetapanNya yang harus diketahui semua manusia, termasuk orang-orangnya Mirza Ghulam Ahmad, bahwa jumiah 124 ribu nabi itu telah diakhiri dengan kenabian Muhammad s.a.w. Ahmadiyah mengatakan, bahwa ayat tersebut tidak ada hubungannya sedikitpun dengan soal ada atau tidak adanya Nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w., padahal justru beberapa kitab-kitab Ahmadiyah berbicara tentang khataman nabiyin dari Al-Ahzab ayat 40 itu, selalu menghubung­hubungkan dengan alasan-alasan yang memungkinkan munculnya nabi sesudah Ke-Nabian Muhammad s.a.w. Kenyataannya Ahmadiyah berbicara: "Banyak orang mengatakan bahwa kata "Khataman Nabi-"yin" yang tercantum dalam Al-Qur'an Surah Ahzab ayat 40 maknanya ialah Nabi Muhammad s.a.w. itu Nabi penutup dengan pengertian, bahwa sesudah beliau tak akan datang lagi Nabi sekalipun hanya nabi-ikutan atau nabi tak membawa syari'at. Benarkah arti ayat termaksud demikian? Ahmadiyah menjawab: "Baik menurut sebab musabab turunnya ayat, menurut jalan uraian Al-Qur'an mengenai soal kenabian menurut pengertian Rasulullah s.a.w. dengan para sahabat menurut para pujangga dan orang suci terdahulu maupun menurut lughah, pengertian tersebut di atas tidak benar."15 Jelasnya Ahmadiyah selalu menghubung-hubungkan ayat 40 Al-Ahzab itu dengan soal ada atau adanya nabi sesudah nabi Muhammad. Maka untuk pengertian kata "khatam" dari khataman nabiyin surah Al-Ahzab ayat 40 itu, tidak ada arti lain selain pengertian: penutup! Dan tidak perlu menambah embel-embel syari'at di belakang penutup itu. Demikian tafsir Jalalain Al-Misbahul-Munir, tafsir Syaukani, tafsir Kabir (Mafatihul ghaib) dari Muhammad Arrazi Fahruddin - Kairo-1324 H - Amelia syarafia hal. 581, tafsir Ruhul Ma'ani {Alusi) sayid Mahmud Alusi - 1270 H - juz 22 - Al-Muniriyah Mesir, hal. 30, juga tafsir-tafsir lainnya, tidak menyebutkan pengertian lain melainkan arti "penutup" dari semua nabi-nabi. Selanjutnya Ahmadiyah berkata; bahwasanya kalimat khatam dapat pula dibaca "khatim" yang berarti hiasan bagi sang pemakainya. Apabila diartikan demikian, maka Rasulullah s.a.w. itu bagaikan hiasan indah bagi nabi­nabi. Dalam Fathul-Bayan juga dikatakan, bahwa nabi Muhammad s.a.w. adalah bagaikan hiasan cincin yang dipakai oleh para nabi karena beliau nabi termulia.16 Kemudian masih dalam pengertian khatam itu, Ahmadiyah berkata: "Jadi, perkataan "khataman nabiyin" berarti cap atau stempel daripada nabi-nabi. Yakni Nabi Muhammad s.a.w. ialah kebagusan daripada segala nabi-nabi."17 Ahmadiyah mengartikan cincin dan stempel buat Nabi Muhammad sebagai kiasan dan menafsirkannya dengan kebagusan atau termulia merupakan cara­cara orang yang telah kehabisan bahan, hanya dengan maksud memanjang­manjangkan pujian palsu pada Nabi s.a.w. Apakah bukan satu penghinaan, kalau Nabi Muhammad dikiaskan sebagai cincin yang dipakai jari-jemari para Nabi, dan stempel daripada Nabi-nabi? Yang patut ialah jika Nabi Muhammad dikiaskan dengan benda maka seharusnya para Nabi dikiaskan dengan benda juga. Misalnya baris-baris kalimat dalam suatu surat (warkah) yang disudahi dengan stempel. Baris-baris kalimat itu adalah para Nabi, warkah itu adalah bumi, dan stempel (cap) itu adalah Nabi Muhammad saw. Pada hamparan warkah itulah kalimat-kalimat yang rapi merupakan barisan Nabi-Nabi dimana kesudahan dari baris Nabi-nabi ditutup dengan stempel yakni Nabi Muhammad. Cap atau stempel itu sendiri lebih bagus dan lebih mulia dari barisan kalimat, dan cap itu pula yang menyudahi (menutup) kalimat-kalimat itu. Pengibaratan inilah kiranya yang lebih memadai dari pada cara-cara yang dikemukakan Ahmadiyah. ---- catatan kaki ---- 1 Dalam kisah Beibel dikatakan, bahwa bila Judas mencium Yesus, itu tidak berarti ia cinta pada Gurunya, melainkan ia telah merencanakan suatu pengkhianatan yang keji. ^ 2 lih: Saleh Nahdi, selayang pandang Ahmadiyah, ha1.41. 3 lih: Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s., hal. 22 ^ 4 lih: Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau'ud a.s., hal. 17. ^ 5 lih: Mirza Ghulam Ahmad, Ajaranku, terjemah R. Ahmad Anwar, 1966, Wisma damai, Bandung, hal. 20. ^ 6 lih: idem nomer. 4, hal. 20 ^ 7 lih: Sinar Islam, Januari/Pebruari/Maret/April 1974, No: 5-6, hal. 34 ^ 8 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang pandang Ahmadiyah, ha1.41. ^ 9 lih. Syafi R. Batuah Ahmadiyah Apa, dan Mengapa?, Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1968, hal. 19. .^ 10 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang pandang Ahmadiyah, hal. 33. ^ 11 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang pandang Ahmadiyah, hal. 33. ^ 12 lih: Syafi R. Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa?, hal. 19 ^ 13 lih: Saleh A. Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, ha1.35 dan ^ 14 lih: Saleh A.Nahdi, Soal-Jawab Ahmadiyah bag. I, Ujung Pandang Rapen, 1972, hal. 11 ^ 15 lih: Saleh A.Nahdi, Soal-Jawab Ahmadiyah, hal. 8/10. ^ 16 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 34. 17 lih: Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jasa Imam Mahdi a.s. Chapter 4.3 Ahmadiyah Sebagai Crypto-Mohammadanisme 4.3 Demagoog Qadiani. 18 Bukan itu saja yang dipakai oleh Ahmadiyah untuk meluruskan jalan buat kenabian Mirza Ghulam Ahmad, melainkan juga mereka menggunakan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits. Mula-mula Ahmadiyah berkata dengan lantangnya: "Sekarang kita lihat arti khataman Nabiyin menurut pengertian Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Apakah beliau memahaminya, dalam arti tidak akan ada lagi Nabi sesudah beliau." 19 Apakah beliau memahaminya, benarkah kalimat itu dipakai dan ditujukan pada Nabi Muhammad?! Kiranya Ahmadiyah telah melakukan keasalahan, ceroboh dan kurang-ajar dalam bahasa dan akhlak terhadap Nabi. Sebelum sampai pada ucapan-ucapan Nabi sendiri, marilah kita lihat bagaimana Ahmadiyah mengutip dari ucapan Aisyah, isteri Nabi Muhammad s.a.w.: "Katakanlah Rasulullah itu khataman Nabiyin, tapi jangan dikatakan tidak akan ada Nabi sesudah beliau."20 Sungguh menggembirakan bahwa Ahmadiyah memperoleh landasan berpijak yang kuat daripada ucapan isteri Nabi itu. Dengan ucapan Aisyah itu, maka pintu kenabian sesudah Nabi Muhammad terbuka lebar-lebar. Sudah tentu para pengikut Mirza menyambut gembira ucapan Aisyah itu. Sekiranya perlu menambah maka tambahkanlah ucapan-ucapan dari isteri-isteri Nabi yang lain. Katakan juga bahwa Hafsah, Ummi Salamah berkata seperti apa yang dikatakan Aisyah itu. Tentu saja sangat lemah ucapan-ucapan demikian untuk dipakai menjadi dasar. Apakah beliau memahaminya? Seperti apa yang dikatakan Ahmadiyah terhadap Nabi Muhammad s.a.w. demikian Ahmadiyah mulai menggunakan Hadits-hadits untuk kepentingan. Mirza Ghulam. Lima tahun sesudah turunnya ayat khataman Nabiyin, demikian Ahmadiyah berkata, putera Nabi s.a.w. yang bernama Ibrahim wafat. Dalam hubungannya dengan wafatnya putera beliau ini, Nabi Muhammad s.a.w . bersabda: "Sekiranya dia (Ibrahim) terus hidup niscaya dia menjadi seorang Nabi yang benar. (Ibnu Majah)."21 Dari sabda Nabi tersebut di atas nyatalah pengertian Nabi kita yang sebe­narnya, pengertian yang tidak membenarkan faham bahwa khataman Nabiyin berarti penutup Nabi-nabi. Lebih jelas lagi Ahmadiyah mengatakan, bahwa sekiranya Rasulullah berpengertian tidak akan ada Nabi lagi sesudah beliau, niscaya tidak beliau katakan yang tersebut di atas.22 Ahmadiyah mengutip hadits tersebut dari ibn Majah jilid satu halaman 234, yang kedudukannya tanpa menyebut-nyebut sanadnya. Sedangkan kata "sekiranya" itu memberi arti "tidak mungkin terjadi" sebab sekiranya Ibrahim hidup, padahal ia telah wafat. Anehnya, sesudah seribu tahun lebih dari kewafatan putera Rasulullah s.a.w. itu, ada seorang yang berambisi mengambil­alih kesempatan yang mungkin ada pada Ibrahim untuk menjadi Nabi, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Oleh karena segala kemungkinan adanya Nabi baru tidak akan pernah ada dan tidak akan ada samasekali, bersabda Nabi Muhammad: "Kalau sekiranya ada Nabi sesudahku, maka Umarlah dia" (Masnad ibn Hambal Umar bin Khattab masih hidup tatkala Nabi Muhammad s.a.w. mengucapkan ucapan beliau tersebut. Dan tatkala beliau s.a.w. telah lama pergi, Umar masih ada, namun beliau hanyalah seorang Khalifah.) Ini bertepatan dengan sabda Rasul: "Adapun bani Israil itu terpimpin oleh Nabi-nabi. Tiap seorang Nabi wafat maka datanglah Nabi yang lain mengikutinya. Dan sesungguhnya sesudah saya tidak akan ada Nabi, melainkan Khalifah." (Ibn Hambal, Muslim, Ibn Majah) Akan tetapi ambisi yang meluap-luap itu tidak memungkinkan Mirza Ghulam mundur selangkah saja untuk membuang titel kenabiannya. Juga ia tidak akan berkompromi pada siapa saja untuk meninggalkan kerasulan­nya, keyesusannya, dan kemahdiannya . Saya ini Nabi, kata Mirza Ghulam Ahmad, dan saya bukan nabi palsu! Sebab nabi palsu sudah diberi definisi oleh Ahmadiyah, ialah, bahwa hidupnya singkat tidak lebih dari 23 tahun, setelah mana ia dan pengikut­pengikutnya hapus dari muka bumi dengan tiada meninggalkan bekas, mereka tidak memperoleh bantuan Tuhan.23 Dan kelahuilah bahwa Mirza Ghulam Ahmad hidup lebih dari 23 tahun. Untuk ini Ahmadiyah berkata: "Beliau hidup lebih dari 23 tahun setelah menerima wahyu dari pada Allah Ta'ala dan mengaku utusanNya. Orang yang mengaku terima wahyu dari Allah Ta'ala dan disiarkannya dengan pengakuannya sebagai utusan daripada Allah Ta'ala dan dia hidup 23 tahun atau lebih, maka (Qur'an mensahkan dakwanya. (seperti tersebut di dalam surat Al-Haqqah: 45-47) "24 Menarik buat ditelaah, bahwa Ahmadiyah menggunakan limit waktu 23 tahun, atau lebih untuk kebenaran suatu pendakwaan kenabian sesudah Nabi Muhammad s.a.w. Bahkan Al-Qur'an yang mensahkan kenabian baru itu seperti tersebut dalam surah Al-Haqqah ayat 45-47. Padahal isi ayat itu tidak ada hubungannya dengan pengesahan sesuatu kenabian baru. Ayat dari Al-Haqqah itu terjemahnya sebagai berikut: "Sebab itu biarkanlah Aku (menyiksa) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Qur'an). Nanti akan Kami turunkan (siksaan) kepada mereka sedikit demi sedikit, sedang mereka tiada tahu. Aku beri mereka tempo, sungguh tipu muslihatKu (siksaanKu) amat kuat. Bahkan adakah engkau (ya Muhammad) meminta upah kepada mereka lalu mereka merasa keberatan membayarnya? Atau adakah di sisi mereka (ilmu) ghaib, lalu mereka menuliskannya?" Jelas ayat-ayat tersebut tidak mempunyai kaitan atau hubungan apa-apa dengan dakwaan nabi baru sesudah ke-Nabian Muhammad s.a.w. Adapun alasan limit waktu yang dipakai Ahmadiyah yakni 23 tahun itu, adalah masa yang telah dilalui oleh perjuangan Rasulullah s.a.w. Jika 23 tahun tersebut diterapkan oleh Ahmadiyah pada Mirza Ghulam Ahmad, maka sungguh kelihatan bahwa pegangan yang demikian itu adalah lucu. Andaikata ada orang mengaku Nabi sesudah kenabian Muhammad s.a.w., dan ia hidup lebih dari limapuluh tahun, menyiarkan kenabiannya dan matinya tidak terbunuh, maka kenabiannya itu tetap sebagai satu kepalsuan. Abad­abad terakhir ini banyak kepalsuan-kepalsuan bertahan berpuluh­puluh tahun bukan karena kebetulan saja, melainkan karena keorganisasiannya yang rapi dan landasan hidupnya yang kuat serta tameng pelindungnya yang ampuh. Adalah satu contoh seperti Ahmadiyah ini yang datang menyusup­nyusup ke dalam tubuh Islam dengan merangkak-rangkak kemudian tegak dan mulai berbicara lantang bahwa ialah yang mewarisi kesejatian agama, membawa ajaran-ajaran yang kacau dan mengacaukan ketenangan iman ummat Islam, mendakwa diri dengan seribu macam pangkat, nama, keturunan, tingkah-laku, merupakan contoh yang bisa diidentikkan dengan kelakuan-kelakuan biadab, penghinaan maupun maki-makian yang keji terhadap pribadi Nabi Muhammad s.a.w. perusakan mesjid-mesjid, pembunuhan biadab pada ummat Muhammad, penghinaan kepada Allah, syirik, anti Tuhan, anti Agama, dimana mereka itu hidup lebih dari duapuluh tahun. Jika sekiranya Tuhan telah membinasakan nabi-nabi palsu maka seharusnyalah Tuhan juga membinasakan kejahatan-kejahatan di atas. Kedua­duanya tidak berbeda bahkan sejalan! Kembali kita pada persoalan-persoalan Ahmadiyah dimana dis­ajikan berbagai dalil guna menguatkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad, maka sampailah kita pada ucapan-ucapan tokoh-tokoh Ahmadiyah, antara lain Bashiruddin Mahmud Ahmad, putera Mirza Ghulam Ahmad itu berkata: "Dan beliau s.a.w., sahkan kebenarannya semuanya Nabi-nabi baik yang dahulu baik yang akan datang. "25 Maknanya Nabi Muhammad telah mensahkan kebenaran Nabi-nabi, baik yang datang sebelum beliau maupun Nabi-nabi yang datang sesudah beliau. Jika yang dimaksud oleh Bashiruddin bahwa sesudah Nabi Muhammad ada Nabi seorang saja yang disahkan, maka itulah sebenarnya yang menjadi tujuannya dan tujuan Ahmadiyah. Akan tetapi kenyataan dari ucapan Bashir itu tidak demikian, sebab ia mengatakan nabi-nabi yang berarti banyak Nabi. Bukan begitu, tukas Ahmadiyah, melainkan banyak Nabi sebelum Nabi Muhammad dan hanya satu Nabi sesudah beliau. Itu hanyalah tergelincir pena atau keliru cetak. Maka untuk sejenak kesalahan ucapan Bashir itu kita lampaui saja. Baiknya melihat keterangan-keterangan atau dalil-dalil lain seperti yang diucapkan tokoh-tokoh Ahmadiyah lainnya. Berkata Ahmadiyah: "Bahwa Nabi sesudah Nabi Muhammad itu kita akui ada dan seterusnya akan ada."26 Muncul lagi Kata-kata "dan seterusnya akan ada" yang tentunya mengandung arti akan berdatangan Nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad, bukan begitu ? Dimana dan siapa-siapa mereka gerangan Nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad yang disahkan itu? Bashiruddin tampil kemudian dengan memamerkan beberapa Nabi-nabi akan tetapi sayangnya mereka Nabi­nabi palsu belaka, yaitu Musailamah, Aswad Al-Ansi, Syajjah Al-Kahinah, Abdullatif, Maulawi Muhammad Jar, Zahiruddin Abdullah Timapuri, dan Nabi Bux.27 Tentu saja bagi Ahmadiyah kedudukan Mirza Ghulam Ahmad tidak berada diantara Nabi-nabi palsu itu. Lantas dimana dan siapa Nabi-nabi sah yang seterusnya akan ada itu? Jika memang dicukupkan satu orang saja menjadi Nabi dan "seterusnya akan ada" itu ternyata menjadi seterusnya tidak akan ada, maka Ahmadiyah sewajarnya menjelaskan bahwa hal itu kebetulan juga salah cetak atau tergelincir lidah. Satu-dua kali keliru tidak apa-apa akan tetapi berulang-ulang salah, adalah memalukan sekali. Meskipun demikian, ternyata Ahmadiyah tidak kehilangan langkah buat menutup-nutupi kesalahannya, sebab kemudian Ahmadiyah berkata, bahwa adanya Nabi sesudah Nabi India Mirza Ghulam Ahmad, bisa saja dan mungkin, bila Tuhan menghendaki.28 Ahmadiyah masih memberi kesempatan, tentu saja bila Tuhan menghendaki, adanya Nabi pengganti Mirza Ghulam. Sikap lunaknya ini ternyata membelakangi sikapnya yang lain. Ahmadiyah masih menggoreskan kedalam hati pengikut­pengikutnya satu kebulatan iman bahwa Tuhan hanya akan mengutus satu Nabi saja sesudah kenabian Muhammad s.a.w. Cukup dan selesai dengan kenabian Mirza saja. Ahmadiyah berkata: "Didalam ummat Rasulullah yang mengikuti jejak beliau memper­oleh berkah ribuan hingga mendapat kedudukan wali. Tetapi satu orang ada yang menjadi ummati dan juga menjadi Nabi."29 Satu orang cukup dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, yang lain wali­wali. ---- catatan kaki ---- 18 Demagoog Qadiani ialah seorang pembohong dari Qadian yakni Mirza Ghulam. ^ 19 lih. Saleh A.Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 10 ^ 20 lih.M.Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, Wisma Damai Bandung, 1967, hal. 12: (qulu innahu khatamul ambiya'i wa la taqulu la nabiyya ba'dahu) 19). ^ 21 lih. Saleh A.Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 10 ^ 22 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 36. ^ 23 lih: Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 46. ^ 24 lih: sayyid Shah Muhammad, Menyingkap Keraguan, Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tahun tidak ada, hal. 18. ^ 25 lih. Bashirudin Mahmud Ahmad, jasa-jasa Imam Mahdi, hal. (e) ^ 26 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 16. ^ 27 lih: Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jasa-jasa Imam Mahdi, hal. 15. ^ 28 lih: Syafi R. Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa? hal. 6 ^ 29 lih: Saleh A. Nahdi, Mengapa dua Ahmadiyah? Jogyakarta, 1966, hal. 19. ^ Chapter 4.4 - 4.5 Ahmadiyah Sebagai Crypto-Mohammadanisme 4.4 Watak Yahudi Tingkah laku yang disukai oleh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyah­nya ialah mengubah makna maupun tujuan dari ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits dengan selera serta kepentingan mereka. Seperti watak yang dimiliki kaum Yahudi, yaitu yuharriful alkalimah an-mawadi'ih, maka begitulah sikap dan kelakuan kaum Ahmadiyah ini. Dalam suatu penjelasan atas sebuah hadits yang menerangkan tentang kesudahan Nabi pada Nabi Muhammad, Ahmadiyah menyatakan pendiriannya yang menarik. Lebih dahulu kita ketahui isi hadits tersebut, yaitu: "Misal aku dengan Nabi-nabi yang sebelum aku seperti seorang laki-laki yang telah mendirikan sebuah gedung yang indah tetapi ketinggalan satu bata dan mereka bertanya mengapa tidak engkau pasang sebata yang ketinggalan itu. Akulah bata itu dan aku juga kesudahan Nabi-nabi."30 Apabila Hadits tersebut dipakai oleh ulama-ulama dengan mengkiaskan satu bata itu untuk menyatakan kenabian Muhammad sebagai Nabi terakhir, maka menurut Ahmadiyah, itu adalah satu penghinaan atas diri beliau. Adakah beliau hanya seperti batu bata saja bagi sebuah gedung yang indah bentuknya itu? Jika dimisalkan dengan tiang mungkin juga diterima, tapi jika Nabi s.a.w. cuma sekedar batu bata saja, sangat keterlaluan, padahal Nabi Muhammad s.a.w. lebih dari Nabi-nabi yang lain bahkan dari Malaikat-malaikat sekalipun.31 Akhirnya karena itu satu penghinaan pada Nabi Muhammad, maka Ahmadiyah mengajukan satu pembelaan juga. Adapun yang dimaksud dengan satu bata itu, kata Ahmadiyah, ialah syari'at atau Agama. Syari'at yang telah diturunkan kepada Nabi-nabi yang dahulu merupakan satu gedung yang masih kurang (satu bata, bukan? pen.) maka dengan kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. sempurnalah gedung itu.32 Yang menarik dari penjelasan Ahmadiyah di atas ialah bahwa satu bata itu jika dimisalkan Nabi Muhammad adalah satu penghinaan. Yang benar, kata Ahmadiyah, bahwa satu bata itu adalah syari'at atau Agama, yakni Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Coba bayangkan bahwa gedung yang indah itu diibaratkan syari'at-syari'at Nabi-nabi yang sebelum Nabi Muhammad. Kemudian karena masih ketinggalan satu bata yaitu masih ada satu lobang bata pada gedung yang indah itu. Maka syari'at Nabi Muhammadlah pengisi lobang sebata itu. Apakah ini bukan penghinaan juga?! Ataukah ada pengertian lain dari Ahmadiyah, bahwa setiap batu-bata pada bangunan yang indah itu adalah syariat atau agama nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Hal ini perlu kiranya minta bantuan Ahmadiyah untuk menaksir berapa jumlah batu bata yang terdapat pada gedung yang indah itu? Jelasnya berapa puluh ribu syariat atau agama sebelum syariat/agama Islam datang? Apa yang dikatakan Ahmadiyah itu adalah nonsense, omong-kosong. Itu tidak lain satu penghinaan atas diri Nabi dan atas syariat yang dibawa beliau. Selanjutnya Ahmadiyah mengatakan bahwa hadits tersebut adalah dha'if atau lemah dan para perawi dalam hadits itu tidak dapat dijadikan ukuran dan pegangan.33 Pada akhirnya Ahmadiyah mengatakan bahwa dalam hadits itu ada satu keganjilan yang perlu dipikirkan disini. Kalau hadits itu shahih dan Nabi kita s.a.w. sudah menyempurnakan gedung indah dengan penutup lobang yang tadinya terbuka dengan kedatangan beliau. Dalam gedung yang sudah demikian itu Nabi Isa a.s. akan menjadi sebagai apanya? Kita berdasarkan Qur'an dan Hadits masih menunggu kedatangan Nabi, dalam hadits dikatakan nabi Isa akan datang.34 Terakhir Ahmadiyah bertanya: "Kalau kita ibaratkan Nabi Isa sebagai batu-bata pula dalam rangka susunan Nabi-nabi, maka dimana batu-bata ini akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya itu?"35 Sekali lagi ulasan Ahmadiyah di atas menarik untuk dibahas. Untuk menjawab pertanyaan: dimana batu-bata Nabi Isa akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya itu? Ahmadiyah telah menjawab pertanyaan ini, akan tetapi dua jawaban, dari mereka satu sama lain sudah tidak sama. Yang pertama Ahmadiyah menjawab: "Hendaknya dikatakan, masih tinggal dua batu bata lagi yaitu batu-bata nabi Muhammad s.a.w. dan batu-bata nabi Isa a.s. yang akan turun di akhir zaman.36 Jawaban mereka yang pertama ini jelas mengandung satu penghinaan pada nabi Muhammad. Beliau s.a.w. diibaratkan satu bata saja dan beliau disejajarkan dengan satu bata lainnya yakni batanya nabi Isa a.s. akhir zaman yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Kemudian pada jawaban yang kedua, Ahmadiyah berkata: "Itulah sebabnya untuk menyempurnakan syariat-syariat para nabi terdahulu itu datanglah nabi Muhammad membawa syariat Al-Qur'an yang sempurna. Yang sempurna itu tak memerlukan lagi perubahan apapun dalam gedung indah itu. Tetapi untuk merawat, mengapur, membersihkan dan menjaga gedung itu diperlukan seorang petugas, dan untuk memelihara kebun dan halamannya diperlukan tukang kebun yang diberi tugas oleh Tuhan."37 Disini pada jawaban yang kedua, gedung indah itu sudah tidak ada lobangnya lagi sebab sudah terisi dengan Nabi Muhammad. Jadi yang ditanyakan oleh Ahmadiyah, dimana batu bata ini akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya lagi? Telah dijawab sendiri oleh mereka, sedang Nabi Isa itu hanya tukang kapur, tukang sapu, tukang kebun dan tukang rawat atas gedung indah itu. Apa tidak kurang kalau hanya seorang tukang yang merangkap segala pekerjaan atas gedung yang indah itu? Salah-salah Tukang itu (Mirza Ghulam Ahmad) bisa kelabakan, letih dan sakit-sakitan, bukan begitu? Memang ternyata demikian keadaan si tukang Mirza Ghulam itu. Ia sakit-sakitan saja dan kelak kita akan mengetahui betapa hebatnya sakitnya dan betapa pula effeknya terhadap tugasnya itu. Dengan jawaban yang pertama yaitu bahwa seharusnya ada dua batu-bata pada gedung indah itu, dan pada jawaban yang kedua, bahwa sudah tidak ada lobang untuk pengisian satu bata iagi, sehingga Nabi Isa (Mirza Ghulam) bukan lagi satu batu-bata melainkan hanya tukang kebun dan lain-lain itu, di sinilah Ahmadiyah berbeda jawab satu dengan yang lainnya. Lebih menarik lagi kalau kita terus memperhatikan ulasan Ahmadiyah atas hadits tersebut di atas. Sebagaimana tersebut Ahmadiyah menyatakan bahwa hadits itu adalah dha'if dan dengan sendirinya tidak dapat dijadikan ukuran dan pegangan.38 Kalau sudah dinyatakan dha'if buat apa dipakai dan diperpanjang uraiannya bertele-tele?! Dha'if ya sudah, tidak perlu lagi. Akan tetapi rupa-rupanya tidak demikian yang diniatkan oleh Ahmadiyah. Sebab hadits itu masih dipakainya dan kemungkinan untuk terlaksananya satu pengisian batu-bata pada lobangnya masih diharapkan dan dipastikan ada. Untuk ini lebih tepat kalau kita mendengar langsung ucapan yang disampaikan oleh Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Ia berkata tentang hadits itu: "Adalah golongan Nabi-nabi yang diibaratkan satu gedung itu kekurangan satu batu-bata, maka Allah akan cukupkan dan sempurnakan gedung itu dengan satu bata yang akhir. Maka akulah bata yang terakhir itu, hai orang yang melihat! "39 4.5 Mirza Pelepas Azab Itulah yang diniatkan oleh Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya, bahwa hadits itu tidak dha'if dan bahwa satu bata itu memang ada, jadi bukan dua bata, dan bukan tukang kapur maupun tukang kebunnya gedung indah itu. Yang jelas bagi Ahmadiyah, bahwa semua Nabi-nabi itu ibarat batu-batu bata, termasuk Nabi Muhammad s.a.w. dan satu batu-bata yang kekurangan atas gedung itu diisi oleh Mirza Ghulam Ahmad, sebab dialah Nabi yang terakhir itu. Selanjutnya Ahmadiyah masih mengutarakan dalil-dalilnya yang lain, dalam rangka menyongsong kedatangan nabi baru sesudah kenabian Muhammad s.a.w. Mereka lebih suka menggunakan ayat-ayat Qur'an dan sekaligus mengartikan sesuai dengan maksud-maksud mereka. Ayat 15 dari surah Bani Israiel, oleh Ahmadiyah diartikan: "Tidaklah kami menurunkan adzab, melainkan kami kirimkan Rasul lebih dahulu. Ini untuk mencegah agar jangan sampai orang-orang nanti pada hari qiamat menyoal: {surah Thoha ayat 134): Wahai Tuhan kami, kenapa Engkau tidak mengirimkan Rasul kepada kami lebih dahulu supaya kami dapat menurut ayat-ayat Engkau sebelum kami menderita kehinaan dan sengsara." Kemudian ayat lain yang berbunyi, ayat 58 Bani Israil: "Tidaklah satu dusunpun sebelum berdirinya kiamat, melainkan kami akan membinasakan atau mengadzabnya dengan sehebat-hebatnya." Dari kedua ayat ini, demikian Ahmadiyah menegaskan, kita dapat mengam­bil kesimpulan bahwa kedatangan Rasul-rasul sebelum hari kiamat bukan mungkin saja, bahkan harus dan pasti.40 Lagi-lagi Ahmadiyah mengatakan Rasul-rasul yang akan datang. Kedatangan Rasul-rasul itu justru untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari kehancuran dan kesengsaraannya. Bila kehancuran itu terjadi? Ahmadiyah menjawab: "Ummat Islam telah mengalami kehancuran dua kali. Kehancuran pertama tatkala penyerbuan raja Moghol, Hulagu Khan, pada tahun 1258 itu, dan kehancuran yang kedua tatkala berada di bawah penjajahan imperialisme Barat. "41 Karena dua kali kehancuran inilah maka Tuhan mengirim Rasul-rasulNya. Siapakah rasul yang dikirim Tuhan pada tahun 1258 itu dan siapa Rasul yang dikirim pada masa penindasan imperialisme Barat itu? Kaum Ahmadiyah tidak pernah menyebut-nyebut nama rasul yang diutus Tuhan pada tahun penyerbuan Hulagu Khan itu. Melainkan hanya satu rasul yang diutus pada masa penindasan imperialisme Barat, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Ada kemungkinan Mirza rnerangkap sebagai rasul tahun 1258 itu juga. Sungguh menarik, bagaimana ia dapat menyelamatkan adzab sengsara kaum Muslimin pada tahun 1258 itu, padahal Mirza Ghulam Ahmad baru muncul ke dunia ini lima ratus tahun kemudian. Tentunya dari saat ke saat kaum Muslimin yang hidup antara 500 tahun itu akan mengajukan soal pada Tuhan: "Wahai Tuhan kami, kenapa Engkau tidak kirim rasul-Mu?" Justru pada waktu itulah saat yang paling tepat bila Tuhan mengutus rasul-Nya,dan tidak menunggu sampai Mirza Ghulam Ahmad lahir. Kemudian pada kehancuran kaum Muslimin yang kedua kalinya, Tuhan telah mengirimkan: rasulNya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Yang penting untuk ditanyakan di sini, apakah gerangan kiranya yang dibuat Mirza Ghulam Ahmad untuk menyelamatkan kaum Musilmin dan penindasan imperialisme Barat?! Berikut ini Ahmadiyah mengemukakan satu dalil dari Al­Qur'an. Diambil dari surah An-Nisa' ayat 69 yang berbunyi: "Barangsiapa yang menurut perintah Allah dan RasulNya, nabi Muhammad s.a.w., mereka akan termasuk golongan orang­orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu, nabi-nabi orang­orang siddiq, syahid, dan saleh." Jelasnya mereka sebagai ummat selaras dengan keimanan kesetiaan dan keikhlasan mereka masing-masing dan taufik Ilahi menyertainya pula dapat menerima keempat kedudukan tersebut. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ummat Islam sebagai ummat yang terbaik dan patuh serta setia kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. mereka akan diberi empat macam nikmat yaitu: menjadi nabi, menjadi siddiq, menjadi syahid dan menjadi orang saleh. "42 Ahmadiyah meneruskan lagi uraiannya tentang ayat An-Nisa' itu dengan mengatakan, dan jika perkataan minannabiyin (dari Nabi-nabi) dihubungkan dengan perkataan wa man yuthi'illaha warrusula (dan barangsiapa mengikut Allah dan rasul) maka adalah perkataan minan nabiyin itu tafsir (penjelasan) dari kalimat wa man yuthi'ilaha {barangsiapa yang mengikut Allah). Akhirnya Ahmadiyah berkata: "Maka dengan susunan seperti ini sudah pasti adanya nabi-nabi pada masa rasul atau kemudian beliau yang akan mengikut beliau. "43 Yang menarik buat kita bukan saja adanya nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad melainkan kata-kata: ada nabi-nabi pada masa rasul. Untuk apa ditulis itu, apa Ahmadiyah buta pada sejarah atau membodoh-bodohi pengikut­pengikutnya. Lebih baik sebut saja: nabi-nabi di kemudian beliau. Inipun tidak terlepas juga dari blundernya, sebab nabi-nabi itu masih ditulisnya jua. Lebih menarik lagi pada watak Ahmadiyah ialah mengubah arti dan tujuan dari ayat-ayat Al-Qur'an. Seperti dalam surah An-Nisa' tersebut di atas, pengertiannya, bukanlah dimaksud bahwa yang taat pada Allah dan RasulNya akan diberi nikmat menjadi nabi-nabi, siddiqin, syuhada, dan shalihin, melainkan bagi mereka yang taat akan diberi nikmat sebagaimana nikmat yang diterima oleh para nabi, siddiqin, syuhada' dan shalihin. Jika ada dari orang-orang itu muttaqin, shabirin, syakirin, mu'minin, maka Allah akan memberi nikmat sebagaimana yang diterima oleh Nabi-nabi siddiqin syuhada' dan shalihin. Bukankah yang diharap mereka itu ialah keridhaan Allah di dunia dan di akhirat? Jadi jelas bukan nikmat menjadi nabi-nabi. Memang benar sudah banyak ummat Muhammad s.a.w. yang siddiqin, syuhada dan shalihin, tapi tidak pernah ada yang nabiyin, bahkan tidak pernah ada yang nabi, sekalipun. Itu hanya satu kecerdikan Ahmadiyah dengan tujuan membuka jalan bagi masuknya Mirza Ghulam Ahmad menjadi nabi. Dan inipun juga satu kecerdikan kaum Ahmadiyah yang lain. Diambilnya dari surah Al-Maidah ayat 21: "Dan ketika nabi Musa a.s. berkata pada kaumnya (Bani Israel) wahai kaumku, ingatlah kamu pada, nikmat Allah yang telah diberikannya kepadamu yaitu waktu ia mengangkat diantara kamu menjadi Nabi-nabi dan raja-raja." Ayat ini tegas menjelaskan bahwa ummat Islam pasti akan menerima kedua macam nikmat tersebut. Nikmat yang kedua sudah sempurna yaitu sudah banyak sekali ummat Islam yang telah menjadi raja-raja dan nikmat yang kedua pasti sempurna pula. "44 Demikian Ahmadiyah. Yang dimaksud nikmat pertama yang ditunggu-tunggu kaum Muslimin ialah nikmat menjadi nabi-nabi. Nikmat yang kedua menjadi raja-raja sudah banyak dan kalau nikmat itu sudah dirasakan ummat Muhammad, maka itu sudah berlawanan dengan kenyataannya. Justru raja-raja dalam Islam tidak ada dan syari'at Muhammad s.a.w. tidak mengenal kerajaan serta tidak mengajarnya. Raya-raja yang bangun di kalangan kaum muslimin adalah raja­raja yang banyak mendzalimi rakyatnya, dan hanya menikmati kemewahan harta dan perempuan. Apakah yang demikian satu kenikmatan dari Allah?! Ahmadiyah hanya omong-kosong. Apatah lagi datangnya nikmat inabi-nabi sesudah Nabi Muhammad. ---- catatan kaki ---- 30 lih: A. Nuruddin, arti hakiki dari ayat katamannabiyin, hal. 44 ^ 31 idem. ^ 32 idem. ^ 33 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54. ^ 34 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54. ^ 35 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 55. ^ 36 lih: A. Nuruddin , khataman nabiyin , hal. 45. ^ 37 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 55. ^ 38 lih: Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 54. ^ 39 lih: Mirza Ghulam Ahmad, Khutbat-ul-Ilhamiyah, hal. 32: (fa kaana khaliyan maudi'u labinatin, au'nil mun-amaq alaihi min hadzihil imarah, fa aradha Allahu an yutimma-nabaa' wa yukmila-al-binaa bil labinati - akhirah, fa-ana tilkal-labinatu ayyuhan - nadhiruun.) ^ 40 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal 22. ^ 41 lih: Ali Muchajat, Hakikat al-Masih, Jakarta Al-Busyra, tanpa tahun, hal. 53. ^ 42 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian hal. 20. ^ 43 lih: idem hal. 21/22. ^ 44 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 17/18. ^ Chapter 4.6 Ahmadiyah Sebagai Crypto-Mohammadanisme 4.6 Cabiklah Tirai Itu Satu ucapan tidak beres yang berkali-kali dilontarkan Ahmadiyah. Namun demikian kalau sekiranya hendak ditanggapi obrolan Ahmadiyah itu, hanya semata-mata for the sake of arguments saja, katakanlah bahwa menjadi raja­raja di kalangan ummat Islam itu adalah satu kenikmatan dari Allah, lantas menjadi nabi-nabi, yang mana mereka itu? Satu hal yang pasti ialah bahwa Ahmadiyah hanya memiliki satu nabi saja sesudah Nabi Muhammad s.a.w., yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Jika ini dikatakan satu kenikmatan pula, maka yang dimaksud ialah kenikmatan buat Mirza sendiri, ketuarganya maupun para pengikut-pengikutnya yang setia. Bahkan kenikmatan itu begitu besarnya sehingga Ahmadiyah berani mengatakan bahwa ayat-ayat 6 dan 7 dari surah Al-Fatihah, tidak lain ditujukan bagi datangnya Mirza Ghulam. Jelasnya, menurut Ahmadiyah bahwa dari surah Al-Fatihah ayat 6 dan ayat 7 yang berbunyi: "Tunjukilah kami ke jalan yang lurus yaitu jalan yang telah Engkau tunjukkan kepada orang-orang yang telah Engkau beri nikmat." Ayat ini, demikian Ahmadiyah, ialah ayat di mana Allah telah memerintahkan kepada ummat Islam supaya sebagai ummat meminta kepadaNya, agar nikmat-nikmat yang pernah diterima oleh ummat dahulu terutama kaum Bani Israiel (Yahudi) diberikan pula pada mereka. Apakah nikmat-nikmat itu? Tidak lain, kata Ahmadiyah, ialah menjadi raja-raja dan nabi-nabi.45 Jadi bagi kaum Muslimin yang selalu mengucapkan do'a dalam Al-Fatihah pada waktu mereka melakukan shalat, tujuh belas kali sehari semalam itu, ternyata do'a mereka telah dikabulkan Tuhan yaitu, dengan munculnya Mirza Ghulam Ahmad dari India, sebagai satu-satunya nabi. Pantas juga kalau orang­orang pengikut Mirza mengatakan bahwa kedatangan Mirza sebagai fadhlan kabiran (buat siapa?!) Last but not least, untuk lebih banyak mengenal model watak ke-Yahudian kaum Ahmadiyah ini, kita melihat satu uraian lagi dari mereka, dimana satu khabar gembira dari Tuhan telah turun pada Mirza Ghulam Ahmad, isi kabar itu ialah: "Hai Mirza engkau dari Aku dan Aku dari engkau. "46 Wahyu Tuhan di atas sangat menggembirakan Mirza Ghulam, akan tetapi bagaimana mengartikannya? Satu hal yang tidak beres pada Ahmadiyah; bagaimana Tuhan bisa dikatakan dari Mirza dan Mirza dikatakan dari Tuhan? Apanya yang dari Tuhan dan apanya Tuhan yang dari Mirza Ghulam? Ada lagi wahyu yang bikin Mirza Ghulam Ahmad lebih bergembira: "Wahai bulan (Mirza) engkau dari padaKu dan Aku dari padamu. "47 Andaikata wahyu Tuhan itu diartikan harafiah, maka kata-kata itu jelas keluar dari akal tidak waras. Tentu saja Ahmadiyah menolak tuduhan semacam itu. Maka inilah pengertian mereka yang disodorkan ke tengah­tengah pengikutnya. Mula-mula dikemukakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda pada Sayyidina Ali r.a.: "Hai Ali engkau dari padaku, dan aku dari padamu. "48 Kemudian dikemukakan contoh lain, yaitu ketika Nabi Muhammad bersabda pada suku Asy'ari, ialah: "Mereka dari padaku dan aku dari pada mereka. "49 Akhirnya Ahmadiyah bertanya tentang contoh-contoh yang dikemukakannya itu: anehkah itu dan ganjilkah? Dijawab sendiri oleh Ahmadiyah: "Ini senafas dengan ilham di atas, yakni ilham Tuhan pada Mirza di atas."50 Tentu saja kalau Ahmadiyah yang menjawab, tidak aneh dan tidak ganjil wahyu Tuhan pada Mirza itu. Akan tetapi obrolan-obrolan mereka itu lebih daripada aneh dan ganjil, malah sangat tidak beres maupun tidak karuan. Bahwa nabi Muhammad pernah bersabda, beliau s.a.w. daripada suku Asy'ari dan suku tersebut dari pada Nabi, ucapan yang demikian itu wajar, sebab terjadi antara dua jenis yang sama yaitu manusia. Juga sabda beliau s.a.w. pada sayyidina Ali tersebut di atas, wajar pula adanya. Bahwa Nabi adalah sepupu Ali bin Abi Thalib r.a., Nabi dipelihara ayah Ali, dan Ali diambil Nabi, dikawinkan pada puteri beliau, kemudian Nabi bersaudara dengan Ali, maka sungguh bahwa Nabi dari pada Ali dan Ali dari pada Nabi s.a.w. Terserah pada Ahmadiyah kini kalau mereka hendak menurunkan martabat Ketuhanan pada dan menjadi martabat manusia seperti Mirza Ghulam Ahmad itu; suatu kebodohan pada akal yang cerdik. Bahkan kecerdikan itu bertambah­tambah karena ucapan-ucapan mereka yang salah. Antara lain Ahmadiyah mengemukakan contoh ayat-ayat al-Qur'an yang diartikan menurut selera mereka, misalnya ayat 249 dari surah Al-Baqarah. Anak buah Mirza Ghulam Ahmad ini mengartikan ayat tersebut sebagai berikut: "Siapa yang minum dari padanya (air sungai) dia bukan dari padaKU." (faman syariba minhu falaisa minni).51 Kemudian Ahmadiyah bertanya: "Apakah ini berarti bahwa orang yang tidak minum air sungai itu dia dari pada TUHAN?" Inipun senada dengan ilham Tuhan pada Mirza di atas tadi.52 Cobalah perhatikan bagaimana Ahmadiyah telah mengubah makna dari ayat tersebut dan sekaligus mengubah jalannya sejarah. Mereka suka mengambil ayat-ayat Al-Qur'an hanya potong-potongannya saja. Tentu saja mereka bermaksud untuk menguatkan ucapan-ucapan mereka. Padahal kelengkapan makna dari surah Al-Baqarah ayat 249 itu ialah sebagai berikut: "Maka ketika Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu yang meminum airnya bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada merasakan airnya kecuali orang yang hanya menciduk seciduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Itulah arti yang sebenarnya sesuai dengan sejarah terjadinya peristiwa itu. Bukan diartikan seperti kehendak kaum Ahmadiyah, bahwa yang minum air dari sungai itu, ia bukan dari padaKu (TUHAN). Ini pengertian yang dibuat­buat atau sikap ke-Yahudiannya dengan yuharrifun-al-kalimah an-mawadhi'ih, selalu tampak menyolok pada mereka. Contoh lain daripada watak-watak menyalah-gunakan arti dan tujuan dari ayat-ayat Al-Qur'an, dikemukakan lagi oleh golongan Mirza Ghulam Ahmad ini. Ahmadiyah mengatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi yang dinanti-nantikan itu telah disabdakan Nabi Muhammad dalam sabda beliau: "Sesungguhnya bagi kedatangan Imam Mahdi itu ada dua tanda yang belum pernah terjadi sejak dijadikan langit dan bumi oleh Allah. Tanda itu ialah: akan terjadi gerhana bulan pada permulaan bulan puasa dan gerhana matahari pada pertengahan bulan puasa yang sama. Kejadian serupa ini belum pernah terjadi sejak dijadikannya langit dan bumi oleh Allah." Tanda-tanda tersebut yang dinyatakan dalam hadits di atas, telah terjadi sesuai dengan berita yang tertera, yaitu terjadi pada tahun 1311 hijriah atau bertepatan dengan tahun 1894 masehi.53 Tanda-tanda yang istimewa itulah yang menyongsong kedatangan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi yang dinanti-nantikan. Menurut Ahmadiyah keistimewaan tanda-tanda dari datangnya Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Mahdi Al-Ma'huud itu, telah disinggung secara nyata, baik dalam kitab Beibel maupun dalam Al-Qur'anul Karim.54 Lebih lanjut meneruskan, bahwa Yesus telah memberi isyarat akan saat-saat kedatangan beliau yang kedua kalinya itu dalam kitab Beibel. Dalam surat Mattius 24;29, tanda-tanda itu dikatakan: "Maka sejurus kemudian daripada ketika sengsara itu, matahari akan dikelamkan, dan bulan juga tiada akan bercahaya."55 Itulah kutipan Ahmadiyah dari Beibel yang menggambarkan saat-saat kedatangan Yesus kembali. Orang-orang Ahmadiyah ini ternyata berbicara cukup hanya pada dua tanda saja. Tanda pertama, matahari akan dikelamkan, dan tanda kedua, bulan tiada akan bercahaya. Apabila kita melihat sepintas saja akan kejadian-kejadian dari matahari dan bulan di atas, maka kita melihat seolah-olah memang sudah terjadi gerhana bulan dan matahari, dalam bulan yang sama pula. Akan tetapi pada kenyataannya peristiwa bulan tidak bercahaya dan matahari akan dikelamkan itu, sama sekali bukan satu gerhana, sebagaimana yang diuraikan kaum Ahmadiyah. Melainkan satu peristiwa yang terjadi pada saat-saat dunia akan kiamat. Dan bukan itu saja tanda-tanda yang ada dalam kalimat Mattius 24: 29 itu, melainkan lebih dari itu. Justru disinilah kelihatan lagi hobby dari kaum Ahmadiyah, bahwa mereka senang sekali memotong-motong ayat-ayat Al-Qur'an maupun kalimat-kalimat dalam Beibel. Padahal kalimat dalam Mattius 24: 29 itu masih panjang, dan bila diteruskan bunyinya: "... dan segala bintang di langit akan gugur, dan segala kuat-kuasa yang di langit itupun akan berguncang-gancing." Apa sebab Ahmadiyah membatasi tanda-tanda itu hanya pada matahari kelam dan bulan tiada bercahaya? Jawabnya diberikan oleh mereka sendiri. Hanya tanda-tanda itu saja yang disebut sebab tanda-tanda yang menyongsong datangnya Al-Mahdi Al-Mahuud Mirza Ghulam Ahmad Qadiani. Yang menarik buat cerita di sini, ialah bahwa kepercayaan orang-orang Kristen tentang "the second coming"nya Yesus Kristus itu, telah diambil alih dan dioper oleh seorang lain, yang mungkin mengaku dirinya sebagai baruz atau inkarnasinya Yesus Israeli itu. Justru orang istimewa si pengoper kedudukan Yesus ini, tidak lain juga Mirza Ghulam Ahmad. Alhasil entah harus berapa kali nama Mirza Ghulam disebut-sebut dalam tulisan ini. Pokoknya ia menjadi tokoh dalam cerita di sini. Tentu saja tokoh pahlawan buat keluarga pengikut­pengikutnya dan mereka yang antipati pada Islam dan ummatnya. Alangkah bahagia Ahmadiyah bahwa kitab suci orang-orang Kristen telah menyambut kedatangan Mirza, dan sungguh lebih berbahagia lagi bila Al­Qur'anul Karim ikut menyambut pula padanya. Kelihatannya Tuhan benar­benar menaruh segala pengharapanNya pada orang India ini. Dan memang itulah yang dinyatakan sendiri oleh Ahmadiyah bahwa Al­Qur'anul Karim bukan saja menyambut Mirza Ghulam sebagai AHMAD yang DIJANJIKAN56 melainkan juga sebagai IMAM MAHDI yang DINANTI­NANTIKAN. Mengutip dari Al-Qur'an, Ahmadiyah berkata: "Kitab suci Al-Qur'an berbicara tentang hari kebangkitan itu: Maka apabila pemandangan itu begitu mencengangkan, dan bulan telah gelap cahayanya (gerhana), dan matahari serta bulan telah dihimpunkan.' (Antara lain Qur'an 75: 7-10) Maka pertemuan antara bulan dan matahari itu berkenaan jatuhnya dua gerhana sekaligus terjadi dalam satu bulan yang sama, yaitu bulan Ramadhan seperti yang tersebut dalam hadits. Dua gerhana sekaligus itu mengambil tempat persis pada tahun 1311 hijrah atau 1894 masehi." 57 Demikian uraian Ahmadiyah dan kutipannya dari surah Al-Qiyamah ayat 7 sampai dengan ayat 10. Marilah kita lihat bagaimana kaum Ahmadiyah dalam hal ini putera Mirza Ghulam sendiri, telah bersilat pena. Mula-mula Ahmadiyah mengambil dari surah Al-Qiyamah itu jumlah 4 (empat) ayat, yaitu dengan menulis di pojok kanan dari terjemahannya angka­angka: Al-Qur'an 75: 7-10, yang berarti ayat ketujuh sampai dengan kesepuluh dari surah Al-Qiyamah telah dikutipnya. Akan tetapi anehnya, mereka tidak menterjemahkan empat ayat, melainkan hanya dua ayat saja, yaitu ayat ketujuh sampai dengan kedelapan. Kedua, cara Ahmadiyah menterjemahkan dua ayat, tujuh dan delapan dari surah Al-Qiyamah itu jauh menyimpang dari maknanya bahkan dari peristiwa yang terkandung di dalamnya. Mereka, anak buah Mirza Ghulam ini menterjemahkannya ayat-ayat itu sebagai berikut: "Maka apabila pemandangan itu begitu mencengangkan, dan bulan telah gelap cahayanya (gerhana), dan matahari serta bulan telah dihimpun. "58 Kemudian Ahmadiyah mengartikan matahari dan bulan telah dihimpun itu, dengan kata-kata: "Maka pertemuan antara bulan dan matahari itu berkenaan dengan terjadinya dua gerhana dalam satu bulan, yaitu bulan Ramadhan. sebagaimana yang tersebut dalam hadits."59 Yang ketiga, Ahmadiyah sengaja berbuat dengan memotong ayat-ayat Al-Qur'an itu dan menterjemahkannya dengan semaunya, supaya dapat mengkaitkan ayat-ayat tersebut dengan peristiwa munculnya Imam Mahdi India, Mirza Ghulam Ahmad. Satu perbuatan yang lucu dan memalukan. Tidak lain surah 75: 7-10 itu terkandung didalamnya saat-saat terjadinya hari kiamat. Surahnya sudah jelas disebut: surah Al-Qiyamah. Dan isi dari ayat-ayat 7 sampai dengan sepuluh itu adalah: "Apabila pemandangan sangat mencengangkan serta menakutkan, dan bulan telah gelap cahayanya, dan matahari dan bulan telah dihimpun, rusak peredarannya, ketika itu, manusia bertanya: ke manakah kita akan lari?!" Jelas bahwa ayat-ayat tujuh sampai dengan sepuluh itu menggambarkan peristiwa datangnya hari kiamat. Tidaklah kita lihat bahwa ayat sebelumnya, yakni ayat enam, merupakan soal: "apakah hari kiamat itu?" Maka Allah s.w.t. menjawab dari soal itu pada ayat sesudahnya yaitu ayat-ayat tujuh sampai ayat-ayat seterusnya. Satu penipuan dan kedustaanlah yang dilakukan orang-orang Yahudi dari desa Qadian India ini. Mereka selalu mencari jalan buat melogiskan maupun meyakinkan orang-orang yang di luar jemaatnya, dengan cara apa saja. Satu hal yang ajaib, adakah orang-orang Ahmadiyah sendiri sudah tidak bisa memakai logikanya? Kita ingin tahu dimana tafsir Al-Qur'an yang menyebut seperti model Ahmadiyah bahwa: "dan bulan telah gelap cahayanya," diartikan: gerhana bulan. Kemudian "dan matahari serta bulan telah dihimpun" diartikan: dua gerhana dalam satu bulan dari tahun 1311 hijrah itu. Jelas tidak mungkin ada tafsir maupun pengertian seperti cara-cara yang dilakukan kaum Mirza itu. Mereka banyak sekali mengubah-ubah makna maupun tujuan dari ayat-ayat Al­Qur'anul Karim secara seenaknya saja asal bisa dicocokkan dengan munculnya Mahdi Mirza Ghulam Ahmad. ---- catatan kaki ---- 45 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 17. ^ 46 lih: Analyst, facts about Ahmadiyya movement, Lahore ahmadiyya Anjuman Isha'at-i­ islam, 1951, hal. 21.: (anta minni wa ana minka) ^ 47 Mirza Ghulam Ahmad, fountain of Christianity, Rabwah Ahmadiyya muslim missions office, 1961, hal. 45: (ya qamar ya syamsu anta minni wa ana minka). ^ 48 Saleh Nahdi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry BA., Ujung Pandang, Jema'at Ahmadiyah Indonesia, 1972, hal. 38/39. ^ 49 idem no. 46. ^ 50 idem no. 46 dan 47. ^ 51lih: Saleh Nahdi, bantahan atas tuduhan Wahid Bakry, hal. 38. ^ 52 idem no. 49, hal. 38. ^ 53 lih: Saleh A. Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 25. ^ 54lih: Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, Rabwah, the Ahmadiyya muslim foreign missions office, 1961, hal. 47: (its uniqueness is enhanced by the fact that it is also mentioned in the new testament and in the holy Qur'an). ^ 55 lih: idem - no 52: ( immediately after the tribulation of those days shall the sun be darkened and the moon shall not give her light.) ^ 56 lih: Suara Ansharulah no. 3 & 4. 1955. hal. 18. ^ 57 lih: Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, hal. 47: (the holy Quran speaks of the Day of Awakening and goes on: "it is when the sight is dazzled and the moon is eclipsed and the sun and the moon are conjoined. The conjoining refers to the occurence of the two eclipses in the same month, the month of ramadhan as in the hadith. The eclipses took place in 1311 hejira or 1894 A.D.) ^ 58 lih: Bashiruddin Mahmud Ahmah, Invitation, hal. 47: (it is when the sight is dazzled and the moon is eclipsed and the sun and the moon are conjoined). ^ 59 lih: Bashiruddin. MA., invitation, hal. 47: (the conjoining refers to the occurence of the two eclipses in the same month, the month of ramadhan as in the hadith.) ^ Chapter 4.7 Ahmadiyah Sebagai Crypto-Mohammadanisme 4.7 Organisasi Musailamah Modern Inilah beberapa contoh yang dikerjakan organisasi Mirza Ghulam Ahmad dalam rangka mengubah ayat-ayat Al-Qur'an untuk kepentingan Imam Mahdi India. Mereka berkata: "Apabila tanda-tanda akhir zaman yang digambarkan oleh Al­Qur'an itu telah tampak dengan jelasnya, maka bersedialah hendaknya kita menerima kedatangan Imam Mahdi itu. "60 Kemudian mereka meneruskan uraiannya berkenaan dengan turunnya ayat-ayat suci itu dengan penjelasan seperti berikut: "Nubuwat-nubuwat Al-Qur'an ini menyangkut beberapa perubahan besar yang bakal terjadi secara menyolok yang pada masa turunnya ayat-ayat tersebut belum ada. Tatkala mendengar tentang bakal terjadinya perubahan- perubahan besar itu orang tercengang karena tidak dapat melukiskan di dalam pikirannya hal-hal besar yang luar biasa itu. "61 Dan akhirnya Ahmadiyah melukiskan bahwa perubahan-perubahan besar yang luar biasa itu dan mencengangkan pula itu, kini tidak lagi bersifat luar biasa, bahkan kata Ahmadiyah: "Tetapi sekarang telah menjadi kenyataan yang oleh kita sekarang dianggap sebagai soal biasa saja."62 Apakah gerangan nubuwat-nubuwat Al-Qur'anul Karim yang melukiskan terjadinya perubahan-perubahan besar, yang mencengangkan pikiran manusia luar biasa, akan tetapi justru pada saat-saat sekarang ini, sudah tidak lagi bersifat demikian, melainkan hanya dianggap soal biasa saja? Inilah jawaban Ahmadiyah dari ayat-ayat Al-Qur'an, diambil dari surah At-Takwir ayat 1 sampai dengan ayat 11. Mereka terjemahkan dan tafsirkan satu persatu sebagai berikut: "idza'sy syamsu kuwwirat:" apabila matahari telah tertutup, periksa tanda-tanda kedatangan Imam Mahdi yang disebutkan bersangkutan dengan gerhana matahari; "waidza'n nujumun kadarat:" apabila bintang-bintang menjadi pudar; bintang adalah orang-orang besar Islam, besar dalam arti ilmunya. Kerohanian dan kesuciannya. Ayat ini menubuwatkan akan berkurangnya orang-orang itu yang dalam segi agama mereka bagaikan bintang pembawa pelita rohaniah dan pembimbing yang baik. Rasulullah s.a.w. bersabda, bahwa sahabat-sahabat beliau adalah bagaikan bintang. Siapa saja dari pada sahabat-sahabat itu dijadikan ikutan pengikut itu akan memperoleh petunjuk yang pasti; "waidzal jibalu suyyirat:" apabila gunung-gunung bergerak; kapal-kapal laut yang besar-besar bergerak di samudera dinamakan pula sebagai gunung; "waidzal isyaru 'uththilat:" apabila onta-onta betina yang bunting ditinggalkan; dengan adanya kendaraan-kendaraan modern, mobil, pesawat terbang dan sebagainya di akhir zarnain onta-onta tidak memainkan peranan penting lagi di bidang angkutan seperti dahulu; "waidzal wuhusyu husyirat:" apabila binatang-binatang buas atau orang-orang primitip dikumpulkan; kita periksa kebun binatang umpamanya atau lihat bangsa-bangsa orang yang tadinya biadab dan terbelakang. Kita lihat orang-orang Afrika dahulu dan sekarang; "waidzal biharu sujjirat:" apabila lautan membual dan dipertemukan; terusan Suez dan sudah ditembus itu menyatukan dua samudera yang tadinya terpisah, begitu pula terusan Panama; "waidzan nufusu zuwwijat:" apabila manusia disatukan; PBB, K.A.A. dan organisasi lainnya adalah satu contoh yang hidup. Manusia dari tiap penjuru dunia dahulu tidak pernah berhimpun seperti sekarang. Dari sudut lain nubuwat ini menyangkut pula bidang perhubungan dan komunikasi. Adalah masa dahulu orang yang dapat mengadakan perhubungan dalam sedetik dari timur ke barat? kita camkan sekarang; "waidzash-shufu nusyriyat:" apablla surat-surat kabar, majallah dan buku-buku tersebut; sejarah menjadi saksi bahwa pada masa dahulu tidak pernah tersebar luas seperti sekarang ini. Ini nubuwatan yang luar biasa pula; "waidza's samau kusyihat:" apabila langit terbuka; bukan rahasia lagi manusia sekarang terbang di luar angkasa, mengitari bumi berulang kali, hal yang tidak pernah terjadi dalam sejarall dunia;63 Akhirnya Ahmadiyah memberi penegasan tentang ayat-ayat tersebut di atas: "Inilah beberapa tanda yang dinubuwatkan Al-Qur'an agar manusia memperhatikannya lalu mengenal Imam Mahdi, reformer agung sedunia. "64 Demikian cara Ahmadiyah mengartikan dan menafsirkan ayat-ayat satu sampai dengan sebelas dari surah At-Takwir. Cara-cara mereka ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sungguh satu hal yang luar biasa, mencengangkan bahkan tidak terpikirkan oleh manusia abad sekarang ini, bahwasanya kedatangan Imam Mahdi Mirza Ghulam Ahmad didahului dengan peristiwa-peristiwa yang dinubuwatkan dalam Al-Qur'an. Alangkah hebat mukaddimah penyambutan datangnya Imam Mahdi dari India itu. Bahkan kelak sampai dunia kiamat, manusia pasti akan tercengang tak habis-habisnya, atas keluar-biasaan Tuhan menyambut Mirza Ghulam. Bayangkan, sebelas kali dentuman meriam untuk Imam Mahdi dari desa Qadian itu. Satu perbuatan cerdik, terang-terangan disengaja dilakukan Ahmadiyah dengan menghilangkan dua buah ayat dari surah At-Takwir itu. Diantara ayat yang berbunyi: "waidzan' nufusu zuwwujat" dengan ayat yang berbunyi "waidzashshuhut nusyirat" terdapat dua ayat yang berbunvi: "waidzal mau'udatu suilat" dan "bi ayyi dzanbin Qutilat." Kedua ayat ini dihilangkan oleh Ahmadiyah, tidak dipakai untuk kepentingan Imam Mahdi Mirza. Apa alasan mereka menghilangkan kedua ayat itu? Apakah tidak bisa dipakai penafsirannya untuk tanda diantara banyak tanda datangnya Imam Mahdi? Kenyataan bahwa kaum Ahmadiyah ini telah menghilangkan ayat 8 dan ayat 9 dari surah At-Takwir, oleh karena ayat-ayat itu bila diterjemahkan berbunyi: "Dan apabila anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah ia sampai dibunuh demikian?" Maka dari terjemahan itu, Ahmadiyah tidak menemukan bahan-bahan zaman sekarang yang bisa diterapkan pada ayat-ayat tersebut . Surat At-Takwir adalah surat yang sifatnya memberi ingat, membawa kabar takut akan hebatnya peristiwa hari kiamat terjadi. Dalam surat ini dari ayat pertama sampai ayat ke 14 Allah menerangkan bagaimana hebat dan dahsyatnya malapetaka yang menimpa alam sejagad di hari kiamat termasuk matahari, bintang-bintang, gunung-gunung binatang-binatang liar dan jinak dan lautan, dan bagaimana tiap jiwa dipertemukan kembali dengan jasadnya, anak-anak perempuan yang tidak bersalah yang di kubur hidup-hidup sebagaimana banyak terjadi di kalangan sebagian suku-suku yang berdiam di tanah Arab, ditanyai mengapa mereka dibunuh. Ketika itu dibuka kitab setiap manusia yang berisi catatan perbuatan dan amalnya di dunia dan ketika itu pula dinyalakan api neraka dan didekatkan syurga. Di kala itu insaflah setiap insan dan sadarlah dia bahwa segala apa yang dikerjakannya di dunia akan mendapat balasan yang seadil-adilnya dari Allah.65 Peristiwa itu pasti akan terjadi dan saat-saat tibanya berada di tangan Tuhan. Tidak seperti yang diutarakan Ahmadiyah, ayat-ayat dari surah At­Takwir diartikan kiasan belaka seperti: "Matahari digulung, mereka artikan matahari tertutup atau gerhana. Bintang-bintang berjatuhan, mereka artikan orang-orang besar Islam berkurang. Gunung-gunung dihancurkan, mereka artikan kapal-kapal besar bergerak di samudera. Unta-unta bunting ditinggalkan, mereka artikan mobil pesawat dan lain-lain. Binatang­binatang liar dikumpulkan, mereka artikan kebun binatang. Lautan dijadikan meluap, mereka artikan terusan Suez dan Panama dipertemukan. Arwah dipertemukan dengan jasad, mereka artikan manusia disatukan, PBB-K.A.A. Catatan amal manusia, mereka artikan surat-surat kabar dan majalah. Langit dilenyapkan, mereka artikan manusia kini terbang ke luar angkasa." Tingkah laku yang di luar batas ini sengaja mereka lakukan terang-terangan. Mereka akan terus berbuat demikian demi kepentingan Mirza Ghulam Ahmad. Bisa dipastikan bahwa Mirza Ghulam sendiri pada waktu masih hidupnya tidak kenal apa itu mobil pesawat ataupun PBB. Jelas bahwa tafsir demikian adalah oleh pengikut-pengikutnya untuk menguatkan kedudukan Mirza Ghulam Ahmad. Mereka menjadi mufassir-mufassir jagoan yang menafsirkan surah At­Takwir menurut selera akal mereka. Tidak berlebih-lebihan kalau dikatakan bila sang Imam Mahdi Mirza sudah tidak waras akalnya, maka sang cucu, sang putra dan pengikut-pengikutnya tentu jatuh tidak waras pula. Untuk lebih kenal diagnose "ketidak-warasnya" itu marilah kita periksa cara­cara mereka menterjemahkan maupun menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang lain. Lagi-lagi Ahmadiyah berkata: "Imam Mahdi atau reformer agung adalah petugas dari Allah yang membawa kabar suka dan peringatan-peringatan keras. Di satu pihak Al-Qur'an memberikan tanda guna memudahkan cara mengenalnya oleh manusia, di lain pihak merupakan tanda peringatan-peringatan keras. Sebab itu dalam hubungan kedatangan Imam Mahdi Al-Qur'an memberikan tanda-tanda yang dinubuwatkan dalam ayat-ayat AI-Qurtan yang berikut: idza zulzilat'il ardhu zilzalaha wa-akhrajatil ardhu atsqalaha wa-qala'1 insanu malaha? Apabila bumi digempakan sekeras-kerasnya, bumi mengeluarkan muatannya, lalu manusia berkata: mengapa ini terjadi?"66 Demikian kutipan Ahmadiyah dari surah Az-Zalzalah ayat 1 sampai dengan ayat tiga. Mereka tidak melanjutkan kesudahan dari ayat-ayat dalam surah Zalzalah itu. Kebutuhan mereka tampaknya hanya sampai pada ayat 1 sampat tiga saja. Tentu saja kebutuhan untuk Mirza Imam Mahdi, yang dimaksud. Karena itu mereka mengatakan bahwa apabila utusan-utusan Allah itu ditolak termasuk didalamnya petugas Ilahy Mirza Ghulam, maka Allah bertindak dengan berbaga peringatan berupa cobaan-cobaan, adzab, sampai mereka mau menerima para utusanNya. Dan diantara adzab-adzab itu, termasuk gempabumi.67 Surah Zalzalah yang dikutip Ahmadiyah dari ayat I sampai dengan ayat 3 adalah ayat-ayat gempa. Mereka berkata tentang ayat-ayat tersebut: "Secara harafiah saja nubuwat-nubuwat Al-Qur'an ini sudah beberapa puluh kali digenapkan Tuhan. Ratusan ribu manusia menjadi korban gempa bumi sedang sekarang kita masih dikejutkan oleh berita-berita gempa yang terjadi di berbagai negeri."68 Perlu apa lagi disebut secara harafiah saja, bukankah mereka jauh menyimpang dari makna dan tafsir yang sebenarnya, hanya semata-mata untuk memuaskan selera mereka dan Imam Mahdinya? Padahal surah itu adalah surah yang menerangkan peristiwa saat hari kiamat tiba. Bukan tentang gempa-gempa bumi yang telah terjadi di berbagai negeri, seperti maunya Ahmadiyah. Last but not least, kita akan periksa tubuh Ahmadiyah yang kehilangan akal warasnya ini dengan satu kali lagi melihat cara-cara mereka mengartikan dan menafsirkan Al-Qur'an. Antara lain mereka berkata: "Peperangan-peperangan dahsyat yang terjadi dan memakan korban jutaan manusia dengan akibat-akibatnya yang mempengaruhi jalannya kehidupan semua mahluk di permukaan bumi ini telah dinubuwatkan Al-Qur'an sebagai salahsatu tanda kedatangan Utusan Agung Ilahi. "69 Kedatangan Utusan Agung Ilahy yang dimaksud di atas ialah datangnya utusan yang bernama: Mirza Ghulam Ahmad. Sekali lagi adzab Tuhan terjadi karena penolakan utusan agung dari India itu. Apakah gerangan yang dinubuwatkan Al-Qur'an tentang peristiwa terjadinya peperangan-peperangan yang dahsyat itu? Sekali lagi Ahmadiyah menjawab bahwa di dalam Al-Qur'an dicatat dalam surah (101: 6) sebagai berikut: "Alqari'atu malqari'ah? Wa ma adraka mal qari'ah? Yauma yakunu'n nasu kalfarasyil mabtsuts, watakunul jibalu kal ihnil manfusy; yang artinya: Penggegar, apakah penggegar dan taukah apa yang dikatakan penggegar. Ia adalah hari dimana manusia akan merupakan rama-rama bertebaran dan gunung-gunung akan jadi seperti bulu berhamburan."70 Kita ingin tau gerangan apa tafsir kaum Ahmadiyah atas kata-kata: Penggegar itu. Maka inilah dia jawaban mereka yang paling menarik: "Dua kali 'penggegar' adalah dua kali perang dunia, dan mungkin lebih hebat lagi 'wa ma adraka mal qari'ah?' atau 'penggegar' ketiga yang disertai tanda dahsyat karena tekanan khususnya. Memang bila kita perhitungkan keadaan perlengkapan dan alat-alat perusak sekarang dapatlah dibayangkan betapa hebatnya 'penggegar' ketiga yang akan terjadi nanti yang oleh agama tidak dapat dilepaskan dan silsilah adzab-adzab Ilahi."71 Demikian itulah obrolan-obrolan Ahmadiyah tentang Suratul Qari'ah, Suratul Qiyamah; diartikan oleh mereka: perang dunia kesatu, kedua dan ketiga. Mungkin akan menjadi berpuluh-puluh halaman di sini bila kita terus menerus memeriksa cara-cara mereka memberi arti maupun tafsir atas ayat-ayat Al­Qur'anul Karim. Sebaiknya kita tidak ke situ lagi, melainkan melihat dan memeriksa cara-cara mereka yang lain, hasil refleksi dari akal tidak warasnya. ---- catatan kaki ---- 60 lih: Saleh A. Nahdi, majallah Sinar Islam, Yayasan Wisma Damai Bandung, no. 13 th. XV/1965, hal. 18. ^ 61lih: idem no. 58, hal. 18. ^ 621ih: idem no. 58, hal. 18. ^ 63 lih: Saleh Nahdi, Majalah Sinar Islam, no. 13/1965, hal. 18/19. ^ 64 idem, no. 61, hal. 19. ^ 65 lih: Juz 'Amma dan Terjemahannya, Dewan Penterjemah Kitab Suci Al-Qur'an, 1973, Jakarta Bumi Restu PT., hal. 87. ^ 66 lih: Saleh A. Nahdi, majalah Sinar Islam, no. 13/1965, hal. 20. ^ 67 1ih: idem. no. 64, hal. 20. ^ 68 lih: idem. no. 64, hal. 20. ^ 69 lih: idem. no. 64, hal. 20. ^ 70 lih: Saleh A. Nahdi, Sinar Islam no: 13/1965, hal. 20. ^ 71 lih: idem no. 68, hal. 20. ^ Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt