TUJUH PEMBUNUH Oleh: Tjan I.D. mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Bab I. Pertemuan orang aneh. I. Tangan Tu Jit diletakkan di atas meja, tangan itu ditutup dengan sebuah topi caping yang sangat lebar. Tangan itu tangan sebelah kiri. Tak seorang pun tahu mengapa dia menutupi tangan kirinya dengan sebuah caping lebar. Tentu saja Tu Jit bukan bertangan satu, tangan kanannya menggenggam sepotong bakpao yang sudah mengeras, perasaan hatinya memang sekeras bakpao itu, bukan hanya kering, bahkan dingin, keras dan liat. Padahal dia berada di sebuah rumah makan, rumah makan Thian-hiang-lo. Di atas meja terdapat aneka macam sayur dan hidangan, juga tersedia arak. Tapi ia sama sekali tidak menyentuhnya, jangan kan dahar, setetes air teh pun tidak diteguknya, dia hanya mengunyah bakpao keras yang dibawanya, pelan-pelan menikmatinya. Tu Jit memang seorang lelaki yang teliti dan sangat berhati-hati, dia enggan orang lain menemukan dirinya sudah mati keracunan dalam rumah makan itu. Senja ... sesaat menjelang senja. Suasana di jalan raya sangat ramai, banyak orang berlalu lalang, tiba-tiba terlihat ada seekor kuda berlarian mendekat dengan kecepatan tinggi, begitu cepat larinya hingga menumbuk tiga orang, dua orang penjaja kaki lima dan seorang pendorong gerobak. Si penunggang kuda itu mempunyai gerakan tubuh yang lincah dan cekatan, sebilah golok panjang tersoreng di pinggangnya, setelah melirik sekejap papan nama Thian-hiang-lo, tiba-tiba ia melejit dari atas pelana kuda, berjumpalitan beberapa kali di udara dan secepat anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur masuk ke dalam ruang rumah makan. Terjadi kegaduhan di dalam rumah makan, tapi Tu Jit sama sekali tidak bergerak. Lelaki kekar yang menggembol golok itu mencabut keluar senjatanya, di antara kilatan cahaya yang menyilaukan mata, tiba-tiba ia menebas tangan kiri sendiri. Dua biji jari tangan yang penuh berlepotan darah segera rontok ke atas meja, jari manis dan jari kelingking. Butiran keringat sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran membasahi wajah lelaki bergolok itu, katanya dengan suara parau, “Apakah sudah cukup?” Tu Jit tidak bergerak, membuka suara pun tidak. Lelaki bergolok itu menggigit bibirnya kencang-kencang, sekali lagi dia mengayunkan goloknya. Tangan kirinya segera terpapas kutung dan tergeletak di atas meja, ternyata dalam tebasan goloknya kali ini, dia telah mengutungi lengan kiri sendiri. “Sudah cukup belum?” kembali tanyanya. Akhirnya Tu Jit berpaling juga, dia melirik lelaki itu sekejap lalu manggut-manggut. “Pergi!” serunya. Paras muka lelaki bergolok itu berkerut kencang lantaran menahan rasa sakit yang bukan kepalang, setelah menghembuskan napas panjang, bisiknya, “Terima kasih!” Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah sempoyongan dia menerjang keluar dari rumah makan itu. Ditinjau dari gerakan tubuh yang dimiliki lelaki kekar itu, semestinya ia berilmu tinggi, gerak-geriknya lincah dan cekatan, tapi ... sehabis melirik ke arah topi lebar yang menutupi tangan kiri Tu Jit, mengapa dia rela mengutungi lengan sendiri? Bahkan dia seperti merasa berterima kasih sekali kepada lelaki itu? Rahasia apa yang terdapat di balik topi lebar itu? Tak seorang pun yang tahu. Senja ... kini senja benar-benar telah menjelang. Kembali tampak dua orang berlarian masuk ke dalam rumah makan dengan langkah tergesa-gesa, dua orang itu mengenakan baju mewah yang amat perlente, tampangnya gagah dan penuh tenaga. Melihat kehadiran kedua orang itu, semua yang hadir dalam rumah makan serentak bangkit berdiri, mereka segera membungkukkan badan memberi hormat, rasa hormat dan kagum terbesit di wajah setiap orang. Dalam radius delapan li dari situ, tidak banyak orang yang tidak mengenali “Kim-pian-gin-to” (ruyung emas golok perak) Toan-si-siang-eng (dua jagoan dari keluarga Toan), terlebih yang berani tidak menaruh hormat terhadap mereka, mungkin sepuluh jari pun tak genap. Dua bersaudara Toan sama sekali tak peduli dengan sapaan orang-orang itu, mereka pun tidak menyapa Tu Jit, begitu tiba di depan meja, mereka menyingkap sedikit ujung topi yang menutupi tangan kiri itu, tapi setelah melihat isinya, tiba-tiba paras muka mereka berubah menjadi pucat pasi. Dua orang Toan bersaudara itu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian terdengar Toan Ing berbisik, “Tidak salah!” Sementara Toan Kiat dengan tangan lurus ke bawah dan terbungkuk hormat katanya pelan, “Selamat datang tuan, apakah ada perintah?” Tu Jit tak bergerak, apalagi membuka mulut. Karena ia tak bergerak, Toan Ing dan Toan Kiat juga tak berani berkutik, mereka hanya berdiri mematung di hadapannya. Kembali ada dua orang muncul di dalam rumah makan itu, mereka adalah “Siang-bun-kiam” (pedang pembawa kematian) Pui Gwan dan “Thiat-jiu-bu-tek” (kepalan baja tanpa tandingan) Tiat Tiong-tat. Seperti halnya kedua bersaudara dari keluarga Toan, setelah menyingkap topi dan melirik isinya, mereka segera berdiri hormat sambil bertanya, “Apakah ada perintah?” Karena tak ada perintah, maka terpaksa mereka pun berdiri menanti, selama ia tidak memberi perintah, tak seorang pun di antara mereka berani berkutik. Padahal mereka semua adalah jago-jago dunia persilatan yang berilmu tinggi dan bernama besar, tapi mengapa mereka nampak begitu ketakutan setelah melirik ke balik topi itu? Kenapa sikap mereka berubah begitu hormat dan merendah? Mungkinkah di balik topi itu tersembunyi suatu kekuatan iblis yang sangat menakutkan? Senja ... saat senja sudah lewat. Lentera mulai disulut dalam ruangan rumah makan itu, suasana di tempat itupun mulai terang benderang. Cahaya lentera memancar ke empat penjuru menyinari wajah orang-orang itu, wajah tiap orang basah oleh butiran keringat, keringat dingin. Tu Jit masih belum memberikan perintahnya kepada mereka untuk melakukan sesuatu, semestinya mereka masih rileks dan santai. Namun paras muka orang-orang itu kelihatan amat tegang, amat serius, seakan-akan setiap saat akan menghadapi mara bahaya yang bisa mencabut nyawa mereka. Malam hari pun menjelang tiba, kilatan cahaya bintang mulai bertaburan di angkasa. Dari balik kegelapan malam yang mulai mencekam halaman rumah makan, mendadak bergema suara seruling bambu yang sangat aneh, suara itu tinggi melengking, tajam dan menyeramkan, seperti ada setan iblis yang sedang menangis, sedang menjerit kesakitan .... Paras muka Pui Gwan berubah makin pucat, mimik mukanya mulai menyusut, mulai berkerut lantaran takut, ngeri dan seram. Tu Jit sama sekali tidak bergerak. Karena dia tak bergeming, orang lain pun tak berani berkutik, jangan kan kabur dari situ, menggerakkan badan pun mereka tak berani. “Blaaammmm!”, diiringi suara dentuman keras, tiba-tiba atap bangunan rumah itu roboh berantakan, muncul empat buah lubang yang besar sekali di tempat itu. Empat sosok bayangan manusia melayang turun dengan kecepatan luar biasa, empat lelaki tinggi besar bertubuh kekar dengan tinggi badan delapan kaki, orang-orang itu bertelanjang dada, celana yang mereka kenakan berwarna merah darah dengan sebuah ikat pinggang berwarna kuning emas melilit di pinggangnya, pada ikat pinggang itu tersoreng tiga belas batang golok lengkung yang aneh bentuknya, gagang golok berwarna kuning emas dan memancarkan cahaya yang menyilaukan. Jangan dilihat keempat orang itu berperawakan tinggi besar dan berat, ternyata gerak tubuh mereka sangat enteng, ketika melayang turun ke lantai ruangan, tubuh mereka nampak begitu ringan seperti kapas yang jatuh ke tanah. Begitu mencapai permukaan tanah, keempat lelaki kekar itu segera menyebarkan diri dan berjaga di empat penjuru sudut ruangan. Paras muka mereka nampak sangat tegang, pancaran sinar mata ngeri dan seram yang tak terlukis dengan kata memancar keluar dari balik matanya. Sementara perhatian semua orang sedang tertuju ke tubuh empat lelaki kekar itu, tiba-tiba di dalam ruang rumah makan telah bertambah lagi dengan seseorang. Orang ini mengenakan mahkota emas di kepalanya, jubah emas yang dikenakan sangat indah dan mewah, sebuah ikat pinggang emas melilit di pinggangnya, pada pinggang itu tersoreng pula sebilah golok lengkung yang terbuat dari emas, wajahnya putih bersih bagai susu, bulat seperti bulan purnama. Berbicara soal kehebatan ilmu silat, baik dua bersaudara Toan maupun Pui Gwan, mereka terhitung jago-jago yang berilmu tinggi dengan ketajaman mata yang mengagumkan, tapi anehnya, ternyata tak seorang pun di antara mereka yang tahu, darimana orang itu memunculkan diri, melayang turun dari atap ruangan? Atau menerobos masuk melalui daun jendela? Namun paling tidak ada satu hal yang mereka ketahui, mereka kenal siapakah jagoan ini. Dia adalah seorang konglomerat nomor wahid dari Lam-hay, Kim-koan-ong (raja bermahkota emas) dari bukit Hong-kim-san (bukit emas) Ong-sun Bu-ki. Kendatipun orang tak mengenal dia, cukup melihat dandanan serta tingkah lakunya, mereka pasti bisa menduga siapa gerangan orang itu. Tu Jit tak bergeming, jangan kan bergerak, berpaling untuk memandang sekejap pun tidak. Ong-sun Bu-ki berjalan mendekat, membungkukkan badan dan mengintip sekejap dari ujung topi rumput itu, lalu sambil menghembuskan napas panjang, katanya, “Aaah, tidak salah, ternyata memang kau!” Raut mukanya yang semula tegang dan kaku seketika mengendor, sekulum senyuman lega tersungging di bibirnya, tiba-tiba ia melepaskan ikat pinggang emasnya lalu membuka sebuah kancing di ujung ikat pinggang itu, delapan belas butir mutiara yang bersinar lembut seketika menggelinding keluar dari balik ikat pinggang itu. Ong-sun Bu-ki mengumpulkan kedelapon belas butir mutiara itu ke atas meja, kemudian sambil membungkukkan badan memberi hormat, katanya dengan tersenyum, “Apakah ini cukup?” Tu Jit tidak bergerak, juga tak bersuara. Sementara itu suara seruling bambu yang bergema dari balik kegelapan makin lama semakin bertambah cepat nadanya, bahkan makin lama semakin mendekat. Senyuman yang tersungging di ujung bibir Ong-sun Bu-ki kelihatan semakin dipaksakan, ia melepaskan mahkota emas yang dikenakan di kepalanya, di atas kopiah emas itu bertaburkan delapan belas batang batu kemala hijau yang amat bening. “Apakah ini sudah cukup?” kembali tanyanya sambil meletakkan mahkota emas itu ke atas meja. Tu Jit tidak bergerak, juga tak bersuara. Sekali lagi Ong-sun Bu-ki melepaskan golok emas yang tersoreng di pinggangnya, cahaya golok itu amat tajam dan menyilaukan mata. “Apakah sudah cukup?” kembali ia bertanya. Tu Jit masih tak bergeming. “Apa lagi yang kau minta?” tak tahan Ong-sun Bu-ki bertanya dengan kening berkerut. “Ibu jari tangan kananmu!” tiba-tiba Tu Jit membuka suara. Jika ibu jari tangan kanannya kutung, maka tangan itu tak bisa dipakai lagi untuk menggenggam golok, jangan kan main golok, menggunakan pisau terbang pun jangan harap. Berubah hebat paras muka Ong-sun Bu-ki. Sementara itu suara seruling bambu terdengar makin cepat nadanya, juga semakin mendekat, ketika bergema dalam telinga, suaranya amat tajam dan menyakitkan, bagaikan ada beribu-ribu batang jarum sedang menusuk gendang telinga. Ong-sun Bu-ki menggigit bibirnya kuat-kuat, dia mengangkat tangan kanannya dan menjulurkan ibu jarinya, kemudian teriaknya keras, “Ambilkan golok!” Lelaki kekar bertelanjang dada yang berdiri di sudut ruangan seketika mencabut keluar goloknya, di antara kilatan cahaya emas yang menyilaukan mata, sebilah golok lengkung telah meluncur ke depan dan berpusing satu kali di atas tangan Ong-sun Bu-ki. Sebuah ibu jari yang berlumuran darah segera rontok ke atas meja. Golok lengkung itu berputar satu lingkaran di udara, kemudian dengan kecepatan tinggi meluncur balik ke tempat semula. Paras muka Ong-sun Bu-ki berubah hijau membesi, sambil menahan rasa sakit yang luar biasa, tanyanya, “Apakah sudah cukup?” “Apa yang kau inginkan?” tanya Tu Jit tiba-tiba sambil mengangkat muka dan meliriknya sekejap. “Membunuh seseorang!” “Siapa yang ingin kau bunuh?” “Kui-ong (raja setan)!” “Yang To?” “Benar!” Mendengar nama orang itu, Pui Gwan, Tiat Tiong-tat maupun dua bersaudara Toan segera merasakan hatinya bergidik, tanpa sadar paras muka mereka ikut berubah memucat. “Kui-Ong” si raja setan Yang To memang sebuah nama yang mengerikan, nama yang bisa membuat hati bergidik dan sukma serasa melayang meninggalkan raganya. Dalam pada itu, suara seruling bambu yang bergema memecahkan keheningan telah berubah menjadi rendah, berat, seperti suara seorang janda yang sedang meratap, sedang menangis sedih karena ditinggal mati keluarganya, suara itu mendatangkan perasaan gundah dan pedih bagi siapa pun yang mendengarkan. “Padamkan semua lentera!” mendadak Ong-sun Bu-ki menghardik. Empat orang lelaki kekar bertelanjang dada itu serentak turun tangan, di antara kilatan cahaya emas dan deruan angin tajam yang membelah angkasa, serentak semua lentera yang ada dalam ruangan itu menjadi padam. Suasana dalam ruangan seketika berubah menjadi gelap gulita. Di tengah suasana kegelapan yang mencekam, mendadak tampak puluhan buah lentera kembali bercahaya dari luar ruangan, bukan saja cahaya lentera itu muncul dari halaman luar, dari wuwungan rumah pun cahaya lencera muncul bersamaan waktunya. Cahaya lentera berwarna hijau yang bergoyang terhembus angin, persis seperti api setan yang sedang gentayangan di tengah udara. “Raja setan telah datang!” pekik Ong-sun Bu-ki dengan perasaan takut. Di tengah hembusan angin malam yang terasa dingin dan cahaya lentera berwarna hijau yang menyoroti wajah setiap orang yang hadir di situ, terlihat semua jago yang hadir dalam ruangan telah dibuat ketakutan setengah mati, wajah mereka mengejang kencang lantaran rasa takut dan ngeri yang di luar batas, mereka seakan-akan sedang menyaksikan datangnya serombongan setan iblis dari dalam neraka.