Lima Sekawan - Memperjuangkan Harta Finniston Enid Blyton mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Daftar Isi 1. Berkumpul Kembali 2. Finniston Farm 3. Dalam Lumbung 4. Junior! 5. Malam di Pertanian 6. Sarapan yang Aneh 7. Harry dan Harry Berubah Sikap 8. Pak Finniston 9. Kisah Menarik 10. Bertengkar 11. Anak-anak Berembuk 12. Ke Gereja Tua 13. Pembalasan Junior 14. Snippet dan Nosey Berjasa 15. Menggali ke Lorong 16. Menuju ke Lorong Puri 17. Terjebak 18. Cerita Julian 19. Akhir yang Menggembirakan 01. Berkumpul Kembali Julian menyeka keningnya sambil mendesah, "Huh, lebih baik tinggal di daerah khatulistiwa! Di sana pasti tak sepanas ini!" Anak jangkung itu bersandar pada sepedanya. Napasnya tersengal-sengal. Tenaganya habis terkuras, setelah mendaki bukit yang tinggi dan terjal itu. Dick menatapnya sambil nyengir. "Kau kurang latihan, Jul" katanya. "Sekarang kita beristirahat saja sebentar, sudah tinggi juga kita mendaki!" Kedua anak itu menyandarkan sepeda mereka ke pagar pembatas. Kemudian mereka beristirahat di situ. Di bawah bukit terbentang luas daerah Dorset, di sebelah selatan Inggris. Walaupun panas, hari itu udara begitu cerah. Julian mengembuskan napas lega, ketika merasakan angin sepoi. "Kalau tahu hari ini akan panas sekali, aku takkan mau naik sepeda!" katanya. "Untung Anne tidak ikut, kalau dia ikut pasti sudah menyerah pada hari pertama!" "Tapi kalau George tidak!" kata Dick. "Anak itu pantang menyerah. Diajak apa saja, selalu mau." "Ya, George memang begitu," kata Julian. "Senang sekali ya bisa bersama lagi dengan mereka, kita jadi berempat. Selalu saja ada kejadian menarik.” "Kok berempat? Berlima, maksudmu!" kata Dick. "Jangan lupa Timmy! Aku belum pernah melihat anjing secerdik dia. Pasti asyik sekali kalau kita sudah lengkap lagi, ya, jadi lima sekawan. Eh tapi kita tak boleh lupa waktu, Jul" Julian diam saja. "Hei bangun, keledai!" kata Dick pada abangnya sambil tertawa. "Kalau kita tidur, nanti terlambat menjemput mereka". Tapi mata Julian tetap terpejam. Dick melihat arlojinya sambil menghitung-hitung. Saat itu setengah tiga siang. "Bus yang ditumpangi Anne dan George akan tiba di halte depan Gereja Finniston pukul tiga lewat lima," kata Dick dalam hati. "Dari sini ke Finniston lima mil, menuruni bukit. Ya, Julian bisa tidur selama lima belas menit. Asal aku jangan ikut tertidur!" Tapi semenit kemudian mata Dick mulai terasa berat. Maka ia buru-buru bangun, lalu mondar-­mandir untuk menghilangkan rasa kantuk. Anne dan George perlu dijemput, karena mereka membawa koper. Dick dan Julian akan mem­bantu membawa barang-barang mereka dengan naik sepeda. Keempat anak itu hendak berlibur ke daerah pertanian Finniston Farm. Letaknya di bukit, di sebelah atas desa Finniston. Mereka belum pernah ke daerah pertanian itu, namanya pun mereka baru tahu. Bibi Fanny, ibu George, mendengar nama itu dari seorang teman sekolahnya dulu yang suka menerima tamu-tamu yang ingin berlibur di pertaniannya. Temannya itu menawarkan kesempatan itu pada Bibi Fanny dan keluarganya. George langsung mengiyakan dan mengatakan akan berlibur ke sana bersama ketiga saudara sepupunya selama musim panas. "Mudah-mudahan saja tempat itu mengasyikkan," pikir Dick, sambil melayangkan pandangan ke lembah yang terbentang di bawah, tempat tanaman jagung yang mulai menguning melambai-lambai tertiup angin. "Tapi kalau tidak asyik juga tidak apa, kan cuma dua minggu. pokoknya kita bisa berkumpul lagi. Hore!" Dick melirik arlojinya. Nah, sekarang sudah waktunya berangkat. Digoyangnya Julian yang masih tidur. "Hei, bangun!" "Sepuluh menit lagi," gumam Julian. Ia memutar tubuh, mengira sedang berbaring di tempat tidur! la tak sadar bahwa di sampingnya ada parit kering yang dangkal. Dan begitu berputar, Julian langsung terguting jatuh. Seketika itu juga ia terduduk, sambil mengejap-ngejapkan mata karena terkejut. "Astaga, kukira aku di tempat tidur," katanya. "Wah, aku nyaris tidur terus, kalau tidak kau bangunkan." "Sudah waktunya kita berangkat lagi, kalau kau masih mau menjemput Anne dan George," kata Dick. "Selama kau tidur tadi, aku mondar­-mandir terus supaya tidak tertidur. Ayo, kita harus berangkat sekarang!" Mereka lantas naik ke sepeda masing-masing, menuruni bukit dengan hati-hati, terutama pada tikungan-tikungan tajam. Sering kali mereka berpapasan dengan berbagai kendaraan pertanian. Mulai dari gerobak sampai traktor, dan kadang­kadang dengan segerombolan sapi. Maklum daerah pertanian. Akhirnya tampak desa Finniston yang kecil, tersempil di kaki bukit. Kelihatannya kuno, tenang, seperti separo tertidur. "Untung di sini ada yang menjual limun dan es krim!" kata Dick lega, ketika melihat papan reklame yang terpasang di jendela sebuah toko di desa itu. "Lidahku sudah kering sekali rasanya. Kalau aku Timmy, pasti sudah kujulurkan lidahku ke luar!" "Sekarang kita cari dulu halte dekat gereja," kata Julian. "Tadi waktu kita menuruni bukit, dari kejauhan aku melihat puncak menara gereja itu! Tapi sesampai di bawah, tidak kelihatan lagi." "Itu dia bus mereka!" seru Dick, ketika terdengar deru mesin mobil di kejauhan. Sesaat kemudian bus itu muncul di tikungan jalan. "Yuk, kita ikuti!" "Itu Anne... dan George!" seru Julian. "Ternyata kita tiba tepat pada waktunya. Hai, George! Anne!" Bus itu berhenti dekat gereja. Anne dan George turun, masing-masing menenteng sebuah koper. Timmy juga turun dari bus. Lidahnya yang panjang terjulur ke luar. Anjing itu merasa lega, karena tidak perlu lebih lama lagi duduk diam-diam dalam bus yang pengap itu. "Itu Dick dan Julian!" seru George, sementara bus berangkat lagi. George melambai-lambai dengan bersemangat. "Hai, Julian! Halo, Dick! Untung kalian tidak terlambat datang!" Kedua anak laki-laki itu mempercepat kayuhan mereka, menghampiri Anne dan George. Begitu sampai, mereka langsung meloncat turun. Timmy melonjak-lonjak mengelilingi kedua anak itu; sambil menggonggong dengan gembira. Dick dan Julian silih berganti menepuk punggung kedua anak perempuan yang baru datang. "Kalian berdua masih tetap sama saja!" kata Dick. "George, dagumu kotor! Anne, kenapa kau sekarang pakai buntut kuda?" "Dan kau masih tetap kurang ajar, Dick," balas George, sambil membentur kaki saudara sepupunya itu. "Sekarang aku jadi bingung, kenapa tadi kami begitu ingin berjumpa lagi denganmu! Nih, tolong bawakan koperku... tahu aturan, ya?" "Siapa bilang?" jawab Dick, sambil menyambut koper yang disodorkan George. "Aku cuma heran melihat cara Anne mengatur rambutnya sekarang! Tidak pantas, ah. Bagaimana pendapatmu, Julian? Macam-macam saja pakai buntut kuda. Kalau buntut keledai... itu baru cocok!" "Ya deh, ya deh," kata Anne. Ia buru-buru menggeraikan rambutnya. "Tadi rambutku kuikat, karena di bus panas sekali.” Anne paling tidak senang jika dicela abang-abangnya. Julian membelai lengan Anne. "Aku senang bisa berkumpul lagi dengan kalian berdua," kata Julian. "Sekarang, bagaimana jika kita minum limun dan makan es krim dulu? Di sana ada toko yang menjualnya.” "Hei! Kalian sama sekali belum menyapa Timmy," kata George agak tersinggung. "Padahal sejak tadi ia mengitari kalian terus!" "Salam, Tim," kata Dick sambil menyodorkan tangan. Dan Timmy mengangkat kaki depannya dengan sopan, lalu bersalaman dengan Dick. Setelah melakukan hal serupa dengan Julian, anjing besar itu lantas seperti kemasukan setan. Ia lari berputar-putar, sampai hampir menggulingkan anak kecil yang sedang naik sepeda. Timmy bukan tiba-tiba menjadi gila, tapi karena tak bisa menahan kegembiraannya bertemu dengan Julian dan Dick. "Yuk, Tim... kau mau es krim, kan?" ajak Dick, sambil mengusap kepala Timmy. "Coba dengar napasnya tersengal-sengal, George! Kalau bisa, Timmy pasti ingin melepaskan mantel bulunya itu dari badannya. Ya kan, Tim?" "Guk," gonggong Timmy mengiyakan, sambil memukulkan ekornya ke betis Dick. Keempat anak itu dan Timmy masuk ke toko yang menjual es krim. Toko itu juga menjual roti dan berbagai makanan hasil pengolahan susu. Ketika mereka masuk, seorang anak perempuan berumur sekitar sepuluh tahun datang menghampiri. "Ibuku sedang istirahat sebentar," kata anak itu. "Kalian mau beli es krim, ya! Kelihatannya semua ingin makan es krim." "Betul,: kata Julian. "Lima es krim yang besar dan empat botol limun jahe." "Lho, kok es krimnya lima? Apakah untuk anjing itu?" tanya anak itu dengan heran. Ia memandangi Timmy. "Guk," gonggong Timmy. "Nah, itu jawabannya," kata Dick. "Timmy bilang, betul!" Sesaat kemudian mereka sudah makan es krim dengan nikmat. Bagian untuk Timmy ditaruh di sebuah piring. Tapi baru beberapa kali anjing itu menjilat, es krimnya sudah terdorong jatuh dari piring. Timmy menjilatinya terus, sehingga es krim itu terdorong-dorong ke segala penjuru toko. Anak perempuan penjaga toko itu memper­hatikan dengan takjub. "Maaf, dia tak kenal aturan makan," kata Julian dengan tampang serius. "Sama dengan yang mendidiknya!" George langsung melotot, karena merasa disindir. Julian nyengir puas, karena memang itulah maksudnya. Ia membuka botol limunnya, "Ha, sedaap... dingin dan segar. Liburan kita dimulai dengan nikmat." "Semoga panjang umur para pencipta es krim, limun, dan lain-lainnya yang enak," katanya. "Aku lebih suka mencipta yang enak-enak itu daripada mencipta bom, roket, dan senjata pemusnah. Ah... segar badanku sekarang! Kalian bagaimana? Sudah siap untuk mencari pertanian itu?" "Pertanian siapa?" tanya anak perempuan yang menjaga toko. Ia datang dari balik meja pelayanan, untuk mengambil piring bekas tempat es krim Timmy. Ketika anak itu membungkuk, Timmy sempat menjilat mukanya sebagai per­nyataan terima kasih. Anak itu kaget, lalu mendorong kepala Timmy supaya menjauh. "Rupanya kau dikira es krim oleh Timmy," kata Dick sambil menyodorkan saputangan. "Kami hendak pergi ke Finniston Farm. Kau tahu di mana tempatnya?" "Tentu saja," jawabnya. "Kalian terus saja sampai ke ujung desa ini, lalu belok ke jalan yang ada di sebelah kanan. Jalan itu mendaki bukit. Nah, pertanian yang kalian cari ada di ujung jalan itu. Kalian akan menginap di tempat ke­luarga Philpot?" "Betul. Kau kenal dengan mereka?" tanya Julian, sambil merogoh kantong hendak membayar. "Aku kenal dengan kedua anak kembar mereka," kata anak itu. "Yah, sebetulnya dibilang kenal juga tidak! Tak ada yang kenal baik dengan keduanya. Mereka tidak suka bergaul. Kalau main selalu berdua saja. Kalian harus hati-­hati jika menghadapi "Kakek", kakek Pak Philpot. Orangnya galak sekali. Katanya dia pernah berkelahi melawan seekor sapi jantan yang mengamuk, dan menang. Sapi itu pingsan dihajar olehnya! Suaranya lantang sekali, bermil-mil masih kedengaran. Dulu ketika masih kecil, aku paling takut datang ke pertanian itu, karena takut pada Kakek!" Anak itu mengangguk-angguk sebentar, lalu meneruskan ceritanya, "Tapi kalau Bu Philpot... dia benar-benar baik hati! Kalian pasti senang padanya. Kedua anak kembar itu sangat menyayangi ibu mereka. Dan tentu juga ayah mereka! Pada saat libur, mereka berdua ikut bekerja di tempat itu. Mereka mirip sekali, sulit membedakan antara Harry yang satu de­ngan Harry yang lain!" "Lho, kenapa kedua-duanya kausebut Harry?" tanya Anne heran. "Ya, karena..." Anak perempuan penjaga toko itu tak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena dari belakangnya muncul seorang wanita ber­badan gemuk. "Janie, kaujaga adikmu, ya. Biar aku yang menjaga toko lagi." "Baik, Bu," kata anak yang ternyata bernama Janie itu, lalu bergegas pergi ke belakang. "Anak itu kalau dibiarkan mengobrol takkan pernah bosan," kata ibu anak itu.“Masih ada lagi yang kalian perlukan?" "Tidak," kata Julian sambil berdiri dari tempatnya. "Kami masih harus meneruskan perjalanan. Selama liburan ini kami tinggal di Finniston Farm. Jadi besar kemungkinannya kami akan menjadi langganan di sini selama itu. Ngomong­-ngomong; es krim Anda enak, Bu!" "O, jadi kalian ini akan menginap sebagai tamu di sana," kata wanita gemuk itu sambil mengangguk-angguk. "Wah, aku ingin tahu ba­gaimana sikap kedua Harry terhadap kalian. Mudah-mudahan saja bisa cocok! Tapi hati-hati, jangan sampai membuat Kakek marah. Orangnya sudah tua... sudah !ebih dari delapan puluh tahun, tapi galaknya minta ampun!" Lima Sekawan keluar dari toko itu. Julian memandang saudara-saudaranya sambil nyengir, "Nah, bagaimana? Sudah siap mendatangi Bu Philpot yang baik hati, kedua Harry yang penyendiri, dan Kakek yang galak? Wah, kelihatannya liburan kita kali ini akan mengasyikkan!" 02. Finniston Farm Keempat anak itu berjalan menyusuri jalan desa yang panas dan berdebu. Dick dan Julian menuntun sepeda masing-masing, ditambah beban koper Anne dan George. Sesampai di ujung desa, tampak jalan yang menuju ke kanan. Persis seperti yang dikatakan anak perempuan di toko tadi. "Tunggu dulu," kata Anne. Ia berhenti di depan sebuah toko di ujung jalan desa itu. "Ada toko barang antik di sini! Lihat, itu ada ladam kuda antik, aku mau beli satu-dua ah. Dan gambar-­gambar itu... aduh, bagusnya!" "Jangan sekarang dong, Anne!" keluh Julian. "Menurutku kegemaranmu pada barang antik sudah keterlaluan! Ladam kuda lagi... kau sudah punya setumpuk, kan? Jika kau mengira kita sekarang akan masuk ke toko gelap dan pengap itu, kau keliru...." "Tidak, aku tidak masuk sekarang," kata Anne cepat-cepat, "tapi lain kali! Aku akan datang sendirian, supaya bisa melihat-lihat dengan puas.” Dibacanya nama yang tertulis pada bagian depan toko itu. "William Finniston. Aneh, nama pemilik tokonya sama dengan nama desa ini. Ah, mungkin..." "Ayo," kata George tidak sabar, sementara Timmy menarik-narik rok Anne. Setelah melirik ke jendela toko sekali lagi, Anne bergegas menyusul saudara-saudaranya. Tapi dalam hati ia memutuskan akan datang lagi ke tempat itu sendirian. Mereka meneruskan perjalanan. Menyusuri jalan mendaki yang berkelok-kelok. Setelah beberapa saat berjalan, tampak pertanian yang dituju di kejauhan. Bangunan utamanya berupa rumah besar bertingkat tiga, dengan dinding berwarna putih. Jendela-jendelanya berukuran kecil, seperti layaknya bangunan zaman dulu. Rumah itu sudah kuno. Di depannya ada beran­da beratap datar. Di kanan-kirinya penuh dirambati tanaman mawar merah dan putih. Pintu depan rumah itu terbuka. Anak-anak berdiri di beranda berlantai batu, sambil meman­dang ke serambi dalam yang agak gelap. Tampak di situ sebuah peti tua terbuat dari kayu dan sebuah kursi ukir. Di lantai batu terhampar permadani yang sudah agak usang. Sebuah jam besar berdetak pelan tapi nyaring. Saat itu terdengar gonggongan anjing, yang langsung dibalas oleh Timmy. "Ssst, diam," kata George, khawatir kalau-­kalau nanti datang sekawanan anjing pertanian dan menyerbu mereka. Ia memandang ke sana-­sini, mencari bel atau alat pengetuk pintu. Tapi sama sekali tidak ada. Kemudian Dick melihat semacam gagang terbuat dari besi berukir, tergantung di sisi beranda itu. Mungkinkah itu belnya? Ditariknya gagang itu. Seketika itu juga di dalam rumah menggema deringan bel. Bunyinya nyaring sekali, sehingga anak-anak kaget mendengarnya. Mereka tetap terpaku di tempat semula, menunggu ada orang muncul dari dalam. Tak lama kemudian terdengar langkah mendekat dengan serempak. Dua orang anak muncul di ambang pintu. Hei... kedua anak itu serupa sekali, seperti dua tetes air! "Baru sekali ini aku melihat kembar dua yang begitu mirip," pikir Anne takjub. Sementara itu Julian sudah menyapa, sambil tersenyum ramah. "Selamat siang," katanya. "Kami keempat bersaudara Kirrin. Tentu kalian sudah tahu bahwa kami akan datang hari ini.” Kedua anak kembar itu memandang saja. Sedikit pun mereka tidak membalas senyuman Julian. Kemudian keduanya mengangguk dengan serempak. "Lewat sini," kata mereka bersama-sama, lalu mendahului masuk ke dalam rumah. Julian, Dick, George, dan Anne yang berdiri di luar saling berpandangan dengan heran. "Aduh, bukan main soknya," bisik Dick, sambil menirukan air muka kedua anak yang sudah masuk lagi ke rumah. Anne tertawa mengikik. Kemudian mereka masuk, mengikuti kedua anak kembar yang memakai pakaian yang juga persis sama. Keduanya memakai kemeja dan celana jins berwama biru tua. Keenam anak dan seekor anjing itu beriringan menyusuri gang yang panjang, lalu masuk ke dalam dapur yang luas. Ruangan itu tampaknya juga berfungsi sebagai kamar duduk. "Anak-anak Kirrin, Bu!" kata si kembar serempak, lalu masuk bersama-sama ke sebuah ruangan lain. Julian dan saudara-saudaranya kini berhadapan dengan seorang wanita berwajah ramah: Wanita itu tersenyum, sementara tangannya bergelimang adonan roti. "Wah... cepat sekali kalian tiba! Maaf, aku tidak bisa bersalaman karena sedang sibuk membuat adonan. Bagaimana perjalanan kalian kemari? Menyenangkan?" Anak-anak langsung menyukai wanita yang ramah itu. Julian meletakkan koper yang dijinjingnya ke lantai, lalu memandang berkeliling. "Bagus sekali dapur ini!" katanya memuji. "Kuno, tapi bagus! Silahkan melanjutkan kesibukan Anda, Bu Philpot... kami bisa mengurus diri sendiri. Katakan saja kami harus ke mana. Dan terimakasih atas kesediaan anda menerima kami." "Ah, justru aku yang harus berterima kasih," balas Bu Philpot. "Tentunya bibi kalian sudah bercerita bahwa usahaku saat ini sedang mengalami kemunduran. Untung dia mau membantuku, mengirim kalian untuk berlibur di sini selama dua minggu. Aku sibuk sekarang, karena selain kalian, masih ada tamu lain yang menginap di sini. Seorang Amerika bersama anak laki-lakinya.” "Tidak perlu repot-repot mengurus kami, Bu," kata Dick. "Tidur di lumbung pun kami mau. Kami sudah biasa hidup begitu!" "Ya, kurasa itu bisa menolong," kata Bu Philpot sambil mengaduk adonan. "Aku punya kamar untuk kedua anak perempuan ini. Tapi rasanya kalian berdua yang laki-laki, terpaksa sekamar dengan anak Amerika itu! Dan... yah, ada kemungkinan kalian nanti tidak suka padanya." "Ah, masa kami sampai tidak suka," kata Julian. "Tapi sebenarnya kami berdua lebih senang bila bisa sendiri. Bagaimana kalau kami tidur saja di lumbung... dengan tempat tidur lipat, misalnya." Anne memandang wajah Bu Philpot yang ramah itu. Wanita itu tampak capek. Anne merasa kasihan padanya. "Bu, jika Ibu memerlukan bantuan apa saja, bilang saja padaku dan Georgina," katanya. "Membereskan tempat tidur, membersihkan ka­mar, dan pekerjaan lain semacam itu. Kami biasa membantu di rumah, jadi..." "Wah, kalian ini tamu yang menyenangkan," kata Bu Philpot. Dipandangnya anak-anak dengan ramah. "Tapi kalian tidak perlu repot-repot membantu. Kedua anak kembarku sudah banyak membantu... bahkan terlalu banyak menurutku. Soalnya, mereka juga sudah ikut bekerja menolong ayah mereka di pertanian. Sekarang kalian naik saja dulu ke tingkat atas. Di sana ada dua kamar tidur. Yang sebelah kiri untuk kalian berdua, yang perempuan. Sedang yang di kanan, di situlah anak Amerika itu tidur. Dan kalian berdua pergi saja ke lumbung. Periksa dulu, apakah kalian mau tidur di situ dengan tempat tidur lipat. Biar anak-anakku mengantar kalian ke sana." Saat itu kedua anak yang dibicarakan datang lagi. Mereka tegak di ambang pintu, tanpa mengatakan apa-apa. Mereka memang persis sama, seperti pinang dibelah dua. "Siapa namamu?" tanya George pada salah seorang dari mereka. "Harry!" jawab anak itu. Kemudian George bertanya pada yang satu lagi. "Dan kau, siapa namamu?"„Harry!" "Eh... masa namanya sama," seru George tercengang. "Ya... soalnya begini," kata ibu mereka menjelaskan, "yang laki-laki waktu lahir kami beri nama Henry... dengan panggilan Harry, tentunya. Sedang yang perempuan bernama Harriet. Tapi ia sendiri menyebut dirinya Harry, supaya singkat. Jadi sekarang keduanya dijuluki Harry kembar." "Wah, kusangka tadi kedua-duanya laki-laki," kata Dick tercengang. "Aku tidak bisa membedakan keduanya." "Mereka merasa harus mirip satu dengan yang lain," kata Bu Philpot, "dan karena Harry tak mungkin berambut panjang kayak anak perempuan, maka Harriet yang kemudian memotong pendek rambutnya, supaya mirip dengan Harry! Aku sendiri sering keliru sebut, kalau menghadapi salah seorang dari mereka." "Ya, memang aneh... kadang-kadang memang ada anak perempuan yang ingin menjadi laki­-laki," kata Dick sambil nyengir. Diliriknya George yang menatapnya dengan mata melotot. 'Tolong antarkan anak-anak ini ke atas," kata Bu Philpot pada kedua anak kembarnya, "dan sesudah itu antarkan yang laki-laki ke lumbung besar. Kalau keduanya mau tidur di situ, mereka bisa memakai tempat tidur lipat kita." "Kami yang tidur di sana," kata kedua Harry kembar. Tampang mereka cemberut, persis se­perti George kalau sedang marah. "Kan sudah kukatakan tidak boleh," kata ibu mereka. "Kalian harus memindahkan kasur kalian ke bilik kecil yang ada di sebelah tempat pengo­lahan susu." "Di situ terlalu pengap," kata si kembar serempak. "Bu... kami tidak mau merepotkan,” sela Julian, karena merasa kedua Harry itu tidak senang. "Biar kami saja yang tidur di bilik itu." "Jangan," kata Bu Philpot, sambil melirik kedua anaknya, menyuruh mereka diam. "Lumbung itu cukup untuk kalian berempat. Harry! Harriet! Sekarang antarkan keempat tamu ini ke kamar tidur atas dengan barang-barang mereka. Setelah itu ajak mereka ke lumbung.” Harry dan Harry alias Harriet mengangkat kedua koper milik Anne dan George dengan tampang masam. Tapi dengan cepat Dick mengambilnya kembali. "Biar kami saja yang membawanya ke atas," kata Dick dengan ketus. "Kami tidak ingin tambah merepotkan kalian berdua." Koper yang satu diserahkan pada Julian. Kedua Harry tampak tercengang sesaat, lalu naik tangga menuju ke tingkat atas. Mereka diikuti Dick dan Julian, masing-masing menjinjing sebuah koper. Lalu menyusul George dan Timmy. Sementara George lebih merasa geli daripada jengkel menghadapi kejadian itu. Sebelum meng­ikuti saudara-saudaranya, Anne masih sempat membungkuk untuk memungut sendok yang dijatuhkan Bu Philpot. "Terima kasih, Nak," kata wanita itu. "Jangan kaget menghadapi kedua anakku itu. Tingkah laku mereka kadang-kadang aneh, tapi sebenarnya keduanya baik hati! Mereka cuma tidak suka ada orang asing di rumah mereka, cuma itu. Janji, ya, kalian tidak peduli soal itu. Aku ingin kalian merasa senang di sini" Anne memandang wajah wanita yang kelihatannya capek itu, lalu tersenyum. "Kami janji tidak akan memedulikan soal itu, asal Ibu janji takkan repot-repot mengurus kami. Kami sudah biasa mengurus diri sendiri. Betul, Bu! Dan katakan saja apabila ada sesuatu yang perlu kami kerjakan" Setelah itu Anne menyusul saudara-saudaranya ke atas. Mereka sudah berada dalam kamar yang diperuntukkan baginya bersama George. Kamar itu cukup luas dengan jendela yang tidak besar. Julian lalu melihat ke lantai. "Hei, lantai ini terbuat dari papan kayu ek," katanya kagum. "Kelihatannya sudah tua sekali, warnanya memutih! Wah, rupanya rumah ini sudah tua sekali. Hei, lihat," sekarang Julian mendongak, "balok-balok di langit-langit itu, yang melintang di atas. Ya, rumah ini benar-benar bagus!" Kalimat terakhir ditujukannya pada Harry kembar. Kedua anak itu diam saja. Tapi kepala mereka masih dianggukkan serempak sebagai jawaban. Sikap mereka tetap kaku. "Kalian berdua seperti digerakkan dengan mesin!" kata Dick. "Kata-kata yang kalian ucapkan serempak selalu sama. Kalian berjalan sejajar, dan mengangguk pun serempak! Tapi kalian tidak tahu bagaimana caranya tersenyum, ya?" Kedua anak kembar itu menatapnya dengan sengit. Anne menyikut Dick. "Sudahlah, Dick, jangan kau ganggu terus mereka," katanya. "Mungkin mereka hendak meng­antarkan kalian ke lumbung sekarang. Sementara itu aku dan George mengeluarkan barang-barang kalian yang dititipkan dalam koper kami. Nanti kami antarkan ke bawah." "Baiklah," kata Dick, lalu berjalan ke luar bersama Julian. Di seberang gang terdapat kamar tidur yang ditempati si anak Amerika. Pintu kamar itu terbuka sehingga bisa dilihat isinya. Keadaan dalam kamar tidur itu acak-acakan, sehingga Dick berseru, "Astaga, bagaimana ada orang bisa membuat kamar begitu berantakan!" Setelah itu ia menuruni tangga, seiring dengan Julian. Ketika Dick menoleh sebentar untuk melihat apakah Harry kembar ikut turun, dilihatnya kedua anak itu berdiri di ujung atas tangga. Keduanya mengacungkan kepalan tinju ke arah kamar tidur yang dipakai anak Amerika. Tampang mereka marah sekali! "Rupanya Harry kembar sangat membenci anak Amerika itu," pikir Dick. "Mudah-mudahan saja mereka tidak membenci kami pula." "Yuk, kita ke lumbung," katanya keras-keras. "Jangan terlalu cepat, Jul. Tunggu kedua anak itu... kasihan, mereka sudah begitu ingin mengantar kita!" 03. Dalam Lumbung Dengan sikap kaku, kedua anak kembar itu mendahului ke luar rumah. Mengitari tempat pengolahan susu, lalu menuju ke sebuah lum­bung yang besar sekali. Satu dari mereka mem­bukakan pintu. "Wah, belum pernah kulihat lumbung sebagus ini," kata Julian, sambil memandang ke dalam lumbung yang gelap. "Sudah tua sekali kelihatan­nya! Balok-balok yang menjulang sampai ke bubungan atap... aku jadi teringat pada bangunan gereja kuno. "Kenapa atap ini tinggi sekali? Apa yang biasanya disimpan di sini?" "Tepung," kata kedua Harry serempak, kali ini mulut mereka seolah-olah membuka dan me­nutup seirama. Kemudian Dick dan Julian melihat tempat tidur lipat sudah ada di pojok ruangan itu. "Jika kalian hanya ingin berdua saja tidur di sini, kami mau saja memakai bilik kecil di samping tempat pengolahan susu, yang dikata­kan ibu kalian tadi," kata Julian. Sebelum kedua anak kembar itu sempat men­jawab, dari arah tempat tidur lipat terdengar gonggongan melengking. Seekor anjing pudel kecil berbulu hitam berdiri di tempat itu. "Aduh, mungil betul anjing ini," kata Julian. "Punya kalian, ya? Siapa namanya?" "Snippet," jawab Harry kembar serempak. "Sini, Snippet!" Anjing kecil itu meloncat dari tempat tidur, lalu lari menghampiri mereka. Ia menggonggong dengan gembira, sambil mengibas-ngibaskan ekor serta menjilat apa saja yang ada di dekat­nya. Dick hendak menggendong anjing yang lucu itu. Tapi kedua anak kembar cepat-cepat merangkulnya. "Dia anjing kami!" Nada suara mereka begitu galak, sehingga Dick kaget dan mundur selangkah. "Ya deh, ya deh, aku juga tidak bermaksud mengambilnya. Tapi kalian harus hati-hati, jangan sampai dia digigit oleh Timmy!" kata Dick me­nakut-nakuti. Kedua Harry tampak ketakutan. Mereka berpandang-pandangan dengan cemas. "Kalian tidak perlu takut," kata Julian buru-­buru. "Timmy baik hati jika menghadapi binatang yang lebih kecil. Hei, kenapa sikap kalian begini sih? Kan tidak ada jeleknya jika lebih ramah sedikit. Dan biarlah kami tidur dalam bilik kecil itu! Sungguh, kami sama sekali tak berke­beratan” Kedua anak kembar itu berpandang-pandangan lagi, seperti sedang menduga pikiran masing­-masing. Kemudian mereka berpaling, menatap Dick dan Julian. Tampak bahwa mereka sudah tidak seketus tadi lagi. "Kita semua akan tidur di sini," kata mereka. "Sekarang kami ambilkan dulu dua tempat tidur lipat lagi." Mereka pergi, diikuti Snippet yang berjalan sambil meloncat-loncat. Julian menggaruk-garuk kepala. "Aku jadi me­rasa aneh menghadapi kedua anak kembar itu," katanya. "Mereka itu seperti bukan manusia! Seakan-akan boneka, kalau melihat mereka se­lalu bergerak dan berbicara dengan serempak." "Kurasa mereka memang sengaja begitu," kata Dick dengan ketus. "Yah, pokoknya asal kita jangan mengganggu mereka saja, selebihnya masa bodoh! Yuk, besok kita melihat-lihat per­tanian ini. Tampaknya besar juga... meluas sam­pai ke lereng perbukitan. Aku sebenarnya ingin naik traktor!" Tiba-tiba terdengar dering bel dari arah rumah yang besar. "Itu tanda apa?" kata Dick. "Mudah­-mudahan saja untuk memanggil kita, karena hidangan sore sudah siap!" Pada waktu yang bersamaan, kedua Harry kembar muncul lagi dalam lumbung. Mereka membawa sepasang tempat tidur lipat, yang mereka pasang sejauh mungkin dari tempat tidur mereka. Dick datang menghampiri, maksud­nya hendak membantu. Tapi ditolak oleh kedua anak aneh itu. Dengan cekatan mereka me­masang kedua tempat tidur untuk Julian dan Dick. "Teh sudah dihidangkan," kata kedua Harry, ketika mereka selesai mengatur tempat tidur lengkap dengan selimut serta bantal. "Sekarang kami tunjukkan tempat cuci tangan" “Trims," kata Julian dan Dick serempak. Kedua­nya berpandangan sekilas, lalu nyengir. "Kita harus hati-hati, nanti ketularan mereka," kata Julian. "Hei, anjing kecil itu memang kocak! Lihatlah, sekarang ia mengendap-endap, hendak menyergap burung gagak itu." Snippet dan gagak kejar-kejaran lucu sekali. Dick dan Julian tertawa terpingkal-pingkal melihat adegan itu. Kedua Harry tersenyum. Akhirnya si gagak malah hinggap di atas punggung Snippet. Anjing itu kaget, lalu lari secepat-cepatnya me­ngelilingi seluruh ruangan. "Berguling, Snippet... berguling!" seru kedua Harry. Seketika itu juga Snippet menjatuhkan diri. Tapi gagak konyol itu sudah terbang lagi, sambil berkaok-kaok menang. Lalu hinggap lagi, sekali ini di atas kepala salah seorang Harry. "Eh, dia jinak rupanya," kata Dick. "Siapa namanya?" "Nosey" jawab kedua Harry serempak. Nosey berarti "melit"-'selalu ingin tahu'. Nama itu me­mang cocok bagi burung gagak yang iseng itu! "Dia piaraan kami," sambung kedua anak itu. "Pada suatu hari ia terjatuh ke dalam cerobong asap. Sayapnya patah. Kemudian kami rawat sampai sembuh kembali. Kini dia tidak mau pergi lagi!" "Astaga!" kata Dick, sambil memandang kedua anak kembar itu. "Yang bicara itu benar-benar kalian atau gagak itu? Ternyata kalian bisa juga bicara dengan normal!" Nosey mematuk telinga anak kembar yang kepalanya dijadikan tempat bertengger. "Jangan, Nosey!" seru anak itu. Nosey lang­sung terbang menjauh. Bunyi kaokannya terde­ngar seperti tawa mengejek. Saat itu Anne dan George muncul. Keduanya disuruh oleh Bu Philpot mencari Dick dan Julian, karena menurut Bu Philpot kedua anak kembar itu pasti tidak mendengar bel yang memanggil mereka. Timmy ikut juga, seperti biasa, ia tak mau ketinggalan. "Kalian masih ada di sini rupanya!" kata Anne, begitu masuk ke dalam lumbung. "Kata Bu Philpot, kita..." la tidak melanjutkan kalimatnya, karena tepat pada saat itu Timmy menggonggong. Anjing itu melihat Snippet yang sedang mengendus-endus di belakang karung-karung tepung. Anjing pudel itu masih mencari-cari gagak yang tadi meng­ganggunya. Timmy memandang Snippet dengan heran. Binatang apakah itu? Sekali lagi ia meng­gonggong sambil berlari menghampiri Snippet. Anjing itu berdengking karena takut, lalu lang­sung melompat ke dalam pelukan salah satu dari si kembar. "Jauhkan anjing kalian," kata anak-anak itu dengan sengit. Dua pasang mata memandang Julian serta saudara-saudaranya sambil melotot. "Jangan takut... dia takkan mengapa-apakan Snippet," kata George. Didekatinya Timmy, lalu dipegangnya kalung lehernya. "Sungguh, dia tidak apa-apa." "Bawa anjingmu pergi dari sini!" bentak kedua Harry. Dari tempat yang tinggi di bawah atap, burung gagak itu berkaok-kaok dengan galak. "Ya deh, ya deh," tukas George ikut melotot. "Yuk, Tim! Anjing sekecil itu, sekali telan juga habis!" Anak-anak kemudian kembali ke rumah. Se­mua berjalan sambil berdiam diri. Snippet di­tinggal di tempat tidur lipat salah satu Harry kembar. Suasana yang tidak enak itu agak me­reda, ketika mereka masuk ke dalam dapur yang luas. Hidangan sore sudah tersaji di atas meja yang besar. Di sekeliling meja diatur se­jumlah kursi. "Hmm," kata George, sambil mengangkat tutup sebuah panci. "Roti panas. Tak kusangka aku akan senang makan roti panas pada hari se­panas sekarang ini... habis sajian ini_ kelihatannya enak sekali! Hm... bergelimang mentega lagi, justru yang begini yang kusukai!" Keempat anak itu memandang hidangan yang sudah diatur di atas meja dengan penuh selera. Bu Philpot sibuk menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir. "Ibu tak perlu memanjakan kami," kata Julian. Menurut perasaannya, Bu Philpot terlalu sibuk mengurus mereka berempat. "Jangan repot-repot" Tiba-tiba keempat anak itu kaget setengah mati, karena saat itu terdengar suara lantang dari dekat jendela. Ternyata ketika masuk tadi; mereka tidak melihat bahwa ada seseorang duduk di situ. Orang itu sudah tua. Badannya kekar. Rambutnya sudah putih semua, begitu pula janggutnya yang panjang. Janggut itu pan­jang sekali, hampir ke pinggang. Mata orang tua itu berkilat-kilat menatap mereka. "Repot, katamu," tukas orang itu. "Repot? Hah! Orang zaman sekarang tidak tahu apa yang namanya bekerja. Itulah sebabnya! Bisanya cuma mengomel, minta ini-itu. Hah!" "Sudahlah, Kakek," kata Bu Philpot menenang­kan. "Minum saja tehnya, lalu sesudah itu isti­rahat. Kakek sudah seharian sibuk di kebun. Itu kan terlalu berat untuk Kakek" Ucapan Bu Philpot membuat Kakek makin jengkel. "Terlalu berat?" tukasnya. "Dengar, dulu waktu aku masih muda, aku... he, ini siapa?" Pertanyaan itu ditujukan pada Timmy! Anjing itu kaget mendengar laki-laki tua itu tiba-tiba berteriak-teriak. Bulu kuduk Timmy langsung te­gak, sementara dalam kerongkongannya terde­ngar geraman berat. Tapi kemudian menyusul kejadian yang sama sekali tidak disangka-sangka. Dengan langkah pelan Timmy menghampiri orang tua itu. Setelah dekat, diletakkannya ke­palanya ke pangkuan orang itu! Semua melongo melihatnya; apalagi George. Mula-mula laki-laki tua itu tidak mengacuhkan Timmy. Dibiarkannya kepala anjing itu terletak di pangkuannya, sementara ia masih terus ma­rah-marah. "Zaman sekarang orang tak tahu apa-apa! Tidak tahu mana biri-biri yang berharga, sapi jantan yang baik, anjing yang setia. Dan…” Timmy menggerakkan kepalanya sedikit. Kakek tertegun, memandang Timmy lalu menepuk­nepuk kepatanya. "Nah, ini baru anjing namanya," kata pak tua itu. "Anjing sejati! Anjing yang bisa dijadikan pengiring setia. Aku jadi teringat lagi pada True, anjingku yang sudah mati.” George memandang Timmy sambil melongo. "Baru kali ini dia mau berbuat begitu terhadap orang yang belum dikenal," katanya. "Anjing-anjing semuanya selalu begitu terhadap Kakek," kata Bu Philpot pelan. "Kalian tidak perlu takut kalau Kakek berteriak-teriak. Ia memang biasa begitu. Lihatlah, sekarang Timmy malah berbaring dekat kaki Kakek. Sekarang kedua-duanya sudah tenang. Kakek akan me­minum tehnya dengan nyaman. Kalian tidak perlu memedulikannya lagi." Anak-anak masih tetap tercengang selama beberapa saat. Tapi itu tidak menghalangi me­reka untuk menikmati hidangan sore, sambil bertanya bermacam-macam pada Bu Philpot mengenai pertanian itu. "Ya, tentu saja kalian boleh naik traktor, kalau mau," kata Bu Philpot. "Kami juga mempunyai sebuah mobil Land-Rover yang sudah tua, yang bisa kalian pakai berkeliling pertanian ini. Tunggu saja sampai suamiku datang... nanti dia akan mengatakan apa-apa saja yang bisa kalian laku­kan di sini" Begitu asyik mereka mengobrol sambil makan dan minum, sehingga tidak ada yang melihat sesosok tubuh berwarna hitam masuk lalu menghampiri Kakek. Yang datang ternyata Snippet. Setelah merasa aman, anjing itu pergi dari lumbung dan masuk ke dapur. Ketika Bu Philpot berpaling ke jendela untuk menawarkan secangkir teh lagi pada Kakek, barulah tampak olehnya pemandangan luar biasa di situ. Bu Philpot menyenggol kedua anaknya, yang langsung menoleh. Keduanya melihat Timmy berbaring dengan tenang di sela kedua kaki Kakek. Sedang Snippet berbaring di sela kedua kaki depan Timmy. "Sekarang Kakek pasti senang," kata Bu Philpot. "Ada dua ekor anjing berbaring di kakinya. Dan... hei lihat, itu suamiku... Trevor! Sekarang kita semua berkumpul!" 04. Junior! Seorang laki-laki bertubuh besar masuk ke dapur. Tampangnya mirip sekali dengan ke­dua Harry kembar. Jalannya agak membungkuk. Kelihatannya dia capek sekali. Ketika masuk, ia cuma mengangguk tanpa tersenyum sama sekali. "Trevor, ini dia tamu-tamu kita yang kucerita­kan padamu waktu itu," kata Bu Philpot. "Yang ini, namanya Julian, dan yang itu bernama..." "Ada tamu lagi?" kata Pak Trevor sambil mengeluh. "Aduh, rumah ini penuh dengan anak-­anak! Mana anak Amerika itu? Dia perlu ku­marahi sebentar. Tadi pagi dia mencoba men­jalankan sendiri traktor kita, lalu..." "Sudahlah, Trevor, nanti saja soal itu kauurus. Sekarang cuci tangan dulu, lalu makan bersama kami," kata Bu Philpot. "Sudah kubuatkan kue-­kue kesukaanmu.” "Aku tidak sempat makan sekarang," kata suaminya. "Belum selesai pekerjaanku! Tolong tuangkan secangkir teh, nanti kubawa ke tempat pengolahan susu dan kuminum di sana. Aku harus mengawasi pemerahan sapi. Bob hari ini tidak masuk!" "Kami membantu, Yah!" kata kedua Harry serempak seperti biasa. Dan serempak pula kedua­nya berdiri. "Jangan," kata ibu mereka. "Kalian sudah sibuk terus sejak pukul tujuh pagi. Sekarang habiskan dulu makanan kalian" "Tenaga kalian sangat berguna bagiku," kata Pak Trevor sambil berjalan menuju ke pintu, "tapi kurasa ibu kalian saat ini lebih memerlukan bantuan, karena dia sangat repot!" "Bu Philpot, biar saja mereka membantu Pak Trevor," kata Julian menyela. "Kami bisa mem­bantu di sini. Kami biasa membantu di rumah.” "Dan kami senang melakukannya," kata Anne menambahkan. "Biarlah kami membantu, Bu, supaya kami merasa betah di sini! Bagaimana jika kami yang membereskan meja makan serta mencuci piring, sementara kedua anak Ibu mem­bantu di tempat pengolahan susu?" "Biar mereka membantu!" Tiba-tiba Kakek ber­teriak dari tempatnya di dekat jendela. Timmy dan Snippet terlompat karena kaget. "Begitukah anak-anak zaman sekarang, selalu harus dila­deni?! Hah!" "Sudahlah, Kek," kata Bu Philpot. "Kakek ja­ngan khawatir. Kami bisa menanggulanginya." Kakek mendengus dengan keras. Dipukulkan­nya tinjunya ke lengan kursinya. "Sudah selalu kukatakan..." Tapi Kakek tidak jadi berbicara, karena pada saat itu terdengar langkah orang datang dari serambi menuju ke dapur. Salah seorang dari mereka berbicara dengan logat Amerika. Suaranya lantang. "Yah, aku ikut ya! Tempat ini tidak enak, tidak ada apa-apanya! Aku ikut ke London ya, Yah?" "Itu tamu-tamu Amerika kalian, ya?" tanya Dick. Ia berpaling, memandang kedua Harry. Tampang kedua anak itu berubah, tampak ma­sam sekali. Keduanya mengangguk serempak. Kemudian tampaklah seorang laki-laki bertubuh gempal. Pakaiannya keren, gaya orang kota. Ia bersama seorang anak laki-laki gendut bertam­pang pucat yang berusia sekitar sebelas tahun. Ayah dan anak itu berdiri di ambang pintu. Ia memandang berkeliling, sambil menggosok-­gosokkan telapak tangannya. "Hiya, folks!" sapanya dengan gaya Amerika. "Kami baru saja- kembali dari desa. Kami mem­beli beberapa suvenir di sana! Wah, harganya murah sekali! Kami agak terlambat, ya? Dan, siapa anak-anak ini?" Dipandangnya Julian dan saudara-saudaranya sambil tertawa lebar. Julian berdiri, lalu menjawab dengan sopan. "Kami berempat ini bersaudara," katanya. ''Kami akan menjadi tamu di sini selama dua minggu." "Tinggal di sini? Mau tidur di mana?" tanya si anak gendut, sambil menarik sebuah kursi ke meja. "Tempat ini payah, ya... Tidak ada bak mandi, tidak ada..." "Tutup mulutmu!" hardik kedua Harry serem­pak sambil melotot. Anne tercengang melihat sikap mereka yang kasar itu. "Boleh saja kan mengatakan pendapat," kata si anak gendut. "Ini kan negara bebas! Wah, kalian perlu melihat Amerika sekali-sekali. Itu baru negara hebat! Bu Philpot, aku minta kue sepotong, ya... kelihatannya enak!" "Tidak bisa minta dengan sopan, ya!" Terde­ngar suara membentak dari dekat jendela. Siapa lagi yang berbicara, kalau bukan Kakek! Tapi si gendut tidak memedulikannya sama sekali. Ia tetap menyodorkan piringnya, sementara Bu Philpot mengiriskan sepotong kue yang besar untuk dia. "Aku juga minta sepotong seperti Junior, Bu Philpot," kata ayah anak itu juga sambil menyo­dorkan piringnya pada Bu Philpot. "Wah, Anda perlu melihat barang-barang yang kami beli tadi. Asyik juga kita hari ini ya, Junior?" "Betul, Yah," kata si anak. Rupanya ia dijuluki Junior oleh ayahnya sendiri. "He, bisakah aku minta minuman dingin? Siapa mau minum teh panas sekarang? Malah berkeringat lagi nanti!" "Sebentar, kuambilkan limun dengan es," kata Bu Philpot, sambil bangkit dari kursinya. "Biar dia mengambilnya sendiri! Anak rewel!" Kakek mulai marah-marah lagi. Tapi sementara itu kedua Harry sudah mendahului ibu mereka, pergi mengambil limun dengan es untuk Junior. George kaget sekali melihat air muka mereka­tampak jelas bahwa mereka sangat membenci anak Amerika itu! "Kakek itu tentunya sangat merepotkan Anda, ya," kata laki-laki Amerika dengan suara pelan pada Bu Philpot. "Selalu mencampuri urusan orang lain! Lagi pula, sikapnya kasar.” "Jangan bisik-bisik," teriak Kakek. "Aku toh bisa mendengar setiap kata." "Sudahlah, Kek, jangan marah-marah terus," kata Bu Philpot. "Tidur saja sebentar di situ." "Tidak! Aku mau keluar lagi," kata Kakek. Ia berdiri dari kursinya. "Di sini ada orang-orang yang membuat aku muak!" Kemudian ia me­langkah keluar dibantu tongkatnya. "Kayak orang zaman dulu," kata Anne pada Dick. Timmy bangun, hendak mengikuti Kakek keluar, disusul oleh Snippet. "Wah! Besar sekali anjing itu!" kata Junior ketika melihat Timmy. "Siapa namanya? Aku baru sekarang melihatnya di sini." la bersiul, memanggil Timmy. "Nih, kuberi roti!" Tapi Timmy sama sekali tak mengacuhkannya. George menoleh kearah Junior, lalu menyapa­nya dengan ketus, "Itu Timmy, anjingku. Cuma aku sendiri yang boleh memberi dia makan!" "Alaaa!" kata Junior. Diambilnya sepotong kue, lalu dilemparkannya kedekat kaki Timmy. "Itu, untuk anjingmu!" Timmy memandang kue itu sebentar, tapi tetap berdiri di tempatnya: Kemudian dipandang­nya George. "Sini, Tim," panggil anak itu. Dan Timmy lang­sung menghampiri dia. Kue yang dilemparkan oleh Junior tetap tergeletak di lantai. "Anjingku takkan mau memakannya," kata George. "Jadi sekarang pungut lagi, karena me­ngotori lantai.” Kau saja yang memungutnya," jawab Junior sambil meraih sepotong roti lagi. "Galak amat sih, pakai melotot segala. Mataku jadi silau!" Tiba-tiba George merasa rusuknya ditumbuk... si gendut! Detik berikutnya Timmy sudah ada di sisi George, menggeram-geram, membuat Junior cepat-cepat menjauh. "Yah, anjing ini galak!" teriaknya. "Aku nyaris saja digigitnya tadi!" "Bohong!" kata George. "Tapi mungkin dia akan menggigit, jika kau tak mengikuti kataku. Pungut kue itu!" "Biar saja aku menyapunya nanti," kata Bu Philpot menengahi. Wanita itu tampak semakin gelisah. "Anda masih mau kue lagi, Pak Henning?" Suasana di meja makan sama sekali tidak menyenangkan. Anne sudah tidak sabar lagi menunggu selesai. Sedang Junior menjadi lebih tenang sikapnya, karena Timmy mengambil tem­pat berbaring di antara kursinya dan kursi yang diduduki George. Pak Henning, ayah Junior, tidak henti-hentinya bercerita tentang barang­-barang yang diborongnya itu. Semua merasa bosan mendengarnya. Kemudian kedua Harry masuk lagi kedapur. Mereka meletakkan teko berisi limun dengan dua buah gelas keatas meja, karena siapa tahu Pak Henning juga ingin minum limun. Setelah itu kedua anak kem­bar itu pergi lagi. "Ke mana mereka?" tanya Junior. Ia minum limun dengan gaya seenaknya. "Hmm... sedaap!" "Kurasa kedua anak itu pergi membantu meme­rah sapi," kata Bu Philpot. Julian menatap wanita itu. Kelihatannya Bu Philpot capek sekali. Memang repot melayani tamu sebanyak itu sekaligus. "Aku juga mau membantu memerah," kata Junior dengan tiba-tiba. Anak itu langsung pergi meninggalkan kursinya. "Lebih baik jangan, Junior," kata Bu Philpot. "Waktu itu kau sudah membuat sapi-sapi men­jadi gugup." "Alaa, itu kan cuma karena aku belum biasa," kata Junior. Julian memandang Pak Henning. Dikiranya orang itu akan melarang anaknya. Tapi Pak Henning diam saja. Ia menyalakan rokok, lalu melemparkan puntung korek api de­ngan seenaknya ke lantai. Tampang George masam. Diperhatikannya Junior berjalan ke pintu. Seenaknya saja anak itu, nekat hendak ikut memerah, walau sudah dilarang Bu Philpot! George mengatakan sesuatu pada Timmy dengan suara pelan. Anjing itu segera lari ke pintu, mencegat Junior sehingga tidak bisa lewat. "Ayo minggir," kata Junior. Timmy menggeram. "Hei, suruh dia kembali!" kata Junior lagi sambil berpaling. Tapi George diam saja. Begitu pula Julian, serta kedua adiknya. Bu Philpot bangun, lalu mulai membenahi meja. George seakan-akan melihat mata wanita itu berkaca-kaca. Tidak mengherankan jika Bu Philpot menangis apabila setiap hari harus menghadapi suasana seperti itu! Timmy tetap tidak mau beranjak dari ambang pintu. Sekali-sekali ia menggeram dengan galak. Akhirnya Junior menyerah. Ia sebetulnya ingin sekali menyepak Timmy, tapi tidak berani. Karena itu ia lantas kembali ke ayahnya. "Kita jalan-jalan yuk, Yah?" katanya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, kedua orang Amerika itu meninggalkan dapur lewat pintu yang satu lagi. Tarikan napas lega terdengar dari sekeliling meja makan. "Sebaiknya Ibu beristirahat dulu sebentar," kata Anne. "Biar kami saja yang mencuci piring" "Kalian baik hati," kata Bu Philpot. "Sejak pagi aku sudah sibuk terus. Jadi enak juga bila bisa istirahat selama dua puluh menit. Kurasa sarafku tidak kuat, kalau terus-terusan meng­hadapi Junior. Mudah-mudahan saja Timmy tidak akan menggigitnya!" "Kalau anak itu bertingkah terus, ada kemung­kinan dia akan digigit," jawab George dengan sikap tak peduli. Dikumpulkannya cangkir dan piring kotor bersama Anne. "Kalian berdua mau mengerjakan apa sekarang? Mau pergi ke tem­pat pemerahan?" "Ya, kami kan sudah sering memerah sapi," kata Dick. "Pekerjaan yang menyenangkan! Aku senang bau sapi. Sampai nanti! Dan kalau si gendut tadi rewel lagi, panggil saja kami. Ingin rasanya aku menjejalkan mukanya ke kue yang dicampakkannya ke lantai itu!" "Nanti akan kusapu," kata Anne. "Sampai ke­temu makan malam!" Dick dan Julian melangkah ke luar, sambil bersiul-siul. Bu Philpot sudah masuk ke kamar­nya. Hanya Anne, George, dan Timmy yang masih tinggal di dapur. "Aku agak menyesal datang kemari," kata George, sambil membawa piring-piring kotor ketempat cuci. "Banyak sekali pekerjaan Bu Philpot sekarang. Tapi, dia juga perlu uang..." "Yah, kita kan bisa membantunya," kata Anne. "Dan kita juga sudah berniat untuk selalu pergi seharian. Jadi tak usah sering-sering bertemu muka dengan Junior.” 05. Malam di Pertanian Sehabis mencuci piring, George dan Anne menyusul ke tempat pemerahan. Di situ tampak sapi berjejer-jejer. Pemerahan sudah hampir selesai. Kedua Harry kembar menggiring sapi yang sudah selesai diperah, kembali ke lapangan. "Nah, bagaimana dengan pekerjaan kalian?" tanya Anne pada kedua abangnya. "Asyik," kata Dick. "Hasil perahanku selalu lebih banyak daripada Julian. Soalnya sambil memerah aku bernyanyi. Dan rupanya sapi-sapi suka mendengar nyanyianku!" "Konyol!" kata George. "Eh, kalian sempat berbicara dengan Pak Trevor?" "Ya, katanya besok kita akan diajaknya pesiar mengelilingi pertanian dengan Land Rover," kata Dick. "Dan kita juga boleh naik traktor! Itu jika Bill mau mengajak. Kata Pak Trevor, biar bagaimana­pun Bill tidak akan mengizinkan Junior ikut naik traktornya. Jadi mungkin akan terjadi pertengkaran, jika anak itu melihat kita diperbolehkan!" "Aku sudah siap menghadapi pertengkaran, begitu pula Timmy," kata George geram. "Aku memang sudah kepingin berterus terang pada anak itu!" "Siapa yang tidak?" kata Julian. "Tapi lebih baik kita menahan diri dulu, sampai tiba saatnya yang tepat! Aku tidak ingin membuat Bu Philpot repot... karena jika kedua tamu Amerika itu sampai pergi, ia akan rugi. Pasti mereka berani membayar mahal!" "Ya, aku juga mengerti, Ju," kata George. "Tapi Timmy tidak! Dia sudah ingin sekali me­nyerang Junior.” "Sama dong kayak aku!" kata Dick. Diusap­-usapnya kepala Timmy. "Hei, sudah pukul berapa sekarang? Kita jalan-jalan yuk!" "Jangan ah," kata Julian. "Betisku terasa pegal. Habis, sehari ini kita naik-turun bukit terus! Atau begini saja, kita tetap jalan-jalan, tapi ja­ngan jauh-jauh!" Mereka pun berjalan-jalan dengan santai, me­lihat-lihat pertanian itu. Semua bangunan yang ada di situ sudah sangat tua, bahkan ada be­berapa yang bagiannya sudah runtuh. Genteng atap-atapnya khas daerah Dorset, terbuat dari batu, tidak rata, dan kasar. Lumut hijau dan merah menyelubunginya. "Bagus sekali, ya?" kata George. Ia berhenti sebentar, memperhatikan genteng sebuah gu­dang kecil. "Lihat, belum pernah kulihat lumut berwarna merah menyala seperti itu! Sayang, banyak yang sudah dilepaskan, diganti dengan genteng murahan!" "Mungkin sudah dijual oleh keluarga Philpot," kata Julian. "Genteng batu tua seperti itu, yang sudah berlapis lumut merah, kalau dijual bisa mahal sekali harganya. Apalagi jika yang mem­beli orang Amerika! Di Amerika, banyak lumbung yang atapnya dilapisi dengan genteng batu yang didatangkan dari sini, lengkap dengan lumut! Rupanya pemiliknya menginginkan suasana pe­desaan Inggris.” "Kalau aku punya tempat sebagus ini, aku takkan mau menjualnya! Biar sepotong genteng pun takkan kujual!" kata George sengit. "Mungkin kau tidak mau," kata Dick. "Tapi ada orang yang terpaksa menjual miliknya sebagian, supaya dengan uang hasilnya bisa merawat pertaniannya agar tidak terbengkalai! Bagi me­reka, ladang lebih penting daripada genteng tua.” "Kurasa Kakek takkan mau menjual, kalau tidak benar-benar terdesak," kata Anne. "Aku ingin tahu, apakah tamu Amerika itu juga men­coba membeli genteng-genteng ini. Kurasa pasti dia tertarik!" Asyik juga mereka melihat-lihat bangunan­bangunan yang ada di situ. Mereka sampai di sebuah gudang tua, yang berisi barang usang yang sudah tidak dipakai lagi. Julian mengacak-­acak di situ dengan penuh minat. "Lihatlah, besar sekali gerobak itu," katanya sambil menunjuk ke sudut yang gelap. "Hampir setinggi kepalaku. Wah, rupanya dulu orang-­orang sini biasa membuat gerobak sendiri! Bah­kan mungkin bekerjanya dalam gudang ini. Dan dengan perkakas buatan sendiri pula. Coba lihat alat kuno ini! Untuk apa, ya?" Anak-anak memperhatikan alat kuno itu. Ben­tuknya melengkung. Alat itu tidak enteng. Julian membayangkan, pasti ia tidak mampu meng­gunakannya lebih dari sepuluh menit. "Tapi kurasa Kakek mampu sehari penuh, tanpa capek," tambahnya. "Tentu saja waktu ia masih muda! Waktu itu Kakek pasti kuat sekali." "Kau masih ingat cerita anak perempuan pe­milik toko es krim?" sela Anne. "Katanya, Kakek dulu pernah berkelahi dengan sapi jantan dan menang! Kita mesti minta Kakek menceritakan pengalamannya itu pada kita. Pasti dia mau!" "Aku suka padanya, walau kerjanya mengomel dan membentak-bentak terus," kata Julian. "Hei, hari sudah senja. Kita tadi lupa menanyakan, kapan kita harus pulang untuk makan malam." "Setengah delapan," kata George. "Aku sudah menanyakannya tadi. Jadi sebaiknya kita kembali sekarang, karena masih harus mandi dan se­bagainya. Kecuali itu, aku dan Anne hendak membantu mengatur meja" "Baiklah. Kalau begitu kita kembali sekarang," kata Julian. "Ayo, Tim, jangan suka mengendus-­endus sampah!" Mereka kembali ke rumah. George dan Anne bergegas mandi, karena melihat Bu Philpot su­dah sibuk menyiapkan makan malam. "Sebentar, Bu!" seru Anne. "Nanti kami saja yang mengupas kentang. Wah, pertanian ini ba­gus sekali! Kami tadi melihat-lihat gudang tua." "Ya, tempat itu perlu dibersihkan," kata Bu Philpot, la tampak agak segar sekarang, karena sudah beristirahat biarpun cuma sebentar. "Tapi Kakek tidak mau mengizinkan. Katanya, ia sudah berjanji pada kakeknya bahwa tak sepotong pun dari barang-barang yang ada di situ akan dibuang olehnya. Tapi genteng batu yang bagus itu, ada yang sudah kami jual. Tentu saja pada orang Amerika! Orang itu kawan Pak Henning. Wah, Kakek marah sekali ketika mengetahuinya. Ia marah-marah sampai beberapa hari. Kasihan! Siang-malam ia menjaga sambil membawa garu-kalau-kalau ada orang asing berani meng­injak tanahnya. Kami sampai repot sekali menya­barkan Kakek" Makan malam menyenangkan, karena Pak Henning serta anaknya tak muncul. Suasana menjadi meriah. Berkelakar sambil tertawa-tawa. Tapi seperti biasa, kedua Harry kembar tidak banyak bicara. Anne sampai heran melihat me­reka. Apa sebabnya kedua anak itu tidak suka beramah-tamah? Sekali-dua kali ia mencoba ter­senyum pada mereka. Tapi setiap kali, kedua anak itu membuang muka. Snippet berbaring dekat kaki kedua anak itu, sedang Timmy seperti biasa menempati posnya di bawah meja. Kakek tidak hadir. Begitu pula Pak Trevor. "Kakek dan suamiku masih bekerja di ladang, mumpung hari masih terang," kata Bu Philpot menjelaskan. "Saat ini memang bertumpuk-tum­puk pekerjaan yang harus dilakukan." Sementara sedang asyik makan, tiba-tiba Anne menguap. "Aduh, maaf!" katanya, "tapi tak bisa kutahan lagi. Entah kenapa, rasanya aku mengantuk sekali.” "Sekarang aku ketularan," kata Dick. Ia cepat­cepat menutup mulut dengan tangan, menyem­bunyikan kuap yang menjadi-jadi. "Tapi aku tak heran, apa sebabnya kita sekarang sudah me­ngantuk. Aku dan Julian subuh tadi sudah berangkat! Dan kalian pun, naik bus selama itu... pasti sekarang capek." "Kalau begitu pergi saja tidur sekarang," kata Bu Philpot. "Besok tentunya kalian ingin bangun pagi-pagi sekali. Kalau kedua Harry, mereka selalu bangun pukul enam pagi. Mereka tidak senang bermalas-malasan di tempat tidur." "Nah, kalau Junior, pukul berapa dia bangun?" George bertanya sambil nyengir. "Juga pukul enam?" "Ah, biasanya pukul sembilan lewat," jawab Bu Philpot. "Sedang Pak Henning, dia baru turun kalau sudah pukul sebelas. Keduanya biasa sarapan di tempat tidur." "Apa? Junior juga? Jadi Anda mengantarkan sarapan ke atas, untuk anak itu?" kata Dick tercengang. "Kenapa tidak Anda seret dia dari tempat tidur?" "Yah, mereka kan tamu," kata Bu Philpot. "Dan mereka membayar cukup tinggi." "Aku saja yang mengantarkan sarapan untuk Junior," kata George dengan tiba-tiba. Ketiga saudara sepupunya memandang dengan heran. "Ya, aku dan Timmy. Kami ingin melayani anak itu. Ya kan, Tim?" Dari bawah meja terdengar bunyi yang aneh. "Kedengarannya kayak Timmy tertawa," kata Dick. "Dan aku juga tidak heran kalau dia betul-betui tertawa. Aku ingin melihat tampang Junior saat George masuk bersama Timmy-mengantarkan sarapan untuk dia." "Mau taruhan bahwa aku benar-benar akan melakukannya?" tanya George, yang merasa di­tantang. "Boleh saja;" balas Dick. "Aku berani memper­taruhkan pisau lipatku yang baru, bahwa kau takkan mau!" "Sip!" kata George. Bu Philpot bingung melihat kelakuan kedua anak itu. "Wah, jangan," katanya. "Aku tidak setuju, jika ada tamu melayani sesama tamu. Walau harus kuakui, kakiku capek naik-turun tangga sambil membawa baki!" "Akan kuantarkan sarapan untuk Junior dan Pak Henning, kalau Anda setuju," kata George, setengah ramah, setengah kesal. "Untuk Pak Henning tidak usah," kata Julian. Ia melirik Geroge. "Jangan berlebih-lebihan! Baki Junior saja sudah cukup." "Ya deh, ya deh," kata George agak merajuk. "Apakah mereka berdua tidak makan?" "Malam ini tidak," kata Bu Philpot dengan nada lega. "Kalau tidak salah, mereka makan malam di salah satu hotel, di Dorchester. Mungkin mereka merasa bosan, terus-terusan makan hi­dangan desa yang sederhana di sini. Tapi mudah-­mudahan saja mereka tidak pulang terlalu larut nanti. Kakek kebiasaan cepat mengunci pintu." Anak-anak merasa lega ketika selesai makan dan sudah berbenah serta mencuci piring, ka­rena rasa kantuk sudah tidak bisa ditahan lagi. Mereka betul-betul sudah capek, karena seharian sibuk terus. "Selamat tidur, Bu," kata mereka. "Kami akan tidur sekarang.” "Kalian ikut?" tanya Julian pada kedua Harry. Kedua anak itu rnengangguk serempak. Mereka kelihatannya juga sudah capek. Dalam hati Julian bertanya-tanya, apa sebabnya Pak Trevor dan Kakek belum datang juga. Mungkin masih sibuk bekerja di luar, pikirnya. Julian menguap. Yah, pokoknya ia hendak tidur sekarang. Menurut perasaannya saat itu, biar disuruh menggeletak di tanah sekalipun, ia pasti akan tidur nyenyak malam itu. Anne dan George naik ke kamar tidur mereka di atas. Sedang Julian dan Dick berjalan dengan kedua Harry ke lumbung. Sesampai di atas, George mengintip sebentar ke kamar Junior yang terbuka pintunya. Kamar itu semakin acak­-acakan kelihatannya. Di lantai berserakan kulit kacang. Rupanya Junior makan kacang dalam kamar, tapi malas membersihkan. Tak lama kemudian semua sudah berbaring di tempat tidur masing-masing. Anne dan George di sebuah tempat tidur luas berkasur keras. Dan Julian serta Dick di tempat tidur lipat masing-masing, seperti kedua Harry. Dua jam kemudian Anne dan George ter­bangun, karena bunyi ribut-ribut. Dengan ke­takutan mereka duduk di tempat tidur. Timmy menggonggong karena merasa terganggu. George menyelinap ke puncak tangga. Didengar­nya suara Kakek yang lantang di bawah. George kembali ke kamar. "Ah, cuma Pak Henning dan Junior pulang," katanya pada Anne. "Rupanya Kakek sudah me­ngunci semua pintu, sehingga keduanya tidak bisa masuk. Lalu mereka menggedor-gedor pintu. Huh, berisiknya! Nah, itu Junior datang!" Dan benarlah, Junior naik ke tingkat atas, berjalan dengan langkah berisik sambil bernyanyi keras-keras. "Anak konyol!" kata George jengkel. "Tunggu saja sampai besok, saat kuantarkan sarapan untuknya!" 06. Sarapan yang Aneh Tidur dalam lumbung ternyata mengasyikkan! Dick bertahan agar jangan terlelap dulu. Ia ingin menikmati bau lumbung yang khas dan menatap bintang-bintang yang bertaburan di la­ngit, yang bisa dilihatnya lewat pintu terbuka. Angin malam meniup sepoi-sepoi. Tapi Julian langsung tidur. Ia sama sekali tidak mendengar bunyi ribut-ribut ketika Pak Henning dan Junior pulang. Tahu-tahu ia terjaga sekitar pukul satu malam. Jantungnya berdebar keras. Bunyi apa yang membangunkannya tadi? Tetapi ketika ia mendengar bunyi itu lagi ia tertawa. "Dasar goblok!" katanya menertawakan diri sendiri. "Itu kan cuma suara burung hantu! Dan itu... jeritan apakah itu? Tikus? Atau mung­kin pula burung hantu, yang sedang mencari makanan dalam lumbung?" Julian berbaring lagi. Tapi masih tetap me­masang telinga. Tiba-tiba ia merasakan embusan angin dingin di mukanya, tapi tidak ada suara. Pasti gerak sayap burung hantu, karena Julian tahu, gerak sayap burung hantu tidak menimbul­kan suara! Bahkan tikus, yang pendengarannya sangat tajam, tidak bisa mendengar bunyi sayap burung itu yang sedang menukik hendak me­nyambarnya! Sesaat kemudian terdengar bunyi mencicit. "Nah, burung itu berhasil," pikir Julian. "Lum­bung ini memang tempat berburu yang baik baginya. Di sini disimpan hasil panen. Jadi tentu saja banyak tikus mencari makanan di sini.” Setelah itu Julian terlelap lagi. Ia baru bangun ketika sinar matahari sudah memasuki lumbung. Julian memandang arlojinya. Ia terkejut. "Wah, sudah setengah delapan! Padahal aku hendak bangun pukul tujuh. Dick! Dick! Bangun!" Tapi Dick nyenyak sekali tidurnya. Ketika di­goncang-goncang Julian, ia cuma memutar tu­buh, lalu melanjutkan tidurnya. Julian meman­dang ke seberang ruangan. Dilihatnya kedua tempat tidur yang ada di situ sudah kosong. Ternyata kedua Harry sudah bangun. Bantal dan selimutnya tersusun rapi. "Mereka tidak membangunkan kita," kata Julian sambil berpakaian. Kemudian digoncang-gon­cangnya lagi adiknya. "Dick! Dick, bangun! Nanti tahu-tahu sudah pukul SEPULUH!" Begitu Julian meneriakkan kata terakhir, Dick langsung bangun dan duduk di tempat tidur. "Pukul sepuluh! Aduh, lama sekali aku tidur. Wah, terlambat sarapan jadinya! Wah.." "Tenang... tenang!" kata Julian sambil nyengir, melihat Dick gugup. "Aku tadi bilang, kalau kau tidur terus, tahu-tahu sudah pukul sepuluh. Seka­rang sih baru pukul setengah delapan lewat." "Aduh, kau ini mengejutkan orang saja," kata Dick, lalu merebahkan diri kembali. "Aku masih ingin tidur barang sepuluh menit lagi." "Kedua Harry sudah keluar," kata Julian. "Anne dan George sudah bangun atau belum, ya? Aduh! Apa ini?" Julian terlonjak, karena ada sesuatu yang menusuk punggungnya. Ia berpaling dengan cepat. Dikiranya Junior atau salah seorang dari kedua Harry hendak mengganggunya. Tapi ter­nyata bukan! "Ah, rupanya si Nosey! Gagak konyol!" kata Julian. Burung iseng itu bertengger di atas bantalnya. Nosey berkaok-kaok, lalu hinggap di bahu Julian. Anak itu merasa senang, karena menyangka burung gagak itu sudah mengenalnya. Tapi detik berikutnya, Nosey mematuk telinga Julian. "Nih, kau saja yang memegang," katanya, lalu menyodorkan burung gagak itu pada adiknya, yang tidak menyadari apa-apa. Dan dasar burung iseng, dengan cepat Nosey menyambar arloji yang tergeletak di samping bantal Dick, lalu membawanya terbang. Dick berteriak marah. "Hei, kembalikan arlojiku, gagak keledai! Itu barang mahal, tahu? Ju, arlojiku dibawa terbang! Akan disembunyikan di mana nanti!" "Dia terbang ke bawah bubungan atap," kata Julian. "Kurasa kita perlu memberitahu kedua Harry, mungkin mereka bisa menolongmu! He, Nosey! Kenapa bukan arloji Junior yang kau­copet? Kalau itu kaulakukan, aku setuju. Tapi jangan barang-barang kami!" "Kaok, kaok, kaok," seru Nosey dari atas, seakan-akan setuju. Tapi ketika mulai berkaok, paruhnya terbuka, dan arloji Dick terlepas. Jatuh ke bawah, menimpa sebuah karung. Dengan cepat Nosey terbang menukik, hendak menyam­barnya kembali. Tapi Dick tidak mau kalah cepat. Ia berhasil menyambar arlojinya, sekejap sebe­lum Nosey sampai. Gagak itu terbang lagi ke atas, sambil ber­kaok-kaok dengan marah. "Hei, jangan suka memaki-maki," seru Dick memarahi. Segera dipakainya arlojinya, supaya tidak bisa dicopet lagi oleh Nosey. Setelah itu Dick dan Julian pergi ke luar, menuju ke rumah. Orang-orang sudah sibuk bekerja. Keduanya merasa tidak enak, karena bangun begitu lambat. Hidangan sarapan masih tersaji di meja. Tapi kelihatannya, banyak yang sudah makan pagi! "Anne dan George juga belum sarapan," kata Dick. Dilihat nya dua piring di depan kursi-kursi yang ditempati kedua anak perempuan itu kemarin malam, masih bersih. "Tapi yang lain semua sudah! Ah, Bu Philpot.... Maaf, Bu, kami terlambat bangun" "Tidak apa-apa," jawab Bu Philpot ramah. "Tamu memang tidak perlu bangun pagi-pagi sekali. Masa liburan kan memang cocok untuk hidup santai!" Bu Philpot meletakkan baki berisi sarapan ke meja. "Ini untuk Pak Henning! Dia akan mem­bunyikan bel, jika sudah ingin sarapan. Dan itu baki untuk Junior. Dan saat bel berbunyi aku juga harus menyiapkan kopi.” Setelah itu Bu Philpot keluar lagi. Dick dan Julian memandang dengan sikap mencela, ketika Anne dan George muncul kemu­dian. Mereka sendiri saat itu sedang makan dengan nikmat. "Terlambat bangun, ya?" kata Dick pura-pura kesal. "Ayo duduk! Nanti kutuangkan kopi untuk kalian." "Mana Junior? Belum bangun, kan?" tanya George cemas. "Tapi aku sama sekali tidak lupa tentang taruhan kita tadi malam!" "Tapi jangan berbuat yang tidak-tidak, ya, George?" kata Julian. "Misalnya melemparkan makanan ini padanya... atau hal-hal kayak begitu!" "Yah... siapa tahu?" jawab George sambil ma­kan sebutir telur rebus. "Pokoknya aku menang taruhan!" "Kalau kau nanti mengganggunya, jangan sampai keterlaluan," kata Julian menasihati. "Ja­ngan sampai Pak Henning marah, lalu pergi dari sini! Kan kasihan Bu Philpot kalau peng­hasilannya berkurang." “Ya deh," kata George. "Kau tidak perlu ngomel terus! Tapi sekarang aku ingin sarapan dulu. Tolong kemarikan sebutir telur lagi, Dick! Aneh, rasanya perutku ini tidak bisa kenyang." Ketika Anne dan George baru saja selesai makan, tiba-tiba keempat anak itu dikejutkan oleh bunyi bel yang berdering-dering. Dengan segera Bu Philpot masuk. "Itu tanda dari Pak Henhing," katanya. "Aku harus menyiapkan kopi untuknya." "Biar aku saja yang mengantarkan sarapan ke kamarnya," kata Anne, "dan George yang membawakan sarapan untuk Junior." "Aduh, jangan repot-repot," kata Bu Philpot. Saat itu bel berdering lagi. Bunyinya bising sekali. "Itu Junior," kata Bu Philpot. "Rupanya dia menyangka aku ini tuli." "Anak tak tahu adat!" tukas Dick. Bu Philpot tidak membantah ucapannya itu. Anne menunggu sampai Bu Philpot selesai menuangkan kopi untuk Pak Henning. Setelah itu diambilnya baki hidangan yang harus di­antarkan pada orang Amerika itu. "Aku yang akan mengantarkannya ke atas," katanya dengan tegas. Bu Philpot tersenyum dan membiarkannya. "Kamarnya di sebelah kiri tangga, di tingkat satu," kata Bu Philpot. "O ya, Pak Henning juga menginginkan tirai jendela kamarnya dibukakan untuknya pada saat sarapan dihidangkan!" "Junior juga ingin begitu pula?" tanya George. Suaranya manis sekali, sehingga Dick dan Julian menoleh padanya dengan perasaan curiga. Mau apa lagi anak ini sekarang?! "Ya, biasanya aku juga membukakan tirai jen­dela untuknya," kata Bu Philpot, "tapi itu tak perlu kaulakukan, jika kau tidak mau! Terima kasih, ya, kalian memang baik hati.” Anne sudah lebih dulu ke atas, membawa baki sarapan untuk Pak Henning. George me­nyusul di belakangnya, dan masih sempat me­ngedipkan mata ke arah Dick. "Sediakan saja pisau lipatmu," katanya sambil nyengir bandel. Timmy mengikutinya dengan heran. Untuk apa George menenteng baki ke tingkat atas? Pintu kamar Junior tertutup. Dengan sekali tendang, George membukanya lalu masuk ke dalam. Ia tidak berjalan dengan pelan. Sama sekali tidak! Kakinya sengaja dientak-entakkan ke lantai, supaya bunyinya berdebam-debam. Baki dibantingkan dengan kasar ke atas meja, sehingga kopi tumpah. Setelah itu dihampirinya jendela sambil bersiul-siul. Tirai ditariknya ke samping dengan sentakan keras; menimbulkan suara menggeresek yang menyakitkan telinga. Kepala Junior terbenam dibawah bantal. Rupanya ia tidur lagi, setelah membunyikan bel tadi. George sengaja menabrak sebuah kursi sehingga terguling ke lantai. Bunyi berisi yang terdengar menyebabkan Junior langsung terduduk di tempat tidur. "Ada apa ini?" tukasnya agak ketakutan. "Tidak bisakah mengantar sarapan tanpa..." Saat itu baru disadarinya bahwa yang masuk ke kamarnya bukan Bu Philpot yang ramah, tapi Goerge! "Keluar!" bentak Junior. "Seenaknya saja ge­dubrakan di sini! Ayo, tutup lagi tirai itu. Silau mataku. Aduh... kau menumpahkan kopiku! Kenapa bukan Bu Philpot yang mengantarkan? Sini, taruh baki itu di lututku, seperti yang biasa dilakukan Bu Philpot!" George menyentakkan selimut yang menyelu­bungi Junior. Setelah itu diambilnya baki sarapan dari atas meja, lalu diempaskannya ke lutut Junior. Cangkir kopi bergetar keras. Lengan Junior tersiram sedikit. Tapi itu pun sudah cukup untuk menyebabkan anak manja itu terpekik, karena kopinya masih panas. Tangan Junior me­layang, memukul bahu George. Detik berikutnya Junior baru sadar bahwa perbuatannya itu keliru. Timmy yang berdiri di ambang pintu, begitu melihat George dipukul, langsung melompat ke atas tempat tidur sambil menggeram. Junior yang ketakutan diseretnya turun ke lantai, lalu diinjaknya. Anak itu tidak berani berkutik, karena anjing besar itu meng­geram-geram terus dengan sikap mengancam. George berlagak tidak tahu apa-apa. Sambil menggumamkan sebuah lagu, ia berbuat seakan­akan sedang sibuk membenahi kamar. Sebelum­nya pintu sudah ditutup olehnya, supaya tak ada yang bisa mendengar apa yang terjadi dalam kamar itu. "George, suruh anjingmu pergi," kata Junior mengiba-iba. "Nanti aku digigit! Biar kuadukan perbuatanmu ini pada ayahku. Maaf deh... aku memukulmu tadi... tapi suruh anjingmu pergi!" Junior menangis. George memandangnya de­ngan sikap mencemooh. "Anak konyol! Manja!" katanya. "Ingin rasanya meninggalkan dirimu da­lam keadaan begini sampai siang, dijaga oleh Timmy! Tapi sekali ini kau masih kuampuni. Tim, sini! Biarkan cacing gendut itu terkapar di lantai.” Junior masih menangis terus. Ia merangkak ke tempat tidur, lalu membungkus tubuhnya de­ngan selimut. "Huu, huu, aku tidak mau sarapan," tangisnya. "Huuu, nanti kau kuadukan pada Ayah... huuu, huuu. Biar kau dihajar habis-habisan olehnya!" "Ya, adukan sana!" kata George. Dipegangnya tepi selimut, lalu ditariknya kuat-kuat, sehingga junior tidak bisa bergerak di dalamnya. "Bilang pada ayahmu! Nanti kubisikkan pada Timmy, kukatakan bahwa kau jahat terhadapku. Nah, aku tidak tahu, apa yang akan dilakukannya kemudian terhadap dirimu!" "Kau ini anak laki-laki jahat yang pernah kujumpai," kata Junior, setelah sadar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. George nyengir senang. Hah! Rupanya Junior menyangka dia anak laki-laki. Bagus! "Mulai sekarang, Bu Philpot tidak akan meng­antarkan sarapan lagi ke atas untukmu," katanya. "Aku mengambil alih tugas itu... bersama Timmy. Mengerti? Dan jika kau berani membunyikan bel lebih dari satu kali setiap pagi, yah, 'kau akan menyesal nanti!" "Aku tidak mau lagi sarapanku diantar ke atas," kata Junior lirih. "Lebih baik aku saja yang turun, untuk sarapan di bawah. Kau tidak usah mengantarkannya lagi.” "Bagus! Nanti akan kulaporkan pada Bu Philpot," kata George. "Tapi jika pikiranmu ber­ubah lagi, bilang saja padaku. Akan kuantarkan setiap pagi... dengan Timmy!” Setelah itu George keluar. Pintu kamar di­bantingnya keras-keras. Timmy mendahului turun. Anjing itu kelihatannya agak bingung... tapi juga senang. Ia memang tidak suka pada anak gen­dut yang berisik tadi. George masuk lagi ke dapur. Dilihatnya Dick dan Julian masih ada di situ. "Kau kalah taruhan, Dick!" kata George. "Beri­kan pisau lipatmu! Aku tadi bukan cuma meng­antarkan sarapannya ke atas dan dengan tidak sengaja menumpahkan kopi di atas lengannya, tapi setelah itu Timmy juga menyeretnya dari tempat tidur dan mengancamnya sambil meng­geram-geram. Huh, anak itu penakut! Dan mulai sekarang dia tidak mau lagi sarapan di tempat tidur. Dia akan sarapan di sini, setiap pagi" "Bagus," kata Dick, sambil menggeser pisau sakunya ke dekat George. "Kuakui, kau menang. Sekarang selesaikan sarapanmu dulu! Dan aku... aku tidak mau lagi taruhan denganmu!" 07. Harry dan Harry Berubah Sikap Anne sedang tertawa terpingkal-pingkal, men­dengar cerita George tentang perbuatannya terhadap Junior. Dan saudara sepupunya se­makin asyik saja bercerita. "Sayang kalian tidak melihat tampangnya tadi, sewaktu aku mengempaskan baki ke atas lutut­nya, sehingga tangannya tersiram kopi!" kata George. "Dia menjerit, sampai Timmy kaget. Lalu ketika aku dipukul olehnya, Timmy langsung melompat ke tempat tidur dan menyeretnya turun ke lantai. Wah-mata Junior melotot ketakutan!" "Pantas jika ia sekararig memilih lebih baik sarapan di sini saja setiap pagi," kata Julian. "Rupanya ia takut kau muncul membawa baki sarapan!" Saat itu kedua anak kembar Bu Philpot baru masuk, mereka tercengang mendengar perca­kapan itu, lalu berpandangan, dan mengangguk serempak. Keduanya menghampiri meja makan. Dan sekali itu, hanya seorang saja dari mereka yang bicara. Entah Harry yang sesungguhnya, atau Harry Yang Harriet, anak-anak tidak tahu, karena tampang mereka begitu mirip. "Ada apa?" tanyanya pada George. "Kenapa kau yang mengantarkan sarapan untuk Junior?" "Soalnya, kami bosan melihat sikap Junior­ dan juga ayahnya terhadap ibumu," jawab George. "Bayangkan-sok sekali anak itu, minta dilayani sarapan di tempat tidur!" "Lantas George memutuskan untuk melakukan tugas itu," sambung Dick. "la bermaksud hendak memberi pelajaran, supaya lain kali Junior lebih tahu aturan terhadap ibumu. Dan aku, aku begitu tolol, menyangka George takkan berani melakukannya. Sekarang aku kalah taruhan! George memenangkan pisau lipatku. Lihat saja!" Dengan bangga George memamerkan pisau lipat yang baru saja berpindah tangan. Tiba-tiba kedua Harry tertawa terbahak-bahak. Anak-anak memandang dengan mulut ternganga. "Astaga, kalian bisa tertawa juga rupanya!" kata Dick. "Nah, sekarang mumpung kalian sedang mau ramah, dengar baik-baik! Kami berpendapat bahwa ibu kalian benar-benar hebat. Dan kami bukan hendak menambah kerepotannya, tapi malah ingin menolong sebisa kami. Mengerti?" Kedua Harry tersenyum lebar. Kemudian me­reka membuka mulut, tapi sekarang silih ber­ganti. Tidak seperti biasanya, serempak dan dengan gaya kaku. "Kami benci pada Junior!" kata yang satu. "Dianggapnya ibu kami budak­nya, yang harus langsung datang begitu ia mem­bunyikan bel atau berteriak." "Ayahnya sama saja," kata kembar yang satu lagi. "Minta ini dan itu, menyuruh-nyuruh Ibu. Kenapa mereka tidak tinggal di hotel saja?" "Soalnya, dia ingin membeli barang-barang kuno kami," kata saudara kembarnya. "Aku tahu, Ibu sudah menjual beberapa barang miliknya sendiri padanya, karena Ibu perlu uang. Sekarang segala-galanya kan mahal, dan tiap kali kami selalu memerlukan pakaian baru karena yang lama sudah terlalu sempit." "Ah, senang rasanya mendengar kalian ber­bicara normal," kata Julian. Ditepuknya pundak kedua anak itu. "Sekarang tolong jelaskan pada kami, bagaimana caranya membedakan kalian berdua! Aku cuma tahu yang satu laki-laki, dan yang lainnya perempuan, tapi tampang kalian begitu mirip. Kalau orang tidak tahu, kalian pasti akan disangka anak laki-laki kedua-dua­nya!" Kedua anak kembar itu nyengir. "Baiklah, tapi jangan ceritakan pada Junior, ya?" kata seorang di antaranya. "Sebetulnya gampang saja! Nih, di tanganku ada bekas luka, Sedang Harriet tidak punya. Aku Harry." Anak-anak memperhatikan bekas luka yang tampak di tangan Harry. "Ini bekas luka karena tersangkut pada kawat duri," kata Harry menjelaskan. "Sekarang kalian tahu, mana yang aku dan mana yang Harriet! He... cerita lagi dong, tentang George dengan baki sarapannya tadi. Kami tidak mendengarnya dari awal. Kau hebat, George! Tampangmu juga kayak anak laki-laki, seperti Harriet" Enak rasanya bisa beramah-tamah dengan kedua anak itu, setelah selalu menghadapi muka masam selama ini. Ketika Bu Philpot masuk untuk membenahi meja, ia tecengang melihat kedua anaknya itu mengobrol di situ sambil tertawa-tawa. Bu Philpot tertawa senang. "Bu! Junior tidak mau lagi sarapan di tempat tidur," kata Harry, ketika melihat ibunya masuk. "Mau tahu sebabnya?" Diulanginya cerita tadi. Muka George merah. Ia khawatir Bu Philpol akan marah. Tapi tidak. Wanita itu tertawa geli. "Ah, enak rasanya, bisa tertawa," katanya kemudian. "Tapi mudah-mudahan saja anak itu tidak mengadu pada ayahnya, lalu mereka pergi cepat-cepat! Mereka memang merepotkan, tapl kami perlu uang. Nah, sekarang aku harus membenahi meja!" "Jangan, Bu! Itu tugas kami," kata Anne. Ia memandang Harry dan Harriet. "Betul, kan?" "Ya!" kata keduanya serempak. "Kami sudak berkawan sekarang, Bu. Kita anggap saja mereka termasuk keluarga!" "Yah, kalau kalian yang berbenah di sini sebaiknya aku sekarang mengurus makanan ayam," kata Bu Philpot. "He-bagaimana jika hari ini kita berkeliling melihat-lihat pertanian naik Land-Rover!" kata Harry kemudian. "Kalau tidak salah Bill pagi in harus ke ladang. Pasti ia mau mengajak kaliar jika aku yang meminta." "Setuju!" kata Julian. "Pukul berapa?" "Sekitar setengah jam lagi," kata Harry. "Sekarang kucari dulu Bill! Nanti jika terdengar bunyi tuter, keluarlah. Oya, Bill pendiam orang nya. Tapi ramah, jika suka pada seseorang." "Baiklah," kata Julian. "Sekarang apa yang bisa kukerjakan bersama Dick, sementara anak-­anak perempuan sibuk berbenah di sini?" "Wah, kalau di pertanian, selalu ada saja yang bisa dikerjakan," kata Harry. "Yuk, kita ke kandang ayam! Kami sedang menambal atap yang bocor" Dick dan Julian ikut dengan kedua anak kembar itu, yang ternyata sangat ramah dan periang. Lain sekali dibandingkan dengan sikap sebelumnya. Masam dan ketus! "Untung aku tadi memberi pelajaran pada Junior," kata George sambil melipat taplak meja. "Dengan begitu, kedua anak itu langsung ber­ubah sikap. Sekarang mereka ramah sekali! Nah, kurasa Junior turun sekarang!" la bergegas menyembunyikan diri di belakang bufet, sementara Anne meneruskan kesibukannya membetulkan letak kursi-kursi. Junior masuk dengan langkah menyelinap. Ia memandang ber­keliling ruangan, seakan-akan mencari sesuatu. Tampaknya lega, setelah memastikan bahwa hanya Anne sendiri yang ada di situ. Ia tidak melihat George yang bersembunyi. Seketika itu juga sikap Junior berubah. Dianggapnya Anne anak kecil, yang tidak perlu ditakuti! Mana anjing itu?" tukasnya. "Anjing yang mana?" tanya Anne, pura-pura tidak tahu. "Snippet?" "Bukan, bukan dia, maksudku anjing besar yang jelek, kepunyaan anak laki-laki yang jahat tadi," kata Junior. "Ah--maksudmu George," kata Anne. Dalam hati ia geli, karena George dikira anak laki-laki oleh Junior. "Itu dia-ada di sana!" Junior cepat-cepat berpaling. Dilihatnya George muncul dari belakang bufet. Junior men­jerit lalu lari pontang-panting ke luar. Ia takut Timmy juga ada di situ. Padahal anjing itu tadi ikut dengan Julian dan Dick. George tertawa. "Dia takkan merepotkan kita lagi sekarang," katanya. "Tapi mudah-mudahan ia tak mengadu pada ayahnya.” Beberapa saat kemudian terdengar bunyi tuter mobil di luar. "Itu dia, Land-Rover-nya sudah datang," kata George gembira. "Kebetulan sekali, kita juga sudah selesai mencuci piring. Gantungkan lap supaya kering Anne, sementara aku menaruh piring-piring ini ke dalam lemari..." Setelah selesai, keduanya pergi ke luar. Di depan rumah ada sebuah mobil tua yang kotor dan agak miring duduknya. Itulah mobil Land­Rover yang akan mengantar mereka melihat-­lihat pertanian keluarga Philpot. Dick dan Julian sudah duduk di dalamnya. Mereka berseru­-seru, "Ayo, cepatlah sedikit! Tidak dengar kami me­nuter tadi?" Anne dan George bergegas ke mobil. Bill, pegawai Pak Trevor, duduk di belakang setir. Ia mengangguk sambil nyengir pada kedua anak perempuan itu. "Mana Harry kembar?" tanya George. "Tidak ikut?" "Tidak,” jawab Bill. "Sibuk!" Benar juga kata Harry. Bill memang pendiam. Ketika Land-Rover hendak berangkat, dari ru­mah terdengar seseorang berseru-seru. "Tunggu! Aku ikut! Tunggu, kataku!" Timmy yang juga duduk di mobil, mulai meng­geram. Tidak aneh, karena yang berseru-seru itu Junior. Sikap anak itu sudah seperti biasa lagi, berteriak-teriak dengan nada memerintah. "Turun, Tim-datangi dia," kata George pelan. Tanpa menunggu sampai disuruh dua kali, Timmy langsung melompat turun dari mobil lalu lari menghampiri Junior. Anak itu kaget setengah mati, ketika melihat Timmy tiba-tiba muncul dan menghampiri dirinya. Junior menjerit ketakutan, lalu lari pontang-panting. "Nah, soal itu beres!" kata Dick puas. "Eh, ­lihat si Timmy. Kelihatannya sedang tertawa!" Saat itu Timmy memang kelihatan seperti tertawa. Mulutnya ternganga lebar, memamerkan gigi-gigi yang runcing. Lidahnya terjulur ke luar. Dengan cekatan ia melompat, naik lagi ke mobil. "Anjing pintar," kata Bill. Setelah itu dihidup­kannya mobil. Aduh, berisiknya tidak setengah-­setengah! Land-Rover itu mulai bergerak pelan-­pelan menuju ladang. Mobil tergoncang-goncang di atas jalan tanah. Anak-anak harus berpegang kuat-kuat, semen­tara kendaraan itu melintasi ladang, naik-turun bukit, terpeleset-peleset. Suatu kali bahkan te­rasa seperti nyaris terbalik. Anne tidak begitu yakin, apakah ia menyenangi perjalanan se­macam itu. Tapi pendapat ketiga saudaranya tidak perlu ditanya lagi. Wajah mereka berseri-seri! "Nah, dari sini kalian bisa memandang seluruh tanah pertanian keluarga Philpot," kata Bill, ketika akhirnya mereka sampai di puncak bukit. "Lihat­lah! Sebenarnya ini merupakan daerah pertanian yang paling baik di sini. Sayang keluarga Philpot kekurangan uang untuk merawatnya!" 08. Pak Finniston Asyik sekali mereka jalan-jalan naik Land Rover menyusuri berbagai bukit kecil di daerah pertanian keluarga Philpot yang luas sekali. Sekali-sekali mobil berhenti untuk memberi kesempatan pada anak-anak agar bisa menikmati pemandangan. Bill sibuk menyebutkan nama ladang yang mereka lewati. "Ini Ladang Pohon Ek, yang di sebelah sana Hutan Algojo, dan yang itu Ladang Tinker's Wood! Dan yang tampak di kejauhan, Ladang Jauh, namanya pas sekali, karena letaknya paling jauh dari rumah!" Bill bercerita dengan lancar, rupanya karena kecintaannya pada pertanian ini. la juga bercerita tentang ternak. "Yang di sana itu sapi perahan kami yang baru, yang menghasilkan susu berkualitas. Sapi-sapi itu menolong petani mendapatkan penghasilan tam­bahan setiap minggu tak habis-habisnya. Dan yang sedang merumput di tengah lapangan di sebelah sana, itu sapi-sapi pejantan. Sapi-sapi itu mahal sekali harganya. Pak Philpot memang mementingkan ternak bermutu! Lebih baik memakai mobil tua, daripada membeli ternak tidak bermutu. Nah di lereng bukit itu, yang tampak seperti bintik-bintik, adalah biri-biri. Sayang sekali hari ini kita tidak bisa ke sana. Kalian pasti senang berkenalan dengan gembalanya. Ia sudah lama sekali bekerja di pertanian ini. Orang­nya sudah tua.” Setelah itu Bill terdiam lagi. Mobil dibelokkannya, memasuki jalan tanah yang menuju ke rumah lagi. Kini mereka menyusuri ladang-ladang jagung yang sudah menguning. "Aku tahan duduk berjam-jam di tempat ini," kata Anne. "Enak rasanya menikmati pemandangan di sini, mendengarkan tiupan angin di sela-sela tanaman jagung!" "Kalau begitu jangan kawin dengan petani, sebab istri petani tidak sempat duduk untuk menikmati pemandangan," kata Bill. Setelah itu ia diam lagi. Mobil berjalan terus, terayun-ayun di jalan yang tidak rata. Tapi bagi anak-anak mengasyikkan. "Awas, Bill!" seru Anne tiba-tiba, ketika roda mobil terpeleset sebuah lubang. Ia berpegang erat-erat ke tiang penopang atap. Tapi Timmy tidak bisa berpegangan, karena ia tidak punya tangan, dan ia terdorong ke belakang, terlempar ke jalan. Perlahan-lahan anjing itu bangun. Ia bingung, kenapa tahu-tahu sudah ada di luar mobil. "Ayo naik, Timmy!" seru George. "Kau tidak perlu kaget, mobil tadi cuma terperosok ke dalam lubang." Bill tidak menghentikan Land Rover. Karena itu Timmy terpaksa mengejar, lalu melompat naik ke belakang. Bill tertawa men­dengus. Saat itu mobil bergoyang lagi, karena melalui bagian jalan yang banyak lubangnya. "Mobil ini seperti manusia saja," kata Bill. "Kalau cuaca cerah seperti sekarang, ingin me­nari-nari.” Land Rover itu melaju, menuruni bukit dan masuk ke jalan berlubang. Anne mengerang, lalu bisiknya pada Julian, "Dia enak saja ngomong, dia kan bisa berpegangan pada kemudi!" Walau perjalanan tidak sehalus naik mobil sedan, tapi anak-anak menikmati perjalanan ber­keliling pertanian itu. "Sekarang kita benar-benar tahu bagaimana pertanian ini!" kata Julian, setelah mobil direm mendadak di dekat rumah sehingga mereka semua terlempar ke tanah. "Pantas Kakek serta keluarga Philpot sangat sayang pada pertanian ini. Habis, memang bagus sekali sih! Terima kasih, Bill. Kami senang sekali tadi. Aku jadi ingin orangtuaku juga punya pertanian seperti begini!" "Seperti begini? Wah, harus dirawat berabad­-abad dulu, baru bisa," kata Bill. "Dan nama-­nama yang kusebutkan tadi, itu pun usianya sudah berabad-abad. Tidak ada lagi yang tahu, siapa yang dulu digantung di Hutan Algojo, misalnya. Tapi namanya akan tetap begitu, se­lama ladang itu masih ada!" Anne menatap Bill dengan kagum. Rupanya orang itu sangat mencintai tempat bekerjanya, pikirnya. Tepat pada saat itu Bill menoleh. Dilihat­nya Anne memperhatikan dirinya. Ia mengangguk. "Kau mengerti, ya?" katanya. Anne mengangguk. "Tetapi ada juga yang tidak bisa mengerti," kata Bill melanjutkan. "Misalnya saja Pak Henning, orang Amerika itu. Tidak habis-habisnya ia memuji pertanian ini. Tapi pada hakikatnya, ia tidak mengerti apa-apa. Sedang anaknya yang gendut..." Anne kaget, karena tiba-tiba Bill me­ludah ke tanah. "Nah, itulah pendapatku tentang dia!" "Ah, kurasa ia begitu karena cara mendidiknya saja," kata Anne. "Aku sudah sering ketemu anak-anak Amerika, dan..." "Yang satu itu perlu dipukul pantatnya!" kata Bill geram. "Kalau Bu Philpot tidak melarang, dia pasti sudah habis kupukuli! Sungguh! Ba­yangkan, siapa yang tidak marah. Anak-anak sapi yang cepat kaget diloncatinya, katanya hen­dak ditunggangi! Setelah itu menguber-uber ayam betina, sampai tidak mau bertelur lagi. Lalu melempari bebek yang sedang berenang dalam kolam. Karung benih dirobek! Bukan untuk apa-apa, hanya karena iseng, katanya senang melihat benih bertaburan. Huh, ingin rasanya menggoncang-goncang anak itu!" Anak-anak kaget mendengar kata-kata Bill. Ternyata sifat Junior lebih buruk daripada per­kiraan mereka. George merasa senang, karena sempat memberi pelajaran pada anak itu tadi pagi. "Anda tidak perlu memikirkan anak itu lagi, Bill," kata Julian dengan geram. "Selama kami di sini, kami akan menangani dia!" Setelah itu mereka meminta diri pada Bill, lalu kembali ke rumah. Seluruh tubuh mereka pegal-pegal. Tapi mereka puas. "Aku senang pada Bill," kata Anne. "Dia begitu... begitu asli. Ia seakan-akan menyatu dengan pertanian ini. Bill adalah pertanian dan pertanian adalah Bill!" "Ah, sekarang Anne mengerti, apa maknanya menjadi petani," kata Dick. "Aduh, perutku lapar sekali. Tapi tidak enak, jika minta makan lagi pada Bu Philpot. Yuk, kita ke desa. Kita membeli roti dan susu di toko tempat kita pernah mampir." "Ya, setuju!" kata Anne dan George serempak. Mereka lantas berangkat, menyusuri jalan yang menuju ke desa Finniston. Tak lama kemudian mereka sudah sampai di toko itu. Janie, anak perempuan yang gemar mengobrol itu kembali sedang bertugas menjaga. Ia tersenyum gembira, melihat anak-anak datang. "Nah, kalian muncul lagi," sapanya. "Kebetulan pagi ini ibuku membuat kue makaroni. Lihatlah... masih hangat!" "Dari mana kau tahu kami gemar makan kue itu?" kata Dick, lalu duduk di satu dari dua meja yang ada di situ. "Kami minta satu piring!" "Apa? Sepiring penuh?" seru Janie tercengang. "Satu piring isinya kan dua puluh?" "Pas-pasan untuk kami," kata Dick. "Kecuali itu, kami juga minta es krim, seorang satu. Yang besar, ya? Dan tolong berikan juga satu, untuk anjing kami." "Ya, aku takkan melupakannya," kata Janie. "Anjing kalian itu baik, ya? Kalian perhatikan tidak, ia memiliki mata yang indah sekaligus ramah?" "Ya," kata Dick geli. Sedang George berseri-­seri, ia merasa senang; karena Timmy dipuji­-puji. Tak lama kemudian anak-anak sudah sibuk makan, disusul dengan hidangan es krim. Dan Timmy kembali menguber-uber es krimnya yang jatuh ke lantai. Janie sampai terpekik-pekik ka­rena geli melihat adegan kocak itu. "Kalian senang tinggal di pertanian keluarga Philpot?" tanya anak itu kemudian. "Senang sekali!" jawab anak-anak serempak. "Kami senang tinggal di pertanian," kata Anne menyambung. "Tadi pagi kami berkeliling melihat­-lihat di situ. Naik Land Rover.” "Kalian ikut dengan Bill?" tanya Janie. "Bill itu pamanku. Tapi biasanya ia tidak suka berbicara ` dengan orang yang belum dikenal baik." "Oh, dia tadi banyak sekali bercerita," kata Julian. "Hei, ngomong-ngomong pamanmu itu suka kue ini atau tidak?" "Tentu saja suka," kata Janie agak heran. "Belum pernah ada orang yang tidak menyukai kue buatan ibuku." "Dia bisa makan sampai setengah lusin?" tanya Julian lagi. "Ibuku? Oh, Bill maksudmu. Wah, kalau dia sih pasti bisa!" "Kalau begitu, tolong bungkuskan setengah lusin," kata Julian. "Aku ingin membawanya se­bagai oleh-oleh untuk Bill, sebagai pernyataan terima kasih karena sudah diajak melihat-lihat tadi." "Kau baik hati," kata Janie senang. "Pamanku itu sudah seumur hidupnya bekerja di Finniston Farm. Coba minta padanya untuk mengajak kalian berjalan-jalan ke tempat bekas Puri Finnis­ton, sebelum terbakar..." "Puri Finniston!" seru George dengan heran. "Pagi tadi kami sudah berkeliling ke mana-mana. Semua ladang kami datangi. Tapi sama sekali tak kami lihat puing-puing reruntuhan puri." "Ya, tentu saja kalian tidak bisa melihat apa­apa sekarang," kata Janie. "Kan sudah kukata­kan, puri itu kemudian terbakar. Terbakar habis! Kejadiannya sudah lama. Tapi Finniston Farm, dulu termasuk tanah puri itu. Aku pernah melihat gambar-gambarnya, di toko barang antik di ujung jalan itu. Dan aku..." Saat itu ibu anak itu muncul dari belakang. Keningnya langsung berkerut, melihat anaknya asyik mengobrol. "Janie, Janie, sudah berapa kali kukatakan, jangan suka mengajak ngobrol pembeli," katanya. "Kau ini memang ceriwis. Belum tentu semua orang senang mendengar obrolanmu." "Kami senang mengobrol dengan dia, Bu," kata Julian. "Janie banyak ceritanya. Biar sajalah!" Tapi Janie sudah lari. Pipinya merah karena malu. "Nah, kalian tadi makan apa saja?" kata wa­nita pemilik toko itu kemudian, ketika melihat satu piring kue tidak ada lagi di tempat semula. "Astaga! Ke mana kue-kue yang di sini tadi? Paling sedikit ada dua lusin di piring itu!" "Anu, Bu...," kata Julian malu-malu, "kami sendiri makan hampir dua puluh, dibantu anjing kami, tentunya... lalu Janie membungkuskan lagi enam buah untuk kami, jadi.." "Di piring tadi ada dua puluh empat!" kata wanita itu, masih tetap tercengang. "Dua puluh empat! Aku tahu pasti, karena sempat kuhitung." "Dan es krim yang besar, lima," kata Julian lagi. "Jadi berapa harganya semua, Bu? Wah, kue tadi benar-benar enak rasanya!" Sekarang ibu Janie tersenyum. Ia geli melihat tingkah Julian yang tampak agak kikuk karena malu. Ia menghitung-hitung sebentar, lalu menyebutkan harga yang harus dibayar. Julian cepat-cepat menyodorkan uangnya. "Jangan bosan mampir, ya," kata wanita itu. Kemudian anak-anak keluar. Timmy masih te­rus menjilati moncongnya, seakan-akan masih merasakan enaknya kue dan es krim tadi. Mer­eka menyusuri jalan desa sampai ke ujungnya. Sesampai di situ Anne berhenti. "Aku ingin melihat-lihat di toko antik itu sebentar," katanya. "Kalian pulang saja dulu, nanti aku menyusul." "Aku ikut denganmu," kata George, sementara Dick dan Julian meneruskan perjalanan pulang. "Kalau kalian mencari nanti, mungkin kami ada di salah satu tempat di sana, membantu bekerja," seru Dick sambil berjalan. Sedang Anne dan George belok ke arah ke toko barang antik. Ketika Anne dan George hendak masuk ke toko itu, mereka nyaris bertubrukan dengan dua orang yang hendak keluar. Yang satu ternyata Pak Henning, dan yang seorang lagi mereka belum pernah melihatnya sebelum itu. "Selamat pagi," sapa Pak Henning, lalu meneruskan langkah bersama orang asing itu. Sementara George dan Anne masuk ke dalam toko yang agak gelap itu. Mereka melihat seorang laki-laki tua berdiri di belakang meja penjualan. Orang itu kelihatannya agak marah. Tangannya diketuk-ketukkan ke daun meja. Matanya melotot, sehingga Anne dan George agak takut. "Huh, orang itu!" tukas pak tua itu. Ia menggeleng-geleng dengan cepat, sehingga kacamatanya terlempar. Anne buru-­buru mengambilnya kembali, lalu menyerahkan­nya pada pemiliknya. Pak tua menaruh kaca­matanya ke batang hidungnya, lalu ditatapnya kedua anak perempuan yang baru masuk de­ngan pandangan galak. "Kalau kalian hendak membuang-buang waktu­ku, lebih baik cepat-cepat pergi lagi," kata laki-­laki tua itu. "Aku sibuk! Anak-anak biasanya cuma merepotkan saja. Melihat ini-itu, tapi tidak pernah membeli apa-apa! Sedang anak yang dari Amerika itu, dia... ah, kalian kan tidak tahu, aku ini sedang berbicara tentang apa! Huh, aku sedang gugup sekarang. Aku selalu gugup, jika ada orang ingin membeli barang-­barang kuno kita, untuk dibawa ke luar negeri. Kalau..." "Ya, Pak Finniston," kata Anne menyabarkan. "Anda Pak Finniston, kan? Kami kemari karena ingin melihat-lihat ladam kuda yang bagus itu. Kami tak lama-lama di sini. Kami menginap di Finniston Farm, dan..." "Di Finniston Farm, katamu?" Wajah orang tua itu seketika berubah menjadi cerah. "Kalau begitu kalian pasti sudah berjumpa dengan te­man baikku, Pak Jonathan Philpot. Dia kawan akrabku yang paling akrab!" "Maksud Anda Pak Philpot, ayah kedua Harry?" tanya George. "Bukan, bukan dia. Maksudku Kakek! Kami dulu satu sekolah," kata laki-laki tua itu berse­mangat. "Wah, banyak cerita tentang keluarga Finniston yang bisa kukisahkan pada kalian, serta mengenai puri yang dulu ada di sana. Ya, ya, aku ini jelek-jelek masih keturunan pemilik puri itu, maksudku puri yang dulu ada di sana. Sekarang sudah musnah. Ya, ya!" Pada saat itulah dimulai petualangan baru bagi Lima Sekawan. Petualangan yang takkan pernah mereka lupakan lagi! 09. Kisah Menarik Pak Finniston sudah tua, kecil, dan bungkuk. Rambutnya yang putih beruban, hanya tinggal beberapa lembar. Mukanya yang ramah sudah penuh kerut. Kelopak matanya layu menutupi mata, sehingga berkesan ia selalu memandang dengan mata terpicing. Kedua anak perempuan itu tertarik ketika mendengar bahwa Pak Finniston ternyata ke­turunan bangsawan Finniston, yang dulu tinggal di Puri Finniston. "O... karena itulah Anda juga bernama Finniston," kata Anne. "Ceritakan mengenai puri itu Pak! Baru hari ini kami mendengar sesuatu mengenainya. Tapi di mana letaknya dulu, kami tidak tahu. Ketika kami tadi berkeliling pertanian, aku sama sekali tidak melihat tumpukan batu!" "Tentu saja tidak," kata Pak Finniston. "Soal­nya, puri itu terbakar habis pada zaman dulu, berabad-abad yang lalu. Kemudian batu-batunya diambil orang, untuk dijadikan bahan bangunan. Yah, kejadiannya memang sudah lama sekali!" "Berapa lama?" tanya Anne ingin tahu. "Sebentar...," Pak Finniston berpikir-pikir seben­tar. "Terbakarnya tahun 1192, jadi dalam abad kedua belas. Waktu itu zaman Norman! Pernah mendengar tentang orang-orang Norman? Aku tahu, sekolah zaman sekarang sudah tidak se­perti dulu lagi, jadi..." "Tentu saja kami pernah mendengar tentang bangsa Norman!" kata George tersinggung. "Anak kecil pun tahu siapa mereka! Bangsa Norman yang menaklukkan Inggris. Dan raja Norman yang pertama-tama di sini namanya William Kesatu, tahun 1066!" "Hmm... rupanya tidak sia-sia kau bersekolah," kata Pak Finniston. "Nah, Puri Finniston adalah sebuah puri bangsa Norman. Lihat ini...!" Pak Finniston menunjukkan sebuah gambar yang sudah tua pada Anne dan George. Gambar itu menunjukkan sebuah puri kuno, seluruhnya ter­buat dari batu. "Ya, ini memang Puri Norman," kata George. "Apakah Puri Finniston, persis seperti yang di gambar ini?" "Aku punya gambarnya, tapi entah kutaruh di mana," kata laki-laki tua itu. "Lain kali kutunjuk­kan, kalau sudah ketemu lagi. Bangunannya tidak sebesar ini, tapi bagus! Yah, kurasa kalian tentunya tidak terlalu tertarik pada detailnya. Aku juga tidak tahu pasti, apa yang menyebab­kan bangunan itu terbakar habis. Cerita yang beredar macam-macam. Ada yang mengatakan pada suatu malam, puri itu diserang musuh. Dan dalam puri itu ternyata ada pengkhianat. Orang itulah yang membakarnya. Lalu sementara penghuni puri sedang sibuk memadamkan api, musuh bisa masuk tanpa menghadapi perla­wanan. Hampir seluruh penghuni tewas dibunuh." "Dan setelah itu, puri tidak bisa lagi didiami," kata Anne. "Tapi aneh, kenapa tidak ada tumpukan batu di tempat itu?" "Kau keliru!" kata Pak Finniston. "Batu-batu bekasnya ada, tapi tersebar di seluruh pertanian. Cuma aku dan Kakek saja yang tahu di mana batu-batu itu berada! Misalnya saja ada tembok tua yang dasarnya dibangun dengan batu-batu bekas puri, lalu ada sumur... ah, aku tidak boleh membeberkan rahasia itu! Nanti kalian bilang pada orang Amerika itu untuk memborong benda-benda kuno di sini!" 'Tidak, Pak! Sungguh, kami berjanji tidak akan menceritakannya," kata Anne dan George se­rempak. Timmy memukul-mukulkan ekornya ke lantai, seakan-akan ingin ikut berjanji. "Yah, mungkin Kakek kapan-kapan mau me­nunjukkan beberapa batu tua bekas puri itu pada kalian," kata Pak Finniston. "Tapi terus terang, aku menyangsikannya! Tapi akan ku­sebutkan satu benda yang dapat dilihat di rumah keluarga Philpot. Itu bukan rahasia, karena se­mua mengetahui! Kalian kan pernah memperhati­kan pintu dapur yang menuju ke pekarangan?" "Ya," jawab Anne segera. "Pintu yang dari kayu pohon ek, dan diperkuat dengan baut-baut besi. Itu kan, yang Anda maksudkan? Pintu model itu sekarang sedang populer, dijadikan pintu depan rumah-rumah biasa. Tapi pintu dapur di pertanian itu pintu kuno?" Pak Finniston tidak mendengar pertanyaan itu. Ia mengerang, lalu menyembunyikan muka­nya di balik tangannya. "Populer! Populer! Aduh, anak-anak zaman sekarang! Masa pintu kuno yang begitu indah disamakan dengan tiruan murah yang banyak dipakai di rumah-rumah modern! Dunia sekarang memang sudah berantakan. Masa tidak kaurasakan pintu itu asli-sudah berabad-abad umur­nya-dan dulu merupakan perlengkapan sebuah puri? Apakah kalian tidak bisa mengenali barang-­barang yang berharga, karena umurnya sudah sangat tua?" Anne agak kelabakan. "Yah, aku melihatnya," katanya terbata-bata, "tapi tempat itu agak gelap, jadi tak begitu jelas kelihatan.” "Ah, orang-orang anak zaman sekarang, su­dah biasa memandang tanpa melihat," keluh Pak Finniston. "Kau harus memperhatikan pintu itu! Harus kaurasakan! Perhatikan pengetuk be­sar yang tergantung di situ. Bayangkan orang­-orang Norman, yang pada zaman dulu mengetuk pintu dengan alat itu." George mendesah, tidak seperti Anne, ia tidak tertarik obrolan macam ini. Tapi tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya. "Tapi, Pak, kalau puri itu terbuat dari batu, bagaimana bisa sampai terbakar?" katanya. "Apa sebetulnya yang ter­jadi?" "Kan sudah kukatakan, aku tidak tahu," jawak Pak Finniston dengan nada sedih. "Semua per. pustakaan di daerah sini sudah kudatangi untuk menyimak setiap buku yang membahas zaman itu. Catatan-catatan kuno yang ada di gereja Finniston juga sudah kuperiksa. Aku hanya ber hasil mengetahui bahwa waktu itu Puri Finnistor sedang dikepung musuh. Lalu ada seorang pengkhianat yang membakar dari dalam. Kalian kan tahu, bangunan-bangunan zaman kuno memang terbuat dari batu, tapi lantai dan tiang-tiang penopangnya dari kayu! Nah, kayu-kayu itu ter­bakar sampai habis. Sebagai akibatnya, dinding­dinding yang tebal ambruk dan menutupi dasar puri. Lord Finniston, bangsawan pemilik puri itu, tewas dibunuh. Tapi istrinya, Lady Finniston ber­hasil menyelamatkan anak-anak mereka. Kata orang, anak-anak mereka itu disembunyikan da­lam sebuah gereja kecil, yang letaknya dekat lumbung pertanian yang sekarang. Mungkin me­reka dibawa ke situ lewat lorong rahasia di bawah tanah, yang menghubungkan kolong puri dengan gereja.” "Gereja tua? Masih adakah bangunan itu?" tanya Anne. "Atau ikut terbakar?" "Tidak! Bangunan itu masih ada," jawab Pak Finniston. "Kakek pasti akan menunjukkannya pada kalian" Pak Finniston menggeleng-geleng dengan sedih. "Tapi sekarang dijadikan lumbung gandum! Menyedihkan. Tapi walau begitu, tempat itu masih penuh dengan doa.” Anne dan George memandang Pak Finniston dengan heran.Mereka tidak mengerti apa mak­sudnya. Keduanya mulai menyangka, jangan-­jangan laki-laki tua itu sudah tidak waras lagi pikirannya. Sementara Pak Finniston berdiri de­ngan kepala tertunduk. Beberapa saat ia begitu, tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian ia me­mandang kedua anak yang berdiri di depannya. "Yah, begitulah kisahnya! Sebetulnya bukan cuma kisah, tapi sejarah yang terjadi lebih dari tujuh ratus tahun yang lampau! Dan masih ada yang bisa kukatakan....” "Apa?" tanya Anne dan George. “Puri kuno itu mempunyai berbagai ruangan di bawah tanah!" kata Pak Finniston. "Kebakaran hanya menjalar sampai ke tingkat dasar, yang lantainya berupa tanah yang dipadatkan. Dan tanah tidak bisa terbakar. Jadi ruangan-ruangan di bawahnya masih utuh! Nah, itulah yang selalu kupikirkan selama ini. Apa yang dulu ada di dalamnya? Dan apakah masih ada sekarang?" Suara Pak Finniston begitu suram, sehingga Anne dan George seram mendengarnya. "Tapi apa sebabnya selama ini ruang-ruang itu tidak digali lagi?" tanya George. "Maksudku, masa tidak ada yang memikirkannya?" "Soalnya begini, ketika tembok puri runtuh, rupanya jalan masuk ke bawah tanah itu ter­timbun batu-batu besar," kata Pak Finniston men­jelaskan. "Para petani dan penduduk yang tinggal di sekitar situ tak sanggup menggesernya. Dan kalaupun sanggup, mungkin tidak berani! Batu­-batu besar itu tergeletak terus di situ selama berabad-abad, dan akhirnya pecah berantakan karena pengaruh cuaca. Baru kemudian diambil orang, untuk dijadikan dasar tembok dan dinding sumur. Tapi sementara itu tidak ada lagi yang masih ingat pada ruang-ruang di bawah tanah" Pak Finniston merenung lagi. Anne dan George menunggu sampai orang tua itu melan­jutkan ceritanya. "Ya, semua orang sudah melupakannya," kata Pak Finniston. "Kadang-kadang aku terbangun tengah malam. Pikiranku melayang ke ruangan bawah tanah itu. Apakah yang tersimpan di sana? Jangan-jangan tulang-belulang para ta­wanan yang terkurung di situ! Atau mungkin harta berpeti-peti! Atau barang-barang Lady Finniston yang disimpan di situ! Aku tidak bisa tidur, kalau teringat ruangan itu!" Anne merasa tidak enak. Kasihan Pak Finnis­ton, ia hidup dalam kungkungan masa silam. Pikirannya penuh dengan kenang-kenangan za­man dulu. Sibuk dengan suatu cerita yang tidak diketahui benar-tidaknya. Anne merasa kasihan pada orang tua itu. Ingin rasanya mendatangi tempat puri kuno itu. Pasti tempat itu sekarang sudah dipenuhi rumput dan semak! Tak ada lagi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pada zaman dulu di situ menjulang sebuah puri me­gah, dengan menara kokoh dan bendera-bendera berkibar sepanjang tepi tembok pertahanan! Anne seakan-akan mendengar sorak-sorai orang­-orang berperang, ditingkahi gemerincing bunyi pedang beradu pedang. Ia bergidik, lalu me­luruskan sikap berdiri. "Huh, aku ini sama payahnya seperti dia," pikirnya. "Macam-macam saja yang kubayangkan! Tapi kisah tadi memang mencekam. Dick dan Julian pasti senang mendengarnya. Aku ingin tahu apakah orang-orang Amerika tadi juga sudah mendengar kisah itu." "Apakah Pak Henning-orang Amerika tadi­ tahu cerita ini?" tanyanya. Pak Finniston langsung meluruskan sikap tubuh. "Tidak semuanya, hanya desas-desus yang tersiar di desa saja," jawabnya. "Tapi begitupun, ia sudah kemari merongrong aku. Ia ingin meng­gali di tempat itu. Aku tahu orang seperti dia! Pasti ia tidak segan-segan membeli Finniston Farm, jika ia tahu bahwa di situ ada sesuatu yang berharga, jauh di bawah tanah! Kalian tidak akan menceritakan kata-kataku tadi pada­nya, kan? Aku sudah terlalu banyak bicara. Aku selalu begini, kalau sudah gelisah. Ah, bayang­kan, nenek moyangku dulu penghuni Puri Finnis­ton, tapi lihatlah aku sekarang... seorang tua dalam toko kecil yang menjual barang-barang antik, tanpa pembeli!" "Aku sebetulnya tadi bermaksud hendak mem­beli ladam kuda itu," kata Anne, "tapi lain kali sajalah! Anda sekarang sedang bingung. Lebih baik istirahat saja dulu." Setelah itu ia keluar, bersama George. Mereka berjalan pelan, hampir berjingkat-jingkat. "Huh!" desah George, ketika sudah di luar. "Aku ingin cepat-cepat pulang sekarang, karena ingin bercerita pada Dick dan Julian! Bukan main cerita tadi... kedengarannya meyakinkan sekali ya, Anne? Bagaimana jika kita mencari reruntuhan puri kuno itu. Jika sudah ketemu, kita mengadakan penyelidikan di situ, siapa tahu ada yang bisa kita temukan. Yuk, lekas-lekas kembali ke pertanian!" 10. Bertengkar Didahului oleh Timmy, kedua anak perempuan itu bergegas pulang. Sesampai di pertanian, mereka langsung mencari Dick dan Julian. Tapi dicari ke mana-mana, tidak ada. Akhirnya me­reka masuk ke rumah. Ketika melihat Bu Philpot sedang sibuk mengupas kacang polong di dapur, mereka segera mengambil alih pekerjaan itu. "Dick dan Julian sedang membantu membetul­kan kandang ayam," kata Bu Philpot. "Anak-­anakku senang, karena mendapat bantuan dua orang. Yah, tampaknya ada saja yang perlu dikerjakan di sini. Kami ingin sekali bisa membeli beberapa hal yang sangat kami perlukan, misal­nya saja, traktor baru! Tapi harganya mahal sekali! Lumbung-lumbung juga perlu dibetulkan, sedang kandang-kandang ayam sudah hampir ambruk!" "Mudah-mudahan saja panen kali ini banyak hasilnya," kata Anne. "O ya, kami berdoa terus, semoga mulai sekarang cuaca akan tetap cerah," kata Bu Philpot. "Syukur sapi-sapi perah kami susunya banyak. Kalau sekarang kami tidak mendapat uang hasil penjualan susu, entah bagaimana jadinya! Tapi untuk apa aku menceritakan segala kesulitan ini, kalian di sini kan sedang berlibur!" Baru siangnya Anne dan George sempat men­ceritakan kisah Pak Finniston pada Dick dan Julian. Soalnya kedua saudara mereka itu asyik membantu kedua Harry di kandang ayam. Snippet juga ada di situ. Ia senang sekali, karena dikelilingi anak-anak yang bekerja sambil bersiul-siul riang. Snippet ikut-ikut sibuk, membawakan potongan-potongan kayu dari anak yang satu kepada anak yang lain. Dengan begitu ia mengira sudah ikut bekerja! Nosey, gagak iseng itu, juga ada di situ. Tapi ia tidak begitu disenangi. Soalnya setiap kali ia melihat paku atau sekrup tergeletak di lantai, dengan segera barang itu dibawanya terbang. Sama sekali tak diacuhkannya teriakan-teriakan kesal anak yang terganggu oleh perbuatannya. "Gagak sialan!" seru Julian, sambil mendongak dengan jengkel. "Semua paku yang kuperlukan dibawanya terbang!" Kedua Harry tertawa. Mereka lain sekali seka­rang, menyenangkan dan senang menolong. Dan juga bertanggung jawab. Dick dan Julian kagum pada mereka. Bagi mereka tak ada pekerjaan yang terlalu berat dan memakan waktu lama. Pokoknya mereka selalu siap menolong orangtua mereka! "Dulu kami benci ketika kalian datang, karena dengan begitu Ibu semakin banyak kerjanya," kata Harry. "Kami beranggapan, jika kami tidak ramah terhadap kalian, pasti kalian akan jengkel lalu pergi. Tapi ternyata kalian tidak merepotkan, malah membantu kami. Sekarang kami senang, kalian ada di sini.” "Mudah-mudahan Anne dan George sudah kembali sekarang," kata Dick. "Ibu kalian tentu memerlukan bantuan mengupas kacang polong, karena begitu banyak orang yang makan di sini! Yah, dengan Kakek, ada sekitar dua belas orang nanti. Jadi mudah-mudahan kedua anak itu sudah kembali sekarang. Hei, gagak iseng itu datang lagi. Awas, Ju, dia mau menyambar sekrup-sekrup itu! Sergap dia, Snippet!" Anjing kecil itu dengan segera mengejar Nosey, sambil menggonggong. Snippet senang sekali! Sedang Nosey terbang ke atap kandang ayam. Ia bertengger di situ sambil mengepak­ngepakkan sayap, berkaok-kaok dengan nyaring, memaki-maki Snippet. Saat makan siang dapur penuh sekali, karena semuanya hadir. Kakek merengut ketika Pak Henning masuk bersama Junior. Junior melang­kah dengan sikap congkak menuju kursinya, sambil merengut ke arah George. Tentu saja George tidak mau kalah! Pak Henning kaget sekali, ketika kebetulan memandang ke arah anak itu. "Wah, wah, anak laki-laki tidak baik jika masam mukanya!" Pak Henning belum tahu kalau George anak perempuan. Bu Philpot jadi geli. Ia sangat senang pada George. Dan menurut pendapatnya, anak itu memang pantas menjadi laki-laki! "O ya, Bu Philpot, Anda tidak berkeberatan kan, jika aku mengajak seorang teman makan siang di sini besok?" tanya Pak Henning kemu­dian. "Namanya Durleston. Dia ahli barang antik. Aku memerlukan nasihatnya. Anda ingat, kan, Anda pernah bercerita tentang lubang di dinding salah satu kamar tidur di rumah ini, dulu tempat menaruh arang menyala untuk memanaskan panci berisi air panas, serta bata untuk diletak­kan di sela seprai. Lantas aku berpikir-pikir, hendak...” "Pasti hendak membelinya," bentak Kakek de­ngan tiba-tiba dari tempat duduknya di kepala meja. Ia mengentakkan gagang pisaunya ke daun meja. "Nah, pokoknya harus minta izin padaku dulu, mengerti?! Tempat ini masih tetap milikku. Aku sudah tua, umurku hampir sembilan puluh tahun, tapi pikiranku masih selalu waras. Aku tidak suka menjuali barang-barang yang sudah sejak zaman dulu merupakan milik ke­luarga! Aku tidak suka! Dan...” "Sudahlah, Kek, jangan marah-marah begitu," kata Bu Philpot menenangkan. "Kan lebih baik kita menjual barang-barang tua yang tak terpakai lagi, supaya kita bisa membeli alat-alat baru, atau kayu untuk membetulkan lumbung!" "Kalau begitu kenapa tidak dijual pada orang kita sendiri?!" seru Kakek sambil mengentakkan garpu dan pisau sekaligus. "Sekarang semua diangkut ke luar negeri! Itu kan bagian dari sejarah kita! Sekarang kita menjual hak asasi kita-untuk sesuap nasi! Itu kutipan dari kitab suci, Pak Henning, jika Anda tidak mengetahuinya!" "Siapa bilang aku tidak tahu!" Sekarang Pak Henning mulai marah. Ia membentak-bentak Ka­kek. "Aku tidak setolol perkiraan Anda. Kalian seharusnya senang bahwa negeri miskin dan terbelakang seperti Inggris ini, masih mempunyai sesuatu yang bisa dijual pada negara besar dan kaya, seperti Amerika! Anda..." "Cukup, Pak Henning!" kata Bu Philpot dengan nada berwibawa. Air muka Pak Henning merah padam. Ia buru-buru duduk kembali. "Maaf," katanya, "tapi aku kesal mendengar ocehan Pak Tua! Kenapa dia begitu? Aku kan cuma hendak membeli barang-barang yang Anda jual. Anda menginginkan traktor baru! Sedang aku ingin barang rongsokan tua-dan bersedia membayar untuk itu! Ini kan cuma soal jual-beli biasa!" "Barang rongsokan!" bentak Kakek lagi. Sekali ini gelas yang dientakkannya ke meja. "Gerobak kuno yang kaubeli itu, kausebut barang rong­sokan? Umur barang itu sudah lebih dari dua ratus tahun, tahu?! Ayah kakekku yang mem­buatnya sendiri, dia yang menceritakannya pada­ku sewaktu aku masih kecil. Gerobak seperti itu takkan bisa kautemukan duanya di seluruh Inggris! Tidak bisa! Gerobak itu dibuat sebelum ada negara Amerika, kau tahu...!" "Kek, sudahlah, nanti Kakek sakit lagi," kata Bu Philpot dengan lembut. Didekatinya laki-laki tua itu, yang gemetar badannya menahan marah. "Kakek orang dulu, dan tidak suka zaman seka­rang. Aku mengerti... tapi zaman berubah, Kek. Jadi tenanglah. Yuk... Kakek harus istirahat se­bentar!" Tak disangka-sangka, Kakek mau saja dibim­bing menantunya ke luar dapur. Ketujuh anak yang ada di situ diam semua, ketika perteng­karan sedang seru-serunya. Pak Philpot yang biasanya diam saja, kemudian mengatakan se­suatu pada Pak Henning. Kedua orang dewasa itu tampak sama-sama gugup. "Soal sepele," kata Pak Philpot, "sebentar lagi pasti sudah dilupakan!" "Hmmm," gumam Pak Henning, "jadi hilang seleraku! Orang tua dungu... cuma mementing­kan diri sendiri!" "Kakek tidak dungu!" tukas Harry dengan suara gemetar karena marah. "Dia..." "Sudah, Harry!" potong ayahnya. Harry terdiam. Tapi dia masih marah. Gerahamnya gemeletuk. Junior selama itu membisu terus. Ia ngeri melihat Kakek marah-marah. Timmy menggeram­-geram di bawah meja. Sedang Snippet langsung lari meninggalkan dapur, begitu Kakek mulai membentak-bentak! Tak lama kemudian Bu Philpot masuk lagi. Kelihatannya sedih dan capek. Julian mulai ber­cerita untuk menghilangkan suasana tidak enak. Ia bercerita tentang Janie serta kue makaroni yang licin tandas sepiring. Akhirnya Bu Philpot tertawa. "Aku juga senang memakan kue itu," kata Junior. "Biasa kubeli tiga puluh dalam seminggu. Hmm... enak!" "Tiga puluh! Pantas mukamu tembam" Tanpa disadari, kalimat itu sudah terloncat dari mulut George. "Ah, kau sendiri tembam," balas Junior. Ia merasa aman, karena ayahnya ada di dekatnya. Tapi kemudian ia terdiam lagi. Dari bawah meja terdengar suara berat menggeram-geram. Napas panas menyentuh kakinya. Astaga, nyaris saja ia lupa, Timmy ada di bawah meja! Julian sudah bertekad menjernihkan suasana. Ia bercerita pada Bu Philpot tentang kandang ayam yang sudah dibetulkan. Atapnya juga di­tambal, sehingga air hujan tidak bisa menetes masuk lagi. Pak Philpot ikut mendengarkan cerita itu sambil mengangguk-angguk. Kemudian ia ikut bicara. "Ya, kalian memang cekatan. Anak laki-laki memang harus begitu. Bagus! Aku tadi. sempat melihatnya, ketika kebetulan lewat di situ." "Harriet juga baik kerjanya," kata Harry dengan segera. "la menambal sudut yang berlubang, tempat tikus-tikus biasanya masuk. Ya kan, Harry?" "Aku tadi juga ingin membantu, Yah, tapi aku diusir mereka, kayak ayam saja," sela Junior dengan nada mengejek. "Kelihatannya mereka tidak senang aku ada sini. Aku kesepian, Yah. Aku ikut ya, nanti sore?" "Tidak boleh," jawab ayahnya singkat. "Alaaa, aku ikut ya," rengek Junior. Ya Yah! Sekali ini saja!" "Tidak!" tukas Pak Henning. Timmy menggeram lagi. Anjing itu tidak senang jika ada orang marah-marah. Semua merasa lega ketika makan siang selesai. Anne, George, dan Harriet berkeras mengatakan agar Bu Philpot beristirahat sebentar. Biar mereka bertiga yang membereskan meja dan mencuci piring-piring kotor. "Cobalah bersikap agak ramah pada Junior siang ini," kata Bu Philpot sambil pergi. "Dia kesepian, karena ayahnya harus pergi. Ajak dia bersama kalian." Tak ada yang menjawab. Tak seorang pun mau mengajak anak itu. "Anak konyol, manja, dan tidak tahu adat," kata George dalam hati. Ia begitu bersemangat membenahi meja, sehingga hampir menabrak Anne. Ia buru-buru menyusul ke pintu, ketika dilihatnya Julian hendak ke luar. "Julian, ada sesuatu yang menarik yang hendak kami cerita­kan padamu," bisik George. "Di mana kalian siang ini?" "Kurasa masih di kandang ayam," kata Julian. "Nanti saja ke sana... setengah jam lagi.'' Pendengaran Junior ternyata tajam sekali. Ia menangkap pembicaraan kedua anak itu. Se­ketika itu timbul rasa ingin tahu pada dirinya: Hal apakah yang begitu menarik, yang ingin diceritakan George pada Julian dan Dick? Mung­kin rahasia! Oke, Junior akan mendengarkan dengan sembunyi-sembunyi! Setelah Anne dan George selesai bekerja di dapur dan pergi ke kandang ayam, Junior diam-­diam mengikuti dari belakang! la ke sudut kan­dang, lalu menempelkan telinga ke dinding. "Sekarang datang pembalasan!" katanya dalam hati. "Biar mereka tahu rasa! Akan kubalas kejahatan mereka... tidak pernah mau mengajak aku!" Junior tertawa pelan. Puas hatinya, karena kini mendapat kesempatan membalas. 11. Anak-anak Berembuk Dick dan Julian sedang sibuk bekerja dalam kandang. Bunyi palu dan gergaji membisingkan sekali. Karenanya kedua anak perempuan yang baru masuk menunggu dulu, sampai kedua saudara mereka berhenti sebentar. Snippet ada lagi di situ. Anjing itu masih ikut sibuk, lari mondar-mandir membawa potongan­potongan kayu. Dan Nosey kini sedang merasa tertarik pada bekas serutan yang bertebaran di lantai. Burung kocak itu mematuk-matuk, sambil berkaok-kaok ribut. Di luar kandang, ayam berkotek-kotek, dan bebek meleter tidak jauh dari situ. "Aku paling suka suara-suara seperti ini," kata Anne. Ia duduk di atas sebuah karung di pojok kandang. Kemudian ia berseru pada Dick, berusaha mengalahkan kebisingan di tempat itu. "Perlu bantuan, Dick?" "Tidak perlu," jawab Dick, "karena setelah selesai mengerjakan ini kami akan beristirahat sebentar, untuk mendengarkan cerita kalian. Se­karang duduk saja dulu di situ, sambil memper­hatikan kemahiran kami bertukang! Wah, sebagai tukang pasti lumayan penghasilanku.” "Awas, Nosey menyambar paku lagi!" seru George. Timmy meloncat, seakan-akan hendak memburu. Seketika itu juga Nosey terbang ke atas, lalu hinggap pada sebatang balok melintang sambil berkaok-kaok, seakan-akan menertawakan. Timmy merebahkan diri kembali, jeng­kel terhadap gagak konyol itu. Akhirnya Dick dan Julian selesai juga dengan kesibukan mereka. Keduanya duduk, sambil menyeka keringat yang membasahi kening. "Nah, sekarang kalian boleh bercerita," kata Dick. "Untung si Junior konyol tidak ikut kemari, kalau tidak aku bisa salah memaku ke tubuhnya yang gendut." Ditirukannya suara Junior me­rengek-rengek, "Yah... aku ikut, yaaa!" Di luar, Junior mengepalkan tinju. Saat itu ia kepingin memukulkan beberapa batang paku ke tubuh Dick! Sementara itu Anne dan George mulai ber­cerita. "Soal Puri Finniston," kata Anne. "Puri yang namanya kemudian dijadikan nama desa dan pertanian ini. Pak tua yang bercerita pada kami tentang puri itu, juga bernama Finniston. Kalian boleh percaya atau tidak, tapi dia keturunan wangsa Finniston yang dulu tinggal di puri itu." "Dan hampir seumur hidupnya ia berusaha terus menyelidiki segalanya yang bisa diselidiki tentang puri tua itu," kata George. "Katanya, berbagai perpustakaan tua sudah dimasukinya, ­catatan gereja sini juga sudah dipelajarinya, ­pokoknya ia sudah ke mana-mana, dengan mak­sud menggali sejarah Puri Finniston." Di luar kandang, Junior menahan napas su­paya tidak ada satu patah kata pun yang tak terdengar olehnya. Wah... padahal ayahnya bi­lang, ia tidak berhasil memancing keterangan dari Pak Finniston pemilik toko antik itu, baik mengenai puri itu, sejarahnya, maupun tempat­nya. Kalau begitu apa sebabnya pak tua itu mau bercerita pada Anne, dan George si anak laki-laki jahil itu? Junior merasa tersinggung, ia mendengarkan makin saksama. "Menurut kisah, pada abad kedua belas, puri itu malam-malam diserang musuh. Ternyata da­lam puri ada pengkhianat! Pengkhianat itu mem­bakar puri, supaya penghuninya disibukkan de­ngan usaha memadamkan api! Dengan begitu mereka tidak siap untuk berperang," kata George. "Bagian dalam puri terbakar habis. Lalu tembok luarnya roboh ke dalam, menimbun bekas lan­dasan bangunan itu." "Bukan main," kata Dick. "Pasti malam itu keadaan kacau-balau di sana. Dan semua peng­huninya mati terbunuh atau terbakar." "Tidak, tidak semuanya," kata Anne. "Istri bangsawan penguasa puri, Lady Finniston ber­hasil menyelamatkan diri. Ia lari, membawa anak-anaknya ke sebuah gereja kecil yang ter­dapat dekat rumah yang sekarang ditempati keluarga Philpot. Pokoknya, ada beberapa orarig dari wangsa Finniston yang selamat, sebab salah seorang keturunannya kini menjadi pemilik toko antik di desa. Pak Finniston!" "Ini menarik sekali," kata Julian. "Di mana tempat bekas puri itu? Mestinya bisa gampang ditemukan, karena begitu banyak batu yang ber­tumpuk di atasnya." "Tidak, batu-batu itu sudah tidak ada lagi di sana," kata George. "Kata Pak Finniston; setelah batu-batu itu pecah karena pengaruh cuaca, para petani dan penduduk yang tinggal di dekat­dekat situ beramai-ramai mengambilnya untuk dijadikan bahan bangunan. Ada yang memakainya untuk membuat tembok, atau untuk dinding sumur. Menurut Pak Finniston, di pertanian sini ada beberapa buah batu itu. Ia sendiri tidak tahu di mana letak puri itu dulu, karena bekasnya kini pasti sudah ditutupi semak belukar. Takkan mudah mencarinya, karena batu-batu yang dulu menjadi tanda, kini sudah tidak ada lagi di sana." 'Tapi aku ingin mencarinya, Julian!" kata Anne. Ia berbicara dengan penuh semangat. "Soalnya, menurut cerita Pak Finniston, ruang-ruang puri yang di ada bawah tanah mungkin masih utuh. Dulu tak ada yang bisa masuk ke situ, karena jalan di atasnya tertimbun batu-batu besar. Dan kini, setelah batu-batu itu diangkut orang, tak ada lagi yang masih ingat pada puri itu!" "Wah, kalau begitu mungkin barang-barang yang tersimpan di situ sejak berabad-abad, seka­rang pun masih utuh," kata Dick. "Astaga... mung­kin ada barang-barang berharga di situ, yang umurnya sudah tua sekali! Maksudku, sebuah pedang yang ada di situ, biarpun sudah patah, harganya pasti sangat mahal! Maklum, pedang kuno. Eh, jangan sampai cerita ini didengar Pak Henning, nanti pertanian ini habis digali olehnya, untuk mencari jalan masuk ke kolong Puri Finniston!" "Tentu saja kami takkan bercerita," kata George. "Dari mulutku, pasti ia tidak akan men­dengar apa-apa" George tidak tahu bahwa segala perkataannya itu ikut didengar Junior yang bersembunyi di luar! Anak gendut itu merah mukanya karena senang bercampur kaget. Astaga, bukan main hebatnya rahasia itu! Apa kata ayahnya seka­rang? Ada ruang bawah tanah, yang mungkin penuh berisi emas dan barang berharga lainnya! Junior menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan sikap puas. Ia sudah membayangkan, kini ia bisa melakukan pembalasan terhadap anak-anak yang menjengkelkannya itu. Begitu ayahnya pulang, junior akan menceritakan se­mua yang didengarnya tadi. Gerakan Junior menggosok-gosokkan telapak tangan itu terdengar oleh Timmy. Anjing itu langsung menggeram, telinganya tegak. Snippet juga ikut menggeram-geram. Kemudian Timmy mendengar gerak Junior me­nyelinap pergi. Anak itu ketakutan, ketika men­dengar suara Timmy menggeram-geram. Kemu­dian Timmy menggonggong keras, lalu lari me­nuju pintu kandang. Tapi pintu itu ditutup. Timmy mengorek-ngorek dasar daun pintu, sambil menggeram-geram terus. "Ada orang diluar! Cepat, kita keluar!" seru Dick. "Jika ternyata Junior, akan kulempar dia ke kubangan!" Ia berbebas membuka pintu dan anak-anak menghambur ke luar lalu mamandang berkeliling. Tapi disitu tidak ada siapa-siapa! Junior sempat melarikan diri. Kini ia bersembunyi di balik pagar semak di dekat situ. "Ada apa, Tim?" tanya George. "Rupanya ia mendengar ayam-ayam yang mengais-ngais de­kat pintu," katanya pada anak-anak yang lain. "Di sini tidak ada siapa-siapa! Aduh, aku sudah khawatir saja tadi, jangan-jangan si Junior yang bersembunyi untuk mendengarkan pembicaraan kita! Pasti akan diteruskannya pada ayahnya!" Kini Anne berpaling pada kedua Harry. "Tadi Pak Finniston juga bercerita, salah satu benda yang bisa diselamatkan dari puri yang terbakar itu-atau mungkin pula baru ditemukan kemu­dian-adalah sebuah daun pintu yang kokoh terbuat dari kayu ek, diperkuat dengan baut­baut besi," katanya. "Betulkah itu salah satu pintu dapur kalian?", "Memang, yaitu pintu yang membuka sedikit," kata Harry. "Kalian mungkin tidak begitu mem­perhatikan selama ini, karena biasanya dibiarkan terbuka. Tempat itu kan gelap sekali. Ya, mungkin saja pintu itu dulu berasal dari puri. Kayunya tebal sekali, dan kokoh. Mungkin ayahku tahu pasti tentang asal-usulnya.” "Nanti kutanyakan," kata Harriet. "He, bagai­mana kalau kapan-kapan kita beramai-ramai mencari tempat bekas puri? Siapa tahu kita berhasil menemukannya! Jika kami menemukan ruang-ruang bawah tanah, dan ternyata betul penuh dengan berbagai barang berharga, apakah barang-barang itu kemudian menjadi milik kami? Pertanian Finniston Farm kan sudah kepunyaan kami, beserta seluruh tanah di sekitar sini.” "O ya? Kalau begitu, semua yang ditemukan di sini akan menjadi milik kalian!" kata Julian. "Wah, kami bisa membeli traktor baru nanti!" kata kedua Harry serempak dengan bersemangat. "Sekarang saja kita mencari tempat itu," kata George. "Jangan! Sebelumnya, harus kita selesaikan dulu pekerjaan ini," kata Julian. "Kan kita sudah berjanji! Lagi pula masih cukup banyak waktu. Kecuali kita, tak ada orang lain yang mengetahui rahasia itu." "Yah, kalau begitu kami kembali dulu ke ru­mah," kata George. "Kami sudah berjanji akan memetik buah-buahan untuk nanti malam. Sekarang saja kami melakukannya. Aduh, mudah­mudahan kita bisa berhasil menemukan tempat bekas puri itu. Malam ini aku pasti bermimpi tentang itu" "Coba saja mimpikan di mana letaknya," kata Julian sambil tertawa. "Jadi besok kau bisa menjadi penunjuk jalan! Kalian berdua sama sekali tidak bisa menduga letaknya?" Pertanyaan itu ditujukan pada Harry dan Harriet. "Tidak," jawab keduanya serempak. Kening mereka berkerut. Harriet menambahkan, "Tanah pertanian sini luas sekali! Dan letaknya bisa di mana saja." "Ya, tapi kurasa tentu dekat puncak sebuah bukit," kata Julian. "Puri biasanya dibangun di tempat yang agak tinggi, supaya daerah sekeli­lingnya bisa diawasi dengan leluasa. Dengan begitu lawan yang mendekat cepat ketahuan! Dan menurut George tadi, Pak Finniston me­ngatakan bahwa Lady Finniston melarikan diri dengan anak-anaknya. Mereka bersembunyi da­lam sebuah gereja. Gereja itu tentunya tidak jauh dari puri. Menurut pikiranku, Puri Finniston tak mungkin lebih dari seperempat mil jaraknya dari gereja! Jadi pencarian kita sudah berkurang banyak luasnya. O ya, kita juga perlu melihat­lihat gereja tua itu. Pasti menarik, walau selama ini dipakai sebagai gudang!" Sore itu Anne dan George sibuk memetik buah-buahan, sementara Dick dan Julian menye­lesaikan pekerjaan mereka di kandang. Menje­lang saat minum teh, mereka kembali ke rumah. Mereka capek, tapi puas. Anne dan George sudah lebih dulu tiba. Ketika Dick, Julian, serta kedua Harry masuk, keduanya sedang sibuk mengatur meja. Tapi dengan segera George berkata dengan bersemangat, "Hei, kami sudah mengamat-amati pintu yang kita bicarakan tadi. Wah, hebat! Coba lihat, Dick dan Julian! Aku berani taruhan apa saja, pintu ini pasti berasal dari puri kuno itu!" Diajaknya kedua saudara sepupunya itu meng­hampiri pintu yang membatasi dapur dengan lorong yang menuju ke pekarangan: Ternyata daun pintu itu berat, karena George harus me­ngerahkan tenaga untuk menutupnya. Kemudian semua memperhatikan dengan penuh minat. Pintu itu tebal, terbuat dari kayu pohon ek. Banyak baut besi tertancap di situ. Di sisi luarnya, di tengah-tengah terdapat semacam pe­gangan berbentuk aneh, terbuat dari besi. George mengangkat pegangan itu, lalu memukul­kannya ke daun pintu. Terdengar bunyi berdebam nyaring; menyebabkan anak-anak yang lain berlompatan karena kaget. "Kurasa ini bel zaman dulu!" kata George sambil tertawa, melihat tampang anak-anak semua tercengang. "Bunyinya nyaring, sehingga dengan segera penjaga puri akan datang berlari­lari. Mungkinkah ini pintu depan puri? Ukurannya cukup besar, jadi mungkin saja. Wah, harganya pasti mahal sekali kalau dijual!" "Awas, ada Junior!" kata Anne dengan suara pelan. "Lihatlah, ia nyengir. Apa lagi yang hendak dilakukannya sekarang?" 12. Ke Gereja Tua Pada saat minum teh, Julian mengajak Bu Philpot bicara tentang pintu itu. "Bagus sekali pintu itu," kata Julian. "Apakah asalnya dari puri?" "Kata orang begitu," jawab Bu Philpot. "Tapi tentang soal itu, Kakek lebih tahu daripada aku." Saat itu Kakek tidak duduk di meja, melainkan di kursinya yang besar di dekat jendela. Ia sedang mengisap pipa. Sebuah cangkir berisi teh panas terletak di ambang jendela, di dekatnya. "Ada apa?" tanya Kakek. Julian mengulangi pertanyaannya. Orang tua itu mengangguk. "O ya, daun pintu itu asalnya memang dari puri. Kayunya sama dengan kayu yang dijadikan balok-balok di lumbung, serta lantai kamar-kamar di atas! Ya, dan orang Amerika itu kepingin sekali memilikinya! Aku dibujuk-bujuk, supaya mau menjual! Hah! Katanya ia berani membayar lima puluh pound! Biar dibayar seribu pound, aku tetap tidak mau menjualnya. Bayangkan, pintu itu nanti terpasang dalam sebuah rumah modern di Amerika! Tidak bisa. Tidak bisa, kataku! Biar bagaimana, aku tetap tidak mau!" "Sudahlah, Kek, jangan ribut lagi," kata Bu Philpot membujuk. Pada anak-anak ia berkata dengan suara pelan, "Cepat, bicara soal lain! Nanti Kakek marah-marah terus!" Julian memutar otak, mencari-cari bahan pem­bicaraan yang lain. Untung ia teringat pada kandang ayam. Ia lantas bercerita pada Kakek tentang apa saja yang sudah dilakukan di situ siang tadi. Kakek menjadi tenang kembali, dan mendengarkan cerita Julian dengan asyik. Malam itu Pak Henning tidak pulang. Anak-­anak rasa lega. Tapi keesokan harinya ia kembali menjelang tengah hari. Ia datang bersama seorang laki-laki kurus berkacamata tebal. Orang itu di­perkenalkannya sebagai Pak Richard Durleston. "Pak Durleston ini seorang ahli yang hebat," kata Pak Henning bangga. "Dia jauh lebih banyak pengetahuannya dibandingkan dengan siapa pun, mengenai gedung-gedung tua di Inggris. Sehabis makan siang aku ingin menunjukkan pintu dapur yang tua itu padanya, Bu Philpot, serta lubang yang ada dalam dinding di kamar tidur atas, yang katanya dulu tempat menaruh arang menyala untuk memanaskan bata peng­hangat tempat tidur" Untung saat itu Kakek sedang tidak ada. Jadi ia tidak bisa langsung menolak. Sehabis makan siang, Bu Philpot mengajak Pak Durleston meng­hampiri pintu tua yang dibicarakan. "Hmm, ya, ini memang asli," kata laki-laki kurus itu sambil menganggung-angguk. "Bagus sekali buatannya! Pantas jika dibayar dua ratus pound untuk ini, Pak Henning!" Bu Philpot sebenarnya ingin sekali menerima tawaran itu. Dengan uang sebanyak itu, beban­nya akan bisa sangat berkurang. Tapi Bu Philpot menggeleng. "Anda harus berbicara dengan Kakek dulu," katanya. "Tapi kurasa pasti ia tidak mau! Nah, sekarang kita ke atas, melihat lubang yang ada dalam dinding salah satu kamar tidur di sana." Diajaknya Pak Henning dan Pak Durleston naik ke atas. Julian serta ketiga saudaranya mengikuti dari belakang, bersama Timmy. Ya, lubang di dinding itu memang tampak luar biasa. Pintunya tidak seperti pintu oven yang biasa, yang terbuat dari besi, melainkan berupa pintu besi batangan berukir-ukir. Bu Philpot membuka pintu itu. Di belakangnya tam­pak sebuah rongga besar. Tempat itu dulu di­pakai untuk menaruh bara menyala, untuk me­manaskan bata yang kemudian ditaruh di tempat tidur supaya hangat. Di situ masih ada beberapa bongkah bata yang hitam hangus dan semacam baki besar, terbuat dari besi. Di atasnya terdapat beberapa potong arang. "Baki ini dulu dipakai sebagai tempat arang yang menyala, sebelum dimasukkan ke dalam panci pemanas," katanya menjelaskan. "Kami masih memiliki sebuah panci tua seperti itu. Itu dia barangnya, tergantung di dinding!" Anak-anak ikut berpaling, karena mereka juga sangat berminat seperti kedua laki-laki itu. Di dinding tergantung sebuah panci tembaga yang berwarna kuning kemerah-merahan. "Bata panas dimasukkan ke situ," sambung Bu Philpot, "dan setelah itu panci dibawa ke kamar-kamar tidur, lalu diselipkan ke semua tempat tidur sebentar untuk menghangatkannya. Dan lubang di dinding itu-seperti kukatakan tadi-di situlah tempat bata dipanaskan, yang kemudian dibungkus dengan kain flanel, lalu ditaruh di tempat tidur." "Hmmm. Sangat menarik. Jarang kulihat yang seutuh ini," kata Pak Durleston. Ia menjenguk ke dalam lubang. "Ini ada harganya pula jika dibeli, Pak Henning. Rumah tua yang menarik. Kurasa kita juga perlu mendatangi lumbung serta gu­dang-gudang lainnya. Mungkin ada barang-barang di sana yang kalau dibeli akan menguntungkan.” Dalam hati George berkata, untung kata-kata itu tidak terdengar oleh kedua Harry. Kedua anak itu sama sikapnya seperti Kakek, mereka tidak suka melepaskan benda-benda yang me­rupakan bagian dari rumah pertanian kuno itu! Setelah itu mereka turun lagi ke bawah. "Sekarang aku hendak mengajak Pak Durles­ton melihat-lihat gereja tua itu sebentar, Bu," kata Pak Henning. Bu Philpot mengangguk, lalu bergegas kembali ke dapur. Keempat anak itu berpandang-pandangan. Julian menganggukkan kepala ke arah kedua laki-laki yang saat itu melangkah ke pintu luar. "Bagaimana, kita ke sana juga?" katanya. "Kita kan belum melihat gereja itu!" Mereka lantas mengikuti Pak Henning dan Pak Durleston. Dengan segera mereka sampai di depan sebuah bangunan tua yang menjulang tinggi. Jendelanya juga tinggi-tinggi, tapi sempit. Bagus sekali bentuknya! Mereka menyusul ma­suk lewat pintu, dua langkah di belakang kedua laki-laki tadi. Sesampai di dalam, mereka me­mandang berkeliling dengan kagum. "Ya, kelihatannya jelas ini dulu gereja," kata Julian. Secara otomatis, bicaranya menjadi lebih lirih. "Jendela-jendela itu, dan lengkungan ini....” "Dan suasananya!" kata Anne. "Sekarang baru kumengerti maksud Pak Finniston, ketika ia mengatakan tempat ini masih penuh dengan doa-walau sekarang dijadikan tempat penyim­panan! Terasa bahwa di sini orang-orang dulu berdoa! Bagus sekali gereja tua ini, sayang kini dijadikan tempat penyimpanan!" "Ada seorang tua di toko antik desa Finniston bercerita padaku, bahwa Lady Phillippa yang dulu mendiami puri kuno itu, biasa mengajak anak-anaknya yang berjumlah lima betas orang ke sini untuk belajar berdoa," kata Pak Durleston dengan tiba-tiba. "Yah, kisah menarik! Mungkin juga benar, karena gereja begini sering dibangun dekat puri. Aku ingin tahu, lewat mana mereka kemari dari puri. Sayang bangunan itu sekarang sudah tidak ada lagi. Ya, ya!" "Kepingin rasanya kubeli gereja ini, lalu ku­bongkar, kemudian kupindahkan batu demi batu ke Amerika," kata Pak Henning bersemangat. "Bagus sekali, ya? Cocok jika dibangun kembali di tempatku." "Lebih baik jangan," kata Pak Durleston, sambil menggeleng-geleng. "Gayanya tidak sesuai. Sekarang kita ke gudang yang di sana itu, mungkin di antara barang-barang rongsokan di situ ada sesuatu yang menarik." Kedua orang itu keluar. Sedang anak-anak masih berdiri di dalam gereja, mengagumi ba­ngunan itu. Di lantai tampak karung bertumpuk­tumpuk, berisi gandum. Ada juga karung-karung pupuk di situ. Setelah itu anak-anak berbondong-­bondong ke luar. Mereka segan mengikuti Pak Henning. "Untung saja Pak Durleston berhasil mence­gah gagasan konyolnya tadi...memindahkan ge­reja ini ke Amerika," kata Anne. "Bayangkan, bangunan sebagus ini dibongkar sampai ke da­sarnya, lalu dipindahkan ke negara lain!" "Anne, kalau kau marah hampir sama galaknya dengan Kakek!" kata Julian, lalu menggandeng adiknya itu. "Tapi kurasa gereja tua ini takkan mungkin bisa dibeli oleh Pak Henning, biarpun dia berani membayar sejuta dolar untuknya!" "Aku sebenarnya suka sekali pada orang Amerika," kata Anne. "Tapi aku tidak suka pada Pak Henning! Dia mau membeli benda-benda bersejarah, seperti orang membeli cokelat atau permen!" Semua tertawa mendengar perbandingan yang diucapkan Anne. "Hei, kita sekarang sudah di luar," kata Julian setelah itu, "bagaimana jika kita mencari-cari tempat di mana sebaiknya kita mulai melacak bekas puri kuno itu?! Tentunya kita sependapat bahwa letaknya tak mungkin jauh dari gereja!" "Ya, betul," kata Dick. "Dan besar kemung­kinannya, terletak di atas sebuah bukit. Cuma repotnya, di sekitar sini banyak sekali bukit. Daerah ini memang berbukit-bukit!" "Yuk, kita ke sana... ke lereng itu," kata George. "Hei, itu Harry dan Harriet. Kita panggil yuk! Mungkin mereka mau ikut." Ternyata kedua anak kembar itu mau! "Tapi bisa bertahun-tahun kita mencari, baru ketemu!" kata Harry. "Soalnya, tempat itu bisa terletak di maria saja di pertanian ini!" "Kami tadi sudah memutuskan, mula-mula mencari di lereng ini," kata Julian. "Ayo ikut, Tim dan Snippet! Aduh, si Nosey ingin ikut pula sekarang. Jangan hinggap di pundakku, gagak sinting! Aku masih memerlukan telingaku!" "Kaok!" seru gagak itu, lalu terbang dan hing­gap di bahu Harriet. Anak-anak mendaki lereng. Tapi hanya rumput melulu yang tampak di situ. Kemudian mereka sampai di sebuah onggokan tanah yang tinggi. "Rupanya seekor tikus mondok raksasa yang membuat onggokan tanah setinggi ini," kata anak-anak tertawa. Onggokan tanah itu memang tinggi, setinggi bahu. Di dasarnya tampak liang­liang kelinci. Kalau Timmy melihat liang kelinci, tanpa bisa ditahan ia pasti menggalinya. Sesaat kemudian ia sudah sibuk mengorek tanah di dasar onggokan, dibantu oleh Snippet. Tubuh anjing pudel hitam itu kecil. Jadi bisa menyusup ke dalam sebuah liang. Ketika ia keluar lagi, ia menggondol sesuatu. Kulit tiram! Julian memu­ngut benda itu dengan heran. "Lihatlah, kulit tiram! Padahal tempat ini kan jauh dari tepi laut. Kenapa bisa sampai di sini? Ayo masuk lagi, Snippet! Gali terus, Timmy! Ayo cepat! Ada sesuatu yang terpikir olehku." Beberapa saat kemudian kesibukan Timmy dan Snippet menggali, menghasilkan setumpuk kulit kerang dan tulang-belulang yang tergeletak di rumput. "Tulang?" kata Anne heran. "Pasti bukan tulang manusia. Ini kan bukan kuburan kuno, Julian?" "Bukan, tapi sesuatu yang lebih menarik dari­ pada kuburan," kata Julian. "Aku merasa pasti, ini sebuah kokkenmodding.” "Hah? Apa itu?" kata George tercengang men­dengar kata aneh yang disebutkan Julian. "Lihat­lah, Timmy mengambil kulit tiram lagi dari lubang itu." "kokkenmodding itu bahasa Denmark. Ini is­tilah kaum ilmuwan, untuk menyebutkan tum­pukan sampah pemukiman zaman dulu kala," kata Julian menjelaskan, sambil memungut se­genggam kulit tiram. "Sering tumpukan itu besar sekali, kalau terdiri dari sampah yang terbuang dari rumah-rumah besar atau puri! Tulang-belu­lang dan kulit tiram tidak membusuk seperti sampah sisanya. Kurasa kita menemukan tum­pukan sampah puri yang kita cari. Wah, pe­nemuan ini penting sekali artinya!" "Lho, kenapa? Ini kan cuma sampah?" tanya anak-anak. "Ya, memang, tapi kini kita tahu, puri kuno itu dulu pasti tegak di lereng ini," kata Julian. "Sebabnya, tumpukan sampah yang dibuang dari puri itu pasti tidak jauh letaknya dari jendela dapur. Jadi tidak jauh dari tembok puri! Kita sudah menemukan jejaknya! Ayo, sekarang kita menyebar. Kita harus memeriksa setiap jengkal lereng ini!" 13. Pembalasan Junior Keenam anak itu mulai memeriksa tanah dengan bersemangat. Timmy menggonggong-­gonggong, karena merasa pasti ada sesuatu yang menyebabkan anak-anak dengan tiba-tiba sibuk membungkuk-bungkuk memperhatikan tanah. Snippet menggonggong, karena Timmy menggonggong. Sedang Nosey yang saat itu bertengger di pundak Harry, berkaok-kaok dengan suara serak. Tanpa diketahui oleh mereka semua, Junior ternyata mengintip kesibukan anak-anak itu dari balik semak. Ia tercengang, ketika tiba-tiba terjadi keributan di antara anak-anak. Kenapa mereka begitu bersemangat? Apa yang ditemukan oleh Timmy dan Snippet di bawah onggokan tanah? Dilihatnya Julian dan kelima anak yang lain menyebar, lalu bergerak lambat-lambat mendaki lereng. Timmy mengikuti mereka dengan heran. Ia ingin sekali mengetahui, apa sebetulnya yang dicari supaya ia bisa membantu! Junior tidak beranjak dari belakang semak tempatnya bersembunyi sedari tadi. Ia tahu, jika anak-anak diikutinya dari jarak dekat, pasti Timmy nanti akan mengendus baunya lalu menggonggong. Tiba-tiba kedua Harry berseru serempak. "Hei!" Anak-anak yang sedang sibuk meneliti tanah, langsung mendongak ketika terdengar seruan itu. Mereka melihat kedua Harry melambai-lam­bai dengan gembira. Julian serta ketiga saudaranya bergegas men­datangi kedua Harry. Kedua anak kembar itu berdiri di atas semacam pematang, sekitar dua ratus meter di bawah puncak bukit landai itu. "Lihatlah!" kata Harry yang asli, sambil meng­gerakkan tangannya membuat lingkaran yang besar. "Mungkinkah ini dulu tempat puri yang kita cari?" Anak-anak memandang berkeliling. Mereka melihat semacam cekungan besar, mirip piring raksasa. Ya, mungkin saja di situlah tempat puri kuno itu dulu! Luas cekungan ini memungkinkan­nya. Tempat itu penuh ditumbuhi rumput tebal, yang lebih gelap warnanya dibandingkan dengan rumput di sekitar situ. Julian menepuk bahu Harry, sambil berkata, "Ya, kurasa di sinilah tempat puri itu dulu! Satu­-satunya alasan kenapa tanah di sini agak me­nurun dibandingkan dengan sekeli!ingnya, adalah karena di tempat ini dulu ada sebuah bangunan yang sangat berat. Dan itu Puri Finniston!" "Dan letaknya juga tidak terlalu jauh dari koding-eh, anu-dari onggokan tempat pem­buangan sampah. Ya, kan?" kata Anne, sambil menaksir jarak antara kedua tempat itu. "Memang, jaraknya cocok," kata Julian. "Dengan sendirinya tidak bisa terlalu dekat. Kan berbau busuk, apalagi dalam cuaca panas. Ya, kalian berdua berhasil menemukan tempat bekas puri kuno itu dulu berdiri," katanya pada kedua Harry. "Jika kita mempunyai mesin-mesin yang diperlukan untuk menggali di sini, pasti kita akan menemukan berbagai ruangan dan lorong bawah tanah-lengkap dengan isinya!" Kedua anak kembar memandang ke cekungan besar yang ditumbuhi rumput lebat itu. Muka mereka merah karena gejolak perasaan yang terpendam. "Wah, apa kata Ibu nanti," kata mereka serempak. "Pasti dia gembira," kata Dick. "Mungkin dengan penemuan ini, pertanian kalian akan ter­tolong. Tapi lebih baik kita jangan bercerita dulu, karena siapa tahu, nanti terdengar oleh Pak Henning. Sekarang kita datangi saja Bill, untuk meminjam sekop dan peralatan lain. Kita bilang padanya, kita menemukan tulang-tulang tua di atas bukit, dan sekarang ini mengadakan penggalian sedikit. Nanti dengan segera kita akan tahu, apakah tempat ini memang benar bekas puri atau bukan!" "Setuju!" kata Julian dengan bersemangat. "Se­karang kita ukur dulu, berapa luas cekungan ini!" Mereka lantas mengelilinginya. Ternyata keli­lingnya cukup besar, bahkan untuk sebuah puri yang besar pun mencukupi. Mereka agak heran, kenapa rumput yang tumbuh dalam cekungan warnanya agak lebih gelap dibandingkan dengan warna rumput di sebelah luarnya. "Kadang-kadang rumput yang tumbuh di tanah bekas bangunan kuno memang begitu warnany kata Julian. "Wah, ini benar-benar mengasyikkan. Aku senang, bahwa justru kedua Harry yang pertama-tama mengenalinya. Soalnya, ini kan termasuk tanah mereka juga!" Tiba-tiba George berseru kaget. "He! Itu kan Junior, yang lari di sana itu?" Dilihatnya Timmy menegakkan telinga, sedang hidungnya mengendus-endus. "Ya betul!" tambah Goerge. "Rupanya anak itu mengintip kita! Jahat sekali dia!" "Ah, takkan banyak yang diketahuinya," kata Julian, sambil memandang anak yang lari menjauh itu. "Kurasa ia bahkan tidak tahu bahwa di sini dulu ada puri. Dan sudah pasti ia tidak tahu bahwa kita sedang mencari-cari tempat bekas puri itu. Ia cuma mengintip-intip karena ingin tahu saja!" Padahal Junior tahu segala-galanya tentang puri kuno itu, karena ia ikut mendengarkan pembicaraan anak-anak sewaktu di kandang ayam! Dan kini ia merasa sudah waktunya untuk melaporkan semua yang berhasil diketahui olehnya pada ayahnya! Ayahnya dijumpai olehnya ketika sedang meneliti sebuah pendiangan kuno, bersama Pak Durleston. "Ini juga layak dibeli," kata Pak Durleston. "Ia bisa dibongkar, lalu dipasang lagi di ruma Anda. Bagus sekali dan sangat tua umurnya. Lagi pula.." "Yah, Ayah! Ayah!" seru Junior, sambil berlari-lari masuk. Pak Durleston menoleh dengan jeng­kel. Mau apa lagi anak itu, pikirnya. Tapi Junior tak mengacuhkan kejengkelan Pak Durleston. Ditarik-tariknya lengan ayahnya. "Ayah! Aku tahu di mana tempat puri kuno itu dulu berada. Dan di bawahnya ada ruangan bawah tanah, penuh dengan harta. Sungguh, Yah, aku tahu! Anak-anak itu menemukan tem­patnya. Aku melihat mereka, tapi mereka tidak melihat aku!" "Apa saja yang kau ocehkan, Junior?" kata ayahnya. Pak Henning juga agak jengkel, karena rembukannya dengan Pak Durleston terputus dengan tiba-tiba. "Omong kosong! Mana mungkin kau tahu apa-apa tentang tempat bekas puri itu serta lain-lainnya yang kaukatakan tadi!" "Sungguh, Yah, aku betul-betul tahu! Aku men­dengarkan percakapan mereka dalam kandang ayam!" seru Junior, sambil terus menarik-narik lengan ayahnya. "Mereka juga menemukan tum­pukan sampah, Yah. Sampah itu berasal dari puri. Banyak sekali tulang dan kulit tiram di situ. Setelah itu mereka mencari-cari tempat puri kuno itu mungkin dulu berada. Menurut mereka, letaknya tak mungkin jauh dari tumpukan sam­pah itu…” "Mereka benar," kata Pak Durleston. "Ong­gokan sampah yang mereka temukan itu nama­nya kokkenmodding. Apabila tempat itu sudah diketahui, memang tidak sukar lagi menemukan tempat bekas pemukiman manusia... dan di sini yang dicari puri! Hmm, ini benar-benar menarik, Pak Henning. Apabila Anda bisa mengusahakan agar kita diperbolehkan menggali di tempat itu, kiranya..." "Oh, boy!" seru Pak Henning dengan gembira. Matanya melotot. "Sudah kubayangkan judul berita dalam koran, 'Orang Amerika menemukan bekas puri kuno yang lenyap selama berabad­abad! Penggalian bawah tanah menghasilkan tulang-belulang tawanan zaman dulu, mata uang emas berpeti-peti…" "Tenang, tenang," kata Pak Durleston. "Mung­kin di dalamnya sama sekali tidak ada apa-apa! Kita tidak boleh menggantang asap, Pak Hen­ning. Jangan bergembira dulu tentang sesuatu yang belum tentu ada! Dan ingat, jangan dulu bercerita pada wartawan. Jangan sampai orang-­orang berduyun-duyun ke sini, ingin mengadakan penggalian pula, sehingga harga-harga naik!" "Wah, tidak sampai ke situ pikiranku tadi," kata Pak Henning kaget. "Baiklah, kita harus bertindak dengan hati-hati. Apa usul Anda?" "Kuusulkan Anda mendekati Pak Philpot dulu. Bukan Kakek, tapi Pak Trevor Philpot! Tawarkan padanya uang sebanyak.., yah, katakanlah lima ratus pound, untuk membeli hak mengadakan penggalian di atas bukit itu," kata Pak Durleston. "Nanti kalau ternyata ada sesuatu yang menarik di situ, Anda tawarkan lagi sejumlah uang untuk memperoleh hak atas semua yang ditemukan di bawah tanah. Bilang saja lima ratus pound lagi! Tak apa, mengeluarkan uang sebanyak itu, karena barang-barang yang tertimbun di situ pasti sudah sangat tua umurnya. Jadi sangat berharga! Ya, ya, begitulah saranku" "Kedengarannya baik juga," kata Pak Henning. Ia sudah mulai bersemangat lagi. "Dan selama itu Anda kan akan terus di sini mendampingi aku, Pak Durleston?" "Tentu, tentu, asal Anda bersedia membayar," kata Pak Durleston. "Dan kurasa lebih baik aku yang mendekati Pak Philpot, jadi bukan Anda. Aku khawatir, jangan-jangan Anda membocorkan rahasia, apabila... apabila semangat Anda timbul lagi sewaktu sedang berunding. Tentu saja Anda ikut hadir, tapi biar aku saja yang bicara!" "Beres, beres-pokoknya Anda sendiri yang berunding," kata Pak Henning. Ia begitu gembira saat itu, sehingga apa pun yang diusulkan oleh Pak Durleston, pasti akan disetujui olehnya. Di­tepuknya punggung Junior. "Bagus, Nak! Mungkin sekarang kita akan memperoleh untung besar. Tapi ingat, jangan bicara dengan orang lain tentang soal ini!" "Aduh, Ayah menyangka aku ini apa?" kata Junior. "Mulai saat ini mulutku terkunci rapat! Ayah kira aku mau membuka rahasia, apabila ini merupakan kesempatan baik untuk membalas anak-anak yang sombong itu? Nanti kalau me­reka sudah pergi dari bukit itu, Ayah periksa saja sendiri ke sana. Pak Durleston pasti akan tahu, apakah penemuan itu benar atau tidak!" Jadi setelah anak-anak kembali ke rumah untuk membantu lagi, segera Pak Henning dan Pak Durleston mengikuti Junior ke tempat tumpukan sampah. Dari situ ke cekungan, yang diduga merupakan tempat puri dulu. Pak Hen­ning makin bersemangat. Sedang Pak Durleston yang selalu kelihatan lesu, sekali itu berseri-seri tampangnya. Ia mengangguk-angguk beberapa kali. "Kelihatannya memang inilah tempatnya," kata laki-laki berbadan kurus itu. "Malam ini juga kita mulai dengan rencana kita-sesudah Kakek pergi tidur! Sebab kalau tidak, mungkin pak tua itu akan menghambat. Orangnya sudah setua bukit-bukit di sini, tapi rewelnya seperti gagak!" Malam itu, ketika Kakek sudah masuk ke kamar tidurnya, Pak Henning dan Pak Durleston mengajak suami-istri Philpot berunding. Pak pe­tani serta istrinya cuma bisa mendengar saja, sambil tercengang-cengang. Ketika mendengar bahwa Pak Henning menawarkan pembayaran dengan cek sebesar lima ratus pound, hanya untuk mendapat hak melakukan penggalian, Bu Philpot nyaris saja menangis karena terharu! "Selanjutnya sudah kusarankan pada Pak Hen­ning untuk membayar sejumlah uang lagi, apa­bila ia menemukan sesuatu yang ingin dibawa­nya pulang ke Amerika, sebagai... sebagai ke­nang-kenangan liburan yang indah di sini," kata Pak Durleston. "Aduh, ini rasanya seperti mimpi kejatuhan bulan," kata Bu Philpot. "Uang itu banyak guna­nya untuk kita. Ya kan, Trevor?" Sebelum Pak Philpot bisa menjawab, Pak Henning sudah mengambil buku cek serta pena dari kantongnya. Ia menulis nilai lima ratus pound pada selembar cek yang langsung ditanda-tanganinya. Cek itu lalu disodorkan pada Pak Philpot. "Mudah-mudahan saja nanti ada lagi cek yang menyusul," katanya. "Terima kasih, besok akan kusuruh orang-orangku memulai penggalian." "Aku akan membuatkan surat perjanjian resmi," kata Pak Durleston, ketika dilihatnya Pak Philpot agak ragu-ragu menerima cek. "Tapi cek itu bisa Anda uangkan dengan segera!" Anak-anak tercengang mendengar kabar itu keesokan paginya. Mula-mula Bu Philpot men­ceritakannya pada Harry dan Harriet, yang lang­sung lari mencari Julian serta ketiga saudaranya untuk diajak berunding. Mereka mendengarkan laporan kedua anak kembar itu dengan heran bercampur marah. "Dari mana kedua orang itu mengetahui se­muanya? Dari mana mereka tahu, di mana tempat puri kuno itu dulu berada?" kata Dick sengit. "Aku berani bertaruh, pasti Junior yang bercerita pada mereka! Pasti ia mengintip dan ikut mendengarkan pembicaraan kita kemarin sehabis minum teh. Rupanya Pak Henning de­ngan temannya... serta Junior. Huh... kepingin rasanya menjambak rambut anak itu!" "Yah.., kurasa tak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang!" tukas George. "Tahu-tahu kita akan melihat iring-iringan truk datang ke sini, penuh dengan orang yang membawa sekop, cangkul, dan bermacam-macam peralatan lagi!" Dugaan George ternyata tepat! Pagi itu juga bukit menjadi ramai. Pak Henning menyewa tenaga empat orang untuk menggali. Mereka datang ke bukit dengan sebuah truk. Kendaraan itu berjalan pelan-pelan, melewati onggokan ta­nah yang merupakan timbunan sampah, terus menuju ke cekungan yang terdapat dekat puncak bukit. Sekop, alat penggaru, dan bor terbanting-­banting di dasar bak. Junior menandak-nandak dengan gembira, sambil berseru-seru menantang keenam anak yang memandang dengan suram. Tapi ia tidak berani datang terlalu dekat. "Kalian menyangka aku tidak tahu apa-apa, ya? Padahal segala pembicaraan kalian ikut kudengar! Huh, tahu rasa sekarang!" Junior mencibir. "Kejar dia, Tim!" seru George dengan marah. "Tapi jangan sakiti. Ayo kejar!" Tanpa menunggu perintah dua kali, Timmy langsung lari mengejar. Jika Junior tidak cepat-­cepat meloncat naik ke atas truk lalu mengambil sebuah sekop untuk mempertahankan diri, pasti ia sudah terguling-guling di tanah karena ditubruk oleh Timmy! Sekarang bagaimana? Anak-anak hampir saja putus asa. Tapi cuma hampir! Mungkin masih ada yang bisa mereka lakukan. Siapa tahu. Nah, apa sebabnya Julian dengan tiba-tiba tampak begitu gelisah? 14. Snippet dan Nosey Berjasa "Sssst... dengar baik-baik!" kata Julian setengah berbisik. Ia celingukan sebentar, untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain di dekat mereka. Kemudian ia melanjutkan, "Masih ingat, George, katamu ada lorong rahasia dari puri ke gereja tua?" "Ya, betul!" kata George, sementara Anne mengangguk dengan mata bersinar-sinar. "Maksudmu cerita Pak Finniston dari toko barang antik, mengenai istri bangsawan yang menyelamatkan anak-anaknya dari puri yang sedang terbakar? Katanya mereka lari ke gereja tua, lewat lorong di bawah tanah! Wah, hampir saja aku lupa!" "Ya, betul, Julian!" kata Anne. "Dan menurut sangkaanmu, lorong itu mungkin sekarang masih ada... di bawah tanah?" "Pikiranku begini," kata Julian. "Jika putri itu lari membawa anak-anaknya lewat jalan bawah tanah, maka mestinya mereka mula-mula harus turun dulu ke kolong puri. Jadi lorong atau terowongan itu tentunya berpangkal dalam kolong!" Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. "Tak mungkin mereka lari lewat jalan lain, karena bukankah puri saat itu sedang dikepung musuh," kata Julian meneruskan pertimbangannya. "Jadi mula-mula putri itu bersembunyi dalam ruangan bawah tanah bersama anak-anaknya. Kemudian, ketika puri ambruk, ia melarikan mereka lewat lorong rahasia, menuju gereja tua. Dan itu berarti..." "Itu berarti, apabila kita menemukan letak lorong rahasia itu, kita akan bisa masuk ke dalam kolong puri! Dan bahkan mungkin lebih dulu daripada para pekerja yang disewa Pak Henning!" kata George. Hampir saja ia berteriak, karena gembira. “Tepat!" kata Julian. Matanya berkilat-kilat. "Tapi jangan buru-buru ribut dulu. Kita harus merundingkan soal ini dengan tenang! Dan hati-hati, jangan sampai ketahuan si Junior lagi!" "Timmy... jaga!" kata George. Dengan segera Timmy tegak menjaga. Anjing itu memandang ke segala arah, dengan sikap tegak. Sekarang tak ada lagi yang bisa mendekat, tanpa ketahuan Timmy! Anak-anak duduk di tepi pagar semak. "Sekarang bagaimana rencana kita?" tanya Dick. "Kuusulkan, kita sekarang pergi dulu ke gereja tua. Dari situ berjalan lurus ke arah cekungan yang akan digali. Mungkin saja nanti kita akan melihat sesuatu yang merupakan tanda di mana terletak lorong rahasia itu. Aku sekarang belum bisa memperkirakan tanda macam bagaimana. Mungkin ada rumput yang warnanya agak lebih gelap dari rumput sekelilingnya, seperti yang kita lihat di tempat bekas puri. Yah, pokoknya kita harus berusaha. Dan kalau kita melihat sesuatu yang bisa merupakan tanda, kita akan melakukan penggalian di tempat itu! Siapa tahu, di bawahnya ada lorong!" "Wah, hebat juga ide itu,Jul" kata Anne dengan bersemangat. "Yuk, sekarang saja kita ke gereja!" Mereka pun berangkat beramai-ramai ke sana, diiringi oleh Timmy dan Snippet. Nosey, si gagak iseng itu, tidak mau ketinggalan. Ia gemar meng­ganggu Snippet. Dengan cepat mereka tiba di gereja, lalu langsung masuk ke dalam. Julian berdiri di ambang pintu. Ia menunjuk ke arah bukit yang letaknya lebih tinggi. "Sekarang kita lihat dulu," katanya. "Di sana letak tempat bekas puri, orang-orang Pak Hen­ning sudah mulai bekerja. Jika kita berjalan lurus ke arah itu, kira-kira kita akan berjalan di atas lorong rahasia. Kurasa pembuatannya dulu lurus, untuk menghemat tenaga. Lorong yang berkelok-kelok, penggaliannya memakan waktu lebih lama.” "Tapi pada garis lurus ke cekungan, tidak tampak rumput yang warnanya agak lain," kata Dick. Ia memicingkan mata, menatap ke arah bukit. Anak-anak yang lain mengangguk sebagai tanda mengiyakan. Mereka agak kecewa. "Kalau begitu, tidak ada tanda-tanda yang bisa dijadikan petunjuk;' kata George sedih. "Apa boleh buat, sekarang kita terpaksa berjalan lurus ke bukit, barangkali saja di tengah jalan ada sesuatu yang akan menunjukkan bahwa kita berdiri di atas terowongan bawah tanah. Misalnya saja jika langkah kita kedengaran menggema!" "Kecil sekali kemungkinannya," kata Julian. "Tapi memang tidak ada lagi jalan lain. Kita berangkat sajalah!" Keenam anak itu mulai berjalan mendaki le­reng. Mereka berusaha berjalan selurus mungkin. Akhirnya mereka sampai ke tempat para pekerja sedang sibuk menggali, tanpa melihat sesuatu tanda pun yang bisa dijadikan petunjuk. Benar­-benar mengecewakan. "Hei, anak-anak dilarang kemari!" Mereka menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata Junior yang berteriak. "Ayo pergi!" serunya lagi. "Tanah sini sudah dibeli ayahku!" "Pembohong!" balas kedua Harry serempak. "Kalian cuma mendapat hak untuk menggali saja, lain tidak!" "Beeeh," cibir Junior. "Tunggu saja nanti! Dan jangan suruh anjingmu mengejarku, nanti kuadu­kan pada ayahku!" Tapi ketika Timmy menggonggong, saat itu juga Junior lari. "Anak konyol!" kata George sambil tertawa. "Kenapa belum ada yang menempelengnya sam­pai sekarang? Tapi kurasa tak lama lagi salah seorang dari pekerja itu pasti akan melakukan­nya! Lihatlah, dia sudah iseng lagi, bermain­-main dengan alat pengebor." Junior memang menjengkelkan. Kerjanya mengganggu orang yang bekerja. Akhirnya ayahnya menyeretnya ke truk, dan menyuruhnya tinggal di situ. Junior meraung-raung ka­rena kesal. Tapi tak ada yang mau mengacuhkannya. Sementara itu anak-anak yang lain melangkah pergi. Mereka menuruni lereng lagi, sambil ber­jalan lambat-lambat. Kali ini ditempuh garis yang agak lain daripada yang tadi. Mereka belum putus harapan. Nosey hinggap di pundak Harry sambil ber-kaok-kaok. Ia sudah bosan, karena tak ada yang bisa diperbuatnya saat itu. Tapi tiba-tiba dilihatnya Snippet duduk di tanah, sambil meng­garuk-garuk leher. Secepat kilat Nosey terbang menukik ke arahnya. Gagak itu tahu bahwa Snippet selalu memejamkan mata pada saat sedang asyik menggaruk. Dan itulah saat yang paling tepat untuk mematuknya! Tapi Nosey sial. Sebelum ia sempat, Snippet sudah membuka matanya kembali. Anjing itu masih sempat melihat gagak yang hendak ber­tengger dan mematuknya. Snippet langsung me­nangkap sayap Nosey. Burung gagak itu ber­kaok-kaok minta tolong. Harry buru-buru lari mendatangi, sambil berteriak-teriak, "Lepaskan, Snippet! Lepaskan, nanti patah sayapnya!" Tapi sebelum Harry tiba untuk menolong, gagak iseng itu sudah berhasil membebaskan diri­nya sendiri. Tiba-tiba dipatuknya hidung Snippet, sehingga anjing itu mendengking kesakitan. Dan begitu mulutnya terbuka, Nosey terjatuh ke tanah. Gagak itu lari menjauh, dengan sayap terkulai. Ia tidak mampu terbang! Dengan cepat Snippet mengejar. Kedua Harry berteriak-teriak melarang, tapi sama sekali tak diacuhkan. Snippet bertekad hendak menangkap gagak yang menjengkelkan itu! Tentu saja Nosey ketakutan. Sambil berkaok-kaok burung itu lari ke sana-kemari, mencari tempat bersembunyi. Kemudian ia melihat sebuah liang kelinci. De­ngan segera ia lari ke situ, dan sambil berteriak dengan ribut ia menyusup ke dalam. "Nosey masuk ke liang kelinci!" seru Dick sambil tertawa-tawa. "Gagak pintar! Kau kalah, Snippet! Tapi Snippet belum mau mengaku kalah! la menyusul masuk. Badannya cukup kecil, jadi bisa ikut menyusup ke dalam liang itu. Selama ini ia belum pernah memasuki liang kelinci; karena takut pada lorong yang gelap, paling hanya mengendus-endus di luar saja. Tapi jika Nosey berani masuk, Snippet tidak mau kalah! Anak-anak memandang sambil melongo. Ke­dua Harry membungkukkan diri ke lubang, lalu berteriak-teriak ke dalam. "Ayo kembali, Snippet! Tolol! Liang ini sim­pang-siur di dasar bukit, nanti kau tersesat di dalamnya: Sini, Snippet!" Tapi dari dalam liang tidak terdengar apa-apa. "Rupanya mereka masuk jauh ke dalam," kata Harry gelisah. "Di bukit ini banyak sekali liang kelinci yang bersimpang-siur. Kata Ayah, dulu di sini banyak sekali kelinci berkeliaran. Beribu-­ribu!" "Yah... sekarang kita hanya bisa menunggu, sampai keduanya muncul kembali," kata Anne. Ia duduk di tanah, karena merasa capek naik ­turun bukit. "Baiklah," kata Julian. "Ada yang membawa permen?" "Aku punya," kata George, yang memang biasa mengantongi permen ke mana-mana. "Nih!" "Sebetulnya kita harus kembali sekarang," kata Harry, "masih banyak pekerjaan yang menunggu!" Setelah menunggu beberapa saat, anak-anak melihat telinga Timmy menegak. Anjing itu meng­gonggong sekali, sambil memandang mulut liang. "Mereka datang," kata George. "Timmy sudah tahu!" Ternyata Timmy memang tahu. Kedua binatang itu muncul lagi dari dalam liang. Mula-mula Snippet, dan kemudian Nosey. Rupanya kedua­nya sudah berkawan lagi. Snippet langsung lari menghampiri kedua Harry, seolah-olah tidak me­lihat mereka selama beberapa hari. Anjing itu menggondol sesuatu, yang kemudian diletakkan di depan kaki kedua anak kembar itu. "Apa yang kaubawa?" tanya Harry, sambil mungut benda itu. "Tulang, ya?" Dengan cepat Julian menyambarnya dari ta­ngan Harry. "Bukan, bukan.tulang! Ini kan sebuah pisau! Pisau kecil berukir. Gagangnya sudah patah. Wah, ini benda kuno! Di mana kau menemukan­nya, Snippet?" "Gagak itu juga menggondol sesuatu di paruh­nya!" kata Anne sambil menuding. "Lihatlah!" Harriet dengan mudah berhasil menangkap gagak itu, karena Nosey masih belum bisa terbang lagi. "Ini cincin!" seru anak itu. "Cincin bertatahkan batu merah!" Keenam anak itu memandang kedua benda temuan itu sambil melongo. Sebuah pisau yang sudah hitam karena tuanya, dan sebuah cincin emas yang masih ada permatanya! Kedua benda itu pasti berasal dari satu tempat. Rupanya Snippet dan Nosey tadi masuk kekolong puri," kata George. Ia mengucapkan hal yang juga dipikirkan kawan-kawannya. "Itu sudah pasti! Rupanya liang kelinci ini tembus ke kolong yang menghubungkan kolong puri dengan gereja! Dan Snippet serta Nosey masuk ke sana! Aduh, Snippet-kau memang anjing yang cerdik! Kau menemukan lorong yang kami cari selama ini!" "George benar!" kata Dick bersemangat. "Ber­kat Snippet dan Nosey, sekarang banyak yang kita ketahui! Kita tahu sekarang, di kolong puri pasti masih banyak barang yang tersimpan, dan kita juga tahu di ujung liang ini terdapat lorong rahasia yang kita cari! Betul kan, Ju?" "Betul!" jawab Julian. Mukanya merah karena gembira. "Wah, sekali ini kita benar-benar mujur. Berkat Snippet dan Nosey! Lihat, gagak iseng itu mencoba terbang lagi. Ternyata sayapnya tidak cedera berat! Bagus, Nosey, kali ini ke­isenganmu besar gunanya!" "Sekarang bagaimana?" tanya George, dengan mata bersinar-sinar. "Apakah kita akan menggali di sini-karena sudah tahu letak lorong rahasia itu? Pasti tak begitu dalam letaknya. Dan kalau sudah berada di situ, dengan gampang kita akan bisa masuk ke kolong puri-mendahului Pak Henning serta orang-orangnya." 15. Menggali ke Lorong “Bagaimana cara minta izin untuk menggali?" tanya Anne. "Maksudku, bolehkah kita menggali di sini?” "Kenapa tidak? Pak Henning kan hanya memperoleh izin untuk menggali di satu tempat saja,” kata Julian. "Kurasa kita tentu diizinkan menggali di sini. Lagi pula jaraknya cukup jauh dari tempat bekas puri.” "Kenapa kita tidak langsung menggali saja. Kita lihat nanti, dilarang atau tidak,” kata George. "Jika Pak Philpot yang melarang, akan kita katakan padanya apa yang sebenarnya sedang kita kerjakan. Setelah itu tentu dia akan mengizinkan! Tapi apa pun yang terjadi, jangan sampai Pak Henning mengetahui penemuan kita, atau apa yang kita sangka telah ditemukan!" "Kalau begitu apa yang akan kita katakan, jika ia bertanya kenapa kita menggali di sini?" tanya Anne. "Jawab seenaknya saja, kita main-main!" kata Dick. Kemudian ia bertanya pada kedua Harry, "Kalian harus bekerja pagi ini? Bisakah kalian mengusahakan beberapa sekop untuk kami?" "Pakai saja sekop kami berdua... serta sekop Ayah," jawab Harry. "Kami sebetulnya ingin mem­bantu, tapi masih banyak pekerjaan yang menunggu. Sekarang pun kami sudah agak terlambat!" "Aduh, dan aku sudah berjanji... aku dan George akan membantu di dapur," kata Anne. "Bagaimana jika kalian berdua saja yang menggali, Ju?" "Tentu saja bisa," jawab Julian. "Memang, jika berdua saja pasti lebih lambat. Tapi tak apa! Nanti sore kan bisa kita lanjutkan, apabila kedua Harry sudah selesai bekerja!" "Beres! Kami akan bekerja secepat kilat!" kata Harry dan Harriet serempak. "Sekarang kami ambilkan dulu sekop untuk kalian." Keduanya lari menuruni lereng, diikuti oleh Snippet. Semen­tara George dan Anne berjalan dengan tenang, walaupun perasaan mereka sangat gelisah saat itu. Wah, mudah-mudahan saja bisa ditemukan lorong rahasia yang menghubungkan gereja tua dengan kolong puri! Timmy yang ikut dengan mereka, menggerak-gerakkan ekor dengan gem-bira. Ia ikut merasakan keasyikan anak-anak saat itu Timmy selalu senang, apabila ada sesuatu yang mengasyikkan George! Tidak lama kemudian Harriet sudah datang lagi. Ia membawa dua buah sekop besar, dan satu sekop kecil. Peralatan itu tidak bisa dibilang enteng. Ia memanggulnya ke atas bukit, dengan napas terengah-engah. "Hebat, Harry!" kata Dick sambil menyambut ketiga sekop itu. "Eh, nanti dulu! Kau Harriet, karena di tanganmu tidak ada bekas luka!" Sambil nyengir, Harriet lari kembali menda­tangi saudara kembarnya yang sudah sibuk be­kerja, membantu orangtua mereka. "Mereka anak-anak baik," kata Julian sambil memandangi kepergian anak itu. Kemudian ia mulai menggali. "Ya, lebih baik dari pada seratus anak seperti Junior! Aneh, ada anak-anak yang baik, dan ada pula yang sama sekali tak ber­guna! Nah, Dick, kita mulai saja sekarang. Tanah di sini ternyata sangat keras. Coba kita bisa meminjam salah satu mesin yang dipakai para pekerja di atas itu, pasti akan lebih cepat kerja kita!" Keduanya menggali dengan bersemangat. Hawa panas. Dick dan Julian membuka pakaian mereka, sehingga tinggal bercelana pendek. Tapi mereka masih tetap kepanasan. Karenanya me­reka menyambut dengan gembira, ketika Anne datang membawa limun dan kue-kue. "Wah, sudah dalam juga lubang yang kalian gali," kata anak itu. "Masih berapa dalam lagi menurut perkiraan kalian?" "Kurasa sedikit lagi sudah sampai," jawab Dick, sambil meneguk limun sepuas-puasnya. Wah, sedap! Terima kasih, Anne. Saat ini kami mengikuti liang kelinci. Mudah-mudafian saja sudah akan mencapai lorong itu sebelum kami kehabisan tenaga!" "Hei, Junior datang!" kata Anne dengan tiba­tiba, sambil memandang ke atas bukit. Memang, anak Amerika itu menghampiri mereka. Ia berani datang, karena melihat bahwa Timmy dan Snippet tidak ada di situ: Ketika sudah agak dekat ia berhenti. "Mau apa kalian menggali di situ?" serunya. "Pergi!" balas Dick. "Ini bukan bukit kalian! Jika kalian boleh menggali, kenapa kami tidak?" "Kalian bisanya cuma meniru-niru saja!" ejek Junior. "Kalian ditertawakan ayahku!" "Biar!" jawab Dick. Junior masih memperhatikan kesibukan me­reka sesaat. Kelihatannya ia agak bingung. Kemudian lari lagi ke atas. Rupanya hendak melaporkan pada ayahnya. Anne tertawa, lalu kembali ke rumah. "Karena ayahnya tidak tahu-menahu tentang lorong rahasia, pasti ia mengira kita sudah sinting, menggali-gali di sini," kata Julian sambil tertawa geli. "Yah, biar ia mengira begitu! Nanti tentu dia mengamuk, jika sudah tahu apa yang sebetulnya sedang kita lakukan di sini. Tapi ia takkan tahu, sampai kita sudah berada dalam kolong puri!" Dick ikut tertawa, lalu menyeka keringat yang membasahi kening. "Aku kepingin cepat-cepat mencapai ujung liang ini," katanya. "Dan mudah-mudahan saja memang betul menembus ke lorong yang kita cari Aku tidak mau harus menggali-gali terus, karena tanah di sini keras dan kering!" "Nah, sekarang sudah mulai berpasir," kata Julian. Ia menggali lebih dalam lagi. Tiba-tiba ia berseru kaget. "He! Ujung sekopku melesak ke dalam. Kurasa kita sudah sampai ke ujung liang. Kita sudah menemukan lorong rahasia itu!" Memang benar! Liang kelinci itu mengarah ke samping, dan menembus.sebuah lorong. Kedua anak itu semakin rajin menggali. Rambut mereka tergerai menutupi kening. Keringat bercucuran. Akhirnya mereka sampai di sebuah rongga yang agak lapang. Dan di dasarnya ada lubang masuk ke... lorong! Kedua anak itu menjenguk­kan kepala ke bawah untuk melihatnya. "Wah, ternyata tidak begitu dalam," kata Dick. "Untunglah, karena begini saja aku sudah ke­panasan!" "Sekarang sudah hampir saatnya makan siang," kata Julian. "Sebetulnya aku tidak ingin meninggalkan tempat ini, karena kita sudah sam­pai ke lorong. Tapi kita perlu makan dulu. Perutku lapar sekali!" "Aku juga! Tapi jika lubang ini kita tinggalkan tanpa dijaga, ada kemungkinannya si Junior akan kemari dan menemukan lorong yang ada di bawah," kata Dick. "Nah, itu George datang dengan Timmy. Barangkali saja dia mau mening­galkan Timmy, untuk menjaga tempat ini.” George gembira sekali mendengar kabar bahwa lorong rahasia sudah ditemukan. "Wah, dalam juga, ya," katanya. "Pantas keri­ngat kalian bercucuran! Wah, jika Pak Henning tahu apa yang kalian temukan, pasti ia akan bergegas datang!" "Ya, tentu," kata Julian. "Dan justru itulah yang kami khawatirkan! Atau mungkin juga Junior yang kemari, la!u masuk ke dalam !ubang. Tadi ia sudah datang, dan melihat kami menggali di sini.” "Sekarang kami takut meninggalkan tempat ini, karena jangan-jangan salah satu dari mereka datang waktu kita tidak ada, lalu memeriksa ke bawah," kata Dick. "Karena itu, bagaimana jika...” George langsung menyela, seakan-akan sudah tahu apa yang hendak ditanyakan oleh Dick. "Timmy akan kutinggalkan di sini, sementara kalian makan," katanya. "Pasti takkan ada orang yang diperbolehkannya mendekat!" "Terima kasih," kata Dick dan Julian, lalu kembali ke rumah bersama George, sementara Timmy menjaga lubang. "Jaga baik-baik," kata George pada anjingnya. "Jangan ada orang yang boleh mendekat!" Timmy menggonggong, menyatakan bahwa ia mengerti. Kemudian ia merebahkan diri, sambil menggeram-geram. Kalau ada orang yang berani menghampiri, ia sudah siap untuk mengusir mereka. Ternyata ada juga yang berani mencoba, yaitu Junior dan ayahnya. Tapi begitu mereka melihat Timmy berdiri dengan bulu tengkuk tegak dan menggeram dengan nada mengancam, keduanya lantas mundur teratur. Mereka menuruni bukit untuk makan siang di rumah. Pak Durleston membuntut dari belakang. Ia sudah kepayahan, karena tak tahan hawa panas. "Anak-anak konyol," kata Pak Henning pada Junior. "Ikut-ikutan menggali, karena kita meng­gali! Menurut dugaan mereka, apa yang bisa ditemukan di tempat itu? Tumpukan sampah lagi?" Junior melempar batu ke arah Timmy, la!u lari pontang-panting ketika Timmy mengejar de­ngan marah. Bahkan Pak Henning pun memper­cepat langkah. Ia juga segan berhadapan dengan Timmy! Sehabis makan siang, kedua Harry, Julian, Dick, George, Anne, dan Snippet berbondong­bondong mendaki lereng, menuju ke lubang yang masih dijaga Timmy. Mereka membawakan dua buah tulang, dan air segayung. Kedua Harry bersemangat sekali ketika me­lihat lubang yang digali oleh Julian dan Dick. "Kita masuk sekarang yuk!" kata mereka serempak. "Ya, kurasa sekarang memang ada kesem­patan baik," kata Julian. "Para pekerja yang menggali di atas sedang makan siang di desa­sedang Pak Henning dan Pak Durleston masih ada di rumah." "Aku dulu yang masuk," kata Dick, lalu turun ke dalam lubang. Sambil berpegangan ke rumput yang tumbuh di tepi atas, kakinya menendang­nendang dasar lubang, untuk memperbesarnya. Kemudian ia meluncur ke bawah, sampai kakinya menembus ke dalam lorong. "Aku masuk sekarang," katanya, sambil melepaskan pegangan. Ia meluncur ke bawah, ma­suk ke dalam lorong yang pengap. Sesaat kemu­dian kakinya menyentuh tanah empuk. "Tolong lemparkan senter ke sini!" serunya dari dalam lorong. "Di sini gelap sekali. Kau kan tidak lupa membawa senter kita tadi, George?" George bahkan membawa empat senter sekaligus! "Awas," seru anak itu. "Akan kulemparkan sekarang!" Senter dinyalakan dulu, lalu dilemparkannya ke dalam lubang. Dick menyambutnya dengan cekatan, lalu menyorotkannya ke sekeliling tem­patnya berada: "Ya, ini memang lorong," serunya gembira. "Sudah jelas, inilah lorong yang kita cari. Hebat! Nah, sekarang kalian semua menyusul masuk, lalu kita bersama-sama menyusuri lorong ini, sampai ke kolong puri. Ayo, cepatlah sedikit!" 16. Menuju ke Kolong Puri Dick menyorotkan sinar senternya ke atas, supaya anak-anak yang lain bisa melihat jalan. Satu per satu mereka meluncur ke bawah. Timmy dan Snippet ikut turun pula. Tapi Nosey tidak mau. Ia tinggal di atas, sambil berkaok-­kaok. Sesampai di bawah, anak-anak menyorotkan cahaya senter mereka ke muka dan ke bela­kang. "Ke arah sana, mestinya menuju ke gereja tua," kata Julian. Hanya Timmy dan Snippet saja yang bisa berdiri seperti biasa dalam lorong gelap itu, karena langit-langitnya rendah sekali. "Ayo kita terus!" kata Julian. Suaranya agak bergetar, menahan perasaan. "Kita terus saja ke arah ini! Kita lihat nanti, sampai di mana ujungnya." Lorong itu agak miring. Anak-anak berjalan menuju tempat yang lebih tinggi. Di sana-sini ada bagian langit-langit yang runtuh, tapi tidak sampai mengganggu perjalanan mereka. Hanya kadang-kadang ada yang tersandung, karena kakinya tersangkut akar pohon. "Aneh!" kata Harry. "Di atas kan tidak ada pepohonan! Dari mana datangnya akar-akar ini?" "Mungkin sisa-sisa pohon yang du!u penuh di lereng ini;' kata Julian. Ia mengarahkan sinar senternya ke depan, karena takut kalau-kalau ada rintangan yang bisa menghambat langkah selanjutnya. Tiba-tiba ia berseru kaget. "Hei, apa ini? Dua helai bulu burung! Kenapa ada sini?" Anak-anak memeriksa bulu-bulu itu dengan penuh perhatian. Kelihatannya masih baru! Tapi bagaimana bisa sampai dalam lorong itu? Mungkinkah ada jalan lain masuk ke situ... dan burung yang bulunya tercecer di situ menemukannya? Tiba-tiba tawa Dick meledak. Kawan-kawannya menoleh dengan kaget. "Kita benar-benar tolol!" serunya. "Ini kan bulu si Nosey! Rupanya tercecer di sini, ketika lari menyusuri lorong ini dikejar oleh Snippet!" "Ah ya, tentu saja! Kenapa tidak sampai ke situ pikiranku tadi;' kata Julian. Mereka menerus­kan perjalanan, menyusuri lorong ke arah atas. Tiba-tiba Julian tertegun lagi. Dari arah depan terdengar bunyi mendengung pelan. "Bunyi apa itu?" kata Anne ketakutan. "Hi... seram!" Anak-anak berdiri seperti terpaku. Bunyi men­dengung itu seakan-akan memenuhi kepala me­reka. Semua menggeleng-geleng, menyumbat telinga dengan jari... tapi percuma! Bunyi itu masih tetap terdengar. "Aku tak mau terus,” kata Anne yang semakin takut. Tiba-tiba bunyi mendengung berhenti. Anak­anak menarik napas lega. Tapi hanya sebentar, tak lama kemudian bunyi itu terdengar lagi. Tiba-tiba George tertawa. Anak-anak meman­dangnya dengan heran. "Ah, jangan takut!" katanya sambil tertawa terus. "Itu kan bunyi bor, yang dipakai para pekerja yang menggali lubang di atas! Rupanya mereka sudah kembali dari makan siang. Ayo, kalian tidak perlu takut!" Semua tersenyum lega, lalu melanjutkan lang­kah. Tangan Anne masih gemetar sedikit, se­hingga cahaya senternya bergoyang-goyang. "Tidak banyak udara di sini," katanya. "Mudah­mudahan kita lekas sampai di ruangan kolong puri." "Kurasa tak jauh lagi," kata Julian. "Lorong ini lurus, seperti perkiraan kita. Dan bunyi alat bor sudah sangat nyaring sekarang. Kurasa kita sudah dekat!" Tahu-tahu sinar senter yang dipegang Julian menerangi bekas sebuah pintu besar yang ter­geletak di tanah depannya. Rupanya pintu itu dulu membatasi ruang kolong puri dengan lorong yang saat itu sedang dilewati anak-anak. Di situlah lorong rahasia berakhir. Sorotan senter Julian menerangi suatu ruangan yang luas. "Kita sudah sampai;" bisik Julian. Anne me­nyentuh sudut pintu yang tergeletak dengan ujung sepatunya. Ternyata kayu pintu itu sudah sangat rapuh, langsung ambruk menjadi debu. Snippet mendesak maju, lalu lari memasuki ruangan gelap itu. Ia menggonggong sekali, seakan-akan hendak mengatakan, "Ayo, jangan takut! Aku sudah pernah kemari!" "Hati-hati, Snippet!" seru Anne: la khawatir semuanya akan ambruk menjadi debu, karena getaran langkah berlari anjing itu. "Ya, kita harus hati-hati berjalan," kata Julian. "Rupanya semua yang ada di sini sudah sangat rapuh, kecuali benda-benda yang terbuat dari logam. Ajaib bahwa pintu tadi kelihatan begitu utuh-padahal kalau salah seorang dari kita bersin, pasti pintu itu langsung menjelma men­jadi debu!" "Jangan bikin aku tertawa, Ju," kata Dick, sambil melangkah dengan hati-hati mengitari daun pintu yang tergeletak di tanah. "Tawa pun mungkin bisa menyebabkan kerusakan berat!" Tak lama kemudian mereka semua sudah berada dalam ruang kolong yang gelap. Anak-­anak menyorotkan sinar senter mereka ke segala arah. "Wah, ruangan ini ternyata sangat luas," kata Julian. "Tapi di sini aku tidak melihat ada kamar­-kamar!" "Untung," kata Harriet dan Anne serempak. Keduanya sudah takut akan menemukan tulang­belulang tawanan zaman dulu yang terkurung di situ. "Lihat, di sana ada gerbang," kata George, sambil mengarahkan sorotan senternya ke ka­nan. "Terbuat dari batu! Dan lihat, itu ada satu lagi. Rupanya di sebelah sana ada ruangan utama! Di sini yang ada cuma debu bertumpuk­tumpuk. Huh, baunya pengap!" "Ikut di belakangku dengan hati-hati," kata Julian. Ia berjalan di depan, menuju ke dua gerbang yang terbuat dari batu. Sesampai di situ, mereka menyorotkan cahaya senter mereka ke dalam sebuah ruangan yang luas. "Ini rupanya tempat penyimpanan barang-barang," kata Julian. "Langit-langitnya ditopang dengan sejumlah balok yang kokoh. Lihatlah, beberapa di antaranya ada yang sudah ambruk. Dan gerbang melengkung ini rupanya juga me­rupakan penopang langit-langit itu. Bagus sekali buatannya!" Dick dan kedua Harry lebih tertarik melihat barang-barang yang berserakan sepanjang tepi dinding ruangan itu. Debu yang menyelubungi berhamburan ke atas, ketika tersentuh. Snippet lari mondar-mandir sambil mengendus-endus. Sekali-sekali ia bersin, karena debu masuk ke dalam hidungnya. "Ada harta atau tidak di sini?" bisik Anne. Bisikannya menggema dalam ruangan. "Aneh, bisikan di sini lebih menggema diban­dingkan bila kita bicara dengan suara biasa;' kata Anne. "Eh, apa ini?" Anak-anak menyorotkan sinar senter mereka ke lantai. Di situ tampak tumpukan Iogam yang menghitam. Julian membungkuk untuk memper­hatikan dengan lebih cermat. Tiba-tiba ia berseru dengan gembira. Kalian tahu, ini apa?" katanya. "Baju besi! Kelihatannya masih bisa dibilang utuh. Padahal sudah berabad-abad tergeletak di sini. Dan ini ada lagi satu... dan ini! Apakah ini pakaian besi yang sudah tidak dipakai lagi, atau merupakan cadangan! Coba kalian perhatikan topi baja ini­ hebat!" Julian mendorong benda itu dengan kakinya. Terdengar bunyi berdenting, dan topi baja itu tergulir di lantai. "Tinggikah nilai barang itu sekarang?" tanya Harry. "Wah... ini sama nilainya dengan emas," kata Julian. Suaranya begitu bersemangat, sehingga anak-anak yang lain ikut tertarik. Harriet memanggil-manggil Julian. "Julian, di sini ada peti. Cepat!" Dengan hati-hati mereka melangkah ke tempat Harriet berdiri. Mereka tidak mau berjalan ber­gegas-gegas, karena hanya akan menyebabkan debu beterbangan saja. Harriet menuding sebuah peti besar berwarna gelap. Sudut-sudutnya diberi simpai besi. Peti itu terbuat dari kayu yang berwarna gelap karena tuanya. "Ada apa di dalamnya, ya?" bisik Harriet. Bisikannya itu menggema lagi dalam ruangan. Timmy menghampiri peti itu, lalu mengendus­endus. Alangkah kagetnya anjing itu, ketika tahu­tahu peti itu sudah lenyap-menjadi debu! Hanya simpai dan sudut-sudutnya saja yang masih tinggal, karena terbuat dari besi. Anak-anak me­longo. Mereka takjub, melihat suatu benda yang tampaknya kokoh, dengan pelan ambruk dan berantakan... sebagai debu! Seperti dsulap, kata Anne dalam hati. Dan di balik debu tampak sesuatu yang ber­kilat-kilat. Benda itu menggeleser ke lantai, de­ngan bunyi berdencing. Aneh kedengarannya, memecah kesunyian ruang bawah tanah itu. Anak-anak menatapnya dengan mata melotot. Anne menggapai lengan Julian, sehingga abang­nya itu kaget. "Apa itu, Ju? Emas?" tanya Anne. Julian merogoh ke dalam debu, mengambil sebuah benda yang ada di situ. Diperhatikannya benda itu. "Ya, betul! Tidak salah lagi, ini emas! Emas tidak bisa berkarat. Rupanya ini uang emas, yang disimpan dalam peti ini. Rupanya ketika putri penghuni puri ini dulu lari bersama anak­anaknya, ia tidak sempat membawa hartanya. Sedang orang lain juga tidak bisa mengambil, karena jalan masuk ke sini tertimbun dinding puri yang ambruk! Harta emas ini ada di sini sejak masa itu, sama sekali tak tersentuh tangan manusia" "Ya, sampai kita datang!" kata George. Ia menoleh pada kedua anak kembar. "Orangtua kalian tidak perlu lagi bingung memikirkan per­tanian mereka! Dari hasil penjualan harta yang ada di sini, bisa dibeli segala traktor dan per­alatan lain yang mereka perlukan untuk mengu­rus usaha mereka! He Julian, lihatlah, di sana ada sebuah peti lagi! Seperti yang ini, tapi ukurannya lebih kecil. Coba kita lihat isinya. Mudah-mudahan uang emas lagi!" Tapi yang terdapat di situ bukan emas, melain­kan harta lain! Satu sisi peti itu sudah pecah, dan isinya berhamburan ke luar. "Wah, ini kan cincin!" kata Anne. Dipungutnya dua buah cincin yang tergeletak di tengah debu. "Dan ini pending emas," kata George. "Wah, lihat, rantai ini mestinya kalung, karena bertatah batu biru. Di sini rupanya gagak tadi menemukan cincin yang digondolnya ke luar!" "Dan di sini ada barang-barang lain!" seru Harry. Anak-anak menoleh ke tempatnya. "Lihat­lah, di sini ada rak, penuh dengan pedang dan pisau belati! Ada di antaranya yang diukir indah!" Di dinding berjajar-jajar rak besi yang ditopang beberapa batang besi yang tertancap kokoh ke dalam dinding tanah. Tapi di antara batang pe­nopang itu ada yang sudah longgar, sehingga raknya menjadi miring. Pedang dan pisau yang ditaruh di situ, ada yang terjatuh ke lantai. Snippet datang menghampiri lalu mengambil sebuah pisau belati, persis seperti yang dilakukan olehnya, sewaktu masuk ke situ pertama kali bersama Nosey. "Bukan main bagusnya pedang-pedang ini!" kata Julian sambil memungut sebilah. "Aduh, ternyata berat juga! Hampir tidak kuat aku meng­angkatnya. Astaga, apa itu?" Suatu benda terjatuh dari langit-langit ruangan tempat mereka berada. Sepotong kayu. Dan saat itu juga bunyi mendengung yang sedari tadi mengiringi mereka bertambah nyaring. Ber­deru keras, sehingga anak-anak kaget. "Cepat, keluar!" seru Julian. "Sebentar lagi para pekerja yang di atas akan sudah berhasil menembus langit-langit. Jangan sampai kita ter­timbun, jika langit-langit runtuh! Kita harus se­gera pergi dari sini!" Disambarnya sebilah belati dari rak. Dengan pedang dan belati di tangan, ia berlari menuju ke lorong rahasia. Saudara-saudaranya menyusul. Kedua Harry lari paling akhir, karena sebelumnya mereka masih sempat meraup segenggam uang emas, dua untai kalung, dan beberapa buah cincin. Mereka ingin menunjukkan harta karun itu pada ibu mereka! Langit-langit mulai pecah dan berjatuhan, ke­tika anak-anak sampai di mulut !orong. . "Kita harus menyuruh mereka berhenti menggali," kata Julian terengah-engah, sambil menoleh ke betakang. "Jika langit-langit ruangan ini run­tuh, kemungkinan harta yang di bawah akan banyak yang musnah!" Mereka bergegas menyusuri lorong yang ren­dah: Jantung mereka berdebar-debar. Timmy ber­jalan paling depan. Anjing itu sudah tidak sabar fagi ingin cepat-cepat menghirup hawa segar. "Wah, apa kata Ibu nanti kalau melihat ini," kata kedua Harry berulang-ulang. 17. Terjebak Keenam anak itu tersaruk-saruk menyusuri lorong. Di kejauhan masih terdengar bunyi alat-alat bor menderu-deru. Mereka mempercepat langkah, karena takut setiap saat kolong puri ditemukan oleh Pak Henning. Ayah Junior itu pasti sudah tidak sabar menunggu di atas! Akhirnya mereka sampai di tempat yang menurut taksiran mereka adalah tempat Dick berhasil menembus lorong dari liang kelinci. Tapi lubang yang dibuat Dick sudah tidak ada lagi! Yang tampak hanya tanah semata-mata, sebagian bahkan berguguran masuk ke dalam lorong. Julian menatap tempat itu, diterangi cahaya senternya. "Liang ambruk!" katanya. Suaranya gemetar. "Bagaimana kita sekarang? Kita tidak membawa sekop untuk menggali jalan keluar!" "Kita coba saja menggali dengan tangan," ujar Dick. Ia mulai menggali-gali ke atas dengan tangannya. Tapi semakin digali, semakin banyak pula tanah berhamburan masuk ke liang yang sudah menjadi lebar! Julian melarang Dick me­neruskan penggalian. "Jangan, Dick! Nanti terjadi tanah longsor, dan kita akan terkubur hidup-hidup di sini! Aduh, gawat keadaan kita sekarang. Kita terpaksa kem­bali ke kolong, lalu berseru-seru di situ, supaya terdengar orang-orang yang di atas. Sialan! De­ngan begitu Pak Henning akan mengetahui per­buatan kita." "Kurasa para pekerja tidak akan terlalu lama lagi ada di atas," kata Dick, setelah melihat arlojinya sebentar. "Mereka bekerja sampai pukul lima sore. Dan sekarang sudah hampir pukul lima! Aduh, sudah lama sekali kita di sini, pasti Bu Philpot sudah bertanya-tanya ke mana saja kita selama ini!" "Nah, bunyi deru alat-alat bor sudah tidak terdengar lagi," kata Anne. "Syukurlah! Bising telingaku dibuatnya!" "Kalau begitu, tak ada gunanya kita ke kolong puri lagi," kata Julian. "Mereka pasti sudah pergi, sebelum kita sampai di sana. Wah, keadaan kita sekarang gawat! Kenapa tak terpikir ke­mungkinan ini olehku tadi... anak kecil pun tahu, jalan masuk ke lorong bawah tanah perlu diper­kokoh bila baru digali! Kalau tidak, beginilah jadinya!" "Ah, kita kan bisa saja menunggu di kolong puri, sampai para pekerja datang lagi besok," kata George. "Dari mana kita tahu mereka masih akan kembali?" kata Dick bingung. "Bisa saja Pak Henning menghentikan mereka, jika ia merasa penggalian itu tidak ada gunanya!" "Kau tidak boleh cepat-cepat putus asa," tukas George. Ia merasa bahwa kedua Harry sudah mulai panik. Memang, kedua anak kembar itu sudah gelisah. Tapi bukan mengingat nasib sen­diri, melainkan karena takut ibu mereka akan setengah mati ketakutan apabila mereka tidak pulang malam itu. Selama itu Timmy berdiri di sisi George, menunggu dengan sabar sampai mereka keluar dari lorong. Tapi akhirnya ia bosan menunggu, lalu pergi... tapi berjalan menurun, bukan naik dan kembali ke kolong puri! "Ju! Timmy pergi ke arah bawah!" kata George. "Kenapa tak terpikirkan kemungkinan itu sedari tadi?" "Ah, aku khawatir jalan ke sana buntu!" kata Julian. Ia berpaling pada kedua Harry. "Kan tidak ada yang mengetahui jalan. masuk dari gereja ke lorong?" "Tidak," jawab kedua anak kembar itu serem­pak. "Sepanjang pengetahuan kami, sampai kini jalan masuk itu betum ditemukan." "Tapi pokoknya, tak ada salahnya jika kita mencoba-coba," kata George. Tanpa menunggu jawaban lagi, ia langsung menyusul Timmy yang sudah tidak sabar lagi. "Di sini terasa sesak napasku.” Anak-anak mengikuti dari belakang. Snippet berjalan sambil meloncat-loncat. Anjing kecil itu tidak menyadari kegawatan keadaan saat itu. Dikiranya anak-anak senang bermain-main di situ. Setelah menyusuri lorong yang bisa dibilang lurus, serta melampaui beberapa bagian yang langit-langitnya runtuh sedikit, akhirnya mereka sampai di sebuah bilik kecil. Lorong yang mereka lewati berakhir di situ. Bilik itu seluruhnya terbuat dari batu. Tingginya sekitar satu setengah meter, sedang sisi-sisinya sedikit lebih lebar dari dua meter. Julian me­mandang ke atas. Apakah seluruh langit-langit terbuat dari batu? Jika ya, maka itu berarti mereka terjebak! Tapi ternyata tidak seluruh langit-langit terbuat dari batu. Kira-kira di tengah-tengahnya ada bidang dengan sisi-sisi sekitar sembilan puluh senti, yang terbuat dari papan yang tampaknya kokoh. Bidang papan itu terletak pada batu langit-langit. "Kelihatannya seperti tingkap," kata Julian, sambil memeriksa bidang papan itu dengan bantuan cahaya senter. "Mungkin kita sekarang ini berada dibawah lantai gereja tua! Dick dan Harry, jika kita bertiga menjunjung tingkap ini ke atas bersama-sama, mungkin kita bisa mengangkatnya!" Mereka lantas menjunjung beramai-ramai, di­bantu pula oleh George. Tingkap itu terangkat sedikit pojoknya. Tapi mereka tidak berhasil menggesernya. "Aku tahu apa sebabnya tingkap ini tidak bisa diangkat," kata Harry. Mukanya merah, karena baru saja mengerahkan tenaga habis-habisan. Di lantai gereja banyak karung gandum dan bertumpuk-tumpuk pupuk! Jadi berat sekali! Kalau ada dua atau tiga karung saja di atas tingkap ini, kita pasti tak mampu mengangkatnya!" "Wah, betul juga," kata Julian dengan lesu. "Kalian sebelumnya tidak tahu-menahu tentang jalan masuk ini, Harry?" "Tentu saja tidak," jawab Harry. "Tak seorang pun tahu. Sebenarnya aneh! Tapi mungkin ka­rena tempat penyimpanan begini selalu penuh dengan karung-karung atau barang-barang lain. Belum lagi gandum yang tumpah dan berserakan ke mana-mana! Kurasa pasti sudah beratus tahun tempat itu tak pernah disapu!" "Jadi bagaimana kita sekarang?" tanya Dick. "Kita tidak bisa di sini terus." "Ssst, aku mendengar sesuatu," kata George. "Di atas!" Anak-anak memasang telinga. Mereka men­dengar suara seseorang berseru-seru di atas. "Bill! Tolong kami sebentar!" seru orang itu. "Itu Jamie! Betul, para pekerja kami minggu ini melakukan kerja lembur!" kata Harry. "Rupa­nya Jamie hendak mengambil sesuatu dari tem­pat penyimpanan di atas. Cepat, kita berteriak­teriak sambil menggedor-gedor tingkap. Pokoknya harus berisik, supaya terdengar orang-orang yang ada di atas!" Dengan segera bilik sempit itu penuh dengan segala macam bunyi. Anak-anak berteriak-teriak, memukul-mukulkan kepalan tinju, gagang pe­dang, atau pisau ke kayu tingkap. Setelah itu berhenti, untuk mendengarkan reaksi dari atas. Sesaat kemudian terdengar suara Jamie ber­tanya dengan heran. "He, Bill! Bunyi apa itu tadi? Ada sekawanan tikus ladang yang sedang berkelahi rupanya!" "Mereka mendengar kita," kata Julian berse­mangat. "Ayo, sekali lagi! Kau ikut menggong­gong, Timmy!" Dengan segera Timmy menggonggong se-keras-kerasnya. Ia sudah bosan berkeliaran da­lam lorong, lalu terkurung dalam bilik sempit bergema. Dan anak-anak tidak mau kalah. Me­reka berteriak, menjerit, sambil memukul-mukul kayu tingkap. Bunyi berisik semakin menjadi­jadi. Bill dan Jamie tercengang. Mereka mende­ngarkan dengan saksama. "Kedengarannya seperti dari sana," kata Bill. "Ada sesuatu di sana, tapi aku tidak tahu apa! Kalau saat ini sudah malam, pasti kusangka di sini ada hantu. Tapi mana ada hantu pada siang hari. Yuk, kita periksa ke sana sebentar." Tempat asal bunyi ribut-ribut itu, penuh dengan karung-karung gandum. Kedua pekerja itu ter­paksa berjalan dengan susah payah, melangkahi karung-karung. "Di pojok sini, Bill," kata Jamie. Ia berdiri di atas dua buah karung yang bertumpuk. Kemu­dian didekatkannya kedua tangannya ke mulut membentuk corong pengeras suara, lalu berseru dengan lantang. "Siapa di situ?" Anak-anak yang di bawah menjawab sekeras mungkin, dibantu gonggongan Timmy. "Eh! Ada anjing menggonggong di bawah," kata Bill. Ia menggaruk-garuk kepala sambil memandang karung-karung yang ada di bawah kakinya. Ia menyangka, jangan-jangan dalam salah satu karung itu ada anjing. "Bukan cuma anjing, tapi aku juga mendengar suara-suara orang," kata Jamie sambil melongo. "Tapi di mana mereka? Masa di bawah karung!" "Jangan-jangan di dalam bilik kecil yang per­nah kita temukan di bawah lantai," kata Bill. Masih ingat, kan? Itu, yang ditutup dengan lempengan batu besar, dan ada tingkapnya dari papan tebal! Masa sudah lupa!" "Ya, ya, aku ingat lagi;" kata Jamie. Saat itu dari bawah terdengar lagi bunyi ribut-ribut. Anak­anak sudah mulai putus asa. "Ayo, Bill;" kata Jamie. Didengarnya nada suara bingung, walau kata-kata anak itu sendiri tidak bisa ditangkapriya. "Kita singkirkan karung-karung ini dulu. Kita harus memeriksa, siapa sebetulnya yang ada di bawah!" Berlusin-lusin karung mereka singkirkan, dan akhirnya tampaklah tingkap kayu yang terbenam di lantai. Lempeng batu yang dulu menutupi sudah disingkirkan oleh Bill dan Jamie beberapa tahun lalu, dan disandarkan ke dinding. Mereka tidak mengembalikannya lagi ke tempat semula. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa bilik kecil yang disangka tempat penyimpanan itu, sebetulnya merupakan jalan masuk ke lorong rahasia yang menuju ke puri. Untung- saja lem­peng batu itu sudah disingkirkan. Sebab kalau masih ada di atas tingkap, biar sekeras apa pun mereka berteriak-teriak, pasti takkan ter­dengar dalam ruangan gereja di atas mereka! "Sekarang tinggal tingkap ini," kata Bill. Diketuk-ketuknya papan tebal itu dengan sepatunya yang berat. "Siapa di bawah?" serunya. "Kami!" jerit kedua Harry. Anak-anak yang lain ikut berteriak-teriak pula, dibantu oleh gong­gongan Timmy. "Astaga, itu kan suara Harry dan Harriet!" kata Jamie. Bagaimana mereka bisa masuk ke situ, tanpa menggeser karung-karung tadi terlebih dulu?" Bill dan Jamie bersama-sama menjunjung ting­kap kayu yang berat itu. Dan begitu tingkap terangkat, seketika itu juga mata mereka melotot! Mereka tercengang, melihat keenam anak yang berada di bawah bersama Timmy. Timmy meloncat paling dulu ke atas, disusul oleh anak-anak satu per satu. . Bill dan Jamie membantu dari atas. "Aduh, terima kasih, Bill dan Jamie," kata kedua Harry, ketika sudah berada di atas. "Un­tung saja kalian bekerja lembur... dan kebetulan masuk kemari!" "Ibu kalian sudah mencari-cari sejak tadi," kata Bill dengan nada agak jengkel. "Dan kalian kan sudah berjanji membantu aku?" "Bagaimana kalian bisa masuk ke situ?" tanya Jamie. "Wah, ceritanya panjang, lain kali saja kami bercerita," kata Harry. "Pokoknya, sekali lagi te­rima kasih! Bisakah kalian mengembalikan ting­kap ini ke tempatnya semula? Dan jangan bilang siapa-siapa bahwa kami tadi ada di bawah, sampai kami sudah bercerita bagaimana kami sampai berada di situ, ya? Sekarang kami harus bergegas pulang, supaya Ibu tidak bertambah bingung!" Keenam anak itu bergegas pulang ke rumah. Mereka sudah capek sekali. Kerongkongan terasa haus, ingin rasanya cepat-cepat minum. Mereka merasa lega, karena berhasil keluar dari bilik kecil yang terdapat di bawah lantai gereja tua. Apa kata orang rumah nanti, jika melihat harta karun yang mereka bawa pulang? 18. Cerita Julian Harry dan Harriet bergegas-gegas pulang. Di rumah, ibu mereka masih terus mencari ke mana-mana. Begitu sampai, kedua anak kembar itu langsung memeluknya. Bu Philpot memarahi keduanya, tapi tidak dengan sungguh-sungguh. "Ke mana saja kalian tadi?" kata wanita itu. "Kalian semua terlambat satu jam untuk makan sore. Aku sudah gelisah saja! Pak Henning tadi bercerita, katanya kalian sedang menggali di lereng bukit!" "Kami lapar sekali, Bu! Nanti saja kami bercerita, sambil makan," kata kedua Harry serempak. "Wah, Ibu pasti tercengang mendengarnya! Bu, mana Ayah... dan Kakek?" "Mereka masih minum teh," jawab ibu mereka. "Keduanya juga terlambat, karena sedari tadi mencari-cari kalian. Kakek marah-marah! Eh, apa yang kalian bawa itu? Itu kan pedang?!" "Kami makan dulu ya, Bu! Setelah itu akan kami ceritakan semuanya," kata kedua anak kembar itu. "Perlukah kami membersihkan badan dulu?" Bu Philpot mengangguk. "Huh...," kata Harry. Tapi ia tidak membantah ibunya. "Yuk, kita mandi saja dulu," katanya pada anak-anak. "Harta karun ini kita sembunyikan di salah satu pojok yang paling gelap, sehingga tidak terlihat oleh Ayah dan Kakek sebelum kita siap menunjukkannya pada mereka!" Beberapa menit kemudian, keenam anak itu sudah mandi. Dengan segera mereka kembali ke dapur, lalu mulai makan dengan lahap. Pak Philpot dan Kakek masih ada di situ. Keduanya sedang minum teh. Bu Philpot menceritakan bahwa anak-anak sedang mandi dulu. Tapi setelah itu akan makan, sambil melaporkan apa yang terjadi sampai mereka terlambat pulang. "Hah!" tukas Kakek sambil mengerutkan alisnya yang tebal, ketika anak-anak akhirnya datang. "Waktu aku masih kecil dulu, semenit pun aku tidak berani datang terlambat pada waktu makan! Ibu kalian tadi sudah sangat gelisah, memikirkan kalian berdua. Itu tidak bagus!" "Maaf, Kek," kata kedua Harry serempak, karena terutama, merekalah yang dimarahi Kakek. "Tapi Kakek mesti mendengarkan dulu pengalaman kami tadi. Kau saja yang bercerita, Julian!" Julian pun bercerita sambil makan, dibantu oleh anak-anak lainnya yang sebentar-sebentar menyela. Kakek sudah mengetahui bahwa Pak Henning mendapat izin untuk mengadakan penggalian. Sebagai imbalannya, orang Amerika itu sudah membayar lima ratus pound pada Pak Philpot. Kakek marah-marah ketika mendengarnya. Tapi akhirnya ia mengalah, setelah sambil menangis Bu Philpot mengatakan akan mengembalikan uang itu, walau sebenarnya sangat diperlukan olehnya. Dan sekarang Kakek sudah mau marah-­marah lagi! Tapi ketika mendengar cerita Julian, ia lupa pada kemarahannya. Ia bahkan lupa pada tehnya, yang sudah mulai dingin. Mengisi pipanya dengan tembakau pun, tak diingatnya lagi. Kakek rnendengarkan dengan asyik, tanpa bertanya sedikit pun. Julian pandai bercerita. Bu Philpot melongo, ketika ia sampai pada penuturan tentang Snippet dan Nosey yang masuk ke dalam liang kelinci, lalu keluar lagi dengan membawa pisau patah serta sebuah cincin! "Ya, tapi dari mana...," sela Bu Philpot takjub. Tapi Julian sudah meneruskan ceritanya. Dituturkannya bagaimana ia bersama Dick memperbesar liang itu, lalu masuk ke dalamnya dan sampai di lorong rahasia yang sudah dilupakan orang! "Wah!" seru Kakek. Diambilnya selembar sapu­tangan merah yang besar dari kantongnya, lalu disekanya keningnya yang berkeringat. "Wah, sayang aku tak ikut tadi. Terus... terus...!" Julian berhenti sebentar, untuk meneguk teh. Kemudian ia tertawa, lalu meneruskan cerita. Dilukiskannya bagaimana mereka berenam kemudian menyusuri lorong gelap dengan diterangi cahaya senter, ditemani Timmy dan Snippet. "Lorong itu gelap dan baunya menyesakkan napas," kata Julian. "Tiba-tiba terdengar bunyi yang keras sekali!" "Ya, mendengung-dengung," sela Anne. "Bunyi apa itu?" tanya Kakek. Matanya terbelalak, karena terlalu ingin tahu. "Bunyi alat-alat bor yang dipakai para pekerja yang melakukan penggalian di tempat bekas puri," kata Julian. Seketika itu juga kemarahan Kakek meledak. Ia menuding-nuding cucunya, Pak Philpot, dengan pipanya. "Bukankah sudah kukatakan, aku tidak mau orang-orang itu datang kemari?!" bentaknya. Tapi Kakek ditenangkan oleh Bu Philpot. "Terus, Julian...," kata Bu Philpot. Akhirnya Julian sampai pada bagian cerita yang paling asyik, yaitu ketika mereka memasuki kolong puri... gerbang-gerbang batu... di mana­mana debu yang sudah berabad-abad.... "Wah, tempat itu bergema," kata Anne. "Biar kami berbisik pun, langsung saja terdengar gemanya!" Kemudian Julian menuturkan penemuan mereka di situ. Baju besi yang masih utuh, tapi sudah hitam karena tuanya... rak-rak penuh dengan pedang dan pisau panjang... lalu emas berpeti-peti.... "Emas!? Mustahil! Aku tidak percaya!" seru Kakek. "Kau cuma mengarang-ngarang saja sekarang! Jangan suka melebih-lebihkan, ya! Cerita saja yang biasa" Seketika itu juga kedua Harry bangun dari kursi masing-masing. Mereka mengeluarkan mata uang emas dari kantong mereka. Logam itu masih tetap berkilauan. Semuanya diletakkan di atas meja, di hadapan ketiga orang dewasa itu. Dan ketika itu juga mulut ketiga-tiganya ternganga serempak, seperti digerakkan mesin. "Ini buktinya!" kata kedua Harry. "Sekarang katakan, apakah kami cuma mengada-ada saja? Ini bukti bahwa kami tidak bohong!" Pak Philpot memungut mata uang itu satu per satu. Dipandangnya mata uang itu sebentar dengan mulut ternganga, lalu diteruskannya pada Kakek dan Bu Philpot Kakek benar-benar tercengang. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Sambil menggumam, dibalik-baliknya mata uang itu satu per satu. "Ini benar-benar terbuat dari emas?" tanya Bu Philpot. Kelihatannya ia bingung sekali, menghadapi rnata uang berkilau-kilauan itu. "Apakah ini milik kita, Trevor? Apakah ini berarti kita akan bisa membeli traktor baru untukmu, dan.. "Tergantung dari berapa banyak yang ada di bawah puri," kata Pak Philpot. Ia berusaha untuk tetap tenang. "Dan tentu saja tergantung dari berapa yang boleh kita miliki. Karena mungkin saja sekarang yang menjadi pemilik adalah negara" "Negara?" seru Kakek. Ia bangkit dari kursinya "Negara, katamu? Tidak bisa! Aku pemiliknya Semuanya milik kita. Ditemukannya di tanah kita, dan berasal dari nenek moyang kita. Ya, harta ini akan kubagikan juga pada Pak Finniston, sahabat karibku sejak dulu!" Anak-anak setuju dengan niat Kakek! Kemudian mereka menunjukkan perhiasan yang juga mereka bawa. Bu Philpot mengagumi, walau perhiasan itu agak kotor kelihatannya. Tapi Kakek dan cucunya, Pak Philpot, paling kagum ketika anak-anak memperlihatkan pedang dan pisau hasil penemuan mereka di kolong puri. Kakek mengambil pedang yang paling besar, lalu mengayun-ayunkannya di atas kepala dengan galak. Tampangnya saat itu seperti pejuang zaman dulu, dengan janggutnya yang lebat serta sorotan matanya yang menyala-nyala. "Awas, Kek!" kata Bu Philpot ketakutan. "Nanti pecah barang-barangku di atas bufet....” Pedang di tangan Kakek terayun ke belakang, menyambar, dan... PRANG! "Nah, apa kataku! Pecah sekarang basi tempat daging!" seru Bu Philpot. "Biar Julian menyelesaikan ceritanya dulu. Sekarang Kakek duduk dulu!" "Ha," kata Kakek, sambil tersenyum lebar. Tapi ia duduk di tempatnya kembali. "Ha! Enak rasanya, bisa mengayunkan pedang itu. Mana si Amerika? Aku mau mencoba pedang ini padanya!" Anak-anak berteriak-teriak ramai. Asyik rasanya melihat Kakek begitu gembira. "Teruskan ceritamu," kata Kakek kemudian pada Julian. "Kau pintar bercerita, Nak! Ayo, teruslah. He, he, kemarikan lagi pedangku itu, Bu. Siapa tahu, barangkali saja nanti kuperlukan!. Biar kukepit, sambil mendengarkan cerita. Hah!" Dengan cepat Julian menyelesaikan ceritanya, sampai pada bagian ketika ia bersama anak-­anak lainnya mencapai bilik sempit berdinding batu. "Dan kami terjebak di situ," kata Julian. "Di atas kepala ada sebuah tingkap besar dari papan-papan tebal. Dan di atasnya bertumpuk karung yang berat-berat! Kami tidak mampu menjunjung tingkap ke atas. Karena itu kami lantas berteriak-teriak!" "Jadi di situ rupanya lorong rahasia berakhir," kata Pak Philpot. "Lalu, bagaimana kalian bisa keluar?" "Kami berteriak-teriak sambil menggedor-gedor tingkap. Kebetulan Bill dan Jamie masuk ke tempat itu. Mereka mendengar teriakan kami. Dengan segera karung-karung mereka singkir­kan, lalu tingkap dibuka," kata Julian. "Wah, lega sekali perasaan kami melihat mereka! Kami sudah takut, jangan-jangan kami terjebak untuk selama-lamanya di bawah tanah. Sebetulnya Jamie dan Bill tahu di bawah lantai gereja tua ada sebuah bilik kecil. Tapi mereka menyangka itu cuma tempat penyimpanan biasa!" "Tapi aku belum pernah mendengar mengenai­nya," kata Bu Philpot. Kakek mengangguk-­angguk, mengiyakan. "Aku juga belum pernah," katanya. "Sepanjang ingatanku, sudah selalu ada karung bertumpuk­tumpuk di lantai situ. Dan tempat yang tidak ditutupi karung, semuanya penuh dengan debu tebal. Ya, dulu ketika aku masih kecil dan sering bermain sembunyi-sembunyian di situ-sekitar delapan puluh lima tahun yang lewat, ruangan itu sudah penuh dengan karung-karung gandum" "Sekarang pun masih banyak karung di sana," kata Anne. "Dan nanti jika kalian sudah tua, tempat itu masih tetap penuh karung!" kata Kakek. "Memang ada hal-hal yang takkan pernah berubah sepanjang masa. Syukurlah! Ya, ya! Sekarang aku akan bisa tidur tenang lagi, karena dengan hasil penjualan harta ini nanti, kau akan bisa merawat pertanian kita dengan baik, Trevor! Aku akan bisa melihat Harry dan Harriet tumbuh menjadi dewasa dan memiliki pertanian yang paling baik di daerah Dorset-dengan segala peralatan terbaru yang mereka idam-idamkan! Nah, sekarang aku ingin mengayunkan pedang ini sekali lagi!" Begitu Kakek mengucapkan kata-kata terakhir, anak-anak langsung berpencar menjauh. Kakek kelihatannya menjadi muda kembali! Entah apa yang akan rusak lagi, apabila ia mengayunkan pedang kuno itu. Ya, sore itu penuh dengan kejadian yang serba ramai! 19. Akhir yang Menggembirakan Sehabis makan sore, Harry dan Harriet keluar untuk memberi makan ayam. "Lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali," kata kedua anak itu. "Mana Pak Henning dan Pak Durleston­ serta Junior konyol, Bu Philpot?" tanya George, sambil bangkit untuk membantu mencuci piring dan cangkir. "Pak Henning tadi masuk sebentar, untuk mengatakan bahwa ia hendak makan di sebuah hotel bersama Pak Durleston," jawab Bu Philpot. “Junior juga diajak! Pak Henning kelihatannya puas sekali. Katanya para pekerja sudah berhasil menggali sampai menembus langit-langit ruangan di bawah puri. Ia juga menambahkan, mungkin sebentar lagi akan menyodorkan sebuah cek senilai lima ratus pound untuk pembayaran berikutnya!" "Tapi Anda kan tidak bermaksud menerimanya, Bu?" sela Julian, yang menangkap pembicaraan itu. "Barang-barang yang ada di sana, nilainya jauh lebih tinggi dari pada yang mungkin akan ditawarkan oleh Pak Henning. Paling-paling dia nanti mengangkut segala-galanya ke Amerika, dan di sana dijual lagi dengan harga berlipat ganda. Jangan mau, Bu!" "Pak Finniston dari toko barang-barang antik di desa pasti tahu berapa nilai yang sebenarnya," kata George. "Dia kan keturunan wangsa Finniston, penguasa puri itu dulu! Pasti dia akan gembira sekali, jika mendengar apa yang terjadi!" "Kami akan memintanya agar kemari besok," kata Bu Philpot. "Kan Pak Henning juga didampingi penasihatnya, Pak Durleston yang selalu masam itu! Jadi Pak Finniston akan kita jadikan penasihat kita! Wah, Kakek pasti senang mendengarnya, karena mereka berdua bersahabat karib.” Sebetulnya Bu Philpot tidak perlu repot-repot menyuruh orang memanggil Pak Finniston. Sebab Kakek sudah mendahului turun ke desa, untuk menyampaikan kabar baik itu pada sahabat karibnya. Dengan bersemangat Kakek bercerita pada Pak Finniston. "Bukan main... uang emas, emas permata, baju besi, pedang, dan entah apa lagi!" kata Kakek berulang-ulang. Mungkin ada dua puluh kali ia mengulangi cerita itu, di depan Pak Finniston yang mengangguk-angguk sambil mendengarkan dengan serius. "Pedang itu hebat sekali," kata Kakek dengan mata bersinar-sinar. "Cocok sekali untukku, William! Wah, jika aku hidup di zaman dulu, pasti pedang kuno itu aku yang memakainya! Barang itu takkan kujual. Akan kusimpan terus, untuk kuayun-ayunkan di atas kepala, jika aku sedang kesal!" "Ya, ya, tapi ingat, sebaiknya kau berdiri di tengah-tengah kamar yang kosong pada saat itu," kata Pak Finniston. Ia agak ngeri, melihat sinar galak yang memancar dari mata Kakek. "Lagi pula kurasa tidak seluruh harta karun itu boleh kauambil! Ada peraturan yang menentukan bahwa sebagian harus diserahkan pada negara. Tapi baju besi serta senjata tajam itu dengan itu saja kalian akan bisa kaya raya!" "Cukup untuk membeli dua buah traktor?" tanya Kakek. "Cukup untuk membeli mobil Land Rover baru? Mobil bobrok yang sekarang ada di pertanian... aduh, remuk rasanya tulang-tulangku jika naik kendaraan itu! Sekarang begini, William. Kita akan memerlukan sejumlah pekerja, untuk membongkar tanah yang menimbuni kolong puri. Bagaimana jika pekerjakan terus orang-orang yang sekarang disewa Henning? Pokoknya si Amerika itu tidak kita beri kesempatan lagi untuk menggali lebih lanjut. Hah! Aku jengkel sekali kalau melihat dia. Sekarang aku bisa menyuruhnya pergi! Dan kau, William, kaututup saja tokomu ini. Kau menjadi penasihatku! Mau, kan? Aku tidak mau terdesak nanti, pada saat menghadapi si Amerika itu... atau si Durleston!" "Lebih baik kau berhenti bicara sebentar," kata Pak Finniston. "Lihatlah, mukamu sudah merah padam! Jangan-jangan kau jatuh sakit nanti. Sekarang pulang saja dulu. Besok aku datang. Mengenai pekerja akan kuurus! Dan jangan terlalu sering main-main pedang, nanti keliru membabat kepala orang!" "Bisa jadi," kata Kakek sambil melirik. "Misalnya saja jika Junior kebetulan lewat ketika aku sedang mengayun-ayunkannya... ya deh, ya deh! Aku kan cuma main-main saja!" Sambil tertawa sendiri Kakek pulang ke pertanian. Malam itu Pak Henning dan Junior tidak kembali. Rupanya mereka terlalu asyik mengorol dengan Pak Durleston di hotel mengenai hasil penggalian hari itu, sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di situ. "Petani biasanya pukul sembilan sudah tidur," kata Pak Henning, "dan sekarang sudah lewat pukul sembilan! Besok pagi saja kita ke sana. Mereka akan kita minta menandatangani surat perjanjian yang telah Anda buat, Pak Durleston! Mereka sangat perlu uang, sehingga apa saja yang disodorkan pasti akan ditandatangani. Dan ingat, jangan banyak bicara tentang apa yang kita lihat di sana, supaya mereka mau dibayar lima ratus pound. Wah, sebentar lagi kita pasti kaya raya!" Dan keesokan paginya mereka datang lagi ke pertanian, bersama Junior. Sebelumnya mereka sudah menelepon bahwa mereka akan membawa surat perjanjian yang perlu ditanda­tangani. "Dan akan ada cek lagi, Bu Philpot!" kata Pak Henning bermanis-manis lewat telepon. Ketika mereka datang sekitar pukul sepuluh pagi, ternyata mereka disambut orang ramai. Kakek beserta Pak Philpot dengan istrinya, lalu kedua Harry kembar, serta Pak Finniston! Orang tua itu yang biasanya loyo, kali ini bersinar­sinar matanya. Kini ada kesempatan lagi baginya untuk mengalami peristiwa ramai. Asyik! Lima Sekawan juga ada di situ. Timmy tidak begitu mengerti, apa sebabnya orang-orang gelisah sedari tadi. Ia berdiri dekat George. Setiap kali Snippet hendak mendekat, dengan segera Timmy menggeram-geram. Tapi anjing pudel yang kecil itu tidak takut. Kalau Timmy menggeram, ia pun bisa menggeram. Tak lama kemudian terdengar ada mobil masuk ke pekarangan. Pak Henning muncul bersama Pak Durleston serta Junior. Anak itu nyengir! "Halo," sapanya dengan gaya santai. "Nah, bagaimana?" Sapaan itu hanya dibalas oleh Timmy, yang menggeram pelan. Junior cepat-cepat menjauh. "Tutup moncongmu," gumamnya pada anjing itu. "Tadi di hotel kau sarapan di tempat tidur, ya?" kata George tiba-tiba pada Junior. "Masih ingat, terakhir kali kau sarapan di tempat tidur di sini, Timmy menarik…” "Ah, sudahlah!" kata Junior dengan masam. Tapi setelah itu ia tidak bertingkah lagi. Ia duduk dekat-dekat pada ayahnya. Kemudian mulailah pembicaraan yang singkat, tapi memuaskan. Memuaskan bagi Pak Philpot, tentunya! "Begini, Pak Philpot," kata Pak Henning membuka pembicaraan. "Pak Durleston ini menyarankan padaku, untuk menawarkan lima ratus pound lagi. Terus terang saja, kami agak kecewa melihat apa yang tampaknya terdapat dalam kolong puri kuno itu. Tapi janji tetap janji! Jadi kami menawarkan pembayaran cek senilai lima ratus pound sebagai pembayaran untuk segala­-galanya yang mungkin kami temukan di sana. Begitu kan, Pak Durleston?" "Tepat," kata Pak Durleston dengan gaya pengusaha besar. Ia memandang berkeliling lewat kacamata tanduknya. "Aku membawa surat perjanjiannya. Pak Henning harus kuakui sangat bermurah hati. Sungguh! Penggalian itu ternyata mengecewakan!" "Sayang," kata Pak Philpot, "tapi aku berpendapat lain! Penasihatku, Pak Finniston, menyokong pendapatku itu. Kami sendiri akan melakukan penggalian di sana, Pak Henning. Jadi kalau hasilnya mengecewakan, kamilah yang rugi, dan bukan Anda." "Hei, apa-apaan ini?" tukas Pak Henning. Ia memandang berkeliling sambil membelalakkan mata. "Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini, Pak Durleston? Ini kan tidak menepati janji namanya?" "Tawarkan seribu pound padanya," bisik Pak Durleston. Ia kaget menghadapi perkembangan yang tak terduga-duga itu. "Biar kalian menawarkan lima ribu padaku, aku tetap memilih untuk menggali sendiri di tanah milikku," kata Pak Philpot. "Bukan itu saja, aku juga ingin mengembalikan cek yang Anda berikan kemarin! Para pekerja tidak perlu Anda berhentikan, karena aku hendak meminta mereka agar meneruskan penggalian. Mereka akan kugaji untuk itu! Mulai sekarang mereka bekerja untukku.” "Ini gila-gilaan!" seru Pak Henning. Ia tidak bisa menahan marahnya lagi. Meja dipukul-pukulnya, sambil melotot ke arah Pak Philpot dan istrinya. "Apa yang kalian kira akan bisa ditemukan dalam kolong brengsek itu? Kemarin kami sudah menggali sampai tempat itu, dan ternyata di situ boleh dibilang sama sekali tidak ada apa-apa. Tawaranku tadi sudah bagus sekali! Tapi baiklah, sekarang kunaikkan menjadi seribu pound." "Tidak mau," kata Pak Philpot dengan tenang. Tapi Kakek sudah tidak sabar lagi. Ia sudah bosan melihat tingkah Pak Henning yang memuakkan itu. Kakek berdiri dari kursinya, lalu membentak sekuat tenaga sehingga semua kaget mendengarnya. Timmy ikut kaget, lalu menggonggong dengan galak. Snippet ketakutan lalu bersembunyi dalam lemari dapur! "Hah! Sekarang dengar!" bentak Kakek. "Pertanian ini milikku, dan milik cucuku. Kemudian akan diwariskan pada kedua anak cucuku, yang duduk di sana itu. Tak ada pertanian lain yang sebagus ini, yang sudah merupakan milik keluargaku sejak berabad-abad! Sedih hatiku melihat keadaannya terbengkalai, hanya karena tidak ada uang untuk merawatnya! Tapi sekarang aku melihat uang banyak sekali dalam kolong puri! HAHH! Uang yang kami perlukan untuk membeli segala macam alat pertanian, dan entah untuk apa lagi. Kami tidak butuh uangmu! TIDAK!! Simpan saja uangmu itu... biar busuk! Coba tawarkan lima ribu pound padaku, jika kau ingin mengetahui jawabanku!" Dengan cepat Pak Henning menoleh pada Pak Durleston. Penasihatnya itu mengangguk. "Baiklah!" kata Pak Henning pada Kakek. "Lima ribu! Setuju?" "TIDAK!" teriak Kakek. Orang tua itu keasyikan sendiri. Sudah lama ia tidak mengalami keadaan yang begitu menyenangkan! "Emas yang ada di sana, serta permata, baju besi, pedang, pisau, semua sudah berabad­-abad umurnya, dan...'' "Jangan ngoceh," kata Pak Henning mengejek. "Pembohong!" Kakek memukulkan kepalan tinjunya ke meja dengan begitu keras, sehingga orang-orang yang duduk mengelilinginya nyaris terguling dari kursi mereka. "Harry! Harriet!" seru Kakek. "Ambilkan barang-barang yang kalian temukan kemarin! Cepat, bawa kemari! Akan kubuktikan pada si Amerika ini bahwa aku tidak bohong!" Kedua anak kembar itu bergegas pergi. Dan sesaat kemudian mereka sudah kembali lalu menyerakkan segala barang yang mereka temukan kemarin ke atas meja. Pak Henning, Pak Durleston, dan juga Junior, hanya bisa memandang sambil melongo. "Nah, apa komentar kalian sekarang?!" tukas Kakek sambil memukul meja sekali lagi. Pak Durleston menyandarkan diri ke punggung kursi: la hanya menyebutkan satu patah kata saja. "Rongsokan!" katanya. Sekarang tiba giliran Pak Finniston untuk menyatakan pendapat! Pak Durleston yang tadi tidak memperhatikan laki-laki tua yang duduk agak ke belakang itu, kaget ketika melihat Pak Finniston tahu-tahu ada di depannya. Ia tahu, laki-laki itu ahli mengenai barang-barang antik. Ia sendiri pernah berusaha mengorek keterangan dari orang itu mengenai letak bekas Puri Finniston. "Para hadirin," kata Pak Finniston. Ia bersikap, seakan-akan hendak berpidato di depan rapat. "Sebagai ahli barang antik yang sudah mempunyai nama, sayang aku terpaksa mengatakan bahwa Pak Durleston ternyata tidak tahu apa-­apa! Barang-barang yang di atas meja ini dikatakannya cuma rongsokan belaka. Padahal bagi seorang kolektor yang serius, barang-barang ini tinggi sekali nilainya! Aku sendiri bisa menjualnya di London besok, dengan harga yang lebih tinggi lagi daripada yang disarankan Pak Durleston pada Pak Henning. Cuma itu saja yang ingin kukatakan. Terima kasih!" Sambil membungkuk untuk memberi hormat, Pak Finniston duduk lagi. Anne kepingin bertepuk tangan rasanya! "Yah, kurasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan," kata Pak Philpot sambil bangkit. "Jika Anda katakan di hotel mana Anda menginap, nanti barang-barang Anda akan kusuruh antarkan ke sana, Pak Henning! Anda pasti tidak mau lebih lama lagi tinggal di sini sekarang." "Aku tidak mau pergi, Yah! Aku ingin tinggal di sini," kata Junior tiba-tiba. Anak itu merengek-­rengek. "Aku ingin menonton mereka menggali dasar puri. Aku ingin ikut menggali! Aku ingin tinggal!" "Tapi kami tidak suka!" tukas Harry. "Bisamu cuma mengintip, mendengarkan pembicaraan orang lain, dan mengadu. Anak cengeng! Sarapan saja di tempat tidur! Huh! Bisanya merengek-rengek, jika kemauannya tidak dituruti. Menjerit-jerit..." "Harry!" seru ibu anak itu dengan kaget. "Jangan begitu! Aku tidak keberatan Junior tinggal di sini, asal ia tidak minta macam-macam! Kan bukan salahnya bahwa semuanya ini terjadi!" "Aku ingin tinggal!" kata Junior sambil menangis. Karena jengkel, kakinya menendang-nendang di bawah meja. Sial baginya, saat itu kebetulan Timmy ada di situ. Hidungnya tertendang Junior. Seketika itu juga Timmy berdiri, lalu menggeram-geram memamerkan taring. Junior lari pontang-panting. "Masih mau tinggal sekarang?" seru George pada anak itu. Jawabannya diberikan dengan segera. "TIDAK!" "Terima kasih, Tim! Kau membantu dia menentukan kemauan," kata George, sambil menepuk-nepuk kepala anjingnya. Pak Henning marah sekali. "Jika anjing itu sampai menggigit anakku, akan kusuruh agar dia dibinasakan," katanya. "Kau akan kuperkarakan, akan ku..." "Pak, pergi sajalah sekarang," Bu Philpot. Ia kelihatan sudah capek. "Masih banyak pekerjaan yang menungguku!" "Aku pergi kapan aku mau," kata Pak Henning sombong. "Aku tidak bisa diusir begitu saja, seperti tak membayar penginapan!" "Kau lihat pedang ini, Henning?" tukas Kakek secara tiba-tiba. Disambarnya pedang kuno yang tergeletak di meja. "Bagus, ya? Orang zaman dulu tahu bagaimana caranya menyingkirkan lawan mereka! Pedang ini diayunkan, begini... lalu begitu... lalu..." "He, awas! Itu berbahaya! Hampir saja aku kena!" seru Pak Henning ketakutan. "Letakkan pedang itu ke meja lagi." "Tidak! Ini milikku, aku takkan menjualnya," kata Kakek. Diayunkannya pedang itu... TARR! Kena bola lampu yang tergantung di atas, sehingga pecah berantakan. Pak Durleston tidak tahan lagi. Ia lari meninggalkan dapur. Di pintu ia bertubrukan dengan Bill, yang kebetulan hendak masuk. "Awas! Hati-hati, orang tua itu sudah gila!" seru Pak Durleston. "Ayo, Henning, kita cepat-­cepat pergi dari sini, sebelum kepalamu putus ditebasnya!" Pak Henning lari menyelamatkan diri, dikejar Kakek sampai ke pintu. Kakek menyumpah-nyumpah, diiringi gonggongan Timmy dan Snippet yang keasyikan. Sedang yang lain tertawa terpingkal-pingkal. "Aduh, Kakek... macam-macam saja Kakek ini," kata Pak Philpot. Kakek masih mengayun­ayunkan pedang sambil nyengir lebar. Matanya berkilat-kilat jenaka. "Ah, aku kan tidak apa-apa," katanya. "Cuma menurutku, pedang ini bisa membuat mereka mau pergi. Kau tahu, mereka itu apa menurut pendapatku? Barang rongsokan! Aduh, kenapa baru sekarang teringat istilah itu. Coba tadi, pasti kulontarkan kata itu pada mereka. Rongsokan! Kaudengar itu, William Finniston?" "Sekarang letakkan pedang itu di meja, sebelum lebih banyak kerusakan terjadi," kata Pak Finniston. Ia tahu bagaimana cara menghadapi Kakek. "Kita pergi ke kedai minum, yuk! Di sana kita nanti berunding, apa yang akan kita lakukan dengan sekian banyak harta karun ini! Tapi sebelumnya, letakkan dulu pedang itu. Kakek takkan kuajak minum jika nekat membawa pedang itu ke sana!" Bu Philpot menarik napas lega, ketika kedua laki-laki tua itu akhirnya pergi juga ke kedai­ tanpa pedang! la duduk di kursi, lalu menangis. Anak-anak kaget melihatnya. "Aku tidak apa-apa," kata Bu Philpot, ketika kedua Harry bergegas menghampiri dengan gugup, "aku menangis karena gembira! Mulai sekarang aku tidak perlu lagi terlalu berhemat serta menerima tamu yang ingin menginap. Sekarang ayah kalian bisa membeli segala peralatan yang diperlukan... aduh, aku ini seperti anak kecil saja!" "Bu, jadi kami juga harus pergi sekarang?" tanya Anne. Tiba-tiba ia menyadari, bahwa ia beserta saudara-saudaranya sebetulnya juga tamu yang merupakan beban yang harus dipikul Bu Philpot. "Tidak, tidak, kalian bukan tamu lagi! Kalian sahabat kami!" kata Bu Philpot. Ia tersenyum, sementara air matanya bercucuran terus. "Bukan itu saja. Kalian tidak perlu membayar penginapan, sebab karena kalianlah kami sekarang tidak perlu terlalu bersusah payah lagi membanting tulang!" "Terima kasih, Bu. Kami memang masih ingin tinggal di sini," kata Anne. "Kami ingin melihat, apa saja yang nanti ditemukan di bawah puri. Ya kan, George?" "Tentu saja!" jawab George. "Kami ingin ikut menyaksikan segala-galanya. Wah, petualangan kali ini benar-benar paling seru!" "Kita selalu mengatakan begitu!" kata Anne. "Tapi asyiknya petualangan kali ini, pengalaman kita belum selesai dengan kejadian tadi. Kita masih akan menonton para pekerja menggali, dan membantu mereka mengangkut segala barang kuno yang ditemukan ke atas. Bukan itu saja! Kita akan mendengar berapa hasil penjualan yang diperoleh, dan... kita masih sempat melihat traktor baru datang! Terus terang saja, menurut pendapatku justru sekarang pengalaman kita semakin bertambah asyik. Betul kan; Tim?" "Guk!" gonggong Timmy, sambil mengibas­ngibaskan ekor. Begitu keras kibasannya, sehingga Snippet yang berada di dekatnya terpelanting!